Pencarian

Bayangan Maut 2

Fear Street - Bayangan Maut Sunburn Bagian 2


"Urusannya tidak seserius mereka menginap bersama kita!" Joy
protes. "Maksudku, mereka cuma kebetulan terdampar di pantai ini."
"Aku tidak butuh masalah," Marla menjawab, dan mulai
melipat matras. Ucapan Marla aneh untuk diucapkan, pikir Claudia, sambil
membantu Sophie dan Joy mengemasi kotak piknik. Tetapi kemudian
ia sadar bahwa apa yang terjadi dengan dua cowok tadi tidaklah
terlalu berbeda dengan cara Marla memperlakukan cowok pada
perkemahan musim panas lalu.
Waktu itu pun Marla sangat kaku, menjaga jarak dengan
cowok. Sejauh yang Claudia tahu, Marla cuma punya satu pacar,
seorang cowok bernama Michael, dan mereka cuma berpacaran
beberapa bulan. Joy, di lain pihak, main mata segampang ia bernapas. Dan
Sophie, berusaha keras untuk meniru meskipun ia lebih pendiam.
Sedang ia sendiri - Claudia - pernah kencan dengan beberapa
cowok, tapi ia cuma pernah punya satu pacar betulan. Masalahnya, ia
memutuskan, ia tidak terlalu meninggalkan kesan pada laki-laki. Ia
bertemu dengan mereka dan mereka melupakannya.
Ia tersenyum, menyadari bahwa hal itu tidak berlaku untuk
Dean dan Carl. Ia tahu bahwa kali ini ia telah meninggalkan kesan.
Mereka mungkin selamanya akan mengingat dirinya - sebagai Cewek
Berkrim Merah Jambu Tebal.
**********************************************
Petang harinya tiga gadis itu berkumpul di kamar Claudia. Joy
dan Sophie, dengan celana pendek dan t-shirt tanpa lengan, berbaringbaring di
atas penutup seprai pada ranjang bertiang empat itu. Claudia
berdiri di ambang pintu Prancis yang terbuka, menatap ke bawah
sementara bayang-bayang panjang sore hari terentang di atas halaman
rumput belakang. "Adakah di antara kalian yang merasa bahwa Marla berlaku
agak aneh?" tanya Joy. "Coba acungkan tangan kalian."
Claudia dan Sophie mengangkat tangan dengan patuh.
"Dia begitu tegang," kata Sophie, sambil berbaring telentang,
tangannya diganjalkan di belakang rambut cokelatnya yang keriting.
"Dia selalu tegang di dekat cowok," kata Claudia.
"Tapi dia bukan cuma tegang. Dia marah," Joy menegaskan.
"Marah bahwa cowok-cowok itu ada di sana."
"Dia tidak pernah memberi mereka peluang," Sophie setuju.
"Kupikir Carl lumayan cakep," kata Joy, tersenyum lebar.
"Lumayan," kata Claudia dari jendela. "Tapi mereka lumayan
keras juga. Kukira Marla ketakutan. Aku tahu aku memang agak
takut." "Di perkemahan dulu Marla jauh lebih santai," ujar Sophie.
"Banyak yang telah berubah sejak itu," kata Claudia muram. Ia
berjalan dan duduk di pinggir ranjang dekat kaki Sophie. "Apakah kau
merasa lebih baik?" Sophie mengangkat pundak. "Aku masih merasa sedikit aneh.
Seperti pening." "Bagaimanakah rasanya tadi?" tanya Joy. "Sakitkah?"
"Yeah, sakit," kata Sophie kepadanya. "Seperti terkena tinju di
perut. Aku tidak bisa bernapas, dan - oh, entahlah."
"Sungguh dua hari yang aneh," Claudia berkomentar. "Kita
mestinya bersenang-senang, menikmati pantai dan rumah yang luar
biasa ini. Sampai sejauh ini, sama sekali tidak menyenangkan
berjemur di matahari! Kau hampir tewas tersengat listrik. Aku
terkubur - " "Dan jangan lupa ulat cokelat yang memuakkan di saladku,"
Joy menyela. "Sungguh menjijikkan!"
Claudia dan Sophie tertawa.
"Aku harus mengatakan sesuatu kepadamu, Claud," kata
Sophie, duduk dengan tiba-tiba dan menghentikan tawanya. "Aku
berniat mengatakannya kepadamu sejak tadi, tapi aku tidak punya
kesempatan." "Apa?" Claudia bertanya, menggosokkan tangannya pada
penutup seprai yang halus itu. "Kenapa tiba-tiba jadi begini serius?"
"Wel..." Sophie seperti sangsi untuk bicara, kemudian dengan
sekaligus kata-kata meluncur dari bibirnya. "Aku dan Joy ingin
kembali padamu kemarin siang, tapi Marla tidak mengizinkan."
Claudia menatap Sophie, tidak begitu memahami apa yang
Sophie katakan kepadanya.
"Ketika kami kembali dari jalan-jalan, Marla bersikeras bahwa
kau sudah kembali ke rumah," Sophie meneruskan, suaranya
diturunkan menjadi bisikan, matanya tertuju ke pintu kamar tidur.
"Kami ambil jalan lain, mendaki bukit-bukit pasir itu. Tapi aku dan
Joy ingin kembali untuk memastikan bahwa kau sudah tidak lagi
terkubur di dalam pasir."
"Yeah. Kami khawatir denganmu," Joy menambahkan.
"Namun Marla mengatakan bahwa dia yakin kau sudah
meninggalkan pantai. Dia bersikeras agar kami langsung kembali ke
rumah bersamanya," bisik Sophie.
"Aneh," Claudia cemberut.
"Kemudian dia berlagak begitu terkejut ketika kau datang
terhuyung-huyung dari pantai, terpanggang sampai gosong," kata Joy.
Claudia secara otomatis menyentuh wajahnya. Pipi dan
keningnya panas dan masih sedikit bengkak. Ia berjalan ke meja
make-up untuk mengambil lotion lidah buaya lagi.
"Kukira Marla bingung," kata Claudia sungguh-sungguh.
"Kalau kalian menempuh jalan lain, maka tidak mungkin kalian
melihatku." "Kupikir dia kacau," kata Joy, sambil menurunkan kaki ke
lantai dan berpaling menghadap Claudia. "Kurasa kecelakaan musim
panas lalu - " "Itu satu hal lagi," Sophie menyela. "Ia tidak pernah menyebutnyebut adik
perempuannya. Tak sekali pun ia menyebut nama Alison.
Apakah menurutmu ini tidak aneh" Maksudku, kita semua ada di sana
musim panas lalu. Kita bersama-sama. Maksudku, Alison adalah adik
Marla. Tapi kita semua - "
"Alison yang malang," kata Joy dalam bisikan rendah. "Anak
malang." "Aduh, kejadian itu melekat dalam pikiranku sepanjang waktu,"
Sophie mengaku. "Aku yakin itu melekat dalam pikiran kita semua,
tapi Marla bertingkah seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi.
Maksudku - " "Dia mengatakan kepadaku bahwa dia tidak ingin
membicarakan soal itu," Claudia menyela. Lotion baru itu terasa sejuk
dan menyenangkan pada keningnya.
"Kau menanyainya?" tanya Joy. "Kau menyebut nama Alison?"
"Kami main tenis pagi ini sebelum kalian bangun. Aku
menyinggung kecelakaan itu - dan Marla membentakku. Ia
mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan masalah itu."
"Tetapi rasanya begitu... begitu tak wajar untuk tidak
membicarakannya!" Sophie protes. "Aku merasa seperti sesak
terkungkung. Maksudku..." Suaranya menghilang.
"Kukira Marla cuma ingin kita semua bersenang-senang
minggu ini, dan melupakan apa yang pernah terjadi," kata Claudia
sungguh-sungguh. Ia menatap wajahnya yang terbakar di dalam
cermin. "Dan kalau kita semua bisa menghentikan kecenderungan kita
untuk mengalami kecelakaan, aku yakin kita akan bisa bersenangsenang...."
************************************************
Malam itu empat gadis tersebut kembali bersantap malam di
ruang makan besar dan resmi itu. Duduk berkerumun di salah satu
ujung meja panjang membuat ruangan luas itu terasa jadi lebih luas
lagi. Tetapi semua dalam suasana hati ceria. Joy menuturkan ceritacerita lucu tentang
berbagai usahanya untuk putus dengan pacarnya
yang tolol dan tak mau mendengarkan apa yang ia katakan. Cerita
tersebut membuat gadis-gadis itu meledak tertawa.
Kemudian Marla menceritakan sebuah kisah lucu tentang
ayahnya yang datang di negara yang keliru untuk menghadiri suatu
rapat bisnis - dan kebingungan setengah mati mengapa semua orang
bicara bahasa Italia! Kemudian, sewaktu Alfred mulai membereskan piring dari atas
meja, Joy berpaling pada Marla. "Lalu," ia bertanya, "apa yang bisa
dikerjakan di Summerhaven di waktu malam?"
"Tidak banyak," Marla mengaku. "Kita bisa nonton film,
mungkin. Di kota ada sebuah gedung bioskop tua. Baunya seperti bau
kucing, tapi kadang-kadang menayangkan film-film bagus. Atau kita
bisa bersantai di boardwalk."
"Boardwalk" Maksudmu seperti taman hiburan?" tanya Joy
dengan perasaan tertarik.
"Yeah," Marla mengangguk.
"Ayo pergi ke sana!" Joy berseru. "Aku suka tempat seperti
itu!" "Aku juga," Sophie menambahkan dengan antusias. "Kita harus
naik boom-boom car - dan masuk rumah cermin. Aku suka melihat
diriku jadi kurus!" "Bagaimana denganmu, Claud?" Marla bertanya.
"Kedengarannya menarik," balas Claudia. Gagasan untuk
meninggalkan rumah keluarga Drexell beberapa lama dan menemui
orang-orang lain terasa menarik hatinya. Ia memikirkan hal-hal yang
paling ia sukai mengenai taman hiburan. "Aku ingin naik Ferris
wheel." "Tidak! Aku tidak mau!" kata Joy tanpa pikir. "Sejak musim
panas kemarin, aku takut ketinggian!"
"Oh!" Sophie berseru, mulutnya ternganga.
Joy langsung sadar dengan apa yang ia ucapkan. Ia jadi merah
padam. "Oh, maafkan aku, Marla. Aku - aku tidak berpikir." Ia
menurunkan pandangan ke arah meja.
"Tidak apa," kata Marla dengan suara kering, datar, matanya
kosong, wajahnya sama sekali tanpa ekspresi.
***********************************************
Tak lama kemudian empat gadis itu sudah berada di dalam
Mercedes, Marla yang mengemudi, berangkat menuju Summerhaven.
Sekali lagi Claudia tercengang melihat betapa terpencilnya rumah
besar yang terletak di ujung terjauh tanah itu. Rumah tersebut terpisah
bermil-mil dari manusia mana pun.
Sekitar dua puluh menit kemudian Marla memasuki sebuah
lapangan parkir di pinggir kota, dan empat gadis itu melangkah ke
boardwalk. Betapa jauh perubahannya! pikir Claudia. Ia merasa seolah-olah
berada seribu mil dari rumah keluarga Drexell. Pantai di kota itu
memiliki hamparan pasir yang jauh lebih sempit. Datar tanpa bukitbukit, dan
bahkan ombaknya pun serasa lebih jinak. Tidak ada tebingtebing karang. Bisingnya
suara manusia, tertawa dan menjerit saat
bermain, menenggelamkan suara lautan dan burung-burung camar.
Gadis-gadis itu bergabung dengan orang banyak di taman
hiburan tersebut. Lampu-lampu neon berpendar di segala penjuru, dan
aroma campur aduk popcorn, hotdog, dan harum manis mengapung di
udara. Tempat itu penuh orang dan bising - dan ramah, pikir Claudia
dalam hati. Ia menyadari bahwa ia merasakan suatu perasaan lega
yang tak terduga berada di tengah semua itu.
Pertama mereka pergi ke House of Laffs, dan menghabiskan
sekitar lima belas menit mencoba mencari cermin yang bisa
mengubah Sophie kelihatan kurus kering. Claudia tertawa melihat
bayangannya. Ia dan Marla berdua kelihatan setinggi 180 cm. Tetapi
entah bagaimana, bahkan dalam cermin yang mendistorsikan
bayangan itu, Joy tetap kelihatan dalam proporsi sempurna dan seksi.
Selanjutnya mereka naik Sizzler. Dan, sesudah antre hampir dua
puluh menit, mereka naik boom-boom car. Joy, dengan gayanya yang
anggun seperti biasa, berkelit-kelit menerobos di antara boom-boom
car yang berseliweran. Rambutnya yang panjang berkibaran di
belakangnya. Sungguh mengejutkan bagi Claudia. Sophie berubah jadi sopir
kesetanan, bermaksud menabrak segala apa yang terlihat!
Sesudah boom-boom car, mereka pindah menuju stand
makanan yang berjajar di taman hiburan itu. Claudia berhenti untuk
membeli satu bungkus harum manis raksasa.
Ia baru saja melakukan satu gigitan pertama dengan hati-hati
ketika mendengar suara yang sudah dikenal di belakangnya. "Kau
memang gemar segala yang merah jambu, ya?"
Ia berbalik dan melihat Carl sedang tersenyum kepadanya.
Dean berdiri di sampingnya, rambutnya yang pirang berkilau terkena
cahaya lampu jalan. Cowok-cowok itu sudah ganti memakai jeans
belel yang robek di lutut, dan kemeja tanpa lengan yang memamerkan
otot mereka. Claudia sekali lagi menyadari betapa tampan cowokcowok itu, dalam
gaya yang sedikit kasar. Ia mengangkat harum manis merah jambunya. "Yeah. Aku akan
melaburkannya pada seluruh wajahku," katanya kepada Carl.
Dua cowok itu tertawa. "Apa yang kalian berdua kerjakan di sini?" Marla bertanya,
kedengaran lebih bernada terkejut daripada marah.
"Kami tinggal di sini," kata Carl, tersenyum lebar.
"Yeah. Tepat di taman hiburan ini," Dean nimbrung. "Di sana
itu kamar tidurku." Ia menunjuk ke sebuah bangku taman di antara
dua stand makanan. "Sangat nyaman," kata Joy, sambil bergeser mendekati Carl.
Sophie seketika meniru Joy, bergeser mendekati Dean.
"Kalian mau main boom-boom car?" Joy bertanya. "Kami baru
saja main beberapa menit yang lalu. Sangat menyenangkan!"
"Yeah. Tentu," kata Carl menyetujui cepat-cepat.
Marla mulai protes, tetapi ia mendapati dirinya tersapu bersama
mereka ketika semuanya bergegas untuk antre.
"Aku akan temui kalian sebentar lagi!" Claudia berseru kepada
Marla. Claudia memutuskan bahwa ia sudah cukup bermain boom-
boom car malam itu. Ia ingin menjelajahi taman hiburan, dan ia butuh
sedikit waktu untuk sendirian.
Selain itu, pikirnya, Joy dan Sophie jelas-jelas akan
memonopoli cowok-cowok itu. Dan ia yakin Marla akan ikut dengan
mereka sekadar untuk memastikan mereka tidak mengundang Carl
dan Dean kembali ke rumah.
Jadi mengapa ia harus ikut membuntut"
Sambil makan satu gigitan harum manisnya, Claudia berjalan
melewati sederet permainan dan pondok video game. Kebisingan
taman hiburan itu begitu keras, menenggelamkan deru ombak lautan,
meskipun pantainya tepat berada di bawah mereka.
Di balik pondok video game itu kerumunan orang menipis.
Lampu-lampunya lebih redup. Claudia menjilat kerucut kertas kosong
bekas harum manis itu untuk yang terakhir kali, kemudian
membuangnya ke dalam keranjang sampah.
Ia menjilati jemarinya yang lengket dan menengadah
memandang langit. Gumpalan-gumpalan tipis awan kelabu berenangrenang di depan
bulan purnama pucat yang tergantung tinggi di langit.
Jauh dari tempat permainan, stand makanan, dan orang banyak, udara
terasa sejuk dan lembap. Lebih baik aku kembali dan menemui teman-temanku, pikirnya.
Ketika ia berbalik, ia melihat seseorang sedang berdiri di dekat
sana, menatapnya tajam-tajam.


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terperanjat, Claudia berhenti dan memusatkan pandangan
padanya. Seketika itu ia mengenali rambutnya yang hitam lurus dan
matanya yang hitam kelam.
Daniel. "Cowok Hantu!" ia berteriak keras.
Chapter 10 Maut di Taman Hiburan "KAU panggil aku apa?" Ia bergerak cepat menghampiri
Claudia, seulas senyum tersungging pada wajahnya yang tampan.
"Aku - uh - tidak," kata Claudia terbata-bata, jengah.
"Apakah kau menyebutku hantu?" ia mendesak, matanya yang
hitam membara menatap mata Claudia seolah-olah mencari jawaban
atas pertanyaannya. "Tidak. Aku - " Claudia tidak tahu apa yang hendak ia katakan.
Secara impulsif, ia meraih tangan pemuda itu dan meremasnya.
Tangan itu dingin. Sedingin kemarin di pantai, pikirnya, terkejut.
Sedingin kematian. Pikiran itu merayap ke dalam benaknya.
"Tidak. Kau nyata," katanya kepada pemuda itu, sambil cepatcepat melepaskan, dan
tersenyum kepadanya, jantungnya berdebardebar. "Setidaknya, kau terasa nyata.
Maksudku - " "Kukira itu suatu pujian," katanya sambil mengangkat pundak.
"Cuma soalnya ketika kau menolongku, kau menghilang
sebelum aku mengucapkan terima kasih," kata Claudia canggung.
"Kau menghilang seperti hantu, dan - well...."
"Namamu Claudia, bukan?" ia bertanya, menyisipkan tangan ke
dalam saku celana pendek denim. Ia memakai T-Shirt putih dengan
sweatshirt kelabu terikat di pinggang.
Pakaian betulan, pikir Claudia, sedikit merasa bersalah.
Jadi apa yang membuatku percaya bahwa dia hantu"
Apa yang tadi kupikirkan"
"Ya," jawabnya. "Claudia Walker."
"Luka bakarmu kelihatan tidak terlalu parah," katanya, matanya
memeriksa kening Claudia. "Apakah teman-temanmu sering
melakukan hal seperti itu kepadamu" Menguburmu di pasir dan
meninggalkanmu terpanggang di sana?"
"Tidak sering," kata Claudia. "Mereka pikir aku sudah kembali
ke rumah." "Teman-teman yang hebat," kata Daniel, sambil
menggelengkan kepala. "Mereka teman baik," balas Claudia, merasa defensif. Apa
haknya untuk menjelek-jelekkan sahabat-sahabatnya" Daniel bahkan
belum pernah berjumpa dengan mereka. "Itu kecelakaan, suatu
kesalahan," katanya.
Mereka perlahan-lahan berjalan kembali menuju ke taman
hiburan. Claudia mendapati dirinya yang paling banyak berbicara.
Diceritakannya bagaimana gadis-gadis itu berada di ruang tidur yang
sama pada perkemahan musim panas yang lalu, dan betapa terkejut
dirinya menerima undangan Marla untuk berkunjung selama
seminggu. Daniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil
memberikan komentar-komentar pelan. Ia seperti malu-malu pada
Claudia. Bukan kikuk cuma malu. Sementara mereka berjalan,
beberapa kali lengannya menyinggung lembut lengan Claudia.
Matanya yang hitam mengamati.
Mereka berhenti di Ferris Wheel. Saat kincir itu berputar,
lampu-lampu kuning terang pada rangkanya melambung naik ke langit
malam yang kelam bagaikan bintang beralih.
Angin semilir sejuk mengapung dari lautan, mengibarngibarkan rambut Claudia.
"Malam yang indah," gumamnya sambil
tersenyum pada Daniel. Daniel mengangkat tangannya. "Begini. Aku punya dua tiket,"
katanya, matanya tertuju pada kincir itu. "Antreannya tidak terlalu
panjang. Ayo kita naik."
"Oke. Aku suka naik kincir!" ia menegaskan.
"Aku tahu," Daniel berkata misterius, sambil menggandeng
tangan Claudia dan membawanya dalam antrean.
Mengapakah tangannya begini dingin" Claudia bertanya-tanya
dalam hati. "Apa maksudmu" Bagaimana kau tahu?" Claudia pura-pura
mendesak. "Aku kan hantu, ingat" Aku tahu segala hal," ia tersenyum lebar
pada Claudia, senyum nakal.
Beberapa menit kemudian Daniel mengangsurkan karcis pada
pemuda yang menjalankan kincir itu. Sebuah tempat duduk bergulir.
Kincir berhenti. Mereka melewati sebuah pagar pendek dan naik ke
tempat duduk itu. Segera setelah palang pengamannya didorong di depan mereka,
tempat duduk itu bergerak ke belakang dengan tiba-tiba, dan dengan
satu sentakan mereka terangkat naik dari tanah.
Claudia bersandar ke belakang di tempat duduk plastik itu. Ia
sedikit terkejut mendapati lengan Daniel melingkar pada sandaran
tempat duduk. Claudia menyandarkan kepala padanya, angin laut
terasa sejuk pada wajah, dan ia memandang langit.
"Malam ini sungguh cerah," kata Claudia. "Kita tentu bisa
melihat segalanya. Lautan. Seluruh taman hiburan ini...."
Ia tersenyum. "Sekarang bulan purnama," kata Daniel lembut,
menunjuk dengan tangannya yang bebas.
"Apakah beberapa menit lagi kau akan berubah jadi serigala
siluman?" Claudia menggoda.
Daniel menggeram kepadanya. "Putuskanlah," katanya.
"Apakah aku hantu atau serigala jadi-jadian?"
"Apakah kau tinggal di kota?" tanya Claudia.
"Tidak." Ia menggelengkan kepala. Beberapa helai rambut
hitamnya jatuh menutupi keningnya.
"Lalu, di mana kau tinggal" Apa yang kaukerjakan di sini?"
Claudia bertanya. "Aku tinggal di mana saja. Aku mengapung di langit malam,"
balasnya, sambil tersenyum lebar. Ia mencondongkan badan sangat
dekat pada Claudia, menurunkan lengannya dari sandaran tempat
duduk ke pundak Claudia. "Aku menghantui orang," ia berbisik
dengan sikap pura-pura mengancam, membawa wajahnya dekat ke
wajah Claudia. "Pernahkah sebelum ini kau sendirian dalam kegelapan bersama
hantu?" tanyanya, menurunkan suara hingga jadi bisikan. "Pernahkah
kau sedekat ini dengan hantu, Claudia?"
Apakah ia akan menciumku" Claudia bertanya-tanya dalam
hati. Apakah aku ingin dia melakukannya"
Ya. Ia merasa kecewa ketika Daniel mundur dan bersandar pada
tempat duduk. "Wah. Lihat lautnya," katanya. "Rasanya seperti tidak
nyata." Ketika mereka naik lebih tinggi, lautan pun terlihat di sebelah
kanan mereka. Bulan purnama melontarkan sapuan cahaya pucat di
atasnya, membuat air yang bergerak-gerak itu berkilauan bagai perak.
Di bawah mereka terbentang taman hiburan yang penuh orang
dan bising. Berpaling ke sebelah kiri, Claudia bisa melihat lampu-
lampu Summerhaven, kecil dan berkelap-kelip, seolah-olah kota itu
adalah mainan. "Kau sudah lebih lama di sini daripada aku," kata Claudia pada
Daniel, sambil menikmati beban lengan Daniel pada pundaknya.
"Tunjukkanlah pemandangan-pemandangan itu kepadaku."
"Yah - baiklah," ia menyetujui dengan enggan, sambil
mencondongkan badan di depan Claudia untuk melihat ke sebelah
kiri. Ia menunjuk. "Di sana itu ada gedung entah apa. Dan itu lampu
merah. Dan itu jalan. Dan di sana ada lampu kuning." Ia tersenyum
lebar, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Claudia.
"Kau pramuwisata yang hebat," goda Claudia.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku tidak tinggal di sini," kata
Daniel, sambil menatap ke dalam matanya.
Dia begitu tampan, pikir Claudia. Dan lucu. Dan baik.
Tergerak oleh dorongan hati, Claudia mencondongkan badan ke
depan dan menciumnya. Pada mulanya Daniel seperti terperanjat, kemudian membalas
ciuman tersebut. Dia benar-benar nyata, pikir Claudia dalam hati. Dia bukan
hantu. Bibirnya hangat. Tempat duduk mereka tiba-tiba berguncang dan sekonyongkonyong berhenti.
"Oh!" Claudia berteriak, menarik diri dari tubuh Daniel. Ia
melihat ke bawah. Mereka berada di bagian palmg puncak.
"Mengapa kita berhenti?" Daniel bertanya, membungkuk di atas
palang pengaman untuk melongok ke bawah, mengguncang pelan
tempat duduk itu. "Mereka menaikkan orang lagi," jawab Claudia, bekas bibir
Daniel masih terasa pada Bibirnya. Claudia tersenyum padanya. "Aku
suka di atas sini. Lihat betapa besar rembulannya."
"Aku berani bertaruh aku bisa menyentuhnya," kata Daniel,
mengikuti tatapan mata Claudia. Ia berdiri, mengguncang-guncang
tempat duduk mereka dengan hebat. "Ini. Aku meraihnya," ia berkata,
meraih dengan dua belah tangan.
"Daniel - duduk!" seru Claudia.
Sambil membungkuk di atas palang pengaman, ia pura-pura
meraih rembulan. Dan ketika ia meraih, tempat duduk itu tersentak keras - dan
miring jauh ke depan. Claudia menatap dengan ngeri sewaktu Daniel, dengan lengan
masih terentang, terlempar melayang di atas palang pengaman dan
jatuh dengan kepala lebih dulu, menuju kematiannya.
Chapter 11 Kecelakaan Alison yang Tragis
SEBELUM ia bisa menjerit, bahkan sebelum bisa bernapas,
Claudia menyadari bahwa ia tidak menyaksikan Daniel jatuh.
Ia melihat Alison. Alison. Alison yang malang selalu melekat dalam pikiran
Claudia sejak ia datang di Summerhaven.
Kini, sekali lagi, ia membayangkan kecelakaan tragis yang telah
merenggut nyawa Alison Drexell.
Bagaikan kejadian di depan mata, tragedi musim panas kemarin
itu muncul di depan Claudia. Kengerian luar biasa mengguyurnya
ketika Daniel menggoyang-goyang tempat duduk kincir itu.
Sekali lagi ingatannya kembali ke bulan Juli yang lalu, dan ia
kembali ke Camp Full Moon...
***********************************************
Claudia telentang di atas tempat tidur, merasa lumpuh lemas
karena hawa panas lengas siang itu. Lesu tanpa gairah ia mengusir
seekor lalat. Ia yakin bahwa serangga-serangga itu menyukai campur
aduk bau aneh Bunk 12 - campuran bau pengusir serangga, deodoran,
dan parfum mawar Marla. Saat itu baru saja selesai makan siang, "waktu bebas" ketika
masing-masing seharusnya berada di biliknya, menulis surat ke
rumah. Untungnya Caroline, pembimbing Claudia, sedang jatuh cinta
dengan pembimbing kegiatan air, maka Caroline tidak pernah ada di
sana dan tak satu pun di antara mereka harus menulis surat.
Siang itu Claudia, Marla, Joy, dan Sophie bermalas-malasan
main Truth or Dare, permainan Benar atau Menerima Tantangan. Saat
itu giliran Joy. Ia melontarkan pandangan lihai kepada Claudia. "Yang
Benar," katanya. "Ceritakan kepada kami berapa jerawat yang
kaupencet hari ini."
Wajah Claudia memerah ketika menyadari bahwa Joy pasti
melihatnya ke kamar kecil pagi ini, untuk mengamati wajahnya.
"Apakah kau lebih suka menerima tantangan?" Joy bertanya
sambil mengoleskan cat kuku merah jambu pucat pada jari kaki.
"Tiga," Claudia mengaku, sambil menatap lantai papan. "Hebat.
Memang aku tidak memiliki kulit tanpa cacat sepertimu."
Gadis-gadis itu semua tertawa.
Tiba-tiba pintu kasa terbuka dan Alison, adik perempuan Marla,
melompat masuk. Alison setahun lebih muda dari kakaknya. Seperti
Marla, ia tinggi dan ramping, berambut pirang. Tetapi bagi Claudia ia
sama sekali tidak secanggih kakaknya. Alison tidak memiliki
ketangkasan atletik yang dimiliki sang kakak, dan ia sama sekali tak
menyenangkan. "Apa yang sedang kalian kerjakan?" Alison bertanya.
"Bukan apa pun yang menarik hatimu," Joy meyakinkannya.
Marla sama sekali tidak mengangkat muka. "Pergilah sana,
muka ikan." Bahkan Claudia, yang sudah berusaha keras untuk menyukai
Alison, harus mengaku bahwa ia adalah si bandel yang paling
menyebalkan di dunia. Ia tidak pernah berkumpul dengan anak-anak
di pondokannya sendiri. Ia berusaha setengah mati agar diterima oleh
teman-teman Marla dan jadi bagian dari kelompok Marla.
Itu mungkin tak jadi soal seandainya ia bukan tukang mengadu
dan mata-mata. Alison selalu melaporkan dosa-dosa kecil mereka
kepada pembimbing kepala, selalu berusaha sebisanya untuk
menyulitkan mereka. "Aku mau ikut main," Alison menukas, sambil menjatuhkan diri
di tempat tidur Marla. "Boleh aku ikut" Aku bosan."
"Kau tidak tahu apa yang sedang kami mainkan," Joy
menegaskan sambil mengernyit.
"Truth or Dare," kata Alison pongah.
"Kau terlalu kecil untuk ini," kata Marla dingin. "Kau bukan
bagian dari sini, Alison."
"Akan kulaporkan kalian semua," Alison mengancam. "Kalian
seharusnya menulis surat ke rumah."
"Baiklah," kata Marla. "Kau mau main" Kalau begitu ceritakan
kepada kami waktu Ibu memergokimu sedang mencium Michael
Jennings di kamar tidurmu."
"Hah" Aku tidak pernah begitu," bantah Alison. "Itu
kebohongan busuk!" "Bukankah dia dulu pacarmu?" tanya Claudia kepada Marla, tak
mampu menyembunyikan kekagetan dalam suaranya.
"Dia dulu pacarku sampai Alison melihatnya," kata Marla,
sambil memandang marah. "Kau bohong!" Alison membantah dengan suara melengking.
"Kau pembohong busuk!"
"Oh, yeah. Benar," ejek Marla, sambil memutar matanya.
"Sudahlah, Ali. Kau mau ikut dalam permainan ini" Ceritakan kepada
kawan-kawanku apa yang kaulakukan terhadapku. Ayolah.
Terperinci." "Ini sangat menarik," kata Joy dengan suara lesu, "tapi tidak
bisakah Alison pergi supaya kita bisa menikmati permainan kita?"
"Yeah. Menyingkirlah, Alison," kata Sophie.
"Ayolah, Alison. Yang sebenarnya," Marla mendesak. "Pilih,
ceritakan yang sebenarnya atau terima tantangan. Yang sebenarnya,
Ali. Apa yang terjadi antara kau dan Michael?"
Alison menatap lantai, kemudian mengangkat mata dengan
sikap menantang kakaknya. "Aku terima tantangan itu."
"Kau tidak perlu melakukannya. Kau boleh pergi saja," Claudia
menegaskan. Tiba-tiba ia tidak menyukai suasana dalam pondok kecil


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ia merasakan firasat buruk merayap-rayap di perutnya, sesuatu
yang mengerikan. "Sudah kukatakan aku terima tantangannya!" Alison bersikeras,
berdiri dengan marah. "Kalau begitu aku tantang kau untuk kembali ke tempat tidurmu
dan tetaplah di sana," tukas Claudia, tersenyum lebar pada Joy dan
Sophie. "Tidak," Marla keberatan, matanya yang biru berbinar-binar.
"Aku punya tantangan yang lebih bagus. Ceritakanlah yang
sebenarnya, atau nanti malam kau harus menyeberangi Jurang Grizzly
di bawah bulan purnama."
Alison menatap kakaknya dengan pandangan berapi-api,
wajahnya pucat pasi. Mereka semua tahu bahwa ia takut ketinggian.
Dan ia sama sekali bukan cewek dengan koordinasi tubuh paling hebat
di dunia. Tidak mungkin Alison bisa menyeberangi balok titian di atas
jurang itu - terutama di waktu malam.
Akhirnya Marla menemukan jalan untuk membuat Alison
meninggalkan mereka sendiri.
"Baiklah," kata Alison lirih, matanya yang biru terkunci pada
mata kakaknya. "Aku akan melakukannya."
"Apa katamu?" Sophie berseru. "Kau takkan melakukannya,
Alison!" "Pukul berapa kau ingin bertemu di sana?" tanya Alison, tanpa
menghiraukan Sophie. Marla mengangkat pundak acuh tak acuh. "Bagaimana kalau
sesudah lampu dipadamkan. Pukul sepuluh."
"Tidak jadi soal. Sampai ketemu di sana," kata Alison, dan
meninggalkan tempat tidur.
Malam itu, tak berapa lama menjelang pukul sepuluh, ketika
mereka yakin bahwa Caroline sudah pergi ke mess bersama pacarnya,
empat gadis itu satu per satu merayap turun dari tempat tidur. Malam
itu sejuk, bulan purnama kuning tergantung rendah di langit ungu.
Jengkerik mengerik keras. Pepohonan berbisik ketika berayun-ayun
diterpa angin lembut. Mereka sudah setengah berjalan menyusuri jalan setapak
menuju jurang yang dalam itu - ketika secercah cahaya terang
bergerak-gerak di hutan, menangkap Marla dalam sorotannya. Mereka
mendengar suara tegas Caroline. "Sudahlah, Drexell. Kau tertangkap.
Mana teman-temanmu?"
Marla, menggumam tertahan, melangkah sepenuhnya ke dalam
lingkaran cahaya lampu senter sang pembimbing. Yang lain tetap
diam. Tak bergerak. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.
Claudia merunduk ke balik sebatang pohon, yakin bahwa
engahan napasnya akan membuatnya tertangkap. Caroline mencaricari mereka,
menyoroti pepohonan yang berjajar sepanjang jalan
setapak. Tetapi dengan cepat ia menyerah dan berpuas diri dengan
menggiring Marla kembali ke pondok.
"Haruskah kita kembali?" bisik Sophie ketika Caroline dan
Marla sudah tak terlihat lagi.
"Ya. Ini konyol," kata Claudia, tetap berada di samping pohon
ek besar yang tadi menyembunyikannya.
"Tidak," Joy mendesak. "Caroline akan menunggu kita di
pondok. Selain itu, bagaimana kalau Alison sudah berada di jurang"
Kita lebih baik menjemputnya."
Mereka menemukan Alison sedang berdiri di bibir jurang,
menatap Sungai Grizzly jauh di bawahnya. Dalamnya paling sedikit
sepuluh meter, Claudia tahu.
Sebatang balok terpasang melintang di atas jurang itu,
permukaannya yang kasar berkilau di bawah cahaya bulan terang
benderang. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Alison, kembali ke tempat tidurmu. Ini gila," kata Claudia
kepadanya, sambil melangkah ke belakangnya. Sekali melihat
wajahnya, Claudia bisa menyaksikan betapa takutnya Alison.
"Yeah. Tak apa-apa kalau kau mundur," kata Joy, tangannya
disisipkan ke dalam saku belakang jeans. "Jurangnya terlalu dalam.
Kalau kau jatuh..." "Jangan lakukan, Alison," Sophie menambahkan, berdiri di
pinggir jurang, melongok ke bawah, melihat buih putih di sungai yang
mengalir deras. Alison tak menghiraukan mereka. "Mana kakakku?" tanyanya,
sambil memandang mereka dengan tegang.
"Caroline menangkapnya dan memaksanya kembali," jawab
Claudia. "Kita harus kembali juga."
"Kalian harus menceritakan kepada Marla bahwa aku
melakukan tantangan itu," kata Alison dengan suara melengking,
tercekik. "Jangan!" Joy berseru.
"Kalian sudah pernah melakukannya, bukan?" bentak Alison.
"Kalian semua sudah meniti balok ini. Apa yang membuat kalian
berpikir aku tak bisa melakukannya?"
"Kami melakukannya di siang hari," kata Sophie. "Dan tubuh
kami memang mampu - "
"Dan kami tidak takut ketinggian," Claudia menambahkan.
"Sudahlah, Alison," Joy memohon.
Alison tidak berkata sepatah pun. Sambil menggigit bibir, mata
menyipit penuh tekad, ia melangkah ke balok.
"Tidak!" Claudia terengah.
Jurang itu sempit - tidak lebih dari sembilan meter lebarnya.
Tapi bila jatuh, Alison akan mendarat pada batu-batu besar di sungai
yang dangkal, dengan arus yang cukup kuat untuk menyeretnya.
"Alison - wah!" Joy berseru, telapak tangannya ditekankan
pada pipi. "Aku tidak mau melihat," kata Sophie, memalingkan muka dari
jurang itu. Perlahan-lahan, dengan kaki gemetaran, Alison beringsut maju
di atas balok. "Alison - cukup!" seru Claudia. "Kau sudah membuktikan
maksudmu. Kau sudah melakukannya. Kembali."
"Yeah. Kembalilah!" Joy memohon.
Alison tak menghiraukan kata-kata mereka yang ketakutan.
Kemudian, sekitar dua per tiga sebelum sampai ke seberang, ia
berhenti, lututnya melengkung. Ia berjuang untuk memulihkan
keseimbangan. "Oh, tolong," katanya lirih. "Aku akan jatuh."
"Tidak, tidak," kata Claudia, seraya pindah ke ujung balok.
"Kau tidak apa-apa. Duduklah saja, berbalik, dan beringsutlah
kembali." Tepat pada saat itu Claudia melihat lingkaran-lingkaran cahaya
bergerak-gerak dan bermain-main pada pepohonan. Ia butuh beberapa
saat untuk menyadari bahwa cahaya itu berasal dari lampu senter.
Kemudian ia mendengar langkah kaki. Suara-suara.
"Itu Caroline!" seru Joy. "Dan beberapa pembimbing lain!"
"Lari!" teriak Sophie. "Ayo! Kita akan tertangkap!"
"Ayolah, Alison - cepat!" Claudia mendesak.
"Ya," jawab Alison. Kemudian gadis-gadis itu berlari terengahengah, berlari
kembali menerobos hutan, menjauh dari cahaya yang
bergerak-gerak cepat itu, menyingkir dari para pembimbing.
Claudia mengira bahwa Alison berada tepat di belakangnya.
Claudia pikir bahwa Alison pun ikut berlari.
Claudia tidak melihat Alison jatuh.
Claudia tidak mendengar suara berderak keras ketika Alison
jatuh ke sungai yang penuh dengan batu-batu besar. Ia tak mendengar
bunyi percikan ketika Alison terlempar ke dalam air deras. Dengan
sejujurnya ia yakin Alison berada tepat di belakangnya.
Dan demikianlah ia berlari menyingkir dari lampu para
pembimbing, berlari menerobos hutan yang gelap.
Berlari menerobos bayang-bayang hitam yang dingin....
Lari.... ***********************************************
Kini Claudia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya.
Ia menelan ludah dengan berat dan menatap ke dalam mata
Daniel. "Kau tidak apa- apa?" tanya Daniel lembut.
Ia mengedipkan mata, terperanjat mendapati bahwa ia tidak
berada di Camp Full Moon. Ia sedang duduk di samping Daniel di
Ferris Wheel itu. Dan kincir itu kembali bergerak lancar, membawa
mereka turun ke taman hiburan yang terang benderang.
"Kau tidak jatuh?" Claudia berkata tanpa berpikir.
Daniel menggelengkan kepala, matanya menyipit kebingungan.
"Jatuh" Maksudmu jatuh keluar dari tempat duduk?" Ia tertawa.
"Kupikir - " Claudia merasa pening. Tanah serasa melambung
naik menyongsongnya. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari
bahwa itu hanyalah gerakan kincir.
"Aku hantu, ingat," Daniel menggoda. "Aku jatuh, tapi aku
mengapung kembali ke sini."
Claudia memaksakan seulas senyum.
Alison. Selama ini kau terus-menerus berada di pikiranku,
Alison, pikir Claudia dengan perasaan bergidik.
Itulah sebabnya aku tadi melihatmu. Kau jatuh. Bukan Daniel.
Kau jatuh, Alison. Sungguh kecelakaan yang mengerikan....
Tak lama kemudian, kursi mereka kembali lagi ke bawah, dan
berayun-ayun pelan. Daniel membantu Claudia turun. "Tadi itu
sungguh menyenangkan," katanya, matanya yang hitam berkilau.
"Yeah. Hebat," Claudia setuju, masih sedikit gemetar. "Terima
kasih, Daniel." Mereka mulai berjalan di sepanjang trotoar kayu, hampir
bertubrukan dengan dua anak laki-laki yang meluncur cepat dengan
rollerblade ke arah mereka.
"Aku harus mencari Marla dan yang lain," kata Claudia
kepadanya. "Apakah kau mau ikut" Aku ingin buktikan kepada
mereka bahwa - Hei!"
Daniel sudah pergi. Menghilang lagi. Apakah yang terjadi di sini" Claudia bertanya-tanya dalam hati.
"Claudia! Claudia! Di sini!" suara-suara yang sudah dikenal
memanggilnya. Claudia memutar badan dan melihat teman-temannya
melambaikan tangan kepadanya dari depan stand permainan dart yang
terang benderang. Joy membawa sebuah boneka beruang merah jambu
yang jelek. Dean dan Carl melambaikan tangan kepada Claudia dan
berlalu. Ketiga temannya bergegas menghampiri Claudia.
"Ke mana saja kau?" tanya Marla.
"Yeah. Kami semua bersenang-senang," sembur Joy. "Cowokcowok itu sungguh
menyenangkan, begitu kau kenal dengan mereka."
"Apakah kau pergi keliling-keliling sendiri?" tanya Marla,
matanya mengamati Claudia.
"Uh - yeah," kata Claudia kepada mereka. "Aku menikmatinya.
Sungguh. Aku suka melihat orang-orang di tempat seperti ini. Mereka
menyenangkan, kan?" "Lihat apa yang Carl menangkan," Joy berseru, sambil
mengangkat boneka beruang merah jambu yang jelek itu. "Dia
memberikannya kepadaku. Aku akan menamainya Carl."
"Tampangnya persis seperti dia," kata Marla tawar.
Sambil mengoceh penuh semangat, empat gadis itu kembali ke
mobil untuk pulang. ***********************************************
Sesampai di kamarnya, Claudia berbaring di ranjang,
memikirkan Daniel, tentang tatapannya, tentang betapa tampan dan
misteriusnya cowok itu. Angin sejuk bertiup masuk dari pintu-pintu
kaca yang terbuka dan dengan lembut menyejukkan kulitnya.
Ia menyadari bahwa ia tidak tahu apa pun tentang Daniel. Ia
tidak tahu di mana Daniel tinggal atau apa yang ia lakukan di pantai
selama musim panas ini. Claudia bahkan tidak tahu nama lengkap
cowok itu. Ia baru saja hanyut dalam tidur ringan ketika jeritan melengking
membangunkannya. Claudia terenyak tegak, napasnya keras.
Jeritan itu, disadarinya, berasal dari kamar Joy.
Chapter 12 Siksaan KAMAR Joy terletak di seberang kamar Claudia.
Claudia mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan
meraba-raba mencari saklar lampu.
"Tolong aku! Tolong aku!" Joy menjerit sekuat tenaga.
Lampu di langit-langit menyala, menerangi Joy yang sedang
duduk di ranjang, kulitnya merah padam di balik gaun malam tanpa
lengan. Rambutnya kusut acak-acakan menutupi wajah. Mimiknya
mengerut ngeri. Lengannya digerakkan kalang-kabut ke atas.
"Tolong aku! Claudia - tolong!"
Sophie dan Marla di belakang Claudia menghambur masuk ke
dalam kamar. "Ugh! Joy! Apa itu yang ada di lenganmu?" Sophie menjerit.
"Tolong aku! Tolong!"
Tiga gadis itu berlari menghampiri ranjang.
"Lintah!" tukas Claudia.
Tiga ekor lintah besar berwarna hitam menempel pada lengan
kanan Joy, tepat di bawah pundak.
"Lepaskan mereka! Lepaskan mereka!" teriak Joy histeris.
"Joy, tenanglah!" Marla berteriak.
"Bagaimana lintah-lintah ini bisa menempel ke tubuhmu?"
tanya Sophie, hampir sama histerisnya dengan Joy.
"Berhentilah bergerak-gerak dan kami akan melepaskannya!"
kata Claudia, seraya memegang pundak Joy.
"Tolong! Tolong!"
"Joy - berhentilah meronta!" Claudia berteriak.
"Bagaimana lintah-lintah ini sampai berada di ranjangnya?"
Sophie mendesak Marla. "Bagaimana aku tahu?" tukas Marla tak sabar.
Marla memegang pergelangan tangan Joy dan menekannya ke
ranjang. Dengan tangan gemetar, Claudia berkutat dengan lintah-lintah
itu. Sementara Joy berteriak dan menggelepar, Claudia menarik lepas
lintah-lintah tersebut satu per satu dan melemparkannya ke keranjang
sampah. "Oh! Aku berdarah! Aku berdarah!" Joy menangis.
"Perdarahan itu sebentar lagi akan berhenti," kata Claudia,
berusaha menghibur. Seluruh tubuh Joy kejang gemetaran oleh perasaan ngeri, dan
kemudian disiksa oleh kengerian lain. Ia menarik selimut sampai ke
dagu, gemetar keras, air mata mengalir membasahi pipi.
"Ingat musim panas lalu di perkemahan itu?" tanya Sophie
kepada Claudia. Ia menyipitkan mata memandangnya. Ia tadi berlari
ke kamar Joy tanpa memakai kacamata. "Ingat hari itu ketika Joy
berenang di danau dan lintah menempel di kakinya?"
"Hentikan!" Joy memohon. "Jangan ingatkan aku!"
Perlu sehari penuh untuk menenangkannya, pikir Claudia
murung. "Bagaimana lintah-lintah itu bisa sampai ke sini?" Marla
bertanya marah. Ia menatap ke keranjang sampah. "Bagaimana?" ia
bertanya tanpa menujukannya kepada siapa pun. "Bagaimana mungkin
lintah bisa masuk ke kamar tidur di lantai atas?"


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti ada seseorang yang masuk ke sini!" Joy menangis,
menyeka air mata dengan seprai.
"Hah?" Marla bereaksi terkejut.
"Seseorang menempelkan lintah itu di tanganku!" teriak Joy
"Binatang-binatang itu tidak ada di sana ketika aku naik ke ranjang.
Mereka tidak ada di ranjang. Seseorang pasti membawanya masuk."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Claudia, sambil memegang
pundak Joy yang naik-turun untuk menghibur.
"Sebab aku memeriksa ranjangnya!" kata Joy. "Kau tahu
bagaimana aku terhadap serangga dan ulat. Aku mengangkat penutup
kasur dan memeriksa ranjang ini setiap malam sebelum tidur di
atasnya!" Marla melangkah ke jendela dan melihat ke luar. Ia jadi sangat
pucat dan kelihatan khawatir. "Siapakah yang mungkin masuk ke sini"
Siapakah yang mungkin menempelkan lintah pada lenganmu, Joy"
Itu - itu tidak masuk akal."
Joy mengerang pelan. "Sungguh menjijikkan. Aku merasakan
sesuatu mencubit lenganku. Mereka - mereka menyedot darahku.
Mereka - " "Sudahlah, Joy, cobalah untuk tenang," kata Claudia lembut,
tangannya masih pada pundak Joy. "Kau tidak apa-apa sekarang. Kau
baik-baik saja." "Apakah ada orang yang tahu bahwa Joy takut binatang?"
Sophie bertanya. "Tidak ada siapa pun yang masuk ke sini," kata Marla tegas,
sambil berbalik menjauh dari jendela. "Tak ada seorang pun bisa
masuk. Kau tahu itu, Sophie."
"Kalau begitu bagaimana lintah-lintah itu bisa menempel pada
lengannya?" Sophie menuntut dengan suara melengking tinggi.
Marla menggelengkan kepala dan memejamkan mata.
Rambutnya yang pirang terurai lepas di atas pundak gaun malam
putihnya. Ia menarik sejumput rambut, membawanya ke mulut dan
menggigit-gigitnya sambil berpikir.
"Selalu ada banyak binatang kecil di musim panas," akhirnya ia
berkata, sambil mendorong sejumput rambutnya tadi ke belakang dan
bicara kepada diri sendiri. "Tikus juga. Tetapi tidak mungkin lintah
bisa naik ke sini. Lintah tidak hidup di laut, jadi..." Suaranya kian
lama kian lirih sampai tak terdengar.
"Pasti seseorang menempelkannya padaku!" Joy menukas,
cuma sedikit lebih tenang.
"Aku akan bicara dengan Alfred tentang ini sekarang juga!"
Marla menegaskan. Sambil menggelengkan kepala, ia melangkah
cepat meninggalkan kamar.
Claudia mendengarkan langkah kakinya pada anak tangga. "Ini
benar-benar misterius," katanya kepada Joy. "Apakah kau merasa
lebih baik sekarang?"
"Kau tahu apa yang kupikirkan?" tanya Joy, tanpa
menghiraukan pertanyaan itu. Ia mendorong badan hingga lebih tegak
bersandar pada sandaran ranjang yang berlapis kain tebal. "Kau tahu
apa yang kupikirkan" Kukira Marla mengundang kita ke sini untuk
menyiksa kita!" "Hah?" Claudia dan Sophie terkejut.
Sophie menjatuhkan diri ke pinggir ranjang dan menatap tajam
pada Joy. Sophie memakai piama garis-garis dari bahan seperti sutra.
Claudia tetap berdiri di samping Joy.
"Apa gerangan yang kaumaksudkan?" tanya Sophie.
"Kau dengar ucapanku," tukas Joy. "Segala yang terjadi di sini
ini - semuanya tidak mungkin kecelakaan belaka."
"Joy - apa maksudmu?" Claudia mendesak.
Joy menyeka hidungnya yang beringus dengan seprai. "Aku
mengatakan bahwa Marla mengundang kita ke sini untuk menyiksa
kita," jawabnya muram. "Karena Alison."
"Aku yakin Marla tidak menyalahkan kita atas apa yang
menimpa Alison," kata Sophie, suaranya menunjukkan nada tak pasti.
"Janganlah kita jadi paranoid," kata Claudia pelan.
"Paranoid" Aku tidak paranoid!" balas Joy marah. "Apakah kau
benar-benar mengira hanya kecelakaan belaka ketika Marla
meninggalkanmu terkubur di pasir hingga tergoreng?"
"Ya," kata Claudia.
"Dan bagaimana denganmu Sophie?" Joy bertanya sambil
bergidik. "Marla-lah yang menyuruh Sophie menyentuh gerbang
beraliran listrik itu. Sophie bisa saja tewas kena kejutan listrik. Dan
sekarang aku! Lintah-lintah menempel pada lenganku. Kukatakan
padamu, Claudia - aku tidak paranoid. Aku - "
"Ssssst!" Sophie berbisik, mengangkat satu jari ke bibir.
Mereka semua mendengar langkah kaki Marla di gang. Marla
memasuki kamar, wajahnya menunjukkan ekspresi prihatin. Ia
menyapukan rambut ke belakang pundak gaun malamnya. "Alfred pun
kebingungan seperti kita," katanya dengan suara rendah.
Kamar itu jadi sunyi. Tak seorang pun tahu apa yang harus
dikatakan selanjutnya. Bunyi derik jengkerik melengking tinggi,
menerobos masuk dari jendela yang terbuka.
Bunyi-bunyi seperti di perkemahan itu, pikir Claudia bergidik.
Sophie menguap keras. Joy sudah berhenti menangis dan menarik selimut sampai ke
dagu. "Ayo kita kembali tidur," Marla mengusulkan, sambil
mengernyit. "Mungkin kita bisa menemukan jawabnya esok pagi."
**********************************************
Sesudah mengucapkan selamat malam kepada Joy dan
memastikan ia cukup tenang untuk ditinggalkan seorang diri, Claudia
berjalan menyeberangi gang, memasuki kamarnya sendiri. Merasa
kedinginan, ditutupnya pintu-pintu Prancis itu. Ia sudah hendak naik
ke tempat tidur, membayangkan kembali tiga ekor lintah besar pada
lengan Joy, ketika disadarinya bahwa mulutnya terasa kering.
"Air, air," ia mengerang keras.
Segelas air dingin dari kulkas tentu sangat melegakan, pikirnya.
Ia berjalan sehati-hati mungkin, agar tidak mengganggu temantemannya, melangkah
menyusuri lorong panjang itu. Kemudian ia
merayap menuruni tangga menuju ke dapur.
Ia berhenti di ambang pintu, terkejut mendapati sinar temaram
di atas lorong panjang itu. Lantai terasa dingin di bawah kakinya yang
telanjang. Sesosok bayangan bergerak.
Ada orang lain di sini, Claudia tersadar.
"Marla" Kaukah itu?" bisiknya.
Bukan. Ia hanya bisa melihat satu sosok tinggi setengah tersembunyi
dalam bayangan di dekat sepen belakang.
"Daniel!" Claudia berseru. "Apa yang kaulakukan di sini?"
Chapter 13 Gelombang Pasang! "DANIEL - bagaimana kau masuk ke sini?" Claudia menuntut
jawaban, suaranya berubah jadi bisikan.
Bayangannya yang hitam bergerak pada dinding.
Tertegun beku di ambang pintu, Claudia memicingkan mata
pada cahaya yang redup, berkutat untuk melihat wajah Daniel.
Bayangan itu makin gelap.
Tak seorang pun menjawab.
Sejenak cahaya redup dari lorong bermain-main pada wajah
Daniel. Claudia bisa melihat ekspresinya. Cemas. Takut.
"Daniel - " Claudia memanggil, sambil maju beberapa langkah
menghampiri, dan bergidik menggigil karena lantai yang dingin. "Hei,
tunggu - " Namun ia sudah menghilang tanpa suara dalam kegelapan.
"Daniel...?" Hening. Tak ada langkah kaki.
Sebuah pintu berkeriyut entah di mana. Embusan angin keras
meniup sebatang ranting yang mengetuk-ngetuk jendela dapur.
Claudia bisa mendengar jantungnya berdentum-dentum ketika
ia meneruskan mencari Daniel di dalam dapur yang gelap.
Tetapi ia sudah pergi. Mengapakah ia tidak menjawabku" Claudia bertanya-tanya
dalam hati. Mengapa ia tidak mengatakan apa pun"
Mengapa ia kelihatan begitu ketakutan"
"Dia bukan hantu," Claudia berkata dengan suara keras. "Tidak
mungkin. Aku sudah menyentuhnya."
Tapi, bagaimana ia masuk ke dalam rumah" Bagaimanakah ia
melewati pagar beraliran listrik itu"
"Oh!" Claudia berteriak keras ketika lampu di langit-langit
menyala terang benderang.
"Halo?" sebuah suara berkata.
Claudia memutar tubuh dan melihat Alfred. Ia memakai celana
warna gelap dan kaus dalam, suspendernya melorot ke sisi badan,
Alfred tampak sama terkejut seperti Claudia ketika melihatnya.
"Oh, hai," Claudia berhasil mengeluarkan suara tercekik. "Aku
turun untuk mengambil segelas air."
Alfred mengangguk. "Saya juga. Akan saya sediakan untuk kita
berdua." Ia membuka lemari es besar dan menatap lama ke rak paling
atas. Lalu ia mengulurkan tangan mengambil sebotol air.
"Aku - aku melihat seseorang," Claudia berkata terpatah-patah.
"Anda bilang apa?" Ia menoleh pada Claudia, pintu lemari es
masih terbuka. "Aku melihat seseorang di sini. Di dalam dapur ini. Seorang
pemuda." Ia menyipitkan mata memandang Claudia dengan sikap curiga.
"Apakah Anda yakin?"
"Ya," tegasnya, sambil menyandarkan satu siku pada meja
tinggi. "Ya. Waktu itu gelap, tapi aku melihatnya. Maksudku, aku
mengenalinya. Dia - "
"Tapi itu mustahil," Alfred berkata, sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang botak. Ia meletakkan botol air dan mendorong pintu
lemari es sampai menutup, pandangan matanya tetap tertuju pada
Claudia. "Tak seorang pun bisa masuk ke sini."
"Apakah mungkin ada orang lain tinggal di sini?" Claudia
bertanya. "Alfred menggelengkan kepala. "Tidak ada."
"Tidak ada siapa pun di guest house" Kupikir aku melihat
cahaya di dalam sana tadi malam," kata Claudia.
"Cahaya?" Ia memiringkan kepala, menatap tajam pada
Claudia. "Itu tidak mungkin, Nona. Saya membersihkan guest house
itu hari ini. Saya menyedot debunya dengan vacuum cleaner. Saya
membersihkannya tiap minggu. Tempat itu kosong. Sama sekali
kosong. Tidak ada tanda-tanda siapa pun berada di sana."
"Tapi aku melihat wajah pemuda itu," Claudia bersikeras sengit.
"Namanya Daniel. Aku melihatnya di taman hiburan malam ini. Dia -
" "Bagaimana seorang pemuda tak dikenal bisa masuk ke sini?"
Alfred menyela. Masih menggaruk-garuk kepala, ia menyeberangi
ruangan dan melongok keluar jendela, memicingkan mata tajamtajam. "Listrik di
pagar itu dinyalakan. Anjing penjaga sudah
dikeluarkan dari kandang. Miss Drexell sendiri sudah mengganti kode
sistem alarmnya malam ini."
"Marla mengubah kode sistem alarmnya?" Claudia bertanya.
Alfred mengangguk. "Ya. Tidak mungkin. Tidak mungkin ada
seseorang yang bisa melewati semua itu tanpa kita ketahui."
"Oh," jawab Claudia datar dan mengembuskan napas panjangpanjang.
Alfred menuang dua gelas air dan mengangsurkan satu
kepadanya. Ia kelihatan tidak nyaman, dan matanya menghindari mata
Claudia. Apakah ia menyembunyikan sesuatu" tanya Claudia dalam hati.
Apakah ia tahu lebih banyak daripada yang ia ucapkan"
Dan kemudian, saat ia meneguk air dingin itu, suatu pikiran
yang menakutkan terlintas dalam benaknya.
Apakah Daniel ada di lantai atas" Apakah ia yang
menempelkan lintah-lintah itu pada lengan Joy.
Mengapa" Mengapa" Mengapa"
***********************************************
Keesokan paginya, sesudah tidur yang resah, Claudia bergegas
turun untuk sarapan. Ia sudah tak sabar untuk menceritakan kepada
yang lain bahwa ia melihat Daniel di dapur.
Sophie menggodanya. "Cowok Hantu!" serunya. "Aduh, Claud.
Sekarang kau melihat hantu di dalam rumah?" Sophie mulai tertawa,
tetapi berhenti ketika melihat ekspresi serius pada wajah temantemannya.
"Seseorang datang ke kamarku dengan lintah-lintah itu," kata
Joy bergidik. "Itu bukan kecelakaan. Mungkin pelakunya adalah
cowok yang Claudia lihat."
"Dia sepertinya cowok baik-baik," kata Claudia kepada mereka.
"Tapi - " Marla menyela dengan melompat berdiri dari meja. "Aku tidak
percaya hantu. Kalau benar ada laki-laki bersembunyi di rumah ini,
aku ingin menemukannya," ia menegaskan, sambil mengernyitkan
dahi. Ia beranjak ke dapur. Di ambang pintu, ia berbalik pada para
tamunya. "Aku akan suruh Alfred menelepon polisi," katanya. "Aku
ingin mereka memeriksa rumah ini dari atas sampai ke bawah. Mereka
bisa melakukannya sementara kita main ski air sore ini."
Sambil berteriak memanggil Alfred, ia menghilang dari
ruangan. Claudia sudah berharap-harap akan main ski air. Tetapi dengan
wajah masih merah padam dan mulai mengelupas, ia memutuskan
bahwa ia sebaiknya melindungi kulit lebih daripada biasa.
Pertama, ia mengoleskan krim pelindung matahari nomor 30 ke
seluruh tubuh. Kemudian ia memakai pakaian renang bernuansa biru.
Sesudah pakaian renang ia memakai celana tipis bertali dan t-shirt
lengan panjang. Sesudah semua pakaian itu, ia memakai topi bisbol
milik abangnya yang atas desakan ibunya terpaksa ia bawa.
Ini dia, pikirnya puas. Aku seperti orang gila, tapi sinar
matahari tidak akan mengusikku!
Ketika ia tiba di dok keluarga Drexell, tiga gadis lainnya sudah
berada di dalam perahu, memakai sabuk pelampung oranye terang.
Marla duduk di depan memegang kemudi, Joy di belakang pada posisi
pemandu jalan, dan Sophie menggelantung di samping, mencelupkan
tangannya ke air. "Wow! Claudia! Kau akan meleleh," Marla meramalkan ketika
Claudia melangkah ke dok.
"Mungkin," kata Claudia sambil mengikatkan sabuk pelampung
di atas t-shirtnya. Angin sejuk bermain-main di atas air, tetapi
matahari mencurahkan sinar kuat dan panas dari langit yang tak
berawan. Gelombang naik-turun tenang merayapi dok itu. Perahu
tersebut bergoyang pelan, menarik-narik tali penambatnya.
"Siapa yang ingin main ski duluan?" tanya Marla.
"Aku dulu," Sophie mengajukan diri, sambil mengacungkan
tangan seolah-olah berada di sekolah.
Marla dan Joy menunjukkan mimik terkejut. "Kaulah yang
biasanya tidak pernah menyukai ski air," kata Joy
"Bukankah kau yang biasa menolak masuk ke dalam air yang
lebih dingin daripada suhu tubuhmu?" Marla menggoda.
"Aku sudah berubah," Sophie meyakinkan mereka. "Sekarang


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku perenang yang jauh lebih kuat daripada dulu. Semenjak tahu
bahwa bintangku Pisces dan simbolnya air, aku menjalin hubungan
yang jauh lebih baik dengan renang. Kalian lihat nanti. Aku sudah jadi
perenang yang hebat. Aku adalah ikan! Sungguh!"
Penjelasan khas Sophie, pikir Claudia sambil tersenyum.
Setelah ini, Sophie mungkin akan mengatakan bahwa dirinya dulu
seekor elang sehingga ia ditakdirkan untuk bermain layang gantung.
"Apakah kau ingin mulai dari dok atau dari dalam air?" tanya
Marla kepada Sophie. "Air," kata Sophie. "Aku agak kurang latihan."
"Oke," kata Marla. "Cuma satu hal. Begitu kau mencebur ke
dalam air, acungkan tangan kananmu agar kami tahu kau baik-baik
saja." "Tidak masalah," kata Sophie. Ia merayap keluar dari perahu
dan duduk di pinggir dok untuk memakai papan ski yang panjang.
Claudia membantu mengencangkannya, memeriksa apakah papan ski
itu sudah terpasang dengan benar.
Sophie mengayunkan kaki sehingga papan ski tersebut berada
di sisi dok. Kemudian ia mendorong dirinya dari dok. Ia menjerit
ketika tubuhnya menimpa air yang dingin.
Claudia melepaskan tambatan perahu dari dok dan melompat ke
dalam perahu. Motor sudah hidup dengan derum yang mengasyikkan.
Marla menjalankan perahu menjauh dari dok, dan Joy melemparkan
tali penarik kepada Sophie.
Perlahan-lahan, Marla menjalankan perahu hingga tali penarik
menegang. Claudia melihat Sophie sudah mengatur lututnya dalam
posisi yang sempurna, ujung skinya muncul di atas air, pegangan kayu
pada tali penarik berada di antara kedua kakinya.
"Siap?" Marla berseru ke belakang.
Sophie mengangguk pada Joy di belakang perahu, yang
kemudian berseru kepada Marla, "Siap!"
Sesudah ragu-ragu sejenak, perahu itu melesat maju, bagian
bawahnya memukul-mukul gelombang hijau gelap.
Mata Claudia dialihkan ke belakang perahu, Sophie berdiri
dengan mulus, lalu melambung menerjang gelombang bening,
menjaga keseimbangan dengan sempurna di atas papan ski.
"Dia banyak kemajuan," seru Joy di antara deru motor.
"Benar!" kata Claudia setuju, sambil menyaksikan Sophie
dengan penuh percaya diri melepaskan satu tangan dari tali penarik
dan melambai kepada mereka.
Marla membelokkan perahu membentuk lengkungan lebar, dan
Sophie memiringkan badan mengikuti lengkungan itu, tertawa senang.
Rambutnya yang pendek-keriting berkibaran lepas.
Menyaksikan temannya, Claudia dapat merasakan dirinya jadi
tidak sabar menunggu giliran.
Seolah-olah membaca pikirannya, Joy berseru, "Apakah kau
mau yang berikutnya?"
Claudia mengangguk. Ia buru-buru menanggalkan topi bisbol
dan kemudian pelampung, sehingga ia bisa menanggalkan celana dan
t- shirt. Aku sudah tidak sabar untuk terjun ke air! pikirnya. Aku
berkeringat setengah mati dengan semua pakaian ini!
Ia menanggalkan t-shirt dan celana, dan meraih pelampungnya
lagi ketika didengarnya Joy berteriak di sela-sela suara motor:
"Marla - berhenti. Sophie tenggelam!"
Claudia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke air.
Sophie benar-benar tenggelam.
Ia mencari-cari tangan kanan Sophie yang teracung ke atas,
tanda bahwa ia baik-baik saja.
Tidak ada tanda. Memicing dan melindungi mata dari sinar matahari, Claudia
melihat sesuatu timbul ke atas gelombang.
Sophie" Claudia merasakan tenggorokannya mengencang ketika
menyadari bahwa benda itu adalah salah satu papan ski.
"Di manakah dia?" Joy berteriak.
"Itu di sana!" Claudia berseru, sambil menunjuk ketika ia
melihat kepala Sophie terapung ke permukaan.
Sewaktu Claudia menunjuk, Sophie tenggelam lagi dan
kemudian timbul lagi, tangan dan kaki menggapai-gapai panik.
"Marla - putar perahunya!" Claudia menjerit. "Sophie dalam
kesulitan! Dia pasti terperangkap dalam gelombang pasang-surut!"
"Gelombang itu - menyeretnya ke tengah!" Joy menjerit,
matanya terbelalak lebar oleh perasaan ngeri.
Claudia terengah oleh keheningan tiba-tiba.
Perahu melambat, kemudian terapung-apung bersama
gelombang. Ia bisa melihat Sophie menendang-nendang dan memukulmukul, bergulat sia-sia
untuk membebaskan diri dari arus yang sangat
kuat. "Marla - susul dia!" Claudia menjerit dengan suara melengking
karena tercekik ketakutan.
"Aku - aku tidak bisa!" balas Marla berteriak, tangannya kalang
kabut menggerakkan tuas-tuas kontrol. "Perahu ini - macet! Tidak
mau bergerak!" Chapter 14 Hanyut "SOPHIE tenggelam!" Joy menjerit, mencondongkan badan di
sisi perahu, dengan satu tangan melindungi mata dari cahaya matahari
yang menyilaukan. "Marla - lakukanlah sesuatu!"
"Mesinnya tidak bisa dihidupkan!" Marla berteriak, dua
tangannya memukul-mukul tombol-tombol kontrol. "Apa yang bisa
kulakukan" Apa yang bisa kulakukan?"
Perahu itu terapung-apung tak berdaya dalam guncangan
ombak. Claudia melihat Sophie bergulat panik ketika arus kuat
menyeretnya kian jauh dan kian jauh.
"Apa yang bisa kulakukan" Apa yang bisa kulakukan?"
Nada panik dalam suara Marla memicu Claudia untuk
bertindak. Tanpa menyadari apa yang ia perbuat, Claudia terjun dari
sisi perahu. Terkejut karena dinginnya air, membuat Claudia terengah.
Tersedak, ia muncul ke permukaan.
Baju pelampungku! pikirnya. Pelampung itu masih ada dalam
perahu. Sinar matahari membuat ombak bergulung-gulung berkilauan di
sekelilingnya. Berputar-putar, ia mencari Sophie.
Di manakah kau" Di manakah kau"
Jantungnya berdebar-debar. Akhirnya ia melihat Sophie dalam
jarak dekat, dan tangannya masih menggapai-gapai liar.
Mengambil napas dalam, Claudia mulai berenang ke arahnya
dengan kayuhan kuat, teratur, bergerak melawan tarikan ombak. Ia
tahu ia harus tetap sejajar dengan gelombang pasang-surut itu - tanpa
terperangkap ke dalamnya.
Tangan Sophie masuk ke dalam air. Kemudian, beberapa detik
kemudian, muncul kembali ke permukaan air yang berkilauan bak
berlian. "Sophie! Aku datang!" Claudia berteriak. Tetapi angin dan
ombak meniup kembali suaranya ke belakang. "Sophie!"
Ia mencoba berenang lebih cepat, tetapi arus menyeretnya
dengan kuat ke arah berlawanan.
"Marla... Di manakah kau" Marla, cepatlah!" katanya kepada
diri sendiri dengan panik.
Ia mencari-cari derum perahu motor. Namun satu-satunya suara
yang dapat didengarnya hanyalah debur ombak yang terus-menerus
dan napasnya yang terengah-engah sewaktu ia bergulat di air.
Lewat pundaknya, Claudia bisa menengok ke belakang, dan
melihat perahu itu terapung naik-turun tanpa suara, jauh di
belakangnya. "Marla... ayolah".
Bagaimana mungkin perahu itu bisa berhenti begitu saja"
Pundak Claudia mulai terasa nyeri. Ia berteriak ketika kaki
kanannya kejang. Matanya terbakar karena percikan air asin, ia memicingkan
mata lebih tajam lagi, berusaha mencari Sophie.
Di manakah kau" Di manakah kau, Sophie"
Teruslah berenang. Teruslah berjuang.
Ya. Claudia dapat melihatnya di depan.
Aku datang. Aku datang, Sophie.
Claudia tiba-tiba menyadari bahwa ia berenang jauh lebih cepat,
meluncur dengan mudah di tengah gelombang yang bergulung.
Kejang pada kakinya mereda. Kini ia seperti bergerak bersama
arus, bukan menentangnya.
Bersama arus. Arus. Betapa ngeri perasaan Claudia ketika disadarinya bahwa ia telah
berenang dalam gelombang pasang-surut itu.
"Tidak! Tidak - jangan!"
Ia terperangkap. Terperangkap dalam serbuan arus yang amat kuat.
Tak berdaya. Terseret pergi, jauh ke lautan.
Chapter 15 "Ia Mencoba Membunuh Kita!"
AKU akan tenggelam, Claudia tersadar. Pikiran itu
mendorongnya untuk berputar arah, mencari-cari perahu tadi dengan
panik. Marla, di manakah kau"
Ia tak dapat melihat perahu itu di mana pun.
Sebuah gelombang tinggi naik menindihnya, melemparnya ke
depan. Ia terengah dan mulai tersedak lagi. Ia bisa merasakan dirinya
tertarik ke bawah permukaan.
Maafkan aku, Sophie. Aku sudah berusaha.
Aku sungguh menyesal.... Lengannya nyeri ketika ia bergulat untuk menarik diri, lepas
dari arus. Kejang kakinya datang kembali, rasa nyeri yang
melumpuhkan menusuk sepanjang sisi kanan tubuhnya.
Aku akan tenggelam sekarang, pikirnya, tersedu.
Aku akan mati. Guyuran air berubah jadi dengungan keras.
Dengung itu jadi gemuruh.
Aku tenggelam, pikir Claudia. Tenggelam dalam gemuruh ini.
Lengannya sekarang sudah terlalu berat untuk mengayuh.
Rasa nyeri menusuk kakinya.
Ia bisa merasakan dirinya tenggelam dalam gemuruh yang
memekakkan telinga. Dan kemudian, tanpa diduga, tangan-tangan mengelilingi
lengannya. Ia merasakan tangan yang kuat memegang dan menariknya.
Suara gemuruh itu bukan berasal dari dalam benaknya.
Suara gemuruh itu adalah bunyi motor. Motor perahu.
Dan ia diangkat keluar dari air. Dua orang sedang bekerja
mengangkatnya, menariknya ke atas perahu.
Di samping Sophie. Sophie tersenyum kepadanya. Seluruh tubuhnya menggigil dan
basah kuyup, dan seluruh bulu tubuhnya meremang. Ia bersedekap
menyilangkan lengan di depan - dan tersenyum kepadanya.
"Kau tidak apa-apa" Claudia, kau baik-baik?" satu suara lain,
bukan milik Sophie, bertanya.
Claudia mengangkat muka, menatap wajah khawatir itu.
Berusaha memusatkan pandangan pada rambut hitam yang berkibaran
diterpa kencangnya angin laut. Berusaha memusatkan pandangan pada
mata hitam itu. "Carl!" Claudia berseru.
"Carl dan Dean datang menolong," kata Sophie pelan, seulas
senyum terbentuk pada wajahnya yang kecokelatan.
Claudia berpaling untuk melihat Dean pada kemudi. Ia
menggulingkan badan untuk berlutut pada dek perahu, rambutnya
yang pirang kecokelatan dan basah jatuh menutupi wajah. Ia
mendorongnya ke belakang dengan satu tangan yang gemetar.
"Sophie, kau tidak apa-apa?"
Sophie mengangguk. "Yeah. Aku cuma tidak bisa berhenti
menggigil." "Nyaris saja," gumam Claudia.
"Kami akan bawa kalian ke dok Drexell," kata Cal, tangannya
yang hangat diletakkan pada pundak Claudia.
Claudia hampir saja terguling ke belakang ketika perahu kecil
itu menderum maju. Ia berusaha keras menjaga keseimbangan. Ia
menyeka air dari matanya dan melihat bahwa mereka berada di dalam
sebuah powerboat fiberglass kecil.
Ia mencari-cari perahu Marla di cakrawala tetapi tidak
melihatnya. Perahu mungil itu menderum keras, terpantul-patul di atas
ombak. Claudia bergeser ke dekat Sophie. "Apa yang terjadi?" ia
berteriak. "Apakah kau melepaskan talinya?"
"Aku tidak tahu," kata Sophie, masih menggigil, meskipun
matahari panas membakar langsung di atas mereka. "Satu menit aku di
atas. Berikutnya, aku sudah di bawah. Aku masih memegangi palang
tali penarik. Tapi - tapi tali penariknya - entahlah! Aku tidak
terhubung lagi dengan perahu itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi,
Claudia. Aku terperangkap dalam gelombang pasang-surut dan -
dan - " Claudia merangkulkan tangan di pundak Sophie yang gemetar.
Ia bisa melihat dok putih berada di depan.
Kami selamat, pikirnya. Kami selamat. Kaki Claudia gemetar ketika beberapa saat kemudian Carl dan
Dean membantunya turun ke dok. Sophie melontarkan senyum lega
kepada dua pemuda itu ketika mereka menariknya dari perahu.
"Kalian adalah pahlawan," kata Sophie kepada mereka.
"Hei, kami biasa melakukan ini," kata Dean kepadanya, sambil
tersenyum lebar. Derum mesin perahu lain membuat mereka semua berpaling ke
laut. Marla dan Joy melambai-lambaikan tangan dengan panik ketika
perahu Marla meluncur ke dok.
Beberapa detik kemudian Joy melompat keluar dari perahu dan,
sambil berteriak gembira, datang berlari untuk memeluk Sophie dan
Claudia. Marla menambat perahu, kemudian melompat turun, senyum
lebar tersungging pada wajahnya. "Aku sungguh senang!" ia berseru.
"Perahuku yang konyol. Aku harus memasang motor baru. Aku dan
Joy melihat kalian selamat. Lalu aku akhirnya bisa menghidupkan
motor untuk kembali. Kukira aku membuat mesinnya kebanjiran
bahan bakar atau entah apa!"
Lebih banyak lagi pelukan dan seruan terima kasih kepada dua
pemuda itu. Carl dan Dean mencoba bersikap biasa saja, tapi Claudia
bisa melihat betapa senangnya perasaan mereka. Bahkan Marla pun
berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada mereka, sepertinya
suatu kemenangan istimewa bagi mereka.
"Kami harus mengembalikan perahu ini," akhirnya Carl


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Kami, mmh, sebenarnya meminjam."
Semua tertawa. "Mungkin kita bisa ketemu lagi nanti," kata Dean, sambil
tersenyum pada Sophie. "Yeah. Sampai jumpa nanti," Carl mengulangi.
Empat gadis itu mengamati dua pemuda itu menderu pergi
dalam perahu kecil. "Ayo kita kembali ke rumah," Sophie berseru, sambil
tersenyum kepada Marla. "Aku lapar!"
"Kejadian yang menegangkan juga membuatku lapar!" ujar Joy,
lengannya dirangkulkan pada pundak Sophie.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Sophie?" Marla bertanya,
senyumnya berangsur menghilang. "Apakah peganganmu pada palang
terlepas, atau apa?"
"Aku tidak tahu - " Sophie mulai.
Namun Claudia menyela. Ia sudah mengulurkan tangan ke
dalam air dan menarik ujung tali penarik nilon. "Lihatlah ini!" ia
berseru kepada yang lain.
Ia mengacungkan ujung tali itu. Tangannya mulai gemetar
ketika ia sadar apa yang ia temukan.
"Apa yang mau kauperlihatkan kepada kami?" tanya Marla
ketika tiga gadis itu berkerumun di sekeliling Claudia.
"Lihatlah tali penarik ini," kata Claudia lirih. "Ujungnya tidak
berjumbai. Tidak robek."
"Hah" Apa maksudmu, Claud?" Joy mendesak, bingung.
"Tali ini pasti diiris. Lihat bagaimana mulus ujungnya. Ini pasti
diiris sehingga akan putus bila diregangkan."
"Maksudmu - " Sophie hendak bicara, mengangkat satu tangan
ke mulut. "Maksudku seseorang dengan sengaja melakukan ini," Claudia
berkata, sambil berpaling pada Marla.
Marla mendorong rambutnya yang pirang ke belakang, matanya
yang biru menatap ujung tali itu tajam-tajam. "Tidak mungkin,"
katanya melengking. "Aku dan ayahku memakai perahu ini untuk
main ski minggu lalu. Tidak ada masalah dengan talinya. Aku pikir - "
Mulut Marla menganga terbuka. Ia mengalihkan pandangan ke
perahu itu. "Wah!" ia berseru. "Tunggu sebentar...."
"Apa?" tanya Sophie. "Apa yang kaupikirkan, Marla?"
"Cowok yang kaulihat di dapur itu, Claud. Aku ingin tahu - "
"Daniel?" Claudia berseru. "Untuk apa dia memotong tali
penarik?" "Aku punya gagasan lain," jawab Marla sungguh-sungguh,
Pendekar Sakti 10 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tawaran The Proposal 1
^