Pencarian

Salah Sambung 3

Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number Bagian 3


"Apa yang akan kita lakukan, Jade?" ratap Deena. "Kita nyaris
mendapatkan bungkusan itu. Kita sudah amat dekat! Kalau saja..."
"Kita akan kembali lagi ke sana."
"Tapi pintu dapur itu kan terbuka. Laki-laki itu pasti tak akan
mengizinkan kita mendekati tong sampahnya."
"Tidak sekarang," kata Jade, berpikir keras. "Kita akan kembali
lagi nanti malam. Tukang masak itu pasti sibuk. Mereka pasti tak
memperhatikan kalau ada dua gadis mengais sampahnya."
Mereka mengendarai mobil sambil berdiam diri. "Apa yang
sedang kaupikirkan?" tanya Jade. "Rencanaku bagus, kan?"
Roman muka Deena tampak mengeras. "Tak ada pilihan lain,"
katanya tenang. ****************************
"Parkirlah sedekat mungkin dengan gang itu," kata Jade, "siapsiap kalau kita harus kabur."
Jade mengangkat bahu. "Sekadar berjaga-jaga. Jangan terlalu
takut. Masa sih kita akan disiksa hanya gara-gara mengais sampah."
"Bagaimana kalau Farberson tahu?" Deena menghindari anak
perempuan bersepeda yang menyeberang jalan tanpa memperhatikan
tanda-tanda lalu lintas. "Huh, kalau saja lampu mobil ini lebih terang.
Malam sangat gelap."
"Tak ada bulan," sahut Jade, memandang ke langit melalui kaca
mobil. "Hampir pukul sembilan, Deena. Kurasa Farberson sedang
sibuk-sibuknya." "Kuharap begitu," kata Deena, tak sanggup mengusir ketakutan
yang mencekam. Restoran itu sudah kelihatan. "Ramai sekali malam ini," kata
Deena, memperlambat mobil dan mencari tempat parkir. "Tempat
parkir di sisi jalan itu sudah penuh."
"Oh," ujar Jade, kecewa. "Parkirlah di tempat kosong di
seberang jalan sana. Mungkin kita bernasib baik hingga tak perlu
kabur." "Jangan bergurau," tegur Deena, menuju tempat parkir dan
memarkir mobilnya sedekat mungkin dari restoran. "Bagaimana kau
bisa segembira itu, Jade?"
"Aku bukan gembira," kata Jade serius. "Aku cuma
bersemangat karena kupikir perkiraanmu tentang isi bungkusan itu
benar. Kalau kita bisa menemukan kedok itu malam ini, Chuck akan
segera dibebaskan"pembunuh sebenarnya akan ditangkap!"
Deena melakukan tos dengan Jade. "Ayo, cepat!"
Beberapa saat kemudian keduanya sudah menyusuri gang
sempit itu. Kelihatannya semakin sempit, semakin panjang, semakin
menjijikkan di malam hari. "Kenapa kita tak bawa senter?" tanya
Deena, berjalan di belakang Jade sambil merapat ke dinding.
"Dengan senter kita akan terlihat orang," bisik Jade. "Jangan
cemas. Pasti di situ terang oleh lampu-lampu bangunan di sekitarnya."
Mereka tiba di belakang restoran. Halaman belakang itu cuma
diterangi sebuah bola lampu di atas pintu dapur. Kedua gadis itu
bersyukur karena pintu dapur tertutup. "Istirahat sebentar," bisik
Deena. "Berdoalah semoga tak ada yang membuka pintu selama kita
berada di sini," kata Jade, condong ke belakang hingga hampir jatuh
mengenai Deena. "Jade... ada apa?" jerit Deena, ketakutan.
"Ada... ada yang mengenai kakiku. Mungkin..."
Deena melihat ke bawah. Seekor tikus abu-abu besar bergegasgegas melewati mereka lalu menghilang di gang yang gelap.
"Oh, mengerikan sekali," kata Jade terengah-engah.
"Pasti ada lebih banyak tikus lagi di sini," ujar Deena dengan
suara bergetar. "Mereka ke sini karena sampah-sampah itu."
"Oh!" Tikus lain muncul di bibir tong sampah. Suaranya mencericit
ketika ia melompat ke lapangan bersemen, lalu bergegas-gegas
menyusul rombongannya. "Ayo, Deena. Ayo kita lihat apakah tikus-tikus itu masih
menyisakan sesuatu untuk kita."
Ketika tiba di tong sampah yang tinggi itu Deena menengadah
ke bangunan di sekelilingnya. Tampak beberapa lampu bersinar terang
dari beberapa jendela. Ia berharap tak seorang pun kebetulan melihat
mereka di situ. "Ayo," desak Jade. "Terlalu dalam untuk melihat dasarnya. Kita
harus masuk." "Apa" Masuk?" Deena menarik napas dalam-dalam. Bau busuk
sisa-sisa makanan itu menyergap hidungnya. "Ohhh."
"Kau akan terbiasa," kata Jade, memencet hidungnya. "Ayo.
Dorong aku, lalu akan kutarik kau."
"Menjijikkan," protes Deena, seperti akan sakit. "Aku... aku tak
tahan mencium baunya."
"Deena... lupakan bau itu. Jangan kaupikirkan terus. Ayo cepat
ambil bungkusan itu lalu pergi dari sini."
"Dorong aku," perintah Jade.
Deena mendorongnya ke puncak tong sampah. Jade meraih
bibir tong sampah, lalu menjatuhkan diri ke dasarnya. "Kalau di luar
saja sudah kau bilang bau busuk, tunggulah, di sini lebih bau lagi!"
seru Jade. "Kelihatankah bungkusan itu?" tanya Deena penuh harap.
"Yang kulihat cuma sisa-sisa kubis," sahut Jade. "Hari ini pasti
banyak pesanan salad!"Jade bergeser ke samping lalu mengulurkan
tangannya pada Deena. "Ayo. Bantu aku di sini. Lebih enak kalau kita
berdua yang mencarinya."
"Ada tikuskah di situ?" tanya Deena, memegang tangan Jade.
"Ada beberapa," sahut Jade kering. Ia menarik Deena dan tak
lama Deena pun sudah ada di sampingnya. Lutut mereka terpendam di
sampah. "Cepat cari."
Mereka mengais-ngais sisa makanan yang basah dan
membusuk. "Benar-benar menjijikkan!" keluh Deena. "Begitu sampai
di rumah nanti aku akan mandi enam kali."
"Kubur saja pakaian kita," kata Jade. "Mana bungkusan itu"
Pasti terpendam di dasar tong sampah. Oh. Sampah ikan-ikan ini yang
paling busuk baunya!"
Tiba-tiba terdengar suara ribut. Mereka berhenti mengais-ngais
lalu merunduk dalam-dalam.
Pintu dapur terbuka. Deena menahan napas. Seseorang mendekati tong sampah.
Jangan, jangan... oh, pergilah, pintanya dalam hati.
Tiba-tiba dua kantong plastik besar melayang masuk ke tong
sampah. Jade tersungkur ke sampah. Deena berusaha tegak. Keduanya
tak bersuara. Langkah kaki itu terdengar menjauh. Pintu dapur ditutup.
"Jade... di mana kau?" bisik Deena, menyingkirkan sebuah
kantong sampah ke samping.
"Di mana aku?" Suara Jade cuma terdengar bergumam. "Oh,
Tuhan. Aku tersungkur ke sampah. Kenapa tak semua orang mau
memasukkan sampahnya ke kantong sebelum membuangnya?" Jade
mau berdiri tapi tak jadi.
"Ada apa?" tanya Deena. Sampah di dasar tong itu tampak
bergerak-gerak. Itu pasti tikus lapar.
"Aku menemukan sesuatu," kata Jade sambil meraba-raba dasar
tong. Lalu ia tersenyum dan menunjukkan bungkusan cokelat itu.
"Aku sudah mendapatkannya."
"Cepat... bukalah!" seru Deena tak sabar. "Apakah isinya
kedok?" "Tidak... aku tak mau membukanya di sini," kata Jade. "Ayo ke
mobil." Deena setuju. Ia melompat dari tong sampah lalu menolong
Jade. Pintu dapur restoran itu masih tertutup.
Dengan aroma sampah masih tercium di hidung mereka,
berlarilah mereka di sepanjang gang sempit itu. Sampai di trotoar
mereka nyaris bertubrukan dengan pasangan tua yang baru keluar dari
restoran. "Hati-hati kalau jalan!" teriak laki-laki tua itu. Tapi mereka
terus berlari sampai tiba di tempat parkir.
Keduanya bersandar ke mobil, mengatur napas. "Bukalah.
Cepat," desak Deena. "Kita harus membukanya, Jade. Sekarang kita
punya bukti. Chuck akan segera dibebaskan!"
Bungkusan itu terikat erat. Jade berusaha menggeser talinya.
"Kurasa terlalu berat untuk kedok," katanya.
"Kemejanya pasti juga ada di situ," jawab Deena, dengan tak
sabar melihat pada Jade yang sedang membuka bungkusan itu.
Akhirnya Jade berhasil melepaskan tali bungkusan itu dan
merobek kertas pembungkusnya.
Kedua gadis itu langsung menjerit ketika tahu apa isinya!
17 KUCING mati itu seolah-olah melotot pada mereka.
Padahal kedua matanya terbenam dalam-dalam di kepalanya.
Baunya lebih busuk dari sampah.
Jade menjatuhkan bangkai kucing yang masih terbungkus kertas
cokelat itu ke tanah. "Oh, aku tak percaya," ratap Deena. "Kucing mati. Farberson
membuang kucing mati."
"Miss Morrison bilang hari ini ia lagi apes. Pasti kucingnya
mati. Ia tak sanggup mengurusnya. Karena itu ia menyuruh Farberson
membuangnya." "Aku tak percaya," ulang Deena, menggeleng-geleng. Ia
berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya. "Aku sangat
kecewa, Jade." "Aku juga." Jade bersandar ke bagasi mobil sambil
memejamkan mata. "Aku sungguh-sungguh percaya pada dugaanmu,
Deena. Kupikir kita akan segera mendapatkan kedok itu. Kupikir... oh,
apa arti semua ini?" keluh Jade. Ia menunduk, menatap bangkai
kucing itu. "Sekarang bagaimana?" tanya Deena muram. "Apa hasil
pelacakan kita yang gemilang ini?"
"Kita tahu Farberson punya rencana minggat pada hari Sabtu.
Kita tahu ia dan Miss Morrison..."
"Sia-sia," potong Deena putus asa. "Usaha kita sia-sia. Kita tak
punya bukti. Tak ada bukti bahwa ia itu laki-laki berkedok. Tak ada
bukti bahwa ia pembunuh istrinya. Benar-benar sial."
"Mungkin bukan dia pembunuhnya," renung Jade.
"Hah?" Deena menatap Jade dengan tercengang.
"Mungkin kita keliru menarik kesimpulan karena suara
Farberson mirip dengan laki-laki berkedok itu. Tapi renungkanlah
kembali, Deena, seperti yang kau bilang tadi, kita tak punya bukti."
"Tidak. Aku yakin dia orangnya. Farberson," tegas Deena. "Aku
yakin betul." Jade memandangnya. "Betulkah?"
Deena tak menyahut. Ia mendesah resah. "Ayo kita pulang."
Mereka masuk ke mobil. Deena mencari-cari kuncinya.
"Kenapa tak dipasang beberapa lampu di tempat parkir ini" Tempat ini
segelap gang!" Jade mengangkat bahu. "Jangan ingatkan aku pada gang itu."
Akhirnya Deena menemukan kunci. Ia berusaha
memasukkannya ke lubangnya.
"Ayo... cepat pergi dari sini," desak Jade.
"Ya, ya." Deena menghidupkan mesin dan menjalankan mobilnya.
Ia menengok ke kaca spion ketika akan mundur. Tiba-tiba
sebuah tangan yang kokoh terjulur dari jok belakang lalu merenggut
bahunya. "Oh, tidak!" jeritnya, cepat-cepat menginjak rem.
Jade menoleh, matanya terbelalak. Ia melihat laki-laki berkedok
yang kini merenggut bahunya dengan tangannya yang lain.
"Ohh... kau menyakiti aku!"
Laki-laki itu mencengkeram bahu mereka kuat-kuat. Wajahnya
yang berkedok didekatkan pada Jade dan Deena.
"Jangan sampai aku melihat kalian lagi," katanya dengan suara
rendah dan menggeram penuh ancaman. "Kuingatkan sekali ini saja."
Napasnya terasa hangat dan bau bawang putih.
Laki-laki itu mendorong Jade dan Deena, lalu menyelinap
keluar mobil. Lenyaplah ia di kegelapan dengan meninggalkan pintu
belakang mobil tetap terbuka.
18 ESOK harinya Deena serasa tak tahan duduk di kelas. Suara
laki-laki berkedok itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Pundaknya
yang dicengkeram laki-laki itu masih terasa nyeri.
Kenapa ia tak membunuh kami" pikirnya.
Kenapa ia harus repot-repot" Deena menjawab sendiri
pertanyaannya. Sabtu nanti ia akan minggat ke luar negeri, dan Chuck
yang akan mendapat ganjaran atas kejahatan yang dilakukannya.
Sebelum makan siang, Deena pergi ke lockernya-nya. Bukubuku yang dipegangnya berjatuhan ketika ia membuka locker. Saat
membungkuk untuk memungutinya, dompetnya terjatuh. Isinya
berhamburan ke lantai. "Mau kubantu?" Seseorang bertanya ramah.
Deena menengadah. Rob Morell tersenyum ramah padanya.
Deena sangat capek dan bingung, maka ia cuma bilang terima kasih.
Tapi Rob tampak tak peduli. Ia membungkuk dan membantu Deena
memunguti barang-barangnya, lalu ia mengajak Deena minum CocaCola sepulang sekolah nanti.
Deena serasa mau menangis. "Terima kasih, Rob. Tapi aku ada
keperluan lain," jawabnya.
Rob kecewa lalu mengangkat bahu. "Baiklah, lain kali saja,"
katanya, lalu berjalan ke koridor.
Deena memandanginya, merasa tak enak. Tapi mana mungkin
ia ceritakan keperluannya itu pada Rob" Bagaimana ia dapat
mengatakan bahwa ia mau menengok kakaknya di penjara" Kakaknya
yang malang, kakaknya yang akan menjalani hukuman atas kejahatan
yang sama sekali tak pernah dilakukannya.
Sewaktu keluar dari sekolahnya, Deena dilanda perasaan
bersalah. Seharusnya dari dulu-dulu ia menengok Chuck, tapi ia tak
sanggup ke sana sendirian. Ia tak ingin melihat Chuck di penjara yang
mengerikan itu. Ia tak tahu harus bilang apa kalau ke sana.
Tapi Chuck sudah menanyakannya. Ia benar-benar tak punya
pilihan. Ia harus menghilangkan kegelisahannya dan menemui Chuck.
Ia harus menceritakan pada Chuck bahwa polisi tak mempercayai
sepatah kata pun yang diucapkannya, dan menceritakan bagaimana
kacaunya perasaannya ketika ia gagal menjadi detektif.
****************************
Pintu besi yang berat itu menutup di belakangnya dengan suara
berdentang, membuatnya terlompat kaget. Jantungnya berdegup keras.
Ia mengikuti penjaga berjalan melalui koridor yang panjang dan gelap.
Ubinnya kusam dan penuh jejak kaki.
Mereka melewati dua pintu besi lagi, lalu tiba di ruangan yang
luas, hampir kosong, dan berpenerangan lampu pijar.
"Silakan duduk," kata penjaga wanita itu. "Sebentar lagi
kakakmu akan dibawa keluar." Ia tersenyum ramah pada Deena.
Deena cuma memandangnya. Bagaimana mungkin seseorang masih
bisa bersikap ramah di tempat seperti ini"
Penjaga itu meninggalkan Deena sendirian. Ruang itu berbentuk
persegi panjang dan tidak berjendela, tengah-tengahnya diberi
penyekat berlapis formika. Ada kasa nyamuk di antara penyekat dan
plafon agar tamu-tamu dan tahanan tak bisa bersentuhan.
Di ujung ruangan itu, seorang wanita muda terlihat


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membungkuk di dekat sekat, tersedu-sedu sambil mengusap air
matanya dengan saputangan. Deena tak melihat lawan bicara wanita
itu, tapi ia bisa mendengar suara laki-laki yang rendah dan monoton di
balik kasa itu. Dengan lutut gemetar Deena duduk di kursi kayu tua di ruang
itu. Ini pertama kalinya ia berada di tempat suram begini, dan ia
benar-benar merasa tak nyaman.
Seperti apa Chuck sekarang" pikirnya. Apakah ia sudah tampak
berbeda" Apakah tingkah lakunya lain"lebih keras, mungkin" Deena
gelisah, berharap bisa kabur dari situ.
Setelah beberapa menit, seorang penjaga bersenjata membawa
Chuck masuk ke ruangan di balik kasa nyamuk itu. Chuck memakai
kemeja katun warna biru manyala dan celana jengki. Ia tampak pucat
dan kurus. Mula-mula Chuck tak melihatnya, tapi begitu melihat, ia
langsung meninggalkan penjaga itu dan berlari mendekati Deena.
"Deena..." Deena berdiri menyambutnya.
"Berhenti di situ!" teriak penjaga. "Kau sudah tahu
peraturannya." Chuck berhenti beberapa senti dari kasa dan menjatuhkan
dirinya di kursi lipat. "Jangan mendekat lagi, dengar?" teriak penjaga
sambil bersedekap, mengawasi Chuck dan Deena.
"Hai, Chuck," kata Deena risi. Ia memaksa diri untuk
memandang ke mata Chuck. Kedua mata Chuck merah dan berair.
"Kau harus mengeluarkan aku dari sini," bisik Chuck cukup
keras. "Apa?" Deena tak yakin pada apa yang didengarnya.
"Aku tak bisa menerima semua ini, Deena. Tak bisa. Aku bisa
gila." Mata Chuck terpejam dan dahinya menekan ke kasa.
"Mundur!" teriak penjaga, melepaskan tangannya yang
bersedekap dan melangkah mendekati Chuck.
"Sori," jawab Chuck keras-keras sambil mundur.
"Peringatan berikutnya, kau harus kembali ke selmu," kata
penjaga itu. "Di sini sungguh mengerikan," kata Chuck, tetap berbisik. "Ada
seratus penghinaan seharinya. Orang-orangnya kebanyakan penjahat.
Penjahat betulan. Perampok dan penyalur obat bius. Bahkan ada pria
yang dengan bangganya bercerita bagaimana ia membunuh satu
keluarga yang sedang berkemah di State Park. Seluruh anggota
keluarga itu dihabisinya!"
Deena menatap Chuck, berusaha menahan air matanya.
"Sungguh-sungguh mengerikan," akhirnya ia berucap.
"Aku harus keluar dari sini. Harus! Tak pernah kubayangkan ini
terjadi padaku. Benar-benar tak adil!"
"Dad bilang pengacara akan segera mengeluarkanmu. Ia sedang
mengusahakannya," kata Deena, tapi kedengaran tak meyakinkan.
"Aku tak tahan berada lebih lama lagi di sini!" jerit Chuck.
"Aku harus keluar sekarang!"
"Jade dan aku juga mencoba membantu," kata Deena.
Untuk pertama kalinya wajah Chuck tampak cerah. "Bagaimana
kabar Jade?" "Ia sangat mencemaskanmu."
"Itu juga yang kurasakan," katanya murung.
"Kami sudah menemukan sesuatu," bisik Deena.
"Dua menit lagi," potong penjaga, melihat ke jam bundar dan
besar di dinding. Deena cepat-cepat bercerita tentang Farberson, pesanan tiket,
dan pertemuannya dengan Miss Morrison.
"Wah!" seru Chuck. "Kalian benar-benar hebat. Tak pernah
kusangka kalian mau melakukannya untukku."
"Kau kan kakakku," ujar Deena. "Selain itu, Jade dan aku ikut
terlibat." "Ya. Tapi kalian tak ditahan," kata Chuck, kembali bersedih.
"Huh, kalau saja aku bebas, aku akan langsung ke Fear Street, ke
rumah Farberson. Akan kuperiksa tempat itu sampai kutemukan bukti
bahwa ia bersalah." "Oke," kata Deena.
"Apa" Apa maksudmu bilang oke?" Chuck tampak bingung.
"Jade dan aku akan ke rumah itu."
"Tidak... jangan! Aku tak menyuruh kalian melakukannya.
Kubilang tadi, kalau aku di luar sana, aku akan melakukannya."
"Hm, kami kan bebas, sedang kau tidak, jadi..."
"Jangan!" jerit Chuck. "Jangan! Itu sangat berbahaya! Laki-laki
itu pembunuh! Jangan! Tak kubiarkan kalian pergi ke sana!" Chuck
melompat dan menekankan dahinya ke kasa.
"Hei...," panggil penjaga.
"Kami akan pergi. Kau tak bisa melarang kami!" Deena
bersikeras. "Kita cuma punya waktu sampai besok malam untuk
membuktikan bahwa ia bersalah."
"Jangan! Jangan kaulakukan!" teriak Chuck. "Jangan!"
"Kuingatkan lagi," kata penjaga. Kedua tangannya merenggut
Chuck dan menariknya dari kasa.ebukulawas.blogspot.com
"Lepaskan aku!" Dengan marah Chuck membentak penjaga itu.
Ia meronta-ronta. "Jangan ke Fear Street!" teriaknya pada Deena.
Penjaga itu mencengkeram bahu Chuck kuat-kuat. "Haruskah
aku bersikap kasar, Nak?"
"Lepaskan aku!" pekik Chuck gusar.
Deena tak tahan mendengarnya. Ia segera berdiri dan berbalik
pergi. Penjaga yang lain tiba-tiba muncul dan membiarkannya keluar
ruangan. Sewaktu pintu ditutup, ia masih bisa mendengar Chuck
bergumul dengan penjaganya.
"Deena! Deena... kaudengar aku?" jeritnya.
19 SEPULANG dari penjara, perasaan Deena amat kacau.
Kepalanya pusing. Perutnya mual. Aku mungkin akan terserang flu,
pikirnya. Aku perlu tidur dan berselimut tebal agar penyakitku hilang.
Tapi Deena yakin tak semudah itu.
Satu-satunya cara mengatasinya adalah pergi ke Fear Street
untuk mencari bukti bahwa Farberson-lah pembunuhnya.
Waktu makan malam, Deena tak bisa merasakan lezatnya
hidangan. Ibunya memperhatikannya. "Ada apa, Sayang?" tanyanya.
"Kau sakit?" "Aku baik-baik saja," jawab Deena. Agar ibunya percaya
dilahapnya pure kentangnya. Pure kentang itu biasanya sangat
disukainya, tapi malam itu terasa seperti serbuk gergaji.
"Aku tahu kenapa kau begini," kata ibunya. "Kau mencemaskan
Chuck, kan?" Deena mengangguk. Ia tak sanggup berkata-kata.
"Kami juga mencemaskannya, Deena," ujar ayahnya. "Tapi
semuanya salah Chuck sendiri. Kalau saja kalian tak bermain-main
telepon..." "Ia tak membunuh siapa pun!" teriak Deena yang kemudian
terkejut sendiri mendengar teriakannya. "Ia bukan penjahat! Tapi
polisi menahannya seperti pembunuh. Kini Dad juga bilang ia patut
menerima ganjaran!" "Sabar, Nona Muda," potong ayahnya. "Aku tidak bilang
begitu! Maksudku..."
Deena tak menunggu ayahnya menyelesaikan kata-katanya. Ia
berdiri, berlari menaiki tangga, menjatuhkan dirinya di tempat tidur,
dan menangis tersedu-sedu di kamarnya. Tak lama kemudian, ibunya
mengetuk pintu. "Boleh aku masuk?" tanyanya.
"Silakan," gumam Deena.
Ibunya duduk di tepi tempat tidur sambil mengelus-elus
punggung Deena. "Jangan marah pada ayahmu," bujuknya. "Persoalan
ini sangat membebani ayahmu. Chuck adalah satu-satunya anak lakilakinya."
"Maaf, Mom. Aku tak mau membicarakannya lagi. Aku letih.
Aku ingin sendirian."
Ibunya menepuk-nepuknya lalu berdiri dengan wajah cemas.
"Baiklah, Sayang. Kutunggu di bawah kalau kau ingin mengobrol."
Beberapa saat barulah Deena berhenti menangis. Ia membasuh
wajahnya lalu mulai mengerjakan pe-er trigonometrinya, tapi ia tak
bisa berkonsentrasi. Sia-sia. Bagaimanapun ia berusaha, pikirannya selalu tertuju
pada yang satu ini: ia harus pergi ke Fear Street.
Telepon berdering, ia terlompat. Jantungnya berdegup kencang.
Bagaimana kalau dari dia"
Ternyata Jade. "Bagaimana Chuck?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Marah dan terluka," sahut Deena. "Tapi siapa bisa
menyalahkannya" Ia kirim salam untukmu."
"Seperti apa ia sekarang?"
"Seperti tahanan," ujar Deena emosional. "Pikirmu seperti apa?"
"Kau tak perlu bersikap ketus begitu."
"Maaf," ujar Deena. "Aku sedang kacau."
"Aku juga," kata Jade. "Apa yang harus kita lakukan, Deena?"
"Kembali ke Fear Street."
Jade tak menyahut. *************************
Saking lelahnya, Deena tertidur nyenyak malam itu. Ketika
terbangun esok paginya, ia sudah merasa segar dan bertenaga lagi.
Namun semangatnya langsung merosot ketika ia teringat hari apa
sekarang dan rencananya bersama Jade nanti malam.
Pasti tak terlalu berbahaya, katanya menghibur diri.
Kemungkinan besar Farberson ada di restorannya. Jadi mereka punya
banyak waktu untuk mencari bukti yang dapat mengaitkannya dengan
pembunuhan itu. Waktu makan siang Jade malah kelihatan riang. "Sudah siap
bertualang lagi?" tanyanya sambil meletakkan nampan.
Deena jelas tak menganggap acara nanti malam suatu
petualangan, tapi sikap Jade yang riang membuatnya agak santai. Ia
merasa lebih gembira lagi ketika Rob Morell melambai dan
mengerling padanya sewaktu memasuki kafetaria.
Hari merambat semakin siang. Deena masih merasa agak
gugup, tapi rasa percaya dirinya kian tebal. Ia yakin rencananya nanti
malam akan berhasil. Ia hanya sedikit cemas melihat cuaca yang
mendung. Namun hujan bukan penghalang bagi dua remaja yang
sudah bertekad bulat, bukan"
Pulang sekolah hujan benar-benar turun. Rumahnya gelap
gulita. Ibunya, seperti biasa, bekerja lembur setiap Jumat. Ayahnya
belum pulang. Deena meletakkan buku-bukunya. Ketika sedang memanaskan
sup di dapur, telepon berdering.
Ternyata ayahnya. "Halo, Deena."
"Hai, Dad," katanya secerah mungkin.
"Cuaca buruk, ya?" komentar ayahnya. "Perusahaan telepon
kami sedang punya masalah. Guntur menyambar transformator.
Jaringan telepon di bagian selatan kota terputus. Setiap karyawan akan
tinggal sampai persoalannya bisa diatasi. Tolong sampaikan pada
ibumu agar tak menunggu-nunggu aku."
"Oke, Dad," kata Deena. "Bekerjalah baik-baik."
Deena buru-buru menghabiskan supnya, lalu menukar
pakaiannya dengan celana panjang dan jaket bertopi. Sebelum
berangkat ia menulis pesan untuk ibunya, mengatakan ia akan belajar
di rumah Jade. Lalu ia berjalan kaki ke Division Street Mall, tempat ia
berjanji akan menemui Jade. Payah, gerutunya, justru malam ini ia tak
punya mobil. Setiba di pertokoan itu Deena basah kuyup. Jade sudah
menunggunya di depan restoran piza. Ia mengenakan jas hujan kuning
terang, tapi ia tetap tampak modis dan tak basah kuyup.
"Aku basah kuyup seperti bebek," protes Deena.
"Kau memang kelihatan seperti itu," Jade setuju. "Sudah siap?"
"Siap. Tapi, Jade, teleponlah dulu untuk memastikan bahwa
Farberson tak ada di rumahnya."
Jade memasukkan koin ke telepon umum, kemudian
meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Wajahnya
mengerut. "Aneh," katanya. "Sama sekali tak ada nadanya"deringan
atau nada sibuk." "Oh, ya, aku lupa," ujar Deena. "Ayahku tadi menelepon"
jaringan telepon di bagian selatan kota ini terputus."
"Oh," kata Jade. "Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita harus tetap ke sana. Alternatif apa lagi yang bisa kita
pilih" Kalau lampu di rumahnya menyala, baru kita pikirkan rencana
lain." Jade mengangguk. "Kurasa ia pasti ada di restorannya. Ia tak
mungkin melakukan sesuatu di luar kebiasaannya"apalagi pada
malam menjelang kepergiannya, kan?"
"Betul," kata Deena, berharap ucapan Jade itu benar.
Kedua gadis itu meninggalkan mall, lalu naik bus ke
Waynesbridge, lewat Division Street, menuju selatan ke Mill Road.
Bus itu hangat dan nyaman. Deena berusaha tak memikirkan ke mana
bus itu akan membawanya pergi.
Tak lama kemudian, Jade menyentuhnya. "Kita turun di halte
berikutnya." Dengan malas, Deena membunyikan bel tanda berhenti. Bus itu
segera menepi ke pinggir jalan yang kosong. Di situ sunyi sekali,
hanya ada semak-semak liar yang lebat dan pohon-pohon tinggi di tepi
jalan. Air hujan menitik-nitik. Meskipun malam belum larut, awanawan tampak kelam, sekelam tengah malam. Kilat menyambar di
langit, dan suara guntur yang menggelegar menggetarkan tanah. Anak
sungai mengalir deras di selokan di sepanjang Mill Road.
"Daerah yang menyenangkan," ujar Jade.
"Tidak lucu," sahut Deena. Ia menatap tajam menembus
keremangan malam, barulah terlihat petunjuk jalan, beberapa meter
dari situ. "Lewat sini," katanya. Kedua gadis itu mengarungi jalanan
berlumpur menuju perempatan.
Salah satu papan petunjuk jalan itu bertuliskan huruf-huruf tak
beraturan, "The Mill Road."
Pada papan petunjuk yang lain terbaca: "Fear Street."
Kedua gadis itu bertukar pandang. Deena berharap ia tak
kelihatan setakut Jade. "Hei, ini cuma jalan, kan?" ujar Jade, berusaha tersenyum.
"Betul," jawab Deena.
20 DENGAN basah kuyup dan bersusah payah, kedua gadis itu
berjalan ke arah timur, ke rumah Farberson di Fear Street. Agar tidak
merasa terlalu ngeri Deena bersikap seolah-olah ia sedang menyusuri
jalan lain di kota itu. Memang, di bawah curah hujan itu, jalan mana
pun akan tampak sesuram Fear Street.
Setelah berjalan lebih dari satu blok, hujan turun lebih lebat
lagi. Angin menderu-deru, kilat sambar-menyambar.
"Apa itu?" jerit Jade, tiba-tiba meremas tangan Deena.
Deena menoleh dan melihat sesuatu"sesuatu yang gelap dan
berkilat-kilat"menghilang di halaman seberang. "Mungkin anjing,"
katanya. "Apa pun dia, dia sudah pergi kok."
Mereka terus berjalan, menembus lumpur dan air di sepanjang
jalan aspal yang rusak itu. "Bukankah seharusnya kita sudah sampai?"
tanya Jade. "Itu rumahnya," tunjuk Deena.
Rumah Farberson sangat gelap. Kedua gadis itu menuju
beranda dan mengintip ruang keluarganya lewat jendela. Tak terlihat


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-apa. "Ia pasti masih ada di restorannya," kata Jade. "Terima kasih,
Tuhan." Deena menghampiri pintu depan yang bertempelkan tulisan
kuning TEMPAT PEMBUNUHAN. Ia memutar handel pintu, tapi
terkunci. "Kita harus masuk dengan memecahkan kaca jendelanya," ujar
Jade. "Jangan. Jangan lewat depan. Jangan-jangan ada yang melihat
kita. Ayo memutar ke belakang." Mereka bergegas ke belakang,
terpeleset-peleset di jalan samping rumah yang berlumpur. Hujan agak
reda, tapi guntur masih terus menggemuruh sewaktu mereka tiba di
pintu belakang. Kaca pintu dapur yang pecah itu belum diganti. Lubangnya
ditutup dengan tripleks yang lembek dan nyaris hancur sewaktu Deena
menekannya. Deena menempelkan telinganya ke pintu.
Tak terdengar suara dari dalam.
"Halo!" serunya, bersiap-siap kabur kalau ada yang menyahut.
Cuma terdengar desir angin dan bunyi air yang menetes.
Dengan hati-hati ia memasukkan lengannya ke lubang itu,
meraih tangkai pintu, lalu memutarnya.
"Beres," katanya, mendorong pintu itu pelan-pelan. "Ayo
masuk." Kedua gadis itu bertukar pandang ketakutan, lalu memasuki
rumah yang kosong dan gelap.
Kelihatannya sejak Sabtu malam yang lalu Mr. Farberson sama
sekali belum membereskan rumahnya. Meja dapurnya memang sudah
tegak, tapi tepung dan bumbu-bumbu masih tercecer di lemari dan
lantai. Senter mereka menunjukkan jejak-jejak tikus pada remahremah yang tercecer itu.
"Hii!" seru Deena. "Benar-benar menjijikkan!"
"Kalau dapur itu menjijikkan, lihatlah ruang keluarganya!"
panggil Jade. Deena menyusul temannya ke tempat kejadian
mengerikan Sabtu malam lalu. Bercak darah masih terlihat di karpet.
Tanda-tanda kapur kuning yang dibuat polisi menunjukkan di mana
tubuh Mrs. Farberson tergeletak. Lantai masih penuh dengan pecahan
lampu dan asbak. Mr. Farberson pasti tak sempat membersihkannya.
"Berantakan sekali," kata Deena. "Aku bingung harus mulai
dari mana." "Apakah kaulihat meja?" tanya Jade. "Mungkin kita bisa
menemukan berkas-berkas"asuransi, buku harian, atau yang lain."
Kedua gadis itu menerangi ruangan itu dengan senter, tapi di situ tak
terlihat meja tulis. "Lihat ini," kata Jade, menunjuk dengan cahaya senternya. Pada
salah satu sisi sofa terdapat sekeranjang majalah. "Pegang senternya,
aku akan memeriksanya."
Jade berlutut lalu dengan cepat memeriksa setengah lusin
majalah itu. Kebanyakan majalah tentang bagaimana menurunkan
berat badan dan majalah tata ruang"Your Modern Home"yang
dikirimkan untuk Mrs. Farberson.
"Huh, ini tak ada gunanya," gerutu Jade, mengibaskan debu di
tangannya. Deena menghampiri tempat telepon. Di situ cuma terlihat
telepon dan buku telepon. Ia menarik lacinya, tapi macet. Dengan
putus asa dipukulnya laci itu lalu kembali menariknya kuat-kuat. Laci
itu tercabut, teleponnya ikut terjatuh. Jade memekik terkejut, "Hei,
hati-hati!" "Aku menemukan sesuatu!" kata Deena, tiba-tiba bersemangat
ketika sebuah notes kecil terjatuh dari laci. Dipungutnya notes itu dan
diperiksanya di bawah cahaya senter. "Sialan," gumamnya. "Cuma
notes kosong." "Hm," kata Jade kesal. "Ayo kita ke atas."
Sewaktu menaiki tangga yang tua dan berderak-derak, Deena
mendengar bunyi menakutkan yang membuat bulu kuduknya
meremang. "Apakah kau juga mendengarnya?" bisiknya.
Jade berhenti melangkah. "Bunyi berderak-derak itu?"
"Kedengarannya seperti ada orang yang duduk di kursi
goyang," kata Deena. "Menurutmu..."
"Tapi siapa?" tukas Jade. "Mr. Farberson bekerja dan istrinya
sudah meninggal." "Tak ada apa-apa," kata Deena, berusaha meyakinkan diri.
Mereka tiba di anak tangga teratas. "Sepertinya bunyi itu berasal dari
belakang pintu." Dengan menahan napas, Deena berjingkat-jingkat
menuju kamar itu. Ia mendorong pintunya hingga terbuka.
Ternyata kamar tidur, dengan sebuah tempat tidur besar dan dua
lemari besar. Di seberang kamar terlihat jendela yang terbuka. Tiupan
angin terus-menerus menerpanya, menimbulkan bunyi berisik
menakutkan. "Rumah ini sangat seram," kata Jade dari ambang pintu.
"Ini rumah menyeramkan yang pertama dan terakhir kali akan
kudatangi," ujar Deena. Ia mendekat ke jendela, hampir terpeleset di
genangan air hujan yang masuk ke dalam kamar itu. "Kabar baik,
Jade, hujan sudah reda," katanya.
"Apa kabar buruknya?" tanya Jade.
"Jendela ini tak bisa kututup. Di luar sana ada pohon besar.
Dahannya tersangkut ke sini."
"Ayo kubantu," kata Jade. Ia mendorong dahan pohon maple
itu, lalu Deena menutup jendelanya.
"Bagus," ujar Deena. "Bunyi itu membuatku gila!" Lalu ia
menyorotkan senternya ke sekeliling ruangan itu. "Apakah kita akan
menemukan sesuatu di sini?" tanyanya.
"Tak ada apa-apa di lemari," lapor Jade dengan suara teredam.
"Cuma setumpuk pakaian wanita. Semuanya berbau kapur barus."
Kamar berikutnya lebih kecil ukurannya. Ketika membukanya
Deena serasa mendapat undian. "Ini pasti kamar kerja Farberson,"
katanya bersemangat. "Bagus!" sahut Jade sama bersemangatnya. Di depan jendela
terdapat meja tulis tua terbuat dari logam. Meja itu penuh kertas.
Lemari arsip berlaci dua terletak di sudut, kedua lacinya terbuka dan
kosong. Di seberang meja tulis tampak dipan yang juga penuh dengan
tumpukan kertas. Beberapa kotak dan kantong plastik sampah
berwarna hijau teronggok acak-acakan, isinya kertas-kertas dan arsip.
"Lihat, sepertinya Mr. Farberson baru membongkar arsiparsipnya," kata Jade puas.
"Tapi kita perlu waktu berminggu-minggu untuk
memeriksanya," ujar Deena, "dan kita sama sekali tak tahu mana yang
kita butuhkan." "Kita tak usah memeriksa semuanya. Periksa saja bagian yang
teratas. Berkas-berkas yang baru diperiksa Farberson mungkin
ditumpuknya di bagian atas. Kauperiksa yang di dipan, aku yang di
meja." Deena duduk di dipan dan mulai memeriksa tumpukan kertas
itu. Ia memeriksa beberapa kertas yang terlipat, kebanyakan bon-bon
rumah tangga, kuitansi pajak penghasilan, dan potongan cek. Ia
hampir berpindah ketika dilihatnya selembar kertas yang lipatannya
sudah sering dibuka hingga mudah robek kalau tersentuh.
"Kurasa aku sudah menemukannya," katanya pada Jade.
"Maksudmu kita," tegas Jade. "Apa itu?"
"Sepucuk surat. Dari Mrs. Farberson untuk Mr. Farberson.
Dengarlah, akan kubacakan!"
?"Dear Stan,'" Deena membaca. "'Tak ada gunanya lagi kita
terus berdebat. Aku sudah memutuskan untuk meninggalkanmu. Tak
ada lagi yang bisa mengubah keputusanku. Aku yakin kau tak akan
dapat mempertahankan restoranmu. Ketika kuberikan uang untuk
membelinya, aku yakin kelak kau pasti sukses. Tapi kau gagal lagi.
"'Aku tak mau memberimu uang lagi. Selama lima tahun ini kau
telah menghabiskan hampir semua warisanku. Aku harus menyimpan
sebagian untukku. '"Aku akan mengambil barang-barangku pada Sabtu malam.
Selamat tinggal, Edna.'"
"Itu dia!" seru Jade. "Itulah sebabnya Mr. Farberson
membunuhnya. Ia punya uang, dan ia akan meninggalkannya."
"Kisah yang menyedihkan," kata Deena. "Aku mendapat kesan
bahwa Mrs. Farberson pernah sangat mencintai suaminya."
"Dan akibatnya ternyata fatal," tambah Jade. "Pokoknya, kita
telah menemukan apa yang kita cari. Ayo cepat keluar."
"Ayo," jawab Deena. "Tapi beri aku waktu lima menit lagi. Aku
akan memeriksa lemari."
"Apa yang akan kaucari" Kita sudah punya cukup bukti untuk
polisi..." "Aku mau cari kedoknya," kata Deena.
"Baiklah," sahut Jade. "Tapi cepatlah."
Deena membuka lemari dan menyorotkan senternya. "Ada
koper di sini." "Lupakanlah," desak Jade. "Aku mendengar suara mobil."
"Mungkin cuma mobil lewat," sahut Deena. Ia membuka koper
itu dan menemukan kemeja, kaus kaki, serta celana panjang. Ia
mencari-cari lagi, tapi tak menemukan yang lain. Dengan kecewa, ia
menutup koper dan mulai memeriksa rak-rak.
"Mobil itu kian dekat," seru Jade gugup. "Lupakanlah kedok
itu." "Baik," jawab Deena. Ia meninggalkan lemari itu dan
menyelipkan surat ke ikat pinggangnya.
Lalu ia diam membeku. Kini ia juga mendengar suara mobil.
Mobil itu berjalan pelan lalu membelok ke halaman rumah
Farberson. "Tak mungkin dia!" bisik Deena. "Masih terlalu sore!"
Pintu mobil dibuka kemudian ditutup kembali.
Langkah-langkah berat menuju rumah.
Lalu terdengar anak kunci diputar, dan pintu depan pun terbuka
dengan berderak. 21 KEDUA gadis itu diam membeku, menahan napas. Mereka
mendengar langkah kaki dan melihat cahaya terang lampu di ruang
bawah. "Kita harus melakukan sesuatu," bisik Jade.
"Apa misalnya?" tanya Deena. "Kita cuma bisa menunggu.
Barangkali ia pulang untuk mengambil sesuatu." Dengan gugup
Deena meraba-raba surat di ikat pinggangnya.
Surat itu adalah bukti yang amat penting"bukti yang bisa
menyelamatkan Chuck. Bagaimanapun mereka harus bisa
menyerahkannya pada polisi.
Tapi bagaimana caranya kabur"
Mereka mendengar Mr. Farberson berjalan ke dapur. .
"Bagaimana kalau ia tidak berniat pergi lagi?" tanya Jade,
menyuarakan ketakutan yang berkecamuk di hati Deena. "Restorannya
mungkin tutup lebih sore. Atau ia sakit."
"Kalau begitu kita harus menunggu sampai ia tidur," ujar
Deena. "Ia pasti tak menyangka kita ada di sini. Ayo kita kenakan jas
hujan dan jaket, siapa tahu kita harus bersembunyi."
Tanpa bersuara Jade berjingkat-jingkat ke meja. Ia mengambil
jas hujannya dan jaket Deena dari kursi. Ketika akan kembali, kakinya
tersandung lantai papan. Keduanya menahan napas beberapa saat, tapi
tak terdengar reaksi dari bawah.
"Ibuku pasti akan mengamuk," bisik Jade, mengenakan jas
hujannya. "Aku bilang akan pulang pukul sepuluh."
"Jade, ibumu bukan masalah penting sekarang," bisik Deena.
Kedua gadis itu dengan hati-hati duduk di pinggir dipan,
menunggu dan menunggu. Semenit serasa satu jam. Berjaket terasa
gerah, meskipun kamar itu amat dingin. Deena merasakan
punggungnya berkeringat. Kalau saja ada jalan keluar lain di rumah
itu! Sedang apa Mr. Farberson sekarang" pikirnya. Sejak tadi tak
terdengar suara apa pun. "Aku tak bisa menunggu lagi," bisik Jade tiba-tiba. "Aku akan
pergi menyelidik kalau-kalau ada kesempatan untuk lari. Siapa tahu
yang di bawah itu bukan Mr. Farberson."
Sebelum Deena sempat mencegah, Jade menyelinap ke koridor.
Tak lama ia kembali, di bawah sinar lampu remang-remang wajahnya
terlihat sangat cemas. "Ia ada di bawah. Kepalanya tersandar di lengan
sofa," lapornya. "Ia mendengkur."
Deena menarik napas dalam-dalam. "Mungkin kita bisa
menyelinap pergi. Bagaimana pendapatmu?"
Jade mengangguk. Kedua gadis itu menghirup udara banyakbanyak, lalu berjingkat-jingkat menyusuri koridor menuju tangga.
Lantai papan itu sudah tua, dan menurut perasaan Deena, setiap
langkah kaki mereka menimbulkan bunyi berderak sekeras sirene
ambulans. Mereka tiba di tangga. Deena bisa mendengar suara dengkuran
Mr. Farberson di bawah sana.
Ia mulai menuruni tangga, diikuti Jade. Kini ia bisa melihat
kepala Mr. Farberson yang tersandar di lengan sofa.
Ia melangkah lagi. Dan suara dengkuran itu pun berhenti.
Mr. Farberson menggeram, duduk tegak, dan meregangkan
badannya. Ia menguap keras sekali lalu kembali bersandar.
Deena dan Jade tak berani bergerak-gerak. Lalu, pelan-pelan,
mereka berbalik ke lantai atas dan menyusuri koridor. Ketika tiba di
kamar kerja Mr. Farberson, tangan Deena gemetaran.
Ia masuk ke kamar kerja, diikuti Jade.
Dan tersandung tong sampah.
Tong sampah itu jatuh berdentang, bersamaan dengan geraman
Mr. Farberson di bawah. "Setan apa itu?" katanya dengan suara
rendah. Deena dan Jade saling memandang dengan mata lebar,
ketakutan setengah mati. Cepat-cepat Jade menegakkan tong sampah
itu. "Sembunyi di lemari!" bisiknya.
Kini Deena mendengar Mr. Farberson melangkah menaiki
tangga. Kelihatannya ia tak buru-buru, tapi langkahnya berat, dan
ingatlah Deena betapa besar tubuhnya.
Ia menyelinap ke lemari, diikuti Jade. Mereka bersembunyi di
balik mantel-mantel panjang dan kemeja-kemeja.
Langkah kaki itu kian dekat, lalu terdengar bunyi klik, dan
terlihat seberkas sinar dari celah-celah pintu lemari.
"Halo?" gumam Mr. Farberson. "Ada orang di sini?"
Mereka mendengar pria itu berputar-putar di kamar kerjanya,
bergumam sendiri. Lalu langkahnya menjauh, menuju koridor,
memeriksa kamar lainnya. Ia berkeliling sebentar, lalu kedua gadis itu mendengar bunyi
berderak saat ia duduk di kursi di kamar kerjanya. Beberapa saat tak
terdengar suara apa-apa, lalu terdengarlah suara lenguhan yang
memecahkan keheningan itu. "Hei!" Mr. Farberson berteriak. "Ada
bekas air di mana-mana!"
Lalu kursi itu terdengar berderak lagi, dan langkah berat
menyeberangi ruangan. Pintu lemari terbuka. Deena mengerjap-ngerjap karena sinar terang yang menerpa
membuatnya silau. Baru kemudian ia bisa melihat Mr. Farberson,
yang menatapnya dengan garang. Ekspresi wajahnya itu pelan-pelan
berubah"kemarahannya lenyap digantikan oleh senyum jahat yang


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh ejekan. "Wah, wah, ternyata gadis-gadis," katanya. "Kalian benar-benar
usil, ya?" 22 DEENA sangat ngeri hingga tak bisa bergerak atau berpikir.
Kemudian Jade menjerit memekakkan telinga.
Mr. Farberson terkejut dan melangkah mundur. Jade buru-buru
mendorongnya dan keluar dari lemari. Ia menyeberangi kamar itu, tapi
Mr. Farberson lebih cepat tiba di pintu dan menghalang-halanginya
dengan badannya. Deena mengintip dari lemari. Dilihatnya Jade berdiri di balik
meja tulis Mr. Farberson. Pipinya memerah dan sorot matanya nekat
bercampur takut. "Biarkan kami pergi!" pintanya. "Kami sudah tahu tentang
dirimu!" "Aku tak peduli," jawab Mr. Farberson, sama sekali tak
kelihatan takut. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia
terus berjaga di depan pintu.
"Kau pembohong!" lanjut Jade. "Kau pembunuh istrimu!"
Mata Farberson menyipit, tapi wajahnya segera kelihatan santai
kembali. "Kau tak perlu menuduhku seburuk itu," katanya. "Lebihlebih karena aku telah memergokimu masuk ke rumahku"untuk yang
kedua kalinya!" "Kuingatkan kau. Biarkan kami pergi, atau..."
"Atau apa?" tanya Farberson mengejek.
Deena kagum pada keberanian Jade yang berhadapan dengan
Mr. Farberson. Tapi Deena langsung putus asa, ketika dilihatnya Jade
sudah kehabisan bahan ancaman. Gesit bagai kucing, Mr. Farberson
merenggut pergelangan tangan Jade.
"Lepaskan aku!" pekik Jade. Tangannya yang bebas mengambil
asbak lalu menghantamkannya pada Mr. Farberson. Asbak itu terlepas
dari tangannya lalu terjatuh ke lantai tanpa sempat melukai Mr.
Farberson. Mr. Farberson merenggut pergelangan tangan Jade yang lain,
Jade pun menjerit. "Kau memaksaku berbuat kasar, ya?" seru pria itu.
Dengan kalut Deena mencari akal untuk menolong temannya.
"Lepaskan dia!" teriaknya. Ia melemparkan senternya ke Mr.
Farberson. Senter itu mengenai bahunya, tapi Mr. Farberson cuma
menggeram dan mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan
tangan Jade. Jade mencakari dan menggigiti Mr. Farberson, tapi dengan
mudah pria itu bisa menghentikannya. Tiba-tiba ia tampak bosan dan
mengguncang-guncang Jade. "Baik!" katanya. "Cukup sudah
permainan ini! Sekarang aku akan memberimu pelajaran!" Ia
mengempaskan Jade keras-keras ke meja. Jade megap-megap lalu
menjerit, "Lari, Deena! Cari pertolongan!"
Deena tak mau meninggalkan Jade, tapi ia sadar tak mungkin
menang kalau berkelahi dengan Mr. Farberson. Ia segera kabur dari
kamar itu dan menuruni tangga. Di belakangnya, ia bisa mendengar
suara Jade dan Mr. Farberson yang masih bergelut.
Di kaki tangga Deena berhenti sebentar, menimbang-nimbang.
Ke mana ia akan pergi mencari pertolongan" Rumah-rumah di dekat
situ semuanya sunyi. Kemudian ia melihat telepon. Lebih baik menghubungi polisi
dari sini, pikirnya. Ia mengangkat telepon, memutar nomor... tapi tak
terdengar bunyi apa-apa. Terlambat, ia baru ingat bahwa telepon mati.
Semua ini berawal dari telepon gelap, pikirnya. Dan mungkin
akan berakhir di sini juga"karena ia tak bisa menggunakan telepon
ini! Ketika mendengar langkah berat di belakangnya, Deena
menoleh. Ia melihat Mr. Farberson di dekatnya. "Menelepon piza,
heh?" ejeknya. Deena menatapnya dengan waswas, jantungnya serasa
melompat ke kerongkongan.
"Mana Jade?" tanyanya, melangkah mundur.
"Tidur sebentar, mungkin begitu istilahnya. Kau pasti senang
menemaninya." Deena mundur pelan-pelan, kemudian dengan hati-hati ia
berbalik, lari ke dapur. Tapi Mr. Farberson mengikutinya. Dengan
kalut ia mengambil sesuatu"apa saja"untuk senjata. Tangannya
meraih gagang penggorengan di dekatnya lalu memegangnya eraterat.
Bayangan Mr. Farberson berjalan lambat-lambat
menghampirinya. Tangannya terulur seperti dalam film monster.
Ini pasti mimpi buruk, pikir Deena. Tak mungkin benar-benar
dialaminya! Tapi ia bukan sedang bermimpi. Buktinya Mr. Farberson
menyergapnya beberapa saat kemudian. Dengan menjerit lirih,
diayunkannya penggorengan itu sekuat-kuatnya hingga mengenai Mr.
Farberson. Lelaki itu berteriak marah dan kesakitan, lalu merenggut
sisi lain penggorengan itu dan memutar-mutarnya. Besi kasar itu
melukai jari-jari Deena, sehingga ia terpaksa melepaskannya.
Mr. Farberson merenggut pundaknya, menangkapnya bagai
boneka. "Kau si idiot kecil"kaulukai tanganku dengan penggorengan
itu!" teriaknya. "Siapa kira dua gadis bisa amat merepotkan aku?"
Deena berusaha meloloskan diri, tapi tak berhasil. Ia menangis
tanpa bisa berhenti. Farberson membawanya ke ruang keluarga dan
mendudukkannya di anak tangga terbawah. Tangannya
mencengkeram lengan Deena. "Ayo!" katanya. "Aku tak peduli kalau
lenganmu patah." Farberson mulai menaiki tangga, setengah membimbing dan
setengah menyeretnya. Deena harus melangkah cepat agar lengannya
tak tercabut dari sendinya.
Di lantai atas, pria itu berhenti di depan pintu pertama yang tadi
sudah dibukanya bersama Jade"pintu kamar tidur. Mr. Farberson
memeriksa sakunya, mencari-cari kunci. Deena ingat benar, pintu itu
tadi tak terkunci. Apakah Jade ada di dalam" Deena tak sempat
berpikir lagi karena ia langsung teringat untuk kabur ketika Mr.
Farberson membuka pintu kamar itu.
Ini kesempatannya yang terakhir.
Ia berlari lewat koridor, tapi Mr. Farberson yang bertubuh besar
itu berhasil menyusul dan menjegalnya. Ia jatuh telentang. Dengan
kalut sebisa-bisanya ia berkelahi dengan Mr. Farberson. Ia mendengar
Mr. Farberson merobek jaketnya lalu mengikatkannya ke badannya,
hingga kedua tangannya sama sekali tak bisa digerakkan.
23 AKU benar-benar terperangkap, pikir Deena. Apa yang akan
dilakukannya padaku sekarang"
"Hei... apa ini?" tanya Mr. Farberson. Jaket Deena yang robek
memperlihatkan surat di ikat pinggangnya. Ia merenggutnya, dan
wajahnya tampak semakin garang. "Jadi!" katanya. "Ini yang kaucari!"
Dengan kasar ia menarik Deena hingga berdiri dan
mendorongnya masuk ke kamar. Lalu ia ikut masuk, membanting
pintu, dan berdiri tegak beberapa saat, menghela napas.
Deena jatuh menabrak lemari. Ia memaksa diri untuk duduk dan
melihat ke sekitarnya. Jade meringkuk di kaki tempat tidur. "Jade!"
pekiknya ketakutan. Jade tak bergerak-gerak. "Jade!" Kali ini Deena
benar-benar menjerit. "Kaubunuh temanku!" teriaknya pada Mr.
Farberson. Ia amat ketakutan dan marah hingga sesak napas.
"Ia cuma K.O.," sahut Farberson enteng. "Pasti ia hanya
berpura-pura. Pukulanku tadi tak akan membuatnya mati"paling
tidak belum sekarang."
Jade mengerang. Deena berusaha melepaskan jaketnya, lalu ia
menghampiri temannya. Dahi Jade memar, dan ia amat pucat, tapi tak
lama kemudian ia membuka matanya. "Deena?" ujarnya.
"Jade!" seru Deena. "Jade, kau baik-baik, kan?"
"Kepalaku terluka," jawab Jade. "Apa yang terjadi... oh!" Jade
mendesah ketika melihat Mr. Farberson berdiri di depan pintu. Ia
memegang surat itu lalu mengetuk-ngetuknya, darah menetes dari
luka akibat hantaman penggorengan.
"Ia menemukan bukti kita," tutur Deena, masih menangis, "Sori,
Jade." "Surat yang kutemukan ini milikku," kata Mr. Farberson.
"Kalian mau mencurinya. Aku harus menyerahkan kalian pada polisi."
Beberapa saat Deena terus berharap-harap. Mungkin ia tak akan
melukai mereka. Mungkin ia akan menyerahkan mereka pada polisi.
Tapi paling tidak mereka akan selamat.
"Katakan apa yang kalian tahu," perintah Farberson.
"Kami tak tahu apa-apa," jawab Deena cepat.
"Oh, ya?" tanya Farberson, matanya menyipit. "Hei... aku
sungguh-sungguh. Katakan apa saja yang kalian ketahui." Ia
mendekati mereka. "Aku tak perlu menyakiti kalian untuk
mendapatkan jawaban itu, kan!"
"Kau sudah tahu," jawab Deena, amarahnya timbul lagi. Ia
merasa Mr. Farberson sengaja mempermainkan mereka, seperti
kucing mempermainkan tikus yang sudah berhasil ditangkapnya. "Kau
membunuh istrimu untuk mendapatkan uangnya"lalu membuatnya
seperti kasus perampokan!"
Mr. Farberson diam sesaat, lalu menegakkan badan, sepertinya
ia sudah mengambil keputusan. "Hm, kalian sungguh pintar," katanya.
"Sangat pintar. Aku akan lebih hati-hati sekarang."
"Apa maksudmu?" bisik Jade.
"Mungkin kau benar... tentang semua itu," katanya. "Mungkin
aku yang membunuh Edna."
Rasa dingin menjalari sekujur tubuh Deena. Farberson pasti
takkan mengaku seperti itu kalau ia berniat melepaskan dirinya dan
Jade. Bagaimana mereka dapat meloloskan diri" Deena berpikir keras,
namun satu-satunya cara yang terpikir olehnya adalah memancing
Farberson untuk terus bicara, agar mereka punya waktu untuk
bertindak. "Kau membunuhnya lalu meyakinkan polisi bahwa Chuck yang
melakukannya?" tanyanya.
Senyum aneh menghiasi wajah Farberson. "Ketika kalian
bertiga muncul malam itu, aku seperti mendapat anugerah dari surga.
Kalian memberiku lebih banyak waktu"waktu untuk menuntaskan
pekerjaanku dan angkat kaki dari kota ini. Terus terang aku berutang
budi pada kalian." "Sekarang pun kau masih bisa pergi," jawab Deena cepat. "Jade
dan aku tak akan membongkar rahasiamu sampai pesawatmu terbang
besok pagi." "Usul bagus," sahut Farberson. "Aku sempat memikirkannya.
Tadinya aku berencana untuk meninggalkan kalian terkunci di sini
sampai tiba waktu berangkat. Tapi kalian tahu terlalu banyak. Aku tak
berani mengambil risiko kalian menghalangiku."
"Tunggu," kata Deena. "Bagaimana kalau..."
Terlambat. Mr. Farberson menuju pintu. "Kalian tak akan bisa
kabur," katanya menyeringai.
Ia membanting pintu. Deena mendengar anak kunci berputar di
lubangnya. Lalu langkah kaki Farberson menyusuri koridor.
24 DEENA lari ke pintu dan membukanya, tapi pegangan pintu itu
tak bisa diputar. "Cepat," katanya pada Jade. "Kita harus keluar dari
sini!" "Tapi bagaimana caranya?" tanya Jade.
"Lewat situ." Deena menunjuk ke jendela. "Ingatkah ketika
kucoba menutupnya tadi" Ada dahan yang menghalanginya, kan"
Pohon besar itu pasti dekat dengan rumah ini"mungkin cuma
setengah meter dari sini."
"Jadi kita harus turun lewat pohon?" tanya Jade.
"Kita tak punya pilihan lain! Jade, ia akan membunuh kita!"
Deena menggeser gerendel lalu mendorong jendela, tapi jendela itu
tak bergerak. "Cepat, Deena," desak Jade. "Ia sudah kembali!"
Kini Deena juga mendengar langkah kaki Mr. Farberson di
tangga. "Kenapa tadi kututup, ya?" gerutu Deena. Didorongnya jendela
itu sekuat-kuatnya, tapi tetap tak mau bergerak.
"Kita harus menghalang-halangi dia!" ujar Jade terengah-engah.
"Kemarilah bantu aku!" Deena melihat Jade sedang mendorong lemari
berlaci yang amat berat. Ia lari membantu temannya. Kedua gadis itu
mendorong lemari itu kuat-kuat hingga benda yang berat itu bergeser
pelan di lantai. Di luar, terdengar gema suara langkah kaki Mr. Farberson yang
kian dekat. "Cepat!" seru Jade.
Lemari itu mereka dorong sesenti demi sesenti"hingga tepat
berada di balik pintu ketika Mr. Farberson memutar anak kunci.
Deena kembali berusaha membuka jendela. Terdengar suara
berisik ketika Mr. Farberson mencoba membuka pintu yang terhalang
lemari. Deena mendengar sumpah serapahnya. Lalu suara gebrakan
keras ketika pria itu menubrukkan tubuhnya ke pintu. Lemari berlaci
itu bergeser sedikit demi sedikit. Pintu mulai terkuak sekarang. Mr.
Farberson memasukkan tangannya. "Kau tak bisa menahanku di luar
sini!" katanya dari balik pintu. Lalu ia tertawa"tawa menyeramkan!
Dengan tekad baru kedua gadis itu kembali mendorong jendela,
kali ini langsung terbuka. Deena melihat ke luar. Pohon itu licin
karena basah. Cabang-cabang pohon di dekat jendela terlalu kurus
untuk dijadikan tempat berpijak. Kira-kira semeter di bawah jendela
baru terlihat dahan yang kokoh.
Lemari itu tiba-tiba bergerak. Kalau saja Mr. Farberson
bertubuh lebih kecil, ia pasti sudah bisa masuk ke kamar itu.
"Lompat, Deena!" seru Jade ketakutan. Deena mengambil napas
dalam-dalam lalu memanjat ambang jendela. Ia berbalik, tangannya
berpegang pada ambang jendela, lalu bergelayutan. Ia merasa lega
ketika kakinya menyentuh dahan kokoh di bawahnya. Ia melepaskan
pegangannya di ambang jendela, lalu berdiri di dahan. Dengan
gembira ia berpegang pada dahan di atasnya lalu mengulurkan sebelah
tangannya pada Jade. Beberapa saat setelah Jade dan Deena berada di pohon, Mr.
Farberson muncul di ambang jendela. "Kalian tak akan pernah bisa
melarikan diri!" bentaknya, lalu menghilang.
"Ia keluar!" bisik Jade. "Cepat turun!"
Deena melihat ke bawah dan menyadari betapa tinggi ia berada.
Dahan berikutnya agak jauh di bawahnya. Kenapa dulu ia tak
berlatih senam" tanyanya menyesali diri.
"Aku tak bisa!" ujarnya pada Jade. "Terlalu jauh dan licin."
"Aku lebih tinggi," kata Jade. "Akan kucoba. Kalau... oh!" Mata
Jade membelalak ketakutan. Dari sinar lampu jendela dapur, keduanya
bisa melihat Mr. Farberson sedang berjalan ke pohon. Ia memegang
benda panjang dan besar. Ketika ia mendekat, Deena melihat benda
itu ternyata gergaji! "Oh, tidak," gumam Jade. "Aku tak percaya!"
"Rasanya tak mungkin ia gunakan gergaji itu di malam hari
begini!" kata Deena, tak yakin.
"Ia bisa membangunkan penduduk Fear Street. Sudah
sintingkah dia?" "Ya," bisik Jade. "Ia memang sinting. Maksudku, ia sudah
nekat. Lihat matanya."
Deena mengintip ke bawah dan melihat apa yang dimaksud
Jade. Wajah Mr. Farberson masih kelihatan marah. Tapi ada sesuatu


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tersirat di wajahnya"kebengisan yang muncul di luar kontrol.
Di bawah sinar lampu itu, bagian putih matanya tampak membesar. Ia
tertawa mengerikan lagi. Deena menggigil. Bagaimanapun Farberson
yang ini lebih menyeramkan dibanding laki-laki yang telah
memperdayai mereka. Ia mulai menggergaji. Sebelum bunyi memekakkan itu berakhir, Deena mendengar
raungan sirene. Pohon itu bergetar ketika Mr. Farberson menggergajinya.
Deena dan Jade berpegang erat-erat agar tak ikut terguncang"dan
terjatuh ke mata gergaji yang bergerak-gerak itu.
"Ia benar-benar menggergaji pohon ini!" jerit Deena, hampir
terlepas dari dahan. "Kita akan terjatuh!" kata Jade, melihat ke bawah.
Di bawah sana Farberson menarik gergajinya, menancapkannya
lagi, menengadah melihat kedua gadis itu, lalu kembali menggergaji.
Gergaji itu menimbulkan bunyi memekakkan saat memotong
batang pohon. Serbuk gergaji dan serpihan kayu beterbangan.
Deena mendengar bunyi berderak. "Kita akan terjatuh!"
jeritnya. 25 TIBA-TIBA Jade memegang lengan Deena. "Lihat!" katanya.
Deena menoleh. Di kejauhan, dari arah Mill Road, tampak pemandangan paling
indah yang pernah dilihatnya. Lampu sirene mobil polisi!
Terdengar bunyi berderak lagi. Pohon itu akan tumbang.
Pertolongan sudah datang, tapi akankah tiba tepat waktu"
Detik berikutnya segalanya seperti terjadi bersamaan.
Pohon itu mulai tumbang. Deena memejamkan mata dan
berpegang erat ke dahan, berharap dalam waktu singkat segalanya
akan berakhir. Halaman rumah itu tiba-tiba berubah jadi mencekam. Cahaya
terang mobil polisi menyorotinya. Seorang polisi berlari
menyeberangi halaman sambil menodongkan pistol. Deena lega ketika
tahu polisi itu adalah Detektif Frazier.
Pistol itu meletus beberapa kali. Mr. Farberson berdiri tak
bergerak-gerak, lalu roboh ke belakang. Gergaji di tangannya masih
meraung-raung. Dengan cepat detektif itu berlari mendekatinya dan
mematikan mesinnya. Bunyi mengerikan dan getaran sudah berhenti"keadaan yang
tiba-tiba sunyi itu menyebabkan telinga Deena serasa tuli.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Detektif Monroe dari bawah
pohon, menengadah pada mereka. Di belakangnya terlihat Detektif
Frazier sedang membungkuk di depan Mr. Farberson.
"Bertahanlah," kata Monroe. "Aku akan mengambil tangga."
Deena lemas. Jade juga kelihatan lemas. Keduanya menangis
lega. Namun ketika pohon itu bergoyang lagi, Deena sadar bahwa
bahaya belum lewat. Halaman itu dipenuhi seruan laki-laki, bunyi mesin mobil, dan
suara radio panggil. Dari celah-celah dedaunan yang rimbun, Deena
melihat seseorang sedang berbicara di walkie-talkie. Di belakangnya
berdiri"tak salahkah penglihatannya?"ayahnya dan Chuck!
Detektif Monroe kembali dengan membawa tangga. Ia
memanjat, polisi berseragam lainnya memeganginya. Ia tiba di atas
pohon. Dengan gembira Deena melingkarkan lengannya ke leher
polisi itu yang dengan mudah membawanya menuruni tangga. Tak
lama ia turun lagi bersama Jade. Baru saja ia mendudukkan Jade di
tanah, terdengar seseorang berteriak, "Awas!"
Pohon itu tumbang, mula-mula pelan-pelan lalu benar-benar
roboh. Dahan-dahannya yang kokoh menghantam jendela belakang
rumah Mr. Farberson. Deena sempat melihatnya beberapa saat. Jantungnya berdetak
cepat, lalu ia pingsan. 26 KETIKA tersadar lima menit kemudian, Deena terbaring di
beranda rumah Mr. Farberson beralaskan mantel panjang. Jade duduk
bersilang kaki di sebelahnya sambil memegangi dahinya dengan kain.
Chuck duduk mencangkung di sebelah Jade, menatapnya sambil
tersenyum lembut. Deena berusaha duduk, lalu melihat ke sekelilingnya dengan tak
percaya. Detektif Frazier dan Monroe, tiga polisi berseragam, dan
ayahnya berkumpul di beranda itu, memandangnya dan Jade.
"Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya ayahnya,
membungkuk dan memeluknya.
"Dad!" serunya. "Chuck! Apa yang terjadi?"
Chuck menyeringai padanya. "Ceritanya sangat panjang,"
jawabnya. "Mana Mr. Farberson?" tanya Deena pada mereka. "
"Di sana," sahut Frazier, menunjuk ke samping halaman. "Ia
terluka, tapi akan segera sembuh kembali"setelah itu baru akan
diadili." Detektif itu bersandar ke tembok lalu bersedekap. "Kalian pasti
punya banyak cerita untuk kami," katanya. "Ceritakanlah sambil
menunggu ambulans tiba!"
"Kami sebisa-bisanya berusaha mencari informasi tentang Mr.
Farberson," jawab Deena.
"Lalu apa yang kalian temukan?" tanya Frazier dengan wajah
lugu. Deena tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Ia yang membunuh istrinya," sahut Jade. "Ia membunuhnya
untuk memperoleh uangnya."
"Kau yakin itu?" tanya Frazier. Detektif Monroe yang ada di
sebelahnya mulai mencatat.
"Periksalah saku Mr. Farberson!" kata Deena. "Ada surat dari
istrinya yang mengatakan bahwa ia akan meninggalkannya. Kami juga
menemukan surat pesanan tiket pesawat ke Amerika Selatan. Mr.
Farberson berniat melarikan diri."
"Selain itu," tambah Jade, "ia bilang pada kami bahwa ia yang
membunuh istrinya." Mendengar suaranya yang mantap, Deena yakin
bahwa Jade sudah pulih. Apalagi ketika ia meliriknya dan melihat
wajah Jade yang berseri-seri.
"Kau bilang, Farberson mengatakan ia yang membunuh
istrinya," kata Frazier. "Apakah ia juga mengungkapkan
penyebabnya?" Suara Frazier terdengar agak sinis, membuat Deena
gusar. "Istrinya punya banyak uang," jelas Deena, suaranya
mencerminkan kekesalan hatinya. "Istrinya tak mau memberinya uang
lagi. Mr. Farberson juga punya pacar gelap. Namanya Linda
Morrison, asisten pribadinya."
"Bagaimana cara kalian memperoleh semua informasi itu?"
tanya Frazier. "Kami mencarinya," sahut Jade dengan nada tersinggung.
"Kami ke tempat kerja Mr. Farberson, ke rumah Miss Morrison, dan
ke sini." "Kalian nekat sekali!" seru Frazier. "Tidak tahukah kalian
bahwa itu pekerjaan polisi?"
"Kami tahu," sahut Deena. "Tapi kalian tak mau dengar cerita
kami. Kami yakin Chuck tak bersalah. Satu-satunya yang bisa
menolongnya cuma kami."
Deena terkejut ketika melihat Frazier tersenyum. "Kurasa perlu
kubeberkan sekarang, sebenarnya Farberson adalah orang yang paling
kami curigai," katanya. "Kami menunggu-nunggu kesempatan sambil
terus mencari bukti."
"A... Anda... me... nunggu-nunggu?" kata Deena menggagap.
"Tapi bagaimana dengan Chuck" Anda seenaknya saja menahannya!"
"Tenanglah, Deena," kata Chuck. "Aku baik-baik kok."
"Bagaimana kau bisa baik-baik?" protes Deena. "'Kalau polisi
tahu kau tak bersalah, kenapa mereka..."
"Mulanya kami tidak yakin," potong Frazier.
"Kami terkecoh oleh siasat Farberson, lebih-lebih ketika sidik
jari Chuck terdapat pada pisau itu. Namun kemudian kami mulai
mencurigai Farberson. Kami mengawasinya dengan diam-diam agar ia
tak tahu bahwa ia dicurigai."
"Jadi seminggu ini kakakku dipenjarakan hanya demi
penyelidikan kalian?" Deena amat marah hingga ia ingin
melemparkan sesuatu padanya.
"Hei, Deena, tenanglah," bujuk Chuck. "Biarkan Detektif
Monroe menjelaskannya."
"Tidak. Aku yang akan menjelaskannya," kata Mr. Martinson.
Deena menatap ayahnya dengan menyelidik, bertanya-tanya apakah
setiap orang di situ sudah sinting. "Rencananya, pengacaraku akan
memberikan uang jaminan agar Chuck dibebaskan pada hari Rabu,"
tutur ayahnya. "Tapi Detektif Frazier menerangkan masalahnya
padaku. Katanya, untuk mempermudah penangkapan Farberson,
Chuck harus tetap ditahan. Akan lebih baik kalau Farberson terus
mengira bahwa Chuck yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan itu."
"Dan Dad menyetujuinya?" Deena teringat bagaimana keadaan
Chuck sewaktu ia mengunjunginya di tahanan. Betapa sedih dan
ketakutan dia. Kini, tiba-tiba, ia merasa geram pada ayahnya. Segeram
perasaannya pada kedua detektif itu.
Mr. Martinson kelihatan malu lalu mengangkat bahu. "Aku
ingin membantu polisi. Itu cuma butuh waktu beberapa hari kok.
Rencananya Chuck besok memang akan dibebaskan. Kupikir ada
baiknya juga kalau Chuck diberi pelajaran."
"Tak apa-apa, Dad," kata Chuck. "Aku bisa mengerti." Sebelah
tangan Chuck melingkar di leher Jade. Menurut Deena, Chuck kini
sangat berbeda dibanding tiga minggu lalu ketika ia baru tiba di
Shadyside. Wajah Chuck kini lebih dewasa, lebih serius. Seringai
cemberutnya sudah lenyap.
Tampak ambulans memperlambat kecepatannya lalu berbelok
ke halaman rumah Mr. Farberson. Detektif Frazier dan Monroe
menyambutnya lalu membantu petugas-petugas medisnya. Deena dan
Jade melihat Mr. Farberson diletakkan ke tandu lalu dimasukkan ke
ambulans. "Aku tak percaya semuanya telah berakhir," kata Deena.
"Kau harus percaya," sahut Chuck. "Terima kasih untuk semua
bantuanmu dan Jade hingga polisi tahu siapa yang benar. Kini mereka
yakin aku tak bersalah. Mereka juga sudah punya bukti-bukti untuk
memenjarakan Farberson seumur hidup."
Ambulans itu keluar halaman dan kembali menuju Mill Road.
Lampu sirenenya berputar-putar dan berpendar-pendar. Polisi-polisi
yang berpengalaman itu sudah menyelesaikan tugasnya. Mereka pun
berkemas-kemas. "Anda tak memerlukan kami lagi?" Mr. Martinson bertanya
pada Detektif Frazier. "Tidak, silakan pulang," sahut sang detektif. "Tapi Saya akan
berbicara lagi dengan gadis-gadis itu besok pagi."
"Baiklah. Kalian siap, kan?"
Deena berdiri. "Siap," katanya, lalu berbalik pada Detektif
Frazier. "Masih ada satu yang tak kumengerti," katanya.
"Apa itu?" tanya Detektif Frazier.
"Tak seorang pun tahu kami di sini. Bagaimana Anda bisa
menyelamatkan kami tepat pada waktunya?"
"Kau harus berterima kasih pada Chuck," kata Detektif Frazier.
"Dia menelepon orangtuamu untuk menceritakan rencanamu, tapi tak
berhasil. Lalu ia menelepon ke rumahku. Katanya ia mau mengaku."
"Kau mau apa?" tanya Jade dan Deena bersamaan, menatap
Chuck. Chuck tersenyum konyol. "Aku ingin bertemu dia secepatnya,"
jelasnya. "Satu-satunya cara agar ia mau datang adalah dengan
mengatakan bahwa aku mau mengaku."
Deena dan Jade bertukar pandang, lalu menatap Chuck. Jade
tertawa. "Aku tak percaya kau melakukannya lagi, Chuck!" katanya
sambil mendesah. "Mengingat janji yang pernah kauucapkan...
mengingat pengalaman pahit kita..."
"Apa maksudmu?" tanya Chuck kebingungan.
"Maksudku," kata Jade, masih tertawa, "kok berani-beraninya
kau membual lagi di telepon!"
27 PADA hari Senin kejadian itu menjadi buah bibir di seluruh
sekolah. Sebenarnya berita penangkapan Mr. Farberson hanya
disinggung sedikit di koran, namun entah bagaimana peran Deena,
Chuck, dan Jade dalam kasus itu telah tersebar luas. Mereka bertiga
pun dielu-elukan sebagai pahlawan.
Ketika Deena kembali ke locker-nya sebelum makan siang, ia
dicegat banyak orang. Sepertinya setiap murid di sekolahnya ingin
tahu kisah lengkapnya. "Selamat, Deena!" ucap Della O'Connor.
"Benarkah kaubantu polisi mengungkap kasus pembunuhan
itu?" tanya Corry Brooks ingin tahu.
"Oke, setiap orang harap antre!" ujar Deena bercanda. Pada saat
itu Lisa Blume tampil, siap dengan notesnya. "Selamat siang, Deena,"
katanya. "Kau sungguh hebat!"
"Aku gembira karena semuanya sudah berakhir," kata Deena
sungguh-sungguh. "Aku siap menulis berita menggembirakan itu," ujar Lisa.
"Bisakah kita bicara sepulang sekolah saja?" pinta Deena. "Aku
lapar." "Baiklah. Tapi benarkah kakakmu membuat pengakuan palsu?"
desak Lisa. "Itu dia," sahut Deena, menutup locker-nya. "Kenapa kau tak
bertanya saja padanya?"
Chuck tiba di sudut ruangan, bergandengan tangan dengan Jade.
Jade mengenakan gaun warna-warni yang membuatnya tampak
menakjubkan. Ia terus tersenyum pada Chuck seolah-olah tak ingin
melepaskan pandangannya dari cowok itu.
Lisa langsung mencecar Chuck. Deena terkejut ketika Chuck
mau menjawab pertanyaannya sambil tersenyum.
Deena sedang menuju ke arah Jade ketika Rob Morell
menghampirinya. "Hai, bagaimana ceritanya?" tanyanya dengan senyum lebar.
"Hai, Rob," sahut Deena malu-malu.
"Kemarin aku meneleponmu. Kini tahulah aku kenapa kau tak
menjawab teleponku."
Deena cuma tersenyum, tak tahu harus bilang apa.
"Begini," lanjut Rob, "beberapa teman akan ke rumahku untuk
nonton video bersama-sama. Aku ingin menanyakan apakah kau mau
ikut." "Aku... aku mau," kata Deena dengan hati berdebar.
"Bagus," ujar Rob. "Kujemput kau sekitar pukul tujuh nanti.
Dan kalian," katanya pada Chuck dan Jade. "Ikutlah juga."
"Terima kasih," jawab Jade. "Tapi pe-er-ku banyak sekali. Akan
kuberi kabar nanti. Aku akan menelepon Deena sepulang sekolah."
"Oke," kata Deena sambil menyusuri koridor, kemudian
mendadak berhenti. "Kupikir," katanya pada Jade, "beberapa hari ini
aku tak ingin menggunakan telepon, Jade. Aku kapok. Mungkin lebih
baik kau mengirimkan kartu pos saja padaku."
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Cinta Bernoda Darah 7 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Lencana Pembunuh Naga 1
^