Pencarian

Panggilan Masa Lalu 2

Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Bagian 2


pisau itu, membasahi kakinya.
Ia memandang ke bawah. Bak mandi penuh darah. Darah
menggenang sampai mata kakinya. Begitu panas. Begitu kental!
Ketika pisau itu menghunjam ke arahnya, Ellie mengangkat
lengannya. Dan menjerit, "Tidaaaaaaaak!"
Ketika merunduk menghindari pisau itu, ia terpeleset.
Jatuh. Ke dalam darah yang panas. "Aduuuh!" Kepalanya
menghantam bak mandi yang keras. Darah memercik ke dinding
keramik. Air panas membasahi tubuhnya.
Sambil sibuk mengusap mata, megap-megap kehabisan napas,
ia bangun dengan susah payah.
Lalu ia mendengar jeritan itu.
Jeritan minta tolong yang kalut, bergema dari dinding kamar
mandi yang berlumuran darah.
Ellie terpaku. Dan mendengarkan baik-baik.
Mendengarkan jeritan-jeritan yang menyeramkan itu.
Dan mengenali suara ibunya!
Chapter 7 "MOM!" teriak Ellie. "Mom... aku bisa mendengarmu!"
Ia berusaha keras mendengar di antara deru air pancuran yang
terus-menerus mengalir. Tapi teriakan-teriakan itu sudah hilang. "Mom... jangan! Jangan
pergi! Jangan tinggalkan aku! Mom!" erang Ellie.
"Ellie! Ellie!"
Suara lain. Suara ayahnya. Memanggil-manggil dari luar. "Ellie,
kau baik-baik saja?"
Dengan napas megap-megap, sekujur tubuh gemetaran, Ellie
tidak bisa menjawab. Matanya bergerak ke kepala pancuran.
Pisau berlumuran darah itu sudah lenyap.
Darah sudah hilang dari dinding, dari bak mandi.
Visi yang sangat menakutkan.
Ia berdiri gemetaran, memutar tombol pancuran, mematikan air.
Mom" Kau masih di sana" pikir Ellie putus asa. Aku tadi
mendengarmu, Mom. Aku mendengar teriakan-teriakanmu. Tolong
jangan tinggalkan aku! "Ellie... jawablah! Kau baik-baik saja?" seruan gelisah ayahnya
membuyarkan konsentrasinya.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku tak apa-apa!" ia berhasil
berteriak parau. "Aku tak bisa mendengar Daddy. Pancurannya..."
"Ada yang meneleponmu!" teriak ayahnya dari balik pintu.
"Brian anu." "Bilang aku sudah tidur."
"Kau yakin?" "Ya," jawabnya tegas.
Ellie keluar dari bawah pancuran dengan limbung dan
mengeringkan badan. Dikenakannya mantel dari bahan handuk, dan
dipandangnya bayangannya pada cermin yang beruap. Wajahnya
tampak pucat, matanya kosong dan hampa.
Kenapa baru sekali ini ia mendengar suara ibunya setelah empat
belas tahun berlalu" pikir Ellie, memandangi cermin seolah-olah
mencari jawabannya di sana.
Dan mengapa ia terus-menerus melihat pisau bergagang perak"
Pisau yang berlumuran darah"
Apakah ada hubungannya dengan Brian Tanner"
Dengan tubuh di hutan itu" Dengan ibunya"
Ia harus menyelidikinya. Sambil mengencangkan tali mantelnya, Ellie turun ke bawah.
Dilihatnya ayahnya duduk di meja dapur, tangannya memegang gelas
kopi. Ellie langsung bisa melihat matanya merah.
Ia ragu-ragu di pintu. "Dad?"
Ayahnya membuang muka, malu ketahuan habis menangis.
"Dad, bagaimana Mom meninggal?" tanya Ellie lembut. Ia
duduk di kursi di seberang ayahnya.
Ayahnya menggeleng. "Hari ini aku tak bisa bicara lagi tentang
masalah itu, Ellie. Sudah empat belas tahun berlalu, tapi rasanya
seperti baru kemarin aku kehilangan dia. Maafkan aku."
Ellie meremas tangan ayahnya. Air mata membasahi matanya
juga. Apakah sebaiknya diceritakannya apa yang baru saja terjadi di
kamar mandi tadi" Menceritakan bahwa ia melihat pisau itu" Bahwa
ia mendengar suara ibunya"
Tidak. Ayahnya tidak suka pada visi-visinya. Ayahnya tidak
mau mempercayainya. Pokoknya tidak mau.
"Tidak apa-apa," jawab Ellie pelan.
Biar kuselidiki sendiri yang sebenarnya, katanya memutuskan.
**********************************
Sarah tidak masuk sekolah lagi keesokan harinya. Ellie tidak
terkejut, tapi berharap Sarah mau meneleponnya. Ia benar-benar
berharap mereka bisa bicara.
Ellie mengikuti enam pelajaran hari itu dengan pikiran kacau. Ia
tidak bisa berhenti memikirkan ibunya. Ketika bel pelajaran terakhir
berbunyi, ia langsung lari sampai di perpustakaan.
"Selamat siang, Miss Anderson," sapa kepala penjaga
perpustakaan. "Kami punya banyak pekerjaan untukmu hari ini."
"Bagus." Ellie cuma mengangguk. "Tapi mula-mula saya harus
melakukan penelitian untuk tugas sekolah. Cuma butuh waktu
beberapa menit." Tanpa menunggu reaksi petugas perpustakaan itu, Ellie melesat
ke ruang referensi dan satu-satunya mesin mikrofilm. Selama sedetik
ia menatap tanggal-tanggal di laci tempat penyimpanan film.
Mrs. Anderson meninggal waktu Ellie berusia dua tahun. Itu
berarti empat belas tahun lalu.
Tapi bulan apa" Ellie memejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang
diceritakan ayahnya padanya.
Tiba-tiba kesejukan udara yang cerah dan bau tanah yang basah
setelah hujan memenuhi hidung Ellie. Ia memejamkan mata,
membiarkan lengannya terkulai lemas, berusaha membiarkan visi itu
masuk. Pepohonan yang penuh dengan dedaunan berwarna merah,
jingga, dan kuning tampak di pikirannya. Ibunya dibunuh pada musim
gugur. Lalu lentera labu kuning yang menyeringai membuat matanya
langsung terbuka. Oktober. Ellie menarik laci berlabel "September-Desember" dan
mengambil beberapa gulungan film. Ia memasukkan gulungan
pertama ke mesin, menghidupkannya, dan menyesuaikan gambarnya.
Halaman pertama The Shadyside Beacon, 1 Oktober, Selasa,
muncul di layar. Pembunuhan pasti dimuat di halaman pertama, pikir Ellie. Ia
terus memutar gulungan film itu.
Itu dia! Delapan belas Oktober.
WANITA SHADYSIDE DISERANG, DITI-KAM SAMPAI
MATI. Ditikam! Ditikam belati perak"
Tenggorokan Ellie tercekat. Mulutnya terasa kering. Pelipisnya
berdenyut-denyut ketika ia memicingkan mata membaca artikel itu.
Kemarin pagi penyerangan dengan pisau yang keji di Fear
Street telah menyebabkan Mrs. Louise Anderson yang beralamat di
Canyon Road Nomor 128 terluka parah.
Polisi kota, yang dihubungi pengendara motor yang lewat,
dalam beberapa menit tiba di lokasi kejadian. Tapi wanita itu sudah
meninggal. Putri Mrs. Anderson yang berusia dua tahun ditemukan di
dekatnya, menangis tapi tidak terluka sedikit pun, masih duduk di
keretanya. Tidak ada saksi lain.
Dengan perasaan ngeri, Ellie mengalihkan pandangannya dari
layar dan terduduk lemas di kursinya. Ia tidak bisa membaca
lanjutannya. Air mata membasahi matanya dan mengalir di pipinya.
Itu aku! Aku ada di sana! Apakah aku melihat ibuku dibunuh"
Dengan air mata yang terasa panas membakar pipinya, Ellie
menatap layar dengan pandangan kosong. Kata-kata itu tampak kabur.
Dan kata-kata itu digantikan oleh bayangan berkabut.
Seorang wanita di trotoar. Hari yang cerah di musim gugur.
Wanita itu - ibu Ellie. Mrs. Anderson menjerit. Mengangkat kedua lengannya untuk
melindungi wajahnya. Ellie menutup mulut dengan tangannya. Menahan jeritan yang
keluar dari bibirnya. "Mom! Mom! Tidaaaaaaak!"
Sesaat, mata ibunya yang ketakutan menatap Ellie. "Aku sayang
padamu!" kata ibunya tanpa suara. Lalu Ellie melihat ibunya perlahanlahan
terkulai di trotoar. Chapter 8 TUBUH Ellie gemetar hebat, ia tersedu-sedu. Pantas saja
ayahnya tidak bisa membicarakan pembunuhan itu. Ellie tahu ekspresi
wajah ibunya yang ketakutan itu akan menghantuinya seumur
hidupnya. Sebaris artikel itu terus berputar-putar dalam benaknya: Tidak
ada saksi lain. Kecuali putrinya yang berumur dua tahun, pikir Ellie.
Kecuali aku. Dengan tangan gemetar, Ellie meraih tombol di mesin
mikrofilm itu. Ia beralih ke koran edisi hari berikutnya.
TERSANGKA PEMBUNUH DITANGKAP merupakan judul berita
utamanya. Ia membaca artikel itu dengan mata kabur akibat air mata.
Orang itu adalah penduduk Shadyside. Pakaian berlumuran darah
ditemukan di rumahnya. Pisaunya ditemukan di tempat sampah.
Banyak bukti. Tapi polisi tidak bisa mengetahui motifnya.
"Miss Anderson!" Petugas perpustakaan menjulurkan kepalanya
dari pintu. Keningnya berkerut memandang Ellie. "Kita punya bukubuku yang harus
diletakkan di rak." "Benar!" Ellie mengusap pipinya yang basah, lalu
mengeluarkan film dan mematikan mesin.
Ketika mengembalikan gulungan-gulungan film ke dalam laci,
ia tahu ia sekarang punya jawaban untuk paling tidak satu pertanyaan
yang terus mengganggu pikirannya. Mengapa ia terus-menerus
melihat pisau itu. Pindah kembali ke Shadyside - dan menemukan
kuburan misterius itu - pasti telah membangkitkan kenangan lama.
Kenangan mengerikan yang sudah empat belas tahun
dikuburkannya. *********************************
Ellie menekan bel pintu rumah keluarga Wilkins dan terus
menekannya. Ayo, ayo, katanya dalam hati. Aku tahu kau ada di dalam sana,
Sarah. Ia tadi menelepon dari perpustakaan. Ada yang mengangkat
telepon. Mengangkatnya. Mendengarkan. Lalu meletakkannya lagi.
Letnan Wilkins memberitahu Ellie bahwa Sarah tinggal di
rumah bibinya. Tapi entah kenapa, Ellie tidak bisa menghilangkan
perasaan bahwa Sarah berada di Shadyside.
Dengan frustrasi, digedornya pintu itu. "Sarah" Ini aku, Ellie."
Diputar-putarnya tombol pintu. Ia terkejut, tombol itu ternyata
berputar. Ellie menahan napas ketika mendorong pintu sampai terbuka. Ia
memicingkan mata ke koridor yang gelap itu.
"Sarah?" panggil Ellie pelan.
Lorong itu berbau apek. Udara pengap terasa dingin.
Ellie melangkah masuk. Suasana sumpek menyelimutinya.
"Sarah?" panggilnya lagi ketika matanya sudah menyesuaikan
diri dengan kegelapan. Ellie berusaha mendengarkan. Rumah ini senyap.
"Sarah" Kau di rumah?" Ellie bergerak menaiki tangga. Anak
tangganya berderak karena diinjaknya.
Ketika ia naik, butir-butir debu beterbangan di udara. Ellie
berhenti di puncak tangga.
Baru sekali ini ia berada di dalam rumah ini. Yang mana kamar
Sarah" "Sarah?" Ellie berhati-hati melangkah ke arah kamar di depan.
Pintunya setengah tertutup. Ellie berhenti di depan pintu. "Sarah" Kau
di dalam?" Sepi. Sambil menarik napas dalam-dalam, Ellie mendorong pintu itu
sampai terbuka lebar. Dengan mencondongkan tubuh, ia memicingkan
mata memandang ke seberang ruangan.
"Sarah" Oh, tidak!" Ellie menjerit ngeri ketika melihat sesosok
tubuh yang tidak bergerak tergeletak di tempat tidur.
Chapter 9 ELLIE mencengkeram kusen pintu, berpegangan kuat-kuat,
susah payah menahan lututnya supaya tidak terkulai. Diterangi cahaya
remang-remang ia bisa melihat rambut hitam lurus Sarah.
Sarah terbaring menelungkup, lengannya terbentang tak
bergerak di sampingnya. "Sarah" Sarah" Sarah?" Ellie memanggil nama temannya
berulang-ulang. Perlahan-lahan sosok itu bergerak. Sarah mengangkat
kepalanya, mengusap rambut hitamnya yang berantakan, menatap
Ellie. "Kau?" gumamnya dengan suara serak.
Ellie langsung mendekat ke tepi tempat tidur. "Syukurlah!"
serunya. "Ku... kukira..."
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Sarah, bangun ke posisi
duduk. "Sarah... ada apa?" seru Ellie, mengabaikan pertanyaan
temannya tadi. "Ada masalah apa?"
"Banyak," jawab temannya, mengerang.
Sarah menyambar boneka beruang dan memeluknya erat-erat.
Ellie melihat Sarah masih mengenakan seragam pelayan dan sweter
yang dipakainya pada malam polisi membongkar kuburan itu.
Seprai dan selimut tergeletak begitu saja di lantai. Ellie
mendongak, dan melihat tidak ada foto atau poster di dinding, tidak
ada dekorasi apa pun. "Sarah, a... aku cemas sekali," kata Ellie. "Ayahmu bilang kau
di rumah bibimu, tapi..."
Sarah mendengus. "Rumah bibiku" Aku tak punya bibi," kata
Sarah ketus. Lengannya semakin erat memeluk beruang ketika ia
kembali menghadap ke dinding.
Dengan ragu-ragu Ellie duduk di tepi tempat tidur di samping
temannya. "Kalau begitu ada apa" Tolong ceritakan padaku supaya
aku bisa membantu." "Kau tak bisa membantu. Tapi aku akan memberitahumu.
'Benda' di kuburan itu kakakku." Tangis Sarah meledak. Ellie
memegang bahu temannya yang bergetar untuk menghiburnya.
Jadi berita itu benar. "Sejak mengetahuinya, ayahku marah besar. Aku belum bicara
dengannya sejak malam mereka menemukannya. Dia pulang, makan,
lalu pergi lagi. Dia tak mau mengatakan apa-apa padaku. Sama sekali!


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun itu kakakku!"
Bahu Sarah yang kurus bergetar hebat. Ia membenamkan
wajahnya ke boneka beruang sewaktu menangis.
"Oh, Sarah," bisik Ellie sambil membelai rambut temannya.
Waktu berlalu. Bahu Sarah tidak lagi bergetar. Kedua gadis itu
tidak ada yang bicara. Kesunyian terasa berat, dingin, tak tertahankan.
Beberapa saat kemudian tubuh Sarah mulai santai dan
lengannya tidak lagi memeluk beruangnya erat-erat.
Dia tertidur, pikir Sarah. Diambilnya selimut dari lantai.
Diselimutinya Sarah, lalu ia berjingkat-jingkat keluar kamar.
Sarah yang malang! pikir Ellie. Ini mengerikan sekali! Apa
yang bisa kulakukan"
Aku tentunya tak bisa meninggalkannya sendirian di sini. Tapi
bagaimana kalau ayahnya pulang dan melihatku di sini" Aku tak mau
membuatnya lebih marah lagi!
Mungkin nanti saja aku menelepon dan mengajak Sarah tinggal
di rumahku. Ellie perlahan-lahan berjalan kembali ke koridor. Ia melihat ada
pintu terbuka di seberang kamar Sarah. Ellie langsung tahu itu pasti
kamar Melinda. Rasa ingin tahu menarik kakinya ke sana.
Ellie mendorong pintu itu supaya terbuka lebih lebar. Pada
setiap dinding tergantung foto-foto. Tempat tidurnya diatur rapi
dengan seprai berbunga-bunga, bantal berenda, dan lipit-lipit yang
menutupi kolong ranjang. Sikat, sisir, botol-botol parfum, dan
peralatan makeup teratur rapi di meja rias dengan permukaan kaca.
Tidak ada setitik debu pun di kamar itu.
Seolah-olah Melinda masih hidup.
Sebuah foto berbingkai di atas meja rias menarik perhatian
Ellie. Diangkatnya. Foto sekolah.
Wajah yang tersenyum itu mirip Sarah, tapi matanya biru.
Rambut Melinda yang hitam panjang tergerai melewati bahunya.
Bagaimana dia meninggal" tanya Ellie dalam hati.
Siapa yang menguburkannya di kuburan gelap dan sepi di hutan
itu" Mengapa Melinda menghubungi Ellie" Mengapa, setelah begitu
lama waktu berlalu, ia ingin ditemukan"
Ellie mengamati foto itu, mencari-cari petunjuk. Gadis cantik di
foto itu kelihatannya bisa menjadi gadis paling populer di sekolahnya.
Pasti akan terpilih. Tidak diduga akan meninggal.
Lalu, di depan mata Ellie, foto itu mulai berubah. Senyum
Melinda memudar. Bibirnya yang berwarna gelap bergerak.
Ellie mengerjapkan mata. Apa yang terjadi" Apa yang kulihat" Bibir Melinda terbuka.
Matanya yang berkilauan perlahan-lahan membelalak ngeri. Melinda
memandang Ellie dan menjerit. Dan menjerit.
Jerit ketakutan yang tidak bersuara.
Foto itu terjatuh dari tangan Ellie. Kacanya berhamburan di
lantai. Ellie berbalik dan lari. Secepat kilat ia menuruni tangga, melompati dua anak tangga
terakhir. Ia tersandung dan jatuh menabrak pintu depan.
Sambil berteriak tertahan, ia menyambar tombol pintu dan
menyentakkan pintu sampai terbuka. Udara sejuk menyapu pipinya. Ia
lari terbirit-birit, lengannya berayun-ayun di sampingnya, lari secepatcepatnya.
Di sepanjang blok. Mula-mula ia tidak mendengar bunyi kaki berdebam-debam di
trotoar di belakangnya. Bunyi langkahnya sendiri menenggelamkan
semua bunyi lain. Ketika ia menyadari bahwa ia diikuti, semua sudah terlambat.
Ia berpaling untuk melihat siapa yang ada di belakangnya,
akibatnya ia terantuk dahan pohon tumbang, dan jatuh terjerembap.
Tubuh yang berat jatuh menimpanya, membuat napasnya nyaris
putus. Dengan megap-megap, ia bersusah payah membalikkan
badannya. Memandang wajah orang itu dengan tatapan nanar.
"Kau!" seru Ellie tertahan.
Chapter 10 "KAUKIRA siapa?" tanya Brian Tanner. Ia beranjak bangun
dan berdiri. Disingkirkannya tanah dan daun-daun mati dari jins
hitamnya. "A... aku minta maaf," kata Ellie terbata-bata. Siapa tadi
dikiranya" "Aku cuma panik kok," ia mengakui. "Aku tak biasa
dikejar di jalanan gelap."
Dengan hati-hati Brian menyentuh luka di bibirnya. "Kau tak
dengar aku memanggilmu?" tanyanya.
"Kenapa kau mengikutiku?" bentak Ellie, ia bangun ke posisi
duduk. Tulang iganya terasa sakit. Lutut kanannya berdenyut-denyut.
"Memangnya kau pengawalku?"
Sambil mengusap lukanya, Brian menghela napas. "Maunya
begitu. Tapi setelah kejadian kemarin malam, aku tak bisa
menyalahkanmu kalau kau lari dariku..." Suaranya menghilang.
"Karena kau meninggalkan aku di Alma's?" Ellie berusaha
terdengar tak acuh. "Memangnya ada apa?"
Brian mengangkat bahu. "Aku teringat sesuatu. Sori." Ia
mengeluarkan bandana merah dari saku belakangnya dan mengusap
bibirnya. "Jadi kenapa kau tadi lari?" tanyanya.
"Mm..." Ellie tidak tahu harus bilang apa. Apa pun yang
dikatakannya, pasti terdengar tolol.
Ia membungkuk dan memeluk lututnya. Ia merasa sangat marah
dan tersinggung waktu Brian meninggalkannya di coffee shop itu.
Tapi biarpun kejadiannya baru kemarin, rasanya seperti sudah lama
sekali. Ditatapnya cowok itu. "Kalau kuberitahu, kau pasti
menganggapku gila." "Jadi coba saja dulu." Brian duduk di sampingnya di atas
rumput. Ia mengambil sehelai daun kering dari rambut Ellie dan
membuangnya. "Ayo. Ceritakan."
Ellie menarik napas dalam-dalam. "Aku lari dari rumah
Wilkins. Aku pergi ke sana untuk bicara dengan Sarah."
Brian mengangguk. "Tadi aku menelepon rumahmu. Karena tak
ada yang mengangkat, kupikir kau pasti pergi mengunjungi temanmu.
Itu sebabnya aku melihatmu dan mengikutimu."
Ia mencondongkan tubuh mendekat, matanya menatap mata
Ellie. "Jadi apa yang terjadi di rumah Sarah" Ada peristiwa buruk?"
"Sarah berbaring dalam kegelapan. Dia kelihatan kacau-balau.
Di... dia memberitahuku itu kakaknya. Yang terkubur di hutan. Sarah
betul-betul sedih." Sambil bicara, tanpa sadar Ellie mencabuti segenggam rumput.
"Aku tak tahu harus bilang apa," katanya pada Brian. "Boleh dibilang
aku cuma duduk di sana. Dia kecapekan. Benar-benar ambruk. Dia
jatuh tertidur, dan aku sendirian di rumah itu dan..." Ia bergidik.
"Kurasa khayalanku jadi ke mana-mana."
Brian membalas tatapan Ellie dengan serius. Matanya tidak bisa
dibaca. "Nah, sekarang giliranku bertanya," kata Ellie. "Kenapa kau
mencariku?" Brian menyentuh bibirnya. Lukanya sudah tidak berdarah.
"Untuk minta maaf. Itu lho. Soal kemarin malam."
"Kudengarkan." Brian memandang ke bawah, mengutik-utik kuku ibu jarinya
dengan dua jari. "Sori aku terpaksa kabur seperti itu. Masalahnya... well... waktu
melihat polisi itu masuk ke Alma's, aku ingat aku memarkir Jeep-ku di
tempat dilarang parkir. Kupikir kalau dia melihat mobilku di sana, dia
akan memberiku karcis tilang. Aku tak punya uang untuk membayar
tilang lagi. Jadi aku lari untuk memindahkannya. Aku cepat-cepat
kembali, tapi kau sudah pergi."
"Tilang lagi?" desak Ellie.
Brian cengar-cengir malu-malu. "Aku sudah beberapa kali kena
tilang di kampus." "Hmmm." Ellie tidak begitu mempercayai cerita Brian. Tapi
cowok itu memang cakep. Tiba-tiba Ellie ingin maju mendekat dan
mencium cowok itu. "Aku menelepon untuk menjelaskan, tapi kau tak mau bicara
denganku. Kau marah, ya?" tanya Brian pelan.
"Kurasa aku bisa melupakannya," jawab Ellie, bercanda.
"Bagus." Brian mengulurkan tangan untuk membantu Ellie
bangun. Ellie menyambutnya. Lalu Ellie membersihkan bagian
belakang jinsnya. "Jadi sekarang bagaimana?" tanya Ellie, menatap ke ujung
jalan. "Sekarang aku mengajakmu jalan-jalan," jawab Brian malumalu. "Nonton film atau
yang semacamnya." Ellie tersenyum. Dia mengajakku kencan, pikirnya. Ia tahu
mestinya ia senang. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Suatu
perasaan. Perasaan tidak enak. Sesuatu yang tidak bisa dijabarkannya
pada dirinya sendiri sekalipun.
"Aku tak tahu apakah aku bisa, Brian," didengarnya dirinya
berkata begitu. "Hah" Kenapa?" Brian bersidekap. "Beri aku satu alasan yang
bagus." "A... aku tak punya alasan yang bagus. Aku bahkan tak punya
alasan yang jelek. Masalahnya cuma, well, beberapa hari terakhir ini
terasa begitu aneh." Ellie menggigit bibir bawahnya.
"Maksudmu menemukan mayat di hutan itu" Atau karena apa
yang terjadi sebelumnya" Dengan pacar lamamu?"
Ellie tersentak. Ia ternganga kaget memandang Brian. "Apa
maksudmu?" teriaknya.
Dia tak mungkin tahu tentang Tommy Wheaton, kata Ellie
dalam hati. Kenapa Brian bicara begitu"
Brian mengangkat bahu. "Tak ada apa-apa," gumamnya. "Aku
tak punya maksud apa-apa. Betul kok."
"Tidak. Katakan padaku," Ellie ngotot. "Kenapa kau bicara
begitu tentang pacar lamaku?" Ia menatap cowok itu tanpa berkedip,
memaksanya menjawab. Pipi Brian merona. "Aku... well... kupikir kalau kau segugup ini
di dekat cowok, pasti karena ada yang pernah menyakiti hatimu. Itu
saja." Seandainya saja sesederhana itu, pikir Ellie sendu.
Brian meletakkan tangannya di bahu Ellie dan membimbingnya
kembali ke trotoar. "Jangan bilang tidak," katanya mendesak. "Besok
Sabtu, kan" Cuaca diramalkan sangat hangat, seperti musim semi.
Mungkin hari hangat terakhir musim gugur ini. Kita akan piknik. Di
Fear Lake. Cuma kau dan aku."
Ellie sudah membuka mulut untuk bilang tidak. Tapi lalu
mengatupkannya. Piknik kedengarannya memang asyik. Dan ia butuh sesuatu
yang asyik. Mungkin piknik bisa membuatnya melupakan peristiwa
mengerikan yang diketahuinya menimpa ibunya. Dan membantunya
berhenti memikirkan Sarah yang malang dan kakaknya yang sudah
meninggal, Melinda. "Kau suka naik kano?" tanya Brian.
Ellie mengangguk, masih berpikir keras.
"Kurasa tempat persewaan kano masih buka di akhir tahun
seperti ini. Kita bisa menyewa satu. Kau pernah mendayung ke Fear
Island?" Fear Island adalah pulau kecil di tengah danau yang terdapat di
Fear Street Woods. Di musim panas pulau itu jadi tempat piknik
favorit penduduk Shadyside. Tapi di siang hari akhir musim gugur,
tempat itu mungkin sepi. "Chaz boleh ikut sebagai pengawal pribadi," Brian
mengusulkan, sambil nyengir.
Ellie tersenyum juga. Ia tidak bisa menahannya. Kencan dengan
cowok cakep dan melakukan kegiatan yang asyik. Dengan anjingnya
untuk melindunginya. Peristiwa jelek apa yang bisa terjadi" tanyanya pada diri sendiri.
Peristiwa jelek apa yang bisa terjadi"
Chapter 11 SABTU pagi Ellie makan sereal sambil menonton siaran berita
pagi di TV kecil di atas meja. Chaz berbaring di kakinya, mengunyahngunyah
tulang mentah. Sinar matahari pagi masuk ke dapur kecil itu.
Ruangan itulah yang paling terang dan cerah di rumah ini.
Penyiar ramalan cuaca meramalkan hari di musim gugur yang
hangat dan cerah. Lalu penyiar berita muncul lagi di layar. Jantung
Ellie serasa melompat ke tenggorokannya ketika si penyiar berkata,
"Kami kembali lagi ke berita utama - penemuan mayat wanita muda
di kota Shadyside." Ellie melompat dari kursinya dan membesarkan volume.
Gambar di layar berganti. Ia mengenali bagian luar kantor polisi
Shadyside. Seorang wanita mungil berdiri di tangga. Ia memegang
mikrofon dan menunjuk ke arah pintu depan di belakangnya.
"Dua tahun lalu, kehidupan salah seorang detektif Shadyside
yang paling terkenal hancur berantakan," kata reporter itu. "Putri
Letnan Jack Wilkins yang masih remaja menghilang, tidak
meninggalkan jejak sedikit pun. Sekarang polisi telah
mengidentifikasi mayat yang ditemukan dua malam yang lalu di
sebuah kuburan dangkal sebagai Melinda Wilkins."
Foto sekolah Melinda tampak di layar.
Pemandangan berganti ke pemakaman Shadyside, lalu bergerak
ke hutan tempat Ellie menemukan kuburan itu.
Ellie duduk dan mengangkat sendoknya. Tapi ia terlalu
memusatkan perhatian ke TV sehingga tidak bisa makan. Kamera
kembali menyorot reporter tadi. Di belakangnya, Letnan Wilkins dan
seorang pria yang mengenakan setelan warna gelap berjalan keluar
dari pintu depan kantor polisi.
Reporter itu berlari ke tangga untuk menjumpai mereka.
"Letnan Wilkins!" panggilnya. "Dua tahun lalu, waktu putri Anda
menghilang, dia dimasukkan ke daftar anak yang lari dari rumah."
Letnan Wilkins mengangguk singkat dan terus menuruni
tangga. Reporter itu terpaksa berlari-lari kecil supaya bisa
menyusulnya. "Tapi Anda mengatakan curiga ada yang tak beres.
Kenapa tak ada yang menyelidiki kecurigaan Anda itu?"
Letnan Wilkins berhenti dan mengusap rambutnya. Suaranya
terdengar lelah dan tegang. "Kami tak bisa menemukan bukti adanya
ketidakberesan. Lagi pula, teman-teman putri saya memberitahu para
petugas penyelidik bahwa Melinda memang punya rencana melarikan
diri dengan pacarnya. Itu sebabnya dia dimasukkan ke daftar orang
yang melarikan diri."
"Apakah pacarnya itu sudah ditemukan dan ditanyai?"
"Tidak, dia menghilang pada hari yang sama. Semua usaha
untuk mencarinya gagal. Menurut saya, dia bisa saja dibunuh pada
saat yang bersamaan." Mata Letnan Wilkins menyipit. "Nah, saya
permisi dulu." Letnan Wilkins berbalik dan berjalan di trotoar. Reporter itu
berlari-lari di belakangnya, memanggil-manggil. "Letnan, bagaimana
putri Anda dibunuh?"
Letnan Wilkins merunduk masuk ke mobil hitam dan
membanting pintunya. Reporter itu mengalihkan perhatiannya pada


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamera lagi. "Itu tadi wawancara eksklusif dengan Letnan Jack
Wilkins, ayah Melinda Wilkins. Polisi Shadyside sekarang
mempertimbangkan kasus ini sebagai kasus pembunuhan. Mereka
meningkatkan pencarian atas pacar Melinda Wilkins. Namanya Brett
Hawkins. Sumber saya mengatakan mereka menggunakan teknologi
komputer baru untuk melacaknya. Siapa saja yang punya informasi
tentang Brett Hawkins, diharap menghubungi polisi."
Mereka mencari pacarnya. Brett Hawkins. Wajah lelah Letnan Wilkins menunjukkan bahwa ia bekerja
lembur untuk menemukan pembunuh Melinda. Tapi Ellie berharap ia
juga memperhatikan Sarah. Sarah jelas tidak berada dalam kondisi
yang bisa ditinggalkan sendirian.
Ellie meraih telepon dan menekan nomor telepon Sarah.
Dibiarkannya telepon berdering sepuluh kali. Tidak ada yang
mengangkat. Ellie menghela napas frustrasi.
Kemarin malam ia juga sudah berusaha menelepon rumah
Sarah. Dan ia sudah mencoba menghubungi Letnan Wilkins di kantor.
Mengapa Sarah tidak mau mengangkat telepon" Dan mengapa detektif
itu tidak mau menjawab teleponnya" Apakah ia ingin Ellie tetap
beranggapan Sarah ada di rumah bibinya"
Ellie memandang jam di atas oven. Pukul sembilan lewat.
Terlambat. Brian akan menjemputnya pukul sepuluh. Ia takkan sempat
berlari ke rumah keluarga Wilkins untuk mencoba menjumpai Sarah.
Ellie bergidik. Foto Melinda melintas dalam ingatannya.
Melinda menggunakan kekuatanku untuk membimbingku ke
kuburannya, pikir Ellie suram. Tapi kenapa foto di bufet itu juga
memanggilku" Apakah ada lagi yang ingin dikatakan Melinda
padaku" Lalu pikiran mengerikan itu terlintas di kepalanya:
Tangan hanya tinggal tulang yang memanggilnya itu. Pisau
yang berlurnuran darah. Apakah itu semua peringatan juga" Apakah visi-visi Ellie
kembali karena ia berada dalam bahaya"
Ellie menyingkirkan pikiran menakutkan itu dari benaknya.
"Hari ini hari untuk bersenang-senang," katanya pada Chaz. Anjing itu
menggoyang-goyangkan ekornya seolah-olah memahami katakatanya.
***************************************
"Gelisah?" tanya Brian, melirik Ellie. Ia mematikan mesin dan
mencabut kuncinya. "Uh, tidak. Kenapa kau mengira begitu?" jawab Ellie cepat.
Brian mengangguk ke arah jari-jari Ellie yang mengetuk-ngetuk
pahanya sendiri. "Bisa bolong jinsmu nanti."
"Oh." Ellie menurunkan tangannya. "Sori."
Ellie membuka pintu Jeep. Chaz keluar dari bangku belakang,
nyaris membuatnya terjungkal.
Hutan Fear Street penuh warna. Daun-daun kuning dan merah
berkilat-kilat di bawah langit biru yang cerah. Burung-burung
berkicau seperti ketika musim semi.
Ellie menarik napas dalam-dalam. Udara terasa segar dan
berbau pinus. "Hari yang cerah indah sekali!" serunya ketika mereka
berjalan memasuki hutan. Di antara pepohonan ia bisa melihat danau itu, berkilauan
seperti kristal. Pondok persewaan perahu berdiri di pinggir, kano-kano
ditumpuk tinggi di sampingnya.
"Kuambil dulu kano untuk kita," kata Brian, sambil meletakkan
keranjang piknik. "Ya." Ellie mengamati Brian lari ke kano-kano itu.
Brian benar. Ellie memang gelisah. Ia ingin bersenang-senang.
Tapi sesuatu menghalanginya untuk merasa santai dan menikmati hari
ini. Ellie memikirkan betapa cakepnya Brian dengan celana dari
bahan chino-nya, kemeja flanel biru yang tidak dikancingkan, kaus
putih, topi Cubs biru dan merah yang menutupi rambut merahnya.
Dan Brian membawa banyak makanan. Ellie bisa mencium bau
ayam goreng di dalam keranjang.
Kalau saja Ellie bisa menghilangkan perasaan takut ketika
bersama cowok itu. Kalau saja ia tidak merasa ia harus menjauh dari
Brian. "Dapat!" teriak Brian dari pondok persewaan. Ia datang berlarilari, membawa dua
dayung dan dua pelampung.
"Tak ada pelampung untuk Chaz?" tanya Ellie.
Brian langsung berhenti. "Dia tak bisa berenang?"
Ellie tertawa terpingkal-pingkal. "Aku bercanda."
"Hei. Tawamu asyik lho," Brian nyengir padanya. "Aku belum
pernah mendengarnya. "Thanks," jawab Ellie kaku.
"Dan aku suka rambutmu diekor kuda," kata Brian lagi. "Kau
jadi kelihatan seperti..." Ia ragu-ragu.
"Kuda?" sambung Ellie sambil mengangkat keranjang piknik.
Brian tertawa. "Bukan itu yang ingin kukatakan tadi.
Sebetulnya aku malah tak tahu mau bilang apa." Dipandangnya Ellie
dengan serius. "Kau berbeda dari cewek-cewek lain yang pernah
kencan denganku." "Oh?" Jantung Ellie berdetak makin cepat. Ia tidak mau
mendengar tentang cewek-cewek lain yang pernah jadi pacar Brian.
Chaz lari lebih dulu, mengendus-endus batang pohon dan daun-daun
yang berguguran. Ekspresi wajah Brian berubah serius. "Ya. Kau jauh lebih
pendiam. Cewek-cewek biasanya menganggap mereka harus
ngomong terus. Dan kau lebih tinggi."
"Thanks," jawab Ellie, membelalakkan mata. Rayuan gombal.
Mereka berjalan di jalan setapak yang menembus hutan menuju
dermaga kecil di danau. Ellie melindungi matanya dengan satu tangan dan memandang
ke sepanjang pantai. Tidak ada orang. Jauh dari pantai, seorang
nelayan menarik ikan yang berkilat-kilat dari dalam air.
Ellie berbalik dan melihat Brian berdiri di dekatnya,
menatapnya tajam. Brian menjatuhkan dayung dan pelampung serta
menunduk. Ia mencium bibir Ellie dengan lembut. Bibir mereka
bersentuhan ringan. Ellie memejamkan mata. Brian begitu lembut.
Chaz menyalak dan Ellie membuka matanya.
Brian tersenyum. "Siap nonton aku bikin malu diri sendiri
dengan mencoba mendayung kano?"
************************************
Mereka bergantian mendayung. Kano itu meluncur mulus di
atas air danau yang tenang.
Fear Island tampak di depan mereka. Ellie mengarahkan kano
ke teluk yang terlindung dengan pantai pasirnya yang kecil. Ia bisa
melihat kayu-kayu gosong berserakan di pasir. Banyak yang piknik di
sana selama bulan-bulan yang bercuaca hangat.
Ellie mendayung kuat-kuat sampai kano mengenai daratan. Lalu
ia melompat turun ke pasir yang basah. Chaz terjun ke air. Sambil
terayun-ayun ke sana kemari ketika berjalan dari buritan ke haluan,
Brian menyerahkan keranjang piknik pada Ellie.
Matahari terasa panas, panas seperti musim panas. Ayamnya
enak dan berlemak, seperti yang disukai Ellie.
Setelah mereka selesai makan, Ellie berbaring di atas selimut.
Di belakang Ellie, Chaz sibuk mengendus semak. Brian berbaring di
atas selimut di sebelahnya, tangannya terlipat di belakang kepala, topi
Cubs-nya menutupi wajahnya.
Mereka mengobrol dan tertawa-tawa selama sejam. Ellie tidak
percaya ia tadi bisa merasa gelisah. Ia teringat pada ciuman Brian.
Apakah cowok itu akan menciumnya lagi"
Ia ingin Brian menciumnya.
Brian bangun dan bertumpu pada satu sikunya. Dirogohnya
keranjang. "Mau apel?"
"Tentu." Ellie duduk. "Kau menyiapkan segalanya."
Brian nyengir dan mengeluarkan apel. "Seperti Adam dan
Hawa," katanya pelan.
Ellie tertawa kaku. Komentar aneh, pikirnya.
Brian menggosokkan apel itu ke kausnya. "Mau kupotongkan?"
"Tentu." Brian merogoh keranjang lagi dan mengeluarkan pisau.
Ellie terkesiap. Dipaksanya dirinya supaya tidak menjerit. Dipaksanya matanya
supaya tidak memandang pisau itu. Dipaksanya matanya supaya tetap
menatap wajah Brian. Wajah Brian tetap tenang ketika ia asyik memotong-motong
apel. Pisau bergagang perak itu memotong kulit buah yang semerah
darah itu. Pisau yang dilihat Ellie dalam visi-visi-nya.
Chapter 12 SAMBIL bergidik, Ellie melompat bangun.
Brian kaget, dan mendongak. Pisau itu melayang-layang di
udara. Sari apel menetes dari mata pisau itu.
"Ada apa?" tanya Brian.
"Mm..." Ellie melirik ke hutan dengan panik.
Sambil menenangkan diri, ia memarahi dirinya sendiri. Jangan
sampai dia melihat betapa takutnya kau. Bisa-bisa dikiranya kau gila.
"Pisau itu...," katanya.
"Kelihatan sangat mematikan, ya?" kata Brian dengan ringan,
sambil melambai-lambaikan pisau itu di udara. "Ini pisau kakekku.
Dia memberikannya padaku waktu aku di high school. Dari dulu aku
selalu menyukai pisau ini."
Ellie tidak bisa menghentikan getaran rasa ngeri yang menjalari
punggungnya. Aku harus menjauh, katanya dalam hati. Menjauh dari pisau
itu - sampai aku merasa normal lagi.
"Aku tak melihat Chaz," katanya. "Aku tak ingin dia tersesat.
Sebaiknya kususul dia."
Brian tertawa, lalu mengupas apel. "Oke. Kalau dua puluh
menit lagi kau tak kembali, aku akan mengirimkan regu pencari."
"A... aku akan segera kembali," Ellie tergagap. Ia berbalik dan
lari ke dalam hutan. Chaz muncul berlari-lari dari balik pohon. Ketika
Ellie berhenti untuk menarik napas, Labrador itu lari mendekatinya.
Ellie berlutut dan mencengkeram kulit kendur di sekitar leher anjing
itu dan membenamkan wajahnya ke bulunya yang hangat.
Hentikanlah rasa panikmu, Ellie. Berpikirlah.
Pisau itu memang kelihatan seperti pisau dalam visimu.
Memangnya kenapa" Banyak pisau punya gagang perak seperti itu.
Ellie merasa lebih tenang. Chaz duduk dan mendengking,
berusaha menjilati muka Ellie.
Bahkan anjingku sendiri pun menganggap kelakuanku payah,
pikirnya. Aku tak bisa terus-terusan mengulangi kesalahan konyol yang
sama. Aku bertemu cowok. Memutuskan aku menyukainya. Mulai
melihat visi-visi, dan jadi sinting dengan kecurigaan.
Itu gila. Pokoknya gila. Ellie menoleh ke pantai. Mungkin sebaiknya kuceritakan saja
soal visiku pada Brian, pikirnya. Entah kenapa, aku merasa dia akan
mengerti. Lagi pula, dia kan bilang suka padaku karena aku berbeda. Dia
cuma tak tahu bagaimana berbedanya.
Ellie membungkuk, memasukkan kemejanya, dan merapikan
rambut ekor kudanya yang berantakan.
Aku akan bercerita padanya tentang kemampuanku, katanya
memutuskan. Aku tak mau kehilangan dia seperti waktu aku
kehilangan Tommy Wheaton.
Brian akan mempercayaiku. Dia akan mengerti. Aku tahu itu.
Ia duduk memeluk Chaz selama beberapa saat, menunggu detak
jantungnya normal lagi. Lalu, sambil menarik napas dalam-dalam, ia
berdiri dan berjalan kembali ke pantai untuk berbicara dengan Brian.
"Brian?" panggilnya, sambil keluar dari antara pepohonan.
"Brian?" Ia berhenti dan ternganga memandang pantai yang sepi.
Brian sudah pergi. Chapter 13 ELLIE mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha
memperjelas pandangannya.
Pasir yang kuning berkilat-kilat diterangi cahaya terang
matahari. Keranjang piknik itu sudah tidak ada. Begitu juga selimut,
mantelnya. Kano itu. Rasa panik melanda Ellie. Chaz berlari-lari di pantai,
menggonggongi sekawanan burung jalak.
Apakah Brian pergi begitu saja seperti yang dilakukannya di
kedai kopi malam itu" Apakah ia meninggalkan Ellie di sini, di pulau
kecil yang tidak berpenghuni ini"
"Ellie! Hei... Ellie!"
Suara Brian. Ia berputar ke kiri. Dari mana dia memanggil"
Dari hutan" Ellie berjalan ke arah suara itu - lalu berhenti.
Tidak. Aku tak mau masuk ke hutan lagi. Aku akan menunggu
di pantai. Kalau aku masuk ke hutan - kalau...
Kalau apa" Lima menit lalu ia sudah memutuskan untuk menceritakan
rahasianya yang paling dalam pada Brian. Sekarang ia tidak cukup
mempercayai cowok itu untuk mau mencarinya ke dalam hutan.
Tetapkan pendirianmu, Ellie, katanya pada dirinya sendiri. Kau
tak bisa ketakutan terus seumur hidup.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Ellie berputar kembali ke
hutan. Ketika berputar itu, ia melihat ujung kano. Kano itu tampak di
antara barisan pohon dan bergerak ke tengah danau.
"Ellie?" teriak Brian dari buritan. Cowok itu membuka topinya
dan melambai-lambaikannya untuk menarik perhatian Ellie. "Sebelah
sini!" Ellie menghela napas lega. "Hei... sedang apa kau?" serunya,
sambil berlari ke pantai.
"Mencarimu. Aku sudah membereskan semuanya, dan waktu
kau tak muncul-muncul juga, aku jadi cemas. Lalu kudengar Chaz
menggonggong di hutan, jadi aku mendayung kano ke kali kecil ini
untuk mencarimu." "Oh." Sekarang Ellie merasa goblok dua kali lipat. Ia masuk ke
air dan menyambar ujung perahu, lalu memanggil Chaz. Labrador itu
melompat ke dalam kano, kaki-kakinya yang berpasir terpeleset di
dasar kano yang terbuat dari logam.
"Duduk," kata Ellie tegas. Ia mengambil pelampung dari tempat
duduknya dan mulai memakainya. Tapi talinya kusut.
Dilemparkannya pelampung itu ke lantai kano. Ia masuk dan duduk di
kursinya yang keras. Ketika mereka mendayung mundur ke pantai, Ellie menoleh
pada Brian. Cowok itu sedang memandangi danau, lengannya naikturun sewaktu
mendayung di air. Dia merasa ada yang tak beres, pikir Ellie. Dia tak buta. Dia
melihat aku tadi lari ke hutan seperti kijang yang ketakutan.
Ellie memegang dayungnya erat-erat dan mulai mengayuh


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekuat tenaga. Kano itu meluncur mulus menembus air jernih yang berkilauan.
Bunyi dayung yang lembut membantunya jadi santai. Matahari terasa
hangat dan menyenangkan di wajahnya.
"Ellie." Di belakangnya, Brian membisikkan namanya. Ia sadar,
Brian berhenti mendayung. Kano itu berputar-putar pelan.
Bulu di lengan Ellie merinding semua. Tiba-tiba ia merasa
takut. "Ellie." Suara Brian lebih keras sekarang, lebih mendesak.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak, katanya dalam hati.
Aku tak mau mendengar apa yang akan kaukatakan. Kau akan
mengatakan tak ingin bertemu denganku lagi. Kau akan mengatakan
aku terlalu berbeda. Terlalu aneh. Tapi ia merasakan panasnya tatapan Brian di punggungnya.
Kekuatan tatapannya ketika memerintahkan Ellie berputar.
"Hei, Ellie." Ellie berputar cepat dan setengah berdiri.
Karena kaget, Chaz melompat bangun. Sambil mendengking
terkejut, anjing itu melompat ke arahnya.
"Hei!" teriak Ellie ketika keseimbangannya buyar.
Anjing itu maju bergoyang-goyang. Kano miring ke satu sisi -
dan Ellie jatuh ke air. Dengan lengan menggapai-gapai, ia terjun ke air yang dingin.
Ia tersedak. Menelan air.
Dingin. Sedingin es. Begitu dingin, sampai otot-ototnya membeku.
Tidak! ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Aku harus berenang. Harus naik!
Ia berusaha sekuat tenaga bergerak. Berjuang mengatasi rasa
dingin membeku air yang berwarna gelap itu.
Dengan panik diangkatnya kedua tangannya. Kakinya
menendang-nendang. Rasa sakit menjalar di satu tangannya ketika buku-buku jarinya
menghantam sesuatu yang keras.
Kano itu! Sambil masih megap-megap, Ellie mengulurkan tangan, telapak
tangannya mengenai sisi kano yang licin.
"Tidaaak!" Ia melolong parau ketika jari-jari yang lengket
mencengkeram pergelangan kakinya seperti catuk.
Dan menyeretnya ke bawah.
Ia mengangkat kedua tangannya dan mencoba menyambar
kano. Ia mencengkeram bagian sampingnya, berusaha menemukan
sesuatu untuk dijadikan pegangan.
Tapi tangan yang kuat di pergelangan kakinya itu terus
menariknya ke bawah, makin ke bawah.
Tendangan yang kuat tidak bisa membebaskannya.
Ke bawah, ke bawah. Paru-parunya seperti mau pecah.
Aku akan tenggelam adalah satu-satunya yang ada dalam
pikirannya. Chapter 14 TIDAK! Jangan! Aku tak mau mati seperti ini.
Di air yang gelap. Dengan menggunakan tenaga terakhirnya, Ellie menendang
kuat-kuat - dan merasa kakinya dilepaskan.
Ia mengangkat tangannya dan meluncur ke atas.
Yes. Yes! Naik sekarang. Menembus air sedingin es. Ia membuka mata,
dan memandang ke dalam air.
Ketika muncul di permukaan, ia segera menghirup udara
banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang serasa terbakar. Ia
terbatuk-batuk hebat. Di atasnya, Chaz menyalak-nyalak dari kano. Ellie
mengulurkan tangan dan mencengkeram pinggir kano dengan satu
tangan, sambil masih berusaha menenangkan napasnya.
Brian" Mana dia"
Air mengalir di wajahnya. Ia memicingkan mata memandang
kano. Topi Cubs biru dan merah Brian tergeletak di lantai kano. Chaz
berdiri di dekatnya, menyalak-nyalak ribut.
Mana Brian" Rasa panik menyesakkan dadanya. Ellie cepat-cepat mengusap
air dari matanya, menyibakkan rambutnya, matanya mencari-cari ke
danau. Ia mendengar teriakan tidak jauh dari tempatnya. Ia menoleh ke
belakang, dilihatnya ada perahu berayun-ayun di air, meluncur cepat
ke arahnya. Nelayan yang dilihatnya tadi. Ia mendayung kuat-kuat, datang
untuk menyelamatkannya. Tapi mana Brian" "Brian! Brian!" Ellie mulai berenang berputar, memanggilmanggil nama Brian. Ia
berenang beberapa meter dari kano, takut
pergi terlalu jauh. Ia tersentak ketika melihat Brian. Cowok itu mengambang
tertelungkup di air. Kedua lengannya terkulai lemas di permukaan air.
Ellie cepat-cepat berenang mendekatinya, dan dengan
menggunakan pegangan untuk menyelamatkan orang tenggelam, ia
menarik Brian supaya tertelentang.
Apakah dia bernapas" Apakah dia masih hidup"
Ya! Tapi matanya terpejam dan wajahnya pucat pasi.
Perahu nelayan itu mengitari kano dan bergerak mendekat.
"Sebelah sini!" teriak Ellie. "Cepat! Sebelah sini!"
"Aku melihatmu!" teriak nelayan itu, mendekati mereka. "Hari
yang cerah untuk berenang!"
******************************
Ellie berlutut di tanah dan membungkuk di atas Brian. "Kau
baik-baik saja" Kau kelihatan agak lebih baik. Mukamu sudah tak
pucat lagi." Brian terbatuk. "Aku tak apa-apa. Masih pusing sedikit. Dan
kedinginan." Sekujur tubuhnya gemetaran di balik kain terpal yang
diselimutkan nelayan itu di tubuhnya.
"Aku juga kedinginan," kata Ellie, gemetar.
"Mana Raphe?" tanya Brian. Nelayan itu sudah
memperkenalkan diri sebagai Raphe.
"Pergi mengambil mobilnya. Dia akan mengantarkan kita
pulang." "Kencan pertama yang hebat," gumam Brian.
"Lama juga kau pingsan," Ellie memberitahu. "Tapi Raphe
membuatmu siuman." "Dia menyelamatkan nyawaku," kata Brian lirih, matanya
masih nanar. "Sebetulnya, Chaz yang menyelamatkan nyawa kita berdua,"
kata Ellie. "Raphe mendengar Chaz ribut menggonggong-gonggong.
Itu sebabnya dia jadi tahu ada yang tak beres."
?"A... apa yang terjadi?" tanya Brian lemah, badannya gemetar
hebat di balik terpal. "Maksudku, aku melihatmu jatuh dan..."
Suaranya menghilang. "Aku tak tahu pasti," jawab Ellie dengan suara bergetar. "Aku
jago berenang. Tapi sesuatu..."
"Aku takut sekali," potong Brian. "Kau tenggelam, dan tak
muncul-muncul. Aku jadi panik. Aku terjun menyusulmu."
Ia terbatuk-batuk, memejamkan mata sampai batuknya berhenti.
Lalu ia melanjutkan, "Airnya dingin sekali. Dan begitu gelap. Aku tak
bisa melihatmu. Kurasa aku menyelam terlalu dalam atau bagaimana.
A... aku mencengkeram sesuatu. Aku bergerak menarik diriku ke
atas." Kau mencengkeram pergelangan kakiku! pikir Ellie.
Brian, kau tak menyadarinya, tapi kau menarikku ke bawah.
"Tapi aku terlalu banyak menelan air," lanjut Brian dengan
parau. Ia mengulurkan tangannya dan memegang tangan Ellie dengan
lemah. Tangannya sedingin es seperti tangan Ellie juga. "Aku tak bisa
melihat. Aku naik ke permukaan. Kukira kau ada di sana bersamaku.
Aku mencoba menarikmu ke atas. Tapi... aku pingsan, kurasa. Lalu
kau menyelamatkan aku."
Ellie menatapnya, gemetaran.
Jari-jari Brian yang dingin memegangi Ellie lebih erat. Brian
bangun dan mencium pipi Ellie sekilas. Ellie memalingkan muka
untuk mencium Brian. Bibir Brian terasa lembut. Lembut dan dingin.
Lalu cowok itu berbaring lagi di tanah. "Wah, aku capek
sekali," bisiknya, kelopak matanya setengah terpejam. "Terima kasih
karena kau sudah menyelamatkanku, Ellie," katanya serak. "Biarpun
mestinya aku yang menyelamatkanmu."
"Hah" Menyelamatkan aku?" Ellie menatapnya. "Apa
maksudmu, Brian?" Cowok itu tidak menjawab.
"Apa maksudmu?" ulang Ellie melengking. "Apa maksudmu,
kau mestinya menyelamatkanku?"
Brian sudah tertidur. Ellie memandanginya, mengamati
wajahnya. Napasnya tenang dan teratur. Cowok itu tampak seperti
anak kecil, tidurnya begitu damai.
Kami baik-baik saja, pikir Ellie bersyukur. Kami berdua baikbaik saja.
Dengan bahagia, diremasnya tangan Brian.
"Ummm." Brian menghela napas, tersenyum dalam tidurnya.
Ellie membungkuk dan mencium pipi Brian dengan lembut.
Bibir Brian bergerak. "Melinda," gumamnya lirih.
Chapter 15 JANTUNG Ellie berhenti berdetak.
Melinda. Dia tadi bilang Melinda"
Ya. Dia membisikkan nama itu dengan penuh kelembutan.
Tapi kenapa" Apakah dia kenal Melinda Wilkins" Melinda bukan nama yang
terlalu umum, pikir Ellie.
Kenapa dia membisikkan nama Melinda" Ia melepaskan
tangannya dari pegangan Brian. Tangannya terkulai di tanah.
Ia memeluk dirinya sendiri erat-erat, berusaha menghangatkan
tubuhnya. Matahari menghilang di balik awan yang besar dan
kelihatan empuk. Langit semakin gelap, dan pikiran Ellie jadi gelap
juga. Ia menatap Brian dengan perasaan tidak enak. Apakah dia kenal
Melinda Wilkins" Kenapa dia sekarang menggumamkan namanya"
Kenapa dia teringat pada Melinda"
Ellie ingat waktu Brian menyelinap keluar dari Alma's ketika
Letnan Wilkins datang. Apakah Brian benar-benar takut kena tilang" Atau ia takut
Letnan Wilkins akan mengenalinya"
Kejadian di danau tadi berputar lagi di dalam otak Ellie.
Apakah Brian tahu ia menarik Ellie ke dalam air" Dengan polos Brian
mengatakan tadi memegangi sesuatu di air yang gelap. Tapi apakah ia
tahu itu pergelangan kaki Ellie"
Apakah ia cuma pura-pura pingsan di air" Kalau nelayan itu
tidak datang, apakah Brian akan menariknya ke bawah"
Pikiran sinting, pikir Ellie.
Pikiran sinting yang menakutkan.
Aku sudah gila. Mestinya aku dimasukkan rumah sakit jiwa
saja. Brian terjun ke danau untuk menyelamatkanku. Dia
mempertaruhkan nyawanya untukku. Dan inilah aku, malah punya
pikiran sinting tentang dia.
Dia cowok hebat. Cowok luar biasa. Dan dia kelihatannya
betul-betul sayang padaku.
Jadi kenapa aku takut padanya" Kenapa aku melihat visi yang
begitu mengerikan jika berada di dekatnya"
********************************
Apa yang kulakukan di sini" tanya Ellie dalam hati.
Ia membungkuk di bangku dan menatap lorong berlantai
keramik yang panjang itu. Dari ruang sebelah ia bisa mendengar bunyi
keyboard komputer dan suara-suara pelan polisi.
Perutnya keroncongan. Ia tadi belum makan malam. Tidak
punya nafsu makan. Setelah Raphe mengantarkannya pulang, ia mandi air panas,
berganti pakaian dengan piama yang hangat, masuk ke bawah selimut,
dan lama tertidur pulas. Ia bangun sekitar jam makan malam, lalu
berusaha menghubungi Sarah lewat telepon. Tetap tidak berhasil.
Ia cepat-cepat berganti pakaian, mengenakan jins dan kaus
lengan panjang abu-abu. Lalu, dengan masih merasa lelah dan pusing
karena pengalaman mengerikan di danau tadi, ia naik bus ke kantor
polisi Shadyside. Ia duduk di bangku kayu keras di ruang tunggu yang terang
benderang, bergerak-gerak gelisah, bertanya-tanya apa yang akan
dikatakannya pada ayah Sarah.
Akhirnya sersan penerima tamu mengantarkannya ke ruang
kerja Letnan Wilkins. Ketika ia masuk, Letnan Wilkins pelan-pelan
mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas di mejanya.
Ellie tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget yang tampak
di wajahnya. Detektif itu tampak lebih tua sepuluh tahun dalam waktu
semalam saja! Di sekeliling matanya ada lingkaran merah dan
matanya sendiri tampak merah juga. Dasinya kotor dan tergantung
longgar di kemejanya yang kusut.
"Aku tahu, Ellie," kata Letnan Wilkins sebelum Ellie sempat
bicara. "Kau cemas memikirkan Sarah. Kau ingin dia tinggal di
rumahmu akhir pekan ini. Aku sudah bilang padamu, dia di rumah
bibinya, karena kurasa dia butuh beristirahat. Hal terakhir yang
dibutuhkannya..." Suaranya menghilang.
"Kenapa Sarah tak mau mengangkat telepon?" desak Ellie.
"Saya berkali-kali meneleponnya."
"Dia sangat kacau," jawab Letnan Wilkins sedih. Ia
memejamkan mata dan dengan lelah menggosok hidungnya dengan
ibu jari dan telunjuknya. "Semuanya terasa sangat sulit - bagi kami
berdua." Ellie ragu-ragu. Lalu tanpa pikir panjang ia mengatakan hal lain
yang ada dalam pikirannya, "Saya ingin tahu tentang pacar Melinda."
Wilkins membuka matanya dan menatap Ellie tajam. "Brett
Hawkins?" "Ya. Saya tak ingat namanya," jawab Ellie.
Sesaat Wilkins tidak bergerak. Ia terus menatap Ellie,
keningnya berkerut. Lalu ia menunjuk kursi kayu di depan mejanya.
"Duduklah dan ceritakanlah padaku apa yang terjadi. Kenapa kau
ingin tahu tentang Brett?"
Ellie ragu-ragu duduk di kursi itu dan mencengkeram lengan
kursi. Ia berdeham. Ia tidak tahu harus bilang apa.
Apakah ia harus mengatakan pada Letnan Wilkins bahwa Brian
membisikkan nama Melinda"
Bahwa Brian punya pisau bergagang perak seperti yang
dilihatnya dalam visinya"
Bahwa putri letnan itu yang sudah meninggal telah
memanggilnya melalui foto"
Oh, tidak, pikir Ellie. Kalau aku mengatakan semua itu, dia
akan menganggapku gila.

Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang telah kulakukan" tanyanya dalam hati. Kenapa aku
datang kemari" "Ellie" Kau baik-baik saja?" tanya Letnan Wilkins, suaranya
lembut. "Kau ingin Coke atau yang lainnya?"
Ellie menggeleng, dan menunduk memandangi kakinya.
"Brett Hawkins," ulang Letnan Wilkins pelan. "Dia mungkin
sudah meninggal juga. Kami tak bisa menemukannya. Sudah dua
tahun kami mencarinya." Ia menghela napas, menggeleng-geleng.
"Tubuhnya mungkin akan ditemukan di hutan Fear Street. Seperti
Melinda." Suaranya parau.
Ellie menatapnya tanpa berkata apa-apa, setengah mati berusaha
memikirkan apa yang harus dikatakannya.
"Brett orang terakhir yang melihat Melinda - dalam keadaan
hidup," Letnan Wilkins memberitahu. "Siapa pun yang membunuh
Melinda mungkin membunuhnya juga."
Perut Ellie seperti diaduk. Ia tiba-tiba merasa mual. "Melinda
kenal anak laki-laki bernama Brian Tanner?" tanyanya pelan. Begitu
pelan sehingga Letnan Wilkins menyuruhnya mengulangi
pertanyaannya. Lalu letnan itu mengusap-usap dagunya dengan serius.
"Tanner" Dia tinggal di Shadyside?"
Ellie menggeleng. "Tidak," jawab Letnan Wilkins akhirnya. "Aku tak ingat nama
itu." Ellie menghela napas pelan karena lega. Kalau Brian kenal
Melinda Wilkins, polisi pasti sudah menanyainya ketika Melinda
menghilang. Tapi Letnan Wilkins tidak pernah mendengar tentang dia.
Itu berarti Brian pasti menggumamkan nama Melinda yang lain.
Itu berarti perasaan takut Ellie terhadap Brian betul-betul
konyol. "Saya rasa saya tak punya sesuatu untuk disampaikan," 'kata
Ellie, sambil berdiri. "Maaf saya menghabiskan waktu Anda. Saya
cuma..." "Ini. Ini foto Brett Hawkins," kata Letnan Wilkins. Ia
mengambil selembar foto kecil dari map di depannya. "Fotonya tak
terlalu jelas. Waktu Melinda baru menghilang, aku menemukannya di
antara barang-barang Melinda. Kami menyebarkan fotokopi foto itu
ke mana-mana, tanpa hasil."
Letnan Hawkins mencondongkan tubuh dan menyerahkan foto
itu pada Ellie. Dengan jari-jari gemetaran, Ellie mengambil foto itu.
Dipandangnya dari dekat dan dilihatnya sepasang remaja berdiri di
depan sepeda motor. Lengan cowok itu merangkul santai bahu
ceweknya. Kepala si cewek bersandar di dadanya.
Ellie mengenali Melinda. Lalu didekatkannya lagi foto itu untuk
mengamati cowok itu. Rambutnya yang hitam pekat diikat jadi buntut kuda. Ia
mengenakan jins ketat, jaket kulit hitam, dan sepatu bot koboi.
Senyumnya menarik. Dan matanya... Jantung Ellie terasa dingin.
Mulutnya jadi kering. Ia pasti mengenali mata itu di mana pun.
Itu mata Brian. Brian Tanner adalah Brett Hawkins.
Chapter 16 ELLIE terkesiap ketika memandangi foto itu. Brian Tanner,
tangannya merangkul Melinda, tersenyum padanya dari foto itu.
Lalu wajahnya tampak kabur. Seluruh foto itu jadi kabur. Ellie
mengangkat pandangannya. Dinding kantor tampak memudar dan
kabut putih tebal melayang masuk.
Di depannya, Ellie bisa mendengar Letnan Wilkins bicara. Tapi
ia tampak begitu jauh, di balik kabut, dan ia tidak bisa menangkap
kata-katanya. Ellie duduk tegak di kursi. Foto itu terjatuh ke lantai. Karpet di
bawahnya menghilang. Daun-daun mati berwarna cokelat berserakan
di kakinya. Apa yang terjadi" Pohon yang gelap menjulang di depan Ellie. Ia mencium bau
daun-daun membusuk dan tanah lembap. Visinya terpusat ke bawah
akar pohon itu, ke lubang gelap yang dalam.
Turun, turun. Benda apa itu" Terkubur di dasar lubang. Penuh jamur dan
karat. Semakin dekat, Ellie jatuh berlutut. Turun. Turun ke tanah yang
gembur. Sampai akhirnya benda itu terlihat jelas. Sebilah pisau
bergagang perak. Ellie mengulurkan tangan untuk meraihnya. Pisau itu
menghilang dalam kegelapan. Jemarinya cuma mencengkeram udara.
Suara Letnan Wilkins mengalir turun ke dalam lubang.
"Melinda ditikam," katanya, suaranya masih terdengar jauh.
Ellie melayang naik. Kembali ke kabut putih.
"Siapa yang tega membunuh gadis kecilku?" Suara sedih polisi
itu membuyarkan kabut. Ellie mengerjapkan mata. Ia mendapati dirinya kembali di
ruang kerja yang kecil itu. Ia membungkuk dan memungut foto dari
lantai. "Saya rasa saya bisa membantu," bisiknya.
Wilkins melompat berdiri, matanya yang tampak merah
menatapnya. "Apa" Apa yang kauketahui?" desaknya. Ia melangkah
memutari meja. "Katakanlah!" katanya memohon.
Ellie mendongak menatapnya, masih setengah berada dalam
visinya, masih melayang-layang di kabut yang makin tebal.
Letnan Wilkins mengguncang-guncang bahu Ellie. "Apa" Ellie,
kau harus mengatakannya padaku. Aku harus menangkap monster
yang membunuh anakku."
"Saya rasa saya tahu di mana senjata pembunuh itu."
Letnan Wilkins tersentak. "Bagaimana caranya?"
"Sama seperti cara saya menemukan anak Anda." Perlahanlahan Ellie menaikkan
pandangannya untuk menatap mata Letnan
Wilkins. Ia harus menceritakan visi itu pada si letnan.
"Saya melihat visi," katanya dengan suara tertahan.
"Visi" Maksudmu mimpi?"
"Semacam itu. Hanya saja saya dalam keadaan bangun. Tapi
seperti mimpi, saya tak bisa mengendalikannya. Dan seperti mimpi,
semuanya ada dalam pikiran saya. Semuanya gambar yang begitu
jelas saya lihat. Semuanya seperti pesan dari..."
Ia berhenti. Sulit sekali menjelaskannya. Letnan Wilkins
menatapnya, tidak berkedip, tidak bergerak. "Pesan dari orang lain?"
tanyanya, suaranya pelan. "Dari alam lain" Seperti dari putriku?"
Ellie mengangguk pelan. "Saya tak tahu bagaimana caranya,
tapi Melinda menggunakan kemampuan saya untuk membawa saya ke
kuburannya," ia menjelaskan. "Dia ingin ditemukan."
Wajah Wilkins mengerut kesakitan. Sesaat ia seakan lupa ada
Ellie di ruangan itu. Lalu ia kembali menatap Ellie.
"Kau bilang kau tahu di mana senjata pembunuh itu. Kau
melihatnya dalam visi juga?"
Ellie mengangguk. "Ya. Barusan. Setelah saya melihat foto..."
Ia tergagap. Belum. Ia takkan memberitahu Letnan Wilkins tentang
Brian Tanner dulu. "Brett Hawkins. Saya melihat sebilah pisau di
dasar lubang." Letnan Wilkins cepat-cepat memegang lengan Ellie. "Pisau"
Pisau macam apa" Kau bisa membawaku ke pisau itu?"
Ellie menarik lengannya. Jari-jari letnan itu terasa menyakitkan
pergelangan tangannya. "Saya rasa saya bisa menemukannya,"
sahutnya. "Kalau kita kembali ke tempat kita menemukan Melinda."
Letnan Wilkins melangkah panjang-panjang dan cepat-cepat.
Diambilnya jaketnya dari sandaran kursinya dan dibukanya pintu. Ia
mendorong Ellie keluar dari ruang kerjanya dan mengangguk pada
sersan penerima tamu. "Dua puluh menit lagi aku kembali. Kami pergi
ke lokasi kuburan. Kau bisa menghubungiku lewat radio mobil."
Ketika mereka sampai di pemakaman, matahari hampir
terbenam. Semburan-semburan warna merah jambu menghiasi langit
ungu. Angin terasa hangat, nyaris pengap.
Ketika Ellie turun dari mobil polisi, kakinya terasa seperti karet.
Hari yang panjang sekali, pikirnya. Apa benar baru tadi pagi Brian
dan aku pergi ke danau"
Ia berjalan mendului di jalan setapak yang penuh bekas tapak
kaki. Semak-semak dan rumputnya habis diinjak-injak polisi dan
orang-orang yang ingin menonton. Ketika mereka sampai di kuburan
Melinda, yang tertinggal hanyalah tumpukan tanah dan lubang yang
menganga. Ellie melirik lubang itu. Perutnya mual.
"Berpikirlah, Ellie," desak Letnan Wilkins. "Atau santailah,
atau lakukan apa saja yang harus kaulakukan untuk menemukan
senjata pembunuh itu. Itu mungkin satu-satunya kesempatan yang kita
punyai untuk menangkap pembunuh Melinda."
"Oke." Ellie menarik napas dalam-dalam.
Ia mengelilingi lubang itu, membiarkan pikirannya jadi kosong
waktu ia bergerak. Langit semakin gelap dan semburan warna merah
jambu tadi memudar menjadi ungu. Embusan angin semakin dingin.
Ellie mencoba mengingat apa yang dilihatnya dalam visinya.
Pohon yang besar. Berbonggol-bonggol, dengan akar bertonjolan.
Ia mengangkat pandangannya. Di pinggir kumpulan pohon
pinus berdiri sebatang pohon ek. Pohon itu menjulang di atas
kepalanya, dahan-dahannya menjulur ke langit. Ellie mengamati
bagian bawah batangnya. Akarnya sama persis dengan akar pohon
dalam visinya. "Ini pohonnya," bisik Ellie. Letnan Wilkins berjalan tepat di
belakangnya. Ellie berlutut di tanah. Jari-jarinya menyingkirkan daundaun dan
tanah sampai ditemukannya lubang sebesar lingkaran
lengannya. Ia memandang Letnan Wilkins. Polisi itu jongkok di
sampingnya, menatap lubang itu. "Saya rasa ada di dalam sana," kata
Ellie. "Bagus." Mulut si letnan terkatup rapat. "Tanganku terlalu besar
untuk bisa masuk ke sana. Kau bisa melakukannya, Ellie?"
Ellie mengangguk. "Itu barang bukti penting, jadi kau harus memakai sarung
tangan karet," perintah Letnan Wilkins. Ia mengeluarkan sarung
tangan dari kantong jaketnya. "Kalau kau menemukan sesuatu, kita
akan langsung memasukkannya ke kantong barang bukti. Aku tak
ingin ada sidik jari yang terhapus."
Ellie memakai sarung tangan karet itu. Di sampingnya, letnan
itu mengamati semua gerakannya.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5 Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis Hina Kelana 22
^