Pencarian

Rahasia The Secret 2

Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret Bagian 2


kita" Aku ingin berkenalan dengannya!"
"Papa akan marah sekali..."
Tetapi Rachel tidak memedulikannya. Dengan cepat dia berlari
menuruni tangga lalu menyelinap masuk ke ruang tamu, Jonathan
menyusul di belakangnya. Ibunya sedang bicara dengan Delilah. Ketika melihat Rachel,
Jane Fier terbelalak kaget dan berteriak"
"Abigail!"' Bab 8 "KENAPA kau turun dari tempat tidur, Abby?" seru Jane Fier.
Jonathan melihat bagaimana wajah Rachel yang masih bocah
itu menjadi serius. Dia melangkah maju dan, sambil meletakkan
tangannya di bahu Jane, dengan lembut menegur ibunya.
"Ini Rachel, Mama. Dia ingin berkenalan dengan tetangga baru
kita." Sesaat bayang-bayang keraguan melintas di wajah Jane Fier.
Kemudian wajah itu kembali cerah.
Dia meraih tangan Rachel, menepuk-nepuk tangan itu, dan
tersenyum. Ketegangan Rachel mengendur, dia lalu duduk.
Kukira Rachel yang malang sudah terbiasa dengan itu sekarang,
pikir Jonathan sedih. Dia sudah terbiasa dengan sikap Mama yang
sering bingung. Rachel memang sangat mirip Abigail, meskipun rambutnya
pirang dan rambut Abigail merah.
Tapi, bukan penampilan mereka yang membingungkan Mama,
Jonathan menyimpulkan. Abigail masih hidup dalam pikiran Mama.
Mama tidak mengikhlaskan kematian Abigail.
Delilah mengangguk kepada gadis cilik itu dan berkata, "Aku
senang berkenalan denganmu, Rachel."
"Maaf, ayahku saat ini sedang sibuk," kata Jonathan kepada
Delilah. "Tapi dia sangat ingin berkenalan denganmu dan dengan
keluargamu. Mungkin dia akan mengunjungi keluargamu besok."
Delilah mengangguk. "Maafkan aku sebentar," kata Jane. "Biar anak-anakku yang
ngobrol denganmu sementara aku menyiapkan pie apel itu, Miss
Wilson." Jonathan tersenyum. Rachel berkeras tetap duduk dan ikut
makan pie apel. Delilah, Jonathan, dan Rachel duduk kembali. Ruang tamu itu
belum diberi perabot lengkap, hanya ada satu kursi empuk dan
beberapa kursi mengelilingi satu meja kecil.
Tetapi Ezra sudah menggantungkan sebuah lukisan besar di atas
perapian"lukisan Abigail. Ezra sendiri yang melukisnya, berdasarkan
kenangannya. Dalam lukisan itu Abigail mengenakan pakaian seperti yang
dilihat Ezra terakhir kali: rok biru dan topi putih berpita biru.
"Rumah ini indah," kata Delilah sambil memandang
sekelilingnya dengan kagum. Rumah itu besar dan anggun, berlantai
tiga, bercat putih, jendela-jendelanya dicat hitam, dan dikelilingi pagar
kayu bercat putih. Itu rumah paling bagus yang pernah ditinggali
keluarga Fier. "Kau pindah dari mana?" tanya Delilah.
"Dari Worcester," jawab Jonathan. "Dan sebelumnya, dari
Danbury." "Astaga!" seru Delilah. "Mengapa kau sering sekali pindahpindah?"
Jonathan ragu-ragu. Dia tidak ingin menceritakan obsesi
ayahnya terhadap keluarga Goode kepada tetangganya yang cantik itu.
Bagaimana mungkin Delilah akan bisa mengerti"
Tetapi sebelum dia sempat mencegah, Rachel sudah bicara
dengan suara rendah, "Ini gara-gara Papa. Kata Papa keluarga kami
terkena kutukan!" "Rachel!" potong Jonathan.
Mata Delilah terbelalak. "Kutukan" Apa maksudmu?"
"Ah, itu hanya khayalan anak kecil," sela Jonathan, berharap
dapat mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, bukan khayalanku!" Rachel berkeras. "Papa
menceritakannya padaku, setiap malam sebelum aku tidur."
Dia menunjuk lukisan Abigail dan berkata,
"Gadis itu kakakku. Dia meninggal ketika aku masih kecil.
Salah satu anggota keluarga Goode membunuhnya."
"Rachel...," Jonathan memperingatkan. Tetapi Delilah pura-pura
sangat tertarik dan menyuruh Rachel melanjutkan.
Dengan perasaan tidak enak, Jonathan mendengar Rachel
menceritakan kepada Delilah semua hal tentang kutukan yang
menimpa keluarga mereka dan perseteruan maut antara keluarga Fier
dan keluarga Goode. Jonathan memperhatikan wajah Delilah ketika
mendengarkan detail-detail yang mengerikan itu. Wajah Delilah
menjadi sepucat tepung dan matanya terbelalak.
Dia takkan pernah mau mengunjungi kami lagi, pikirnya, dan
kaget karena merasa kecewa. Dia telanjur menyukai gadis yang
periang itu. Akhirnya Jonathan berkata, "Itu semua omong kosong, Miss
Wilson. Ayahku telah mengisi kepala Rachel dengan cerita-cerita itu,
dan dia terlalu serius menanggapinya."
"Jadi, kau tak mempercayai kutukan itu?" tanya Delilah
kepadanya sambil menatap tajam.
"Kutukan itu tak ada," jawab Jonathan dengan dahi berkerut.
"Dan perseteruan itu takkan ada seandainya Papa mau memadamkan
rasa bencinya. Ini semua gara-gara Papa" Papa cari masalah sendiri,
Pencarian kami yang terus-menerus atas keluarga Goode nyaris
menghancurkan keluarga kami, tapi keluarga Goode sendiri tak
melakukan apa-apa untuk mencelakakan kami."
"Bagaimana dengan Abigail?" tuntut Rachel.
Jonathan berhenti bicara. Dia tidak suka berpikir tentang
Abigail. Abigail pasti masih hidup seandainya Papa tidak punya gagasan
gila, pikirnya pahit. Papa memaksa kami tinggal di Wickham, padahal
tidak ada keluarga normal yang mau tinggal di sana.
Kematian Abigail adalah kesalahan Papa.
Jonathan mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran yang tidak
mengenakkan itu. Dia berpaling dan memandang Delilah. Gadis itu
sedang mengamati potret Abigail.
"Abigail sangat mirip denganmu, Rachel," kata Delilah.
"Banyak yang bilang begitu," kata Rachel sambil tersenyum
kepada Jonathan. "Mungkin sebaiknya kita ngobrol tentang hal lain," kata
Jonathan dengan perasaan tidak enak.
"Kau punya saudara laki-laki atau saudara perempuan, Miss
Wilson?" tanya Rachel penuh semangat.
"Rachel, kau boleh memanggilku Delilah," kata Delilah. Dia
berpaling kepada Jonathan dan menambahkan, "Kau juga."
Jonathan merasa melihat pipi Delilah memerah sedikit.
"Aku anak tunggal," kata Delilah kepada Rachel. "Ibuku
meninggal ketika melahirkanku. Aku tinggal bersama ayahku. Dia
pendeta, tapi umatnya sedikit sekali. Kami tinggal di tanah pertanian
yang kecil." Jonathan mengamati rok gadis itu: terbuat dari linen tenunan
sendiri yang dicelup warna hijau pucat. Untuk pertama kali dia
melihat pakaian Delilah sudah usang. Renda di ujung lengannya sudah
robek-robek, dan roknya di sana-sini ditambal dengan cermat.
Mungkin dia mengenakan roknya yang terbaik untuk
mengunjungi kami, pikir Jonathan. Dia pasti miskin sekali. Tak jadi
soal. Dia tetap gadis paling cantik yang pernah kulihat.
***************** Beberapa hari kemudian Jonathan pergi ke kota, ke pandai besi.
Ibunya membutuhkan satu panci baru untuk digantungkan di atas
tungku. Jonathan memesan panci itu dari pandai besi lalu meninggalkan
toko itu. Tepat di luar toko dia nyaris bertubrukan dengan gadis cantik
berambut cokelat yang mengenakan rok biru tua dan topi putih.
"Delilah Wilson! Senang sekali melihatmu lagi."
"Aku juga senang bertemu denganmu, Jonathan." Gadis itu
membawa keranjang kecil. Jonathan mengambil keranjang itu dan
membawakannya. Keranjang itu kosong.
"Kau mau ke mana?" tanyanya.
"Aku akan pulang," jawab gadis itu. "Aku baru saja dari gereja
Papa. Sejak pagi Papa di sana dan belum makan, jadi kubawakan roti
dan keju sedikit." "Kebetulan aku juga akan pulang," kata Jonathan. "Boleh aku
menemanimu?" Delilah tersenyum. "Terima kasih. Kau baik."
Sore itu matahari bersinar cerah dan panas. Mereka berjalan
meninggalkan kota, menyusuri jalan menuju ke rumah Delilah.
Jonathan merasa keringat membasahi kerah bajunya.
"Bagaimana keluargamu?" tanya Delilah. "Ibu dan adikmu?"
"Baik, terima kasih," sahut Jonathan.
"Aku suka mereka, sangat suka," Delilah melanjutkan.
"Terutama adikmu. Dia manis sekali."
Jonathan merasa agak tidak enak karena ingat kunjungan
Delilah"ibunya yang bingung, dan cerita Rachel tentang kutukan atas
keluarganya. Delilah mencoba bersikap sopan, dia menyimpulkan. Dia
pasti menganggap kami keluarga aneh.
"Aku harus minta maaf untuk kelakuan Rachel waktu itu,"
katanya. "Kuharap dia tak membuatmu takut"atau bosan"dengan
ceritanya yang konyol."
Delilah tertawa. "Sama sekali tidak. Dia masih anak-anak, dan
anak-anak suka cerita-cerita seram. Aku juga begitu waktu seumur
dia." "Aku yakin kau pasti lebih waras dibandingkan Rachel,"
Jonathan memprotes. "Kalau ada yang lebih konyol, akulah orangnya. Tanya saja
pada ayahku. Waktu umur delapan, aku yakin serigala akan melompat
masuk ke kamarku, malam-malam, dan menculikku. Aku berkeras
agar semua jendela di rumah ditutup rapat-rapat setiap malam"tak
peduli hari sedang panas sekalipun. Ayahku mengira aku sudah gila!"
Jonathan tersenyum mendengar ceritanya dan menawarkan
lengannya untuk digandeng gadis itu. Delilah menerimanya, lalu
mereka berjalan bergandengan.
****************** Malamnya Jonathan lama berbaring di ranjangnya dengan mata
nyalang, tidak bisa tidur. Gambaran Delilah melayang-layang di
matanya: rambutnya yang cokelat berkilau, kulitnya yang halus,
pipinya yang merah jambu, dan mata cokelatnya yang bersinar cerdik.
Besok aku akan mengunjunginya, pikirnya ketika akhirnya
merasa mengantuk. Aku akan membawa seikat bunga....
Sebuah suara keras tiba-tiba terdengar dan mengagetkannya.
Apa itu" Suara itu sepertinya dari kejauhan. Apakah dia bermimpi"
Tidak. Suara itu terdengar lagi. Sekarang lebih dekat.
Jonathan menyimak. Mula-mula bunyinya rendah, kemudian
melengking nyaring dan semakin keras. Mula-mula dia mengira itu
jeritan binatang, yang terluka dan tersiksa, jerit kesakitan.
Jonathan gemetar ketakutan. Belum pernah dia mendengar
suara binatang seperti itu.
Apakah itu beruang" Serigala" Anjing yang terluka"
Suara itu bergerak cepat ke arah rumahnya, semakin dekat,
semakin dekat. Sekarang terdengar di halaman, dan semakin dekat lagi.
Suara itu berhenti tepat di bawah jendela kamarnya!
Jantung Jonathan seakan terlompat ke tenggorokannya.
Sebuah suara di kepalanya menjerit, "Tolong! Tolong! Dia
datang untuk membunuhku!"
Bab 9 DENGAN jantung berdebam-debam dalam dadanya, Jonathan
berjalan terhuyung-huyung ke jendela. Bulan purnama menyinari
terali yang belum dirambati tanaman dan menempel pada dinding
belakang rumah sampai ke jendela-jendela di lantai dua.
Dia bisa melihat halaman belakang dengan jelas"tumpukan
kayu bakar, pompa air baru, sumur berdinding batu, dan hutan di
belakang rumah. Apa yang bersuara mengerikan itu" tanya Jonathan dalam hati.
Tubuhnya gemetaran. Apakah ini hanya mimpi" Seekor binatang liar
yang aneh" Atau sesuatu yang lebih seram dari itu"
Dia mengenyahkan pikiran itu dari otaknya. Cerita-cerita
Rachel membuatku bermimpi buruk, dia mengomeli dirinya sendiri.
Sekarang sunyi. Yang terdengar hanya derik jangkrik dan
lengking burung hantu yang bernada rendah. Masih dengan tubuh
gemetar, Jonathan naik lagi ke tempat tidur.
Dia tahu dia takkan pernah bisa tidur lagi sekarang. Sepanjang
sisa malam itu matanya nyalang dan telinganya menyimak baik-baik.
Berjam-jam kemudian langit mulai terang. Jonathan mendengar
ibunya lewat di depan kamarnya hendak turun ke lantai bawah dan
memulai pekerjaannya hari itu. Ayah dan adiknya juga mulai bangun.
Sambil menguap dan meregangkan badan, Jonathan turun dari
tempat tidur. Kemudian dengan mata mengantuk dia berjalan ke
tempat cuci muka. Dipercikkannya air dingin ke wajahnya dan
disisirnya rambut cokelatnya yang sebahu. Setelah mengikat
rambutnya dengan sehelai pita hitam, dia mengenakan celana selutut.
Di dapur Jane Fier sedang menata piring di meja. "Selamat
pagi, Jonathan," sapanya riang. "Tolong nyalakan api."
Jonathan mencium ibunya dan mengucapkan selamat pagi, lalu
pergi ke tungku. Dia mengambil puputan lalu mengembuskan udara
ke sisa-sisa bara yang masih menyala.
Rachel melompat-lompat masuk ke dapur. Dia mengenakan rok
cokelat dan celemek, rambut pirangnya yang ikal melambai-lambai.
Ezra menyusul rapat di belakangnya. Sambil mencungkil-cungkil
kayu bakar, Jonathan menebak-nebak apakah salah satu dari mereka
mendengar jeritan mengerikan yang membuatnya terbangun tadi
malam. Rachel kelihatan riang dan nyenyak tidurnya semalam, tetapi
Ezra kelihatan letih. "Pergilah ke sumur dan ambilkan Mama seember air, Rachel,"
kata Jane. "Ya, Mama," jawab Rachel. Dia membuka pintu belakang lalu
berjalan ke sumur. Sesaat kemudian jerit ketakutan dari halaman belakang
membuat Jonathan menjatuhkan pengungkit kayu bakar. Pengungkit
itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras ketika Jonathan berbalik lalu
lari keluar. Jane dan Ezra menyusul di belakangnya.
Rachel berdiri di samping sumur sambil menjerit-jerit histeris.
Tangannya, wajahnya, rambutnya, pakaiannya... semuanya bebercakbercak merah.
"Abigail"ada apa?" teriak Jane. "Ada apa?"
Rachel tidak memedulikan ibunya. Matanya nanar menatap
sesuatu. Dia menunjuk ember untuk menimba air dari dalam sumur.
Begitu melongok isi ember itu, Jonathan langsung mual.
Ember itu penuh darah, darah merah segar dan kental.
Bab

Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

10 SAMBIL menutupi mulutnya dengan tangannya, Jonathan
mundur. Darah! Bagaimana mungkin sumur itu sekarang penuh darah"
Sambil berusaha agar tidak muntah, Jonathan mengangkat mata
dan memandang keluarganya. Jane memeluk Rachel, mencoba
menenangkannya. Mata Ezra melotot dan tangannya gemetar ketika
mencengkeram bandul kalung perak itu.
"Kutukan itu!" teriaknya. "Keluarga Goode mencelakakan kita
lagi!" Sambil menelan ludah dengan susah payah, Jonathan
mengumpulkan keberaniannya, lalu dengan enggan dan takut-takut
melongok ke dalam sumur. Dia lega ketika melihat air sumur itu
jernih. Hanya ember itu yang penuh darah.
Apa artinya ini" Sambil memeluk putrinya, dengan lembut Jane membimbing
Rachel masuk rumah. Dengan gugup Ezra menggosok-gosok bandul
kalung itu, seakan-akan itu akan menolongnya.
"Ini terjadi lagi. Mereka menemukan kita sebelum kita berhasil
menemukan mereka," kata Ezra. "Keluarga Goode pasti tinggal dekatdekat sini... atau dikuburkan dekat sini."
"Tenanglah, Papa," Jonathan memohon. "Kutukan itu tak ada.
Lihat... kita semua selamat."
"Anak tolol," gumam Ezra, lalu meninggalkan putranya
sendirian. Masih terpukau dan gemetar, Jonathan memandang ember
penuh darah itu. Lengkingan kesakitan yang semalam didengarnya
sekarang terngiang-ngiang lagi di telinganya.
Siapa, atau apa, yang melakukan ini" pikirnya.
Apakah ini ulah orang gila" Binatang liar"
Atau mungkinkah ayahnya memang benar" Apakah ini benarbenar merupakan kutukan keluarga Goode"
****************** Sepanjang sisa pagi itu Rachel tinggal di kamarnya. Ezra
mondar-mandir di rumah, tegang dan marah-marah.
Aku harus keluar dari sini, kata Jonathan kepada dirinya sendiri.
Kalau aku tetap di rumah, ember penuh darah itu akan terbayangbayang terus.
Dia memutuskan mengunjungi Delilah.
Jonathan mengumpulkan bunga-bunga liar sambil berjalan ke
rumah Delilah yang kecil. Rumah itu sangat kecil"lebih tepat disebut
pondok"dan sudah reyot, terbuat dari kayu sirap yang cokelat
dimakan cuaca. Jendelanya kecil-kecil dan cerobong asapnya hanya
satu. Di sebelah kanan rumah ada kandang sapi yang sudah roboh.
Satu-dua ayam mematuk-matuk tanah di dalam pagar. Di belakang
tempat melepas ayam tumbuh beberapa pohon buah-buahan yang
kurus dan satu-dua ekar ladang yang berbatu-batu.
Sambil menggenggam bunga warna ungu dan putih, Jonathan
mengetuk pintu. Delilah membukakannya.
"Halo, Jonathan," katanya sambil tersenyum. "Kejutan yang
menyenangkan." Jonathan merasa wajahnya memerah ketika mengulurkan
bunga-bunga itu. Delilah mengajaknya masuk. Seorang pria dengan rambut abuabu sebahu duduk di depan meja tulis di sudut ruangan. Dia berdiri
ketika Jonathan masuk. "Ayah, ini Jonathan Fier," kata Delilah. "Jonathan, ini ayahku,
Pendeta Wilson." Ayah Delilah menyalami Jonathan dengan ramah. "Aku senang
berkenalan denganmu, anak muda," kata pendeta itu. "Aku
merencanakan segera mengunjungi orangtuamu untuk mengucapkan
selamat datang." "Mereka akan senang," kata Jonathan sambil membungkuk
sopan. "Ayah sedang menulis khotbah," kata Delilah. "Bagaimana
kalau kita jalan-jalan?"
Jonathan setuju. Dia dan Delilah pergi keluar lalu berjalan-jalan
di kebun buah-buahan. Dalam cahaya matahari yang hangat, Jonathan melihat Delilah
tampak lebih cantik dari biasanya. Pipinya merah jambu dan berseriseri, langkahnya ringan dan lincah.
Tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya, Jonathan melihat
dahinya berkerut. "Kau kelihatan letih, Jonathan," katanya. "Kau
sakit?" Jonathan hendak menjawab, "Ya, aku sakit," tetapi tidak jadi.
Delilah sudah mendengar tentang riwayat keluargaku, pikirnya, tapi
dia tak takut padaku. Sedikit pun tak takut. Dia penuh pengertian.
Mungkin akhirnya aku menemukan seseorang yang bisa kuajak
bicara! "Semalam ada yang membuatku terganggu dan terbangun,"
katanya. "Suara yang aneh dan mengerikan."
"Suara?" tanya Delilah tidak mengerti.
"Ya. Sepertinya ada makhluk mengerikan yang keluar dari
hutan lalu datang ke rumah kami. Suara itu semakin dekat sampai
kedengarannya ada di bawah jendela kamarku. Suara itu melengking
nyaring. Lalu tiba-tiba berhenti."
"Apa itu?" tanya Delilah.
"Aku tak tahu," jawab Jonathan. "Waktu melihat ke luar, aku
tak menemukan apa-apa."
"Itu pasti mimpi," kata Delilah.
"Aku pun menyimpulkan begitu," kata Jonathan. "Tapi tadi pagi
Rachel menimba air, dan ketika menarik ember..." Dia berhenti bicara,
menimbang-nimbang apakah sebaiknya melanjutkan. Apakah pantas
dia menceritakan sesuatu yang mengerikan kepada gadis yang belum
lama dikenalnya" Delilah berhenti berjalan dan berbalik kepadanya. "Apa yang
terjadi?" tanyanya. "Apa yang kautemukan dalam ember itu?"
"Ember itu penuh darah," jawabnya.
Delilah berseru tertahan.
"Ayahku yakin bahwa itu ada hubungannya dengan kutukan
itu," kata Jonathan. "Mau tak mau aku jadi berpikir, jangan-jangan dia
benar." Sekarang Delilah membuang muka. "Oh, tidak," katanya sambil
berjalan mendului Jonathan. Apakah tangan Delilah gemetar"
Jonathan tidak bisa memastikan. "Dia tak mungkin benar tentang
kutukan itu, ya kan" Jonathan, pasti ada penjelasan yang masuk akal."
"Mestinya ada," kata Jonathan. "Tapi aku tak bisa memikirkan
apa penjelasannya. Apakah menurutmu ada binatang terluka yang
jatuh ke sumur" Tapi itu tak masuk akal. Darahnya terlalu banyak,
padahal binatangnya tak ada. Dan air sumur itu benar-benar bersih."
Delilah berhenti lagi lalu meraih tangan Jonathan. "Oh,
Jonathan," dia memohon. "Lupakan kutukan itu. Biarlah itu menjadi
obsesi ayahmu, dan jangan menjadi obsesimu."
Jonathan menggenggam tangan gadis itu.
Kulit Delilah sangat lembut. Kata-katanya menggema dalam
benak Jonathan. Lupakan kutukan itu, pikirnya. Itulah yang selalu
kukatakan... sampai tadi pagi.
Dia dan Delilah melanjutkan berjalan-jalan tanpa bicara.
Malam itu Jonathan tidur lebih awal dan langsung terlelap.
Larut malam, sebuah suara membuatnya terbangun.
Kreck. Mata Jonathan langsung terbelalak. Dia menyimak sambil
menahan napas. Jantung Jonathan berdebam-debam. Suara itu terdengar lagi.
Kreek. Kreek. Suara itu dari arah selasar. Jonathan turun dari tempat tidur, lalu
mengendap-endap ke pintu.
Dia menempelkan telinganya pada pintu dan menyimak. Kali
ini aku benar-benar mendengar bunyi itu, pikirnya. Aku yakin.
Pelan, tanpa suara, dia membuka pintu. Selasar gelap. Dia
menyimak dan mendengar langkah-langkah nyaris tanpa suara,
mendekat ke arahnya. Dia mengintip dari balik pintu, ke selasar. Sosok itu tegak di
sana. Darahnya serasa membeku. Di ujung selasar dia melihat ada
sosok putih" melayang ke arahnya.
Bab 11 "SIAPA?" teriak Jonathan. Tetapi suaranya hanya berupa
bisikan tertahan. Sosok pucat itu berbisik-bisik, "Abigail! Abigail!"
Sosok itu melayang semakin dekat. Jonathan bisa melihat baju
tidur putih, penutup rambut putih, dan rambut abu-abu panjang yang
terjurai di bawahnya. Dia mendengar lantai papan berderit diinjak kaki
sosok itu. Pasti bukan hantu, pikir Jonathan.
Sosok itu memanggil-manggil lirih, "Abigail! Abigail!
Kembalilah!" Mama! Dengan kaget Jonathan menyadari bahwa sosok itu
ibunya. Apa yang dilakukannya"
Ibunya melewatinya tanpa suara, tidak melihatnya. Dia
memanggil-manggil lagi, "Abigail!"
Mama berjalan sambil tidur, Jonathan menyimpulkan.
Sekarang dia menuruni tangga. Jonathan mengikutinya.
Jane Fier pergi ke belakang rumah, baju tidurnya yang putih
panjang terseret di lantai. "Abigail!" panggilnya, kali ini lebih keras.
"Tunggu Mama!" Dia membuka pintu belakang. Lalu keluar.
Jonathan melangkah maju dan mencengkeram lengannya.
"Mama!" teriaknya dengan suara gemetar. "Apa yang Mama
lakukan?" Jane Fier berbalik, kaget. Matanya terbelalak, penuh air mata.
Dia tidak tidur, pikir Jonathan. Dia terjaga sepenuhnya. Dia
tahu apa yang dilakukannya.
"Abigail," bisik ibunya, air mata berlinang membasahi pipinya
yang cekung. "Dia memanggilku. Dia di luar sana, menungguku."
Jonathan menarik ibunya masuk rumah lalu menutup pintu.
"Tidak, Mama," katanya, ingin sekali dia menenangkan dan
menghibur ibunya. "Mama pasti bermimpi."
"Aku tidak bermimpi, Jonathan." Sekarang suara ibunya
terdengar tegas. "Dia ada di kebun belakang. Putri kecilku..."
Jonathan membuka pintu lalu melongok ke luar. Malam itu
hangat dan cerah dalam siraman cahaya bulan. Dia tidak melihat
siapa-siapa di luar. Tak ada tanda-tanda kehadiran Abigail.
"Tak ada siapa-siapa di luar, Mama," kata Jonathan. "Ayolah,
Mama harus tidur lagi."
Dia memeluk ibunya lalu membimbingnya menaiki tangga.
Ibunya meronta, melawannya.
"Tidak!" jeritnya. "Abigail membutuhkan Mama!"
Jonathan lebih kuat. Dipaksanya ibunya menaiki tangga.
"Mama tak boleh keluar"Mama bisa masuk angin. Mama mendapat
mimpi buruk. Itu saja," katanya. "Hanya mimpi buruk."
Tetapi apa pun yang dikatakannya, Jane tidak mau percaya
bahwa putrinya yang sudah meninggal tidak memanggil-manggilnya.
Jane membiarkan dirinya dibimbing ke lantai atas, tetapi tetap
gelisah, bingung, dan cemas. Dia naik ke tempat tidur, dan akhirnya,
karena kecapekan, dia jatuh tertidur.
Jonathan kembali ke kamarnya, menutup pintu, lalu pergi ke
jendela dan melihat ke luar. Kebun belakang, dengan hutan di tepinya,
tampak tenang dan damai dalam cahaya bulan.
Pagi harinya keluarga Fier melakukan kesibukan mereka
seakan-akan semalam tidak terjadi apa-apa. Baik Jonathan maupun
ibunya tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun.
Tadi malam itu rasanya memang benar-benar hanya mimpi.
Tapi Jonathan tahu, masalahnya lebih dari itu.
Mama sangat rapuh sejak Abigail meninggal, pikir Jonathan.
Tapi biasanya dia hanya kebingungan sesaat. Belum pernah sampai
separah ini. Malam berikutnya Jonathan telentang dengan mata nyalang,
menunggu-nunggu suara itu. Jam demi jam berlalu dalam kesunyian
yang damai. Tubuh Jonathan mulai rileks. Kemudian, ketika dia mulai
merasa mengantuk, suara itu terdengar lagi.
Kreek. "Abigail! Abigail!" bisik suara itu dengan menahan tangis.
Dia mendengar langkah-langkah ayahnya yang lebih berat
menginjak lantai. "Jane, kembalilah ke tempat tidur," bisik Ezra. "Kau akan
membuat anak-anak terbangun."
Jonathan mendengar ayahnya membimbing ibunya kembali ke
kamar mereka dan menutup pintu. Dia mendengar suara-suara mereka
yang tidak jelas, kemudian tangis ibunya.
Esoknya, sepanjang hari ibu Jonathan tidak turun dari tempat
tidur. Begitu pula hari berikutnya. Tetapi malam hari dia menjelajahi
rumah sambil memanggil-manggil putrinya yang sudah meninggal.
"Aku ingin melakukan sesuatu untuk Mama," kata Rachel
kepada Jonathan. "Sesuatu untuk membuatnya gembira."
Jonathan mendesah. Dia tidak yakin apakah yang akan
dilakukan Rachel bisa membuat ibu mereka gembira.
"Terali itu. Kita bisa menanam mawar di sana," usul Rachel.
"Kelak mawar itu akan tumbuh merambat sampai ke jendela kamar
Mama." "Bagus," Jonathan setuju. Dia lega karena akhirnya punya
alasan untuk keluar rumah.
Jonathan mengambil sekop besar dan Rachel mengambil sekop
kecil. Mereka mulai menggali lubang untuk menanam pohon mawar.
Dia merasa bahunya ditepuk dengan ringan. Jonathan berpaling
untuk melihat siapa yang menepuk bahunya.
Dia mendapati dirinya menatap wajah Delilah yang cantik.
"Selamat sore," katanya.
"Selamat sore," jawab Jonathan.
"Halo, Delilah!" sapa Rachel.
Jonathan mengusapkan tangannya yang kotor pada celana
kerjanya dan merasa salah tingkah karena Delilah menemukannya
dalam keadaan kotor. Tetapi kelihatannya Delilah tidak peduli.
"Kalian berdua ada waktu untuk menerima tamu?" tanya
Delilah. "Tentu saja," sahut Jonathan.
"Aku perlu istirahat," kata Rachel. "Aku capek menggali
lubang." "Kita duduk-duduk di bawah pohon, yuk?" Jonathan
mengusulkan. Jonathan dan Delilah duduk di bawah pohon apel sementara
Rachel lari masuk rumah dan kembali dengan membawa karaf berisi
air jeruk. "Aku datang untuk melihat bagaimana keadaan kalian berdua,"
kata Delilah. "Aku mencemaskan kalian."
Jonathan diam saja. Tetapi Rachel berkata, "Oh, Delilah...
Mama sedang sakit. Setiap malam dia menjelajahi rumah, memanggilmanggil Abigail. Kami pikir dia melihat hantu Abigail!"
Delilah terbelalak, memegang lehernya, lalu berpaling kepada
Jonathan. "Benarkah itu?"
"Mama memang sedih sekali," jawab Jonathan. "Setiap malam
dia memanggil-manggil Abigail. Dia... katanya dia melihat Abigail di
kebun belakang, memanggil-manggil."'
Delilah menahan napas dan memejamkan mata. "Ini


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan," gumamnya, seakan bicara kepada dirinya sendiri.
Jonathan membungkuk mendekat. "Tapi aku yakin itu bukan
hantu," katanya untuk menenangkan Delilah. "Kau tak perlu
mencemaskan kami, Delilah. Kadang-kadang Rachel terlalu melebihlebihkan."
"Aku tak melebih-lebihkan!" potong Rachel.
Secercah warna merah kembali ke wajah Delilah, lalu dia
tampak lebih tenang. "Bisa saja dia mimpi, ya kan?" dia menyarankan penjelasan.
"Mimpi yang sama, setiap malam?"
Jonathan meneguk air jeruknya sambil berpikir-pikir.
Diamatinya wajah Delilah, dan gadis itu tersenyum kepadanya.
Gadis ini sangat berani, pikirnya. Dia berusaha membuat Rachel
dan aku merasa lebih baik.
Rachel takut hantu, sedangkan aku takut kalau-kalau ibuku jadi
gila. Delilah tak ingin kami ketakutan, jadi dia meyakinkan kami
bahwa Mama pasti hanya bermimpi.
*************** "Jonathan." Mata Jonathan langsung terbuka. Saat itu tengah malam.
Suara yang lain. Mama" "Jonathan," terdengar bisikan seram. "Jonathan... hati-hati!'
Tubuh Jonathan membeku sementara matanya nanar menatap
kegelapan. Itu bukan suara ibunya, tetapi suara merdu seorang anak
perempuan kecil. "Siapa di luar?" bisiknya.
"Hati-hatilah, kakakku," terdengar suara anak itu. Sepertinya
berasal dari luar, dari balik jendela yang terbuka. Tetapi itu tidak
mungkin... "Hati-hatilah, kakakku," suara itu terdengar lagi. "Atau nasibmu
akan lebih buruk daripada nasibku!"
Jonathan terduduk. "Rachel?" panggilnya. "Rachel" Di mana
kau?" "Bukan," bisik gadis kecil itu. "Bukan, bukan Rachel. Aku
Abigail." Bab 12 JONATHAN melompat turun dari tempat tidur. "Abigail!"
teriaknya gugup. "Abigail! Di mana kau?"
Dia membeku di tengah kamar, memasang telinga baik-baik.
Tak ada jawaban. Suara itu sudah lenyap.
Dengan tangan gemetar, Jonathan menyalakan lilin dari sisa
bara di perapian. Cahaya lilin membuat bayang-bayangnya di dinding
tampak seram. Jonathan memeriksa sudut-sudut kamarnya. Dia membuka
lemari pakaian lalu melongok ke dalamnya.
Tak ada tanda-tanda kehadiran adiknya yang sudah meninggal.
Tak ada siapa-siapa. Dengan jantung berdegup kencang, Jonathan kembali ke tempat
tidur. Abigail memanggil-manggilnya. Benarkah"
Apakah tadi itu hanya mimpi"
Mungkin aku sudah ketularan Mama, pikirnya. Aku sudah gila.
Tetapi dengan cepat dienyahkannya pikiran itu.
Suara itu begitu nyata. Aku memang mendengar Abigail
memanggil-manggilku, memperingatkanku akan sesuatu....
Ketukan pelan pada pintu kamarnya membuatnya kaget.
Dia melonjak berdiri, matanya nanar menatap pintu.
Apakah sebaiknya dia membuka pintu"
Dia tak punya waktu untuk berpikir. Pintu itu pelan-pelan
membuka. Lalu... Rachel masuk. Dia mengenakan baju tidur dan penutup rambut, kakinya
telanjang. Matanya, dalam remang-remang cahaya lilin, terbelalak
ketakutan. "Rachel, ada apa?" tanya Jonathan, suaranya terdengar berbisik
lirih. "Aku melihat dia!" jerit Rachel. "Aku melihat Abigail!"
Bab 13 JONATHAN melompat memeluk adiknya. "Kau melihat
Abigail?" katanya. "Di mana?"
"Aku melihat wajahnya di luar jendela kamarku. Dia
memanggil-manggilku, 'Rachel! Hati-hati!"'
"Tapi bagaimana kau tahu dia Abigail?" tanya Jonathan, "Kau
ingat seperti apa dia?"
"Dia mirip lukisan Papa itu," kata Rachel. "Dia memakai topi
putih dengan pita biru, dan dia melayang-layang di luar jendela
kamarku. Kemudian dia menghilang."
Jonathan melepaskan Rachel. Mungkin Mama memang melihat
Abigail, pikirnya. Mungkin Mama melihat apa yang dilihat Rachel.
Hantu Abigail. Abigail datang untuk memperingatkan keluarganya.
Tapi dari bahaya apa"
**************** "Aku akan ke rumah keluarga Wilson, Mama," kata Jonathan
kepada Jane. Ibunya sedang duduk di dekat tungku, terlalu letih untuk
bergerak. "Aku ikut," Rachel memohon. "Aku suka Delilah."
"Jangan hari ini, Rachel," kata Jonathan. "Hari ini aku ingin
menemuinya sendirian."
Ibu mereka memberikan sekeranjang kecil roti manis untuk
oleh-oleh. "Sampaikan salam Papa dan Mama pada ayahnya," kata
Jane. Kemudian dia mendesah. "Seharusnya kita sudah mengundang
mereka minum teh sekarang, tapi sulit sekali..."
Air matanya berlinang. Cepat-cepat Jane mengusapnya. Sejak
Abigail meninggal, kesedihan telah membuat ibu Jonathan cepat tua.
Sudut-sudut mulutnya tergantung, matanya kuyu dan nyaris tanpa
cahaya kehidupan. Jonathan memperhatikan bahwa dalam beberapa
hari ini kerut-kerut kepedihan tampak nyata di wajah ibunya.
"Sampaikan permintaan maaf Mama pada keluarga Wilson,"
lanjut Jane. "Dan katakan pada mereka"katakan Mama sakit."
"Baik, Ma," Jonathan berjanji. Dia meletakkan tangannya pada
tangan ibunya dan menambahkan, "Mama akan segera sembuh. Aku
yakin Mama pasti akan segera sembuh."
Jane mengangguk lesu. Jonathan mengambil keranjang kue itu
lalu keluar dan pergi ke rumah keluarga Wilson.
Pendeta Wilson sedang bekerja di ladang ketika Jonathan
sampai di sana, tetapi wajah Delilah yang cerah membuat semangat
Jonathan timbul lagi. Gadis itu menerima roti manis itu sambil
tersenyum. "Ibumu baik sekali, mengirimi kami roti-roti ini," katanya.
"Bagaimana keadaannya?"
Jonathan mengembuskan napas panjang. "Tidak lebih baik,"
jawabnya. "Malam hari dia masih melihat Abigail. Tapi sekarang,
setidak-tidaknya, dia tak sendirian."
"Apa maksudmu?"
"Rachel juga melihatnya. Dan aku... aku mendengar suara
Abigail. Dia memanggil-manggilku."
Delilah meletakkan keranjang roti itu dan memalingkan
wajahnya. Jonathan melihat bahunya terguncang-guncang di balik
gaunnya yang berwarna merah jambu pudar.
"Delilah, ada apa?" Dengan lembut dia memegang bahu gadis
itu agar gemetarnya berhenti, memutarnya menghadapnya, lalu
dengan tangan masih di bahunya, Jonathan menatap matanya lekatlekat. Tetapi Delilah menunduk, seakan tidak ingin Jonathan melihat
wajahnya. Ketika akhirnya Delilah mengangkat matanya, mata itu penuh
air mata. "Aku sangat mencemaskanmu, Jonathan," katanya. "Kau dan
keluargamu. Aku... aku tak pernah berharap kalian akan mendapat
celaka, tak pernah."
Jonathan berpendapat bahwa Delilah tampak semakin cantik
dengan matanya yang berlinang-linang. Dia ingin memeluk dan
mencium gadis itu. "Apa maksudmu, Delilah?" tanyanya. "Aku tahu kau pasti tak
berharap kami akan celaka. Ini tak ada hubungannya denganmu." Dia
berhenti, merasa bersalah. "Seharusnya aku tak memberati pikiranmu
dengan masalah kami, Delilah. Kau tak perlu merasa terbebani."
Delilah memejamkan mata. "Aku dan ayahku akan segera
pindah," katanya lirih. "Mungkin, setelah kami pindah..."
"Tidak!" tukas Jonathan. "Kau tak boleh pindah. Oh, jangan!"
Dia kaget mendengar dirinya mengatakan itu. Bahwa Delilah
akan pergi membuatnya sedih. Dia merasa mual, perutnya seperti
disodok. Aku mencintainya, kata Jonathan dalam hati. Aku benar-benar
mendntainya. Dia meraih tangan Delilah, menggenggamnya, dan bertanya,
"Mengapa" Mengapa kau harus pindah" Oh, Delilah, tetaplah tinggal
di sini...." Delilah menunduk lagi. "Ini yang terbaik, Jonathan. Kau harus
percaya padaku. Kami akan pindah akhir minggu ini."
"Delilah, aku tak mengerti...."
"Sekarang pulanglah, Jonathan," kata Delilah dengan suara
bergetar. "Oh... pulanglah sekarang."
Jonathan meninggalkan pondok keluarga Wilson. Dia berjalan
pulang dengan hati berat. Aku mencintainya, pikirnya sedih. Aku tahu
dia juga mencintaiku. Aku tahu. Tapi mengapa dia harus pindah"
Mengapa dia tak mau memberi penjelasan" Mengapa dia sedih sekali"
Mengapa dia bersikap misterius"
**************** Malam itu Jonathan menunggu-nunggu suara bisikan ibunya.
Dia memaksa matanya untuk tetap nyalang dan waspada.
Tetapi setelah bermalam-malam kurang tidur, dia tak bisa
memaksa diri untuk terus berjaga. Akhirnya dia tertidur pulas, tidur
yang nyenyak dan tanpa mimpi.
Menjelang fajar, sebuah jeritan mengerikan menembus masuk
ke otaknya yang terbungkus kabut kantuk.
Jonathan langsung terduduk di tempat tidurnya. Jeritan itu
berasal dari halaman belakang.
Cepat-cepat dia pergi ke jendela. Cahaya merah jambu yang
pertama mulai tampak di kaki langit. Jonathan menyipitkan mata
memandang halaman belakang, tetapi tidak melihat sesuatu yang
ganjil.. Jeritan itu terngiang-ngiang di otaknya, bergema di telinganya.
Berbagai kengerian yang dialaminya beberapa minggu terakhir ini
tidak membuatnya siap menghadapi keputusasaan yang tersirat dalam
jeritan itu. Jonathan mendengar langkah-langkah kaki di tangga. Dia
mengendap-endap ke pintu. Dalam cahaya kelabu dia melihat Ezra
dan Rachel menuruni tangga. Jonathan mengikuti mereka.
Mana Mama" pikirnya. Kepanikan membuatnya merasa seperti
tercekik. Dia menelan ludah dengan susah payah. Tak ada waktu
untuk panik. Jonathan mengikuti ayahnya dan adiknya ke luar. Halaman
belakang sekarang sunyi. Tetapi mereka semua mendengar jeritan itu.
Mereka sependapat bahwa jeritan itu berasal dari halaman belakang.
"Mana Mama?" Jonathan bertanya kepada ayahnya.
"Aku tak tahu," kata Ezra. "Jeritan itu membuatku terbangun,
dan tahu-tahu dia tak ada. Mau tak mau aku berpikir..." Ezra
memandang Rachel. Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Jangan cemas, Papa," kata Jonathan. "Kita akan menemukan
Mama." Berjam-jam mereka memeriksa seisi rumah. Tapi Jane tidak
ada. Sekarang matahari sudah tinggi di atas pohon.
Cepat-cepat mereka berpakaian lalu kembali ke halaman
belakang. Mereka memeriksa setiap semak dan melongok di balik
pohon-pohon. Rachel berdiri di tepi hutan, memanggil-manggil ibunya.
Jonathan letih dan putus asa.
Apa yang terjadi pada ibuku" pikirnya. Bagaimana mungkin dia
menghilang begitu saja"
Mulutnya terasa kering sekali. Dia berjalan ke sumur hendak
mengambil air. Dia menarik tali timba untuk mengangkat ember,
tetapi tali itu terasa berat sekali. Aneh.
Perasaan tidak enak menyergapnya.
"Papa!" panggilnya dengan parau. "Tolong aku menarik tali
timba ini." Ezra menyipitkan mata memandang Jonathan, tetapi tidak
berkata apa-apa. Dia melangkah ke samping putranya. Bersamasama, dengan wajah penuh konsentrasi, mereka menarik tali itu.
"Tali ini berat sekali, Papa," kata Jonathan sambil mengerahkan
tenaganya. "Aku tak bisa membayangkan..."
Tarikan terakhir. Jonathan berseru tertahan, tidak percaya"
Kemudian... dia menjerit.
Bab 14 JERITAN Jonathan menggema di halaman belakang. "Ada apa"
Ada apa?" teriak Rachel sambil lari ke sumur.
Jonathan terlalu ngeri untuk menjawab. Terlalu ngeri untuk
bergerak. Terlalu ngeri untuk mengalihkan perhatiannya dari
pemandangan mengerikan di depannya.
Di ujung tali timba, tersangkut pada ember, adalah tubuh
ibunya. Kulitnya biru dan menggembung. Rambutnya yang basah
menempel lekat pada tengkorak dan wajahnya. Baju tidurnya yang
basah kuyup melekat pada tubuhnya yang sudah tak bernyawa.
"Tidak! Tidak! Tidak!"
Isak Jonathan membuat tenggorokannya tercekat.
"Mama!" bisik Rachel. "Mama... mengapa?"
Ayah Jonathan memegangi ember itu dengan kedua tangannya.
Matanya terpejam. Bibirnya komat-kamit menggumamkan doa tanpa
suara. "Tidak! Tidak!"
Ketika mencoba mengalihkan pandangannya, Jonathan melihat
sesuatu. Sesuatu yang tergenggam erat di tangan ibunya.
Jonathan meraihnya lalu membuka jari-jari yang menggembung
dan mencengkeram itu. "Ohhh!" Jonathan berseru tertahan ketika melihatnya.
Sebuah topi putih berpita biru,
"Mama! Mama!" jerit Rachel berulang kali. Dia jatuh berlutut
di depan ibunya lalu menangis tersedu-sedu.
Tanpa kata, Jonathan membantu Ezra mengangkat tubuh Jane
lalu membaringkannya di rerumputan.
Apakah ini benar-benar ibuku" tanya Jonathan dari balik tirai
air matanya. Mungkinkah ibuku sedingin dan sekaku ini"
Dia mengangkat adiknya dan membopongnya masuk ke rumah
sambil menangis tersedu-sedu.
Sekarang aku tak ragu lagi, pikir Jonathan kemudian. Keluarga
Fier memang terkena kutukan. Aku tak ingin percaya. Tapi selama ini
ternyata Papa benar. Bulu kuduknya meremang. Dalam waktu sekejap Jonathan tibatiba mengerti.


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesedihan Delilah yang tidak wajar.... Keinginannya untuk
pindah, untuk menjauhi keluarga Fier... Semuanya cocok, seperti
potongan-potongan gambar yang mulai terlihat bentuknya.
Jonathan berlari melewati ayahnya yang duduk terpuruk di
depan meja dengan kedua tangan menutupi wajahnya, lalu keluar ke
halaman depan. Wajah Rachel muncul di jendela kamarnya. "Kau mau
ke.mana?" teriaknya dari atas.
Jonathan tidak menjawab. Dia malah. berlari. Ketika menoleh,
dilihatnya Rachel mengikutinya, tetapi dia tidak berhenti untuk
menyuruh adiknya pulang. Jonathan berlari menyusuri jalan ke rumah keluarga Wilson.
Delilah ada di halaman, sedang memberi makan ayam.
Ketika melihat Jonathan, gadis itu menjatuhkan kantong bijibijian makanan ayam. Jonathan meraih tangannya dan memeganginya
erat-erat. "Delilah, kekasihku!" serunya dengan napas memburu. "Kau
harus memberitahuku. Kau harus memberitahuku, apa yang
kaurahasiakan." Delilah memandangnya, kaget.
Rachel sampai di situ, napasnya tersengal-sengal. Dia
memegangi pinggangnya yang sakit sehabis berlari kencang sekali.
Jonathan tidak memedulikan adiknya. Dia tidak peduli siapa
yang ada di situ, tidak peduli kalau ada yang bisa mendengar apa yang
telah dikatakannya. Dia harus tahu pasti bahwa dugaannya benar. Dia
harus tahu sekarang. "Aku sudah tahu rahasiamu," katanya kepada Delilah. "Tapi aku
ingin mendengar kau sendiri mengatakannya."
Dia menatap mata cokelat Delilah dalam-dalam.
"Ya," jawab gadis itu lirih. "Aku bisa melihatnya pada
wajahmu, Jonathan. Kau tahu rahasiaku yang mengerikan itu, ya
kan?" Dia memejamkan mata, sebutir air mata menetes pada pipinya.
"Aku seorang Goode," dia mengaku.
Bab 15 JONATHAN terbelalak memandangnya. Dia membuka mulut
hendak bicara, tetapi suaranya tidak keluar.
"Bagaimana mungkin kau seorang Goode?" tanya Rachel.
"Katamu namamu Wilson."
"Kami... kami mengubah nama kami," Delilah menjelaskan.
"Kami pernah tinggal di kota lain, dekat Boston. Tapi ketika kabar
tentang wabah sampar di Wickham sampai ke kota kami, tetanggatetangga mengusir kami. Mereka mendengar desas-desus bahwa
keluarga Goode-lah yang bertanggung jawab atas menyebarnya wabah
sampar itu. Jadi, mereka mengucilkan kami. Kami pindah ke barat"
dan Ayah mengganti nama kami. Kami menjadi keluarga Wilson."
Jonathan tiba-tiba pusing. Dia memijat-mijat pelipisnya dengan
jarinya. "Aku ingin mengatakan padamu bahwa namaku sebenarnya
Goode," kata Delilah. "Aku sadar, seharusnya aku berterus terang.
Tapi aku sangat mencintai kalian berdua. Aku tak ingin membuat
kalian takut. Dan kupikir mungkin... mungkin kutukan itu sebenarnya
tak ada." Dia berhenti bicara lalu memandang Jonathan.
"Kau tak mempercayai kutukan itu," katanya lembut. "Kau
sangat cerdas dan baik. Kupikir, kalau kau tak percaya, kutukan itu tak
mungkin benar." "Aku tak ingin percaya," kata Jonathan. "Aku ingin hidup
bahagia." Senyum sedih melintas di wajah Delilah. "Kurasa kita tak
mungkin menghindarinya lagi," bisiknya. "Keluargamu memang
terkena kutukan. Keluarga kita memang terkena kutukan." Dia
menelan ludah dengan susah payah. "Hanya ada satu cara untuk
menghentikannya." Jantung Jonathan berdegup lebih kencang. "Ada cara untuk
menghentikannya?" tanyanya sambil menahan napas, tidak berani
berharap bahwa itu benar. "Apa?"
Delilah menghindari tatapannya. "Ini membutuhkan
pengorbanan," katanya, wajahnya memerah. "Di pihakmu."
"Aku bersedia melakukan apa saja!" seru Jonathan. "Oh,
Delilah. Tolong katakan bagaimana caranya melenyapkan kutukan
itu." Gadis itu menghela napas panjang. "Kedua keluarga yang
berseteru itu harus bersatu. Mereka harus membuat ikatan yang tak
bisa diputus." "Bagaimana caranya?" tanya Jonathan.
"Perkawinan," jawab Delilah, masih menghindari tatapan
Jonathan. "Seorang Goode harus menikah dengan seorang Fier."
"Tapi itu gampang sekali," sela Rachel. "Kalian berdua bisa
menikah." Sambil berlutut, Jonathan menggenggam tangan Delilah dan
menciumnya dengan bahagia. "Bagaimana mungkin kau menyebut itu
pengorbanan, Delilah" Aku mencintaimu. Kau pasti sudah tahu. Aku
sangat mencintaimu dan aku akan menikah denganmu walaupun
mungkin itu akan menimbulkan kutukan baru bagiku dan bagi
keluargaku!" Air mata mengalir membasahi pipi Delilah. "Jonathan..."
Jonathan menyela. "Oh, Delilah kekasihku, sebelum kau
mengatakan sesuatu... izinkan aku meminangmu."
Gadis itu tersenyum dengan mata masih berkaca-kaca. Susah
payah dia berusaha bicara. "Aku juga mencintaimu, Jonathan,"
jawabnya lirih. "Tapi aku takut..."
"Apa yang kautakutkan?" tanyanya. "Kau tak takut padaku,
kan?" "Tidak, aku tak takut padamu. Aku takut pada kutukan itu. Aku
takut sesuatu akan terjadi... sesuatu yang mengerikan... dan
menggagalkan perkawinan kita."
"Tak ada yang dapat menghalangiku untuk menikah
denganmu!" kata Jonathan mantap sambil berdiri. "Dan untuk
memastikan itu, kita harus menikah secepat mungkin. Ayahmu bisa
menikahkan kita. Dia pendeta. Dia bisa menikahkan kita hari ini,
sebelum terjadi sesuatu."
Wajah Delilah menjadi cerah. Sambil tersenyum dia menghapus
air matanya. "Sekarang dia di gereja. Oh, Jonathan, aku bahagia
sekali! Aku tak percaya ini benar-benar terjadi."
Jonathan tersenyum kepadanya, tetapi jauh di dalam hatinya
sebuah keraguan masih mengusiknya. Benarkah perkawinan ini akan
mengakhiri kutukan itu... sekarang dan untuk selamanya"
Mungkinkah" "Kita akan jadi kakak-adik, Delilah!" seru Rachel. "Aku akan
jadi saksi dalam upacara itu."
Jonathan hampir lupa bahwa adiknya di situ. "Tidak, Rachel,"
dia menegaskan. "Pulanglah dan tinggallah bersama Papa. Papa pasti
sedang mencari-carimu sekarang.... Jangan sampai Papa
menemukanmu di sini. Pulanglah, Rachel. Cepat!"
**************** Dalam gereja kayu yang kecil Jonathan menggenggam tangan
Delilah erat-erat. Ayah Delilah, Pendeta Wilson, berdiri di belakang
altar sederhana, menghadap mereka, tangannya memegang Kitab Suci
bersampul kulit hitam yang sudah usang.
"Saya, Jonathan, menerimamu, Delilah..."
Jonathan menirukan kata-kata Pendeta, nyaris tanpa menyadari
apa yang diucapkannya. Jantungnya berdebar kencang. Satu-satunya
keinginannya adalah melewati upacara itu dengan selamat"kemudian
memeluk pengantinnya. Sekarang Delilah menirukan janji itu.
Jonathan melirik pengantinnya yang cantik. Dia berharap
ibunya masih hidup untuk menyaksikan detik-detik itu.
Upacara itu hampir selesai. Sesaat lagi aku akan resmi menikah,
pikirnya. Dan kutukan itu akan berakhir. Keluarga Fier dan keluarga
Goode akan dipersatukan. Pendeta Wilson berdeham. "Jika ada yang tahu alasan mengapa
kedua orang ini tak boleh dipersatukan dalam perkawinan yang suci,
katakan sekarang, atau dia harus merelakan hal itu."
Hening. Tiba-tiba terdengar derak keras.
Jonathan memutar badannya dan melihat pintu gereja kecil itu
terbuka. Muncul siluet seorang lelaki berlatar cahaya siang yang cerah di
luar. Apa yang dipegangnya itu" Jonathan menebak-nebak sambil
menyipitkan mata memandang ambang pintu yang membingkai
cahaya terang dari luar. Senapan" Ezra! "Hentikan!" teriak Ezra. Dia menerjang masuk ke gereja lalu
berjalan ke altar, tangannya memegang senapan.
Rachel masuk menyusul di belakangnya. "Jonathan, maafkan
aku!" teriaknya, suaranya melengking karena ketakutan. "Papa
memaksaku bicara! Maafkan aku!"
Gadis cilik itu menarik-narik lengan ayahnya dengan putus asa,
mencoba mencegahnya. Dengan kasar Ezra mendorong putrinya ke
samping dan melanjutkan berjalan ke altar. Matanya menyipit
menatap Jonathan, wajahnya kaku dan tegang karena kemarahan yang
memuncak. "Hentikan perkawinan ini!" perintahnya. Dia berhenti lalu
mengangkat senapan itu ke bahunya. "Semua Goode harus mati!"
Jantung Jonathan serasa berhenti berdetak. "Papa... jangan!"
teriaknya. Sambil menjerit putus asa dia melompat ke ayahnya dan meraih
senapan itu, mencoba merebutnya.
Mereka bergumul. Delilah mengangkat tangannya ke wajahnya sambil menjeritjerit.
"Pengkhianat!" Ezra membentak putranya dengan pahit.
"Teganya kau mengkhianati Papa!"
"Papa"berikan senapan itu!" kata Jonathan tegas.
Kedua orang itu memperebutkannya, sepatu mereka
menggesek-gesek lantai papan.
"Berikan padaku!" Jonathan memohon.
Dia menarik kuat-kuat dan berhasil merebutnya.
Ketika Jonathan terhuyung-huyung mundur sambil
memegangnya, senapan itu meletus.
"Ohhhh!" Jonathan menjerit kaget ketika letusan itu menggema
di dalam gereja. Dia mendengar jeritan tertahan.
Lalu berpaling ke altar. Delilah berdiri tegak bagai direntang dengan kawat, wajahnya
berkerut karena kaget dan kesakitan.
Noda merah muncul di bagian depan gaun putihnya.
Jonathan memandangnya tak berdaya. Noda itu melebar dan
warnanya semakin gelap. Aku sudah menembak Delilah, pikirnya.
Bab 16 "DELILAH!" Jonathan memekikkan nama itu dengan suara tercekat yang
tidak dikenalinya, dan membiarkan senapan itu terlepas dari
tangannya. Sebelum dia sempat berlari kepadanya, pelupuk mata Delilah
terpejam. Gadis itu mendesah tertahan lalu jatuh terpuruk di lantai.
Jonathan berlutut di sampingnya. "Delilah! Delilah!"
Dia memanggil-manggil gadis itu.
Tetapi, dia tahu, Delilah tak bisa mendengarnya lagi.
Darah merah segar menggenang di bawah gaun putihnya.
"Oh, Delilah," Jonathan tersedu-sedu sambil memangku
pengantinnya. Di belakangnya, Jonathan mendengar bunyik ceklik. Dia
berpaling. Ezra telah mengambil senapan itu dan sekarang
mengacungkannya ke kepala Pendeta.
"Semua Goode harus mati," kata Ezra mantap, kebencian
menyala-nyala dalam matanya.
Pendeta Wilson berlutut di samping tubuh putrinya yang sudah
tidak bernyawa. "Oh, jangan tembak aku!" dia memohon. "Jangan!"
Dengan lembut Jonathan membaringkan tubuh Delilah di lantai
lalu melangkah mendekati ayahnya. "Papa, jangan..."
Ezra mengacungkan senapan itu kepada Jonathan. "Jangan
halangi aku lagi, Nak," geramnya keras dan tajam, sekeras dan
setajam belati baja. "Kuperingatkan kau."
Jonathan tidak berkata apa-apa. Ezra kembali mengarahkan
senapannya kepada Pendeta. "Semua Goode harus mati," ulangnya.
Pendeta Wilson menangkupkan kedua tangannya seperti sedang
berdoa. "Kumohon jangan tembak aku," dia memohon lagi. "Aku
bukah seorang Goode!"
"Dustamu tak bisa mengelabuiku," bentak Ezra. "Kau takkan
dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Istriku mati gara-gara kau... dan
sekarang kau harus membayarnya dengan nyawamu."
Ayah Delilah gemetar ketakutan. "Sungguh! Aku bersumpah di
depanmu! Aku bukan seorang Goode. Delilah juga bukan seorang
Goode!" Dia berpaling kepada Jonathan dan menambahkan, "Jonathan...
dia berbohong padamu!"
Bab 17 "APA kata Anda?" teriak Jonathan tidak percaya.
"Jangan dengarkan dia, Nak," sela Ezra dingin. "Dia hanya
mencari cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri."
"Aku berkata yang sebenarnya!" pendeta itu berkeras. "Semua
ini hanya tipuan. Tipuan licik! Aku sumpah!"
Jonathan tidak menghiraukan ayahnya dan senapan itu.
"Tipuan?" ulangnya dengan lemas sambil mencengkeram jubah
Pendeta Wilson. "Tipuan?"
"Aku... aku ingin Delilah menikah denganmu, Jonathan,"
pendeta itu tergagap-gagap, matanya mengawasi senapan di tangan
Ezra. "Kau tahu, kami sangat miskin. Dan kalian sangat kaya.
Delilah... dia pulang dan bercerita tentang perseteruan kalian dengan
keluarga Goode. Aku... aku punya akal. Aku menemukan satu cara
untuk menggunakannya... menipumu agar kau mau menikah
dengannya." "Menipuku...," gumam Jonathan.
"Kupaksa dia melakukannya!" kata Pendeta. "Kupaksa dia
melakukannya." Dia memandang tubuh putrinya. Menatapnya
beberapa lama, seakan baru sadar putrinya sudah meninggal.
Kemudian, dengan tubuh gemetar, dialihkannya pandangannya.
"Delilah gadis yang baik," gumam Pendeta Wilson. "Gadis yang
baik." "Itu semua tak masuk akal!" bentak Ezra. "Bersiaplah mati,
Goode! Aku sudah menunggu terlalu lama, lama sekali"seumur
hidupku" untuk kesempatan ini. Kau takkan bisa menipuku dengan
dustamu itu. Dendamku akan terbalas."


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan, Papa," Jonathan memohon sambil mendorong laras
senapan itu ke samping. "Biarkan dia bicara."
"Kupaksa Delilah berpura-pura menjadi seorang Goode," kata
Pendeta Wilson sedih. "Tapi aku tahu kau takkan menikah dengannya
hanya karena itu. Jadi dia sengaja membuatmu mengira bahwa adikmu
yang sudah meninggal menghantuimu. Malam-malam dia membuat
suara-suara yang mengerikan. Delilah mengisi ember timbamu dengan
darah ayam. Dia membuat topi putih berpita biru, seperti yang
dilihatnya pada lukisan adikmu. Dia memanjat terali rambatan mawar
dan memperlihatkan diri di luar jendela-jendela rumahmu."
Ezra menurunkan senapan itu. Wajahnya menjadi merah padam
dan dagunya bergetar sementara dia mendengarkan.
"Delilah memancing ibumu keluar dengan topi putih berpita
biru itu," Pendeta melanjutkan dengan suara. gemetar. "Dia
melemparkan topi itu ke dalam sumur. Ibumu membungkuk hendak
mengambilnya. Dan... dia terjungkal ke dalam sumur...."
Dia menelan ludah dengan susah payah. "Delilah berusaha
menyelamatkannya, tapi tak bisa meraih ibumu."
Pendeta berhenti bicara. Napasnya memburu, dadanya bergerak
naik-turun di balik jubah hitamnya.
"Mengapa?" tanya Jonathan. "Mengapa Anda memaksa Delilah
melakukan itu semua?"
"Kami harus menakut-nakutimu agar kau putus asa," jawab
pendeta itu. "Sangat putus asa hingga kau mau melakukan apa saja
untuk menghentikan kengerian itu. Sangat putus asa hingga kau
bersedia menikah dengan Delilah. Kau tahu, kami sangat miskin.
Sangat miskin...." "Tapi aku mencintainya," kata Jonathan. "Aku memang ingin
menikah dengannya. Tanpa alasan lain kecuali cinta."
Dia berlutut di samping tubuh Delilah yang tak bernyawa.
Mulut gadis itu ternganga, meneteskan darah, membasahi dagunya.
Jonathan memandang tubuh itu, seakan itu bukan jasad gadis yang
dicintainya. Sekarang Pendeta kehilangan kontrol diri, tubuhnya bergetar
hebat. "Aku tahu, kau takkan dapat memaafkanku," dia memohon
kepada Ezra, "tapi, tapi... jangan bunuh aku!"
Wajah Ezra terkulai. Kemarahan lenyap dari matanya. Senapan
itu terlepas dari tangannya dan jatuh membentur lantai gereja.
"Istriku... putriku...," gumamnya. "Kutukan itu..."
Wajahnya kini pucat, sepucat wajah Delilah. Bibirnya yang tipis
nyaris tak bergerak ketika mendesis, "Kutukan itu. Keluarga Fier
memang terkena kutukan..."
Tangannya melayang memegang kepalanya lalu dia
mengeluarkan pekikan sedih sambil menarik-narik rambutnya yang
kelabu. Kemudian dia berlari keluar gereja sambil menjerit-jerit.
Jonathan mendengar ringkik kuda. Kemudian pekik kesakitan,
lalu derak yang mengerikan.
Bab 18 "APA itu?" teriak Jonathan, meskipun tahu jawaban atas
pertanyaannya. Dia berlari keluar. Beberapa orang berkerumun di sekeliling
seekor kuda dan sebuah wagon.
Jonathan berteriak, "Papa! Papa!" sambil menerjang dan
menguakkan kerumunan orang-orang yang terdiam itu.
"Papa!" Jonathan menjerit ketika melihat Ezra tertelentang di
tanah, dengan luka terbuka pada pinggangnya dan darah menggenang
di bawah tubuhnya. "Panggil dokter!" seseorang berteriak. "Orang ini terlindas!"
Jonathan berlutut di samping ayahnya. Sesaat mata Ezra
berputar-putar tak terfokus. Kemudian berhenti pada Jonathan.
Ezra mengangkat tangan putranya dan membiarkan tangan itu
memegang jimat peraknya. "Ambil ini," bisiknya kepada Jonathan. Dia memejamkan
matanya sesaat, mengumpulkan kekuatannya. "Jonathan..." Suaranya
melemah. "Kekuatan keluarga Fier tersimpan dalam jimat ini. Kau
harus selalu mengenakannya. Gunakan ini... gunakan ini untuk
membalas kematianku."
Ezra mengembuskan napas terakhir dengan tubuh bergetar.
Kemudian darah muncrat dari mulutnya. Matanya terbelalak, menatap
kosong tanpa nyala kehidupan.
"Papa..." Jonathan menangis. "Papa..."
Jonathan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan
tenggelam dalam kesedihannya.
Terlalu banyak yang sudah meninggal, pikirnya. Abigail,
Mama, Delilah, Papa. Semua gara-gara kutukan mengerikan itu.
Bandul kalung perak yang aneh itu berkilat-kilat memantulkan
cahaya matahari. Kutukan itu mati bersama ayahku, pikir Jonathan. Aku akan
mengakhirinya di sini, sekarang juga.
****************** Tak ada pendeta yang mau memimpin upacara pemakaman
Ezra atau mengizinkan jasadnya dimakamkan di halaman gereja. Ezra
gila dan seorang pembunuh, Pendeta Wilson memperingatkan orangorang. Akhirnya Jonathan memperabukan jenazah ayahnya. Sekarang
sisa tubuh Ezra hanyalah seonggok abu.
Rachel menangis terus sampai akhirnya tertidur karena letih.
Jonathan mendengarkan isak tangisnya dengan putus asa. Isak tangis
yang membuatnya tersiksa.
Dia duduk di depan perapian, menunggu adiknya berhenti
menangis. Akhirnya rumah itu menjadi sunyi dan Jonathan yakin
Rachel telah tertidur. Dia mengambil abu Ezra lalu menuangkannya ke dalam kotak
besi. Kemudian dia mengambil jimat itu.
Jonathan kaget ketika jimat itu terasa panas di tangannya. Dia
melihat api, api yang seakan hendak menelan dirinya.
Tetapi api itu cepat padam, secepat munculnya. Dan bandul
kalung dengan hiasan permata biru itu terasa menjadi dingin.
Jonathan mengamatinya, menimang-nimangnya di tangannya.
Kata-kata terakhir ayahnya menggema di pikirannya. "Gunakan
ini"untuk membalas kematianku."
Tidak, pikir Jonathan. Tak ada lagi balas dendam. Tak ada lagi
perseteruan. Tak ada lagi kutukan.
"Maaf, Papa," bisiknya. "Tapi aku takkan membiarkan keluarga
kita menderita lagi. Masih ada Rachel...."
Dia membayangkan adiknya, tidur sendirian di kamarnya di
lantai atas. Adiknya itu telah mengalami berbagai peristiwa
menyedihkan. Tapi mungkin dia masih punya kesempatan untuk
hidup bahagia. Ya, semoga saja, Jonathan berharap. Dia akan
melakukan apa saja demi kebahagiaan adiknya.
Yang pertama, dia memutuskan, adalah membuang jimat ini.
Dia menjatuhkan jimat itu ke dalam kotak besi. Jimat itu jatuh
tanpa suara ke atas tumpukan abu Ezra. Jonathan menutup kotak besi
itu dan menguncinya. Kemudian dia mengambil lentera dari gantungannya di dekat
perapian. Dia keluar, ke kegelapan malam. Dia berlutut di bawah
pohon apel. Dengan sekop dia mulai menggali tanah lunak.
Dia berhenti menggali lalu memasukkan kotak besi itu ke
lubang. Kemudian ditimbunnya lubang itu dengan tanah.
Kotak besi ini peti mati Papa, pikir Jonathan. Lubang yang tak
dalam ini makamnya. Peristiwa rahasia tanpa kehadiran siapa-siapa ini
upacara pemakamannya. Papa dan jimat terkutuk itu akan terkubur untuk selamalamanya.
Jonathan selesai menimbun lubang lalu meratakan tanahnya.
Dia tidak meninggalkan apa pun untuk menandai tempat itu.
Selesai, pikir Jonathan. Dia berdiri dan membersihkan
tangannya dari tanah. Inilah akhir kisah mengerikan itu. Kutukan itu
sudah mati. Perseteruan sudah selesai.
Keluarga Fier dan keluarga Goode takkan menderita lagi.
Desa Shadyside 1900 SEKUJUR tubuh Nora menegang ketika dia memasang telinga
baik-baik, Dia menahan napas ketika langkah-langkah di selasar itu
semakin mendekati kamarnya. Dia menunggu langkah-langkah itu
berhenti di depan pintu kamarnya...
Tetapi langkah-langkah itu tidak berhenti.
Dia mengembuskan napas lega, kemudian mengambil pena dan
mulai menulis lagi. "Jonathan Fier berharap dapat menguburkan kutukan itu
bersama abu Ezra," tulisnya. "Dan kelihatannya dia berhasil. Kutukan
itu terkubur selama seratus tahun. Selama seratus tahun keluarga
Goode dan keluarga Fier hidup dalam damai.
"Bahkan, perseteruan itu telah dilupakan. Anak-anak tumbuh
dewasa tanpa pernah mendengar tentang kisah-kisah yang mengerikan
itu. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kutukan atas kedua keluarga
itu." Tapi tak mudah mengakhiri kutukan, pikir Nora.
Cucu dari cucu Jonathan Fier, seorang gadis belia, tanpa sadar
telah membangunkan kutukan itu. Setelah tertidur selama seratus
tahun, kekuatan jahat itu bahkan menjadi semakin kuat.
Nora meraba bandul kalung di lehernya. Oh, pikirnya sedih,
andai saja jimat ini tetap terkubur untuk selamanya....
BAGIAN TIGA Massachusetts Barat 1843 Bab 19 SAYANG sekali pohon apel tua ini mati, pikir Elizabeth Fier.
Dia berjongkok dalam balutan pakaian berkebun warna hijau,
sedang menggali-gali tanah subur yang hitam. Sarung tangan kulit
yang kuat melindungi tangannya. Pohon apel itu mati, dan abangnya,
Simon, telah menebangnya.
Sekarang ada tempat kosong di halaman belakang. Elizabeth
melihat tempat itu kosong dan tidak menarik.
Tapi aku akan mengubahnya, pikirnya sambil membetulkan topi
jerami yang menutupi rambut panjangnya yang cokelat tua. Aku akan
membuat kebun bunga yang lebih indah daripada pohon apel tua itu.
Aku akan menanam pansy dan snapdragon di sini.
Sambil bekerja dia menyenandungkan nada-nada yang baru saja
diajarkan ibunya dengan piano. Dia berhenti bersenandung ketika
sekopnya menyentuh sesuatu yang keras di dalam tanah. Dia
menyingkirkan tanah dengan sekopnya, kemudian melongok ke dalam
lubang. Ada sesuatu yang dikuburkan di sini, pikirnya. Mungkin harta
karun! Suara di dalam hatinya mengatakan itu hanya akar pohon tua
yang sudah mati. Tetapi Elizabeth bertekad membuktikannya.
Digalinya di seputar bagian yang keras itu dan disingkirkannya
tanah dengan tangannya. Diketukkannya sekop pada benda itu. Klang.
Terdengar bunyi logam membentur logam.
Beberapa saat kemudian dia mengangkat sebuah kotak besi.
Ada gembok berat yang menguncinya, tapi kotak itu sudah berkarat
dan engselnya sudah patah.
"Elizabeth!" panggil ibunya dari ambang pintu dapur. "Kemari
dan cuci tanganmu! Makan malam sudah siap."
Elizabeth berteriak menyahut, "Sebentar lagi, Ibu."
Kotak besi yang sudah karatan itu membuatnya penasaran. Apa
isinya" dia menebak-nebak. Mungkin kotak ini penuh harta karun.
Dengan hati-hati dia membuka tutupnya yang karatan lalu
melongok isinya. Butir-butir kasar debu abu-abu menutupi dasar kotak
itu. Elizabeth melepas sarung tangannya lalu meraba-raba debu itu.
Dia menyentuh sesuatu Benda itu sebuah cakram perak yang tergantung pada rantai
perak. Sebuah cakar perak berjari tiga mencengkeram bagian atasnya.
Benda itu dihiasi empat permata biru. Di baliknya Elizabeth melihat
ada tulisan tertera: Dominatio per malum.
Bahasa Latin, pikir Elizabeth. Tapi dia tidak mengerti arti katakata itu. Mungkin Simon tahu.
Aneh benar kalung ini, pikirnya. Tapi aku menyukainya.
Dia berdiri lalu lari masuk rumah sambil menggenggam kalung
itu. Ayahnya, Samuel Fier, kakaknya dan abangnya, Kate dan Simon,
sudah duduk mengelilingi meja makan.
Senja di akhir musim semi itu udara terasa hangat, tetapi api
dinyalakan di perapian tua yang terbuat dari bata. Rumah itu sangat
tua dan sudah menjadi milik keluarga Fier selama seratus tahun.
Samuel Fier dan keluarganya hidup makmur di rumah itu.
"Cuci tanganmu, Elizabeth," kata ibunya, Katherine. Wanita itu
gemuk, manis, dan berwajah bulat. Rambutnya cokelat muda.
Elizabeth menuangkan air segar ke dalam baskom cuci tangan
lalu membasuh tangannya. Ibunya meletakkan sepiring daging kalkun yang sudah diiris-iris
di atas meja sambil berkata, "Kuharap kau tak berkebun sampai terlalu
sore, Elizabeth. Kau jadi tak sempat ganti pakaian untuk makan
malam." "Maaf, Ibu," jawab Elizabeth sambil berjalan ke meja. Dia
menunjukkan cakram perak itu. "Lihat apa yang kutemukan," katanya.
"Aneh, ya?" Kate memandang bandul kalung itu dengan sikap tidak peduli
dan berkata, "Jelek."
Umur Kate tujuh belas, setahun lebih tua daripada Elizabeth.
Warna rambut cokelatnya dan mata birunya, lebih muda dari warna
rambut dan mata Elizabeth. Tetapi dia dan adiknya sama-sama
berkulit pucat dan berbibir merah segar.
Abang mereka, Simon, berumur delapan belas. Tubuhnya
sangat jangkung dan kurus, wajahnya tirus, bibirnya tipis, dan
rambutnya hitam. Matanya juga hitam.
Simon mengamati bandul kalung itu sementara Elizabeth
mengayun-ayunkannya di depannya. "Di mana kautemukan itu?" dia
Sumpah Palapa 25 Seruling Sakti Karya Didit S Andrianto Setan Selaksa Wajah 2
^