Pencarian

Ciuman Maut 2

Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss Bagian 2


"Karina...," Delia tercekik parau. "Karina" apa yang
kaulakukan?" Mata Karina berkilat-kilat dalam kegelapan. Dan kemudian
Delia melihat kilatan lain.
Sebentuk pistol kecil. "Ini tidak akan menyakitkan, Delia," Karina berbisik.
Delia terjengkang tak berdaya ketika Karina mengangkat pistol
itu. Mengangkatnya di atas kepala Delia.
"Ini tidak akan sakit," Karina berkata parau. "Kau tidak akan
merasakan apa-apa." Chapter 10 KILAU perak pistol itu semakin tinggi.
Delia mendongak menatap dengan ketakutan. Menunggu
ledakan. Menunggu rasa sakit.
"Ohh!" Ia tak bisa bernapas ketika sadar bahwa bukan pistol
yang dilihatnya. Karina memegang sebuah tabung lipstik perak di tangannya.
"Karina"tunggu!" Delia memohon.
Ia merasa tangan Karina yang satunya menekan dadanya.
Dan kemudian Karina menurunkan tabung lipstik itu.
Menurunkannya. Menekan lipstik itu keras-keras di pipi Delia.
Delia merasakan lipstik itu mencoreng pipinya. Menyilang ke
dagunya. Ia berontak untuk duduk. Tapi Karina menekannya.
Karina mencorengkan lipstik lengket itu ke dahinya sekarang.
Menggosokkannya ke telinganya. Mendorongnya ke samping hidung
Delia. "Karina"hentikan!" Delia memohon.
"Hentikan. Tolong hentikan. Tolong. Kenapa kau melakukan
ini" Hentikan! Kumohon!"
Ketika memohon, Delia tiba-tiba sadar bahwa ia sedang
bermimpi. Ia bermimpi dan keluar dari mimpi itu pada waktu yang sama.
Ia memaksa dirinya bangun. Membuka matanya.
Wajahnya bergelenyar. Ia duduk dan mengusapkan tangan ke wajahnya.
Tidak ada lipstik. Tidak ada Karina dan tidak ada lipstik. Hanya
mimpi. Hanya sebuah mimpi menakutkan....
"Karina, aku takut padamu ketika aku terjaga. Dan sekarang kau
membuatku takut dalam tidurku juga," gumam Delia.
Apa yang akan kulakukan"
Apa yang akan kulakukan"
***********************************************
Delia nomor tujuh. Terakhir. Ia menyilangkan kaki, mengubah posisi duduknya di bangku
aula. Tak sengaja ia menyenggol Britty. "Sori," gumam Delia. Ia
menurunkan kakinya. "Duduklah yang tenang, bisa, kan?" bisik Britty sambil menatap
ke panggung di mana Stewart sedang melakukan pertunjukan
sulapnya. "Giliranmu terakhir."
"Kupikir aku akan bisa santai dan menyaksikan kompetisi ini,"
Delia balas berbisik. "Tapi aku benar-benar gugup!"
Delia bertepuk tangan seperti robot ketika Stewart menarik
anjing peliharaannya dari dalam topinya.
Britty terkekeh. "Bagaimana dia bisa memasukkan anjing itu di
dalamnya tadi?" "Mana aku tahu?" Delia bergumam. Ia menyilangkan kakinya
lagi. "Santailah," Britty memerintah.
"Saran hebat," kata Delia sambil memutar bola matanya.
"Katakan itu pada perutku." Ia menurunkan kakinya lagi.
Delia mengangkat tangannya ke depan Britty. "Telapak
tanganku berkeringat. Tanganku gemetar. Tak mungkin aku akan bisa
memainkan gitar. Dan bagaimana aku akan pernah bisa menyanyikan
laguku?" Britty mulai menggigit-gigit sehelai rambutnya yang panjang.
"Hentikan, oke" Kau membuatku gugup!" serunya.
Delia mengusapkan telapak tangannya yang basah ke rok
hitamnya. Kemudian ia meraih dompetnya dan menarik sebuah
cermin kecil. Ia memeriksa lipstik Midnight Wine-nya untuk kira-kira
kesejuta kali. Ia meluruskan rompi brokatnya yang berwarna cerah. Ia
menarik lengan blus putihnya.
Kalau saja ia tidak harus mendapat giliran terakhir.
Kalau saja aku bisa memajukan kehidupanku, pikirnya.
"Abrakadabra!" Stewart mengibaskan kain sutra yang
dijuntaikan ke tangannya. Seekor burung kakaktua kuning-merah
bertengger di tangannya. Delia bertepuk tangan panjang dengan hadirin yang lain. Kirakira tiga puluh atau empat puluh anak tetap tinggal sepulang sekolah
untuk melihat kompetisi bakat itu.
Dia bagus, pikir Delia. Dia mengeluarkan beberapa trik hebat,
walau tidak terlalu orisinal.
Karina memiliki suara lebih bagus. Dia akan mendapatkan nilai
lebih tinggi. Tapi kalau juri-juri itu memberi aku beberapa poin untuk
lagu yang kukarang sendiri, aku punya kesempatan memenangkan
seksi bakat, Delia memutuskan.
"Dari mana dia mendapatkan burung kakaktua itu?" Britty
tertawa. Stewart membungkuk dan semua orang bertepuk tangan lagi.
Kemudian ia mengumpulkan barang-barangnya dari panggung. Ia
tampak lega ketika membawa perlengkapannya.
Perut Delia melilit. Semakin dekat. Saat-saat besar ini semakin
dekat. Tinggal satu peserta lagi"Karina"setelah itu giliran Delia
maju. "Kalau saja Vincent ada di sini," kata Delia. "Tapi katanya
ibunya memaksa dia mengantar adiknya ke dokter gigi. Bisakah kau
mempercayainya?" "Well, aku di sini untuk menghiburmu," Britty mengingatkan.
"Dan Gabe ada di belakang panggung. Dia berjanji bahwa kau akan
tampak hebat di bawah lampu-lampu yang dipasangnya untuk
lagumu." Dua orang cowok mendorong sebuah piano raksasa ke atas
panggung. "Piano Karina," Britty menjelaskan. "Kudengar dia
mengirim piano itu dari rumahnya, khusus untuk hari ini."
Delia menggelengkan kepala. Ini membuatku semakin senewen
lagi, pikirnya. Seorang perempuan yang sudah agak tua duduk di
depan piano dan mulai memainkan nada-nada.
"Pelatih vokal Karina," Britty memberitahunya.
Delia mencengkeram lengan tempat duduknya dan menatap
Karina. Karina duduk di deretan depan, tampak tenang dan anggun.
Pirang dan cantik. Seakan-akan bisa merasakan pandangan mata Delia padanya,
Karina menoleh. Bibirnya ditarik membentuk senyuman mencemooh.
Lalu ia teringat bahwa ada dewan juri. Ia tersenyum cerah dan
melambai. "Palsu amat," Delia bergumam pada Britty.
Delia berpikir tentang apa yang terjadi minggu lalu. Bagaimana
Karina memergoki ia menguping. Bagaimana Karina mengancamnya.
Setelah saat itu, ia beberapa kali berpapasan dengan Karina di
koridor. Dan setiap kali Karina bersikap begitu manis, membuat perut
Delia sakit. Para juri memanggil nama Karina. Delia mengawasi ia berdiri
dan berjalan naik ke panggung.
"Gaun yang sama yang dia pakai ke acara homecoming," Britty
komat-kamit. Yeah, pikir Delia. Gaun indah yang sama. Satin biru yang
melekat ketat di tubuh Karina yang langsing.
Karina bergerak dengan luwes ke tengah panggung. Ia
memperkenalkan lagunya. Suaranya terdengar mantap dan percaya
diri. Kemudian ia melangkah mundur, sementara pengiringnya
memainkan lagu pembukaan.
Ketika Karina mulai menyanyi, semua orang di aula itu duduk
terpesona. "Wow!" Britty mengembuskan napas.
Karina tidak hanya memiliki suara yang bagus. Suaranya
menakjubkan"bening dan bersih. Meskipun Delia tidak mengerti
sepatah kata pun dari lagu Italia yang dinyanyikan Karina, ia tahu itu
lagu cinta. Sebuah lagu cinta yang indah.
Indah. Persis seperti Karina.
Sambil mencoba keras untuk tampil biasa, Delia memutar tubuh
di bangkunya. Ia harus melihat reaksi para juri. Ketiga juri duduk di
samping, tersenyum ketika menatap ke atas panggung.
Saat Delia menoleh ke belakang, ia memperhatikan seseorang
sedang menatapnya dari deretan penonton. Ia membungkuk,
menjulurkan kepalanya melewati Britty.
"Sarah?" bisiknya. "Apa yang sedang dilakukan Sarah di sini?"
"Shh!" Britty menyiku pinggangnya.
"Tapi kenapa Sarah...?"
"Dia kan adikmu," Britty berbisik. "Tentu saja dia di sini. Dia
ingin melihat penampilanmu."
"Benar." Itu membuktikan Britty tidak terlalu mengenal Sarah.
"Adik yang normal ingin melihat bagaimana penampilanku. Tapi
Sarah itu tidak normal, ingat?"
"Shh." Gadis yang duduk di depan Delia berputar dan
mengangkat telunjuk ke bibirnya.
Merasa malu, Delia merosot lagi ke tempat duduknya.
Kemudian ia menatap deretan penonton lagi.
Adiknya sedang menatapnya tajam-tajam. Tersenyum dengan
senyuman paling aneh di bibirnya.
Sebuah senyuman puas. Apa dia senang karena Karina tampil begitu baik" Delia
bertanya dalam hati. Apakah Sarah datang ke sini untuk melihat aku
kalah" Kenapa dia tersenyum seperti itu"
Delia tersentak dari pikiran tentang Sarah ketika penonton
meledak dengan tepuk tangan. Tepuk tangan yang terus-menerus. Ia
mengerjapkan mata dan menatap ke panggung. Karina tersenyum
ramah. Delia tidak menunggu untuk melihat lagi. Ia tak tahan lagi.
Sebelum para juri memanggil namanya, ia melompat dari
tempat duduknya. Ia berjalan ke belakang panggung dan menyambar
tempat gitarnya. Gabe terburu-buru menghampirinya dari panel kontrol lampu.
"Kau akan tampil bagus," ia berbisik di telinga Delia. Kemudian ia
berjalan kembali ke tempatnya.
Delia mengawasi anak-anak laki-laki mendorong piano dari
panggung. Mereka memasang bangku tak bersandaran yang tinggi
sebagai gantinya. Delia menghirup napas dalam-dalam, dan memaksa
diri untuk mengembuskannya dengan pelan.
Kau harus pura-pura ini bukan masalah besar, katanya pada diri
sendiri. "Delia Easton?" salah satu juri memanggil.
Aku akan pura-pura berada di rumah, sedang menyanyi untuk
Britty dan Gabe. Dan Vincent, pikirnya. Aku benar-benar berharap
Vincent ada di sini. Delia menegakkan kepalanya tinggi-tinggi dan berjalan ke
panggung. "Untuk kompetisi bakat hari ini, aku menulis sebuah lagu
orisinal," katanya melalui pengeras suara.
Ia hampir tak dapat melihat aula yang gelap itu. Tapi ketika ia
mencari-cari wajah-wajah para juri, pandangan Delia jatuh kepada
Karina. Karina telah kembali ke tempat duduknya di deretan pertama.
Stewart duduk di sampingnya.
Jangan biarkan kau dipengaruhi olehnya, Delia berkata pada
dirinya sendiri. Ia memberi senyuman pada Karina. "Lagu ini berkisah
tentang sepasang remaja dan cinta di antara mereka. Judulnya
'Vincent.'" Delia meletakkan tempat gitarnya di atas bangku tinggi. Ia
berpaling lagi ke penonton dan melepas kait penutup kotak gitar.
Lalu ia membuka tutupnya.
Menatap gitarnya. Dan menjerit. Chapter 11 SENAR-SENAR itu. Senar-senar itu. Senar-senar itu telah terpotong.
Terpotong jadi dua. Senar-senar itu tergantung di gagang gitar.
Dan kata-kata yang ditulis mirip cakar ayam bersinar di
hadapan Delia. Kata-kata itu ditulis melintang dengan cat merah basah di
gitarnya. HA HA. Jeritan Delia tersangkut di kerongkongan. Ia ternganga menatap
gitarnya. Mengerjap. Mengerjap lagi. Seakan-akan mencoba
menghapus pemandangan itu.
Seakan mencoba memaksa pemandangan buruk itu pergi. Dan
mengembalikan gitar itu seperti semula.
"Ohhh." Ia mengerang pelan ketika matanya menatap lubang di
tengah-tengah gitar itu. Apa yang dijejalkan ke dalam lubang itu" Gumpalan lap abuabu"
Tidak. Tidak. Tidak. Tidak! Seekor tikus. Seekor tikus busuk. Kepalanya tersumbat ke
dalam gitar. Ekornya yang abu-abu dan kaki-kakinya yang kurus
kering mencuat ke atas. "Tidaaaaak!" Delia menutup wajahnya dengan tangan. Ia
menjatuhkan tempat gitar itu. Gitar itu terguling. Menghantam lantai
panggung. Tikus itu meloncat keluar"dan hinggap dengan pelan di sepatu
Delia. Ia menyepaknya. Tubuh abu-abu yang tersobek-sobek itu
melayang hanya satu atau dua meter. Mata tikus yang cekung itu
menatapnya, seolah menuduhnya.
Tiba-tiba Delia merasa mual. Ia jatuh berlutut di atas panggung.
Sekarang ia bisa melihat tikus itu lebih jelas. Melihat petakpetak kudis di tempat bulu-bulunya telah rontok. Melihat garis-garis
kulit yang mengelupas. Melihat darah lengket di punggungnya.
Delia merasa denyut jantungnya memukul-mukul di telinganya.
Tapi suara itu tidak cukup untuk menghalangi suara dari penonton.
Teriakan kaget. Jeritan. Terengah-engah kaget. Gumaman
kebingungan. Langkah-langkah kaki menghampirinya. Kemudian Gabe
dengan lembut menariknya berdiri dan memapahnya turun dari
panggung. Britty lari menghampiri mereka. "Delia! Apa yang terjadi" Apa
kau baik-baik saja?"
Delia tidak menyahut. Ia menatap deretan depan. Karina tidak
bergerak. Bibirnya terbuka. Matanya terbelalak. Ia tampak begitu tak
berdosa. Seperti tak tahu apa-apa. Delia memekik marah dan
meluncur dengan cepat menghampiri Karina. "Teganya kau!" suara
Delia bergetar. Tubuhnya gemetar.


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia membayangkan tikus itu dijejalkan ke lubang gitarnya,
tulisan cakar ayam HA HA itu. Ia menatap Karina dengan penuh
kemarahan. "Teganya kau!"
"Hah" Kau bicara apa?" Karina menuntut dengan tenang.
"Aku tahu kau yang melakukannya!" Delia menjerit.
Karina menggeleng-gelengkan kepala. "Sori. Aku tak tahu apaapa."
"Akting tak bersalahmu itu tidak berlaku bagiku. Kau yang
melakukan ini!" teriak Delia.
"Cukup, anak-anak." Seorang juri berwajah keras melangkah di
antara mereka. "Kami akan mencari jawaban atas apa yang telah
terjadi, dan kami akan mengatasinya."
Karina berdiri dan bertatap pandang dengan Delia. "Aku tidak
butuh tipuan-tipuan itu," katanya pelan. "Tidak untuk
mengalahkanmu." Ia berlalu tanpa mengucapkan kata-kata lagi.
Delia mengawasi Karina berjalan ke gang. Yang membuat
Delia heran, Karina berhenti di bangku Sarah. Ia tersenyum pada
Sarah, kemudian membungkuk dekat-dekat untuk bicara.
Sarah mengangguk. Kemudian, tanpa memandang Delia, ia
berdiri dan melangkah keluar aula bersama Karina.
"Aku tak percaya." Delia menahan napas. "Karina dan adikku?"
Ia menoleh ke panggung, dan menangkap pandangan Stewart di
bagian sayap. Apakah Stewart sedang tersenyum" Seringaikah itu di
wajahnya" Delia memicingkan mata dengan tajam. Ia tidak bisa melihat
Stewart dengan jelas di tempat gelap.
"Aku hanya mengumpulkan perlengkapanku," teriak Stewart. Ia
menghampiri dan membungkuk di tepi panggung, sehingga bisa
bicara pada Delia. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Yeah," Delia berbisik. "Aku baik-baik saja. Hanya terkejut.
Aku tak bisa mempercayai seseorang akan..."
"Apa mereka akan memberimu kesempatan lain?" Stewart
menyela. "Tentu saja! Mereka harus. Seseorang dengan sengaja
menggagalkan dia untuk tampil!" Gabe meledak.
Stewart mengangkat tangannya. "Pertanyaan konyol," ia
mengakui. "Tapi itulah yang pertama akan kutanyakan kalau hal
seperti ini menimpa diriku."
"Ayo keluar dari sini," ajak Britty dengan tak sabar.
"Yeah," Gabe mengiyakan. "Kita dapat mencari soda atau
apalah, sementara menunggu keputusan para juri terhadapmu."
Delia memeluk tubuhnya sendiri ketika mereka melangkah
keluar. Tapi itu tidak menghentikan rasa dingin yang menjalar ke
tubuhnya. "Rupanya Karina bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan
melakukan apa pun untuk menang," kata Britty pelan.
Gabe merangkul pundak Delia. "Kami pengawalmu mulai
sekarang," Gabe bergurau.
"Pasti," kata Britty. "Ke mana pun kau pergi, kami pergi. Paling
tidak, sampai Conklin Award diberikan."
"Kukira Karina ingin lebih daripada itu," Delia berkata pada
teman-temannya. "Dia menginginkan award itu. Dan Vincent. Dan
segalanya yang kumiliki. Segalanya. Dia menginginkan hidupku!"
Sahabat-sahabatnya mencoba menghiburnya. Tapi Delia hampir
tidak bisa mendengar kata-kata mereka yang menenangkan.
Sekali lagi ia membayangkan senar gitar yang terpotong.
Tikus busuk yang dijejalkan ke dalam lubang gitar itu, kakikakinya yang kurus kering mencuat keluar.
Sekali lagi ia membayangkan wajah Karina. Begitu tak
bersalah. Begitu palsu. Apa yang akan kulakukan" tanya Delia pada dirinya sendiri.
Apa yang bisa kulakukan"
Chapter 12 DELIA memarkir Jetta merahnya di jalan masuk rumahnya. Ia
tak sabar menunggu untuk mandi air panas yang lama"dengan
minyak mandi melati favoritnya. Kemudian meringkuk di ranjang dan
tidur siang yang lama. Ia tidak ingin berpikir lagi tentang apa pun. Tidak soal Karina.
Atau tentang harus menyanyikan lagunya di hadapan para juri minggu
depan. Kalau saja ia bisa berhenti membayangkan gitarnya yang
hancur, senar-senarnya yang terpotong, tikus busuk yang menjijikkan
dengan mata cekung di kepalanya.
Siapa tikus yang sebenarnya itu" Delia bertanya dalam hati.
Siapa tikus yang melakukan itu padaku"
Karina" Benarkah ia bersedia bertindak sejauh itu untuk
menang" Delia mengambil dompetnya dan keluar dari mobil. Salju tipis
telah turun selama kontes bakat itu. Ia berjalan di permukaan yang
licin ke pintu depan dengan hati-hati.
"Hei!" Sebuah pesan. Ditempelkan di pintu badai, dengan namanya
tertulis dalam huruf-huruf merah besar-besar.
Dari Vincent! Ia langsung mengenali tulisan tangannya.
Delia mengambil pesan itu dan membuka lipatannya. "Aku tahu
penampilanmu mengagumkan," ia membacanya keras-keras. "Sayang
aku tidak ada di sana. Ayo kita rayakan malam ini. Bagaimana kalau
di Red Heat?" Wow. Red Heat adalah klub dansa paling "panas" di Shadyside.
Tiba-tiba Delia tidak merasa lelah lagi.
Tapi baju apa yang sebaiknya kukenakan" pikirnya.
Rok kulit miniku yang hitam, ia memutuskan. Dipadu dengan
rompi berlipit kulit hitam, di atas kaus ketat ungu berenda. Dan sepatu
tebal merah yang kutemukan di toko murah.
Sempurna. Tapi Britty telah meminjam rok hitamnya beberapa minggu
yang lalu dan belum mengembalikannya.
Delia berbalik dan menuju mobilnya lagi. Tidak akan makan
waktu lama untuk pergi ke rumah Britty di North Hills.
Ia membuka pintu mobil dan masuk ke balik kemudi. Kemudian
ia mundur dari jalan masuk mobil dan menuju rumah Britty.
Ketika menyetir, ia memaksa pikiran-pikiran buruk lenyap dari
benaknya. Hanya memikirkan Vincent. Tentang menghabiskan malam
di Red Heat bersamanya. Delia memarkir mobilnya di depan rumah Britty dan bergegas
ke pintu rumah. Ia menekan bel.
Beberapa detik kemudian, Britty membuka pintu dengan
celemek bernoda cokelat. Tepung kue yang putih bergaris-garis
mengotori rambutnya yang pirang madu.
Delia meledak tertawa. "Sedang ngapain kau" Bukankah kau
dan Gabe seharusnya belajar sejarah?"
"Kami sedang memanggang kue cokelat," Britty mengakui. Ia
mendahului Delia masuk ke dapur.
Gabe menyeringai padanya, pipinya penuh tepung.
"Apa yang kalian lakukan" Mandi dalam adonan kue?" teriak
Delia. "Uh, kami perang tepung," Gabe mengakui.
"Kau seharusnya tidak melihat," kata Britty. Ia melangkah ke
depan meja dapur, seakan menjaga agar Delia tidak memperhatikan
mangkuk-mangkuk, cangkir-cangkir ukuran, dan bahan-bahan yang
berceceran di mana-mana. "Kami ingin membuat kejutan," Gabe menambahkan. Ia melirik
sekilas kepada Delia dan pipinya merah. "Untukmu."
Delia menggelengkan kepala. "Apa katamu?"
"Kami ingin membuatmu merasa lebih baik," Britty
menjelaskan. "Setelah semua yang terjadi hari ini..." Ia menggaruk
hidungnya, meninggalkan lingkaran putih tepung di atasnya. "Kami
pikir kue-kue ini mungkin bisa membuatmu senang."
Kerongkongan Delia terasa tersumbat. Sahabat-sahabat yang
baik. "Kalian ini...!" Delia memeluk mereka berdua. "Kalian manis
sekali!" Kemudian ia menambahkan dengan getir, "Tapi satu-satunya
hal yang akan membuatku merasa lebih baik adalah membalas
Karina." "Oh, ayolah," Britty menepuk lengan Delia, mencorengkan
tepung di blusnya. "Biskuit cokelat bisa memperbaiki suasana."
"Yeah!" Gabe menyetujui. "Mereka bahkan akan menolongmu
tampil hebat dalam audisi nyanyimu yang kedua." Timer oven
berbunyi. Ia menyambar sebuah cempal panci dan menarik keluar
sebuah loyang kue yang berasap.
"Wow. Baunya harum, kan?" Dengan spatula, Gabe
mengangkat kue itu ke piring.
"Delia, kau tidak serius ingin membalas Karina, kan?" tanya
Gabe. Ekspresi wajahnya berubah serius. "Kalau kau melakukannya,
kau akan jadi seperti dia. Kau terlalu baik untuk itu."
Gabe meniup sepotong kue, kemudian mencicipinya. "Ow.
Panas!" "Disamping itu, itu akan berbahaya," Britty menyela. "Karina
benar-benar lepas kontrol."
"Britty benar," ujar Gabe. "Jauhilah dia sedapat mungkin.
Biarkan dia sendirian sepenuhnya."
Delia menghela napas. "Kau benar. Aku bahkan tidak yakin
memang dia yang menghancurkan gitarku."
"Makanlah sepotong kue," kata Gabe. "Kue bisa memecahkan
semua masalah." **********************************************
Dalam perjalanan pulang, Delia memikirkan apa yang dikatakan
teman-temannya. Mereka benar. Dan ia tahu itu.
Ia harus tetap tenang. Ia tidak boleh bersikap gila seperti
Karina. Malam ini aku akan melupakan segalanya; aku akan bersenangsenang, ia memutuskan. Ia melirik ke tas di bangku di sampingnya.
Tas dengan rok kulit mininya yang berwarna hitam di dalamnya.
Malam ini aku tidak akan mencemaskan tentang Conklin
Award, atau college, atau apa pun lainnya yang akan menghancurkan
gairahku. Termasuk Karina! Delia berputar di pengkolan menuju Park Drive"dan napasnya
langsung sesak. Karina! Karina berdiri tepat di pengkolan, di samping seorang cowok
jangkung. Cowok jangkung dengan rambut cokelat berombak.
Vincent! Vincent mencondongkan tubuh begitu dekat, kepalanya hampir
menyentuh kepala Karina. Delia melambatkan mobilnya untuk mengamati mereka.
Mereka berhenti. Karina merangkulkan lengannya ke tubuh
Vincent. "Tidak!" teriak Delia.
Ia mengawasi mereka berciuman. Ciuman pelan dan lama.
Dengan teriakan kemarahan, Delia menghantamkan kakinya
menginjak pedal rem... dan gagal.
Ia menghantam pedal gas. "Tidaaaaak!" Ia memutar setir dengan keras ketika mobil itu selip di luar
kendali. Mobil itu menghantam lapisan es dan tergelincir ke samping, di
jalan bersalju. Kepala Delia pusing. Ia menghantam lapisan es lain. Mobil itu berputar lagi.
Ia mencengkeram setir erat-erat, berjuang untuk
mengendalikannya. Mobil itu bertambah kecepatannya ketika melaju
menuruni bukit. Delia melihat sebatang pohon muncul di kaca depannya.
Kemudian ia merasakan sentakan keras. Mendengar suara
nyaring kaca dan logam. Dan segalanya menjadi gelap.
Chapter 13 SEMUANYA menjadi gelap karena kantung udara
mengembang di wajahnya. Kepala Delia tersentak ke belakang dan menghantam sandaran
kepala. Kemudian ia tersentak ke depan. Sabuk pengamannya menusuk
pinggang. Kantung udara menekan wajahnya.
Ia bersusah payah menarik napas dalam-dalam.
"Delia" Delia, bisa kaudengar aku?" pekik seseorang.
Delia dengan susah payah menjauhkan diri dari kantung udara
itu. Pintu mobil berayun terbuka dan Karina membungkuk ke dalam.
Karina mencengkeram bahu Delia. "Delia," tanyanya, "apa kau
baik-baik saja?" Delia menggelengkan kepala. Dengan tangan gemetar ia
mengusap rambutnya yang menutupi mata. "Ku-kupikir begitu." Ia
tegang melihat sekeliling kantung udara itu. "Bagaimana keadaan
mobil...?" "Tidak terlalu parah. "Kap mesin penyok. Dan sebuah lampu
depan hancur. Tak ada yang serius. Sepanjang kau baik-baik saja."
"Di mana Vincent?" Delia menatap melewati Karina. Ia
mencari-cari di trotoar. Tak ada tanda-tanda kehadiran Vincent.
"Aku melihat Vincent bersamamu." Suara Delia parau. "Di
mana dia?" "Dia pergi menelepon orangtuamu." Karina menunjuk ke
sebuah rumah terdekat. "Ke sana."
Delia menarik dirinya keluar dari mobil. Kakinya terhuyunghuyung. Jari-jarinya sakit karena ia telah mencengkeram kemudi
begitu erat. Tapi ia tidak mengalami patah tulang. Ia tidak merasa
mengalami gegar otak atau apa pun.
"Wow. Nyaris saja tadi." Karina menatap pohon itu. "Kalau kau
sedikit lebih cepat lagi, pohon itu akan berakhir di depan bangkumu."
Pikiran yang menakutkan. Delia berbalik dari mobil dan pohon itu. Ia mendapati dirinya
sedang menatap Karina. "Aku..." Delia dan Karina memulai pada saat yang sama.
"Maksudku..." Mereka mulai lagi.
"Kau dulu," kata Karina.
"Oke," Delia setuju. "Kulihat..." Ia tidak dapat memaksa dirinya
mengatakan itu. Ia tidak dapat memaksa dirinya mengatakan bahwa ia
melihat Vincent dan Karina berciuman. Kata-kata itu terlalu
menyakitkan. "Kulihat kau dan Vincent bersama-sama. Aku tidak
tahu..." "Bahwa dia kencan dengan kita berdua?" Karina mengakhiri
kalimatnya itu untuknya. "Tidak, aku juga tidak tahu. Sampai
beberapa hari yang lalu, ketika kulihat lipstikmu di pipinya."
"Kukira dia tak pernah menjanjikan untuk tidak kencan dengan
cewek-cewek lain," kata Delia.
"Memang. Dia tidak bohong." Mata Karina yang biru berkilatkilat marah. "Tapi dia membuatku mempercayai apa yang ingin
kupercayai. Dia seharusnya mengatakannya padaku. Juga padamu.
Dia berbohong pada kita berdua."
"Kukira tak ada yang perlu kita pertengkarkan lagi," kata
Karina lembut. "Maksudku... kita berdua sudah tahu tentang Vincent
sekarang."

Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada yang harus diributkan. Kecuali Conklin Award," kata
Delia. Itu benar, dan mereka berdua tahu itu. Sesaat mereka terdiam.
"Karina..." "Delia..." Mereka mulai bicara pada saat yang sama lagi.
"Kau duluan kali ini," Delia tertawa.
Pipi Karina merona. "Aku telah bersikap konyol. Aku sangat
menyesal telah menyerangmu di ruang olahraga hari itu. Dan
mengucapkan kata-kata buruk itu padamu. Aku benar-benar khilaf.
Kuakui itu. Tapi aku tidak menghancurkan gitarmu! Aku sumpah.
Ayo kita baikan, oke?"
Delia mempelajari Karina dengan hati-hati. Karina tampak
cukup tulus. Tapi Karina sulit ditebak. Ia selalu kelihatan seperti Miss
Kecil Tanpa Dosa. "Oke," Delia setuju. Itu tidak berarti ia harus mempercayai
Karina sepenuhnya. "Jadi, apa kau akan baik-baik saja di sini?" tanya Karina. "Aku
harus pulang." "Yeah, aku baik-baik saja," kata Delia. "Aku beruntung."
Ia mengawasi Karina bergegas pergi, rambut pirangnya
melambai-lambai dalam udara bersalju.
Beberapa saat kemudian, Vincent muncul dari rumah di
seberang jalan dan menghampiri Delia. Denyut nadi Delia menjadi
cepat, seperti biasanya kalau ia melihat Vincent.
Gencatan senjata dengan Karina tidak berarti aku harus
menyerahkan Vincent. Kami akan menikmati saat-saat menyenangkan
di Red Heat. Aku akan mengadakan pesta ulang tahun paling hebat di
dunia untuknya. Dan Vincent tidak akan ingat lagi pada Karina.
*********************************************
"Kau tahu aku ingin pergi ke Red Heat denganmu. Itu ideku,
kan" Tapi aku tak bisa pergi malam ini. Kita pergi akhir minggu ini,
aku janji." Vincent menjauhkan telepon dari telinganya. Ia tidak peduli
jawaban Delia. Ia tahu persis apa yang akan dikatakan gadis itu.
Delia akan menanyakan, apa yang lebih penting daripada
malam mereka di Red Heat.
Delia akan mengatakan itu tidak adil. Ia punya pakaian baru
yang hebat, yang dipilih khusus untuk Vincent.
Ia akan mengingatkan Vincent tentang hari mengerikan yang
telah dialaminya. Tapi itu tidak akan berhasil. Tidak malam ini.
"Delia...," Vincent menyela. "Aku tak bisa pergi malam ini.
Aku benar-benar, sungguh-sungguh minta maaf."
Vincent menelan ludah keras-keras. Mungkin ini suatu
kesalahan, pikirnya. Mungkin aku sebaiknya pergi dansa dengannya
malam ini. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan Karina dan Delia sedang
bicara bersama. Siang itu ia mengawasi mereka lewat jendela, ketika
ia pergi menelepon orangtua Delia.
Apa yang sedang mereka bicarakan"
Kalau Delia dan Karina bersahabat lagi, itu akan
mengacaubalaukan hidupnya sepenuhnya.
Vincent bergerak-gerak gelisah di bantal sofa ruang
keluarganya. "Aku melihatmu dan Karina sedang bicara tegang dekat
mobilmu hari ini. Karina tidak mengatakan padamu... dia tidak
mengatakan padamu kami sedang pergi bersama atau yang lain, kan"
Kalau dia mengatakan..."
Ia menarik napas panjang dan mencoba bersuara biasa-biasa
saja. "Kalau itu yang dikatakan Karina padamu, kita benar-benar perlu
meluruskannya." Vincent menggelengkan kepala dengan sedih, seperti yang ia
lakukan kalau Delia sedang duduk di dekatnya. "Dia jelas kacau.
Maksudku, cara dia menyerangmu di ruang olahraga itu. Dan tikus di
dalam gitarmu..." Vincent memutuskan ia perlu menjelaskan ciuman yang terjadi
antara dirinya dan Karina"untuk berjaga-jaga kalau Delia benarbenar melihatnya. "Kau tidak akan percaya apa yang telah
dilakukannya padaku hari ini. Ketika aku menghampirinya di Park
Drive, dia menarik wajahku dan menciumku. Benar-benar
keterlaluan." "Aku tahu itu tidak benar!" seru Delia. "Katanya kau kencan
dengan dia. Aku benar-benar mempercayainya! Itu pasti karena aku
sedang terguncang akibat kecelakaan itu."
Vincent memindahkan gagang pesawat telepon itu ke telinga
satunya. "Kau tidak perlu cemas soal aku dan Karina," ia meyakinkan
Delia. Ia menurunkan suaranya, seperti yang selalu dilakukannya
ketika sedang berbisik di telinga Delia. "Kau percaya padaku, kan?"
"Kalau begitu, ayo keluar malam ini. Kau bisa meyakinkan
kedua orangtuamu," kata Delia.
"Aku tak bisa. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindar
dari ini. Petugas pembersih karpet akan ke sini pagi-pagi sekali. Ibuku
kesal karena semua perabot berat ini harus dipindahkan. Kau
mengerti, kan, Delia?"
"Yah." Vincent tahu Delia kecewa. Tapi paling tidak Delia tidak marah
lagi. "Kita akan jalan-jalan lain hari, oke?"
Ia tidak menunggu Delia menjawab. "Sampai jumpa besok," ia
menambahkan dengan cepat. Dan menutup sambungan.
Vincent merasa pengap. "Tidak segampang yang kupikirkan,"
ia mengakui. "Dia benar-benar marah."
"Nanti juga dia baik lagi." Cewek di sebelah Vincent merapat
lebih dekat padanya. "Dia selalu begitu."
Vincent mengangguk. Ia lupa semuanya tentang Delia dan
menyelipkan lengannya di sekeliling pundak cewek itu. Memberinya
senyuman lebar. Senyuman khas Vincent-Milano.
Cewek itu tertawa genit. Ia mencium sudut mulut Vincent.
Vincent tertawa. "Kau benar-benar jahat, Sarah."
Chapter 14 "GUGUP. Gugup. Gugup," Delia bergumam pada dirinya
sendiri. Ia berjalan mondar-mandir di ruang seni, sepulang sekolah.
"Gugup. Harus kuhentikan bertindak gugup."
Ia berjalan setengah berlari di koridor, menuju lokernya. Ia
memutar kunci kombinasinya dan menarik pintu loker hingga terbuka.
Ia memeriksa rambutnya di cermin kecil yang tergantung di dalamnya.
Menurut pendapatnya, rambutnya kelihatan cantik. Dengan
bantuan Britty, ia telah mengepangnya. Kepangan itu tergantung
separuh di punggungnya. Mencolok. Tebal.
Sangat berseni. Di salah satu telinganya, ia memakai anting perak bertabur
manik-manik merah bulat dan panjang, dan batu-batuan tipis
berbintik-bintik ungu. Sempurna untuk kompetisi seni.
Ia meraih lipstik cadangan Midnight Wine yang disimpannya di
lokernya dan mengoleskannya. Kebanyakan orang tidak akan
memakai warna ungu gelap dengan jaket merah cerah dan rok merah
panjang seperti yang dikenakan Delia. Tapi ia bukan orang
kebanyakan. Ia menyukai kombinasi warna yang aneh. Dan itu akan
menunjukkan pada dewan juri bahwa idenya orisinal.
Aku senang telah memutuskan membuat lukisan diri yang lain,
pikir Delia. Dalam lukisannya yang baru, ia memakai pakaian yang
sama dengan yang dipakainya hari ini. Tata rambutnya sama,
antingnya sama"sama segalanya.
Ia membayangkan semua itu akan membantu para juri untuk
mengingatnya. Delia menutup lokernya dan menghambur kembali ke ruang
seni. "Gugup," ia komat-kamit lagi, sambil menatap pintu yang
tertutup itu. Sebuah tangan mencengkeram pundak Delia. Ia memekik dan
berputar. Stewart berdiri di sana dengan ekspresi malu-malu. "Sori. Aku
tidak bermaksud membuatmu takut." Ia mengikuti pandangan Delia ke
pintu kelas. "Kau berikutnya?"
Delia mengangguk. "Karina ada di dalam sana sekarang,"
katanya pada Stewart. "Dengan para juri. Apa kau sudah melihat
karyanya?" "Dia bagus," kata Stewart. "Dia melukis bunga-bunga dan
pohon-pohon dengan cat minyak. Lukisan-lukisan yang kecil sekali.
Miniatur mini yang manis. Indah."
"Indah. Sudah pasti." Delia tahu suaranya bernada iri, tapi ia tak
bisa menahannya. Barangkali Stewart tidak memperhatikan. Ia tersenyum. "Aku
belum melihat karya senimu, tapi senimannya tampak hebat," katanya.
"Trims," gumam Delia. Cara Stewart menatapnya membuatnya
merasa lebih gugup. Ia mengalihkan pandangannya pada portfolio seninya yang
terbuat dari kulit. "Karyaku juga bagus. Gambar-gambarku tidak
ruwet seperti Karina. Dan juga tidak seperti karyamu. Karyamu
memiliki semua detail itu. Paling tidak, yang pernah kulihat
tergantung di kelas seni."
Aku sedang mengoceh tidak keruan, Delia sadar. Ia memaksa
dirinya untuk berhenti. Stewart menyilangkan lengannya di dada dan bersandar di
sebuah loker. Ia tampak begitu berbeda dalam kemeja sport dan dasi,
pikir Delia. Rasanya aku tidak pernah melihatnya memakai dasi.
Dasinya mengingatkan Delia pada matahari terbenam. Warnawarna lembut. Corak yang bisu. Puisi dalam sutra.
Dia tampak hebat, pikir Delia. Ia menyukai rambut Stewart
yang hitam kelam dan celah di dagunya. Tapi dia tetap bukan Vincent,
Delia menambahkan pada dirinya sendiri.
"Biar kutebak," kata Stewart. "Lukisan-lukisanmu ramai.
Terbuka. Seperti kau."
Pintu ruang seni terbuka dan Delia terlompat. "Kalau kita punya
waktu, aku akan menunjukkannya padamu." Ia menyambar
portfolionya dan masuk ke dalam kelas. "Dengan begitu, kau akan
tahu apa yang kauhadapi," ia berteriak sambil menoleh.
Stewart menangkap lengannya sebelum ia melangkah melewati
pintu masuk. "Kita bisa pergi ke Pete's Pizza setelah selesai. Kau bisa
menunjukkannya padaku di sana."
Ia menatap Delia. "Aku... aku tidak bisa." Delia memberinya ciuman sekilas.
"Aku harus bicara dengan Vincent dan..."
"Yeah, benar." Stewart melepaskannya. Matanya berubah
dingin. "Mereka sedang menunggumu," gumamnya.
Delia berpaling dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Hal
pertama yang dilihatnya adalah lukisan minyak Karina yang indah,
berderet di dinding. Kemudian ia melihat Karina. Karina
melemparkan senyuman kilat kepada Delia.
Delia memaksa dirinya balas tersenyum. Kemudian ia
mempelajari lukisan Karina. Setiap kanvas kecil memperlihatkan
sebuah kebun. Mawar-mawar merah muda. Daisy-daisy kuning. Lilaclilac ungu. Begitu indah, sehingga Delia hampir bisa mencium harum
mereka. Gelombang rasa iri menerjangnya. Kenapa Karina begitu pandai
dalam segala hal" "Apa kau siap, Miss Easton?"
Delia mengangguk. Ia merasa suaranya bakal gemetar kalau ia
menjawab. Ia membawa portfolionya ke hadapan juri, meletakkannya
di meja, dan membukanya. Ungu" Corengan ungu apa itu"
Ungu gelap mencolok di atas lukisannya.
Delia tak bisa bernapas. Gelombang rasa panik membuat ia
beku di tempatnya. Ia memaksa dirinya bergerak. Dengan menahan napas, ia
membalik gambar-gambar yang telah menyita waktunya selama
beberapa bulan untuk menyelesaikannya.
Hancur. Semuanya hancur. Semuanya tercoreng warna ungu.
Apakah itu lipstik" Apakah itu lipstik ungu"
Semua desain fashion-nya. Semua potretnya. Tercoreng warna
ungu. Teriakan pelan keluar dari kerongkongan Delia ketika ia sampai
pada potret dirinya. Lipstik ungu gelap menutup matanya. Mata itu menatap kosong
pada Delia. Dua buah lingkaran ungu bulat.
Lipstik itu telah masuk ke dalam kanvas. Mencongkel sebuah
lubang di satu titik. Di bawah gambar itu, ia membaca sebuah pesan yang ditulis
cakar ayam dalam warna ungu: "HA HA. TIDAK BISAKAH KAU
MATI SAJA?" Chapter 15 PARA juri menatap karya seni yang tercoreng itu.
"Delia, apa yang terjadi di sini?" salah satu di antara mereka
akhirnya bertanya. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Lutut Delia gemetar. Ia sulit bernapas.
"Tidakkah Anda lihat?" jeritnya. "Tidakkah Anda lihat apa yang
telah dilakukan seseorang padaku?"
"Tapi... bagaimana ini terjadi?" juri yang lain mendesak sambil
menggelengkan kepala. Apa yang mereka inginkan darinya"
Apa yang bisa ia katakan pada mereka"
Sambil berteriak parau, Delia menjatuhkan lukisan-lukisan itu
dan lari keluar ruangan. Ia mendengar juri-juri yang kaget memanggilmanggil namanya. Tapi ia tidak berhenti.
Ia baru beberapa langkah berjalan di koridor ketika ia menabrak
Stewart. "Hei, apa yang terjadi" Ada apa?" teriak Stewart.
"Lukisanku! Semuanya hancur!" Delia tercekik.
"Hah?" Delia berputar dan lari menuju tangga.
"Tunggu!" teriak Stewart.
Tapi Delia tidak memperlambat langkahnya. Ia mendorong
pintu hingga terbuka dan melangkah menuruni tangga, seperti terbang.
Ia memutari pojokan... dan mengerem langkahnya.
Ini tak boleh terjadi, pikirnya. Ini tak boleh terjadi lagi.
Karina berdiri di ujung koridor itu. Merapat dekat Vincent.
Delia mundur ke dinding, sehingga Karina dan Vincent tidak
melihatnya. "Aku tahu aku akan menang. Aku tahu itu," Karina berkata
dengan gembira. "Kau seharusnya melihat wajah para juri ketika aku
memperlihatkan lukisanku pada mereka!"
Vincent mencondongkan tubuh lebih dekat kepada Karina.
Membisikkan sesuatu ke telinganya.
Wajah Karina bersinar. Ia mencium pipi Vincent.
Delia menelan ludah keras-keras. Memang benar, pikirnya.
Karina memang seorang pemenang. Ia berdiri di sana dengan Vincent.
Para juri menyukai segala yang ia lakukan untuk Conklin Award. Dan
mereka bahkan belum melihat karyaku sama sekali.
Gencatan senjata macam apa ini" pikir Delia.
********************************************
"Mungkin sebaiknya aku keluar dari kompetisi Conklin," erang
Delia. Ia menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu Britty.
"Jangan! Kau tidak boleh menyerah!" Britty memprotes. "Kau


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus mengatakan kepada para juri bahwa Karina merusak karyamu."
"Tapi aku tidak yakin dialah pelakunya," jawab Delia.
"Tentu saja kau yakin!" seru Britty. "Siapa lagi...?"
"Aku tak punya bukti," Delia berkeras. "Kalau aku menghadap
juri dan mengatakan bahwa Karina menghancurkan gitarku dan
mencoreng semua lukisanku, kenapa mereka harus mempercayai aku"
Mereka bakal melemparkan aku dari kompetisi ini."
"Kau kan belum tahu itu," kata Britty. Ia beringsut ke lengan
sofa. "Banyak orang melihat dia menyerangmu di ruang olahraga. Dan
kudengar dia mengancammu. Aku bisa bicara dengan mereka."
Delia duduk. Ia membuka kepangan rambutnya dan menariknya
lepas ke seputar wajahnya. "Kemudian apa?" desaknya. "Karina akan
ditendang dari kompetisi, dan semuanya akan baik kembali" Itu tidak
akan pernah terjadi." Delia menghela napas. "Kau tahu betapa gilanya
dia, Britty. Kalau memang dia yang melakukan hal-hal mengerikan
itu, apa yang akan dilakukannya padaku kalau aku berhasil
menendangnya" Dia akan mengejar aku. Dia akan menemukan cara
untuk menyakiti aku."
Britty menggigit sehelai rambutnya yang panjang. "Hanya ada
satu hal yang bisa kita lakukan," katanya.
Delia menyipitkan mata pada temannya. "Apa?" tanyanya,
suaranya terdengar bosan.
"Kita harus membunuh Karina."
Chapter 16 DELIA merasa wajahnya memucat.
Ekspresi wajah Britty berubah. "Hei, aku cuma bercanda." Ia
menarik lengan Delia dan menggoyang-goyangkannya. "Lupakan itu.
Aku cuma bercanda. Hanya berusaha mengusir kemuraman dari
wajahmu." "Aku sedang tidak senang bercanda." Delia menghela napas.
"Lagi pula, itu benar-benar gila."
"Aku lapar," kata Britty. "Aku selalu ngawur kalau sedang
lapar." Mereka berjalan ke dapur. Delia mengawasi Britty
membungkuk di dapur, mengobrak-abrik lemari. Ia mengambil piringpiring, sekantung keripik taco, sestoples salsa, dan sestoples lada
jalapeno. Ia meletakkan makanan itu di meja. Kemudian ia mengambil
beberapa potong keju, kacang hitam, dan nasi dari kulkas.
"Paling tidak, juri memberiku waktu ekstra untuk membuat
beberapa lukisan baru. Dan aku sudah punya beberapa lukisan lain.
Aku menyukai lukisan-lukisan itu, sama seperti aku menyukai
lukisan-lukisan yang kuperlihatkan pada mereka," kata Delia.
"Aku mencemaskanmu," kata Britty. Ia meletakkan makanan di
depan Delia dan mengempaskan dirinya di kursi di seberang Delia.
Dengan cepat ia membuka stoples-stoples itu.
"Beberapa minggu yang lalu, kau tidak bakal pernah
menganggap aku serius ingin membunuh Karina," kata Britty. Ia
mencelupkan sepotong keripik ke dalam kacang hitam dan
menggigitnya banyak-banyak.
"Aku tahu. Tapi ini serius, Britty. Karina boleh jadi sudah lepas
kontrol sepenuhnya. Kalau memang dia yang melakukan hal-hal itu
padaku, dia mungkin akan melakukan sesuatu yang bahkan lebih
buruk. Dia mungkin gila betulan. Aku... aku benar-benar takut
kepadanya." Britty memasukkan keripik lagi ke dalam mulutnya. Salsa
menetes ke dagunya, dan ia mengusapnya dengan satu jarinya. "Jadi,
biarkan dia memenangkan Conklin. Semua orang akan tahu dia
melakukan kecurangan untuk memenangkan itu."
"Apa untungnya itu bagiku" Nanti orang-orang akan berpikir
aku benar-benar layak diperlakukan begitu." Delia meraih keripik.
"Tidakkah kau mengerti" Kalau aku tidak menang, aku akan terjerat di
Shadyside sampai akhir hayatku."
Delia membiarkan keripik itu jatuh ke meja. "Kau akan masuk
Ohio State. Gabe melanjutkan ke Yale atau ke sekolah hebat lain.
Bahkan Vincent akan masuk college"padahal nilainya jelek."
Delia menghela napas lagi. "Apa kau tidak mengerti itu,
Britty?" tanyanya. "Aku tidak ingin ketinggalan. Kalau aku tidak ke
New York, aku tidak akan pernah menjadi desainer mode. Dan tanpa
Vincent..." Tidak, Delia berkata pada dirinya sendiri. Aku belum
kehilangan Vincent. Aku tahu dia peduli padaku. Aku tidak akan
menyerah. Aku harus bicara padanya.
Ia berdiri. "Aku harus bicara padanya, Britty. Tentang kami.
Dan tentang Karina." Ia berjalan menuju pintu depan.
"Kau akan menemui Vincent?" teriak Britty sambil
mengikutinya. "Setelah apa yang kaulihat hari ini" Setelah semua
kebohongan yang dia katakan padamu" Kenapa" Kenapa kau ingin
bicara padanya" Biarkan Karina memiliki dia. Mereka cocok satu
sama lain." "Aku tak bisa." Delia berhenti di pintu. Ia berharap bisa
membuat Britty mengerti. Tapi bagaimana bisa" Britty tidak pernah
peduli soal cowok seperti Delia peduli akan Vincent.
"Kau hebat, Delia," Britty melanjutkan. "Banyak cowok senang
kencan denganmu. Contohnya, Stewart atau Gabe. Jangan sia-siakan
dirimu dengan pecundang seperti Vincent."
Delia membuka pintu. "Aku harus bicara dengan Vincent. Aku
harus memberinya kesempatan untuk menjelaskan."
Vincent akan mempunyai penjelasan bagus, Delia berkata pada
dirinya sendiri ketika ia buru-buru menuju mobilnya dan masuk ke jok
pengemudi. Aku akan bicara padanya, dan segalanya akan baik lagi.
Semuanya akan menyenangkan. Ia mengulangi kata-kata itu
terus-menerus dalam benaknya ketika menyetir mobilnya ke rumah
Vincent. Ia tahu Vincent ada di rumah. Kamis malam adalah malam
basket, dan Vincent menyukai basket. Ia akan berada di depan TV.
Delia memarkir mobilnya di jalan depan rumah Vincent.
Segalanya akan menyenangkan, ia mengulangi pada dirinya
sendiri. Menyenangkan. Menyenangkan...
Tapi ketika berjalan melewati pintu depan, ia melihat seseorang
sedang duduk di dekat Vincent di sofa. Seorang cewek.
Karina" Bukan. Cewek ini memiliki rambut gelap.
Perut Delia melilit. Siapa dia"
Ia bergegas ke pintu depan dan mencoba membukanya. Tidak
terkunci. Ia menyelinap ke dalam dan pelan-pelan menutup pintu di
belakangnya. Suara TV riuh rendah. Suara penonton basket. Delia berjingkatjingkat ke ruang keluarga.
Ia memicingkan matanya dalam kegelapan.
Vincent dan cewek itu berpelukan.
"Enyahlah dari cewek itu!" teriakan itu meledak dari
tenggorokan Delia. Vincent dan cewek itu tersentak kaget. Vincent melompat dari
sofa dan Delia menunduk menatap cewek itu.
Jantungnya berdetak keras di iganya.
"Sarah!" teriaknya.
Chapter 17 "DELIA! Hai!" Vincent berdeham. Ia memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku jeans-nya. Ia membasahi bibirnya dan
memandang Sarah sekilas. Sarah tidak kelihatan gugup. Ia tidak kelihatan kaget. Ia tampak
puas dengan dirinya sendiri.
"Sarah!" Delia mengulangi sambil mengerjapkan matanya
karena terkejut. Ia mencoba mengusir sosok adiknya dari depan
matanya. Apakah ini mimpi" Mimpi buruk"
Apakah Sarah benar-benar di sini bersama Vincent"
Sarah berdiri dengan dagu diangkat tinggi dan dada
dibusungkan. Ia melicinkan T-shirt hitam yang dipinjamnya dari
Delia"tanpa minta izin.
"Hei. Apa kabar?" Sarah berjalan menghampiri kakaknya.
Apa yang berbeda dengan Sarah" Delia bertanya dalam hati.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk melihat.
Bibirnya. Bibir Sarah berkilauan dengan lapisan lipstik Midnight Wine
ungu milik Delia. Sarah menyeringai. "Ada apa?"
Delia menggigit bibir bawahnya. Ia tidak ingin memberi Sarah
kepuasan dengan marah-marah. "Tidak ada apa-apa," katanya lewat
gigi yang dikatupkan. Ia menoleh ke Vincent dan memaksa diri untuk tersenyum.
"Benar?" Vincent tertawa. Tapi cara tertawanya tidak seperti biasa.
"Sarah baru akan pergi," katanya. Ia menyambar mantel Sarah dari
kursi cokelat di sudut. Tempat Delia selalu meletakkan mantelnya.
Vincent melemparkannya ke Sarah. "Adikmu mampir untuk..."
"Aku tahu persis kenapa dia mampir," kata Delia dengan
dingin. Delia berjalan ke gang dan membuka pintu depan. Ia berdiri di
situ, menunggu Sarah pergi.
Tidak makan waktu lama. Ketika Sarah berlalu, Delia menarik
tangannya. Ia mencondongkan tubuh mendekati adiknya. "Kau tidak
berpikir dia akan benar-benar memilihmu, kan" Bahkan dalam pakain
dan perangkat riasku, kau tetap tidak istimewa sama sekali!"
Dagu Sarah yang lancip dan kecil gemetar. Delia memang
bermaksud menyakiti adiknya. Dan ia berhasil.
Sarah berjalan ke pintu tanpa berkata-kata lagi. Delia
membanting pintu di belakangnya.
Ia berputar dan menatap Vincent dengan marah. "Apa yang
terjadi?" Vincent menundukkan kepalanya. Memasang ekspresi
memelas. Delia mengeluarkan erangan jijik. "Itu tidak akan berhasil kali
ini." "Aku kasihan padanya," kata Vincent. "Aku ingin memberinya
beberapa petunjuk. Kupikir sesudah itu mungkin cowok-cowok
sekelasnya tidak akan menganggap dia aneh lagi."
Delia memutar bola matanya. "Yeah, benar."
Vincent bergerak menghampirinya. Meraih lengannya. "Bukan
masalah penting. Aku cuma ingin membantunya. Kau tahu aku hanya
serius padamu." Delia memukul lengannya. "Kalau begitu, kenapa kau mencium
Karina di gang sepulang sekolah?"
"Karina?" Vincent menelan ludah keras-keras. "Aku harus
bicara padamu soal Karina."
"Katakan saja." Delia menyilangkan lengannya dan menunggu.
"Karina menganggap aku cowoknya. Aku tidak tahu kenapa,
tapi dia menganggap begitu," kata Vincent. "Aku sudah pikir-pikir,
apa yang harus kulakukan. Tapi kau tahu Karina. Kau tahu betapa
lepas kendalinya dia."
"Apa lagi yang bisa dilakukannya?" teriak Delia. "Dia
menghancurkan gitarku. Dia menghancurku portfolioku. Kau harus
bicara padanya, Vincent. Kau harus memberitahu dia untuk mundur.
Kau..." "Aku akan melakukannya," sahut Vincent dengan lembut. Ia
meraih Delia lagi. Tapi sekali lagi Delia mendorongnya.
"Tolonglah, Vincent," Delia memohon. "Katakan pada Karina.
Katakan padanya. Katakan padanya dia butuh pertolongan. Katakan
padanya dia lepas kendali. Katakan sesuatu padanya!"
Vincent mengangguk. "Aku akan mencoba. Aku janji. Dan
kalau itu tidak berhasil, aku akan bicara dengan orangtuanya."
"Tolonglah, Vincent," Delia mengulangi dengan bernafsu.
"Katakan padanya"sebelum dia melakukan sesuatu yang benar-benar
mengerikan. Aku takut sekali pada Karina. Takut sekali!"
"Aku janji," kata Vincent sambil mengangkat tangan kanannya
dengan tenang. "Lakukan segera," Delia memperingatkan. "Sebelum terlambat
sekali." Wajah Vincent penuh keheranan. "Terlambat sekali" Apa
maksudmu?" Delia menghela napas dalam-dalam. "Aku... aku begitu cemas
tentang apa yang mungkin dia lakukan berikutnya," katanya dengan
susah payah. Chapter 18 " APAKAH ini ide terbaik untuk pesta ulang tahun atau apa?"
Vincent menjauh dari pintu dan menyilakan Britty dan Gabe masuk.
Ia tahu jawaban pertanyaan itu"pasti terbaik!
"Wow." Britty mengintip ke dalam kegelapan ruang depan.
"Tempat yang menyeramkan. Kenapa kau memilih rumah besar tua di
Fear Street ini untuk pestamu?"
"Karena ini keren," jawab Vincent sambil tersenyum padanya.
"Tapi bagaimana kau mendapatkannya?" desak Gabe. "Siapa
yang tinggal di sini?"
"Tak seorang pun," kata Vincent. "Itu sebabnya aku
mendapatkannya. Rumah ini sudah kosong hampir setahun. Jadi, aku
menyewanya untuk malam ini. Kau tahu. Hak penduduk atas tanah
yang tidak ditempati. Aku membersihkannya sedikit. Dan sekarang
saatnya berpesta! Semua anak kelas tiga hadir di sini."
Ia memimpin mereka menyeberangi gang, menuju sepasang
pintu ganda. "Kalau aku mengadakan pesta di rumah, ibuku pasti pusing," ia
melanjutkan. "Dia akan khawatir tentang semua remah-remah kecil
yang jatuh ke lantai. Dan ayahku akan bersikap tegang. Kau tahu,
seperti guru-guru kalau menjadi pengawas di pesta dansa sekolah."
Vincent memukulkan satu jarinya di dahi. "Jenius," katanya.
"Asyik, kan, ini" Tidak ada orangtua di sini. Tidak ada tetangga.
Pembersihan minimum. Kesenangan maksimum. Dan aku
beruntung"listrik tidak pernah mati."
"Bisakah kita bergabung dalam pesta sekarang, jenius?" tanya
Gabe. Vincent menarik pintu ganda itu. Sebuah ballroom besar
terhampar di sayap satunya. Suara musik yang keras dan tawa
meyambut mereka. Ini benar-benar pesta ulang tahun yang mengagumkan, kata
Vincent pada dirinya sendiri. Banyak makanan"piza, berkotak-kotak
ayam, keripik dan pretzel, nachos dengan keju yang liat dan lengket.
Musik yang hebat. Ia menyewa seorang DJ dari sekolah, dan
memberinya daftar CD dansa favoritnya.
Britty menjulurkan kepala, mencoba melihat di atas kerumunan
itu. "Di mana Delia?" tanyanya.
"Hah?" Vincent baru mau memasukkan sepotong piza ke
mulutnya. Ia berhenti dan menoleh ke Britty. "Delia?"
Ia begitu sibuk mempersiapkan pesta itu, sehingga tidak
memikirkan Delia. Ia mencari-cari di ruangan ramai dan besar itu. Ia
tidak melihat Delia. Kalau dia datang, kuharap dia tidak bertanya padaku apakah
aku sudah bicara serius dengan Karina, pikirnya. Aku begitu sibuk
menyiapkan pesta ini. Aku tidak butuh ribut-ribut dengan Delia"
terutama di pesta ulang tahunku.
"Kupikir Delia datang lebih awal," Britty berteriak mengatasi
musik yang berdentam-dentam itu. "Aneh kalau dia tidak ada di sini."


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau di sana rupanya!" Karina memanggil. Ia pasti tiba tepat
setelah Britty dan Gabe, pikir Vincent. Karina menghampiri mereka
dan mencium pipi Vincent.
"Ayo dansa. Oke, Gabe?" tanya Britty ketika ia menerobos
melewati Vincent. Vincent mengalihkan perhatiannya pada Karina.
"Pesta yang mengagumkan!" Karina menciumnya lagi. "Ayo."
Ia menarik Vincent ke lantai dansa, matanya yang biru berkilauan.
"Aku suka lagu ini."
Vincent menarik Karina mendekat. Ia menempelkan pipinya di
atas kepala Karina ketika mereka bergoyang mengikuti irama musik.
Pesta yang hebat sekali, katanya pada dirinya sendiri.
Ketika lagu berakhir dan sebuah lagu berirama cepat mulai,
Karina dan Vincent tetap berdansa. Itulah yang diinginkan Vincent.
Dansa sepanjang malam. Setelah beberapa lagu, seseorang menarik lengan bajunya. Ia
menoleh dan melihat Britty sedang menatapnya. "Ada apa?" tanyanya.
"Ada yang tidak beres, Vincent," kata Britty. "Amat tidak beres.
Delia tidak ada di sini."
Vincent memutar bola matanya. Ia tak ingin mendiskusikan
Delia di hadapan Karina. Apalagi ketika semuanya berjalan begitu
baik di antara mereka. Ia minta izin pada Karina untuk mengambil es lagi, dan menarik
Britty dari lantai dansa.
"Apa maksudmu?" tanyanya pada Britty ketika mereka sampai
ke sisi lain ruangan itu.
"Delia. Aku bicara soal Delia," bentak Britty. Ia melihat ke
sekeliling. "Dia tidak di sini."
Apa yang harus kulakukan menghadapi persoalan ini" pikir
Vincent. Di seberang ruangan, ia melihat Stewart Andrews meminta
Karina berdansa. "Aku... aku harus pergi," gumam Vincent, matanya menatap
Karina. "Tapi pikirkan soal itu, Vincent," Britty memohon. "Ini pesta
ulang tahunmu, dan Delia tidak ada di sini. Bukankah itu agak aneh?"
"Memang. Tapi kupikir kau tidak harus mencemaskan ini."
Lewat pundak Britty, Vincent mengawasi Karina dan Stewart. Mereka
berdua tampak bersahabat. Terlalu bersahabat.
Vincent menghampiri mereka. "Kau kenal Delia," ia berseru
lagi ke Britty. "Barangkali dia sedang menunggu untuk membuat
pemunculan hebat. Yang benar-benar dramatis. Sekarang belum
terlalu malam. Dia akan muncul."
Satu jam berlalu. Kemudian satu jam lagi.
Tidak ada tanda-tanda kehadiran Delia, Vincent sadar.
Ia merasa senang dengan tidak hadirnya Delia. Ia tahu bahwa
kalau Karina dan Delia berada di pesta bersama, mereka akan berakhir
dalam pertengkaran. Karena Delia memutuskan untuk tidak datang, ia tidak harus
repot-repot menjauhkan mereka satu sama lain.
Kenapa Delia tidak hadir di pesta itu"
Vincent menduga Delia ingin membalasnya karena ia
tertangkap basah bersama Sarah. Dan karena mencium Karina.
Itu tidak mengganggunya. Dalam beberapa hari Delia akan
menelepon atau mampir. Delia tidak pernah marah terus-terusan
terlalu lama. Dan ia selalu kembali.
Sekitar jam sebelas, Vincent berhenti dekat meja snack untuk
mengambil sepotong piza lagi. Ia memperhatikan Britty sedang
berjalan mondar-mandir di dekat pintu depan. "Tidak ada telepon di
sini?" ia memanggil Vincent.
Vincent menggeleng. "Mana ada telepon di rumah yang tidak
berpenghuni?" Ia mulai merasa agak bersalah. Mungkin ia seharusnya
menelepon Delia. Mungkin seharusnya ia pergi mengeceknya.
Tidak, ia memutuskan. Itu yang diinginkan Delia. Aku tidak
akan membiarkan dia menghancurkan pestaku. Dia sudah diundang,
dan dia tidak datang. Itu urusannya.
Sekitar tengah malam, orang-orang mulai pergi. Vincent merasa
pikirannya kembali ke Delia.
Aneh bahwa Delia tidak muncul, ia mengakui pada dirinya
sendiri. Meskipun masih marah, dia tidak bakal rela aku sendirian
dengan Karina. Ini tidak masuk akal. Ada yang tidak beres. Britty bergegas menghampiri Vincent. Ia sudah memakai
mantelnya. Vincent melihat Gabe sedang menunggunya dekat pintu.
"Meskipun kau tidak peduli, tapi kami akan mampir ke rumah
Delia dalam perjalanan pulang," kata Britty kepadanya. "Mungkin dia
Dendam Asmara 7 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Prahara Gadis Tumbal 1
^