Pencarian

Rahasia The Secret 3

Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret Bagian 3


bertanya. "Di halaman belakang, di tempat aku menggali-gali tanah untuk
membuat kebun bunga. Terkubur di bawah pohon apel tua itu."
Samuel Fier menyentuh jimat itu sekilas. "Aku belum pernah
melihat benda seperti ini," katanya. "Untuk apa benda ini dikuburkan
di sana" Seseorang pasti menguburkannya dengan maksud tertentu."
"Mungkin seharusnya tetap terkubur di sana," canda Kate.
Elizabeth tidak memedulikan komentar kakaknya. "Aku suka
ini," katanya. "Akan kukenakan sebagai jimat keberuntungan."
Dia mengenakan kalung itu di sekeliling lehernya.
Tiba-tiba lehernya terasa bergetar. Elizabeth bergidik dan
memejamkan matanya. Mata itu terasa panas.
Ketika dia membuka mata, ruang makan itu lenyap dan dia
dikelilingi api! Lidah-lidah api yang panas menjilat-jilat rambutnya yang ikal
panjang, membakar gaunnya. Api menghanguskan bulu matanya.
Aku pusing, pikirnya. Dia memejamkan mata lagi dan bersiapsiap ditelan api.
Bab 20 "ELIZABETH! Elizabeth! Ada apa?"
Elizabeth mendengar suara-suara cemas ayah dan ibunya ketika
api mulai padam lalu lenyap. Dia menggeleng dan membuka mata.
Api itu lenyap. Ruangan itu terlihat seperti sediakala, begitu
pula piring berisi daging kalkun dan seluruh keluarganya. Semua
terlihat normal kembali. "Elizabeth, apa yang terjadi?" tanya ibunya.
Elizabeth meraba-raba, meraih kursi, lalu duduk. Tak apa-apa,
Ibu, sungguh," sahutnya. Api itu telah terlupakan. "Aku agak pusing.
Tapi sekarang sudah hilang pusingnya."
"Kau harus makan," kata Mrs. Fier.
"Ibu benar," kata Elizabeth. "Aku lapar sekali."
Sepanjang sisa malam itu, Elizabeth merasa baik-baik saja. Tak
ada kejadian aneh. Dia segera lupa akan sensasi api yang mengerikan
itu. *********************** Beberapa minggu kemudian, tunas-tunas bunga di kebun
Elizabeth mulai bermunculan. Bandul kalung aneh yang
ditemukannya di sana sekarang menjadi perhiasan favoritnya. Dia
selalu mengenakannya. Pada suatu malam yang hangat di bulan Juni, keluarga Fier
duduk makan malam bersama. Elizabeth baru saja mengulurkan
sepiring buncis segar kepada Simon.
Tiba-tiba mereka mendengar ketukan di pintu.
"Siapa yang mungkin datang ke sini?" tanya Mrs. Fier sambil
menuangkan air putih ke dalam gelas-gelas mereka.
"Aku akan membukakan pintu," kata Elizabeth. Dia berdiri lalu
bergegas ke pintu. Dalam cahaya yang mulai temaram, tegak berdiri seorang lelaki
jangkung berpakaian compang-camping. Elizabeth kaget melihatnya.
Topi jeraminya yang bertepi lebar kotor kena lumpur yang
mengering dan menutupi wajahnya yang cekung. Jas dan celana
hitamnya sudah usang dan tergantung longgar menutupi badannya
yang kurus kering. Sepatu botnya sudah tipis.
Matanya, tajam dan berkilat, menatap cakram yang menghiasi
leher Elizabeth, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Dia pasti pengembara miskin, kata Elizabeth dalam hati sambil
mencoba mengingat-ingat. Tapi kenapa dia tak bicara"
"Ada perlu apa?" Elizabeth menanyainya.
Lelaki itu mengalihkan matanya dari bandul kalung itu ke
wajah Elizabeth. Kemudian dia menggerakkan bibirnya yang pecahpecah. "Tolonglah aku," dia memohon dengan suara lemah. "Aku
kelaparan. Bolehkah aku minta air dan sedikit makanan?"
Ketika Elizabeth menoleh memandang hidangan makan malam
keluarganya yang mewah, pengembara itu menambahkan, "Aku
bersedia bekerja sehari penuh untuk membayar sepiring makanan."
Mr. Fier berjalan ke pintu dan berdiri di belakang putrinya.
"Silakan masuk," katanya kepada pengembara itu. "Kami baru saja
mulai makan. Ada cukup banyak makanan untuk kami bagi
denganmu." "Terima kasih, Sir," kata pengembara itu. Mulutnya yang kering
tersenyum. Dia melangkah masuk.
Elizabeth mengawasi orang itu duduk dan mengambil sepiring
makanan. Tangannya kurus sekali, tinggal tulang berbalut kulit,
pikirnya iba. Kelihatannya dia sakit. Itu sebabnya matanya berkilatkilat. Lelaki malang!
Mula-mula pengembara itu minum dua gelas penuh air putih.
Kemudian dia mulai makan, dengan cepat menjejalkan makanan ke
mulutnya. Dia tidak berkata apa-apa sampai piringnya bersih dan licin.
Elizabeth berusaha tidak memandangi ketika lelaki itu makan dengan
rakus. Ketika dia sudah menghabiskan sepiring makanan, Mrs. Fier
mengambil piring itu dan mengisinya lagi. Lelaki itu berterima kasih
kepadanya dengan sangat tulus.
"Nama saya Franklin," katanya. "Tapi kawan-kawan memanggil
saya Frank. Saya menganggap kalian sekarang kawan-kawan saya."
Semua anggota keluarga Fier tersenyum.
Sekarang setelah perutnya kenyang, pikir Elizabeth, matanya
terlihat lebih hangat dan wajahnya lebih ramah. Padahal tadi aku takut
sekali padanya. Pengembara yang sakit, lemah, dan kelaparan!
"Kau tinggal di sekitar sini, Frank?" tanya Mr. Fier.
Frank menggeleng. "Saya tak punya rumah," sahutnya. "Sudah
tak punya lagi." Hening beberapa saat ketika Frank menyobek sepotong roti
dengan giginya. "Dulu saya punya keluarga," dia melanjutkan. "Saya satu dari
tujuh bersaudara, semua laki-laki. Kami tinggal di tanah pertanian
bersama ayah dan ibu saya. Tapi saya kehilangan mereka semua,
seluruh keluarga saya, dan tanah pertanian itu. Sekarang saya sebatang
kara di dunia." Dia mengoleskan seoles tebal madu pada rotinya.
"Sekarang saya berkeliaran, bekerja di tempat yang mau
menerima saya. Tapi kadang-kadang tak ada yang bisa dikerjakan.
Dan kalau tak ada kerja artinya tak ada makanan
"Kenapa kau tak menetap dan tinggal di suatu tempat?" tanya
Mrs. Fier. "Maunya begitu, Ma'am," sahut Frank. "Saya ingin sekali bisa
mapan. Saya akan menetap di mana pun kalau punya alasan bagus
untuk itu." Dia mengangkat wajahnya dari piringnya. Elizabeth merasa
bulu kuduknya meremang. Dia memandangku lekat-lekat, pikirnya.
Frank mengusap mulutnya dan memundurkan kursinya dari
meja. "Makan malam ini lezat sekali," katanya sambil berdiri. "Saya
sangat berterima kasih untuk kemurahan Anda. Sekarang saya siap
mengerjakan apa saja. Katakan saja, dan saya akan melakukannya
untuk Anda." "Oh, tidak, Frank," protes Mrs. Fier. "Kami takkan
menyuruhmu bekerja untuk membayar makan malammu. Kami
senang bisa menolongmu."
"Tapi, Ma'am," kata Frank, "saya akan lega jika bisa
mengerjakan sesuatu untuk Anda."
"Tak ada yang perlu dikerjakan," kata Simon. "Tapi menurutku
kau harus mandi air panas."
"Oh, tidak," kata Frank. "Aku tak mau merepotkan kalian."
Tetapi keluarga Fier memaksa, dan akhirnya Frank menerima.
Sementara ibu mereka mencuci peralatan makan, Kate dan Elizabeth
mengusung bak mandi kayu dan meletakkannya di lantai dapur.
Mereka merebus air dan menuangkannya ke dalam bak itu.
Kemudian para wanita itu keluar dari dapur agar Frank bisa
mandi. Simon meletakkan satu setel pakaian bersih di atas kursi untuk
Frank. Elizabeth berhenti di ambang pintu sebelum keluar dari dapur.
Dia berpaling dan melihat Frank melepas kemejanya yang kotor dan
compang-camping. Gerakan tangannya membuat otot-otot
punggungnya bergerak-gerak.
Dengan malu Elizabeth cepat-cepat keluar. Dia berharap Frank
tidak tahu dia sempat melihat punggungnya yang telanjang. Itu bukan
pemandangan yang pantas untuk seorang gadis baik-baik.
Keluarga Fier menunggu Frank di depan perapian di ruang
tamu. Kate menunduk sambil menyulam dan Elizabeth asyik merajut.
Tak lama lagi Kate akan berulang tahun. Elizabeth memutuskan
merajut sehelai scarf untuk kakaknya.
Elizabeth mengangkat wajahnya, kaget mendengar suara di
pintu ruang tamu. Frank berdiri di sana, tubuhnya segar sehabis mandi. Elizabeth
harus menahan diri agar tidak berseru tertahan melihat perubahan
pada pria itu. Dia sadar bahwa usia Frank mungkin sepuluh tahun lebih muda
dari yang dikiranya, mungkin dua puluhan, bukan tiga puluhan.
Sekarang, setelah membersihkan diri, makan kenyang, dan
beristirahat, wajahnya bersinar hangat. Rambutnya disisir rapi, dan
pakaian yang dipinjamkan Simon tampak anggun membalut tubuhnya.
Dia tampan, kata Elizabeth dalam hati. Sangat tampan.
Tiba-tiba dia sadar akan jimat yang tergantung di lehernya dan
dinginnya logam yang menempel pada kulitnya. Dia merabanya
dengan telapak tangannya, sekarang jimat itu terasa hangat.
Frank bilang dia pengembara, pikir Elizabeth sambil
memandangnya ketika pria itu mengambil tempat duduk di dekat
perapian. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu pada dirinya. Dia tak
bercerita banyak tentang keluarganya, atau mengatakan dari mana
asalnya. Siapa sebenarnya dia"
Dia akan segera tahu. Frank bersandar pada sandaran kursi yang empuk dan
tersenyum memandang keluarga Fier yang duduk di sekelilingnya.
Mereka semua tersenyum padaku, pikirnya. Mereka menerima
orang miskin dan kelaparan di dalam rumah mereka. Mereka sangat
ramah dan baik hati. Mereka akan menerimaku, pikirnya. Mereka akan menolongku
memulihkan kesehatanku. Kalau tubuhku semakin sehat, aku akan membantu-bantu di
rumah ini, aku akan menghibur kedua putri mereka yang manis dan
putra mereka yang kesepian.
Mereka akan segera mempercayaiku, dan sebelum
menyadarinya, mereka akan bergantung padaku. Mereka semua akan
mencintaiku, mereka berlima, seperti saudara dan putra mereka
sendiri. Frank menghangatkan tangannya di atas lidah-lidah api yang
berkeretak di perapian. Mrs. Fier menawarkan secangkir kopi panas
kepadanya. Rencanaku sudah mulai berjalan, pikirnya. Aku bisa melihat
kehangatan memancar dari mata mereka. Mereka ingin menolongku.
Mereka mulai mencintaiku.
Aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai mereka
semua mencintaiku dengan cinta sebesar cinta mereka satu sama lain.
Aku akan menunggu dengan sabar.
Kemudian aku akan membalas mereka... dan kesabaranku akan
membuahkan hasil. Aku akan menikmati kekagetan dan kengerian di
wajah mereka. Aku akan membalas semua penderitaan keluargaku
gara-gara mereka dan semua sakit yang kutanggung selama aku
mencari-cari mereka. Aku, Franklin"keturunan Goode yang terakhir.
Bab 21 FRANK menghabiskan kopinya. Kemudian dia berdiri,
meregangkan badan, dan tersenyum kepada keluarga Fier.
"Terima kasih untuk semuanya," katanya. "Kalian sangat murah
hati. Tapi kalian pasti lelah dan saya hanya akan merepotkan. Saya
akan pergi sekarang agar kalian bisa tidur."
"Kau akan pergi?" tanya Kate.
Oh, jangan, kata Elizabeth dalam hati. Dia tak boleh pergi.
Jangan sekarang. "Saya sudah cukup mendapat kemurahan hati kalian," katanya
dengan rendah hati. "Kalian harus hati-hati"kalau terlalu baik, kalian
akan kedatangan pengembara-pengembara compang-camping seperti
Franklin Goode ini setiap malam!"
Mr. Fier tertawa mendengarnya. Dia meletakkan tangannya di
bahu Frank dan berkata, "Kami tak bisa membiarkanmu pergi malammalam begini. Menginaplah di sini, di rumah kami. Aku
memaksamu." "Ayolah, Frank," kata Mrs. Fier. "Aku takkan bisa tidur sekejap
pun kalau kau pergi sekarang. Sepanjang malam aku akan
mencemaskanmu." "Hmm...," kata Frank, pura-pura mempertimbangkan tawaran
itu. "Saya tak ingin mengganggu tidur Anda, Mrs. Fier. Saya akan
senang menginap di sini. Tapi hanya untuk malam ini. Besok pagi
saya akan pergi." Hore, diam-diam Elizabeth bersorak dalam hati. Dia akan
menginap! Mrs. Fier menyuruh Elizabeth menyiapkan kamar tidur tamu.
Dia sangat berani, pikir Elizabeth sambil memasang seprai dan
sarung bantal yang bersih. Dia tegar dan penuh percaya diri.
Gerakannya terhenti. Dia ingat gerakan otot-otot punggung
Frank yang dilihatnya. Kenangan itu membuatnya merinding.
Franklin Goode, pikirnya. Kemudian"dia tak bisa mencegah
dirinya?"Mrs. Franklin Goode." Dia mengulang-ulang kata itu dalam
pikirannya. Nama yang manis, pikir Elizabeth. Nama yang sungguh manis.
****************** Elizabeth mendengar ayunan kapak yang keras di halaman
belakang ketika dia berjalan ke jendela dapur untuk mengintip ke luar.
Di luar"mengenakan pakaian kerja milik Simon"Frank
sedang membelah kayu bakar. Ketika dia mengangkat kapak ke atas
kepalanya, logam itu berkilat-kilat dalam cahaya matahari.
Hari ini cukup panas, pikir Elizabeth. Frank pasti haus. Dia
menuang segelas air dingin dan membawanya kepada Frank.
Frank tersenyum melihatnya. Dia mengayunkan kapaknya
sekali lagi, membelah kayu, lalu meletakkan kapak itu. Dia menerima
gelas yang diulurkan Elizabeth dan meneguk isinya tanpa berkatakata.
Kemudian dia mengulurkan gelas kosong itu kepada Elizabeth
sambil berkata, "Terima kasih sekali, Elizabeth. Kau bisa membaca
pikiranku." "Kupikir kau mungkin haus," jawab Elizabeth.
Frank duduk di tumpukan kayu yang belum dibelah dan
menengadah memandang wajah Elizabeth. Gadis itu merasa wajahnya
memerah. "Kau sudah pernah melihat laut, Elizabeth?" tanya Frank.
Gadis itu menggeleng. "Aku belum pernah meninggalkan kota
ini. Yah... aku pernah ke Worcester satu-dua kali...."
"Suatu hari nanti kau harus melihat laut, Elizabeth. Kalau tak
melihatnya sendiri, kau takkan bisa membayangkannya. Laut itu
sangat liar dan sangat cantik. Kalau hari cerah warnanya biru tua


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehijauan, indah sekali dan sulit digambarkan. Tapi... matamu..."
Dia menatap wajah Elizabeth lekat-lekat. Mata gadis itu
bertatapan dengan matanya. Tatapan Frank bagaikan menghipnotis.
"Tapi apa?" tanya Elizabeth. "Ada apa dengan mataku?"
"Matamu...," kata Frank, "belum pernah aku melihat mata seliar
warna lautan seperti matamu itu."
Hati Elizabeth berdebar-debar. Belum pernah dia mendengar
seseorang bicara seperti itu.
Dia seperti bicara langsung dari hatinya, pikirnya.
"Aku hampir selesai membelah kayu bakar," kata Frank. "Aku
ingin berjalan-jalan dan melihat-lihat. Maukah kau menemaniku,
Elizabeth?" "Aku akan senang menemanimu," jawab gadis itu. "Tapi perlu
kuingatkan, kau akan kecewa. Tak banyak yang bisa dilihat di kota
ini." "Aku tak tertarik melihat-lihat kota," kata Frank. "Aku lebih
senang berjalan-jalan di hutan."
Elizabeth meletakkan gelas itu di atas sebatang kayu. Frank
mengulurkan tangannya dan Elizabeth menyambutnya. Mereka
berjalan menyeberangi rerumputan di halaman belakang, menuju
hutan yang membatasi tanah keluarga Fier.
Hari itu hutan terlihat memesona. Berkas-berkas cahaya
matahari menembus celah-celah pepohonan cemara yang tinggi.
Daun-daun cemara yang kering dan berjatuhan di tanah membentuk
hamparan permadani yang harum. Elizabeth membawa Frank ke
sebuah tanah terbuka. Di sana ada dua batu besar pipih yang letaknya
berdampingan seperti dua kursi.
"Kate, Simon, dan aku suka bermain-main di sini waktu kami
masih kecil," dia bercerita. "Kami suka berpura-pura bahwa lapangan
ini adalah ruang singgasana di sebuah kastil. Simon duduk di batu
besar di sana dan Kate di batu yang lebih kecil."
Dia duduk di batu yang lebih kecil dan membiarkan batu yang
besar untuk diduduki Frank. "Simon jadi rajanya dan Kate
permaisurinya. Biasanya aku yang jadi putri raja."
Frank tersenyum lalu duduk di batu itu. Elizabeth berhenti
bicara dan memasang telinga. Dia hanya mendengar kerisik tupai
melintas dan kicau burung. Dia yakin tak ada orang lain di situ.
Tapi dia merendahkan suaranya ketika bicara lagi, "Ada
seorang wanita tua yang tinggal di hutan ini. Dia berjalan di sela-sela
pepohonan cemara dengan tongkatnya. Badannya bungkuk.
Rambutnya putih dan pakaiannya hitam. Simon, Kate, dan aku
kadang-kadang melihatnya waktu kami sedang bermain-main di sini.
Kami kabur kalau melihat dia datang."
"Mengapa?" Elizabeth mengangkat bahu. Dia merasa konyol. "Semua anak
takut padanya. Kami menjulukinya Old Aggie. Orang bilang dia
penyihir." "Aku yakin mereka hanya ingin menakut-nakuti kalian," kata
Frank. "Orangtua kalian mungkin berharap cerita seperti itu akan
mencegah kalian untuk masuk lebih jauh ke hutan."
Elizabeth tersenyum. "Kurasa kau benar. Tapi aku selalu
percaya Old Aggie benar-benar penyihir. Seorang anak laki-laki
bilang, kalau kita cukup dekat dengannya kita akan melihat tongkat
Aggie berubah jadi ular hidup."
Elizabeth bergidik. "Kadang-kadang aku ingin tahu apakah dia
masih hidup." "Aku yakin dia pasti sudah mati," kata Frank dengan suara
menenangkan. Elizabeth tersenyum. Dia merasa aman berada bersama
pria itu di situ. Seberkas sinar menimpa bandul kalung perak di leher Elizabeth.
Frank mengulurkan tangan dan merabanya.
"Dari mana kaudapatkan kalung ini?" tanyanya.
"Ini perhiasan yang aneh, ya?" kata Elizabeth. "Aku
menemukannya di halaman belakang rumah kami. Terkubur di dalam
kotak besi yang sudah karatan."
Frank mengamati bandul kalung itu, memutar-mutarnya di
tangannya, dan menggosok-gosok permata birunya dengan jarinya.
"Apa arti kata-kata itu?" dia bertanya. "Kau tahu ini milik siapa?"
Elizabeth menggeleng. "Aku tak tahu apa-apa tentang ini. Tapi
aku menyukainya. Aku mengenakannya sebagai jimat
keberuntungan." Frank mengangguk sambil melamun dan terus mengamati jimat
itu selama semenit penuh. Elizabeth heran melihatnya begitu tertarik
pada bandul kalungnya. Frank seakan bisa membaca pikirannya. Dilepasnya jimat itu
lalu tersenyum kepada Eliza-beth.
"Aku penasaran," katanya sambil menunjuk jimat itu, "karena
itu milikmu. Kuharap jimat pembawa keberuntungan itu punya cukup
kekuatan untuk menjaga keselamatanmu. Suatu hari kau mungkin
membutuhkan pelindung yang nyata. Dunia ini penuh bahaya,
Elizabeth." Matanya berkilat-kilat ketika mengucapkan itu. Hati Elizabeth
berbunga-bunga mendengarnya.
Dia bicara tentang dirinya sendiri, pikirnya dengan bahagia. Dia
ingin melindungiku. Mungkinkah itu benar" Mungkinkah dia benarbenar jatuh cinta padaku"
Tanpa bicara mereka berjalan pulang sambil bergandengan
tangan. Kadang-kadang Elizabeth memandang wajah Frank dan
melihat pria itu memandanginya. Senyum hangat menghiasi wajah
Frank. ***************** "Anjing itu mengikutiku sampai ke Boston!" kata Frank, dan
semua anggota keluarga Fier tertawa. Malam itu Elizabeth dan
keluarganya menikmati makan malam sementara Frank menceritakan
petualangan-petualangannya. Elizabeth memperhatikan wajah kedua
orangtuanya yang tampak penuh minat ketika mereka menyimak
cerita-cerita Frank. Mereka menyukainya, pikirnya bahagia. Dia ingin mereka
menerima Frank. Elizabeth tahu, orangtuanya ingin dia menikah
dengan pria yang punya uang dan tanah luas"padahal Frank tak
punya uang sepeser pun. Tapi watak jauh lebih penting daripada uang, kata Elizabeth
dalam hati. Ayah dan Ibu pasti bisa mengerti.
"Umurmu tak beda jauh dengan umurku," kata Simon kagum,
"tapi banyak yang sudah kaulihat dan kaualami."
Simon iri padanya, pikir Elizabeth sambil menyembunyikan
senyumnya. Dia senang melihat abangnya merasa agak rendah diri.
Sebagai putra sulung keluarga Fier dan satu-satunya anak laki-laki,
Simon kadang-kadang bertingkah seakan dia pangeran.
"Jangan iri, Simon," kata Frank. "Kalau masih punya keluarga
hebat seperti keluargamu, aku takkan pernah meninggalkan rumah."
Tatapan Frank berhenti pada Elizabeth. Gadis itu tersenyum
kepadanya. "Apa tepatnya yang terjadi pada keluargamu, Frank?" tanya
Mrs. Fier. "Kau belum menceritakannya pada kami."
Frank meletakkan pisau dan garpu di piringnya lalu mengelap
mulutnya dengan serbet. Keluarga Fier memperhatikannya, menunggu
kisah menyedihkan yang akan diceritakannya.
"Keluargaku meninggal secara misterius," Frank memulai.
"Satu per satu. Mula-mula orangtuaku, kemudian masing-masing
abangku, sampai hanya tinggal aku, yang paling muda. Mereka tak
menunjukkan tanda-tanda sakit, tapi tiba-tiba meninggal, satu per
satu." Mrs. Fier berdecak dan Mr. Fier menggeleng-geleng pelan.
"Setiap kali satu meninggal, kami memanggil dokter. Tapi
dokter tak pernah tahu apa penyebab kematiannya. Tak seorang pun
tahu. Semua dokter tak bisa menemukan penyebabnya."
Frank berhenti bicara lalu mengambil napas dalam-dalam.
"Akhirnya, tibalah hari ketika hanya tinggal aku satu-satunya
keturunan Goode yang tersisa. Waktu itu umurku dua belas. Tak ada
yang mau menampungku, karena takut kena tulah seperti yang dialami
keluargaku. Jadi aku pergi mengembara. Sampai hari ini, aku heran
mengapa hanya aku yang dibiarkan hidup. Aku masih menunggu
kutukan itu datang dan membunuhku."
Elizabeth merasa matanya berkaca-kaca. Frank-ku yang
malang, pikirnya. Dia ingin mengulurkan tangannya ke seberang meja
dan menghibur pria itu, tetapi sadar ibunya akan menganggap
sikapnya itu terlalu berani.
Dia melirik Kate. Mata Kate juga berkaca-kaca. Wajahnya
bersinar ketika dia mendengarkan cerita Frank. Kate menyimak setiap
kata Frank dengan penuh minat.
Ekspresi Kate membuat Elizabeth tiba-tiba merasa tidak enak.
Mengapa Kate menatap Frank seperti itu"
Elizabeth tidak mau berpikir tentang itu, karena itu dia
mengalihkan pandangannya. Dia segera melupakannya, pikirannya
terpusat pada cerita Frank tentang malam pertama ketika ia menjadi
sebatang kara. Setelah makan malam, keluarga itu berkumpul di ruang duduk.
Mrs. Fier duduk di depan piano dan memainkannya. Simon dan Frank
bermain catur. Elizabeth mengambil rajutannya, dan Kate
memusatkan perhatian pada sulamannya.
Api berkeretak dan meletup-letup; lampu gas mendesis-desis;
jam berdetak-detak di atas penutup perapian.
Elizabeth tidak dapat berkonsentrasi pada scarf yang sedang
dirajutnya. Dia melirik Simon dan Frank untuk memastikan mereka
tidak memperhatikannya. Kemudian dia mencondongkan badannya ke
kursi yang diduduki Kate.
"Aku sangat menyukai Frank," dia berbisik kepada kakaknya.
"Kau juga, kan?"
Kate mengangkat wajahnya dari sulamannya, terbelalak kaget.
Jari-jarinya bergerak gelisah.
"Tentu saja aku menyukainya," bisiknya. "Kita semua
menyukainya. Mengapa kau menanyakan itu padaku?"
"Aku hanya ingin mengajakmu bicara," bisik Elizabeth.
Kate kelihatan malu, seperti tepergok telah berbohong. Dia
meletakkan sulamannya lalu keluar ruangan, roknya berdesir menyapu
lantai. ****************** Frank mengangkat wajahnya dari papan catur ketika Kate
keluar ruangan. Dia memaksa diri untuk tidak memandang Elizabeth.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah api agar gadis itu tidak
melihat seringai di wajahnya.
Ini lebih mudah daripada yang kubayangkan, pikirnya puas.
"Giliranmu, Frank," kata Simon.
Frank berusaha berkonsentrasi pada permainan catur itu. Dia
takkan membiarkan Simon mengalahkannya, tidak pada permainan
pertama. Tapi akan dibiarkannya Simon memenangkan permainan
ketiga... mungkin. Simon memandang papan catur dengan konsentrasi penuh.
Sejumput rambut hitam terjurai menutupi keningnya.
Dia masih anak-anak, pikir Frank. Dia tak mengerti apa yang
sedang terjadi. Rencanaku berhasil, Simon, kata Frank dalam hati. Keluargamu
semakin menyukaiku, hari demi hari. Bahkan kau pun senang
berteman denganku kan, Simon"
Aku telah memenangkan kepercayaan kalian semua. Tak lama
lagi kalian pasti percaya pada apa pun yang kukatakan.
Begitu mendapat kepercayaan penuh dari kalian, aku akan
bertindak. Aku melihat abang-abangku meninggal, satu per satu. Kau akan
segera tahu bagaimana perasaanku ketika itu, Simon.
Aku akan menjadi satu-satunya harapan adik-adikmu.
Kemudian aku akan melihat mereka mati, satu per satu.
Frank memindahkan menterinya ke pihak lawan. "Sekak,"
katanya sambil tersenyum.
Bab 22 "LETAKKAN penyiram tanaman itu."
Elizabeth mengangkat wajahnya, kaget mendengar suara yang
dalam dan menggelegar itu. Kemudian dia tertawa. Ternyata itu suara
Frank, menggodanya. "Sudah seminggu ini tak hujan," dia memprotes. "Bungabungaku kehausan." Dia membetulkan letak topi jeraminya lalu
melanjutkan menyirami kebunnya.
Frank berjalan mendekatinya. "Baik, siramilah mereka,"
godanya. "Aku akan berjalan-jalan sendirian di hutan."
Elizabeth cemberut. "Aku hampir selesai. Nah, sudah selesai."
Dia meletakkan penyiram tanaman itu. "Aku akan menemanimu. Aku
tak ingin kau tersesat."
Dia melepas topi jeraminya lalu meletakkannya di rumput.
Rambutnya diikat ke belakang dengan pita satin merah. Frank
menggandeng tangannya lalu mereka berjalan menuju hutan.
Setiap hari, bila cuaca bagus, Frank dan Elizabeth berjalan-jalan
di hutan, ke tanah terbuka dengan dua batu pipih itu. Elizabeth sangat
menikmati acara jalan-jalan itu. Semakin lama semakin
menikmatinya. Tak seorang pun dalam keluarganya tahu tentang itu.
Aku tak merahasiakan acara jalan-jalan ini, pikir Elizabeth,
sungguh. Aku hanya tak menceritakannya.
Elizabeth tahu ibunya pasti ingin ikut berjalan-jalan"tapi itu
akan membuat acara itu rusak. Kalau ada ibunya, suasana pasti akan
lain. Lagi pula, Frank tak pernah bersikap tak sopan, pikirnya. Aku
tak punya alasan untuk khawatir.
Sekarang mereka sampai di tanah terbuka itu. Elizabeth duduk
di batunya, yang lebih kecil. Tetapi, bukannya duduk di batunya,
Frank malahan berdiri di belakangnya.
Elizabeth merasa rambutnya ditarik pelan, kemudian jatuh
terurai di bahunya. Dia mendesah. Frank melepas pita yang mengikat
rambutnya. Elizabeth menyandar pada Frank. Sambil bercanda Frank
merentangkan pita itu di depan lehernya. Elizabeth tertawa. Frank
menarik pita itu sedikit, meregangkannya. Elizabeth tertawa lagi.
Kemudian Elizabeth duduk tak bergerak, gemetar menahan
gairah, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di belakangnya, tidak terlihat olehnya, Frank memegang kedua
ujung pita itu. Dililitkannya ujung-ujung pita itu pada kedua telunjuknya.
Elizabeth duduk di depannya, mempercayakan nasibnya
kepadanya, sepenuhnya berada dalam kekuasaannya.
Frank tersenyum. Kemudian dia meregangkan pita itu, bersiap menjerat leher
Elizabeth. Bab 23 SEBATANG ranting berkeretak di dekat situ. Frank mengejang.
Tubuh Elizabeth menegang.
Dia mendengar bunyi ranting lain berkeretak. Kemudian
terdengar langkah seseorang di sela-sela pepohonan cemara.
Ada seseorang di dekat mereka.
Pita itu terlepas dari tangan Frank.
Elizabeth melompat berdiri dan mencengkeram lengan Frank,
memandang nanar ke dalam hutan.


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi berkeresek itu semakin dekat. Kemudian Elizabeth
melihat sosok bungkuk berjalan pelan dan mantap ke arah mereka.
Seorang perempuan tua berambut putih dan berpakaian hitam
berjalan tertatih-tatih di hamparan daun cemara kering. Sebatang
tongkat menekan tanah di depannya.
Elizabeth berseru tertahan. "Aggie!"
Dia meraih tangan Frank dan menariknya keluar hutan, kembali
ke rumah. Dia tidak menoleh, juga tidak berhenti berlari sampai
mereka aman berada di halaman belakang rumahnya.
"Itu dia," kata Elizabeth dengan napas terengah-engah. "Old
Aggie. Dia masih hidup!"
"Kelihatannya dia perempuan tua yang tak berbahaya," kata
Frank. "Tidak, dia berbahaya!" kata Elizabeth dengan napas tertahan.
"Pokoknya aku tahu dia bukan perempuan tua yang tak berbahaya.
Ada sesuatu yang lain pada dirinya...."
Frank memeluk Elizabeth erat-erat. Gadis itu memejamkan
mata dan menyandarkan kepalanya di dadanya sambil berusaha
meredakan napasnya yang memburu.
Sekarang Elizabeth merasa aman. Aku akan selalu merasa aman
bersama Frank, pikirnya. Setelah tenang, dia mengangkat wajahnya dan tersenyum.
"Sayang sekali Old Aggie muncul," bisiknya. "Dia merusak suasana
sore yang indah." Frank ragu-ragu sejenak, kemudian tersenyum.
Dia malu, pikir Elizabeth dengan penuh rasa sayang. Dia akan
menciumku. Dia akan meminangku, dan dia ingin membuat kejutan
untukku. Tapi sekarang dia tahu bahwa aku tahu.
Oh, tak apa, pikirnya sambil berjalan ke rumah bersama Frank.
Dia akan segera meminangku. Dan aku takkan mengecewakannya.
Aku akan menjawab ya. Elizabeth membuka pintu belakang. Dia dan Frank masuk ke
dapur. Mereka melihat Kate sedang mengaduk-aduk sepanci sup.
Kate mengangkat wajahnya, memandang adiknya dan Frank
sekilas ketika mereka masuk ke dapur. Elizabeth tersenyum
kepadanya dan bertanya, "Bagaimana supnya?"
Kate tidak menjawab. Mulutnya ternganga, tetapi suaranya
tidak keluar. Dia menjatuhkan sendok sup lalu lari keluar dapur.
Elizabeth memandangnya, kaget dan tidak mengerti. Tiba-tiba
dia sadar akan rambutnya yang terurai lepas di bahunya. Dia berpaling
kepada Frank, yang wajahnya tampak aneh dan penuh pikiran.
"Kenapa dia?" tanya Elizabeth. "Apakah menurutmu Kate baikbaik saja?"
"Aku yakin dia baik-baik saja," jawab Frank. "Mungkin
tangannya kepanasan kena panci."
"Aku harus memastikan dia tak luka," kata Elizabeth. Dia
beranjak menyusul Kate, tetapi Frank memegang pergelangan
tangannya dan mencegahnya.
"Jangan cemaskan kakakmu," katanya. "Ibumu ada di atas. Aku
yakin dia pasti sedang merawat Kate."
"Mungkin kau benar," kata Elizabeth ragu-ragu. Dia merasa
harus menyusul kakaknya, tetapi kelihatannya Frank ingin
ditemaninya di situ. Sup itu mulai mendidih. Elizabeth mengambil sendok lalu
mengaduk-aduk sup itu. Aku tak bisa menyusul Kate, dia menimbang-nimbang ketika
merasa Frank membelai rambutnya. Bagaimanapun, harus ada yang
menjaga sup ini. Kalau sup ini mendidih sampai tumpah, nanti kami
tak bisa makan malam. Aku yakin Kate tak ingin itu terjadi.
****************** Beberapa minggu kemudian Elizabeth mondar-mandir di rumah
dengan tidak sabar, mencari-cari Frank.
Di mana dia" pikirnya. Sudah waktunya mereka berjalan-jalan,
tetapi dia tak bisa menemukan Frank di mana pun. Dia mendesah,
duduk di kursi di ruang duduk, lalu mengambil rajutannya.
Sebaiknya aku mengerjakan scarf untuk Kate sambil
menunggunya, pikirnya. Aku harus menyibukkan diri dengan sesuatu
yang bermanfaat, seperti kata Ibu.
Pintu belakang dibanting. Akhirnya dia datang, pikir Elizabeth.
Dia berdiri, siap menyambut pria itu. Bukan Frank yang masuk
ke ruang duduk, tapi Kate.
Wajah Kate memerah, dia membawa sekeranjang arbei.
"Oh, Elizabeth!" serunya sambil membiarkan keranjang itu
jatuh ke lantai. Dia berlari menghampiri adiknya dan memeluknya.
"Sesuatu yang sangat indah baru saja terjadi!"
"Apa itu?" tanya Elizabeth. Belum pernah dia melihat Kate
menggebu-gebu seperti itu.
"Kau akan sangat bahagia demi aku!" kata Kate. Dia meraih
tangan adiknya, lengkap dengan rajutan yang sedang dikerjakannya,
dan menariknya menari-nari di sekeliling ruangan itu. "Ibu akan
memainkan organ, dan kau akan, menghias kuenya!"
"Kue?" tanya Elizabeth. "Kate, kau ini bicara apa?"
"Tidakkah kau bisa menebaknya sekarang?" seru Kate. "Frank
dan aku akan menikah!"
Bab 24 "MENIKAH!" seru Elizabeth, tak bisa menyembunyikan
kekagetannya. "Kau... dan Frank?"
"Ada apa ribut-ribut di situ?" Simon dan Mr. Fier bergegas
masuk dari beranda depan. Mrs. Fier muncul di tangga. "Ada apa,
Anak-anak?" Elizabeth berdiri mematung di tempatnya, mencoba
menghentikan gemetar lututnya. Dia melihat Kate berlari ke pelukan
ibu mereka. "Ibu! Frank meminangku!"
Elizabeth berdiri menyisih dan melihat luapan kegembiraan
yang menyusul pengumuman itu. Wajah Mrs. Fier yang baik hati
berbinar-binar, Mr. Fier bertepuk tangan dengan riang.
Akhirnya Elizabeth tidak dapat menahan diri lagi. Dia tak bisa
menahan agar kata-kata itu tidak tersembur dari mulutnya. "Tak
mungkin!" teriaknya dengan suara gemetar. "Frank mencintaiku!"
Tapi tak ada yang mendengarnya.
Simon bertanya, "Di mana Frank" Aku ingin mengucapkan
selamat padanya." Bagaimana mungkin bisa begini" pikir Elizabeth. Apakah ini
benar-benar terjadi" Kate dan Frank"
Dia ingin menjerit. Dia ingin terbang keluar ruangan. Dia ingin
menghilang selamanya. Bagaimana mungkin bisa begini" Bagaimana mungkin bisa
begini" Dia terisak-isak, sedih, marah, tidak percaya.
Kate dan Frank" Sekarang dia ingat sikap-sikap Kate yang aneh bila berada
bersama Elizabeth dan Frank. Ketika Elizabeth mengatakan dia
menyukai Frank, ketika Elizabeth dan Frank pulang dari berjalan-jalan
di hutan dan menemukan Kate sedang mengaduk-aduk sup di dapur.
Waktu itu Kate kelihatan kesal. Sekarang semua itu masuk akal.
Selama ini Kate mencintai Frank.
Kate telah mencuri Frank darinya!
"Tega benar kau?" jerit Elizabeth sekeras-kerasnya.
Teriakannya membuat mereka langsung terdiam. Semua
berpaling dan memandangnya.
"Tega benar kau?" semburnya kepada Kate. "Kakakku sendiri!"
"Apa?" Kate memandangnya dengan mulut ternganga, kaget
dan tidak mengerti. "Lizzie... kau bicara apa?"
"Aku... aku... aku..."
Sekarang Elizabeth tak sanggup berkata-kata.
Takut akan dorongan kuat amarah yang dirasakannya, takut
dirinya akan meledak karena marah, dia menggenggam jarum-jarum
rajutnya erat-erat lalu lari keluar ruangan.
Aku harus menemukan Frank! Aku harus menemukan Frank!
katanya dalam hati. Sedu-sedan terluncur dari mulutnya.
Air mata mengaburkan pandangannya. Dia melewati dapur,
keluar dari pintu belakang, lalu masuk ke hutan. Di belakangnya, dia
mendengar Kate memanggil-manggilnya.
Elizabeth tidak memedulikannya. Hanya Frank yang ada dalam
pikirannya. Kate tak bisa dipercaya.
"Frank!" teriaknya. "Frank!"
Kakinya menginjak hamparan daun cemara kering. Rantingranting tajam merobekkan roknya, tetapi dia tidak peduli.
Elizabeth hampir sampai di tanah terbuka itu ketika sadar
bahwa dia masih menggenggam scarf Kate yang belum selesai dibuat
dan jarum-jarum rajutnya. Dia melemparkan benda-benda itu ke tanah
sambil terus berlari. "Frank!" panggilnya.
Jauh di belakangnya dia mendengar Kate memanggil-manggil
dengan cemas: "Elizabeth! Elizabeth!"
Simon dan kedua orangtuanya berdiri terpaku di ruang duduk.
Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Bukankah pengumuman Kate tadi sesuatu yang
menggembirakan" Akhirnya Mrs. Fier berkata, "Simon, susul adik-adikmu dan
lihat apa artinya ini semua."
Simon mengangguk lalu menyusul adik-adiknya. Dia
mendengar suara-suara di dalam hutan. Suara kedua adiknya.
Frank tidak kelihatan. Simon heran, di mana Frank"
Dia mencoba mengikuti suara-suara itu, tetapi sepertinya
mereka berasal dari segala arah di hutan yang lebat itu, seperti kicau
burung-burung. Tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan.
Simon terpaku. Hutan hening seketika.
Hening seperti kematian. Apa itu" Dari mana jeritan itu"
Dia berlari ke arah jeritan itu. Kemudian didapatinya dirinya
berada di sebuah tanah terbuka. Dia mengenali tempat itu sebagai
tempatnya bermain bersama kedua adiknya ketika mereka masih anakanak.
Dengan gugup mata Simon memandang sekelilingnya.
Siapa yang menjerit tadi" Mengapa"
Di balik batu pipih yang lebih besar, dia melihat sesuatu yang
gelap. Simon menyipitkan mata sampai bisa memfokuskan
pandangannya. Sepasang sepatu bot hitam kecil dan berkancing tinggi.
Dia maju selangkah, mendekat, jantungnya berdegup kencang.
Tanah serasa miring di bawah kakinya.
Sambil menarik napas panjang, Simon mengintip ke balik batu
itu. "Ohh." Dia mencengkeram puncak batu itu ketika matanya
melihat tubuh Kate. Adiknya tertelentang, rambutnya yang cokelat
muda terburai di sekeliling kepalanya bagaikan lingkaran cahaya.
Matanya yang biru pucat terbelalak, memantulkan warna langit.
Simon mencengkeram batu itu sampai tangannya sakit. "Kate?"
Adiknya tidak menjawab. Matanya terbuka, tanpa sinar
kehidupan. Sebatang jarum rajut menembus jantungnya.
Bab 25 ELIZABETH duduk di kursi goyang di depan perapian.
Rambutnya terjurai awut-awutan di punggungnya. Matanya, merah
dan tegang, memandang nanar dari wajahnya yang penuh bekas air
mata. Dia menggoyang-goyang kursi itu sambil memeluk lututnya
yang tertutup rok biru yang sobek-sobek.
"Kate pembohong," Elizabeth menggumam sambil bergoyanggoyang. "Kate pembohong. Kate pembohong."
Mrs. Fier berdiri di samping kursi goyang itu. Dengan putus asa
dia meremas-remas tangannya. Mr. Fier memandang putrinya dengan
ngeri dan tak percaya. Frank duduk tegang di kursi, matanya beralih-alih dari wajah
yang satu ke wajah yang lain. Simon mondar-mandir, tenggelam
dalam kepedihannya. Matanya terbuka tapi tidak melihat.
"Kate pembohong," gumam Elizabeth. "Frank tak mencintai
Kate. Frank mencintai Elizabeth."
Dia mengangkat wajahnya dan mencari-cari Frank. Tetapi ia
bertatapan dengan orangtuanya yang terbelalak penuh kengerian.
"Kenapa kalian memelototiku seperti itu"!" dia menjerit. "Aku
tak membunuhnya! Aku bersumpah!"
Ayah dan ibunya tidak berkata apa-apa. Elizabeth menggoyanggoyang kursinya lagi.
Mereka tak percaya padaku, pikirnya dengan pahit. Aku bisa
melihatnya dengan jelas di wajah mereka. Mereka mengira aku
membunuh kakakku sendiri. Mereka mengira aku menusuk Kate
dengan jarum rajut. Sekarang Frank berlutut di samping kursi goyang itu. Dia
memegang tangan Elizabeth, tangan yang lengket. Tangan Frank
terasa sejuk, tenang, dan penuh penghiburan.
"Elizabeth makhluk paling lembut yang pernah kukenal," kata
Frank kepada orangtua Elizabeth. "Dia takkan tega membunuh siapa
pun." Tetapi orangtua Elizabeth tetap diam. Wajah ibunya berkerutkerut karena sedih, takut, dan bingung.
Elizabeth memusatkan perhatiannya hanya kepada Frank.
Wajah Frank yang tampan membuatnya tenang. Pria itu
tersenyum kecil dan memberikan dukungan kepadanya. Elizabeth
langsung merasa lebih baik.
Aku akan merasa sendirian di dunia tanpa Frank, pikirnya.
Kemudian dia berkata kepada keluarganya, "Frank percaya
padaku. Dia tahu aku tak bersalah. Kenapa kalian tak percaya
padaku?" Tak seorang pun bicara. Melihat wajah mereka, Elizabeth tahu
mereka tetap tidak percaya. Mereka menyalahkanku karena kematian
Kate, pikirnya. Mereka menyalahkan aku dan Frank.
Mr. Fier bergegas keluar ruangan. Mrs. Fier cepat-cepat
menyusulnya. Kemudian Simon pun ikut-ikutan keluar, wajahnya
menyiratkan bahwa dia muak.
Elizabeth menangis dan menggoyang-goyang kursi itu lagi. Ke
belakang ke depan, ke belakang ke depan. Sambil menangis.
"Sshhh," bisik Frank. "Ssshh, Elizabeth. Lupakan mereka. Kau
takkan bisa membuat mereka percaya."
Dia mengulurkan sehelai saputangan putih kepada gadis itu.
Elizabeth mengusap matanya. "Keluargaku sendiri," bisiknya.
"Mereka takkan pernah mempercayaiku. Mereka takkan mau bicara
lagi denganku." "Kau terlalu bersikap keras pada mereka," kata Frank. "Mereka
tak mau menerima kebenaran. Mereka tak bisa menerimanya. Itu
sebabnya mereka takkan mempercayaimu."
Sekarang Frank menggenggam kedua tangan Elizabeth. "Tapi
aku percaya padamu, Elizabeth. Aku akan selalu percaya padamu."
Elizabeth berhenti bergoyang-goyang dan tersenyum kepadanya
dengan penuh terima kasih.
"Sulit bagi seorang ibu dan seorang ayah untuk membayangkan
anaknya bunuh diri," Frank melanjutkan. "Tapi aku tahu itulah yang
terjadi. Kate bunuh diri. Orangtuamu tak mengerti, Simon tak
mengerti, tapi kau dan aku bisa mengerti. Kate jadi gila."
Elizabeth mengangguk. Sikap Kate yang aneh. Hanya itu satusatunya penjelasan yang masuk akal.
"Kate iri padamu," kata Frank. "Kau tahu aku tak pernah
mengatakan pada Kate bahwa aku akan menikah dengannya.
Bagaimana mungkin" Aku kan mencintaimu."
Dia mencium tangan Elizabeth. Gadis itu menelan semua kata


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diucapkannya. "Kate mengarang-ngarang," kata Frank. "Dia mengarang cerita
tentang rencana kami untuk menikah. Dia langsung menemuimu dan
kaulah yang pertama-tama dia beritahu. Kurasa dia yakin sekali
ceritanya itu benar. Dia gila, sangat gila. Gadis yang malang."
"Kate yang malang," bisik Elizabeth.
"Dia mampu melakukan apa saja," kata Frank. "Tak seorang
pun bisa menolongnya."
Elizabeth tahu Frank benar. Dia mengambil napas panjang lalu
menggoyang-goyang kursinya lagi. "Frank, aku tak bisa tinggal di
sini. Mereka semua membenciku." Dia menunjuk ke lantai dua, ke
tempat orangtuanya dan Simon tadi pergi. "Aku harus pergi."
"Aku tahu apa yang harus dilakukan," kata Frank. "Kita bisa
kabur sama-sama. Kita akan kawin lari."
Dengan lembut dia memegang dagu Elizabeth lalu
memalingkan wajah gadis itu hingga menghadapnya. "Elizabeth Fier,
maukah kau menikah denganku?"
Itu kata-kata paling menakjubkan yang pernah didengar
Elizabeth. Dia merasa semangatnya muncul lagi.
"Ya," jawabnya sambil memeluk leher Frank. "Ya. Kita akan
kabur malam ini." Sentuhan Elizabeth membuat Frank bergidik dan merasa dingin,
tetapi dia pura-pura tetap tenang.
Ya, katanya kepada diri sendiri. Kami akan kawin lari. Kami
akan meninggalkan rumah ini malam ini, Elizabeth dan aku.
Tapi hanya satu di antara kami yang akan kembali. Dan itu pasti
bukan Elizabeth. Gadis yang mempercayaiku ini akan mengemasi semua
barangnya, pikirnya puas, dan mengikutiku ke mana pun aku pergi.
Aku akan membawanya ke hutan dan membunuhnya, persis seperti
aku membunuh kakaknya. Wajah Kate sangat kaget waktu itu, pikirnya.
Ketika melihatku datang, dia tersenyum. Dia merentangkan
tangan, siap memelukku. Bahkan ketika aku mengangkat jarum rajut
di atas kepalaku, dia belum juga mengerti. Dia tak tahu apa yang akan
terjadi... tidak mengerti sampai detik terakhir.
Kemudian dia mengerti. Mengerti semuanya. Pengertian itu
terlintas cepat di kepalanya.
Ngerinya pengkhianatan. Keluarga Fier harus tahu bagaimana rasanya. Mereka semua
akan segera tahu. Bab 26 SIMON mondar-mandir di rumah seperti orang yang tidak
sadar, tenggelam dalam kepedihan dan kesedihan. Pikirannya
berputar-putar memikirkan kematian Kate.
Orangtuanya mengunci diri di dalam kamar mereka. Dari balik
pintu dia bisa mendengar bunyi sepatu bot ayahnya menginjak lantai
dan ibunya menangis sambil menyebut-nyebut kedua putrinya.
Elizabeth juga mengunci diri di dalam kamarnya. Simon
menempelkan telinganya ke pintu kamar adiknya. Dia mendengar
Elizabeth mondar-mandir dan sepertinya sedang sibuk.
Apa yang sedang dikerjakannya" pikirnya. Dia takut, janganjangan adiknya sudah hilang ingatan.
Malam pun tiba. Tak ada yang menyiapkan makan malam; tak
ada yang ingat untuk makan. Kesedihan Simon berubah menjadi
kegelisahan, membuat perasaannya tidak enak.
Aku harus keluar dari rumah ini, pikirnya, atau aku akan gila!
Langit terang masih menggantung di atas pepohonan ketika
Simon keluar rumah. Tetapi begitu berada di dalam hutan, kegelapan
membuatnya kaget. Saat itu pertengahan musim panas. Daun-daun
sedang lebat-lebatnya. Daun-daun itu menghalangi sinar matahari
yang hampir tenggelam. Simon merasa hutan itu sangat sunyi, tidak seperti biasa.
Binatang-binatang siang telah masuk ke sarang mereka dan bersiap
untuk tidur. Makhluk-makhluk malam belum keluar dari sarang untuk
berburu. Simon terus berjalan, semakin lama semakin jauh ke dalam
hutan. Yang diinginkannya adalah meninggalkan rumah dan
keluarganya. Tahu-tahu dia sampai di tanah terbuka dengan dua batu pipih
itu. Sekarang hutan nyaris gelap pekat. Simon duduk di batu yang
lebih besar, yang dulu selalu menjadi singgasananya. Dia menepuknepuk batu yang lebih kecil di sampingnya. Itu dulu batu Kate.
Sekarang Kate sudah mati.
Kate sudah mati. Dia sadar, dia tak dapat melarikan diri dari kesedihannya.
Simon menyipitkan mata memandang kegelapan, memandang
tempat dia menemukan tubuh Kate. Arus dingin merambati
punggungnya ketika pemandangan mengerikan itu terbayang lagi di
matanya: mata Kate bagaikan kaca, kosong tanpa sinar kehidupan.
Jarum rajut mencuat dari dadanya. Darah mengalir membasahi bagian
depan gaunnya. Darah itu menyebar seperti kejahatan, pikir Simon. Dan
sekarang kejahatan itu ada di mana-mana. Sekarang dia tinggal di
rumah keluargaku. Dia merasuki Elizabeth dan Frank. Dia ada di
hutan ini, dalam udara di sekelilingku.
Kejahatan juga merasukiku, pikirnya. Aku bisa merasakannya.
Ada kejahatan yang tinggal dalam diriku.
Kemudian kesenyapan hutan itu terusik. Simon mendengar
suatu suara. Suara ranting patah berkeretak, tak jauh dari situ.
Simon terpaku. Dia memasang telinga baik-baik.
Apakah itu binatang" Seekor kijang"
Keretak. Suara itu ada di belakangnya.
Bagaimana dia bisa bergerak secepat itu, tanpa suara"
Simon ingin menoleh, untuk melihat. Tetapi, tubuhnya serasa
lumpuh karena takut. Sesuatu mencengkeramnya dari belakang.
Cakar! Rasa sakit merambati punggungnya. Cakar itu menusuk
semakin dalam. Akhirnya Simon berpaling. Sepintas dia melihat penyerangnya.
Wajahnya langsung pucat pasi. Dia menjerit.
Bab 27 OLD AGGIE! Simon merasa pelipisnya berdenyut-denyut. Dia belum pernah
melihat Old Aggie sampai sedekat itu.
Wajahnya tertutup tudung hitam yang menyambung dengan
jubahnya. Satu tangannya yang keriput memegang tongkat yang selalu
dibawa-bawanya. Jari-jari tangan satunya penuh cincin. Cincin-cincin
itu menekan bahu Simon. Tubuh Aggie sangat bungkuk hingga
kepalanya sejajar dengan kepala Simon yang duduk di depannya.
Simon hendak bangkit berdiri.
Namun dengan tangannya yang keriput, perempuan tua itu
memaksanya tetap duduk. Rasa nyeri di bahu Simon semakin tajam.
"Jangan pergi," perintahnya dengan parau.
Dengan tubuh gemetaran, Simon berusaha menenangkan diri.
Old Aggie hanya perempuan tua biasa, katanya dalam hati. Hanya
perempuan tua biasa. "Mm-maaf aku tadi menjerit. Kau membuatku kaget," ia
tergagap-gagap. Pelan-pelan Old Aggie melepaskan cengkeramannya. Simon
merasa kuku-kuku panjang perempuan itu tercabut dari kulitnya.
Perempuan itu mengulurkan tangannya yang kurus dan penuh
perhiasan. "Ulurkan tanganmu," katanya parau.
Simon ragu-ragu. Dia melihat sepasang mata hitam berkilat
bara api di bawah tudung kepalanya.
"Tanganmu," ulang Old Aggie dengan suara serak dan rendah.
Simon mematuhinya. Diulurkannya tangannya yang gemetar.
Old Aggie memegangi tangan itu kuat-kuat dan menunduk
rendah-rendah. Hidungnya yang bengkok dan panjang nyaris
menggores tangan Simon. Akhirnya dia melepaskan tangan Simon lalu mengalihkan
pandangannya ke wajah pria itu. Jantung Simon berdegup-degup
sementara dia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Anak-anak bilang dia suka membunuh orang dan memakan
jantungnya, pikir Simon, ingat bagaimana dulu dia takut kepada Old
Aggie. Tapi itu pasti cerita kanak-kanak yang konyol.
Aggie berdeham. "Dengar kataku, Simon Fier, dengarkan baikbaik."
Bagaimana dia bisa tahu namaku" Simon terheran-heran, tapi
tak berani menanyakannya.
"Kalian menerima seorang lelaki bernama Franklin Goode di
rumah kalian. Apakah aku benar?" kata Old Aggie dengan parau.
Simon mengangguk. "Kalian tolol. Dia akan menghancurkan kalian semua. Kau
harus menghentikannya."
Simon menelan ludah dengan susah payah.
Old Aggie melanjutkan, "Franklin Goode membunuh Kate
adikmu. Saat ini dia sedang berusaha membunuh Elizabeth."
Simon kaget. Apakah perempuan ini mengatakan yang
sebenarnya" "Fier," gumam Old Aggie. "Fier. Fier. Nama yang mengerikan.
Nama yang terkutuk."
"Apa maksudmu?" desak Simon. "Mengapa kaukatakan itu,
perempuan tua?" "Nasibmu terletak pada namamu," jawab Old Aggie, wajahnya
tersembunyi dalam bayang-bayang gelap tudungnya. "Huruf-huruf
dalam namamu... bisa disusun ulang menjadi fire"api. Fier. Fire.
Fier. Fire." Dua kata itu diulang-ulangnya beberapa kali.
Digumamkannya dalam irama tertentu, sehingga terdengar bagaikan
mantra. "Aku tak mengerti," Simon mengakui.
"Begitulah kelak keluargamu akan binasa," tambah Old Aggie.
"Apa" Bagaimana?" desak Simon. "Bagaimana?"
"Karena api," gumam Old Aggie. "Fier. Fire. Kalian akan
menemui ajal kalian karena api."
Simon berseru kaget ketika Old Aggie menunjuk wajahnya
dengan jarinya yang panjang, runcing, dan seram. "Kalian terkena
kutukan!" jerit perempuan itu. "Kutukan yang dilontarkan keluarga
Goode dan yang diakibatkan oleh kejahatan kalian sendiri. Sekarang
kalian mengizinkan seorang Goode tinggal di rumah kalian dan
menjadi anggota keluarga kalian. Penderitaan kalian takkan berakhir,
Simon Fier." "Tapi aa-apa yang bisa kulakukan?" Suara Simon meninggi dan
tercekat seperti orang dicekik. "Apa?"
Perempuan tua itu merogoh ke dalam lipatan jubah hitamnya
yang panjang lalu menarik keluar sebilah belati kecil dari perak,
tangkainya bertatahkan batu delima merah tua.
"Ambil belati ini," bisiknya. "Ujungnya beracun. Kau cukup
menggores kulit musuhmu dengan ini, dan dia akan mati."
Simon menerima belati itu dengan tangan gemetar.
"Hati-hati," Old Aggie memperingatkan. "Belati ini hanya bisa
digunakan satu kali. Jangan menyia-nyiakan racunnya."
Old Aggie mengangguk. "Sekarang pergilah. Cepat, sebelum
terlambat." Simon melompat berdiri lalu lari menembus hutan yang gelap.
Apakah keluarganya dalam bahaya" Bahaya yang ditimbulkan
Frank Goode" Atau apakah perempuan tua itu gila, seperti yang selalu
dikatakan anak-anak"
Sinar kuning menuntunnya kembali ke rumahnya. Dia keluar
dari hutan dan melihat dapur rumahnya terang benderang. Bagian lain
rumah itu gelap gulita. Simon menerjang masuk, lalu berhenti.
Dia memandang ke bawah dan melihat ibunya tertelentang
dalam genangan darah di lantai.
Ayahnya tersungkur di meja dapur. Darah merah segar mengalir
dari luka menganga di pinggangnya dan menggenang di lantai.
"Simon!" Suara Elizabeth. Simon mengangkat matanya dari pemandangan mengerikan itu,
dari orangtuanya yang dibunuh.
Elizabeth terpojok di dekat perapian. Frank Goode berdiri di
depannya, memegang kapak yang diangkat tinggi-tinggi di atas kepala
Elizabeth. ebukulawas.blogspot.com
Kapak itulah yang digunakannya untuk membunuh orangtua
Simon. Dalam cahaya api, tampak jelas bilahnya yang ternoda darah
merah. Simon berteriak ketika Frank mengayunkan kapak itu.
Bab 28 SIMON mencoba berteriak, tetapi suaranya tercekat di
tenggorokan. Elizabeth menjerit tinggi dan nyaring.
Bilah kapak itu terayun mengiris udara, menimbulkan bunyi
desir yang seram. Kapak itu menyerempet kepala Elizabeth, membabat
segenggam rambutnya. Ketika Elizabeth menangis, Frank mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. "Aku hanya menggodamu, Elizabeth," katanya. "Tapi yang
berikutnya sungguhan."
Elizabeth menempelkan badannya ke dinding, napasnya
tersengal-sengal. Tanpa sadar, dia memegangi bandul kalung yang
ditemukannya di kebun itu.
Frank menoleh kepada Simon dan tersenyum.
"Keluarga Fier nyaris menang," katanya. "Keluarga kalian
hampir berhasil menghancurkan keluarga Goode untuk selamanya. Itu
yang diinginkan nenek moyangmu, kan" Melenyapkan kami dari
muka bumi?" Masih tercengang dan ngeri melihat pemandangan yang
menyambutnya, Simon berjuang menarik napas. Di telinganya, tetes
terakhir darah ayahnya yang jatuh ke lantai terdengar bagai gemuruh
air terjun. Frank maju selangkah ke arahnya.
"Tapi akhirnya," Frank melanjutkan dengan pelan dan tenang,
"keluarga Goode akan selamat. Aku keturunan terakhir keluargaku"
tapi itu sudah cukup. Aku sudah membalaskan dendam nenek
moyangku dengan baik. Aku telah bertahan hidup untuk
menghancurkan keluarga Fier."
Dia maju selangkah lagi mendekati Simon. Bilah kapak itu
merah dan berkilat memantulkan cahaya api.
Tangan Simon yang gemetar memegangi hulu belati yang
tersembunyi di balik mantelnya. Dia berharap Old Aggie tidak
berbohong tentang kekuatan belati itu.
Frank mengangkat kapaknya tinggi-tinggi. Lalu sambil
menggeram keras mengayunkannya ke kepala Simon.
Jeritan Elizabeth membelah udara.
Simon merunduk dan menghindar. Bilah kapak itu menancap di
meja.

Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Simon punya kesempatan. Dia mengeluarkan belati
itu dari balik mantelnya, melompat maju, dan menggoreskannya ke
lengan Frank. Sebentuk garis merah tipis, setipis rambut, muncul di lengan
Frank. Lelaki itu melihat goresan itu, kemudian mengalihkan
pandangannya kepada Simon. Dan tawanya meledak.
"Beginikah caramu menghentikanku, Simon?" teriaknya.
"Dengan goresan belati?"
Simon berdiri dengan napas tersengal-sengal. Dadanya
kembang-kempis. Frank tertawa. Semakin banyak Frank bicara, Simon merasa hatinya semakin
dingin. Amarahnya menggelegak, membuncah dengan kebencian
terhadap Frank dan terhadap setiap Goode yang pernah hidup.
Sekarang Frank mengalihkan perhatiannya kepada Elizabeth.
"Kalau kau menantangku berkelahi, Simon, aku akan mengurus
adikmu dulu," katanya.
Elizabeth telah melompat keluar dari sudut ruangan itu. Tetapi
tak ada tempat untuk melarikan diri.
Dengan mudah Frank mencabut kapak itu dari meja lalu maju
selangkah mendekati Elizabeth. Satu langkah lagi.
"Simon"tolong aku!" jerit Elizabeth. "Tolong aku!"
Frank maju selangkah lagi. Dia mengangkat kapaknya.
Kekuatan sihir perempuan tua itu tidak bekerja! pikir Simon.
Aku tak cukup kuat untuk merebut kapak itu dari tangan Frank.
Aku tak cukup kuat untuk melawannya.
Betapa tololnya aku, mengandalkan kekuatan sihir Old Aggie.
Sekarang aku dan Elizabeth akan mati.
Di seberang ruangan Frank meneriakkan pekik kemenangan
sambil menghampiri Elizabeth. Kapaknya teracung tinggi-tinggi.
Bab 29 "SIMON... hcntikan dia!"
Jeritan Elizabeth yang ketakutan berdengung di telinga Simon.
Dia mengambil ancang-ancang hendak melompat menerjang
Frank, berharap bisa membuatnya roboh dari belakang.
Tapi di tengah ruangan lompatannya terhenti.
Dia terbelalak takjub ketika kapak itu terlepas dari tangan Frank
dan jatuh berdentang membentur dinding perapian yang terbuat dari
batu. Mata Frank terbalik, hitamnya tersembunyi di dalam rongga
matanya. Dia menjerit kaget lalu jatuh terpuruk di lantai.
Mata Elizabeth membuka. Sekujur badannya gemetaran.
Simon membungkuk di atas tubuh Frank dan memeriksanya.
Mati. Frank sudah mati Racun itu bekerja.
Simon lari mendekati adiknya untuk menenangkannya.
Dipeluknya Elizabeth sampai gemetar tubuhnya mereda. "Kita aman
sekarang," bisiknya. "Kita berdua selamat."
Elizabeth mengangguk, menangis lirih, dan membenamkan
kepalanya di dada kakaknya.
Simon memandang dari balik bahu adiknya, ke arah
pemandangan mengerikan di dapur itu. Ayah dan ibunya tergeletak di
tengah genangan darah yang mengental.
Simon tahu, orangtuanya selalu ramah dan baik hati. Mereka
menampung pengembara yang kelaparan"namun sebagai balasannya,
pengembara itu membunuh mereka.
Sepanjang hidupnya, Kate tidak pernah menyakiti orang lain.
Tapi dia juga dibunuh dengan kejam.
Kebajikan adalah kelemahan, kata Simon kepada diri sendiri.
Bagiku sekarang jelas sekali.
Kebajikan adalah kelemahan.
Hanya kejahatan yang dapat melawan kejahatan.
Elizabeth dan aku akan meninggalkan rumah ini, dia
memutuskan, sambil tetap memeluk adiknya dan membiarkannya
menangis. Rumah ini penuh kenangan mengerikan bagiku.
Air mata Elizabeth mulai mengering. "Simon," katanya, "kau
menyelamatkan hidupku." Dia meraba jimat perak itu lagi. "Sekarang
kita yatim-piatu. Hanya kau dan aku yang masih hidup. Aku... aku
yakin... jimat ini telah menyelamatkan kita."
Cakram perak itu berkilat memantulkan cahaya api. Permata
birunya berkilau bagaikan mata manusia.
Elizabeth melepaskan kalung itu. Diamatinya, kemudian
diulurkannya kepada Simon.
"Aku ingin ini jadi milikmu," katanya. "Terimalah.
Kekuatannya telah menyelamatkanku. Mulai sekarang, kekuatannya
harus jadi milikmu."
Simon membungkuk, Elizabeth mengalungkan rantai perak itu
melewati kepala abangnya.
Simon langsung merasa hangat. Dia memejamkan mata.
Bukannya kegelapan yang dilihatnya, tapi lidah-lidah api... api yang
panas dan merah menyala-nyala.
Lidah-lidah api itu padam dengan cepat dan Simon melihat
wajah Elizabeth yang penuh bekas air mata sedang mengawasinya.
Dibimbingnya adiknya meninggalkan tempat yang mengerikan
itu, keluar dari dapur, ke udara malam yang sejuk. Simon
membayangkan lidah-lidah api itu. Kata-kata Old Aggie terngiangngiang dalam benaknya.
"Huruf-huruf dalam namamu bisa disusun ulang menjadi fire"
api"dan karena apilah keluargamu akan binasa. Karena api."
Aku takkan membiarkan itu terjadi, pikir Simon dengan murung
sementara dia dan Elizabeth memandang bulan purnama yang
mendaki kaki langit. Ramalan Old Aggie takkan menjadi kenyataan.
Aku punya kekuatan untuk mencegahnya. Aku bisa mengubah
masa depan. Goode yang terakhir sudah mati, pikirnya dengan puas.
Perseteruan sudah berakhir. Kutukan sudah dihapus. Semua sudah
lenyap... kecuali api"fire"yang ada dalam namaku...
Jimat itu terasa panas di dadanya ketika pikirannya
membayangkan api"fire"huruf-huruf dalam namanya. Kemudian...
tiba-tiba dia tahu"dia tahu apa yang harus dilakukannya.
Sederhana sekali, pikirnya: Aku akan mengubah namaku.
Aku akan mengganti huruf-hurufnya agar ejaannya bukan lagi
fire. Dengan begitu kutukan itu akan lenyap selamanya.
Tak ada lagi Goode. Tak ada lagi perseteruan. Tak ada lagi
kutukan. Kami aman. Kali ini, semuanya benar-benar sudah selesai.
Akulah yang dapat melenyapkan kutukan kuno itu. Aku
mempunyai kekuatan. Aku akan mengubah masa depan, dan itu
dimulai dengan mengubah namaku.
Aku bukan lagi Simon Fier.
Mulai sekarang dan seterusnya aku akan dikenal sebagai Simon
FEAR. Desa Shadyside 1900 LILIN semakin pendek sementara Nora terus menulis. Dia
cemas mengetahui nyala lilin itu akan segera bergetar lalu padam.
Tetapi dia lebih cemas mengetahui bahwa fajar akan segera
tiba. Sekilas dia memandang kertas-kertas yang baru saja ditulisinya,
lalu mendesah. Kalau saja Simon benar, pikirnya. Kalau saja kutukan
itu benar-benar lenyap waktu itu. Maka kisah ini akan lain. Mungkin
sekarang aku bisa hidup bahagia bersama pria yang kucintai. Mungkin
kekasihku masih akan hidup....
Nora menghentikan lamunannya dan menghapus air matanya.
Tak ada waktu untuk menangis, katanya kepada diri sendiri. Banyak
sekali yang harus kutulis.
Cerita ini masih jauh dari selesai.
Karena sekarang aku sampai pada kisah Simon Fear"bagian
yang paling mengerikan dari kisah keluarga ini.
BERSAMBUNG" Petualang Asmara 12 Pendekar Rajawali Sakti 173 Teror Topeng Merah Pedang Sakti Tongkat Mustika 9
^