Pencarian

Ratu Pesta Dansa 1

Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen Bagian 1


BAB 1 KAMI tidak bisa berhenti membahas si pembunuh. Kami
berusaha melupakannya, menyingkirkannya dari pikiran kami. Tapi
kemudian salah satu dari kami teringat lagi dan mengatakan sesuatu,
dan kami akan kembali membicarakannya.
Kami semua merasa gelisah"meskipun tak ada yang mau
mengakuinya. Kami berlagak tenang dan bersikap seakan-akan
semuanya sekadar lelucon belaka. Tapi percayalah, sebenarnya kami
gelisah. Karena pembunuhan itu terjadi di sekitar kami. Karena
korbannya gadis seumur kami"gadis biasa, seperti kami.
"Ada untungnya juga," ujar Dawn sambil mengancingkan blus
sutranya yang berwarna putih. "Paling tidak anak itu tidak perlu
bingung mencari teman kencan untuk pesta dansa."
"Kau keterlaluan deh," aku berkata padanya.
"Ya, keterlaluan," Rachel menimpali.
Saat itu hari Selasa, seusai pelajaran olahraga. Ruang ganti
dipenuhi gadis-gadis yang terburu-buru berpakaian untuk mengikuti
pertemuan pesta dansa di sekolah. Udaranya terasa panas dan pengap,
dan di mana-mana terdengar suara canda dan tawa.
Aku menaikkan kaki kiri ke bangku kayu di antara Dawn dan
Rachel, yang sedang menggeliat-geliut sambil menarik celana jeans
hitamnya, dan mengikat tali sepatu. "Kalian lihat laporan di siaran
berita pagi?" aku bertanya pada mereka.
Rachel menggelengkan kepala. Dawn menyahut, "Soal
pembunuhan itu?" "Yeah. Mereka memperlihatkan polisi sedang menyisir hutan
Fear Street untuk mencari petunjuk. Mereka juga memperlihatkan
jurang becek tempat mayatnya ditemukan. Dan akhirnya mereka
memperlihatkan gadis itu di dalam kantong mayat berwarna biru."
"Idih!" Dawn berseru.
"Mereka juga memperlihatkan foto buram hitam-putih gadis
itu"senyumnya manis sekali. Mereka bilang, dia ditikam enam belas
kali." "Hmm, dia tak bakal tersenyum lagi," Dawn berkomentar
dengan getir. Dawn mulai berkelakar seperti itu sejak kami mendengar berita
tentang pembunuhan tersebut. Aku rasa itu cara dia untuk mengatasi
gejolak perasaannya. Dia selalu berusaha menyembunyikan
perasaannya. Rachel menatapnya sambil mendelik. "Leluconmu tidak lucu."
"Ah, jangan sok serius deh," balas Dawn dengan sengit. "Dia
bukan saudaramu. Tak ada yang tahu siapa dia sebenamya."
"Waktu makan siang tadi aku menelepon sepupuku, Jackie,"
ujar Rachel pelan-pelan. "Dia tinggal di Waynesbridge. Dia bilang dia
kenal anak itu." Dawn dan aku buka mulut berbarengan. "Dia kenal anak itu?"
"Kenapa kau tidak cerita?" "Apa katanya?" "Mereka berteman?"
"Mereka berteman baik," Rachel menjawab pertanyaanku yang
terakhir. "Mereka bersahabat. Jackie terpukul sekali, dia hampir tidak
bisa ngomong." Rachel menyisir rambutnya yang panjang dan merah, tapi
sekonyong-konyong dia berhenti. Wajahnya mendadak pucat. "Aku
belum bisa percaya bahwa ini benar-benar terjadi di Shadyside. Benarbenar mengerikan."
"Sepupumu itu kira-kira tahu siapa pelakunya?" tanya Dawn.
Rachel menggelengkan kepala. "Tidak. Dia bilang Stacey anak
baik yang banyak teman. Semua orang menyukainya. Polisi sempat
minta keterangan dari Jackie, tapi pikirannya masih terlalu kacau. Dia
tidak bisa cerita apa-apa."
Ia memasukkan sisir ke ransel, lalu menarik ritsletingnya. "Aku
tinggal di Fear Street, dan mayat Stacey ditemukan hanya satu blok
dari rumahku. Aku terus membayangkan bagaimana kalau aku yang
jadi korbannya. Bisa saja aku yang ditemukan di sana."
"Hmm, aku tidak mungkin jadi korban," kata Dawn sambil
mengoleskan lip gloss ke bibirnya. "Aku tak bakal mau pergi ke hutan
Fear Street. Lebih baik aku mati daripada harus pergi ke sana."
Kemudian Dawn menyadari apa yang dikatakannya, dan dia tertawa.
"Yeah?" ujarku. "Tadi pagi ada salah satu petugas polisi yang
diwawancarai di TV. Dan dia bilang si pembunuh sudah mengintai
rumah Stacey. Menurutnya, orang gila itu menunggu sampai Stacey
sendirian, dan habis itu..."
Aku menoleh dan berhenti sebentar, sekadar untuk membuat
suasana bertambah tegang.
"Dan habis itu?" Dawn mendesak.
"Dia membunuhnya di kamar tidurnya sendiri."
Dawn langsung melongo. Dia kelihatan ketakutan. "Dari dulu
aku paling tidak suka ditinggal sendirian di rumah," dia mengakui.
"Rasanya kejadian ini takkan membantumu mengatasi masalah
itu," aku berkata padanya.
Sejenak Dawn menatapku dengan pandangan kosong. Hanya
sejenak. Kemudian dia memekik, menjambak rambutnya sendiri, dan
berteriak sekeras mungkin. Tingkahnya disambut dengan tawa oleh
anak-anak yang masih berada di ruang ganti.
Di seberang ruangan, Shari Paulsen berlagak mengangkat pisau
dan mulai menusuk-nusuk sambil menirukan bunyi seram dari film
Psycho. Kau tahu, kan"bunyi yang terdengar waktu Anthony Perkins
menikam seseorang"Iii! Iie! Iie!
Kemudian Shari mengelilingi ruang ganti seperti zombie yang
mengamuk sambil berlagak menikam semua orang yang dilihatnya.
Suasana jadi riuh. Sebenarnya tingkahnya tidak lucu, tapi kami tetap tertawa.
Habis, apalagi yang bisa kita lakukan kalau ada kejadian yang begitu
mengerikan di sekitar kita" Bergurau seperti itu mungkin bisa
membantu. Gadis di ujung deretan kami membanting pintu locker-nya dan
bergegas keluar. Dawn tersentak kaget, seakan-akan baru saja
mendengar bunyi tembakan. "Oke," dia berkata. "Ini sudah cukup.
Aku bisa gila kalau kita terus membahas ini."
"Kalau begitu, kau tentu tidak berminat mendengar bagian yang
paling gawat," ujarku.
Dawn dan Rachel menghela napas. "Lebih gawat dari ditikam
enam belas kali?" tanya Dawn. "Apa lagi" Dia juga dilindas truk?"
"Kau bilang kau tidak mau membahasnya lagi," aku
menggodanya. "Ayo dong!" dia mendesakku. "Apa lagi?"
Aku melanjutkan ceritaku. "Menurut polisi, pembunuhan ini
serupa dengan pembunuhan di Durham minggu lalu."
Durham berjarak satu jam perjalanan mobil dari Shadyside, tapi
saat itu rasanya jauh lebih dekat.
"Jadi?" tanya Dawn. "Apa maksudnya?"
"Ini berarti ada kemungkinan kita menghadapi pembunuh
kambuhan," aku menjelaskan.
"Pembunuh kambuhan...," Rachel bergumam. "Wah, benarbenar gawat. Aku akan memaksa orangtuaku membeli anjing." Ia
menyelipkan kakinya ke sepasang sepatu kets yang sudah lusuh.
"Rumahku bahkan tidak dilengkapi alarm."
Memang benar"orangtua Rachel termasuk miskin
dibandingkan orangtua kami. Aku tidak yakin mereka sanggup
membeli sistem alarm"biarpun ada pembunuh kambuhan yang
sedang berkeliaran. Bel yang menandakan awal jam pelajaran berikut terdengar
nyaring. Segelintir anak yang masih berada di ruang ganti mengeluh
tertahan. "Ayo, cepat sedikit dong," Dawn mendesak. Kemudian dia
mengagumi wajahnya di cermin sambil memasang tampang yang
dianggapnya seksi. "Aku tahu apa yang lebih menarik dibicarakan
daripada si pembunuh," dia berkata. "Siapa yang harus kupilih sebagai
teman kencan untuk pesta dansa." Dia menyebutkan nama empat
cowok paling populer di Shadyside High.
"Kau diajak oleh keempat-empatnya?" Rachel berseru dengan
heran. "Masa sih?" aku menimpali. "Pesta dansa itu kan masih lima
minggu dari sekarang."
"Sebenamya," ujar Dawn, "mereka belum bilang apa-apa. Tapi
mereka pasti akan mengajakku. Lihat saja nanti."
Kamilah yang terakhir meninggalkan ruang ganti. Loronglorong sekolah sudah sepi, suatu tanda bahwa kami terlambat untuk
pertemuan pesta dansa. Kami mulai berlari. Sepatu kami berdecitdecit di lantai.
"Kau bagaimana?" Rachel bertanya padaku ketika kami
menyusuri lorong. "Sudah ada teman kencan?"
Aku menggelengkan kepala.
Kalau bukan karena Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, aku
seharusnya sudah punya teman kencan. Sungguh. Selama lebih dari
satu tahun aku berpacaran dengan Kevin McCormack. Kemudian
ayahnya, seorang mayor angkatan darat, pindah tugas ke Alabama.
Keluarga Kevin pindah bulan Januari lalu. Sejak itu kami
pacaran jarak jauh, lewat surat. Mula-mula kami sering mengobrol
lewat telepon, tapi ketika ayahku melihat besamya tagihan telepon,
pacaran lewat telepon ini terpaksa berhenti.
Untuk sementara Mayor McCormack belum mengizinkan
Kevin kembali ke Shadyside untuk menghadiri pesta dansa. Ayah
Kevin berpendapat bahwa Kevin perlu "beraklimatisasi di
pangkalannya yang baru". Memang itu kata-kata yang digunakannya,
menurut Kevin. Dan aku percaya. Ayahnya selalu memakai bahasa
tentara. Dawn menarik pintu auditorium. Beberapa orang di deretan
belakang menoleh untuk melihat siapa yang baru datang.
Di depan, Miss Ryan sudah mulai membacakan pengumumanpengumuman di atas panggung. Mr. Abner berdiri di dekat pintu
belakang. Dia melihatku masuk dan langsung melotot ketika kami
mengambil tempat. "Mrs. Bartlett minta saya mengumumkan bahwa selama minggu
ini kalian bisa menyerahkan buku-buku perpustakaan yang terlambat
dikembalikan tanpa dikenai denda," ebukulawas.blogspot.com
Miss Ryan berkata. "Saya berharap kalian memanfaatkan
kesempatan khusus ini. Kalau ada yang masih menyimpan buku
perpustakaan di rumah, tolong segera dikembalikan."
Ia membolak-balik catatannya. "Sekarang kita bisa masuk ke
masalah pokok pertemuan ini, yaitu pengumuman mengenai kelima
calon ratu pesta dansa."
Pengumuman itu disambut tepuk tangan meriah serta komentarkomentar iseng dari sejumlah anak cowok. Miss Ryan menunggu
sampai suasana kembali tenang. Kemudian dia berpaling kepada
kepala sekolah kami, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Mr. Sewall?" Mr. Sewall bertubuh pendek, gemuk, dan kepalanya botak. Dia
pantas menjadi salah satu tokoh Sesame Street, jadi kami
menjulukinya si Muppet. Dia menghampiri mikrofon sambil membawa sebuah kartu
putih. Seketika jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu bahwa itu
norak, tapi aku betul-betul menyukai acara pesta dansa dengan segala
tetek-bengeknya. Banyak temanku yang juga begitu.
Hanya murid-murid kelas tiga yang berhak memberikan suara.
Aku memilih Rachel. Rachel sebenarnya bukan cewek paling populer,
tapi itu terutama disebabkan karena dia begitu pemalu. Mungkin juga
karena dia agak sinis, sebab dia kan berasal dari keluarga miskin dan
sebagainya. Tapi kalau kita sudah akrab dengannya, kita akan tahu
bahwa dia manis sekali dan teman yang baik. Siapa tahu dia akan
lebih terbuka kalau dia terpilih sebagai ratu pesta dansa.
Namun peluangnya untuk menang tidak besar.
"Sebelum kita mulai," si Muppet berkata, "saya ingin
mengucapkan beberapa patah kata mengenai tragedi yang terjadi di
daerah Shadyside kemarin."
Rachel dan aku saling berpandangan. Dawn memasukkan jari
telunjuk ke mulutnya dan berlagak mau muntah.
"Saya berharap," Mr. Sewall mengawali petuahnya, "kita semua
berharap pembunuh itu akan secepatnya tertangkap. Sementara itu,
saya minta kalian jangan panik. Dan saya kira para gadis harus lebih
berhati-hati dari biasanya."
"Cara yang jitu untuk mencegah panik," bisik Dawn.
"Oke," si kepala sekolah melanjutkan, "sekarang kita lanjutkan
acara kita." Dia tertawa kecil, seolah-olah baru saja menceritakan
lelucon paling lucu di seluruh dunia.
"Semua suara sudah masuk." Dia melambai-lambaikan kartu di
tangannya. "Seperti yang kalian ketahui, lima orang dengan suara
terbanyak akan menjadi calon ratu pesta dansa. Saya akan
membacakan nama kelima pemenang, dan minta mereka naik ke
panggung. "Saya akan membacakan nama mereka berdasarkan abjad." Ia
tersenyum, menatap kartunya, kemudian kembali memandang ke arah
murid-muridnya, mengulur-ulur waktu untuk menambah ketegangan.
Akhirnya dia berkata, "Elizabeth McVay."
Mula-mula aku sama sekali tidak bereaksi. Aku tidak mengenali
namaku sendiri! Dawn mulai menepuk punggungku dan berseru, "Hidup Lizzy!"
Aku hampir terpeleset waktu mulai melangkah, dan berhubung
kami duduk paling belakang, aku harus berjalan cukup jauh. Kepalaku
serasa berputar-putar. Setelah aku sampai di panggung, Mr. Sewall menyalamiku.
Aku menyesal karena telah lupa kalau pertemuannya diadakan
hari itu. Seandainya ingat, aku tak bakal mengenakan celana jeans
lusuh dan kemeja katun berwarna biru bekas ayahku. Dan aku takkan
membasahi rambutku waktu mandi di ruang ganti tadi.
Rambutku berwarna cokelat muda"cokelat madu, istilah
ibuku. Tapi dalam keadaan basah, rambutku cuma cokelat biasa. Aku
menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi mataku, tapi
rambut-rambut itu langsung kembali ke tempat semula.
Si Muppet kembali merapat ke mikrofon dan berkata, "Calon
ratu pesta dansa kedua adalah... Simone Perry."
Seketika terdengar tepuk tangan meriah. Simone berdiri dan
mulai berjalan ke gang. Dia mengenakan pakaiannya yang paling gaya"blus sutra
berwarna hitam serta rok kulit. Kelihatannya dia tidak lupa bahwa ada
pertemuan hari itu. Sambil berjalan ke panggung, dia berulang kali menyibakkan
rambutnya yang panjang dan berwarna gelap.
"Selamat, ya," aku berbisik ketika dia mengambil tempat di
sampingku. "Terima kasih," dia menyahut, juga sambil berbisik.
Aku tidak heran bahwa dia lupa menambahkan, "Selamat juga,
ya." Aku suka Simone, tapi dia cenderung melupakan bahwa dia
bukan pusat dunia. "Elana Potter!" Mr. Sewall mengumumkan selanjutnya.
Tepuk tangan lagi. Elana berdiri sambil tersenyum lebar, lalu
bergegas ke panggung. Dia sama sekali tidak kelihatan terkejut. Tapi
itu tidak aneh. Dia sadar betul bahwa dia merupakan salah satu gadis
paling populer di Shadyside.
Tinggal dua orang. Aku memandang ke bagian belakang
auditorium, tempat Dawn dan Rachel duduk. Aku tahu Dawn sedang
uring-uringan. Dia pasti kesal karena bukan nama dia yang pertamatama diumumkan, meskipun Mr. Sewall mengurutkan semuanya
berdasarkan abjad. "Dawn Rogers!" Dawn berseru dan bertepuk tangan. Bukan dia saja yang
bertepuk tangan. Justru, sejauh ini dia yang mendapat sambutan paling


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meriah. Dia mengacungkan tinjunya ketika maju ke panggung. Gerakan
itu pun disambut tepuk tangan. Dia selalu mengacungkan tinju kalau
berhasil meraih angka penting dalam suatu pertandingan tenis. Dawn
adalah kapten regu tenis.
"Dan calon yang terakhir?"Mr. Sewall melirik kartu di
tangannya?"Rachel West!"
Tingkah Dawn sulit disaingi. Tepuk tangan yang terdengar
berkesan seadanya. Aku bertepuk tangan sampai telapak tanganku
terasa perih. Rachel tampaknya tidak peduli bahwa sambutan yang
diperolehnya kurang ramai, Dia tersenyum malu-malu. Wajahnya
nyaris semerah rambutnya ketika dia naik ke panggung.
"Nah, seperti yang kalian ketahui, pesta dansa kita tinggal
sebentar lagi"tepatnya, lima minggu," si Muppet kembali angkat
bicara. Dawn bertepuk tangan dan berseru penuh semangat, "All right!"
"Tapi kalian pasti belum dengar," si Muppet menambahkan,
"bahwa untuk menyemarakkan suasana, saya berhasil menyewa
Halsey Manor House yang baru selesai dipugar."
Dia menunggu tepuk tangan para muridnya, tapi yang
ditunggunya tak kunjung tiba. Kami semua tahu bahwa Halsey Manor
House terletak di tengah-tengah hutan Fear Street"tempat mayat
Stacey ditemukan. Dia melanjutkan, "Tempat yang cocok untuk pesta yang meriah,
bukan?" Hutan Fear Street. Terus terang, saat itu aku tidak berminat
pergi ke sana, apalagi untuk menghadiri pesta dansa.
Mungkin pada akhir Mei aku sudah berubah pikiran. Bisa jadi,
tapi aku meragukannya. Sementara Mr. Sewall meneruskan pidatonya, aku melirik
keempat gadis lain di panggung. Aku sudah begitu lama mengenal
mereka, sehingga aku merasa yakin bahwa aku tahu apa yang sedang
mereka pikirkan. Aku suka bermain tebak-tebakan pikiran orang lain. Permainan
itu diperkenalkan Mr. Meade, guru bahasa Inggris kami tahun lalu.
Dia bilang permainan itu bagus untuk para penulis. Aku jarang
menulis apa pun selain surat-surat panjang untuk Kevin di Alabama.
Tapi suatu hari kelak aku ingin jadi penulis.
Aku mulai dengan Simone. Dia bintang perkumpulan teater
kami, dan penampilannya pun mendukung. Dia jangkung, berkulit
kecokelatan karena sinar matahari, dan, ehm, bertampang dramatis.
Dia juga sangat tidak percaya diri, sehingga sepertinya sudah
ditakdirkan menjadi aktris.
Dia tergila-gila pada pacarnya, Justin. Dan sangat pencemburu.
Saat itu pun dia sedang menatap Justin. Aku tahu, soalnya aku
mengikuti arah pandangannya.
Aku menyimpulkan bahwa yang sedang terlintas dalam
benaknya adalah: Siapa itu yang sedang bicara dengan Justin" Dan
kenapa Justin tidak memperhatikan aku di sini"
Kemudian perhatianku beralih kepada Elana. Elana cantik
sekali, dan dia tahu bagaimana harus berpakaian untuk menonjolkan
kecantikannya. Kali ini dia memakai blus putih berumbai serta rok
berwarna hijau tua. Dia tersenyum, dan memamerkan giginya yang
putih bersih. Dia seperti gadis-gadis yang biasa tampil dalam iklaniklan TV.
Bagi Elana, tak ada yang sulit. Dari dulu sudah begitu. Dia
selalu mendapat nilai A tanpa perlu berusaha. Keluarganya pun kaya
raya, jadi dia bisa membeli apa saja yang diinginkannya. Dan dia
begitu riang dan ramah, sehingga tak ada yang menganggapnya
sebagai anak orang kaya yang manja.
Apa yang dipikirkannya saat itu" Wah, masuk nominasi
ternyata asyik juga. Siapa tahu suatu hari aku bakal dicalonkan
sebagai presiden Amerika Serikat!
Waktu aku dan Dawn saling berpandangan, dia langsung
menganggukkan kepala. Matanya yang biru tampak bersinar-sinar.
Aku menatapnya sejenak, dan mengagumi kulitnya yang kecokelatan.
Kami baru saja melewati masa hujan yang biasanya terjadi
setiap akhir April. Tapi seburuk apa pun cuacanya, kulit Dawn selalu
tampak kecokelatan. Rambut pirangnya yang panjang dan berombak
selalu berkilau keemasan, seakan-akan ia menghabiskan berjam-jam
di bawah matahari. Kemungkinannya memang begitu. Dawn pemain tenis yang
hebat, juga jago dalam semua olahraga lain. Termasuk mencari
cowok. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Sorot matanya menceritakan
semuanya. Aku bakal menang!
"Nah," si Muppet berkata, "saya tahu kalian semua ingin
terpilih sebagai ratu pesta dansa. Dan tahun ini kalian punya satu
alasan lagi untuk berusaha meraih kemenangan"ratu kita akan
memperoleh beasiswa khusus sebesar tiga ribu dolar, yang
disumbangkan oleh ayah Gary Brandt dari Brandt Chevrolet."
Ketika dia mengumumkan itu, aku kebetulan menoleh ke kiri"
ke arah Rachel. Aku melihat matanya yang berwarna hijau mendadak
menyala-nyala waktu mendengar keterangan si Muppet, persis seperti
dalam film-film kartun, kalau ada tanda dolar muncul di mata
seseorang. Aku sadar bahwa uang itu akan sangat berarti bagi Rachel.
Terus terang, aku sendiri juga tidak keberatan mendapat tiga ribu
dolar. Seperti yang sudah kujelaskan tadi, keluarga Rachel termasuk
miskin, paling tidak dibandingkan keluarga teman-temanku yang lain.
Rachel satu-satunya temanku yang harus bekerja seusai sekolah. Dia
sempat frustrasi karena waktu belajarnya jadi berkurang, sehingga
nilai-nilai yang diperolehnya pun merosot. Ada kemungkinan dia
takkan bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.
Aku sering menduga bahwa itulah sebabnya dia begitu
pemalu"sepertinya dia merasa rendah diri. Dia bahkan tidak sadar
betapa cantiknya dia. Ucapan Mr. Sewall berikutnya membawaku kembali ke alam
nyata. "Sekian dan terima kasih. Sampai ketemu!"
Seketika suasana menjadi ingar-bingar, seperti biasa kalau
bubaran sekolah. Beberapa anak berteriak-teriak memberi selamat
kepadaku dan para calon lain. Sebelum aku sempat turun panggung,
Dawn sudah menarik lenganku.
"Aku bakal menang," dia berbisik ke telingaku. "Aku sudah
punya firasat." Aku menatapnya sambil tersenyum. Setelah bertahun-tahun
menjadi teman Dawn, aku sudah terbiasa menghadapi mulutnya yang
besar. Sepertinya dia menganggap hidup ini sebagai permainan, dan
dia harus menggertak semua orang supaya bisa menang.
Ketika aku menuruni tangga, Simone melewatiku dan nyaris
membuatku terjatuh. Aku memperhatikannya menerobos kerumunan
orang ke arah Justin. Dia kelihatan kesal sekali. Dan Justin cuma bisa cengar-cengir
karena salah tingkah. "Ehm, Lizzy?" Rachel berdiri di sampingku. Dengan suaranya yang begitu
pelan, aku hampir tidak mendengarnya. "Kau mau datang ke rumahku
untuk belajar bersama nanti malam?" dia bertanya.
"Sebenarnya aku mau," jawabku, "tapi tadi pagi orangtuaku
berpesan bahwa aku harus pulang cepat. Mereka keberatan kalau aku
keluar rumah setelah gelap."
Aku anak tunggal. Mungkin itu sebabnya orangtuaku selalu
berusaha melindungiku secara berlebihan. Tapi kali ini aku tidak
keberatan. Mengingat ada pembunuh yang sedang berkeliaran, aku
malah senang dilindungi secara berlebihan.
Aku menoleh ke arah Simone dan Justin. Mereka masih
berdebat dengan sengit. Akhirnya Justin berseru dengan jengkel,
mengangkat kedua tangan, lalu bergegas keluar.
"Aku belum bisa percaya bahwa aku masuk nominasi," ujar
Rachel. "Kenapa?" sahutku. "Kau pantas dicalonkan."
"Aku tahu," dia berkelakar. "Aku cuma tidak menyangka bahwa
orang-orang lain juga berpikiran begitu."
Aku tertawa. Kemudian aku melihat Elana menghampiri kami.
Pipinya yang montok tampak merah karena gembira; sepintas lalu dia
mirip boneka porselen. "Ini harus dirayakan," katanya. "Bagaimana kalau kita semua ke
Pete's Pizza" Kita naik mobilku saja. Hari ini aku bawa Mercy."
Rachel tersenyum lebar. Dia selalu gembira kalau diajak pergi
beramai-ramai. "Yeah, begitu dong, Elana!" ujar Brad Coleman, dan sambil
berlalu dia menepuk punggung Elana. Huh, dasar, aku berkata dalam
hati. Dia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk
menyentuhnya. Elana menampilkan senyumnya yang sempurna, dan
menyerukan terima kasih. Kemudian dia menyibakkan rambutnya
yang pirang. "Simone!"
Simone berdiri sekitar dua meter dari kami. Dia sedang
merengut. "Dasar brengsek," dia menggerutu sambil menuju ke arah
kami. "Waktu pertemuan tadi, aku melihat Justin mendekati Meg
Dalton. Awas saja kalau dia berani macam-macam di belakangku. Dia
bakal kubuat menyesal seumur hidup."
Aneh juga. Ancaman konyol itu adalah hal pertama yang
terlintas di kepalaku dua hari kemudian, waktu kami mendengar berita
bahwa Simone menghilang. BAB 2 "WOW, ini benar-benar asyik!" Elana berteriak untuk
mengalahkan radionya yang dipasang sekeras mungkin. "Hayo, coba
tebak, siapa dari kita yang bakal jadi ratu pesta dansa?"
Kami semua naik Mercedes perak metalik milik orangtua Elana
menuju ke Pete's Pizza. Aku duduk di belakang, di antara Rachel dan
Simone. Dawn duduk di depan, dan dia sibuk mengganti-ganti stasiun
radio. "Dawn, pelankan sedikit dong!" Simone memekik sambil
menatap map hijau di pangkuannya. "Aku harus menghafalkan dialog
ini." Robbie Barron akan menampilkan Sound of Music untuk
pementasan musim semi perkumpulan teater. Dia sendiri bertindak
sebagai sutradara. Pertunjukannya akan diadakan malam Sabtu
sebelum pesta dansa, sebagai awal festival musim semi yang sudah
merupakan tradisi di Shadyside High.
Simone tentu saja akan berperan sebagai Maria Von Trapp. Dia
selalu menjadi bintang. Padahal dia kurang meyakinkan sebagai
biarawati. Dawn mematikan radio dan berkata, "Kau benar, Elana, salah
satu dari kita bakal jadi ratu pesta dansa, tapi cuma aku yang tahu
siapa orangnya. Aku."
Simone mencondongkan badannya ke depan. "Kau pasti keluar
sebagai pemenang dalam kategori kerendahan hati," dia berkomentar
dengan sinis. "Seandainya aku berminat memenangkan kontes kerendahan
hati, maka aku pasti akan menang," ujar Dawn. "Tak ada yang bisa
mengalahkanku dalam hal apa pun."
Aku melirik ke arah Rachel, dan dia menggeleng-gelengkan
kepala. Elana membelok ke Division Street Mall dan berhenti di dekat
restoran. "Jangan lupa kunci pintu," pesannya sambil turun dari mobil.
"Beres," Rachel bergumam sambil mengikutinya. "Jangan
sampai mobil dia dicuri orang. Kasihan kan, kalau dia harus tunggu
satu hari sebelum ayahnya bisa membelikan mobil baru lagi."
Aku tertawa pelan. Aku tidak tahu cara lain untuk menanggapi
kegetiran Rachel. Terus terang, aku sedang riang gembira waktu itu. Betul-betul
gembira. Tapi kemudian Rachel kembali mengungkit pembunuhan itu.
Pete's Pizza ternyata penuh sesak, sehingga repot juga mencari
meja untuk lima orang. Ketika kami menemukan satu meja kosong,
jauh di belakang, kami harus menunggu berjam-jam sebelum
pelayannya muncul untuk mencatat pesanan kami.
Pizza yang kami pesan akhirnya diantarkan juga. Kami masingmasing baru hendak mengambil sepotong ketika Rachel berkata,
"Bagaimana kalau Walikota melarang kita berpesta sampai malam
gara-gara si pembunuh?"
Semuanya mengerang. "Aku serius, nih," Rachel berkeras.
"Bagaimana kalau kita tidak boleh mengadakan pesta dansa karena
cewek yang mati dibunuh itu?"
"Wah, Rachel," ujar Dawn. "Tadi kau mencela aku karena aku
tidak berperasaan. Tapi kau sendiri" Ada cewek yang mati dibunuh,
dan kau cuma memikirkan urusan pesta dansa."
Rachel tersipu-sipu. "Bukan itu maksudku," dia bergumam.
"Maksudku, ehm"Oh, sudahlah."
Simone mengerutkan kening. Aku bertanya apa yang sedang
dipikirkannya. "Soal orangtuaku," dia menyahut, masih sambil mengerutkan
kening. "Aku jadi bintang dalam pementasan ini, tapi aku yakin
mereka takkan datang untuk menyaksikanku." Dia meletakkan
potongan pizza-nya di piring. "Kalau aku cerita bahwa aku jadi calon
ratu pesta dansa, mereka pasti tidak berkomentar apa-apa."
"Simone," aku menegumya. "Kau tahu bahwa mereka
menyayangimu. Mereka cuma sibuk, itu saja."
"Aku tidak bisa melupakan si pembunuh. Masa tidak ada yang
bisa kita lakukan untuk melindungi diri dari orang sinting itu?" tanya
Elana. "Bagaimana kalau kita semua menyamar sebagai cowok?"
jawabku. Simone langsung menanggapi ideku. Dia merendahkan
suaranya. "Hei, di sini tidak ada cewek high school, Mr. Pembunuh
Kambuhan," dia menggeram. "Anda pasti salah alamat."
Dia menggosok-gosok hidung seperti anak cowok, lalu
berdeham keras seakan-akan mau meludah. Yang lain langsung
tertawa. Setiap kali aku mulai merasa bahwa Simone terlalu sibuk
dengan dirinya sendiri, dia malah melucu. Dan setelah itu aku
memaafkannya. "Kalian tahu, tidak?" tanya Dawn. "Rasanya aku takkan bisa
tidur nyenyak nanti malam."
"Kau pasti lebih nyenyak daripada aku," balas Rachel. "Jangan
lupa, aku yang tinggal di Fear Street."
Tiba-tiba sepasang tangan mencekiknya dari belakang.
"Kena kau," sebuah suara cowok berkata.
Suara itu milik Gideon Miller, pacar Rachel.
"Huh, dasar!" Rachel berlagak marah, lalu menatap pacarnya
sambil tersenyum. "Kalian sedang membicarakan aku, ya?" Gideon bertanya
sambil nyengir lebar. "Hah, jangan ge-er!" kata Dawn. "Kami sedang membicarakan
si pembunuh." "Uh, seram," Gideon berkomentar sambil memutar-mutar bola
matanya. "Eh, ngomong-ngomong"apakah Rachel bakal
memenangkan uang tiga ribu dolar itu?" dia bertanya sambil
menggenggam pundak pacarnya.
"Apa urusanmu?" balas Rachel. "Kaupikir aku bakal membagibagi uang itu denganmu kalau aku menang" Enak saja."
Gideon tertawa. "Wah, galak benar kau hari ini." Dia


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melambaikan tangan kepada serombongan cowok yang menunggunya
di depan pintu. "Bukan begitu, Non. Aku cuma berpikir kalau kau
menang, siapa tahu aku kautraktir nonton film di bioskop."
"Yah, lihat saja nanti," Rachel menggodanya.
"Oke, aku jalan dulu deh," kata Gideon. Dia meremas pundak
Rachel, lalu bergegas bergabung dengan teman-temannya.
"Kita sedang bicara soal apa tadi?" tanya Simone. Dia
mengambil semua potongan pepperoni dari pizza-nya, lalu
memasukkan semuanya ke dalam mulut.
"Soal si pembunuh," jawab Rachel, sambil memperhatikan
Gideon pergi. "Sudah deh?" Elana mengusap mulutnya dengan serbet"
"jangan bicara soal pembunuhan itu lagi. Mendingan cari topik yang
lain saja." "Setuju," ujar Dawn. "Memang ada yang lebih penting untuk
dibahas"soal pesta dansa, dan bagaimana aku bakal terpilih sebagai
ratu." "Aku punya ide yang lebih bagus. Bagaimana dengan pidato
dua menit yang harus kita sampaikan di depan seluruh sekolah?"
Elana mengusulkan. "Kalian sudah sempat memikirkannya?"
Tiba-tiba aku memperoleh gagasan lain. Semacam variasi dari
permainan Mr. Meade. "Bagaimana kalau kita semua berpidato
sebagai orang lain?" aku menawarkan. Teman-temanku melongo.
"Pasti asyik deh," aku mendesak.
"Oke," kata Simone. "Aku jadi Dawn."
Dia menengadah dan menyibakkan rambutnya ke belakang
telinga, seperti kebiasaan Dawn. Kemudian dia mengajukan
rahangnya, persis seperti Dawn kalau Dawn merasa perlu bersaing
dengan seseorang. Luar biasa! Dengan beberapa gerakan sederhana saja Simone
telah mengubah dirinya menjadi Dawn! Semuanya mulai tertawa.
Dawn tertawa paling keras sambil bertepuk tangan, seakan-akan dia
benar-benar geli. Padahal aku yakin dalam hati dia merasa kesal.
"Hai," Simone mengawali pidatonya. "Namaku Dawn Rodgers.
Yeah!" Dia mengacungkan tinjunya sebagai tanda kemenangan.
"Teruskan!" teriak beberapa anak cowok yang duduk tak
seberapa jauh dari meja kami.
Dawn nyengir lebar, tapi pipinya mulai kelihatan merah.
Untung saja kulitnya sering terkena matahari, sehingga perubahan
warna itu tidak begitu mencolok.
"Nah," Simone melanjutkan. "Kalian sedang menatap ratu pesta
dansa yang baru." Kami semua bertepuk tangan. Simone menanggapinya dengan
kembali mengacungkan tinju. Sambil tertawa, Dawn berkata, "Oke,
sekarang giliranku. Aku akan?" Tapi Simone tidak mau berhenti.
"Nah, aku tahu bahwa ada empat calon lain," Simone
melanjutkan. "Tapi kalian pun tahu bahwa aku selalu nomor satu
dalam segala hal, jadi?"
"Oke." Dawn mendadak berdiri, matanya tampak menyalanyala. "Giliranku sekarang. Aku jadi Simone."
Aku mulai sadar bahwa ideku ternyata tidak sebagus yang
kubayangkan. "Tapi aku belum selesai," kata Simone.
"Namaku Simone Perry," ujar Dawn, tanpa menggubris protes
Simone. Dia meniru gaya Simone menyibakkan rambutnya. "Aduh,
begitu banyak orang yang berjasa sehingga aku bisa memenangkan
Oscar sebagai aktris terbaik"oh, sori. Maksudnya, sehingga aku bisa
terpilih sebagai ratu pesta dansa."
Kini giliran Simone berlagak senang.
"Aku cuma mau menambahkan bahwa aku artis yang teramat
peka," Dawn mengejek, "dan karena itu aku cuma bisa memainkan
peran sebagai ratu."
Dia membungkuk rendah-rendah, lalu duduk kembali dan
menatap Simone sambil tersenyum manis. "Bagaimana
penampilanku?" "Mungkin," aku cepat-cepat angkat bicara, "mungkin lebih baik
kalau kita?" "Namaku Rachel West," Elana berkata sambil bangkit.
Oh-oh, pikirku. Elana"jangan.
"Dan, ehm..." Elana meniru gaya bicara Rachel yang lamban.
"Ehm... aku agak miskin."
"Ha-ha," Rachel berkomentar. Aku tahu dia tersinggung, tapi
dia tetap memaksakan senyum. Simone tertawa sementara Elana
melanjutkan, "Aku"aku, ehm, sebenarnya mau menyiapkan pidato,
tapi aku tidak mampu!"
Rachel melepaskan tawa keras yang nyata sekali dibuat-buat.
"Wah, lucu sekali. Aku hampir lupa ketawa."
"Syukurlah kalau kau suka penampilanku," balas Elana.
"Yeah." Rachel nyengir lebar. Kelihatan sekali bahwa dia
sedang mencari kata-kata yang pedas untuk membalas Elana, tapi
karena tidak berhasil, dia cuma duduk sambil tersenyum.
"Ayo, tiru Elana dong," Simone mendesaknya.
"Tunggu, Simone," kataku. "Sepertinya ini sudah mulai?"
"Baiklah," ujar Rachel. "Aku jadi Elana." Dia berdiri. "Namaku
Elana Potter. Kalau aku kalah, ayahku akan mengirimku berpesiar ke
Eropa sampai aku merasa lebih enak."
Dia menepis rambutnya dan menggelengkan kepala, seperti
yang biasa dilakukan Elana. Simone dan Dawn terpingkal-pingkal.
Elana tersenyum, namun wajahnya menyerupai topeng.
"Tapi sebelumnya, kalau ada orang di sini yang berniat
memberikan suaranya kepada calon selain aku?"Rachel meniru tawa
Elana yang genit?"aku mau membayar seribu dolar supaya dia
berubah pikiran." Elana bertepuk tangan keras-keras"dua kali. "Lumayan," dia
berkata, "tapi aku tidak perlu beli suara. Kalau kau memperhatikan
sambutan anak-anak tadi, seharusnya kau tahu itu."
"Huh, kau tak bakal bisa beli suaraku," balas Rachel sambil
mendelik. Kemudian dia duduk lagi.
Untuk waktu yang cukup lama semuanya membisu. Semuanya
sadar bahwa masing-masing melangkah sedikit terlalu jauh. Bersikap
jujur memang bagus"tapi bersikap terlalu jujur berarti mencari
perkara. "Permainanmu menarik juga, Lizzy," Dawn akhimya
memecahkan keheningan. "Sekarang giliranmu ditiru."
"Tidak usah deh. Tidak apa-apa kok."
"Enak saja," Dawn bcrkeras. "Semuanya ikut bermain. Ya, kan,
Simone?" Tapi Simone tidak mendengarkannya. Pandangannya melewati
kami, dan mengarah ke jendela depan restoran itu.
"Simone?" aku menegurnya.
Simone tampak pucat pasi.
"Oh, ya ampun," dia bergumam. Dia berdiri begitu terburu-buru
sehingga menyenggol dan menumpahkan minumanku. Dawn dan aku
langsung melompat. "Oh, ya ampun," Simone mengulangi. "Ya ampun!"
Dia tampak kalang kabut. Dan dengan suara melengking dia
menjerit, "Jangan! Berhenti!"
Dan kemudian dia berlari ke luar restoran.
BAB 3 KAMI semua ikut berdiri, dan memandang ke luar jendela
untuk melihat apa yang hendak dilakukan Simone. Segera saja kami
tahu apa yang membuatnya begitu sewot.
Di depan Pete's Pizza ada air mancur, dan di samping air
mancur itu kami melihat Justin, pacar Simone.
Dia sedang asyik mengobrol dengan cewek jangkung, berambut
pirang, dan berpenampilan seksi"Vanessa Hartley.
Kami memperhatikan Simone menghampiri mereka. Kami
melihat bagaimana dia menyapa Justin, lalu memiting leher pacarnya
itu. Terus terang, itu bukan gerakan paling mesra yang pernah kulihat.
"Untung saja Simone bukan tipe pencemburu," aku berkelakar
sambil menyaksikan Justin menggeliat-geliut. Dia menjauhi Simone
dan nyaris terjungkal ke air mancur.
"Yeah," ujar Dawn. "Kalau Simone berteriak-teriak, berarti itu
bukan urusan penting."
"Dia lupa bahwa dia tidak selalu berada di atas panggung,"
Rachel berkomentar sambil duduk kembali.
"Kasihan si Justin. Biar cuma sekadar dilirik cewek lain,
Simone sudah melabraknya," Elana menimpali.
Aku masih memperhatikan adegan di depan restoran. Vanessa
cepat-cepat mengambil langkah seribu. Justin kini merangkul Simone.
Dia sedang bicara dengannya, dan matanya yang biru tampak
bersinar-sinar. "Aku juga bakal cemburu," gurauku. "Justin memang tampan
sekali." Aku tidak mengada-ada. Justin memang cowok paling keren
dan paling populer di Shadyside High. Dan bukan itu saja. Dia juga
pemain baseball untuk regu all-state, dan kapten tim Shadyside Tigers.
Dawn membungkuk dan merendahkan suara. "Aku mau
menceritakan sesuatu. Tapi ini rahasia lho!" Dia sengaja membiarkan
kami penasaran sejenak. "Minggu lalu aku berkencan dengan Justin."
Elana terbengong-bengong. Mulutnya menganga lebar, seakanakan hendak memamerkan campuran keju dan pepperoni yang sudah
setengah dikunyah. "Hah" Kau dan Justin...?"
"Justin Stiles?" aku berseru. "Pacar Simone?"
"Hei," Dawn langsung mengambil sikap membela diri, "aku
tidak bermaksud merebut Justin dari dia. Dia mengajakku berkencan,
dan aku terima ajakannya." Dia angkat bahu. "Dan terus terang, aku
tidak menyesal." "Yeah," ujar Elana, lalu memandang ke arah Justin. "Aku juga
tak bakal menolak kalau dia mengajakku. Bagaimana menurutmu,
Liz?" "Aku juga," aku mengakui, "kalau saja dia bukan pacar
Simone." "Ah, jangan sok suci deh," Dawn mencibir.
"Kau bagaimana, Rachel?" tanya Elana. "Bagaimana
jawabanmu kalau Justin mengajakmu berkencan?"
Rachel tersenyum tipis. "Dia sudah pernah mengajakku," dia
berkata. Elana kembali melongo. Senyum Rachel bertambah lebar. "Dan aku bilang, ya," dia
menambahkan. ******************** "The hills are alive, with the sound of music," Robbie Barron
menyanyikan lagu dari musical dengan judul yang sama, sambil
berputar-putar di panggung.
Dia dikelilingi sejumlah biarawati yang menontonnya sambil
terpingkal. Mereka hendak berlatih salah satu adegan di biara. Tapi
Simone belum muncul. Untuk kesembilan ratus kalinya dia terlambat.
Untuk mengisi waktu, Robbie lalu meniru gerak-gerik Simone
di atas panggung. Dia mengenakan jubah Eva Clarke yang berwama
hitam-putih, dan menari-nari seperti orang kesurupan. Kesannya
benar-benar kocak, apalagi dengan kacamatanya yang tebal dan
berbingkai hitam. Setelah selesai bernyanyi, dia berkata, "Hah, biar tahu rasa si
Simone." Kemudian dia menatap jam tangannya dan merengut.
"Barangkali Maria kita tidak sadar bahwa latihan tanpa pemeran
utama itu agak sulit."
"How do you solve a problem like Maria," anak-anak yang
berperan sebagai biarawati menyahut dengan bernyanyi.
Robbie tertawa, tapi hanya sekejap. "Aku tahu bagaimana
masalah ini bisa dipecahkan "lehernya akan kupuntir."
Aku ada di situ karena aku bertugas mengurus tata panggung.
Aku mending mati daripada harus tampil di depan penonton. Kalau
sampai aku dipaksa ikut bermain sandiwara, aku jamin aku bakal mati
kaku karena demam panggung.
Aku sedang berdiri di samping panggung sambil mencat
selembar tripleks agar mirip dinding kamar kepala biara. Setelah
terjadi dua pembunuhan di daerah kami, aku hanya diizinkan keluar
malam oleh orangtuaku yang overprotective untuk mengikuti latihan
sandiwara. "Hei, Lizzy," Robbie memanggil. "Masa kau tidak tahu di mana
temanmu si Simone?" "Oh, bagus," aku menyahut dengan sengit. "Kalau ada masalah,
dia mendadak temanku."
"Sudahlah, jangan bikin aku tambah susah lagi." Sepertinya
kesabaran Robbie sudah mulai menipis. "Kau tahu di mana dia?"
"Sori, aku tidak tahu."
"Huh, ini sudah keterlaluan," Robbie kembali mengomel. Sekali
lagi dia melirik jam tangannya. "Simone memang biasa terlambat, tapi
belum pernah dia menyuruh kita menunggu selama ini."
Memang benar"datang terlambat adalah bagian dari gaya
Simone. Apa pun acaranya, dia selalu telat paling tidak setengah jam.
Dua hari telah berlalu sejak nama para calon ratu pesta dansa
diumumkan. Dan sejak makan-makan di Pete's Pizza, aku jarang
ketemu Simone maupun para calon lainnya. Semuanya masih
mendongkol karena permainan konyol yang kuusulkan waktu itu.
"Barangkali dia lupa kalau hari ini ada latihan," ujar salah satu
biarawati. "Tiga kali aku mengingatkannya tadi," balas Robbie. "Dan aku
juga sempat menegurnya karena dia selalu terlambat." Dia
membetulkan letak kacamatanya yang tebal. "Tapi mengingat
kebiasaan Simone, aku takkan heran kalau dia ternyata memang lupa."
Robbie menghela napas panjang dan mengambil beberapa
keping uang dari saku celana jeans-nya. "Eva," katanya, "tolong
telepon ke rumah Simone, ya?"
Di depan kantor kepala sekolah ada telepon umum. Eva pergi
selama beberapa menit. "Tidak diangkat," dia melaporkan setelah
kembali. Aku mencelupkan kuasku ke dalam kaleng berisi air, lalu
menoleh ke tempat penonton. Justin sering menonton Simone berlatih.
Biasanya dia duduk di baris paling belakang.
Tapi malam itu dia tidak kelihatan.
Aku bangkit. "Akan kucari dia," aku menawarkan. "Barangkali
dia ke locker-nya dulu."
Aku melompat turun dari panggung dan mulai menyusuri
lorong-lorong yang sepi. Hanya beberapa lampu saja yang menyala.
Dan selain aku, tidak ada siapa-siapa di sana. Asal tahu saja, aku tidak
gampang takut. Tapi berjalan di lorong-lorong sepi yang gelap bukan
salah satu kegiatan favoritku.
Ke mana aku akan pergi, aku berkata dalam hati, seandainya
aku Simone dan aku lupa kalau malam ini ada latihan"
Pertama-tama aku menuju ke perpustakaan, tapi pintunya
terkunci rapat. Kemudian aku menuju ke ruang olahraga di bawah.
Kadang-kadang Simone menunggu di situ sampai Justin selesai
dengan latihan baseball-nya.
Aku membuka pintu ke ruang tangga. Aduh, gelap amat.
Seharusnya ada beberapa lampu yang dibiarkan menyala selama
masih ada orang di sekolah!
Sejenak aku berhenti karena ragu. Masuk, jangan" Masuk,
jangan" Tapi kemudian aku berlagak berani dan melangkah maju.
Klik. Pintu yang berat itu menutup di belakangku. Tiba-tiba aku
dicekam perasaan waswas. Aku membalik dan menarik-narik gagang


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu. Pintunya terkunci. Perutku mendadak serasa berisi batu. Aku tidak berminat
terkunci di ruang tangga sepanjang malam. Dengan cemas aku berdoa
agar pintu ruang olahraga masih terbuka.
Perlahan-lahan, sambil meraba-raba dinding, aku menuruni
tangga yang gelap gulita. Keadaan di kaki tangga ternyata bahkan
lebih gelap lagi. Aku berjalan seperti dalam adegan slow motion,
dengan tangan lurus ke depan.
Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan yang
menyelubungiku, aku menemukan pintu ruang olahraga dan memutar
gagangnya. Dikunci juga. Aku terperangkap, pikirku.
Aku tidak bisa keluar. Aku"aku tidak bisa napas!
Hei, jangan mengada-ada, Lizzy, aku memarahi diriku sendiri
karena tingkahku berlebihan.
Tenang, Lizzy, tenang. Jantungku berdentum-dentum bagaikan genderang perang. Aku
mulai menggedor-gedor pintu dengan kedua tanganku.
"Hei! Hei! Keluarkan aku!"
Aku menggedor-gedor selama beberapa menit.
Tak ada jawaban. Tidak ada siapa-siapa di bawah sini.
Simone pasti sudah berdiri di panggung dan bernyanyi dengan
sepenuh hati. Mungkinkah ada di antara mereka yang memperhatikan
bahwa penata panggungnya hilang"
Aku meragukannya. Aku berusaha agar tetap tenang, tapi rasa takut ternyata sukar
dilawan. Aku mulai panik.
Aku harus keluar dari situ. Harus.
Sekali lagi aku menggedor-gedor pintu, kali ini dengan sekuat
tenaga. Karena tak ada hasilnya, aku mulai menjerit.
Aku baru menjerit dua kali ketika aku mendengar suara langkah
mendekat dari balik pintu ruang olahraga.
Aku berhenti menjerit dan memasang telinga.
Seharusnya aku merasa lega. Tapi nyatanya aku malah semakin
ngeri. Tenggorokanku tersekat. Kepalaku berdenyut-denyut.
Itu si pembunuh, terlintas dalam benakku.
Dia bersembunyi di ruang olahraga.
Dia mendengar jeritanku. Dia tahu aku sendirian, terperangkap
di sini. Dan sekarang dia akan menghabisiku.
Suara langkah itu bertambah keras.
Aku sadar bahwa aku harus kabur.
Tapi sebelum aku sempat bergerak, pintu di hadapanku sudah
membuka"dan aku kembali menjerit.
BAB 4 "HEI, ada apa" Kenapa kau menjerit-jerit?"
Ternyata Mr. Santucci, si pengelola gedung sekolah. Dia
menatapku sambil membelalakkan mata, dan tampangnya bahkan
lebih ketakutan daripada tampangku.
"Kenapa kau turun lewat sini?" dia bertanya sambil mengamati
wajahku dalam cahaya yang suram. "Pintu ini sudah dikunci."
"Ma"maaf," aku tergagap-gagap. "Saya sedang mencari
seseorang." "Di bawah sini tidak ada siapa-siapa," dia berkata sambil
menggelengkan kepala. "Semuanya sudah dikunci. Bikin kaget saja."
Aku kembali minta maaf, dan aku merasa malu sekali. Kenapa
aku harus menjerit-jerit seperti tadi" Kenapa aku membiarkan rasa
takut mengambil alih kendali atas diriku"
Jantungku masih berdebar-debar ketika aku mengikuti Mr.
Santucci melintasi ruang olahraga yang kosong. Sambil menggerutu,
dia membiarkan aku keluar lewat salah satu pintu belakang.
Sewaktu aku menyeberang pelataran parkir, aku mendengar
bunyi yang akrab di telingaku. Langsung saja aku menoleh ke
lapangan tenis yang terang-benderang di ujung pelataran.
Rupanya tim tenis belum selesai berlatih. Dawn pasti ada di
sana. Barangkali dia tahu di mana Simone.
Aku baru saja akan menuju ke lapangan tenis ketika pintu pagar
membuka dan seorang gadis melangkah ke luar. Jaraknya masih agak
jauh, sehingga aku tidak segera mengenalinya. Aku cuma melihat
bahwa dia jangkung dan membawa raket tenis.
Setelah maju beberapa langkah, aku bisa melihat rambutnya
yang panjang dan pirang. Dan kemudian aku mengenalinya.
"Dawn!" aku berseru.
Dia menoleh, seakan-akan terkejut, lalu melambaikan tangan.
Cepat-cepat dia membuka pintu Camaro merah milik ibunya.
Aku mempercepat langkahku. Tapi tampaknya dia tergesa-gesa
sekali. "Dawn!" aku memanggil sekali lagi. "Kau lihat Simone?"
Dawn berpegangan pada pintu mobil. "Terakhir aku lihat
Simone waktu pulang sekolah tadi," dia menyahut. Dia melemparkan
raketnya ke bangku belakang, dan segera menyelinap ke belakang
kemudi. "Hei! Tunggu dong!" aku berseru. Dia memundurkan mobilnya.
Aku sampai harus melompat ke samping supaya tidak tertabrak.
"Kenapa sih kau terburu-buru begini?" aku bertanya ketika dia
membuka jendela. "Sori," dia menyahut. "Ada apa?"
"Aku lagi cari Simone."
"Yeah, ehm, aku kan sudah bilang, aku?"
"Dawn!" Aku berdiri di samping mobilnya, cukup dekat untuk melihat
wajahnya dengan jelas. Wajahnya tergores-gores dan berdarah.
Tampangnya seperti baru saja dicakar kucing galak.
"Tidak apa-apa kok," Dawn berkata ketika menyadari bahwa
aku menatapnya sambil melongo.
"Ini kausebut tidak apa-apa" Kau?" Aku membungkuk sedikit
agar dapat melihat lebih jelas. "Astaga, baju tenismu berlumuran
darah." "Nanti juga hilang kalau sudah dicuci?"
"Yeah, tapi bagaimana kau bisa sampai berdarah-darah begini?"
Dawn menginjak-injak pedal gas. "Aku lagi latihan dengan
Marcie tadi. Ternyata dia punya groundstroke yang hebat. Makin lama
bolanya makin ke belakang. Akhirnya aku menabrak pagar. Tapi aku
tidak apa-apa kok. Kelihatannya memang parah, tapi sebenarnya aku
tidak apa-apa. Sori, aku harus cepat-cepat pulang soalnya"ehm"
soalnya aku sudah terlambat." Terus terang, penjelasannya kurang
meyakinkan. Kemudian dia pergi. Aku menggelengkan kepala. Sepertinya
dia berusaha menutup-nutupi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa.
"Lizzy!" Aku membalik. Temyata Eva. Dia melambaikan tangan dari
seberang pelataran parkir. Di sebelahnya ada beberapa pemain lain.
Aku juga melihat Robbie turun dari mobilnya seraya membanting
pintu. "Aku belum menemukan Simone!" aku berseru.
Eva mengangguk. "Latihannya dibatalkan. Kita tidak bisa
menunggu terus." Sebenarnya aku bisa saja minta tolong Mr. Santucci untuk
membuka pintu auditorium agar aku sempat menyelesaikan
pekerjaanku. Tapi saat itu aku sudah tak berminat lagi.
Aku menuju ke mobilku. Lebih baik aku langsung pulang saja.
Tapi kemudian aku teringat bahwa Simone tinggal di North Hills,
tidak jauh dari sekolah. Langsung saja kuputuskan untuk mampir dulu
di rumahnya. Siapa tahu Simone sudah pulang.
Sedan Lincoln milik orangtuanya diparkir di pekarangan. Aku
berhenti di belakang mobil yang sebesar kapal itu. Cepat-cepat aku
turun, bergegas ke pintu depan, dan menekan bel. Mrs. Perry
mengintip dari balik vitrase, untuk melihat siapa yang datang.
Kemudian dia membuka pintu.
"Hai, Lizzy," sapanya. "Apa kabar?" Beliau mengenakan
mantel. "Silakan masuk."
Mr. Perry muncul dari ruang duduk. Beliau juga memakai
mantel, dan sedang mengamati setumpuk surat. "Lizzy McVay!" dia
berseru dengan riang, seakan-akan sudah berminggu-minggu tak
pernah melihatku. Mr. Perry memang ramah.
"Simone ada di kamarnya di atas," ujar Mrs. Perry. "Mestinya
dia ada di sana," katanya menambahkan. "Kami juga baru pulang, tapi
saya melihat lampu kamar menyala waktu kami masuk pekarangan."
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu menaiki
tangga yang berkarpet tebal. Bagus, Simone, aku berkata dalam hati.
Rupanya dia benar-benar lupa kalau ada latihan.
Aku memperlambat langkahku setelah sampai di puncak
tangga. Seluruh lantai atas gelap, kecuali seberkas sinar yang
menerobos lewat celah di bawah pintu kamar Simone.
"Simone?" aku memanggil.
Tak ada jawaban. Mungkin dia sedang mendengarkan musik melalui headphone.
Aku menghampiri pintunya dan mengetuk.
"Simone" Ini aku, Lizzy" Boleh masuk?"
Tetap tak ada jawaban. Aku mengetuk sekali lagi.
Lalu aku membuka pintu. Dan membelalakkan mata dengan ngeri.
Seluruh kamarnya hancur berantakan.
Kamar itu seakan-akan miring. Sejenak aku merasa akan jatuh.
Hal pertama yang kuperhatikan adalah teddy bear milik
Simone. Boneka itu tergeletak di lantai di dekat tempat tidur.
Kepalanya putus, dan aku melihat busa putih menyembul dari lubang
lehernya. Mata kacanya yang hitam menatapku dengan pandangan
kosong. Kemudian aku mulai bisa melihat seluruh ruangan dengan jelas.
Barang-barang Simone berserakan di lantai.
Seprai dan selimutnya telah ditarik dari tempat tidur dan
dicampakkan ke sudut di dekat jendela.
Lampu belajamya tergeletak di bawah meja tulis.
Lembaran-lembaran kertas berserakan di mana-mana. Sebelah
tirai jendela yang berwarna putih tampak terkoyak.
Sepertinya telah terjadi pergumulan yang hebat.
Tanpa sadar aku mundur sambil memekik tertahan.
Dan kemudian aku melihat sesuatu yang lebih mengerikan lagi.
Di karpet di depan kakiku ada noda besar berwarna merah"
genangan darah. BAB 5 AKU tidak menjerit. Aku justru nyaris pingsan. Bau darah
tercium dengan jelas, dan aku langsung menyerbu ke jendela untuk
membukanya. Aku butuh udara segar, segera.
Sambil megap-megap aku menyembulkan kepala.
Dan kemudian aku melihatnya.
Sekejap saja sosoknya diterangi cahaya dari lampu teras
belakang keluarga Perry. Seorang pria. Dia berlari melintasi pekarangan belakang, ke arah hutan. Dia
membawa karung besar berwarna kelabu.
Aku memicingkan mata dan menatap ke dalam kegelapan. Tapi
sosok itu terus berlari dan menghilang dari pandangan.
Dan akhirnya aku mulai melakukan apa yang seharusnya sudah
kulakukan dari awal. Aku mulai menjerit. ******************* Keesokan sore seusai sekolah aku kembali berada di rumah
Simone. Begitu pula Justin, Robbie, Elana, Dawn, Rachel, dan
beberapa anak lain. Pihak polisi mau minta keterangan dari semua
teman dekat Simone. Biarpun begitu banyak orang memenuhi ruang duduk keluarga
Perry, ruangan itu tetap terasa kosong. Kami semua merasa
kehilangan Simone. Tak ada yang melihatnya sejak kemarin.
Para petugas polisi belum datang. Tak ada yang bercakapcakap. Semuanya prihatin dan ngeri.
Aku bangkit dan pergi ke dapur. Antara lain karena aku ingin
bertanya pada Mrs. Perry apakah ada sesuatu yang dapat kulakukan.
Tapi alasanku yang utama adalah karena aku tidak tahan di ruang
duduk. "Oh, Lizzy." Mrs. Perry memaksakan senyum ketika aku
masuk. Beliau sedang mengatur biskuit di piring untuk dihidangkan
kepada kami. Tapi aku bisa melihat tangannya gemetaran. Dan
maskaranya pun agak berantakan karena bercampur air mata. "Polisi
akan segera tiba," katanya memberitahuku.
"Biar saya saja yang bawa ke dalam," aku berkata, lalu
mengambil alih piring berisi biskuit.
Tapi sepertinya beliau justru membutuhkan sesuatu untuk
dipegang. Tangannya malah semakin gemetaran. Serta-merta Mrs.
Perry menutupi wajahnya. "Oh," katanya, "saya begitu cemas."
Aku tahu apa yang harus dilakukan kalau ada temanku yang
menangis atau ketakutan. Biasanya aku mengajak mereka bercanda,
atau memeluk mereka, sampai mereka tenang kembali. Setiap kali
Rachel benar-benar sedih, misalnya, aku selalu berkata, "Kakimu
bau." Ucapan itu begitu konyol, sehingga mau tidak mau ia tertawa.
Tapi kalau orang dewasa yang mengalami masalah, aku
terpaksa menyerah. Kan tidak mungkin aku berkata kepada Mrs. Perry
bahwa kakinya bau. Aku tak berdaya ketika Mrs. Perry mulai menangis. Aku cuma
berdiri, tanpa dapat berbuat apa-apa. Untung saja Mr. Perry segera
menyusul ke dapur, dan cepat-cepat merangkul istrinya.
"Simone tidak apa-apa," dia berbisik.
"Tidak, tidak mungkin," istrinya berkata sambil terisak-isak.
Mr. Perry merangkulnya lebih erat lagi. "Orang yang
menculiknya pasti hanya mau minta uang tebusan. Kita akan
memenuhi segala tuntutannya, dan setelah itu tidak ada masalah lagi."
Aku tahu bahwa dia sendiri tidak percaya.
Mana ada penculik yang meninggalkan genangan darah
korbannya di lantai"
Itu perbuatan seorang pembunuh.
Seperti orang yang membunuh Stacey, yang ditemukan di hutan
Fear Street. Mr. Perry berusaha memasang senyum ketika menatapku,
namun roman mukanya tetap kelihatan tegang. Di bawah matanya ada
bayangan gelap. "Tolong beritahu yang lain bahwa polisi akan segera
tiba." Aku kembali ke ruang duduk.
Semua anak di situ menoleh ke arahku ketika aku muncul,
seolah-olah berharap yang muncul Simone.
Aku angkat bahu. "Mereka bilang sebentar lagi polisi sudah
datang." Seakan-akan ada aba-aba, bel pintu lalu berdering.
Dua petugas polisi berdiri di luar. Mr. Perry segera bergegas ke
pintu. Wajahnya menjadi cerah ketika dia melihat mereka. "Sudah ada
berita baru?" tanyanya penuh harap.


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salah satu dari kedua petugas itu, seorang pria yang tinggi dan
kurus, menggelengkan kepala. Yang satu lagi"seorang wanita
bertubuh pendek dan berambut gelap"mengerutkan kening. Mr.
Perry langsung menunduk dengan lesu.
Mr. Perry mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu, lalu
memperkenalkan mereka kepada kami. "Saya mau memanggil istri
saya dulu," katanya kemudian.
"Terima kasih karena kalian menyempatkan diri untuk berbicara
dengan kami," ujar Opsir Jackson yang tinggi-kurus. Dia tampak sama
cemasnya dengan kedua orangtua Simone.
"Anda yakin Simone diculik?" Dawn bertanya.
Opsir Jackson mengangkat bahunya.
Aku mendengar Mrs. Perry membuang ingus di dapur.
"Mudah-mudahan begitu," kata Opsir Barnett sambil tersenyum
kecut. "Tapi kita juga harus siap menghadapi?"
"Kemungkinan terburuk," Opsir Jackson menyambung.
"Sekarang ini kami sedang mengerahkan sejumlah petugas untuk
melakukan pencarian di hutan Fear Street."
Kami semua saling pandang dengan was-was. Hutan Fear
Street, tempat Stacey ditemukan. Hutan tempat salah satu adegan
siaran berita TV terlintas dalam benakku: kantong mayat berwarna
biru, tergeletak di jurang yang becek.
Kalaupun sebelumnya masih ada yang ragu, kini semuanya
merasa yakin"kami takkan pernah melihat Simone lagi.
Rachel menatapku. Sepertinya dia berharap aku
memberitahunya bahwa ini hanya mimpi.
Aku berusaha tenang. Waktu Stacey ditemukan di hutan, aku
sudah terpukul sekali. Tapi itu belum apa-apa dibandingkan apa yang
kurasakan sekarang. Orang yang kini hilang adalah Simone, temanku
sejak taman kanak-kanak. Ayah dan ibu Simone menghampiri kami. Mrs. Perry membawa
nampan penuh biskuit, dan Mr. Perry memegang pitcher berisi susu.
Mrs. Perry menggigit bibir ketika melihat kedua petugas polisi itu.
Mr. Perry mengambil nampan dari tangan istrinya dan menaruhnya di
meja. Robbie Barron mengulurkan tangannya, meraih sepotong
biskuit. Kami semua langsung melotot. Bisa-bisanya dia memikirkan
makanan pada saat seperti itu. Dia menggigit biskuit itu, dan dalam
suasana yang hening, setiap kunyahannya terdengar jelas sekali. Lalu
dia memandang berkeliling dan menyadari bahwa semua orang sedang
menatapnya. Dia langsung berhenti makan.
Kemudian, pesawat telepon berdering.
Kami semua tersentak kaget. Mr. Perry berlari ke luar ruangan.
Sesaat kemudian beliau kembali.
"Cuma sekretaris saya," jelasnya dengan tampang tak keruan.
"Oke," ujar Opsir Barnett. Dia mengambil buku catatan besar
yang terselip di sabuknya, lalu membukanya. "Kita mulai saja. Kami
memerlukan informasi apa saja yang mungkin dapat membantu kami
menemukan Simone. Apa saja," tegasnya.
"Semuanya penting. Mengerti?" rekannya menambahkan,
sambil menatap kami satu per satu.
Aku mengangguk-angguk, seakan-akan pertanyaannya memang
perlu dijawab. Kemudian Opsir Jackson berkata, "Siapa yang akan
duluan mulai?" Mereka menatap kami satu per satu. Kami menundukkan kepala
sambil bergeser-geser di tempat duduk masing-masing. Ini lebih
gawat daripada waktu guru di kelas mengajukan pertanyaan dan tak
ada yang mengacungkan tangan.
Jauh lebih gawat. "Oke, kalau begitu kita mulai dengan di mana kalian semalam,"
ujar Opsir Barnett. Dia berpaling kepada orang yang duduk paling
dekat dengannya"Justin.
Justin tampak gugup sekali, lebih gugup dari yang lain. "Saya"
ehm"saya ada di?"
Entah kenapa aku mendapat kesan bahwa dia ingin menutupnutupi sesuatu.
"Saya berada di rumah Elana," dia akhimya berkata. "Untuk
belajar. Ehm, kami mengerjakan PR bersama-sama."
Aku melirik ke arah Elana. Ini baru kejutan!
Elana sadar bahwa aku memperhatikannya, dan dia tersipu-sipu.
Lalu memalingkan wajahnya.
Siapa yang mengajak siapa" aku bertanya dalam hati.
Kemungkinan besar Elana yang mengajak Justin. Dia pasti sebal
karena Justin pernah berkencan dengan Rachel dan Dawn, sedangkan
dia sendiri tidak digubris.
Aku melirik ke arah Mrs. Perry. Tapi beliau tenang-tenang saja.
Aku rasa Mrs. Perry sedang memikirkan hal yang lebih serius
daripada tingkah laku pacar anaknya.
"Saya bekerja sepanjang sore," kata Rachel, "di Seven-Eleven.
Setelah itu saya berada di rumah."
"Saya berlatih tenis," Dawn memberitahu para petugas polisi.
Dawn menoleh ke arahku. Aku ingat baju tenisnya yang berlumuran
darah. Tapi dia sudah menjelaskan padaku bahwa dia luka karena
menabrak pagar. Perhatian Opsir Jackson beralih kepadaku. "Saya sibuk dengan
tata panggung," kataku.
"Tata panggung?" dia bertanya.
"Sekolah Simone akan menampilkan The Sound of Music," Mr.
Perry menerangkan. Si petugas polisi mengangguk. "Teruskan."
"Semalam saya sudah menceritakan semuanya kepada polisi,"
ujarku. "Tolong ceritakan sekali lagi," sahut Opsir Jackson dengan
sabar. Aku kembali menceritakan kisah yang menakutkan itu.
Bagaimana aku mampir karena mencari Simone. Bagaimana aku
menemukan kamarnya dalam keadaan berantakan, dengan genangan
darah di karpet. Bagaimana aku bergegas ke jendela untuk menghirup
udara segar, lalu melihat seorang pria berlari menjauh dalam
kegelapan malam. "Nah," kata Opsir Barnett, "ini sangat penting. Kau bisa
menjelaskan ciri-ciri orang itu. Apa saja yang kauingat."
Semua orang menatapku. Keringatku mulai mengucur. Tibatiba aku mendapat kesan bahwa penangkapan orang yang menyerang
Simone sepenuhnya tergantung padaku.
Dalam hati aku berusaha mengingat-ingat apa yang kulihat
ketika berdiri di jendela Simone. Tapi aku tidak sanggup
membayangkan pria itu. Semuanya tampak kabur. Aku menggelengkan kepala.
"Karung yang dibawanya," ujar Opsir Jackson. "Seberapa besar
karung itu?" Aku tahu apa sesungguhnya yang hendak ditanyakannya.
"Cukup besar untuk memuat orang," jawabku.
Mrs. Perry memekik kaget, lalu menutup mulut dengan sebelah
tangan. "Robbie, kemarin ada apa sih dengan kau dan Simone?" Elana
bertanya dengan hati-hati. "Maksudnya, kalian berdua kan sempat
berdebat sengit." Semua mata menatap Elana, lalu Robbie, lalu kembali ke Elana.
"Tidak ada apa-apa," Robbie bergumam.
"Tidak apa-apa bagaimana?" balas Elana. "Kau marah sekali
karena dia selalu datang terlambat waktu latihan. Kau bilang dia
merusak seluruh pertunjukan dengan sikapnya yang seenaknya. Kau
bilang kalau dia tidak bisa datang tepat waktu, kau akan?"
"Bagaimana aku tidak sewot"!" Robbie memotong dengan nada
tinggi. "Siapa yang tidak sewot kalau menghadapi dia" Anaknya
memang kelewatan." "Hus, Robbie!" aku mendesis.
Kami melirik ke arah orangtua Simone.
Robbie langsung salah tingkah. "Sori," dia berkata. "Saya tidak
bermaksud"maksud saya..."
"Kita lanjutkan saja," ujar Mr. Perry dengan roman muka
bagaikan batu. Setelah semua orang menjelaskan di mana mereka berada pada
malam sebelumnya, Opsir Barnett kembali berpaling kepada Justin.
"Tahukah kau, apakah Simone mempunyai musuh?" tanyanya.
"Apakah ada orang yang mendendam padanya?"
"Tidak ada," jawab Justin.
"Dan terakhir kali kau melihat Simone?""
"Waktu makan siang kemarin."
"Dan dia sedang"
"Kesal," kata Justin. "Kesal sekali, gara-gara?" Dia melotot ke
arah Robbie. Akhirnya, setelah satu jam minta keterangan, Opsir Barnett
menutup buku catatannya. "Terima kasih. Kalau kalian tiba-tiba
teringat sesuatu yang ingin kalian tambahkan, telepon saja ke Kantor
Polisi Shadyside. Kalau kami berdua sedang dinas luar, silakan
tinggalkan pesan di sana, kami akan segera menghubungi kalian."
Opsir Jackson menganggukkan kepala kepada Mr. Perry ketika
dia dan Opsir Barnett menuju ke pintu. Semua orang di ruang tamu
ikut berdiri dan bersiap-siap pulang. Tak seorang pun mau berlamalama di rumah keluarga yang sedang tertimpa musibah.
Waktu aku keluar, aku sempat terkejut karena matahari masih
bersinar dengan cerah. Rumput di pekarangan depan keluarga Perry
masih kelihatan hijau dan segar. Semuanya tampak seperti biasa.
Aku menghalangi sinar matahari yang menyilaukan dengan
sebelah tangan. Aku memperhatikan Rachel menuju ke mobilnya. Dia
bergandengan tangan dengan Gideon. Elana lewat di sebelah kananku.
"Gawat, ya?" aku berkata. Hanya itu yang terlintas dalam
benakku. Elana menoleh sebentar, lalu langsung jalan lagi.
"Tunggu dulu," aku berseru sambil bergegas mengejarnya.
Di tepi jalan di depan rumah keluarga Perry ada sederetan
mobil. Elana memarkir mobilnya di ujung deretan itu, dan mobilku
berada tepat di belakangnya. Kami berjalan sambil membisu sampai di
dekat mobilku. "Coba kalau ada yang bisa kita lakukan," aku lalu
berkata. "Bagaimanapun juga, kita semua teman dekat Simone, dan"
" "Hei," Elana tiba-tiba memotong. "Aku sudah muak dengan
urusan ini, oke" Aku tidak mau membicarakannya lagi."
Dia membuka mobilnya, menyelinap ke balik kemudi, dan
membanting pintu. Astaga, setipis inikah rasa setia kawan Elana" Aku masih
terbengong-bengong ketika dia berangkat. Pandangannya tertuju lurus
ke depan, dia bahkan tidak melambaikan tangan. Mukanya seperti
topeng. Kemudian aku mengerti. Dia bersikap begitu karena takut. Dia
ketakutan, sama seperti yang lainnya. Dan cara Elana mengendalikan
rasa takut adalah dengan berpura-pura tidak ada hal buruk yang
terjadi. Aku mengeluarkan kunci mobil dan berusaha memasukkannya
ke dalam lubang kunci. Sekonyong-konyong aku mendengar langkah di belakangku"
langkah yang berdebam-debam di trotoar, menuju ke arahku.
Sesaat kemudian aku mendengar seseorang berseru.
"Aku yang membunuhnya! Aku yang membunuhnya!"
BAB 6 AKU berbalik dan melihat laki-laki berjaket cokelat muda
berlari ke arahku. Dia meringis, seakan-akan sedang menderita,
sedangkan kedua tangannya terentang lebar-lebar, seolah-olah hendak
memohon maaf. "Ha, ha, ha," aku berkata dengan sinis. "Lucu sekali, Lucas."
Dari semua orang yang pernah kukenal, Lucas Brown termasuk
yang paling ajaib. Nama belakangnya, yang sebenarnya biasa-biasa
saja, juga aneh kalau dipikir-pikir. Lucas Brown berambut cokelat dan
mempunyai mata dengan warna yang sama. Dan dia paling suka
mengenakan pakaian berwarna" apalagi kalau bukan"cokelat.
Matanya agak terlalu rapat, sehingga kesannya juling. Dan dia
memiliki buku khusus untuk mencatat kematian-kematian janggal
yang diberitakan di TV. "Wanita Terpotong Dua Karena Tertimpa
Derek?"hal-hal seperti itulah. Dia menganggap cerita-cerita seperti
itu lucu. Katanya, dia merasa terhibur oleh cerita-cerita tersebut.
Dan itulah yang paling dibutuhkannya" hiburan. Soalnya dia
hampir selalu merasa tertekan. Bagaimana tidak" Dia tidak punya
teman sama sekali, paling tidak, setahuku.
Saat menghampiriku, dia tertawa begitu keras sehingga nyaris
kehilangan keseimbangan. "Kena kau!" dia berseru.
Dasar brengsek. Aku kembali berpaling ke pintu mobilku.
"Hei!" Dia masih terpingkal-pingkal. "Kau benar-benar tertipu,
kan?" Aku langsung menghadapinya. "Leluconmu tidak lucu, tahu!?"
aku membentaknya. "Buset deh, Lizzy. Aku kan cuma bercanda!"
"Bercanda" Bisa jadi Simone benar-benar dibunuh!"
"Yeah," dia mengakui, roman mukanya lalu menjadi suram.
Kupikir dia prihatin karena Simone, tapi kemudian dia berkata, "Tapi
itu tidak berarti kau harus membentakku karena aku membuat lelucon
konyol." Hampir saja aku menjerit. "Kau memang keterlaluan," ujarku.
"Kau selalu memikirkan dirimu sendiri. Masa sih, kau sama sekali
tidak terpengaruh oleh kejadian yang menimpa Simone" Kalian kan
pernah pacaran!" Lucas mengalihkan pandangan. "Yeah, memang," dia berkata
dengan getir. Dia berdiri dekat sekali denganku. Tiba-tiba saja dia meraih
lenganku dan mulai menarikku.
"Ayo, kita cari minum," dia berkata. Cara khas Lucas
menghadapi cewek: kenapa harus mengajak kalau bisa main perintah"
"Aku perlu bicara denganmu."
"Enak saja," aku menyahut dengan ketus.
Dia berkedip-kedip. Aku tahu dia tersinggung. Lalu dia berkata,
"Oke, kau benar. Sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik kita ke
rumahku saja." Aku berusaha membebaskan diri dari genggamannya. Lenganku
terasa pegal di tempat dia meremasnya. Kupelototi Lucas. Kemudian
aku masuk ke mobilku seraya membanting pintu.
Dia mengetuk-ngetuk jendela sambil pasang senyum"senyum
simpul, seakan-akan dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui.
Aku memencet tombol jendela, dan jendelanya membuka satu inci.
Lucas membungkuk sehingga matanya yang gelap sejajar
dengan celah jendela. "Maksudmu, ya atau tidak?"
Dia terkekeh-kekeh. "Mau jadi pelawak, ya?" aku berkata dengan sengit.
"Habis, aku memang lucu."
Lucas menyelipkan jari-jemarinya melalui celah jendela dan
menggerak-gerakkan semuanya di dekat kepalaku. Aku kembali
menekan tombol remote-control, dan jendela langsung menutup lagi.
Lucas cepat-cepat menarik tangannya. Dia berseru dengan
kesal. Aku menginjak pedal gas mobilku.
Aku menatap ke kaca spion ketika mobilku menjauh. Lucas
masih berdiri di trotoar sambil memandang ke arahku.


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dasar sinting! Orang gila. Aku tidak mengerti bagaimana
Simone bisa tertarik padanya.
Kemudian aku teringat bahwa Lucas anggota tim baseball
Shadyside High. Dia salah satu pitcher, dan kadang-kadang
ditempatkan di base pertama.
Ketika Simone memutuskan hubungan mereka, Lucas dongkol
sekali. Dia bercerita kepada semua orang bahwa Simone sekadar
memanfaatkannya untuk mendekati Justin.
Bukan Lucas saja yang beranggapan begitu. Sebagian besar
murid sependapat dengannya.
Dan terus terang, kecurigaan mereka memang beralasan. Ketika
Simone mulai berkencan dengan Lucas, tak ada yang percaya bahwa
Simone benar-benar tertarik padanya.
Setiap kali ada latihan baseball, Simone selalu muncul"
katanya sih, karena mau menonton Lucas bermain.
Padahal Simone tahu persis bahwa Justin akan
memperhatikannya. Dan untuk memastikannya, dia selalu
mengenakan baju yang seksi.
Begitu Justin mengajaknya berkencan, Simone meninggalkan
Lucas begitu saja. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Semula aku selalu membela Simone kalau orang-orang
bergosip-ria di belakangnya. Tapi mengingat Lucas memang sinting,
maka masuk akal juga bahwa Simone sekadar memanfaatkannya
untuk menggaet Justin. Aku menghidupkan radio, mencari stasiun yang mengudarakan
lagu yang lembut dan menenangkan. Tapi yang terdengar malah,
"Belum ada perkembangan baru dalam kasus ini, tapi kepolisian
Shadyside berkeras tak ada alasan untuk mengaitkan lenyapnya
Simone Perry yang berusia tujuh belas tahun dengan kematian Stacey
Alsop dan Tina Wales baru-baru ini."
Tak ada alasan" Siapa bilang" Itu jelas-jelas perbuatan orang
gila yang sama. Radio kumatikan lagi.
Sesuatu terasa mengganjal hatiku, mengusik pikiranku. Sesuatu
yang hampir kuingat, namun kemudian lenyap lagi.
Lucas... Justin... Simone menonton latihan baseball.
Regu baseballl Ya. Bayangan itu. Sosok gelap yang menggotong karung.
Bayangan tersebut mendadak agak lebih jelas.
Aku menghentikan mobilku di tepi jalan dan berusaha mengatur
napas. Aku baru saja teringat sesuatu yang sangat penting mengenai
laki-laki yang kulihat kabur dari pekarangan belakang Simone.
Dan yang kuingat itu membuatku ketakutan setengah mati.
BAB 7 "COBA tebak siapa yang meneleponku semalam dan
mengajakku pergi ke pesta dansa bersama-sama?" aku berkata. "Lucas
Brown!" "Yang benar?" seru Dawn dan Rachel.
Kami sedang menuju ke Division Street Mall naik Toyota
Tercel-ku yang berwarna hijau. Saat itu Rabu sore, pukul lima kurang
seperempat. Dua minggu telah berlalu sejak Simone lenyap. Dua
minggu tanpa telepon dari si penculik. Yang pasti dua minggu terasa
seperti dua tahun bagi Mr. dan Mrs. Perry.
Selama itu, aku terus memikirkan Simone. Apa pun yang
sedang kubicarakan, dia selalu hadir, bagaikan bayangan gelap yang
menguntit ke mana pun aku pergi.
"Dia bilang apa?" Dawn bertanya dengan nada mendesak.
"Dia bilang, 'Coba tebak siapa teman kencanmu untuk pesta
dansa nanti" Aku!'"
Dawn dan Rachel tertawa, sambil menirukan suara dan gerakgerik Lucas. Aku diam saja. Telepon dari Lucas itu membuatku
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16 Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 6
^