Pencarian

Ketika Cinta Bertasbih 11

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 11


"Apa harus hari ini bue dikubur Bu?"
"Katanya menurut sunnah nabi semakin cepat semakin baik."
"Kasihan Kak Azzam tidak bisa lihat bue."
"Dia masih belum sadar. Kalau pun sudah sadar juga dia tidak
bisa ikut mengubur ibumu."
Husna terus meneteskan air mata. Ia ingin tabah. Tapi ia tetap
menangis. Sepertinya baru tadi ibunya minta dibuatkan minum.
Sekarang sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia jadi
ingat dialognya dengan ibunya sebelum ibunya berangkat. Tadi pagi
sambil membawa teh hangat ia berkata pada ibunya,
"Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti di
tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman."
Ibunya lalu menjawab "Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu
ingin meminumnya barangkali untuk kali terakhir."
Air mata Husna meleleh. Ternyata benar, itulah teh yang ia
buatkan untuk ibunya terakhir kalinya. Setelahnya ia tidak bisa
membuatkan lagi untuk ibunya. Ia juga teringat kata-kata ibunya
setelah minum teh buatannya,
"Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada, jagalah
kakak dan adikmu ya Na."
Dan benar, kini ibunya telah tiada. Kakaknya masih kritis belum
sadar juga. Kata-kata ibunya seperti menyadarkannya. Ia harus kuat.
Ia harus bangkit. Ia tidak boleh lemah.
"Lia." Ia memanggil adiknya. Lia bangun dan memeluk
kakaknya. "Mbak bue sudah tidak ada. Kita tidak punya orang tua
lagi Mbak. Kak Azzam kalau mati juga bagaimana KaK."
"Kita harus tabah adikku. Kita doakan semoga Kak Azzam
selamat. Semoga Allah tidak memanggil dua-duanya."
"Iya Mbak." Husna memeluk adiknya kuat-kuat. Sesedih
apapun dirinya, saat ini dialah sang kakak. Dialah yang harus
mengambil langkah dan keputusan. Ia melepas pelukan adiknya. Lalu
dengan penuh cinta menyeka air mata adiknya.
"Dik, kita sudah besar dan dewasa. Kita harus saling dukung.
Kita akan hadapi ini bersama. Kita akan hadapi ini bersama."
"Iya Mbak." Pelan Lia di sela-sela isaknya.
Husna menoleh ke Bu Mahbub, "Di mana Pak Mahbub Bu?"
"Di depan sedang berbincang bersama Pak RT dan Pak War."
Husna langsung ke depan diikuti Lia, Bu Mahbub dan Bu RT.
"Nak Husna." Sapa Pak Mahbub, "Kami semua ikut berduka
cita." "Terima kasih Pak. Menurut Pak Mahbub, enaknya bagaimana?"
Tanya Husna. "Begitu sampai di sini tadi saya diberi tahu oleh petugas bahwa
ibumu meninggal. Bisa jadi meninggal di tempat atau di jalan. Yang
jelas sampai di UGD nyawa beliau sudah tiada ada. Saya langsung
inisiatif minta para pemuda untuk menggali kubur. Hujan di sana
sudah reda. "Karena kepala ibumu maaf mungkin retak atau pecah dengan
darah yang begitu banyak, saya langsung minta pihak rumah sakit
menjahit lukanya terus memandikan dan mengafaninya sekalian.
Sekarang sedang dikafani. Menurut Bapak sebaiknya hari ini juga
dikebumikan. Menurut sunnah kan menyegerakan penguburan
sernakin cepat semakin baik. Tapi semua keputusan ada di tangan
kamu dan Lia." Kata Pak Mahbub dengan suara bergetar.
"Bagaimana menurutmu Dik?" Tanya Husna.
"Kalau yang terbaik hari ini juga dimakamkan, dan itu
memungkinkan itu lebih baik. Sebab setelah ini kita masih akan
menunggu Kak Azzam." Jawab Lia.
"Kau benar Dik. Kalau begitu kita kuburkan sekarang." Ucap
Husna. "Kalau boleh usul lagi," kata Pak Mahbub, "Sebaiknya, nanti ada
salah satu di antara kalian yang di sini. Sewaktu waktu Azzam
bangun, dia langsung ada yang menghiburnya. Langsung ada yang
mendengar suaranya kalau dia pesan sesuatu."
"Iya Pak. Biar saya di sini, dan Lia pulang bersama jenazah ibu."
Seorang perawat laki-laki datang, "Pak Jenazah sudah siap di
ruang sana." "Ayo kita ke sana." Seru Pak Mahbub.
Semua yang ada di situ langsung bangkit menuju ruang jenazah
mengikuti perawat. Hati Husna berdebar debar. Seperti apa wajah
ibunya. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu pada ibunya, padahal baru
tadi pagi ia membuatkan teh hangat untuknya. Husna melangkah
memasuki ruang jenazah. Hanya ada satu jenazah. Tak lain dan tak
bukan jenazah ibunya. "Posisinya sudah kami buat seperti ini. Kalau ada yang mau
shalat jenazah di sini boleh." Kata perawat itu.
Husna melangkah mendekati jenazah ibunya. Kepala ibunya
yang mulia itu diperban. Mukanya bersih menyungging senyum. Ada
sedikit darah di keningnya, tak bisa tidak tangisnya meledak kembali.
Ia ciumi wajah ibunya dengan keharuan luar biasa. Hidungnya ia
ciumkan ke mulut ibunya. Ia seperti mencium bau wangi teh yang
tadi pagi di minum ibunya. Ia kembali terisak.
"Sudah Nak, tabahkanlah hatimu!" Kata Pak Mahbub. Husna
bangkit gantian Lia yang menciumi wajah ibunya dengan terisak-isak.
"Bue aku mencintaimu Bue." Hanya itu yang dikatakan Lia.
"Husna, Lia, shalatilah ibumu di sini. Sebentar lagi jenazah
ibumu akan dibawa ke Sraten."
"Baik Pak." Jawab Husna dan Lia.
Dua gadis itu lalu mengambi air wudhu dan menshalati ibunda
mereka tercinta. Setelah dishalati jenazah itu dibawa ke mobil jenazah
ke dukuh Sraten, Kartasura. Lia dan Bu Mahbub ikut dalam mobil
jenazah. Sementara Pak Mahbub, Pak RT, Bu RT dan Pak War ikut
mobil Pak War. Sore itu dukuh Sraten hujan air mata. Kiai Lutfi yang diberitahu
Pak Mahbub langsung datang seketika didampingi Bu Nyai dan
Anna. Pak Kiai menangis mendengar cerita tragis yang menimpa
Azzam dan ibunya. Pak Kiai Lutfi merasa sangat berdosa.
"Maafkan saya Nak Lia, kalau saja saya menerima permintaan
ibumu mungkin akan lain ceritanya." Kata Pak Kiai pada Lia.
"Kematian itu kalau sudah datang tak bisa dielakkan Pak Kiai.
Tak ada salah Pak Kiai sama sekali. Yang salah ya sopir bus yang
ugalugalan itu." Lirih Lia.
Sore itu jenazah Bu Nafis, ibunda Azzam, dimakamkan di
bawah langit yang mendung diiringi ratusan orang termasuk Kiai
Lutfi. Yang membuat masyarakat takjub, meskipun paginya hujan
tetapi lubang untuk mengubur Bu Nafis tidak keluar mata air. Hanya
basah saja. Selesai mengubur ibunya Lia diantar oleh Anna dengan
mobilnya pergi ke PKU Muhammadiyah Delanggu untuk menemani
Husna yang sendirian di sana.
26 DALAM DUKA Husna menunggui kakaknya dengan terus berzikir kepada Allah
dan memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah. Pipi kiri
kakaknya berdarah. Tangan kiri kakaknya berdarah. Juga kaki kiri
kakaknya. Ada selang kecil yang dimasukkan ke tangan kanannya.
Alat pendeteksi detak jantung kakaknya ada di samping ranjang. Ia
terus berdoa kepada Allah agar kakaknya segera siuman. Orang yang
sangat dicintainya itu kini terkulai tak berdaya. Dengan beberapa
bagian tubuh terkoyak dan berdarah.
Pukul lima sore, ia melihat tangan kakaknya bergerak. Lalu
kedua kelopak matanya bergerak. Lalu perlahan membuka.
"Kak Azzam." Lirihnya dengan linangan air mata.
Azzam membuka kedua matanya. "Allah." Itulah kalimat yang
keluar dari getar bibirnya. Ia mengerjapkan matanya. Lalu melihat
adiknya, "Husna."
Husna berusaha tersenyum Alhamdulillah kakak sudah siuman."
pada kakaknya. "Iya Kak. "Ini rumah sakit ya?"
"Iya." "Mana bue?" "Tenang kak. Bue baik di tempat istirahatnya."
"Maafkan Kakak ya Dik. Kakak kecelakaan. Bue pasti
kesakitan. Maafkan." Lirih Azzam sambil berlinang air mata. Azzam
berusaha menggerakkan badannya. Namun nyeri luar biasa.
Seorang perawat mendekat. "Sudah siuman?"
"Alhamdulillah. Sudah Mbak."
"Begini, pertolongan pertama sudah kami lakukan. Masa kritis
kakak Anda sudah lewat. Agar lebih terjaga. Sebaiknya kakak Anda
dirawat di Solo, di sana peralatan lebih lengkap. Terutama untuk
operasi tulang. Kami lihat kaki kiri kakak Anda patah. Semakin cepat
dioperasi akan semakin baik. Kami akan memberi rujukan silakan
pilih rumah sakit mana yang Mbak pilih." Jelas perawat itu
"Yarsi bisa Mbak?"
"Bisa. Kalau begitu kami akan siapkan segalanya secepatnya."
"Pokoknya siapkan yang terbaik untuk kakak saya."
"Baik." Perawat itu pergi. Kedua mata Azzam berkaca-kaca
mendengar percakapan perawat itu dengan adiknya. Ia tahu apa yang
terjadi pada dirinya. Kakinya patah harus dioperasi. Ia akan terkapar
di rumah sakit dalam waktu yang lama. Dan ia akan istirahat di
rumah dalam waktu yang lama. Di Cairo dulu pernah ada mahasiswa
Indonesia yang dioperasi karena patah tulang saat sepakbola. Dan
untuk sembuh ia harus istirahat yang lama.
"Jika kaki kakak patah, lalu bue bagaimana Dik?"
"Dia baik Kak, sedang istirahat."
"Jelaskan pada Kakak."
"Kakak jangan mikir bue dulu."
"Terus bue sama siapa sekarang?"
"Sama Lia. Bue sudah dibawa pulang tadi."
"Jadi bue tidak apa-apa?"
"Sekarang sudah tidak apa-apa. Bue sudah tenang."
"Syukurlah." Kata Azzam sambil memejamkan mata.
"Ambulan sudah siap. Kita bisa langsung ke Solo." Perawat tadi
datang lagi. "Kita langsung berangkat Mbak?"
"Iya. Tapi Mbak selesaikan dulu administrasinya di sana ya.
Kami akan membawa kakakmu ke ambulan."
"Baik." Husna melangkah ke bagian administrasi. Dua perawat pria
datang dan mendorong ranjang Azzam menuju ambulan. Ketika
melangkah ke bagian administrasi Lia dan Anna datang.
"Semoga musibah ini jadi sumber pahala ya Na. Kami ikut
berduka." Lirih Anna sambil merangkul Husna. "Terima kasih sudah
mau datang." Jawab Husna "Bagaimana kak Azzam Mbak?" Tanya
Lia "Ada tulang yang patah, ini mau dirujuk ke Solo yang lebih
lengkap peralatannya. Kak Azzam harus operasi tulang."
"Inna lillah." Lirih Lia.
"Kasihan dia. Semoga kakakmu diberi ketabahan oleh Allah."
Ucap Anna pelan. "Dik kau bawa uang" Kakak cuma ada tiga ratus ribu. Kita harus
selesaikan administrasi dulu baru berangkat.
"Saya cuma ada seratus ribu. Ayo coba dulu berapa semuanya."
Kata Husna sambil melangkah ke loket. "Yang mau dipindah ke Solo
ya?" Tanya pegawai loket.
"Iya." "Semuanya satu juta setengah Mbak. Sudah semuanya. Sudah
termasuk biaya dua ambulan."
"Dik Lia, gimana nih. Kita cuma ada empat ratus ribu." Husna
agak bingung. "ATM kakak?" Tanya Lia.
"Kosong, sudah habis untuk persiapan nikah." Husna panik.
"Masih kurang berapa" Pakai uangku dulu saja." Anna tahu
kepanikan Husna dan Lia. "Satu juta seratus Mbak." Jawab Husna. "Tunggu aku ambil
dulu di ATM." Anna melangkah keluar mengambil uang di ATM. Tak
lama kemudian Anna datang dan menyerahkan uang kepada Husna.
"Kelihatannya banyak sekali. Berapa ini Mbak?" Tanya Husna.
"Aku ambil lima juta. Pakai saja dulu. Nanti di Solo kalian pasti
perlu ini itu." "Terima kasih Mbak. Insya Allah nanti saya kembalikan
secepatnya. Sebenamya saya yakin Kak Azzam masih punya uang."
"Sudah biarkan Mas Azzam itu tenang dulu. Nggak usah mikir
uang dulu kasihan dia." Kata Anna.
Setelah membereskan administrasi mereka berangkat ke Solo.
Gantian Lia yang menemani Azzam di mobil ambulan. Dan Husna
ikut mobil Anna Althafunnisa. Hari Sudah mulai gelap ketika mereka
masuk di R.S. Yarsi. Begitu sampai Husna langsung bilang kepada
pihak rumah sakit, "Tolong berikan yang terbaik untuk kakakku.
Operasi yang terbaik. Berapa pun biayanya tidak jadi soal. Saya yang
menanggung. Ini kartu identitas saya Ayatul Husna, Psikolog dan
Dosen di UNS." Kata-kata Husna tegas. Ia tahu banyak rumah sakit yang kurang
memperhatikan pasien hanya gara-gara sang pasien atau keluarga
pasien dianggap tidak punya biaya.
"Baik." Jawab pihak rumah sakit. Diam-diam Anna kagum juga
dengan ketegasan Husna. Tiba-tiba ia merasa kecil dibandingkan
gadis yang ada di hadapannya itu. Gadis yang ditempa oleh pelbagai
masalah kehidupan. Dan ketika ia kagum pada gadis itu maka mau
tak mau ia harus kagum pada kakaknya. Kakaknyalah yang mendidik
adiknya itu dari jarak jauh.
"Tadi kami sudah berusaha mencegah bue. Kak Azzam juga
sebenarnya tidak mau. Tapi bue ngotot. Sebelum pergi bue minta
dibuatkan teh hangat. Bue berkata, "Teh buatanmu lain rasanya Na.
Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali untuk kali terakhir."
Ternyata memang itulah terakhir kalinya minum teh hangat
buatanku." Husna bercerita sambil berlinang air mata pada Anna. Hal
itu malah membuat mata Anna berkaca-kaca.
"Iya tadi di rumah beliau juga minum teh buatanku.
Kelihatannya beliau ceria sekali. Abah sempat menawarkan agar
beliau saya antarkan pulang ke rumah pakai mobil. Tapi beliau tidak
mau. Beliau ngotot menerobos gerimis bersama Mas Azzam ke rumah
Kiai Kamal. Abah sangat menyesal dalam hal ini, karena tidak
memenuhi harapan ibumu." Kata Anna terisak. Di dalam hati Anna
merasa dirinyalah pangkal musibah ini. Abahnya menolak mengisi
pengajian di acara walimah itu karena merasa terpukul dengan
kegagalan pernikahannya dengan Furqan. Maka dialah pangkal
musibah ini. Itulah perasaan berdosa Anna yang menggelayut di
pikirannya. "Abahmu tidak salah. Memang sudah tiba ajalnya. Orang kalau
sudah tiba ajalnya ada saja sebab yang menjadi perantaranya." Ujar
Husna pada Anna. "Kau benar. Terus bagaimana dengan pesta perkawinanmu
nanti?" "Itu nanti. Yang sekarang ada dalam pikiranku adalah


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana agar kakakku bisa kembali seperti semula. Aku ingin
kakakku bisa berjalan seperti semula. Kaki dan tangan kakakkulah
yang turut menempa jati diri seorang Husna. Sekarang ini yang aku
pedulikan hanyalah kakakku."
"Kau begitu sayang pada kakakmu."
"Kalau kau punya kakak seperti dia aku yakin kau pasti sayang
padanya." "Semoga dia baik-baik saja."
"Amin." Malam itu Azzam harus masuk ruang operasi. Setelah dirongent
ia mengalami patah di betis kirinya, lengan bawah tangan kiri, dan
dua tulang rusuk dada kirinya. Ia harus operasi tulang kaki dan
tangannya. Husna dan Lia tetap di sana sampai operasi selesai. Anna
dengan setia menemani dua gadis yang sedang dalam duka itu.
Sesekali Anna keluar membelikan makan buat mereka.
Jam dua malam operasi itu selesai. Azzam dimasukkan ke dalam
kamar kelas satu. Husna yang minta. Uang bisa dicari belakangan
yang penting nyaman. Dokter bedah yang meyakinkan Husna, Lia
dan Anna bahwa Azzam akan bisa kembali seperti sedia kala.
"Insya Allah, dia akan pulih lagi. Hanya nanti tentu perlu proses
sampai tulang-tulangnya menyatu dan kuat lagi-Kami akan beri obat
penyambung tulang terbaik.
Bersyukurlah bahwa yang patah bukan tulang belakangnya.
Dan alhamdulillah kepalanya tidak apa-apa. Hanya gegar ringan yang
itu biasa dalam kecelakaan ringan sekalipun. Saya dulu pernah jatuh
dari tempat tidur kepala membentur lantai dan gegar ringan. Insya
Allah nanti dia akan sembuh seperti semula. Tenang saja."
Dokter muda yang bernama Yusuf itu dengan sangat ramah
menjelaskan secara detil apa yang dialami Azzam. Penjelasan itu
membuat hati Husna, Lia dan Anna lega. Mereka bertiga berjaga di
rumah sakit itu sampai pagi. Setelah operasi Azzam tertidur. Ia tidak
tahu bahwa Anna juga turut menjaganya bersama adik-adiknya.
Pagi harinya Pak Mahbub mengantarkan Vivi dan keluarganya
menjenguk Azzam. Saat itu Azzam sedang sedih-sedihnya karena
diberi tahu bahwa ibunya telah meninggal dunia. Azzam sudah bisa
diajak berbincang bincang siapa saja. Begitu ia tahu Vivi dan
keluarganya datang ia menyeka air matanya dan menata jiwanya.
Vivi menatap Azzam dengan linangan air mata.
"Maafkan saya, mungkin saya harus tetap terbaring di sini.
Sehingga saya tidak mungkin ke Kudus untuk akad nikah denganmu.
Maafkan. Kita manusia hanya bisa berikhtiar tapi Allah jugalah yang
menentukan." Ucap Azzam pada Vivi yang di dampingi kedua orang
tuanya. "Bersabarlah. Ini musibah kita bersama. Aku akan setia
menunggumu, sampai kau sembuh." Vivi menenangkan Azzam dan
membesarkan jiwanya. "Terima kasih Vivi. Kau baik sekali. Kau tahu berapa lama lagi
kirakira akan sembuh. Temanku di Mesir dulu menunggu sampai
satu tahun baru dia bisa berjalan. Aku tak ingin mengikatmu dengan
rasa kasihanmu padaku. Pertunangan itu belumlah akad nikah. Itu
baru semacam perjanjian. Aku tidak ingin menzalimimu. Sejak
sekarang aku beri kebebasan kepadamu. Kalau kau sabar menunggu
ku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kau ternyata
di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kau boleh menikah
dengan siapa yang kau suka. Aku tahu umurmu sama dengan
umurku. Sebentar lagi kau berkepala tiga." Kata Azzam dengan
lapang dada. Husna takjub dengan kata-kata kakaknya itu. Kakaknya
benar-benar dewasa cara berpikirnya. Dan hebatnya kakaknya tidak
mau dikasihani. Kakaknya masih menunjukkan karakternya sebagai
Khairul Azzam yang pantang menyerah. Khairul Azzam yang sangat
percaya dan yakin akan karunia Allah.
"Aku akan berusaha setia." Kata Vivi. "Terima kasih atas
kebesaran jiwamu." Lanjut gadis yang berprofesi sebagai dokter di
Puskesmas Sayung itu. Setelah merasa cukup Pak Mahbub dan keluarga dari Kudus
minta pamit. Sebelum meninggalkan ruangan itu Vivi masih sempat
melihatnya kembali. Dan tersenyum padanya sebelum pergi. Azzam
berusaha tersenyum. Begitu Vivi pergi Azzam menangis tersedusedu.
Ia teringat pesta pernikahannya yang batal. Ia teringat gerbang
pernikahan yang ada di depan mata.
"Kenapa kita harus banyak menangis hari-hari ini ya Na?"
Tanya Azzam pada adiknya.
"Mungkin Allah sedang menyiapkan cara agar kita bisa
tersenyum indah setelahnya." Jawab Husna. "Semoga jawabanmu itu
benar." "Insya Allah kak. Janji Allah bersama kesukaran pasti ada
kemudahan." "Allah tidak akan mengingkari janji-Nya."
"Pasti." Dan Husna juga membatalkan pernikahannya. Ia mengatakan
kepada Ilyas bahwa ia akan menikah setelah kakaknya bisa berjalan.
Ia tidak akan meninggalkan kakaknya terkapar sendirian di rumah
sakit, sementara ia berbulan madu dengan suaminya. Ia lalu
mengatakan kepada Ilyas seperti yang dikatakan kakaknya pada Vivi,
"Mas Ilyas tentu paham bahwa pertunangan itu belumlah akad
nikah. Itu baru semacam perjanjian. Au tidak ingin menzalimimu.
Sejak sekarang aku berkebebasan kepadamu. Kalau kau sabar
menungguku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau
kau ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kau boleh
menikah dengan siapa yang kau suka." Jawaban Ilyas hampir mirip
dengan jawaban Vivi, "Insya Allah aku akan setia padamu. Akan aku
selesaikan dulu masterku baru aku akan menikahimu."
"Terima kasih Mas."
Azzam dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Selama
sepuluh hari, hampir setiap hari selalu ada yang datang menjenguk.
Selain warga dukuh Sraten, karyawannya di bisnis bakso dan foto
copy, banyak juga jamaah pengajian Al Hikam yang datang. Setiap kali
ada yang datang, semangat hidup Azzam berkobar, semangatnya
untuk sembuh menyala. Dalam sebuah perenungan akan duka yang dialaminya, Azzam
menulis puisi dalam hatinya untuk meneguhkan jiwanya:
dalam duka kita berguru pada hujan yang terus menyiram arang hitam
dengan kesabaran siang malam kuncup-kuncup pun bermekaran meneguhkan
harapan-harapan Pada hari ke delapan dan ke sembilan Azzam dilatih bagaimana
menggunakan krek. Setelah dilihat bisa menggunakan krek dengan
baik dan pengaruh gegar kepalanya hilang Azzam diperbolehkan
pulang. Dokter menyarankan untuk banyak di rumah dulu dan
menasihati untuk tidak sekali-kali berjalan atau berdiri tanpa
bersandar pada krek. "Kau boleh lepas krek, kalau aku sudah mengatakan kau boleh
lepas!" Demikian kata Dokter Yusuf sesaat sebelum pulang.
Pada saat ia siap untuk keluar kamar Kiai Lutfi datang, bersama
Bu Nyai dan Anna. Kiai Lutfi minta maaf kepada Azzam atas
peristiwa pagi hari itu. Kiai Lutfi tak henti hentinya menyesali
penolakannya waktu itu. "Kalau aku penuhi permintaan ibumu mungkin tidak terjadi
kecelakaan. Sungguh aku mohon maaf Azzam. Aku merasa berdosa."
Kata Kiai Lutfi. "Pak Kiai tidak salah. Ini sudah tercatat di sana." Jawab Azzam
sambil mengacungkan tangan kanannya ke atas.
"Terus bagaimana dengan kelanjutan pernikahanmu?" Tanya
Kiai Lutfi. "Biarlah Allah yang menentukan." Jawab Azzam.
27 JIWA YANG BANGKIT Azzam harus menunggu kesembuhannya di rumah. Dokter
mengatakan ia baru boleh lepas krek kira-kira jika sudah sepuluh
bulan sejak dioperasi. Azzam hanya bisa beraktivitas di dalam rumah.
Bulan pertama aktivitasnya ada di kamarnya, ruang tamu, dapur, dan
kamar mandi. Yang paling susah saat ia akan mandi atau buang air besar.
Perban yang ada di kaki kiri dan tangan kiri tidak boleh terkena air.
Untuk buang air besar ia tidak bisa jongkok. Sangat susah jongkok
dengan kaki satu. Dan jika ia nekat jongkok maka tulang rusuknya
yang patah akan terasa sakit. Luar biasa sakitnya.
Husna punya akal. Ia mengambil kursi kayu. Lalu minta kepada
Kang Paimo agar melubangi bagian tengahnya. Sehingga Azzam bisa
duduk ketika buang air besar. Juga bisa duduk saat mandi. Husna
sangat perhatian pada kakaknya. Sebelum mandi dia begitu teliti
mencari plastik dan membungkus kaki kiri dan tangan kiri Azzam
dengan plastik. Sehingga perbannya tetap kering dan aman.
"Kakak kalau mandi sebaiknya duduk saja. Kaki kiri
diselonjorkan. Pokoknya jangan pernah sekali-kali bertumpu dengan
kaki kiri. Ingat kaki kiri Kakak patah dan belum tersambung betul.
Dan kalau mengambil air hati-hati. Tangan kiri diangkat ke atas.
Jangan sampai perban basah. Luka bekas operasi belum kering."
Begitu kata Husna selalu mengingatkan setiap kali Azzam mau
mandi. Husna seolah menjadi ibu Azzam, juga sekaligus perawat
Azzam yang setia, bahkan teman berbagi duka yang tiada duanya.
Jika Husna tidak ada maka Lia dengan setia membantu kakaknya.
Memasuki bulan ketiga Azzam mulai jenuh terus di rumah ia
seperti hidup dalam rumah tahanan. Ia minta pada Husna agar
memanggil Kang Paimo. Lalu ia minta pada Husna agar
menemaninya keliling kota Solo dengan mobil yang dikemudikan
Kang Paimo. Ia tengok warung baksonya yang sempat tutup beberapa
minggu. Husnalah yang berinisiatif agar warung baksonya tetap
buka. Selama Azzam berada di rumah, hampir setiap minggu selalu
ada tamu yang datang mengunjunginya. Baik tamu itu para tetangga,
jamaah pengajian Al Hikam, maupun teman atau kenalan yang datang
mengejutkan. Suatu hari Eliana datang dengan memakai busana
muslimah yang sangat modis. Putri Dubes itu tampak anggun dan
mempesona. Eliana kaget melihat kondisi yang menimpa Azzam dan
keluarganya. Bintang sinetron itu menitikkan air matanya ketika
Husna menceritakan apa yang menimpa keluarganya.
"Innalillahi wa inna ilaihi raaji"un. Ibu telah tiada. Padahal aku
ingin kembali mencium tangannya. Aku bawakan kerudung Turki
untuk ibu. Oleh-oleh dari umroh dua minggu yang lalu." Ucap Eliana
dengan muka sedih. "Jadi syuting film di Solo Mbak?" Tanya Lia.
"Besok insya Allah mulai syuting. Saya datang lebih awal agar
bisa mampir di sini. Ada yang aku rindukan di sini." Jawab Eliana.
"Siapa yang dirindukan Mbak?" Tanya Lia lagi.
"Dia." Kata Eliana sambil menunjuk Azzam. "Entah kenapa
akhirakhir ini hati aku terasa tidak enak. Aku heran kok terbayang dia
selalu. Jawabannya baru aku ketahui setelah sampai di sini."
Lanjutnya. Gadis lulusan EHESS Prancis itu begitu berterus terang
dengan santainya. Azzam merasakan getaran lembut mendengar
perkataan Eliana. Azzam langsung mengingat tunangannya di Kudus
sana. Lia yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya
langsung bertanya, "Apa Mbak mencintai kakak saya?"
Azzam dan Husna kaget mendengar kalimat yang meluncur
dari mulut Lia. Sementara Eliana kaget sesaat namun langsung bisa
menguasai dirinya. Dengan menunduk dia berkata, "Sejak di
Alexandria dulu, ketika aku mau memberinya hadiah ciuman dan dia
tidak mau. Dia bersikukuh memegang teguh prinsip-prinsip Islam
yang diyakininya, aku tahu kakakmu ini orang yang berkarakter dan
berjiwa. Sejak itu aku sudah mencintainya. Tapi aku gengsi untuk
menyampaikan padanya."
"Kalau sekarang setelah kecelakaan ini apa Mbak masih suka
padanya?" "Kecelakaan seperti ini biasa saja. Nanti juga sembuh seperti
sedia kala. Kecelakaan seperti ini hanyalah kecelakaan fisik ringan tak
akan mengubah orang yang hatinya ada cinta. Jika kecelakaannya
adalah kecelakaan moral seperti zina misalnya maka itu akan
menghilangkan cinta. Rasa sukaku masih sama."
"Sayang Mbak Eliana menyampaikan ini semua sudah
terlambat." "Maksud Dik Lia."
"Dia sudah punya tunangan."
Eliana tampak kecewa. "Mungkin memang belum jodohnya."
Ucapnya pelan. *** Suatu hari saat ia jalan-jalan lagi keliling kota Solo, ia mampir di
warung bakso cintanya di UMS. Para karyawannya tampak lesu.
Pengunjung tidak ada seorang pun. Azzam merasa ada yang janggal.
Dengan langkah tertatih-tatih pakai krek Azzam bertanya, "Ada apa
sebenarnya" Kalian tampak lesu tidak bergairah?"
"Kita difitnah Mas?"
"Difitnah apa?"
"Kita difitnah bakso kita ada formalinnya. Bahkan lebih keji lagi
kita difitnah bakso kita dibuat dari cacahan bangkai tikus."
Azzam kaget. "Astaghfirullah Benarkah?"
"Iya. Sudah dua hari ini sepi. Ketika saya tanya pada pelanggan
setia kita dia berterus terang tidak mau lagi beli bakso kita karena
alasan itu." "Kalian tahu siapa yang memfitnah?"
"Tidak Mas. Tapi itulah yang beredar di sekitar kampus."
"Baik. Tenang. Akan aku pikirkan jalan keluarnya. Para mahasiswa
saja mudah dihasut dan difitnah rupanya." Kata Azzam dengan
kening berkerut. Ia harus segera menemukan jalan terbaik untuk
menepis fitnah itu. Kalau tidak usaha andalannya akan gulung tikar.
Azzam langsung pulang ke rumah dan bermusyawarah dengan
Lia dan Husna. "Kita lapor saja ke polisi Kak" Lapor saja sama Si Mahras itu,
biar diuber siapa pemfitnahnya." Usul Lia.
Namun ia merasa bahwa usul Lia belum benar-benar
menyelesaikan masalah. "Kita pindah usaha saja Kak. Usaha yang lain. Kan masih
banyak. Kalau dua hari sama sekali tidak ada yang datang itu artinya
sudah sangat payah. Kalau diteruskan benar-benar akan buntung
kita." Kata Husna. "Itu hanya akan membuat si pemfitnah senang. Memang tujuan
dia membuat fitnah ya agar kita tidak jualan bakso. Aku tak mau
mundur!" Kata Azzam. Ia terus berpikir bagaimana caranya ia seribu
langkah lebih maju dari pesaingnya. Ia yakin yang memfitnahnya
adalah salah satu dari pesaing yang tidak ingin dia bangkit dan maju.
"Aku ketemu ide!" Teriak Azzam.
"Apa itu Kak?" Tanya Lia.
"Kita tunjukkan profesionalitas kita. Orang yang suka
memfitnah dalam bisnis biasanya adalah orang yang tidak
profesional. Orang yang cetek cara berpikirnya. Kita harus lebih maju
dan lebih canggih lagi sehingga fitnahnya hanya akan menjadi kentut
di tengah padang pasir. Alias tidak ada pengaruhnya.
"Terus apa langkah Kakak?" Tanya Husna.
"Kita luruskan isi fitnah itu dengan argumentasi ilmiah. Ketika
kita meluruskan sekaligus kita promosi kecanggihan dan kualitas


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dagangan kita." "Caranya bagaimana Kak?"
"Kita dituduh memakai formalin, terus difitnah memakai
bangkai tikus. Kita harus luruskan itu. Caranya pertama kita berikan
contoh produk kita ke Departemen Kesehatan. Minta keterangan isi
kandungan bakso kita. Sekaligus minta keterangan dari Depkes
bahwa bakso kita adalah bakso yang menyehatkan. Kedua kita
berikan contohnya juga ke MUI kita minta sertifikat halal. Setelah kita
sudah dapat sertifikat dari Depkes dan MUI kita kopi sertifikat itu
dengan minta legalisasi dari Depkes dan MUI kita sebar ke seluruh
penjuru kota Solo. Kita juga akan pasang iklan di Solo Pos kitalah
bakso sehat yang utama dan pertama di Indonesia. Bagaimana?" Kata
Azzam menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuhnya.
"Kakak memang jagonya bisnis!" Seru Lia.
"Baik aku yang ke Depkes dan Lia yang ke MUI Solo, okay?"
sahut Husna. "Okay." Jawab Lia.
Sambil menunggu sertifikat jadi, sementara warung bakso libur.
Begitu sertifikat jadi Azzam langsung membuat semacam grand
opening untuk warung baksonya dengan mengundang para aktifis
kampus dan aktifis dakwah. Ia juga mengundang beberapa
wartawan. Seketika warung baksonya berjubel-jubel pengunjungnya
setelah itu. Keuntungannya dua kali lipat lebih banyak.
Bahkan ada seorang mahasiswa asal Semarang yang tertarik
untuk membuka cabang "Bakso Cinta" di Semarang. Sejak itu Azzam
merasa baksonya layak difranchisekan. Dua cabang langsung ia buka.
Di Semarang dan di Jogjakarta. Dengan ketegaran luar biasa Azzam
bangkit dari keterpurukannya.
Sebenarnya berkali-kali rasa putus asa karena kecelakaan itu
hendak membelitnya, tapi ia sama sekali tidak mau rasa putus asa
sedikit pun menjamah dirinya. Berkenalan pun ia tidak mau dengan
yang namanya putus asa. Ia teringat perkataan Vince Lombard: Once
you learn to quit, it becomes a habit. Sekali saja kamu belajar untuk berputus
asa maka akan menjadi kebiasaan!
Azzam terus bangkit, pelan-pelan ia merasakan kembali gairah
hidup yang sesungguhnya. Setiap kali melihat Husna dan Lia ia
merasa bahwa dirinya masih diberi karunia yang agung oleh Allah
SWT. Husna dan Lia adalah dua permata jiwanya. Ia sangat
menyayangi kedua adiknya itu. Ia berpikir bagaimana jika ia tidak
punya adik mereka. Sanggupkah ia melalui hari-hari dukanya dengan
penuh ketegaran. Betapa banyak ia temukan seorang kakak memilik
adik yang sama sekali tidak hormat pada kakaknya. Adik yang tidak
mencintai kakaknya. Ia bersyukur memiliki adik yang sedemikian
ikhlas merawatnya dan membesarkan hatinya.
Siang itu sepucuk surat datang dibawa oleh Bu Mahbub
untuknya. Ia baca pengirimnya adalah Alviana Rahmana Putri alias
Vivi. Ia buka surat itu dengan penuh penasaran. Ia terkejut di
dalamnya ada cincinnya. Cincin yang dulu dipakaikan ibunya ke jari
Vivi. Ia sudah bisa menerka apa isinya. Tapi ia baca juga:
Yang saya hormati Mas Khairul Azzam Di Kartasura Assalamu"alaikum wr wb
Vivi tulis surat ini, sungguh dengan hati hancur, dan linangan air
mata yang terus mengalir. Harus Vivi katakan sungguh Vivi sangat
mencintai Mas. Tapi inilah Vivi, Siti Nurbaya di abad millenium.
Ibu Vivi punya teman Bu Nyai yang punya putra baru pulang dari
Syiria. Bu Nyai itu melamar Vivi. Dan ibu lebih memilih putra Bu Nyai itu.
Vivi sudah berusaha menjelaskan bahwa Vivi memilih setia pada Mas Azzam.
Tapi ibu malah sakit dan meminta aku untuk memilih di antara dua hal; pilih
ibu atau pilih Azzam. Saat kau baca suratku ini Mas, kau pasti paham kenapa surat ini aku
kirimkan bersama cincin ini.
Maafkan diriku, jika kau anggap aku mengkhianatimu. Terima kasih
atas kebesaran jiwamu. Wassalam, Yang lemah tiada daya Vivi Ia menangis membaca surat itu. Cincin yang telah ! dipakaikan
ibunya di jari Vivi tak ada gunanya. Ia merasa di dunia ini tak ada lagi
orang yang setia pada cinta. Betapa mudah hati berubah-ubah. Ia
tersedu-sedu sendirian di kamar tamu. Pada saat itulah Husna
muncul. Ia serahkan surat itu pada Husna. Seketika Husna
berkata,"Jangan cengeng Kak, apakah kakak tidak ingat kakak
katakan pada pada Vivi ketika dia menjengukmu. Bukankah kakak
mengatakan: Sejak sekarang aku beri kebebasan kepadamu. Kalau kau sabar
menungguku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kau
ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kau boleh menikah
dengan siapa yang kau suka. Kakak harus jadi lelaki sejati yang siap
menghadapi dari setiap kata yang telah diucapkan!"
Kata-kata Husna itu langsung melecut jiwanya. Ia tidak boleh
lemah. Ia harus buktikan pada dunia bahwa ia mampu untuk sukses
dan berguna. Ia kembali mengingat perkataan Vince Lombard:
Sekali saja kamu belajar untuk berputus asa maka akan menjadi
kebiasaan! "Kak, yakinlah hanya jari gadis yang berhati bersih yang akan
menerima cincin itu. Percayalah Kak!" Husna memberi semangat.
"Ya aku percaya adikku. Hanya gadis yang berhati bersih yang
akan menerima cincin ini. Cincin yang dipilih oleh ibu kita tercinta."
"Oh iya Kak. Bagaimana kalau kakak coba memberikan cincin
ini pada Eliana?" Hati Azzam bergetar mendengar usul adiknya. Eliana ya Eliana.
Terakhir bertemu, gadis lulusan Prancis itu datang secara terangterangan menyampaikan rasa cintanya padanya. Apakah mungkin
gadis itu adalah jodohnya" Apakah dirinya siap memiliki isteri
seorang artis yang kecantikannya dinikmati oleh sekian juta pemirsa"
Kecantikan itu jadi milik bersama bukan dirinya saja yang
memilikinya, karena memang kecantikan itu dijual untuk disuguhkan
kepada para pemirsa. Azzam jadi berpikir ketika nama Eliana kembali
disebut-sebut adiknya. Azzam terus menumbuhkan harapan sembuh dalam hatinya. Ia
begitu iri setiap kali melihat ada anak kecil bisa berlari-lari dan
melompat-lompat seenaknya. Ingin rasanya seperti mereka berlari
dan melompat seenaknya karena kedua tulang kaki tidak ada
masalah. Sementara dirinya belum bertumpu pada kaki kirinya. Tak
boleh ada beban untuk kaki kirinya.
Setelah sepuluh bulan lamanya hidup dalam sepi. Dokter
memutuskan Azzam boleh mulai latihan pelan pelan tidak
menggunakan krek. Tapi tetap sebagian besar tumpuan tubuh saat
berjalan dengan krek. Barulah setelah satu tahun Azzam bisa berjalan
normal tanpa krek. Ia sudah kembali bisa mengendarai mobil sendiri.
Azzam kembali aktif ke masjid. Juga aktif kembali memberi
pengajian Al Hikam di Pesantren Daarul Quran Wangen. Setiap kali
Azzam yang mengisi pengajian itu jamaah membludak memenuhi
masjid. Dalam bisnis Azzam juga terus bangkit lebih baik. Bakso
cintanya kini sudah punya sepuluh cabang di luar Solo. Yaitu di
Semarang, Jogja, Salatiga, Klaten, Bandung, Jakarta, Depok, Malang,
Surabaya, dan Kudus. Ia bahkan mulai merambah bisnis percetakan
dan penerbitan. Ia mulai penerbitannya dengan menerbitkan
buku-buku yang ditulis adiknya sendiri yaitu Ayatul Husna.
Lambat laun ia dikenal sebagai entrepreneur muda dari Solo
yang sukses sekaligus dikenal sebagai dai muda yang mampu
menyihir hadirin jika ia sudah ada di atas panggung. Setiap minggu ia
punya rubrik khusus tentang motivasi bisnis Islami di radio Jaya
Pemuda Muslim Indonesia Solo.
Suatu sore setelah shalat ashar di atas mimbar Pesantren Daarul
Quran Wangen ia menjelaskan kandungan perkataan Imam Ibnu
Athaillah As Sakandari, "Jamaah yang dimuliakan Allah, Ibnu Athaillah dalam kitab Al
Hikamnya mengatakan, "Memperoleh buah amal di dunia adalah kabar
gembira bagi orang yang beribadah akan bakal adanya pahala di akhirat."
Maksudnya jika ada orang ikhlas beribadah kepada Allah di dunia ini,
dan orang itu merasakan buahnya ibadah itu misalnya ketenangan
hati, kejernihan pikiran, keluarga yang sakinah, anak-anak yang
shaleh, kerinduan untuk semakin giat beribadah, merasakan
kelezatan ibadah dan lain sebagainya. Itu semua menjadi kabar
gembira bahwa kelak di akhirat akan ada pahala yang lebih lezat,
pahala yang lebih agung dari Allah "Azza wa Jalla."
28 BARAKAH CINCIN IBU "Bagaimana Kak" Mau mencoba memberikan cincin itu pada
Eliana" Kalau kakak malu, biar Husna yang bilang sama dia."
"Na, hatiku masih bimbang."
"Insya Allah dia bisa jadi isteri yang baik. Aku sudah baca di
koran dia sudah berniat tidak akan melepas jilbabnya setelah umrah."
"Dunia yang kuimpikan rasanya berbeda dengan dunia yang
diimpikannya. Aku juga belum menerima kecantikan isteriku setiap
hari dinikmati jutaan orang. Di antara jutaan orang itu mungkin ada
yang membayangkan yang bukan-bukan ketika melihat wajah
isteriku di layar kaca. Entah kenapa aku belum bisa. Mungkin aku ini
kolot dan koneservatif. Ya inilah aku. Jelas Azzam pada Husna.
"Husna paham yang Kak Azzam inginkan. Bagaimana kalau
Kak Azzam coba cari di pesantren. Kan ada ribuan santriwati di Solo
dan sekitarnya ini. Kakak minta tolong aja sama pengasuhnya. Minta
satu saja santriwatinya. Masak sih tidak juga ada satu orang pun yang
mau." "Mungkin ini juga ikhtiar yang harus kakak tempuh."
"Ya coba saja Kak. Kata orang Arab yang sering Husna dengar dari
para ustadz man jadda wajada. Siapa yang sungguh-sungguh akan
mendapatkan apa yang diinginkannya."
"Benar Dik. Tapi enaknya ke pesantren mana ya?"
"Menurut Husna ya dimulai yang paling dekat dan paling dikenal.
Tak ada salahnya dicoba dulu Pesantren Wangen."
"Masak muternya ke Pesantren Wangen lagi?"
"Kenapa memangnya?"
"Malu sama Kiai Lutfi."
"Malu kalau dikira mau melamar anaknya yang janda" Ya kakak
jelaskan saja minta santriwatinya. Kakak jelaskan apa adanya. Minta
santriwati yang cocok untuk kakak. Pak Kiai pasti akan bijak dan
legowo. Banyak juga kok kak santriwati di Wangen yang tak kalah
dengan Vivi." Husna mencoba menyemangati kakaknya.
"Oh ya kak hampir lupa. Husna pernah hutang sama Anna lima
juta untuk biaya administrasi rumah sakit. Mumpung ingat. Kakak
bayarkan ya. Kalau bisa hari ini biar tidak lupa lagi. Tidak enak
rasanya. Sudah hampir satu tahun lho kak. Jangan-jangan Anna
sebenarnya perlu dengan uang itu tapi malu menagihnya."
"Baik nanti sore insya Allah kakak akan ke sana."
*** Sore itu Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur membantu putrinya
Mengemasi dan merapikan barang-barang yang akan dibawa terbang
ke Cairo. Sudah satu tahun lebih Anna di Indonesia. Tesis yang
ditulisnya sudah dua pertiga. Tinggal sepertiga lagi hendak
dirampungkan di Mesir. "Jangan lama-lama di sana ya Nduk?" Tanya Pak Kiai Lutfi.
"Insya Allah Bah. Anna akan berusaha secepatnya. Yang sering
jadi kendala itu justru administrasi di Fakultas yang sering berbelit
dan molor Bah. Sering juga yang jadi kendala adalah promotor yang
sering terbang ke luar negeri. Sebab-sebab itu yang seringkali
membuat tesis jadi tidak selesai-selesai. Ya doakan saja Bah."
"Tak pernah putus Abah dan Ummimu berdoa untukmu
anakku. Oh jadinya naik apa ke Caironya?"
"Kata teman yang mengurus di Jakarta naik Etihad Bah. Katanya
itu sekarang yang paling murah."
Mereka bertiga ada di ruang tengah. Ruang itu dengan ruang
tamu disekat dengan kaca riben hitam tebal. Sehingga dari ruang
tengah bisa melihat ruang tamu dan tidak sebaliknya. Hanya bertiga
mereka menata pakaian, oleh-oleh, dan buku-buku yang akan dibawa
Anna ke Cairo. "Kalau di Cairo kau rasa ada yang cocok untuk jadi suami ya
tidak apa-apa kau nikah di sana Nduk. Kau kan sudah janda, sudah
lebih bebas menentukan pilihanmu. Nanti Abah bisa kirim surat
taukil32 ke KBRI untuk menikahkan kamu." Seloroh Pak Kiai Lutfi.
"Anna agak trauma dengan pilihan Anna Bah. Anna sudah
berjanji pada diri Anna sekarang Anna serahkan pada Abah dan
Ummi siapa yang akan mendampingi hidup Anna. Sekarang Anna
sudah tidak sedikitpun mempertimbangkan fisik lagi. Ibaratnya kalau
ada orang buta jadi pilihan Abah, Anna akan terima dengan
kelapangan hati."Jawab Anna.
"Masak Ummi sama Abah mau memilihkan yang begitu
untukmu." Tukas Bu Nyai Nur.
"Itu ibarat saja Mi. Tapi seandainya benar juga tidak ada
masalah. Orang buta, apalagi butanya sejak kecil malah tidak banyak
maksiat. Di Mesir banyak guru besar yang buta. Tapi keilmuan dan
ketakwaannya luar biasa."
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba..."Assalamu
"alaikum". Pak Kiai Lutfi, Bu Nyai dan Anna spontan melihat ke arah pintu
depan. Mereka agak kaget ketika tahu siapa yang datang. Azzam.
Setelah menjawab salam, Pak Kiai Lutfi langsung bangkit dan
menemui tamunya. Azzam mencium tangan Kiai Lutfi dengan rasa
ta"zhim. Anna melihat apa yang dilakukan Azzam. Entah kenapa hati
Anna berdesir-desir. 32 Surat kuasa mewakilkan. "Dari mana Zam?" Pak Kiai Lutfi membuka percakapan sambil
menyandarkan punggungnya di sofa yang terbuat dari busa.
"Biasa Pak Kiai, dari warung bakso. Namanya juga penjual
bakso." "Wah besok kalau kau punya anak bakal senang itu anakmu.
Tiap hari bisa makan bakso. Habis bakso kau buka saja warung pecel
lele. Biar tiap hari makan Lele. Sampai mukanya kaya Lele. He... he...
he...!" "Wah Pak Kiai ini bisa saja kalau bercanda." Sahut Azzam
sambil tersenyum. Di dalam Bu Nyai Nur dan Anna tersenyum mendengar cara
Kiai Lutfi bercanda. "Nduk, Abahmu itu bisa saja bercanda. Oh ya Nduk, Ummi ke
belakang dulu. Ummi lupa mengambil jemuran. Sri belum pulang."
Kata Bu Nyai setengah berbisik.
"Biar Anna saja yang mengambilnya Mi." Lirih Anna "Tidak
usah, biar Ummi saja. Kau teruskan saja mengemasi
barang-barangmu." "Bagaimana dengan kesehatanmu Zam?"
"Alhamdulillah sudah baik semua Pak Kiai. Seperti yang Pak Kiai
lihat, saya sudah bisa berjalan seperti semula. Tangan yang patah
sudah tersambung seperti semula. Dan tulang iga yang patah juga
sudah baik lagi. Rongent terakhir semuanya sudah tak ada masalah
menurut dokter. Hanya saja pen-nya belum diambil. Mungkin ya
diambil satu dua tahun lagi."
"Alhamdulillah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Terus
ngomong-ngomong ini ada perlu apa kamu sore ini kemari. Kok


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya agak berbeda dengan biasanya?"
"Begini Pak Kiai, ternyata kami masih punya hutang sama Anna.
Hampir kelupaan. Mohon sampaikan maaf pada Anna. Dulu Husna
pernah pinjam uang lima juta pada Anna untuk bayar administrasi
rumah sakit. Ini saya datang untuk membayar hutang itu." Azzam
menjelaskan maksud kedatangannya.
Di dalam, Anna sangat berharap agar ayahnya menolak uang
itu. Agar uang itu dianggap lunas saja. Tapi Kiai Lutfi justru
menjawab, "Ini namanya rezeki. Kau datang tepat waktu Zam.
Kebetulan Anna mau pergi jauh. Itu bisa untuk uang saku baginya.
Terima kasih Zam." "Pergi ke mana, kalau boleh tahu Pak Kiai?"
"Kembali ke Cairo. Dia mau menyelesaikan S2-nya.
"Alhamdulillah, semoga segera selesai. Ummat ini memerlukan
ahli fiqh seperti Anna. Kalau perlu dia harus sampai doktor Pak Kiai.
Saya sangat kagum padanya saat melihatnya jadi moderator."
"Di mana?" "Di Auditorium Shalah Kamil. Bahasa Arab dan Inggrinya
bagus. Dia sampai jadi pembicaraan para mahasiswa di kampus lho
Pak Kiai. Sampai ada yang ingin menyuratinya. Ada saja yang ingin
meminangnya, dan lain sebagainya. Namanya juga anak muda."
"Dan kau juga ikut membicarakannya?"
"Kalau saya ya beraninya dalam batin saja Pak Kiai. Lha saya ini
siapa, saat itu hanya dikenal mahasiswa yang tidak lulus-lulus karena
jualan bakso. Mana berani ikut ikutan memmbicarakan dia."
Anna jadi teringat dengan seminar sehari tentang Ulama
Permpuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI,
Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil Universitas Al Azhar.
Sebuah seminar akbar yang dikuti oleh mahasiswa Asia Tenggara
yang ada di Mesir. Dan saat itu ia didaulat untuk jadi moderatornya.
Anna berkata dalam hati, "Oh ternyata dia juga ikut seminar itu,
pantas dia tahu." "O iya Pak Kiai, saya masih ada perlu satu lagi." Kata Azzam
sambil memandang wajah Kiai Lutfi. Wajah itu tampak begitu teduh
dan sejuk. "Apa itu?" "Saya mau sedikit minta tolong pada Pak Kiai. Begini Pak Kiai,
cincin ini yang membeli dan memilih adalah almarhumah ibu." Kata
Azzam dengan bibir bergetar. Jantungnya mulai berdegup semakin
kencang. "Azzam sudah berikhtiar pelbagai macam jalan dan acara untuk
menemukan jari yang cocok memakai cincin ini. Terakhir sudah
terpasang cincin ini pada jari seorang gadis dari Kudus. Dan tinggal
menunggu hari akad nikah ternyata musibah jadi penghalang. Cincin
ini dikembalikan. Dan gadis itu menikah dengan orang lain."
"Pak Kiai, sore ini Azzam datang kemari juga dalam rangka
ikhtiar mencari jari siapa yang cocok dan pas menerima cincin ini. Di
sini ada ratusan santri perempuan tidak adakah satu orang saja yang
pantas dan mau memakai cincin ini"
"Pak Kiai, Azzam titipkan cincin ini pada Pak Kiai sebab Azzam
merasa berat untuk menyimpannya, begitu Pak Kiai merasa ada yang
pantas memakainya silakan Pak Kiai pakaikan di jarinya. Azzam akan
sami"na wa atha"na. Azzam akan memejamkan mata dan ikut pada apa
yang Pak Kiai pilihkan."
Dengan penuh pasrah Azzam menyerahkan cincin yang
dibelikan ibunya itu pada Kiai Lutfi. Tak jauh dari situ, hanya
beberapa meter saja jaraknya, di balik kaca hitam pekat tak terlihat,
seorang perempuan bermata indah mendengarkan kalimat-kalimat
Azzam dengan hati penuh harap. Penuh harap agar cincin itu
disematkan saja dijarinya. Kiai Lutfi langsung paham apa maksud
Azzam menyerahkan cincin itu padanya.
"Nak, aku mau cerita, sebuah kisah nyata, maukah kau
mendengarkan?" Kata Kiai Lutfi.
"Ya Pak Kiai, dengan senang hati dan lapangnya dada."
"Ada seorang gadis yang halus hatinya. Patuh dan bakti pada
kedua orang tuanya. Apapun yang diinginkan orang tuanya pasti
dikabulkannya. Gadis itu shalihah insya Allah. Gadis itu sangat takut
pada Tuhannya. Cinta pada nabinya. Bangga dengan agama yang
dipeluknya. Suatu hari gadis itu dilamar pemuda yang dianggapnya
akan membahagiakannya. Ia menerima lamarannya. Kedua orang
tuanya merestuinya. Nikahlah gadis itu dengan sang pemuda. Hari
berjalan. Bulan berganti bulan. Orang tuanya beranggapan bahwa
putrinya telah menemukan kebahagiaannya. Tenyata anggapan itu
tidak sama dengan kenyataan. Enam bulan menikah pemuda yang
menikahinya tidak mampu melakukan tugasnya sebagai suami. Gadis
itu masih perawan. Masih suci. Pemuda itu lalu menceraikannya.
Sejak sekarang pertanyaanku. Maukah kau menikah dengan gadis
itu?" Hati Anna bergetar hebat. Air matanya meleleh. Hatinya penuh
harap semoga Azzam menerima gadis itu. Sebab gadis yang
diceritakan Abahnya pada Azzam adalah dirinya.
"Dia shalihah Pak Kiai?"
"Insya Allah.". "Jika Pak Kiai yang menjamin, maka saya mau!"
"Kau tidak ragu?"
"Saya mau tanya pada Pak Kiai apa dia menurut Pak Kiai pantas
untuk saya dan saya pantas untuknya?"
"Insya Allah." "Kalau begitu saya tidak ragu sama sekali Pak Kiai."
"Baiklah kalau begitu shalatlah maghrib di sini. Dirimu akan aku
nikahkan dengan gadis itu bakda shalat maghrib. Yang jadi saksi
adalah masyarakat yang jamaah di sini dan para santri. Maharnya
cincin emas ini." "Masalah surat-surat resminya Pak Kiai?"
"Itu gampang. Besok langsung diurus di KUA. Ketua KUA nya
malah biasanya shalat maghrib di sini. "
"Kenapa tidak besok sekalian Pak Kiai?"
"Cincinmu ini amanah bagiku Nak, aku khawatir nyawaku tidak
sampai besok pagi sehingga aku tidak bisa menunaikan amanahmu."
"Kalau boleh tahu, gadis itu asal mana, dan siapa namanya Pak
Kiai?" "Dia asli Wangen sini, dia putriku sendiri namanya Anna
Althafunnisa." "Anna Pak Kiai?"
"Iya. Apakah kau keberatan aku nikahkan dengan Anna?"
"Tidak Pak Kiai." Jawab Azzam dengan linangan air mata.
"Tapi Pak Kiai?"
"Tapi apa?" "Bagaimana dengan iddahnya."
"Sudah lama terlewati masa iddahnya. Kamu tak usah
mengkhawatirkan masalah itu. Dia telah menikah tapi sampai
sekarang masih perawan. Dia janda, tapi janda kembang. Janda yang
mahkota kewanitaannya masih utuh. Dia sama saja belum pernah
menikah sebenarnya."
"Maaf apa sebaiknya tidak ditanyakan dulu ke keluarga Furqan.
Siapa tahu Furqan sudah sembuh. Terus ingin rujuk pada Anna. Dan
siapa tahu sebenarnya Anna ingin rujuk pada Furqan. Sebab Furqan
itu teman baik saya, Pak Kiai. Saya tidak ingin menikah di atas
penderitaan orang lain. Apalagi teman saya sendiri."
"Anna sudah berkali-kali bilang tidak mungkin lagi mau rujuk
pada Furqan. Dan Anna sudah menyerahkan urusan jodohnya pada
Abahnya ini. Dia bahkan bilang seandainya orang buta sekalipun
yang aku bawakan padanya, dia akan taat. Jadi tidak ada masalah
sama sekali." "Apa harus habis maghrib ini Pak Kiai?"
"Apa kau tidak siap?" Tantang Pak Kiai Lutfi.
Di balik dinding kaca hitam, Anna Althafunnisa menahan
harunya. Ia mendengar percakapan Azzam dengan Abahnya dengan
dada bergetar. Ia sangat berharap pernikahannya dengan Azzam
benarbenar terjadi setelah shalat maghrib.
"Baik, saya siap Pak Kiai!" Jawab Azzam mantap.
Anna langsung sujud syukur dengan tubuh bergetar karena
merasakan anugerah yang datang begitu tiba-tiba. la teringat kembali
pertemuannya dengan Azzam pertama kali waktu ditolongnya
dengan taksi. Ia ingat kembali saat ia menanyakan namanya;lalu ia
menunduk dan hanya memperkenalkan namanya dengan
mengatakan: Abdullah. Ia sangat berteri kasih dan kagum pada
pemuda itu ketika itu. Sampai kini pemuda itu akan menikahinya.
Sementara Azzam berusaha keras untuk menahan air matanya.
Ia tidak mau air matanya meleleh di depan calon mertuanya. Ia ingat
pertama kali mendengar nama Anna dari Pak Ali, sopir KBRI. Lalu ia
cari informasi. Ternyata Anna adalah bintangnya mahasiswi
Indonesia yang ramai dibicarakan dan didambakan orang. Ia nekat
meminangnya lewat Ustadz Mujab, tapi Ustadz Mujab memberikan
jawaban yang tidak pernah dilupakannya.
Ia masih ingat betul kata-kata Ustadz Mujab:
"Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh aku ingin
membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak menghendaki aku bisa
membantumu kali ini. Anna Althafunnisa masih terhitung sepupu denganku.
Aku tahu persis keaadaan dia saat ini. Sayang kau datang tidak tepat pada
waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh
temanmu sendiri." Allahlah yang mengatur hidup ini. Kalau memang jodohku
adalah Anna Althafunnisa seperti apapun berliku adanya maka akan
sampai pada jodohnya. Itulah yang ada di benak Azzam. Meski ia
berusaha menahan,tapi matanya tetap berkaca-kaca.
Langit cerah. Ufuk barat memerah. Angin berhembus. Daun
mangga jatuh. Senja bertasbih. Burung-burung pulang ke sangkarnya
dengan bertasbih. Para santri di masjid ada yang menghafal Alfiyah,
ada yang membaca Al Quran, ada yang membaca ma"tsurat, dan ada
juga yang memilih duduk menghadap kiblat dengan bertasbih.
Azan maghrib berkumandang. Azzam menjawab panggilan
azan dengan hati bergetar. Jiwanya ia pasrahkan semuanya kepada
Allah. Sementara Anna bersiap dengan mukena putihnya. Ia larut
dalam zikir mengagungkan Allah.
Senja itu langit cerah. Angin mengalir dari sawah.
Bintang-bintang bertasbih. Shalat didirikan. Selesai shalat Kiai Lutfi
naik mimbar, setelah membaca hamdalah dan shalawat pengasuh
pesantren itu memberikan pengumuman singkat,
"Jamaah shalat maghrib, santri-santriku yang aku sayangi. Malam ini
pengajian tafsir Jalalain waktunya diganti bakda Isya. Insya Allah bakda
maghrib ini akan ada peristiwa bersejarah yang penting. Yaitu saya akan
menikahkan Anna Althafunnisa dengan Khairul Azzam. Saya mohon kepada
semua yang ada di masjid ini untuk menjadi saksi!"
Setelah itu Pak Kiai turun dan memanggil Azzam untuk maju ke
depan. Azzam maju dengan langkah gemetaran. Lebih dari seribu
mata santri memandang ke arahnya. Pak Kiai duduk di depan
mihrab. Azzam duduk tertunduk di hadapannya. Pak Kiai
memanggil seorang santri senior bernama Hamid, seorang pria
berumur empat puluh lima tahunan bernama Pak Fadlun. Pak Fadlun
adalah kepala KUA Kecamatan Polanharjo. Sebelum akad Pak Kiai
berkata pada Pak Fadlun, "Tolong Pak Fadlun sampeyan jadi saksi, dan
sekalian kau catat dan kau buatkan surat nikahnya. Persyaratan
berkasberkasnya menyusul ya."
"Inggih Pak Kiai." Jawab Pak Fadlun.
Azzam mendengar percakapan itu. Hatinya semakin mantap. Di
lantai dua, Anna menanti detik-detik membahagiakan itu dengan
tidak sabar. Ia segera ingin resmi jadi isteri Azzam, agar status
jandanya segera hilang. Pak Kiai memulai prosesi akad nikah. Sebelumnya ia
membatakan khutbah nikah secara singkat. Semua dalam bahasa
Arab. Khutbah nikahnya baginda Nabi ketika menikahkan Fatimah
dengan Ali. Khutbah yang ditulis banyak ulama dalam kitab-kitab
fiqh. Lalu Kiai Lutfi berkata kepada Azzam,"Ya Khairul Azzam, anikahtuka wa
tazwijatuka binti Anna Althafunnisa bi mahri al khatam min dzahab
haalan"33 "Qiiiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur haalan 34" Jawab
Azzam spontan. Di lantai dua Anna langsung memeluk Umminya
yang ada di samping. Ibu dan anak larut dalam tangis bahagia.
"Ummi, Anna sudah punya suami lagi. Anna tidak janda lagi.
Dan suami Anna kali ini adalah orang yang sebenamya selama ini
Anna cintai." Kata Anna setengah berbisik pada ibunya.
"Iya Nduk, alhamdulillah."
Selesai akad Pak Kiai membaca doa, yang diamini semua santri
yang memenuhi masjid itu. Setelah itu para santri menyalami Azzam
dengan senyum mengembang. Pak Kiai hendak membawa Azzam ke
rumah untuk menemi isterinya.
Azzam menjawab, "Perkenankan saya i"tikaf Pak Kiai sampai
Isya." "Jangan panggil Pak Kiai lagi. Panggillah Abah. Sekarag kau
menantuku Zam." "Baik Abah." Pak Kiai tetap pulang, dan meminta isteri dan anak putrinya
menyiapkan sesuatu yang bisa digunakan untuk menyambut sang
menantu setelah shalat Isya".
33 "Wahai Khairul Azzam, aku nikahkan dan aku kawinkan kamu dengan
putriku Anna Althafunnisa dengan mahar cincin emas dibayar
tunai." 34 "Aku terima menikah dan mengawininya dengan mahar tersebut
dibayar tunai." 29 DAN CINTA PUN BERTASBIH Anna tidak sabar untuk segera bertemu Azzam. Selesai shalat
Isya ia berharap Azzam akan dibawa Abahnya langsung ke rumah.
Tapi Abahnya malah meminta Azzam untuk memberikan pengajian
Tafsir Jalalain. Dengan agak berat Azzam maju ke mimbar pesantren.
Ia meminjam kitab Tafsir seorang santri. Di atas mimbar setelah
membaca hamdalah, Azzam berkata,
"Para santri Pesantren Wangen yang saya cintai. Jujur saya tidak
siap untuk membacakan Tafsir Jalalain. Saya tidak punya persiapan
apaapa. Saya tidak mau ngawur dalam memahami tafsir ayat-ayat
suci Al-Quran. Sebagai gantinya saya akan sedikit bercerita saja.
Semoga ada gunanya. Saya awali dari sebuah kisah yang sangat menggugah saya.
Suatu siang, saat saya masih kuliah di Universitas Al Azhar Kairo,
sekitar tahun 1999 saya membeli majalah Al ij"uu Al Islami yang
diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Kuwait. Sampai di flat, karena
lelah, yang saya baca dulu adalah suplemen majalah itu. Yaitu
majalah tipis untuk anak, namanya Bara"imul Iman.
Dalam keadaan lelah saya memang biasa membaca bacaan yang
ringan dan menghibur. Pokoknya harus tetap membaca. Termasuk
majalah anak-anak. Bahkan, saat itu saya juga sering membaca komik
Donal Bebek versi bahasa Arabnya. Selain ringan, lucu, menghibur,
seringkali saya juga menemukan kosa kata baru dan lucu dalam
bahasa Arab. Jadi dalam lelah pun masih tetap bisa mendapatkan
manfaat berlipat. Di majalah Bara"imul Iman yang saya pegang itu saya
menemukan sebuah kisah yang sangat bergizi dan memotivasi.


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah kisah fabel yang sangat menggugah dan inspiratif judulnya
Kisah Seekor Anak Singa. Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang
mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup
tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian
serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu
menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing
tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan
hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan
melindungi bayi singa itu.
Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan
membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan
hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah
dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk
kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan
kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam
asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia
menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing
lainnya. Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa
yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya
kambing yaitu mengembik bukan mengaum!
la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan
kambingkambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa
dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas
masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing
berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga
ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.
"Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan
aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!" Kata
induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
Tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah
komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di
balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang
keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing
yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa
ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara
sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan
serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah,
"Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa
menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang
jahat itu!" Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan
maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada
serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa
sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali
memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing
tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing
tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat
induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram
serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala
kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia
melepaskan cengkeramannya.
Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia
merasa hari itu adalah akhir hidupnya!
Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak
keras, "Emmbiiik!"
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk
menyeruduk lagi. Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu
langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang
bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing.
Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan
siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental
kambing itu! Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan
kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan
kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu
merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu
terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara
induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang
luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu
kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan"
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak
singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa
anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega,
dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala
terpelanting. Anak singa bangun.
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman
yang dahsyat! Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga
ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari
terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing
itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak
singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa
itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak
singa itu ikut lari mengikuti kambing" Ia mengejar anak singa itu dan
berkata, "Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku
tak akan memangsa anak singa!"
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus
mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah
mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa
itu ketakutan, "Jangan bunuh aku, ammpuun!"
"Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh
anak singa!" Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, "Tidak aku anak
kambing! Tolong lepaskan aku!"
Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan
auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada
anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram
ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa
sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya,
ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu
membandingkan dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, "Oh,
rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja
hutan!" "Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak
kambing!" Tegas singa dewasa.
"Jadi aku bukan kambing" Aku adalah seekor singa!"
"Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan
ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi
seekor raja hutan!" Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh
wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan,
dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero
hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia
ketakutan mendengar auman anak singa itu.
Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, "Aku
adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!"
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
Saya tersentak oleh kisah anak singa di atas! Jangan jangan
kondisi kita, dan sebagian besar orang di sekeliling kita mirip dengan
anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan
potensi terbaik yang dimilikinya.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya,
biasabiasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh
siapa dirinya sebenarnya. Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah
yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat
hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang
dimilikinya. Saya amati orang-orang di sekitar saya. Di antara mereka ada
yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif.
Sangat faham untuk apa ia hidup dan bagaimana ia harus hidup. Hari
demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi
detik yang dilaluinya adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia.
Semakin besar rintangan menghadap semakin besar pula
semangatnya untuk menaklukkannya.
Namun tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa
adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak faham untuk apa
dia hidup, dan bagaimana ia harus hidup. Saya sering mendengar
orang-orang yang ketika ditanya, "Bagaimana Anda menjalani hidup
Anda?" atau "Apa prinsip hidup Anda?", mereka menjawab dengan
jawaban yang filosofis, "Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air. Santai saja."
Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi "mengalir
bagaikan air". Mereka memahami hidup mengalir bagaikan air itu ya
hidup santai. Sebenarnya jawaban itu mencerminkan bahwa mereka
tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang
berkualitas. Sebab mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka"
Potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada
mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah "seekor singa" tapi tidak
tahu kalau dirinya "seekor singa . Mereka menganggap dirinya adalah
"seekor kambing sebab selama ini hidup dalam kawanan kambing.
Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai
dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang
prototipe, gaya hidup sebagian besar penduduk negeri ini. Bahkan bisa
jadi itu adalah gaya hidup sebagian besar masyarakat dunia Islam
saat ini. Ketika saya pulang kampung, setelah sembilan tahun
meninggalkan kampung halaman untuk belajar di Cairo, saya
menemukan tidak ada perubahan berarti di kampung halaman saya.
Cara berpikir masyarakatnya masih sama. Cara hidupnya masih sama
saja. Pak Anu yang ketika saya masih di SD dulu kerjanya menggali
sumur, sampai saya pulang dari Mesir, bahkan sampai saat saya
berdiri di mimbar ini juga berprofesi menggali sumur. Bu Anu yang
dulu kerjanya menjual air memakai gerobak sampai sekarang juga
tidak berubah. Mbak Anu yang dulu jualan krupuk sambal di dekat
SD sampai sekarang juga masih di sana dan berjualan dagangan yang
sama. Bahkan teman-teman yang dulu ketika di bangku sekolah dasar
terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah bercita-cita mau jadi
ini dan itu dan saya berharap ia telah meraih cita-citanya sekian tahun
berpisah ternyata jauh panggang dari api. Orang-orang yang dulu
hidup memprihatinkan ternyata sampai sekarang tidak berubah.
Kenapa tidak berubah"
Jawabnya karena mereka tidak mau berubah.
Kenapa tidak mau berubah"
Jawabnya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus
berubah. Bahkan kalau mereka tahu mereka harus berubah, mereka
tidak tahu bagaimana caranya berubah. Sebab mereka terbiasa hidup
pasrah. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Dan cara hidup
seperti itu yang terus diwariskan turun-temurun.
Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat kondisi
bangsa yang sedemikian akut rasa tidak berdayanya sampai dia
mengatakan, "Aku malu jadi orang Indonesia!"
Di mana-mana, kita lebih banyak menemukan orang orang
bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah. Orang-orang
yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Orang-orang yang rela ditindas dan dijajah oleh kesengsaraan dan
kehinaan. Padahal sebenarnya jika mau, pasti bisa hidup merdeka,
jaya, berwibawa dan sejahtera.
Tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri ini yang
bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah singa!
Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti mindernya
anak singa bermental kambing pada serigala dalam kisah di atas.
Padahal sebenarnya, Bangsa ini adalah bangsa besar! Ummat ini
adalah ummat yang besar! Bangsa ini sebenarnya adalah singa dewasa yang sebenarnya
memiliki kekuatan dahsyat. Bukan bangsa sekawanan kambing.
Sekali rasa berdaya itu muncul dalam jiwa anak bangsa ini,
maka ia akan menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah singa yang
tidak boleh diremehkan sedikitpun.
Bangsa ini sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa menguasai
nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang digjaya dan
adikuasa. Lebih dari itu bangsa ini, sebenarnya, dan ini tidak
mungkin disangkal, adalah ummat Islam terbesar di dunia. Ada dua
ratus juta ummat Islam di negeri tercinta Indonesia ini.
Banyak yang tidak menyadari apa makna dari dua ratus juta
jumlah ummat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar. Dianggap
biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri sesungguhnya.
Dua ratus juta ummat Islam di Indonesia, maknanya adalah dua
ratus juta singa. Penguasa belantara dunia. Itulah yang sebenarnya.
Sayangnya, dua ratus juta yang sebenarnya adalah singa justru
bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing. Bukan
layaknya singa. Lebih memperihatinkan lagi, ada yang sudah
menyadari dirinya sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap
menjadi kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing maka ia
malu menjadi singa! Malu untuk maju dan berprestasi!
Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih tetap
menjadi kambing itu menginginkan yang lain tetap menjadi kambing.
Mereka ingin tetap jadi kambing sebab merasa tidak mampu jadi
singa dan merasa nyaman jadi kambing. Yang menyedihkan, mereka
tidak ingin orang lain jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi
kambing yang lebih bodoh!
Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah telah
memberi predikat kepada kita sebagai ummat terbaik di muka bumi
ini. Marilah kita bermental menjadi ummat terbaik. Jangan bermental
ummat yang terbelakang. Allah berfirman, "Kalian adalah sebaik-baik
ummat yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh berbuat
yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.!"35
Wassalamu"alaikum warahmatullahi wabarakatuh!"
Pidato motivasi yang disampaikan Azzam membuat dada para
santri membara oleh semangat. Ketika Azzam turun, ia langsung
disambut dengan takbir yang menggema di seluruh masjid. Pak Kiai
Lutfi langsung memeluknya erat-erat dan mengatakan, "Aku cinta
padamu Nak! Ini aku hadiahi kamu sorban yang paling kucintai,
sorban pendiri pesantren ini!" Azzam menerima sorban itu dengan
linangan air mata. *** Dengan hati bergetar Azzam mengiringi Kiai Lutfi ke rumah.
Ia lihat dengan ujung matanya Anna dan Umminya sudah masuk


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duluan. Ia sudah punya isteri. Inilah rezeki yang tidak di
sangka-sangka datangnya. Begitu sampai Bu Nyai Nur langsung berkata kepadanya,
"Langsung naiklah ke atas Nak! Isterimu sudah menunggu di sana. Di
atas cuma ada dua kamar, perpustakaan dan kamar isterimu. Kamar
isterimu yang ada di sebelah kanan. Yang pintunya ada tulisannya
Anna ." Azzam agak ragu. 35 Ali Imran: 110 "Jangan ragu, naiklah! Ini juga rumahmu." Kata Kiai Lutfi
menguatkan. Azzam naik ke atas. Hatinya berdegup kencang ketika sampai di
sebuah kamar yang ada tulisannya Anna. Ia ketuk kamar itu pelan
sambil mengucapkan salam. Ada suara yang bening menjawab dari
dalam. Pintu terbuka perlahan. Dan tampaklah bidadari itu di
hadapannya. Azzam masuk. Anna mengunci pintunya. Azzam
memandang Anna dengan mata berkaca-kaca. Anna memakai jilbab
dan baju birunya. Jilbab dan baju biru yang ia kenakan saat pertama
bertemu di Cairo. Saat ia menolong gadis yang kini jadi isterinya itu
dengan memberinya tumpangan taksi.
Anna menunduk malu. Dalam terpaan temaram cahaya lampu
tidur Anna tampak begitu jelita. Bau harum wangi yasmin merasuk
jiwa. Azzam maju dan mengangkat wajah isterinya, lalu lirih berkata,
"Apakah kau ridha dinikahkan Abahmu denganku?"
Anna menganggukkan kepala. Ternggorokannya tercekak haru.
Ia seperti tak mampu bicara.
"Kalau begitu duduklah, aku akan membacakan doa barakah."
Anna menuruti perintah Azzam. Ia duduk di samping ranjang.
Azzam duduk di samping isterinya. Ia meletakkan sorban pemberian
Kiai Lutfi ke ranjang, lalu pelan tangan kanannya memegang ubunubun isterinya dan membacakan doa barakah yang diajarkan
Rasulullah. Ann mengamini dengan air mata meleleh.
"Ayo kita sholat dulu!"
"Baik Mas." Mereka mengambil air wudhu lalu shalat. Selesai shalat Azzam
berdoa lagi. Anna mengamini. Setelah itu perlahan Anna melepas
mukenanya. Di balik mukena Anna memakai baju dan bawahan biru.
Azzam berdiri dan berkata pada Anna,
"Maaf Dik, aku harus pulang."
"Pulang ke mana?"
"Ke Sraten. Kasihan Husna dan Lia."
"Mas tidak boleh pulang. Malam ini harus tidur di kamar ini."
"Mereka nanti cemas kalau Mas tidak pulang."
"Jangan khawatir Husna tadi sudah aku beritahu lewat
handphone, sebelum Mas masuk kamar ini. Dia titip salam."
"Tapi aku harus pulang, ada urusan yang Husna tidak tahu."
"Apa itu?" "Memberi bumbu adonan bakso."
"Apakah bakso itu lebih berharga dari isterimu ini Mas."
"Tidak Dik, tentu kau lebih berharga. Bahkan dibanding dengan
dunia seisinya." "Kalau begitu sekarang lakukanlah tugasmu sebagai seorang
suami." Ucap Anna pelan. Jari-jari Anna memegang kancing baju
birunya. Azzam melihat dengan hati bergetar. "Tunggu isteriku!"
"Kenapa?" Azzam maju lalu perlahan mencium kening
isterinya. Dengan suara halus Azzam berkata kepada isterinya, "Ini
bukan tugasmu, ini tugas suamimu!" Ia merebahkan isterinya
pelan-pelan. Dengan mata berlinang Anna berkata, "Mas Azzam, aku
punya puisi untukmu, mau kau mendengarkan?"
Azzam mengangguk dengan tangan terus bekerja untuk
menyempurnakan ibadah dua insan yang dimabuk cinta. Anna
berkata kepada Azzam: Kaulah kekasihku Bukalah cadarku Sentuh suteraku Muliakan
mahkotaku Nikmati jamuanku Jangan khianati aku!
Azzam tersenyum, lalu mencium kembali kening isterinya. Lalu
ia membalas, Bismillah, Kemaril ah cintaku Akan kubuka cadarmu dengan cintaku
Akan kusentuh suteramu dengan cintaku Akan kumuliakan mahkotamu
dengan cintaku Dan kunikmati jamuanmu dengan cintaku Tak mungkin aku
mengkhianatimu Karena aku cinta padamu
Kedua insan itu bertasbih menyempurnakan ibadah mereka
sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti sunnah para nabi dan
rasul yang mulia. Malam begitu indah. Rembulan mengintip malu di
balik pepohonan. Rerumputan bergoyang-goyang bertasbih dan
bersembahyang. Malam itu Azzam dan Anna merasa menjadi hamba
yang sangat disayang Tuhan.
Selesai shalat subuh, Azzam membaca Al Quran disimak oleh
isterinya tersayang. Setengah juz ia baca dengan tartil dan penuh
penghayatan. Ia telah melewatkan malam yang tak akan terlupakan
selama hidupnya. Anna tampak begitu ranum dan segar. Senyumnya
mengembang ketika suaminya selesai membaca Al Quran.
"Mau apa pagi ini sayang?" Tanya Anna.
"Terserah kau."
"Bagaimana kalau kita buka internet. Aku akan beritahu temanteman di Cairo bahwa aku sudah tidak janda lagi."
"Boleh, tapi di mana kita buka internet?"
"Di kamar samping. Komputernya ada line internetnya."
"Baik. Ayo kita ke sana."
Suami isteri itu lalu beranjak ke perpustakaan dan membuka
internet. Ketika mereka sedang berduaan di depan komputer, Kiai
Lutfi masuk ke perpustakaan. Kiai Lutfi tersenyum, lalu balik kanan,
sebelum pergi Kiai Lutfi bertanya pada Anna dengan nada canda,
"Nduk bagaimana jago yang Abah pilihkan?"
"Pilihan Abah tepat. Jagonya lebih hebat dari elang!" Jawab
Anna sekenanya. Azzam langsung menguyek-uyek kepala isterinya dengan rasa
cinta dan sayang. Anna melihat inbox emailnya. Email terbaru dari Furqan. Ia ingin
melewati email itu, tapi Azzam berkata, "Coba buka emailnya apa
isinya?" Mau tidak mau Anna membuka email mantan suaminya itu.
Pelan-pelan email itu mereka baca berdua:
Untuk Anna Di Kartasura Assalamu"alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Semoga kau,
Abahmu, Ummimu, dan seluruh keluarga
"Karena dipaksa, ya baiklah, dengan senang hati isteriku." Ucap
Azzam pelan di telinga isterinya.
Mereka berdua kembali ke kamar dan menutup pintu kamar.
Anna kembali membacakan puisinya dengan sepenuh jiwa, Azzam
menjawab dengan suara bergetar,
Akan kumuliakan mahkotamu dengan cintaku Dan kunikmati
jamuanmu dengan cintaku Tak mungkin aku mengkhianatimu Karena aku
cinta padamu Kedua insan itu kembali bertasbih menyempurnakan ibadah
mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti sunnah para
nabi dan rasul yang mulia. Pagi begitu indah. Sang Surya mengintip
malu di balik pepohonan. Rerumputan bergoyang-goyang bertasbih
dan bersembahyang. Pagi itu Azzam dan Anna kembali merasa
menjadi hamba yang sangat disayang Tuhan. Fa biayyi aalaai
Rabbikuma tukadzibaan! Candiwesi, Salatiga-Ciputat-Kukusan, Depok:
Oktober-Nopember 2007 Alhamdulillah wash shalatu was salamu "ala Rasulillah.
TENTANG NOVEL BERIKUTNYA Alhamduliltah, dengan rahmat dan taufiq dari Allah Azza wa Jalla
dwilogi "Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2" berhasil penulis rampungkan.
Dengan berleleran keringat dan berdarah-darah Azzam akhirnya
berhasil meraih apa yang diikhtiarkannya. Namun di hadapan Azzam
masih terbentang seribu satu tantangan kehidupan. Tanggung
jawabnya setelah rnenikah dengan Anna Althafunnisa justru semakin
berat. Azzam tak akan pernah benar-benar beristirahat. Memang
demikianlah seorang Muslim sejati seharusnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjelaskan, bahwa
seorang Muslim sejati akan benar-benar istirahat adalah jika kedua
kakinya telah menginjakkan pintu Surga. Sebelum itu tak ada
istirahat, yang ada adalah ikhtiar dan terus ikhtiar untuk menggapai
cinta dan ridha Allah Swt.
Lalu bagaimanakah nasib Eliana, Furqan, Husna, Zumrah, juga
Fadhil dan Cut Mala" Juga nasib Husna dan kedua adiknya"
Tentang perjuangan hidup Husna selanjutnya, juga perjuangan
Eliana untuk mendapatkan hidayah di tengah tengah kehidupan
hedonis yang mengepungnya, serta perjuangan Furqan untuk
kembali bangkit menciptakan masa depannya insya Allah penulis
sedang menyiapkan novel pembangun jiwa berikutnya berjudul:
DARI SUJUD KE SUJUD. Kepada segenap pembaca yang penulis cintai; mohon doanya,
semoga novel DARI SUJUD KE SUJUD segera bisa penulis
selesaikan. Semoga Allah Swt. senantiasa mencurahkan hidayah dan
inayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Wallahu waliyyut taufiq wal hidayah.
Salam cinta dan ta"zhim, Habiburrahman El Shirazy
KITABKITAB YANG MENDAMPINGI PENULISAN NOVEL INI:
Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Dar Al
Fikr Al Mu"ashir, Damaskus, 2006
Al Hikam, Al Imam Ibnu "Athaillah Al Sakandari, Thaha Putra,
Semarang, Tanpa Tahun Al Islam Aqidatun Wa Syari"atum Al Imam Al Akbar Syaikh
Mahmoud Shaltout, Dar Al Syuruq, Cairo, 2004
Al Jami" Li Ahkami Al Qur"an, Imam Al Qurthubi, Al Maktabah At
Taufiqiyyah, Cairo, Tanpa Tahun.
Al Mughni, Ibnu Qudamah, Al Maktabah Al Riyadh Al Haditsah,
Riyadh, Tanpa Tahun. Al Qawaa"id Al Fiqhiyyah Baina Al Ashaalah Wa At Taujiih, Prof. Dr.
Muhammad Bakar Ismail, Daar Al Manaar, Cairo, 1997
Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani,
Dar Al Hadits,1998 Min Taujihat Al Islam, Al Imam Al Akbar Syaikh Mahmoud
Shaltout, Dar Al Syuruq, Cairo, 2004
Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi, Imam Abu Zakariya An
Nawawi, Dar At Taqwa, Cairo, 2001
Subul Al Salam, Al Imam Al Shan"ani, Thaha Putra, Semarang,
tanpa tahun Syarh Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Syaikh Ahmad Muhammad Al
Zarqa, Dar Al Qalam, Damaskus, 1989.
PROFIL PENULIS HABIBURRRAHMAN EL SHIRAZY, lahir di Semarang, pada
hari Kamis, 30 September 1976. Sasterawan muda yang oleh
wartawan majalah Matabaca dijuluki "Si Tangan Emas" karena
karya-karya yang lahir dari tangannya dinilai selalu fenomenal dan
best seller ini, memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah
1 Mranggen sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al
Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir
Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke Kota Budaya Surakarta
untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK)
Surakarta, lulus pada tahun 1995. Setelah itu melanjutkan
pengembaraan intelektualnya ke Fak. Ushuluddin, Jurusan Hadis,
Universitas Al-Azhar, Cairo dan selesai pada tahun 1999. Telah
merampungkan Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for
Islamic Studies in Cairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri (2001).
Profil diri dan karyanya pernah menghiasi beberapa koran dan
majalah, baik lokal maupun nasional, seperti Jawa Post, Koran
Tempo, Solo Pos, Republika, Suara Merdeka, Annida, Saksi, Sabili,
Muslimah, Tempo, Majalah Swa dll.
Kang Abik"demikian novelis muda ini biasa dipanggil adikadiknya " semasa di SLTA pernah menulis naskah teatrikal puisi
berjudul "Dzikir Dajjal" sekaligus menyutradai pementasannya
bersama Teater Mbambung di Gedung Seni Wayang Orang Sriwedari
Surakarta (1994). Pernah meraih Juara II lomba menulis artikel
seMAN I Surakarta (1994). Pernah menjadi pemenang I dalam lomba
baca puisi relijius tingkat SLTA se-Jateng (diadakan oleh panitia Book
Fairx94 dan ICMI Orwil Jateng di Semarang, 1994). Pemenang I lomba
pidato tingkat remaja se-eks Karesidenan Surakarta (diadakan oleh
Jamaah Masjid Nurul Huda, UNS Surakarta, 1994). Kang Abik juga
pemenang I lomba pidato bahasa Arab se-Jateng dan DIY yang
diadakan oleh UMS Surakarta (1994). Ia juga peraih Juara I lomba baca
puisi Arab tingkat Nasional yang diadakan IMABA UGM Jogjakarta
(1994). Pernah mengudara di radio JPI Surakarta selama satu tahun
(19941995) mengisi acara Syarhil Quran setiap Jumat pagi. Pernah
menjadi pemenang terbaik ke-5 dalam lomba KIR tingkat SLTA
se-Jateng yang diadakan oleh Kanwil P dan K Jateng (1995) dengan
judul tulisan, Analisis Dampak Film Laga Terhadap Kepribadian
Remaja. Ketika menempuh studi di Cairo, Mesir, Kang Abik pernah
memimpin kelompok kajian MISYKATI (Majelis Intensif Studi
Yurisprudens dan Kajian Pengetahuan Islam) di Cairo (1996-1997).
Pernah terpilih menjadi duta Indonesia untuk mengikuti
"Perkemahan Pemuda Islam Internasional Kedua" yang diadakan
oleh WAMY (The World Assembly of Moslem Youth) selama sepuluh hari
di kota Ismailia, Mesir (Juli 1996). Dalam perkemahan itu. ia
berkesempatan memberikan orasi berjudul "Tahqiqul Amni Was Salam
Fil *Alam Bil Islam" (Realisasi Keamanan dan Perdamaian di Dunia
dengan Islam). Orasi tersebut terpilih sebagai orasi terbaik kedua dari
semua orasi yang disampaikan peserta perkemahan berskala
internasional tersebut. Pernah aktif di Majelis Sinergi Kalam (Masika)
ICMI Orsat Cairo (1998-2000). Dan pernah menjadi koordinator sastra
Islam ICMI Orsat Cairo selama dua periode (1998-2000 dan
2000-2002). Sastarawan muda ini juga pernah dipercaya untuk duduk
dalam Dewan Asaatidz Pesantren Virtual Nahdhatul Ulama yang
berpusat di Cairo. Dan sempat memprakarsai berdirinya Forum
Lingkar Pena (FLP) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Cairo.
Selain itu, Kang Abik, telah menghasilkan beberapa naskah
drama dan menyutradarai pementasannya di Cairo, di antaranya: Wa
Islama (1999), Sang Kyai dan Sang Durjana (gubahan atas karya Dr.
Yusuf Qardhawi yang berjudul "Alim Wa Thaghiyyah, 2000), Darah
Syuhada (2000). Tulisannya berjudul, Membaca Insaniyyah al Islam
terkodifikasi dalam buku Wacana Islam Universal (diterbitkan oleh
Kelompok Kajian MISYKATI Cairo, 1998). Berkesempatan menjadi
Ketua Tim Kodifikasi dan Editor Antologi Puisi Negeri Seribu menara
"NAFAS PERADABAN" (diterbitkan oleh ICMI Orsat Cairo, 2000).
Kang Abik, telah menghasilkan beberapa karya terjemahan,
seperti Ar-Rasul (GIP, 2001), Biografi Umar bin Abdul Aziz (GIP, 2002),
Menyucikan Jiwa (GIP, 2005), Rihlah Ilallah (Era Intermedia, 2004), dll.
Cerpencerpennya termuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum
(FBA, 2001), Merah di Jenin (FBA, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu
(GIP, 2004) dll. Sebelum pulang ke Indonesia, di tahun 2002, Kang Abik
diundang oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia selama lima hari
(1-5 Oktober) untuk membacakan puisipuisinya berkeliling Malaysia
dalam momen Kuala Lumpur World Poetry Reading Ke-9, bersama
penyair-penyair dunia lainnya. Puisinya juga termuat dalam Antologi
Puisi Dunia PPDKL (2002) dan Majalah Dewan Sastera (2002) yang
diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dalam dua bahasa,


Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inggris dan Melayu. Bersama penyair dunia yang lain, puisi Kang Abik
juga dimuat kembali dalam Imbauan PPDKL (1986-2002) yang
diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (2004).
Pada medio pertengahan Oktober 2002, Kang Abik tiba di Tanah
Air, saat itu juga, ia langsung diminta menjadi kontributor
penyusunan Ensiklopedi Pemikirannya, Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan (terdiri atas tiga jilid dan diterbitkan oleh Diva Pustaka Jakarta,
2003). Mengikuti panggilan jiwa, antara tahun 2003 hingga 2004, Kang
Abik memilih mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogjakarta.
Selanjutnya, sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 ini, Kang Abik tercatat
sebagai dosen di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu
Bakar Ash Shiddiq UMS Surakarta.
Selain menjadi pernah dosen di UMS Surakarta, kini Kang Abik
sepenuhnya mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan
pendidikan lewat karya-karyanya, lewat Pesantren Karya dan
Wirausaha BASMALA INDONESIA, yang sedang dirintisnya bersama
sang adik tercinta, Anif Sirsaeba dan budayawan kondang Prie GS di
Semarang, dan lewat wajihah dakwah lainnya.
Berikut ini adalah beberapa karya Kang Abik, yang telah terbit di
Indonesia dan Malaysia dan menjadi karya fenomenal, bahkan
megabestseller di Asia Tenggara, antara lain: Ayat Ayat Cinta,
Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih
dan Dalam Mihrab Cinta (Republika-Basmala, 2007). Kini sedang
merampungkan Dari Sujud ke Sujud, Langit Makkah Berwarna Merah,
Bidadari Bermata Bening dan Bulan Madu di Yerussalem.
Sastrawan muda yang kini sering diundang di forumforum
nasional maupun internasional ini masih duduk di Pengurus Pusat
Forum Lingkar Pena. Dan untuk mendulang manfaat Kang Abik
membuka komunikasi dan silaturrahim kepada sidang pembaca
lewat e-mail: kangabik@yahoo.com.
Misteri Kapal Layar Pancawarna 21 Boysitter Karya Muharram R Pendekar Laknat 8
^