Pencarian

Kebangkitan Roh Jahat 3

Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Bagian 3


Suara dalam kepalanya pun membisu. Sarah telah membiarkan
dirinya tenang"untuk saat ini.
Saat Jane selesai berpakaian, ia tahu ia harus mengunjungi Liza
Teasedale. Hanya itu. Ia tidak mengetahui alasannya.
Tapi ia menduga hal buruklah yang akan terjadi.
Dengan menggunakan tubuh Jane, Sarah telah membunuh
Thomas. Apa yang akan dilakukan Sarah terhadap Mrs. Teasedale,
dengan menggunakan tubuhnya"
Phillip menghentikan kereta di depan rumah Mrs. Teasedale. Ia
melompat turun dan bergegas mengitari kereta untuk membukakan
pintu bagi Jane. Ia mengulurkan tangan untuk membantu Jane
menuruni tangga kereta. "Mrs. Fear?" kata Phillip.
Jane berbalik. Apakah dia bisa merasakannya" pikirnya
penasaran. Apakah kusir itu bisa merasakan adanya perubahan pada
diriku" "Saya hanya ingin mengatakan," kata Phillip dengan malumalu, "bahwa saya sangat senang Anda sudah pulih."
Jane mengerjapkan mata. "Terima kasih, Phillip," gumamnya.
Ia ingin memeluk kusir itu.
Phillip mengenal Jane yang dulu. Mengenalnya dan
menyayanginya. Kalau saja ia bisa menjadi orang seperti anggapan Phillip!
Dari luar tampaknya ia telah mengalami kesembuhan total.
Tak seorang pun bisa mendengar atau melihat setan yang telah
bangkit dalam dirinya. Dan itu yang menjadikan dirinya berbahaya. Itu yang
menjadikan dirinya mematikan.
Jane mendapati Mrs. Teasedale tengah beristirahat di halaman
belakang rumahnya. Ia duduk di samping air mancur batu yang
menggelegak, lengkap dengan patung Cupidonya. Ia tampak tengah
menikmati sinar matahari.
Tidak jauh dari tempatnya, seorang pelayan tengah menjemur
cucian di tali yang diikatkan pada dua batang pohon willow. Sepraiseprai putih itu berkibar-kibar riang terembus angin musim semi.
Serangga-serangga mendengung. Burung-burung berkicau.
Pemandangan yang indah. Begitu tenang. Begitu damai.
Kecuali apa yang ada di dalam diriku, pikir Jane.
Jane dengan diam-diam mendekat ke samping Mrs. Teasedale.
Bayangannya jatuh menimpa wajah keriput wanita itu.
Mrs. Teasedale membuka matanya. Ia tersentak kagum.
"Oh, sayangku," seru Mrs. Teasedale. "Harus kuakui bahwa aku
tak pernah mengira akan melihatmu sehat kembali. Aku pernah
mengunjungimu. Demammu begitu tinggi. Kau bahkan tidak
mengenaliku." Ia bangkit berdiri. Lengannya terentang lebar dan Jane
menerima pelukan wanita tua itu dengan kikuk.
"Ya, saya memang sakit cukup parah," jawab Jane. Suaranya
terdengar tenang, mengejutkan.
"Kau yakin tidak apa-apa kau keluar sekarang?" tanya Mrs.
Teasedale. Ia mengerutkan kening dengan sikap prihatin. "Sebaiknya
jangan tergesa-gesa, mengingat parahnya sakitmu. Tapi aku ini bicara
apa" Coba lihat dirimu. Kau tampak benar-benar sehat!"
Ia membunyikan lonceng yang berada di meja kaca di samping
kursi rotannya. Seorang pelayan bergegas melintasi halaman rumput.
"Bawakan kursi untuk Mrs. Fear," katanya. "Dan secangkir
teh." Cuaca terasa hangat oleh matahari yang terang benderang. Jane
menanggalkan mantel merahnya yang tebal. Pelayan bergegas
menyeberangi halaman rumput sambil membawa kursi. Ia meletakkan
kursinya di samping Jane. Seorang pelayan lain meletakkan dua
cangkir teh di meja kecil.
Jane duduk di hadapan Mrs. Teasedale. Mrs. Teasedale
tersenyum kepadanya. "Aku masih sulit untuk mempercayainya. Kau seperti orang
baru." Betapa benar komentarnya, pikir Jane. Perutnya terasa melilit.
Apa rencana Sarah terhadap Mrs. Teasedale"
"Aku turut bersedih atas kepergian Thomas," kata Mrs.
Teasedale kepadanya. "Aku merasa sangat malu atas semua yang
kukatakan kepadamu hari itu. Seharusnya aku tidak mengulangi kisahkisah tentang keluarga Fear."
"Bukan salah Anda," kata Jane dengan riang. "Semua orang di
kota mempercayai cerita yang sama."
Liza Teasedale menggeleng. "Itu bukan alasan. Tapi, Sayang,
kau tampak sangat luar biasa! Ini benar-benar keajaiban."
Jane tiba-tiba menegang. Ia bisa merasakan roh jahat dalam dirinya bangkit. Meregang.
Menyesuaikan bentuknya dengan tubuhnya. Lengan memasuki lengan
dan kaki memasuki kaki. Seakan-akan Sarah mengenakan Jane,
memperlakukan tubuhnya seperti sepotong pakaian.
Dia harus mati, bisik Sarah dalam kepala Jane.
Mati" Liza Teasedale"
Jane tersentak. "Kau baik-baik saja?" seru Mrs. Teasedale, terkejut.
"Ku"kurasa begitu..."
Kau dengar kataku, Jane. Sekarang. Bunuh dia, perintah Sarah.
Tapi kenapa" pikir Jane penasaran. Apa kesalahan wanita tua
ini padamu" Oh, bukan padaku. Tapi padamu. Karena kau sangat ingin dia
menderita, kata Sarah kepadanya.
Jane sadar ia bisa berbicara dengan Sarah tanpa harus
mengucapkannya. Sarah bisa mendengarnya, sama seperti Jane bisa
mendengar Sarah. Aku tidak ingin dia menderita, seru Jane.
Tentu saja kau ingin. Aku hanya melaksanakan keinginanmu,
kata Sarah berkeras. Selama ini aku hanya melakukan keinginanmu.
Kau membenci Thomas sejak awal. Kau ingin dia tewas dan pergi dari
kehidupanmu agar kau bisa menikmati kekayaannya tanpa kehadiran
dirinya. Jadi kubunuh dia.
Itu kebohongan yang menjijikkan! protes Jane.
Oh, jangan berpura-pura. Kau membenci Thomas dan kau
membenci Mrs. Teasedale, kata Sarah.
Tidak. Tolong jangan sakiti dia, Sarah. Please, pinta Jane.
Tentu saja kau ingin menyakitinya, kata Sarah.
Jane bisa merasakan senyuman dalam suara Sarah.
Kau membenci caranya menakut-nakuti dirimu tentang Thomas
dan keluarganya. Dan sekarang dia harus membayar"dengan
nyawanya! "Tidak!" jerit Jane.
"Tidak apa, Sayang?" tanya Mrs. Teasedale bingung.
Jane sadar bahwa ia telah menjerit. "Harap maafkan saya,"
katanya. "Ini hari pertama saya bisa turun dari ranjang dan bepergian.
Saya masih agak bingung."
"Tentu saja, Nak. Itu sebabnya aku heran kenapa kau
berkunjung begitu cepat," kata Mrs. Teasedale kepadanya.
"Kalau Anda tidak keberatan, saya akan kembali lain kali," kata
Jane. Ia bangkit berdiri dari kursinya.
Aku akan pergi, pikir Jane. Cepat. Sebelum aku bisa menyakiti
wanita tua yang malang ini. Aku akan melarikan diri.
Ke mana" Kau bisa pergi ke mana" tanya Sarah.
Sejauh mungkin. Sejauh mungkin dari siapa pun yang kukenal
atau kusayangi. Siapa pun yang mungkin akan kusakiti, jawab Jane.
Ia mendengar raungan samar dalam kepalanya. Raungan yang
semakin keras. Mrs. Teasedale memang memperlakukan diriku dengan buruk;
pikir Jane tiba-tiba. Hari itu. Dalam acara minum teh itu. Saat Mrs.
Teasedale menuduh keluarga Fear jahat. Apa dia tidak tahu betapa
kata-katanya sudah membuatku ketakutan" Dia benar-benar kejam.
Terdengar tawa bercampur dengan raungan dalam kepala Jane.
"Kau yakin bahwa baik-baik saja?" tanya Mrs. Teasedale.
"Saya baik-baik saja. Saya hanya ingin mengucapkan terima
kasih sekali lagi untuk semua doa Anda saat saya sakit. Saya akan
segera kembali," janji Jane.
Aku harus pergi. Sekarang. Sebelum terlambat, pikir Jane.
"Mungkin sebaiknya kau beristirahat dulu," kata Mrs.
Teasedale. Ia terdengar khawatir.
"Tidak, tidak, Mrs. Teasedale. Saya jamin, saya baik-baik saja,"
kata Jane. Sulit untuk melihat. Ada bintik-bintik yang terang benderang di
depan matanya. Dan suara raungannya terlalu keras. Menghalangi
suara-suara lainnya. Jane samar-samar menyadari bahwa tengah mencium pipi
wanita tua itu. Menggumamkan salam perpisahannya. Apa yang
dikatakannya" Jane meraih mantelnya. Ia bergegas melintasi halaman rumput.
Ia merasa langkahnya tidak stabil.
Mengatakan bahwa keluarga Fear terkutuk. Mengatakan bahwa
setan mengikuti keluarga Fear.
Isu-isu busuk itu. Isu-isu yang telah membuat Jane tidak mempercayai Thomas.
Yang membuat ia memikirkan hal-hal buruk tentang suaminya.
Kalau bukan karena penggosip tua seperti Liza Teasedale,
hubungan Jane dengan Thomas pasti sudah lebih dekat.
Tidak satu pun dari semua kejadian ini akan berlangsung.
Tapi itu tidak masuk akal. Apa yang dipikirkannya"
Dan ke mana ia pergi"
Jane ingin kembali ke depan rumah, ke Phillip dan keretanya.
Tapi ia tampaknya telah berbalik di halaman rumput.
Ia menyelinap kembali ke dalam rumah.
Tidak seorang pun melihatnya.
Begitu sederhana. Raungannya tiba-tiba berhenti.
Jane bisa berpikir dengan jelas sekarang.
Ia bergerak dengan hati-hati, dengan cepat. Langkah-langkah
kakinya terasa ringan dan tanpa menimbulkan suara.
Ia melesat ke dapur. Ia mencabut sebilah pisau perak yang panjang dari laci dapur.
Darah merah tua mengalir deras dalam kepalanya, mengalir
turun di depan matanya bagaikan air terjun yang bergerak lambat.
Pemandangan itu menyentakkan dirinya kembali ke kesadaran,
seakan-akan ia terjaga dari tidur yang sangat nyenyak dan lama.
"Tidak!" katanya keras-keras.
"Kau itu, Isabelle?" seru seorang wanita dari ruang
penyimpanan kue. Jane tidak menjawab. Raungannya kembali terdengar.
Darah membanjir melewati matanya, menyulitkan
pandangannya. Ia mengerjapkan matanya. Tapi darah terus mengalir.
Karena darah itu ada di dalam kepalaku, pikir Jane.
Jane bergegas keluar dari dapur. Ke mana aku pergi sekarang"
Apa yang akan dilakukannya dengan pisau itu"
Di dalam otaknya, Sarah tertawa. Jangan khawatir, Jane. Kita
takkan menusuknya. Aku berjanji padamu.
Jane menyelinap keluar kembali ke bawah cahaya matahari
musim semi yang terang benderang.
Pelayan yang tadi tengah menjemur cucian telah masuk ke
dalam. Seprai-seprai putih lebar yang berkibar-kibar
menyembunyikan Jane saat ia memotong tali jemuran dengan
pisaunya. Lengannya terasa begitu kuat. Benar-benar perasaan yang luar
biasa. Ia merasa cukup kuat untuk mengangkat Planet Bumi dan
memutarnya di atas jari. Ia bergegas memotong seutas tali sepanjang kurang-lebih
setengah meter. Ia menyelipkan pisau itu ke sakunya. Melilitkan tali di tangan
kirinya dengan beberapa kali putaran pergelangan tangan yang cepat.
Sambil memegangi tali di balik punggungnya, ia menyeberangi
halaman rumput mendekati Mrs. Teasedale.
Ia belum pernah merasa seluar biasa ini seumur hidupnya.
Belum pernah merasakan adanya tujuan yang begitu kuat.
Mrs. Teasedale membuka matanya dan menegakkan duduknya
saat ia mendekat. "Ada yang terlupa, Nak?" tanyanya dengan ekspresi wajah
terkejut. Jane tidak menjawab. Ia melesat ke belakang Mrs. Teasedale.
Lalu ia melilitkan tali jemuran itu di leher Mrs. Teasedale. Dan
menariknya. Bab 16 TANGAN Mrs. Teasedale melesat ke lehernya. Ia mencakarcakar tali jemuran itu.
Segaris tipis darah merah muncul di leher Mrs. Teasedale.
Jane menyentakkan ujung tali jemuran itu.
Talinya menghilang ke bawah kulit Mrs. Teasedale.
Jane mengawasi saat darah mengalir keluar dalam bentuk
lingkaran sempurna. Krak! Leher Mrs. Teasedale patah.
Plok! Kepala Mrs. Teasedale mendarat di halaman belakang.
Jane terhuyung-huyung berdiri. Ia merasakan sesuatu terkuras
habis dari dalam dirinya, seakan-akan semua darahnya sendiri baru
saja mengalir keluar ke rerumputan yang hijau.
Ia kembali menjadi Jane Hardy. Dirinya sendiri.
Pikiran-pikiran itu. Pikiran-pikiran menakutkan yang
dipikirkannya tadi. Itu pikiran-pikiran Sarah, bukan pikirannya.
Jane menunduk. Di kakinya tergeletak seorang wanita tua yang
tidak berbahaya. Tewas. Tewas di tangan Jane.
Jane menunduk. Oh, tidak.
Oh, ya, jawab Sarah. Jane mulai terisak-isak. Berhentilah merengek dan mulai bekerja, kata Sarah.
Apa lagi sekarang" pikir Jane.
Sarah tidak menjawab. Tubuh Jane tersentak. Sarah kembali mengendalikannya,
pikirnya tersadar. Sarah memaksa Jane menyeret mayat wanita tua itu ke balik
sesemakan tinggi. Tampaknya Sarah ingin pembunuhan Mrs. Teasedale tidak
segera diketahui. Tapi kenapa" Karena kita belum selesai, kata Sarah riang.
Jane muntah-muntah. Harus berhenti. Harus ada cara untuk menghentikan kengerian
ini. Tidak! pinta Jane. Ia memeluk dirinya sendiri.
Tapi tidak ada gunanya. Sarah mendorongnya menyeberangi
halaman rumput. Jane memungut mantelnya, yang diletakkannya di dekat tali


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jemuran. Bagus juga kau tidak mengenakannya tadi, Sarah tergelak.
Jane menunduk. Ia memahami apa yang dimaksud Sarah. Darah
Mrs. Teasedale telah menciprati bagian depan gaunnya. Mantelnya
menyembunyikan noda itu. Ke mana kita sekarang" pikir Jane penasaran.
Ia mendapat jawabannya setelah duduk kembali dalam
keretanya. "Kita pulang secepat ini?" tanya Phillip.
Jane hanya mengangguk. Phillip menatapnya dengan pandangan aneh. "Semuanya baikbaik saja, Ma'am?"
Jane kembali mengangguk. Ia takut membuka mulutnya. Siapa
yang mengetahui apa yang akan dikatakannya"
"Kita ke mana?" tanya Phillip pada akhirnya.
"Antarkan aku ke penggilingan suamiku," katanya kepada
Phillip dengan suara serak.
Suara yang sekarang Jane ketahui bahwa bukan suaranya
sendiri. Suara Sarah. Penggilingan" Kenapa mereka pergi ke penggilingan"
Phillip ragu-ragu. "Kau dengar kataku," kata Jane. "Antar aku ke sana sekarang
juga!" "Ya, Ma'am." Aku sudah menyinggung perasaannya, pikir Jane. Tapi aku
tidak bisa mencegahnya, ada hal-hal yang lebih penting yang harus
kukhawatirkan. Phillip beruntung. Aku hanya menghinanya.
Ia menggigil sewaktu teringat kepala Mrs. Teasedale bergulir
lepas dari tubuhnya. Paling tidak aku tidak membunuh Phillip, pikir Jane.
Belum, jawab Sarah. Jane memejamkan mata. Sarah tertawa. Jangan khawatir, aku tidak berniat membunuh
Phillip. Kenapa aku harus membunuhnya"
Kenapa kau harus membunuh orang lain" tanya Jane.
Oh, jangan sesedih itu. Kau lebih menikmati pembunuhan yang
terakhir daripada diriku, kata Sarah kepadanya.
Jane tidak punya kekuatan untuk berdebat. Dan apa gunanya"
Sarah hanya mempermainkan dirinya.
Tidak, pikir Jane. Ini bukan Sarah yang ada di dalam diriku.
Apa pun ini, jelas bukan manusia. Ini roh jahat murni.
Jane menjulurkan lidahnya sejauh mungkin.
Ia mulai tercekik. Aku tidak suka diejek, kata roh jahat itu kepadanya.
********* Tidak ada seorang pun di luar penggilingan hari ini. Pintunya
terbuka lebar. Tapi pasti ada orang di dalam. Orang yang ingin...
Ayo, kata roh jahat itu. Jane mencoba untuk menyeret langkahnya. Tapi roh jahat itu
mendorongnya maju. Jane memasuki penggilingan. Menutup pintu di belakangnya.
Segalanya mengingatkan dirinya akan kecelakaan yang dialami
Thomas. Bau jerami yang baru dipotong. Debu biji-bijian yang
memenuhi udara. Roda-roda batu besar yang berputar pelan, bergeser
satu sama lain. Jane membayangkan air di sumur menggelegak dan berputar.
Mendengar jeritan tanpa daya Thomas yang malang.
Begitu menakutkan. Ya. Indah, bukan" tanya roh jahat itu.
Aku benci padamu, kata Jane kepadanya.
Apa perlu kuingatkan betapa sengsaranya hukumanku padamu"
tanya Sarah. Kau bisa menyiksaku sesuka hatimu. Aku memang sudah mati,
kata Jane. Oh, jangan berkata begitu, Jane. Karena aku memang benarbenar sudah tewas, jawab Sarah. Kau tidak mengetahui bagaimana
rasanya. Jangan memaksaku memberimu pelajaran yang sangat tidak
menyenangkan. Di dalam mulut Jane sebuah gigi mulai bergoyang-goyang,
tertarik oleh jari yang tidak kasat mata.
Jane menggoyang-goyangkan kepalanya. Tapi ia tidak bisa
melepaskan diri, tidak bisa membebaskan diri dari cengkeraman
jemari yang bagai penjepit besi itu.
Ia terus bergoyang-goyang. Bergoyang-goyang.
Giginya semakin lama semakin mengendur.
Diiringi suara isapan yang menakutkan, gigi itu tercabut.
Jane menjerit kesakitan. Ia meludahkan gigi itu ke tanah yang
berdebu. Ia merasakan darah yang mengalir tanpa tertahan dalam
mulutnya. Ia menghapus mulutnya dengan punggung tangan.
Lalu menatap ke sekeliling penggilingan.
Mungkin tidak ada orang di sini, pikir Jane. Thomas pernah
mengatakan bahwa mereka sengaja membiarkan penggilingan tetap
terbuka dan berjalan agar para petani bisa membawa hasil panenannya
dan menggilingnya sendiri kalau mandor sedang tidak ada di tempat.
Oh, please, semoga tempat ini kosong, doanya.
Kalau tidak ada orang di sini, maka tidak ada orang yang bisa
disakitinya. Tanggalkan mantelmu, perintah Sarah.
Jane mematuhinya. Ia menggigil. Mungkin roh jahat itu telah
memilih tempat ini untuk membunuhnya.
Ia merasa sangat ketakutan.
Sekalipun begitu, kematian juga akan melegakan.
Kalau Jane tewas, ia tidak akan lagi menjadi ancaman bagi
orang lain. Tidak akan ada orang lain lagi yang disakiti dengan tangannya.
Ya! Biarkan dia membunuhku kalau begitu! pikir Jane.
Sudah kukatakan, itu takkan terjadi. Aku punya rencana
terhadap dirimu, kata Sarah.
Seseorang menyentuh bahu Jane. Ia berbalik. Dan melihat
mandor penggilingan berdiri di belakangnya. Seorang pria pendek
kekar dengan rambut merah manyala dan lengan-lengan yang berotot.
Ia tampak terkejut melihat kehadiran Jane. Dan khawatir.
"Mrs. Fear?" tanyanya. Tatapannya terpaku pada gaun Jane
yang berlumuran darah. "Anda baik-baik saja, Mrs. Fear?"
"Aku mendapat kecelakaan kecil," kata Jane. Lalu tertawa.
Tidak, jerit Jane sendiri. Ia harus tetap terkendali. Ia tidak bisa
membiarkan Sarah mengambil alih.
"Anda butuh dokter?" tanya mandor. Ia tampak terkejut.
Jane ingin memperingatkan dirinya. Ia ingin menjerit agar
mandor itu menjauhi dirinya secepat mungkin.
Tapi ia tidak mampu menggerakkan mulutnya.
Bibir Jane menyeringai menakutkan. "Aku baik-baik saja!" Ia
tertawa melengking. Mandor itu menelan ludah. "Mrs. Fear" Saya turut sedih,
Ma'am. Sangat sedih. Mengenai kematian suami Anda. Saya dengar
Anda jatuh sakit karenanya. Saya sendiri jatuh sakit sesudah kejadian
itu. Saya baru kembali kemari hari ini. Saya"saya ingin memastikan
semuanya berjalan dengan lancar. Kalau Anda ingin saya
mengundurkan diri, saya bersedia. Kalau Anda ingin saya tetap
bekerja, saya juga bersedia melakukannya. Terserah pada Anda
sepenuhnya, Ma'am. Saya merasa sangat tidak enak atas kejadian..."
"Kau menyesal?" seru Jane, suaranya serak. "Kau yang
menyebabkan kematiannya, Mr. Taft!"
Mata Mr. Taft membelalak. Jane bisa melihat pria itu ketakutan.
Benar-benar licik. Benar-benar orang tolol. Takut terhadap seorang wanita. Sementara dirinya memiliki
lengan-lengan yang kuat. Dia sudah mendorong Thomas ke dalam sumur. Mendorong
Thomas ke kematiannya. Tapi sekarang dia menghadapi kekuatan sejati.
"Itu kecelakaan, Mrs. Fear. Anda melihat apa yang sudah
terjadi. Kami bertengkar, ya. Tapi saya tidak pernah berniat untuk
mencelakakan Mr. Fear. Saya selalu mengagumi suami Anda, Ma'am.
Dia memperlakukan saya dan para pekerja lainnya dengan baik. Tetap
membuka penggilingan ini sekalipun rugi dan..."
Mandor itu berbicara semakin lama semakin cepat. Boleh
dikatakan mengoceh. "Kau mendorong suamiku ke air mendidih, Mr. Taft! Kalau
bukan karena kau, Thomas pasti masih hidup! Benar atau salah?"
tanya Jane. Mandor itu membuka mulutnya, lalu menutupnya. Ia tidak
menjawab. "Benar atau salah?" jerit Jane. "Kau yang menyebabkan
kematiannya!" Wajah mandor itu berubah pucat pasi. "Tapi, Mrs. Fear, Anda
melihat sendiri bagaimana saya berusaha menariknya keluar. Anda
ada di sana. Anda melihat bahwa saya..."
Di belakang mandor, Jane bisa melihat roda-roda batu besar itu
berputar perlahan-lahan. Dan tiba-tiba, ia bisa merasakan rencana roh jahat itu.
"Lari!" teriaknya kepada mandor itu.
Tapi tidak terdengar suara apa pun dari mulutnya.
Jane menyambar kemeja mandor itu dengan kedua tangan.
Ia mendorongnya sekuat tenaga. Ke belakang ke roda-roda
penggilingan yang besar itu.
Bab 17 LALU Jane mendorong kepala mandor ke bawah, ke arah rodaroda yang menggilas dengan lambat itu.
Mandor itu menjerit. Panjang dan putus asa.
Jane mendorong kepalanya ke lintasan roda-roda batu raksasa
itu. "Tidaaaaak!" jerit mandor. Ia menyentakkan kepalanya ke sana
kemari, berusaha melepaskan diri.
Tapi Jane terlalu kuat. Roda-roda itu tampak seakan-akan berhenti selama sepersekian
detik. Lalu darah mandor yang hangat menciprati bagian depan gaun
Jane. Jane kembali merasakan sensasi terkuras yang aneh. Ia jatuh
berlutut dan muntah-muntah ke tanah yang tertutup debu gandum.
Di dalam kepalanya, Sarah tertawa.
********* Keesokan paginya, Jane terjaga sebelum subuh. Ia menggeliat
dan menguap. Kejadian-kejadian kemarin melintas dalam benaknya. Mata
Mrs. Teasedale yang menggembung. Lingkaran darah merah yang
sempurna di sekeliling tenggorokannya.
Jerit ketakutan mandor. Jane mengerang. Apa mungkin bisa lebih buruk lagi"
Itu tantangan" tanya roh jahat. Berpakaianlah. Ada yang harus
kita lakukan. Jane menemukan pakaian bersih dan bergegas mengenakannya.
Lalu ia bergegas menuruni tangga dan menuju dapur.
Clara telah meletakkan sepanci besar kentang di atas tungku,
siap untuk direbus. Tapi tidak terlihat tanda-tanda kehadiran pelayan
itu. Dan Clara biasanya terjaga sangat pagi.
Tapi, matahari belum lagi terbit.
Jane berkeliaran keluar rumah.
Beberapa saat kemudian, ia mendapati dirinya di gudang
peralatan, sekalipun tidak ingat bahwa sudah memutuskan untuk ke
sana. Sekarang apa yang dilakukan Sarah" pikir Jane samar-samar. Ia
mengambil sebatang sekop bertangkai panjang dari kaitnya di dinding
gudang. Jane memandang sekitarnya dan menyadari bahwa sekarang
telah berdiri di kebun. Ia sama sekali tidak ingat keluar dari gudang
peralatan. Aku pingsan, pikirnya.
Ia tidak tahu sama sekali Sarah akan menggunakan tubuhnya
untuk melakukan apa. Pasti beginilah cara Sarah membunuh Thomas, pikirnya.
Kedukaan menyapu dirinya.
Tidak, kata Jane sendiri. Ia tidak boleh emosional sekarang. Ia
memerlukan kekuatannya untuk melawan roh jahat ini.
Kukira kita sudah berbaikan pagi ini, kata roh jahat itu.
Jane mulai menggali. Kenapa kita menggali, Sarah" tanya Jane.
Nanti kau lihat, jawab Sarah.
Jane mengerahkan tenaganya untuk tugas itu. Menusukkan
ujung logam sekop ke tanah sekeras-kerasnya. Meraup setumpuk
tanah dan membuangnya ke belakangnya.
Keringat mengalir di pipinya. Jane menghapusnya. Ia harus
beristirahat. Hanya beberapa menit.
Jane menunduk memandang lubangnya. Seekor cacing tanah
merah muda menggeliat-geliat di dasarnya. Ia telah mengganggu
pekerjaan pagi cacing itu, tidak ragu lagi. Makhluk kecil yang malang.
Jane dengan hati-hati menempelkan tepi sekop yang tajam ke
cacing itu. Ia menekannya keras-keras, dengan rapi memotong cacing
itu menjadi dua. Tawa yang akrab meledak di telinganya. Jangan ganggu aku,
pinta Jane. Kau sudah bersenang-senang. Kehidupanku sudah tidak
bisa lebih rusak lagi. Pergilah dan tinggalkan aku dalam
kesengsaraanku. Itu adalah siksaan terburuk yang bisa kaubayangkan.
Aku takkan pernah pergi, jawab roh jahat itu. Sekarang ini
adalah kehidupanku. Jane menyandar ke sekop itu, membiarkan tangkai kayunya
menahan dirinya. Ia akan sinting kalau Sarah tetap berdiam dalam dirinya. Siapa
yang mengetahui rencana jahat apa yang disusun Sarah selanjutnya.
Dua pembunuhan! Dua kematian menjijikkan tanpa alasan. Dua
orang yang tidak bersalah. Keduanya tewas dalam satu hari!
Dua pembunuhan" tanya roh jahat itu. Maksudmu kau benarbenar tidak ingat" Oh, Jane, jelas kau bisa mengingat apa yang sudah
kaulakukan sendiri dengan kedua tanganmu yang kotor.
Ingat" pikir Jane, jantungnya tiba-tiba ber-debar-debar.
Ingat apa" Sarah menjerit mengejek. Kemarin, setelah membunuh mandor
penggilingan, kau kembali pulang"dan ke kamar tidurmu.
Jane melihatnya sekarang. Melihat dirinya sendiri
menanggalkan mantel yang menyembunyikan gaun bernoda darahnya.
Menyembunyikan pakaian itu di bagian belakang salah satu
lemari pakaiannya. Itu pasti akan berhasil. Tidak seorang pun yang bisa
menemukan pakaian itu dalam lemari pakaian. Tidak selama
berminggu-minggu. Tapi siapa yang berjalan masuk pada saat itu dan mengejutkan
dirinya" Clara, pelayan. Jane memejamkan matanya, berusaha untuk menghentikan


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan itu. Tapi bayangan itu ada dalam benaknya, terus berganti-ganti
bagai ilustrasi dalam halaman-halaman buku yang menakutkan.
Clara yang masih muda. Ekspresi ngeri di wajahnya. Bercakbercak merah menyebar di pipinya yang pucat, seakan-akan dia telah
ditampar. Tidak, tidak. Aku tak ingin mengingatnya.
Aku tak ingin mengingatnya!
Pelayan itu menanyakan kenapa kau berlumuran darah, kata roh
jahat itu kepada Jane. Hanya ada satu cara untuk menjawab
pertanyaan seperti itu. Jane melihat dirinya sendiri berbalik menghadap pelayan itu.
"Kau ingin mengetahui kenapa pakaianku berlumuran darah?" Jane
mendengar suaranya sendiri bertanya kepada Clara. "Kemarilah, akan
kutunjukkan." Ia mencabut pisau yang diambilnya dari rumah Mrs. Teasedale.
Jadi itulah yang kulakukan sekarang, pikir Jane, tersadar dengan
tiba-tiba. Aku sedang menggali makam Clara. Perlahan-lahan Jane
berbalik. Semoga semua ini hanya tipuan, mimpi buruk, pikirnya.
Semoga Clara masih hidup. Tapi tidak. Ia melihat sepatu hitam Clara
mencuat dari bawah salah satu rumpun sesemakan.
"Clara yang malang," gumam Jane.
Ia mengerang saat berusaha menyeret mayat Clara ke makam
yang baru saja digalinya.
Orang kalau sudah tewas sangat berat, bukan" tanya roh jahat
dengan nada manis. Jane menggulingkan Clara ke dalam makam. Pelayan itu
mendarat telentang. Jane meraih sekopnya. Ia menyekop seonggok tanah dan
melemparkannya ke dalam makam. Menutupi mata Clara yang
terbuka. Jane hampir selesai menutup makam itu saat polisi tiba.
Bab 18 "MRS. FEAR?" Jane menyandar ke sekopnya. Ia memicingkan mata. Matahari
mengarah ke matanya. "Ya?" jawabnya dengan suara mendesah.
"Officer Childs, Ma'am." Pemuda itu menanggalkan topinya
dan menggaruk rambut keriting pirangnya yang dipotong sangat
pendek. "Anda bangun pagi sekali, bukan?"
"Kau juga," jawab Jane sambil tersenyum.
"Memang benar. Boleh saya tanyakan apa yang sedang Anda
lakukan?" "Berkebun. Memangnya tampak seperti apa?" tanya Jane kasar.
Polisi itu mengangkat bahu. Ia menatap Jane dengan teliti.
Pemuda itu cukup tampan. Dagunya berlekuk persis seperti
dagu Thomas. Mungkin pemuda ini juga harus mati!
Tidak, tidak! jerit Jane.
Oh, betapa ia ingin menceritakan semua yang terjadi kepada
petugas ini. Mungkin petugas ini bisa membantunya.
Tapi ia tidak mampu mengendalikan bagian-bagian tubuhnya.
"Aku menggali lubang untuk tanaman yang ingin kutanam di
sini," katanya. Tolong jangan percaya, pinta Jane dengan diam-diam.
Polisi itu mengangguk. Tampaknya dia mempercayai alasan
Jane. "Mrs. Fear, saya tidak tahu apakah Anda sudah mendengar, tapi
ada kejadian mengerikan di Shadyside ini kemarin," kata polisi itu.
"Oh?" tanya Jane.
"Anda tahu, ini kota kecil, Ma'am. Kami tidak mendapat banyak
masalah di sini. Tapi kalau ada, kami mendapatkannya secara besarbesaran. Ada dua pembunuhan dalam satu hari."
Jane tersentak. "Tidak!"
"Ya, Ma'am," kata polisi itu.
Jane memegang dadanya. "Semoga bukan orang yang kukenal."
"Mungkin sebaiknya kita bicara di dalam, kalau Anda tidak
keberatan, Mrs. Fear," kata polisi itu.
Mereka menyeberangi halaman rumput yang luas. Jane
mengajak petugas itu ke bagian belakang rumah, dan masuk ke dapur.
"Mungkin kau mau teh," kata Jane sambil tersenyum manis.
Kalau dia hampir mengetahui kebenarannya, Sarah akan
memaksaku membunuhnya, pikir Jane tersadar.
Dan tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegahnya.
Tidak ada. "Teh juga boleh. Terima kasih, Mrs. Fear," jawab petugas itu.
"Clara?" seru Jane. "Pelayan," katanya, menjelaskan kepada
petugas itu. "Biasanya dia sudah terjaga sekarang." Jane berseru
memanggil Clara beberapa kali lagi, lalu mengangkat bahu. "Rasanya
aku terpaksa menyeduh sendiri."
"Terima kasih, Ma'am. Kalau tidak merepotkan," kata polisi itu.
"Sama sekali tidak." Jane meletakkan ketel ke atas tungku. Lalu
ia menyulut api di bawah panci logam besar berisi kentang dan air
yang ada di samping ketel.
"Anda mungkin ingin duduk," kata petugas itu.
"Baiklah." Jane duduk. Ia melipat tangannya. Ia tersenyum
sopan, seperti anak sekolah yang menunggu pelajaran dari gurunya.
"Reginald Taft, mandor di penggilingan suami Anda, tewas
terbunuh. Dan juga Liza Teasedale," kata polisi itu kepadanya.
Air mata menyengat mata Jane. Air mata untuk penderitaan
akibat perbuatannya. Kalau petugas ini masih ragu-ragu, air matamu akan
menghapuskannya, bisik Sarah.
Tapi kali ini, Sarah keliru.
Petugas muda itu terus mengajukan pertanyaan demi
pertanyaan. Apakah Jane menyadari ada yang tidak biasa saat mengunjungi
Mrs. Teasedale kemarin"
Kebetulan yang aneh, bukan, bahwa Jane juga mengunjungi
penggilingan kemarin"
"Saya sudah berbicara dengan kusir Anda," kata petugas itu
menjelaskan, sambil menunduk memandang tangannya.
"Ya, aku mengunjungi penggilingan. Dan ya, itu kebetulan yang
paling tidak menyenangkan," kata Jane menyetujui. Ia bangkit berdiri
dan menuang dua cangkir teh. Ia meletakkannya di meja dan duduk
kembali. Polisi itu mulai mengajukan pertanyaan tentang keluarga Fear.
Tentang kakek-nenek Thomas, Angelica dan Simon. Tentang isu
bahwa keluarga itu mempraktekkan ilmu hitam.
Jane bisa merasakan Sarah semakin lama semakin marah.
Kemudian, yang ia sadari, ia terjaga di ranjangnya sendiri.
Ia sudah jatuh pingsan lagi. Ketakutan yang hebat menyapu
dirinya. Oh, tidak.... Jane berjingkat-jingkat turun ke dapur, takut dengan apa yang
mungkin dilihatnya di sana.
Perlahan-lahan, ia membuka pintunya. Bau daging dimasak
memenuhi hidungnya. Beberapa orang pelayan tengah duduk di meja, menyantap
sarapan mereka. Jason ada di antara mereka. Ia melontarkan senyum
khawatir kepada Jane. Jane mengangguk muram. Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran petugas polisi.
Kalau saja Jane bisa mengingat apa yang telah terjadi. Ia
melangkah terhuyung-huyung mendekati meja dan duduk dengan
mengempaskan diri. Para pelayan tampak terkejut melihat majikan mereka duduk
semeja dengan mereka. "Anda mau teh, Ma'am?" tanya Jason.
Kepala Jane tersentak. "Apakah saya salah bicara?" tanya Jason. Jane telah membuat
teh untuk petugas polisi itu. Ia teringat akan kejadiannya, tapi samarsamar. Ia bisa melihat dirinya sendiri dan petugas polisi itu duduk di
meja. Dan sesudah teh"apa yang terjadi" Ia harus mengingatnya.
"Anda baik-baik saja?" tanya Jason.
"Baik, baik. Teh juga boleh. Terima kasih," jawab Jane.
Mungkin petugas itu akhirnya bosan mengajukan pertanyaan
dan berlalu. Kenapa Jane tidak bisa mempercayainya" Jason membawa
tehnya ke meja dan meletakkannya di depan Jane. Jane perlahanlahan mengaduk cairan gelap itu, membiarkan uapnya menghangatkan
wajahnya. Jason tampak sangat khawatir.
Jane berusaha tersenyum kepadanya. "Maaf kita tidak bisa
menyaksikan pertunjukannya bersama-sama," katanya.
Wajah Jason memerah. Jane menyadari bahwa para pelayan
yang lainnya saling bertukar pandang.
Benar-benar bodoh, pikir Jane tersadar. Tidak seorang pun yang
mengetahui bahwa Jason adalah kakak tirinya. Para pelayan lain
mungkin menganggap ada hubungan roman yang aneh dan
mengejutkan di antara majikan mereka yang baru saja menjanda dan
pelayan mudanya! Jane mengambil sepotong roti bakar dari tangan pelayan dan
melahapnya. Ia tertawa melihat ekspresi wajah pelayan itu.
"Lumayan," kata Jane sambil mengunyah. Tatapannya jatuh ke
panci besar berisi kentang yang tengah mendidih di atas tungku.
Makanannya bagai mengganjal di tenggorokan Jane.
Ia mendorong kursinya ke belakang begitu cepat sehingga jatuh
berdebum. Tangannya melayang ke keningnya.
Sakitnya"begitu hebat!
Dan lalu kenangannya... Melayang satu sama lain...
"Tidak! Tidak!" jerit Jane, sambil menutup mulut. Ia
menggeleng, berusaha agar bayangan-bayangan yang menjijikkan itu
menghilang. Bayangan-bayangan perbuatannya terhadap petugas
polisi itu. Jason meraih bahunya dan membimbingnya duduk kembali.
Tapi Jane membebaskan diri. Ia terlipat. "Apa yang sudah
kulakukan?" jeritnya.
Semua pelayan mengerumuninya, mengawasinya dengan
pandangan ngeri. Tidak tahu apa yang tidak beres. Tidak tahu apa
yang dilihatnya dalam benaknya.
"Apa yang terjadi?" tanya Jason. "Katakan. Biar saya bantu."
Tutup panci besar itu berderak-derak saat isinya masak dan
bergelembung. Jane menatapnya. Uap kecil mengepul dari bawah tutup panci
yang menari-nari. Bau daging yang lezat tercium semakin kuat.
Jane mulai tercekik. Karena sekarang ia ingat segalanya. Sekarang ia tahu dengan
tepat apa yang terjadi dengan Officer Childs.
Bab 19 PETUGAS itu ada di dalam panci, pikir Jane tersadar. Aku
sudah mencincangnya... seperti seekor kalkun.
Ia berlari keluar dari dapur. Ia melesat ke kamar tidurnya dan
mengunci pintu di belakangnya.
"Biarkan aku masuk!" seru Jason. Ia mengetuk pintu sekeraskerasnya.
"Pergi!" jerit Jane. "Pergi! Please, Jason. Aku baik-baik saja.
Aku berjanji. Aku hanya perlu beristirahat."
Beberapa saat kemudian, Jane mendengar suara langkah kaki
Jason menjauh. Masih ada satu lagi, Jane, kata Sarah kepadanya. Kau tidak bisa
terkunci dalam kamarmu terus-menerus. Masih ada satu lagi yang
harus kita bereskan. Tidak! balas Jane. Tapi Sarah menariknya ke pintu.
Satu lagi, Jane. Satu pembunuhan kecil lagi dan sesudah itu kita
selesai, kata roh jahat itu.
Jane membuang diri ke lantai. Ia mencoba untuk merangkak
menjauhi pintu, setiap ototnya menegang karena usahanya yang matimatian.
Sarah hanya tertawa. Apakah kau sudah menebak siapa yang
akan kita bunuh sesudah ini" jason. Kakak tirimu. Jason!
Jane tidak bisa membiarkannya terjadi.
Jason merupakan masa lalunya, kehidupan sebelum kengerian
ini dimulai. Jason lebih berharga bagi Jane daripada apa pun lainnya di
dunia ini. Jane mengumpulkan segenap kekuatannya. Ia bangkit berdiri,
mencakari kertas dinding dengan tangannya. Ia mundur menjauhi
pintu. "Kau tidak akan bisa memaksaku melakukannya," teriak Jane
sekuat tenaga. "Tidak akan!"
Ia bisa merasakan Sarah mendorongnya, mendorongnya ke
pintu. Jane menyambar mejanya. "Tidak!" jeritnya.
Sarah tampaknya melepaskan dirinya.
Apakah mungkin sesederhana itu"
Kaki-kaki Jane mulai gemetar.
Ia merasakan ada yang mengumpulkan kekuatan dalam
tubuhnya. Ia mendengar desisan dari kejauhan. Semakin lama semakin
keras. Semakin keras. Jane jatuh berlutut. Sesuatu dalam dirinya memaksa mulutnya
membuka lebar-lebar. Gas hijau mengepul keluar dari mulutnya. Gas itu memenuhi
kamar. Baunya seperti daging busuk.
Jane tercekik dan terbatuk-batuk. Gas hijau itu terus-menerus
mengepul keluar dari dalam dirinya.
Ia jatuh berlutut, terbatuk-batuk dan gemetar.
Lalu selesai. Jane menggosok mulutnya dengan tepi gaunnya. Lalu ia
memandang sekeliling ruangan. Gas hijau itu memenuhi kamar dari
lantai hingga langit-langit, setebal kabut.
Jane merasa keringat mengalir turun di keningnya.
Apakah ini hanya sekadar imajinasinya saja atau kamarnya
memang semakin panas" Ia mengerjapkan mata saat keringat semakin
banyak mengalir turun ke matanya, menyengat bola matanya.
Sekalipun begitu, kamar terasa semakin panas.
Gas hijau itu mulai bercahaya, seperti udara di hari musim
panas yang panas. Lantai mulai terasa membakar lututnya. Jane melompat bangkit.
Tapi ia bisa merasakan lantainya membara menembus sol sepatunya.
Aku harus keluar dari sini, pikir Jane. Tapi ia tidak bisa
bergerak. Gas hijau itu bergetar. Gas itu mengumpul di tengah-tengah
kamar, membentuk segumpal awan besar.
Lubang-lubang hitam bermunculan di awan itu. Dua buah
lubang yang berdampingan.
Mata, pikir Jane tersadar, dengan perasaan ngeri. Keduanya
mulai memancarkan cahaya hijau terang.
Sebuah lubang lainnya terbentuk di awan, dan menjadi mulut.
Awan itu berputar-putar dan berpindah-pindah"membentuk


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah. Wajah Sarah Burns. Wajah sahabat Jane. "Sarah," kata Jane.
Ini pertama kalinya Jane bertemu Sarah sejak kematiannya.
Jane mulai menangis. "Sarah... Sarah..." Sepasang mata yang
bercahaya kehijauan itu memancarkan kemurkaan.
Jane menjerit semakin keras. "Bahkan sesudah semua yang
terjadi, aku tetap menyayangimu, Sarah. Dan aku merindukanmu..."
"Diam!" raung roh jahat itu.
"Oh, Sarah. Kita seharusnya tidak melakukannya," kata Jane
sambil mengerang. "Itu sinting. Mengira kita bisa bertukar tempat.
Lihat apa yang sudah kita perbuat, Sarah! Lihat semua penderitaan
akibat perbuatan kita!"
"Masih akan ada lagi! Lebih menyakitkan! Dan lagi dan lagi
dan lagi dan lagi!" "Tidak," kata Jane, sambil menggeleng dan bersusah payah
menghela napas. "Biarkan berakhir. Biar kita berdua tewas, Sarah.
Sudah cukup." "Lagi!" "Tidak, Sarah."
Jane merasakan setitik kekuatannya membesar di dalam dirinya.
"Aku takkan membiarkan dirimu menyakiti orang lain lagi, Sarah.
Sudah berakhir." "Kau tidak bisa menghentikanku, Jane." Sulur-sulur gas melesat
maju dan menjilati wajah Jane"mencabik-cabik kulitnya seiring
dengan setiap sentuhan. Membakarnya. "Kau takkan pernah bisa
menghentikan diriku."
Tangan-tangan terbentuk dari gas itu.
Jane tidak mampu bergerak. Tidak mampu menjauh.
Tangan-tangan itu terulur ke tenggorokan Jane.
Bab 20 JANE menjerit melengking. Mulutnya terbuka lebar karena
ngeri. Gas hijau itu mulai menghambur kembali kepada dirinya.
Tidak! Ia harus menutup mulutnya! Ia tidak bisa membiarkan Sarah
memasuki tubuhnya lagi! Jane berusaha untuk menutup mulutnya, berusaha untuk
mengertakkan gigi. Tapi gas hijau tebal itu terlalu kuat. Gas itu
memisahkan gigi-giginya. Gas itu terasa seperti membakar tenggorokan Jane. Perutnya.
Paru-parunya. Ia bisa merasakan gas itu mengisi setiap bagian dari
dirinya. ebukulawas.blogspot.com
Akhirnya, semua itu selesai.
Udara dalam kamar tampak jernih, normal.
Tidak bergerak. Jane menghela napas perlahan-lahan.
Ia bisa mencium bau mawar samar-samar dalam vas di atas
mejanya. Jason membawakan bunga untuknya sewaktu ia sakit.
Jason. Jane harus memperingatkannya.
Tapi ia terlalu kelelahan. Dia menang, pikir Jane. Sarah telah
menang. Jane mendapati dirinya telah bangkit berdiri.
Ia menuruni tangga. Setiap kali mengerjapkan mata, ia mendapati diri di kamar yang
berbeda. Aku mengalami pingsan sedikit-sedikit, pikirnya tersadar.
Ia tengah mencari-cari sesuatu. Apa"
Oh, itu dia. Kotak pisau pemberian Thomas. Warisan keluarga
Thomas. Jane membawa kotak itu kembali ke perpustakaan. Ia
meletakkan kotak itu di meja yang sama dengan tempat kotak itu
berada pada sore hari yang mengerikan itu.
Jane mengawasi dirinya sendiri mengelus salah satu kayu
berpeliturnya. Lalu ia membuka tutupnya dan tersenyum memandang
kesepuluh bilah pisau yang mengilat itu, masing-masing pisau terikat
sabuk beludru ungu. Aku senang menggunakan pisau-pisau ini, kata Sarah
menjelaskan. Saat memutus kaki Aaron.
Dia layak mendapatkannya sesudah semua hal menjijikkan
yang dikatakannya tentang diriku.
Jane mengelus tangkai pisau-pisau itu.
Ia berhenti pada pisau yang terpanjang.
Aku tidak berdaya untuk menghentikan Sarah, pikir Jane.
Memang, kata Sarah menyetujui.
Lagi pula, Sarah hanya ingin melakukan apa yang memang
diinginkannya sejak lama. Jason, Jason yang berwajah kaku, selalu
terkejut oleh keliaran sikapnya sewaktu mereka masih anak-anak. Dia
sering mengadu kepada Bibi Betsey sewaktu mereka masih anakanak. Seperti waktu Sarah menukar garam dengan gula. Jason
memberitahukannya. Dan Sarah pun dihukum.
Sekarang dia akan membayar.
Jane menarik tali keemasan yang memanggil pelayan. Ia
memberitahu pelayan yang datang bahwa ia harus berbicara dengan
Jason sekarang juga. Jane melihat ekspresi wajah pelayan itu. Mereka pasti sudah
berbisik-bisik tentang dirinya dan Jason. Sudah menyebarkan isu
mereka. Bercerita kepada semua orang di kota bahwa ia dan Jason
merencanakan untuk pergi ke teater bersama-sama.
Kalau saja mereka mengetahui kebenarannya. Bahwa Jason
adalah kakak tirinya. Dan bahwa dalam beberapa menit lagi, Jason
akan tewas. "Jane," seru Jason. Ia bergegas masuk ke dalam kamar dan
menutup pintu di belakangnya. "Aku sangat mengkhawatirkan dirimu.
Aku..." Ekspresi Jane menyebabkan ia berhenti.
Jane bergegas melangkah maju. "Ada sesuatu untukmu,"
katanya dengan tenang. Ia mengeratkan cengkeramannya pada pisau yang dipegangnya
di balik punggung. Bab 21 JANE mendorong Jason ke dinding. Ia mengayunkan pisaunya
dan menempelkannya ke tenggorokan Jason.
Pandangan Jason hanya memancarkan kekagetan, bukan
ketakutan. "Kau tidak takut?" tanya Jane, merasakan kemarahan merekah
dalam dirinya. Ia bisa merasakan matanya memanas.
Ia bisa melihat uap kehijauan mengepul dari mulutnya seiring
dengan setiap napasnya. Ia menggores leher Jason, dan mengawasi darahnya mengalir
turun ke kerah putihnya yang dikanji.
Sekalipun begitu, Jason tidak gemetar atau memohon ampun.
"Kau akan mati!" teriak Jane dengan suara serak. Ia
mendekatkan wajahnya ke wajah Jason. "Dan aku senang sekali
menyaksikannya!" Jason mengertakkan gigi. Ia menatap lurus kepada Jane. "Siapa
kau?" gumamnya. Jane mengiris Jason lebih dalam. Jason tersentak kesakitan.
Jane menjerit mengejek. "Kau bukan Jane. Jane!" jerit Jason. "Kau bisa mendengarku?"
Jane terkejut mendengar namanya sendiri dipanggil.
Sejenak ia merasa kuat kembali. Ia menarik pisaunya dari leher
Jason. Tangan Jason melayang ke lehernya. Ia menatap jemarinya.
Menatap darahnya. Tidak apa-apa, kata Jane sendiri. Lukanya tidak parah. Belum.
"Sebut namaku," bisiknya. "Sebut namaku lagi. Dan lagi."
"Jane Hardy," kata Jason, suaranya keras dan tegas. "Jane
Hardy, Jane Hardy, Jane Hardy."
Setiap kali Jane mendengar namanya, ia merasa lebih kuat.
Ia bisa merasakan roh jahat di dalam dirinya berjuang untuk
mengendalikan tubuhnya. Berusaha memaksa pisaunya kembali ke
tenggorokan Jason. "Sebutkan namaku!" jerit Jane. "Sebutkan namaku!"
Jason meneriakkan namanya. Berulang- ulang.
"Jangan berhenti!" jerit Jane.
Ia bisa merasakan dirinya semakin hidup setiap kali Jason
meneriakkan namanya: Jane Hardy! Jane Hardy!
Jane membuang pisau itu ke lantai. Ia mundur menjauhi Jason.
Mereka saling tatap di dalam perpustakaan yang remangremang itu.
Jane menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Jason. Oh,
Jason." Ia mendengar Jason melangkah mendekatinya.
Jane tersentak mengangkat kepalanya. "Tidak!" Ia menunjuk
kepada Jason. "Please, jangan mendekatiku," pintanya. "Tidak aman."
Jason berdiri di seberang ruangan, mengawasi dirinya.
"Itu Sarah," kata Jane pada akhirnya. "Rohnya. Dia ada di sini."
"Apa?" seru Jason.
"Dia begitu marah karena tenggelam, Jason. Sangat marah. Dia
ingin menghancurkan kehidupanku," kata Jane kepadanya.
"Su"sulit untuk dipercaya. Tapi bahkan lebih sulit lagi untuk
mempercayai bahwa kau akan menyakiti diriku. Aku tahu tidak
mungkin kau yang memegang pisau itu," kata Jason.
"Kalau begitu"kau percaya padaku?" Jane menggeleng.
"Bagaimana lagi menjelaskan apa yang sudah terjadi?" tanya
Jason. "Oh, Jason! Aku sangat ketakutan!"
Kali ini saat Jason bergegas mendekatinya
Jane tidak menahannya. Ia membiarkan Jason memeluknya.
Ia menceritakan segalanya kepada Jason. Segala sesuatu yang
telah terjadi. Dan apa rencana Sarah selanjutnya.
Sambil berbicara, Jane menyadari sesuatu yang mengagumkan.
Ia tidak lagi mendengar suara Sarah dalam kepalanya.
"Jason?" bisiknya. Jane hampir-hampir ketakutan untuk
mengungkapkan pemikirannya. "Apakah mungkin dia sudah pergi?"
Jason mengangguk. "Kau sudah berhasil mengalahkannya." Ia
mencengkeram bahu Jane erat-erat. "Aku yakin sekali! Dia pasti sudah
membunuhku kalau kau tidak mengalahkannya."
Jane ingin mempercayainya.
Tapi tidak bisa. "Tidak," gumamnya, berusaha mendorong Jason menjauhinya.
"Aku harus pergi. Menjauhi semua orang. Tapi terutama menjauhi
dirimu. Dia akan membunuhmu, Jason. Kalau aku memberinya
kesempatan lagi. Aku bersumpah padamu dia akan membunuhmu."
"Benar. Sarah memang ingin membunuhku," kata Jason. "Dan
kalau dia masih ada di dalam dirimu, dia takkan mampu menolak
kesempatan ini. Ini." Ia berlari dan memungut pisau yang tadi dibuang
Jane ke lantai. Ia memaksa Jane menggenggam pisau itu.
"Tidak!" jerit Jane. "Kau sudah sinting?"
Jason menjepitkan jemari Jane di tangkai pisau perak itu. Lalu
ia mengangkat tangan Jane dan menempelkan pisau itu ke lehernya.
"Kita harus tahu. Kau harus mengetahuinya," kata Jason.
"Kalau Sarah masih ada di sini, dia pasti takkan bisa menahan diri
meraih kesempatan seperti ini."
Jane mencoba untuk menyingkirkan pisaunya, tapi Jason
menempelkannya di lehernya selama beberapa detik lagi.
Akhirnya ia melepaskan pisau itu.
Jane menurunkan tangannya dan membiarkan pisaunya jatuh ke
lantai. Sarah benar-benar telah pergi.
Akhirnya benar-benar berakhir.
********* Keesokan paginya, Jane duduk di mejanya. Ia memandang
sekeliling ruangan. Semua tampak begitu normal. Begitu biasa. Tapi hal-hal yang
mengerikan telah terjadi padanya di sini.
Ia mendengar suara seseorang mengetuk pintu. "Masuk,"
serunya. Jason melangkah masuk ke dalam ruangan. "Aku ada kejutan
untukmu. Kita akan berlayar. Dan kita akan mengajak Michael dan
Margaret. Mereka sudah menunggu di lantai bawah."
"Jason, tidak. Aku tidak bisa," kata Jane memprotes.
"Bagaimana aku bisa berada di dekat anak-anak sesudah semua yang
kulakukan" Aku ini seorang pembunuh."
"Kau tidak membunuh siapa pun. Sarah yang membunuh. Dan
Sarah sudah lenyap," kata Jason tegas.
Ia menarik Jane bangkit berdiri. "Kita tidak bisa membiarkan
Sarah membunuh orang lain. Kita tidak boleh membiarkan dia
membunuhmu, Jane. Kau masih memiliki kehidupan."
Jason menyeret Jane keluar kamar dan menuruni tangga.
Michael dan Margaret berlarian mendekat dan memeluknya.
"Ayo berlomba ke kereta!" seru Michael.
Ia dan Margaret melesat keluar melalui pintu depan.
"Ayo," kata Jason. Ia berlari mengejar mereka, sambil menarik
Jane di sisinya. Ia membantu Jane naik ke kereta, lalu ia sendiri naik. Ia
mendecakkan lidahnya kepada kuda-kuda, dan kuda-kuda itu seketika
berderap cepat menyusuri jalan.
Jane memiringkan kepalanya dan membiarkan matahari
menyinari wajahnya. Rasanya nyaman.
Mungkin Jason benar, pikirnya.
Mungkin yang harus kulakukan adalah melanjutkan
kehidupanku. Mencoba untuk melupakan masa laluku.
Melupakannya sama sekali.
Jane meraih tangan Margaret dan Michael. "Kita akan
bersenang-senang hari ini! " serunya.
Ya, jawab roh jahat. Kita akan bersenang-senang.
Bab 22 JANE menatap Danau Fear. Ia masih sulit percaya bahwa roh
jahat itu telah menipunya. Tadinya ia merasa begitu yakin bahwa
Sarah telah pergi. Sarah terus-menerus tertawa. Benar-benar orang bodoh!
Jane merintih pelan. Aku harus menemukan cara untuk
memperingatkan Jason, pikirnya.
Tapi bagaimana" Sarah mengendalikan bibirnya, mulutnya,
tenggorokannya. Sarah mengendalikan tangannya. Sarah
mengendalikan dirinya. Seekor kupu-kupu hitam-keemasan melayang turun dan
mendarat di telapak tangan jane.
"Lihat kupu-kupu itu," kata Margaret. "Cantik, bukan?"
"Pasti sudah menyelundup masuk ke dalam perahu kita," jawab
Michael. "Kurasa kupu-kupu itu tidak bisa terbang hingga separo
Danau Fear dengan sendirinya."
Jane merasakan jemarinya mengepal"menghancurkan kupukupu yang cantik itu.
"Kenapa kau membunuhnya?" tanya Margaret. "Kupu-kupu itu
tidak melakukan apa-apa padamu." Suaranya gemetar.
Jane bisa melihat Margaret akan menangis.
Sarah membiarkan Jane menjawab.
"Ku... kukira kupu-kupunya akan terbang," kata Jane kepada
anak-anak. "Aku hanya ingin memegangnya sebentar lagi. Aku tidak
bermaksud... maafkan aku."
Sarah tergelak. Dan bagaimana kau akan menjelaskan kepada


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Margaret alasanmu mencabik tenggorokan Michael" tanyanya dengan
manis. Apa yang akan kaukatakan kepada anak itu saat dia harus
melihat kau mencungkil mata biru kakaknya"
Kau tidak akan menyakiti anak-anak! jerit Jane. Demi semua
yang kuanggap suci, kuperingatkan kau, Sarah Burns! Kau tidak akan
menyakiti anak-anak ini! Siapa yang akan menghentikanku" Kau" tanya Sarah.
Perahu mulai berputar-putar dengan liar. Anak-anak menjerit.
Sarah tertawa. Sarah memegang kepala Michael dengan salah satu tangan
Jane. Tangan yang lain memegang kepala Margaret.
Begitu polos. Begitu mempercayai. Sarah bisa menggunakan
Jane untuk membunuh mereka kapan pun dia menginginkannya.
Tidak, pikir Jane. Tidak! Ia tidak akan membiarkan hal itu
terjadi. Jane merasakan kekuatannya pulih. Ia bisa menghentikan Sarah.
Tidak peduli apa pun risikonya.
Akan kutenggelamkan kau, kata Jane diam-diam.
Apa katamu" kata Sarah.
Akan kutenggelamkan kau, ulang Jane.
Bagaimana caramu menenggelamkan diriku" tanya Sarah.
Akan kutenggelamkan kita berdua, jawab Jane. Akan
kutenggelamkan diriku dan membawamu bersamaku.
Ia merasa tenang dan yakin. Aku bisa melakukannya, pikir Jane.
Harus bisa. Aku takkan pernah membiarkan Sarah membunuh lagi.
Kau takkan berani, kata Sarah kepadanya.
Jane merasakan cengkeraman Sarah terhadap dirinya
mengendur. Dia ketakutan, pikir Jane tersadar. Bayangan akan tenggelam
untuk kedua kalinya menakutkan Sarah.
Bagus. Jane bersusah payah menyeberangi geladak menuju ke pagar.
Apa yang kaulakukan" Kembali sekarang juga! jerit Sarah. Ia
mencoba memaksa Jane untuk kembali ke tengah-tengah geladak.
Tapi Jane terlalu kuat. Ia jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
Jane menunduk. Air kehitaman menunggunya di bawah.
Hanya ini satu-satunya pilihanku.
"Jangan!" jerit Margaret.
"Kembali!" seru Michael.
Jane memandang anak-anak. Ia tersenyum.
Jangan tinggalkan anak-anak! jerit Sarah.
Aku melakukan ini demi mereka, jawab Jane.
Lalu Jane berbalik dan melompati pagar.
Sarah menjerit saat mereka masuk ke dalam air yang dingin dan
terus tenggelam. Jane menendang. Membawa mereka semakin lama semakin
dalam. Sambil menjerit marah, Sarah memaksa Jane kembali ke
permukaan. Jane bisa melihat air semakin lama semakin terang saat mereka
mendekati permukaan. Mereka keluar dari dalam air. Sarah menghirup
udara dalam-dalam. Jane melihat perahunya. Perahu itu terbalik. Oh, tidak. Anakanak, pikirnya.
Jane bersalto, membawa mereka masuk ke dalam air lagi.
Menendang. Menuju ke dasar, terus menembus air yang kehitaman.
Kau akan membunuh kita berdua! jerit Sarah.
Jane menendang semakin keras.
Ia merasakan Sarah mengumpulkan kekuatan dalam dirinya.
Sarah berusaha membuka mulutnya.
Biarkan aku keluar! lolong Sarah.
Tidak! teriak Jane. Ia mengertakkan giginya.
Air di sekitarnya mulai mengeluarkan gelembung, mulai
mendidih. Aku tidak bisa keluar! jerit Sarah.
Bintik-bintik merah meledak di depan mata Jane. Paru-parunya
terasa seperti terbakar. Tapi ia harus tenggelam semakin dalam.
Jane memaksa dirinya menuju ke dasar danau.
Ia membutuhkan udara. Ia harus mendapatkan udara.
Jane membuka mulutnya dan tersentak.
Air menghambur masuk. Menjebak Sarah di dalam dirinya.
Jane merasakan air mengisi paru-parunya. Paru-parunya
menggembung. Aku menang, kata Jane kepada Sarah.
Lalu paru-parunya meledak.
Epilog SARAH menatap dari balik mata Jane yang telah mati.
Ia mengenakan gaun putih berenda yang cantik. Cincin emas
pernikahannya ada di jarinya. Sebuah bantal satin putih terletak di
bawah kepalanya. Apakah ini layak, Jane" tanya Sarah. Apakah layak untuk mati
hanya demi menghentikan diriku"
Tapi Jane tidak menjawab.
Dan takkan pernah menjawab lagi.
Jason muncul di samping peti mati. Dia menangis, pikir Sarah
tersadar. Dia mencium pipi Jane. Lalu perlahan-lahan menutup peti
mati itu. Sarah merasakan dirinya terangkat ke udara. Mereka membawa
peti matinya ke pemakaman, pikirnya tersadar.
Ia terjebak. Lumpuh. Ia tidak bisa bergerak di dalam tubuh Jane
yang telah menjadi mayat. Ia hanya bisa menatap dari balik mata
mayat. Menatap tanpa akhir ke keempat dinding kayu hitam.
Sarah merasa peti matinya diletakkan. Lalu mendengar pendeta
memulai upacaranya. Ia menggeliat-geliat dan meronta-ronta di dalam mayat Jane. Ia
kehabisan waktu! Ia mendengar suara langkah-langkah kaki bergeser. Para
pekerja mendengus saat mengangkat peti matinya. Lalu peti mati itu
mulai terayun-ayun saat mereka menggunakan tali-tali untuk
menurunkannya ke tanah. Orang-orang bodoh! pikir Sarah. Apakah mereka tidak tahu"
tidak bisa merasakan" bahwa aku masih hidup di sini" Dan aku
memang masih hidup! Mereka akan menguburku hidup-hidup!
Sarah mendengar suara jatuhnya tanah pertama di atas peti mati.
Ia menjerit, tapi tidak terdengar suara dari mulut Jane.
Tanah kembali menghantam peti mati.
Tidak lama lagi Sarah akan tertutup tumpukan tanah. Terjebak
di sini untuk selama-lamanya.
Jane telah membunuhnya untuk yang kedua kali!
Tidak! Ia takkan membiarkan Jane menang.
Sarah menolak untuk membiarkan hal ini terjadi padanya. Tidak
peduli apa pun yang terjadi, ia akan menemukan jalan keluar Ya,
bahkan kalau memakan waktu seratus tahun. Ia akan menemukan
cara....END Tujuh Satria Perkasa 3 Dewa Linglung Lodra Si Ular Sanca Beracun Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 19
^