Pencarian

Ketika Cinta Bertasbih 10

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 10


menyesal berkepanjangan. *** Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam
putus asa dalam berikhtiar mencari jodohnya.
Setiap ada informasi yang ia rasa menarik dikejarnya.Saat ronda
malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada jurangan beras
yang kaya, namanya Pak H Darmanto. Biasa di panggil Haji Dar.
Kang Paimo menceritakan bahwa Haji Dar memiliki putri yang
cantik. Ia pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau menikahi
anaknya secepatnya akan dinaikkan haji seluruh keluarganya.
Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang,
matahari masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji Dar. Dan
ketemu. Rumah itu dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar melihat
Azzam datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan niatnya
menyunting putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa senangnya.
Seketika Haji Dar kebelakang mencari isterinya. Saat Haji Dar
kebelakang ia melihat ada anak gadis berkulit putih muncul dari
samping rumah. Ia perkirakan gadis itu mahasiswi semester tiga atau
empat. Ia kaget, tiba tiba gadis itu duduk begitu saja di halaman
seperti anak kecil. Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik
hitamnya. Belum hilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
"Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar mau menikahi
Eva." Terang Pak Dar pada istrinya.
"Kau sudah mantap Nak?"
"Insya Allah Bu."
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis
meraung-raung di halaman sendirian. Gadis itu jalan dan masuk
rumah. Lalu menangis di pangkuan ibunya. "Ibu Eva mau mimik
susu!" Kata gadis itu. Seketika seluruh badannya gemetar. Gad is itu
memang cantik tapi ternyata gadis itu punya kelainan yaitu
keterlambatan perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya
saat itu. Ia langsung buru-buru minta diri dan minta maaf pada Pak
Haji Dar. Ia bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia
menjitak Kang Paimo. Azzam belum juga menyerah.
Adiknya Lia mencoba mengenalkannya dengan anak Pak Badri.
Menurut Lia, Pak Badri ini adalah wali murid seorang anak didiknya.
Pak Badri pernah bercerita bahwa dia memiliki anak perempuan yang
sedang menghafalkan Al Quran di Wonosobo.
"Kata Pak Badri namanya Seila Oktaviana. Dulu sekolah di
MAN I Surakarta. Begitu lulus MAN, Seila langsung nyantri di
Wonosobo. Tahun ini katanya khatam hafal 30 juz. Mungkin yang
santriwati hafal Al Quran seperti ini yang jadi jodoh Kakak."
"Rumah Pak Badri di mana?" Tanya Azzam penasaran. "Dekat
Kak. Di daerah Banyudono situ."
Tak harus menunggu lama, hari berikutnya ia ke Banyudono.
Pak Badri ternyata juga ikut pengajian Al Hikam yang diasuhnya. Pak
Badri sangat senang mendengar pengakuan Azzam yang ingin
menyunting putrinya. Azzam langsung diajaknya ke Wonosobo.
"Kita langsung saja ke sana. Langsung ketemu Seila. Biar
semuanya jadi enak dan terbuka." Kata Pak Badri.
Azzam ditemukan dengan Seila yang terus menundukkan
kepala. Pak Badri juga menjelaskan kepada Seila maksud
kedatangannya membawa Azzam. Seila melihat Azzam sesaat. Seila
tidak langsung memberi jawaban. Seminggu setelah itu surat Seila
dari Wonosobo datang ke Banyudono. Surat itu singkat sekali. Surat
itu oleh Pak Badri diberikan kepada Azzam untuk dibaca,
Ayahanda tercinta di Banyudono Assalamu "alaikum Wr Wb
Ananda dengan surat ini mohon tambahan doa restunya. Pun Ananda
berdoa semoga Ayahanda dan Ibunda, juga adik-adik semuanya selalu
dikasihi dan dicintai oleh Allah. Amin.
Ayahanda berkenaan dengan maksud ayah menjodohkan ananda
dengan pemuda yang bernama Azzam, itu adalah hal yang sepatutnya
ananda syukuri. Memang kewajiban seorang ayah mencarikan jodoh untuk
putrinya. Namun ayah, menurut ananda rumah tangga yang tidak didasari cinta
akan hampa tiada bermakna. Jujur, saat bertemu Azzam itu hati ananda tidak
menerbitkan sedikit pun cahaya cinta. Ananda mohon maaf. Ananda tidak
bisa menerimanya. Lagi pula ananda masih akan cukup lama di pesantren.
Ananda belum tuntas betul menghafalkan 30 juz. Ananda tidak mau
gara-gara memikirkan nikah terus konsentrasi Ananda berantakan.
Setelah hafal pun ananda juga masih ingin di pesantren satu tahun
untuk mematangkan hafalan dengan cara mengabdi pada pesantren. Sama
sekali ananda tidak bermaksud mengecewakan ayahanda atau siapa saja.
Ananda hanya menyampaikan terutama yang menjadi pendapat ananda, dan
yang menurut ananda terbaik untuk ananda. Demikian mohon maaf jika ada
khilaf. Wassalamu "alalkum Ta"zhim ananda, Seila Oktaviana Membaca surat itu Azzam malah terharu. Seila benar. Seila
harus memilih suami yang dicintainya. Dan Seila harus
menyelesaikan hafalan Qurannya. Ia sama sekali tidak mau menjadi
penghalang bagi keberhasilan seseorang menghafalkan Al Quran.
Suatu malam ketika semua orang sedang tidur nyenyak, Azzam
menangis dalam sujud shalat tahajjudnya. Ia adukan semua keluh
kesah dan lelahnya kepada Allah,
"Ya Allah, Engkau Dzat Yang Maha Melihat dan Mendengar.
Engkau melihat segala ikhtiar hamba untuk bertemu dengan makhluk
yang Engkau jodohkan untuk menjadi pendamping hidupku. Sudah
berhari-hari hamba berikhtiar mengetuk setiap pintu rumah yang
hamba yakin ada jodoh hamba. Mulai dari Anna, Rina, Tika, Mila,
Afifa, Eva, dan Seila sudah hamba datangi. Engkau Mahatahu kenapa
hamba mendatangi mereka ya Allah.
"Ya Allah hamba memohon temukanlah hamba dengan
pendamping hidup yang terbaik untuk hamba menurut-Mu ya Allah.
Yang terbaik untuk dunia dan akhirat hamba ya Allah. Hamba lelah
ya Allah, namun lautan rahmat dan cintaMu membuat hamba selalu
merasa segar dan tegar. Jangan tinggalkan hamba dalam kesia-siaan
ya Allah. Jadikanlah semua langkah hamba senantiasa mendatangkan
ridha dan rahmatMu. Amin."
19 PERTEMUAN DI KOTA SANTRI Jam enam pagi, Azzam mau ke Pasar Kartasura untuk membeli
beberapa bahan penting untuk adonan baksonya. Sekarang bakso
cintanya diproduksi di rumah. Ia mempekerjakan dua karyawan. Jadi
tidak lagi di buat di kamar kos yang ada di Kleco. Azzam bahkan
tidak perlu lagi membuat "kantor" di sana. Semua orang kini sudah
tahu Azzam memiliki bisnis yang baik. Tak ada lagi suara suara
sumbang tentang dirinya. Apalagi ketika banyak orang tahu dia kini
menggantikan Kiai Lutfi mengajikan kitab Al Hikam. Sama sekali tidak
ada yang meremehkan. Azzam sudah masuk ke mobilnya ketika
pemuda itu datang. Azzam seperti pemah kenal wajahnya. Ia
mencoba mengingat-ingat. Akhirnya ketemu juga. Ya, namanya
Muhammad Ilyas. Azzam turun dari mobil dan menyambut tamunya.
"Ahlan wa sahlan ya akhi, kaif hall 25 " Sambut Azzam dengan
bahasa Arab Fusha "Alhamdulillah hi khair akhi, wa anta kaif?"26 Jawab
Hyas dengan bahasa Arab juga.
"Alhamdulillah kama tara, Ana bi khair."27
Lalu keduanya berbicara dengan bahasa Indonesia. "Mari
Ustadz Ilyas, silakan masuk."
"Kelihatannya mau pergi. Kedatangan saya mengganggu ya?"
"Ah tidak. Kedatangan seorang ustadz seperti antum28 ini selalu
membawa kebaikan insya Allah." Ketika mereka masuk, Husna
hendak mengeluarkan sepeda motornya. Husna tetap mengeluarkan
sepeda motornya. Azzam dan
25 Selamat datang saudaraku, bagaimana kabarmu"
26 Alhamdulillah baik saudaraku, dan kamu bagaimana"
27 Alhamdulillah seperti yang kamu lihat, saya baik.
28 Kamu Ilyas duduk di ruang tamu. Azzam meminta Husna
membuatkan minuman untuk mereka berdua. "Pagi sekali antum
datang. Berangkat dari Pedan jam berapa?"
"Selepas shalat subuh langsung kemari."
"Kok tahu alamat rumah ini."
"Dari para santriwati yang dulu pernah ke sini saat
mengundang Husna untuk bedah buku."
"Iya, iya." "Wah bisnis baksonya sukses ya."
"Alhamdulillah. Doanya."
"Semoga barakah seperti Imam Abu Hanifah. Bisnisman juga
ulama." Kata Ilyas. "Amin."
Husna dan Lia di dapur bersama ibunya. Percakapan Azzam
dan Ilyas terdengar jelas oleh mereka.
"Ini ngomong-ngomong belum berangkat lagi ke India?"
"Alhamdulillah, saya kan tinggal nulis tesis saja. Kebetulan tema
yang saya tulis ke Indonesia an. Jadi bahannya malah ada di
Indonesia. Ya sekalian saja saya nulis tesis di Indonesia. Pembimbing
setuju. Dan saya bisa mengirim file tiap babnya via email."
"Wah enak itu, akhi."
"Insya Allah berangkat ke India nanti saja jika tesis sudah
selesai." "O begitu. Terus ini kok njanur gunung29 ada apa ya"
Ilyas menata duduknya. Ia tampak agak kikuk. Saat itu Husna
keluar membawa minuman. Adik Azzam itu meletakkan dua gelas
teh panas di meja tamu, tepat di depan Ilyas. Saat Husna meletakkan
gelas di hadapan Ilyas, hati Ilyas bergetar hebat.
"Silakan diminum akhi." Ucap Azzam.
"Iya," Tukas Ilyas, "Mm... begini Akh Azzam, kedatangan saya
pagi ini pertama silaturrahmi. Yang kedua saya ingin menyampaikan
sesuatu kepada Akh Azzam. Sebelumnya saya mohon maaf kalau
nanti saya dianggap lancang atau kurang sopan santun. Tapi insya
Allah yang saya sampaikan tidak ada celanya menurut syariat Islam."
Ilyas berhenti sesaat. Azzam mendengarkan. Di belakang Husna dan Lia yang sedang
menggoreng bakwan juga dengar meskipun pelan. Ilyas mengambil
nafas. Ia mengatur detak jantungnya yang mulai kencang.
"Mm, apa itu Akh Ilyas?" Tanya Azzam, karena Ilyas agak lama
berhenti bicara. "Setahu saya, Antum adalah wali dari adik-adik antum, karena
ayah dan kakek antum sudah tidak ada."
"Benar." Jawab Azzam yang sudah mulai tahu ke arah mana
Ilyas akan bicara. Sebab sudah menggunakan kata wali, yang berarti
adalah wali nikah. "Saya datang, dengan niat semata-mata karena ibadah kepada
Allah, saya datang untuk mengkhitbah adik akhi yang bernama
Ayatul Husna! Mohon maaf jika ini dianggap kurang sopan santun.
Insya Allah jika positif nanti kedua orang saya akan saya ajak kemari."
29 Semacam idiom bahasa Jawa, artinya tidak seperti biasa
Azzam memejamkan mata. Ia tidak tahu perasaan apa yang ada
dalam hatinya. Yang jelas hati kecilnya ia sangat bahagia. Sebab yang
melamar adiknya adalah seorang yang oleh banyak orang diakui
keshalehannya, juga orang yang pendidikannya baik, S1 di Madinah
dan S2 nya di Aligarh Muslim University, India. Tapi bagaimana
perasaan Husna. Ia tidak mau memaksakan apa pun kepada adiknya.
Adiknya itu sudah dewasa, sudah bisa berpikir cerdas.
Sementara Husna yang sedang menggoreng Bakwan di belakang
bagai disengat kalajengking karena kaget mendengar dirinya dilamar
Muhammad Ilyas. Lia juga kaget. Dua orang kakak beradik itu saling
berpandangan. Bu Nafis sedang memetik daun salam di belakang
rumah. "Wow, selamat ya Mbak, dilamar seorang Ustadz. Mantap!"
Lia tersenyum pada kakaknya, menggoda sambil mengacungkan
jempolnya. "Sst! Jangan menggoda ya. Kujitak nanti kepalamu!"
"Ayo kak Azzam langsung terima saja kak Azzam! Kak Husna
sedang melayang-layang bahagia!" Kata Lia setengah berbisik
menggoda Husna. Husna menjitak kepala adiknya dengan gemas dan
sayang. "Sst! Jangan ribut tho! Dengarkan apa yang akan dikatakan Kak
Azzam." Kata Husna pelan pada Lia. Lia diam.
"Akh, ini sungguh suatu kehormatan bagi saya pribadi. Dan bagi
keluarga kami. Benar saya walinya tapi saya tentu tidak bisa
memutuskan kecuali setelah mendengar pendapat Husna. Begini saja
akhi, tiga hari lagi datanglah kemari. Insya Allah sudah ada jawaban.
Jawabannya iya atau tidak itu tergantung Husna. Dan semoga apapun
jawabannya nanti baik bagi kita semua. Ayo silakan diminum!"
Di belakang Husna mengatakan pada Lia, "Lha seperti itu
jawaban kakak yang bijak."
"Awas Mbak bakwanmu gosong!" Kata Lia menahan jeritan.
"Wah iya, inna lillahi"
"Makanya Mbak jangan mikirin ustadz itu."
"Ih kamu ini menggoda kakaknya terus."
"Lha mau menggoda siapa kalau tidak menggoda kakaknya.
Lha adanya cuma kakaknya."
"Alhamdulillah, bakwannya sudah selesai digoreng. Ini yang
gosong dipisahkan saja! Oh ya Dik, tolong bakwannya dikeluarkan!"
"Tidak ah! Mbak saja ah, kan Mbak yang dilamar. Sekalian
melihat bagaimana muka orang yang melamar Mbak!"
"Mbak malu Dik! Ayolah!"
"Tak mau, sorry ya Mbak!
"Dik!" "Sorry!" "Dik, awas kau!"
"Sorry silakan dikeluarkan, Lia mau ke belakang lihat Bue ke
mana tho kok tidak datang-datang." Kata Lia sambil ngacir ke
belakang. "Awas!" Terpaksa Husna yang harus mengeluarkan. Ia keluar membawa
bakwan dengan jantung berdegup kencang. Tapi ia dengan cepat bisa
menguasai dirinya. Husna berjalan tenang memasuki ruang tamu. Ia
memegang nampan yang berisi sepiring bakwan yang masih panas.
Dari jarak lima meter, ia mencoba melihat orang yang melamarnya. Ia
memandang wajah Ilyas, saat itu Ilyas sedang menundukkan
pandangannya. Husna meletakkan bakwan di hadapan Azzam.
"Dik Husna, ini Ustadz Muhammad Ilyas. Dia ini ternyata
pembaca cerpen-cerpenmu Dik." Kata Azzam memperkenalkan
tamunya. Mau tidak mau Husna harus berdiri sesaat.
"Iya benar. Saya kagum sama tulisan-tulisan Mbak Husna."
Sahut Ilyas memandang ke wajah Husna. Saat itu Husna memandang
ke arah Ilyas. "Oh ya. Terima kasih atas apresiasinya. Silakan dicicipi
bakwannya." Ujar Husna lalu melangkah ke dalam. Sampai di dapur,


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Lia kembali usil. "Wah ustadz itu keren juga Mbak ya berani vulgar
begitu?" "Vulgar bagaimana?"
"Lha tadi aku dengar dia mengatakan pada kakak, "Saya kagum
sama Mbak Husna!?" "Telingamu itu perlu dicukil upilnya. Dia bilang, "Saya kagum
sama karya-karya Mbak Husna!" Ada kata-kata, "karya-karya".
Ngawur kamu!" "Masak begitu Mbak?"
"Iya!" "Lia tidak percaya, kita tanya langsung sama orang itu. Benar
tidak kata Lia. Orang itu kagum sama Mbak Husna, baru kagum sama
karya-karya Mbak Husna! Kalau tidak Percaya ayo kita keluar tanya
langsung ke dia!" "Tanya dengkulmu itu!" Kata Husna sewot.
Lia lalu cekikian dengan ditahan-tahan. Ia bahagia bisa
mengerjai kakaknya. "Bue mana?" "Nggak tahu tidak ada di belakang. Mungkin ke warung Bu
War." Di ruang tamu Ilyas minta diri pada Azzam. Sekali lagi Azzam
menjanjikan jawabannya tiga hari lagi.
*** Begitu suara sepeda motor Ilyas menghilang, Azzam langsung
menemui Husna di dapur. Bu Nafis tepat baru masuk dari pintu
belakang. "Kayaknya ada tamu ya" Siapa tadi?" Tanya Bu Nafis. "Bue sih,
tadi itu tamu penting. Bue malah pergi, Lia cari-cari di belakang tidak
ada. Katanya mau metik daun salam saja, malah ke mana-mana."
Seloroh Lia pada ibunya. "Bue minta maaf, tadi Bue ke tempat Bu
War. Di sana malah ketemu Bu Mahbub. Katanya Bu Mahbub punya
keponakan di Kudus. Keponakannya itu baru saja tamat dari Fakultas
Kedokteran UNDIP. Sekarang tugas di Puskesmas Sayung Demak.
Katanya orangnya cantik. Bu Mahbub menawarkan kalau mau Bue
sama Azzam mau dikenalkan. Siapa tahu cocok untuk Azzam.
Begitu." Jelas Bu Nafis dengan mata berbinar-binar bahagia.
"Wah hari ini rumah ini kok seperti kejatuhan dua durian
runtuh dari langit. Kenapa tidak sekalian tiga saja. Hari ini Mbak
Husna dilamar seorang Ustadz lulusan luar negeri. Terus Kak Azzam
dapat tawaran dokter. Lha Mbok saya sekalian saja dilamar siapa
gitu." Sahut Lia. "Benar Zam" Kata Lia, Husna dilamar seorang Ustadz" Tadi itu
Ustadz tho?" Tanya Bu Nafis.
"Iya benar Bu."
"Terus jawabannya apa" Langsung diterima?"
"Ya tidak lah Bu. Kita kan punya seorang Ibu. Husna juga bukan
benda mati tapi dia manusia. Kan juga harus tahu pendapatnya
Husna bagaimana. Ya pada intinya terserah Husna dan ibu. Azzam
tinggal nanti menyampaikan saja. Tiga hari lagi dia akan datang,"
"Bagaimana Nduk Husna. Kau sudah kenal dan tahu
orangnya?" "Sudah." "Sudah ada jawaban untuk memutuskan?"
"Belum. Biarlah Husna istikharah dulu. Nanti Husna jawab
setelah istikharah."
"Ya memang harus begitu. Kata ayahmu dulu, pokoknya
sebelum memutuskan apa saja istikharahlah dulu."
"Kalau Kak Azzam bagaimana?" Cecar Lia, "Tertarik tidak
untuk melihat keponakan Bu Mahbub yang dokter itu?"
"Boleh juga. Selama shalihah, insya Allah, kakak tertarik."
"Kalau begitu, kapan kita ke Sayung atau ke Kudus?" Tanya Lia.
"Nanti Bue rembug sama Bu Mahbub enaknya kapan. Nanti
sekalian menjenguk Si Sarah. Kasihan dia sudah hampir setengah
tahun anak itu tidak dijenguk."
"Husna sudah ngebel ke Kudus, Sarah sehat-sehat kok Bu. Ya
Bue memang hampir setengah tahun tidak menengok. Tapi Husna
sama Lia kan tiap bulan gantian nengok ke sana." Kata Husna
menenangkan ibunya yang selalu sedih setiap kali teringat Si Kecil
Sarah. "Semakin cepat semakin baik. Kak Azzam juga belum berternu
Sarah sejak pulang. Kalau misalnya nanti sama-sama iyanya dan sama
lancarnya menikah bareng juga ndak apa-apa. Malah efisien di biaya,
waktu dan tenaga." "Memberitahu keponakan yang di Kudus itu juga disampaikan
apa adanya, Azzam itu pekerjaannya ya jualan bakso." Bu Nafis
merendah. "Bu Nafis, justru saya lebih bangga pada anak muda yang mau
berwirausaha seperti Azzam. Tidak menggantungkan hidup pada
negara. Sekarang Azzam lumayan sukses bisa beli mobil sendiri."
Tukas Pak Mahbub. "Walah cuma mobil bekas Pak." Sahut Bu Nafis.
"Itu menurutku lebih baik daripada dapat Fortuner baru tapi
dari uang orang tua. Siapa saja kalau cuma menerima pemberian bisa.
Tapi kalau usaha sendiri tidak semua bisa. Dan ini Bu, jika seluruh
generasi muda bangsa ini punya mental dan pola pikir seperti Azzam,
insya Allah bangsa ini akan maju. Tak ada pengangguran. Kenapa"
Karena setiap orang akan menciptakan lapangan kerja bagi dirinya
dan bahkan bagi orang lain. Kalau boleh tanya sekarang berapa
karyawan Azzam Bu?" "Tujuh orang. Karyawan bakso cinta lima dan karyawan foto
copy dua." "Lihat dengan wirausaha Azzam sudah membuka lapangan
kerja buat tujuh orang. Kalau ia jadi pegawai negeri, itu tak akan
terjadi." "Alhamdulillah Pak, berkah doa Pak Mahbub usaha Azzam
semakin baik dari hari ke hari."
"Alhamdulillah, tapi tolong sampaikan pada Azzam agar
bersiapsiap menghadapi cuaca buruk. Cuaca tidak selamanya baik
dan tenang. Ada kalanya langit yang cerah tiba-tiba berawan lalu
mendung, bahkan bisa juga berbadai. Demikian juga dalam bisnis."
"Baik Pak terima kasih atas waktunya. Kami pamit ya."
"Iya Bu. Hari Ahad ya, Insya Allah?" Kata Bu Mahbub "Iya insya
Allah. Oh ya kita berangkat dari sini jam berapa?"
"Pagi-pagi sekali saja jam setengah tujuh, biar lebih enak
jalannya." "Sepakat." Kata Bu Nafis
*** Ahad pagi Azzam dan keluarganya disertai Pak Mahbub dan
isterinya berangkat ke Kudus. Mereka berangkat dari Kartasura pukul
tujuh pagi. Molor setengah jam dari yang direncanakan. Yang
mengendarai mobil Azzam. Pak Mahbub duduk di samping Azzam.
Bu Nafis dan Bu Mahbub duduk di bangku tengah. Dan di bangku
belakang adalah Husna dan Lia.
Malam sebelum berangkat Bu Nafis membuat kue donat cukup
banyak. Tujuannya selain untuk oleh-oleh buat Si Sarah, juga buat
keluarga Vivi. Selain kue donat Bu Nafis dan Lia juga membuat
Arem-arem dan Lontong Opor untuk bekal di jalan.
Langit Kartasura terang benderang saat mereka berangkat. Tak
ada awan maupun mendung. Medekati Boyolali mendung seolah
mengintai mereka. Dan sampai di Ampel hujan deras mengiringi
mereka. Sampai Salatiga hujan mulai reda tinggal gerimisnya saja.
Sampai di Bawen hanya mendung yang menemani. Semakin lama
panas menyengat. Pukul sepuluh mereka sampai di Demak. Sisa sisa hujan tampak
di sepanjang jalan. Air sungai di kiri jalan berwarna cokelat pekat.
Airnya penuh hampir meluap ke jalan. Mobil melaju di belakang bus
Nusantara. Azzzm mengemudi dengan tenang. Jam terbangnya
membuatnya memiliki insting yang bagus di jalan. Begitu ia
menemukan ruang dan kesempatan, maka bus didepannya pun ia
salip dengan penuh kemenangan.
Rombongan itu memasuki gerbang kota Kudus pukul sebelas
kurang lima belas menit. Azzam kurang begitu tahu jalannya. Pak
Mahbub menunjukkan ke kiri atau ke kanan.
"Setelah melewati Matahari di depan itu kiri Zam." Kata Pak
Mahbub memantau. Azzam mengikuti petunjuk Pak Mahbub.
"Depan itu kanan! Itulah jalan Kiai Telingsing. Lurus saja terus
hingga akhirnya kita sampai di Masjid Menara Kudus yang terkenal."
Pandu Pak Mahbub. Azzam melewati jalan Kiai Telingsing dan mengikuti panduan
yang diberikan oleh Pak Mahbub. Tak lama kemudian sampailah
mereka di depan Masjid Al Aqsha nama lain dari masjid Menara
Kudus. Azzam parkir tak jauh dari masjid. Aura Kudus sebagai kota
santri sangat terasa. Di jalan dan di gang banyak santri putra berpeci
yang hilir mudik, dan banyak santri putri berjalan dengan jilbabnya
yang bersih menawan. "Rumah Vivi tak jauh dari Menara. Kita jalan saja dari sini.
Sebab rumahnya melewati gang yang berkelok-kelok. Rumahnya ada
di Langgardalem." Jelas Bu Mahbub.
Azzam membawa kardus berisi donat yang telah disiapkan
ibunya. Ia berjalan di samping Pak Mahbub. Mereka berjalan terus ke
utara. Melewati toko buku Mubarakatun Thayyibah. Lalu ada gang kecil
mereka masuk ke kanan. Gang itu berkelok-kelok. Di sebuah rumah
khas Kudus dengan ukirannya yang khas mereka berhenti. Pak
Mahbub melepas sepatunya dan naik. Rumah itu pintunya terbuka
namun lengang. Pak Mahbub mengucapkan salam. Tak lama
kemudian seorang gadis berjilbab merah marun keluar. Gadis itu
langsung tersenyum begitu tahu siapa yang datang.
"Subhanallah, Pak Lik sama Bu Lik tho, ayo monggo monggo" Seru
gadis itu. "Vi, bapak ibumu ada di rumah?" Tanya Pak Mahbub.
"Saya sendirian ini Pak Lik. Bapak sama ibu baru lima belas
menit yang lalu keluar. Katanya ada kumpulan pengajian jamaah haji
di Jamiatul Hujjaj Kudus, JHK itu lho Lik. Monggo Pak Lik, monggo
semuanya, masuk!" Pak Mahbub dan Bu Mahbub mendahului masuk. Barulah Bu
Nafis dan Husna. Ketika naik Azzam menyerahkan kardusnya pada
Lia. "Vivi kenalkan ini keluarga Bu Nafis. Mereka tetangga Pak Lik
di Kartasura. Ini Bu Nafis, itu Husna, itu Lia, dan ini Mas Azzam.
Kebetulan mereka mau menjenguk Si Sarah, putri bungsu Bu Nafis di
Pesantren Krandon situ. Lha kok kebetulan. Ya akhirnya kami
bareng." "O begitu. Mbak Husna ini masih kuliah?" Tanya Vivi
menghadapkan wajahnya ke Husna. Kata-katanya terdengar renyah.
Wajahnya menyiratkan orangnya periang.
"Alhamdulillah, sudah selesai Mbak."
"Sudah kerja?" "Alhamdulillah."
"Di mana?" "Di radio JPMI Solo."
"Sebentar saya kenal dengan seseorang di Solo, lewat karyakaryanya. Apa Mbak kenal ya, namanya Ayatul Husna?" Tanya Vivi.
Husna tersenyum. Bu Mahbub langsung menepuk paha Vivi
seraya berkata, "Vivi ini gimana lha ini orangnya. Inilah Ayatul Husna!"
"Benarkah?" "Ya benarlah!" "Ini Ayatul Husna yang menulis "Menari Bersama Ombak" itu?"
Tanya Vivi dengan mata mau membesar memandang Husna.
"Iya benar Mbak Vivi, saya Ayatul Husna." Lirih Husna.
"Laa ilaaha illallah, subhanallah. Mimpi apa saya sampai ketemu
orang yang saya kagumi?" Lia berkomentar, "Benar kata orang-orang,
dunia memang sempit!"
"Mbak Husna sebentar ya saya mau ambil buku minta tanda
tangan!" Vivi bangkit dan masuk ke sebuah kamar. Lalu keluar lagi
membawa sebuah buku. Judulnya "Menari Bersama Ombak".
"Ini Mbak minta tanda tangannya." Husna mengambil buku itu
dan menandatanganinya. "Mau tanda tangan ibu saya tidak?" Tanya
Husna. "Mau, satu keluarga semuanya deh ikut tanda tangan." Kata
Vivi. "Tapi kalau yang itu mahal lho." Sahut Husna sambil menunjuk
ke arah Azzam. "Kenapa memangnya?" Tanya Vivi. "Dia tanda tangannya
berbau Mesir. Karena dia lulusan Mesir. Jadi mahal." Jawab Husna.
"O begitu." "Nama lengkap Mbak Vivi siapa?" Tanya Husna. "Alviana
Rahmana Putri Zuhri. Biasa dipanggil Vivi. Ada juga dulu teman
memanggil Alvi. Zuhri nama ayah saya. Dan nama ibu saya Fadilah."
"Mbak Vivi masih kuliah?"
"Sudah selesai."
"Sudah kerja?" "Sudah." "Di mana?" "Di Puskesmas Sayung Demak."
"Sudah menikah?"
"Belum." "Kenapa?" "Belum laku. Belum ada yang mau melamar." Jawab Vivi
dengan nada bercanda. "Kalau dilamar mau?"
"Asal orangnya ganteng ya saya mau." Jawab Vivi santai.
"Kalau Mas saya itu masuk kriteria tidak?"
"Wah jawabannya perlu istikharah tiga hari dulu." Tak ada
rasa canggung dari nada bicara Vivi.
"Tunggu sebentar ya saya membuat minum dulu ya." Ujar Vivi
seraya beranjak ke belakang.
"Tak usah repot-repot Nduk." Kata Pak Mahbub.
"Alah cuma air kok Pak Lik."
Vivi masuk ke belakang diikuti oleh Bu Mahbub. Di belakang Bu
Mahbub berbicara berdua dengan Vivi. Menjelaskan maksud
kedatangannya. Vivi terperanjat kaget namun segera menguasai diri.
"Untuk sekilas Vivi cocok Bu Lik. Tergantung dianya mau apa
tidak. Kalau bapak sama ibu gampang. Sudah menyerahkan masalah
ini sepenuhnya padaku."
Bu Mahbub tersenyum mendengarnya. Vivi jadi agak salah
tingkah karena penjelasan Bu Liknya. Dalam hati Vivi berkata,
"Bodoh sekali kalau ada gadis menolak pemuda seperti dia. Tampak
berkarakter dan lulusan Mesir lagi. Terus kakak dari penulis muda
terkenal lagi. Kalau memang dia rezekiku ya tidak akan ke manamana."
Azzam memperhatikan gerak-gerik Vivi dengan baik. Orang
seperti Vivi yang renyah dan banyak humor serta mudah bergaul
dengan orang ia rasa akan awet muda. Orang yang ramah dan akrab
pasti akan mudah dicintai, mudah bergaul dengan orang. Ia rasa
dokter seperti itu, yang ramah dan akrab pasti akan disenangi banyak
orang. Cukup lama mereka disana tapi bapak dan ibu Vivi belum juga
pulang. Pak Mahbub memimpin rombongan minta diri. Ketika berdiri
dari jongkok karena memakai sepatu, Azzam mencuri pandang
kepada wajah Vivi. Pada saat yang sama Vivi sedang mengamati
Azzam. Mata dua orang itu bertemu. Azzam bergetar. Demikian juga
Vivi.

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari rumah Vivi mereka kembali ke Masjid Menara Kudus.
Mereka shalat Zuhur sambil melepas lelah. Azzam melihat belasan
santri yang menggelosot dan tiduran di serambi masjid sambil
komat-kamit menghafal Al Quran. Nuansa Qurannya benar-benar
terasa. Setelah shalat dan cukup istirahat rombongan naik mobil dan
bergerak menuju Krandon. Tempat di mana Si Kecil Sarah menuntut
ilmu. Begitu sampai di pesantren, seorang pengurus berjilbab biru
muda menyambut dan memasukkan rombongan itu ke ruang khusus
tamu. Husna meminta pada pengurus yang bertugas itu supaya
dihadirkan adiknya yang bernama Sarah.
Tak lama kemudian seorang anak kecil berumur kira kira
sembilan tahun dituntun oleh sang pengurus. Begitu melihat anak
kecil itu Bu Nafis langsung menghambur memeluknya dengan mata
berkacakaca, "Sarah!" "
"Bue!" "Kau baik-baik saja Nak?"
"Iya. Bue kok tidak pernah menengok Sarah?"
Bu Nafis menangis. "Lha ini Bue nengok Sarah."
"Kalau Mbak Husna sama Mbak Lia nengok kenapa Bue tidak
ikut?" "Kan Mbak sudah bilang ke Sarah. Bue harus sering istirahat, kalau
tidak sakit. Kartasura Kudus kan jauh Sarah." Husna yang sudah ada
di samping Sarah menjelaskan.
"Ayo Bue kenalkan dengan orang yang selalu kau kangenin."
Kata Bu Nafis pelan sambil menuntun Sarah ke arah Azzam.
"Itu siapa" Kenal tidak?" Tanya Bu Nafis sambil menunjuk
Azzam. Azzam bangkit sambil tersenyum pada Sarah. Ia memandang
adik bungsunya dengan pandangan sayang.
"Itu Kak Azzam kan Bu?"
"Iya. Kok kamu tahu?"
"Kan mirip yang difoto yang dikirim dari Mesir itu."
"Iya. Sana cium tangan Kak Azzam."
Sarah melangkah ke arah Azzam. Gadis kecil itu mencium
tangan kakaknya. Azzam tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk
dan mengangkat gadis kecil itu lalu menciuminya dengan linangan
air mata. Dulu saat ia ke Mesir gadis kecil itu masih dalam kandungan
ibunya. Dan kini gadis itu sudah sekitar sembilan tahun umurnya. Ia
teringat anak-anak kecil di Mesir yang sehari-hari menghafal Al
Quran. "Sarah sudah hafal berapa juz?"
"Alhamdulillah lima juz Kak."
"Juz mana saja itu?"
"Juz 26, 27, 28, 29, dan 30."
"Sarah suka di pesantren?"
"Iya suka. Di sini teman Sarah banyak. Ada Inung, Dita, Nia,
Putri, Wiwik, Anis, Bila, Lola, Ipah, Siwi, Imah dan banyak lagi.
Mereka semua baik-baik. Tapi ada juga satu orang yang nakal dan
suka mengganggu Sarah dan teman-teman. Namanya Iken. Wah dia
nuakal sekali. Sarah malah cerita tentang teman-temannya pada Azzam.
Azzam sendiri sebenarnya tidak tega melihat anak sekecil itu harus
dikarantina di pesantren Al Quran untuk anak-anak. Tapi demi
menunaikan wasiat dan amanat dari almarhum ayahnya hal itu
terpaksa tetap dilakukan.
"Makanan apa yang ingin Sarah makan saat ini?" Tanya Azzam
pada adik bungsunya itu. "Bakso buatan Kak Azzam. Kan kata Mbak Husna dan Mbak
Lia, Kak Azzam pinter buat bakso." Jawab Sarah polos yang membuat
semua yang ada di ruang tamu pesantren itu tersenyum dibuatnya.
"Wah sayang Kak Azzam tidak bawa. Tapi di rumah setiap hari
Kak Azzam buat bakso."
"Benarkah?" "Iya benar." "Berarti nanti kalau liburan Sarah bisa makan bakso setiap
hari?" "Iya." "Wah asyik. Sarah boleh tidak kalau misalnya ajak teman-teman
Sarah yang baik-baik seperti Inung, Dita dan Nia ke rumah untuk
makan bakso buatan Kak Azzam?"
"Boleh. Semua teman Sarah boleh datang dan makan bakso
sekenyang-kenyangnya."
"Wah asyik." "Eh Kak tahu nggak?"
"Apa?" "Itu Mbak Izzah yang pakai jilbab biru itu. Yang tadi ngantar
Sarah kemari orangnya baik sekali. Pokoknya baik sekali.
Malam-malam kalau Sarah masuk angin, Mbak Izzah itu yang selalu
mijetin Sarah dan membuatkan Sarah teh panas yang enak sekali.
Sarah berharap dia juga jadi kakak Sarah. Boleh nggak Kak Mbak
Izzah itu misalnya tinggal di rumah kita?"
Kata-kata Sarah membuat Azzam dan yang hadir di situ haru
namun juga kaget. Kaget dengan permintaannya, "Lho kan Mbak itu
sudah punya rumah sendiri, masak tinggal sama kita?"
Kata Mbak Jannah, itu Mbak yang lain lagi, Mbak Izzah tidak
punya rumah. Rumahnya ya pesantren ini, dulu rumahnya di panti
asuhan. Katanya tidak punya saudara kan kasihan. Kalau tinggal
dirumah kitakan jadi punya Bue, punya Mbak
Husna, Mbak Lia, Sarah dan Kak Azzam." ]elas Sarah dengan
suara khas kekanak-kanakan.
"Sudah Sarah jangan mikir itu dulu. Mbak Izzah kan sudah
besar. Sudah bisa mikir dirinya sendiri. Kalau dia tinggal di rumah
kita ya boleh boleh saja.Yang penting Sarah harus rajin sekolah dan
menghafalkan Al Quran ya?"
"Iya Kak. Nanti Sarah akan cerita pada Mbak Izzah, kalau kakak
Sarah yang di Mesir sudah pulang. Terus kakak Sarah itu
membolehkan Mbak Izzah tinggal di rumah. Mbak Izzah itu kata Bu
Nyai yang paling bagus hafalannya di sini. Suaranya paling indah.
Sarah suka banget sama dia." Puji Sarah yang membuat Husna dan
Lia iri. Adiknya itu lebih dekat dengan pengurus pesantren yang
bernama Izzah daripada mereka.
20 BUNGABUNGA CINTA Bau cinta begitu dekat. Aromanya terhisap masuk sampai ke
sumsum jiwa. Efeknya luar biasa. Menyegarkan badan. Menajamkan
pikiran. Itulah yang dirasakan oleh Azzam menjelang
pertunangannya dengan dr. Alviana Rahmana Putri yang biasa
dipanggil Vivi itu. Prosesnya tak terbayangkan akan secepat itu. Dua
hari setelah bertemu dengan Vivi, Pak Mahbub datang menanyakan
apakah dia serius untuk menikahi Vivi. Azzam menjawab serius. Pak
Mahbub memberitahu Vivi dan keluarganya menerimanya dengan
hati bahagia. Pak Mahbub kembali mengajaknya ke Kudus untuk meminang
Vivi secara resmi. Tepat satu minggu setelah pertemuan pertama,
Azzam dan keluarganya kembali ke sana. Bu Nafis membuat banyak
makanan untuk diberikan kepada keluarga Vivi. Sebagai tanda
keseriusan Azzam membelikan sebuah cincin untuk Vivi. Cincin itu ia
berikan kepada ibunya untuk dipakaikan di jari manis Vivi.
la dan rombongannya sampai di rumah Vivi hampir sama
waktunya dengan saat pertama dulu datang. Hanya lebih awal
setengah jam. Di rumah itu ternyata sudah menunggu banyak orang.
Mereka adalah keluarga terdekat Vivi dan tetangga kiri kanan. Pak
Zuhri, ayah Vivi menyambut Azzam dan rombongannya dengan
wajah berseri-seri. Hari itu Bu Nafis tampak lebih cerah dari hari hari
sebelumnya. Bu Nafis begitu tulus bersalaman dan berpelukan
dengan Bu Fadilah, ibu Vivi.
Azzam memakai kemeja yang dibelikan ibunya di pasar Klewer.
Ia tampak gagah dan bersahaja dengan peci hitam di kepalanya. Vivi
memakai gamis cokelat susu dan jilbab putih bersih. Dokter muda itu
tampak anggun. Acara lamaran itu jadi setengah resmi. Keluarga Vivi telah
menyusun rangkaian acara. Yaitu pembukaan kalimat dari keluarga
Azzam, kalimat dari keluarga Vivi, musyawarah atau lain-lain. Doa
dan terakhir ramah-tamah.
Acara dibuka dengan pembacaan surat Fatihah seperti biasa.
Kalimat dari keluarga Azzam diwakili oleh Pak Mahbub yang tak lain
sebenarnya adalah paman dari Vivi sendiri. Pak Mahbub adalah adik
dari ibu Vivi. Pak Mahbub menyampaikan bahwa kedatangannya
dari Kartasura untuk melamar Vivi buat Khairul Azzam. Pak Mahbub
menyampaikan kalimatnya lugas dan sederhana saja. Singkat.
Langsung ke intinya. Tidak muter-muter ke mana-mana dulu penuh
basa-basi dan tambahan cerita di sana-sini.
Dari keluarga Vivi yang menjawab langsung Pak Zuhri.
Pak Zuhri menyampaikan rasa bahagianya atas kedatangan
rombongan dari Kartasura. "Mohon maaf jika tempat dan ruangan
yang disediakan kurang berkenan." Adapun tentang lamaran Azzam,
Pak Zuhri mengatakan, "Saya pribadi sebagai orang tua dan wali
anak saya Alviana Rahmana Putri sama sekali tidak keberatan, saya
malah bahagia dan gembira. Apalagi Vivi memang sudah saatnya
membina keluarga. Hanya saja saya tidak bisa memaksakan kehendak
pada anak saya. Jawabannya langsung saja saya serahkan kepada
anak saya tentang menerima atau tidak lamaran Azzam ini."
Ibu Fadilah lalu mendesak Vivi untuk bicara. Suasana hening
sesaat karena Vivi tidak langsung bicara. Sebenarnya Vivi sedang
menikmati kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya. Ia
sungguh merasa mendapat anugerah agung dari Allah mau disunting
dan diperistri oleh pemuda yang ia yakin shaleh bernama Khairul
Azzam. Pemuda yang ada dalam idamannya. Ia mengidamkan punya
suami seorang santri yang baik dan paham ilmu agama. Dan Azzam
adalah lulusan pesantren tertua di dunia yaitu Al Azhar University
Cairo. Vivi menata degup jantungnya. Tanpa ia sadari air matanya
meleleh. Lalu dengan suara agak terbata-bata, ia berkata singkat,
"Dengan membaca bismillahirrahtnaanirrahim
mengharap ridha Allah lamaran itu saya terima."
dan dengan Semua yang hadir mengucapkan alhamdulillah. Azzam
menikmati suasana yang sangat indah. Ia langsung mencium aroma
cinta. Harumnya menyusup merasuk ke dalam jiwanya. Begitu Vivi
menyampaikan penerimaannya, Bu Fadilah menciumnya. Bu Nafis
yang ada di samping Bu Fadilah mendekati Vivi. Bu Nafis duduk
tepat di hadapan Vivi. Spontan Vivi mencium tangan calon
mertuanya. Lalu dengan disaksikan Bu Fadilah dan yang hadir Bu
Nafis memasukkan cincin emas ke jari manis Vivi.
"Semoga barakah ya Nak." Lirih Bu Nafis.
"Amin. Mohon doanya Bu." Jawab Vivi sedikit serak.
Setelah itu masuk pada acara musyawarah dan acara lain-lain.
Pihak keluarga Azzam menyerahkan semuanya kepada keluarga Vivi
untuk menentukan tanggal pernikahan dan lain sebagainya. Akhirnya
kedua belah pihak sepakat bahwa akad nikah dilangsungnya satu
bulan berikutnya. Akad nikahnya di Masjid Al Aqsha atau Masjid
Menara Kudus. Akad akan dilangsungkan pada hari Kamis jam
sembilan pagi. Lalu resepsi pernikahan dilangsungkan di rumah Vivi
pada hari itu juga, sehari penuh, setelah acara akad nikah.
Sedangkan acara di Kartasura hanya semacam syukuran saja.
Mengundang tetangga satu RW, untuk mengiklankan bahwa Azzam
sudah menikah dan untuk minta doa restu. Dalam musyawarah itu
Azzam juga berterus terang bahwa ke depan Vivi akan ia boyong ke
Kartasura. Mungkin untuk sementara setelah menikah. Satu minggu
dua kali ia akan pergi ke Sayung Demak. Ke rumah dinas yang
sekarang di tempati Vivi. Keluarga Vivi setuju. Seorang bapak
berumur sekitar empat puluh tahun yang menjadi tetangga Vivi
berkata, "Ah, jarak Kartasura-Demak kalau ditempuh dengan mobil,
apalagi disemangati dengan kerinduan dan cinta akan terasa dekat
dan ringan!" Spontan yang hadir tertawa bahagia. Azzam dan Vivi hanya
tersenyum. Tanpa mereka sadari ada semacam magnet yang
membuat mereka berpandangan. Ces! Setetes embun bagai menetes
ke dalam hati Azzam begitu kedua matanya bertemu dengan kedua
mata Vivi. Sedangkan Vivi merasakan tubuhnya bagai mau melayang
karena bahagia. Keduanya lalu menunduk kembali.
Azzam merasakan halusnya kasih sayang Tuhan. Ikhtiarnya
untuk menemukan jodoh ternyata dikabulkan oleh Allah Swt.
Sebelum pulang Pak Zuhri rnenyerahkan kertas kecil kepada Azzam
seraya berkata,"Hanya sekedar untuk tahu saja, siapa tahu kelak ada
gunanya untuk anak turunanmu. Ini silsilah moyangnya Vivi. Jadi
silsilahnya ini!" Azzam membaca isi kertas itu: Alviana Rahmana Putri binti
Zuhri bin Zuhaidi bin Sukemi bin Karto bin Singodigdo bin Raden
Sastrobuwono. Azzam melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam
saku bajunya. Kelak jika Vivi sudah jadi isterinya ia akan minta agar
sejarah pemilik nama-nama itu diceritakan kepadanya. Agar kelak
bisa ia gunakan jika punya anak dan dalam sejarah itu ada yang bisa
menyemangati anaknya. Azzam merasa yakin bahwa Vivi adalah anugerah agung dari
Tuhan untuknya. Bagi orang yang beriman, setelah keimanannya
adakah ada anugerah yang lebih baik dan lebih indah melebihi isteri
yang shalihah" Azzam teringat sabda Rasulullah Saw.,
"Seorang mukmin tidaklah mengambil faidah yang lebih baik setelah
takwa kepada Allah dari isteri yang shalihah; yang jika dia menyuruh
isterinya maka isteri itu mentaatinya, jika melihatnya isteri itu
menyenangkannya, jika bersumpah atas nama isterinya maka isterinya itu
memenuhinya, dan jika suami tidak di rumah maka isteri itu menjaga harta
dan kehormatan suaminya."30
Azzam berharap setelah takwa kepada Allah, Alviana Rahmana
Putri adalah anugerah Allah terbaik dari Allah yang akan senantiasa
memberinya faidah dalam menyempurnakan ibadah kepada Allah.
Husna juga merasakan kebahagiaan yang sama. Bunga-bunga
cinta bersemi di dalam hatinya. Seakan hatinya adalah taman bunga
di musim semi. Setelah shalat istikharah dan bermusyawarah dengan
ibu, Azzam dan Lia ia mantap menerima lamaran Muhammad Ilyas.
"Dia dulu santrinya Kiai Lutfi, terus kuliah di Madinah,
sekarang S2 di Aligarh India. Insya Allah dia shaleh. Menurut kakak
tidak ada alasan untuk menolak" Tegas Azzam. Awalnya Husna
masih agak bimbang. Melewati tiga hari yang dijanjikan ia belum memutuskan.
Setelah pulang dari acara pertunangan kakaknya di Kudus baru ia
putuskan. Itupun setelah ia mendengar kalimat tegas dari kakak yang
sangat dihormatinya. Akhirnya dengan hati mantap ia putuskan menerima lamaran
Ilyas. Keluarga Ilyas datang ke rumahnya mirip dengan ketika
keluarganya datang ke Kudus. Mereka membawa makanan.
Membawa beberapa orang. Acaranya juga hampir sama. Hanya saja
Ilyas tidak membelikan cincin untuknya tapi tiga potong jilbab yang
cantik warnanya.

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

30 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits no. 1847
Ketika bermusyawarah tentang penentuan hari pernikahan
terjadi dialog yang sedikit alot. Keluarga Ilyas ingin satu minggu
secepatnya. Sekilat-kilatnya. Ibunya tidak mau. Satu minggu menurut
ibunya itu terlalu cepat dan gila. Ibunya ingin pernikahannya
dilaksanakan paling tidak tiga bulan setelah pernikahan Azzam. ]adi
empat bulan dari hari pertunangan kira-kira.
Ilyas merasa keberatan. Itu terlalu lama.
"Saya khawatir bisa menimbulkan fitnah di hati saya." Kata
Ilyas. "Masak cuma menunggu empat bulan saja kok berat. Dulu ibu
saja harus menunggu satu tahun." Balas Bu Nafis. Semua diam.
Husna menutup rapat-rapat kedua bibirnya. Ia tak angkat suara takut
salah bicara. Suasana agak kaku sesaat. Dan Azzam menggerakkan
bibirnya mencairkan suasana,
"Ah gampang. Kita ambil jalan tengah saja. Bagaimana biar
keluarga kami tidak repot dan keluarga Ilyas juga tidak terlalu lama
menunggu, bagaimana jika pernikahannya dilaksanakan di hari yang
sama dengan syukuran pernikahan saya di Kartasura ini."
"Lha ini, usul yang bagus." Kata Pak Mukhlas ayah Ilyas sambil
tersenyum. "Bagaimana Ilyas" Apa kira-kira menunggu satu bulan juga
keberatan?" Tanya Azzam pada Ilyas. Yang ditanya jadi kikuk dan
salah tingkah. Dan dengan suara tergagap Ilyas menjawab, "Sa... satu
bulan" Bolehlah."
"Bue bagaimana" Kan kalau bareng syukuran pernikahannya
Azzam malah tidak terlalu repot. Meminta tolongnya tetangga juga
cuma satu kali." Tanya Azzam pada ibunya.
"Ibu sepakat dengan usulmu Nak." Jawab Bu Nafis. Dan
tercapailah kesepakatan. Sejak itu Azzam dan Husna sering keluar belanja bersama untuk
mempersiapkan hari pernikahan mereka. Azzam memanggil seorang
tukang untuk memperbaiki rumahnya. Lantai yang masih hitam dari
semen ia belikan keramik. Karena kamarnya pas-pasan. Ia membuat
kamar tambahan di dekat dapur. Dinding bagian belakang dapur
dijebol dan dibuat dua kamar. Dari tembok. Di dalam kamar ia beri
kamar mandi. Kamar itulah rencananya kamar untuk Husna dan
kamar untuk dirinya. Sementara bentuk rumah tidak ia ubah sama
sekali. Biar tetap seperti aslinya. Hanya saja ia minta dirapikan dan
dicat yang rapi. Lia membantu menyebar undangan. Terutama adalah undangan
pernikahan Husna. Kalau undangan pernikahan Azzam tidaklah
banyak karena Azzam akan akad dan walimah di Kudus. Tak lupa
Azzam meminta Lia mengantarkan undangan ke Pesantren Wangen.
Seluruh keluarga Kiai Lutfi diundang untuk datang.
Bunga-bunga cinta bermekaran di rumah sederhana itu. Rumah
Azzam dan Husna. Bunga-bunga cinta seolah tumbuh di halaman
rumah. Tumbuh di ruang tamu.
Tumbuh di dapur. Dan tumbuh di setiap kamar. Menunggu hari
H penuh cinta Azzam dan Husna sering shalat tahajjud bersama.
Mereka berdoa bersama memohon ridha dan barakah dari Allah "Azza
wa Jalla. 21 CIUMAN TERAKHIR Setelah menikah dengan Anna Althafunnisa, kesibukan Furqan
adalah ikut mengajar di pesantren, mengajar di sebuah kampus
swasta di Jogjakarta, dan mengurus bisnis ayahnya di Surakarta. Oleh
sang ayah, untuk modal hidup Furqan diberi kekuasaan penuh
mengelola toko kamera yang menjual berbagai macam jenis kamera
digital di Jalan Slamet Riyadi.
Sore itu jam setengah lima Furqan pulang dari toko. Mobil
Fortunernya memasuki halaman pesantren. Furqan turun. Seorang
santri yang melihatnya datang dan mencium tangannya. Dari ruang
tamu Anna melihat kedatangan suaminya. Begitu masuk Anna
langsung melepas jaketnya dan mengikuti sang suami naik ke lantai
atas. Masuk ke dalam kamarnya. Furqan langsung mandi. Anna
sudah rapi seperti biasa. Ia baru saja mengetik beberapa bagian dari
tesisnya. Selesai mandi Furqan memakai jas yang dulu dipakainya saat
pesta pernikahan. Anna memandang senang penuh harapan. Ia
berharap inilah saatnya yang sekian lama ia tunggu-tunggu akhirnya
datang. "Malam ini kita ke hotel ya Dik?"
"Ke hotel mana?"
"Pilih mana Lor Inn apa Novotel?"
"Mm... Novotel saja."
"Boleh." "Untuk apa kita ke hotel Mas" Apa tidak di rumah saja?"
"Untuk sesuatu yang tidak biasa."
"Apa saatnya telah tiba" Hari yang kau janjikan telah datang."
"Mas harap begitu Dik. Cepatlah berkemas. Nanti kalau keburu
maghrib tidak enak."
"Baik Mas." Anna langsung berkemas. Ia juga menyiapkan gaun pengantin
yang dulu ia pakai. Semua perlengkapan yang ia rasa harus ia bawa ia
masukkan ke dalam kopernya. Anna begitu semangat. Rasanya ia
ingin segera sampai di Novotel. Ia ingin membuktikan pada dunia
dan pada siapa saja, bahwa dirinya tidak kalah dengan Miatun. Ia bisa
hamil dan akan punya anak, insya Allah.
Sejurus kemudian mereka berdua menuruni tangga, turun dari
kamar. Di ruang tengah mereka berpamitan pada Kiai Lutfi dan Bu
Nyai Mur. "Kami ada perlu penting di Solo Bah. Kami mau menginap di
sana." Kata Anna pada Abahnya. Sang Abah hanya mengangguk, lalu
batuk. Bu Nyai Nur mengantar sampai beranda. Anna dan Furqan
masuk mobil. Matahari memerah di ufuk barat. Tak lama lagi akan masuk ke
peraduannya. Burung-burung beterbangan kembali ke sarangnya.
Para petani yang sehari hari menggarap sawah tampak berjalan di
pematang untuk pulang. Furqan mengemudikan mobilnya dengan
tenang. Mobil itu melintas di depan pasar Kartasura dan terus ke
timur. Melewati kampus UMS, lalu pasar Kleco. Terus lurus ke timur
masuk jalan Slamet Riyadi. Hari sudah menjelang petang.
Lampu-lampu jalan sudah menyala. Azan maghrib tak lama lagi akan
bergema. "Tahu tidak Mas, kenapa jalan ini dinamakan jalan Slamet
Riyadi?" "Tidak tahu Dik, Mas kan bukan asli orang Solo."
"Mau tahu?" "Mau." "Seingat saya ya Mas. Jalan ini dinamakan Slamet Riyadi untuk
mengenang serangan umum tahun 1949 yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Slamet Riyadi. Kalau tidak salah setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda kembali datang ke
Indonesia. Datang untuk kembali menjajah Indonesia. Dengan segala
cara Belanda ingin menguasai kembali Indonesia.
"Para pejuang kita tidak tinggal diam. Mereka berjihad membela
tanah air dan bangsa. Mereka korbankan harta, darah dan bahkan
nyawa. Terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan di manamana antara tahun 1945 sampai 1949. Pada tahun 1948 Belanda
menguasai banyak wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bulan Desamber 1948 Belanda melancarkan agresi dan berusaha
menghancurkan tempat-tempat strategis milik pemerintah RI,
tujuannya untuk memberitahukan kepada dunia bahwa pemerintah
RI telah lumpuh, telah tiada.
"Ceritanya, Belanda minta agar para pemimpin dan pejuang
Republik ini menyerah. Tapi Jendral Soedirman menolak menyerah.
Jenderal hebat ini bergerilya di hutan hutan dan desa-desa yang
terletak di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta. Untuk membantah
opini yang disiarkan Belanda ke seluruh dunia, maka Jenderal
Soedirman merancangkan "Serangan Oemoem". Serangan Oemoem
ini merupakan sebuah serangan besar besaran yang bertujuan untuk
menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta. Serangan di Yogyakarta
dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto, manakala serangan di
Surakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
"Dan untuk memperingati Serangan Oemoem ini, maka jalan
raya utama di kota Surakarta dinamai Jalan Slamet Riyadi!" Jelas
Anna pada suaminya panjang lebar.
"Kau ternyata suka sejarah ya Dik."
"Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu
menghayati sejarahnya dan menghormati para pahlawannya."
"Kau benar Dik."
*** Mobil itu sudah mendekati Hotel Novotel. Ketika azan
mengalun merdu, Furqan dan Anna sudah keluar dari mobil. Mereka
ke resepsionis. Setelah Furqan tanda tangan seorang pelayan hotel
mengantarkan sampai kamar. Furqan memilih kamar yang mewah di
lantai enam. Begitu masuk kamar dan meletakkan tas tangannya,
Anna langsung ke jendela. Berdiri atau duduk di samping jendela
adalah kesukaan Anna sejak kecil. Ia tak bisa membayangkan sebuah
rumah tanpa jendela. Dari jendela kamar hotel itu keindahan sebagian
kota Solo bisa dinikmati.
Furqan berdiri di samping Anna.
"Indah ya Mas." Kata Anna sambil melihat lampu lampu kota
Solo yang tampak memancar ke kuning kuningan.
"Iya." "Kita shalat maghrib dulu yuk." Pinta Anna sambil perlahan
menutup gorden. "Ayuk." Furqan masuk kamar mandi mengambil air wudhu. Sedangkan
Anna melepas jilbab dan kaos kakinya. Furqan keluar, gantian Anna
yang masuk. Usai wudhu Anna mengambil mukena dari kopornya.
Furqan memandangi wajah isterinya dalam-dalam. Ia selalu kagum
dengan wajah yang sangat penyabar itu. Anna tahu suaminya
memperhatikannya. Ia pun memandang lekat-lekat wajah suaminya.
Anna tersenyum. Demikian juga Furqan.
"Ayo sholat nanti kehabisan waktu kita." Bibir Anna bergetar,
suaranya bening. "Ayo." Furqan menghadap kiblat lalu mengucapkan Takbiratul Ihram.
Setelah Fatihah ia membaca surat Al Kafirun dan Al Ikhlas. Anna
makmum di belakangnya dengan wajah menunduk khusyu". Selesai
shalat, zikir dan doa, Anna mencium tangan suaminya.
Furqan bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Anna bangkit lalu
berjalan ke depan almari. Ia melepas gamisnya. Ia tidak canggung
sedikit pun. Furqan berdesir melihat apa yang dilakukan isterinya.
Anna lalu mengambil gaun pengantin yang ada di dalam kopor dan
mengenakannya. Tak lama kemudian Furqan bagai menyaksikan
bidadari turun dari langit. Ia teringat malam pertamanya. Malam
pertama yang menyiksa batinnya. Yang perihnya masih terasa sampai
saat itu. Anna mengambil parfumnya. Suasana malam pertama itu
langsung tercipta. Bau wangi yasmin menyebar pelan. Bau nan suci
merasuk ke hidung Furqan. Merasuk ke seluruh aliran darahnya.
Membuat jantungnya berdegup kencang.
Furqan maju dan mencium kening isterinya. Tangan lentik Anna
menggeragap hendak melepas jas yang dikenakan Furqan. Wajah
Anna membara karena gairah.
"Apakah kau benar-benar siap, isteriku sayang?" Tanya Furqan.
"Aku sudah menunggunya dengan dada membara selama enam
bulan suamiku sayang. Apa kau tidak juga mengerti dan paham?"
"Kau siap dengan segala akibatnya?"
"Kalau tidak siap kenapa aku mau jadi isterimu."
"Tapi ada satu hal yang kau tidak tahu. Aku tidak ingin
menyampaikan hal ini. Tapi harus aku sampaikan malam ini. Setelah
itu terserah apa keputusanmu."
"Aku tidak tahu apa yang Mas maksud."
"Dik aku sungguh sangat mencintaimu?"
"Sama aku juga mencintai Mas."
"Aku sungguh tak ingin kehilanganmu."
"Aku tahu itu."
"Namun aku tak ingin menzalimimu. Aku tidak menyentuh
mahkota yang paling berharga milikmu karena aku tidak ingin
menzalimimu Dik. Bukan karena aku tidak mampu. Ada satu tembok
sangat kuat dan berduri yang menghalangiku dari menyentuh
mahkota paling berharga milikmu."
"Aku tak paham maksudmu Mas."
"Sesungguhnya saat akad nikah itu aku sudah tidak perjaka Dik."
"Apa"!" Anna kaget.
"Maafkan aku Dik, tapi sungguh bukan aku menyengaja."
"Aku tak percaya! Mas yang ketua PPMI! Mas yang jadi
mahasiswa kebanggaan orang-orang di KBRI! Mas yang sudah selesai
S2 dan kini mau S3! Mas yang mengajar ngaji para santri! Mas yang...
hiks... hiks..." Anna tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
"Maafkan aku Dik, tapi tolonglah kau dengarkan dulu ceritaku,
jangan marah dulu, jangan menangis dulu. Aku akan bercerita
dengan sejujur-jujurnya. Baru setelah itu terserah kamu. Terserah mau
kau apakan aku." Ucap Furqan mengiba sambil menyeka air mata
Anna. "Tolong, Dik, dengarkan ceritaku dulu, arjulk31"
"Baik Mas, akan aku dengar. Tapi mendengar pengakuanmu itu
hatiku sudah sakit." Kata Anna mengungkapkan rasa dalam hatinya.
"Maafkan aku Dik, maafkan..." Kata Furqan, ia lalu
menceritakan apa yang menimpanya sebelum ia pulang ke Indonesia.
Ia bercerita dengan sejujur-jujurnya.
Ia bercerita tentang peristiwa mengerikan yang menimpanya di
Hotel Meridien. Ia yang tahu-tahu bangun tidur dengan keadaan
yang memalukan. Lalu pesan Miss Italiana yang mengintimidasinya.
Tentang foto-foto yang memalukan. Tentang tertangkapnya Miss
Italiana yang ternyata agen Mossad penyebar virus HIV. Dan tentang
dirinya yang divonis positif mengidap HIV. Serta janji Kolonel Fuad
untuk tidak menyebar berita tentangnya, juga janjinya pada Kolonel
Fuad untuk tidak menyebarkan virus HIV yang diidapnya pada orang
lain. Anna mendengarkan cerita itu dengan hati perih. Ia merasa
seperti ada sebuah tombak berkarat yang menancap tepat di ulu
hatinya. Tangisnya meledak. Furqan diam di tempatnya. Ia tahu
kenyataan itu akan sangat menyakitkan Anna. Tapi jika tidak ia
sampaikan ia akan terus tersiksa. Ia merasa telah lepas dari satu beban
psikologis. Selanjutnya ia akan menyerahkan keputusan seluruhnya
pada Anna. Anna masih menangis tersedui-sedu. Furqan meremas remas
rambutnya, tak tahu ia harus berbuat apa saat itu. Tiba-tiba merasa
sangat kasihan pada isterinya yang sangat dicintainya itu.
Anna masih menangis. Gadis itu mengusap mukanya. Lalu
31 Arjulk. Aku minta padamu, aku bertiarap padamu.
memandang wajah Furqan dengan nanar dan marah, "Kau sangat
jahat! Kau begitu tega mendustaiku dan mendustai seluruh
keluargaku! Bahkan kau mendustai seluruh orang yang hadir saat
akad pernikahan kita! Sebelum menikah pegawai KUA itu
membacakan statusmu perjaka! Ternyata kau dusta! Lebih jahat lagi,


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata kau mengidap penyakit yang dibenci semua orang, dan kau
tega menyembunyikannya dariku! Kau jahat!"
"Maafkan aku Dik, aku memang jahat!"
"Sangat sulit bagiku memaafkanmu Fur!" Anna tidak lagi
memanggil dengan panggilan Mas, tapi langsung memanggil nama
Furqan! Itu sebagai tanda dalam hati Anna sudah tidak ada lagi
penghormatan pada Furqan.
"Ya aku jahat. Tapi satu hal yang aku minta kau pertimbangkan,
aku sangat mencintaimu, aku sangat menghormatimu, aku tidak ingin
menyakitimu. Aku jahat mungkin, tapi nuraniku mencegahku untuk
menyentuh mahkota kewanitaanmu. Kenapa" Karena aku tahu kau
bisa tertular virus itu. Aku tidak mau terjadi itu padamu. Kalau aku
mau aku bisa lebih jahat lagi. Malam pertama itu aku lakukan tugasku
sebagai suami. Selesai. Kau dan aku kena HIV selesai. Ketika kau
menggugatku aku akan gantian menggugatmu. Kau tidak mungkin
tahu aku kena HIV-Tapi aku tidak lakukan itu!"
"Terus kenapa mencintaimu." kau nikahi aku, hah"!" "Karena aku Dan cintamu itu menyakiti aku! Cintamu itu kini jadi jahnannam
bagiku! Kalau seperti ini apa yang kau inginkan dariku" Sekedar jadi
boneka hias dalam kehidupanmu" Sekedar jadi aroma kamarmu yang
cuma kau hisap dan kau cium-cium baunya" Sekedar jadi simbol
kering. Keangkuhanmu sebagai kelas konglomerat yang merasa
berhak membeli apa saja" Apa yang kau inginkan dariku Furqan?"
"Aku sendiri tak tahu Dik."
"Kau tahu syariat Fur! Kau tahu kitab Allah, kau tahu tuntunan
Rasulullah! Seharusnya kau tidak menikahiku, iya kan!" Kau tahu
kalau menikahiku itu akan jadi mudharat bagiku. Akan menyakitiku,
iya kan" Dan pernikahan yang pasti menyakiti isteri atau suami itu
haram hukumnya, iya kan!?" Anna mencecar dengan amarah. Ia
berusaha menjaga untuk tidak mengeluarkan kata-kata kotor.
"Iya. Kau benar Dik!"
"Kenapa yang haram itu kau lakukan juga, hah"! Apa kau tidak
takut pada Allah!?" Furqan diam. "Aku minta maaf, Dik. Aku terima semua keputusanmu."
"Baik. Ceraikan aku!" Ucap Anna penuh amarah. Jika ia punya palu
dan halal membunuh lelaki di hadapannya, rasanya ia ingin
menghantamkan palu itu ke kepala Furqan hingga hancur berkepingkeping. Furqan diam. Hatinya bagai tertusuk pisau yang sangat tajam.
Tapi ia sudah menyiapkan saat-saat Anna akan mengucapkan kalimat
itu. Ia insyaf yang salah adalah dirinya, bukan Anna. "Tak ada pilihan
lain Dik?" "Tidak!" "Kalau begitu, kapan aku harus menceraikan dirimu?"
"Sekarang juga!"
"Sekarang?" "Iya!" "Akan aku ceraikan kamu Dik, meskipun dengan hati sakit,
tapi dengan dua syarat."
"Aku tak mau ada syarat!"
"Kalau begitu urusannya akan jadi panjang, aku akan
benar-benar berubah jadi penjahat sekalian!"
"Maksudmu apa Fur?"
"Kau tak sedikitpun berempati padaku. Aku ini sudah hancur
sejak sebelum pulang ke tanah air. Menikah denganmu adalah sedikit
untuk mengobati sakitku. Aku seperti mayat yang berjalan. Cahaya
hidupku seperti telah padam. Kau tahu, aku tak punya tempat untuk
berbagi nestapa. Ayah ibuku saja tidak tahu apa yang sebenarnya
menimpa putranya. Dalam rasa sedihku yang hampir bercampur
putus asa aku masih menggunakan nuraniku. Yaitu dengan tetap
menjaga kesucianmu. Aku tak ingin menularkan virus itu padamu.
"Kau sedikitpun tak mau berempati padaku. Baiklah, aku cuma
mensyaratkan dua syarat yang tidak berat padamu kalau kau ingin
agar aku menceraikanmu. Yaitu pertama ijinkan aku mencium
keningmu sekali lagi. Ciuman perpisahan, sebab ketika kata-kata cerai
telah aku ucapkan maka aku tidak halal lagi menciummu. Yang
kedua, tolong rahasiakan apa yang menimpaku. Demi menjaga
kehormatan keluargaku dan juga kehormatan keluargamu. "Kalau
kau obral cerita ini, dan kau tidak punya bukti, maka perang akan
berkobar amtara keluargaku dan keluargamu.
Kita semua akan sama-sama binasa. Meskipun aku tidak
menginginkannya, pasti orang-orang yang menyayangiku tidak akan
pernah terima dengan ceritamu. Katakan saja pada keluargamu, nanti
kalau kita cerai, cerai kita karena sudah tidak mungkin cocok lagi.
"Itulah syarat yang aku minta padamu. Kalau kau tidak juga
mau maka mungkin tak ada pilihan lagi bagiku kecuali jadi penjahat
sekalian. Toh kau sudah bilang aku jahat. Malam ini juga dengan gaun
pengantin yang kau kenakan akan aku renggut kehormatanmu di
kamar ini. Setelah itu terserah apa maumu. Seandainya kau berteriak,
aku santai saja, kita kan masih suami isteri. Aku berhak melakukan itu
padamu. Meskipun kau menolaknya.
"Kalau kau mengadu pada ayahmu misalnya kau merasa
diperkosa, paling mereka tertawa. Toh kamu sudah sering
memperlihatkan di hadapan mereka pura-pura mandi sebelum
Subuh. Kenapa kali ini merasa diperkosa. Toh kita tadi berangkat
dengan menampakkan kemesraan di hadapan mereka. Hanya itu
pilihan untukmu Dik."
Furqan berkata kepada Anna dengan hati bergetar. Ia tidak ingin
mengatakan hal itu. Tapi entah kenapa melihat amarah Anna,
amarahnya ikut menyala. Mendengar perkataan Furqan, Anna jadi
berpikir bagaimana secepatnya menyelamatkan jiwanya. Ia tak mau
diperkosa sama Furqan. Ia tak bisa membayangkan dirinya terkena
virus HIV. Akhirnya dengan suara lunak, Anna menjawab,
"Baik, aku terima syaratmu. Tapi aku pegang janjimu, kau
ceraikan aku setelah kau mencium keningku."
"Aku akan pegang janjiku. Allah jadi saksi kita berdua. Aku juga
pegang janjiku untuk merahasiakan yang terjadi di antara kita. Demi
menjaga kehormatan keluarga kita masing-masing."
"Baik Fur." "Aku tahu, setelah ini kau pasti takut dan tidak mungkin tidur
lagi sekamar denganku. Jangan takut. Aku akan pesankan kamar
untukmu. Kau yang pegang kunci. Besok pagi kau bisa pulang pakai
taksi. Kau bisa memberikan alasan yang tepat pada keluargamu."
Kata Furqan. "Terima kasih Fur. Tapi biar aku cari hotel lain sendiri"
"Terserah kau, kemasilah barang-barangmu!"
Anna lalu mengemasi semua barangnya. Ia mengambil
gamisnya lalu masuk ke kamar mandi. Tidak seperti awal masuk
hotel tadi tidak peduli ganti pakaian di hadapan Furqan, kali ini ia
merasa Furqan adalah orang lain. Ia melepas gaun pengantinnya di
kamar mandi dan menggantinya dengan gamis. Ia memakai jilbabnya
kembali, juga kaos kaki. Lalu ia keluar dan memasukkan gaun
pengantinnya ke koper. "Sudah semua?" Tanya Furqan. "Tak ada yang ketinggalan?"
"Tidak." "Kemarilah isteriku!" Kata Furqan. Anna maju dan duduk di
samping Furqan yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. Dengan penuh
cinta Furqan mencium kening Anna.
Sebuah ciuman perpisahan. "Maafkan aku Anna, aku telah
menyakiti hatimu dan nyaris menghancurkan hidupmu." Lirih
Furqan dengan suara terisak-isak.
"Aku percaya pada ceritamu Fur. Kau adalah korban tak
bersalah. Tapi aku tak bisa hidup denganmu lagi."
"Aku tahu." "Aku sudah penuhi syaratmu, sekarang aku tagih janjimu!"
Ucap Anna tegas. "Aku nikahi kau dengan baik-baik, maka aku cerai kau dengan
baikbaik. Mulai saat ini aku cerai kau Anna" Kau bukan lagi isteriku,
dan aku bersumpah tak akan lagi kembali kepadamu!"
"Terima kasih Fur. Aku harus pergi!" Dengan linangan air mata
Anna keluar dari kamar itu. Ia tak tahu akan ke mana. Yang ia
inginkan adalah segera keluar dari hotel itu secepatnya. Ingin rasanya
ia lari sejauh jauhnya lalu menangis sejadi-jadinya.
Begitu Anna pergi, Furqan menangisi nestapanya. Orang yang
paling dicintainya itu sudah sangat jauh darinya. Ia merasa hanya
mukjizat yang akan mempertemukan dirinya dengan Anna kembali.
Jika ia dibenci oleh Anna, maka Anna tidaklah bersalah. Dirinyalah
yang salah. Apa dosa Anna sampai harus ikut terkena getah nestapa
yang menderanya. Dirinyalah yang zalim dan aniaya. Dialah yang
selama ini buta kehilangan kesadarannya.
Anna memejamkan mata. Bulir-bulir bening keluar dari kelopak
matanya. Ia mengadu kepada Yang Maha pengasih dan Penyayang,
Ya Allah hilangkanlah segala sebab yang menjadikan kami berkeluh
kesah takut, cemas, sedih, dan marah. Amin
Keluar dari Novotel, Anna langsung menghubungi taksi
langganan Abahnya. Lima belas menit kemudian, taksi itu datang
menjemputnya. "Kemana Neng" Mau pulang?" Tanya sopir taksi yang sudah
tua itu. "Anu Pak. Antar saya ke Hotel Quality!"
"Baik Neng." Taksi berjalan ke arah Monumen Pers. Lalu belok kiri. Langit
tertutup awan tipis. Rembulan muncul tenggelam. Anna Althafunnisa
masih juga belum percaya apa yang dialaminya. Ia telah menjadi
janda. Ia cemas dan gelisah. Ia takut menghadapi status barunya yaitu
seorang janda. Anna menerawang ke depan dengan pandangan kosong, ia
belum menemukan kalimat apa yang akan disampaikannya kepada
Abah dan Umminya. Ia meraba dalam hati, apakah ini tafsir keraguan
tipis yang selalu menderanya saat akan mengiyakan lamaran Furqan
dulu" Kenapa dulu ia tergesa-gesa menjawab "iya".
22 INGAT KEMATIAN Zumrah mengerang kesakitan. Ia tidak tahu kepada siapa harus
minta tolong. Di dalam kamar kos itu ia sendirian. Teman satu
kosnya, Si Muni sedang pulang kampung. Sejak jam tiga pagi
kepalanya terasa pusing. Tubuhnya lemas. Perut sakit. Dunia seperti
berputar. Ia tidur telentang dengan kepala sakit bukan kepalang. Jika
ia duduk inginnya muntah. Ia sudah tidak tahan. Ia merintih. Ajalnya
ia rasa seperti akan datang.
Zumrah berpikir tentang kematian. Ia menggigil ketakutan.
Janganjangan memang ajalnya akan datang. Ia jadi berpikir kalau ia
mati akankah ia mati begitu mengenaskan. Mati sepi, sendirian, tak
ada yang tahu. Jasadnya akan membusuk di sebuah kos yang
terkunci. Jasadnya baru akan ditemukan setelah bau badannya
menyengat ke mana-mana. Atau tatkala Muni datang. Dan ia tidak
tahu kapan Si Muni akan datang.
Zumrah mengerang kesakitan. Kepalanya seperti kena godam.
Ia merasa diintai oleh bayang-bayang kematian. Ia sudah tidak tahan.
Ia harus memberi tahu orang. Harus. Jika ia mati biarlah jenazahnya
segera diketahui orang dan dikuburkan. Ia meraih hand phonenya.
Tangannya memegang gemetaran. Ia tak tahu apakah pulsanya masih
ada ataukah tidak" Ia lihat pulsanya. Cuma tersisa lima ratus rupiah.
Hanya cukup untuk sms satu orang. Ia harus memberi tahu orang
yang tepat. Yang jika membaca smsnya ia yakin cepat datang.
Ia pikir Husna-lah yang paling perhatian. Ia tulis sms pendek:
"Na, aku sakit, tolong datang. Zumrah." Lalu ia kirim. Ia tahan rasa
sakitnya, tapi tetap saja ia tak kuat menanggung. Tiba-tiba ia merasa
dingin yang amat sangat. Ia menggigil. Matanya meleleh. Ia ingat
bayang kematian. Ia ingat semua dosa-dosanya di masa silam. Ia
teringat Allah, Tuhan sekalian alam. Matanya meleleh ketika ia ingat
Tuhan. Ia kembali merintih,
Tuhan Apakah untuk mengingat-Mu Aku harus sakit dulu
*** Ia masih mengerang sendirian bergelut dengan rasa sakit yang
garang ketika Husna dan Azzam datang. Pintu kostnya itu ia kunci
dari dalam. Ia terus mengerang. Husna dan Azzam mendengar
erangan dan rintihan. "Zum, Zum!" Husna memanggil-manggil.
la tidak dengar panggilan Husna. Ia terus merintih kesakitan.
"Zum, buka pintunya Zum!" Panggil Husna dengan keras.
Tak ada jawaban. Azzam langsung menggedor pintu itu sekeras kerasnya.
Beberapa orang tetangga rumah itu melongok melihat ke arah Husna
dan Azzam. "Ada apa Mas?" Tanya seorang ibu berbadan gemuk.
"Ini Bu, teman kami sakit di dalam. Tapi pintunya terkunci dari
dalam. Kami panggil-panggil sepertinya ia tidak mendengar." Jawab
Azzam. "Coba gedor lagi yang keras!" Sahut ibu itu.
Azzam kembali menggedor pintu keras-keras. Tak lama
kemudian pintu itu terbuka. Tampaklah wajah Zumrah yang pucat
pasi. Zumrah tampak begitu kusut, kurus dan perutnya buncit.
"Uakk!" Zumrah muntah tiba-tiba. Husna menghindar, tapi
muntahan itu tetap mengenai ujung kakinya. Husna langsung
memapah Zumrah ke kamar mandi. Zumrah kembali muntah
beberapa kali. Husna memijit mijit tengkuk Zumrah.
"Uh... uh... akhirnya kau datang Na." Ucap Zumrah dengan
suara serak dan gemetaran.
"Kau sakit apa Zum?" Tanya Husna.
"Tak tahu Na. Badanku menggigil kedinginan. Kepala pusing
luar biasa. Dan inginnya muntah."
"Kau sudah makan Zum?"
Zumrah menggelengkan kepala. Husna melihat-lihat apa yang
bisa di makan. Seteliti mata Husna tak menemukan apa-apa. Husna
bangkit membuka termos. Kosong.
"Muni ke mana?"
"Sudah tiga hari pulang kampung."
"Sejak kapan kau sakit Zum" Keningmu panas begini. Badanmu
juga panas." Tanya Husna "Sejak kemarin Na. Aku kira bisa aku
tahan dan aku atasi, ternyata tidak. Aku terpaksa sms kamu."
"Kau sudah minum obat?"
"Boro-boro Zum. Air minum saja tak ada. Aku tidak bisa jalan.
Semalam terpaksa aku minum air kran."
"Inna lillahi." Husna kaget. "Na, kita ajak saja keluar untuk
makan terus ke dokter." Usul Azzam.
"Acara kakak ngisi pengajian Al Hikam bagaimana?" Tanya
Husna. "Di pesantren kan ada Kiai Lutfi." Jawab Azzam.
"Tidak usah ke dokter, malah merepotkan kalian. Kalau kau
harus ngisi pengajian, biarlah Husna di sini saja sebentar
menemaniku." Kata Zumrah.
"Tidak, kau harus ke dokter! Sepertinya sakitmu serius."
"Iya Zum, ayo aku bantu kau ganti pakaian. Kita keluar cari
makan, lalu ke dokter." Ujar Husna.


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Azzam langsung beranjak keluar. Husna menutup pintu dan
membantu Zumrah. Pada saat ganti
pakaian Zumrah muntah-muntah. "Aduh Na, aku tidak kuat berdiri apalagi keluar." Rintih
Zumrah. "Tolong Na aku harus rebahan." Lanjutnya. Husna
memapah Zumrah ke kasurnya. "Bagaimana?" Tanya Azzam dari
luar. "Dia tak kuat keluar Kak. Kakak carikan makan saja buat dia,
sama minuman yang hangat. Setelah itu kita panggilkan dokter
kemari." Kata Husna.
"Okay." Azzam meluncur mencari makanan dan minuman untuk
Zumrah. Ia pergi ke depan UMS. Ada banyak warung berjejer di sana.
Azzam membelikan Zumrah Soto Kwali, pergedel, sate telur puyuh
dan teh panas. Azzam juga mampir ke sebuah warung klontong
untuk membeli dua botol air mineral, dua bungkus roti, dan susu
kaleng. Lalu dengan agak tergesa-gesa kembali ke kos Zumrah. Ia
menyerahkan barang-barang yang dibelinya pada Husna. Husna
membukanya. "Makan Soto Kwali ya?" Lirih Husna pada Zumrah.
Zumrah mengangguk. Husna mengambil piring, mangkok,
gelas dan sendok. Gadis itu meletakkan pergedel, dan sate telur
puyuh di piring. Meletakkan Soto Kwali di mangkok dan
menuangkan teh panas dari plastik ke gelas. Ia lalu menyuapi
Zumrah dengan hatihati. Zumrah makan dengan pelan-pelan.
"Kau baik sekali Husna."
"Sudahlah makan yang banyak ya biar cepat sembuh?"
"Tolong minumnya Na."
Husna mengambilkan air minum. Zumrah meminumnya
dengan hati-hati. "Aku kira aku sudah akan mati Na."
"Ya kita semua akan mati Zum. Tidak hanya orang sakit yang
diintai kematian, orang yang sehat pun juga tidak luput dari intaian
kematian." Jawab Husna sambil menyuapi Zumrah.
"Kapan terakhir kau ke dokter Zum?"
"Setengah tahun yang lalu."
"Kandunganmu kapan terakhir kau periksakan?"
"Belum pernah."
"Belum pernah!?"
"Iya. Mana ada uang aku Na."
"Ya Allah, kenapa tidak bilang Zum. Periksa kandungan itu
penting. Kamu ini bagaimana! Kau boleh hidup sengsara tapi jangan
bawabawa anak kamu dong!" Cecar Husna dengan nada marah.
Zumrah diam mengatupkan kedua mulutnya rapat. Sesaat Husna
berhenti menyuapi. "Kak, tolong panggilkan dokter. Panggilkan dokter Fatimah saja.
Rumahnya di Gang Wuni dekat pasar Kleco." Kata Husna pada
kakaknya. "Okay."
Azzam langsung meluncur ke alamat yang dijelaskan adiknya.
Tak lama kemudian Azzam datang bersama seorang dokter
perempuan setengah baya. Dokter itu tersenyum pada Husna dan
Zumrah. "Kenapa kau Nduk?" Tanya dokter Fatimah ramah.
"Badan menggigil kedinginan. Rasanya lemes. Kepala pusing
luar biasa. Perut sakit. Dan inginnya muntah saja."
"O ya. Sebentar ya ibu periksa tensi darahnya dulu." Dokter
Fatimah memeriksa tensi darah, detak jantung, melihat mata. "Selama
ini kau kerja di mana" Sering memforsir ya?" Tanya dokter
Fatimah pada Zumrah. "Saya kerja di sebuah toko Foto Digital di
Jalan Slamet Riyadi. Sebenarnya tidak terforsir. Saya bekerja mulai jam setengah
sembilan sampai jam delapan malam."
"Itu memforsir namanya. Kau hamil tua jangan terlalu banyak
kerja. Asupan gizimu harus cukup."
"Berapa usia kandunganmu?"
"Saya tidak tahu persisnya Bu, tujuh atau delapan gitu. Pasnya
saya tidak tahu." "Kapan kamu terakhir periksa kandungan. Ibu bisa lihat buku
periksanya?" "Saya tidak pernah periksa sama sekali Bu."
"Innalilla, Kok bisa" Suamimu mana" Yang tadi itu?" Tanya Bu
Fatimah. Husna langsung menyahut, "Suaminya tidak tahu entah di
mana Bu. Mungkin sudah disambar bledek! Itu tadi kakak saya bukan
suaminya." "Yah hidup ini harus sabar ya Nduk. Ibu doakan semoga
suamimu sadar dan insyaf!" Ujar Bu Fatimah santai.
Zumrah meneteskan air mata. Ia baru merasa butuh seorang
suami di sisinya. Ia baru merasa betapa pentingnya seorang
pendamping hidup. Ia masih akan terus mendapatkan pertanyaan
seperti itu. Kelak ketika anaknya lahir, orang-orang akan bertanya
mana ayahnya. Dan anaknya sendiri akan bertanya padanya, siapa
ayahku ibu" "Jangan menangis Nduk. Hadapi hidup ini dengan tabah ya.
Kau ini kena gejala tipes, dan darah rendah. Jangan makan yang
kecut-kecut, pedas, dan kasar dulu. Makan yang halus-halus misalnya
bubur sayur. Banyak istirahat dulu. Ini ibu beri resep, segera cari
obatnya di apotik. Ibu sarankan kau segera periksa kandunganmu.
Karena kehamilanmu sudah tua periksalah dua minggu sekali. Ibu
pamit dulu. Semoga lekas sembuh."
"Terima kasih Bu dokter." Ucap Zumrah. "Sama-sama." Jawab
Bu dokter. "Kak Azzam resepnya sekalian dicarikan ya?" Kata Husna pada
Azzam. "Baik." Sahut Azzam.
Bu Dokter Fatimah mengemasi peralatannya lalu keluar. Azzam
mengikuti dan mempersilakan dokter itu masuk mobil untuk diantar
pulang. Sementara Azzam meluncur ke Kleco, Husna bercakapcakap
dengan Zumrah. "Maafkan aku merepotkan kalian terus."
"Tidak apa-apa. Jadi kau sudah dapat kerja Zum?"
"Ya tiga bulan yang lalu aku dapat kerja. Di toko foto digital
Slamet Riyadi. Bosnya masih muda dan baik. Katanya lulusan Mesir."
"Lulusan Mesir?"
"Iya." "Siapa namanya?"
"Furqan." "Furqan Andi Hasan?"
"Iya, benar kok kamu kenal?"
"Dia itu teman Kak Azzam."
"O, begitu." "Sampai sekarang statusmu masih kerja?"
"Tiga hari yang lalu aku minta cuti. Perutku sering sakit dan
kepalaku rasanya seperti ditekan-tekan benda keras."
"Iya harus begitu, kau harus istirahat. Oh ya Zum, kurasa sudah
saatnya kau pulang ke rumah ibumu."
"Aku tidak bisa Na. Aku malu."
"Itu lagi alasanmu. Berpikirlah yang dewasa kamu ini. Kalau
kamu terus di sini, yang jadi korban anakmu. Kalau kau sakit tak ada
yang membantu. Zum sebentar lagi aku dan Kak Azzam mau
menikah. Tinggal menunggu hari. Aku mungkin tidak bisa
menemanimu saat kau melahirkan. Apa kau mampu menjalani
kelahiran sendiri" Kalau kau pulang, ibumu pasti senang. Juga
adik-adikmu. Pamanmu sudah memaafkanmu. Orang-orang
kampung sudah mengerti posisimu.
Sekarang ini pun kau sakit, kau butuh orang yang membantu
merawatmu. Membuatkanmu bubur, juga minuman hangat. Kalau
kau nekat tetap saja di sini terus kamu mati di sini itu namanya bunuh
diri. Sebab sejatinya kamu bisa pulang. Adik-adikmu pasti
merawatmu. Aku tahu mereka itu hatinya halus-halus, baik-baik. Ya
sebaik hatimu dulu. Tapi kalau kau memilih di sini, tanpa teman, Sepi
dan misalnya mati sampai bangkaimu membusuk, Orang tidak ada
yang tahu ya silakan. Sebagai teman aku sudah menjalankan
kesetiaanku dan kewajibanku."
Mendengar perkataan Husna Zumrah luluh.
"Baiklah Na, aku mau pulang."
23 PERTEMUAN DUA KELUARGA Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah pesantren,
matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat kejadian pagi tiga hari
yang lalu. Ia sedang shalat dhuha di kamarnya ketika itu, Anna yang
baru pulang dari hotel mengajaknya bicara. Anna mencium
tangannya sambil menangis. Putrinya itu tersedu-sedu di
pangkuannya seperti anak kecil kehilangan mainannya. Putrinya
tampak pucat, sedih, gelisah dan takut. Ia bingung apa yang terjadi
dengan putrinya. "Baru bertengkar dengan suamimu ya?"
"Lebih dari itu Bah."
"Apa itu?" "Kami telah bercerai. Furqan sudah menceraikan Anna!"
"Apa" Cerai!" Apa Abah tidak salah dengar?" "Tidak Bah. Ini
siingguhan!" "Kamu jangan main-main ya Nduk!"
"Anna tidak main main Bah."
"Kalian kan sarjana Timur Tengah, paham agama, tahu syariat,
bagaimana mungkin kalian memilih jalan yang dimurkai Allah."
"Justru jalan ini ditempuh untuk mencari ridha Allah Bah.
Untuk kebaikan bersama, untuk kebaikan Anna, kebaikan Abah dan
Ummi, juga kebaikan pesantren. Bahkan juga untuk kebaikan Furqan
dan keluarganya, maka kami berdua sepakat untuk bercerai! Ikatan
pernikahan kami tak mungkin dipertahankan lagi Bah. Anna sudah
berusaha yang terbaik tapi tetap saja tak ada jalan lain kecuali pisah.
"Jika ikatan pernikahan kami tetap dipertahankan yang tercipta
di antara kami bukanlah ketakwaan Bah, tapi kezaliman. Anna tak
ingin ini terjadi, tapi Anna tak bisa apa-apa lagi. Perempuan mana
yang ingin jadi janda Bah" Tak ada. Tidak juga Anna. Inilah ujian
terberat dalam hidup Anna yang harus Anna lalui dengan penuh
kesabaran Bah. Sungguh Bah Anna mohon maaf jika ini sangat
menyakitkan Abah dan Ummi"
Kalimat putrinya itu sangat mengagetkannya. Kalimat yang
diucapkan dengan linangan air mata itu bagaikan keris berkarat yang
ditusukkan ke dadanya. "Apa sebenarnya yang terjadi Nduk?"
"Aku tak tahu bagaimana menceritakannya Bah. Yang jelas
kalau pernikahan terus dipertahankan Anna pasti binasa Bah. Dan
Anna tidak ingin binasa!"
"Dari kalimatmu ada isyarat bahwa kau yang meminta cerai
pada Furqan. Bukan Furqan yang menceraikanmu!?"
"Iya, benar Bah. Anna yang minta cerai. Dan hukumnya wajib
Bah. Bukankah marabahaya menurut ajaran Islam harus ditiadakan
Bah" Itulah yang Anna lakukan."
"Abah tidak paham marabahaya apa yang kau maksud?"
Anna diam, tak bisa menjawab.
"Suatu hari nanti Abah akan tahu."
Siangnya Furqan datang. Abah langsung mengajaknya bicara.
Dan Furqan membenarkan semua ucapan Anna. Bahkan Furqan
berkata, "Yang salah saya Bah, bukan Anna. Sungguh Anna tidak
salah apaapa. Anna hanyalah korban dari ambisi pribadi saya. Saya
mohon maaf jika selama di sini banyak khilaf. Demi kebaikan bersama
Anna sudah saya ceraikan. Terserah nanti bagaimana di pengadilan
nanti. Jika prosesnya bisa lebih cepat itu lebih baik, sehingga Anna
bisa bernafas lega. Selama ini saya sudah membuatnya tersiksa. Saya
yang salah dan saya mohon maaf." Ucapan Furqan yang jujur dan apa
adanya justru membuat Kiai Lutfi terenyuh.
Ia tak tahu harus bagaimana dan harus di pihak siapa. Yang jadi
masalah ia tidak tahu apa yang sebenamya terjadi di antara mereka.
Ketidakcocokan seperti apa yang membuat perkawinan mereka harus
hancur berantakan" Repotnya Anna dan Furqan tidak mau ada yang
menjelaskan apa yang terjadi sebenamya.
"Kami sama sekali tidak perlu ishlah. Malah akan semakin
menyiksa dua keluarga saja. Insya Allah keputusan kami sudah final.
Namun demikian semoga tali kekeluargaan di antara kita tetap
terjalin." Jelas Furqan tegas. Hari itu juga Furqan mengemasi seluruh
barangnya dan pergi meninggalkan pesantren dengan Fortunernya.
Furqan benarbenar meninggalkan rumah mertuanya itu. Ia tidak
kembali, jadwalnya mengajarkan tafsir Jalalain dan yang lain kepada
para santri kosong tidak ada yang mengisi.
Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah pesantren,
matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat kejadian tiga hari yang
lalu. Kejadian yang membuat perasaannya remuk redam. Kejadian
yang membuat isterinya, yaitu Bu Nyai Nur sempat pingsan, dan
sekarang badannya demam. Perceraian Anna dengan suaminya
baginya adalah aib yang memalukan. Keluarga Kiai semestinya bisa
menjadi suri tauladan akan terbentuknya keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Perceraian itu tak lama lagi akan jadi omongan
masyarakat dan dia sebagai panutan masyarakat harus bilang apa"
Ia ingin dengan segala daya upaya agar rumah tangga putrinya
itu terselamatkan. Ia terus membujuk putrinya agar cerita masalah
yang sebenamya terjadi. Namun putrinya itu selalu saja menjawab,
"Abah, pokoknya kami berdua telah sepakat untuk bercerai! Ikatan
pernikahan kami tak mungkin dipertahankan lagi Bah. Anna sudah
berusaha menjadi isteri yang baik, tapi tetap saja tak ada jalan lain
kecuali pisah. Jika tetap dipertahankan maka sama saja
mempertahankan kezaliman?"
Ia lalu mengejar, "Bentuk kezalimannya apa Nduk?"
"Maaf Bah, Anna tidak bisa menceritakannya dengan detil.
Takut nanti timbul fitnah. Kalau Abah percaya sama Anna, maka
relakanlah kejadian ini Bah. Dan kuatkanlah hati Anna. Saat ini Anna
sebenamya juga remuk redam. Anna perlu orang yang menguatkan."
la percaya pada putrinya. Tapi ia belum juga bisa bernafas lega
karena belum mengetahui pangkal masalah sebenarnya. Ia ingin
putrinya itu bercerita saja apa adanya terus terang. Sekiranya ia tahu
apa bentuk kezalimannya mungkin ia akan punya pandangan lain
atau jalan keluar lain yang bisa menyelamatkan rumah tangga
putrinya. Selain tes darah ia juga minta divisum untuk mengecek selaput
daranya. Dan ia bersyukur bahwa selaput daranya benar-benar masih
utuh. Furqan memang sama sekali belum menyentuh mahkota paling
berharga baginya. Ia bernafas lega. Ia masih bisa menatap masa depan
yang cerah. Ia yakin itu. Setelah urusan perceraiannya dengan Furqan
selesai di pengadilan agama, ia akan konsentrasi tesisnya. Ia perlu
waktu untuk kembali memikirkan pernikahan.
Anna siap masuk mobil ketika panggilan dari Umminya
berdering di hand phonenya. Ia diminta pulang. Bu Maylaf dan
suaminya akan datang. Ia yakin mereka akan bersama Furqan. Dalam
perjalanan ia membayangkan apa yang akan terjadi di rumahnya
nanti. Mungkin akan terjadi perdebatan panas. Ia tidak ingin Abah
dan Umminya bertengkar dengan kedua orang tua Furqan.
Menurutnya itu semua tergantung Furqan. Jika Furqan sebelumnya
bisa menjelaskan dengan baik masalah perceraiannya kepada orang


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuanya, hal itu tak akan terjadi. Namun jika Furqan malah
memprovokasi dan minta pembelaan mereka bisa saja akan ada
perang. Jika sampai terjadi pertengkaran antara orang tuanya dengan
orang tuanya lantas kedua orang tuanya disalahkan habis-habisan,
maka ia harus bicara! Ia harus bicara apa adanya biar semuanya
menilai dengan pikiran dan kesadaran masing-masing. Ia tidak
gentar, semua senjata ia punya. Ia akan diam menjaga rahasia Furqan
jika Furqan bisa juga menjaga kehormatan bersama.
Ia merasa dirinya dan kedua orang tuanya hanyalah korban.
Korban dari ambisi pribadi Furqan yang ia duga menikahi dirinya
karena kecantikan dirinya. Ah, ia sendiri tidak pernah merasa dirinya
cantik. Dan ia tidak mau sebenarnya dinikahi orang karena
kecantikan dirinya. Sebab ia tahu kecantikan fisik itu pada saatnya
nanti akan hilang. Jika ada orang menikahi dirinya karena kecantikan
fisiknya maka bagaimana nanti jika kecantikan fisiknya hilang"
Apakah ia akan dicampakkan begitu saja"
Anna mengendarai Viosnya dengan lebih cepat. Azan telah
berkumandang. Kalau bisa ia harus lebih dulu datang dari orang tua
Furqan. Di depan pasar Kartasura ia nyaris menabrak becak yang
seenaknya memotong jalan. "Masyarakat bangsa ini belum tahu
disiplin!" Desisnya marah.
Anna sampai halaman rumahnya saat jamaah Isya sedang
didirikan. Ia mendengar suara ayahnya membaca awal surat Al
Anbiya". Rumah sepi, semuanya sedang jamaah di Masjid. Cepat-cepat
ia mengambil air wudhu dan menyambar mukena, meskipun
terlambat masih bisa mendapat beberapa rakaat. Dalam sujud Anna
minta kepada Allah, agar semua urusan dimudahkan, dan agar semua
jalan setan yang mengajak permusuhan dijauhkan.
*** Pukul setengah sembilan kedua orang tua Furqan datang. Wajah
Bu Maylaf agak kurang ramah. Pak Andi Hasan meskipun agak
dingin tapi berusaha untuk tetap cair. Pak Kiai Lutfi tetap menyambut
ramah. Ia berusaha kuat menjaga hatinya agar tetap bening dan
tenang. Sementara Bu Nyai Nur begitu melihat wajah Bu Maylaf
langsung dingin. Sementara Furqan menunduk diam.
Pak Kiai mencairkan suasana dengan berbasa-basi menanyakan
keadaan. Menanyakan kapan berangkat dan kapan sampai di Solo.
Menanyakan menginap di mana" Juga menanyakan perkembangan
bisnisnya. Pada akhirnya pembicaraan tentang perceraian Furqan dan
Anna tidak terelakkan. Pak Andi Hasan yang membukanya.
"Maaf Pak Kiai, ini tentang anak-anak kita. Furqan
menyampaikan kepada kami kabar yang membuat kami sedih.
Katanya dia telah menceraikan Anna. Namun ketika kami tanya
sebabnya dia agak berbelit. Jadi untuk itulah kami datang kemari.
Terus terang perceraian tidak menjadi tradisi keluarga kami. Kami
ingin tahu mungkin sedikit penjelasan bagi kami. Karena mungkin
Pak Kiai sebagai orang yang bisa dikatakan tinggal satu rumah
dengan mereka lebih tahu. Kalau ikatan perkawinan itu bisa kita
usahakan dipertahankan kenapa tidak?"
Pak Kiai Lutfi sudah menduga ia akan dimintai semacam
pertanggungjawaban seperti itu. Ia mendesah. Ia bingung harus
menjelaskan apa. Dengan agak tergagap Kiai Lutfi bicara,
"Pak Andi, saya me..."
"Abah biar Anna yang bicara!" Tegas Anna memotong. Anna
sudah bertekad untuk tidak membuat orang tuanya dipojokkan atau
diserang. Pertanyaan Pak Andi ia rasakan seperti minta
pertanggungjawaban ayahnya.
"Begini Pak Andi dan Ibu Maylaf, masalah yang ada dalam
kamar kami berdua. Abah dan Ummi sama sekali tidak tahu menahu.
Kami sudah dewasa. Kami sudah bisa berpikir. Dan Abah saya ini
bukan tipe orang tua yang selalu menyuapi anaknya sampai tua.
Tidak! Yang jadi perhatian ayah selama ini adalah pesantren. Sebab
beliau percaya kepada saya. Bahwa saya bisa mengurus diri saya,
suami saya dan rumah tangga saya. Kalau Pak Andi sama Ibu mau
bertanya sebab kenapa kami bercerai alangkah bijaknya sekarang
bertanya dulu kepada putra Bapak tercinta. Kalau juga dia masih
berbelitbelit, dan ruwet kayak benang kusut. Barulah Bapak tanya
pada saya. Akan saja jelaskan semuanya sejelas-jelasnya,
seterang-terangnya seperti terangnya matahari di siang bolong."
Dengan nada agak emosi Anna berbicara panjang kepada Pak
Andi dan Bu Maylaf. Pak Kiai Lutfi tak mengira putrinya yang selama
ini halus dan penurut ternyata bisa juga menyengat seperti lebah yang
diganggu sarangnya. Mendengar perkataan Anna itu Pak Andi agak mengukur diri
dengan siapa berhadapan. Anna bagaikan induk betina yang bisa
bicara dengan cerdas. Mau tidak mau Pak Andi harus bertanya pada
putranya, "Fur, tolong jelaskan kepada kami semua. Yang jelas, jangan
berbelit-belit lagi! Apa sebenarnya yang terjadi?"
Furqan memutar otaknya, ia harus punya penjelasan yang tepat.
Ia melihat bara dalam mata Anna. Jika ia tidak membuat semua yang
ada di ruangan itu memaklumi kenapa ia harus menceraikan Anna,
maka Anna pasti akan membuka apa yang terjadi sebenarnya. Senjata
pamungkas ada di tangan Anna. Senjata yang jika digunakan oleh
Anna, ia rasa akan binasa.
Dengan suara serak menahan sesak di dada Furqan bicara,
"Ayah dan ibu, Pak Kiai dan Bu Nyai, sebelumnya saya mohon maaf
jika peristiwa ini membuat sedih. Jika Ayah dan ibu sedih, saya lebih
sedih. Karena, jujur saja, faktor satu-satunya, saya ulangi lagi faktor
satu-satunya yang membuat saya dan Anna harus bercerai menurut
saya adalah diri saya sendiri. Kelemahan dan penyakit dalam diri
saya sendiri." Furqan mengambil nafas. Sesaat ia berhenti bicara. Matanya
berkacakaca. "Bisa lebih dijelaskan lagi faktor itu apa" Kelemahan itu apa?"
tanya Pak Andi tidak sabar dengan nada agak jengkel pada anaknya.
"Saya mau tanya pada Bapak, maaf ya Pak sebelumnya, tanpa
mengurangi rasa hormat dan ta"zhim sedikitpun sama Bapak. Saat
Bapak menikah dengan ibu dulu. Kapan Bapak bisa maaf menyentuh
selaput dara ibu?" Pak Andi tersentak kaget. Juga Bu Maylaf. Anna tidak
rnenyangka Furqan akan bertanya seperti itu. Pak Andi seperti
bingung. Wajahnya memerah. Ia diminta untuk membuka rahasia
yang hanya dia dan isterinya yang tahu.
Pak Kiai Lutfi tahu besannya itu bingung. Maka ia bicara dengan
santai, "Nak Furqan, kalau saya dulu sama ibunya Anna siangnya akad
nikah, malamnya saya sudah rnengoyak selaput dara ibunya Anna.
Saya tidak bisa sabar menunda hari berikutnya. Saya ingin
menunjukkan pada ibunya Anna bahwa dia tidak salah memilih saya.
Saya jelaskan ini karena kayaknya masalahmu berhubungan dengan
hal seperti ini. Saya tidak perlu malu menjelaskan ini di sini di forum
yang kita ingin tahu kejelasan semuanya. "
Pak Andi jadi tersindir. Ia jadi tidak malu untuk berterus terang
dengan nada kagok, "Kalau saya melakukan itu baru berhasil satu
minggu setelahnya." Bu Maylaf tersenyum mendengarnya.
"Coba ayah dan ibu, juga Pak Kiai dan Bu Nyai bayangkan, saya
sampai sekarang tidak berhasil melakukan hal itu. Anna sampai
sekarang masih perawan!"
Kata-kata Furqan itu membuat yang ada di ruangan itu kaget
bagai disambar halilintar, kecuali Anna.
"Apa Fur" Kau jangan bohong?" Kata Bu Maylaf nanar.
"Saya tidak bohong Bu. Selama enam bulan Furqan tidak
mampu melakukan itu."
"Kau bohong Fur! Kau bersandiwara kan?" Bu Maylaf masih
tidak percaya. Anna langsung menyahut, "Ibu, Furqan tidak bohong. Selama
enam bulan masih utuh keperawanan saya. Kami sebenarnya tidak
ingin membuka rahasia ini. Tapi kalian semua ingin kejelasan.
Apakah setelah jelas juga tidak dipercaya" Ini saya ada visum baru
saja saya ambil dari rumah sakit, saya masih perawan. Kalau ibu
masih tidak percaya dengan visum ini, saya siap divisum ulang!"
Anna menyerahkan kertas visum yang baru diambilnya pada Bu
Maylaf. Furqan tertegun. Ia kaget sampai sedetil itu Anna
meyakinkan dirinya bahwa dirinya masih perawan. Bu Maylaf
membaca dengan mata berkaca-kaca. Pak Sofyan ikut baca. Pak Lutfi
dan Bu Nyai Nur baru tahu apa yang menimpa putrinya.
"Tapi ibu kok sering lihat kamu mandi sebelum Subuh nduk?"
Tanya Bu Nyai Nur tiba-tiba.
"Banyak orang yang mandi sebelum Subuh tanpa melakukan
hal itu. Apa ada dalam kitab kuning yang memastikan bahwa kalau
ada orang mandi sebelum Subuh pasti jinabat, pasti baru saja
melakukan hal itu?" Jawab Anna.
"Tapi kelemahanmu itu bisa disembuhkan Fur" Bisa kita
obatkan, ke Singapura kalau perlu." Kata Pak Andi.
"Iya benar." Imbuh Bu Maylaf sambil menyeka airmatanya.
"Furqan sudah berusaha Bu, sudah setengah tahun. Tapi sia-sia.
Ayah dan ibu jangan selalu melihat sisi saya dong. Cobalah empati
pada Anna juga. Kalau ibu jadi Anna bagaimana" Sudah enam bulan
ternyata punya suami yang tidak juga mampu menyentuhnya. Kalau
berobat juga tidak tahu berhasil dan tidaknya. Menurut Furqan yang
terbaik, agar tidak ada kezaliman adalah bercerai. Biar Anna mencari
suami baru. Sementara itu Furqan berobat. Jika sudah sembuh Furqan
akan cari isteri lagi. Toh masih banyak perempuan di muka bumi ini."
Jelas Furqan pada kedua orang tuanya.
Kiai Lutfi merasa sudah saatnya dia bicara. "Jadi apa yang Pak
Andi tadi tanyakan sudah jelas semua. Sekarang menurut Pak Andi
bagaimana. Kita bicara dengan nurani orang tua yang mencintai
anak-anak kita." "Sungguh Pak Kiai, saya sama sekali tidak mengira ternyata
masalahnya seperti ini. Maka dengan ini kami mohon maaf, jika anak
saya ini telah membuat cahaya kehidupan di keluarga Pak Kiai
semacam ternodai. Kami juga mohon maaf telah punya prasangka
yang kurang baik pada Pak Kiai. Kalau begini, ya memang kesalahan
ada pada Furqan. Kami kira apa yang terakhir disampaikan Furqan
cukup bijak. Jalan terbaik memang ya cerai. Biar tidak ada kezaliman.
Semoga ini adalah perceraian yang menjadi obat bersama."
"Amin." Malam itu akhirnya tercapai kesepakatan secara damai.
Pengajuan masalah ke pengadilan agama akan dipercepat. Saat
sidang agar tidak berlarut-larut orang tua Furqan dan orang tua Anna
akan ikut bicara dan jadi saksi. Malam itu juga disepakati untuk tetap
menjalin tali persaudaraan. Ketika Bu Maylaf pamit, Anna mencium
tangan ibu Furqan itu. Dengan linangan air mata Bu Maylaf berkata
pada Anna, "Anakku maafkan Furqan ya, maafkan kami yang
mungkin telah menyakitimu."
"Sama-sama Bu." Jawab Anna dengan hati terenyuh.
24 SENANDUNG GERIMIS Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik berjalan
terasa begitu berat. Matahari terasa lambat berjalan. Dan malah terasa
sangat panjang. Azzam merasa menunggu empat hari lagi bagaikan
menunggu empat tahun lamanya.
Ya, empat hari lagi Azzam menikah. Semua persiapan telah
matang. Berkali-kali ia latihan menjawab akad nikah dengan
menggunakan bahasa Arab yang fasih. "Malu kalau lulusan Mesir
menjawab akad nikah tidak fasih." Pikirnya. Ia sudah membayangkan
hari bahagianya itu. Ia membayangkan selesai akad nikah akan
menggandeng tangan Vivi dengan penuh kasih sayang. Dan
malamnya ia akan tidur dengan sangat nyaman di samping seorang
isteri yang penyayang. Pagi itu gerimis turun. Azzam membayangkan jika Vivi sudah
jadi isterinya, alangkah indahnya duduk berduaan berpelukan sambil
menikmati gerimis yang turun. Dan saat hujan turun dengan lebatnya
ia akan mengajak isterinya masuk kamar untuk bercengkerama dan
merasakan kehangatan. Astaghfirullahl Azzam membuang jauh
pikirannya yang bukanbukan. Dalam hati ia menghardik dirinya
sendiri, "Kamu itu yang sabar tho Zam, tinggal empat hari lagi,
sabar!" Gerimis tipis turun perlahan. Hati Azzam tak bisa diajak tenang.
Ingin rasanya ia terbang ke Kudus, dan minta kepada ayah Vivi agar
akad nikah diajukan sekarang. Biar ia bersama Vivi bisa menikmati
gerimis pagi yang turun perlahan. Entah ada ilham datang dari mana.
Hatinya menulis sebuah puisi:
gerimis turun perlahan wajah kekasih membayang dalam daun-daun
yang basah diriku resah menanti pertemuan yang tenang cinta kasih dan
sayang Tuhan tolong damaikan hatiku yang gamang
Benar kata banyak orang, jika orang jatuh cinta akan mampu
menulis syair beratus-ratus bait jumlahnya. Hati Azzam masih ingin
mendendangkan puisi lagi. Namun,
"Zam ternyata masih ada yang terlupakan." Suara ibunya
membuyarkan lamunannya. Ia tergagap. Bu Nafis berdiri di samping
kanannya sambil mengusap-usap rambutnya. "Nanti rambutmu ini
dipotong dulu ya biar rapi." Kata Bu Nafis lagi. "Iya Bu, rencana nanti
sore Azzam mau potong di pojok Pasar Kartasura. Apa sih yang
terlupakan Bu?" "Nanti itu di hari walimahnya Husna yang juga sekaligus
syukuran pernikahanmu rencananya kan ada pengajian singkatnya.
Lha kita belum minta siapa pembicaranya. Enaknya siapa ya Zam?"
"Siapa ya Bu" Apa Pak Mahbub saja?"
"Ya jangan Pak Mahbub lah Zam. Dia kan sudah ibu minta yang
bicara mewakili keluarga, masak dia juga yang mengisi pengajian.
Cari yang lainnya, yang kalau bicara enak didengarkan banyak orang
dan berbobot isinya gitu lho Zam."
Azzam berpikir sejenak. Wajahnya tiba-tiba cerah.
"Bagaimana kalau Pak Kiai Lutfi Hakim Bu, Pengasuh Pesantren
Wangen?" "Lha itu boleh Zam. Kalau begitu ayo kita ke tempat beliau
sekarang." "Sekarang Bu?" "Iya. Mau kapan lagi. Acaranya seminggu lagi. Acaramu di
Kudus empat hari lagi. Sudah tidak ada waktu ayo kita berangkat
sekarang." Bu Nafis ngotot.
Husna yang mendengar pembicaraan itu dari dapur berseloroh,
"Mbok nanti sore saja tho Bu, kan sedang gerimis. Mobilnya Mas
Azzam sedang dipinjam Kang Paimo mengantar ibunya ke rumah
sakit." "Nanti sore ibu ke Kartasura, memastikan baju Bue sudah jadi
atau belum. Sudah sekarang saja mumpung Bue sedang luang. Ya
kalau tidak ada mobil pakai sepeda motor. Gerimis toh cuma air. Bisa
pakai jas hujan tho."
"Nanti Bue sakit kalau kehujanan." Lanjut Husna.
"Biar saya saja yang ke tempat Kiai Lutfi Bu." Sambung Azzam.
"Bue harus ikut. Bue yang akan minta langsung pada Kiai Lutfi,
jadi lebih menghormati beliau. Seperti ini tugas orang tua. Insya Allah
Bue sehat." "Atau nunggu Kang Paimo, paling tidak lama Bu,"


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah kamu ini Zam bantah Bue saja. Sudah sekarang siap-siap
kita berangkat. Ya kalau Paimo langsung pulang, kalau dia mampirmampir kesana-kemari nanti malah kelamaan nunggu. Ayo Zam
cepat!" "Bue ini ada apa tho kok tidak sabaran sih." Seloroh Azzam
"Sudah, cepat salin kita berangkat!" Hardik Bu Nafis
*** Dengan berat hati Azzam harus menuruti keinginan ibunya. Ia
ganti pakaian dan siap berangkat. Sebelum berangkat Bu Nafis minta
dibuatkan teh hangat. "Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti di
tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman." Ujar Husna
sambil membawa teh hangat.
"Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin meminumnya
barangkali untuk kali terakhir." Sahut Bu Nafis.
"Terakhir bagaimana?" Tanya Husna santai. "Ya terakhir
sebelum kau menikah. Besok kamu kan sudah sibuk ngurusi
suamimu." "Kalau Bue mau, Husna bisa tinggal menemani Bue sampai tua."
"Ah Bue sudah tua kok Nak. Ya yang penting kamu nanti jadilah
isteri yang baik." Bu Nafis lalu minum teh hangat buatan putri tercintanya itu.
"Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada, jagalah kakak
dan adikmu ya Na." Pesan Bu Nafis. Azzam yang mendengar
langsung menyahut, "Aku, insya Allah yang akan menjaga Husna dan
adik-adik" "Iya, iya, ibu tahu, ibu lupa kau yang mbarep. Ayo kita
berangkat Zam." "Ayo." Dengan mengendarai sepeda motor Husna yang sudah tua,
Azzam memboncengkan ibunya menerobos gerimis pagi. Sampai di
jalan raya Azzam menambah kecepatan. "Pelan-pelan saja Nak."
"Ini pelan Bu. Motornya Husna tidak bisa dibuat cepat."
"Hati-hati yang penting sampai dan selamat."
"Iya Bu." Azzam terus memacu kendaraan tua itu. Sampai di Pasar
Tegalgondo ia belok kanan. Lalu terus lurus ke barat. Sampai di
pertigaan Polanharjo belok kiri. Akhirnya tiba di halaman rumah
Anna. Saat itu Anna sedang membaca buku Dhawabithul Mashlahah
yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al Buthi. Anna
terhenyak melihat Azzam dan ibunya datang. Entah kenapa hatinya
bergetar. Ia langsung membungkam suara hatinya dengan
mengatakan, "Dia sudah mau menikah dengan seorang dokter dari
Kudus. Kau sudah terima undangannya kan?" Anna bangkit
menyambut ke beranda. "Aduh Ibu, kok hujan-hujanan sih. Kenapa
tidak menunggu nanti kalau sudah reda saja?" Kata Anna halus. "Iya,
ibu ini kalau sudah ada kemauan badai saja diterjangnya. Gunung
saja mungkin bisa dipindahkannya." Sahut Azzam sebelum ibunya
bicara. "Iya benar Bue memang begitu sejak dulu. Lha sifat itu kan
bagus. Sifat ini yang menurun pada dirimu Zam, hingga kamu sampai
ke Mesir." Ujar ibunya sambil tersenyum pada Azzam.
Mendengarnya Anna tersenyum.
"Nduk, Abahmu ada?" Tanya Bu Nafis pada Anna.
"Oh ya ada, masih di masjid Bu. Ibu sama Mas Azzam masuk
dulu saja. Anna akan panggilkan Abah. Ayo silakan!"
Bu Nafis sama Azzam langsung masuk. Begitu duduk Bu Nafis
langsung berkata pada Azzam, "Kok ada ya perempuan yang jelita
dan halusnya kayak Anna. Andai saja..."
"Menantu ibu, Si Vivi, insya Allah juga halus, bahkan nanti akan
Azzam buat lebih halus dari Anna." Azzam memotong perkataan
ibunya. "Ya semoga. Tapi ibu itu kenapa tidak tahu. Ketemu Anna ini
kok rasanya kayak ketemu sama anak sendiri."
"Ya karena Anna sudah akrab sama Husna saja kali Bu."
"Mungkin." Terdengar langkah kaki melepas sandal. Ternyata Kiai Lutfi.
Anna mengikut di belakang
"Assalamu"alaikum," Sapa Kiai Lutfi. "Wa"alaikumussalam." Jawab
Azzam dan Bu Nafis hampir bersamaan.
"Sudah lama Zam?" Tanya Kiai Lutfi seraya duduk. Anna lurus
ke dalam. "Baru saja sampai Pak Kiai."
"Ibu apa kabarnya?" Tanya Pak Kiai pada Bu Nafis. "Alhamdulillah
baik Pak Kiai." "Senang ya Bu, punya anak seperti Azzam ini. Pinter dan ulet!"
"Ah Pak Kiai ini bisa saja. Saya justru ingin punya anak seperti
Anna. Halus budi bahasanya."
"Kalau begitu bawa saja Anna Bu, diadopsi saja dia, biar tinggal
di rumah ibu, biar latihan bikin bakso he... he... he..."
"Wah boleh Pak Kiai he... he... he... Pak Kiai ini bisa juga
bercanda." Dari ruang tengah Anna mendengar canda Abah dan
ibunya Azzam dengan hati berdesir tapi geli. Orang-orang tua kalau
bercanda kadang memang bisa benar-benar lucu.
"Ibu sama Azzam ini kok hujan-hujan kemari, ada keperluan
apa, kok kayaknya penting?"
"Iya Pak Kiai, ini begini, alhamdulillah anak saya ini, Azzam,
insya Allah mau menikah empat hari lagi."
"Ya, saya sudah tahu, saya baca undangannya."
"Terus adiknya yang si Husna itu juga mau menikah, dengan
Ilyas, santri Pak Kiai."
"Iya saya juga sudah tahu."
"Azzam menikah di Kudus, tapi nanti akan mengadakan
syukuran di Kartasura. Lha syukurannya Azzam ini dibarengkan
dengan acara walimatul ursynya Husna. Rencananya di acara itu akan
kami isi dengan pengajian singkat. Kami mohon Pak Kiai yang
memberi mau"idhah hasanahnya." Terang Bu Nafis,
Mendengar permintaan Bu Nafis, Kiai Lutfi langsung
menunduk. Ia malu. Pernikahan putrinya gagal, tapi ia harus
memberikan mau"idhah pada orang lain. Dengan berat hati Pak Kiai
Lutfi menjawab, "Saya merasa tidak layak Bu, maaf."
"Kami mohon Pak Kiai, sampai hujan-hujan saya kemari,
mohon." Desak Bu Nafis.
Mata Pak Kiai berkaca-kaca,
"Apa pantas Bu, orang yang pernikahan putrinya saja gagal kok
memberi mau"idhah pernikahan pada orang lain. "Itu namanya kabura
maqtan "indallah"
Kata-kata Pak Kiai Lutfi membuat Azzam kaget. Bu Nafis belum
paham maksudnya. Anna di dalam langsung menangis tertahan.
"Saya tidak paham maksud Pak Kiai."
"Putri saya cerai dengan Furqan Bu. Baru kemarin, Sekarang
dalam proses sidang. Memang bukan salah Anna. Yang salah saya.
Seharusnya sayalah yang memilihkan jodoh buat dia. Saya pilihkan
orang yang saya mantap ternyata saya salah. Saya juga tidak
menyalahkan Furqan. Tidak! Yang salah adalah saya, yang waktu itu
kurang tegas. Kalau saya tegas mungkin putriku sudah mau punya
anak dan bahagia. Apa pantas orang seperti saya yang masih harus
banyak belajar ini meskipun dipanggil Kiai untuk memberikan
nasihat perkawinan. Jangan paksa saya Bu! Saya malu pada Allah
juga pada diri sendiri." Jelas Pak Kiai dengan air mata meleleh.
Azzam jadi tersentuh. Ia tak tahu apa yang terjadi. Tapi ia tak
mau berprasangka apa pun baik pada Anna maupun pada Furqan. Di
ruang tengah Anna tidak kuat untuk menahan tangisnya. Ia bergegas
ke kamar mandi, menyalakan kran dan menangis tersedu-sedu.
Ayahnya sedemikian besar jiwanya, dia malah menyalahkan dirinya
sendiri bukan orang lain.
Dalam hati Anna berjanji, untuk mencari suami lagi ia akan
serahkan semuanya pada ayahnya. Ia akan tutup mata. Siapa pun
yang dibawa ayahnya akan ia terima dengan hati terbuka. Tanpa ia
pinta pikirannya berkelebat ke Ilyas. Ah andai dia yang dulu dia pilih.
Ilyas adalah murid ayahnya, dan agaknya ayahnya lebih condong ke
Ilyas daripada Furqan. Ah! Sekarang Ilyas mau menikah dengan
Husna. Rezeki orang memang sudah ada jatahnya.
Melihat lelehan air mata Pak Kiai Lutfi, Bu Nafis terenyuh, tak
berani lagi memaksa. Dengan suara lirih, Bu Nafis berkata,
"Kami tidak bisa memaksa Pak Kiai. Kalau boleh tanya siapa
kirakira yang sebaiknya kami pinta untuk mengisi pengajian itu
menurut Pak Kiai?" "Coba saja Kiai Kamal Delanggu. Kalau sampai pasar langgu
tanya saja sama orang-orang di sana pasti tahu. Nanti kalau sampai
sana bilang yang minta Kiai Lutfi. Dia dulu santri di sini juga."
"Insya Allah kami ke sana segera."
Di luar gerimis masih turun. Langit suram. Beberapa kali suara
guruh bergemuruh. Anna masih di kamar mandi. Ia harus
membuatkan minuman. Ia menyeka mukanya dengan sedikit air, lalu
mengusapnya dengan handuk. Ia ke dapur membuat teh hangat. Lalu
mengeluarkan ke ruang tamu. Azzam menunduk sama sekali tidak
memandang ke wajah atau ke jari-jari Anna seperti yang pernah ia
lakukan dulu. Pikirannya sepenuhnya untuk Vivi, putri Kiai Lutfi itu
sudah tidak ada dalam pikirannya sama sekali.
Setelah minum teh itu Azzam dan Bu Nafis mohon diri. Gerimis
masih turun dari langit. Bu Nafis memakai jas hujan. Azzam
mengelap air yang membasahi jok motor.
"Apa tidak ditunggu nanti saja jika sudah benar-benar tidak ada
gerimis?" Ujar Pak Kiai.
"Kalau gerimis seperti ini biasanya sampai sore, Pak Kiai."
Jawab Azzam. "Atau ibumu biar diantar Anna pakai mobil ke rumahmu. Dan
kamu saja yang ke rumah Kiai Kamal." Usul Pak Kiai.
"Ah tidak usah Pak Kiai. Saya juga ingin silaturrahmi ke sana.
Delanggu itu tidak jauh kok." Bu Nafis menukas.
"Iya monggo kalau begitu."
Azzam menyalakan mesin. Ibunya membonceng ke belakang.
Keduanya rapat dalam balutan jas hujan. Setelah mengucapkan salam
keduanya meninggalkan pesantren dan meluncur ke Delanggu.
Azzam mengendarai motor tua itu dengan tenang. Motor itu
melewati jalan raya Solo-Jogja. Bergerak lima puluh kilometer perjam
ke selatan. Ke Delanggu. Azzam berjalan di pinggir. Karena bus dan
truk melaju dengan sangat kencang. Jalan itu bukan jalan tol tapi
mirip jalan tol. Gerimis masih turun. Alam basah dan muram. Azzam
mengendarai motor tua itu dengan tenang. Hatinya bahagia bisa
memboncengkan ibunya dengan penuh cinta. Tiba-tiba entah dari
mana datangnya hatinya seperti mendendangkan sebuah sajak cinta
untuk ibunya: Ibu, aku mencintaimu seperti laut mencintai airnya tak mau kurang
selamanya Sepeda motor Azzam melaju tenang di pinggir jalan. Sawah
menghijau di kiri jalan, dan pohon-pohon menghitam di kejauhan.
Azzam melaju tenang di pinggir jalan. Ia beriringan dengan mobil pick
up hitam yang membawa buah pisang. Azzam begitu mencintai
ibunya. Hatinya ingin mendendangkan puisi lagi. Namun, tiba tiba
dari arah belakang sebuah bus berkecepatan tinggi hendak menyalip
mobil pick up. Bus itu membunyikan klakson dengan keras. Azzam
minggir sampai di batas akhir aspal. Bus tetap melaju dengan
kecepatan tinggi Motor yang dikendarai Azzam. Dan...
Duar!!! Bemper bus bagian depan menghantam motor yang dikendarai
Azzam. "Allah!!" Jerit Azzam spontan.
la terpelanting seketika beberapa meter ke depan. Dan langsung
pingsan. Bu Nafis terpelanting lebih jauh dari Azzam. Helm Bu Nafis
lepas sebelum kepalanya dengan keras membentur aspal. Darah
mengucur dari dua tubuh lemah tak berdaya itu. Darah itu mengalir
di aspal bersama air hujan. Bus berkecepatan tinggi itu lari dan
langsung dikejar oleh pick up hitam.
Gerimis turun semakin deras, ketika tubuh Azzam dan ibunya
ditolong banyak orang. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan
lewat dengan membawa mobil Kijang dihentikan. Dengan Kijang itu
Azzam dan ibunya dilarikan ke rumah sakit terdekat. Darah
mengucur semakin deras mengiringi gerimis yang semakin deras.
25 MUSIBAH Gerimis telah berubah menjadi hujan yang sangat deras. Kilat
mengerjap dan halilintar menyambar. Dukuh Sraten tampak begitu
fana dan kerdil dalam guyuran hujan. Seorang gadis berjilbab putih
mengangkat sedikit kain roknya dan berjalan hati-hati dengan
payung di bawah hujan. Gadis itu baru keluar dari masjid. Ia baru saja
ikut rapat remaja masjid Al Mannar.
Akhirnya ia sampai ke rumahnya. Gadis itu adalah Lia.
"Assalamu"alaikum. Mbak Husna!" Panggil Lia begitu masuk
rumahnya yang lengang. "Mbak!"
"Iya, Mbak di belakang Dik!" Jawab Husna. "Bue sama Kak
Azzam mana?" Tanya Lia. "Ibumu itu kalau punya kemauan tidak
bisa dicegah. Dia memaksa Kak Azzam ke rumahnya Kiai Lutfi."
"Untuk apa ke sana?"
"Minta Kiai Lutfi ngisi tnau"idhah hasanah dalam acara walimah
besok." "O. Kan mobilnya dibawa Kang Paimo."
"Itulah. Mbak sama Kak Azzam sudah mencegah Bue supaya
jangan berangkat pas hujan. Tapi Bue tetap ngotot. Akhirnya Kak
Azzam ya manut saja."
"Nanti Bue sakit gara-gara kehujanan."
"Ya semoga tidak."
"Entah kenapa Mbak ya, hati Lia sangat tidak enak rasanya. Lia
lihat suasana pagi ini kok rasanya muram dan suram."
"Ya ini kan lagi mendung, lagi hujan, ya suasananya memang
suram." "Ini di dalam hati lho Mbak."
"Sana kamu bantu marut kelapa, biar tidak suram. Lia bergerak
memenuhi permintaan kakaknya. Tiba-tiba pintu depan diketuk
dengan cukup keras Husna dan Lia kaget. Mereka berdua
berpandangan. Lalu keluar bareng. Mereka melihat ada dua polisi
yang berdiri, di depan pintu rumah mereka. Mereka agak was-was.
"Itu polisi nyasar." Lirih Lia. "Hus!" Bentak Husna lirih.
"Selamat pagi Mbak?" Sapa seorang polisi berkumis tipis "Pagi
Pak. Ada yang bisa kami bantu?" Jawab Husna "Apa ini rumahnya
Khairul Azzam?" "Iya. Saya adiknya Pak. Ada apa ya?"
"Maaf Mbak jangan terkejut. Khairul Azzam dan ibunya
kecelakaan! Dan sekarang ada di Rumah Sakit PKU Delanggu."
"Kecelakaan Pak!?" Jerit Husna dan Lia harnpir bersamaan.
Jantung keduanya bagai mau copot. Kaki-kaki mereka seperti tidak
kuat untuk berdiri. "Oh tidak, bue... bue! Kak Azzam!" Jerit Lia dengan tangis
meledak. "Ya Allah, kuatkan! Ya Allah jangan kau panggil mereka ya
Allah!" Lirih Husna dalam isak tangisnya.
"Maaf Mbak, kami tahu kalian bersedih. Keadaan sedang kritis.
Kalian harus ada yang ikut kami ke rumah sakit sekarang!" Kata
polisi itu.

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Husna segera sadar. Dalam sedih, ia harus bergerak cepat!
"Dik, kau beritahu Pak Mahbub dan Pak RT. Beritahu siapa yang
menurutmu diberi tahu. Aku mau ikut Pak Polisi ini dulu!" Kata
Husna sambil menyeka air matanya.
"I... iya Mbak." Jawab Lia dengan lidah kelu.
"Sebentar Pak." Husna masuk mencari dompetnya. Ia masukkan
dompet itu ke dalam tasnya lalu bergegas keluar menerobos hujan ke
mobil sedan polisi. Sepanjang jalan Husna menangis. Ia memandang ke jendela
dengan basah air mata. Polisi berkumis tipis itu memperhatikan
Husna sesaat. Ia merasa iba pada Husna.
"Menurut saksi mata kakak anda sama sekali tidak salah. Dia
sudah mepet ke pinggir. Bus ugal-ugalan itu yang salah. Bus itu juga
sempat lari tapi sekarang sudah tertangkap dan sedang kami tangani.
Kita doakan semoga kakak dan ibumu bisa di selamatkan." Kata
Polisi menenangkan Husna.
*** Sampai di rumah sakit Husna langsung menghambur ruang
gawat darurat. "Suster di mana yang korban tabrakan?" Tanya Husna dengan
mata basah pada seorang perawat di depan ruang gawat darurat.
"Pemuda sama ibunya ya?"
"Iya Sus." "Mbak siapa?" "Saya anak ibu itu."
"Sabar ya Mbak, tabahkan hati Mbak ya?"
"Apa maksud suster?"
"Ibu Mbak tidak bisa kami selamatkan. Beliau sudah bertemu
Allah. Kepala beliau mungkin pecah. Darahnya mengalir banyak
sekali. Sedangkan kakak Mbak masih kritis. Masih belum sadar."
"Ibu saya meninggal Mbak?"
"Iya, tabahkanlah hatimu Mbak!" Tangis Husna langsung
meledak. "Bue... bue... oh... bue!" Perawat yang ramah itu merangkul
Husna. Terus berusaha menghibur dan menenangkan Husna. Husna
merasa bumi bagaikan berputar. Rasanya ia ingin jatuh. Ia juga
merasakan seperti ada belati yang dihunjamkan ke ubun ubun
kepalanya. Dalam pelukan perawat itu Husna pingsan.
*** Ketika Husna sadar, ia mendapati dirinya terbaring dalam
sebuah ruangan. Lia, Bu Mahbub dan Bu RT ada di samping. Lia
menangis dalam pangkuan Bu RT. Kedua mata Bu Mahbub juga
tampak berkaca-kaca. Husna mendengar azan Zuhur berkumandang di kejauhan.
Husna ingat yang terjadi langsung menangis. Ia
memanggil-manggil ibunya dan kakaknya. Ia bangkit dari ranjang.
"Mau ke mana Na?"
"Mau lihat bue."
"Sebentar ya. Tadi Pak Mahbub mengambil inisiatif minta
kepada rumah sakit untuk sekalian memandikan dan mengkafani.
Meskipun hari hujan. Masih ada waktu untuk mengubur jenazah
ibumu. Sekarang ibumu sedang dimandikan." Jawab Bu Mahbub.
Kasih Diantara Remaja 9 Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan Edensor 2
^