Pencarian

Edensor 2

Edensor Karya Andrea Hirata Bagian 2


distingue, artinya excellent, lebih tinggi dari tres bien. Ketiga orang itu adalah orang-orang ter-hormat, para atasan di kelas kami.
Namun, majikan kami yang sesungguhnya ada"lah dua orang gadis pendiam yang agak ketinggalan zaman di belakang sana. Nilai mereka jauh di atas tres bien atau distingue. Nilai mereka Parfait1. Sempurna!
Jika menulis paper tentang observasi perilaku konsumen melalui kubus, mereka membongkar kubus itu, sama sekali tak memakainya, lalu mencipta model mereka sendiri. Kecerdasan mereka tak terkejar siapa pun. Keduanya sudah digadang akan mengantongi summa cum laude jika mudik nanti. Ide mereka lebih gila lagi, tidak sekadar mengubah silabus ilmu ekonomi seperti usulan Katya, Marcus, dan Christian, tapi mereka ingin mengubah Universite de Paris, Sorbonne!
Saat dosen menjelaskan, kedua gadis itu men-dongakkan kepalanya yang besar berumbai-rumbai kuning, matanya terang, telinganya terpasang, jidatnya serupa radar mentudung6 microwave, siap menangkap ilmu dalam frekuensi berapa pun. Siapakah gerangan kedua supergenius yang dapat melibas panser-panser Jerman itu" Oh, Kawan, ternyata mereka berasal dari negeri terompah kayu yang dulu pernah "mengasuh" kita: Holland!
Saskia de Rooijs dan Marike Ritsema, begitu namanya. Saskia dan Marike tak pernah mengang-guk-angguk sok tahu. Hanya sesekali keningnya
6 Tudung saji berbentuk setengah bo\&-feny
berkerut, pasti sedang tak setuju dengan ucapan dosen, tapi tak lantas menunjuk untuk protes seperti aksi The Brits dan Vankees. Dandanannya pun konvensional untuk ukuran Eropa pada masa milenium ini. Mereka tak peduli soal itu. Niet be/angrijk tidak penting-ujar mereka kalem. Jarang ada suara bersumber dari kedua perempuan Netherlands itu. Mereka sangat sepi, jauh lebih sepi dari orang-orang Jerman tadi. Mereka seperti Purbalingga pada pukul dua belas, malam Jumat Kliwon.
Hanya Abraham Levin, V'hudit Oxxenberg, Yo-ram Ben Mazuz, dan Becky Avshalom yang sesekali dapat menyaingi Saskia dan Marike. Orang-orang Vahudi itu sangat genius. Sering aku menduga kalau V'hudit dan Voram sebenarnya lebih pintar dari Saskia dan Marike, tapi kedua orang itu tak terlalu ambil pusing soal nilai. Mereka tak suka perkara sepele. Mereka hanya tertarik pada sesuatu yang besar dan revolusioner. Abraham Levin adalah ahli matematika ekuilibrium paling jempolan yang pernah kukenal. la memiliki embrio kecerdasan Nobelis John Nash. V'hudit, Voram, dan Becky memperlakukannya seperti seorang imam. Meskipun baik hati, mereka menjaga jarak dengan siapa pun. Pada jam istirahat mereka berkumpul di bangku taman. Levin bicara dengan tenang sambil membelai cambangnya yang telah dipelintir. Mereka selalu seperti sedang merencanakan sesuatu. Ide mereka lebih besar dari ide Saskia dan Marike yang ingin mengubah Universitas Sorbonne. Ide orang-orang Yahudi itu
adalah mengubah Prancis. Pribadi-pribadi yang paling mengesankan diperlihatkan para tuan rumah, orang-orang Prancis: Charlotte Gastonia, Sylvie
Laborde, Jean Pierre Minot, dan Sebastien Delbonnel. Mereka seperti selalu terinspirasi semangat revolusi Prancis liberte, egalite, fraternite kebebasan, persamaan, dan persaudaraan maka mereka memandang tinggi persahabatan. Aku memahami karakter mereka waktu kami menonton teater Jean de Florette yang diangkat dari karya sastra klasik Marcel Pagnol. Kisahnya tentang seorang pria bongkok Jean Cadoret yang jujur dan berjuang mati-matian menghidupi keluarga sebagai petani. Pria malang ini selalu dicurangi tetangganya. Aku tak hanya terpesona pada akting Gerard Depardieu tapi terpana melihat Charlotte dan Syvie yang berderai-derai air matanya sejak dirigen orkestra baru saja mengibaskan tangan untuk mengambil nada empat per empat. Esoknya Charlotte dan Sylvie bolos kuliah. Mereka ke Provence, mengunjungi tempat tinggal keluarga Cadoret di desa tandus selatan Prancis, tanpa peduli apakah kisah Jean de Florette nyata atau fiksi. Kawan, itulah yang dapat kukatakan tentang orang Prancis dan nirwana seni yang bersemayam dalam hati mereka.
Kemudian, tak kalah menarik adalah beberapa mahasiswa Tionghoa dari Guangzhou dan Hongkong. Semuanya tampak seperti akuntan.
"Liu Hyuu Wong," kata salah dari mereka mengenalkan diri. "But, please my friend, call me
Eugene. Eugene Wong, that's my international name, ok""
Nah, Kawan, baru kutahu kalau mereka selalu punya dua nama: lokal dan internasional. Eugene Wong, Heidy Ling, Deborah Oh, dan Hawking Kong, juga selalu berkumpul sesama mereka, komunal. Namun mereka broad minded, berpikiran luas, dan akrab pada siapa pun.
Sisanya selalu terlambat, berantakan, dan tergopoh-gopoh adalah The Pathetic Four empat makhluk menyedihkan penghuni jejeran bangku paling depan. Jika dosen menjelaskan, mereka berulang kali bertanya soal remeh-temeh, sampai menjengkelkan. Anak-anak ini melengkapi diri dengan perekam agar petuah dosen dapat diputar lagi di rumah. Norak dan repot sekali. Beginilah akibat penguasaan bahasa asing ilmiah yang memalukan dan efek gizi buruk masa balita. Jika ide mahasiswa negara lain demikian besar sampai ingin mengubah Prancis, ide The Pathetic Four sangat sederhana, yaitu bagaimana agar dapat nilai passable yaitu cukup, lulus seadanya dengan nilai C-, tak perlu mengulang, sehingga dapat menghabiskan waktu sejadi-jadinya menonton sepakbola.
Ide lainnya adalah membujuk pemberi beasiswa agar menaikkan uang saku. Kenaikan itu disimpan untuk belanja sandang murah pada obral end season, maka pakaian musim semi dipakai saat musim salju, pakaian musim salju dipakai saat musim panas. Biasanya keempat orang itu mengangguk
angguk takzim saat menerima kuliah. Lagaknya seperti paham saja, padahal tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Mereka itu Monahar Vikram Raj Chauduri Manooj, Pablo Arian Gonzales, Ninochka Stronovsky, dan aku. Kami blingsatan, terbirit-birit mengejar ketinggalan.
18 mozaik Katya Monahar Vikram Raj Chauduri Manooj, sangat tak suka kalau nama panjangnya yang megah itu dipotong-potong. Namun, tentu saja menyusah-kan untuk memanggil lima orang sekaligus hanya untuk menyapanya. Kami mufakat menyingkat namanya menjadi MVRC Manooj. Dia cukup puas. Persetujuannya ia nyatakan dengan menggoyang-goyangkan kepalanya, gemulai berirama, persis goyang kepala boneka anjing di atas dashboard.
Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah jenaka tipikal India. Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik, turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-liuk. Ditimpali dendang tabla, ia selalu menjadi hiburan di kelas. Kawan, goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cultural
gesture. Jika MVRC Manooj menggoyang kepalanya terus-menerus, artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga kali maksudnya: Apa maksudmu" Aku tak mengerti. Empat kali: Baiklah, akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang air\
Tadinya MVRC Manooj adalah juru tulis di ka
n-tor sensus Punjab. Ia beruntung mendapat bea"siswa Unicef dan lulus admisi di Sorbonne.
Tapi Gonzales lebih jenaka dari MVRC Manooj. Terutama karena pembawaannya yang gembira dan paras baby face-nya. Matanya adalah mata bayi. Mata bulat yang senantiasa tersenyum. Ia gemuk pendek, kakinya pengkor, berambut keriting tebal.
Gonzales berasal dari keluarga pandai besi di Guadalajara, kantong kemelaratan Amerika Utara. Ia mendapat beasiswa World Bank sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan Meksiko. Sebelum masuk ke Sorbonne, Gonzales memiliki dua profesi, yakni guru matematika SMA dan pelatih sepakbola untuk siswa Sekolah Luar Biasa. Jika dosen menjelaskan sesuatu yang runyam, ia melukis salib di dadanya sambil komat-kamit, "Mamma mia, mamma mia."
Sejak awal semester, Gonzales dan MVRC Manooj telah bersekutu dan Ninochka selalu mengekor ke mana pun mereka pergi. Ninoch, gadis kecil kurus ini, berasal dari Georgia, negara miskin yang baru memerdekakan diri dari cengkeram cakar beruang merah Rusia. Ninoch dapat beasiswa ke Sorbonne dengan cara yang aneh, yakni karena
keahliannya main catur. Tapi tak tanggung-tanggung, ia adalah seorang calon grand master. Politisi Georgia sangat bangga akan memiliki grand master perempuan. Mereka menyemangati Ninoch dengan memberinya beasiswa ke Sorbonne.
Tampaknya Ninoch merasa minder bergaul de"ngan The Brits atau Yankees. Bukan hanya karena penampilan udiknya, sifat pemalunya, atau olahraga anehnya, tapi juga karena penyakit bengeknya yang parah. Ia selalu bersama The Pathetic Four, tempat segala hal yang marginal. Kami berempat adalah satu kelompok diskusi. Ketuanya Gonzales.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya kepada warganya. Awal bulan, ketika baru menerima allowance beasiswa, MVRC Manooj dan Gonzales bertingkah laku seperti tak mengenal aku, Arai, dan Ninoch. Mereka meleng-gang dengan pakaian perlente, baunya wangi. Mereka tak sudi makan siang di kantin mahasiswa. Tapi hal itu hanya berlangsung sampai tanggal lima belas. Setelah itu mereka merengek-rengek minta diutangi untuk bisa hidup lima belas hah berikutnya. Tak jarang MVRC Manooj menggadaikan apa pun yang melekat di badannya. Awal bulan nanti ia akan kaya lagi dan kami akan berutang padanya. Gali lubang tutup lubang, mirip tabiat ibu pertiwi masing-masing.
Siang ini kelompok Jerman mempresentasikan tugas mereka: analisis industri otomotif Eropa. Penampilan Marcus Holdvessel dan Christian Diedrich sangat mengesankan. Marcus berdasi dan berjas lengkap seperti alumni Harvard menghadiri interview untuk satu posisi penting di Microsoft. Christian mirip Spiderman saat sedang menjadi orang biasa. Kedua pria ganteng ini dengan tertib membuka kancing jas jika duduk dan kembali mengancingkannya jika berdiri. Tentu saja dengan suatu gerakan yang terdidik. Namun, daya tarik sesungguhnya adalah ketua mereka: Katya Kristanaema. Katya meng-angguk halus, memberi kode, ketiganya serentak memencet tombol jam tangan mereka, persis komandan pasukan elite menyamakan waktu dengan pasukan untuk operasi merebut gudang senjata. Presentasi dimulai.
Siide-siide presentasi mereka sangat hebat, berformat flash macromedia yang canggih sehingga begitu banyak substansi cerdas disajikan dalam waktu singkat, dengan sedikit kata saja. Kami terkagum, lalu sampailah mereka pada analisis master plan industri otomotif Jerman. Christian mencabut konektor internet dari PC dan tanpa dikomando, Marcus menginstal transmitter kecil, menyambungkan konektor tadi pada transmitter, laptop, dan proyektor. Secara bersamaan Katya mengeluarkan handphone-nya, berbicara sebentar dalam bahasa Jerman, dan tiba-tiba muncul seseorang di layar.
"Haiio everyone ...," sapanya akrab. "Saya,
Direktur Research and Development Mercedes Benz, siap memberikan second opinion atas analisis Katya, Marcus, dan Christian."
Hebat betul persiapan tim Jerman. Melalui teknologi video conference, mereka menghadirkan seorang pakar sekaligus eksekutif penting Mercedes Benz secara live, real time, langsung dari Munich.
"Bravo! Tres bien!" Profesor Antonia LaPlagia, dosen Manajemen Strategi yang terkenal galak, memuji tim Jerman.
"Apa pendapat kalian"" Tiba-tiba Antonia ber-balik dan menunjuk kelompok kami. Kami mengerut, tak tahu akan berkomentar apa. Berkomentar asal saja di kelas yang terhormat ini hanya akan menghina diri sendiri. Lebih baik diam daripada sok tahu. Antonia kecewa.
"Gonzales""
Putra pandai besi itu tengah melamun dan mulutnya menganga memandangi betis Katya yang jenjang. Katya meningkatkan daya tariknya dengan memainkan laser pointer di tangannya. Gonzales melotot. Antonia muntab.
"Gonzales!! Kamu ketua grup, kan" Bagaimana tanggapanmu""
la sama sekali tak sadar Antonia memanggil-nya. Telinganya tuli karena terkesima pada Katya.
"Gonzalleeeessss!!!"
Gonzales terkejut. la terlompat dari tempat duduknya.
"Que" Senorita""
"Apa tanggapanmu"!"
Gonzales gelagapan. la menoleh padaku, rno-hon bantuan. Aku menoleh pada MVRC Manooj dan orang India itu menoleh pada Ninoch. Ninoch, seperti biasa, menunduk malu.
"Apa pendapatmu, Arian Gonzales"!"
Gonzales putus asa. "Mamma mia, Madame ...."
19 mozaik Paradoks Kedua Meskipun kami saling bersaing tajam, semuanya hanya secara akademik. Setelah pertempuran ilmiah habis-habisan, kami menghambur ke kafe mahasiswa Brigandi et Bougreesses, artinya kurang lebih Pak Brigandi dan gundik-gundiknya, di pojok Sorbonne. Di sana kami bercanda laksana satu keluarga. Setiap Jumat, kami melupakan tugas kuliah yang menggunung dengan melakukan ritual pub crawling', merayap dari pub ke pub seputar Paris, sampai pukul tiga pagi.
Sering aku merasa heran. Kawanku-kawanku The Brits, Yankee, kelompok Jerman, dan Belanda adalah para pub craw/er kawakan. Mereka senang bermabuk-mabukan. Tak jarang mereka mabuk mulai Jumat sore dan baru sadar Senin pagi. Sebagian hidup seperti bohemian, mengaitkan anting di hidung, mencandu drugs, musik trash metai, berorientasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar, namun mereka sangat unggul di
kelas. Aku yang hidup sesuai dengan tuntunan Dasa Dharma Pramuka, taat pada perintah orangtua, selalu belajar dengan giat dan tak lupa minum susu, jarang dapat melebihi nilai mereka. Dengan ini, kutemukan paradoks kedua, dalam diriku sendiri.
Hari ini, di kafe Brigandi et Bougreesses kami merayakan kesuksesan presentasi kelompok Jerman. Stansfield, Townsend, dan Katya berebutan memasukkan koin ke dalam juke box untuk memutar "Murder on the Dance Floor", Sophie Ellis-Bextor, lalu mereka berjingkrak-jingkrak. MVRC menari goyang kepala, Gonzales bercerita soal sepakbola, berteriak-teriak saling mendukung tim bersama Yankees, The Brits, dan dua genius Belanda itu.
Katya adalah primadona. Semua pria di kelas kami, berarti termasuk aku, jika ditawarinya kawin, rela menukar kewarganegaraan, murtad pada bangsa sendiri, untuk menjadi warga Jerman, meski itu berarti harus bekerja membersihkan cerobong asap di Bayern sana. la jelita. Pesonanya adalah akumulasi dari sipu malunya jika digoda, cahaya matanya jika terkejut, kata-kata yang dipilihnya jika berargumentasi, dan buku-buku sastra cerdas yang dibacanya. Kenyataan bahwa ia menggilai musik jazz, membuat Katya semakin cantik bagiku. Katya simply irresistabie. Apalagi gesture-nya secara eksplisit mengetukkan kode-kode Morse: / am very much available1. Masih lowong. Katya, ibarat kolak menjelang buka puasa, ia godaan terbesar di Universite de Paris, Sorbonne.
Setiap ada kesempatan, pria-pria berbagai
bangsa merubung Katya, berlomba-lomba membuat-nya terkesan. Tapi, meski aku juga pengagum Katya, aku tak termasuk dalam kelompok penebar pesona itu. Aku sadar diri, dari seluruh kemungkinan logis ketertarikan pria wanita secara fisik, materialistik, filosofik, idealisme, kultur, ekspektasi, kemistri, gengsi, atau apa pun, tak secuil pun aku memenuhi kualifikasi Katya.
Alessandro D'Archy, si ganteng itu adalah arjuna kelas kami sekaligus seorang Italia yang agak play boy. Jika D'Archy mendekati Katya, pesaing lain ciut nyalinya, menyingkir. Sebenarnya D'Archy kekasih Stansfield, namun panggilan jiwanya sebagai kelinci tak membiarkan
Katya berlalu begitu saja. Sebaliknya, Katya yang cerdas bukan buatan, tak begitu saja bisa dibuat bertekuk lutut. D'Archy berupaya menaklukkan Katya dengan meniru siasat leluhurnya Cassanova, sang begawan cinta.
Siasat tengik itu, yang dulu membuat Cassa"nova sukses menguras isi hati, sekaligus dompet ratusan wanita. Pertama-tama memancing pertengkaran, memprovokasi, lalu mengaku bersalah secara gentleman dan minta maaf dengan takzim. Sikap lembut setelah permohonan maaf palsu itu biasanya membuat perempuan seperti ayam kampung mabuk karena menelan gambir, tak cakap lagi menghitung sampai sepuluh. Pelajaran moral nomor sebelas: untuk mendapatkan wanita cantik,
tapi bodoh, rupanya Anda hanya perlu menjadi seorang provokator.
Sayangnya, hal ini tak berlaku untuk Katya. D'Archy memang berhasil memprovokasinya, lalu pura-pura berjiwa besar, mengaku bersalah sesuai tuntunan taktik busuk Cassanova. Namun, ketika ia meningkat pada strategi minta maaf dengan lagak gentleman ....
"Italiano! Kaupikir kau itu siapa"!"
Katya sama sekali tak terkesan pada D'Archy dan taktik busuknya. Pria Italia itu tamat kalimat. D'Archy tak sanggup menerima kenyataan ditolak. Dalam karier penipuan cintanya, baru kali ini ia bangkrut. Untuk membujuk dirinya sendiri, sekaligus melupakan kenyataan pahit bahwa daya magnetnya mulai aus, di Kafe Brigandi et Bougreesses ia menenggak Johnny Walker langsung dari botolnya. Aku, MVRC Manooj, dan Gonzales terpaksa harus menggotongnya pulang. Sepanjang jalan D'Archy meracau, meratap-ratapkan lagu frustrasi cinta Aerosmith:
That kind of loving, turns a man to slave
That kind of loving, sends a man right to his grave
Crazy, crazy, crazy.... Kami membopong D'Archy ke apartemen pacar-nya, Stansfield, yang terdekat dengan Brigandi et Bougreesses. Sial, Stansfield rupanya sudah tahu kejadian malam itu. Di ambang pintu, anak London itu melotot.
"Kenapa kau datang ke sini"!
"Enyahlah! "Tidur di luar sana!" Perempuan Inggris itu naik pitam.
"Allesandro Bloody D'Archy !
"Pathological liar "Bollockl" Bollock, demikian menu makan malam yang romantis untuk sahabatku, Alessandro D'Archy, seorang filatelis cinta yang menganggap perempuan seperti prangko.
Stansfield membanting pintu sampai kusen-kusen jendela bergetar.
20 Gracias, Senor mozaik Gracias, S Mendengar Katya menampik D'Archy, padahal ia dijagokan, MVRC Manooj berdiri kupingnya.
"Kompetisi semakin masuk akal!" teriaknya. Seperti sering kusaksikan dalam film India, serupa pula strategi MVRC Manooj. Ia, layaknya pria India, amat flamboyan. Mereka senang memuji dan tergila-gila pada sikap sok jantan. Ketika pensil Katya jatuh, MVRC Manooj serta-merta bangkit, melangkah anggun memungut pensil itu dan menyerahkannya pada Katya dengan tatapan sendu yang berarti: akan kubangun Taj Mahal untukmu, belahan hatiku .... Kepalanya bergoyang-goyang gemulai. Seisi kelas tergelak.
MVRC Manooj tak sungkan membual untuk membuat Katya terkesan. Ia, yang hanya seorang juru tulis di kantor sensus Punjab, mengaku bahwa sebenarnya ia adalah seorang executive clerk yang punya enam puluh tujuh anak buah. Bahwa sapinya ratusan ekor, dan ia juga punya usaha pengolahan
tinja menjadi bahan bakar, sumur-sumur yang disewakan, ular-ular kobra yang terlatih, mesin-mesin pemotong batang jagung, dan jika selesai dari Sorbonne nanti ia akan membangun pabrik tekstil dengan dua belas ribu karyawan.
Seperti pria India umumnya, MVRC Manooj ten-tu sangat romantis. Di depan seisi kelas, ia menga-takan pada Katya bahwa ia sering bermimpi bersampan dengan Katya menyelusuri Sungai Gangga di bawah sinar purnama. Katya menatapnya serius, penuh pertimbangan. MVRC Manooj meng-goyangkan kepalanya sedikit. Senyumnya mengem-bang karena menangkap sinyal positif dari Katya. Ia mengharapkan satu jawaban manis.
"Indah sekali, Sahabatku ...." MVRC Manooj mekar.
"Tapi kudengar perempuan sering dianggap re-meh di negerimu, ya""
Wajah MVRC Manooj kaku. "Jadi, begini saja, akan kupertimbangkan tawaranmu kalau perempuan dihargai sama seperti pria di sana, oke"" Laki-laki Punjab itu menggeleng empat kali.
"Untuk se mentara, teruslah bermimpi ...."
Gonzales, yang tak diunggulkan, sangat tipikal Hispanik. Adatnya tak banyak basa-basi. Gramatikal rayuannya sederhana, langsung, dan pragmatis. Dengan gaya untuk mencitrakan dirinya macho, ia
menghampiri Katya yang sedang berjemur di halaman kampus.
"Katya, aku menyukaimu. Menikahlah denganku. Aku segera mendapat warisan sebuah bengkel di Guadalajara. Aku akan menjadi manajer para pandai besi dan kau akan membantuku memasarkan ladam kuda. Bagaimana pendapatmu""
Katya melepaskan sun glasses-nya. Matanya terpicing.
"Pablo Arian Gonzales, sungguh menggiurkan tawaranmu ....
"Engkau pria yang manis.
"Aku merasa dihargai ....
"Gracias, Senor ...." Gonzales sumringah. Katya merenung. Serius.
"Berat buatku menolak tawaran yang menjanji-kan ini ...."
Gonzales merekah. Katya menarik napas. Gonzales berlutut, se"perti akan menerima berkah dari santa.
"Tapi ...." Putra tukang kikir itu pucat.
"Begini ya, akan kupertimbangkan tawaran baik mu itu jika nanti utang Meksiko pada Jerman sudah lunas ...."
Gonzales terduduk lunglai. Katya menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
"Ok" Amigo""
The Brits dan pria-pria dari negeri Paman Sam lain pula lagaknya. Mereka jauh lebih percaya diri dibanding pria Asia atau Amerika Utara seperti Gonzales. Mereka langsung mengatakan pada Katya ingin mengajaknya kencan. Tawaran mereka tegas: take it or leave it, filosofi mereka menarik, yakni nothing to loose. Kadang mereka sedikit tendensius dan ofensif, namun jika ditolak, mereka bersikap gentleman, mengakui keunggulan pesaing lain.
Tapi, ternyata tak semua teman sekelasku menyukai Katya. Bagi Jean Pierre Minot dan Sebastien Delbonnel, pria-pria Prancis itu, wanita tinggi, putih, bermata biru, pirang, dan berwajah solid tipikal Kaukasia seperti Katya tidaklah menarik. Mereka menyukai perempuan yang cenderung petit; mungil, feminin, berambut gelap, dan bermata cokelat. Aroma cantik bagi mereka adalah gambaran wa-nita dalam ce-rita Seribu Satu Malam. Patrick N'Dumu, mahasiswa Senegal di kelas kami juga tak menyukai Katya.
"Terlalu kurus," cibirnya.
Maka kuduga N'Dumu berasal dari suku Ibadan. Zaman purba dulu suku Ibadan biasa menukar anak lelaki atau gadis gemuk dengan empat ekor sapi. Anak lelaki dan gadis kurus cukup beruntung jika dihargai empat ekor burung unta. Adapun orang Meksiko, India, dan Indonesia rupanya sepakat soal definisi cantik, yakni cantik seperti Katya. Aku curiga, citra kecantikan itu tercetak gara-gara gambar wanita di kaleng pengharum Gardena yang menyerbu negara Dunia Ketiga sejak tahun lima
puluhan. Bobby Cash termasuk pria yang ditampik Katya. la orang Amerika. Ketika menggoda Katya, sesung-guhnya ia masih berstatus sebagai kekasih Townsend. Townsend yang kecewa lalu menggaet D'Archy dan Stansfield potong haluan menuju Bobby Cash sang pria platonik. Tukar guling. Modern, bukan"
Aku tahu sebenarnya Stansfield tak menyukai Bobby, dan tampak jelas pula Townsend berjarak dengan D'Archy. Tapi Townsend dan Stansfield tak ubahnya jungkit-jungkitan. Mereka reaksioner satu sama lain. Apa pun yang dilakukan Townsend akan ditandingi Stansfield, demikian sebaliknya. Ini bukan lagi soal cinta, tapi soal memelihara suatu level persaingan, soal survival dalam pertaruhan gengsi. Sering kali perseteruan Stansfield dan Townsend tidak rasional.
mozaik 21 Helium Katya masih seperti pulau karang tak bertuan di perairan Pasifik: indah, diperebutkan, tapi tak dapat dimiliki siapa pun. Dirayu-rayu ia tak mau, diprovokasi ia benci, digombali ia tak peduli, ditipu ia tahu, diumpan ia tak mempan. Sekian banyak hati kasmaran tapi ia tak kunjung terkesan. Dan perlombaan menggaetnya bukannya surut, malah makin menjadi, bahkan sampai terjadi pertaruhan. Kini ia ibarat lotere, bahkan mahasiswa dari jurusan lain ikut berlomba.
Tiba-tiba terdengar kabar yang menggempar-kan. Pertempuran berakhir! Gencatan senjata! Katya telah menemukan pilihannya! O fa la, siapa-kah gerangan kesatria kuda putih yang beruntung itu" Pasti dia sangat ganteng dan sangat kaya, atau, yang paling mungkin, dia turunan darah biru monarki Prancis. Bis
a juga ia seorang duke, anggota keluarga kerajaan Inggris, sepupu jauh pangeran William, yang banyak berkeliaran menuntut ilmu di
Sorbonne. Tapi sungguh tak masuk akal! Sulit dipercaya! Ah, tak mungkin dia! Nauzubiiiah\ Tak masuk akal sama sekali!
Ketika sedang browsing untuk mencari materi paper di perpustakaan, aku terbelalak membaca e-mail dari Katya.
Hi, there .... If you want to date me, all you have to do ...
Just ... Ask Much love, Katya Aku merasa ada pipa dibelesakkan dalam mu-lutku dan helium dipompa ke dalam rongga dadaku, lalu aku melayang seperti balon gas, menyundul-nyundul plafon. Selama ini aku hanya menonton orang berebut Katya. Sekonyong-konyong, tak ada ombak tak ada angin, ia mengata- kan aku hanya tinggal meminta saja (just ask) jika ingin dekat dengannya. Durian runtuh! Gonzales yang kuminta membacanya sampai melukis salib di dadanya.
"Mamma mia ...," katanya.
MVRC Manooj yang kami beri tahu kemudian di kantin, kehilangan selera makannya. Lelaki Punjab itu menatapku dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Ia pasti mengukur tinggi badanku. "Dunia sungguh tidak adil!" teriaknya.
Jangankan mereka, aku sendiri masih tak per-caya. Aku tak ikut bertempur tapi memenangkan
perang. Aku seperti anak kecil menemukan cincin permata dalam bungkus kuaci. Katya menyukaiku" Ah, tidak reai, tidak mungkin. Langsung kuduga seorang pesaing yang frustrasi, yang juga seorang computer freak telah menggelapkan e-maii account Katya untuk memperolokku. Kubalas e-maii Katya, untuk konfirmasi. Konyol sekali.
Dear Katya, apakah kamu tidak salah kirim
e-mail" Ehmrn, maaf ya . . . ehmmmm . . . , duh,
gimana ya .... Untukkukah e-mail-mu ini"
Ia langsung menjawab. Definitely, it's for you.
Sekarang helium yang memenuhi rongga dada-ku meledak dan aku pecah menjadi ribuan kuntum mawar, berjatuhan dari plafon, bertaburan memenuhi perpustakaan. Apa yang dilihat Katya pada diriku" Aku curiga, jangan-jangan ia menderita rabun dekat.
Siang ini aku tak makan. Sore nanti aku akan mengantar Katya pulang. Rasa senang membuat perutku kenyang, kembung lebih tepatnya. Satu jam dua puluh menit enam detik, aku berdiri seperti orang senewen menunggunya di mulut Stasiun
Notre-Dame des-Champs. la datang dari arah Edgar Quinet, semakin dekat dan aku dilanda tiga macam bentuk demam. Pertama, karena ia terlalu cantik untukku. Perempuan seperti ini biasanya hanya kukenal lewat gambar-gambar almanak. Kedua, aku tak tahu bagaimana cara memperlakukan sahabat sebagai pacar. Ketiga, karena aku harus memastikan bahwa ia tidak menderita rabun dekat, dan ia tak salah orang. Dalam hatiku bergema-gema pertanyaan, "Katya, are you for real"", tapi ia meyakinkanku.
"Ini bukan kesalahan ...," katanya merdu sekali. "It's for real."
Kami naik kereta bawah tanah yang datang da"ri Mairie d'Issy, menembus jantung Paris menuju ke Porte de la Chapelle. Kami akan berhenti di tengah, di Solferino, dekat apartemen Katya. Duduk di sebelahnya, jantungku berdegub-degub seperti hentakan kereta. Aku ingin ngobrol tentang banyak hal, tapi kalimat tersangkut di tenggorokanku. Aku diam, duduk tegak, membeku. Katya tersenyum-senyum simpul. Senyumnya itu mem- buatku berdoa agar kereta itu mogok, asnya patah tiga, sistem listriknya terbakar, pintunya tak bisa dibuka walaupun oleh lima belas orang, penumpangnya terjebak sehari semalam, Katya pingsan, dan aku jadi pahlawan. Senyumnya itu, membuatku berdoa agar Stasiun Solferino pindah ke Pulau Islandia, sehingga kami akan berada dalam kereta itu selama sepuluh jam, disambung menyeberang naik kapal laut.
Berminggu-minggu aku belajar menguasai diri jika dekat Katya. Setelah agak terlatih, diiringi tatapan iri MVRC Manooj dan Gonzales, secara rutin, aku mem-bezook dia di apartemennya, menemaninya menonton Jerry Springer Show, acara kesenangannya. Kami menikmati daya tarik turning a friend into a lover, mengubah teman menjadi kekasih, ternyata proses itu menyenangkan. Apalagi ia selalu memanggilku my man, membuatku merasa ganteng, merasa menjadi Kesatria Celtic dalam legenda highlander, penyelamat petani dari serbuan kaum begundal. Aku mem
anggilnya, ya ampun, baby. Ketika mengucapkannya, perutku seperti digelitik.
Senin sore, sangat istimewa, karena siangnya, di mejaku di kelas, pasti kudapat secarik kertas kecil undangan: Tea time, my place, 04.00 pm, yours, Katya. Itu artinya aku akan melewatkan sore dengan wanita menawan itu, sambil duduk minum teh Prancis melange quartier, teh harum dengan campuran pala dan kayu manis, di balkon apartemennya. Nun di sana mengalir Sungai Seine. Riak-riaknya bertingkah riang, memantulkan warna jingga keperakan.
Waktu berlalu. Aku makin mengagumi Katya. Tapi apakah aku mencintainya" Minggu lalu, Katya pulang ke Bayern untuk menemui keluarganya. Ia mendekapku di Stasiun Gare de Lyon. Aku berdesir.
Untuk pertama kalinya aku dipeluk seorang wanita dalam nuansa asmara. Mat any a memancarkan isyarat janji yang liar jika ia kembali nanti. Aroma keringat perempuan dewasa menusuk hidungku, merasuk. Ia berlari kecil meninggalkanku. Belum lepas ia dari pandangku aku telah merindukannya. Namun, seiring menjauhnya kereta itu, sebagian kecil hatiku ingin agar ia tak kembali lagi ke Paris.
mozaik 22 Adam Smith vs Rhoma Irama
Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anak burung puyuh yang ter-suruk-suruk mengejar induk belibis. Universitas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelek-tualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Setiap hari aku selalu tertantang untuk memacu kreativitas dalam bidang yang kutekuni. Aku menyimak kuliah selama dua jam tapi pengetahuan yang kudapat senilai kuliah satu semester waktu di tanah air. Jika kembali kuana-logikan pengalaman bak cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong seperti eksperimen Einstein itu kini aku menyongsong cahaya ekonometrik, statistik, aljabar, dan falsafah ekonomi, dan Einstein pasti mengatakan aku menyerap begitu banyak pelajaran dalam satuan waktu yang relatif singkat.
Setiap hari, selalu ada saja hal baru yang menggairahkan kuperoleh dalam bidangku. Kini bangunan ilmu ekonomi yang telah lama teronggok
dalam kepalaku, kurasakan berubah bentuknya, hidup, menggeliat, bertambah kapasitasnya, dan semakin dalam intensitasnya. Kini, aku mengerti secara teoretis maksud-maksud John Maynard Keynes, sang suhu bagi kaum monetarist, dan mengapa buah pikirannya memerangi pandangan klasik yang fenomenal dari si tua begawan ekonomi Adam Smith. Sekarang, aku memahami arti ekonomi sebagai science, sebagai mazhab, bahkan sebagai seni dan filosofi. Semuanya karena dosen-dosen yang hebat di universitas ini menggambarkan dengan jelas gemunung ilmu ekonomi. Mereka mengajarkan dari sudut mana harus menyelusup untuk mendakinya, dan menunjukkan patok-patok untuk sampai ke puncaknya, sehingga aku dapat memetakan peluangku untuk menyumbangkan ilmuku: sebagai seorang pendidik, peneliti, konsultan, atau pembuat kebijakan. Lebih dari semuanya, aku ingin sekali menjadi seperti Adam Smith, menjadi seorang economics scientist, ilmuwan ekonomi. Karena itu, konsentrasi studi yang kuambil di Sorbonne adalah Economics Science.
Aku sangat gandrung pada ide-ide Adam Smith. Berulang kali kubaca bukunya yang fenomenal itu: An Inquiry into the Nature and Causes of the Weaith of Nations, sampai hafal beberapa bagian. Membaca judulnya saja rasanya aku bergetar-getar. Sungguh istimewa buku yang ditulisnya tahun 1776 itu. Buku itu mengandung kristalisasi pemikiran dengan visi yang timeiess. Menurut
pendapatku, buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang mengaku dirinya mahasiswa ekonomi, atau siapa saja yang bertanggung jawab mengurusi hajat hidup orang banyak di suatu negeri. Tak heran Michael Hart mendudukkan Adam Smith, laki-laki Skotlandia itu, pada bangku nomor tiga puluh tujuh sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah. la hanya satu nomor kalah penting dari William Shakespeare, tapi dia lebih berpengaruh dari Thomas Alpha Edison.
Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis men"jadi penganut fanatik ekonomi klasik ajaran Adam Smith. Aku tertegun membaca salinan pokok-pokok pikiran beliau yang berusia hampir tiga ratus tahun.
Adam Smith bermata sendu tapi meradang, maka i
a mirip Rhoma Irama. Kucetak fotonya besar-besar, 20 R, kupigura dan kusandingkan dengan foto idolaku Rhoma Irama, yang jauh-jauh kubawa dari tanah air.
Dulu cita-citaku ingin menjadi pemain bulu tangkis, lalu gagal, dan kini Adam Smith mendidihkan gairahku untuk menjadi ilmuwan ekonomi. Rhoma Irama adalah sahabat lamaku, kukenal dia sejak poster Hujan Duit-nya me-nutupi lubang dinding SD-ku dulu.
Sering, jika kehabisan ide untuk paper-ku, atau kelelahan ditimbuni tugas kuliah hingga batok kepalaku menciut, aku melongo di depan foto Adam Smith dan Rhoma Irama. Kucoba berdialog secara imajiner dengan mereka.
Adam Smith, selalu seperti orang yang tersinggung, kejengkelan berdesakan dalam kepalanya karena orang-orang tak memahami kegeniusannya.
Aku bertanya, "Bagaimana Anda bisa menjadi begitu pintar, Tuan Smith""
la diam saja, tak acuh. Air mukanya berkata: Enyahlah, Anak Muda! Merepotkan saja. Apa pun yang kukatakan tak 'kan kau mengerti! Be/ajartah sana dengan dosen-dosen Prancis gobhkmu itu!
Aku mundur. "Oke, oke, Tuan Smith, tak perlu marah-marah begitu ...."
Aku berbalik, minggat meninggalkan Tuan Smith yang sedang tidak mood. Tapi baru beberapa langkah aku kaget.
"Hei, Orang Udik! Memangnya siapa kamu" Dari mana asalmu""
Aku terkejut. Tuan Smith bertanya padaku! Aku berbalik, kembali menghampiri Tuan Smith.
"Dari Pulau Belitong, Tuan Smith."
"Di mana itu""
"Di Indonesia, Tuan Smith ...."
"Indonesia" Di mana itu""
Aduh, aku tak tahu bagaimana harus menjelas-kan. Kata-kataku macet.
"Ah, sudahlah, Anak Muda. Lupakan saja. Tapi maukah kau bercerita tentang negerimu""
"Negeriku""
"Ya, negerimu" Adakah orang-orang pintar di sana""
Pertanyaan yang sulit. "Ceritakanlah."
Dilematis! "Ayo, kisahkan kepadaku tentang orang-orang pintar di negerimu. Apa saja terobosan ilmiah mereka""
Runyam sekali karena aku hanya tahu satu hal tentang orang-orang pintar di negeriku.
"Ayo, Anak Muda, jawablah."
Aku melongo dan aku ingin jujur.
"Banyak, Tuan Smith. Di negeriku banyak sekali orang pintar, pintar mencuri uang negara."
Wajah Tuan Smith merah padam. Matanya melotot menahan teriakan. Gagasan yang hebat dan kemarahan ilmiah yang terkunci dalam wajahnya seolah akan meledak. la memberi isyarat agar aku mendekat. Bola matanya lirak-lirik kiri kanan, seperti takut ada yang memata-matai. la berbisik, emosional, histeris, tertahan.
"Apa kataku dulu! Apa kata teoriku dulu! Benar,
kan" Pengaruh uang tak ubahnya siulan iblis!" Tuan Smith kembang kempis.
"Semua itu gara-gara kaum monetarist keparat itu!!"
Aku bingung. Aku ingin bertanya: mengapa" Tapi Tuan Smith tak memberiku kesempatan. la muntab.
"Kau tahu"! Kaum monetarist bersekongkol mengumpulkan uang agar negeri seperti kalian dapat berutang, lalu pelan-pelan negeri kalian tergadai! Mereka itu tak ubahnya rentenir! Kolonial model baru! Tukang ijon! Teori mereka ... teori mereka ...."
Tuan Smith sontak berhenti. Rupanya ada orang lewat, Arai. Tuan Smith kembali ke sikap semula, sebuah foto yang tak acuh, seakan tak terjadi apa-apa. Aku pun begitu. Aku tak mau dianggap sinting oleh Arai karena bicara dengan foto. Kami menyaksikan Arai meninggalkan ruangan. Tuan Smith menarik kerah bajuku.
"Teori mereka" Pembangunan ekonomi berlan-daskan moneter" Omong kosong sama sekali! Keynesians itu adalah turis dalam ilmu ekonomi, lebih cocok kalau mereka dimasukkan ke dalam sel! Uang! Semuanya Uang! Lihatlah akibatnya pada pencuri-pencuri uang di negerimu itu!" Aku mengangguk takzim. Tuan Smith makin semangat.
"Proyek fisik! Lapangan kerja! Itulah solusi se"mua masalah!! Selain itu hanya bualan. Sekarang, lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti
dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!!"
Mengerikan! Sungguh mengerikan. Aku sampai merinding mendengarnya. Pelajaran moral nomor tiga belas segera kutarik: jangan bicarakan keadaan negeri kita de-ngan seorang ekonom klasik. Pesimis!
"Satu lagi, Anak Muda, tapi ini rahasia!!"
Tuan Smith celingak-celinguk.
"Tak banyak orang yang tahu! Rahasia ini agak berbahaya! Bisakah kau menjaga rahasia"!" nada Tua
n Smith mengancam. "Bisa"!" "Bisa, Tuan Smith ...."
Tuan Smith berbisik keras, "John Maynard Key"nes yang wajahnya seperti lutung habis bercukur itu sebenarnya adalah mantri hewan yang menyaru menjadi dosen ekonomi!"
Aku tersentak, luar biasa! Setelah kurenungkan dalam-dalam, boleh jadi informasi itu benar adanya.
"Setujukah engkau dengan pendapatku itu, Anak Muda""
Tuan Smith menyentak kerah bajuku, aku tercekik.
"Setuju"" Setelah kujawab setuju, baru ia melepas-kanku.
Tuan Smith tersenyum puas, demikian pula Rhoma Irama di sebelahnya. Pada detik itu aku langsung tahu rahasia lain bahwa ternyata Rhoma Irama juga penganut mazhab klasik! Aku ingin sekali mendengar komentarnya.
"Kak Rhoma ... apa gerangan pendapatmu
tentang negeri kita""
Disertai senyum simpatik khasnya, beliau menjawab optimis sambil mengutip salah satu judul lagu terkenalnya.
"Ok dech ... bagi yang mudha, yang punya ghaya ... Rambathe Ratha Hayo! Singsingkanh lenganhh bajuhh kalau kitah mau majuhh!!11
23 mozaik Surat dari Ayahku Rupanya euforia menuntut ilmu di Sorbonne yang tengah kualami, juga dialami Arai. Berma-lam-malam ia tak tidur sebab tergila-gila pada riset protein Sitokrom-C, unsur pen ting yang mendasah kelangsungan hidup organisme, demikian tesis kerja yang disemburkannya padaku berulang kali.
"Tahukah kau, Ikal"! Hasil riset Sitokrom-C ini dapat menjadi kanon yang merontokkan bangunan absurditas teori-teori kaum evolusionis," lagaknya menceramahiku.
Demi semangat persaudaraan, aku berpura-pura paham. Arai begitu bersemangat. Sampai pucat wajahnya karena tak henti menelaah hipotesis Harun Yahya. Sekarang ia adalah seorang ilmuwan kreasionis yang berdiri di garda depan membela kebesaran Tuhan dalam penciptaan di muka bumi ini. Ia ingin menjadi bagian dari pasukan intelektual religius yang menentang kesesatan Darwin.
Lebih spesifik, Arai bercita-cita jadi seorang microbiologist. Sebuah kualifikasi yang masih sangat jarang di Bumi Pertiwi. Sungguh konstruktif, sekarang aku ingin menjadi economics scientist dan Arai ingin menjadi microbiologist !. Canggih bukan buatan. Kami menari berjingkrak-jingkrak merayakan visi baru hidup kami seperti Modigliani bersuka-cita menari mengelilingi patung Balzac. Sepucuk surat dari ayahku, menisbatkan semuanya.
Sejak hari pertama di Eropa, waktu masih di Belgia dulu, aku telah mengirimi orangtuaku surat. Setelah itu, ke mana pun kami sampai, kami selalu mengabarkan keadaan kami. Aku tak mengharap balasan surat-surat itu, terutama karena maklum bahwa yang memahami huruf-huruf Latin hanya ibuku.
Namun, hah ini sangat mengejutkan. Monsieur Leroux, landlord apartemen kami, menyerahkan sepucuk surat padaku. Aku gugup melihat cap pos di amplopnya, nama kampungku! Pasti ada sesuatu yang amat penting. Usai kuliah aku menyingkir dari teman-temanku, menyepi di bawah patung Robert de Sorbonne.
Surat itu ditulis ibuku di atas kertas bergahs tiga. Preambulnya mengabarkan bahwa Ayah mendiktekan kata-katanya untuk disalin Ibu. Dengan rapi, Ibu merundukkan huruf-huruf kecil di bawah garis rendah dan huruf kapital diukir seperti
kecambah pada awal kalimat. Semua huruf condong dengan sikap sopan santun seakan hendak mencium huruf di sebelahnya.
Mendapatkan Ananda Ikal dan Arai
Dirantau orang Tak terbilang senangnya menerima surat Ananda tempo hari,
berulang kali dibacakan ibumu,tak kunjung puas hati
Ayahanda . Ananda tercinta,perihal mendesak yang ingin Ayahanda
Sampaikan dalam surat ini berkenaan dengan suatu masalah
mengharukan yang melanda kampung kita.
Sebagaimana Ananda sudah mafhum,disebabkan timah
Bangkrut pemerintah pusat di Jakarta telah memaklumatkan agar
Orang Melayu mengubah dirinya dari buruh tambang menjadi
petani.Beramai-ramailah orang Melayu menanam cengkeh.
Malang tak dapat ditampik.cengkeh-cengkeh itu tangguh
pohonnya, dalam akarnya, gemuk-gemuk rantingnya, dan sehat
daunnya, tapi tak kunjung menunjukkan kemauan untuk berputih
Berbagai tenaga ahli telah didatangkan.Umumnya mereka
Berpendapat tanah Belitong memang tidak cocok untuk pertanian.
karena mengandung batu-batu tambang.
Tapi Aya handa sama sekali tidak sepaham dengan pandangan itu. Ayahanda menduga, orang Melayu yang baru berkenalan dengan pupuk telah salah menafsir wejangan penyuluh dari Jawa. Buruh buruh tambang itu menganggap pupuk sebagai zat ajaib yang dapat mencapai tujuan dengan memotong tempo.
Masalah lain adalah wabah penyakit bengkak pangkal leher yang melanda kampung kita. Penyakit ini cepat terjangkit seperti sampar. Belum ada tabib yang dapat mengatasinya. Dokter pun hanya datang seminggu sekali dari Tanjung Pandan. Sebenarnya mungkin akar akar kayu, bukit bukit kerang, dan daun hutan dapat menangkalnya, tapi kita tak punya tenaga ahli yang paham meramu takarannya. Karena itu, saat ini kampung kita sangat memerlukan seorang asisten apoteker.
Atas semua perkara diatas inilah maksud surat Ayahanda, yaitu sedapat mungkin pendidikanmu di Prancis diarahkan pada bidang keahlian pupuk. Janganlah terlalu tinggi sekolahmu, cukup jika kau berhasil menjangkau titik ahli madya pupuk sehingga dapat langsung dipraktekkan. Adapun saudaramu Arai, sangat berfaedah jika ia bisa mengambil jurusan apoteker. Oleh Bukan main paduan itu. Persangkaan Ayahanda dua bidang inilah, ahli pupuk dan asisten apoteker, yang paling diperlukan kampung kita sekarang agar mampu bersaing dengan daerah lain dalam mengejar ketinggalan periode pembangunan bangsa ini
Selanjutnya , ayah berpesan agar kami selau menjalankan perentah agama. Beliau juga mengabarkan satu berita yang sangat mengembirakan, yaitu PN Timah telah menaikkan pengsiun mantan buruh timah dengan tambahan sebesar Rp 7.000 sehingga pensiun Ayah sekarang menjadi Rp 87.300 per bulan. Tak kurang dari empat kali Ayah mengucapkan syukur atas jumlah pensiunnya yang baru. Kata Ayah, kenaikan pangsiun pertamanya ia belikan per untuk memperbaiki jam wekernya. Tak lupa beliau membeli lima lembar prangko seri Pencak Silat. Dilampirkannya prangko-prangko itu dalam amplop, agar aku dapat membalas suratnya dai Prancis.
Membaca penutup Ayah, hatiku mengembang karena dengan tangannya sendiri Ayah menulis namanya.
Ayahandamu selalu Seman Said Harun

Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berulang kali kubaca surat Ayah, tak kunjung reda gemuruh dalam diriku. Begitu tinggi aku telah membangun ekspektasi hidupku sehingga surat Ayah tak ubahnya dua halaman Utopia bagiku. Aku baru saja merayakan cita-cita menjadi seorang economics scientist tapi rupanya ayahku ingin aku menjadi ahli madya pupuk, dan Arai yang terobsesi menjadi seorang microbio/ogist diharapkan ayahku menjadi seorang asisten apoteker.
Aku menyandarkan diri pada patung Robert de Sorbonne. Robert yang muram, tua, dan berlumut. Delapan ratus tahun yang lalu tokoh visioner ini, dengan kebijakan teologisnya, mendirikan Univer-sitas Sorbonne demi kemaslahatan pengetahuan, demi memecahkan enigma ilmu. Ingin kutanyakan padanya: Monsieur Sorbonne yang bijak bestari, apa yang harus kukatakan pada ayahku"
Kupandangi bangunan Sorbonne yang angker. Bendera triwarna Prancis berkibar-kibar megah di atas gerbangnya. Di dalam gedung itu aku pernah beradu argumentasi dengan dewan profesor untuk mempertahankan teori-teori risetku. Beberapa profesor itu bahkan pernah menjadi kandidat penerima Nobel Ekonomi. Namun di sini, di bawah patung Robert de Sorbonne yang durja, tak mampu kutemukan sepatah pun kata untuk membalas surat ayahku.
Kuulangi membaca surat itu, sepucuk surat yang amat biasa sebenarnya, namun setiap kalimatnya mengandung seribu cerita tentang seorang pria penganut kebenaran hidup yang
sederhana seperti ayahku. Dadaku sesak karena keluguan surat itu telah membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri, pada harapan duniawiku yang egois dan materialistik. Ayahku dengan ketulusannya yang tak terukur, dengan pensiun Rp87.300 masih bersemangat memikirkan nasib orang-orang di kampungnya, masih sempat memikir"kan apa yang terbaik untuk bangsanya.
Aku membuka tasku, mengeluarkan bungkusan kecil yang dititipkan ayah di Bandara Buluh Tumbang di Tanjong Pandan dulu, yang dipesan-kannya agar dibuka setelah aku sampai di Prancis. Bungkusan itu berisi kain sarung yang biasa beliau pakai jika ke masjid.
Aku mencium kain itu lama-lama, aku mencium bau laki-laki pendiam yang selalu menghangatkan hatiku, selalu membelaku apa pun yang terjadi. Sarung itu mengembuskan aroma kebaikan hati dan kasih sayang yang melimpah ruah untukku, menyesaki rongga-rongga dadaku. Lalu aku terkenang, dulu Ayah mengajariku melilit sarung di pinggangku dengan sarung itu. Dan, tak 'kan pernah kulupa, aku dibonceng ayahku bersepeda ke bendungan. Sepanjang jalan beliau menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kecebong. Pulangnya, aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi. Air mataku meleleh. Ayahku adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku rindu pada ayahku, sangat rindu.
24 mozaik Paradoks Ketiga Paris di hari-hari akhir musim salju tak ubahnya
gemerincing snare drum musik country jazz Norah Jones: simpel, terduga, dan menimbulkan perasaan senang. Nada-nada yang hang bereskalasi mengiringi kerak es yang luruh dari tiang-tiang telepon, meteran parkir, kanopi, lengan-lengan jembatan, papan tulis tarif kafe-kafe, batang-batang pohon shagbark hickory dan billboard.
Matahah adalah tukang tenung. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan atap-atap bangunan sepanjang L'Avenue de la Baurdonnais menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es di bibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi cerobong asap. Rombongan tikus kelabu, kelinci, dan rakun tersembul-sembul dari timbunan dedaun-an Ulmus montana. Anak-anak tupai mengintip lalu melompat dari celah-celah akar atau dari siku-siku bangku taman. Semuanya berdendang girang, ribut
berjingkat-jingkat ditingkahi perkusi pohon poplar yang dipatuki burung-burung pelatuk. Meriah!
Paris memuai menyambut musim panas. Hati yang menciut kedinginan dan mudah putus asa, karena bisikan jahat musim es, kembali merona. Apa pun yang pucat menjadi kuning, kuning menjadi merah, dan kelabu menjadi hijau. Dan merekahlah senyum kondektur metro yang cemberut saja tiga bulan terakhir ini. Tukang bunga menyapa setiap orang yang lewat. Tukang kebab, orang-orang Turki yang terkenal pelit itu, membanting harga sesukanya, penuh pengertian pada mahasiswa negeri Dunia Ketiga. Polisi pun menjadi lebih ramah. Tekanan hidupku sebagai minoritas mencair karena semua orang bicara dalam bahasa yang sama: summer time1. Liburan!
Di teater-teater, para penata artistik mem-bongkar dekorasi gotik nan kelam. Lakon-lakon musim salju: Bram Stoker's Dracula yang berdarah-darah, Caligula yang saling bunuh, Raja Arthur yang penuh intrik, diganti dengan pentas Sound of Music. Backdrop-nya pegunungan hijau Switzerland, awan-awan cerah, dan kawanan biri-biri gendut. Penonton bersukacita menonton drama musikal di mana pemerannya para petani, gadis-gadis kecil, penggembala, semuanya tersenyum, bahkan biri-biri gendut itu, tersenyum.
Kisah kaum marjinal yang tertindas, orang-orang yang terbuang karena sikap politik mereka, hikayat orang-orang Kiri, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi, dan kelakuan represif
penguasa, berganti menjadi tema-tema urban yang kreatif. Jika sebelumnya penuh dengan kisah pilu, bahkan kebahagiaan ditangisi, kini pentas diisi oleh aktor yang menertawakan kesusahan. Itulah kisah romansa seorang tukang ledeng, kisah ringan persahabatan tukang koran dan pramuniaga, cerita konyol sebuah keluarga yang mendapati gadis kecilnya bertato di bagian tubuh yang agak pribadi, atau kisah transeksual yang pahit tapi disajikan secara jenaka.
Yang paling kusuka dari teater musim panas adalah cerita orang-orang kaya baru Asia yang berbelanja ke Paris. Pulang ke tanah air, mereka petantang-petenteng mengaku telah menjelelajahi butik Prada sepanjang L'Avenue des Champs-Elysees, padahal hanya memborong baju obral di Mai Lafayette. Namun, yang kutonton berulang-ulang adalah parodi, inspired by a true story, tentang dilema seorang mahasiswa Indonesia di Paris yang menjadi guide bagi para petinggi yang ingin berutang. Parodi ini mencapai klimaks saat para petinggi Jepang, yang memberi utang, datang ke
tempat pertemuan dengan mobil mini bus carteran, sedangkan para petinggi Indonesia, yang berutang, datang satu per satu dengan limousine. Di panggung teater musim panas di Paris, kutemukan paradoks ketiga.
Aku melekatkan telapak tangan di patung batu Fountaine Wallace dan menempelkan kehangat-annya di pipiku. Aku merasa senang, tapi gelisah. Gelombang demi gelombang turis membanjiri Paris. Galeri-galeri dipadati pengunjung. Antrean tiket meluber ke jalan raya. Paris seperti festival! Karavan-karavan gipsi memenuhi lapangan-lapangan kosong, mengusik sesuatu yang lama bersemayam dalam diriku, yaitu mimpi-mimpi lama kami: menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Namun, ini bukan persoalan gampang. Masalahnya klasik: biaya. Sedang Benua Eropa amat luas. Satu per satu sajalah, mengelana Eropa dulu baru memikirkan Benua Hitam itu. Afrika, pada tahap ini, tak lebih dari keputusan generik setelah kami merambah Eropa. Afrika menjadi semacam harapan yang tidak realistis.
Aku dan Arai sibuk seperti tupai mengumpulkan biji-biji pinang. Kami banting tulang mencari uang. Melalui persekongkolan dengan beberapa imigran gelap, aku men-dapat pekerjaan part time sebagai door man, tukang buka pintu di Restoran La Jaconde di Goncourt. Meskipun seragamku sangat anggun, lengkap dengan topi tingginya, dan ayahku pasti bangga melihatnya, namun pekerjaan door man adalah pekerjaan yang mengerikan.
Pekerjaan Arai, jauh lebih mengerikan. la men"jadi tukang lift di sebuah hotel di kawasan Grands Boulevards. Dengan seragam berpangkatnya, laki-laki kurus tinggi itu terkurung berjam-jam dalam ruangan sempit lift. Jika sedang tidur sering kulihat
jempolnya mengacung-acung, seperti orang me-mencet-mencet tombol lift. Sayangnya, usai kontrak kerja musiman itu kami hanya mampu mengumpulkan sedikit uang.
Kami tak surut. Cita-cita yang telah terpatri lama itu tak boleh gagal begitu saja. Sekaranglah saat mewujudkannya, right here, right now. Aku kembali bekerja. Tiga pekerjaan sekaligus: enam jam sebagai editor naskah ilmiah ekonomi untuk tabloid universitas, dua jam mengajar statistik di sebuah akademi, dan empat jam menjaga toko kelontong milik seorang Pakistan di Oberkampf, melayani ibu-ibu Prancis yang membeli bawang Bombay.
Arai, sejak dulu memang selalu mendapat pekerjaan yang menggiriskan. la hanya mendapat satu pekerjaan, yaitu di pabrik boneka. la bekerja delapan jam penuh menyematkan peniti berpita di dada boneka anjing. Setiap kali anjing pudel itu tertekan, ia akan menyalak nyaring. Jika Arai sedang tidur, aku sering mendengarnya mengigau: Kaing\ Kaingl Kaiiiiiing ...!
Malangnya, setelah seluruh uang hasil jerih pa-yah itu dikumpulkan, kami bahkan tak mencapai angka sepersepuluh dari anggaran minimum untuk menjelajah Eropa. Jika dipaksakan, kami bahkan tak 'kan mampu beranjak dari Eropa Barat.
Sebenarnya ada cara yang lebih murah, yaitu mengikuti paket hemat agen travel. Tapi kami tak sudi. Agen travel hanya cocok untuk para pensiunan. Perjalanannya tak dapat disebut sebagai
penjelajahan. Kami ingin backpacking, tidur dalam sleeping bag di stasiun, terminal, emper toko, dan taman-taman. Kami ingin mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi turis, menelusuri jalur yang bukan jalur wisata. Kami ingin melihat inti sari kehidupan bangsa-bangsa Eropa sampai ke pelosoknya. Kami tak mengharapkan perjalanan yang mudah. Kami ingin tantangan yang meng-getarkan. Inilah esensi petualangan. Kami tak berselera bepergian dengan agen travel yang umumnya dilakukan mahasiswa Indonesia, baik yang baru maupun yang sudah karatan di Eropa. Mereka berkerumun, pelesiran duduk rapat-rapat sesama spesiesnya sendiri. Kelihatan betul mentalitas kolektivis dan komunalnya.
Namun, semuanya tetap muskil tanpa sejumlah uang. Bagaimanapun kami nekat berangkat tanpa bekal, pengurusan visa harus tetap pakai uang. Kami telah bekerja habis-habisan dan sekarang hilang akal. Liburan musim panas makin dekat. Dalam siksaan frustrasi yang memuncak, keajaiban itu datang. Kami menerima e-maii.
Oiik, guys!! Hora is life" Mincjgu depan aku ke Paris, fashion show
unCuk summer, di Various, k
eCemu ya .... Cheers Famke Soiners Aku melonjak. Kuingat kata Arai dulu waktu ka"mi menerima pengumuman beasiswa ke Sorbonne: bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Membaca e-maii Famke, aku mendapat firasat, gadis cantik Belanda itu akan memberi solusi untuk kami.
25 mozaik Artikulatif Waktu pertama bertemu dengannya di Bandara
Schippol dulu, aku telah melihat supermodel Daria Werbowy dalam diri Famke Somers. Kawan, apa yang bisa kukatakan padamu tentang Daria Werbowy" Kurasa, meski bagian dari keindahannya, sedikit kurang respek kalau ia kurepresentasikan lewat nomor-nomor lingkar dada, pinggang, dan pinggulnya. Kuharap cukup artikulatif kalau kubeberkan angka-angka ini: 180 dan 52. Itulah tinggi dan beratnya dalam sentimeter dan kilogram. Maka ia adalah tiang listrik. Tiang listrik yang jelita, namun dialah satu-satunya alasanku menonton Fashion TV.
Jika ia melenggok di atas catwalk, membawa-kan rok belah tinggi Christian LaCroix, ekspresinya tak ambil pusing, langkahnya tergesa-gesa, kakinya yang panjang silang-menyilang tangkas, seperti pemain center back sepakbola ingin merobohkan striker. Sering aku cemas, kalau-kalau cara berjalan
seperti itu membuatnya turun berok.
Sejak Werbowy dibaiat sebagai supermodel, aku terus mengikuti kabarnya. la membuatku memahami bahwa sikap obsesif perempuan terhadap make up dan busana, memang beralasan. Tapi sebenarnya aku tak pernah peduli soal rancangan haute couture yang ia pakai. Aku kagum padanya sebagai pribadi. Karena ada kecerdasan di balik seluruh kesan kecantikannya dan karena penolakannya memakai busana dari kulit binatang. Werbowy, manifestasi keindahan perempuan sebagai seni, pengejawantahan sesuatu yang jauh, telah menjadi semacam ilham bagiku. Ia hadir dalam imajinasiku seperti gambar yang mengawang-awang, biarlah begitu.
E-mail Famke hari ini membuktikan instingku itu. Aku yakin, suatu hari nanti perempuan Belanda yang semlohai itu akan menjadi seperti Werbowy. Yang aku tak yakin justru benda yang kupegang saat ini: undangan. Sebuah event organizer mengundangku dan Arai untuk acara fashion show, tentu saja karena permintaan Famke secara pribadi. Kami bingung karena tak tahu apa yang akan dikenakan untuk acara bergengsi itu. Beruntung mantan majikan kami bersedia membantu. Akhirnya, kami hadir dalam acara hebat itu mengenakan setelan jas door man dan lift man yang sedikit dimodifikasi.
Kami duduk di nomor kursi paling belakang, tak dipedulikan siapa pun. Tak mengapa, karena lihatlah di situ. Tak jauh dari kami, di bangku-bangku depan
itu paling tidak aku melihat Jennifer Jason Leigh, Keira Knightley, Sharon Osbourne, dan Victoria Beckham. Di belakang mereka, tak kurang dari hair stylist ternama yang sering kulihat di Fashion TV: Laurent Philippon, sedang cekikikan dengan desainer yang amat berbakat Elie Saab. Para fashion editor, paparazzi, dan fotografer dari Vogue dan majalah-majalah mode terkenal seperti Carine Roitfield, Mario Testino, Robert Rosen, Jennifer Houston, sibuk tak keruan.
Hentakan halus tone-tone techno memasuki ruangan, fade in. Hentakan makin keras. Diiringi tepuk tangan meriah, turunlah bidadari dari khayangan. Satu per satu kemudian berduyun-duyun, melangkah di atas catwalk, cepat bersaling silang, tak peduli. Aku terpana melihat peman-dangan anggun di depanku. Fashion show haute couture di Paris bukan sekadar soal sandang tapi keseluruhan konsepnya adalah karya seni adiluhung. Kami bertepuk tangan keras-keras melihat Famke Somers muncul dari balik pang-gung. Ia melenggang penuh gaya membawakan busana bernuansa gipsi: boho, trend musim panas tahun ini. Sekonyong-konyong, baru saja menikung dengan elegan dari arah belakang, muncullah si bohemian Ukraina yang jelita itu. Napasku macet. Ia memandang lurus, sedikit sombong, tubuhnya meluncur, wajahnya dramatis. Aku melonjak dan bertepuk tangan sejadi-jadinya seperti menyemangati Liem Swie King melawan Misbun Sidek dalam skor 14-14. Kawan, tahukah dirimu" Si bohemian yang baru saja
menikung itu adalah Daria Werbowy!
Usai acara Famke mengajak kami ke Museum Le Louvre. Di sud
ut halamannya penonton berdesakan mengelilingi seniman-seniman muda yang menam-pilkan koreografi pirouettes: penarinya berputar sambil saling menumpukan kaki pada penari lain. Koreografi baroque itu menjadi menawan karena mereka gabungkan dengan gaya tari kontemporer. Semarak. Perkusi berdentam-dentam nakal meng-goda penonton untuk ikut bergoyang. Para penari itu adalah sahabat sekelas Famke dari Amsterdam School of the Arts. Famke bergabung dengan mereka, menari berputar-putar. Pengunjung tak henti-henti melemparkan koin Euro ke dalam topi yang disediakan untuk menampung sumbangan.
Kami ceritakan pada Famke rencana kami keli-ling Eropa dan kesulitan yang kami hadapi.
"Mengamen saja di jalanan," sarannya ringan.
Kami tertegun, bimbang. Tapi Famke serius.
"Mengapa tidak" Kalian lihat kan uang dalam topi tadi""
Aku berpikir keras. Tawaran itu konyol tapi sangat masuk akal. Selama musim panas memang banyak orang membiayai perjalanan keliling Eropa dengan mengamen dari kota ke kota. Tapi mereka adalah seniman jalanan profesional, mahasiswa-mahasiswa seni, atau komunitas yang punya kultur tampil di jalanan seperti kaum gipsi. Sedang kami
tak bisa menyanyi, tak rancak menari, tak pandai berakting, menyulap, atau memainkan alat musik. Famke membaca pikiran kami.
"Jangan cemas, Kawan."
la mengamati kami. Gagasan kreatif pasti se"dang berpijar-pijar dalam kepalanya.
"Berapa tinggimu"" ia menanyai kami satu per satu.
"Ternui aku di Amsterdam minggu depan. Aku punya solusi untuk kalian, ok""
Kami penasaran tapi tak bertanya. Sebagai mahasiswa seni yang cemerlang, kami yakin ia tahu apa yang sedang ia rencanakan. Menurut istilah Arai, Famke punya wewenang ilmiah dalam bidang seni jalanan. Diam-diam aku merasa gembira. Di sekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai pahlawan. Famke adalah kawan semacam itu.
26 mozaik Cinta Adalah Channel TV Hari ini aku menjemput Katya di stasiun. Hampir sebulan ia di Bayern. Aku rindu padanya. Tapi aneh, aku berusaha mengalihkan rindu itu dengan mengamati backpacker Kanada yang sedang mengemasi sleeping bag setelah semalam mereka tidur di taman dekat stasiun. Tak tahu mengapa, aku tak ingin memikirkan Katya, malah yang kubayangkan adalah penjelajahan backpacker Kanada yang mengagumkan. Aku telah mempelajah bahwa backpacker Kanada adalah explorer dengan jarak tempuh amat jauh, yang terdampar di Paris musim panas tahun ini telah melintasi India dan melalui jalan darat menembus Bangladesh, Burma, Malaysia, bahkan menyeberang ke Belawan, Sumatra Utara. Mereka kompak, egaliter, dan penolong. Kuat dugaanku, tradisi backpacking dan kode etik tak tertulisnya dimulai oleh backpacker Kanada. Ke mana pun pergi, mereka selalu membawa gambar identitas bangsanya: daun maple.
Katya, turun dari kereta, dengan pesona yang lebih dari saat ia berangkat. Hari-hari berikutnya kulalui dengan rutinitas yang biasa dengan Katya. Tapi seperti musim, rupanya aku telah berubah. Kini aku dilanda perasaan ganjil: setiap melihat Katya, yang kulihat A Ling.
Belasan tahun cinta pertamaku dengan A Ling terkunci dalam diriku, lekat dan indah. Cinta A Ling menimbulkan perasaan seperti aku baru pandai naik sepeda. Ia se-perti kembang api, seperti pasar malam, seperti lebaran. Cintanya mengajakku menulis puisi, cintanya adalah sastra. Sebaliknya, cinta Katya amat berbeda. Cinta Katya adalah kemistri. Cintanya memancing caudate nucleus dari sudut-sudut gelap otak, menyalakan dopamin pengundang risiko-risiko moral, dan memantik simpul-simpul saraf yang mengobarkan ide-ide platonik.
Pada suatu kesempatan, saat aku mengantar Katya pulang, aku bertanya, "What love means to you, Katya""
"Aaa, my man ... cinta adalah channel TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!"
Aku terkesiap. Sedalam mana pun perasaanku, sehebat apa pun teoriku, semudah itu saja! Bagaimana kalau nanti aku menjadi acara TV yang membosankan" Seperti sinetron atau acara Dari Desa ke Desa" Hah ini aku mengenal satu sisi Katya yang harusnya sudah kupahami sejak dulu. Cinta bagi wanita cantik ini adalah katarsis. Tak ada
yang salah dengan hal itu, apalagi itu haknya, namun ia dan nilai-nilai yang dianutnya menimbulkan situasi oportunistik bagiku. Sebenarnya, dengan sedikit sikap culas, aku bisa meraup keuntungan besar dari wanita yang setiap aspek dalam dirinya diidamkan setiap laki-laki ini. Katya bak buah khuldi yang ranum, cintanya simalakama. Dilematis, dilematis!
Kukatakan pada Katya apa arti cinta bagiku, sangat India. Biar lebih dramatis, kutambahkan bahwa kami mengalami apa yang disebut pengacara perkara rumah tangga di Hollywood sebagai irreconciabie differences, perbedaan yang tak dapat didamaikan. Ia mendekatiku dengan suatu gerakan slow motion. Tapi aku telah berketetapan hati untuk mengakhiri romansa, dan telah kusiapkan kalimat memuakkan: cinta tak harus saling memiliki1. Sangat Indonesia. Ternyata ia menghormati perbedaan itu. Sampai di sini cintaku dengan perempuan Jerman itu khatam. Selanjutnya, kami menikmati saat-saat turning back a lover into a friend, membalikkan lagi dari pacar menjadi teman, rupanya, bisa juga menjadi indah.
Katya adalah perempuan menawan yang akan selalu menjadi sahabat baikku. Tak 'kan kulupa ia pernah membuatku merasa ganteng. Kuceritakan pada MVRC Manooj bahwa aku walk out dari Katya, ia menggoyangkan kepalanya tujuh kali. Kamu bodoh
sekalil Itulah maknanya. Namun, bukankah sejarah pribadi bergantung pada bagaimana kita membuat-nya" Orang-orang bisa saja mengenangku sebagai si naif yang hipokrit, tapi aku tak ingin mengenang diriku sendiri sebagai seorang oportunis. Aku senang telah mengenal Katya, terutama karena perempuan canggih dari Eropa itu telah memberiku pelajaran moral nomor dua belas yaitu: ke mana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh.
Kini tak lagi kulewatkan sore sambil minum teh Prancis melange quartier di balkon apartemen Katya. Sore ini aku melamun sendiri di pinggir Sungai Seine. Aku merindukan A Ling, rindu pada senyumnya ketika melihatku, rindu pada caranya melipat lengan bajunya, dan rindu pada paras-paras kukunya. Aku ingin bertemu, tapi ia masih raib. Kata A Kiong sepupunya, mungkin A Ling di Singapura atau Eropa untuk belajar merancang busana, sesuai cita-citanya dulu. Mungkinkah A Ling berada di suatu tempat di Eropa atau Afrika" Bagaimana cara menemukannya" Yang dapat kulakukan hanya mengetik namanya di mesin-mesin pencari Internet: Njoo Xian Ling + Fashion + Ho-kian + Europe + Africa, dan muncullah ratusan nama dengan beragam kejadian dan profesi. Kulebarkan spektrum pencarian. Jangan-jangan ia juga sudah punya international name. Kuketik Emily Ling, Patricia Ling, atau Margareth Ling, tumpah ruah.
Di Prancis sendiri kutemui tiga Njoo Xian Ling.
Salah satunya ternyata tinggal di Apartemen Chevalier, hanya satu blok terpisah dari aparte-menku di La Rue Hector Mallot. A Ling, yang rasanya telah kucari seumur hidupku, mungkin saja selama ini hanya terpisah satu blok dariku. Kuharap ia tak punya anak lima dan bersuamikan seorang pialang saham serupa Hugh Grant.
Aku bergegas ke Chevalier dengan seribu doa di hatiku. Salah satunya, "Va, Tuhan, kalaupun A Ling harus bersuami, tolong, tolong Tuhan, suaminya jangan setampan Hugh Grant!"
Landlord Chevalier memberi tahuku nomor pin-tu ruangan Njoo Xian Ling. Aku nervous mendekati pintu itu. Aku memencet bel, seorang pria Tionghoa yang sangat tua membuka pintu. Matanya bengkak. Rupanya sejak tadi, atau mungkin sejak pagi tadi, ia menangis. Pelupuknya lebam seperti petinju kena hantam. Ia sesenggukan.
Aku masuk ke ruang tamun dan bertanya, "Njoo Xian Ling ...""
Lali-laki tua itu mengangkat wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil kena knalpot. Ia memelukku seolah dirinyalah manusia paling malang di dunia ini.
"Kamerad ...," katanya, sambil memandang se-buah foto.
"Kameraaad ...," begitu berulang-ulang. Kutangkupkan foto itu, baru ia sanggup bicara.
Rupanya istrinya, Njoo Xian Ling, baru saja meninggal dalam usia 70 tahun. Kami berbincang sebentar. Aku berusaha menghiburnya.
Aku meninggalkan Apartemen Chevalier dengan pera
saan campur aduk. Aku prihatin pada nasib Yung Hong, lelaki tua itu, yang kini harus hidup sendiri, aku sedih karena tak menemukan A Ling, namun kamerad Hong tak setampan Hugh Grant, aku senang.
Njoo Xian Ling kedua jauh di luar kota. Di Bordeaux. Ternyata ia bayi perempuan berusia tiga bulan. Gendut dan lucu. Bapaknya, yang senang dapat anak perempuan, setelah enam orang anak laki-laki, mengabarkan berita itu ke mana-mana, sehingga Njoo Xian Ling cilik muncul di search engine Internet. Mereka gembira menerimaku. Aku diberi panggilan kehormatan: Paman Ikal.
Njoo Xian Ling yang ketiga, lebih jauh lagi. Di kota pantai yang terkenal, Cannes. Berjam-jam aku naik kereta ke sana. Pagi-pagi aku mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian terbaik. Aku ingin terlihat ganteng kalau nanti A Ling menemuiku. Di kios bunga aku membeli anemon, kuntum-kuntumnya putih memesona. Aku bergegas menuju alamat rumah seperti disebut di Internet. Tiba di depan rumah itu semangatku tiarap karena Njoo Xian Ling adalah sekeping papan. Papan nama kios binatu. Sungguh mengenaskan.
Aku kembali ke Paris dalam keadaan frustrasi. Barangkali aku telah melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Tapi hanya itu yang dapat kulakukan untuk melipur rinduku, selain membaca novel Seandainya Mereka Bis a Bicara karya Herriot, kenangan A Ling untukku. A Ling menandai cerita tentang keindahan Desa Edensor dalam novel itu. Kubaca bagian itu berulang-ulang. Desa khayalan Edensor itu seakan membuka jalan rahasia dalam kepalaku, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar dalam hidupku, untuk menemukan A Ling, untuk menemukan diriku sendiri.
"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguUng ditelan langit sebelah barat. Bentuknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu latu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan iembah-lembah nan kias. Di dasar iembah sungai berliku-iiku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwama kelabu bak pulau di tengah ladang yang diiisahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar
27 mozaik Pertaruhan Nama Bangsa G ila! "F@##ing nutsl"
Townsend histeris mendengar rencanaku dan Arai. Kafe Brigandi et Bougreesses hiruk-pikuk. Semua orang membuat ancang-ancang untuk liburan musim panas. Sahabat sekelasku merubung kami.
"Mengamen untuk biaya keliling Eropa" Sampai ke Afrika" Gila sekali! Belum pernah kudengar ide sekonyol itu."
"Tahukah kalian" Paling tidak, tiga puluh satu negara harus kalian lintasi, dan Rusia" My God! Daratannya hampir separuh dunia."
Yang lain komat-kamit, bergumam-gumam, sambil menggeleng-gelengkan kepala, sepakat dengan Townsend. Impossible, celetuk mereka.
"Apa kalian mampu" Hidup seperti seniman sir-kus gipsi""
Aku berkecil hati. "Tak terbayangkan kesulitan yang akan menim-pa kalian."
Pendapat gadis Vermont itu sangat benar. la nyerocos lagi.
"Tarnpil di jalanan" Dari kota ke kota" Kalian bisa mati kelaparan! Atau diciduk polish Kalau aku" Ha! No way, tak sanggup."
MelihatTownsend mengerut, Stansfield
mendongak. la pasti ingin memperlihatkan dirinya lebih unggul dari perempuan Amerika itu. Sejak tukar guling D'Archy dan Bobby Cash, persaingan Townsend dan Stansfield makin membara. Stans"field bersungut-sungut meremehkan Townsend.
"Ah, aku pernah ngamen main trombon di Piccadilly, London. Dapat duit lumayan. Berani, itu saja modalnya."
Townsend memutar lehernya, menatap Stansfield tajam. la tersinggung.
"Maksudmu" Kau ingin mengatakan aku pena-kut""
"Maksudku, aku pandai main trombon ...," Stansfield pamer dan mengejek. Kalimatnya kalem tapi menikam.
Townsend panas. la melengking, "Tadi kau bi-lang aku penakut" Sekarang kaubilang aku tak bisa main musik"!" Perang!
"Ceee ... aku jago main akordion, tahu! Aku pemain akordion yang hebat, lebih
hebat dari siutan trombon bodohmu itu!"
Siulan" Main trombon dianggap bersiul" Kurang
ajar betul. Semua orang tahu trombon adalah alat musik yang tingkat kesulitannya bisa bikin sene-wen. Jangankan mencari nadanya, agar benda itu bisa berbunyi saja diperlukan latihan yang bisa membuat orang kena hernia. Stansfield muntab. Kedua bilah gigi taringnya memanjang, rambut pirangnya menjadi api. Kawan, perempuan yang marah sama sekali jangan dianggap enteng!
"Mau bertaruh denganku" BoIIockV
Townsend tak kalah gertak, "Semburkan taruh-anmu, bitch1. Kalau aku main akordion di Piccadilly, aku akan dapat duit lebih banyak darimu!"
"Ayeee ... tahu apa orang Vermont soal akor"dion" Bangsa petani gandum. inggnslah kantor pusat musik dunia ...," Stansfield menohok sarkastik.
Townsend tertusuk. la naik pitam. Kecantikan janda kembang Jennifer Aniston-nya menguap. Dihantamkannya sloki di atas meja kayu. Sisa rum yang tergenang di dasarnya tempias ke wajah MVRC Manooj.
"Tarik kembali kata-katamu itu!!"
"F@##ing Britl Ayo bertaruh!!"
Situasi jadi sangat serius. Bartender Piere De"lano sampai mematikan Snoopy Doggy Dog yang berdentum-dentum menimpali pertengkaran yang buruk itu. Stansfield menenggak tandas martini di gelasnya. Ninoch, aku, Arai, Gonzales, MVRC Manooj, kelompok Jerman, dan Belanda yang mengelilingi kedua perempuan itu, terpaku pada perseteruan yang memuncak antara perempuan Inggris bangsa penakluk dan wanita Amerika
berkepala batu. Stansfield mendekatkan wajahnya ke wajah Townsend, hidung bengkok paruh bayan mereka hampir bersentuhan.
"Anytime, anywhere ...."
Townsend berpaling padaku, meradang. Aku gemetar. Lalu ia mengatakan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti.
"Oke, Andrea, tadi perempuan Inggris ini bilang aku penakut, lalu dia bilang aku tak bisa main musik. Catat ini: aku juga berani keliling Eropa, ngamen main akordion!"
Kami tersentak. Ia ingin ikut ngamen" Mana mungkin" Ide ngamen keliling Eropa saja sudah cukup sinting, berbahaya, dan masih jadi polemik. Pertaruhan Townsend sangat besar. Begitulah, Kawan, baru saja kukatakan padamu, perempuan marah, jangan sekali-kali dianggap enteng.
Katya menengahi. "Sudahlah, Townsend, tak usah emosi. Jangan mau bertaruh bodoh seperti itu. Jangan kauikuti Andrea dan Arai. Mereka memang sudah tidak waras."
Tapi Katya salah duga. Bagi Townsend masalahnya bukan lagi keliling Eropa ngamen main akordion, masalahnya adalah ia gelap mata karena bernafsu menjatuhkan mental Stansfield. Bagi mereka, ini sama sekali bukan soal pertaruhan mengelana Eropa, tapi ini soal hierarki Maslow: self esteem. Sebaliknya, Townsend salah duga, orang Inggris telah menaklukkan segala hal sejak abad permulaan. Jangan coba-coba menantang orang
Inggris, mereka tak 'kan surut.
"Kaukira aku tak berani keliling Eropa ngamen main trombon"!"
Nah, persaingan perempuan! Adalah hal yang sangat ajaib. Profesor Michael Porter ahli strategi persaingan sekalipun, belum tentu dapat mengurainya.
"Mamma mia ...," desah Gonzales.
MVRC Manooj tegang. Tapi aku dan Arai bersorak, sebab rencana kami mendapat partisipan, meskipun secara tak sengaja akibat pertaruhan gengsi dua wanita.
Melihat kami girang, atau karena undangan magis musim panas, MVRC Manooj tergoda. Ia sendiri sudah lama ingin keliling Eropa.
"Kalau begitu, aku juga bisa keliling Eropa, ngamen menari goyang kepala. Aku ikut bertaruh."
Kami terperanjat. Kafe Brigandi et Bougrees-ses makin gaduh, aku sampai berteriak agar terdengar.
"MVRC Manooj, Sahabatku, sudahkah kaupikir-kan benar-benar""
Lelaki Punjab itu menggoyangkan kepalanya ke depan, lalu ke kiri kanan, dan ke belakang tiga kali, persis bangau kena jerat cekik. Artinya: aku yakin!
Meledaklah suasana. Sebagian pengunjung mendukung MVRC Manooj. Ia menggoyang-goyang-kan lagi kepalanya, lemah gemulai tak henti-henti, tanda hormat pada pendukungnya. Ruangan disesaki euforia musim panas. Winter sickness telah dilungsurkan oleh summer fever.
Gonzales pun terhasut, "Amigo, aku ikut denganmu, Andrea! Catat ya, aku juga bertaruh! Aku akan beratraksi memainkan bola kaki di pinggir jalan!"
Hadirin be rsorak-sorai mendengar rencana ajaib itu. Banyak yang mendukung, banyak pula yang meragukan. Namun, di tengah suara gaduh kami sontak terdiam, karena ada suara kecil timbul tenggelam, terjepit mencari perhatian.
"Aku mau ikut, Kawan, aku mau ikut ...I" Kami melongok menuju suara yang halus itu, dan semua orang tak percaya, suara itu datang dari Ninochka.
"Aku ingin ikut ...," katanya mengacungkan jari-nya malu-malu.
Ninoch menatap polos puluhan pasang mata yang memelototinya.
"Maksudmu kau juga ingin ikut bertaruh, Noch-ka"" tanya D'Archy.
"Iya, aku ingin bertaruh. Boleh, kan""
Hadirin saling pandang. Secara fisik Ninoch tak mungkin menjelajah Eropa, apalagi dengan cara backpacking, la lemah, pucat, dan penyakitan. Bukan baru sekali aku melihatnya berpegangan pada para-para parkir sepeda karena sempoyongan diterpa angin. Amat berbeda dengan Stansfield dan Townsend. Mereka adalah Xena dengan tinggi di atas 175 senti. Stansfield berlari paling tidak lima kilometer setiap hah dan mampu push up sebelah tangan sampai lima belas kali. Townsend seorang lifter. Aku pernah melihatnya mengangkat barbel 110 kilogram secara dean and jerk1. Tendangan
Taekwondonya pernah membuat tukang sobek tiket klub Fat Lover tak masuk kerja tiga hah. Tapi, bukankah kami sedang berada di Prancis, salah satu negara paling demokratis di muka bumi ini" Hak Ninoch dijamin undang-undang.
"Apa yang akan kaulakukan, Gadis Kecil"" tanya Gonzales bimbang, disertai senyum sok macho yang mengandung kesan: Ini urusan orang dewasa, Dik. Berkeiana keiiiing Eropa periu mental dan tenaga baja. Kamu anak kecii, tahu apa" Cuci kaki1. Tidur sana\
Ninoch menjawab kalem, "Aku kan pandai main catur" Aku akan main jebakan catur di pinggir jalan. Tiga langkah skak mati dan aku dapat duit. Lumayan, kan""
Tak pakai pikiran! Nekat, lucu, dan lugu minta ampun. Namun serempak, seisi kafe bertepuk tangan mendukung, lebih heboh dari dukungan pada Gonzales.
Aku takjub melihat perkembangan rencana kami karena kami sendiri belum tahu akan diapakan oleh Famke Somers. Bahkan Ninochka ikut bertaruh, walau aku menduga, ia nekat karena tak tahan ditinggalkan Gonzales dan MVRC Manooj selama musim panas. Hanya dua orang itu sahabat karibnya. Ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frus-trasi.
Kami langsung menyusun aturan pertaruhan. Sederhana saja: yang dapat menempuh paling banyak kota dan negara, dialah pemenang. Kehadiran di setiap kota dibuktikan dengan meng-up load foto digital ke yahoophoto sehingga dapat dipantau lewat Internet. Hukuman bagi yang kalah, yang menempuh paling sedikit kota dan negara, amat mengerikan, yaitu mengurus laundry peserta lain selama tiga bulan, membayar cover charge untuk clubbing, dan yang paling meng-giriskan, harus menuntun sepeda secara mundur dari museum legendaris Le Louvre ke gerbang L'Arc de Triomphe melintasi kawasan paling prestisius di Paris: L'Avenue des Champs-Elysees. Sepeda yang dituntun akan digantungi pakaian-pakaian rombeng. Pasti tak tertanggungkan malunya ditonton, dipotret turis, dan jika apes, ditanyai polisi, lalu diborgol, atau diciduk petugas dinas sosial, disangka edan, dan dicekoki obat pelembut perangai xanax. Membayangkannya saja aku tak berani.
28 mozaik Street Performance Paris terang benderang. Peserta pertaruhan menjelajah Eropa kembali berkumpul di Kafe Bri"gand! et Bougreesses dengan backpack dan properti ngamennya masing-masing. Bersukacita. Apalagi semua sahabat sekelas kami berkumpul, berteriak-teriak menyemangati jagoannya.
Gonzales mencoba-coba penampilannya. la memain-mainkan bola dengan kaki, dada, tandukan, bahkan dengan perut gendutnya. la terampil bukan main. Bola itu tak pernah sekali pun jatuh. Kostumnya" Luar biasa! la berpakaian sepakbola meniru tim nasional Meksiko, semarak. Senyum berbunga-bunga dari wajahnya yang jenaka. Penampilannya semakin memukau karena setiap gerakannya diiringi tabuhan hang tabla dan goyang kepala MVRC Manooj.
MVRC Manooj sendiri tampil dengan busana yang membuat napas tertahan. Secara umum ia tampak seperti Genie yang baru mengua
p dari botol. Sepatunya lentik serupa perahu junk orang Tongsan. Celananya komprang berwarna hijau mencolok dari satin dan terikat ketat di bawahnya, seperti sarung nangka. Rompinya beledu berwarna marun. Mahkotanya seperti sorban Tuanku Imam Bonjol.
Gonzales dan MVRC Manooj memadukan sepak-bola dan tarian, mengawinkan gairah Meksiko yang binal dengan artistri India yang sensual. Ini konsep street performance yang genius, yang akan membuat para turis menghujani mereka dengan koin-koin Euro. Mereka bukan saja yakin akan menang taruhan tapi, dengan penampilan seperti itu, mereka bisa kaya!
Stansfield mendemokan kebolehannya. The Girl from Ipanema, dibawakannya tak kalah dari sentuhan Dizzy Gillespie. la meniup trombon dengan teknik tinggi, yakni mengumpulkan udara dalam mulutnya sehingga pipinya kembung, lalu dengan penataan napas yang terlatih, diselusupkannya udara itu lewat lubang sempit trombon untuk menemukan nada-nada kres dengan presisi yang menga-gum-kan. Kesulitan trombon ibarat rocket science dalam ilmu pasti. Dari sepuluh trombonis yang kudengar, tak lebih dari dua orang yang tak pernah meleset tone-nya. Stansfield yang tetap cantik meski pipinya seperti ikan mas koki dan matanya melotot, termasuk dalam dua orang itu.
Tentu saja Townsend tak mau kalah. la melentingkan nada-nada akordionnya bahkan saat Stansfield belum selesai dengan lagunya. Penonton
bertepuk tangan mendengarnya membawakan nada-nada hang Jerry Garcia, suatu nuansa country jazz berlandaskan musik tradisional Amerika yang juga disebut jazz blue grass. Stansfield dan Townsend memang mahasiswa ekonomi, tapi mereka juga musisi berbakat.
Akhirnya, kami siap berangkat, diiringi lambaian selamat jalan para sahabat. Katya menghampiriku dan mengatakan jangan ragu menghubunginya jika kami kesulitan di jalan. la hadir bersama kekasih barunya. Pria itu kalem, gentleman, dan sangat baik. la seorang kurator di museum terkenal Musee d'Orsay, dan orang itu tampan seperti Harrison Ford. Hatiku remuk.
29 mozaik Kutukan Capo Lam Nyet Pho
Townsend ingin membuktikan pada Stansfield
bahwa jika ngamen di Piccadilly, London, ia bisa dapat duit lebih banyak dari Stansfield. Maka jalur pertamanya adalah Inggris. Stansfield sendiri me-mulai perjalanan melalui Swiss. Ninochka menyusuri Prancis Selatan menuju Turin, Italia. MVRC Manooj dan Gonzales merambah Belgia. Aku dan Arai, karena harus menemui Famke Somers, menuju Belanda.
Kami naik bus Euroline dari Terminal Gallieni di pinggir Paris. Semalaman, sepanjang jalan, aku dihantui bayangan rencana Famke yang masih misterius. Konsep seni jalanan seperti apa yang ia siapkan" Bagaimana kalau kami tak mampu melakoninya"
Kami tiba di poof bus Amstel lalu naik kereta sebentar ke stasiun sentral Amsterdam. Baru saja melompat dari pintu kereta, pria wanita hilir mudik di celah-celah pilar platform, berjalan atau berse
peda, meliuk-liuk menawarkan berupa-rupa narkoba. Santai saja, seperti berdagang asong.
Mengikuti sketsa dari Famke, kami melintasi centang-perenang rel trem di luar central station menuju Damrak, yang terkenal seantero jagat sebagai red zone Amsterdam. Damrak membuatku merinding. Tempat ini seperti markas besar PBB bagi kaum PSK. Dalam kamar kaca yang berderet panjang, wanita-wanita berbagai bangsa memamer-kan dirinya, mengobral habis semuanya, semuanya! Di Damrak aku melihat Belanda sebagai sanctum kebebasan ekspresi, sekaligus anakronis Babylonia. Kamar-kamar kaca itu rapat memagari kiri kanan Jalan Zeedijk. Aku melaluinya dengan perasaan gugup. Hatiku berkeras tak ingin melihat, aku menunduk, tapi mata dan leherku rupanya telah bersekongkol melawan tuannya. Kurang ajar betul.
Di ujung kawasan Zeedijk, dari sebuah balkon, seseorang memanggil kami, "Oiiiikkk ...!!"
Dialah Famke Somers. Kami bersalaman. la memberi tempelan pipi tiga kali khas Belanda: kanan, kiri, kanan lagi, cukup menyenangkan. Famke semakin memesona saja. Kami ceritakan kepadanya bahwa rencana kami menjelajahi Eropa telah menjadi pertaruhan sesama teman kuliah di Sorbonne.
"Allright, sekarang jadi menarik, bukan"!"
la tentu membaca nada bicara kami bahwa ka"mi mengharapkan solusi yang jitu darinya. Aku tak tahan, akhirnya kutanyakan konsepnya. la terse-nyum, tak menjawab. Cukup siapkan mental saja,
katanya. Aku makin penasaran. Esoknya, Minggu pagi, Famke mengajak kami ke pusat keramaian Amsterdam: Koninklijk Paleis, sebuah istana tua. Koninklijk adalah pusat keramaian Amsterdam. Halamannya luas berlandaskan paving block hitam dikelilingi toko-toko dan Museum Madame Tussauds. Ribuan orang berjalan dan bersepeda berseliweran di antara trem dan mobil. Jika musim panas, Paleis menjadi surga bagi para penampil jalanan. Di sana tampil ratusan seniman mulai dari pemain harmonika yang ditemani anjingnya, sirkus mini, musisi hippies, pemain gitar dan biola, aksi gipsi, teater jalanan, sulap dan akrobat, pembaca puisi, berbagai bentuk parodi, sampai big band lengkap dengan section alat tiup puluhan orang. Hiruk pikuk, semarak seperti festival.
Kami berlari kecil menuju sebuah apartemen di belakang Paleis. Famke mengetuk pintu. Aku tahu, solusi yang dijanjikan Famke, yang selalu menghantui kami seminggu terakhir ini, berada di balik pintu itu. Aku gugup. Pintu dibuka oleh seorang perempuan pirang yang langsung terlonjak melihatku dan Arai.
"Oik\ Aha, about timeW" jeritnya bersemangat. Rupanya apartemen itu telah disulap menjadi studio. Belasan sahabat Famke dari Amsterdam School of the Arts sejak tadi menunggu kami. Kami berkenalan, lalu tanpa dikomando, setiap orang serta-merta bergerak. Artis-artis muda itu sibuk lalu lalang menyiapkan kotak make up, menyemprotkan cat pada gumpalan terpal sehingga menjadi batu
karang, merangkai tali temali, membuat peti harta karun seperti dalam film Pirates of the Caribbean, menggambar sketsa-sketsa, merekatkan manik-manik, dan menata dua buah mahkota besar. Mereka cepat dan profesional.
Apa yang terjadi" Perempuan yang tadi membuka pintu, Kath namanya, mendekati kami, mereka-reka ukuran tubuh kami, mengangguk-angguk kecil seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri, lalu ngeloyor pergi. Semuanya bekerja, tak seorang pun bicara. Famke tersenyum melihat kami. la menyelinap sebentar. Kemudian terdengar suara seperti ia membuka sebuah lemari besar. Lalu ia muncul lagi sambil menyeret dua potong pakaian yang membuat kami terperanjat.
Pakaian itu semacam baju terusan dari karet dengan panjang hampir tiga meter, berkilauan, karena seluruhnya ditempeli manik-manik. Warnanya metalik berkilat, sangat tebal. Pada kulitnya bertimbulan duri, sisik-sisik, dan sirip-sirip. Bentuknya demikian orisinal, seperti baru kemarin dikuliti dari makhluk dasar samudra. Keong-keong kecil, resim, dan teritip menempel di sela-sela sisik itu. Secara umum pakaian itu ganjil tapi megah, misterius, dan agak menakutkan.
"Inilah solusi yang kujanjikan untuk kalian!"
Famke bergairah. Kami terkesima. "Kalian akan tampil di pinggir jalan sebagai ma-nusia patung!"
Arai terbelalak dan aku mau pingsan mendengar
Famke berteriak, "Kalian akan menjadi ikan duyung!!"
Seisi ruangan bertepuk tangan. Arai menyam-bar tanganku, menggenggamnya kuat-kuat dan mengguncang-guncangnya. Tak dapat kugambar-kan perasaanku. Beberapa saat aku masih terpana. Kami saling pandang lalu menyadari betapa hebatnya ide itu. Sebuah ide yang sedikit pun tak pernah terlintas di benak kami. Kami melompat-lompat senang.
"Oke, Gentlemen. Penampilan pertama kalian, Koninklijk Paleis! Sekarang! Ayo, bekerja cepat! Sudah siang!"
Tim make up menggiring kami ke meja has. Setengah jam kami disulap dari makhluk berwajah manusia menjadi makhluk berwajah ikan. Selesai make up sampailah pada kostum ikan duyung yang naudzubiiiah itu.
Tubuhku, dengan cara diangkat lebih dulu, dibelesakkan ke dalam kostum karet tadi. Aku merosot karena berat kostum itu hampir sepuluh kilogram. Ekornya, masya Aiiah, sangat panjang, terbelah dua, masing-masing belahannya berbentuk sirip selebar dua meter. Namun istimewa, setiap kali kugerakkan, sirip itu melambai-lambai. Jika aku berjalan, ekorku menggelepar persis ekor buaya. Sungguh kostum yang mendebarkan.
Sebaliknya, jangan disangka mudah, kostum itu mengapitku sampai
mata kaki, sehingga aku tak dapat berjalan dengan menekuk lutut, bahkan tak dapat mengangkat kaki. Aku melenggak-lenggok seperti pinguin karena hanya bisa merayapkan
telapak kaki. Kakiku terlilit serupa kaki ibu-ibu berjarit.
Berikutnya, dadaku dibalut karet lain seperti stagen dan agar kukuh, kostum tiga meter tadi dilubangi berbentuk empat cincin besi di batas atas depan dan belakang. Dua potong suspender kulit dikaitkan pada klem cincin tadi untuk menambatkan kostum di bahu kiri kananku. Hanya dengan cara begitu agar busana sepuluh kilogram itu tidak melorot.
Kuat dugaanku, pakaian ini dibuat seorang seniman idealis yang tak mau tanggung-tanggung, atau seseorang yang terobsesi pada ikan duyung. Kehadiran suspender disamarkan dengan ditutupi jalinan rumput laut seperti pola sumbu kompor, dililit-lilitkan bergaya tali sepatu. Aku kesulitan bernapas. Meski sangat autentik mewakili ikan duyung, tak dapat dimungkiri, kostum itu mengandung unsur siksaan.
Tiba-tiba, dari ruangan lain, Arai muncul sudah sebagai ikan duyung. Aku hampir semaput melihatnya. la seperti hantu laut yang menjelma dari balik terumbu. Sisa tubuhnya yang tak ditutupi kostum ikan duyung, dilabur cat body painting. Wajahnya cantik namun sangat aneh, sebuah kecantikan yang magis. Matanya menjadi sangat dalam, tersembunyi di balik maskara tebal berwarna jingga, bibirnya ungu. Kepalanya dipasangi mahkota yang megah, tiruan rumput laut kiambang yang direkatkan secara berantakan seperti gimbal rastafaria. Arai bak Medusa, dewi berambut ular itu.
la juga terkejut melihatku.
"Adinda Ikal ..." Engkaukah itu"" tanyanya ke-takutan.
"Iya, kakanda Arai. Ini aku, Ikal ...." Luar biasa, mahasiswa Amsterdam School of the Arts adalah seniman-seniman muda yang berbakat. Dalam tiga jam, mereka telah mengubah aku dan Arai menjadi dua ekor ikan duyung yang jelita. Famke senang tak kepalang.
"Oh, my Godl Perfectll" la berputar-putar mengelilingi kami.
"Look at you, guys, fantastic1. Aiiright, seka-rang acting-nya."
Famke mengarahkan gaya kami.
"Begini, kita akan mengangkat tema lingkungan, yaitu ikan duyung yang sedih karena eksploitasi laut .... Arai, kau akan jadi ibu ikan duyung!"
Arai ingin mengangguk tapi lehernya terlilit rumput laut.
"Kau, Ikal ... hmmmm ... karena kau kecil, kau adalah anak ikan duyung.
"Nan, Arai, sebagai ibu ikan duyung yang ber-duka, kau harus seperti ini."
Famke mengambil pose, berdiri melengkung menopangkan dagu di atas punggung tangan kirinya. Tangan kanannya bertelekan di atas dekorasi batu karang gabus. Wajahnya merana.
"And you, Ikal, sebagai anak ikan duyung, kau berbaring miring seperti wanita mengiklankan sun block di tepi pantai, memeluk ekor ibumu. Tapi ingat, wajahmu juga ha-rus sedih, paham""
Kami menyatakan pengertian dengan berkedip-kedip karena susah mengangguk. Famke memberi wejangan terakhir bahwa seperti bentuk seni lainnya, seni manusia pa-tung juga memiliki estetikanya sendiri. "Kalian tak boleh berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan penonton, meski digoda bahkan jika diprovokasi. Kalian harus mem-beku dalam satu ekspresi minimal satu jam."
"Ok then. Let's go guys, let's rock Amsterdam1."
Kami tak bisa menuruni tangga maka kami di-pikul, dimasukkan ke dalam VW Comby. Ban mobil gemeretak di atas paving block dan jantungku berderak. Aku nervous. Kecemasanku memuncak saat kami memasuki kawasan Koninklijk Paleis. Dari kaca mobil aku mengintip, demikian banyak pengunjung. Aku demam panggung.
Mobil kami berhenti. Arai mendongakkan kepala. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan.
"Fantastic, iookl"
Serombongan turis kaus singlet dan topi jerami, orang-orang Jepang yang murah hati itu berdecak kagum melihat kami. Seketika itu juga, kepercayaan diriku melompat.
Kami dibopong. Dekorasi batu karang gabus, terumbu-terumbu dari terpal, peti harta karun, jangkar dan tali temali dipasang. Para penonton berduyun-duyun merubung kami. Famke memilih lokasi yang pas dekat museum Madame Tussauds, menghadap ke timur Koninklijk Paleis, karena ia ingin matahari sore musim panas memantulkan sinarnya di atas ribuan keping manik-manik di
sekujur kostum ikan duyung, dan kami menjadi elegan bak dua peri laut yang sedang durja. Penonton berbondong-bondong mendekat, makin rapat mengelilingi kami. Kulirik Arai, betapa kemayu, sedikit melengkung, dengan rambut Medusa yang terburai-burai sampai ke bahu. Alisnya panjang tebal, bulu matanya lentik, hidung jambu airnya telah disulap, dan pandangan matanya lendut: malu tapi menggoda, syah-du tapi bergairah, tak acuh tapi minta dilihat. Tak diragukan, Arai adalah putri duyung yang jelita tak terperi. Aku, selaku anak ikan duyung, memeluk ekor Arai, memajang ekspresi memelas, mohon diselamatkan dari keserakahan manusia yang menjarah laut tanpa perasaan. Aku menggelosor di tanah tapi tetap menjaga keanggunan. Kulitku tampak fantastic karena lengket ditaburi teritip dan bulir-bulir mutiara imitasi.
Mataku sampai silau karena sambaran blitz dari ratusan kamera. Pengunjung antre berfoto dekat-dekat kami. Decak kagum bersahut-sahutan. Kami makin menghayati ekspresi. Dari jauh Famke mengacungkan dua jempolnya. Ia terharu. Perasa-anku melambung. Aku langsung mencintai profesi baruku sebagai seniman jalanan. Segera kusadari bahwa manusia patung adalah bakat terpendamku! Mengapa selama ini aku selalu merasa bakatku adalah pemain bulu tangkis" Keliru besar!
Penonton semakin banyak. Mereka bahkan meninggalkan manusia patung Rolling Stones di sebelah sana. Sungguh istimewa rancangan kostum, make up, dan penataan artistik dari
mahasiswa seni Amsterdam School of the Arts. Karya mereka adalah master piece.
Setelah satu jam, Famke menghentikan show kami.
"You were great1." pujinya.
Kawan-kawannya bergantian menyalami kami. Dalam waktu singkat berhasil terkumpul dua ratus lima puluh Euro! Jumlah yang membuat kami optimis dapat menaklukkan Eropa sebagai manusia patung.
Famke menyerahkan kostum ikan duyung kepada kami. la mengajari cara ber-make up, menggunakan pembersih wajah, alas bedak, two way cake, bedak tabur, maskara, lipstick, glitter, dan cat body painting.
"Jangan sekali-kali pakai cat sablon karena kulitmu bisa melepuh. Kalau tak punya uang, pakai akrilik."
Kupandangi Famke dan bertanya, "Mengapa kau begitu baik pada kami, Somers" Orang sepertimu, seorang model haute couture, calon supermodel yang akan dikontrak Versace, dengan mudah dapat mengabaikan kami."
Jawabannya melambungkan semangatku.
"Karena kalian berani bermimpi. Mimpi-mimpi ka"lian menginspirasiku."
Kami berpisah dengan Famke di Stasiun Sentral Amsterdam. Tujuan kami adalah Jerman, melalui kota paling utara Belanda yakni Groningen.
Perpisahan yang menyedihkan. Take care, guys, pesan terakhir Famke. Kereta bergerak pelan.
Kostum ikan duyung itu sangat besar, tak seluruhnya dapat masuk ke dalam backpack. Ekornya menjulur-julur. Melihat ekor ikan duyung itu, aku teringat akan seorang perempuan luar biasa, jawara pasar ikan, nun jauh di kampungku: capo Lam Nyet Pho. Dulu kami pernah bersembunyi dalam peti ikannya untuk meloloskan diri dari kejaran wakil kepala 5MA kami yang garang. Capo yang terkejut ketika membuka peti mengutuki kami: Ikan duyung1. Bertahun lewat, langit yang menyimpan kutukan itu, hah ini mengguyurkannya ke sekujur tubuh kami. Perbuatan-perbuatan kecil yang buruk tak ubahnya bayi-bayi jantan Hyena, ia akan tumbuh, dan cepat atau lambat, akan mengepung induknya sendiri.
mozaik 30 Mevraouw Schoenmaker A ku memasuki Groningen dengan perasaan -^^-seperti menghirup bau tengik buku-buku sejarah lama tentang kaum imperialis. Rasanya ingin muntah karena aku menjumpai tempat-tempat yang samar pernah kukenal lewat buku-buku itu: Zwolle, Emmen, Assen. Setelah satu jam meninggalkan Amsterdam, sampai ke Groningen, rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Jarang kelihatan orang, bahkan sapi-sapi di sana tampak kesepian. Rasa mual itu meluntah sebab dari rumah-rumah terpencil tak bertetangga semacam itulah Westerling, Deandels, Jan Pieterszoon Coen, berasal. Mereka itu tak lebih dari orang kampung, namun mampu meramaikan hatiku dengan hikayat kejam yang berkobar-kobar. Hikayat tentang petualangan laki-laki putih yang memaksakan kehendaknya, membunuh, menin
das, dan merampok rempah-rempah di mana pun mereka jumpai, untuk meracik arak agar mereka tak kedinginan pada bulan
Desember. Sejak awal aku tak ingin melewati Groningen. Lebih baik ke Jerman lewat Enchede atau Arnhem, pikirku. Namun, aku harus ke Groningen. Seorang perempuan, atau apa pun itu, yang bernama Njoo Xian Ling, tinggal di Nieuwstad di Groningen. Begitu berita Internet dalam bahasa Belanda yang tak terlalu kupahami.
Centrum, demikian sebutan pusat kota Groni"ngen. Di sana ada prasasti untuk menghormati tentara Kanada yang menyelamatkan kota kecil itu dari kangkangan Nazi. Tower gereja, legendaris dengan sebutan Martini Toren, menjulang lesu. Agaknya ia lelah setiap hah menyaksikan bromocorah hilir mudik mencuri sepeda.
"Bike! Bike!" Maling-maling tengik itu mendesis keras setiap melihat wajah yang dengan cepat dapat mereka kenali sebagai pendatang baru di Groningen. Jenis sepeda dapat dipesan. Kurang dari satu jam mereka akan hadir membawa sepeda yang diinginkan. Maka jangan heran jika di Groningen melihat sepeda keranjang anak-anak diikat tambang kapal.


Edensor Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami berangkat ke Nieuwstad. Sampai di sana semangatku lumpuh karena tempat itu ternyata lokalisasi. Groningen's Red Zone. Apakah A Ling telah terdampar di sini" Di Nieuwstad memang banyak perempuan berwajah Asia dan mereka paling
digemari. Aku bergegas menghampiri rumah sesuai nomor yang kudapat di Internet.
"Apa yang bisa kubantu, Anak Muda"" tanya seorang nyonya. Dari penampakannya aku yakin kalau Mevraouw Schoenmaker, begitu nama nyonya setengah baya itu, adalah seorang mucikari. Aku bertanya apakah ia mengenal Njoo Xian Ling.
"Banyak perempuan datang dan pergi, Anak
Muda. Tempat itu seperti toilet umum saja."
Hatiku ngilu. "Aku tak mungkin ingat nama setiap orang, tapi ii
Mevraouw Schoenmaker terkejut melihat reak-siku mendengar tapi.
"Bukan aku ingin memberimu harapan kosong, Anak Muda, tapi nama itu, siapa tadi ...."
"Njoo Xian Ling, Ma'am."
"Ya, nama itu, Xian Ling, sepertinya cukup familiar bagiku.Siapa ya, dia" Siapa, ya" Rasanya nama itu berhubungan dengan Rotterdam. Ah, aku lupa. Begitu banyak perempuan, silih berganti. Belum cukup tua yang ada, sudah bermunculan yang muda-muda."
Mevraouw Schoenmaker berusaha mengingat.
"Aku mungkin saja lupa Xian Ling. Namun, aku akan selalu ingat, suatu ketika seorang perempuan Tionghoa pernah datang, bekerja padaku sebentar, lalu pergi. Kata-nya ia ingin ke Rusia."
Hatiku runtuh. Dari data yang ku-print ada Xian Ling di kota pantai Belush'ye nun jauh di tepi utara Rusia sana. Tenggorokanku rasanya tersayat
setiap kuingat Belush'ye. Kudengar kabar burung dari para backpacker, lokalisasi di Belush'ye sangat liar, tak manusiawi.
"Siapamukah Njoo Xian Ling itu, Anak Muda" Sepertinya ia sangat penting bagimu, ya""
Aku diam saja karena hatiku telah lebam. "Oh, ya, aku selalu ingat pada perempuan itu karena dia sangat cantik, tinggi, dan baik."
Ingin aku menanyakan, apakah paras-paras kukunya indah" Namun, aku takut menerima kenyataan bahwa wanita itu A Ling. Aku cepat-cepat minta diri. Hatiku porak poranda.
31 mozaik Ke Utara, Terus ke Utara Sebagai pemegang Schengen visa, kami bebas
keluar masuk banyak negara Eropa. Sebagian -negara Eropa tercakup dalam perjanjian bebas visa yang dirundingkan di kota kecil Schengen di Jerman. Kami tampil sukses di Bremen dan Frankfurt. Penjelajahan Eropa yang kami duga akan berat, ternyata tak lebih seperti plesiran pejabat BUMN untuk menghabis-habiskan sisa anggaran tahun takwim.
Malam terakhir di Jerman, kami membungkus diri dalam sleeping bag, tidur di sudut Stasiun Koln. Semula kuduga akan diusir petugas keamanan. Tengah malam dua orang tentara patroli yang masih muda, pria dan wanita, mendekati kami. Mereka menenteng senjata serbu otomatis Uzzy yang dapat memuntahkan lima ratus peluru per menit. Berpura-pura tidur, aku tahu salah satu tentara itu mengancingkan sleeping bag Arai. Jerman telah terbiasa dan menghormati tradisi backpacking.
Sikap tentara itu adalah kesan yang akan selalu melekat dalam hatiku dari bangsa yang memiliki sejarah politik yang kelam ini.
Jalur kereta terentang panjang menuju permukaan air yang beriak-riak tenang. Gelombang pecah, mengurung bongkah-bongkah daratan yang seolah ditebarkan sekenanya dari langit, berkilauan disinari matahari musim panas. Timbul tenggelam, terang dan samar, lalu menghilang ke selatan, menuju Laut Baltik. Skandinavia, kami datang!
Gigiku gemeretak dicengkeram angin utara yang terperangkap di delta-delta, semenanjung, dan teluk yang berlika-liku di celah pulau-pulau kecil, meliuk-liuk. Denmark dikerubuti air. Di sana sini air, dan dingin, sedingin orang-orangnya. Mereka berkelompok di kafe-kafe, tak terlalu senang berkeliaran dan kurang tertarik pada seni bohemia jalanan. Seni mereka adalah lukisan-lukisan di galeri, seni teknologi, musik klasik, atau performing arts yang terpelajar. Di Denmark, Swedia, dan Norwegia kami tak laku.
Kami ke Islandia, jauh dan harus naik feri. Meski bersusah payah, aku bertekad ke sana karena Njoo Xian Ling. Aku berhasil menjumpainya. la terukir pada sebuah pusara: Xian Ling Montgomery, July 16, 1945-August, 18, 2002. Xian Ling adalah istri Brigadir Maurice L. Montgomery, komandan pangkalan militer Amerika di Islandia.
Helsinky, Finlandia, adalah kota Skandinavia terakhir yang kami kunjungi. Aku optimis. Sebab Helsinky kota yang toleran, tempat berbagai pertikaian besar umat manusia diselesaikan. Kota itu selalu berarti tiga kata bagiku: konferensi, negosiasi, dan resolusi. Ternyata, kota cantik nan penuh pengertian itu, terang-terangan mengkhianati kami. Kami membeli tuna sandwich, sepotong dibagi dua, itulah uang kami yang terakhir. Aku gamang karena kami akan mengarungi daratan raksasa. Daratan yang saking besarnya konon sampai terlihat dari bulan, negeri yang merindingkan bulu kuduk, negeri beruang merah yang garang: Rusia.
Melalui Internet kulihat kemajuan pesaing kami. MVRC Manooj dan Gonzales tengah jaya-jayanya di Belanda. Dalam foto, MVRC Manooj mendongak, tentu ia sedang menggoyang kepalanya sembilan kali, tanda hatinya hang gembira. Gonzales berpose bersama lima wanita sekaligus. Pria Meksiko itu makin tambun!
Townsend telah sampai ke Belfast, Irlandia. Kantongnya tebal dan semakin getol menyerang Stansfield, "Tak pernah ada orang Inggris melihat orang main akordion sepertiku."
Stansfield ngamuk, "Tentu saja! Karena di Inggris akordion mainan anak-anak!" Tak lupa ia melampirkan salam manisnya: bollock*.
Stansfield sendiri tengah beraksi di kota tua Zalsburg, berarti dia sudah menaklukkan Austria dan segera menyerbu Slovenia. Ninoch sudah mencapai Spanyol. Aku dan Arai menempuh jalur yang keliru,
karena semakin ke Eropa Timur, seni jalanan semakin tak laku. Seharusnya kami lebih lama di Eropa Barat yang kaya seperti para pesaing kami, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya di sana untuk bekal melintasi Rusia.
Saat ini kami berdiri di bibir Finlandia, Kajaani. Beberapa puluh meter di depan kami teronggok Belomorsk, tanah federasi Rusia paling timur yang akan mulai kami jelajahi, dan kami tak 'kan berhenti sebelum menghirup udara Olovyannaya di titik paling barat Rusia, dekat Mongolia sana. Aku selalu terobsesi pada tantangan tertinggi dan cobaan sampai batas terendah aku dapat menoleransi daya tahanku. Berdiri di Kajaani, aku sadar, tantangan yang sesungguhnya menungguku dalam jarak belasan ribu kilometer antara Belomorsk dan Olovyannaya. Akankah aku dan Arai mampu menaklukkannya"
32 mozaik Pohon-Pohon Plum "T7"ami memasuki Belomorsk dalam keadaan -^'bangkrut. Tiga jam tampil di sana, sampai beng-kak kakiku, tak seorang pun melemparkan uang. Persoalannya: tak ada turis yang sudi bertandang ke pedalaman Rusia ini dan para penduduknya sendiri miskin. Keluar dari Belomorsk kami menapaki jalur gerobak lembu yang dipagari pohon-pohon plum. Berpantang meminta-minta, kami melahap buah plum mentah. Rasanya pahit di belakang lidah, seperti mengunyah getah.
Dengan menumpang bus sayur atau diam-diam melompat ke gerbong kereta minyak, kami sampai ke Moskwa. Kami tampil di Jalan Arbat bersama penari Kalinka7 dan hopake. Kami juga berkenalan dengan seorang tua, Lara Mirniavsky. la orang
7Lagu terkenal di Rusia digubah oleh Ivan Petrovich Larionou pada
tahun 1860 - Peny 8Tarian Rakyat dari Skandinauia - Peny
Cossacks dan badut jalanan kontra agusta yang berkarakter anarkis tapi lucu. Lara sedang mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Kansk namun ia sudah terlalu tua untuk tampil. Kami meloakkan kamera digital, jaket, dan sleeping bag untuk membantu Lara membeli tiket kereta. Menjual sleeping bag adalah perbuatan tolol, sebab sebagian besar Rusia Timur sebenarnya tak pernah mengalami musim panas. Tak mengapa, kami masih punya second skin-baju terusan semacam baju monyet yang penting untuk melawan dingin.
Malaikat Dan Iblis 4 Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Sembilan Pembawa Cincin 3
^