Pencarian

Adik Tiri Ii 1

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii Bagian 1


BAB 1 Jeritan Pertama NANCY akan pulang. Kata-kata itu membuat Emily Casey bergidik. Meskipun entah
sudah berapa kali dia mengulangi kalimat tersebut dalam benaknya,
ketiga kata itu tetap saja membuatnya tidak tenang, resah"ketakutan.
Aku takut pada Nancy, akunya. Dirapatkannya lengannya ke
tubuhnya seakan-akan memeluk dirinya sendiri, sementara matanya
menatap ke luar jendela kamar tidurnya. Aku takut pada kakakku
sendiri. Tapi aku juga sudah ingin sekali bertemu dengannya.
Emily menatap pohon-pohon gundul di halaman depan
rumahnya. Pohon-pohon yang tampak kusam di balik lapisan tipis es.
Sinar matahari pagi yang cerah membias di atas tanah yang tertutup
salju. Cerah namun dingin.
Sebuah station wagon putih lewat di muka rumah. Jalannya
pelan, mobil itu sarat dengan penumpang. Station wagon itu selip
sedikit saat berhenti di ujung jalan.
Apakah benar-benar setahun telah lewat sejak aku terakhir
bertemu dengan kakakku" Emily membatin. Tubuhnya terasa dingin,
meskipun kehangatan sinar mentari menyusup masuk lewat jendela.
Ia kedinginan meskipun baru saja mandi dengan air panas.
Ia mencoba membayangkan bagaimana hidup Nancy selama
setahun terakhir ini. Terkurung di rumah sakit jiwa. Jauh dari rumah,
jauh dari keluarga. Diawasi terus-menerus oleh dokter dan perawat.
Menjalani berbagai macam tes.
Sungguh tak terbayangkan.
Emily sendiri cukup mengalami kesulitan dalam mengatasi
perasaannya. Bagaimanapun juga, Nancy pernah mencoba
membunuhnya. Setahun yang lalu kakak kandungnya telah mencoba
membunuhnya. Emily mengalihkan pandangannya dari jendela. Ia melirik jam
dinding. Sudah waktunya untuk berpakaian. Nancy akan segera tiba.
Ibu Emily dan suami barunya"ayah tiri Emily"sudah sejak tadi
berangkat untuk menjemput Nancy.
Begitu banyak kepedihan, begitu banyak kesusahan, Emily
berpikir sambil mendesah.
Semua itu dimulai ketika ayah Emily tewas dalam kecelakaan
perahu motor. Emily selamat, namun ayahnya mati tenggelam. Dan di
luar dugaan Emily, Nancy ternyata menyimpan dendam padanya.
Nancy menyalahkan dirinya atas kematian ayah mereka.
Tak lama setelah kecelakaan itu, ibu mereka menikah lagi.
Nancy dan Emily mendapatkan dua orang adik tiri"Jessie dan Rich
Wallner. Sebuah keluarga besar yang bahagia. Kecuali bahwa Rich yang
berusia empat belas tahun mulai bertingkah aneh dan suka ngambek.
Dan Emily menaruh curiga pada Jessie, adik tirinya yang hampir
sebaya dengannya. Dan Nancy... Nancy... Nancy... kakak kandung
Emily, orang yang sangat dihargai dan selalu menjadi panutannya...
ternyata mencoba membunuhnya.
Sebuah keluarga besar yang bahagia.
Banyak perubahan telah terjadi dalam waktu setahun. Sejak
Nancy dikirim ke rumah sakit jiwa, Rich menjadi makin pemurung,
dan lebih tertutup daripada sebelumnya. Tapi Emily menyadari bahwa
ia telah keliru"sangat keliru"menilai Jessie. Kini mereka berdua
sangat akrab, seperti saudara kandung saja.
Dan bagaimana keadaan saudara kandungku yang
sesungguhnya" Emily bertanya dalam hati. Seperti apa Nancy setelah
setahun pergi dari rumah"
Apakah dia berubah sama sekali" Apakah dia masih benci
padaku" Apakah dia ingat akan perbuatannya dulu"
"Aku sudah kembali!" seru seseorang dari ambang pintu.
Emily membalik dengan terkejut. "Jessie"!" Ia mengawasi
adik tirinya yang sedang menarik sebuah kardus ke dalam kamarnya.
"Aku tak percaya kita bakal tidur sekamar lagi," gerutu Jessie.
"Setelah punya kamar sendiri-sendiri selama setahun penuh."
"Aku tak percaya barangmu ternyata begitu banyak!" balas
Emily. Sepanjang pagi itu Jessie sudah bolak-balik ke kamarnya, sibuk
memindahkan barang-barangnya dari kamar Nancy yang selama ini
ditempatinya. "Setengah dari laci-laci lemari itu milikku. Jangan diisi
apa-apa. Oke?" Emily mengingatkan Jessie.
Sesungguhnya, Emily senang Jessie akan tidur sekamar
dengannya lagi. Entah mengapa, hal itu membuatnya merasa lebih
tenang, lebih aman. Aman dari gangguan kakakku, pikirnya dengan sedih.
Emily melepaskan handuk yang dililitkannya di kepalanya
sehabis mandi tadi. Ia menggeraikan rambutnya, seperti yang
dilakukan para model di TV.
Hanya saja, ketika para model itu melakukannya, rambut
mereka yang panjang dan halus dengan indahnya jatuh ke bahu
mereka. Sedang rambut Emily yang cokelat berombak, jatuh dengan
kusut dan tak beraturan. "Oh, bagus," gumamnya, menatap cermin
dengan muka cemberut. Dia bukannya benci melihat bayangannya di cermin. Dia tidak
terlalu jelek kok. Hanya rambutnya yang sulit diatur ini yang
membuatnya kesal. Dan ia kurang suka pada perawakannya yang
besar. "Gede tulang", kata ibunya.
Emily selalu merasa sangat gendut bila berdampingan dengan
jessie. Jessie yang cantik, mungil, dan sempurna.
Jessie memiliki rambut pirang keemasan yang membingkai
wajah cantiknya yang berbentuk hati. Matanya biru terang, dahinya
tinggi dan bagus, dan kulitnya seputih susu. Ia mengingatkan Emily
pada bidadari yang dilihatnya dalam sebuah lukisan kuno.
Emily menyikat rambutnya dan mengucirnya, kemudian
memasangkan pengikat rambut pada kucir itu. "Aku harus berpakaian.
Nancy sebentar lagi sampai."
Emily menoleh menatap Jessie, yang sedang berusaha
memasukkan setumpuk majalah mode ke tingkat paling bawah rak
buku. Jessie mengenakan kaus lengan panjang abu-abu dan celana
panjang longgar abu-abu pula. Jessie memang cantik. Dengan kantong
sampah pun dia akan tetap kelihatan menarik.
Sambil menyisir rambutnya sekali lagi, Emily menyeberangi
kamar dan menghampiri lemari pakaian"yang kini penuh sesak
dengan baju-baju Jessie. Emily menarik keluar celana montirnya yang
berwarna beige. "Kau mau pakai itu?" Jessie berseru dengan nada tinggi.
Emily menggerak-gerakkan tubuhnya, membiarkan celana
montir itu jatuh menutupi tubuhnya seperti tenda. "Ini celana
keberuntunganku," jawabnya. Ia membeli celana montir itu pada saat
obral, dan sudah sering sekali memakainya. Celana itu lima nomor
kebesaran untuknya, tapi ia merasa nyaman mengenakannya. Ia
tersembunyi di dalamnya. Begitu aman. Didengarnya derit ban di atas salju. Menatap ke luar jendela,
dilihatnya sebuah Honda biru melesat lewat. Bukan mereka. Sinar
matahari membakar jalanan yang dingin.
Emily memejamkan matanya dan mencoba membayangkan
Nancy. Rambut Nancy yang panjang dan berwarna merah tembaga,
tubuhnya yang ceking dan mirip cowok, matanya yang hijau. Ia
mencoba mengingat-ingat penampilan Nancy sebelum musibah itu
terjadi. Nancy yang mendampinginya pada saat ia berangkat remaja.
Nancy yang menjadi tempat curahan perasaannya dan dipercayainya
seratus persen. Setahun penuh tanpa kakaknya. Tak ada surat. Tak ada telepon.
Ia berusaha mengingat-ingat suara tawa Nancy.
Suara Jessie memecahkan lamunan Emily. "Kau takut?"
Emily membuka matanya. Ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku tidak takut. Maksudku, Nancy memang pernah kena
gangguan jiwa, tapi sekarang dia sudah sembuh, kan" Kalau tidak,
masa dokter mengizinkannya pulang?"
"Yeah. Benar," sahut Jessie menyetujui pendapatnya. Ia
menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. "Aku belum pernah melihat
ibumu segelisah ini."
"Aku tahu. Semalaman dia sibuk bersih-bersih."
"Yeah. Aku juga dengar," gumam Jessie pelan.
Emily menatap Jessie. "Kau tidak tidur" Memangnya kau
ngapain" Mimpi buruk lagi, ya?"
Jessie mengangguk. Emily berdecak. Jessie yang malang mulai dihantui mimpi
buruk tentang Jolie lagi.
Jessie juga punya masalah, Emily menyadari. Ia punya
kenangan-kenangan pahit. Mimpi-mimpi buruk.
Jolie sahabat Jessie di sekolahnya yang lama. Jolie meninggal
akibat kecelakaan pada waktu sekolah mereka sedang berkemah.
Jessie yang menemukan mayat Jolie. Dan dia dituduh membunuh
Jessie oleh peserta-peserta yang lain.
"Kukira aku telah berhasil melupakan Jolie," kata Jessie
mengeluarkan isi hatinya. "Tahu deh kenapa sekarang aku mulai
memimpikannya lagi."
Emily melintasi kamar dan dengan lembut meletakkan
tangannya di bahu saudara tirinya. "Pasti gara-gara Nancy," katanya
lirih. "Kita semua resah karena dia akan pulang. Ketegangan itu
terbawa-bawa dalam mimpi."
Mereka berpelukan. Kemudian Jessie menghampiri meja rias. Ia mengambil botol
parfum Emily dan menyemprotkan isinya ke leher serta pergelangan
tangannya. Wangi buah persik bercampur bunga mawar segera
memenuhi kamar. "Ei, jangan banyak-banyak dong," tegur Emily. "Parfum itu
mahal lho." Sebenarnya bukan mahalnya parfum itu yang dipermasalahkan
Emily. Yang lebih penting adalah bahwa parfum itu pemberian Josh,
pacarnya, dan Emily selalu menggunakannya dengan sehemat
mungkin. Parfum yang dikemas dalam botol cantik berbentuk seruling itu
dibeli orangtua Josh ketika mereka sedang bepergian ke Paris. Itu
hadiah paling mengesankan yang pernah diberikan Josh pada Emily.
Ma Cherie tertulis di samping botolnya.
Di kartunya Josh menulis, "Itu artinya, sayangku."
Jessie menyemprotkan parfum itu lagi. "Ini namanya mandi
gaya Prancis," katanya sambil menyeringai di depan cermin. "Kau
menyemprot dirimu dengan parfum, bukan dengan air."
Emily mengertakkan giginya. Jessie sudah memakai hampir
setengah botol parfum. Emily tiba-tiba ingat bahwa tidur sekamar dengan Jessie bukan
hal yang mudah baginya. Tapi dia menahan diri dan menutup
mulutnya rapat-rapat. Ia tidak mau memulai keributan dengan Jessie
pada saat mereka sedang menantikan kedatangan Nancy.
"Semua barangmu sudah kaukeluarkan dari kamar Nancy?"
tanya Emily, menghirup wangi parfum yang memenuhi kamar.
Jessie akhirnya meletakkan botol parfum itu. "Aku akan
memeriksanya." Beberapa saat kemudian ia kembali, membawa sebuah angsa
mungil yang terbuat dari kristal. "Lihat, siapa yang kulupakan. Aku
lupa membawa Grace."
Angsa kristal itu adalah harta kesayangan Jessie. Ia sangat
menyayanginya sebab benda itu mengingatkannya pada masa-masa
bahagianya dulu. Angsa itu pemberian ibunya pada hari ulang
tahunnya yang ketiga belas, empat tahun yang lalu.
Sebelum kedua orangtuanya bercerai. Sebelum Jolie meninggal.
Jessie menamai angsa itu Grace. "Sebab dia makhluk paling
anggun yang pernah kutemui," katanya menjelaskan.
Angsa kristal itu memang benar-benar cantik, pikir Emily. Sinar
matahari musim dingin yang menyusup masuk lewat jendela membias
melalui kristal itu, dan membentuk bayangan warna-warni di karpet.
"Di mana sebaiknya kutaruh Grace?" tanya Jessie, melayangkan
pandangannya ke seputar kamar yang berantakan.
"Bagaimana kalau di meja rias saja?" usul Emily. "Pasti bagus
kelihatannya disandingkan dengan botol parfumku."
"Oh ya, memang bagus sekali," kata Jessie sependapat. Ia
meletakkan angsa itu dalam kedua telapak tangannya dan mulai
melangkah menuju meja rias.
Mendadak terdengar jeritan dari ruang depan, membuat Jessie
tersentak. Pegangan tangannya terlepas.
Pandangan Emily mengikuti si angsa yang melayang jatuh.
Kepala angsa itu putus ketika tubuhnya membentur lantai.
Emily melihat bagaimana angsa kristal yang rapuh itu pecah,
sementara jeritan melengking itu terdengar semakin keras.
Bab 2 "Tunggu Pembalasanku!"
EMILY menatap serpihan-serpihan kristal yang berserakan di
dekat kaki Jessie. "Jangan bergerak!" serunya sambil menunjuk. "Kau
kan tidak pakai sandal."
Rich menerobos masuk ke dalam kamar. "Kau benar-benar
kelewatan!" ia berteriak pada Emily.
Emily menatap adik tirinya dengan bingung. Biasanya kulit
Rich sepucat kulit Jessie. Tapi sekarang wajahnya tampak merah,
dipenuhi kegusaran dan sakit hati. Ia menjerit lagi, jeritan frustrasi dan
ketidakberdayaan. "Kau brengsek! Kau busuk dan brengsek!" ia memaki-maki
Emily. "Aku?" Emily terperanjat. "Memangnya apa yang kulakukan?"
"Kau mengadukan aku, sialan!"
" Mengadukanmu?"
Emily berpaling pada Jessie, meminta bantuannya. Sambil
berlutut, dengan hati-hati Jessie memunguti pecahan-pecahan angsa
kristalnya. "Kau yang brengsek, Rich!" kata Jessie dengan berang.
"Lihat akibat perbuatanmu!"
Rich tak mengacuhkan kakaknya. Ia terus memberondong
Emily. "Dad menghukumku karena pesta semalam." Ia menudingkan
jari ke Emily. "Gara-gara pengaduanmu."
Oh, rupanya itu masalahnya. Pesta di rumah Steve Arnold.
Orangtua Steve sedang pergi ke luar kota, maka Steve mengundang
beberapa kawannya untuk main ke rumahnya. Dan teman-temannya
itu mengundang kawan-kawan mereka. Acara kumpul-kumpul itu
akhirnya menjadi pesta yang ramai dan tak terkendali.
Emily dan Josh mengikuti pesta itu selama beberapa waktu.
Tapi teman-teman mereka tak ada yang datang. Emily berhasil
membujuk Josh untuk meninggalkan pesta itu pada sekitar pukul
sepuluh. Ketika mereka baru mau pulang, mereka melihat Rich dan
beberapa temannya sedang minum-minum di dapur. Salah satu dari
mereka mengeluarkan enam kaleng bir dari kulkas dan menyodorkan
sekaleng kepada Rich. Emily tidak tahu apakah Rich meminumnya
atau tidak.

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mengadukanmu," kata Emily ngotot. "Aku nggak
tahu bagaimana Dad bisa tahu..."
"Oh, sudahlah!" tukas Rich. "Nggak usah bohong! Kau ada di
sana waktu itu. Kau melihatku. Dan apa yang terjadi kemudian" Aku
dihukum oleh Dad. Semuanya jelas seperti satu ditambah satu sama
dengan dua." "Oh, begitu ya!" timbrung Jessie. "Jago benar kau berhitung!"
Jessie memasukkan serpihan-serpihan kristal itu ke tong
sampah di bawah meja tulis Emily.
"Mungkin kau bisa mengelemnya kembali," kata Emily.
"Nggak mungkin. Pecahannya terlalu kecil," jawab Jessie. Ia
menatap adiknya dengan kesal.
"Rich, sumpah, aku nggak bilang apa-apa pada ayahmu," kata
Emily mencoba meyakinkan adik tirinya.
"Kau pembohong!" teriak Rich. "Oh, apa yang harus
kulakukan?" keluhnya dengan nada tinggi. "Aku tak percaya ini
terjadi padaku. Aku dihukum nggak boleh keluar rumah. Nggak boleh
keluar rumah!" "Alaah, itu kan masalah sepele," kata Jessie sambil memutar
bola matanya. "Paling-paling kau nggak bisa pergi satu malam
bersama kawan-kawanmu yang sinting-sinting itu."
"Satu malam?" Rich tertawa melengking. "Satu malam
dengkulmu! Dad menghukumku selama enam minggu. Kau ngerti
nggak artinya" Itu artinya, aku dan kawan-kawanku nggak bakal bisa
menyelesaikan Night of the Living Eyeballs!"
"Waduh, sayang sekali!" kata Jessie dengan sinis.
Rich memutar badannya dan menghadapi kakaknya. "Diam kau,
tolol!" Emily sependapat dengan Jessie. Film horor yang sedang dibuat
Rich itu memang konyol. Emily sempat menyaksikannya sendiri,
ketika mereka melakukan pengambilan gambar di muka rumahnya.
Tapi bagi Rich film itu penting sekali.
Emily berusaha menguasai emosinya. "Rich," katanya tenang.
"Aku turut prihatin. Tapi aku benar-benar tidak tahu siapa yang
mengadukanmu pada ayahmu."
"Dengar," kata Jessie menasihati adiknya, "daripada repot-repot
memikirkan siapa yang mengadu, lebih baik kauperbaiki kelakuanmu.
Bersikaplah lebih dewasa sedikit, supaya Dad mengurangi
hukumanmu." Rich tidak menghiraukan kakaknya. Ia maju mendekati Emily
dengan sikap mengancam dan mata melotot.
Semua insting dalam tubuh Emily mendadak mengingatkannya
untuk mundur, menjauh, berwaspada. Ia memang telah menjadi sangat
sensitif setelah peristiwa tahun lalu itu.
"Tunggu pembalasanku," Rich menggeram padanya, suaranya
bergetar. "Tunggu pembalasanku, Emily. Sejak dulu aku memang
tidak kepingin menjadi anggota keluarga konyol ini. Kau
menghancurkan hidupku dan aku akan balas perbuatanmu itu!"
Ia bergegas keluar. Pintu kamar dibantingnya keras-keras.
Emily terenyak di tepi tempat tidurnya. Jessie menjatuhkan diri
ke sebelahnya. Mereka sama-sama membisu. Brengsek, pagi-pagi begini Rich
sudah mengajak ribut. Persis pada hari Nancy akan pulang, lagi.
"Aku tidak mengadukannya," kata Emily pada Jessie.
"Aku tahu." "Kau tahu?" Emily menatap Jessie lekat-lekat. Kecurigaannya
timbul. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya dengan mata disipitkan.
"Karena," jawab Jessie dengan wajah merah, "setiap kali Rich
merasa yakin akan sesuatu, dia pasti keliru."
"Adikmu itu memang aneh," gumam Emily sambil menatap
lantai. "Semua anak empat belas tahun kan begitu," sahut Jessie.
Emily mengalihkan pandangannya ke pintu. Ia memelankan
suaranya. "Kau pernah lihat video-video yang disewanya" Film-film
Clive Barker itu" Aku nggak bisa tidur setelah nonton salah satu film
itu." "Rich memang sering tidak tidur," kata Jessie. "Semalaman dia
duduk di ruang baca dengan mata tertuju ke TV."
"Kauperhatikan tidak, bagaimana dia juga sering membaca
cerita-cerita fiksi ilmiah yang aneh-aneh di Internet?" tambah Emily.
"Menurutku, hal-hal begituan membuat otaknya jadi miring."
"Memang dari 'sononya' sudah miring kok."
Jessie tersenyum, namun Emily masih gelisah. Perasaan itu tak
dapat dihilangkannya. "Kau kenapa?" tanya Jessie.
"Entahlah. Aku kok merasa Rich sedang mengatur rencana
untuk membunuhku atau apa. Kaudengar kata-katanya, kan" 'Tunggu
pembalasanku!' Hidupku sudah cukup sulit, Jess. Aku nggak sanggup
menghadapi hal seperti ini lagi."
"Jangan kuatir," kata Jessie menenangkannya. "Rich cuma asal
ngomong. Pasti dia juga sedang stres. Menghadapi kepulangan Nancy,
maksudku." Barangkali Jessie benar, pikir Emily. Barangkali itulah
sebabnya aku begitu serius menanggapi ancaman Rich. Karena Nancy
akan pulang. Jessie berdiri. "Tunggu dulu," Emily memperingatkan. "Mungkin masih ada
pecahan kristal di lantai." Dikeluarkannya sepasang sepatu karet dari
dasar lemari dan dilemparkannya benda itu kepada Jessie.
"Aku akan membersihkan lantai."
"Tidak, biar aku saja," Jessie bersikeras.
Emily tersenyum. Adik tirinya ini telah berubah. Setahun yang
lalu Jessie takkan mau melakukan itu. Dia hanya pura-pura rajin kalau
orangtua mereka sedang melihat.
Emily mendengar gemerencing kalung leher dan gemeresik
kaki-kaki mungil pada lantai kayu di koridor di luar kamarnya. Ia
membuka pintu dan tersenyum ketika Butch, anjingnya yang berbulu
panjang dan berkaki pendek, menjulurkan moncongnya ke dalam
kamar. Anjing itu menatap Emily dengan mata cokelatnya yang polos.
"Butch!" panggil Emily dengan penuh sayang. Ia membungkuk
menyambut anjing itu. "Anjing manis. Kau datang untuk
menghiburku, kan" Kemari, anjing mungilku."
Emily membuka kedua lengannya lebar-lebar, mengundang
anjing kecil berbulu cokelat itu ke dalam pelukannya. Namun Butch
meloloskan diri dari bawah lengannya dan berlari-lari kecil
menghampiri ranjang Jessie.
"Hus... hus! Pergi sana, Butch!" usir Jessie sambil melompat
berdiri. "Pergilah ke ibumu. Jessie tak suka padamu."
"Jangan bilang begitu," kata Emily sambil tertawa. "Dia bisa
tersinggung lho." "Bagus!" seru Jessie. "Duduk, Butch!"
Anjing itu tidak menuruti perintah Jessie. Ia melompat ke
ranjang Jessie dan berbaring telentang di atas penutup ranjangnya.
"Tidaaak!" erang Jessie. "Sekarang bulunya pasti berserakan di
seluruh ranjang. Aku bakal repot sekali membersihkan bulu-bulu yang
menempel di pakaianku. Dan bisa-bisa aku kena penyakit anjing gila."
"Dia sayang padamu," kata Emily. "Pengkhianat cilik. Butch,
kok bisa-bisanya kau lebih sayang pada Jessie daripada padaku"
Hah?" Sebelum Butch sempat menjawab, bel pintu berbunyi.
Emily berhenti tertawa. Dia menatap Jessie.
"Itu Nancy!" seru Jessie. "Dia sudah datang!"
Jantung Emily berdegup kencang.
Rupanya aku benar-benar ketakutan, ia menyadari. Kakinya
mendadak terasa lemas dan berat.
Jessie bergegas ke pintu. Emily membuntuti tepat di
belakangnya. Kakinya hampir tersandung Butch yang sudah memburu
ke pintu. Butch mendahului mereka menuruni tangga. Di depan pintu dia
menyalak-nyalak dengan galak.
Di tengah-tengah tangga Emily terdiam. Tubuhnya seakan-akan
membeku. Ia mengawasi Jessie yang melangkahi tangga dua-dua
sekaligus. Jessie meraih gagang pintu.
Emily menatap ke pintu seakan-akan terhipnotis.
Seperti apa Nancy sekarang"
Bab 3 Nancy Menyerang JESSIE membuka pintu, membuat udara dingin menerpa
masuk. "Cora-Ann!" serunya.
Emily tersenyum dan membungkuk untuk menggendong Butch,
yang masih menyalak-nyalak. Ia merasa lega"kemudian merasa
bersalah karena kelegaannya itu.
Emily menyukai Cora-Ann, sahabat karib Jessie sekarang.
Kadang-kadang memang timbul rasa iri hati Emily melihat keakraban
adik tirinya dengan Cora-Ann, tapi itu kadang-kadang saja. Biasanya
dia senang kalau Cora-Ann datang.
"Apakah aku datang pada waktu yang kurang tepat?" tanya
Cora-Ann, menatap Emily dan Jessie dengan rupa agak bingung.
Senyumnya tampak ragu-ragu.
"Oh, nggak," Jessie menyahut dengan canggung. "Kami hanya
mengira kau ini... orang lain."
Cora-Ann tampak semakin bingung. Kemudian ia menepuk
dahinya. "Tunggu dulu. Hari ini Sabtu. Hari... Kalian pikir aku...
Aduh, betapa tololnya aku! Kakak Emily akan pulang hari ini, kan"
Aduh! Aku telah mengganggu kalian."
"Kau tidak mengganggu," kata Jessie meyakinkannya. Ia
memelankan suaranya dan berbisik dengan nada tegang yang dibuatbuat; "Kami justru memerlukanmu sebagai tameng pelindung!"
"Jessie!" tegur Emily.
Ketika Nancy baru masuk ke rumah sakit jiwa, orangtua Emily
memberi perintah kepada seluruh keluarga agar merahasiakan keadaan
Nancy. Mereka harus mengatakan kepada semua orang bahwa Nancy
pergi mengunjungi saudara mereka di California.
Percuma saja, pikir Emily waktu itu. Orang tak akan percaya.
Bulan demi bulan berlalu, makin sulit bagi mereka untuk
menyimpan rahasia itu. Menurut perkiraan Emily, kini seluruh
penduduk Shadyside sudah tahu hal yang sebenarnya tentang Nancy.
"Kalian benar-benar tak ingin aku pergi?" tanya Cora-Ann.
"Jangan sungkan-sungkan lho, berterus terang sajalah."
Emily menarik tangan Cora-Ann. "Ayo naik," perintahnya,
menghela Cora-Ann menaiki tangga.
Di puncak tangga Emily berhenti sebentar. Pandangannya
menyapu koridor di depannya dan berhenti di depan kamar Rich.
Pintu kamar itu tertutup. Rasa panik menjalari tubuhnya.
Dia membenciku. "Oh, wow!" seru Cora-Ann ketika ia masuk ke kamar Emily
yang seperti kapal pecah. "Rupanya kalian bakal tidur sekamar lagi
nih!" "Kami tak keberatan!" sahut Jessie cepat, sambil menatap
Emily. "Sini, biar kugantung jaketmu." Jessie menyambar jaket biru
Cora-Ann"dan menjatuhkannya ke lantai.
"Thanks, pal," kata Cora-Ann. Gadis itu tak pernah marah,
bagaimanapun perlakuan Jessie kepadanya. Tak heran kalau Jessie
begitu menyukainya! Emily memungut jaket bertopi itu dan menggantungnya.
"Jessie, sekarang karena kita akan tidur sekamar, aku ingin kau tahu di
mana kita harus menyimpan jaket. Lihat ini?"
"Alaah, aku kan bukan Bibi Titi Teliti seperti kau atau ibumu,
jadi...," Jessie mulai memprotes.
"Kalian tidak sedang bertengkar, kan?" Cora-Ann bertanya.
"Jelas tidak," jawab Emily. "Kau pasti tahu kalau kami benarbenar sedang bertengkar. Kami adu jotos!"
Wajah Cora-Ann menjadi merah.
Jessie melemparkan pandangan tajam kepada Emily.
Wah, gurauanku tidak lucu, pikir Emily dengan penuh sesal.
Jangan-jangan Cora-Ann merasa tersindir. Orangtua Cora-Ann tak
henti-hentinya bertengkar"dan bukan hanya bertengkar mulut.
Mungkin itu sebabnya Cora-Ann sering sekali main ke rumah
keluarga Wallner. Cora-Ann duduk di tepi ranjang Emily. "Bener nih,
kedatanganku tidak mengganggu?" tanyanya lagi.
Emily kadang-kadang sebal menanggapi sikap Cora-Ann yang
begitu merendah. Cora-Ann gadis yang menyenangkan dan cukup
cantik, dengan rambut cokelat kemerahan serta kacamatanya. Tapi dia
selalu bersikap seakan-akan orang yang mau menghabiskan waktu
bersamanya sudah berjasa besar terhadapnya.
"Cora-Ann," Jessie menyahut, "kau nggak perlu terus-terusan
bertanya begitu. Rumah kami selalu terbuka untukmu. Selalu."
Hmm, nggak selalu sih, Emily membatin.
"Eh, ada yang perlu kuceritakan padamu, Jess." kata Cora-Ann
dengan bersemangat. "Tahu nggak, siapa yang jalan bareng Annette
Holloway di Division Street Mall semalam?"
"Siapa?" tanya Emily dan Jessie berbarengan.
Cora-Ann tersenyum, membuat mereka makin penasaran.
"Teddy Miller. Percaya nggak?"
"Nggak!" kata Jessie dengan napas terengah. "Masa sih Annette
sebegitu bodohnya?" "Entahlah, aku juga nggak ngerti. Maksudku, Annette pernah
bilang dia masih belum bisa melupakan Peter Goodwin."
Emily duduk di meja tulisnya dan membuka laci paling atas.
"Hei, ke mana persediaanku?"
"Oh," sahut Jessie dari ranjang. "Barang-barangmu
kupindahkan ke laci bawah, sebab rak buku paling atas telah
kauambil. Adil, kan?"
"Iya, adil," sungut Emily. Tapi dia tidak sungguh-sungguh
keberatan. Jessie memang begitu orangnya. Kenapa mesti pusingpusing" Terima saja dia apa adanya. Suasana hati Emily mendadak
menjadi lebih cerah. "Bersandarlah," katanya pada Cora-Ann. "Kau
kelihatan tegang sekali, membuatku ikut gelisah."
"Apa" Oh. Oke." Cora-Ann bersandar di kepala ranjang, tapi
sebentar kemudian sudah duduk tegak di tepi ranjang lagi.
Emily menemukan sebungkus Oreo di laci paling bawah. Ia
melemparkan sekeping biskuit itu kepada Cora-Ann.
"Wow, trims!" seru Cora-Ann dengan menggebu-gebu.
Dia selalu begitu berterima kasih untuk hal- hal sekecil apa pun,
pikir Emily. Menyedihkan.
"Mmm," kata Cora-Ann. Ia menadahkan tangannya di bawah
biskuit itu supaya remah-remahnya tidak mengotori ranjang. "Hei, apa
kalian ingin aku turun dan mengambil jus atau susu?"
"Kau bukan pelayan," sahut Jessie tajam. "Emily, pergi ambil
susu." Mereka bertiga tertawa. "Jadi, gimana ceritanya Teddy Miller?" desak Emily.
"Aku baru mau meneruskan. Tadi malam Annette mestinya
pergi ke pesta di rumah Steve Arnold."
"Emily pergi ke pesta itu," sela Jessie.
"Oh ya?" tanya Cora-Ann, matanya melebar. "Kudengar polisi
datang dan membubarkan pesta itu sekitar tengah malam."
Sudah kuduga hal seperti itu akan terjadi, kata Emily dalam


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. Syukurlah Josh dan aku pulang lebih dulu.
"Ayo dong cerita tentang Teddy," tuntut Jessie dengan tak
sabar. "Aku memang lagi cerita kok," jawab Cora-Ann. "Semalam
Pete hadir dalam pesta itu bersama salah seorang teman Annette."
Jessie mengamat-amati rambutnya sendiri, memeriksa kalaukalau ada yang ujungnya terbelah. "Pete memang brengsek,"
gumamnya. "Hampir semua cewek pernah diajaknya kencan.
Mungkin cuma aku yang belum."
"Oh ya, aku jadi ingat!" seru Cora-Ann sambil bertepuk tangan.
"Aku telah menemukan cowok yang cocok untukmu. Malam Minggu
nanti kita berkencan ganda, yuk! Kau, aku, bersama cowok itu dan
Michael." "Hei, hei. Tunggu dulu!" sela Emily. "Kau kan belum cerita
tentang Teddy!" "Aku hampir sampai ke situ," kata Cora-Ann ngotot. Mereka
bertiga tertawa, sudah setengah histeris. Dasar Cora-Ann! Kisah yang
sederhana selalu dibuatnya jadi rumit.
"Emily, buka jendela dong! Kamar ini pengapnya seperti dalam
sauna." "Enak saja nyuruh-nyuruh! Memangnya aku budakmu?" sahut
Emily. Tapi dia beranjak dari tempat tidur dan membuka jendela.
Angin dingin yang masuk terasa nyaman, meskipun embusannya
menyusup sampai ke dalam celana montirnya yang tipis.
"Nah," Cora-Ann melanjutkan ceritanya. "Annette jengkel
sekali pada Pete. Jadi ketika Teddy menelepon dan untuk keseratus
juta kalinya mengajaknya kencan, dia akhirnya mengiyakan. Kata Lisa
Blume, dia melihat mereka di tempat parkir tnall, bermesraan tanpa
tedeng aling-aling."
"Puiiih!" kata Jessie dengan jijik. "Aku sih masih lebih suka
mencium anjing Emily."
"Eh, jangan begitu dong," protes Emily. "Butch kan tidak
sejelek itu." Mereka bertiga cekikikan lagi.
Tawa mereka langsung berhenti ketika terdengar derit ban
mobil Mr. Wallner di jalan masuk yang tertutup salju.
Emily mendengar bunyi guratan cakar pada lantai kayu,
kemudian bunyi duk-duk kaki Butch ketika anjing itu berlari-lari
menuruni tangga. Emily membalikkan badan dan melihat ke luar jendela, ke arah
halaman di bawahnya. Ia melihat ibunya membuka pintu kursi penumpang. Lalu
Nancy muncul di belakangnya. Kedua orang itu berdiri bersebelahan,
kepala mereka berdekatan. Rambut mereka yang sama-sama berwarna
merah tembaga tampak indah sekali, seperti lidah-lidah api.
"Nancy sudah datang!" kata Emily pada Jessie dan Cora-Ann.
Entah kenapa, ia merasa perlu berbisik.
"Apa sebaiknya aku tinggal di sini saja?" tanya Cora-Ann
meminta petunjuk. Emily menggelengkan kepalanya. "Jangan. Ayo turun. Kau kan
sudah seperti anggota keluarga kami. Aku ingin Nancy berkenalan
denganmu." Emily berjalan mendahului keluar kamar. Menuruni tangga.
Pintu depan terbuka. Emily berhenti dengan mendadak. Jessie dan Cora-Ann
menabraknya dari belakang.
"Hai!" Mrs. Wallner tersenyum pada mereka. Senyumnya
terlalu lebar, sehingga terkesan agak dipaksakan. "Hai, Emily. Hai,
Jessie. Hai... oh, hai, Cora-Ann... senang sekali kau bisa berkunjung
ke sini." Emily selalu tahu kalau ibunya sedang bingung dan gugup. Dia
jadi terlalu sopan. Mr. Wallner berjalan di belakang istrinya. Ia masuk sambil
membuka topi skinya yang berwarna hitam. Kepalanya yang botak
kini kelihatan jelas. "Susuran tangga itu sudah longgar lagi. Anakanak sudah kuperingatkan untuk tidak duduk di atasnya, tapi apakah
mereka mendengarkan?" Dia mengangkat kepala menatap mereka.
"Oh, hai." Emily, Jessie, dan Cora-Ann semuanya sudah tiba di bawah
sekarang. Emily mencoba melihat melewati bahu ayah tirinya. Ia tak
sanggup lagi menahan ketegangan. "Mana Nancy?" serunya.
Mr. Wallner telah membiarkan pintu terbuka di belakangnya.
Sekarang Nancy melangkah masuk.
Emily langsung membeku di tempat.
Nancy tampak begitu aneh, seperti orang tersihir.
Ia masuk dengan terhuyung-huyung. Matanya melotot.
"Tidaaak!" pekik Emily, melihat pisau berlumuran darah di
tangan Nancy. Bab 4 Parfum yang Tumpah NANCY mengacungkan pisau itu.
Emily berteriak dan dengan ngeri melangkah mundur.
"Aku menemukan ini di dekat pagar tanaman," kata Nancy
sambil menyipitkan matanya. Ia menoleh dan menatap ke belakang
lewat pintu yang terbuka. "Kenapa pisau ini bisa ada di luar?"
"Di dekat pagar tanaman?" seru Mr. Wallner. Ia mengulurkan
tangannya. "Sini, biar kulihat."
Emily membekap mulutnya. Dia malu sekali karena telah
berteriak. Telinganya terasa panas.
Cora-Ann melongok dari balik bahu Mr. Wallner. Kemudian
dia tertawa. "Oh, aku tahu apa itu. Itu salah satu perlengkapan untuk
Night of the Living Eyeballs."
"Untuk apa?" tanya Mr. Wallner, masih mengamati pisau itu.
"Night of the Living Eyeballs"film horor yang sedang dibuat
Rich bersama kawan-kawannya," Jessie menjelaskan.
"Rich tak lagi terlibat dalam pembuatan film itu," kata Mr.
Wallner dengan tegas. "Dasar bandel! Nancy, aku benar-benar
menyesal, kau harus menghadapi hal seperti ini pada hari
kepulanganmu. Ini takkan terjadi lagi, percayalah."
Nancy tersenyum"senyum tipis dan sumbang. "Nggak perlu
menyesal karena aku, maksudku. Bagiku nggak jadi masalah kok.
Sungguh."ebukulawas.blogspot.com
Suara Nancy jauh lebih pelan daripada dulu, pikir Emily. Ini
membuat hatinya pedih. Dan Nancy juga tampak lebih kurus.
Tubuhnya nyaris tak kelihatan di balik jaket panjangnya.
Emily mendesak ayah tirinya ke samping dan maju
menghampiri kakaknya. "Nancy!" Ia merentangkan lengannya lebarlebar dan memeluk kakaknya.
Nancy tidak membalas pelukannya, tapi juga tidak menolak. Ia
berdiri diam saja. "Aku kangen sekali padamu," bisik Emily di telinga Nancy.
Nancy tersenyum padanya, namun tidak berkata apa-apa. Apa
yang telah mereka lakukan pada Nancy di rumah sakit jiwa itu" pikir
Emily dengan waswas. "Hai, Nance," sapa Jessie sambil mendekatinya. Ia mengulurkan
tangannya, namun kemudian berubah pikiran dan memeluk Nancy
juga. Mrs. Wallner ikut-ikutan merangkul Nancy.
"Mom," kata Nancy pelan, "kita sudah melakukan ini tadi di
rumah sakit. Ingat?"
Semua orang tertawa. Ayah tiri Emily masih memegang-megang pisau berdarah itu.
"Oh, Hugh, mengapa tidak kaubuang saja pisau itu?" tegur
istrinya. "Ide bagus." Ia melangkah Ke luar sambil menggelenggelengkan kepalannya. Ketika kembali, ia membawa tas besar Nancy
yang berwarna putih. "Nance," kata Jessie memperkenalkan sahabatnya. "Ini CoraAnn Haver."
Cora-Ann maju, wajahnya bersemu merah. "Maaf," katanya,
"aku tak bermaksud mengganggu kalian. Aku... aku lupa hari ini kau
pulang, dan..." Nancy tersenyum. "Hei, aku senang kok. Sambutannya jadi
lebih meriah." "Oh," kata Cora-Ann, "kata-katamu manis sekali. Kau benar,
Em," tambahnya, berpaling pada Emily, "kakakmu hebat!"
Emily tak ingat dia pernah mengatakan hal itu pada Cora-Ann.
Tapi dia senang Cora-Ann menyinggung hal itu di depan Nancy.
Nancy tidak bereaksi. Tatapannya kosong. Mungkin dia
bingung karena semua perhatian ini, pikir Emily.
Cora-Ann memekik, "Nancy, aku suka anting-antingmu!"
Nancy menyibakkan rambutnya ke samping, memperlihatkan
anting-anting mungil dari kulit kerang. "Kubuat sendiri," katanya
dengan bangga. Namun kemudian ekspresinya kembali kosong.
Hati Emily mencelos. Ibunya bilang, Nancy sudah sembuh.
Tentu saja, Mom telah memperingatkannya"dan bukan hanya
sekali"bahwa dia tak boleh berharap terlalu banyak dari Nancy
ketika Nancy baru pulang.
"Beri dia waktu," kata Mrs. Wallner berulang-ulang pada
Emily. Meskipun demikian... Nancy tampak begitu pucat, begitu terasing, begitu tak
bergairah. Kelihatannya Nancy bergerak secara otomatis. Dan hanya
pura-pura mengikuti pembicaraan mereka.
Nancy akhirnya menaruh perhatian pada Butch, yang
melompat-lompat mengitarinya. Nancy membungkuk untuk
mengusap-usapnya. Butch langsung berbaring telentang, kaki
depannya terangkat. Ia menunggu Nancy menggelitiki perutnya.
"Itu Butch," kata Emily pada Nancy. "Kayaknya dia suka
padamu." Nancy tersenyum. "Perasaan kami sama."
Nancy sepertinya baru menyadari kehadiran Emily. "Hai, Em,"
sapanya lembut. Hati Emily luluh. Tiba-tiba saja, Nancy yang dulu kembali lagi.
Emily tersenyum lebar. "Hai."
Mereka berdua berpelukan. Kemudian, sambil berangkulan,
mereka berbalik untuk menghadapi anggota keluarga yang lain.
"Nah, begini ini adegan yang ingin kulihat," komentar Mr.
Wallner dengan wajah berseri- seri. "Sebuah keluarga yang bahagia."
Emily mendengar isak ibunya. Semua orang menoleh kepada
Mrs. Wallner dengan terkejut. "Maaf," kata Mrs. Wallner, merogoh
tasnya untuk mencari tisu. "Aku hanya..."
"Yah," kata Jessie, melihat arlojinya, "Mom bertahan tidak
menangis selama 2 menit 29 detik. Kau memenangkan taruhan kita,
Emily." Semua tertawa, termasuk Mrs. Wallner, yang tertawa sambil
membersit hidung. "Mana Rich?" tanya Mr. Wallner, mengerutkan dahi. "Dia
mestinya ada di sini." Mr. Wallner melayangkan pandangannya ke
anak tangga. "Hugh," Mrs. Wallner meletakkan sebelah tangannya di lengan
suaminya, "jangan mencari masalah."
"Well, di mana dia?"
"Ngambek di kamarnya," sahut Jessie. "Dad melarangnya
keluar, kan?" "Hukumannya akan kutambah, kalau dia tidak turun sekarang
juga. Kakaknya baru saja pulang setelah pergi setahun, masa dia
mengunci diri di kamar?" Mr. Wallner menggelengkan kepalanya.
"Keterlaluan!" "Hugh...," ibu Emily memperingatkan.
"Jangan kuatir. Aku tak akan memulai pertengkaran dengan dia.
Rich!" panggilnya. "Nancy sudah datang. Turun, Scout."
"Dad," keluh Jessie. "Rich sudah empat belas tahun."
"Jadi?" "Dad memanggilnya Scout waktu dia baru tujuh tahun dan ikut
Pramuka." "Hm, sikapnya sekarang kan seperti anak tujuh tahun," gerutu
Mr. Wallner. Ia melangkah ke kaki tangga dan berteriak dengan
sebelah tangan berpegangan pada susuran tangga. "Rich, turun
sekarang juga, atau kau tidak boleh keluar rumah selama dua belas
minggu! Mengerti" Aku akan menghitung! Lima! Empat!"
Terdengar suara pintu dibanting, dan beberapa saat kemudian,
Rich muncul di puncak tangga. Mereka semua menatapnya ketika ia
dengan enggan menuruni tangga, kedua tangannya disembunyikannya
dalam saku celana jinsnya. Ia melewati Emily, dengan sengaja
menyenggolnya. "Hei," protes Emily.
Ia menoleh dan tersenyum lebar pada Emily. Bagi Emily
senyum itu lebih mirip seringai.
"Hai," sapa Rich pada Nancy. Dikeluarkannya sebelah
tangannya untuk melambai dengan asal-asalan. "Apa kabar?"
"Baik," jawab Nancy, sambil tersenyum kecil seperti yang sejak
tadi dilakukannya. Sejenak suasana terasa kaku. Rich kembali melontarkan
pandangan marah kepada Emily. Kemudian dia membalikkan badan
dan mulai menuju tangga. Mr. Wallner menepuk bahunya. "Kau mau ke mana?" tanyanya
dengan nada keras. "Kembali ke kamarku," Rich menjawab tak acuh.
"Apa kau sudah sinting" Kakakmu kan baru pulang?"
Sinting. Pilihan kata yang jitu, pikir Emily dengan kecut.
Mr. Wallner baru sadar bahwa semua orang sedang
memandanginya. "Apa?" tanyanya ketus.
"Hei, Rich," kata Cora-Ann tiba-tiba, "aku baru ingat. Ada film
bagus yang kutonton di televisi semalam, dan aku ingin menanyakan
sesuatu tentangnya. Judulnya Gnaw. Tokoh utamanya tikus-tikus
raksasa. Kau pernah menontonnya?"
Bagus, Cora-Ann! puji Emily dalam hati. Ia sangat berterima
kasih karena teman Jessie ini sekali lagi menyelamatkan suasana.
Mulut Rich ternganga. "Kau suka film horor?" ia bertanya pada
Cora-Ann dengan curiga. "Oh, aku suka sekali," Cora-Ann menjawab cepat.
Rich mengangguk. "Apa film horor favoritmu?"
Oh-oh, pikir Emily. Rich menguji Cora-Ann.
Semoga saja Cora-Ann tidak berbasa-basi ketika dia bilang
bahwa dia menyukai film horor, sebab...
"Uh... kurasa The Shining," jawab Cora-Ann. "Kau baca
bukunya nggak" Bukunya malah lebih seram daripada filmnya."
"Hei, asyik," kata Rich. Ia tersenyum penuh persahabatan.
Cora-Ann telah lulus. Mungkin aku akan minta Jessie untuk mengajak Cora-Ann
tinggal di sini selamanya, Emily membatin. Dan bukan hanya pada
malam-malam ketika orangtua Cora-Ann sedang berkelahi.
"Hei, Nance," kata Emily. "Kau nggak mau memuji
penampilanku?" Emily mengangkat bagian bawah celana montirnya dan
berputar-putar seperti model. Ia menunggu-nunggu Nancy
melontarkan komentar pedas. Nancy yang dulu pasti melakukan itu.
Tapi sekarang kakaknya hanya mengatakan, "Bagus sekali."
Tubuh Emily terasa dingin. Ia bertukar pandang dengan Jessie.
Tatapan mereka sama-sama menyiratkan kekhawatiran.
"Yah," kata Nancy sambil meraih tas kanvasnya, "kurasa
sebaiknya kubereskan barang- barangku."


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang dengan serta-merta maju menghampirinya,
berebutan mengambil tas itu akan membawakannya ke atas.
Nancy tertawa. "Tak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri kok."
Ia mulai menaiki tangga. Semua orang mengawasinya. Di
tengah tangga ia menoleh dan melempar senyum.
"Jangan kuatir," ia menenangkan mereka. "Aku baik-baik saja.
Aku hanya tegang karena semua kesibukan ini. Maksudku, pulang ke
rumah dan lain-lainnya. Kupikir aku perlu membereskan kamarku.
Mengeluarkan barang-barang di tas. Aku akan baik-baik saja. Aku
janji." Semua orang serempak membuka mulut, mengutarakan
keyakinan mereka bahwa Nancy akan baik-baik saja. Mereka juga
mempersilakan Nancy untuk beristirahat sepuas-puasnya. Kami semua
jadi salah tingkah, pikir Emily dengan pahit.
Nancy tersenyum kecil, kemudian berbalik dan meneruskan
langkahnya. Sendirian. Tatapan semua orang mengikutinya.
"Well," kata Mr. Wallner keras-keras setelah Nancy lenyap dari
pandangan. "Pertemuan pertama ini berjalan dengan baik." Ia
tersenyum senang. Masa dia tak sadar bahwa kenyataannya tidak begitu" Emily
mengeluh dalam hati. Ayah tirinya ini benar-benar tidak peka!
Mr. Wallner menepukkan kedua tangannya. "Oke. Aku mau
nonton akhir pertandingan tim Bears. Kalian..."
"Kami bisa mencari kesibukan sendiri, Hugh," tukas Mrs.
Wallner. "Jangan kuatir."
Mr. Wallner mengangkat bahu. "Aku tidak kuatir. Kau yang
kuatir. Mau ke mana kau?"
"Menyiapkan makan siang, tentu," jawab ibu Emily sambil
menghela napas. Ia menuju ruang makan sementara suaminya
bergegas ke ruang baca. Mom ternyata jauh lebih gelisah daripada yang kukira, pikir
Emily. Rich sekali lagi melontarkan tatapan mengancam ke arah
Emily, sebelum kembali ke kamarnya di lantai atas. Dia melangkahi
anak tangga dua-dua sekaligus.
"Hei, Cora-Ann," kata Jessie, menarik lengan baju kawannya.
"Aku ingin menunjukkan padamu cara baru untuk memakai eyeliner."
Ia menggiring Cora-Ann menaiki tangga.
Cora-Ann seperti boneka mainan Jessie saja, pikir Emily. Atau
aku berpikir begitu hanya karena iri melihat keakraban mereka"
Emily berdiri sendirian di ruang depan. Ia berpegangan pada
susuran tangga, berusaha menguasai perasaannya. Mencoba meresapi
kenyataan bahwa Nancy sudah di rumah lagi.
Ia merasa agak kecewa. Sudah lama ia membayangkan
peristiwa ini"membayangkannya dengan penuh ketakutan sekaligus
kerinduan. Sekarang saat itu sudah datang dan berlalu.
Dia dapat mendengar bunyi langkah kaki Nancy di kamarnya di
lantai atas. Hatinya melonjak. Nancy! Nancy sudah pulang! Betapa
inginnya ia berlari ke atas dan menemui kakaknya itu. Menggelitiki
dan menggodanya. Memeluknya.
Tapi mungkin lebih baik kalau untuk sementara dia dibiarkan
sendiri, pikir Emily. Itu memang keinginan Nancy.
Akhirnya Emily pergi ke dapur. Ibunya sedang berdiri di muka
bak cuci, membelakanginya.
"Mom," panggil Emily.
Ibunya berpaling. Matanya sembap dan berair. Ia meraih
gulungan serbet kertas dan membersit hidungnya keras-keras pada
kertas yang kasar itu. "Jangan pakai itu," kata Emily. "Biar kuambilkan tisu."
"Maaf." Mrs. Wallner mengelap matanya.
"Jangan bilang begitu. Kenapa Mom mesti minta maaf?"
"Aku... aku hanya senang sekali sebab dia sudah pulang!"
"Oh ya" Kok sikap Mom malah sebaliknya?" Emily memutar
bola matanya. "Aku juga senang," tambahnya. Dia tahu ucapannya itu
akan membuat ibunya senang.
"Oh, Sayang..." Mrs. Wallner mendekati Emily dan memegangi
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kau bersungguhsungguh?"
Kenapa ibunya terus-menerus khawatir begini" Kenapa sulit
sekali bagi ibunya untuk mempercayai ucapan orang"
"Tidak, aku bohong pada Mom, seperti biasanya," jawab Emily
jengkel. "Mom, tentu saja aku bersungguh-sungguh!"
Mrs. Wallner mendengus. "Em" Aku tahu ini akan sulit
untukmu. Tapi..." "Tapi kita harus berusaha sedapat-dapatnya untuk membuat
Nancy betah dan merasa nyaman di rumah," Emily memotong
perkataan ibunya. "Ceramah" seperti ini sudah ratusan kali
didengarnya selama beberapa minggu terakhir ini.
"Betul," Mrs. Wallner setuju.
"Mom, aku tahu ini sulit bagi Mom, tapi jangan kuatir, oke"
Nancy sudah sembuh. Dia sudah pulang. Keluarga kita sudah
berkumpul lagi." Emily mengecup pipi ibunya. "Semuanya akan
beres. Yakin deh!" Mrs. Wallner tersenyum dan menyapu air matanya lagi.
Emily kembali ke ruang depan. Dapat didengarnya suara ayah
tirinya yang sedang meneriaki para pemain football di layar kaca.
Rupanya tim Bears hampir kalah.
Emily perlahan-lahan menaiki tangga. Nancy masih mondarmandir di kamarnya" bunyi langkah kakinya tertangkap oleh Emily.
Pintu kamar Rich di ujung koridor tertutup, seperti biasanya. Dari
ujung lain koridor itu, terdengar suara orang cekikikan. Pasti Jessie
dan Cora-Ann sedang mencoba-coba makeup di kamar ibunya.
Emily mendengus. Harum wewangian yang dikenalnya
memenuhi udara. Harum buah persik dan bunga mawar.
Aneh. Apakah Jessie..."
Emily bergegas menuju kamarnya yang pintunya terbuka.
Bau itu semakin menusuk. Emily berhenti di muka pintu"dan ternganga kaget.
Botol parfumnya. Parfum Ma Cherie kesayangannya.
Botolnya terbalik. Tutupnya terbuka.
Isinya mengalir keluar dan membasahi meja riasnya, dan
menimbulkan genangan kecil di karpet.
Bab 5 Tercekik "SIAPA yang melakukan ini" Siapa?" pekik Emily.
Teriakannya disusul oleh bunyi gedebak-gedebuk, bunyi langkahlangkah kaki yang tergesa-gesa menyusuri koridor.
Jessie dan Cora-Ann melompat masuk ke kamar. "Ada apa?"
tanya Jessie terengah-engah.
"Lihat!" Emily menunjuk meja rias dan parfum yang tumpah
itu. "Oh-oh," gumam Jessie. Dia cepat-cepat melangkah maju dan
menegakkan botol parfum berbentuk seruling itu.
"Tak ada gunanya," kata Emily, menghela napas. "Dia
menumpahkan semuanya."
"Dia?" tanya Cora-Ann. "Dia siapa?" Matanya yang berwarna
gelap melebar. "Nancy, tentu saja!" bentak Emily. "Memangnya kaukira
siapa?" Emily melihat Cora-Ann dan Jessie bertukar pandang. Bukan
aku yang gila, pikir Emily sengit. Nancy baru dua menit di rumah dan
masalah sudah timbul lagi.
"Emily, lihat ke jendela," Jessie memerintahkan.
Emily menolehkan kepala. Jendela kamarnya masih terbuka,
angin dingin menerpa dan mengangkat-angkat tirai. "Kau
meninggalkan kamar tanpa menutup jendela," kata Jessie. "Ingat?"
"Jadi kenapa?" tanya Emily ngotot.
"Jadiii," jawab Jessie, "mungkin botol parfummu terbalik
karena tertiup angin."
Jessie bicara padaku seakan-akan aku ini Butch, pikir Emily
dengan getir. "Nggak mungkin," bantahnya sambil menggelengkan
kepala. Tapi kemarahannya mulai surut.
"Aku akan bicara dengan Nancy." Emily berjalan ke pintu, tapi
Jessie menghadangnya. Emily melihat Cora-Ann memandangi mereka
dengan cemas. "Jangan," kata Jessie tegas. "Mom dan Dad akan memenggal
kepalamu, kalau kau seenaknya melemparkan tuduhan kepada Nancy.
Dia kan baru pulang!"
"Yeah, benar. Tenanglah, Em," bujuk Cora-Ann. "Maksudku,
apakah kau akan menyalahkan Nancy untuk setiap musibah yang
terjadi?" Emily sekonyong-konyong merasa lemas. Ia terenyak di tepi
tempat tidur. "Aku nggak tahu aku ini kenapa." Ia mendesah. "Aku hampir
saja melakukan sesuatu yang bodoh bukan?"
Jessie dan Cora-Ann mengangguk.
"Musibah," gumam Emily sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Ia ingin percaya bahwa kejadian itu hanya kesialan yang
kebetulan menimpanya. Ia sungguh-sungguh ingin percaya.
"Wow!" terdengar seruan dari ambang pintu.
Emily mengangkat muka. Rich berdiri di ambang pintu sambil mendengus-dengus. Ia
memperlihatkan tampang jijik. "Idih, bau apa sih nih?"
Rich. Emily belum sempat berpikir bahwa mungkin Rich
pelakunya. "Tunggu pembalasanku!" kata Rich tadi pagi.
Kini Emily menatapnya lekat-lekat. "Apakah kau yang
melakukannya, Rich?" tanyanya penuh tuntutan. "Kau yang
menumpahkan parfumku?"
Perlahan-lahan Rich tersenyum lebar. Begitu lebar senyumnya
hingga nyaris memenuhi seluruh wajahnya. "Mungkin," jawabnya
santai. ************* Keesokan paginya, hari Minggu, Emily tidur sampai siang. Ia
terbangun ketika mendengar suara ayah tirinya berteriak dengan riang
dari lantai bawah, "Anak-anak, ayo bangun. Come on"rise and
shine!" Emily agak kaget karena Mr. Wallner ternyata telah
merencanakan untuk mengajak mereka sarapan di restoran wafel dan
pancake yang baru dibuka di Division street. Sepanjang tahun ayah tiri
Emily ini telah mengeluh tentang betapa sepinya penjualan di pabrik
mebel yang dipimpinnya, dan berulang-ulang ia menekankan bahwa
mereka sekeluarga harus berhemat.
Tapi hari ini adalah hari besar. Keluarga mereka telah
berkumpul kembali. Restoran pancake yang ramai dan bising
merupakan tempat yang cocok untuk merayakan reuni itu.
Emily berpakaian dengan tergesa-gesa. Dikenakannya sweter
kuning cerah sebagai padanan celana ketat hitamnya. Ia ingin
penampilannya memberi kesan cerah-ceria.
"Hei, Rich... ayo siap-siap. Rich, di mana kau?" teriak Mr.
Wallner dari bawah. Tak ada jawaban dari kamar Rich.
"Hei, Rich...?" Suara Mr. Wallner bernada membujuk sekarang.
Lama kemudian, barulah terdengar jawaban malas dari dalam
kamar Rich. "Aku nggak ikut. Aku nggak boleh keluar rumah, kan?"
Akhirnya mereka berangkat tanpa Rich. Mr. dan Mrs. Wallner
duduk di bangku depan sedan Taurus mereka yang sudah berusia
empat tahun. Nancy, Jessie, dan Emily duduk berdesakan di bangku
belakang, sambil terus mengoceh seakan-akan mereka baru saja
bertemu. Mereka memesan pancake dan telur. Mr. Wallner memesan
setumpuk besar pancake yang atasnya diberi telur dan steak. Ketika
hidangan itu tiba, ia menyiram semuanya dengan mentega dan sirop
mapel Aduh, jorok amat sih! Emily mendumal dalam hati. Ayah
tirinya selalu berpura-pura keren, padahal sikapnya begitu
kampungan. Saat dia membungkuk di atas piring, kepalanya yang
botak berkilauan terkena sinar lampu.
"Mmmm. Ini hidangan terlezat yang pernah kumakan selama
setahun!" puji Nancy. Di dagunya terlihat bercak sirop. "Tahu nggak,
aku pernah mimpi tentang pancake. Benar!"
"Aku pernah mimpi makan roti isi selai kacang," Jessie
menanggapi. "Kacangnya halus atau masih menggerenjel?" tanya Nancy.
"Menggerenjel dong," sahut Jessie. "Ketika aku bangun, gigiku
sakit." Sebenarnya lelucon itu tidak terlalu lucu, tapi semua orang
tertawa. Sikap Nancy sudah lebih normal pagi ini, pikir Emily dengan
gembira. "Tahu nggak, apa namanya wafel yang dibuat dengan telur
busuk?" timbrung Mr. Wallner. Ia bicara dengan mulut penuh
makanan. Nancy meladeni gurauannya. "Nggak. Apa sih namanya?"
"Wafel busuk!" Ketiga anak gadisnya mengerang. "Dad, norak ah!" seru Emily.
Sudah beberapa bulan ia memanggil ayah tirinya "Dad". Ia mulai
terbiasa dan tidak merasa canggung lagi.
Ibu Emily tertawa. Matanya berbinar-binar.
Emily tak percaya ibunya bisa benar-benar menikmati gurauan
norak tadi. Mom benar-benar cinta pada orang ini, Emily menyadari.
Meskipun sudah lewat setahun, hal ini masih membuat Emily
terheran-heran. Emily melihat senyum ayah tirinya perlahan-lahan memudar.
"Aku hanya berharap Rich bisa memperbaiki diri," katanya dengan
wajah muram. Dilemparkannya serbetnya ke meja. "Aku agak kuatir
memikirkan Rich." Aku juga, sambung Emily dalam hati. Aku juga.
Emily terlonjak ketika pergelangan tangannya disentuh. Ia
menoleh dan mendapati Nancy sedang tersenyum kepadanya.
"Setiba di rumah nanti, kita ngobrol yuk," ajak Nancy.
"Semalam aku terlalu capek, padahal kepingin rasanya bertukar
cerita." "Oh ya, asyik!" Emily menyetujui dengan gembira. "Aku... aku
juga ingin ngobrol denganmu."
Emily melihat ibunya memandangi mereka sambil tersenyum
senang. Keadaan benar-benar sudah membaik, pikir Emily.
Makan pagi itu berlangsung selama dua jam. Acara makan pagi
keluarga yang paling lama"dan paling berisik"yang bisa diingat
Emily. Ketika mereka akhirnya tiba di rumah, Nancy dan Emily
menyelinap ke ruang baca. Ruangan itu gelap. Tirai-tirainya tertutup.
Rich pasti baru dari sini, nonton film horor lagi, pikir Emily.
Rich paling senang bergelap-gelapan begini, menutup semua tirai
sehingga ruangan itu menjadi segelap gua.
Emily meraba-raba, mencari tombol lampu.
Namun sebelum ia sempat mencapainya, dirasakannya tangan
Nancy mencengkam tenggorokannya.
Emily terengah ketika Nancy mencekiknya.
Bab

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 Brum Brum "OHHH...," Emily berseru lemah.
Dia mundur dengan terhuyung-huyung.
Nancy segera melepaskannya.
Selama beberapa saat Emily tak mampu bergerak saking
kagetnya. Kemudian dengan tergesa-gesa dia mundur, tangannya
mencakar-cakar dinding yang dilapisi kayu. Ia menabrak sesuatu"
sofa. Lampu menyala terang. Sinarnya membutakan mata Emily.
Kemudian dilihatnya Nancy, yang berdiri di ambang pintu dan
dengan tenang memandanginya.
"Kenapa kau berbuat begitu?" tanya Emily dengan tenggorokan
tercekat, diusap-usapnya lehernya dengan kedua tangannya.
"Sebetulnya apa maumu?" Jantung Emily berdegup keras, napasnya
terengah-engah. Suaranya nyaring dan melengking.
Nancy menyibakkan rambutnya. "Maaf, Em. Aku harus
membuktikan sesuatu."
"Apa" Membuktikan sesuatu?" jerit Emily. "Dengan
mencekikku?" "Ketika aku menyentuh tanganmu di restoran, kau terlonjak,"
kata Nancy pelan dan tenang.
"Ya. Aku..." "Aku tak tahu apa yang akan kuhadapi ketika aku pulang,"
Nancy melanjutkan. Ia bersandar pada kusen pintu, mata hijaunya tak
lepas dari wajah Emily. "Sudah kukira bahwa kau belum
memaafkanku. Tapi tentu saja aku tak menduga bahwa kau akan
melonjak ketakutan setiap kali aku menyentuhmu."
"Nancy... kau... kau baru saja mencoba mencekikku!" kata
Emily terbata-bata. Nancy menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku meletakkan
tanganku di lehermu. Aku tidak meremasnya. Aku tidak mencoba
mencekikmu. Tapi kau... kau takut padaku." Suara Nancy sarat dengan
emosi. "Aku... tak pemah kuduga kau akan bersikap begini."
Emily dengan ragu-ragu melangkah ke arah kakaknya. "Kau
mengagetkanku, cuma itu. Aku tidak takut padamu. Sungguh. Tapi
masa kau pura-pura mencekikku untuk membuktikan..."
"Aku hanya ingin menunjukkan padamu betapa ketakutannya
kau," tukas Nancy. Ia menyipitkan matanya dengan ekspresi serius.
"Dengar, aku tak dapat menyalahkanmu kalau kau takut. Tapi kau
harus percaya bahwa aku sudah sembuh sekarang. Aku tidak akan
pernah"tidak akan pernah"mencoba melukaimu lagi. Kau harus
janji tidak akan takut padaku. Sebab..."
Suaranya terputus. Nancy berhenti sejenak. "Sebab itu membuat
hatiku sakit." Nancy menghela napas. Butir-butir air mata mengalir turun di
pipinya yang pucat. "Menangis itu nggak apa-apa kok," katanya lirih.
"Menangis itu bagus. Perasaan itu bagus. Bukan jelek. Kita nggak
perlu malu akan perasaan kita." Ia tersenyum. "Omongan dokter,"
katanya menjelaskan. "Oh, begitu," Emily menanggapi dengan salah tingkah.
"Kau percaya padaku, kan?" tanya Nancy. "Kau bisa lihat
bahwa aku sudah sembuh, kan?"
Emily ingin sekali mempercayai perkataan kakaknya. Tapi,
kenapa Nancy memakai cara yang begitu mengerikan untuk
membuktikan pendapatnya"
Emily menyingkirkan pertanyaan itu dari benaknya. Ia
tersenyum. "Aku percaya padamu."
Nancy menyeka air matanya. "Ayo, kita ke kamarku supaya
bisa ngobrol. Ruangan ini membuatku tertekan.
"Kau masih jalan dengan Josh?" tanya Nancy ketika mereka
menaiki tangga. Dia melontarkan pertanyaan itu dengan nada biasa, seakan-akan
menanyakan jam saja. Padahal, Josh mantan pacar Nancy, sebelum dia berpacaran
dengan Emily. "Yeah," jawab Emily, berusaha menanggapi dengan nada biasa
juga. "Aku masih jalan dengannya.
"Wow," komentar Emily ketika memasuki kamar Nancy.
"Kamarmu mulai kelihatan... seperti dulu."
Minggu sebelumnya, ibu mereka bekerja keras memindahkan
harta benda Nancy" manik-manik, boneka, dan lain-lain"dari ruang
bawah atap kembali ke kamarnya. Kemarin semua barang itu sudah
dipajangnya di tempat yang lama"di rak gantung sepanjang dinding.
Kini Nancy telah mengembalikan semua perlengkapan kamar tidurnya
ke posisi semula. Nancy menjatuhkan diri ke kursi goyang rotan. Ia mengawasi
Emily yang sedang menginspeksi seluruh kamar.
"Kenapa dinding itu ditutup dengan kain?" tanya Emily.
"Itu untuk melindungi muralku. Aku baru mulai melukisnya
tadi pagi." "Kau membuat lukisan dinding" Kau melukis di dinding" Apa
Mom sudah tahu?" "Mom bilang, aku boleh melakukan apa pun yang aku mau. Itu
salah satu keuntungannya jadi orang gila, Emily. Karena otak kita
kurang beres, semua orang jadi baik pada kita. Kaucoba sendiri deh."
Emily tertawa. "Jadi, apa yang kaulukis?" tanyanya, bersiapsiap untuk menyibakkan kain putih itu.
"Hei, jangan!" Nancy membungkuk ke depan dan mengibaskan
tangan Emily. "Kau nggak boleh ngintip sebelum lukisannya jadi. Aku
cuma bisa memberitahumu bahwa ini akan jadi mahakarya yang
mewakili semua perasaanku. Oh, lihat apa yang kutemukan."
Nancy mengacungkan beberapa brosur college. "Kayaknya
sudah waktunya aku mendaftar ulang."
College. Kelihatannya Nancy sudah benar-benar sembuh.
Harapan Emily mulai berkobar.
Bila Nancy sudah kembali menjadi dirinya yang dulu, berarti
mereka berdua mempunyai masa depan yang cerah. Mereka bisa
hidup sebagai dua saudara untuk selama-lamanya.
"Bagus sekali. Kau yakin kau sudah siap untuk masuk college?"
tanya Emily dengan hati-hati, agar Nancy tidak tersinggung.
"Kalau aku diterima, aku akan minta cuti setahun. Supaya aku
betul-betul sembuh."
Emily mengangguk. "Ya, mestinya memang begitu."
Selama setahun penuh Emily telah membayangkan adegan ini.
Dia dan Nancy berhadap-hadapan. Dalam bayangannya itu, dia
kadang-kadang menangis, atau menjerit-jerit. Tak terpikirkan olehnya
bahwa pertemuan mereka ternyata akan seperti ini. Mereka berdua
mengobrol dengan tenang. "Bagaimana hubungan Mom dan Hugh?" tanya Nancy. "Ayo,
aku ingin dengar yang jelek-jeleknya. Mereka tak lagi bertingkah
seperti sepasang merpati, kan?"
"Sayang sekali mereka memang masih begitu."
"Wow, hebat dong!" seru Nancy, matanya berbinar.
Mereka berdua cekikikan. "Dan bagaimana hubunganmu dengan Jessie?" Nancy
melanjutkan "interogasi"-nya.
"Jessie" Kami..." Emily berhenti. Hei, hati-hati, ia
mengingatkan dirinya sendiri. Hampir saja ia keceplosan bicara,
menceritakan pada Nancy betapa akrabnya dia dengan saudara tiri
mereka itu sekarang. "Bisa berteman?" bantu Nancy.
"Yah, kurang-lebih begitu," jawab Emily.
"Hm, hebat juga ya, kalian berdua bisa berteman, padahal dulu
aku sudah bersusah payah untuk membuatmu mencurigainya."
Nancy mengatakan itu dengan nada datar, tapi kemudian ia
tersenyum pada Emily. Senyum bersalah. Senyum penyesalan.
Pasti sulit sekali bagi Nancy untuk memaafkan dirinya sendiri,
pikir Emily. Tiba-tiba saja, Emily dipenuhi rasa iba terhadap
kakaknya. Nancy mendongakkan kepalanya dan menatap langit-langit.
Emily mengamati profilnya dan mau tak mau mengaguminya. Nancy
sangat cantik. Hidungnya mancung seperti hidung Mom. Rambut
merahnya tergerai lembut di bahunya. Nancy mengalihkan tatapannya
pada Emily dan tersenyum geli.
"Kenapa?" tanya Emily.
"Noda di langit-langit. Masih ada sampai sekarang."
Emily memandang ke atas dan tertawa. Dulu, dulu sekali, dia
dan Nancy mengisi pistol air mereka dengan root beer. Mereka pikir,
minum soda dari pistol air pasti lebih asyik daripada minum dari
botol. Tapi akhirnya, bukannya minum mereka malah main perangperangan, dengan akibat noda di langit-langit itu.
"Dad marah sekali," kenang Emily, masih sambil tertawa.
"Belum pernah aku melihatnya semarah itu."
"Waktu itu Dad baru saja memplester langit-langit, setelah
membetulkan bocor di ruang bawah atap," kata Nancy.
Nancy menoleh. Pandangan mereka bertemu. Emily merasa
sangat santai. Seluruh ketegangannya sudah lenyap.
Bukan hanya percakapan itu yang membuat Emily lega. Ia lega
karena dengan kembalinya Nancy, ia seakan-akan mendapatkan
kembali sebagian dari diri ayahnya. Soalnya, hanya Nancy dan ibunya
yang dapat diajaknya bernostalgia mengenang almarhum ayahnya.
"Nance," katanya lembut, tenggorokannya tersumbat. "Aku
senang kau sudah pulang."
Nancy mengerutkan dahi. "Kau nggak berani bertanya, ya"
Jangan begitu. Aku kan tidak terbuat dari kaca."
Emily mengerutkan mukanya. "Nggak berani bertanya apa?"
Nancy menirukan suara Emily. "Jadi, Nance, gimana
pengalamanmu di rumah sakit?"
"Oh, itu. Ya deh! Gimana pengalamanmu di rumah sakit?"
Mereka berdua tertawa. "Tahu nggak, apanya yang gila?" tanya Nancy sambil
tersenyum. "Menurutku, hidup di RSJ itu asyik!"
"Yang benar" Kau nggak bercanda?" Ibu Emily memang selalu
mengatakan bahwa Nancy diperlakukan dengan baik di rumah sakit
jiwa itu. Tempat itu bagus dan dikelola dengan sempurna. Pokoknya,
tidak seperti rumah sakit jiwa dalam film-film.
Namun betapa keras pun Emily mencoba, ia tak dapat
menghilangkan bayangan tentang siksaan-siksaan yang dialami Nancy
di sana. "Kau benar-benar senang di sana?" tanya Emily lagi. "Apa sih
enaknya tempat itu?"
"Di rumah sakit, semuanya sudah diatur untuk kita, Em. Setiap
hari ada jadwal yang harus diikuti. Dan banyak kegiatan yang
menarik. Membuat patung tanah liat. Melukis. Mendengarkan cerita.
Pertukangan. Bahkan reparasi mobil."
"Kedengarannya memang asyik," komentar Emily. "Mungkin
aku harus masuk ke sana."
Nancy tergelak. "Yah, semua kegiatan itu tentu ada maksudnya.
Kita diharapkan dapat menyalurkan semua kemarahan kita."
"Oh." Nancy menunduk mengamati kedua tangannya. Emily melihat
kukunya yang kasar dan pecah-pecah. Dulu Nancy begitu
memperhatikan keindahan kukunya, pikirnya dengan hati tertusuk.
Nancy melipat tangannya. "Mestinya aku tidak menimpakan
kesalahan padamu, Em." Wajahnya diliputi perasaan bersalah. "Itu
begitu... gila... ya... gila."
Emily menelan ludah. "Kau menyalahkanku atas kematian Dad.
Hei, aku juga berpikir begitu. Bahkan sampai sekarang aku masih
menyalahkan diriku sendiri."
"Jangan! Jangan berpikir begitu lagi! Rasa bersalah adalah
racun. Racun yang sangat berbahaya. Dad meninggal karena
Pedang Tanduk Naga 6 Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Ajian Sesat Pendekar Slebor 1
^