Mimpi Buruk 1
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Bagian 1
PROLOG "JANGAN... jangan..."
Gadis itu berguling-guling gelisah di ranjang besar berkanopi,
mulutnya bergumam tidak jelas dalam tidurnya. "Oh, jangan... pergi!"
Kalau saja dia bisa terjaga. Kalau saja dia bisa membuka
matanya, dia akan selamat. Aman di tempat tidurnya, aman di
rumahnya di Fear Street. Tetapi dia tidak bisa terjaga.
"Jangan... jangan..." Erangannya semakin keras.
"JANGANNNN!" Tiba-tiba, gadis itu terduduk tegak, benar-benar terjaga. Dia
bergidik, mulutnya megap-megap sulit bernapas. Sambil menarik
penutup tempat tidur, dia memandang sekeliling kamar tidur yang
gelap dan tak asing baginya.
Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya mimpi buruk.
Hanya mimpi buruk. Dia mengulangi kalimat itu berkali-kali,
seperti menyenandungkannya.
Dari ranjangnya, dia bisa melihat ke luar jendela. Dia mengintip
ke luar, ke malam musim gugur yang dingin. Pohon maple tua
bergetar ditiup angin sedingin es, daun-daunnya yang masih tersisa
berguguran. Lewat sela ranting-rantingnya yang telanjang, dia bisa
melihat lampu jalan. Cahayanya yang kekuningan membuat suasana
semakin seram. Dia merebahkan diri dan membaringkan kepalanya di bantal-
bantal yang basah dengan keringat. Rambutnya yang pirang panjang
lengket menempel di kepalanya.
Sebaiknya aku tak tidur lagi, katanya pada diri sendiri. Dia
mendesah pelan, merasa lebih enak sekarang. Dipejamkannya
matanya. Saat itulah dia merasakan kehadiran sosok lain.
Dia merasa tidak sendirian di kamar itu.
Matanya terbuka kembali. Seumur hidup, belum pernah dia
merasa setegang itu. Apa yang membuatnya sangat yakin bahwa ada seseorang di
kamarnya" Dia tidak tahu. "Siapa?" bisiknya.
Tidak ada jawaban. Pelan-pelan dia duduk, sambil
mencengkeram seprai. Dia melotot memandangi pojok-pojok kamar
yang gelap, mengamati bayang-bayang.
Kemudian dia melihatnya. Setitik cahaya di pojok sana.
Dia membuka mulut hendak bicara tetapi kengerian
membuatnya gagu. Sekarang dia bisa melihat sosok manusia yang
bersembunyi di pojok kamarnya.
Dia mendengar geram penuh marah.
Kemudian kegelapan meledak. Gadis lain itu menerjangnya
cepat sekali, membuatnya tak punya kesempatan untuk bereaksi.
Pisau itu terayun. Serangan pertama luput. Dia melawan habis-habisan, mencoba
menghindar. Tetapi dia terbelit penutup tempat tidur, sementara gadis itu
menindihnya. "Hei...!" dia memprotes, mencoba mendorong gadis itu. "Tapi kau adikku!"
Dia ingin menjerit, tetapi napasnya tercekik.
Dipaksanya menegakkan tubuhnya, tetapi penyerangnya
menindihnya lagi. Kali ini malah membenturkan kepalanya ke kepala
ranjang. Sesaat semuanya gelap pekat.
Kemudian dia merasakan nyeri yang tajam menusuk.
Lagi. Lagi. Dan kegelapan menyerbunya dari segala arah.
Dalam kamar yang hening mengerikan itu, tak sesuatu pun
bergerak kecuali kanopi yang bergetar di atas ranjang.
Chapter 1 MIMPI buruk Maggie Travers mulai mengganggunya pada
malam ketika pertama kali dia tidur di ranjang berkanopi itu.
Ranjang itu hanya salah satu kejutan yang menunggu Maggie
dan keluarganya di rumah baru mereka di Fear Street.
Sebelumnya, sulit sekali bagi keluarga Travers untuk
menemukan rumah itu. Maggie memandang peta di pangkuannya, mencoba menelusuri
rute ke Fear Street dengan telunjuknya. Dia menyelipkan beberapa
helai rambutnya yang merah panjang ke balik telinganya. Berkali-kali rambut itu
tergerai lagi. "Rasanya kita harus belok kiri di sini,"
katanya pada ibunya. Mrs. Travers mengurangi kecepatan, mobil merayap pelan. Dia
memandang kaca depan, ke suasana sore yang cerah di musim semi.
"Kau yakin?" "Tidak, dia tidak yakin," Andrea menggerundel dari belakang.
"Aku sudah bilang, Ma - seharusnya kita belok kanan di Canyon
Road tadi. Tapi, tidaaaaak, Maggie bilang kita lurus saja, jadi Mama tidak
belok. Ini benar-benar konyol!"
Maggie diam saja. Dia tidak mau bertengkar dengan adiknya.
Memulai pertengkaran dengan Andrea memang hal yang paling
gampang dilakukan di dunia. Menghindari pertengkaran dengan
Andrea - itu namanya baru sulit.
Gus, anjing retriever berbulu keemasan milik Maggie, duduk di
belakang bersama Andrea. Anjing itu menjulurkan kepalanya ke luar
jendela. Dia menggeram, rendah dan memelas.
Maggie melirik kaca di sampingnya. Gus memasang tampang
memelas, seperti biasa jika bepergian naik mobil. Aku tahu bagaimana perasaanmu,
bisik Maggie dalam hati. Hari itu Sabtu. Hari untuk pindah rumah akhirnya tiba. Kami
sudah salah langkah sejak awal, pikir Maggie murung.
Seharusnya mereka mengikuti van raksasa bercat putih yang
mengangkut barang-barang mereka. Tetapi Andrea memaksa mereka
singgah di 7-Eleven untuk membeli Coke. Mereka kehilangan jejak
van itu, Maggie salah membaca peta, dan sekarang mereka berputar-
putar di jalan-jalan yang bersilangan, dan akhirnya memutar ke
kawasan utara kota, menuju hutan Fear Street selama hampir...
Maggie melirik jam tangannya. Jam tiga lebih sepuluh!
Sekarang sudah terlambat untuk ikut latihan. Cewek-cewek anggota
tim renang Shadyside High pasti bertanya-tanya, di mana mereka
sekarang. "Kita terlambat, tak bisa ikut latihan," katanya pada adiknya.
Andrea memutar-mutar bola matanya. "Tentu saja!" gumamnya sengit.
"Kalau saja kita bertemu seseorang yang sedang jalan-jalan,"
kata Mrs. Travers, dengan gugup tangannya menyisiri rambutnya yang
abu-abu kemerahan. "Kita bisa tanya, di mana kita sekarang."
"Kita tersesat," kata Andrea. "Itulah, kita tersesat. Gara-gara Nona Sok Tahu."
"Seharusnya kita tetap di belakang van itu," Maggie
mengingatkan adiknya dengan suara setenang mungkin.
"Apa hubungannya?" tukas Andrea ketus.
Maggie mendesah. Sepertinya Andrea memang cari gara-gara,
tak peduli dia yang salah. "Dengar," kata Maggie, "maksudku, ini bukan salahku.
Jelas?" "Siapa bilang kita harus lurus?" tuntut Andrea. "Gus?"
Maggie pura-pura tidak peduli, tapi darahnya mulai mendidih.
Selalu begini. Tak peduli berapa kali dia menasihati dirinya agar
jangan membiarkan Andrea membuatnya marah, selalu saja dia
terpengaruh. Maggie mencoba menyorongkan peta jalan yang besar kepada
adiknya. "Kau mau gantiin?" tanyanya. "Nih. Kalau kaupikir kau bisa melakukannya
lebih baik, silakan."
"Tidak. Terima kasih," gerutu Andrea. "Aku yakin aku takkan bisa melakukannya
sebaik kau. Kau selalu lebih baik."
"Kalau begitu..." Maggie memulai.
Mrs. Travers memelototi putrinya yang lebih besar. "Maggie,"
katanya. "Sudahlah."
Maggie merasa wajahnya memanas. Sepertinya Mrs. Travers
selalu menyuruhnya mengalah pada Andrea. Selalu menjelaskan
bahwa bagi Andrea ini pasti lebih berat dibandingkan dengan yang
dirasakan Maggie. Umur Maggie tujuh belas, Andrea enam belas. Tapi menilik
sikap ibu mereka, orang akan mengira umur Andrea baru lima tahun.
Maggie melirik adiknya yang sedang memandang ke luar
jendela sambil terus menggerundel. Dagunya mencuat ke depan,
begitu kalau dia sedang kesal. Maggie merasa kemarahannya mereda,
sekarang dia justru kasihan. Mama benar. Dia harus bersikap lebih
sabar pada Andrea. Rambut mereka sama merahnya, mata mereka sama hijaunya.
Dia dan Andrea sangat mirip. Tetapi ciri-ciri sama yang membuat
Maggie cantik - mata hijau, rambut merah, tulang pipi tinggi - justru
sama sekali tidak serasi bagi Andrea.
Maggie jangkung dan langsing; Andrea lebih pendek, dengan
bahu lebih lebar yang membuatnya tampak kekar. Selain itu, rambut
Maggie panjang, ikal, dan lebat. Rambut Andrea yang sebahu itu tipis, lurus,
lepek tak bisa ditata, betapapun dia sudah berusaha keras.
Penampilan bukan satu-satunya kelebihan Maggie. Dia selalu
selangkah lebih baik dibandingkan adiknya, dalam hal apa pun - nilai, olahraga,
cowok. Itu jelas sekali, pikirnya prihatin. Kepindahan mereka
merupakan beban berat bagi Andrea, lebih berat dibandingkan bagi
anggota keluarga lainnya.
Bagaimanapun, Andrea tidak pernah populer di sekolah. Satu-
satunya kenyataan yang dibangga-banggakannya adalah dia
dibesarkan sebagai gadis North Hills.
North Hills merupakan kawasan paling eksklusif di Shadyside.
Andrea menyukai status North Hills. Dia suka main di country club.
Maggie merasa tidak enak ketika ingat bagaimana Andrea dan
gengnya selalu menghina dan melecehkan anak-anak dari kawasan
lain kota itu. Hmm, sekarang mereka meninggalkan North Hills. Dan semua
anak yang pernah dilecehkan Andrea pasti akan tertawa di balik
punggungnya. Aku takkan bertengkar lagi dengan adikku, Maggie
mengingatkan dirinya sendiri. Aku takkan bertengkar, pikirnya,
seakan otaknya adalah papan tulis dan dia sedang dihukum menulis
kalimat yang sama berkali-kali.
Maggie masih merasa bersalah. Perasaan itu selalu muncul
setiap kali dia bertengkar dengan Andrea.
Dia bertengkar dengan Andrea pada hari meninggalnya ayah
mereka. Konyol sekali. Pagi itu mereka kehabisan susu untuk teman
makan sereal. Andrea menyalahkan Maggie yang menghabiskan susu itu
malam sebelumnya. Maggie membantah dan bilang dia tidak
menyentuh susu itu. Kemudian Andrea menuduhnya berbohong.
Mereka bertengkar sengit. Maggie mengutik-utik kesalahan
yang dilakukan Andrea sekian tahun lalu. Seperti waktu Andrea umur
tujuh dan membakar rambut boneka Barbie kesayangan Maggie.
Kemudian Andrea berteriak-teriak dan mengata-ngatai Maggie,
menuduhnya telah menghancurkan hidupnya. Andrea melontarkan
tuduhan yang tidak masuk akal, bahwa kakaknya merebut semua
cowok yang diincarnya. Waktu itu, mereka saling memaki dan Andrea menangis.
Kemudian Mr. Travers menyuruh Maggie berhenti memaki-maki
adiknya. Maggie kesal sekali dan membanting mangkuk serealnya ke
lantai. Itu salah satu ketidakadilan yang sangat membekas di hati
Maggie. Andrea boleh menangis keras-keras, menjerit-jerit,
memecahkan piring, apa saja. Orang lain diharap maklum.
Tapi, jika Maggie marah sedikit saja, orangtuanya akan bereaksi
seakan rumah mereka nyaris meledak.
Begitu membanting mangkuk serealnya, Maggie langsung
malu. Wajah ayahnya merah padam. "Dad bosan mendengar
pertengkaran kalian!" teriak Mr. Travers. "Maggie, bersikaplah dewasa."
Kemudian ia mendorong kursinya ke belakang, melemparkan
koran yang tadi dibacanya, lalu cepat-cepat keluar rumah.
Itulah terakhir kalinya Maggie melihat ayahnya.
Sore itu, Mr. Travers mendapat serangan jantung di kantornya.
Dia sedang duduk di kursinya. Ketika sekretarisnya menemukannya,
Dia sudah meninggal. Aku tak pernah punya kesempatan untuk mohon maaf, pikir
Maggie pahit. *********** Mereka masih berada di perempatan jalan. "Hmm," kata Mrs.
Travers sambil mendesah, "kita harus mencoba sesuatu." Dia membelok ke kiri.
"Pasti Mama menuruti omongan Maggie," Andrea mengomel.
Gus menyalak dua kali. "Benar, Gus," kata Mrs. Travers, "ingatkan mereka." Kepada kedua putrinya, dia
menambahkan, "Gus menyuruh kalian berhenti bertengkar."
Mau tak mau Maggie dan Andrea tersenyum. Keyakinan ibu
mereka akan kebijaksanaan binatang sudah terkenal di keluarga
Travers. Kotak surat keluarga Travers selalu penuh dengan surat-surat
dari berbagai kelompok pencinta binatang yang pernah dikirimi uang
oleh Mrs. Travers. Dia selalu menceritakan pikiran Gus kepada
mereka. "Kuharap kita tak semakin dekat ke rumah kita yang baru,"
gumam Andrea sambil memandang ke luar jendela. "Tolong katakan, kita takkan
tinggal di kawasan ini."
Andrea benar, pikir Maggie. Rumah itu tampak jelek pada hari
Mom mengajak mereka melihatnya. Namun hari itu hujan, dan
mereka pikir hujan membuat rumah dan lingkungan itu kelihatan
suram. Entah bagaimana, sinar matahari yang cerah hari ini justru
membuat lingkungan di situ tampak lebih suram. Semua rumah
seharusnya dicat ulang. Semua rumah kelihatan tua dan reyot.
"Selamat datang di kota perampok," Andrea bercanda,
menirukan suara pemandu wisata. "Penduduk kawasan ini bangga
karena tingkat kriminalitas di sini adalah yang tertinggi di seluruh negara
bagian." Maggie tertawa, tetapi jantungnya berdesir. Ingatan akan
perampok selalu membuatnya ngeri, bahkan ketika mereka masih
tinggal di North Hills, yang nyaris tidak pernah ada perampokan.
Mrs. Travers mengerutkan dahi. "Aku tahu ini bukan kawasan
terbaik di kota ini, anak-anak," katanya, "tapi inilah yang terjangkau oleh kita
sekarang." Dia memaksa diri untuk tersenyum.
"Bagaimanapun, kita punya Gus untuk melindungi kita."
Benar, pikir Maggie. Kalau ada perampok, Gus pasti langsung
menyerangnya. Namun satu-satunya serangan yang akan dialami si
perampok hanyalah jilatan lidah Gus yang membuatnya lari terbirit-
birit karena jijik! "Lihat!" seru Maggie tiba-tiba, jarinya menuding papan
penunjuk jalan bercat hijau yang dipasang di perempatan. "Fear Street! Kita
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah sampai! Kita tak tersesat!"
Mrs. Travers bersorak. Maggie lega sekali. Hatinya gembira
sampai dia melihat rumah itu. Rumah nomor 23 di Fear Street
kelihatan lebih bobrok dan mengenaskan dibandingkan ketika terakhir kali mereka
lihat. Dua jendela bercat hijau kini tergantung pada
engsel-engselnya yang berkarat. Halaman penuh lubang-lubang besar
berisi air cokelat menjijikkan. Secara keseluruhan, rumah itu
menyeramkan. Maggie bergidik. Van besar bercat putih itu diparkir di depan. Orang-orang lalu
lalang mengangkuti perabotan ke dalam rumah. Maggie
memperhatikan dua lelaki kekar mengenakan seragam hijau
menghilang di balik pintu depan, mencoba memasukkan meja riasnya.
Dia ingin meneriaki mereka dan menyuruh mereka mengangkut
semuanya kembali ke North Hills. Tapi, inilah rumah mereka
sekarang. Mrs. Travers memutar duduknya, menghadap kedua putrinya.
Dia tersenyum, tetapi di balik senyum itu Maggie melihat kecemasan.
"Anak-anak," katanya, "Mom tahu rumah ini menyedihkan, tapi kalau kita sudah
punya uang lebih banyak, kita bisa memperbaiki dan
mengecatnya serta menanami halamannya dengan bunga. Pasti akan
indah. Lihat saja nanti. Di samping itu, pasti asyik merapikan dan
memperbaikinya." Maggie memaksa diri tersenyum. Ia tahu kepindahan itu juga
berat bagi ibu mereka. "Nah," kata Maggie, sambil bertepuk tangan,
"ayo kita mulai."
Ia turun dari mobil lalu meregangkan badannya. Gus memukul-
mukulkan ekornya di tempat duduk belakang, mengawasi setiap
gerakan Maggie. "Tunggu sebentar, Gus," katanya.
Mrs. Travers melambai pada orang-orang yang mengangkut
barang itu. "Kami tersesat sebentar," teriaknya.
Orang-orang itu malahan tidak memedulikannya. "Mom," kata Maggie, sambil
menyentuh lengan ibunya, "mana kunci bagasi?"
Mereka membawa pakaian dan barang berharga mereka dengan
mobil itu. Maggie memasukkan anak kunci ke lubang, membuka
bagasi, lalu mulai menurunkan koper-koper. Dia menarik keluar tas
hijaunya dan dengan hati-hati meletakkannya di trotoar.
Gus menyalak-nyalak seperti anjing gila. Andrea bersandar ke
mobil, memandang langit. "Andrea, tolong bantu, sini," kata Mrs.
Travers dengan tajam. Sambil cemberut Andrea mendekat lalu memilih tas yang paling
kecil dan paling ringan. Ia langsung mencampakkannya ke trotoar.
"Oh, kasihan Gus," katanya sambil membuka pintu mobil. "Kau bisa mati kepanasan
di dalam situ." "Tunggu, Andrea, jangan," Maggie mengingatkan.
Terlambat. Gus menerjang keluar. Dia berlari-lari mengitari kaki Andrea.
Kemudian menerjang Mrs. Travers, melompatinya, lalu menuju ke
arah Maggie. "Tenang, Gus," kata Maggie. Tiba-tiba Gus lari menjauh.
Tangan Maggie penuh koper. "Gus!" teriaknya.
Anjing tolol itu tidak mau berhenti.
"Cepat, Andrea. Tangkap dia!" teriak Mrs. Travers.
"Itu anjing Maggie," sahut Andrea kesal. Biar Maggie yang menangkapnya."
Maggie nyaris berkata bahwa Andrea yang membiarkan Gus
lepas. Tapi dia melihat kekesalan di wajah ibunya. "Aku akan
menangkapnya," katanya sambil menarik napas.
Dia meletakkan koper-koper itu lalu berlari mengejar Gus.
Anjing itu sudah sampai di ujung blok. Dia mengencingi pagar hidup
rumah orang. "Gus!" teriak Maggie lagi.
Anjing itu bahkan tidak menegakkan kepalanya untuk
mendengarkan. Dia lari lagi.
Maggie mempercepat larinya.
Dia lari kencang sekali, sepatu ketsnya berdebam-debam di
jalan aspal. Gus berbelok di tikungan, hilang dari pandangan. "Gus!"
Maggie berteriak lagi. Kemudian dia sampai di tikungan. Larinya langsung terhenti.
Gus sedang menyeberangi halaman berumput di seberang jalan.
Tetapi ketika melihat Maggie, anjing itu langsung berbalik dan berlari ke
arahnya. Gus mengambil jalan pintas terpendek. Menyeberang jalan.
Tepat di tempat yang akan dilewati truk yang melaju kencang.
"Gus... stop!" jerit Maggie.
Dia memejamkan mata dan mendengar anjing itu mendengking
kesakitan. Chapter 2 BAN mendecit. Klakson melengking nyaring. Truk itu selip.
Dengan dengking anjing terngiang-ngiang di kepalanya,
Maggie menjerit. Tanpa sadar, dia menutupi matanya dengan kedua telapak
tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar. Pelan-pelan dia menurunkan
tangannya - dan melihat Gus yang berdiri gemetar di trotoar, tetapi
tidak terluka. Maggie baru sadar, anjing malang itu pasti mendengking
ketakutan - bukan kesakitan.
Truk itu berhenti beberapa meter dari situ. Sopirnya
melongokkan kepala ke luar, wajahnya yang bulat merah padam
karena marah. Ikat anjing tolol itu!" teriaknya kasar.
"Maaf," kata Maggie. Begitu truk itu berlalu, ia menjerit keras-keras meluapkan
kelegaannya. "Oh, Gus! Kau selamat! Kau selamat!" Dia berlutut, tangannya terkembang lebar.
"Gus! Sini! Sini!"
Gus mendekat dengan patuh. Maggie melingkarkan lengannya
di sekeliling kepala anjingnya yang mulai kelabu dan memeluknya
erat-erat. "Bagus," bisiknya, "sekarang kau patuh."
Gus menunggu dengan sabar sampai Maggie melepaskan
pelukannya. Kali ini tangannya mencengkeram kalung Gus.
Aku tak sanggup menghadapi kematian lain dalam keluargaku,
pikirnya murung. Aku tak sanggup.
Maggie membawa Gus kembali ke rumah, lalu masuk lewat
pintu depan. Dia bertabrakan dengan pengangkut barang yang berjalan dari arah
berlawanan. "Lihat-lihat kalau jalan!" geram orang itu dengan kasar.
Begitu Maggie melepaskannya, Gus langsung mengendus-
endus ke segala arah, menjelajahi rumah baru itu. Dia lari ke ruang tamu. Di
sana Andrea sedang bersantai di sofa keluarga Travers yang bermotif garis-garis
putih-kelabu. Sofa itu tampak janggal di dalam ruangan yang kosong.
Di dapur, Mrs. Travers sedang menyeka jelaga, debu, dan
bekas-bekas minyak di kompor. Mrs. Travers biasanya bersikap santai menghadapi
apa pun, tapi jika ada barang kotor, sikapnya tak kenal
kompromi - seperti mesin pembersih.
Tangannya yang terbungkus kaus tangan karet berwarna kuning
melambai pada Maggie dan Andrea. "Hmm," katanya, "Mom menemukan peninggalan
arkeologis penting di dapur. Ada debu
setebal 25 senti di sini!"
Maggie memandang adiknya. Wajah Andrea murung.
"Andrea," katanya dengan sabar, "kita bereskan kamar kita, yuk.
Mungkin lebih enak rasanya kalau kita sudah memasukkan barang-
barang kita ke sana."
"Aku tak yakin," Andrea menggerutu. Namun diikutinya
Maggie ke lantai atas. "Jangan patah semangat melihat penampilan kamarnya," teriak ibu mereka. "Kamar
kalian cuma perlu dibersihkan. Aku segera ke atas setelah selesai di dapur."
Tak cukup hanya menyapu untuk membuat rumah ini nyaman
ditinggali, pikir Maggie. Kertas dinding di selasar tadinya putih
dengan bunga-bunga mawar. Tapi kertas dinding itu sudah menguning
dan mengelupas, bunga-bunga mawarnya tampak layu.
Ia membelok ke kanan di puncak tangga. Kamar tidur mereka di
ujung selasar. Ia berjalan lagi lalu membelok ke kanan dan masuk
kamar yang dipilihnya, sementara Andrea membelok ke kiri, ke
kamarnya. "Wah!" seru Maggie. Langkahnya terhenti ambang pintu.
Benda itu ada di sana. Sebuah ranjang indah berkanopi dan bertiang empat.
Kayunya hitam berpelitur. Kanopinya merah muda.
"Oh, indah sekali!" bisik Maggie. Matanya mengejap. Seakan untuk memastikan
bahwa ranjang itu benar-benar nyata, dia
menyeberangi kamar lalu duduk di atasnya.
"Menakjubkan," katanya lirih. Pemilik sebelumnya
meninggalkan ranjang seindah ini!
Tapi mengapa" Mengapa mereka meninggalkan ranjang ini dan
tidak satu pun barang lainnya"
Benar-benar misterius. "Kamu pasti bercanda!" seru Andrea dari ambang pintu. Ia
mendengar seruan Maggie yang kagum bercampur gembira.
Maggie berdiri dan menunjuk ranjang itu sambil menyeringai.
"Lihat saja sendiri."
Andrea memutari ranjang itu, mulutnya ternganga. Dibelainya
tiang-tiang yang terbuat dari kayu tua itu. "Bagaimana mungkin mereka
meninggalkan ini?" Maggie menggeleng. "Aku tak tahu. Mungkin mereka sudah
bosan." Bahkan ketika mengatakannya, Maggie sadar bahwa penjelasan
itu terdengar konyol. Bagaimana mungkin ada orang tak menyukai
ranjang ini" "Ini indah sekali!" kata Andrea penuh kagum. "Lihat ukiran di tiang-tiang ini."
Dia benar. Ukirannya memang indah, puncaknya berbentuk
bunga cemara yang terukir halus, menonjol di atas kanopi.
"Menurutmu, apakah kira-kira mereka akan kembali untuk mengambil ini?" tanya
Andrea. Maggie mengerutkan dahi. Itu tak pernah terpikirkan olehnya.
Mungkin ia memang tidak berhak memiliki ranjang itu. "Sayang
sekali," pikirnya. "Kenapa mereka mengangkut semuanya kecuali ranjang ini untuk
kemudian diambil" Ini tak masuk akal."
"Kau benar," kata Andrea. "Kurasa mereka memang sengaja meninggalkannya."
Andrea tersenyum ramah kepada Maggie. Aku tahu arti
senyummu, kata Maggie dalam hati. Memang, Maggie dapat
meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Andrea pura-pura tenang, tapi Maggie melihat adiknya itu
sebenarnya sangat tegang. Dan dia tahu mengapa Andrea tegang.
Andrea menginginkan ranjang itu. Sangat menginginkannya.
"Dengar, Mags," Andrea memulai. "Mags kau tahu aku selalu ingin punya ranjang
antik seperti ini." Andrea menggigit bibir.
Persis seperti yang kuduga, kata Maggie dalam hati.
Berikutnya, Andrea akan menuntut, "Ini buatku ya?"
Ini buatku, ya" - adalah kalimat favorit Andrea.
Andrea memandang kakaknya, memohon lewat matanya. Mata
Maggie beralih ke bawah, memandang ranjang itu.
Apa yang harus kukatakan padanya" tanya Maggie pada diri
sendiri. Apa yang harus kulakukan"
Haruskah aku menghindari pertengkaran dan memberikan
ranjang ini padanya"
Apa yang harus kukatakan"
Seandainya Maggie tahu pengalaman mengerikan yang
menunggunya di ranjang tua berkanopi itu, jawabannya mungkin akan
lain. Tetapi dia tidak tahu. Dia tidak tahu mengapa ranjang itu
ditinggalkan pemiliknya. Chapter 3 "YANG menemukan yang berhak," kata Maggie kepada
adiknya. Andrea meringis, seakan Maggie baru saja memukulnya. "Yang
menemukan yang berhak" yang bener aja!" teriak Andrea sengit. "Kau kekanak-
kanakan, Maggie." Senyum Maggie langsung .lenyap. "Ini bukan soal kekanak-
kanakan. Kita sudah memilih waktu terakhir kali kita ke sini. Kau
Ingin kamar yang lebih besar, di bagian belakang rumah, kamar yang
tenang, yang tidak menghadap jalan. Ingat" Kamar dengan kursi di
dekat jendela." "Tapi itu sebelum kita tahu mereka akan meninggalkan ranjang
ini," rengek Andrea. "Ini nggak adil."
"Andrea," kata Maggie. "Sori. Ini soal keberuntungan saja.
Dengar, kadang-kadang aku yang beruntung, kadang-kadang kau..."
"Kau ngaco, Maggie, tahu nggak!" bentak Andrea. "Kau selalu mendapat apa pun
yang kauinginkan!" "Nggak, nggak benar, itu..."
"Itu benar! Aku tak percaya kau! Kau tak pernah memberiku
kesempatan! Tak pernah! Kamu benar-benar egois dan serakah!"
Sejauh yang diingat Maggie, selalu Andrea yang memulai
pertengkaran, menggunakan kata-kata kasar dan berteriak-teriak.
Memang begitulah yang terjadi sekarang. Andrea menjerit-jerit
sekeras-kerasnya. Semakin keras Andrea berteriak, semakin bungkamlah Maggie.
"Andrea, bagaimana kalau ranjang ini ada di kamarmu" Maukah kau memberikannya
padaku?" Andrea mondar-mandir mengelilingi ranjang itu. Tiba-tiba dia
menepuk dahinya, pura-pura heran. "Pasti kuberikan jika seumur hidupmu kau terus
bermimpi ingin punya ranjang berkanopi!"
pekiknya. "Seumur hidupmu, sejak kapan, Andrea?" balas Maggie. Dia
mencoba tetap tenang, tetapi suaranya bergetar. "Sejak lima menit yang lalu?"
Dia mendengar langkah kaki bergegas menaiki tangga.
"Mom!" Andrea mengadu begitu Mrs. Travers cepat-cepat
masuk ke kamar tidur. "Bilangin dia, Ma! Aku sudah lamaaaa sekali ingin punya
ranjang berkanopi" Ya, kan"
"Tenang, tenang, tenang," kata Mrs. Travers dengan suara letih.
"Tolong kalau bertengkar, jangan teriak-teriak." Kemudian matanya melihat
ranjang itu, dan rahangnya merosot.
"Astaga," seru Mrs. Travers. Matanya berbinar. "Mereka meninggalkan ranjang
antik yang cantik ini?"
"Ya!" seru Andrea. "Dan Maggie bilang..."
Mrs. Travers tidak mendengarkan. Pelan-pelan ia menyeberangi
kamar dan memandang ranjang itu, seakan melihat keajaiban.
"Harganya pasti di atas seribu dolar," katanya lirih. "Mengapa mereka
meninggalkannya" Kuharap tak ada apa-apanya. Bukan lapuk atau
jadi sarang serangga atau..."
"Masih bagus sekali," tegas Andrea. "Dan Maggie menganggap ini miliknya karena
ada di kamarnya, itu sungguh kekanak-kanakan,
aku..." Kata-katanya terputus. Mrs. Travers mengangkat tangannya
seperti polisi lalu lintas.
"Tunggu, Andrea. Mom tak mau dengar kalian bertengkar soal
ini. Maksud Mom, soal ini justru harus kita rayakan."
"Aku harus merayakannya karena Maggie mendapat ranjang
antik ini?" Andrea pasang tampang menyebalkan.
"Kau harus ikut merayakannya, karena kita semua mendapat
ranjang antik ini," kata Mrs. Travers. "Tapi karena Maggie memilih kamar ini,
dia akan tidur di ranjang ini. Apa masalahnya?"
"Tapi itu nggak adil!" jerit Andrea.
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mrs. Travers jarang sekali bicara dengan suara tajam. Sekarang,
wajahnya seperti orang kesakitan, dia seperti mau menangis.
Mereka sering menangis dalam tujuh bulan belakangan ini,
sejak Mr. Travers meninggal. Mrs. Travers-lah yang paling sering
menangis. Maggie dan Andrea sering terbangun tengah malam,
mendengar tangis ibu mereka. Mereka mencoba menghiburnya,
namun tidak pernah berhasil.
Jadi, setiap kali Mrs. Travers hampir menangis, seperti saat itu,
mereka langsung terdiam. Andrea mengertakkan gigi, tetapi tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
"Mom heran melihat kalian berdua," kata Mrs. Travers,
tangannya bersedakap. "Kalian selalu saja bertengkar. Orang akan mengira kalian
saling membenci." Memang, pikir Maggie pahit. Bahkan meninggalnya Daddy
tidak membuat kami lebih dekat.
Kami memang saling membenci.
************ Malam itu rencananya mereka akan makan malam di rumah,
tetapi Mrs. Travers tidak dapat menemukan kotak yang berisi bahan
makanan. Jadi, meskipun mereka sedang harus sangat berhemat,
diajaknya kedua putrinya ke restoran.
Maggie berhasil menyelesaikan makan malam itu tanpa
bertengkar dengan Andrea. Itu kabar yang bagus. Kabar buruknya,
mereka nyaris tidak saling bicara. Tak terlalu mengherankan, kata
Maggie pada diri sendiri. Mereka semua kecapekan.
"Aku ingin kembali ke rumah lama kita," Andrea menggerutu sementara mereka
menghabiskan makanan. "Bahkan tanpa perabotan pun, rumah kita yang lama masih
lebih bagus." Mrs. Travers tidak menanggapi. Begitu pula Maggie. Apa lagi
yang bisa dikatakan"
Maggie melingkarkan lengannya ke bahu adiknya, ketika
mereka berjalan keluar restoran.
Aku akan menjaga keakraban keluarga ini, janjinya dalam hati.
Kalau itu memang harus kulakukan.
Ketika kembali ke rumah di Fear Street itu, untuk pertama
kalinya mereka melihatnya ketika hari sudah gelap. Dalam cahaya
matahari yang benderang, rumah itu terlihat bobrok dan jelek. Tak
heran jika di malam hari rumah itu kelihatan gelap dan menyeramkan.
Telepon berdering ketika mereka bergegas masuk. "Telepon
pertama!" Andrea berteriak penuh semangat sambil berlari ke pesawat telepon.
Wajahnya langsung cemberut ketika dia menjawab. "Tunggu
sebentar," katanya, mendesah.
Dia membiarkan gagang penerima tergantung pada kabelnya.
"Untukmu," katanya pada Maggie sambil melangkah pergi dengan kesal. "Selalu
untukmu." Maggie mendengar adiknya mengomel pelan.
Ketika Maggie mengangkat telepon, dia mendengar suara yang
dikenalnya menyapa riang, "Hei, bagaimana rumah barumu?"
"Justin!" seru Maggie. Baru beberapa minggu dia "jalan"
dengan Justin Stiles dan masih belum mempercayai
keberuntungannya. Justin cowok paling populer di Shadyside High.
Salah satu kawan karib Maggie di tim renang, Dawn Rogers,
kencan dengan cowok itu tahun lalu. Ketika pertama kali Justin
mengajak Maggie kencan, Dawn memperingatkan Maggie bahwa
mata Justin "suka berkeliaran".
Tapi waktu itu Maggie tidak peduli. Dia bersyukur karena mata
Justin berkeliaran ke arahnya!
Rambut Justin cokelat, ikal, dan seksi. Matanya yang biru
bersinar hangat dan membius, membuat Maggie serasa meleleh.
"Bagaimana rumah barumu?" tanya Justin.
"Suasananya seperti di The Addams Family," kata Maggie asal-asalan.
"Jangan ngawur!" teriak Mrs. Travers dari kamar duduk.
"Memang begitu kok," bisik Maggie. "Persis rumah-rumah yang kita lihat di film
horor, yang dari dindingnya merembes lendir hijau yang lengket."
Justin mendengus. "Aku suka rumah seperti itu!"
Maggie mengerang. Mereka sama-sama diam. Maggie mencari-cari bahan obrolan.
"Jadi, kapan aku boleh ke situ?" tanya Justin.
"Jangan," jawab Maggie. "Ini serius. Aku sangat malu. Kau tak boleh ke sini -
jangan pernah ke sini."
Justin tertawa, tetapi kali ini suaranya terdengar agak tegang.
"Apa maksudmu?"
Maggie nyengir. Dia senang karena Justin mungkin merasa
tidak yakin akan hubungan mereka - walaupun hanya sesaat. Justin
Stiles" Tak yakin" Dari semua yang didengarnya tentang Justin, jika benar
begitu, itu berarti perubahan besar.
"Hmm. Bagaimana kalau kau ke sini - hmm, besok siang?"
tanyanya. Dia mencoba bersikap santai.
"Bagus," balas Justin. "Sampai nanti, Mags."
Begitu diletakkan, telepon berdering lagi. Andrea bergegas
masuk dari ruang duduk. Telepon itu untuk Maggie lagi.
"Kami mencari-carimu tadi sore, " terdengar suara bernada riang. "Kau sudah siap
kalah di seratus meter besok?"
"Hai, Dawn," kata Maggie sambil bersandar pada dinding dan mengalihkan gagang ke
telinga satunya. Dawn Rogers perenang
terbaik di tim - setelah Maggie, tentu saja. "Yah, aku memang siap kalah," kata
Maggie. "Sudah seminggu aku nggak nyebur kolam!"
"Bagus," kata Dawn. "Mungkin aku akan dapat kesempatan."
Kemudian dia tertawa. Sepanjang musim kompetisi kali ini, Maggie selalu
mengalahkan Dawn di setiap lomba. Dawn gadis paling kompetitif
yang pernah dikenal Maggie, tetapi dia sangat sportif menerima posisi kedua
"Eh, sebenarnya aku menelepon bukan untuk urusan itu," kata Dawn. "Kau tahu
kenapa aku meneleponmu."
Maggie tersenyum. "Aku baru saja bicara dengan Justin, sedetik yang lalu,"
balasnya. "Kau bisa baca pikiran orang, ya," kata Dawn sambil tertawa cekikikan.
Maggie menceritakan telepon Justin kepada Dawn. Dia
menyandarkan badannya ke dinding, matanya menerawang, mulutnya
tersenyum. Berkencan dengan Justin adalah yang terbaik. Tapi
menceritakannya kepada teman setelah kencan itu, nyaris sama
asyiknya! Sambil bicara dengan Dawn, Maggie melihat Andrea
memelototinya dari ruang sebelah.
Mengapa dia memelototiku seperti itu" Maggie terheran-heran.
Mengapa dia memandangiku terus dan menguping"
Oh, Andrea, jangan begitu dong! Urus saja dirimu!
************* Mereka tidur pukul sepuluh, kecapekan setelah membongkar
barang-barang. Maggie dan Andrea berbagi kamar mandi di ujung selasar.
Andrea bilang dia hanya perlu waktu beberapa menit dan berkeras
mendapat giliran lebih dulu.
"Hei... keluar!" akhirnya Maggie berteriak dua puluh menit kemudian. Dia
menggedor pintu kamar mandi keras-keras.
Pintu terbuka, kepulan uap panas menerpa wajah Maggie.
Rambut Andrea yang merah menempel pada kepalanya. Dia
menggerutu. "Airnya bau!" teriaknya. "Aku terpaksa membuka keran setahun sebelum
airnya yang cokelat jadi jernih! Keran ini tak pernah digunakan lagi sejak Zaman
Perang Saudara!" Maggie ingin mengeluh karena Andrea berlama-lama di kamar
mandi, tetapi dia menahan diri. Dia memaksa diri tersenyum. "Hmm, selamat
tidur," katanya. "Di sarang hantu yang menjijikkan ini?" tukas Andrea. "Tak masuk akal." Dia
melangkah cepat ke kamarnya lalu menutup pintu.
Ranjang berkanopi itu tampak semakin cantik karena Maggie
menutupinya dengan seprai merah jambu dan penutup tempat tidur
dari kain afghan putih tipis yang dirajut neneknya untuknya. Dia
menghentikan langkahnya, dan untuk keseratus kalinya mengagumi
ranjang itu. Sungguh indah!
Maggie melangkah ke jendela. Dalam cahaya bulan yang pucat,
dia bisa melihat kuncup-kuncup kecil menghiasi pohon maple tua
yang tumbuh persis di depan jendela kamarnya. Ini pertanda baik.
Telepon dari Justin membuatnya gembira. Cowok itu akan datang
besok siang! Dia menguap. Dia benar-benar capek. Ditukarnya pakaiannya
dengan pakaian tidur, dan diletakkan pakaian itu di kursi yang tadi diusung ke
lantai atas oleh salah satu tukang angkut.
Maggie merasa senang naik ke ranjang yang rapi. Dia merasa
aman ketika sudah bergelung di balik selimut.
Dia berbaring telentang, matanya memandangi kanopi di
atasnya. Perlindungan ganda.
Maggie memejamkan mata. Diaturnya posisi badannya agar
nyaman, dan dirasakannya otot-ototnya mulai mengendur.
Biasanya tidak mudah baginya tidur di ranjang baru. Kali ini,
tanpa bersusah-susah dia langsung tenggelam dalam tidurnya.
Lalu, muncullah mimpi yang pertama.
Mula-mula mimpi itu indah. Dia mengambang. Tidak. Jatuh.
Jatuh pelan-pelan menembus kabut merah jambu yang berputar-putar.
Kemudian kabut itu bertambah pekat dan gelap. Warna merah
jambu lenyap, berganti warna kelabu yang jelek dan suram.
Dari balik kabut jelek itu, dia melihat seorang gadis.
Apa yang dingin ini" Apa yang tiba-tiba terasa dingin"
Apakah kabut gelap ini berubah jadi dingin" Atau gara-gara
gadis itu" Dia melihat kepala gadis itu, rambutnya yang panjang, warna
pirang keabu-abuan... Tapi dia tak bisa melihat wajah gadis itu.
Aku ingin melihat wajahnya, kata Maggie dalam mimpinya.
Mengapa aku tak bisa melihat wajahnya" Ada yang tak beres"
Dia tahu dia sedang bermimpi. Dan dia sadar, dia ketakutan.
Mimpi itu tidak indah lagi.
Ada yang tidak beres. Ada yang janggal pada gadis itu.
Mengapa dia tak bergerak" Maggie menduga-duga. Mengapa
aku tak bisa melihat wajahnya"
Gadis itu dalam kesulitan, Maggie langsung tahu itu.
Gadis itu dalam kesulitan besar.
Maggie mencoba bergerak mendekat, namun kabut pekat itu
menghalanginya. Dia mencoba melihat wajah gadis itu, tetapi kabut semakin
pekat, kabut itu berputar-putar di sekelilingnya seperti tirai berat,
menyelubungi gadis itu dari pandangannya.
Kemudian Maggie mendengar jerit yang mengerikan.
Chapter 4 JERITAN itu melengking tinggi, seperti jerit orang yang sedang
sekarat. Maggie terduduk, jantungnya berdegup kencang, matanya
terbelalak. Siapa yang menjerit" Dan mengapa"
Dengan napas tersengal-sengal, dia memelototi sekeliling
kamar yang gelap. Apakah dia sendirian"
Ya. Tapi di mana" Ini bukan kamarku, pikirnya.
Ini bukan rumahku. Kemudian dia ingat. Ini rumah barunya, kamar barunya.
Dia menahan napas ketika Andrea dan ibunya berlari masuk.
Maggie memandang mereka, matanya nanar penuh kengerian. Dia
duduk tegak di ranjang, memegangi kain afghan putih itu di dadanya.
"A-a-apa jeritan itu?" ibunya bertanya dengan ngeri.
Maggie sadar bahwa dialah yang mengeluarkan jeritan panjang
yang mengerikan itu. "Mimpi buruk," gumamnya, dia malu.
"Oh, untunglah," kata ibunya, sambil duduk di ranjang.
"Jeritanmu itu... kukira..."
"Benar-benar mimpi buruk, ya?" tanya Andrea dengan suara
tajam, lalu duduk di kaki ranjang dan memeluk tiang ranjang yang
berukir. Pelan-pelan napas Maggie kembali normal. Dia memaksa diri
tersenyum. Aman rasanya dikelilingi ibu dan adiknya.
"Mimpi itu... seperti nyata," katanya tergagap.
"Hmm, mimpi kadang-kadang memang seperti nyata," kata
Mrs. Travers. Dia menepuk bahu putrinya. Maggie merasa dirinya
konyol, seperti anak umur tiga tahun.
"Ceritakan," usul Andrea, "sebelum kau lupa."
"Kurasa aku takkan bisa melupakannya," kata Maggie pada
adiknya. "Mimpi itu tentang cewek yang sedang tidur. Caranya
tidur - mula-mula kukira dia sudah mati. Kemudian dia bergerak-
gerak, menggeliat-geliat dan berguling-guling. Dia seperti... aku tak tahu...
seperti tersiksa. Aku bisa merasakan, dia dalam bahaya."
"Aneh," kata Andrea. "Seperti apa dia?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi rambutnya pirang
panjang." "Dawn Rogers," tebak Andrea. "Kau tadi ngobrol dengan Dawn, kan?"
Benar. Dawn berambut pirang panjang. Tetapi rambut gadis
dalam mimpinya itu pirang keabu-abuan, rambutnya pucat; warna
pucat yang seingat Maggie belum pernah dilihatnya di majalah-
majalah. "Mungkin itu Dawn," katanya pada Andrea. "Aku tak tahu."
Mrs. Travers menyibakkan rambut dari kering Maggie. "Itu
pasti karena stress pindah rumah." Dia tersenyum kepada Maggie, tetapi wajahnya
tampak cemas. Kedua matanya bengkak.
Maggie merasa tidak enak karena membuat ibunya terbangun.
Ibunya pasti capek sekali.
"Kau bisa tidur lagi sekarang?" tanya Mrs. Travers.
Maggie mengangguk. "Terima kasih," dia menggumam ketika
ibu dan adiknya keluar dari kamarnya. "Tolong, pintunya jangan ditutup,"
tambahnya. Dia merasa konyol mengatakan itu, tetapi dia masih terpengaruh oleh
mimpinya. Dia tak bisa mengenyahkan rasa takutnya. Sepertinya kengerian
menggantung rendah di atas kepalanya, melayang seperti awan gelap
di atas ranjang berkanopi itu.
****************** Maggie menyetel wekernya untuk pukul tujuh. Dia ingin pergi
ke kolam renang sekolah dan berenang sejam sebelum sarapan.
Berenang mengendurkan saraf. Dia bisa menceburkan diri ke kolam,
melamun, dan menyuruh tubuhnya, "Renang!"
Tetapi ketika dia membuka mata, weker itu menunjuk pukul
sepuluh. Dia mengambil weker itu dan memeriksanya. Weker itu mati.
Stopkontak di dinding tempat dia mencolokkan weker itu pasti
dikontrol oleh sakelar lampu di dekat pintu. Pukul sepuluh adalah jam ketika dia
memadamkan lampu dan naik ke ranjang.
Dia mencari arlojinya. Sudah hampir pukul sebelas.
"Oh, aduh," geram Maggie kesal. Satu lagi kesempatan
berenang di pagi hari lenyap. Dan besok hari pertama babak
penyisihan untuk menentukan anggota tim renang yang akan berlomba
di tingkat Negara Bagian.
Sambil mendesah, Maggie mengenakan celana denim pendek
dan T-shirt yang kedodoran, lalu bergegas turun untuk sarapan pagi
yang kesiangan. Hari itu Minggu. Kemudian dia dan Andrea
menghabiskan sisa pagi itu dengan membantu ibu mereka menyapu
dan mengepel. Suasana hati Maggie sedang tidak enak. Dia memutuskan untuk
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menata kamarnya seperti kamarnya di rumahnya yang lama. Pikirnya
itu akan membuatnya senang. Sebaliknya, dia justru merasa semakin
sedih. Poster-poster atlet renang yang dipasangnya membuat dinding
putih itu tampak semakin kusam dan jelas-jelas harus dicat ulang.
Kemudian dia menata koleksi kristalnya di meja rias. Kamarnya
yang dulu selalu penuh cahaya matahari, sehingga kristal-kristal itu membiaskan
warna-warna indah. Di sini, prisma-prisma dan binatang-binatang kaca itu sama
sekali tidak bersinar. Ketika membereskan kamarnya, Maggie menemukan benda lain
yang ditinggalkan pemilik sebelumnya. Di bibir luar jendela yang
lebar dia melihat pohon geranium di pot mungil. Mati. Tanaman layu itu cocok
sekali dengan suasana hatinya.
Justin akan membuatku gembira, katanya pada diri sendiri.
Kira-kira pukul dua, dia mulai gugup karena akan bertemu
Justin. Dia meminta ibunya mendengar-dengarkan kalau-kalau bel
pintu berbunyi. Dia bahkan keluar dan memencet bel untuk
memastikan bel itu masih berfungsi dengan baik.
Kemudian dia mandi dan mengenakan pakaian bersih - celana
jins yang warnanya sudah pudar, T-shirt putih, dan rompi kotak-kotak hijau yang
dibelinya di pasar loak. Warna hijau rompinya membuat
hijau matanya semakin indah memukau.
Dia mengetuk pintu kamar Andrea. "Masuk," sahut Andrea
tanpa semangat. Maggie melihat adiknya telentang di ranjangnya. "Kau sedang
ngapain?" tanyanya. Andrea tidak memedulikan pertanyaan itu. "Kita akan terbiasa
dengan tempat ini, kan?" tanyanya murung.
Maggie mengangkat bahu. Dia melihat majalah mode
disembunyikan di bawah bantal. Andrea selalu bilang tidak peduli
akan penampilan dan mode atau hal-hal remeh seperti itu.
Tetapi suatu kali, waktu Maggie mencari-cari CD yang
dipinjam Andrea, dia menemukan satu kotak sepatu penuh guntingan
artikel dari majalah wanita. Artikel seperti "10 Cara untuk Tampil Ramping dan
Langsing" dan "Ingin Tampak Langsing" Berlatihlah!"
Pokoknya, yang semacam itulah.
"Sisirku belum ketemu," keluh Maggie. "Pinjam punyamu, ya?"
"Ambil saja." Maggie menemukan sisir perak itu di meja rias Andrea lalu
menyisir rambut panjangnya. "Sebentar lagi Justin datang," katanya.
Di cermin dia melihat rasa iri sekilas melintas di wajah adiknya.
Aku harus bagaimana lagi" pikir Maggie dengan pahit.
Memutuskan hubungan dengan Justin agar Andrea tidak iri"
Maggie mengamati wajah adiknya, mencari akal untuk
membuatnya senang. "Kau masih sedih karena kita pindah ke sini?"
tanyanya. "Yah, begitulah," gumam Andrea. "Aneh. Rumah ini,
lingkungannya, semuanya aneh." Dia menelan ludah dengan susah
payah, kemudian menambahkan, "Tak ada Dad."
"Aku tahu," kata Maggie lembut. Keheningan menggantung
berat. Mereka berdiaman. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, mereka
sama-sama tahu. "Aku baru saja berpikir yang aneh-aneh," Andrea membuka
hati, menghindari tatapan kakaknya. "Pikiran yang aneh, ganjil." Dia berhenti,
kemudian tersenyum sekilas kepada Maggie, senyumnya
tegang. "Selamat bersenang-senang bersama Justin," katanya dingin.
***************** "Mana dia?" tanya Maggie keras-keras sambil memandang ke
luar dari jendela depan. Sudah pukul empat, Justin juga belum datang.
Pukul lima dia bersumpah akan memutuskan hubungan dengan
cowok itu. Teganya Justin memperlakukannya seperti itu.
Pukul lima lewat sepuluh akhirnya bel pintu berdering. Dengan
bersemangat Maggie berlari menuruni tangga. Ketika sampai di anak
tangga paling bawah, kemarahannya sudah lenyap.
Dia membukakan pintu untuk Justin yang berdiri dengan satu
tangan di balik punggung.
"Sesuatu untukku?" tanya Maggie riang.
Justin mengulurkan tangannya. Dia membawa kantong plastik
besar berisi spons untuk membersihkan dapur.
"Romantis sekali!" kata Maggie.
Cowok itu melihat wajah Maggie yang bingung. "Katamu kau
harus bersih-bersih," jelasnya sambil nyengir.
"Wah, kau benar."
Maggie melangkah maju, mencium pipi Justin sekilas dan
menyentuh lengannya dengan lembut. Dia harus berjinjit untuk itu,
tapi dia menyukainya. Tinggi Maggie hampir 170 senti. Artinya, biasanya dia sama
tinggi - kalau tidak lebih tinggi - dibandingkan cowok-cowoknya.
Justin 180 senti. Tak beda jauh. Dan sangat tampan, Maggie rasanya
tak percaya akan keberuntungannya.
"Mom, lihat," kata Maggie sambil mempersilakan Justin masuk ke rumah. "Spons
baru." Hati Mrs. Travers meleleh, seakan Justin membawakannya
seikat mawar merah. "Inilah yang kubutuhkan!" sambutnya riang.
"Selera Mom payah," kata Maggie datar.
"Hei, Mags," kata Justin sambil memandang sekeliling, "tempat ini tak seburuk
yang kauceritakan." "Ya, kan?" Wajah Mrs. Travers semakin cerah. Justin benar-benar sedang
memamerkan daya tariknya.
"Mau minum?" tanya Maggie sambil mengajak Justin ke dapur.
"Kami punya dua kaleng Sprite dan" - dia membuka kulkas dan mengintip ke dalam
- "dan dua kaleng Sprite."
"Kami belum sempat belanja," jelas Mom dengan rasa bersalah.
"Uh, aku minum Sprite saja," kata Justin. Mata birunya
berkedip jenaka. Tanpa sadar Maggie menatapnya lama-lama. Tak
bisa tidak. Warna mata Justin seperti warna air laut di iklan-iklan pulau
wisata di Karibia. "Ayo," katanya sambil mengulurkan kaleng Sprite, "kuantar kau melihat-lihat."
Rumah itu kecil, jadi tidak perlu waktu lama untuk melihat-
lihat. Setelah itu mereka masuk ke kamar Maggie. Justin duduk di
satu-satunya kursi yang tersedia. Maggie duduk di ranjang, berharap Justin akan
duduk di sampingnya dan menciumnya.
Justin tidak bereaksi. Mereka pernah kencan beberapa kali, tapi hubungan mereka
masih sangat baru. Setiap kali bertemu, mereka merasa harus
memulainya dari awal lagi.
Tepat ketika itu, Gus menerjang masuk dan berlari kencang ke
arah Justin. Kalau saja aku bisa bersikap tanpa malu seperti itu, pikir Maggie.
Gus telentang di lantai, minta Justin menggaruk-garuk perutnya.
Maggie tertawa.. Ah, aku tak mau seperti Gus yang minta digaruki
perutnya. Justin menggaruk perut Gus dengan sepatu ketsnya. Gus
mengerang-erang senang. Kemudian dia bangkit dan keluar dari
kamar. Ruangan kembali hening dan tegang.
"Kau sudah siap ikut babak penyisihan besok?" akhirnya Justin bertanya.
Maggie mengerang. "Terima kasih, kau mengingatkanku."
"Kenapa" Kau tak gugup, kan?"
"Tidak." Dia melompat berdiri, lalu mondar-mandir.
"Kau pasti berhasil," kata Justin mantap.
"Semoga," sahut Maggie. Dia tidak ingin mempercayai
takhayul, tetapi pujian seperti itu membuat perasaannya tidak enak.
Coach Randall, pelatih mereka, mengadakan babak penyisihan
untuk menentukan siapa yang layak berlaga di kejuaraan Negara
Bagian untuk nomor 200 m Gaya Ganti. 200 m Gaya Ganti adalah
pertandingan paling berat. Perenang harus tampil sebagus mungkin
dalam setiap gaya. Shadyside hanya boleh mengirimkan dua perenang dalam
kejuaraan itu. Coach Randall sudah mempersempit persaingan dengan
menunjuk empat perenang. "Lawan terberatku adalah bekas pacarmu, Dawn," kata Maggie, sambil tersenyum
pada Justin. Justin menyeringai. "Pacar" Ayolah, Mags. Jangan begitu! Aku
kan sudah bilang, kami pernah kencan sekali. Hanya sekali!"
Maggie berusaha untuk tidak tampak senang mendengar
jawaban Justin. "Yah, bagaimanapun, aku merasa Dawn akan
mengalahkanku." "Dawn memang hebat," Justin sependapat.
"Oh, terima kasih atas dukunganmu!" seru Maggie, lalu tertawa.
"Jawabanmu salah. Seharusnya kau bilang aku pasti bisa
mengalahkannya dengan mudah. Seharusnya kau bilang aku dapat
menduluinya dua kali dalam lomba dua-lap!"
Wajah Justin jadi serius. "Kupikir kau bisa mengalahkannya,"
katanya. "Kaupikir?" "Aku tahu." "Sekarang aku senang," kata Maggie sambil memutar-mutar
bola matanya. Sangat berarti baginya bila Justin yakin akan
kemampuannya. Tentang olahraga, Justin tahu banyak. Dia pelari
tangguh dan kapten tim bisbol Shadyside High.
"Tiffany juga hebat lho," tambah Justin.
Tiffany Hollings gadis yang lembut tutur katanya, rambutnya
hitam keriting, dan matanya besar berbentuk buah badam. Maggie
sudah tahu sebaiknya dia tidak meremehkan gadis itu. Tiffany berlatih berjam-jam
setiap hari, termasuk di akhir pekan. Dia paling hebat di gaya kupu-kupu dan
gaya punggung. "Lalu, masih ada Andrea," kata Maggie. Justin berkata, "Kau pasti bisa
mengalahkan Andrea, tak ada masalah."
Maggie cepat-cepat berpaling ke kamar adiknya. "Ssstt!"
Setelah kelihatannya semuanya aman-aman saja, dia melirihkan
suaranya. "Salah. Jangan coret Andrea dari daftar. Dia semakin bagus.
Selain itu, mengalahkanku merupakan tujuan hidupnya."
"Itu hanya karena dia belum pernah mengalahkanmu," kata
Justin. Maggie mendesah. "Aku sangat tegang, Justin. Aku benar-benar
tegang. Aku ingin sekali terpilih ikut kejuaraan Gaya Ganti itu. Kalau gagal,
lebih baik aku bunuh diri!"
"Aku senang kau tak menambah beban ekstra pada dirimu,"
goda Justin. "Ada hal lain," kata Maggie. Justin menunggu, memandanginya dengan matanya yang
biru sempurna. "Aku mimpi tadi malam."
"Biar kutebak. Kau mimpi ketika kau sedang berjalan ke kolam
renang, baju renangmu lepas dan semua orang menertawakanmu. Aku
selalu mimpi seperti itu sebelum pertandingan besar."
"Salah." Maggie menggeleng. "Dalam mimpiku aku melihat seorang cewek. Aku tak
bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu dia
dalam bahaya." "Aneh," kata Justin. "Tapi apa hubungannya dengan renang?"
"Tak ada," Maggie mengakui. "Tapi mimpiku itu selalu terbayang-bayang. Mungkin
itu pertanda buruk."
"Yang bener aja," kata Justin sambil tersenyum meyakinkan.
"Itu cuma mimpi buruk."
Maggie kaget ketika Justin melompat berdiri dari kursinya.
Cowok itu meletakkan tangannya yang kukuh ke bahu Maggie. Lalu
mengecup bibirnya. Kecupan yang lama dan penuh gairah. Maggie merasakan
tangan Justin membelai-belai punggungnya. Baru detik itu dia tahu
betapa inginnya dia dipeluk dan dikecup seperti itu.
Selesai berciuman, mereka seakan kehabisan napas.
Jantung Maggie berdegup kencang di dalam dadanya. Dia
mencium pipi Justin beberapa kali.
Kemudian matanya melihat ke ambang pintu di balik punggung
Justin. Dan melihat ternyata mereka tidak sendirian. Seseorang berdiri
dalam bayang-bayang, memandangi mereka.
Gadis dari mimpinya itu! Chapter 5 MAGGIE berseru keras tertahan, membuat Justin memutar
badan karena kaget. "Andrea... hai!" serunya.
Andrea" Maggie memandang lebih cermat. Ya. Memang Andrea.
Apakah dia memata-matai aku dan Justin" pikir Maggie marah.
"Mana kameramu" Kau mau memotret kami?" tanya Maggie
sinis. "Hah?" Andrea pura-pura tidak mengerti.
"Sejak kapan kau berdiri di situ?" bentak Maggie.
Tanpa memedulikan kemarahan kakaknya, Andrea melangkah
masuk ke kamar. "Aku hanya ingin tahu apa kau sudah mengeluarkan kaus kaki dari
kotak," katanya. "Punyaku nyelip entah di mana.
Lihat!" Dia mengangkat satu kakinya yang telanjang dan
menggoyang-goyangkan jarinya.
Dia mengecat kuku kakinya dengan warna merah ceri. Kakinya
terangkat tinggi-tinggi hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan.
Maggie terus memelototinya. Bohong! Andrea sengaja
berbohong. Kaus kaki! Tetapi dia pergi juga ke lemarinya.
"Aku lihat kau main bagus melawan Waynesbridge," kata
Andrea pada Justin sambil menunduk, terlalu malu untuk menentang
mata cowok itu. "Apa katamu?" tanya Justin, tidak memperhatikan. "Oh, ya, terima kasih."
Jelas Andrea tersinggung. Maggie tahu, tidak dipedulikan
cowok seperti Justin sejuta kali lebih menyakitkan dibandingkan apa yang mungkin
dikatakannya. "Ini, tangkap," kata Maggie.
Dilemparkannya sepasang kaus kaki putih yang tergulung kepada
Andrea. Begitu adiknya keluar, Maggie menutup pintu.
"Kenapa dia?" tanya Justin.
"Dia benci aku," jawab Maggie.
"Dia cuma iri," kata Justin. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Maggie, dan
merengkuh gadis itu. Maggie melangkah mundur. "Dengar, waktu aku melihat dia
berdiri di ambang pintu, aku jadi ingat mimpiku lagi."
"Oh ya?" Justin meraihnya lagi, tetapi Maggie menghindar.
Dia duduk di kursi, hingga Justin tak bisa menariknya. Andrea
telah membuatnya kesal dan merusak suasana hatinya yang semula
romantis. Dia merasa perlu bicara.
"Justin," katanya sambil merenung. "Aku tahu ini
kedengarannya konyol. Tetapi aku belum pernah mimpi buruk yang
membuatku ngeri. Mau tak mau aku berpikir, bagaimana kalau
mimpiku itu merupakan peringatan?"
"Peringatan apa?"
Dia bergidik, merasakan kengerian yang muncul semalam.
"Aku tak tahu. Hanya peringatan. Peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi." "Lupakan saja. Takkan terjadi apa-apa," Justin meyakinkannya.
"Kau hanya tegang, Mags, karena pindah rumah dan karena..."
Dia tidak meneruskan kata-katanya, napasnya tercekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian, mulutnya ternganga. Dia
menekan dadanya. "Justin?" jerit Maggie.
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan Justin memegangi lehernya. Dia mengeluarkan suara
parau seperti orang tercekik, sambil berjalan terhuyung-huyung
mendekati Maggie. Suara orang tercekik lagi. "Tak... bisa... bernapas..."
Sebelum Maggie sempat memeluknya, Justin sudah terkulai di
lantai. Chapter 6 MAGGIE berdiri di dekatnya. "Justin" Justin?"
Kemudian ditendangnya Justin - dengan lembut - ketika
dilihatnya perut cowok itu bergerak naik-turun.
"Kau sialan!" pekiknya. "Kau membuatku takut setengah mati!"
Justin memegang betis Maggie lalu tertawa keras-keras.
Suaranya tinggi melengking.
"Sedetik pun aku tak percaya ulahmu tadi!" seru Maggie.
"Bohong!" balas Justin. "Kau ketipu! Kau nyaris pingsan!"
"Nggak lucu!" Maggie menendang Justin lagi.
Beberapa detik kemudian mereka tertawa-tawa sambil
bergumul di karpet. "Terima kasih, kau membuatku bisa tertawa lagi!"
kata Maggie senang. Dia menekan kedua bahu Justin ke lantai, kemudian melompat
berdiri sambil berseru riang penuh kemenangan.
"Beri aku kesempatan!" kata Justin menuntut jawab.
*************** Dawn Rodgers memasukkan lengannya yang panjang dan
berkulit sehat kecokelatan ke bawah tali baju renang hitamnya yang
bermerek Speedo. Dirapikannya baju renangnya. "Ayo, semuanya!
Kalian siap latihan?" serunya.
Dawn menyerukan pekik peperangan. Suaranya dipantulkan
dinding-dinding ruang ganti yang setengah kosong.
"Oh, jangan keras-keras, Dawn," erang Tiffany Hollings sambil menutupi
telinganya. "Kita takkan bisa dengar bunyi peluit start."
Dawn tertawa. "Kau pasti dengar. Dan inilah yang akan
kaudengar." Dia menangkupkan kedua telapak tangannya pada
mikrofon. "Berenang dua ratus meter Gaya Ganti mewakili Shadyside, di jalur satu
- Dawwwwwwnnn Rodgers!"
Maggie duduk di bangku di samping Dawn, mengepang
rambutnya sambil tersenyum lebar. Menirukan suara pembawa acara,
dia menambahkan, "Tapi apa ini" Dawn mengenakan pakaian tenis
putih! Oh, lihat, pasti akan membuat gerakannya jadi lamban."
Dawn, Maggie, dan Tiffany tertawa mendengar lelucon itu.
Hanya Andrea, yang asyik mengaduk-aduk lokernya di sudut,
kelihatannya tidak mendengar.
Coach Randall meminta keempat gadis itu datang berlatih lima
belas menit lebih awal, agar bisa berlomba selagi masih segar. Ketika itu pintu
ruang ganti terbuka. Carly Pedersen, Claudia Walker, dan
Renee Larson, semua anggota tim renang, masuk ke ruangan. "He, kalian, semoga
berhasil hari ini!" seru Carly.
Maggie nyengir dan melambai, tapi jantungnya berdegup
kencang. Ah, selalu begini.
Dalam lomba renang, peserta melakukan somersault setiap kali
menyelesaikan satu lap, menjejak dinding dengan kaki. Gerakan ini
disebut flip turn. Kira-kira lima menit sebelum setiap perlombaan,
jantung dan perut Maggie mulai melakukan gerakan flip turn.
"Oke, oke," kata Andrea tiba-tiba, sambil membanting pintu lokernya.
"Kausembunyikan di mana, Maggie?"
Maggie menoleh kepada adiknya, kaget. "Sembunyikan apa?"
"Topi renangku. Kausembunyikan di mana?"
Gila! pikir Maggie. Andrea selalu menuduhnya macam-macam.
"Kau kehilangan topi renangmu?" tanya Maggie.
"Aku kehilangan topi renangku?" Andrea menirukan dengan
sengit. "Lucu sekali. Ayo, berikan."
Semua yang ada di ruang ganti memandang mereka. "Andrea,"
kata Maggie sesabar mungkin, "aku tak menyembunyikan topi
renangmu." Dia membungkuk di depan lokernya. "Ini, aku punya ekstra satu."
"Aku tak perlu yang ekstra. Aku mau punyaku," Andrea
berkeras. Andrea melemparkan hampir semua barangnya ke lantai.
Tiffany menunjuk sesuatu berwarna putih yang mengintip dari balik
tas punggung Andrea. "Itu yang kaucari?"
Andrea menarik tas punggungnya. Benar, itu topi renangnya.
"Oh... ya," gumamnya, wajahnya merah padam.
Beberapa gadis lain di ruang ganti mulai cekikikan, membuat
wajah Andrea semakin merah. Maggie membuang muka. Bahkan
ketika Andrea bertingkah seperti gadis manja, Maggie tidak tega
melihat adiknya dipermalukan.
Tiffany selesai berganti pakaian lalu mulai melakukan gerakan
pemanasan. "Aku pasti gagal!" katanya sambil membungkuk ke lantai.
"Kau tegang sekali, ya?" tanya Dawn. "Rileks. Tak usah cemas.
Kau selalu berenang dengan bagus. Lagi pula, kita ini kan satu tim, ya kan"
"Benar," Maggie menimpali sambil melirik Andrea.
Pintu ruang ganti membuka, Coach Randall melangkah masuk
sambil membawa clipboard-nya.
Martha Randall bertubuh jangkung dan kurus seperti tongkat,
bahkan lebih kurus dari pada Maggie. Dulu sebagai perenang remaja,
prestasinya sampai ke babak penyisihan tim renang Olimpiade.
Sekarang usianya empat puluhan, sikap dan kemampuan renangnya
masih sama seperti juara sejati. Itu kualitasnya yang sangat dikagumi Maggie.
Coach Randall tak banyak bicara. Hari ini bukan perkecualian.
"Oke, kalian berempat bersiap untuk dua ratus meter Gaya Ganti,"
katanya sambil mencermati clipboard-nya. " Ayo!"
Ini bagian latihan renang yang dibenci Maggie, saat sebelum
menceburkan diri ke air. Dia tahu dia tidak akan mengalami hambatan begitu lomba
sudah dimulai. Tetapi, ketika mereka berjalan dengan
kaki telanjang ke arah kolam, dia mulai pusing. Mereka menyusuri
selasar panjang menuju ke kolam renang.
Bau uap dan klorin yang sangat dikenalnya menyambutnya. Air
kolam beriak lirih, ombaknya menyentuh tepi kolam dengan irama
lembut. "Semoga sukses," bisik Maggie kepada Andrea.
Sekilas Maggie melihat bangku-bangku penonton di sekeliling
kolam. Beberapa anggota tim renang lainnya telah mengenakan
pakaian renang dan kini duduk menonton. Mereka melambaikan
tangan. Maggie membalas lambaian mereka.
Dawn benar, kata Maggie pada diri sendiri.
Mengapa aku gugup" Sepanjang tahun ini aku sudah berlomba
melawan ketiga gadis ini.
"Ayo mulai," kata Coach Randall ringkas. Dia mengecek
clipboard-nya. "Tiffany, jalur satu; Andrea, dua; Maggie, tiga; Dawn, empat."
Keempat gadis itu membungkuk, mencedok air dengan kedua
telapak tangan dan membasahi badan mereka. Kemudian mereka
mengambil posisi masing-masing di tempat start.
Sebelum mengenakan kacamata renangnya, Maggie
meludahinya untuk melembapkan pinggiran karetnya. Dia selalu
melakukan itu, untuk memastikan karet penutupnya kedap air. Tetapi
kali ini dia tidak bisa meludah, mulutnya terasa kering.
Gugup, gugup, dia memarahi dirinya sendiri.
Dia melirik Andrea. Adiknya memandang lurus ke depan,
wajahnya dingin dan penuh tekad.
Di sebelah kanan Maggie, dengan gugup Dawn melemaskan
jari-jarinya. Maggie sudah cukup lama kenal Dawn Rodgers untuk
tahu bahwa sikap mantapnya sebenarnya hanya pura-pura. Dawn
gugup menghadapi perlombaan itu, sama seperti Maggie.
"Oke, dua ratus meter Gaya Ganti," Coach Randall
mengingatkan mereka. "Kupu-kupu, punggung, dada, bebas -
urutannya begitu, masing-masing gaya dua lap. Ada pertanyaan?"
Tak ada pertanyaan, kecuali satu pertanyaan yang diam-diam
selalu mengusik hati mereka: Siapa yang akan menang"
Coach Randall membungkukkan badan, bersiap mengawasi
perlombaan dan menentukan siapa yang lebih dulu mencapai finish.
Maggie menggeleng, mencoba mengenyahkan pening
kepalanya. Dalam pikirannya berkecamuk macam-macam hal -
Andrea, rumah baru itu, Justin...
Dia tahu, kalau ingin memenangkan perlombaan ini, dia harus
berkonsentrasi. Fokus! katanya pada diri sendiri. Fokus!
Di bawahnya, air membiru, tenang, dan dingin. Keempat gadis
itu bersiap mengambil start.
Coach Randall berteriak, "Ambil posisi, siap..." Kemudian peluit melengking
tajam. Maggie melompat. Tubuhnya masuk ke air, meluncur ke permukaan, kakinya
menendang kuat-kuat. Kunci keberhasilan gaya kupu-kupu adalah irama tendangan
lumba-lumba. Maggie mencoba membayangkan kekuatan lumba-
Memperebutkan Batu Kalimaya 1 Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas Cincin Maut 15
PROLOG "JANGAN... jangan..."
Gadis itu berguling-guling gelisah di ranjang besar berkanopi,
mulutnya bergumam tidak jelas dalam tidurnya. "Oh, jangan... pergi!"
Kalau saja dia bisa terjaga. Kalau saja dia bisa membuka
matanya, dia akan selamat. Aman di tempat tidurnya, aman di
rumahnya di Fear Street. Tetapi dia tidak bisa terjaga.
"Jangan... jangan..." Erangannya semakin keras.
"JANGANNNN!" Tiba-tiba, gadis itu terduduk tegak, benar-benar terjaga. Dia
bergidik, mulutnya megap-megap sulit bernapas. Sambil menarik
penutup tempat tidur, dia memandang sekeliling kamar tidur yang
gelap dan tak asing baginya.
Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya mimpi buruk.
Hanya mimpi buruk. Dia mengulangi kalimat itu berkali-kali,
seperti menyenandungkannya.
Dari ranjangnya, dia bisa melihat ke luar jendela. Dia mengintip
ke luar, ke malam musim gugur yang dingin. Pohon maple tua
bergetar ditiup angin sedingin es, daun-daunnya yang masih tersisa
berguguran. Lewat sela ranting-rantingnya yang telanjang, dia bisa
melihat lampu jalan. Cahayanya yang kekuningan membuat suasana
semakin seram. Dia merebahkan diri dan membaringkan kepalanya di bantal-
bantal yang basah dengan keringat. Rambutnya yang pirang panjang
lengket menempel di kepalanya.
Sebaiknya aku tak tidur lagi, katanya pada diri sendiri. Dia
mendesah pelan, merasa lebih enak sekarang. Dipejamkannya
matanya. Saat itulah dia merasakan kehadiran sosok lain.
Dia merasa tidak sendirian di kamar itu.
Matanya terbuka kembali. Seumur hidup, belum pernah dia
merasa setegang itu. Apa yang membuatnya sangat yakin bahwa ada seseorang di
kamarnya" Dia tidak tahu. "Siapa?" bisiknya.
Tidak ada jawaban. Pelan-pelan dia duduk, sambil
mencengkeram seprai. Dia melotot memandangi pojok-pojok kamar
yang gelap, mengamati bayang-bayang.
Kemudian dia melihatnya. Setitik cahaya di pojok sana.
Dia membuka mulut hendak bicara tetapi kengerian
membuatnya gagu. Sekarang dia bisa melihat sosok manusia yang
bersembunyi di pojok kamarnya.
Dia mendengar geram penuh marah.
Kemudian kegelapan meledak. Gadis lain itu menerjangnya
cepat sekali, membuatnya tak punya kesempatan untuk bereaksi.
Pisau itu terayun. Serangan pertama luput. Dia melawan habis-habisan, mencoba
menghindar. Tetapi dia terbelit penutup tempat tidur, sementara gadis itu
menindihnya. "Hei...!" dia memprotes, mencoba mendorong gadis itu. "Tapi kau adikku!"
Dia ingin menjerit, tetapi napasnya tercekik.
Dipaksanya menegakkan tubuhnya, tetapi penyerangnya
menindihnya lagi. Kali ini malah membenturkan kepalanya ke kepala
ranjang. Sesaat semuanya gelap pekat.
Kemudian dia merasakan nyeri yang tajam menusuk.
Lagi. Lagi. Dan kegelapan menyerbunya dari segala arah.
Dalam kamar yang hening mengerikan itu, tak sesuatu pun
bergerak kecuali kanopi yang bergetar di atas ranjang.
Chapter 1 MIMPI buruk Maggie Travers mulai mengganggunya pada
malam ketika pertama kali dia tidur di ranjang berkanopi itu.
Ranjang itu hanya salah satu kejutan yang menunggu Maggie
dan keluarganya di rumah baru mereka di Fear Street.
Sebelumnya, sulit sekali bagi keluarga Travers untuk
menemukan rumah itu. Maggie memandang peta di pangkuannya, mencoba menelusuri
rute ke Fear Street dengan telunjuknya. Dia menyelipkan beberapa
helai rambutnya yang merah panjang ke balik telinganya. Berkali-kali rambut itu
tergerai lagi. "Rasanya kita harus belok kiri di sini,"
katanya pada ibunya. Mrs. Travers mengurangi kecepatan, mobil merayap pelan. Dia
memandang kaca depan, ke suasana sore yang cerah di musim semi.
"Kau yakin?" "Tidak, dia tidak yakin," Andrea menggerundel dari belakang.
"Aku sudah bilang, Ma - seharusnya kita belok kanan di Canyon
Road tadi. Tapi, tidaaaaak, Maggie bilang kita lurus saja, jadi Mama tidak
belok. Ini benar-benar konyol!"
Maggie diam saja. Dia tidak mau bertengkar dengan adiknya.
Memulai pertengkaran dengan Andrea memang hal yang paling
gampang dilakukan di dunia. Menghindari pertengkaran dengan
Andrea - itu namanya baru sulit.
Gus, anjing retriever berbulu keemasan milik Maggie, duduk di
belakang bersama Andrea. Anjing itu menjulurkan kepalanya ke luar
jendela. Dia menggeram, rendah dan memelas.
Maggie melirik kaca di sampingnya. Gus memasang tampang
memelas, seperti biasa jika bepergian naik mobil. Aku tahu bagaimana perasaanmu,
bisik Maggie dalam hati. Hari itu Sabtu. Hari untuk pindah rumah akhirnya tiba. Kami
sudah salah langkah sejak awal, pikir Maggie murung.
Seharusnya mereka mengikuti van raksasa bercat putih yang
mengangkut barang-barang mereka. Tetapi Andrea memaksa mereka
singgah di 7-Eleven untuk membeli Coke. Mereka kehilangan jejak
van itu, Maggie salah membaca peta, dan sekarang mereka berputar-
putar di jalan-jalan yang bersilangan, dan akhirnya memutar ke
kawasan utara kota, menuju hutan Fear Street selama hampir...
Maggie melirik jam tangannya. Jam tiga lebih sepuluh!
Sekarang sudah terlambat untuk ikut latihan. Cewek-cewek anggota
tim renang Shadyside High pasti bertanya-tanya, di mana mereka
sekarang. "Kita terlambat, tak bisa ikut latihan," katanya pada adiknya.
Andrea memutar-mutar bola matanya. "Tentu saja!" gumamnya sengit.
"Kalau saja kita bertemu seseorang yang sedang jalan-jalan,"
kata Mrs. Travers, dengan gugup tangannya menyisiri rambutnya yang
abu-abu kemerahan. "Kita bisa tanya, di mana kita sekarang."
"Kita tersesat," kata Andrea. "Itulah, kita tersesat. Gara-gara Nona Sok Tahu."
"Seharusnya kita tetap di belakang van itu," Maggie
mengingatkan adiknya dengan suara setenang mungkin.
"Apa hubungannya?" tukas Andrea ketus.
Maggie mendesah. Sepertinya Andrea memang cari gara-gara,
tak peduli dia yang salah. "Dengar," kata Maggie, "maksudku, ini bukan salahku.
Jelas?" "Siapa bilang kita harus lurus?" tuntut Andrea. "Gus?"
Maggie pura-pura tidak peduli, tapi darahnya mulai mendidih.
Selalu begini. Tak peduli berapa kali dia menasihati dirinya agar
jangan membiarkan Andrea membuatnya marah, selalu saja dia
terpengaruh. Maggie mencoba menyorongkan peta jalan yang besar kepada
adiknya. "Kau mau gantiin?" tanyanya. "Nih. Kalau kaupikir kau bisa melakukannya
lebih baik, silakan."
"Tidak. Terima kasih," gerutu Andrea. "Aku yakin aku takkan bisa melakukannya
sebaik kau. Kau selalu lebih baik."
"Kalau begitu..." Maggie memulai.
Mrs. Travers memelototi putrinya yang lebih besar. "Maggie,"
katanya. "Sudahlah."
Maggie merasa wajahnya memanas. Sepertinya Mrs. Travers
selalu menyuruhnya mengalah pada Andrea. Selalu menjelaskan
bahwa bagi Andrea ini pasti lebih berat dibandingkan dengan yang
dirasakan Maggie. Umur Maggie tujuh belas, Andrea enam belas. Tapi menilik
sikap ibu mereka, orang akan mengira umur Andrea baru lima tahun.
Maggie melirik adiknya yang sedang memandang ke luar
jendela sambil terus menggerundel. Dagunya mencuat ke depan,
begitu kalau dia sedang kesal. Maggie merasa kemarahannya mereda,
sekarang dia justru kasihan. Mama benar. Dia harus bersikap lebih
sabar pada Andrea. Rambut mereka sama merahnya, mata mereka sama hijaunya.
Dia dan Andrea sangat mirip. Tetapi ciri-ciri sama yang membuat
Maggie cantik - mata hijau, rambut merah, tulang pipi tinggi - justru
sama sekali tidak serasi bagi Andrea.
Maggie jangkung dan langsing; Andrea lebih pendek, dengan
bahu lebih lebar yang membuatnya tampak kekar. Selain itu, rambut
Maggie panjang, ikal, dan lebat. Rambut Andrea yang sebahu itu tipis, lurus,
lepek tak bisa ditata, betapapun dia sudah berusaha keras.
Penampilan bukan satu-satunya kelebihan Maggie. Dia selalu
selangkah lebih baik dibandingkan adiknya, dalam hal apa pun - nilai, olahraga,
cowok. Itu jelas sekali, pikirnya prihatin. Kepindahan mereka
merupakan beban berat bagi Andrea, lebih berat dibandingkan bagi
anggota keluarga lainnya.
Bagaimanapun, Andrea tidak pernah populer di sekolah. Satu-
satunya kenyataan yang dibangga-banggakannya adalah dia
dibesarkan sebagai gadis North Hills.
North Hills merupakan kawasan paling eksklusif di Shadyside.
Andrea menyukai status North Hills. Dia suka main di country club.
Maggie merasa tidak enak ketika ingat bagaimana Andrea dan
gengnya selalu menghina dan melecehkan anak-anak dari kawasan
lain kota itu. Hmm, sekarang mereka meninggalkan North Hills. Dan semua
anak yang pernah dilecehkan Andrea pasti akan tertawa di balik
punggungnya. Aku takkan bertengkar lagi dengan adikku, Maggie
mengingatkan dirinya sendiri. Aku takkan bertengkar, pikirnya,
seakan otaknya adalah papan tulis dan dia sedang dihukum menulis
kalimat yang sama berkali-kali.
Maggie masih merasa bersalah. Perasaan itu selalu muncul
setiap kali dia bertengkar dengan Andrea.
Dia bertengkar dengan Andrea pada hari meninggalnya ayah
mereka. Konyol sekali. Pagi itu mereka kehabisan susu untuk teman
makan sereal. Andrea menyalahkan Maggie yang menghabiskan susu itu
malam sebelumnya. Maggie membantah dan bilang dia tidak
menyentuh susu itu. Kemudian Andrea menuduhnya berbohong.
Mereka bertengkar sengit. Maggie mengutik-utik kesalahan
yang dilakukan Andrea sekian tahun lalu. Seperti waktu Andrea umur
tujuh dan membakar rambut boneka Barbie kesayangan Maggie.
Kemudian Andrea berteriak-teriak dan mengata-ngatai Maggie,
menuduhnya telah menghancurkan hidupnya. Andrea melontarkan
tuduhan yang tidak masuk akal, bahwa kakaknya merebut semua
cowok yang diincarnya. Waktu itu, mereka saling memaki dan Andrea menangis.
Kemudian Mr. Travers menyuruh Maggie berhenti memaki-maki
adiknya. Maggie kesal sekali dan membanting mangkuk serealnya ke
lantai. Itu salah satu ketidakadilan yang sangat membekas di hati
Maggie. Andrea boleh menangis keras-keras, menjerit-jerit,
memecahkan piring, apa saja. Orang lain diharap maklum.
Tapi, jika Maggie marah sedikit saja, orangtuanya akan bereaksi
seakan rumah mereka nyaris meledak.
Begitu membanting mangkuk serealnya, Maggie langsung
malu. Wajah ayahnya merah padam. "Dad bosan mendengar
pertengkaran kalian!" teriak Mr. Travers. "Maggie, bersikaplah dewasa."
Kemudian ia mendorong kursinya ke belakang, melemparkan
koran yang tadi dibacanya, lalu cepat-cepat keluar rumah.
Itulah terakhir kalinya Maggie melihat ayahnya.
Sore itu, Mr. Travers mendapat serangan jantung di kantornya.
Dia sedang duduk di kursinya. Ketika sekretarisnya menemukannya,
Dia sudah meninggal. Aku tak pernah punya kesempatan untuk mohon maaf, pikir
Maggie pahit. *********** Mereka masih berada di perempatan jalan. "Hmm," kata Mrs.
Travers sambil mendesah, "kita harus mencoba sesuatu." Dia membelok ke kiri.
"Pasti Mama menuruti omongan Maggie," Andrea mengomel.
Gus menyalak dua kali. "Benar, Gus," kata Mrs. Travers, "ingatkan mereka." Kepada kedua putrinya, dia
menambahkan, "Gus menyuruh kalian berhenti bertengkar."
Mau tak mau Maggie dan Andrea tersenyum. Keyakinan ibu
mereka akan kebijaksanaan binatang sudah terkenal di keluarga
Travers. Kotak surat keluarga Travers selalu penuh dengan surat-surat
dari berbagai kelompok pencinta binatang yang pernah dikirimi uang
oleh Mrs. Travers. Dia selalu menceritakan pikiran Gus kepada
mereka. "Kuharap kita tak semakin dekat ke rumah kita yang baru,"
gumam Andrea sambil memandang ke luar jendela. "Tolong katakan, kita takkan
tinggal di kawasan ini."
Andrea benar, pikir Maggie. Rumah itu tampak jelek pada hari
Mom mengajak mereka melihatnya. Namun hari itu hujan, dan
mereka pikir hujan membuat rumah dan lingkungan itu kelihatan
suram. Entah bagaimana, sinar matahari yang cerah hari ini justru
membuat lingkungan di situ tampak lebih suram. Semua rumah
seharusnya dicat ulang. Semua rumah kelihatan tua dan reyot.
"Selamat datang di kota perampok," Andrea bercanda,
menirukan suara pemandu wisata. "Penduduk kawasan ini bangga
karena tingkat kriminalitas di sini adalah yang tertinggi di seluruh negara
bagian." Maggie tertawa, tetapi jantungnya berdesir. Ingatan akan
perampok selalu membuatnya ngeri, bahkan ketika mereka masih
tinggal di North Hills, yang nyaris tidak pernah ada perampokan.
Mrs. Travers mengerutkan dahi. "Aku tahu ini bukan kawasan
terbaik di kota ini, anak-anak," katanya, "tapi inilah yang terjangkau oleh kita
sekarang." Dia memaksa diri untuk tersenyum.
"Bagaimanapun, kita punya Gus untuk melindungi kita."
Benar, pikir Maggie. Kalau ada perampok, Gus pasti langsung
menyerangnya. Namun satu-satunya serangan yang akan dialami si
perampok hanyalah jilatan lidah Gus yang membuatnya lari terbirit-
birit karena jijik! "Lihat!" seru Maggie tiba-tiba, jarinya menuding papan
penunjuk jalan bercat hijau yang dipasang di perempatan. "Fear Street! Kita
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah sampai! Kita tak tersesat!"
Mrs. Travers bersorak. Maggie lega sekali. Hatinya gembira
sampai dia melihat rumah itu. Rumah nomor 23 di Fear Street
kelihatan lebih bobrok dan mengenaskan dibandingkan ketika terakhir kali mereka
lihat. Dua jendela bercat hijau kini tergantung pada
engsel-engselnya yang berkarat. Halaman penuh lubang-lubang besar
berisi air cokelat menjijikkan. Secara keseluruhan, rumah itu
menyeramkan. Maggie bergidik. Van besar bercat putih itu diparkir di depan. Orang-orang lalu
lalang mengangkuti perabotan ke dalam rumah. Maggie
memperhatikan dua lelaki kekar mengenakan seragam hijau
menghilang di balik pintu depan, mencoba memasukkan meja riasnya.
Dia ingin meneriaki mereka dan menyuruh mereka mengangkut
semuanya kembali ke North Hills. Tapi, inilah rumah mereka
sekarang. Mrs. Travers memutar duduknya, menghadap kedua putrinya.
Dia tersenyum, tetapi di balik senyum itu Maggie melihat kecemasan.
"Anak-anak," katanya, "Mom tahu rumah ini menyedihkan, tapi kalau kita sudah
punya uang lebih banyak, kita bisa memperbaiki dan
mengecatnya serta menanami halamannya dengan bunga. Pasti akan
indah. Lihat saja nanti. Di samping itu, pasti asyik merapikan dan
memperbaikinya." Maggie memaksa diri tersenyum. Ia tahu kepindahan itu juga
berat bagi ibu mereka. "Nah," kata Maggie, sambil bertepuk tangan,
"ayo kita mulai."
Ia turun dari mobil lalu meregangkan badannya. Gus memukul-
mukulkan ekornya di tempat duduk belakang, mengawasi setiap
gerakan Maggie. "Tunggu sebentar, Gus," katanya.
Mrs. Travers melambai pada orang-orang yang mengangkut
barang itu. "Kami tersesat sebentar," teriaknya.
Orang-orang itu malahan tidak memedulikannya. "Mom," kata Maggie, sambil
menyentuh lengan ibunya, "mana kunci bagasi?"
Mereka membawa pakaian dan barang berharga mereka dengan
mobil itu. Maggie memasukkan anak kunci ke lubang, membuka
bagasi, lalu mulai menurunkan koper-koper. Dia menarik keluar tas
hijaunya dan dengan hati-hati meletakkannya di trotoar.
Gus menyalak-nyalak seperti anjing gila. Andrea bersandar ke
mobil, memandang langit. "Andrea, tolong bantu, sini," kata Mrs.
Travers dengan tajam. Sambil cemberut Andrea mendekat lalu memilih tas yang paling
kecil dan paling ringan. Ia langsung mencampakkannya ke trotoar.
"Oh, kasihan Gus," katanya sambil membuka pintu mobil. "Kau bisa mati kepanasan
di dalam situ." "Tunggu, Andrea, jangan," Maggie mengingatkan.
Terlambat. Gus menerjang keluar. Dia berlari-lari mengitari kaki Andrea.
Kemudian menerjang Mrs. Travers, melompatinya, lalu menuju ke
arah Maggie. "Tenang, Gus," kata Maggie. Tiba-tiba Gus lari menjauh.
Tangan Maggie penuh koper. "Gus!" teriaknya.
Anjing tolol itu tidak mau berhenti.
"Cepat, Andrea. Tangkap dia!" teriak Mrs. Travers.
"Itu anjing Maggie," sahut Andrea kesal. Biar Maggie yang menangkapnya."
Maggie nyaris berkata bahwa Andrea yang membiarkan Gus
lepas. Tapi dia melihat kekesalan di wajah ibunya. "Aku akan
menangkapnya," katanya sambil menarik napas.
Dia meletakkan koper-koper itu lalu berlari mengejar Gus.
Anjing itu sudah sampai di ujung blok. Dia mengencingi pagar hidup
rumah orang. "Gus!" teriak Maggie lagi.
Anjing itu bahkan tidak menegakkan kepalanya untuk
mendengarkan. Dia lari lagi.
Maggie mempercepat larinya.
Dia lari kencang sekali, sepatu ketsnya berdebam-debam di
jalan aspal. Gus berbelok di tikungan, hilang dari pandangan. "Gus!"
Maggie berteriak lagi. Kemudian dia sampai di tikungan. Larinya langsung terhenti.
Gus sedang menyeberangi halaman berumput di seberang jalan.
Tetapi ketika melihat Maggie, anjing itu langsung berbalik dan berlari ke
arahnya. Gus mengambil jalan pintas terpendek. Menyeberang jalan.
Tepat di tempat yang akan dilewati truk yang melaju kencang.
"Gus... stop!" jerit Maggie.
Dia memejamkan mata dan mendengar anjing itu mendengking
kesakitan. Chapter 2 BAN mendecit. Klakson melengking nyaring. Truk itu selip.
Dengan dengking anjing terngiang-ngiang di kepalanya,
Maggie menjerit. Tanpa sadar, dia menutupi matanya dengan kedua telapak
tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar. Pelan-pelan dia menurunkan
tangannya - dan melihat Gus yang berdiri gemetar di trotoar, tetapi
tidak terluka. Maggie baru sadar, anjing malang itu pasti mendengking
ketakutan - bukan kesakitan.
Truk itu berhenti beberapa meter dari situ. Sopirnya
melongokkan kepala ke luar, wajahnya yang bulat merah padam
karena marah. Ikat anjing tolol itu!" teriaknya kasar.
"Maaf," kata Maggie. Begitu truk itu berlalu, ia menjerit keras-keras meluapkan
kelegaannya. "Oh, Gus! Kau selamat! Kau selamat!" Dia berlutut, tangannya terkembang lebar.
"Gus! Sini! Sini!"
Gus mendekat dengan patuh. Maggie melingkarkan lengannya
di sekeliling kepala anjingnya yang mulai kelabu dan memeluknya
erat-erat. "Bagus," bisiknya, "sekarang kau patuh."
Gus menunggu dengan sabar sampai Maggie melepaskan
pelukannya. Kali ini tangannya mencengkeram kalung Gus.
Aku tak sanggup menghadapi kematian lain dalam keluargaku,
pikirnya murung. Aku tak sanggup.
Maggie membawa Gus kembali ke rumah, lalu masuk lewat
pintu depan. Dia bertabrakan dengan pengangkut barang yang berjalan dari arah
berlawanan. "Lihat-lihat kalau jalan!" geram orang itu dengan kasar.
Begitu Maggie melepaskannya, Gus langsung mengendus-
endus ke segala arah, menjelajahi rumah baru itu. Dia lari ke ruang tamu. Di
sana Andrea sedang bersantai di sofa keluarga Travers yang bermotif garis-garis
putih-kelabu. Sofa itu tampak janggal di dalam ruangan yang kosong.
Di dapur, Mrs. Travers sedang menyeka jelaga, debu, dan
bekas-bekas minyak di kompor. Mrs. Travers biasanya bersikap santai menghadapi
apa pun, tapi jika ada barang kotor, sikapnya tak kenal
kompromi - seperti mesin pembersih.
Tangannya yang terbungkus kaus tangan karet berwarna kuning
melambai pada Maggie dan Andrea. "Hmm," katanya, "Mom menemukan peninggalan
arkeologis penting di dapur. Ada debu
setebal 25 senti di sini!"
Maggie memandang adiknya. Wajah Andrea murung.
"Andrea," katanya dengan sabar, "kita bereskan kamar kita, yuk.
Mungkin lebih enak rasanya kalau kita sudah memasukkan barang-
barang kita ke sana."
"Aku tak yakin," Andrea menggerutu. Namun diikutinya
Maggie ke lantai atas. "Jangan patah semangat melihat penampilan kamarnya," teriak ibu mereka. "Kamar
kalian cuma perlu dibersihkan. Aku segera ke atas setelah selesai di dapur."
Tak cukup hanya menyapu untuk membuat rumah ini nyaman
ditinggali, pikir Maggie. Kertas dinding di selasar tadinya putih
dengan bunga-bunga mawar. Tapi kertas dinding itu sudah menguning
dan mengelupas, bunga-bunga mawarnya tampak layu.
Ia membelok ke kanan di puncak tangga. Kamar tidur mereka di
ujung selasar. Ia berjalan lagi lalu membelok ke kanan dan masuk
kamar yang dipilihnya, sementara Andrea membelok ke kiri, ke
kamarnya. "Wah!" seru Maggie. Langkahnya terhenti ambang pintu.
Benda itu ada di sana. Sebuah ranjang indah berkanopi dan bertiang empat.
Kayunya hitam berpelitur. Kanopinya merah muda.
"Oh, indah sekali!" bisik Maggie. Matanya mengejap. Seakan untuk memastikan
bahwa ranjang itu benar-benar nyata, dia
menyeberangi kamar lalu duduk di atasnya.
"Menakjubkan," katanya lirih. Pemilik sebelumnya
meninggalkan ranjang seindah ini!
Tapi mengapa" Mengapa mereka meninggalkan ranjang ini dan
tidak satu pun barang lainnya"
Benar-benar misterius. "Kamu pasti bercanda!" seru Andrea dari ambang pintu. Ia
mendengar seruan Maggie yang kagum bercampur gembira.
Maggie berdiri dan menunjuk ranjang itu sambil menyeringai.
"Lihat saja sendiri."
Andrea memutari ranjang itu, mulutnya ternganga. Dibelainya
tiang-tiang yang terbuat dari kayu tua itu. "Bagaimana mungkin mereka
meninggalkan ini?" Maggie menggeleng. "Aku tak tahu. Mungkin mereka sudah
bosan." Bahkan ketika mengatakannya, Maggie sadar bahwa penjelasan
itu terdengar konyol. Bagaimana mungkin ada orang tak menyukai
ranjang ini" "Ini indah sekali!" kata Andrea penuh kagum. "Lihat ukiran di tiang-tiang ini."
Dia benar. Ukirannya memang indah, puncaknya berbentuk
bunga cemara yang terukir halus, menonjol di atas kanopi.
"Menurutmu, apakah kira-kira mereka akan kembali untuk mengambil ini?" tanya
Andrea. Maggie mengerutkan dahi. Itu tak pernah terpikirkan olehnya.
Mungkin ia memang tidak berhak memiliki ranjang itu. "Sayang
sekali," pikirnya. "Kenapa mereka mengangkut semuanya kecuali ranjang ini untuk
kemudian diambil" Ini tak masuk akal."
"Kau benar," kata Andrea. "Kurasa mereka memang sengaja meninggalkannya."
Andrea tersenyum ramah kepada Maggie. Aku tahu arti
senyummu, kata Maggie dalam hati. Memang, Maggie dapat
meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Andrea pura-pura tenang, tapi Maggie melihat adiknya itu
sebenarnya sangat tegang. Dan dia tahu mengapa Andrea tegang.
Andrea menginginkan ranjang itu. Sangat menginginkannya.
"Dengar, Mags," Andrea memulai. "Mags kau tahu aku selalu ingin punya ranjang
antik seperti ini." Andrea menggigit bibir.
Persis seperti yang kuduga, kata Maggie dalam hati.
Berikutnya, Andrea akan menuntut, "Ini buatku ya?"
Ini buatku, ya" - adalah kalimat favorit Andrea.
Andrea memandang kakaknya, memohon lewat matanya. Mata
Maggie beralih ke bawah, memandang ranjang itu.
Apa yang harus kukatakan padanya" tanya Maggie pada diri
sendiri. Apa yang harus kulakukan"
Haruskah aku menghindari pertengkaran dan memberikan
ranjang ini padanya"
Apa yang harus kukatakan"
Seandainya Maggie tahu pengalaman mengerikan yang
menunggunya di ranjang tua berkanopi itu, jawabannya mungkin akan
lain. Tetapi dia tidak tahu. Dia tidak tahu mengapa ranjang itu
ditinggalkan pemiliknya. Chapter 3 "YANG menemukan yang berhak," kata Maggie kepada
adiknya. Andrea meringis, seakan Maggie baru saja memukulnya. "Yang
menemukan yang berhak" yang bener aja!" teriak Andrea sengit. "Kau kekanak-
kanakan, Maggie." Senyum Maggie langsung .lenyap. "Ini bukan soal kekanak-
kanakan. Kita sudah memilih waktu terakhir kali kita ke sini. Kau
Ingin kamar yang lebih besar, di bagian belakang rumah, kamar yang
tenang, yang tidak menghadap jalan. Ingat" Kamar dengan kursi di
dekat jendela." "Tapi itu sebelum kita tahu mereka akan meninggalkan ranjang
ini," rengek Andrea. "Ini nggak adil."
"Andrea," kata Maggie. "Sori. Ini soal keberuntungan saja.
Dengar, kadang-kadang aku yang beruntung, kadang-kadang kau..."
"Kau ngaco, Maggie, tahu nggak!" bentak Andrea. "Kau selalu mendapat apa pun
yang kauinginkan!" "Nggak, nggak benar, itu..."
"Itu benar! Aku tak percaya kau! Kau tak pernah memberiku
kesempatan! Tak pernah! Kamu benar-benar egois dan serakah!"
Sejauh yang diingat Maggie, selalu Andrea yang memulai
pertengkaran, menggunakan kata-kata kasar dan berteriak-teriak.
Memang begitulah yang terjadi sekarang. Andrea menjerit-jerit
sekeras-kerasnya. Semakin keras Andrea berteriak, semakin bungkamlah Maggie.
"Andrea, bagaimana kalau ranjang ini ada di kamarmu" Maukah kau memberikannya
padaku?" Andrea mondar-mandir mengelilingi ranjang itu. Tiba-tiba dia
menepuk dahinya, pura-pura heran. "Pasti kuberikan jika seumur hidupmu kau terus
bermimpi ingin punya ranjang berkanopi!"
pekiknya. "Seumur hidupmu, sejak kapan, Andrea?" balas Maggie. Dia
mencoba tetap tenang, tetapi suaranya bergetar. "Sejak lima menit yang lalu?"
Dia mendengar langkah kaki bergegas menaiki tangga.
"Mom!" Andrea mengadu begitu Mrs. Travers cepat-cepat
masuk ke kamar tidur. "Bilangin dia, Ma! Aku sudah lamaaaa sekali ingin punya
ranjang berkanopi" Ya, kan"
"Tenang, tenang, tenang," kata Mrs. Travers dengan suara letih.
"Tolong kalau bertengkar, jangan teriak-teriak." Kemudian matanya melihat
ranjang itu, dan rahangnya merosot.
"Astaga," seru Mrs. Travers. Matanya berbinar. "Mereka meninggalkan ranjang
antik yang cantik ini?"
"Ya!" seru Andrea. "Dan Maggie bilang..."
Mrs. Travers tidak mendengarkan. Pelan-pelan ia menyeberangi
kamar dan memandang ranjang itu, seakan melihat keajaiban.
"Harganya pasti di atas seribu dolar," katanya lirih. "Mengapa mereka
meninggalkannya" Kuharap tak ada apa-apanya. Bukan lapuk atau
jadi sarang serangga atau..."
"Masih bagus sekali," tegas Andrea. "Dan Maggie menganggap ini miliknya karena
ada di kamarnya, itu sungguh kekanak-kanakan,
aku..." Kata-katanya terputus. Mrs. Travers mengangkat tangannya
seperti polisi lalu lintas.
"Tunggu, Andrea. Mom tak mau dengar kalian bertengkar soal
ini. Maksud Mom, soal ini justru harus kita rayakan."
"Aku harus merayakannya karena Maggie mendapat ranjang
antik ini?" Andrea pasang tampang menyebalkan.
"Kau harus ikut merayakannya, karena kita semua mendapat
ranjang antik ini," kata Mrs. Travers. "Tapi karena Maggie memilih kamar ini,
dia akan tidur di ranjang ini. Apa masalahnya?"
"Tapi itu nggak adil!" jerit Andrea.
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mrs. Travers jarang sekali bicara dengan suara tajam. Sekarang,
wajahnya seperti orang kesakitan, dia seperti mau menangis.
Mereka sering menangis dalam tujuh bulan belakangan ini,
sejak Mr. Travers meninggal. Mrs. Travers-lah yang paling sering
menangis. Maggie dan Andrea sering terbangun tengah malam,
mendengar tangis ibu mereka. Mereka mencoba menghiburnya,
namun tidak pernah berhasil.
Jadi, setiap kali Mrs. Travers hampir menangis, seperti saat itu,
mereka langsung terdiam. Andrea mengertakkan gigi, tetapi tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
"Mom heran melihat kalian berdua," kata Mrs. Travers,
tangannya bersedakap. "Kalian selalu saja bertengkar. Orang akan mengira kalian
saling membenci." Memang, pikir Maggie pahit. Bahkan meninggalnya Daddy
tidak membuat kami lebih dekat.
Kami memang saling membenci.
************ Malam itu rencananya mereka akan makan malam di rumah,
tetapi Mrs. Travers tidak dapat menemukan kotak yang berisi bahan
makanan. Jadi, meskipun mereka sedang harus sangat berhemat,
diajaknya kedua putrinya ke restoran.
Maggie berhasil menyelesaikan makan malam itu tanpa
bertengkar dengan Andrea. Itu kabar yang bagus. Kabar buruknya,
mereka nyaris tidak saling bicara. Tak terlalu mengherankan, kata
Maggie pada diri sendiri. Mereka semua kecapekan.
"Aku ingin kembali ke rumah lama kita," Andrea menggerutu sementara mereka
menghabiskan makanan. "Bahkan tanpa perabotan pun, rumah kita yang lama masih
lebih bagus." Mrs. Travers tidak menanggapi. Begitu pula Maggie. Apa lagi
yang bisa dikatakan"
Maggie melingkarkan lengannya ke bahu adiknya, ketika
mereka berjalan keluar restoran.
Aku akan menjaga keakraban keluarga ini, janjinya dalam hati.
Kalau itu memang harus kulakukan.
Ketika kembali ke rumah di Fear Street itu, untuk pertama
kalinya mereka melihatnya ketika hari sudah gelap. Dalam cahaya
matahari yang benderang, rumah itu terlihat bobrok dan jelek. Tak
heran jika di malam hari rumah itu kelihatan gelap dan menyeramkan.
Telepon berdering ketika mereka bergegas masuk. "Telepon
pertama!" Andrea berteriak penuh semangat sambil berlari ke pesawat telepon.
Wajahnya langsung cemberut ketika dia menjawab. "Tunggu
sebentar," katanya, mendesah.
Dia membiarkan gagang penerima tergantung pada kabelnya.
"Untukmu," katanya pada Maggie sambil melangkah pergi dengan kesal. "Selalu
untukmu." Maggie mendengar adiknya mengomel pelan.
Ketika Maggie mengangkat telepon, dia mendengar suara yang
dikenalnya menyapa riang, "Hei, bagaimana rumah barumu?"
"Justin!" seru Maggie. Baru beberapa minggu dia "jalan"
dengan Justin Stiles dan masih belum mempercayai
keberuntungannya. Justin cowok paling populer di Shadyside High.
Salah satu kawan karib Maggie di tim renang, Dawn Rogers,
kencan dengan cowok itu tahun lalu. Ketika pertama kali Justin
mengajak Maggie kencan, Dawn memperingatkan Maggie bahwa
mata Justin "suka berkeliaran".
Tapi waktu itu Maggie tidak peduli. Dia bersyukur karena mata
Justin berkeliaran ke arahnya!
Rambut Justin cokelat, ikal, dan seksi. Matanya yang biru
bersinar hangat dan membius, membuat Maggie serasa meleleh.
"Bagaimana rumah barumu?" tanya Justin.
"Suasananya seperti di The Addams Family," kata Maggie asal-asalan.
"Jangan ngawur!" teriak Mrs. Travers dari kamar duduk.
"Memang begitu kok," bisik Maggie. "Persis rumah-rumah yang kita lihat di film
horor, yang dari dindingnya merembes lendir hijau yang lengket."
Justin mendengus. "Aku suka rumah seperti itu!"
Maggie mengerang. Mereka sama-sama diam. Maggie mencari-cari bahan obrolan.
"Jadi, kapan aku boleh ke situ?" tanya Justin.
"Jangan," jawab Maggie. "Ini serius. Aku sangat malu. Kau tak boleh ke sini -
jangan pernah ke sini."
Justin tertawa, tetapi kali ini suaranya terdengar agak tegang.
"Apa maksudmu?"
Maggie nyengir. Dia senang karena Justin mungkin merasa
tidak yakin akan hubungan mereka - walaupun hanya sesaat. Justin
Stiles" Tak yakin" Dari semua yang didengarnya tentang Justin, jika benar
begitu, itu berarti perubahan besar.
"Hmm. Bagaimana kalau kau ke sini - hmm, besok siang?"
tanyanya. Dia mencoba bersikap santai.
"Bagus," balas Justin. "Sampai nanti, Mags."
Begitu diletakkan, telepon berdering lagi. Andrea bergegas
masuk dari ruang duduk. Telepon itu untuk Maggie lagi.
"Kami mencari-carimu tadi sore, " terdengar suara bernada riang. "Kau sudah siap
kalah di seratus meter besok?"
"Hai, Dawn," kata Maggie sambil bersandar pada dinding dan mengalihkan gagang ke
telinga satunya. Dawn Rogers perenang
terbaik di tim - setelah Maggie, tentu saja. "Yah, aku memang siap kalah," kata
Maggie. "Sudah seminggu aku nggak nyebur kolam!"
"Bagus," kata Dawn. "Mungkin aku akan dapat kesempatan."
Kemudian dia tertawa. Sepanjang musim kompetisi kali ini, Maggie selalu
mengalahkan Dawn di setiap lomba. Dawn gadis paling kompetitif
yang pernah dikenal Maggie, tetapi dia sangat sportif menerima posisi kedua
"Eh, sebenarnya aku menelepon bukan untuk urusan itu," kata Dawn. "Kau tahu
kenapa aku meneleponmu."
Maggie tersenyum. "Aku baru saja bicara dengan Justin, sedetik yang lalu,"
balasnya. "Kau bisa baca pikiran orang, ya," kata Dawn sambil tertawa cekikikan.
Maggie menceritakan telepon Justin kepada Dawn. Dia
menyandarkan badannya ke dinding, matanya menerawang, mulutnya
tersenyum. Berkencan dengan Justin adalah yang terbaik. Tapi
menceritakannya kepada teman setelah kencan itu, nyaris sama
asyiknya! Sambil bicara dengan Dawn, Maggie melihat Andrea
memelototinya dari ruang sebelah.
Mengapa dia memelototiku seperti itu" Maggie terheran-heran.
Mengapa dia memandangiku terus dan menguping"
Oh, Andrea, jangan begitu dong! Urus saja dirimu!
************* Mereka tidur pukul sepuluh, kecapekan setelah membongkar
barang-barang. Maggie dan Andrea berbagi kamar mandi di ujung selasar.
Andrea bilang dia hanya perlu waktu beberapa menit dan berkeras
mendapat giliran lebih dulu.
"Hei... keluar!" akhirnya Maggie berteriak dua puluh menit kemudian. Dia
menggedor pintu kamar mandi keras-keras.
Pintu terbuka, kepulan uap panas menerpa wajah Maggie.
Rambut Andrea yang merah menempel pada kepalanya. Dia
menggerutu. "Airnya bau!" teriaknya. "Aku terpaksa membuka keran setahun sebelum
airnya yang cokelat jadi jernih! Keran ini tak pernah digunakan lagi sejak Zaman
Perang Saudara!" Maggie ingin mengeluh karena Andrea berlama-lama di kamar
mandi, tetapi dia menahan diri. Dia memaksa diri tersenyum. "Hmm, selamat
tidur," katanya. "Di sarang hantu yang menjijikkan ini?" tukas Andrea. "Tak masuk akal." Dia
melangkah cepat ke kamarnya lalu menutup pintu.
Ranjang berkanopi itu tampak semakin cantik karena Maggie
menutupinya dengan seprai merah jambu dan penutup tempat tidur
dari kain afghan putih tipis yang dirajut neneknya untuknya. Dia
menghentikan langkahnya, dan untuk keseratus kalinya mengagumi
ranjang itu. Sungguh indah!
Maggie melangkah ke jendela. Dalam cahaya bulan yang pucat,
dia bisa melihat kuncup-kuncup kecil menghiasi pohon maple tua
yang tumbuh persis di depan jendela kamarnya. Ini pertanda baik.
Telepon dari Justin membuatnya gembira. Cowok itu akan datang
besok siang! Dia menguap. Dia benar-benar capek. Ditukarnya pakaiannya
dengan pakaian tidur, dan diletakkan pakaian itu di kursi yang tadi diusung ke
lantai atas oleh salah satu tukang angkut.
Maggie merasa senang naik ke ranjang yang rapi. Dia merasa
aman ketika sudah bergelung di balik selimut.
Dia berbaring telentang, matanya memandangi kanopi di
atasnya. Perlindungan ganda.
Maggie memejamkan mata. Diaturnya posisi badannya agar
nyaman, dan dirasakannya otot-ototnya mulai mengendur.
Biasanya tidak mudah baginya tidur di ranjang baru. Kali ini,
tanpa bersusah-susah dia langsung tenggelam dalam tidurnya.
Lalu, muncullah mimpi yang pertama.
Mula-mula mimpi itu indah. Dia mengambang. Tidak. Jatuh.
Jatuh pelan-pelan menembus kabut merah jambu yang berputar-putar.
Kemudian kabut itu bertambah pekat dan gelap. Warna merah
jambu lenyap, berganti warna kelabu yang jelek dan suram.
Dari balik kabut jelek itu, dia melihat seorang gadis.
Apa yang dingin ini" Apa yang tiba-tiba terasa dingin"
Apakah kabut gelap ini berubah jadi dingin" Atau gara-gara
gadis itu" Dia melihat kepala gadis itu, rambutnya yang panjang, warna
pirang keabu-abuan... Tapi dia tak bisa melihat wajah gadis itu.
Aku ingin melihat wajahnya, kata Maggie dalam mimpinya.
Mengapa aku tak bisa melihat wajahnya" Ada yang tak beres"
Dia tahu dia sedang bermimpi. Dan dia sadar, dia ketakutan.
Mimpi itu tidak indah lagi.
Ada yang tidak beres. Ada yang janggal pada gadis itu.
Mengapa dia tak bergerak" Maggie menduga-duga. Mengapa
aku tak bisa melihat wajahnya"
Gadis itu dalam kesulitan, Maggie langsung tahu itu.
Gadis itu dalam kesulitan besar.
Maggie mencoba bergerak mendekat, namun kabut pekat itu
menghalanginya. Dia mencoba melihat wajah gadis itu, tetapi kabut semakin
pekat, kabut itu berputar-putar di sekelilingnya seperti tirai berat,
menyelubungi gadis itu dari pandangannya.
Kemudian Maggie mendengar jerit yang mengerikan.
Chapter 4 JERITAN itu melengking tinggi, seperti jerit orang yang sedang
sekarat. Maggie terduduk, jantungnya berdegup kencang, matanya
terbelalak. Siapa yang menjerit" Dan mengapa"
Dengan napas tersengal-sengal, dia memelototi sekeliling
kamar yang gelap. Apakah dia sendirian"
Ya. Tapi di mana" Ini bukan kamarku, pikirnya.
Ini bukan rumahku. Kemudian dia ingat. Ini rumah barunya, kamar barunya.
Dia menahan napas ketika Andrea dan ibunya berlari masuk.
Maggie memandang mereka, matanya nanar penuh kengerian. Dia
duduk tegak di ranjang, memegangi kain afghan putih itu di dadanya.
"A-a-apa jeritan itu?" ibunya bertanya dengan ngeri.
Maggie sadar bahwa dialah yang mengeluarkan jeritan panjang
yang mengerikan itu. "Mimpi buruk," gumamnya, dia malu.
"Oh, untunglah," kata ibunya, sambil duduk di ranjang.
"Jeritanmu itu... kukira..."
"Benar-benar mimpi buruk, ya?" tanya Andrea dengan suara
tajam, lalu duduk di kaki ranjang dan memeluk tiang ranjang yang
berukir. Pelan-pelan napas Maggie kembali normal. Dia memaksa diri
tersenyum. Aman rasanya dikelilingi ibu dan adiknya.
"Mimpi itu... seperti nyata," katanya tergagap.
"Hmm, mimpi kadang-kadang memang seperti nyata," kata
Mrs. Travers. Dia menepuk bahu putrinya. Maggie merasa dirinya
konyol, seperti anak umur tiga tahun.
"Ceritakan," usul Andrea, "sebelum kau lupa."
"Kurasa aku takkan bisa melupakannya," kata Maggie pada
adiknya. "Mimpi itu tentang cewek yang sedang tidur. Caranya
tidur - mula-mula kukira dia sudah mati. Kemudian dia bergerak-
gerak, menggeliat-geliat dan berguling-guling. Dia seperti... aku tak tahu...
seperti tersiksa. Aku bisa merasakan, dia dalam bahaya."
"Aneh," kata Andrea. "Seperti apa dia?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi rambutnya pirang
panjang." "Dawn Rogers," tebak Andrea. "Kau tadi ngobrol dengan Dawn, kan?"
Benar. Dawn berambut pirang panjang. Tetapi rambut gadis
dalam mimpinya itu pirang keabu-abuan, rambutnya pucat; warna
pucat yang seingat Maggie belum pernah dilihatnya di majalah-
majalah. "Mungkin itu Dawn," katanya pada Andrea. "Aku tak tahu."
Mrs. Travers menyibakkan rambut dari kering Maggie. "Itu
pasti karena stress pindah rumah." Dia tersenyum kepada Maggie, tetapi wajahnya
tampak cemas. Kedua matanya bengkak.
Maggie merasa tidak enak karena membuat ibunya terbangun.
Ibunya pasti capek sekali.
"Kau bisa tidur lagi sekarang?" tanya Mrs. Travers.
Maggie mengangguk. "Terima kasih," dia menggumam ketika
ibu dan adiknya keluar dari kamarnya. "Tolong, pintunya jangan ditutup,"
tambahnya. Dia merasa konyol mengatakan itu, tetapi dia masih terpengaruh oleh
mimpinya. Dia tak bisa mengenyahkan rasa takutnya. Sepertinya kengerian
menggantung rendah di atas kepalanya, melayang seperti awan gelap
di atas ranjang berkanopi itu.
****************** Maggie menyetel wekernya untuk pukul tujuh. Dia ingin pergi
ke kolam renang sekolah dan berenang sejam sebelum sarapan.
Berenang mengendurkan saraf. Dia bisa menceburkan diri ke kolam,
melamun, dan menyuruh tubuhnya, "Renang!"
Tetapi ketika dia membuka mata, weker itu menunjuk pukul
sepuluh. Dia mengambil weker itu dan memeriksanya. Weker itu mati.
Stopkontak di dinding tempat dia mencolokkan weker itu pasti
dikontrol oleh sakelar lampu di dekat pintu. Pukul sepuluh adalah jam ketika dia
memadamkan lampu dan naik ke ranjang.
Dia mencari arlojinya. Sudah hampir pukul sebelas.
"Oh, aduh," geram Maggie kesal. Satu lagi kesempatan
berenang di pagi hari lenyap. Dan besok hari pertama babak
penyisihan untuk menentukan anggota tim renang yang akan berlomba
di tingkat Negara Bagian.
Sambil mendesah, Maggie mengenakan celana denim pendek
dan T-shirt yang kedodoran, lalu bergegas turun untuk sarapan pagi
yang kesiangan. Hari itu Minggu. Kemudian dia dan Andrea
menghabiskan sisa pagi itu dengan membantu ibu mereka menyapu
dan mengepel. Suasana hati Maggie sedang tidak enak. Dia memutuskan untuk
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menata kamarnya seperti kamarnya di rumahnya yang lama. Pikirnya
itu akan membuatnya senang. Sebaliknya, dia justru merasa semakin
sedih. Poster-poster atlet renang yang dipasangnya membuat dinding
putih itu tampak semakin kusam dan jelas-jelas harus dicat ulang.
Kemudian dia menata koleksi kristalnya di meja rias. Kamarnya
yang dulu selalu penuh cahaya matahari, sehingga kristal-kristal itu membiaskan
warna-warna indah. Di sini, prisma-prisma dan binatang-binatang kaca itu sama
sekali tidak bersinar. Ketika membereskan kamarnya, Maggie menemukan benda lain
yang ditinggalkan pemilik sebelumnya. Di bibir luar jendela yang
lebar dia melihat pohon geranium di pot mungil. Mati. Tanaman layu itu cocok
sekali dengan suasana hatinya.
Justin akan membuatku gembira, katanya pada diri sendiri.
Kira-kira pukul dua, dia mulai gugup karena akan bertemu
Justin. Dia meminta ibunya mendengar-dengarkan kalau-kalau bel
pintu berbunyi. Dia bahkan keluar dan memencet bel untuk
memastikan bel itu masih berfungsi dengan baik.
Kemudian dia mandi dan mengenakan pakaian bersih - celana
jins yang warnanya sudah pudar, T-shirt putih, dan rompi kotak-kotak hijau yang
dibelinya di pasar loak. Warna hijau rompinya membuat
hijau matanya semakin indah memukau.
Dia mengetuk pintu kamar Andrea. "Masuk," sahut Andrea
tanpa semangat. Maggie melihat adiknya telentang di ranjangnya. "Kau sedang
ngapain?" tanyanya. Andrea tidak memedulikan pertanyaan itu. "Kita akan terbiasa
dengan tempat ini, kan?" tanyanya murung.
Maggie mengangkat bahu. Dia melihat majalah mode
disembunyikan di bawah bantal. Andrea selalu bilang tidak peduli
akan penampilan dan mode atau hal-hal remeh seperti itu.
Tetapi suatu kali, waktu Maggie mencari-cari CD yang
dipinjam Andrea, dia menemukan satu kotak sepatu penuh guntingan
artikel dari majalah wanita. Artikel seperti "10 Cara untuk Tampil Ramping dan
Langsing" dan "Ingin Tampak Langsing" Berlatihlah!"
Pokoknya, yang semacam itulah.
"Sisirku belum ketemu," keluh Maggie. "Pinjam punyamu, ya?"
"Ambil saja." Maggie menemukan sisir perak itu di meja rias Andrea lalu
menyisir rambut panjangnya. "Sebentar lagi Justin datang," katanya.
Di cermin dia melihat rasa iri sekilas melintas di wajah adiknya.
Aku harus bagaimana lagi" pikir Maggie dengan pahit.
Memutuskan hubungan dengan Justin agar Andrea tidak iri"
Maggie mengamati wajah adiknya, mencari akal untuk
membuatnya senang. "Kau masih sedih karena kita pindah ke sini?"
tanyanya. "Yah, begitulah," gumam Andrea. "Aneh. Rumah ini,
lingkungannya, semuanya aneh." Dia menelan ludah dengan susah
payah, kemudian menambahkan, "Tak ada Dad."
"Aku tahu," kata Maggie lembut. Keheningan menggantung
berat. Mereka berdiaman. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, mereka
sama-sama tahu. "Aku baru saja berpikir yang aneh-aneh," Andrea membuka
hati, menghindari tatapan kakaknya. "Pikiran yang aneh, ganjil." Dia berhenti,
kemudian tersenyum sekilas kepada Maggie, senyumnya
tegang. "Selamat bersenang-senang bersama Justin," katanya dingin.
***************** "Mana dia?" tanya Maggie keras-keras sambil memandang ke
luar dari jendela depan. Sudah pukul empat, Justin juga belum datang.
Pukul lima dia bersumpah akan memutuskan hubungan dengan
cowok itu. Teganya Justin memperlakukannya seperti itu.
Pukul lima lewat sepuluh akhirnya bel pintu berdering. Dengan
bersemangat Maggie berlari menuruni tangga. Ketika sampai di anak
tangga paling bawah, kemarahannya sudah lenyap.
Dia membukakan pintu untuk Justin yang berdiri dengan satu
tangan di balik punggung.
"Sesuatu untukku?" tanya Maggie riang.
Justin mengulurkan tangannya. Dia membawa kantong plastik
besar berisi spons untuk membersihkan dapur.
"Romantis sekali!" kata Maggie.
Cowok itu melihat wajah Maggie yang bingung. "Katamu kau
harus bersih-bersih," jelasnya sambil nyengir.
"Wah, kau benar."
Maggie melangkah maju, mencium pipi Justin sekilas dan
menyentuh lengannya dengan lembut. Dia harus berjinjit untuk itu,
tapi dia menyukainya. Tinggi Maggie hampir 170 senti. Artinya, biasanya dia sama
tinggi - kalau tidak lebih tinggi - dibandingkan cowok-cowoknya.
Justin 180 senti. Tak beda jauh. Dan sangat tampan, Maggie rasanya
tak percaya akan keberuntungannya.
"Mom, lihat," kata Maggie sambil mempersilakan Justin masuk ke rumah. "Spons
baru." Hati Mrs. Travers meleleh, seakan Justin membawakannya
seikat mawar merah. "Inilah yang kubutuhkan!" sambutnya riang.
"Selera Mom payah," kata Maggie datar.
"Hei, Mags," kata Justin sambil memandang sekeliling, "tempat ini tak seburuk
yang kauceritakan." "Ya, kan?" Wajah Mrs. Travers semakin cerah. Justin benar-benar sedang
memamerkan daya tariknya.
"Mau minum?" tanya Maggie sambil mengajak Justin ke dapur.
"Kami punya dua kaleng Sprite dan" - dia membuka kulkas dan mengintip ke dalam
- "dan dua kaleng Sprite."
"Kami belum sempat belanja," jelas Mom dengan rasa bersalah.
"Uh, aku minum Sprite saja," kata Justin. Mata birunya
berkedip jenaka. Tanpa sadar Maggie menatapnya lama-lama. Tak
bisa tidak. Warna mata Justin seperti warna air laut di iklan-iklan pulau
wisata di Karibia. "Ayo," katanya sambil mengulurkan kaleng Sprite, "kuantar kau melihat-lihat."
Rumah itu kecil, jadi tidak perlu waktu lama untuk melihat-
lihat. Setelah itu mereka masuk ke kamar Maggie. Justin duduk di
satu-satunya kursi yang tersedia. Maggie duduk di ranjang, berharap Justin akan
duduk di sampingnya dan menciumnya.
Justin tidak bereaksi. Mereka pernah kencan beberapa kali, tapi hubungan mereka
masih sangat baru. Setiap kali bertemu, mereka merasa harus
memulainya dari awal lagi.
Tepat ketika itu, Gus menerjang masuk dan berlari kencang ke
arah Justin. Kalau saja aku bisa bersikap tanpa malu seperti itu, pikir Maggie.
Gus telentang di lantai, minta Justin menggaruk-garuk perutnya.
Maggie tertawa.. Ah, aku tak mau seperti Gus yang minta digaruki
perutnya. Justin menggaruk perut Gus dengan sepatu ketsnya. Gus
mengerang-erang senang. Kemudian dia bangkit dan keluar dari
kamar. Ruangan kembali hening dan tegang.
"Kau sudah siap ikut babak penyisihan besok?" akhirnya Justin bertanya.
Maggie mengerang. "Terima kasih, kau mengingatkanku."
"Kenapa" Kau tak gugup, kan?"
"Tidak." Dia melompat berdiri, lalu mondar-mandir.
"Kau pasti berhasil," kata Justin mantap.
"Semoga," sahut Maggie. Dia tidak ingin mempercayai
takhayul, tetapi pujian seperti itu membuat perasaannya tidak enak.
Coach Randall, pelatih mereka, mengadakan babak penyisihan
untuk menentukan siapa yang layak berlaga di kejuaraan Negara
Bagian untuk nomor 200 m Gaya Ganti. 200 m Gaya Ganti adalah
pertandingan paling berat. Perenang harus tampil sebagus mungkin
dalam setiap gaya. Shadyside hanya boleh mengirimkan dua perenang dalam
kejuaraan itu. Coach Randall sudah mempersempit persaingan dengan
menunjuk empat perenang. "Lawan terberatku adalah bekas pacarmu, Dawn," kata Maggie, sambil tersenyum
pada Justin. Justin menyeringai. "Pacar" Ayolah, Mags. Jangan begitu! Aku
kan sudah bilang, kami pernah kencan sekali. Hanya sekali!"
Maggie berusaha untuk tidak tampak senang mendengar
jawaban Justin. "Yah, bagaimanapun, aku merasa Dawn akan
mengalahkanku." "Dawn memang hebat," Justin sependapat.
"Oh, terima kasih atas dukunganmu!" seru Maggie, lalu tertawa.
"Jawabanmu salah. Seharusnya kau bilang aku pasti bisa
mengalahkannya dengan mudah. Seharusnya kau bilang aku dapat
menduluinya dua kali dalam lomba dua-lap!"
Wajah Justin jadi serius. "Kupikir kau bisa mengalahkannya,"
katanya. "Kaupikir?" "Aku tahu." "Sekarang aku senang," kata Maggie sambil memutar-mutar
bola matanya. Sangat berarti baginya bila Justin yakin akan
kemampuannya. Tentang olahraga, Justin tahu banyak. Dia pelari
tangguh dan kapten tim bisbol Shadyside High.
"Tiffany juga hebat lho," tambah Justin.
Tiffany Hollings gadis yang lembut tutur katanya, rambutnya
hitam keriting, dan matanya besar berbentuk buah badam. Maggie
sudah tahu sebaiknya dia tidak meremehkan gadis itu. Tiffany berlatih berjam-jam
setiap hari, termasuk di akhir pekan. Dia paling hebat di gaya kupu-kupu dan
gaya punggung. "Lalu, masih ada Andrea," kata Maggie. Justin berkata, "Kau pasti bisa
mengalahkan Andrea, tak ada masalah."
Maggie cepat-cepat berpaling ke kamar adiknya. "Ssstt!"
Setelah kelihatannya semuanya aman-aman saja, dia melirihkan
suaranya. "Salah. Jangan coret Andrea dari daftar. Dia semakin bagus.
Selain itu, mengalahkanku merupakan tujuan hidupnya."
"Itu hanya karena dia belum pernah mengalahkanmu," kata
Justin. Maggie mendesah. "Aku sangat tegang, Justin. Aku benar-benar
tegang. Aku ingin sekali terpilih ikut kejuaraan Gaya Ganti itu. Kalau gagal,
lebih baik aku bunuh diri!"
"Aku senang kau tak menambah beban ekstra pada dirimu,"
goda Justin. "Ada hal lain," kata Maggie. Justin menunggu, memandanginya dengan matanya yang
biru sempurna. "Aku mimpi tadi malam."
"Biar kutebak. Kau mimpi ketika kau sedang berjalan ke kolam
renang, baju renangmu lepas dan semua orang menertawakanmu. Aku
selalu mimpi seperti itu sebelum pertandingan besar."
"Salah." Maggie menggeleng. "Dalam mimpiku aku melihat seorang cewek. Aku tak
bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu dia
dalam bahaya." "Aneh," kata Justin. "Tapi apa hubungannya dengan renang?"
"Tak ada," Maggie mengakui. "Tapi mimpiku itu selalu terbayang-bayang. Mungkin
itu pertanda buruk."
"Yang bener aja," kata Justin sambil tersenyum meyakinkan.
"Itu cuma mimpi buruk."
Maggie kaget ketika Justin melompat berdiri dari kursinya.
Cowok itu meletakkan tangannya yang kukuh ke bahu Maggie. Lalu
mengecup bibirnya. Kecupan yang lama dan penuh gairah. Maggie merasakan
tangan Justin membelai-belai punggungnya. Baru detik itu dia tahu
betapa inginnya dia dipeluk dan dikecup seperti itu.
Selesai berciuman, mereka seakan kehabisan napas.
Jantung Maggie berdegup kencang di dalam dadanya. Dia
mencium pipi Justin beberapa kali.
Kemudian matanya melihat ke ambang pintu di balik punggung
Justin. Dan melihat ternyata mereka tidak sendirian. Seseorang berdiri
dalam bayang-bayang, memandangi mereka.
Gadis dari mimpinya itu! Chapter 5 MAGGIE berseru keras tertahan, membuat Justin memutar
badan karena kaget. "Andrea... hai!" serunya.
Andrea" Maggie memandang lebih cermat. Ya. Memang Andrea.
Apakah dia memata-matai aku dan Justin" pikir Maggie marah.
"Mana kameramu" Kau mau memotret kami?" tanya Maggie
sinis. "Hah?" Andrea pura-pura tidak mengerti.
"Sejak kapan kau berdiri di situ?" bentak Maggie.
Tanpa memedulikan kemarahan kakaknya, Andrea melangkah
masuk ke kamar. "Aku hanya ingin tahu apa kau sudah mengeluarkan kaus kaki dari
kotak," katanya. "Punyaku nyelip entah di mana.
Lihat!" Dia mengangkat satu kakinya yang telanjang dan
menggoyang-goyangkan jarinya.
Dia mengecat kuku kakinya dengan warna merah ceri. Kakinya
terangkat tinggi-tinggi hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan.
Maggie terus memelototinya. Bohong! Andrea sengaja
berbohong. Kaus kaki! Tetapi dia pergi juga ke lemarinya.
"Aku lihat kau main bagus melawan Waynesbridge," kata
Andrea pada Justin sambil menunduk, terlalu malu untuk menentang
mata cowok itu. "Apa katamu?" tanya Justin, tidak memperhatikan. "Oh, ya, terima kasih."
Jelas Andrea tersinggung. Maggie tahu, tidak dipedulikan
cowok seperti Justin sejuta kali lebih menyakitkan dibandingkan apa yang mungkin
dikatakannya. "Ini, tangkap," kata Maggie.
Dilemparkannya sepasang kaus kaki putih yang tergulung kepada
Andrea. Begitu adiknya keluar, Maggie menutup pintu.
"Kenapa dia?" tanya Justin.
"Dia benci aku," jawab Maggie.
"Dia cuma iri," kata Justin. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Maggie, dan
merengkuh gadis itu. Maggie melangkah mundur. "Dengar, waktu aku melihat dia
berdiri di ambang pintu, aku jadi ingat mimpiku lagi."
"Oh ya?" Justin meraihnya lagi, tetapi Maggie menghindar.
Dia duduk di kursi, hingga Justin tak bisa menariknya. Andrea
telah membuatnya kesal dan merusak suasana hatinya yang semula
romantis. Dia merasa perlu bicara.
"Justin," katanya sambil merenung. "Aku tahu ini
kedengarannya konyol. Tetapi aku belum pernah mimpi buruk yang
membuatku ngeri. Mau tak mau aku berpikir, bagaimana kalau
mimpiku itu merupakan peringatan?"
"Peringatan apa?"
Dia bergidik, merasakan kengerian yang muncul semalam.
"Aku tak tahu. Hanya peringatan. Peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi." "Lupakan saja. Takkan terjadi apa-apa," Justin meyakinkannya.
"Kau hanya tegang, Mags, karena pindah rumah dan karena..."
Dia tidak meneruskan kata-katanya, napasnya tercekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian, mulutnya ternganga. Dia
menekan dadanya. "Justin?" jerit Maggie.
Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan Justin memegangi lehernya. Dia mengeluarkan suara
parau seperti orang tercekik, sambil berjalan terhuyung-huyung
mendekati Maggie. Suara orang tercekik lagi. "Tak... bisa... bernapas..."
Sebelum Maggie sempat memeluknya, Justin sudah terkulai di
lantai. Chapter 6 MAGGIE berdiri di dekatnya. "Justin" Justin?"
Kemudian ditendangnya Justin - dengan lembut - ketika
dilihatnya perut cowok itu bergerak naik-turun.
"Kau sialan!" pekiknya. "Kau membuatku takut setengah mati!"
Justin memegang betis Maggie lalu tertawa keras-keras.
Suaranya tinggi melengking.
"Sedetik pun aku tak percaya ulahmu tadi!" seru Maggie.
"Bohong!" balas Justin. "Kau ketipu! Kau nyaris pingsan!"
"Nggak lucu!" Maggie menendang Justin lagi.
Beberapa detik kemudian mereka tertawa-tawa sambil
bergumul di karpet. "Terima kasih, kau membuatku bisa tertawa lagi!"
kata Maggie senang. Dia menekan kedua bahu Justin ke lantai, kemudian melompat
berdiri sambil berseru riang penuh kemenangan.
"Beri aku kesempatan!" kata Justin menuntut jawab.
*************** Dawn Rodgers memasukkan lengannya yang panjang dan
berkulit sehat kecokelatan ke bawah tali baju renang hitamnya yang
bermerek Speedo. Dirapikannya baju renangnya. "Ayo, semuanya!
Kalian siap latihan?" serunya.
Dawn menyerukan pekik peperangan. Suaranya dipantulkan
dinding-dinding ruang ganti yang setengah kosong.
"Oh, jangan keras-keras, Dawn," erang Tiffany Hollings sambil menutupi
telinganya. "Kita takkan bisa dengar bunyi peluit start."
Dawn tertawa. "Kau pasti dengar. Dan inilah yang akan
kaudengar." Dia menangkupkan kedua telapak tangannya pada
mikrofon. "Berenang dua ratus meter Gaya Ganti mewakili Shadyside, di jalur satu
- Dawwwwwwnnn Rodgers!"
Maggie duduk di bangku di samping Dawn, mengepang
rambutnya sambil tersenyum lebar. Menirukan suara pembawa acara,
dia menambahkan, "Tapi apa ini" Dawn mengenakan pakaian tenis
putih! Oh, lihat, pasti akan membuat gerakannya jadi lamban."
Dawn, Maggie, dan Tiffany tertawa mendengar lelucon itu.
Hanya Andrea, yang asyik mengaduk-aduk lokernya di sudut,
kelihatannya tidak mendengar.
Coach Randall meminta keempat gadis itu datang berlatih lima
belas menit lebih awal, agar bisa berlomba selagi masih segar. Ketika itu pintu
ruang ganti terbuka. Carly Pedersen, Claudia Walker, dan
Renee Larson, semua anggota tim renang, masuk ke ruangan. "He, kalian, semoga
berhasil hari ini!" seru Carly.
Maggie nyengir dan melambai, tapi jantungnya berdegup
kencang. Ah, selalu begini.
Dalam lomba renang, peserta melakukan somersault setiap kali
menyelesaikan satu lap, menjejak dinding dengan kaki. Gerakan ini
disebut flip turn. Kira-kira lima menit sebelum setiap perlombaan,
jantung dan perut Maggie mulai melakukan gerakan flip turn.
"Oke, oke," kata Andrea tiba-tiba, sambil membanting pintu lokernya.
"Kausembunyikan di mana, Maggie?"
Maggie menoleh kepada adiknya, kaget. "Sembunyikan apa?"
"Topi renangku. Kausembunyikan di mana?"
Gila! pikir Maggie. Andrea selalu menuduhnya macam-macam.
"Kau kehilangan topi renangmu?" tanya Maggie.
"Aku kehilangan topi renangku?" Andrea menirukan dengan
sengit. "Lucu sekali. Ayo, berikan."
Semua yang ada di ruang ganti memandang mereka. "Andrea,"
kata Maggie sesabar mungkin, "aku tak menyembunyikan topi
renangmu." Dia membungkuk di depan lokernya. "Ini, aku punya ekstra satu."
"Aku tak perlu yang ekstra. Aku mau punyaku," Andrea
berkeras. Andrea melemparkan hampir semua barangnya ke lantai.
Tiffany menunjuk sesuatu berwarna putih yang mengintip dari balik
tas punggung Andrea. "Itu yang kaucari?"
Andrea menarik tas punggungnya. Benar, itu topi renangnya.
"Oh... ya," gumamnya, wajahnya merah padam.
Beberapa gadis lain di ruang ganti mulai cekikikan, membuat
wajah Andrea semakin merah. Maggie membuang muka. Bahkan
ketika Andrea bertingkah seperti gadis manja, Maggie tidak tega
melihat adiknya dipermalukan.
Tiffany selesai berganti pakaian lalu mulai melakukan gerakan
pemanasan. "Aku pasti gagal!" katanya sambil membungkuk ke lantai.
"Kau tegang sekali, ya?" tanya Dawn. "Rileks. Tak usah cemas.
Kau selalu berenang dengan bagus. Lagi pula, kita ini kan satu tim, ya kan"
"Benar," Maggie menimpali sambil melirik Andrea.
Pintu ruang ganti membuka, Coach Randall melangkah masuk
sambil membawa clipboard-nya.
Martha Randall bertubuh jangkung dan kurus seperti tongkat,
bahkan lebih kurus dari pada Maggie. Dulu sebagai perenang remaja,
prestasinya sampai ke babak penyisihan tim renang Olimpiade.
Sekarang usianya empat puluhan, sikap dan kemampuan renangnya
masih sama seperti juara sejati. Itu kualitasnya yang sangat dikagumi Maggie.
Coach Randall tak banyak bicara. Hari ini bukan perkecualian.
"Oke, kalian berempat bersiap untuk dua ratus meter Gaya Ganti,"
katanya sambil mencermati clipboard-nya. " Ayo!"
Ini bagian latihan renang yang dibenci Maggie, saat sebelum
menceburkan diri ke air. Dia tahu dia tidak akan mengalami hambatan begitu lomba
sudah dimulai. Tetapi, ketika mereka berjalan dengan
kaki telanjang ke arah kolam, dia mulai pusing. Mereka menyusuri
selasar panjang menuju ke kolam renang.
Bau uap dan klorin yang sangat dikenalnya menyambutnya. Air
kolam beriak lirih, ombaknya menyentuh tepi kolam dengan irama
lembut. "Semoga sukses," bisik Maggie kepada Andrea.
Sekilas Maggie melihat bangku-bangku penonton di sekeliling
kolam. Beberapa anggota tim renang lainnya telah mengenakan
pakaian renang dan kini duduk menonton. Mereka melambaikan
tangan. Maggie membalas lambaian mereka.
Dawn benar, kata Maggie pada diri sendiri.
Mengapa aku gugup" Sepanjang tahun ini aku sudah berlomba
melawan ketiga gadis ini.
"Ayo mulai," kata Coach Randall ringkas. Dia mengecek
clipboard-nya. "Tiffany, jalur satu; Andrea, dua; Maggie, tiga; Dawn, empat."
Keempat gadis itu membungkuk, mencedok air dengan kedua
telapak tangan dan membasahi badan mereka. Kemudian mereka
mengambil posisi masing-masing di tempat start.
Sebelum mengenakan kacamata renangnya, Maggie
meludahinya untuk melembapkan pinggiran karetnya. Dia selalu
melakukan itu, untuk memastikan karet penutupnya kedap air. Tetapi
kali ini dia tidak bisa meludah, mulutnya terasa kering.
Gugup, gugup, dia memarahi dirinya sendiri.
Dia melirik Andrea. Adiknya memandang lurus ke depan,
wajahnya dingin dan penuh tekad.
Di sebelah kanan Maggie, dengan gugup Dawn melemaskan
jari-jarinya. Maggie sudah cukup lama kenal Dawn Rodgers untuk
tahu bahwa sikap mantapnya sebenarnya hanya pura-pura. Dawn
gugup menghadapi perlombaan itu, sama seperti Maggie.
"Oke, dua ratus meter Gaya Ganti," Coach Randall
mengingatkan mereka. "Kupu-kupu, punggung, dada, bebas -
urutannya begitu, masing-masing gaya dua lap. Ada pertanyaan?"
Tak ada pertanyaan, kecuali satu pertanyaan yang diam-diam
selalu mengusik hati mereka: Siapa yang akan menang"
Coach Randall membungkukkan badan, bersiap mengawasi
perlombaan dan menentukan siapa yang lebih dulu mencapai finish.
Maggie menggeleng, mencoba mengenyahkan pening
kepalanya. Dalam pikirannya berkecamuk macam-macam hal -
Andrea, rumah baru itu, Justin...
Dia tahu, kalau ingin memenangkan perlombaan ini, dia harus
berkonsentrasi. Fokus! katanya pada diri sendiri. Fokus!
Di bawahnya, air membiru, tenang, dan dingin. Keempat gadis
itu bersiap mengambil start.
Coach Randall berteriak, "Ambil posisi, siap..." Kemudian peluit melengking
tajam. Maggie melompat. Tubuhnya masuk ke air, meluncur ke permukaan, kakinya
menendang kuat-kuat. Kunci keberhasilan gaya kupu-kupu adalah irama tendangan
lumba-lumba. Maggie mencoba membayangkan kekuatan lumba-
Memperebutkan Batu Kalimaya 1 Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas Cincin Maut 15