Pencarian

Tujuh Satria Perkasa 3

Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Bagian 3


adanya ancaman bahaya. Maka, langsung saja menghambur meninggalkan tempat itu,
berlari secepat
mungkin. Beberapa saat kemudian Juragan Baswara
sampai di rumah kosong tempat bersembunyi Ekalana
dan kawan-kawannya. Namun yang dicari sudah tidak
ada. Ketika dia mencari-cari serta memerintah tukangtukang pukulnya untuk
mengejar Jirana, pemuda itu
telah berlari jauh belasan tombak.
Namun ketujuh pemuda yang tengah berlari menyelamatkan diri terkejut ketika
mendengar suara kentongan dipukul bertalu-talu. Mereka sama sekali tidak
menyangka kalau kejadian itu akan menyebar sedemikian cepat. Kenyataan itu
membuat mereka menduga,
bahwa Juragan Baswara memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Menjaga
kemungkinan mereka bertujuh akan datang ke Desa Sindang Laya.
Otak Ekalana bekerja cepat mencari jalan keluar
yang dirasa cukup aman. Segera dibelokkan langkahnya ke arah barat, melalui
kebun-kebun penduduk.
Pemuda itu terus menerobos meski sadar, bahwa arah
yang diambilnya cukup jauh dari tempat mereka meninggalkan kuda. Namun, sebelum
sempat menerobos
perkebunan, tiba-tiba muncul empat sosok tubuh
menghadang dari samping kanan mereka. Salah satu
dari keempat sosok yang ternyata petugas keamanan
desa itu, membawa sebatang obor.
"Hei, berhenti...!" salah seorang dari empat keamanan Desa Sindang Laya
membentak. Kemudian menghambur bersama tiga orang kawannya hendak menghadang
jalan. "Saranggi, kau ikut aku! Yang lain terus lari, kami
berdua akan menyusul...!" ujar Ekalana mengambil
tindakan cepat. Tubuhnya langsung melesat menyambut kedatangan keempat orang itu
dengan pedang di
tangan. Trang! Trang! Bunga api berpijar ketika sambaran pedang Ekalana disambut dua batang golok dari
dua orang lawan.
Dalam benturan itu Ekalana berada dalam kedudukan
yang lebih kuat, hingga kedua orang lawannya tergetar
mundur. Tanpa membuang-buang waktu, Ekalana
kembali melanjutkan serangannya. Dengan gerak melingkar, pedangnya berkelebat
mengancam tubuh dua
orang keamanan desa itu.
Saranggi sendiri sudah mencabut dua bilah pisau
terbang di pinggangnya. Kemudian dengan cepat dilepaskannya membuat pisau-pisau
terbang itu meluncur
dengan suara berdesing tajam.
Sing! Sing! Crap! Crap! "Aaakh...!"
Terdengar lengkingan kematian merobek dinginnya
udara malam. Tubuh dua orang keamanan desa itu
seketika terjungkal mandi darah. Pisau-pisau terbang
Saranggi tepat menancap di leher mereka.
Sesaat setelah pisau-pisau terbang Saranggi merenggut nyawa, pedang di tangan
Ekalana pun merobek perut dan menusuk dada lawan-lawannya. Darah
segar menyembur membasahi tanah lembab berembun. Dan tanpa menunggu lagi,
Ekalana langsung melesat bersama Saranggi meninggalkan keempat korbannya. Sebab,
saat itu mereka men-dengar adanya
suara langkah kaki banyak orang mendatangi tempat
itu. Dari kejauhan mereka melihat sinar-sinar obor
yang semakin dekat.
Saranggi dan Ekalana sudah menerobos perkebunan ketika belasan orang tukang
pukul Juragan Baswara dan delapan orang keamanan desa tiba di tempat
pertempuran yang baru saja selesai. Mereka terkejut
bukan main ketika melihat empat orang keamanan desa telah terkapar tewas
berlumuran darah.
"Berpencar, cari pembunuh-pembunuh keji itu
sampai dapat..!" Ki Windudarta yang turut bersama
rombongan, marah bukan main. Setelah memberi perintah demikian, kepala desa ini
melesat menuju mulut
desa bersama dua orang anak buahnya. Ia menduga
para pembunuh melarikan diri melalui mulut desa.
Namun, sampai terdengar kokok ayam jantan menyambut datangnya fajar, Saranggi
dan kawankawannya tetap tidak bisa ditemukan. Hal itu membuat Juragan Baswara
dan yang lainnya cuma bisa
mengumpat dan menyumpah-nyumpah. Terlebih Ki
Windudarta, hatinya merasa sangat terpukul dengan
kejadian itu. Ia merasa malu terhadap Juragan Baswara. Sebab, persiapan yang
telah diaturnya sedemikian
rupa, masih juga kecolongan.
Sementara itu, seiring dengan terdengarnya kokok
ayam jantan bersahutan. Saranggi dan enam pemuda
lainnya sudah tiba di hutan kecil, sebelah timur Desa
Sindang Laya. Mereka langsung membedal kuda melarikan diri ke arah selatan.
*** 7 Siang itu langit tampak gelap. Awan hitam yang
mengandung air semakin menebal, menghalangi sang
Raja Siang. Angin bertiup keras membuat pepohonan
berderak-derak bagai hendak tercabut dari dalam tanah. Tak lama kemudian, butir-
butir air pun me-netes
jatuh ke bumi. Makin lama semakin deras, hingga hujan lebat disertai angin ribut
pun tercipta. Selain itu
petir dan halilintar menggelegar, saling bersambung di
angkasa. Alam seolah hendak menunjukkan kekuasaannya kepada seluruh makhluk
penghuni bumi. Di tengah kelebatan hujan yang menggila itu, tampak tujuh orang penunggang kuda
bergerak memasuki
mulut sebuah desa. Terus membelok ke sebuah kedai
makan. Mereka bergegas masuk ke kedai setelah menambatkan kuda mereka pada
sebuah palang kayu di
halaman depan kedai. Tubuh mereka yang basah
kuyup tentu saja menarik perhatian beberapa orang
pengunjung yang tengah menikmati teh hangat dan
penganan. Dua di antara pengunjung mengerutkan
kening dan memandang ketujuh penunggang kuda,
yang terdiri dari orang-orang muda itu, dengan penuh
selidik. Ketujuh penunggang kuda yang tak lain Saranggi
dan kawan-kawannya itu sama sekali tak mempedulikan pandangan orang-orang di
dalam ruangan. Mereka
langsung mengambil tempat duduk dan memesan teh
hangat serta penganan untuk mengusir rasa dingin.
"Hua ha ha...! Rupanya hari ini kita benar-benar
sedang beruntung, Kawan-kawan! Tak disangka tidak
diduga, tujuh lalat tolol datang mencari penggebuk! Ini
patut kita rayakan!" tawa dan ucapan lantang itu berasal dari seorang lelaki
berkepala botak, yang wajahnya dihiasi brewok tebal. Kemudian ia memanggil
pelayan kedai, minta disediakan seguci tuak.
Ucapan lantang itu tentu saja terdengar oleh Saranggi dan kawan-kawannya.
Serentak mereka meno-
lehkan wajah hendak melihat siapa pemilik suara itu.
Semua terkejut ketika mendapati seraut wajah beringas, yang juga tengah
memandang ke arah mereka.
"Celaka...!" desis Saranggi, berbisik dengan suara
gemetar dan wajah pucat. "Aku pernah melihat orang
itu di tempat kediaman Juragan Baswara beberapa
waktu lalu. Saat Ki Mahinta hendak beramah-tamah
dengan Juragan Baswara, beliau membawaku serta.
Dari Ki Mahinta aku tahu tentang orang itu. Namanya
Togas. Seorang pemburu hadiah yang sangat kejam
dan tak kenal ampun. Juga tak pernah gagal dalam
menjalankan pekerjaannya...."
Penjelasan singkat Saranggi, membuat wajah kawan-kawannya menjadi pucat dan
tegang. Kecuali
Ekalana, yang memang tidak pernah mengenal rasa
takut. Wajah pemuda itu tetap beku tak menggambarkan perasaan apapun.
"Lalu... apakah orang bernama Togas itu mengetahui tentang kita...?" Tanya
Maladi dengan suara berbisik. Suaranya terdengar gemetar menunjukkan perasaan
hatinya yang dilanda kegentaran dan kecemasan.
"Mendengar ucapannya tadi, kurasa ia memang
tengah memburu kita....," jawab Saranggi berbisik
dengan suara semakin lirih, takut kalau sampai terdengar oleh orang bernama
Togas itu. "Hm... kita bertujuh, sedangkan mereka bertiga,
takut apa?" tiba-tiba Ekalana menyela tidak berbisik
seperti yang dilakukan kawan-kawannya. Bahkan kemudian bergerak bangkit dan
melangkah menghampiri
meja tempat Togas dan dua orang kawannya duduk.
"Gila! Mau apa pemuda sinting itu..."! Ulahnya selalu saja membuat kita bisa
mati ketakutan...!" desis
Saranggi yang menjadi geram oleh ucapan dan ulah
Ekalana. Namun ia tidak bisa berbuat lain kecuali du-
duk diam menunggu dengan hati berdebar tegang.
"Hai, Sahabat-sahabat yang gagah, bolehkah aku
ikut bergabung dengan kalian" Tampaknya kalian begitu gembira, membuat aku
menjadi iri," ujar Ekalana
yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari
tempat duduk Togas. Meski ucapannya terdengar ramah dan bersahabat, namun
sepasang matanya tetap
bersinar dingin.
"Si keparat...!" desis Maladi mengumpat Ekalana,
"Ia benar-benar gegabah dan tak kenal penyakit..!"
Saranggi dan empat pemuda lainnya hanya bisa
menghela napas yang terasa sesak. Tingkah Ekalana
membuat mereka menahan debaran jantung yang tak
karuan. "Hmh!" dengus Togas seraya menatap sosok Ekalana penuh selidik. "Benar kau ingin
ikut merayakan kegembiraan kami?" lanjutnya tersenyum-senyum.
Tampaknya Togas bukan jenis orang yang terburuburu dalam melaksanakan
pekerjaannya. Ia terlihat
demikian tenang dan yakin terhadap dirinya. Mungkin
ini merupakan salah satu kunci mengapa Togas tidak
pernah gagal dalam melakukan pekerjaannya.
Namun, untuk kali ini rasanya Togas bertemu lawan seimbang. Sebab Ekalana pun
seorang yang selalu
tenang dan percaya penuh pada diri sendiri. Bahkan
masih ditambah dengan sifatnya yang bagai tidak
mengenal perasaan takut. Lebih-lebih dalam hal kecerdikan, pemuda ini rasanya
memang sukar dicari
bandingannya. Kini dia pun tersenyum ketika ucapannya mendapat sambutan.
"Benar, Sahabat yang gagah. Dan aku mengharap
agar kalian selalu berhasil dalam segala hal," jawab
Ekalana yang kelihatannya sudah menyimpan rencana
di benaknya. Togas tertawa terbahak-bahak, kemudian menyodorkan gelas bambu yang sudah penuh
dengan tuak. Ekalana segera mengulurkan tangan menerima tuak
itu. Namun mendadak Togas menggeser lengan-nya
saat Ekalana hendak mengambil gelas itu. Sehingga,
jari-jari tangannya hanya menangkap angin. Seiring
dengan itu, terdengar suara tawa Togas dan kawankawannya. Seolah-olah merasa
gembira telah dapat
mempermainkan Ekalana.
Tiba-tiba melesat sebersit sinar dengan kecepatan
tinggi, yang diiringi suara berdesing nyaring.
Brettt..! Suara tawa Togas dan kawan-kawannya terhenti
seketika, dan berubah menjadi jeritan melengking yang
mendirikan bulu roma. Tubuhnya terjungkal bersama
kursi yang didudukinya, disertai semburan darah segar dari luka menganga di
lehernya. "Hua ha ha...l"
Sekarang ganti Ekalana yang tertawa terbahakbahak. Suaranya membuat hati orang-
orang yang mendengar merasa miris. Apalagi wajah Ekalana tetap
dingin bagaikan topeng. Sehingga sosoknya benarbenar membuat orang merasa ngeri.
"Bangsat..., kau telah membunuh saudara kami!
Awas, kucincang tubuhmu sampai hancur!"
Salah satu dari dua orang kawan Togas berteriak
bagai orang gila. Dia benar-benar terguncang melihat
saudaranya menggelepar tewas di depan matanya.
Ekalana dengan pedang berlelehan darah di tangan
kanannya, bergerak mundur empat langkah. Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum puas. Karena rencana yang ada dalam kepalanya telah
terlaksana dengan
baik. Dia memang sudah siap mencabut pedang saat
disodori tuak. Togas harus menerima kematiannya, ka-
rena tak menyangka dan terlalu memandang remeh
pemuda tampan yang memang hendak dipermainkannya. Dan Togas harus membayar mahal
sikap sombong dan cerobohnya itu.
"Yeaaattt...!"
Salah satu dari dua lelaki berpakaian serba hitam
itu menerjang Ekalana. Pedang di tangannya menyambar dengan kecepatan yang
mengagumkan. Ekalana mendengus mengejek. Kemudian melompat mundur menghindari sambaran pedang
lawan. Sebelum lawan sempat mengubah gerakan, pedang Ekalana sudah berputar
cepat hingga membentuk gulungan sinar putih yang menimbulkan suara angin
menderu-deru. Sambil melompat maju, ia berseru kepada
kawan-kawannya.
"Ayo, kita habisi kedua orang ini...!"
Saranggi dan lima orang pemuda lainnya saling
bertukar pandang sesaat. Meski agak kaget, mereka
merasa gembira dengan tindakan Ekalana tadi, karena
berhasil membunuh orang yang mereka takuti. Maka,
tanpa ragu-ragu keenam pemuda ini berlompatan dengan senjata terhunus hendak
membantu Ekalana.
Sementara itu, Ekalana tengah berusaha mendesak kedua orang lawannya, Pengalaman
bertempur yang banyak dialaminya, membuat gerakan pedangnya
semakin mantap dan bertenaga. Sehingga, kendati kedua orang lawannya cukup
tangguh, tetap saja mereka
kerepotan menghadapi gempuran Ekalana. Terlebih
ilmu pedang yang digunakan Ekalana memang sangat
aneh dan sukar ditebak gerakannya. Kedua orang berpakaian hitam itu terpaksa
bermain mundur sambil terus memutar pedang melindungi tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu, Saranggi dan lima
orang kawannya masuk ke arena perkelahian. Tentu
saja datangnya bantuan bagi Ekalana membuat kedua


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang anak buah Togas semakin kalang kabut. Sampai
akhirnya mereka harus menerima ajal di tangan Saranggi. Dengan gerak cepat
dilepaskan dua pisau terbangnya, dan tepat menancap di kening dan tenggorokan
kedua orang pemburu hadiah itu.
Begitu kedua orang lawan tewas, Ekalana dan kawan-kawannya ini bergegas hendak
meninggalkan kedai. Dengan gerakan tangkas, berlompatan ke punggung kuda masing-
masing. "Hei, berhenti...!"
Ekalana dan kawan-kawannya terkejut dan menoleh ke belakang. Betapa kagetnya
hati mereka ketika
melihat belasan orang berpakaian prajurit kerajaan,
tengah berlarian mengejar. Cepat mereka membedal
kuda, melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Mereka terus mencambuki
kuda masing-masing
ketika mendengar suara teriakan yang memerintahkan
untuk melakukan pengejaran terhadap mereka.
*** Lebih dari setengah hari Ekalana dan kawankawannya melarikan diri tanpa henti.
Menjelang sore,
mereka melihat adanya sebuah candi tua yang tidak
terawat. Setelah merasa yakin bahwa di dalam candi
itu tidak ada orang, mereka bergegas menambatkan
kuda di tempat yang tertutup pepohonan. Ketujuh pemuda itu bergegas masuk ke
candi untuk beristirahat
melewatkan malam.
"Kau benar-benar gila, Ekalana!" ujar Saranggi
yang nada suaranya terdengar bersahabat, "Ulah mu
itu nyaris membuat kami semua mati berdiri. Tapi, sekarang aku merasa bangga
kepadamu. Kematian Togas
membuat hati kami sedikit lega," akunya berterus terang.
"Hari-hari yang sulit, dan pengalaman-pengalaman
selama kita menjadi orang pelarian, membuat kita semakin matang dan tangguh. Aku
lihat kelihaian-mu
melempar senjata sudah semakin cepat dan tepat. Padahal belum ada satu bulan
kita menjadi orang pelarian," tukas Ekalana, yang secara terbuka juga memuji
Saranggi. Membuat sepasang mata pemuda jangkung
ini berbinar bangga.
"Tapi pengalaman kalian cuma sampai hari ini batas waktunya...!" tiba-tiba
terdengar suara keras dan
mengejutkan! Ketujuh pemuda itu berlompatan bangkit Masingmasing telah mencabut senjata,
karena mereka sadar
apa arti ucapan itu.
"Siapa kau?" Tanya Saranggi mendahului enam
orang kawannya. Ditatapnya sosok lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang
berdiri dengan kaki terpentang, dua tombak di depan mereka.
"Hm... siapa aku tidak penting bagi kalian. Yang jelas, Juragan Baswara
menyediakan hadiah besar untuk setiap kepala kalian. Terutama kepala salah
seorang di antara kalian, yang bernama Ekalana," ujar lelaki bertubuh sedang
itu, dengan suara berat dan parau.
Mendengar pengakuan orang itu sebagai pembunuh bayaran, Saranggi dan kawan-
kawannya bergerak
merenggang. Lagi-lagi Ekalana menunjukkan ulahnya.
Pemuda itu melangkah maju menghampiri pemburu
hadiah itu. "Sahabat, sebelum kau memenggal kepala kami
semua, perkenalkanlah dirimu agar kami tidak mati
penasaran!" pinta Ekalana kepada lelaki yang dari so-
rot matanya diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
"Hm..., kau pasti yang bernama Ekalana," tukas lelaki setengah baya itu.
Kepalanya mengganggukangguk seperti dapat mengukur ketangguhan pemuda
di depannya. "Aku lebih dikenal sebagai Tangan Setan.
Karena aku dapat mengambil nyawa siapa saja yang
aku kehendaki. Nah, kalian boleh bawa namaku sebagai bekal ke neraka."
Ekalana mengangguk. Sepasang matanya berkilat
menyimpan kecerdikan.
"Namaku memang benar Ekalana. Tapi kau rupanya belum mengenal julukanku...,"
ujar Ekalana menyunggingkan senyum mengejek.
"Kau mempunyai julukan?" tukas Tangan Setan
bernada menghina, "Coba sebutkan julukanmu, aku
ingin dengar."
"Aku dijuluki orang sebagai.... Bapak Moyang Tangan Segala Setan!"
Seketika meledaklah tawa Saranggi dan lima orang
pemuda lainnya. Senang bukan main hati mereka
mendengar Ekalana mempermainkan orang yang mengaku berjuluk Tangan Setan itu.
Membuat wajah pemburu hadiah itu merah padam menahan amarah yang
seketika meledak menyesakkan dadanya.
"Kurang ajar...! Sekarang aku tahu mengapa Juragan Baswara berani membayar mahal
kepalamu ketimbang kepala kawan-kawanmu! Hhh... aku sudah
tak sabar untuk menukar kepalamu dengan beberapa
kantung uang...," begitu ucapannya selesai, tahu-tahu
saja sebilah pedang telah tergenggam di tangannya.
Dan.... "Yeaaarh...!"
Whuuuttt...! Senjata dalam genggaman Tangan Setan menderu
mengancam batang leher Ekalana. Pedang yang bergerak menusuk itu langsung
berputar ketika sasarannya melompat ke samping. Dan kembali menyambar
dengan sasaran tidak berubah.
"Hait...!"
Trang! Ekalana yang menangkis pedang lawan tampak
terdorong mundur empat langkah. Sedangkan Tangan
Setan cuma merasakan lengannya bergetar. Kudakudanya tetap kokoh, tidak bergeser
sedikit pun! Kenyataan itu membuat Ekalana sadar kalau tenaga dalam lawan masih
dua tingkat di atas tenaga dalamnya.
Namun kenyataan itu sama sekali tidak membuat hatinya gentar.
Saranggi, Sabung Waluya, Maladi, Jirana, Rapati,
dan Sudana, terkejut melihat kekuatan tenaga dalam
Tangan Setan. Sadar kalau Ekalana tidak bakal menang dari lawannya, mereka
segera berlompatan mengepung Tangan Setan. Kemudian menggempur tokoh
itu bersama-sama.
Tangan Setan ternyata benar-benar tangguh! Keroyokan tujuh pemuda itu sama
sekali tidak membuat
dirinya terdesak. Bahkan setelah lewat dari sepuluh
jurus, utusan Juragan Baswara itu mulai dapat mendesak pengeroyoknya. Pedang di
tangannya bergerak
cepat kian kemari memburu sasaran. Ekalana dan kawan-kawannya berusaha mati-
matian untuk menghindari ancaman mata pedang lawan.
Crat! "Aaakh...!
Sudana menjerit kesakitan dan tubuhnya terpelanting jatuh tanpa dapat ditahan
lagi. Ia bergulingan di atas tanah sambil mengerang-erang, tak peduli
pakaiannya dikotori tanah bercampur debu. Tangan
kirinya mencekal erat-erat pangkal lengan kanannya
yang putus sebatas siku terbabat pedang Tangan Setan.
"Sudana...!" Saranggi berteriak cemas. Tubuhnya
menghambur ke arah Sudana yang masih bergulingan.
Rasa cemas melihat keadaan Sudana membuat Saranggi lupa terhadap Tangan Setan.
Sehingga ia tidak
sempat mengelak ketika pedang Tangan Setan menyambar datang mengancam lehernya.
"Sarangi, awaaasss...!"
Ekalana berteriak memperingatkan Saranggi, sambil melesat berusaha menyelamatkan
nyawa kawannya.
Cragkh...! Brettt...' "Aaakh...!"
Hampir bersamaan dengan menggelindingnya kepala Saranggi, terbabat pedang Tangan
Setan,' Ekalana
sempat membabatkan pedangnya. Tangan Setan menjerit kesakitan ketika lambungnya
terbabat pedang
Ekalana. Tubuh Saranggi ambruk berlumuran darah
yang keluar dari lehernya. Demikian pula dengan tubuh Tangan Setan, terhuyung-
huyung. Pakaiannya basah berlumuran darah.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Jirana, Sabung Waluya, Rapati, dan Maladi tak
menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Ketika tubuh
Tangan Setan limbung, mereka langsung menyambut
dengan pedang masing-masing.
Crak! Jrab! "Aaakh...!"
Tangan Setan menjerit setinggi langit ketika empat
bilah pedang menusuk dan membabatnya. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang membawa ceceran darah yang mengalir dari tengkuk,
lambung, dan punggungnya. Kemudian ambruk dan menggelepar bagai
ayam disembelih sebelum akhirnya tewas.
Ekalana, Rapati, Sabung Waluya, Jirana, dan Maladi berdiri tegak bagai patung
memandang mayat
Tangan Setan. Rintihan Sudana menyadarkan mereka
dari keterpakuan. Bergegas kelimanya memutar tubuh.
Ekalana membalut lengan Sudana yang buntung
itu dengan sobekan pakaiannya. Sedangkan empat
pemuda lainnya mengurus mayat Saranggi, dan menguburkannya di halaman belakang
candi. Selesai memakamkan mayat Saranggi dan Tangan
Setan, keenam pemuda itu merebahkan tubuh mereka
yang letih di lantai candi. Sebentar saja mereka terlelap dalam dinginnya udara
malam. *** Sinar mata hari yang menerobos masuk melalui lubang-lubang pada dinding candi,
membangunkan Ekalana dan kawan-kawannya dari tidur. Keletihan yang
masih tersisa, membuat mereka masih belum beranjak
bangkit. Namun perasaan malas itu men-dadak lenyap
ketika tiba-tiba samar-samar terdengar suara langkah
kaki kuda mendekati tempat itu Mereka berlompatan
bangkit, mengintip keluar dari lubang-lubang pada
dinding candi. Tidak berapa lama kemudian, tampaklah seorang
penunggang kuda muncul dari arah timur candi. Sosok yang duduk di punggung kuda
semakin dekat, hingga jelas terlihat oleh mereka.
"Ki Suganta..."!" desis Sudana agak kaget ketika
mengenali penunggang kuda itu. "Mengapa ia bisa
sampai ke tempat ini..."!"
"Siapa Ki Suganta itu..?" bisik Ekalana bertanya
curiga. Dalam keadaan seperti sekarang ini dia memang harus mencurigai siapa
saja yang ditemui.
"Beliau sahabat baik mendiang majikan kita. Entah
kepentingan apa yang membawanya sampai ke tempat
ini...?" jawab Sudana. Hatinya merasa heran, meskipun tidak menaruh curiga
terhadap orang yang dikenalnya sangat baik dan dekat dengan Juragan Mahinta.
"Apa kau yakin orang itu bisa dipercaya?" Tanya
Ekalana lagi, berbisik.
"Sepanjang pengetahuanku, Ki Suganta adalah
orang baik. Dan rasanya aku bisa mempercayainya.
Biar aku coba menemuinya," jawab Sudana. Meski ada
sedikit keraguan terselip di hatinya, ia melangkah ke
luar untuk mengetahui tanggapan Ki Suganta jika melihatnya.
'Tuan Suganta...!" panggil Sudana begitu sampai di
pintu candi. Mata pemuda brewok itu menatap Ki Suganta.
"Sudana..."! Kaukah itu...?" sahut Ki Suganta kaget
Dipandanginya wajah Sudana agak lama, barulah ia
mengenali. Itu pun belum meyakinkan hatinya. Sebab,
sosok Sudana jauh berbeda dengan sewaktu masih
bekerja di peternakan. Wajahnya yang kotor agak pucat, serta pakaian lusuh dan
koyak-koyak, membuat
Ki Suganta tidak begitu mengenalinya. Namun kemudian bergerak menghampiri
setelah Sudana mengangguk.
"Mana Saranggi dan kawan-kawanmu yang lain"
Ah..., kalian tentunya sangat menderita...," ujar Ki Suganta, yang oleh pekerja-
pekerja Juragan Mahinta di-
panggil dengan sebutan 'tuan'.
"Mengapa Tuan sampai berada di tempat ini" Kalau
boleh saya tahu apa gerangan tujuan Tuan?" Sudana
tidak menjawab pertanyaan Ki Suganta. Ia malah bertanya dengan pandangan mata
penuh selidik. 'Tidak aneh kalau aku pun sampai kau curigai,
Sudana," Ki Suganta sama sekali tidak merasa tersinggung. Dirinya telah
mengetahui apa yang menimpa
ketujuh orang pekerja Juragan Mahinta. Sehingga
memaklumi sikap Sudana.
"Kalian telah membuat Juragan Baswara marah
besar. Beliau mengundang perwira-perwira kerajaan
dan meminta agar mengerahkan prajurit untuk mencari kalian. Mereka kini tersebar
hampir ke seluruh pelosok desa. Setiap celah yang mungkin dapat kalian
gunakan untuk jalan keluar telah dijaga prajuritprajurit kerajaan. Bahkan para
pemburu hadiah saling
berlomba untuk menyerahkan kepala kalian ke hadapan Juragan Baswara. Orang itu
telah menyebar berita
tentang kalian dan menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat membawa
kepala kalian," Ki Suganta berhenti sebentar dan menarik napas pajang.
"Kami telah tahu semuanya, Tuan. Bahkan sudah
bertemu dengan prajurit-prajurit kerajaan, serta beberapa orang pemburu hadiah.
Di candi ini kami cuma
sekadar melepaskan lelah. Dan akan segera melanjutkan perjalanan," ujar Sudana
menanggapi pemberitahuan Ki Suganta.
"Ke mana kalian hendak lari" Mereka sudah mengepung dari delapan penjuru.
Rasanya tak mungkin
kalian dapat keluar-dari negeri ini tanpa sepengetahuan mereka," ujar Ki Suganta
memberikan gambaran
terhadap keadaan yang harus dihadapi Sudana dan
kawan-kawannya.
'Tuan sendiri hendak pergi ke mana" Bukankah
tempat tinggal Tuan cukup jauh dari tempat ini?"
"Aku sengaja mencari kalian," jawab Ki Suganta
berterus terang.
"Mencari kami" Untuk apa, Tuan?" desak Sudana
mulai berdebar tegang. Perasaan itu tergambar jelas
pada wajahnya. "Sudana," ujar Ki Suganta seraya tersenyum. Dia
memaklumi ketegangan yang tergambar di wajah pemuda itu. "Kau tahu sendiri, aku
adalah sahabat baik
majikanmu. Aku turut berduka cita atas kematian Ki
Mahinta. Sehingga ketika mendengar bahwa kalian sekarang diburu orang-orang
suruhan Juragan Baswara
untuk dibunuh, aku tak bisa tinggal diam. Aku bermaksud membantu kalian agar
dapat lolos dari iblis
berkedok manusia itu."


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ahhh... terima kasih atas perhatian dan kebaikan
Tuan Tapi, dengan cara bagaimana Tuan hendak menolong kami?"
Sudana menatap tepat di kedua bola mata Ki Suganta, seperti ingin mencari
kebenaran ucapan itu.
Tempat tinggalku cukup besar. Maksudku hendak
membawa kalian untuk bersembunyi di rumahku.
Mudah-mudahan di sana kalian lebih aman dan terjamin. Mereka pasti tidak akan
menyangka kalau kalian
berada di rumahku. Beberapa hari yang lalu, Juragan
Baswara dan orang-orangnya pernah mendatangiku.
Sebagai sahabat dekat majikan kalian tentu saja aku
dicurigai. Meski aku bersumpah, Juragan Baswara tetap tidak percaya. Ia
memerintahkan orang-orangnya
untuk menggeledah rumahku yang dikiranya menyembunyikan kalian. Baru kemudian
minta maaf karena
aku terbukti tidak terlibat," tanpa diminta Ki Suganta
menceritakan apa yang telah dialaminya.
"Lalu mengapa sekarang Tuan ingin melibatkan diri" Bukankah hal itu sangat
berbahaya bagi Tuan sekeluarga?" Tanya Sudana setelah mendengar penjelasan Ki
Suganta. "Karena aku tahu siapa yang benar dan siapa yang
salah. Selain itu, mereka tak mungkin mendatangi dan
menggeledah rumahku untuk yang kedua kalinya. Tapi
semua terserah kalian. Aku hanya ingin membantu,
mengingat majikan kalian adalah sahabat baikku...."
Sudana tidak memberikan jawaban, hanya meminta agar Ki Suganta mau menunggu.
Kemudian memutar tubuh dan masuk ke ruang candi menemui
kawan-kawannya. Meski dalam hatinya merasa tertarik dengan tawaran Ki Suganta,
dia tidak mau mengambil keputusan sendiri.
"Keputusannya kuserahkan kepada kalian, karena
aku belum lama bekerja di peternakan. Lagi pula belum mengenal siapa dan
bagaimana sebenarnya orang
yang bernama Ki Suganta itu. Aku tak ingin disalahkan jika ada apa-apa di
belakang hari," ujar Ekalana
ketika kawan-kawannya meminta pendapat darinya.
Sudana yang luka di tangan kanannya membengkak dan membutuhkan perawatan,
menyatakan keinginannya. Empat pemuda lainnya menyatakan keinginan yang sama,
karena mereka sudah tak tahan kehidupan yang selama ini mereka rasakan. Ekalana
hanya mengangkat bahu, dan menyatakan akan ikut
bersama mereka.
Siang itu juga rombongan bergerak meninggalkan
candi. Ki Suganta membawa mereka melalui daerahdaerah yang sepi dan hutan
belantara yang jarang dilewati orang. Pada malam kedua, mereka pun mulai
menginjak wilayah Desa Tilasan, tempat Ki Suganta
dan keluarganya tinggal.
"Aku sudah menyelidiki penjagaan di desa ini, dan
menemukan tempat-tempat yang bisa kita lewati dengan aman," ujar Ki Suganta. Dia
membawa keenam pemuda itu melalui tempat-tempat yang menurutnya
tidak terjaga pada waktu-waktu tertentu.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di belakang sebuah bangunan besar,
tempat tinggal Ki Suganta, yang juga merupakan seorang juragan.
"Hati-hati!" bisik Ki Suganta. "Jangan sampai
membangunkan keluargaku...!" lanjutnya mengingatkan. Kemudian membawa Ekalana
dan lima pemuda itu masuk melalui pintu belakang.
*** 8 'Tuan Suganta pasti sudah menyiapkan hidangan
untuk kita," ujar Sudana yang sudah membersihkan
tubuh dan lukanya. Da juga mengganti pakaian yang
memang sudah tidak pantas untuk dikenakan. Kakinya perlahan menuju ruang tengah
diikuti Ekalana
dan empat pemuda lainnya, yang juga sudah bersih
dan rapi. Di ruang tengah Sudana dan kawan-kawannya tidak menemukan Ki Suganta. Mereka
bergegas menuju
ruang dapur, menduga tuan rumah pasti berada di
tempat itu. Namun, di ruang itu pun batang hidung Ki
Suganta tidak kelihatan!
"Hm... ayo kita menyebar dan periksa seluruh kamar...!" ujar Ekalana karena
mencium sesuatu yang
mencurigakan. Ucapannya membuat lima orang kawannya merasa tegang, maklum apa
yang ada dalam pikiran Ekalana.
Dengan hati berdebar tegang, Sudana, Ekalana,
Sabung Waluya, Rapati, Jirana, serta Maladi, bergegas
memeriksa seluruh kamar rumah itu. Betapa kaget
dan berangnya hati keenam pemuda ketika mendapati
rumah besar itu ternyata kosong! Dan sebelum mereka
sempat berbuat sesuatu, terdengar suara ribut-ribut
yang datangnya dari sekitar rumah. Mereka terkejut
ketika mengintai keluar dan mendapati kenyataan
bahwa sekeliling rumah telah terkepung puluhan
orang! "Bangsat! Kita telah tertipu!" Sudana menggeram
dengan tubuh gemetar. Ia tidak tahu lagi apa yang dirasakannya saat itu.
Kemarahan, ketegangan, ketakutan, dan kebencian berkecamuk dalam dirinya.
Bayangan kematian muncul di depan matanya.
"Celaka kita kali ini...!" desis Jirana yang selebar
wajahnya telah pucat dan tegang. Keringat dingin
membasahi wajah dan tubuhnya.
Rapati, Sabung Waluya, dan Maladi tampak lebih
parah. Mereka bergegas hendak ke luar melalui pintu
belakang. Namun langkah mereka terhenti ketika
mendengar suara bentakan keras.
"Bodoh, hendak ke mana kalian?" Tahu-tahu Ekalana telah berdiri tegak di hadapan
ketiga orang pemuda yang hendak mencoba mencari jalan selamat itu.
"Kita bakal mati, Ekalana! Juragan Baswara dan
orang-orangnya telah mengepung bangunan ini! Dan
kami tak ingin menunggu kematian di tempat ini! Akan
kami coba menerobos kepungan dan menyelamatkan
diri!" ujar Maladi menentang pandang mata Ekalana.
Sorot matanya menunjukkan bahwa ia bertekad menerjang siapa saja yang coba
menghalanginya.
"Kerbau tolol...!" desis Ekalana menghardik, "Den-
gar, kita harus tetap bersatu dan bertahan di dalam
rumah ini! Akan kita babat habis siapa saja yang berani menerjang masuk! Kalau
kalian nekat menerobos ke
luar, mereka akan mengepung dan mencincang tubuh
kalian. Lain halnya kalau kita bertahan di dalam. Mereka tak akan dapat
menerobos sekaligus. Karena siapa saja yang menerobos masuk lebih dulu, senjata
kita akan mengantarnya ke neraka. Dengan begitu, mereka
tidak akan berani bertindak gegabah. Dan kalaupun
pada akhir-nya kita semua mati, paling tidak kita telah
membunuh banyak lawan," lanjutnya menjelaskan siasatnya dalam menghadapi
kepungan seperti itu
Kelima pemuda sama-sama menganggukkan kepala membenarkan siasat Ekalana.
Akhirnya semua mendengarkan rencana itu. Setelah menerima petunjuk dari Ekalana, mereka
menyiapkan segalanya. Kemudian segera berpencar dan saling berpasangan menjaga
pintu. "Hei, Pembunuh-pembunuh Keji, Tukang Perkosa
Wanita...!" terdengar suara Juragan Baswara yang ditujukan kepada Ekalana dan
lima kawannya. "Malam
ini juga kalian akan merasakan pembalasan atas segala perbuatan kalian! Dan...
heiii..."!"
Sing! Sing...! Tiba-tiba terdengar suara berdesing, membuat Juragan Baswara terpekik kaget dan
menghentikan ucapannya yang belum selesai. Tubuh lelaki setengah
baya itu tersentak ke belakang ketika ditarik oleh dua
orang tukang pukulnya.
Ternyata suara berdesing tajam itu berasal dari sinar-sinar putih berkilatan
melesat dengan kecepatan
tinggi. "Aaa...!"
Jeritan kematian terdengar memecah kesunyian
malam. Sinar-sinar putih yang ternyata berupa pisaupisau terbang itu, menancap
di tubuh beberapa orang
pengepung yang mendampingi Juragan Baswara. Empat orang seketika terjungkal
tewas dengan tubuh
mandi darah. Sedangkan Juragan Baswara dapat di
selamatkan oleh dua orang tukang pukul kepercayaannya.
"Kurang ajar! Mereka benar-benar tak boleh diberi
hati...!" Juragan Baswara menggeram murka. Kemudian memberikan isyarat untuk
menyerbu masuk.
*** "Serbuuu...!"
Dengan penuh semangat belasan pengepung bergerak menuju pintu depan, samping,
dan belakang. Senjata-senjata di tangan mereka yang berkilauan ditimpa
sinar obor dan pelita, siap digunakan untuk merejam
tubuh para buronan itu.
"Bunuuuhhh...!"
"Heyaaa...!"
Salah seorang penyerbu yang bertubuh jangkung,
berseru keras sambil mengayunkan tendangan mendobrak pintu sebelah depan.
Ekalana dan Jirana, yang
berjaga-jaga di belakang pintu, langsung membuka
pintu sebelum terkena tendangan keras lelaki jangkung itu. Kemudian keduanya
cepat melancarkan serangan dengan babatan dan tusukan senjata terhadap
lawan yang menerobos ke dalam. Darah segar muncrat
ketika dua bilah pedang itu menancap di tubuh sasarannya. Kedua tubuh, yang
salah satunya adalah lelaki
jangkung, terjengkang ke belakang menimpa kawankawannya.
Byurrr...! Ketika para penyerang sibuk menyingkirkan tubuh
dua orang kawan yang tewas menimpa mereka, Ekalana dan Jirana bergerak cepat
menyiramkan cairan ke
tubuh orang terdepan. Belum lagi orang-orang itu sadar apa yang terjadi, Ekalana
dan Jirana melemparkan
obor yang telah mereka persiapkan. Karuan saja keenam penyerbu menjerit-jerit
ngeri. Hampir sekujur tubuh mereka terbakar!
Seketika keadaan kacau balau, karena keenam sosok tubuh yang terbakar berlarian
kian kemari sambil
tak hentinya menjerit-jerit. Hal itu tentu saja membuat
kawan-kawannya berlarian menghindar. Ekalana dan
Jirana tertawa terbahak-bahak dan kembali menutup
daun pintu rapat-rapat.
Hal serupa juga dialami orang-orang yang hendak
mendobrak pintu samping dan belakang. Sabung Waluya, Maladi, Sudana, dan Rapati,
sama-sama tertawa
puas melihat sebagian orang yang hendak menerobos
masuk, berlarian dengan tubuh terjilat api.
Kejadian itu membuat Juragan Baswara mencakmencak bagai kakek-kakek kebakaran
jenggot. "Bangsat-bangsat muda itu benar-benar gila...!"
maki Juragan Baswara. Dirinya sama sekali tak menyangka kalau pemuda-pemuda yang
dibencinya itu sangat tangguh dan banyak akal. "Bakar seluruh bangunan itu...!" serunya memberi
perintah. Hal itu terpikir setelah melihat apa yang dilakukan para buronan
itu terhadap orang-orangnya.
Sesaat setelah perintah itu berkumandang, puluhan obor pun melayang ke hampir
seluruh bagian bangunan. Hingga, sebentar saja lidah-lidah api mulai
menjilati beberapa bagian bangunan.
"Keparat, perbuatan kita dicontohnya...!" Ekalana
berdesis geram melihat apa yang dilakukan para pen-
gepung. Pemuda itu sesaat terdiam, berpikir keras
mencari jalan keluar. Karena ia tidak ingin mati terpanggang seperti ayam.
"Ekalana, kali ini kita benar-benar celaka...!" seru
Maladi yang menjadi kalap dan berlari menghampiri
Ekalana bersama Sudana.
Demikian pula halnya dengan Sabung Waluya dan
Rapati. Kedua pemuda ini meninggalkan tempatnya
untuk bergabung dengan kawan-kawannya guna mencari jalan untuk mengatasi api
yang semakin berkobar.
"Hei, apa yang kau lakukan..."!"
Ekalana yang tengah termenung memeras otaknya,
tersentak kaget ketika melihat Jirana membuka daun
pintu. Semula hendak dicegahnya perbuatan Jirana.
Namun segera diurungkan karena saat itu dilihatnya
sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih berlari
menerobos ke dalam bangunan.
"Mayani..."!"
Jirana langsung menyambut sosok tubuh ramping
yang ternyata Mayani. Gadis berpakaian putih yang
semula berada di samping Juragan Baswara, nekat
meninggalkan majikannya untuk menemui Jirana. Sebab ia tahu Jirana berada di
dalam bangunan itu.
Mayani, yang pada dasarnya membalas uluran cinta
Jirana, mengambil keputusan nekat ketika menyadari
betapa pemuda yang dicintainya tengah di ambang
kematian. Jirana memeluk erat-erat tubuh wanita yang dicintainya itu. Wajah cantik Mayani
dihujani ciuman kerinduannya. Mayani sendiri tidak menghindar. Gadis
itu menangis terisak dalam pelukan Jirana. Keputusan
yang pernah diambilnya berubah, menyadari Jirana
akan tewas terpanggang kobaran api yang kian menggila, dan sudah memakan
seperempat bagian bangu-
nan itu. *** "Jangan bertindak bodoh!"
Suara yang terdengar jelas di telinga itu, membuat
gerakan Panji dan Kenanga terhenti. Suara yang masih
merupakan misteri bagi keduanya kembali terdengar,
mencegah apa yang hendak mereka lakukan. Namun,
meski keduanya berusaha untuk menemukan sumber
suara gaib itu, tetap saja tidak berhasil.
'Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih!"
Suara itu kembali terdengar ketika Pendekar Naga
Putih dan Kenanga memutuskan untuk tidak peduli
dengan suara misterius itu. Karena saat itu mereka
merasa harus segera bertindak.
"Apa tidak kau lihat jumlah orang yang mengepung
rumah Juragan Suganta itu semakin bertambah banyak. Mereka adalah perwira-
perwira kerajaan dengan
sekitar lima puluh prajurit. Kalau kalian nekat bertindak, selain belum tentu
dapat membebaskan pemudapemuda di dalam rumah itu kalian pun akan menjadi
musuh kerajaan!"


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kejadian aneh di Desa Tilasan itu Pendekar
Naga Putih segera bertanya kepada salah seorang penduduk yang tengah
menyaksikan. Setelah men-dapat
keterangan kejadian sebenarnya, Panji dan Kenanga
memutuskan untuk segera bertindak menye-lamatkan
pemuda-pemuda di dalam bangunan yang terbakar itu.
Namun niat mereka tertunda karena adanya suara
gaib yang pernah didengar ketika berada di Desa Babakan.
Sama seperti pertama, kali ini pun bisikan itu
kembali mencegah tindakan mereka. Yang membuat
Panji heran sekaligus kagum, apa yang dikatakan tokoh misterius itu ternyata
tidak meleset Panji dan Kenanga melihat adanya serombongan tentara kerajaan
datang bergabung dengan para pengepung bangunan
yang tengah terbakar itu. Sehingga, mau tidak mau
Panji ataupun Kenanga, yang juga men-dengar bisikan
itu menjadi sedikit bingung.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan" Apakah menunggu sampai pemuda-pemuda di
dalam bangunan itu terbakar hangus menjadi arang?" Tanya Panji yang
nada suaranya menggambarkan ketidaksabaran. Khawatir kalau sampai terlambat
bertindak, yang akan
membuat ia menyesali dirinya kelak.
"Tunggu sebentar, dan jangan bertindak sebelum
aku memberikan isyarat...," jawab suara bisikan misterius itu bernada penuh
tekanan agar Panji dan Kenanga mematuhi pesannya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga terpaksa menunggu sambil menatapi bangunan yang
kini sudah hampir setengahnya terbakar. Tentu saja pasangan
pendekar muda ini menjadi cemas. Namun, baru saja
mereka mengambil keputusan untuk bertindak. Di sebelah timur desa itu, terlihat
cahaya kemerahan membubung tinggi, disertai asap hitam yang bergulunggulung.
Sehingga suasana malam yang semula pekat
menjadi terang benderang.
"Kebakaran..., kebakaran...! Ada perampok menjarah desa dan membakar rumah-rumah
penduduk...!"
Sesosok tubuh kecil tampak berlari ketakutan
sambil berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk ke arah
timur, tempat asal cahaya kemerahan itu.
Teriakan ketakutan orang itu tentu saja membuat
Juragan Baswara dan para pengikutnya termasuk ten-
tara-tentara kerajaan, sama-sama berpaling ke arah
timur desa. Mereka kaget bukan main ketika melihat
cahaya kemerahan disertai gulungan asap tebal membubung itu.
"Hei, cepat katakan, apa yang terjadi...?" salah seorang perwira menangkap sosok
kecil kurus itu dan bertanya dengan suara keras.
"Kebakaran..., kebakaran....' Ada perampok menjarah desa dan membakar rumah-
rumah penduduk...!"
teriak sosok kecil kurus ini mengulang apa yang diserukannya tadi. Dan terus
mengulang-ulang teriakannya sambil meronta-ronta dari cekalan perwira kerajaan
yang bertubuh gemuk dan gagah itu.
"Kakek sinting, kau jangan main-main...!" perwira
itu menghardik, karena kakek itu terus saja berteriakteriak bagai orang hilang
ingatan. "Hei, kau, perwira berotak waras. Apa tak kau lihat
cahaya api dan gulungan asap tebal itu...?" sosok kecil
kurus yang ternyata seorang kakek itu balas menghardik sambil cengar-cengir.
Kemudian kembali berseru mengulang perkataannya.
"Hei!" perwira gemuk itu memanggil dua orang rekannya. "Cepat bawa sebagian
prajurit. Usir perampok-perampok kurang ajar itu, dan padamkan api yang
membakar rumah-rumah penduduk...!" perintah-nya
seraya melepaskan cekalan pada lengan kakek kecil
kurus itu, dan tidak mempedulikannya lagi.
"Aaa...!"
Entah mengapa tiba-tiba saja tubuh kakek kecil
kurus menjerit-jerit dan berlari ke sana kemari. Sekujur tubuhnya telah
terbakar. Arah larinya yang tidak
menentu, menubruk ke sana kemari, membuat orangorang Juragan Baswara kalang
kabut! Suasana menjadi kacau balau! Kini sosok kakek kecil kurus itulah
yang menjadi pusat perhatian. Sedangkan Ekalana dan
kawan-kawannya seperti terlupakan.
"Mungkin inilah waktu bagi kita untuk segera bertindak...," ujar Panji kepada
kekasihnya, karena tanda
yang ditunggu tidak juga muncul. Apalagi mereka sama sekali tidak tahu bagaimana
isyarat yang dimaksudkan pemilik suara misterius. Akhirnya Pendekar
Naga Putih mengambil keputusan sendiri, setelah hatinya menduga bahwa pemilik
suara misterius adalah
si kakek kurus. itu. Dugaannya semakin kuat saat melihat si kakek kurus seperti
sengaja mengacaukan perhatian para pengepung bangunan yang terbakar itu.
Dengan cepat Pendekar Naga Putih dan Kenanga
melesat menuju bangunan yang terbakar dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dua bayangan putih dan hijau berkelebat
menerobos kobaran
api. Saat itu, Ekalana dan kawan-kawannya sudah
mengambil keputusan nekat untuk menyerbu ke luar.
Karena hawa di dalam sudah sangat panas menyengat
Ruangan dipenuhi asap, membuat mata mereka berair
dan sulit untuk bernapas.
"Heaaa...!"
Whukkk! "Hei, tunggu! Aku bukanlah musuh kalian! Kedatanganku justru hendak membantu
kalian...!" teriak
Panji sambil melompat ke samping menghindari tebasan pedang Ekalana.
"Siapa kau" Bagaimana mungkin aku mempercayaimu...?" tukas Ekalana dengan suara
keras di sela-sela gemeretak kayu terbakar. Hatinya tak mudah
percaya kepada siapa saja, setelah tipu daya Ki Suganta.
"Siapa adanya aku tidak penting! Tapi kau harus
percaya bahwa aku benar-benar ingin membantu...!"
sahut Panji yang telah berdiri berhadapan dengan Ekalana. "Ikuti aku....'"
lanjutnya memutar tubuh dan bergerak mendahului.
"Hei..."!"
Belum sempat Pendekar Naga Putih membawa
Ekalana dan kawan-kawannya ke luar dari pagar bangunan, tiba-tiba terdengar
bentakan keras. Ter-nyata
Juragan Baswara telah berdiri menghadang seraya
menunjuk wajah pemuda berjubah putih itu. Di belakang Pendekar Naga Putih tampak
Ekalana dan kawan-kawannya berlari mengikuti.
"Kepung dan bunuh pemuda-pemuda laknat yang
kejam itu...!" teriak Juragan Baswara memberi perintah kepada orang-orangnya.
"Haiiittt...!"
Melihat belasan orang merangsek maju hendak
menghalangi kepergiannya, pendekar Naga Putih langsung melontarkan pukulan dan
tendangannya. Seketika para penghadang itu berpentalan ke kiri dan kanan
disertai jerit kesakitan.
"Jangan sembarangan membunuh...!" seru Panji
mengingatkan Ekalana dan kawan-kawannya, yang
tampak mengamuk dengan senjata di tangan. Keenam
pemuda itu tampak ganas dan tak kenal ampun. Karena mereka telah menyimpan
dendam kesumat terhadap Juragan Baswara serta pengikut-pengikut-nya.
Ketika melihat Ekalana dan kawan-kawannya tidak
mempedulikan teriakannya, Pendekar Naga Putih terpaksa harus bertindak lebih
cepat. Setiap lawan yang
datang menerjang, selalu didahuluinya dengan memukul roboh, tanpa membuat lawan
tewas. Dan terus
membuka jalan untuk dapat meninggalkan tempat itu.
'Tangkap pemberontak-pemberontak itu...!" si per-
wira gemuk berseru ketika melihat Pendekar Naga Putih dapat membobol kepungan.
Bahkan membawa Ekalana dan kawan-kawannya meninggalkan tempat
itu. "Hyaaattt...!"
Si perwira gemuk, langsung melompat hendak
mencegah kepergian Panji. Pemuda berjubah putih itu
sengaja dipilih sebagai sasaran, karena dikiranya dialah yang menjadi
pimpinannya. Namun, sebelum serangan perwira gemuk mengenai sasaran, tiba-tiba terdengar
jeritan melengking
tinggi. Disusul melayangnya sosok kakek kecil kurus,
yang seperti dilemparkan orang. Dan luncuran tubuh
kakek ini tepat memapas pukulan. Akibatnya, tubuh
kakek kecil kurus terpental deras. Karena perwira gemuk sudah tidak sempat
menarik serangannya. Tentu
saja perwira gemuk itu terkejut dan menyesali apa
yang baru saja dilakukannya, kendati tanpa senjata.
"Eh"!"
Wajah yang semula menggambarkan rasa sesal itu,
tiba-tiba saja berganti dengan keheranan, keterkejutan, dan kengerian. Lengannya
yang digunakan untuk
memukul tak dapat ditarik lagi, tetap terjulur ke depan
dan tidak bisa digerakkan. Demikian pula dengan anggota tubuhnya yang lain.
Tidak bisa digerakkan lagi.
Kaku bagai patung batu!
Pendekar Naga Putih yang sempat melihat apa
yang terjadi dengan sosok kakek kecil kurus itu juga
merasa terkejut! Lebih terkejut ketika menyaksikan
tubuh perwira gemuk itu masih tetap dalam kedudukan memukul, tidak bisa bergerak
lagi. Tahulah Panji
kalau perwira itu telah terkena sebuah ilmu totokan
yang jarang duanya di dunia persilatan!
"Kakang... mereka...."
Panggilan dan sentuhan tangan Kenanga membuat
Panji menoleh. Dan ia menjadi kaget bukan main ketika mengikuti arah pandangan
kekasihnya. Enam pemuda yang berusaha diselamatkannya ternyata tengah
bertempur sengit dikeroyok belasan orang. Satu di antara pemuda itu dilihatnya
tengah mendesak seorang
lelaki tua berpakaian mewah, yang tak lain Juragan
Baswara. Pemuda itu adalah Ekalana, yang bertekad
membalaskan kematian majikannya. Meski-pun dua
tukang pukul andalan musuh besarnya itu ikut mengeroyok, Ekalana dapat
mengatasinya dengan baik.
"Hyaaattt..!"
Saat Juragan Baswara sudah benar-benar kelabakan dalam kurungan sinar pedang
lawan, pemuda itu
berteriak keras seraya membabatkan pedangnya mendatar.
Crak! Babatan pedang yang dikerahkan dengan sekuat
tenaga itu langsung memisahkan kepala Juragan Baswara dari tubuhnya. Darah segar
memancur, mengenai
sebagian wajah Ekalana. Dan untuk per-buatannya
itu, tubuh Ekalana pun tak luput dari sambaran pedang salah seorang tukang pukul
yang mengeroyoknya. Tubuh Ekalana melintir, nyaris terbanting kalau
saja Pendekar Naga Putih tak sempat menangkapnya.
Anehnya luka yang tidak terlalu dalam malah membuat Ekalana tersenyum dingin
penuh kepuasan. Hatinya puas dapat membalaskan kematian majikannya.
"Heaaa...!"
Golang dan Banu, tukang pukul kepercayaan Juragan Baswara, kembali menerjang
Ekalana dengan kemarahan dan dendam yang membuat dada mereka
sesak. Sedangkan saat itu keadaan Ekalana sudah
payah. Namun Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam
melihat Ekalana dalam ancaman maut.
Plak! Plak! Dua kali tangannya mengibas, pedang di tangan
Golang dan Banu terpental, diikuti tubuh pemiliknya.
Kedua tukang pukul itu ternyata cukup tangguh. Mereka buru-buru melompat
bangkit, dan kembali menerjang meski dengan tangan kosong. Namun Panji segera
mendahului dengan memberikan masing-masing
satu tamparan keras, yang membuat kedua tukang
pukul roboh tak sadarkan diri.
*** Sabung Waluya, Maladi, dan Sudana yang sudah
menghadapi Ki Windudarta dan anak buahnya, serta
empat orang tukang pukul Juragan Baswara, mengamuk bagaikan banteng terluka.
Kendati tubuh ketiga
pemuda itu telah penuh luka, semangat mereka tetap
menggebu-gebu menghadapi keroyokan Juragan Baswara dan orang-orangnya. Namun
pertarungan tidak
seimbang, terutama karena ada Ki Windudarta. Sehingga akhirnya Sudana, Sabung
Waluya, dan Maladi
harus menerima kekalahan secara mengenas-kan. Ketiganya tewas di ujung pedang
Kepala Desa Sindang
Laya. "Sahabat yang gagah, kita harus pergi dari sini...,"
ujar Panji kepada Ekalana, yang terlihat sangat letih.
'Tidak! Semua ini belum selesai. Aku harus menangkap manusia licik Suganta
itu...!" tukas Ekalana
membantah. Jarinya menuding sesosok lelaki yang
berdiri, menyaksikan semua kejadian itu di dekat kuda
salah seorang perwira kerajaan. Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung
melesat ke arah Ki Suganta, yang wajahnya pucat dilanda ketakutan.
"Jangan biarkan Ekalana membunuh Ki Suganta,
Pendekar Naga Putih. Selain hanya dia yang bisa
membebaskan Ekalana dan kawan-kawannya dari
berbagai tuduhan, kesalahan yang dilakukannya pun
mempunyai alasan kuat. Tangkap Ki Suganta, suruh ia
bicara di depan tentara-tentara kerajaan agar kalian
semua terbebas dari buruan pemerintah."
Pendekar Naga Putih yang sudah percaya penuh
terhadap suara misterius itu, langsung melesat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga,
ia yang lebih dulu sampai di dekat Ki Suganta, sebelum serangan pedang Ekalana
menghajarnya. "Maaf, Sahabat yang gagah...!" Pendekar Naga Putih mengibaskan lengannya membuat
babatan pedang Ekalana menyeleweng.
"Di pihak mana sebenarnya kau berdiri, Sahabat?"
Tanya Ekalana setelah memperbaiki kedudukan kudakudanya. Kini dia berdiri
berhadapan dengan Panji,
yang sudah melumpuhkan Ki Suganta dengan totokan.
"Aku berdiri di pihak yang benar. Jangan menuruti
nafsu, Sahabat yang gagah! Kurasa orang ini tidak terlalu jahat. Karena ada yang
membisikkan kepadaku,
bahwa orang yang bernama Ki Suganta ini akan dapat
membuat kehidupan kalian selanjutnya menjadi lebih
tenang dan damai," jawab Panji sejujurnya. Pendekar
muda ini tidak tahu-menahu masalah yang sebenarnya.
Ekalana yang juga tidak mengetahui banyak tentang Ki Suganta, termenung sesaat.
Kesempatan itu dipergunakan Panji menanyakan kesediaan Ki Suganta
untuk menjelaskan segala yang terjadi.


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hentikan pertempuran...!" seru Panji dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehingga
suaranya ter-dengar
keras menggelegar, mengatasi suara teriakan orang
bertempur ataupun denting senjata beradu. Hal itu dilakukan setelah mendapat
jawaban dari Ki Suganta.
Teriakan Pendekar Naga Putih membuat pertarungan terhenti seketika. Kedua belah
pihak berlompatan
mundur. Jirana, Rapati, dan Kenanga segera bergabung bersama Panji dan Ekalana.
"Kalian pemberontak-pemberontak hina sebaiknya
menyerahlah! Kalau tidak, kalian akan dihukum mati!"
Suara itu terdengar dari perwira gemuk yang rupanya telah terbebas dari totokan,
Dia berdiri dengan dada membusung menatap Pendekar Naga Putih dan
yang lainnya dengan sinar mata tajam.
"Maaf, Tuan Perwira...!" Ki Suganta membuka mulut ketika Pendekar Naga Putih
menekan bahunya,
yang merupakan isyarat baginya agar berbicara. "Sebenarnya mereka ini bukanlah
pemberontak. Mereka
adalah pemuda-pemuda perkasa yang hendak menuntut balas atas kematian majikan
mereka yang bernama
Juragan Mahinta. Apa yang dikatakan Juragan Baswara kepada Tuan-tuan Perwira
semua, sebenarnya hanyala fitnah. Aku sendiri dipaksa menjebak pemudapemuda
perkasa ini. Karena anak istriku diculik oleh
tukang-tukang pukul Juragan Baswara...."
"Dan yang membunuh Juragan Mahinta adalah
Juragan Baswara, lewat tangan seorang pembunuh
bayaran bernama Jaro Labang...!" tiba-tiba saja Ki
Windudarta menambahkan penjelasan Ki Suganta. Kepala Desa Sindang Laya itu
merasa sudah bosan hidup
di bawah tekanan Juragan Baswara. Sehingga nekat
membeberkan apa yang diketahuinya. Hal ini dilakukan karena merasa berdosa,
dalam sepak terjang Juragan Baswara. Sebab, pada dasarnya Ki Windudarta
bukanlah orang jahat.
"Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, Ki
Windudarta?" Tanya perwira gemuk itu.
"Ki Baswara sendiri yang mengatakannya kepadaku. Dia menyampaikan kepadaku
sewaktu mendengar
Jaro Labang terbunuh oleh tujuh pemuda, yang ternyata pekerja-pekerja Juragan
Mahinta. Lalu Ki Baswara membuat laporan palsu kepada Tuan-tuan Perwira. Selain
itu, juragan Baswara juga menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat
membawa satu atau ketujuh kepala pemuda itu. Menurutnya mereka
bakal datang kepadanya untuk menuntut balas," Ki
Windudarta mengakhiri penjelasannya dengan helaan
napas panjang. Seakan-akan merasa beban di dadanya
telah banyak berkurang.
Perwira gemuk itu bergumam sambil manggutmanggut. Kemudian diangkat kepalanya
ketika mendengar suara derap kaki kuda dalam jumlah banyak.
Rombongan berkuda itu ternyata orang-orangnya yang
tadi dikirim untuk mengusir perampok dan memadamkan kebakaran di desa sebelah
timur. Namun apa yang dilaporkan perwira bawahannya
membuat keningnya berkerut. Sebab tidak ditemukan
tanda-tanda adanya perampok di sekitar Desa Tilasan.
Dan api besar yang disertai gulungan asap, ternyata
berasal dari tumpukan kayu yang seperti sengaja dibakar.
"Hm..., semua ini pasti perbuatan kakek sinting
itu...," gumamnya pada diri sendiri. Dia teringat ulah
kakek kecil kurus yang tadi telah membuat dirinya
berdiri seperti patung untuk waktu yang cukup lama.
Perwira gemuk pun yakin kalau kakek kecil kurus itu
yang telah menotoknya. Juga yang membebaskannya.
"Jika demikian persoalannya, aku minta maaf. Aku
merasa telah salah bertindak..," ujar perwira gemuk
itu. Lalu segera melompat naik ke punggung kuda dan
membawa pasukannya untuk kembali ke kotaraja.
Tak berapa lama kemudian, Ki Windudarta juga
minta diri. Sebelum pergi, Kepala Desa Sindang Laya
meminta maaf kepada Ekalana, Jirana, Dan Rapati.
Kemudian mengajak Ki Suganta untuk menjemput
anak istrinya. "Ke mana perginya Mayani...?" Jirana mengedarkan pandangan mencari kekasihnya
yang terpisah darinya sewaktu pertarungan.
Ekalana, Rapati, Panji, dan Kenanga ikut mencaricari dengan pandang matanya.
Tiba-tiba saja terdengar
suara tawa terkekeh yang datang dari atas sebuah cabang pohon besar. Pada sebuah
batang pohon ter-lihat
Mayani duduk mencangkung di samping seorang kakek kecil kurus yang memegang
sebatang tongkat butut. Sambil tetap memperdengarkan kekehnya, kakek
itu melayang turun membawa tubuh Mayani. Kemudian menyerahkan kepada Jirana.
Kedua insan yang
dilanda rindu ini berpelukan erat. Seolah tak ingin terpisah lagi.
"Sudah, sudah! Kalian membuat aku orang tua
mengilar saja...," ujar kakek kecil kurus itu terkekeh
dengan mulut setengah terbuka, memperlihatkan gigigiginya yang ompong.
"Kakek Peramal Sinting..."!" desis Panji yang memang sejak melihatnya, terus
menegasi dengan mengerahkan ingatan.
"Nah, sekarang kau sudah melihat rupa ku, Pendekar Naga Putih," ujar kakek kecil
kurus itu tersenyum seraya menggoyang-goyangkan kepalanya, "Matamu benar-benar
jeli," selesai berkata demikian, Kakek Peramal Sinting memutar tubuh dan
melangkah pergi. Pendekar Naga Putih dan yang lainnya sama-sama
membelalakkan mata ketika melihat cara berjalan Kakek Peramal Sinting. Padahal
mereka melihat jelas betapa lelaki tua bertubuh kecil itu melangkah biasa.
Namun, tubuhnya seperti melompat-lompat dan tahutahu telah jauh dan kemudian
lenyap dari pandangan.
"Luar biasa sekali kepandaian Kakek Peramal Sinting! Tidak aneh kalau Eyang
Tirta Yasa selalu memujimuji kesaktiannya. Hhh... pantas aku tak dapat menemukan
di mana dirinya berada ketika memberi petunjuk-petunjuk kepadaku...," gumam
Panji seraya berdecak kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang dipergunakan Kakek
Peramal Sinting.
"Pantas saja beliau mengetahui segalanya. Kiranya
seorang peramal sakti...," desah Kenanga yang juga
masih menatap ke arah lenyapnya sosok Kakek Peramal Sinting.
Sepeninggal tokoh aneh itu Pendekar Naga Putih
mengapit lengan kekasihnya, kemudian berkelebat
pergi. Kepergian Panji dan Kenanga sama sekali tidak
diketahui Ekalana dan kawan-kawannya. Mereka baru
sadar setelah sosok pasangan pendekar muda itu sudah lenyap dari pandangan.
"Jirana," ujar Ekalana, "Kuucapkan semoga kalian
berdua hidup bahagia. Setelah semua ini selesai, kurasa sudah waktunya untuk
melanjutkan pengembaraanku yang tertunda," setelah berpamitan, Ekalana
melangkah pergi.
Hembusan angin dingin menjelang pagi, mempermainkan pakaian dan rambut Rapati,
Jirana, dan Mayani, yang masih berdiri terpaku. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan
menyambut fajar, tanda datangnya hidup baru bagi mereka.
SELESAI Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Naga Beracun 9 Lembah Nirmala Karya Khu Lung Pengelana Rimba Persilatan 5
^