Pesta Halloween 1
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party Bagian 1
Chapter 1 Scan/edit teks by http://ebukulawas.blogspot.com
NISAN itu menjulang kelabu di bawah sorot sinar bulan,
tepiannya aus tak rata. Lapisan lumut tebal menutupi kata-kata yang
terukir di permukaannya - yang terlihat hanya baris terakhir.
Meninggal 31 Oktober 1884
Terry Rian mencoba melangkah cepat melewati monumen kuno
itu, tapi pacarnya, Niki Meyer, menarik tangannya, mengajaknya
berhenti. "Lihat, Terry," kata gadis itu. "Penghuni kuburan ini meninggal persis
hari ini, lebih dari seratus tahun lalu."
Niki melangkah lebih dekat, senternya memancarkan lengkung
sinar kuning suram di atas batu nisan. Terry merapatkan jaketnya.
Angin melolong-lolong, terdengar seperti ratapan makhluk yang sudah
lama mati. Di suatu tempat ada benda yang menggesek, dan berderak,
di atas batu. Aku tak percaya sedang berdiri di tengah makam Fear Street
malam-malam begini, pikir Terry. Ia kembali memegang tangan Niki
dan menekannya pelan. Gadis itu menoleh menatapnya, matanya yang
gelap indah berkilauan penuh semangat. Dalam gaun merah dan
mantel tudung hitam, ia tampak seperti putri abad pertengahan.
"Siapa ya, mereka?" gumamnya, menunjuk ke arah deretan
nisan tua di sekeliling mereka.
"Generasi awal Shadyside, mungkin," jawab Terry. "Sudah bertahun-tahun tak ada
yang dikubur di sini."
"Di sini seram," tukas Niki. "Tapi juga agak indah. Menurutmu apa sumber semua
cerita itu, tentang mayat hidup yang keluar dari
kuburan mereka?" "Cuma cerita," komentar Terry. "Ayo. Jalan lagi."
Angin bertiup kencang, dan Terry melihat tubuh Niki menggigil
di balik mantel. Mereka mulai berjalan lagi, dan Terry membuka jalan di tengah
rumput liar yang tumbuh subur di antara deretan nisan.
Gemeresik rerumputan mengikuti tiap langkah mereka - seperti derak
tulang patah. Di atas mereka angin memekik-mekik, mengguncang
sebuah dahan pohon. Terry melirik Niki. Mata gadis itu berkilau
penuh semangat. Angin yang melolong-lolong tak mengganggu Niki, pikir Terry.
Niki sudah hampir tuli total sejak mengalami kecelakaan di kelas dua.
Tapi ia berbicara begitu jelas, dan begitu lancar membaca bibir,
sehingga sebagian besar orang tak menyadari ia cacat.
Niki sendiri tak pernah bersikap seolah ia berbeda dari anak
lain. Ia sama sekali tak pernah menginginkan perlakuan istimewa.
Bahkan justru sebaliknya. Niki selalu siap bertualang.
Tapi apa ia siap untuk malam ini"
Mereka hampir sampai di ujung jalan pintas yang menuju tepi
makam. Di belakang dinding batu makam terlihat sosok istana
Cameron tua. Pepohonan tinggi di sekelilingnya terempas-empas dari
sisi ke sisi. Dari kejauhan tampak seolah rumah itu perlahan
berguncang sendiri. Gerbang kayu di ujung dinding terpentang. Tak sadar, Terry
mulai berjalan agak lebih cepat. Niki kembali menarik tangannya.
"Aku menjatuhkan topengku di belakang sana," tukasnya. "Sebentar, akan kuambil."
Sambil menyorotkan senter ke atas tanah, Nicky cepat
menelusuri kembali langkahnya. "Jangan cepat-cepat," panggil Terry, kemudian ia
ingat gadis itu tak bisa mendengarnya. Niki membungkuk
di belakang nisan yang tadi ia periksa. "Ketemu!" teriaknya.
Terry tergelincir di atas batu berlumut, lalu cepat-cepat
menegakkan tubuh dan berjalan ke arah nisan itu. Meskipun
seandainya cerita-cerita seram itu tidak benar, ia tetap tak mau
melepaskan Niki dari pandangannya. Ia hampir sampai di nisan itu
ketika tiba-tiba sebuah jeritan melengking membelah udara.
"Niki!" panggilnya. Dengan jantung berdebam kencang, ia
melesat ke balik nisan. Niki ada di sana, sedang membersihkan tanah
yang menempel di topeng sutra hitamnya. "Ada apa?" tanya gadis itu ketika
melihat wajah Terry. "Aku mendengar sebuah..." Kembali terdengar jeritan. "Itu lagi!" tukasnya. Ia
merangkul Niki dengan sebelah lengan,
mendekapnya erat-erat. Jeritan itu berasal dari arah gerbang. Ia ingin kembali ke tempat
tadi mereka masuk dan berjalan mengitari makam. Tapi akan banyak
makan waktu. Lagi pula, ia ingin secepat mungkin keluar dari makam
ini. Dengan satu tangan memegang senter dan lengan yang lain
merangkul Niki, Terry berjalan hati-hati ke arah gerbang. Mereka
hampir mencapainya ketika sesosok bayangan hitam tinggi tiba-tiba
melompat ke depan mereka.
Niki memekik dan merapatkan tubuh ke Terry.
Di tengah jalan menghadang sesosok makhluk dari alam mimpi
buruk. Pakaian hitam makhluk itu menggantung compang-camping.
Wajahnya - atau sisa wajahnya - seolah hancur membusuk. Dan
dagingnya mengelupas. Ini tak mungkin terjadi, pikir Terry. Makhluk ini tak mungkin
nyata. Dengan tangan gemetar, ia mendorong Niki ke belakangnya dan
mengangkat senter dengan sikap mengancam. Apa senjata bisa
melukai mayat hidup" pikirnya.
Tapi sebelum ia tahu jawabannya, sosok itu tiba-tiba
mengangkat tangan dan mengoyak lepas kepalanya, memperlihatkan
wajah menyeringai Murphy Carter. Sesaat kemudian Terry baru sadar
bahwa kepala mengerikan itu hanya sebuah topeng.
"Kena kau!" teriak Murphy. "Wah, kalian ketakutan setengah mati! Coba lihat
wajah kalian." "Ya, ya, ya," celetuk Terry, berharap suaranya tak gemetar.
"Kami sudah tahu itu kau."
"Ah, yang benar?" ejek Murphy. "Jangan bohong." Ia menyeringai kepada Niki, lalu
menggerakkan sebelah tangan
bersarung yang tampak seperti sudah busuk. "Ayo kita pergi,"
ajaknya. "Kita kan tak mau terlambat ke pesta ini."
Chapter 2 Dua Minggu Sebelumnya KADANG Terry merasa ia mencoba melakukan terlalu banyak
hal. Kadang ia tahu memang itu yang terjadi. Minggu itu saja, selain harus
melakukan tugas sekolah rutin dan bekerja setelah jam sekolah, ia harus ikut
sebuah proyek sains dan memimpin rapat OSIS. Ia juga
berjanji akan membantu adik perempuannya belajar naik sepeda baru.
Karena begitu sibuk memikirkan proyeknya, ia harus dua kali
memutar kombinasi nomor locker sebelum bisa membukanya. Dan
setelah berhasil, ia sadar sudah lama berniat membersihkan locker itu.
Rasanya tak masuk akal begitu banyak sampah bisa muat di
dalam tempat sekecil itu. Dengan hati-hati Terry mulai menyibak
tumpukan jaket, raket tenis, setengah lusin bukti, dan peralatan proyek
sainsnya. "Pasti ada di sini," katanya pada diri sendiri. "Aku yakin."
"Apa yang ada di sini," tanya sebuah suara di belakangnya.
Terry berbalik, kaget, dan melihat Trisha McCormick berdiri di
belakangnya. Trisha seorang gadis berambut gelap keriting dan agak
kelebihan berat. Ia juga orang paling bersahabat dan antusias yang
dikenal Terry. "Hai, Trish," sapanya. "Kau bilang apa?"
"Kau sedang bicara dengan siapa?" tanya Trisha.
"Ehm... diriku sendiri," jawab Terry. "Aku seorang pendengar yang sangat baik."
"Maaf," ujar Trisha, cekikikan. "Aku tak bermaksud nguping."
"Aku sedang cari makan siangku," Terry menjelaskan. "Nah!
Ini dia!" Dengan penuh kemenangan ia menarik sebuah kantong kertas cokelat kusut
dari dalam tumpukan barangnya, sekaligus kesal melihat sebagian sisinya basah.
Setelah kembali menjejalkan isi locker ke
dalam, ia membanting pintunya. Saat itu selembar kertas melayang-
layang ke atas lantai. "Apa itu?" tanya Trisha.
"Aku tak tahu," jawab Terry. Ia memungut dan memeriksanya.
Itu sebuah amplop putih polos bertepi hitam. Di bagian depan, dalam
tulisan berukir, tercantum namanya: Terry Ryan.
"Tolong pegangkan makan siangku," katanya pada Trisha.
Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membuka amplop itu. Di dalamnya
terdapat selembar kartu putih tebal bergambarkan peti mati. Di bawah gambar peti
tertulis, "Khusus untuk-MU."
"Sebuah peti mati?" tukas Terry, mulai tertawa. "Apa ini - iklan rumah duka?"
"Coba balik," kata Trisha.
Terry mengikuti sarannya. Sisi sebaliknya penuh tulisan. "Hei,"
gumamnya. "Itu undangan ke pesta Halloween di rumah Justine Cameron,
ya kan?" tanya Trisha.
"Ya," jawab Terry. "Kau kok tahu?"
"Aku juga dapat satu," kata Trisha. "Mungkin semua murid dapat. Tapi coba baca
isinya Benar-benar aneh."
"'Pesta Kostum Halloween Sepanjang Malam," Terry membaca.
"Sepanjang malam. Hei, asyik! Apanya yang aneh?"
"Teruskan," ujar Trisha.
"'Kejutan khusus," Terry membaca. "'Dansa, permainan.' Aku tak lihat apa
yang..." "Sudah baca di mana tempatnya?" tanya Trisha.
"'Istana Cameron, pukul delapan, Jumat malam, tiga puluh satu
Oktober," Terry membaca. "Jadi?"
"Jadi tempatnya di istana Cameron tua itu," kata Trisha. "Yang terletak di
belakang makam Fear Street."
"Yang benar! Bagaimana orang bisa mengadakan pesta di sana"
Sudah bertahun-tahun tak ada yang tinggal di sana," tukas Terry.
"Justine dan pamannya sekarang tinggal di sana," kata Trisha.
"Mereka sedang memperbaikinya. Aku tahu karena perusahaan
ayahku yang memasang listriknya."
"Kan rumah itu katanya berhantu?" tanya Terry.
"Semua yang ada di Fear Street katanya berhantu," komentar Trisha. "Ini, ambil
makan siangmu yang sudah lumat."
"Trims," ujar Terry. Ketika berjalan bersama Trisha ke ruang makan, ia ingat
beberapa hal yang pernah didengarnya tentang Fear
Street. Meskipun beberapa rumah tuanya yang indah dihuni orang-
orang yang sangat normal, rumah yang lain dibiarkan kosong dan
menurut kabar katanya dihuni roh jahat. Berbagai peristiwa
mengerikan telah terjadi di Fear Street - pembunuhan, hilangnya
beberapa remaja secara misterius. Tempat itu sepertinya sangat cocok untuk pesta
Halloween. "Menurutmu, mengapa Justine mengundang kita ke pestanya?"
tanya Trisha pada Terry di pintu kafetaria.
Terry mengangkat bahu. "Tak tahu," ujarnya. "Aku bahkan tak kenal dia. Aku hanya
tahu bagaimana rupanya."
Semua murid di sekolah mereka tahu bagaimana rupa gadis itu,
pikir Terry. Ia gadis paling rupawan di Sekolah Menengah
Shadyside - mungkin di seluruh kota. Bahkan murid-murid wanita
pun berkata begitu. Ia bertubuh tinggi ramping, dan lebih menyerupai model
daripada murid, dengan rambut pirang mengilat panjang dan
mata sehijau giok. Justine seorang murid pindahan, masih baru di
Sekolah Menengah Shadyside, dan sejauh ini, belum ada yang benar-
benar mengenalnya - meskipun sebagian murid pria sudah mencoba.
Terry bermaksud bertanya lebih banyak tentang Justine kepada
Trisha ketika ia melihat Niki sedang duduk di sebuah meja dekat
pintu. Ia permisi pada Trisha dan langsung duduk di depan Niki
supaya gadis itu bisa membaca bibirnya. "Hai, Muka Lucu," ujarnya, menyapa gadis
itu dengan panggilan kesayangannya.
"Hai, Terry," jawab Niki, memberinya sebuah senyum lebar.
Terry tiba-tiba merasa seperti orang paling penting di dunia. Niki
selalu membuatnya merasa begitu. Kini mereka sudah berpacaran
selama enam bulan, dan Terry masih tak bisa mempercayai nasib
baiknya. Niki bukan gadis tercantik di Shadyside, maupun terpandai,
tapi ia sudah pasti yang paling istimewa.
Ketika Niki memasuki ruangan, semua orang otomatis merasa
lebih bahagia. Ketika ia tersenyum, gigi putihnya yang rata berkilau dengan
latar belakang kulit mulus berwarna zaitun, seperti matahari
terbit. "Sibuk, ya?" tanya Niki.
"Tidak kok," jawab Terry. "Tapi lihat ini." Terry menyerahkan undangan itu.
"Aku juga dapat satu," tukas Niki.
"Mungkin semua murid dapat," komentar Terry.
"Kurasa tidak," sergah Niki. "Tak ada murid lain di unitku yang diundang. Dan
sahabat-sahabatku, Jade serta Deena, tak diundang."
"Aku ingin tahu mengapa dia mengundang kita," tukas Terry.
"Aku bahkan tak mengenalnya. Kau?"
"Tak terlalu akrab," Niki mengakui. "Dia anggota kelas senamku dan aku pernah
main basket dengannya. Tapi kami hampir
tak pernah saling bicara."
Terry membuka kantong makan siangnya, melihat yang basah
adalah sandwich tomat dan meat loaf-nya, yang entah kenapa
tergencet hancur. "Iih," gumamnya, melihat bekalnya yang kini tampak menjijikkan
itu. "Ini, ambil separo punyaku," Niki menawarkan. Ia selalu bawa bekal yang sama -
sandwich pisang dan selai kacang dilengkapi
potongan wortel dan seledri.
"Tak usah," kata Terry. "Mungkin aku akan beli hot dog dari mesin makanan."
"Aku heran kau kok selalu makan junk food," kecam Niki.
"Setidaknya makanlah beberapa potong wortel."
Terry mengambil satu dan mulai mengunyah.
"Kostum apa yang akan kaupakai?" tanya Niki.
"Apa?" "Untuk pesta Justine. Itu kan pesta kostun ingat?"
"Oh , aku tak tahu," jawab Terry. "Mungkin sebaiknya kita tak usah datang.
Temanmu tak ada yang diundang. Dan kita juga tak
terlalu mengenal Justine..."
"Memangnya kenapa?" sergah Niki. "Aku suka pesta kostum.
Lagi pula, aku belum pernah menghadiri pesta di Fear Street."
"Pasti akan jadi pesta pertama yang berkesan," komentar Terry.
"Kalau begitu jadi, ya," tukas Niki. "Lagi pula, aku ingin lebih mengenal
Justine." "Bagaimana dia di kelas senam?" tanya Terry.
"Dia atlet terbaik di kelas," jawab Niki. "Kondisinya sangat bagus. Pernah
kutanyakan padanya, dan dia bilang dia berlatih angkat beban."
Terry bersiul pelan. "Wah!" gumamnya. "Tak heran dia
sangat..." Ia tak meneruskan komentarnya.
"Dia sangat apa?" tanya Niki. Matanya menyorot tajam.
"Sangat - kau tahu," jawab Terry, menahan seringainya. Ia
mengamati Niki, ingin tahu apakah gadis itu benar-benar kesal atau
hanya menggodanya. "Sangat - berisi?" usul Niki.
"Yah, benar," jawab Terry.
Tawa Niki meledak. "Dasar cowok!" sergahnya. "Aku ingin tahu siapa yang diajak
Justine sebagai pasangannya."
************************ Sepanjang hari semua murid membicarakan Justine dan
pestanya. Semua sudah mendengar tentang hal itu, meskipun tak
banyak yang diundang. Sesaat sebelum bel jam pelajaran terakhir berbunyi, Lisa Blume
menghentikan Terry di koridor. Lisa adalah asisten editor koran
sekolah, dan ia biasanya tahu apa yang sedang terjadi. Sebenarnya ia tukang
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gosip, hanya saja ia menyebut dirinya wartawan yang sedang
menjalankan tugas. "Kudengar kau diundang ke pesta Justine," katanya pada Terry.
"Menurutmu, kenapa dia mengundangmu" "
"Aku sama sekali tak tahu," jawab Terry. "Kan kau wartawan -
mungkin kau bisa memberitahuku."
"Menurutku dia ingin mengenal lebih dekat murid-murid di
sini," ujar Lisa. "Tapi dia malu karena banyak beredar cerita menyeramkan
tentang rumahnya." "Apa maksudmu?"
"Masa kau tak tahu?" Lisa balas bertanya. "Penghuni terakhir istana Cameron itu
tewas dalam sebuah kecelakaan bertahun-tahun
lalu. Menurut cerita, tak ada lagi yang bisa tinggal di sana karena
arwah mereka menghantui rumah itu."
"Cerita bagus. Kalau begitu, mengapa Justine tinggal di sana?"
tanya Terry skeptis. Lisa mengangkat bahu. "Menurut bibiku, Justine adalah sepupu
jauh pemilik asli rumah itu. Pamannya mewarisi rumah itu dan
memutuskan untuk memperbaikinya."
"Kudengar dia tinggal di sana dengan pamannya. "
"Pria itu walinya," kata Lisa. "Kurasa orangtua Justine sudah meninggal atau
mungkin cerai. Orang bilang Justine dan pamannya
telah hidup di berbagai tempat di Amerika dan bahkan di Eropa."
Terry tahu keterangan Lisa biasanya benar, tapi ia tak melihat
hubungan Justine dengan dirinya dan Niki. Ia masih memikirkan hal
itu di kelas biologi ketika Ricky Schorr duduk di sebelahnya.
Ricky sangat suka mempermainkan orang, dan beberapa murid
menganggapnya anak paling brengsek di seluruh sekolah. Rambut
hitam tebal Ricky seperti biasa tak disisir, dan seperti biasa ia
mengenakan T-shirt dekil yang murid lain takkan mau pakai. Kali ini
kausnya bernoda jus jeruk dan bertuliskan "Cium Aku, Aku Orang
Mars". "Hai, Schorr," sapa Terry.
"Yo, Terry," balas Ricicy. Ia meletakkan kantong kertas lusuh di atas meja lab
yang memisahkan mereka. "Kudengar kau dan Niki diundang ke pesta Justine."
"Benar," jawab Terry.
"Aku juga," kata Ricky.
"Masa" Yang benar?" Terry heran. Ia tak tahu mengapa Justine memilihnya dan
Niki, tapi lebih aneh lagi gadis itu juga mengundang
Ricky dan Trisha. Mereka bukan teman satu kelompok.
"Aku ingin tahu siapa lagi yang diundang," gumam Ricky. "Kau tahu?"
"Tidak," jawab Terry pendek. "Bagaimana kemajuan proyek biologimu?" ia bertanya,
sengaja mengganti topik. "Sudah hampir selesai," jawab Ricky. "Ini aku bawa." Ia menunjuk kantong kertas
di antara mereka. Terry memandang kantong itu dengan tatapan tak percaya.
Kantong itu bergerak-gerak dan mulai bergeser di atas meja lab.
"Sayang sekali," ujarnya, "kurasa proyek sainsmu mencoba melarikan diri."
Ricky membuka kantong itu. Seekor katak hijau kecil langsung
meloncat keluar dan mulai melompat-lompat di sepanjang meja. Terry
menangkap dan memegangnya dengan jijik. "Ini proyek biologimu,
Schorr?" tanyanya."Seekor katak?"
"Bukan hanya itu," bantah Ricky, membela diri. Ia
memasukkan tangan ke dalam kantong dan mengeluarkan sestoples air
keruh. "Proyekku mengenai metamorfosis," katanya. "Di dalamnya ada berudu."
Terry memperhatikan stoples itu dengan pandangan tak yakin.
"Maksudmu, berudu mati?" tanyanya. "Kelihatannya tak bergerak."
"Coba aku lihat," ujar Ricky. Ia mengambil stoples itu dan mengamatinya dengan
teliti, memutarnya ke kiri-kanan. Lalu ia
mengguncangnya. "Rupanya aku mestinya melubangi penutupnya,"
akhirnya ia berkata. "Yah sudah, inilah hidup, ya kan" Hari ini hidup, besok
sudah berlendir dan menjijikkan. Aku masih bisa ambil lagi di
kolam." Terry mengulurkan katak di tangannya pada Ricky, dan
temannya memasukkan kembali binatang itu beserta stoples berudu ke
dalam kantong kertas. "Proyek hebat, Schorr," komentar Terry sinis.
"Sebut aku Mr. Sihir," ujar Ricky. "Jadi siapa lagi yang diundang ke pesta itu?"
tanyanya setelah beberapa saat.
"Aku tak tahu," jawab Terry. "Trisha McCormick. Aku tak tahu siapa lagi."
"Murphy Carter," jawab Ricky.
Murphy Carter adalah nama pertama dalam daftar undangan
yang masuk akal bagi Terry. Murphy adalah linebacker tim rugbi
sekolah, dikenal sebagai setan pesta. Tapi ia tak punya hubungan
dengan para undangan lain.
Terry bermaksud bertanya lagi pada Ricky ketika Mr. Rothrock
masuk, siap membahas genetika, dan selama empat puluh menit
berikut Terry sama sekali melupakan pesta itu. Tapi seusai jam
sekolah, saat berjalan di luar untuk menemui Niki, ia melewati
segerombol murid yang berkumpul di tangga depan. Lisa Blume
sedang berbicara dengan sekelompok kecil murid. Niki
menghampirinya di trotoar dan memegang sikunya.
"Hai, Terry," sapa Niki. "Bagaimana hari ini?"
"Aneh," jawab Terry jujur. "Kau sendiri?"
"Juga aneh. Aku merasa seperti selebriti karena mendapat
undangan ke pesta Justine."
"Kau mau pulang lewat mana?" tanya Terry.
"Kurasa lewat - Tunggu sebentar," kata Niki. "Lisa sedang membaca sebuah daftar."
Ia menyipitkan mata ke arah Lisa yang
sedang bicara. Mungkin sebagai kompensasi pendengarannya,
penglihatan Niki sangat tajam, dan ia dapat membaca bibir dari jauh.
"Dia sudah tahu siapa saja yang diundang ke pesta," ujarnya. "Ada sembilan
orang..." "Hanya sembilan?" tanya Terry.
"Itu menurutnya. Kau dan aku, Trisha, Ricky Schorr, Murphy
Carter, Angela Martiner, Les Whittle, David Sommers, dan - dan
Alex Beale." "Alex" Oh, bagus," gumam Terry sinis. Selama bertahun-tahun ia dan Alex berteman
baik. Mereka besar bersama, main tenis
bersama, bahkan berkencan bersama - sampai tahun lalu ketika Niki
berhenti berkencan dengan Alex dan mulai mengencani Terry. Alex
tak bisa melupakan perasaannya pada Niki dan kadang Terry
bertanya-tanya apakah Niki sudah melupakan perasaannya terhadap
Alex. "Daftar ini aneh," ujar Niki. "Tak ada yang merupakan teman satu kelompok,
kecuali mungkin Murphy dan David." David seperti Murphy, anggota tim rugbi dan
juga pebasket. Angela seorang gadis
berambut merah yang cantik dan ramping dengan reputasi binal, dan
Les seorang jenius sains yang penyendiri. Terry tak mengerti kenapa
mereka semua diundang. Tapi jika Alex Beale termasuk dalam daftar, Terry tiba-tiba
bersyukur telah diundang juga.
"Oh, lihat," ujar Niki. "Itu Justine. Mungkin dia akan menjelaskan mengapa
mengundang kita." Justine berjalan cepat keluar dari pintu depan bangunan
sekolah. Gerombolan murid itu menghampirinya. Dengan enggan
Terry mengikuti Niki menaiki tangga.
"Dari mana saja kau seharian?" seorang murid bertanya pada Niki.
"Aku konsultasi dengan dokter di Waynes-bridge," jawab
Justine. "Aku hanya ikut pelajaran terakhir."
"Ayo," kata Lisa. "Jelaskan daftar tamumu."
"Apa yang harus dijelaskan?" ujar Justine manis. "Aku hanya mengadakan pesta."
"Aku tahu!" tukas Murphy Carter. "Kalau kita melihat daftar itu, semua yang
diundang pasti jagoan atau pengecut, atau ceweknya
seseorang. Betul kan, Justine?"
"Maaf. Aku tak mengerti maksudmu," ujar Justine mengangkat bahu. "Aku hanya
mengundang beberapa orang yang ingin kukenal
lebih dekat." Ia mengenakan gaun wol putih dan dengan rambut
pirangnya yang keputihan serta mata hijaunya ia semakin mirip
model. "Aku suka gagasan Murphy," tukas David. "Jagoan dan
pengecut." "Jadi, apa pendapatmu, pengecut?" tanya Murphy ketika
melihat Terry. "Kau punya nyali pergi ke pesta - dan menghadirinya sepanjang
malam?" "Kuharap kalian semua datang ke pesta," kata Justine. Ia
mengarahkan senyumnya yang menyilaukan pada Murphy. "Apa kau
bisa kuandalkan, Murphy?" tanyanya.
"Eh - tentu," jawab Murphy, tiba-tiba tampak dungu.
"Kau juga bisa mengandalkanku," tukas David.
"Syukurlah," komentar Justine. "Nah, kalian berdua harus janji akan berdansa
denganku. Aku punya sound system yang benar-benar
keren, aku beli banyak CD disko yang benar-benar enak."
Justine sengaja mengiming-iming mereka, dan Terry melihat
Murphy serta David termakan
"Hei, aku ingin dansa denganmu," tukas Bobby McCorey, yang tiba-tiba muncul
dengan sobatnya, Marty Danforth. Bobby anggota
tim rugbi universitas, tapi sifatnya buruk dan kebanyakan murid lain tak mau
bergaul dengannya. Ia dan Marty merupakan pengganggu
bertubuh paling besar di sekolah mereka.
"Yah, aku juga ingin berdansa denganmu, Bobby," jawab
Justine, suaranya tiba-tiba terdengar sinis. "Mengapa kau tak ikut aerobik di
kelasku?" Murid-murid lain tertawa, dan Bobby membeliak ke arah
mereka sebelum kembali menatap Justine. "Mengapa aku tak datang saja ke
pestamu?" ujarnya. "Kau mungkin hanya lupa memberiku undangan, ya kan?"
"Tidak," jawab Justine, kembali tersenyum "Aku tak lupa."
"Yah, kau sebaiknya mengubah keputusanmu," sergah Bobby
mengernyit marah. "Aku dan Marty tidak suka kalau tak dilibatkan."
"Aku menyesal kalian merasa begitu," kata Justine. "Tapi ini pesta kecil-
kecilan, dan kalian tak diundang.
"Kita lihat nanti!" tukas Bobby mengancam. "Ayo, Marty,"
tambahnya. "Ayo tinggalkan orang-orang tolol ini, mari kita
bersenang-senang," Ia dan Marty berjalan pergi, lalu melompat ke atas sepeda
motor mereka serta menderum pergi. Terry merasa mereka
belum menyerah, tapi Justine tampak sama sekali tak peduli.
"Hei, Justine - bagaimana dengan pacar?" tanya Murphy. "Aku boleh bawa pacarku,
kan?" "Ini bukan pesta untuk pasangan," jawab Justine. "Ini sama sekali bukan pesta
semacam itu." "Tapi Monica dan aku sudah dua tahun pacaran," bantah
Murphy. "Kalau begitu, aku yakin dia takkan keberatan membiarkanmu
sendirian semalam saja," komentar Justine.
Terry dan Niki bermaksud pergi ketika pintu depan bangunan
sekolah mengayun terbuka dengan suara dentam keras. Alex Beale
berjalan angkuh menuruni tangga. Sosoknya yang besar berotot seolah
memakan tempat dalam radius enam puluh senti di sekitarnya. Terry
harus mengakui Alex tampan, dengan rambut pirang pendek, senyum
percaya diri, mata gelap ceria. Begitu sampai di dekat Justine, pemuda itu
mengedipkan sebelah mata.
"Sudah terima undanganmu," ujarnya.
"Bagus," jawab Justine. "Kuharap aku bisa mengandalkanmu."
"Oh, kau bisa mengandalkanku," ujar Alex. "Satu, dua, tiga, empat, lima..."
Sesudah lima apa, Alex" pikir Terry. Kalau melihat Alex, Terry
kini selalu merasa tak enak dan sinis.
"Aku tahu bisa mengandalkanmu, Alex," kata Justine, kembali tersenyum.Ia menoleh
dan melambai pada anak-anak yang masih
berada di sana. "Sampai jumpa," katanya, dan berjalan menuju halaman parkir.
Terry Memegang tangan Niki dan menariknya pelan. Tapi
sebelum mereka bisa menuruni tangga, suara Murphy Carter
membelah kebisingan. "Hei, Terry," panggilnya. "Pengecut. Mau ke mana buru-
buru?" "Kami mau pulang," jawab Terry. "Kaukira mau apa?"
"Oke," komentar Murphy. "Tapi kau belum menjawab
pertanyaanku." Dengan cepat ia menjelaskan pada Alex tentang
kemungkinan yang diundang adalah pengecut atau jagoan. "Jadi, aku bertanya pada
Terry apakah dia punya nyali untuk datang dan ikut
pesta semalaman." "Pertanyaan bagus," komentar Alex, tertawa. "Kau mau?"
"Oh, wah. Rumah hantu," jawab Terry. "Aku gemetar."
Alex berusaha semirip mungkin menirukan suara Count
Dracula dan bertanya, "Meski di Fear Street?"
"Cuma jalannya saja yang berbeda, menurutku," ujar Murphy.
"Semua omong kosong tentang ulah setan yang terjadi di sana hanya takhayul."
"Aku tak terlalu yakin," komentar Alex serius.
"Sekarang siapa yang pengecut?" tukas Murphy, agak bingung.
"Hei, Alex, kau memihak siapa?"
"Diamlah, Murphy," ujar Alex, memutar bola matanya.
"Halloween di Fear Street" Aku siap." Ia kembali menghadap Terry, di wajahnya
terbersit sebuah senyum aneh. "Bagaimana, Terry"
Menurutmu kalian para pengecut berani tinggal semalaman di sebuah
rumah hantu?" "Aku tak punya masalah dengan hal itu," jawab Terry. "Tapi apa kau yakin ibumu
akan mengizinkanmu keluar semalaman?"
Alex mengabaikan ejekan Terry dan memanggil Ricky Schorr,
yang sedang berjalan ke halaman parkir, membawa kantong kertas
berisi proyek biologinya yang sudah mati. "Hei, Schorr!" teriaknya.
"Bagaimana dengan kau" Kau akan bergabung dengan tim Terry dan
datang ke pesta?" "Aku pasti muncul," jawab Ricky. "Dan aku bukan pengecut."
Alex, David, dan Murphy tertawa. "Hebat!" komentar Murphy.
"Dia bukan pengecut!"
"Dia tak punya nyali menjadi pengecut!" teriak David.
Ketiga remaja itu mulai tertawa lagi, saling bertepuk high-five.
"Jadi, siapa lagi yang masuk timmu, Terry?" tanya Alex. "Les Whittle, mungkin -
dan Trisha" Kaupikir mereka berani datang?"
" Tanya sendiri," jawab Terry. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Sorot mata Niki tampak khawatir, lalu ia menoleh kepada para
jagoan itu. "Ayolah, guys," katanya. "Ini bukan kontes - ini pesta.
Mengapa kita semua tak..."
"Maaf, Niki," potong Murphy. "Mungkin awalnya pesta, tapi sekarang kontes. Kami
melawan mereka. Para jagoan - melawan para
pengecut." Terry sesaat berdiri di sana, kehilangan akal. Alex selalu
mencoba menonjolkan diri. Mengapa ia tak bisa menerima kenyataan
bahwa Niki sekarang pacarnya"
"Cari orang lain yang mau melakukan permainanmu," akhirnya ia berkata. "Ayo,
Niki." "Dengan kata lain," tukas Alex, "kau terlalu pengecut untuk datang ke pesta.
Kalau begitu, Niki, mungkin kau sebaiknya
bergabung dengan tim kami. Sepertinya Terry tak yakin bisa
melindungimu." "Aku bisa mengurusi Niki - jelas lebih baik daripadamu!"
teriak Terry, naik darah dan langsung merasa malu.
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!" teriak Niki pada
keduanya. "Aku bisa mengurusi diriku sendiri! Dan ketahuilah, aku tak termasuk
tim tolol mana pun! Itu gagasan terbodoh yang pernah
kudengar!" "Oh ya?" tanya Alex, tampak tersinggung. "Mungkin kau harus mentikirkannya
lagi." Ia melangkah maju, wajahnya tiba-tiba merah marah.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenanglah, Alex, " tukas Terry. "Tak ada yang bermaksud apa-apa. Ini cuma
pesta, ya kan?" "Sekarang bukan sekadar pesta lagi, gerutu Alex. "Dan kau juga tahu." Ia
berbalik dan cepat berjalan ke arah halaman parkir.
Gerombolan murid itu mulai berpencar. "Yo - Kapten Pengecut,
Ricky dengan ceria memanggil dari seberang halaman parkir. "Kita akan
mengalahkan mereka, heh, dude?"
"Mereka tak mungkin menang!" Terry balas berteriak, tiba-tiba terlibat dalam
kompetisi itu tanpa menyadarinya. "Akan kita
tunjukkan siapa pengecut sebenarnya. Bukan kita."
Ia mulai meraih tangan Niki, tapi menghentikan gerakannya
dengan terkejut. Gadis itu masih berdiri dan menengadah menatapnya,
wajahnya penuh penderitaan. "Hei, Muka Lucu," panggil Terry. "Ada apa?"
"Kontes tolol ini," jawab Niki, mengernyit. "Mengapa
kaubiarkan mereka memaksamu melakukannya?"
"Tak ada yang memaksaku melakukan apa-apa," komentar
Terry. "Lagi pula, ini tak perlu dikhawatirkan. Ini cuma permainan tolol."
"Bagimu, mungkin," ujar Niki. "Tapi tidak bagi Alex. Apa kau tak melihat
wajahnya" Dia serius! Sangat serius."
Chapter 3 ORANGTUA Terry langsung mengizinkannya pergi ke pesta
sepanjang malam itu, tapi hanya karena ada paman Justine yang akan
mengawasi. Orangtua Niki lebih sulit diyakinkan, tapi ketika Niki
memperlihatkan kosturn yang telah ia buat selama berjam-jam,
mereka akhirnya menyerah.
Sementara itu, Terry, Ricky, Les, dan Trish - tim "pengecut" -
sedang merancang tipuan yang akan mereka mainkan pada tim jagoan.
Terry hanya separo hati melakukannya, karena ia tahu kompetisi itu
sebenarnya antara Alex dan ia.
Niki sama sekali tak mau terlibat dengan kompetisi atau
permainan apa pun. Tapi ia sangat menantikan pesta itu.
Sementara itu, setiap hari di sekolah terasa seperti Hari
Aprilmop. Pada awalnya hanya permainan tak berbahaya.
Suatu pagi, tim jagoan "mengerjai" Ricky Schorr dengan
sebuah ular plastik raksasa yang meloncat keluar locker-nya.
Lalu Les membalas dendam dengan menyelinap masuk ke
dalam ruang locker dan mengisi sepatu basket Alex serta Murphy
dengan krim cukur. Sehari sesudahnya, Trisha menerima telepon dari seseorang
yang mengatakan ia telah m-menangkan 500 kilo ikan mati di kontes
pengecut. Tapi kemudian permainan itu berubah jahat. Dua hari sebelum
Halloween, Terry membuka locker dan mengulurkan tangan
mengambil raket tenis tanpa melihat lagi.
"Ohhh." Tangannya menyentuh sesuatu.
Terasa lengket dan dingin. Seperti kulit mayat.
Terry menjatuhkan raketnya dengan jijik.
Ia melangkah mundur, lalu memaksa diri menatap raketnya.
Menggantung di seutas tali, sebuah kepala ayam gundul
menatapnya dari balik mata yang tak bernyawa.
"Iih, jijik." Ia memungut raketnya dan membuka gulungan kertas di
gagangnya: "Ini untuk kostummu, pengecut. Kau akan melihat yang lebih buruk -
kecuali kau mengundurkan diri dan melupakan pesta
ini." "Dewasa sekali, Alex," ujar Terry ke koridor yang kosong.
Ia mengangkat bahu, lalu melemparkan kepala ayam dan pesan
itu ke keranjang sampah terdekat. Mengapa ia dan Alex bisa
bermusuhan begini" ia bertanya-tanya. Ia masih ingat tahun-tahun saat mereka
besar bersama, ketika keluarga Alex tinggal di ujung jalan.
Waktu itu mereka bersahabat. Hampir tak terpisahkan.
Kini mereka tak bisa bersama selama lima menit tanpa
terjerumus ke dalam kompetisi konyol.
Konyol, sangat konyol. Tapi meskipun tahu kompetisi itu konyol,, Terry tetap tak mau
kalah dari Alex. Tidak sekarang. Tidak selamanya.
Hari Kamis sebelum pesta, Terry sedang bergegas ke
perpustakaan sekolah untuk mengerjakan proyek biologinya saat jam
belajar. Ia telah memilih perkecambahan bibit sebagai topik
proyeknya karena hal itu terasa sangat menarik. Memang hal itu
menarik, tapi juga jauh lebih kompleks daripada yang pernah ia
bayangkan. Ia telah mencoba mengecambahkan beberapa bibit dan
menyimpannya pada berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda, tapi
tak ada yang bertunas. Kini sebagai gantinya ia harus membuat
ilustrasi. Ia berbelok di sudut menjelang perpustakaan dan tiba-tiba
langkahnya terhenti. Di ujung koridor ada sekelompok kecil murid,
termasuk Murphy, David, Alex - dan Niki. Gadis itu mengenakan
sweter merah cerah dan rok wol kotak-kotak, dan tampak sangat
cantik hingga Terry hanya ingin mendekati dan memeluknya. Tapi
Niki sedang tersenyum dan berbicara pada Alex.
Alex-lah yang pertama melihat Terry. Ia tak mengatakan apa
pun. Ia hanya menatap Terry seolah pemuda itu seekor kutu atau
bentuk kehidupan rendah lain. Dan kemudian ia sengaja kembali
memusatkan perhatian pada Niki. Ia membungkuk dan mengatakan
sesuatu pada gadis itu, sangat dekat ke wajahnya. Niki cepat-cepat
menggeleng, tampak kesal, dan para jagoan itu tertawa serta
melangkah pergi dengan angkuh. Terry memaksa diri bersikap seolah
ia tak melihat apa-apa. "Hai, Muka Lucu," sapanya.
"Hai, Terry," jawab Niki. Ia tersenyum, tapi tak penuh. Ia tampak khawatir,
seolah ada sesuatu di benaknya.
"Tadi itu apa?" Terry bertanya sambil lalu.
"Apa yang mana?"
"Dengan Murphy dan Alex. Kalian sedang membicarakan apa?"
Sesaat Niki tak menjawab, lalu ia melemparkan Tatapan pada
Terry, tatapan yang berarti Terry menginjak daerah berbahaya.
"Memangnya aku tak boleh bicara dengan mereka?" tanya gadis itu, terdengar
membela diri. "Yah, hanya saja - mereka anggota tim lawan," ujar Terry. Lalu mencoba melucu, ia
menambahkan, "Kan ini perang!"
Tapi Niki tak menganggapnya lucu. "Ketahuilah," katanya, "tak ada hal semacam
itu. Dan aku bukan anggota tim mana pun. Atau kau
sudah lupa?" "Aku ingat, tapi - yah, kau akan pergi ke pesta bersamaku,
jadi..." "Aku akan pergi ke pesta bersamamu," potong Niki. "Tapi aku akan bicara kepada
siapa pun yang kuinginkan."
Terry tahu gadis itu benar. "Maafkan aku," katanya. "Aku tak bermaksud
menekanmu. Hanya saja kau terlihat agak khawatir."
"Benar, aku memang khawatir," jawab Niki. "Gagasan pesta ini semakin tampak
aneh." "Apa maksudmu?"
"Yah, kontes konyol ini. Justine juga sangat terlibat. Dan aku
masih tak mengerti mengapa dia mengundang kita. Murid-murid yang
diundang saling tak cocok."
"Aku tahu," komentar Terry. "Tapi memangnya kenapa?"
"Dan mengapa dia bilang tak ada yang boleh bawa pacar?" Niki meneruskan.
"Itu bukan masalah bagi kita," ujar Terry. "Maksudmu, kau tak mau pergi?"
"Bukan," jawab Niki. "Tapi, Terry, hati-hati. Tadi pagi Angela berkata tim
jagoan sedang merancang beberapa tipuan untuk pesta itu, yang bisa sangat
berbahaya." "Apa misalnya?"
"Aku tak tahu. Itulah yang tadi sedang kutanyakan pada Alex."
"Apa katanya?" "Dia tak mau mengatakannya. Dia hanya berkata aku sebaiknya
bergabung dengan timnya," jawab Niki, kini bahkan semakin kesal.
'Dia bilang mungkin tak aman bagiku pergi bersama tim pengecut!"
Terry menarik napas dalam-dalam dan menahannya. "Kau
bilang apa?" sesaat kemudian ia bertanya. Ia benci pada dirinya sendiri karena
menanyakannya, tapi ia harus tahu.
"Oh, aku bilang dia benar dan aku memutuskan untuk pergi
dengan tim jagoan - kau kira aku bilang apa?"
Nada sinis dalam suaranya seberat semen dan Terry merasa tak
enak. "Niki, aku menyesal. Aku tak bermaksud..."
Apa gunanya menyesal?" tanya gadis itu. "Aku heran melihat tingkahmu dan Alex.
Kalian berdua menanggapi hal ini dengan serius!
Mengapa kau tak bisa bersikap santai dan menanggapinya sebagai
pesta biasa?" "Hei, bukan aku yang terlalu serius menanggapinya," bantah Terry. "Alex yang
memainkan semua tipuan itu. Dia yang
mengancammu, mencoba mengacau hubungan kita..."
"Coba dengar perkataanmu itu!" sergah Niki, matanya yang
berwarna gelap tiba-tiba berpendar marah. "Mengapa kau tak
mengaku saja, bahwa kau sama cemburunya dengan Alex! Itulah
sebenarnya alasan kompetisi konyol ini!"
Niki berbalik marah dan berjalan menyusuri koridor.
Terry bermaksud mengejarnya, tapi mengurungkan niat. Tak
akan berguna. Kalau marah seperti itu, Niki pasti butuh waktu untuk
menenangkan diri. Terry seorang diri di perpustakaan saat jam belajar, tapi baginya
sama saja seperti berada di tengah keramaian stasiun kereta api. Ia
terpaku menatap foto-foto benih, tapi yang terlihat olehnya hanya
wajah Alex Beale. Apa pun rencana Alex, pikir Terry, ia takkan membiarkannya
begitu saja. Dan Terry tak mau ditakut-takuti oleh isu tipuan
"berbahaya". Ini hanya pesta Halloween. Sudah pasti akan terjadi hal-hal
menakutkan pada perayaan Halloween.
Tapi seperti apa pun berusaha mengecilkannya, Terry tak bisa
mengabaikan sepercik firasat buruk di hatinya.
************************ Terry sedang meninggalkan perpustakaa menuju kelas
berikutnya ketika mendengar suara-suara marah di luar pintu
pelayanan kafeteria. la bermaksud jalan terus ketika mendengar
pekikan pelan dan suara ketakutan seorang gadis, "Berhenti! Kau menyakitiku!"
Dengan jantung berdebar kencang, Terry menarik daun pintu
lebar-lebar. Di lobi pelayanan tampak Bobby McCorey dan Marty
Danfort. Di antara mereka berdiri Justine, dengan wajah pucat dan
mimik takut. "Tak bisa!" ujar Justine. "Kau tak mengerti" Pesta itu sudah dirancang..."
"Nah, kau sebaiknya merancang ulang pesta itu," tukas Bobby, terdengar sangat
sok. Justine mencoba melepaskan diri, tapi Bobby memegang
pergelangan tangannya. "Seperti yang sudah kami katakan padamu, Justine," ujarnya.
"Kami tak menerima jawaban tidak."
Terry berjalan menghampiri mereka tanpa berpikir lagi.
"Baiklah, kalian berdua," katanya. "lepaskan dia."
"Oh ya?" kata Bobby. "Siapa yang menyuruh?"
"Aku," ujar Terry. "Ayo."
"Kau tak membuatku takut," jawab Bobby. Tapi ia melepaskan pergelangan tangan
Justine. "Ayo, Bobby," ajak Marty. "Kita bisa menyelesaiikan masalah ini nanti."
' "Dan jangan kaupikir kami akan melupakannya," tambah
Bobby. Ia mulai melangkah ke arah pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan berbalik
membeliak pada Justine. "Kau punya waktu sampai besok
malam untuk mengubah keputusanmu," katanya pada gadis itu.
"Lupakan," jawab Justine. "Kalian tak diundang."
"Kita lihat nanti," ejek Marty. "Dan kau, pengecut," tambahnya, menunjuk pada
Terry, "kalau tak menyingkir dari depanku, kau takkan memerlukan topeng
Halloween." Dengan langkah dibuat-buat, kedua pengganggu itu menghilang
ke koridor. Sesaat Justine menatap mereka. "Baik sekali mereka,"
komentarnya. "Mereka menganggap diri mereka jahat," ujar Terry. "Padahal sebenarnya mereka
mungkin dua pengecut bertubuh paling besar di
Shadyside." "Yah, menurutku yang kaulakukan sangat berani," komentar
Justine, melemparkan senyum brilian yang agak berkesan akrab.
"Terima kasih."
Terry melihat rambut pirangnya yang mengilat dikepang ke
belakang, dan gadis itu mengenakan sweter hijau limau yang mem
buat matanya semakin tampak hijau.
"Hei, dengar, jangan khawatirkan kedua pemuda itu," kata
Terry. Lalu tiba-tiba ia menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia telah
melawandua pemuda paling kejam di Shadyside.
Aku tadi bisa mati! pikirnya.
Apa aku gila" "Kau mengagumkan," kata Justine. "Suatu hari aku ingin menunjukkan sedalam apa
rasa terima kasihku." Ia terus tersenyum, lalu melanjutkan. "Aku juga ingin
minta maaf padamu," tambahnya, suaranya yang mendayu-dayu bernada rendah dan
akrab. "Minta maaf?" ulang Terry, heran. "Untuk apa?"
Justine tampak malu. "Aku - aku tahu undangan pestaku telah
menimbulkan beberapa masalah. Jadinya sekarang ada semacam
kontes." "Yah, memang," ujar Terry. "Tapi itu bukan salahmu."
"Terima kasih," kata Justine. "Aku tak pernah bermaksud membuat kalian
bermusuhan dengan pesta ini. Aku hanya ingin
mengundang beberapa orang istimewa supaya aku bisa lebih
mengenal kalian semua." Sesaat ia menyentuh lengan Terry dengan ujung jarinya.
Pemuda itu merasa aliran listrik merambat di
lengannya, kemudian di sekujur tubuhnya.
"Yah... eh... hei, maksudku... Kami juga, eh... kami semua juga ingin lebih
mengenalmu," gumamnya terbata-bata.
"Maksudku," lanjut Justine, "tak perlu ada kontes. Aku sudah merencanakan banyak
kejutan tanpanya. Gagasan ini rasanya benar-benar konyol."
"Niki juga bilang begitu," komentar Terry. "Niki, pacarku," ia cepat-cepat
menambahkan. "Ia bahkan sama sekali tak mau terlibat dalam kontes itu."
"Bagus," Justine menanggapi. "Kau tahu, dia temanku di kelas senam. Apa benar
dia tuli" Aku diberitahu begitu, tapi rasanya sulit dipercaya."
"Benar," jawab Terry. "Tapi kebanyakan orang tak tahu."
"Aku sangat senang dia juga akan menghadiri pesta ini," kata Justine. "Aku tak
punya teman cewek di Shadyside, dan bagiku Niki sangat istimewa."
"Akan kusampaikan padanya," ujar Terry. Ia pergi dengan
perasaan hangat. Pesta ini pasti akan sangat istimewa, pikirnya. Dan tak seorang
pun - bahkan Alex - akan merusak suasana hatinya dan
Niki. *************************
Niki sedang menunggu di locker Terry ketika jam sekolah
selesai. Ketika melihat pemuda itu berjalan mendekat, Niki tersenyum malu-malu.
"Hai, Terry," sapanya.
"Hai, Muka Lucu."
"Maafkan aku marah-marah kepadamu," ujar gadis itu.
"Tak apa," jawab Terry. "Aku juga minta maaf. Kau benar. Aku terlalu menganggap
serius kontes itu. Aku berjanji mulai sekarang
akan melupakannya dan santai."
"Bagus," komentar Niki.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terry tersenyum padanya. Ia senang melihat Niki kembali
bahagia. Dan ia juga merasa lebih santai daripada seminggu kemarin.
"Jadi, kita pulang lewat mana?" tanyanya. "Jalan yang panjang, atau jalan
tembus?" "Kurasa yang panjang lebih enak, ya kan?" jawab Niki,
meremas tangan Terry. "Tentu dong," kata Terry. Jalan yang panjang memberi mereka sepuluh menit ekstra
untuk berduaan saja. Terry memasukkan perlengkapannya ke dalam ransel. "Sini,
kubawakan bukumu," katanya pada Niki.
Niki menyerahkan tumpukan bukunya pada pemuda itu, tapi
ketika sedang melakukannya, buku geografinya jatuh ke lantai dan
secarik kecil kertas melayang-layang keluar. Sambil lalu dipungutnya kertas itu
dan dibacanya, lalu ia mendesah kaget.
"Ada apa?" Terry mengambil kertas itu dari tangannya. Tertulis dalam huruf-huruf
balok: KAU AKAN INGIN BUTA JUGA.
Chapter 14 Es. Es, pikir Terry. Ia merasa tubuhnya membeku di tempat, seluruhnya dingin. Ia
merasa seolah sudah jadi es.
Dan kemudian ia merasa panas, panas karena amarah. "Kok ada
yang tega melakukan hal sekejam ini!" sergah Terry akhirnya.
Niki tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, jelas sangat kesal.
"Hanya ada satu orang yang tega melakukan hal ini," komentar Terry. "Dan kau
juga tahu siapa dia."
"Jangan cari gara-gara, Terry, kumohon," ujar Niki.
"Aku tak cari gara-gara, tapi aku siap menyelesaikan masalah
ini!" sergah Terry panas. "Alex dalang semua ini. Pasti dia."
"Terry, tidak, kumohon jangan!" Niki mencengkeram
lengannya. "Bukan Alex pelakunya. Dia menyukaiku. Kau salah. Kau tak berpikir
jernih." "Dengar, Niki, aku tahu..."
"Kau tak tahu siapa pelakunya. Kalau kau mengatakan sesuatu
pada Alex, keadaan akan semakin buruk!"
"Memang, tapi aku tak bisa hanya..."
"Kumohon," ulang Niki. "Kita lupakan saja."
"Lupakan?" Terry kaget Niki bisa mengusulkan hal semacam
itu. "Ini... ini hanya sebuah lelucon," ujar Niki. "Memang kejam, dan konyol, tapi
hanya itu. Kalau kita bersikap seolah hal ini tak
pernah terjadi, siapa pun pelakunya takkan mendapat kepuasan."
Terry dapat melihat kebenaran pendapat Niki, tapi ia tak
menyukainya. "Jadi, kita tak perlu membicarakannya?"
"Benar," jawab Niki. "Dan jangan tampak kesal."
"Wah, aku harus mengerahkan semua kemampuan aktingku,"
komentar Terry. "Kumohon, Terry, demi aku," Niki kembali memohon.
Terry menunduk menatapnya dan merasa hatinya mencair. Pada
saat-saat seperti ini, ia tahu Niki adalah orang paling penting dalam hidupnya,
dan ia akan melakukan apa saja untuk gadis itu. "Oke.
Muka Lucu," katanya. "Demi kau." Niki berdiri berjinjit dan mencium pipi Terry.
"Trims." "Bahkan," lanjut Terry, "aku punya gagasan. Ayo kita pulang lewat Pete's Pizza.
Kita bisa mempraktekkan akting kita sambil
minum Coke." Niki kembali tersenyum, senyum penuh cinta yang tulus.
"Setuju," ujarnya.
Pete's Pizza merupakan salah satu tempat mangkal remaja yang
paling terkenal, dan hari itu penuh sesak, baik oleh murid-murid
Shadyside maupun murid kolese yunior di dekat tempat itu. Terry dan
Niki beruntung bisa mendapat meja kosong.
Sambil menunggu pesanan mereka diantar, Terry mulai
menceritakan pada Niki tentang proyek biologinya. Di sana sangat
bising sehingga Terry hampir tak bisa mendengar suara Niki, tapi
gadis itu mengerti semua perkataannya. Ia baru sampai ke bagian di
mana bibit membelah jadi dua ketika Niki memotong penjelasannya.
"Terry, lihat," katanya, menunjuk.
Terry memandang ke arah yang ditunjuk Niki, dan melihat
Justine sedang berdiri di sebuah bilik telepon dengan mimik serius.
"Mungkin kita sebaiknya mengajak dia bergabung," kata Terry.
"Dia bilang padaku ingin mengenalmu lebih dekat."
"Oke," ujar Niki. "Kita akan mengamatinya dan..." Ia berhenti berbicara dan
wajahnya diselimuti mimik aneh.
Terry memegang tangannya. "Ada apa, Niki" Niki, ada apa?"
"Mungkin bukan apa-apa," jawab Niki. "Tapi... lihat Justine."
Terry kembali memandang ke arah bilik telepon. Justine masih
berbicara di telepon, dengan mimik tegang yang aneh. Seolah ia telah berubah
menjadi orang lain yang lebih tua dan kejam.
"Aku tak bermaksud menguping," kata Niki. "Tapi... aku membaca bibirnya. Dan ia
bilang, 'Mereka akan membayar. Semua
akan membayar.'" Chapter 5 MALAM HALLOWEEN ANGIN berembus semakin kencang, menderu-deru di makam
tua itu, mengguncang ranting-ranting gundul seperti tulang jemari
kerangka. Niki meremas tangan Terry ketika mereka mendekati istana
Cameron. Mereka mengikuti Murphy, yang masih terkekeh-kekeh geli
karena berhasil menakut-nakuti mereka.
Tiba-tiba Niki berbalik. Dua remaja lain sedang berjalan di
antara nisan, kostum mereka berkilauan dalam sinar rembulan bulan
Oktober yang keperakan. Semua sudah diberi petunjuk melewati jalan yang sama.
Mereka harus memarkir mobil di jalan buntu di ujung Fear Street, dan memotong
jalan lewat makam ini menuju rumah Justine di ujung
hutan. Meskipun tadi ia dan Niki sempat ketakutan termakan tipuan
Murphy, Terry memutuskan berjalan menembus makam merupakan
gagasan brilian. Cara apa yang lebih hebat untuk membuat semua
orang diselimuti suasana seram menakutkan khas Halloween"
Dari dekat, istana Cameron tampak lebih menyeramkan
daripada dari makam. Bangunan itu dikitari pada kedua sisinya oleh
pepohonan gundul yang tampak seolah sudah berumur ratusan tahun.
Jendela-jendela lantai dasar dilapisi jeruji besi tebal, dan di
sampingnya terdapat kerai kayu rongsokan yang terempas-empas
angin. Meski sedang diperbaiki, pikir Terry, rumah tua ini tetap
tampak seperti rumah-rumah di film horor. Mungkin rumah ini benar-
benar berhantu. Tepat saat itu lolongan angin berhenti, dan ia bisa
mendengar suara musik serta tawa dari dalam. Kedengarannya pesta
sudah dimulai. Murphy sedang menaiki tangga depan beranda, kostum zombie-
nya berkibar-kibar di sekitar tubuhnya diterpa angin. Terry melirik
Niki dan meremas tangannya, menenangkan gadis itu. Niki
mengenakan kostum peramal karnaval kuno - gaun pesta dansa dari
satin merah dan jubah bertudung hitam yang melambai-lambai. Ia
meniru modelnya dari sebuah buku kostum pesta tua. Ia tampak cantik
jelita. Sambil tersenyum lebar pada Terry, Niki memasang topeng
matanya yang hitam mengilat dan berbulu.
Terry dengan cepat mengenakan topengnya sendiri. Ibunya
telah menolong mendandaninya sebagai pemuda Latin zaman tahun
1950-an. Ia mengenakan celana chino hitam dan sepatu saddle tua
milik ayahnya yang ia temukan di gudang loteng. Ia telah menggulung
satu pak rokok di sebelah dalam lengan T-shirt putihnya yang ketat
dan mengenakan jaket gelap longgar di luarnya. Kedua sisi rambutnya
disisir licin ke belakang dan diberi Vaseline serta berjambul di depan.
Saat keluar dari rumahnya tadi, ia merasa tampangnya cukup keren,
tapi kini ia bertanya-tanya apakah ia hanya tampak konyol.
Seperti seorang pengecut.
Seolah membaca pikirannya, Niki mengulurkan tangan ke atas
dan mencium pipinya. "Kau tampak hebat, Terry," ujarnya.
Terry tersenyum padanya. "Kau juga, Muka Lucu." Ia
menggeser topengnya ke atas dan membungkuk untuk mencium Niki.
Gadis itu membalas ciumannya, dan sesaat mereka hanya berdiri di
sana, berangkulan dengan canggung karena terhalang kostum mereka,
dan berciuman. "Eh." Terry," kata Niki sesaat kemudian. "Bagaimana
pestanya?" "Pesta apa?" tanya Terry. Tapi ia menarik tubuhnya dan
kembali tersenyum pada Niki. Kemudian, bergandengan tangan,
mereka menaiki tangga ke beranda yang penuh sulur tanaman.
Murphy pasti sudah masuk ke dalam, karena beranda itu kosong.
Di tengah daun pintu kayu yang sudah tua terpasang sebuah
pengetuk pintu berukir berbentuk tengkorak kepala. Terry sedang
mengulurkan tangan untuk menariknya, ketika tiba-tiba seekor labah-
labah berbulu raksasa menukik di udara dan mendarat di atas
lengannya. "Tidak!" Niki berteriak dan Terry meloncat mundur, jantungnya berdebar
kencang. "Kena lagi!" Terry berbalik dan melihat Murphy berdiri di atas pagar
samping beranda, tersembunyi di balik sulur tanaman. Sambil
terkekeh-kekeh gila, Murphy meloncat turun ke lantai beranda.
Serangga karet raksasa itu tergantung di ujung sebuah tongkat panjang dan karet
gelang yang dinaik-turunkannya seperti yoyo.
Murphy tertawa. "Kalian berdua gampang sekali ditakut-takuti.
Kalau semua pengecut sepengecut kalian, tim jagoan akan
memenangkan kontes ini dengan mudah."
"Lucu sekali, Murph," ujar Terry. Ia menarik napas dalam dan kemudian tertawa.
Sambil memperbaiki topengnya, ia kembali mengangkat tangan
untuk mengetuk pintu. Terdengar bunyi derit, dan daun pintu perlahan membuka.
*****************************
Ruang tamu Justine tampak menyeramkan, menimbulkan rasa
ingin tahu, khayalan - atau mimpi buruk - Halloween terhebat. Jaring
labah-labah palsu bergantungan di tiap sudut, dan gambar tengkorak,
tukang sihir, serta kelelawar menjuntai dan berayun-ayun di langit-
langit. Di sepanjang balkon sempit di atas satu sisi ruang tamu terdapat
lampu sorot berwarna yang seolah menyoroti ruangan seirama dengan
musik, sinarnya yang berpendar-pendar membuat semua seolah
bergerak-gerak seram. Satu-satunya sumber sinar lain berasal dari perapian terbuka
berukuran raksasa, di mana sebuah periuk hitam besar sedang
dijerang, mengeluarkan asap kehijauan yang berbusa-busa mengepul.
Semua perabotnya dari abad lain, tapi musik yang menggelegar
dari pengeras suara tersembunyi berasal dari zaman sekarang. Efek
keseluruhannya seperti berada di kastil berhantu modern.
Bahkan Murphy pun terkesan. "Wah," ujarnya, berhenti tepat di dalam pintu ruang
tamu. "Benar-benar... wah!"
"Oh, Terry, keren sekali!" Niki mencengkeram lengan Terry
penuh semangat. Mereka sesaat berdiri di pintu yang terbuka saat seorang dewi -
atau iblis - menyeberangi ruangan. Baru sesaat kemudian Terry
mengenali Justine. Ia mengenakan gaun hitam ketat, terbuat dari satin dan
berpotongan leher rendah, serta memakai selop berhak tinggi
runcing. Rambut pirangnya yang tebal disanggul tinggi di atas kepala, dan ia
telah membedaki wajah serta tenggorokannya hingga putih
pucat - yang berwarna hanya pulasan merah di bibirnya yang seksi
serta bola matanya yang hijau berkilauan.
"Ia tampak seperti wanita berambut hitam di TV, yang
memainkan film-film horor itu. Elvira," bisik Terry.
Justine sengaja berhenti sebentar, kemudian tersenyum hangat.
"Selamat datang di ruangan bawah tanahku!" sambutnya. "Hampir semua orang sudah
hadir di sini. Kami mulai berpikir kalian diculik
setan!" "Kostummu hebat, Justine," ujar Niki.
"Terima kasih," kata Justine. "Sejak dulu aku ingin jadi vampir"
Ia berkata seolah sungguh-sungguh, kemudian tertawa. "Kostummu
juga cukup keren. Mengingatkanku pada yang kulihat di Karnaval
Venice." "Di mana?" tanya Niki.
"Di sebuah pesta besar yang mereka adakan di Venice setahun
sekali," kata Justine. "Semua orang berdandan dan berpesta di seluruh jalan
serta kanal. Di Venice, Italia," tambahnya. "Dulu aku tinggal di sana dengan...
pamanku. Oh ya, aku jadi ingat. Paman Philip,
perkenalkan teman-teman baruku."
Seorang pria yang sangat kurus melangkah keluar dari
bayangan di samping perapian. Ia mengenakan kostum badut satin
berwarna biru, dan wajahnya tertutup riasan teater berupa topeng
badut sedih. Sebutir air mata mengilap dilekatkan di bawah mata
kanannya. "Ini Murphy Carter, Niki Meyer, dan Terry Ryan," ujar Justine.
"Aku sangat senang bertemu kalian semua," kata Philip, cermat mengamati masing-
masing remaja dengan mata badutnya yang sedih.
"Kami sangat senang bertemu Anda," balas Terry, menjabat
tangan Philip. "Rumah Anda bagus sekali."
"Ya," Niki menyetujui. "Ini pesta paling luar biasa yang pernah saya hadiri."
"Wah, terima kasih," ujar Philip. "Kami menyewa seorang insinyur dari Disko
Starlight untuk memasang semua lampu dan
sound system. Justine yang memilih semua tape dan CD. Kami -
keponakan saya dan saya - telah melakukan segalanya untuk
membuat pesta ini tak terlupakan."
"Mari aku simpankan mantel kalian," ujar Justine. "Ayo masuk dan bergabunglah.
Di atas peti mati ada makanan, dan di dalam periuk ada soda dingin."
Justine dan pamannya pergi untuk bicara dengan tamu lain.
Terry tetap berdiri dekat pintu, mengamati dekor ruangan yang
fantastis. Sepasang remaja sedang berdansa dekat perapian, dan
beberapa lagi sedang berdiri sambil makan serta tertawa-tawa.
Dekorasinya membuat ruangan itu tampak seperti seting film.
Justine dan pamannya pasti punya banyak uang, pikir Terry.
Pesta ini butuh banyak uang. Aku ingin tahu mengapa Justine ingin
mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk sembilan orang"
"Aneh, ya?" kata Niki di sampingnya.
"Aneh" Bercanda kau! Ini hebat!" tukas Terry.
"Mereka mengeluarkan banyak uang untuk pesta ini," Niki
meneruskan seolah telah membaca pikiran Terry. "Aku heran
mengapa dia repot-repot begini?"
"Aku juga tak tahu," jawab Terry. "Mungkin dia senang menyumbang kita."
"Kita beruntung," komentar Niki. "Tapi aku tetap... ingin lebih jauh mengenal
Justine." Terry tertawa. Niki adalah orang yang paling penuh rasa ingin
tahu yang ia kenal. "Hei, Muka Lucu," katanya. "Nanti kau bisa berperan sebagai Nancy Drew, sekarang
ayo kita periksa makanannya."
Ia memegang tangan Niki dan membimbingnya ke tepi ruangan.
Seperti yang dikatakan Justine, "meja" makannya berupa peti mati hitam mengilap.
Meja itu dipenuhi sederetan keju, roti, cracker, dan berbagai saus serta makanan
pembuka yang membangkitkan selera -
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasuk beberapa jenis yang tak dikenal Terry. Sebuah rak di atas
peti mati berisi mangkuk-mangkuk besar chip dan piring-piring piza -
pepperoni, bawang bombai, sosis, dan semua kombinasi yang
diketahui Terry. Di bawah semua makanan itu terdapat periuk hitam
besar penuh berisi es dan lusinan kaleng soda.
"Coba lihat!" tukas Terry. "Aku belum pernah lihat makanan sebanyak ini di
sebuah pesta." "Aku juga," komentar Niki menyetujui, "kecuali mungkin waktu orangtuaku
mengadakan pesta Tahun Baru." Ia mengulurkan
tangan mengambil sebuah cracker berlapis sesuatu berwarna pink.
"Enak!" katanya. "Apa ya ini?"
"Tarama salata," tukas Angela, yang tiba-tiba muncul di
sebelahnya. Ia menyentuh bahu Niki dan mengulangi kata-kata itu
supaya Niki bisa membaca bibirnya. "Ini kue Yunani yang terbuat dari telur ikan.
Aku menanyakannya pada Justine. Dia bilang dia belajar
membuatnya waktu tinggal di kepulauan Yunani."
"Rasanya enak," komentar Niki serius. "Cobalah, Terry."
"Telur ikan?" ulang Terry. "Tidak, trims. Aku makan piza saja!"
Ia melangkah mundur dan mengamati kostum Angela dengan
pandangan memuji. Gadis itu mengenakan kostum pembalap sepeda,
semua terbuat dari kulit, dan mencap lengan serta lehernya dengan
tato. "Kostum keren," komentar Terry.
"Trims!" jawab Angela. "Kau harus lihat yang lain. Ini sudah jelas pesta paling
hebat yang pernah kuhadiri."
Ketika Niki mencoba sesuatu berwarna hijau berisi krim putih,
Terry mengunyah piza dan mengamati tamu-tamu lain. Agak sulit
melihat dalam sinar remang-remang, tapi ia mengenali Trisha dan
David sedang berbicara di sudut di bawah sebuah tengkorak kepala
manusia. David mengenakan seragam basketnya, hanya sebagai
pengganti bola ia memegang tengkorak kepala bulat besar terbuat dari papier-
mache. Trisha, wajah bulatnya tampak ceria dan bersemangat,
mengenakan kostum cheerleader dari tahun lima puluhan, dengan
sweter pink ketat dan rok putih pendek di atas bot setinggi mata kaki berwarna
putih. Di tangannya ada sebuah megafon besar, dan ia
tampak menggelikan - kalau mimiknya tak menunjukkan
kegembiraaan yang luar biasa.
Di depan perapian, Justine sedang berdansa dengan Murphy:
sang vampir dan sang zombie. Mereka tampak menakutkan, tapi
sekaligus memesona, seperti makhluk-makhluk di film horor.
Terry sedang mencari-cari pasangan remaja terakhir ketika
mendengar sebuah suara aneh di belakangnya. Ia menolah dan
terperangah, kemudian mulai tertawa. Ia tak bisa menahan diri. Di
belakangnya ada Ricky Schorr, memakai kostum katak.
Ia mengenakan pakaian dalam panjang berwarna hijau terang,
sepasang sirip untuk berenang, dan topeng bermata hitam menonjol di
atas kepalanya. "Ribit," kuaknya.
"Ya ampun!" Terry akhirnya berkata setelah kembali bisa
bernapas. "Kau muncul sebagai proyek biologimu."
"Kau suka?" tanya Ricky, meneguk Dr. Pepper diet. "Aku sendiri yang mencelup
pakaian dalam ini. Tapi ibuku agak kesal - dia
tak bisa menghilangkan semua warna celupan ini di mesin cucinya."
"Kurasa ini menampilkan dirimu yang sebenarnya," komentar
Angela menghina. "Agak berlendir dan aneh."
"Masa?" tangkis Ricky. "Berarti kau tak mengenalku. Kalau kau menciumku, aku
akan berubah jadi pangeran."
"Lebih baik aku dengan zombie saja, trims," ujar Angela.
Murphy dan Justine telah berhenti berdansa, dan Angela berjalan
menghampiri mereka serta memegang tangan Murphy.
"Hei, Muka Lucu," kata Terry, menyentuh lengan Niki. "Kalau kau bisa berhenti
makan sebentar... mau dansa?"
Terdengar lagu rap mengentak cepat, dan sesaat Niki
memejamkan mata, supaya bisa lebih merasakan irama musik yang
menggetarkan lantai. "Tentu," jawabnya. "Sebaiknya aku memang berhenti makan.
Terry, ini sajian yang paling hebat! Dia punya
hidangan Yunani, Jepang, Prancis, Meksiko..."
"Belum termasuk piza Amerika yang sedap," tukas Terry.
"Jangan kampungan," ujar Niki. Ia berputar menjauhi Terry, kemudian kembali.
"Ada satu hal yang tak kumengerti," kata Niki.
"Aku tak mengerti bagaimana Justine bisa tinggal di semua tempat itu.
Maksudku, dia kan masih remaja."
"Tanyakan padanya nanti," usul Terry. Sebuah lagu baru mulai mengalun dan mereka
tetap berdansa. Terry mengamati Niki dengan
bangga. Ia gadis tercantik di tempat ini. Justine terlalu mengerikan, dan Angela
tampak seperti gadis nakal, tapi gaun merah Niki
menghidupkan semua warna cerah di pipi dan bibirnya, serta membuat
matanya yang gelap berkilau seperti batu bara.
Di satu sisi, Ricky dan Trisha sedang berdansa, sang katak hijau
yang sedang marah dan sang pemandu sorak gemuk, keduanya tampak
senang. Pesta ini menyenangkan, ujar Terry pada diri sendiri. Aku
masih tak tahu mengapa kami diundang - tapi aku bersyukur.
Tape berhenti. Ketika Philip pergi untuk menggantinya,
terdengar ketukan keras di pintu. Justine pergi untuk membukanya,
dan semua orang menoleh untuk melihat siapa tamu yang datang
terlambat itu. Sesaat suasana hening. Berdiri di ambang pintu ruang tamu,
berbingkai koridor yang gelap, tampak sosok berkostum perak
mengilat dari kepala sampai kaki.
Sosok itu berpose, seperti matador, lalu melangkah gagah ke
dalam ruang tamu. Kini Terry melihat sosok itu adalah Alex,
mengenakan kostum senam perak ketat dan topeng perak berkilauan.
Di bawah kostum perak itu, ototnya bergerak-gerak ketika ia berjalan.
Sok pamer, pikir Terry. Niki semakin erat mencengkeram tangan Terry, dan ia berbisik,
"Wah! Dia tampak fantastis!"
Beberapa tamu lain mulai bersiul dan berteriak-teriak.
Bahkan Justine pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari
Alex. "Ladies and gentlemen," ujar gadis itu akhirnya, "saya persembahkan - sang
Pangeran Perak!" Alex berjalan ke tengah ruang tamu dengan gaya tuan rumah.
Terry tidak tahan tak mengatakan apa-apa. Dipicu pujian Niki
untuk Alex. "Hei, Alex," panggilnya, "kau pakai kostum apa -
Manusia Kaleng" Atau Tinkerbell?"
Alex tertawa. "Akuilah, Ryan," katanya. "Kau takkan bisa tampak sehebat ini
walau sejuta tahun lagi sekalipun."
Terry masih memikirkan jawaban yang sinis ketika musik
kombali mengalun, dan sesaat Alex berdansa sendiri, pusat perhatian
semua orang. Niki menarik lengan Terry. "Ayo, Terry," katanya. "Kita dansa." Ia memandang
Terry dengan tatapan yang sangat penuh cinta hingga sesaat Terry lupa untuk iri
pada kostum spektakuler Alex.
Lihat, Pangeran Perak, pikirnya. Silakan pamer, tapi Niki ingin
berdansa denganku. Meskipun tak bisa mendengar suara musik, Niki adalah salah
satu pedansa terbaik yang dikenal Terry. Gadis itu pernah menjelaskan caranya
merasakan irama musik di seluruh tubuhnya, tapi Terry masih
tak seratus persen tahu bagaimana cara Niki melakukannya.
Terry hanya tahu ia menyukainya. Ia merasa seolah dapat
berdansa seperti itu selamanya, mendekap Niki, merasakan
kehangatan tubuhnya. Lagu slow itu berakhir, dan disambung yang lain, sama pelan
dan romantisnya. Terry menggesekkan bibirnya di rambut Niki,
menghirup aroma lembut gadis itu.
BRUUUUUUUUM. Suara itu sekeras guntur.
"Apa itu?" teriak seseorang.
Semua orang terkejut. Tape mati. "Hei - apa yang terjadi?"
Sesaat kemudian ruangan penuh asap. Lalu ruangan itu
dipenuhi teriakan takut, bisikan bingung.
Tak ada yang yakin apakah itu semacam tipuan - atau sebuah
bencana. Terry sudah berniat menarik Niki ke arah pintu ketika Justine
melangkah ke tengah ruangan.
"Suka kejutanku?" tanya gadis itu, tubuhnya yang seksi hampir sirna ditelan
asap. "Ini yang mereka namakan flash pot. Pamanku Philip mempelajarinya ketika
bekerja sebagai manajer panggung. Aku
ingin mendapat perhatian kalian. Apa aku berhasil?"
Sepasang remaja bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa
masih terlalu kaget untuk bereaksi.
Justine tersenyum, lalu mengangkat sebelah alis. "Aku sudah
menjanjikan banyak kejutan untuk kalian," katanya. "Dan masih ada lagi yang
lain. Tapi untuk sekarang - siapa yang mau dansa lagi?"
Sorak-sorai dan tepuk tangan semakin keras. Terry juga ikut
bersorak-sorai. Tampaknya semua bisa terjadi di pesta ini, dan ia siap
menghadapinya. "Bagus," kata Justine. "Tapi sebelumnya aku harus
menceritakan sebuah kisah nyata. Sejak dulu orang selalu suka
berdansa. Tapi di Abad Pertengahan, kadang dansa bukan sekadar
untuk bersenang-senang. Bahkan dikatakan beberapa orang
kemasukan setan saat berdansa. Mereka akan berdansa semakin cepat,
semakin cepat, hingga mati kelelahan. Aku tak tahu apakah malam ini
di sini ada setan, tapi semua bisa terjadi pada malam Halloween. Apa ada yang
berani mencoba musik yang benar-benar cepat?"
"Ya!" "Ayo!" "Yo!" Para tamu kini siap melakukan apa saja. Jika Justine menyuruh
mereka meloncat ke dalam kolam renang dengan pakaian lengkap,
pikir Terry, mereka pasti akan melakukannya.
"Kita akan lihat seberapa cepat kalian bisa berdansa!" ujar Justine. Ia
mengulurkan tangan ke belakang dan menekan sebuah
sakelar. Lilin di dinding mati. Pada saat bersamaan sebuah lampu
sorot menyala berpendar-pendar, dan musik kembali hidup, keras serta cepat,
ritme sintesis yang terus-menerus bergaung, menimpali suara-suara yang terdengar
seperti robot dan mengatakan "Pump up the jam, pump up the jam" berulang kali.
Api di perapian telah padam menjadi bara, jadi satu-satunya
penerangan yang ada berasal dari lampu sorot. Dalam pendarannya
yang cepat, semua tampak bergerak semakin cepat. Terry memegang
tangan Niki dan memutar tubuh gadis itu. Semua tertawa-tawa,
berdansa, saling teriak, dan berganti partner. Dalam sinar yang
remang-remang mengerikan, sulit melihat pasangan dansa masing-
masing. Suatu saat Terry menyadari ia sedang berdansa dengan Ricky!
Rasanya menyenangkan, tapi musik terus-menerus mengentak.
Setiap kali Terry mulai melambatkan gerakannya, musik mengentak
semakin cepat. Di tengah ruangan, Alex sedang berputar-putar seperti
bayangan perak yang berkilauan, dan Terry tiba-tiba bertanya-tanya
dimana Niki. Tepat saat ia melihat gadis itu, sedang berdansa dengan David,
lampu mati. Tape player mengerang sedih lalu mati.
Sesaat suasana hening. Ruangan itu gelap gulita, hanya
diterangi remang-remang bara api di perapian.
"Apa ini, Justine, kejutan lagi?" tanya suara Murphy sesaat kemudian.
"Aku tak tahu apa yang terjadi," jawab Justine. Ia terdengar agak takut. "Paman
Philip..." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Aku akan memeriksa kotak sekring," ujar suara Philip tenang.
"Jangan pergi."
"Jangan khawatir," kata Justine, masih terdengar takut. "Kami baru memasang
sistem listrik baru, dan lampu sorot ini pasti
membuatnya terlalu panas. Pamanku akan mengganti sekringnya, dan
kita akan..." Pada saat itu lilin-lilin artifisial di dinding kembali menyala dan
tape berbunyi lagi. Tapi tak ada lagi yang ingin berdansa karena sorot lampu
memperlihatkan pemandangan mengerikan.
Di depan perapian, separo di atas permadani, tergeletak sesosok
tubuh kaku. Darah mengalir dari sisi tubuh itu, bersumber dari pisau daging
besar yang mencuat di punggungnya.
Chapter 6 SESAAT tak ada yang bergerak atau bicara. Lalu beberapa
orang mulai berteriak berbarengan. Jantung Terry berdebar begitu
kencang sehingga ia dapat mendengarnya. Ruangan besar itu seolah
berputar-putar, lalu miring. Ia berpegangan di sebuah kursi untuk
mengembalikan keseimbangan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian barulah peningnya hilang. Suara-suara
kembali terdengar. Ia dapat mendengar suara mereka satu per satu.
"Oh, tidak, tidak!"
"Apa ini betul?"
"Siapa itu?" "Telepon 911." Sambil memegang kencang tangan Niki, Terry mulai bergerak
ke arah tubuh itu bersama tamu-tamu lain. Ia kini dapat melihat bahwa sosok itu
mengenakan kostum tengkorak. Tapi siapa"
Semua orang tampak enggan maju lebih dekat. Akhirnya Alex
berjongkok. Ia ragu-ragu mengulurkan tangan untuk menyentuhnya
ketika tiba-tiba tengkorak itu meloncat berdiri.
"Kena kalian!" teriak tengkorak itu, dan menjatuhkan diri ke lantai, terkekeh-
kekeh tak terkendali, di atas permadani.
Ternyata Les Whittle. Terdengar desah kaget. Lalu suara tawa, pertama ragu-ragu, kemudian semakin keras
hingga hampir mengguncang ruangan.
"Skor satu untuk tim pengecut!" teriak Ricky penuh
kemenangan. "Tipuan hebat, Les!" Terry mencengkeram bahunya.
"Memang bagus," Trisha menyetujui dengan suara agak
gemetar, "tapi kau membuat kami semua ketakutan setengah mati.
Mengapa tak kauberitahu anggota tim yang lain bahwa kau akan
melakukannya?" "Karena Justine dan aku baru mendapat ide tadi pagi," jawab Les, masih tertawa.
Ia menunjukkan pisaunya pada semua orang.
Hanya sebuah gagang pisau. Darahnya jenis yang dijual di dalam tube.
"Aku menemukannya di toko tipuan dan merasa sayang kalau menyia-nyiakannya,"
jelasnya. "Ini tipuan termudah di dunia."
"Yah, pokoknya asal kau tahu saja, tak ada di antara kami yang
takut," sergah Murphy. "Ini cuma jenis tipuan yang biasa dimainkan seorang
pengecut." Les sama sekali tak terpengaruh. "Tentu, Murph. Mau omong
apa lagi?" katanya, terkekeh pelan. Ia mengenakan kacamata bingkai tanduknya di
atas topeng tengkoraknya. Benda itu membuatnya
tampak aneh, seperti mayat kutu buku. "Aku telah bersembunyi di dapur selama
setengah jam," katanya. "Mana makanannya" Aku kelaparan!"
Sebagian besar tamu, kelelahan sehabis berdansa dan ketakutan,
mengempaskan tubuh di mebel antik, makan dan bercakap-cakap.
"Benar-benar tipuan tolol!" ujar David, kakinya disampirkan di atas lengan
sebuah kursi goyang antik.
"Kau hanya iri karena hal itu tak terpikir olehmu," komentar Trisha.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami telah merancang tipuan yang lebih baik," sergah David.
"Jauh lebih baik. Kau akan melihat maksudku, kecuali kalau kau
bertindak bijaksana dan sekarang pulang."
"Tak akan!" tukas Ricky. "Kalian tim jagoan tak mungkin menang!"
"Kalianlah yang tak mungkin menang," ujar Alex. "Tapi harus kuakui. Akting Les
sebagai mayat sangat meyakinkan."
Terry tak mengatakan apa-apa. Niki sedang duduk,
memalingkan kepala dari semua orang, memakan satu piring kue lagi.
Terry bersyukur gadis itu tak bisa mendengar percakapan mereka,
karena hal itu kemungkinan hanya akan membuatnya marah lagi.
"Jadi, bagaimana menurut kalian, guys?" tanya Alex ceria,
duduk di sebelah Terry dan Niki di lengan sebuah bangku antik. "Apa tim kalian
Pendekar Pemetik Harpa 13 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Pengawal Pilihan 1
Chapter 1 Scan/edit teks by http://ebukulawas.blogspot.com
NISAN itu menjulang kelabu di bawah sorot sinar bulan,
tepiannya aus tak rata. Lapisan lumut tebal menutupi kata-kata yang
terukir di permukaannya - yang terlihat hanya baris terakhir.
Meninggal 31 Oktober 1884
Terry Rian mencoba melangkah cepat melewati monumen kuno
itu, tapi pacarnya, Niki Meyer, menarik tangannya, mengajaknya
berhenti. "Lihat, Terry," kata gadis itu. "Penghuni kuburan ini meninggal persis
hari ini, lebih dari seratus tahun lalu."
Niki melangkah lebih dekat, senternya memancarkan lengkung
sinar kuning suram di atas batu nisan. Terry merapatkan jaketnya.
Angin melolong-lolong, terdengar seperti ratapan makhluk yang sudah
lama mati. Di suatu tempat ada benda yang menggesek, dan berderak,
di atas batu. Aku tak percaya sedang berdiri di tengah makam Fear Street
malam-malam begini, pikir Terry. Ia kembali memegang tangan Niki
dan menekannya pelan. Gadis itu menoleh menatapnya, matanya yang
gelap indah berkilauan penuh semangat. Dalam gaun merah dan
mantel tudung hitam, ia tampak seperti putri abad pertengahan.
"Siapa ya, mereka?" gumamnya, menunjuk ke arah deretan
nisan tua di sekeliling mereka.
"Generasi awal Shadyside, mungkin," jawab Terry. "Sudah bertahun-tahun tak ada
yang dikubur di sini."
"Di sini seram," tukas Niki. "Tapi juga agak indah. Menurutmu apa sumber semua
cerita itu, tentang mayat hidup yang keluar dari
kuburan mereka?" "Cuma cerita," komentar Terry. "Ayo. Jalan lagi."
Angin bertiup kencang, dan Terry melihat tubuh Niki menggigil
di balik mantel. Mereka mulai berjalan lagi, dan Terry membuka jalan di tengah
rumput liar yang tumbuh subur di antara deretan nisan.
Gemeresik rerumputan mengikuti tiap langkah mereka - seperti derak
tulang patah. Di atas mereka angin memekik-mekik, mengguncang
sebuah dahan pohon. Terry melirik Niki. Mata gadis itu berkilau
penuh semangat. Angin yang melolong-lolong tak mengganggu Niki, pikir Terry.
Niki sudah hampir tuli total sejak mengalami kecelakaan di kelas dua.
Tapi ia berbicara begitu jelas, dan begitu lancar membaca bibir,
sehingga sebagian besar orang tak menyadari ia cacat.
Niki sendiri tak pernah bersikap seolah ia berbeda dari anak
lain. Ia sama sekali tak pernah menginginkan perlakuan istimewa.
Bahkan justru sebaliknya. Niki selalu siap bertualang.
Tapi apa ia siap untuk malam ini"
Mereka hampir sampai di ujung jalan pintas yang menuju tepi
makam. Di belakang dinding batu makam terlihat sosok istana
Cameron tua. Pepohonan tinggi di sekelilingnya terempas-empas dari
sisi ke sisi. Dari kejauhan tampak seolah rumah itu perlahan
berguncang sendiri. Gerbang kayu di ujung dinding terpentang. Tak sadar, Terry
mulai berjalan agak lebih cepat. Niki kembali menarik tangannya.
"Aku menjatuhkan topengku di belakang sana," tukasnya. "Sebentar, akan kuambil."
Sambil menyorotkan senter ke atas tanah, Nicky cepat
menelusuri kembali langkahnya. "Jangan cepat-cepat," panggil Terry, kemudian ia
ingat gadis itu tak bisa mendengarnya. Niki membungkuk
di belakang nisan yang tadi ia periksa. "Ketemu!" teriaknya.
Terry tergelincir di atas batu berlumut, lalu cepat-cepat
menegakkan tubuh dan berjalan ke arah nisan itu. Meskipun
seandainya cerita-cerita seram itu tidak benar, ia tetap tak mau
melepaskan Niki dari pandangannya. Ia hampir sampai di nisan itu
ketika tiba-tiba sebuah jeritan melengking membelah udara.
"Niki!" panggilnya. Dengan jantung berdebam kencang, ia
melesat ke balik nisan. Niki ada di sana, sedang membersihkan tanah
yang menempel di topeng sutra hitamnya. "Ada apa?" tanya gadis itu ketika
melihat wajah Terry. "Aku mendengar sebuah..." Kembali terdengar jeritan. "Itu lagi!" tukasnya. Ia
merangkul Niki dengan sebelah lengan,
mendekapnya erat-erat. Jeritan itu berasal dari arah gerbang. Ia ingin kembali ke tempat
tadi mereka masuk dan berjalan mengitari makam. Tapi akan banyak
makan waktu. Lagi pula, ia ingin secepat mungkin keluar dari makam
ini. Dengan satu tangan memegang senter dan lengan yang lain
merangkul Niki, Terry berjalan hati-hati ke arah gerbang. Mereka
hampir mencapainya ketika sesosok bayangan hitam tinggi tiba-tiba
melompat ke depan mereka.
Niki memekik dan merapatkan tubuh ke Terry.
Di tengah jalan menghadang sesosok makhluk dari alam mimpi
buruk. Pakaian hitam makhluk itu menggantung compang-camping.
Wajahnya - atau sisa wajahnya - seolah hancur membusuk. Dan
dagingnya mengelupas. Ini tak mungkin terjadi, pikir Terry. Makhluk ini tak mungkin
nyata. Dengan tangan gemetar, ia mendorong Niki ke belakangnya dan
mengangkat senter dengan sikap mengancam. Apa senjata bisa
melukai mayat hidup" pikirnya.
Tapi sebelum ia tahu jawabannya, sosok itu tiba-tiba
mengangkat tangan dan mengoyak lepas kepalanya, memperlihatkan
wajah menyeringai Murphy Carter. Sesaat kemudian Terry baru sadar
bahwa kepala mengerikan itu hanya sebuah topeng.
"Kena kau!" teriak Murphy. "Wah, kalian ketakutan setengah mati! Coba lihat
wajah kalian." "Ya, ya, ya," celetuk Terry, berharap suaranya tak gemetar.
"Kami sudah tahu itu kau."
"Ah, yang benar?" ejek Murphy. "Jangan bohong." Ia menyeringai kepada Niki, lalu
menggerakkan sebelah tangan
bersarung yang tampak seperti sudah busuk. "Ayo kita pergi,"
ajaknya. "Kita kan tak mau terlambat ke pesta ini."
Chapter 2 Dua Minggu Sebelumnya KADANG Terry merasa ia mencoba melakukan terlalu banyak
hal. Kadang ia tahu memang itu yang terjadi. Minggu itu saja, selain harus
melakukan tugas sekolah rutin dan bekerja setelah jam sekolah, ia harus ikut
sebuah proyek sains dan memimpin rapat OSIS. Ia juga
berjanji akan membantu adik perempuannya belajar naik sepeda baru.
Karena begitu sibuk memikirkan proyeknya, ia harus dua kali
memutar kombinasi nomor locker sebelum bisa membukanya. Dan
setelah berhasil, ia sadar sudah lama berniat membersihkan locker itu.
Rasanya tak masuk akal begitu banyak sampah bisa muat di
dalam tempat sekecil itu. Dengan hati-hati Terry mulai menyibak
tumpukan jaket, raket tenis, setengah lusin bukti, dan peralatan proyek
sainsnya. "Pasti ada di sini," katanya pada diri sendiri. "Aku yakin."
"Apa yang ada di sini," tanya sebuah suara di belakangnya.
Terry berbalik, kaget, dan melihat Trisha McCormick berdiri di
belakangnya. Trisha seorang gadis berambut gelap keriting dan agak
kelebihan berat. Ia juga orang paling bersahabat dan antusias yang
dikenal Terry. "Hai, Trish," sapanya. "Kau bilang apa?"
"Kau sedang bicara dengan siapa?" tanya Trisha.
"Ehm... diriku sendiri," jawab Terry. "Aku seorang pendengar yang sangat baik."
"Maaf," ujar Trisha, cekikikan. "Aku tak bermaksud nguping."
"Aku sedang cari makan siangku," Terry menjelaskan. "Nah!
Ini dia!" Dengan penuh kemenangan ia menarik sebuah kantong kertas cokelat kusut
dari dalam tumpukan barangnya, sekaligus kesal melihat sebagian sisinya basah.
Setelah kembali menjejalkan isi locker ke
dalam, ia membanting pintunya. Saat itu selembar kertas melayang-
layang ke atas lantai. "Apa itu?" tanya Trisha.
"Aku tak tahu," jawab Terry. Ia memungut dan memeriksanya.
Itu sebuah amplop putih polos bertepi hitam. Di bagian depan, dalam
tulisan berukir, tercantum namanya: Terry Ryan.
"Tolong pegangkan makan siangku," katanya pada Trisha.
Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membuka amplop itu. Di dalamnya
terdapat selembar kartu putih tebal bergambarkan peti mati. Di bawah gambar peti
tertulis, "Khusus untuk-MU."
"Sebuah peti mati?" tukas Terry, mulai tertawa. "Apa ini - iklan rumah duka?"
"Coba balik," kata Trisha.
Terry mengikuti sarannya. Sisi sebaliknya penuh tulisan. "Hei,"
gumamnya. "Itu undangan ke pesta Halloween di rumah Justine Cameron,
ya kan?" tanya Trisha.
"Ya," jawab Terry. "Kau kok tahu?"
"Aku juga dapat satu," kata Trisha. "Mungkin semua murid dapat. Tapi coba baca
isinya Benar-benar aneh."
"'Pesta Kostum Halloween Sepanjang Malam," Terry membaca.
"Sepanjang malam. Hei, asyik! Apanya yang aneh?"
"Teruskan," ujar Trisha.
"'Kejutan khusus," Terry membaca. "'Dansa, permainan.' Aku tak lihat apa
yang..." "Sudah baca di mana tempatnya?" tanya Trisha.
"'Istana Cameron, pukul delapan, Jumat malam, tiga puluh satu
Oktober," Terry membaca. "Jadi?"
"Jadi tempatnya di istana Cameron tua itu," kata Trisha. "Yang terletak di
belakang makam Fear Street."
"Yang benar! Bagaimana orang bisa mengadakan pesta di sana"
Sudah bertahun-tahun tak ada yang tinggal di sana," tukas Terry.
"Justine dan pamannya sekarang tinggal di sana," kata Trisha.
"Mereka sedang memperbaikinya. Aku tahu karena perusahaan
ayahku yang memasang listriknya."
"Kan rumah itu katanya berhantu?" tanya Terry.
"Semua yang ada di Fear Street katanya berhantu," komentar Trisha. "Ini, ambil
makan siangmu yang sudah lumat."
"Trims," ujar Terry. Ketika berjalan bersama Trisha ke ruang makan, ia ingat
beberapa hal yang pernah didengarnya tentang Fear
Street. Meskipun beberapa rumah tuanya yang indah dihuni orang-
orang yang sangat normal, rumah yang lain dibiarkan kosong dan
menurut kabar katanya dihuni roh jahat. Berbagai peristiwa
mengerikan telah terjadi di Fear Street - pembunuhan, hilangnya
beberapa remaja secara misterius. Tempat itu sepertinya sangat cocok untuk pesta
Halloween. "Menurutmu, mengapa Justine mengundang kita ke pestanya?"
tanya Trisha pada Terry di pintu kafetaria.
Terry mengangkat bahu. "Tak tahu," ujarnya. "Aku bahkan tak kenal dia. Aku hanya
tahu bagaimana rupanya."
Semua murid di sekolah mereka tahu bagaimana rupa gadis itu,
pikir Terry. Ia gadis paling rupawan di Sekolah Menengah
Shadyside - mungkin di seluruh kota. Bahkan murid-murid wanita
pun berkata begitu. Ia bertubuh tinggi ramping, dan lebih menyerupai model
daripada murid, dengan rambut pirang mengilat panjang dan
mata sehijau giok. Justine seorang murid pindahan, masih baru di
Sekolah Menengah Shadyside, dan sejauh ini, belum ada yang benar-
benar mengenalnya - meskipun sebagian murid pria sudah mencoba.
Terry bermaksud bertanya lebih banyak tentang Justine kepada
Trisha ketika ia melihat Niki sedang duduk di sebuah meja dekat
pintu. Ia permisi pada Trisha dan langsung duduk di depan Niki
supaya gadis itu bisa membaca bibirnya. "Hai, Muka Lucu," ujarnya, menyapa gadis
itu dengan panggilan kesayangannya.
"Hai, Terry," jawab Niki, memberinya sebuah senyum lebar.
Terry tiba-tiba merasa seperti orang paling penting di dunia. Niki
selalu membuatnya merasa begitu. Kini mereka sudah berpacaran
selama enam bulan, dan Terry masih tak bisa mempercayai nasib
baiknya. Niki bukan gadis tercantik di Shadyside, maupun terpandai,
tapi ia sudah pasti yang paling istimewa.
Ketika Niki memasuki ruangan, semua orang otomatis merasa
lebih bahagia. Ketika ia tersenyum, gigi putihnya yang rata berkilau dengan
latar belakang kulit mulus berwarna zaitun, seperti matahari
terbit. "Sibuk, ya?" tanya Niki.
"Tidak kok," jawab Terry. "Tapi lihat ini." Terry menyerahkan undangan itu.
"Aku juga dapat satu," tukas Niki.
"Mungkin semua murid dapat," komentar Terry.
"Kurasa tidak," sergah Niki. "Tak ada murid lain di unitku yang diundang. Dan
sahabat-sahabatku, Jade serta Deena, tak diundang."
"Aku ingin tahu mengapa dia mengundang kita," tukas Terry.
"Aku bahkan tak mengenalnya. Kau?"
"Tak terlalu akrab," Niki mengakui. "Dia anggota kelas senamku dan aku pernah
main basket dengannya. Tapi kami hampir
tak pernah saling bicara."
Terry membuka kantong makan siangnya, melihat yang basah
adalah sandwich tomat dan meat loaf-nya, yang entah kenapa
tergencet hancur. "Iih," gumamnya, melihat bekalnya yang kini tampak menjijikkan
itu. "Ini, ambil separo punyaku," Niki menawarkan. Ia selalu bawa bekal yang sama -
sandwich pisang dan selai kacang dilengkapi
potongan wortel dan seledri.
"Tak usah," kata Terry. "Mungkin aku akan beli hot dog dari mesin makanan."
"Aku heran kau kok selalu makan junk food," kecam Niki.
"Setidaknya makanlah beberapa potong wortel."
Terry mengambil satu dan mulai mengunyah.
"Kostum apa yang akan kaupakai?" tanya Niki.
"Apa?" "Untuk pesta Justine. Itu kan pesta kostun ingat?"
"Oh , aku tak tahu," jawab Terry. "Mungkin sebaiknya kita tak usah datang.
Temanmu tak ada yang diundang. Dan kita juga tak
terlalu mengenal Justine..."
"Memangnya kenapa?" sergah Niki. "Aku suka pesta kostum.
Lagi pula, aku belum pernah menghadiri pesta di Fear Street."
"Pasti akan jadi pesta pertama yang berkesan," komentar Terry.
"Kalau begitu jadi, ya," tukas Niki. "Lagi pula, aku ingin lebih mengenal
Justine." "Bagaimana dia di kelas senam?" tanya Terry.
"Dia atlet terbaik di kelas," jawab Niki. "Kondisinya sangat bagus. Pernah
kutanyakan padanya, dan dia bilang dia berlatih angkat beban."
Terry bersiul pelan. "Wah!" gumamnya. "Tak heran dia
sangat..." Ia tak meneruskan komentarnya.
"Dia sangat apa?" tanya Niki. Matanya menyorot tajam.
"Sangat - kau tahu," jawab Terry, menahan seringainya. Ia
mengamati Niki, ingin tahu apakah gadis itu benar-benar kesal atau
hanya menggodanya. "Sangat - berisi?" usul Niki.
"Yah, benar," jawab Terry.
Tawa Niki meledak. "Dasar cowok!" sergahnya. "Aku ingin tahu siapa yang diajak
Justine sebagai pasangannya."
************************ Sepanjang hari semua murid membicarakan Justine dan
pestanya. Semua sudah mendengar tentang hal itu, meskipun tak
banyak yang diundang. Sesaat sebelum bel jam pelajaran terakhir berbunyi, Lisa Blume
menghentikan Terry di koridor. Lisa adalah asisten editor koran
sekolah, dan ia biasanya tahu apa yang sedang terjadi. Sebenarnya ia tukang
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gosip, hanya saja ia menyebut dirinya wartawan yang sedang
menjalankan tugas. "Kudengar kau diundang ke pesta Justine," katanya pada Terry.
"Menurutmu, kenapa dia mengundangmu" "
"Aku sama sekali tak tahu," jawab Terry. "Kan kau wartawan -
mungkin kau bisa memberitahuku."
"Menurutku dia ingin mengenal lebih dekat murid-murid di
sini," ujar Lisa. "Tapi dia malu karena banyak beredar cerita menyeramkan
tentang rumahnya." "Apa maksudmu?"
"Masa kau tak tahu?" Lisa balas bertanya. "Penghuni terakhir istana Cameron itu
tewas dalam sebuah kecelakaan bertahun-tahun
lalu. Menurut cerita, tak ada lagi yang bisa tinggal di sana karena
arwah mereka menghantui rumah itu."
"Cerita bagus. Kalau begitu, mengapa Justine tinggal di sana?"
tanya Terry skeptis. Lisa mengangkat bahu. "Menurut bibiku, Justine adalah sepupu
jauh pemilik asli rumah itu. Pamannya mewarisi rumah itu dan
memutuskan untuk memperbaikinya."
"Kudengar dia tinggal di sana dengan pamannya. "
"Pria itu walinya," kata Lisa. "Kurasa orangtua Justine sudah meninggal atau
mungkin cerai. Orang bilang Justine dan pamannya
telah hidup di berbagai tempat di Amerika dan bahkan di Eropa."
Terry tahu keterangan Lisa biasanya benar, tapi ia tak melihat
hubungan Justine dengan dirinya dan Niki. Ia masih memikirkan hal
itu di kelas biologi ketika Ricky Schorr duduk di sebelahnya.
Ricky sangat suka mempermainkan orang, dan beberapa murid
menganggapnya anak paling brengsek di seluruh sekolah. Rambut
hitam tebal Ricky seperti biasa tak disisir, dan seperti biasa ia
mengenakan T-shirt dekil yang murid lain takkan mau pakai. Kali ini
kausnya bernoda jus jeruk dan bertuliskan "Cium Aku, Aku Orang
Mars". "Hai, Schorr," sapa Terry.
"Yo, Terry," balas Ricicy. Ia meletakkan kantong kertas lusuh di atas meja lab
yang memisahkan mereka. "Kudengar kau dan Niki diundang ke pesta Justine."
"Benar," jawab Terry.
"Aku juga," kata Ricky.
"Masa" Yang benar?" Terry heran. Ia tak tahu mengapa Justine memilihnya dan
Niki, tapi lebih aneh lagi gadis itu juga mengundang
Ricky dan Trisha. Mereka bukan teman satu kelompok.
"Aku ingin tahu siapa lagi yang diundang," gumam Ricky. "Kau tahu?"
"Tidak," jawab Terry pendek. "Bagaimana kemajuan proyek biologimu?" ia bertanya,
sengaja mengganti topik. "Sudah hampir selesai," jawab Ricky. "Ini aku bawa." Ia menunjuk kantong kertas
di antara mereka. Terry memandang kantong itu dengan tatapan tak percaya.
Kantong itu bergerak-gerak dan mulai bergeser di atas meja lab.
"Sayang sekali," ujarnya, "kurasa proyek sainsmu mencoba melarikan diri."
Ricky membuka kantong itu. Seekor katak hijau kecil langsung
meloncat keluar dan mulai melompat-lompat di sepanjang meja. Terry
menangkap dan memegangnya dengan jijik. "Ini proyek biologimu,
Schorr?" tanyanya."Seekor katak?"
"Bukan hanya itu," bantah Ricky, membela diri. Ia
memasukkan tangan ke dalam kantong dan mengeluarkan sestoples air
keruh. "Proyekku mengenai metamorfosis," katanya. "Di dalamnya ada berudu."
Terry memperhatikan stoples itu dengan pandangan tak yakin.
"Maksudmu, berudu mati?" tanyanya. "Kelihatannya tak bergerak."
"Coba aku lihat," ujar Ricky. Ia mengambil stoples itu dan mengamatinya dengan
teliti, memutarnya ke kiri-kanan. Lalu ia
mengguncangnya. "Rupanya aku mestinya melubangi penutupnya,"
akhirnya ia berkata. "Yah sudah, inilah hidup, ya kan" Hari ini hidup, besok
sudah berlendir dan menjijikkan. Aku masih bisa ambil lagi di
kolam." Terry mengulurkan katak di tangannya pada Ricky, dan
temannya memasukkan kembali binatang itu beserta stoples berudu ke
dalam kantong kertas. "Proyek hebat, Schorr," komentar Terry sinis.
"Sebut aku Mr. Sihir," ujar Ricky. "Jadi siapa lagi yang diundang ke pesta itu?"
tanyanya setelah beberapa saat.
"Aku tak tahu," jawab Terry. "Trisha McCormick. Aku tak tahu siapa lagi."
"Murphy Carter," jawab Ricky.
Murphy Carter adalah nama pertama dalam daftar undangan
yang masuk akal bagi Terry. Murphy adalah linebacker tim rugbi
sekolah, dikenal sebagai setan pesta. Tapi ia tak punya hubungan
dengan para undangan lain.
Terry bermaksud bertanya lagi pada Ricky ketika Mr. Rothrock
masuk, siap membahas genetika, dan selama empat puluh menit
berikut Terry sama sekali melupakan pesta itu. Tapi seusai jam
sekolah, saat berjalan di luar untuk menemui Niki, ia melewati
segerombol murid yang berkumpul di tangga depan. Lisa Blume
sedang berbicara dengan sekelompok kecil murid. Niki
menghampirinya di trotoar dan memegang sikunya.
"Hai, Terry," sapa Niki. "Bagaimana hari ini?"
"Aneh," jawab Terry jujur. "Kau sendiri?"
"Juga aneh. Aku merasa seperti selebriti karena mendapat
undangan ke pesta Justine."
"Kau mau pulang lewat mana?" tanya Terry.
"Kurasa lewat - Tunggu sebentar," kata Niki. "Lisa sedang membaca sebuah daftar."
Ia menyipitkan mata ke arah Lisa yang
sedang bicara. Mungkin sebagai kompensasi pendengarannya,
penglihatan Niki sangat tajam, dan ia dapat membaca bibir dari jauh.
"Dia sudah tahu siapa saja yang diundang ke pesta," ujarnya. "Ada sembilan
orang..." "Hanya sembilan?" tanya Terry.
"Itu menurutnya. Kau dan aku, Trisha, Ricky Schorr, Murphy
Carter, Angela Martiner, Les Whittle, David Sommers, dan - dan
Alex Beale." "Alex" Oh, bagus," gumam Terry sinis. Selama bertahun-tahun ia dan Alex berteman
baik. Mereka besar bersama, main tenis
bersama, bahkan berkencan bersama - sampai tahun lalu ketika Niki
berhenti berkencan dengan Alex dan mulai mengencani Terry. Alex
tak bisa melupakan perasaannya pada Niki dan kadang Terry
bertanya-tanya apakah Niki sudah melupakan perasaannya terhadap
Alex. "Daftar ini aneh," ujar Niki. "Tak ada yang merupakan teman satu kelompok,
kecuali mungkin Murphy dan David." David seperti Murphy, anggota tim rugbi dan
juga pebasket. Angela seorang gadis
berambut merah yang cantik dan ramping dengan reputasi binal, dan
Les seorang jenius sains yang penyendiri. Terry tak mengerti kenapa
mereka semua diundang. Tapi jika Alex Beale termasuk dalam daftar, Terry tiba-tiba
bersyukur telah diundang juga.
"Oh, lihat," ujar Niki. "Itu Justine. Mungkin dia akan menjelaskan mengapa
mengundang kita." Justine berjalan cepat keluar dari pintu depan bangunan
sekolah. Gerombolan murid itu menghampirinya. Dengan enggan
Terry mengikuti Niki menaiki tangga.
"Dari mana saja kau seharian?" seorang murid bertanya pada Niki.
"Aku konsultasi dengan dokter di Waynes-bridge," jawab
Justine. "Aku hanya ikut pelajaran terakhir."
"Ayo," kata Lisa. "Jelaskan daftar tamumu."
"Apa yang harus dijelaskan?" ujar Justine manis. "Aku hanya mengadakan pesta."
"Aku tahu!" tukas Murphy Carter. "Kalau kita melihat daftar itu, semua yang
diundang pasti jagoan atau pengecut, atau ceweknya
seseorang. Betul kan, Justine?"
"Maaf. Aku tak mengerti maksudmu," ujar Justine mengangkat bahu. "Aku hanya
mengundang beberapa orang yang ingin kukenal
lebih dekat." Ia mengenakan gaun wol putih dan dengan rambut
pirangnya yang keputihan serta mata hijaunya ia semakin mirip
model. "Aku suka gagasan Murphy," tukas David. "Jagoan dan
pengecut." "Jadi, apa pendapatmu, pengecut?" tanya Murphy ketika
melihat Terry. "Kau punya nyali pergi ke pesta - dan menghadirinya sepanjang
malam?" "Kuharap kalian semua datang ke pesta," kata Justine. Ia
mengarahkan senyumnya yang menyilaukan pada Murphy. "Apa kau
bisa kuandalkan, Murphy?" tanyanya.
"Eh - tentu," jawab Murphy, tiba-tiba tampak dungu.
"Kau juga bisa mengandalkanku," tukas David.
"Syukurlah," komentar Justine. "Nah, kalian berdua harus janji akan berdansa
denganku. Aku punya sound system yang benar-benar
keren, aku beli banyak CD disko yang benar-benar enak."
Justine sengaja mengiming-iming mereka, dan Terry melihat
Murphy serta David termakan
"Hei, aku ingin dansa denganmu," tukas Bobby McCorey, yang tiba-tiba muncul
dengan sobatnya, Marty Danforth. Bobby anggota
tim rugbi universitas, tapi sifatnya buruk dan kebanyakan murid lain tak mau
bergaul dengannya. Ia dan Marty merupakan pengganggu
bertubuh paling besar di sekolah mereka.
"Yah, aku juga ingin berdansa denganmu, Bobby," jawab
Justine, suaranya tiba-tiba terdengar sinis. "Mengapa kau tak ikut aerobik di
kelasku?" Murid-murid lain tertawa, dan Bobby membeliak ke arah
mereka sebelum kembali menatap Justine. "Mengapa aku tak datang saja ke
pestamu?" ujarnya. "Kau mungkin hanya lupa memberiku undangan, ya kan?"
"Tidak," jawab Justine, kembali tersenyum "Aku tak lupa."
"Yah, kau sebaiknya mengubah keputusanmu," sergah Bobby
mengernyit marah. "Aku dan Marty tidak suka kalau tak dilibatkan."
"Aku menyesal kalian merasa begitu," kata Justine. "Tapi ini pesta kecil-
kecilan, dan kalian tak diundang.
"Kita lihat nanti!" tukas Bobby mengancam. "Ayo, Marty,"
tambahnya. "Ayo tinggalkan orang-orang tolol ini, mari kita
bersenang-senang," Ia dan Marty berjalan pergi, lalu melompat ke atas sepeda
motor mereka serta menderum pergi. Terry merasa mereka
belum menyerah, tapi Justine tampak sama sekali tak peduli.
"Hei, Justine - bagaimana dengan pacar?" tanya Murphy. "Aku boleh bawa pacarku,
kan?" "Ini bukan pesta untuk pasangan," jawab Justine. "Ini sama sekali bukan pesta
semacam itu." "Tapi Monica dan aku sudah dua tahun pacaran," bantah
Murphy. "Kalau begitu, aku yakin dia takkan keberatan membiarkanmu
sendirian semalam saja," komentar Justine.
Terry dan Niki bermaksud pergi ketika pintu depan bangunan
sekolah mengayun terbuka dengan suara dentam keras. Alex Beale
berjalan angkuh menuruni tangga. Sosoknya yang besar berotot seolah
memakan tempat dalam radius enam puluh senti di sekitarnya. Terry
harus mengakui Alex tampan, dengan rambut pirang pendek, senyum
percaya diri, mata gelap ceria. Begitu sampai di dekat Justine, pemuda itu
mengedipkan sebelah mata.
"Sudah terima undanganmu," ujarnya.
"Bagus," jawab Justine. "Kuharap aku bisa mengandalkanmu."
"Oh, kau bisa mengandalkanku," ujar Alex. "Satu, dua, tiga, empat, lima..."
Sesudah lima apa, Alex" pikir Terry. Kalau melihat Alex, Terry
kini selalu merasa tak enak dan sinis.
"Aku tahu bisa mengandalkanmu, Alex," kata Justine, kembali tersenyum.Ia menoleh
dan melambai pada anak-anak yang masih
berada di sana. "Sampai jumpa," katanya, dan berjalan menuju halaman parkir.
Terry Memegang tangan Niki dan menariknya pelan. Tapi
sebelum mereka bisa menuruni tangga, suara Murphy Carter
membelah kebisingan. "Hei, Terry," panggilnya. "Pengecut. Mau ke mana buru-
buru?" "Kami mau pulang," jawab Terry. "Kaukira mau apa?"
"Oke," komentar Murphy. "Tapi kau belum menjawab
pertanyaanku." Dengan cepat ia menjelaskan pada Alex tentang
kemungkinan yang diundang adalah pengecut atau jagoan. "Jadi, aku bertanya pada
Terry apakah dia punya nyali untuk datang dan ikut
pesta semalaman." "Pertanyaan bagus," komentar Alex, tertawa. "Kau mau?"
"Oh, wah. Rumah hantu," jawab Terry. "Aku gemetar."
Alex berusaha semirip mungkin menirukan suara Count
Dracula dan bertanya, "Meski di Fear Street?"
"Cuma jalannya saja yang berbeda, menurutku," ujar Murphy.
"Semua omong kosong tentang ulah setan yang terjadi di sana hanya takhayul."
"Aku tak terlalu yakin," komentar Alex serius.
"Sekarang siapa yang pengecut?" tukas Murphy, agak bingung.
"Hei, Alex, kau memihak siapa?"
"Diamlah, Murphy," ujar Alex, memutar bola matanya.
"Halloween di Fear Street" Aku siap." Ia kembali menghadap Terry, di wajahnya
terbersit sebuah senyum aneh. "Bagaimana, Terry"
Menurutmu kalian para pengecut berani tinggal semalaman di sebuah
rumah hantu?" "Aku tak punya masalah dengan hal itu," jawab Terry. "Tapi apa kau yakin ibumu
akan mengizinkanmu keluar semalaman?"
Alex mengabaikan ejekan Terry dan memanggil Ricky Schorr,
yang sedang berjalan ke halaman parkir, membawa kantong kertas
berisi proyek biologinya yang sudah mati. "Hei, Schorr!" teriaknya.
"Bagaimana dengan kau" Kau akan bergabung dengan tim Terry dan
datang ke pesta?" "Aku pasti muncul," jawab Ricky. "Dan aku bukan pengecut."
Alex, David, dan Murphy tertawa. "Hebat!" komentar Murphy.
"Dia bukan pengecut!"
"Dia tak punya nyali menjadi pengecut!" teriak David.
Ketiga remaja itu mulai tertawa lagi, saling bertepuk high-five.
"Jadi, siapa lagi yang masuk timmu, Terry?" tanya Alex. "Les Whittle, mungkin -
dan Trisha" Kaupikir mereka berani datang?"
" Tanya sendiri," jawab Terry. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Sorot mata Niki tampak khawatir, lalu ia menoleh kepada para
jagoan itu. "Ayolah, guys," katanya. "Ini bukan kontes - ini pesta.
Mengapa kita semua tak..."
"Maaf, Niki," potong Murphy. "Mungkin awalnya pesta, tapi sekarang kontes. Kami
melawan mereka. Para jagoan - melawan para
pengecut." Terry sesaat berdiri di sana, kehilangan akal. Alex selalu
mencoba menonjolkan diri. Mengapa ia tak bisa menerima kenyataan
bahwa Niki sekarang pacarnya"
"Cari orang lain yang mau melakukan permainanmu," akhirnya ia berkata. "Ayo,
Niki." "Dengan kata lain," tukas Alex, "kau terlalu pengecut untuk datang ke pesta.
Kalau begitu, Niki, mungkin kau sebaiknya
bergabung dengan tim kami. Sepertinya Terry tak yakin bisa
melindungimu." "Aku bisa mengurusi Niki - jelas lebih baik daripadamu!"
teriak Terry, naik darah dan langsung merasa malu.
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!" teriak Niki pada
keduanya. "Aku bisa mengurusi diriku sendiri! Dan ketahuilah, aku tak termasuk
tim tolol mana pun! Itu gagasan terbodoh yang pernah
kudengar!" "Oh ya?" tanya Alex, tampak tersinggung. "Mungkin kau harus mentikirkannya
lagi." Ia melangkah maju, wajahnya tiba-tiba merah marah.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenanglah, Alex, " tukas Terry. "Tak ada yang bermaksud apa-apa. Ini cuma
pesta, ya kan?" "Sekarang bukan sekadar pesta lagi, gerutu Alex. "Dan kau juga tahu." Ia
berbalik dan cepat berjalan ke arah halaman parkir.
Gerombolan murid itu mulai berpencar. "Yo - Kapten Pengecut,
Ricky dengan ceria memanggil dari seberang halaman parkir. "Kita akan
mengalahkan mereka, heh, dude?"
"Mereka tak mungkin menang!" Terry balas berteriak, tiba-tiba terlibat dalam
kompetisi itu tanpa menyadarinya. "Akan kita
tunjukkan siapa pengecut sebenarnya. Bukan kita."
Ia mulai meraih tangan Niki, tapi menghentikan gerakannya
dengan terkejut. Gadis itu masih berdiri dan menengadah menatapnya,
wajahnya penuh penderitaan. "Hei, Muka Lucu," panggil Terry. "Ada apa?"
"Kontes tolol ini," jawab Niki, mengernyit. "Mengapa
kaubiarkan mereka memaksamu melakukannya?"
"Tak ada yang memaksaku melakukan apa-apa," komentar
Terry. "Lagi pula, ini tak perlu dikhawatirkan. Ini cuma permainan tolol."
"Bagimu, mungkin," ujar Niki. "Tapi tidak bagi Alex. Apa kau tak melihat
wajahnya" Dia serius! Sangat serius."
Chapter 3 ORANGTUA Terry langsung mengizinkannya pergi ke pesta
sepanjang malam itu, tapi hanya karena ada paman Justine yang akan
mengawasi. Orangtua Niki lebih sulit diyakinkan, tapi ketika Niki
memperlihatkan kosturn yang telah ia buat selama berjam-jam,
mereka akhirnya menyerah.
Sementara itu, Terry, Ricky, Les, dan Trish - tim "pengecut" -
sedang merancang tipuan yang akan mereka mainkan pada tim jagoan.
Terry hanya separo hati melakukannya, karena ia tahu kompetisi itu
sebenarnya antara Alex dan ia.
Niki sama sekali tak mau terlibat dengan kompetisi atau
permainan apa pun. Tapi ia sangat menantikan pesta itu.
Sementara itu, setiap hari di sekolah terasa seperti Hari
Aprilmop. Pada awalnya hanya permainan tak berbahaya.
Suatu pagi, tim jagoan "mengerjai" Ricky Schorr dengan
sebuah ular plastik raksasa yang meloncat keluar locker-nya.
Lalu Les membalas dendam dengan menyelinap masuk ke
dalam ruang locker dan mengisi sepatu basket Alex serta Murphy
dengan krim cukur. Sehari sesudahnya, Trisha menerima telepon dari seseorang
yang mengatakan ia telah m-menangkan 500 kilo ikan mati di kontes
pengecut. Tapi kemudian permainan itu berubah jahat. Dua hari sebelum
Halloween, Terry membuka locker dan mengulurkan tangan
mengambil raket tenis tanpa melihat lagi.
"Ohhh." Tangannya menyentuh sesuatu.
Terasa lengket dan dingin. Seperti kulit mayat.
Terry menjatuhkan raketnya dengan jijik.
Ia melangkah mundur, lalu memaksa diri menatap raketnya.
Menggantung di seutas tali, sebuah kepala ayam gundul
menatapnya dari balik mata yang tak bernyawa.
"Iih, jijik." Ia memungut raketnya dan membuka gulungan kertas di
gagangnya: "Ini untuk kostummu, pengecut. Kau akan melihat yang lebih buruk -
kecuali kau mengundurkan diri dan melupakan pesta
ini." "Dewasa sekali, Alex," ujar Terry ke koridor yang kosong.
Ia mengangkat bahu, lalu melemparkan kepala ayam dan pesan
itu ke keranjang sampah terdekat. Mengapa ia dan Alex bisa
bermusuhan begini" ia bertanya-tanya. Ia masih ingat tahun-tahun saat mereka
besar bersama, ketika keluarga Alex tinggal di ujung jalan.
Waktu itu mereka bersahabat. Hampir tak terpisahkan.
Kini mereka tak bisa bersama selama lima menit tanpa
terjerumus ke dalam kompetisi konyol.
Konyol, sangat konyol. Tapi meskipun tahu kompetisi itu konyol,, Terry tetap tak mau
kalah dari Alex. Tidak sekarang. Tidak selamanya.
Hari Kamis sebelum pesta, Terry sedang bergegas ke
perpustakaan sekolah untuk mengerjakan proyek biologinya saat jam
belajar. Ia telah memilih perkecambahan bibit sebagai topik
proyeknya karena hal itu terasa sangat menarik. Memang hal itu
menarik, tapi juga jauh lebih kompleks daripada yang pernah ia
bayangkan. Ia telah mencoba mengecambahkan beberapa bibit dan
menyimpannya pada berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda, tapi
tak ada yang bertunas. Kini sebagai gantinya ia harus membuat
ilustrasi. Ia berbelok di sudut menjelang perpustakaan dan tiba-tiba
langkahnya terhenti. Di ujung koridor ada sekelompok kecil murid,
termasuk Murphy, David, Alex - dan Niki. Gadis itu mengenakan
sweter merah cerah dan rok wol kotak-kotak, dan tampak sangat
cantik hingga Terry hanya ingin mendekati dan memeluknya. Tapi
Niki sedang tersenyum dan berbicara pada Alex.
Alex-lah yang pertama melihat Terry. Ia tak mengatakan apa
pun. Ia hanya menatap Terry seolah pemuda itu seekor kutu atau
bentuk kehidupan rendah lain. Dan kemudian ia sengaja kembali
memusatkan perhatian pada Niki. Ia membungkuk dan mengatakan
sesuatu pada gadis itu, sangat dekat ke wajahnya. Niki cepat-cepat
menggeleng, tampak kesal, dan para jagoan itu tertawa serta
melangkah pergi dengan angkuh. Terry memaksa diri bersikap seolah
ia tak melihat apa-apa. "Hai, Muka Lucu," sapanya.
"Hai, Terry," jawab Niki. Ia tersenyum, tapi tak penuh. Ia tampak khawatir,
seolah ada sesuatu di benaknya.
"Tadi itu apa?" Terry bertanya sambil lalu.
"Apa yang mana?"
"Dengan Murphy dan Alex. Kalian sedang membicarakan apa?"
Sesaat Niki tak menjawab, lalu ia melemparkan Tatapan pada
Terry, tatapan yang berarti Terry menginjak daerah berbahaya.
"Memangnya aku tak boleh bicara dengan mereka?" tanya gadis itu, terdengar
membela diri. "Yah, hanya saja - mereka anggota tim lawan," ujar Terry. Lalu mencoba melucu, ia
menambahkan, "Kan ini perang!"
Tapi Niki tak menganggapnya lucu. "Ketahuilah," katanya, "tak ada hal semacam
itu. Dan aku bukan anggota tim mana pun. Atau kau
sudah lupa?" "Aku ingat, tapi - yah, kau akan pergi ke pesta bersamaku,
jadi..." "Aku akan pergi ke pesta bersamamu," potong Niki. "Tapi aku akan bicara kepada
siapa pun yang kuinginkan."
Terry tahu gadis itu benar. "Maafkan aku," katanya. "Aku tak bermaksud
menekanmu. Hanya saja kau terlihat agak khawatir."
"Benar, aku memang khawatir," jawab Niki. "Gagasan pesta ini semakin tampak
aneh." "Apa maksudmu?"
"Yah, kontes konyol ini. Justine juga sangat terlibat. Dan aku
masih tak mengerti mengapa dia mengundang kita. Murid-murid yang
diundang saling tak cocok."
"Aku tahu," komentar Terry. "Tapi memangnya kenapa?"
"Dan mengapa dia bilang tak ada yang boleh bawa pacar?" Niki meneruskan.
"Itu bukan masalah bagi kita," ujar Terry. "Maksudmu, kau tak mau pergi?"
"Bukan," jawab Niki. "Tapi, Terry, hati-hati. Tadi pagi Angela berkata tim
jagoan sedang merancang beberapa tipuan untuk pesta itu, yang bisa sangat
berbahaya." "Apa misalnya?"
"Aku tak tahu. Itulah yang tadi sedang kutanyakan pada Alex."
"Apa katanya?" "Dia tak mau mengatakannya. Dia hanya berkata aku sebaiknya
bergabung dengan timnya," jawab Niki, kini bahkan semakin kesal.
'Dia bilang mungkin tak aman bagiku pergi bersama tim pengecut!"
Terry menarik napas dalam-dalam dan menahannya. "Kau
bilang apa?" sesaat kemudian ia bertanya. Ia benci pada dirinya sendiri karena
menanyakannya, tapi ia harus tahu.
"Oh, aku bilang dia benar dan aku memutuskan untuk pergi
dengan tim jagoan - kau kira aku bilang apa?"
Nada sinis dalam suaranya seberat semen dan Terry merasa tak
enak. "Niki, aku menyesal. Aku tak bermaksud..."
Apa gunanya menyesal?" tanya gadis itu. "Aku heran melihat tingkahmu dan Alex.
Kalian berdua menanggapi hal ini dengan serius!
Mengapa kau tak bisa bersikap santai dan menanggapinya sebagai
pesta biasa?" "Hei, bukan aku yang terlalu serius menanggapinya," bantah Terry. "Alex yang
memainkan semua tipuan itu. Dia yang
mengancammu, mencoba mengacau hubungan kita..."
"Coba dengar perkataanmu itu!" sergah Niki, matanya yang
berwarna gelap tiba-tiba berpendar marah. "Mengapa kau tak
mengaku saja, bahwa kau sama cemburunya dengan Alex! Itulah
sebenarnya alasan kompetisi konyol ini!"
Niki berbalik marah dan berjalan menyusuri koridor.
Terry bermaksud mengejarnya, tapi mengurungkan niat. Tak
akan berguna. Kalau marah seperti itu, Niki pasti butuh waktu untuk
menenangkan diri. Terry seorang diri di perpustakaan saat jam belajar, tapi baginya
sama saja seperti berada di tengah keramaian stasiun kereta api. Ia
terpaku menatap foto-foto benih, tapi yang terlihat olehnya hanya
wajah Alex Beale. Apa pun rencana Alex, pikir Terry, ia takkan membiarkannya
begitu saja. Dan Terry tak mau ditakut-takuti oleh isu tipuan
"berbahaya". Ini hanya pesta Halloween. Sudah pasti akan terjadi hal-hal
menakutkan pada perayaan Halloween.
Tapi seperti apa pun berusaha mengecilkannya, Terry tak bisa
mengabaikan sepercik firasat buruk di hatinya.
************************ Terry sedang meninggalkan perpustakaa menuju kelas
berikutnya ketika mendengar suara-suara marah di luar pintu
pelayanan kafeteria. la bermaksud jalan terus ketika mendengar
pekikan pelan dan suara ketakutan seorang gadis, "Berhenti! Kau menyakitiku!"
Dengan jantung berdebar kencang, Terry menarik daun pintu
lebar-lebar. Di lobi pelayanan tampak Bobby McCorey dan Marty
Danfort. Di antara mereka berdiri Justine, dengan wajah pucat dan
mimik takut. "Tak bisa!" ujar Justine. "Kau tak mengerti" Pesta itu sudah dirancang..."
"Nah, kau sebaiknya merancang ulang pesta itu," tukas Bobby, terdengar sangat
sok. Justine mencoba melepaskan diri, tapi Bobby memegang
pergelangan tangannya. "Seperti yang sudah kami katakan padamu, Justine," ujarnya.
"Kami tak menerima jawaban tidak."
Terry berjalan menghampiri mereka tanpa berpikir lagi.
"Baiklah, kalian berdua," katanya. "lepaskan dia."
"Oh ya?" kata Bobby. "Siapa yang menyuruh?"
"Aku," ujar Terry. "Ayo."
"Kau tak membuatku takut," jawab Bobby. Tapi ia melepaskan pergelangan tangan
Justine. "Ayo, Bobby," ajak Marty. "Kita bisa menyelesaiikan masalah ini nanti."
' "Dan jangan kaupikir kami akan melupakannya," tambah
Bobby. Ia mulai melangkah ke arah pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan berbalik
membeliak pada Justine. "Kau punya waktu sampai besok
malam untuk mengubah keputusanmu," katanya pada gadis itu.
"Lupakan," jawab Justine. "Kalian tak diundang."
"Kita lihat nanti," ejek Marty. "Dan kau, pengecut," tambahnya, menunjuk pada
Terry, "kalau tak menyingkir dari depanku, kau takkan memerlukan topeng
Halloween." Dengan langkah dibuat-buat, kedua pengganggu itu menghilang
ke koridor. Sesaat Justine menatap mereka. "Baik sekali mereka,"
komentarnya. "Mereka menganggap diri mereka jahat," ujar Terry. "Padahal sebenarnya mereka
mungkin dua pengecut bertubuh paling besar di
Shadyside." "Yah, menurutku yang kaulakukan sangat berani," komentar
Justine, melemparkan senyum brilian yang agak berkesan akrab.
"Terima kasih."
Terry melihat rambut pirangnya yang mengilat dikepang ke
belakang, dan gadis itu mengenakan sweter hijau limau yang mem
buat matanya semakin tampak hijau.
"Hei, dengar, jangan khawatirkan kedua pemuda itu," kata
Terry. Lalu tiba-tiba ia menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia telah
melawandua pemuda paling kejam di Shadyside.
Aku tadi bisa mati! pikirnya.
Apa aku gila" "Kau mengagumkan," kata Justine. "Suatu hari aku ingin menunjukkan sedalam apa
rasa terima kasihku." Ia terus tersenyum, lalu melanjutkan. "Aku juga ingin
minta maaf padamu," tambahnya, suaranya yang mendayu-dayu bernada rendah dan
akrab. "Minta maaf?" ulang Terry, heran. "Untuk apa?"
Justine tampak malu. "Aku - aku tahu undangan pestaku telah
menimbulkan beberapa masalah. Jadinya sekarang ada semacam
kontes." "Yah, memang," ujar Terry. "Tapi itu bukan salahmu."
"Terima kasih," kata Justine. "Aku tak pernah bermaksud membuat kalian
bermusuhan dengan pesta ini. Aku hanya ingin
mengundang beberapa orang istimewa supaya aku bisa lebih
mengenal kalian semua." Sesaat ia menyentuh lengan Terry dengan ujung jarinya.
Pemuda itu merasa aliran listrik merambat di
lengannya, kemudian di sekujur tubuhnya.
"Yah... eh... hei, maksudku... Kami juga, eh... kami semua juga ingin lebih
mengenalmu," gumamnya terbata-bata.
"Maksudku," lanjut Justine, "tak perlu ada kontes. Aku sudah merencanakan banyak
kejutan tanpanya. Gagasan ini rasanya benar-benar konyol."
"Niki juga bilang begitu," komentar Terry. "Niki, pacarku," ia cepat-cepat
menambahkan. "Ia bahkan sama sekali tak mau terlibat dalam kontes itu."
"Bagus," Justine menanggapi. "Kau tahu, dia temanku di kelas senam. Apa benar
dia tuli" Aku diberitahu begitu, tapi rasanya sulit dipercaya."
"Benar," jawab Terry. "Tapi kebanyakan orang tak tahu."
"Aku sangat senang dia juga akan menghadiri pesta ini," kata Justine. "Aku tak
punya teman cewek di Shadyside, dan bagiku Niki sangat istimewa."
"Akan kusampaikan padanya," ujar Terry. Ia pergi dengan
perasaan hangat. Pesta ini pasti akan sangat istimewa, pikirnya. Dan tak seorang
pun - bahkan Alex - akan merusak suasana hatinya dan
Niki. *************************
Niki sedang menunggu di locker Terry ketika jam sekolah
selesai. Ketika melihat pemuda itu berjalan mendekat, Niki tersenyum malu-malu.
"Hai, Terry," sapanya.
"Hai, Muka Lucu."
"Maafkan aku marah-marah kepadamu," ujar gadis itu.
"Tak apa," jawab Terry. "Aku juga minta maaf. Kau benar. Aku terlalu menganggap
serius kontes itu. Aku berjanji mulai sekarang
akan melupakannya dan santai."
"Bagus," komentar Niki.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terry tersenyum padanya. Ia senang melihat Niki kembali
bahagia. Dan ia juga merasa lebih santai daripada seminggu kemarin.
"Jadi, kita pulang lewat mana?" tanyanya. "Jalan yang panjang, atau jalan
tembus?" "Kurasa yang panjang lebih enak, ya kan?" jawab Niki,
meremas tangan Terry. "Tentu dong," kata Terry. Jalan yang panjang memberi mereka sepuluh menit ekstra
untuk berduaan saja. Terry memasukkan perlengkapannya ke dalam ransel. "Sini,
kubawakan bukumu," katanya pada Niki.
Niki menyerahkan tumpukan bukunya pada pemuda itu, tapi
ketika sedang melakukannya, buku geografinya jatuh ke lantai dan
secarik kecil kertas melayang-layang keluar. Sambil lalu dipungutnya kertas itu
dan dibacanya, lalu ia mendesah kaget.
"Ada apa?" Terry mengambil kertas itu dari tangannya. Tertulis dalam huruf-huruf
balok: KAU AKAN INGIN BUTA JUGA.
Chapter 14 Es. Es, pikir Terry. Ia merasa tubuhnya membeku di tempat, seluruhnya dingin. Ia
merasa seolah sudah jadi es.
Dan kemudian ia merasa panas, panas karena amarah. "Kok ada
yang tega melakukan hal sekejam ini!" sergah Terry akhirnya.
Niki tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, jelas sangat kesal.
"Hanya ada satu orang yang tega melakukan hal ini," komentar Terry. "Dan kau
juga tahu siapa dia."
"Jangan cari gara-gara, Terry, kumohon," ujar Niki.
"Aku tak cari gara-gara, tapi aku siap menyelesaikan masalah
ini!" sergah Terry panas. "Alex dalang semua ini. Pasti dia."
"Terry, tidak, kumohon jangan!" Niki mencengkeram
lengannya. "Bukan Alex pelakunya. Dia menyukaiku. Kau salah. Kau tak berpikir
jernih." "Dengar, Niki, aku tahu..."
"Kau tak tahu siapa pelakunya. Kalau kau mengatakan sesuatu
pada Alex, keadaan akan semakin buruk!"
"Memang, tapi aku tak bisa hanya..."
"Kumohon," ulang Niki. "Kita lupakan saja."
"Lupakan?" Terry kaget Niki bisa mengusulkan hal semacam
itu. "Ini... ini hanya sebuah lelucon," ujar Niki. "Memang kejam, dan konyol, tapi
hanya itu. Kalau kita bersikap seolah hal ini tak
pernah terjadi, siapa pun pelakunya takkan mendapat kepuasan."
Terry dapat melihat kebenaran pendapat Niki, tapi ia tak
menyukainya. "Jadi, kita tak perlu membicarakannya?"
"Benar," jawab Niki. "Dan jangan tampak kesal."
"Wah, aku harus mengerahkan semua kemampuan aktingku,"
komentar Terry. "Kumohon, Terry, demi aku," Niki kembali memohon.
Terry menunduk menatapnya dan merasa hatinya mencair. Pada
saat-saat seperti ini, ia tahu Niki adalah orang paling penting dalam hidupnya,
dan ia akan melakukan apa saja untuk gadis itu. "Oke.
Muka Lucu," katanya. "Demi kau." Niki berdiri berjinjit dan mencium pipi Terry.
"Trims." "Bahkan," lanjut Terry, "aku punya gagasan. Ayo kita pulang lewat Pete's Pizza.
Kita bisa mempraktekkan akting kita sambil
minum Coke." Niki kembali tersenyum, senyum penuh cinta yang tulus.
"Setuju," ujarnya.
Pete's Pizza merupakan salah satu tempat mangkal remaja yang
paling terkenal, dan hari itu penuh sesak, baik oleh murid-murid
Shadyside maupun murid kolese yunior di dekat tempat itu. Terry dan
Niki beruntung bisa mendapat meja kosong.
Sambil menunggu pesanan mereka diantar, Terry mulai
menceritakan pada Niki tentang proyek biologinya. Di sana sangat
bising sehingga Terry hampir tak bisa mendengar suara Niki, tapi
gadis itu mengerti semua perkataannya. Ia baru sampai ke bagian di
mana bibit membelah jadi dua ketika Niki memotong penjelasannya.
"Terry, lihat," katanya, menunjuk.
Terry memandang ke arah yang ditunjuk Niki, dan melihat
Justine sedang berdiri di sebuah bilik telepon dengan mimik serius.
"Mungkin kita sebaiknya mengajak dia bergabung," kata Terry.
"Dia bilang padaku ingin mengenalmu lebih dekat."
"Oke," ujar Niki. "Kita akan mengamatinya dan..." Ia berhenti berbicara dan
wajahnya diselimuti mimik aneh.
Terry memegang tangannya. "Ada apa, Niki" Niki, ada apa?"
"Mungkin bukan apa-apa," jawab Niki. "Tapi... lihat Justine."
Terry kembali memandang ke arah bilik telepon. Justine masih
berbicara di telepon, dengan mimik tegang yang aneh. Seolah ia telah berubah
menjadi orang lain yang lebih tua dan kejam.
"Aku tak bermaksud menguping," kata Niki. "Tapi... aku membaca bibirnya. Dan ia
bilang, 'Mereka akan membayar. Semua
akan membayar.'" Chapter 5 MALAM HALLOWEEN ANGIN berembus semakin kencang, menderu-deru di makam
tua itu, mengguncang ranting-ranting gundul seperti tulang jemari
kerangka. Niki meremas tangan Terry ketika mereka mendekati istana
Cameron. Mereka mengikuti Murphy, yang masih terkekeh-kekeh geli
karena berhasil menakut-nakuti mereka.
Tiba-tiba Niki berbalik. Dua remaja lain sedang berjalan di
antara nisan, kostum mereka berkilauan dalam sinar rembulan bulan
Oktober yang keperakan. Semua sudah diberi petunjuk melewati jalan yang sama.
Mereka harus memarkir mobil di jalan buntu di ujung Fear Street, dan memotong
jalan lewat makam ini menuju rumah Justine di ujung
hutan. Meskipun tadi ia dan Niki sempat ketakutan termakan tipuan
Murphy, Terry memutuskan berjalan menembus makam merupakan
gagasan brilian. Cara apa yang lebih hebat untuk membuat semua
orang diselimuti suasana seram menakutkan khas Halloween"
Dari dekat, istana Cameron tampak lebih menyeramkan
daripada dari makam. Bangunan itu dikitari pada kedua sisinya oleh
pepohonan gundul yang tampak seolah sudah berumur ratusan tahun.
Jendela-jendela lantai dasar dilapisi jeruji besi tebal, dan di
sampingnya terdapat kerai kayu rongsokan yang terempas-empas
angin. Meski sedang diperbaiki, pikir Terry, rumah tua ini tetap
tampak seperti rumah-rumah di film horor. Mungkin rumah ini benar-
benar berhantu. Tepat saat itu lolongan angin berhenti, dan ia bisa
mendengar suara musik serta tawa dari dalam. Kedengarannya pesta
sudah dimulai. Murphy sedang menaiki tangga depan beranda, kostum zombie-
nya berkibar-kibar di sekitar tubuhnya diterpa angin. Terry melirik
Niki dan meremas tangannya, menenangkan gadis itu. Niki
mengenakan kostum peramal karnaval kuno - gaun pesta dansa dari
satin merah dan jubah bertudung hitam yang melambai-lambai. Ia
meniru modelnya dari sebuah buku kostum pesta tua. Ia tampak cantik
jelita. Sambil tersenyum lebar pada Terry, Niki memasang topeng
matanya yang hitam mengilat dan berbulu.
Terry dengan cepat mengenakan topengnya sendiri. Ibunya
telah menolong mendandaninya sebagai pemuda Latin zaman tahun
1950-an. Ia mengenakan celana chino hitam dan sepatu saddle tua
milik ayahnya yang ia temukan di gudang loteng. Ia telah menggulung
satu pak rokok di sebelah dalam lengan T-shirt putihnya yang ketat
dan mengenakan jaket gelap longgar di luarnya. Kedua sisi rambutnya
disisir licin ke belakang dan diberi Vaseline serta berjambul di depan.
Saat keluar dari rumahnya tadi, ia merasa tampangnya cukup keren,
tapi kini ia bertanya-tanya apakah ia hanya tampak konyol.
Seperti seorang pengecut.
Seolah membaca pikirannya, Niki mengulurkan tangan ke atas
dan mencium pipinya. "Kau tampak hebat, Terry," ujarnya.
Terry tersenyum padanya. "Kau juga, Muka Lucu." Ia
menggeser topengnya ke atas dan membungkuk untuk mencium Niki.
Gadis itu membalas ciumannya, dan sesaat mereka hanya berdiri di
sana, berangkulan dengan canggung karena terhalang kostum mereka,
dan berciuman. "Eh." Terry," kata Niki sesaat kemudian. "Bagaimana
pestanya?" "Pesta apa?" tanya Terry. Tapi ia menarik tubuhnya dan
kembali tersenyum pada Niki. Kemudian, bergandengan tangan,
mereka menaiki tangga ke beranda yang penuh sulur tanaman.
Murphy pasti sudah masuk ke dalam, karena beranda itu kosong.
Di tengah daun pintu kayu yang sudah tua terpasang sebuah
pengetuk pintu berukir berbentuk tengkorak kepala. Terry sedang
mengulurkan tangan untuk menariknya, ketika tiba-tiba seekor labah-
labah berbulu raksasa menukik di udara dan mendarat di atas
lengannya. "Tidak!" Niki berteriak dan Terry meloncat mundur, jantungnya berdebar
kencang. "Kena lagi!" Terry berbalik dan melihat Murphy berdiri di atas pagar
samping beranda, tersembunyi di balik sulur tanaman. Sambil
terkekeh-kekeh gila, Murphy meloncat turun ke lantai beranda.
Serangga karet raksasa itu tergantung di ujung sebuah tongkat panjang dan karet
gelang yang dinaik-turunkannya seperti yoyo.
Murphy tertawa. "Kalian berdua gampang sekali ditakut-takuti.
Kalau semua pengecut sepengecut kalian, tim jagoan akan
memenangkan kontes ini dengan mudah."
"Lucu sekali, Murph," ujar Terry. Ia menarik napas dalam dan kemudian tertawa.
Sambil memperbaiki topengnya, ia kembali mengangkat tangan
untuk mengetuk pintu. Terdengar bunyi derit, dan daun pintu perlahan membuka.
*****************************
Ruang tamu Justine tampak menyeramkan, menimbulkan rasa
ingin tahu, khayalan - atau mimpi buruk - Halloween terhebat. Jaring
labah-labah palsu bergantungan di tiap sudut, dan gambar tengkorak,
tukang sihir, serta kelelawar menjuntai dan berayun-ayun di langit-
langit. Di sepanjang balkon sempit di atas satu sisi ruang tamu terdapat
lampu sorot berwarna yang seolah menyoroti ruangan seirama dengan
musik, sinarnya yang berpendar-pendar membuat semua seolah
bergerak-gerak seram. Satu-satunya sumber sinar lain berasal dari perapian terbuka
berukuran raksasa, di mana sebuah periuk hitam besar sedang
dijerang, mengeluarkan asap kehijauan yang berbusa-busa mengepul.
Semua perabotnya dari abad lain, tapi musik yang menggelegar
dari pengeras suara tersembunyi berasal dari zaman sekarang. Efek
keseluruhannya seperti berada di kastil berhantu modern.
Bahkan Murphy pun terkesan. "Wah," ujarnya, berhenti tepat di dalam pintu ruang
tamu. "Benar-benar... wah!"
"Oh, Terry, keren sekali!" Niki mencengkeram lengan Terry
penuh semangat. Mereka sesaat berdiri di pintu yang terbuka saat seorang dewi -
atau iblis - menyeberangi ruangan. Baru sesaat kemudian Terry
mengenali Justine. Ia mengenakan gaun hitam ketat, terbuat dari satin dan
berpotongan leher rendah, serta memakai selop berhak tinggi
runcing. Rambut pirangnya yang tebal disanggul tinggi di atas kepala, dan ia
telah membedaki wajah serta tenggorokannya hingga putih
pucat - yang berwarna hanya pulasan merah di bibirnya yang seksi
serta bola matanya yang hijau berkilauan.
"Ia tampak seperti wanita berambut hitam di TV, yang
memainkan film-film horor itu. Elvira," bisik Terry.
Justine sengaja berhenti sebentar, kemudian tersenyum hangat.
"Selamat datang di ruangan bawah tanahku!" sambutnya. "Hampir semua orang sudah
hadir di sini. Kami mulai berpikir kalian diculik
setan!" "Kostummu hebat, Justine," ujar Niki.
"Terima kasih," kata Justine. "Sejak dulu aku ingin jadi vampir"
Ia berkata seolah sungguh-sungguh, kemudian tertawa. "Kostummu
juga cukup keren. Mengingatkanku pada yang kulihat di Karnaval
Venice." "Di mana?" tanya Niki.
"Di sebuah pesta besar yang mereka adakan di Venice setahun
sekali," kata Justine. "Semua orang berdandan dan berpesta di seluruh jalan
serta kanal. Di Venice, Italia," tambahnya. "Dulu aku tinggal di sana dengan...
pamanku. Oh ya, aku jadi ingat. Paman Philip,
perkenalkan teman-teman baruku."
Seorang pria yang sangat kurus melangkah keluar dari
bayangan di samping perapian. Ia mengenakan kostum badut satin
berwarna biru, dan wajahnya tertutup riasan teater berupa topeng
badut sedih. Sebutir air mata mengilap dilekatkan di bawah mata
kanannya. "Ini Murphy Carter, Niki Meyer, dan Terry Ryan," ujar Justine.
"Aku sangat senang bertemu kalian semua," kata Philip, cermat mengamati masing-
masing remaja dengan mata badutnya yang sedih.
"Kami sangat senang bertemu Anda," balas Terry, menjabat
tangan Philip. "Rumah Anda bagus sekali."
"Ya," Niki menyetujui. "Ini pesta paling luar biasa yang pernah saya hadiri."
"Wah, terima kasih," ujar Philip. "Kami menyewa seorang insinyur dari Disko
Starlight untuk memasang semua lampu dan
sound system. Justine yang memilih semua tape dan CD. Kami -
keponakan saya dan saya - telah melakukan segalanya untuk
membuat pesta ini tak terlupakan."
"Mari aku simpankan mantel kalian," ujar Justine. "Ayo masuk dan bergabunglah.
Di atas peti mati ada makanan, dan di dalam periuk ada soda dingin."
Justine dan pamannya pergi untuk bicara dengan tamu lain.
Terry tetap berdiri dekat pintu, mengamati dekor ruangan yang
fantastis. Sepasang remaja sedang berdansa dekat perapian, dan
beberapa lagi sedang berdiri sambil makan serta tertawa-tawa.
Dekorasinya membuat ruangan itu tampak seperti seting film.
Justine dan pamannya pasti punya banyak uang, pikir Terry.
Pesta ini butuh banyak uang. Aku ingin tahu mengapa Justine ingin
mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk sembilan orang"
"Aneh, ya?" kata Niki di sampingnya.
"Aneh" Bercanda kau! Ini hebat!" tukas Terry.
"Mereka mengeluarkan banyak uang untuk pesta ini," Niki
meneruskan seolah telah membaca pikiran Terry. "Aku heran
mengapa dia repot-repot begini?"
"Aku juga tak tahu," jawab Terry. "Mungkin dia senang menyumbang kita."
"Kita beruntung," komentar Niki. "Tapi aku tetap... ingin lebih jauh mengenal
Justine." Terry tertawa. Niki adalah orang yang paling penuh rasa ingin
tahu yang ia kenal. "Hei, Muka Lucu," katanya. "Nanti kau bisa berperan sebagai Nancy Drew, sekarang
ayo kita periksa makanannya."
Ia memegang tangan Niki dan membimbingnya ke tepi ruangan.
Seperti yang dikatakan Justine, "meja" makannya berupa peti mati hitam mengilap.
Meja itu dipenuhi sederetan keju, roti, cracker, dan berbagai saus serta makanan
pembuka yang membangkitkan selera -
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasuk beberapa jenis yang tak dikenal Terry. Sebuah rak di atas
peti mati berisi mangkuk-mangkuk besar chip dan piring-piring piza -
pepperoni, bawang bombai, sosis, dan semua kombinasi yang
diketahui Terry. Di bawah semua makanan itu terdapat periuk hitam
besar penuh berisi es dan lusinan kaleng soda.
"Coba lihat!" tukas Terry. "Aku belum pernah lihat makanan sebanyak ini di
sebuah pesta." "Aku juga," komentar Niki menyetujui, "kecuali mungkin waktu orangtuaku
mengadakan pesta Tahun Baru." Ia mengulurkan
tangan mengambil sebuah cracker berlapis sesuatu berwarna pink.
"Enak!" katanya. "Apa ya ini?"
"Tarama salata," tukas Angela, yang tiba-tiba muncul di
sebelahnya. Ia menyentuh bahu Niki dan mengulangi kata-kata itu
supaya Niki bisa membaca bibirnya. "Ini kue Yunani yang terbuat dari telur ikan.
Aku menanyakannya pada Justine. Dia bilang dia belajar
membuatnya waktu tinggal di kepulauan Yunani."
"Rasanya enak," komentar Niki serius. "Cobalah, Terry."
"Telur ikan?" ulang Terry. "Tidak, trims. Aku makan piza saja!"
Ia melangkah mundur dan mengamati kostum Angela dengan
pandangan memuji. Gadis itu mengenakan kostum pembalap sepeda,
semua terbuat dari kulit, dan mencap lengan serta lehernya dengan
tato. "Kostum keren," komentar Terry.
"Trims!" jawab Angela. "Kau harus lihat yang lain. Ini sudah jelas pesta paling
hebat yang pernah kuhadiri."
Ketika Niki mencoba sesuatu berwarna hijau berisi krim putih,
Terry mengunyah piza dan mengamati tamu-tamu lain. Agak sulit
melihat dalam sinar remang-remang, tapi ia mengenali Trisha dan
David sedang berbicara di sudut di bawah sebuah tengkorak kepala
manusia. David mengenakan seragam basketnya, hanya sebagai
pengganti bola ia memegang tengkorak kepala bulat besar terbuat dari papier-
mache. Trisha, wajah bulatnya tampak ceria dan bersemangat,
mengenakan kostum cheerleader dari tahun lima puluhan, dengan
sweter pink ketat dan rok putih pendek di atas bot setinggi mata kaki berwarna
putih. Di tangannya ada sebuah megafon besar, dan ia
tampak menggelikan - kalau mimiknya tak menunjukkan
kegembiraaan yang luar biasa.
Di depan perapian, Justine sedang berdansa dengan Murphy:
sang vampir dan sang zombie. Mereka tampak menakutkan, tapi
sekaligus memesona, seperti makhluk-makhluk di film horor.
Terry sedang mencari-cari pasangan remaja terakhir ketika
mendengar sebuah suara aneh di belakangnya. Ia menolah dan
terperangah, kemudian mulai tertawa. Ia tak bisa menahan diri. Di
belakangnya ada Ricky Schorr, memakai kostum katak.
Ia mengenakan pakaian dalam panjang berwarna hijau terang,
sepasang sirip untuk berenang, dan topeng bermata hitam menonjol di
atas kepalanya. "Ribit," kuaknya.
"Ya ampun!" Terry akhirnya berkata setelah kembali bisa
bernapas. "Kau muncul sebagai proyek biologimu."
"Kau suka?" tanya Ricky, meneguk Dr. Pepper diet. "Aku sendiri yang mencelup
pakaian dalam ini. Tapi ibuku agak kesal - dia
tak bisa menghilangkan semua warna celupan ini di mesin cucinya."
"Kurasa ini menampilkan dirimu yang sebenarnya," komentar
Angela menghina. "Agak berlendir dan aneh."
"Masa?" tangkis Ricky. "Berarti kau tak mengenalku. Kalau kau menciumku, aku
akan berubah jadi pangeran."
"Lebih baik aku dengan zombie saja, trims," ujar Angela.
Murphy dan Justine telah berhenti berdansa, dan Angela berjalan
menghampiri mereka serta memegang tangan Murphy.
"Hei, Muka Lucu," kata Terry, menyentuh lengan Niki. "Kalau kau bisa berhenti
makan sebentar... mau dansa?"
Terdengar lagu rap mengentak cepat, dan sesaat Niki
memejamkan mata, supaya bisa lebih merasakan irama musik yang
menggetarkan lantai. "Tentu," jawabnya. "Sebaiknya aku memang berhenti makan.
Terry, ini sajian yang paling hebat! Dia punya
hidangan Yunani, Jepang, Prancis, Meksiko..."
"Belum termasuk piza Amerika yang sedap," tukas Terry.
"Jangan kampungan," ujar Niki. Ia berputar menjauhi Terry, kemudian kembali.
"Ada satu hal yang tak kumengerti," kata Niki.
"Aku tak mengerti bagaimana Justine bisa tinggal di semua tempat itu.
Maksudku, dia kan masih remaja."
"Tanyakan padanya nanti," usul Terry. Sebuah lagu baru mulai mengalun dan mereka
tetap berdansa. Terry mengamati Niki dengan
bangga. Ia gadis tercantik di tempat ini. Justine terlalu mengerikan, dan Angela
tampak seperti gadis nakal, tapi gaun merah Niki
menghidupkan semua warna cerah di pipi dan bibirnya, serta membuat
matanya yang gelap berkilau seperti batu bara.
Di satu sisi, Ricky dan Trisha sedang berdansa, sang katak hijau
yang sedang marah dan sang pemandu sorak gemuk, keduanya tampak
senang. Pesta ini menyenangkan, ujar Terry pada diri sendiri. Aku
masih tak tahu mengapa kami diundang - tapi aku bersyukur.
Tape berhenti. Ketika Philip pergi untuk menggantinya,
terdengar ketukan keras di pintu. Justine pergi untuk membukanya,
dan semua orang menoleh untuk melihat siapa tamu yang datang
terlambat itu. Sesaat suasana hening. Berdiri di ambang pintu ruang tamu,
berbingkai koridor yang gelap, tampak sosok berkostum perak
mengilat dari kepala sampai kaki.
Sosok itu berpose, seperti matador, lalu melangkah gagah ke
dalam ruang tamu. Kini Terry melihat sosok itu adalah Alex,
mengenakan kostum senam perak ketat dan topeng perak berkilauan.
Di bawah kostum perak itu, ototnya bergerak-gerak ketika ia berjalan.
Sok pamer, pikir Terry. Niki semakin erat mencengkeram tangan Terry, dan ia berbisik,
"Wah! Dia tampak fantastis!"
Beberapa tamu lain mulai bersiul dan berteriak-teriak.
Bahkan Justine pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari
Alex. "Ladies and gentlemen," ujar gadis itu akhirnya, "saya persembahkan - sang
Pangeran Perak!" Alex berjalan ke tengah ruang tamu dengan gaya tuan rumah.
Terry tidak tahan tak mengatakan apa-apa. Dipicu pujian Niki
untuk Alex. "Hei, Alex," panggilnya, "kau pakai kostum apa -
Manusia Kaleng" Atau Tinkerbell?"
Alex tertawa. "Akuilah, Ryan," katanya. "Kau takkan bisa tampak sehebat ini
walau sejuta tahun lagi sekalipun."
Terry masih memikirkan jawaban yang sinis ketika musik
kombali mengalun, dan sesaat Alex berdansa sendiri, pusat perhatian
semua orang. Niki menarik lengan Terry. "Ayo, Terry," katanya. "Kita dansa." Ia memandang
Terry dengan tatapan yang sangat penuh cinta hingga sesaat Terry lupa untuk iri
pada kostum spektakuler Alex.
Lihat, Pangeran Perak, pikirnya. Silakan pamer, tapi Niki ingin
berdansa denganku. Meskipun tak bisa mendengar suara musik, Niki adalah salah
satu pedansa terbaik yang dikenal Terry. Gadis itu pernah menjelaskan caranya
merasakan irama musik di seluruh tubuhnya, tapi Terry masih
tak seratus persen tahu bagaimana cara Niki melakukannya.
Terry hanya tahu ia menyukainya. Ia merasa seolah dapat
berdansa seperti itu selamanya, mendekap Niki, merasakan
kehangatan tubuhnya. Lagu slow itu berakhir, dan disambung yang lain, sama pelan
dan romantisnya. Terry menggesekkan bibirnya di rambut Niki,
menghirup aroma lembut gadis itu.
BRUUUUUUUUM. Suara itu sekeras guntur.
"Apa itu?" teriak seseorang.
Semua orang terkejut. Tape mati. "Hei - apa yang terjadi?"
Sesaat kemudian ruangan penuh asap. Lalu ruangan itu
dipenuhi teriakan takut, bisikan bingung.
Tak ada yang yakin apakah itu semacam tipuan - atau sebuah
bencana. Terry sudah berniat menarik Niki ke arah pintu ketika Justine
melangkah ke tengah ruangan.
"Suka kejutanku?" tanya gadis itu, tubuhnya yang seksi hampir sirna ditelan
asap. "Ini yang mereka namakan flash pot. Pamanku Philip mempelajarinya ketika
bekerja sebagai manajer panggung. Aku
ingin mendapat perhatian kalian. Apa aku berhasil?"
Sepasang remaja bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa
masih terlalu kaget untuk bereaksi.
Justine tersenyum, lalu mengangkat sebelah alis. "Aku sudah
menjanjikan banyak kejutan untuk kalian," katanya. "Dan masih ada lagi yang
lain. Tapi untuk sekarang - siapa yang mau dansa lagi?"
Sorak-sorai dan tepuk tangan semakin keras. Terry juga ikut
bersorak-sorai. Tampaknya semua bisa terjadi di pesta ini, dan ia siap
menghadapinya. "Bagus," kata Justine. "Tapi sebelumnya aku harus
menceritakan sebuah kisah nyata. Sejak dulu orang selalu suka
berdansa. Tapi di Abad Pertengahan, kadang dansa bukan sekadar
untuk bersenang-senang. Bahkan dikatakan beberapa orang
kemasukan setan saat berdansa. Mereka akan berdansa semakin cepat,
semakin cepat, hingga mati kelelahan. Aku tak tahu apakah malam ini
di sini ada setan, tapi semua bisa terjadi pada malam Halloween. Apa ada yang
berani mencoba musik yang benar-benar cepat?"
"Ya!" "Ayo!" "Yo!" Para tamu kini siap melakukan apa saja. Jika Justine menyuruh
mereka meloncat ke dalam kolam renang dengan pakaian lengkap,
pikir Terry, mereka pasti akan melakukannya.
"Kita akan lihat seberapa cepat kalian bisa berdansa!" ujar Justine. Ia
mengulurkan tangan ke belakang dan menekan sebuah
sakelar. Lilin di dinding mati. Pada saat bersamaan sebuah lampu
sorot menyala berpendar-pendar, dan musik kembali hidup, keras serta cepat,
ritme sintesis yang terus-menerus bergaung, menimpali suara-suara yang terdengar
seperti robot dan mengatakan "Pump up the jam, pump up the jam" berulang kali.
Api di perapian telah padam menjadi bara, jadi satu-satunya
penerangan yang ada berasal dari lampu sorot. Dalam pendarannya
yang cepat, semua tampak bergerak semakin cepat. Terry memegang
tangan Niki dan memutar tubuh gadis itu. Semua tertawa-tawa,
berdansa, saling teriak, dan berganti partner. Dalam sinar yang
remang-remang mengerikan, sulit melihat pasangan dansa masing-
masing. Suatu saat Terry menyadari ia sedang berdansa dengan Ricky!
Rasanya menyenangkan, tapi musik terus-menerus mengentak.
Setiap kali Terry mulai melambatkan gerakannya, musik mengentak
semakin cepat. Di tengah ruangan, Alex sedang berputar-putar seperti
bayangan perak yang berkilauan, dan Terry tiba-tiba bertanya-tanya
dimana Niki. Tepat saat ia melihat gadis itu, sedang berdansa dengan David,
lampu mati. Tape player mengerang sedih lalu mati.
Sesaat suasana hening. Ruangan itu gelap gulita, hanya
diterangi remang-remang bara api di perapian.
"Apa ini, Justine, kejutan lagi?" tanya suara Murphy sesaat kemudian.
"Aku tak tahu apa yang terjadi," jawab Justine. Ia terdengar agak takut. "Paman
Philip..." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Aku akan memeriksa kotak sekring," ujar suara Philip tenang.
"Jangan pergi."
"Jangan khawatir," kata Justine, masih terdengar takut. "Kami baru memasang
sistem listrik baru, dan lampu sorot ini pasti
membuatnya terlalu panas. Pamanku akan mengganti sekringnya, dan
kita akan..." Pada saat itu lilin-lilin artifisial di dinding kembali menyala dan
tape berbunyi lagi. Tapi tak ada lagi yang ingin berdansa karena sorot lampu
memperlihatkan pemandangan mengerikan.
Di depan perapian, separo di atas permadani, tergeletak sesosok
tubuh kaku. Darah mengalir dari sisi tubuh itu, bersumber dari pisau daging
besar yang mencuat di punggungnya.
Chapter 6 SESAAT tak ada yang bergerak atau bicara. Lalu beberapa
orang mulai berteriak berbarengan. Jantung Terry berdebar begitu
kencang sehingga ia dapat mendengarnya. Ruangan besar itu seolah
berputar-putar, lalu miring. Ia berpegangan di sebuah kursi untuk
mengembalikan keseimbangan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian barulah peningnya hilang. Suara-suara
kembali terdengar. Ia dapat mendengar suara mereka satu per satu.
"Oh, tidak, tidak!"
"Apa ini betul?"
"Siapa itu?" "Telepon 911." Sambil memegang kencang tangan Niki, Terry mulai bergerak
ke arah tubuh itu bersama tamu-tamu lain. Ia kini dapat melihat bahwa sosok itu
mengenakan kostum tengkorak. Tapi siapa"
Semua orang tampak enggan maju lebih dekat. Akhirnya Alex
berjongkok. Ia ragu-ragu mengulurkan tangan untuk menyentuhnya
ketika tiba-tiba tengkorak itu meloncat berdiri.
"Kena kalian!" teriak tengkorak itu, dan menjatuhkan diri ke lantai, terkekeh-
kekeh tak terkendali, di atas permadani.
Ternyata Les Whittle. Terdengar desah kaget. Lalu suara tawa, pertama ragu-ragu, kemudian semakin keras
hingga hampir mengguncang ruangan.
"Skor satu untuk tim pengecut!" teriak Ricky penuh
kemenangan. "Tipuan hebat, Les!" Terry mencengkeram bahunya.
"Memang bagus," Trisha menyetujui dengan suara agak
gemetar, "tapi kau membuat kami semua ketakutan setengah mati.
Mengapa tak kauberitahu anggota tim yang lain bahwa kau akan
melakukannya?" "Karena Justine dan aku baru mendapat ide tadi pagi," jawab Les, masih tertawa.
Ia menunjukkan pisaunya pada semua orang.
Hanya sebuah gagang pisau. Darahnya jenis yang dijual di dalam tube.
"Aku menemukannya di toko tipuan dan merasa sayang kalau menyia-nyiakannya,"
jelasnya. "Ini tipuan termudah di dunia."
"Yah, pokoknya asal kau tahu saja, tak ada di antara kami yang
takut," sergah Murphy. "Ini cuma jenis tipuan yang biasa dimainkan seorang
pengecut." Les sama sekali tak terpengaruh. "Tentu, Murph. Mau omong
apa lagi?" katanya, terkekeh pelan. Ia mengenakan kacamata bingkai tanduknya di
atas topeng tengkoraknya. Benda itu membuatnya
tampak aneh, seperti mayat kutu buku. "Aku telah bersembunyi di dapur selama
setengah jam," katanya. "Mana makanannya" Aku kelaparan!"
Sebagian besar tamu, kelelahan sehabis berdansa dan ketakutan,
mengempaskan tubuh di mebel antik, makan dan bercakap-cakap.
"Benar-benar tipuan tolol!" ujar David, kakinya disampirkan di atas lengan
sebuah kursi goyang antik.
"Kau hanya iri karena hal itu tak terpikir olehmu," komentar Trisha.
Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami telah merancang tipuan yang lebih baik," sergah David.
"Jauh lebih baik. Kau akan melihat maksudku, kecuali kalau kau
bertindak bijaksana dan sekarang pulang."
"Tak akan!" tukas Ricky. "Kalian tim jagoan tak mungkin menang!"
"Kalianlah yang tak mungkin menang," ujar Alex. "Tapi harus kuakui. Akting Les
sebagai mayat sangat meyakinkan."
Terry tak mengatakan apa-apa. Niki sedang duduk,
memalingkan kepala dari semua orang, memakan satu piring kue lagi.
Terry bersyukur gadis itu tak bisa mendengar percakapan mereka,
karena hal itu kemungkinan hanya akan membuatnya marah lagi.
"Jadi, bagaimana menurut kalian, guys?" tanya Alex ceria,
duduk di sebelah Terry dan Niki di lengan sebuah bangku antik. "Apa tim kalian
Pendekar Pemetik Harpa 13 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Pengawal Pilihan 1