Pencarian

Pesta Halloween 2

Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party Bagian 2


akan bisa melewati malam ini?"
"Kesempatan kami lebih besar daripada tim kalian," gumam
Terry. "Kami punya otak."
Alex tertawa. Ia ingin tawanya terdengar ceria, tapi Terry lebih
tahu. "Kostum bagus, Niki," ujar Alex, mengagumi penampilan gadis itu.
"Trims," kata Niki. "Kubuat sendiri."
"Kau memang serbabisa," komentar Alex. "Aku ingat gaun indah yang kaubuat untuk
pesta dansa murid baru. Kau gadis paling
menawan di sana." "Yah, trims," jawab Niki. Matanya berkilauan, dan Terry
memaksa dirinya perlahan menarik napas dalam-dalam. Ia benci pada
dirinya sendiri karena merasa cemburu, tapi ia tak berdaya
menahannya. Bagaimanapun juga, Niki sedang duduk di sampingnya,
memegang tangannya, jadi mengapa ia cemburu pada Alex"
Mengapa ia ingin meninju wajah pemuda itu"
"Omong-omong, Niki," ujar Alex menggoda, "menurutmu apa sekarang bukan saatnya
kau bergabung dengan tim jagoan?"
Sorot mata Niki berubah. Ia tak lagi bercanda, tapi kini sedih -
dan agak marah. "Oh, tak bisakah kalian menghentikan permainan
tolol ini" Sudah seratus kali kukatakan aku tak termasuk tim mana
pun!" Ia langsung berdiri dan berjalan ke arah perapian.
Musik dansa mulai terdengar lagi, dan Terry terkejut melihat
Niki mengajak Ricky berdansa.
"Kenapa dia?" tanya Alex pada Terry. "Kurasa dia sudah terlalu lama bergaul
denganmu hingga kini lupa cara menanggapi lelucon."
"Hei, Beale, kaulah leluconnya," gumam Terry. "Dia tak menyukai gagasan kontes
ini." "Hei, man, kukira kau pandai bicara. Kau tahu, anggota tim
debat dan lain-lain. Dan kini kau bilang tak bisa membujuk Niki untuk bergabung
dengan tim kalian" Wah!"
"Niki membuat keputusannya sendiri." Terry berdiri. "Aku tak memilikinya."
"Wah. Omonganmu berat, Ryan. Tenanglah, oke?" Alex
menjauh dari Terry dan mengangkat tangan seolah melindungi diri
sendiri. "Kau dan aku pernah bersahabat, ingat?"
Pernah, pikir Terry, itulah kata kuncinya.
Ia sadar Alex sedang berusaha meluluhkan perasaannya. Alex
sengaja mengingatkannya bahwa beberapa saat lalu mereka pernah
bersahabat akrab. Alex menatapnya penuh harap, tapi Terry tak bisa menanggapi.
Ia punya perasaan tak enak tentang Alex. Ia tak bisa berpura-pura
ingin bersahabat lagi dengannya.
Mata Alex dipenuhi kekecewaan. "Sampai nanti, man," ujarnya langsung, dan cepat
berdiri dari bangku. Alex berjalan angkuh ke arah perapian. Lagu di tape sudah
selesai. Alex melangkah di antara Niki dan Ricky dan dengan luwes
memegang tangan Niki. Seolah ia memilikinya, pikir Terry, menatap mereka dengan
perasaan tak nyaman yang makin memuncak.
Mencoba tak terlihat sedang mengawasi, Terry berulang kali
mencuri pandang ke arah Alex dan Niki. Mereka berdansa diiringi
sebuah lagu berirama cepat, dan Niki sedang tersenyum.
Apa ia harus tersenyum" Terry bertanya dalam hati. Mungkin ia
harus mendekati dan menghentikan mereka. Tapi hal itu hanya akan
membuat Niki marah, dan Terry benar-benar tak mau bersitegang
dengan Alex. Sesaat ia memperhatikan para pedansa lain. Ricky dan Trisha
kembali berdansa bersama. Terry melihat Ricky mengucapkan sesuatu
yang membuat Trisha tertawa begitu keras sehingga hampir jatuh.
David sedang berdansa bersama Angela. Pemuda itu cukup
pandai berdansa, dan Terry sadar ia tak benar-benar mengenal David.
Pemuda itu lebih pendiam daripada para jagoan lain, dan tampaknya
tak seserius yang lain menanggapi kompetisi itu.
Lagu habis dan disambung yang lain. Niki masih berdansa
dengan Alex. Sudah cukup, kata Terry dalam hati. Ia berdiri untuk
menyeberangi ruangan menghampiri mereka ketika sebuah suara
mendayu-dayu menghentikannya.
"Mau ke mana?" Terry berbalik dan melihat Justine berdiri di belakang sebuah
sofa. "Aku, eh, aku ingin dansa," jawab Terry.
"Wah, kebetulan sekali," ujar Justine. "Aku juga ingin melakukan hal yang sama.
Bagaimana kalau kau berdansa denganku?"
Justine melemparkan senyumnya yang paling hangat, dan Terry
merasa kekesalannya mulai sirna.
"Wah, tentu," jawabnya. "Dengan senang hati."
"Bagus," tukas Justine. Ia memegang tangan Terry dan
membimbingnya ke dekat perapian. Tape player sedang memainkan
lagu slow. Terry melihat Niki berputar melewati mereka dengan Alex,
sang Pangeran Perak, tapi gadis itu tak melihatnya.
Dari jarak dekat, Terry jadi sangat menyadari kehangatan liar
tubuh Justine dan aroma parfumnya - berbeda dari parfum lain yang
pernah diciumnya. Justine semakin merapatkan tubuh pada Terry.
"Bagaimana komentarmu tentang pesta ini?" tanyanya dengan
suara seksi. "Hebat," jawab Terry tulus. "Kurasa semua orang kini benar-benar sedang
menikmatinya." "Bagus," komentar Justine. "Aku ingin kalian semua bersenang-senang."
"Semuanya sempurna," kata Terry, berbicara untuk
mengalihkan perhatian dari perasaannya. "Makanannya, musiknya,
lampunya. Kau sudah memikirkan semuanya. Kau dan pamanmu."
"Omong-omong, Paman Philip kini sedang berada di gudang
loteng," ujar Justine, "mempersiapkan beberapa kejutan ekstra."
"Bagaimana kau bisa mendapat semua gagasan ini?" tanya
Terry. "Kami sudah lama memikirkannya," jawab Justine. "Tapi sudah cukup pertanyaannya.
Nikmati saja musiknya - dan diri kita."
Justine semakin merapat pada Terry, dan sesaat Terry lupa
segalanya kecuali aroma dan kedekatan tubuh Justine.
Tape habis dan para pedansa saling memisahkan diri. Justine
meremas tangan Terry dan pergi untuk memasang tape baru.
Dengan perasaan bersalah, Terry menyadari Niki sedang berdiri
di dekat perapian, menatapnya. Ia tak tampak cemburu, atau bahkan
marah, tapi di wajahnya ada ekspresi yang tak terbaca dan aneh.
Alex mengatakan sesuatu padanya, dan Niki menggelengkan
kepala. Gadis itu mulai berjalan ke arah Terry, tapi tiba-tiba berhenti, matanya
melebar heran. Semua orang mendengar gemuruh benturan di pintu - diikuti
derum keras dari jarak yang agak jauh.
Suara itu begitu keras sehingga Niki merasakan getarannya.
Mulutnya menganga dan ia berbalik ke arah pintu depan.
Ricky membuka pintu, dan suara derum menjadi dentuman
yang memekakkan telinga. Lalu di depan mata semua orang yang melihat dengan terkejut,
dua sepeda motor berkilauan melesat masuk ke dalam ruang tamu!
Chapter 7 YANG pertama dapat dilakukan Terry dan yang lain hanyalah
terperangah kaget menatap para pengendara sepeda motor itu. Mereka
mengenakan jaket dan celana kulit, dan seluruh wajah mereka tertutup helm hitam
mengilat. "Oh, wow!" seseorang berteriak di atas suara gemuruh mesin.
"Keren! Benar-benar keren!" teriak Ricky, menganggap
komentarnya lucu. Pemandangan gila itu mengingatkan Terry pada film Animal
House, yang pernah ia sewa bersama Niki beberapa minggu lalu.
Dalam film itu ada seorang pria yang mengendarai sepeda motor naik-
turun tangga. Apa ini salah satu "kejutan" Justine" Terry bertanya-tanya, menikmati
pemandangan kacau dan gila itu.
Setelah mengeluarkan deruman terakhir, kedua pengendara
sepeda motor itu mematikan mesin. Keheningan yang tiba-tiba
menyelimuti ruangan itu hampir membuat mereka tuli.
Pengendara yang bertubuh lebih besar membuka helm dan turun
dari sepeda motor. Dengan perasaan kecut, Terry melihat orang itu
adalah Bobby McCorey. Mata pemuda itu merah dan di wajahnya
tersirat mimik jahat. "Pesta bagus," katanya sinis.
"Ya," Marty Danforth, pengemudi yang seorang lagi,
menyetujui. Ia memutar-mutar helmnya di tangan sambil mengamati
ruangan itu. "Tempat ini bagus. Sayang kami harus mengetuk
pintunya begitu keras."
"Entah kenapa, pintunya dikunci," tambah Bobby. "Seolah kalian tak menginginkan
kehadiran kami." Justine melangkah maju, wajahnya murka. "Keluar dari sini,"
katanya dengan suara sedingin es.
"Keluar?" ulang Bobby. "Kami baru sampai."
"Sudah kubilang kalian tak diundang," ujar Justine. Ia sama sekali tak terdengar
takut, Terry menyadari, tapi begitu marah hingga suaranya gemetar.
"Yah, kan kami sudah bilang, kami tidak suka tak dilibatkan,"
kata Bobby, memaksakan seringai sok jago di wajahnya.
Kini Philip dengan cepat melangkah ke tengah ruangan. "Siapa
mereka?" tanya pria itu pada Justine.
"Dua badut dari sekolah," jawab justme. "Mereka tak
diundang." Philip mendekati Bobby dan Marty. Mimiknya seperti seorang
guru yang kecewa pada murid-murid di kelasnya. Terry tahu Philip
tak menyadari Bobby dan Marty dapat bersikap sangat kejam.
"Kalau kalian pergi sekarang," ujar Philip, "aku takkan menelepon polisi."
"Kau dengar?" tanya Marty pada Bobby, seringai mengejeknya membeku di wajah. Ia
tampak seperti peniru Elvis yang tak mirip.
"Dia takkan menelepon polisi." Kedua pemuda itu tertawa.
"Jangan berbuat baik pada kami, man," kata Bobby, dan ia
mendorong Philip, dengan keras, di dadanya. Sambil mendesah kaget
Philip terjengkang ke belakang dan membentur sebuah meja.
"Paman Philip!" teriak Justine kaget. Beberapa remaja bergegas mendekat untuk
membantu Philip. Niki, terbelalak takut, berlari
mendekati Terry, mencengkeram tangannya.
"Maaf. Tak sengaja," ujar Bobby, kata-katanya tak jelas. Ia tersandung papan
lantai, dan Terry sadar pemuda itu habis minum-minum.
Kini para remaja lain sudah pulih dari rasa kaget akibat
masuknya para pengendara sepeda motor itu. "Pulang!" beberapa berteriak. "Keluar
dari sini, brengsek!"
Bobby dan Marty mengabaikan yang lain. "Tempat ini bagus,"
kata Bobby. "Agak menyerupai tempatmu, heh, Marty?"
Mereka berdua tertawa seolah Bobby baru membuat lelucon
yang sangat lucu. "Bagaimana kalau kita membantu mereka sedikit dan
membersihkan beberapa sarang labah-labah?" ujar Marty. Ia
melepaskan sebuah rantai dari salah sabuknya dan, dengan satu
gerakan tangan, mengayunkannya ke potongan kertas di atas perapian.
Hiasan itu langsung beterbangan jatuh dalam keadaan koyak.
Terry terperangah tak percaya. Mengapa tak ada yang
melakukan sesuatu" Kini Marty mulai merusak dekorasi di atas
jendela. Terry tak tahan lagi. "Hei, man, jangan lakukan itu!" teriaknya.
Ia maju satu langkah ke arah Marty, tapi gerakan Bobby lebih
cepat. Terry merasa kepalanya tersentak ke belakang seolah baru
ditabrak truk. Sesaat kemudian ia sudah terbaring telentang. Di
atasnya ada wajah Niki, sangat dekat dan ketakutan, menunduk
menatapnya. Ia mencoba duduk, tapi Niki mendorongnya kembali berbaring.
"Jangan mencoba bergerak," bisik gadis itu.
"Oh-oh. Orang kurus ini tersandung," ujar Bobby, menyeringai.
Ia menatap yang lain dengan sorot mengancam. "Kuharap tak ada lagi yang
tersandung - atau apa pun."
Marty tertawa. Mereka melakukan high-five dengan tangan
mereka yang bersarung hitam.
Mereka betul-betul tahu cara bersenang-senang, pikir Terry.
Apa pun yang tadi mereka minum atau isap telah membuat mereka
merasa diri mereka lucu sekali.
Justine kembali melangkah maju. Ia masih marah, tapi Terry
melihat gadis itu juga takut.
"Baiklah, guys," katanya. "Mungkin aku memang melakukan kesalahan. Aku salah tak
mengundang kalian ke pesta ini. Tapi semua
dirancang untuk sembilan orang yang sudah berada di sini. Kalau
kalian sekarang pergi, aku berjanji akan mengadakan pesta khusus -
hanya untuk kalian - minggu depan."
"Hei, tak apa," komentar Bobby. "Kami sekarang sedang bersenang-senang. Jangan
khawatir." Ia berjalan ke arah makanan.
Ricky, Angela, dan Trisha, yang sedang berdiri di sana, cepat-cepat
menggeser minggir. Bobby menggigit salah satu makanan pembuka, lalu
meludahkannya. "Iih!" raungnya. "Benda apa ini" Rasanya seperti ikan!" Dengan
marah ia menoleh pada Justine. "Apa kau tak punya makanan betulan di sini" Chip"
Piza?" "Ada banyak piza di atas rak itu," jawab Justine. "Ambil apa yang kalian mau
dan..." "Bagaimana dengan minumannya?" potong Marty. "Yang
kulihat di sini hanya minuman anak-anak." Ia menoleh pada Philip, yang kini
duduk di atas kursi bar pendek, tampak tak sehat. "Di mana kau menyimpan
anggurmu, man?" tanya Marty.
"Aku tak minum," jawab Philip ketus. "Aku tak pernah
menyimpan alkohol di rumah."
"Aku tak percaya," kata Marty. "Tuan rumah macam apa kau"
Temanku dan aku haus." Ia mencengkeram kerah baju Philip.
"Hentikan!" Teriakan Alex, yang tiba-tiba memecah keheningan, sesaat
menghentikan Marty. Seperti kilat perak, Alex melesat dan
mencengkeram Marty, menariknya menjauhi Philip.
Marty meraung murka. Kemenangan Alex hanya sesaat. Tak
lama kemudian Bobby meraih tubuhnya dari belakang, dan terus
memeganginya sementara Marty menendangnya, keras, di perut.
"Ohhh." Sambil merintih kesakitan, Alex jatuh ke lantai dan terbaring
meringkuk dengan tubuh tertekuk, tersengal-sengal kehabisan udara.
"Oh, man. Ada yang mendapat kecelakaan lagi," kata Bobby,
melangkah melewati Alex. Di bawah tatapan para tamu yang tak berdaya, Bobby dan
Marty mulai mengobrak-abrik ruang tamu tua yang indah itu,
membukai semua pintu dan kabinet serta melemparkan semua yang
mereka temukan ke atas lantai.
Setiap kali ada yang mencoba bergerak untuk menghentikan
mereka, Bobby memutar rantainya dengan gerakan mengancam.
Mereka menemukan sebotol anggur merah di suatu tempat dan mulai
bergantian meminumnya. Hal ini harus dihentikan, kata Terry dalam hati. Mereka
mungkin memang kuat, tapi jumlah kami lebih banyak.
Di seberang ruangan, David menangkap tatapan mata Terry dan


Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk ke arah sepeda motor. Terry balas mengangguk dan
perlahan berdiri serta mulai merayap ke arah kendaraan itu. Dengan
gerakan santai ia memungut sebuah tempat lilin berat dari ujung meja.
Niki memandangnya, matanya lebar ketakutan. "Tak apa," Terry mengucapkan kata
itu tanpa bersuara. Bobby dan Marty sedang sibuk makan dan memorak-
porandakan ruangan itu, hingga baru melihat Terry dan David di atas
motor mereka setelah udara dipenuhi suara derum mesin.
"Hei!" Bobby dan Marty" melupakan apa yang sedang mereka lakukan dan meloncat ke
arah sepeda motor mereka. "Jangan
disentuh!" Tapi Terry dan David sudah siap. Tepat ketika kedua
pengendara motor itu sampai di kendaraan mereka, Terry dan David
meloncat turun dari atas kursi. Bobby dan Marty menerjang kedua
pemuda itu, tapi hanya menangkap angin.
Sambil mengaum murka, Marty berdiri dan mengayunkan
rantainya pada Terry. Terry menangkap ujung rantai dengan tempat lilin. Ia
menariknya, dan Marty berteriak marah serta kesakitan ketika rantai
tertarik lepas dari tangannya.
Sementara itu, David dan Bobby sedang bergumul, berguling-
guling di atas lantai. Bobby seorang petarung yang licik, tapi ia separo mabuk,
dan David lebih cepat. Ia mengunci Bobby di bawah dan
menghantami wajahnya, membuat darah memerciki mereka berdua.
Dengan satu pukulan lagi, David berhasil melumpuhkan Bobby, lalu
ia berdiri, puas. Marty telah melupakan rantainya dan bergerak mendekati Terry
dengan sikap mengancam, sambil mengayunkan tinjunya membabi
buta. Terry berulang kali menghindar dan mundur, mencari
kesempatan, cara untuk menghentikan pemuda itu. Dari sudut
matanya terlihat David tiba-tiba menaiki motor Marty, memutarnya,
dan mengendarainya ke luar ruangan. Ia meloncat turun pada saat
terakhir. "Hei, Marty," panggil David. "Motormu sudah pulang tanpa kau!"
Marty menoleh kaget, lalu berbalik dan mengejar motornya
yang melarikan diri. Sesaat kemudian - terdengar bunyi benturan keras.
"Bagaimana kalau kita melakukan hal serupa pada motormu?"
tanya Terry pada Bobby,yang baru saja berhasil berdiri menegakkan
tubuh. Tanpa berkata apa-apa, Bobby mengayunkan sebelah kaki ke
atas motor, wajahnya berlumuran darah.
"Merasa hebat, ya?" ejek Bobby. Ia pertama membeliak pada
Terry kemudian pada David, dengan penuh kebencian hingga Terry
merasa perutnya mulas. "Riwayat kalian sudah tamat, man. Kalian akan mati.
Kalian berdua." Perlahan ia menatap ke sekeliling ruangan dengan tatapan
mengancam. "Sampai nanti," ujarnya.
Setelah melemparkan tatapan mengancam yang terakhir, ia
menyalakan motornya dan melesat keluar istana itu ke dalam gelap
malam. Chapter 8 BAU asap sepeda motor menggantung di udara. Beberapa
remaja mulai memberikan selamat pada Terry dan David yang
berhasil mengusir kedua pengendara motor itu, tapi mereka
melakukannya tanpa tepuk tangan dan sorak-sorai. Semua tampaknya
masih terguncang. "Kalian hebat," kata Murphy.
"Kami melakukan apa yang harus kami lakukan," ujar David,
menyeka wajahnya yang berlumuran darah dengan tisu. "Mungkin
sementara mereka akan mencari korban lain."
"Justine, mana teleponmu?" tanya Terry. "Kita harus
melaporkannya pada polisi."
Rasa panik dan khawatir terbersit di wajah Justine. "Tidak!
Jangan telepon. polisi!"
"Tapi mereka mendobrak masuk ke rumahmu!" sergah David.
"Mereka merusaknya! Dan kau dengar ancaman mereka."
"Hanya itu - hanya ancaman," kata Justine. Ia" mendekati David, memegang
lengannya, dan menatapnya. "Mereka cuma
pengganggu. Banyak lagak tapi tak berisi. Mereka takkan berani
kembali setelah kau dan Terry melawan mereka."
"Yah, aku tak yakin," ujar David ragu-ragu.
"Benar kok, sekarang semuanya sudah baik," tukas Justine.
"Memang beberapa dekorasi rusak, tapi tak ada masalah, kan" Yang penting tak ada
yang luka. Alex" Terry" Apa kalian semua baik-baik
saja?" "Ya," gumam Alex.
"Aku tak apa-apa," jawab Terry. Pipinya yang ditinju Bobby masih nyeri, dan ia
menduga akan jadi lebam besar, tapi lukanya tak
serius. "Terima kasih, kalian semua, karena telah bersikap sangat
berani," kata Justine, memamerkan senyumnya yang paling
sensasional. Sekilas mimik nakal terbersit di wajahnya, dan kemudian ia
menambahkan, "Nah, apa sekarang kalian cukup berani untuk
menghadapi kejutan berikutnya?"
"Maksudmu, kita akan meneruskan acara seolah tak terjadi apa-
apa?" tanya Angela. "Yah, kuharap begitu," komentar Justine. "Jika sekarang kita berhenti, Bobby dan
Marty akan menang. Lagi pula," tambahnya,
wajah cantiknya cemberut, "aku telah bekerja begitu keras
mempersiapkan semuanya. Kita bahkan belum menemukan separo
kejutannya." "Kita juga belum menyelesaikan masalah antara tim jagoan dan
pengecut," tambah Murphy Carter. "Tentu saja, jika kalian tim pengecut mau
mengaku kalah sekarang..."
"Tak mungkin!" sergah Ricky. "Tekad kami sebesar tekad kalian. Dan sekadar tahu
saja, tim kami masih punya beberapa
tipuan." "Bagus," kata Justine. "Kalau begitu sudah kita putuskan.
Kalian santai saja sebentar. Akan kukeluarkan makanan tambahan.
Dan kemudian beberapa menit lagi kita bisa memulai perburuan harta
karun." Ia menghilang ke arah dapur.
Terry mulai bisa bernapas kembali dan bertanya-tanya apa
kejutan Justine yang berikutnya. Diam-diam ia melirik ke arah Alex,
yang sedang bersandar di dinding dekat perapian, sudah seratus persen pulih dari
lukanya. Alex melihat tatapannya dan mengangkat bahu. Lalu mulutnya
membentuk satu kata: pengecut. Terry tahu ia harus waspada. Alex
masih memainkan kontes konyol ini. Itu berarti Terry juga harus
melakukannya. Tak mungkin Alex akan menang, setelah semua yang
terjadi. Justine dan Philip mengeluarkan nampan berisi minuman cider
apel panas dan kue-kue, dan tak lama kemudian semua sudah kembali
rileks dan bersengat untuk meneruskan pesta.
Mesin tape sedang memainkan lagu-lagu lama dari tahun lima
puluhan, dan Trisha serta Ricky mulai berdansa diiringi At the Hop.
Trisha tampak tersenyum dan kembali gembira.
"Aku suka lagu-lagu lama ini!" ujar Angela, bertepuk tangan seirama musik. Ia
bersandar di sudut perapian batu, lalu memekik
ketika benda itu bergeser dan terbuka.
Di tempat dinding batu itu kini terdapat... sebuah kerangka
manusia, wajah kosongnya menyeringai dingin.
Terdengar beberapa jeritan, dan kemudian suara tawa, ketika
semua orang menyadari itu adalah satu lagi "kejutan".
"Rupanya kau telah menemukan salah satu pintu jebakan kami,"
ujar Justine sambil tersenyum.
"Salah satu?" ulang Angela. "Maksudmu, masih ada lagi?"
"Ingat," kata Justine. "Aku menjanjikan banyak kejutan."
"Keren," tukas Angela.
"Bagaimana keadaanmu, Muka Lucu?" tanya Terry pada Niki,
yang sedang bersandar di bantal sofa di sebelahnya, menyesap cider.
"Oke," jawab gadis itu. "Bagaimana keadaanmu?" Dengan lembut ia menyentuh pipi
Terry yang dipukul Bobby.
"Aku baik-baik saja," jawab pemuda itu.
"Aku hanya berharap Bobby dan Marty tak..." Ucapannya
terpotong oleh teriakan kaget.
"Apa itu?" protes Angela, wajahnya mengernyit jijik.
"Otak manusia," kata Ricky. Ia sedang berdiri di depannya, dengan mimik polos
memegang sebuah kotak logam berwarna gelap.
"Yang benar!" sergah Alex. "Dari mana kau bisa mendapat otak manusia?"
"Dari pamanku," ujar Ricky, masih dengan tampang polos. "Dia punya perusahaan
pemasok alat-alat kedokteran. Dia
meminjamkannya untuk pesta ini."
Angela tampak seolah akan muntah.
"Coba kulihat!" sergah Murphy.
"Aku tak boleh mengeluarkannya, nanti rusak," ujar Ricky,
semakin kencang memegang kotak itu. "Tentu saja, jika kau mau
menyentuhnya..." Alex dengan berani memasukkan tangannya ke dalam kotak,
lalu secepat kilat mengeluarkannya sambil memaki pelan.
"Agak berlendir, ya?" tanya Ricky bangga. "Ada lagi yang mau mencoba?"
"Tentu," jawab David. Ia berjalan mendekati Ricky, berpura-pura akan memasukkan
tangannya ke dalam kotak, tapi tiba-tiba
merampas dan membaliknya. Isi kotak bergulir keluar, mendarat di
lantai perapian dengan suara menjijikkan.
"Otak apa itu!" sergah David. "Kelihatannya seperti spageti dingin. Kena kau!"
"Tidak, kalian yang kena," bantah Ricky. "Angela dan Alex mengira ini otak."
"Tidak, kami tak mengira begitu," protes Alex. "Kami hanya berpura-pura. Kali
ini tim jagoan yang dapat skor satu..."
Perdebatan mereka terhenti oleh dering bel kecil yang
dibunyikan Justine. "Perhatian, perhatian!" Ia berdiri di depan perapian, dan dengan berbingkai
lidah api, tampak benar-benar seperti vampir. Di satu sisi perapian, pamannya
Philip duduk membungkuk di atas sebuah kursi
bar, air mata artifisialnya berkilauan di wajah badutnya yang
bermimik sedih. "Apa semua orang sudah siap berpesta?" tanya Justine. Tanpa menanti jawaban, ia
meneruskan. "Kini tiba saat kejutan yang
berikutnya. Kali ini adalah perburuan harta karun, tapi bukan
sembarang perburuan harta karun seperti yang pernah kalian dengar."
"Perburuan harta karun!" teriak Trisha. "Menyenangkan sekali!"
"Yang benar," tukas Murphy. "Perburuan harta karun hanya untuk anak kecil - dan
pengecut." Justine, masih tersenyum, menoleh ke arah Murphy. "Kau
mungkin akan berubah pendapat kalau melihat daftar harta karun yang
harus dicari," ujarnya menggoda. "Tapi, tentu saja, tak ada yang harus
berpartisipasi. Memang permainan ini agak berbahaya. Perburuan
harta karun ini hanya untuk mereka yang benar-benar berani."
"Hei, aku tak pernah mengatakan takkan berpartisipasi," bantah Murphy.
"Bagus," komentar Justine, mata hijaunya yang seperti kucing berkilauan penuh
gairah. Ia mulai membagikan salinan sebuah daftar.
"Ini adalah daftar barang yang telah disembunyikan olehku dan Paman Philip di
sekitar istana," ujarnya meneruskan. "Di setiap ruangan ada harta karun - di kedua
lantai serta di gudang loteng dan bawah tanah.
Tim mana pun yang menemukan harta karun paling banyak pada
tengah malam akan mendapat sebuah hadiah istimewa."
Semua merenggut daftar itu dan bersiap-siap lari pergi, tapi
suara Justine menghentikan mereka. "Satu hal lagi," tambahnya.
"Kuminta kalian hati-hati. Karena... semua bisa terjadi pada malam Halloween."
Trisha menemukan harta karun pertama bahkan sebelum ada
yang meninggalkan ruang tamu itu. Ketika Justine masih
menerangkan peraturannya, Trisha dengan hati-hati memindahkan
makanan yang masih ada di atas peti mati dan membuka bungkusan
itu. Di dalamnya terlihat sebundel tulang terbungkus kain biru
compang-camping. Tulang tangan mumi.
"Aku menemukan sebuah harta karun!" teriaknya. "Tapi, Justine, apakah ini tangan
mumi asli?" "Seharusnya begitu," jawab Justine. "Kami memperolehnya di Mesir."
Selama beberapa menit berikut semua memeriksa lantai dasar.
Berulang kali terdengar pekikan dan tawa ketika satu per satu
menemukan sebuah harta karun - atau tipuan - baru.
"Menyenangkan, ya!" komentar David, ter?tawa, ketika ia dan Terry secara
bersamaan berjalan masuk ke dalam ruang penyimpanan
bahan makanan dari pintu berlawanan.
"Barang-barang aneh milik Justine dan pamannya benar-benar
mengagumkan," kata Terry. Ia memperlihatkan pada David satu-
satunya harta karun yang telah ia temukan sejauh ini - seekor
tarantula berbulu yang diawetkan dalam pemberat kertas kaca. "Aku menemukannya
di tangki air kloset."
"Aku menemukan harta karunku di dalam sebuah terarium,"
ujar David, memperlihatkan pada Terry sebuah kobra yang telah
diawetkan. "Pertama kukira binatang ini masih hidup karena bergerak-gerak. Tapi
kemudian kulihat tubuhnya disambungkan ke sebuah
motor listrik." "Aku bahkan tak yakin ingin menemukan beberapa benda yang
terdaftar di sini," tukas Terry, membaca daftarnya. "Sebotol darah?"
"Murphy sudah menemukannya," kata David. "Dia sedang
mondar-mandir di koridor depan dan tersandung sebuah papan lantai
yang lepas. Botol itu ada tepat di bawahnya."
"Sampai nanti," ujar Terry. David orang baik, ia menyadari.
Sayang para jagoan lain tak seperti pemuda itu. Saat memikirkan tim
jagoan ia jadi ingat pada Alex, yang membuatnya teringat pada Niki,
dan ia bertanya-tanya di mana gerangan gadis itu dalam rumah besar
yang mengerikan ini. Mungkin nanti ia akan bertemu Niki.
************************ Niki membaca daftar itu dengan separo hati. Meskipun ini
adalah pesta terhebat yang pernah dihadirinya, ia tak terlalu tertarik pada
permainan. Pesta ini masih terasa misterius baginya. Tak ada yang cocok.
Perburuan harta karun ini; putusnya, merupakan kesempatan terbaik
untuk menjelajahi istana ini dengan bebas.
Ia mengingat percakapan yang ia baca dari bibir Justine saat
gadis itu berada di bilik telepon, dan kini telah memutuskan hal itu tak
berkaitan dengan pesta ini.
Justine kelihatannya hanya ingin membuat para tamunya
senang. Dan meskipun pamannya aneh, gadis itu benar-benar ramah.
Tapi masih ada sesuatu tentang dirinya yang menimbulkan
tanda tanya, dan Niki bertekad menemukan apa itu. Ia sebenarnya
merasa agak bersalah karena memeriksa rumah itu, tapi perburuan
harta karun ini memberinya alasan yang tepat. Tindakannya bahkan
takkan berkesan ingin tahu...
Ia kini sedang memeriksa kamar-kamar di lantai atas. Sejauh ini
tak ada yang berisi sesuatu yang menarik perhatiannya.
Ia memasuki sebuah kamar tidur besar di bagian belakang
rumah dan menyalakan lampu. Ia meloncat mundur, jantungnya
berdebar kencang, ketika sebuah kepala besar berkilauan jatuh
menggantung di depannya. Sesaat kemudian ia sadar itu adalah salah
satu kejutan Justine.

Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia kembali mematikan lampu, dan kepala itu tertarik lagi ke
langit-langit, digerakkan rel otomatis. Setelah mencari-cari sebentar, ia
menemukan sebuah lampu dan menyalakannya, kemudian
tersenyum puas. Ketika melihat botol-botol parfum dan kosmetika di atas meja
rias antik, serta seprai satin pink yang indah, ia sadar ruangan itu pasti kamar
tidur Justine. Kita bisa tahu banyak tentang seseorang dengan memeriksa
kamar tidurnya, pikir Niki. Sebagai contoh, lihat kamar tidurnya
sendiri. Peralatan jahit dan guntingan foto model baju di papan
tempelnya memperlihatkan minatnya pada rancangan pakaian.
Koleksi boneka anjingnya menunjukkan bahwa ia penyayang binatang
dan berharap suatu saat bisa memeliharanya. Dan poster penyanyi
rock-nya menandakan jenis musik yang ia sukai.
Tapi, ia menyadari, saat berdiri di tengah kamar tidur Justine,
kamar ini sama sekali tak banyak memperlihatkan siapa Justine. Tak
ada boneka binatang, tak ada foto bintang film atau penyanyi rock, tak ada
petunjuk apa hobinya, sama sekali tak ada yang bersifat pribadi, kecuali sebuah
foto sepasang pria-wanita yang sedang tersenyum,
bergaya tahun lima puluhan, dalam bingkai berukir di atas meja rias.
Buku sekolah Justine dijejerkan di atas radiator, tapi di ruangan
itu tak ada yang bisa dipakai sebagai meja tulis.
Aneh, pikir Niki. Justine rupanya tak terlalu menanggapi
sekolah dengan serius. Tapi, Niki mengingatkan diri sendiri, setelah semua
tempat yang pernah ditinggalinya, Shadyside pasti terasa
sangat tak berarti. Niki membuka semua laci pakaian, tapi di dalamnya hanya ada
beberapa pasang pakaian dalam dan sweter.
Rasa ingin tahunya semakin memuncak oleh apa yang tidak ia
temukan. Niki membuka pintu lemari pakaian dan terkejut melihat
isinya hampir tak ada, kecuali pakaian sekolah yang ia lihat dipakai Justine.
Di mana jins, kaus olahraga, sepatu olah-raganya" Apa yang ia
kenakan setelah pulang sekolah" Apa ia sama sekali tak punya baju
pesta" Niki mengambil senter, menyorotkannya ke seluruh bagian
dalam lemari pakaian, lalu melihat celah kecil berbentuk kotak di
bagian belakang. Ia ingat pintu jebakan di perapian dan bertanya-tanya apakah
ini satu lagi pintu rahasia.
Dengan penuh semangat, ia melangkah ke bagian belakang
lemari pakaian dan mulai menekan-nekan celah itu dengan ujung
jarinya. Tak ada yang terjadi.
Sambil mengernyit, Niki menatap pintu lemari pakaian, lalu
mulai meraba-raba rak pakaian yang kosong. Jarinya menyentuh
sebuah kenop kecil dan ia memutarnya. Bagian belakang lemari
pakaian berayun terbuka, memperlihatkan sebuah lemari pakaian yang
lebih besar. Niki mendesah kaget. Lemari pakaian tersembunyi itu penuh sesak berisi pakaian -
tapi pakaian yang sangat berbeda dari baju sehari-hari yang pernah
dilihatnya. Pada awalnya Niki mengira pakaian-pakaian itu mungkin
peninggalan mereka yang pernah tinggal di istana Cameron.
Tapi ketika melepaskan beberapa baju dari gantungannya, ia
melihat semua pakaian itu masih baru, banyak yang berlabel
perancang mahal dan toko-toko terkenal di New York, San Francisco,
serta Paris. Ada setelan wol indah, gaun koktail satin mengilat, rok dan
jaket warna-warni dengan model canggih yang takkan pernah dipakai
orang semacamnya. Sebuah rak krom di atas lantai berisi lusinan
sepatu hak tinggi dalam berbagai jenis kulit dan warna-warni pelangi.
Bagian belakang ruang itu berisi tiga gaun resmi maksi yang
indah dan dua mantel bulu, satu cerpelai dan satu serigala.
Niki tak bisa mempercayai matanya. Ini adalah koleksi pakaian
terindah yang pernah ia lihat. Apakah semua ini milik Justine" Tapi
kapan ia memakainya" Dan mengapa semua disembunyikan seperti
ini" Mungkin, Niki memutuskan, ini adalah koleksi pakaian ibu
Justine. Tapi tak ada yang benar-benar tahu apakah Justine punya ibu atau tidak.
Mungkin ada wanita lain, yang lebih tua, yang tinggal di sini - kekasih atau istri
Philip, mungkin" Tapi kalau begitu, mengapa
Justine sendiri hanya punya beberapa baju"
Ini benar-benar misterius, pikir Niki. Ia suka misteri.
Sebuah lemari laci pendek menempel di satu sisi lemari pakaian
dan Niki membuka laci-lacinya, melihat lipatan baju dalam warna
pastel, baju tidur, dan pakaian dalam sutra. Di laci paling bawah ada sebuah
bungkusan. Ia membukanya, bahkan tak mempertimbangkan
kemungkinan tertangkap basah, dan terkejut melihat foto berbingkai
yang memperlihatkan Justine serta seorang pria sedang berpelukan,
saling menatap penuh cinta. Tapi pria itu jauh lebih tua - dari helai
uban di rambutnya, paling tidak empat puluh tahun.
Apakah Justine punya affair dengan pria yang lebih tua"
Apakah itu sebabnya ia tak pernah pergi dengan pemuda satu sekolah
atau menghadiri pertandingan"
Niki dengan hati-hati mengembalikan semuanya ke posisi
semula, lalu menutup pintu lemari pakaian rahasia itu. Ia baru akan
keluar dari kamar Justine ketika matanya melihat pintu kamar mandi.
Ia masuk dan, dengan hanya merasa sedikit bersalah, membuka
laci lemari obat. Lemari itu berisi benda-benda yang biasa ada dalam kabinet
obat: pasta gigi, pencuci mulut, beberapa botol cat kuku dan kosmetika lain,
aspirin, serta sekotak Band-Aid.
Ada tiga botol obat resep di rak paling atas. Niki
menurunkannya satu demi satu. Ia tak mengenali nama obat-obat itu,
kecuali sejenis obat tidur yang kadang dipakai ibunya. Tapi semua
label obat itu bertuliskan "Enid Cameron".
Enid" pikir Niki. Siapa Enid" Istri Philip"
Tapi berapa banyak pun penjelasan yang ia pertimbangkan,
jawaban yang selalu muncul di benaknya adalah Justine kemungkinan
menjalani sebuah kehidupan ganda.
Pada siang hari ia bersekolah seperti layaknya remaja lain. Tapi
pada malam hari dan pada akhir pekan ia mempunyai hidup yang
sama sekali berbeda, yang tak diketahui siapa pun.
Tapi mengapa" Dan mengapa merahasiakannya"
Mungkin, pikir Niki, ia hanya berkhayal yang bukan-bukan.
Mungkin ada penjelasan yang masuk akal untuk semua yang telah ia
lihat. Ia harus bicara pada Terry, Niki menyadari. Jika ada yang bisa memecahkan
teka-teki ini, orang itu pasti Terry.
Kini yang harus, ia lakukan hanyalah mencarinya, di suatu
tempat di istana ini. *******************************
Terry sangat menikmati perburuan harta karun ini. Sejauh ini,
selain tarantula tadi, ia telah menemukan tiga benda yang ada dalam
daftar: tengkorak kepala monyet mengilap yang disembunyikan dalam
keranjang pakaian, bola kristal, dan penemuan terbarunya, leontin
gading berbentuk belati. Ia menemukan leontin itu ketika membuka sebuah lemari dan
ketakutan setengah mati melihat sesuatu yang tampak seperti
potongan kepala berlumur darah, tapi yang ternyata, setelah diamati
lagi, kepala maneken, dilumuri saus tomat.
Setelah hilang rasa takutnya, Terry menemukan leontin itu di
leher maneken. Ia tertawa dan menambahkannya pada koleksi barang
rampasannya. Ia mendengar beberapa pemburu harta karun lain berjalan ke
arahnya, lalu ingat Justine berkata pamannya Philip sedang
mempersiapkan beberapa kejutan di gudang loteng. Ia mencari-cari
dan menemukan tangga sempit menuju ke atas.
Saat menaiki tangga yang berderit-derit dan gelap ke gudang
loteng, ia merasa jantungnya berdegup kencang karena antisipasi dan
agak takut. Harta karun apa yang akan ia temukan di sana" Kejutan
menakutkan apa" Ini memang pesta terhebat yang pernah ia hadiri.
Gudang loteng itu sempit dan berdebu, serta penuh kotak dan
koper tua. Terry sadar, dari lapisan tebal debu di atasnya, benda-benda itu
telah dikunci di sini bertahun-tahun lalu.
Ia menyalakan lampu di langit-langit dan melihat sebuah pintu
lemari dinding. Tempat sempurna untuk menyembunyikan barang-
barang yang tertulis dalam daftar, pikirnya.
Sambil menyeringai sendiri, Terry menarik pintunya hingga
terbuka, lalu berhenti dan menatap kaget.
"Tidak! Oh, tolong... tidak!"
Ruangan berubah menjadi putih. Terry tercekik tak bisa
bernapas. Ia berpegangan di pintu lemari dinding dan menatap ke dalam
bilik remang-remang itu. "Alex" Alex?" teriaknya.
Tergantung di seutas tali, tampak tubuh sang Pangeran Perak,
lehernya tertekuk janggal. Darah merah lengket memerciki bagian
depan kostumnya yang indah. Dan membentuk kubangan di lantai
ruang itu. Tes, tes, tes... Chapter 9 INI satu tipuan lagi, pikir Terry.
Kumohon. Oh, kumohon... semoga ini hanya tipuan lagi.
Tapi kostum perak itu nyata. Dan darahnya terus menetes di
depan mata Terry. Tes, tes, tes. Ritme teratur yang ia tahu akan diingatnya seumur hidup.
Ia masih menatap sosok temannya yang tertekuk, mencoba
mengumpulkan tenaga untuk mencari seseorang, ketika ia mendengar
sebuah suara di belakangnya. "Apa... oh, tidak!"
Suara itu milik David, matanya membeliak ngeri.
"Aku baru menemukannya," ujar Terry, suara dan tangannya
gemetar. "Mungkin ini tipuan lagi."
"Kurasa bukan," bantah David. "Jangan sentuh dia. Aku akan cari bantuan."
"Aku ikut," Terry tak mau lagi berduaan bersama mayat Alex.
Dalam perjalanan menuruni tangga, mereka bertemu Ricky,
Trisha, dan Les. Dengan cepat David menceritakan apa yang
ditemukan Terry. "Kita harus panggil ambulans!" tukas Trisha. "Mungkin dia hanya terluka."
"Lebih dari itu," bantah David. "Kau tak melihatnya.
Lehernya... semua darah itu..."
Terry gemetar, teringat pada kostum Alex yang bernoda darah.
Ia memang punya masalah dengan Alex, tapi tak ada yang layak
mengalami hal seburuk itu.
"Setidaknya telepon polisi!" usul Les.
"Pertama kita harus memberitahu Justine dan pamannya apa
yang terjadi," ujar David. "Mereka akan tahu harus melakukan apa."
Justine dan pamannya sedang duduk di depan perapian,
berbicara bersama dengan suara rendah. Ketika para tamu yang
ketakutan itu menerobos masuk ruang tamu dan menceritakan apa
yang terjadi, Justine langsung meloncat berdiri, rasa prihatin terpancar dari
wajah cantiknya. "Kau telepon polisi," ujar Philip pada Justine. "Akan kulihat bagaimana
keadaannya." "Tunggu, Paman Philip!" kata Justine. "Jangan melibatkan polisi... dulu." Philip
mengangguk dan bersama yang lain mereka lari menaiki dua deret tangga menuju
gudang loteng. "Ada di sini," kata Terry, memimpin yang lain ke lemari
dinding. Ia mempersiapkan diri terhadap apa yang ia tahu akan
dilihatnya, dan menarik pintu.
Di dalam sama sekali tak ada apa-apa.
"Aku tak percaya!" teriaknya.
"Di mana dia?" tanya David pada saat bersamaan.
"Lucu sekali," ujar Trisha marah. "Kau seharusnya tahu, Terry, kau tak boleh
menipu anggota timmu sendiri!"
"Ini bukan tipuan!" protes Terry. "Aku melihatnya - kami berdua melihatnya!"
"Dia tadi ada di sini," tambah David. "Dan darahnya
bertetesan." Ia membungkuk serta menyentuh lantai lemari dinding.
"Kering," ujarnya, terdengar heran.
"Rupanya bukan hanya aku yang mempersiapkan 'kejutan',"
kata Justine sambil tersenyum kecil. "Ayo, Paman Philip, kita kembali ke bawah."
Yang lain sudah akan beranjak mengikuti mereka ketika Niki
masuk ke dalam gudang loteng.
"Ada yang lihat Terry?" tanyanya. Lalu ia melihat pemuda itu.
"Ada apa" Apa yang sedang kalian semua lakukan di sini?"
Dengan cepat yang lain menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Jadi, kami naik ke sini," Les menyelesaikan penuturannya, "dan bukan hanya tak
ada mayat, tapi lemari dindingnya juga kosong.
Rupanya mereka mengarang cerita ini."
"Apa kau mengarangnya?" tanya Niki pada Terry, matanya
mengamati wajah Terry. "Tidak," ulang Terry. "Aku lihat mayatnya. Asli. Aku tak tahu sekarang di mana,
tapi tadi ada di sini."
"Kalau dipikir-pikir," tukas Ricky, mulai terdengar khawatir,
"memang sudah cukup lama aku tak melihat Alex. Yang lain
bagaimana?" "Mungkin kau hanya merasa melihat sesuatu," kata Niki. "Di sini remang-remang,
banyak bayangan." "Yang kami lihat nyata," bantah David. "Itu Alex."
"Kalau begitu, kalau dia... seperti yang kaubilang... Kita harus menemukannya!"
sergah Niki. "Ayo, Terry, kita cari di seluruh ruangan."
Tak ada yang mau mencari sendirian, jadi enam orang - Terry,
Niki, Les, David, Ricky, dan Trisha - dengan hati-hati mencari di
belakang kotak-kotak di gudang loteng, lalu merayap menuruni tangga
serta mulai memeriksa semua kamar di lantai dua.
"Ini kamar Justine," ujar Niki, membuka pintu. "Mungkin dia hanya..." Suaranya
diakhiri dengan jeritan. Yang lain berkerumun mendekat. Berbaring di ranjang Justine,
tampak sang Pangeran Perak.
Tapi begitu mereka mendekat, jelaslah sosok itu bukan Alex.
Ricky yang pertama mendekati ranjang. "Hei!" sergahnya. "Ini hanya..."
"Sebuah boneka!" Terry menyelesaikan kalimatnya. Benda
yang tergeletak di ranjang adalah baju perak Alex, penuh berisi
potongan kain tua. "Darah" yang dilihat Terry dan David adalah serpihan selofan
merah yang agak bergerak-gerak sehingga mirip
darah. Dalam sinar terang, Terry hampir tak percaya ia telah tertipu mentah-
mentah. Yang tadi dilihatnya begitu nyata sehingga ia bahkan
membayangkan suara darah yang menetes ke lantai. Betapa tololnya!
"Kena kau!" Alex melompat keluar kamar mandi, mengenakan
jubah mandi biru, tertawa begitu keras sehingga hampir tak bisa
bernapas. "Kau tak apa-apa?" tanya Niki, terbelalak.
"Dia baik-baik saja!" ujar Terry jijik. Suaranya kembali
gemetar, bukan karena takut, tapi karena marah. "Itu tipuan busuk!"
protesnya pada Alex. "Kami mengira sesuatu telah benar-benar
menimpamu!" "Aku tersentuh oleh perhatianmu," kata Alex sambil tersenyum mengejek, puas.
"Kau hebat,.. David."
"Memang terlihat cukup asli," komentar David, juga tersenyum mengejek.
"Maksudmu, kau juga terlibat?" Terry bertanya pada David,
sangat marah. "Tentu saja," kata Alex. "Kalau tidak, bagaimana mungkin kami meyakinkan kalian
semua untuk membuang begitu banyak waktu


Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari mayatku" Ketika kalian kebingungan mencari sang Pangeran
Perak, anggota tim jagoan yang lain menyelesaikan perburuan harta
karun. Sayang, guys, kalian kalah lagi!"
Niki memandang Alex, kini ikut marah. "Tindakanmu sangat
jahat, Alex!" katanya. "Aku tak tahu kau bisa melakukan sesuatu sebusuk itu!"
Sesaat Alex tampak terluka, lalu kembali tersenyum mengejek.
"Hei," katanya. "Apa kau tak tahu, semua cara boleh ditempuh dalam cinta dan...
tipuan Halloween" Lagi pula, Niki," ia menambahkan,
"aku memberimu banyak kesempatan untuk bergabung dengan tim
pemenang." "Ayo, Terry," ajak Niki, meraih tangan pemuda itu. "Ayo kita kembali ke pesta."
"Tolong kalian semua keluar," ujar Alex. "Aku harus kembali mengenakan kostumku -
supaya tim kami dapat mengambil hadiah
perburuan harta karun."
Ketika mereka berjalan kembali ke ruang tamu, kepala Terry
terasa pening. Ia suka kejutan. Tapi tipuan kecil Alex telah
membuatnya terguncang. Rupanya aku masih punya perasaan terhadap Alex, pikir Terry.
Kalau tidak, aku pasti bisa berpikir lebih jernih ketika menemukan
boneka yang mengenakan kostumnya tergantung di lemari itu.
Di ruang tamu, Murphy dan Angela sedang berdansa dalam
sinar remang lampu "Harta karun" mereka ditumpuk di atas sebuah meja dekat
perapian. "Mau punch?" tanya Terry pada Niki.
"Kedengarannya enak," jawab Niki. "Akan kucarikan tempat duduk. Aku harus bicara
padamu." Terry membawa dua cangkir punch dan kemudian duduk di
sofa dekat Niki. Gadis itu masih secantik ketika pertama kali datang tadi, tapi
matanya mengecil khawatir.
"Masih kesal pada perbuatan Alex?" Terry bertanya padanya.
"Tidak juga," jawab Niki. "Ini mengenai hal lain. Ingat yang kukatakan padamu
tentang apa yang diucapkan Justine kemarin?"
Terry memotong perkataannya dengan heran. "Kau tak masih
berpikir dia sedang merencanakan sesuatu?" tanyanya. "Justine adalah satu-
satunya orang dalam pesta ini yang belum melakukan apa pun
yang aneh." "Mari kuceritakan apa yang kutemukan," Niki meneruskan.
"Dan katakan apa pendapatmu, Saat kau sedang mencari harta karun, aku masuk ke
kamar Justine..." "Kau memeriksa kamarnya?"
"Dia tak mengatakan bahwa ada bagian rumahnya yang tak
boleh dimasuki," Niki mengingatkannya. "Lagi pula, aku ingin tahu.
Terry, di kamarnya tak ada benda-benda yang biasa dimiliki seorang
remaja sekolah menengah..."
"Yah, mengapa dia harus mempunyainya?" tukas Terry. "Dia baru pindah ke sini
beberapa bulan lalu. Lagi pula, dia sudah tinggal di seluruh dunia. Dia mungkin
lebih tertarik pada benda-benda yang
dia dapatkan dalam perjalanannya daripada bendera dan warna-warna
sekolah." "Dia juga tak punya barang-barang dari perjalanannya," lanjut Niki. "Kamarnya
boleh dibilang kosong, hanya ada satu hal..."
Niki menceritakan tentang lemari dinding tersembunyi dan
pakaian yang ia temukan di dalamnya, serta foto Justine dengan
seorang pria yang lebih tua.
"Oke," kata Terry. "Nah, ada satu penjelasan sederhana. Justine adalah agen CIA
dan pria itu mata-mata Rusia."
"Serius dong!" sergah Niki, tapi ia juga tertawa. "Begini, aku tahu ini
terdengar gila, tapi yang kutemukan di kamar Justine tak
masuk akal. Dan aku juga menemukan beberapa botol obat resep yang
dibuat untuk Enid Cameron."
"Itu namanya di CIA," ujar Terry. "Dan itu sebabnya dia mengadakan pesta ini.
Dia akan meminta semua orang yang
diundangnya menjadi mata-mata."
"Mungkin dugaanmu tak terlalu meleset," kata Niki. "Terry, aku benar-benar
berpikir Justine menjalani semacam kehidupan ganda."
"Yah, mungkin dia memang melakukannya," komentar Terry.
"Tapi, terus kenapa" Kalau kau memang benar-benar terganggu
dengan hal itu, tanyakan padanya. Dia gadis yang sangat baik, dan aku yakin dia
takkan mau ada yang mencurigai... "
Terry menghentikan ucapannya ketika bel Justine kembali
berdering. Suara itu berasal dari atas, dan semua mata menoleh untuk melihat
Justine berdiri di pagar balkon di atas ruang tamu, di atas meja di sebelahnya
terdapat sebuah kotak terbungkus kertas emas.
"Tiba waktu memberikan hadiah pada pemenang perburuan
harta karun," katanya. "Dan aku sangat bahagia karena permainan ini begitu
sukses. Meskipun" - ia berhenti sebentar dan tersenyum
nakal - "ada satu-dua kejutan yang bahkan aku pun tak
merencanakannya." Sebagian besar remaja bertepuk tangan dan bersorak-sorai, dan
Justine membungkuk sedikit. "Hadiahnya adalah cokelat istimewa dari Paris,"
katanya. "Siapa yang mau menerimanya sebagai wakil tim pemenang?"
"Aku," jawab Alex. Ia sudah kembali mengenakan kostum, dan tetap tampak tampan
waktu perlahan menaiki tangga menghampiri
Justine. "Sempurna," kata Justine mendesah. "Cokelat, emas - untuk seorang Pangeran Perak."
Ia membungkuk untuk mengambil kotak
emas, lalu agak sempoyongan serta berpegangan di pagar balkon.
Sebelum ia dapat menyerahkan cokelat kepada Alex, pagar balkon
tiba-tiba lepas, dan sambil menjerit seram, Justine terjerunuk ke depan dan
terjun ke lantai di bawah!
Chapter 10 DIA jatuh begitu cepat hingga tak ada yang sempat bergerak.
Jeritannya bergaung di langit-langit tinggi.
Ia mendarat keras di atas salah satu sofa beludru berwarna gelap
di bawah balkon dan tak bergerak.
Terry dan yang lain berlari ke sofa itu, terlalu takut untuk
bicara. Justine berbaring telentang di sofa, terpejam, lengannya
tertekuk bengkok di punggung sofa.
Alex yang paling dulu mencapainya. "Justine!" teriaknya.
Mata gadis itu membuka dan ia perlahan duduk.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, pening.
Terry sadar ia menahan napas. Apa lagi yang akan terjadi
sesudah ini" ia bertanya-tanya.
"Kau jatuh," kata Alex pelan pada Justine. "Kau tak apa-apa?"
"Kurasa," jawab Justine. "Tapi bagaimana..."
"Pagar balkon - patah begitu saja," potong Alex.
"Tapi bagaimana mungkin?" tanya Justine. "Pagar itu kokoh -
kami sudah memeriksakan semua struktur kayu di rumah ini sebelum
kami pindah." Ia bersandar di bantal dan mengerang nyeri.
"Pergelangan tanganku...," katanya.
"Mungkin terkilir," kata Alex, memegangnya. "Kau punya pembalut elastik?"
Ketika Trisha dan Angela mengambil perban, remaja lain mulai
menaiki tangga untuk menyelidiki lokasi pagar yang putus. Tapi
Philip sudah berada di atas, dan meskipun memakai topeng badut
berwajah sedih, ia tampak marah.
"Baik!" katanya dengan nada tegas, lebih keras daripada yang didengar Terry
sepanjang malam. Semua berhenti terpaku. "Siapa di antara kalian yang melakukan
hal ini?" "Melakukan apa?" tanya Murphy. "Tangga balkon tiba-tiba..."
"Kayunya digergaji!" tukas Philip.
Ia mengacungkan sepotong patahan kayu, dan semua bisa
melihat kayu itu telah dipotong rata.
"Tim jagoan yang melakukannya!" sergah Ricky, mundur
menuruni tangga seperti yang lain. "Kami dengar beberapa tipuan mereka
berbahaya!" "Kami tak melakukan apa-apa!" bantah Murphy. "Mengaku saja, kalian pelakunya -
karena kalian tak mau kalah!"
"Kau benar-benar gila, ya?" protes Les. "Untuk apa kami melakukan hal sebodoh
itu" Bahkan, untuk apa ada yang
melakukannya?" "Aku tahu satu alasan kuat," jawab Alex, dengan wajah muram.
"Oh ya?" tanya Les. "Apa?"
"Untuk membuat tim kami tampak jelek," jawab Alex, menatap Terry.
"Apa kau menuduhku melakukan sesuatu?" tanya Terry. "Kalau ya, katakan terus
terang." "Aku tak menuduh siapa pun melakukan apa pun," elak Alex.
"Aku hanya merasa aneh, karena tepat setelah tim kalian kalah dalam perburuan
harta karun, sesuatu yang buruk terjadi."
"Itu keterlaluan!" sergah Terry. "Kapan kami punya waktu dan kesempatan
melakukannya" Kau mungkin hanya menutupi
perbuatanmu sendiri! Apa tak cukup kau telah bertindak licik supaya
menang" Apa kau juga ingin membunuh seseorang?"
Alex cepat menuruni dua anak tangga terakhir, dengan napas
menderu. "Kalau kau bukan bekas temanku," katanya, "aku akan..."
"Ya?" tantang Terry, marah pada diri sendiri karena terpancing untuk bertengkar,
tapi tak bisa mundur. "Kau akan melakukan apa?"
"Tak apa-apa," gumam Alex, memutuskan dirinyalah yang
harus mendinginkan suasana.
"Hentikan! Apa kalian berdua tak bisa berhenti!" Niki sedang berdiri di antara
mereka dan berteriak pada keduanya. "Sesuatu yang mengerikan telah terjadi dan
kalian berdua hanya bisa meributkannya!" Ia menoleh pada Philip. "Mr. Cameron," katanya,
"kami semua merasa tak enak atas kejadian ini. Tapi saya yakin tak ada di antara
kita yang sanggup melakukan hal sekejam ini."
"Ada yang memotong pagar tangga," tukas Philip, kini sudah berada di bawah,
duduk di sebelah keponakannya. "Dan hampir
membunuh keponakanku."
"Aduh, Paman Philip," bujuk Justine. "Siapa pun pelakunya tak mungkin tahu aku
akan bersandar di pagar itu..." Ia merangkul bahu pamannya dengan sebelah
lengan. "Aku hanya merasa tak enak hal ini telah merusak suasana pesta. Aku
hanya ingin semua orang bersenang-senang." Philip berdiri dan melangkah menjauh, menggeleng-gelengkan
kepala. "Hei, tak ada masalah." Alex berada di sebelah Justine di sofa dan merangkulnya
dengan sebelah lengan. "Tak ada yang rusak. Pesta ini hebat."
"Benar," tambah Angela, memegang pergelangan tangan
Justine. "Semua kekacauan yang telah terjadi bukan salahmu. Kami semua menikmati
pesta ini." "Benar?" tanya Justine lirih. "Terima kasih kau telah mengatakannya."
Kini semua yang lain berkerumum di sekitar Justine,
menyatakan betapa hebat pesta itu. Justine kembali mengembangkan
senyumnya yang paling menawan.
"Terima kasih semuanya," katanya. "Mungkin kita hanya memerlukan beberapa menit
untuk menenangkan diri dan rileks, dan
kemudian kita akan meneruskan pesta ini. Masih ada banyak kejutan."
Ia berhenti dan berdiri, lalu melihat ke sekeliling ruangan. "Aku akan ke atas
sebentar untuk menenangkan diri. Kita akan bertemu lagi
nanti." "Terserah kau," kata Alex. Ia meletakkan tangannya di tengkuk gadis itu dan
menatapnya seolah hanya mereka berdua yang ada di
ruangan itu. Justine membisikkan sesuatu di kuping Alex. Pemuda itu
tertawa dan balas berbisik. Lalu Justine naik ke lantai atas.
Bagaimana mungkin Justine dan Alex begitu akrab" Terry
bertanya-tanya. Alex mungkin orang yang memotong pagar balkon,
atau setidaknya tahu siapa pelakunya.
"Mereka berdua hanya akan mendapat masalah," Niki tiba-tiba berkata. Terry
melihat gadis itu juga sedang mengamati Alex dan
Justine. "Aku tahu maksudmu," Terry menyetujui. "Harus ada yang memperingatkan Justine."
"Memperingatkan Justine?" mata Niki mengilat marah. "Harus ada yang
memperingatkan Alex. Mungkin menurutmu aku salah, tapi
pokoknya aku tak mempercayai gadis itu."
"Kau hanya punya firasat konyol, itu saja," ujar Terry, heran sendiri mengapa ia
begitu ingin membela Justine. "Kau tahu, Niki, kau bersikap seolah..." Ia
menghentikan kalimatnya sebelum mengatakan sesuatu yang disesalinya.
"Aku bersikap seolah apa?" Niki memegang pipi Terry dan
menarik wajahnya mendekat. Mata gadis itu berapi-api, berisi
kemarahan dan sesuatu yang lain.
"Seolah kau - yah - cemburu!" Terry mengutarakannya. "Kini setelah Alex lebih banyak
memberikan perhatian pada Justine
daripada kepadamu, kau tampaknya berpendapat Justine-lah si
Penyihir Jahat dari Barat."
Sesaat Niki tak menjawab. Wajahnya jadi sangat pucat. "Apa
kau benar-benar berpikir begitu?" akhirnya ia bertanya.
"Dengar, aku tahu kau tak peduli pada Alex," kata Terry. "Tapi mengapa kau tiba-
tiba sangat berpandangan negatif terhadap Justine?"
"Pertama, aku peduli pada Alex," ujar Niki. "Sebagai seorang teman. Dan aku tak
mau melihatnya terluka. Kedua, ada sesuatu
tentang Justine yang tak beres. Dan jika dia tak membuatmu terpukau, kau sendiri
pasti melihatnya. Beberapa peristiwa yang sangat aneh
telah terjadi..." "Oh, begitu," tukas Terry, tersinggung. "Dan kurasa kau pikir Justine sendiri
yang memotong pagar itu."
"Aku tak berkata begitu," jawab Niki. "Aku tak tahu siapa yang memotongnya. Tapi
hal itu tak mengubah kenyataan bahwa Justine
sedang melakukan sebuah permainan dengan kita semua, dan
khususnya dengan Alex."
"Jadi, sekarang kau akan melindungi Alex?" Terry tidak bisa menahan diri tak
mengatakannya, meskipun ia tahu hal itu akan
membuat masalahnya semakin buruk.
"Apa yang akan kulakukan," kata Niki, suaranya dingin penuh amarah, "adalah
mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sementara masih ada waktu!"
Ia langsung berbalik dan berjalan pergi.
Terry melihatnya pergi. Justine telah memasang sebuah TV
layar lebar dan Bride of Frankenstein sedang diputar. Terry belum
pernah melihatnya, jadi ia ikut menonton sebentar. Ia sebenarnya
mulai menikmati film itu ketika gelegar guntur yang memekakkan
telinga mengguncang rumah.
Sesaat kemudian layar jadi gelap dan semua lampu mati.
Chapter 11 BEBERAPA remaja mendesah kaget.
Terry mendengar suara tawa gelisah.
Sinar perapian memberikan satu-satunya penerangan. Lidah api
yang bergoyang-goyang menimbulkan bayangan mengerikan di
dinding. Suara Justine memecah kegelapan.
"Kalian mungkin bertanya-tanya apakah ini satu lagi
kejutanku," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi guntur mengejutkan ini adalah
kekuatan alam. Dan suasana gelap ini sempurna bagi
permainan berikutnya - jika kalian cukup berani memainkannya."
"Ayo pes-taa!" teriak Ricky.
"Duduk, Schorr!" teriak seseorang.
Terry menyipitkan mata memandang jamnya dalam sinar
perapian, dan meliha t jarumnya menunjukkan pukul tiga. Telah
terjadi begitu banyak kegemparan sehingga waktu terasa melesat
cepat. Ia terkejut menyadari hanya dalam beberapa jam pesta ini akan berakhir.
Ia mencoba melihat di mana Niki. Ia tahu gadis itu berada di
suatu tempat di balik bayang-bayang, tapi memutuskan tak


Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksakan diri. Niki akan kembali setelah marahnya reda.
Justine mulai menerangkan sebuah permainan baru, yang ia
sebut Kebenaran. "Maksudnya adalah, kalian mengatakan pada semua orang hal
terburuk yang pernah kalian lakukan," jelasnya. "Lalu semua orang mengambil
suara apakah kalian mengatakan yang
sebenarnya atau tidak. Jika menurut mereka kalian berbohong, kalian
harus membayar penalti."
"Itu permainan terbodoh yang pernah kudengar," protes
Murphy. "Maksudmu, kau takut mengatakan yang sebenarnya di depan
teman-temanmu?" tanya Justine.
"Tak mungkin aku takut. Aku hanya merasa permainan ini agak
konyol," bantah Murphy, mundur. "Tapi aku tak takut."
"Bagus," ujar Justine sebelum pernuda itu bisa meneruskan
perkataannya. "Begini, maksud permainan ini adalah supaya kita bisa lebih saling
mengenal. Nah, sekarang, siapa yang mau memulainya?"
Tak ada yang mengajukan diri. Akhirnya Justine mengarahkan
senyumnya pada Ricky. "Ricky, bagaimana denganmu?" tanya gadis itu. "Ceritakan
pada kami hal terburuk yang pernah kaulakukan."
Ricky berdiri di depan perapian, tampak gelisah dan malu. "Aku
tak bisa menceritakannya," katanya canggung.
"Hei, Schorr, itu bukan sifatmu!" seseorang berteriak. "Sejak kapan kau tak mau
berbicara tentang dirimu sendiri?"
Semua tertawa. Semua kecuali Ricky. "Pada suatu saat terjadi sesuatu yang sangat buruk," kata Ricky, bergumam sambil
menunduk. "Di Pulau Fear. Saat bermalam dengan
beberapa temanku. Kami mengira seseorang mati, dan..." Ia berhenti.
"Aku benar-benar tak bisa menceritakannya."
"Seru!" teriak seseorang..
Seorang lagi berteriak mengejek, kesal karena tak bisa
mendengar keseluruhan cerita itu.
"Kau harus dihukum karena tidak menceritakan kisahmu," ujar Justine.
"Penaltinya, kau harus berdiri di atas satu kaki sampai aku mengizinkanmu
berhenti." "Di atas satu kaki?" protes Ricky. "Keseimbanganku jelek."
"Kalau begitu, ini hukuman yang cocok," komentar Justine.
"Oke, giliran siapa sekarang - bagaimana kalau Angela?"
"Hal terburuk yang pernah aku lakukan?" ulang Angela, berdiri dan tersenyum.
"Mudah. Aku mencuri pacar saudaraku musim panas
tahun lalu. Aku meneleponnya, pura-pura jadi saudaraku, memintanya
menemuiku. Kukatakan betapa aku menyukainya. Tapi kemudian aku
menyesal," ia menambahkan. "Ternyata dia benar-benar
menyebalkan." Semua orang tertawa dan bertepuk tangan. Ketika Angela
duduk, Murphy berdiri dan mulai bercerita tentang pengalamannya
menyontek pada saat tes matematika supaya bisa tetap menjadi
anggota tim olahraga. Menurut Terry, permainan ini benar-benar konyol, dan bahkan
agak kejam. Ia yakin Niki juga membencinya. Mungkin mereka
berdua bisa memisahkan diri dan bercakap-cakap.
Ia mencari ke sekeliling, mencoba menemukannya, dan tiba-
tiba sadar Niki tak berada di ruang tamu itu.
Dengan bingung, ia berdiri dan memeriksa koridor serta dapur,
tapi tak terlihat tanda-tanda kehadiran Niki. Dengan perasaan
khawatir, ia ingat gadis itu berkata akan mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Ketika ia kembali ke ruang tamu, Ricky masih berdiri di atas
satu kaki. "Apa sekarang aku boleh berhenti?" ia memohon pada Justine.
"Jika kau mau menceritakan pada kami hal terburuk yang
pernah kaulakukan," jawab gadis itu.
"Tapi aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Hanya saja...
akan melibatkan teman-temanku. Aku tak boleh menceritakannya.
Dan percayalah, cerita ini benar-benar membuat orang tertekan." Ia tampak sangat
salah tingkah, dan Terry merasa kasihan padanya.
"Oh, baiklah, duduklah," ujar Justine. Jemarinya terjalin rapat dengan jemari
Alex, dan sesaat ia menyandarkan kepala di dada
pemuda itu. "Giliran siapa sekarang?" tanyanya.
"Bagaimana kalau kau?" usul Ricky.
"Oh, tidak," jawab Justine sambil kembali tersenyum nakal.
Aku nyonya rumah, jadi aku dapat giliran terakhir. Bagaimana kalau...
Terry?" katanya, melihat pemuda itu.
"Eh, jangan sekarang," tolak Terry. "Aku, eh, mencari Niki.
Ada yang melihatnya?"
"Tidak," jawab Trisha. "Tapi di sini sangat gelap.
"Mungkin dia sedang bersembunyi," usul Murphy.
"Kalau dipikir," kata Alex, "aku juga sudah cukup lama tak melihat Les. Mungkin
Niki memutuskan berganti pengecut."
"Atau mungkin kau tahu d ia ada di mana!" sergah Terry.
"Jangan menuduhku," bantah Alex. "Kalau kau tak bisa
memonitor pacarmu sendiri, itu bukan salahku."
Terry sudah siap membalas dengan jawaban pedas, tapi
sebelum ia bisa melakukan sesuatu, Justine berdiri. "Berhentilah bertengkar!"
tukasnya. "Kalian merusak permainan ini."
Alex terus membeliak pada Terry. Terry membalas tatapannya,
lalu mengangkat bahu. "Aku akan mencari Niki," ia mengumumkan sambil lalu.
Ia mengambil sebuah senter dari atas rak perapian dan mulai
menaiki tangga. Hujan masih turun dengan deras, tapi ia bisa
mendengar Alex dan Murphy tertawa di ruang tamu.
"Sepertinya Terry sedang melakukan perburuan harta karunnya
sendiri," komentar Murphy.
"Mungkin dia hanya tak bisa menerima kenyataan," tambah
Alex. Terry memeriksa semua ruangan di lantai dua. Ketika sampai di
ruangan terakhir, kamar tidur Justine, ia mulai merasa agak gelisah.
Apa ada yang terlewat olehnya" Apa Niki - entah bagaimana -
memutuskan pulang" Sesaat ia berdiri di koridor, menyorotkan sinar senternya lurus
ke depan. Di ujung koridor, air hujan mengempas jendela, membuat
kacanya berderak dan bergetar. Di luar, pendar petir menerangi
pepohonan yang terempas-empas. Sesaat ia mengira mendengar
derum sepeda motor dan tubuhnya membeku, tapi kemudian ia
menyadari itu hanya suara petir.
Niki takkan pulang di tengah badai seperti ini, ia menyadari.
Jadi, gadis itu pasti berada di suatu tempat di dalam rumah.
Matanya melihat tangga ke gudang loteng, dan dengan enggan,
mengingat apa yang terjadi ketika tadi naik ke atas, ia menaiki tangga sempit
itu. Ia menyorotkan senternya ke sekeliling ruangan berdebu itu,
menerangi tumpukan kotak. Petir membuat bayangan benda-benda itu
seolah menari-nari dan meloncat-loncat, dan angin membuat seluruh
ruangan berderak, seolah bernyawa. Mau tak mau Terry merasa
diselimuti firasat buruk.
Hentikan, Terry, katanya pada diri sendiri. Kau membiarkan
imajinasimu menipumu karena apa yang terakhir kali kautemukan di
sini. Rumah ini tak berhantu dan tak ada yang perlu ditakuti.
Mungkin Niki sekarang bahkan sudah kembali ke bawah,
pikirnya. Ia berbalik akan pergi, tapi kemudian matanya melihat pintu lemari
dinding tempat ia menemukan Sang Pangeran Perak.
Tidak. Tak ada alasan mengapa Niki harus berada di sana, pikirnya.
Firasat buruknya semakin kuat terasa.
Ini konyol sekali, pikirnya. Itu cuma lemari dinding.
Ia menjulurkan tangan dan perlahan membuka pintu.
Dan membeku, terguncang. Di sana, terpuruk dalam posisi separo duduk, terdapat sebuah
tubuh. Di dadanya menonjol gagang sebuah pisau daging besar.
Tapi itu bukan boneka, tak seperti sang Pangeran Perak.
Dalam sinar senter, terlihat jelas mata biru kosong yang
menatapnya di balik kacamata tebal berbingkai hitam.
Itu Les Whittle. Chapter 12 Lucu sekali, Les," kata Terry keras-keras, berharap ia salah.
Ia mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Les terasa hangat.
"Baiklah, Les," katanya. "Hentikan. Ini aku. Terry. Kita anggota tim yang sama,
ingat?" Les tak menjawab. Ia berbaring di sana, menatapnya, tak
berkedip, bola matanya seperti kelereng.
"Denyut nadi," ujar Terry. "Mana denyut nadimu, Les?"
Ia meraba pergelangan tangan Les, lalu pangkal
tenggorokannya. Tak ada gerakan.
Ia meletakkan jarinya di depan mulut Les, tapi tak ada napas.
Kini Terry mengamati dada Les, mencoba tak memikirkan
gagang pisau yang menonjol. Tak ada gerakan. Sama sekali tak ada.
Tidak, Kata Terry dalam hati. Tidak. Tidak tidak tidak tidak
tidak tidak tidak! Ini tak mungkin terjadi. Ini lelucon lagi, kejutan lagi. Pasti.
"Jangan mati, Les," katanya. "Kumohon jangan mati."
Tapi Les tak menjawab. Matanya yang tak berkedip terus
menatap dari wajahnya yang sangat, sangat pucat, seperti mata
maneken di toko. Sempoyongan, Terry mundur keluar lemari dinding itu.
Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia dapat mendengar
deburnya. Dengan tubuh gemetar ia berjalan kembali ke tangga. Kakinya
terasa lemah dan lemas, seolah ia mencoba berjalan di bawah air. Atau dalam
mimpi. Kumohon, semoga ini hanya mimpi, pikirnya.
Ia hampir mencapai ruang tamu ketika sebuah sinar menerangi
wajahnya. David, baru keluar dari kamar mandi.
"Hei, Terry," ujar David terkejut. "Apa yang terjadi padamu"
Kau kelihatannya seperti baru lihat..."
"Les sudah mati," gumam Terry datar.
"Apa?" "Benar. Aku baru menemukannya. Di dalam lemari dinding. Di
atas." "Hei, kau serius, ya?" tanya David. Terry tak tahu harus
menjawab apa, tapi kemudian mata David menyipit curiga. "Hei,
tunggu sebentar," katanya. "Kau mencoba balas dendam padaku karena tipuan
Pangeran Perak tadi, ya?"
"Les sudah mati," ulang Terry. "Di dadanya tertancap sebuah pisau."
"Dan kau akan menunjukkannya padaku, ya kan?" tanya David.
"Dan kemudian Les akan meloncat berdiri serta berteriak kena kau!"
"Dia takkan bisa berteriak lagi," kata Terry. Ia merasa dirinya mulai pulih dari
rasa terkejutnya. "Aku tak peduli kalau kau tak mempercayaiku. Aku harus
menelepon bantuan." "Tunggu sebentar," ujar David. "Ayo kita kembali ke atas.
Mungkin yang kaulihat hanya tipuan lagi."
"Tidak," kata Terry.
"Yakin?" tanya David. "Ingat betapa nyata Alex terlihat" Kau tadi juga yakin itu
nyata." "Kurasa ini bukan tipuan," bantah Terry. Tapi untuk pertama kali ia merasa
harapannya muncul. Ia kembali naik ke atas bersama David. Ketika mereka menaiki
deret tangga terakhir menuju loteng gudang, Terry memaksa dirinya
tenang. Aku tak mau melihat tubuh Les lagi, pikirnya. Tapi mungkin
David benar. Mungkin aku melihat sesuatu dan hanya mengira itu Les.
Tangannya masih gemetar ketika ia mengulurkannya untuk
membuka pintu lemari dinding.
Lemari itu kosong. "Aku sudah tahu!" kata David. "Ini hanya tipuan untuk membuatku naik ke sini, ya
kan" Apa lagi sekarang - wajahku
dilempar pie?" Terry hanya menatap lemari kosong itu, perasaan lega
membanjiri sekujur tubuhnya seperti dam yang roboh.
Ternyata tak nyata. Mungkin ia sudah gila. Tapi lebih baik ia
berhalusinasi daripada melihat Les benar-benar mati.
"Terry?" Kini David terdengar khawatir. "Kau tak apa-apa","
"Tadi dia ada di sini," kata Terry. "Persis seperti yang kugambarkan. Rupanya
aku telah..." Ia berhenti bicara ketika sinar senternya menyorot sesuatu di
lantai lemari dinding. "Ada apa?" tanya David. Dan kemudian ia juga melihatnya.
Kubangan berwarna gelap dan kental di lantai lemari dinding.
Dengan gemetar, Terry membungkuk untuk menyentuhnya.
Tangannya jadi basah dan lengket - dan merah.
"Masih ada lagi," kata David. Kini suaranya juga gemetar.
Dari lemari dinding membentang jejak tetesan dan gesekan
noda darah. Tanpa berkata apa-apa, keduanya mengikuti jejak itu ke
belakang tumpukan kotak di gudang loteng. Menyusurinya ke jendela
di bagian belakang. Daun jendela terbuka, dan air hujan mendera masuk,
membasahi papan lantai yang sudah usang. Dinding di bawah bingkai
jendela bernoda coretan darah.
Terry tak percaya jantungnya bisa berdetak sekencang dan
sekeras sekarang. Apa yang terjadi pada tubuh Les. Apa pemuda itu -
benda itu - keluar dari lemari dinding dan melarikan diri lewat
jendela" Apa Les, entah bagaimana, telah bergabung dengan para
zombie di hutan Fear Street"
"Aku akan melihat ke luar," kata David. Ia terdengar bahkan lebih takut daripada
yang dirasakan Terry. Perlahan David mendorong jendela sampai terpentang lebar dan
menjulurkan kepala ke tengah derai hujan. Terry berimpitan
dengannya di jendela. Mereka melihatnya pada saat bersamaan.
Di sana, tepat di bawah mereka, di atas atap jendela lantai dua,
terbaring tubuh hancur Les, pisaunya berkilauan disinari petir.
Chapter 13 "KITA harus mengambilnya," kata David. Terry tak mengerti
mengapa, tapi ia bersyukur ada yang bisa dikerjakan.
"Salah satu dari kita harus turun ke sana," ujar David. Ia menemukan seutas tali
di lantai dan mulai menurunkannya.
"Aku yang turun," kata Terry, tanpa berpikir. Ia memanjat ke atas tepi jendela
yang licin, lalu menjatuhkan diri ke atas genting
jendela di bawah. Angin menyayat wajahnya, dan bertiup begitu
kencang hingga ia hampir tak bisa melihat.
Ia tergelincir dan hampir jatuh, tapi berhasil meraih tepi atap
serta mengembalikan keseimbangannya. "Tahan, Les," katanya. "Aku datang."
David menjatuhkan tali dari jendela. Terry menangkap
ujungnya yang menggantung-gantung, lalu mulai bergeser sedikit
demi sedikit ke tempat Les tergeletak.
Pisau itu mas ih mencuat dari dadanya, seperti semacam daging
tumbuh, dan untuk pertama kali Terry sadar bahwa, bukan saja Les
sudah mati, seseorang juga telah membunuhnya.
Membunuhnya. Seseorang pada pesta ini adalah pembunuh.
Terry memaksa diri menepis pikiran itu dari benaknya, dan


Fear Street - Pesta Halloween Halloween Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memusatkan perhatian pada upaya menyeberangi permukaan genting
yang miring. Selangkah demi selangkah, katanya dalam hati.
Kacamata Les telah terlepas dan kulitnya tak lagi hangat. Tapi
matanya masih terbuka, dan Terry mencoba tak menatapnya ketika ia
membuka ikatan tali di sekeliling tubuh Les, di atas gagang pisau yang menonjol.
Lalu ia menarik dan menyeret tubuh itu sampai berada tepat di
bawah jendela, serta mengangkatnya ketika David menarik ujung tali
yang satu lagi. Akhirnya mereka berhasil menaikkan tubuh itu ke atas jendela dan
ke dalam ruangan. Kemudian Terry juga melompat ke
dalam. Sesaat kedua pemuda itu hanya menatap mayat teman mereka,
sama-sama bernapas tersengal-sengal. Akhirnya David menutup
jendela. "Kita harus menutupinya dengan sesuatu," katanya.
Terry mengangguk. Mereka memeriksa gudang berdebu itu
sampai menemukan sehelai selimut tua. Mereka meluruskan tubuh
Les, lalu menutupinya. Kini setelah mereka selesai, Terry sadar mereka harus
Pendekar Super Sakti 3 Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Pangeran Anggadipati 4
^