5 Jagoan 5 Raja 5
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Bagian 5
shia yang tinggi, dan sungai Han-sui yang airnya dalam. Sekalipun Tuanku serang habis-
habisan belum tentu bisa direbut!"
Mendengar sindiran itu Raja Cee Hoan Kong merasa malu, sehingga mukanya berubah
merah, dia berkata sambil tertawa.
"Ha, ha, ha! Ternyata Tay-hu seorang menteri Couw yang berbudi luhur!Aku ingin
mengikat tali persahabatan dengan negaramu. Bagaimana pendapat Tay-hu?" kata Raja Cee.
"Atas budi Tuanku ingin membagi rejeki pada negeri kami maka sepatutnya Raja
kami berserikat dengan Tuanku!" kata Kut Goan. "Mana berani Raja kami mengasingkan
diri, tentu dia akan senang sekali berserikat dengan Tuanku!"
Raja Cee Hoan Kong merasa girang sekali, malam itu dia minta Kut Goan bermalam
di perkemahannya. Kemudian diadakan pesta besar.
Esok harinya..... Di Siao-leng telah didirikan sebuah panggung, di atas panggung telah berkumpul
semua raja- raja dan menteri-menteri besar. Di situ segera diadakan perjanjian, mulai dari
saat itu sampai di kemudian hari semua negeri-negeri tidak boleh bertikai satu sama lain.
Sesudah selesai melaksanakan upacara, Kut Goan menghaturkan terima kasih kepada semua raja-raja.
Sementara itu Koan Tiong mengadakan pembicaraan dengan Kut Goan, dia minta
panglima negeri The, bernama Tam Pek, supaya dikembalikan, sedang Kut Goan juga
mengajukan permintaan supaya Raja Coa dihapus dosanya. Begitulah kedua pihak sepakat,
masing-masing menerima baik perjanjian tersebut.
Kut Goan pamit pulang ke kotanya, akan memberi tahu pada Raja Couw Seng Ong
bagaimana kesudahan misinya itu.
Koan Tiong mengeluarkan perintah akan menarik seluruh angkatan perang gabungan
akan kembali ke negaranya masing-masing.
Ketika Raja Couw sudah mengetahui angkatan perang semua Raja-raja Muda sudah
ditarik mundur, pikiranya berubah. Dia mau membatalkan pengiriman rumput Mao ke Kerajaan
Ciu. Kut Goan kaget lalu membujuk Raja Couw agar tidak ingkar janji. Sesudah dibujuk
oleh Kut Goan dan Chu Bun baru Raja Couw menurut. Dia perintahkan Kut Goan mengantarkan
upeti itu ke Kerajaan Ciu. Baginda Ciu Hui Ong sangat girang ketika menerima upeti rumput Mao, sekalipun
harga barang itu tidak seberapa, tetapi dia senang. Terutama selama ini Raja Couw
telah membangkang, sekarang dia taat mengirim rumput Mao.
Kaisar Ciu memuji Kut Goan dengan kata-kata manis. Dia juga berpesan pada Kut
Goan supaya menyampaikan pesannnya, agar Raja Couw mengamankan daerah Selatan dan
jangan mengganggu daerah Tiong-goan.
"Hamba akan memperhatikan pesan ini, hamba berjanji!" kata Kut Goan.
Sesudah itu Kut Goan pamit dan pulang ke negaranya. Baru saja Kut Goan
mengundurkan diri, datang Sek Peng dari negeri Cee. Dia mengabarkan bahwa Raja Cee sudah
berhasil menaklukkan negeri Couw di Selatan. Kaisar baru tahu kalau Raja Couw mengirim
upeti rumput Mao karena Raja Cee telah menaklukannya. Kaisar mengucapkan terima kasih
pada Raja Cee. Ketika Sek Peng memohon pada Baginda ingin bertemu dengan Putera Mahkota The,
tampak Kaisar Ciu kurang senang. Tetapi Kaisar Ciu segera memerintahkan Pangeran Tai
bersama Putera Mahkota The keluar menemui Sek Peng.
Melihat sikap Kaisar Ciu, Sek Peng menduga ada apa-apa di dalam keluarga kaisar
ini. Diam- diam dia mencoba menyelidikinya.
Sepulang Sek Peng ke negeri Cee dia melapor pada Raja Cee. Tetapi di akhir
laporannya dia menyampaikan sesuatu pada Raja Cee. "Hamba lihat di dalam istana Kaisar Ciu
telah terjadi sesuatu. Pasti akan timbul huru-hara," kata Sek Peng.
"O, kau bilang bakal terjadi huru-hara"!" kata Raja Cee Hoan Kong terperanjat,
"Bagaimana bisa begitu?"
"Putera sulung Baginda Ciu Hui Ong bernama The, dilahirkan oleh almarhum
Permaisuri Kiang Si. Sudah diangkat menjadi Putera Mahkota," kata Sek Peng. "Tetapi sejak
Kiang Si meninggal, Permaisuri ke-dua Tan Kui menjadi sangat dicintai oleh Baginda,
sehingga dia diangkat menjadi Hong-houw (Permaisuri Utama). Beliau juga berputera, namanya
Tai, lantaran sang ibu dicintai oleh Kaisar Ciu, anaknya pun jadi lebih disayang.
Malah Baginda punya niat hendak menurunkan Putera Mahkota The dan mengangkat Pangeran Tai
menjadi Putera Mahkota. Sekarang Tuanku menjadi pemimpin perserikatan Raja-raja Muda,
jika di Kerajaan Ciu terjadi huru-hara, pasti Tuanku akan jadi pusing. Maka Tuanku harus
buru-buru berupaya untuk mencegah kekacauan itu!" Raja Cee Hoan Kong memanggil Koan Tiong
untuk diajak berunding. Ketika Koan Tiong sudah mendengar cerita keadaan di Kerajaan Ciu, ia mulai
bicara. "Hamba punya siasat untuk menentramkan Kerajaan Ciu," kata Koan Tiong.
"Siasat bagaimana, Tiong-hu?" tanya Cee Hoan Kong dengan girang.
"Jika Tay-cu (Putera Mahkota) sampai terancam bahaya, pasti karena familinya
terlalu sedikit." kata Koan Tiong. "Sekarang Tuanku buat surat untuk Kaisar, mohon agar
Putera Mahkota diizinkan menemui semua Raja-raja Muda. Dengan demikian Putera Mahkota
jadi diakui sah sebagai calon Kaisar. Jika Kaisar Ciu hendak menurunkan dan
menggantinya dengan putera ke-dua, pasti semua Raja Muda akan menolak. Dengan demikian
rencana Kaisar akan gagal total."
Raja Cee Hoan Kong setuju benar pada saran Koan Tiong tersebut. Segera Raja Cee
mengutus Sek Peng menyampaikan permohonan pada Kaisar Ciu, agar Putera Mahkota
di musim Hee datang ke Siu-ci (tanah negeri We). Karena Raja Muda ingin bertemu
dengan Putera Mahkota. Kepada semua Raja Muda, Raja Cee juga berpesan agar nanti datang
ke pertemuan tersebut. Saat Sek Peng datang bertemu Kaisar Ciu dan menyampaikan keinginan para Raja
Muda untuk bertemu dengan Putera Mahkota The. Hal itu disampaikan oleh Raja Cee Hoan
Kong. Kaisar Ciu Hui Ong sebenarnya tidak setuju. Dia tidak mau mengizinkan Putera
Mahkota menemui Raja-raja Muda. Tetapi karena Kaisar Ciu takut menghadapi Perserikatan Raja Muda yang dipimpin
Raja Cee, terpaksa mengabulkannya. *** Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi), Raja Cee Hoan Kong memerintahkan Tan
Keng Tiong pergi ke Siu-ci untuk membangun istana persinggahan Putera Mahkota.
Tepat pada musim He bulan Go-gwe (bulan lima), Raja Cee, Song, Louw, Tan, We,
The, Khouw dan Co, delapan raja muda semua sudah berkumpul di Siu-ci. Tidak lama
Putera Mahkota The pun sampai. Raja Cee Hoan Kong mengajak semua Raja Muda menyambut. Sementara Pangeran The
bersikap sopan sekali. Dia bersikap sebagai tamu yang ingin menemui tuan rumah.
Tetapi Raja Cee mencegahnya. "Jangan, Tuanku tidak pantas bersikap demikian. Kami ini adalah bawahan Tuanku,"
kata Raja Cee. Segera diadakan pesta besar Raja Cee bersama yang lain mengucapkan selamat
kepada Pangeran The. Mereka berdiam di sana cukup lama dan bergantian mengadakan pesta.
Tetapi Pangeran The agak risih. Dia bilang dia sudah terlalu lama berada di luar istana
Kaisar Ciu. "Aku ingin pulang," kata Pangeran The pada suatu hari. "Di sini aku hanya
menyusahkan semua Raja Muda." "Jangan!" kata Raja Cee. "Tuanku tinggal beberapa bulan lagi, supaya Kaisar tahu
bahwa anda disukai oleh para Raja Muda di sini!"
Raja Cee lalu menceritakan bahwa Kaisar Ciu berniat menurunkan Pangeran The dan
akan mengangkat Pangeran Tai. Sesudah mendengar penjelasan dari Raja Cee akhirnya
Pangeran The pun menurut. Dia mengucapkan terima kasih pada semua raja, terutama kepada
Raja Cee. Karena sudah sekian lama Pangeran The tidak pulang-pulang, Kaisar Ciu Hui Ong
sadar dan sudah bisa menduga-duga apa yang telah terjadi. Bahwa Raja Cee sangat
menghormati Pangeran The yang hendak dia lucuti kedudukannya. Akhirnya Kaisar Ciu jadi
mendongkol sekali. Sedang permaisuri dan puteranya terus mendesak Kaisar Ciu dan mempengaruhinya,
sehingga Kaisar bertambah benci kepada Pangeran The.
Pada suatu hari...... Kaisar Ciu memanggil P.M. Ciu Kong Khong dan ia sampaikan kemendongolan hatinya.
"Cee Houw (Raja Cee) sekalipun katanya telah membuat Raja Couw tunduk, tetapi
sebenarnya belum pernah mengalahkannya." kata Kaisar Ciu. "Kerajaan Couw sangat
tangguh dan tentaranya gagah berani. Tetapi sekarang seolah mereka tunduk dan
mau mengantarkan upeti pada kita. Dilihat tingkah-lakunya, Raja Couw agak lebih baik
jika dibanding dengan Raja Cee yang curang."
P.M. Ciu Kong Khong mengangguk saja.
"Coba kau bayangkan," kata Kaisar Ciu lagi. "Raja Cee bersama komplotannya telah
mengajak Pangeran The berdiam di suatu tempat.
Bab 14 "Coba kau bayangkan, dia minta Pangeran The menemui mereka dan komplotannnya,"
kata Kaisar Ciu. "Entah apa maksud dia berbuat begitu" Apa dia berniat buruk?"
"Apa yang Tuanku hendak lakukan?" kata Ciu Kong Khong.
"Aku berniat menyuruhmu mengirim sepucuk surat rahasia kepada Raja The Pek, agar
dia kembali bergabung dengan Raja Couw. Sampaikan pesanku pada Raja Couw agar dia
mendukung Kerajaan Ciu sepenuhnya. Bagaimana pendapatmu?" kata Kaisar Ciu.
Ciu Kong Khong terperanjat mendengar ucapan Kaisar Ciu itu.
"Jangan! Jangan Tuanku lakukan hal itu! Menurutnya Raja Couw semua atas jasa
Raja Cee dan kawan-kawannnya. Mengapa Tuanku mau bermusuhan dengan Raja Cee yang sangat
berjasa kepada Tuanku" Malah Tuanku ingin bergabung dengan Raja Couw yang sering
membuat ulah dan pembangkang?" kata Ciu Kong Khong.
"Apa kau berani jamin Cee Houw tidak punya niat lain?" kata Baginda Ciu Hui Ong
dengan sengit. "Tidak, aku tidak setuju dengan ucapanmu! Pendeknya niatku sudah tetap,
tidak bisa dicegah lagi!" Melihat Kaisar Ciu marah Ciu Kong Khong tidak berani buka suara. Kaisar Ciu
membuat surat itu yang dia serahkan pada Ciu Kong Khong untuk diserahkan pada Raja The.
Seterima surat itu Ciu Kong Khong segera mengutus orang mengantarkan surat itu. Dia tidak
tahu apa isinya. Dia juga tidak berani mencuri melihatnya. Tatkala Raja The Bun Kong
menerima surat dari Kaisar Ciu tersebut, dia buka dan baca:
"Ternyata Pangeran The telah melanggar perintah Kaisar Ciu dan telah mengadakan
pertemuan dengan para Raja Muda, maka aku anggap dia tidak pantas menjadi Putera
Mahkota. Maka aku berniat mengangkat putera ke-dua Tai menggantikannya.
Aku minta pada anda agar memisahkan diri dari Raja Cee dan bergabung kembali
dengan Raja Couw. Kemudian kalian berdua mendukung Kerajaan Ciu. Dan dukung Pangeran
Tai, maka aku akan memberi izin kalian bekerja di Kerajaan Ciu."
Begitu kira-kira isi surat Kaisar Ciu pada Raja The Bun Kong. Sesudah itu Raja
The lalu mengumpulkan semua menterinya untuk diajak berunding.
"Dulu ketika almarhum Raja Bu Kong dan Cong Kong menjadi pejabat di Kerajaan
Ciu, mereka mendapat kehormatan besar di kalangan Raja-raja Muda. Tetapi sayang
jabatan itu berakhir, hingga negeri The menjadi terpuruk. Beruntung Raja The Le Kong
berhasil mengangkat kembali Kaisar Ciu, tetapi sayang beliau tidak dipanggil bekerja di
istana Kerajaan Ciu sampai wafatnya. Sekarang Kaisar Ciu minta bantuanku. Aku yakin
semua Pangeran Ciu harus menghormatiku." kata Raja The.
"Tetapi jika diingat-ingat Raja Cee karena ingin menolong kita, dia kerahkan
angkatan perangnya ke negeri Couw!" kata Khong Siok, "sekarang kalau kita berpisah dengan
kerajan Cee dan takluk kepada Couw, ini sama juga kita tidak ingat budi orang. Apalagi
mendukung Pangeran The adalah kewajiban kita. Harap Tuanku pikirkan dulu masalah ini."
"Pendapatmu keliru," kata Raja The. "Daripada menurut pada raja jagoan lebih
baik menurut pada Kaisar Ciu. Apalagi Kaisar sendiri tidak sayang pada Pangeran The, mengapa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku harus menyayanginya?" "Menurut aturan Kerajaan Ciu, yang boleh menjadi Putera Mahkota adalah anak dari
Permaisuri pertama. Dan putera sulung." kata Khong Siok. "Baginda Yu Ong
menyukai Pangeran Pek Hok, Baginda Hoan Ong mencintai Cu Kek, dan Baginda Cong Ong
mencintai Chu Tui, semua itu sudah Tuanku ketahui semua. Mengapa Tuanku tidak mau ikut
aturan malah mau mengambil cara yang salah. Apa Tuanku tidak khawatir di kemudian hari
akan menyesal?" "Menurut pendapatku, sebaiknya kita mengambil jalan tengah," kata Menteri Sin
Houw. "Tetapi jangan sekali-kali membantah perintah Kaisar Ciu. Maka itu kita tidak
boleh ikut dalam pertemuan yang akan diadakan oleh Raja Cee. Di luar Pangeran The punya
pengikut, begitu juga Pangeran Tai di dalam istana. Kita juga belum tahu siapa yang akan
jadi pemenang di antara mereka berdua" Sebaiknya kita bersabar menunggu dan
menyaksikan gerak-gerik mereka."
Raja The Bun Kong setuju pada pendapat Sin Houw, dia berpura-pura mengatakan
pada Raja Cee ada masalah di dalam negaranya, lalu pulang.
Ketika Raja Cee Hoan Kong mengetahui masalah yang sebenarnya, mengapa Raja The
pulang. Dia hendak mengajak Pangeran The untuk melabrak Raja The.
"Tidak perlu! Biarkan saja dia pergi," kata Koan Tiong.
Dia cegah Raja Cee bergerak. Kemudian Koan Tiong menganalisa minggatnya Raja
The. "Negeri The dan Ciu letaknya berdampingan," kata Koan Tiong. "Dalam hal ini
pasti Kaisar Ciu telah mengeluarkan perintah hingga hatinya tergerak. Jika kita hanya
berkurang seorang raja, itu tidak bisa mengacaukan niat kita yang besar. Sedang waktu pertemuan
hampir tiba. Sesudah itu baru kita adakan perhitungan dengan negeri The!"
Raja Cee Hoan Kong apa boleh buat menahan sabar, sekalipun dia geram sekali.
Ketika saat pertemuan telah tiba, semua raja-raja berhimpun kecuali Raja Couw
dan The. Dalam pertemuan ditetapkan semua Raja Muda akan mendukung Pangeran The menjadi
Kaisar. Mereka pun mengucapkan sumpah.
Pangeran The terharu dia mengucapkan terima kasih pada semua raja-raja.
Esok harinya...... Pangeran The hendak pulang. Semua raja muda masing-masing membawa tentaranya
mengantarkan Pangeran The pulang. Di antaranya Raja Cee dan Raja We telah
mengantarkan sampai melewati perbatasan negeri We.
Ketika Raja Couw Seng Ong mendapat kabar Raja The tidak mau ikut di pertemuan
raja-raja, tentu saja Raja Couw girang sekali. Dia berharap dia bisa menarik kembali Raja
The ke pihaknya. Raja Couw segera mengirim utusan menemui Sin Houw sambil membawa
barang berharga untuk menyuap Sin Houw. Raja Couw mengatakan dia berniat meneruskan
persahabatannya dengan negara The
Sin Houw memang sangat serakah, dia terima sogokan Raja Couw. Lalu dia menemui
Raja The dan mengatakan bahwa Raja Couw ingin bersahabat.
"Hamba yakin tidak lama lagi Raja Cee akan menyerang ke negeri The," kata Sin
Houw. "Jika bukan Raja Couw tidak akan sanggup kita menghadapinya."
"Apa betul begitu?" kata Raja The.
"Benar Tuanku, jika Tuanku takluk kepada Couw itu sesuai pesan Kaisar Ciu. Jika
Tuanku tidak segera mengambil putusan, maka Raja Cee dan Couw akan menjadi musuh negeri
The." kata Sin Houw. Desakan menteri dorna tersebut telah berhasil, Raja The Bun Kong memerintahkan
Sin Houw diam-diam mengantar bingkisan ke negeri Couw.
Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-26, Raja Cee Hoan Kong telah mengajak
raja-raja yang berserikat datang melabrak negeri The, mereka segera mengepung kota Sin-
bit. Waktu itu kebetulan Sin Houw ada di negeri Couw, setelah mendengar kabar negeri
The sedang dilabrak oleh pasukan Cee dan kawan-kawannya, Sin Houw menghadap pada
Raja Couw Seng Ong untuk minta bantuan. Raja Couw segera mengumpulkan semua
menterinya untuk membicarakan masalah itu.
"Ketika Raja Cee hendak mengumumkan perang di Siao-leng, Raja Khouw Bok Kong
meninggal dunia di dalam perkemahannya, sehingga Raja Cee sangat kasihan
kepadanya. Dengan demikian di antara para raja, Raja Khouw-lah yang paling akrab dengan
Raja Cee." kata Chu Bu. "Jika Tuanku serang negei Khouw, pasti Raja Cee dan yang lain-lain
akan berdatangan membantunya. Dengan demikian kepungan terhadap negeri The akan
mengendur sendirinya." Raja Couw setuju pada saran Chu Bun, Raja Couw langsung memimpin pasukannya
menyerang ke negara Khouw.
Ketika Raja Cee Hoan Kong dan yang lainnya mendapat kabar kota Raja Khouw
dikepung oleh tentara Couw, mereka melepaskan kepungan terhadap negeri The untuk menolong
negeri Khouw. Tetapi ketika mereka dan pasukan perang sampai di tanah Khouw,
balatentara Couw sudah mundur kembali. Sedang Sin Houw dari Couw pulang ke negeri The. Dia anggap dia telah berjasa
besar dan berharap dinaikan pangkatnya. Tapi Sin Houw kecewa karena Raja The diam saja.
Karena sangat kesal dan mendongkol Sin Houw sering mengeluarkan kata-kata kurang
pantas. Tahun berikutnya di musim Cun, Raja Cee Hoan Kong dan kawan-kawannya kembali
menyerang ke negara The. Salah seorang panglima negeri Tan, Wan To Touw namanya, karena tahu Raja The
sudah membebaskan diri dari perserikatan dengan Raja Cee, dan mendengarkan hasutan
dari Sin Houw. Wan To Touw menulis sepucuk surat rahasia yang dikirimkan kepada Khong
Siok, yang bunyinya kira-kira demikian:
"Dulu Sin Houw telah menjilat pada Raja Cee, sehingga dia mendapat hadiah tanah
perusahaan di Houw-lo, sekarang dia menjilat kepada Raja Couw, hingga membuat
Rajamu melupakan kebajikan dan melanggar kewajiban, seperti sengaja mencari bahaya
untuk mencelakakan rakyat negeri dan merusak daerah sendiri. Jika Raja Tay-hu bersedia
membunuh Sin Houw, aku berani jamin tidak usah berperang pasti tentara Cee akan
ditarik mundur." Tatkala Khong Siok sudah terima dan baca surat itu, dia bawa surat itu dan dia
serahkan kepada Raja The Bun Kong. Raja The ingat kembali dulu karena tidak mau mendengar
nasihat Khong Siok, pasukan Cee dan kawan-kawannya telah dua kali menyerang
negerinya. Dia sangat menyesal dan berbalik menjadi geram kepada Sin Houw, menterinya.
Segera dia panggil Sin Houw menghadap.
"Kau bilang hanya Raja Couw yang bisa melawan Raja Cee dan kawan-kawannya,
sekarang tentara Cee sudah datang kembali. Mana Raja Couw dan tentaranya yang kau bilang
mau membantu?" kata Raja The dengan marah.
Ketika Sin Houw hendak bicara menyampaikan alasannya, Raja The sudah memanggil
algojo untuk menyeret dan memenggal kepala Sin Houw.
Kemudian Khong Siok sambil membawa surat Raja The dan kepala Sin Houw menghadap
pada Raja Cee untuk minta berdamai.
Raja Cee Hoan Kong memang sudah mengenal menteri The bernama Khong Siok yang
bijaksana. Raja Cee mau menerima damai dan percaya pada kata-kata menteri
bijaksana ini. Suatu saat Raja Cee mengundang semua raja-raja untuk berkumpul di Leng-bo.
Tetapi ketika Raja The mendapat undangan, dia agak sangsi. Dia merasa masih terikat oleh
ajakan Kaisar Ciu, maka dia tidak berani datang berkumpul di Leng-bo. Tetapi untuk tidak
membuat curiga Raja Cee dia hanya mengirim puteranya yang bernama Si Cu Hoa untuk mewakilinya
menghadiri pertemuan itu.
Ternyata Si Cu Hoa ini seorang anak durhaka, senantiasa ia berikhtiar hendak
mendapatkan tahta ayahnya. Sudah berulang kali dia minta bantuan pada Siok Ciam, Khong Siok
(disebut juga Louw Siok) dan Su Siok untuk menyingkirkan putera-putera ayahnya. Tetapi
semua menteri The yang budiman selalu menasihatinya.
"Seharusnya Pangeran berbakti pada Ayahanda Tuanku," kata Khong Siok. "Karena
Raja pun sayang sekali kepada Tuanku."
"Memang benar, jika Tuanku berbakti tahta pasti akan diserahkan kepada Tuanku,"
kata Su Siok. Tetapi karena Si Cu Hoa sudah sangat ingin menduduki tahta ayahnya, nasihat tiga
menteri itu bukanditerima denganbaik,malahdiamembencimerekabertiga.
Ketika Si Cu Hoa bertemu dengan Raja Cee Hoan Kong, dia memohon supaya dia bisa
bicara berdua saja dengan Raja Cee Hoan Kong.
"Hamba ingin membicarakan masalah penting, maka hamba mohon yang lain diminta
mundur," kata Si Cu Hoa pada Raja Cee.
Ketika permohonan itu oleh Raja Cee dikabulkan dan mereka hanya berduaan, Si Cu
Hoa mulai bicara. "Negeri The dilola oleh tiga orang menteri. Mereka adalah Siok Ciam, Khong Siok
dan Su Siok," kata Si Cu Hoa. "Dulu saat Ayahku meninggalkan pertemuan, itu karena
hasutan ketiga Tay-hu tersebut. Jika Tuanku bisa menyingkirkan ketiga menteri itu, dan
aku rela menyerahkan negeri The. Sedang hamba cukup puas menjadi pegawai negeri The."
"Aku setuju, tetapi harus menunggu waktu," kata Cee Hoan Kong. "Aku akan
berunding dulu dengan menteriku." "Baiklah," kata Si Cu Hoa.
Raja Cee menemui Koan Tiong dan mereka bicara berdua saja. Dia menanyakan
pendapat Koan Tiong mengenai saran dari Si Cu Hoa.
"O, jangan, Tuanku jangan percaya kata-katanya," kata Koan Tiong. "Semua Raja
Muda tunduk pada kita, karena Raja Cee bisa dipercaya. Anak itu hendak melawan
ayahnya, berarti dia anak durhaka! Kedatangannya atas perintah ayahnya dengan tujuan yang sangat
baik. Jika dia usul begitu, berarti dia akan menimbulkan kekacauan. Tiga Tay-hu negeri The
itu orang- orag budiman, di negerinya mereka bergelar "Sam Liang". Menurut hamba Si Cu Hoa
pasti akan celaka!" Raja Cee Hoan Kong manggut, kemudian dia menemui Si Cu Hoa kembali.
"Apa yang kau katakan tadi, sebenarnya masalah besar, maka sebaiknya suruh
Ayahmu datang. Aku akan membicarakannya dengan baik." kata Raja Cee.
Saat itu juga paras Si Cu Hoa berubah merah dan sekujur tubuhnya berkeringat,
karena dia tidak menduga bakal mendapat jawaban begitu. Mau tidak mau terpaksa dia pamit
pada Cee Hoan Kong. Karena Koan Tiong sangat benci apada niat buruk Si Cu Hoa, dia sengaja
membocorkan rahasia itu pada orang-orang The. Maka sebelum Si Cu Hoa sampai ke negaranya,
sudah ada yang melaporkan kelakuan Si Cu Hoa itu kepada ayahnya.
Begitu menghadap dia berlutut di hadapan ayahnya.
"Bagaimana hasil kunjunganmu itu?" tanya Raja The pura-pura belum tahu.
"Raja Cee sangat marah karena Ayah tidak datang sendiri, dan Raja Cee tidak
terima. Maka menurut saran hamba, lebih baik Ayah kembali berserikat dengan Raja Couw!" kata
Si Cu Hoa. Mendengar laporan itu bukan main marahnya Raja The.
"O, anak durhaka, hampir saja kau jual negeriku ini!" kata The Bun Kong dengan
sangat gusar. "Aku sudah tahu semua kelakuanmu di sana. Hm! Sekarang kau karang cerita
dusta di depanku! Pengawal tangkap dia dan seret masukan ke kamar gelap!"
Tetapi anak nakal ini tidak mau menyerah begitu saja, di dalam penjara dia coba
membobol tembok hendak kabur. Tetapi keburu ketahuan oleh penjaga. Karena gusar Raja The
lalu mengeluarkan perintah membunuh anak nakal itu.
Raja The sangat hormat pada Raja Cee yang tidak mau mendengar hasutan dari
anaknya. Maka dia kirim Khong Siok untuk menghaturkan terima kasih pada Raja Cee.
Dalam tahun ke-22 pemerintahan Kaisar Ciu Hui Ong, pada musim Tang (Gugur)
Baginda Ciu Hui Ong sakit keras. Pangeran The sangat khawatir adik tirinya akan merebut
tahtanya jika ayahnya meninggal. Diam-diam dia perintahkan Ong-cu Houw memberitahu Raja
Cee, bahwa Baginda sedang sakit keras.
Selang beberapa hari kemudian Kaisar Ciu Hui Ong pun wafat. Pangeran The
berunding dengan Ciu Kong Khong dan Siao Pek Liauw, mereka mengambil putusan akan mengurus
perkabungan dulu, sebelum mengurus pengangkatan pengganti Kaisar. Tetapi diam-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diam mereka mengutus orang untuk menyusul Ong-cu Houw dan memberitahukan bahwa Kaisar
telah meninggal. Mendapat khabar itu Ong-cu Houw begitu sampai di hadapan Raja Cee, langsung
melaporkan tentang wafatnya Kaisar Ciu tersebut. Raja Cee segera mengirim utusan ke
berbagai negara untuk mengupulkan raja-raja di tanah Yao, tanah milik negeri Co. Dalam pertemuan
raja-raja itu Raja The Bun Kong ikut hadir.
Seluruh Perserikatan Raja-raja Muda sepakat mengajukan usulan ke Kerajaan Ciu.
Lalu mereka mengirim delapan pembesar dari masing-masing negaranya.
Ketika ke-delapan menteri besar dari delapan negara itu sampai di negeri Ciu,
mereka tampak angker sekali. Begitu datang mereka bilang mereka hendak menyampaikan perasaan
berduka cita dari raja mereka masing-masing. Mereka masih berkumpul di luar kota.
Ong-cu Houw masuk ke Ibukota lebih dulu untuk melapor. Pangeran The
memerintahkan Siao Pek Liauw pergi menyambut semua Tay-hu atau menteri besar dari berbagai
negara itu. Kemudian baru dia mengurus masalah berkabung ketika semua semua menteri dari
berbagai negara itu sudah bertemu dengan Kaisar yang baru. Ciu Kong Khong dan Siao Pek
Liauw memimpin Pangeran The mengurus perkabungan ayahandanya.
Begitu upacara selesai, seorang Menteri Besar mewakili semua utusan lalu bicara.
"Atas perintah Raja-raja kami, kami datang untuk menyatakan ikut berduka-cita!
Dengan ini pula atas kesepakatan Raja-raja kami, maka kami mohon Pangeran The naik tahta
menjadi Kaisar Ciu!" kata juru bicara Menteri Besar itu.
Ucapan itu mendapat sambutan yang meriah. Pangeran The lalu duduk di tahta
kerajaan. Sesudah itu semua menteri mengucapkan selamat kepada Kaisar Ciu yang baru, yang
bergelar Ciu Siang Ong. Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi) sebagai tahun pertama pemerintahan
Kaisar Ciu Siang Ong. Hari itu Kaisar Ciu hendak bersembahyang di kelenteng almarhum
ayahnya. Dia juga mengatakan akan menganugrahkan sesuatu kepada Raja Cee yang membantu
sepenuh hati kepadanya. Mendengar niat Kaisar Ciu itu, Raja Cee mengundang seluruh Raja Muda untuk
datang ke Kui-kiu. Di tengah perjalanan menuju ke tempat pertemuan, Raja Cee Hoan Kong dan Koan
Tiong membicarakan masalah Kerajaan Ciu.
"Dewan kerajaan Ciu, karena tidak sejak semula menentukan calon pengganti
Kaisar, hampir saja terjadi huru-hara," kata Koan Tiong. "Sekarang Tuanku sendiri harus
menetapkan ahli waris, agar di kemudian hari tidak timbul kekacauan."
"Aku mempunyai enam orang putra, semua dilahirkan oleh Selir-selirku," kata Cee
Hoan Kong. "Yang paling besar Pangeran Bu Kui, tetapi yang paling pintar Pangeran
Ciao. Ibu Pangeran Bu Kui yang bernama Tiang We Ki, telah merawatku paling lama, sedang Ek
Ge dan Si Tiao mengusulkan agar aku mengangkat Pangeran Bu Kui sebagai ahli
warisku. Tetapi aku sangsi karena aku sayang pada kepandaian Pangeran Ciao. Bagaimana pendapat
Tiong- hu?" Koan Tiong tahu Ek Ge dan Si Tiao adalah bangsa dorna, apalagi mereka senantiasa
disayang oleh Tiang We Ki. Jika di kemudian hari Pangera Bu Kui menjadi raja, Koan Tiong
khawatir kedua dorna itu akan mengacau dari dalam dan luar. Pasti negara Cee akan kacau!
Pangeran Ciao lahir dari Selir The Ki dan Koan Tiong ingat betul negeri The baru
ikut berserikat. Maka jika Pangeran Ciao yang menjadi Putera Mahkota, maka hubungan
negara Cee dan The akan bertambah erat.
Sesudah berpikir begitu, Koan Tiong baru berkata.
"Jika Tuanku hendak mewariskan Kerajaan Cee pada seorang yang pandai, lebih baik
angkat Pangeran Ciao! Jika negara diurus oleh Raja yang tidak pandai, pasti tidak akan
bagus!" kata Koan Tiong. "Tetapi Bu Kui putraku yang tertua, apa dia tidak akan merebut kedudukan
adiknya?" tanya Raja Cee. "Tuanku ingat, untuk calon Kaisar Ciu saja Tuanku yang mengurus, karena Tuanku
pemimpin seluruh raja-raja. Kumpulkan para Raja Muda kemudian tetapkan Pangeran Ciao agar
semua Raja Muda membelanya! Lalu apa yang Tuanku khawatirkan lagi?" kata Koan Tiong.
Bab 15 Raja Cee Hoan Kong manggut-manggut.
"Baiklah," kata Raja Cee..
Sampai di Kui-kiu, di sana semua raja muda sudah berkumpul, sedang Ciu Kong
Khong juga sudah datang. Waktu itu Raja Song Hoan Kong sudah wafat, Pangeran Chu Hu telah mengalah kepada
kakak tirinya, Pangeran Bak I yang akan menjadi Raja Song. Namun Bak I tidak
berani menerima kedudukan itu. Maka terpaksa Chu Hu yang menjadi raja dengan gelar Song
Siang Kong. Ketika Song Siang Kong mendapat undangan dari Raja Cee, sebab dia raja yang
taat, sekalipun sedang berkabung dia menghadiri pertemuan.
Sesudah mengetahui hal-ikhwal Raja Song Siang Kong, dan dia juga melihat
sikapnya. Dia membisiki Raja Cee. "Raja Song sangat murah hati, dia bersedia mengalah kepada kakak tirinya untuk
menjadi raja," kata Koan Tiong. Ini bisa dikatakan dia seorang raja yang budiman.
Ditambah lagi, sekalipun sedang berkabung dia hadir dalam pertemuan ini. Jelas dia taat
setulusnya pada kita. Soal ahli waris sebaiknya Tuanku titip saja kepadanya."
Raja Cee Hoan Kong manggut menyatakan setuju.
Koan Tiong menemui Raja Song. "Rajaku ingin membicarakan soal penting dengan
Tuanku," kata Koan Tiong. Dengan tidak ayal lagi Raja Song Siang Kong datang di kemah Raja Cee Hoan Kong.
Sesudah satu sama lain melaksanakan adat-istiadat Raja Cee memegang lengan Raja
Song. Kemudian Raja Cee menceritakan niatnya. Di akhir pertemuan Raja Cee berpesan.
"Aku harap kau mau mendukung Pangeran Ciao di kemudian hari," kata Raja Cee.
"Baik, hamba berjanji akan melaksanakan pesan Tuanku ini," kata Raja Song.
Tibalah saat pertemuan dimulai semua raja dan menteri telah hadir seluruhnya.
Mereka tampak agung sekali. Semua Raja Muda menyilakan utusan Kaisar Ciu naik ke atas
panggung yang disediakan.Sekalipun Kaisar Ciu tidak hadir, tetapi kursi untuknya telah di
sediakan. Semua raja-raja menghadap ke arah sana.
Sesudah melaksanakan upacara adat, semua Raja-raja Muda mengambil tempat duduk
mereka menurut kedudukannya masing-masing.
Ciu Kong Khong berdiri dan berkata, "Kaisar telah bersujud pada almarhum Baginda
Bun Ong. Sekarang Sri Baginda memerintahkan aku untuk menyerahkan hadiah pada para
Raja Muda!" kata Ciu Kong Khong.
Raja Cee akan turun dari kursinya untuk menghaturkan terima kasihnya, tetapi
dicegah oleh Ciu ong Khong. "Tuanku sudah berusia lanjut, Kaisar memberi izin Tuanku tidak
perlu menjalankan upacara adat-istiadat," kata Ciu Kong Khong.
Raja Cee mengangguk akan menurut perintah Ciu Kong Khong, tetapi Koan Tiong
segera maju dan berkata. "Sekalipun Kaisar sangat murah hati, tetapi sebagai bawahan
Raja kami tidak boleh tidak hormat!" kata Koan Tiong.
Raja Cee mengerti apa maksud ucapan Koan Tiong. Dia segera maju.
"Hamba bawahan Kaisar Ciu, mana berani hamba berlaku tidak hormat dan
melaksanakan kewajiban sebagai seorang menteri!" kata Raja Cee.
Sesudah berkata begitu, Raja Cee Hoan Kong turun dari tangga, memberi hormat
serta menghaturkan terima kasih. Kemudian baru naik lagi akan menerima barang
sembahyang itu. Sikap Raja Cee membuat kagum seluruh Raja-raja Muda yang lain. Sesudah itu Raja
Cee Hoan Kong kembali mengingatkan semua raja muda supaya menjunjung tinggi "Dewan
Kerajaan Ciu". Kemudian dikeluarkanlah lima pantangan: 1) Dilarang menahan air
mata, 2). Dilarang menahan orang yang mau membeli beras, 3) Dilarang sembarangan
mengangkat Putra Mahkota, 4). Dilarang mengangkat gundik atau Selir menjadi Permaisuri, 5).
Dilarang kaum wanita ikut campur dalam urusan pemerintahan negara. Jangan kasih orang
perempuan campur tangan dalam urusan pemerintah negeri.
Sesudah itu pertemuan ditutup, semua raja muda dan utusan Kaisar mengucapkan
selamat berpisah. Mereka lalu kembali ke negaranya masing-masing.
Sekembalinya Raja Cee Hoan Kong ke negaranya, dia menganggap dirinya berjasa
besar. Seolah sudah tak ada yang bisa menandinginya lagi, menyatakan dia telah
membangun sebuah istana yang megah. Bahkan saat naik kereta sedang jalan-jalan, dia
mengenakan pakaian kebesaran mirip pakaian Kaisar. Rakyat banyak yang mencela kelakuan Raja
Cee ini. Mereka menganggap Raja Cee Hoan Kong sangat keterlaluan. Sedang Koan Tiong pun
membuat loteng tiga tingkat, sangat indah.
Perbuatan Koan Tiong tersebut membuat Pao Siok Gee kurang senang, dia berkunjung
ke gedung sahabatnya itu. "Tiong-hu, aku tidak mengerti pada sikapmu?" kata Pao
Siok Gee. "Raja kita hidup mewah, kau juga kut-ikutan. Raja kita melanggar aturan kau juga
ikut! Apa pantas begitu?" "O, sahabatku, jelas kau tidak mengerti maksudku," sahut Koan Tiong. "Jika aku
berbuat begitu, sebenarnya aku hendak menyindir Cu-kong kita."
Pao Siok Gee sekalipun mengangguk, tetapi dia tetap tidak puas dan tidak yakin
pada alasan yang disampaikan oleh Koan Tiong tersebut.
*** Dikisahkan perjalanan pulang Ciu Kong Khong. Di tengah perjalanan dia berpapasan
dengan Raja Chin Hian Kong yang berniat datang ke pertemuan Raja Cee. Tatkala Ciu Kong
Khong memberi tahu pertemuan sudah selesai, Raja Chin sangat menyesal, dengan
membanting kakinya dia berkata, "Sayang sekali negeriku terlalu jauh, sehingga terlambat
datang! Ah, mengapa nasibku jelek sekali!"
"Harap Tuanku tidak kecewa," kata Ciu Kong Khong. "Sekarang Raja Cee karena
merasa jasanya besar, kelakuannya mulai sombong! Seumpama rembulan sesudah bulat, akan
bersinar separuh kembali. Begitu juga air, jika sudah terlalu penuh akan meluap.
Tunggu saja meluap dan somplaknya Raja Cee tak akan lama lagi. Jadi jangan Tuanku menyesal."
Mendengar keterangan itu Raja Chin pun pulang ke negaranya.
Bab 16 Tangis Li Ki mulai reda. "Aku dengar bangsa Cek Tek sering datang mengganggu negeri kita. Mengapa Tuanku
tidak mengirim Sin Seng untuk menumpas bangsa itu" Mari kita lihat, apakah Sin Seng
mampu memakai tenaga rakyat yang dikasihinya atau tidak" Jika dia kalah, maka Tuanku
punya alasan untuk menghukum dia. Tetapi jika dia menang, itu berarti dia sangat
disukai oleh rakyat!" kata Li Ki.
"Ya, kau benar," kata Chin Hian Kong.
Alangkah senangnya Li Ki, baru dia tersenyum manis seperti biasa.
Esok harinya...... Ketika Raja Chin Hian Kong bersidang dengan menteri-menterinya di istananya.
Raja Chin mengeluarkan perintah agar Sin Seng memimpin pasukan perang ke Kiokah untuk
menghajar bangsa Cek Tek. Tetapi banyak menteri yang keberatan.
"Putera Mahkota orang kedua setelah Raja, jika Raja tidak ada, Putera Mahkota-
lah yang mewakili mengurus pemerintahan," kata Li Kek.
Menteri Li Kek berusaha hendak mencegah keinginan Raja Chin Hian Kong.
"Sebenarnya seorang Putera Mahkota dijauhkan saja dari samping Raja sudah tidak
pantas, apalagi jika disuruh memimpin angkatan perang?" Li Kek menambahkan.
"Tetapi Pangeran Sin Seng sudah sering memimpin pasukan perang!" kata Raja Chin
Hian Kong kurang senang. "Dulu dia berperang ikut dengan Tuanku, tetapi sekarang mau disuruh sendiri, ini
berbeda jauh sekali," sahut Li Kek.
"Aku punya sembilan orang putera, aku belum menetapkan siapa yang bakal mejadi
ahli warisku!" kata Chin Hian Kong mendongkol. "Aku tidak akan membatalkan
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintahku. Aku tak ingin orang ikut campur!"
Li Kek tertegun tidak berani buka suara lebih jauh.
Setelah itu pertemuan dibubarkan. Li Kek pergi menemui Ho Tut, seorang menteri
tua di negeri Chin. Li Kek langsung menceritakan bahwa Raja Chin telah mengutus
Pangeran Sin Seng ke medan perang. "Ah, kalau begitu Pangeran dalam bahaya," kata Ho Tut terperanjat.
Dia sudah menduga pasti Sin Seng bakal difitnah. Ho Tut segera menulis surat
kepada Sin Seng, dalam suratnya dia menyarankan agar Sin Seng jangan pergi ke medan perang,
tetapi lebih baik pergi mengasingkan diri ke negeri lain.
Ketika Sin Seng menerima surat dari Ho Tut, dia menolak nasihat menteri tua itu.
Sambil menghela napas dia berkata, "Ya, aku pun sudah tahu, Ayahku menyuruh memimpin
angkatan perang karena dia senang kepadaku. Baiklah, aku mengerti, jika aku
menolak maka aku akan dianggap melanggar perintahnya. Jika aku ke medan perang dan aku mati
tidak apa. Dengan demikian aku sudah menjalankan perintah Ayah dan Raja dengan benar!"
Sin Seng menyiapkan angkatan perangnya di Kiok-ah untuk menghadapi bangsa Cek
Tek di Cek-heng. Tidak lama terjadi pertempuran hebat antara pasukan Chin dengan
tentara Cek Tek. Dalam peperangan itu Sin Seng yang gagah berhasil mengalahkan musuh. Dia
segera mengirim laporan kepada Raja Chin Hian Kong. Malamnya Raja Chin bercerita pada
Li Ki bahwa putera sulungnya berhasil mengalahkan bangsa Cek Tek.
"O, Pangeran benar-benar bisa memakai tenaga rakyat Kiok-ah!" kata Li Ki seolah
kaget. "Sekarang apa yang kita harus lakukan?"
"Kita belum punya alasan menghukum dia, biar kita beri waktu kepadanya," jawab
Hian Kong. Li Ki diam saja, tetapi dia sangat berduka, hanya tidak diperlihatkan
saja. Keadaan di negeri Chin ini sangat memprihatinkan menteri tua Ho Tut. Karena itu
dia pura- pura sakit dan tidak mau keluar rumah.
*** Ketika itu negeri Gi dan negeri Kek bersahabat kekal, bukan saja rajanya sesama
she (marga), sedang negaranya bertetangga dan salah satu berbatasan dengan negeri Chin.
Raja negeri Kek sangat sombong dan suka mencari masalah, tidak heran jika ada
masalah, walaupun kecil, dia langsung menyerang ke daerah Chin.
Pembesar Chin yang menjaga perbatasan negeri melapor kepada Raja Chin Hian Kong.
"Raja Kek sangat keterlaluan dan sombong. Dia perlu diajar adat!" kata panglima
penjaga perbatasan. Mendengar laporan itu Raja Chin Hian Kong marah sekali. Dia sepakat akan
melabrak negara Kek itu. Niat Raja Chin diketahui oleh Li Ki, isterinya, kembali dia hendak
meminjam tangan musuh untuk membinasakan Sin Seng.
"Jika Tuanku hendak menghajar negara Kek, mengapa Tuanku tidak menyuruh
Pangheran Sin Seng saja." kata Li Ki.
"Tidak aku tidak setuju!" kata Raja Chin.
"Mengapa Tuanku tidak setuju?" tanya Li Ki.
Raja Chin yang sudah terpengaruh oleh hasutan Li Ki, dia mulai curiga pada Sin
Seng. "Jika sekarang dia lagi yang maju ke medan perang, dan dia menang. Bukankah
namanya akan jadi lebih terkenal. Malah dia akan makin disayang oleh semua menteriku.
Dengan demikian, bagaimana aku bisa menyingkirkan dia?" kata Raja Chin.
Raja Chin lalu mengumpulkan menteri-menterinya untuk diajak berunding. Dia
bertanya pada menteri Sun Sit. "Menurut Anda, apakah negeri Kek boleh kita serang?" tanya Raja Chin.
"Saat ini negara Gi dan Kek sedang rukun," sahut Sun Sit, "jika kita serang
negeri Kek, pasti Raja Gi akan membantunya. Begitu juga jika kita serang negeri Gi, pasti Kek akan
membantunya. Jika keduanya kita serang, hamba tidak yakin kita akan menang!"
"Kalau begitu harus bagaimana?" tanya Raja Chin. "Hamba dengar Raja Kek sangat
suka perempuan elok, kita gunakan saja sebuah tipu "Bi Jin Ke" pasti kita bisa
mengalahkan dia. Sekarang kita cari beberapa perempuan cantik, ajari mereka bernyanyi dan menari.
Jika mereka sudah pandai. Dandani mereka lalu kirim ke sana." kata Sun Sit.
"Boleh juga!" kata Raja Chin. "Lalu selanjutnya bagaimana?"
"Jika Raja Kek sudah tergila-gila oleh perempuan cantik, dia akan lupa diri.
Lupa mengurus pemerintahan. Pasti menterinya yang setia akan jengkel kepadanya." kata Sun Sit.
"Ah bagus!" "Selanjutnya kita suap Raja bangsa Kian-jiong, minta bangsa itu mengacaukan
negara Kek. Sesudah kacau, baru kita serang mereka. Hamba yakin kita bisa menang!" kata Sun
Sit. Raja Chin Hian Kong setuju pada saran Sun Sit. Mulailah Raja Chin menyuruh
mencari wanita cantik. Dia berhasil mengumpulkan beberapa orang. Kemudian dilatih.
Sesudah pandai mereka dikirim ke negeri Kek. Benar saja kiriman Raja Chin itu sangat menarik
hati Raja Kek. Salah seorang menteri Raja Kek curiga.
"Tuanku jangan terima!" kata Menteri Ciu Ci Kiao. "Ini pasti jebakan Raja Chin
dan memberi umpan pada Tuanku. Mengapa Tuanku menerimanya?"
Raja Kek tidak menghiraukan nasihat itu. Malah dia menerima berdamai dengan
negara Chin. Benar saja semenjak mendapatkan beberapa wanita cantik Raja Kek jadi lupa
daratan. Siang dan malam bersenang-senang saja. Dia jarang menghadiri persidangan di istananya.
Sekalipun berulangkali Ciu Ci Kiao menasihatinya tetapi Raja Kek tidak mau
menghiraukannya. Malah berbalik marah-marah pada Ciu Ci Kiao. Dia peritahkan Ciu
Ci Kiao menjaga kota He-yang. Dengan demikian Raja Kek jadi bebas dari gangguan
menteri Ciu tersebut. Selang beberapa bulan kemudian, bangsa Kian-jiong yang mendapat suapan dari Raja
Chin, datang menyerang daerah Kek. Waktu tentara Kian-jiong sudah sampai di Wi-jwe,
tetapi telah berhasil dipukul mundur oleh tentara Kek. Raja Kian-jiong yang masih penasaran
segera mengeluarkan seluruh kekuatan tentaranya datang menantang lagi. Raja Kek
mengerahkan tentaranya menangkis serangan musuh tersebut. Sesudah berperang cukup lama,
mereka jadi terpaku di daerah Song-tian.
Berita tentang terhentinya peperangan antara Raja Kek dan bangsa Kian-jing,
karena masing- masing bertahan di tempat, sampai ke telinga Raja Chin.
"Aku dengar tentara San-jing dan Kek masih bertahan di daerah Song-tian. Apa
sekarang kita boleh mulai menyerang mereka?" kata Raja Chin.
"Jangan, belum boleh, sebab hubungan negeri Gi dan Kek belum putus," sahut Sun
Sit. "Tetapi hamba sudah menyiapkan sebuah tipu. Hari ini kita ambil Kek. Esoknya
kita ambil Gi." "Tipu bagaimana?"
"Tuanku suap Raja Gi, sesudah itu minta pinjam jalan untuk melabrak negeri Kek."
"Kita dengan Kek baru berdamai, tidak ada alasan melabrak mereka, apa Raja Gi
mau percaya?" "Dengan diam-diam Tuanku perintahkan orang di Utara mencari gara-gara dengan
Kek, panglima Kek yang menjaga perbatasan pasti akan menegur, Lalu kita pakai alasan
itu untuk meminjam jalan pada Gi."
Raja Chin Hian Kong girang sekali. Kembali dugaan Sun Sit tidak meleset, benar
saja panglima Kek yang menjaga perbatasan menegur tatkala orang Chin melanggar
perbatasan. Ketika itu baik dari pihak Kek, maupun dari pihak Chin, masing-masing sudah
menyiapkan pasukan perang siap untuk bertempur.
Padahal waktu itu Raja Kek sedang siaga menghadapi serangan bangsa Kian-jiong,
sehingga tak mungkin menghadapi perselisihan perbatasan dengan Chin. Ketika Raja Chin
Hian Kong sudah mendapat kabar tentang perselisihan perbatasan itu, dia girang. Lalu
memanggil Sun Sit. "Sekarang sudah ada alasan untuk menghajar negeri Kek. Barang apa yang harus
kita berikan pada Raja Gi?" kata Raja Chin.
"Raja Gi sekalipun serakah, tetapi jika tidak disuap dengan mustika yang bagus,
pasti dia tidak akan tertarik," kata Sun Sit. "Hamba pikir hendak menyuap dia dengan
barang berharga, tetapi hamba khawatir Tuanku tidak mengizinkannya."
"Barang apa itu" Katakan saja!" kata Raja Chin.
"Hamba dengar Raja Gi menginkan batu Giok dari Sui-kek dan kuda bagus dari Kut-
can milik Tuanku. Dua barang itu bisa membuat dia terkecoh, dan usaha kita akan
berhasil!" kata Sun Sit. "O, tidak bisa!" kata Raja Chin terperanjat. "Dua barang barang wasiat,
bagaimana bisa aku serahkan pada orang lain?"
"Nah, hamba juga menduga begitu." kata Sun Sit. "Jika tidak bisa meminjam jalan,
berarti usaha kita gagal! Padahal jika Tuanku setuju, barang-barang itu cuma dipinjam
sementara. Sesudah mendapat jalan dan berhasil melabrak negeri Kek, kita bisa merampasnya
lagi dari negeri Gi. Ibarat pepatah tua mengatakan : Menyimpan batu giok di gudang orang
dan memelihara kuda bagus di istal orang lain, cuma untuk sementara saja."
"Tetapi ingat di negeri Gi ada dua menteri pandai. Mereka Kiong Ci Ki dan Pek Li
He," kata Li Kek. "Apa mereka tak akan menerka siasat kita. Lalu menasihati Raja mereka,
hingga berbalik menipu kita?"
"Tidak masalah," kata Sun Sit. "Raja Gi sangat serakah dan bodoh. Sekalipun
dinasehati, pasti tak akan didengar!"
Raja Chin Hian Kong diam berpikir sebentar, kemudian mengambil putusan.
"Baik, barang-barang itu akan kuserahkan!" kata Raja Chin.
Setelah mendapatkan dua barang itu Sun Sit pamit, dia mengantarkan batu giok dan
kuda itu ke negeri Gi. Tentu saja Raja Gi girang diberi hadiah dua barang berharga itu.
"Ini barang wasiat milik negaramu, di kolong langit jarang ada, mengapa Rajamu
mau memberikannya kepadaku?" kata Raja Gi heran,
"Rajaku senang kepada Tuanku," kata Sun Sit. "Dia juga kagum oleh kegagahan dan
kebajikanmu, maka dia bersedia menghadiahkan barang itu pada Tuanku!"
"Tetapi aku rasa hadiah ini harus ada imbalannya, apa mau Rajamu." Kata Raja Gi.
"Ya, cuma sedikit saja. Lantaran orang Kek sering datang menyerang daerah Chin.
Demi keamanan dan ketenteraan negeri kami maka Rajaku akan menemui Raja Kek untuk
berdamai. Tetapi damai belum lama, sudah timbul perselisihan perbatasan. Maka
dengan terpaksa Rajaku mau meminjam jalan pada Tuanku untuk memberi pelajaran pada Raja
Kek. Jika dalam perang nanti Rajaku berhasil mengalahkan Raja Kek, maka semua harta-
benda milik Raja Kek akan diserahkan kepada Tuanku. Bagaimana pendapat Tuanku?"
Raja Gi memang agak bodoh, dia tidak sadar pancing itu sudah mulai nyangkut di
tenggorokannya. "Baik! Baik aku setuju!" kata Raja Gi.
"Harap jangan Tuanku luluskan permintaannya!" kata Kiong Ci Ki. "Peribahasa
mengatakan: Jika bibir telah hilang maka gigi akan kedinginan. Bukankah Tuanku sudah tahu,
Raja Chin telah menghancurkan negeri-negeri yang rajanya sesama she dengannya" Malah bukan
cuma satu negeri saja" Jika selama ini dia tidak berani berbuat begitu pada negeri Gi
dan Kek, lantaran dua negeri ini bersahabat kekal satu sama lain. Sehingga mirip dengan
gigi dan bibir. Hamba yakin jika Kek hari ini musnah, maka besok negeri kita! Percaya pada
hamba." "Raja Chin rela menyerahkan mustika negaranya. Masakah aku kikir hanya
meminjamkan jalan untuk mereka lalui?" kata Raja Gi yang bodoh itu."Apa kau lupa, Chin lebih
kuat. Aku kehilangan Kek, tetapi mendapatkan Chin menjadi sahabatku. Sudah, kau pergi dari
sini. Jangan banyak bicara!"
Ketika Kong Ci Ki hendak menasihatinya lagi, lengan bajunya ditarik oleh Pek Li
He. Dia batalkan niatnya. "Baik aku setuju memberi jalan, katakan pada Rajamu terima kasih atas
hadiahnya," kata Raha Gi girang sekali. Sun Sit pamit kembali ke negerinya.
Sesudah meninggalkan istana Kiong Ci Ki bertanya pada Pek Li He. "Sahabatku, kau
bukan membantuku bicara, malah mencegah aku bicara. Apa maksudmu?" kata Kiong Ci Ki.
"Setahuku memberi nasihat pada orang bodoh sama saja dengan batu mustika jatuh
dalam kotoran," kata Pek Li He. "Jangan lupa, Raja Kiat membunuh Koan Liong Hong,
Kaisar Tiu
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong membunuh Pi Kan. Sebabnya karena terlalu mendesak memberi nasihat! Karena
aku anggap kau dalam bahaya, maka kau kuingatkan!"
"Tetapi jika begini gelagatnya negeri Gi bakal musnah, apa tidak lebih baik kita
kabur saja?" kata Kiong Ci Ki. "Jika kau mau pergi, pergilah! Jika kau ajak oranglain, dosamu makin
berat.Tentang aku jangan kau pikirkan, aku sendiri tahu bagaimana baiknya."
Akhirnya Kiong Ci Ki mengucapkan selamat tinggal kepada Pek Li He, dia ajak
seluruh keluarganya melarikan diri.
Di negeri Chin.... Begitu Sun Sit sampai ke negerinya, dia melapor.
"Tuanku Raja Gi menyetujui saran kita. Kita boleh melewati negaranya," kata Sun
Sit. Raja Chin sangat girang, dia siapkan pasukan perangnya untuk menyerang ke negeri
Kek. Li Kek minta izin untuk memimpin pasukan perang itu, Chin Hian Kong setuju, Li
Kek diangkat menjadi Jenderal Besar dan Sun Sit menjadi pembantunya.
Sebelum angkatan perang itu berangkat, Sun Sit memerintahkan orangnya memberi
khabar kepada Raja Gi bahwa tentara Chin akan segera sampai ke negeri Gi. Sementara
Raja Gie sibuk menyiapkan penyambutan. Tidak lama pasukan Chin sudah sampai di negara Gi.
"Aku sangat berhutang budi pada Raja Chin, beliau merelakan barang mustikanya.
Karena aku tak punya apa-apa, maka aku bersedia menyertakan tentara kami berperang
dengan Raja Kek," kata Raja Gi pada Sun Sit.
"Aku senang Anda jujur," kata Sun Sit girang. "Jika Tuanku hendak ikut
berperang, Tuanku serahkan saja kota He-yang."
"Kota He-yang dijaga oleh panglima Kek, bagaimana aku bisa menyerahkannya?" kata
Raja Gi. "Aku dengar Raja Kek sedang berperang dengan bangsa Kian-jiong di Song-tian,
mana yang bakal menang dan kalah belum ketahuan" Sekarang Tuanku pura-pura hendak membantu
Raja Kek, tetapi diam-diam dalam pasukan Tuanku kita sertakan tentara Chin.
Dengan demikian Tuanku bisa masuk dan merampas kota He-yang."
Raja Gi memuji kepandaian Sun Sit, dia turuti siasat Sun Sit tersebut. Panglima
Kek yang menjaga kota He-yang bernama Ciu Ci Kiao. Ketika melihat tentara Gi datang dia
senang. Lalu membuka pintu kota. Tetapi seketika dia kaget sebab di tengah-tengah
tentara Gi terdapat tentara Chin. Serentak tentara Chin menyerang Ciu Ci Kiao.
Sementara pasukan yang dipimpin oleh Sun Sit dan Li Kek pun sudah sampai di
situ. Ciu Ci Kiao jadi panik, sehingga kota itu jatuh ke tangan musuh. Ciu Ci Kiao yang takut
dihukum oleh Raja Kek, terpaksa mereka takluk pada tentara Chin. Li Kek menerima
takluknya Ciu Ci Kiao dengan baik, Ci Kiao dipakai menjadi penunjuk jalan untuk menyerang kota
Siang-yang. Ketika itu Raja Kek ada di Song-tian. Mendengar kota He-yag telah jatuh ke
tangan musuh, dia kaget sekali. Dengan tergersa-gesa dia tarik mundur tentaranya. Tentu saja
kesempatan ini tidak disia-siakan oleh bangsa Kian-jiong, mereka serang tentara Kek hingga
rusak berat, maka terpaksa mereka kembali ke negaranya. Begitu sampai di kota Siang Yang,
Raja Kek memerintahkan tentaranya menjaga keras kota itu. Tetapi dia sudah tidak punya
harapan bisa mengusir tentara Chin yang datang menyerangnya.
Kepungan yang dilakukan oleh tentara Chin sangat hebat. Dari mulai bulan delapan
sampai bulan duabelas, Siang-yang dikepung dengan ketat. Celakanya di kota Siang-yang
sudah mulai kekurangan makanan. Sudah beberapa kali Raja Kek mencoba menerobos keluar
dari kepungan. Tapi usahanya sia-sia saja.
Dengan demikian bukan saja tentaranya kelelahan, tetapi yang mati dan terluka
pun bertambah banyak. Rakyat menangis dan sangat menderita.
Mengetahui kedaaan musuh sudah sangat parah, Li Kek memerintahkan pada Ciu Ci
Kiao, agar bekas panglima Kek itu menulis surat untuk membujuk supaya Raja Kek mau
menakluk. Surat itu oleh Ciu Ci Kiao diikat pada sebatang panah, lalu dilepaskan ke dalam
kota. Setelah Raja Kek membaca surat itu, sambil menghela napas dia berkata, "Leluhur
pernah menjadi menteri Kaisar Ciu, bagaimana aku punya muka untuk menyerah kepada
seorang raja muda!" Untuk melawan sudah tidak mungkin. Dengan terpaksa dan mengajak semua
keluarganya, Raja Kek keluar kota hendak melarikan diri ke negara Ciu.
Ketika Li Kek mengetahui Raja Kek sudah kabur, dia tidak mengejar raja itu,
tetapi langsung masuk ke dalam kota Siang-yang. Li Kek dengan tegas melarang tentaranya
mengganggu harta maupun rakyat Siang-yang. Perintah ini membuat rakyat sangat bersyukur.
Kemudian Li Kek membuka gudang milik negara Kek, mengambil sepertiga harta dan memilih
wanita cantik. Semua itu dia serahkan kepada Raja Gi sebagai hadiah. Dengan cepat kota
Siang-yang tentram kembali. Berbagai hadiah dari Li Kek kepada Raja Gi sebenarnya seperti umpan berbahaya.
Tetapi karena Raja Gi sangat tolol, dia malah girang bukan main. Diam-diam Li Kek
mengirim orang melapor pada Raja Chin.Dengan sengaja Li Kek suatu hari menyebar khabar
bohong. Dia katakan dia sakit keras dan belum bisa pulang ke negaranya. Mendengar Li Kek
sakit Raja Gi setiap hari mengirim obat dan menanyakan kesehatannya. Dengan begitu
satu bulan telah lewat. Pada suatu hari tiba-tiba datang juru kabar melapor kepada Raja Gi.
"Raja Chin bersama angkatan perangnya datang dan telah masuk ke perbatasan
negara Gi!" kata pelapor itu. "Apa maksud kedatangan Raja Chin kemari?" tanya Raja Gi.
"Katanya Raja Chin khawatir tentaranya yang menyerang negeri Kek tidak berhasil,
maka dia datang akan membantu!" kata si pelapor itu.
"Akh kebetulan," kata Raja Gi. "Tadinya aku akan datang ke negeri Chin untuk
mempererat persahabatan. Malah sekarang dia datang! Ini sungguh kebetulan!"
Raja Gi mengadakan penyambutan. Pertemuan mereka sangat menggembirakan kedua
belah pihak. Segera juga raja Gie perintahkan tentaranya pergi menemui raja Chin,
pertemuan mana akan menggirangkan pada kedua pihak. Raja Chin Hian Kong mengajak Raja Gi pergi
berburu di gunung Ki-san.
Raja Gi sedikit pun tidak curiga malah dia sengaja memamerkan kekuatan
tentaranya. Dia tunjukkan kereta-kereta perang dan pasukan berkudanya pada Raja Chin. Mereka
bersama- sama pergi berburu ke Ki-san. Saat mereka sedang asyik mengepung buruannya.
Datang khabar buruk, di kota Gi terjadi kebakaran besar.
"Akh celaka!" kata Raja Gi.
"O ini pasti ada penduduk yang alpa sehingga rumahnya terbakar," kata Raja Chin.
Anda tak perlu cemas!" Raja Gi mau pulang. Dia ingin tahu bagaimana terjadinya kebakaran tersebut.
"Tidak pelu cemas, pasti api akan segera padam! Mari kita teruskan saja
berburu," kata Raja Chin. Ketika Raja Gi memaksa akan pulang, Raja Chin tetap mengajak meneruskan
perburuan mereka. Karena tidak enak hati akhirnya Raja Gi setuju meneruskan berburu. Pek
Li He mendapat firasat kurang enak, dia bisiki Raja Gi.
"Karena di dalam kota terjadi kebakaran, Tuanku tidak boleh terlalu lama di
sini." kata Pek Li He. Raja Gi menngangguk setuju, dia pamit pada Raja Chin akan pulang lebih dulu.
Di tengah jalan Raja Gi melihat rakyatnya banyak yang melarikan diri.
"Hai kalian mau ke mana" Tunggu!" kata panglima tentara Gi.
"Kota sudah diduduki oleh tentara Chin! Kota sudah jatuh ke tangan bangsa Chin!"
kata mereka. Bukan main terkejutnya Raja Gi ketika mendengar teriakan itu. Dengan gusar dia
perintahkan tentaranya maju untuk bertempur. Sampai di depan kota, dia melihat di atas
loteng kota berdiri seorang panglima perang yang kelihatan angker sekali, panglima itu
ternyata Sun Sit adanya. "Dulu Tuanku telah meminjamkan jalan!" kata Sun Sit sambil tersenyum, "Sekarang
Tuanku meminjamkan negeri Gi, sungguh aku harus mengucapkan banyak terima kasih pada
Tuanku." Sindiran itu membuat Raja Gi murka sekali, segera perintahkan tentaranya hendak
melabrak pintu kota. Tetapi sebelum dia bisa berbuat apa-apa, di atas kota terdengar
suara letusan yang keras. Berbareng dengan itu berhamburan anak panah bagaikan hujan menyambar ke
arah tentara Gi. Terpaksa mereka harus mundur. Ketika Raja Gi memerintahkan orang
agar meminta pasukan kereta perangnya; dia mendapat jawaban, bahawa pasukan kereta
perangnya telah dihadang musuh. Hadangan ini memubuat tentara Gi banyak yang mati dan luka
parah. Sekarang Raja Gi terjepit di tengah-tengah kepungan musuh. Dia jadi serba salah,
maju salah mundur pun susah. "O celaka. Mengapa aku tak mau mendengar nasihat Kiong Ci Ki?" kata Raja Gi. "Li
He, mengapa kau tak menasihatiku?"
"Nasihat Ci Ki saja tidak diturut, apa Tuanku mau mendengar omongan hamba?" kata
Pek Li He. "Kenapa kau tak ikut kabur bersama Ci Ki?" kata Raja Gi.
"Aku ingin ikut Tuanku sampai mati!" kata Pek Li He. Kembali Raja Gi menarik
napas. Bab 17 Saat Raja Gi sedang terancam bahaya, mendadak dari belakang datang sebuah kereta
perang. Di kereta itu tampak Ciu Ci Kiao, panglima Kek yang menakluk pada Chin. Melihat
panglima itu Raja Gi jadi malu sendiri.
"Tuanku salah pilih, memutuskan persahabatan dengan Raja Kek," kata Ciu Ci Kiao.
"Akhirnya Tuanku celaka! Lebih baik Tuanku menyerah saja!"
Raja Gi bengong dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama Raja Chin bersama
tentaranya telah tiba. Dia minta agar Raja Gi menghadap kepadanya. Karena tidak punya
pilihan lain, terpaksa dia menemui Raja Chin.
"Kedatanganku ini, untuk mengambil sewa batu mustika dan kuda baikku!" kata Raja
Chin sambil tertawa. Kemudian dia perintahkan anak buahnya membawa Raja Gi ke kereta di belakang. Pek
Li He ikut terus dengan rajanya, sekalipun rajanya itu sudah ambruk. Raja Chin masuk
kota. Dia disambut oleh Sun Sit yang tangan kirinya memegang batu giok dan tangan kanannya
menuntun kuda Raja Chin. "Siasat hamba berhasil mengecoh Raja Gi, sekarang kedua barang ini hamba
kembalikan kepada Tuanku," kata Sun Sit.
Raja Chin Hian Kong girang sekali, dia memuji kepandaian Sun Sit.
Setelah mengamankan negeri Gi, Raja Chin kembali sambil membawa Raja Gi ke
negaranya. Sampai di negeri Chin sang raja memerintahkan agar Raja Gi dihukum mati. Tetapi
Sun Sit mencegahnya. "Raja Gi seorang yang tolol, jangan dibunuh dia tidak berbahaya!" kata Sun Sit.
Raja Chin menurut. Raja Gi tidak jadi dihukum mati, malah diberi hadiah dan
dibiarkan tinggal di negeri Chin. Ciu Ci Kiao oleh Raja Chin diberi pangkat. Sedang Pek Li
He yang dipromosikan oleh Ciu Ci Kiao juga diampuni dan akan diberi pangkat. Tetapi Pek
Li He menolak tawaran Raja Chin lewat Ciu Ci Kiao itu.
"Kenapa Tuan menolak?" kata Ciu Ci Kiao.
"Aku akan tetap mengabdi kepada Raja Gi sampai akhir hayatnya. Sesudah beliau
mati, baru aku mau bekeja pada orang lain," kata Pek Li He.
Jawaban itu membuat Ciu Ci Kiao tersinggung. Dia sangat mendongkol.
"Seorang yang berbudi jika mau menyelamatkan diri, tidak akan bekerja pada
musuh. Apalagi menjadi bawahan musuh. Jika aku akan menjadi pejabat, pasti bukan di negeri
Chin!" kata Pek Li He. Mendengar ucapan itu Ciu Ci Kiao merasa tersindir oleh Pek Li He, sehingga
sangat mendongkol sekali. Dia ingin mencari jalan untuk memfitan Pek Li He.
** Ketika itu raja di negeri Cin yang bergelar Cin Bok Kong sudah bertahta enam
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun lamanya. Karena belum punya permaisuri maka dia minta Tay-hu Kong-ci Ci pergi ke
negeri Chin. Dia diminta meminang puteri sulung Raja Chin bernama Pek Ki, sebenarnya
adik Pangeran Sin Seng. Lamaran itu oleh Raja Chin Hian Kong diterima baik. Ci pulang akan memberi kabar
pada rajanya. Di tengah perjalanan Kong-cu Ci melihat seorang bermuka merah,
berewokan. Dengan kedua tangannya orang itu membenamkan cangkulnya. Kemudian dia menantang.
"Siapa yang bisa mengangkat cangkulku ini!" kata orang itu.
Beberapa orang yang tertarik lalu mencobanya, tetapi tidak seorang pun yang
mampu mencabut cangkul itu dari tanah.
Menyaksikan kekuatan orang itu, Kong-cu Ci sangat kagum, dia hampiri orang itu.
Lalu dia memberi hormat dan bertanya.
"Sobat, siapa she dan nama?"
"O, baik," sahut itu orang. "Aku she (marga) Kong-sun, namaku Ci alias Chu Song,
aku ini keponakan luar dari Raja Chin."
"Kau pandai dan kuat, mengapa kau tinggal di sini?" tanta Kong-cu Ci.
"Ya, apa boleh buat," kata Kong-sun Ci sambil menghela napas. "Aku tak ada yang
memimpin!" "Maukah kau ikut aku jalan-jalan ke negeri Cin." Tanya Kong-cu Ci.
"Jika Tuan tidak keberatan, memang aku sangat ingin ke sana."
Dengan girang Pangeran Ci mengajak Kong-sun Ci naik di keretanya, mereka segera
menuju ke negeri Cin. Sampai di negeri Cin, Pangeran Ci memberitahu Raja Cin Bok Kong.
"Lamaran Tuanku diterima," kata Pangeran Ci. "Di perjalanan pulang aku bertemu
dengan orang gagah bernama Kong-sun Ci!"
Raja Cin Bok Kong senang sekali, Kong-sun C diangkat menjadi pembantunya.
Kemudian Raja Cin Bok Kong mengutus Pangeran Ci mengantar bingkisan dan menyambut
pengantin perempuan Pek Ki ke negeri Chin. Kedatangan Pangeran Ci disambut gembira oleh
Chin Hian Kong. Kepada menterinya Chin Hian Kong lalu bertanya.
"Siapa di antara kalian yang bersedia mengantar puteriku ke negeri Cin?" kata
Chin Hian Kong. Mendengar Raja Chin bertanya begitu, timbul ide jahat dari Ciu Ci Kiao
ingin menyingkirkan Pek Li He dari negeri Chin. Buru-buru Ciu Ci Kiao menghadap. Dia
berkata dengan perlahan pada Raja Chin.
"Pek Li He tidak mau bekerja pada Tuanku, hamba khawatir dia berniat jahat!
Lebih baik Tuanku kirim dia untuk mengantar puteri Tuanku ke negeri Cin. Bagaimana pendapat
Tuanku?" kata Ciu Ci Kiao.
Raja Chin Hian Kong setuju atas usul itu. Maka dia perintahkan Pek Li He ikut
mengantar pengantin perempuan ke negeri Cin. Mendapat perintah itu Pek Li He jadi berduka.
Dia menghela napas panjang pendek.
"O Tuhan! Buruk benar nasibku ini. Aku siap menjadi menteri untuk mengatur
negara. Tidak kusangka, sekarang aku diberi pekerjaan hina ini. Tidak beda aku ini seperti
seorang prajurit atau seorang gundik. Aku sudah tua, tapi belum juga menemukan junjungan yang
bijaksana. Sungguh malang nasibku," keluh Pek Li He.
Dia tahu tugas itu tidak bisa ditolak, maka menangislah dia. Tapi dia jalankan
juga tugas itu. Di tengah perjalanan Pek Li He minggat meninggalkan robongan pengantin itu.
"Aku harus ke negeri Song," pikir Pek Li He. "Tetapi bagaimana jika aku
dihadang?" Karena ragu-ragu dia batalkan ke negeri Song. Akhirnya dia memilih kabur ke negeri
Couw. Ketika Pak Lie He sampai di kota Wan-shia, saat itu penduduk Wan-shia sedang
berburu. Orang-orang itu curiga lalu menangkap Pek Li He. Kemudian mereka ikat.
"Aku orang dari negeri Gi," kata Pek Li He memberi keterangan, "sebab negeriku
sudah musnah, maka aku menyingkir dan sampai di sini."
"Kau bisa apa?" tanya orang dusun itu.
"Aku mengerti merawat kerbau," sahut Pek Li He. Orang dusun segera membuka
ikatan pada tubuh Pek Li He, mereka ajak Pek Li He pulang ke rumah mereka. Dia diperintah
supaya merawat kerbau orang dusun itu. Ternyata Pek Li He memang pandai merawat kerbau,
makin hari kerbau-kerbau mereka jadi makin gemuk. Orang-orang dusun itu sangat sayang
kepadanya. Kepandaian Pek Li He merawat kerbau tersiar ke mana-mana. Suatu hari Raja Couw
mendengar tentang kepandaian Pek Li He ini. Dia sangat tertarik, karena ingin
mendapat seorang perawat kuda. Dengan cepat Raja Copuw memerintahkan orangnya memanggil
Pek Li He. Sesudah sampai di ibukota Couw; Raja Couw menyuruh Pek Li He menjadi
penggembala kuda di Lam-hay.
** Tatkala Raja Cin Bok Kong menerima kedatangan pemaisurinya, sesudah menjalankan
adat- istiadat sebagaimana mestinya, dia membuka surat Raja Chin. Ketika dia baca,
Raja Chin memberitahu bahwa Pek Li He menjadi pengantar pengantin, tetapi orangnya tidak
ada. Raja Cin jadi heran sekali. "Siapakah Pek Li He itu?" tanya Cin Bok Kong pada Kong-cu Ci.
"Bekas menterinya negeri Gi," jawab yang ditanya. "Di tengah jalan dia melarikan
diri dari rombongan, tidak ketahuan entah ke mana perginya."
Raja Cin Bok Kong menoleh ke arah Kong-sun Ci sambil berkata: "Chu Song tinggal
di negeri Chin, paling sedikit tahu siapa Pek Li He itu?"
"Dia seorang yang bijaksana," kata Kong-sun Ci. "Dia tahu Raja Gi tidak bisa
diberi nasihat, dia biarkan saja. Dia pandai dan setia. Dia ikut Raja Gi dibawa ke negeri Chin.
Tetapi pendiriannya teguh, ketika oleh Raja Chin ditawari jabatan, dia menolak. Dia
hamba yakin bisa mengurus negara, hanya sayang....Sekali lagi sayang dia belum bertemu
dengan seorang junjungan yang bijaksana."
"Apa kau kira aku bisa mendapatkan dia atau tidak?" kata Raja Cin.
"Hamba dengar kabar keluarganya tinggal di negeri Couw, coba Tuanku perintahkan
orang mencarinya ke sana!" kata Kong-sun Ci.
Raja Cin Bok Kong girang sekali. Saat itu juga dia perintahkan seorang anak
buahnya pergi ke negeri Couw untuk mencari Pek Li He.
Selang beberapa bulan suruhan Raja Cin kembali. Dia langsung memberi laporan
pada Raja Cin Bun Kong. "Hamba bertemu dengannya. Dia ada di tepi pantai Lam-hay (Laut Selatan)." kata
utusan itu. "Apa kerjanya?" tanya Raja Cin.
"Dia bekerja pada Raja Couw sebagai penggembala kuda!" kata si utusan.
Raja Cin Bok Kong kaget. Dia sangat menyayangkan kepandaian orang itu.
"Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan dia" Jika kuantarkan bingkisan ke Raja
Couw, maukah dia menyerahkan Pek Li He padaku?" kata Raja Cin.
"Tidak, pasti Pek Lie He tidak akan datang."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Raja Cin Bok Kong heran.
"Karena Raja Couw tidak tahu kepandaian Pek Li He itu apa, maka dia menyuruhnya
menggembalakan kuda. Tetapi, jika Tuanku membawa bingkisan yang sangat berharga
untuk ditukar dengan Pek Li He, pasti dia curiga dan keheranan. Cara Tuanku, sama saja
dengan Tuanku akan memberitahu Raja Couw bahwa Pek Li He sangat berharga. Jika sudah
tahu Pek Li He pandai, pasti dia mau memakainya sendiri. Mana mau menyerahkannya kepada
Tuanku!" kata Kong-sun Ci.
"Oh, oh . . . ya aku mengerti!" kata Raja Cin Bok Kong sambil manggut-manggut.
"Karena itu," kata pula Kong-sun Ci yang meneruskan bicaranya, "lebih baik
gunakan alasan bahwa dia telah berdosa, pada saat mengantarkan pengantin perempuan dia telah
kabur. Dengan Tuanku hanya memberi sedikit bingkisan saja, pasti Raja Couw girang.
Sedang rahasia kepandaian Pek Li He tetap rahasia. Ini siasat yang pernah dipakai oleh
Koan Tiong saat kabur dari megeri Louw."
Raja Cin Bok Kong setuju pada rencana Kong-sun Ci, dan memerintahkan anak
buahnya mengantarkan beberpa lembar kulit kambing untuk dihadiahkan pada Raja Couw.
Berangkatlah utusan Raja Cin. Sesampai di negeri Couw, saat menghadap pada Raja
Couw utusan itu melapor. "Hamba utusan negeri Cin, Raja hamba bilang ada orang bernama Pek Li He. Saat
dia mengantar calon permaisuri Raja Cin, telah kabur dari rombongan pengantin. Raja
kami hendak menangkap dia untuk dihukum. Ini untuk contoh bagi menteri lain agar dia
tidak lalai saat menjalanlan tugasnya. Sebagai tebusan hamba bawa lima lembar kulit kambing
terbaik untuk Tuanku." kata si utusan.
Sebenarnya Raja Couw sayang pada Pek Li He yang dia tahu pandai merawat
binatang, tetapi karena khawatir Raja Cin marah, jika dia tolak permintaannya. Ditambah lagi apa
artinya seorang gembala kuda. Maka dia perintahkan anak buahnya agar pergi ke Lam-hay
untuk menangkap Pek Li He akan diserahkan kepada utusan Raja Cin. Saat di Lam-hay Pek
Li He senantiasa bersikap baik, saat ditangkap tentu saja kenalannya di tempat itu
sangat kaget. Mereka juga khawatir kalau Pek Li He akan dihukum berat. Mereka semua menangis.
Pek Li He malah tertawa dan berkata, "Aku dengar, Raja Cin punya niat ingin
menjadi raja jago, untuk apa seorang pengantar pengantin" Raja Cin memintaku pada Raja Couw,
pasti dia perlu memakaiku. Kali ini aku beruntung, mengapa kalian malah menangis?" kata
Pek Li He. Sehabis berkata begitu dia masuk ke dalam kerangkeng pesakitan, dan segera
dibawa pergi. Raja Couw menyerahkannya pada utusan Cin yang membawanya pulang ke negeri Cin.
Ketika hampir sampai di daerah Cin, Pek Li He disambut oleh Kong-sun Ci atas
perintah Raja Cin. Pek Lie He langsung dikeluarkan dari krangkeng oleh Kong-sun Ci, dan
langsung diajak menemui Raja Cin. Ketika bertemu dan melihat Pek Li He sudah tua, Raja Cin Bok Kong agak kecewa.
"Sekarang kau sudah umur berapa?"
"Tujuh puluh tahun," sahut Pek Li He.
"Oh, sayang. Sudah tua." kata Raja Cin Bok Kong sambil menghela napas.
"Jika Tuanku mau menyuruh hamba mengejar burung yang terbang atau menangkap
binatang buruan; hamba memang sudah terlalu tua. Jika untuk mengurus urusan di dalam
negeri, maka hamba masih mampu dan bisa dianggap masih muda!" kata Pek Li He.
Raja Cin Bok Kong mengangguk.
"Dulu Lu Siang atau yang biasa disebut Kiang Tay Kong sudah berumur 80 tahun,
kerjanya duduk sambil memancing ikan. Baginda Bun Ong mengajak dia dan mengangkatnya
menjadi Siang-hu (Menteri negara). Hingga beliau bisa membangun Kerajaan Ciu, dan
membentuk Dewan Kerajaan Ciu sampai sekarang berdirinya. Jika usia hamba dibandingkan
dengan Lu Siang, hamba justru masih lebih muda 10 tahun." kata Pek Li He lagi.
Raja Cin Bok Kong terperanjat setelah mendengar perkataan Pek Li He. Wajah Raja
Cin yang tak dingin kini berubah jadi ceria.
"Letak negaraku berada di antara negara Tek dan Jiong," kata Raja Cin. Aku tidak
berserikat dengan Tiongkok, apa Anda bisa membantuku?" kata Raja Cin.
"Dalam masalah apa?" tanya Pek Li He.
"Aku ingin kau membantuku agar derajat negeriku setingkat dengan negara lain.
Apalagi lebih baik dari mereka!" kata Raja Cin.
"Jika Tuanku tidak mencela hamba, seorang tawanan dari negeri yang sudah musnah.
Tentu dengan sekuat tenaga hamba bersedia membantu," kata Pek Li He.
"Nah, aku harus mulai dari mana?" kata Raja Cin.
"Tanah Yong-ki tempat pertama Bun Ong bergerak. Gunungnya berjajar bagaikan gigi
anjing, tanahnya subur. Kerajaan tidak sanggp menjaganya dan menyerahkannya pada
Kerajaan Cin, ini suatu berkah." kata Pek Li He.
Raja Cin tersenyum hatinya senang.
"Negara Cin terletak di antara bangsa Jiong dan Tek maka angkatan perangnya
teguh, tidak turut berserikat dengan Tiongkok, maka tenaga terkumpul," begitu kata Pek Li He.
"Sekarang di antara tempat-tempat bangsa Jiong dan Tek bisa dikatakan negara kecil. Jika
negara itu direbut, berguna untuk persawahan. Jika rakyatnya dijadikan tentara, maka hamba
yakin Raja- raja muda di Tiongkok tak akan bisa menandinginya. Hamba yakin, Tuanku bisa
menjadi jago!" Raja Cin girang bukan main.
"Aku senang seperti Raja Cee mendapatkan Koan Tiong!" kata Raja Cin.
Secara beruntun selama tiga hari Raja Cin berdiskusi dengan Pek Li He. Semua
pertanyaan
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Cin selalu dijawab dengan baik oleh Pek Li He. Kemudian Raja Cin akan
mengangkatnya menjadi Sin-siang (Perdana Menteri) di negeri Cin.
"Jangan, hamba belum pantas memangku jabatan itu. Kepandaian hamba masih kalah
oleh Kian Siok, jika Tuanku mau mengangkat dia, hamba akan membantu Tuanku." kata Pek
Li He. "Kepandaian Anda sudah aku uji dengan seksama, tetapi aku belum kenal siapa Kian
Siok?" kata Raja Cin ragu-ragu. "Kepandaian Kian Siok memang belum orang dengar, bahkan Raja Cee maupun Raja
Song pun belum mengetahuinya. Hanya hamba yang tahu. Baik akan hamba ceritakan pada
Tuanku tentang dia." kata Pek Li He. Sesudah berdiam sejenak dia mulai bercerita.
"Hamba pernah mengembara di negeri Cee. Ketika hamba hendak bekerja pada
Pangeran Bu Ti, tetapi Kian Siok mencegah. Maka hamba tinggalkan negeri Cee. Dengan demikian
hamba bebas dari bencana bersama Pangeran Bu Ti oti. Lalu hamba ke negeri Ciu. Ketika
hamba akan bekerja pada Ong-cu Tui, sekali lagi hamba dicegah oleh Kian Siok. Dengan
demikian hamba pun bebas dari bencana saat Ong-cu Tui dibinasakan. Akhirnya hamba pulang
ke negeri Gi. Hamba sangat miskin, terpaksa bekerja pada Raja Gi, sekalipun Kian
Siok mencegah hamba juga. Selanjutnya Raja Gi ditawan oleh Raja Chin, sampai akhirnya
hamba mendapat perintah untuk mengantarkan pengantin perempuan. Hamba kurang senang
kemudian kabur dan bekerja di negeri Couw. Coba Tuanku bayangkan. Selama hamba
ikuti sarannya, hamba selalu selamat. Ketika hamba mebangkang, hampir saja hamba
binasa. " "O, ada di mana Kian Siok sekarang?" kata Raja Cin Bok Kong girang.
"Sekarang dia ada di negeri Song, tepatnya di kampung Beng-yok-coan. Lekas
panggil dia sebelum direbut oleh orang lain!" kata Pek Li He.
Raja Cin Bok Kong memerintahkan Pangeran Ci menyamar menjadi pedagang, sambil
membawa bingkisan berharga dia mencari Kian Siok di negeri Song. Pek Li He
menitipkan sepucuk surat kepada Pangeran Ci untuk disampaikan kepada Kian Siok. Sesudah
Pangeran Ci membereskan bingkisan yang akan dibawa, segera dia berangkat dengan naik
kereta menuju ke kampung Beng-yok-coan.
Ketika utusan Cin itu sampai di kampung tersebut, ia bertemu dengan beberapa
petani sedang duduk berdendang di atas gili-gili sawah, mereka sedang menyanyi begini kata-
katanya: "Di gunung tinggi, tidak ada joli pikulan.
Di jalan remang-remang, tiada lilin penerangan.
Ramai-ramai diam di sini, airnya bagus tanahnya subur sudah pasti.
Rajinkan kaki-tangan, untuk mendapat penghasilan.
Tiga waktu tidak ada bahaya, makanan berkecukupan.
Senanglah dengan takdirnya Allah, tidak dapat kemuliaan atau kehinaan."
Pangeran Ci diam di atas keretanya. Setelah mendengar nyanyian itu, dia tahu
maksud nyanyian itu, Kian Siok tidak suka ikut campur urusan dunia, lalu dia menghela
napas dan berkata, "Pepatah tua mengatakan - di kampung ada orang budimannya segala
kebiasaan yang buruk jadi berubah. - Sekarang baru saja sampai di kampung Kian Siok, para
petani seperti orang terhormat, kalau begitu pasti Kian Siok seorang pandai."
Pangeran Ci memerintahkan kusir agar menghentikan keretanya. Dia hampiri petani-
petani itu. "Sahabatku aku mohon bertanya, rumah Kian Siok di mana?", kata Pangeran Ci.
"Sahabat menanyakan dia, ada keperluan apa?" kata seorang petani.
"Sahabatnya yang bernama Pek Li He, mengirim surat dan menitipkannya padaku
untuk disampaikan kepadanya." kata Pangeran Ci.
Petani itu menunjuk ke satu arah. "Tuan jalan terus ke sana. Sesudah menemukan
hutan bambu dan mata air yang ada batu besarnya, di situ ada gubuk kecil. Itulah rumah
belia!" kata si petani. "Terima kasih, " kata Pangeran Ci.
Pangeran Ci meneruskan pejalanannya. Setengah li kemudian sampailah dia di
tempat yang ditunjukan si petani. Dia berhentikan keretanya di depan rumah gubuk itu dan
memerintah pengikutnya untuk mengetuk pintu. Tidak lama pintu terbuka, keluar seorang anak
kecil dan bertanya pada Pangeran Ci.
"Sahabat dari mana?"
"Kedatanganku hendak mencari Kian Sian-seng," sahut Pangeran Ci.
"Tuan hamba tidak ada di rumah."
"Pergi ke mana beliau?"
"Bersama beberapa orang tua tetangga di sini ia pergi memeriksa mata air di Sek
Liang, sebentar lagi ia pulang."
Pangeran Ci tidak berani sembarangan masuk. Dia duduk di atas sebuah batu besar
menunggu. Anak kecil itu segera menutup separuh pintu itu, dan terus masuk lagi
ke dalam rumah. Sesaat kemudian dari arah barat di galangan sawah kelihatan seseorang berjalan
mendatangi, orang itu alisnya kereng, matanya jeli, mukanya bundar dan tubuhnya tinggi dan
tegap, sedang di bahunya terpanggul dua potong kaki menjangan. Melihat dari parasnya
orang itu bukan orang sembarang. Pangeran Ci bangun akan menyambut kedatangan orang itu.
Orang itu menaruh kaki menjangan itu di tanah, baru memberi hormat kepada Pangeran Ci.
"Congsu (Anda) she apa dan siapa nama Anda?" kata Pangeran Ci..
"Aku she Kian namaku Peng alias Pek It," jawab orang itu.
"Kian Siok dengan anda pernah apa?"
"Dia Ayahku." "O, syukurlah. Aku hendak cari Kian Sian Seng."
"Ciok-he (Tuan) orang mana" Ada urusan apa hendak mencari Ayahku?"
"Sahabat Ayah Anda yang bernama Pek Lie H, sekarang menjadi menteri di negeri
Cin, dia mengirim surat untuk Ayah Anda." kata Pangeran Ci.
"O, begitu! Harap Tuan sudi masuk ke gubukku dan duduk sebentar, aku rasa tidak
lama lagi Ayahku pasti datang."
Sehabis berkata begitu, Kian Peng lalu mendorong daun pintu dan menyilakan
Pangeran Ci masuk ke dalam rumah itu. Sementara tamunya sudah masuk, Kian Peng mengambil
kaki menjangan itu. Dia masuk sampai di dalam dia disambut oleh seorang bocah.
"Silakan duduk," kata Kian Peng pada Pangeran Ci.
"Terima kasih," jawab Pangeran Ci.
Tidak lama mereka sudah mulai asyik berbincang, dari soal ilmu silat, sampai
masalah pertanian. Pokoknya ngalor-ngidul mereka bicara. Tidak lama Pangeran Ci disuguhi
secangkir teh harum. "Nak kau lihat-lihat di luar, barangkali Tuan Besar pulang!?" kata Kian Seng.
Selang beberapa jam kemudian, baru anak tadi datang menghadap dan memberi tahu
bahwa Kian Siok sudah pulang. Kian Peng berpesan kepada Pangeran Ci duduk saja, sedang
Kian Peng keluar menemui ayahnya, lalu dia ceritakan tentang maksud kedatangan tamu
itu. "Sekarang dia ada di dalam sedang menunggu kedatangan Ayah," kata Kian Peng
mengakhiri ceritanya. Kian Siok dan dua temannya segera masuk ke pertengahan rumah.
Pangeran Ci buru-buru menyambut kedatangannya. Sesudah saling memberi hormat lalu mereka
semua duduk. "Barusan anakku bilang, bahwa adik angkatku Ceng Pek (maksudnya Pek Li He),
berkirim surat padaku, mana suratnya?" kata Kian Siok.
Buru-buru Pangeran Ci menyerahkan surat itu pada Kian Siok. Secara singkat
Pangeran Ci juga menceriakan, apa yang dialami Pek Li He sebelum bekerja di negeri Cin.
"Malah saya berharap, Tuan juga mau datang ke negeri kami untuk membantu Raja kami," kata
Pangeran Ci. Koan Siok segera membaca surat dari sahabatnya itu. Sekarang Kian Siok baru tahu
orang yang ada dihadapannya itu utusan Raja Cin, ia minta maaf.
"Semula Tuan Pek Li He akan diberi jabatan sebagai Perdana Menteri oleh Raja
kami, tetapi Saudara Pek menolak." Kata Pangeran Ci.
"Kenapa begitu?" tanya Kian Siok.
"Dia bilang kepandaiannya kalah oleh Tuan, maka dia mengusulkan supaya Tuan yang
menjadi Perdana Menteri dan dia bersedia menjadi bawahan Tuan," kata Pangeran Ci
berterus terang. Kian Siok menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja," kata dia.
Kemudian Pangeran Ci menyerahkan berbagai hadiah dari Raja Cin kepada Kian Siok.
"Harap Tuan terima hadiah yang tidak berharga ini," kata Pangeran Ci.
"O terima kasih aku mendapat penghargaan seperti ini. Tetapi sayang aku tak bisa
ikut ke negeri Cin!" kata Kian Siok.
"Kenapa begitu, Tuan?" kata Pangeran Ci.
"Dulu karena Raja Gi tidak mau mendengar nasihat dari Pek Li He, maka
kerajaannya jadi runtuh, tetapi jika sekarang Raja Cin mau menggunakan orang pandai, seorang Pek
Li He saja sudah lebih dari cukup! Aku sudah tidak mau ikut campur urusan dunia, maka
hadian-hadiah ini harap kau bawa pulang lagi saja!" kata Kian Siok. "Sampaikan salam hormat
dan ucapan terima kasihku pada Raja Cin!"
"Hamba dengar Pek Li He pun tidak mau tinggal di negeri Cin, kalau Tuan tidak
mau tinggal bersamanya. Harap hal ini Tuan pertimbangkan...." kata Pangeran Ci.
Kian Siok diam, dia berpikir seketika lamanya, kemudian dengan menghela napas ia
berkata: "Pek Li He seorang pandai, hanya belum sempat kepandaiannya itu dia gunakan. Dia
sudah berulang kali bekerja, tetapi mendapat majikan yang tidak bijaksana. Baiklah,
aku bantu dia tetapi hanya untuk sementara saja." kata Kian Siok.
Sementara itu si bocah memberi tahu bahwa sup kaki menjangannya sudah matang.
Kian Siok mengajak Pangeran Ci dan dua orang tua tetangganya duduk bersantap
bersama- sama. Sambil makan mereka berbincang-bincang terus sampai langit sudah gelap
baru mereka bubaran. Malam itu Pangeran Ci bermalam di rumah Kian Siok. Esok paginya, dua orang tua
itu mengatur perjamuan sebagai ucapan selamat jalan. Pangeran Ci memuji kepandaian
Pek It, dia minta pada Kian Siok supaya mengajak Pek It bersama-sama pergi ke negeri
Cin. Kian Siok mengabulkan permintaan itu. Kemudian barang bingkisan Raja Cin, oleh
Kian Siok dibagikan pada kedua orang tua itu.
"Tolong kalian jaga dan lihat-lihat gubukku," kata Kian Siok.
Kedua orang tua itu berjanji akan memperhatikan pesan itu, dan mengucapkan
selamat jalan. Kian Siok mengucapkan selamat tinggal, segera dia naik ke kereta, sedang Kian
Peng atau yang disebut juga Pek It menjadi kusirnya. Pangeran Ci duduk di kereta yang satunya, dengan
merendengkan kereta itu dengan kereta Kian Siok mereka berangkat menuju ke
negeri Cin. Malam hari mereka bermalam di penginapan, siangnya mereka meneruskan perjalanan,
dengan begitu, akhirnya mereka tiba di perbatasan negara Cin. Pangeran Ci
meneruskan perjalanan lebih dahulu, dia akan menemui Raja Cin Bok Kong untuk memberitahu,
bukan saja dia sudah berhasil mengundang Kian Siok, ia juga berhasil mengajak anaknya,
juga orang pandai yang bernama Kian Peng, yang menurut pendapatnya anak itu sangat gagah
perkasa. Khabar itu membuat Raja Cin Bok Kong sangat senang, dia minta pada Pek Li He
pergi untuk menyambut kedatangan Kian Siok dan anaknya itu. Tatkala Kian Siok sudah datang
dan naik ke tangga istana lalu menjalankan adat-istiadat seperti umumnya, Raja Cin Bok
Kong mempersilakan Kian Siok duduk.
"Pek Li He sering menceritakan bahwa Sian-seng sangat pandai, apa Tuan mau
membantuku untuk mengurus kerajaan ini?" kata Raja Cin Bok Kong. "Letak negeri Cin ada di
sebelah Barat, selain bertetangga dengan bangsa Jiong, Tek, ditambah lagi letak
tempatnya sangat berbahaya. Tetapi tentara Cin selain banyak, hamba rasa sangat kuat. Jadi baik
maju mau pun mundur tentara Cin cukup bisa diandalkan," kata Kian Siok mulai bicara. "Tetapi
kekuatan itu belum Tuanku manfaatkan dengan baik dan belum Tuanku sempurnakan. Jadi bagaimana
Tuanku bisa menjagoi di seluruh Tiongkok?"
"Kegagahan dan kebajikan, di antara kedua masalah itu, yang mana yang harus
didahulukan?" kata Raja Cin. "Kebajikan menjadi dasar utama dan kegagahan pendukungnya. Punya kebajikan
tetapi tidak gagah dan angker, negaranya dipandang dari luar menjadi sangat lemah," kata Kian
Siok.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Demikian juga kegagahan tanpa kebajikan, maka rakyat di dalam negeri akan payah
dan tidak teguh." "Jika aku hendak membangun kebajikan dan keangkeran, aku harus bagaimana hingga
bisa berhasil?" kata Raja Cin.
"Kehidupan di negeri Cin sudah berbaur dengan adat kebiasaan bangsa Jiong,
sehingga rakyat Cin jarang sekali yang kenal adat-istiadat maupun pendidikan." kata Kian Siok.
"Lantaran tingkat dan derajat tidak tertata benar, maka kemuliaan dan kerendahan
tidak kelihatan jelas. Jika Tuanku setuju, hamba mohon Tuanku membantu bidang
pendidikan dulu. Supaya rakyat terdidik dan tahu adat-istiadat. Kemudian ajari mereka budi-
pekerti. Jalankan hukum dengan baik dan adil, sehingga mereka tahu aturan dan tata tertib
berbangsa dan bernegara. Contoh Koan Tiong dia mampu menegakkan hukum denga baik, sehingga
rakyat taat pada hukum!" "Jika semua yang Tuan katakan sudah terlaksana, jadi aku bisa langsung merebut
kedudukan menjadi seorang jagoan?" kata Raja Cin.
"Jangan! Jangan dulu!" kata Kian Siok. "Untuk menjadi orang terkenal di dunia,
dia harus tahu dulu tiga macam pantangan. Pertama jangan serakah, yang kedua jangan
berangasan dan yang ketiga tidak boleh terburu nafsu. Jika kita serakah akan banyak kehilangan,
jika berangasan akan mendapat kesulitan, jika terburu nafsu akan tergelincir!"
Raja Cin mengangguk kagum. Kemudian Kian Siok melanjutkan.
"Ketika kita mengikhtiarkan sebuah masalah besar maupun kecil, jangan tamak atau
serakah, waktu menimbang perbuatan orang lain atau diri sendiri, jangan berangasan atau
mudah marah, waktu menjalankan sesuata urusan, jangan terburu nafsu.
Manakala Tuanku bisa memegang tiga pantangan itu, boleh dibilang Tuanku hampir
bisa menjadi jago di Tiongkok!" kata Kian Siok.
"Baik, akan aku perhatikan apa yang kau katakan itu. Kemudian selanjutnya
bagaimana?" kata Raja Cin. "Sekarang Raja Cee sudah tua, kegagahan dan keangkerannya sudah mulai pudar!"
kata Kian Siok. "Jika Tuanku bisa mengamankan Yong-wi dari gangguan bangsa Jiong, dan
mereka tunduk benar kepada kekuasaan Tuanku, maka pekerjaan Tuanku akan bertambah
ringan. Saat itu siapkan angkatan perang yang kuat untuk membereskan semua kekacauan di
Tiong-goan (maksudnya Tiongkok), akhirnya Tuanku bisa meneruskan kekuasaan Raja Cee untuk
menyiarkan kebajikan dan kewajiban, dengan begitu sekalipun Tuanku tidak ingin
disebut jago, tetapi pasti Tuanku akan mendapatkan gelar tersebut!"
Bukan main senangnya Raja Cin. Malah dia angkat Kian Siok dan Pek Li He menjadi
dua menteri besar, yang satu menjadi perdana menteri dan yang lain wakilnya. Sejak
kedua perdana menteri dan wakilnya mengurus pemerintahan di negri Cin, perlahan-lahan
negeri itu menjadi semakin maju dan teguh saja Pangeran Ci pun mengajukan Se Kip Sut pada
Raja Cin yang juga dijadikan pembantu di negara Cin.
Tentang diangkatnya Pek Li He menjadi wakil Perdana Menteri, telah ramai
dibicarakan oleh rakyat Cin, sehingga Touw-si, istri Pek Li He, yang pada waktu itu menjadi
seorang tukang cuci pakaian di negeri Cin, girang. Dia ingin sekali bisa bertemu dengan
suaminya. ** Semula Pek Lie He alias Ceng Pek orang asal negeri Gi. Ketika berumur 30 tahun,
dia menikah dengan seorang wanita she (marga) Touw. Mereka telah punya seorang anak
laki- laki. Pek Li He sangat miskin dan tidak punya pekerjaan. Suatu hari dia bilang pada
isterinya akan mengembara, maksudnya akan mencari pekerjaaan. Tetapi Pek merasa berat
meninggalkan isterinya yang tidak bersanak saudara lagi.
Melihat suaminya ragu, Topuw-si, isteri Pek membesakan hati suaminya.
"Suamiku, aku tahu seorang laki-laki punya cita-cita yang luhur," kata Touw-si.
"Jika semasa kau masih gagah dan tidak pergi mencari pekerjaan, kapan lagi" Apa kau pikir aku
senang jika kau tetap menjagaiku, tetapi kita hidup sengsara" Biar aku menanggung
susah, aku bisa mencari nafkah sendiri."
Mendengar ucapan isterinya, Pek terharu. Tetapi dia mencoba menguatkan hatinya
dan akan pergi mengembara ke negeri orang. Ketika Pek Li He akan pergi mengembara, mereka
hanya memiliki seekor ayam biang. Karena ingin mengucapkan selamat jalan, isterinya
memotong ayam yang semata wayang itu. Ketika akan masak nasi, karena beras tidak ada dia
memasak Hong-kiu. Kesulitan lain, dia tidak punya kayu bakar. Terpaksa salah satu
jendela rumah mereka dikorbankan untuk dijadikan kayu bakar. Demikian miskinnya mereka.
Sesudahmasakan matang laludisajikan untukmakan bersama-sama.
Dengan hati seperti diiris-iris karena sedihnya, Pek Li He terpaksa makan.
Mereka saling berpelukan sambil menangis sedih, baru Pek meninggalkan anak dan isterinya.
Sejak suaminya mengembara, Touw-si bekerja menenun untuk mencari nafkah. Sungguh
malang pada suatu hari datang bahaya kelaparan melanda negeri itu. Terpaksa
Touw-si meninggalkan kampung halamannya, mencari penghidupan yang baru dan lebih baik.
Mereka hidup terlunta-lunta. Touw Si mengajak anaknya pergi di berbagai tempat,
dan akhirnya sampai di negeri Cin. Di sini dia bekerja menjadi seorang tukang cuci.
Anaknya yang bernama Pek Si alias Beng Beng, atau yang biasa juga disebut Beng Beng Si,
setiap hari bersama orang-orang kampung pergi berburu atau belajar silat, sehingga dia jadi
pandai sekali dalam ilmu silat dan jadi seorang yang gagah perkasa.
Ketika Pek Li He oleh Raja Cin diangkat menjadi wakil Perdana Menteri di negri
Cin, Touw- si mendengar khabar itu. Dia senang bukan main. Bahkan Touw-si pun sudah pernah
melihat Pek Li He ketika naik kereta, tetapi dia belum berani mengakui bahwa orang yang
naik kereta itu suaminya.Untuk membuktikan dugaannya dan supaya tidak salah, Touw-si datang
ke gedung wakil perdana menteri itu. Dia melamar kerja untuk menjadi tukang cuci di
gedung yang dia duga milik suaminya itu.
** Pada suatu hari...... Pek Li He sedang duduk di pertengahan rumahnya, sedang pemain musik sedang
beraksi di depan emper rumahnya. Menurut Touw-si itu adalah saat yang tepat baginya untuk
mencoba memperkenalkan dirinya. Atau lebih tepat dia ingin melihat pria itu dari dekat.
Kemudian kepada pemian musik Touw-si bilang, bahwa dia bisa menyanyi dan main
kim (siter Tiongkok). Pemain musik itu girang, dia melapor pada Pek Li He.
"Baik, boleh kau coba suruh dia menyanyi!" kata Pek Li He.
Touw-si yang diberitahu tentu saja girang sekali. Dia segera berpakaian rapi,
lalu berdiri di depan pemain musik. Kemudian dia mulai menyanyi:
"Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Waktu berpisah telah masak ayam biangsatu-satunya,
Menumbuk Hong-kiu dan membakar daun jendela sekeping,
Hari sudah beruntung melupakan aku yang merana!"
Pek Li He terkejut. Tetapi Touw-si meneruskan nyanyiannya:
"Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Ayahnya makan daging anaknya menangis sangat kelaparan,
Suami berpakaian bagus istri menjadi kuli yang paling susah,
O, sesudah beruntung melupakan aku yang merana!"
Pek Li He jadi semakin kaget dia awasi Touw-si yang sedang menyanyi. Tetapi
kembali Touw-si menyanyi lagi: "Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Dulu kau berangkat aku menangis mengantarmu,
Hari kau duduk enak aku terpisah di sampingmu,
Ya, Allah, sudah beruntung melupakan aku yang sengsara!"
"Tunggu! Hentikan dulu!" kata Pek Li He mencegah Touw-si menyanyi lagi. "Mari
sini aku mau bertanya kepadamu!". Touw-si datang menghampiri Pek. Sesudah berada dekat
dan berbincang-bincang, Pek Li He baru mengenali benar isterinya. Mereka saling
rangkul dengan sangat gembira. Mereka bertangisan berdua. Sesudah agak lama Pek Li He ingat
sesuatu. "Mana anak kita?" kata Pek. "Anak kita Beng Beng Si sedang berburu!" jawab sang
isteri. Pek Li He lalu mengutus orang mencari anaknya yang sedang berburu itu.
Bab 18 Berkat karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, keluarga yang terpecah-pecah itu kembali
berkumpul menjadi satu. Ketika Raja Cin Bok Kong sudah mendengar bahwa Pek Li He
sudah menemukan anak dan isterinya, Raja Cin girang sekali. Raja Cin mengirim
orang untuk mengucapkan selamat. Esok harinya..... Pagi-pagi sekali Pek Li He mengajak anak dan isterinya menghadap untuk
menghaturkan terima kasih kepada Raja Cin. Raja Cin girang dia mengangkat Beng Beng Si
menjadi pembantunya bersama Se Kip Sut dan Pek It Peng, mereka diberi gelar Ciang-kun
(Jenderal), untuk mengatur angkatan perang negara Cin.
Sementara itu raja bangsa Kian-jiong bernama Gouw Li telah berontak menyerang
negeri Cin. Untuk menghadapi bangsa Kian-jiong itu tiga jenderal Cin segera menghadapinya.
Karena hantaman dari Beng Beng Si dan dua jenderal lainnya, Raja Gouw Li mendapat
kerusakan besar, dan melarikan diri ke negeri Chin, sedang tanah Kwa-ciu segera menjadi
milik negara Chin. Kemudian Raja Cin Bok Kong mendapat lagi seorang pandai, orang itu bernama Yu
Ie, dengan kepandaiannya tentara Cin bisa menaklukan Cek Pan, raja bangsa Se-jiong.
Cek Pan adalah raja bangsa Jiong, sekian lama semua bangsa Jiong takluk di bawah
kekuasaan raja Se-jiong, tetapi setelah mendengar Cek Peng sudah takluk kepada
Raja Cin, semua bangsa Jiong tidak ada yang tidak merasa ngeri. Maka takluklah seluruh
bangsa Jiong pada Raja Cin. Sesudah Chin Hian Kong berhasil merampas negara Gi dan Kek, dua buah negeri,
semua orang Chin bersuka-ria. Hanya Li Ki saja yang merasa tidak senang, karena
sebenarnya ia ingin Pangeran Sin Seng yang pergi menyerang ke negeri Kek, supaya Sin Seng
terbunuh di medan peperangan. Tetapi tidak disangka malah Li Kek yang pergi menggantikan Sin
Seng, malah mendapat kemenangan.
Berulang-ulang Li Ki, sang permaisuri Raja Chin ini mencari akal untuk memfitnah
Pangeran Sin Seng, tetapi tidak punya kesempatan yang baik dan alasan yang masuk akal,
maka segera dia panggil Yu Si untuk diajak berunding.
"Li Kek masih sanak Pangeran Sin Seng," kata Li Ki, ketika Yu Si sudah datang
menemuinya, "pahalanya besar dan pangkatnya pun tinggi, maka kita tidak bisa
melawan dia! Apa kau punya ide yang bagus?"
"Sun Sit dengan hanya sebuah batu mustika dan seekor kuda telah bisa memusnahkan
negeri Gi dan Kek, jelas kepandaiannya lebih baik dibanding Li Kek." kata Yu Si.
"Bagaimana jika kita minta bantuan pada Sun Sit agar dia membantu Hee Ce, aku yakin dia akan
berhasil." Li Ki girang mendengar saran tersebut. Dia setuju hendak menjalankan ide Yu Si
tersebut. Tatkala Li Ki bertemu dengan Raja Chin Hian Kong, ia memohon supaya Sun Sit
diangkat menjadi pemimpin He Ce dan Tok Cu. Permohonan itu dengan senang hati dikabulkan
oleh Chin Hian Kong. Diam-diam Li Ki memanggil kekasih gelapnya, Yu Si, pada siapa dia berkata,
"Sekarang Sun Sit sudah menjadi kelompok kita. Tetapi jika Li Kek masih ada di istana, niscaya
ia akan menentang rencana kita. Apa akal kita untuk menyingkirkannya" Jika ia sudah
tidak ada, baru Li Kek bisa kita singkirkan."
"Cuma di luarnya saja kelihatan ia pandai, tetapi sebenarnya pikirannya tidak
tetap," sahut Yu Si. "Aku tahu Li Kek suka sekali minum arak, coba Hu-jin (Nyonya) tolong
bikinkan masakan kambing, aku akan bawa masakan itu dan arak yang baik untuk mengajak dia
makan-makan, jika dia bersedia bergabung itu rejeki Hu-jin!"
"Baik," kata Li Ki, yang segera membuatkan makanan dan minuman.
Sesudah semua tersedia, Yu Si pergi menemui Li Kek, pada siapa dia mengucapkan
selamat karena menang berperang dengan negeri Gi dan Kek. Kemudian ia memberi tahu bahwa
ia membawa sedikit arak dan makanan untuk makan bersama. Li Kek menerima baik
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajakan itu, bahkan dia sangat berterima kasih. Mereka lalu makan bersama. Sesudah makan dan
minum sampai setengah mabuk, baru Yu Si menari sambil bernyanyi:
"Pohon He Ie yang suram, tidak seperti Ouw-ouw yang bercahaya.
Semua berkumpul di tempat subur, cuma kau yang kering dan payah.
Yang subur tampak segar, yang kering menunggu kapak menebasnya.
Kapak berjalan hampir sampai, kau yang kering apakah tidak akan binasa?"
Li Kek tertawa sambil berkata, "Apa maksudmu, kau katakan yang subur dan yang
kering?" "Seumpama manusia," sahut Yu Si, "jika ibunya jadi Permaisuri, pasti putranya
nanti akan menjadi raja, yaitu sebagai pohon yang akarnya dalam dan cabangnya lebat, semua
burung suka datang dan hinggap. Maka itu dikatakan subur. Jika ibunya sudah meninggal
dunia, putranya pun tidak berharga, ia seperti pohon yang batangnya goyah dan daunnya
rontok, semua burung tidak suka singgah, karena itu dikatakan kering."
Sesudah mengucapkan perkataan itu, Yu Si lantas berpamitan dan terus pulang ke
rumahnya. Malam itu Li Kek tidak bisa tidur pulas, karena pikirannya tertarik oleh
nyanyian Yu Si. "Yu Si disukai, baik dari dalam istana maupun luar istana. Sehingga Yu Si bisa
bebas keluar masuk istana sekalipun terlarang." pikir Li Kek. "Pasti nyanyian yang dia
nyanyikan, bukan nyanyian sembarangan."
Semula Li Kek mau menunggu sampai esok pagi baru memanggil Yu Si untuk
menanyakan keterangan lebih jauh, tetapi karena pikirannya belum bisa tenang, dia jadi tak
sabaran. Sekalipun sudah tengah malam tidak urung dia perintahkan orangnya dengan diam-
diam memanggil Yu Si. Tidak lama Yu Si datang dan langsung masuk sampai ke tempat tidur Li Kek. Li Kek
minta agar Yu Si duduk di pembaringannya, dia usap -usap paha Yu Si sambil bertanya.
"Aku hampir menerka nyanyian yang kau nyanyikan itu, apakah itu bukan masalah
Kiok-ah" Coba kau jelaskan!" kata Li Kek.
"Sudah lama memang aku hendak memberitahu Tay-hu, tetapi karena takut Tay-hu
marah; karena Kiok-ah adalah tanggungjawabmu," kata Yu Si.
"Jika kau memberitahu masalah bahaya, hingga aku terbebas dari bahaya itu,
mengapa aku harus marah?" kata Li Kek.
Yu Si menundukkan kepalanya hingga menempel dengan bantal. Dia berbisik.
"Raja sudah meluluskan kehendakan Permaisuri untuk membunuh Sin Seng dan
mengangkat He Ce," bisik Yu Si.
"Apa kau tidak bisa mencegahnya?" tanya Li Kek dengan sangat terperanjat.
"Permaisuri bisa mempengaruhi Raja, sedang di luar dia dibantu oleh dua orang
she Ngo. Sekalipun aku cegah, apa mungkin bisa berhasil?" kata Yu Si.
"Aku tidak tega membunuh Pangeran Sin Seng, tetapi melawan Raja bersama Sin Seng
pun aku tidak berani! Jika aku pasif dan tidak ikut campur, apa aku masih bisa
selamat?" kata Li Kek. "Ya, mungkin! Dan itu yang paling benar." jawab Yu Si.
Sesudah mendengar jawaban itu Li Kek merasa lega hatinya, lalu dia persilakan Yu
Si pulang. Setelah fajar menyingsing keesokan harinya.....
Li Kek pergi berkunjung ke rumah Tay-hu Pi The Hu, Li Kek disambut oleh tuan
rumah dan disilakan duduk. Li Kek meminta agar semua pembantu Tay-hu Pi The Hu mundur
semuanya dari ruang tamu. Sesudah mereka tinggal berdua saja, dengan paras muka pucat
Li Kek berkata, "Tadi malam Yu Si datang memberitahuku, bahwa Cu-kong hendak
membunuh Pangeran Sin Seng dan hendak mengangkat He Ce."
"Bagaimana jawabanmu ke padanya?" tanya Pi The Hu dengan hati terguncang.
"Aku bilang aku berdiri di tengah. Tidak memihak!"
"Wah, celaka!" kata Pi The Hu. "Ucapanmu itu ibarat api disiram dengan minyak.
Seharusnya kau pura-pura tidak percaya. Pasti mereka ngeri terhadapmu. Kemudian kau perkuat
kedudukan Pangeran Sin Seng. Sesudah itu bujuk Raja agar dia mengubah niatnya.
Tetapi kau bilang kau netral, ini pasti berbahaya sekali bagi Pangeran Sin Seng yang tidak
punya dukungan!" kata Pi The Hu.
"O, celaka! Aku menyesal aku tidak berunding dahulu denganmu!" kata Li Kek
sambil membanting-banting kakinya.
Kemudian dia pamit pada Pi The Hu dan berjalan pulang. Tetapi ketika ia hendak
naik ke kereta dia pura-pura jatuh.
Esok harinya........ Li Kek bilang kakinya terluka parah, jadi tidak bisa datang ke istana.
** Dikisahkan Yu Si, sesudah mendapat jawaban dari Li Kek, buru-buru dia menemui Li
Ki. Dia sampaikan jawaban dari Li Kek pada Li Ki. Bukan main senangnya Li Ki mendengar
jawaban itu. Pada waktu malam, dengan senyum yang manis Li Ki berkata pada Chin Hian Kong:
"Si-cu sudah lama tinggal di Kiokah, kenapa Tuanku tidak memanggilnya" Coba Tuanku
panggil pulang, aku ingin berbuat baik kepadanya. Siapa tahu dia mau mengubah sikapnya
yang kurang baik." "Ya, jika pendapatmu begitu, baiklah," kata Chin Hian Kong. Memang dia selalu
menuruti saja kehendak jantung hatinya itu.
*** Esok harinya....... Benar saja Chin Hian Kong mengeluarkan perintah untuk memanggil Pangeran Sin
Seng pulang ke ibukota. Begitu menerima panggilan, Sin Seng langsung berangkat ke
ibukota. Dia langsung menemui Chin Hian Kong, sesudah dia menjalankan peradatan dia
menanyakan tentang kesehatan ayahnya. Baru kemudian dia masuk ke istana menemui Li Ki.
Dengan manis budi Li Ki menerima kedatangan Pangeran Sin Seng, kemudian mengatur
perjamuan. Li Ki menyambut Sin Seng dengan senang, seperti ibu yang sudah lama
tidak bertemu dengan putranya. Tetapi malamnya, ketika Li Ki bertemu dengan Chin Hian Kong, dengan air mata
berlinang- linang ia berkata, "Seperti sudah kukatakan kepada Tuanku, aku hendak mencoba
berbaikan dengan Pangeran Sin Seng, tapi .....sungguh menyesal. Mengapa Pangeran Sin Seng
begitu kurangajar!" "Apa yang terjadi?" tanya Raja Chin dengan terperanjat.
"Aku mengajak Pangeran makan siang," sambil menangis dan menyeka air matanya,
"dia mau makan bersama. Ternyata dia ada maunya. Ketika sedang mabuk, sambil
tersenyum dia berani bilang begini. 'Ayahku sudah tua, apa Ibu bisa merasa puas tidur
bersamanya"' Mendengar ucapannya itu hatiku jadi panas dan tidak menjawab pertanyaannya."
Raja Chin kaget. "Karena pertanyaannya tidak dijawab, Pangeran berkata lagi begini. "Dulu Kakekku
sudah tua buat Ibuku, Cee-kiang, maka Ibuku diwariskan kepada Ayahku, dan sekarang
Ayahku sudah tua, pasti beliau juga bakal mewariskan kau padaku. Maka jika bukan aku
pewarisnya, siapa lagi" Mengapa kau malu-malu, mari nikmati kesenangan dunia ini. Lalu dia
mencoba mendekatiku, tetapi dengan gusar aku dorong dia! Karena aku menolak, dia jadi
kurang senang." Raja Chin bengong saja dan setengah tidak percaya. Melihat Raja Chin seperti
kurang yakin, Li Ki dengan cerdik berkata lagi. "Jika Tuanku tidak percaya omonganku, akan
kuajak Pangeran jalan-jalan di taman bunga. Tuanku boleh mengintainya dari atas
ranggon, Tuanku bisa menyaksikan sendiri bagaimana kelakuannya", kata Li Ki dengan aleman.
"Kurang ajar!" teriak Raja Chin Hian Kong geram sekali. "Baik akan kuintai tingkah anak durhaka
itu!" Esok harinya..... Kembali Li Ki memanggil Pangeran Sin Seng datang, dia ajak Pangeran itu jalan-
jalan di kebun bunga. Tetapi terlebih dahulu Li Ki sudah menggosokkan madu (bit) di
rambutnya. Tidak heran ketika mereka sedang berjalan di taman bunga, lebah dan kupu-kupu
berterbangan di atas kondenya.
"Pangeran, tolong aku! Usir lebah-lebah dan kupu-kupu itu dari atas kepalaku!"
kata Li Ki yang dengki dan keji itu.
Sedikit pun Pangeran Sin Seng tidak menduga, kalau itu akal busuk dari ibu
tirinya. Dia tidak sadar kalau dia akan difitnah. Maka dengan tangannya dia coba mengusir kupu-kupu
dan lebah-lebah dari konde ibunya, hingga tubuh dia dengan tubuh Permaisuri Li Ki
jadi sangat berdekatan. Waktu itu Chin Hian Kong memang sedang mengawasi ke arah mereka dari atas sebuah
lauw-teng. Tentu saja karena jaraknya jauh, dia tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh Li Ki pada putranya. Tetapi dengan jelas dia bisa melihat Sin Seng seolah begitu
mesra; bahkan mengibas-ngibaskan lengannya di atas kepala isterinya. Seolah Sin Seng sedang
mengajak isterinya bersenda-gurau dan tampak mesra.
Mau tidak mau Chin Hian Kong jadi percaya pada ucapan isterinya tadi malam. Dia
jadi sangat mendongkol sekali. Malam harinya dengan sangat geram Raja Chin Hian Kong
berkata pada kekasihnya, bahwa dia akan menangkap Pangeran Sin Seng dan akan dihukum
mati. Li Ki pura-pura kaget. Dia segera berlutut di hadapan Raja Chin.
"Tuanku, tolong ampuni kesalahan Pangeran kali ini. Jika dia dihukum mati, maka
akulah yang akan disalahkan, karena dia datang ke taman bunga atas permintaanku." Ratap
Li Ki dengan cerdik."Ingat Tuanku, kejadian itu belum ada yang mengetahuinya. Jika
Tuanku menghukum dia, dan umum mengetahui hal ini akan kurang baik bagi Tuanku
sendiri!?" Kembali Raja Chin yang hatinya lemah itu bisa dibujuk. Dia batalkan niatnya
menghukum pangeran. Esok harinya Pangeran Sin Seng diminta agar segera kembali ke Kiok-ah.
Tetapi diam-diam Raja Chin mengirim orang untuk memata-matai putranya itu.
Selang beberapa hari, Raja Chin Hian Kong pergi berburu ke Ek-hoan. Kesempatan
yang baik ini tidak disia-siakan oleh Li Ki, dia panggil Yu Si untuk diajak kencan
sekalian berunding. Dalam perundingan Li Ki dan Yu Si menetapkan sebuah rencana jahat. Dia kirim
orang ke Kiok-ah; utusan itu diminta menyampaikan pesan Ratu Li Ki. Pesan itu begini:
Tadi malam Ratu Li Ki bermimpi bahwa Ibu Pangeran Sin Seng, yaitu Permaisuri Cee Kiang
almarhum dalam keadaan susah dan minta disembahyangi.
Mendengar keterangan utusan itu, buru-buru Pangeran Sin Seng bersembahyang untuk
ibundanya. Seperti biasanya hidangan ada yang dikirim ke ibukota untuk Raja Chin
Hian Kong. Tetapi ketika antaran makanan itu sampai, Raja Chin belum pulang dari
berburu. Enam hari kemudian...barulah Raja Chin Hian Kong pulang dari berburu. Mendengar
Raja Chin pulang dan akan segera tiba di istana, Li Ki segera menaruh racun ke dalam
arak kiriman Pangeran Sin Seng untuk ayahnya.
"Ketika Tuanku pergi berburu, aku bermimpi Ratu Cee Kiang sedang sengsara dan
kelaparan," kata Li Ki. "Karena Tuanku sedang tidak ada di istana, maka aku
memberitahu Pangeran Sin Seng di Kiok-ah supaya sembayang. Sesudah sembahyang, dia mengirim
makanan untuk Tuanku."
Raja Chin senang. "Dia ingat padaku," kata Raja Chin sambil tertawa girang.
Li Ki segera menuang arak yang sudah diberi racun ke dalam cawan, kemudian
disuguhkan kepada Raja Chin. Tetapi tiba-tiba pada saat Raja Chin akan meneguk arak itu, Li
Ki memberi peringatan. "Tunggu Tuanku!" kata Li Ki.
Raja Chin kaget dan membatalkan niatnya untuk meminum arak itu.
"Ada apa?" kata Raja Chin.
"Aku lupa memperingatkan Tuanku, barang makanan yang datang dari luar, sekalipun
dari putra sendiri, harus diteliti dulu. Ini demi keselamatan Tuanku!" kata Li Ki
sambil tersenyum manis. "O. Ya, itu betul," kata Raja Chin Hian Kong.
Kemudian arak dalam cawan itu dia tuang ke lantai. Betapa terkejutnya Raja Chin
karena begitu arak itu jatuh ke lantai, maka arak itu pun menguap dan lantai pun rusak.
Buru-buru Raja Chin Hian Kong memanggil penjaga supaya membawa seekor anjing,
anjing itu dia lempari sepotong daging kiriman dari Pangeran Sin Seng. Sang anjing
segera menerkam sepotong daging yang sudah diberi racun itu. Tiba-tiba anjing itu
menggelepar-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelepar, kemudian diam dan tubuhnya pun kaku . Anjing itu mati dengan
mengenaskan. Li Ki pura-pura tidak percaya, lalu dia memanggil budaknya yang dia suruh
mencobai arak dan daging itu. Melihat anjing saja mati, tentu saja budak itu menolak tidak mau
menuruti perintah Li Ki. Tetapi Li Ki yang kejam memaksanya, dua prajurit menjejelkan daging ke mulut
pelayannya itu. Baru saja daging itu tertelan oleh budak yang malang itu, dari mulut,
hidung dan telinganya segera keluar darah segar. Tubuh budak itu kejang-kejang lalu
meninggal Li Ki pura-pura kaget sekali, dia berlari ke ruang tengah.
"Oh, Allah! Oh, Allah!" Li Ki berseru sambil menengadah ke langit. "Negeri Chin
ini milik Pangeran Sin Seng, Ayahnya sudah tua, mengapa dia sampai tidak sabar menunggu.
Mengapa dia tega akan meracuni Ayahnya sendiri?"
Sesudah berkata begitu, entah dari mana datangnya, perempuan itu meneteskan air
matanya. Dia berlutut di hadapan Raja Chin Hian Kong, sambil meratap dia berkata lagi.
"O Pangeran Sin Seng sungguh kejam! Karena aku dan putraku, dia tega meracuni
Tuanku! Kalau begitu, biarlah aku yang makan daging beracun dan arak beracun itu!" kata
Li Ki. "Kalau aku sudah mati barangkali hatinya akan senang!"
Sesudah itu dia berlari ke meja akan mengambil arak dan makanan beracun dan
pura-pura akan menyantapnya. Raja Chin Hian Kong yang ada di dekatnya, segera merampas dan
melemparkan makan itu ke lantai. Begitu geramnya Raja Chin waktu itu, hingga dia
tidak bisa berkata apa-apa. Napasnya jadi sesak oleh amarah yang meluap-luap. Li Ki yang
cerdik segera menjatuhkan diri di lantai, sambil menangis sesambatan. Kemudian dengan
suara terharu dia berkata lagi.
"Tidak kusangka...Pangeran Sin Seng demikian kejamnya! Ayah sendiri mau
dibunuhnya!" kata Li Ki. "Ketika di taman kau rayu aku, karena aku tolak kau berbuat nekat!"
Raja Chin Hian Kong beberapa lamanya bengong saja. Dia berusaha menentramkan
hatinya yang panas. Kemudian dia pegang tangan Li Ki erat-erat.
"Sudah, jangan menangis, mari bangun, aku akan bicarakan masalah ini dengan
semua menteriku," kata Raja Chin. "Akan aku hukum anak durhaka itu setimpal dengan
perbuatannya!" Sesudah Li Ki bisa dibujuk dan reda tangisnya, saat itu juga Raja Chin ke
istana. Dia kumpulkan semua menterinya untuk bersidang. Sesudah semua menterinya berkumpul
di istana, kecuali Ho Tut yang sedang berpergian, dan Pi The Hu karena sangat sibuk
dan pergi ke luar kota, juka Li Kek yang memberi alasan kakinya sakit mereka tidak hadir.
Di depan menteri-menterinya Raja Chin memberi penjelasan, bagaimana Pangeran Sin
Seng telah mengirim makanan beracun untuknya. Dan Raja Chin minta pertimbangan untuk
memberi hukuman yang setimpal pada putranya itu. Keterangan Raja Chin mendapat
tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang langsung percaya, tetapi kebanyakan ragu-
ragu. Semua menteri jadi saling pandang dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Hanya dorna Tong Koan Ngo yang memihak pada Li Ki, segera maju ke hadapan Raja
Chin Hian Kong dan berkata, "Jika Pangeran sudah begitu jahatnya, hamba bersedia
menggantikan Tuanku untuk menghukum dia!"
Raja Chin yang sedang gusar langsung meluluskan permintaannya. Maka berangkatlah
angkatan perang yang dipimpin oleh Tong Koan Ngo ke Kiok-ah. Diam-diam Ho Tut
memata-matai gerakan di istana, ketika mengetahui Raja Chin akan menghukum
Pangeran Sin Seng, diam-diam dia mengutus orang untuk memberitahu Pangeran Sin Seng di
Kiok-ah. Mendapat kabar dari Ho Tut itu Pangeran Sin Seng jadi terkejut. Segera dia
menemui gurunya dan melaporkan hal itu pada Touw Goan Koan gurunya.
"Suhu, bagaimana pendapatmu tentang racun dalam makanan untuk Ayahku?" kata Sin
Seng. "Makanan itu sudah berada di istana selama enam hari, aku yakin orang istana
yang menaruh racun ke dalam makanan itu," kata Touw Goan Koan. "Maka Pangeran harus melawan.
Buktikan bahwa kau tidak bersalah. Jangan pasrah saja! Buktikan bahwa bukan kau
yang berbuat jahat!" "Aku kira semua ini perbuatan ibu-tiriku Li Ki. Jika kubuka rahasianya, dan aku
Tongkat Dewa Badai 1 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Pendekar Pemanah Rajawali 29
shia yang tinggi, dan sungai Han-sui yang airnya dalam. Sekalipun Tuanku serang habis-
habisan belum tentu bisa direbut!"
Mendengar sindiran itu Raja Cee Hoan Kong merasa malu, sehingga mukanya berubah
merah, dia berkata sambil tertawa.
"Ha, ha, ha! Ternyata Tay-hu seorang menteri Couw yang berbudi luhur!Aku ingin
mengikat tali persahabatan dengan negaramu. Bagaimana pendapat Tay-hu?" kata Raja Cee.
"Atas budi Tuanku ingin membagi rejeki pada negeri kami maka sepatutnya Raja
kami berserikat dengan Tuanku!" kata Kut Goan. "Mana berani Raja kami mengasingkan
diri, tentu dia akan senang sekali berserikat dengan Tuanku!"
Raja Cee Hoan Kong merasa girang sekali, malam itu dia minta Kut Goan bermalam
di perkemahannya. Kemudian diadakan pesta besar.
Esok harinya..... Di Siao-leng telah didirikan sebuah panggung, di atas panggung telah berkumpul
semua raja- raja dan menteri-menteri besar. Di situ segera diadakan perjanjian, mulai dari
saat itu sampai di kemudian hari semua negeri-negeri tidak boleh bertikai satu sama lain.
Sesudah selesai melaksanakan upacara, Kut Goan menghaturkan terima kasih kepada semua raja-raja.
Sementara itu Koan Tiong mengadakan pembicaraan dengan Kut Goan, dia minta
panglima negeri The, bernama Tam Pek, supaya dikembalikan, sedang Kut Goan juga
mengajukan permintaan supaya Raja Coa dihapus dosanya. Begitulah kedua pihak sepakat,
masing-masing menerima baik perjanjian tersebut.
Kut Goan pamit pulang ke kotanya, akan memberi tahu pada Raja Couw Seng Ong
bagaimana kesudahan misinya itu.
Koan Tiong mengeluarkan perintah akan menarik seluruh angkatan perang gabungan
akan kembali ke negaranya masing-masing.
Ketika Raja Couw sudah mengetahui angkatan perang semua Raja-raja Muda sudah
ditarik mundur, pikiranya berubah. Dia mau membatalkan pengiriman rumput Mao ke Kerajaan
Ciu. Kut Goan kaget lalu membujuk Raja Couw agar tidak ingkar janji. Sesudah dibujuk
oleh Kut Goan dan Chu Bun baru Raja Couw menurut. Dia perintahkan Kut Goan mengantarkan
upeti itu ke Kerajaan Ciu. Baginda Ciu Hui Ong sangat girang ketika menerima upeti rumput Mao, sekalipun
harga barang itu tidak seberapa, tetapi dia senang. Terutama selama ini Raja Couw
telah membangkang, sekarang dia taat mengirim rumput Mao.
Kaisar Ciu memuji Kut Goan dengan kata-kata manis. Dia juga berpesan pada Kut
Goan supaya menyampaikan pesannnya, agar Raja Couw mengamankan daerah Selatan dan
jangan mengganggu daerah Tiong-goan.
"Hamba akan memperhatikan pesan ini, hamba berjanji!" kata Kut Goan.
Sesudah itu Kut Goan pamit dan pulang ke negaranya. Baru saja Kut Goan
mengundurkan diri, datang Sek Peng dari negeri Cee. Dia mengabarkan bahwa Raja Cee sudah
berhasil menaklukkan negeri Couw di Selatan. Kaisar baru tahu kalau Raja Couw mengirim
upeti rumput Mao karena Raja Cee telah menaklukannya. Kaisar mengucapkan terima kasih
pada Raja Cee. Ketika Sek Peng memohon pada Baginda ingin bertemu dengan Putera Mahkota The,
tampak Kaisar Ciu kurang senang. Tetapi Kaisar Ciu segera memerintahkan Pangeran Tai
bersama Putera Mahkota The keluar menemui Sek Peng.
Melihat sikap Kaisar Ciu, Sek Peng menduga ada apa-apa di dalam keluarga kaisar
ini. Diam- diam dia mencoba menyelidikinya.
Sepulang Sek Peng ke negeri Cee dia melapor pada Raja Cee. Tetapi di akhir
laporannya dia menyampaikan sesuatu pada Raja Cee. "Hamba lihat di dalam istana Kaisar Ciu
telah terjadi sesuatu. Pasti akan timbul huru-hara," kata Sek Peng.
"O, kau bilang bakal terjadi huru-hara"!" kata Raja Cee Hoan Kong terperanjat,
"Bagaimana bisa begitu?"
"Putera sulung Baginda Ciu Hui Ong bernama The, dilahirkan oleh almarhum
Permaisuri Kiang Si. Sudah diangkat menjadi Putera Mahkota," kata Sek Peng. "Tetapi sejak
Kiang Si meninggal, Permaisuri ke-dua Tan Kui menjadi sangat dicintai oleh Baginda,
sehingga dia diangkat menjadi Hong-houw (Permaisuri Utama). Beliau juga berputera, namanya
Tai, lantaran sang ibu dicintai oleh Kaisar Ciu, anaknya pun jadi lebih disayang.
Malah Baginda punya niat hendak menurunkan Putera Mahkota The dan mengangkat Pangeran Tai
menjadi Putera Mahkota. Sekarang Tuanku menjadi pemimpin perserikatan Raja-raja Muda,
jika di Kerajaan Ciu terjadi huru-hara, pasti Tuanku akan jadi pusing. Maka Tuanku harus
buru-buru berupaya untuk mencegah kekacauan itu!" Raja Cee Hoan Kong memanggil Koan Tiong
untuk diajak berunding. Ketika Koan Tiong sudah mendengar cerita keadaan di Kerajaan Ciu, ia mulai
bicara. "Hamba punya siasat untuk menentramkan Kerajaan Ciu," kata Koan Tiong.
"Siasat bagaimana, Tiong-hu?" tanya Cee Hoan Kong dengan girang.
"Jika Tay-cu (Putera Mahkota) sampai terancam bahaya, pasti karena familinya
terlalu sedikit." kata Koan Tiong. "Sekarang Tuanku buat surat untuk Kaisar, mohon agar
Putera Mahkota diizinkan menemui semua Raja-raja Muda. Dengan demikian Putera Mahkota
jadi diakui sah sebagai calon Kaisar. Jika Kaisar Ciu hendak menurunkan dan
menggantinya dengan putera ke-dua, pasti semua Raja Muda akan menolak. Dengan demikian
rencana Kaisar akan gagal total."
Raja Cee Hoan Kong setuju benar pada saran Koan Tiong tersebut. Segera Raja Cee
mengutus Sek Peng menyampaikan permohonan pada Kaisar Ciu, agar Putera Mahkota
di musim Hee datang ke Siu-ci (tanah negeri We). Karena Raja Muda ingin bertemu
dengan Putera Mahkota. Kepada semua Raja Muda, Raja Cee juga berpesan agar nanti datang
ke pertemuan tersebut. Saat Sek Peng datang bertemu Kaisar Ciu dan menyampaikan keinginan para Raja
Muda untuk bertemu dengan Putera Mahkota The. Hal itu disampaikan oleh Raja Cee Hoan
Kong. Kaisar Ciu Hui Ong sebenarnya tidak setuju. Dia tidak mau mengizinkan Putera
Mahkota menemui Raja-raja Muda. Tetapi karena Kaisar Ciu takut menghadapi Perserikatan Raja Muda yang dipimpin
Raja Cee, terpaksa mengabulkannya. *** Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi), Raja Cee Hoan Kong memerintahkan Tan
Keng Tiong pergi ke Siu-ci untuk membangun istana persinggahan Putera Mahkota.
Tepat pada musim He bulan Go-gwe (bulan lima), Raja Cee, Song, Louw, Tan, We,
The, Khouw dan Co, delapan raja muda semua sudah berkumpul di Siu-ci. Tidak lama
Putera Mahkota The pun sampai. Raja Cee Hoan Kong mengajak semua Raja Muda menyambut. Sementara Pangeran The
bersikap sopan sekali. Dia bersikap sebagai tamu yang ingin menemui tuan rumah.
Tetapi Raja Cee mencegahnya. "Jangan, Tuanku tidak pantas bersikap demikian. Kami ini adalah bawahan Tuanku,"
kata Raja Cee. Segera diadakan pesta besar Raja Cee bersama yang lain mengucapkan selamat
kepada Pangeran The. Mereka berdiam di sana cukup lama dan bergantian mengadakan pesta.
Tetapi Pangeran The agak risih. Dia bilang dia sudah terlalu lama berada di luar istana
Kaisar Ciu. "Aku ingin pulang," kata Pangeran The pada suatu hari. "Di sini aku hanya
menyusahkan semua Raja Muda." "Jangan!" kata Raja Cee. "Tuanku tinggal beberapa bulan lagi, supaya Kaisar tahu
bahwa anda disukai oleh para Raja Muda di sini!"
Raja Cee lalu menceritakan bahwa Kaisar Ciu berniat menurunkan Pangeran The dan
akan mengangkat Pangeran Tai. Sesudah mendengar penjelasan dari Raja Cee akhirnya
Pangeran The pun menurut. Dia mengucapkan terima kasih pada semua raja, terutama kepada
Raja Cee. Karena sudah sekian lama Pangeran The tidak pulang-pulang, Kaisar Ciu Hui Ong
sadar dan sudah bisa menduga-duga apa yang telah terjadi. Bahwa Raja Cee sangat
menghormati Pangeran The yang hendak dia lucuti kedudukannya. Akhirnya Kaisar Ciu jadi
mendongkol sekali. Sedang permaisuri dan puteranya terus mendesak Kaisar Ciu dan mempengaruhinya,
sehingga Kaisar bertambah benci kepada Pangeran The.
Pada suatu hari...... Kaisar Ciu memanggil P.M. Ciu Kong Khong dan ia sampaikan kemendongolan hatinya.
"Cee Houw (Raja Cee) sekalipun katanya telah membuat Raja Couw tunduk, tetapi
sebenarnya belum pernah mengalahkannya." kata Kaisar Ciu. "Kerajaan Couw sangat
tangguh dan tentaranya gagah berani. Tetapi sekarang seolah mereka tunduk dan
mau mengantarkan upeti pada kita. Dilihat tingkah-lakunya, Raja Couw agak lebih baik
jika dibanding dengan Raja Cee yang curang."
P.M. Ciu Kong Khong mengangguk saja.
"Coba kau bayangkan," kata Kaisar Ciu lagi. "Raja Cee bersama komplotannya telah
mengajak Pangeran The berdiam di suatu tempat.
Bab 14 "Coba kau bayangkan, dia minta Pangeran The menemui mereka dan komplotannnya,"
kata Kaisar Ciu. "Entah apa maksud dia berbuat begitu" Apa dia berniat buruk?"
"Apa yang Tuanku hendak lakukan?" kata Ciu Kong Khong.
"Aku berniat menyuruhmu mengirim sepucuk surat rahasia kepada Raja The Pek, agar
dia kembali bergabung dengan Raja Couw. Sampaikan pesanku pada Raja Couw agar dia
mendukung Kerajaan Ciu sepenuhnya. Bagaimana pendapatmu?" kata Kaisar Ciu.
Ciu Kong Khong terperanjat mendengar ucapan Kaisar Ciu itu.
"Jangan! Jangan Tuanku lakukan hal itu! Menurutnya Raja Couw semua atas jasa
Raja Cee dan kawan-kawannnya. Mengapa Tuanku mau bermusuhan dengan Raja Cee yang sangat
berjasa kepada Tuanku" Malah Tuanku ingin bergabung dengan Raja Couw yang sering
membuat ulah dan pembangkang?" kata Ciu Kong Khong.
"Apa kau berani jamin Cee Houw tidak punya niat lain?" kata Baginda Ciu Hui Ong
dengan sengit. "Tidak, aku tidak setuju dengan ucapanmu! Pendeknya niatku sudah tetap,
tidak bisa dicegah lagi!" Melihat Kaisar Ciu marah Ciu Kong Khong tidak berani buka suara. Kaisar Ciu
membuat surat itu yang dia serahkan pada Ciu Kong Khong untuk diserahkan pada Raja The.
Seterima surat itu Ciu Kong Khong segera mengutus orang mengantarkan surat itu. Dia tidak
tahu apa isinya. Dia juga tidak berani mencuri melihatnya. Tatkala Raja The Bun Kong
menerima surat dari Kaisar Ciu tersebut, dia buka dan baca:
"Ternyata Pangeran The telah melanggar perintah Kaisar Ciu dan telah mengadakan
pertemuan dengan para Raja Muda, maka aku anggap dia tidak pantas menjadi Putera
Mahkota. Maka aku berniat mengangkat putera ke-dua Tai menggantikannya.
Aku minta pada anda agar memisahkan diri dari Raja Cee dan bergabung kembali
dengan Raja Couw. Kemudian kalian berdua mendukung Kerajaan Ciu. Dan dukung Pangeran
Tai, maka aku akan memberi izin kalian bekerja di Kerajaan Ciu."
Begitu kira-kira isi surat Kaisar Ciu pada Raja The Bun Kong. Sesudah itu Raja
The lalu mengumpulkan semua menterinya untuk diajak berunding.
"Dulu ketika almarhum Raja Bu Kong dan Cong Kong menjadi pejabat di Kerajaan
Ciu, mereka mendapat kehormatan besar di kalangan Raja-raja Muda. Tetapi sayang
jabatan itu berakhir, hingga negeri The menjadi terpuruk. Beruntung Raja The Le Kong
berhasil mengangkat kembali Kaisar Ciu, tetapi sayang beliau tidak dipanggil bekerja di
istana Kerajaan Ciu sampai wafatnya. Sekarang Kaisar Ciu minta bantuanku. Aku yakin
semua Pangeran Ciu harus menghormatiku." kata Raja The.
"Tetapi jika diingat-ingat Raja Cee karena ingin menolong kita, dia kerahkan
angkatan perangnya ke negeri Couw!" kata Khong Siok, "sekarang kalau kita berpisah dengan
kerajan Cee dan takluk kepada Couw, ini sama juga kita tidak ingat budi orang. Apalagi
mendukung Pangeran The adalah kewajiban kita. Harap Tuanku pikirkan dulu masalah ini."
"Pendapatmu keliru," kata Raja The. "Daripada menurut pada raja jagoan lebih
baik menurut pada Kaisar Ciu. Apalagi Kaisar sendiri tidak sayang pada Pangeran The, mengapa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku harus menyayanginya?" "Menurut aturan Kerajaan Ciu, yang boleh menjadi Putera Mahkota adalah anak dari
Permaisuri pertama. Dan putera sulung." kata Khong Siok. "Baginda Yu Ong
menyukai Pangeran Pek Hok, Baginda Hoan Ong mencintai Cu Kek, dan Baginda Cong Ong
mencintai Chu Tui, semua itu sudah Tuanku ketahui semua. Mengapa Tuanku tidak mau ikut
aturan malah mau mengambil cara yang salah. Apa Tuanku tidak khawatir di kemudian hari
akan menyesal?" "Menurut pendapatku, sebaiknya kita mengambil jalan tengah," kata Menteri Sin
Houw. "Tetapi jangan sekali-kali membantah perintah Kaisar Ciu. Maka itu kita tidak
boleh ikut dalam pertemuan yang akan diadakan oleh Raja Cee. Di luar Pangeran The punya
pengikut, begitu juga Pangeran Tai di dalam istana. Kita juga belum tahu siapa yang akan
jadi pemenang di antara mereka berdua" Sebaiknya kita bersabar menunggu dan
menyaksikan gerak-gerik mereka."
Raja The Bun Kong setuju pada pendapat Sin Houw, dia berpura-pura mengatakan
pada Raja Cee ada masalah di dalam negaranya, lalu pulang.
Ketika Raja Cee Hoan Kong mengetahui masalah yang sebenarnya, mengapa Raja The
pulang. Dia hendak mengajak Pangeran The untuk melabrak Raja The.
"Tidak perlu! Biarkan saja dia pergi," kata Koan Tiong.
Dia cegah Raja Cee bergerak. Kemudian Koan Tiong menganalisa minggatnya Raja
The. "Negeri The dan Ciu letaknya berdampingan," kata Koan Tiong. "Dalam hal ini
pasti Kaisar Ciu telah mengeluarkan perintah hingga hatinya tergerak. Jika kita hanya
berkurang seorang raja, itu tidak bisa mengacaukan niat kita yang besar. Sedang waktu pertemuan
hampir tiba. Sesudah itu baru kita adakan perhitungan dengan negeri The!"
Raja Cee Hoan Kong apa boleh buat menahan sabar, sekalipun dia geram sekali.
Ketika saat pertemuan telah tiba, semua raja-raja berhimpun kecuali Raja Couw
dan The. Dalam pertemuan ditetapkan semua Raja Muda akan mendukung Pangeran The menjadi
Kaisar. Mereka pun mengucapkan sumpah.
Pangeran The terharu dia mengucapkan terima kasih pada semua raja-raja.
Esok harinya...... Pangeran The hendak pulang. Semua raja muda masing-masing membawa tentaranya
mengantarkan Pangeran The pulang. Di antaranya Raja Cee dan Raja We telah
mengantarkan sampai melewati perbatasan negeri We.
Ketika Raja Couw Seng Ong mendapat kabar Raja The tidak mau ikut di pertemuan
raja-raja, tentu saja Raja Couw girang sekali. Dia berharap dia bisa menarik kembali Raja
The ke pihaknya. Raja Couw segera mengirim utusan menemui Sin Houw sambil membawa
barang berharga untuk menyuap Sin Houw. Raja Couw mengatakan dia berniat meneruskan
persahabatannya dengan negara The
Sin Houw memang sangat serakah, dia terima sogokan Raja Couw. Lalu dia menemui
Raja The dan mengatakan bahwa Raja Couw ingin bersahabat.
"Hamba yakin tidak lama lagi Raja Cee akan menyerang ke negeri The," kata Sin
Houw. "Jika bukan Raja Couw tidak akan sanggup kita menghadapinya."
"Apa betul begitu?" kata Raja The.
"Benar Tuanku, jika Tuanku takluk kepada Couw itu sesuai pesan Kaisar Ciu. Jika
Tuanku tidak segera mengambil putusan, maka Raja Cee dan Couw akan menjadi musuh negeri
The." kata Sin Houw. Desakan menteri dorna tersebut telah berhasil, Raja The Bun Kong memerintahkan
Sin Houw diam-diam mengantar bingkisan ke negeri Couw.
Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-26, Raja Cee Hoan Kong telah mengajak
raja-raja yang berserikat datang melabrak negeri The, mereka segera mengepung kota Sin-
bit. Waktu itu kebetulan Sin Houw ada di negeri Couw, setelah mendengar kabar negeri
The sedang dilabrak oleh pasukan Cee dan kawan-kawannya, Sin Houw menghadap pada
Raja Couw Seng Ong untuk minta bantuan. Raja Couw segera mengumpulkan semua
menterinya untuk membicarakan masalah itu.
"Ketika Raja Cee hendak mengumumkan perang di Siao-leng, Raja Khouw Bok Kong
meninggal dunia di dalam perkemahannya, sehingga Raja Cee sangat kasihan
kepadanya. Dengan demikian di antara para raja, Raja Khouw-lah yang paling akrab dengan
Raja Cee." kata Chu Bu. "Jika Tuanku serang negei Khouw, pasti Raja Cee dan yang lain-lain
akan berdatangan membantunya. Dengan demikian kepungan terhadap negeri The akan
mengendur sendirinya." Raja Couw setuju pada saran Chu Bun, Raja Couw langsung memimpin pasukannya
menyerang ke negara Khouw.
Ketika Raja Cee Hoan Kong dan yang lainnya mendapat kabar kota Raja Khouw
dikepung oleh tentara Couw, mereka melepaskan kepungan terhadap negeri The untuk menolong
negeri Khouw. Tetapi ketika mereka dan pasukan perang sampai di tanah Khouw,
balatentara Couw sudah mundur kembali. Sedang Sin Houw dari Couw pulang ke negeri The. Dia anggap dia telah berjasa
besar dan berharap dinaikan pangkatnya. Tapi Sin Houw kecewa karena Raja The diam saja.
Karena sangat kesal dan mendongkol Sin Houw sering mengeluarkan kata-kata kurang
pantas. Tahun berikutnya di musim Cun, Raja Cee Hoan Kong dan kawan-kawannya kembali
menyerang ke negara The. Salah seorang panglima negeri Tan, Wan To Touw namanya, karena tahu Raja The
sudah membebaskan diri dari perserikatan dengan Raja Cee, dan mendengarkan hasutan
dari Sin Houw. Wan To Touw menulis sepucuk surat rahasia yang dikirimkan kepada Khong
Siok, yang bunyinya kira-kira demikian:
"Dulu Sin Houw telah menjilat pada Raja Cee, sehingga dia mendapat hadiah tanah
perusahaan di Houw-lo, sekarang dia menjilat kepada Raja Couw, hingga membuat
Rajamu melupakan kebajikan dan melanggar kewajiban, seperti sengaja mencari bahaya
untuk mencelakakan rakyat negeri dan merusak daerah sendiri. Jika Raja Tay-hu bersedia
membunuh Sin Houw, aku berani jamin tidak usah berperang pasti tentara Cee akan
ditarik mundur." Tatkala Khong Siok sudah terima dan baca surat itu, dia bawa surat itu dan dia
serahkan kepada Raja The Bun Kong. Raja The ingat kembali dulu karena tidak mau mendengar
nasihat Khong Siok, pasukan Cee dan kawan-kawannya telah dua kali menyerang
negerinya. Dia sangat menyesal dan berbalik menjadi geram kepada Sin Houw, menterinya.
Segera dia panggil Sin Houw menghadap.
"Kau bilang hanya Raja Couw yang bisa melawan Raja Cee dan kawan-kawannya,
sekarang tentara Cee sudah datang kembali. Mana Raja Couw dan tentaranya yang kau bilang
mau membantu?" kata Raja The dengan marah.
Ketika Sin Houw hendak bicara menyampaikan alasannya, Raja The sudah memanggil
algojo untuk menyeret dan memenggal kepala Sin Houw.
Kemudian Khong Siok sambil membawa surat Raja The dan kepala Sin Houw menghadap
pada Raja Cee untuk minta berdamai.
Raja Cee Hoan Kong memang sudah mengenal menteri The bernama Khong Siok yang
bijaksana. Raja Cee mau menerima damai dan percaya pada kata-kata menteri
bijaksana ini. Suatu saat Raja Cee mengundang semua raja-raja untuk berkumpul di Leng-bo.
Tetapi ketika Raja The mendapat undangan, dia agak sangsi. Dia merasa masih terikat oleh
ajakan Kaisar Ciu, maka dia tidak berani datang berkumpul di Leng-bo. Tetapi untuk tidak
membuat curiga Raja Cee dia hanya mengirim puteranya yang bernama Si Cu Hoa untuk mewakilinya
menghadiri pertemuan itu.
Ternyata Si Cu Hoa ini seorang anak durhaka, senantiasa ia berikhtiar hendak
mendapatkan tahta ayahnya. Sudah berulang kali dia minta bantuan pada Siok Ciam, Khong Siok
(disebut juga Louw Siok) dan Su Siok untuk menyingkirkan putera-putera ayahnya. Tetapi
semua menteri The yang budiman selalu menasihatinya.
"Seharusnya Pangeran berbakti pada Ayahanda Tuanku," kata Khong Siok. "Karena
Raja pun sayang sekali kepada Tuanku."
"Memang benar, jika Tuanku berbakti tahta pasti akan diserahkan kepada Tuanku,"
kata Su Siok. Tetapi karena Si Cu Hoa sudah sangat ingin menduduki tahta ayahnya, nasihat tiga
menteri itu bukanditerima denganbaik,malahdiamembencimerekabertiga.
Ketika Si Cu Hoa bertemu dengan Raja Cee Hoan Kong, dia memohon supaya dia bisa
bicara berdua saja dengan Raja Cee Hoan Kong.
"Hamba ingin membicarakan masalah penting, maka hamba mohon yang lain diminta
mundur," kata Si Cu Hoa pada Raja Cee.
Ketika permohonan itu oleh Raja Cee dikabulkan dan mereka hanya berduaan, Si Cu
Hoa mulai bicara. "Negeri The dilola oleh tiga orang menteri. Mereka adalah Siok Ciam, Khong Siok
dan Su Siok," kata Si Cu Hoa. "Dulu saat Ayahku meninggalkan pertemuan, itu karena
hasutan ketiga Tay-hu tersebut. Jika Tuanku bisa menyingkirkan ketiga menteri itu, dan
aku rela menyerahkan negeri The. Sedang hamba cukup puas menjadi pegawai negeri The."
"Aku setuju, tetapi harus menunggu waktu," kata Cee Hoan Kong. "Aku akan
berunding dulu dengan menteriku." "Baiklah," kata Si Cu Hoa.
Raja Cee menemui Koan Tiong dan mereka bicara berdua saja. Dia menanyakan
pendapat Koan Tiong mengenai saran dari Si Cu Hoa.
"O, jangan, Tuanku jangan percaya kata-katanya," kata Koan Tiong. "Semua Raja
Muda tunduk pada kita, karena Raja Cee bisa dipercaya. Anak itu hendak melawan
ayahnya, berarti dia anak durhaka! Kedatangannya atas perintah ayahnya dengan tujuan yang sangat
baik. Jika dia usul begitu, berarti dia akan menimbulkan kekacauan. Tiga Tay-hu negeri The
itu orang- orag budiman, di negerinya mereka bergelar "Sam Liang". Menurut hamba Si Cu Hoa
pasti akan celaka!" Raja Cee Hoan Kong manggut, kemudian dia menemui Si Cu Hoa kembali.
"Apa yang kau katakan tadi, sebenarnya masalah besar, maka sebaiknya suruh
Ayahmu datang. Aku akan membicarakannya dengan baik." kata Raja Cee.
Saat itu juga paras Si Cu Hoa berubah merah dan sekujur tubuhnya berkeringat,
karena dia tidak menduga bakal mendapat jawaban begitu. Mau tidak mau terpaksa dia pamit
pada Cee Hoan Kong. Karena Koan Tiong sangat benci apada niat buruk Si Cu Hoa, dia sengaja
membocorkan rahasia itu pada orang-orang The. Maka sebelum Si Cu Hoa sampai ke negaranya,
sudah ada yang melaporkan kelakuan Si Cu Hoa itu kepada ayahnya.
Begitu menghadap dia berlutut di hadapan ayahnya.
"Bagaimana hasil kunjunganmu itu?" tanya Raja The pura-pura belum tahu.
"Raja Cee sangat marah karena Ayah tidak datang sendiri, dan Raja Cee tidak
terima. Maka menurut saran hamba, lebih baik Ayah kembali berserikat dengan Raja Couw!" kata
Si Cu Hoa. Mendengar laporan itu bukan main marahnya Raja The.
"O, anak durhaka, hampir saja kau jual negeriku ini!" kata The Bun Kong dengan
sangat gusar. "Aku sudah tahu semua kelakuanmu di sana. Hm! Sekarang kau karang cerita
dusta di depanku! Pengawal tangkap dia dan seret masukan ke kamar gelap!"
Tetapi anak nakal ini tidak mau menyerah begitu saja, di dalam penjara dia coba
membobol tembok hendak kabur. Tetapi keburu ketahuan oleh penjaga. Karena gusar Raja The
lalu mengeluarkan perintah membunuh anak nakal itu.
Raja The sangat hormat pada Raja Cee yang tidak mau mendengar hasutan dari
anaknya. Maka dia kirim Khong Siok untuk menghaturkan terima kasih pada Raja Cee.
Dalam tahun ke-22 pemerintahan Kaisar Ciu Hui Ong, pada musim Tang (Gugur)
Baginda Ciu Hui Ong sakit keras. Pangeran The sangat khawatir adik tirinya akan merebut
tahtanya jika ayahnya meninggal. Diam-diam dia perintahkan Ong-cu Houw memberitahu Raja
Cee, bahwa Baginda sedang sakit keras.
Selang beberapa hari kemudian Kaisar Ciu Hui Ong pun wafat. Pangeran The
berunding dengan Ciu Kong Khong dan Siao Pek Liauw, mereka mengambil putusan akan mengurus
perkabungan dulu, sebelum mengurus pengangkatan pengganti Kaisar. Tetapi diam-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diam mereka mengutus orang untuk menyusul Ong-cu Houw dan memberitahukan bahwa Kaisar
telah meninggal. Mendapat khabar itu Ong-cu Houw begitu sampai di hadapan Raja Cee, langsung
melaporkan tentang wafatnya Kaisar Ciu tersebut. Raja Cee segera mengirim utusan ke
berbagai negara untuk mengupulkan raja-raja di tanah Yao, tanah milik negeri Co. Dalam pertemuan
raja-raja itu Raja The Bun Kong ikut hadir.
Seluruh Perserikatan Raja-raja Muda sepakat mengajukan usulan ke Kerajaan Ciu.
Lalu mereka mengirim delapan pembesar dari masing-masing negaranya.
Ketika ke-delapan menteri besar dari delapan negara itu sampai di negeri Ciu,
mereka tampak angker sekali. Begitu datang mereka bilang mereka hendak menyampaikan perasaan
berduka cita dari raja mereka masing-masing. Mereka masih berkumpul di luar kota.
Ong-cu Houw masuk ke Ibukota lebih dulu untuk melapor. Pangeran The
memerintahkan Siao Pek Liauw pergi menyambut semua Tay-hu atau menteri besar dari berbagai
negara itu. Kemudian baru dia mengurus masalah berkabung ketika semua semua menteri dari
berbagai negara itu sudah bertemu dengan Kaisar yang baru. Ciu Kong Khong dan Siao Pek
Liauw memimpin Pangeran The mengurus perkabungan ayahandanya.
Begitu upacara selesai, seorang Menteri Besar mewakili semua utusan lalu bicara.
"Atas perintah Raja-raja kami, kami datang untuk menyatakan ikut berduka-cita!
Dengan ini pula atas kesepakatan Raja-raja kami, maka kami mohon Pangeran The naik tahta
menjadi Kaisar Ciu!" kata juru bicara Menteri Besar itu.
Ucapan itu mendapat sambutan yang meriah. Pangeran The lalu duduk di tahta
kerajaan. Sesudah itu semua menteri mengucapkan selamat kepada Kaisar Ciu yang baru, yang
bergelar Ciu Siang Ong. Pada tahun berikutnya di musim Cun (Semi) sebagai tahun pertama pemerintahan
Kaisar Ciu Siang Ong. Hari itu Kaisar Ciu hendak bersembahyang di kelenteng almarhum
ayahnya. Dia juga mengatakan akan menganugrahkan sesuatu kepada Raja Cee yang membantu
sepenuh hati kepadanya. Mendengar niat Kaisar Ciu itu, Raja Cee mengundang seluruh Raja Muda untuk
datang ke Kui-kiu. Di tengah perjalanan menuju ke tempat pertemuan, Raja Cee Hoan Kong dan Koan
Tiong membicarakan masalah Kerajaan Ciu.
"Dewan kerajaan Ciu, karena tidak sejak semula menentukan calon pengganti
Kaisar, hampir saja terjadi huru-hara," kata Koan Tiong. "Sekarang Tuanku sendiri harus
menetapkan ahli waris, agar di kemudian hari tidak timbul kekacauan."
"Aku mempunyai enam orang putra, semua dilahirkan oleh Selir-selirku," kata Cee
Hoan Kong. "Yang paling besar Pangeran Bu Kui, tetapi yang paling pintar Pangeran
Ciao. Ibu Pangeran Bu Kui yang bernama Tiang We Ki, telah merawatku paling lama, sedang Ek
Ge dan Si Tiao mengusulkan agar aku mengangkat Pangeran Bu Kui sebagai ahli
warisku. Tetapi aku sangsi karena aku sayang pada kepandaian Pangeran Ciao. Bagaimana pendapat
Tiong- hu?" Koan Tiong tahu Ek Ge dan Si Tiao adalah bangsa dorna, apalagi mereka senantiasa
disayang oleh Tiang We Ki. Jika di kemudian hari Pangera Bu Kui menjadi raja, Koan Tiong
khawatir kedua dorna itu akan mengacau dari dalam dan luar. Pasti negara Cee akan kacau!
Pangeran Ciao lahir dari Selir The Ki dan Koan Tiong ingat betul negeri The baru
ikut berserikat. Maka jika Pangeran Ciao yang menjadi Putera Mahkota, maka hubungan
negara Cee dan The akan bertambah erat.
Sesudah berpikir begitu, Koan Tiong baru berkata.
"Jika Tuanku hendak mewariskan Kerajaan Cee pada seorang yang pandai, lebih baik
angkat Pangeran Ciao! Jika negara diurus oleh Raja yang tidak pandai, pasti tidak akan
bagus!" kata Koan Tiong. "Tetapi Bu Kui putraku yang tertua, apa dia tidak akan merebut kedudukan
adiknya?" tanya Raja Cee. "Tuanku ingat, untuk calon Kaisar Ciu saja Tuanku yang mengurus, karena Tuanku
pemimpin seluruh raja-raja. Kumpulkan para Raja Muda kemudian tetapkan Pangeran Ciao agar
semua Raja Muda membelanya! Lalu apa yang Tuanku khawatirkan lagi?" kata Koan Tiong.
Bab 15 Raja Cee Hoan Kong manggut-manggut.
"Baiklah," kata Raja Cee..
Sampai di Kui-kiu, di sana semua raja muda sudah berkumpul, sedang Ciu Kong
Khong juga sudah datang. Waktu itu Raja Song Hoan Kong sudah wafat, Pangeran Chu Hu telah mengalah kepada
kakak tirinya, Pangeran Bak I yang akan menjadi Raja Song. Namun Bak I tidak
berani menerima kedudukan itu. Maka terpaksa Chu Hu yang menjadi raja dengan gelar Song
Siang Kong. Ketika Song Siang Kong mendapat undangan dari Raja Cee, sebab dia raja yang
taat, sekalipun sedang berkabung dia menghadiri pertemuan.
Sesudah mengetahui hal-ikhwal Raja Song Siang Kong, dan dia juga melihat
sikapnya. Dia membisiki Raja Cee. "Raja Song sangat murah hati, dia bersedia mengalah kepada kakak tirinya untuk
menjadi raja," kata Koan Tiong. Ini bisa dikatakan dia seorang raja yang budiman.
Ditambah lagi, sekalipun sedang berkabung dia hadir dalam pertemuan ini. Jelas dia taat
setulusnya pada kita. Soal ahli waris sebaiknya Tuanku titip saja kepadanya."
Raja Cee Hoan Kong manggut menyatakan setuju.
Koan Tiong menemui Raja Song. "Rajaku ingin membicarakan soal penting dengan
Tuanku," kata Koan Tiong. Dengan tidak ayal lagi Raja Song Siang Kong datang di kemah Raja Cee Hoan Kong.
Sesudah satu sama lain melaksanakan adat-istiadat Raja Cee memegang lengan Raja
Song. Kemudian Raja Cee menceritakan niatnya. Di akhir pertemuan Raja Cee berpesan.
"Aku harap kau mau mendukung Pangeran Ciao di kemudian hari," kata Raja Cee.
"Baik, hamba berjanji akan melaksanakan pesan Tuanku ini," kata Raja Song.
Tibalah saat pertemuan dimulai semua raja dan menteri telah hadir seluruhnya.
Mereka tampak agung sekali. Semua Raja Muda menyilakan utusan Kaisar Ciu naik ke atas
panggung yang disediakan.Sekalipun Kaisar Ciu tidak hadir, tetapi kursi untuknya telah di
sediakan. Semua raja-raja menghadap ke arah sana.
Sesudah melaksanakan upacara adat, semua Raja-raja Muda mengambil tempat duduk
mereka menurut kedudukannya masing-masing.
Ciu Kong Khong berdiri dan berkata, "Kaisar telah bersujud pada almarhum Baginda
Bun Ong. Sekarang Sri Baginda memerintahkan aku untuk menyerahkan hadiah pada para
Raja Muda!" kata Ciu Kong Khong.
Raja Cee akan turun dari kursinya untuk menghaturkan terima kasihnya, tetapi
dicegah oleh Ciu ong Khong. "Tuanku sudah berusia lanjut, Kaisar memberi izin Tuanku tidak
perlu menjalankan upacara adat-istiadat," kata Ciu Kong Khong.
Raja Cee mengangguk akan menurut perintah Ciu Kong Khong, tetapi Koan Tiong
segera maju dan berkata. "Sekalipun Kaisar sangat murah hati, tetapi sebagai bawahan
Raja kami tidak boleh tidak hormat!" kata Koan Tiong.
Raja Cee mengerti apa maksud ucapan Koan Tiong. Dia segera maju.
"Hamba bawahan Kaisar Ciu, mana berani hamba berlaku tidak hormat dan
melaksanakan kewajiban sebagai seorang menteri!" kata Raja Cee.
Sesudah berkata begitu, Raja Cee Hoan Kong turun dari tangga, memberi hormat
serta menghaturkan terima kasih. Kemudian baru naik lagi akan menerima barang
sembahyang itu. Sikap Raja Cee membuat kagum seluruh Raja-raja Muda yang lain. Sesudah itu Raja
Cee Hoan Kong kembali mengingatkan semua raja muda supaya menjunjung tinggi "Dewan
Kerajaan Ciu". Kemudian dikeluarkanlah lima pantangan: 1) Dilarang menahan air
mata, 2). Dilarang menahan orang yang mau membeli beras, 3) Dilarang sembarangan
mengangkat Putra Mahkota, 4). Dilarang mengangkat gundik atau Selir menjadi Permaisuri, 5).
Dilarang kaum wanita ikut campur dalam urusan pemerintahan negara. Jangan kasih orang
perempuan campur tangan dalam urusan pemerintah negeri.
Sesudah itu pertemuan ditutup, semua raja muda dan utusan Kaisar mengucapkan
selamat berpisah. Mereka lalu kembali ke negaranya masing-masing.
Sekembalinya Raja Cee Hoan Kong ke negaranya, dia menganggap dirinya berjasa
besar. Seolah sudah tak ada yang bisa menandinginya lagi, menyatakan dia telah
membangun sebuah istana yang megah. Bahkan saat naik kereta sedang jalan-jalan, dia
mengenakan pakaian kebesaran mirip pakaian Kaisar. Rakyat banyak yang mencela kelakuan Raja
Cee ini. Mereka menganggap Raja Cee Hoan Kong sangat keterlaluan. Sedang Koan Tiong pun
membuat loteng tiga tingkat, sangat indah.
Perbuatan Koan Tiong tersebut membuat Pao Siok Gee kurang senang, dia berkunjung
ke gedung sahabatnya itu. "Tiong-hu, aku tidak mengerti pada sikapmu?" kata Pao
Siok Gee. "Raja kita hidup mewah, kau juga kut-ikutan. Raja kita melanggar aturan kau juga
ikut! Apa pantas begitu?" "O, sahabatku, jelas kau tidak mengerti maksudku," sahut Koan Tiong. "Jika aku
berbuat begitu, sebenarnya aku hendak menyindir Cu-kong kita."
Pao Siok Gee sekalipun mengangguk, tetapi dia tetap tidak puas dan tidak yakin
pada alasan yang disampaikan oleh Koan Tiong tersebut.
*** Dikisahkan perjalanan pulang Ciu Kong Khong. Di tengah perjalanan dia berpapasan
dengan Raja Chin Hian Kong yang berniat datang ke pertemuan Raja Cee. Tatkala Ciu Kong
Khong memberi tahu pertemuan sudah selesai, Raja Chin sangat menyesal, dengan
membanting kakinya dia berkata, "Sayang sekali negeriku terlalu jauh, sehingga terlambat
datang! Ah, mengapa nasibku jelek sekali!"
"Harap Tuanku tidak kecewa," kata Ciu Kong Khong. "Sekarang Raja Cee karena
merasa jasanya besar, kelakuannya mulai sombong! Seumpama rembulan sesudah bulat, akan
bersinar separuh kembali. Begitu juga air, jika sudah terlalu penuh akan meluap.
Tunggu saja meluap dan somplaknya Raja Cee tak akan lama lagi. Jadi jangan Tuanku menyesal."
Mendengar keterangan itu Raja Chin pun pulang ke negaranya.
Bab 16 Tangis Li Ki mulai reda. "Aku dengar bangsa Cek Tek sering datang mengganggu negeri kita. Mengapa Tuanku
tidak mengirim Sin Seng untuk menumpas bangsa itu" Mari kita lihat, apakah Sin Seng
mampu memakai tenaga rakyat yang dikasihinya atau tidak" Jika dia kalah, maka Tuanku
punya alasan untuk menghukum dia. Tetapi jika dia menang, itu berarti dia sangat
disukai oleh rakyat!" kata Li Ki.
"Ya, kau benar," kata Chin Hian Kong.
Alangkah senangnya Li Ki, baru dia tersenyum manis seperti biasa.
Esok harinya...... Ketika Raja Chin Hian Kong bersidang dengan menteri-menterinya di istananya.
Raja Chin mengeluarkan perintah agar Sin Seng memimpin pasukan perang ke Kiokah untuk
menghajar bangsa Cek Tek. Tetapi banyak menteri yang keberatan.
"Putera Mahkota orang kedua setelah Raja, jika Raja tidak ada, Putera Mahkota-
lah yang mewakili mengurus pemerintahan," kata Li Kek.
Menteri Li Kek berusaha hendak mencegah keinginan Raja Chin Hian Kong.
"Sebenarnya seorang Putera Mahkota dijauhkan saja dari samping Raja sudah tidak
pantas, apalagi jika disuruh memimpin angkatan perang?" Li Kek menambahkan.
"Tetapi Pangeran Sin Seng sudah sering memimpin pasukan perang!" kata Raja Chin
Hian Kong kurang senang. "Dulu dia berperang ikut dengan Tuanku, tetapi sekarang mau disuruh sendiri, ini
berbeda jauh sekali," sahut Li Kek.
"Aku punya sembilan orang putera, aku belum menetapkan siapa yang bakal mejadi
ahli warisku!" kata Chin Hian Kong mendongkol. "Aku tidak akan membatalkan
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintahku. Aku tak ingin orang ikut campur!"
Li Kek tertegun tidak berani buka suara lebih jauh.
Setelah itu pertemuan dibubarkan. Li Kek pergi menemui Ho Tut, seorang menteri
tua di negeri Chin. Li Kek langsung menceritakan bahwa Raja Chin telah mengutus
Pangeran Sin Seng ke medan perang. "Ah, kalau begitu Pangeran dalam bahaya," kata Ho Tut terperanjat.
Dia sudah menduga pasti Sin Seng bakal difitnah. Ho Tut segera menulis surat
kepada Sin Seng, dalam suratnya dia menyarankan agar Sin Seng jangan pergi ke medan perang,
tetapi lebih baik pergi mengasingkan diri ke negeri lain.
Ketika Sin Seng menerima surat dari Ho Tut, dia menolak nasihat menteri tua itu.
Sambil menghela napas dia berkata, "Ya, aku pun sudah tahu, Ayahku menyuruh memimpin
angkatan perang karena dia senang kepadaku. Baiklah, aku mengerti, jika aku
menolak maka aku akan dianggap melanggar perintahnya. Jika aku ke medan perang dan aku mati
tidak apa. Dengan demikian aku sudah menjalankan perintah Ayah dan Raja dengan benar!"
Sin Seng menyiapkan angkatan perangnya di Kiok-ah untuk menghadapi bangsa Cek
Tek di Cek-heng. Tidak lama terjadi pertempuran hebat antara pasukan Chin dengan
tentara Cek Tek. Dalam peperangan itu Sin Seng yang gagah berhasil mengalahkan musuh. Dia
segera mengirim laporan kepada Raja Chin Hian Kong. Malamnya Raja Chin bercerita pada
Li Ki bahwa putera sulungnya berhasil mengalahkan bangsa Cek Tek.
"O, Pangeran benar-benar bisa memakai tenaga rakyat Kiok-ah!" kata Li Ki seolah
kaget. "Sekarang apa yang kita harus lakukan?"
"Kita belum punya alasan menghukum dia, biar kita beri waktu kepadanya," jawab
Hian Kong. Li Ki diam saja, tetapi dia sangat berduka, hanya tidak diperlihatkan
saja. Keadaan di negeri Chin ini sangat memprihatinkan menteri tua Ho Tut. Karena itu
dia pura- pura sakit dan tidak mau keluar rumah.
*** Ketika itu negeri Gi dan negeri Kek bersahabat kekal, bukan saja rajanya sesama
she (marga), sedang negaranya bertetangga dan salah satu berbatasan dengan negeri Chin.
Raja negeri Kek sangat sombong dan suka mencari masalah, tidak heran jika ada
masalah, walaupun kecil, dia langsung menyerang ke daerah Chin.
Pembesar Chin yang menjaga perbatasan negeri melapor kepada Raja Chin Hian Kong.
"Raja Kek sangat keterlaluan dan sombong. Dia perlu diajar adat!" kata panglima
penjaga perbatasan. Mendengar laporan itu Raja Chin Hian Kong marah sekali. Dia sepakat akan
melabrak negara Kek itu. Niat Raja Chin diketahui oleh Li Ki, isterinya, kembali dia hendak
meminjam tangan musuh untuk membinasakan Sin Seng.
"Jika Tuanku hendak menghajar negara Kek, mengapa Tuanku tidak menyuruh
Pangheran Sin Seng saja." kata Li Ki.
"Tidak aku tidak setuju!" kata Raja Chin.
"Mengapa Tuanku tidak setuju?" tanya Li Ki.
Raja Chin yang sudah terpengaruh oleh hasutan Li Ki, dia mulai curiga pada Sin
Seng. "Jika sekarang dia lagi yang maju ke medan perang, dan dia menang. Bukankah
namanya akan jadi lebih terkenal. Malah dia akan makin disayang oleh semua menteriku.
Dengan demikian, bagaimana aku bisa menyingkirkan dia?" kata Raja Chin.
Raja Chin lalu mengumpulkan menteri-menterinya untuk diajak berunding. Dia
bertanya pada menteri Sun Sit. "Menurut Anda, apakah negeri Kek boleh kita serang?" tanya Raja Chin.
"Saat ini negara Gi dan Kek sedang rukun," sahut Sun Sit, "jika kita serang
negeri Kek, pasti Raja Gi akan membantunya. Begitu juga jika kita serang negeri Gi, pasti Kek akan
membantunya. Jika keduanya kita serang, hamba tidak yakin kita akan menang!"
"Kalau begitu harus bagaimana?" tanya Raja Chin. "Hamba dengar Raja Kek sangat
suka perempuan elok, kita gunakan saja sebuah tipu "Bi Jin Ke" pasti kita bisa
mengalahkan dia. Sekarang kita cari beberapa perempuan cantik, ajari mereka bernyanyi dan menari.
Jika mereka sudah pandai. Dandani mereka lalu kirim ke sana." kata Sun Sit.
"Boleh juga!" kata Raja Chin. "Lalu selanjutnya bagaimana?"
"Jika Raja Kek sudah tergila-gila oleh perempuan cantik, dia akan lupa diri.
Lupa mengurus pemerintahan. Pasti menterinya yang setia akan jengkel kepadanya." kata Sun Sit.
"Ah bagus!" "Selanjutnya kita suap Raja bangsa Kian-jiong, minta bangsa itu mengacaukan
negara Kek. Sesudah kacau, baru kita serang mereka. Hamba yakin kita bisa menang!" kata Sun
Sit. Raja Chin Hian Kong setuju pada saran Sun Sit. Mulailah Raja Chin menyuruh
mencari wanita cantik. Dia berhasil mengumpulkan beberapa orang. Kemudian dilatih.
Sesudah pandai mereka dikirim ke negeri Kek. Benar saja kiriman Raja Chin itu sangat menarik
hati Raja Kek. Salah seorang menteri Raja Kek curiga.
"Tuanku jangan terima!" kata Menteri Ciu Ci Kiao. "Ini pasti jebakan Raja Chin
dan memberi umpan pada Tuanku. Mengapa Tuanku menerimanya?"
Raja Kek tidak menghiraukan nasihat itu. Malah dia menerima berdamai dengan
negara Chin. Benar saja semenjak mendapatkan beberapa wanita cantik Raja Kek jadi lupa
daratan. Siang dan malam bersenang-senang saja. Dia jarang menghadiri persidangan di istananya.
Sekalipun berulangkali Ciu Ci Kiao menasihatinya tetapi Raja Kek tidak mau
menghiraukannya. Malah berbalik marah-marah pada Ciu Ci Kiao. Dia peritahkan Ciu
Ci Kiao menjaga kota He-yang. Dengan demikian Raja Kek jadi bebas dari gangguan
menteri Ciu tersebut. Selang beberapa bulan kemudian, bangsa Kian-jiong yang mendapat suapan dari Raja
Chin, datang menyerang daerah Kek. Waktu tentara Kian-jiong sudah sampai di Wi-jwe,
tetapi telah berhasil dipukul mundur oleh tentara Kek. Raja Kian-jiong yang masih penasaran
segera mengeluarkan seluruh kekuatan tentaranya datang menantang lagi. Raja Kek
mengerahkan tentaranya menangkis serangan musuh tersebut. Sesudah berperang cukup lama,
mereka jadi terpaku di daerah Song-tian.
Berita tentang terhentinya peperangan antara Raja Kek dan bangsa Kian-jing,
karena masing- masing bertahan di tempat, sampai ke telinga Raja Chin.
"Aku dengar tentara San-jing dan Kek masih bertahan di daerah Song-tian. Apa
sekarang kita boleh mulai menyerang mereka?" kata Raja Chin.
"Jangan, belum boleh, sebab hubungan negeri Gi dan Kek belum putus," sahut Sun
Sit. "Tetapi hamba sudah menyiapkan sebuah tipu. Hari ini kita ambil Kek. Esoknya
kita ambil Gi." "Tipu bagaimana?"
"Tuanku suap Raja Gi, sesudah itu minta pinjam jalan untuk melabrak negeri Kek."
"Kita dengan Kek baru berdamai, tidak ada alasan melabrak mereka, apa Raja Gi
mau percaya?" "Dengan diam-diam Tuanku perintahkan orang di Utara mencari gara-gara dengan
Kek, panglima Kek yang menjaga perbatasan pasti akan menegur, Lalu kita pakai alasan
itu untuk meminjam jalan pada Gi."
Raja Chin Hian Kong girang sekali. Kembali dugaan Sun Sit tidak meleset, benar
saja panglima Kek yang menjaga perbatasan menegur tatkala orang Chin melanggar
perbatasan. Ketika itu baik dari pihak Kek, maupun dari pihak Chin, masing-masing sudah
menyiapkan pasukan perang siap untuk bertempur.
Padahal waktu itu Raja Kek sedang siaga menghadapi serangan bangsa Kian-jiong,
sehingga tak mungkin menghadapi perselisihan perbatasan dengan Chin. Ketika Raja Chin
Hian Kong sudah mendapat kabar tentang perselisihan perbatasan itu, dia girang. Lalu
memanggil Sun Sit. "Sekarang sudah ada alasan untuk menghajar negeri Kek. Barang apa yang harus
kita berikan pada Raja Gi?" kata Raja Chin.
"Raja Gi sekalipun serakah, tetapi jika tidak disuap dengan mustika yang bagus,
pasti dia tidak akan tertarik," kata Sun Sit. "Hamba pikir hendak menyuap dia dengan
barang berharga, tetapi hamba khawatir Tuanku tidak mengizinkannya."
"Barang apa itu" Katakan saja!" kata Raja Chin.
"Hamba dengar Raja Gi menginkan batu Giok dari Sui-kek dan kuda bagus dari Kut-
can milik Tuanku. Dua barang itu bisa membuat dia terkecoh, dan usaha kita akan
berhasil!" kata Sun Sit. "O, tidak bisa!" kata Raja Chin terperanjat. "Dua barang barang wasiat,
bagaimana bisa aku serahkan pada orang lain?"
"Nah, hamba juga menduga begitu." kata Sun Sit. "Jika tidak bisa meminjam jalan,
berarti usaha kita gagal! Padahal jika Tuanku setuju, barang-barang itu cuma dipinjam
sementara. Sesudah mendapat jalan dan berhasil melabrak negeri Kek, kita bisa merampasnya
lagi dari negeri Gi. Ibarat pepatah tua mengatakan : Menyimpan batu giok di gudang orang
dan memelihara kuda bagus di istal orang lain, cuma untuk sementara saja."
"Tetapi ingat di negeri Gi ada dua menteri pandai. Mereka Kiong Ci Ki dan Pek Li
He," kata Li Kek. "Apa mereka tak akan menerka siasat kita. Lalu menasihati Raja mereka,
hingga berbalik menipu kita?"
"Tidak masalah," kata Sun Sit. "Raja Gi sangat serakah dan bodoh. Sekalipun
dinasehati, pasti tak akan didengar!"
Raja Chin Hian Kong diam berpikir sebentar, kemudian mengambil putusan.
"Baik, barang-barang itu akan kuserahkan!" kata Raja Chin.
Setelah mendapatkan dua barang itu Sun Sit pamit, dia mengantarkan batu giok dan
kuda itu ke negeri Gi. Tentu saja Raja Gi girang diberi hadiah dua barang berharga itu.
"Ini barang wasiat milik negaramu, di kolong langit jarang ada, mengapa Rajamu
mau memberikannya kepadaku?" kata Raja Gi heran,
"Rajaku senang kepada Tuanku," kata Sun Sit. "Dia juga kagum oleh kegagahan dan
kebajikanmu, maka dia bersedia menghadiahkan barang itu pada Tuanku!"
"Tetapi aku rasa hadiah ini harus ada imbalannya, apa mau Rajamu." Kata Raja Gi.
"Ya, cuma sedikit saja. Lantaran orang Kek sering datang menyerang daerah Chin.
Demi keamanan dan ketenteraan negeri kami maka Rajaku akan menemui Raja Kek untuk
berdamai. Tetapi damai belum lama, sudah timbul perselisihan perbatasan. Maka
dengan terpaksa Rajaku mau meminjam jalan pada Tuanku untuk memberi pelajaran pada Raja
Kek. Jika dalam perang nanti Rajaku berhasil mengalahkan Raja Kek, maka semua harta-
benda milik Raja Kek akan diserahkan kepada Tuanku. Bagaimana pendapat Tuanku?"
Raja Gi memang agak bodoh, dia tidak sadar pancing itu sudah mulai nyangkut di
tenggorokannya. "Baik! Baik aku setuju!" kata Raja Gi.
"Harap jangan Tuanku luluskan permintaannya!" kata Kiong Ci Ki. "Peribahasa
mengatakan: Jika bibir telah hilang maka gigi akan kedinginan. Bukankah Tuanku sudah tahu,
Raja Chin telah menghancurkan negeri-negeri yang rajanya sesama she dengannya" Malah bukan
cuma satu negeri saja" Jika selama ini dia tidak berani berbuat begitu pada negeri Gi
dan Kek, lantaran dua negeri ini bersahabat kekal satu sama lain. Sehingga mirip dengan
gigi dan bibir. Hamba yakin jika Kek hari ini musnah, maka besok negeri kita! Percaya pada
hamba." "Raja Chin rela menyerahkan mustika negaranya. Masakah aku kikir hanya
meminjamkan jalan untuk mereka lalui?" kata Raja Gi yang bodoh itu."Apa kau lupa, Chin lebih
kuat. Aku kehilangan Kek, tetapi mendapatkan Chin menjadi sahabatku. Sudah, kau pergi dari
sini. Jangan banyak bicara!"
Ketika Kong Ci Ki hendak menasihatinya lagi, lengan bajunya ditarik oleh Pek Li
He. Dia batalkan niatnya. "Baik aku setuju memberi jalan, katakan pada Rajamu terima kasih atas
hadiahnya," kata Raha Gi girang sekali. Sun Sit pamit kembali ke negerinya.
Sesudah meninggalkan istana Kiong Ci Ki bertanya pada Pek Li He. "Sahabatku, kau
bukan membantuku bicara, malah mencegah aku bicara. Apa maksudmu?" kata Kiong Ci Ki.
"Setahuku memberi nasihat pada orang bodoh sama saja dengan batu mustika jatuh
dalam kotoran," kata Pek Li He. "Jangan lupa, Raja Kiat membunuh Koan Liong Hong,
Kaisar Tiu
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong membunuh Pi Kan. Sebabnya karena terlalu mendesak memberi nasihat! Karena
aku anggap kau dalam bahaya, maka kau kuingatkan!"
"Tetapi jika begini gelagatnya negeri Gi bakal musnah, apa tidak lebih baik kita
kabur saja?" kata Kiong Ci Ki. "Jika kau mau pergi, pergilah! Jika kau ajak oranglain, dosamu makin
berat.Tentang aku jangan kau pikirkan, aku sendiri tahu bagaimana baiknya."
Akhirnya Kiong Ci Ki mengucapkan selamat tinggal kepada Pek Li He, dia ajak
seluruh keluarganya melarikan diri.
Di negeri Chin.... Begitu Sun Sit sampai ke negerinya, dia melapor.
"Tuanku Raja Gi menyetujui saran kita. Kita boleh melewati negaranya," kata Sun
Sit. Raja Chin sangat girang, dia siapkan pasukan perangnya untuk menyerang ke negeri
Kek. Li Kek minta izin untuk memimpin pasukan perang itu, Chin Hian Kong setuju, Li
Kek diangkat menjadi Jenderal Besar dan Sun Sit menjadi pembantunya.
Sebelum angkatan perang itu berangkat, Sun Sit memerintahkan orangnya memberi
khabar kepada Raja Gi bahwa tentara Chin akan segera sampai ke negeri Gi. Sementara
Raja Gie sibuk menyiapkan penyambutan. Tidak lama pasukan Chin sudah sampai di negara Gi.
"Aku sangat berhutang budi pada Raja Chin, beliau merelakan barang mustikanya.
Karena aku tak punya apa-apa, maka aku bersedia menyertakan tentara kami berperang
dengan Raja Kek," kata Raja Gi pada Sun Sit.
"Aku senang Anda jujur," kata Sun Sit girang. "Jika Tuanku hendak ikut
berperang, Tuanku serahkan saja kota He-yang."
"Kota He-yang dijaga oleh panglima Kek, bagaimana aku bisa menyerahkannya?" kata
Raja Gi. "Aku dengar Raja Kek sedang berperang dengan bangsa Kian-jiong di Song-tian,
mana yang bakal menang dan kalah belum ketahuan" Sekarang Tuanku pura-pura hendak membantu
Raja Kek, tetapi diam-diam dalam pasukan Tuanku kita sertakan tentara Chin.
Dengan demikian Tuanku bisa masuk dan merampas kota He-yang."
Raja Gi memuji kepandaian Sun Sit, dia turuti siasat Sun Sit tersebut. Panglima
Kek yang menjaga kota He-yang bernama Ciu Ci Kiao. Ketika melihat tentara Gi datang dia
senang. Lalu membuka pintu kota. Tetapi seketika dia kaget sebab di tengah-tengah
tentara Gi terdapat tentara Chin. Serentak tentara Chin menyerang Ciu Ci Kiao.
Sementara pasukan yang dipimpin oleh Sun Sit dan Li Kek pun sudah sampai di
situ. Ciu Ci Kiao jadi panik, sehingga kota itu jatuh ke tangan musuh. Ciu Ci Kiao yang takut
dihukum oleh Raja Kek, terpaksa mereka takluk pada tentara Chin. Li Kek menerima
takluknya Ciu Ci Kiao dengan baik, Ci Kiao dipakai menjadi penunjuk jalan untuk menyerang kota
Siang-yang. Ketika itu Raja Kek ada di Song-tian. Mendengar kota He-yag telah jatuh ke
tangan musuh, dia kaget sekali. Dengan tergersa-gesa dia tarik mundur tentaranya. Tentu saja
kesempatan ini tidak disia-siakan oleh bangsa Kian-jiong, mereka serang tentara Kek hingga
rusak berat, maka terpaksa mereka kembali ke negaranya. Begitu sampai di kota Siang Yang,
Raja Kek memerintahkan tentaranya menjaga keras kota itu. Tetapi dia sudah tidak punya
harapan bisa mengusir tentara Chin yang datang menyerangnya.
Kepungan yang dilakukan oleh tentara Chin sangat hebat. Dari mulai bulan delapan
sampai bulan duabelas, Siang-yang dikepung dengan ketat. Celakanya di kota Siang-yang
sudah mulai kekurangan makanan. Sudah beberapa kali Raja Kek mencoba menerobos keluar
dari kepungan. Tapi usahanya sia-sia saja.
Dengan demikian bukan saja tentaranya kelelahan, tetapi yang mati dan terluka
pun bertambah banyak. Rakyat menangis dan sangat menderita.
Mengetahui kedaaan musuh sudah sangat parah, Li Kek memerintahkan pada Ciu Ci
Kiao, agar bekas panglima Kek itu menulis surat untuk membujuk supaya Raja Kek mau
menakluk. Surat itu oleh Ciu Ci Kiao diikat pada sebatang panah, lalu dilepaskan ke dalam
kota. Setelah Raja Kek membaca surat itu, sambil menghela napas dia berkata, "Leluhur
pernah menjadi menteri Kaisar Ciu, bagaimana aku punya muka untuk menyerah kepada
seorang raja muda!" Untuk melawan sudah tidak mungkin. Dengan terpaksa dan mengajak semua
keluarganya, Raja Kek keluar kota hendak melarikan diri ke negara Ciu.
Ketika Li Kek mengetahui Raja Kek sudah kabur, dia tidak mengejar raja itu,
tetapi langsung masuk ke dalam kota Siang-yang. Li Kek dengan tegas melarang tentaranya
mengganggu harta maupun rakyat Siang-yang. Perintah ini membuat rakyat sangat bersyukur.
Kemudian Li Kek membuka gudang milik negara Kek, mengambil sepertiga harta dan memilih
wanita cantik. Semua itu dia serahkan kepada Raja Gi sebagai hadiah. Dengan cepat kota
Siang-yang tentram kembali. Berbagai hadiah dari Li Kek kepada Raja Gi sebenarnya seperti umpan berbahaya.
Tetapi karena Raja Gi sangat tolol, dia malah girang bukan main. Diam-diam Li Kek
mengirim orang melapor pada Raja Chin.Dengan sengaja Li Kek suatu hari menyebar khabar
bohong. Dia katakan dia sakit keras dan belum bisa pulang ke negaranya. Mendengar Li Kek
sakit Raja Gi setiap hari mengirim obat dan menanyakan kesehatannya. Dengan begitu
satu bulan telah lewat. Pada suatu hari tiba-tiba datang juru kabar melapor kepada Raja Gi.
"Raja Chin bersama angkatan perangnya datang dan telah masuk ke perbatasan
negara Gi!" kata pelapor itu. "Apa maksud kedatangan Raja Chin kemari?" tanya Raja Gi.
"Katanya Raja Chin khawatir tentaranya yang menyerang negeri Kek tidak berhasil,
maka dia datang akan membantu!" kata si pelapor itu.
"Akh kebetulan," kata Raja Gi. "Tadinya aku akan datang ke negeri Chin untuk
mempererat persahabatan. Malah sekarang dia datang! Ini sungguh kebetulan!"
Raja Gi mengadakan penyambutan. Pertemuan mereka sangat menggembirakan kedua
belah pihak. Segera juga raja Gie perintahkan tentaranya pergi menemui raja Chin,
pertemuan mana akan menggirangkan pada kedua pihak. Raja Chin Hian Kong mengajak Raja Gi pergi
berburu di gunung Ki-san.
Raja Gi sedikit pun tidak curiga malah dia sengaja memamerkan kekuatan
tentaranya. Dia tunjukkan kereta-kereta perang dan pasukan berkudanya pada Raja Chin. Mereka
bersama- sama pergi berburu ke Ki-san. Saat mereka sedang asyik mengepung buruannya.
Datang khabar buruk, di kota Gi terjadi kebakaran besar.
"Akh celaka!" kata Raja Gi.
"O ini pasti ada penduduk yang alpa sehingga rumahnya terbakar," kata Raja Chin.
Anda tak perlu cemas!" Raja Gi mau pulang. Dia ingin tahu bagaimana terjadinya kebakaran tersebut.
"Tidak pelu cemas, pasti api akan segera padam! Mari kita teruskan saja
berburu," kata Raja Chin. Ketika Raja Gi memaksa akan pulang, Raja Chin tetap mengajak meneruskan
perburuan mereka. Karena tidak enak hati akhirnya Raja Gi setuju meneruskan berburu. Pek
Li He mendapat firasat kurang enak, dia bisiki Raja Gi.
"Karena di dalam kota terjadi kebakaran, Tuanku tidak boleh terlalu lama di
sini." kata Pek Li He. Raja Gi menngangguk setuju, dia pamit pada Raja Chin akan pulang lebih dulu.
Di tengah jalan Raja Gi melihat rakyatnya banyak yang melarikan diri.
"Hai kalian mau ke mana" Tunggu!" kata panglima tentara Gi.
"Kota sudah diduduki oleh tentara Chin! Kota sudah jatuh ke tangan bangsa Chin!"
kata mereka. Bukan main terkejutnya Raja Gi ketika mendengar teriakan itu. Dengan gusar dia
perintahkan tentaranya maju untuk bertempur. Sampai di depan kota, dia melihat di atas
loteng kota berdiri seorang panglima perang yang kelihatan angker sekali, panglima itu
ternyata Sun Sit adanya. "Dulu Tuanku telah meminjamkan jalan!" kata Sun Sit sambil tersenyum, "Sekarang
Tuanku meminjamkan negeri Gi, sungguh aku harus mengucapkan banyak terima kasih pada
Tuanku." Sindiran itu membuat Raja Gi murka sekali, segera perintahkan tentaranya hendak
melabrak pintu kota. Tetapi sebelum dia bisa berbuat apa-apa, di atas kota terdengar
suara letusan yang keras. Berbareng dengan itu berhamburan anak panah bagaikan hujan menyambar ke
arah tentara Gi. Terpaksa mereka harus mundur. Ketika Raja Gi memerintahkan orang
agar meminta pasukan kereta perangnya; dia mendapat jawaban, bahawa pasukan kereta
perangnya telah dihadang musuh. Hadangan ini memubuat tentara Gi banyak yang mati dan luka
parah. Sekarang Raja Gi terjepit di tengah-tengah kepungan musuh. Dia jadi serba salah,
maju salah mundur pun susah. "O celaka. Mengapa aku tak mau mendengar nasihat Kiong Ci Ki?" kata Raja Gi. "Li
He, mengapa kau tak menasihatiku?"
"Nasihat Ci Ki saja tidak diturut, apa Tuanku mau mendengar omongan hamba?" kata
Pek Li He. "Kenapa kau tak ikut kabur bersama Ci Ki?" kata Raja Gi.
"Aku ingin ikut Tuanku sampai mati!" kata Pek Li He. Kembali Raja Gi menarik
napas. Bab 17 Saat Raja Gi sedang terancam bahaya, mendadak dari belakang datang sebuah kereta
perang. Di kereta itu tampak Ciu Ci Kiao, panglima Kek yang menakluk pada Chin. Melihat
panglima itu Raja Gi jadi malu sendiri.
"Tuanku salah pilih, memutuskan persahabatan dengan Raja Kek," kata Ciu Ci Kiao.
"Akhirnya Tuanku celaka! Lebih baik Tuanku menyerah saja!"
Raja Gi bengong dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama Raja Chin bersama
tentaranya telah tiba. Dia minta agar Raja Gi menghadap kepadanya. Karena tidak punya
pilihan lain, terpaksa dia menemui Raja Chin.
"Kedatanganku ini, untuk mengambil sewa batu mustika dan kuda baikku!" kata Raja
Chin sambil tertawa. Kemudian dia perintahkan anak buahnya membawa Raja Gi ke kereta di belakang. Pek
Li He ikut terus dengan rajanya, sekalipun rajanya itu sudah ambruk. Raja Chin masuk
kota. Dia disambut oleh Sun Sit yang tangan kirinya memegang batu giok dan tangan kanannya
menuntun kuda Raja Chin. "Siasat hamba berhasil mengecoh Raja Gi, sekarang kedua barang ini hamba
kembalikan kepada Tuanku," kata Sun Sit.
Raja Chin Hian Kong girang sekali, dia memuji kepandaian Sun Sit.
Setelah mengamankan negeri Gi, Raja Chin kembali sambil membawa Raja Gi ke
negaranya. Sampai di negeri Chin sang raja memerintahkan agar Raja Gi dihukum mati. Tetapi
Sun Sit mencegahnya. "Raja Gi seorang yang tolol, jangan dibunuh dia tidak berbahaya!" kata Sun Sit.
Raja Chin menurut. Raja Gi tidak jadi dihukum mati, malah diberi hadiah dan
dibiarkan tinggal di negeri Chin. Ciu Ci Kiao oleh Raja Chin diberi pangkat. Sedang Pek Li
He yang dipromosikan oleh Ciu Ci Kiao juga diampuni dan akan diberi pangkat. Tetapi Pek
Li He menolak tawaran Raja Chin lewat Ciu Ci Kiao itu.
"Kenapa Tuan menolak?" kata Ciu Ci Kiao.
"Aku akan tetap mengabdi kepada Raja Gi sampai akhir hayatnya. Sesudah beliau
mati, baru aku mau bekeja pada orang lain," kata Pek Li He.
Jawaban itu membuat Ciu Ci Kiao tersinggung. Dia sangat mendongkol.
"Seorang yang berbudi jika mau menyelamatkan diri, tidak akan bekerja pada
musuh. Apalagi menjadi bawahan musuh. Jika aku akan menjadi pejabat, pasti bukan di negeri
Chin!" kata Pek Li He. Mendengar ucapan itu Ciu Ci Kiao merasa tersindir oleh Pek Li He, sehingga
sangat mendongkol sekali. Dia ingin mencari jalan untuk memfitan Pek Li He.
** Ketika itu raja di negeri Cin yang bergelar Cin Bok Kong sudah bertahta enam
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun lamanya. Karena belum punya permaisuri maka dia minta Tay-hu Kong-ci Ci pergi ke
negeri Chin. Dia diminta meminang puteri sulung Raja Chin bernama Pek Ki, sebenarnya
adik Pangeran Sin Seng. Lamaran itu oleh Raja Chin Hian Kong diterima baik. Ci pulang akan memberi kabar
pada rajanya. Di tengah perjalanan Kong-cu Ci melihat seorang bermuka merah,
berewokan. Dengan kedua tangannya orang itu membenamkan cangkulnya. Kemudian dia menantang.
"Siapa yang bisa mengangkat cangkulku ini!" kata orang itu.
Beberapa orang yang tertarik lalu mencobanya, tetapi tidak seorang pun yang
mampu mencabut cangkul itu dari tanah.
Menyaksikan kekuatan orang itu, Kong-cu Ci sangat kagum, dia hampiri orang itu.
Lalu dia memberi hormat dan bertanya.
"Sobat, siapa she dan nama?"
"O, baik," sahut itu orang. "Aku she (marga) Kong-sun, namaku Ci alias Chu Song,
aku ini keponakan luar dari Raja Chin."
"Kau pandai dan kuat, mengapa kau tinggal di sini?" tanta Kong-cu Ci.
"Ya, apa boleh buat," kata Kong-sun Ci sambil menghela napas. "Aku tak ada yang
memimpin!" "Maukah kau ikut aku jalan-jalan ke negeri Cin." Tanya Kong-cu Ci.
"Jika Tuan tidak keberatan, memang aku sangat ingin ke sana."
Dengan girang Pangeran Ci mengajak Kong-sun Ci naik di keretanya, mereka segera
menuju ke negeri Cin. Sampai di negeri Cin, Pangeran Ci memberitahu Raja Cin Bok Kong.
"Lamaran Tuanku diterima," kata Pangeran Ci. "Di perjalanan pulang aku bertemu
dengan orang gagah bernama Kong-sun Ci!"
Raja Cin Bok Kong senang sekali, Kong-sun C diangkat menjadi pembantunya.
Kemudian Raja Cin Bok Kong mengutus Pangeran Ci mengantar bingkisan dan menyambut
pengantin perempuan Pek Ki ke negeri Chin. Kedatangan Pangeran Ci disambut gembira oleh
Chin Hian Kong. Kepada menterinya Chin Hian Kong lalu bertanya.
"Siapa di antara kalian yang bersedia mengantar puteriku ke negeri Cin?" kata
Chin Hian Kong. Mendengar Raja Chin bertanya begitu, timbul ide jahat dari Ciu Ci Kiao
ingin menyingkirkan Pek Li He dari negeri Chin. Buru-buru Ciu Ci Kiao menghadap. Dia
berkata dengan perlahan pada Raja Chin.
"Pek Li He tidak mau bekerja pada Tuanku, hamba khawatir dia berniat jahat!
Lebih baik Tuanku kirim dia untuk mengantar puteri Tuanku ke negeri Cin. Bagaimana pendapat
Tuanku?" kata Ciu Ci Kiao.
Raja Chin Hian Kong setuju atas usul itu. Maka dia perintahkan Pek Li He ikut
mengantar pengantin perempuan ke negeri Cin. Mendapat perintah itu Pek Li He jadi berduka.
Dia menghela napas panjang pendek.
"O Tuhan! Buruk benar nasibku ini. Aku siap menjadi menteri untuk mengatur
negara. Tidak kusangka, sekarang aku diberi pekerjaan hina ini. Tidak beda aku ini seperti
seorang prajurit atau seorang gundik. Aku sudah tua, tapi belum juga menemukan junjungan yang
bijaksana. Sungguh malang nasibku," keluh Pek Li He.
Dia tahu tugas itu tidak bisa ditolak, maka menangislah dia. Tapi dia jalankan
juga tugas itu. Di tengah perjalanan Pek Li He minggat meninggalkan robongan pengantin itu.
"Aku harus ke negeri Song," pikir Pek Li He. "Tetapi bagaimana jika aku
dihadang?" Karena ragu-ragu dia batalkan ke negeri Song. Akhirnya dia memilih kabur ke negeri
Couw. Ketika Pak Lie He sampai di kota Wan-shia, saat itu penduduk Wan-shia sedang
berburu. Orang-orang itu curiga lalu menangkap Pek Li He. Kemudian mereka ikat.
"Aku orang dari negeri Gi," kata Pek Li He memberi keterangan, "sebab negeriku
sudah musnah, maka aku menyingkir dan sampai di sini."
"Kau bisa apa?" tanya orang dusun itu.
"Aku mengerti merawat kerbau," sahut Pek Li He. Orang dusun segera membuka
ikatan pada tubuh Pek Li He, mereka ajak Pek Li He pulang ke rumah mereka. Dia diperintah
supaya merawat kerbau orang dusun itu. Ternyata Pek Li He memang pandai merawat kerbau,
makin hari kerbau-kerbau mereka jadi makin gemuk. Orang-orang dusun itu sangat sayang
kepadanya. Kepandaian Pek Li He merawat kerbau tersiar ke mana-mana. Suatu hari Raja Couw
mendengar tentang kepandaian Pek Li He ini. Dia sangat tertarik, karena ingin
mendapat seorang perawat kuda. Dengan cepat Raja Copuw memerintahkan orangnya memanggil
Pek Li He. Sesudah sampai di ibukota Couw; Raja Couw menyuruh Pek Li He menjadi
penggembala kuda di Lam-hay.
** Tatkala Raja Cin Bok Kong menerima kedatangan pemaisurinya, sesudah menjalankan
adat- istiadat sebagaimana mestinya, dia membuka surat Raja Chin. Ketika dia baca,
Raja Chin memberitahu bahwa Pek Li He menjadi pengantar pengantin, tetapi orangnya tidak
ada. Raja Cin jadi heran sekali. "Siapakah Pek Li He itu?" tanya Cin Bok Kong pada Kong-cu Ci.
"Bekas menterinya negeri Gi," jawab yang ditanya. "Di tengah jalan dia melarikan
diri dari rombongan, tidak ketahuan entah ke mana perginya."
Raja Cin Bok Kong menoleh ke arah Kong-sun Ci sambil berkata: "Chu Song tinggal
di negeri Chin, paling sedikit tahu siapa Pek Li He itu?"
"Dia seorang yang bijaksana," kata Kong-sun Ci. "Dia tahu Raja Gi tidak bisa
diberi nasihat, dia biarkan saja. Dia pandai dan setia. Dia ikut Raja Gi dibawa ke negeri Chin.
Tetapi pendiriannya teguh, ketika oleh Raja Chin ditawari jabatan, dia menolak. Dia
hamba yakin bisa mengurus negara, hanya sayang....Sekali lagi sayang dia belum bertemu
dengan seorang junjungan yang bijaksana."
"Apa kau kira aku bisa mendapatkan dia atau tidak?" kata Raja Cin.
"Hamba dengar kabar keluarganya tinggal di negeri Couw, coba Tuanku perintahkan
orang mencarinya ke sana!" kata Kong-sun Ci.
Raja Cin Bok Kong girang sekali. Saat itu juga dia perintahkan seorang anak
buahnya pergi ke negeri Couw untuk mencari Pek Li He.
Selang beberapa bulan suruhan Raja Cin kembali. Dia langsung memberi laporan
pada Raja Cin Bun Kong. "Hamba bertemu dengannya. Dia ada di tepi pantai Lam-hay (Laut Selatan)." kata
utusan itu. "Apa kerjanya?" tanya Raja Cin.
"Dia bekerja pada Raja Couw sebagai penggembala kuda!" kata si utusan.
Raja Cin Bok Kong kaget. Dia sangat menyayangkan kepandaian orang itu.
"Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan dia" Jika kuantarkan bingkisan ke Raja
Couw, maukah dia menyerahkan Pek Li He padaku?" kata Raja Cin.
"Tidak, pasti Pek Lie He tidak akan datang."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Raja Cin Bok Kong heran.
"Karena Raja Couw tidak tahu kepandaian Pek Li He itu apa, maka dia menyuruhnya
menggembalakan kuda. Tetapi, jika Tuanku membawa bingkisan yang sangat berharga
untuk ditukar dengan Pek Li He, pasti dia curiga dan keheranan. Cara Tuanku, sama saja
dengan Tuanku akan memberitahu Raja Couw bahwa Pek Li He sangat berharga. Jika sudah
tahu Pek Li He pandai, pasti dia mau memakainya sendiri. Mana mau menyerahkannya kepada
Tuanku!" kata Kong-sun Ci.
"Oh, oh . . . ya aku mengerti!" kata Raja Cin Bok Kong sambil manggut-manggut.
"Karena itu," kata pula Kong-sun Ci yang meneruskan bicaranya, "lebih baik
gunakan alasan bahwa dia telah berdosa, pada saat mengantarkan pengantin perempuan dia telah
kabur. Dengan Tuanku hanya memberi sedikit bingkisan saja, pasti Raja Couw girang.
Sedang rahasia kepandaian Pek Li He tetap rahasia. Ini siasat yang pernah dipakai oleh
Koan Tiong saat kabur dari megeri Louw."
Raja Cin Bok Kong setuju pada rencana Kong-sun Ci, dan memerintahkan anak
buahnya mengantarkan beberpa lembar kulit kambing untuk dihadiahkan pada Raja Couw.
Berangkatlah utusan Raja Cin. Sesampai di negeri Couw, saat menghadap pada Raja
Couw utusan itu melapor. "Hamba utusan negeri Cin, Raja hamba bilang ada orang bernama Pek Li He. Saat
dia mengantar calon permaisuri Raja Cin, telah kabur dari rombongan pengantin. Raja
kami hendak menangkap dia untuk dihukum. Ini untuk contoh bagi menteri lain agar dia
tidak lalai saat menjalanlan tugasnya. Sebagai tebusan hamba bawa lima lembar kulit kambing
terbaik untuk Tuanku." kata si utusan.
Sebenarnya Raja Couw sayang pada Pek Li He yang dia tahu pandai merawat
binatang, tetapi karena khawatir Raja Cin marah, jika dia tolak permintaannya. Ditambah lagi apa
artinya seorang gembala kuda. Maka dia perintahkan anak buahnya agar pergi ke Lam-hay
untuk menangkap Pek Li He akan diserahkan kepada utusan Raja Cin. Saat di Lam-hay Pek
Li He senantiasa bersikap baik, saat ditangkap tentu saja kenalannya di tempat itu
sangat kaget. Mereka juga khawatir kalau Pek Li He akan dihukum berat. Mereka semua menangis.
Pek Li He malah tertawa dan berkata, "Aku dengar, Raja Cin punya niat ingin
menjadi raja jago, untuk apa seorang pengantar pengantin" Raja Cin memintaku pada Raja Couw,
pasti dia perlu memakaiku. Kali ini aku beruntung, mengapa kalian malah menangis?" kata
Pek Li He. Sehabis berkata begitu dia masuk ke dalam kerangkeng pesakitan, dan segera
dibawa pergi. Raja Couw menyerahkannya pada utusan Cin yang membawanya pulang ke negeri Cin.
Ketika hampir sampai di daerah Cin, Pek Li He disambut oleh Kong-sun Ci atas
perintah Raja Cin. Pek Lie He langsung dikeluarkan dari krangkeng oleh Kong-sun Ci, dan
langsung diajak menemui Raja Cin. Ketika bertemu dan melihat Pek Li He sudah tua, Raja Cin Bok Kong agak kecewa.
"Sekarang kau sudah umur berapa?"
"Tujuh puluh tahun," sahut Pek Li He.
"Oh, sayang. Sudah tua." kata Raja Cin Bok Kong sambil menghela napas.
"Jika Tuanku mau menyuruh hamba mengejar burung yang terbang atau menangkap
binatang buruan; hamba memang sudah terlalu tua. Jika untuk mengurus urusan di dalam
negeri, maka hamba masih mampu dan bisa dianggap masih muda!" kata Pek Li He.
Raja Cin Bok Kong mengangguk.
"Dulu Lu Siang atau yang biasa disebut Kiang Tay Kong sudah berumur 80 tahun,
kerjanya duduk sambil memancing ikan. Baginda Bun Ong mengajak dia dan mengangkatnya
menjadi Siang-hu (Menteri negara). Hingga beliau bisa membangun Kerajaan Ciu, dan
membentuk Dewan Kerajaan Ciu sampai sekarang berdirinya. Jika usia hamba dibandingkan
dengan Lu Siang, hamba justru masih lebih muda 10 tahun." kata Pek Li He lagi.
Raja Cin Bok Kong terperanjat setelah mendengar perkataan Pek Li He. Wajah Raja
Cin yang tak dingin kini berubah jadi ceria.
"Letak negaraku berada di antara negara Tek dan Jiong," kata Raja Cin. Aku tidak
berserikat dengan Tiongkok, apa Anda bisa membantuku?" kata Raja Cin.
"Dalam masalah apa?" tanya Pek Li He.
"Aku ingin kau membantuku agar derajat negeriku setingkat dengan negara lain.
Apalagi lebih baik dari mereka!" kata Raja Cin.
"Jika Tuanku tidak mencela hamba, seorang tawanan dari negeri yang sudah musnah.
Tentu dengan sekuat tenaga hamba bersedia membantu," kata Pek Li He.
"Nah, aku harus mulai dari mana?" kata Raja Cin.
"Tanah Yong-ki tempat pertama Bun Ong bergerak. Gunungnya berjajar bagaikan gigi
anjing, tanahnya subur. Kerajaan tidak sanggp menjaganya dan menyerahkannya pada
Kerajaan Cin, ini suatu berkah." kata Pek Li He.
Raja Cin tersenyum hatinya senang.
"Negara Cin terletak di antara bangsa Jiong dan Tek maka angkatan perangnya
teguh, tidak turut berserikat dengan Tiongkok, maka tenaga terkumpul," begitu kata Pek Li He.
"Sekarang di antara tempat-tempat bangsa Jiong dan Tek bisa dikatakan negara kecil. Jika
negara itu direbut, berguna untuk persawahan. Jika rakyatnya dijadikan tentara, maka hamba
yakin Raja- raja muda di Tiongkok tak akan bisa menandinginya. Hamba yakin, Tuanku bisa
menjadi jago!" Raja Cin girang bukan main.
"Aku senang seperti Raja Cee mendapatkan Koan Tiong!" kata Raja Cin.
Secara beruntun selama tiga hari Raja Cin berdiskusi dengan Pek Li He. Semua
pertanyaan
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Cin selalu dijawab dengan baik oleh Pek Li He. Kemudian Raja Cin akan
mengangkatnya menjadi Sin-siang (Perdana Menteri) di negeri Cin.
"Jangan, hamba belum pantas memangku jabatan itu. Kepandaian hamba masih kalah
oleh Kian Siok, jika Tuanku mau mengangkat dia, hamba akan membantu Tuanku." kata Pek
Li He. "Kepandaian Anda sudah aku uji dengan seksama, tetapi aku belum kenal siapa Kian
Siok?" kata Raja Cin ragu-ragu. "Kepandaian Kian Siok memang belum orang dengar, bahkan Raja Cee maupun Raja
Song pun belum mengetahuinya. Hanya hamba yang tahu. Baik akan hamba ceritakan pada
Tuanku tentang dia." kata Pek Li He. Sesudah berdiam sejenak dia mulai bercerita.
"Hamba pernah mengembara di negeri Cee. Ketika hamba hendak bekerja pada
Pangeran Bu Ti, tetapi Kian Siok mencegah. Maka hamba tinggalkan negeri Cee. Dengan demikian
hamba bebas dari bencana bersama Pangeran Bu Ti oti. Lalu hamba ke negeri Ciu. Ketika
hamba akan bekerja pada Ong-cu Tui, sekali lagi hamba dicegah oleh Kian Siok. Dengan
demikian hamba pun bebas dari bencana saat Ong-cu Tui dibinasakan. Akhirnya hamba pulang
ke negeri Gi. Hamba sangat miskin, terpaksa bekerja pada Raja Gi, sekalipun Kian
Siok mencegah hamba juga. Selanjutnya Raja Gi ditawan oleh Raja Chin, sampai akhirnya
hamba mendapat perintah untuk mengantarkan pengantin perempuan. Hamba kurang senang
kemudian kabur dan bekerja di negeri Couw. Coba Tuanku bayangkan. Selama hamba
ikuti sarannya, hamba selalu selamat. Ketika hamba mebangkang, hampir saja hamba
binasa. " "O, ada di mana Kian Siok sekarang?" kata Raja Cin Bok Kong girang.
"Sekarang dia ada di negeri Song, tepatnya di kampung Beng-yok-coan. Lekas
panggil dia sebelum direbut oleh orang lain!" kata Pek Li He.
Raja Cin Bok Kong memerintahkan Pangeran Ci menyamar menjadi pedagang, sambil
membawa bingkisan berharga dia mencari Kian Siok di negeri Song. Pek Li He
menitipkan sepucuk surat kepada Pangeran Ci untuk disampaikan kepada Kian Siok. Sesudah
Pangeran Ci membereskan bingkisan yang akan dibawa, segera dia berangkat dengan naik
kereta menuju ke kampung Beng-yok-coan.
Ketika utusan Cin itu sampai di kampung tersebut, ia bertemu dengan beberapa
petani sedang duduk berdendang di atas gili-gili sawah, mereka sedang menyanyi begini kata-
katanya: "Di gunung tinggi, tidak ada joli pikulan.
Di jalan remang-remang, tiada lilin penerangan.
Ramai-ramai diam di sini, airnya bagus tanahnya subur sudah pasti.
Rajinkan kaki-tangan, untuk mendapat penghasilan.
Tiga waktu tidak ada bahaya, makanan berkecukupan.
Senanglah dengan takdirnya Allah, tidak dapat kemuliaan atau kehinaan."
Pangeran Ci diam di atas keretanya. Setelah mendengar nyanyian itu, dia tahu
maksud nyanyian itu, Kian Siok tidak suka ikut campur urusan dunia, lalu dia menghela
napas dan berkata, "Pepatah tua mengatakan - di kampung ada orang budimannya segala
kebiasaan yang buruk jadi berubah. - Sekarang baru saja sampai di kampung Kian Siok, para
petani seperti orang terhormat, kalau begitu pasti Kian Siok seorang pandai."
Pangeran Ci memerintahkan kusir agar menghentikan keretanya. Dia hampiri petani-
petani itu. "Sahabatku aku mohon bertanya, rumah Kian Siok di mana?", kata Pangeran Ci.
"Sahabat menanyakan dia, ada keperluan apa?" kata seorang petani.
"Sahabatnya yang bernama Pek Li He, mengirim surat dan menitipkannya padaku
untuk disampaikan kepadanya." kata Pangeran Ci.
Petani itu menunjuk ke satu arah. "Tuan jalan terus ke sana. Sesudah menemukan
hutan bambu dan mata air yang ada batu besarnya, di situ ada gubuk kecil. Itulah rumah
belia!" kata si petani. "Terima kasih, " kata Pangeran Ci.
Pangeran Ci meneruskan pejalanannya. Setengah li kemudian sampailah dia di
tempat yang ditunjukan si petani. Dia berhentikan keretanya di depan rumah gubuk itu dan
memerintah pengikutnya untuk mengetuk pintu. Tidak lama pintu terbuka, keluar seorang anak
kecil dan bertanya pada Pangeran Ci.
"Sahabat dari mana?"
"Kedatanganku hendak mencari Kian Sian-seng," sahut Pangeran Ci.
"Tuan hamba tidak ada di rumah."
"Pergi ke mana beliau?"
"Bersama beberapa orang tua tetangga di sini ia pergi memeriksa mata air di Sek
Liang, sebentar lagi ia pulang."
Pangeran Ci tidak berani sembarangan masuk. Dia duduk di atas sebuah batu besar
menunggu. Anak kecil itu segera menutup separuh pintu itu, dan terus masuk lagi
ke dalam rumah. Sesaat kemudian dari arah barat di galangan sawah kelihatan seseorang berjalan
mendatangi, orang itu alisnya kereng, matanya jeli, mukanya bundar dan tubuhnya tinggi dan
tegap, sedang di bahunya terpanggul dua potong kaki menjangan. Melihat dari parasnya
orang itu bukan orang sembarang. Pangeran Ci bangun akan menyambut kedatangan orang itu.
Orang itu menaruh kaki menjangan itu di tanah, baru memberi hormat kepada Pangeran Ci.
"Congsu (Anda) she apa dan siapa nama Anda?" kata Pangeran Ci..
"Aku she Kian namaku Peng alias Pek It," jawab orang itu.
"Kian Siok dengan anda pernah apa?"
"Dia Ayahku." "O, syukurlah. Aku hendak cari Kian Sian Seng."
"Ciok-he (Tuan) orang mana" Ada urusan apa hendak mencari Ayahku?"
"Sahabat Ayah Anda yang bernama Pek Lie H, sekarang menjadi menteri di negeri
Cin, dia mengirim surat untuk Ayah Anda." kata Pangeran Ci.
"O, begitu! Harap Tuan sudi masuk ke gubukku dan duduk sebentar, aku rasa tidak
lama lagi Ayahku pasti datang."
Sehabis berkata begitu, Kian Peng lalu mendorong daun pintu dan menyilakan
Pangeran Ci masuk ke dalam rumah itu. Sementara tamunya sudah masuk, Kian Peng mengambil
kaki menjangan itu. Dia masuk sampai di dalam dia disambut oleh seorang bocah.
"Silakan duduk," kata Kian Peng pada Pangeran Ci.
"Terima kasih," jawab Pangeran Ci.
Tidak lama mereka sudah mulai asyik berbincang, dari soal ilmu silat, sampai
masalah pertanian. Pokoknya ngalor-ngidul mereka bicara. Tidak lama Pangeran Ci disuguhi
secangkir teh harum. "Nak kau lihat-lihat di luar, barangkali Tuan Besar pulang!?" kata Kian Seng.
Selang beberapa jam kemudian, baru anak tadi datang menghadap dan memberi tahu
bahwa Kian Siok sudah pulang. Kian Peng berpesan kepada Pangeran Ci duduk saja, sedang
Kian Peng keluar menemui ayahnya, lalu dia ceritakan tentang maksud kedatangan tamu
itu. "Sekarang dia ada di dalam sedang menunggu kedatangan Ayah," kata Kian Peng
mengakhiri ceritanya. Kian Siok dan dua temannya segera masuk ke pertengahan rumah.
Pangeran Ci buru-buru menyambut kedatangannya. Sesudah saling memberi hormat lalu mereka
semua duduk. "Barusan anakku bilang, bahwa adik angkatku Ceng Pek (maksudnya Pek Li He),
berkirim surat padaku, mana suratnya?" kata Kian Siok.
Buru-buru Pangeran Ci menyerahkan surat itu pada Kian Siok. Secara singkat
Pangeran Ci juga menceriakan, apa yang dialami Pek Li He sebelum bekerja di negeri Cin.
"Malah saya berharap, Tuan juga mau datang ke negeri kami untuk membantu Raja kami," kata
Pangeran Ci. Koan Siok segera membaca surat dari sahabatnya itu. Sekarang Kian Siok baru tahu
orang yang ada dihadapannya itu utusan Raja Cin, ia minta maaf.
"Semula Tuan Pek Li He akan diberi jabatan sebagai Perdana Menteri oleh Raja
kami, tetapi Saudara Pek menolak." Kata Pangeran Ci.
"Kenapa begitu?" tanya Kian Siok.
"Dia bilang kepandaiannya kalah oleh Tuan, maka dia mengusulkan supaya Tuan yang
menjadi Perdana Menteri dan dia bersedia menjadi bawahan Tuan," kata Pangeran Ci
berterus terang. Kian Siok menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja," kata dia.
Kemudian Pangeran Ci menyerahkan berbagai hadiah dari Raja Cin kepada Kian Siok.
"Harap Tuan terima hadiah yang tidak berharga ini," kata Pangeran Ci.
"O terima kasih aku mendapat penghargaan seperti ini. Tetapi sayang aku tak bisa
ikut ke negeri Cin!" kata Kian Siok.
"Kenapa begitu, Tuan?" kata Pangeran Ci.
"Dulu karena Raja Gi tidak mau mendengar nasihat dari Pek Li He, maka
kerajaannya jadi runtuh, tetapi jika sekarang Raja Cin mau menggunakan orang pandai, seorang Pek
Li He saja sudah lebih dari cukup! Aku sudah tidak mau ikut campur urusan dunia, maka
hadian-hadiah ini harap kau bawa pulang lagi saja!" kata Kian Siok. "Sampaikan salam hormat
dan ucapan terima kasihku pada Raja Cin!"
"Hamba dengar Pek Li He pun tidak mau tinggal di negeri Cin, kalau Tuan tidak
mau tinggal bersamanya. Harap hal ini Tuan pertimbangkan...." kata Pangeran Ci.
Kian Siok diam, dia berpikir seketika lamanya, kemudian dengan menghela napas ia
berkata: "Pek Li He seorang pandai, hanya belum sempat kepandaiannya itu dia gunakan. Dia
sudah berulang kali bekerja, tetapi mendapat majikan yang tidak bijaksana. Baiklah,
aku bantu dia tetapi hanya untuk sementara saja." kata Kian Siok.
Sementara itu si bocah memberi tahu bahwa sup kaki menjangannya sudah matang.
Kian Siok mengajak Pangeran Ci dan dua orang tua tetangganya duduk bersantap
bersama- sama. Sambil makan mereka berbincang-bincang terus sampai langit sudah gelap
baru mereka bubaran. Malam itu Pangeran Ci bermalam di rumah Kian Siok. Esok paginya, dua orang tua
itu mengatur perjamuan sebagai ucapan selamat jalan. Pangeran Ci memuji kepandaian
Pek It, dia minta pada Kian Siok supaya mengajak Pek It bersama-sama pergi ke negeri
Cin. Kian Siok mengabulkan permintaan itu. Kemudian barang bingkisan Raja Cin, oleh
Kian Siok dibagikan pada kedua orang tua itu.
"Tolong kalian jaga dan lihat-lihat gubukku," kata Kian Siok.
Kedua orang tua itu berjanji akan memperhatikan pesan itu, dan mengucapkan
selamat jalan. Kian Siok mengucapkan selamat tinggal, segera dia naik ke kereta, sedang Kian
Peng atau yang disebut juga Pek It menjadi kusirnya. Pangeran Ci duduk di kereta yang satunya, dengan
merendengkan kereta itu dengan kereta Kian Siok mereka berangkat menuju ke
negeri Cin. Malam hari mereka bermalam di penginapan, siangnya mereka meneruskan perjalanan,
dengan begitu, akhirnya mereka tiba di perbatasan negara Cin. Pangeran Ci
meneruskan perjalanan lebih dahulu, dia akan menemui Raja Cin Bok Kong untuk memberitahu,
bukan saja dia sudah berhasil mengundang Kian Siok, ia juga berhasil mengajak anaknya,
juga orang pandai yang bernama Kian Peng, yang menurut pendapatnya anak itu sangat gagah
perkasa. Khabar itu membuat Raja Cin Bok Kong sangat senang, dia minta pada Pek Li He
pergi untuk menyambut kedatangan Kian Siok dan anaknya itu. Tatkala Kian Siok sudah datang
dan naik ke tangga istana lalu menjalankan adat-istiadat seperti umumnya, Raja Cin Bok
Kong mempersilakan Kian Siok duduk.
"Pek Li He sering menceritakan bahwa Sian-seng sangat pandai, apa Tuan mau
membantuku untuk mengurus kerajaan ini?" kata Raja Cin Bok Kong. "Letak negeri Cin ada di
sebelah Barat, selain bertetangga dengan bangsa Jiong, Tek, ditambah lagi letak
tempatnya sangat berbahaya. Tetapi tentara Cin selain banyak, hamba rasa sangat kuat. Jadi baik
maju mau pun mundur tentara Cin cukup bisa diandalkan," kata Kian Siok mulai bicara. "Tetapi
kekuatan itu belum Tuanku manfaatkan dengan baik dan belum Tuanku sempurnakan. Jadi bagaimana
Tuanku bisa menjagoi di seluruh Tiongkok?"
"Kegagahan dan kebajikan, di antara kedua masalah itu, yang mana yang harus
didahulukan?" kata Raja Cin. "Kebajikan menjadi dasar utama dan kegagahan pendukungnya. Punya kebajikan
tetapi tidak gagah dan angker, negaranya dipandang dari luar menjadi sangat lemah," kata Kian
Siok.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Demikian juga kegagahan tanpa kebajikan, maka rakyat di dalam negeri akan payah
dan tidak teguh." "Jika aku hendak membangun kebajikan dan keangkeran, aku harus bagaimana hingga
bisa berhasil?" kata Raja Cin.
"Kehidupan di negeri Cin sudah berbaur dengan adat kebiasaan bangsa Jiong,
sehingga rakyat Cin jarang sekali yang kenal adat-istiadat maupun pendidikan." kata Kian Siok.
"Lantaran tingkat dan derajat tidak tertata benar, maka kemuliaan dan kerendahan
tidak kelihatan jelas. Jika Tuanku setuju, hamba mohon Tuanku membantu bidang
pendidikan dulu. Supaya rakyat terdidik dan tahu adat-istiadat. Kemudian ajari mereka budi-
pekerti. Jalankan hukum dengan baik dan adil, sehingga mereka tahu aturan dan tata tertib
berbangsa dan bernegara. Contoh Koan Tiong dia mampu menegakkan hukum denga baik, sehingga
rakyat taat pada hukum!" "Jika semua yang Tuan katakan sudah terlaksana, jadi aku bisa langsung merebut
kedudukan menjadi seorang jagoan?" kata Raja Cin.
"Jangan! Jangan dulu!" kata Kian Siok. "Untuk menjadi orang terkenal di dunia,
dia harus tahu dulu tiga macam pantangan. Pertama jangan serakah, yang kedua jangan
berangasan dan yang ketiga tidak boleh terburu nafsu. Jika kita serakah akan banyak kehilangan,
jika berangasan akan mendapat kesulitan, jika terburu nafsu akan tergelincir!"
Raja Cin mengangguk kagum. Kemudian Kian Siok melanjutkan.
"Ketika kita mengikhtiarkan sebuah masalah besar maupun kecil, jangan tamak atau
serakah, waktu menimbang perbuatan orang lain atau diri sendiri, jangan berangasan atau
mudah marah, waktu menjalankan sesuata urusan, jangan terburu nafsu.
Manakala Tuanku bisa memegang tiga pantangan itu, boleh dibilang Tuanku hampir
bisa menjadi jago di Tiongkok!" kata Kian Siok.
"Baik, akan aku perhatikan apa yang kau katakan itu. Kemudian selanjutnya
bagaimana?" kata Raja Cin. "Sekarang Raja Cee sudah tua, kegagahan dan keangkerannya sudah mulai pudar!"
kata Kian Siok. "Jika Tuanku bisa mengamankan Yong-wi dari gangguan bangsa Jiong, dan
mereka tunduk benar kepada kekuasaan Tuanku, maka pekerjaan Tuanku akan bertambah
ringan. Saat itu siapkan angkatan perang yang kuat untuk membereskan semua kekacauan di
Tiong-goan (maksudnya Tiongkok), akhirnya Tuanku bisa meneruskan kekuasaan Raja Cee untuk
menyiarkan kebajikan dan kewajiban, dengan begitu sekalipun Tuanku tidak ingin
disebut jago, tetapi pasti Tuanku akan mendapatkan gelar tersebut!"
Bukan main senangnya Raja Cin. Malah dia angkat Kian Siok dan Pek Li He menjadi
dua menteri besar, yang satu menjadi perdana menteri dan yang lain wakilnya. Sejak
kedua perdana menteri dan wakilnya mengurus pemerintahan di negri Cin, perlahan-lahan
negeri itu menjadi semakin maju dan teguh saja Pangeran Ci pun mengajukan Se Kip Sut pada
Raja Cin yang juga dijadikan pembantu di negara Cin.
Tentang diangkatnya Pek Li He menjadi wakil Perdana Menteri, telah ramai
dibicarakan oleh rakyat Cin, sehingga Touw-si, istri Pek Li He, yang pada waktu itu menjadi
seorang tukang cuci pakaian di negeri Cin, girang. Dia ingin sekali bisa bertemu dengan
suaminya. ** Semula Pek Lie He alias Ceng Pek orang asal negeri Gi. Ketika berumur 30 tahun,
dia menikah dengan seorang wanita she (marga) Touw. Mereka telah punya seorang anak
laki- laki. Pek Li He sangat miskin dan tidak punya pekerjaan. Suatu hari dia bilang pada
isterinya akan mengembara, maksudnya akan mencari pekerjaaan. Tetapi Pek merasa berat
meninggalkan isterinya yang tidak bersanak saudara lagi.
Melihat suaminya ragu, Topuw-si, isteri Pek membesakan hati suaminya.
"Suamiku, aku tahu seorang laki-laki punya cita-cita yang luhur," kata Touw-si.
"Jika semasa kau masih gagah dan tidak pergi mencari pekerjaan, kapan lagi" Apa kau pikir aku
senang jika kau tetap menjagaiku, tetapi kita hidup sengsara" Biar aku menanggung
susah, aku bisa mencari nafkah sendiri."
Mendengar ucapan isterinya, Pek terharu. Tetapi dia mencoba menguatkan hatinya
dan akan pergi mengembara ke negeri orang. Ketika Pek Li He akan pergi mengembara, mereka
hanya memiliki seekor ayam biang. Karena ingin mengucapkan selamat jalan, isterinya
memotong ayam yang semata wayang itu. Ketika akan masak nasi, karena beras tidak ada dia
memasak Hong-kiu. Kesulitan lain, dia tidak punya kayu bakar. Terpaksa salah satu
jendela rumah mereka dikorbankan untuk dijadikan kayu bakar. Demikian miskinnya mereka.
Sesudahmasakan matang laludisajikan untukmakan bersama-sama.
Dengan hati seperti diiris-iris karena sedihnya, Pek Li He terpaksa makan.
Mereka saling berpelukan sambil menangis sedih, baru Pek meninggalkan anak dan isterinya.
Sejak suaminya mengembara, Touw-si bekerja menenun untuk mencari nafkah. Sungguh
malang pada suatu hari datang bahaya kelaparan melanda negeri itu. Terpaksa
Touw-si meninggalkan kampung halamannya, mencari penghidupan yang baru dan lebih baik.
Mereka hidup terlunta-lunta. Touw Si mengajak anaknya pergi di berbagai tempat,
dan akhirnya sampai di negeri Cin. Di sini dia bekerja menjadi seorang tukang cuci.
Anaknya yang bernama Pek Si alias Beng Beng, atau yang biasa juga disebut Beng Beng Si,
setiap hari bersama orang-orang kampung pergi berburu atau belajar silat, sehingga dia jadi
pandai sekali dalam ilmu silat dan jadi seorang yang gagah perkasa.
Ketika Pek Li He oleh Raja Cin diangkat menjadi wakil Perdana Menteri di negri
Cin, Touw- si mendengar khabar itu. Dia senang bukan main. Bahkan Touw-si pun sudah pernah
melihat Pek Li He ketika naik kereta, tetapi dia belum berani mengakui bahwa orang yang
naik kereta itu suaminya.Untuk membuktikan dugaannya dan supaya tidak salah, Touw-si datang
ke gedung wakil perdana menteri itu. Dia melamar kerja untuk menjadi tukang cuci di
gedung yang dia duga milik suaminya itu.
** Pada suatu hari...... Pek Li He sedang duduk di pertengahan rumahnya, sedang pemain musik sedang
beraksi di depan emper rumahnya. Menurut Touw-si itu adalah saat yang tepat baginya untuk
mencoba memperkenalkan dirinya. Atau lebih tepat dia ingin melihat pria itu dari dekat.
Kemudian kepada pemian musik Touw-si bilang, bahwa dia bisa menyanyi dan main
kim (siter Tiongkok). Pemain musik itu girang, dia melapor pada Pek Li He.
"Baik, boleh kau coba suruh dia menyanyi!" kata Pek Li He.
Touw-si yang diberitahu tentu saja girang sekali. Dia segera berpakaian rapi,
lalu berdiri di depan pemain musik. Kemudian dia mulai menyanyi:
"Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Waktu berpisah telah masak ayam biangsatu-satunya,
Menumbuk Hong-kiu dan membakar daun jendela sekeping,
Hari sudah beruntung melupakan aku yang merana!"
Pek Li He terkejut. Tetapi Touw-si meneruskan nyanyiannya:
"Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Ayahnya makan daging anaknya menangis sangat kelaparan,
Suami berpakaian bagus istri menjadi kuli yang paling susah,
O, sesudah beruntung melupakan aku yang merana!"
Pek Li He jadi semakin kaget dia awasi Touw-si yang sedang menyanyi. Tetapi
kembali Touw-si menyanyi lagi: "Pek Li He lima lembar kulit kambing!
Dulu kau berangkat aku menangis mengantarmu,
Hari kau duduk enak aku terpisah di sampingmu,
Ya, Allah, sudah beruntung melupakan aku yang sengsara!"
"Tunggu! Hentikan dulu!" kata Pek Li He mencegah Touw-si menyanyi lagi. "Mari
sini aku mau bertanya kepadamu!". Touw-si datang menghampiri Pek. Sesudah berada dekat
dan berbincang-bincang, Pek Li He baru mengenali benar isterinya. Mereka saling
rangkul dengan sangat gembira. Mereka bertangisan berdua. Sesudah agak lama Pek Li He ingat
sesuatu. "Mana anak kita?" kata Pek. "Anak kita Beng Beng Si sedang berburu!" jawab sang
isteri. Pek Li He lalu mengutus orang mencari anaknya yang sedang berburu itu.
Bab 18 Berkat karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, keluarga yang terpecah-pecah itu kembali
berkumpul menjadi satu. Ketika Raja Cin Bok Kong sudah mendengar bahwa Pek Li He
sudah menemukan anak dan isterinya, Raja Cin girang sekali. Raja Cin mengirim
orang untuk mengucapkan selamat. Esok harinya..... Pagi-pagi sekali Pek Li He mengajak anak dan isterinya menghadap untuk
menghaturkan terima kasih kepada Raja Cin. Raja Cin girang dia mengangkat Beng Beng Si
menjadi pembantunya bersama Se Kip Sut dan Pek It Peng, mereka diberi gelar Ciang-kun
(Jenderal), untuk mengatur angkatan perang negara Cin.
Sementara itu raja bangsa Kian-jiong bernama Gouw Li telah berontak menyerang
negeri Cin. Untuk menghadapi bangsa Kian-jiong itu tiga jenderal Cin segera menghadapinya.
Karena hantaman dari Beng Beng Si dan dua jenderal lainnya, Raja Gouw Li mendapat
kerusakan besar, dan melarikan diri ke negeri Chin, sedang tanah Kwa-ciu segera menjadi
milik negara Chin. Kemudian Raja Cin Bok Kong mendapat lagi seorang pandai, orang itu bernama Yu
Ie, dengan kepandaiannya tentara Cin bisa menaklukan Cek Pan, raja bangsa Se-jiong.
Cek Pan adalah raja bangsa Jiong, sekian lama semua bangsa Jiong takluk di bawah
kekuasaan raja Se-jiong, tetapi setelah mendengar Cek Peng sudah takluk kepada
Raja Cin, semua bangsa Jiong tidak ada yang tidak merasa ngeri. Maka takluklah seluruh
bangsa Jiong pada Raja Cin. Sesudah Chin Hian Kong berhasil merampas negara Gi dan Kek, dua buah negeri,
semua orang Chin bersuka-ria. Hanya Li Ki saja yang merasa tidak senang, karena
sebenarnya ia ingin Pangeran Sin Seng yang pergi menyerang ke negeri Kek, supaya Sin Seng
terbunuh di medan peperangan. Tetapi tidak disangka malah Li Kek yang pergi menggantikan Sin
Seng, malah mendapat kemenangan.
Berulang-ulang Li Ki, sang permaisuri Raja Chin ini mencari akal untuk memfitnah
Pangeran Sin Seng, tetapi tidak punya kesempatan yang baik dan alasan yang masuk akal,
maka segera dia panggil Yu Si untuk diajak berunding.
"Li Kek masih sanak Pangeran Sin Seng," kata Li Ki, ketika Yu Si sudah datang
menemuinya, "pahalanya besar dan pangkatnya pun tinggi, maka kita tidak bisa
melawan dia! Apa kau punya ide yang bagus?"
"Sun Sit dengan hanya sebuah batu mustika dan seekor kuda telah bisa memusnahkan
negeri Gi dan Kek, jelas kepandaiannya lebih baik dibanding Li Kek." kata Yu Si.
"Bagaimana jika kita minta bantuan pada Sun Sit agar dia membantu Hee Ce, aku yakin dia akan
berhasil." Li Ki girang mendengar saran tersebut. Dia setuju hendak menjalankan ide Yu Si
tersebut. Tatkala Li Ki bertemu dengan Raja Chin Hian Kong, ia memohon supaya Sun Sit
diangkat menjadi pemimpin He Ce dan Tok Cu. Permohonan itu dengan senang hati dikabulkan
oleh Chin Hian Kong. Diam-diam Li Ki memanggil kekasih gelapnya, Yu Si, pada siapa dia berkata,
"Sekarang Sun Sit sudah menjadi kelompok kita. Tetapi jika Li Kek masih ada di istana, niscaya
ia akan menentang rencana kita. Apa akal kita untuk menyingkirkannya" Jika ia sudah
tidak ada, baru Li Kek bisa kita singkirkan."
"Cuma di luarnya saja kelihatan ia pandai, tetapi sebenarnya pikirannya tidak
tetap," sahut Yu Si. "Aku tahu Li Kek suka sekali minum arak, coba Hu-jin (Nyonya) tolong
bikinkan masakan kambing, aku akan bawa masakan itu dan arak yang baik untuk mengajak dia
makan-makan, jika dia bersedia bergabung itu rejeki Hu-jin!"
"Baik," kata Li Ki, yang segera membuatkan makanan dan minuman.
Sesudah semua tersedia, Yu Si pergi menemui Li Kek, pada siapa dia mengucapkan
selamat karena menang berperang dengan negeri Gi dan Kek. Kemudian ia memberi tahu bahwa
ia membawa sedikit arak dan makanan untuk makan bersama. Li Kek menerima baik
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajakan itu, bahkan dia sangat berterima kasih. Mereka lalu makan bersama. Sesudah makan dan
minum sampai setengah mabuk, baru Yu Si menari sambil bernyanyi:
"Pohon He Ie yang suram, tidak seperti Ouw-ouw yang bercahaya.
Semua berkumpul di tempat subur, cuma kau yang kering dan payah.
Yang subur tampak segar, yang kering menunggu kapak menebasnya.
Kapak berjalan hampir sampai, kau yang kering apakah tidak akan binasa?"
Li Kek tertawa sambil berkata, "Apa maksudmu, kau katakan yang subur dan yang
kering?" "Seumpama manusia," sahut Yu Si, "jika ibunya jadi Permaisuri, pasti putranya
nanti akan menjadi raja, yaitu sebagai pohon yang akarnya dalam dan cabangnya lebat, semua
burung suka datang dan hinggap. Maka itu dikatakan subur. Jika ibunya sudah meninggal
dunia, putranya pun tidak berharga, ia seperti pohon yang batangnya goyah dan daunnya
rontok, semua burung tidak suka singgah, karena itu dikatakan kering."
Sesudah mengucapkan perkataan itu, Yu Si lantas berpamitan dan terus pulang ke
rumahnya. Malam itu Li Kek tidak bisa tidur pulas, karena pikirannya tertarik oleh
nyanyian Yu Si. "Yu Si disukai, baik dari dalam istana maupun luar istana. Sehingga Yu Si bisa
bebas keluar masuk istana sekalipun terlarang." pikir Li Kek. "Pasti nyanyian yang dia
nyanyikan, bukan nyanyian sembarangan."
Semula Li Kek mau menunggu sampai esok pagi baru memanggil Yu Si untuk
menanyakan keterangan lebih jauh, tetapi karena pikirannya belum bisa tenang, dia jadi tak
sabaran. Sekalipun sudah tengah malam tidak urung dia perintahkan orangnya dengan diam-
diam memanggil Yu Si. Tidak lama Yu Si datang dan langsung masuk sampai ke tempat tidur Li Kek. Li Kek
minta agar Yu Si duduk di pembaringannya, dia usap -usap paha Yu Si sambil bertanya.
"Aku hampir menerka nyanyian yang kau nyanyikan itu, apakah itu bukan masalah
Kiok-ah" Coba kau jelaskan!" kata Li Kek.
"Sudah lama memang aku hendak memberitahu Tay-hu, tetapi karena takut Tay-hu
marah; karena Kiok-ah adalah tanggungjawabmu," kata Yu Si.
"Jika kau memberitahu masalah bahaya, hingga aku terbebas dari bahaya itu,
mengapa aku harus marah?" kata Li Kek.
Yu Si menundukkan kepalanya hingga menempel dengan bantal. Dia berbisik.
"Raja sudah meluluskan kehendakan Permaisuri untuk membunuh Sin Seng dan
mengangkat He Ce," bisik Yu Si.
"Apa kau tidak bisa mencegahnya?" tanya Li Kek dengan sangat terperanjat.
"Permaisuri bisa mempengaruhi Raja, sedang di luar dia dibantu oleh dua orang
she Ngo. Sekalipun aku cegah, apa mungkin bisa berhasil?" kata Yu Si.
"Aku tidak tega membunuh Pangeran Sin Seng, tetapi melawan Raja bersama Sin Seng
pun aku tidak berani! Jika aku pasif dan tidak ikut campur, apa aku masih bisa
selamat?" kata Li Kek. "Ya, mungkin! Dan itu yang paling benar." jawab Yu Si.
Sesudah mendengar jawaban itu Li Kek merasa lega hatinya, lalu dia persilakan Yu
Si pulang. Setelah fajar menyingsing keesokan harinya.....
Li Kek pergi berkunjung ke rumah Tay-hu Pi The Hu, Li Kek disambut oleh tuan
rumah dan disilakan duduk. Li Kek meminta agar semua pembantu Tay-hu Pi The Hu mundur
semuanya dari ruang tamu. Sesudah mereka tinggal berdua saja, dengan paras muka pucat
Li Kek berkata, "Tadi malam Yu Si datang memberitahuku, bahwa Cu-kong hendak
membunuh Pangeran Sin Seng dan hendak mengangkat He Ce."
"Bagaimana jawabanmu ke padanya?" tanya Pi The Hu dengan hati terguncang.
"Aku bilang aku berdiri di tengah. Tidak memihak!"
"Wah, celaka!" kata Pi The Hu. "Ucapanmu itu ibarat api disiram dengan minyak.
Seharusnya kau pura-pura tidak percaya. Pasti mereka ngeri terhadapmu. Kemudian kau perkuat
kedudukan Pangeran Sin Seng. Sesudah itu bujuk Raja agar dia mengubah niatnya.
Tetapi kau bilang kau netral, ini pasti berbahaya sekali bagi Pangeran Sin Seng yang tidak
punya dukungan!" kata Pi The Hu.
"O, celaka! Aku menyesal aku tidak berunding dahulu denganmu!" kata Li Kek
sambil membanting-banting kakinya.
Kemudian dia pamit pada Pi The Hu dan berjalan pulang. Tetapi ketika ia hendak
naik ke kereta dia pura-pura jatuh.
Esok harinya........ Li Kek bilang kakinya terluka parah, jadi tidak bisa datang ke istana.
** Dikisahkan Yu Si, sesudah mendapat jawaban dari Li Kek, buru-buru dia menemui Li
Ki. Dia sampaikan jawaban dari Li Kek pada Li Ki. Bukan main senangnya Li Ki mendengar
jawaban itu. Pada waktu malam, dengan senyum yang manis Li Ki berkata pada Chin Hian Kong:
"Si-cu sudah lama tinggal di Kiokah, kenapa Tuanku tidak memanggilnya" Coba Tuanku
panggil pulang, aku ingin berbuat baik kepadanya. Siapa tahu dia mau mengubah sikapnya
yang kurang baik." "Ya, jika pendapatmu begitu, baiklah," kata Chin Hian Kong. Memang dia selalu
menuruti saja kehendak jantung hatinya itu.
*** Esok harinya....... Benar saja Chin Hian Kong mengeluarkan perintah untuk memanggil Pangeran Sin
Seng pulang ke ibukota. Begitu menerima panggilan, Sin Seng langsung berangkat ke
ibukota. Dia langsung menemui Chin Hian Kong, sesudah dia menjalankan peradatan dia
menanyakan tentang kesehatan ayahnya. Baru kemudian dia masuk ke istana menemui Li Ki.
Dengan manis budi Li Ki menerima kedatangan Pangeran Sin Seng, kemudian mengatur
perjamuan. Li Ki menyambut Sin Seng dengan senang, seperti ibu yang sudah lama
tidak bertemu dengan putranya. Tetapi malamnya, ketika Li Ki bertemu dengan Chin Hian Kong, dengan air mata
berlinang- linang ia berkata, "Seperti sudah kukatakan kepada Tuanku, aku hendak mencoba
berbaikan dengan Pangeran Sin Seng, tapi .....sungguh menyesal. Mengapa Pangeran Sin Seng
begitu kurangajar!" "Apa yang terjadi?" tanya Raja Chin dengan terperanjat.
"Aku mengajak Pangeran makan siang," sambil menangis dan menyeka air matanya,
"dia mau makan bersama. Ternyata dia ada maunya. Ketika sedang mabuk, sambil
tersenyum dia berani bilang begini. 'Ayahku sudah tua, apa Ibu bisa merasa puas tidur
bersamanya"' Mendengar ucapannya itu hatiku jadi panas dan tidak menjawab pertanyaannya."
Raja Chin kaget. "Karena pertanyaannya tidak dijawab, Pangeran berkata lagi begini. "Dulu Kakekku
sudah tua buat Ibuku, Cee-kiang, maka Ibuku diwariskan kepada Ayahku, dan sekarang
Ayahku sudah tua, pasti beliau juga bakal mewariskan kau padaku. Maka jika bukan aku
pewarisnya, siapa lagi" Mengapa kau malu-malu, mari nikmati kesenangan dunia ini. Lalu dia
mencoba mendekatiku, tetapi dengan gusar aku dorong dia! Karena aku menolak, dia jadi
kurang senang." Raja Chin bengong saja dan setengah tidak percaya. Melihat Raja Chin seperti
kurang yakin, Li Ki dengan cerdik berkata lagi. "Jika Tuanku tidak percaya omonganku, akan
kuajak Pangeran jalan-jalan di taman bunga. Tuanku boleh mengintainya dari atas
ranggon, Tuanku bisa menyaksikan sendiri bagaimana kelakuannya", kata Li Ki dengan aleman.
"Kurang ajar!" teriak Raja Chin Hian Kong geram sekali. "Baik akan kuintai tingkah anak durhaka
itu!" Esok harinya..... Kembali Li Ki memanggil Pangeran Sin Seng datang, dia ajak Pangeran itu jalan-
jalan di kebun bunga. Tetapi terlebih dahulu Li Ki sudah menggosokkan madu (bit) di
rambutnya. Tidak heran ketika mereka sedang berjalan di taman bunga, lebah dan kupu-kupu
berterbangan di atas kondenya.
"Pangeran, tolong aku! Usir lebah-lebah dan kupu-kupu itu dari atas kepalaku!"
kata Li Ki yang dengki dan keji itu.
Sedikit pun Pangeran Sin Seng tidak menduga, kalau itu akal busuk dari ibu
tirinya. Dia tidak sadar kalau dia akan difitnah. Maka dengan tangannya dia coba mengusir kupu-kupu
dan lebah-lebah dari konde ibunya, hingga tubuh dia dengan tubuh Permaisuri Li Ki
jadi sangat berdekatan. Waktu itu Chin Hian Kong memang sedang mengawasi ke arah mereka dari atas sebuah
lauw-teng. Tentu saja karena jaraknya jauh, dia tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh Li Ki pada putranya. Tetapi dengan jelas dia bisa melihat Sin Seng seolah begitu
mesra; bahkan mengibas-ngibaskan lengannya di atas kepala isterinya. Seolah Sin Seng sedang
mengajak isterinya bersenda-gurau dan tampak mesra.
Mau tidak mau Chin Hian Kong jadi percaya pada ucapan isterinya tadi malam. Dia
jadi sangat mendongkol sekali. Malam harinya dengan sangat geram Raja Chin Hian Kong
berkata pada kekasihnya, bahwa dia akan menangkap Pangeran Sin Seng dan akan dihukum
mati. Li Ki pura-pura kaget. Dia segera berlutut di hadapan Raja Chin.
"Tuanku, tolong ampuni kesalahan Pangeran kali ini. Jika dia dihukum mati, maka
akulah yang akan disalahkan, karena dia datang ke taman bunga atas permintaanku." Ratap
Li Ki dengan cerdik."Ingat Tuanku, kejadian itu belum ada yang mengetahuinya. Jika
Tuanku menghukum dia, dan umum mengetahui hal ini akan kurang baik bagi Tuanku
sendiri!?" Kembali Raja Chin yang hatinya lemah itu bisa dibujuk. Dia batalkan niatnya
menghukum pangeran. Esok harinya Pangeran Sin Seng diminta agar segera kembali ke Kiok-ah.
Tetapi diam-diam Raja Chin mengirim orang untuk memata-matai putranya itu.
Selang beberapa hari, Raja Chin Hian Kong pergi berburu ke Ek-hoan. Kesempatan
yang baik ini tidak disia-siakan oleh Li Ki, dia panggil Yu Si untuk diajak kencan
sekalian berunding. Dalam perundingan Li Ki dan Yu Si menetapkan sebuah rencana jahat. Dia kirim
orang ke Kiok-ah; utusan itu diminta menyampaikan pesan Ratu Li Ki. Pesan itu begini:
Tadi malam Ratu Li Ki bermimpi bahwa Ibu Pangeran Sin Seng, yaitu Permaisuri Cee Kiang
almarhum dalam keadaan susah dan minta disembahyangi.
Mendengar keterangan utusan itu, buru-buru Pangeran Sin Seng bersembahyang untuk
ibundanya. Seperti biasanya hidangan ada yang dikirim ke ibukota untuk Raja Chin
Hian Kong. Tetapi ketika antaran makanan itu sampai, Raja Chin belum pulang dari
berburu. Enam hari kemudian...barulah Raja Chin Hian Kong pulang dari berburu. Mendengar
Raja Chin pulang dan akan segera tiba di istana, Li Ki segera menaruh racun ke dalam
arak kiriman Pangeran Sin Seng untuk ayahnya.
"Ketika Tuanku pergi berburu, aku bermimpi Ratu Cee Kiang sedang sengsara dan
kelaparan," kata Li Ki. "Karena Tuanku sedang tidak ada di istana, maka aku
memberitahu Pangeran Sin Seng di Kiok-ah supaya sembayang. Sesudah sembahyang, dia mengirim
makanan untuk Tuanku."
Raja Chin senang. "Dia ingat padaku," kata Raja Chin sambil tertawa girang.
Li Ki segera menuang arak yang sudah diberi racun ke dalam cawan, kemudian
disuguhkan kepada Raja Chin. Tetapi tiba-tiba pada saat Raja Chin akan meneguk arak itu, Li
Ki memberi peringatan. "Tunggu Tuanku!" kata Li Ki.
Raja Chin kaget dan membatalkan niatnya untuk meminum arak itu.
"Ada apa?" kata Raja Chin.
"Aku lupa memperingatkan Tuanku, barang makanan yang datang dari luar, sekalipun
dari putra sendiri, harus diteliti dulu. Ini demi keselamatan Tuanku!" kata Li Ki
sambil tersenyum manis. "O. Ya, itu betul," kata Raja Chin Hian Kong.
Kemudian arak dalam cawan itu dia tuang ke lantai. Betapa terkejutnya Raja Chin
karena begitu arak itu jatuh ke lantai, maka arak itu pun menguap dan lantai pun rusak.
Buru-buru Raja Chin Hian Kong memanggil penjaga supaya membawa seekor anjing,
anjing itu dia lempari sepotong daging kiriman dari Pangeran Sin Seng. Sang anjing
segera menerkam sepotong daging yang sudah diberi racun itu. Tiba-tiba anjing itu
menggelepar-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelepar, kemudian diam dan tubuhnya pun kaku . Anjing itu mati dengan
mengenaskan. Li Ki pura-pura tidak percaya, lalu dia memanggil budaknya yang dia suruh
mencobai arak dan daging itu. Melihat anjing saja mati, tentu saja budak itu menolak tidak mau
menuruti perintah Li Ki. Tetapi Li Ki yang kejam memaksanya, dua prajurit menjejelkan daging ke mulut
pelayannya itu. Baru saja daging itu tertelan oleh budak yang malang itu, dari mulut,
hidung dan telinganya segera keluar darah segar. Tubuh budak itu kejang-kejang lalu
meninggal Li Ki pura-pura kaget sekali, dia berlari ke ruang tengah.
"Oh, Allah! Oh, Allah!" Li Ki berseru sambil menengadah ke langit. "Negeri Chin
ini milik Pangeran Sin Seng, Ayahnya sudah tua, mengapa dia sampai tidak sabar menunggu.
Mengapa dia tega akan meracuni Ayahnya sendiri?"
Sesudah berkata begitu, entah dari mana datangnya, perempuan itu meneteskan air
matanya. Dia berlutut di hadapan Raja Chin Hian Kong, sambil meratap dia berkata lagi.
"O Pangeran Sin Seng sungguh kejam! Karena aku dan putraku, dia tega meracuni
Tuanku! Kalau begitu, biarlah aku yang makan daging beracun dan arak beracun itu!" kata
Li Ki. "Kalau aku sudah mati barangkali hatinya akan senang!"
Sesudah itu dia berlari ke meja akan mengambil arak dan makanan beracun dan
pura-pura akan menyantapnya. Raja Chin Hian Kong yang ada di dekatnya, segera merampas dan
melemparkan makan itu ke lantai. Begitu geramnya Raja Chin waktu itu, hingga dia
tidak bisa berkata apa-apa. Napasnya jadi sesak oleh amarah yang meluap-luap. Li Ki yang
cerdik segera menjatuhkan diri di lantai, sambil menangis sesambatan. Kemudian dengan
suara terharu dia berkata lagi.
"Tidak kusangka...Pangeran Sin Seng demikian kejamnya! Ayah sendiri mau
dibunuhnya!" kata Li Ki. "Ketika di taman kau rayu aku, karena aku tolak kau berbuat nekat!"
Raja Chin Hian Kong beberapa lamanya bengong saja. Dia berusaha menentramkan
hatinya yang panas. Kemudian dia pegang tangan Li Ki erat-erat.
"Sudah, jangan menangis, mari bangun, aku akan bicarakan masalah ini dengan
semua menteriku," kata Raja Chin. "Akan aku hukum anak durhaka itu setimpal dengan
perbuatannya!" Sesudah Li Ki bisa dibujuk dan reda tangisnya, saat itu juga Raja Chin ke
istana. Dia kumpulkan semua menterinya untuk bersidang. Sesudah semua menterinya berkumpul
di istana, kecuali Ho Tut yang sedang berpergian, dan Pi The Hu karena sangat sibuk
dan pergi ke luar kota, juka Li Kek yang memberi alasan kakinya sakit mereka tidak hadir.
Di depan menteri-menterinya Raja Chin memberi penjelasan, bagaimana Pangeran Sin
Seng telah mengirim makanan beracun untuknya. Dan Raja Chin minta pertimbangan untuk
memberi hukuman yang setimpal pada putranya itu. Keterangan Raja Chin mendapat
tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang langsung percaya, tetapi kebanyakan ragu-
ragu. Semua menteri jadi saling pandang dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Hanya dorna Tong Koan Ngo yang memihak pada Li Ki, segera maju ke hadapan Raja
Chin Hian Kong dan berkata, "Jika Pangeran sudah begitu jahatnya, hamba bersedia
menggantikan Tuanku untuk menghukum dia!"
Raja Chin yang sedang gusar langsung meluluskan permintaannya. Maka berangkatlah
angkatan perang yang dipimpin oleh Tong Koan Ngo ke Kiok-ah. Diam-diam Ho Tut
memata-matai gerakan di istana, ketika mengetahui Raja Chin akan menghukum
Pangeran Sin Seng, diam-diam dia mengutus orang untuk memberitahu Pangeran Sin Seng di
Kiok-ah. Mendapat kabar dari Ho Tut itu Pangeran Sin Seng jadi terkejut. Segera dia
menemui gurunya dan melaporkan hal itu pada Touw Goan Koan gurunya.
"Suhu, bagaimana pendapatmu tentang racun dalam makanan untuk Ayahku?" kata Sin
Seng. "Makanan itu sudah berada di istana selama enam hari, aku yakin orang istana
yang menaruh racun ke dalam makanan itu," kata Touw Goan Koan. "Maka Pangeran harus melawan.
Buktikan bahwa kau tidak bersalah. Jangan pasrah saja! Buktikan bahwa bukan kau
yang berbuat jahat!" "Aku kira semua ini perbuatan ibu-tiriku Li Ki. Jika kubuka rahasianya, dan aku
Tongkat Dewa Badai 1 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Pendekar Pemanah Rajawali 29