Pencarian

Panggilan Masa Lalu 3

Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Bagian 3


Ellie memasukkan lengan kanannya ke lubang. Ia memutar
pergelangan tangannya, berusaha menggerakkan tangannya
menembus dedaunan dan tanah yang menghalanginya.
Ia meraih... meraih... Dan jemarinya menyentuh sesuatu yang panjang dan licin.
Ia menahan napas. Dicengkeramnya benda itu. Perlahan-lahan, dengan hati-hati,
ditariknya keluar. Sebilah pisau. Penuh karat dan tanah yang melekat.
Ellie memeganginya dengan ibu jari dan telunjuknya serta
mengacungkannya pada Letnan Wilkins.
Mata polisi itu terbelalak. Lama dipandanginya pisau itu tanpa
berkata apa-apa. Akhirnya ia menghela napas pedih. "Aku mengenalinya,"
gumamnya dengan suara bergetar. "Aku mengenalinya. Brett Hawkins
sering memamerkan pisau itu."
"Tidak," bisik Ellie. Pisau itu hampir terlepas dari tangannya.
Letnan Wilkins akhirnya mengalihkan pandangannya dari pisau
itu. "Kurasa aku ingin percaya Brett sudah mati," katanya penuh
emosi. "Aku tak mau percaya dia yang membunuh Melinda. Tapi ini
senjatanya. Pisau Brett."
Ia terdiam beberapa saat. Lalu dikeluarkannya kantong plastik
barang bukti. "Aku tak tahu kenapa dia membunuh Melinda," gumam Letnan
Wilkins, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Ellie. "Aku selalu
menganggapnya agak sok jago. Tapi bukan anak jahat. Selama dua
tahun ini, aku mengira dia dibunuh juga. Tapi kurasa aku salah."
Ellie bersandar ke batang pohon. "Aku tahu di mana dia,"
katanya tidak sadar. Wilkins memicingkan mata menatapnya tajam.
"Hah" Kau bilang apa" Bagaimana kau tahu di mana dia berada" Visi
lagi?" "Bukan." Ellie menggeleng. Karena sekarang ia sudah tahu
yang sebenarnya, ia ingin semua ini selesai. "Saya bertemu dia di
perpustakaan. Dia bilang pada saya namanya Brian Tanner. Dia ramah
sekali. Dia kelihatan seperti cowok baik. Tapi saya rasa dia berteman
dengan saya cuma untuk mengorek informasi tentang Melinda. Dia
pasti sudah tahu saya berteman dengan Sarah."
Brian tak pernah menyukaiku, pikir Ellie pahit. Semua yang
dikatakan atau dilakukannya, bahkan ciumannya yang lembut, cuma
pura-pura. Letnan Wilkins menarik napas dalam-dalam. Biarpun keadaan
remang-remang, Ellie bisa melihat mukanya jadi pucat sekali. "Brian
Tanner, hah" Kau bisa mengantarkan aku ke rumahnya?"
"Saya tak tahu pasti di mana dia tinggal," jawab Ellie. "Dia
memberitahu saya dia tinggal dengan kakek-neneknya di
Waynesbridge. Tapi itu bisa saja bohong juga."
Wilkins mengangguk. "Itu informasi yang lebih banyak
daripada yang kami peroleh selama dua tahun. Terima kasih, Ellie." Ia
meremas tangan Ellie dengan penuh rasa terima kasih. Ia menyambar
kantong barang bukti dan berjalan keluar hutan. Ellie berjalan pelan di
belakangnya. Ketika mereka sampai di mobil polisi, Letnan Wilkins
menyampaikan informasi tadi lewat radio ke kantornya. Ellie tidak
mendengarkan. Ia ingin pulang dan memutar musik keras-keras,
begitu keras sampai bisa menenggelamkan pikiran-pikirannya yang
kacau dan pahit. Letnan Wilkins memberi tanda supaya Ellie masuk ke mobil.
Ellie menggeleng. "Saya ingin pulang jalan kaki saja," katanya.
"Saya perlu jalan-jalan sedikit."
"Brian bisa saja berbahaya," Letnan Wilkins memperingatkan.
"Dia tak menduga saya tahu sesuatu," jawab Ellie.
"Kalau dia meneleponmu, coba tanya alamatnya," perintah
Letnan Wilkins. "Kalau kau bertemu dia lagi, segera hubungi aku.
Kau mengerti?" Ellie mengangguk. Ia mengucapkan selamat malam dan mulai
berjalan menyusuri Fear Street.
Bunyi gemeresik di semak membuatnya berhenti. "Hah" Siapa
itu" Ada orang disana?" serunya. Bulu-bulu di lengannya berdiri
semua. "Ellie!" panggil sebuah suara dari balik pohon.
Ellie menjerit kaget. Sarah Wilkins maju mendekatinya. Rambut hitam Sarah penuh
tanah dan kusut masai. Ia mengenakan mantel mandi yang sudah
robek-robek. Ellie memicingkan mata dan melihat Sarah bertelanjang
kaki. "Sarah" Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Ellie.
Sarah mencengkeram tangan Ellie. "Mencari ayahku. Di mana
dia?" "Kenapa" Ada apa" Kau tak pakai baju. Kau mestinya tak boleh
di sini..." "Aku menelepon kantor polisi," potong Sarah. "Sersan
penerima tamu bilang, ayahku menemukan pemecahan dalam kasus
itu." Sarah memandang Ellie dengan mata bergerak-gerak tidak
keruan. Pipinya memerah. "Kau ada hubungannya dengan pemecahan
itu?" desaknya. "Kau mengetahui sesuatu lagi tentang kematian
kakakku?" Ellie meraih bahu Sarah, berusaha menenangkannya. "Ya. Dan
semuanya akan beres."
"Apa maksudmu?" Sarah mencengkeram lengan Ellie.
Ellie ragu-ragu, tidak tahu pasti seberapa jauh yang bisa
dikatakannya pada temannya. "Well, kau ingat Brian Tanner" Cowok
di Alma's dulu itu" Dia sebetulnya Brett Hawkins, pacar Melinda.
Ayahmu menganggap dia yang membunuh kakakmu."
"Apa?" Sarah terhuyung-huyung, lengannya terbentang untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya.
Ellie memegangi temannya, khawatir Sarah pingsan. "Sarah,
kau tak lihat" Ini berita bagus. Sekarang polisi bisa menangkap
pembunuh kakakmu!" "Tidak. Tidak," erang Sarah, menggeleng-geleng.
Ellie mengira perasaan panik membuat otot-otot Sarah tegang.
Ada apa" "Sarah." Ellie memegangi Sarah dengan kedua tangannya. "Kau
baik-baik saja?" "Tidak!" jerit Sarah. Ia menyentakkan tangannya supaya
terlepas dari pegangan Ellie. "Pergi dariku," geramnya. "Pergi. Kau
tak mengerti. Kau takkan bisa mengerti! Tak seorang pun bisa!"
Ia berputar dan berlari pergi.
"Sarah!" panggil Ellie. Sarah berlari ke tengah jalan, kakinya
yang telanjang memukul-mukul trotoar, mantelnya melambai-lambai
di belakangnya. Maafkan aku. Aku tak bisa mengejarmu, Sarah, pikir Ellie,
sambil terengah-engah. Aku terlalu capek.
Sarah yang malang. Dia tak kuat menghadapi semua ini.
Ellie tetap berada di pinggir jalan dan melangkah enggan
menuju rumahnya. Ia baru saja membelok ke Park Drive, ketika mobil
Letnan Wilkins lewat tanpa mengurangi kecepatan. Tampaknya polisi
itu tidak melihatnya. Ketika mobil itu lewat, ia melihat profil Letnan Wilkins sekilas.
Polisi itu menatap lurus ke depan, badannya condong ke depan dengan
kaku, kedua tangannya di atas setir mobil.
Perjalanannya serasa tidak ada habisnya. Akhirnya sampai juga
Ellie di rumah. Ia memutar-mutar kunci. Didorongnya pintu depan
sampai terbuka. Chaz segera menyerbu menyambutnya,
mendengking-dengking keras dan tajam, ekornya sibuk bergoyanggoyang.
"Halo" Dad" Sudah pulang?" seru Ellie. Dad mungkin tertidur
di kursinya, pikirnya. Didorongnya pintu depan supaya menutup, lalu ia melangkah
ke ruang tamu yang gelap.
Ada orang yang sedang duduk di kursi santai.
"Hei, Dad... kenapa tak menyalakan lampu?" seru Ellie.
Orang itu bergerak cepat, bangun dari kursi dengan gerakan
sigap. Dan Ellie baru menyadari yang dilihatnya itu bukan ayahnya.
"Brian!" teriaknya. "Kau bikin takut saja. Bagaimana caramu
masuk?" Brian tidak memedulikan pertanyaannya dan mendekatinya,
matanya yang kelam menyipit menakutkan. "Ellie," katanya dingin.
"Kenapa kautunjukkan pisau itu padanya?"
Chapter 17 ELLIE terkesiap. "Kenapa, Ellie?" desak Brian sambil melompat bangun dari
kursi dan bergerak cepat mendekati Ellie.
Ellie berbalik dan melesat ke pintu depan.
Brian menubrukkan badannya ke badan Ellie. Ellie jatuh
berdebam menghantam pintu, membuat pintu itu tertutup.
Ellie mencoba menjerit. Tapi Brian membekap mulutnya rapatrapat.
Brian menekan Ellie ke pintu, napasnya terengah-engah,
wajahnya dekat sekali dengan wajah Ellie. "Kenapa, Ellie" Kenapa?"
Ellie bisa merasakan napas Brian yang panas di pipinya.
Ellie berhenti meronta-ronta. Brian terlalu kuat. Ellie tidak akan
bisa melepaskan diri. "Kalau kulepaskan tanganku dari mulutmu, kau mau berjanji
takkan berteriak?" tanyanya dengan berbisik parau.
Ellie mengangguk. Perlahan-lahan Brian mengangkat tangannya.
Ellie menarik napas dalam-dalam. "Aku tak tahu pisau apa yang
kaumaksud!" teriaknya terengah-engah, mengulur-ulur waktu. "Yang
kaubawa waktu piknik?"
Brian menggeleng, mulutnya berkerut marah. Matanya yang
kelam menatap Ellie tajam. "Pisau yang tersembunyi di bawah pohon
ek itu," katanya. "Oh!" Ellie berseru kaget. Bagaimana Brian bisa tahu tentang
pisau yang terkubur itu"
Cuma ada satu jalan. Ia yang menguburnya.
Brian memeganginya dan mengunci pintu, memasang gerendel.
Aku terkurung, pikir Ellie, sekujur tubuhnya tegang karena
takut. "Kau yang membunuhnya, kan?" teriaknya parau. "Dan
memendam pisau itu di bawah pohon ek." Kata-kata itu meluncur dari
mulutnya. Ia merasa begitu ketakutan sampai tidak sadar
mengucapkannya. Wajah marah Brian menghilang. Matanya yang kelam tampak
kaget. "Kau tak betul-betul punya pikiran begitu, kan?" tanyanya.
Ellie balas menatap cowok itu dan tidak menjawab.
Aku sudah terlalu banyak bicara, ia memperingatkan dirinya.
Dia pembunuh. Dia membunuh Melinda. Dia bisa saja
membunuhku juga. Cengkeraman Brian melonggar. "Ellie...," ia mulai bicara.
Ellie mengangkat kedua tangannya dan mendorong cowok itu
sekuat tenaga. Brian kaget, lalu terjengkang dan menghantam meja
kopi. Ellie melesat melewatinya, menuju pintu belakang.
Tapi sebelum ia sampai ke ruang makan, Brian sudah
menyambar pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke sofa.
Ia jatuh di lengan sofa, mendarat keras pada bantalannya.
Sambil menggeram Brian mendudukinya, menekannya ke sofa.
"Belum, Ellie." Brian terengah-engah. "Kau harus mendengarkan aku
dulu. Baru nanti kau kulepaskan."
"Aku tak mau mendengarkanmu!" teriak Ellie marah. "Aku tak
mau mendengarkan semua kebohonganmu. Karena cuma itulah yang
kaukatakan padaku! Kau bukan Brian Tanner.Kau Brett Hawkins. Kau
pacar Melinda. Kau membunuhnya!"
Ellie melayangkan kepalan tangannya.
"Ellie, stop!" Brian melindungi mukanya dengan lengannya.
"Berhenti, nanti kuceritakan semuanya padamu. Paling tidak kau ingin
tahu, kan?" Ellie berhenti meronta. "Oke."
Brian pelan-pelan bangun.
Ellie cepat-cepat duduk, merapikan rambutnya yang kusut. Ia
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan,
menunggu jantungnya berhenti berdebar-debar.
Brian bersandar dengan tegang di sofa dan memandangi
tangannya sendiri. Rambut merahnya tergerai di wajahnya, tapi ia
tidak berusaha menyibakkannya. "Kau benar," gumamnya. "Aku
memang berbohong. Aku Brett Hawkins. Dua tahun lalu Melinda dan
aku - well - sulit menjelaskannya. Kami saling jatuh cinta. Dia... akan
lari denganku. Meninggalkan Shadyside. Sayangnya..."
"Sayangnya dia berubah pikiran, dan kau membunuhnya!"
potong Ellie. "Berhentilah, Brian. Atau Brett. Atau siapa pun namamu.
Tolong. Jangan berbohong lagi."
"Ellie...," cowok itu memohon.
Ellie tidak bisa menahan diri. "Kau memanfaatkan aku untuk
mengetahui apa yang diketahui Wilkins," tuduhnya. "Kau tak sayang
padaku. Dan kau tak mau mengatakan yang sebenarnya padaku. Yang
ada dalam pikiranmu cuma bagaimana caranya supaya tak
tertangkap!" Brian mulai memprotes. Tapi salakan ribut Chaz
menghentikannya. Brian melompat berdiri.
Ada orang yang menggedor-gedor pintu depan. "Polisi. Buka
pintu." Ellie menjerit, "Aku di sini!"
"Diam! Itu Wilkins!" bentak Brian. Ia mengulurkan tangan
untuk membekap mulut Ellie. Tapi Ellie berjuang lari dari sofa,
mengelakkan cengkeraman Brian.
Ellie tersandung-sandung berlari ke dapur. Ia bisa mendengar
Chaz menyalak-nyalak ribut di pintu depan.
Brian mengejar Ellie. Menangkapnya.
"Tidak!" teriak Ellie. Ia menyodokkan sikunya kuat-kuat ke atas
dan mengenai tenggorokan Brian.
Cowok itu mengerang. Tangannya memegangi lehernya.
Ellie terhuyung-huyung ke pintu dapur. Jari-jarinya gemetaran
di tombol pintu, berusaha membukanya.
Di belakangnya, Brian membungkuk. Mengaduh-aduh dan
terbatuk-batuk. Ellie membuka pintu. Tertatih-tatih berjalan ke tangga
belakang. Ke dalam pelukan Letnan Wilkins. "Mana dia?" tanya polisi itu.
"Mana Hawkins?"
"Di dalam," sahut Ellie terbatuk-batuk, menunjuk ke dalam.
Ia berbalik dan melihat Brian di ambang pintu. "Ellie, jangan!"
teriak cowok itu, sambil masih memegangi tenggorokannya. Brian
tidak berusaha lari. Ia tidak bergerak.
Letnan Wilkins mencabut pistolnya. "Sudah lama aku
menunggu saat ini," katanya dengan suara bergetar. "Kau kutangkap,
Brett." "Bagaimana... bagaimana Anda tahu dia di sini?" tanya Ellie
tergagap.

Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Letnan Wilkins menunjuk rumah sebelah. "Tetanggamu
mendengar teriakan. Seperti ada perkelahian. Dia menelepon kantor
polisi. Ketika kudengar kejadiannya di rumahmu, aku langsung tahu."
Dengan pistol masih terarah ke Brett, ia menoleh kepada Ellie.
"Kau banyak membantu. Aku sangat berterima kasih, Ellie. Kau baikbaik saja,
kan?" Ellie mengangguk. "Ayo, Brett," kata Letnan Wilkins pelan.
"Ku... kukira aku akan senang bisa menangkapmu. Tapi aku tak
senang. Aku cuma mual."
Ia memegang bahu Brett dengan tangannya yang satu lagi dan
mendorongnya ke halaman. Brett tidak melawan. Ketika Letnan
Wilkins mendorongnya ke mobilnya, Brett menoleh dan menatap Ellie
tajam, memandanginya sampai ia menghilang di pojok rumah.
Dengan kecapekan dan sekujur badan gemetaran, Ellie terduduk
di anak tangga paling atas dan membenamkan wajahnya ke tangannya.
"Semua sudah berlalu," gumamnya keras-keras. "Paling tidak semua
sudah berlalu." ******************************
Pukul sepuluh lebih sedikit malam itu, Ellie memutuskan untuk
mandi air panas lama-lama dan tidur lebih awal. Ketika berjalan ke
kamar mandi, ia mendengar telepon berdering di bawah. Ia mendengar
ayahnya bangun untuk mengangkatnya.
Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, mendengarkan dengan
cermat. Mungkin Sarah akhirnya balas meneleponku, pikirnya.
"Ellie?" ayahnya memanggil dari bawah. Ia berjalan ke puncak
tangga. "Itu tadi Letnan Wilkins," ayahnya memberitahu, wajahnya
tampak cemas. "Dia ingin aku mengantarkanmu ke kantor polisi. Ada
masalah." "Hah?" Ellie terkesiap. "Masalah?"
Ayahnya mengangguk. "Ya. Wilkins bilang Brett melarikan
diri. Dia mungkin akan mendatangimu."
Chapter 18 "TIDAK!" jerit Ellie. "Bagaimana" Maksudku... Letnan Wilkins
memberitahu Daddy?" Ia menuruni tangga.
"Wilkins membawanya ke pengadilan untuk mendaftarkannya,"
kata Mr. Anderson. "Lalu, setelah itu, membawanya ke penjara. Entah bagaimana,
Brett bisa membuka borgolnya. Ketika Wilkins membuka pintu
mobilnya, Brett meninju Wilkins dan lari. Wilkins melepaskan
beberapa tembakan ke arahnya. Tapi Brett berhasil kabur."
"Wah!" Ellie duduk di sofa, menggeleng-geleng tidak percaya.
Ayahnya ikut duduk di sampingnya. "Kubilang pada mereka
aku tak mau kau pergi ke kantor polisi. Wilkins menceritakan padaku
apa yang kaulakukan. Kau sudah melaksanakan bagianmu."
"Tapi aku harus pergi, Dad," Ellie memprotes. "Aku harus
membantu mereka menemukannya. Sebelum dia... sebelum dia
kembali ke sini!" "Ellie!" kata ayahnya tajam. "Kau tidak akan pergi ke sana. Kau
tidak akan membantu polisi. Kau tidak akan membahayakan nyawamu
lebih dari yang sudah kaulakukan."
"Aku akan berada di kantor polisi. Aku akan aman," jawab
Ellie. Mr. Anderson langsung berdiri. Dikepalkannya tangan kuatkuat. "Kau tak mengerti
juga?" teriaknya dengan emosi yang tidak
biasa. "Aku tak mau kau mengulangi apa yang terjadi pada ibumu!"
Ellie menatap ayahnya. "Mom" Mom kenapa?"
"Aku tahu aku belum menceritakan padamu cerita selengkapnya
tentang kematian ibumu," sahut ayahnya dengan wajah memerah. Ia
mulai mondar-mandir di depan Ellie. "Dia dibunuh karena membantu
polisi dalam kasus pembunuhan."
"Kasus pembunuhan?" ulang Ellie.
Ayahnya mengangguk. "Gadis kecil yang terbunuh itu - dia
tetangga kita. Ibumu sering bermimpi tentang kematian anak itu.
Dalam mimpinya dia melihat pria yang memakai kemeja flanel merah.
Lalu suatu malam dia melihat wajah pria itu dalam salah satu
mimpinya." Mom bisa melihat visi juga! pikir Ellie.
Ayahnya meneruskan mondar-mandir, menghindari tatapan
Ellie. "Dia memutuskan harus memberitahu polisi. Dengan enggan
aku menyetujuinya." Ia menelan ludah. "Keesokan harinya mereka
menangkap paman gadis kecil itu. Wajahnyalah yang tampak dalam
mimpi ibumu. Tapi polisi tak punya cukup bukti untuk menahannya.
Mereka terpaksa membebaskannya."
Mr. Anderson berpaling menghadap anaknya, matanya tampak
pedih. "Keesokan harinya si paman itu menyerang ibumu waktu dia
sedang jalan-jalan denganmu. Orang itu menikamnya... berkali-kali...
berkali-kali..." Ellie melompat bangun, mendekati ayahnya, merangkul
bahunya yang berguncang, dan memeluknya.
"Kalau saja aku melarangnya pergi ke polisi," bisik ayahnya.
"Kenapa kubiarkan dia pergi?"
"Tapi dia harus pergi," kata Ellie pelan. "Daddy tak bisa
menghentikannya." Mr. Anderson menghela napas.
"Dan aku harus pergi juga," kata Ellie lembut.
Mr. Anderson mundur, menggeleng-geleng. "Tapi bagaimana
kau bisa membantu, Sayang" Kau sudah melakukan semua yang bisa
kaulakukan." "Daddy tahu bagaimana," jawab Ellie. "Mom punya mimpimimpi. Aku punya mimpi-
mimpi juga. Dan visi-visi. Dari dulu Daddy
sudah tahu. Daddy cuma tak mau percaya saja."
"Aku tak tahu apa yang harus kupercayai," ucap Mr. Anderson
sedih. Ia merogoh kantong celana panjangnya dan mengeluarkan
kunci mobil. "Ini. Panaskan dulu mesin mobilnya. Sebentar lagi aku
siap." "Oke," kata Ellie. Ia mencium kening ayahnya dan bergegas
pergi mengambil jaket. Beberapa detik kemudian ia keluar ke udara malam yang sejuk.
Corolla berpintu dua milik ayahnya diparkir di jalan masuk. Ellie
ragu-ragu di tangga depan.
Apakah Brett ada di luar sana" Bersembunyi dalam kegelapan"
Menunggu Ellie" Menunggu untuk membalas dendam pada Ellie
karena membuatnya tertangkap"
Pagar tanaman pendek di sepanjang jalan depan bergoyang.
Apakah ia bersembunyi di baliknya" Menunggu untuk
menyergap dan menangkap Ellie"
Sambil bergidik Ellie merapatkan jaketnya, dan melangkah ke
halaman. Ia beberapa meter dari mobil, ketika sosok gelap itu menyerbu
dari balik tanaman dan menerkamnya sambil menggeram marah.
Chapter 19 "CHAZ!" jerit Ellie. "Turun! Turun!"
Kaki-kaki besar anjing itu membuat bagian depan jaketnya
berlumuran lumpur. Chaz berdiri di atas keempat kakinya, ekornya
sibuk bergoyang-goyang. "Dad yang mengeluarkanmu dan lupa memasukkanmu lagi?"
tanya Ellie, sambil membersihkan lumpur dengan kedua tangannya.
Ia membuka pintu depan dan membiarkan Chaz lari ke dalam.
Lalu ia berbalik dan berjalan ke mobil.
************************************
Di kantor polisi Shadyside, Letnan Wilkins menyambutnya
sambil minta maaf. "Maafkan aku karena memintamu datang
sekarang,Ellie, " katanya, sambil mengajaknya masuk ke ruang
kerjanya yang kecil dan berantakan. Wajahnya tampak sedih, matanya
merah dan berair. "Aku tak percaya ini bisa terjadi. Aku betul-betul
malu." Ellie tidak tahu harus menjawab apa. Dia betul-betul harus
tidur, pikirnya, sambil duduk di kursi di depan meja polisi itu.
"Brett benar-benar mengagetkanku," kata Letnan Wilkins,
mengerang ketika duduk di kursinya. "Kurasa bisa menangkapnya
sangat berarti bagiku. Aku jadi ceroboh."
"Bagaimana saya bisa membantu?" tanya Ellie, bergerak-gerak
gelisah di kursinya. Letnan Wilkins membungkuk di atas meja ke arahnya. "Kurasa
kau mungkin ingat sesuatu tentang dia. Sesuatu yang mungkin bisa
memberiku petunjuk tentang ke mana dia pergi."
"Sa... saya tak tahu," sahut Ellie tergagap.
Sambil menatap tajam Ellie dengan matanya yang lelah, letnan
itu mulai mengajukan bermacam-macam pertanyaan. "Kau pernah
bertemu temannya" Dia pernah menceritakan rumah kakek-neneknya"
Mobil seperti apa yang dikendarainya" Kau ingat pelat nomornya?"
Ellie berusaha sebisanya menjawab. Tapi ia sadar, boleh
dibilang ia tidak tahu apa-apa tentang Brett Hawkins.
Akhirnya Letnan Wilkins bersandar di kursinya, menghela
napas frustrasi. "Kalau begitu bagaimana dengan visi, atau apa pun
yang kaulakukan itu?" tanyanya.
Ellie menelan ludah. "Saya tak bisa begitu saja melihat visi
setiap kali saya menginginkannya!" serunya. "Saya pikir tidak..."
"Ini," potong Letnan Wilkins, ia tergesa-gesa mencari-cari di
antara tumpukan kertas di mejanya. Ia menyerahkan selembar foto
pada Ellie. "Ini dulu bisa membantumu. Coba lagi, oke" Aku betulbetul putus asa,
Ellie. Aku harus menangkap anak itu lagi. Aku tak
bisa membiarkan pembunuh anakku lepas lagi."
Ellie mengambil foto itu dan mendekatkannya ke wajahnya. Itu
foto Melinda dan Brett yang dulu ditunjukkannya padanya. Brett
tersenyum padanya dari foto itu. Ia tampak begitu bahagia. Mereka
berdua tampak begitu bahagia.
Ellie terisak. "Sa... saya tak bisa!" katanya.
"Cobalah. Tolong," Letnan Wilkins memohon. "Semua bisa
membantu. Apa saja."
Dengan patuh Ellie memandangi foto itu. Memandangi wajahwajah yang tersenyum
itu. Memandanginya sampai wajah-wajah itu
memudar. Sampai seluruh foto itu memudar.
Warna-warnanya menghilang, menghilang ke dalam cahaya
kuning berkilauan yang kabur. Seperti sinar matahari yang terang.
Ellie memandangi cahaya keemasan terang itu sampai matanya
sakit. Akhirnya ia mengalihkan pandangan dan meletakkan foto itu di
pangkuannya. "Well?" tanya Letnan Wilkins bersemangat. "Ada yang
kaulihat?" "Cuma sebuah warna," kata Ellie gemetaran. "Cuma kuning.
Atau emas. Ya. Warna itu berkilau seperti emas. Cuma itu. Maafkan
saya. Maafkan saya."
Letnan Wilkins menyipitkan mata menatapnya. "Emas" Cuma
itu" Cuma emas" Apa artinya?"
"Saya tak tahu. Maafkan saya," ulang Ellie. "Saya betul-betul
minta maaf." ***********************************
Jalanan sudah sepi waktu Ellie dan ayahnya pulang. Kota
Shadyside memang cepat sepi. Rumah-rumah dan halaman-halaman
gelap berlalu cepat. Ketika mereka sampai di rumah, Ellie langsung naik ke tempat
tidur. Ia masuk ke bawah selimut dan memejamkan mata. Ia sudah
hampir tertidur, waktu wajah Sarah melayang masuk ke pikirannya.
Sarah. Sarah yang malang dan ketakutan. Sarah tahu sesuatu, pikirnya.
Kelakuan Sarah begitu aneh.
Seperti orang gila. Dia belum juga keluar rumah. Dia belum balas meneleponku.
Itu karena dia tahu sesuatu.
Aku harus bicara dengannya, pikir Ellie memutuskan. Ia
melompat turun dari tempat tidur dan cepat-cepat berganti pakaian,
lalu berjingkat-jingkat menuruni tangga. Ayahnya sudah tidur. Bagus.
Ellie menyambar kunci mobil dari meja dan menyelinap keluar rumah.
Aku harus menanyakan apa yang diketahui Sarah. Tentang
Melinda. Tentang Brett. Beberapa menit kemudian ia berhenti di halaman rumah
keluarga Wilkins. Dimatikannya mesin dan lampu mobil serta
dipandanginya rumah yang gelap itu.
Apa yang kauketahui, Sarah" pikir Ellie. Malam ini aku akan
mengetahuinya. Ia bergidik ketika berjalan ke pintu depan. Apakah Brett
menunggu di samping rumah, menunggu menerjangnya"
Apakah seumur hidup aku akan ketakutan pergi ke mana pun"
pikir Ellie sedih. Ditekannya bel. Diketuknya pintu keras-keras. Ia
berteriak ke jendela Sarah di atas.
Tidak ada jawaban. Sekali lagi dicobanya pintu depan. Ternyata terbuka. Ia
menyelinap masuk. Ke ruang depan yang gelap. "Sarah" Kau di atas" Kau tidak
tidur?" Sepi. Ellie bersandar pada pegangan kayu tangga dan naik ke atas.
Satu-satunya penerangan di lantai itu berasal dari lampu remangremang.
Ia berjalan pelan ke kamar Sarah dan berhenti di depan pintunya
yang setengah tertutup. "Sarah" Hei... Sarah" Ini aku! Bangun!"
Tidak ada jawaban. Lalu Ellie mendengar erangan dari kamar di seberang koridor.
Kamar Melinda. "Sarah!" Ellie memutar tombol pintu. Pintu, itu terkunci.
Digedor-gedornya. "Ini aku, Ellie."
Sepi. Ellie menempelkan kupingnya ke pintu. Ia bisa mendengar
suara napas Sarah yang tersengal-sengal.
"Sarah. Biarkan aku masuk. Aku bisa membantumu. Aku bisa
mengerti." "Tidak, kau tak bisa. Kaulah yang menemukan dia. Kaulah
yang menghancurkan segalanya!"
Ellie menjauhkan telinganya dari pintu. "Apa maksudmu?"
Sesuatu yang keras menghantam pintu, lalu Ellie mendengar
bunyi kaca pecah. "Pergi, Ellie."
Ellie mundur. Sarah benar-benar terdengar kacau. Ellie harus
masuk ke kamar itu untuk bicara dengannya. Sebelum Sarah betulbetul menyakiti
dirinya sendiri. Ellie memundurkan kaki kanannya, lalu menendang pintu
sekuat tenaga. Pintu itu langsung terbuka. Buku, foto, dan pakaian
bertebaran di lantai. Sarah berlutut di tempat tidur, tangan kirinya
memegang bantal. Ellie membungkuk di atas temannya. "Kita harus bicara.
Tentang Brett Hawkins. Tentang Melinda."
"Tidak!" teriak Sarah keras. Setelah itu ia menguap lebar.
"Tidak. Aku tak mau membicarakannya, Ellie."
"Tapi aku bisa membantumu," kata Ellie. "Kalau saja kau mau
menceritakan padaku apa yang kauketahui, aku..."
"Tidak!" kata Sarah sengit. "Tidak-tidak-tidak!"
"Tapi, Sarah...," Ellie memohon.
"Kau tak mengerti juga?" teriak Sarah, ia berusaha keras
bersandar ke kepala tempat tidur. "Kau menghancurkan semuanya!"


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah?" Ellie terkejut memandangi temannya. "Apa katamu
tadi?" "Tak ada yang minta kau menemukan mayatnya. Tak ada yang
minta kau mengacaukan keadaan!" teriak Sarah. "Tak ada yang minta
kau melakukannya." "Tapi, Sarah," Ellie berkeras, kepalanya serasa berputar.
"Melinda kan kakakmu. Kau tak ingin tahu apa yang terjadi" Kau tak
ingin pembunuh Melinda ditangkap?"
"Tidak," jawab Sarah, matanya menatap tajam mata Ellie.
"Tidak! Tidak! Tidak!"
"A... aku tak mengerti," kata Sarah bingung.
"Aku tahu kau tak mengerti," jawab Sarah pahit. "Kau tak
mengerti apa-apa. Kau bahkan tak tahu aku benci Melinda. Aku benci
dia! Benci dia!" "Hah?" Ellie tersentak kaget.
"Aku benci sekali padanya, sehingga kubunuh dia!" jerit Ellie.
"Pembunuhnya aku, Ellie! Aku membunuh Melinda!"
Chapter 20 SARAH menatap tajam Ellie, seakan-akan menunggu reaksi
Ellie. Tapi Ellie terlalu terkejut, terlalu ngeri untuk bisa bicara.
Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Di luar
jendela, seekor kucing mengeong panjang. Suaranya begitu mirip
suara manusia, Ellie sampai menyangkanya suara bayi menangis.
Kucing itu mengeong panjang lagi.
Kedua gadis itu diam. Seolah-olah Sarah sudah bicara terlalu
banyak. Seolah-olah mereka berdua tidak bisa bicara lagi.
Akhirnya Sarah memecah kesunyian. "Benar yang kukatakan
tadi. Tentang membenci Melinda."
"Tapi kau menyayanginya juga, kan," kata Ellie pelan.
"Kurasa. Sulit menyayanginya. Melinda punya segalanya. Dia
cantik, pintar, punya banyak teman, dan" - suaranya bergetar -
"ayahku menyayanginya lebih dari menyayangi apa pun. Khususnya
lebih dari aku." Ellie menunduk. "Ayahmu tak menyayangimu?"
Sarah menggeleng. "Tidak seperti dia menyayangi Melinda.
Dunia seolah-olah berputar di sekelilingnya. Aku mencoba semuanya.
Setelah ibuku meninggal, aku memasak, membersihkan rumah,
berbelanja. Aku baru empat belas tahun, tapi sudah berusaha
mengurus rumah." "Pasti sulit sekali," kata Ellie pelan.
Sarah menggeleng sementara air mata membasahi matanya.
"Ayahku tak memperhatikannya. Dia pulang dari kantor, melewatiku
begitu saja, menyapaku pun tidak, langsung pergi menemui Melinda.
Keadaan makin parah waktu Melinda bertemu Brett Hawkins."
"Ayahmu tak suka Brett?"
Sarah mengangguk muram, air mata mengalir perlahan di
pipinya. "Dad dan Melinda bertengkar hebat. Dia melarang Melinda
bertemu Brett lagi. Well, itu dia. Melinda memutuskan akan lari
dengan Brett." Sarah menyandarkan kepalanya ke kepala tempat tidur dan
menghela napas. "Memang keterlaluan mengakuinya, tapi aku senang sekali.
Aku sangat gembira. Kalau Melinda pergi, kupikir Dad akhirnya akan
memperhatikan aku. Jadi, tentu saja, kukatakan pada Melinda aku
akan membantunya sekuat tenaga."
"Aneh, kau tak mengenali Brian, maksudku Brett, di Alma's
Coffee Shop hari itu," potong Ellie.
Mata Sarah membelalak. "Oh, dia kelihatan lain sekali. Brett
yang kukenal punya rambut hitam panjang dan memakai jaket kulit
berpaku-paku. Lagi pula, Dad benci Brett. Jadi Brett jarang datang ke
rumah. Aku cuma beberapa kali melihatnya."
"Jadi kau membantu Melinda bersiap-siap melarikan diri?"
tanya Ellie. "Ya. Aku berbohong pada Dad, aku bahkan memberi Melinda
uang dari tabunganku. Pada malam dia merencanakan melarikan diri,
Dad harus bekerja lembur. Waktu itu dia sersan kepala - bukan
detektif. Melinda merencanakan bertemu Brett di Division Street Mall
jam delapan." "Apa yang terjadi, Sarah?" tanya Ellie. "Melinda menemuinya?"
Sarah menggeleng. "Dad menelepon dari mobil patrolinya
untuk mengatakan dia pulang cepat. Dia ingin mengajak kami makan
piza. Dad akan mengacaukan segalanya. Melinda berusaha menelepon
Brett, tapi tak ada yang mengangkat telepon di rumahnya. Dia jadi
panik dan mulai memasukkan segala macam ke kopernya."
Air mata menggenangi mata Sarah. Ellie tersenyum padanya,
mendorongnya supaya meneruskan ceritanya. Ia ingin sekali
mendengar kelanjutan ceritanya.
"Aku menawarkan diri untuk menemui Brett dan
memberitahunya bahwa Melinda tak bisa menemuinya di mal. Brett
harus menjemputnya di belokan. Dengan begitu Melinda bisa
berkemas-kemas, lalu menyelinap keluar rumah.
"Aku cepat-cepat ke mal," Sarah melanjutkan, dipejamkannya
matanya. "Brett sudah menunggu. Kuberitahu dia tentang ayahku yang
pulang cepat. Kuberitahu dia di mana dia harus menemui Melinda.
Dia mengucapkan terima kasih padaku dan bergegas pergi ke
mobilnya. Ketika aku sampai di rumah, Melinda dan barangbarangnya sudah tak
ada." Suara Sarah bergetar. Diusapnya hidungnya dengan tisu, lalu
dipandangnya Ellie. "Itulah terakhir kalinya aku melihat kakakku."
Ellie menggigit bibirnya. "Sarah. Aku tak mengerti. Kenapa tadi
kau bilang kau membunuhnya?"
"Kau tak mengerti juga?" teriak Sarah sambil terisak. "Dad
benar. Brett lebih parah daripada anak nakal. Dia pembunuh. Dan aku
membantunya. Aku begitu ingin menyingkirkan Melinda dari rumah,
sampai kubuat dia mati. Kalau malam itu aku tak membantu Melinda,
dia pasti tetap di rumah. Dia pasti masih hidup!"
Ellie langsung merasa lega. "Oh, Sarah," erangnya. "Kau tak
membunuhnya. Kau tak boleh menyalahkan dirimu."
Mata Ellie sendiri pun basah. Pasti mengerikan sekali bagi
Sarah. Selama dua tahun. Bertanya-tanya di mana Melinda. Berharap
ia masih hidup. Dan menyalahkan dirinya atas semua yang telah
terjadi. Tapi ada satu hal yang membuat Ellie bingung.
Mengapa Brett membunuh Melinda"
Apakah Melinda berubah pikiran pada saat terakhir" Apakah itu
membuat Brett marah besar" Apakah mereka bertengkar" Apakah
Brett sudah merencanakan untuk membunuhnya"
Ellie bergidik. Ia bersidekap. Sarah menarik selimut yang sudah
kusut dari samping tempat tidur dan menyelimutkannya ke bahunya.
Cahaya semakin redup. Bayang-bayang memanjang di kamar.
Tercium bau tanah dari lantai.
Ellie mengerjapkan mata. Apa yang terjadi" Sarah perlahan-lahan menghilang ke balik awan kelabu.
Ellie merasa dirinya ditarik ke dalam kasur. Tanah cokelat
berhamburan di atasnya. Begitu lembap, begitu berat. Tanah itu
menutupinya, menekannya. Ia membuka mulutnya untuk menjerit.
Tanah cokelat basah itu menyumbat mulutnya, membuatnya
seperti tercekik, menutup mulutnya.
Ellie mengangkat kedua tangannya dan setengah mati berusaha
merangkak keluar dari dalam tanah yang gelap dan berat itu. Jarijarinya
mencengkeram sepotong logam yang keras dan bundar. Tanah
menyumbat hidung dan matanya.
Menutupinya. Menekannya. Aku tak bisa bernapas! pikirnya.
Aku dikubur hidup-hidup! Chapter 21 ELLIE menjerit tertahan. Ia merasa bahunya diguncang-guncang. "Ellie! Ellie!" suara
Sarah, sangat jauh. Dengan susah payah, mengulurkan kedua
tangannya, mencakar-cakar tanah yang berat, Ellie menarik dirinya
keluar. Ketika matanya terbuka, ia ternyata tergeletak di karpet,
telentang. Sarah membungkuk di tepi tempat tidur, memandanginya,
wajahnya berkerut bingung. "Ellie... ada apa?"
Ellie berdiri goyah. "Aku merasa seperti dikubur hidup-hidup -
dalam kuburan." "Apa?" Sarah mengayunkan kakinya melewati pinggir ranjang.
Ellie berdiri diam, menguatkan kakinya. Ia tadi menyembunyikan
sesuatu di tangan kanannya. Ia masih bisa merasakan benda keras
yang halus itu di telapak tangannya.
Perlahan-lahan, dibukanya genggamannya. Tangannya kosong.
Tapi tadi ia menggenggam sesuatu. Sesuatu yang penting.
"Dikubur dalam kuburan," ulang Sarah. "Maksudmu, seperti
kuburan Melinda?" Ellie terus menatap telapak tangannya dan mengangguk. "Ya.
Ada sesuatu di dalam kuburan itu. Sesuatu yang diinginkan kakakmu
supaya kita temukan."
"Apa maksudmu?" desak Sarah. "Kau kedengarannya seperti
bicara dengan Melinda."
"Memang betul. Boleh dibilang begitu." Ellie memandang
temannya. "Oh, Sarah, aku tahu ini kedengarannya gila, tapi kakakmu
berkomunikasi denganku. Melalui visi. Itulah sebabnya aku bisa
menemukan kuburannya."
Sarah ternganga. "Kenapa tidak dari dulu kauberitahukan
padaku?" "Karena aku tahu kau takkan mempercayaiku," jawab Ellie.
"Dan karena aku tak mau ada yang tahu. Sebelum aku pindah ke
Shadyside, visiku membuatku terlibat dalam kesulitan. Aku tak mau
kejadian itu terulang lagi."
"Wow," gumam Sarah. "Sekarang semuanya masuk akal.
Waktu ayahku bilang kau membantu penyelidikan, aku bertanya-tanya
bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu."
"Aku tahu ini kedengarannya gila," Ellie mengakui. "Tapi aku
melihat visi kalau aku benar-benar menyukai seseorang, kalau aku
dekat dengan seseorang. Misalnya kau. Mula-mula tidak terjadi apaapa waktu kita
berteman, dan kukira kekuatanku sudah hilang. Lalu
aku menemukan kuburan kakakmu."
"Brett bagaimana?" tanya Sarah. "Apa yang terjadi waktu kau
bertemu dia?" Ellie menghela napas. "Aku mulai melihat visi-visi mengerikan
tentang pisau. Pisau berlumuran darah. Kukira visi itu ada
hubungannya dengan ibuku. Ibuku ditikam sampai mati."
"Aku turut prihatin," kata Sarah lirih, ia memandang ke bawah.
"Tapi visi pisau itu merupakan peringatan. Peringatan untuk
menjauh dari Brett. Aku cuma tak mengerti. Dan barusan aku
merasakan sesuatu. Sesuatu yang dikubur di dalam kuburan."
"Sesuatu di dalam kuburan kakakku?" tanya Sarah. "Sesuatu
yang mungkin bisa membantu kita menangkap Brett?"
Ellie mengangguk. Sarah berdiri. "Kalau begitu ayo kita cari."
"Kau yakin?" tanya Ellie.
"Aku harus melakukannya demi Melinda," jawab Sarah serius.
Ia cepat-cepat berganti pakaian, mengenakan kaus berlengan
panjang abu-abu dan Doc Martens biru. Lalu ia menyisir rambutnya
yang hitam pendek. Ellie mengikutinya ke bawah. Sarah mengambil mantel biru
dari lemari depan. Lalu ia menyalakan lampu dan melangkah ke ruang
tamu. Ellie mengamati dari ambang pintu ketika Sarah menarik laci
meja pendek. Ia terkesiap ketika melihat benda keperakan di tangan Sarah.
Revolver kecil. Sarah mengangkat revolver itu pelan-pelan, menarik pelatuknya
dengan ibu jarinya. "Sarah!" teriak Ellie cemas.
Chapter 22 "INI senjata cadangan ayahku," kata Sarah. "Kalau-kalau Brett
datang." Dilepaskannya pelatuk itu, lalu dimasukkannya senjata itu ke
saku mantelnya. "Kita akan siap menyambutnya."
Ellie merinding melihat senjata itu.
Tapi kalau Brett datang, aku pasti akan senang kami punya
senjata itu, pikirnya. Mereka keluar lewat pintu depan. Lalu Ellie mengikuti Sarah
menuju garasi di belakang untuk mengambil sekop dan senter.
Sarah menyorotkan senter ke hutan yang sunyi dan sepi. Lalu
diarahkannya cahayanya ke tanah. Tampak gundukan tanah menjulang
diterangi cahaya itu. "Apa yang kita cari?" tanya Sarah berbisik.
"Aku tak tahu," jawab Ellie, sambil mengelilingi kuburan itu.
"Aku tak bisa melihatnya. Aku cuma bisa merasakannya di tanganku."
Perasaan tercekik karena dikubur hidup-hidup tiba-tiba kembali
melandanya. Bagaimana kalau visi itu merupakan peringatan" pikirnya.
Peringatan untuk menjauhi tempat ini.
Bulu-bulu lengannya meremang. Dihilangkannya pikiran itu.
Tidak, ia memutuskan. Visi itu pasti pesan dari Melinda,
menyuruhku mencari benda itu di dalam kuburan.
"Bendanya sangat kecil. Dan bulat," kata Ellie. Ditekannya
kepala sekop ke tanah yang lembek, dan ia mulai menggali.
Ketika ia melemparkan bongkahan tanah hasil galian
pertamanya, Sarah mengerang pelan. Ellie memandang temannya.
"Kau baik-baik saja?"
Sarah menggeleng. "Tidak." Ditutupinya wajahnya dengan
tangannya. "Aku tak tahu apakah aku sanggup melakukan ini.
Maksudku, di situlah Brett menguburkan kakakku. Rasanya begitu -
mengerikan." "Kita akan bekerja cepat-cepat," Ellie menghibur Sarah.
"Dalam beberapa menit kita sudah pergi dari sini. Pegang saja senter
itu kuat-kuat, oke?"
Sarah mengangguk dan memegang senter dengan kedua
tangannya. Ellie menekan sekop, menggali tanah yang lembek.
Angin membuat pohon-pohon seakan berbisik. Daun-daun
kering berwarna cokelat melayang tanpa suara ke tanah.
Ellie berjongkok dan mulai menggaruk tanah dengan jemarinya.
Sarah ikut berjongkok di sampingnya, memegangi senter di atas
tangan Ellie sementara ia bekerja.
"Oh." Ellie mengerang ketika jarinya menyentuh sesuatu yang
lembap dan lembut. Cuma cacing, pikirnya. Sarah terkesiap. "Oh, Ellie!" Cahaya senter bergerak-gerak
tidak keruan. "Apa" Ada apa?" tanya Ellie.
Sarah menunjuk, matanya terbelalak ngeri. "Tulang! Tulang
manusia!" Mata Ellie menatap benda abu-abu kecil itu. Dengan hati-hati,
ia mengulurkan tangan dan menyentuh ujungnya dengan satu jari.


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benda itu dingin dan keras. Batu.
Ia mengembuskan napas lega. "Cuma batu, Sarah."
Diserahkannya sekop pada temannya. "Bagaimana kalau kau menggali
sebentar?" Sarah mengambil sekop itu dan mulai menggali. Ellie
memegangi senter dengan satu tangan, tangannya yang satu lagi
menyisihkan tanah. Ketika Sarah membuang tanah hasil galiannya,
Ellie membungkuk di atas tanah, memeriksanya dengan tangannya.
Cahaya senter meredup. "Kurasa baterainya mulai habis," kata
Ellie. Sarah mengangguk. "Kita harus buru-buru."
Ellie menyisiri tanah, memeriksanya dengan cermat. Ia berhenti
ketika jarinya menyentuh sesuatu yang kecil dan licin.
"Apa yang kautemukan?" teriak Sarah, menjatuhkan sekop dan
menjatuhkan diri berlutut di samping Ellie.
Ellie menggosokkan benda itu ke bagian depan jaketnya.
Tangan Sarah gemetar ketika ia menyorotkan senter ke benda itu.
Sebutir kancing. Kancing emas. "Hah?" teriak Sarah, ia tidak bisa menutupi rasa kecewanya.
"Bagaimana kancing itu bisa membantu kita?"
"Well, aku tak tahu pasti," jawab Ellie serius, dipandanginya
kancing bulat yang berkilauan terkena cahaya. "Mungkin orang yang
membunuh Melinda menjatuhkannya."
"Mungkin," jawab Sarah pelan, sambil memandang kancing itu.
"Tapi kejadiannya dua tahun lalu. Bagaimana kita bisa membuktikan
Brett mengenakan pakaian berkancing emas dua tahun lalu?"
"Well," Ellie mulai menjelaskan, "kalau polisi memeriksa
lemari pakaiannya dan menemukan..."
Ia berhenti ketika mendengar ada bunyi. Bunyi ranting patah.
Tidak jauh. "Siapa itu?" teriak Ellie, ia bergidik ketakutan.
Orang itu melangkah cepat dari balik pepohonan.
"Brett!" jerit kedua gadis itu serentak.
Brett mendekati mereka dengan cepat, matanya menatap Ellie.
"Apa itu?" tanyanya dingin. "Kau menemukan kancingnya?"
Chapter 23 Dia tahu tentang kancing ini, pikir Ellie, perasaan takut
mencekamnya ketika Brett melangkah maju.
Dia ingat dulu menjatuhkan kancing ini pada malam dia
membunuh Melinda. Rambut merah Brett jatuh di keningnya, lengket dan kusut.
Jaket denimnya kotor dan lusuh. Di bagian lutut celananya ada noda.
Dia bersembunyi di hutan, pikir Ellie. Dipandangnya mata Brett
dan dilihatnya ada rasa takut di situ.
Ellie sadar, Brett lelah dan ketakutan. Brett bersembunyi selama
dua tahun. Bersembunyi dan lari.
Dan sekarang dia nekat. Dia akan melakukan apa saja. Kata-kata mengerikan itu muncul
dalam pikirannya dan tidak mau hilang.
Brett mengulurkan satu tangannya. "Biar kulihat, Ellie."
Ellie mundur selangkah, menabrak Sarah. Sarah berteriak
ketakutan. "Pergi, Brett," kata Sarah dengan suara bergetar, setengah
bersembunyi di belakang Ellie. "Ayahku akan datang kemari sebentar
lagi. Lebih baik kau lari."
Brett tidak menghiraukannya. Diulurkannya tangannya ke
bawah dagu Ellie. "Kancing itu. Aku ingin lihat."
"Kancing apa?" tanya Ellie pura-pura tidak mengerti. Ia
menyembunyikannya di dalam kepalan tangan kanannya.
"Ayahku datang," Sarah berbohong. "Lebih baik kau lari, Brett.
Cepat!" "Aku ingin melihat kancing itu," Brett ngotot dengan suara
yang keras dan tanpa emosi. Matanya menyipit menatap Ellie.
Dia tahu aku menyembunyikan kancing itu, kata Ellie dalam
hati. Mungkin lebih baik kutunjukkan saja padanya.
Diangkatnya kepalan tangan kanannya, dibukanya. Tampak
kancing emas itu di telapak tangannya. Ketika ia menatapnya, kancing
itu mulai bersinar. Telapak tangannya bersinar keemasan, seperti matahari kecil.
Semakin terang, semakin terang. Sampai pepohonan yang
gelap, langit malam yang ungu, tanah yang tertutup dedaunan,
bermandikan cahaya keemasan yang berkilauan, memudar di
baliknya, menghilang. Seberkas cahaya merah melesat menembus cahaya kuning
berkilauan itu. Cahaya merah itu naik, melebar, menjadi bagian depan
kaus berlengan panjang merah.
Kaus merah Melinda. Ellie melihat bibir Melinda bergerak, menjerit tanpa suara.
Melihatnya bergulat dengan seseorang. Tangan-tangan mencengkeram
bahunya. Siapa itu" Apakah dia bergulat dengan Brett" pikir Ellie
bertanya-tanya, memicingkan mata menatap cahaya keemasan yang
terang benderang itu, berusaha keras melihat.
Ia cuma bisa melihat tangan-tangan yang kuat itu menarik
Melinda. Cuma bisa melihat punggung si penyerang itu. Cuma bisa
melihat wajah Melinda, berkerut ketakutan dan ngeri.
Lalu Melinda juga memudar, sambil menjerit tanpa suara untuk
terakhir kalinya. Ellie menatap lingkaran keemasan yang semakin
mengecil itu. Melihatnya memudar, memudar, memudar kembali ke
kegelapan telapak tangannya.
Kancing logam bulat. Dipandangnya Brett lagi. "Kancingnya, Ellie," desak Brett
pelan, nyaris lemah. "Biar kulihat kancing itu." Ia bergerak cepat
menyambarnya, tangannya menyapu tangan Ellie.
Kancing emas itu jatuh dari tangan Ellie. Jatuh ke tanah.
Sarah membungkuk dan memungutnya. Sambil berdiri, ia
mengamatinya. Ellie mendengar Sarah berteriak pelan, "Kancing
ini..." Sarah terkesiap.
"Aku harus melihatnya," Brett berkeras, mengulurkan
tangannya. "Kau tahu ya kau menjatuhkannya di sini" Malam itu?" desak
Ellie. Mata Brett berkilat marah. Ia membuka mulut untuk menjawab.
Tapi terdengar suara lain, memotongnya. "Jangan bergerak!
Semua diam di tempat!" Brett menurunkan tangannya dan berbalik.
Ellie mengembuskan napas lega ketika Letnan Wilkins keluar
dari balik pepohonan. Sarah mencengkeram lengan Ellie. "Dad!" teriaknya, tidak bisa
menutupi perasaan terkejutnya. "Bagaimana Daddy tahu...?"
"Salah seorang bawahanku lewat sini. Dia melihat kalian berdua
masuk ke hutan. Dia memberitahuku lewat radio." Letnan Wilkins
terus mengawasi Brett ketika bicara dengan Sarah. Ia membuka
kancing sarung senjatanya dan mencabut revolvernya.
"Woo!" teriak Brett, mengangkat kedua tangannya, menyerah.
"Kau pernah melarikan diri sekali," kata Letnan Wilkins tenang,
sama sekali tanpa emosi. "Sekali ini kau takkan bisa pergi ke mana
pun." "Letnan Wilkins!" teriak Ellie, ia maju melewati temannya.
"Kami menemukan kancing. Di dalam kuburan Melinda."
"Mundur!" seru Letnan Wilkins, suaranya terdengar marah. Ia
memberi tanda pada Ellie dan Sarah dengan senjatanya. "Kalian
berdua. Mundur. Dia berbahaya."
"Tapi, Dad...," Sarah memohon.
"Masuk ke mobil!" teriak Letnan Wilkins tidak sabar.
"Sekarang! Pergi dari sini! Masuk ke mobil!"
Ellie dan Sarah ragu-ragu. Ellie melihat mata Brett terbelalak
ketakutan. Brett, dengan tangannya masih terangkat, mundur selangkah.
"Masuk ke mobil! Sekarang!" teriak Letnan Wilkins pada gadisgadis itu.
Brett mundur selangkah lagi.
Letnan Wilkins mengacungkan revolvernya ke arah Brett.
"Sekali ini kau takkan bisa lolos!" teriaknya. "Lari, Nak. Pergi! Pergi
dari sini!" "Tidak! Dad!" jerit Sarah.
Ellie terpaku menatap mata Brett. "Jangan tembak saya!" seru
Brett, ia semakin mundur.
"Tak ada lagi kabur-kabur sekarang!" seru Letnan Wilkins,
sambil membidik. "Jangan, saya mohon!" Brett memohon.
"Kau membunuh anakku! Kaukira aku akan membiarkanmu
lolos begitu saja?" Letnan Wilkins memantapkan bidikannya.
"Tunggu...!" pekik Brett.
Tapi senjata itu meletus, ledakan keras yang bergema di antara
pepohonan. Chapter 24 ELLIE menjerit ngeri. Ia menunggu Brett jatuh ke tanah.
Wajah Brett membeku dengan ekspresi kaget. Lengannya
terkulai ke samping. Lututnya menekuk.
Tapi ia tidak jatuh. Lalu, yang membuat Ellie terkejut, Letnan Wilkins menggeram.
Ellie berpaling dan melihat polisi itu memegangi bahunya.
Darah berwarna gelap mengalir dari bahu jaketnya. Mulutnya
ternganga dan ia bergumam kaget.
Ellie mengangkat pandangannya dan melihat Sarah berdiri di
belakangnya, memegang erat-erat revolvernya, masih
mengarahkannya ke punggung ayahnya.
Letnan Wilkins menggeram kesakitan lagi dan pelan-pelan
berpaling pada anaknya. "Sarah... kenapa?" erangnya.
Sarah tetap mengacungkan senjatanya.
"Aku sudah memikirkannya, Dad," jawabnya dengan suara
datar. Matanya tampak menuduh, tapi bagian wajahnya yang lain
tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Sarah... kau menembakku!" seru Letnan Wilkins, sambil
mencengkeram bahunya yang terluka. Darah mengalir di tangannya,
membasahi bahu jaketnya. "Aku sudah memikirkannya, Dad," ulang Sarah dingin. "Waktu
kulihat kancing itu, aku ingat. Aku mengenalinya, Dad. Kancing emas
seragam Daddy. Daddy bingung sekali mencarinya malam itu. Malam
ketika Melinda menghilang."
"Tapi, Sarah...," Letnan Wilkins memprotes lemah.
"Melinda pergi," Sarah melanjutkan, tidak memedulikan protes
ayahnya. "Melinda pergi, tapi Daddy malah bingung memikirkan
kancing seragam yang hilang. Kurasa aku waktu itu terlalu kacau
sehingga tak memikirkan hal itu. Tapi malam ini aku mengetahuinya.
Aku mengetahui semuanya. Daddy membunuh Melinda."
"Itu kecelakaan!" seru Letnan Wilkins parau. Ia berteriak
kesakitan. Sambil mencengkeram bahunya yang berdarah, ia jatuh
berlutut di tanah di samping gundukan.
"Daddy membunuh anak sendiri," gumam Sarah, tetap
mengacungkan senjatanya. Ellie memekik kaget. Ia melihat Brett melangkah ke
sampingnya, matanya menatap Letnan Wilkins.
"Itu kecelakaan," Letnan Wilkins berkeras. "Aku tak mau
Melinda pergi, pergi dengan dia."
Ia melotot pada Brett, wajahnya tampak jijik. "Kami berkelahi.
Aku tak bermaksud mendorongnya. Dia jatuh dan kepalanya terantuk.
Kecelakaan. Kau harus mempercayaiku, Sarah. Aku sangat
menyayanginya. Aku menyayanginya lebih dari menyayangi apa
pun!" "Aku tahu," jawab Sarah pahit. "Lalu Daddy menimbulkan
kesan seakan-akan dia ditikam. Dan Daddy menguburkannya di hutan.
Menguburkan pisau Brett juga. Jadi kelihatannya dia yang
melakukannya. Lalu Daddy mengejar Brett."
"Dia menghancurkan keluarga kita!" teriak Letnan Wilkins.
"Kenapa aku tak boleh memberinya ganjaran" Ini kesalahannya -
bukan kesalahanku! Dia menghancurkan keluarga kita!"
"Anda tadi akan menembak saya!" tuduh Brett, dipeluknya
pinggang Ellie, supaya tidak jatuh. "Itu sebabnya Anda membiarkan
saya kabur tadi siang! Anda tak mau saya dipenjara. Anda ingin
membunuh saya!" Letnan Wilkins menatap Brett, matanya tampak dingin dan
benci. "Kau membunuh keluarga kami! Kau pantas mati."
Ellie terkesiap ketika melihat Letnan Wilkins mengacungkan
revolvernya. Polisi itu memegangnya dengan dua tangan dan
membidikkannya ke jantung Brett. Lalu menarik pelatuknya.
Chapter 25 SEKALI lagi terdengar gema letusan senjata di antara
pepohonan. Ellie mencengkeram Brett. "Kau...," katanya tersendat.
Tapi ia melihat tembakan itu salah arah.
Brett maju dan menendang pistol itu dari tangan Letnan
Wilkins. "Dua tahun Anda membuat saya terus berlari!" teriaknya
marah. "Dua tahun berlari dan bersembunyi! Dan saya tak bersalah.
Bagaimana dengan keluarga saya, Letnan Wilkins" Bagaimana
dengan keluarga saya?"
Letnan Wilkins menggeram kesakitan. Ia mencengkeram
bahunya dan jatuh terduduk di tanah. "Sarah... cari bantuan,"
gurilamnya. Sarah ragu-ragu."Lalu melemparkan senjatanya ke tanah dan
lari ke jalan. "Aku tahu cara menggunakan radio polisi!" serunya.
"Aku akan menghubungi ambulans!"
Ellie mengawasi Sarah menghilang di balik pepohonan. Ia
menyadari tangan Brett masih melingkari pinggangnya. Sambil
menghela napas lega, ia bersandar ke tubuh Brett dan memejamkan
mata. **************************************
"Aku mesti memanggilmu apa - Brian atau Brett?" tanya Ellie.
"Panggil aku Brett," jawab cowok itu serius. "Aku tak perlu jadi
Brian lagi. Brian tidak nyata. Dan aku nyata."
Ellie dan Brett duduk berdua di sofa ruang tamu Ellie. Brett
menggenggam tangan cewek itu. Sementara mereka mengobrol, Chaz
berbaring di karpet di depan mereka, mendengkur di kaki Ellie.
"Begitu banyak yang tak kumengerti," kata Ellie. "Bagaimana
kau bisa tahu harus melarikan diri" Bagaimana kau bisa tahu Wilkins
akan berusaha menyalahkanmu atas kematian Melinda?"
Brett memejamkan mata, mengingat-ingat. Diremasnya tangan
Ellie lebih kuat. "Malam itu - malam Melinda meninggal - aku cepatcepat ke rumahnya
untuk mengajaknya pergi. Tapi rumahnya gelap.
Tak ada orang di sana. Kurasa Melinda berubah pikiran tentang
rencananya lari denganku."
"Pasti pada waktu itulah Wilkins menguburkannya di hutan,"
kata Ellie sedih. Brett terdiam sesaat. Lalu melanjutkan, "Pikiranku kacau. Aku
berputar-putar selama berjam-jam. Waktu aku pulang, ibuku
menungguku. Dia sangat cemas, sangat ketakutan. Dia bilang Wilkins
sebelumnya datang untuk menangkapku. Menangkapku karena
membunuh anaknya." "Oh, Tuhan!" seru Ellie. "Apa yang kaulakukan?"
"Aku bersumpah pada ibuku aku tak melakukannya. Lalu aku
pergi. Aku sangat terkejut, sangat takut. Kau tahu, aku pernah terlibat


Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah sebelumnya. Aku tahu takkan ada yang mempercayaiku. Jadi
aku pergi. Aku terus melaju dengan mobilku. Aku tak bisa percaya
Melinda sudah meninggal. Aku betul-betul bingung."
"Dan selama dua tahun terakhir?" tanya Ellie.
"Aku tinggal dengan sanak saudaraku. Aku bersembunyi. Aku
terus berpindah-pindah. Aku mengubah penampilanku. Aku
mengganti namaku. Aku hanya tahu kalau aku pulang, Wilkins akan
menangkapku." Ia menghela napas. "Mengerikan sekali, Ellie. Mimpi
buruk yang mengerikan."
Ellie melepaskan tangannya dari genggaman Brett. Mereka
bersandar di sofa. Chaz menguap keras-keras.
"Jadi kenapa kau kembali ke Shadyside?" tanya Ellie pelan.
"Kau tahu itu akan menimbulkan masalah bagimu. Kenapa kau
kembali ke sini, Brett?"
Mata Brett yang kelam menatap mata Ellie tajam. "Karena
kau," jawabnya. Ellie terkejut. "Hah" Aku" Kau kan tak kenal aku!"
"Aku melihatmu dalam visi," kata Brett.
Chapter 26 "AKU semacam paranormal," kata Brett menjelaskan, melihat
Ellie kaget. "Aku melihat visi. Mimpi - hanya saja aku tak tidur."
"Kau juga?" seru Ellie. "A... aku tak percaya ini!"
"Benar," sahut Brett. "Aku melihat visi tentang Melinda. Dia
berada di hutan, mengenakan kaus lengan panjang merahnya, tertutup
dedaunan. Dia memintaku datang membantunya. Memohon padaku.
Dia tampak begitu sedih. Lalu aku melihatmu dalam visi itu, Ellie.
Aku tak tahu siapa kau. Tapi kau cantik sekali. Kau berdiri di samping
Melinda. Dan kau tampak sangat pemberani."
Ellie menatap Brett, menggeleng-geleng.
Dia bisa melihat visi juga, pikirnya takjub. Kenapa tak kukira
dari dulu" Kenapa aku tak menyadarinya"
"Setelah visi itu," Brett melanjutkan, "aku tahu aku harus
kembali ke Shadyside. Aku harus mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi pada Melinda. Dan aku harus melindungimu."
"Jadi kau kembali kemari...," kata Ellie, sambil menggenggam
tangan Brett lagi. "Dan aku menemukanmu," kata Brett. "Dan kau menemukan
kuburan Melinda di hutan. Persis seperti visiku. Dan kau ingin dengar
sesuatu yang lebih gila lagi?"
"Apa?" tanya Ellie.
"Waktu ketemu kau, aku tahu kau punya kekuatan juga. Dan
aku tahu kau dan aku bisa memecahkan misteri ini."
Ellie menghela napas dan menggeleng. "Aku heran dulu bisa
begitu takut padamu," ia mengakui. "Aku melihat visi-visi
menakutkan tentang pisau bergagang perak. Dan siang itu di Fear
Island, waktu kau mengeluarkan pisau untuk memotong apel..."
"Sudah kubilang itu pisau kakekku," Brett memberitahu.
"Kakekku polisi. Itu pisau polisi."
"Itu sebabnya pisau itu sama dengan pisau yang dikuburkan
Letnan Wilkins di samping Melinda," kata Ellie menyadari. "Wilkins
pasti punya pisau seperti itu."
Chaz berguling telentang. Ellie membungkuk dan menggaruk
perutnya. Anjing itu menyeringai dalam tidurnya.
"Dan kancing emas itu?" tanya Ellie, ia bersandar lagi di
samping Brett. "Bagaimana kau tahu Sarah dan aku menemukannya"
Visi lagi?" Brett mengangguk. "Ya. Aku melihat visi lagi tentang Melinda.
Dia memegang kancing emas itu. Dia menunjukkannya padaku. Aku
tak tahu kenapa. Aku cuma tahu kancing itu sangat penting. Aku tahu
kancing emas itu menyimpan jawaban untuk semua misteri ini. Itu
sebabnya malam itu di hutan aku ingin sekali melihatnya.Kurasa aku
bisa membongkar semuanya dengan kancing itu."
"Untungnya, Sarah memecahkan misteri itu - tepat pada
waktunya," gumam Ellie sambil bergidik.
Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Brett. Sesaat mereka
duduk tanpa berkata-kata. Yang terdengar hanyalah dengkuran lembut
Chaz. "Ibuku bisa melihat visi. Kurasa dia mewariskan
kemampuannya itu padaku," kata Ellie lirih.
"Aku sudah punya kemampuan itu sejak kecil," Brett bercerita.
Ia duduk tegak dan tersenyum pada Ellie. "Aku malah sedang melihat
visi sekarang." Ellie menatap cowok itu dengan terkejut. "Hah?"
Brett mengangguk, nyengir. Ya. Aku yakin bisa membaca
pikiranmu. Aku yakin aku tahu pasti apa yang sedang kaupikirkan."
"Apa yang sedang kupikirkan?" tantang Ellie.
Brett membungkuk dan menciumnya, ciuman yang lama dan
lembut. "Kau benar," kata Ellie.
END Anak Gadis Di Tengah Hutan
anak gadis di tengah hutan
hilang arah sesatlah sudah
anak gadis di tengah hutan
gelap menjelang dan ia sendiri
dingin ketakutan berjalan tak tentu arah dalam cahaya lemah bulan dan bintang,
tersaruk-saruk datang satu makhluk menyatu dalam bayangan hutan
matanya menyala redup benaknya lapar, pun perutnya mendekat perlahan perlahan.... dan anak gadis habislah sudah!
Jari Maut Pencabut Nyawa 3 Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 8
^