Lambang Kegelapan 1
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear Bagian 1
Prolog Dunia Baru Perbatasan Barat Pennsylvania,
1710 MATTHEW FIER tertawa terus-menerus. Ia tidak bisa
berhenti. Ia mulai tertawa berhari-hari yang lalu"sewaktu ia menang
atas musuhnya William Goode.
Tapi kemenangan diperoleh dengan harga. Dan Matthew Fier
tahu itu. Aku akan tertawa terus hingga mati, pikirnya.
Otot-otot perut Matthew terasa sakit. Tenggorokannya terasa
sangat kering dan menyakitkan. Tapi ia terus tertawa.
Ia menebarkan lapisan semen di atas deretan teratas batu bata.
Tidak lama lagi seluruh dinding di ruang kerjanya ini merupakan
dinding bata dari lantai hingga langit-langit. Tidak ada jendela. Tidak
ada pintu. Tidak ada apa pun kecuali batu bata yang kuat untuk
mengamankan mereka. Keluarga Goode tidak akan pernah bisa mencapai kami,
pikirnya. Tidak sesudah aku selesai membangun dinding yang
mengurung kami. Mereka tidak akan pernah mendapatkan amulet
Fier. Mereka tidak akan pernah mendapatkan kekuatan keluarga Fier.
Matthew meletakkan sederetan batu bata lagi di atas semen
basah. Ia memaksa diri untuk bekerja lebih cepat. Sambil bekerja, ia
membayangkan amulet Fier.
Sekeping piringan perak mengilat dengan cakar burung di
bagian depannya. Cakar itu mencengkeram bebatuan biru yang
cemerlang. Dan di bagian belakangnya terdapat kata-kata yang
menjadi peraturan hidup keluarga Fier: Dominatio per malum.
Kekuasaan melalui kejahatan.
Matthew tahu sejarah amulet itu. Amulet itu telah diwariskan
dari ayah ke putranya selama beratus-ratus tahun.
Amulet itu telah tua. Begitu tuanya hingga Matthew hampirhampir tidak bisa membayangkannya. Sebelum pencatatan sejarah
dimulai amulet itu milik seorang dukun Kelt muda bernama Fieran.
Kekuatan kegelapan amulet Fieran tidak akan pernah mati"
selama satu orang Fier masih hidup untuk mengklaimnya.
Aku akan mati tidak lama lagi, pikir Matthew. Ia tertawa sambil
meletakkan bata terakhir di tempatnya, menyelesaikan dinding
terakhir. Ya, tidak lama lagi aku akan mati. Tapi suatu hari nanti akan
ada Fier lain yang datang. Seorang Fier yang akan mengklaim amulet
itu. Matthew teringat pada masa lain saat amulet itu harus
dilindungi. Amulet itu sempat hilang dan Matthew mengklaimnya
kembali dari seorang wanita. Siapa nama wanita itu"
Matthew merasa pusing. Telinganya berdengung. Bayangbayang masa lalunya melintas dalam benaknya.
Christina! pikirnya dengan tiba-tiba. Christina Davis! Itu
namanya. Christina memiliki amulet itu sewaktu kutemukan.
Matthew kembali menghela napas.
Ini terakhir kalinya aku melihatnya, ia menyadari hal itu.
Matthew mengacungkan amulet itu sejenak.
Warna merah memenuhi pandangannya.
Kebakaran, pikirnya. Ada kebakaran pada malam aku menerima
amulet ini dari Christina. Dan ada kebakaran pada malam Fieran
pertama kali memegang amulet ini.
Christina... Fieran. Fire"api... Fier. Amuletnya. Amuletnya. Amuletnya.
Matthew mendesis saat mengembuskan napas terakhirnya.
BAGIAN SATU Pengkhianatan Bab 1 Dunia Baru Massachusetts Bay Colony,
1679 CHRISTINA DAVIS menatap makam terbuka itu. Lebar dan
hitam. Makam itu mengingatkan dirinya akan mulut raksasa.
Oh, Papa! pikir Christina. Aku tidak ingin seorang diri. Kenapa
kau meninggalkanku" Isak tertahan terlontar dari tengorokannya.
Jemari yang keras dan kurus menancap di lengan Christina.
"Jangan membuatku malu atau kau akan menyesalinya seumur hidup,"
bisik bibinya di telinganya. "Memamerkan emosi seperti itu di depan
umum sangat tidak sopan. Kendalikan dirimu, Nak!"
Christina mengatupkan bibirnya erat-erat. Jangan menangis,
katanya pada diri sendiri. Jangan di depan Bibi Jane. Ia memusatkan
perhatian untuk menghela napas dalam dan lambat. Perlahan-lahan,
bibinya melepaskan cengkeramannya yang menyakitkan.
Bagaimana aku bisa berpikir kalau diriku sebatang kara"
Christina bertanya pada dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya
sekilas. Aku tidak akan pernah sebatang kara. Selalu ada Bibi Jane.
Bibi Jane! Ia membenciku, pikir Christina. Selalu mengkritik. Menyebutku
bodoh dan malas. Menamparku jika melakukan kesalahan, bahkan
yang kecil sekalipun. Tapi tidak pernah di depan Papa. Tidak, di depan ayah Christina
Bibi Jane bersikap lembut dan penuh kasih. Ia menunggu hingga
Christina seorang diri untuk membentak-bentaknya. Menghukumnya.
Sekarang aku selalu seorang diri, pikir Christina. Sekarang tak
ada seorang pun yang melindungiku.
Pendeta melangkah maju dan berdeham. "Saudara-saudara,"
katanya dengan suara berat dan keras. "Mari kita berdoa."
Christina mendengarkan gemeresik pelan saat orang-orang kota
yang berkumpul menangkupkan tangan mereka di depan dada masingmasing. Ia menunduk bersama umat lainnya. Pandangannya terpaku
pada tepi gaun duka citanya yang berwarna hitam. Pada ujung persegi
sepatu hitamnya yang tebal.
Tuhan yang ada di surga, doa Christina diam-diam. Terimalah
ayahku dalam hadirat-Mu. Dan bantu aku menemukan jalan untuk
melarikan diri. Christina menahan napas. Ya, itulah yang harus dilakukannya.
Ia harus melarikan diri. Ia harus melarikan diri dari Bibi Jane.
Diiringi "amin" yang mantap doa itu berakhir. Penduduk kota
kembali menengadah. Empat pria kuat melangkah maju. Mereka
mulai menurunkan peti mati ayah Christina dengan tali-tali yang
kokoh. Kayu peti mati mengerang dan berderit.
Air mata bagai membakar mata Christina. Oh, Papa, pikirnya.
Situasinya bisa saja berbeda. Kalau saja kau tidak jatuh sakit.
Peti mati ayahnya mengenai dasar makam dengan suara keras.
Dari balik air matanya, Christina melihat pendeta memberi isyarat
memanggilnya. Pendeta menunjuk ke tumpukan tanah di sepanjang
sisi makam dengan jarinya yang kurus.
Perut Christina mulas. Ia memahami apa yang diinginkan
pendeta. Ia harus melemparkan tanah pertama ke dalam makam
ayahnya. Christina bisa merasakan pandangan para penduduk kota
kepadanya. Kakinya terasa kaku sewaktu ia melangkah maju. Ia
membungkuk, dan meraup segenggam tanah yang dingin dan lengket.
Seekor cacing gemuk dan ungu menggeliat-geliat di sela-sela
jemarinya. Christina hampir-hampir bisa melihat tubuh cacing yang gelap
meluncur keluar-masuk tulang-belulang ayahnya yang putih bersih.
Ia tidak tahan dengan perasaan yang ditimbulkan tanah pada
jemarinya lebih lama lagi. Ia melemparkannya ke makam dengan
sekuat tenaga. Lalu ia mundur.
Bibi Jane berderap maju. Ia tidak seragu-ragu Christina. Ia
meraup segenggam tanah dan melemparkannya ke makam dengan
satu lontaran yang kuat. Lalu ia kembali ke samping Christina.
Satu demi satu, para penduduk kota mendekati Christina dan
bibinya dan menyampaikan bela sungkawa mereka. Satu demi satu,
mereka melemparkan segenggam tanah ke dalam makam ayahnya.
Bluk. Bluk. Bluk. Christina menggumamkan terima kasih kepada para penduduk
kota tanpa benar-benar mendengarkan apa yang mereka katakan.
Pandangannya terpaku ke tanah yang mengisi makam ayahnya.
Kenapa harus Papa yang kita makamkan" pikirnya. Kenapa
bukan Bibi Jane" Tepat pada saat itu, matahari menghilang.
Christina tersentak. Ia menengadah menatap langit. Sosoksosok hitam memenuhi langit. Suara ratusan sayap yang mengepak
menggema di lereng-lereng perbukitan.
Gagak. Seluruh langit dipenuhi gagak.
Christina membuka mulut untuk menjerit, tapi tak terdengar
suara apa pun. Ia ingin lari, tapi kakinya tidak mau bergerak.
Seekor gagak menukik ke arahnya. Paruhnya yang kuning
terbuka lebar. Unggas itu menyambar segumpal besar rambut
Christina dan mencabutnya dari kepala. Christina merasakan darah
hangat mengalir turun dari sisi kepalanya dan menetes ke telinga.
Pendeta menjerit melengking. Christina berpaling ke arahnya"
dan melihat seekor gagak merobek segumpal daging dari pipinya.
Seorang wanita menerobos Christina, sambil menyeret dua
anaknya yang terisak-isak. Salah satu anaknya jatuh ke tanah. Gagakgagak segera merubungnya, menusuk-nusuk dan mematuk-matuk.
Wanita itu berusaha untuk mengusir mereka, menjerit-jerit sambil
mengibaskan mantelnya. Christina berlari membantunya. Gagak-gagak mengiris kakinya,
merobek gaun hitamnya dan melukai dagingnya. Ia mengabaikan
sakitnya dan menarik anak itu bangkit berdiri.
"Lari!" desaknya.
Ia mendengar Bibi Jane mulai berdoa di belakangnya. Christina
berpaling memandang bibinya"dan melihat seekor gagak besar siap
menyerang. Kaok! Kaok! Kaok! Gagak itu menerjang lurus ke arah Christina.
Christina membungkuk dan mati-matian mencari senjata. Ia
menyambar sebongkah batu yang terasa sesuai dalam genggamannya.
Lalu ia menegakkan tubuh dan melemparkan batu itu sekuat tenaga.
Bluk! Batu itu mengenai kepala gagak. Hewan itu jatuh ke
tanah sambil menjerit untuk terakhir kalinya.
Tapi gagak yang lain menyusul tepat di belakangnya. Seekor
gagak membawa sesuatu yang mengilat dan keperakan di paruhnya.
Christina mencari-cari batu yang lain. Tidak ada waktu. Burung
itu terlalu dekat. Begitu dekat sehingga Christina bisa melihat kemilau
matanya yang hitam. Christina mengangkat tangan menutupi kepalanya. Jemarinya
membelit benda keperakan di paruh burung itu. Burung itu mengepakngepakkan sayapnya dengan liar, berusaha untuk melarikan diri.
Christina merasa udara yang panas dan berbau menghantam
wajahnya. Kaok! Kaok! Kaok! Burung itu berhasil membebaskan diri dan
melesat ke udara. Lalu ia kembali menukik menyerang Christina.
Christina terhuyung-huyung mundur. Ia merasakan tanah runtuh
di bawah kakinya. Merasakan dirinya mulai jatuh.
Jatuh ke makam ayahnya yang menganga.
Bab 2 BEBAN berat terasa menekan Christina. Ia berjuang
melawannya. Tapi lengan dan kakinya tak mau bergerak. Ia terjepit di
tempatnya. Tubuhnya sama sekali tidak berdaya.
Ia teringat bahwa ia jatuh. Jatuh dan mendarat di sebuah lubang.
Tidak. Bukan sebuah lubang"makam ayahnya! Aku sudah dikubur
hidup-hidup! Mata Christina membuka. Ia tengah berbaring di ranjangnya
sendiri, selimutnya diselipkan ke bawah kasur dan menahannya.
Christina mengendurkan selimutnya dan duduk tegak.
Bagaimana aku bisa berada di sini" Ia sama sekali tidak ingat bahwa
ia pulang. Mungkin aku pingsan sewaktu jatuh. Pasti ada tetangga yang
membantu Bibi Jane mengantarku pulang.
Lidah Christina terasa kering dan bengkak. Ia harus minum air
yang sejuk. Ia mengayunkan kakinya ke samping ranjang. Rasa sakit
menyengat tubuhnya. Tubuhku pasti memar-memar semua, pikirnya.
Lantai papan di balik pintu kamar Christina berderit. Bibi Jane
mau memeriksaku, pikir Christina. Ia bergegas membaringkan diri dan
menarik selimut hingga ke dagu. Ia tidak ingin berbicara dengan
bibinya sekarang. Hari ini sudah cukup sulit.
Christina mendengar suara pintu dibuka dan gemeresik rok
beradu dengan lantai. Ia berjuang agar napasnya lambat dan stabil.
Pergi, pikirnya. Pergilah dan jangan mengangguku.
"Dia masih tidur," gumam Bibi Jane. "Bagus. Kalau dia masih
kelelahan akan jauh lebih mudah bagi kita."
Ia bicara dengan siapa" Christina penasaran. Kenapa ia
mengajak seseorang ke kamarku"
"Kau yakin kalau ingin melakukannya?" tanya orang itu,
suaranya pelan dan kasar.
Tapi jelas suara wanita, Christina yakin.
"Tentu saja aku yakin," sergah Bibi Jane. "Kalau tidak aku tidak
akan memintamu datang kemari, bukan?"
Kedua wanita itu mendekat. Christina bisa merasakan embusan
napas keduanya pada wajahnya. Tenang, katanya pada diri sendiri.
Jangan bergerak. Jangan bergerak.
Apa yang direncanakannya" pikir Christina. Apa yang akan
dilakukan Bibi Jane kepadaku"
"Kita haras melakukannya nanti malam," gumam wanita itu.
Bibi Jane menggeramkan persetujuannya.
"Dan ketidakhadirannya?" tanya wanita itu. "Bagaimana kau
akan menjelaskannya?"
Ketidakhadiranku" Apa dia hendak mengirimku ke tempat lain"
pikir Christina. Tempat mana pun pasti lebih baik daripada di sini
bersama bibinya. "Itu bukan urusanmu," jawab Bibi Jane. Ia terdengar jengkel.
"Serahkan saja padaku."
"Itu urusanku," kata wanita itu bersikeras, suaranya semakin
kencang. "Aku berhak untuk mengetahui. Kau akan membahayakanku
kalau kau tidak menanganinya dengan baik."
"Kau melihatnya di pemakaman hari ini," kata Bibi Jane tidak
sabar. Ia melangkah menjauhi ranjang. "Jelas kedukaannya karena
kematian ayahnya sudah mengacaukan keseimbangan pikirannya. Dia
bisa melakukan apa saja dalam kondisi seperti ini. Dia mungkin
bahkan berkeliaran... dan tersesat di hutan di sekitar kota. Gadis yang
tidak terlindungi, seorang diri, akan bertemu dengan berbagai macam
bahaya di luar sana."
"Bahaya di hutan," ulang wanita itu. "Ah, ya, aku mengerti."
"Tentu saja, aku akan sangat sedih kalau terjadi bencana atas
keponakanku," lanjut Bibi Jane.
Jahat, pikir Christina. Bibi Jane benar-benar jahat.
Wanita yang satu lagi tertawa. Suaranya keras dan jelek. "Aku
yakin seluruh kota akan bergabung denganku untuk menyampaikan
simpati padamu karena situasimu yang sulit."
"Pemikiran yang baik. Terima kasih." Christina hampir-hampir
bisa melihat bibinya tersenyum. "Kita setuju, kalau begitu?"
"Oh, aye" jawab wanita itu. "Kita sepakat."
Christina mendengar dentingan lembut uang logam berpindah
tangan. Lalu suara langkah-langkah kaki bergerak ke arah pintu.
"Aku akan kembali nanti malam," kata wanita itu, saat pintu
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamar tidur berderit membuka.
"Tengah malam," kata Bibi Jane menyarankan. "Tak ada orang
lain yang terjaga." "Baiklah, tengah malam kalau begitu."
Pintu kamar tidur menutup pembicaraan mereka yang
selanjutnya. Christina tetap tidak bergerak. Jantungnya berdebar begitu
kencang hingga ia takut akan tercekik karenanya.
Begitu mendengar pintu depan yang besar dan berat ditutup, ia
duduk tegak. Bibi Jane berencana untuk membunuhku!
Bab 3 CHRISTINA melemparkan selimutnya dan bergegas turun dari
ranjang. Ia harus melarikan diri. Ia harus minggat. Sekarang!
Kalau aku masih di sini saat Bibi Jane kembali, aku terjebak,
pikir Christina. Dia tidak akan membiarkan diriku lepas dari
pengawasannya. Christina berjingkat-jingkat ke jendela kamar tidurnya. Lantai
kayu terasa dingin di kakinya yang telanjang. Dengan hati-hati ia
membuka tirai kotak-kotaknya"hanya dua sentimeter"dan
mengintip keluar. Ia melihat bibinya membantu seorang wanita naik ke sebuah
kereta di seberang halaman. Christina tidak bisa mengenali wajah
wanita itu. Pergi! Pergi sekarang! desak suara hati Christina. Bibi Jane bisa
kembali ke dalam rumah setiap saat.
Ia melesat ke lemari dan menyambar mantel panjangnya. Lalu
ia menyadari bahwa ia hanya mengenakan gaun tidur.
Tidak ada waktu! pikirnya. Bibi Jane akan kembali sebelum aku
siap! Jantung Christina mulai bertalu-talu dalam dadanya. Kepalanya
terasa pusing, telinganya mendenging.
Hentikan, perintahnya pada diri sendiri. Sekarang bukan
saatnya untuk kehilangan kendali. Ia meraih ritsleting gaun tidurnya.
Jemarinya tidak berhasil menemukan ritsletingnya dan mencari-cari.
Sesuatu jatuh berdentang di lantai.
Apa itu" pikir Christina. Ia melihat sebuah amulet perak di
samping kakinya. Dari mana asalnya"
Bahkan dalam keremangan kamarnya amulet itu berkilauan.
Amulet itu seakan memancarkan cahaya sendiri yang aneh. Dengan
terpesona, Christina memungutnya. Piringan perak itu terasa hangat.
Menenangkan. Ia mengelus cakar burung dari perak di bagian depannya.
Mengelus enam batu biru cerah yang tercengkeram dalam cakar itu.
Sebuah kenangan melintas dalam benak Christina. Kenangan
akan seekor burung hitam besar yang menukik ke arahnya. Sesuatu
yang keperakan terjepit di paruhnya. Christina teringat bahwa ia
menyerang burung itu"dan jemarinya terbelit seutas rantai tipis.
Begitulah caraku mendapatkan amulet ini. Cantik, pikirnya.
Cantik sekali. Dan ini milikku.
Christina mengenakan kalung itu. Lalu ia mengerjapkan mata
beberapa kali. Kenapa aku hanya berdiri di sini"
Beberapa saat kemudian, ia telah mengenakan pakaian berduka
cita warna hitam, kaus kaki tebal, dan sepatu berujung persegi yang
berat. Ia ragu-ragu untuk mengenakan topi dan celemek putihnya.
Lebih baik kutinggalkan saja, pikirnya. Warna putih mungkin
akan menarik perhatian. Ia tahu orang-orang menganggap wanita tidak
pantas keluar tanpa mengenakan penutup kepala. Tapi ia bisa
menggunakan kerudung mantel hitamnya.
Siap, pikirnya. Ia bergegas memandang sekeliling kamar
tidurnya. Ini terakhir kalinya aku berada di sini, pikirnya. Terakhir
kalinya aku menyebut tempat ini sebagai rumahku.
"Selamat tinggal, Papa," bisik Christina. "Maaf aku tidak akan
bisa mengunjungi makammu. Tapi aku tahu kau akan mengerti
tindakanku. Kenapa aku tidak akan bisa kembali kemari lagi."
Sambil menahan air matanya, Christina bergegas ke pintu dan
membukanya. Kriit. Apa Bibi Jane mendengarnya" Apa ia sudah kembali ke dalam
rumah" Christina menahan napas. Tapi lorong tetap kosong. Rumah
tetap sunyi. Christina melesat sepanjang lorong. Begitu keluar dari pintu
belakang, Bibi Jane tidak akan pernah bisa menangkapnya.
Blam! Pintu depan terbuka.
Oh, tidak! pikir Christina. Sekarang ia tidak bisa ke pintu
belakang tanpa terlihat Bibi Jane.
Christina mundur perlahan-lahan. Melangkahkan kakinya
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Plak. Salah satu tumit Christina menghantam lantai papan.
Ia ragu-ragu. Tidak terdengar suara bibinya.
Hampir tiba, pikirnya. Hampir tiba di kamarku kembali.
Christina menghela napas dan kembali melangkah.
"Christina Davis! Apa yang kaulakukan di luar kamarmu?" jerit
bibinya. Christina melesat masuk ke kamarnya dan membanting pintu di
belakangnya. Bertindaklah! perintahnya pada diri sendiri.
Bertindaklah! Christina meraih kursi meja riasnya. Apa bisa kugunakan untuk
menghalangi pintunya"
Langkah-langkah berat Bibi Jane bergemuruh di lorong.
Sesaat lagi dia akan berada dalam kamar!
Christina berbalik. Ia melontarkan kursi ke jendela kamar tidur
sekuat tenaga. Kaca jendela pecah berantakan. Serpihan bergerigi
berhamburan. Bibi Jane menjerit melengking penuh kemarahan.
Christina melontarkan dirinya melewati kusen jendela.
Potongan-potongan kaca melukai lengannya saat ia menyeret
tubuhnya keluar. Ia bersyukur kamar tidurnya ada di lantai pertama.
Ia bisa melihat kebun sayur Bibi Jane di bawahnya. Satu
dorongan lagi dan aku akan berhasil. Satu dorongan lagi dan aku
bebas. Ia mendorong dirinya maju dengan sekuat tenaga.
Lalu tubuh Christina tersentak berhenti. Jemari bibinya yang
dingin dan kurus meliliti pergelangan kakinya.
Bab 4 CHRISTINA menjerit. Ia menjejakkan kakinya yang masih
bebas ke belakang. Menendang bibinya.
Luput. Bibi Jane menarik Christina kembali ke dalam. Pecahan kaca
menancap di perutnya. "Tidak!" teriak Christina. Ia menendang dan menggeliat-geliat,
berjuang untuk membebaskan diri. "Aku tidak akan membiarkanmu!
Tidak!" "Kau tidak bisa menghentikanku." Bibi Jane terengah-engah.
Kau tidak cukup kuat."
"Aku lebih kuat dari dugaanmu," jerit Christina.
Ia meraih kusen jendela dengan dua tangan, menarik dirinya ke
depan. Ia merasakan darah yang hangat mengalir dari kedua telapak
tangannya. Tapi ia tidak peduli. Ia harus melarikan diri.
Bibi Jane mencengkeram tungkai Christina dengan tangannya
yang masih bebas. Ia menggeram mengerahkan tenaga. Menggunakan
segenap kekuatannya untuk menarik Christina kembali ke dalam.
Christina bisa merasakan kakinya mulai mati rasa. Ia
menancapkan kuku-kuku jemarinya ke kayu kusen jendela.
"Menyerahlah!" teriak Bibi Jane.
Christina merasakan cengkeramannya di kusen terlepas. Salah
satu kuku jarinya tanggal. Sakit menyengat hingga ke lengannya.
Aku tidak bisa berbuat begini! pikirnya. Dia terlalu kuat. Jauh
lebih kuat daripada aku. Christina membiarkan tubuhnya lemas.
Bibi Jane berjuang menarik tubuh Christina kembali ke dalam
rumah. Tinggal satu kesempatan lagi, pikir Christina. Satu kesempatan.
Perlahan-lahan ia melipat kakinya yang masih bebas sejauh
mungkin. Sekarang aku harus mengalihkan perhatiannya. Christina
melakukan tindakan yang terakhir akan diduga bibinya. Ia
mengangkat kepala dan memandang Bibi Jane. Sikapnya menantang.
Mata Bibi Jane membara karena murka. Wajahnya merah
padam. "Makhluk sialan," katanya sambil terengah-engah. "Gadis
menjijikkan dan menyebalkan. Kau hanya menimbulkan masalah
sejak hari kau dilahirkan. Tapi kau tidak akan merepotkanku lebih
lama lagi sekarang!"
Christina meluruskan kakinya. Sepatunya yang berat mengenai
tenggorokan Bibi Jane dengan telak.
Diiringi jeritan tertahan, Bibi Jane jatuh ke lantai.
Christina melesat keluar. Ia mendarat dengan kepala terlebih
dulu di kebun sayur bibinya. Tanah menjejali mulutnya. Ia duduk,
tercekik. Ia memaksa dirinya bangkit berdiri dan berlari dengan seluruh
tenaga yang dimilikinya. Aku berhasil! Aku bebas!
Ia berlari ke dalam hutan hingga tidak mampu berlari lagi.
Hingga napasnya terputus-putus di tenggorokannya dan kakinya terasa
seberat peluru meriam. Jangan berhenti. Terus lari, kata Christina pada diri sendiri.
Sambil terhuyung-huyung kelelahan, ia memaksa diri untuk
melanjutkan pelariannya. Keringat membanjiri wajahnya, menyengat matanya. Rok
panjangnya terkait semak-semak, memperlambat lajunya.
Akan lebih mudah kalau ia lewat jalan. Dan lebih cepat. Tapi
terlalu berbahaya. Siapa pun bisa melihat dirinya. Siapa pun.
Bibi Jane tidak akan mengejar diriku. Tidak akan, tidak akan,
tidak akan. Christina mengoceh sendiri seiring dengan irama
langkahnya. Ia menginginkan kematianku. Mati, mati, mati.
Ia tidak akan mengejarku.
Rasa sakit menyengat sisi tubuh Christina. Setiap kali ia
berusaha menghela napas dalam, rasa sakit itu timbul. Aku harus
mengurangi kecepatanku sedikit, pikirnya. Aku harus beristirahat.
Bayang-bayang hutan semakin gelap di sekitarnya. Kenangan
akan wajah Bibi Jane melintas dalam benak Christina. Pandangan
yang penuh kemurkaan. Bibir yang mencibir jijik.
Dia membenciku, pikir Christina. Aku tahu dia tidak menyukai
diriku. Aku tahu dia tidak suka menerimaku tinggal di rumahnya. Tapi
aku tidak pernah menduga kalau dia membenciku. Dan menginginkan
kematianku. Krak. Apa itu" Sepertinya ada yang menginjak ranting. Christina
berhenti dan mendengarkan. Ia mendengar gemeresik samar. Bisa saja
angin mengembus di sela-sela pepohonan, pikirnya memutuskan. Atau
seekor hewan kecil. Ia tiba-tiba merasa kedinginan. Pakaiannya yang basah kuyup
oleh keringat terasa dingin di kulitnya. Ia menggosok lengannya,
berusaha untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu ia melanjutkan
perjalanannya melintasi hutan.
Krak. Itu lagi. Apa ada yang mengikutiku" Christina berbalik dan
memandang ke bayang-bayang di belakangnya.
Tidak ada apa-apa. Imajinasimu sudah berlebihan, Christina memarahi dirinya
sendiri. Ia kembali berbalik dan mulai melangkah. Lalu berlari-lari
kecil. Krak! Krak! Krak! Christina tidak berhenti untuk berpaling. Ia memaksa diri untuk
mempercepat langkahnya. Ia berlari menembus hutan. Cabang-cabang
pepohonan menampari wajahnya.
Jari kakinya terkait akar"dan ia melayang ke udara. Ia
mendarat dengan keras. Rasa sakit menyebar di kaki kanannya.
Christina duduk tegak dan memegang kakinya. Ia bisa
merasakan pergelangannya telah mulai bengkak.
KRAK! Aku tidak bisa lari. Apa yang akan kulakukan"
Sesemakan yang paling dekat dengan Christina bergemeresik"
dan seekor anak rusa menghambur keluar. Hewan itu melompatlompat pergi, meninggalkan Christina seorang diri.
Seekor rusa, pikir Christina. Seekor rusa kecil hampir-hampir
membuatku mati ketakutan. Ia memaksa diri bangkit berdiri. Rasa
sakit menyengat pergelangan kakinya.
Christina terjatuh kembali ke tanah. Ia berharap bisa meringkuk
dan tidur. Melupakan Bibi Jane. Melupakan pemakaman ayahnya.
Melupakan rasa sakit di pergelangan kakinya. Melupakan segalanya.
Mungkin ada kurcaci yang akan menemukan diriku dan
merawatku, pikirnya. Christina menyukai kisah-kisah tentang
makhluk ajaib itu sewaktu masih anak-anak.
Christina menggeleng. Tidak ada waktu untuk melamun,
katanya pada diri sendiri. Kau masih dalam bahaya. Kau harus lebih
menjauhi Bibi Jane. Lagi pula, udara berbau seperti hujan. Badai akan mengamuk
malam ini. Kau harus menemukan semacam tempat perlindungan. Ia
berjuang bangkit berdiri, mengernyit sewaktu pergelangan kakinya
tertekan. Paling tidak pergelanganku tidak patah, pikir Christina. Ia
terpincang-pincang melangkah menembus hutan, berhati-hati kalau
menemui permukaan tanah yang tidak rata. Ia tidak ingin jatuh lagi.
Semakin lama semakin sulit untuk melihat tanah. Matahari
sudah hampir terbenam, ia menyadarinya. Tidak lama lagi cuaca akan
gelap. Tenggorokan Christina terasa terganjal. Apa yang akan
kulakukan" pikirnya.
Kalau Papa ada di sini, apa yang akan disarankannya" tanyanya
pada diri sendiri. Sesuatu yang praktis, pikir Christina. Papa jenis orang yang
seperti itu. Ia hampir-hampir bisa mendengar suara ayahnya:
"Terlalu gelap dan berbahaya untuk terus berjalan dalam hutan,
Christina, putriku yang manis."
Aku harus menyusuri jalan, pikir Christina. Berkas-berkas
terakhir matahari memudar saat ia tiba di jalan. Ia menyadari
kemunculan awan hitam tebal. Aku benar, pikirnya. Hujan akan turun.
Jalan membentang mendaki bukit. Christina mengertakkan gigi
dan mulai mendaki. Sewaktu tiba di puncak, ia harus berhenti dan beristirahat.
Pergelangan kakinya berdenyut-denyut. Lengan dan kakinya terasa
sangat berat. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia mampu berjalan.
Christina mulai menuruni bukit menuju ke lembah mungil yang
membentang di hadapannya. Beberapa cahaya terlihat memancar
dalam kegelapan, terang dan jelas. Lampu. Itu peternakan, ia tersadar.
Peternakan berarti orang-orang"dan tempat tinggal. Ia bisa
melewatkan malam di tempat yang hangat dan aman. Ia merasa yakin
pemilik peternakan itu akan mengizinkan dirinya tidur di lumbung
mereka. Christina melihat kilat menyambar di kejauhan. Guntur
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggelegar mengikuti. Sebaiknya bergegas, pikirnya. Ia mulai menuruni bukit. Tetestetes besar air hujan mulai jatuh. Air sedingin es segera membasahi
rambutnya. Roknya yang basah kuyup terasa tebal dan berat di sekitar
kakinya. Guntur menggelegar. Christina mulai berlari. Pergelangannya yang sakit sudah tak
kuat. Ia jatuh ke tanah dengan keras.
Ia mencoba untuk bangkit berdiri. Tapi terpeleset tanah
berlumpur. Jeritan melengking meledak di belakangnya.
Bab 5 Dunia Lama Inggris, 50 M.
FIERAN menjerit hingga tenggorokannya terasa sakit.
"Menang! Menang!"
Aku sudah membunuh pemimpin Romawi, pikirnya.
Kemenangan menjadi milik kita! Fieran bisa merasakan darah yang
panas mengalir di pembuluh-pembuluhnya. Jantungnya berdetak keras
dan cepat. Ia mengacungkan kepala pemimpin Romawi itu tinggi di udara.
Para prajurit Kelt di sekitar Fieran bersorak-sorai dan bersuit-suit.
Semuanya kecuali Conn, Fieran menyadarinya. Conn hanya
menatap Fieran dengan mata birunya yang dingin.
Dia selalu membenciku, pikir Fieran. Sejak kami masih anakanak. Dia tidak pernah merasa puas hingga memiliki sesuatu yang
tidak kumiliki. Terkadang Fieran penasaran apakah Conn akan
mengejar Brianna kalau tidak mengetahui bahwa Fieran mencintainya.
Conn seharusnya gembira karena aku berhasil membunuh
pemimpin Romawi, pikir Fieran. Itu berarti kami pasti memenangkan
pertempuran ini. Sebaliknya, dia justru cemberut karena yang lain
bersorak-sorai untukku. Fieran menatap kepala pemimpin Romawi itu. Otot-otot
lehernya masih meneteskan darah.
Kepala musuhku memberiku kekuatan, pikir Fieran. Kekuatan
yang jauh melebihi kekuatan yang pernah dimiliki Conn. Sekarang
aku memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun. Apa pun! Aku bisa
menikahi Brianna. Aku bisa menjadi pemimpin rakyatku. Aku bisa
menjadi kepala suku. Pertempuran belum usai, Fieran mengingatkan dirinya sendiri.
Pertama-tama, kami harus mengusir para penyerbu Romawi dari tanah
kami"dan memastikan kalau tak satu pun kembali.
"Kelt! Ikuti aku!" jerit Fieran. Ia memberi isyarat untuk
serangan terakhir. Diiringi raungan menggemuruh, orang-orang Kelt bergegas
maju. Mereka langsung menghadapi jajaran prajurit Romawi.
Para prajurit Romawi tampak putus asa. Bagus, pikir Fieran.
Selama ini kalian menertawai kami. Sewaktu kami menyerbu pertama
kalinya, kalian tertawa karena mengira kami hanya bangsa barbar.
Mudah untuk dibantai. Kalian tidak lagi tertawa.
Fieran menyerbu. Ia melambai-lambaikan kepala Romawi itu di
atasnya bagaikan sehelai bendera kemenangan.
Di belakangnya, ia mendengar jerit pertempuran yang buas.
Salah satu orang Romawi pasti berhasil menerobos garis pertahanan
kami! pikir Fieran. Mereka ingin merebut kepala ini kembali.
Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku! Tidak ada! Fieran
berbalik untuk menghadapi prajurit yang menyerang, mengangkat
pedang panjangnya untuk melindungi dada. "Aku siap
menghadapimu!" jeritnya.
"Dan aku siap menghadapimu, Fieran."
Apa" Fieran menurunkan pedangnya sedikit.
Conn berdiri di hadapannya.
"Kuperingatkan kau, Conn. Mundur. Aku tidak ingin
membunuhmu." Conn tersenyum. "Senang mendengarmu berkata begitu, Fieran.
Karena kau tidak akan membunuhku. Aku yang akan membunuhmu!"
Conn menyerbu, pedangnya mengincar dada Fieran.
Bab 6 FIERAN melompat mundur. Ia mengayunkan pedangnya ke
bawah, menghantam pedang Conn.
Logam menjerit beradu dengan logam.
Fieran dan Conn saling pandang. Otot-otot di leher Conn
menonjol keluar saat ia berjuang menekan pedang Fieran.
Conn berdiri lebih jangkung daripada Fieran dan tubuhnya lebih
berat. Fieran terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk
menahan pedang Conn. Lengannya yang memegang pedang mulai
gemetar. Fieran menjejakkan kakinya ke tanah. Ia tidak membiarkan
pedang Conn bergerak satu sentimeter pun. Tapi ia tidak bisa balas
mendorong. "Kau tidak suka melihat kekuatanku, bukan, Conn?" tanya
Fieran. "Akuilah. Mulai sekarang aku akan selalu lebih kuat. Mulai
sekarang aku akan selalu menang."
"Kau lemah." Conn mencibir. "Kau tidak akan pernah bisa
mengendalikan kekuatan kepala itu. Kau tidak akan pernah bisa
menggunakannya untuk rakyat kita"seperti yang bisa kulakukan."
Lengan Fieran gemetar. Ia berharap Conn tidak melihat kalau
pedangnya bergetar. Aku harus bertindak sekarang, pikirnya. Kalau
beradu tenaga, Conn akan menang.
Sekarang. Fieran menyentakkan pedangnya ke bawah"
menjauhi pedang Conn. Pedang Conn jatuh ke depan. Fieran memutar
pedangnya. Ia menghunjamkannya ke pedang Conn sebelum Conn
sempat pulih. Pedang Conn patah menjadi dua.
Conn terhuyung, dan Fieran memukulnya hingga jatuh ke tanah.
Ia menendang potongan pedang Conn. "Seharusnya kubunuh kau,"
kata Fieran kepadanya. "Kau makhluk jahat dan seharusnya kubunuh
kau sekarang." Mata biru Conn tetap sedingin es. Ia tidak tampak ketakutan. Ia
tidak berusaha melarikan diri dari Fieran.
Suku Kelt membutuhkan setiap pejuang untuk melawan
Romawi, pikir Fieran. Kalau Conn kubunuh, aku membunuh salah
satu prajurit terbaik kami. Perlahan-lahan, ia menurunkan pedangnya.
Tidak ada yang mengalahkan kebaikan Fieran untuk rakyat.
Bahkan kebenciannya pada Conn pun tidak.
"Bergabunglah dengan para prajurit yang lain," perintahnya.
Perlahan-lahan Conn bangkit berdiri. "Kalau aku yang menang,
aku tidak akan membiarkanmu hidup," kata Conn. "Aku tahu apa yang
harus kulakukan dengan kekuatan itu. Kau tidak akan pernah
mengetahuinya." Ia berbalik dan berlari ke arah pertempuran.
Fieran memandang sekitarnya. Tampaknya tidak ada yang
menyadari pertempurannya dengan Conn. Semua orang tengah
bertempur mati-matian melawan Romawi. Bagus.
Para prajurit Romawi tengah mundur, ia menyadarinya. Orangorang Kelt tengah memburu mereka. Kita menang!
Bahaya sudah berlalu, pikirnya. Para prajurit tidak lagi
memerlukanku. Fieran berjalan ke hutan yang membatasi arena pertempuran.
Dengan berakhirnya pertempuran, ia menyadari kalau seluruh
tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Pasti enak rasanya untuk
berada di rumah! Sambil berjalan, ia kembali memikirkan malam saat ayahnya
memberitahu tentang mistik kepala. Malam sebelum ayahnya tewas
dalam pertempuran. "Mengambil kepala musuh merupakan kemenangan terbesar
yang bisa diraih seorang pejuang," kata ayahnya menjelaskan.
"Seluruh kekuatan seorang pejuang terletak di sana."
"Tapi tidak masuk akal," kata Fieran muda memprotes.
"Kekuatan seorang pejuang pasti berada di lengannya. Untuk
melemparkan tombak atau menusukkan pedangnya."
Fieran teringat bahwa ayahnya tersenyum. "Aku dulu juga
berpikir begitu," katanya. "Sampai ayahku memberitahukan
rahasianya." Ayah Fieran berlutut di tanah di samping tempat tidur putranya.
"Jadi sekarang kuberitahukan padamu, Fieran. Kekuatan seseorang
ada di sini, di kepalanya." Ayahnya menyentuh kepalanya sendiri lalu
kepala Fieran dengan jarinya.
"Dia memimpikan impian kemenangan dengan kepalanya. Dia
menyusun rencana pertempuran di kepalanya. Ambil kepala
seseorang, dan kau mengambil bagian yang terbaik darinya. Tapi
berhati-hatilah dengan tawar-menawar yang kaulakukan, Fieran."
Karena penasaran, Fieran menatap ayahnya. "Tawar-menawar
macam apa, Ayah?" tanyanya.
"Kekuatan selalu diperoleh dengan harganya," jawab ayahnya.
"Untuk mendapatkan kekuatan, kau harus memberikan sesuatu. Hatihati agar kau tidak memberikan terlalu banyak."
Aku belum memberikan apa pun, pikir Fieran yang telah
tumbuh dewasa. Di mana pun kau sekarang berada, Ayah, kuharap
kau merasa bangga terhadap diriku.
Sebagian besar rakyat Fieran tinggal di sebuah desa di puncak
bukit di dekat arena pertempuran. Dari sana mereka bisa melihat
musuh yang mendekat dari jarak berkilometer-kilometer"posisi yang
bagus dan kuat untuk sebuah desa. Tapi Fieran tidak pernah tinggal di
sana. Fieran tidak merasa nyaman untuk berada di sekitar orangorang Kelt lainnya. Ia berbeda dengan sebagian besar dari mereka. Ia
seorang dukun. Para dukun membentuk kelas khusus di antara orang-orang
Kelt. Mereka memiliki pengetahuan yang luas dan sihir yang ampuh.
Fieran tidak perlu bertempur hari ini. Suku Kelt tidak
mengharuskan para dukunnya turut bertempur. Tapi ia tidak suka
bersembunyi di balik kepandaiannya. Ia menikmati pertemuan
langsung dengan musuhnya.
Kenapa Conn harus menjadi dukun juga" pikir Fieran. Kalau
saja dia bukan dukun aku bisa menghindarinya. Fieran mengerutkan
kening sambil menyeberangi sungai kecil yang mengalir melintasi
hutan. Air terasa menyenangkan di kakinya yang lelah. Fieran senang
tinggal di hutan. Hutan merupakan sumber kekuatan bagi orangorangnya. Lapangan tersuci terletak tidak jauh dari tempat tinggal
Fieran. Sayang sekali Conn-lah satu-satunya tetanggaku, pikir Fieran.
Tak satu pun orang-orang Kelt lain membangun rumahnya di hutan.
Apa yang harus kulakukan terhadap Conn" Conn tidak akan
merasa bahagia sebelum aku tewas. Aku tahu itu.
Fieran tiba di guanya yang terletak jauh di dalam hutan. Ia
mengesampingkan tirai tanaman rambat yang menutupi mulut gua dan
melangkah masuk. Aku akan segera menangani kepala ini, pikirnya. Sesudah aku
belajar cara mengendalikan kekuatannya, aku tak perlu khawatir
terhadap Conn lagi. Dia tidak akan mampu mengalahkanku. Dan dia
tidak akan pernah terpilih sebagai kepala suku yang baru.
Fieran memegang kepala itu dengan dua tangan. Kekuatan yang
terkunci di dalamnya akan memberikan segala sesuatu yang
diinginkannya. Segalanya.
Rasa sakit menyengat melewati tangannya. Sakit yang
membakar, mendidih. Fieran menjerit. Ia menjatuhkan kepala itu ke lantai.
Dunia meledak menjadi bola api.
Dinding api yang kokoh terbentuk mengelilingi Fieran.
Bab 7 TUBUH Fieran tersentak sewaktu api menjilatnya. Ia
mendengar rambutnya tersulut. Merasakan kulitnya melepuh dan
terlepas dari tulang belulangnya.
Api berkobar-kobar dari segala arah. Tidak ada jalan untuk
melarikan diri. Bola mata Fieran terasa bagai batu bara yang panas. Lidahnya
terasa kering dan kasar. Ia jatuh berlutut. Setiap tarikan napasnya bagai membakar paruparunya.
Tatapan Fieran jatuh ke kepala Romawi itu. Apa" pikirnya.
Kepala itu tidak terbakar. Ia mengangkat kedua tangannya ke depan
wajahnya. Kedua tangannya juga tidak terbakar.
Aku mendapat penglihatan, Fieran tersadar. Api itu terasa
begitu nyata. Tapi ternyata tidak.
Fieran memaksa diri untuk tidak bergerak. Ia memejamkan
mata dan menghela napas perlahan-lahan. Ini penglihatan, ulangnya
pada diri sendiri. Penglihatan. Apinya tidak benar-benar sedang
membakar diriku. Perlahan-lahan ia membuka mata. Siap untuk melihat apa yang
akan ditunjukkan penglihatan itu kepadanya. Ia melihat wajahnya
sendiri di api. Api selalu menarik perhatian Fieran. Untuk memilih api dan
bukannya air bukanlah cara sukunya. Tapi api memanggil dirinya.
"Apa ini?" bisik Fieran. "Katakan."
Wajah kedua muncul, seakan-akan sebagai jawaban. Sekarang
wajah Conn melayang-layang di samping wajah Fieran sendiri di
dinding api. Wajah Conn mulai membesar. Membesar dan terus membesar
hingga mulai menutupi wajah Fieran. Dalam beberapa saat, wajah
Conn yang sangat besar menutupi wajah Fieran sepenuhnya.
"Tidak," gumam Fieran. "Ini tidak mungkin. Aku yang
memiliki kekuatan kepala ini. Aku tidak mungkin bisa dikalahkan."
"Fieran!" seru seorang wanita.
"Brianna!" jerit Fieran. Wajah Conn yang mencibir
menghilang"dan Brianna menggantikannya.
Brianna. Fieran selalu memikirkan wanita itu. Setiap kali orangorang berkumpul ia tidak mampu menahan diri untuk tidak menatap
wanita itu. Dan kalau mereka tengah berdua saja ia tidak bisa
menahan diri untuk tidak menyentuhnya.
Dalam penglihatan itu, Brianna tersenyum kepadanya. Dia
mengulurkan tangan ke arahnya.
Fieran balas mengulurkan tangan.
Apinya padam. Fieran berdiri seorang diri.
Aku akan mengalahkan Conn! pikirnya. Aku akan menjadi
kepala suku terpilih"bukan Conn. Dan yang paling baik, aku akan
menikahi Brianna. Itu arti penglihatanku.
Aku akan menjadikannya kenyataan. Harus! sumpah Fieran.
Dan itu berarti aku harus mempelajari cara menggunakan kekuatan
kepala. Fieran mengetahui apa yang harus dilakukannya lebih dulu.
Dengan langkah-langkah cepat ia melintasi ruangan menuju ke
perapian di tengah-tengah tempat tinggalnya. Keranjang besi yang
berat itu berdiri pada tiga kaki yang panjang. Batu bara menyala ada
di sana. Fieran mengambil sebatang penyodok yang panjang dan
mengaduk-aduk apinya hingga lidah-lidah api mungil menjilat-jilat di
permukaan batu bara. Lalu ia mengambil kepala. Ia menggigil sewaktu merasakan
daging dingin di bawah ujung-ujung jemarinya. Ia ingin menjatuhkan
kepala itu ke lantai kembali.
Kau sudah membunuh orang ini, Fieran mengingatkan dirinya
sendiri. Kau tidak mungkin takut untuk menyentuh bagian dari
mayatnya.ebukulawas.blogspot.com
Tapi membunuh dalam pertempuran terasa jauh berbeda. Para
prajurit harus membunuh atau terbunuh. Tidak ada waktu untuk
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. Fieran menunduk menatap kepala itu. Ia merasakan sengatan di
bagian belakang tenggorokannya, tapi memaksa diri untuk terus
menatap. Kulit kepala itu menjuntai kendur. Mulutnya ternganga.
Aneh juga benda seperti ini bisa menyimpan kekuatan sehebat
itu. Tapi begitulah adanya.
Ia membawa kepala itu ke api dan mengatur posisinya di atas
tongkat logam panjang yang tertancap tegak lurus dari dasar ketel batu
bara. Tongkat yang biasanya digunakan untuk memanggang daging.
Lalu ia menarik kepala itu ke bawah, menancapkan tongkatnya
dalam-dalam. Panas dari api akan memulai prosesnya, pikir Fieran. Ia
tahu bahwa kekuatan itu tidak akan terbebas dari kepala hingga
dagingnya terlepas dari tulangnya.
Fieran menanggalkan pakaiannya yang ternoda darah dan
mandi. Lalu ia mengenakan pakaian bersih dan menelentang di tempat
tidurnya. Ia merasa kelelahan, tapi benaknya terus berputar. Melompatlompat dari Conn ke Brianna, lalu ayahnya, kemudian kepala itu.
Ia berguling ke satu sisi dan mengawasi bayang-bayang di
dinding. Salah satu bayangan itu tampak lebih gelap dari yang lain.
Bayangan tersebut merayap ke kakinya dan bergerak naik. Kaki
Fieran tiba-tiba berubah mati rasa.
Bayang-bayang itu merayap di perutnya. Dan perut Fieran
terasa mengejang. Rasanya membeku.
Fieran mencoba untuk bangkit. Tapi ia merasa terlalu lelah. Ia
hampir-hampir tidak bisa bergerak.
Bayang-bayang itu mengalir ke dada Fieran. Dada Fieran mulai
berdenyut-denyut menyakitkan.
Aku harus bertindak! pikirnya. Aku tidak bisa membiarkannya
mencapai kepalaku. Bayang-bayang itu merayap naik ke tenggorokannya. Fieran
membuka mata hendak menjerit. Tapi tidak terdengar suara apa pun.
Ia tidak bisa bernapas. Ia mencakar-cakar tenggorokannya,
terengah-engah dan tercekik. Bayang-bayang ini menghalangi udara,
pikirnya. Aku memerlukan udara.
Bab 8 "ADA apa, Fieran?" seru seseorang.
Fieran tersentak bangkit. Ia menghela napas dengan gemetar.
"Brianna," katanya dengan suara tercekik. "Aku pasti bermimpi
buruk! Aku tidak bisa bernapas. Tidak bisa bergerak."
Brianna berlutut di lantai di sampingnya. "Tenanglah, Fieran,"
katanya. "Hanya mimpi," gumam Fieran.
Ia merasa bodoh dibujuk-bujuk Brianna seperti itu. Tapi
rasanya menyenangkan. Fieran menghirup keharuman keringat
Brianna saat gadis itu mengelus alisnya.
Brianna merupakan yang paling langka di antara orang-orang
Kelt"ia dukun wanita. Ia juga memiliki kemampuan untuk
menafsirkan mimpi dan penglihatan.
"Fieran," kata Brianna, suaranya lembut dan melantun,
"ceritakan tentang mimpimu."
Brianna meraih tangan Fieran dengan dua tangan. Ia
menggosok-gosok tangan Fieran dengan lembut. "Bisa kulihat bahwa
kau kelelahan," katanya. "Tanganmu dingin sekali."
"Sekarang aku merasa lebih hangat, berkat dirimu," jawab
Fieran. Lalu ia menyadari betapa pucat wajah Brianna. Ia bisa melihat
bayang-bayang tebal di bawah mata Brianna. "Brianna, ada apa?"
tanyanya dengan gelisah. "Apa yang mengganggumu?"
Dengan tiba-tiba, Brianna bangkit berdiri. "Bukan apa-apa,
Fieran," katanya. Tapi Fieran menyadari kalau Brianna tidak bersedia beradu
pandang dengannya. "Aku datang untuk menyampaikan kabar gembira padamu,"
kata Brianna. "Romawi sudah terkalahkan. Hari ini milik kita."
Kenapa ia tidak mau memandangku, Fieran penasaran. Ada
apa" "Aku sudah mengetahuinya sewaktu meninggalkan medan
pertempuran," jawab Fieran. Kata-kata yang terdengar lebih kasar
daripada niatnya. Sebelum ia sempat meminta maaf, Brianna bergegas
melanjutkan. "Masih ada lagi, Fieran. Karena mengambil kepala pemimpin
Romawi itu, kau dinyatakan sebagai pahlawan besar." Ia menyeberang
ke tungku dan menatap kepala yang mengerikan itu.
Tiba-tiba, Fieran teringat pada penglihatannya. Seluruh
energinya pulih. Ia melompat turun dari tempat tidurnya. "Aku
mendapat penglihatan sepulangnya dari pertempuran. Muncul sebuah
dinding api dan..." Ia tidak melanjutkan.
Brianna terus menatap kepala pemimpin Romawi itu. Karena
kepala itu tertancap di tongkat, Brianna bisa menatap lurus ke
wajahnya. Tampaknya ia terpesona pada kepala itu.
"Brianna?" kata Fieran lembut.
Brianna menggeleng dan berpaling memandangnya. "Apa yang
kaulihat?" "Aku melihat dirimu," jawab Fieran.
"Kau melihatku?" seru Brianna. "Hanya aku?"
Fieran menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Aku juga melihat
diriku sendiri dan Conn." Ia diam sejenak, mencoba untuk mengingatingat penglihatannya dengan tepat.
"Awalnya aku melihat diriku sendiri," lanjutnya. "Lalu aku
melihat Conn. Dia berkembang hingga mencapai ukuran raksasa. Tapi
lalu kau muncul, dan Conn menghilang."
"Kau melihat Conn?"
"Ya," jawab Fieran. Kenapa Brianna tampak begitu teralih
perhatiannya" "Dia hampir-hampir mengalahkanku. Wajahnya sempat
menutupi wajahku sejenak. Tapi aku mengalahkannya. Wajahnya
menghilang sama sekali. Hanya ada satu artinya. Aku yakin sekali."
"Kau kira artinya kau ditakdirkan untuk menjadi kepala suku
yang baru," kata Brianna. Suaranya tanpa emosi.
"Yah, tentu saja," kata Fieran.
Ia menunduk menatap Brianna. Yang dilihatnya menyebabkan
ia merasa takut. Ekspresi Brianna sangat khidmat. Matanya dibanjiri
air mata. Brianna sangat pandai menafsirkan mimpi dan penglihatan,
pikirnya. Apa yang telah menyebabkannya tampak sebingung ini saat
mendengar penglihatan Fieran" "Katakan, Brianna," desak Fieran.
"Apa aku keliru?"
Brianna memeluknya. Ia membenamkan wajahnya di dada
Fieran. "Aku tidak yakin, Fieran."
Perlahan-lahan, Fieran menengadahkan wajah Brianna. Ia
menghapus air mata wanita itu. Lalu menciumnya dengan lembut.
"Tidak apa-apa, Brianna. Aku yakin," katanya. "Aku cukup
yakin untuk kita berdua."
Brianna menekankan wajahnya ke leher Fieran. "Oh, Fieran,
kudoakan kau berhati-hati. Penglihatan lebih sering hanya
menunjukkan keinginan kita sendiri. Kita hanya melihat apa yang
ingin kita lihat." "Kali ini tidak," kata Fieran bersumpah, sambil memeluk
Brianna erat-erat. "Kali ini tidak. Lihat saja nanti. Menjadi kepala
suku kita adalah nasibku, Brianna."
"Kau keliru!" kata seseorang dengan suara dalam menggelegar.
Fieran dan Brianna melompat memisahkan diri. Conn berdiri
beberapa kaki jauhnya dari mereka, bersedekap.
"Kau tidak akan pernah menjadi kepala suku, Fieran!"
Bab 9 "AKU yang akan menjadi kepala suku," kata Conn. "Aku yang
akan menjadi kepala suku yang baru."
Kemarahan membuncah dalam diri Fieran. Ia bahkan tidak
berusaha untuk meredakannya. "Tidak akan!" jeritnya. "Aku akan
menghentikanmu sekalipun harus mengorbankan semua yang
kumiliki." "Mungkin begitu," jawab Conn. Ia melangkah mendekati
Fieran, begitu dekat hingga dada mereka hampir-hampir bersentuhan.
"Mungkin saja"dan sekalipun begitu masih belum cukup untuk
menghentikanku." "Hentikan pertengkaran ini sekarang juga!" teriak Brianna tibatiba.
Conn menatap Brianna dengan mata birunya yang dingin. Lalu
ia kembali memandang Fieran. "Menurutmu, Brianna ingin siapa dari
kita berdua yang menjadi kepala suku?"
"Apa maumu kemari, Conn?" tanya Brianna, mata hijaunya
berkilauan marah. "Aku datang untuk memberi selamat kepada Fieran atas
kemenangan besarnya," jawab Conn seakan-akan tidak bersalah.
Fieran memelototi Conn. Kemenangan yang ingin kauperoleh
sendiri, pikirnya. Kau pasti senang kalau bisa membunuhku dan
menguasai kepala serta kekuatannya.
Ia tahu Brianna tidak ingin mereka bertengkar. "Apa maumu
kemari, Conn?" tanya Fieran pelan.
"Kepala suku terluka parah," kata Conn. "Dia sudah
memutuskan untuk menyelenggarakan upacara malam ini. Malam ini
kita akan mengetahui siapa yang menjadi kepala suku yang baru. Kau
dipanggil ke lapangan suci."
Akhirnya tiba! pikir Fieran. Saat yang sudah kutunggu-tunggu.
"Kukira beritaku akan menarik bagimu," kata Conn. "Jangan
berduaan dengan Brianna di sini terlalu lama, Fieran. Akan
memalukan bagimu kalau tidak mengikuti upacaranya dan saat aku
dinyatakan sebagai kepala suku."
*********** Fieran dan Brianna memasuki lapangan suci. Pepohonan di
sekitar lapangan tumbuh begitu rapat satu sama lain sehingga tidak
ada sinar matahari yang berhasil menerobosnya. Lapangan itu gelap
dan sunyi, bahkan di siang hari.
Dan sekarang sudah malam. Banyak orang yang membawa
suluh. Cahayanya berkerlap-kerlip di wajah-wajah yang diukirkan ke
batang-batang pohon. Wajah-wajah ketua suku sebelumnya.
Tampaknya seperti hidup, pikir Fieran. Ia menggigil.
Suatu hari nanti wajahku akan diukirkan di sini, kata Fieran
sendiri. Ia merasa Brianna menyentuh lengannya.
"Lihat, Fieran," katanya. Ia menunjuk ke sosok rotan raksasa
yang aneh di tengah-tengah lapangan. Dadanya dijajari balok-balok
kayu yang membentuk sebuah kandang. Potongan-potongan kayu
ditumpuk di sekitarnya. Manusia rotan, pikir Fieran. Ia tidak suka memikirkan bagian
upacara yang ini. Bagian upacara saat kepala suku yang lama akan
mati, sehingga rohnya bisa memasuki kepala suku yang baru.
"Fieran, lihat," kata Brianna lagi. Kali ini ia menunjuk
seseorang berdiri di samping manusia rotan.
Conn. Conn telah memilih posisi yang begitu dekat dengan
sosok rotan itu sehingga bisa menyentuhnya.
Ia pasti merasa yakin kalau akan terpilih, berdiri begitu dekat,
pikir Fieran. "Di mana pun Conn berada, kau juga harus ada di sana,"
gumam Brianna. Fieran meraih lengan Brianna dan melangkah ke arah Conn.
Suara pelan menakutkan dari suling kayu memenuhi udara.
Mengumumkan kedatangan kepala suku.
Jantung Fieran berdetak lebih cepat saat mengawasi kepala suku
memasuki lapangan. Mantel panjangnya menyapu tanah yang tertutup
lumut. Pria itu berjalan dengan tegak. Tapi langkahnya pelan dan
menyakitkan. Terdengar bisik- bisik di sekitar lapangan. "Kepala
suku. Kepala suku sudah tiba."
Kepala suku berhenti sejenak di depan sosok rotan. Lalu ia naik
ke bagian dada. Fieran mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia mengetahui kalau apa yang terjadi merupakan hadiah besar dari
kepala suku. Ia mengetahui bahwa kepala suku sedang sakit, dan
hampir mati. Tapi perasaan takut menguasai hatinya.
Kepala suku merencanakan untuk menyerahkan nyawanya
malam itu. Untuk mengalihkan rohnya kepada penerusnya.
"Dengarkan aku, rakyatku," seru kepala suku dari dalam
manusia rotan. "Saksikan saat kuserahkan tubuhku kepada api."
"Kami menyaksikan," ulang semua orang mengikuti
perkataannya, suara mereka pelan.
Saat mengucapkan kata-katanya, tenggorokan Fieran tercekat.
Hanya kepala suku yang paling berani yang mengalihkan roh mereka
dengan cara ini. Fieran bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya
cukup berani untuk melakukannya.
"Saksikan," lanjut kepala suku. "Saksikan dan tunggu. Tunggu
tanda dari dia yang selanjutnya."
"Kami akan menunggu," kata orang-orang di sekitar kepala
suku berjanji. "Kami akan menunggu tanda kepala suku."
"Akan ada satu orang di antara kalian yang mampu menahan
api. Yang akan berjalan tanpa terluka di tengah-tengah api. Dia orang
yang menerima rohku. Dia akan menjadi kepala suku kalian yang
baru." Di sekitar lapangan, orang-orang menunduk. Fieran merasakan
darahnya mengalir deras dalam pembuluhnya. Akulah orangnya. Aku
melihat api dalam penglihatanku.
Fieran menengadah. Kepala suku memberi isyarat. Dua orang
pria membawa suluh melangkah maju. Mereka berhenti di depan
manusia rotan. Kepala suku menerawang. Matanya bergerak menyapu
sekeliling lapangan. Pandangannya berhenti pada Conn. Berhenti pada
Fieran. Lalu kepala suku mengangkat tangan di atas kepala. Kedua
orang tadi segera melemparkan suluh mereka ke manusia rotan.
Diiringi raungan, kayu-kayu kering itu tersulut.
Fieran mendengar Brianna mengerang pelan. Ia meraih tangan
Brianna dan menggenggamnya erat-erat.
Apinya meraung, semakin lama semakin tinggi. Hampir
setinggi pucuk pepohonan. Dalam beberapa detik, api melalap
manusia rotan itu. Api menyengat wajah Fieran. Ia harus mengerahkan segenap
kemauannya untuk tidak melangkah mundur.
Kepala suku berteriak keras. "Aku memilih! Aku memilih
penerusku. Biarkan dia berjalan melintasi api!"
Fieran merasakan jantungnya bagai meledak dalam dadanya.
Kekuatan merebak di seluruh tubuhnya.
Sensasi itu terlalu kuat. Lututnya terlipat. Ia jatuh ke tanah.
Sudah terjadi, pikirnya. Benar-benar terjadi. Aku sudah terpilih.
Aku kepala suku yang baru.
Ia mengetahui kalau harus memberikan bukti, atau yang lainnya
tidak akan pernah mempercayai. "Rakyatku," jeritnya, sambil
berjuang bangkit berdiri. "Aku yang terpilih. Mendekatlah padaku."
Tapi jeritannya tenggelam oleh keriuhan yang tiba-tiba. Di
tengah-tengah kebingungannya, Fieran mendengar suara Conn.
"Aku merasakan kekuatannya. Aku yang terpilih."
Tidak, pikir Fieran. Tidak. Aku yang merasakannya. Aku
merasakan roh kepala suku memasuki diriku. Aku yang terpilih!
"Siapa" Siapa yang terpilih?" tanya orang-orang kepada satu
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama lain. "Conn yang terpilih!" seru seseorang dengan suara melengking.
"Tidak! Tidak!" teriak Fieran. Ia melangkah mendekati api.
"Kalau Conn mengaku yang terpilih, dia bohong. Roh kepala suku
hidup dalam diriku."
Orang-orang di sekitar lapangan terdiam. Mereka menatap
Conn dan Fieran. Mereka berdiri bersama-sama, di samping sosok
rotan tersebut. Brianna berdiri di tengah-tengah mereka.
"Bukti," seru seseorang. "Buktikan."
Fieran mencoba untuk bicara. Tapi Conn terlalu cepat baginya.
"Aku akan memberikan bukti," kata Conn.
Conn menjulurkan tangan dan menyambar Brianna. Ia menarik
Brianna dari samping Fieran. "Kekuatan kepala suku terasa kuat
dalam diriku," teriak Conn. "Begitu kuat sehingga aku bisa
melindungi orang lain dari api."
Sebelum Fieran sempat menahannya, Conn berbalik ke arah
sosok rotan yang menyala-nyala. Ia menarik Brianna bersamanya
memasuki api yang menjulang.
Bab 10 "BRIANNA!" jerit Fieran. "Brianna! Tidak!"
Diiringi semburan api putih, manusia rotan meledak. Bara
raksasa yang menyala-nyala terlontar ke udara.
Saat percikan api kembali turun, Fieran melihat dua orang
berdiri di reruntuhan. Brianna dan Conn.
Kelegaan membanjiri Fieran. Brianna! Dia masih hidup!
Dan Conn sudah membuktikan diri sebagai kepala suku, Fieran
menyadarinya. Apa yang terjadi" Fieran merasa begitu yakin kalau roh kepala
suku yang lama telah merasuki dirinya. Kekuatan itu telah
menyebabkannya jatuh. Membuatnya sulit bernapas. Bagaimana
mungkin Conn bisa membuktikan kalau dirinya yang terpilih"
sementara aku tahu dia tidak terpilih"
Fieran menjerit murka dan jengkel. Ia berlari ke bara yang
merah menyala itu. "Inilah buktiku," teriaknya. "Bukti bahwa Conn
seorang pembohong dan penipu."
"Kalian lihat?" balas Conn. "Kalian lihat betapa besar
kekuatanku" Aku bahkan bisa melindungi orang yang tidak
mempercayaiku." Ia melangkah keluar dari lingkaran api, sambil
menggandeng Brianna rapat di sampingnya.
Semua orang bergegas maju dan mengelilinginya. Yang lain
telah menerima Conn sebagai pemimpin mereka, pikir Fieran.
Sekarang mereka akan melindunginya dengan nyawa mereka sendiri.
Tidak adil! Dia tidak layak untuk mendapatkannya! Fieran
bergegas keluar dari sisa-sisa manusia rotan yang masih berasap.
Langsung mendekati Brianna dan Conn, mendesak yang lain agar
tidak menghalangi jalannya.
"Brianna," katanya. "Kau ahli dalam membaca tanda-tanda.
Katakan kepada mereka kalau mereka sudah keliru. Katakan tentang
penglihatan apiku. Katakan kepada mereka kalau kepala suku yang
terpilih adalah aku!"
Bibir Brianna bergerak. Tapi kata apa pun yang diucapkannya
tenggelam oleh suara yang lainnya.
"Tangkap dia," seru seseorang. "Tangkap Fieran. Dia sudah
memberikan bukti palsu. Dia sudah mencoba untuk menghancurkan
ritual suci kita." "Tangkap dia!" "Bunuh!" "Fieran harus mati!"
"Tidak!" seru Conn dengan suara berat.
Seketika, lapangan sunyi senyap.
"Kalian tidak boleh menyakitinya. Fieran tidak boleh mati. Apa
kalian tidak mengerti apa yang sudah terjadi" Melihat impiannya
untuk mendapatkan kekuasaan tidak menjadi kenyataan sudah terlalu
berat baginya. Fieran sudah kehilangan kewarasannya. Kita harus
menunjukkan belas kasihan."
Orang-orang menggeleng menyetujui dan tidak puas. "Benarbenar mengerikan. Fieran yang berani sudah sinting," seru seorang
wanita. "Dengarkan aku!" jerit Fieran. "Aku tidak sinting! Aku berdiri
di bara api. Aku keluar tanpa terluka. Roh kepala suku yang lama ada
di dalam diriku. Kalian sudah memilih orang yang salah!"
"Cukup!" jerit Conn dengan suara keras. "Aku kasihan padamu,
Fieran. Aku tahu kenapa kau melontarkan tuduhan palsu. Tapi aku
tidak bisa membiarkannya terus berlanjut. Mulai hari ini, kau bukan
lagi salah satu dari kami. Kau bukan lagi bagian dari kami. Kuusir
kau, Fieran. Kuusir kau untuk selamanya."
"Diusir," ulang orang-orang. "Fieran diusir. Dia bukan lagi
bagian dari kita." Bab 11 DIUSIR! Bagaimana aku bisa diusir"
Hari ini aku mempertaruhkan nyawaku demi rakyatku dalam
pertempuran. Hari ini aku mendapat kesempatan untuk membunuh
Conn. Aku tidak melakukannya karena percaya bahwa rakyatku
memerlukannya dalam keadaan hidup.
Aku harus pergi dari lapangan ini. Aku harus menjauhi Conn.
Kalau jauh, aku bisa berpikir dengan jernih. Aku akan bisa
memikirkan cara untuk mengalahkan Conn dan mengambil kembali
hakku. Fieran melesat pergi dari lapangan. Pergi! pikirnya. Aku harus
pergi. Penglihatannya telah berbohong. Ia tidak menang. Ia telah
terkalahkan. Dan sekarang diusir.
Segalanya telah diambil darinya. Sama sekali tidak ada yang
tersisa baginya. Hidupku sudah berakhir! Conn adalah kepala suku!
Fieran terhuyung-huyung menembus hutan, mantel upacaranya
yang panjang memperlambat langkahnya. Ia terus berlari. Berlari dari
bayangan Conn dan Brianna yang berdiri di atas bara api. Berlari dari
bayangan Conn yang dinyatakan sebagai kepala suku.
Tapi tidak peduli seberapa jauh atau seberapa cepat Fieran
berlari, bayang-bayang itu tidak bersedia meninggalkan dirinya.
Bayang-bayang itu bagai diukir ke dalam benaknya. Tidak akan
berakhir sebelum berakhirnya waktu.
Dengan kelelahan, Fieran berhenti dan memandang sekitarnya.
Dengan terkejut, ia tersadar di mana dirinya berada. Pintu masuk
guanya sendiri. Rumah! pikirnya. Ia mengesampingkan tanaman rambat yang
menjuntai dan melangkah masuk. Bagian dalam guanya sejuk dan
gelap. Fieran bersyukur untuk kegelapannya. Ia bisa bersembunyi di
sini, menjauhi semua orang. Ia bisa berusaha untuk melupakan Conn.
Kepala Romawi itu masih berada di ujung tongkat. Bara oranye
di tungku memantul di matanya. Fieran melangkah ke sana, menatap
mata yang bercahaya itu. "Aku sudah menunggumu, Fieran."
Fieran berjuang menahan kengeriannya. Kepala ini bicara!
pikirnya. Lalu ia mendengar suara tawa di belakangnya. Ia berbalik. Di
pintu masuk guanya telah menunggu seseorang. Bahkan dalam cahaya
remang-remang, Fieran bisa melihat kebencian dalam mata orang itu.
"Conn," kata Fieran, detak jantungnya masih bergemuruh. "Mau
apa kau datang kemari" Kau mau menyombongkan diri?"
"Bukan begitu caranya berbicara dengan kepala sukumu,
Fieran. Terutama sesudah aku memperlakukan dirimu sebaik itu.
Seharusnya kau berterima kasih padaku."
"Kau bukan kepala suku yang sejati!" teriak Fieran. "Kau
mungkin bisa menipu yang lain," lanjutnya, suaranya tegang. "Tapi
kau tidak bisa menipuku, Conn. Akan kucari tahu tipuan macam apa
yang kaugunakan. Dan sesudah kutemukan, kau akan diusir. Atau
dibunuh." "Tapi aku justru ingin kau mengetahui caraku melakukannya,
Fieran." Fieran menahan napas. Ia sulit untuk mempercayai
pendengarannya. Kenapa Conn memberitahukan fakta bahwa dia
bersalah" Ini pasti jebakan. "Kenapa?" tanyanya.
Conn maju beberapa langkah. Cahaya oranye dari tungku
memantul di matanya. "Aku ingin kau mengetahui persis seberapa besar kerugianmu."
"Aku tahu seberapa besar kerugianku," kata Fieran pahit.
"Oh, tidak, Fieran. Kurasa kau belum tahu sama sekali. Aku
harus mendapat bantuan untuk melakukan tipuan kecilku. Aku tidak
mungkin bisa melakukannya seorang diri."
Bulu-bulu di tubuh Fieran mulai meremang. "Ada yang
membantumu?" serunya. "Siapa" Katakan siapa yang membantumu!"
Senyum puas merekah di wajah Conn. "Brianna."
Dinding-dinding gua bagai merapat menjepit Fieran. Ia tidak
bisa bernapas. "Tidak benar," katanya dengan napas tersentak. "Aku
tidak percaya." "Oh, tapi sayangnya itu benar, Fieran."
"Brianna mencintaiku. Dia tidak akan pernah mengkhianatiku."
Conn tertawa. Gua menggemakan suara kasar itu. "Brianna
mencintai kekuatan, Fieran. Bukan hal yang lain. Dia akan melakukan
segalanya untuk mendapatkan kekuataan. Bahkan kalau harus
mengkhianatimu." Fieran menggeleng, seakan-akan dengan begitu bisa mengusir
kata-kata Conn dari kepalanya. "Aku tidak percaya," katanya lagi.
"Tidak benar." "Menurutmu bagaimana lagi aku bisa selamat dari api?" desak
Conn. Ia menatap Fieran dengan mata birunya yang dingin. Menatap
seakan-akan bisa memandang langsung ke dalam benak Fieran.
Alihkan pandanganmu, perintah Fieran sendiri.
Tapi tidak bisa. Kata-kata Conn memakunya di tempat.
"Pikirlah, Fieran!" lanjut Conn pelan. "Manteraku tidak cukup
kuat untuk melindungiku dari api. Tapi mantera Brianna cukup.
Manteranya bahkan cukup kuat untuk melindungi kami berdua."
"Tidak!" jerit Fieran. Brianna tidak akan berbuat begitu
padanya. Mereka saling mencintai. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Conn melanjutkan kata-katanya. "Kurasa aku harus berterima
kasih padamu untuk kemenanganku, Fieran. Kau yang mengajarkan
mantera api pertama kepada Brianna. Dia mungkin tidak akan
memutuskan untuk mempelajari api kalau bukan karena dirimu."
Aku tidak tahan lagi, pikir Fieran. Aku harus menghentikannya.
Aku harus menghentikannya.
Fieran menerjang Conn sambil menjerit melengking penuh
amarah. Ia ingin mencekik leher Conn. Ia ingin mendengar suara
tulang leher Conn patah. Mendengar Conn melolong kesakitan. Ia
ingin menghentikan ocehan Conn yang jahat.
Tapi ia kelelahan. Dan Conn terlalu cepat. Ia menghindari
Fieran dan memukulnya hingga jatuh ke tanah.
Darah dari luka di kening Fieran mengalir ke matanya. Inilah
yang diinginkan Conn, Fieran menyadarinya. Ini sebabnya ia
berbohong tentang Brianna padaku. Ia ingin aku menyerangnya,
dengan begitu ia memiliki alasan untuk membunuhku.
Fieran hanya bisa melihat lutut Conn saat pria itu berlutut di
sebelahnya. Conn mencengkeram rambut Fieran. Ia menarik kepala
Fieran ke belakang hingga Fieran mengira lehernya akan patah. Conn
memaksa Fieran membalas tatapannya.
Aku menang di medan pertempuran, pikir Fieran. Tapi aku
tidak akan menang kali ini. Kali ini, Conn akan benar-benar
membunuhku. "Kau bisa saja mati, Fieran," gumam Conn dengan suara
menakutkan. "Kau tahu, bukan" Aku bisa membunuhmu sekarang
juga dan tidak akan ada yang menyalahkan diriku. Mereka semua tahu
bahwa kau sinting karena cemburu."
Conn tiba-tiba melepaskan kepala Fieran sehingga ia tidak
sempat menahan diri. Wajahnya menghunjam ke tanah. Telinganya
berdenging menyakitkan. Tapi ia masih bisa mendengar suara Conn.
"Aku tidak ingin kau mati, Fieran," kata Conn. "Aku ingin kau
tetap hidup. Dan setiap hari seumur hidupmu, aku ingin kau
mengingat segala sesuatu yang sudah kuambil darimu. Aku ingin kau
mengingat kalau aku mendapatkan semua yang kauinginkan."
Fieran berjuang untuk bangkit berdiri. Conn menghunjamkan
tinjunya ke punggung Fieran dan menahannya.
"Pikirkan, Fieran," kata Conn tanpa belas kasihan. "Pikirkan
aku mencium Brianna. Pikirkan fakta bahwa akulah kepala suku yang
baru. Lalu pikirkan betapa tidak berdayanya dirimu. Tidak ada yang
bisa kaulakukan untuk menghentikanku. Setelah bertahun-tahun ini,
aku akhirnya menang."
Dari balik tirai kesakitannya, Fieran mendengar suara langkah
kaki Conn menjauh. Ia mendengar gemeresik tanaman rambat yang
berarti Conn telah meninggalkannya.
Perlahan-lahan, dengan kesakitan, Fieran duduk. Dengan tangan
dan lututnya ia merangkak di lantai gua. Seluruh tubuhnya memarmemar menyakitkan. Darah dari luka di wajahnya mengalir ke
matanya, mengaburkan pandangannya.
Aku belum kalah, sumpah Fieran di setiap gerakannya yang
menyakitkan. Aku akan membalas. Aku belum terkalahkan selama
masih hidup. Tapi sebelum mampu melawan, ia harus memiliki kekuatan.
Kekuatan yang hanya bisa berasal dari satu tempat. Conn belum
mengambil semuanya dari dirinya.
Fieran masih memiliki kepala Romawi.
Ia memusatkan pandangannya ke kepala itu dan menyeret
dirinya ke tungku. Ia tidak pernah mengalihkan pandangannya. Ia
mengulangi sumpah barunya pada setiap sentimeter yang menyakitkan
di lantai yang dilewatinya.
Kau akan menyesal, Conn. Sewaktu tiba di tungku, ia bersandar untuk bangkit berdiri.
Berikan kekuatanmu, pikir Fieran. Aku menginginkan
kekuatanmu. Kekuatan untuk mengalahkan musuhku. Kekuatan untuk
menjadikan diriku kuat. Tapi kekuatan kepala tidak akan terlepas sebelum tulangnya
bersih. Fieran mencabut sebilah pisau kecil yang diselipkan di
pinggangnya. Ia mengiris daging di bawah lubang mata. Ia merasa
tercekik oleh bau daging membusuk yang memenuhi cuping
hidungnya. Ia memalingkan wajahnya.
Tapi aku tidak boleh berhenti, pikirnya. Tidak kalau aku
menginginkan kekuatannya.
Fieran mengelupas daging dari kepala itu dan membuangnya ke
api. Bau daging terbakar membubung dari tungku. Fieran terbatukbatuk dan tercekik. Tapi ia tidak berhenti bekerja.
Bret! Fieran merobek telinga kanan kepala itu dengan jarinya.
Lalu ia merobek telinga kiri. Ia membuang keduanya ke tengah-tengah
Wasiat Malaikat 2 Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 3
Prolog Dunia Baru Perbatasan Barat Pennsylvania,
1710 MATTHEW FIER tertawa terus-menerus. Ia tidak bisa
berhenti. Ia mulai tertawa berhari-hari yang lalu"sewaktu ia menang
atas musuhnya William Goode.
Tapi kemenangan diperoleh dengan harga. Dan Matthew Fier
tahu itu. Aku akan tertawa terus hingga mati, pikirnya.
Otot-otot perut Matthew terasa sakit. Tenggorokannya terasa
sangat kering dan menyakitkan. Tapi ia terus tertawa.
Ia menebarkan lapisan semen di atas deretan teratas batu bata.
Tidak lama lagi seluruh dinding di ruang kerjanya ini merupakan
dinding bata dari lantai hingga langit-langit. Tidak ada jendela. Tidak
ada pintu. Tidak ada apa pun kecuali batu bata yang kuat untuk
mengamankan mereka. Keluarga Goode tidak akan pernah bisa mencapai kami,
pikirnya. Tidak sesudah aku selesai membangun dinding yang
mengurung kami. Mereka tidak akan pernah mendapatkan amulet
Fier. Mereka tidak akan pernah mendapatkan kekuatan keluarga Fier.
Matthew meletakkan sederetan batu bata lagi di atas semen
basah. Ia memaksa diri untuk bekerja lebih cepat. Sambil bekerja, ia
membayangkan amulet Fier.
Sekeping piringan perak mengilat dengan cakar burung di
bagian depannya. Cakar itu mencengkeram bebatuan biru yang
cemerlang. Dan di bagian belakangnya terdapat kata-kata yang
menjadi peraturan hidup keluarga Fier: Dominatio per malum.
Kekuasaan melalui kejahatan.
Matthew tahu sejarah amulet itu. Amulet itu telah diwariskan
dari ayah ke putranya selama beratus-ratus tahun.
Amulet itu telah tua. Begitu tuanya hingga Matthew hampirhampir tidak bisa membayangkannya. Sebelum pencatatan sejarah
dimulai amulet itu milik seorang dukun Kelt muda bernama Fieran.
Kekuatan kegelapan amulet Fieran tidak akan pernah mati"
selama satu orang Fier masih hidup untuk mengklaimnya.
Aku akan mati tidak lama lagi, pikir Matthew. Ia tertawa sambil
meletakkan bata terakhir di tempatnya, menyelesaikan dinding
terakhir. Ya, tidak lama lagi aku akan mati. Tapi suatu hari nanti akan
ada Fier lain yang datang. Seorang Fier yang akan mengklaim amulet
itu. Matthew teringat pada masa lain saat amulet itu harus
dilindungi. Amulet itu sempat hilang dan Matthew mengklaimnya
kembali dari seorang wanita. Siapa nama wanita itu"
Matthew merasa pusing. Telinganya berdengung. Bayangbayang masa lalunya melintas dalam benaknya.
Christina! pikirnya dengan tiba-tiba. Christina Davis! Itu
namanya. Christina memiliki amulet itu sewaktu kutemukan.
Matthew kembali menghela napas.
Ini terakhir kalinya aku melihatnya, ia menyadari hal itu.
Matthew mengacungkan amulet itu sejenak.
Warna merah memenuhi pandangannya.
Kebakaran, pikirnya. Ada kebakaran pada malam aku menerima
amulet ini dari Christina. Dan ada kebakaran pada malam Fieran
pertama kali memegang amulet ini.
Christina... Fieran. Fire"api... Fier. Amuletnya. Amuletnya. Amuletnya.
Matthew mendesis saat mengembuskan napas terakhirnya.
BAGIAN SATU Pengkhianatan Bab 1 Dunia Baru Massachusetts Bay Colony,
1679 CHRISTINA DAVIS menatap makam terbuka itu. Lebar dan
hitam. Makam itu mengingatkan dirinya akan mulut raksasa.
Oh, Papa! pikir Christina. Aku tidak ingin seorang diri. Kenapa
kau meninggalkanku" Isak tertahan terlontar dari tengorokannya.
Jemari yang keras dan kurus menancap di lengan Christina.
"Jangan membuatku malu atau kau akan menyesalinya seumur hidup,"
bisik bibinya di telinganya. "Memamerkan emosi seperti itu di depan
umum sangat tidak sopan. Kendalikan dirimu, Nak!"
Christina mengatupkan bibirnya erat-erat. Jangan menangis,
katanya pada diri sendiri. Jangan di depan Bibi Jane. Ia memusatkan
perhatian untuk menghela napas dalam dan lambat. Perlahan-lahan,
bibinya melepaskan cengkeramannya yang menyakitkan.
Bagaimana aku bisa berpikir kalau diriku sebatang kara"
Christina bertanya pada dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya
sekilas. Aku tidak akan pernah sebatang kara. Selalu ada Bibi Jane.
Bibi Jane! Ia membenciku, pikir Christina. Selalu mengkritik. Menyebutku
bodoh dan malas. Menamparku jika melakukan kesalahan, bahkan
yang kecil sekalipun. Tapi tidak pernah di depan Papa. Tidak, di depan ayah Christina
Bibi Jane bersikap lembut dan penuh kasih. Ia menunggu hingga
Christina seorang diri untuk membentak-bentaknya. Menghukumnya.
Sekarang aku selalu seorang diri, pikir Christina. Sekarang tak
ada seorang pun yang melindungiku.
Pendeta melangkah maju dan berdeham. "Saudara-saudara,"
katanya dengan suara berat dan keras. "Mari kita berdoa."
Christina mendengarkan gemeresik pelan saat orang-orang kota
yang berkumpul menangkupkan tangan mereka di depan dada masingmasing. Ia menunduk bersama umat lainnya. Pandangannya terpaku
pada tepi gaun duka citanya yang berwarna hitam. Pada ujung persegi
sepatu hitamnya yang tebal.
Tuhan yang ada di surga, doa Christina diam-diam. Terimalah
ayahku dalam hadirat-Mu. Dan bantu aku menemukan jalan untuk
melarikan diri. Christina menahan napas. Ya, itulah yang harus dilakukannya.
Ia harus melarikan diri. Ia harus melarikan diri dari Bibi Jane.
Diiringi "amin" yang mantap doa itu berakhir. Penduduk kota
kembali menengadah. Empat pria kuat melangkah maju. Mereka
mulai menurunkan peti mati ayah Christina dengan tali-tali yang
kokoh. Kayu peti mati mengerang dan berderit.
Air mata bagai membakar mata Christina. Oh, Papa, pikirnya.
Situasinya bisa saja berbeda. Kalau saja kau tidak jatuh sakit.
Peti mati ayahnya mengenai dasar makam dengan suara keras.
Dari balik air matanya, Christina melihat pendeta memberi isyarat
memanggilnya. Pendeta menunjuk ke tumpukan tanah di sepanjang
sisi makam dengan jarinya yang kurus.
Perut Christina mulas. Ia memahami apa yang diinginkan
pendeta. Ia harus melemparkan tanah pertama ke dalam makam
ayahnya. Christina bisa merasakan pandangan para penduduk kota
kepadanya. Kakinya terasa kaku sewaktu ia melangkah maju. Ia
membungkuk, dan meraup segenggam tanah yang dingin dan lengket.
Seekor cacing gemuk dan ungu menggeliat-geliat di sela-sela
jemarinya. Christina hampir-hampir bisa melihat tubuh cacing yang gelap
meluncur keluar-masuk tulang-belulang ayahnya yang putih bersih.
Ia tidak tahan dengan perasaan yang ditimbulkan tanah pada
jemarinya lebih lama lagi. Ia melemparkannya ke makam dengan
sekuat tenaga. Lalu ia mundur.
Bibi Jane berderap maju. Ia tidak seragu-ragu Christina. Ia
meraup segenggam tanah dan melemparkannya ke makam dengan
satu lontaran yang kuat. Lalu ia kembali ke samping Christina.
Satu demi satu, para penduduk kota mendekati Christina dan
bibinya dan menyampaikan bela sungkawa mereka. Satu demi satu,
mereka melemparkan segenggam tanah ke dalam makam ayahnya.
Bluk. Bluk. Bluk. Christina menggumamkan terima kasih kepada para penduduk
kota tanpa benar-benar mendengarkan apa yang mereka katakan.
Pandangannya terpaku ke tanah yang mengisi makam ayahnya.
Kenapa harus Papa yang kita makamkan" pikirnya. Kenapa
bukan Bibi Jane" Tepat pada saat itu, matahari menghilang.
Christina tersentak. Ia menengadah menatap langit. Sosoksosok hitam memenuhi langit. Suara ratusan sayap yang mengepak
menggema di lereng-lereng perbukitan.
Gagak. Seluruh langit dipenuhi gagak.
Christina membuka mulut untuk menjerit, tapi tak terdengar
suara apa pun. Ia ingin lari, tapi kakinya tidak mau bergerak.
Seekor gagak menukik ke arahnya. Paruhnya yang kuning
terbuka lebar. Unggas itu menyambar segumpal besar rambut
Christina dan mencabutnya dari kepala. Christina merasakan darah
hangat mengalir turun dari sisi kepalanya dan menetes ke telinga.
Pendeta menjerit melengking. Christina berpaling ke arahnya"
dan melihat seekor gagak merobek segumpal daging dari pipinya.
Seorang wanita menerobos Christina, sambil menyeret dua
anaknya yang terisak-isak. Salah satu anaknya jatuh ke tanah. Gagakgagak segera merubungnya, menusuk-nusuk dan mematuk-matuk.
Wanita itu berusaha untuk mengusir mereka, menjerit-jerit sambil
mengibaskan mantelnya. Christina berlari membantunya. Gagak-gagak mengiris kakinya,
merobek gaun hitamnya dan melukai dagingnya. Ia mengabaikan
sakitnya dan menarik anak itu bangkit berdiri.
"Lari!" desaknya.
Ia mendengar Bibi Jane mulai berdoa di belakangnya. Christina
berpaling memandang bibinya"dan melihat seekor gagak besar siap
menyerang. Kaok! Kaok! Kaok! Gagak itu menerjang lurus ke arah Christina.
Christina membungkuk dan mati-matian mencari senjata. Ia
menyambar sebongkah batu yang terasa sesuai dalam genggamannya.
Lalu ia menegakkan tubuh dan melemparkan batu itu sekuat tenaga.
Bluk! Batu itu mengenai kepala gagak. Hewan itu jatuh ke
tanah sambil menjerit untuk terakhir kalinya.
Tapi gagak yang lain menyusul tepat di belakangnya. Seekor
gagak membawa sesuatu yang mengilat dan keperakan di paruhnya.
Christina mencari-cari batu yang lain. Tidak ada waktu. Burung
itu terlalu dekat. Begitu dekat sehingga Christina bisa melihat kemilau
matanya yang hitam. Christina mengangkat tangan menutupi kepalanya. Jemarinya
membelit benda keperakan di paruh burung itu. Burung itu mengepakngepakkan sayapnya dengan liar, berusaha untuk melarikan diri.
Christina merasa udara yang panas dan berbau menghantam
wajahnya. Kaok! Kaok! Kaok! Burung itu berhasil membebaskan diri dan
melesat ke udara. Lalu ia kembali menukik menyerang Christina.
Christina terhuyung-huyung mundur. Ia merasakan tanah runtuh
di bawah kakinya. Merasakan dirinya mulai jatuh.
Jatuh ke makam ayahnya yang menganga.
Bab 2 BEBAN berat terasa menekan Christina. Ia berjuang
melawannya. Tapi lengan dan kakinya tak mau bergerak. Ia terjepit di
tempatnya. Tubuhnya sama sekali tidak berdaya.
Ia teringat bahwa ia jatuh. Jatuh dan mendarat di sebuah lubang.
Tidak. Bukan sebuah lubang"makam ayahnya! Aku sudah dikubur
hidup-hidup! Mata Christina membuka. Ia tengah berbaring di ranjangnya
sendiri, selimutnya diselipkan ke bawah kasur dan menahannya.
Christina mengendurkan selimutnya dan duduk tegak.
Bagaimana aku bisa berada di sini" Ia sama sekali tidak ingat bahwa
ia pulang. Mungkin aku pingsan sewaktu jatuh. Pasti ada tetangga yang
membantu Bibi Jane mengantarku pulang.
Lidah Christina terasa kering dan bengkak. Ia harus minum air
yang sejuk. Ia mengayunkan kakinya ke samping ranjang. Rasa sakit
menyengat tubuhnya. Tubuhku pasti memar-memar semua, pikirnya.
Lantai papan di balik pintu kamar Christina berderit. Bibi Jane
mau memeriksaku, pikir Christina. Ia bergegas membaringkan diri dan
menarik selimut hingga ke dagu. Ia tidak ingin berbicara dengan
bibinya sekarang. Hari ini sudah cukup sulit.
Christina mendengar suara pintu dibuka dan gemeresik rok
beradu dengan lantai. Ia berjuang agar napasnya lambat dan stabil.
Pergi, pikirnya. Pergilah dan jangan mengangguku.
"Dia masih tidur," gumam Bibi Jane. "Bagus. Kalau dia masih
kelelahan akan jauh lebih mudah bagi kita."
Ia bicara dengan siapa" Christina penasaran. Kenapa ia
mengajak seseorang ke kamarku"
"Kau yakin kalau ingin melakukannya?" tanya orang itu,
suaranya pelan dan kasar.
Tapi jelas suara wanita, Christina yakin.
"Tentu saja aku yakin," sergah Bibi Jane. "Kalau tidak aku tidak
akan memintamu datang kemari, bukan?"
Kedua wanita itu mendekat. Christina bisa merasakan embusan
napas keduanya pada wajahnya. Tenang, katanya pada diri sendiri.
Jangan bergerak. Jangan bergerak.
Apa yang direncanakannya" pikir Christina. Apa yang akan
dilakukan Bibi Jane kepadaku"
"Kita haras melakukannya nanti malam," gumam wanita itu.
Bibi Jane menggeramkan persetujuannya.
"Dan ketidakhadirannya?" tanya wanita itu. "Bagaimana kau
akan menjelaskannya?"
Ketidakhadiranku" Apa dia hendak mengirimku ke tempat lain"
pikir Christina. Tempat mana pun pasti lebih baik daripada di sini
bersama bibinya. "Itu bukan urusanmu," jawab Bibi Jane. Ia terdengar jengkel.
"Serahkan saja padaku."
"Itu urusanku," kata wanita itu bersikeras, suaranya semakin
kencang. "Aku berhak untuk mengetahui. Kau akan membahayakanku
kalau kau tidak menanganinya dengan baik."
"Kau melihatnya di pemakaman hari ini," kata Bibi Jane tidak
sabar. Ia melangkah menjauhi ranjang. "Jelas kedukaannya karena
kematian ayahnya sudah mengacaukan keseimbangan pikirannya. Dia
bisa melakukan apa saja dalam kondisi seperti ini. Dia mungkin
bahkan berkeliaran... dan tersesat di hutan di sekitar kota. Gadis yang
tidak terlindungi, seorang diri, akan bertemu dengan berbagai macam
bahaya di luar sana."
"Bahaya di hutan," ulang wanita itu. "Ah, ya, aku mengerti."
"Tentu saja, aku akan sangat sedih kalau terjadi bencana atas
keponakanku," lanjut Bibi Jane.
Jahat, pikir Christina. Bibi Jane benar-benar jahat.
Wanita yang satu lagi tertawa. Suaranya keras dan jelek. "Aku
yakin seluruh kota akan bergabung denganku untuk menyampaikan
simpati padamu karena situasimu yang sulit."
"Pemikiran yang baik. Terima kasih." Christina hampir-hampir
bisa melihat bibinya tersenyum. "Kita setuju, kalau begitu?"
"Oh, aye" jawab wanita itu. "Kita sepakat."
Christina mendengar dentingan lembut uang logam berpindah
tangan. Lalu suara langkah-langkah kaki bergerak ke arah pintu.
"Aku akan kembali nanti malam," kata wanita itu, saat pintu
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamar tidur berderit membuka.
"Tengah malam," kata Bibi Jane menyarankan. "Tak ada orang
lain yang terjaga." "Baiklah, tengah malam kalau begitu."
Pintu kamar tidur menutup pembicaraan mereka yang
selanjutnya. Christina tetap tidak bergerak. Jantungnya berdebar begitu
kencang hingga ia takut akan tercekik karenanya.
Begitu mendengar pintu depan yang besar dan berat ditutup, ia
duduk tegak. Bibi Jane berencana untuk membunuhku!
Bab 3 CHRISTINA melemparkan selimutnya dan bergegas turun dari
ranjang. Ia harus melarikan diri. Ia harus minggat. Sekarang!
Kalau aku masih di sini saat Bibi Jane kembali, aku terjebak,
pikir Christina. Dia tidak akan membiarkan diriku lepas dari
pengawasannya. Christina berjingkat-jingkat ke jendela kamar tidurnya. Lantai
kayu terasa dingin di kakinya yang telanjang. Dengan hati-hati ia
membuka tirai kotak-kotaknya"hanya dua sentimeter"dan
mengintip keluar. Ia melihat bibinya membantu seorang wanita naik ke sebuah
kereta di seberang halaman. Christina tidak bisa mengenali wajah
wanita itu. Pergi! Pergi sekarang! desak suara hati Christina. Bibi Jane bisa
kembali ke dalam rumah setiap saat.
Ia melesat ke lemari dan menyambar mantel panjangnya. Lalu
ia menyadari bahwa ia hanya mengenakan gaun tidur.
Tidak ada waktu! pikirnya. Bibi Jane akan kembali sebelum aku
siap! Jantung Christina mulai bertalu-talu dalam dadanya. Kepalanya
terasa pusing, telinganya mendenging.
Hentikan, perintahnya pada diri sendiri. Sekarang bukan
saatnya untuk kehilangan kendali. Ia meraih ritsleting gaun tidurnya.
Jemarinya tidak berhasil menemukan ritsletingnya dan mencari-cari.
Sesuatu jatuh berdentang di lantai.
Apa itu" pikir Christina. Ia melihat sebuah amulet perak di
samping kakinya. Dari mana asalnya"
Bahkan dalam keremangan kamarnya amulet itu berkilauan.
Amulet itu seakan memancarkan cahaya sendiri yang aneh. Dengan
terpesona, Christina memungutnya. Piringan perak itu terasa hangat.
Menenangkan. Ia mengelus cakar burung dari perak di bagian depannya.
Mengelus enam batu biru cerah yang tercengkeram dalam cakar itu.
Sebuah kenangan melintas dalam benak Christina. Kenangan
akan seekor burung hitam besar yang menukik ke arahnya. Sesuatu
yang keperakan terjepit di paruhnya. Christina teringat bahwa ia
menyerang burung itu"dan jemarinya terbelit seutas rantai tipis.
Begitulah caraku mendapatkan amulet ini. Cantik, pikirnya.
Cantik sekali. Dan ini milikku.
Christina mengenakan kalung itu. Lalu ia mengerjapkan mata
beberapa kali. Kenapa aku hanya berdiri di sini"
Beberapa saat kemudian, ia telah mengenakan pakaian berduka
cita warna hitam, kaus kaki tebal, dan sepatu berujung persegi yang
berat. Ia ragu-ragu untuk mengenakan topi dan celemek putihnya.
Lebih baik kutinggalkan saja, pikirnya. Warna putih mungkin
akan menarik perhatian. Ia tahu orang-orang menganggap wanita tidak
pantas keluar tanpa mengenakan penutup kepala. Tapi ia bisa
menggunakan kerudung mantel hitamnya.
Siap, pikirnya. Ia bergegas memandang sekeliling kamar
tidurnya. Ini terakhir kalinya aku berada di sini, pikirnya. Terakhir
kalinya aku menyebut tempat ini sebagai rumahku.
"Selamat tinggal, Papa," bisik Christina. "Maaf aku tidak akan
bisa mengunjungi makammu. Tapi aku tahu kau akan mengerti
tindakanku. Kenapa aku tidak akan bisa kembali kemari lagi."
Sambil menahan air matanya, Christina bergegas ke pintu dan
membukanya. Kriit. Apa Bibi Jane mendengarnya" Apa ia sudah kembali ke dalam
rumah" Christina menahan napas. Tapi lorong tetap kosong. Rumah
tetap sunyi. Christina melesat sepanjang lorong. Begitu keluar dari pintu
belakang, Bibi Jane tidak akan pernah bisa menangkapnya.
Blam! Pintu depan terbuka.
Oh, tidak! pikir Christina. Sekarang ia tidak bisa ke pintu
belakang tanpa terlihat Bibi Jane.
Christina mundur perlahan-lahan. Melangkahkan kakinya
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Plak. Salah satu tumit Christina menghantam lantai papan.
Ia ragu-ragu. Tidak terdengar suara bibinya.
Hampir tiba, pikirnya. Hampir tiba di kamarku kembali.
Christina menghela napas dan kembali melangkah.
"Christina Davis! Apa yang kaulakukan di luar kamarmu?" jerit
bibinya. Christina melesat masuk ke kamarnya dan membanting pintu di
belakangnya. Bertindaklah! perintahnya pada diri sendiri.
Bertindaklah! Christina meraih kursi meja riasnya. Apa bisa kugunakan untuk
menghalangi pintunya"
Langkah-langkah berat Bibi Jane bergemuruh di lorong.
Sesaat lagi dia akan berada dalam kamar!
Christina berbalik. Ia melontarkan kursi ke jendela kamar tidur
sekuat tenaga. Kaca jendela pecah berantakan. Serpihan bergerigi
berhamburan. Bibi Jane menjerit melengking penuh kemarahan.
Christina melontarkan dirinya melewati kusen jendela.
Potongan-potongan kaca melukai lengannya saat ia menyeret
tubuhnya keluar. Ia bersyukur kamar tidurnya ada di lantai pertama.
Ia bisa melihat kebun sayur Bibi Jane di bawahnya. Satu
dorongan lagi dan aku akan berhasil. Satu dorongan lagi dan aku
bebas. Ia mendorong dirinya maju dengan sekuat tenaga.
Lalu tubuh Christina tersentak berhenti. Jemari bibinya yang
dingin dan kurus meliliti pergelangan kakinya.
Bab 4 CHRISTINA menjerit. Ia menjejakkan kakinya yang masih
bebas ke belakang. Menendang bibinya.
Luput. Bibi Jane menarik Christina kembali ke dalam. Pecahan kaca
menancap di perutnya. "Tidak!" teriak Christina. Ia menendang dan menggeliat-geliat,
berjuang untuk membebaskan diri. "Aku tidak akan membiarkanmu!
Tidak!" "Kau tidak bisa menghentikanku." Bibi Jane terengah-engah.
Kau tidak cukup kuat."
"Aku lebih kuat dari dugaanmu," jerit Christina.
Ia meraih kusen jendela dengan dua tangan, menarik dirinya ke
depan. Ia merasakan darah yang hangat mengalir dari kedua telapak
tangannya. Tapi ia tidak peduli. Ia harus melarikan diri.
Bibi Jane mencengkeram tungkai Christina dengan tangannya
yang masih bebas. Ia menggeram mengerahkan tenaga. Menggunakan
segenap kekuatannya untuk menarik Christina kembali ke dalam.
Christina bisa merasakan kakinya mulai mati rasa. Ia
menancapkan kuku-kuku jemarinya ke kayu kusen jendela.
"Menyerahlah!" teriak Bibi Jane.
Christina merasakan cengkeramannya di kusen terlepas. Salah
satu kuku jarinya tanggal. Sakit menyengat hingga ke lengannya.
Aku tidak bisa berbuat begini! pikirnya. Dia terlalu kuat. Jauh
lebih kuat daripada aku. Christina membiarkan tubuhnya lemas.
Bibi Jane berjuang menarik tubuh Christina kembali ke dalam
rumah. Tinggal satu kesempatan lagi, pikir Christina. Satu kesempatan.
Perlahan-lahan ia melipat kakinya yang masih bebas sejauh
mungkin. Sekarang aku harus mengalihkan perhatiannya. Christina
melakukan tindakan yang terakhir akan diduga bibinya. Ia
mengangkat kepala dan memandang Bibi Jane. Sikapnya menantang.
Mata Bibi Jane membara karena murka. Wajahnya merah
padam. "Makhluk sialan," katanya sambil terengah-engah. "Gadis
menjijikkan dan menyebalkan. Kau hanya menimbulkan masalah
sejak hari kau dilahirkan. Tapi kau tidak akan merepotkanku lebih
lama lagi sekarang!"
Christina meluruskan kakinya. Sepatunya yang berat mengenai
tenggorokan Bibi Jane dengan telak.
Diiringi jeritan tertahan, Bibi Jane jatuh ke lantai.
Christina melesat keluar. Ia mendarat dengan kepala terlebih
dulu di kebun sayur bibinya. Tanah menjejali mulutnya. Ia duduk,
tercekik. Ia memaksa dirinya bangkit berdiri dan berlari dengan seluruh
tenaga yang dimilikinya. Aku berhasil! Aku bebas!
Ia berlari ke dalam hutan hingga tidak mampu berlari lagi.
Hingga napasnya terputus-putus di tenggorokannya dan kakinya terasa
seberat peluru meriam. Jangan berhenti. Terus lari, kata Christina pada diri sendiri.
Sambil terhuyung-huyung kelelahan, ia memaksa diri untuk
melanjutkan pelariannya. Keringat membanjiri wajahnya, menyengat matanya. Rok
panjangnya terkait semak-semak, memperlambat lajunya.
Akan lebih mudah kalau ia lewat jalan. Dan lebih cepat. Tapi
terlalu berbahaya. Siapa pun bisa melihat dirinya. Siapa pun.
Bibi Jane tidak akan mengejar diriku. Tidak akan, tidak akan,
tidak akan. Christina mengoceh sendiri seiring dengan irama
langkahnya. Ia menginginkan kematianku. Mati, mati, mati.
Ia tidak akan mengejarku.
Rasa sakit menyengat sisi tubuh Christina. Setiap kali ia
berusaha menghela napas dalam, rasa sakit itu timbul. Aku harus
mengurangi kecepatanku sedikit, pikirnya. Aku harus beristirahat.
Bayang-bayang hutan semakin gelap di sekitarnya. Kenangan
akan wajah Bibi Jane melintas dalam benak Christina. Pandangan
yang penuh kemurkaan. Bibir yang mencibir jijik.
Dia membenciku, pikir Christina. Aku tahu dia tidak menyukai
diriku. Aku tahu dia tidak suka menerimaku tinggal di rumahnya. Tapi
aku tidak pernah menduga kalau dia membenciku. Dan menginginkan
kematianku. Krak. Apa itu" Sepertinya ada yang menginjak ranting. Christina
berhenti dan mendengarkan. Ia mendengar gemeresik samar. Bisa saja
angin mengembus di sela-sela pepohonan, pikirnya memutuskan. Atau
seekor hewan kecil. Ia tiba-tiba merasa kedinginan. Pakaiannya yang basah kuyup
oleh keringat terasa dingin di kulitnya. Ia menggosok lengannya,
berusaha untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu ia melanjutkan
perjalanannya melintasi hutan.
Krak. Itu lagi. Apa ada yang mengikutiku" Christina berbalik dan
memandang ke bayang-bayang di belakangnya.
Tidak ada apa-apa. Imajinasimu sudah berlebihan, Christina memarahi dirinya
sendiri. Ia kembali berbalik dan mulai melangkah. Lalu berlari-lari
kecil. Krak! Krak! Krak! Christina tidak berhenti untuk berpaling. Ia memaksa diri untuk
mempercepat langkahnya. Ia berlari menembus hutan. Cabang-cabang
pepohonan menampari wajahnya.
Jari kakinya terkait akar"dan ia melayang ke udara. Ia
mendarat dengan keras. Rasa sakit menyebar di kaki kanannya.
Christina duduk tegak dan memegang kakinya. Ia bisa
merasakan pergelangannya telah mulai bengkak.
KRAK! Aku tidak bisa lari. Apa yang akan kulakukan"
Sesemakan yang paling dekat dengan Christina bergemeresik"
dan seekor anak rusa menghambur keluar. Hewan itu melompatlompat pergi, meninggalkan Christina seorang diri.
Seekor rusa, pikir Christina. Seekor rusa kecil hampir-hampir
membuatku mati ketakutan. Ia memaksa diri bangkit berdiri. Rasa
sakit menyengat pergelangan kakinya.
Christina terjatuh kembali ke tanah. Ia berharap bisa meringkuk
dan tidur. Melupakan Bibi Jane. Melupakan pemakaman ayahnya.
Melupakan rasa sakit di pergelangan kakinya. Melupakan segalanya.
Mungkin ada kurcaci yang akan menemukan diriku dan
merawatku, pikirnya. Christina menyukai kisah-kisah tentang
makhluk ajaib itu sewaktu masih anak-anak.
Christina menggeleng. Tidak ada waktu untuk melamun,
katanya pada diri sendiri. Kau masih dalam bahaya. Kau harus lebih
menjauhi Bibi Jane. Lagi pula, udara berbau seperti hujan. Badai akan mengamuk
malam ini. Kau harus menemukan semacam tempat perlindungan. Ia
berjuang bangkit berdiri, mengernyit sewaktu pergelangan kakinya
tertekan. Paling tidak pergelanganku tidak patah, pikir Christina. Ia
terpincang-pincang melangkah menembus hutan, berhati-hati kalau
menemui permukaan tanah yang tidak rata. Ia tidak ingin jatuh lagi.
Semakin lama semakin sulit untuk melihat tanah. Matahari
sudah hampir terbenam, ia menyadarinya. Tidak lama lagi cuaca akan
gelap. Tenggorokan Christina terasa terganjal. Apa yang akan
kulakukan" pikirnya.
Kalau Papa ada di sini, apa yang akan disarankannya" tanyanya
pada diri sendiri. Sesuatu yang praktis, pikir Christina. Papa jenis orang yang
seperti itu. Ia hampir-hampir bisa mendengar suara ayahnya:
"Terlalu gelap dan berbahaya untuk terus berjalan dalam hutan,
Christina, putriku yang manis."
Aku harus menyusuri jalan, pikir Christina. Berkas-berkas
terakhir matahari memudar saat ia tiba di jalan. Ia menyadari
kemunculan awan hitam tebal. Aku benar, pikirnya. Hujan akan turun.
Jalan membentang mendaki bukit. Christina mengertakkan gigi
dan mulai mendaki. Sewaktu tiba di puncak, ia harus berhenti dan beristirahat.
Pergelangan kakinya berdenyut-denyut. Lengan dan kakinya terasa
sangat berat. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia mampu berjalan.
Christina mulai menuruni bukit menuju ke lembah mungil yang
membentang di hadapannya. Beberapa cahaya terlihat memancar
dalam kegelapan, terang dan jelas. Lampu. Itu peternakan, ia tersadar.
Peternakan berarti orang-orang"dan tempat tinggal. Ia bisa
melewatkan malam di tempat yang hangat dan aman. Ia merasa yakin
pemilik peternakan itu akan mengizinkan dirinya tidur di lumbung
mereka. Christina melihat kilat menyambar di kejauhan. Guntur
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggelegar mengikuti. Sebaiknya bergegas, pikirnya. Ia mulai menuruni bukit. Tetestetes besar air hujan mulai jatuh. Air sedingin es segera membasahi
rambutnya. Roknya yang basah kuyup terasa tebal dan berat di sekitar
kakinya. Guntur menggelegar. Christina mulai berlari. Pergelangannya yang sakit sudah tak
kuat. Ia jatuh ke tanah dengan keras.
Ia mencoba untuk bangkit berdiri. Tapi terpeleset tanah
berlumpur. Jeritan melengking meledak di belakangnya.
Bab 5 Dunia Lama Inggris, 50 M.
FIERAN menjerit hingga tenggorokannya terasa sakit.
"Menang! Menang!"
Aku sudah membunuh pemimpin Romawi, pikirnya.
Kemenangan menjadi milik kita! Fieran bisa merasakan darah yang
panas mengalir di pembuluh-pembuluhnya. Jantungnya berdetak keras
dan cepat. Ia mengacungkan kepala pemimpin Romawi itu tinggi di udara.
Para prajurit Kelt di sekitar Fieran bersorak-sorai dan bersuit-suit.
Semuanya kecuali Conn, Fieran menyadarinya. Conn hanya
menatap Fieran dengan mata birunya yang dingin.
Dia selalu membenciku, pikir Fieran. Sejak kami masih anakanak. Dia tidak pernah merasa puas hingga memiliki sesuatu yang
tidak kumiliki. Terkadang Fieran penasaran apakah Conn akan
mengejar Brianna kalau tidak mengetahui bahwa Fieran mencintainya.
Conn seharusnya gembira karena aku berhasil membunuh
pemimpin Romawi, pikir Fieran. Itu berarti kami pasti memenangkan
pertempuran ini. Sebaliknya, dia justru cemberut karena yang lain
bersorak-sorai untukku. Fieran menatap kepala pemimpin Romawi itu. Otot-otot
lehernya masih meneteskan darah.
Kepala musuhku memberiku kekuatan, pikir Fieran. Kekuatan
yang jauh melebihi kekuatan yang pernah dimiliki Conn. Sekarang
aku memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun. Apa pun! Aku bisa
menikahi Brianna. Aku bisa menjadi pemimpin rakyatku. Aku bisa
menjadi kepala suku. Pertempuran belum usai, Fieran mengingatkan dirinya sendiri.
Pertama-tama, kami harus mengusir para penyerbu Romawi dari tanah
kami"dan memastikan kalau tak satu pun kembali.
"Kelt! Ikuti aku!" jerit Fieran. Ia memberi isyarat untuk
serangan terakhir. Diiringi raungan menggemuruh, orang-orang Kelt bergegas
maju. Mereka langsung menghadapi jajaran prajurit Romawi.
Para prajurit Romawi tampak putus asa. Bagus, pikir Fieran.
Selama ini kalian menertawai kami. Sewaktu kami menyerbu pertama
kalinya, kalian tertawa karena mengira kami hanya bangsa barbar.
Mudah untuk dibantai. Kalian tidak lagi tertawa.
Fieran menyerbu. Ia melambai-lambaikan kepala Romawi itu di
atasnya bagaikan sehelai bendera kemenangan.
Di belakangnya, ia mendengar jerit pertempuran yang buas.
Salah satu orang Romawi pasti berhasil menerobos garis pertahanan
kami! pikir Fieran. Mereka ingin merebut kepala ini kembali.
Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku! Tidak ada! Fieran
berbalik untuk menghadapi prajurit yang menyerang, mengangkat
pedang panjangnya untuk melindungi dada. "Aku siap
menghadapimu!" jeritnya.
"Dan aku siap menghadapimu, Fieran."
Apa" Fieran menurunkan pedangnya sedikit.
Conn berdiri di hadapannya.
"Kuperingatkan kau, Conn. Mundur. Aku tidak ingin
membunuhmu." Conn tersenyum. "Senang mendengarmu berkata begitu, Fieran.
Karena kau tidak akan membunuhku. Aku yang akan membunuhmu!"
Conn menyerbu, pedangnya mengincar dada Fieran.
Bab 6 FIERAN melompat mundur. Ia mengayunkan pedangnya ke
bawah, menghantam pedang Conn.
Logam menjerit beradu dengan logam.
Fieran dan Conn saling pandang. Otot-otot di leher Conn
menonjol keluar saat ia berjuang menekan pedang Fieran.
Conn berdiri lebih jangkung daripada Fieran dan tubuhnya lebih
berat. Fieran terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk
menahan pedang Conn. Lengannya yang memegang pedang mulai
gemetar. Fieran menjejakkan kakinya ke tanah. Ia tidak membiarkan
pedang Conn bergerak satu sentimeter pun. Tapi ia tidak bisa balas
mendorong. "Kau tidak suka melihat kekuatanku, bukan, Conn?" tanya
Fieran. "Akuilah. Mulai sekarang aku akan selalu lebih kuat. Mulai
sekarang aku akan selalu menang."
"Kau lemah." Conn mencibir. "Kau tidak akan pernah bisa
mengendalikan kekuatan kepala itu. Kau tidak akan pernah bisa
menggunakannya untuk rakyat kita"seperti yang bisa kulakukan."
Lengan Fieran gemetar. Ia berharap Conn tidak melihat kalau
pedangnya bergetar. Aku harus bertindak sekarang, pikirnya. Kalau
beradu tenaga, Conn akan menang.
Sekarang. Fieran menyentakkan pedangnya ke bawah"
menjauhi pedang Conn. Pedang Conn jatuh ke depan. Fieran memutar
pedangnya. Ia menghunjamkannya ke pedang Conn sebelum Conn
sempat pulih. Pedang Conn patah menjadi dua.
Conn terhuyung, dan Fieran memukulnya hingga jatuh ke tanah.
Ia menendang potongan pedang Conn. "Seharusnya kubunuh kau,"
kata Fieran kepadanya. "Kau makhluk jahat dan seharusnya kubunuh
kau sekarang." Mata biru Conn tetap sedingin es. Ia tidak tampak ketakutan. Ia
tidak berusaha melarikan diri dari Fieran.
Suku Kelt membutuhkan setiap pejuang untuk melawan
Romawi, pikir Fieran. Kalau Conn kubunuh, aku membunuh salah
satu prajurit terbaik kami. Perlahan-lahan, ia menurunkan pedangnya.
Tidak ada yang mengalahkan kebaikan Fieran untuk rakyat.
Bahkan kebenciannya pada Conn pun tidak.
"Bergabunglah dengan para prajurit yang lain," perintahnya.
Perlahan-lahan Conn bangkit berdiri. "Kalau aku yang menang,
aku tidak akan membiarkanmu hidup," kata Conn. "Aku tahu apa yang
harus kulakukan dengan kekuatan itu. Kau tidak akan pernah
mengetahuinya." Ia berbalik dan berlari ke arah pertempuran.
Fieran memandang sekitarnya. Tampaknya tidak ada yang
menyadari pertempurannya dengan Conn. Semua orang tengah
bertempur mati-matian melawan Romawi. Bagus.
Para prajurit Romawi tengah mundur, ia menyadarinya. Orangorang Kelt tengah memburu mereka. Kita menang!
Bahaya sudah berlalu, pikirnya. Para prajurit tidak lagi
memerlukanku. Fieran berjalan ke hutan yang membatasi arena pertempuran.
Dengan berakhirnya pertempuran, ia menyadari kalau seluruh
tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Pasti enak rasanya untuk
berada di rumah! Sambil berjalan, ia kembali memikirkan malam saat ayahnya
memberitahu tentang mistik kepala. Malam sebelum ayahnya tewas
dalam pertempuran. "Mengambil kepala musuh merupakan kemenangan terbesar
yang bisa diraih seorang pejuang," kata ayahnya menjelaskan.
"Seluruh kekuatan seorang pejuang terletak di sana."
"Tapi tidak masuk akal," kata Fieran muda memprotes.
"Kekuatan seorang pejuang pasti berada di lengannya. Untuk
melemparkan tombak atau menusukkan pedangnya."
Fieran teringat bahwa ayahnya tersenyum. "Aku dulu juga
berpikir begitu," katanya. "Sampai ayahku memberitahukan
rahasianya." Ayah Fieran berlutut di tanah di samping tempat tidur putranya.
"Jadi sekarang kuberitahukan padamu, Fieran. Kekuatan seseorang
ada di sini, di kepalanya." Ayahnya menyentuh kepalanya sendiri lalu
kepala Fieran dengan jarinya.
"Dia memimpikan impian kemenangan dengan kepalanya. Dia
menyusun rencana pertempuran di kepalanya. Ambil kepala
seseorang, dan kau mengambil bagian yang terbaik darinya. Tapi
berhati-hatilah dengan tawar-menawar yang kaulakukan, Fieran."
Karena penasaran, Fieran menatap ayahnya. "Tawar-menawar
macam apa, Ayah?" tanyanya.
"Kekuatan selalu diperoleh dengan harganya," jawab ayahnya.
"Untuk mendapatkan kekuatan, kau harus memberikan sesuatu. Hatihati agar kau tidak memberikan terlalu banyak."
Aku belum memberikan apa pun, pikir Fieran yang telah
tumbuh dewasa. Di mana pun kau sekarang berada, Ayah, kuharap
kau merasa bangga terhadap diriku.
Sebagian besar rakyat Fieran tinggal di sebuah desa di puncak
bukit di dekat arena pertempuran. Dari sana mereka bisa melihat
musuh yang mendekat dari jarak berkilometer-kilometer"posisi yang
bagus dan kuat untuk sebuah desa. Tapi Fieran tidak pernah tinggal di
sana. Fieran tidak merasa nyaman untuk berada di sekitar orangorang Kelt lainnya. Ia berbeda dengan sebagian besar dari mereka. Ia
seorang dukun. Para dukun membentuk kelas khusus di antara orang-orang
Kelt. Mereka memiliki pengetahuan yang luas dan sihir yang ampuh.
Fieran tidak perlu bertempur hari ini. Suku Kelt tidak
mengharuskan para dukunnya turut bertempur. Tapi ia tidak suka
bersembunyi di balik kepandaiannya. Ia menikmati pertemuan
langsung dengan musuhnya.
Kenapa Conn harus menjadi dukun juga" pikir Fieran. Kalau
saja dia bukan dukun aku bisa menghindarinya. Fieran mengerutkan
kening sambil menyeberangi sungai kecil yang mengalir melintasi
hutan. Air terasa menyenangkan di kakinya yang lelah. Fieran senang
tinggal di hutan. Hutan merupakan sumber kekuatan bagi orangorangnya. Lapangan tersuci terletak tidak jauh dari tempat tinggal
Fieran. Sayang sekali Conn-lah satu-satunya tetanggaku, pikir Fieran.
Tak satu pun orang-orang Kelt lain membangun rumahnya di hutan.
Apa yang harus kulakukan terhadap Conn" Conn tidak akan
merasa bahagia sebelum aku tewas. Aku tahu itu.
Fieran tiba di guanya yang terletak jauh di dalam hutan. Ia
mengesampingkan tirai tanaman rambat yang menutupi mulut gua dan
melangkah masuk. Aku akan segera menangani kepala ini, pikirnya. Sesudah aku
belajar cara mengendalikan kekuatannya, aku tak perlu khawatir
terhadap Conn lagi. Dia tidak akan mampu mengalahkanku. Dan dia
tidak akan pernah terpilih sebagai kepala suku yang baru.
Fieran memegang kepala itu dengan dua tangan. Kekuatan yang
terkunci di dalamnya akan memberikan segala sesuatu yang
diinginkannya. Segalanya.
Rasa sakit menyengat melewati tangannya. Sakit yang
membakar, mendidih. Fieran menjerit. Ia menjatuhkan kepala itu ke lantai.
Dunia meledak menjadi bola api.
Dinding api yang kokoh terbentuk mengelilingi Fieran.
Bab 7 TUBUH Fieran tersentak sewaktu api menjilatnya. Ia
mendengar rambutnya tersulut. Merasakan kulitnya melepuh dan
terlepas dari tulang belulangnya.
Api berkobar-kobar dari segala arah. Tidak ada jalan untuk
melarikan diri. Bola mata Fieran terasa bagai batu bara yang panas. Lidahnya
terasa kering dan kasar. Ia jatuh berlutut. Setiap tarikan napasnya bagai membakar paruparunya.
Tatapan Fieran jatuh ke kepala Romawi itu. Apa" pikirnya.
Kepala itu tidak terbakar. Ia mengangkat kedua tangannya ke depan
wajahnya. Kedua tangannya juga tidak terbakar.
Aku mendapat penglihatan, Fieran tersadar. Api itu terasa
begitu nyata. Tapi ternyata tidak.
Fieran memaksa diri untuk tidak bergerak. Ia memejamkan
mata dan menghela napas perlahan-lahan. Ini penglihatan, ulangnya
pada diri sendiri. Penglihatan. Apinya tidak benar-benar sedang
membakar diriku. Perlahan-lahan ia membuka mata. Siap untuk melihat apa yang
akan ditunjukkan penglihatan itu kepadanya. Ia melihat wajahnya
sendiri di api. Api selalu menarik perhatian Fieran. Untuk memilih api dan
bukannya air bukanlah cara sukunya. Tapi api memanggil dirinya.
"Apa ini?" bisik Fieran. "Katakan."
Wajah kedua muncul, seakan-akan sebagai jawaban. Sekarang
wajah Conn melayang-layang di samping wajah Fieran sendiri di
dinding api. Wajah Conn mulai membesar. Membesar dan terus membesar
hingga mulai menutupi wajah Fieran. Dalam beberapa saat, wajah
Conn yang sangat besar menutupi wajah Fieran sepenuhnya.
"Tidak," gumam Fieran. "Ini tidak mungkin. Aku yang
memiliki kekuatan kepala ini. Aku tidak mungkin bisa dikalahkan."
"Fieran!" seru seorang wanita.
"Brianna!" jerit Fieran. Wajah Conn yang mencibir
menghilang"dan Brianna menggantikannya.
Brianna. Fieran selalu memikirkan wanita itu. Setiap kali orangorang berkumpul ia tidak mampu menahan diri untuk tidak menatap
wanita itu. Dan kalau mereka tengah berdua saja ia tidak bisa
menahan diri untuk tidak menyentuhnya.
Dalam penglihatan itu, Brianna tersenyum kepadanya. Dia
mengulurkan tangan ke arahnya.
Fieran balas mengulurkan tangan.
Apinya padam. Fieran berdiri seorang diri.
Aku akan mengalahkan Conn! pikirnya. Aku akan menjadi
kepala suku terpilih"bukan Conn. Dan yang paling baik, aku akan
menikahi Brianna. Itu arti penglihatanku.
Aku akan menjadikannya kenyataan. Harus! sumpah Fieran.
Dan itu berarti aku harus mempelajari cara menggunakan kekuatan
kepala. Fieran mengetahui apa yang harus dilakukannya lebih dulu.
Dengan langkah-langkah cepat ia melintasi ruangan menuju ke
perapian di tengah-tengah tempat tinggalnya. Keranjang besi yang
berat itu berdiri pada tiga kaki yang panjang. Batu bara menyala ada
di sana. Fieran mengambil sebatang penyodok yang panjang dan
mengaduk-aduk apinya hingga lidah-lidah api mungil menjilat-jilat di
permukaan batu bara. Lalu ia mengambil kepala. Ia menggigil sewaktu merasakan
daging dingin di bawah ujung-ujung jemarinya. Ia ingin menjatuhkan
kepala itu ke lantai kembali.
Kau sudah membunuh orang ini, Fieran mengingatkan dirinya
sendiri. Kau tidak mungkin takut untuk menyentuh bagian dari
mayatnya.ebukulawas.blogspot.com
Tapi membunuh dalam pertempuran terasa jauh berbeda. Para
prajurit harus membunuh atau terbunuh. Tidak ada waktu untuk
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. Fieran menunduk menatap kepala itu. Ia merasakan sengatan di
bagian belakang tenggorokannya, tapi memaksa diri untuk terus
menatap. Kulit kepala itu menjuntai kendur. Mulutnya ternganga.
Aneh juga benda seperti ini bisa menyimpan kekuatan sehebat
itu. Tapi begitulah adanya.
Ia membawa kepala itu ke api dan mengatur posisinya di atas
tongkat logam panjang yang tertancap tegak lurus dari dasar ketel batu
bara. Tongkat yang biasanya digunakan untuk memanggang daging.
Lalu ia menarik kepala itu ke bawah, menancapkan tongkatnya
dalam-dalam. Panas dari api akan memulai prosesnya, pikir Fieran. Ia
tahu bahwa kekuatan itu tidak akan terbebas dari kepala hingga
dagingnya terlepas dari tulangnya.
Fieran menanggalkan pakaiannya yang ternoda darah dan
mandi. Lalu ia mengenakan pakaian bersih dan menelentang di tempat
tidurnya. Ia merasa kelelahan, tapi benaknya terus berputar. Melompatlompat dari Conn ke Brianna, lalu ayahnya, kemudian kepala itu.
Ia berguling ke satu sisi dan mengawasi bayang-bayang di
dinding. Salah satu bayangan itu tampak lebih gelap dari yang lain.
Bayangan tersebut merayap ke kakinya dan bergerak naik. Kaki
Fieran tiba-tiba berubah mati rasa.
Bayang-bayang itu merayap di perutnya. Dan perut Fieran
terasa mengejang. Rasanya membeku.
Fieran mencoba untuk bangkit. Tapi ia merasa terlalu lelah. Ia
hampir-hampir tidak bisa bergerak.
Bayang-bayang itu mengalir ke dada Fieran. Dada Fieran mulai
berdenyut-denyut menyakitkan.
Aku harus bertindak! pikirnya. Aku tidak bisa membiarkannya
mencapai kepalaku. Bayang-bayang itu merayap naik ke tenggorokannya. Fieran
membuka mata hendak menjerit. Tapi tidak terdengar suara apa pun.
Ia tidak bisa bernapas. Ia mencakar-cakar tenggorokannya,
terengah-engah dan tercekik. Bayang-bayang ini menghalangi udara,
pikirnya. Aku memerlukan udara.
Bab 8 "ADA apa, Fieran?" seru seseorang.
Fieran tersentak bangkit. Ia menghela napas dengan gemetar.
"Brianna," katanya dengan suara tercekik. "Aku pasti bermimpi
buruk! Aku tidak bisa bernapas. Tidak bisa bergerak."
Brianna berlutut di lantai di sampingnya. "Tenanglah, Fieran,"
katanya. "Hanya mimpi," gumam Fieran.
Ia merasa bodoh dibujuk-bujuk Brianna seperti itu. Tapi
rasanya menyenangkan. Fieran menghirup keharuman keringat
Brianna saat gadis itu mengelus alisnya.
Brianna merupakan yang paling langka di antara orang-orang
Kelt"ia dukun wanita. Ia juga memiliki kemampuan untuk
menafsirkan mimpi dan penglihatan.
"Fieran," kata Brianna, suaranya lembut dan melantun,
"ceritakan tentang mimpimu."
Brianna meraih tangan Fieran dengan dua tangan. Ia
menggosok-gosok tangan Fieran dengan lembut. "Bisa kulihat bahwa
kau kelelahan," katanya. "Tanganmu dingin sekali."
"Sekarang aku merasa lebih hangat, berkat dirimu," jawab
Fieran. Lalu ia menyadari betapa pucat wajah Brianna. Ia bisa melihat
bayang-bayang tebal di bawah mata Brianna. "Brianna, ada apa?"
tanyanya dengan gelisah. "Apa yang mengganggumu?"
Dengan tiba-tiba, Brianna bangkit berdiri. "Bukan apa-apa,
Fieran," katanya. Tapi Fieran menyadari kalau Brianna tidak bersedia beradu
pandang dengannya. "Aku datang untuk menyampaikan kabar gembira padamu,"
kata Brianna. "Romawi sudah terkalahkan. Hari ini milik kita."
Kenapa ia tidak mau memandangku, Fieran penasaran. Ada
apa" "Aku sudah mengetahuinya sewaktu meninggalkan medan
pertempuran," jawab Fieran. Kata-kata yang terdengar lebih kasar
daripada niatnya. Sebelum ia sempat meminta maaf, Brianna bergegas
melanjutkan. "Masih ada lagi, Fieran. Karena mengambil kepala pemimpin
Romawi itu, kau dinyatakan sebagai pahlawan besar." Ia menyeberang
ke tungku dan menatap kepala yang mengerikan itu.
Tiba-tiba, Fieran teringat pada penglihatannya. Seluruh
energinya pulih. Ia melompat turun dari tempat tidurnya. "Aku
mendapat penglihatan sepulangnya dari pertempuran. Muncul sebuah
dinding api dan..." Ia tidak melanjutkan.
Brianna terus menatap kepala pemimpin Romawi itu. Karena
kepala itu tertancap di tongkat, Brianna bisa menatap lurus ke
wajahnya. Tampaknya ia terpesona pada kepala itu.
"Brianna?" kata Fieran lembut.
Brianna menggeleng dan berpaling memandangnya. "Apa yang
kaulihat?" "Aku melihat dirimu," jawab Fieran.
"Kau melihatku?" seru Brianna. "Hanya aku?"
Fieran menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Aku juga melihat
diriku sendiri dan Conn." Ia diam sejenak, mencoba untuk mengingatingat penglihatannya dengan tepat.
"Awalnya aku melihat diriku sendiri," lanjutnya. "Lalu aku
melihat Conn. Dia berkembang hingga mencapai ukuran raksasa. Tapi
lalu kau muncul, dan Conn menghilang."
"Kau melihat Conn?"
"Ya," jawab Fieran. Kenapa Brianna tampak begitu teralih
perhatiannya" "Dia hampir-hampir mengalahkanku. Wajahnya sempat
menutupi wajahku sejenak. Tapi aku mengalahkannya. Wajahnya
menghilang sama sekali. Hanya ada satu artinya. Aku yakin sekali."
"Kau kira artinya kau ditakdirkan untuk menjadi kepala suku
yang baru," kata Brianna. Suaranya tanpa emosi.
"Yah, tentu saja," kata Fieran.
Ia menunduk menatap Brianna. Yang dilihatnya menyebabkan
ia merasa takut. Ekspresi Brianna sangat khidmat. Matanya dibanjiri
air mata. Brianna sangat pandai menafsirkan mimpi dan penglihatan,
pikirnya. Apa yang telah menyebabkannya tampak sebingung ini saat
mendengar penglihatan Fieran" "Katakan, Brianna," desak Fieran.
"Apa aku keliru?"
Brianna memeluknya. Ia membenamkan wajahnya di dada
Fieran. "Aku tidak yakin, Fieran."
Perlahan-lahan, Fieran menengadahkan wajah Brianna. Ia
menghapus air mata wanita itu. Lalu menciumnya dengan lembut.
"Tidak apa-apa, Brianna. Aku yakin," katanya. "Aku cukup
yakin untuk kita berdua."
Brianna menekankan wajahnya ke leher Fieran. "Oh, Fieran,
kudoakan kau berhati-hati. Penglihatan lebih sering hanya
menunjukkan keinginan kita sendiri. Kita hanya melihat apa yang
ingin kita lihat." "Kali ini tidak," kata Fieran bersumpah, sambil memeluk
Brianna erat-erat. "Kali ini tidak. Lihat saja nanti. Menjadi kepala
suku kita adalah nasibku, Brianna."
"Kau keliru!" kata seseorang dengan suara dalam menggelegar.
Fieran dan Brianna melompat memisahkan diri. Conn berdiri
beberapa kaki jauhnya dari mereka, bersedekap.
"Kau tidak akan pernah menjadi kepala suku, Fieran!"
Bab 9 "AKU yang akan menjadi kepala suku," kata Conn. "Aku yang
akan menjadi kepala suku yang baru."
Kemarahan membuncah dalam diri Fieran. Ia bahkan tidak
berusaha untuk meredakannya. "Tidak akan!" jeritnya. "Aku akan
menghentikanmu sekalipun harus mengorbankan semua yang
kumiliki." "Mungkin begitu," jawab Conn. Ia melangkah mendekati
Fieran, begitu dekat hingga dada mereka hampir-hampir bersentuhan.
"Mungkin saja"dan sekalipun begitu masih belum cukup untuk
menghentikanku." "Hentikan pertengkaran ini sekarang juga!" teriak Brianna tibatiba.
Conn menatap Brianna dengan mata birunya yang dingin. Lalu
ia kembali memandang Fieran. "Menurutmu, Brianna ingin siapa dari
kita berdua yang menjadi kepala suku?"
"Apa maumu kemari, Conn?" tanya Brianna, mata hijaunya
berkilauan marah. "Aku datang untuk memberi selamat kepada Fieran atas
kemenangan besarnya," jawab Conn seakan-akan tidak bersalah.
Fieran memelototi Conn. Kemenangan yang ingin kauperoleh
sendiri, pikirnya. Kau pasti senang kalau bisa membunuhku dan
menguasai kepala serta kekuatannya.
Ia tahu Brianna tidak ingin mereka bertengkar. "Apa maumu
kemari, Conn?" tanya Fieran pelan.
"Kepala suku terluka parah," kata Conn. "Dia sudah
memutuskan untuk menyelenggarakan upacara malam ini. Malam ini
kita akan mengetahui siapa yang menjadi kepala suku yang baru. Kau
dipanggil ke lapangan suci."
Akhirnya tiba! pikir Fieran. Saat yang sudah kutunggu-tunggu.
"Kukira beritaku akan menarik bagimu," kata Conn. "Jangan
berduaan dengan Brianna di sini terlalu lama, Fieran. Akan
memalukan bagimu kalau tidak mengikuti upacaranya dan saat aku
dinyatakan sebagai kepala suku."
*********** Fieran dan Brianna memasuki lapangan suci. Pepohonan di
sekitar lapangan tumbuh begitu rapat satu sama lain sehingga tidak
ada sinar matahari yang berhasil menerobosnya. Lapangan itu gelap
dan sunyi, bahkan di siang hari.
Dan sekarang sudah malam. Banyak orang yang membawa
suluh. Cahayanya berkerlap-kerlip di wajah-wajah yang diukirkan ke
batang-batang pohon. Wajah-wajah ketua suku sebelumnya.
Tampaknya seperti hidup, pikir Fieran. Ia menggigil.
Suatu hari nanti wajahku akan diukirkan di sini, kata Fieran
sendiri. Ia merasa Brianna menyentuh lengannya.
"Lihat, Fieran," katanya. Ia menunjuk ke sosok rotan raksasa
yang aneh di tengah-tengah lapangan. Dadanya dijajari balok-balok
kayu yang membentuk sebuah kandang. Potongan-potongan kayu
ditumpuk di sekitarnya. Manusia rotan, pikir Fieran. Ia tidak suka memikirkan bagian
upacara yang ini. Bagian upacara saat kepala suku yang lama akan
mati, sehingga rohnya bisa memasuki kepala suku yang baru.
"Fieran, lihat," kata Brianna lagi. Kali ini ia menunjuk
seseorang berdiri di samping manusia rotan.
Conn. Conn telah memilih posisi yang begitu dekat dengan
sosok rotan itu sehingga bisa menyentuhnya.
Ia pasti merasa yakin kalau akan terpilih, berdiri begitu dekat,
pikir Fieran. "Di mana pun Conn berada, kau juga harus ada di sana,"
gumam Brianna. Fieran meraih lengan Brianna dan melangkah ke arah Conn.
Suara pelan menakutkan dari suling kayu memenuhi udara.
Mengumumkan kedatangan kepala suku.
Jantung Fieran berdetak lebih cepat saat mengawasi kepala suku
memasuki lapangan. Mantel panjangnya menyapu tanah yang tertutup
lumut. Pria itu berjalan dengan tegak. Tapi langkahnya pelan dan
menyakitkan. Terdengar bisik- bisik di sekitar lapangan. "Kepala
suku. Kepala suku sudah tiba."
Kepala suku berhenti sejenak di depan sosok rotan. Lalu ia naik
ke bagian dada. Fieran mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia mengetahui kalau apa yang terjadi merupakan hadiah besar dari
kepala suku. Ia mengetahui bahwa kepala suku sedang sakit, dan
hampir mati. Tapi perasaan takut menguasai hatinya.
Kepala suku merencanakan untuk menyerahkan nyawanya
malam itu. Untuk mengalihkan rohnya kepada penerusnya.
"Dengarkan aku, rakyatku," seru kepala suku dari dalam
manusia rotan. "Saksikan saat kuserahkan tubuhku kepada api."
"Kami menyaksikan," ulang semua orang mengikuti
perkataannya, suara mereka pelan.
Saat mengucapkan kata-katanya, tenggorokan Fieran tercekat.
Hanya kepala suku yang paling berani yang mengalihkan roh mereka
dengan cara ini. Fieran bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya
cukup berani untuk melakukannya.
"Saksikan," lanjut kepala suku. "Saksikan dan tunggu. Tunggu
tanda dari dia yang selanjutnya."
"Kami akan menunggu," kata orang-orang di sekitar kepala
suku berjanji. "Kami akan menunggu tanda kepala suku."
"Akan ada satu orang di antara kalian yang mampu menahan
api. Yang akan berjalan tanpa terluka di tengah-tengah api. Dia orang
yang menerima rohku. Dia akan menjadi kepala suku kalian yang
baru." Di sekitar lapangan, orang-orang menunduk. Fieran merasakan
darahnya mengalir deras dalam pembuluhnya. Akulah orangnya. Aku
melihat api dalam penglihatanku.
Fieran menengadah. Kepala suku memberi isyarat. Dua orang
pria membawa suluh melangkah maju. Mereka berhenti di depan
manusia rotan. Kepala suku menerawang. Matanya bergerak menyapu
sekeliling lapangan. Pandangannya berhenti pada Conn. Berhenti pada
Fieran. Lalu kepala suku mengangkat tangan di atas kepala. Kedua
orang tadi segera melemparkan suluh mereka ke manusia rotan.
Diiringi raungan, kayu-kayu kering itu tersulut.
Fieran mendengar Brianna mengerang pelan. Ia meraih tangan
Brianna dan menggenggamnya erat-erat.
Apinya meraung, semakin lama semakin tinggi. Hampir
setinggi pucuk pepohonan. Dalam beberapa detik, api melalap
manusia rotan itu. Api menyengat wajah Fieran. Ia harus mengerahkan segenap
kemauannya untuk tidak melangkah mundur.
Kepala suku berteriak keras. "Aku memilih! Aku memilih
penerusku. Biarkan dia berjalan melintasi api!"
Fieran merasakan jantungnya bagai meledak dalam dadanya.
Kekuatan merebak di seluruh tubuhnya.
Sensasi itu terlalu kuat. Lututnya terlipat. Ia jatuh ke tanah.
Sudah terjadi, pikirnya. Benar-benar terjadi. Aku sudah terpilih.
Aku kepala suku yang baru.
Ia mengetahui kalau harus memberikan bukti, atau yang lainnya
tidak akan pernah mempercayai. "Rakyatku," jeritnya, sambil
berjuang bangkit berdiri. "Aku yang terpilih. Mendekatlah padaku."
Tapi jeritannya tenggelam oleh keriuhan yang tiba-tiba. Di
tengah-tengah kebingungannya, Fieran mendengar suara Conn.
"Aku merasakan kekuatannya. Aku yang terpilih."
Tidak, pikir Fieran. Tidak. Aku yang merasakannya. Aku
merasakan roh kepala suku memasuki diriku. Aku yang terpilih!
"Siapa" Siapa yang terpilih?" tanya orang-orang kepada satu
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama lain. "Conn yang terpilih!" seru seseorang dengan suara melengking.
"Tidak! Tidak!" teriak Fieran. Ia melangkah mendekati api.
"Kalau Conn mengaku yang terpilih, dia bohong. Roh kepala suku
hidup dalam diriku."
Orang-orang di sekitar lapangan terdiam. Mereka menatap
Conn dan Fieran. Mereka berdiri bersama-sama, di samping sosok
rotan tersebut. Brianna berdiri di tengah-tengah mereka.
"Bukti," seru seseorang. "Buktikan."
Fieran mencoba untuk bicara. Tapi Conn terlalu cepat baginya.
"Aku akan memberikan bukti," kata Conn.
Conn menjulurkan tangan dan menyambar Brianna. Ia menarik
Brianna dari samping Fieran. "Kekuatan kepala suku terasa kuat
dalam diriku," teriak Conn. "Begitu kuat sehingga aku bisa
melindungi orang lain dari api."
Sebelum Fieran sempat menahannya, Conn berbalik ke arah
sosok rotan yang menyala-nyala. Ia menarik Brianna bersamanya
memasuki api yang menjulang.
Bab 10 "BRIANNA!" jerit Fieran. "Brianna! Tidak!"
Diiringi semburan api putih, manusia rotan meledak. Bara
raksasa yang menyala-nyala terlontar ke udara.
Saat percikan api kembali turun, Fieran melihat dua orang
berdiri di reruntuhan. Brianna dan Conn.
Kelegaan membanjiri Fieran. Brianna! Dia masih hidup!
Dan Conn sudah membuktikan diri sebagai kepala suku, Fieran
menyadarinya. Apa yang terjadi" Fieran merasa begitu yakin kalau roh kepala
suku yang lama telah merasuki dirinya. Kekuatan itu telah
menyebabkannya jatuh. Membuatnya sulit bernapas. Bagaimana
mungkin Conn bisa membuktikan kalau dirinya yang terpilih"
sementara aku tahu dia tidak terpilih"
Fieran menjerit murka dan jengkel. Ia berlari ke bara yang
merah menyala itu. "Inilah buktiku," teriaknya. "Bukti bahwa Conn
seorang pembohong dan penipu."
"Kalian lihat?" balas Conn. "Kalian lihat betapa besar
kekuatanku" Aku bahkan bisa melindungi orang yang tidak
mempercayaiku." Ia melangkah keluar dari lingkaran api, sambil
menggandeng Brianna rapat di sampingnya.
Semua orang bergegas maju dan mengelilinginya. Yang lain
telah menerima Conn sebagai pemimpin mereka, pikir Fieran.
Sekarang mereka akan melindunginya dengan nyawa mereka sendiri.
Tidak adil! Dia tidak layak untuk mendapatkannya! Fieran
bergegas keluar dari sisa-sisa manusia rotan yang masih berasap.
Langsung mendekati Brianna dan Conn, mendesak yang lain agar
tidak menghalangi jalannya.
"Brianna," katanya. "Kau ahli dalam membaca tanda-tanda.
Katakan kepada mereka kalau mereka sudah keliru. Katakan tentang
penglihatan apiku. Katakan kepada mereka kalau kepala suku yang
terpilih adalah aku!"
Bibir Brianna bergerak. Tapi kata apa pun yang diucapkannya
tenggelam oleh suara yang lainnya.
"Tangkap dia," seru seseorang. "Tangkap Fieran. Dia sudah
memberikan bukti palsu. Dia sudah mencoba untuk menghancurkan
ritual suci kita." "Tangkap dia!" "Bunuh!" "Fieran harus mati!"
"Tidak!" seru Conn dengan suara berat.
Seketika, lapangan sunyi senyap.
"Kalian tidak boleh menyakitinya. Fieran tidak boleh mati. Apa
kalian tidak mengerti apa yang sudah terjadi" Melihat impiannya
untuk mendapatkan kekuasaan tidak menjadi kenyataan sudah terlalu
berat baginya. Fieran sudah kehilangan kewarasannya. Kita harus
menunjukkan belas kasihan."
Orang-orang menggeleng menyetujui dan tidak puas. "Benarbenar mengerikan. Fieran yang berani sudah sinting," seru seorang
wanita. "Dengarkan aku!" jerit Fieran. "Aku tidak sinting! Aku berdiri
di bara api. Aku keluar tanpa terluka. Roh kepala suku yang lama ada
di dalam diriku. Kalian sudah memilih orang yang salah!"
"Cukup!" jerit Conn dengan suara keras. "Aku kasihan padamu,
Fieran. Aku tahu kenapa kau melontarkan tuduhan palsu. Tapi aku
tidak bisa membiarkannya terus berlanjut. Mulai hari ini, kau bukan
lagi salah satu dari kami. Kau bukan lagi bagian dari kami. Kuusir
kau, Fieran. Kuusir kau untuk selamanya."
"Diusir," ulang orang-orang. "Fieran diusir. Dia bukan lagi
bagian dari kita." Bab 11 DIUSIR! Bagaimana aku bisa diusir"
Hari ini aku mempertaruhkan nyawaku demi rakyatku dalam
pertempuran. Hari ini aku mendapat kesempatan untuk membunuh
Conn. Aku tidak melakukannya karena percaya bahwa rakyatku
memerlukannya dalam keadaan hidup.
Aku harus pergi dari lapangan ini. Aku harus menjauhi Conn.
Kalau jauh, aku bisa berpikir dengan jernih. Aku akan bisa
memikirkan cara untuk mengalahkan Conn dan mengambil kembali
hakku. Fieran melesat pergi dari lapangan. Pergi! pikirnya. Aku harus
pergi. Penglihatannya telah berbohong. Ia tidak menang. Ia telah
terkalahkan. Dan sekarang diusir.
Segalanya telah diambil darinya. Sama sekali tidak ada yang
tersisa baginya. Hidupku sudah berakhir! Conn adalah kepala suku!
Fieran terhuyung-huyung menembus hutan, mantel upacaranya
yang panjang memperlambat langkahnya. Ia terus berlari. Berlari dari
bayangan Conn dan Brianna yang berdiri di atas bara api. Berlari dari
bayangan Conn yang dinyatakan sebagai kepala suku.
Tapi tidak peduli seberapa jauh atau seberapa cepat Fieran
berlari, bayang-bayang itu tidak bersedia meninggalkan dirinya.
Bayang-bayang itu bagai diukir ke dalam benaknya. Tidak akan
berakhir sebelum berakhirnya waktu.
Dengan kelelahan, Fieran berhenti dan memandang sekitarnya.
Dengan terkejut, ia tersadar di mana dirinya berada. Pintu masuk
guanya sendiri. Rumah! pikirnya. Ia mengesampingkan tanaman rambat yang
menjuntai dan melangkah masuk. Bagian dalam guanya sejuk dan
gelap. Fieran bersyukur untuk kegelapannya. Ia bisa bersembunyi di
sini, menjauhi semua orang. Ia bisa berusaha untuk melupakan Conn.
Kepala Romawi itu masih berada di ujung tongkat. Bara oranye
di tungku memantul di matanya. Fieran melangkah ke sana, menatap
mata yang bercahaya itu. "Aku sudah menunggumu, Fieran."
Fieran berjuang menahan kengeriannya. Kepala ini bicara!
pikirnya. Lalu ia mendengar suara tawa di belakangnya. Ia berbalik. Di
pintu masuk guanya telah menunggu seseorang. Bahkan dalam cahaya
remang-remang, Fieran bisa melihat kebencian dalam mata orang itu.
"Conn," kata Fieran, detak jantungnya masih bergemuruh. "Mau
apa kau datang kemari" Kau mau menyombongkan diri?"
"Bukan begitu caranya berbicara dengan kepala sukumu,
Fieran. Terutama sesudah aku memperlakukan dirimu sebaik itu.
Seharusnya kau berterima kasih padaku."
"Kau bukan kepala suku yang sejati!" teriak Fieran. "Kau
mungkin bisa menipu yang lain," lanjutnya, suaranya tegang. "Tapi
kau tidak bisa menipuku, Conn. Akan kucari tahu tipuan macam apa
yang kaugunakan. Dan sesudah kutemukan, kau akan diusir. Atau
dibunuh." "Tapi aku justru ingin kau mengetahui caraku melakukannya,
Fieran." Fieran menahan napas. Ia sulit untuk mempercayai
pendengarannya. Kenapa Conn memberitahukan fakta bahwa dia
bersalah" Ini pasti jebakan. "Kenapa?" tanyanya.
Conn maju beberapa langkah. Cahaya oranye dari tungku
memantul di matanya. "Aku ingin kau mengetahui persis seberapa besar kerugianmu."
"Aku tahu seberapa besar kerugianku," kata Fieran pahit.
"Oh, tidak, Fieran. Kurasa kau belum tahu sama sekali. Aku
harus mendapat bantuan untuk melakukan tipuan kecilku. Aku tidak
mungkin bisa melakukannya seorang diri."
Bulu-bulu di tubuh Fieran mulai meremang. "Ada yang
membantumu?" serunya. "Siapa" Katakan siapa yang membantumu!"
Senyum puas merekah di wajah Conn. "Brianna."
Dinding-dinding gua bagai merapat menjepit Fieran. Ia tidak
bisa bernapas. "Tidak benar," katanya dengan napas tersentak. "Aku
tidak percaya." "Oh, tapi sayangnya itu benar, Fieran."
"Brianna mencintaiku. Dia tidak akan pernah mengkhianatiku."
Conn tertawa. Gua menggemakan suara kasar itu. "Brianna
mencintai kekuatan, Fieran. Bukan hal yang lain. Dia akan melakukan
segalanya untuk mendapatkan kekuataan. Bahkan kalau harus
mengkhianatimu." Fieran menggeleng, seakan-akan dengan begitu bisa mengusir
kata-kata Conn dari kepalanya. "Aku tidak percaya," katanya lagi.
"Tidak benar." "Menurutmu bagaimana lagi aku bisa selamat dari api?" desak
Conn. Ia menatap Fieran dengan mata birunya yang dingin. Menatap
seakan-akan bisa memandang langsung ke dalam benak Fieran.
Alihkan pandanganmu, perintah Fieran sendiri.
Tapi tidak bisa. Kata-kata Conn memakunya di tempat.
"Pikirlah, Fieran!" lanjut Conn pelan. "Manteraku tidak cukup
kuat untuk melindungiku dari api. Tapi mantera Brianna cukup.
Manteranya bahkan cukup kuat untuk melindungi kami berdua."
"Tidak!" jerit Fieran. Brianna tidak akan berbuat begitu
padanya. Mereka saling mencintai. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Conn melanjutkan kata-katanya. "Kurasa aku harus berterima
kasih padamu untuk kemenanganku, Fieran. Kau yang mengajarkan
mantera api pertama kepada Brianna. Dia mungkin tidak akan
memutuskan untuk mempelajari api kalau bukan karena dirimu."
Aku tidak tahan lagi, pikir Fieran. Aku harus menghentikannya.
Aku harus menghentikannya.
Fieran menerjang Conn sambil menjerit melengking penuh
amarah. Ia ingin mencekik leher Conn. Ia ingin mendengar suara
tulang leher Conn patah. Mendengar Conn melolong kesakitan. Ia
ingin menghentikan ocehan Conn yang jahat.
Tapi ia kelelahan. Dan Conn terlalu cepat. Ia menghindari
Fieran dan memukulnya hingga jatuh ke tanah.
Darah dari luka di kening Fieran mengalir ke matanya. Inilah
yang diinginkan Conn, Fieran menyadarinya. Ini sebabnya ia
berbohong tentang Brianna padaku. Ia ingin aku menyerangnya,
dengan begitu ia memiliki alasan untuk membunuhku.
Fieran hanya bisa melihat lutut Conn saat pria itu berlutut di
sebelahnya. Conn mencengkeram rambut Fieran. Ia menarik kepala
Fieran ke belakang hingga Fieran mengira lehernya akan patah. Conn
memaksa Fieran membalas tatapannya.
Aku menang di medan pertempuran, pikir Fieran. Tapi aku
tidak akan menang kali ini. Kali ini, Conn akan benar-benar
membunuhku. "Kau bisa saja mati, Fieran," gumam Conn dengan suara
menakutkan. "Kau tahu, bukan" Aku bisa membunuhmu sekarang
juga dan tidak akan ada yang menyalahkan diriku. Mereka semua tahu
bahwa kau sinting karena cemburu."
Conn tiba-tiba melepaskan kepala Fieran sehingga ia tidak
sempat menahan diri. Wajahnya menghunjam ke tanah. Telinganya
berdenging menyakitkan. Tapi ia masih bisa mendengar suara Conn.
"Aku tidak ingin kau mati, Fieran," kata Conn. "Aku ingin kau
tetap hidup. Dan setiap hari seumur hidupmu, aku ingin kau
mengingat segala sesuatu yang sudah kuambil darimu. Aku ingin kau
mengingat kalau aku mendapatkan semua yang kauinginkan."
Fieran berjuang untuk bangkit berdiri. Conn menghunjamkan
tinjunya ke punggung Fieran dan menahannya.
"Pikirkan, Fieran," kata Conn tanpa belas kasihan. "Pikirkan
aku mencium Brianna. Pikirkan fakta bahwa akulah kepala suku yang
baru. Lalu pikirkan betapa tidak berdayanya dirimu. Tidak ada yang
bisa kaulakukan untuk menghentikanku. Setelah bertahun-tahun ini,
aku akhirnya menang."
Dari balik tirai kesakitannya, Fieran mendengar suara langkah
kaki Conn menjauh. Ia mendengar gemeresik tanaman rambat yang
berarti Conn telah meninggalkannya.
Perlahan-lahan, dengan kesakitan, Fieran duduk. Dengan tangan
dan lututnya ia merangkak di lantai gua. Seluruh tubuhnya memarmemar menyakitkan. Darah dari luka di wajahnya mengalir ke
matanya, mengaburkan pandangannya.
Aku belum kalah, sumpah Fieran di setiap gerakannya yang
menyakitkan. Aku akan membalas. Aku belum terkalahkan selama
masih hidup. Tapi sebelum mampu melawan, ia harus memiliki kekuatan.
Kekuatan yang hanya bisa berasal dari satu tempat. Conn belum
mengambil semuanya dari dirinya.
Fieran masih memiliki kepala Romawi.
Ia memusatkan pandangannya ke kepala itu dan menyeret
dirinya ke tungku. Ia tidak pernah mengalihkan pandangannya. Ia
mengulangi sumpah barunya pada setiap sentimeter yang menyakitkan
di lantai yang dilewatinya.
Kau akan menyesal, Conn. Sewaktu tiba di tungku, ia bersandar untuk bangkit berdiri.
Berikan kekuatanmu, pikir Fieran. Aku menginginkan
kekuatanmu. Kekuatan untuk mengalahkan musuhku. Kekuatan untuk
menjadikan diriku kuat. Tapi kekuatan kepala tidak akan terlepas sebelum tulangnya
bersih. Fieran mencabut sebilah pisau kecil yang diselipkan di
pinggangnya. Ia mengiris daging di bawah lubang mata. Ia merasa
tercekik oleh bau daging membusuk yang memenuhi cuping
hidungnya. Ia memalingkan wajahnya.
Tapi aku tidak boleh berhenti, pikirnya. Tidak kalau aku
menginginkan kekuatannya.
Fieran mengelupas daging dari kepala itu dan membuangnya ke
api. Bau daging terbakar membubung dari tungku. Fieran terbatukbatuk dan tercekik. Tapi ia tidak berhenti bekerja.
Bret! Fieran merobek telinga kanan kepala itu dengan jarinya.
Lalu ia merobek telinga kiri. Ia membuang keduanya ke tengah-tengah
Wasiat Malaikat 2 Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 3