Pencarian

Bayangan Maut 3

Fear Street - Bayangan Maut Sunburn Bagian 3


sambil menunjuk ke arah yang ditempuh dua cowok tadi. "Carl dan
Dean. Mereka berada di pantai kemarin. Aku sama sekali tidak akan
terkejut bila mereka mengiris tali itu."
"Hah?" Joy berseru. "Bagaimana kau bisa menuduh mereka,
Marla?" "Yeah! Mereka menyelamatkan kami!" kata Sophie sengit.
"Kami bisa saja tenggelam!" Claudia setuju. "Dua cowok itu - "
"Bagaimanakah mereka tahu kalau harus datang ke sini?" Marla
menyela. "Bagaimana mereka tahu kalau mereka harus menolong?"
"Marla - " Sophie mulai berkata.
Marla memotongnya. "Mereka mengiris tali itu sesudah kita
meninggalkan pantai kemarin. Kemudian mereka mungkin mengawasi
dari Point, menunggu seseorang pergi main ski dan tenggelam.
Sophie, mereka melakukannya agar mereka bisa jadi pahlawan.
Sungguh terlalu kebetulan bahwa mereka tiba-tiba muncul begitu
saja." "Tidak," kata Joy keras, matanya yang hijau berbinar.
"Apa maksudmu?" tanya Marla.
"Itu bukan kebetulan," Joy mengaku. "Aku minta mereka untuk
datang hari ini." "Apa?" Marla berseru, dua belah tangannya menutupi bibir.
"Bisakah kita pulang dulu ke rumah?" Sophie berkata. "Aku
harus ganti pakaian. Dan aku kelaparan!"
"Yeah. Ayolah," Joy menyetujui dengan penuh semangat, mulai
berjalan ke tangga yang menuju ke halaman belakang. Sambil
mengernyit penuh pikiran, Marla mengikuti.
Cuma Claudia tetap tinggal di belakang, memegangi potongan
tali penarik itu di atas air, menatap ujungnya yang halus.
***********************************************
"Sekarang aku tahu aku benar!" bisik Joy.
"Benar" Benar tentang apa?" tanya Claudia penasaran.
Saat itu adalah sesudah makan siang. Mereka berada di ruang
baca berpanel kayu gelap, berkumpul rapat di atas sofa berjok kulit
merah yang amat besar. Marla baru saja menghilang untuk
menelepon. Pada salah satu dinding ruangan, tergantung kepala seekor
rusa besar di atas perapian bata merah, menatap mereka dengan mata
cokelat yang sayu. "Joy, apa yang kaubicarakan?" tanya Sophie, berbisik juga,
pandangan matanya tertuju ke ambang pintu.
Joy mendorong badan untuk bangkit dari sofa, menyeberangi
ruangan, dan menutup pintu sebelum menjawab. Ia memakai blus
putih tanpa lengan dengan celana tenis putih, menegaskan warna
kulitnya yang kecokelatan karena matahari.
"Seperti apa yang kukatakan sebelumnya," ia berbisik,
ekspresinya cemas, "tentang alasan reuni Camp Full Moon ini. Marla
membawa kita ke sini untuk menyiksa kita." Ia menelan ludah dengan
berat. "Bahkan mungkin - membunuh kita."
"Joy - sungguh! Kau perlu memeriksakan pikiranmu," kata
Sophie, sambil memutar mata. Ia menoleh pada Claudia, meminta
dukungan, tetapi Claudia tidak mengucapkan apa pun. "Siapa pun bisa
mengalami kecelakaan dalam bermain ski air," Sophie berkeras. "Kau
tidak bisa menyalahkan Marla - "
"Ya, bisa saja. Claudia benar mengenai tali penarik itu," Joy
meneruskan, sambil menarik-narik buntut kudanya. "Kau
menyaksikannya sendiri, Sophie. Tali itu diiris."
"Tapi, Joy - " "Dan apakah kau benar-benar percaya bahwa perahu Marla mati
begitu saja tepat pada saat dibutuhkan untuk menolongmu?" Joy
meneruskan, lubang hidungnya melebar. "Apakah kau benar-benar
percaya mesinnya mati tepat ketika kalian akan tenggelam?"
"Aku - aku tidak tahu," balas Sophie, menggelengkan kepala. Ia
mendorong kacamatanya yang berbingkai kawat naik ke atas hidung,
sambil mengernyitkan kening.
"Aku benar. Aku tahu aku benar. Lintah-lintah pada lenganku
itu bukanlah kecelakaan. Tak satu pun kecelakaan yang terjadi di sini
benar-benar merupakan kecelakaan. Pasti Marla yang bertanggung
jawab. Alfred melaporkan bahwa polisi sudah memeriksa dan tidak
menemukan sedikit pun jejak Cowok Hantu rekaan Marla. Pasti garagara Marla.
Marla membawa kita ke sini untuk menyiksa kita."
Claudia mengangkat mata memandang Joy. "Tapi mengapa?" ia
bertanya. "Apa alasannya, Joy" Mengapa ia ingin melakukan hal itu
kepada kita?" Joy mencondongkan badan ke depan, seluruh cahaya meredup
dari matanya yang hijau. "Sebab," ia berbisik, "Marla pasti tahu
bahwa kematian Alison bukanlah kecelakaan."
Chapter 16 Kejadian Alison yang Sebenarnya
CLAUDIA melepaskan suara tertahan ketika kata-kata Joy
berkobar membakar dalam pikirannya. Ia bersandar kembali ke sofa
merah dan empuk itu, serta memejamkan mata.
Kematian Alison - itu pastilah suatu kecelakaan, pikirnya.
Kecelakaan yang mengerikan.
Akan tetapi kata-kata Joy telah menguak suatu jalan setapak
kecil dalam benak Claudia, sebuah jalan setapak yang sudah tertutup
sejak musim panas lalu. Kata-kata Joy membuat kenangan-kenangan mengerikan itu
meronta keluar dari tempat persembunyiannya yang gelap, di sebuah
sudut pikiran Claudia. Dan untuk pertama kali dalam waktu hampir satu tahun,
Claudia mengizinkan diri sendiri untuk mengingat apa yang
sebenarnya terjadi malam itu di Jurang Grizzly....
***********************************************
Claudia, Joy, dan Sophie mengawasi dengan ngeri ketika Alison
meniti balok itu, setengah jalan menyeberangi jurang, tubuhnya yang
ramping disinari bulan purnama. Suara sungai yang mengalir di bawah
bergema ke arah mereka. Dengan lengan terentang lurus di kedua sisi,
Alison perlahan-lahan beringsut menyeberangi balok besar tersebut.
Claudia, Sophie, dan Joy berkumpul berdempetan dekat semaksemak tebal. "Aku
tidak bisa percaya ia benar-benar melakukannya,"
bisik Sophie. "Aku sudah coba menghentikannya," Claudia balas berbisik.
"Tapi dia sungguh keras kepala."
"Aku senang Marla tidak ada di sini," kata Joy, lengannya
disilangkan di depan dada. "Kalau dia ada di sini, dia akan kena
serangan jantung." "Apakah kau bercanda?" Sophie berseru, matanya terpaku pada
Alison. "Marla tentu akan menggoyang-goyang balok itu! Dia tidak
tahan dengan adiknya!"
"Itu tidak benar," bantah Claudia. "Marla memperhatikan
Alison. Tapi kau kenal Marla. Ia tidak ingin memperlihatkan bahwa ia
peduli dengan orang lain."
Saat itulah Alison berteriak. Ia tampaknya tersandung.
Lengannya terangkat ke atas sementara ia berjuang untuk memperoleh
kembali keseimbangannya. "Aku akan jatuh!" ia menjerit.
"Terus jalan," Sophie mendorong. "Kau hampir sampai di
sana." "Jangan berbalik," kata Joy. "Terus maju!"
"Aku sunguh-sungguh." Suara Alison jadi panik. "Aku - aku
tak bisa melakukannya. Aku akan jatuh!"
"Alison - berhentilah main-main. Bergegaslah sebelum ada
orang yang datang," kata Joy tak sabar.
Dan kemudian tiga gadis itu melihat cahaya bergerak-gerak,
cahaya lampu senter di dalam hutan. Langkah-langkah kaki
mendekati, suara para pembimbing.
"Ayo, Alison!" Sophie berseru. "Kita akan tertangkap!"
"Cepat!" Claudia berteriak. "Ayo kita pergi!"
Dan kemudian tiga gadis itu berlari ke dalam kegelapan hutan,
berlari menyingkir dari sinar yang datang mendekati.
Apakah Alison ikut berlari juga" Apakah ia mengikuti mereka
kembali ke pondok" Claudia tidak peduli, ia tidak memeriksa.
Ketika ia berlari, sepatu olahraganya menggilas patah rantingranting kecil dan
dedaunan kering sehingga menimbulkan suara keras.
Sedemikian kerasnya sehingga ia tidak bisa mendengar jeritan
melengking Alison; "Tolong!" Dan ia tidak mendengar suara
berdebam tubuh Alison yang terbanting menimpa batu atau suara
percik air yang menelannya.
***********************************************
Ketika pembimbing Alison mendapati bahwa Alison hilang,
mereka mencarinya. T-shirt-nya yang berlumuran darah ditemukan
keesokan pagi, tergantung pada batu karang yang menjorok dekat tepi
sungai. Tubuhnya tak pernah ditemukan.
Claudia, Joy, dan Sophie tidak pernah menceritakan kepada
siapa pun bahwa mereka ada di sana ketika Alison jatuh. Mereka tidak
pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa Alison menjerit minta
tolong, bahwa mereka malah lari, bahwa mereka tidak pernah
memeriksa untuk memastikan Alison sudah kembali berpijak dengan
selamat di atas tanah. Mungkin kami sebenarnya bisa menyelamatkannya, pikir
Claudia, tenggelam dalam perasaan bersalah.
Mungkin kami sebenarnya bisa berjalan ke sana dan
membantunya turun dari balok titian.
Mungkin ia tidak perlu mati.
"Dia tidak apa-apa ketika kami lari," tutur mereka kepada Marla
sesudah itu. "Kami pikir dia tepat berada di belakang kami. Sungguh."
Marla percaya cerita teman-temannya.
Tidak butuh waktu terlalu lama bagi tiga gadis itu untuk
mempercayai cerita mereka juga.
Cerita itu mudah dipercayai.
Lebih mudah daripada kebenaran.
Itu adalah versi yang lebih bagus dari kematian yang
mengerikan. Dan, Claudia sadar, mereka berpegang erat pada kisah tersebut
karena cerita itu menawarkan versi yang jauh lebih bagus tentang diri
mereka sendiri. Kami mungkin bisa menyelamatkan Alison, pikir Claudia.
Tetapi kami malah membiarkannya jatuh hingga mati.
*********************************************
Kenangan akan malam yang mengerikan itu menggelegak
dalam benak Claudia, lebih cepat daripada derasnya aliran air sungai
di dasar Jurang Grizzly. Rasanya sudah begitu lama.
Dan begitu lama sejak ia menghadapi kebenaran.
Claudia membuka mata dan membungkuk ke depan pada sofa
kulit empuk itu. Ia mengangkat mata, memandang dua sobatnya. "Kita
harus keluar dari sini," katanya dengan suara rendah, datar. "Kupikir
Joy benar. Kupikir Marla memutuskan bahwa kita seharusnya bisa
menyelamatkan Alison malam itu di Camp Full Moon, tetapi ternyata
tidak. Aku - aku pikir dia membawa kita ke sini untuk menyiksa kita.
Malah mungkin lebih buruk lagi."
Sophie terengah, matanya membelalak lebar. "Tapi bagaimana"
Apa yang akan kita lakukan" Bagaimana kita menyingkir dari sini?"
"Marla tidak akan membiarkan kita pergi," Joy berkata muram,
berdiri dan mondar- mandir. "Dia tidak akan membiarkan, Claud. Aku
tahu itu." Claudia bangkit berdiri dan menghampiri meja tulis. Ia
mengangkat gagang telepon. "Aku akan menelepon ibuku dan
memintanya untuk menjemput kita," katanya kepada mereka. "Bila dia
datang, Marla pasti akan membiarkan kita pergi."
Claudia menekan nomor telepon rumahnya dan berbalik
menghadap ke dinding untuk bicara dengan ibunya.
Ketika ia berbalik kembali menghadap rekan-rekannya, ekspresi
wajahnya cemas. "Dia tidak bisa datang sampai lusa," katanya kepada
mereka. "Apa yang akan kita lakukan sampai saat itu?" Joy bertanya
dengan suara melengking gemetar.
"Bersikap waspada, kurasa," Claudia menjawab, sambil
meletakkan kembali gagang telepon.
"Kita bisa bertahan satu hari lagi," kata Sophie. "Cuma kita
harus hati-hati. Jangan melakukan olahraga air berbahaya. Dan kita
berlagak segalanya beres."
"Sophie benar," Claudia cepat-cepat menyetujui. "Kita cuma
perlu hati-hati sampai ibuku tiba. Kita berkemas dan siap untuk pergi.
Dan - " Ia menoleh ke arah sesosok bayangan di ambang pintu ruang
baca itu. Marla! Claudia terperanjat melihat Marla berdiri di sana tanpa suara,
satu tangannya terangkat memegang ambang pintu, menatap tajamtajam padanya.
Keningnya yang berkernyit menegaskan mimik
wajahnya. Berapa banyakkah yang Marla dengar" Claudia bertanya-tanya
dalam hati. Apakah ia mendengar seluruh percakapan kami"
Apakah ia tahu kami merencanakan untuk pergi"
Ekspresi Marla melembut sewaktu ia melangkah masuk ke
ruang baca. Ia memegang sebuah kotak tipis panjang berwarna emas
di satu tangan dan berjalan menghampiri tiga gadis itu.
"Apakah kalian mau cokelat?" ia bertanya, sambil menurunkan
kotak itu. "Cokelat ini enak banget."
Chapter 17 Tenang, Boy MENATAP cahaya putih menyilaukan dari langit tengah hari,
Claudia membetulkan pakaian renang ungunya, menyapu pasir dari
punggung, dan memandang pantai cokelat karamel itu.
Aku mau lari-lari agak jauh, ia memutuskan.
Walaupun dengan ketegangan yang dirasakan oleh tiga gadis
itu, hari ini rupanya berjalan cukup baik. Joy dan Sophie bermain tenis
sepanjang pagi. Marla bangun lebih siang, kemudian mengatakan dia
ada tugas yang harus dikerjakan.
Sesudah makan siang, Joy pergi ke kota bersama Carl. Sophie
mengatakan ia akan tidur siang. Marla harus menulis surat. Claudia
berjalan-jalan ke pantai.
Berpencar seperti ini merupakan gagasan yang baik, pikir
Claudia. Kami akan melewatkan hari ini dengan selamat. Kemudian
ibuku akan tiba di sini besok pagi-pagi, dan kami semua akan keluar
dari sini. Dengan bertelanjang kaki, Claudia mulai berlari ke selatan, ke
arah kota. Ia berlari dekat garis pantai, di tempat yang pasirnya basah
dan padat. Gelombang air memercik ke kakinya yang telanjang,
dingin dan asin. Memandangi burung-burung camar membubung tinggi
membentuk huruf V di langit yang putih kelabu, ia tidak menyadari
berlalunya waktu. Gelombang memercik ke tubuhnya. Kakinya
menendangi gumpalan-gumpalan pasir basah sewaktu berlari.
Tak lama kemudian, Claudia mendapati dirinya berlari di pantai
yang membelah cagar alam burung. Disadarinya juga bahwa sekali
lagi ia keliru memperkirakan panasnya matahari musim panas.


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun matahari hanya mengintip di antara gumpalangumpalan awan tinggi di
angkasa, ia bisa merasakan kulitnya terbakar.
Ia berangan seandainya tadi ia membawa sebotol air dan memakai
sesuatu yang lebih memberikan perlindungan daripada sekadar
pakaian renang. Ia berangan seandainya kulitnya termasuk jenis yang
bisa berubah kecokelatan di bawah sinar matahari, dan bukannya
tergoreng seperti ini. Haruskah aku berbalik dan kembali" ia bertanya pada diri
sendiri. Tidak. Berlari rasanya sungguh menyegarkan. Aku akan
meneruskan sedikit lebih jauh lagi.
Bentangan dinding batu-batu hitam besar memecah air tak
berapa jauh di depan. Ia memutuskan untuk berlari sampai ke
bentangan batu itu dan kemudian kembali.
Dengan pandangan tertuju pada cagar alam, Claudia merasakan
ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa mendengar langkah kakinya
sendiri, napasnya yang terengah-engah keras, dan bunyi ombak pecah
memukul pantai. Tetapi, udara tiba-tiba jadi sangat tenang.
Claudia berhenti. Apa yang tidak beres di sini"
Apa yang rasanya begini aneh.
Butuh beberapa lama baginya untuk menyadari bahwa
keheningan itulah yang tidak beres.
Mana bunyi burung-burung camar dan kedidi dan burungburung lainnya"
Ia mendengarkan. Sunyi senyap. Ini cagar alam burung, bukan"
Lalu di manakah burung-burung itu"
Ia menyipitkan mata, memandang ke kejauhan dan, amat
terkejut, ia melihat seseorang lain berlari di tepi pantai itu.
Kelihatannya seperti Marla - tak ada orang lain yang memiliki rambut
pirang stroberi dan sosok ramping sempurna seperti itu.
"Marla!" Claudia memanggil, sambil menangkupkan tangan
pada mulut. Gadis di kejauhan itu tidak berhenti atau pun menoleh ke
belakang. Pasti orang lain, pikir Claudia.
Claudia melupakan gadis itu, dan mengarahkan pandangan ke
pepohonan, mencari burung-burung tadi.
Tak ada satu pun yang terlihat.
Dan tak ada bunyi cicit atau siulan.
Mengapa semua burung itu mendadak lenyap"
Mengapa" Ia hanya bisa memikirkan satu jawaban.
Dan jawaban itu membuatnya rasa dingin merayapi punggung
meskipun sinar matahari bersinar panas terik.
Ada sesuatu yang membuat burung-burung itu menyingkir
ketakutan. Predator. Pasti ada suatu predator - binatang pemangsa besar - di dekat
sini. Beberapa detik kemudian dugaan Claudia terbukti oleh suara
geraman rendah, tepat di belakangnya.
Ia menoleh, dan melihat seekor anjing-serigala Irlandia putih
berukuran sangat besar. Binatang itu berdiri menatapnya.
Moncongnya yang sempit diturunkan. Dan bulunya yang kasar
menggumpal, seperti berdiri pada punggungnya.
Anjing itu menatap penuh ancaman, memamerkan giginya,
memperlihatkan taring-taring panjang dan runcing. Ia menggeramkan
peringatan. "Duduk, boy," Claudia menggumam dengan suara rendah,
gemetar. "Tenang. Pulanglah. Pulanglah, oke?"
Sebagai balasan, bunyi gemuruh dalam dada anjing itu makin
dalam. "Anjing baik," Claudia mencoba, putus asa, jantungnya
berdebam-debam dalam dada. "Anjing baik. Pulanglah, boy."
Air liur menetes-netes dari mulut anjing-serigala itu.
Geramannya berubah jadi raungan keras menakutkan.
Perlahan-lahan, dengan pandangan tak berkedip pada anjing itu,
Claudia mulai mundur. Sebagai tanggapan, anjing itu berlari menerjang ke arahnya
dengan kecepatan yang mengagetkan.
Claudia memutar tubuh dan mulai berlari, kakinya menendang
gumpalan-gumpalan pasir basah.
Ia menoleh ke belakang untuk melihat anjing itu berlari
mengejarnya, giginya diperlihatkan, matanya nyalang mengejar.
Sedikit informasi yang ia ketahui tentang anjing-serigala
Irlandia terlintas dalam pikiran, sementara telapak kakinya memukulmukul pasir.
Lebih besar daripada anjing Great Danes, anjing jenis ini
ditangkarkan karena kecepatan dan keagresifannya, dipelihara sebagai
pemburu sejati. Jenis anjing ini ditangkarkan untuk mencabik-cabik serigala.
Claudia melihat anjing itu menyusulnya.
Makin dekat. Makin dekat. Sampai ia bisa mendengar bunyi kertak giginya dan merasakan
napasnya yang panas pada kaki.
Apa yang dapat kulakukan"
Apa yang dapat kulakukan"
Ia tak punya pilihan. Dengan jeritan putus asa, ia melompat ke dalam air. Ia menarik
napas dalam dan menyelam ke bawah ombak.
Ia muncul ke permukaan, berenang kuat-kuat, menjauh dari
garis pantai. Harus menyingkir. Harus berenang menjauh. Ia menjerit ketika gelombang rasa nyeri menikam kakinya.
Sambil menggerak-gerakkan seluruh anggota badan dengan
sekuat tenaga, ia menengok ke bawah - dan melihat gigi anjing itu
menghunjam dan menjepit pergelangan kakinya.
Chapter 18 Tak Ada Jalan Lolos CLAUDIA menjerit ketika anjing itu menggigit lebih dalam ke
pergelangan kakinya. "Lepaskan! Lepaskan!"
Ia mencoba menendang dengan kakinya yang bebas, tetapi
hanya berhasil membenamkan kepalanya sendiri ke bawah air,
lengannya menggapai-gapai kalang kabut.
Anjing itu melepaskan gigitan, tetapi rasa nyeri menusuk masih
tetap bertahan, menikam sisi tubuh Claudia.
Anjing besar itu menerkamnya lagi, menggeram, giginya
mengertak-ngertak ganas. Tersedak-sedak, Claudia mencoba untuk berdiri, untuk
menendang pergi binatang itu.
"Tolong!" Dengan jeritan melengking, putus asa, ia terjatuh kembali.
Ia tersedak, berkutat untuk bernapas, sambil menendang
binatang yang sedang menggeram itu.
Darah menodai air. Darahnya. Pergelangan kaki Claudia
berdenyut-denyut nyeri. Aku akan pingsan. Aku tak sanggup menahan rasa sakit ini.
"Tolong! Tolong!"
Jeritannya bergema sepanjang pantai. Pantai yang kosong.
Gigi anjing itu beradu lagi dekat kakinya. Ia bergulat untuk
mundur, tetapi setiap usaha menimbulkan rasa nyeri yang menikam
seluruh tubuhnya. Kepala Claudia tenggelam ke bawah air. Ia berjuang untuk naik
ke permukaan, terengah mengambil napas.
"Tolong! Tak adakah yang bisa menolongku?"
Dengan entakan putus asa, ia mendorong diri ke dalam ombak
yang bergulung. Sambil meraung marah, anjing itu berusaha menggigit
tangannya. Luput. Menggigit lagi.
Harus menyingkir. Harus menyingkir darinya.
Dengan jantung berdebar-debar, dan terengah bersama setiap
tarikan napas, Claudia menyelam ke bawah permukaan air dan mulai
berenang. Sambil menyeret kakinya yang terluka, ia menghela tubuh
untuk menyingkir. Dengan menggunakan seluruh kekuatannya yang
tersisa, ia menyeret tubuh menjauh dari pantai, menjauh dari anjing
yang terus berusaha menggigit itu.
Ia tetap bertahan di bawah permukaan hingga merasa paruparunya seakan-akan
hendak meledak. Kemudian, dengan
mengangkat kepala, ia menarik napas dalam-dalam, lapar akan udara.
Air asin menyengat lukanya yang menganga, dan kakinya
serasa terbakar, seolah-olah berada di atas api.
Sambil terengah-engah mengambil napas, ia menengok ke
belakang dan melihat anjing itu berenang ke arahnya, matanya yang
hitam terkunci memandang matanya.
Aku harus menyingkir. Aku harus membuatnya letih.
Ia berbalik ke arah lautan terbuka dan sekali lagi menyelam ke
dalam air. Masih menyeret kaki, ia berenang sekuat tenaga.
Aku bisa berenang lebih cepat darinya. Aku tahu aku bisa.
Kalau aku berenang cukup jauh ke laut lepas, anjing itu akan
terpaksa kembali. Mengangkat badan di tengah air yang kelam, Claudia memaksa
dirinya untuk bertahan. Tetapi beberapa saat kemudian, ia muncul lagi ke permukaan,
menghirup udara dalam-dalam. Saat air bergulir dari mata, ia melihat
ke depan - dan hilanglah segala harapan.
Sebuah sirip tunggal, biru kelabu membelah air dengan mulus.
Tanpa berkelok ragu ke kiri atau ke kanan, sirip itu bergerak ke
arahnya dengan kecepatan yang mencengangkan.
Ikan hiu! Chapter 19 Kematian di Dalam Air "TIDAAAAAAAK!" Jeritan Claudia membubung naik di atas ombak yang
bergulung-gulung. Ia jadi panik melihat sirip kelabu itu meluncur mulus membelah
air. Ia mencoba berenang, namun lengannya tak mau menuruti
kemauannya. Air garam menerobos ke hidung dan mulut,
mencekiknya. Dengan terbatuk-batuk, berjuang untuk mengambil napas, ia
merasakan dirinya diseret ke bawah permukaan oleh pusaran air.
Tidak! Aku harus mengendalikan diri!
Mengendalikan diri! Terbatuk-batuk dan tersedak, Claudia bergulat untuk kembali ke
permukaan. Kerongkongan dan hidungnya terbakar air yang
ditelannya. Kakinya mengirimkan rasa sakit hingga ke ubun-ubun.
Harus berpikir. Berpikir jernih. Dengan menarik napas dalam dan menahannya, Claudia
memaksakan diri melawan rasa panik yang berpusar di seluruh tubuh.
Berpikir. Berpikir! Ia pernah membaca bahwa ikan hiu tertarik pada gerakan
kalang-kabut dan pergulatan. Itu berarti ia harus berhenti bergerakgerak.
Ikan hiu itu mungkin tetap akan menerkamnya - ia tahu
binatang itu tertarik oleh darahnya - tetapi ia bisa mencoba
mengendurkan gerakan dan tidak memastikan kematian secepatnya.
Kehabisan tenaga dan ngeri, Claudia memaksakan diri untuk
berenang gaya dada yang lamban, rata dan teratur. Ia ingat apa yang
dikatakan Steve, pembimbing olahraga air di Camp Full Moon.
"Dalam gaya dada, kaki dan tanganmu harus bergerak sehalus
mungkin sehingga nyaris tidak membuat air beriak."
Sedemikian halusnya. Sedemikian halus.... Berenang tanpa membuat riak air adalah satu-satunya yang
Claudia andalkan. Halus. Lebih halus. Tanpa menghiraukan jantung yang berdentum-dentum, darah
berdenyut pada pelipis, rasa sakit yang menusuk pergelangan kaki, ia
berenang sehalus dan setenang mungkin, menghitung suatu irama
terukur tanpa bersuara. Satu, dua, tiga, empat... Dua, dua, tiga, empat... tiga, dua, tiga ...
Aku terlalu lelah. Aku tidak bisa melakukan satu kayuhan sekali pun.
Rasa lelah menyelimuti dirinya. Masing-masing lengannya tibatiba jadi seberat
satu ton. Aku tak bisa bertahan. Aku tak bisa berenang lebih lama lagi.
Ikan hiu itu menang.... Kini ia berjuang untuk setiap tarikan napas. Berjuang untuk
tetap terapung. Dan sekonyong-konyong, secara ajaib, gerakan berenang itu
jadi lebih mudah. Apa yang terjadi" Aku bergerak lagi! Lama barulah ia menyadari apa yang telah terjadi. Dan ketika ia
menyadari hal itu, dari bibirnya keluar suara tertawa ironis.
Aku berenang langsung menuju pertemuan gelombang pasangsurut.
Arus itu menyeretku menjauh dari ikan hiu.
Tetapi akankah cukup cepat membawanya"
Menyedot napas dalam-dalam, Claudia tidak mengizinkan
dirinya menengok ke belakang. Dengan energi baru, ia terus berenang,
bersyukur pada tarikan gelombang pasang yang menyeretnya.
Lengkingan penuh kesakitan itu membuatnya berhenti.
"Apakah itu?" gumamnya keras.
Ia menoleh tepat pada waktunya... moncong panjang warna
putih anjing-serigala itu bergerak-gerak kalang kabut di atas air, kaki
depannya mencuat tegak ke atas.
Gelombang perasaan ngeri menyapu seluruh tubuh Claudia.
Anjing itu mendengking lagi.
Ikan hiu itu sedang menyerang anjing-serigala dari bawah,
Claudia tersadar. Claudia ternganga ngeri menyaksikan semburan darah mendidih
dari bawah air. Puncak gelombang yang berbuih-buih itu berubah jadi
merah jambu. Bau anyir darah mengapung di atas ombak yang
bergulung. Bahkan dari tempat ia berenang, Claudia bisa melihat air
berubah jadi gelap karena darah anjing itu.
Entakan perasaan mual membuat perutnya bergolak.
Anjing itu menyuarakan pekik lemah terakhir.
Claudia memejamkan mata.

Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi ia membukanya lebar-lebar ketika ada sesuatu yang
kasar membenturnya. Sambil meraba-raba dengan kakinya, Claudia memelototi benda
menjijikkan itu. Ia membuka mulut untuk berteriak, tetapi tak ada suara yang
keluar. Apakah ini" Apakah ini" Ia tak ingin melihatnya - tetapi ia tidak dapat mengalihkan
pandangan. Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa itu adalah
segumpal daging berbulu. Potongan daging anjing itu.
Air di sekelilingnya jadi hitam oleh darah.
Ia menengok sekeliling, tapi tak ada tanda lain dari si anjingserigala maupun si
ikan hiu. Claudia tak bisa menahan jeritan ngeri yang tanpa terduga
keluar dari mulutnya. Seluruh teror selama dua puluh menit terakhir
itu mendera tubuhnya. Sekali lagi ia tenggelam ke bawah permukaan. Ia tidak akan
pernah bisa kembali ke tepian, pikirnya. Jika hiu itu tidak menelannya,
maka gelombang pasang-surut akan melakukannya.
Aku harus berenang, harus memaksa diriku untuk berenang.
Sudah pergikah hiu itu" Benarkah ia sudah pergi"
Apakah anjing itu sudah memuaskan selera ikan hiu itu"
Sungguh aneh, otaknya teringat pada salah satu kuliah biologi:
"Ikan hiu adalah salah satu predator paling efisien yang pernah
diciptakan". Sebenarnya Claudia mengingat-ingat itu untuk tes. Kini ia
memahami arti sesungguhnya.
Seandainya hiu tadi memburunya, maka ia sama sekali tidak
punya kesempatan. Matanya memeriksa air yang hitam, naik-turun, Claudia
menarik napas dalam lagi.
Berenanglah saja, katanya kepada diri sendiri. Tetap lakukan
dengan halus. Ia begitu letih sekarang, sungguh suatu perjuangan untuk
menggerakkan tangan. Tetapi ia berbalik ke arah pantai dan memaksa
diri untuk berenang, satu kayuhan disusul satu kayuhan yang
menyakitkan. Kayuh. Kayuh. Aku - tidak sanggup. Seluruh tubuhnya nyeri. Kakinya mati rasa sekarang. Dadanya
mengencang, seolah akan meledak.
Air bergulung menimpanya.
Pantai itu. Mana pantai itu"
Perasaan ngeri mencekamnya sewaktu ia merasa bahwa ia
berenang ke arah yang salah.
Mengapa aku tidak bisa melihat pantai"
Ia berputar dalam air, perasaan panik menyapunya.
Mana pantainya" Tangannya lemas. Ia tak dapat bergerak.
Gelombang itu menyeretnya sekarang.
Segalanya berubah merah terang. Merah seperti darah.
Dan kemudian gelap. Chapter 20 Yang Sebenarnya Tentang Marla
"CLAUDIA" claudia?"
Tangan-tangan kuat mendorong pundak Claudia.
"Claudia" Bisakah kau mendengarku?"
Dengan goyah Claudia sadar bahwa ia sedang tengkurap. Ia
mencoba mengangkat kepala, dan memandang di antara gumpalan
basah rambut yang menutupi mata.
"Claudia, kau tidak apa-apa?" suara itu bertanya.
Claudia merintih dan sekali lagi berusaha mendorong tubuh
untuk bangkit. "Claudia?" "Apakah aku masih hidup?" Claudia bertanya lemah, sambil
berguling telentang. Ia menyingkirkan rambut dari kening dan menyipitkan mata,
memandang sosok kabur di hadapannya. "Marla?"
Marla berlutut di sampingnya, wajahnya berkerut ketakutan.
"Kau - kau tidak apa-apa?"
"Marla, apa yang kaukerjakan di sini?" cetus Claudia tanpa
berpikir. Ia membetulkan atasan pakaian renang ungunya. Ia melihat
matahari sudah menghilang di balik awan badai tebal. Langit sore
sudah berubah hitam kelabu seperti arang. Angin sejuk berpusar di
pantai. Ia menggigil, rasa nyeri menikam kaki.
"Aku - aku melihatmu," kata Marla terpatah-patah, sambil
meletakkan tangan yang hangat pada pundak Claudia yang dingin,
basah. "Aku lari sekencang-kencangnya. Tapi air menyeretmu
terdampar ke pasir. Kau - kau tergeletak saja di sana. Kukira..."
Suaranya menghilang. "Kakiku," kata Claudia. Ia menghela badan ke posisi duduk
untuk memeriksa. Luka itu dalam, tetapi tidak selebar yang tadi
dibayangkannya ketika bergulat dengan anjing itu. Air garam sudah
menghentikan perdarahan. "Untung aku datang," cetus Marla. "Aku hendak pergi berenang
dan - dan aku melihatmu terdorong ke pantai. Dan - "
Dengan rintihan keras, Claudia memaksakan diri untuk berdiri.
"Bisakah kau berjalan?" tanya Marla, sambil memeganginya.
Dengan hati-hati Claudia memindahkan berat badan pada kaki
yang terluka. "Kurasa bisa," katanya kepada Marla dengan nada tak
yakin. Hamparan pasir jadi miring menyongsongnya. Bayang-bayang
panjang berwarna biru terbentang ke arahnya. "Aku... aku agak
pusing," ia mengaku.
"Apa yang terjadi?" Marla bertanya. "Bagaimana kakimu
sampai terluka?" "Sungguh-sungguh mengerikan!" seru Claudia. "Seekor anjing
mengejarku. Lalu ikan hiu - " Napasnya tersangkut di kerongkongan.
"Pergelangan kakiku - "
"Tenang. Tenanglah. Aku akan suruh Alfred segera
mengobatinya," kata Marla. Dan kemudian mengernyit. "Oh. Aku
lupa. Ini hari libur Alfred. Baiklah, kita rawat sendiri lukamu."
Ia mulai membantu Claudia berjalan menuju ke tangga.
Bergelayut pada Marla, Claudia mendongak melihat awan badai
hitam yang tengah berkumpul, dan segala macam pikiran gelap mulai
berkecamuk dalam benaknya.
Marla bukan kebetulan berada di pantai, pikir Claudia, ketika
mereka mulai menaiki tangga menuju halaman belakang. Marla
adalah gadis di pantai tadi. Orang tak dikenal yang kulihat berlari
pergi. Anjing-serigala Irlandia itu adalah anjing penjaga milik Marla.
Marla membawa anjing itu ke pantai, lalu berlari pergi.
Anjing itu biasanya dikurung dalam kandang berdinding
anyaman kawat. Tidak pernah dikeluarkan kecuali untuk menjaga
rumah di waktu malam. Tidak pernah!
Claudia bergidik ketika ia mendorong tubuh mendaki anak
tangga kayu itu. "Sudah hampir sampai," kata Marla. Claudia
mendengar gemuruh halilintar di atas lautan di belakangnya. "Benarbenar akan ada
badai," kata Marla lirih.
Dia membawa anjing itu ke pantai agar menyerangku, pikir
Claudia. Dia ingin anjing itu membunuhku.
Dia ingin aku mati. Marla membungkuk pada semak-semak pendek, dan menekan
tombol kunci pada kotak logam, dan gerbang tersebut membuka.
Claudia tetap bergelayut pada Marla sewaktu mereka berjalan
melewati kolam renang dan lapangan tenis dan menuju ke rumah.
Tak jauh dari guest house, Claudia berhenti. "Aku - aku perlu
ambil napas," katanya kepada Marla.
Mata Marla memeriksa Claudia dengan tajam. "Sungguh
malang. Aku sama sekali tidak percaya bahwa ini terjadi," katanya
dengan suara rendah. "Kau harus menceritakan seluruh kejadiannya
begitu kita sampai di dalam."
Suara halilintar kembali bergemuruh di atas lautan. Kali ini
lebih dekat. "Aku akan lari ke rumah dan mencari krim antiseptik serta
perban," Marla menawarkan dengan simpatik. "Bisakah kau berjalan
sendiri?" "Yeah. Tidak masalah," kata Claudia kepadanya, sambil
meringis karena rasa sakit pada pergelangan kaki. "Biarkan aku ambil
napas dulu. Aku akan ke sana sebentar lagi."
Ia menyaksikan Marla berlari melintasi teras dan memasuki
pintu model Prancis di belakang rumah itu. Ketika yakin bahwa Marla
sudah lepas dari pandangan, Claudia berbalik dan, dengan tertatihtatih, berjalan
menyeberangi halaman rumput dengan langkahlangkah panjang, penuh tekad.
Kandang tempat anjing-serigala Irlandia itu dikurung terlihat di
samping garasi-empat mobil. Dengan berjalan terpincang-pincang,
Claudia bergegas ke sana.
Ia harus menyaksikannya sendiri.
Aku harus tahu bahwa aku benar, pikirnya waswas.
Ia berhenti beberapa meter dari gerbang anyaman kawat itu.
Gerbang itu terbuka beberapa inci. Gemboknya, dalam keadaan
terbuka, tergantung di samping gerbang.
Ya, aku benar, pikir Claudia, sambil menggelengkan kepala
dengan muram. Anjing itu tidak menerobos keluar sendiri. Anjing itu
dikeluarkan. Gemboknya dibuka. Pintunya dibuka.
Marla sengaja membiarkan anjing galak itu menyerangnya.
"Ini membuktikan segalanya. Kami benar-benar dalam bahaya
di sini," Claudia menggumam keras.
Berbalik ke arah rumah, ia bergegas menuju pintu geser model
Prancis itu. Gemuruh rendah halilintar kembali melintas langit.
Claudia merasakan beberapa tetesan dingin air hujan pada pundaknya
yang telanjang. Aku tahu apa yang harus kami lakukan, pikirnya muram. Kami
tidak bisa menunggu lebih lama. Kami harus keluar dari sini -
sekarang juga! Joy, Sophie, dan dia sendiri harus menyingkir - secepat
mungkin. Dengan napas terengah-engah keras, Claudia terpincangpincang masuk ke dalam
rumah. Ia menarik pintu hingga menutup,
melihat sekeliling mencari Marla. Tidak ada tanda-tanda
kehadirannya. Claudia cepat-cepat berjalan melewati gang belakang, menuju
ke tangga. Kemudian, dengan bergelayut pada susuran tangga kayu
berpelitur tersebut, ia menyeret tubuh menaiki tangga.
Di mana Joy dan Sophie" ia bertanya-tanya dalam hati.
Kami harus berkemas. Harus pergi. Sekarang juga!
Kamar Sophie adalah kamar pertama, yang terletak di sebelah
kanannya. Ia mengetuk pintunya perlahan. "Sophie - apakah kau di
dalam?" Sophie membuka pintu sebelum Claudia sempat mengetuk lagi.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Sophie, sambil mengamati rambut
Claudia yang menggumpal, bertabur pasir.
"Tidak penting," bisik Claudia cemas, sambil menerobos masuk
ke dalam kamar melewati Sophie. "Berkemaslah, Sophie. Cepat. Kita
harus pergi!" "Hah?" mulut Sophie ternganga.
"Kita harus bergegas! Sungguh!" Claudia mendesak.
"Berkemaslah." "Tapi, Claudia - ibumu. Kupikir - besok - "
"Mana Joy?" desak Claudia cemas. "Kita harus beritahu Joy."
"Tapi - tapi - " Sophie terbata-bata. "Tapi, Claudia," katanya
dengan suara rendah, gemetar. "Joy pergi."
Chapter 21 Cewek yang Mati Itu "JOY pergi" Ke mana?" Claudia mendesak dengan suara
melengking. Sophie ternganga, matanya membelalak lebar di balik
kacamata. Gemericik Air hujan menimpa jendela. Kilat membelah langit
yang hampir hitam. "Dia masih di kota," kata Sophie. "Bersama Carl."
"Masih" Kapan dia kembali?" tanya Claudia panik.
Sophie mengangkat pundak. "Sebelum makan malam, kurasa."
"Well, mulailah berkemas," Claudia menginstruksikan.
Sophie mengernyit. "Aku tidak mengerti. Apa yang terjadi?"
Sebelum Claudia bisa menjawab, pintu membuka dan Marla
bergegas masuk, membawa perban dan salep. "Jadi kau ada di sini?"
kata Marla kepada Claudia. "Dari tadi aku mencari-carimu.
Duduklah." Ia memberi isyarat ke ranjang Sophie. "Kau tidak boleh
membebani lukamu." Claudia dengan patuh pindah ke ranjang. Ia bisa merasakan
tatapan mata Sophie bertanya-tanya padanya. Namun ia tahu tidak ada
waktu untuk menjelaskan. Tak ada waktu untuk apa pun.
Mereka bertiga harus menyingkir.
Segera setelah Joy kembali, Claudia akan meminta Marla untuk
membawa mereka ke stasiun kereta api atau terminal bus. Dan bila
Marla menolak... Bila Marla menolak, mereka akan berjalan kaki ke kota - hujan
badai atau tidak. Atau mereka akan menelepon polisi.
Sambil memikirkan semua "kecelakaan" yang bukan benarbenar kecelakaan beberapa
hari terakhir ini, Claudia membiarkan
Marla membersihkan dan membalut pergelangan kakinya.
Marla berdecak-decak ketika bekerja - tapi ia tidak
menanyakan apa yang menyebabkan luka itu. Karena ia sudah tahu,
pikir Claudia marah. Marla pastilah sangat kecewa ketika melihatku terdampar ke
pantai, dalam keadaan masih hidup, pikir Claudia pahit.
Pijaran kilat membuat bayang-bayang melompat masuk ke
dalam kamar. Kembalilah segera, Joy, pikir Claudia cemas. Bergegaslah
kembali. Ia menatap badai di luar, sambil dalam hati bertanya-tanya
apakah hujan lebat itu akan menahan Joy untuk kembali. Ia melompat
ketika guntur menggelegar.
"Selesai. Sekarang lebih baik," kata Marla, sambil tersenyum
pada Claudia. "Bagaimana rasanya?"
"Baik," balas Claudia dengan pikiran tak terpusat.
Marla melihat arloji. "Sudah hampir saat makan malam. Hari ini
Alfred libur, tapi dia sudah menyiapkan keranjang piknik untuk kita.
Kupikir akan menyenangkan bersantap malam di gazebo."
"Tapi hujannya lebat sekali!" Sophie protes.
"Tidak jadi soal," jawab Marla, beranjak ke pintu.
"Gazebo itu tertutup. Tentu menyenangkan bersantap malam di
dalamnya dan menyaksikan badai di atas lautan." Ia berhenti di


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ambang pintu dan berbalik. "Mudah-mudahan Joy kembali tepat pada
waktunya. Sampai jumpa di luar sana sekitar pukul enam, oke?"
*********************************************
Joy menerobos masuk ke dalam kamar Sophie beberapa menit
menjelang pukul enam, rambutnya yang hitam melekat di kepala,
gaun tipis kuningnya basah kuyup karena badai itu.
"Bagaimana" Apakah semua baik-baik?" ia bertanya cemas.
"Aku hampir saja tewas," kata Claudia kepadanya, menurunkan
pandangan ke pergelangan kaki yang terbalut.
Joy terengah. "Apakah Marla - "
"Berkemaslah, Joy. Cepat. Kau benar mengenai Marla," kata
Claudia, sambil berdiri. "Siang ini, dia melepaskan anjing penjaganya
untuk menyerangku." "Tidak!" Joy berteriak, sambil mengangkat dua belah tangan ke
wajah. "Aku melihatnya di pantai. Marla tidak tahu aku melihatnya.
Kau benar, Joy. Dia mencoba membunuh kita."
Joy bergidik. "Biarkan aku ganti pakaian dulu, lalu kita bisa
pergi." "Ganti pakaian, lalu berkemas," Claudia menginstruksikan.
"Lalu kita minta Marla untuk mengantar ke kota."
"Bagaimana kalau dia menolak" Bagaimana kalau dia mencoba
menghentikan kita?" desak Sophie dengan suara melengking.
"Bagaimana kalau dia - "
"Kita tiga lawan satu," kata Joy, bergegas ke pintu ketika
pijaran kilat menerangi langit di luar.
"Kalau dia tidak mau mengantar, kita akan jalan kaki," kata
Claudia tegas. Gemuruh geledek yang memekakkan telinga memberikan
penegasan pada ucapannya.
***********************************************
Tiga gadis itu menurunkan koper-koper mereka di ruang depan.
Claudia membuka lemari penyimpan mantel dan mengambil tiga buah
payung. Sewaktu mereka berjalan menyusuri gang menuju ke belakang
rumah, lampu-lampu meredup.
"Oh-oh," jerit Sophie lirih. "Mudah-mudahan lampunya tidak
mati." "Apakah kau yakin Marla ada di gazebo" Bukankah gila berada
di sana sekarang?" bisik Joy bertanya.
Lampu-lampu meredup lagi, tetapi tidak padam.
"Dia mengatakan tentu akan menyenangkan bersantap di luar
sana dan menyaksikan badai," kata Claudia kepadanya.
"Dia mungkin punya rencana agar kita tersambar petir," gumam
Joy kering. "Aku tetap merasa dia tidak akan membiarkan kita pergi," kata
Sophie. Mereka membuka salah satu pintu model Prancis yang menuju
ke teras belakang. Halaman rumput itu diterangi lampu sorot yang
secara otomatis menyala ketika hari gelap. Lembaran-lembaran air
hujan berkelap-kelip di bawah cahaya terang.
Tiga gadis itu cepat-cepat melangkah keluar ke teras dan
membuka payung. Teras itu tergenang air hujan. Payung Claudia
nyaris terbang dari tangannya.
Goresan kilat yang panjang segera disusul oleh gemuruh
halilintar. Lampu-lampu sorot itu meredup, kemudian bersinar biasa
lagi. "Apakah dia ada di sana" Di gazebo?" tanya Sophie cemas,
berdiri di belakang dua gadis lainnya.
"Aku tidak bisa melihat dengan jelas dari balik hujan," balas
Claudia. "Kurasa aku melihat cahaya di gazebo," Joy melaporkan,
memegangi gagang payung kuat-kuat dengan dua belah tangan.
"Anginnya berpusar begini kencang, aku jadi basah!" Sophie
mengeluh. Dengan sepatu olahraga bergemerisik di rumput dan tanah yang
lunak, mereka berjalan melewati guest house dan lapangan tenis.
Lapangan tanah liat merah itu hampir seterang siang hari di bawah
lampu sorot putih yang terang benderang pada tiang-tiang tinggi.
Secercah cahaya berkedip di gazebo dekat pagar, di belakang
lapangan rumput tersebut. Gemuruh hujan lebat menenggelamkan
bunyi ombak lautan di balik pagar.
Claudia ragu-ragu di dekat gudang kecil bertembok putih di
pinggir halaman. "Bau memuakkan apakah ini?" ia bertanya.
Meskipun curah hujan lebat, bau busuk menyengat itu, seperti
daging atau telur busuk, menerobos ke dalam lubang hidungnya.
"Ugh. Aku menciumnya juga," seru Joy dengan muak.
"Memuakkan!" Sophie setuju.
Pintu gudang dari kayu itu terbuka sedikit.
"Aneh," kata Claudia. "Kupikir Alfred selalu bertindak sangat
hati-hati untuk mengunci semua pintu."
"Apa pun ini, baunya benar-benar busuk!" cetus Joy. "Ayo kita
pergi ke gazebo dan kemudian menyingkir dari sini."
"Tidak, tunggu," Claudia menahan Joy dengan satu tangan.
Terdorong rasa ingin tahu, ia bergerak menghampiri pintu
gudang yang terbuka. Dua gadis lainnya mengikuti rapat di belakang.
Bau busuk itu makin keras ketika mereka mendekati gudang.
Sambil mencengkam gagang payung erat-erat dengan satu
tangan, berkutat agar payung itu tetap di tempat di bawah pusaran
hujan, Claudia menarik pintu gudang hingga terbuka lebar.
Tiga gadis itu menjerit ketika tubuh Marla yang sudah tak
bernyawa terguling keluar.
Chapter 22 Siapa yang Membunuh Marla"
TUBUH Marla terguling kaku dalam terangnya lampu sorot.
Sebelum Claudia bisa berbalik dan menutupi wajah, ia melihat
kulit Marla sudah berwarna ungu. Matanya sudah tenggelam dalam
tengkorak. Rahangnya beku ternganga dalam jeritan ngeri.
"Tidaaaaak!" Sophie melepaskan lolongan pelan penuh
perasaan ngeri dan tak percaya.
Joy membalikkan badan dari pemandangan yang mengerikan
itu dan membenamkan kepala pada pundak Claudia. "Tidak mungkin.
Tidak mungkin," ia mengulangi.
"Kita baru melihatnya beberapa jam yang lalu," kata Claudia,
berpikir dengan suara keras. "Bagaimana mungkin dia mati?"
"Dia di - dibunuh!" Sophie berkata terpatah-patah. Ia
membiarkan payungnya jatuh ke tanah dan berdiri dengan tangan
menutupi muka. Air hujan membasahi sweatshirt serta rambutnya
yang pendek. "Alfred!" Joy berteriak, sambil menarik diri dari Claudia. "Kita
harus memberitahu Alfred!"
"Dia tidak ada di sini. Ini hari liburnya, ingat?" kata Sophie.
"Siapakah yang membunuh Marla?" Claudia bertanya,
berkunang-kunang dan goyah. Ia menatap kerucut cahaya kuning dari
salah satu lampu sorot dan mengamati curahan air hujan yang terusmenerus. Bunyi
hujan, didorong oleh angin, menenggelamkan suara
lautan di belakang mereka.
Apakah Daniel" Claudia bertanya-tanya dalam hati, perasaan
ngeri menyapu seluruh tubuhnya. Apakah dia masih di sini"
"Tak ada siapa pun di sini kecuali kita!" Sophie berseru.
"Jadi siapakah yang membunuh Marla?" Claudia mengulangi,
mencoba untuk mendorong pergi gejolak perasaan panik, mencoba
memperlambat jantungnya yang terpacu berdebar-debar.
"Kita harus menelepon polisi - sekarang juga!" Joy menyatakan
gagasan. Sedetik ia memandang tubuh Marla yang kaku tak bergerak,
kemudian membuang muka. "Ya! Ayo!" Sophie menyetujui.
Terpincang-pincang oleh pergelangan kaki yang terluka,
Claudia mengikuti dua gadis itu mengitari genangan-genangan air di
lapangan rumput, kembali ke rumah. Ia melemparkan payung di
ambang pintu. Begitu berada di dalam, ia menggelengkan kepala
keras-keras, seolah-olah berusaha mengebaskan gambar yang
mengerikan, wajah ungu Marla.
Dengan tubuh menggigil dan air hujan membasahi pakaiannya,
Claudia bergegas menyusul temannya yang lain ke dapur.
Ia berhenti di ambang pintu. Lampu-lampu berkedip meredup
sekali lagi, tetapi tidak padam.
Joy sedang berdiri di samping meja tinggi, gagang telepon ada
dalam genggaman. Ia melepaskan teriakan pendek penuh kekagetan.
"Ada apa?" Sophie bertanya, sambil menyeka air hujan pada
kacamatanya dengan tisu. "Sambungan teleponnya. Mati," jawab Joy lirih.
Sophie terengah. "Kita tidak bisa menelepon polisi?"
Joy menggelengkan kepala dan meletakkan kembali gagang
telepon ke dinding. "Kita harus keluar dari sini," kata Claudia, pandangan matanya
berpindah dari Joy ke Sophie. "Siapa pun orang yang membunuh
Marla - mereka mungkin akan datang mengincar kita!"
"Tidak!" Sophie menjerit, wajahnya pucat pasi dalam , cahaya
lampu neon di langit-langit.
"Kita harus pergi ke kota. Kita harus memberitahu polisi," kata
Claudia. Ia bisa merasakan kepanikan membuat tenggorokannya
mengencang. "Bagaimana Marla bisa mati?" Joy meratap, sambil memegangi
punggung kursi dapur yang tinggi. "Kita baru saja melihatnya.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Ledakan keras halilintar membuat mereka melompat.
"Kita ambil jas hujan dari lemari depan," kata Claudia. "Kita
akan keluar dan mulai berjalan kaki, kecuali salah satu dari kalian tahu
di mana kunci mobil itu di simpan." Tak satu pun di antara mereka
menjawab. "Mungkin ada seseorang yang lewat dan memberi kita
tumpangan ke kota." "Wajahnya itu... sungguh mengerikan!" seru Joy "Dan
mulutnya... ternganga beku seolah-olah dia mati sambil berteriak."
"Joy... hentikan!" Sophie memohon, wajahnya jadi lebih pucat
lagi. "Ya. Hentikan," Claudia setuju. "Cobalah untuk menyingkirkan
Marla dari pikiranmu. Kita harus keluar dari rumah ini. Kita harus
menghubungi polisi."
Halilintar berderak di luar jendela dapur. Ketika guntur
bergemuruh, tiga gadis itu berjalan ke depan dan mencari jas hujan di
lemari penyimpan mantel. Claudia menemukan jas hujan kuning, terlalu kecil dua ukuran,
tetapi ia tetap memakainya juga. Joy mengambil syal sutra panjang
dari rak dan menutupkannya di kepala.
Sophie mengenakan jaket biru muda di luar sweatshirt-nya yang
basah kuyup. "Siap?" tanya Claudia.
"Kurasa begitu," jawab Joy lirih.
"Ayo kita pergi," gumam Sophie, matanya memperlihatkan
perasaan takut. Claudia membuka pintu depan dan memandang tajam keluar, ke
halaman depan yang luas. Lampu-lampu sorot terang benderang
menyinari halaman depan juga. Ia melihat hujan sudah mereda,
meskipun kilat dan halilintar masih berlanjut.
"Ayo!" Claudia berseru. "Bila kita sampai di jalan, mungkin ada
seseorang yang lewat."
"Aku cuma ingin keluar dari sini!" Joy menjerit.
Mereka lari keluar di tengah hujan, membungkuk rendah sambil
berlari. Sepatu olahraga mereka memercikkan air dan tenggelam
dalam rumput sewaktu mereka melintasi halaman itu.
Di ujung hamparan rumput menjulang tinggi pagar besi itu -
tersembunyi dari pagar hidup hijau yang terpangkas sempurna.
Claudia sudah hendak meraih pegangan pintu gerbang.
"Stop!" Joy berteriak, sambil menarik lengan Claudia ke
belakang. Joy melepaskan syal yang tadi diambilnya dari lemari mantel
dan melemparkannya ke gerbang.
Bunga api beterbangan ketika aliran listrik merekatkan syal itu
pada pagar. "Oh, wow! Aku lupa!" Claudia berteriak. Ia menoleh pada Joy.
"Terima kasih."
"Sekarang bagaimana?" teriak Sophie sedih. "Sekarang apa
yang akan kita lakukan" Kita tidak tahu di mana panel kontrol pagar
ini!" "Kita terperangkap," gumam Joy muram.
"Kita tidak bisa keluar," Claudia setuju, menatap tajam pagar
beraliran listrik itu. "Kita terperangkap di sini sampai aliran listriknya
mati di pagi hari." "Tapi... bagaimana dengan si pembunuh?" kata Sophie terpatahpatah.
Chapter 23 Hantu HUJAN turun berkelap-kelip bagaikan koin perak di bawah
terangnya lampu sorot. Kilat menggores langit-tinggi di atas mereka.
"Kita harus menemukan tombol-tombol kontrolnya," kata Joy
dengan napas sesak. "Pasti ada cara untuk memutuskan aliran
listriknya." "Tapi ini semuanya otomatis, ingat?" kata Sophie dengan suara
tercekik. Tetesan-tetesan air hujan bersinar pada kacamatanya.
"Memakai pengatur waktu."
"Kalau begitu kita harus menemukan pengatur waktunya," balas
Joy. "Mungkin ada di lantai bawah tanah," Claudia berkata sambil
menggigil. "Aku tidak akan pergi ke lantai bawah tanah!" pekik Sophie.
"Tidak!" Claudia punya sebuah gagasan. "Kurasa kita bisa mematikan
aliran listrik di belakang," katanya kepada mereka. "Ada semacam
saklar dekat pintu gerbang yang menuju ke pantai. Aku ingat pernah
melihat Marla mengambilnya. Dekat panel kontrol yang harus
kautekan untuk membuka gerbang."
"Maksudmu kita harus pergi ke laut?" tanya Sophie
melengking. "Dalam badai seperti ini?"
"Tidak," kata Claudia kepadanya, sambil memegangi jas hujan
kuningnya di atas kepala. "Kita cuma keluar. Lewat gerbang itu.
Begitu berada di balik pagar, kita bisa mengitar mengikutinya sampai
ke samping rumah dan kembali ke depan."
"Ya," kata Joy "Kedengarannya bagus."
"Kau yakin kita bisa mematikan aliran listrik di gerbang
belakang?" tanya Sophie skeptis.
"Aku tidak pasti, tapi kita bisa mencoba," kata Claudia.
Membungkuk rendah dalam siraman hujan, mereka berjalan
mengitari sisi rumah, sepatu olahraga mereka tenggelam dalam
lumpur lunak sewaktu berjalan. Joy tergelincir dan jatuh menabrak
tembok, tetapi cepat-cepat berdiri dan mendapatkan kembali
keseimbangan. Bagian belakang rumah itu kini terlihat. Hujan memercik riuh
pada teras berlantai batu. Air mengucur keluar seperti air terjun dari
selokan. "Apakah kita harus lewat gudang tadi?" Sophie bertanya dengan


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara lirih. "Tidak. Kita bisa lewat sisi lain guest house itu," kata Claudia
kepadanya. Kakinya kembali terbakar oleh rasa nyeri, dan ia
merasakan entakan yang menyiksa setiap kali melangkah bertumpu
pada kaki itu. Joy mengucapkan sesuatu, tetapi kata-katanya teredam oleh
gemuruh hujan. Mereka hampir sampai ke guest house ketika sesosok bayangan
melangkah keluar di bawah sinar terang lampu sorot.
"Oh!" Claudia berteriak terkejut.
Ketiga gadis itu semuanya beku tak bergerak.
Sosok itu memakai jas hujan panjang yang diikat erat di
pinggang. Sebuah topi anyaman bertepi lebar menutupi kepala,
menaungi wajahnya. Apakah benda mengilat yang ia angkat di tangannya itu"
Claudia bertanya-tanya dalam hati.
Apakah itu pistol" Ia menarik tepi topinya ke belakang dan memperlihatkan
wajahnya. Matanya yang biru dingin memantulkan cahaya lampu
sorot sewaktu ia menatap berapi-api pada tiga gadis itu.
"Marla!" Joy menjerit. "Tapi, Marla... kau sudah mati!"
Chapter 24 "Siapa Mau Mati Lebih Dulu"
Mereka mundur dari hujan dan sampai di bawah atap guest
house yang menjorok miring. Pistol itu tetap berkilauan dalam cahaya
terang. Marla mengangkatnya ke pinggang. "Kaget hah?" ia bertanya
pahit. "Kami melihat tubuhmu di gudang," suara Claudia seperti
tercekik. "Kami pikir..."
Seulas senyum pahit terbentuk pada bibir Marla. "Nah, Claudia,
kaulah yang percaya hantu. Kurasa aku pun hantu."
Claudia maju selangkah ke arah Marla. "Pistol itu - " ia mulai,
menatap tajam padanya, perasaan ngeri yang dingin menyapu seluruh
tubuh. Guntur bergemuruh di atas lautan. Angin mendorong air hujan
menerpa punggung mereka. "Kalian semua kelihatan begitu bingung," Marla mengamati,
senyum pahit masih bermain-main pada bibirnya. Matanya yang biru
berkilauan dalam cahaya yang dipenuhi tetesan air hujan.
"Kami sungguh senang kau masih hidup!" Joy berseru.
"Tapi Marla tidak lagi hidup." Terdengar balasan bernada datar
yang mencengangkan. "Marla sudah mati. Aku membunuhnya
seminggu yang lalu. Sebelum kalian datang."
"Hah?" seru Claudia.
Joy mengeluarkan jeritan terperanjat. Sophie tetap membeku
diam, matanya terpaku pada pistol perak berkilauan itu.
"Marla sudah seminggu mati! Tidakkah kalian tahu dari
baunya?" "Kalau begitu... kalau begitu... " Claudia hendak bicara.
Kakinya sekonyong-konyong terasa lemas, dan ia bisa merasakan
darah berdenyut deras pada pelipis.
"Benar. Aku bukan Marla. Aku Alison." Ia melemparkan topi
anyaman ke tengah hujan. Rambutnya yang pirang jatuh tak beraturan
menutupi wajah. Matanya berapi-api menatap mata Claudia. "Aku
Alison, kembali dari kematian. Dan kini Marla-lah yang mati.
Kejutan, kejutan." Claudia dan dua temannya menatap Alison dengan perasaan
terguncang, tanpa kata. Tak seorang pun bergerak.
Lampu-lampu sorot itu meredup.
Alison menggenggam pistol itu erat-erat, membidikkannya pada
Joy. "Kalian semua kelihatan begitu bingung," kata Alison, berteriak
di antara bisingnya hujan. "Tidak seperti di perkemahan, tempat di
mana kalian pikir kalian serbatahu." Ia mengucapkan kata-kata itu
perlahan-lahan, nadanya pahit.
"Tapi, Alison...." Claudia mulai.
"Mungkin kalian ingin aku menjernihkan kebingungan kalian,"
Alison meneruskan, tak menghiraukannya. "Marla tidak tahu aku
masih hidup. Marla pikir adiknya yang malang sudah tewas di jurang
itu. Dia tidak tahu aku masih hidup sampai aku muncul ke sini minggu
lalu dan membunuhnya."
"Tapi kenapa?" Joy menyela dengan suara melengking tinggi.
"Mengapa kau membunuh Marla?"
"Sebab dia melihatku jatuh ke dalam jurang itu. Sesudah kalian
bertiga kabur. Wajah Marla adalah wajah terakhir yang kulihat,
menatapku dari pinggir hutan, menatapku dengan seulas senyum!"
"Tidak!" Claudia berseru. "Tidak mungkin dia..."
"Dia tersenyum!" Marla berteriak, mengacungkan pistol
tersebut. "Dia tidak peduli denganku. Tak seorang pun dalam
keluargaku peduli apakah aku hidup atau mati. Tak seorang pun
peduli denganku. Ketika satu keluarga mengangkatku dari sungai,
dalam keadaan luka-luka dan remuk dan setengah tenggelam, mereka
begitu baik, begitu perhatian, maka kuputuskan untuk tinggal bersama
mereka. Aku pura-pura menderita amnesia...."
"Kau apa?" Joy menyela, ternganga tak percaya memandang
Alison. "Aku pura-pura kehilangan seluruh ingatan," Alison berseru,
"sehingga aku tidak harus kembali pada keluargaku yang memuakkan.
Kuputuskan bahwa inilah kesempatanku. Untuk memulai suatu
kehidupan baru. Untuk hidup bersama satu keluarga yang bahagia.
Jadi aku pura-pura tidak tahu siapa diriku, dan aku tinggal bersama
mereka." "Tapi ap... apa yang kauinginkan dari kami" Mengapa kau
melakukan ini?" kata Claudia terbata-bata.
"Karena kebencian jadi bertumpuk," Alison berteriak sengit.
"Kemarahanku tak mau pergi. Sepanjang tahun kemarin kemarahanku
makin tumbuh. Aku tidak bisa menyingkirkan senyum Marla dari
pikiranku, senyum mengerikan itu ketika aku jatuh dari balok titian.
Aku tahu aku harus kembali untuk membunuhnya.
"Aku pulang kembali ke sini, tanpa mengetahui apa yang akan
kudapatkan," Alison meneruskan. "Mom dan Dad tidak ada di rumah,
tentu saja. Mereka selalu pergi. Aku bersembunyi di sepen. Aku
dengar Marla bicara dengan Alfred, mengatakan bahwa ia telah
mengundang kalian bertiga untuk reuni."
Alison menyeringai. "Saat yang amat tepat bagiku. Aku
membunuh Marla, menyembunyikan mayatnya di gudang, dan
menggantikannya. Alfred yang rabun itu tidak tahu-menahu. Dan kini,
di sinilah kita, mengadakan reuni akbar perkemahan kita. Sejauh ini,
apakah kalian menikmatinya?"
"Alison... letakkan pistol itu. Aku mohon!" Claudia memohon.
"Oh-oh. Tidak mungkin." Senyum Alison menghilang.
Tangannya yang memegang pistol bergetar.
"Alison, dengar...," kata Claudia.
"Kalian seharusnya tidak membiarkan aku jatuh," Alison
berteriak dengan luapan emosi. "Kalian seharusnya tidak berlari
kabur. Kalian seharusnya menolongku. Salah satu dari kalian
seharusnya menolongku. Salah satu dari kalian seharusnya peduli
sedikit denganku." Dengan sedu sedan keras, ia mengarahkan pistol itu dari satu
gadis ke gadis yang lain. "Baiklah. Kurasa pesta ini sudah berakhir.
Hebat. Sungguh hebat."
"Alison... hentikan! Kami akan menolongmu! Kami peduli
denganmu!" Joy berteriak, matanya tertuju pada pistol tersebut.
"Kali ini giliranku," Alison berkata, tak menghiraukan
permohonan Joy. "Kali ini aku akan berdiri dan menonton saat kalian
mati." Ia menyipitkan mata, menggrtakkan rahangnya.
"Siapa yang ingin mati lebih dulu" Bagaimana kalau kau,
Claudia?" Claudia terengah ketika Alison menodongkan pistol ke
dadanya. Chapter 25 Kematian Kedua KILAT menyambar, pijar putih di balik lapangan tenis.
Claudia mendengar suara meletup ketika kilat menyambar
bumi. Ia berteriak keras, mengira dirinya tertembak.
Guntur mengguncang bumi. Claudia menyibakkan rambut basah dari kening dan
memandang pistol yang teracung gemetar dalam tangan Alison.
Dan ketika ia masih memandang pistol itu, pintu guest house
terayun membuka. "Oh!" Jeritan Claudia membuat semua berpaling.
Satu sosok hitam, memakai tudung, melangkah keluar dari
guest house dan masuk di bawah cahaya.
Dengan menajamkan mata di tengah curah hujan, Claudia
melihat bahwa tudung itu adalah bagian dari jaket penahan angin
plastik berwarna biru tua yang dipakai di atas jeans gelap.
Tiupan angin menjatuhkan tudung itu dari kepalanya.
Claudia melihat matanya yang hitam, rambutnya yang hitam
tebal. Ia langsung mengenalinya. Cowok hantu itu!
"Daniel!" ia berseru.
Mulut Alison ternganga. Ia mengalihkan pistol ke arah si
pendatang baru. "Hei...siapa kau?"
Daniel tak menjawab. Dengan mata hitam terkunci pada Alison,
ia melangkah menghampiri.
"Siapakah kau?" desak Alison, sambil menggoyang pistol ke
arahnya. "Inilah cowok hantu itu!" Claudia berseru. "Hantu dari guest
house!" "Hah?" Alison bereaksi mencemooh. "Aku mengarang cerita
itu. Apakah kau gila?"
Daniel maju selangkah lagi, air hujan menggelincir pada bagian
depan jaketnya, matanya terarah pada Alison.
"Hei...minggir! Minggir!" Alison berteriak, kemarahannya tibatiba berubah menjadi
kepanikan. "Jangan mendekat! Kuperingatkan
kau!" Namun Cowok Hantu itu meneruskan langkahnya yang lamban
namun pasti ke arahnya. "Kuperingatkan kau!" Alison berteriak melengking.
"Menyingkir!" Matanya membelalak lebar karena perasaan ngeri.
Dengan teriakan keras, Cowok Hantu itu melompat ke arah
Alison, merangkul pinggangnya untuk merobohkannya.
Claudia terpaku sedetik. Kemudian ketika melihat Alison akan
jatuh, ia maju ke depan, mengulurkan tangan, dan meraih pistol dari
tangan Alison. Halilintar menyambar lagi, menimbulkan suara ledakan di dekat
kolam renang. Kali ini semua lampu padam.
Gadis-gadis itu menjerit, terperanjat karena kegelapan total
yang terjadi tiba-tiba. Claudia mengalihkan pandangan ke rumah. "Semua lampunya
mati!" ia berseru. Ia mendengar pergulatan di bawah, di atas tanah.
"Lepaskan!" ia mendengar Alison berteriak.
Kemudian, saat matanya sudah terbiasa dengan kegelapan,
Claudia bisa melihat Alison berlari melintasi halaman belakang,
melewati lapangan tenis dan kolam renang, berlari menerobos curahan
hujan dengan kecepatan penuh ke arah gerbang.
"Tidak...Alison! Jangan!" Claudia berteriak, sambil mulai
berlari mengejarnya. "Gerbang itu beraliran listrik!" Joy berteriak. "Berhenti!
Gerbang itu beraliran listrik!"
"Listriknya sekarang padam, idiot!" balas Alison berteriak.
Tiga gadis itu sekarang berlari, mengejar Alison.
Terlambat. Claudia mendengar sebuah generator berdengung hidup... tepat
ketika Alison meraih gerbang itu.
Ia mendengar suara meretih. Melihat tangan Alison memegang
pagar besi. Melihat Alison bergulat untuk melepaskan diri sementara
sinar putih listrik menyelimuti tubuhnya.
Alison menjerit sekali. Kemudian tubuhnya terentak dan
terlempar ke dalam nyala listrik putih terang yang tampak seperti
menari di seputarnya. Aku melihatnya mati lagi, pikir Claudia, ngeri.
Aku menyaksikan Alison tewas untuk yang kedua kalinya.
Entakan aliran listrik melempar Alison lepas dari pagar,
tubuhnya tersungkur tengkurap di tanah berlumpur.
Berkedut-kedut. Kemudian diam. Pada saat tiga gadis itu berlutut di sampingnya, Alison sudah
tewas. Lampu-lampu sorot berkedip menyala. Rumput basah hijau
berkilau lagi. Claudia menatap Alison. Alison yang begitu rapuh dan kecil.
Rambutnya yang pirang, menggumpal lekat ke kepala, bersinar
keemasan di bawah sorotan cahaya.
Ia begitu cantik, pikir Claudia. Begitu cantik.
Betapa mengerikan perasaan benci terhadap keluarga sendiri,
keinginan untuk melupakan mereka. Betapa mengerikan hidup yang
Alison jalani. Claudia menengok ke arah rumah dan terengah.
Ia sama sekali lupa dengan Cowok Hantu itu.
Ia datang menghampiri tiga gadis itu, matanya yang hitam
memandang tajam pada mereka dengan tatapan ngeri.
Chapter 26 Bukan Hantu "APAKAH dia... apakah dia tewas?" Pemuda itu bertanya,
sambil menatap tubuh Alison.
Claudia mengangguk, matanya memandang lekat padanya
ketika ia mendatangi. "Yeah."
Di belakangnya, Sophie dan Claudia saling berangkulan,
mencoba saling menenteramkan hati masing-masing dari kengerian
malam ini. "Siapakah kau" Apa yang kaukerjakan di sini?" tanya Claudia
mendesak, kembali berdiri, serta menyibakkan rambutnya yang basah
dari kening. "Aku bukan hantu," pemuda itu menjawab, seulas senyum
murung terbentuk pada wajahnya yang tampan. "Sudah kukatakan
kepadamu, namaku Daniel."
"Daniel siapa?" tanya Claudia curiga.
Joy dan Sophie menoleh untuk mendengarkan.
"Daniel Ryan," jawabnya, sambil berdiri di samping Claudia.
"Aku anak Alfred."
Tiga gadis itu bereaksi terkejut.
Daniel menunjuk ke guest house. "Aku sedang liburan musim
panas dari universitas. Aku datang mengunjungi ayahku. Dad
mengizinkan aku tinggal di guest house, tapi kami tidak ingin ada


Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang tahu. Keluarga Drexell bukanlah orang-orang yang paling
murah hati di dunia. Mereka tidak akan setuju. Aku tidak ingin ayahku
kehilangan pekerjaan." Ia berpaling pada Claudia. "Itulah sebabnya
selama ini aku begitu misterius. Maaf."
"Tidak apa," Claudia membalas dengan suara pelan,
perasaannya lega. "Hujan mulai reda. Mungkin teleponnya sudah jalan lagi," kata
Joy. "Kita lebih baik menelepon polisi," kata Sophie.
Joy dan Sophie mulai berlari menuju ke rumah itu, sepatu
olahraga mereka memercikkan air ketika menginjak halaman rumput
basah. Claudia tinggal di belakang. Ia mengangkat mata memandang
mata Daniel. "Sekarang kakak-adik ini meninggal," kata Claudia sedih,
sambil menggelengkan kepala.
Daniel merangkulkan satu tangan pada pundak Claudia untuk
menenteramkan. "Ini malam yang mengerikan. Malam yang
mengerikan," gumamnya.
Claudia mengangguk setuju tanpa bicara.
"Apakah kau benar-benar percaya bahwa aku hantu?" Daniel
bertanya, sambil menariknya lebih dekat.
"Mungkin," jawab Claudia lembut.
Ia tersenyum. "Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku
bukan hantu?" ia bertanya, matanya yang hitam berbinar-binar.
Claudia mengangkat muka ke wajahnya dan menciumnya.
"Kau lulus tes. Kau bukan hantu," katanya. "Sekarang ayo kita
menyingkir dari hujan."
Berjalan berdampingan, mereka beranjak menuju ke rumah.
END Sekutu Iblis 1 Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya Dendam Empu Bharada 3
^