Confession 2
Fear Street - Confession Bagian 2
ini?" "Hillary, nggak apa-apa kok," aku meyakinkannya. "Aku benar-benar ingin latihan.
Aku bisa nebeng siapa saja pulangnya. Atau kalau tidak, aku bisa naik bus."
Kulihat ia bergegas pergi dengan cowok itu. Lalu aku meluncur
ke arena, sambil berpegangan pada pagar. Aku berharap Vincent bisa
datang. Aku tak keberatan semua orang meninggalkanku. Aku hanya
berharap ada Vincent. Yah, bagaimanapun, aku bermain lagi selama sekitar setengah
jam. Dan aku menikmatinya. Sungguh enak rasanya melatih kakiku.
Apalagi arena ini mempunyai tata suara bagus yang melantunkan
musik yang asyik. Kira-kira pukul sebelas malam aku memutuskan untuk pulang.
Aku tidak bertemu siapa pun yang bisa memberiku tumpangan. Jadi
kusiapkan uang untuk ongkos naik bus. Biasanya sudah jarang ada bus
pada jam seperti ini, tapi mungkin aku beruntung.
Kumasukkan Rollerblades-ku ke tas jinjing, lalu aku menuju ke
pintu keluar belakang. Ada gang sempit di belakang sana, jalan pintas ke halte
bus. Aku melangkah masuk ke gang itu. Tiba-tiba udara terasa
dingin. Kukira karena suhu tubuhku meningkat setelah berolahraga.
Kakiku kesemutan. Aku mendongak melihat sepotong bulan sabit di
antara bangunan-bangunan. Sebuah bola lampu kuning menyorotkan
seberkas sinar pucat ke gang.
Aku dapat mendengar suara-suara dari jalanan di luar gang.
Kudengar decit roda-roda mobil. Aku bisa mendengar dentum mantap
musik dari tata suara di arena skating di belakangku.
Aku berjalan lima-enam langkah ke dalam gang - lalu berhenti.
Aku mengenali wajah Al. Itulah yang pertama kali kulihat. Wajahnya.
Membuatku berhenti dan mengangkat tangan ke pipiku.
Wajah Al. Kenapa dia telentang di gang ini"
Kakinya tergeletak di jalan beton, sebelah lututnya terangkat.
Lalu aku melihat skate itu.
Talinya melingkari tenggorokan Al. Tali itu terbelit kencang di
sekeliling tenggorokannya hingga matanya terbeliak.
Matanya yang terbeliak itu seolah menatap bulan sabit.
Belitan tali di sekeliling tenggorokannya sangat kencang,
hingga lehernya teriris. Dan bagian depan skate itu tertancap di mulut Al. Menyumbat
begitu rapat hingga tegak.
Al. Tewas di gang. Tercekik skate. Tercekik dan tersumbat.
Dan mati. Chapter 9 "OHHHHH," aku melenguh. Lebih mirip suara binatang
daripada suara manusia. Tas skate-ku terjatuh dari tanganku. Kakiku bergetar sangat
hebat, aku tak sanggup berdiri lagi.
Aku jatuh berlutut di depan Al.
Di hadapan tubuh Al, aku terpaku. Aku menyadari bahwa baru
sekali ini aku melihat tubuh tak bernyawa.
Aneh sekali pikiran yang melintas di benak kita saat kita
tercekam dalam kekagetan, dalam kengerian. Namun itulah yang ada
dalam pikiranku, saat aku membungkuk di depan Al, memandanginya:
Aku belum pernah melihat orang mati.
Kutatap matanya. Mata itu memantulkan bayangan bulan sabit.
Seperti kaca. Mata beling. Mata boneka. Bukan lagi mata sungguhan.
Kutatap skate itu. Ujung sepatu itu terjejal begitu dalam ke
mulut Al yang ternganga. Roda-rodanya tampak kusam disinari lampu gang yang kuning.
Skate yang sebelah lagi tergeletak di bawah kepala Al. Kedua
skate itu terikat jadi satu. Tali yang menghubungkan keduanya terlilit di
sekeliling leher Al. Terlilit begitu kencang. Kencang sekali.
Sekonyong-konyong aku merasa mual. Kutarik napas dalam-
dalam. Aku berusaha tidak memuntahkan makan malamku.
Tanpa berpikir, aku mengulurkan tangan.
Apa yang akan kulakukan" Menjejalkan skate itu ke dalam
mulut Al" Menariknya keluar"
Entahlah. Aku sama sekali tak bisa berpikir. Maksudku,
berbagai pikiran tidak keruan memenuhi benakku. Aku tak bisa
berpikir jernih. Aku tak bisa berpikir atau merencanakan atau
memutuskan apa yang sebaiknya kulakukan atau ke mana sebaiknya
aku pergi atau siapa yang sebaiknya kupanggil - atau apa saja!
Aku membungkuk di atas jasad Al.
Ini bukan lagi Al, pikirku.
Ini bukan Al. Sekarang ini jasad Al. Kuulurkan tanganku. Aku
mulai menyentuh tumit skate itu.
Tapi tiba-tiba terdengar terpaan bunyi-bunyian yang membuat
aku menarik kembali tanganku.
Terdengar dentam drum, denting gitar. Pintu belakang yang
menuju ke arena terbuka. Terdengar langkah kaki. Lalu jeritan.
"Dia mati!" seru seseorang. Suara yang melengking tinggi.
Mula-mula aku tidak mengenalinya.
"Dia mati!" Dan kemudian suara melengking lainnya. "Cewek itu yang
membunuhnya!" "Bukaaaan!" teriakku. Aku berbalik. Terhuyung-huyung.
Pusing. Aku menoleh ke suara-suara melengking tinggi itu. Dan dalam
bayang-bayang di balik lampu gang yang kuning itu, aku melihat
Artie dan Chucky. Rambut merah mereka tampak suram, mencuat seperti lidah api
di atas wajah pucat mereka. Mata biru mereka membelalak ngeri.
"Dia membunuhnya!"
"Bukan... tunggu!" Aku meratap, tersandung, sempoyongan.
Kakiku lemas sekali, bergetar hebat. "Tunggu...!"
"Dia membunuhnya! Aku melihatnya!"
"Panggil polisi!"
"Jangan... tolong!" Aku mulai mengejar mereka. "Artie!
Chucky... jangan!" Bunyi musik kembali menerpa ketika mereka mendorong pintu
membuka. Dan mereka kembali lenyap ke dalam arena itu.
Meninggalkan bayangan mata mereka yang bersinar kaget
dalam benakku. Meninggalkan jeritan ngeri mereka dalam telingaku.
"Jangan... tunggu! Bukan aku! Bukan aku!" Teriakan panikku tidak terdengar di
luar gang berlantai beton itu. "Kalian salah! Kalian salah! Tunggu... kalian
salah!" Aku tak melakukannya, kataku pada diri sendiri. Bukan aku.
Bukan aku. Polisi akan mempercayaiku, putusku.
Aku tahu mereka akan percaya.
Chapter 10 "KAMI mempercayaimu," Officer Reed berkata dengan pelan,
membungkuk di atas mejanya yang berantakan. Polisi itu berbadan
besar, berwajah bulat merah, serta beralis abu-abu lebat di atas
matanya yang tajam, bulat, dan kecil. Sinar lampu di atas kepalanya
terpantul pada kepalanya yang botak. Ia melepaskan dasi biru-lautnya dan
menaruhnya di meja. "Kami mempercayaimu. Tapi bagaimanapun kami harus
menanyakan banyak pertanyaan yang menjengkelkan." Ia menyipitkan matanya
memandangku. "Kau mengerti, Julie?"
Aku mengangguk dan melirik orangtuaku. Mereka duduk saling
merapat di seberang polisi itu. Mom terus-menerus menghapus air
matanya dengan gumpalan tisu. Dad memeluk bahu Mom, berusaha
menenangkannya. "Aku tahu kita sudah mengulang semuanya dua kali. Tapi aku
perlu melakukannya sekali lagi," kata Officer Reed dengan lelah.
Diusapnya keringat dari kepalanya yang botak dan dari keningnya
dengan telapak tangannya. "Masalahnya, ada yang tidak klop. Aku belum
mendapatkan gambaran yang masuk akal."
"Tapi saya sudah menceritakan semuanya! Bagian mana yang
tidak masuk akal?" tanyaku. Kukatupkan kedua tanganku erat-erat di pangkuanku
supaya tidak gemetar. Mom memegangi tas skate-ku di pangkuannya, memindah-
mindahkannya dari kedua kakinya bergantian. Aku heran mengapa
Mom tidak meletakkan tas itu di lantai.
Bahkan ketika ditanyai polisi tentang pembunuhan, pikiranku
mengembara ke mana-mana. Aku sedang memikirkan Hillary. Apakah
dia senang menghadiri pesta itu"
Kucoba membayangkan bagaimana reaksinya kalau ia
mendengar berita tentang kematian Al.
Officer Reed menggosok-gosok rahangnya. "Ceritamu masuk
akal dan dapat kuterima, Julie. Kau keluar dari arena skating dan
menemukan mayat di gang itu. Pembunuhan inilah yang tidak
kumengerti." Aku menatap polisi itu sambil menelan ludah. Mulutku terasa
kering sekali. Pelan-pelan kuteguk air dari cangkir kertas yang tadi
diletakkannya di sudut mejanya untukku. Air itu hangat dan agak
asam. Atau barangkali itu hanya perasaanku saja.
"Pertama-tama, korban tidak dirampok," lanjut Officer Reed.
"Dompet dengan isinya sekitar lima belas dolar masih ada." Officer Reed
memandangku dengan tajam. "Biasanya dia tidak membawa
uang sebanyak itu, kan?"
"Memang," sahutku lirih. "Al biasanya tak punya uang. Dia selalu mencoba pinjam
uang dari saya." Kedua orangtuaku memelototiku. Aku menyesal telah
mengatakannya. Aku tidak ingin mereka mulai bertanya-tanya tentang
kenapa aku meminjamkan uang pada Al.
Officer Reed kembali menggosok-gosok rahangnya. "Dia tidak
dirampok. Jadi kenapa dia dibunuh?"
"Saya tidak tahu," sahutku. "Saya pikir tidak..."
"Dan kenapa dia dibunuh dengan begitu keji?" lanjut polisi itu, sambil
memandangi dinding kuning pucat di belakangku. "Sepertinya ada orang yang ingin
pamer. Atau mungkin membuktikan sesuatu
pada Al. Membalas perbuatannya, barangkali. Memberinya pelajaran."
"Memberi pelajaran sampai mati," gumam Dad. Mom terisak
pelan dan mengusap matanya.
"Aku tak apa-apa, Mom. Sungguh," bisikku pada Mom.
"Aku tak percaya kau begini sial... menjadi saksi atas kejadian yang begitu
mengerikan," ujar Mom.
Polisi itu tampaknya tidak mendengar ucapan Mom. Ia masih
menatap dinding, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Keheningan yang panjang meliputi kantor kecil itu ketika aku
menunggu polisi itu bicara lagi. Kembali kuteguk air hangat di
gelasku. Apa yang sedang dipikirkannya" tanyaku dalam hati.
Menurutnya, apa yang telah terjadi"
Paling tidak dia mempercayai ceritaku, pikirku lega. Paling
tidak dia tak percaya pada si kembar tolol itu. Dia tahu aku bukan
pembunuh. Tapi ada orang yang telah membunuh Al. Pikiran itu mendesak
ke dalam benakku, membuatku gemetar.
Pembunuh itu masih berkeliaran.
Officer Reed berdeham. Ia membungkuk di atas mejanya, siku
tangannya mendorong setumpuk kertas ke tepi. "Jadi kita harus
bertanya pada diri kita sendiri tentang motifnya," katanya. "Untuk apa orang
membunuh seorang remaja pria dengan begitu keji, jika tidak
demi uang?" Ia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya yang pendek-pendek di atas
meja, sejenak menatapku dengan tajam. "Julie... kau punya pendapat"
Kaukenal orang yang mungkin tidak menyukai Al" Orang yang
mungkin bermusuhan dengannya" Yang mungkin sangat bermusuhan
dengannya?" "Yah..." Aku menarik napas dalam-dalam.
Apa yang sebaiknya kukatakan" Sejauh mana aku harus jujur"
Haruskah kukatakan padanya betapa aku membenci Al"
Haruskah kukatakan padanya bagaimana Al menggertak, memeras,
dan mengancam kami" "Aku perlu daftar nama temannya," polisi itu menyela, sambil mengerutkan
dahinya. "Kau tahu teman-temannya" Tadi kau bilang
dia pernah menjadi anggota kelompokmu."
Aku mengangguk. "Tapi tahun ini tidak," kataku. "Al
mendapatkan beberapa teman baru. Anak-anak yang tak kami sukai.
Dari Waynesbridge. Anak-anak berandalan. Dia..."
"Anak-anak berandalan?" Tiba-tiba mata Officer Reed bersinar-sinar
memperlihatkan minatnya. "Dia mulai keluyuran dengan anakanak berandalan" Kau
tahu siapa mereka, Julie" Apakah menurutmu
ada di antara mereka yang punya motif untuk membunuh Al?"
"Saya... saya tak tahu," sahutku tergagap. "Menurut saya, tidak..."
Officer Reed mengangkat tangannya yang besar untuk
menyuruhku diam. "Pikirkan baik-baik. Tarik napas dalam-dalam.
Pikirkan selama satu menit. Pernahkah Al mengatakan sesuatu
padamu tentang teman-temannya" Komentarnya tentang seseorang
yang marah atau jengkel padanya?"
"Kami semua marah dan jengkel padanya!" jawabku serta-
merta. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku tidak
bermaksud mengatakannya. Ucapan itu tercetus begitu saja. Aku tidak
dapat menahannya lebih lama lagi.
Kudengar ibuku menarik napas kaget. Tas skate-ku terjatuh dari
pangkuannya. Officer Reed berhenti mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas
meja. "Kami semua membencinya!" teriakku. Sekali bendungan itu
jebol, kata-kataku terus saja mengalir. Aku tidak dapat menghentikan diriku
meskipun aku ingin. "Semua teman saya membencinya!" kataku pada polisi yang
tercengang itu. "Kami semua punya alasan untuk membencinya. Kami semua. Saya
juga!" Aku menghela napas dalam-dalam. Jantungku menggedor-
gedor dadaku. "Tapi kami tak melakukannya!" jeritku. "Saya dan teman-teman...
bukan kami yang membunuh Al. Kami cuma remaja
biasa. Kami bukan pembunuh!"
Itu benar, kataku pada diri sendiri, sambil memperhatikan
ekspresi terkejut di wajah Officer Reed.
Kami bukan pembunuh. Bukan.
Itu benar. Ya, kan" Ya, kan" Chapter 11 CUACANYA sama sekali tidak cocok untuk acara penguburan.
Matahari bersinar cerah, udara hangat musim semi membawa aroma
bunga ceri. Penguburan yang pertama kuhadiri, pikirku. Seharusnya
cuacanya suram, berkabut, dan diiringi rintik hujan.
Mom tidak ingin aku pergi ke penguburan Al. Ia mencoba
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melindungiku. Entah melindungiku dari apa.
Kukatakan padanya bahwa Hillary, Sandy, dan semua temanku
merencanakan datang ke sana. Jadi mau tidak mau aku harus datang
juga. Memang, aku masih dihantui mimpi buruk tentang Al.
Siapa yang tidak akan dihantui mimpi buruk sesudah
menemukan temannya terkapar di gang dengan skate terjejal di
tenggorokannya" Tapi kupikir menghadiri penguburan itu tidak akan menambah
ketakutanku - atau mimpi-mimpi burukku. Selain itu, barangkali
penguburan itu akan mengakhiri bagian sedih dan mengerikan dari
hidupku ini. Paling tidak, itulah yang kuharapkan.
Ketika aku berganti pakaian untuk pergi ke gereja, memakai rok
hitamku dan mengancingkan blus hitamku, tidak terpikir olehku
bahwa kengerian itu justru baru saja mulai.
********************* Aku diantar orangtuaku ke gereja. Mom dan Dad tidak begitu
kenal dengan keluarga Al, tapi mereka merasa wajib menghadiri
penguburan itu karena Al pernah menjadi temanku.
Sepanjang perjalanan kami bertiga membisu. Dad memusatkan
pandangannya ke jalanan di depan. Aku menatap ke luar jendela,
memperhatikan pohon-pohon yang daunnya sedang bersemi. Aku
berpikir betapa indahnya hari ini, dan betapa aneh rasanya pergi ke
penguburan di hari yang seceria dan secerah ini.
Gereja itu terletak di atas bukit rendah di luar kota, di tempat
Division Street bertemu dengan jalan raya. Gereja itu kecil dan bercat putih.
Lonceng kuningan di menaranya berkilauan, memantulkan sinar
matahari. Di depan pintu terdapat banyak pot berisi bunga lili putih yang
membuat udara berbau manis ketika kami melangkah masuk.
Sebagian besar bangku kayu-hitam panjang di dalam gereja telah
terisi. Aku mengenali banyak anak dari sekolahku dan beberapa guru.
Mom dan Dad duduk di baris agak belakang. Aku berjalan di
gang di antara bangku-bangku untuk bercakap-cakap dengan Hillary
dan beberapa anak lain. Mereka bergerombol di dekat baris depan,
dengan wajah sedih, berbicara dengan nada rendah mengatasi alunan
musik organ. Semua orang berpakaian rapi. Cowok-cowok tampak kaku dan
kikuk dengan dasi serta blazer gelap mereka. Semuanya ini sungguh
seperti pura-pura, mirip dalam film saja.
Inilah yang kuingat mengenai acara penguburan itu:
Cowok-cowok yang merasa gerah dalam setelan resmi mereka.
Bisik-bisik lirih yang nyaris tak terdengar di tengah suara organ yang muram dan
menyedihkan. Aroma bunga lili. Begitu manis hingga membuatku mabuk.
Sentuhan tangan Hillary yang lembap dingin ketika ia
memegang lenganku pada saat kami bertemu.
Peti mati yang hitam panjang di depan kami.
Al tidak mungkin benar-benar berbaring di dalamnya, bukan"
Seorang wanita mungil berambut keriting putih, kepalanya
menunduk, bibirnya bergetar, air mata menetes ke atas pangkuan gaun
hitamnya. Itulah hal-hal yang kuingat.
Dan kabar angin yang dibisikkan.
Ada orang yang mengatakan bahwa ibu Al terlalu terpukul
untuk menghadiri pemakaman. Ia harus diberi obat penenang dan
beristirahat di rumah sakit.
Ada juga yang bilang bahwa polisi sudah tahu siapa
pembunuhnya. Yaitu salah satu teman Al dari Waynesbridge. Orang
itu telah melarikan diri, dan polisi sedang mencarinya.
Kabar angin. Dan aroma bunga lili. Dan wanita mungil yang
membiarkan air matanya berderai ke pangkuannya.
Aku ingat semuanya itu. Dan wajah teman-temanku. Aku duduk di bangku pinggir. Aku dapat melihat semua
temanku; wajah mereka pucat, lesu, dan sedih. Ketika si pendeta
berbicara, mataku berpindah-pindah dari satu orang ke yang lainnya.
Sandy membungkuk di bangkunya, sikunya bertumpu pada
bangku di depannya, wajahnya terbenam dalam tangannya. Aku
menunggunya duduk bersandar ke belakang. Tapi ia tidak
melakukannya. Roman Vincent tegas dan keras. Aku dapat melihat dia
mengatupkan rahangnya. Pandangannya lurus ke depan dan kosong,
seakan ia sedang berada di tempat lain, tempat yang jauh, jauh sekali.
Wajah Hillary tanpa ekspresi. Aku sama sekali tidak dapat
menduga apa yang sedang dipikirkannya. Ia duduk tegak, satu
tangannya mempermainkan kepangnya, menariknya, melicinkannya.
Tanpa ekspresi. Taylor menangis pelan sambil mengepal-ngepal tisunya.
Rambut pirang-putihnya dijepit ke atas. Namun terlepas lagi dan jatuh menutupi
mukanya ketika ia menyeka matanya.
Ini bukan wajah-wajah pembunuh, pikirku, sambil
memperhatikan mereka, mengamati mereka ketika sang pendeta
mengucapkan doa di depan peti mati Al.
Aku mengenal anak-anak ini.
Ini teman-temanku. Bukan pembunuh. Bukan pembunuh. Bukan pembunuh.
Sesudah pemakaman itu, kami semua berkumpul di rumah
Sandy. Ibu Sandy menghidangkan berpiring-piring roti isi, yang
langsung kami Sikat habis. Kami kelaparan!
Sambil makan kami ngobrol. Kami semua tegang, pikirku.
Ingin sekali melupakan pemakaman itu. Tapi tidak mudah karena
kami masih memakai pakaian duka.
Vincent melepaskan dasinya dan mengikatkannya di kepala.
Penampilannya mulai kembali seperti Vincent yang kukenal. Kurasa
ia lega karena diperbolehkan orangtuanya datang ke rumah Sandy. Ia
telah dikurung berhari-hari!
Vincent bercerita tentang pemakaman neneknya. Kata Vincent,
neneknya itu sangat menjaga kesopanan, sangat kaku, selalu
menginginkan segala sesuatu dikerjakan dengan benar.
Pidato pujian yang disampaikan sang pendeta sangat
mengharukan sehingga semua orang menangis, kata Vincent
melanjutkan ceritanya. Kemudian peti mati dibuka sehingga semua
orang dapat memberikan penghormatan terakhir.
Namun ketika mereka membuka peti mati itu, gereja dipenuhi
dengan seruan ketakutan. Nenek Vincent tidak ada di dalam peti itu.
Sebagai gantinya, terbaring seorang laki-laki botak, berbadan besar
sekali, beratnya mungkin 150 kilogram, dan berjenggot lebat seperti
Santa Claus. Semua orang ternganga melihatnya.
Ternyata telah terjadi kekeliruan dalam p-ngiriman peti mati ke
gereja. Kekagetan orang-orang berubah menjadi rasa geli. Mereka
mulai tertawa cekikikan. Lalu gereja itu menjadi riuh dengan suara
tawa. "Semua orang terbahak-bahak," kata Vincent dengan geli.
"Mereka bergerombol di lorong-lorong di antara bangku-bangku.
Lucu sekali. Sepanjang hidupnya nenekku selalu mengeluh bahwa tak
ada orang yang pernah berlaku sopan - dan dia benar!"
Kami semua tertawa. Semua orang kecuali Sandy. Ia bahkan
tampak lebih tegang daripada biasanya. Ia berdiri seorang diri di
samping perapian. Ia mengambil sebuah patung kepala dari perunggu
dan dengan gelisah menimang-nimangnya.
Ibu Sandy psikiater, tapi juga pematung yang berbakat sekali.
Ruang tamu itu penuh dengan hasil karyanya yang berupa patung-
patung kepala berbentuk Sandy dan kakak Sandy, Gretchen, yang
kuliah di Cornell. Benar-benar mirip aslinya.
Kuamati Sandy yang menimang-nimang patung perunggu itu. Ia
nyaris tidak mendengarkan cerita Vincent. Aku kaget melihat dia
bahkan tidak mengacuhkan Taylor.
Taylor dan Hillary sedang berbisik-bisik di sofa. Taylor telah
menjepit rambutnya ke belakang. Meskipun aku berada di seberang
ruangan, aku dapat melihat matanya yang merah akibat menangis.
"Kau masih dilarang keluar rumah?" tanyaku pada Vincent.
"Atau kau sudah bebas sekarang?"
Rupanya Vincent tidak mendengar pertanyaanku. Ia sedang
memperhatikan Taylor. Lalu ia menjauhiku, berjalan cepat-cepat
menuju ke dapur. "Ada yang mau Coke atau lainnya?" tanyanya.
Aku mengikutinya ke dapur. Ia membuka pintu kulkas dan
membungkuk ke dalamnya. "Kau tak apa-apa?" tanyaku.
Vincent mengeluarkan sekaleng Mountain Dew dan berdiri
tegak lagi. Ia mengangkat bahu. "Kurasa begitu. Semua ini sungguh aneh, ya?"
"Ya," aku menyetujui pendapatnya.
Dibukanya tutup kaleng itu. "Kau tak apa-apa, Julie" Apakah
kau pernah bermimpi buruk atau apa" Maksudku, kan kau yang
menemukan mayatnya. Pasti..."
"Kejadian itu memang terus terbayang olehku," aku mengakui.
"Mom dan Dad bilang itu akan hilang dengan sendirinya nanti.
Menurut mereka..." Aku berhenti ketika mendengar Sandy memanggil kami dari
ruang tamu. Vincent kembali meneguk isi kaleng soda itu. Lalu kami
kembali ke ruang tamu untuk melihat mengapa Sandy memanggil.
"Di dalam sini," katanya. Sandy mengajak kami ke ruang baca.
Kucoba membaca ekspresinya. Ia menghindari tatapanku. "Di dalam sini, semuanya."
Suaranya terdengar tegang, parau.
"Ada apa ini?" tanya Taylor.
Sandy bergumam tidak jelas, matanya tetap terarah ke lantai.
Aku tidak dapat mendengar ucapannya. Kupikir Taylor juga tidak
mendengarnya. Kami semua berkumpul di ruang baca yang sempit. Dengan
hati-hati Sandy menutup pintu. "Aku... aku ingin mengatakan
sesuatu," katanya pelan. Kedua tangannya masih memegangi patung kepala perunggu
yang kecil. "Kau mau menjual benda itu?" Vincent bercanda. "Atau kau hanya senang memandangi
patungmu sendiri?" Taylor tertawa. Aku dan Hillary bertukar pandang.
Apa masalah Sandy" tanyaku dalam hati. Pengumuman besar
apa yang ingin disampai-kannya"
Sandy terbatuk dan berdeham. Diletakkannya patung kepala
perunggu itu di rak buku. "Aku hanya mengatakan hal ini pada kalian karena
kalian temanku, dan aku percaya pada kalian," katanya dengan cepat, matanya
tertuju ke jendela di belakang kepalaku.
Kulihat Vincent mengangakan mulutnya, barangkali untuk
melucu. Aku menggeleng dan memberi isyarat "jangan" dengan mataku. Vincent
kembali duduk di kursinya.
"Aku ingin mengatakannya pada kalian, tapi aku juga tak ingin
mengatakannya," kata Sandy dengan misterius. "Tapi aku merasa...
aku merasa..." Suaranya bergetar. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku merasa harus mengatakannya pada kalian."
"Sandy... apa itu?" tanya Taylor, sambil melonjak berdiri.
"Yah..." Sandy berdeham lagi. "Aku... aku akan mengaku.
Dengar, akulah orangnya. Akulah yang membunuh Al."
Chapter 12 "NGGAK lucu!" teriakku.
Taylor berseru kecil dan membekap mulutnya sendiri.
Hillary menatap Sandy dengan mata disipitkan, tapi hanya itu
reaksinya. Ia tidak berkata apa-apa.
"Kau bercanda, kan?" tanya Vincent, sambil meletakkan kaleng soda dan beranjak
berdiri. "Tapi leluconmu nggak lucu."
Sandy menyahut dengan suara parau, "Ini bukan lelucon,
Vincent. Aku tidak bercanda. Aku mengatakan hal yang sebenarnya."
"Tidaaaak!" jerit Taylor, matanya terbelalak.
"Aku yang melakukannya," kata Sandy ngotot. "Aku yang membunuh Al. Kalian
temanku. Aku ingin kalian tahu yang
sebenarnya. Aku tahu kalian akan menyimpan rahasiaku."
"Waduh...!" Vincent menggumam.
Rasa dingin merayapi punggungku. Dimulai dari pinggang dan
terus naik ke atas. Aku menatap Sandy lekat-lekat. Aku mendengar
kata-katanya, tapi aku tidak bisa percaya.
Aku tak ingin percaya. "Itu tidak benar! Itu tidak benar!" Taylor meraung.
Ia berlari melintasi ruangan dan memeluk Sandy, sambil
menangis tersedu-sedu. "Itu tidak benar! Aku tahu itu tidak benar!
Aku tahu!" Sandy memegang lengan Taylor dan dengan lembut
mendorongnya menjauh. "Sori, Taylor. Tapi aku melakukannya. Aku mengatakan yang
sebenarnya." Sambil menggeleng-geleng, Hillary berdiri. Ia menyilangkan
tangannya di depan dada, berjalan menuju ke jendela, dan
memandangi sinar matahari di luar.
Vincent menatap Sandy dengan tercengang.
Aku berusaha keras menghentikan getaran tubuhku. Akhirnya
aku bisa membuka mulut. "Tapi... kenapa?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Kenapa, Sandy" Apa yang membuatmu melakukannya?"
Ruangan itu menjadi sunyi. Yang terdengar hanya isak pelan
Taylor dan degup cepat jantungku.
"Dia mengacaukan hidup kita," Sandy menjawab dengan pelan, nyaris berbisik. "Dia
menghancurkan hidup kita. Makin lama makin parah. Aku... aku melakukannya untuk
kita semua." "Tapi, Sandy...," kataku.
"Kita semua ingin Al mati, kan?" tukas Sandy dengan suara
melengking. "Kita semua membencinya, kan" Kita semua tak suka
dengan caranya menggertak, memojokkan, memaksa kita untuk...
untuk..." Suaranya ter?pecah.
"Itu tidak benar!" Taylor meraung lagi. "Itu tidak benar! Tidak benar!"
"Maaf," kata Sandy lirih. "Maaf aku membuat kalian bingung.
Tapi aku tidak menyesal dengan apa yang sudah kulakukan. Aku tak
menyesal membunuhnya."
Aku mengangkat muka tepat pada saat Hillary berbalik dari
jendela. Tangannya masih tersilang erat di dadanya. Aku terkejut
melihat roman marah di wajahnya.
"Sandy, seharusnya kau tak usah memberitahu kami," kata
Hillary dengan berang. Mata Sandy terbelalak. Mulutnya ternganga. Dia jelas tampak
kebingungan. "Hah" Kupikir..."
"Seharusnya kau tak usah mengaku pada kami," lanjut Hillary.
"Sekarang kau telah melibatkan kami. Itu tidak adil."
"Tapi... tapi... kalian temanku!" Sandy tergagap, maju beberapa langkah
mendekati Hillary, lengannya terulur.
Hillary melangkah mundur hingga menabrak ambang jendela.
Sejenak matanya tidak tampak, terhalang bayangan lampu yang
terpantul pada kacamatanya. Ketika ia bergeser sedikit, barulah
kulihat matanya yang berapi-api.
"Apa yang kaulakukan ini keliru!" kata Hillary pada Sandy
sambil mengertakkan gigi. Walaupun kami temanmu, bagaimana
mungkin kau melibatkan kami dalam pembunuhan" Sekarang kami
harus bagaimana" Cuma menjaga rahasia itu dan tak usah
memikirkannya lagi?"
"Tapi aku membunuh Al terutama demi kau, Hillary!" sahut
Sandy parau. Terdengar suara dari balik pintu ruang baca itu. Kami
semua terkejut. Wajah Sandy memucat. Aku yakin ia mengira ibunya
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar pembicaraan kami.
Tapi pintu tetap tertutup. Mungkin itu tadi suara mobil atau apa
di jalan. Sandy kembali berbalik pada Hillary. "Kenapa kau
menyalahkan aku" Aku khusus melakukan ini untukmu," ulangnya
dengan keras. "Al mengacaukan hidupmu lebih dari yang lainnya. Dia memerasmu dan
memaksamu memberinya uang, dan... dan..."
Hillary menggeleng-geleng, mengerutkan kening pada Sandy.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku!" protes Sandy.
"Begitu seharusnya, Hillary. Bukannya memandangi aku seperti itu, kau seharusnya
berterima kasih padaku!"
"Tapi kau membunuhnya, Sandy!" Hillary berkata dengan suara bergetar penuh
emosi. Belum pernah aku mendengarnya bicara dengan nada seperti
ini. "Kau membunuhnya! Dia mengacaukan hidupku, memang betul.
Dia memerasku terus-terusan. Meminta ini-itu. Menggangguku.
Tapi..." Hillary menarik napas dalam-dalam. "Tapi aku tak pernah
punya niat untuk membunuhnya! Kau tak mengerti ya, Sandy" Kau
tak sadar apa yang sudah kaulakukan" Kau membunuh manusia. Kau
membunuh Al!" Sandy membuka mulut untuk menjawab. Tapi Hillary
menyelanya dengan, lambaian keras tangannya.
"Kau tak bisa begitu saja membunuh seseorang cuma karena dia
mengganggumu," kata Hillary pelan-pelan, setiap kata diucapkannya dengan jelas
dan tegas. "Dan kau juga tak bisa begitu saja
mengakuinya di depan sekian banyak orang."
"Kalian kan bukan orang lain...," kata Sandy ngotot. "Kalian temanku. Aku
mengatakannya karena kalian temanku."
"Dan apa gunanya teman?" Vincent menyela. Ia bermaksud
bergurau, tapi tak ada yang menanggapinya.
Vincent saja tak dapat membuat kami tersenyum. Aku
memandangi cowok itu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang
dipikirkannya. Sulit sekali menebak isi hati Vincent. Gurauannya
selalu menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Kau menempatkan kami pada posisi yang mengerikan, Sandy."
Hillary mendengus, akhirnya menurunkan tangannya ke samping
badannya. "Sekarang kami tak punya pilihan. Kami harus
memberitahu orangtuamu. Atau menelepon polisi."
"Jangan!" jerit Taylor. Ia memutar badannya menghadap pada Hillary. "Kau ini
bagaimana sih" Kita harus melindungi Sandy. Kita harus menyimpan rahasianya."
"Aku percaya pada kalian," gumam Sandy, sambil menunduk
memandangi karpet. "Kupikir Taylor betul," kataku dengan hati-hati. "Kita tak dapat menyerahkan
Sandy ke polisi. Ini....ngeri sekali membayangkannya!"
Sekejap rasanya aku ingin menangis.
Semua ini terlalu berat untuk kutanggung. Terlalu
menyedihkan. Terlalu mengerikan. Terlalu menegangkan.
"Dia melibatkan kita dalam pembunuhan," Hillary bersikeras.
"Tapi dia melakukannya untuk kita," Vincent menimbrung.
"Percayalah, waktu Al membuat penyok mobil orangtuaku, aku juga ingin
membunuhnya. Aku sungguh-sungguh ingin melakukannya.
Tapi aku tak punya keberanian."
"Kau bukannya tak punya keberanian," tukas Hillary. "Kau bukan pengecut. Tapi
kau sadar bahwa kau tak bisa seenaknya
mencabut nyawa orang lain. Kau tahu kau tak bisa begitu saja
membunuh seseorang karena orang itu menimbulkan masalah."
Taylor melangkah ke samping Sandy dan memeluk pinggang
cowok itu. "Kita harus melanjutkan hidup kita," katanya, sambil menyandarkan
kepalanya ke bahu Sandy. "Kita harus mencoba
melupakan kejadian ini dan meneruskan hidup kita. Jika kita
menyerahkan Sandy pada polisi, bagaimana kita bisa hidup normal
kembali?" "Taylor benar," aku mendukungnya. "Jika kita melaporkan Sandy, akan ada satu
orang lagi yang hidupnya berantakan."
"Thanks, Julie," kata Sandy pelan. Ia beralih pada yang lain-lainnya. "Kalian
semua mengenalku. Kalian tahu aku orang baik-baik.
Kalian tahu aku bukan pembunuh. Dan aku teman kalian. Kita semua
bersahabat." Ia menelan ludah. Suaranya tercekat karena emosi yang
meluap-luap. Taylor menepuk-nepuk pinggang Sandy. Ia mengangkat
mukanya dan mencium pipi cowok itu.
"Kalian tahu aku bukan pembunuh," ulang Sandy, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Kalian tahu aku takkan pernah
membunuh lagi. Betul, kan" Betul, kan?"
Seminggu kemudian, Sandy membunuh lagi.
Chapter 13 SANDY membunuh lagi. Namun kali ini pembunuhan itu
terjadi dalam mimpiku. Dalam mimpi itu, aku dan Hillary sedang berlari-lari melewati
lapangan hijau yang tak ada ujungnya. Kemudian, tiba-tiba saja kami
sudah bermain skating. Meluncur di lapangan itu, makin cepat dan
makin cepat, tubuh kami ditiup angin kencang yang membuat rambut
dan sweter kami berkibaran.
Aku ingat waktu itu aku berpikir, betapa anehnya kami bisa
bermain skating dengan sangat baik di atas rumput. Lalu dalam mimpi
itu, langit menjadi gelap. Rerumputan berubah menjadi biru, lalu
hitam, bersamaan dengan bayang-bayang gelap menghampiri kami.
Kami berlari lagi. Lari dengan ketakutan sekarang. Aku tak tahu
apa yang kami takuti - sampai aku melihat Sandy melangkah keluar
dari balik pepohonan. Ia mengangkat tangannya. Ia memegang dua Rollerblades yang
diikat menjadi satu. Dengan sekali sentak diputuskannya tali yang mengikat kedua
skate itu. Bunyinya sangat menyeramkan.
Aku tahu Sandy sedang bersiap-siap untuk menjerat aku dan
Hillary dengan tali itu. Ia akan menjerat leher kami sampai kami tak dapat
bernapas lagi. Tapi walau, bagaimana kami tetap lari menghampirinya. Seolah
bekerja sama dengannya. Seolah membantunya membunuh kami.
Kami berlari menghampiri Sandy. Ia menyentakkan tali itu lagi.
Dan aku terbangun. Bermandikan keringat. Baju tidurku
melekat pada kulitku. Sambil mengerjap-ngerjapkan mataku dengan waspada, aku
mendengar bunyi set set set tali disentakkan.
Lama-lama aku sadar, bunyi itu berasal dari kerai yang
diempaskan angin dan menampar-nampar bingkai jendela kamarku.
Aku bergidik. Membayangkan Sandy. Sandy yang pendek
gemuk dengan wajah bulat kekanak-kanakan.
Sekarang ia berubah menjadi jahat. Sosok berbahaya yang
menakut-nakutiku dalam mimpi.
Aku melihat radio jam di atas meja kecil di samping ranjangku.
Baru pukul enam seperempat. Langit di luar jendela masih kelabu.
Kuturunkan kakiku ke lantai dan aku mulai turun dari ranjang.
Aku tahu aku tidak dapat tidur lagi. Aku tak ingin tidur lagi. Aku tak ingin
bermimpi lagi. Mimpi itu kuceritakan pada Hillary setelah latihan wisuda sore
harinya. Latihan wisuda! Percaya nggak"
Jumlah murid kelas dua belas di Shadyside High hampir tiga
ratus. Dan kukira, tak ada satu pun dari kami yang percaya bahwa
kami akan lulus beberapa minggu lagi.
Pada latihan itu, kami semua bertingkah seakan wisuda itu
lelucon yang menggelikan sekali. Kami bercanda dan saling ejek,
sehingga acara yang mestinya serius itu, jadi mirip pasar malam!
Mr. Hernandez berseru di tengah-tengah keriuhan itu, tapi
suaranya tidak berhasil meredakan kami. Akhirnya, Ricky Shore naik
ke panggung dan mengambil mikrofon, lalu berteriak dengan suaranya
yang menggelegar, "Mari kita menyiapkan diri untuk rrrrribut!"
Kami semua tertawa. Namun berangsur-angsur suasana menjadi
tenang. Kepala Sekolah mengucapkan terima kasih pada Ricky atas
bantuannya, menyuruhnya turun dari panggung, dan mulai
memberitahu kami apa yang harus kami lakukan.
Tentu saja, kami semua menyanyikan lagu almamater
Shadyside High dengan suara sumbang, melolong-lolong seperti
anjing, dan tertawa-tawa di tengah-tengah. Lalu beberapa anggota tim football
mulai saling menghadang ketika tiba waktunya untuk
berbaris. Tawa dan teriakan kami semakin riuh.
Kupikir tingkah kami lebih mirip murid taman kanak-kanak
daripada murid kelas tertinggi high school. Tapi menurutku, salah satu
penyebabnya adalah karena sebagian besar dari kami sebenarnya tidak
ingin lulus. Kami tidak ingin meninggalkan Shadyside High. Inilah rumah
kami selama empat tahun. Kami telah mengalami hal-hal yang indah
di sini. Dan kami tahu setelah kami lulus, kami takkan bisa berkumpul lagi
seperti ini untuk selama-lamanya.
Latihan itu baru selesai pada pukul delapan lewat. Semua orang
beranjak meninggalkan auditorium, murid-murid membawa ransel
masing-masing, bersiap-siap pulang dan mengerjakan PR. Meskipun
kami hampir keluar dari sekolah ini, kami masih harus menyerahkan
makalah-makalah dan menempuh ujian akhir.
Kulirik Vincent di seberang di dekat panggung. Ia sedang
bergaya di depan sekelompok cewek. Entah tarian apa yang sedang
diperagakannya; ia menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya sambil
mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Cewek-cewek itu tertawa-tawa dan menggeleng-geleng. Salah
satu dari mereka mencoba menari dengan Vincent, tapi tidak dapat
mengikuti gerakannya. Semua orang menyukai Vincent, karena dia
memang sangat menarik. Tapi kenapa dia tak pernah ingin menari dengan aku"
Kuangkat ranselku dan kukejar Hillary di depan panggung.
"Tunggu! Kenapa buru-buru sih?" panggilku.
Hillary melepaskan kepang rambutnya yang terjepit tali ransel.
"Di dalam sini panas sekali," keluhnya. "Dan aku nggak mengira latihannya akan
begini lama. Aku masih punya PR Prancis seabrek."
Hillary menyipitkan matanya memandangku. Ia menjumput
sehelai benang dari blus rajutku. "Kenapa kau kelihatan capek sekali, Julie?"
"Tidurku kurang nyenyak semalam," sahutku. Aku kaget juga
ternyata akibatnya kelihatan. Waktu itulah kuceritakan pada Hillary
mimpiku tentang Sandy dan bunyi tamparan kerai itu.
Hillary bergidik. "Aku juga tak bisa berhenti memikirkannya,"
ia mengakui. "Maksudku, setiap kali bertemu dengan Sandy sekarang, aku merasa
tidak enak. Perutku jadi mulas."
"Aku mengerti," sahutku, kurapatkan punggungku ke panggung supaya beberapa anak
bisa lewat. "Tiap kali melihatnya aku pun
berpikir, 'Kau bukan Sandy lagi. Kau pembunuh. Kau bukan cowok
yang biasanya kukenal, yang biasanya kusukai.'"
"Aku... aku merasa sangat nggak enak," Hillary tergagap,
"karena dipikirnya dia berbuat begitu untuk aku. Dikiranya aku ingin Al mati."
Ia mengembuskan napas. "Tadinya kukira kita mengenal Sandy. Tapi bagaimana
mungkin orang yang kita kenal begitu baik
menjadi... pembunuh?"
Aku pun tak dapat menjawab pertanyaan itu. "Sekarang aku
sependapat denganmu," kataku. "Maksudku, tentang pengakuannya pada kita. Semula,
kupikir nggak apa-apa. Tapi sekarang aku
menyesal dia memberitahu kita."
"Rahasia itu seakan-akan bercokol di dalam diriku," kata
Hillary. "Lalu tumbuh... membesar. Dan terus mendesak-desak ingin keluar. Sandy
sungguh nggak adil. Dia nggak boleh membuat kita jadi
begini." "Dan sekarang dia datang ke latihan wisuda, bercanda dan
mengobrol dengan semua orang seakan tak terjadi apa-apa. Kalau dia
saja bisa melupakannya, kenapa kita nggak?"
Hillary mulai menjawab, tapi mendadak berhenti. Mulutnya
ternganga. Ada bayangan di atas kami.
Ada orang yang berdiri di atas kami di panggung. Aku
menyadarinya pada saat yang bersamaan dengan Hillary.
Aku berbalik. Mengangkat wajahku.
Dan melihat Taylor. Ia setengah tersembunyi di balik tirai yang berat itu. Dan ia
dengan cepat menyelinap pergi ketika aku berbalik.
Taylor. Aku dan Hillary bertukar pandang. Aku tahu kami punya
pertanyaan yang sama dalam benak kami masing-masing:
Sudah berapa lama Taylor berdiri di sana" Apa yang
didengarnya" Apakah dia mendengar semua pembicaraan kami tentang
Sandy" Apakah dia akan menceritakannya pada Sandy"
Perlahan-lahan rasa dingin menjalari punggungku.
Jika dia memberitahu Sandy, apa yang akan dilakukan Sandy
terhadap kami" Chapter 14 "TERUS terang, aku takut pada Sandy sekarang," kataku pada Hillary. "Aku takut
membayangkan apa yang dipikirkannya. Apa yang mungkin diperbuatnya."
Kami sedang menelusuri Park Drive, berjalan kaki menuju ke
rumah kami. Aku tidak mau menunggu bus yang hanya datang setiap
setengah jam pada malam hari begini. Dan aku sudah tidak sabar
untuk meninggalkan sekolah.
"Bagaimana dia dapat tidur pada malam hari?" tanyaku.
"Bagaimana dia bisa mengucapkan selamat pagi pada ayah dan
ibunya, mengingat apa yang sudah dilakukannya" Bagaimana dia bisa
datang ke sekolah dan berkumpul dengan anak-anak" Bagaimana dia
bisa berkonsentrasi pada tugasnya" Seandainya aku... seandainya aku
membunuh seseorang, aku takkan sanggup melakukan apa pun.
Hidupku akan berakhir."
"Aku paham maksudmu," kata Hillary, sambil membetulkan
letak ransel di pundaknya. "Sulit sekali percaya padanya sekarang.
Sulit sekali menganggapnya sebagai teman. Karena ada bagian dirinya
yang penuh rahasia, yang tidak kita kenal. Bagian dirinya yang dingin dan
keras... yang betul-betul mengerikan."
Kami berjalan dalam keheningan sejenak. Sepatu Doc Martens
kami berdetak pelan di trotoar. Sebuah mobil yang lampu depannya
hanya menyala sebelah, lewat. Dedaunan yang baru tumbuh di pohon-
pohon bergemeresik ditiup angin sepoi yang hangat. Bulan sabit
tergantung rendah di atas rumah-rumah di depan kami.
Kuperhatikan semuanya itu. Aku jadi super-waspada. Semua
indraku sepertinya sedang bekerja keras.
"Kita tak bisa menjadi temannya lagi," kata Hillary sedemikian pelan hingga
kupikir ia sedang bicara pada diri sendiri. "Maksudku, keadaannya tak bakal bisa
seperti dulu lagi. Bagi kita semua."
Aku menggeleng. "Kalau Taylor mengadukan omongan kita
tadi pada Sandy, Sandy juga takkan ingin menjadi teman kita."
Kami menyeberang jalan dan melangkah ke tempat gelap. Dua
lampu jalan padam. Halaman depan rumah-rumah yang kami lewati
diselimuti kegelapan. Aku tak tahu persis kapan aku tersadar bahwa kami sedang
diikuti.
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mungkin ketika aku dan Hillary berhenti di belokan. Aku
mendengar gesekan sepatu di trotoar di belakang kami.
Waktu itu aku tidak memperhatikannya. Tapi gesekan itu
kemudian terdengar lagi, saat kami sedang berdiri dengan ragu-ragu
menatap kegelapan yang terbentang di blok di depan kami. Aku juga
menangkap bunyi gemeresik pagar tanaman.
Dan aku tahu ada orang di belakang kami. Ada orang yang
sedang mengawasi kami. Ketika kami melewati tanah kosong yang diselimuti kegelapan
pekat, aku memegang lengan Hillary. Memberinya isyarat supaya
berhenti. "Ada orang di belakang sana," bisikku. "Ada orang mengikuti kita."
"Aku tahu," Hillary balas berbisik.
Aku mendengar pagar tanaman bergemeresik lagi. Detak pelan
sepatu mengenai tanah. Aku dapat merasakan otot lengan Hillary menegang. Kulihat
rahangnya terkatup. Kami berdua memutar badan dengan cepat. Dan ternganga
keheranan. Chapter 15 TERNYATA tidak ada siapa-siapa.
Angin menggoyang-goyangkan pagar tanaman yang tinggi di
tikungan. Sesuatu makhluk mungil - mengendap-endap pelan
menyeberangi jalan. Tupai" Tikus"
Aku dan Hillary terpaku di tempat, terpana menatap tikungan
itu. Aku menahan napas. Dan pasang telinga.
Barangkali ada detak sepatu yang lain. Barangkali ada bunyi
tarikan napas, batuk, desahan.
Tapi aku hanya mendengar gemeresik dedaunan. Dan lengking
nyaring sirene ambulans di kejauhan.
Aku dan Hillary tertawa terbahak-bahak. Tawa lega.
"Apa kita berdua sudah paranoid?" seruku. "Tidak ada apa-apa tapi ketakutan
sendiri?" "Sinting," Hillary menimpali. "Kita benar-benar sinting."
"Maksudku, buat apa orang membuntuti kita?" lanjutku. "Masa sih kita sampai
berpikir ke situ?" Sekali lagi aku mengamati pagar tanaman. Di baliknya
terhampar rerumputan. Tak ada apa-apa yang mencurigakan. Aku
berbelok dan berjalan mendahului Hillary, memasuki blok berikutnya.
"Yuk belajar di rumahku saja," kataku pada Hillary. "Kita bisa mengerjakan PR
Prancis itu bersama-sama. Pasti lebih cepat kalau
dikerjakan berdua." Aku masih merasa tegang dan ketakutan. Aku perlu teman.
Hillary ragu-ragu sejenak sebelum menerima ajakanku. "Aku
tak bisa lama-lama, Julie. Dan kau harus janji."
"Janji apa?" tanyaku.
"Kita tak akan membicarakan Sandy dan Al lagi."
"Oke, aku janji," sahutku cepat-cepat. Janji yang tidak bisa kutepati.
Saat kami berbelok ke Fear Street, rumahku sudah kelihatan.
Kemudian tampak olehku mobil polisi bercat hitam-putih di jalan
masuk rumahku. Dan kulihat seorang polisi berjalan pelan menuju ke
pintu depan rumahku. "Mereka mau apa lagi?" seruku jengkel, gelombang rasa takut menyerbuku. "Kenapa
mereka menggangguku terus?"
"Mungkin kita akan segera tahu kenapa," sahut Hillary lirih.
*************************
Aku rasanya kepingin berbalik, lari sebelum polisi itu
melihatku. Tapi tentu saja itu tak dapat kulakukan. Aku dan Hillary
terus melangkah maju ke halaman depan, dan mendekati polisi itu
pada saat tangannya terulur akan memencet bel.
Aku mengenalinya. Officer Reed.
"Orangtua saya tidak ada di rumah!" kataku. Itu bohong. Dusta itu keluar begitu
saja dari mulutku. Aku ingin polisi ini pergi. Aku tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaannya lagi.
Officer Reed menoleh ke arah kami. Kepalanya yang botak
memantulkan sinar lampu teras. Ia memakai seragam polisi berwarna
biru, celananya berkerut-kerut, jasnya kusut dan ada noda pada bagian sikunya.
Perawakannya ternyata lebih besar daripada yang kuingat.
Jasnya terlihat sempit di bagian perut. Dasi hitamnya terkulai miring.
Salah satu tangannya memegangi topi seragamnya.
Sekilas aku melihat pistol yang terselip di pinggangnya, dalam
sebuah sarung cokelat. Aku bertanya-tanya apakah polisi ini pernah
menembak orang. "Aku bermaksud mencarimu," katanya padaku, sesudah
mengangguk pada Hillary. "Ada beberapa pertanyaan lagi."
"Orangtua saya tak ada di rumah, jadi rasanya saya tidak bisa
menjawabnya." Pergilah, menyingkirlah dari sini.
"Memang seharusnya aku tak boleh bicara denganmu kalau
orangtuamu tak ada," lanjutnya.
Matanya mengedip-ngedip. Bibirnya yang kering mengerut.
Sekonyong-konyong pintu depan terbuka. Ibuku menjulurkan
kepalanya ke luar. "Rasanya aku mendengar ada orang," katanya, sambil
mengarahkan pandangannya ke teras yang diterangi lampu
kuning. Begitu melihat Officer Reed, ekspresi Mom langsung berubah
was-was. "Ada masalah apa" Julie dan Hillary...?"
"Saya datang hanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan,
Mrs. Carlson," jawab Officer Reed, sambil menyipitkan matanya ke arahku. "Ada
beberapa hal yang perlu saya tanyakan pada Julie, jika tak mengganggu. Saya
jamin ini cuma butuh waktu sebentar."
Ibuku melangkah mundur supaya kami bisa masuk. Ia sedang
memegang sebuah buku. Novel Stephen King.
Bagaimana Mom bisa membaca buku horor untuk hiburan di
saat hidupku sengeri kisah dalam novel itu" pikirku.
Kami duduk di ruang tamu. Mom duduk di kursi di depan
jendela. Ia meletakkan novel itu di pangkuannya lalu melipat
tangannya di atas buku itu.
Aku dan Hillary duduk di sofa. Officer Reed menarik pensil dan
buku catatan kecil dari saku kemejanya. Kemudian, sambil
menggumam tak jelas, ia menurunkan badannya yang besar ke bangku
tanpa sandaran di depan kami.
"Anda sudah mendapatkan kemajuan?" tanya Mom pada polisi
itu. "Maksud saya, dalam kasus ini."
Polisi itu duduk membelakangi Mom. Ia menolehkan
kepalanya. "Sedikit, saya kira."
Kata-kata itu menghunjamkan rasa takut yang mencekam ke
dadaku. Apakah dia mencurigai Sandy" Apakah polisi sudah hampir
berhasil memecahkan kasus pembunuhan Al"
Officer Reed berpaling padaku. Tiba-tiba tanganku terasa
dingin dan kaku. Kuselipkan tanganku ke bawah bantal sofa supaya
hangat. "Julie, di luar tadi aku mendapat kesan bahwa kau tak ingin
bicara denganku," katanya.
"Hah?" Aku tidak menyangka ia akan berkata demikian.
Matanya terpusat padaku, ia menunggu aku memberikan
jawaban yang lebih baik. "Apakah ada alasan mengapa kau ingin
menghindariku?" "Tidak," sahutku, jantungku berdetak kencang. "Cuma... yah...
tak enak rasanya diingatkan terus pada kejadian itu."
Officer Reed mengangguk. Matanya tidak beralih dari wajahku.
"Kau sudah masuk sekolah kembali tadi. Mungkin teman-temanmu
membicarakan pembunuhan itu. Mungkin kau mendengar gosip-
gosip?" Ia menunggu aku menjawab, namun aku tidak tahu harus
menjawab apa. "Apakah kau mendengar gosip-gosip, Julie?" tanyanya lagi.
"Gosip apa saja yang mungkin perlu kuketahui?"
"Dengar, Officer Reed, lupakan soal gosip. Anda tak perlu
repot-repot mengadakan penyelidikan. Saya akan memberitahu Anda.
Pembunuh Al adalah teman sekelas saya yang bernama Sandy Miller.
Dia mengakui perbuatannya pada kami minggu lalu."
Chapter 16 ITULAH yang ingin kukatakan.
Itulah yang sungguh mati ingin kukatakan!
Kata-kata itu siap meluncur keluar dari mulutku, mengalir
dengan lancar dan jernih.
Aku akan merasa jauh lebih enak jika aku sudah
mengatakannya. Segala hal yang membebani pikiranku akan hilang.
Semua kengerian itu. Semua kecemasan itu. Semua mimpi buruk itu.
Tapi sanggupkah aku mengkhianati Sandy" Tidak.
Sandy mempercayai kami. Sandy mempercayakan rahasianya
yang paling mengerikan pada kami. Padaku.
Meskipun aku merasa tidak keruan, takut, bingung... aku tak
dapat mengkhianati Sandy. Meskipun ada begitu banyak kata yang
nyaris terlontar dari bibirku, aku tak dapat mengatakannya. Aku harus menelannya
kembali, menahannya. Aku melirik Hillary yang duduk di ujung sofa. Aku dapat
melihat dari ekspresinya bahwa ia sedang membaca pikiranku.
Dan aku tahu Hillary mempunyai keinginan yang sama.
Keinginannya bahkan lebih besar daripada aku.
Hillary sangat marah pada Sandy. Aku tahu ia benar-benar ingin
melaporkan Sandy. Hillary-lah yang paling marah ketika Sandy mengaku pada
kami. Sejak semula, ia tidak suka Sandy melibatkan kami.
Kulihat Hillary dengan gelisah memain-mainkan kepang
rambutnya yang panjang. Sebelah tangannya meluncur naik-turun di
sepanjang kepang itu. Tangannya yang lain mengetuk-ngetuk lengan
sofa dengan pelan. Hillary takkan mengatakannya, aku tahu.
Dan begitu juga aku. Officer Reed memajukan badannya. "Kau pasti sudah
mendengar omongan orang," desaknya. "Teman-teman sekelasmu -
mereka pasti sudah punya dugaan siapa yang membunuh Al Freed."
Aku menggelengkan kepalaku. "Semua anak sangat bingung,"
kataku. "Maksud saya, tak seorang pun percaya. Peristiwa itu begitu tak masuk
akal." "Anak-anak tak begitu sering membicarakannya," sela Hillary.
Suaranya terdengar tegang dan kaku. "Ini sangat mengerikan. Kami semua bicara
soal wisuda dan tetek-bengeknya. Saya kira kami semua
ingin melupakan, menghapus semua kejadian itu dari pikiran kami."
"Dia betul," cepat-cepat aku menyetujuinya. Hillary pandai sekali. Ia selalu
dapat memilih kata-kata yang tepat untuk
mengutarakan sesuatu. "Ini seharusnya waktu yang membahagiakan
bagi kami. Bagi kami yang duduk di kelas dua belas, maksud saya.
Anak-anak tak ingin diingatkan pada peristiwa mengerikan itu. Itulah sebabnya
saya bersikap agak tidak senang melihat Anda di depan
tadi." Officer Reed mengangguk dengan muram. Ia menggosok-gosok
dahinya yang lebar, kemudian mengalihkan pandangannya ke
catatannya. "Aku akan menyebutkan beberapa nama. Barangkali ada yang kaukenal."
Pelan-pelan ia membacakan nama enam atau tujuh cowok. Tak
satu pun dari mereka bersekolah di Shadyside High. Aku dan Hillary
belum pernah mendengar nama-nama itu.
"Apakah itu teman-teman Al dari Waynes-bridge?" tanyaku.
Officer Reed menyelipkan buku catatannya ke saku kemejanya.
"Ya. Tapi tidak semuanya."
"Dia tak pernah mengajak mereka kemari," kataku. "Dia biasanya keluyuran dengan
mereka di Waynesbridge."
"Aku tahu." Polisi itu bangkit berdiri. "Cukup sekian saja sekarang," katanya.
"Maaf aku telah menyita waktumu." Ia mengangguk pada ibuku, yang masih duduk di
dekat jendela. "Maaf kami tak dapat membantu," kataku, sambil
mengantarkannya ke pintu. "Kalau saya mendengar sesuatu..."
"Tolong telepon," katanya. "Selamat malam, semuanya." Ia melangkah keluar pintu.
Aku menunggu di pintu sampai polisi itu menaiki mobilnya.
Aku merasa sangat lega. Lega karena akhirnya ia pergi. Lega karena
aku telah berhasil mengendalikan keinginanku untuk mengungkapkan
rahasia itu, memberitahukan semua yang kuketahui.
Pintu mobil polisi itu dibanting menutup. Lampu depannya
menyala. Beberapa saat kemudian, mobil itu mulai meluncur pelan.
Begitu mobil itu sudah tak tampak lagi, kututup pintu. Saat
melangkah kembali ke ruang tamu, kurasakan detak jantungku sudah
melambat kembali ke irama normal, tanganku terasa hangat lagi.
"Semoga dia segera menemukan pembunuhnya," kata Mom
sambil menggigit bibir bawahnya.
"Aku juga berharap begitu," kataku membeo.
Mom berdiri. Diacungkannya novel di tangannya. "Aku akan ke
atas untuk meneruskan membaca. Aku tak bisa berhenti membaca
buku ini, meskipun aku ketakutan setengah mati." Mom mengucapkan selamat malam
pada Hillary, lalu naik ke kamarnya.
Aku menunggu sampai ibuku sudah tiba di atas. Kemudian aku
berbisik pada Hillary, "Apakah kau tadi memikirkan hal yang sama denganku?"
"Maksudmu tentang mengatakan pada polisi apa yang kita
ketahui?" Aku mengangguk. "Tadi sudah ada di ujung li... "
Aku berhenti karena melihat sesuatu berkelebat melewati
jendela ruang tamu. Hanya sesosok bayangan. Melesat tiba-tiba. Di
halaman di luar. Lampu kumatikan. Lalu, dalam kegelapan total, aku melangkah
ke dekat jendela - dan melihat dia. Melihatnya dengan jelas.
Sandy. "Ohhh." Aku mengeluh pelan dan menyuruh Hillary mendekat.
Kami berdua menangkupkan kedua tangan kami ke dekat mata agar
dapat melihat lebih jelas.
"Itu Sandy," bisikku. "Sembunyi d i balik pohon itu."
"Orang yang tadi mengikuti kita!" Hillary berseru pelan.
"Apa yang dilakukannya di luar sana?" tanyaku. "Apa dia mengira kita
mengadukannya pada Officer Reed" Apa dia mengira
kita berbalik memusuhinya?"
Hillary tidak menjawab. Kami berdua mengawasi Sandy. Dia bersembunyi di balik
batang pohon besar, cahaya bulan jatuh ke tanah di depannya, wajah
Sandy nyaris tersembunyi di dalam bayang-bayang biru.
"Dia... dia mengerikan sekali," bisik Hillary.
"Kenapa dia cuma berdiri di sana?" tanyaku heran. "Apakah dia mencoba menakut-
nakuti kita" Apa yang sedang dilakukannya di luar
sana" Apa?" Chapter 17 KAMI berlari ke pintu. Kami memanggil Sandy.
"Sandy! Sandy!" Aku menjulurkan badan ke luar, meneriakkan namanya.
Sandy tidak menyahut. Aku melihat dia mundur lebih jauh ke dalam bayang-bayang
gelap itu. "Di mana dia?" bisik Hillary. "Dia lagi ngapain?" Suara Hillary bergetar. Kukira
dia takut. Takut pada Sandy. Aku juga. Tiba-tiba kami takut pada teman
lama kami. Tingkah teman lama kami itu aneh sekali. Mencoba
menakut-nakuti kami.
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia ke sana," sahutku berbisik.
Kami berdua melihatnya. Sandy sedang merunduk-runduk,
menempelkan badannya ke pagar tanaman, berlari menjauhi blok ini.
Aku dan Hillary memperhatikan Sandy hingga ia lenyap di
balik pagar tanaman. Aku bergidik ketika menutup pintu.
Mengapa dia berbuat begitu" Mengapa dia mengikuti kami"
Apa yang diinginkannya" "Aneh," gumamku. "Sungguh aneh."
Aku tidak tahu bahwa ini baru awalnya. Dua hari kemudian,
Sandy kembali membuatku takut.
********************** Waktu itu sekolah baru saja bubar. Aku melewati ruang
olahraga yang kedua pintunya terbuka. Kudengar namaku dipanggil-
panggil. Di ruang olahraga itu beberapa cowok sedang main basket -
saling mengoperkan bola, mendribel, dan menembakkannya ke ring.
"Hei, Julie... apa kabar?" teriak Vincent.
Di sebelah Vincent, Sandy meloncat, mencoba melakukan slam
dunk - dan gagal. Terdengar tawa riuh. Kulihat Sandy cemberut.
Seorang cowok lain mengejar bola. Namun Sandy menduluinya dan
merebut bola itu. "Kami cuma iseng main-main," kata Vincent. "Tunggulah dan kita bisa pulang
bareng-bareng." Jantungku berdegup kencang. Vincent ingin pulang bersamaku"
Apakah dia mulai menangkap sinyal-sinyal yang kukirimkan"
Mungkin dia cuma berniat meminjam catatan sejarahku, pikirku
sambil mendesah. Tapi kuturunkan ranselku dan aku bersandar pada
dinding, menonton mereka main.
Semua cowok itu tampaknya memang hanya iseng. Mereka
mendribel dan menembakkan bola, asal-asalan, hampir semuanya
meleset. Tak seorang pun kelihatan serius - kecuali Sandy.
Beberapa saat kemudian, Sandy dan Vincent berebut bola.
Vincent mengatakan sesuatu pada Sandy. Aku tak dapat mendengar
perkataannya. Sandy berhenti mendribel. Didorongnya Vincent kuat-kuat
dengan kedua tangannya. Mulut Vincent ternganga karena terkejut. "Hei... aku cuma
bercanda!" protesnya pada Sandy.
Sandy cemberut dan kembali mendribel bola. Vincent mengejar
Sandy. Ditubruknya Sandy dari belakang. Masih juga bercanda,
pikirku. Sandy berteriak memaki-maki ketika Vincent merebut bola
darinya. Beberapa cowok lain tertawa. "Dasar bego!" teriak salah satu cowok pada Sandy.
"Dasar kikuk!" teriak cowok lainnya.
Sandy tidak tertawa. Wajahnya berubah menjadi merah padam.
Napasku tertahan. Tiba-tiba ia kelihatan menyeramkan.
Kurasa Vincent tidak menyadari betapa marahnya Sandy.
Vincent memutar badannya dan dengan bergurau mempermainkan
bola itu di depan muka Sandy. Didekatkannya bola itu ke Sandy, lalu
ditariknya menjauh kembali.
Aku tersentak ketika Sandy menjerit keras sekali.
Kemarahannya memuncak. Tak terkendali sama sekali.
Sambil memaki-maki lagi, ia merebut bola dari tangan Vincent.
Kulihat Vincent terperangah. Dia mulai mundur.
Dan Sandy melemparkan bola itu sekuat tenaga pada Vincent.
"Jangaaaan!" teriakku ngeri sambil berlari ke lapangan.
Vincent mengerang dan jatuh berlutut. Napasnya tersengal-
sengal. Wajahnya menjadi ungu.
Ia tersungkur ke lantai. Aku membungkuk di sampingnya,
kuguncang-guncang tubuhnya sambil memanggil-manggil namanya.
Anak-anak lainnya semuanya berkerumun. Semua kecuali
Sandy. Sekilas kulihat ia mengendap-endap pergi, mukanya masih
merah padam, dan ia juga masih menggerutu. Ia tidak menoleh lagi.
Vincent mengerang. Matanya mengerjap-ngerjap.
Bola itu telah membuatnya sesak napas. Tapi ia tidak terluka.
Vincent mengerjap-ngerjapkan mata lagi, memandang
sekeliling. Pasti mencari Sandy, pikirku. "Gila, teman kok begitu!"
gumam Vincent sambil menggeleng-geleng. "Teman apaan tuh!"
Sandy bukan teman kami lagi, pikirku dengan getir. Kutolong
Vincent bangun. Sandy adalah musuh kami. **************************
Malam Minggu, aku dan Hillary mempunyai rencana akan
nonton film baru Keanu Reeves di mal. Kutelepon Vincent kalau-
kalau ia mau ikut. "Aku janjian ketemu dengan Hillary di mal. Kami akan nonton
pertunjukan jam delapan.. Kau mau ikut?"
Ayolah ikut, kataku dalam hati.
Aku membutuhkan seseorang yang dapat menghiburku.
Aku membutuhkanmu untuk menghiburku.
"Aku nggak bisa," sahut Vincent. "Orangtuaku payah sih. Aku masih setengah
dihukum," "Setengah dihukum?" tanyaku.
"Ya. Aku boleh keluar atau nggak, tergantung suasana hati
mereka." Ia mengeluh kesal. "Tapi malam ini aku nggak mau repot-repot minta
izin. Nggak bakal dikasih. Mereka lagi bertengkar."
"Oh." Aku tak dapat menyembunyikan kekecewaanku. "Yah, aku harus bergegas. Aku
sudah terlambat. Mungkin nanti aku akan
meneleponmu lagi." "Ya. Oke. Sampai nanti." Ia terdengar begitu tertekan.
Aku masih memikirkan Vincent ketika aku melarikan mobilku
ke gedung bioskop. Aku mengenang saat-saat indah pada awal tahun
ajaran ini. Ketika itu kelompok kami masih kompak. Tak dinyana saat
kami akan lulus, semuanya jadi berantakan begini.
Biasanya pada malam Minggu, aku dan Hillary menelepon
Sandy dan Taylor. Kami janjian ketemu mereka di bioskop. Atau di
tempat lain. Pokoknya asal kami bisa ngumpul.
Tapi sekarang kami tidak ingin bertemu dengan mereka.
Sebenarnya Taylor tidak bersalah. Kami tidak bermusuhan
dengannya. Tapi karena ia selalu bersama Sandy, ya kami juga
terpaksa menghindarinya. Sebab Sandy adalah pembunuh.
Pembunuh. Pembunuh. Pembunuh.
Sambil mengemudi, aku terus mengulang-ulang kata itu dalam
benakku, sehingga kedelapan huruf itu akhirnya menjadi kata kosong
belaka. Sama sekali tak ada artinya.
Pembunuh. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa kata ini akan kugunakan
dalam kehidupan nyata. Kata itu ada dalam surat kabar, acara TV.
Bukan dalam hidupku. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat, aku berusaha menyingkirkan
kata itu dari kepalaku. Lalu lintas di Division Street semrawut. Jalan itu
biasanya memang macet pada malam Minggu, tapi malam ini ada
van yang mogok di persimpangan, membuat arus lalu lintas tersendat
sepanjang ratusan meter. Aku sampai di mal sekitar pukul delapan kurang semenit. Aku
harus berputar dua kali sebelum akhirnya menemukan tempat parkir di
dekat gedung bioskop. Lalu aku berlari dengan kecepatan penuh
melintasi tempat parkir itu untuk menemui Hillary.
Hillary sedang berdiri menungguku di samping loket karcis. Ia
mengenakan T-shirt dan rompi kulit berwarna merah serta jins hitam
yang longgar. "Sori," kataku tersengal-sengal sambil bergegas menghampirinya.
Lobi itu hampir kosong. Semua penonton sudah
masuk. "Tiketnya sudah kubelikan," kata Hillary, sambil melangkah ke pintu teater. Ia
menyodorkan tiketku. "Pertunjukannya baru saja akan dimulai. Kita nggak
ketinggalan kok." "Duduklah di depan," kataku. "Aku akan menyusul ke sana.
Aku mau ke toilet dulu."
Hillary meneruskan langkahnya. Aku berbalik dan berlari-lari
kecil melintasi karpet merah yang tebal menuju ke WC wanita.
Kuselipkan tiketku ke saku jinsku, kutarik p intu toilet membuka. Aku melangkah
masuk. Dan bertabrakan dengan Taylor.
Chapter 18 "OH!" Kami sama-sama menjerit kaget.
Lalu kami sama-sama langsung berkata, "Aku nggak tahu ada
kau!" "Aku baru saja memikirkanmu!"
"Kau duduk di mana?"
"Di belakang. Sebelah pinggir."
"Hillary nonton juga."
Taylor kelihatan cantik sekali. Rambutnya yang pirang-putih
disisir lurus ke belakang, diikat dengan ikat rambut biru terang yang serasi
dengan blusnya. Bibirnya yang penuh dipoles dengan lipstik
merah tua. Sangat menarik dan seksi.
Aku senang melihatnya. Tapi perasaan itu hanya sekejap.
Pikiran-pikiran burukku tentang Sandy menghapus semua rasa
senangku pada Taylor. Kulihat ekspresi Taylor berubah juga. Mata hijaunya menjadi
dingin. "Aku dan Sandy jarang sekali ketemu dengan kalian akhirakhir ini,"
katanya datar. Kuselipkan tanganku ke dalam saku jinsku. "Yah, kau kan
tahu," aku tergagap. "Kami sibuk dengan wisuda dan tetek-
bengeknya." Lemah. Alasan yang lemah sekali.
"Aku dan Sandy juga akan diwisuda," balas Taylor tajam.
"Ehm... sebaiknya kita masuk," kataku, sambil berjalan ke
pintu. "Filmnya... aku nggak mau ketinggalan awalnya. Susah bagiku untuk
mengikuti lanjutannya bila aku sudah terlambat."
Taylor masih menatapku lekat-lekat. Ia tidak bergerak. "Kukira
kau dan Sandy teman dekat," katanya.
"Dulu memang," sahutku. "Maksudku... memang begitu!" Aku merasa pipiku panas.
Wajahku pasti merah padam. "Tapi sekarang aku sangat sibuk dan..."
Hotel Bertram 3 Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Hina Kelana 36
ini?" "Hillary, nggak apa-apa kok," aku meyakinkannya. "Aku benar-benar ingin latihan.
Aku bisa nebeng siapa saja pulangnya. Atau kalau tidak, aku bisa naik bus."
Kulihat ia bergegas pergi dengan cowok itu. Lalu aku meluncur
ke arena, sambil berpegangan pada pagar. Aku berharap Vincent bisa
datang. Aku tak keberatan semua orang meninggalkanku. Aku hanya
berharap ada Vincent. Yah, bagaimanapun, aku bermain lagi selama sekitar setengah
jam. Dan aku menikmatinya. Sungguh enak rasanya melatih kakiku.
Apalagi arena ini mempunyai tata suara bagus yang melantunkan
musik yang asyik. Kira-kira pukul sebelas malam aku memutuskan untuk pulang.
Aku tidak bertemu siapa pun yang bisa memberiku tumpangan. Jadi
kusiapkan uang untuk ongkos naik bus. Biasanya sudah jarang ada bus
pada jam seperti ini, tapi mungkin aku beruntung.
Kumasukkan Rollerblades-ku ke tas jinjing, lalu aku menuju ke
pintu keluar belakang. Ada gang sempit di belakang sana, jalan pintas ke halte
bus. Aku melangkah masuk ke gang itu. Tiba-tiba udara terasa
dingin. Kukira karena suhu tubuhku meningkat setelah berolahraga.
Kakiku kesemutan. Aku mendongak melihat sepotong bulan sabit di
antara bangunan-bangunan. Sebuah bola lampu kuning menyorotkan
seberkas sinar pucat ke gang.
Aku dapat mendengar suara-suara dari jalanan di luar gang.
Kudengar decit roda-roda mobil. Aku bisa mendengar dentum mantap
musik dari tata suara di arena skating di belakangku.
Aku berjalan lima-enam langkah ke dalam gang - lalu berhenti.
Aku mengenali wajah Al. Itulah yang pertama kali kulihat. Wajahnya.
Membuatku berhenti dan mengangkat tangan ke pipiku.
Wajah Al. Kenapa dia telentang di gang ini"
Kakinya tergeletak di jalan beton, sebelah lututnya terangkat.
Lalu aku melihat skate itu.
Talinya melingkari tenggorokan Al. Tali itu terbelit kencang di
sekeliling tenggorokannya hingga matanya terbeliak.
Matanya yang terbeliak itu seolah menatap bulan sabit.
Belitan tali di sekeliling tenggorokannya sangat kencang,
hingga lehernya teriris. Dan bagian depan skate itu tertancap di mulut Al. Menyumbat
begitu rapat hingga tegak.
Al. Tewas di gang. Tercekik skate. Tercekik dan tersumbat.
Dan mati. Chapter 9 "OHHHHH," aku melenguh. Lebih mirip suara binatang
daripada suara manusia. Tas skate-ku terjatuh dari tanganku. Kakiku bergetar sangat
hebat, aku tak sanggup berdiri lagi.
Aku jatuh berlutut di depan Al.
Di hadapan tubuh Al, aku terpaku. Aku menyadari bahwa baru
sekali ini aku melihat tubuh tak bernyawa.
Aneh sekali pikiran yang melintas di benak kita saat kita
tercekam dalam kekagetan, dalam kengerian. Namun itulah yang ada
dalam pikiranku, saat aku membungkuk di depan Al, memandanginya:
Aku belum pernah melihat orang mati.
Kutatap matanya. Mata itu memantulkan bayangan bulan sabit.
Seperti kaca. Mata beling. Mata boneka. Bukan lagi mata sungguhan.
Kutatap skate itu. Ujung sepatu itu terjejal begitu dalam ke
mulut Al yang ternganga. Roda-rodanya tampak kusam disinari lampu gang yang kuning.
Skate yang sebelah lagi tergeletak di bawah kepala Al. Kedua
skate itu terikat jadi satu. Tali yang menghubungkan keduanya terlilit di
sekeliling leher Al. Terlilit begitu kencang. Kencang sekali.
Sekonyong-konyong aku merasa mual. Kutarik napas dalam-
dalam. Aku berusaha tidak memuntahkan makan malamku.
Tanpa berpikir, aku mengulurkan tangan.
Apa yang akan kulakukan" Menjejalkan skate itu ke dalam
mulut Al" Menariknya keluar"
Entahlah. Aku sama sekali tak bisa berpikir. Maksudku,
berbagai pikiran tidak keruan memenuhi benakku. Aku tak bisa
berpikir jernih. Aku tak bisa berpikir atau merencanakan atau
memutuskan apa yang sebaiknya kulakukan atau ke mana sebaiknya
aku pergi atau siapa yang sebaiknya kupanggil - atau apa saja!
Aku membungkuk di atas jasad Al.
Ini bukan lagi Al, pikirku.
Ini bukan Al. Sekarang ini jasad Al. Kuulurkan tanganku. Aku
mulai menyentuh tumit skate itu.
Tapi tiba-tiba terdengar terpaan bunyi-bunyian yang membuat
aku menarik kembali tanganku.
Terdengar dentam drum, denting gitar. Pintu belakang yang
menuju ke arena terbuka. Terdengar langkah kaki. Lalu jeritan.
"Dia mati!" seru seseorang. Suara yang melengking tinggi.
Mula-mula aku tidak mengenalinya.
"Dia mati!" Dan kemudian suara melengking lainnya. "Cewek itu yang
membunuhnya!" "Bukaaaan!" teriakku. Aku berbalik. Terhuyung-huyung.
Pusing. Aku menoleh ke suara-suara melengking tinggi itu. Dan dalam
bayang-bayang di balik lampu gang yang kuning itu, aku melihat
Artie dan Chucky. Rambut merah mereka tampak suram, mencuat seperti lidah api
di atas wajah pucat mereka. Mata biru mereka membelalak ngeri.
"Dia membunuhnya!"
"Bukan... tunggu!" Aku meratap, tersandung, sempoyongan.
Kakiku lemas sekali, bergetar hebat. "Tunggu...!"
"Dia membunuhnya! Aku melihatnya!"
"Panggil polisi!"
"Jangan... tolong!" Aku mulai mengejar mereka. "Artie!
Chucky... jangan!" Bunyi musik kembali menerpa ketika mereka mendorong pintu
membuka. Dan mereka kembali lenyap ke dalam arena itu.
Meninggalkan bayangan mata mereka yang bersinar kaget
dalam benakku. Meninggalkan jeritan ngeri mereka dalam telingaku.
"Jangan... tunggu! Bukan aku! Bukan aku!" Teriakan panikku tidak terdengar di
luar gang berlantai beton itu. "Kalian salah! Kalian salah! Tunggu... kalian
salah!" Aku tak melakukannya, kataku pada diri sendiri. Bukan aku.
Bukan aku. Polisi akan mempercayaiku, putusku.
Aku tahu mereka akan percaya.
Chapter 10 "KAMI mempercayaimu," Officer Reed berkata dengan pelan,
membungkuk di atas mejanya yang berantakan. Polisi itu berbadan
besar, berwajah bulat merah, serta beralis abu-abu lebat di atas
matanya yang tajam, bulat, dan kecil. Sinar lampu di atas kepalanya
terpantul pada kepalanya yang botak. Ia melepaskan dasi biru-lautnya dan
menaruhnya di meja. "Kami mempercayaimu. Tapi bagaimanapun kami harus
menanyakan banyak pertanyaan yang menjengkelkan." Ia menyipitkan matanya
memandangku. "Kau mengerti, Julie?"
Aku mengangguk dan melirik orangtuaku. Mereka duduk saling
merapat di seberang polisi itu. Mom terus-menerus menghapus air
matanya dengan gumpalan tisu. Dad memeluk bahu Mom, berusaha
menenangkannya. "Aku tahu kita sudah mengulang semuanya dua kali. Tapi aku
perlu melakukannya sekali lagi," kata Officer Reed dengan lelah.
Diusapnya keringat dari kepalanya yang botak dan dari keningnya
dengan telapak tangannya. "Masalahnya, ada yang tidak klop. Aku belum
mendapatkan gambaran yang masuk akal."
"Tapi saya sudah menceritakan semuanya! Bagian mana yang
tidak masuk akal?" tanyaku. Kukatupkan kedua tanganku erat-erat di pangkuanku
supaya tidak gemetar. Mom memegangi tas skate-ku di pangkuannya, memindah-
mindahkannya dari kedua kakinya bergantian. Aku heran mengapa
Mom tidak meletakkan tas itu di lantai.
Bahkan ketika ditanyai polisi tentang pembunuhan, pikiranku
mengembara ke mana-mana. Aku sedang memikirkan Hillary. Apakah
dia senang menghadiri pesta itu"
Kucoba membayangkan bagaimana reaksinya kalau ia
mendengar berita tentang kematian Al.
Officer Reed menggosok-gosok rahangnya. "Ceritamu masuk
akal dan dapat kuterima, Julie. Kau keluar dari arena skating dan
menemukan mayat di gang itu. Pembunuhan inilah yang tidak
kumengerti." Aku menatap polisi itu sambil menelan ludah. Mulutku terasa
kering sekali. Pelan-pelan kuteguk air dari cangkir kertas yang tadi
diletakkannya di sudut mejanya untukku. Air itu hangat dan agak
asam. Atau barangkali itu hanya perasaanku saja.
"Pertama-tama, korban tidak dirampok," lanjut Officer Reed.
"Dompet dengan isinya sekitar lima belas dolar masih ada." Officer Reed
memandangku dengan tajam. "Biasanya dia tidak membawa
uang sebanyak itu, kan?"
"Memang," sahutku lirih. "Al biasanya tak punya uang. Dia selalu mencoba pinjam
uang dari saya." Kedua orangtuaku memelototiku. Aku menyesal telah
mengatakannya. Aku tidak ingin mereka mulai bertanya-tanya tentang
kenapa aku meminjamkan uang pada Al.
Officer Reed kembali menggosok-gosok rahangnya. "Dia tidak
dirampok. Jadi kenapa dia dibunuh?"
"Saya tidak tahu," sahutku. "Saya pikir tidak..."
"Dan kenapa dia dibunuh dengan begitu keji?" lanjut polisi itu, sambil
memandangi dinding kuning pucat di belakangku. "Sepertinya ada orang yang ingin
pamer. Atau mungkin membuktikan sesuatu
pada Al. Membalas perbuatannya, barangkali. Memberinya pelajaran."
"Memberi pelajaran sampai mati," gumam Dad. Mom terisak
pelan dan mengusap matanya.
"Aku tak apa-apa, Mom. Sungguh," bisikku pada Mom.
"Aku tak percaya kau begini sial... menjadi saksi atas kejadian yang begitu
mengerikan," ujar Mom.
Polisi itu tampaknya tidak mendengar ucapan Mom. Ia masih
menatap dinding, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Keheningan yang panjang meliputi kantor kecil itu ketika aku
menunggu polisi itu bicara lagi. Kembali kuteguk air hangat di
gelasku. Apa yang sedang dipikirkannya" tanyaku dalam hati.
Menurutnya, apa yang telah terjadi"
Paling tidak dia mempercayai ceritaku, pikirku lega. Paling
tidak dia tak percaya pada si kembar tolol itu. Dia tahu aku bukan
pembunuh. Tapi ada orang yang telah membunuh Al. Pikiran itu mendesak
ke dalam benakku, membuatku gemetar.
Pembunuh itu masih berkeliaran.
Officer Reed berdeham. Ia membungkuk di atas mejanya, siku
tangannya mendorong setumpuk kertas ke tepi. "Jadi kita harus
bertanya pada diri kita sendiri tentang motifnya," katanya. "Untuk apa orang
membunuh seorang remaja pria dengan begitu keji, jika tidak
demi uang?" Ia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya yang pendek-pendek di atas
meja, sejenak menatapku dengan tajam. "Julie... kau punya pendapat"
Kaukenal orang yang mungkin tidak menyukai Al" Orang yang
mungkin bermusuhan dengannya" Yang mungkin sangat bermusuhan
dengannya?" "Yah..." Aku menarik napas dalam-dalam.
Apa yang sebaiknya kukatakan" Sejauh mana aku harus jujur"
Haruskah kukatakan padanya betapa aku membenci Al"
Haruskah kukatakan padanya bagaimana Al menggertak, memeras,
dan mengancam kami" "Aku perlu daftar nama temannya," polisi itu menyela, sambil mengerutkan
dahinya. "Kau tahu teman-temannya" Tadi kau bilang
dia pernah menjadi anggota kelompokmu."
Aku mengangguk. "Tapi tahun ini tidak," kataku. "Al
mendapatkan beberapa teman baru. Anak-anak yang tak kami sukai.
Dari Waynesbridge. Anak-anak berandalan. Dia..."
"Anak-anak berandalan?" Tiba-tiba mata Officer Reed bersinar-sinar
memperlihatkan minatnya. "Dia mulai keluyuran dengan anakanak berandalan" Kau
tahu siapa mereka, Julie" Apakah menurutmu
ada di antara mereka yang punya motif untuk membunuh Al?"
"Saya... saya tak tahu," sahutku tergagap. "Menurut saya, tidak..."
Officer Reed mengangkat tangannya yang besar untuk
menyuruhku diam. "Pikirkan baik-baik. Tarik napas dalam-dalam.
Pikirkan selama satu menit. Pernahkah Al mengatakan sesuatu
padamu tentang teman-temannya" Komentarnya tentang seseorang
yang marah atau jengkel padanya?"
"Kami semua marah dan jengkel padanya!" jawabku serta-
merta. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku tidak
bermaksud mengatakannya. Ucapan itu tercetus begitu saja. Aku tidak
dapat menahannya lebih lama lagi.
Kudengar ibuku menarik napas kaget. Tas skate-ku terjatuh dari
pangkuannya. Officer Reed berhenti mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas
meja. "Kami semua membencinya!" teriakku. Sekali bendungan itu
jebol, kata-kataku terus saja mengalir. Aku tidak dapat menghentikan diriku
meskipun aku ingin. "Semua teman saya membencinya!" kataku pada polisi yang
tercengang itu. "Kami semua punya alasan untuk membencinya. Kami semua. Saya
juga!" Aku menghela napas dalam-dalam. Jantungku menggedor-
gedor dadaku. "Tapi kami tak melakukannya!" jeritku. "Saya dan teman-teman...
bukan kami yang membunuh Al. Kami cuma remaja
biasa. Kami bukan pembunuh!"
Itu benar, kataku pada diri sendiri, sambil memperhatikan
ekspresi terkejut di wajah Officer Reed.
Kami bukan pembunuh. Bukan.
Itu benar. Ya, kan" Ya, kan" Chapter 11 CUACANYA sama sekali tidak cocok untuk acara penguburan.
Matahari bersinar cerah, udara hangat musim semi membawa aroma
bunga ceri. Penguburan yang pertama kuhadiri, pikirku. Seharusnya
cuacanya suram, berkabut, dan diiringi rintik hujan.
Mom tidak ingin aku pergi ke penguburan Al. Ia mencoba
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melindungiku. Entah melindungiku dari apa.
Kukatakan padanya bahwa Hillary, Sandy, dan semua temanku
merencanakan datang ke sana. Jadi mau tidak mau aku harus datang
juga. Memang, aku masih dihantui mimpi buruk tentang Al.
Siapa yang tidak akan dihantui mimpi buruk sesudah
menemukan temannya terkapar di gang dengan skate terjejal di
tenggorokannya" Tapi kupikir menghadiri penguburan itu tidak akan menambah
ketakutanku - atau mimpi-mimpi burukku. Selain itu, barangkali
penguburan itu akan mengakhiri bagian sedih dan mengerikan dari
hidupku ini. Paling tidak, itulah yang kuharapkan.
Ketika aku berganti pakaian untuk pergi ke gereja, memakai rok
hitamku dan mengancingkan blus hitamku, tidak terpikir olehku
bahwa kengerian itu justru baru saja mulai.
********************* Aku diantar orangtuaku ke gereja. Mom dan Dad tidak begitu
kenal dengan keluarga Al, tapi mereka merasa wajib menghadiri
penguburan itu karena Al pernah menjadi temanku.
Sepanjang perjalanan kami bertiga membisu. Dad memusatkan
pandangannya ke jalanan di depan. Aku menatap ke luar jendela,
memperhatikan pohon-pohon yang daunnya sedang bersemi. Aku
berpikir betapa indahnya hari ini, dan betapa aneh rasanya pergi ke
penguburan di hari yang seceria dan secerah ini.
Gereja itu terletak di atas bukit rendah di luar kota, di tempat
Division Street bertemu dengan jalan raya. Gereja itu kecil dan bercat putih.
Lonceng kuningan di menaranya berkilauan, memantulkan sinar
matahari. Di depan pintu terdapat banyak pot berisi bunga lili putih yang
membuat udara berbau manis ketika kami melangkah masuk.
Sebagian besar bangku kayu-hitam panjang di dalam gereja telah
terisi. Aku mengenali banyak anak dari sekolahku dan beberapa guru.
Mom dan Dad duduk di baris agak belakang. Aku berjalan di
gang di antara bangku-bangku untuk bercakap-cakap dengan Hillary
dan beberapa anak lain. Mereka bergerombol di dekat baris depan,
dengan wajah sedih, berbicara dengan nada rendah mengatasi alunan
musik organ. Semua orang berpakaian rapi. Cowok-cowok tampak kaku dan
kikuk dengan dasi serta blazer gelap mereka. Semuanya ini sungguh
seperti pura-pura, mirip dalam film saja.
Inilah yang kuingat mengenai acara penguburan itu:
Cowok-cowok yang merasa gerah dalam setelan resmi mereka.
Bisik-bisik lirih yang nyaris tak terdengar di tengah suara organ yang muram dan
menyedihkan. Aroma bunga lili. Begitu manis hingga membuatku mabuk.
Sentuhan tangan Hillary yang lembap dingin ketika ia
memegang lenganku pada saat kami bertemu.
Peti mati yang hitam panjang di depan kami.
Al tidak mungkin benar-benar berbaring di dalamnya, bukan"
Seorang wanita mungil berambut keriting putih, kepalanya
menunduk, bibirnya bergetar, air mata menetes ke atas pangkuan gaun
hitamnya. Itulah hal-hal yang kuingat.
Dan kabar angin yang dibisikkan.
Ada orang yang mengatakan bahwa ibu Al terlalu terpukul
untuk menghadiri pemakaman. Ia harus diberi obat penenang dan
beristirahat di rumah sakit.
Ada juga yang bilang bahwa polisi sudah tahu siapa
pembunuhnya. Yaitu salah satu teman Al dari Waynesbridge. Orang
itu telah melarikan diri, dan polisi sedang mencarinya.
Kabar angin. Dan aroma bunga lili. Dan wanita mungil yang
membiarkan air matanya berderai ke pangkuannya.
Aku ingat semuanya itu. Dan wajah teman-temanku. Aku duduk di bangku pinggir. Aku dapat melihat semua
temanku; wajah mereka pucat, lesu, dan sedih. Ketika si pendeta
berbicara, mataku berpindah-pindah dari satu orang ke yang lainnya.
Sandy membungkuk di bangkunya, sikunya bertumpu pada
bangku di depannya, wajahnya terbenam dalam tangannya. Aku
menunggunya duduk bersandar ke belakang. Tapi ia tidak
melakukannya. Roman Vincent tegas dan keras. Aku dapat melihat dia
mengatupkan rahangnya. Pandangannya lurus ke depan dan kosong,
seakan ia sedang berada di tempat lain, tempat yang jauh, jauh sekali.
Wajah Hillary tanpa ekspresi. Aku sama sekali tidak dapat
menduga apa yang sedang dipikirkannya. Ia duduk tegak, satu
tangannya mempermainkan kepangnya, menariknya, melicinkannya.
Tanpa ekspresi. Taylor menangis pelan sambil mengepal-ngepal tisunya.
Rambut pirang-putihnya dijepit ke atas. Namun terlepas lagi dan jatuh menutupi
mukanya ketika ia menyeka matanya.
Ini bukan wajah-wajah pembunuh, pikirku, sambil
memperhatikan mereka, mengamati mereka ketika sang pendeta
mengucapkan doa di depan peti mati Al.
Aku mengenal anak-anak ini.
Ini teman-temanku. Bukan pembunuh. Bukan pembunuh. Bukan pembunuh.
Sesudah pemakaman itu, kami semua berkumpul di rumah
Sandy. Ibu Sandy menghidangkan berpiring-piring roti isi, yang
langsung kami Sikat habis. Kami kelaparan!
Sambil makan kami ngobrol. Kami semua tegang, pikirku.
Ingin sekali melupakan pemakaman itu. Tapi tidak mudah karena
kami masih memakai pakaian duka.
Vincent melepaskan dasinya dan mengikatkannya di kepala.
Penampilannya mulai kembali seperti Vincent yang kukenal. Kurasa
ia lega karena diperbolehkan orangtuanya datang ke rumah Sandy. Ia
telah dikurung berhari-hari!
Vincent bercerita tentang pemakaman neneknya. Kata Vincent,
neneknya itu sangat menjaga kesopanan, sangat kaku, selalu
menginginkan segala sesuatu dikerjakan dengan benar.
Pidato pujian yang disampaikan sang pendeta sangat
mengharukan sehingga semua orang menangis, kata Vincent
melanjutkan ceritanya. Kemudian peti mati dibuka sehingga semua
orang dapat memberikan penghormatan terakhir.
Namun ketika mereka membuka peti mati itu, gereja dipenuhi
dengan seruan ketakutan. Nenek Vincent tidak ada di dalam peti itu.
Sebagai gantinya, terbaring seorang laki-laki botak, berbadan besar
sekali, beratnya mungkin 150 kilogram, dan berjenggot lebat seperti
Santa Claus. Semua orang ternganga melihatnya.
Ternyata telah terjadi kekeliruan dalam p-ngiriman peti mati ke
gereja. Kekagetan orang-orang berubah menjadi rasa geli. Mereka
mulai tertawa cekikikan. Lalu gereja itu menjadi riuh dengan suara
tawa. "Semua orang terbahak-bahak," kata Vincent dengan geli.
"Mereka bergerombol di lorong-lorong di antara bangku-bangku.
Lucu sekali. Sepanjang hidupnya nenekku selalu mengeluh bahwa tak
ada orang yang pernah berlaku sopan - dan dia benar!"
Kami semua tertawa. Semua orang kecuali Sandy. Ia bahkan
tampak lebih tegang daripada biasanya. Ia berdiri seorang diri di
samping perapian. Ia mengambil sebuah patung kepala dari perunggu
dan dengan gelisah menimang-nimangnya.
Ibu Sandy psikiater, tapi juga pematung yang berbakat sekali.
Ruang tamu itu penuh dengan hasil karyanya yang berupa patung-
patung kepala berbentuk Sandy dan kakak Sandy, Gretchen, yang
kuliah di Cornell. Benar-benar mirip aslinya.
Kuamati Sandy yang menimang-nimang patung perunggu itu. Ia
nyaris tidak mendengarkan cerita Vincent. Aku kaget melihat dia
bahkan tidak mengacuhkan Taylor.
Taylor dan Hillary sedang berbisik-bisik di sofa. Taylor telah
menjepit rambutnya ke belakang. Meskipun aku berada di seberang
ruangan, aku dapat melihat matanya yang merah akibat menangis.
"Kau masih dilarang keluar rumah?" tanyaku pada Vincent.
"Atau kau sudah bebas sekarang?"
Rupanya Vincent tidak mendengar pertanyaanku. Ia sedang
memperhatikan Taylor. Lalu ia menjauhiku, berjalan cepat-cepat
menuju ke dapur. "Ada yang mau Coke atau lainnya?" tanyanya.
Aku mengikutinya ke dapur. Ia membuka pintu kulkas dan
membungkuk ke dalamnya. "Kau tak apa-apa?" tanyaku.
Vincent mengeluarkan sekaleng Mountain Dew dan berdiri
tegak lagi. Ia mengangkat bahu. "Kurasa begitu. Semua ini sungguh aneh, ya?"
"Ya," aku menyetujui pendapatnya.
Dibukanya tutup kaleng itu. "Kau tak apa-apa, Julie" Apakah
kau pernah bermimpi buruk atau apa" Maksudku, kan kau yang
menemukan mayatnya. Pasti..."
"Kejadian itu memang terus terbayang olehku," aku mengakui.
"Mom dan Dad bilang itu akan hilang dengan sendirinya nanti.
Menurut mereka..." Aku berhenti ketika mendengar Sandy memanggil kami dari
ruang tamu. Vincent kembali meneguk isi kaleng soda itu. Lalu kami
kembali ke ruang tamu untuk melihat mengapa Sandy memanggil.
"Di dalam sini," katanya. Sandy mengajak kami ke ruang baca.
Kucoba membaca ekspresinya. Ia menghindari tatapanku. "Di dalam sini, semuanya."
Suaranya terdengar tegang, parau.
"Ada apa ini?" tanya Taylor.
Sandy bergumam tidak jelas, matanya tetap terarah ke lantai.
Aku tidak dapat mendengar ucapannya. Kupikir Taylor juga tidak
mendengarnya. Kami semua berkumpul di ruang baca yang sempit. Dengan
hati-hati Sandy menutup pintu. "Aku... aku ingin mengatakan
sesuatu," katanya pelan. Kedua tangannya masih memegangi patung kepala perunggu
yang kecil. "Kau mau menjual benda itu?" Vincent bercanda. "Atau kau hanya senang memandangi
patungmu sendiri?" Taylor tertawa. Aku dan Hillary bertukar pandang.
Apa masalah Sandy" tanyaku dalam hati. Pengumuman besar
apa yang ingin disampai-kannya"
Sandy terbatuk dan berdeham. Diletakkannya patung kepala
perunggu itu di rak buku. "Aku hanya mengatakan hal ini pada kalian karena
kalian temanku, dan aku percaya pada kalian," katanya dengan cepat, matanya
tertuju ke jendela di belakang kepalaku.
Kulihat Vincent mengangakan mulutnya, barangkali untuk
melucu. Aku menggeleng dan memberi isyarat "jangan" dengan mataku. Vincent
kembali duduk di kursinya.
"Aku ingin mengatakannya pada kalian, tapi aku juga tak ingin
mengatakannya," kata Sandy dengan misterius. "Tapi aku merasa...
aku merasa..." Suaranya bergetar. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku merasa harus mengatakannya pada kalian."
"Sandy... apa itu?" tanya Taylor, sambil melonjak berdiri.
"Yah..." Sandy berdeham lagi. "Aku... aku akan mengaku.
Dengar, akulah orangnya. Akulah yang membunuh Al."
Chapter 12 "NGGAK lucu!" teriakku.
Taylor berseru kecil dan membekap mulutnya sendiri.
Hillary menatap Sandy dengan mata disipitkan, tapi hanya itu
reaksinya. Ia tidak berkata apa-apa.
"Kau bercanda, kan?" tanya Vincent, sambil meletakkan kaleng soda dan beranjak
berdiri. "Tapi leluconmu nggak lucu."
Sandy menyahut dengan suara parau, "Ini bukan lelucon,
Vincent. Aku tidak bercanda. Aku mengatakan hal yang sebenarnya."
"Tidaaaak!" jerit Taylor, matanya terbelalak.
"Aku yang melakukannya," kata Sandy ngotot. "Aku yang membunuh Al. Kalian
temanku. Aku ingin kalian tahu yang
sebenarnya. Aku tahu kalian akan menyimpan rahasiaku."
"Waduh...!" Vincent menggumam.
Rasa dingin merayapi punggungku. Dimulai dari pinggang dan
terus naik ke atas. Aku menatap Sandy lekat-lekat. Aku mendengar
kata-katanya, tapi aku tidak bisa percaya.
Aku tak ingin percaya. "Itu tidak benar! Itu tidak benar!" Taylor meraung.
Ia berlari melintasi ruangan dan memeluk Sandy, sambil
menangis tersedu-sedu. "Itu tidak benar! Aku tahu itu tidak benar!
Aku tahu!" Sandy memegang lengan Taylor dan dengan lembut
mendorongnya menjauh. "Sori, Taylor. Tapi aku melakukannya. Aku mengatakan yang
sebenarnya." Sambil menggeleng-geleng, Hillary berdiri. Ia menyilangkan
tangannya di depan dada, berjalan menuju ke jendela, dan
memandangi sinar matahari di luar.
Vincent menatap Sandy dengan tercengang.
Aku berusaha keras menghentikan getaran tubuhku. Akhirnya
aku bisa membuka mulut. "Tapi... kenapa?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Kenapa, Sandy" Apa yang membuatmu melakukannya?"
Ruangan itu menjadi sunyi. Yang terdengar hanya isak pelan
Taylor dan degup cepat jantungku.
"Dia mengacaukan hidup kita," Sandy menjawab dengan pelan, nyaris berbisik. "Dia
menghancurkan hidup kita. Makin lama makin parah. Aku... aku melakukannya untuk
kita semua." "Tapi, Sandy...," kataku.
"Kita semua ingin Al mati, kan?" tukas Sandy dengan suara
melengking. "Kita semua membencinya, kan" Kita semua tak suka
dengan caranya menggertak, memojokkan, memaksa kita untuk...
untuk..." Suaranya ter?pecah.
"Itu tidak benar!" Taylor meraung lagi. "Itu tidak benar! Tidak benar!"
"Maaf," kata Sandy lirih. "Maaf aku membuat kalian bingung.
Tapi aku tidak menyesal dengan apa yang sudah kulakukan. Aku tak
menyesal membunuhnya."
Aku mengangkat muka tepat pada saat Hillary berbalik dari
jendela. Tangannya masih tersilang erat di dadanya. Aku terkejut
melihat roman marah di wajahnya.
"Sandy, seharusnya kau tak usah memberitahu kami," kata
Hillary dengan berang. Mata Sandy terbelalak. Mulutnya ternganga. Dia jelas tampak
kebingungan. "Hah" Kupikir..."
"Seharusnya kau tak usah mengaku pada kami," lanjut Hillary.
"Sekarang kau telah melibatkan kami. Itu tidak adil."
"Tapi... tapi... kalian temanku!" Sandy tergagap, maju beberapa langkah
mendekati Hillary, lengannya terulur.
Hillary melangkah mundur hingga menabrak ambang jendela.
Sejenak matanya tidak tampak, terhalang bayangan lampu yang
terpantul pada kacamatanya. Ketika ia bergeser sedikit, barulah
kulihat matanya yang berapi-api.
"Apa yang kaulakukan ini keliru!" kata Hillary pada Sandy
sambil mengertakkan gigi. Walaupun kami temanmu, bagaimana
mungkin kau melibatkan kami dalam pembunuhan" Sekarang kami
harus bagaimana" Cuma menjaga rahasia itu dan tak usah
memikirkannya lagi?"
"Tapi aku membunuh Al terutama demi kau, Hillary!" sahut
Sandy parau. Terdengar suara dari balik pintu ruang baca itu. Kami
semua terkejut. Wajah Sandy memucat. Aku yakin ia mengira ibunya
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar pembicaraan kami.
Tapi pintu tetap tertutup. Mungkin itu tadi suara mobil atau apa
di jalan. Sandy kembali berbalik pada Hillary. "Kenapa kau
menyalahkan aku" Aku khusus melakukan ini untukmu," ulangnya
dengan keras. "Al mengacaukan hidupmu lebih dari yang lainnya. Dia memerasmu dan
memaksamu memberinya uang, dan... dan..."
Hillary menggeleng-geleng, mengerutkan kening pada Sandy.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku!" protes Sandy.
"Begitu seharusnya, Hillary. Bukannya memandangi aku seperti itu, kau seharusnya
berterima kasih padaku!"
"Tapi kau membunuhnya, Sandy!" Hillary berkata dengan suara bergetar penuh
emosi. Belum pernah aku mendengarnya bicara dengan nada seperti
ini. "Kau membunuhnya! Dia mengacaukan hidupku, memang betul.
Dia memerasku terus-terusan. Meminta ini-itu. Menggangguku.
Tapi..." Hillary menarik napas dalam-dalam. "Tapi aku tak pernah
punya niat untuk membunuhnya! Kau tak mengerti ya, Sandy" Kau
tak sadar apa yang sudah kaulakukan" Kau membunuh manusia. Kau
membunuh Al!" Sandy membuka mulut untuk menjawab. Tapi Hillary
menyelanya dengan, lambaian keras tangannya.
"Kau tak bisa begitu saja membunuh seseorang cuma karena dia
mengganggumu," kata Hillary pelan-pelan, setiap kata diucapkannya dengan jelas
dan tegas. "Dan kau juga tak bisa begitu saja
mengakuinya di depan sekian banyak orang."
"Kalian kan bukan orang lain...," kata Sandy ngotot. "Kalian temanku. Aku
mengatakannya karena kalian temanku."
"Dan apa gunanya teman?" Vincent menyela. Ia bermaksud
bergurau, tapi tak ada yang menanggapinya.
Vincent saja tak dapat membuat kami tersenyum. Aku
memandangi cowok itu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang
dipikirkannya. Sulit sekali menebak isi hati Vincent. Gurauannya
selalu menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Kau menempatkan kami pada posisi yang mengerikan, Sandy."
Hillary mendengus, akhirnya menurunkan tangannya ke samping
badannya. "Sekarang kami tak punya pilihan. Kami harus
memberitahu orangtuamu. Atau menelepon polisi."
"Jangan!" jerit Taylor. Ia memutar badannya menghadap pada Hillary. "Kau ini
bagaimana sih" Kita harus melindungi Sandy. Kita harus menyimpan rahasianya."
"Aku percaya pada kalian," gumam Sandy, sambil menunduk
memandangi karpet. "Kupikir Taylor betul," kataku dengan hati-hati. "Kita tak dapat menyerahkan
Sandy ke polisi. Ini....ngeri sekali membayangkannya!"
Sekejap rasanya aku ingin menangis.
Semua ini terlalu berat untuk kutanggung. Terlalu
menyedihkan. Terlalu mengerikan. Terlalu menegangkan.
"Dia melibatkan kita dalam pembunuhan," Hillary bersikeras.
"Tapi dia melakukannya untuk kita," Vincent menimbrung.
"Percayalah, waktu Al membuat penyok mobil orangtuaku, aku juga ingin
membunuhnya. Aku sungguh-sungguh ingin melakukannya.
Tapi aku tak punya keberanian."
"Kau bukannya tak punya keberanian," tukas Hillary. "Kau bukan pengecut. Tapi
kau sadar bahwa kau tak bisa seenaknya
mencabut nyawa orang lain. Kau tahu kau tak bisa begitu saja
membunuh seseorang karena orang itu menimbulkan masalah."
Taylor melangkah ke samping Sandy dan memeluk pinggang
cowok itu. "Kita harus melanjutkan hidup kita," katanya, sambil menyandarkan
kepalanya ke bahu Sandy. "Kita harus mencoba
melupakan kejadian ini dan meneruskan hidup kita. Jika kita
menyerahkan Sandy pada polisi, bagaimana kita bisa hidup normal
kembali?" "Taylor benar," aku mendukungnya. "Jika kita melaporkan Sandy, akan ada satu
orang lagi yang hidupnya berantakan."
"Thanks, Julie," kata Sandy pelan. Ia beralih pada yang lain-lainnya. "Kalian
semua mengenalku. Kalian tahu aku orang baik-baik.
Kalian tahu aku bukan pembunuh. Dan aku teman kalian. Kita semua
bersahabat." Ia menelan ludah. Suaranya tercekat karena emosi yang
meluap-luap. Taylor menepuk-nepuk pinggang Sandy. Ia mengangkat
mukanya dan mencium pipi cowok itu.
"Kalian tahu aku bukan pembunuh," ulang Sandy, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Kalian tahu aku takkan pernah
membunuh lagi. Betul, kan" Betul, kan?"
Seminggu kemudian, Sandy membunuh lagi.
Chapter 13 SANDY membunuh lagi. Namun kali ini pembunuhan itu
terjadi dalam mimpiku. Dalam mimpi itu, aku dan Hillary sedang berlari-lari melewati
lapangan hijau yang tak ada ujungnya. Kemudian, tiba-tiba saja kami
sudah bermain skating. Meluncur di lapangan itu, makin cepat dan
makin cepat, tubuh kami ditiup angin kencang yang membuat rambut
dan sweter kami berkibaran.
Aku ingat waktu itu aku berpikir, betapa anehnya kami bisa
bermain skating dengan sangat baik di atas rumput. Lalu dalam mimpi
itu, langit menjadi gelap. Rerumputan berubah menjadi biru, lalu
hitam, bersamaan dengan bayang-bayang gelap menghampiri kami.
Kami berlari lagi. Lari dengan ketakutan sekarang. Aku tak tahu
apa yang kami takuti - sampai aku melihat Sandy melangkah keluar
dari balik pepohonan. Ia mengangkat tangannya. Ia memegang dua Rollerblades yang
diikat menjadi satu. Dengan sekali sentak diputuskannya tali yang mengikat kedua
skate itu. Bunyinya sangat menyeramkan.
Aku tahu Sandy sedang bersiap-siap untuk menjerat aku dan
Hillary dengan tali itu. Ia akan menjerat leher kami sampai kami tak dapat
bernapas lagi. Tapi walau, bagaimana kami tetap lari menghampirinya. Seolah
bekerja sama dengannya. Seolah membantunya membunuh kami.
Kami berlari menghampiri Sandy. Ia menyentakkan tali itu lagi.
Dan aku terbangun. Bermandikan keringat. Baju tidurku
melekat pada kulitku. Sambil mengerjap-ngerjapkan mataku dengan waspada, aku
mendengar bunyi set set set tali disentakkan.
Lama-lama aku sadar, bunyi itu berasal dari kerai yang
diempaskan angin dan menampar-nampar bingkai jendela kamarku.
Aku bergidik. Membayangkan Sandy. Sandy yang pendek
gemuk dengan wajah bulat kekanak-kanakan.
Sekarang ia berubah menjadi jahat. Sosok berbahaya yang
menakut-nakutiku dalam mimpi.
Aku melihat radio jam di atas meja kecil di samping ranjangku.
Baru pukul enam seperempat. Langit di luar jendela masih kelabu.
Kuturunkan kakiku ke lantai dan aku mulai turun dari ranjang.
Aku tahu aku tidak dapat tidur lagi. Aku tak ingin tidur lagi. Aku tak ingin
bermimpi lagi. Mimpi itu kuceritakan pada Hillary setelah latihan wisuda sore
harinya. Latihan wisuda! Percaya nggak"
Jumlah murid kelas dua belas di Shadyside High hampir tiga
ratus. Dan kukira, tak ada satu pun dari kami yang percaya bahwa
kami akan lulus beberapa minggu lagi.
Pada latihan itu, kami semua bertingkah seakan wisuda itu
lelucon yang menggelikan sekali. Kami bercanda dan saling ejek,
sehingga acara yang mestinya serius itu, jadi mirip pasar malam!
Mr. Hernandez berseru di tengah-tengah keriuhan itu, tapi
suaranya tidak berhasil meredakan kami. Akhirnya, Ricky Shore naik
ke panggung dan mengambil mikrofon, lalu berteriak dengan suaranya
yang menggelegar, "Mari kita menyiapkan diri untuk rrrrribut!"
Kami semua tertawa. Namun berangsur-angsur suasana menjadi
tenang. Kepala Sekolah mengucapkan terima kasih pada Ricky atas
bantuannya, menyuruhnya turun dari panggung, dan mulai
memberitahu kami apa yang harus kami lakukan.
Tentu saja, kami semua menyanyikan lagu almamater
Shadyside High dengan suara sumbang, melolong-lolong seperti
anjing, dan tertawa-tawa di tengah-tengah. Lalu beberapa anggota tim football
mulai saling menghadang ketika tiba waktunya untuk
berbaris. Tawa dan teriakan kami semakin riuh.
Kupikir tingkah kami lebih mirip murid taman kanak-kanak
daripada murid kelas tertinggi high school. Tapi menurutku, salah satu
penyebabnya adalah karena sebagian besar dari kami sebenarnya tidak
ingin lulus. Kami tidak ingin meninggalkan Shadyside High. Inilah rumah
kami selama empat tahun. Kami telah mengalami hal-hal yang indah
di sini. Dan kami tahu setelah kami lulus, kami takkan bisa berkumpul lagi
seperti ini untuk selama-lamanya.
Latihan itu baru selesai pada pukul delapan lewat. Semua orang
beranjak meninggalkan auditorium, murid-murid membawa ransel
masing-masing, bersiap-siap pulang dan mengerjakan PR. Meskipun
kami hampir keluar dari sekolah ini, kami masih harus menyerahkan
makalah-makalah dan menempuh ujian akhir.
Kulirik Vincent di seberang di dekat panggung. Ia sedang
bergaya di depan sekelompok cewek. Entah tarian apa yang sedang
diperagakannya; ia menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya sambil
mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Cewek-cewek itu tertawa-tawa dan menggeleng-geleng. Salah
satu dari mereka mencoba menari dengan Vincent, tapi tidak dapat
mengikuti gerakannya. Semua orang menyukai Vincent, karena dia
memang sangat menarik. Tapi kenapa dia tak pernah ingin menari dengan aku"
Kuangkat ranselku dan kukejar Hillary di depan panggung.
"Tunggu! Kenapa buru-buru sih?" panggilku.
Hillary melepaskan kepang rambutnya yang terjepit tali ransel.
"Di dalam sini panas sekali," keluhnya. "Dan aku nggak mengira latihannya akan
begini lama. Aku masih punya PR Prancis seabrek."
Hillary menyipitkan matanya memandangku. Ia menjumput
sehelai benang dari blus rajutku. "Kenapa kau kelihatan capek sekali, Julie?"
"Tidurku kurang nyenyak semalam," sahutku. Aku kaget juga
ternyata akibatnya kelihatan. Waktu itulah kuceritakan pada Hillary
mimpiku tentang Sandy dan bunyi tamparan kerai itu.
Hillary bergidik. "Aku juga tak bisa berhenti memikirkannya,"
ia mengakui. "Maksudku, setiap kali bertemu dengan Sandy sekarang, aku merasa
tidak enak. Perutku jadi mulas."
"Aku mengerti," sahutku, kurapatkan punggungku ke panggung supaya beberapa anak
bisa lewat. "Tiap kali melihatnya aku pun
berpikir, 'Kau bukan Sandy lagi. Kau pembunuh. Kau bukan cowok
yang biasanya kukenal, yang biasanya kusukai.'"
"Aku... aku merasa sangat nggak enak," Hillary tergagap,
"karena dipikirnya dia berbuat begitu untuk aku. Dikiranya aku ingin Al mati."
Ia mengembuskan napas. "Tadinya kukira kita mengenal Sandy. Tapi bagaimana
mungkin orang yang kita kenal begitu baik
menjadi... pembunuh?"
Aku pun tak dapat menjawab pertanyaan itu. "Sekarang aku
sependapat denganmu," kataku. "Maksudku, tentang pengakuannya pada kita. Semula,
kupikir nggak apa-apa. Tapi sekarang aku
menyesal dia memberitahu kita."
"Rahasia itu seakan-akan bercokol di dalam diriku," kata
Hillary. "Lalu tumbuh... membesar. Dan terus mendesak-desak ingin keluar. Sandy
sungguh nggak adil. Dia nggak boleh membuat kita jadi
begini." "Dan sekarang dia datang ke latihan wisuda, bercanda dan
mengobrol dengan semua orang seakan tak terjadi apa-apa. Kalau dia
saja bisa melupakannya, kenapa kita nggak?"
Hillary mulai menjawab, tapi mendadak berhenti. Mulutnya
ternganga. Ada bayangan di atas kami.
Ada orang yang berdiri di atas kami di panggung. Aku
menyadarinya pada saat yang bersamaan dengan Hillary.
Aku berbalik. Mengangkat wajahku.
Dan melihat Taylor. Ia setengah tersembunyi di balik tirai yang berat itu. Dan ia
dengan cepat menyelinap pergi ketika aku berbalik.
Taylor. Aku dan Hillary bertukar pandang. Aku tahu kami punya
pertanyaan yang sama dalam benak kami masing-masing:
Sudah berapa lama Taylor berdiri di sana" Apa yang
didengarnya" Apakah dia mendengar semua pembicaraan kami tentang
Sandy" Apakah dia akan menceritakannya pada Sandy"
Perlahan-lahan rasa dingin menjalari punggungku.
Jika dia memberitahu Sandy, apa yang akan dilakukan Sandy
terhadap kami" Chapter 14 "TERUS terang, aku takut pada Sandy sekarang," kataku pada Hillary. "Aku takut
membayangkan apa yang dipikirkannya. Apa yang mungkin diperbuatnya."
Kami sedang menelusuri Park Drive, berjalan kaki menuju ke
rumah kami. Aku tidak mau menunggu bus yang hanya datang setiap
setengah jam pada malam hari begini. Dan aku sudah tidak sabar
untuk meninggalkan sekolah.
"Bagaimana dia dapat tidur pada malam hari?" tanyaku.
"Bagaimana dia bisa mengucapkan selamat pagi pada ayah dan
ibunya, mengingat apa yang sudah dilakukannya" Bagaimana dia bisa
datang ke sekolah dan berkumpul dengan anak-anak" Bagaimana dia
bisa berkonsentrasi pada tugasnya" Seandainya aku... seandainya aku
membunuh seseorang, aku takkan sanggup melakukan apa pun.
Hidupku akan berakhir."
"Aku paham maksudmu," kata Hillary, sambil membetulkan
letak ransel di pundaknya. "Sulit sekali percaya padanya sekarang.
Sulit sekali menganggapnya sebagai teman. Karena ada bagian dirinya
yang penuh rahasia, yang tidak kita kenal. Bagian dirinya yang dingin dan
keras... yang betul-betul mengerikan."
Kami berjalan dalam keheningan sejenak. Sepatu Doc Martens
kami berdetak pelan di trotoar. Sebuah mobil yang lampu depannya
hanya menyala sebelah, lewat. Dedaunan yang baru tumbuh di pohon-
pohon bergemeresik ditiup angin sepoi yang hangat. Bulan sabit
tergantung rendah di atas rumah-rumah di depan kami.
Kuperhatikan semuanya itu. Aku jadi super-waspada. Semua
indraku sepertinya sedang bekerja keras.
"Kita tak bisa menjadi temannya lagi," kata Hillary sedemikian pelan hingga
kupikir ia sedang bicara pada diri sendiri. "Maksudku, keadaannya tak bakal bisa
seperti dulu lagi. Bagi kita semua."
Aku menggeleng. "Kalau Taylor mengadukan omongan kita
tadi pada Sandy, Sandy juga takkan ingin menjadi teman kita."
Kami menyeberang jalan dan melangkah ke tempat gelap. Dua
lampu jalan padam. Halaman depan rumah-rumah yang kami lewati
diselimuti kegelapan. Aku tak tahu persis kapan aku tersadar bahwa kami sedang
diikuti.
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mungkin ketika aku dan Hillary berhenti di belokan. Aku
mendengar gesekan sepatu di trotoar di belakang kami.
Waktu itu aku tidak memperhatikannya. Tapi gesekan itu
kemudian terdengar lagi, saat kami sedang berdiri dengan ragu-ragu
menatap kegelapan yang terbentang di blok di depan kami. Aku juga
menangkap bunyi gemeresik pagar tanaman.
Dan aku tahu ada orang di belakang kami. Ada orang yang
sedang mengawasi kami. Ketika kami melewati tanah kosong yang diselimuti kegelapan
pekat, aku memegang lengan Hillary. Memberinya isyarat supaya
berhenti. "Ada orang di belakang sana," bisikku. "Ada orang mengikuti kita."
"Aku tahu," Hillary balas berbisik.
Aku mendengar pagar tanaman bergemeresik lagi. Detak pelan
sepatu mengenai tanah. Aku dapat merasakan otot lengan Hillary menegang. Kulihat
rahangnya terkatup. Kami berdua memutar badan dengan cepat. Dan ternganga
keheranan. Chapter 15 TERNYATA tidak ada siapa-siapa.
Angin menggoyang-goyangkan pagar tanaman yang tinggi di
tikungan. Sesuatu makhluk mungil - mengendap-endap pelan
menyeberangi jalan. Tupai" Tikus"
Aku dan Hillary terpaku di tempat, terpana menatap tikungan
itu. Aku menahan napas. Dan pasang telinga.
Barangkali ada detak sepatu yang lain. Barangkali ada bunyi
tarikan napas, batuk, desahan.
Tapi aku hanya mendengar gemeresik dedaunan. Dan lengking
nyaring sirene ambulans di kejauhan.
Aku dan Hillary tertawa terbahak-bahak. Tawa lega.
"Apa kita berdua sudah paranoid?" seruku. "Tidak ada apa-apa tapi ketakutan
sendiri?" "Sinting," Hillary menimpali. "Kita benar-benar sinting."
"Maksudku, buat apa orang membuntuti kita?" lanjutku. "Masa sih kita sampai
berpikir ke situ?" Sekali lagi aku mengamati pagar tanaman. Di baliknya
terhampar rerumputan. Tak ada apa-apa yang mencurigakan. Aku
berbelok dan berjalan mendahului Hillary, memasuki blok berikutnya.
"Yuk belajar di rumahku saja," kataku pada Hillary. "Kita bisa mengerjakan PR
Prancis itu bersama-sama. Pasti lebih cepat kalau
dikerjakan berdua." Aku masih merasa tegang dan ketakutan. Aku perlu teman.
Hillary ragu-ragu sejenak sebelum menerima ajakanku. "Aku
tak bisa lama-lama, Julie. Dan kau harus janji."
"Janji apa?" tanyaku.
"Kita tak akan membicarakan Sandy dan Al lagi."
"Oke, aku janji," sahutku cepat-cepat. Janji yang tidak bisa kutepati.
Saat kami berbelok ke Fear Street, rumahku sudah kelihatan.
Kemudian tampak olehku mobil polisi bercat hitam-putih di jalan
masuk rumahku. Dan kulihat seorang polisi berjalan pelan menuju ke
pintu depan rumahku. "Mereka mau apa lagi?" seruku jengkel, gelombang rasa takut menyerbuku. "Kenapa
mereka menggangguku terus?"
"Mungkin kita akan segera tahu kenapa," sahut Hillary lirih.
*************************
Aku rasanya kepingin berbalik, lari sebelum polisi itu
melihatku. Tapi tentu saja itu tak dapat kulakukan. Aku dan Hillary
terus melangkah maju ke halaman depan, dan mendekati polisi itu
pada saat tangannya terulur akan memencet bel.
Aku mengenalinya. Officer Reed.
"Orangtua saya tidak ada di rumah!" kataku. Itu bohong. Dusta itu keluar begitu
saja dari mulutku. Aku ingin polisi ini pergi. Aku tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaannya lagi.
Officer Reed menoleh ke arah kami. Kepalanya yang botak
memantulkan sinar lampu teras. Ia memakai seragam polisi berwarna
biru, celananya berkerut-kerut, jasnya kusut dan ada noda pada bagian sikunya.
Perawakannya ternyata lebih besar daripada yang kuingat.
Jasnya terlihat sempit di bagian perut. Dasi hitamnya terkulai miring.
Salah satu tangannya memegangi topi seragamnya.
Sekilas aku melihat pistol yang terselip di pinggangnya, dalam
sebuah sarung cokelat. Aku bertanya-tanya apakah polisi ini pernah
menembak orang. "Aku bermaksud mencarimu," katanya padaku, sesudah
mengangguk pada Hillary. "Ada beberapa pertanyaan lagi."
"Orangtua saya tak ada di rumah, jadi rasanya saya tidak bisa
menjawabnya." Pergilah, menyingkirlah dari sini.
"Memang seharusnya aku tak boleh bicara denganmu kalau
orangtuamu tak ada," lanjutnya.
Matanya mengedip-ngedip. Bibirnya yang kering mengerut.
Sekonyong-konyong pintu depan terbuka. Ibuku menjulurkan
kepalanya ke luar. "Rasanya aku mendengar ada orang," katanya, sambil
mengarahkan pandangannya ke teras yang diterangi lampu
kuning. Begitu melihat Officer Reed, ekspresi Mom langsung berubah
was-was. "Ada masalah apa" Julie dan Hillary...?"
"Saya datang hanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan,
Mrs. Carlson," jawab Officer Reed, sambil menyipitkan matanya ke arahku. "Ada
beberapa hal yang perlu saya tanyakan pada Julie, jika tak mengganggu. Saya
jamin ini cuma butuh waktu sebentar."
Ibuku melangkah mundur supaya kami bisa masuk. Ia sedang
memegang sebuah buku. Novel Stephen King.
Bagaimana Mom bisa membaca buku horor untuk hiburan di
saat hidupku sengeri kisah dalam novel itu" pikirku.
Kami duduk di ruang tamu. Mom duduk di kursi di depan
jendela. Ia meletakkan novel itu di pangkuannya lalu melipat
tangannya di atas buku itu.
Aku dan Hillary duduk di sofa. Officer Reed menarik pensil dan
buku catatan kecil dari saku kemejanya. Kemudian, sambil
menggumam tak jelas, ia menurunkan badannya yang besar ke bangku
tanpa sandaran di depan kami.
"Anda sudah mendapatkan kemajuan?" tanya Mom pada polisi
itu. "Maksud saya, dalam kasus ini."
Polisi itu duduk membelakangi Mom. Ia menolehkan
kepalanya. "Sedikit, saya kira."
Kata-kata itu menghunjamkan rasa takut yang mencekam ke
dadaku. Apakah dia mencurigai Sandy" Apakah polisi sudah hampir
berhasil memecahkan kasus pembunuhan Al"
Officer Reed berpaling padaku. Tiba-tiba tanganku terasa
dingin dan kaku. Kuselipkan tanganku ke bawah bantal sofa supaya
hangat. "Julie, di luar tadi aku mendapat kesan bahwa kau tak ingin
bicara denganku," katanya.
"Hah?" Aku tidak menyangka ia akan berkata demikian.
Matanya terpusat padaku, ia menunggu aku memberikan
jawaban yang lebih baik. "Apakah ada alasan mengapa kau ingin
menghindariku?" "Tidak," sahutku, jantungku berdetak kencang. "Cuma... yah...
tak enak rasanya diingatkan terus pada kejadian itu."
Officer Reed mengangguk. Matanya tidak beralih dari wajahku.
"Kau sudah masuk sekolah kembali tadi. Mungkin teman-temanmu
membicarakan pembunuhan itu. Mungkin kau mendengar gosip-
gosip?" Ia menunggu aku menjawab, namun aku tidak tahu harus
menjawab apa. "Apakah kau mendengar gosip-gosip, Julie?" tanyanya lagi.
"Gosip apa saja yang mungkin perlu kuketahui?"
"Dengar, Officer Reed, lupakan soal gosip. Anda tak perlu
repot-repot mengadakan penyelidikan. Saya akan memberitahu Anda.
Pembunuh Al adalah teman sekelas saya yang bernama Sandy Miller.
Dia mengakui perbuatannya pada kami minggu lalu."
Chapter 16 ITULAH yang ingin kukatakan.
Itulah yang sungguh mati ingin kukatakan!
Kata-kata itu siap meluncur keluar dari mulutku, mengalir
dengan lancar dan jernih.
Aku akan merasa jauh lebih enak jika aku sudah
mengatakannya. Segala hal yang membebani pikiranku akan hilang.
Semua kengerian itu. Semua kecemasan itu. Semua mimpi buruk itu.
Tapi sanggupkah aku mengkhianati Sandy" Tidak.
Sandy mempercayai kami. Sandy mempercayakan rahasianya
yang paling mengerikan pada kami. Padaku.
Meskipun aku merasa tidak keruan, takut, bingung... aku tak
dapat mengkhianati Sandy. Meskipun ada begitu banyak kata yang
nyaris terlontar dari bibirku, aku tak dapat mengatakannya. Aku harus menelannya
kembali, menahannya. Aku melirik Hillary yang duduk di ujung sofa. Aku dapat
melihat dari ekspresinya bahwa ia sedang membaca pikiranku.
Dan aku tahu Hillary mempunyai keinginan yang sama.
Keinginannya bahkan lebih besar daripada aku.
Hillary sangat marah pada Sandy. Aku tahu ia benar-benar ingin
melaporkan Sandy. Hillary-lah yang paling marah ketika Sandy mengaku pada
kami. Sejak semula, ia tidak suka Sandy melibatkan kami.
Kulihat Hillary dengan gelisah memain-mainkan kepang
rambutnya yang panjang. Sebelah tangannya meluncur naik-turun di
sepanjang kepang itu. Tangannya yang lain mengetuk-ngetuk lengan
sofa dengan pelan. Hillary takkan mengatakannya, aku tahu.
Dan begitu juga aku. Officer Reed memajukan badannya. "Kau pasti sudah
mendengar omongan orang," desaknya. "Teman-teman sekelasmu -
mereka pasti sudah punya dugaan siapa yang membunuh Al Freed."
Aku menggelengkan kepalaku. "Semua anak sangat bingung,"
kataku. "Maksud saya, tak seorang pun percaya. Peristiwa itu begitu tak masuk
akal." "Anak-anak tak begitu sering membicarakannya," sela Hillary.
Suaranya terdengar tegang dan kaku. "Ini sangat mengerikan. Kami semua bicara
soal wisuda dan tetek-bengeknya. Saya kira kami semua
ingin melupakan, menghapus semua kejadian itu dari pikiran kami."
"Dia betul," cepat-cepat aku menyetujuinya. Hillary pandai sekali. Ia selalu
dapat memilih kata-kata yang tepat untuk
mengutarakan sesuatu. "Ini seharusnya waktu yang membahagiakan
bagi kami. Bagi kami yang duduk di kelas dua belas, maksud saya.
Anak-anak tak ingin diingatkan pada peristiwa mengerikan itu. Itulah sebabnya
saya bersikap agak tidak senang melihat Anda di depan
tadi." Officer Reed mengangguk dengan muram. Ia menggosok-gosok
dahinya yang lebar, kemudian mengalihkan pandangannya ke
catatannya. "Aku akan menyebutkan beberapa nama. Barangkali ada yang kaukenal."
Pelan-pelan ia membacakan nama enam atau tujuh cowok. Tak
satu pun dari mereka bersekolah di Shadyside High. Aku dan Hillary
belum pernah mendengar nama-nama itu.
"Apakah itu teman-teman Al dari Waynes-bridge?" tanyaku.
Officer Reed menyelipkan buku catatannya ke saku kemejanya.
"Ya. Tapi tidak semuanya."
"Dia tak pernah mengajak mereka kemari," kataku. "Dia biasanya keluyuran dengan
mereka di Waynesbridge."
"Aku tahu." Polisi itu bangkit berdiri. "Cukup sekian saja sekarang," katanya.
"Maaf aku telah menyita waktumu." Ia mengangguk pada ibuku, yang masih duduk di
dekat jendela. "Maaf kami tak dapat membantu," kataku, sambil
mengantarkannya ke pintu. "Kalau saya mendengar sesuatu..."
"Tolong telepon," katanya. "Selamat malam, semuanya." Ia melangkah keluar pintu.
Aku menunggu di pintu sampai polisi itu menaiki mobilnya.
Aku merasa sangat lega. Lega karena akhirnya ia pergi. Lega karena
aku telah berhasil mengendalikan keinginanku untuk mengungkapkan
rahasia itu, memberitahukan semua yang kuketahui.
Pintu mobil polisi itu dibanting menutup. Lampu depannya
menyala. Beberapa saat kemudian, mobil itu mulai meluncur pelan.
Begitu mobil itu sudah tak tampak lagi, kututup pintu. Saat
melangkah kembali ke ruang tamu, kurasakan detak jantungku sudah
melambat kembali ke irama normal, tanganku terasa hangat lagi.
"Semoga dia segera menemukan pembunuhnya," kata Mom
sambil menggigit bibir bawahnya.
"Aku juga berharap begitu," kataku membeo.
Mom berdiri. Diacungkannya novel di tangannya. "Aku akan ke
atas untuk meneruskan membaca. Aku tak bisa berhenti membaca
buku ini, meskipun aku ketakutan setengah mati." Mom mengucapkan selamat malam
pada Hillary, lalu naik ke kamarnya.
Aku menunggu sampai ibuku sudah tiba di atas. Kemudian aku
berbisik pada Hillary, "Apakah kau tadi memikirkan hal yang sama denganku?"
"Maksudmu tentang mengatakan pada polisi apa yang kita
ketahui?" Aku mengangguk. "Tadi sudah ada di ujung li... "
Aku berhenti karena melihat sesuatu berkelebat melewati
jendela ruang tamu. Hanya sesosok bayangan. Melesat tiba-tiba. Di
halaman di luar. Lampu kumatikan. Lalu, dalam kegelapan total, aku melangkah
ke dekat jendela - dan melihat dia. Melihatnya dengan jelas.
Sandy. "Ohhh." Aku mengeluh pelan dan menyuruh Hillary mendekat.
Kami berdua menangkupkan kedua tangan kami ke dekat mata agar
dapat melihat lebih jelas.
"Itu Sandy," bisikku. "Sembunyi d i balik pohon itu."
"Orang yang tadi mengikuti kita!" Hillary berseru pelan.
"Apa yang dilakukannya di luar sana?" tanyaku. "Apa dia mengira kita
mengadukannya pada Officer Reed" Apa dia mengira
kita berbalik memusuhinya?"
Hillary tidak menjawab. Kami berdua mengawasi Sandy. Dia bersembunyi di balik
batang pohon besar, cahaya bulan jatuh ke tanah di depannya, wajah
Sandy nyaris tersembunyi di dalam bayang-bayang biru.
"Dia... dia mengerikan sekali," bisik Hillary.
"Kenapa dia cuma berdiri di sana?" tanyaku heran. "Apakah dia mencoba menakut-
nakuti kita" Apa yang sedang dilakukannya di luar
sana" Apa?" Chapter 17 KAMI berlari ke pintu. Kami memanggil Sandy.
"Sandy! Sandy!" Aku menjulurkan badan ke luar, meneriakkan namanya.
Sandy tidak menyahut. Aku melihat dia mundur lebih jauh ke dalam bayang-bayang
gelap itu. "Di mana dia?" bisik Hillary. "Dia lagi ngapain?" Suara Hillary bergetar. Kukira
dia takut. Takut pada Sandy. Aku juga. Tiba-tiba kami takut pada teman
lama kami. Tingkah teman lama kami itu aneh sekali. Mencoba
menakut-nakuti kami.
Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia ke sana," sahutku berbisik.
Kami berdua melihatnya. Sandy sedang merunduk-runduk,
menempelkan badannya ke pagar tanaman, berlari menjauhi blok ini.
Aku dan Hillary memperhatikan Sandy hingga ia lenyap di
balik pagar tanaman. Aku bergidik ketika menutup pintu.
Mengapa dia berbuat begitu" Mengapa dia mengikuti kami"
Apa yang diinginkannya" "Aneh," gumamku. "Sungguh aneh."
Aku tidak tahu bahwa ini baru awalnya. Dua hari kemudian,
Sandy kembali membuatku takut.
********************** Waktu itu sekolah baru saja bubar. Aku melewati ruang
olahraga yang kedua pintunya terbuka. Kudengar namaku dipanggil-
panggil. Di ruang olahraga itu beberapa cowok sedang main basket -
saling mengoperkan bola, mendribel, dan menembakkannya ke ring.
"Hei, Julie... apa kabar?" teriak Vincent.
Di sebelah Vincent, Sandy meloncat, mencoba melakukan slam
dunk - dan gagal. Terdengar tawa riuh. Kulihat Sandy cemberut.
Seorang cowok lain mengejar bola. Namun Sandy menduluinya dan
merebut bola itu. "Kami cuma iseng main-main," kata Vincent. "Tunggulah dan kita bisa pulang
bareng-bareng." Jantungku berdegup kencang. Vincent ingin pulang bersamaku"
Apakah dia mulai menangkap sinyal-sinyal yang kukirimkan"
Mungkin dia cuma berniat meminjam catatan sejarahku, pikirku
sambil mendesah. Tapi kuturunkan ranselku dan aku bersandar pada
dinding, menonton mereka main.
Semua cowok itu tampaknya memang hanya iseng. Mereka
mendribel dan menembakkan bola, asal-asalan, hampir semuanya
meleset. Tak seorang pun kelihatan serius - kecuali Sandy.
Beberapa saat kemudian, Sandy dan Vincent berebut bola.
Vincent mengatakan sesuatu pada Sandy. Aku tak dapat mendengar
perkataannya. Sandy berhenti mendribel. Didorongnya Vincent kuat-kuat
dengan kedua tangannya. Mulut Vincent ternganga karena terkejut. "Hei... aku cuma
bercanda!" protesnya pada Sandy.
Sandy cemberut dan kembali mendribel bola. Vincent mengejar
Sandy. Ditubruknya Sandy dari belakang. Masih juga bercanda,
pikirku. Sandy berteriak memaki-maki ketika Vincent merebut bola
darinya. Beberapa cowok lain tertawa. "Dasar bego!" teriak salah satu cowok pada Sandy.
"Dasar kikuk!" teriak cowok lainnya.
Sandy tidak tertawa. Wajahnya berubah menjadi merah padam.
Napasku tertahan. Tiba-tiba ia kelihatan menyeramkan.
Kurasa Vincent tidak menyadari betapa marahnya Sandy.
Vincent memutar badannya dan dengan bergurau mempermainkan
bola itu di depan muka Sandy. Didekatkannya bola itu ke Sandy, lalu
ditariknya menjauh kembali.
Aku tersentak ketika Sandy menjerit keras sekali.
Kemarahannya memuncak. Tak terkendali sama sekali.
Sambil memaki-maki lagi, ia merebut bola dari tangan Vincent.
Kulihat Vincent terperangah. Dia mulai mundur.
Dan Sandy melemparkan bola itu sekuat tenaga pada Vincent.
"Jangaaaan!" teriakku ngeri sambil berlari ke lapangan.
Vincent mengerang dan jatuh berlutut. Napasnya tersengal-
sengal. Wajahnya menjadi ungu.
Ia tersungkur ke lantai. Aku membungkuk di sampingnya,
kuguncang-guncang tubuhnya sambil memanggil-manggil namanya.
Anak-anak lainnya semuanya berkerumun. Semua kecuali
Sandy. Sekilas kulihat ia mengendap-endap pergi, mukanya masih
merah padam, dan ia juga masih menggerutu. Ia tidak menoleh lagi.
Vincent mengerang. Matanya mengerjap-ngerjap.
Bola itu telah membuatnya sesak napas. Tapi ia tidak terluka.
Vincent mengerjap-ngerjapkan mata lagi, memandang
sekeliling. Pasti mencari Sandy, pikirku. "Gila, teman kok begitu!"
gumam Vincent sambil menggeleng-geleng. "Teman apaan tuh!"
Sandy bukan teman kami lagi, pikirku dengan getir. Kutolong
Vincent bangun. Sandy adalah musuh kami. **************************
Malam Minggu, aku dan Hillary mempunyai rencana akan
nonton film baru Keanu Reeves di mal. Kutelepon Vincent kalau-
kalau ia mau ikut. "Aku janjian ketemu dengan Hillary di mal. Kami akan nonton
pertunjukan jam delapan.. Kau mau ikut?"
Ayolah ikut, kataku dalam hati.
Aku membutuhkan seseorang yang dapat menghiburku.
Aku membutuhkanmu untuk menghiburku.
"Aku nggak bisa," sahut Vincent. "Orangtuaku payah sih. Aku masih setengah
dihukum," "Setengah dihukum?" tanyaku.
"Ya. Aku boleh keluar atau nggak, tergantung suasana hati
mereka." Ia mengeluh kesal. "Tapi malam ini aku nggak mau repot-repot minta
izin. Nggak bakal dikasih. Mereka lagi bertengkar."
"Oh." Aku tak dapat menyembunyikan kekecewaanku. "Yah, aku harus bergegas. Aku
sudah terlambat. Mungkin nanti aku akan
meneleponmu lagi." "Ya. Oke. Sampai nanti." Ia terdengar begitu tertekan.
Aku masih memikirkan Vincent ketika aku melarikan mobilku
ke gedung bioskop. Aku mengenang saat-saat indah pada awal tahun
ajaran ini. Ketika itu kelompok kami masih kompak. Tak dinyana saat
kami akan lulus, semuanya jadi berantakan begini.
Biasanya pada malam Minggu, aku dan Hillary menelepon
Sandy dan Taylor. Kami janjian ketemu mereka di bioskop. Atau di
tempat lain. Pokoknya asal kami bisa ngumpul.
Tapi sekarang kami tidak ingin bertemu dengan mereka.
Sebenarnya Taylor tidak bersalah. Kami tidak bermusuhan
dengannya. Tapi karena ia selalu bersama Sandy, ya kami juga
terpaksa menghindarinya. Sebab Sandy adalah pembunuh.
Pembunuh. Pembunuh. Pembunuh.
Sambil mengemudi, aku terus mengulang-ulang kata itu dalam
benakku, sehingga kedelapan huruf itu akhirnya menjadi kata kosong
belaka. Sama sekali tak ada artinya.
Pembunuh. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa kata ini akan kugunakan
dalam kehidupan nyata. Kata itu ada dalam surat kabar, acara TV.
Bukan dalam hidupku. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat, aku berusaha menyingkirkan
kata itu dari kepalaku. Lalu lintas di Division Street semrawut. Jalan itu
biasanya memang macet pada malam Minggu, tapi malam ini ada
van yang mogok di persimpangan, membuat arus lalu lintas tersendat
sepanjang ratusan meter. Aku sampai di mal sekitar pukul delapan kurang semenit. Aku
harus berputar dua kali sebelum akhirnya menemukan tempat parkir di
dekat gedung bioskop. Lalu aku berlari dengan kecepatan penuh
melintasi tempat parkir itu untuk menemui Hillary.
Hillary sedang berdiri menungguku di samping loket karcis. Ia
mengenakan T-shirt dan rompi kulit berwarna merah serta jins hitam
yang longgar. "Sori," kataku tersengal-sengal sambil bergegas menghampirinya.
Lobi itu hampir kosong. Semua penonton sudah
masuk. "Tiketnya sudah kubelikan," kata Hillary, sambil melangkah ke pintu teater. Ia
menyodorkan tiketku. "Pertunjukannya baru saja akan dimulai. Kita nggak
ketinggalan kok." "Duduklah di depan," kataku. "Aku akan menyusul ke sana.
Aku mau ke toilet dulu."
Hillary meneruskan langkahnya. Aku berbalik dan berlari-lari
kecil melintasi karpet merah yang tebal menuju ke WC wanita.
Kuselipkan tiketku ke saku jinsku, kutarik p intu toilet membuka. Aku melangkah
masuk. Dan bertabrakan dengan Taylor.
Chapter 18 "OH!" Kami sama-sama menjerit kaget.
Lalu kami sama-sama langsung berkata, "Aku nggak tahu ada
kau!" "Aku baru saja memikirkanmu!"
"Kau duduk di mana?"
"Di belakang. Sebelah pinggir."
"Hillary nonton juga."
Taylor kelihatan cantik sekali. Rambutnya yang pirang-putih
disisir lurus ke belakang, diikat dengan ikat rambut biru terang yang serasi
dengan blusnya. Bibirnya yang penuh dipoles dengan lipstik
merah tua. Sangat menarik dan seksi.
Aku senang melihatnya. Tapi perasaan itu hanya sekejap.
Pikiran-pikiran burukku tentang Sandy menghapus semua rasa
senangku pada Taylor. Kulihat ekspresi Taylor berubah juga. Mata hijaunya menjadi
dingin. "Aku dan Sandy jarang sekali ketemu dengan kalian akhirakhir ini,"
katanya datar. Kuselipkan tanganku ke dalam saku jinsku. "Yah, kau kan
tahu," aku tergagap. "Kami sibuk dengan wisuda dan tetek-
bengeknya." Lemah. Alasan yang lemah sekali.
"Aku dan Sandy juga akan diwisuda," balas Taylor tajam.
"Ehm... sebaiknya kita masuk," kataku, sambil berjalan ke
pintu. "Filmnya... aku nggak mau ketinggalan awalnya. Susah bagiku untuk
mengikuti lanjutannya bila aku sudah terlambat."
Taylor masih menatapku lekat-lekat. Ia tidak bergerak. "Kukira
kau dan Sandy teman dekat," katanya.
"Dulu memang," sahutku. "Maksudku... memang begitu!" Aku merasa pipiku panas.
Wajahku pasti merah padam. "Tapi sekarang aku sangat sibuk dan..."
Hotel Bertram 3 Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Hina Kelana 36