Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 9

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 9


bagian bawahmu masih kosong apabila menghadapi
seorang lawan tangguh engkau bakal celaka. Beginilah
seharusnya ..." Setelah berkata demikian, Kyahi Sambang Dalan
lantas menurunkan ilmu sakti Sardula Jenar bagian
bawah. Serunya melanjutkan:
"Sekarang, hayo kau tirukan!"
Lingga W isnu segera menirukan gerakan gurunya.
Berkat kecerdasan otaknya, ia dapat mengerti dengan
cepat sekali. Dengan penuh tekun ia menyelami dan
mendalami sehingga dalam waktu satu hari saja,
pengertiannya bertambah pesat.
Bersambung ke jilid 5. 00-dw-00 Siapakah Kyahi Sambung Dalan sebenarnya" Ada
hubungan apakah antara Kyahi Sambung Dalan dengan
Kyahi Basaman" Bagaimana dengan nasib Lingga W isnu selanjutnya"
Apakah tongkat mustika itu memang ada" Dan siapakah
pemilik t ongkat mustika yang sesungguhnya"
Nantikanlah t erbitnya jilid ke 5.
00-dw-00 Jilid 5 Selanjutnya, semenjak hari itu tak pernah Lingga
W isnu mengabaikan ajaran-ajaran gurunya meskipun
sesaat saja. Tak terasa tiga tahun telah lewat. Usia
Lingga W isnu kini sudah mencapai tujuh belas tahun.
Racun Pacarkeling yang mengeram di dalam tubuhnya
sekali-kali kumat pula. Akan tetapi berkat obat pemunah
buatan Palupi, dapatlah ia mengatasi. Malahan tubuhnya
kini menjadi kuat sekali. Ia tumbuh menjadi seorang
yang tegap dan gesit geraK geriknya.
Seperti biasanya, Kyahi Sambang Dalan pada saat-saat
tertentu turun gunung selama dua atau tiga bulan. Setiap
kali akan bepergian, selalu ia mengajari pelbagai ilmu
sakti. Apabila ia pulang lantas meniliknya. Setelah
merasa puas ia memberi tambahan lagi. Demikianlah,
hatinya puas karena memperoleh seorang murid yang
rajin sekali dan berotak cerdas luar biasa.
Pada waktu itu tahun 1752. Pada suatu hari Kyahi
Sambang Dalan mengeluarkan sebuah lukisan. Ia
memberi hormat kepada lukisan itu. Ia memerint ahkan
pula kepada Lingga W isnu agar berbuat demikian.
Kemudian berkatalah dia dengan suara terang :
"Lingga, tahukah engkau siapa beliau" Beliau adalah
mendiang kakek guruku. Nama beliau, Jaka Puring,
pendiri rumah perguruan Sekar Teratai in i. Dan tahukah
engkau apa sebab pada hari ini engkau kuperint ahkan
memberi hormat kepada cikal bakal Sekar Teratai?"
Lingga W isnu menggelengkan kepala.
Kyahi Sambang Dalan kemudian masuk kedaiam
kamarnya. Ia keluar lagi monbawa peti kayu berukuran
panjang. Peti itu diletakkan di atas meja. Apabila
tutupnya dibukanya, berkeredeplah suatu sinar gemerlapan. Sinar itu begitu menyilaukan mata. Lingga
W isnu menjenguknya, dan ia kaget tatkala melihat
sebatang pedang yang panjangnya sembilan puluh tiga
sentimeter. "Apakah guru bermaksud hendak mengajariku ilmu
pedang?" ia menegas dengan suara gemetar.
Kyahi Sambang Dalan manggut. Ia mengeluarkan
pedang tajam itu dan memberi perint ah dengan suara
angker: "Kau berlututlah! Dan dengarlah perkataanku!"
Hati Lingga Wisnu tergetar. Selama t iga t ahun menjadi
murid, baru pada hari itu ia mendengar gurunya bersikap
angker dengan mendadak. Keruan saja ia lantas
bersimpuh di hadapannya. "Pedang, adalah raja dari pelbagai ratusan macam
senjata." Kyahi Sambang Dalan mulai. "Tetapi pedang
merupakan senjata yang paling sukar diajarkan dan
dipelajari. Tetapi engkau berotak cerdas dan hatimu
keras pula. Aku yakin bahwa engkau sanggup manpAaj
arinya. Ilmu pedang kaum kita, kaum Sekar Teratai,
sudah beralih tiga kali d itangan ahliwarisnya. Syukur
alhamdulillah, makin lama ilmu pedang Sekar Teratai
makin memperoleh kemajuan. Pada umumnya, seorang
guru biasanya merahasiakan satu ilmu pukulan yang
menentukan terhadap ahliwarisnya, untuk berjaga jaga
diri. Dengan demikian, ahliwaris yang di kemudian hari
melahirkan angkatan-angkatan baru makin lama makin
bertambah kurang kepandaiannya. Syukurlah kita tidak
memilih cara demikian. Kita tidak perlu berjaga-jaga
menghadapi murid-murid, asal saja sebelum kita
menerima murid harus mengkajinya benar-benar. Setelah
memperoleh seorang murid, yang tiada celanya, semua
rahasia ilmu warisan Sekar Teratai harus diwariskan
dengan sepenuh-penuhnya. Bahkan di anjurkan agar
tiap-tiap ahliwaris pedang ini. di kemudian hari harus
dapat menambahi dan melengkapi ilmu-ilmu sakti yang
sudah diwarisinya. Dengan demikian, pada tiga ratus
atau empat ratus tahun kemudian, apabila ahliwaris
Sekar Teratai melahirkan zaman baru, jad i bertambah
maju. Ilmu pedang kita memang sulit untuk dipelajari.
Tetapi apabila engkau sudah memahami, di dunia ini
tiada tandingnya lagi. Mulai pada hari in i, aku hendak
mengajarimu ilmu pedang. Akan tetapi engkau harus
bersumpah terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan
membunuh seseorang yang tidak berdosa atau
bersalah!" Dengan bersembah Lingga W isnu menyahut :
"Pada hari in i, guru hendak mewariskan ilmu pedang
kepadaku. Apabila dibelakang hari aku membunuh
seseorang yang sama sekali t idak bersalah atau berdosa,
biarlah aku terbunuh pula oleh seseorang."
"Bagus!" seru gurunya. "Nah, bangunlah!"
Lingga W isnu bangkit dan berdiri dengan t egak. Kata
gurunya lagi ": "Aku tahu, engkau berhati mulia. Tidak bakal engkau
membunuh seseorang tanpa alasan tertentu. Hanya saja,
masalah dunia ini sangat rumit. Benar atau salah sukar
dibukt ikan, hanya t ulen dan palsu, lambat laun akan kau
ketahui juga. Karena itu mulai saat ini engkau harus
belajar bisa membedakan antara yang benar dan yang
palsu. Asal hatimu jujur, bersih dan penuh cinta kasih
pada setiap insan, aku percaya di kemudian hari, engkau
tidak akan main bunuh terhadap seseorang yang sama
sekali tidak bersalah atau berdosa. Karena itu kau ingatingatlah pesanku tadi!
Jujur, bersih dan cinta kasih!"
Lingga W isnu memanggut. "Sekarang, kau lihatlah!" akhirnya Kyahi Sambang
Dalan mengakhiri khot bahnya.
Dengan sebat ia memegang hulu pedang dengan
tangan kanannya. Kemudian tangan kirinya diletakkan di
atas bagan pedang itu, dan mulailah ia melakukan jurusjurus ilmu pedang Sekar
Teratai. Pedang yang bergemerlapan itu lantas saja menyinarkan cahaya
berkilauan. o))00-dw-00((o 1. Warisan Aneh Sudah tiga t ahun Lingga W isnu berguru kepada Kyahi
Sambang Dalan. Baik pendengran maupun penglihatannya jauh melebihi Aria Puguh dan gurugurunya yang lampau. Meskipun
demikian, ia tak dapat mengikuti gerakan pedang Kyahi Sambang Dalan yang
cepat luar biasa. Yang tertangkap oleh penglihatannya
hanya berkelebatnya sinar berkilauan menyilaukan kedua
matanya. Tahu-tahu kesiur angin tajam lewat di depan
hidungnya. Dan pedang itu tertancap bergetaran pada
batang pohon yang berada di depan pertapaan. Itulah
tenaga lemparan yang luar biasa dahsyatnya. Lingga
W isnu kagum sampai t ernganga mulutnya.
"Bagus!" seru seseorang yang berada di belakang
punggung Lingga W isnu. Lingga W isnu kaget sampai berjingkrak. Selama tiga
tahun berada di atas gunung, tiada suara lain yang
didengarnya, kecuali suara guru dan si gagu. Sekarang,
dengan mendadak saja, ia mendengar suara asing bagi
pendengarannya. Dan suara itu tiba-tiba saja muncul di
sebelah belakang punggungnya. Keruan saja ia kaget
dan heran. Cepat ia berpaling. Dan di depan matanya
berdiri seorang laki-laki mengenakan pakaian pendeta.
Laki-laki itu berkumis jembros dan juga berjenggot
sejadi-jadinya. Seperti rambut nya, kumis dan jenggotnya
sudah putih semua. Dengan kedua matanya yang bulat
bundar, ia tersenyum berseri-seri. Kedua tangannya
digendongnya di belakang punggung, sehingga sikapnya
mirip seorang majikan besar.
Pendeta itu berjubah abu-abu. Setelah memuji Kyahi
Sambang Dalan, ia berkata:
"Barangkali, sepuluh tahun lebih aku tidak melihat
engkau menggunakan pedangmu. Sama sekali tak
kusangka, engkau t elah memperoleh kemajuan demikian
rupa!" Kyahi Sambang Dalan t ertawa lebar. Sahutnya :
"Kakang Gumbrek! Malaikat mana yang telah
membawamu sampai ke mari" Eh, Lingga! Cepat engkau
bersembah kepada beliau!"
Lingga W isnu segera menghampiri Ki Ageng Gumbrek.
Dan kemudian berlut ut dihadapannya Lalu bersembah.
Akan t etapi buru-buru Ki Ageng Gumbrek mencegah. Ia
membangunkan Lingga W isnu seraya menolak :
"Jangan! Jangan! Jangan begitu! Aku bukan raja atau
keturunan malaikat!" ia berkata dengan tertawa lebar
seraya membungkuk hendak menolong Lingga W isnu
bangun. Akan tetapi Lingga W isnu tidak membiarkan dirinya
kena angkat. Sebagai biasanya, seseorang yang
mengetahui tentang ilmu sakti, secara wajar ia lantas
mengerahkan tenaga saktinya. Itulah sebabnya, tidak
mudah Ki Ageng Gumbrek mencegah pemberian
hormatnya. Orang tua itupun hanya hendak mencobanya. "Sambang Dalan!" kata Ki Ageng Gumbrek kemudian.
"Telah sepuluh tahun lamanya tak pernah aku bertemu
denganmu. Tak tahunya, engkau mengeram di sini unt uk
mendidik muridmu. Inilah suatu karunia besar bag imu.
Pada saat engkau menjangkau hari akhirmu, masih b isa
engkau memperoleh seorang murid berbadan bagus
sekali." Kyahi Sambang Dalan girang atas pujian Ki Ageng
Gumbrek. Dengan sahabatnya itu, seringkali ia bersenda
gurau. Serunya senang: "Kakang Gumbrek! Engkau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Kalau aku memperoleh karunia
Tuhan, pastilah engkau akan memperolehnya pula.
Soalnya kini, tinggal menunggu waktu saja!"
"Hai, hai! Engkau pandai pula berkhotbah!" kata Ki
Ageng Gumbrek sambil t ertawa.
"Sayang, pada hari in i sama sekali aku tak beruang.
Dengan cuma-cuma saja terpaksa aku terima sembah
muridmu ini. Apa yang harus kubayarkan?"
Mendengar perkataan Ki Ageng Gumbrek, hati Kyahi
Sambang Dalan tergerak. Teringatlah dia, bahw a Ki
Ageng Gumbrek memiliki ilmu kepandaian luar biasa
tingginya. Alangkah baiknya, seumpama dia sudi
mewariskan salah satu dari ilmu kepandaiannya itu
kepada Lingga W isnu. Hanya saja, selama h idupnya tak
sudi ia menerima murid. Dengan ingatan demikian, Kyahi Sambang Dalan
berkata kepada Lingga W isnu :
"Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrek berjanji kepadamu
hendak memberi hadiah kepadamu. Hayoo, cepatcepatlah bersembah mengaturkan
terima kasih." Lingga W isnu benar-benar seorang pemuda cerdik.
Segera ia mengerti maksud gurunya. Maka cepat-cepat ia
bersembah sambil mengucapkan terima kasih.
Ki Ageng Gumbrek tertawa terbahak bahak. Katanya :
"Bagus, bagus! Tetapi, untuk dapat menjadi manusia
engkau harus berhati jujur dan polos! Jangan engkau
mencontoh pekerti gurumu yang tebal kulit mukanya.
Betapa tidak" Begitu mendengar aku hendak memberikan sesuatu, belum-belum ia sudah memaksamu
menghaturkan terima kasih. Tetapi, tak apalah! Pada hari
ini, hatiku sangat gembira. Biarlah aku memberimu
sebuah kenang-kenangan"
Setelah berkata demikian, ia meraba jubahnya. Lalu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan sebungkus kain. Apabila Lingga W isnu
membukanya, ternyata gumpalan kain itu berupa baju
berwarna hitam mirip kaos. Bahannya seperti dari kulit.
Akan tetapi mengkilat seperti sutera.
Selama hidupnya, baru pada hari itulah, Lingga W isnu
melihat baju berbahan demikian. Tentu saja ia menjadi
terharu hatinya, tatkala menerima hadiah yang tak
pernah dimimpikannya. "Kakang Gumbrek! Jangan engkau bergurau!" tegur
Kyahi Sambang Dalan. "Bagaimana engkau menyerahkan
baju mustika itu kepada anak ini?"
Ki Ageng Gumbrek tidak menggubris. Sebaliknya, men
dengar ucapan gurunya, Lingga W isnu terkesiap. Jadi,
pikirnya di dalam hati. Baju mirip kaos itu, sebuah baju
mustika" Cepat-cepat ia mengangsurkannya kembali kepada Ki
Ageng Gumbrek. Tetapi orang tua itu menolak. Katanya :
"Aku tidak sekikir gurumu. Kalau aku sudah
memberikan sesuatu kepada seseorang, tidak akan
kut arik kembali. Nah, ambillah!"
Masih saja Lingga W isnu tidak berani menerima
pemberian hadiah itu. Ia berpaling kepada gurunya.
"Jikalau begitu kehendakmu, baiklah. Nah, Lingga!
Kau terimalah hadiah itu. Dan bersembahlah menghaturkan terima kasihmu."
Lingga W isnu menurut. Ia bersembah sekali lagi
sambil menghaturkan rasa terima kasih. Lalu dengan
wajah sunpguh-sungguh, Kyahi Sambang Dalan berkata
kepadanya : "Lingga. Sesungguhnya inilah sebuah baju mustika
yang tiada taranya. Konon kabarnya, baju ini dahulu milik
Empu Kapakisan. Untuk memperoleh baju mustika itu, Ki
Ageng Gumbrek telah mempertaruhkan jiwanya sendiri
pula!" Kali inipun Lingga W isnu menurut. Segera ia
mengenakan baju mustika itu. Dan sambil berjalan, Kyahi
Sambang Dalan menghampiri pohon untuk mencabut
pedangnya. Ujarnya : "Baju mustika Bnpu Kapakisan itu, semenjak dahulu
kebal terhadap semua senjata tajam."
Diluar dugaan, setelah berkata demikian, tiba-tiba ia
menyabatkan pedangnya ke pundak Lingga W isnu.
Keruan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Hendak
ia mengelakkan diri, akan tetapi sudah terlambat. Dalam
hal kesebatan Lingga W isnu masih kalah terlampau jauh
dari pada gurunya. Satu-satunya jalan yang dapat di
lakukan hanyalah melompat. Namun pada saat itu
pundaknya telah kena sabatan pedang. Ia kaget
bercampur heran dan girang, tatkala dirasakannya
sabatan itu sangat ringan. Dan pedang itupun terpental
balik. Sedang Lingga W isnu sendiri sama sekali tak
terluka. Maka dengan serta merta untuk ke sekian
kalinya ia bersembah lagi kepada Ki Ageng Gumbrek.
Ki Ageng Gumbrek tertawa lebar. Katanya:
"Baju mustikaku sangat buruk. Tatkala engkau
bersembah kepadaku, pastilah engkau bersembah hanya
menuruti perint ah gurumu. Tetapi kali ini, aku tahu
hatimu benar-benar puas. Bukankah begitu?"
Merah muka Lingga W isnu kena sindir Ki Ageng
Gumbrek. Meskipun demikian, hatinya penuh haru,
girang dan hormat. Kembali lagi ia bersembah.
Ki Ageng Gumbrek tidak memperdulikan pekerti
Lingga W isnu. Ia berkata lagi :
"Beberapa kali, baju mustika itu telah menolong
jiwaku. Sekarang, kuberikan kepadamu. Asal saja,
gurumu t idak mengganggu diriku. Di dunia ini, tidak ada
seorangpun yang dapat melukai diriku, meskipun aku
tidak mengenakan baju mustikaku lagi."
Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek tertawa
berkakakan. Rupanya ia sangat puas. Dan ityahi
Sambang Dalan pun tertawa. Ia berkata pula :
"Hai, pendeta bangkotan! Kau menjual cerita gede di
depan muridku. Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat
aku melawanmu. Akan tetapi dikolong langit in i memang
banyak sekali orang-orang yang berkepandaian sangat
tinggi." Ki Ageng Gumbrek tersenyum. Sahutnya:
"Akh! Kita berdua tak boleh menggunakan pedang
atau senjata tajam lainnya. Mari, kau ambillah kecapimu,
dan aku akan membawa serulingku!"
"Apakah kita akan mengadu kepandaian dengan
kecapi dan seruling?" Kyahi Sambang Dalan tertawa.
"Benar," sahut Ki Ageng Gumbrek tertawa gelak.
"Caramu memetik kecapi, benar-benar membuat hatiku
ketajlhan mendengarkannya."
"Baiklah!" jawab Kyahi Sambang Dalan. "Telingaku ke
tagihan pula mendengarkan tiupan serulingmu. Kau
datang dari jauh dan sudi mendaki gunungku. Tak bakal
aku mengecewakan hatimu. Hai, apakah kau membawa
pula tempurung nasi dan tempat minum?"
Mereka berdua lantas sibuk dengan keakhliannya
masing-masing. Ki Ageng Gumbrek meniup seruling. Dan
Kyahi Sambang Dalan memetik kecapinya. Perpaduan
keakhliannya masing-masing serasi dan selaras, sehingga
membersitkan suatu pendengaran yang indah. Mereka
bermain terus-menerus tiada henti-hentinya sampai jauh
malam hari. Sedang si gagu yang menyelenggarakan
makan minumnya. Selama itu Lingga W isnu menunggu disamping
mereka, sama sekali ia tak mengerti permainan mereka.
Meskipun demikian, lantaran bisa menangkap keindahan
dan kemerduannya, ia mencoba mengerti dengan
mengamat-amati gerak jari-jari gurunya mementil t ali-tali
kecapi. Gurunya lant as mengajari cara memetik kecapi.
Ilmu memetik kecapi terbagi dalam kelompok
kelompok perpaduan nada. Tegasnya, selain memperindah gaya lagu, ikut serta menentukan
iramanya. Karena tidak mengutamakan lagu, tatalagunya berbeda dengan ilmu meniup
seruling. Nampaknya mudah dipelajari, tetapi sesungguhnya
untuk menjadi seorang ahli, sulit liku-likunya. Sebab
apabila belum mengenal lagunya terlebih dahulu, akan
sulit menentukan keserasiannya. Namun Lingga W isnu
mempunyai pembawaan alamiah yang luar b iasa. Sekali
mendengar dan sekali melihat ia sudah paham likulikunya. Ia tertarik karena
liku-likunya berkesan seolaholah kelompok tata-mus lihatnya yang diatur dalam
jurus-jurus pula. Tatkala Ki Ageng Gumbrek dan gurunya
beristirahat, ia menekuni dan mercoba menyelami.
Menjelang fajar hari, jari-jarinya mulai bisa bergerak
dengan lancar. Ki Ageng Gumbrek benar-benar seorang yang
keranjingan dalam hal seni lagu. Mendengar irama kecapi
Lingga W isnu yang mulai bisa dinikmati, terus saja ia
terbangun. Tanpa segan-segan ia membangunkan Kyahi
Sambang Dalan dan berkata mengajak :
"Mari! K ita bermain lagi!"
Kyahi Sambang Dalan tertawa geli menyaksikan
tetamunya yang tak lelah itu. Sahutnya :
"Aku tak bersemangat lagi untuk mengiringi lagumu.
Kau beristirahatlah dahulu!"
Terpaksallah Ki Ageng Gumbrek beristirahat. Akan
tetapi di dalam kamar peristirahatannya, pendengarannya selalu terganggu oleh petikan kecapi
Lingga W isnu. Tertatih-tatih ia bangun lagi dan
menghampiri pemuda itu. Kemudian ia mencoba
menerangkan bagaimana caranya memetik kecapi. Ia
membagi tangga nada menjadi t iga bagian. Dan masingmasing
pembagian tangga nadanya mempunyai beberapa kelompok-kelcmpok iringan lagu. Semuanya itu
diajarkan dengan tulus ikhlas kepada Lingga Wisnu.
Semenjak itu Lingga W isnu mulai belajar memetik
kecapi dengan sungguh-sungguh. Tiga hari t iga malam ia
bertekun. Dan selama itu gurunya dan Ki Ageng
Gumbrek berbicara terus-menerus mengenai seni sambil
sekali-kali meniup seruling dan memetik kecapi. Pada
hari ke empat, Kyahi Sambang Dalan berkata kepada Ki
Ageng Gumbrek: "Pada hari in i biarlah kita beristirahat dahulu. Aku
harus mengajarkan ilmu pedang kepadanya terlebih
dahulu." Alasan itu kuat, sehingga Ki Ageng. Gumbrek tak
dapat menawar-nawar lagi. Tetapi menunggu Kyahi
Sambang Dalan memberi pelajaran ilmu pedang kepada
Lingga W isnu, dirasanya sangat membosankan. Tak
mengherankan, begitu Kyahi Sambang Dalan selesai
memberi pelajaran, segera ia menarik t angan sahabatnya
itu dan diajaknya bertempur melalui seruling dan
kecapinya. "Mari! Kita bermain lagi!" ajaknva dengan penuh
napsu. Kyahi Sambang Dalan sebenarnya lelah. Akan tetapi
karena tak sampai hati mengecewakan sahabatnya itu,
terpaksalah ia melawani. Begitulah terjadi satu bulan
lebih. Setiap kali selesai melatih muridnya haruslah ia
menyediakan waktu untuk melayani tetamunya. Apabila
Kyahi Sambang Dalan nampak kurang semangat sedikit
saja, tetamunya itu menjadi seperti tersiksa. Dan
semuanya itu tak pernah lepas dari perhatian Lingga
W isnu. Oleh rasa iba terhadap gurunya, setiap kali
memperoleh kesempatan, terus saja ia berlatih. Dalam
sebulan itu, ternyata ia sudah mahir.
Pada suatu hari, menjelang fajar, ia memetik
kecapinya. Tahu-tahu Ki Ageng Gumbrek sudah berada di
belakangnya meniup serulingnya. Inilah kejadian yang
sangat menggembirakan. Maka dengan hati-hati dan
seksama, Lingga W isnu lalu mengiringkan tiupan lagu Ki
Ageng Gumbrek. Ternyata sama sekali ia tidak salah. Keruan saja Ki
Ageng Gumbrek menjadi bertambah semangat. Pujinya :
"Eh, anak! Engkau benar-benar cerdik. Kalau engkau
berlatih terus menerus, pastilah dapat mengalahkan
gurumu." Dua tiga kali Ki Ageng menguji. Ia meniup lagu
Asmaradana, Dandanggula dan Pangkur. Semuanya
dapat di ringkan kecapi Lingga W isnu dengan sempurna.
Memperoleh kenyataan ini, lantaran rasa girang yang
meluap-luap, Ki Ageng Gumbrek berkata :
"Baiklah kita atur begini saja sekarang, set iap kali
engkau dapat mengiringkan tiga laguku, aku akan
mengajarimu semacam ilmu kepandaian. Bagaimana"
Setuju atau tidak?" "Biarlah aku mint a pendapat guruku terlebih dahulu,"
sahut Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrekpun tahu, seorang murid tak boleh
melancangi gurunya. Maka ia menyetujui. Katanya :
"Baik. Kau t anyalah kepada gurumu!"
Lingga W isnu lari mencari gurunya. Ia mengabarkan
kehendak Ki Ageng Gumbrek. Tentu saja Kyah i Sambang
Dalan girang bukan kepalang. Itulah yang diharapharapkannya semenjak sebulan
yang lalu. Ia tahu Ki Ageng Gumbrek seorang pendekar yang berilmu
kepandaian tinggi. Hanya saja tabiatnya aneh. Tak
senang ia menerima murid. Sebaliknya apabila sekali
sudah berjanji t entu akan ditepatinya. Dan hal itu terjadi,
karena orang tua itu begitu ketagihan mendengarkan
permainan perpaduan suara antara kecapi dan seruling.
Lantas saja Kyahi Sambang Dalan menarik tangan
Lingga W isnu dan diajaknya menghadap Ki Ageng
Gumbrek. Ia menyuruh muridnya bersembah untuk
menghaturkan rasa terima kasih. Kemudian dfua sendiri
berkata kepada Ki Ageng Gumbrek :
"Kakang Gumbrek! Engkau hendak menyempurnakan
ilmu kepandaian muridku. Akupun menghaturkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepadamu."
Dalam pada itu Lingga W isnu sudah berlimbah. T etapi
buru-buru Ki Ageng Gumbrek menolaknya. Katanya :
"Jangan, jangan! Aku tidak menerimamu sebagai
murid. Apabila engkau menghendaki pelajaranku, engkau
harus mengiringkan tiga laguku terlebih dahulu.
Bukankah ini suatu jual-beli" Dimana ada pembicaraan
antara guru dan murid?"
Kyahi Sambang Dalan tertawa. Dengan cepat ia
menyahut : "Apakah maksudmu, engkau berkata seperti itu?"
"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu pukulan, dikolong
langit in i engkau tiada lawannya. Aku takluk kepadamu,
sebaliknya dalam hal ilmu berlari dan menyambitkan
senjata bidik, aku kira ilmu kepandaianku tidak
mengecewakan." "Memang siapapun tahu, bahwa engkau anak siluman!
Hanya saja ilmu kepandaianmu yang istimewa itu jangan
kau bualkan disini," kata Kyahi Sambang Dalan sambil
tertawa gelak.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah engkau mencela kepandaianku?" ujar Ki
Ageng Gumbrek agak kurang senang.
Kyahi Sambang Dalan t ertawa. Sambil menggelengkan
kepalanya, ia menyahut : "Di dalam dunia ini, siapakah yang dapat menandingi
ilmu berlarimu" Engkaupun seorang ahli senjata bidik
yang tiada tandingan. Karena itu, kami berdua
mengucapkan rasa terima kasih kepadamu."
Ki Ageng Gumbrek dapat dibuat mengerti.
Ia pun lantas tertawa. Katanya:
"Bukankah adil pertimbanganku" Setiap kali muridmu
mengiringkan tiga laguku, aku lantas memberi pelajaran
sejurus dua jurus kepadanya."
"Engkau tidak hanya adil. Malahan bermurah budi
pula," sahut Kyahi Sambang Dalan cepat. Dan setelah
berpikir demikian, ia berpikir di dalam hati:
'Pendekar bangkotan ini benar-benar licik dan lucu.
Akan tetapi dia seorang laki-laki sejati. Sekali
menyanggupkan diri, ia tak akan menarik janjinya
kembali. Inilah suatu rezeki besar bagi Lingga W isnu.'
Laju berkata memutuskan: "Baiklah kita atur begini saja. Yang kukhawatirkan
adalah justru Lingga W isnu. Jangan-jangan ia menyianyiakan waktunya yang sangat berharga. Karena
itu, setiap kali sudah mengiringkan tiga lagumu, engkau harus segera mengajarkan sesuatu kepadanya. Dengan demikian, ia tidak akan sia-siakan kesempatan yang bagus ini. Sekarang, engkau boleh meniup seruling sesuka hatimu. Delapan atau sepuluh kali, masa bodo!" Ki Ageng Gumbrek girang bukan kepalang. Demikian pula Lingga W isnu.
Tanpa sia-siakan waktu lagi, mereka berdua lantas
mengambil tempatnya masing-masing. Ki Ageng Gumbrek meniup serulingnya dan Lingga Wisnu memetik
kecapi mengiringi. Mereka duduk berhadap-hadapan
seolah-olah dua orang pendekar besar lagi mengadu ilmu
kepandaian. Enam kali mereka mengumandangkan lagu panjang
dan pendek. Dan Ki Ageng Gumbrek pun menepati
janjinya. Katanya : "Kali in i aku hanya mengajarimu sejurus ilmu petak.
Meskipun hanya sejurus, tetapi faedahnya sangat besar
Tubuhmu akan terasa ringan dan kalau sudah mahir,
bayangannya saja sulit terlihat. Nah, kau perhatikan
gerakanku dengan sungguh-sungguh!"
Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek
bergerak. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada diatas
pohon. Tatkala turun dengan berjungkir-balik, sudah
berada kembali di depan Lingga W isnu. Keruan saja
Lingga W isnu kagum bukan main. Ia merasa d iri seakanakan terpukau. Apabila
tersadar, ia bersorak dan
bertepuk tangan dengan setulus hati.
"Sekarang, mulailah berlatih!" seru Ki Ageng Gumbrek.
Dan pendeta aneh itu segera mengajarkan jurus
tersebut. Dan untuk menangkap intisarinya, Lingga
W isnu berlompatan kian-kemari melemaskan uraturatnya. Mula-mula ia merasa
kebingungan. Lambat-laun ia merasa diri memperoleh kemajuan. Untunglah, Ki
Ageng Gumbrek ternyata telaten dalam menurunkan
pelajarannya. Dengan cermat dan tak bosan-bosan ia
memberi contoh serta memberi petunjuk int i-int i
rahasianya. Pada hari kedua, Lingga W isnu tak memperoleh
tambahan, meskipun sudah mengiringkan enam lagu
lagi. Tetapi pada hari ketiga dan keempat, ia mendapat
tambahan dua jurus sekaligus. Setelah memasuki hari
keempatbelas, barulah dia memperoleh tambahan
sejurus, dua jurus secara teratur. Bahkan pada bulan
berikutnya, Ki Ageng Gumbrek mulai mewariskan rahasia
ilmu bidiknya. Empat bulan lamanya ia belajar ilmu bidik. Tatkala
pelajaran mu lai menginjak pada bag ian membidik
sasaran dengan t igapuluh lima senjata bidik sekaligus, ia
membutuhkan waktu t ujuh bulan. Dengan demikilan, tak
terasa satu tahun lewatlah sudah. Sekalipun demikian, Ki
Ageng Gumbrek tak bosan-bosan meniup serulingnya
dengan iringan kecapi Lingga W isnu. Melihat mereka
begitu akrab, Kyahi Sambang Dalan bersyukur di dalam
hati. Ia tahu, apa sebab Ki Ageng Gumbrek betah
bertempat t inggal pada suatu t empat sampai satu tahun
lebih. Itulah disebabkan karena orang tua itu berkenan
hatinya terhadap muridnya. Maka ia berpesan kepada si
gagu, agar melayani Ki Ageng Gumbrek dengan sebaikbaiknya.
Pada suatu hari, selagi Lingga W isnu berlatih
disamping kedua gurunya, tiba-tiba terdengarlah suatu
auman hebat. Serentak ia menoleh dan melihat si gagu
sedang berhadap-hadapan dengan seekor harimau tutul.
Menyaksikan si gagu dalam bahaya, tanpa berpikir
panjang lagi Lingga W isnu segera melompat dan lari
menghampiri. Pada saat itu, harimau tutul telah
melompat serta menerkam si gagu. Si gagu nampak
marah. Ia melejit kesamping dan mendaratkan
pukulannya. Tetapi bertepatan dengan saat itu, sesosok
bayangan berkelebat. Itulah Kyahi Sambang Dalan yang
menyambar lengan si gagu dan dibawanya menjauhi.
Kemudian Kyahi Sambang Dalan berseru kepada Lingga
W isnu : "Lingga! Biarlah engkau yang melayani harimau itu!"
Lingga W isnu t ahu, gurunya sedang mengujinya T erus
saja ia melompat menghadang titik balik harimau tutul
itu. Akan tetapi entah apa sebabnya, tiba-tiba saja
harimau tut ul itu memutar tubuhnya, serta berjalan
menjauhi. Lingga W isnu melesat dan menggerakkan
tangannya memukul pantat. Oleh rasa sakit, binatang
buas itu mengaum dan memujar tubuh sambil
mencengkeram. Lingga W isnu mengelak dan melompat ke samping.
Kemudian t angannya bergerak hendak menyerang. Akan
tetapi t iba-tiba saja ia merasakan suatu ancaman bahaya
datang dari belakang punggungnya. Tahulah dia dirinya
sedang diserang dari jurusan lain. Tak sempat lagi ia
memutar t ubuhnya. Dengan menjejak tanah ia melompat
tinggi. Kemudian dengan berjumpalitan ia mendarat di
atas tanah dengan tak kurang suatu apa. Begitu
membalikkan t ubuhnya, ia melihat penyerangnya, seekor
harimau kumbang. Sebenarnya, semenjak berada di atas gunung Dieng,
belum pernah ia berkelahi. W alaupun demikian, sama
sekali ia tak takut menghadapi kedua binatang buas itu.
Segera ia menyerang dengan menggunakan tipu-tipu
ilmu sakti Sardula Jenar. Menyaksikan perkelahiannya,
Kyahi Sambang Dalan bergembira. Katanya di dalam
hati: 'Bocah ini benar-benar tidak sia-siakan capai lelahku."
Tetapi setelah mengamat-amati sekian lamanya,
Lingga W isnu ternyata hanya dapat menyakiti kedua
binatang itu saja. Pukulannya sama sekali t ak bertenaga.
Ia jadi heran. Apa sebab jadi demikian" Kyahi Sambang
Dalan tak tahu bahwa dalam diri Lingga W isnu
mengeram racun jahat Pacarkeling yang memunahkan
sebagian tenaganya. "Sambut pedangku!" seru Kyahi Sambang Dalan yang
tak sempat menyelidiki sebab-sebabnya.
Lingga W isnu melompat menyambiit pedang tetapi
pada saat itu, kedua harimau lari menubras nubras
menerjang belukar. Lingga W isnu mengejar selint asan.
Tiba-tiba dua sosok bayangan menyambar dari kirikanan. Cepat ia menggerakkan
pedangnya sambil melesat kesamping. Ternyata penyerangnya adalah dua
ekor kera hampir set inggi dirinya.
"Jangan bunuh!" tiba-tiba terdengar Ki Agung
Gumbrek berseru. Lingga W isnu mengangguk. Kemudian dengan
pedangnya ia mendesak. Ia dapat bergerak dengan gesit.
Saban-saban ia menyabat atau menikam. Dan diserang
secara demikian, kedua binatang itu, berlompat-lompatan
dengan gesit pula. Sekiranya mau, Lingga W isnu dapat
menikamnya dengan mudah. Akan tetapi ia hanya
melukainya saja pada lengan, pundak, kepala dan kedua
kakinya. Diperlakukan demikian, kedua binatang itu, nampaknya mempunyai perasaan. Mereka mengerti,
lawannya tidak berniat membinasakan. Tatkala mereka
melompat menjauhi, lawannya tidak mengejar. Lingga
W isnu malahan berhenti menggerakkan pedangnya dan
hanya mengawasi saja. Bagaikan insan manusia, kedua kera itu memekik
tinggi. Kedua tangannya ditutupkan ke kepalanya. Lalu
merebahkan diri sambil menjiratkan pandang menohon
ampun. Lingga W isnu datang menghampiri. Ia mengerti,
kedua binatang itu menyerah kepadanya. Si gagu jadi
girang. Dengan berlari-larian ia masuk ke dalam rumah
dan keluar kembali dengan membawa dadung sebagai
pembelenggu. Mula-mu la kedua binatang itu mencoba memberontak.
Mereka memekik-mekik sambil memperlihatkan kedua
baris g igi mereka. Akan tetapi tenaga si gagu jauh lebih
kuat. Akhirnya mereka menyerah saja. Dan sama sekali
tak berani melawan. Baik Kyah i Sambang Dalan maupun Ki Ageng Gumbrek
memuji kegesitan Lingga W isnu. Mereka menganjurkan
agar dia belajar lebih tekun lagi dan bersungguhsungguh. Keruan saja, Lingga W
isnu menjadi girang dan penuh syukur mendengar pernyataan kedua orang tua
itu. Iapun merasakan sendiri betapa bagus hasil
latihannya. Di samping itu, ia memperoleh dua binatang
hutan yang seekor jantan dan yang satunya betina. Oleh
rasa g irangnya, Lingga W isnu mencarikan buah-buahan
untuk diberikan kepada kedua binatang itu.
Selang sepuluh hari, kedua binatang itu menjadi jinak
sekali. Keduanya mengerti akan kesayangan Lingga
W isnu terhadap mereka. Sekarang mereka tak perlu
diikat dadung lagi. Tiada niat mereka untuk kabur.
Lingga W isnu memberi nama 'Kapi' kepada si Jantan
dan 'Kutil' kepada yang betina. Agar mereka paham akan
namanya masing-masing, Lingga W isnu membiasakan
memanggil namanya set iap kali bertemu. Ki Ageng
Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan tertawa menyaksikan pekerti Lingga W isnu, dan ikut bergembira
menyaksikan kedua binatang itu telah menjadi jinak.
Dan setelah Lingga W isnu yakin kedua binatang itu
benar-benar jinak, ia membebaskannya.
Kini dengan merdeka Kapi dan Kut il mencari makan
sendiri. Kadang-kadang mendaki sampai ke puncak
gunung. Kemudian terjadilah suatu peristiwa yang
membuat suatu penemuan yang aneh sekali.
Seperti biasanya, Kapi dan Kut il mendaki puncak
gunung untuk mencari makanan. Dengan berani, Kut il
memanjat dinding gunung. Tiba-tiba saja kakinya
tergelincir. Tak ampun lagi lepaslah pegangannya,
sehingga jatuh ke dalam jurang.
Dinding gunung itu sangat curam dan mempunyai
kedalaman empat sampai limapuluh meter lebih. Keruan
saja Kapi kaget bukan main. Segera ia menjenguk dari
tepinya. Ia melihat Kut il tersangkut pada cabang pohon
yang tumbuh di depan sebuah goa kosong. Mulut goa itu
nampak hijau berlumut. Pada mulut goa inilah Kut il
berpegangan. Namun tak dapat ia naik atau turun.
Dengan demikian ia nampak tergantung-gantung pada
ketinggian tebing gunung.
Meskipun daya pikir dan perasaan seekor kera tidak
sesempurna manusia, akan tetapi binatang itu banyak
akal. Dalam sibuknya, Kapi lari pulang mencari Lingga
W isnu. Tatkala itu majikannya sedang berlatih pedang. Ia
lantas memekik-mekik tinggi tiada hent inya sambil
berjingkrakan. Lingga W isnu heran. Ia menghampiri dan
mengamat-amati tubuh Kapi. Di sana sini terdapat
beberapa tusukan diuri pepohonan. Sedang kesan
wajahnya nampak ketakutan. Segera ia mencari paman


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ganjur, si gagu, untuk di ajak menyelidiki kehendak
binatang itu. Ternyata Kapi memutar tubuh dan berlari-lari
menghampiri jurang. Sesampainya di tepi jurang, Kapi
memekik-mekik sambil menjenguk ke bawah. Lingga
W isnu dan Ganjur, si gagu, segera menghampiri dan
melihat Kutil dalam bahaya. Dengan cepat Lingga W isnu
lari pulang untuk mengambil tali. Kemudian dilemparkannya tali itu ke dalam jurang. Sedang ia
mengikat ujungnya pada lengannya dan lengan Ganjur.
Kut il dalam keadaan sangat lelah. Namun tatkala
melihat menyambarnya tali, segera ia menangkapnya.
Dan dipegangnya erat-erat. Pada saat itu Lingga W isnu
dan si gagu menariknya ke atas. Ternyata ia terluka di
beberapa tempat. Syukur tidak begitu hebat. Kemudian
dengan memperdengarkan pelikan berulangkali, ia
memperlihatkan kedua telapak tangannya.
Heran Lingga W isnu tatkala melihat dua benda tajam
menancap pada telapak tangan si Kut il. Ia mencoba
mencabutnya, namun benda itu tertancap sangat
kukuhnya. Si Kutil lant as memekik kesakitan.
'Apakah di sini ada musuh"' Lingga W isnu bertanya
kepada dirinya sendiri. Ia menjadi curiga. Segera ia
menghampiri tebing jurang dan mengamat-amati ke
dalamnya. Ia melihat sebuah goa kosong. Pada mulut
goa itulah tadi si Kut il t erkatung-katung. Apakah di dalam
goa itu terdapat senjata bidik" Tetapi senjata bidik tak
akan dapat bekerja tanpa ada yang melemparkannya.
Lantas siapa" Apakah di dalam goa itu terdapat seorang
musuh yang sedang bersembunyi" Rasanya tidak
mungkin! Letak goa itu sangat terpencil.
Dengan berbagai pikiran, Lingga W ijsnu mengajak si
gagu pulang untuk mencari kedua gurunya. Setelah
bertemu, ia menceritakan pengalamannya. Mendengar
keterangan Lingga baik Ki Ageng Gumbrek maupun
Kyahi Sambang Dalan, ikut merasa aneh. Ki Ageng
Gumbrek adalah seorang pendekar ahli senjata bidik.
Melihat bentuk senjata bidik yang tertancap pada
telapakan tangan si Kut il, ia berkata :
"Aku seorang yang gemar sekali akan senjata bidik.
Pelbagai senjata bidik pernah kulihat. Akan tetapi senjata
bidik ini, yang berbentuk seperti kelabang, baru untuk
pertama kali inilah kulihat. Sambang Dalan! Kali ini
runtuhlah kedudukanku sebagai seorang ahli senjata
bidik." Kyahi Sambang Dalan menatap sahabatnya. Kemudian
berkata mengusulkan : "Coba keluarkan dahulu senjata bidik yang menancap
pada telapakan binatang ini!"
Bergegas Ki Ageng Gumbrek masuk ke dalam
kamarnya untuk mengambil sebuah pisau kecil.
Dengan pisau itu ia membedah te apakan tangan si
Kut il untuk, mengeluarkan senjata bidik yang aneh itu.
Agaknya, si Kut il tahu maksud baik Ki Ageng Gumbfrek
hendak menolong dirinya. Sama sekali ia tidak
memberontak. Setelah benda yang menancap pada
telapakan tangan tercabut, lukanya segera diobati dan
dibalut . Binatang itu nampak puas dan segera pergi
mengikuti Kapi mencari makan.
Dua senjata bidik itu panjangnya kurang lebih tiga
senti. Berbentuk seperti kelabang. Bersungut dua. Kedua
sungut itu sekecil dan set ajam jarum. W arna
keseluruhannya hitam gelap dan kotor berlumut. Tetapi
setelah Ki Ageng Gumbrek mengerik lumutnya, benda itu
nampak mengkilap. Ternyata terbuat dari emas murni.
"Pantas, timbangannya berat. Kiranya terbuat dari
emas murni!" seru Ki Ageng Gumbrek. "Sungguh
berbahagia dan mulia orang yang memiliki senjata bidik
begini. Sebab kalau bukan seorang hartawan, tidak
mungkin membuang buang emasnya. Bukankah setiap
kait ia melepaskan senjata bidiknya berarti kehilangan
paling t idak dua puluh gram?"
Sekonyong-konyong Kyahi Sambang Dalan terperanjat. Tak terasa ia berseru :
"Inilah senjata bidik yang bernama Cunduk Trisula!"
"Cunduk Trisula?" Ki Ageng Gumbrek menegas
dengan wajah tercengang. Ia terdiam sejenak. Lalu
berkata meneruskan: "Kau maksudkan ..... Bondan
Sejiwan pemiliknya" Bukankah kabarnya d ia telah wafat
sejak belasan t ahun yang lalu" Sambil berkata demikian,
sekali lagi ia memeriksa senjata bidik yang berada
ditangannya lalu wajahnya benar-benar nampak terkejut,
berunya : "T idak salah! Benar dia"
Ia membolak-balikkan senjata bidik berbentuk kelabang itu. Di bagian perutnya tertera sebuah ukiran
kecil berbunyi: BONDAN. Dan pada bagian perut senjata
bidik yang kedua, terdapat ukiran berbunyi: SEJIWAN.
"Guru! Siapa Bondan Sejiwan itu?" Lingga W isnu
bertanya kepada Kyahi Sambang Dalan yang masih saja
tercengang sejak tadi. "Kelak akan kuberi keterangan," sahut gurunya setelah
berdiam beberapa lama. Setelah menimbang-nimbang
sebentar, meneruskan : "Kakang Gumbrek, coba katakan kepadaku mengapa
senjata bidik ini bisa berada di dalam goa itu?"
Ki Ageng Gumbrek tidak segera menjawab. Ia
mengerinyitkan keningnya. W ajahnya jadi tegang. Tak
terkecuali Kyahi Sambang Dalan. Keruan saja Lingga
W isnu mendengarkan dengan berdiam diri. Sama sekali
ia t ak mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan. Ia
hanya mendengar kata-kata pembunuhan akibat permusuhan dan pembalasan dendam. Kalimat-kalimat
lainnya, masih gelap baginya.
"Jadinya, Bondan Sejiwan datang memasuki daerahmu
untuk menyingkirkan diri dari musuh-musuhnya?" kata Ki
Ageng Gumbrek menegas. Kyahi Sambang Dalan tak berani menyatakan dengan
pasti. Ia nampak berbimbang-bimbang. Sahutnya :
"Mengingat kepandaiannya, sebenarnya tak ada
perlunya, ia menyingkir jauh-jauh sampai kemari.
Bersembunyi ditempat yang sunyi sepi, baginya
merupakan alasan yang kurang kuat."
"Mungkinkah dia belum mati?" Ki Agung Gumbrek
seperti menguji. "Dia seorang luar b iasa," jawab Kyahi Sambang Dalan.
"Selama ini kita hanya mendengar namanya belaka. Dan
belum pernah bertemu dengan dirinya. Memang, kabar
berita mewartakan bahwa dia telah meninggal dunia.
Akan tetapi sebab-sebabnya atau bagaimana caranya dia
meninggal, tiada seorangpun yang dapat memberi
keterangan! "Dia memang aneh sepak-terjangnya "
Ki Ageng Gumbrek menghela nafas "Ada kalanya dia
kejam sekali. Tetapi tak jarang pula dia berbuat mulia.
Dengan demikian, apakah d ia seorang jahat atau
seorang yang mulia hati, orang hanya dapat mendugaduga saja. Beberapa kali
pernah aku mencoba mencarinya. Namun senantiasa gagal."
"Sudahlah. Tiada gunanya kita menduga-duga saja.
Kyahi Sambang Dalan memut uskan: "Baiklah, besok pagi
kita menjenguk goa itu."
Keesokan harinya Kyahi Sambang Dalan mengajak Ki
Ageng Gumbrek, Lingga W isnu dan Ganjur menjenguk
goa dengan membawa senjata serta tali dan
perlengkapan lainnya. Lingga W isnu berada di depan
sebagai penunjuk jalan. Lantaran dialah yang mengetahui letaknya goa itu.
"Guru," betkata Lingga W isnu mint a keterangan.
"Pernah aku mendengar seseorang menyebutkan nama
Bondan Sejiwan. Menurut orang itu, dialah cikal bakal
atau pendiri h impunar Ngesti Tunggal. Apakah Bondan
Sejiwan yang memiliki senjata bidik itu adalah Bondan
Sejiwan pendiri himpunan Ngesti Tunggal?"
"Dalam dunia ini apakah hanya dia seorang saja yang
bernama Bondan Sejiwan?" ujar gurunya. "Pada zaman
Majapah it, pernah hidup seorang yang bernama Bondan
Sejiwan pula. Dialah putera Prabu Brawijaja ke V."
Mendengar ujar gurunya, Lingga W isnu tak bersemangat lagi untuk meminta keterangan yang lebih
jelas. Di tepi jurang, ia membantu gurunya dan Ganjur
mengikat tali pada sebatang pohon yang tumbuh di atas
tebingnya. Kemudian mendengar gurunya berpesan
kepada Ki Ageng Gumbrek :
"Hati-hati" Ki Ageng Gumbrek manggut. Cepat ia mengikat
pinggangnya dengan ujung tali yang tertambat pada
pohon. Kemudian dengan pertolongan Ganjur dan Lingga
W isnu, ia dikerek turun perlahan-lahan. Di depan mulut
goa yang berlumut itu, ia berdiri mengamat-amati. Mulut
goa penuh kabut, sehingga tanahnya t ak nampak jelas.
Hatinya tercekat, meskipun ia seorang jago, yang sudah
kenyang makan garam. Dengan tertegun ia mengawasi ke dalam goa terusmenerus. Biasanya, pandang mata
seseorang lambat laun bisa menyesuaikan, dalam kegelapan.
Setidak-tidaknya akan bisa menangkap penglihatan
walaupun dalam samar-samar. Namun penglihatan Ki
Ageng Gumbrek malahan makin menjadi guram.
Akhirnya ia memperoleh kesimpulan, tentulah goa itu
sangat dalam. Ia kemudian maju meraba-raba menyelidiki ruang masuk. Dan ternyata sempit. Ia
berbimbang-bimbang sebentar. Apakah dirinya b isa
memasuki pint u sempit itu"
Ki Ageng Gembrek adalah seorang yang keras hati.
Tak sudi ia mundur, sekalipun menghadapi kenyataan
yang tidak memungkinkan Setelah membungkus sebelah
tangannya, segera ia memasukan ke dalam mukit goa
itu. Meskipun seorang pemberani, namun tak berani ia
semberono. Perlahan-lahan tangannya meraba-raba dan
tiba-tiba membentur suatu benda tajam. Benda tajam itu
menancap pada mulut goa. Ia menduga itulah Cunduk
Trisula, senjata bidik berbentuk kelabang. Segera dengan
hati-hati ia mencabutnya. Lalu meraba-raba lagi dan
mencabut yang kedua. Demikianlah, sampai tujuhbelas
biji. Ia berniat hendak maju meraba-raba lagi, akan
tetapi teringatlah dia kepada Ganjur dan Lingga W isnu
yang menahan tubuhnya dari atas t ebing. Mereka berdua
pasti sudah merasa lelah.
"T arik!" segera ia berteriak memutuskan.
Teriakannya terdengar oleh Kyahi Sambang Dalan.
Guru Lingga W isnu itu segera memerint ahkan agar
menarik Ki Ageng Gumbrek keatas dengan perlahanlahan. Kira-kira dua tombak dari
atas tebing, Ki Ageng Gembrek menjejakkan kakinya pada batu lambing.
Dengan begitu cepat sekali Ki Ageng Gumbrek telah
berada diantara teman-temannya.
"Lihat ini!" serunya kepada Kyahi Sambang Dalan.
Guru Lingga W isnu itu segera memerint ahkan agar
menarik Ki Ageng Gumbrek ke atas dengan perlahanlahan. Kira-kira dekat, maka Ki
Ageng Gembrek memperlihatkan t ujuh belas batang senjata bidik Cunduk
Trisula yang digenggamnya erat-erat. Bentuknya sama
dengan senjata bidik yang menancap pada telapak
tangan si Kut il. "Sambang Dalan. Kita memperoleh harta karun! Emas
begini banyak... " Ia tertawa berka- kakan.
Sebaliknya wajah Kyahi Sambang Dalan menjadi
bersungguh-sungguh. Sahutnya kemudian:
"Hantu itu menyimpan bendanya didalam goa. Apakah
maksudnya" Benda apa lagi yang terdapat dalam
goanya" Biarlah aku yang melihat."
"Percuma saja engkau turun ke bawah!" Ki Ageng
Gumbrek mencegah. "Mulut goa terlalu sempit. Tubuhmu
tak akan dapat memasukinya."
Kyahi Sambang Dalan menundukkan kepalanya. Ia
diam berpikir. Tiba-tiba Lingga W isnu berkata mint a
pertimbangan : "Guru, apakah aku diperkenankan menyelidiki?"


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betapa mungkin?" sahut Ki Ageng Gumbrek dengan
tertawa panjang. "Jurang begini dalam. Apakah engkau
berani?" "Aku berani, paman." kata Lingga W isnu.
"Guru, aku diperkenankan ikut menyelidik atau tidak?"
Kyahi Sambang Dalan masih terbenam dalam pikiran.
Kata guru yang bijaksana itu di dalam hati :
'Orang jahat itu menyimpan senjata bidiknya di dalam
goa. Pastilah mempunyai maksud-maksud tertentu.
Sebaliknya, apabila tidak diselidiki, benar-benar sayang.
Akan tetapi siapa tahu, justru di dalam goa itu tersimpan
suatu ancaman bencana" Kalau bocah ini kuidzinkan ia
pergi seorang diri, tidakkah akan membahayakan
jiwanya?" Memperoleh pertimbangan demikian,
ia lant as berkata: "Aku mengkhawatirkan bencana yang mengancam
dirimu." "Aku dapat berlaku waspada, guru," Lingga W isnu
mendesak. Melihat muridnya demikian berani dan bernapsu,
akhirnya Kyahi Sambang Dalan mengangguk dan
berkata: "Baiklah. Tetapi, engkau harus mencoba menyalakan
api terlebih dahulu sebelum memasuki goa. Manakala api itu padam, janganlah engkau memaksa dirimu memasuki." "Aku tahu, guru."
sahut Lingga W isnu Dan cepat-cepat ia mempersiapkan sebatang obor. Sedang pedangnya segera dihunusnya. Dengan pedang dan obor di tangan, ia dikerek turun perlahanlahan seperti Ki Ageng
Gumbrek. Cepat sekali Lingga W isnu t elah sampai di mulut goa;
Teringat pesan gurunya, ia menyulut obor terlebih
dahulu. T ernyata tidak padam. Ia jad i girang. Kemudian
dengan hati-hati ia merayap memasuki mulut goa. Tali
yang mengikat di pinggangnya tak dilepaskannya.
Setelah merayap kira-kira limabelas meter jauhnya,
terowongan yang dilalu inya mulai mendaki. Ia maju terus
perlahan dengan perlahan. Kira-kira tiga meter lagi,
sampailah dia pada tempat terbuka. Dapatlah ia berdiri
tegak. Setelah mengatur pernapasannya sejenak, ia maju
terus. Beberapa saat kemudian, jalan yang ditempuhnya
menikung dan memasuki kelokan serta tikungan, empat
lima kali. Ia jad i semakin berwaspada. Dengan
menggenggam pedangnya erat erat, ia maju terus.
Tatkala berjalan kira-kira lima belas meter lagi, ia tiba di
sebuah kamar batu. Segera ia manasuki sambil
memajukan obornya. Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia
mengeluarkan keringat dingin.
Di atas sebuah batu yang berada ditengah tengah
kamar, duduk sesosok kerangka yang lengkap t ak ubah
manusia hidup. Kedua tangannya terletak di atas
pangkuannya. Dengan mata tak berkedip dan jantung
menekan-nekan, Lingga W isnu mengawasi kerangka itu.
Setelah itu, barulah ia memeriksa ruang-ruang kamar.
Syukurlah t iada suatu penglihatan, yang mengerikan lagi.
Belasan Cunduk Trisula menancap malang-melint ang
di atas tanah mengitari kerangka itu. Sebatang pedang
panjang terletak di sampingnya.
Pada dinding kamar terdapat sederet lukisan manusia
berukir. Sikapnya berlain-lainan, mirip seseorang yang
sedang menghadapi tata muslihat lawan. Lingga W isnu
mengamat-amati dengan penuh perhatian. Akhirnya
tahulah dia, bahwa lukisan-lukisan itu menggambarkan
seseorang lagi berlatih tata-berkelahi tertentu. Hanya
saja ia tak mengerti maksudnya. Apalagi, letak
int isarinya. Pada ujung gambar terdapat tujuhbelas patah
kata berukir pula. Lingga W isnu mendekati dan
membacanya : "Mustika berharga, ilmu sakti rahasia. Diberikan
kepada siapa yang memasuki pintuku. Tetapi janganlah
menyesal, manakala kena bencana. "
Lingga W isnu masih mengamat-amati dan memperhatikan hal itu, tatkala tiba-tiba seseorang
memanggilnya. Itulah suara gurunya yang memanggil
namanya di depan mulut goa. Dengan bergegas ia
merayap balik. Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan yang
berada di atas jurang, gelisah setelah menunggu sekian
lamannya. Mereka tak berani menarik tali pengikat
lantaran takut Lingga W isnu telah melepaskan diri dari
ikatannya. Mereka menyabarkan beberapa waktu lagi.
Tetapi tetap saja Lingga W isnu tidak muncul. Kuatir
bocah itu menemui bencana, Kyahi Sambang Dalan
memutuskan untuk menyusul. Demikianlah, setelah
sampai d i mulut goa, segera ia memanggil-manggil nama
muridnya. Hatinya lega luar biasa, begitu mendengar
muridnya menyahut. Dengan tanda teriakan, Ki Ageng Gumbrek dan Ganjur
lantas menarik tali pengikat. Sebentar saja Kyahi
Sambang Dalan dan Lingai W isnu sudah berada di atas
tebing. Seluruh tubuh Lingga W isnu berlepotan lumpur,
debu dan lumut. Pakaian yang dikenakannya kotor dan
wajahnya nampak t egang. Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi
Sambang Dalan tahu, bahwa hal itu terjadi lantaran
bocah itu pasti menemukan atau melihat sesuatu yang
luar biasa. Maka mereka membiarkan bocah itu
tenangkan hatinya terlebih dahulu. Dan benar saja,
setelah dapat tenangkan hatinya kanbali, Lingga W isnu
kemudian menuturkan pengalamannya.
"Pastilah tidak salah lagi, itulah kerangka Bondan
Sejiwan," ujar Kyahi Sambang Dalan. "Akh, tak pernah
kusangka, seorang pendekar yang sakti luar b iasa,
akhirnya mati di t empat sesunyi ini. Sungguh sayang!"
"Apakah arti tujuhbelas patah kata pesannya itu?"
tanya Ki Ageng Gumbrek minta pendapat rekannya.
Kyahi Sambang Dalan tak segera menjawab ia
merenung beberapa saat lamanya. Lalu menyatakan
pendapatnya : "Rupanya Bondan Sejiwan menyimpan suatu benda
berharga dalam goanya. Hanya kita tak tahu mustika apa
yang disimpannya itu. Dia seorang pendekar yang
memiliki ilmu maha sakti. Pastilah dia tidak akan
membiarkan ilmu saktinya itu musnah dari percaturan
hidup. Dengan cara-cara tertentu, pastilah dia menyimpannya di dalam goanya. Mungkin ia menunggu
seorang yang berjodoh dengan pengucapan hatinya
untuk mewarisi ilmu ke pandaiannya. Sayang, dia seorang
yang hidup dengan menuruti pertimbangan perasaannya
sendiri Ia sama sekail tak beragama. Lantas mendirikan
Himpunan manusia-manusia liar dengan nama: 'Ngesti
Tunggal'. Benar-benar kapir!
Hati Lingga W isnu tercekat. Bondan Sejiwan, yang
mati di dalam goa itu, ternyata benar-benar Bondan
Sejiwan cikal-bakal Ngesti Tunggal yang kemarin
dielakkan gurunya. Keruan saja perhatiannya menjadi
bertambah. Dalam pada itu Kyahi Sambang Dalan
meneruskan perkataannya :
"Rupanya ia menghendaki, agar yang memasuki
pintunya, bisa melanjutkan cita-citanya. Jadi istilah pintu
itu bermakna cita-cita atau kaumnya atau pahamnya.
Tetapi mungkin pula berarti pintu besar yang
mengandung malapetaka."
"Pendapatmu rasanya tidak meleset terlalu jauh " Ki
Ageng Gumbrek menyetujui. "Hanya, keajaiban apa yang
terdapat dalam goanya, sungguh sulit diduga-duga."
Kyahi Sambang Dalan menghela napas. Berkata lagi :
"Jelek-jelek kita ini manusia beragama. Setidaktidaknya kita mengenal Tuhan.
Karena itu tak boleh kita
mengharapkan warisan mustika dari orang kapir. Tetapi
justeru kita merasa mengambar jalan ketuhanan, kita
harus menunjukkan kebesaran dan kelapangan hati.
Biarlah Lingga W isnu esok pagi menjenguk goanya
kembali untuk mengubur kerangkanya sebagai mustinya
manusia yang pernah hidup. Betapapun juga kita harus
menghormatinya sebagai seorang sesepuh. Karena itu,
engkau Lingga, sewaktu hendak menguburnya, engkau
wajib bersembah padanya. Panjatkan doa kehadapan
Ilahi agar d iampuni semua dosanya. Dengan cara
demikian, kita semua dapat menghormatinya sebagai
manusia wajar dan layak. Kita boleh tak sepaham dengan
pendiriannya, tetapi sebagai manusia kita semua adalah
makhluk Tuhan dan anak Tuhan"
Lingga W isnu mengangguk. Dan Ki Ageng Gumbrek
seiring dengan kata-kata Kyahi Sambang Dalan. Ia
bahkan menyatakan rasa kagumnya. Katanya :
"Kaupun seorang aneh pula! Seorang yang pandai
berkhotbah, pantasnya harus hidup didekat mesjid.
Kenapa engkau justru bermukim di atas gunung sesunyi
ini?" "Itulah soal kenikmatan! Kenikmatan bersembah
kepada Tuhan serta sekalian alam!" jawab Kyahi
Sambang Dalan. Dan mendengar jawaban itu Ki Ageng
Gumbrek kian menjadi k agum. Dua t iga kali ia menghela
napas. Keesckan harinya Lingga W isnu membekal pacul dan
alat-alat lainnya perant i mengubur mayat. Ia diant arkan
paman Ganjur. Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng
Gumbrek tak ikut serta karena menganggap tiada
bahayanya. Mereka hanya menyertakan restunya dan
membekali lima batang obor yang berisi minyak
pembakar penuh. Ganjur mengerek Lingga W isnu turun dengan
perlahan-lahan. Setelah tiba di mulut goa, dengan
cekatan Lingga W isnu merayap memasuki goa. Begitu
sampai d i dalam ruang kamar, segera ia menancapkan
batang obornya. Lalu mulai menggali lubang. Berbagai
pikiran dan ingatan berkelebatan di dalam benaknya.
Teringatlah dia kepada nasib ayah-bunda dan kakaknya
yang mati tak dikubur. Tak dikehendaki sendiri,
mengalirlah air matanya. Pikirnya di dalam hati :
'Dialah Bondan Sejiwan pendiri Ngesti Tunggal.
Meskipun berkesan liar, namun para anggautanya
berwatak ksatrya. Sebenarnya, bagaimana sesungguhnya?" kata Lingga W isnu di dalam hati. Tentu
saja ia tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu.
Demikianlah, setelah selesai menggali lubang kubur ia
membungkuk hormat dan bersembah kepada kerangka
Bondan Sejiwan. Katanya di dalam hati :
"Kami bernama Lingga W isnu. Secara kebetulan saja
kami menemukan jazat paman. Pada hari ini, kami
hendak mengubur jazat paman. Semoga tenanglah
arwah paman di alam baka. Baru saja ia mengucapkan
kata-kata demikian, hatinya mendadak menjadi sedih.
Teringatlah dia kembali kepada kedua orang tuanya,
kakaknya dan dirinya yang kini hidup yatim-piatu. Ia
lantas menangis menggerung-gerung. Tiba-tiba saja,
tengkuknya seperti kena raba tangan halus dan dingin.
Itulah angin lembut yang datang dari luar goa. Lingga
W isnu bergidik. Bulu tengkuknya meremang. Serentak ia
menegakkan kepala dan berputar mengarah liang kubur.
Untuk menenangkan hati, ia menjajaki. Dirasanya
masih kurang dalam. Maka mulailah ia menggali lebih
dalam lagi. Tanah yang kena sint uh paculnya ternyata
kian menjadi lunak. Ia jadi gembira dan bekerja dengan
cepat. Tiba tiba paculnya memperdengarkan suara
membeletuk. Itulah akibat suatu benturan dengan benda
keras. Rasanya bukan batu. Lalu apa" Besi"
Ia mengambil obornya lalu menyuluhi. Ia heran karena
pada dasar tanah itu terdapat selembar papan besi.
Tertarik akan hal itu, ia memacul sekitarnya. Benar-benar
papan besi yang berjumlah beberapa lembar. Lalu ia
mengangkatnya. Dibawahnya terdapat sebuah peti besar
berukuran enampuluh sentimeter persegi. Terbuat dari
besi pula. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Lingga W isnu
mengangkat peti besi itu. Timbangan beratnya sedang.
Dapatlah ia mengira-ira bahw a isinya tidak terlalu
banyak. Lantaran tak terkunci, dengan mudah ia dapat
membukanya. Di dalamnya ternyata amat dangkal. Kirakira hanya set inggi empat


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senti saja. Keruan Lingga
W isnu menjadi bertambah-tambah heran.
'Mengherankan!' seru Lingga W isnu di dalam hati.
Ukuran petinya besar dan tinggi. Kenapa pendek saja
dalamnya" Ia menemukan sepucuk surat bersampul, yang berisi
delapan patah kata di atas sampulnya. Bunyinya begini :
= Barang siapa memperoleh petiku, kuperkenankan
membuka isi sampul suratku. =
Di dalam sampul terdapat dua pucuk surat bersampul
pula yang berukuran lebih kecil. Semuanya terbuat dari
kulit kerbau. Sampul surat yang pertama berkepala: 'Cara
membuka peti' Dan yang kedua: 'Bagaimana mengubur
tulang-tulang'. Setelah membaca sampul surat itu, Lingga W isnu baru
mengerti bahw a peti besi itu berlapis. Ia mengangkat
dan menggoyang-goyangkannya. Kali in i ia mendengar
bunyi benda bersentuhan. Namun hatinya tak tertarik
akan segala warisan Bondan Sejiwan yang disebutkan
sebagai mustika. Yang terasa dalam hatinya, hanyalah
kepiluan dan keharuan. Katanya di dalan hati :
'Paman. Kalau aku mengubur tulang-tulangmu
sebenarnya kulakukan demi tulang-tulang kakakku
Umardanus, yang mati di dalam jurang. Moga-moga
dengan menguburkan tulang-tulangmu, seseorang mengubur pula tulang-tulang kakakku. Oh, Tuhan!
demikianlah harapanku. Tentang mustika yang kau
janjikan, biarlah diwarisi oleh seorang pendekar yang
tepat'. Lingga W isnu kemudian membuka sampul surat kulit
yang kedua. Dalamnya terdapat selembar kulit t ipis yang
bertulisan. Bunyinya demikian :
"Leluhurku bernama Bondan Sejiwan, pendiri aliran
Ngesti Tunggal. Beliau hidup pada jaman Sultan Agung
memerint ah negeri. Keturunan dan pewarisnya menyematkan nama Bondan Sejiwan pula. Sampai di
tanganku sudah melalui empat angkatan. Maka gelarku
sebenarnya Bondan Sejiwan ke V. Namaku sendiri:
Panyuluh. Dan semenjak ini lenyaplah sudah keturunan
Bondan Sejiwan. Karena aku tak diberi kesempatan
mempunyai keturunan .. Sampai di sin i Lingga W isnu berhenti membaca.
Pikirnya d i dalam hati: 'A pakah ini alasan guru, apa
sebab beliau mengelakkan pertanyaanku tentang nama
Bondan Sejiwan, pendiri Ngesti Tunggal" Tetapi, apa
sebab kemarin ia menyebut kerangka paman Bondan
Sejiwan ini sebagai pendiri Ngesti Tunggal" Apakah
keturunannya memang selalu disebut-sebut sebagai cikal
bakal Ngesti Tunggal" Secara kebetulan aku menyebutnya paman. Kiranya t ak begitu salah ...
Ia meneruskan membaca : "Sekiranya kau sudi mengubur tulang-tulangku
maukah mendengarkan pesanku" Setelah kau gali
lubang, tolong, gali lebih dalam lagi kira-kira satu meter.
Dan tanamlah tulang-tulangku di situ. Berada di dalam
liang kubur yang dalam rasanya aku akan bebas dari
gangguan segala kutu-kutu dan semut."
Terharu hati Lingga W isnu membaca surat Bondan
Sejiwan. Katanya di dalam hati :
'Paman, aku akan membuatmu puas. Aku akan
menggali lebih dalam lagi, mematuhi pesan terakhirmu.'
Dan kembali Lingga W isnu menggali liang kubur lebih
dalam lagi. Kali ini t anah penuh batu. Tak mudah Lingga
W isnu memacul seleluasa tadi. Sebentar saja ia telah
bermandikan keringat. Tatkala paculnya hampir mencapai enam puluh sentimeter dalamnya, mendadak
ujungnya membentur sebuah benda keras sehingga
menerbitkan suara gemerincing.
Karena telah memperoleh pengalaman, meskipun
heran, Lingga Wisnu menggali terus. Dan kembali lagi ia
menemukan sebuah peti tesi berbentuk persegi dan
berukuran lebih kecil. 'Pendekar gagah luar biasa in i benar-benar aneh,'
pikirnya d i dalam hati. 'Entah benda apa lagi yang
disimpannya di dalam peti ini"'
Ia mengangkat peti itu dan dapat membuka tutupnya
dengan mudah. Dan seperti tadi ia mendapatkan
selembar kulit t ipis yang memuat beberapa deret kalimat.
Manakala ia membacanya, hatinya kaget bukan kepalang
sehingga keringatnya mengucur deras.
Beginilah bunyi t ulisan itu :
"Engkau benar-benar seorang yang baik hati dan jujur.
Karena engkau mendengar pesanku sudah selayaknya
aku wajib membalas kebaikan hatimu. Yang pertama
dengan ramuan obat mustika. Yang kedua: benda
mustika. Dan yang ketiga: ilmu sakti w arisan leluhurku.
Manakala engkau membuka peti besar, dari dalamnya
akan menyambar anak-anak panah beracun. Surat dan
peta yang berada di dalamnya palsu semua. Malahan
beracun juga! Biarlah orang-orang jahat menerima
hadiahnya yang setimpal. Barang yang tulen, berada dalam peti kecil in i. Pastilah
engkau telah mandi keringat. Kau telanlah ramuan obat
mustika yang berada dalam lapisan atas"
Meskipun bunyi surat itu meyakinkan, namun Lingga
W isnu tak berani melancangi gurunya. Lagi pula,
tujuannya memasuki goa bukanlah mengarah mustika
yang terpendam di dalamnya. Ia d i tugaskan mengubur
kerangka seorang leluhur. Maka tak boleh dirinya
terpancang pada bunyi surat, sehingga mengabaikan
tujuan semula. Sadar akan hal itu, cepat-cepat ia
meletakkan dua peti besi ditepi liang. Lalu dengan sikap
penuh hormat ia mengebumikan tulang-tulang kerangka
Bondan Sejiwan. Kemudian dengan hati-hati ia
memendam dan meratakan sampai rap ih. Setelah
meletakkan batu tempat duduk-almarhum di atas
pekuburan sebagai nisan, ia bersembah tiga kali. Sedang
pjedang almarhum tidak disentuhnya.
Setelah selesai melakukan kewjjiban. Dengan tak
langsung, selama dia sudah menjadi ahliwaris Bondan
Sejiwan. Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu.
Dengan membawa dua peti almarhum, Lingga W isnu
keluar kamar. Sampai di t ikungan ia berhenti terowongan
menjadi sempit. Ia mengamat-amati. Hatinya lega,
karena sempitnya terowongan ternyata teratur oleh
rencana bangunan. Rupanya Bondan Sejiwan sengaja
mengatur danikian rupa, untuk mencegah masuknya
seseorang dengan leluasa ke dalam goanya. Memperoleh
pikiran demikian, cekatan ia membongkar susunan batubatu penyempit. Dengan
begitu apabila gurunya kini
menghendaki, bisa leluasa masuk ke dalam goa" lant aran
terowongan menjadi cukup lebar.
Setibanya di mulut goa, Lingga W isnu memanggil
Ganjur, si gagu agar menarik tali pengikat. Lalu dengan
berlari-larian ia pulang mencari gurunya.
Ki Ageng Gumbrek memeriksa surat surat wasiat. Di
dalam hati ia terperanjat. Kyahi Sambang Dalan yang
ikut pula memeriksa surat- surat, tak terkecuali. Tatkala
menibuka sampul surat 'petunjuk membuka peti ia
membaca dengan nyaring : = Di kiri-kanan peti terdapat pesawat rahasia. untuk
membuka, sentakkan kedua tanganmu dengan berbareng. Lalu bukalah penutupnya.=
Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang Dalan kagum
bukan main. Itulah jebakan yang mengerikan. Coba,
seumpama Lingga W isnu serakah, sehingga tidak
mengubur jenazah almarhum terlebih dahulu " lalu
membuka petinya lantaran bernapsu, pastilah, ia bakal
tersambar pesawat rahasia yang tentu " mengancam
jiwa. Kyahi Sambang Dalan menyuruh Ganjur mengambil
sebuah tong besar. Ukuran tong itu setinggi peti besi..
Lalu ia membuat dua lubang. Kemudian peti besi
dimasukkan ke dalamnya dan bag ian atas tong itu
ditutupnya dengan papan. "Mari!" K i Ageng Gumbrek mengajak Lingga W isnu.
Berdua, mereka memasukkan sebelah tangannya
masing-masing, lewat lubang tong dan memegang sisi
peti bagian pelatuk. Setelah saling memberi isyarat,
dengan berbareng mereka menyentakkan pelatuk yang
dipegangnya. Penutup peti terdengar menjeblak. Lalu.
terdengar pulalah suara beruntun-menancap pada papan
penutup. Dan tong tergetar karenanya.
Lingga W isnu menunggu beberapa saat. Apabila
suara-getaran terhenti, ia hendak membuka papan
penutup tiba-tiba gurunya menarik lengannya sambil
berseru mencegah : "T unggu!" Baru saja Kyahi Sambang Dalan menutup mulutnya,
terdengarlah kembali suara 'susu lan seperti tadi. Lingga
W isnu, jadi mengerti. . . maksud gurunya menarik
lengannya. Sekarang, ia berpaling kepada gurunya. Dan
gurunya bersikap 'menunggu' sekian lamanya.
"Nah, sekarang balik!" akhirnya guru yang bijaksana
itu membuka suaranya. Dengan dibantu oleh Ganjur,
Lingga W isnu membalikkan tong dan. diangkatnya. Dan
papan penutup yang tertinggal di atas lantai penuh
tertancap anak-anak panah. Semuanya berjumlah
duapuluh tujuh batang. Kyahi Sambang Dalan, Ganjur
dan Ki Ageng Gumbrek mencabuti sekalian anak panah
yang tertancap itu dengan jepitan. Setelah diletakkan
diatas meja, masih saja mereka t akut menyentuhnya.
Kyahi Sambang Dalan menghela napas. Katanya
dengan suara kagum : "Bondan Sejiwan benar-benar manusia yang pandai
berpikir jauh dan dalam sekali. Rupanya, dia khawatir,
serangan pertama akan dapat dielakkan. Lalu diatur
demikian rupa, sehingga terjadi serangan susulan setelah
serangan pertama reda."
Ki Ageng Gumbrek mengeluarkan peti besi dari dalam
tong. Setelah lapisan penutup terbuka, ia memeriksa
dalamnya. Disin i, terlihatlah isinya penuh dengan uraturat kerbau kering
malang-melint ang. Inikah alat
pesawat penjepret anak-anak panah yang saling
menyusul. Susunannya seperti jebakan t ikus. Sekali kena
tarik, pesawatnya segera bekerja menjepretkan panah
puluhan batang jumlahnya. Benar-benar hebat.
Dengan menggunakan jepitan, Ki Ageng Gumbrek
menyingkirkan urat-urat kerbau yang tidak bekerja lagi.
Dibawahnya terdapajt sejilid kitab berjudul: Kitab sakti
rahasia keluarga Setan Kobar. Sebutan Setan Kobar itu
siapa lagi yang dimaksudkan, selain Bondan Sejiwan"
Rupanya ia sadar, bahw a dirinya disebut setan atau iblis
atau siluman o leh masyarakat umum - karena dianggap
kapir. Lalu menyebut dirinya sendiri dengan sebutan
Setan Kobar. Dengan terus menggunakan jepitan. Ki Ageng
Gumbrek meribalik-balik lembaran isi kitab. Isinya penuh
dengan huruf-huruf kecil, gambar-gambar, peta, keterangan dan contohnya serta gambar berbagai
senjata tajam. Dan semua makin menjadi kagum.
Setelah itu Kyahi Sambang Dalan membuka peti besi
lainnya yang berukuran lebih kecil. Ia menemukan sejilid
kitab lagi. Baik bentuk dan isinya serupa. Akan tetapi
apabila diamat-amati dengan seksama, ternyata berbeda
Baik mengenai bentuk hurufnya, gambar-gambarnya dan
petanya. Justru inilah kitab warisan yang sebenarnya.
"Benar-benar Bondan Sejiwan berotak luar biasa." Puji
Ki Ageng Gumbrek. "Untuk menghadapi orang yang tak
sudi mengubur kerangkanya, dia telah mengasah
ot aknya demikian rupa hingga membuat kitab palsu serta
panah beracunnya. Bukankah semuanya itu dipersiapkan
setelah ia meninggal dunia" Kenapa ia bersiaga begitu
rupa terhadap orang yang masih belum diket ahui
termasuk buruk dan baik?"
"Menurut kabar berita, memang ia seorang yang cupat
pandangannya," kata Kyahi Sambang Dalan. "Baiknya ia
tahu diri, sehingga mau menyebut diri sendiri dengan
sebutan Setan Kobar. Tetapi akhirnya ia mengalami
kematian demikian rupa. Di sebuah goa yang sunyi sepi
seakan akan benar-benar setan atau siluman."
Ki Ageng Gumbrek memanggut-manggut sambil
menghela napas. Ujarnya: "Aku sendiri bukan seorang muslim yang baik. Kau
sendiri menamakan diriku, pendeta bangkotan. Tetapi,
rasanya apabila dibandingkan dengan dia, masih


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumayan diriku." Kyahi Sambang Dalan tertawa. Kemudian memberi
perint ah kepada Lingga W isnu dengan sungguhsungguh:
"Lingga, kau simpanlah dua peti ini dan semua isinya.
Bondan Sejiwan adalah seorang kapir yang berpemandangan sempit. Kitabnya pun pasti akan
membuat sesat orang. Karena tiada faedahnya,
janganlah engkau membacanya. Apalagi untuk mempelajarinya." Lingga W isnu patuh kepada gurunya. Kedua kitab
warisan Bondan Sejiwan dikembalikan kepada tempatnya
semula. Setelah menutup kedua peti besi, ia menyimpannya di bilik tengah. Cara mengaturnya meniru
Bondan Sejiwan mengatur kedua peti warisannya di
dalam goa. Semenjak itu Lingga W isnu melanjutkan latihanlatihannya bertambah tekun dan
rajin. Ki Ageng Gumbrek demikian sayang kepadanya, sehingga mewariskan
seluruh ilmu kepandaiannya yang istimewa. Itulah ilmu
membidik dan ilmu kegesitan. Selang beberapa bulan
kemudian orang tua itu berpamit turun gunung untuk
kembali hidup berkelana seperti yang dilakukan semenjak
zaman mudanya. Lingga W isnu sebenarnya merasa berat berpisahan.
Namun tak dapat ia mencegah kehendak Ki Ageng
Gumbrek itu. Selanjutnya ia belajar terus dibawah
pimpinan tunggal, Kyahi Sambang Dalan yang juga telah
mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada murid
yang berbakat dan rajin serta ulet itu. Dan empat t ahun
lewatlah sudah. Lingga W isnu kini sudah berusia
duapuluh dua tahun. Sepuluh tahun lamanya Lingga W isnu berada di atas
gunung Dieng. Sekarang dia tumbuh menjadi seorang
pemuda yang berkepandaian tinggi. Dari Kyahi Sambang
Dalan ia memperoleh ilmu pedang dan pukulan tangan
kosong. Sedang dari Ki Ageng Gumbrek ia menjadi
seorang ahli pembidik senjata jarak jauh dan ilmu
kegesitan. Empat ilmu kepandaian itu, digabungkannya
menjadi satu. Dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya
si Ganjur atau bekas-bekas gurunya yang dahulu, ia
berada jauh diatas mereka. Hanya, mengenai tenaga
pantulan ia masih sangat lemah. Itulah disebabkan
lantaran racun jahat Pacarkering masih tetap mengeram
di dalam dirinya. Pernah hal ini dibicarakan kepada kedua
gurunya itu. Akan tetapi baik Kyahi Sambang Dalan
maupun Ki Ageng Gumbrek tak dapat mengatasi. Mereka
hanya dapat membesarkan hatinya, bahwa pada suatu
kali racun yang mengeram dalam dirinya itu pasti akan
menjadi susut dan akhirnya musnah sama sekali.
Dalam pada itu, karena belasan tahun tak pernah
turun gunung, Lingga W isnu buta mengenai percaturan
dunia. Apa yang terjadi dibawah gunung, sama sekali
gelap baginya. Ia hanya mendengar tutur-kata kedua
gurunya itu saja. Sebaliknya, percaturan duniapun tidak
mengetahui bahwa Kyahi Sambang Dalan dan Ki Ageng
Gumbrek, kini mempunyai seorang murid penutup.
Pada suatu pagi, pada permulaan musim semi selagi
Lingga W isnu bertekun berlatih dengan di temani kedua
ekor keranya, si Kapi dan si Kut il. Tiba-tiba muncullah
Ganjur dengan menggerak-gerakkan t angannya. Tahulah
Lingga W isnu, gurunya memanggilnya. Tidak ayal lagi, ia
segera berhenti berlatih. Kemudian dengan cepat ia
masuk ke dalam kamar gurunya. Ia heran tatkala melihat
dua orang asing yang berpawakan tinggi besar berdiri
disamping gurunya. Selama berada di atas gunung
Dieng, selain Ki Ageng Gumbrek, tiada seorangpun yang
pernah mendaki mengunjungi pertapaan gurunya. Siapa
mereka berdua, sama sekali ia belum ke nal.
"Lingga, inilah kakang Umarsidik dan kakang Kasidha!"
Kyahi Sambang Dalan memperkenalkan kedua tetamunya. "Nah, kau perkenalkan dirimu."
Karena gurunya memanggil mereka dengan sebutan
kakang, Lingga W isnu menduga bahw a mereka adalah
sahabat-sahabat gurunya. Lantas saja ia maju menghampiri. Memberi hormat samb il berkata secara
sopan : "Paman, perkenalkan ..."
Baru saja Lingga W isnu menyebut kata-kata paman,
kedua orang itu buru-buru membalas hormatnya sambil
menyahut : "Jangan memanggil kami paman. Justru kamilah yang
harus menyebut dirimu paman."
Lingga W isnu tercengang. Bagaimana ini" Masakan
mereka berdua memanggil dirinya paman" la jadi
berteka-teki. Kyahi Sambang Dalan t ertawa berkakakan. Katanya :
"Mari mari! Kalian bertiga duduklah sejajar!"
Baik Lingga W isnu maupun kedua tetamunya, lantas
duduk diatas kursinya masing-masing yang sudah
disediakan oleh si Ganjur. Diam-diam
Lingga W isnu mengamat-amati kedua tetamunya itu. Mereka berdua
berdandan sebagai petani. Gerak-geriknya gesit, hanya
kesan wajahnya tegang dan pemalu.
Dalam pada itu Kyahi Sambang Dalaii masih tertawa.
Kemudian memperkenalkan kedua tetamunya kepada
Lingga W isnu. Katanya: "Belum pernah sekali juga engkau mengikuti aku turun
gunung. Maka tak mengherankan, Lingga bahwa engkau
tidak mengetahii tingkat derajatmu. Kedua tetamu kita
ini, Umarsid ik dan Kasidha, adalah murid keponakanku.
Mereka memanggilku eyang. Dengan sendirinya, karena
engkau adalah muridku, maka mereka akan memanggilmu, paman. Akan tetapi karena usia mereka
jauh lebih tua dari pada dirimu, lebih baik kalian bertiga
berkedudukan sesama saudara dan sederajat saja.
Lingga harus memanggil Umarsidik dan Kasidha dengan
sebutan kakang. Sebaliknya, Umarsid ik dan Kasidha
hendaklah memanggil Lingga W isnu dengan sebutan
adi." Baik Lingga W isnu maupun kedua tetamu gurunya
menjadi lega hati kini, setelah mendengar penjelasan
Kyahi Sambang Dalan. Menurut tingkatan, memang
sudah sepantasnya Umar sidik dan Kasidha memanggil
paman kepada Lingga W isnu. Karena Lingga W isnu murid
Kyahi Sambang Dalan yang berkedudukan sebagai eyang
mereka. Akan tetapi Lingga W isnu yang lagi berumur
duapuluh dua tahun, sudah barang tentu tak enak
rasanya apabila dipanggil paman oleh mereka yang
sudah berumur empatpuluh tahun lebih. Sekarang
gurunya memutuskan sederajat dan setingkat saja.
Keruan saja bocah itu bersyukur didalam hati. Rasa
kekakuannya hilang sebagian besar. Dan yang dirasakannya kini suatu keakraban yang nyaman.
"Kedua kakakmu ini datang dari Sukawati. Mereka
berdua bekerja dibawah panglima Sengkan T urunan dan
Arismunandar, kedua-duanya, panglima Pangeran Samber Nyawa." Kyahi Sambang Dalan memberi
keterangan. "Karena telah terjadi suatu peristiwa yang
penting untuk dirundingkan, maka esok pagi aku harus
turun gunung untuk menghadap Pangeran Samber
Nyawa." Tercengang Lingga W isnu mendengar keterangan
gurunya. Peristiwa Sukawati" Apa itu" W aktu itu,
permulaan tahun 1755. Pemerintah Belanda rupanya
merasa tak tahan lagi menghadapi pemberontakan
Mangkubumi I dan Raden Mas Said.
Seperti diket ahui, pada tahun 1749, Gubernur
Hogendorff berhasil memaksa Paku Buw ana II menanda
tangani penyerahan Mataram kepada Belanda. Sama
sekali t ak diduganya, bahwa ia bakal menghadapi akibat,
penyerahan itu. Laskar Mangkubumi I dan Raden Mas
Said amat kuatnya. Maka Guberhur Hogendorff diganti
oleh Gubernur Hartingh. Gubernur ini diperkenankan
berunding dengan Mangkubumi maupun Raden Mas Said
dengan kekuasaan penuh untuk memberi hak dipertuan
kepada salah seorang pangeran yang berontak itu.
Penasehat-penasehat di negeri Belanda menganjurkan
pula supaya ia sedapat mungkin menimbulkan perpecahan antara kedua orang pangeran itu. Tipumuslihat Belanda ini pernah
dilakukan juga untuk mengatasi pemberontakan Ratu Bagus Boang dan Ki
Tapa di Banten. Kini, hendak dipergunakan lagi untuk
menghadapi Mataram. Dan tipu muslihat ini akhirnya
berhasil juga. Kepada Raden Mas Said dijanjikan :
kedudukan sebagai putera mahkota Mataram dan
pangkat patih apabila ia menyerah.Akan tetapi Raden Mas Said menolak. Gubernur
Hartingh nyaris berputus asa. Maklum lah, Belanda sudah
kehabisan tenaga maupun uang. Sebab pada tahuntahun itu pemerintah Belanda lagi
menghadapi empat tokoh pemberontak yang gagah perkasa. Merekalah Ratu
Bagus Boang, Ki Tapa dan Mangkubumi I serta Raden
Mas Said. Gubernur Hartingh lantas mengarahkan sasarannya
kepada Pangeran Mangkubumi I dengan perantaraan
seorang Arab. Kepada Pangeran Mangkubumi I, Belanda
menyatakan kesanggupannya untuk-mengakui :
1. Kedaulatan Mangkubumi I atas daerah-daerah
yang didudukinya sekarang.
1. Kedaulatan itu disertai gelar: Putera Mahkota.
Tetapi Pangeran Mangkubumi I menolak pula. Sayang
sekali, justru pada saat itu terjadilah suatu perselisihan
dengan Raden Mas Said. Kedua laskar tentara
pemberontak itu lantas saling menyerang. W alaupun
demikian, Belanda tak dapat mematahkan kekuatan
tentara yang saling bertentangan itu. Hal itu disebabkan
karena sesungguhnya Belanda sudah tak mampu lagi
berkutik. Maka dicarinyalah jalan yang semudah
mudahnya dan semurah murahnya dengan melalui
perundingan perundingan dan janji janji.
Akhirnya Belanda berhasil memikat hati Pangeran
Mangkubumi I dengan tawaran yang setinggi-tingginya.
Bunyinya . sebagai berikut :
Pangeran Mangkubumi menerima separo kerajaan
Mataram dan diaku i sebagai raja yang berdaulat atas
daerah-daerah yang terpaksa diserahkan kepadanya,
karena sudah dikuasi penuh oleh laskar Mangkubumi I. Pangeran Mangkubumi I kena
terjebak. Ia menerima tawaran Belanda itu yang dianggapnya pantas dan
terhormat. Maka ditetapkanlah pembagian Mataram
menurut jumlah penduduk. Masing- masing 87.050 cacah
jiwa untuk Pangeran Mangkubumi I dan 85.450 cacah
jiwa untuk Susuhunan. Adapun daerah yang masuk
dalam wilayah kekuasaan Pangeran Mangkubumi I
meliputi : Sebagian dari Pajang, Mataram, Kedu dan
Bagelen, Madiu, Bojanegoro, Mojokerto, Grobogan dan
sebagian dari Pacitan. Sedangkan daerah kekuasaan
Susuhunan meliputi sebagian dari :
Pajang, Mataram, Kedu dan Bagelen, Banyumas,
Kediri, Ponorogo, W irasaba (Surabaya), Blora dan
Jagaraga yang terletak di sebelah barat Madiun.
Dengan terjadinya peristiwa itu, maka pecahlah
kerajaan Mataram yang dahulu dipersatukan dengan
susah-payah oleh Sultan Agung. Dan perjanjian
pembagian ini terjadi di desa Giyanti pada tanggal 13
Pebruari 1755. Raden Mas Said yang ditinggalkan oleh sekutunya


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan peperangan dengan hebat. Meskipun
Belanda sekarang dapat membahayakan kedudukannya,
akan tetapi Raden Mas Said pant ang menyerah. Inilah
yang disebut Kyahi Sambang Dalan peristiwa Sukawati,
karena-pemberontakan kedua pangeran itu, dimulai dari
daerah Sukawati pada tahun 1745. Sudah barang t entu
semua peristiwa itu sama sekali t ak diket ahui oleh Lingga
W isnu. Seumpama diapun berada di tengah masyarakat,
semuanya itu akan luput dari perhatiannya.
"Kali ini aku diperkenankan ikut-serta, bukan?"
katanya. "Sekiranya belum diperkenankan menjenguk
eyang dan sekalian paman-paman guruku biarlah aku
mencari paman Puguh."
Kyahi Sambang Dalan tertawa mendengar permohonan Lingga W isnu. Bocah itu ternyata tak
pernah melupakan mereka yang pernah melepas budi
kepadanya. Ujar Kyahi Sambang Dalan :
"Pada saat in i dunia kacau-balau. Kawan dan lawan
sukar dibedakan. Tadinya, Pangeran Mangkubumi
bersatu dengan Raden Mas Said. Sekarang mertua dan
menantu itu berbalik saling menyerang. Yang celaka
adalah paraanggaut a laskar. Mereka tak tahu arti dan
faedahnya suatu perundingan perdamaian. Mereka kini
jadi terumbang-ambing. Menang, inilah waktunya yang
tepat bagimu untuk turun gunung mengamalkan ilmu
kepandaianmu sekalian menuntut balas musuh ayahmu.
Hanya saja masih berat hatiku untuk mengijinkan ..."
"Mengapa" Apakah kepandaianku belum cukup untuk
menuntut dendam ayah?"
"Itupun termasuk salah satu alasanku," sahut Kyahi
Sambang Dalan. "Kecuali itu masih ada alasan lain lagi
yang lebih penting. Coba kau pertimbangkan.''
Kyahi Sambang Dalan memberi isyarat mata kepada
Umarsidik dan Sasidha. Mereka berdua lantas keluar
pendapa agar tidak mengganggu pembicaraan antara
guru dan murid itu. Setelah berada sendirian dengan
muridnya, berkatalah Kyahi Sambang Dalan :
"Kematian kedua orang tuamu sangat menyedihkan.
Sebaliknya, keadaan negara ini, jauh lebih menyedihkan.
Perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden
Mas Said meramalkan alamat yang mengerikan di
kemudian hari, apabila t idak cepat-cepat kita tanggulangi
bersama. Kau hendak menuntut balas kematian ayahbundamu. Itulah bagus! Tetapi,
tahukah engkau dengan pasti siapa sebenarnya pembunuh ayah-bundamu"
Kedua orang tuamu sendiri tatkala masih hidup masih
belum memperoleh pegangan. Itulah menurut tutur
katamu dahulu. Apalagi engkau! Bagaimana kalau
engkau sampai salah membunuh" Jika sampai terjadi
demikian, maka engkau akan menambahi kekacauan dan
kesuraman bangsamu. Sedang urusan negara merupakan perkara besar. Dan urusan pribad i menjadi
sangat kecil apabila dibandingkan. Aku yakin, arwah
ayah-bundamu akan mengutukmu pula bila perbuatanmu
itu akan menambah kemuraman perjuangan bangsamu."
Lingga W isnu terkejut. Ucapan gurunya itu bukan t ak
mungkin terjadi. Sebab musuh orang tuanya, yang
sesungguhnya, memang belum diketahuinya dengan
pasti. Seketika itu juga tubuhnya dirasa menjadi panas
dingin. "Urusan negara adalah urusan besar! Dan urusan
pribadi adalah urusan kecil, kataku t adi." Kyahi Sambang
Dalan mengulangi perkataannya. "Itulah sebabnya aku
berkeberatan mengijinkan engkau mengadakan balas
dendam pada saat ini. Siapa tahu, musuhmu justru
memegang kendali perjuangan yang menentukan.
Karena itu engkau harus berani bersabar dan berhatihati. Manakala demikianlah
keadaannya, maukah engkau
mengorbankan kepentingan pribadimu" Jika engkau
berjanji-dan sanggup bersikap begitu, aku akan
mengijinkan. Syukurlah, apabila mu suh besarmu itu
bukan salah seorang pejuang yang penting."
Bergolak hati Lingga W isnu mendengar ucapan Kyahi
Sambang Dalan yang agung dan berwibawa. T ak terasa
ia mengangguk. "Bagus!" seru gurunya setengah bersorak. "Ilmu
kepandaianmu kini telah mempunyai dasarnya. Memang,
segala bentuk ilmu kepandaian itu tiada batasnya. Akan
tetapi aku telah mewariskan seluruh kepandaianku
kepadamu. Aku percaya dengan berpegang kepada ilmu
kepandaian yang telah kau pahami itu, engkau akan bisa
berbuat lebih banyak lagi. Hanya saja, jangan
menganggap dirimu sudah sempurna, sehingga merasa
tiada tandingnya. Inilah pant angan yang maha besar!
Sebaliknya, bertekunlah di setiap waktu, agar memperoleh kemajuan pesat. Besok aku akan berangkat.
Setelah dirimu merasa mendapat keyakinan, engkau
boleh menyusulku di markas Panglima Sengkan
Turunan!" Lingga W isnu girang bukan kepalang". Segera ia
berjanji hendak patuh kepada segala pesan gurunya. Dan
mendengar janji dan kesanggupannya Lingga W isnu,
Kyahi Sambang Dalan memberi tahu rahasia-rahasia
pergaulan dan tanda-tanda sandi kaumnya. Setelah itu ia
berkata menambahi : "Kau jujur dan berhati-hati. Aku percaya kepadamu.
Akan tetapi engkau masih muda belia. Semangatmu
sedang berkobar-kobar. Maka pesanku yang harus kau
ingat-ingat ialah tentang godaan paras cant ik. Menghadapi godaan ini, engkau harus waspada luar
biasa. Sejarah hidup manusia sudah banyak membuktikan dan mewartakan tentang seorang gagahperkasa yang akhirnya roboh di
tangan seorang perempuan cantik, sehingga dirinya kena malapetaka
dengan namanya rusak untuk selama-lamanya. Kau
ingat-ingatlah hal ini baik baik!"
Pada keesokan harinya, sebelum terang t anah, Lingga
W isnu sudah bangun. Dengan dibantu Ganjur, ia
menyalakan api dan menanak nasi. Setelah makanan
siap, ia pergi ke kamar gurunya untuk mempersilahkan
gurunya makan pagi. Namun kamar gurunya telah
kosong. Rupanya, gurunya telah berangkat pada tengah
malam bersama sama dengan Umarsidik dan Kasidha
diluar pengetahuannya. Ia jadi terlengang-longang.
Dengan pandang kosong pula ia mengawasi pembaringan gurunya. Kesannya, sunyi menyayatkan
hati. o)oo0dw0oo(o 1. Bondan Sekar Prabasini
Tetapi apabila teringat diapun bakal turun gunung,
hatinya sangat girang. Bukankah ia bakal bisa bertenu
dengan eyang serta paman-paman gurunya, Aruji serta
Palupi" Oleh rasa g irang, ia berlari-larian mencari paman
Ganjur. Paman gagu yang baik hati itu, pasti akan ikut
menjadi girang. Diluar dugaan, paman Ganjur itu
ternyata sebaliknya. Paman gagu itu memutar tubuhnya
dan dengan w ajah berduka
keluar dari dapur. Lingga W isnu jadi terharu. Sepuluh tahun lamanya ia berkumpul, bersenda dan bergaul bagaikan saudara kandung sendiri. Sekarang bakal berpisah. Tak mengherankan, paman yang baik hati itu jadi berduka. Menimbang hal itu, hampir saja ia membatalkan niatnya hendak turun
gunung supaya dapat berkumpul terus dengan si gagu.
Dengan cepat sembilan hari lewatlah sudah. Selama
itu Lingga W isnu terus berlatih memahirkan semua
pelajarannya dengan rajin dan bersungguh-sungguh.
Semenjak kanak-kanak ia hidup dikejar-kejar musuh.
Maka tahulah dia, apa arti ilmu kepandaian yang tinggi
itu. Dengan berbekal ilmu kepandaian yang tinggi, tak
perlu lagi ia berkecil hati menghadapi bahaya yang
mengancam dengan tiba-tiba.
Malam hari itu, setelah makan malam, ia duduk
terpekur menghadap perdiangan. Sebagai pengisi waktu
ia membaca sejilid kitab pelajaran. Kira-kira satu jam
lamanya, ia terbenam dalam isi kitab. Tiba-tiba Ganjur
masuk dengan menggerak-gerakkan tangannya. Orang
gagu itu hendak mengabarkan, bahwa seseorang telah
memasuki dataran pertapaan Kyahi Sambang Dalan
dengan diam diam. "Oh, begitu" Biarlah kuperiksanya." kata Lingga
W isnu. Tetapi baru saja bergerak hendak keluar pintu,
Ganjur mencegahnya. Orang gagu itu memberi isyarat
mata, bahwa ia sudah memeriksanya dan ternyata tiada
nampak jejaknya. Meskipun demikian, Lingga W isnu
merasa belum puas. Dengan mengajak Kapi dan Kut il, ia
meronda sekeliling pertapaan. Ia tidak menemukan
tanda-tanda yang mencurigakan. Setelah yakin tiada
yang bakal mengganggu ketenteraman pertapaan, ia
kembali dan menidurkan diri.
Kira-kira tengah malam, ia tersentak bangun
mendengar t eriakan Kapi dan Kut il. Serentak ia berloncat
duduk dan memasang pendengaran. Sekonyong-konyong
ia mengendus bau wangi Hatinya tercekat. Sebagai
murid Ki Sarapada, meskipun dalam impian, dan anak
didik Palupi tahulah ia arti bau wangi itu. Itulah bau
wangi ramuan obat pembius, seperti yang pernah
dilakukan oleh Palupi, terhadap Janggel, Panjisangar,
Roha dan sebaliknya. Mereka semua adalah ahli-ahli
racun yang tiada taranya dijagad ini. Keruan saja ia
berteriak: ''Celaka!" Buru-buru ia menahan napas, lalu meloncat turun.
Alangkah kagetnya, tatkala dirasakan tenaga kedua
kakinya lenyap tak keruan. Tatkala menginjak lantai
batu, mendadak terhuyung huyung dan hampir roboh.
'Obat pemunah Palupi!' tiba-tiba suatu ingatan
menusuk benaknya. Tangannya meraba-raba kantong
bajunya. Baru saja ia menelan sejumput, tiba-tiba pintu
terjeblak. Dan muncul ah sesosok bayangan melompat
memasuki kamar. Sebilah golok menyambar padanya.
Kepala Lingga W isnu te rasa pusing sekali. Akan tetapi
tak sudi ia membiarkan dirinya kena sabatan golok.
Sadar akan ancaman bahaya, ia mengelak dengan
mengendapkan kepalanya. Tangan kanannya berkelebat
membalas menyerang. Bayangan itu ternyata gesit.. Ia
berputar dan menya- batkan golok ke lengannya.
Menghadapi lawan gesit, Lingga W isnu tak mau
bekerja setengah matang. Terus saja ia melejit dan
menyusulkan tangan kirinya. Tepat bidikannya. Dengan
menggunakan sisa tenaganya, tangan kirinya berhasil
menghantam pundak. Dan bayangan itu berteriak
kesakitan. Tubuhnya menjadi limbung. Nampaknya dia
heran, apa sebab pemuda itu t idak segera roboh setelah
menghisap uap racunnya. Dia tidak tahu, lawannya
mengantongi bubuk ramuan obat dari tabib istimewa.
Sayang baru menelan sedikit, sudah terlibat dalam suatu
perkelahian. "Apakah dia masih mampu melawan?" terdengar suara
lain bertanya. Lingga W isnu tak gentar menghadapi dua lawan. Ia
bergerak hendak mendahului menyerang. Sekonyongkonyong penglihatannya berputar.
Kepalanya terasa menjadi berat. Tak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Entah berapa lama ia tak berkutik. Tiba-tiba ia
tersadar. Itulah akibat bekerjanya bubuk pemunah racun.
Hanya sayang, ia tadi menelan sangat sedikit. W alaupun
demikian, bubuk pemunah yang hanya sejumput itu
masih mampu mengusir pengaruh hawa berbisa. Seluruh
tubuh Lingga W isnu terasa lemas dan nyeri. Tatkala
mencoba hendak menggerakkan kedua tangan dan
kakinya, ia terperanjat bukan main. Ternyata kedua
tangan dan kakinya telah terbelenggu.
Dengan penasaran ia menjiratkan pandangnya.
Kamarnya telah menjadi terang-benderang. Dilihatnya
kedua orang itu sedang asyik menggeledah kamarnya.
Peti pakaian dan segalanya yang tersusun rapi,
dibongkarnya hingga morat-marit.
'Celaka!' ia mengeluh di dalam hati. Kemudian ia
mengikuti diri sendiri oleh rasa sesal dan kesal. Baru satu
minggu, gurunya meninggalkan pertapaan, ternyata
tempat bermukimnya kena digerayangi pencuri-pencuri.
Dan ia sama sekali tak berdaya berbuat sesuatu. Kalau
nant i ada yang hilang, bagaimana ia hendak mempertanggung jawabkan kepada gurunya" 'Nasibku
ini memang sial. Baru menghadapi begini saja aku tak
mampu. Apalagi berangan-angan menuntut balas ayahbunda segala. Huh ... Huh ...
Pantas guru belum mengijinkan aku turun gunung. Nyatanya selain aku
tolol, tak berguna pula ...
Sekalipun demikian, ia sesungguhnya seorang pemuda
yang cerdik dan cepat reaksinya. Segera ia berpura-pura
masih tak sadarkan diri dan menutup kedua matanya
kembali. lalu mengint ai dari cela-cela pelupuk mata
mengikuti gerak-gerik mereka berdua.
Yang sedang membungkuki bongkaran peti, seseorang
yang berperawakan kurus-kering. Sedang yang lain,
berperawakan pendek-gemuk dan berdandan sebagai
pendeta. Orang inilah yang tadi kena pukulannya.
'Dalam pertapaan ini terdapat benda berharga apa,
sampai mereka menggerayangi tempat ini"' pikir Lingga
W isnu di dalam hati dengan mendongkol. 'Paling-paling
aku mempunyai sisa uang seratus perak pemberian guru
sebagai bekal perjalanan. Jangan-jangan mereka justru
musuh-musuh ayah yang mencium beradaku disin i.
Celaka kalau begitu! Belum lagi aku turun gunung, sudan kedahuluan ... Tetapi,
mengapa mereka t idak lantas
membunuhku saja" Apa perjlu menggeledahi peti
pakaianku" Pastilah ada yang dicarinya. Aku dibiarkan
hidup untuk persediaan, manakala mereka tak dapat
menemukan barang yang dicarinya lantas mereka akan
mengcmpes mulut ku. Kalau begitu, apakah musuhmusuh guruku" Melihat gerak-
geriknya, mereka bukan orang sembarangan. Sambil berpikir pulang-balik, Lingga W isnu mencoba
merenggutkan t ali pengikat. Ia mengerahkan tenaganya
dengan diam-diam. Ia terkejut setengah mati. Ternyata
tenaganya punah sama sekali Pada saat itu sekonyongkonyong, si gemuk yang
berdandan sebagai pendeta
berteriak kegirangan : "Cocak Obar-abir! In i dia!"
Si kurus, yang dipanggil Cocak Obar-abir, menoleh.
W ajahnya berubah cerah. Ia melihat kawannya sedang
menyeret peti besi dari kolong pembaringan. Itulah peti
besi w arisan Bondan Sejiwan.
Berdua, mereka mengangkat peti besi itu, dan
diletakkan di atas meja. Dengan berbareng mereka
membuka tutup besi itu, serta mengeluarkan sejilid kitab.
Setelah pelita didekatkan, terbacalah judul buku itu:
Kitab sakti Rahasia Keluarga Setan Kobar. Begitu terbaca
judulnya, mereka lantas tertawa berkakakan dengan
riuh. "Kakang Gumuling! Benar dugaanmu. Ternyata
memang berada di sini!" Cocak Obar-ab ir berseru girang.
"T ak sia-sia usaha kita selama lima belas t ahun. Akhirnya
ketemu juga I" Gumuling tertawa lebar. Lebar sekali. Lalu dengan
pandang melotot ia membuka-buka lembarannya yang
penuh dengan huruf-huruf kecil, peta serta gambargambarnya. Saking garangnya ia
sampai menggarukgaruk punggung daun telinganya.
Sekonyong-konyong Cocak Obar-abir berteriak kaget:
"Hai! Mau lari ke mana?"
Sambil berteriak demikian, ia menuding ke arah Lingga
W isnu. Pemuda ini jad i terkejut. Ia menyadari bahw a
sikap pura-puranya ketahuan dan saat itu, Gumuling
melihat pula kearahnya. Di luar dugaan, Cocak Obar-abir
menggerakkan tangan kanannya. Sebentar saja, dan
punggung Gumuling tertancap sebilah belati sampai
ujungnya muncul didadanya. Setelah itu, Cocak Obar-abir
meloncat mundur sambil menghunus pedangnya. Ia
bersikap membela diri dengan mengandalkan pedangnya
pada tenggorokan Gumuling.
Gumuling kaget kena tikam belati dengan mendadak.
Ia menoleh. Kesan wajahnya tak terlukiskan. Terkejut,
menyesal, benci, muak, mengutuk, menangis dan
dendam. Sesaat kanudian tertawa kosong melolong. Lalu
berkata : "Hoaha ... hoaha ... Limabelas tahun kita mengikat
persahabatan. Limabelas tahun bersatu padu mencari ini
... Sekarang berhasil... hoaha lalu ... saudara yang mulia
hati hendak mengangkangi sendiri ... Benar-benar adil
..... Hoaha ... Kenapa belum-belum sudah menurunkan
tangan jahat ... ha .. ha .. ha ... hi ..."
Itulah suara t ertawa yang hebat dan seram kesannya,
sampai Lingga W isnu bergidik seluruh bulu romanya. Ia
melihat Gumuling menggerakkan tangan kanannya
hendak mencabut belati yang menancap punggung
sampai menembus dadanya. Akan tetapi tangan itu tak
berhasil mencapai punggungnya. Dengan serta merta ia
mendorong ujung belati yang menembus dadanya, ke
dalam. Dan pada saat itu ia memekik tinggi. Ia roboh
terguling. Terlihat kakinya berkelojotan sebent ar. Lalu
terdiam ... Cocak Obar-abir menunggu beberapa saat lamanya. Ia
khawatir, temannya itu lagi menggunakan tipu-muslihat.
Lantas saja ia menikamkan pedangnya dua kali berturutturut untuk meyakinkan
hatinya. Dan menyaksikan hal
itu, seluruh tubuh Lingga W isnu menjadi panas dingin.
Alangkah kejam orang itu sampai tega membunuh
sahabatnya sendiri! "Kakang Gumuling, maaf." tiba-tiba Cocak Obar-abir
berkata. "Kita tidak hanya bersahabat saja, t etapi kitapun
sesama saudara seperguruan. Ilmu kepandaianmu
berada diatasku. Seumpama aku tidak mendahului
engkaupun akan membunuhku iuga. Karena itu, terpaksa
aku.. Humm!" Mendengar perkataan Cocak Obar-abir, hati Lingga
W isnu tambah bergidik. Jadi, bukan hanya sahabat" Mal
han sesama saudara seperguruan! Alangkah bengis oAng
ini! Benar-benar bengis dan kejam!
Cocak Obar-abir sebenarnya tidak t ahu bahwa Lingga
W isnu sudah sadar semenjak tadi. Dua kali ia tertawa
seram. Lalu ia menyentil angus sumbu pelita agar
nyalanya jadi bertambah terang. Kemudian ia mengambil
meja dan membolak-balik lembaran kitab. 'Kitab Sakti
Rahasia Keluarga Kobar. Dia begitu bergembira, sehingga
membaca dengan mulutnya. Lalu berkata :
"Bondan Sejiwan! Mengapa engkau menamakan ilmu
saktimu dengan istilah 'Setan Kobar"' Bukankah ini
rahasia ilmu sakti Kebo W ulung yang kau banggabanggakan" Eh, kau bisa membadut
juga..." Kembali lagi ia membuka-buka lembaran kitab sakti.
Diantaranya terdapat dua tiga halaman yang saling
menempel dan melekat lantaran tersimpan terlalu lama.
Cocak Obar-abir lantas menempelkan jari tangannya ke
lidahnya. Dengan kuluman ludahnya itu, ia melepaskan
lembaran-lembaran yang berlengket. Demikianlah yang
dilakukan berulangkali, set iap kali ia menjumpai
lembaran- lembaran yang ber lengket.
Tiba-tiba teringatlah Lingga W isnu, bahwa kitab yang
berada di peti besar itu beracun.
Karena kitab itu sesungguhnya kitab yang palsu. Kalau
begitu, Cocak Obar-abir bakal keracunan. Teringat akan
hal itu, ia kaget. Tak kehendakinya sendiri ia berseru
tertahan. Mendengar suara Lingga W isnu, Cocak Obar-abir
menileh. Tepat pada saat itu pandangnya tertumbuk
pada kedua mata Lingga W isnu yang mengabarkan rasa
takut. Lantas saja ia bangkit dari kursinya. Kemudian
menghampiri mayat Gumuling yang mati menelungkup!
lantai. Dicabut nya pisau belatinya yang tertancap
dipunggung Gumuling. Setelah itu ia menghampiri L ingga
W isnu. "Kita berdua sebenarnya tidak pernah bermusuhan."
katanya dengan suara bengis. "A kan tetapi pada hari in i,
terpaksalah aku membunuhmu."
Hebat ancaman kedua matanya. Sambil mengangkat
pisau belati, ia tertawa melalui hidungnya dua kali
berturut-turut. Selagi hendak menancapkan pisau
belatinya kepada Lingga W isnu, sekonyong-konyong ia
seperti teringat sesuatu. Ia membatalkan niatnya,
kemudian berkata : "Jika aku lant as saja membunuhmu, sampai d iahirat
engkau pasti belum mengerti sebab-sebabnya. Aku
datang dari keluarga Dandang Mataun. Namaku sendiri
Cocak Obar-abir, Kami sekeluarga bermusuhan dengan
Panyuluh Bondan Sejiwan. Baik kami maupun dia sudah
memutuskan tak sudi hidup bersama dalam kolong langit
ini. Kami atau dia yang harus mati. Hal itu disebabkan
karena ia memperkosa adik seperguruanku. Kemudian
kabur kenari. Belasan tahun lamanya aku mencarinya
hampir ke seluruh penjuru dunia. Tak tahunya, ia
meninggalkan warisan kepadamu. Entah apa. hubunganmu dengan dia. Yang terang apabila engkau
tidak kubunuh, di kemudian hari akan membuat onar
saja. Karena itu, biarlah kau menuntut balas kepadaku,
setelah menjadi hant u. Carilah aku ke dusun Popongan,
tempat bersemayam keluarga Dandang Mataun! Ha-haha!"
Belum lagi Cocak Obar-abir mendpup mulutnya,
mendadak ia limbung. Ia terhuyung huyung mengarah
Lingga W isnu. Keruan saja Lingga W isnu terkejut bukan
main. Inilah saat-saat yang menentukan mati-hidupnya.
Seketika itu juga datanglah tenaganya secara gaib. Terus
saja ia merenggutkan tali pembelenggu tangan dan
kakinya. Entah dari mana datangnya t enaga dahsyat itu.
Barangkali demikianlah yang terjadi pada set iap mahluk
hidup, apabila berada dalam bahaya yang mengancam
jiwa. Itulah tenaga naluriah. Tenaga mempertahankan
hidupnya. Dan dengan tenaga itu Lingga W isnu berhasil
merenggutkan tali pembelenggunya. Serentak ia melompat maju, hendak mendahului menyerang. Tetapi
sebelum dapat melakukan sesuatu, Cocak Obar-abir
roboh terjengkang dengan mendadak. Belatinya terlempar jauh, kedua kakinya berkelojotan. Lalu diam
tak berkutik. Sesaat kanudian dari mata, hidung dan
telinganya mengalir darah hitam meruap-ruap mirip buih
kuda kelelahan. Lingga W isnu tercengang. Itulah akibat racun kitab
palsu Bondan Sejiwan. Pendekar besar yang sudah lama
pulang ke alam baka itu masih bisa merenggut jiwa
manusia yang sebentar t adi masih hidup dalam keadaan
segar-bugar. Hebat ataukah jahat dia" Dalam hal ini
Lingga W isnu merasa berhutang budi. Coba, seumpama
Cocak Obar-abir tidak mati keracunan, pastilah dirinya
yang kini mati t erkapar tertancap belati seperti Gumuling.
Dan teringat betapa Cocak Obar-abir mati t erkena racun,
ia jadi kagum luar biasa terhadap perhitungan pendekar
besar Bondan Sejiwan. Jelas sekali, Bondan Sejiwan
adalah seorang pendekar yang nampaknya terlalu
mengenal tabiat dan perangai musuh-musuhnya.
Seumpama Ki Ageng Gumbrik menyaksikan kekejaman
Cocak Obar-abir pula, tentu akan hilang sebagian
prasangka buruknya terhadap pendekar besar yang
disebut sebagai orang kapir dan munafik itu, tidak hanya
membuat kitab palsu sebagai jebakan saja, tetapipun
mengatur pula secermat-cermatnya agar racunnya tidak
hanya menyentuh tangan belaka. Sedapat mungkin
merasuk ke dalam tubuh. Dengan memperhitungkan
tabiat lawan yang sangat jahat dan serakah, sengaja ia
melengketkan beberapa lembar halaman diant aranya.
Tepat sekali dugaannya. Lawannya menggunakan
kuluman ludah sebagai pengurai halaman kitab yang
berlengket. Dengan setiap kali menempelkan jarinya
pada lidah, berarti memasukkan racun ke dalam mulut .
Dan akhirnya matilah Cocak Obar-abir t anpa ampun lagi.
Lingga W isnu terpaku beberapa saat lamanya. Tibatiba tenaganya yang tadi datang
untuk sesaat, lenyap

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Dan ia kembali roboh terkulai. Lebih seperempat
jam ia rebah tak berkutik. Setelah bahaya yang
mengancam jiwanya lenyap, seluruh tubuhnya terasa
lelah luar biasa. Itulah akibat pudarnya rasa tegang.
Tetapi ia sadar, bahw a dirinya tak boleh dalam keadaan
demikian terlalu lama. Rumah terlalu sunyi dan
mengerikan. Dengan t ak munculnya paman gagu sekian
lamanya, pastilah ia dalam keadaan gawat.
Dengan sisa tenaganya ia meraba saku celana.
Kemudian menelan obat pemunah yang tinggal beberapa
butir. Itulah obat pemunah buatan Palupi yang
dikirimkan satu tahun sekali lewat Arya Puguh. Meskipun
belum dapat memunahkan racun Pacarkeling yang
mengeram di dalam tubuhnya namun setidak-tidaknya
dapat membantu kesehatannya. Demikian, setelah
menelan obat pemunah itu, tangan dan kakinya dapat
digerakkan kembali seperti sediakala.
Segera ia lari keluar kamar dan melihat Ganjur
terbelenggu dengan kedua mata terbuka lebar. Tubuh
paman gagu itu tak bergeming. Cepat cepat Lingga
W isnu menolong membebaskannya. Tak jauh dari tempat
itu, Kapi dan Kutil menggeletak tak berkutik pula.
Dengan hati cemas pemuda itu menghampiri. Ternyata
kedua binatang itu telah terbang nyawanya akibat
tangan jahat. Hati Lingga Wisnu terpukul penuh haru. Dengan kedua
binatang itu ia bergaul beberapa tahun lamanya. Dalam
hatinya, mereka berdua t ak ubah anggauta keluarganya
sendiri. Sekarang mereka mati akibat malapetaka
terkutuk. Jadi pekiknya semalam merupakan suara
mereka yang peng habisan untuk pendengaran Lingga
W isnu. "Apa yang telah terjadi?" tanya Lingga W isnu dengan
suara menggeletar. Paman Ganjur menjawab dengan gerakan gerakan
tangannya. Ia menceritakan bahwa ia kena dipukul dari
belakang. Sebelum dapat melawan ia sudah kena
belenggu. Gerakan-gerakan tangannya mewartakan pula,
bahw a hidungnya mencium bau-bauan yang melumpuhkan tenaganya. Lingga Wisnu tak berkata lagi.
Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah menghela
napas. Pengalaman si Ganjur tiada bedanya dengan
pengalamannya sendiri. Tatkala pagi hari tiba, dengan bantuan Ganjur, Lingga
W isnu membawa keluar mayat Cocak Obar-abir dan
Gumuling untuk dikuburkan di halaman. Teringat akan
peti besi yang membawa bencana, ia membawanya
keluar pula dan dimasukkannya ke dalam liang kubur
sekali. Kemudian ia mengubur pula si Kapi dan si Kut il
tak jauh dari kuburan Cocak Obar-abir dan Gumuling.
Pada malam harinya, oleh rasa sunyi Lingga W isnu
teringat akan pengalamannya. Ia bergidik dengan
sendirinya, apabila terbayang ancaman yang sangat
berbahaya itu. Tatkala peti besi W arisan Bondan Sejiwan
diketemukan, ia belum lagi berumur duapuluh tahun. Kini
umurnya menanjak hampir duapuluh tiga tahun. Oleh.
kesibukan latihan-latihannya, hampir saja ia melupakan
tentang peti besi tersebut. Sekarang, setelah menyaksikan betapa Cocak Obar-abir saling memperebutkan dan saling mencurigai, hatinya tergerak
untuk melihat isi kitab warisan yang asli. Pikirnya di
dalam hati : 'Limabelas tahun lamanya, mereka mencari terus
menerus. Mereka saling mengadu jiwa. Seumpama
wari an pendekar Bondan Sejiwan t idak berharga sekali,
tak bakal terjadi demikian. Sebenarnya, apakah yang
tertulis dalam kitab itu"'
Tiba-tiba teringatlah pula Lingga W isnu kepada
katapkata kedua gurunya yang melarangnya membaca isi
kitab warisan pendekar luar biasa itu. Ia jadi
berbimbang-bimbang sekian lamanya. Dalam hajinya
timbul suatu pertengkaran yang seru. Akhirnya ia
menjenguk kolong pembaringan. Peti besi kecil itu,
disimpannya di sebelah dalam, peti yang besar. Karena
terletak di dalam, peti kecil itu teraling oleh peti besar
sehingga t ak terlihat Gumuling. Orang yang bernasib sial
itu rupanya t ergugah napsunya begitu melihat peti besar
berada di depan matanya. Lingga W isnu menyeret peti kecil itu. Peti tersebut
sudah berdebu dan bergalagasi. Dengan hati-hati ia
mengambil kitab warisan yang asli. Ia membuka-buka
halamannya dan memperhatikan semuanya dengan
sungguh sungguh. Dalam hal ilmu pukulan dan cara
melepaskan senjata rahasia keterangannya jauh berbeda
dengan ajaran Ki Ageng Gumbrek dan Kyahi Sambang
Dalan. Bedanya terletak pada kelicinannya.
'Hampir saja aku mati di tangan orang jahat.
Bagaimana aku harus melayani orang-orang semacam
mereka, kalau aku nanti sudah turun gunung"' pikirnya di
dalam hati. 'Kenapa aku t idak mau mempelajari warisan
ini" Setidaknya unt uk pembelaan diri. Kecuali itu sebagai
tambahan pengetahuan pula. Pastilah ada harganya dari
"pada sama sekali t idak mengetahui.'
Oleh pikiran ini, Lingga W isnu lalu membacanya
dengan teliti, cermat dan seksama. Diperhatikan gerakgerik letak kaki dan tangan
yang tertera pada gambar.
Tiga hari tiga malam ia membaca terus-menerus. Makin
lama keterangan-keterangannya, gambar dan titik-tolak
gerakan jurus-jurusnya terasa asing baginya. Syukurlah,
ia memiliki pembawaan alam yang cerdas luar biasa.
Sekali mendengar, apalagi sampai bisa membaca, lantas
saja meresap dalam ingatan dan perasaannya. Dahulu,
tatkala berada di atas rumah perguruan Argapura,
ingatannya bisa menangkap ajaran Panembahan Panyingkir dengan sekali mendengarkan saja, sehingga
mengejutkan tokoh rahasia itu. Juga tatkala berada di
atas gunung Merapi. Ia memiliki ilmu ketabiban yang
tinggi, berkat diperolehnya lew at mimpi belaka. Demikian
pula kali ini. Tanpa guru, otaknya yang cerdas luar b iasa,
menolongnya. Pada hari ke-empat, ia sudah dapat
melakukan pelbagai ilmu pukulan menurut ajaran kitab
pendekar Bondan Sejiwan menghadapi suatu kesulitan.
Itulah pada bagian pelajaran yang tiada contoh-contoh
gambarnya sama sekali. Ia mengulangi lagi dan membaca lebih tertib dan
seksama. Namun tetap saja tak menolong. Seperti
seorang buta yang menumbuk jalan bunt u, akhirnya ia
memutuskan : 'Biarlah aku memeriksa kunci rahasia ilmu pedangnya.
Barangkali ada sangkut-pautnya'.
Dengan pikiran itu ia memeriksa bag ian ilmu pedang.
Terus ia melatih diri. Pada mu lanya, semua berjalan
dengan lancar. Tetapi lambat laun ia tertumbuk lagi pada
jalan buntu. Tiba- tiba teringatlah Lingga W isnu kepada
gambar-gambar yang terukir pada dinding kamar Bondan
Sejiwan. Apakah gambar-gambar itu sebagai keterangan
tulisan, yang sama sekali t iada contohnya"
Teringat ini, ia t ak memperdulikan w aktu lagi. Dengan
ditemani paman Ganjur dan menibekal obor serta
tambang, ia menuruni jurang. Sebentar saja ia sudah
berada dalam goa. Karena mulut goa telah dilebarkan,
maka dengan gampang saja ia dapat menerobos masuk
dengan berjalan t egak. Sampai di dalam kamar Bondan Sejiwan, Lingga W isnu
membesarkan nyala obornya. Kemudian mengamatamati dan memperhatikan lukisan
lukisan di dinding yang menggambarkan sikap seseorang menggerakkan tangan
dan kakinya. Dasar berotak cemerlang, dengan cepat
saja Lingga W isnu memperoleh penjelasan tentang
gambar-gambar itu. Semuanya merupakan bagian
penjelasan ajaran-ajaran Bondan Sejiwan yang tertulis di
dalam kitab w arisannya. Keruan saja ia jadi g irang bukan
main. Di dalam kamar itu Lingga W isnu berlatih dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat pada gambar
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Lembah Nirmala 23
^