Panggilan Masa Lalu 1
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Bagian 1
Chapter 1 "HAI, Sarah." Ellie Anderson menyapa sahabat karibnya dan
duduk di bangku di meja layan Alma's Coffee Shop. "Bagaimana
pekerjaanmu?" "Hei, Ellie. Lumayan." Sarah Wilkins nyengir dan
melemparkan remah-remah pada Ellie sambil mengelap permukaan
meja dari bahan Formica pink itu. Rambut Sarah hitam pendek dan
tipis, matanya cokelat dramatis, kulitnya berwarna buah zaitun.
"Burger dan kentang goreng?"
Ellie mengusap rambut pirangnya yang panjang dan
mengerutkan hidung. "Tidak. Diet Coke saja." Ia melirik meja-meja di
belakangnya. Sarah bersandar pada meja layan. "Aku tahu. Kau datang bukan
untuk ketemu aku. Kau datang untuk melihat-lihat cowok."
Ellie tertawa. "Ya, betul," jawabnya, sambil membelalak.
"Seperti yang tiap hari kulakukan."
"Teruslah bergaul denganku, kau takkan malu-malu lagi sama
cowok," kata Sarah. "Tapi, hari ini tak ada siapa-siapa di sini kecuali
si Yuppie Brothers." Sarah menggunakan julukannya untuk Joel
Harper dan Frank Schuyler, dua murid senior paling populer di
Shadyside High. Ellie diam-diam menoleh untuk melihat keempat anak di meja
pojok. Mereka sedang makan sepiring besar kentang goreng yang
berlumuran saus. Joel dan Frank memakai jaket merah tua dan abuabu Shadyside.
Tampak duduk merapat ke dinding adalah Anna Toro
dan Patty Jacquet, cewek-cewek mereka.
"Dan seperti biasa, Yuppie Brothers bersama cewek-cewek otak
udang mereka," kata Sarah menambahkan sambil mendengus
mengejek. "Cowok-cowok itu sedang menunjukkan pada mereka
bagaimana cara makan kentang goreng."
Ellie tertawa terbahak-bahak. Selera humor Sarah yang kasar
adalah salah satu alasan kenapa mereka berteman begitu akrab. Kedua
gadis itu juga punya banyak kesamaan, termasuk fakta bahwa mereka
tinggal cuma berdua dengan ayah mereka.
Ellie dan ayahnya baru saja kembali pindah ke Shadyside. Ellie
lahir di sana. Tapi ketika ia berusia dua tahun, ibunya meninggal. Ia
dan ayahnya lalu tinggal dengan kakek-nenek Ellie. Sekarang, empat
belas tahun kemudian, pekerjaan ayahnya sebagai sales membawa
mereka kembali ke Shadyside.
Ia senang bisa kembali kemari, tapi pindah sekolah sewaktu
sudah duduk di kelas dua tidaklah mudah. Sebagian besar anak-anak
di kelasnya sudah saling mengenal sejak taman kanak-kanak.
"Hei, kau menunggu aku mati kehausan dulu baru
mengambilkan Diet Coke?" tanya Ellie, menghadap ke temannya lagi.
"Ya. Ya." Sarah menyabetkan serbet ke arab Ellie. "Mungkin
kalau kau memberiku tip lebih banyak..."
Lonceng di atas pintu kedai kopi itu berkerincing. Ellie menoleh
sekilas. Seorang cowok cakep yang belum pernah dilihatnya
melangkah masuk. Matanya berwarna gelap dan rambutnya cokelat
kemerahan, panjang di atas dan pendek di samping.
Terlalu tua untuk jadi murid high school, pikir Ellie. Ia
memperhatikan pakaian cowok itu. Jaket sport yang tidak
dikancingkan di atas kemeja denim dan jins belel.
Jelas mahasiswa. Dan cowok itu bergerak dengan rasa percaya
diri yang segera membedakannya dari anak-anak lain.
"Wow!" seru Sarah ketika ia meletakkan gelas di depan Ellie.
"Siapa itu?" Ketika duduk di meja di belakang Ellie, cowok itu melirik
kedua gadis itu. Matanya yang kelam bertemu dengan mata Ellie.
Bertemu dan menatapnya lama.
Dengan muka merah padam, Ellie berbalik lagi ke meja layan.
"Jangan memelototinya terus, Sarah. Nanti dikiranya kita naksir dia."
"Memang kok!" bisik Sarah keras-keras. Disambarnya menu
dari tempatnya. "Aku akan mencatat pesanannya." Ia berjalan
mengitari meja layan. Ellie meneguk sodanya. Ia bisa mendengar Sarah berbicara
dengan cowok itu. Ketika menjawab, suara cowok itu terdengar
lembut dan hangat. Cowok yang asyik pikir Ellie.
Sudahlah, Ellie, katanya pada dirinya sendiri. Kau tahu betapa
pemalunya kau. Terutama pada mahasiswa. Namanya saja pun kau
takkan pernah tahu. "Brian Tanner," kata Sarah terengah-engah sambil mengelap
meja layan. Ellie tidak mempercayai kelakuan temannya. "Kautanyakan
namanya pada dia langsung?"
"Tentu. Aku bilang padanya untukmu."
"Apa?" Ellie merah padam, lalu sadar temannya cuma
menggodanya. Sarah berbalik untuk mengisi gelas soda. "Aku takkan berbuat
begitu padamu - ya, kan?"
Ellie tahu temannya bisa saja berbuat begitu. Dengan perasaan
malu, Ellie duduk menunduk di meja layan, membiarkan rambut
panjangnya yang pirang seperti madu menutupi wajahnya. Biarpun
memunggungi cowok itu, Ellie bisa merasakan tatapan matanya yang
kelam serasa menembus punggungnya.
Kau mimpi, Ellie, pikirnya. Dia tak mengamatimu. Dia sedang
membaca menu. Saat itu juga ia merasakan keinginan yang tidak terkendali
untuk keluar dari sana. Ia melompat turun dari bangku. Merogoh
kantong jinsnya dan mengeluarkan dua lembar uang yang sudah lusuh.
Sambil meneriakkan selamat tinggal pada Sarah, ia menyambar
ranselnya dan bergegas ke pintu, lonceng berkerincing di
belakangnya. Begitu sampai di trotoar, Ellie segera berlari. Ia melewati
jendela tempat cowok itu duduk dan terus berlari sampai ia tidak bisa
lagi melihat kedai kopi itu.
Dengan napas megap-megap, ia memelankan larinya.
Apa-apaan kelakuanku tadi" pikir Ellie heran. Ia memang selalu
malu berhadapan dengan cowok. Tapi ia tidak pernah merasa sampai
ingin lari begini. Ada yang jelas-jelas menyuruhnya pergi. Aneh, pikir Ellie.
Benar-benar aneh. Ketika Ellie masuk ke rumah, anjing Labrador-nya yang hitam
besar, Chaz, menyambutnya sambil mendengking-dengking gembira.
Ekornya menampar-nampar kusen pintu, dan anjing itu bergoyanggoyang kegirangan
ketika mendorong Ellie kembali ke tangga depan.
"Baik, baik." Ellie tertawa. "Kurasa kau ingin keluar!"
Dilemparkannya ranselnya ke ruangan depan dan dilepaskannya tali
Chaz dari sangkutan. Lalu ia membanting pintu dan lari mengejar
anjing itu di sepanjang trotoar.
Hari sudah sore, musim gugur yang cerah dan sejuk. Daun-daun
mulai berganti warna. Ellie menoleh ke rumah barunya: Raintree Lane
Nomor 1201. Bukan tempat yang jelek, pikirnya.
Biarpun rumah-rumah mungil bertingkat dua di jalan itu mirip,
semuanya bersih dan rapi. Peningkatan jauh dari rumah kakekneneknya. Rumah
pertanian tiga tingkat yang sudah bobrok dengan
cat terkelupas di sana-sini dan papan lantai yang berderak-derak.
Sambil berlari-lari pelan, Ellie berbelok ke Hawthorne Drive.
Chaz lari di depan, sibuk mengendus-endus batang-batang pohon
dengan gembira. Ellie bersiul memanggil anjing itu, lalu memotong
jalan lewat Park Drive menuju Fear Street.
Seekor bajing cokelat yang gendut lari melesat di bawah semak.
Sambil menyalak keras, Chaz mengejarnya, bulunya yang hitam
berkilauan diterangi cahaya matahari yang mulai terbenam.
"Hei, Chaz! Sini!" Tanpa sadar, Ellie mengikuti anjing itu ke
Fear Street. Karena asyik mengejar bajing, Chaz lari ke Fear Street
Woods. "Chaz! Hei! Hei, berhenti!"
Ketika Ellie akhirnya bisa menangkapnya, anjing itu sudah lupa
pada bajing tadi dan asyik bermain air di kali kecil. Airnya jadi
kecokelatan karena diinjak-injaknya.
Ellie menemukan sebongkah batu besar.
Ia duduk dan bersandar pada permukaannya yang berlumut.
Mata kelam Brian Tanner terlintas di pikirannya. Ia ingin tahu apakah
akan bertemu dengan cowok itu lagi.
Bukannya ia ingin sekali punya pacar. Tidak setelah apa yang
terjadi tahun lalu. Ellie menghela napas dan memejamkan mata. Ia takkan pernah
melupakan tahun awal sekolahnya di Fairfield High. Dan cinta
pertama dalam hidupnya, Tommy Wheaton.
Tommy cowok luar biasa. Tapi Ellie mengacaukan semuanya.
Ia mencoba tidak memikirkan mengapa mereka putus.
Aku tak bisa berbuat lain! ia ingin berteriak begitu. Semuanya
gara-gara visiku! Dalam visi itu - yang tampak begitu jelas dalam pikirannya -
Ellie melihat Tommy mencium sahabat karibnya, Janine. Bayangan
itu begitu kuat, begitu tegas, sehingga Ellie mempercayainya.
Ia mengkonfrontasi Tommy dan Janine. Ia menuduh mereka
berhubungan di balik punggungnya.
Mereka membantahnya. Mereka pernah berciuman sekali, di
suatu pesta. Tapi itu sebelum Tommy dan Ellie mulai pacaran. Dan
tidak pernah terulang lagi. Tapi Ellie terus melihat visi itu. Ia tidak
bisa menghilangkan pikiran bahwa ada apa-apa di antara mereka. Ia
juga tidak bisa mempercayai mereka lagi.
Tommy putus dengannya. Janine bilang Ellie sudah gila dan
tidak pernah bicara dengan Ellie lagi.
Gila. Mungkin aku memang gila, pikir Ellie muram. Disebut
apa lagi orang yang punya visi" Visi yang hampir selalu benar"
Sejauh yang bisa diingatnya, Ellie bisa meramalkan kejadiankejadian yang akan
datang. Mula-mula semua itu terasa
menyenangkan. Ia sudah tahu apa yang akan dimasak neneknya untuk makan
malam bahkan sebelum sang nenek mulai memasak. Kadang-kadang
ia mengejutkan kakeknya dengan naik ke mobil lama sebelum sang
kakek mengajaknya jalan-jalan ke kota.
Tapi ketika ia punya visi anjing cocker spaniel-nya, Jake,
tertabrak mobil, visi-visi itu tidak lagi terasa menyenangkan. Waktu
itu Ellie berumur sembilan tahun. Ia memohon kakek-neneknya
supaya mengikat Jake sewaktu ia sekolah.
Aku tak bisa membiarkan visi ini jadi kenyataan, katanya dalam
hati. Suatu siang Jake memutuskan talinya.
Ketika turun dari bus sekolah hari itu, Ellie menemukan
anjingnya tergeletak di pinggir jalan, mati. Ditabrak mobil.
"Aku benci visiku!" ratap Ellie, air mata mengalir di pipinya.
"Aku benci! Aku benci! Kenapa aku tak bisa seperti orang lain?"
Tapi Ellie memang tidak seperti orang lain. Setiap kali dekat
dengan seseorang, setiap kali mulai menyukai seseorang, ia akan
melihat visi tentang orang itu.
Setelah Tommy Wheaton putus dengannya, Ellie bertekad tidak
akan menyerah pada kekuatannya lagi. Dan tidak akan pernah
membiarkan dirinya dekat dengan seseorang lagi.
Guk! Salakan yang tertahan menyentakkan Ellie dari pikirannya yang
kacau. Chaz berdiri di atasnya, sepotong tulang di mulutnya.
"Apa yang kaudapat?" tanya Ellie, sambil menghela dirinya
sendiri bangkit. Chaz mendengking. Ellie melompat berdiri dan membersihkan bagian belakang
jinsnya. "Baik. Aku Sudah lihat itu tulang yang sangat besar."
Ellie membungkuk untuk mengamatinya.
Tulang itu panjang dan kurus. Terlalu panjang untuk jadi tulang
kaki rusa. Ketika menegakkan tubuh, ia baru sadar betapa gelapnya hutan
sekarang. "Ayo, Chaz," desaknya, tiba-tiba ia merinding. "Buang
tulang itu. Ayo kita pulang."
Ia berjalan ke arah Fear Street, menginjak dedaunan kering
yang bergemeresik. Sambil melirik ke belakang, ia melihat Chaz
meletakkan tulang itu, menyalak ribut, dan lari kembali menyeberangi
kali tadi. "Jangan, bodoh! Ke sini!" teriaknya.
Sambil menyalak-nyalak keras, anjing itu menghilang ke dalam
hutan. "Chaz! Cha-aaaaz!" seru Ellie tidak sabar. Lolongan aneh
anjing itu mengagetkan Ellie.
Ada yang tak beres. "Chaz!" teriaknya ketika ia melompati kali dan masuk ke
tengah-tengah semak berduri. Anjing itu melolong lagi.
Tanaman-tanaman berduri menggores kulitnya. Ellie berjalan
melewati sekelompok pohon pinus. Ia menemukan Chaz duduk di atas
gundukan yang tertutup dedaunan. Di salah satu ujungnya tampak
seonggok tanah, tempat anjing itu menggali lubang. Dengan kepala
terangkat, Labrador hitam itu melolong lagi.
Lalu Chaz menurunkan kepalanya dan mulai menggali dengan
kalap, membuat tanah berhamburan di sekelilingnya.
"Kenapa kau?" tanya Ellie heran. Ia tidak pernah melihat
anjingnya bersikap seaneh itu. "Chaz! Stop! Stop!"
Ia membungkuk dan meraih kalung Chaz. Dengan susah payah
ditariknya anjing itu. Tapi anjing itu tidak memedulikannya, kedua
kaki depannya menghamburkan tanah basah.
"Chaz! Chaz! Ayolah...!"
Mendadak anjing itu berhenti dan duduk. Mendengking lagi.
Memandang Ellie dengan mata hitamnya.
Ellie memandang Chaz dan lubang dangkal yang baru saja
digali anjing itu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Jari-jarinya
terpaku di kalung anjing itu.
Sesuatu mencuat dari dalam tanah.
Ellie menelan ludah. Ia berjongkok dan menyingkirkan tanah yang menutupinya.
Dan tersentak ketika melihat apa yang telah digali Chaz.
Chapter 2 TANGAN manusia. Atau apa yang tersisa dari tangan manusia.
Sambil memekik tertahan, Ellie melompat.
Itu bukan tangan, ia mencoba meyakinkan dirinya. Yang
ditemukannya tadi juga bukan tulang kaki. Ini salah satu visiku. Atau
pikiranku mengelabuiku karena keadaan sudah gelap dan kami berada
di dekat pemakaman. Chaz mendengking. Tatapan Ellie beralih dari tulang itu ke
anjingnya. Dan kembali ke tulang itu lagi.
Ia tidak berkhayal. Ellie menarik napas dalam-dalam. Ia berjongkok dan
mengamati lebih cermat tulang-tulang yang membentuk tangan itu.
Semuanya asli. Itu artinya ia berdiri di atas kuburan seseorang. Ada orang yang
dikuburkan di hutan ini. Ellie tersengal-sengal dan terantuk-antuk mundur. Dengan
jantung berdebar-debar kencang, ia berlari menembus pepohonan
pinus dan ek.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia harus keluar dari hutan ini.
Ia harus lari dari siapa pun - atau apa pun - yang dikubur di
sana tadi. Ellie berlari, cabang-cabang pohon melecuti badannya. Ia
meloncat menyeberangi kali.
"Chaz! Ayo!" panggil Ellie. Labrador itu menerobos semak dan
berlari di sampingnya. Jalan pintas ke jalan melalui Pemakaman Fear Street.
Jantungnya berdetak kencang. Pelipisnya berdenyut-denyut. Chaz
melompat dan menyalak riang di kakinya, ekornya bergoyang-goyang.
Anjing goblok, pikirnya. Kau tak sadar ya, baru saja menggali
tangan orang" Ketika ia menginjakkan kaki di jalan, ada mobil melaju ke
arahnya. Ellie mengangkat pandangan dan mengenali mobil Geo biru
kecil Patty Jacquet. Frank Schuler duduk di sampingnya.
"Hei...!" teriak Ellie, melambai-lambai untuk menarik perhatian
mereka. Geo itu menepi. Patty menurunkan kaca jendelanya. "Ellie"
Ada apa?" Terdengar suara cekikikan dari kursi belakang. Joel dan Anna
berdesak-desakan di satu sisi.
"Kau bisa mengantarku ke kantor polisi?" tanya Ellie.
Frank mencondongkan badannya. "Polisi" Hah" Apa
masalahnya?" "Kurasa aku menemukan mayat!" Ellie membuka pintu
belakang, lalu ia dan Chaz berjejalan masuk.
"Apa?" seru Frank, berbalik di kursi depan supaya bisa
melihatnya. Rambutnya pirang pendek dan matanya biru muda.
"Mayat di pemakaman?"
"Bukankah memang sudah semestinya di situ?" canda Anna. Ia
naik ke pangkuan Joel supaya ada tempat lowong.
"Aku... aku serius!" Ellie tergagap. "Aku melihat tulang
tangan!" serunya terengah-engah. "Terkubur di hutan di samping
pemakaman!" Patty dan Anna memandangi Ellie, mengamatinya. Wajah Ellie
merah padam. Jantungnya masih berdegup kencang.
"Ih, jijik," kata Patty akhirnya, sambil menyibakkan rambut
pirangnya. "Mungkin itu kuburan tua," kata Frank serius.
Ellie mencengkeram kalung Chaz. Ia mendengar keraguan
dalam suara Frank. Tadi mestinya ia memang tidak usah
menceritakannya pada mereka. Ia tidak begitu mengenal anak-anak
ini. Sekarang mereka pasti menganggapnya gila. Persis seperti anakanak di
sekolahnya yang dulu. "Apa pun itu, kurasa aku harus melaporkannya," kata Ellie.
"Kau bisa mengantarkan aku ke polisi?"
"Ya. Tentu," jawab Patty, mengemudikan mobil di sepanjang
Fear Street. "Tak jauh dari sini." Ia melirik Ellie dari kaca spion atas.
"Tapi kau yakin yang kaulihat tadi bukan cuma tulang binatang?"
"Ya," jawab Ellie, memejamkan mata. "Tidak, aku tak tahu...
Aku tak yakin mengenai apa pun.
**********************************
"Kau menemukan tangan?" ulang Sersan Frazier, alisnya yang
tebal terangkat. "Ya. Ke... kelihatannya seperti tangan manusia," jawab Ellie
ragu. Ia memandang jari-jarinya sendiri yang mencengkeram kalung
Chaz. Sebelum berbicara pada sersan penjaga itu, ia tadi sudah
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia tidak mau
polisi juga mengiranya gila. "Dan mungkin tulang kaki," ia
menambahkan. Sersan Frazier menatapnya. Ia mengusap rambut hitamnya yang
tebal. "Tulang-tulang ini melekat ke sesuatu?"
"Saya tak yakin," jawab Ellie. "Chaz yang menemukannya.
Anjing saya. Dia menggali-gali dan..." Suaranya menghilang.
Kenapa dia memandangiku seperti itu" Dia tak percaya padaku"
"Oke. Kami akan memeriksanya," kata petugas itu, menarik
selembar formulir dari laci mejanya. "Biar kucatat nama dan
alamatmu untuk laporan ini."
"Ellie Anderson, Raintree Lane Nomor 1201."
"Pekerjaan?" "Saya murid Shadyside High."
Si sersan menudingkan penanya ke wajah Ellie. "Dan ini bukan
semacam permainan adu keberanian, kan" Semacam lelucon konyol"
Aku tahu kalian kadang-kadang bisa brengsek sekali."
Ellie menggeleng. "Bukan."
Polisi itu menghela napas. "Baiklah. Kau akan kuhadapkan
pada Letnan Wilkins. Tapi kalau ini bukan sungguhan, sebaiknya
kaukatakan padaku sekarang. Wilkins tak punya selera humor."
Ellie menelan ludah. "Ini bukan lelucon. Saya harap begitu."
Ketika memasuki ruang kerja kecil itu, Ellie segera mengenali
Letnan Wilkins. Ia ayah Sarah. Sesaat ia lupa orang itu perwira polisi.
Ia dan Sarah punya mata cokelat tajam dan kulit warna gelap yang
sama. Tapi rambut letnan itu hampir semuanya sudah beruban, dan
kerut-kerut dalam menghiasi wajahnya.
"Kau Ellie, kan" Teman Sarah," kata letnan itu.
Ellie mengangguk sambil duduk. Chaz duduk di atas kakinya,
meletakkan kepalanya di antara kedua kaki depannya, dan
memejamkan mata. Wilkins memandang formulir yang diserahkan sersan tadi
padanya. "Tulang manusia?" tanyanya, mengalihkan pandangannya
pada Ellie. "Saya rasa," jawab Ellie. "Mula-mula Chaz membawa pada
saya sepotong tulang yang panjang. Lalu dia lari masuk ke hutan. Dia
menggali gundukan tanah. Hampir seperti ku..." - suaranya bergetar -
"ku-buran." Wilkins mengangguk serius.
Dia percaya padaku, pikir Ellie, merasa semua ototnya mulai
mengendur. Letnan Wilkins bangun. Ia lebih tinggi daripada yang diingat
Ellie. "Ayo kita periksa. Aku akan membawa beberapa polisi
berseragam untuk pergi bersama kita. Sekarang sudah gelap.
Menurutmu kau bisa menemukannya lagi?"
"Saya rasa." Ellie mengikuti pria itu keluar kantor. Apakah benda itu masih
ada di sana" ia bertanya-tanya sendiri. Apakah apa saja masih di sana"
Ketika mereka sampai di pemakaman, Ellie melepaskan tali
Chaz. Anjing itu berlari di samping pemakaman dan masuk ke hutan.
Ellie mengejarnya, Letnan Wilkins dan dua polisi mengikuti dari
belakang. Senter mereka menyoroti tanah yang tertutup dedaunan.
Bulan pucat tampak tinggi di atas pepohonan yang bergerakgerak. Angin sepoi-
sepoi yang pelan dan mantap membawa wangi
pekat musim gugur. Dengan mudah Ellie menemukan batunya tadi. ''Chaz mulamula membawa pada saya
tulang yang panjang." Ia berputar dan
menyorotkan senter yang mereka berikan padanya, mencari-cari
tulang itu di tanah. "Itu."
Wilkins membungkuk untuk mengamatinya. "Itu bukan tulang
rusa," katanya muram. Ia menoleh memanggil polisi yang mengintip
dari belakangnya. "Simpan untuk bukti."
"Sekarang ke mana?" tanyanya pada Ellie, ia berdiri tegak lagi.
Ekspresinya suram. "Mm..." Ellie memandang ke arah kali kecil. "Saya rasa saya
menyeberang di sana. Tapi saya tak yakin, karena tak ada jalan
setapaknya." "Kita cari sampai ketemu." Letnan Wilkins tersenyum tipis
untuk membangkitkan semangatnya.
Ellie memimpin mereka ke pinggir kali dan menyeberanginya.
Cahaya terang senter menari-nari di pepohonan, membuat semuanya
tampak hidup. Aku tersesat, pikir Ellie. Ia gemetar di udara malam yang sejuk.
"Kita sudah selesai di sini?" ia mendengar salah seorang polisi
bergumam setelah mereka berdiri di satu tempat selama beberapa
menit. Letnan Wilkins mengangkat tangannya. "Belum."
"Coba kita. matikan senternya, usul Ellie. "Mungkin saya bisa
melihat lebih baik dengan cara begitu." Sementara matanya
menyesuaikan diri, ia berjongkok dan memandang ke semak-semak
yang berbayang-bayang. Ia bisa melihat ranting-ranting yang tadi
dipatahkannya. "Di sana," bisik Ellie. Duri-duri menyangkut di pakaiannya
ketika ia melewati semak blackberry liar.
Kumpulan pinus tadi! Jantung Ellie mulai berdegup kencang.
Sambil bergerak pelan, ia mengamati tanah, mencari tempat
yang digali Chaz. Bukankah gundukannya di tengah-tengah kumpulan
pinus itu" Tanah yang tertutup jarum-jarum pinus itu tampaknya tidak
habis diinjak orang. Tidak ada kuburan dangkal yang tertutup daun. Tidak ada
tulang. Ellie merasa perutnya mulas karena cemas. Ternyata itu tadi
visi. Bukan betulan. Cuma salah satu visinya.
Ellie terus memandangi tanah. Ia tidak mau melihat ayah Sarah
atau kedua polisi lainnya itu. Ia bisa merasakan tatapan ragu mereka di
punggungnya. Apa yang bisa dikatakannya pada mereka" "Maaf. Saya cuma
bermimpi tentang tulang tangan itu." Bagaimana mengatakannya"
Salak tajam Chaz di sebelah kirinya membuat Ellie terlonjak
dan berpaling. Lalu, diterangi cahaya keperakan bulan, ia melihatnya.
Tangan yang abu-abu, tinggal tulang, mencuat dari dalam tanah.
Jari-jarinya yang kurus menekuk seperti cakar.
Memanggil Ellie. Chapter 3 "Di sana!" teriak Ellie melengking, sambil sibuk menunjuknunjuk. "Tangan itu."
Sambil mengerutkan kening, Letnan Wilkins memicingkan
mata ke arah yang ditunjuknya. "Ngomong apa dia?" Ellie mendengar
salah satu polisi itu berbisik.
Letnan Wilkins menggeleng. "Aku tak melihat apa-apa."
Ellie mengerjapkan mata. Tangan itu menghilang.
Tapi ia tadi melihatnya. Betul!
Sambil berteriak kesal, cepat-cepat ia berjalan ke antara
kumpulan pohon pinus itu. Mana dia" Mana dia" Mana"
Letnan Wilkins menyambar sikunya dan menariknya. "Ellie,
berhenti. Ada apa" Apa yang kaulihat?"
Ellie melepaskan diri dari si letnan. "Tangan itu...," gumamnya.
Mana" Ia tadi melihat tangan itu. Memanggil dirinya.
Mana" Ia tersandung batu besar. Jatuh berlutut.
Ketika bergerak bangun, ia melihat gundukan rendah itu. "Di
sana!" teriaknya, menunjuk. "Di sana itu!"
Ia memimpin Letnan Wilkins dan kedua polisi ke gundukan
rendah yang ditutupi dedaunan itu. Senter mereka membentuk sorotan
cahaya terang. Mereka semua terdiam menatap tulang-tulang itu. Tulangtulang yang berkilauan
diterangi cahaya terang benderang.
Letnan Wilkins berlutut untuk memeriksanya lebih teliti.
"Wah," kata salah seorang polisi pelan. "Itu benar-benar
tangan." Ia menoleh pada Ellie. "Bagaimana kau tiba-tiba tahu di
mana letaknya?" Sebelum Ellie bisa menjawab, Letnan Wilkins cepat-cepat
berdiri. "Jackson, kembali ke mobil patroli dan siarkan berita ini.
Suruh mereka mengirim teknisi kejahatan kemari - sekarang juga."
"Ya, Pak." Sempat tersandung akar dahulu, lalu polisi itu pergi.
Ellie tidak bergerak. Ia cuma memandangi tangan itu.
"Barnett." Wilkins menunjuk polisi yang satu lagi. "Aku ingin
tempat ini diamankan."
"Akan segera saya laksanakan, Letnan."
"Ellie." Letnan Wilkins berjongkok supaya bisa menatap mata
Ellie. Tapi Ellie tidak bisa memfokuskan pandangannya pada Letnan
Wilkins. Yang bisa dilihatnya hanyalah tangan itu, yang mencuat,
muncul dari dalam tanah. Bergerak perlahan. Menunjuknya. Memberi
tanda padanya. Bergerak. "Ellie!" Kaget, Ellie mendongak cepat. "Hah?"
"Ayo kita pulang," kata Letnan Wilkins lembut. "Kami akan
mengurus masalah ini."
"Tidak!" Ia menggeleng tegas. "Saya harus melihat... melihat..."
Melihat apa" Ellie tidak tahu pasti.
"Kami akan menggali dan memeriksa daerah ini selama
beberapa jam," Letnan Wilkins memperingatkan. "Orangtuamu
bagaimana" Mereka takkan cemas?"
Ellie ragu-ragu. "Yang ada cuma Ayah dan saya. Dan malam ini
Ayah lembur." Letnan Wilkins mengangkat bahu. "Kurasa kau boleh tetap di
sini kalau mau. Tapi kau harus menepi. Ini dianggap tempat terjadinya
kejahatan. Kelihatannya memang kuburan."
Ellie memandang tangan yang tinggal tulang itu sekali lagi
sebelum menepi. Tangan itu tergeletak begitu diam sekarang,
berlumuran tanah. Tapi tadi ia melihatnya bergerak.
Tangan itu tadi menunjuknya. Bergerak seolah-olah
memanggilnya, memanggilnya ke tempat yang gelap dan menakutkan
ini. Ellie bergidik. Kenapa" pikirnya. Kenapa tangan itu bergerak
memanggilku" *******************************
"Ellie!" suara Sarah membuyarkan lamunan Ellie.
Ellie mengangkat pandangannya. Temannya itu berjalan
menerobos semak. Mengenakan sweter di atas seragam pelayan-nya.
Di belakangnya berdiri segerombolan anak yang dikenali Ellie berasal
dari sekolahnya. "Ada apa?" tanya Sarah, matanya penuh rasa ingin tahu.
Anak-anak lain berkerumun. Officer Barnett telah memasang
pita kuning melingkari gundukan itu. Letnan Wilkins, Officer
Jackson, dan dua teknisi kejahatan berdesak-desakan di dalam
lingkaran itu. Dua belas orang yang berwajah muram lainnya mondar-mandir
di luarnya. Beberapa di antaranya membawa senter. Dua polisi
berpakaian sipil sibuk berbicara di radio mereka.
"Sarah, bagaimana kau bisa kemari?" seru Ellie. "Apa yang
kaulakukan di sini?"
"Joel dan Anna datang ke Alma dan memberitahu semua orang
kau menemukan mayat di Fear Street Woods," Sarah menjelaskan.
"Lalu kami mendengar sirene polisi. Sebelum pulang kerja, kutelepon
kantor polisi untuk bicara dengan ayahku. Sersan yang bertugas
memberitahuku dia di sini. Kupikir kau pasti juga di sini."
Ellie melirik ayah Sarah, yang sedang mengawasi dua petugas
dengan hati-hati menggali gundukan tanah rendah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sarah.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ellie mengangguk. "Cuma setengah mati kedinginan."
Mati. Ellie menutup mulutnya dengan tangan. "Oh, Sarah. Aku
menemukan tangan." Sarah memeluknya. "Mereka tahu siapa dia?"
"Tidak. Ayahmu bilang untuk menggali mayatnya saja butuh
waktu semalaman. Karena itu tak ada yang tahu berapa lama lagi
waktu untuk mengidentifikasinya."
"Kau yakin itu bukan Bambi?" canda Sarah. Dalam keadaan
suram begini pun Sarah masih bisa bergurau. Tapi Ellie melihatnya
gemetaran. Sarah tertawa tegang. "Kau mengira aku terbiasa dengan
kejadian seperti ini, sebagai anak polisi."
Kedua gadis itu menatap kuburan yang terang benderang.
Letnan Wilkins dan salah satu teknisi kejahatan masih berlutut di
atasnya. Gundukan tanah setinggi kira-kira tiga puluh senti
dionggokkan di satu sisi.
Ayah Sarah mengangkat kamera dan memotret kuburan itu
beberapa kali. Diterangi cahaya lampu kilat sekejap, Ellie melihat
seseorang berdiri terpisah dari kerumunan. Ia mengenakan topi bisbol
yang ditarik sampai kening. Dari bawah topi itu, matanya yang kelam
menatap tajam mata Ellie. Beberapa detik kemudian ia baru
mengenalinya. Brian Tanner. Cowok dari kedai kopi itu.
Brian segera mengalihkan pandangannya.
Ellie menyikut Sarah. "Sarah," bisiknya. "Itu Cowok dari
Alma's itu. Brian Tanner. Menurutmu apa yang dilakukannya di sini?"
Sarah mengangkat bahu. "Siapa yang tahu" Dia pergi begitu
kau pergi. Cokenya tak diminumnya." Ia mengerutkan kening dan
memicingkan mata memandang Ellie. "Entah kenapa aku merasa tak
asing dengan wajahnya."
"Mungkin kau pernah ketemu dia di pesta atau di mana," kata
Ellie. "Ngomong-ngomong soal pesta..." Ia memandang berkeliling.
Hutan penuh dengan orang yang berbisik-bisik dan menonton. Anna
dan Joel, Frank dan Patty, beberapa anak lain yang dikenali Ellie.
"Bisa-bisa kauanggap ini pesta, melihat sikap semua orang!"
"Hei... yang penting pesta!" Sarah bergurau.
"Betul." Ellie menurunkan tangannya untuk mengusap Chaz. Ia
memandang ke luar lingkaran pita lagi. Brian Tanner sudah tidak ada.
Aneh. Gumaman ramai orang-orang menarik perhatian Ellie ke tengah
daerah yang dilingkari. Officer Jackson dan seorang teknisi kejahatan
berdiri di dalam lubang besar yang mereka gali. Mereka berdua
memakai sarung tangan karet.
"Saya menemukan sesuatu, Letnan," seru Jackson pada Letnan
Wilkins. Ellie menahan napas. Sarah mencondongkan tubuh ke depan
supaya bisa melihat lebih jelas. Kerumunan di sekeliling lingkaran
jadi sepi. Teknisi kejahatan itu mengacungkan kantong plastik. Dengan
menggunakan penjepit logam, Jackson mengambil sesuatu dari dalam
lubang. Sebelum ia memasukkan bukti itu ke kantong plastik, Ellie
sempat melihatnya sekilas. Benda itu potongan kain merah.
Sarah terkesiap. Jari-jarinya tiba-tiba mencengkeram tangan
Ellie. Letnan Wilkins memandang anaknya. Ellie melihat mata Sarah
penuh rasa sakit. "Sarah" Ada apa?" tanya Ellie.
Sarah tidak menjawab. Dengan terbelalak, ia membalas tatapan
ayahnya. Lalu cengkeraman Sarah pada tangan Ellie mengendur. Dan
sambil memekik lemah, ia roboh ke tanah.
Chapter 4 " SARAH!" jerit Ellie. Ia menjatuhkan diri di samping Sarah.
Bola mata Sarah sudah terbalik ke atas.
"Sarah! Sarah!" teriak Ellie panik.
Tidak ada tanggapan. "Biar kuperiksa!" Ellie mendengar suara tegang Letnan Wilkins
di atasnya. Lalu letnan itu berjongkok di samping putrinya.
"Dia langsung... pingsan," Ellie tergagap.
Sambil melambai-lambai, Letnan Wilkins berteriak, "Sebelah
sini!" Beberapa detik kemudian Officer Jackson berlutut di samping
Sarah. "Permisi," katanya, memberi tanda pada Ellie supaya
menyingkir. Ellie berdiri. Chaz mendengking dan menyundul-nyundul
tangan Ellie. Ellie menatap tubuh Sarah yang tidak bergerak. Ada apa"
Kenapa Sarah pingsan seperti itu"
"Dia baik-baik saja," kata Officer Jackson menenangkan Letnan
Wilkins. "Denyut jantungnya normal. Kelihatannya dia cuma
pingsan." Letnan Wilkins mengangguk.
Sarah mengerang dan mengerjapkan mata. Ia menatap Ellie,
bingung. "Kau akan baik-baik saja," kata ayahnya pelan.
Beberapa detik kemudian letnan itu mendekati Ellie, matanya
tampak lelah. "Pulanglah, Ellie," katanya tegas, sambil memegang
tangan gadis itu. "Sarah tidak apa-apa. Ada yang akan mengurusnya."
"Tidak. Saya harus tetap di sini," kata Ellie berkeras.
"Jangan. Pulang," kata Letnan Wilkins lembut. Ia memegang
bahu Ellie dan membalikkan badannya. "Sudah malam. Ayahmu akan
cemas. Barnett!" serunya sambil menoleh. "Perintahkan petugaspetugas yang lain
untuk menyuruh semua orang meninggalkan tempat
ini. Lalu antar Miss Anderson pulang."
."Tunggu!" Ellie mencengkeram lengan si lethan. "Sarah
kenapa" Ada apa?"
Wilkins menghela napas. "Dia akan segera membaik. Dia cuma
pingsan...." Ya, tapi kenapa" Ellie ingin tahu, tapi kelihatannya Letnan
Wilkins tidak mau memberitahunya.
"Ayo, Ellie," desak polisi wanita itu. "Sudah malam. Kau tak
ingin orangtuamu cemas, kan?"
"Tidak," jawab Ellie sambil berjalan mendului di tepi sungai
yang terjal itu. Di belakangnya, kerumunan orang dibubarkan. "Di
rumah cuma ada ayah saya dan saya. Dia mungkin bahkan belum
pulang." Sesampainya di atas tepi sungai, Ellie berbalik untuk melihat
sekilas terakhir kalinya. Di antara pepohonan ia bisa melihat Sarah
berdiri. Dua petugas masih berdiri di dekatnya. Letnan Wilkins
mungkin sudah kembali ke daerah yang ditandai itu, memeriksa kain
merah tadi. Kain merah. Ellie ingat, itulah yang membuat Sarah menjerit.
Kenapa" Kenapa sepotong kain bisa membuat Sarah pingsan"
Ia berbalik untuk mengikuti Officer Barnett ke jalan.
********************************
"Ellie! Hei, Ellie!"
Ellie mengangkat pandangannya dari locker-nya yang terbuka.
Frank Schuler berlari di sepanjang lorong mendekatinya, mendorong
anak-anak yang bergerombol seolah-olah mereka barisan pertahanan
dalam permainan football.
Karena kaget, Ellie menjatuhkan ranselnya ke lantai. Frank
jarang berbicara dengannya. Kenapa sekarang cowo itu memanggilmanggilnya"
"Kejadian yang aneh sekali kemarin malam itu," kata Frank.
Matanya yang biru pucat bersinar-sinar ketika ia tersenyum pada Ellie.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh dan jins longgar yang
warnanya sudah pudar dan robek di bagian lutut. "Kurasa kau jadi
semacam pahlawan." Ellie menggeleng. "Pahlawan" Kurasa tidak begitu." Ditatapnya
cowok itu tajam. "Kau malahan tak mempercayaiku - ya, kan?"
tuduhnya. "Waktu aku lari mendatangi mobilmu, kaupikir aku sinting,
kan?" Pipi Frank memerah. "Hei, sama sekali tidak." Ia bersandar ke
locker sementara Ellie membanting pintu locker-nya sampai tertutup
dan memutar kuncinya. "Polisi bilang siapa yang dikubur di sana itu?"
tanya Frank. Ellie menggeleng. "Frank!" terdengar teriakan dari gerombolan anak. Patty
bergegas mendatangi mereka dan menggandeng tangan Frank. Ia
mengenakan kaus warna biru air pucat dan rompi biru, serta celana
ketat hitam. "Kau sudah tanya dia?" desak Patty pada Frank seolah-olah
Ellie tidak ada di situ. "Ya. Dia juga tak tahu apa-apa."
Mata biru Patty bersinar. Ia menyentakkan kepalanya ke
belakang untuk menyibakkan rambutnya. "Well, aku tahu! Anna
memberitahuku gosip yang hebat. Kau tahu Sarah Wilkins tak masuk
sekolah hari ini?" Frank mengangguk. "Ya. Dia biasanya duduk di depanku di
kelas sejarah." "Wellll...," Patty mengucapkan kata itu panjang sekali.
Dirapikannya rompinya. Lalu ia mencondongkan tubuhnya mendekat
dan berbisik, "Kau ingat Melinda, kakak Sarah?"
"Hah?" seru Ellie. "Sarah punya kakak?"
"Pernah punya kakak," sahut Patty, dipelankannya suaranya.
"Sarah pernah punya kakak?" ulang Ellie, tidak bisa menutupi
rasa terkejutnya. "Melinda menghilang," kata Patty dengan suara berbisik
tertahan. "Dan ada yang memberitahuku dia memakai kaus lengan
panjang merah pada malam dia menghilang."
"Ohhhh," Ellie mengerang pelan.
Kain merah itu. Jadi itu sebabnya Sarah pingsan. Dan mata
ayahnya penuh rasa sakit seperti itu.
Tapi kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut soal kakaknya"
Frank dan Patty memandanginya dengan ekspresi kaget. "Kau
baik-baik saja?" tanya Patty.
Ellie membungkuk dan mengambil ranselnya. "Aku tak apaapa," ia berbohong. "Tapi
aku harus segera pergi, kalau tidak aku
terlambat masuk kelas."
Ia melambai dan berlari di koridor menuju telepon umum di
samping kantor penerimaan tamu. Ia harus menelepon Sarah!
Dipegangnya gagang telepon dengan tangan gemetaran dan
ditekannya nomor telepon Sarah. Tidak ada yang mengangkat.
Dengan frustrasi, Ellie membanting telepon itu. Ia memandang
dinding bilik telepon, memutar otak. Paling tidak sekarang aku tahu
kenapa visi-visi itu kembali, pikirnya. Dan kenapa tangan itu
memanggilku ke kuburan dangkal itu.
Karena kubiarkan diriku dekat dengan Sarah.
Tubuh di dalam kuburan itu pasti tubuh Melinda.
Melinda, kakak Sarah, pasti menggunakanku untuk
menghubungi Sarah. ***********************************
Pulang sekolah Ellie bergegas ke tempat kerjanya. Memasukkan
buku-buku ke rak di Perpustakaan Umum Shadyside tidak
menghasilkan banyak uang, tapi Ellie senang sekali berada di sana. Ia
sangat menyukai bau apek buku-buku tua perpustakaan. Dan ia sangat
menyukai suasana sunyinya.
Ellie mengambil sebuah buku dan berjinjit untuk
meletakkannya di rak yang tinggi. Udara sejuk terasa di kulitnya yang
terbuka karena sweternya tertarik.
"Permisi," kata suara laki-laki di belakangnya. "Kau bisa
menolongku mencari buku tentang senjata primitif?"
"Sebentar." Ellie mengerang ketika mendorong buku itu ke rak
yang penuh sesak. Bahkan sebelum berbalik pun, Ellie sudah tahu cowok itu
mengamatinya, tatapannya menelusuri sekujur tubuhnya. Dengan
perasaan malu, ia menarik sweternya dan berbalik.
Brian Tanner menatapnya sambil tersenyum-senyum. Ia
memakai kemeja denim dan celana jins berpipa lurus.
"Senjata primitif" Maksudmu pedang, tombak, dan yang
semacamnya?" tanya Ellie dengan parau. Ia berdeham dan menunjuk
ke ujung gang. "Letaknya di bagian enam ratus."
"Aku sudah cari di sana."
"Itu mestinya bagiannya. Kau sudah memeriksa daftar
komputer?" Cowok itu nyengir malu. Kerut-kerut kecil bermunculan di
sekitar matanya. Matanya berwarna gelap, tapi waktu berdiri di
dekatnya, Ellie melihat di matanya itu ada bintik-bintik keemasan.
"Kupikir lebih baik tanya kau saja," sahut Brian Tanner.
Ellie merasa wajahnya jadi panas. Ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak nyengir juga. Senyum Brian Tanner susah untuk
diabaikan. "Well, kuusahakan menemukannya. Bukannya aku ahli. Aku
cuma bekerja di sini sepulang sekolah. High school," tambahnya, tidak
mau cowok itu salah kira tentang dirinya.
"O ya" Aku kuliah di Waynesbridge." Brian Tanner mengikuti
Ellie berjalan di gang. "Kau tahu, kan" College lokal itu."
"Oh. Aku bahkan tak tahu Waynesbridge punya college," jawab
Ellie. "Aku dan ayahku baru pindah ke Shadyside."
"Aku tahu." Senyum Ellie menghilang. "Di sini mestinya buku itu," kata cowok itu. Ia mengulurkan
tangan dan menunjuk salah satu rak buku.
"Dari mana kau tahu?"
"Karena semuanya punya nomor sama," jawabnya.
"Bukan," kata Ellie. "Maksudku, dari mana kau tahu aku masih
baru di Shadyside?" "Mm..." Tampak keraguan di mata Brian. "Karena baru sekali
ini aku melihatmu di perpustakaan ini," jawabnya. "Padahal kau
kelihatan seperti cewek yang sering berada di perpustakaan."
Alis Ellie terangkat. "Hah" Itu pujian atau bukan" Cewek
macam apa yang sering berada di perpustakaan?" desaknya.
"Well..." Brian ragu-ragu lagi. "Cewek yang suka baca?"
Ellie terpaksa tertawa melihat ekspresi wajah Brian yang malumalu. Mungkin Brian
Tanner tidak sehebat yang disangkanya. Pikiran
itu membuat Ellie senang.
Karena cowok itu benar-benar imut. Dan sudah lama Ellie tidak
tertarik pada cowok. Ellie berbalik dari cowok itu dan mengamati rak-rak. Lupakan
Brian Tanner, katanya memarahi dirinya sendiri. Dia sudah
mahasiswa. Dia cuma perlu buku. Setelah itu dia akan pergi.
"Ini ada satu. Judulnya Senjata-senjata Primitlf." Ellie
mengulurkan tangan. Jari-jarinya memegang punggung buku itu dan
menariknya dari rak. Napasnya sesak, tenggorokannya seperti tercekik.
Sebilah pisau bergagang perak tergeletak di ruang kosong
tempat buku yang diambilnya barusan.
Darah merah segar menetes dari mata pisaunya yang berkilatkilat. Darah yang
berwarna lebih gelap tergenang di rak. Darah itu
menetes dari rak ke lantai di dekat kaki Ellie.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pisau itu meluncur maju, mata pisaunya yang berlumuran darah
mengarah lurus ke jantung Ellie.
Chapter 5 ELLIE menjerit dan terjengkang, bahunya menghantam rak di
belakangnya, Buku itu jatuh ke lantai.
"Hei! Ada apa?" Brian menangkap sikunya.
Dada Ellie naik-turun. Dengan ngeri dipandangnya rak itu.
Kosong. Tak ada darah. Tak ada belati yang berkilat-kilat.
Di sana tak ada pisau! Visi lagi. "Maaf!" seru Ellie, wajahnya terasa merah padam. Brian
memegangi lengannya. Pelan-pelan ia menarik lengannya.
Tarik napas dalam-dalam. Tenangkan diri, katanya dalam hati.
Ellie memejamkan mata. Cuma visi.
Kau bisa mengatasinya, katanya pada diri sendiri.
Ia membuka mata dan tersenyum menenangkan pada Brian.
"Tak ada apa-apa, betul. Ada yang bergerak waktu aku mengambil
buku itu. Tikus, kurasa."
Mata cowok itu terus mengamatinya. "Lumayan juga jeritanmu
kalau cuma gara-gara tikus," katanya.
"Thanks. Aku memang paling jago menjerit," jawab Ellie,
berusaha bercanda. Ia membungkuk, memungut buku tadi, dan
menyorongkannya ke tangan Brian. "Bye," katanya, menghindari
tatapan cowok itu. Ia cepat-cepat berjalan di gang.
Dia pasti mengiraku supergoblok, pikirnya.
Tapi kenapa aku selalu mengalami perasaan menakutkan ini
setiap kali aku melihatnya" Kenapa aku punya perasaan begitu kuat
bahwa aku harus menjauh darinya"
"Ellie, tunggu!" ia mendengar Brian berteriak.
Ia tidak berbalik. Ia berjalan cepat melewati penjaga
perpustakaan yang duduk di meja layan utama dan bergegas
memasuki kantor di belakang meja peminjaman buku, menutup
pintunya begitu masuk. Sekarang ia aman. Ia bersandar ke pintu dan memikirkan pisau tadi. Rasa takut
melandanya. Kejadian itu berulang lagi, pikirnya. Visi-visi itu.
Kekuatanku menyerbu hidupku. Tapi kenapa"
Karena Brian" Karena ia merasa tertarik pada cowok itu" Tertarik dan takut
pada saat yang bersamaan"
Tidak, tak mungkin, pikirnya. Pasti gara-gara buku itu -
Senjata-senjata Primitif.
Tentu saja! Itu sebabnya ia melihat pisau itu. Judul buku itu
membangkitkan visinya. Ellie merasa tubuhnya jadi rileks. Semuanya akan beres,
katanya dalam hati. Brian Tanner dan bukunya akan pergi, dan visivisi itu akan
pergi juga. "Hei... wah!" gumam Ellie keras. "Ada apa ini?"
Ketika memanggilku tadi, Brian menyebut namaku.
Padahal aku belum pernah memberitahukan namaku padanya!
*******************************
Pukul enam Ellie melangkah keluar dari perpustakaan dan
memandang langit yang hitam pekat. Angin yang bertiup kencang
membawa udara dingin. Pepohonan yang berbaris di jalan yang
panjang itu bergoyang, daun-daun berguguran ke tanah.
Sehelai koran terbang melewati kaki Ellie seperti hantu kelabu
tanpa suara. Ellie menyandang ranselnya di bahu dan mengancingkan
mantelnya. Lumayan jauh juga jalan ke rumah Sarah, katanya dalam
hati, mengamati daun-daun cokelat mati berputar-putar diembus
angin. Tapi aku ingin menengoknya sebelum pulang.
Dengan tubuh condong melawan angin, ia berjalan ke trotoar
dan menyusuri Park Drive menuju Fear Street. Ellie mengamati
nomor-nomor rumah yang dilewatinya. Dua puluh menit kemudian ia
mengenali alamat Sarah. Ellie berhenti di pinggir jalan dan memandangi rumah yang
gelap itu. Tidak ada lampu yang menyala. Lampu terasnya pun tidak.
Ke mana Sarah dan ayahnya" Sedang pergi"
Ellie memindahkan ranselnya ke bahunya yang lain dan mulai
berjalan di halaman depan yang melandai menuju rumah papan abuabu itu. Ellie
bertanya-tanya mengapa Sarah tidak pernah
mengajaknya mampir ke rumahnya. Sarah selalu lebih suka pergi ke
rumah Ellie atau bermain-main di mal.
"Aneh," gumam Ellie. Kadang-kadang ia merasa sangat dekat
dengan Sarah. Tapi banyak hal yang dirahasiakan Sarah.
Misalnya kakaknya. Kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut
soal Melinda" Ellie bertanya-tanya lagi. Apakah hilangnya Melinda
terlalu menyakitkan baginya"
Ketika semakin mendekati rumah itu, Ellie bisa melihat betapa
bobroknya keadaannya. Tangga depannya patah-patah. Cat di dinding
depannya terkelupas di sana-sini.
Ia menekan bel. Menunggu. Tidak ada yang datang. Tidak
terdengar suara dari dalam.
Mungkin Sarah sedang tidur, pikir Ellie.
Ia turun ke jalan masuk, berbalik, dan melihat ke lantai dua.
Gorden pink membingkai jendela di depan. Itu pasti kamar Sarah.
Jendela itu terbuka sedikit.
"Sarah!" teriak Ellie, ia menangkupkan tangannya di dekat
mulutnya. Kau di atas sana?"
Ia menunggu, memandangi jendela yang gelap itu. "Sarah" Kau
di sana" Ini aku."
Tak ada siapa-siapa di sana.
Ketika ia berbalik pergi, ada yang menarik perhatian matanya.
Sesosok bayangan melintasi jendela di atas itu. Gordennya
bergerak. Di baliknya tampak seraut wajah. Wajah yang sangat pucat.
"Sarah?" panggil Ellie.
Bukan. Ketika gorden itu menyibak ke samping, Ellie melihat
kening yang abu-abu dan tidak berdaging, rongga mata yang hitam
kosong, seringai tanpa gigi yang mengerikan. Dan menyadari ia
sedang menatap tengkorak yang sedang menyeringai.
Chapter 6 "OHHH." Ellie mengerang takut dan pelan, sambil
memejamkan matanya. Ketika ia membuka mata lagi, tengkorak itu sudah menghilang.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali, memandangi gorden yang
bergerak-gerak di jendela gelap itu.
Visi lagi" Pasti, katanya dalam hati.
Tapi kenapa" Apa artinya" Dan apakah Sarah ada di atas sana"
Dengan jantung berdegup kencang, Ellie cepat-cepat menaiki
tangga dan memukul-mukul pintu dengan kedua kepalan tangannya.
"Sarah" Sarah?" Ditekannya bel, dibiarkannya jarinya menempel di
bel, mendengarkan deringannya di dalam rumah.
"Sarah" Kau bisa mendengarku?"
Sunyi. Ellie berbalik. "Dia tak di rumah."
Tengkorak menyeringai itu - visi lagi, pikir Ellie. Visi
kematian. Kematian siapa" Ellie tiba-tiba teringat Alma's Coffee Shop. Pekerjaan Sarah
sepulang sekolah. Ellie baru sadar Sarah mungkin di sana sekarang.
Tentu saja. Dia pasti di situ. Dia mungkin bolos sekolah, tapi bolos
pekerjaan tak pernah. Sarah begitu membutuhkan uang hingga tak
mungkin bolos. Sambil menyusupkan tangannya ke dalam saku mantel, Ellie
berjalan menentang angin dan mulai berlari di sepanjang jalan. Aku
akan pergi ke Alma's, ia memutuskan. Lagi pula Dad tidak makan
malam di rumah. Aku akan mampir di coffee shop itu. Memastikan
Sarah baik-baik saja. Ia sudah berjalan tiga atau empat blok, ketika sebuah Jeep hitam
melaju di sampingnya. Ellie berjalan lebih cepat. Ia tidak punya
kenalan yang mengendarai Jeep hitam.
Tapi Jeep itu terus mengikutinya. Jendela di sisi penumpangnya
diturunkan. Tampak seraut wajah. "Hei... Ellie! Ini aku! Dari
perpustakaan!" Ellie menoleh dan melihat Brian, sedang mencondongkan tubuh
ke kursi di sampingnya, memandang ke luar jendela yang terbuka.
"Aku tak menakutkanmu, kan?" tanyanya, nyengir.
"Sama sekali tidak," Ellie berbohong.
"Masuklah," kata Brian. "Mau ke mana kau?"
"Alma's," jawab Ellie. "Tapi aku tak mau numpang mobil orang
yang tak kukenal," ia bercanda.
"Well, aku bisa mengantarmu ke Alma's dan memperkenalkan
diri di perjalanan," usul Brian, matanya yang gelap memantulkan
cahaya lampu jalanan. "Dengan begitu kita bukan lagi orang-orang
yang tak saling kenal."
"Tapi kau sudah tahu namaku." Ellie menjauh dari tepi jalan.
"Padahal aku belum pernah memperkenalkan diri."
"Oh." Brian mengusap dagunya. "Well, aku bisa
menjelaskannya. Aku mendengar petugas perpustakaan
memanggilmu." Mata Ellie membelalak. "Tidak, tidak benar. Dia memanggilku
Miss Anderson. Bukan Ellie."
"Oke. Oke. Aku bohong. Temanmu di coffee shop yang
memberitahuku." "Jadi kenapa kau bohong?" desak Ellie, tidak mau membiarkan
cowok itu lolos. Brian tertawa. Wajahnya bahkan memerah sedikit. Oh, betapa
cakepnya! "Ayolah, masuk saja," desak Brian.
Tapi ada yang menahan Ellie.
Ia menunjuk coffee shop di depan. "Kurasa aku jalan saja. Tapi
terima kasih, ya." Sebelum cowok itu bisa menjawab, ia sudah pergi,
berlari ke restoran itu. Jeep itu berdecit ketika melaju pergi. Brian membunyikan
klakson - tiga kali pendek-pendek - dan menghilang di belokan.
Ellie mendorong pintu restoran. Kerincing lonceng dan
kehangatan suasana di dalam menenangkannya. Ia berhenti berjalan
untuk mengambil napas. Kenapa aku begitu" tanyanya dalam hati.
Sekali lagi aku lari dari Brian Tanner seolah-olah cowok itu
monster. Apakah karena dia berbohong tentang caranya mengetahui
namaku" Atau apakah karena aku takut akan mendapat lebih banyak
visi lagi" Ellie menggeleng, tidak tahu pasti jawabannya.
Setelah menjatuhkan ranselnya ke lantai, ia duduk di bangku di
ujung meja layan. Alma's nyaris kosong. Sepasang orang berambut
putih sedang minum kopi di meja. Seorang pria bertubuh besar yang
mengenakan celana terusan kotor duduk di ujung lain meja layan,
sedang makan sepiring sosis dan kacang.
Tapi mana Sarah" Ellie memutar leher, berusaha melihat dari jendela pesanan ke
dalam dapur. Bunyi burger mendesis-desis di panggangan
menunjukkan ada orang di belakang sana.
Pintu ayun itu terbuka, dan Ernie Marks, pemilik merangkap
koki, lewat. Ernie berusia sekitar empat puluh, hampir botak, dan
berkacamata yang tebalnya nyaris seinci. "Burger setengah matang,"
katanya sambil meletakkan piring di depan pria yang memakai celana
terusan itu. "Bagaimana rasa sosis dan kacangnya?"
"Payah seperti biasanya," sahut orang itu bercanda. "Itu
sebabnya aku terus kemari."
Ernie mengobrol dengan orang itu sebentar. Lalu ia pergi ke
tempat Ellie duduk. "Jadi" Mana temanmu?" tanyanya.
Ellie melipat-lipat serbet kertasnya. "Itu yang ingin saya
tanyakan." "Aku belum melihatnya," jawab Ernie, sambil mengelapkan
tangannya ke celemeknya yang kotor. "Dia juga tak menelepon."
"Sarah tak biasanya begitu."
Ernie menghela napas. "Aku tak usah kauberitahu. Dia belum
pernah bolos sekali pun."
Ellie menunduk dan menyadari ia telah merobek-robek serbet
kertas yang dipegangnya. Diletakkannya potongan-potongannya di
meja layan. "Anda dengar soal kemarin malam" Mayat di hutan itu?"
"Ya." Ernie mengusap-usap kepalanya yang botak.
"Saya dengar itu kemungkinan mayat kakak Sarah," kata Ellie,
suaranya berubah jadi berbisik. "Anda sudah dua tahun tinggal di sini,
kan" Anda ingat pernah dengar tentang kakak Sarah" Kenapa dia
menghilang?" Ernie menggeleng. "Cuma yang ada di koran-koran."
"Ernie! Tambah lagi lumpur yang kausebut kopi itu!" Pria
bercelana terusan itu mengacungkan cangkirnya.
"Ya. Ya." Ernie meraih teko kopi.
Ellie duduk menelungkup di meja layan. "Maaf, ada yang
duduk di kursi ini?" tanya sebuah suara.
Dengan terlonjak Ellie berputar ke kanan. Brian Tanner berdiri
di dekat kursi yang ada di sebelah Ellie.
"Mm, ya. Sudah dipesan untuk Ratu Inggris!" sahutnya
bercanda. Brian tertawa. Ia menduduki kursi itu dengan gaya santai. Ellie
melihat cowok itu tampak sangat atletis. "Aku akan berdiri kalau
ratunya datang," Brian berjanji. "Jadi makanan apa yang
kausarankan?" "Apa yang kaulakukan di sini" Makan malam?" tanya Ellie,
menyibakkan rambut-nya ke belakang.
"Kau?" balas Brian.
Ellie menggeleng. "Tidak. Aku harus pulang. Chaz sudah
menunggu." "Anjingmu." "Dari mana kau tahu?" tanya Ellie. Brian mengangkat tangan
seolah melindungi diri. "Hei. Aku cuma menebak, oke" Maksudku,
kemarin malam kau bawa anjing."
Ellie kembali tenang. "Ya. Memang." Ia melirik cowok itu.
"Jadi apa yang kaukerjakan di hutan kemarin malam?"
"Sama seperti orang lain. Ingin melihat keramaian. Berusaha
mengetahui apa yang terjadi." Ia menopang dagunya dengan telapak
tangan kanannya. "Kudengar kau yang menemukan mayat itu."
Ellie mendadak bergidik. "Ya. Tapi aku tak ingin
membicarakannya. Aku masih merasa seram mengingatnya. Jadi
kalau kau reporter Waynesbridge Community College atau yang
semacam itu, berarti kau cuma buang-buang waktu," tambahnya
ringan. Brian menggeleng. "Bukan. Aku bukan reporter.
Ellie berputar menghadap pada cowok itu. "Kalau begitu
kenapa kau keluyuran di Shadyside" Kau tinggal di sini?"
Brian menggeleng. "Tidak. Aku tinggal dengan kakek-nenekku
di Waynesbridge. Jadi, mana Alma?"
"Kurasa tak ada orang yang bernama Alma," kata Ellie
memberitahunya. "Kurasa itu nama kucing Ernie."
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brian tertawa. "Dan bagaimana rasa hamburger Alma's" Ada
daging kucingnya?" "Mungkin," jawab Ellie, nyengir. Perutnya berbunyi. Dengan
malu, ia menutupi perutnya dengan tangannya.
Brian cengar-cengir. "Kalau begitu kita pesan dua.
Setengah jam kemudian Ellie melihat jam tangannya. Ia dan
Brian begitu asyik mengobrol sampai ia lupa waktu.
"Oh, tidak, sekarang sudah jam tujuh Ayahku bisa ngamuk."
"Telepon saja dia," Brian mengusulkan. "Bilang padanya aku
akan mengantarkanmu lima belas menit lagi."
"Mm..." Ia ragu-ragu. Bunyi lonceng berkerincing di atas pintu
membuyarkan pikirannya. Letnan Wilkins berjalan memasuki
restoran. "Letnan Wilkins!" seru Ellie, sambil turun dari kursinya. "Saya
dari tadi mencari-cari Sarah. Dia baik-baik saja?"
Perwira polisi itu menatap Ellie dengan pandangan kosong
seakan-akan sesaat tidak mengenalinya. Lalu ia mengangguk. "Dia
baik-baik saja. Dia tinggal dengan bibinya selama beberapa hari. Aku
datang untuk memberitahu Ernie."
"Oh, bagus. Saya sempat cemas." Ellie menggigit bibirnya. Ia
ingin sekali bertanya pada Letnan Wilkins mengenai mayat itu, tapi
letnan itu sudah berjalan menjauh. Ia mengamati Letnan Wilkins
bersandar ke meja layan untuk berbicara dengan Ernie.
Ellie memasukkan tangannya ke saku belakang jinsnya dan
berputar lagi ke meja layan. Ia terkejut, tempat duduk Brian ternyata
sudah kosong. Mulut Ellie ternganga. Ke mana Brian" Ke kamar mandi"
Letnan Wilkins mengangguk pada Ellie ketika pergi.
"Tolong bilang pada Sarah supaya menelepon saya," kata Ellie.
Ia meneguk habis sodanya, matanya memandang ke kamar mandi
pria. "Hei, kau ingin hidangan pencuci rnulut?" tanya Ernie, sambil
mengangkati piring-piring kotor. "Aku punya pai krim pisang yang
belum terlalu basi."
"Tidak." Ellie menggeleng. "Brian akan mengantarkan saya
pulang sekarang." "Brian?" Ernie berhenti mengangkati piring-piring. "Cowok
yang bersamamu tadi?"
Ellie mengangguk. Ernie memiringkan kepalanya ke arah pintu. "Dia sudah pergi."
Ellie menahan napas. "Pergi?"
"Ya. Waktu kau sedang bicara dengan Letnan Wilkins. Dia
meninggalkan uang dan melesat pergi."
********************************
Ellie berjalan kaki pulang. Ia menemukan ayahnya di ruang
tamu, sedang membaca koran di sofanya yang sudah tua. Ia mencium
bagian atas kepala ayahnya. "Hai, Dad. Maaf aku terlambat. Daddy
sudah makan?" Ayahnya menggumam- menjawab, asyik dengan artikel koran
yang sedang dibacanya. Ellie ikut membaca dari balik bahunya.
Ia menelan ludah ketika membaca judul berita itu: MAYAT
TIDAK DIKENAL DITEMUKAN DI FEAR STREET WOODS.
Kemarin malam ia sudah tidur waktu ayahnya pulang. Ia tidak
punya kesempatan untuk menceritakan kejadian di hutan itu pada
ayahnya. Lagi pula, ia menghindari topik itu. Ayahnya tidak suka kalau ia
menyebutnyebut kemampuannya. Ayahnya selalu menuduh Ellie
cuma berkhayal. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bercerita mengenai
mayat itu. "Aku yang menemukan kuburan itu," kata Ellie takut-takut.
Ayahnya menurunkan koran itu. "Kau" Apa yang kaulakukan di
hutan?" "Mengajak Chaz jalan-jalan. Sebetulnya dia yang menemukan."
Ayahnya menatap Ellie, wajahnya tampak terkejut. Lingkaran
hitam di bawah matanya. Ayahnya mendadak kelihatan lelah dan tua.
"Kau tahu bagaimana perasaanku tentang hutan itu di malam hari,
Ellie. Aku sudah bilang..."
"Berkali-kali," potong Ellie. Ia menghampiri sofa panjang dan
duduk. "Tapi kemarin belum malam waktu aku dan Chaz mulai jalanjalan. Waktu aku
menunjukkan kuburan itu pada polisi, hari sudah
gelap." Mata ayahnya berkilat marah. "Kau harus menjauhi polisi, nona
muda. Kau tak boleh terlibat dalam penyelidikan mereka."
"Dad!" Ellie heran melihat betapa marahnya ayahnya. "Daddy
tak dengar apa yang barusan kukatakan" Aku yang menemukan mayat
itu. Bagaimana Daddy bisa mengharapkan aku tak terlibat dalam
penyelidikan mereka"
"Karena aku ayahmu dan aku bilang begitu!"
"Bilang begitu'" ulang Ellie. "Itu bukan alasan. Daddy selalu
melarangku melakukan berbagai hal, tapi tak pernah memberitahukan
alasannya." "Aku tak perlu memberitahumu alasannya!" sembur ayahnya.
"Ya, harus!" balasnya. "Aku hampir tujuh belas. Aku bukan
anak-anak lagi!" Ellie memandang ayahnya dengan tatapan dingin.
"Lagi pula, kali ini peraturan Daddy tak masuk akal."
Ayahnya balas menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa
dibaca. Lalu bahunya terkulai. Ia melemparkan koran ke lantai dan
menghela napas. "Aku tahu itu," katanya. "Tapi tolong menjauhlah
dari polisi. Aku tak mau kau jadi seperti ibumu!"
"Ibuku" Apa hubungan Mom dengan masalah ini?" teriak Ellie.
Ayahnya ragu-ragu. Lalu berdeham. Akhirnya, dengan terpatahpatah ia mengatakan,
"Ibumu tidak meninggal di rumah sakit seperti
yang kukatakan padamu selama ini, Ellie. Dia dibunuh."
"Dibunuh?" Ellie terkesiap, memegang kedua pipinya. "Apa
yang Daddy bicarakan" Mom meninggal karena usus buntu."
"Oh, Ellie." Ayahnya berdiri, berjalan melintasi ruangan, dan
duduk di sampingnya di sofa panjang. "Kau baru berumur dua tahun
waktu peristiwa itu terjadi. Aku tak mau berbohong - begitu juga
kakek dan nenekmu - tapi bagaimana kami mesti menjelaskannya
padamu?" Ayahnya menggeleng. "Lalu belakangan, waktu kau sudah
cukup umur untuk bisa memahaminya, aku tak bisa menemukan cara
untuk memberitahumu. Selain itu, aku tak ingin membicarakannya -
sekali pun." Suaranya serak. "Rasanya terlalu menyakitkan."
Air mata menggenangi mata Ellie. Ia tidak bisa mempercayai
ini. Selama bertahun-tahun ia mengira sudah mengetahui yang
sebenarnya tentang ibunya. "Bagaimana kejadiannya, Dad" Siapa
yang tega membunuh Mom?" tanyanya lirih.
Ayahnya tidak mau menatap matanya. "Ada seorang gadis kecil
yang menghilang. Belakangan diketahui dia dibunuh. Seseorang yang
tak waras - seseorang yang mestinya tak pernah boleh dibebaskan dari
penjara - membunuhnya. Lalu orang itu membunuh ibumu."
"Tapi kenapa?" Ellie mendesak ayahnya. Ia harus mengetahui
yang sebenarnya, biarpun ia bisa melihat bahwa membicarakan
kejadian itu merupakan siksaan buat ayahnya.
"Aku tak tahu kenapa! Kaukira aku tak mengajukan pertanyaan
itu pada diriku sendiri berjuta-juta kali?" Ayah Ellie tersedu-sedu
sekarang. Ellie merasa ada aliran dingin berkali-kali di punggungnya. Ia
merasa lumpuh. Lumpuh sama sekali.
Ibuku dibunuh" Perutnya terasa mulas. Ia berdiri di atas kaki yang terasa seperti
karet, lemas. Entah bagaimana ia berhasil naik ke kamar mandi di atas
sebelum akhirnya muntah-muntah.
Beberapa menit kemudian ia mendengar ayahnya mengetuk
pintu kamar mandi. "Ellie, kau baik-baik saja?"
"Ya," sahutnya parau. "Tidak, maksudku..." Ia menangis
tersedu-sedu. "Maafkan aku," seru ayahnya dari balik pintu. "Mestinya aku
tak memberitahumu seperti itu."
"Aku yang ingin tahu, Dad," jawabnya. "Dan aku baik-baik
saja. Betul. Aku ingin mandi."
"Kau yakin?" "Ya." Ia mendengar ayahnya pelan-pelan menuruni tangga.
Pikiran-pikiran gelap, pikiran-pikiran menakutkan, bertalu-talu
menghantam bagian belakang otak Ellie. Dengan perut masih terasa
mual, ia memaksa dirinya melupakan semua itu. Dibukanya
pakaiannya. Lalu dinyalakannya pancuran air dan ditunggunya sampai
airnya beruap. Ia melangkah ke bawah curahan air.
Ellie memejamkan mata, berusaha mengumpulkan sedikit
kenangan yang diingatnya tentang ibunya. Ia tidak bisa mengingat
banyak. Ia ingat rambut pirang ibunya yang panjang, matanya yang
hijau, dan suaranya yang lembut, yang berdenting seperti lonceng
kalau tertawa. Ellie dan ayahnya cukup dekat. Tapi sepanjang hidupnya Ellie
merasa seperti ada lubang, seolah-olah ada yang hilang. Kenapa ada
yang membunuh ibunya" Kenapa"
Ellie memejamkan mata dan mengangkat wajahnya,
membiarkan air panas yang beruap itu membasahi tubuhnya.
Perlahan-lahan Ellie merasa tubuhnya mulai santai.
Sesaat kemudian ia membuka mata.
Membuka mata dan terkesiap.
Di atas kepala pancuran, sebilah pisau berkilat-kilat tergantung
pada keramik putih. Sambil berteriak, Ellie mundur dan tersandung.
Gagang perak pisau itu berkilauan. Darah menetes dari mata
Rahasia Kunci Wasiat 4 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Pendekar Muka Buruk 9
Chapter 1 "HAI, Sarah." Ellie Anderson menyapa sahabat karibnya dan
duduk di bangku di meja layan Alma's Coffee Shop. "Bagaimana
pekerjaanmu?" "Hei, Ellie. Lumayan." Sarah Wilkins nyengir dan
melemparkan remah-remah pada Ellie sambil mengelap permukaan
meja dari bahan Formica pink itu. Rambut Sarah hitam pendek dan
tipis, matanya cokelat dramatis, kulitnya berwarna buah zaitun.
"Burger dan kentang goreng?"
Ellie mengusap rambut pirangnya yang panjang dan
mengerutkan hidung. "Tidak. Diet Coke saja." Ia melirik meja-meja di
belakangnya. Sarah bersandar pada meja layan. "Aku tahu. Kau datang bukan
untuk ketemu aku. Kau datang untuk melihat-lihat cowok."
Ellie tertawa. "Ya, betul," jawabnya, sambil membelalak.
"Seperti yang tiap hari kulakukan."
"Teruslah bergaul denganku, kau takkan malu-malu lagi sama
cowok," kata Sarah. "Tapi, hari ini tak ada siapa-siapa di sini kecuali
si Yuppie Brothers." Sarah menggunakan julukannya untuk Joel
Harper dan Frank Schuyler, dua murid senior paling populer di
Shadyside High. Ellie diam-diam menoleh untuk melihat keempat anak di meja
pojok. Mereka sedang makan sepiring besar kentang goreng yang
berlumuran saus. Joel dan Frank memakai jaket merah tua dan abuabu Shadyside.
Tampak duduk merapat ke dinding adalah Anna Toro
dan Patty Jacquet, cewek-cewek mereka.
"Dan seperti biasa, Yuppie Brothers bersama cewek-cewek otak
udang mereka," kata Sarah menambahkan sambil mendengus
mengejek. "Cowok-cowok itu sedang menunjukkan pada mereka
bagaimana cara makan kentang goreng."
Ellie tertawa terbahak-bahak. Selera humor Sarah yang kasar
adalah salah satu alasan kenapa mereka berteman begitu akrab. Kedua
gadis itu juga punya banyak kesamaan, termasuk fakta bahwa mereka
tinggal cuma berdua dengan ayah mereka.
Ellie dan ayahnya baru saja kembali pindah ke Shadyside. Ellie
lahir di sana. Tapi ketika ia berusia dua tahun, ibunya meninggal. Ia
dan ayahnya lalu tinggal dengan kakek-nenek Ellie. Sekarang, empat
belas tahun kemudian, pekerjaan ayahnya sebagai sales membawa
mereka kembali ke Shadyside.
Ia senang bisa kembali kemari, tapi pindah sekolah sewaktu
sudah duduk di kelas dua tidaklah mudah. Sebagian besar anak-anak
di kelasnya sudah saling mengenal sejak taman kanak-kanak.
"Hei, kau menunggu aku mati kehausan dulu baru
mengambilkan Diet Coke?" tanya Ellie, menghadap ke temannya lagi.
"Ya. Ya." Sarah menyabetkan serbet ke arab Ellie. "Mungkin
kalau kau memberiku tip lebih banyak..."
Lonceng di atas pintu kedai kopi itu berkerincing. Ellie menoleh
sekilas. Seorang cowok cakep yang belum pernah dilihatnya
melangkah masuk. Matanya berwarna gelap dan rambutnya cokelat
kemerahan, panjang di atas dan pendek di samping.
Terlalu tua untuk jadi murid high school, pikir Ellie. Ia
memperhatikan pakaian cowok itu. Jaket sport yang tidak
dikancingkan di atas kemeja denim dan jins belel.
Jelas mahasiswa. Dan cowok itu bergerak dengan rasa percaya
diri yang segera membedakannya dari anak-anak lain.
"Wow!" seru Sarah ketika ia meletakkan gelas di depan Ellie.
"Siapa itu?" Ketika duduk di meja di belakang Ellie, cowok itu melirik
kedua gadis itu. Matanya yang kelam bertemu dengan mata Ellie.
Bertemu dan menatapnya lama.
Dengan muka merah padam, Ellie berbalik lagi ke meja layan.
"Jangan memelototinya terus, Sarah. Nanti dikiranya kita naksir dia."
"Memang kok!" bisik Sarah keras-keras. Disambarnya menu
dari tempatnya. "Aku akan mencatat pesanannya." Ia berjalan
mengitari meja layan. Ellie meneguk sodanya. Ia bisa mendengar Sarah berbicara
dengan cowok itu. Ketika menjawab, suara cowok itu terdengar
lembut dan hangat. Cowok yang asyik pikir Ellie.
Sudahlah, Ellie, katanya pada dirinya sendiri. Kau tahu betapa
pemalunya kau. Terutama pada mahasiswa. Namanya saja pun kau
takkan pernah tahu. "Brian Tanner," kata Sarah terengah-engah sambil mengelap
meja layan. Ellie tidak mempercayai kelakuan temannya. "Kautanyakan
namanya pada dia langsung?"
"Tentu. Aku bilang padanya untukmu."
"Apa?" Ellie merah padam, lalu sadar temannya cuma
menggodanya. Sarah berbalik untuk mengisi gelas soda. "Aku takkan berbuat
begitu padamu - ya, kan?"
Ellie tahu temannya bisa saja berbuat begitu. Dengan perasaan
malu, Ellie duduk menunduk di meja layan, membiarkan rambut
panjangnya yang pirang seperti madu menutupi wajahnya. Biarpun
memunggungi cowok itu, Ellie bisa merasakan tatapan matanya yang
kelam serasa menembus punggungnya.
Kau mimpi, Ellie, pikirnya. Dia tak mengamatimu. Dia sedang
membaca menu. Saat itu juga ia merasakan keinginan yang tidak terkendali
untuk keluar dari sana. Ia melompat turun dari bangku. Merogoh
kantong jinsnya dan mengeluarkan dua lembar uang yang sudah lusuh.
Sambil meneriakkan selamat tinggal pada Sarah, ia menyambar
ranselnya dan bergegas ke pintu, lonceng berkerincing di
belakangnya. Begitu sampai di trotoar, Ellie segera berlari. Ia melewati
jendela tempat cowok itu duduk dan terus berlari sampai ia tidak bisa
lagi melihat kedai kopi itu.
Dengan napas megap-megap, ia memelankan larinya.
Apa-apaan kelakuanku tadi" pikir Ellie heran. Ia memang selalu
malu berhadapan dengan cowok. Tapi ia tidak pernah merasa sampai
ingin lari begini. Ada yang jelas-jelas menyuruhnya pergi. Aneh, pikir Ellie.
Benar-benar aneh. Ketika Ellie masuk ke rumah, anjing Labrador-nya yang hitam
besar, Chaz, menyambutnya sambil mendengking-dengking gembira.
Ekornya menampar-nampar kusen pintu, dan anjing itu bergoyanggoyang kegirangan
ketika mendorong Ellie kembali ke tangga depan.
"Baik, baik." Ellie tertawa. "Kurasa kau ingin keluar!"
Dilemparkannya ranselnya ke ruangan depan dan dilepaskannya tali
Chaz dari sangkutan. Lalu ia membanting pintu dan lari mengejar
anjing itu di sepanjang trotoar.
Hari sudah sore, musim gugur yang cerah dan sejuk. Daun-daun
mulai berganti warna. Ellie menoleh ke rumah barunya: Raintree Lane
Nomor 1201. Bukan tempat yang jelek, pikirnya.
Biarpun rumah-rumah mungil bertingkat dua di jalan itu mirip,
semuanya bersih dan rapi. Peningkatan jauh dari rumah kakekneneknya. Rumah
pertanian tiga tingkat yang sudah bobrok dengan
cat terkelupas di sana-sini dan papan lantai yang berderak-derak.
Sambil berlari-lari pelan, Ellie berbelok ke Hawthorne Drive.
Chaz lari di depan, sibuk mengendus-endus batang-batang pohon
dengan gembira. Ellie bersiul memanggil anjing itu, lalu memotong
jalan lewat Park Drive menuju Fear Street.
Seekor bajing cokelat yang gendut lari melesat di bawah semak.
Sambil menyalak keras, Chaz mengejarnya, bulunya yang hitam
berkilauan diterangi cahaya matahari yang mulai terbenam.
"Hei, Chaz! Sini!" Tanpa sadar, Ellie mengikuti anjing itu ke
Fear Street. Karena asyik mengejar bajing, Chaz lari ke Fear Street
Woods. "Chaz! Hei! Hei, berhenti!"
Ketika Ellie akhirnya bisa menangkapnya, anjing itu sudah lupa
pada bajing tadi dan asyik bermain air di kali kecil. Airnya jadi
kecokelatan karena diinjak-injaknya.
Ellie menemukan sebongkah batu besar.
Ia duduk dan bersandar pada permukaannya yang berlumut.
Mata kelam Brian Tanner terlintas di pikirannya. Ia ingin tahu apakah
akan bertemu dengan cowok itu lagi.
Bukannya ia ingin sekali punya pacar. Tidak setelah apa yang
terjadi tahun lalu. Ellie menghela napas dan memejamkan mata. Ia takkan pernah
melupakan tahun awal sekolahnya di Fairfield High. Dan cinta
pertama dalam hidupnya, Tommy Wheaton.
Tommy cowok luar biasa. Tapi Ellie mengacaukan semuanya.
Ia mencoba tidak memikirkan mengapa mereka putus.
Aku tak bisa berbuat lain! ia ingin berteriak begitu. Semuanya
gara-gara visiku! Dalam visi itu - yang tampak begitu jelas dalam pikirannya -
Ellie melihat Tommy mencium sahabat karibnya, Janine. Bayangan
itu begitu kuat, begitu tegas, sehingga Ellie mempercayainya.
Ia mengkonfrontasi Tommy dan Janine. Ia menuduh mereka
berhubungan di balik punggungnya.
Mereka membantahnya. Mereka pernah berciuman sekali, di
suatu pesta. Tapi itu sebelum Tommy dan Ellie mulai pacaran. Dan
tidak pernah terulang lagi. Tapi Ellie terus melihat visi itu. Ia tidak
bisa menghilangkan pikiran bahwa ada apa-apa di antara mereka. Ia
juga tidak bisa mempercayai mereka lagi.
Tommy putus dengannya. Janine bilang Ellie sudah gila dan
tidak pernah bicara dengan Ellie lagi.
Gila. Mungkin aku memang gila, pikir Ellie muram. Disebut
apa lagi orang yang punya visi" Visi yang hampir selalu benar"
Sejauh yang bisa diingatnya, Ellie bisa meramalkan kejadiankejadian yang akan
datang. Mula-mula semua itu terasa
menyenangkan. Ia sudah tahu apa yang akan dimasak neneknya untuk makan
malam bahkan sebelum sang nenek mulai memasak. Kadang-kadang
ia mengejutkan kakeknya dengan naik ke mobil lama sebelum sang
kakek mengajaknya jalan-jalan ke kota.
Tapi ketika ia punya visi anjing cocker spaniel-nya, Jake,
tertabrak mobil, visi-visi itu tidak lagi terasa menyenangkan. Waktu
itu Ellie berumur sembilan tahun. Ia memohon kakek-neneknya
supaya mengikat Jake sewaktu ia sekolah.
Aku tak bisa membiarkan visi ini jadi kenyataan, katanya dalam
hati. Suatu siang Jake memutuskan talinya.
Ketika turun dari bus sekolah hari itu, Ellie menemukan
anjingnya tergeletak di pinggir jalan, mati. Ditabrak mobil.
"Aku benci visiku!" ratap Ellie, air mata mengalir di pipinya.
"Aku benci! Aku benci! Kenapa aku tak bisa seperti orang lain?"
Tapi Ellie memang tidak seperti orang lain. Setiap kali dekat
dengan seseorang, setiap kali mulai menyukai seseorang, ia akan
melihat visi tentang orang itu.
Setelah Tommy Wheaton putus dengannya, Ellie bertekad tidak
akan menyerah pada kekuatannya lagi. Dan tidak akan pernah
membiarkan dirinya dekat dengan seseorang lagi.
Guk! Salakan yang tertahan menyentakkan Ellie dari pikirannya yang
kacau. Chaz berdiri di atasnya, sepotong tulang di mulutnya.
"Apa yang kaudapat?" tanya Ellie, sambil menghela dirinya
sendiri bangkit. Chaz mendengking. Ellie melompat berdiri dan membersihkan bagian belakang
jinsnya. "Baik. Aku Sudah lihat itu tulang yang sangat besar."
Ellie membungkuk untuk mengamatinya.
Tulang itu panjang dan kurus. Terlalu panjang untuk jadi tulang
kaki rusa. Ketika menegakkan tubuh, ia baru sadar betapa gelapnya hutan
sekarang. "Ayo, Chaz," desaknya, tiba-tiba ia merinding. "Buang
tulang itu. Ayo kita pulang."
Ia berjalan ke arah Fear Street, menginjak dedaunan kering
yang bergemeresik. Sambil melirik ke belakang, ia melihat Chaz
meletakkan tulang itu, menyalak ribut, dan lari kembali menyeberangi
kali tadi. "Jangan, bodoh! Ke sini!" teriaknya.
Sambil menyalak-nyalak keras, anjing itu menghilang ke dalam
hutan. "Chaz! Cha-aaaaz!" seru Ellie tidak sabar. Lolongan aneh
anjing itu mengagetkan Ellie.
Ada yang tak beres. "Chaz!" teriaknya ketika ia melompati kali dan masuk ke
tengah-tengah semak berduri. Anjing itu melolong lagi.
Tanaman-tanaman berduri menggores kulitnya. Ellie berjalan
melewati sekelompok pohon pinus. Ia menemukan Chaz duduk di atas
gundukan yang tertutup dedaunan. Di salah satu ujungnya tampak
seonggok tanah, tempat anjing itu menggali lubang. Dengan kepala
terangkat, Labrador hitam itu melolong lagi.
Lalu Chaz menurunkan kepalanya dan mulai menggali dengan
kalap, membuat tanah berhamburan di sekelilingnya.
"Kenapa kau?" tanya Ellie heran. Ia tidak pernah melihat
anjingnya bersikap seaneh itu. "Chaz! Stop! Stop!"
Ia membungkuk dan meraih kalung Chaz. Dengan susah payah
ditariknya anjing itu. Tapi anjing itu tidak memedulikannya, kedua
kaki depannya menghamburkan tanah basah.
"Chaz! Chaz! Ayolah...!"
Mendadak anjing itu berhenti dan duduk. Mendengking lagi.
Memandang Ellie dengan mata hitamnya.
Ellie memandang Chaz dan lubang dangkal yang baru saja
digali anjing itu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Jari-jarinya
terpaku di kalung anjing itu.
Sesuatu mencuat dari dalam tanah.
Ellie menelan ludah. Ia berjongkok dan menyingkirkan tanah yang menutupinya.
Dan tersentak ketika melihat apa yang telah digali Chaz.
Chapter 2 TANGAN manusia. Atau apa yang tersisa dari tangan manusia.
Sambil memekik tertahan, Ellie melompat.
Itu bukan tangan, ia mencoba meyakinkan dirinya. Yang
ditemukannya tadi juga bukan tulang kaki. Ini salah satu visiku. Atau
pikiranku mengelabuiku karena keadaan sudah gelap dan kami berada
di dekat pemakaman. Chaz mendengking. Tatapan Ellie beralih dari tulang itu ke
anjingnya. Dan kembali ke tulang itu lagi.
Ia tidak berkhayal. Ellie menarik napas dalam-dalam. Ia berjongkok dan
mengamati lebih cermat tulang-tulang yang membentuk tangan itu.
Semuanya asli. Itu artinya ia berdiri di atas kuburan seseorang. Ada orang yang
dikuburkan di hutan ini. Ellie tersengal-sengal dan terantuk-antuk mundur. Dengan
jantung berdebar-debar kencang, ia berlari menembus pepohonan
pinus dan ek.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia harus keluar dari hutan ini.
Ia harus lari dari siapa pun - atau apa pun - yang dikubur di
sana tadi. Ellie berlari, cabang-cabang pohon melecuti badannya. Ia
meloncat menyeberangi kali.
"Chaz! Ayo!" panggil Ellie. Labrador itu menerobos semak dan
berlari di sampingnya. Jalan pintas ke jalan melalui Pemakaman Fear Street.
Jantungnya berdetak kencang. Pelipisnya berdenyut-denyut. Chaz
melompat dan menyalak riang di kakinya, ekornya bergoyang-goyang.
Anjing goblok, pikirnya. Kau tak sadar ya, baru saja menggali
tangan orang" Ketika ia menginjakkan kaki di jalan, ada mobil melaju ke
arahnya. Ellie mengangkat pandangan dan mengenali mobil Geo biru
kecil Patty Jacquet. Frank Schuler duduk di sampingnya.
"Hei...!" teriak Ellie, melambai-lambai untuk menarik perhatian
mereka. Geo itu menepi. Patty menurunkan kaca jendelanya. "Ellie"
Ada apa?" Terdengar suara cekikikan dari kursi belakang. Joel dan Anna
berdesak-desakan di satu sisi.
"Kau bisa mengantarku ke kantor polisi?" tanya Ellie.
Frank mencondongkan badannya. "Polisi" Hah" Apa
masalahnya?" "Kurasa aku menemukan mayat!" Ellie membuka pintu
belakang, lalu ia dan Chaz berjejalan masuk.
"Apa?" seru Frank, berbalik di kursi depan supaya bisa
melihatnya. Rambutnya pirang pendek dan matanya biru muda.
"Mayat di pemakaman?"
"Bukankah memang sudah semestinya di situ?" canda Anna. Ia
naik ke pangkuan Joel supaya ada tempat lowong.
"Aku... aku serius!" Ellie tergagap. "Aku melihat tulang
tangan!" serunya terengah-engah. "Terkubur di hutan di samping
pemakaman!" Patty dan Anna memandangi Ellie, mengamatinya. Wajah Ellie
merah padam. Jantungnya masih berdegup kencang.
"Ih, jijik," kata Patty akhirnya, sambil menyibakkan rambut
pirangnya. "Mungkin itu kuburan tua," kata Frank serius.
Ellie mencengkeram kalung Chaz. Ia mendengar keraguan
dalam suara Frank. Tadi mestinya ia memang tidak usah
menceritakannya pada mereka. Ia tidak begitu mengenal anak-anak
ini. Sekarang mereka pasti menganggapnya gila. Persis seperti anakanak di
sekolahnya yang dulu. "Apa pun itu, kurasa aku harus melaporkannya," kata Ellie.
"Kau bisa mengantarkan aku ke polisi?"
"Ya. Tentu," jawab Patty, mengemudikan mobil di sepanjang
Fear Street. "Tak jauh dari sini." Ia melirik Ellie dari kaca spion atas.
"Tapi kau yakin yang kaulihat tadi bukan cuma tulang binatang?"
"Ya," jawab Ellie, memejamkan mata. "Tidak, aku tak tahu...
Aku tak yakin mengenai apa pun.
**********************************
"Kau menemukan tangan?" ulang Sersan Frazier, alisnya yang
tebal terangkat. "Ya. Ke... kelihatannya seperti tangan manusia," jawab Ellie
ragu. Ia memandang jari-jarinya sendiri yang mencengkeram kalung
Chaz. Sebelum berbicara pada sersan penjaga itu, ia tadi sudah
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia tidak mau
polisi juga mengiranya gila. "Dan mungkin tulang kaki," ia
menambahkan. Sersan Frazier menatapnya. Ia mengusap rambut hitamnya yang
tebal. "Tulang-tulang ini melekat ke sesuatu?"
"Saya tak yakin," jawab Ellie. "Chaz yang menemukannya.
Anjing saya. Dia menggali-gali dan..." Suaranya menghilang.
Kenapa dia memandangiku seperti itu" Dia tak percaya padaku"
"Oke. Kami akan memeriksanya," kata petugas itu, menarik
selembar formulir dari laci mejanya. "Biar kucatat nama dan
alamatmu untuk laporan ini."
"Ellie Anderson, Raintree Lane Nomor 1201."
"Pekerjaan?" "Saya murid Shadyside High."
Si sersan menudingkan penanya ke wajah Ellie. "Dan ini bukan
semacam permainan adu keberanian, kan" Semacam lelucon konyol"
Aku tahu kalian kadang-kadang bisa brengsek sekali."
Ellie menggeleng. "Bukan."
Polisi itu menghela napas. "Baiklah. Kau akan kuhadapkan
pada Letnan Wilkins. Tapi kalau ini bukan sungguhan, sebaiknya
kaukatakan padaku sekarang. Wilkins tak punya selera humor."
Ellie menelan ludah. "Ini bukan lelucon. Saya harap begitu."
Ketika memasuki ruang kerja kecil itu, Ellie segera mengenali
Letnan Wilkins. Ia ayah Sarah. Sesaat ia lupa orang itu perwira polisi.
Ia dan Sarah punya mata cokelat tajam dan kulit warna gelap yang
sama. Tapi rambut letnan itu hampir semuanya sudah beruban, dan
kerut-kerut dalam menghiasi wajahnya.
"Kau Ellie, kan" Teman Sarah," kata letnan itu.
Ellie mengangguk sambil duduk. Chaz duduk di atas kakinya,
meletakkan kepalanya di antara kedua kaki depannya, dan
memejamkan mata. Wilkins memandang formulir yang diserahkan sersan tadi
padanya. "Tulang manusia?" tanyanya, mengalihkan pandangannya
pada Ellie. "Saya rasa," jawab Ellie. "Mula-mula Chaz membawa pada
saya sepotong tulang yang panjang. Lalu dia lari masuk ke hutan. Dia
menggali gundukan tanah. Hampir seperti ku..." - suaranya bergetar -
"ku-buran." Wilkins mengangguk serius.
Dia percaya padaku, pikir Ellie, merasa semua ototnya mulai
mengendur. Letnan Wilkins bangun. Ia lebih tinggi daripada yang diingat
Ellie. "Ayo kita periksa. Aku akan membawa beberapa polisi
berseragam untuk pergi bersama kita. Sekarang sudah gelap.
Menurutmu kau bisa menemukannya lagi?"
"Saya rasa." Ellie mengikuti pria itu keluar kantor. Apakah benda itu masih
ada di sana" ia bertanya-tanya sendiri. Apakah apa saja masih di sana"
Ketika mereka sampai di pemakaman, Ellie melepaskan tali
Chaz. Anjing itu berlari di samping pemakaman dan masuk ke hutan.
Ellie mengejarnya, Letnan Wilkins dan dua polisi mengikuti dari
belakang. Senter mereka menyoroti tanah yang tertutup dedaunan.
Bulan pucat tampak tinggi di atas pepohonan yang bergerakgerak. Angin sepoi-
sepoi yang pelan dan mantap membawa wangi
pekat musim gugur. Dengan mudah Ellie menemukan batunya tadi. ''Chaz mulamula membawa pada saya
tulang yang panjang." Ia berputar dan
menyorotkan senter yang mereka berikan padanya, mencari-cari
tulang itu di tanah. "Itu."
Wilkins membungkuk untuk mengamatinya. "Itu bukan tulang
rusa," katanya muram. Ia menoleh memanggil polisi yang mengintip
dari belakangnya. "Simpan untuk bukti."
"Sekarang ke mana?" tanyanya pada Ellie, ia berdiri tegak lagi.
Ekspresinya suram. "Mm..." Ellie memandang ke arah kali kecil. "Saya rasa saya
menyeberang di sana. Tapi saya tak yakin, karena tak ada jalan
setapaknya." "Kita cari sampai ketemu." Letnan Wilkins tersenyum tipis
untuk membangkitkan semangatnya.
Ellie memimpin mereka ke pinggir kali dan menyeberanginya.
Cahaya terang senter menari-nari di pepohonan, membuat semuanya
tampak hidup. Aku tersesat, pikir Ellie. Ia gemetar di udara malam yang sejuk.
"Kita sudah selesai di sini?" ia mendengar salah seorang polisi
bergumam setelah mereka berdiri di satu tempat selama beberapa
menit. Letnan Wilkins mengangkat tangannya. "Belum."
"Coba kita. matikan senternya, usul Ellie. "Mungkin saya bisa
melihat lebih baik dengan cara begitu." Sementara matanya
menyesuaikan diri, ia berjongkok dan memandang ke semak-semak
yang berbayang-bayang. Ia bisa melihat ranting-ranting yang tadi
dipatahkannya. "Di sana," bisik Ellie. Duri-duri menyangkut di pakaiannya
ketika ia melewati semak blackberry liar.
Kumpulan pinus tadi! Jantung Ellie mulai berdegup kencang.
Sambil bergerak pelan, ia mengamati tanah, mencari tempat
yang digali Chaz. Bukankah gundukannya di tengah-tengah kumpulan
pinus itu" Tanah yang tertutup jarum-jarum pinus itu tampaknya tidak
habis diinjak orang. Tidak ada kuburan dangkal yang tertutup daun. Tidak ada
tulang. Ellie merasa perutnya mulas karena cemas. Ternyata itu tadi
visi. Bukan betulan. Cuma salah satu visinya.
Ellie terus memandangi tanah. Ia tidak mau melihat ayah Sarah
atau kedua polisi lainnya itu. Ia bisa merasakan tatapan ragu mereka di
punggungnya. Apa yang bisa dikatakannya pada mereka" "Maaf. Saya cuma
bermimpi tentang tulang tangan itu." Bagaimana mengatakannya"
Salak tajam Chaz di sebelah kirinya membuat Ellie terlonjak
dan berpaling. Lalu, diterangi cahaya keperakan bulan, ia melihatnya.
Tangan yang abu-abu, tinggal tulang, mencuat dari dalam tanah.
Jari-jarinya yang kurus menekuk seperti cakar.
Memanggil Ellie. Chapter 3 "Di sana!" teriak Ellie melengking, sambil sibuk menunjuknunjuk. "Tangan itu."
Sambil mengerutkan kening, Letnan Wilkins memicingkan
mata ke arah yang ditunjuknya. "Ngomong apa dia?" Ellie mendengar
salah satu polisi itu berbisik.
Letnan Wilkins menggeleng. "Aku tak melihat apa-apa."
Ellie mengerjapkan mata. Tangan itu menghilang.
Tapi ia tadi melihatnya. Betul!
Sambil berteriak kesal, cepat-cepat ia berjalan ke antara
kumpulan pohon pinus itu. Mana dia" Mana dia" Mana"
Letnan Wilkins menyambar sikunya dan menariknya. "Ellie,
berhenti. Ada apa" Apa yang kaulihat?"
Ellie melepaskan diri dari si letnan. "Tangan itu...," gumamnya.
Mana" Ia tadi melihat tangan itu. Memanggil dirinya.
Mana" Ia tersandung batu besar. Jatuh berlutut.
Ketika bergerak bangun, ia melihat gundukan rendah itu. "Di
sana!" teriaknya, menunjuk. "Di sana itu!"
Ia memimpin Letnan Wilkins dan kedua polisi ke gundukan
rendah yang ditutupi dedaunan itu. Senter mereka membentuk sorotan
cahaya terang. Mereka semua terdiam menatap tulang-tulang itu. Tulangtulang yang berkilauan
diterangi cahaya terang benderang.
Letnan Wilkins berlutut untuk memeriksanya lebih teliti.
"Wah," kata salah seorang polisi pelan. "Itu benar-benar
tangan." Ia menoleh pada Ellie. "Bagaimana kau tiba-tiba tahu di
mana letaknya?" Sebelum Ellie bisa menjawab, Letnan Wilkins cepat-cepat
berdiri. "Jackson, kembali ke mobil patroli dan siarkan berita ini.
Suruh mereka mengirim teknisi kejahatan kemari - sekarang juga."
"Ya, Pak." Sempat tersandung akar dahulu, lalu polisi itu pergi.
Ellie tidak bergerak. Ia cuma memandangi tangan itu.
"Barnett." Wilkins menunjuk polisi yang satu lagi. "Aku ingin
tempat ini diamankan."
"Akan segera saya laksanakan, Letnan."
"Ellie." Letnan Wilkins berjongkok supaya bisa menatap mata
Ellie. Tapi Ellie tidak bisa memfokuskan pandangannya pada Letnan
Wilkins. Yang bisa dilihatnya hanyalah tangan itu, yang mencuat,
muncul dari dalam tanah. Bergerak perlahan. Menunjuknya. Memberi
tanda padanya. Bergerak. "Ellie!" Kaget, Ellie mendongak cepat. "Hah?"
"Ayo kita pulang," kata Letnan Wilkins lembut. "Kami akan
mengurus masalah ini."
"Tidak!" Ia menggeleng tegas. "Saya harus melihat... melihat..."
Melihat apa" Ellie tidak tahu pasti.
"Kami akan menggali dan memeriksa daerah ini selama
beberapa jam," Letnan Wilkins memperingatkan. "Orangtuamu
bagaimana" Mereka takkan cemas?"
Ellie ragu-ragu. "Yang ada cuma Ayah dan saya. Dan malam ini
Ayah lembur." Letnan Wilkins mengangkat bahu. "Kurasa kau boleh tetap di
sini kalau mau. Tapi kau harus menepi. Ini dianggap tempat terjadinya
kejahatan. Kelihatannya memang kuburan."
Ellie memandang tangan yang tinggal tulang itu sekali lagi
sebelum menepi. Tangan itu tergeletak begitu diam sekarang,
berlumuran tanah. Tapi tadi ia melihatnya bergerak.
Tangan itu tadi menunjuknya. Bergerak seolah-olah
memanggilnya, memanggilnya ke tempat yang gelap dan menakutkan
ini. Ellie bergidik. Kenapa" pikirnya. Kenapa tangan itu bergerak
memanggilku" *******************************
"Ellie!" suara Sarah membuyarkan lamunan Ellie.
Ellie mengangkat pandangannya. Temannya itu berjalan
menerobos semak. Mengenakan sweter di atas seragam pelayan-nya.
Di belakangnya berdiri segerombolan anak yang dikenali Ellie berasal
dari sekolahnya. "Ada apa?" tanya Sarah, matanya penuh rasa ingin tahu.
Anak-anak lain berkerumun. Officer Barnett telah memasang
pita kuning melingkari gundukan itu. Letnan Wilkins, Officer
Jackson, dan dua teknisi kejahatan berdesak-desakan di dalam
lingkaran itu. Dua belas orang yang berwajah muram lainnya mondar-mandir
di luarnya. Beberapa di antaranya membawa senter. Dua polisi
berpakaian sipil sibuk berbicara di radio mereka.
"Sarah, bagaimana kau bisa kemari?" seru Ellie. "Apa yang
kaulakukan di sini?"
"Joel dan Anna datang ke Alma dan memberitahu semua orang
kau menemukan mayat di Fear Street Woods," Sarah menjelaskan.
"Lalu kami mendengar sirene polisi. Sebelum pulang kerja, kutelepon
kantor polisi untuk bicara dengan ayahku. Sersan yang bertugas
memberitahuku dia di sini. Kupikir kau pasti juga di sini."
Ellie melirik ayah Sarah, yang sedang mengawasi dua petugas
dengan hati-hati menggali gundukan tanah rendah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sarah.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ellie mengangguk. "Cuma setengah mati kedinginan."
Mati. Ellie menutup mulutnya dengan tangan. "Oh, Sarah. Aku
menemukan tangan." Sarah memeluknya. "Mereka tahu siapa dia?"
"Tidak. Ayahmu bilang untuk menggali mayatnya saja butuh
waktu semalaman. Karena itu tak ada yang tahu berapa lama lagi
waktu untuk mengidentifikasinya."
"Kau yakin itu bukan Bambi?" canda Sarah. Dalam keadaan
suram begini pun Sarah masih bisa bergurau. Tapi Ellie melihatnya
gemetaran. Sarah tertawa tegang. "Kau mengira aku terbiasa dengan
kejadian seperti ini, sebagai anak polisi."
Kedua gadis itu menatap kuburan yang terang benderang.
Letnan Wilkins dan salah satu teknisi kejahatan masih berlutut di
atasnya. Gundukan tanah setinggi kira-kira tiga puluh senti
dionggokkan di satu sisi.
Ayah Sarah mengangkat kamera dan memotret kuburan itu
beberapa kali. Diterangi cahaya lampu kilat sekejap, Ellie melihat
seseorang berdiri terpisah dari kerumunan. Ia mengenakan topi bisbol
yang ditarik sampai kening. Dari bawah topi itu, matanya yang kelam
menatap tajam mata Ellie. Beberapa detik kemudian ia baru
mengenalinya. Brian Tanner. Cowok dari kedai kopi itu.
Brian segera mengalihkan pandangannya.
Ellie menyikut Sarah. "Sarah," bisiknya. "Itu Cowok dari
Alma's itu. Brian Tanner. Menurutmu apa yang dilakukannya di sini?"
Sarah mengangkat bahu. "Siapa yang tahu" Dia pergi begitu
kau pergi. Cokenya tak diminumnya." Ia mengerutkan kening dan
memicingkan mata memandang Ellie. "Entah kenapa aku merasa tak
asing dengan wajahnya."
"Mungkin kau pernah ketemu dia di pesta atau di mana," kata
Ellie. "Ngomong-ngomong soal pesta..." Ia memandang berkeliling.
Hutan penuh dengan orang yang berbisik-bisik dan menonton. Anna
dan Joel, Frank dan Patty, beberapa anak lain yang dikenali Ellie.
"Bisa-bisa kauanggap ini pesta, melihat sikap semua orang!"
"Hei... yang penting pesta!" Sarah bergurau.
"Betul." Ellie menurunkan tangannya untuk mengusap Chaz. Ia
memandang ke luar lingkaran pita lagi. Brian Tanner sudah tidak ada.
Aneh. Gumaman ramai orang-orang menarik perhatian Ellie ke tengah
daerah yang dilingkari. Officer Jackson dan seorang teknisi kejahatan
berdiri di dalam lubang besar yang mereka gali. Mereka berdua
memakai sarung tangan karet.
"Saya menemukan sesuatu, Letnan," seru Jackson pada Letnan
Wilkins. Ellie menahan napas. Sarah mencondongkan tubuh ke depan
supaya bisa melihat lebih jelas. Kerumunan di sekeliling lingkaran
jadi sepi. Teknisi kejahatan itu mengacungkan kantong plastik. Dengan
menggunakan penjepit logam, Jackson mengambil sesuatu dari dalam
lubang. Sebelum ia memasukkan bukti itu ke kantong plastik, Ellie
sempat melihatnya sekilas. Benda itu potongan kain merah.
Sarah terkesiap. Jari-jarinya tiba-tiba mencengkeram tangan
Ellie. Letnan Wilkins memandang anaknya. Ellie melihat mata Sarah
penuh rasa sakit. "Sarah" Ada apa?" tanya Ellie.
Sarah tidak menjawab. Dengan terbelalak, ia membalas tatapan
ayahnya. Lalu cengkeraman Sarah pada tangan Ellie mengendur. Dan
sambil memekik lemah, ia roboh ke tanah.
Chapter 4 " SARAH!" jerit Ellie. Ia menjatuhkan diri di samping Sarah.
Bola mata Sarah sudah terbalik ke atas.
"Sarah! Sarah!" teriak Ellie panik.
Tidak ada tanggapan. "Biar kuperiksa!" Ellie mendengar suara tegang Letnan Wilkins
di atasnya. Lalu letnan itu berjongkok di samping putrinya.
"Dia langsung... pingsan," Ellie tergagap.
Sambil melambai-lambai, Letnan Wilkins berteriak, "Sebelah
sini!" Beberapa detik kemudian Officer Jackson berlutut di samping
Sarah. "Permisi," katanya, memberi tanda pada Ellie supaya
menyingkir. Ellie berdiri. Chaz mendengking dan menyundul-nyundul
tangan Ellie. Ellie menatap tubuh Sarah yang tidak bergerak. Ada apa"
Kenapa Sarah pingsan seperti itu"
"Dia baik-baik saja," kata Officer Jackson menenangkan Letnan
Wilkins. "Denyut jantungnya normal. Kelihatannya dia cuma
pingsan." Letnan Wilkins mengangguk.
Sarah mengerang dan mengerjapkan mata. Ia menatap Ellie,
bingung. "Kau akan baik-baik saja," kata ayahnya pelan.
Beberapa detik kemudian letnan itu mendekati Ellie, matanya
tampak lelah. "Pulanglah, Ellie," katanya tegas, sambil memegang
tangan gadis itu. "Sarah tidak apa-apa. Ada yang akan mengurusnya."
"Tidak. Saya harus tetap di sini," kata Ellie berkeras.
"Jangan. Pulang," kata Letnan Wilkins lembut. Ia memegang
bahu Ellie dan membalikkan badannya. "Sudah malam. Ayahmu akan
cemas. Barnett!" serunya sambil menoleh. "Perintahkan petugaspetugas yang lain
untuk menyuruh semua orang meninggalkan tempat
ini. Lalu antar Miss Anderson pulang."
."Tunggu!" Ellie mencengkeram lengan si lethan. "Sarah
kenapa" Ada apa?"
Wilkins menghela napas. "Dia akan segera membaik. Dia cuma
pingsan...." Ya, tapi kenapa" Ellie ingin tahu, tapi kelihatannya Letnan
Wilkins tidak mau memberitahunya.
"Ayo, Ellie," desak polisi wanita itu. "Sudah malam. Kau tak
ingin orangtuamu cemas, kan?"
"Tidak," jawab Ellie sambil berjalan mendului di tepi sungai
yang terjal itu. Di belakangnya, kerumunan orang dibubarkan. "Di
rumah cuma ada ayah saya dan saya. Dia mungkin bahkan belum
pulang." Sesampainya di atas tepi sungai, Ellie berbalik untuk melihat
sekilas terakhir kalinya. Di antara pepohonan ia bisa melihat Sarah
berdiri. Dua petugas masih berdiri di dekatnya. Letnan Wilkins
mungkin sudah kembali ke daerah yang ditandai itu, memeriksa kain
merah tadi. Kain merah. Ellie ingat, itulah yang membuat Sarah menjerit.
Kenapa" Kenapa sepotong kain bisa membuat Sarah pingsan"
Ia berbalik untuk mengikuti Officer Barnett ke jalan.
********************************
"Ellie! Hei, Ellie!"
Ellie mengangkat pandangannya dari locker-nya yang terbuka.
Frank Schuler berlari di sepanjang lorong mendekatinya, mendorong
anak-anak yang bergerombol seolah-olah mereka barisan pertahanan
dalam permainan football.
Karena kaget, Ellie menjatuhkan ranselnya ke lantai. Frank
jarang berbicara dengannya. Kenapa sekarang cowo itu memanggilmanggilnya"
"Kejadian yang aneh sekali kemarin malam itu," kata Frank.
Matanya yang biru pucat bersinar-sinar ketika ia tersenyum pada Ellie.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh dan jins longgar yang
warnanya sudah pudar dan robek di bagian lutut. "Kurasa kau jadi
semacam pahlawan." Ellie menggeleng. "Pahlawan" Kurasa tidak begitu." Ditatapnya
cowok itu tajam. "Kau malahan tak mempercayaiku - ya, kan?"
tuduhnya. "Waktu aku lari mendatangi mobilmu, kaupikir aku sinting,
kan?" Pipi Frank memerah. "Hei, sama sekali tidak." Ia bersandar ke
locker sementara Ellie membanting pintu locker-nya sampai tertutup
dan memutar kuncinya. "Polisi bilang siapa yang dikubur di sana itu?"
tanya Frank. Ellie menggeleng. "Frank!" terdengar teriakan dari gerombolan anak. Patty
bergegas mendatangi mereka dan menggandeng tangan Frank. Ia
mengenakan kaus warna biru air pucat dan rompi biru, serta celana
ketat hitam. "Kau sudah tanya dia?" desak Patty pada Frank seolah-olah
Ellie tidak ada di situ. "Ya. Dia juga tak tahu apa-apa."
Mata biru Patty bersinar. Ia menyentakkan kepalanya ke
belakang untuk menyibakkan rambutnya. "Well, aku tahu! Anna
memberitahuku gosip yang hebat. Kau tahu Sarah Wilkins tak masuk
sekolah hari ini?" Frank mengangguk. "Ya. Dia biasanya duduk di depanku di
kelas sejarah." "Wellll...," Patty mengucapkan kata itu panjang sekali.
Dirapikannya rompinya. Lalu ia mencondongkan tubuhnya mendekat
dan berbisik, "Kau ingat Melinda, kakak Sarah?"
"Hah?" seru Ellie. "Sarah punya kakak?"
"Pernah punya kakak," sahut Patty, dipelankannya suaranya.
"Sarah pernah punya kakak?" ulang Ellie, tidak bisa menutupi
rasa terkejutnya. "Melinda menghilang," kata Patty dengan suara berbisik
tertahan. "Dan ada yang memberitahuku dia memakai kaus lengan
panjang merah pada malam dia menghilang."
"Ohhhh," Ellie mengerang pelan.
Kain merah itu. Jadi itu sebabnya Sarah pingsan. Dan mata
ayahnya penuh rasa sakit seperti itu.
Tapi kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut soal kakaknya"
Frank dan Patty memandanginya dengan ekspresi kaget. "Kau
baik-baik saja?" tanya Patty.
Ellie membungkuk dan mengambil ranselnya. "Aku tak apaapa," ia berbohong. "Tapi
aku harus segera pergi, kalau tidak aku
terlambat masuk kelas."
Ia melambai dan berlari di koridor menuju telepon umum di
samping kantor penerimaan tamu. Ia harus menelepon Sarah!
Dipegangnya gagang telepon dengan tangan gemetaran dan
ditekannya nomor telepon Sarah. Tidak ada yang mengangkat.
Dengan frustrasi, Ellie membanting telepon itu. Ia memandang
dinding bilik telepon, memutar otak. Paling tidak sekarang aku tahu
kenapa visi-visi itu kembali, pikirnya. Dan kenapa tangan itu
memanggilku ke kuburan dangkal itu.
Karena kubiarkan diriku dekat dengan Sarah.
Tubuh di dalam kuburan itu pasti tubuh Melinda.
Melinda, kakak Sarah, pasti menggunakanku untuk
menghubungi Sarah. ***********************************
Pulang sekolah Ellie bergegas ke tempat kerjanya. Memasukkan
buku-buku ke rak di Perpustakaan Umum Shadyside tidak
menghasilkan banyak uang, tapi Ellie senang sekali berada di sana. Ia
sangat menyukai bau apek buku-buku tua perpustakaan. Dan ia sangat
menyukai suasana sunyinya.
Ellie mengambil sebuah buku dan berjinjit untuk
meletakkannya di rak yang tinggi. Udara sejuk terasa di kulitnya yang
terbuka karena sweternya tertarik.
"Permisi," kata suara laki-laki di belakangnya. "Kau bisa
menolongku mencari buku tentang senjata primitif?"
"Sebentar." Ellie mengerang ketika mendorong buku itu ke rak
yang penuh sesak. Bahkan sebelum berbalik pun, Ellie sudah tahu cowok itu
mengamatinya, tatapannya menelusuri sekujur tubuhnya. Dengan
perasaan malu, ia menarik sweternya dan berbalik.
Brian Tanner menatapnya sambil tersenyum-senyum. Ia
memakai kemeja denim dan celana jins berpipa lurus.
"Senjata primitif" Maksudmu pedang, tombak, dan yang
semacamnya?" tanya Ellie dengan parau. Ia berdeham dan menunjuk
ke ujung gang. "Letaknya di bagian enam ratus."
"Aku sudah cari di sana."
"Itu mestinya bagiannya. Kau sudah memeriksa daftar
komputer?" Cowok itu nyengir malu. Kerut-kerut kecil bermunculan di
sekitar matanya. Matanya berwarna gelap, tapi waktu berdiri di
dekatnya, Ellie melihat di matanya itu ada bintik-bintik keemasan.
"Kupikir lebih baik tanya kau saja," sahut Brian Tanner.
Ellie merasa wajahnya jadi panas. Ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak nyengir juga. Senyum Brian Tanner susah untuk
diabaikan. "Well, kuusahakan menemukannya. Bukannya aku ahli. Aku
cuma bekerja di sini sepulang sekolah. High school," tambahnya, tidak
mau cowok itu salah kira tentang dirinya.
"O ya" Aku kuliah di Waynesbridge." Brian Tanner mengikuti
Ellie berjalan di gang. "Kau tahu, kan" College lokal itu."
"Oh. Aku bahkan tak tahu Waynesbridge punya college," jawab
Ellie. "Aku dan ayahku baru pindah ke Shadyside."
"Aku tahu." Senyum Ellie menghilang. "Di sini mestinya buku itu," kata cowok itu. Ia mengulurkan
tangan dan menunjuk salah satu rak buku.
"Dari mana kau tahu?"
"Karena semuanya punya nomor sama," jawabnya.
"Bukan," kata Ellie. "Maksudku, dari mana kau tahu aku masih
baru di Shadyside?" "Mm..." Tampak keraguan di mata Brian. "Karena baru sekali
ini aku melihatmu di perpustakaan ini," jawabnya. "Padahal kau
kelihatan seperti cewek yang sering berada di perpustakaan."
Alis Ellie terangkat. "Hah" Itu pujian atau bukan" Cewek
macam apa yang sering berada di perpustakaan?" desaknya.
"Well..." Brian ragu-ragu lagi. "Cewek yang suka baca?"
Ellie terpaksa tertawa melihat ekspresi wajah Brian yang malumalu. Mungkin Brian
Tanner tidak sehebat yang disangkanya. Pikiran
itu membuat Ellie senang.
Karena cowok itu benar-benar imut. Dan sudah lama Ellie tidak
tertarik pada cowok. Ellie berbalik dari cowok itu dan mengamati rak-rak. Lupakan
Brian Tanner, katanya memarahi dirinya sendiri. Dia sudah
mahasiswa. Dia cuma perlu buku. Setelah itu dia akan pergi.
"Ini ada satu. Judulnya Senjata-senjata Primitlf." Ellie
mengulurkan tangan. Jari-jarinya memegang punggung buku itu dan
menariknya dari rak. Napasnya sesak, tenggorokannya seperti tercekik.
Sebilah pisau bergagang perak tergeletak di ruang kosong
tempat buku yang diambilnya barusan.
Darah merah segar menetes dari mata pisaunya yang berkilatkilat. Darah yang
berwarna lebih gelap tergenang di rak. Darah itu
menetes dari rak ke lantai di dekat kaki Ellie.
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pisau itu meluncur maju, mata pisaunya yang berlumuran darah
mengarah lurus ke jantung Ellie.
Chapter 5 ELLIE menjerit dan terjengkang, bahunya menghantam rak di
belakangnya, Buku itu jatuh ke lantai.
"Hei! Ada apa?" Brian menangkap sikunya.
Dada Ellie naik-turun. Dengan ngeri dipandangnya rak itu.
Kosong. Tak ada darah. Tak ada belati yang berkilat-kilat.
Di sana tak ada pisau! Visi lagi. "Maaf!" seru Ellie, wajahnya terasa merah padam. Brian
memegangi lengannya. Pelan-pelan ia menarik lengannya.
Tarik napas dalam-dalam. Tenangkan diri, katanya dalam hati.
Ellie memejamkan mata. Cuma visi.
Kau bisa mengatasinya, katanya pada diri sendiri.
Ia membuka mata dan tersenyum menenangkan pada Brian.
"Tak ada apa-apa, betul. Ada yang bergerak waktu aku mengambil
buku itu. Tikus, kurasa."
Mata cowok itu terus mengamatinya. "Lumayan juga jeritanmu
kalau cuma gara-gara tikus," katanya.
"Thanks. Aku memang paling jago menjerit," jawab Ellie,
berusaha bercanda. Ia membungkuk, memungut buku tadi, dan
menyorongkannya ke tangan Brian. "Bye," katanya, menghindari
tatapan cowok itu. Ia cepat-cepat berjalan di gang.
Dia pasti mengiraku supergoblok, pikirnya.
Tapi kenapa aku selalu mengalami perasaan menakutkan ini
setiap kali aku melihatnya" Kenapa aku punya perasaan begitu kuat
bahwa aku harus menjauh darinya"
"Ellie, tunggu!" ia mendengar Brian berteriak.
Ia tidak berbalik. Ia berjalan cepat melewati penjaga
perpustakaan yang duduk di meja layan utama dan bergegas
memasuki kantor di belakang meja peminjaman buku, menutup
pintunya begitu masuk. Sekarang ia aman. Ia bersandar ke pintu dan memikirkan pisau tadi. Rasa takut
melandanya. Kejadian itu berulang lagi, pikirnya. Visi-visi itu.
Kekuatanku menyerbu hidupku. Tapi kenapa"
Karena Brian" Karena ia merasa tertarik pada cowok itu" Tertarik dan takut
pada saat yang bersamaan"
Tidak, tak mungkin, pikirnya. Pasti gara-gara buku itu -
Senjata-senjata Primitif.
Tentu saja! Itu sebabnya ia melihat pisau itu. Judul buku itu
membangkitkan visinya. Ellie merasa tubuhnya jadi rileks. Semuanya akan beres,
katanya dalam hati. Brian Tanner dan bukunya akan pergi, dan visivisi itu akan
pergi juga. "Hei... wah!" gumam Ellie keras. "Ada apa ini?"
Ketika memanggilku tadi, Brian menyebut namaku.
Padahal aku belum pernah memberitahukan namaku padanya!
*******************************
Pukul enam Ellie melangkah keluar dari perpustakaan dan
memandang langit yang hitam pekat. Angin yang bertiup kencang
membawa udara dingin. Pepohonan yang berbaris di jalan yang
panjang itu bergoyang, daun-daun berguguran ke tanah.
Sehelai koran terbang melewati kaki Ellie seperti hantu kelabu
tanpa suara. Ellie menyandang ranselnya di bahu dan mengancingkan
mantelnya. Lumayan jauh juga jalan ke rumah Sarah, katanya dalam
hati, mengamati daun-daun cokelat mati berputar-putar diembus
angin. Tapi aku ingin menengoknya sebelum pulang.
Dengan tubuh condong melawan angin, ia berjalan ke trotoar
dan menyusuri Park Drive menuju Fear Street. Ellie mengamati
nomor-nomor rumah yang dilewatinya. Dua puluh menit kemudian ia
mengenali alamat Sarah. Ellie berhenti di pinggir jalan dan memandangi rumah yang
gelap itu. Tidak ada lampu yang menyala. Lampu terasnya pun tidak.
Ke mana Sarah dan ayahnya" Sedang pergi"
Ellie memindahkan ranselnya ke bahunya yang lain dan mulai
berjalan di halaman depan yang melandai menuju rumah papan abuabu itu. Ellie
bertanya-tanya mengapa Sarah tidak pernah
mengajaknya mampir ke rumahnya. Sarah selalu lebih suka pergi ke
rumah Ellie atau bermain-main di mal.
"Aneh," gumam Ellie. Kadang-kadang ia merasa sangat dekat
dengan Sarah. Tapi banyak hal yang dirahasiakan Sarah.
Misalnya kakaknya. Kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut
soal Melinda" Ellie bertanya-tanya lagi. Apakah hilangnya Melinda
terlalu menyakitkan baginya"
Ketika semakin mendekati rumah itu, Ellie bisa melihat betapa
bobroknya keadaannya. Tangga depannya patah-patah. Cat di dinding
depannya terkelupas di sana-sini.
Ia menekan bel. Menunggu. Tidak ada yang datang. Tidak
terdengar suara dari dalam.
Mungkin Sarah sedang tidur, pikir Ellie.
Ia turun ke jalan masuk, berbalik, dan melihat ke lantai dua.
Gorden pink membingkai jendela di depan. Itu pasti kamar Sarah.
Jendela itu terbuka sedikit.
"Sarah!" teriak Ellie, ia menangkupkan tangannya di dekat
mulutnya. Kau di atas sana?"
Ia menunggu, memandangi jendela yang gelap itu. "Sarah" Kau
di sana" Ini aku."
Tak ada siapa-siapa di sana.
Ketika ia berbalik pergi, ada yang menarik perhatian matanya.
Sesosok bayangan melintasi jendela di atas itu. Gordennya
bergerak. Di baliknya tampak seraut wajah. Wajah yang sangat pucat.
"Sarah?" panggil Ellie.
Bukan. Ketika gorden itu menyibak ke samping, Ellie melihat
kening yang abu-abu dan tidak berdaging, rongga mata yang hitam
kosong, seringai tanpa gigi yang mengerikan. Dan menyadari ia
sedang menatap tengkorak yang sedang menyeringai.
Chapter 6 "OHHH." Ellie mengerang takut dan pelan, sambil
memejamkan matanya. Ketika ia membuka mata lagi, tengkorak itu sudah menghilang.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali, memandangi gorden yang
bergerak-gerak di jendela gelap itu.
Visi lagi" Pasti, katanya dalam hati.
Tapi kenapa" Apa artinya" Dan apakah Sarah ada di atas sana"
Dengan jantung berdegup kencang, Ellie cepat-cepat menaiki
tangga dan memukul-mukul pintu dengan kedua kepalan tangannya.
"Sarah" Sarah?" Ditekannya bel, dibiarkannya jarinya menempel di
bel, mendengarkan deringannya di dalam rumah.
"Sarah" Kau bisa mendengarku?"
Sunyi. Ellie berbalik. "Dia tak di rumah."
Tengkorak menyeringai itu - visi lagi, pikir Ellie. Visi
kematian. Kematian siapa" Ellie tiba-tiba teringat Alma's Coffee Shop. Pekerjaan Sarah
sepulang sekolah. Ellie baru sadar Sarah mungkin di sana sekarang.
Tentu saja. Dia pasti di situ. Dia mungkin bolos sekolah, tapi bolos
pekerjaan tak pernah. Sarah begitu membutuhkan uang hingga tak
mungkin bolos. Sambil menyusupkan tangannya ke dalam saku mantel, Ellie
berjalan menentang angin dan mulai berlari di sepanjang jalan. Aku
akan pergi ke Alma's, ia memutuskan. Lagi pula Dad tidak makan
malam di rumah. Aku akan mampir di coffee shop itu. Memastikan
Sarah baik-baik saja. Ia sudah berjalan tiga atau empat blok, ketika sebuah Jeep hitam
melaju di sampingnya. Ellie berjalan lebih cepat. Ia tidak punya
kenalan yang mengendarai Jeep hitam.
Tapi Jeep itu terus mengikutinya. Jendela di sisi penumpangnya
diturunkan. Tampak seraut wajah. "Hei... Ellie! Ini aku! Dari
perpustakaan!" Ellie menoleh dan melihat Brian, sedang mencondongkan tubuh
ke kursi di sampingnya, memandang ke luar jendela yang terbuka.
"Aku tak menakutkanmu, kan?" tanyanya, nyengir.
"Sama sekali tidak," Ellie berbohong.
"Masuklah," kata Brian. "Mau ke mana kau?"
"Alma's," jawab Ellie. "Tapi aku tak mau numpang mobil orang
yang tak kukenal," ia bercanda.
"Well, aku bisa mengantarmu ke Alma's dan memperkenalkan
diri di perjalanan," usul Brian, matanya yang gelap memantulkan
cahaya lampu jalanan. "Dengan begitu kita bukan lagi orang-orang
yang tak saling kenal."
"Tapi kau sudah tahu namaku." Ellie menjauh dari tepi jalan.
"Padahal aku belum pernah memperkenalkan diri."
"Oh." Brian mengusap dagunya. "Well, aku bisa
menjelaskannya. Aku mendengar petugas perpustakaan
memanggilmu." Mata Ellie membelalak. "Tidak, tidak benar. Dia memanggilku
Miss Anderson. Bukan Ellie."
"Oke. Oke. Aku bohong. Temanmu di coffee shop yang
memberitahuku." "Jadi kenapa kau bohong?" desak Ellie, tidak mau membiarkan
cowok itu lolos. Brian tertawa. Wajahnya bahkan memerah sedikit. Oh, betapa
cakepnya! "Ayolah, masuk saja," desak Brian.
Tapi ada yang menahan Ellie.
Ia menunjuk coffee shop di depan. "Kurasa aku jalan saja. Tapi
terima kasih, ya." Sebelum cowok itu bisa menjawab, ia sudah pergi,
berlari ke restoran itu. Jeep itu berdecit ketika melaju pergi. Brian membunyikan
klakson - tiga kali pendek-pendek - dan menghilang di belokan.
Ellie mendorong pintu restoran. Kerincing lonceng dan
kehangatan suasana di dalam menenangkannya. Ia berhenti berjalan
untuk mengambil napas. Kenapa aku begitu" tanyanya dalam hati.
Sekali lagi aku lari dari Brian Tanner seolah-olah cowok itu
monster. Apakah karena dia berbohong tentang caranya mengetahui
namaku" Atau apakah karena aku takut akan mendapat lebih banyak
visi lagi" Ellie menggeleng, tidak tahu pasti jawabannya.
Setelah menjatuhkan ranselnya ke lantai, ia duduk di bangku di
ujung meja layan. Alma's nyaris kosong. Sepasang orang berambut
putih sedang minum kopi di meja. Seorang pria bertubuh besar yang
mengenakan celana terusan kotor duduk di ujung lain meja layan,
sedang makan sepiring sosis dan kacang.
Tapi mana Sarah" Ellie memutar leher, berusaha melihat dari jendela pesanan ke
dalam dapur. Bunyi burger mendesis-desis di panggangan
menunjukkan ada orang di belakang sana.
Pintu ayun itu terbuka, dan Ernie Marks, pemilik merangkap
koki, lewat. Ernie berusia sekitar empat puluh, hampir botak, dan
berkacamata yang tebalnya nyaris seinci. "Burger setengah matang,"
katanya sambil meletakkan piring di depan pria yang memakai celana
terusan itu. "Bagaimana rasa sosis dan kacangnya?"
"Payah seperti biasanya," sahut orang itu bercanda. "Itu
sebabnya aku terus kemari."
Ernie mengobrol dengan orang itu sebentar. Lalu ia pergi ke
tempat Ellie duduk. "Jadi" Mana temanmu?" tanyanya.
Ellie melipat-lipat serbet kertasnya. "Itu yang ingin saya
tanyakan." "Aku belum melihatnya," jawab Ernie, sambil mengelapkan
tangannya ke celemeknya yang kotor. "Dia juga tak menelepon."
"Sarah tak biasanya begitu."
Ernie menghela napas. "Aku tak usah kauberitahu. Dia belum
pernah bolos sekali pun."
Ellie menunduk dan menyadari ia telah merobek-robek serbet
kertas yang dipegangnya. Diletakkannya potongan-potongannya di
meja layan. "Anda dengar soal kemarin malam" Mayat di hutan itu?"
"Ya." Ernie mengusap-usap kepalanya yang botak.
"Saya dengar itu kemungkinan mayat kakak Sarah," kata Ellie,
suaranya berubah jadi berbisik. "Anda sudah dua tahun tinggal di sini,
kan" Anda ingat pernah dengar tentang kakak Sarah" Kenapa dia
menghilang?" Ernie menggeleng. "Cuma yang ada di koran-koran."
"Ernie! Tambah lagi lumpur yang kausebut kopi itu!" Pria
bercelana terusan itu mengacungkan cangkirnya.
"Ya. Ya." Ernie meraih teko kopi.
Ellie duduk menelungkup di meja layan. "Maaf, ada yang
duduk di kursi ini?" tanya sebuah suara.
Dengan terlonjak Ellie berputar ke kanan. Brian Tanner berdiri
di dekat kursi yang ada di sebelah Ellie.
"Mm, ya. Sudah dipesan untuk Ratu Inggris!" sahutnya
bercanda. Brian tertawa. Ia menduduki kursi itu dengan gaya santai. Ellie
melihat cowok itu tampak sangat atletis. "Aku akan berdiri kalau
ratunya datang," Brian berjanji. "Jadi makanan apa yang
kausarankan?" "Apa yang kaulakukan di sini" Makan malam?" tanya Ellie,
menyibakkan rambut-nya ke belakang.
"Kau?" balas Brian.
Ellie menggeleng. "Tidak. Aku harus pulang. Chaz sudah
menunggu." "Anjingmu." "Dari mana kau tahu?" tanya Ellie. Brian mengangkat tangan
seolah melindungi diri. "Hei. Aku cuma menebak, oke" Maksudku,
kemarin malam kau bawa anjing."
Ellie kembali tenang. "Ya. Memang." Ia melirik cowok itu.
"Jadi apa yang kaukerjakan di hutan kemarin malam?"
"Sama seperti orang lain. Ingin melihat keramaian. Berusaha
mengetahui apa yang terjadi." Ia menopang dagunya dengan telapak
tangan kanannya. "Kudengar kau yang menemukan mayat itu."
Ellie mendadak bergidik. "Ya. Tapi aku tak ingin
membicarakannya. Aku masih merasa seram mengingatnya. Jadi
kalau kau reporter Waynesbridge Community College atau yang
semacam itu, berarti kau cuma buang-buang waktu," tambahnya
ringan. Brian menggeleng. "Bukan. Aku bukan reporter.
Ellie berputar menghadap pada cowok itu. "Kalau begitu
kenapa kau keluyuran di Shadyside" Kau tinggal di sini?"
Brian menggeleng. "Tidak. Aku tinggal dengan kakek-nenekku
di Waynesbridge. Jadi, mana Alma?"
"Kurasa tak ada orang yang bernama Alma," kata Ellie
memberitahunya. "Kurasa itu nama kucing Ernie."
Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brian tertawa. "Dan bagaimana rasa hamburger Alma's" Ada
daging kucingnya?" "Mungkin," jawab Ellie, nyengir. Perutnya berbunyi. Dengan
malu, ia menutupi perutnya dengan tangannya.
Brian cengar-cengir. "Kalau begitu kita pesan dua.
Setengah jam kemudian Ellie melihat jam tangannya. Ia dan
Brian begitu asyik mengobrol sampai ia lupa waktu.
"Oh, tidak, sekarang sudah jam tujuh Ayahku bisa ngamuk."
"Telepon saja dia," Brian mengusulkan. "Bilang padanya aku
akan mengantarkanmu lima belas menit lagi."
"Mm..." Ia ragu-ragu. Bunyi lonceng berkerincing di atas pintu
membuyarkan pikirannya. Letnan Wilkins berjalan memasuki
restoran. "Letnan Wilkins!" seru Ellie, sambil turun dari kursinya. "Saya
dari tadi mencari-cari Sarah. Dia baik-baik saja?"
Perwira polisi itu menatap Ellie dengan pandangan kosong
seakan-akan sesaat tidak mengenalinya. Lalu ia mengangguk. "Dia
baik-baik saja. Dia tinggal dengan bibinya selama beberapa hari. Aku
datang untuk memberitahu Ernie."
"Oh, bagus. Saya sempat cemas." Ellie menggigit bibirnya. Ia
ingin sekali bertanya pada Letnan Wilkins mengenai mayat itu, tapi
letnan itu sudah berjalan menjauh. Ia mengamati Letnan Wilkins
bersandar ke meja layan untuk berbicara dengan Ernie.
Ellie memasukkan tangannya ke saku belakang jinsnya dan
berputar lagi ke meja layan. Ia terkejut, tempat duduk Brian ternyata
sudah kosong. Mulut Ellie ternganga. Ke mana Brian" Ke kamar mandi"
Letnan Wilkins mengangguk pada Ellie ketika pergi.
"Tolong bilang pada Sarah supaya menelepon saya," kata Ellie.
Ia meneguk habis sodanya, matanya memandang ke kamar mandi
pria. "Hei, kau ingin hidangan pencuci rnulut?" tanya Ernie, sambil
mengangkati piring-piring kotor. "Aku punya pai krim pisang yang
belum terlalu basi."
"Tidak." Ellie menggeleng. "Brian akan mengantarkan saya
pulang sekarang." "Brian?" Ernie berhenti mengangkati piring-piring. "Cowok
yang bersamamu tadi?"
Ellie mengangguk. Ernie memiringkan kepalanya ke arah pintu. "Dia sudah pergi."
Ellie menahan napas. "Pergi?"
"Ya. Waktu kau sedang bicara dengan Letnan Wilkins. Dia
meninggalkan uang dan melesat pergi."
********************************
Ellie berjalan kaki pulang. Ia menemukan ayahnya di ruang
tamu, sedang membaca koran di sofanya yang sudah tua. Ia mencium
bagian atas kepala ayahnya. "Hai, Dad. Maaf aku terlambat. Daddy
sudah makan?" Ayahnya menggumam- menjawab, asyik dengan artikel koran
yang sedang dibacanya. Ellie ikut membaca dari balik bahunya.
Ia menelan ludah ketika membaca judul berita itu: MAYAT
TIDAK DIKENAL DITEMUKAN DI FEAR STREET WOODS.
Kemarin malam ia sudah tidur waktu ayahnya pulang. Ia tidak
punya kesempatan untuk menceritakan kejadian di hutan itu pada
ayahnya. Lagi pula, ia menghindari topik itu. Ayahnya tidak suka kalau ia
menyebutnyebut kemampuannya. Ayahnya selalu menuduh Ellie
cuma berkhayal. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bercerita mengenai
mayat itu. "Aku yang menemukan kuburan itu," kata Ellie takut-takut.
Ayahnya menurunkan koran itu. "Kau" Apa yang kaulakukan di
hutan?" "Mengajak Chaz jalan-jalan. Sebetulnya dia yang menemukan."
Ayahnya menatap Ellie, wajahnya tampak terkejut. Lingkaran
hitam di bawah matanya. Ayahnya mendadak kelihatan lelah dan tua.
"Kau tahu bagaimana perasaanku tentang hutan itu di malam hari,
Ellie. Aku sudah bilang..."
"Berkali-kali," potong Ellie. Ia menghampiri sofa panjang dan
duduk. "Tapi kemarin belum malam waktu aku dan Chaz mulai jalanjalan. Waktu aku
menunjukkan kuburan itu pada polisi, hari sudah
gelap." Mata ayahnya berkilat marah. "Kau harus menjauhi polisi, nona
muda. Kau tak boleh terlibat dalam penyelidikan mereka."
"Dad!" Ellie heran melihat betapa marahnya ayahnya. "Daddy
tak dengar apa yang barusan kukatakan" Aku yang menemukan mayat
itu. Bagaimana Daddy bisa mengharapkan aku tak terlibat dalam
penyelidikan mereka"
"Karena aku ayahmu dan aku bilang begitu!"
"Bilang begitu'" ulang Ellie. "Itu bukan alasan. Daddy selalu
melarangku melakukan berbagai hal, tapi tak pernah memberitahukan
alasannya." "Aku tak perlu memberitahumu alasannya!" sembur ayahnya.
"Ya, harus!" balasnya. "Aku hampir tujuh belas. Aku bukan
anak-anak lagi!" Ellie memandang ayahnya dengan tatapan dingin.
"Lagi pula, kali ini peraturan Daddy tak masuk akal."
Ayahnya balas menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa
dibaca. Lalu bahunya terkulai. Ia melemparkan koran ke lantai dan
menghela napas. "Aku tahu itu," katanya. "Tapi tolong menjauhlah
dari polisi. Aku tak mau kau jadi seperti ibumu!"
"Ibuku" Apa hubungan Mom dengan masalah ini?" teriak Ellie.
Ayahnya ragu-ragu. Lalu berdeham. Akhirnya, dengan terpatahpatah ia mengatakan,
"Ibumu tidak meninggal di rumah sakit seperti
yang kukatakan padamu selama ini, Ellie. Dia dibunuh."
"Dibunuh?" Ellie terkesiap, memegang kedua pipinya. "Apa
yang Daddy bicarakan" Mom meninggal karena usus buntu."
"Oh, Ellie." Ayahnya berdiri, berjalan melintasi ruangan, dan
duduk di sampingnya di sofa panjang. "Kau baru berumur dua tahun
waktu peristiwa itu terjadi. Aku tak mau berbohong - begitu juga
kakek dan nenekmu - tapi bagaimana kami mesti menjelaskannya
padamu?" Ayahnya menggeleng. "Lalu belakangan, waktu kau sudah
cukup umur untuk bisa memahaminya, aku tak bisa menemukan cara
untuk memberitahumu. Selain itu, aku tak ingin membicarakannya -
sekali pun." Suaranya serak. "Rasanya terlalu menyakitkan."
Air mata menggenangi mata Ellie. Ia tidak bisa mempercayai
ini. Selama bertahun-tahun ia mengira sudah mengetahui yang
sebenarnya tentang ibunya. "Bagaimana kejadiannya, Dad" Siapa
yang tega membunuh Mom?" tanyanya lirih.
Ayahnya tidak mau menatap matanya. "Ada seorang gadis kecil
yang menghilang. Belakangan diketahui dia dibunuh. Seseorang yang
tak waras - seseorang yang mestinya tak pernah boleh dibebaskan dari
penjara - membunuhnya. Lalu orang itu membunuh ibumu."
"Tapi kenapa?" Ellie mendesak ayahnya. Ia harus mengetahui
yang sebenarnya, biarpun ia bisa melihat bahwa membicarakan
kejadian itu merupakan siksaan buat ayahnya.
"Aku tak tahu kenapa! Kaukira aku tak mengajukan pertanyaan
itu pada diriku sendiri berjuta-juta kali?" Ayah Ellie tersedu-sedu
sekarang. Ellie merasa ada aliran dingin berkali-kali di punggungnya. Ia
merasa lumpuh. Lumpuh sama sekali.
Ibuku dibunuh" Perutnya terasa mulas. Ia berdiri di atas kaki yang terasa seperti
karet, lemas. Entah bagaimana ia berhasil naik ke kamar mandi di atas
sebelum akhirnya muntah-muntah.
Beberapa menit kemudian ia mendengar ayahnya mengetuk
pintu kamar mandi. "Ellie, kau baik-baik saja?"
"Ya," sahutnya parau. "Tidak, maksudku..." Ia menangis
tersedu-sedu. "Maafkan aku," seru ayahnya dari balik pintu. "Mestinya aku
tak memberitahumu seperti itu."
"Aku yang ingin tahu, Dad," jawabnya. "Dan aku baik-baik
saja. Betul. Aku ingin mandi."
"Kau yakin?" "Ya." Ia mendengar ayahnya pelan-pelan menuruni tangga.
Pikiran-pikiran gelap, pikiran-pikiran menakutkan, bertalu-talu
menghantam bagian belakang otak Ellie. Dengan perut masih terasa
mual, ia memaksa dirinya melupakan semua itu. Dibukanya
pakaiannya. Lalu dinyalakannya pancuran air dan ditunggunya sampai
airnya beruap. Ia melangkah ke bawah curahan air.
Ellie memejamkan mata, berusaha mengumpulkan sedikit
kenangan yang diingatnya tentang ibunya. Ia tidak bisa mengingat
banyak. Ia ingat rambut pirang ibunya yang panjang, matanya yang
hijau, dan suaranya yang lembut, yang berdenting seperti lonceng
kalau tertawa. Ellie dan ayahnya cukup dekat. Tapi sepanjang hidupnya Ellie
merasa seperti ada lubang, seolah-olah ada yang hilang. Kenapa ada
yang membunuh ibunya" Kenapa"
Ellie memejamkan mata dan mengangkat wajahnya,
membiarkan air panas yang beruap itu membasahi tubuhnya.
Perlahan-lahan Ellie merasa tubuhnya mulai santai.
Sesaat kemudian ia membuka mata.
Membuka mata dan terkesiap.
Di atas kepala pancuran, sebilah pisau berkilat-kilat tergantung
pada keramik putih. Sambil berteriak, Ellie mundur dan tersandung.
Gagang perak pisau itu berkilauan. Darah menetes dari mata
Rahasia Kunci Wasiat 4 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Pendekar Muka Buruk 9