Pencarian

Rahasia Rahasia Kelam 3

Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets Bagian 3


Api oranye cerah tengah melahap tirai-tirai jendela kamarnya.
Asap mengepung Savannah. Asap memenuhi hidung dan
mulutnya. Ia mencoba berteriak lagi, tapi hanya bisa megap-megap.
Megap-megap meminta bantuan. Megap-megap menghirup udara.
Asap kelabu tebal membakar matanya.
Savannah terhuyung-huyung turun dari ranjang dan jatuh
berlutut, terbatuk-batuk dan tercekik. Air mata membanjir membasahi
wajahnya. Api meraung-raung sementara kobarannya merayap naik di tirai
yang tebal. Dengan panik Savannah berusaha bangkit berdiri. Ia meraih
selimutnya. Ia bisa menggunakannya untuk memadamkan api.
Salah satu ujung selimut tersangkut di ranjang. Savannah
menarik selimut itu kuat- kuat. Selimut itu robek"dan ia terhuyung
jatuh ke belakang. Ke tirai yang menyala-nyala.
Lengan gaun tidurnya terjilat api.
Savannah kembali menjerit keras. Pintu kamar tidurnya
terdobrak membuka. Victoria menghambur masuk. Ia mendorong
Savannah ke ranjang dan memadamkan api di lengan gaunnya.
"Ambil bantal!" jerit Savannah. "Kita harus mencegah agar
apinya tidak menyebar."
Bersama-sama mereka berdua menyerang kobaran api yang
melalap tirai. Savannah merasa tenggorokannya tersumbat. Lengannya
semakin lemah, tapi ia tidak berhenti hingga apinya telah padam.
Lalu ia mengulurkan tangan ke balik tirai yang hangus dan
membuka jendelanya. Ia menghela napas dalam, menghirup udara
malam yang dingin ke dalam paru-parunya yang terasa sakit. Lalu ia
mundur agar Victoria mendapat giliran.
Savannah mengempaskan diri ke tepi ranjang. Ia mengawasi
asap yang masih tersisa melarikan diri ke dalam malam.
Siapa yang melakukan ini" ia bertanya dalam hati. Siapa yang
melakukan ini" Kenapa"
Kalau saja aku tidak terjaga... aku pasti tewas!
Victoria berbalik dari jendela. "Apa lagi yang harus terjadi,
Savannah, sebelum kau mempercayaiku" Salah satu dari kita akan
tewas di sini!" Savannah bangkit dari ranjang. "Aku harus menemui Tyler."
"Dia tidak akan membantumu!" jerit Victoria.
Tanpa mengacuhkan kakaknya, Savannah terhuyung-huyung
memasuki lorong. Tyler! pikirnya. Aku harus menemui Tyler.
Ia terhuyung-huyung menuruni tangga. Tyler menemuinya di
kaki tangga. "Savannah! Apa yang terjadi?"
Ia terhuyung-huyung ke dalam pelukan Tyler. "Ada yang
membakar tirai-tirai kamarku," bisiknya. Tenggorokannya terasa sakit.
"Oh, Tyler. Kupikir ada yang berusaha membunuhku."
Lengan Tyler memeluknya lebih erat. "Kenapa ada yang ingin
menyakitimu?" Savannah menarik tubuhnya ke belakang hingga bisa menatap
lurus ke mata Tyler yang biru. "Entahlah, Tyler, tapi aku ketakutan.
Ada yang mungkin sudah mencoba meracuniku" dan sekarang ini!"
Tyler menyentuh pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya
membuatmu merasa aman, kecuali..."
"Kecuali apa?" tanya Savannah. "Mengembalikanku ke
Whispering Oaks?" "Tidak, aku tidak akan pernah mengembalikanmu ke
Whispering Oaks," kata Tyler. "Tapi aku ingin kau merasa aman.
Kupikir sebaiknya kita menikah secepat mungkin."
Jantung Savannah berdebar-debar. Tyler benar, ia menyadari
hal itu. Kami akan jauh lebih dekat begitu sudah menikah. Dan
bersama-sama kami akan lebih kuat.
"Akan kusuruh Hattie membeli renda untuk cadar pengantinku."
Tyler menciumnya. "Sebaiknya kau kembali tidur," katanya.
Savannah mengangguk dan kembali naik ke atas. Segalanya
akan baik-baik saja sesudah Tyler dan aku menikah, katanya pada diri
sendiri. Savannah mendengar suara langkah kaki berlari ke arahnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lucy. "Aku sudah dengar apa yang
terjadi." ebukulawas.blogspot.com
"Aku baik-baik saja. Hanya kelelahan," kata Savannah.
Lucy mengikutinya naik ke atas.
"Apinya berwarna apa?" tanya Lucy, matanya berkilauan.
Savannah mendesah. Warna. Lucy menyukai warna. "Kurasa
merah dan oranye." "Aku senang kalau bisa melihatnya," Lucy mengakui.
Savannah masuk ke kamarnya dan berhenti dengan tiba-tiba.
Mrs. Mooreland ada di sana"menurunkan tirai-tirai yang hangus.
Lucy menarik-narik tangan Savannah. Savannah menunduk
memandangnya. "Aku ingin memberitahumu sebuah rahasia," kata Lucy pelan.
Savannah menggeleng. "Lucy, aku lelah sekali..."
"Ini penting," kata Lucy bersikeras. "Sangat penting."
Lucy melepaskan tangan Savannah dan melesat menyeberangi
ruangan. Ia naik ke ranjang dan menepuk-nepuk tempat di
sampingnya. "Duduklah di sini."
Mungkin aku tidak akan bisa tidur kembali, pikir Savannah. Ia
naik ke ranjang di samping Lucy. "Baiklah. Beritahukan rahasianya."
Mata Lucy membelalak dan suaranya semakin pelan. "Apa kau
pernah menyadari kalau huruf-huruf nama Fier bisa diatur sehingga
berbunyi f-i-r-e"api?"
Savannah merasa bulu tengkuknya meremang. "Tidak,"
katanya, mengakui dengan ragu-ragu. "Aku belum pernah
memikirkannya." "Seharusnya kaupikirkan," kata Lucy. "Ada ramalan tua yang
mengatakan bahwa api akan menghancurkan keluarga Fier.
Orangtuaku sendiri tewas dalam kebakaran mengerikan, bagian dari
kutukan keluarga Fier."
Savannah menelan ludah dengan susah payah. Kebakaran"
Orangtua Lucy tewas karena kebakaran" Itukah sebabnya Lucy
terpesona pada api" ia penasaran.
Lucy turun dari ranjang. "Awalnya, apinya kecil, lidahnya
berwarna merah dan kuning," katanya dengan suara serak. "Tapi lalu
semakin besar." Ia menyapukan tangannya ke udara, membentuk
lingkaran besar. "Semakin lama semakin besar?"ia menyatukan kedua
tangannya dan menggerakkannya ke arah langit-langit. Lalu ia
memisahkannya" "sampai apinya besar dan kuat. Dan indah. Dengan
warna-warna pelangi dan lainnya."
Lucy menari-nari melintasi ruangan. "Apinya meraung seperti
guntur. Pria serta wanita di dalamnya mulai menari-nari. Mereka
menari-nari dalam lidah api."
Lucy berjinjit. "Lidah apinya begitu cantik. Merah. Oranye.
Dan biru. Berputar-putar. Dan sewaktu yang wanita menjerit, lidah
apinya berputar semakin lama semakin cepat."
Lucy mulai berputar-putar, tertawa-tawa dan terus tertawa.
"Lidah apinya semakin terang dan semakin panas hingga ada di manamana. Menari-nari di sekitar ibu dan ayahku."
Savannah tertegun ketakutan menatap Lucy. Kenapa anak ini
tertawa" Kenapa dia terdengar begitu penuh semangat" Dia kan
sedang menggambarkan api yang membunuh orangtuanya!
Bab 23 SAVANNAH turun dari ranjang. "Lucy, kau tidak perlu
bercerita lebih jauh."
Lucy berhenti, terengah-engah, pipinya merah cerah.
Tatapannya liar, ekspresinya menakutkan. "Apinya semakin panas.
Ibuku menjerit!" Savannah memeluk Lucy. "Tidak apa-apa, Lucy," kata
Savannah pelan. "Semuanya sudah berlalu."
Lucy meronta membebaskan diri. "Mereka terus menari.
Mereka terus menari tanpa diriku!"
Lucy berlari keluar dari kamar. Savannah hendak mengejarnya.
"Biarkan saja," kata Mrs. Mooreland kasar.
Karena terkejut, Savannah berbalik. Ia telah melupakan
kehadiran Mrs. Mooreland.
"Dia bingung," protes Savannah. "Dia memerlukan..."
"Dia hanya perlu sendirian," sergah Mrs. Mooreland. "Lucy
benar mengenai ramalannya. Tapi dia tidak memberitahu segalanya
padamu. Lucy..." Mrs. Mooreland berhenti bicara dan mengejang, pandangannya
terpaku pada sesuatu di belakang Savannah.
Savannah berbalik dan melihat Tyler berdiri di ambang pintu.
"Aku lupa menanyakan apakah kau mau pindah kamar," katanya.
"Apakah bau asap mengganggumu?"
"Tidak," Savannah berusaha meyakinkannya. "Jendelanya
sudah kubuka. Kurasa sebagian besar asapnya sudah hilang sekarang."
Tyler mengangguk singkat. Lalu tatapannya beralih pada Mrs.
Mooreland. "Savannah dan aku memajukan tanggal pernikahan kami."
************* Dua hari kemudian, pagi-pagi, Savannah mengeluarkan gaun
pengantin yang telah dibawanya dari Whispering Oaks. Gaun
pengantin ibunya. Ia menunjukkan gaun itu kepada Hattie agar pelayan muda itu
bisa mendapatkan renda yang sesuai untuk cadarnya. Setelah Hattie
pergi, Savannah mengelus sutra putih itu dan mendesah.
Mungkin Tyler benar. Mungkin situasinya akan berubah begitu
kami menikah. Victoria akan menyadari bahwa tidak peduli apa pun
yang dikatakan atau dilakukannya, kami tidak akan kembali ke
Whispering Oaks. Dan Mrs. Mooreland serta Lucy akan terpaksa
menerima fakta bahwa aku tidak punya rencana untuk meninggalkan
Blackrose Manor. Savannah mengarahkan pandangannya ke kusen jendela yang
hangus. Setelah mendengar semangat dalam suara Lucy sewaktu
menjabarkan api yang telah menewaskan orangtuanya, Savannah
curiga gadis itulah yang telah membakar tirai-tirai di kamarnya.
Terdengar suara kuda meringkik ketakutan.
Savannah berlari ke jendela yang terbuka. "Whisper!" jeritnya.
Kuda hitam besar itu melonjak-lonjak dan mundur.
"Tidak," bisik Savannah.
Hattie duduk di pelananya, mencengkeram surai Whisper.
Dia tidak bisa mengendalikan Whisper, pikir Savannah. Dia
akan jatuh. Savannah melesat ke pintu. Ia mendengar Whisper meringkik
lagi. Lalu ia mendengar suara bruk.
Bab 24 "TIDAK! Tidak! Tidak!" jerit Savannah sambil berlari
menuruni tangga. Ia melesat keluar melalui pintu depan.
Hattie tergeletak di tanah, kaki kanannya terpuntir tidak wajar.
Savannah bisa mendengar erangannya.
Whisper melonjak-lonjak di sekitarnya, menyentak-nyentakkan
kepalanya. Aku harus menjauhkannya dari Hattie. "Tenang, Whisper,"
bujuk Savannah sambil mendekati hewan itu.
Ia bisa melihat bagian putih bola mata kudanya. Dia ketakutan,
pikir Savannah. Savannah maju selangkah. Whisper mengangkat kaki depannya.
Kaki-kakinya berada di atas kepala Hattie.
"Aku tidak bisa bergerak," jerit Hattie.
Whisper mengentakkan kakinya. Savannah mendengar derakan
mengerikan sewaktu kaki-kaki kudanya menghunjam ke kepala
Hattie. "Hattie!" jerit Savannah. Ia bergegas mendekati gadis itu.
Whisper melesat menjauh. "Oh, Hattie." Savannah berlutut di samping gadis itu. Dahi
Hattie melesak hancur. Savannah bisa melihat serpihan jaringan otak
bercampur darah. Ia mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Ia
berbalik. Mrs. Mooreland berlari mendekatinya. Pengurus rumah itu
mengatupkan bibirnya rapat-rapat melihat mayat Hattie yang
berantakan. "Ini salahku," bisik Mrs. Mooreland dengan suara serak. "Hattie
memberitahuku bahwa ia harus pergi ke kota. Aku menyuruhnya
menggunakan kuda. Aku tidak pernah bermimpi dia akan mengambil
kudamu." Savannah menggeleng. "Bukan salahmu," katanya. "Boleh
kuminta celemekmu?" tanyanya pelan.
Mrs. Mooreland tidak ragu-ragu. Ia menanggalkan celemeknya
dan mengulurkannya kepada Savannah. Dengan lembut Savannah
menggunakannya untuk menutupi wajah Hattie.
Victoria berlari mendekati mereka, pipinya merah membara. Ia
menatap sekitarnya dengan liar. Lalu ia mengulurkan tangan
menyambar lengan Savannah, menyeretnya hingga bangkit berdiri.
"Kekuatan-kekuatan jahatnya semakin kuat," kata Victoria.
"Aku tidak bisa menahannya lagi. Kita harus pergi. Kita harus pergi
sekarang juga!" Savannah memeluk bahu Victoria dengan satu tangan untuk
menenangkannya. "Ini hanya kecelakaan. Kecelakaan yang
mengerikan..." "Tidak! Ini karena kutukannya! Kutukanlah yang menyebabkan
semua ini! Sudah kukatakan kepadamu bahwa kesialan mengikuti
keluarga Fier." Victoria menyambar lengan Savannah dan
mengguncangnya. "Kita harus pergi."
Savannah sangat sedih. Ia sadar Victoria telah sinting. Benarbenar sinting.
Victoria kembali mengguncang Savannah.
"Ya, Victoria," kata Savannah pelan. "Kita akan pergi nanti
malam. Sebaiknya kau tidur sekarang agar cukup beristirahat untuk
perjalanan kita." Savannah benci membohongi kakaknya. Tapi hanya itu satusatunya cara untuk menenangkannya. Dan ia memerlukan waktu
untuk memutuskan tindakan yang akan diambilnya.
"Ikutlah denganku," pinta Victoria.
"Aku tidak bisa..."
"Biar aku yang menangani Hattie," sela Mrs. Mooreland.
Savannah tidak pernah menduga akan mendapat pengertian
sebesar itu dari pengurus rumah itu. "Terima kasih," katanya.
Mrs. Mooreland mengangguk. "Kakakmu benar. Kau harus
memutuskan pertunanganmu dengan Tyler dan meninggalkan
Blackrose Manor"sebelum terlambat."
Aku tidak bisa menghadapi Mrs. Mooreland sekarang, pikir
Savannah. Nanti aku akan bicara panjang-lebar dengannya"sesudah
Victoria tidur. "Tolong cari Tyler dan beritahu apa yang terjadi padanya," kata
Savannah kepada Mrs. Mooreland. Lalu ia mengajak Victoria kembali
ke kamarnya. "Roh jahat itu terasa dekat," bisik Victoria sambil naik ke
ranjangnya. Savannah menyelimuti kakaknya. "Kau aman di sini," katanya
berusaha meyakinkan kakaknya.
Victoria memberikan kantong hitamnya kepada Savannah.
"Taburkan tanah dari makam Ibu dan Ayah di sekeliling ranjang,"


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya, "dengan begitu roh jahat tidak akan mendekatiku sementara
aku tidur." Savannah memasukkan tangan ke dalam kantong. Victoria
menyambar tangannya. "Sisakan untuk dirimu sendiri. Kau juga perlu
beristirahat untuk perjalananmu nanti malam."
Savannah berjuang menahan air matanya. Aku tidak bisa
membiarkan Victoria mengetahui betapa bingungnya diriku, pikirnya.
"Akan kusisakan," katanya berjanji.
Ia menaburkan tanah itu di sekeliling ranjang dan diam-diam
keluar dari kamar. ************* Savannah berkeliaran di lahan Blackrose Manor, benaknya
penuh oleh pikiran tentang Hattie dan Victoria. Ia ingin bicara dengan
Tyler, tapi Tyler tengah mengurus mayat Hattie.
Sekalipun telah berusaha keras, Savannah tidak bisa
meyakinkan dirinya bahwa kematian Hattie sebuah kecelakaan.
Aku yakin dirikulah yang seharusnya tewas pagi ini. Ketakutan
yang dingin merayapi tubuhnya. Whisper itu kudaku.
Savannah menggosok-gosok lengannya, tapi ia tidak merasa
lebih hangat karenanya. Dalam benaknya ia masih bisa mendengar jeritan ketakutan
kudanya, melihatnya mengangkat kaki depannya dalam ketakutannya.
Ia tahu ada tumbuh-tumbuhan yang bisa menyebabkan hewan
sinting. Bahkan tumbuhan sesederhana kaktus kecil di bawah pelana
Whisper bisa membuat kuda tersebut bertingkah seliar itu.
Bagaimana dengan ilmu hitam" Mungkinkah Victoria
melakukan sesuatu terhadap Whisper"
Savannah percaya Victoria bersedia melakukan hampir
segalanya agar bisa meninggalkan Blackrose Manor. Mungkin dia
mengira bisa menakut-nakutiku hingga pergi dari sini. Dia tidak
mungkin bermaksud membunuhku, pikir Savannah.
Ia menekankan tangan ke dahinya yang berdenyut-denyut. Aku
tidak ingin memikirkan kejadian-kejadian mengerikan ini. Aku tidak
ingin memikirkan apa pun.
Ia berjalan semakin lama semakin cepat. Ia berjalan hingga kaki
dan telapaknya terasa sakit. Ia berjalan hingga merasa kelelahan,
terlalu lelah untuk bisa berpikir.
Sewaktu matahari mulai terbenam, Savannah kembali ke dalam
rumah. Di dalam dingin dan gelap. Dan begitu sunyi.
Seharusnya kuperiksa Calico, pikir Savannah. Hattie pasti ingin
aku merawatnya Ia bergegas ke dapur dan memeriksa kotak kayunya.
Kosong. "Calico!" serunya pelan. Ia memandang sekeliling dapur yang
gelap, tapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran kucing itu.
Sewaktu berbalik hendak pergi, ia mendengar suara. Sambil
menahan napas, Savannah berusaha keras mendengarkan.
Asal suaranya tidak jauh dari tempatnya berdiri"dengkuran
puas seekor kucing. "Calico?" panggilnya sekali lagi. Ia menyulut lilin dan berlutut
di lantai. Dalam cahaya remang-remang ia bisa melihat cairan merah
tua yang menggenang cukup banyak di lantai. Pasti menetes dari oven,
pikir Savannah. Ia membungkuk lebih dekat.
Darah, pikirnya. Ini darah. Calico menunduk di samping
genangan itu"melahap setiap tetes dengan rakusnya.
Bab 25 SAVANNAH menahan jeritannya dan menutup hidungnya
dengan tangan. Ia bisa mencium baunya sekarang. Ia bisa mencium
bau darah yang menusuk. Kenapa ada darah menetes dari oven" ia penasaran setengah
mati. Kenapa" Jantungnya berdentam-dentam menyakitkan dalam dadanya.
Savannah mengulurkan tangan dan menggenggam tangkai besi pintu
oven yang dingin. Ia menyentakkan pintu itu hingga terbuka.
"Mrs. Mooreland!" jerit Savannah, ketakutan mengganjal di
tenggorokannya. Pengurus rumah itu telah dijejalkan ke dalam oven besar itu.
Matanya kering dan terbuka. Wajah pucatnya membeku membentuk
seringai ketakutan. Tangan kanan Mrs. Mooreland memegang tenggorokannya.
Lengan kirinya menjuntai di atas kepalanya. Darah menutupi
pergelangannya. Ada yang memotong tangannya! Savannah tersadar. Ia bisa
melihat tulangnya yang putih. Melihat pembuluh-pembuluh darah dan
otot-ototnya. Savannah bergegas bangkit berdiri dan terhuyung-huyung
mundur. Lilinnya bergoyang-goyang.
Lalu ia menyadari tanda-tanda aneh di lantai. Digambar dengan
darah. Apa artinya" Savannah penasaran. Dan lalu tubuhnya gemetar
saat teringat bahwa Victoria menggunakan kaki ayam untuk menulis
pesan dalam darah. Apakah dia menggunakan tangan Mrs. Mooreland untuk
menuliskan tanda-tanda ini"
"Ilmu hitam!" bisik Savannah dengan suara serak. "Kematian
Mrs. Mooreland adalah kerja ilmu hitam!"
Aku harus menemui Victoria. Aku harus menemui Victoria
sekarang! Ia berlari keluar dari dapur dan menuju ke tangga. Ia berhenti
sewaktu mendengar suara-suara. Suara-suara keras penuh kemarahan.
Ia berhenti dan mendengarkan.
Teriakan-teriakan itu semakin keras.
Ia mengikuti suara-suara itu hingga tiba di ruang musik. Lalu ia
membuka pintunya dan mengintip ke dalam.
Tyler tengah tertawa. Tertawa sekalipun Victoria
mengacungkan sebilah pisau ke arahnya.
"Menurutmu, apa kata Savannah kalau dia tahu kaulah yang
sudah meracuni sosisnya, membakar tirainya, dan memberikan
jimsonweed kepada kudanya" Kaukira dia masih akan sesetia itu
kepadamu?" kata Tyler.
Victoria maju selangkah dengan sikap mengancam. "Dia akan
mengerti. Aku akan membuatnya mengerti bahwa aku berusaha
melindunginya, berusaha menjauhkannya dari tempat ini. Dan aku
akan membuatnya mengerti kenapa kau harus mati!"
Victoria mengangkat pisau besar itu. Bajanya berkilau tertimpa
cahaya api lilin. "Tidak!" jerit Savannah. Ia menjatuhkan lilinnya ke lantai batu
dan menyerbu masuk ke dalam ruangan. Ia mengempaskan tubuhnya
ke tubuh Victoria. Savannah dan Victoria menghantam lantai batu yang keras
dengan suara berdebum. Savannah mencoba merebut pisau dari
kakaknya. Victoria menjerit dan berguling hingga berada di atas Savannah.
Matanya membesar, wajahnya memancarkan kemurkaan. "Jangan
coba-coba menghentikanku!" jeritnya. "Aku harus mengakhiri
kutukannya!" Victoria berguling ke satu sisi, berusaha melepaskan diri dari
Savannah. Savannah bertahan mati-matian memegangi kakaknya. Ia
menyambar rambut Victoria dengan dua tangan.
Dengan sekuat tenaga, Savannah menyentakkan Victoria ke
belakang. Victoria menjerit. Ia jatuh di samping Savannah.
Savannah melepaskan rambut Victoria. "Aku tidak ingin
menyakitimu, Victoria, tapi aku tidak bisa membiarkan kau
membunuh Tyler." Victoria membuka mulut hendak bicara, tapi yang terdengar
hanyalah suara serak. Air mata mengalir ke pipi dari mata cokelatnya.
Lalu Savannah melihat genangan darah yang melebar di lantai
batu. "Kau terluka!" jeritnya.
Savannah menarik kakaknya lebih dekat dan memeluk Victoria.
Ia bisa merasakan darah Victoria yang hangat mengalir menembus
pakaiannya. "Apa yang terjadi?" gumam Savannah. Lalu ia melihat pisau
yang mencuat di sisi tubuh Victoria. Victoria tanpa sengaja telah
berguling ke atas pisaunya sendiri.
Victoria berjuang menarik napas. Ia mencengkeram tangan
Savannah. Savannah merasakan tangan kakaknya dingin dan gemetar.
"Kau tidak tahu apa yang sudah kaulakukan," kata Victoria
lemah. Air mata mengalir di pipi Savannah. "Aku sudah
membunuhmu," bisiknya. "Oh, Victoria, maafkan aku. Aku tidak
bermaksud begitu. Aku tidak bermaksud membunuhmu."
"Lebih buruk lagi," kata Victoria. "Kau sudah membiarkan roh
jahat hidup. Berhati-hatilah. Kau harus sangat berhati-hati. Aku... aku
sayang padamu, Sissy."
Victoria bersuara seperti orang tercekik. Lalu gelembung darah
merah terang meleleh di sela-sela bibirnya.
Bab 26 VICTORIA mengembuskan napas terakhirnya. Matanya
mengerjap-ngerjap menutup.
"Tidaaaaaak!" lolong Savannah. "Jangan kakakku. Jangan
kakakku. Please!" Ia mengguncang tubuh Victoria. "Victoria, bangun.
Bangun! Akan kubawa kau pulang ke Whispering Oaks. Kau tidak
perlu tinggal di Blackrose Manor. Akan kubawa kau pulang ke
Whispering Oaks!" Savannah menyentuh pipi Victoria yang pucat. Kulit Victoria
mulai terasa dingin. Dan akan semakin dingin.
"Oh, Victoria! Aku sudah membunuhmu!" jerit Savannah di
sela-sela isak tangisnya.
Savannah mengejang sewaktu ada tangan-tangan kuat yang
mencengkeram bahunya dan menariknya bangkit berdiri. Menjauhi
jenazah Victoria. Tyler. Savannah menengadah memandang mata birunya. "Oh,
Tyler," bisiknya dengan suara yang sarat dibebani duka. "Apa yang
sudah kulakukan?" Tyler memeluknya dan menekankan pipi Savannah ke bahunya.
"Kau sudah menyelamatkan hidupku," katanya pelan. "Tekadnya
membunuhku sudah bulat"dengan satu atau lain cara. Kau tidak
memiliki pilihan lain."
"Tapi rasanya menyakitkan. Sangat menyakitkan."
Tyler mengelus-elus punggung Victoria untuk
menenangkannya. "Aku tahu, tapi ini yang terbaik. Wanita yang baru
saja kaubunuh bukanlah kakakmu."
Kepala Savannah tersentak ke belakang.
"Gadis ini bukan Victoria yang kutemui di Whispering Oaks,"
kata Tyler lembut. "Gadis ini sinting. Kau mendengar apa yang
dikatakannya, Savannah. Dia juga berusaha membunuhmu. Dia pasti
tidak akan berbuat begitu kalau masih waras."
Savannah memejamkan matanya rapat-rapat. Tyler benar,
pikirnya. Ia berasa begitu sedih. Begitu hampa.
Aku harus memberitahu Tyler apa yang telah terjadi pada
pengurus rumahnya, pikir Savannah tiba-tiba. "Kupikir Victoria sudah
membunuh Mrs. Mooreland..."
"Mrs. Mooreland?" sela Tyler.
Savannah membuka matanya. "Kutemukan mayatnya dijejalkan
ke dalam oven"terpotong-potong."
"Terpotong-potong?" ulang Tyler dengan nada terkejut.
"Victoria mempraktekkan ilmu hitam," Savannah mengakui
dengan enggan. Ia merasakan tubuh Tyler gemetar. "Mrs. Mooreland yang
malang," katanya. "Sulit dipercaya dia telah tewas."
Savannah mulai gemetar tidak terkendali. Begitu banyak
kesedihan yang menyelimuti kami, pikirnya. Kesedihan dan kematian.
"Oh, Tyler, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
Ia mendengar Tyler menelan ludah dengan susah payah. Lalu
Tyler menghela napas dalam. "Sekalipun kedengarannya kasar, kita
harus melanjutkan kehidupan kita."
Ia menangkup wajah Savannah. "Aku tahu kau akan berduka
cita atas kematian kakakmu"tapi aku ingin kita menikah sekarang."
Savannah menatapnya. "Sekarang?"
Tyler ragu-ragu, menatapnya tajam. "Sesudah Victoria
dikebumikan." Aku begitu lelah merasa sedih, pikir Savannah. Aku
menginginkan ini. Aku ingin bahagia. Kurasa aku bisa berbahagia
bersama Tyler. Savannah mengangguk. Tyler mencium tangannya. "Kau tidak akan menyesalinya."
**************** Angin dingin melecut mantel Savannah saat ia berdiri di
samping peti mati kakaknya. Ia mengenakan kantong hitam Victoria,
yang dipenitikan ke roknya. Kantong itu tidak melindungi Victoria
dari kejahatan, tapi hanya itu yang dimiliki Savannah dari kakaknya.
Savannah menunduk memandang lubang dalam yang telah
digali orang-orang. Ia menggigil memikirkan Victoria akan selamanya
berada dalam lubang itu. "Seandainya aku bisa memakamkan dirimu di Whispering
Oaks, Victoria," bisiknya. "Seandainya aku bisa memakamkan dirimu
di samping Ibu dan Ayah. Tapi jalan ke sana terlalu lama, perkebunan
terlalu jauh dari sini. Kau akan bahagia di sini. Akan kubawakan
bunga ke makammu setiap hari. Aku berjanji."
Savannah merasa Tyler memeluknya. Ia menyandarkan
kepalanya ke bahu Tyler. Mungkin masa-masa buruk telah berlalu, pikirnya. Perang
sudah berakhir. Kakakku sudah terbebas dari kesintingan yang
mencengkeramnya"dan aku tidak akan pernah merasa khawatir
Victoria akan membunuh lagi.
Tyler dan aku akan selalu bersama-sama selamanya.
Orang-orang menarik tali yang dihubungkan ke peti mati
Victoria. Mereka mengayunkan peti mati ke atas lubang yang
menganga gelap. Hanya kebahagiaan yang menungguku sekarang, kata Savannah
pada diri sendiri. Ia berusaha meyakinkan dirinya. Hanya
kebahagiaan. Aku akan menikah besok. Besok aku akan menjadi Mrs.
Tyler Fier. Tass! Savannah melompat. Salah satu tali yang menahan peti mati putus.
Petinya jatuh ke dalam lubang.
Tutupnya terbuka. Savannah melihat mayat kakaknya.
Mata gelap Victoria terbuka. Menatap dengan pandangan
menuduh ke arah Savannah.
Dan angin melolong menyampaikan peringatan Victoria"
Kalau kita pergi ke Blackrose Manor, salah satu dari kita akan
dimakamkan di sana sebelum tahun ini berakhir!
Bab 27 KEESOKAN harinya Savannah melangkah menyusuri lorong


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempit gereja batu yang kecil itu.
Tidak ada organ dimainkan. Tidak ada tamu yang hadir.
Savannah tidak mengenakan cadar renda putih.
Ia mengenakan warna hitam duka cita.
Matanya merah dan bengkak. Ingatan tentang Victoria yang
menatapnya dengan pandangan menuduh telah membuatnya terjaga
dan menangis sepanjang malam.
Dengan mengenakan setelan hitam, Tyler berdiri di depan
pendeta. Ekspresinya serius.
Lucy berdiri di sampingnya, membawa buket mawar hitam.
Bibir gadis itu kaku. Hari ini seharusnya hari paling membahagiakan dalam hidupku,
pikir Savannah saat mendekati altar.
Mana bisa" Victoria-ku tewas.
Tyler melangkah maju dan meraih tangannya. Savannah merasa
nyaman dalam kehangatan genggaman Tyler.
"Hari ini kita memulai awal yang baru," kata Tyler pelan, mata
birunya terpaku pada Savannah. "Kita sudah diliputi kesialan sejak
awal. Pernikahan kita akan menghadirkan kebahagiaan yang kita
berdua inginkan." Ia tersenyum kecil. "Percayalah, Savannah."
"Aku percaya," bisik Savannah. "Aku selalu percaya."
Pendeta mulai membacakan ayat-ayat Alkitab dengan suara
pelan, khidmat. Savannah menyadari pikirannya melayang kembali ke hari-hari
sebelum perang. Ia bahagia waktu itu. Ia dikelilingi keluarga yang
mencintainya dan begitu banyak teman.
Kalau saja aku menikah dengan Tyler sebelum perang, pikirnya.
Mungkin pernikahanku akan berjalan sesuai keinginanku....
Renda putih. Magnolia memenuhi gereja.
Victoria membawa buketku. Victoria yang utuh dan waras, dan
turut merasakan kebahagiaanku.
Zachariah berdiri di samping calon suamiku.
Ayahku membimbingku menyusuri lorong, lengannya yang
kuat memberikan dukungan.
Ibuku menangis karena bahagia di deretan bangku depan.
Tapi aku menunggu. Dan sekarang yang ada hanyalah gereja yang kosong. Dan hari
yang seharusnya begitu bahagia kini penuh kesedihan.
Aku sudah kehilangan seluruh keluargaku, pikir Savannah.
Lalu suara Tyler yang dalam menerobos ke dalam lamunannya.
"Aku, Tyler Fier, menerima kau, Savannah Gentry..."
Savannah menengadah menatap wajah Tyler yang tampan.
Sekarang dialah keluargaku, katanya mengingatkan dirinya sendiri.
Ia menunduk saat Tyler menyelipkan cincin kawin emas yang
sederhana ke jarinya. Setelah selama ini, aku benar-benar menjadi
istrinya" hingga kematian memisahkan kami.
Savannah mengulangi sumpahnya sendiri dan menyelipkan
tanda cintanya ke jari Tyler" cincin kawin emas yang serupa.
"Selamanya, Savannah," kata Tyler pelan sebelum ia
memeteraikan sumpah itu dengan ciuman.
"Selamanya," ulang Savannah sesudah ciuman itu berakhir.
"Selamanya." Savannah dan Tyler berbalik dan melangkah menyusuri lorong.
"Sekarang kita benar-benar menjadi adik-kakak," Savannah
mendengar Lucy berkata saat mendekatinya.
Gadis itu mengulurkan tangan dan memeluk leher Savannah
dengan tangannya yang dingin.
Savannah menggigil. Ia memeluk Lucy, lalu melangkah
mundur. Lucy mempererat pelukannya. Aku tidak bisa bernapas, pikir
Savannah panik. Ia mencengkeram pinggang Lucy dan mencoba
mendorongnya menjauh. Tapi Lucy tidak mau melepasnya. Ia berjinjit hingga bisa
berbisik di telinga Savannah.
"Berjanjilah, berjanjilah padaku kalian tidak akan memiliki
anak," pinta Lucy. "Kalau kalian mempunyai anak, mereka semua
akan menanggung kutukan keluarga Fier"sebagaimana diriku.
Berjanjilah, Savannah. Ingat, orangtuaku tewas dalam kebakaran dan
meninggalkan diriku sebatang kara. Kutukan yang sama menimpa
dirimu sekarang." Bab 28 TYLER membantu Savannah turun dari kereta kuda. Ia
mencium istrinya sekilas. "Selamat datang, Mrs. Fier."
Savannah terkejut mendengar nama barunya diucapkan. Ia
tersenyum ragu-ragu. "Sulit percaya kita akhirnya menikah."
"Aku tahu," Tyler setuju. Mereka menaiki tangga batu diikuti
Lucy. "Sudah lama sekali sejak Zachariah mengajakku ke Whispering
Oaks." Tyler membukakan pintu bagi Savannah dan Lucy. "Sudah
waktunya kau tidur, Lucy," katanya sambil menutup pintu di belakang
mereka. "Hari ini sangat melelahkan. Aku yakin kau sudah kelelahan."
Lucy menyipitkan matanya. "Savannah tidak akan tidur
sekarang. Aku tak ingin tidur. Aku ingin merayakannya bersama
kalian." Tyler menangkupkan pipi Lucy. "Savannah istriku. Aku ingin
menghabiskan waktu berdua saja dengannya."
Lucy mengentakkan kakinya. "Kau menganggapku masih anakanak."
"Lucy..." kata Tyler.
"Aku bukan anak-anak. Aku tidak perlu mematuhi katakatamu," kata Lucy, berkacak pinggang.
Tak ada yang berjalan sebagaimana mestinya hari ini, pikir
Savannah. Aku bahkan tidak bisa berduaan saja dengan suamiku.
"Selama kau tinggal di sini, kau harus mematuhi setiap
perintahku," Tyler memperingatkan Lucy.
"Aku benci padamu!" jerit Lucy melengking. Ia melesat naik ke
lantai dua, diikuti Tyler.
Savannah mengangkat roknya dan bergegas mengejar mereka.
Ia berhasil menangkap lengan Tyler. Tyler berhenti dan berpaling
memandangnya. "Biarkan saja. Kau benar. Hari ini sudah sangat melelahkan.
Dia akan tertidur dengan sendirinya," kata Savannah.
Mereka mendengar jeritan melengking, keributan, lalu jeritan
lain. Tyler menyambar tangan Savannah dan mereka bergegas menuju
kamar tidur Lucy. Lucy meraih salah satu boneka mahalnya dan melemparkannya
ke arah Tyler. Tyler menangkapnya dengan mudah.
"Aku bukan anak-anak!" jerit Lucy. "Kau membawakan semua
boneka bodoh ini untukku karena menurutmu aku masih anak-anak.
Kau tidak pernah menyadari bahwa aku sudah dewasa."
Ia mencabut salah satu kepala boneka dan melemparkannya
kepada Savannah. Kepala itu mendarat di dekat kaki Savannah dan
menatapnya dengan mata tidak berkedip. Sama seperti Victoria dalam
peti matinya, pikir Savannah.
"Lucy," Tyler memperingatkan dengan suara pelan,
mengancam. "Hentikan sekarang juga."
"Tidak! Aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Akan
kubunuh mereka! Akan kubunuh mereka semua!"
Ada apa dengannya" pikir Savannah. Kenapa ia bersikap seperti
ini" "Kau bisa saja menikah denganku, Tyler. Kau bisa saja menikah
denganku. Dengan begitu aku bisa tetap terjaga dan bercakap-cakap
denganmu. Dengan begitu kau tidak akan menyuruhku tidur." Lucy
merobek lengan boneka yang lain. Kapas isinya berhamburan ke
seluruh kamar. Victoria benar, Savannah tersadar. Lucy menginginkan Tyler
untuk dirinya sendiri. Perasaan Lucy jauh lebih kuat daripada sekadar
perasaan anak kecil. Lucy menyambar boneka yang lain dan mulai merobekrobeknya. Tyler menghambur keluar dari kamar, wajahnya
memancarkan kemarahan yang amat sangat.
Savannah melangkah masuk ke kamar.
"Lucy," panggilnya pelan. "Lucy, ingat, kita sekarang
bersaudara. Kita bisa bicara."
Lucy berbalik dan memamerkan giginya. Ia membengkokkan
jemarinya membentuk cakar. "Aku tidak ingin menjadi adikmu lagi.
Kakakmu mati. Kau membunuhnya. Aku tidak ingin kau
membunuhku." Savannah tersentak. Ia mundur menjauhi Lucy. Apakah dia
benar-benar mengira aku akan menyakitinya"
Savannah merasa lega sewaktu Tyler kembali menghambur ke
dalam kamar. "Kau benar, Lucy," katanya pelan, tenang. "Aku tidak
sadar kau sudah tumbuh dewasa. Kau sudah terlalu besar untuk
bermain-main dengan boneka sekarang."
Sambil terengah-engah, Lucy merosot ke ranjangnya. "Aku
bukan anak-anak." Dengan hati-hati, Tyler melangkah maju. "Tidak, kau bukan
anak-anak. Aku tidak akan memberikan ini kepada anak-anak."
Savannah mengawasi saat Tyler membuka tangannya. Sebentuk
cincin batu mirah ada di telapaknya. "Ini milik ibuku. Dia memintaku
memberikannya kepadamu sesudah kau dewasa," kata Tyler.
Lucy menjerit terkejut. "Cantik sekali, Tyler."
"Kau juga," kata Tyler. Ia meraih tangan Lucy dan menyelipkan
cincin itu ke jarinya. Lucy mengacungkan tangannya dan mengagumi perhiasan yang
berkilauan itu. "Aku sudah benar-benar dewasa sekarang, bukan?" tanyanya.
"Ya, memang," kata Tyler.
Sambil tersenyum penuh kemenangan, Tyler memandang
Savannah. Lega karena Lucy akhirnya tenang, Savannah membalas
senyumannya. ************** Tapi malamnya ia tidak bisa berhenti memikirkan Lucy.
Savannah menghela napas dalam-dalam dan memberitahu Tyler
semua yang dikatakan Lucy di gereja.
Ekspresi wajah Tyler berubah muram.
Savannah merasa ketakutan merayapi tulang punggungnya.
Kengerian hebat membebani dirinya.
Tyler melangkah ke jendela dan membuka tirainya. Ia menatap
kegelapan di luar dalam kebisuan.
"Tadinya kuharap aku tidak akan pernah memberitahumu hal
ini," katanya akhirnya. Tyler berbalik dan memandang Savannah.
"Lucy-lah yang membunuh orangtuanya."
Bab 29 SAVANNAH mendengar sesuatu pecah berantakan. Baru
setelah itu ia sadar bahwa ia telah menjatuhkan gelas anggurnya.
Anggurnya menggenang di lantai seperti darah.
Kamar bagai bergoyang-goyang dan berputar-putar. Ia
terengah-engah menghela napas.
Lucy-lah yang membunuh orangtuanya! Lucy-lah yang
membunuh orangtuanya! Kata-kata itu menggema dalam benaknya bagai angin yang
melolong. Ia terhuyung-huyung mundur dan jatuh ke kursi.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanyanya.
"Lucy harus pergi dari sini. Sesudah sikapnya malam ini...
kupikir kau bisa menghadapi bahaya."
Tyler bangkit berdiri, melangkah ke perapian, dan menatap api
yang berkobar-kobar di sana. "Kukira aku bisa merawatnya, tapi
ternyata tidak. Terlalu riskan membiarkannya di rumah ini," kata
Tyler muram. Savannah bangkit berdiri dan menghampiri Tyler. Ia menyentuh
punggung suaminya. "Kau benar. Kita harus melakukan apa yang
terbaik bagi Lucy dan kita sendiri."
"Aku tidak ingin kau mengatakan apa pun kepada Lucy
mengenai keputusanku," kata Tyler pelan. "Selesai mengatur
kepindahan Lucy, akan kujelaskan situasinya kepadanya."
Ia berbalik. Ekspresinya memancarkan kekhawatiran dan
kelelahan. "Aku tak ingin Lucy mengira keputusanku ini karena
pengaruhmu." Tyler meraih tangan Savannah dan meremasnya. "Aku tidak
ingin Lucy marah padamu," katanya dengan suara serak. "Aku tidak
ingin kau yang tewas sesudah ini."
Bab 30 BEBERAPA malam kemudian Savannah tengah duduk di
depan meja rias di kamarnya, bersiap-siap untuk tidur. Perlahan-lahan
ia menyikat rambut pirangnya.
Ia belum bertemu lagi dengan Lucy sejak malam mereka pulang
dari pernikahannya. Lucy mengaku tidak enak badan dan perlu
beristirahat. Aku rindu Victoria, pikir Savannah. Setiap pagi ia mengunjungi
makam Victoria dan meletakkan mawar-mawar segar di samping batu
nisan kakaknya. Ia selalu memikirkan pertengkaran mengerikan dengan
kakaknya itu. Berulang-ulang ia melihat pandangan Victoria yang
mencerminkan kegilaan, melihat kilauan pisau yang tajam di
tangannya. Tidak ada lagi yang bisa kaulakukan, Savannah meyakinkan
dirinya untuk yang kesekian ratus kalinya. Victoria hendak
membunuh Tyler. Savannah mendoyongkan tubuh dan meniup mati lilinnya.
Bayang-bayang menelan kamar itu. Satu-satunya cahaya yang ada
berasal dari api kecil di perapian.
Ia beranjak dari kursi dan melangkah ke jendela. Taman tampak
hitam. Hitam pekat. Sewaktu berbalik dari jendela, sekilas cahaya menarik
perhatiannya. Ia menunduk dan melihat sebuah suluh bergerak-gerak
di pekarangan. Tyler pasti sedang berjalan-jalan, pikirnya.
Savannah memahami kegelisahan suaminya. Begitu banyak
yang harus dipikirkan Tyler akhir-akhir ini. Ia akan mengirim Lucy ke
tempat lain tidak lama lagi, dan Savannah tahu itu sangat
mengganggunya. Kuharap ia tidak berada di luar terlalu lama, pikir Savannah. Ia
pergi ke ranjang dan menyelinap ke balik selimut. Ia masuk semakin
dalam dan memejamkan mata. Tapi tidur tidak segera datang.
Kalau saja aku bisa membantu Tyler, pikir Savannah. Ia
berguling ke satu sisi. Apa itu" Savannah beranjak duduk. Ia mengira telah mendengar
suara pintu dibanting di lantai bawah. Pasti Tyler, pikirnya. Ia turun
dari ranjang dan menuju ke jendela. Ia tidak lagi melihat suluhnya.
Ia mendengar suara lain dan membeku.
Suara langkah-langkah kaki pelan.
Berlari. Berlari di atas batu. Lucy" Brak! Pintu kamar tidur Savannah terbuka.
Lucy berdiri di ambang pintu, terengah-engah, pipinya merah
padam. Api dari perapian memantul di mata hitamnya yang berkilauan.
Ia menatap Savannah.

Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu mulai tertawa histeris.
"Aku tahu yang sebenarnya!" serunya dengan nada bagai
menyanyi. "Aku tahu yang sebenarnya!"
Bab 31 LUCY berbalik dan menghambur pergi.
Oh, tidak! pikir Savannah. Lucy tahu dirinya akan pindah dari
Blackrose Manor. Lucy senang bersembunyi dalam kegelapan. Lucy senang
mengetahui rahasia-rahasia.
Tyler! Aku harus memperingatkan Tyler. Siapa tahu tindakan
apa yang bisa dilakukan Lucy padanya!
Savannah bergegas menyeberangi kamar ke meja rias dan
menyambar lilin. Ia menyulutnya di perapian dan bergegas keluar dari
kamar. Ke mana Lucy pergi" Aku harus menemukan Tyler lebih dulu,
pikirnya mengambil keputusan. Lalu kami sama-sama mencari Lucy.
Savannah melangkah menyusuri lorong hingga tiba di tangga.
Bebatuannya yang dingin terasa menusuk kakinya yang telanjang.
Savannah menggigil. Aku harus menemukan Tyler. Savannah bergegas menuruni
tangga. Api lilin menari-nari liar"lalu padam. Ia terjebak dalam
kegelapan. Ia membeku. Ada lilin di ruang tamu, katanya pada diri sendiri.
Aku hanya perlu terus turun ke ruang tamu.
Ia melangkah turun. Kakinya mendarat di tepi anak tangga
berikutnya. Ia terpeleset. Ia merasakan dirinya jatuh. Jatuh dengan
kepala lebih dulu ke bawah tangga batu yang keras.
Bab 32 SAVANNAH mendarat di dasar tangga. Tertegun ia menyadari
dirinya telah menimpa sesuatu yang lunak. Sesuatu yang hangat.
Tubuh orang! Savannah bergegas menjauhinya. Ia berusaha memandang
menembus kegelapan. Lucy. Ia menimpa tubuh Lucy.
Dengan hati-hati Savannah mengulurkan tangan dan
mengguncang gadis itu. "Lucy?"
Tidak ada jawaban. Aku harus menemukan lilin. Aku harus tahu seberapa buruk
luka yang diderita Lucy. Savannah bangkit berdiri dengan susah payah dan berjalan ke
ruang tamu. Api perapian berderak-derak dan meletup-letup.
Ia menemukan sepotong kecil lilin di meja di dekat perapian
dan bergegas menyulutnya.
Darah mengalir deras di keningnya sewaktu ia bergegas
kembali ke Lucy. Lututnya gemetar.
Savannah tersentak saat cahaya api lilin menerangi tubuh Lucy
yang tergeletak. Lengan Lucy terpelintir di bawah tubuhnya.
Genangan darah mengelilinginya.
Dan wajahnya... wajahnya melesak hancur. Sama seperti wajah
boneka keramiknya. Perut Savannah bergolak. Aku harus menemukan Tyler dan
memberitahu kejadian ini. Taman. Dia ada di taman. Savannah
bergegas ke luar. "Tyler!" serunya ke arah kegelapan.
Hanya angin yang melolong jawabannya. Angin itu
memadamkan apinya. Savannah menggigil. "Tyler!" teriaknya lagi. Lalu ia melihat
cahaya kuning pucat dari bawah sebuah pintu di ujung seberang
rumah. Pintu apa itu" Savannah penasaran. Ia berlari ke sana dan
mencoba selotnya. Tidak terkunci. Perlahan-lahan ia membuka
pintunya dan menyelinap masuk.
Ia menemukan tangga yang diterangi oleh suluh-suluh besar.
Tangga ini pasti menuju ruang bawah tanah, pikir Savannah. Ia
bergegas turun. Sewaktu tiba di dasar tangga, ia melihat seorang pria
membungkuk di atas meja. Tabung kaca berisi cairan yang mendidih
dan berasap ada di sampingnya.
"Tyler!" Savannah tersentak.
Tyler berputar dengan cepat. "Savannah! Aku tidak menduga
kau akan kemari." "Aku harus menemukanmu. Lucy tewas!" jerit Savannah.
"Ya, aku tahu," kata Tyler dingin. Ia melangkah mendekati
Savannah. Savannah sekarang bisa melihat meja dengan lebih jelas. Meja
itu dipenuhi tabung-tabung dan stoples-stoples kaca. Lalu ia melihat
sesuatu yang membuatnya menjerit.
Sepotong tangan"dengan cincin batu mirah Lucy di salah satu
jarinya. "Kau membunuhnya!" jerit Savannah. "Kau membunuh Lucy."
"Aku benar-benar tidak punya pilihan," jawab Tyler tenang.
Ia maju mendekati Savannah sambil tersenyum. "Kau mengerti,
Savannah, aku ingin kau menjadi orang terakhir yang tewas!"
Bab 23 SAVANNAH melangkah mundur sementara Tyler perlahanlahan maju selangkah demi selangkah.
"Kau juga yang membunuh Mrs. Mooreland, bukan?" jerit
Savannah. Ia teringat tangan Mrs. Mooreland yang putus.
"Ya," Tyler mengakui, pandangannya memancarkan
kemenangan. "Ya! Akulah yang membunuh Mrs. Mooreland. Ya,
akulah yang membunuh Lucy! Mereka berusaha menjauhkanmu
dariku." "Victoria benar tentang dirimu!" jerit Savannah. "Dia tahu kau
jahat. Dan aku justru membunuhnya. Aku membunuh kakakku sendiri
untuk melindungimu."
Savannah merasakan kebencian menggelegak dalam dirinya.
"Tega sekali kau berbuat begitu padaku!" jeritnya.
"Bukan hanya itu," kata Tyler. "Aku juga membunuh
Zachariah." Ia mengacungkan tangannya yang berbekas luka. "Dia
tidak memberiku pilihan. Kami berada di pihak yang berlawanan
dalam perang. Dia menusukku dengan bayonetnya."
Savannah menggigil. Zach berusaha mengingatkan diriku
sewaktu ia datang malam-malam di Whispering Oaks, ia tersadar.
Zach berusaha mengingatkanku tentang Tyler!
"Dan kalau kalian tidak berada di pihak yang berlawanan dalam
perang?" tanya Savannah. "Lalu apa" Apakah kau akan membunuh
kami semua di Whispering Oaks?"
"Sudah kukatakan, Savannah. Perang mengubah kita. Perang
mengubah kita semua Ia maju selangkah. Savannah mundur dan menabrak dinding
Senyum kemenangan merekah di wajah Tyler. "Tidak ada yang
akan membantumu, Savannah." Ia mengulurkan tangan. "Hanya aku.
Kemarilah." "Tidak!" teriak Savannah. Ia mencari-cari jalan keluar dari
ruangan itu. Tyler menghalangi tangga, pikirnya. Aku harus membuatnya
menjauhi tangga. Dan lalu ia menyadari sebuah suluh menyala di dekatnya.
Tyler mendekat. Savannah menahan napas dan menunggu. Lebih dekat lagi,
Tyler, pikirnya. Sedikit lebih dekat lagi.
Tyler kembali maju selangkah.
Savannah menyambar suluh yang berat itu dan
menghantamkannya ke kepala Tyler. Tyler terhuyung dan jatuh ke
lantai batu yang dingin. Savannah memandang ngeri sewaktu Tyler berusaha bangkit
berdiri. Tyler menyentakkan kepalanya ke belakang dan melolong
marah. Lalu ia menerjang Savannah.
Savannah merunduk dan berputar ke samping. Tyler
menghantam dinding. Savannah melihat sebuah garu jerami di sudut. Ia bergegas
menyeberangi ruangan, menyambar garu itu, dan berbalik.
Tyler bersandar ke dinding untuk memantapkan posisinya.
Kepalanya menunduk. Savannah mengangkat garu jerami itu dan
maju. "Seharusnya kau memberitahuku bahwa Victoria
mempraktekkan ilmu hitam," kata Tyler, kemarahan sarat dalam
suaranya. Savannah goyah. Tyler menegakkan tubuh, matanya berkilauan. "Seharusnya kau
tidak menyembunyikan rahasia itu dariku. Victoria hampir merusak
segalanya." Victoria, pikir Savannah. Victoria tewas karena kau. Savannah
bergegas menyerbu, garu jeraminya terangkat tinggi. Lalu ia
menghunjamkan garu itu ke dada Tyler sekuat tenaga.
Savannah merasakan ujung-ujung logam garu itu menembus
daging Tyler. Mendengar suara rusuk Tyler patah.
Tyler tetap berdiri. Ia tidak terhuyung-huyung mundur. Ia tidak
melolong kesakitan. Ia tidak mengeluarkan darah.
Ia mencengkeram tangkai garu itu erat-erat dan mencabutnya
dari dadanya. Ini tidak mungkin terjadi, pikir Savannah. Tidak mungkin.
Tyler tertawa seperti orang gila. "Kau tidak bisa membunuhku,
Savannah! Aku sudah mati di Gettysburg!"
Bab 34 "YA, Savannah. Aku sudah mati. Kakakmu yang membunuhku.
Dia menusuk perutku. Kau tahu betapa menyakitkannya mati karena
luka di perut, Savannah" Sakitnya tidak tertahankan. Dan butuh waktu
lama untuk mati dengan cara itu."
Dia sudah mati. Savannah tertegun. Ia tidak bisa bergerak. Ia
hampir-hampir tidak bisa berpikir.
"Itu memberiku waktu untuk menyusun rencana," kata Tyler.
"Dan menyadari bahwa cintaku padamu tidak akan pernah padam.
Bukankah kita sudah mengatakan selamanya" Bukankah itu janji
kita?" Perlahan-lahan mereka berputar hingga berhadap-hadapan.
"Kutemukan cara untuk kembali padamu, Savannah," kata Tyler.
"Kutemukan cara agar kita bisa bersama-sama selamanya."
Savannah menatapnya. Ia merasakan kemarahan dan kebencian
berkobar dalam dirinya. "Victoria bukan satu-satunya yang menguasai ilmu hitam," kata
Tyler. "Dia masih pemula. Tapi aku sudah pakar."
Savannah tersentak saat kebenaran menghantamnya. "Kalian
berdua bertengkar hari itu karena Victoria sudah mengetahui yang
sebenarnya." "Ya," jawab Tyler tenang. "Dia menemukan Mrs. Mooreland
sebelum dirimu. Dia mengenali tanda-tanda yang kubuat dengan darah
di lantai. Dia tahu aku mayat hidup."
"Dan dia tahu caranya menghancurkan dirimu," kata Savannah.
"Tidak. Aku tidak pernah terancam bahaya. Seperti yang sudah
kukatakan, dia masih pemula. Aku lebih suka membunuhnya dengan
tanganku sendiri." Ia mengangkat bahu. "Tapi cukup menyenangkan
juga melihatmu membunuhnya demi diriku."
Savannah merasakan jantungnya bagai diremas. Kata-kata
terakhir Victoria saat sekarat menjerit dalam benaknya. Kau sudah
membiarkan roh jahat hidup! Apa yang bisa kulakukan" pikir
Savannah. Apa yang bisa kulakukan untuk menghentikan Tyler"
"Tidak ada yang bisa kaulakukan," kata Tyler seakan-akan
membaca pikirannya. "Ada pepatah lama dalam keluargaku"
Dominatio per malum. Artinya 'kekuasaan melalui kejahatan'. Aku
memiliki kekuatan yang jauh dari yang kaubayangkan, Savannah."
"Apa yang kauinginkan dariku?" jerit Savannah. "Kenapa kau
berbuat begini?" "Aku sudah berjanji suatu hari nanti kau akan menyesal karena
memilih Selatan daripada aku. Hari ini akan kutepati janji itu."
Ia melompat ke arah Savannah. Savannah melesat menjauh.
Tyler tertawa. "Kita bisa memainkan permainan ini sepanjang
malam. Cepat atau lambat kau akan kelelahan. Dan lalu aku akan
menang"karena aku tidak pernah merasa lelah."
Tyler menerjang maju. Savannah melompat mundur dan
menabrak meja. "Tidaaaaaak!" jerit Tyler. Ia menerjang ke arah meja, meraih
cairan yang mendidih. Terlambat. Tabungnya pecah, menumpahkan cairan mendidih
itu ke tangan Lucy. ebukulawas.blogspot.com
Tangan itu tersentak seakan-akan hidup dengan tiba-tiba.
Jemarinya bergerak-gerak. Lalu semuanya melemas. Tyler menjerit
kesakitan. Bab 35 "KAU sudah merusak upacaranya!" jerit Tyler. "Aku
memerlukan energinya. Aku belum makan lagi sejak pemakaman
Victoria." Ia menatap Savannah. Savannah bisa melihat kebencian dalam
pandangan Tyler. "Sekarang aku terpaksa membunuhmu untuk bertahan hidup.
Dan aku begitu ingin melakukannya tanpa tergesa-gesa.
Membunuhmu perlahan-lahan."
Savannah berbalik hendak melarikan diri, tapi ia terpeleset
lantai yang licin. Tyler menyambar dan mencekiknya.
Dia akan membunuhku, pikir Savannah. Sama seperti yang
lainnya. Sakit yang hebat merobek-robek dadanya. Paru-parunya bagai
terbakar karena butuh udara. Savannah mengira bisa mencium bau
magnolia. "Whispering Oaks." Bibirnya membentuk kata-kata itu, tapi
tidak ada suara yang terdengar.
Lengannya menjuntai lemas di kedua sisinya. Lututnya lemah.
Lidahnya mulai bengkak. Aku ingin pulang, pikirnya saat kegelapan mulai
menyelimutinya Lolongan kesakitan menggema ke seluruh ruangan. Aroma
magnolia mengalahkan bau kebusukan.
Savannah merasakan jemari Tyler yang kuat mengendur di
lehernya. Udara! Ia menghirupnya banyak-banyak.
Tyler telah melepaskan cekikannya. Savannah hanya mampu
menatapnya. Mata Tyler menggembung dan berbalik di kepalanya. Ia
terengah-engah menghela napas, mendesis dan tercekik.
Dia sekarat, Savannah menyadarinya. Tyler benar-benar sekarat
kali ini. "Tolong aku," pinta Tyler.
"Kau sudah tidak bisa ditolong," bisik Savannah dengan suara
serak, air mata menyengat matanya. "Sama seperti aku. Kita berdua
sudah hancur." Tubuh Tyler mulai membusuk. Dagingnya berubah kehitaman
dan jatuh ke lantai dalam bongkahan-bongkahan.
Savannah tidak ingin menyaksikannya, tapi ia tidak bisa


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalihkan pandangannya.
Salah satu bola mata Tyler terlepas dari tempatnya. Bola mata
itu bergulir di lantai hingga di depan kaki Savannah.
Dalam beberapa saat tubuh Tyler hanya tinggal tulang-belulang
yang putih bersih. Blackrose Manor "SETELAH kejadian itu Savannah bisa merasakan hatinya
berubah segelap mawar-mawar di taman ini," kata wanita tua itu
sambil memetik mawar hitam yang lain. "Sekarang kau tahu kisah
Savannah yang terkutuk dan malang, gadis yang memiliki segalanya...
dan kehilangan semuanya."
Ia meremukkan mawar itu dengan tangannya yang keriput.
"Gadis yang sudah membunuh kakak tersayangnya sendiri." Ia
membuang kelopak yang telah remuk itu ke makam di dekatnya.
Di batu nisannya tertulis: VICTORIA GENTRY.
"Ya, sekarang kau tahu kisahku. Kisahku yang tragis. Benar,
bukan, Sayang?" Savannah berpaling ke kursi di sampingnya.
Tyler duduk di sampingnya, wajah tengkoraknya menyeringai
menakutkan, cincin kawin mengilat di sekeliling tulang jarinya yang
putih.END Pendekar Naga Mas 7 Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi Rahasia Puri Merah 2
^