Arwah Penasaran 1
Goosebumps - Arwah Penasaran Bagian 1
Chapter 1 HARI-HARI pertamaku di Camp Cold Lake tidak bisa dibilang
asyik. Aku gugup sekali ketika baru datang. Dan rasanya aku sempat
melakukan hal-hal konyol.
Habis, aku memang tidak berminat menghabiskan liburan
musim panas di perkemahan yang menempatkan olahraga air sebagai
atraksi utamanya. Aku tidak suka berada di alam bebas. Aku tidak suka kalau
rumput menyerempet pergelangan kakiku. Aku bahkan tidak suka
menyentuh pohon. Dan yang paling penting, aku tidak suka basah-
basahan. Memang sih, sekali-sekali aku juga senang berenang. Tapi
jangan setiap hari! Itu kan keterlaluan!
Aku suka berenang di kolam renang yang bersih. Jadi begitu
aku melihat danau di dekat perkemahan, aku langsung merinding.
Habis, danau itu pasti penuh makhluk mengerikan.
Pasti banyak makhluk seram yang mengintai di bawah
permukaan air sambil berpikir: "Ayo, Sarah Maas, kami sudah
menunggumu. Terjun dan berenanglah. Kami akan menggosokkan
tubuh kami yang berlendir ke kakimu, Sarah. Dan kami juga akan
menggigit jari kakimu sampai putus, satu per satu."
Hih! Siapa yang mau berenang di air berlendir"
Reaksi Aaron justru berlawanan. Saking gembiranya, ia seolah
mau meledak. Ketika kami turun dari bus, ia melompat-lompat sementara
mulutnya menyerocos tanpa titik dan koma. Saking semangatnya, aku sempat
menyangka ia bakal buka baju dan langsung terjun ke danau.
Adikku memang senang perkemahan musim panas. Ia suka
olahraga dan kegiatan di alam bebas. Ia menyukai segala sesuatu dan bisa akrab
dengan semua orang. Sebaliknya, semua orang juga menyukai Aaron. Soalnya ia
selalu penuh semangat dan selalu gembira.
Hei, jangan salah sangka - aku bukannya pemurung. Tapi
bagaimana kita bisa gembira kalau tidak ada mall, bioskop, atau
restoran untuk membeli piza atau kentang goreng"
Bagaimana kita bisa gembira kalau setiap hari harus berendam
di danau sedingin es" Di bumi perkemahan yang jaraknya
berkilometer-kilometer dari kota terdekat" Di tengah hutan lebat lagi"
"Wah, liburan di sini bakal heboh," seru Aaron. Ia menyeret ranselnya dan
bergegas untuk mencari pondoknya.
"Apanya yang heboh?" aku bergumam dengan lesu. Aku sudah mulai berkeringat
karena matahari bersinar cerah.
Apakah aku gampang keringatan" Tentu saja tidak.
Jadi kenapa aku datang ke Camp Cold Lake" Pertanyaan itu
bisa kujawab dengan empat kata: karena Mom dan Dad.
Mereka bilang aku akan tambah percaya diri kalau berlibur di
perkemahan olahraga air. Mereka bilang aku akan merasa lebih
nyaman di alam bebas. Mereka juga bilang aku akan punya kesempatan bertemu
teman-teman baru. Memang sih, aku agak sulit berteman. Aku bukan seperti
Aaron. Aku tidak bisa menghampiri seseorang, dan langsung
mengajaknya mengobrol dan bercanda.
Aku agak pemalu. Mungkin karena tubuhku lebih jangkung
dibanding anak-anak sebayaku pada umumnya. Aku satu kepala lebih
tinggi dari Aaron. Padahal usia kami cuma selisih satu tahun. Aaron sebelas
tahun, dan aku dua belas tahun.
Aku jangkung dan kurus sekali. Kadang-kadang aku dipanggil
si "Jangkrik" oleh Dad.
Terus terang aku sebal dengan julukan itu, sama sebalnya
dengan berenang di danau dingin yang penuh makhluk tersembunyi.
"Cobalah untuk menikmati pengalaman ini, Sarah," Mom
berpesan. Aku cuma bisa menghela napas panjang.
"Ya, coba lihat dulu bagaimana keadaan di sana," Dad
menambahkan. "Siapa tahu kau menyukainya." Aku kembali
menghela napas panjang. "Nanti, kalau tiba waktunya pulang, bisa-bisa kau malah
memohon-mohon untuk diajak berkemah lagi!" Dad berkelakar.
Aku hendak menghela napas panjang lagi - tapi tiga kali
berturut-turut rasanya terlalu banyak.
Aku cuma mendesah, merangkul Mom dan Dad, lalu menyusul
Aaron yang sudah naik ke bus.
Sepanjang jalan Aaron terus cengar-cengir. Ia sudah tidak sabar
untuk belajar main ski air. Dan ia juga terus bertanya apakah di bumi perkemahan
ada menara untuk belajar loncat indah.
Aaron mendapat tiga atau empat teman baru dalam perjalanan
ke perkemahan. Aku memandang ke luar jendela, dan memperhatikan
pepohonan dan rumah-rumah petani yang kami lewati. Aku terus
memikirkan teman-temanku yang lebih beruntung. Mereka tetap di
rumah, dan bisa jalan-jalan ke mall.
Akhirnya kami tiba di Camp Cold Lake. Semua anak membawa
tas masing-masing. Semua tertawa dan bercanda gembira.
Rombongan kami disambut sekelompok pembina yang memakai T-
shirt hijau tua. Perasaanku mulai lebih enak.
Hmm, mungkin aku bisa mendapat teman baru di sini, aku
berkata dalam hati. Mungkin ada anak-anak yang seperti aku - dan
kami bisa menikmati liburan musim panas bersama-sama.
Aku masuk ke pondokku. Aku melihat ketiga teman sekamarku,
lalu memandang berkeliling.
Dan kemudian aku berseru, "Oh, ini tidak bisa! Pokoknya, tidak bisa!"
Chapter 2 AKu tahu reaksiku agak berlebihan.
AkU tahu baru muncul aku sudah memberi kesan buruk.
Tapi bagaimana lagi" Di dalam pondok ada dua tempat tidur
tingkat. Ketiga teman sepondokku semuanya cewek, dan mereka
sudah memilih tempat tidur. Jadi hanya ada satu yang tersisa - tepat di depan
jendela. Dan jendela itu tidak ada kawat nyamuknya.
Berarti tempat tidurku akan dihinggapi serangga yang merayap-
rayap. Aku langsung tahu semalam suntuk aku bakal sibuk mengusir
nyamuk. Di samping itu, aku tidak bisa tidur di bagian atas tempat tidur
tingkat. Aku selalu gulang-guling ke kiri-kanan saat tidur. Kalau aku tidur di
atas, aku pasti jatuh. Aku harus tidur di bawah, di tempat tidur yang paling jauh dari
jendela. "A-aku tidak bisa!" aku tergagap-gagap.
Ketiga teman sepondokku langsung menoleh. Satu berambut
pirang dikuncir. Di dekatnya berdiri cewek pendek gendut dengan
rambut panjang berwarna cokelat. Dan di tempat tidur yang
berseberangan dengan jendela duduk cewek keturunan Afrika yang
menatapku sambil mengerutkan kening.
Kurasa mereka ingin menyapaku dan memperkenalkan diri.
Tapi aku tidak memberi kesempatan kepada mereka.
"Salah satu dari kalian harus tukar tempat tidur denganku!" aku memekik. Aku
sebenarnya tidak bermaksud memekik. Tapi aku
benar-benar panik. Pintu pondok membuka sebelum mereka sempat menyahut.
Pemuda berambut pirang pasir dengan T-shirt seragam hijau tua
masuk. "Namaku Richard," katanya. "Aku bos di sini, alias pembina kalian. Bagaimana,
semuanya beres?" "Tidak!" seruku.
Aku tidak sanggup menahan diri. Aku begitu gugup dan tegang.
"Aku tidak bisa tidur di situ!" ujarku. "Aku tidak mau di dekat jendela.
Dan aku harus tidur di tempat tidur bagian bawah."
Ketiga cewek lainnya tercengang melihat tingkahku.
Richard berpaling kepada anak cewek yang duduk di tempat
tidur di seberang jendela. "Briana, maukah kau bertukar tempat tidur dengan..."
"Sarah," aku memberitahunya.
"Maukah kau bertukar tempat tidur dengan Sarah?" Richard bertanya pada Briana.
Gadis itu langsung menggelengkan kepala dengan tegas.
"Tidak," katanya pelan.
Ia menunjuk gadis gendut dengan rambut panjang berwarna
cokelat. "Meg dan aku tidur sama-sama tahun lalu," kata Briana kepada Richard.
"Jadi tahun ini kami ingin bersama-sama lagi."
Meg mengangguk. Wajahnya yang bulat berkesan kekanak-
kanakan. Pipinya menggembung. Dan ia memakai kawat gigi
berwarna biru dan merah. "Pokoknya aku tidak bisa tidur di depan jendela," aku berkeras.
"Sungguh. Aku takut serangga."
Richard menatap Briana dengan tajam. "Bagaimana?"
Briana menghela napas. "Oke... baiklah." Ia meringis kepadaku.
"Terima kasih," ujar Richard. Aku sadar ia sedang
mengamatiku. Aku pasti dianggapnya tukang buat onar, kataku dalam hati.
Briana turun dari tempat tidur. Ia menyeret tasnya ke tempat
tidur di depan jendela. "Tuh, pakai saja tempat tidurku," ia bergumam.
Nada suaranya sama sekali tidak bersahabat.
Aku merasa tidak enak. Belum apa-apa aku sudah dibenci
teman-teman sekamarku. Kenapa aku selalu begitu" Kenapa aku selalu gugup dan
memberi kesan awal yang buruk kepada orang lain"
Sekarang aku harus berusaha ekstra keras untuk berteman
dengan mereka, pikirku. Tapi semenit kemudian, aku melakukan sesuatu yang sangat
bodoh. Chapter 3 "HEI, terima kasih kau mau bertukar tempat tidur, Briana,"
kataku. "Kau baik sekali."
Ia mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa. Meg membuka
tasnya dan mulai memindahkan celana pendek dan T-shirt ke laci
lemari pakaian. Anak cewek yang ketiga menatapku sambil tersenyum. "Hai!
Aku Janice," ia menyapa. Suaranya bernada parau. "Tapi semua orang memanggilku
Jan. Jan tersenyum ramah. Rambutnya yang pirang dikuncir.
Matanya berwarna biru tua dan pipinya kemerahan. Seakan-akan ia
terus tersipu-sipu. "Kau juga berlibur di sini waktu musim panas tahun lalu?" aku bertanya padanya.
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Briana dan Meg memang
berlibur di sini. Tapi ini pertama kali aku kemari. Tahun lalu aku berlibur di
perkemahan tenis." "Aku baru sekali ini berlibur di perkemahan," aku berterus-terang. "Jadi aku
agak gugup." "Kau jago renang?" tanya Briana.
Aku angkat bahu. "Lumayan, sih. Tapi aku jarang berenang.
Aku kurang suka." Meg berpaling dari lemari pakaian. "Kau tidak suka berenang, tapi kau berlibur
di perkemahan olahraga air?"
Briana dan Jan langsung tertawa.
Wajahku mendadak panas. Aku enggan mengaku bahwa aku
kemari karena disuruh orangtuaku. Kedengarannya payah banget.
Tapi aku tidak tahu harus berkata apa.
"Aku... ehm... aku suka kegiatan lain," aku tergagap-gagap.
"Oh - baju renangmu bagus sekali!" seru Briana. Ia mengambil baju renang berwarna
kuning terang dari tas Meg dan mengamatinya
dengan saksama. "Ya, keren lho."
Meg segera merebutnya. "Memangnya kau muat!" ia
bergumam. Kawat giginya beradu setiap kali ia bicara.
Di samping Briana yang jangkung dan anggun, Meg kelihatan
seperti bola boling. "Apakah kau tambah kurus selama musim dingin?" Briana
bertanya padanya. "Kau tampak keren. Sungguh, Meg."
"Berat badanku memang turun sedikit," sahut Meg. Ia menghela napas. "Tapi aku
tidak tambah tinggi."
"Aku tambah tinggi sekitar tiga puluh senti tahun ini," aku menimpali. "Aku anak
cewek paling jangkung di sekolah. Semua orang menoleh kalau aku lewat."
"Oh, kasihan," Meg berkomentar sambil meringis. "Mungkin kau lebih suka jadi
kurcaci seperti aku?"
"Ehm... tidak juga sih," jawabku.
Oops. Baru sekarang aku sadar aku seharusnya tidak berkata
begitu. Meg tampak sakit hati. Kenapa aku bilang begitu" aku bertanya dalam hati.
Kenapa aku selalu keseleo lidah"
Aku meraih ranselku yang masih tergeletak di lantai. Aku
membawanya ke tempat tidurku untuk kubongkar isinya.
"Hei - itu ranselku! Mau dibawa ke mana?" Jan bergegas
menghampiriku. Aku menatap ransel yang kubawa. "Bukan, ini punyaku," aku berkeras.
Aku menarik ritsletingnya - dan ransel itu jatuh dari tempat
tidur. Setumpuk barang langsung berserakan di lantai pondok.
"Oh!" aku memekik tertahan. Barang-barang itu bukan milikku.
Aku melihat botol-botol obat. Dan alat pernapasan dari plastik.
"Obat asma?" seruku.
Jan cepat-cepat berlutut dan memungut barang-barangnya. Ia
menatapku dengan gusar. "Kenapa kau harus memberitahu semua
orang bahwa aku asma" Kenapa tidak sekalian saja kau
mengumumkannya saat acara api unggun nanti malam?"
"Sori," aku bergumam.
"Kan sudah kubilang itu ranselku," hardik Jan.
Meg membungkuk dan membantu mengumpulkan barang-
barang Jan. "Kau tidak perlu malu karena asma," katanya.
"Itu urusanku sendiri," balas Jan dengan ketus. Ia memasukkan semua obat-obatan
ke dalam kantong dan menarik ranselnya.
"Sori," aku berkata sekali lagi.
Mereka bertiga menatapku dengan tajam. Briana geleng-geleng
kepala. Meg berdecak-decak.
Mereka membenciku, aku berkata dalam hati. Aku sedih sekali.
Mereka membenciku, padahal ini baru hari pertama. Aku baru
satu jam berkenalan dengan mereka. Aku menghela napas dan duduk
di tempat tidur. Rasanya tidak ada keadaan yang lebih parah daripada ini,
pikirku. Tapi ternyata aku keliru.
Chapter 4 MALAM itu pertama kali kami membuat api unggun di
lapangan luas di dekat hutan. Balok-balok kayu disusun melingkar
untuk digunakan sebagai bangku.
Aku mencari tempat kosong dan duduk membelakangi
pepohonan. Api unggun besar di hadapanku menari-nari dan
menerangi langit senja yang kelabu.
Apinya meretih-retih. Baunya enak sekali. Aku menarik napas
dalam-dalam.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para pembina melemparkan lebih banyak ranting ke dalam api.
Dalam sekejap lidah apinya sudah lebih tinggi dari mereka.
Udara malam gerah dan kering. Pipiku seakan-akan membara
karena panas yang terpancar dari api unggun.
Aku berbalik dan memandang ke hutan. Pohon-pohon yang
gelap tampak berayun pelan karena tiupan angin. Dalam cahaya
remang-remang, aku melihat seekor tupai melintas di antara alang-
alang. Aku bertanya-tanya, makhluk apa lagi yang mengintai di hutan
gelap itu. Pasti ada binatang yang lebih besar daripada tupai. Lebih besar dan
lebih berbahaya. KRAK! Bunyi patahan api unggun membuatku tersentak kaget.
Seram juga di luar kalau sudah gelap, aku berkata dalam hati.
Kenapa api unggunnya tidak dibuat di dalam ruangan saja" Di tempat perapian,
misalnya" Aku menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Ketika aku kembali berpaling ke api unggun, aku melihat
Briana dan Meg duduk di salah satu balok kayu. Mereka sedang
tertawa-tawa sambil mengobrol dengan dua anak cewek yang tidak
kukenal. Aku melihat Aaron duduk di seberang api unggun. Ia sedang
bercanda dengan dua anak cowok. Mereka bergulat dan saling dorong.
Aku menghela napas. Aaron sudah mendapat teman-teman
baru, pikirku. Semua sudah mendapat teman baru - kecuali aku.
Aaron melihat aku sedang memandang ke arahnya. Ia
melambaikan tangan, lalu kembali asyik bermain dengan teman-
temannya. Di balok kayu sebelah tiga anak cewek duduk sambil
mendongakkan kepala. Mereka sedang menyanyikan lagu kebesaran
Camp Cold Lake. Aku mendengarkan mereka sambil mencoba menghapalkan
syair lagu itu. Tapi di tengah jalan mereka mulai tertawa cekikikan dan berhenti
menyanyi. Dua anak cewek yang lebih tua duduk di ujung balok yang
kududuki. Kelihatannya mereka berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun.
Aku menoleh untuk menyapa mereka. Tapi mereka
terlalu asyik mengobrol berdua.
Richard, si kepala pembina, melangkah ke depan api unggun. Ia
memakai topi bisbol hitam yang diputar ke belakang. Celana
pendeknya yang gombrong tampak kotor akibat mempersiapkan api
unggun tadi. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Semua sudah
berkumpul?" ia berseru.
Suaranya nyaris tidak kedengaran. Semua anak masih asyik
mengobrol dan tertawa. Di balik api unggun aku melihat Aaron
bangkit dan menggeliat-geliut tak keruan.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari
mereka mengajak Aaron ber-high five.
"Sudah bisa dimulai?" Richard berseru. "Acara api unggun selamat datang sudah
bisa dimulai?" Sebuah balok kayu berderak dimakan api. Bunga api berwarna
merah beterbangan ke segala arah.
"Oh!" aku memekik ketika ada yang menyentuh pundakku.
"Siapa...?" Aku langsung berbalik. Dan melihat Briana dan Meg.
Mereka berdiri di hadapanku. Raut muka mereka ketakutan.
"Sarah - lari!" Briana berbisik.
"Berdiri - cepat!" Meg menarik-narik lenganku. "Lari!"
"Kenapa" Ada apa, sih?" tanyaku kalang kabut.
Chapter 5 AKu cepat-cepat berdiri. "Ada apa, sih?"
"Anak-anak cowok itu," Meg berbisik. Ia menunjuk ke seberang api unggun. "Mereka
melempar petasan ke dalam api. Sebentar lagi petasannya akan meledak!"
"Lari!" keduanya berseru.
Meg mendorongku dari belakang.
Aku terhuyung-huyung sejenak - lalu melesat maju. Sambil
berlari aku memejamkan mata rapat-rapat. Petasannya sudah mau
meledak! Apakah aku masih sempat lari" Apakah Meg dan Briana juga
bisa meloloskan diri"
Aku mendadak berhenti ketika mendengar suara tawa.
Tawa berderai-derai. "Hah?" Aku menelan ludah dan menoleh ke belakang.
Ternyata separuh peserta perkemahan sedang menertawakanku.
Meg dan Briana ber-high five.
"Oh, aduuuh," aku bergumam. Bisa-bisanya aku ketipu.
Dan tega-teganya mereka mempermainkanku seperti ini.
Mereka pasti telah menyuruh semua anak memperhatikanku.
Rasanya semua mata tertuju ke arahku ketika aku berdiri sendirian di tepi hutan.
Aku mendengar anak-anak tertawa dan berkomentar macam-
macam. Aku melihat Jan tertawa. Dan aku melihat Richard dan
beberapa pembina lain tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Aku tahu, aku tahu. Seharusnya aku ikut tertawa. Seharusnya
aku menganggap semuanya cuma lelucon saja.
Seharusnya aku tidak kesal.
Tapi sejak awal kedatanganku ke sini perasaanku sudah tidak
enak. Aku gugup sekali. Aku berusaha keras untuk tidak membuat
kesalahan lagi. Pundakku mulai gemetaran. Dan mataku mulai berair.
Jangan! aku berkata dalam hati. Jangan menangis! Kau tidak
boleh menangis di depan seluruh peserta perkemahan.
Memang, kau pasti malu sekali, Sarah. Tapi sudahlah. Ini cuma
lelucon. Lelucon konyol. Seseorang menggamit lenganku. Aku segera melepaskan diri.
"Sarah...." Aaron muncul di sampingku. Ia menatapku dengan matanya yang cokelat.
"Aku tidak apa-apa," ujarku dengan ketus. "Pergilah!"
"Jangan sewot begitu, dong," ia berkata pelan. "Kenapa sih kau susah benar
diajak bercanda" Ini kan cuma lelucon. Kenapa kau harus marah-marah gara-gara
lelucon konyol?" Kau tahu apa yang paling kubenci"
Aku paling benci kalau ucapan Aaron benar.
Maksudku, Aaron adikku, kan" Kenapa justru Aaron yang
selalu tenang dan kalem"
Aku benar-benar sebal kalau Aaron bersikap seakan-akan ia
kakakku. "Jangan sok tahu," aku menggeram. "Sudah, ja-ngan ganggu aku lagi." Aku
mendorongnya ke arah api unggun.
Ia cuma angkat bahu dan kembali ke teman-temannya.
Aku berjalan lambat-lambat, tapi tidak kembali ke tempat
dudukku tadi. Balok itu terlalu dekat dengan api unggun - dan terlalu dekat dengan
Briana dan Meg. Aku memilih balok kayu di dekat tepi hutan, yang tak
terjangkau cahaya api unggun. Kegelapan di sekelilingku terasa
menyejukkan dan sekaligus membantu menenangkan diriku.
Sejak tadi Richard terus berbicara. Aku baru sadar bahwa aku
sama sekali tidak memperhatikan apa yang dikatakannya.
Ia berdiri di depan api unggun. Suaranya besar dan lantang.
Tapi semua anak mencondongkan badan ke depan untuk mendengar
lebih jelas. Aku memandang berkeliling. Wajah para peserta perkemahan
bersinar jingga karena memantulkan cahaya api unggun. Mata mereka tampak
berbinar-binar. Dalam hati aku bertanya apakah ada di antara mereka yang mau
berteman denganku. Aku tahu aku mengasihani diriku sendiri. Dan aku bertanya-
tanya, adakah di antara anak-anak yang baru sekali ini berkemah yang merasakan
perasaan yang sama. Suara Richard terngiang-ngiang di telingaku. Ia mengatakan
sesuatu tentang bangunan utama. Lalu ia menyinggung soal jadwal
makan. Dan kemudian ia mulai bicara tentang handuk.
Aku mulai lebih memperhatikannya ketika ia memperkenalkan
koordinator kegiatan olahraga air. Namanya Liz.
Semua orang bertepuk tangan ketika Liz melangkah ke samping
Richard. Salah satu anak cowok malah bersuit-suit.
"Wow, boleh juga!" seru anak cowok lainnya. Semuanya
tertawa. Liz pun tersenyum. Ia sadar penampilannya memang heboh. Ia
mengenakan celana pendek jeans dan kaus ketat berwarna biru tua. Ia melambaikan
tangan, meminta semua anak tenang.
"Kalian semua senang di sini?" ia berseru.
Semua peserta bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa
anak cowok kembali bersuit-suit.
"Nah, besok adalah hari pertama di danau," Liz mengumumkan.
"Tapi sebelum kalian masuk ke danau, ada beberapa peraturan yang harus kalian
ketahui." "Misalnya, jangan minum air danau!" Richard menimpali.
"Kecuali kalau kalian benar-benar haus!"
Beberapa anak tertawa. Aku diam saja. Ih, mana mungkin ada
yang mau minum air kotor berlendir itu"
Liz juga tidak tertawa. Ia menatap Richard sambil mengerutkan
kening. "Kita harus serius," ia menegur rekannya.
"Aku memang serius!" Richard berkelakar.
Liz tidak menggubrisnya. "Kalau kalian kembali ke pondok
masing-masing nanti, kalian akan menemukan daftar peraturan di
tempat tidur," ia melanjutkan sambil menyibakkan rambutnya yang panjang berwarna
merah. "Ada dua puluh peraturan pada daftar itu.
Dan kalian harus menghapal semuanya."
Hah" Dua puluh peraturan" pikirku. Mana mungkin ada dua
puluh peraturan" Banyak amat.
Liburan musim panas kurang panjang untuk menghapalkan dua
puluh peraturan. Liz mengangkat selembar kertas. "Kita akan membahas
semuanya satu per satu sekarang. Silakan tanya kalau ada yang kurang jelas."
"Apakah kami sudah boleh berenang sekarang?" seru anak
cowok yang bermaksud melucu.
Sebagian besar anak tertawa.
Tapi Liz diam saja. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak.
"Itu peraturan nomor delapan," jawabnya. "Dilarang berenang pada malam hari,
meskipun kalian ditemani pembina."
"Jangan sekali-sekali berenang kalau ada pembina!" Richard bergurau. "Soalnya
mereka semua membawa kuman!"
Richard memang kocak, aku berkata dalam hati. Tapi Liz
kelihatan begitu serius. Daftar peraturan yang dipegangnya melambai-lambai tertiup
angin. Ia menggenggamnya dengan dua tangan. Rambutnya yang
merah memantulkan cahaya api unggun.
"Peraturan paling penting di Camp Cold Lake adalah Sistem
Pasangan," Liz mengumumkan. "Setiap kali kalian bermain di danau, kalian harus
didampingi pasangan kalian."
Ia menatap para peserta yang duduk di sekelilingnya.
"Walaupun kalian cuma jalan-jalan di air semata kaki, kalian harus didampingi
pasangan," katanya. "Kalian bebas berganti pasangan setiap kali. Atau bisa juga
kalian memilih satu pasangan untuk
sepanjang liburan. Tapi kalian harus selalu punya pasangan."
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ada pertanyaan?"
"Maukah kau jadi pasanganku?" seru salah satu anak cowok.
Semuanya tertawa. Aku juga. Canda anak itu memang benar-
benar pas. Tapi sekali lagi. Liz tidak terpengaruh. "Sebagai koordinator olahraga air, aku
akan bertindak sebagai pasangan semua peserta
kemah," ia menjawab dengan serius.
"Sekarang, peraturan nomor dua," ia melanjutkan. "Jangan berenang terlalu jauh
dari perahu-perahu pengaman. Peraturan nomor tiga - dilarang berteriak atau pura-
pura mengalami kesulitan di dalam air. Jangan bergurau. Jangan main-main.
Peraturan nomor empat..."
Ia terus berbicara, sampai kedua puluh peraturan selesai
dibacakannya. Aku menghela napas. Liz memperlakukan kami seperti anak-
anak lima tahun, aku berkata dalam hati.
Begitu banyak peraturan yang harus dihapal. "Aku akan
mengulang sekali lagi soal Sistem Pasangan...," Liz berkata.
Aku memandang lewat api unggun, dan melihat danau yang
gelap. Permukaannya tampak licin dan hitam dan tenang.
Di danau itu cuma ada riak kecil. Tak ada arus. Tak ada
gelombang pasang yang berbahaya.
Jadi kenapa harus ada begitu banyak peraturan" aku bertanya
dalam hati. Apa yang harus ditakuti"
Chapter 6 LIZ bicara selama paling tidak setengah jam. Richard terus
melucu dan berusaha membuat rekannya tertawa. Tapi sia-sia. Bahkan sekadar
tersenyum pun Liz tampaknya enggan.
Ia kembali membahas setiap peraturan yang ada dalam
daftarnya. Kemudian ia menyuruh kami membaca daftar itu dengan
saksama setelah kami kembali ke pondok masing-masing.
"'Selamat berlibur semuanya!" ia berseru. "Sampai ketemu di danau!"
Semua bersorak-sorai dan bersuit-suit ketika Liz menjauhi api
unggun. Aku menguap dan meluruskan tangan ke atas kepala. Ini
benar-benar membosankan, pikirku.
Baru sekarang aku tahu ada tempat yang punya begitu banyak
peraturan. Aku kembali menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Badanku mulai gatal-gatal. Begitulah akibatnya kalau aku berada di alam bebas.
Aku langsung gatal-gatal.
Api unggun telah padam. Bara berwarna ungu teronggok di
tanah yang gelap. Udara malam semakin dingin.
Untuk menutup acara api unggun, Richard meminta semua anak
berdiri dan menyanyikan lagu kebesaran Camp Cold Lake. "Para peserta baru tentu
belum tahu liriknya," ia berkata. "Kalian beruntung!"
Semua tertawa. Kemudian Richard mulai bernyanyi, dan
semuanya langsung angkat suara.
Aku pun berusaha ikut. Tapi liriknya cuma kutangkap
sepenggal demi sepenggal....
"Wetter is better..."
"Get in the swim. Show your vigor and vim..."
"Every son and daughter should be in the water, the cold, cold water of Camp
Cold Lake." Wah, ternyata aku sependapat dengan Richard. Lirik lagu itu
memang konyol minta ampun!
Aku memandang ke seberang api unggun dan melihat Aaron
bernyanyi dengan sepenuh hati. Tampaknya ia sudah hapal seluruh
syairnya. Bagaimana caranya" aku bertanya dalam hati sambil
menggaruk kakiku yang gatal. Kok ia bisa begitu cepat hapal" Dan
begitu mudah bergaul"
Setelah lagu itu berakhir, Richard mengangkat tangan supaya
semua tenang. "Masih ada beberapa pengumuman," ia berseru.
"Pertama, suara kalian semua sumbang! Kedua..."
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak mendengarkan sisanya. Aku menoleh dan melihat
Briana dan Meg berdiri di sampingku.
Aku langsung mundur selangkah. "Mau apa kalian?" tanyaku dengan ketus.
"Kami ingin minta maaf," ujar Briana.
Meg mengangguk. "Yeah. Kami mau minta maaf karena
lelucon konyol tadi."
Richard masih terus berpidato di belakang kami. Briana
meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Perkenalan kita kurang enak," katanya.
"Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi" Kau setuju, Sarah?"
"Yeah, kita mulai dari awal saja," Meg menimpali. Aku
langsung mengembangkan senyum. "Setuju," kataku. "Setuju sekali."
"Oke!" ujar Briana. Ia juga tersenyum lebar.
Ia menepuk punggungku. "Mari kita mulai dari awal."
Richard masih sibuk memberikan pengumuman. "Jam setengah
lima sore besok, semua yang berminat pada selancar angin..."
Aaron pasti akan mencobanya, aku berkata dalam hati. Aku
memperhatikan Briana dan Meg berjalan menj auh.
Awal yang baru, pikirku. Perasaanku mendadak jauh lebih
enak. Tapi perasaan gembira itu cuma bertahan sekitar dua detik.
Tiba-tiba punggungku gatal-gatal.
Aku berbalik ke api unggun dan melihat Briana dan Meg
memandang ke arahku. Keduanya tertawa cekikikan.
Anak-anak lain mulai mengalihkan perhatian dari Richard dan
menatapku. "Ohhh." Aku mengerang ketika merasakan sesuatu yang hangat menggeliat-geliut di
punggungku. Sesuatu yang hangat dan kering bergerak-gerak di balik T-shirt-
ku. "Aduh." Aku menyelipkan sebelah tangan ke balik bajuku. Apa itu" Apa
yang ditaruh Briana di punggungku tadi"
Aku menggenggamnya dan menariknya ke luar. Dan aku pun
langsung menjerit. Chapter 7 ULAR itu menggeliat-geliut di tanganku.
Bentuknya seperti tali sepatu berwarna hitam. Dengan mata!
Dan mulut yang menyambar-nyambar, membuka dan menutup.
"Ahhh!" Aku menjerit sejadi-jadinya. Kemudian kulempar ular itu dengan sekuat
tenaga. Ular itu terpental ke hutan.
Punggungku masih gatal-gatal. Aku masih bisa merasakan ular
tadi menggeliat-geliut di kulitku.
Aku berusaha menggaruk punggung dengan kedua tangan.
Anak-anak di sekitarku mulai tertawa. Berita mengenai
keisengan Briana menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
Aku tidak peduli. Aku terus menggaruk-garuk.
Seluruh tubuhku terasa gatal. Aku berteriak dengan gusar.
"Apa-apaan sih kalian?" aku menghardik Briana dan Meg. "Apa sih yang kalian
inginkan?" Aaron menghampiriku. Ia pasti sudah siap untuk bersikap sok
tahu lagi. Huh, menyebalkan. "Sarah, kau digigit?" ia bertanya dengan suara pelan.
Aku menggelengkan kepala. "Rasanya ular itu masih merambat
di punggungku!" aku berseru. "Kaulihat, tidak" Panjangnya hampir satu meter!"
"Tenang dulu," bisik Aaron. "Semua orang menoleh kemari."
"Kaupikir aku tidak tahu?" balasku dengan ketus.
"Hmm, itu kan cuma ular kecil," ujar Aaron. "Sama sekali tidak berbahaya. Kau
tidak perlu sewot begini."
"Aku - aku...," aku tergagap-gagap. Tapi aku terlalu emosi hingga tak sanggup
bicara. Aaron menoleh ke arah Briana dan Meg. "Kenapa mereka terus
mengganggumu?" ia bertanya.
"Mana kutahu!" jawabku. "Karena... karena mereka memang brengsek! Itu sebabnya!"
"Coba tenang dulu," kata Aaron. "Tubuhmu sampai gemetaran, Sarah."
"Bagaimana aku tidak gemetaran" Kau pasti juga gemetaran
kalau ada ular di punggungmu!" aku menyahut. "Dan aku tidak butuh nasihatmu,
Aaron. Aku tidak butuh..."
"Ya, sudah," kata Aaron. Serta-merta ia berbalik dan kembali ke tempat teman-
temannya. "Ada-ada saja," aku bergumam.
Ayah kami dokter, dan Aaron persis seperti Dad. Ia pikir ia
harus mengurusi semua orang di dunia.
Hah, aku bisa mengurus diri sendiri. Aku tidak butuh nasihat
dari adikku. Richard belum juga selesai berbicara. Tapi aku tidak peduli.
Aku meninggalkan tempat api unggun dan kembali ke pondok.
Aku melewati jalan setapak yang menembus hutan dan menaiki
bukit. Suasananya benar-benar gelap.
Aku menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke tanah di
depan kakiku. Sepatuku menginjak daun mati dan ranting kering.
Pohon-pohon di sekelilingku berdesir-desir.
Kenapa jadi begini" aku bertanya dalam hati. Kenapa Briana
dan Meg begitu benci padaku" Mungkin mereka memang konyol, aku
berkata dalam hati. Mungkin mereka bersikap seperti itu kepada
semua orang. Mereka pikir mereka paling hebat karena tahun lalu sudah
kemari. Tanpa sadar, aku menyimpang dari jalan setapak. "Hei...!" Aku mengarahkan senter
ke sekelilingku untuk mencari jalan itu.
Cahaya senter menyapu batang-batang pohon, rumpun ilalang,
dan sebatang pohon tumbang.
Aku mulai panik. Mana jalannya" Mana"
Aku maju beberapa langkah. Daun-daun kering bekersak-kersak
terinjak olehku. Berikutnya kakiku terbenam dalam sesuatu yang lembek.
Pasir isap! Chapter 8 BUKAN. Bukan pasir isap. Pasir isap sebenarnya tidak ada. Buku IPA yang kubaca di kelas
lima menyatakan hal itu. Aku mengarahkan senter ke bawah.
"Ohhhh." Ternyata lumpur. Lumpur yang kental dan lengket.
Sepatu ketsku terbenam dalam lumpur itu.
Aku mengangkat kaki sambil mengerang - dan nyaris jatuh
terjengkang. Tenang saja, ini cuma lumpur, aku berkata dalam hati. Memang
menjijikkan - tapi bukan sesuatu yang aneh.
Tapi kemudian aku melihat gerombolan labah-labah itu.
Jumlahnya lusinan. Labah-labah paling besar yang pernah
kulihat. Rupanya mereka bersarang di dalam lumpur.
Makhluk-makhluk itu merangkak melewati sepatuku, menaiki
kaki celanaku. "Ya ampun! Idih!"
Lusinan labah-labah bergelantungan padaku. Aku mengayunkan
kaki. Keras-keras. Aku mulai menepis-nepis dengan tanganku yang
bebas. "Aku benci perkemahan ini!" aku menjerit.
Beberapa labah-labah kusingkirkan dengan menggunakan
senter. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Apa salahnya kalau aku nlembalas perbuatan Briana dan Meg
padaku" Mereka telah mempermalukanku di depan semua peserta
perkemahan. Padahal aku tidak berbuat apa-apa terhadap mereka.
Aku mengeluarkan baterai senter. Aku menarik napas dalam-
dalam, lalu aku membungkuk dan memasukkan segenggam labah-
labah ke dalam selongsong senter.
Ihhh. Aku sampai merinding. Sungguh.
Habis, bayangkan saja - aku harus memegang labah-labah!
Tapi aku tahu pengorbananku takkan sia-sia.
Aku mengisi senterku dengan makhluk-makhluk hitam yang
menggeliat-geliut tanpa henti. Setelah penuh, tutupnya kupasang lagi.
Kemudian aku mencari jalan pulang. Aku melangkahi pohon
tumbang. Dalam waktu singkat, jalan setapak sudah kutemukan
kembali. Sambil membawa senter dengan hati-hati, aku bergegas ke
pondokku. Aku berhenti di depan pintu. Lampu-lampu di dalam masih
menyala. Aku mengintip lewat jendela yang terbuka. Hmm, tidak ada
siapa-siapa. Aku menyelinap masuk. Aku menyibak selimut di tempat tidur Briana. Kemudian
kutuangkan setengah dari labah-labahku ke tempat tidurnya.
Selimutnya kurapikan kembali sampai licin.
Aku sedang menuangkan sisa labah-labah ke tempat tidur Meg
ketika terdengar suara langkah di belakangku. Cepat-cepat aku
merapikan selimut Meg dan berbalik.
Jan muncul di pintu. "Hei, ada apa?" ia menyapaku dengan suaranya yang parau.
"Tidak ada apa-apa," jawabku sambil menyembunyikan senter di belakang punggung.
Jan menguap. "Sepuluh menit lagi lampu-lampu harus
dimatikan," katanya.
Aku melirik ke tempat tidur Briana. Salah satu sudut selimutnya
belum sempat kubereskan. Tapi Briana takkan tahu, aku berkata
dalam hati. Tanpa sadar aku mulai cengar-cengir. Tapi kemudian aku cepat-
cepat pasang tampang serius. Aku tidak ingin Jan bertanya macam-
macam. Ia berbalik dan mengeluarkan baju tidur berwarna putih dari
laci lemari pakaiannya. "Besok kau ikut kegiatan apa?" ia bertanya.
"Renang Bebas?"
"Bukan. Dayung," jawabku.
Aku ingin naik perahu dayung yang kering dan aman. Aku tidak
berminat mondar-mandir di danau kotor yang penuh ikan dan
makhluk jorok lainnya. "Hei, aku juga," kata Jan.
Aku hendak bertanya apakah ia mau jadi kawanku berdayung
besok, tapi Briana dan Meg keburu masuk.
Mereka melihatku - dan langsung tertawa terbahak-bahak.
"Seru benar sih tarian yang kaubawakan waktu api unggun
tadi," Briana mencemooh.
"Gayanya seperti kalau ada ular di punggungmu!" Meg
menimpali. Mereka terus tertawa. Biar saja, aku berkata dalam hati. Tertawalah sepuas-puasnya.
Beberapa menit lagi giliran aku yang tertawa. Aku sudah tidak
sabar. Chapter 9 BEBERAPA menit kemudian Jan mematikan lampu. Aku
berbaring di kasurku yang keras, dan menatap kasur Meg di atasku.
Aku cengar-cengir. Dan menunggu....
Menunggu.... Meg berbalik di tempat tidur di atasku.
Aku mendengarnya menarik napas keras.
Dan kemudian Briana dan Meg mulai menjerit-jerit.
Aku tertawa keras-keras. Aku tidak sanggup menahan diri.
"Aku digigit! Aku digigit!" Briana melolong.
Lampu-lampu segera menyala lagi.
"Tolong!" Meg memekik. Ia melompat turun dari tempat tidur, dan menginjak lantai
dengan kaki telanjang. Kedengarannya seperti ada gajah jatuh.
"Aku digigit!" Briana memekik.
Ia dan Meg melompat-lompat dan menggeliat-geliut. Mereka
menepuk-nepuk lengan, kaki, dan punggung masing-masing.
Aku sampai harus menggigit bibir untuk menahan tawa.
"Labah-labah! Mereka ada di mana-mana," Meg memekik.
"Aduh! Mereka menggigitku!" Ia menarik lengan baju tidurnya.
"Aduh! Sakit!" Jan berdiri di samping sakelar lampu. Aku masih duduk di
tempat tidur, menonton Meg dan Briana menggeliat-geliut dan
melompat-lompat. Tapi ucapan Jan menyingkirkan senyum dari wajahku.
"Sarah yang menaruh labah-labah di tempat tidur kalian," ia memberitahu Briana
dan Meg. "Aku memergokinya mengotak-atik
tempat tidur kalian waktu aku masuk tadi."
Dasar tukang ngadu. Mungkin ia masih marah padaku karena
aku menumpahkan obat asmanya. Hmm, seketika tamatlah
kegembiraanku. Tampaknya Briana dan Meg ingin mencekikku. Mereka
terpaksa ke ruang P3K dan membangunkan perawat. Mereka harus
memastikan labah-labah itu tidak beracun.
Mana kutahu labah-labah jenis ini suka menggigit" Lagi pula,
ini kan cuma lelucon. Aku mencoba minta maaf ketika mereka kembali dari ruang
P3K. Tapi mereka tidak mau bicara denganku. Begitu juga, Jan.
Ya sudah, aku berkata dalam hati. Kalau mereka tidak mau
berteman denganku, aku akan mencari teman lain....
************************ Keesokan pagi di bangsal asrama, aku sarapan seorang diri. Di
ruangan itu ada dua meja panjang yang membentang dari dinding ke
dinding. Satu untuk anak laki-laki, satu lagi untuk anak perempuan.
Aku duduk di ujung meja anak perempuan dan makan
cornflakes sambil membisu.
Semua anak cewek lainnya asyik bercerita. Briana dan Meg
menatapku sambil mendelik dari ujung meja.
Aku melihat Aaron di meja anak cowok. Ia dan teman-
temannya sedang asyik bercanda. Aaron menaruh sepotong panekuk
di keningnya, dan anak lain menepuknya sampai jatuh.
Paling tidak ada yang gembira, pikirku dengan getir.
Tiba-tiba saja aku ingin menghampiri Aaron dan
memberitahunya betapa tertekannya aku di sini. Tapi aku tahu ia pasti akan
menyuruhku jangan terlalu serius.
Karena itu aku tetap duduk di ujung meja dan mengunyah
sarapanku. Apakah keadaan nanti akan bertambah baik dalam kegiatan
dayung" Silakan tebak tiga kali. Anak-anak yang lain sudah mulai mendorong perahu masing-
masing ke dalam air. Sepertinya semua sudah punya pasangan.
Liz menghampiriku. Baju renangnya yang putih tampak
berkilauan dalam cahaya matahari pagi.
Rambutnya yang merah disisir ke belakang dan dikuncir.
Ia melepas peluit perak yang semula terjepit di antara bibirnya.
"Siapa namamu?" ia bertanya sambil memandang ke danau.
"Sarah," jawabku. "Aku mendaftarkan diri untuk kegiatan dayung, tapi..."
"Kau perlu pasangan," Liz menyela. "Cari pasangan dulu.
Perahu-perahu disimpan di sebelah sana." Ia menunjuk, lalu berjalan menjauh.
Perahu demi perahu meluncur ke air. Gemercik air terdengar di
mana-mana.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku bergegas ke tempat perahu sambil mencari-cari pasangan.
Tapi semua anak sudah berpasangan.
Aku sudah mau menyerah ketika aku melihat Jan. Ia sedang
menyeret perahu ke air. "Kau sudah dapat pasangan?" seruku.
Ia menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau kita bergabung saja?" tanyaku. "Tidak usah,"
balasnya dengan ketus. "Jangan-jangan ada serangan labah-labah lagi nanti."
"Ayo dong, Jan," aku berusaha membujuknya. "Kalian berpasangan?" Liz tahu-tahu
sudah muncul di belakang Jan dan aku.
"Tidak. Aku...," kata Jan.
"Aku ingin berpasangan dengan dia, tapi dia tidak mau," aku menyela. Tanpa sadar
aku merengek seperti anak kecil.
Jan meringis. "Bawa perahu kalian ke air," Liz memerintahkan. "Tinggal kalian yang masih di
darat." Jan hendak memprotes. Tapi akhirnya ia angkat bahu dan
menghela napas. "Oke, Sarah. Ayo."
Kami mengenakan jaket pelampung. Kemudian aku meraih
dayung dan memegang haluan perahu. Kami menyeretnya ke air.
Perahu kecil itu berayun-ayun. Arus air ternyata lebih deras dari yang kuduga.
Ombak kecil terus menjilat tepi danau yang ditumbuhi rumput.
Jan masuk ke perahu dan mengambil tempat di depan. "Terima
kasih kau telah mempermalukanku di depan Liz," ia bergumam.
"Aku tidak bermaksud...," aku berusaha menjelaskan.
"Oke, dorong perahunya," ia menyela.
Aku melemparkan dayungku ke dalam perahu. Kemudian aku
membungkuk dan mendorong perahu keras-keras.
Perahu itu meluncur mulus. Aku melangkah ke air dan
memanjat masuk ke perahu.
"Aduh!" Perahu itu nyaris terbalik ketika aku berusaha menarik tubuhku.
"Hei! Hati-hati!" Jan membentak. "Huh, dasar! Masa begini saja tidak bisa, sih?"
"Sori," aku bergumam. Saking senangnya karena akhirnya
mendapat pasangan, aku tidak mau membuat masalah lagi.
Aku naik ke perahu dan duduk di belakang Jan. Perahunya
berayun-ayun ketika kami mulai mendayung. Permukaan danau
berkilau bagaikan perak karena memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. Kami
membutuhkan waktu agak lama sebelum menemukan
irama yang tepat. Jan dan aku sama-sama membisu.
Satu-satunya suara yang terdengar adalah gemercik air ketika
kami mengayuh dayung. Danau tampak gemerlap seperti cermin raksasa berbentuk bulat.
Aku melihat beberapa perahu di depan. Jan dan aku tertinggal jauh.
Jaket pelampung yang kami kenakan membuat kami merasa
gerah. Kami melepaskan jaket pelampung, dan menaruh keduanya di
dasar perahu. Kami mendayung dengan irama sedang, tidak terlalu cepat,
tidak terlalu pelan. Aku menoleh ke belakang. Tepi danau tampak jauh sekali.
Aku langsung merinding. Aku tidak terlalu pintar berenang.
Mendadak aku ragu apakah aku bisa berenang ke tepi kalau sampai
terjadi sesuatu. "Hei!" Ketika aku sedang memandang tepi danau, perahu kami mendadak terombang-
ambing. "Aduuuh!" Aku berpegangan pada pinggiran perahu.
Aku menoleh - dan melihat Jan berdiri!
"Jan - berhenti! Sedang apa kau?" aku memekik. "Sedang apa kau?"
Perahu kami semakin oleng. Aku mencengkeram tepi perahu
erat-erat. Jan maju selangkah. Perahu kami bertambah miring. Air membasahi kakiku.
"Jan - berhenti!" aku berseru sekali lagi. "Duduklah! Apa sih maumu?"
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Selamat tinggal,
Sarah." Chapter 10 PERAHU semakin miring ketika ia menapakkan sebelah kaki
ke pinggiran perahu. Ia membuka T-shirt yang menutupi baju
renangnya, lalu mencampakkannya ke dasar perahu.
"Jangan!" aku memohon. "Jangan tinggalkan aku di sini. Aku bukan jago renang.
Bagaimana kalau perahunya terbalik" Rasanya aku tidak sanggup berenang ke tepi
danau!" "Gara-gara kau liburanku jadi kacau," tukas Jan dengan sengit.
"Gara-gara kau semua orang tahu aku menderita asma. Dan gara-gara kau juga aku
tidak boleh ikut perjalanan enam hari menjelajah danau dengan perahu."
"T-tapi aku tidak sengaja...," aku tergagap-gagap. "Dan kau juga mencari gara-
gara dengan Briana dan Meg," Jan menambahkan dengan gusar.
"Tidak. Tunggu...," aku berusaha menyela. "Aku sudah minta maaf. Aku tidak
bermaksud..." Ia bergeser sedikit, sehingga perahu oleng ke arah berlawanan.
Kemudian ia bergeser ke arah semula. Sekali lagi. Dan sekali
lagi. Ia sengaja membuat perahu oleng.
Ia sengaja menakut-nakutiku.
"Jangan, Jan. Nanti perahunya terbalik," aku memohon.
Tingkahnya malah semakin menjadi. Saking miringnya perahu,
aku sudah ngeri aku bakal jatuh ke air.
"Aku bukan jago renang," aku berkata sekali lagi.
"Rasanya aku tidak bisa..."
Ia mendengus dengan kesal. Kemudian ia menyibakkan rambut.
Mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Menekuk lutut. Bertolak kuat-kuat.
Dan terjun ke danau. "Jangaaan!" aku memekik sementara perahu terombang-ambing dengan hebat. Air
bercipratan ke segala arah.
Perahu itu oleng... berayun-ayun.... dan akhirnya terbalik!
Aku terpental, dan disambut air danau yang dingin.
Saking kagetnya, aku tidak bisa bergerak.
Aku merasakan perahu terombang-ambing di permukaan danau.
Dan kemudian aku mulai terbatuk-batuk karena mulut dan
hidungku kemasukan air. Aku mengayunkan tangan dan kaki.
Dengan susah-payah aku berhasil naik ke permukaan air.
Terbatuk-batuk, aku menarik napas dalam-dalam.
Satu kali, lalu sekali lagi.
Aku memandang berkeliling, dan melihat perahu mengapung
dalam posisi terbalik. Sesaat kemudian napasku mulai normal, begitu juga detak
jantungku. Aku berenang ke perahu, memeluknya dengan sebelah tangan,
dan berpegangan erat-erat.
Sambil memicingkan mata karena silau, aku menoleh ke kiri-
kanan untuk mencari Jan. "Jan" Jan?" aku memanggil-manggil.
"Jan" Di mana kau?"
Aku berbalik dan memandang ke segala arah. Dadaku seakan-
akan dicengkeram tangan-tangan dingin.
"Jan" Jan" Kau b isa mendengarku?" aku berseru.
Chapter 11 SEBELAH tanganku berpegangan pada perahu, sementara
tanganku yang satu lagi melindungi mataku dari sinar matahari. "Jan"
Jan?" Namanya kupanggil-panggil sekeras mungkin.
Dan kemudian aku melihatnya.
Aku melihat rambutnya yang pirang berkilau-kilau dalam
cahaya matahari yang cerah. Aku juga melihat baju renangnya yang
berwarna merah. Lengannya bergerak dengan mantap. Tendangan
kakinya meninggalkan buih di permukaan air.
Ia sedang berenang ke tepi danau.
Ia berenang ke tepi dan meninggalkanku di sini, pikirku.
Aku berbalik dan mencari perahu-perahu lain. Sambil
memicingkan mata, aku melihat semua perahu jauh di depan. Terlalu jauh untuk
mendengar teriakanku. Barangkali perahu ini bisa kutegakkan lagi, pikirku. Setelah itu
aku bisa naik dan mendayung ke tepi.
Tapi di mana dayungnya"
Aku memandang ke arah perkemahan - dan melihat Jan
berbicara dengan Liz. Ia. melambai-lambaikan tangan dan menunjuk-
nunjuk ke danau. Menunjuk-nunjuk ke arahku.
Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling mereka. Aku
mendengar suara-suara bernada tegang.
Kemudian aku melihat Liz menyeret perahu ke air.
Ia mau menyelamatkanku, aku menyadari. Rupanya Jan
memberitahunya bahwa aku tidak sanggup berenang ke tepi.
Tiba-tiba saja aku jadi salah tingkah. Aku tahu semua anak di
tepi danau sedang memperhatikanku. Dan aku yakin mereka
menganggapku payah sekali.
Tapi aku tidak peduli. Yang kuinginkan hanya kembali ke
daratan yang aman dan kering.
Liz tidak butuh waktu lama untuk berdayung ke tempat aku
mengapung. Ketika aku naik ke perahunya, aku bermaksud segera
berterima kasih padanya. Namun Liz tidak memberi kesempatan padaku. "Kenapa kau
melakukannya, Sarah?" ia segera bertanya.
"Melakukan apa?" aku balik bertanya.
"Membalikkan perahu?" Liz mendesak.
Sebenarnya aku ingin memprotes - tapi suaraku seakan-akan
tersangkut di tenggorokan.
Liz menatapku, sambil mengerutkan kening. "Jan bilang kau
sengaja membalikkan perahu. Masa kau tidak tahu betapa berbahaya
berbuat begitu, Sarah?"
"Tapi - tapi - tapi...!"
"Aku akan mengadakan pertemuan khusus karena kejadian ini,"
ujar Liz. "Keselamatan di air sangat penting. Semua peraturan harus selalu
ditaati. Camp Cold Lake takkan ada kalau para peserta tidak mentaati semua
peraturan." "Kenapa malah jadi begini?" aku bergumam.
Liz mengadakan pertemuan di bangsal utama. Dan semua
peserta diwajibkan hadir.
Ia kembali membahas semua peraturan keselamatan. Satu per
satu. Setelah itu ia memperlihatkan berbagai slide tentang Sistem
Pasangan. Slide yang diperlihatkannya banyak sekali, seolah tanpa akhir.
Aku duduk sambil menundukkan kepala. Tapi setiap kali aku
menoleh, aku melihat Briana, Meg, dan Jan melotot dengan gusar ke arahku.
Anak-anak lain juga menatapku sambil mendelik. Agaknya
mereka semua menganggap aku sebagai penyebab pertemuan yang
membosankan itu. Bisa jadi Jan sudah memberitahu semua anak
bahwa akulah yang membalikkan perahu.
"Aku minta kalian menghapal kedua puluh peraturan
keselamatan di air," kata Liz.
Semakin banyak peserta perkemahan yang melotot ke arahku.
Semua orang membenciku, aku berkata dalam hati. Aku
menggelengkan kepala dengan sedih. Dan tak ada yang bisa
kulakukan. Lalu, tiba-tiba saja, aku mendapat ide.
Chapter 12 "AKU mau kabur," ujarku kepada Aaron.
"Selamat jalan," sahutnya dengan tenang. "Semoga berhasil."
"Aku serius!" aku berkeras. "Aku tidak main-main. Aku benar-benar mau kabur dari
perkemahan ini." "Jangan lupa kirim kartu," kata Aaron.
Aku menyeretnya keluar dari bangsal utama seusai makan
malam. Aku perlu bicara dengannya. Aku menggiringnya ke tepi
danau. Tak ada siapa-siapa di sini. Semua orang masih berkumpul di
bangsal utama. Aku menoleh ke arah perahu-perahu yang ditumpuk tiga-tiga di
tepi air. Aku teringat rambut Jan yang pirang serta baju renangnya yang merah.
Aku teringat bagaimana ia berenang menjauh,
meninggalkanku di tengah danau.
Dan bagaimana ia berbohong pada Liz. Sehingga aku yang
mendapat masalah. Aku mengguncang-guncang pundak Aaron. "Kenapa sih kau
tidak percaya" Aku serius nih!" aku berseru sambil mengertakkan gigi.
Ia malah tertawa. "Orang yang baru makan kenyang jangan diguncang-guncang,"
kata Aaron. Serta-merta ia bersendawa keras-keras.
"Ih, jorok," aku menggerutu.
Ia nyengir lebar. "Sudah tradisi."
"Jangan bercanda terus, dong," aku menghardik. "Aku benar-benar tidak betah di
sini, Aaron. Aku benci perkemahan ini. Di sini tidak ada telepon yang bisa kita
pakai. Aku tidak bisa menelepon
Mom dan Dad. Jadi aku terpaksa kabur."
Raut mukanya berubah. Ia baru sadar bahwa aku tidak main-
main. Ia melempar batu pipih ke danau. Batu itu melompat-lompat di
permukaan air. Aku memperhatikan riak-riak menyebar, lalu
menghilang. Permukaan danau memantulkan langit senja yang kelabu.
Segala sesuatu tampak kelabu. Tanah, langit, danau. Bayangan pohon-pohon tampak
gelap di permukaan air. "Kau mau kabur ke mana?" tanya Aaron. Lagi-lagi ia berlagak menjadi "kakak" yang
bijaksana. Tapi kali ini aku tidak peduli.
Aku harus menceritakan rencanaku. Aku tidak bisa
meninggalkan perkemahan tanpa memberitahunya lebih dulu.
"Aku mau menerobos hutan," kataku sambil menunjuk. "Ada sebuah kota di balik
hutan itu. Aku akan menelepon Mom dan Dad
dari situ, supaya mereka bisa menjemputku."
"Jangan!" Aaron memprotes.
Aku menatapnya dengan sikap menantang. "Kenapa?"
"Kita dilarang masuk hutan," sahutnya. "Richard pernah bilang hutan ini
berbahaya - ya, kan?"
Aku kembali mendorong Aaron. Aku begitu gelisah, begitu
kesal, sehingga aku tidak bisa diam.
"Aku tidak peduli Richard bilang apa!" seruku. "Pokoknya, aku mau kabur!"
"Jangan terburu-buru, Sarah," Aaron mendesak. "Kita belum satu minggu di sini.
Tunggu dulu, deh." Aku benar-benar tidak tahan lagi.
"Aku paling sebal kalau melihatmu sok kalem seperti ini!"
teriakku. Aku mendorongnya keras-keras. Dengan kedua tangan.
Aaron kaget. Ia kehilangan keseimbangan - dan jatuh ke
belakang. Ia terempas ke lumpur di tepi danau.
"Aduh!" "Sori," aku segera minta maaf. "Aku tidak sengaja, Aaron.
Aku..." Ia bangkit dengan susah payah. Punggungnya kotor oleh lumpur
bercampur ganggang. Ia mengacungkan tinju sambil mencaci-maki.
Aku menghela napas. Sekarang adikku sendiri pun marah
padaku.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya dalam hati. Apa yang
bisa kulakukan" Ketika aku kembali ke pondokku, sebuah rencana baru mulai
terbentuk dalam benakku. Rencana yang benar-benar nekat.
Rencana yang benar-benar berbahaya.
"Besok," aku bergumam, "aku akan memberi pelajaran kepada mereka semua!"
Chapter 13 KEESOKAN paginya aku terus memikirkan rencanaku.
Sebenarnya aku gugup sekali - tapi aku tahu aku tidak boleh mundur.
Acara kelompok kami pada sore itu adalah Renang Bebas.
Tentu saja semua orang sudah mendapat pasangan - kecuali aku.
Aku berdiri di tepi danau yang berlumpur dan memperhatikan
anak-anak lain masuk ke air. Awan-awan putih tercermin di
permukaan danau yang tenang.
Serangga-serangga kecil tampak meluncur di permukaan air.
Aku memperhatikan makhluk-makhluk itu sambil memikirkan kenapa
mereka tidak terbenam. "Sarah, sudah waktunya berenang," seru Liz. Ia bergegas menghampiriku. Ia
mengenakan baju renang berwarna pink dan
celana tenis berwarna putih.
Aku membetulkan letak baju renangku. Tanganku gemetaran.
Aku benar-benar gugup. "Kenapa kau tidak berenang?" tanya Liz. Ia menepis seekor lalat yang hinggap di
pundakku. "A-aku belum dapat pasangan," ujarku tergagap-gagap.
Ia memandang berkeliling untuk mencari seseorang sebagai
pasanganku. Tapi semua anak sudah masuk ke air.
"Hmm...," Liz meringis. "Ya sudah, kau berenang sendirian saja. Tapi jangan ke
tengah. Aku akan mengawasimu dari pinggir."
"Oke. Thanks," ujarku. Aku pasang senyum, lalu segera menuju ke tepi air.
Aku tidak ingin ia tahu bahwa bagiku ini bukan acara renang
biasa. Aku tidak ingin ia tahu bahwa aku telah merencanakan sesuatu yang akan
membuat heboh.... Aku melangkah ke air. Ohh, dinginnya. Segumpal awan melintas di depan matahari. Langit langsung
bertambah gelap dan suhu udara pun turun.
Kakiku terbenam dalam lumpur di dasar danau. Di depan aku
melihat ratusan serangga kecil meluncur di permukaan air.
Idih, pikirku. Kenapa aku harus berenang di air berlumpur yang
banyak serangganya" Aku menarik napas dalam-dalam dan terus melangkah maju.
Ketika air yang dingin sudah hampir setinggi pinggang, aku
membungkuk dan mulai berenang.
Aku berenang berputar-putar. Aku harus membiasakan diri
dengan air yang dingin. Dan aku juga perlu mengatur napas.
Tidak jauh dariku Briana dan beberapa anak cewek lain sedang
mengadakan lomba renang estafet. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Tampaknya mereka gembira sekali.
Sebentar lagi mereka bakal berhenti tertawa, pikirku dengan
getir. Sekonyong-konyong wajahku terciprat air. Aku memekik kaget.
Sebelum aku sempat berbuat apa-apa, wajahku kembali dihujani
percikan air. Baru kemudian aku sadar bahwa itu cuma ulah Aaron.
Ia muncul di hadapanku - dan menyemburkan air ke wajahku.
"Idih! Bagaimana mungkin kau memasukkan air jorok ini ke
dalam mulut!" aku berseru.
Aaron cuma tertawa, lalu berenang menghampiri pasangannya.
Sebentar lagi ia juga akan berhenti tertawa, aku berkata dalam
hati. Mulai hari ini sikapnya akan lain padaku.
Semua orang akan bersikap lain.
Tiba-tiba saja aku dihantui rasa bersalah. Seharusnya
kuceritakan rencanaku kepada Aaron. Bukan Aaron yang menjadi
sasaranku. Aku cuma ingin memberi pelajaran kepada semua anak
lain. Tapi seandainya aku sempat menceritakan rencanaku kepada
Aaron, ia pasti akan membujukku untuk membatalkannya. Atau ia
akan memberitahu Liz, agar Liz bisa mencegahku.
Hah... tak ada yang bisa mencegahku, aku bersumpah dalam
hati. Kau sudah menebak rencanaku"
Rencananya sederhana sekali.
Aku bermaksud tenggelam. Ehm... bukan benar-benar tenggelam.
Aku bermaksud menyelam ke dasar danau, lalu tetap di sana
untuk waktu lama. Biar semua orang menyangka aku tenggelam.
Aku sanggup menahan napas untuk waktu lama.
Soalnya aku biasa main suling. Paru-paruku sudah terlatih.
Aku bisa menyelam selama dua atau mungkin malah tiga menit.
Cukup lama untuk membuat semua orang ketakutan.
Semua bakal panik. Termasuk Briana, Meg, dan Jan.
Semua akan menyesal karena telah bersikap begitu jahat
padaku. Dengan begitu aku bisa memulai semuanya dari awal. Setelah
kejadian di danau, semua orang di perkemahan ini akan bersikap
ramah padaku. Semua akan mau menjadi pasanganku.
Jadi... tunggu apa lagi"
Sekali lagi aku menatap anak-anak yang asyik tertawa dan
bersorak-sorai. Kemudian aku menarik napas dalam-dalam. Dan menyelam ke
dasar danau. Chapter 14 AIR danau masih dangkal di bagian tepi. Tapi setelah itu dasar
danau langsung curam. Aku mengayunkan kaki keras-keras untuk menjauhi para
perenang lain. Kemudian aku menegakkan badan dan menurunkan
kaki. Oke. Aku merapatkan tangan ke sisi badan dan membiarkan diriku
meluncur ke bawah. Turun, turun. Aku membuka mata ketika aku meluncur ke dasar danau.
Sekelilingku serbahijau. Hanya sedikit cahaya yang sanggup
menerobos sampai ke bawah air.
Aku serasa mengapung di dalam batu jamrud, aku berkata
dalam hati. Aku melayang-layang di dalam batu permata berwarna
hijau. Aku teringat batu jamrud yang menghiasi cincin yang dipakai
Mom setiap hari. Cincin tunangannya. Aku membayangkan betapa
sedihnya Mom dan Dad kalau aku benar-benar tenggelam.
Seharusnya Sarah jangan dikirim ke perkemahan olahraga air,
mereka akan berkata dengan perasaan menyesal.
Kakiku menginjak dasar danau yang lunak.
Segelembung udara lolos dari mulutku. Aku merapatkan bibir
untuk menahan udara. Perlahan-lahan aku, naik ke permukaan.
Aku memejamkan mata. Aku sengaja tidak bergerak untuk
menimbulkan kesan aku tenggelam.
Aku membayangkan kengerian di wajah Liz ketika ia melihat
tubuhku melayang-layang di bawah permukaan air.
Aku nyaris tertawa ketika membayangkan Liz melompat ke
danau untuk menyelamatkanku. Ia akan terpaksa mengorbankan
celana tenisnya yang putih bersih.
Aku memaksakan diri untuk tidak bergerak.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dan memikirkan Briana,
Meg, dan Jan. Mereka akan merasa bersalah. Mereka akan menyesal seumur
hidup karena bersikap buruk padaku.
Gara-gara kejadian ini, mereka akan sadar betapa jahatnya
mereka terhadapku. Lalu mereka akan mau bersahabat denganku.
Kami semua akan menjadi sahabat karib.
Dan kami akan menikmati liburan musim panas yang benar-
benar asyik. Dadaku mulai terasa sesak. Tenggorokanku mulai serasa
terbakar. Aku membuka mulut dan melepaskan beberapa gelembung
udara. Tapi tenggorokanku tetap serasa terbakar, begitu juga dadaku.
Aku melayang dalam posisi tengkurap. Kakiku terjulur lurus ke
belakang, sementara lenganku tergantung lemas di sisi badanku.
Aku pasang telinga untuk mendengar teriakan panik.
Mestinya sudah ada yang melihatku.
Aku menunggu teriakan minta tolong. Teriakan yang
memanggil-manggil Liz. Tapi aku tidak mendengar apa-apa selain keheningan yang
menguasai dunia bawah air.
Aku kembali melepaskan gelembung udara. Dadaku benar-
benar sesak sekarang. Rasanya seperti mau meledak.
Aku membuka mata. Apakah ada orang di dekatku" Apakah ada
yang datang untuk menyelamatkanku" Tapi yang kelihatan cuma
warna hijau. Ke mana semuanya" aku bertanya-tanya. Mestinya Liz sudah
melihatku. Tapi kenapa aku belum juga diangkatnya dari air"
Aku kembali membayangkan Liz dengan celana tenisnya yang
putih. Aku membayangkan tangan dan kakinya yang kecokelatan
karena sinar matahari. Aku membayangkan rambutnya yang merah.
Liz - di mana kau" Liz - kau tidak melihat bahwa aku sedang tenggelam" Katanya
kau akan mengawasiku dari tepi danau"
Aku sudah tidak tahan. Dadaku sudah nyaris meledak. Seluruh tubuhku serasa ditusuk-
tusuk. Kepalaku serasa mau pecah.
Masa belum ada yang melihatku, sih"
Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku memejamkan mata, tapi kepalaku tetap pening.
Aku mengembuskan sisa udara yang masih tersimpan di paru-
paruku. Habislah napasku, pikirku. Aku kehabisan napas....
Lengan dan kakiku mulai nyeri.
Dadaku serasa terbakar. Aku melihat titik-titik berwarna kuning cerah, walaupun mataku
terpejam rapat. Titik-titik itu berputar-putar. Bertambah cerah...
menari-nari di sekelilingku.
Mengelilingi tubuhku yang seperti terbakar.
Dadaku... meledak... meledak....
Aku kedinginan. Tiba-tiba saja aku amat kedinginan.
Titik-titik kuning tadi semakin terang, seterang lampu sorot.
Berputar-putar di sekeliling tubuhku yang kaku.
Aku menggigil kedinginan.
Menggigil. Air dingin dan kotor masuk ke mulutku.
Aku sadar aku menyelam terlalu lama.
Tak ada yang datang. Tak ada yang menyelamatkanku.
Terlalu lama... terlalu lama.
Aku berusaha melihat sekelilingku. Tapi titik-titik kuning itu
terlalu terang. Aku tidak bisa melihat. Tidak bisa melihat.
Aku menelan seteguk air danau.
Tidak bisa melihat. Tidak bisa bernapas.
Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Aku berjuang untuk muncul di permukaan. Tapi rasanya berat
sekali. Kepalaku mendadak seberat satu ton.
Harus naik.... Tidak bisa bernapas. Sambil mengerahkan segenap kekuatan, aku menggerakkan
bahu ke atas. Menegakkan kepala. Begitu berat... begitu berat. Rambutku basah kuyup. Begitu
berat. Air mengalir di wajahku.
Masuk ke mataku. Aku berpaling ke tepi danau. Aku memicingkan mata karena
titik-titik kuning yang menyilaukan, dan karena air yang mengalir di wajahku.
Aku memicingkan mata.... Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku menoleh ke arah lain. Mataku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang berenang. Tak ada yang
berdiri di tepi danau. Ke mana mereka semua" aku bertanya-tanya. Aku menggigil.
Gemetaran. Ke mana mereka semua"
Chapter 15 DENGAN susah payah aku berenang ke tepi danau. Kakiku
mati rasa. Aku tidak merasakan lumpur di dasar danau ketika aku
keluar dari air. Aku menggosok-gosok lengan. Sentuhan tanganku tidak terasa
di kulitku. Aku juga tidak merasakan air yang mengalir turun lewat punggungku.
Aku tidak merasakan apa pun.
"Hei, di mana kalian?" aku berseru.
Penghuni Lembah Neraka 1 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Reuni Reunion 3
Chapter 1 HARI-HARI pertamaku di Camp Cold Lake tidak bisa dibilang
asyik. Aku gugup sekali ketika baru datang. Dan rasanya aku sempat
melakukan hal-hal konyol.
Habis, aku memang tidak berminat menghabiskan liburan
musim panas di perkemahan yang menempatkan olahraga air sebagai
atraksi utamanya. Aku tidak suka berada di alam bebas. Aku tidak suka kalau
rumput menyerempet pergelangan kakiku. Aku bahkan tidak suka
menyentuh pohon. Dan yang paling penting, aku tidak suka basah-
basahan. Memang sih, sekali-sekali aku juga senang berenang. Tapi
jangan setiap hari! Itu kan keterlaluan!
Aku suka berenang di kolam renang yang bersih. Jadi begitu
aku melihat danau di dekat perkemahan, aku langsung merinding.
Habis, danau itu pasti penuh makhluk mengerikan.
Pasti banyak makhluk seram yang mengintai di bawah
permukaan air sambil berpikir: "Ayo, Sarah Maas, kami sudah
menunggumu. Terjun dan berenanglah. Kami akan menggosokkan
tubuh kami yang berlendir ke kakimu, Sarah. Dan kami juga akan
menggigit jari kakimu sampai putus, satu per satu."
Hih! Siapa yang mau berenang di air berlendir"
Reaksi Aaron justru berlawanan. Saking gembiranya, ia seolah
mau meledak. Ketika kami turun dari bus, ia melompat-lompat sementara
mulutnya menyerocos tanpa titik dan koma. Saking semangatnya, aku sempat
menyangka ia bakal buka baju dan langsung terjun ke danau.
Adikku memang senang perkemahan musim panas. Ia suka
olahraga dan kegiatan di alam bebas. Ia menyukai segala sesuatu dan bisa akrab
dengan semua orang. Sebaliknya, semua orang juga menyukai Aaron. Soalnya ia
selalu penuh semangat dan selalu gembira.
Hei, jangan salah sangka - aku bukannya pemurung. Tapi
bagaimana kita bisa gembira kalau tidak ada mall, bioskop, atau
restoran untuk membeli piza atau kentang goreng"
Bagaimana kita bisa gembira kalau setiap hari harus berendam
di danau sedingin es" Di bumi perkemahan yang jaraknya
berkilometer-kilometer dari kota terdekat" Di tengah hutan lebat lagi"
"Wah, liburan di sini bakal heboh," seru Aaron. Ia menyeret ranselnya dan
bergegas untuk mencari pondoknya.
"Apanya yang heboh?" aku bergumam dengan lesu. Aku sudah mulai berkeringat
karena matahari bersinar cerah.
Apakah aku gampang keringatan" Tentu saja tidak.
Jadi kenapa aku datang ke Camp Cold Lake" Pertanyaan itu
bisa kujawab dengan empat kata: karena Mom dan Dad.
Mereka bilang aku akan tambah percaya diri kalau berlibur di
perkemahan olahraga air. Mereka bilang aku akan merasa lebih
nyaman di alam bebas. Mereka juga bilang aku akan punya kesempatan bertemu
teman-teman baru. Memang sih, aku agak sulit berteman. Aku bukan seperti
Aaron. Aku tidak bisa menghampiri seseorang, dan langsung
mengajaknya mengobrol dan bercanda.
Aku agak pemalu. Mungkin karena tubuhku lebih jangkung
dibanding anak-anak sebayaku pada umumnya. Aku satu kepala lebih
tinggi dari Aaron. Padahal usia kami cuma selisih satu tahun. Aaron sebelas
tahun, dan aku dua belas tahun.
Aku jangkung dan kurus sekali. Kadang-kadang aku dipanggil
si "Jangkrik" oleh Dad.
Terus terang aku sebal dengan julukan itu, sama sebalnya
dengan berenang di danau dingin yang penuh makhluk tersembunyi.
"Cobalah untuk menikmati pengalaman ini, Sarah," Mom
berpesan. Aku cuma bisa menghela napas panjang.
"Ya, coba lihat dulu bagaimana keadaan di sana," Dad
menambahkan. "Siapa tahu kau menyukainya." Aku kembali
menghela napas panjang. "Nanti, kalau tiba waktunya pulang, bisa-bisa kau malah
memohon-mohon untuk diajak berkemah lagi!" Dad berkelakar.
Aku hendak menghela napas panjang lagi - tapi tiga kali
berturut-turut rasanya terlalu banyak.
Aku cuma mendesah, merangkul Mom dan Dad, lalu menyusul
Aaron yang sudah naik ke bus.
Sepanjang jalan Aaron terus cengar-cengir. Ia sudah tidak sabar
untuk belajar main ski air. Dan ia juga terus bertanya apakah di bumi perkemahan
ada menara untuk belajar loncat indah.
Aaron mendapat tiga atau empat teman baru dalam perjalanan
ke perkemahan. Aku memandang ke luar jendela, dan memperhatikan
pepohonan dan rumah-rumah petani yang kami lewati. Aku terus
memikirkan teman-temanku yang lebih beruntung. Mereka tetap di
rumah, dan bisa jalan-jalan ke mall.
Akhirnya kami tiba di Camp Cold Lake. Semua anak membawa
tas masing-masing. Semua tertawa dan bercanda gembira.
Rombongan kami disambut sekelompok pembina yang memakai T-
shirt hijau tua. Perasaanku mulai lebih enak.
Hmm, mungkin aku bisa mendapat teman baru di sini, aku
berkata dalam hati. Mungkin ada anak-anak yang seperti aku - dan
kami bisa menikmati liburan musim panas bersama-sama.
Aku masuk ke pondokku. Aku melihat ketiga teman sekamarku,
lalu memandang berkeliling.
Dan kemudian aku berseru, "Oh, ini tidak bisa! Pokoknya, tidak bisa!"
Chapter 2 AKu tahu reaksiku agak berlebihan.
AkU tahu baru muncul aku sudah memberi kesan buruk.
Tapi bagaimana lagi" Di dalam pondok ada dua tempat tidur
tingkat. Ketiga teman sepondokku semuanya cewek, dan mereka
sudah memilih tempat tidur. Jadi hanya ada satu yang tersisa - tepat di depan
jendela. Dan jendela itu tidak ada kawat nyamuknya.
Berarti tempat tidurku akan dihinggapi serangga yang merayap-
rayap. Aku langsung tahu semalam suntuk aku bakal sibuk mengusir
nyamuk. Di samping itu, aku tidak bisa tidur di bagian atas tempat tidur
tingkat. Aku selalu gulang-guling ke kiri-kanan saat tidur. Kalau aku tidur di
atas, aku pasti jatuh. Aku harus tidur di bawah, di tempat tidur yang paling jauh dari
jendela. "A-aku tidak bisa!" aku tergagap-gagap.
Ketiga teman sepondokku langsung menoleh. Satu berambut
pirang dikuncir. Di dekatnya berdiri cewek pendek gendut dengan
rambut panjang berwarna cokelat. Dan di tempat tidur yang
berseberangan dengan jendela duduk cewek keturunan Afrika yang
menatapku sambil mengerutkan kening.
Kurasa mereka ingin menyapaku dan memperkenalkan diri.
Tapi aku tidak memberi kesempatan kepada mereka.
"Salah satu dari kalian harus tukar tempat tidur denganku!" aku memekik. Aku
sebenarnya tidak bermaksud memekik. Tapi aku
benar-benar panik. Pintu pondok membuka sebelum mereka sempat menyahut.
Pemuda berambut pirang pasir dengan T-shirt seragam hijau tua
masuk. "Namaku Richard," katanya. "Aku bos di sini, alias pembina kalian. Bagaimana,
semuanya beres?" "Tidak!" seruku.
Aku tidak sanggup menahan diri. Aku begitu gugup dan tegang.
"Aku tidak bisa tidur di situ!" ujarku. "Aku tidak mau di dekat jendela.
Dan aku harus tidur di tempat tidur bagian bawah."
Ketiga cewek lainnya tercengang melihat tingkahku.
Richard berpaling kepada anak cewek yang duduk di tempat
tidur di seberang jendela. "Briana, maukah kau bertukar tempat tidur dengan..."
"Sarah," aku memberitahunya.
"Maukah kau bertukar tempat tidur dengan Sarah?" Richard bertanya pada Briana.
Gadis itu langsung menggelengkan kepala dengan tegas.
"Tidak," katanya pelan.
Ia menunjuk gadis gendut dengan rambut panjang berwarna
cokelat. "Meg dan aku tidur sama-sama tahun lalu," kata Briana kepada Richard.
"Jadi tahun ini kami ingin bersama-sama lagi."
Meg mengangguk. Wajahnya yang bulat berkesan kekanak-
kanakan. Pipinya menggembung. Dan ia memakai kawat gigi
berwarna biru dan merah. "Pokoknya aku tidak bisa tidur di depan jendela," aku berkeras.
"Sungguh. Aku takut serangga."
Richard menatap Briana dengan tajam. "Bagaimana?"
Briana menghela napas. "Oke... baiklah." Ia meringis kepadaku.
"Terima kasih," ujar Richard. Aku sadar ia sedang
mengamatiku. Aku pasti dianggapnya tukang buat onar, kataku dalam hati.
Briana turun dari tempat tidur. Ia menyeret tasnya ke tempat
tidur di depan jendela. "Tuh, pakai saja tempat tidurku," ia bergumam.
Nada suaranya sama sekali tidak bersahabat.
Aku merasa tidak enak. Belum apa-apa aku sudah dibenci
teman-teman sekamarku. Kenapa aku selalu begitu" Kenapa aku selalu gugup dan
memberi kesan awal yang buruk kepada orang lain"
Sekarang aku harus berusaha ekstra keras untuk berteman
dengan mereka, pikirku. Tapi semenit kemudian, aku melakukan sesuatu yang sangat
bodoh. Chapter 3 "HEI, terima kasih kau mau bertukar tempat tidur, Briana,"
kataku. "Kau baik sekali."
Ia mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa. Meg membuka
tasnya dan mulai memindahkan celana pendek dan T-shirt ke laci
lemari pakaian. Anak cewek yang ketiga menatapku sambil tersenyum. "Hai!
Aku Janice," ia menyapa. Suaranya bernada parau. "Tapi semua orang memanggilku
Jan. Jan tersenyum ramah. Rambutnya yang pirang dikuncir.
Matanya berwarna biru tua dan pipinya kemerahan. Seakan-akan ia
terus tersipu-sipu. "Kau juga berlibur di sini waktu musim panas tahun lalu?" aku bertanya padanya.
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Briana dan Meg memang
berlibur di sini. Tapi ini pertama kali aku kemari. Tahun lalu aku berlibur di
perkemahan tenis." "Aku baru sekali ini berlibur di perkemahan," aku berterus-terang. "Jadi aku
agak gugup." "Kau jago renang?" tanya Briana.
Aku angkat bahu. "Lumayan, sih. Tapi aku jarang berenang.
Aku kurang suka." Meg berpaling dari lemari pakaian. "Kau tidak suka berenang, tapi kau berlibur
di perkemahan olahraga air?"
Briana dan Jan langsung tertawa.
Wajahku mendadak panas. Aku enggan mengaku bahwa aku
kemari karena disuruh orangtuaku. Kedengarannya payah banget.
Tapi aku tidak tahu harus berkata apa.
"Aku... ehm... aku suka kegiatan lain," aku tergagap-gagap.
"Oh - baju renangmu bagus sekali!" seru Briana. Ia mengambil baju renang berwarna
kuning terang dari tas Meg dan mengamatinya
dengan saksama. "Ya, keren lho."
Meg segera merebutnya. "Memangnya kau muat!" ia
bergumam. Kawat giginya beradu setiap kali ia bicara.
Di samping Briana yang jangkung dan anggun, Meg kelihatan
seperti bola boling. "Apakah kau tambah kurus selama musim dingin?" Briana
bertanya padanya. "Kau tampak keren. Sungguh, Meg."
"Berat badanku memang turun sedikit," sahut Meg. Ia menghela napas. "Tapi aku
tidak tambah tinggi."
"Aku tambah tinggi sekitar tiga puluh senti tahun ini," aku menimpali. "Aku anak
cewek paling jangkung di sekolah. Semua orang menoleh kalau aku lewat."
"Oh, kasihan," Meg berkomentar sambil meringis. "Mungkin kau lebih suka jadi
kurcaci seperti aku?"
"Ehm... tidak juga sih," jawabku.
Oops. Baru sekarang aku sadar aku seharusnya tidak berkata
begitu. Meg tampak sakit hati. Kenapa aku bilang begitu" aku bertanya dalam hati.
Kenapa aku selalu keseleo lidah"
Aku meraih ranselku yang masih tergeletak di lantai. Aku
membawanya ke tempat tidurku untuk kubongkar isinya.
"Hei - itu ranselku! Mau dibawa ke mana?" Jan bergegas
menghampiriku. Aku menatap ransel yang kubawa. "Bukan, ini punyaku," aku berkeras.
Aku menarik ritsletingnya - dan ransel itu jatuh dari tempat
tidur. Setumpuk barang langsung berserakan di lantai pondok.
"Oh!" aku memekik tertahan. Barang-barang itu bukan milikku.
Aku melihat botol-botol obat. Dan alat pernapasan dari plastik.
"Obat asma?" seruku.
Jan cepat-cepat berlutut dan memungut barang-barangnya. Ia
menatapku dengan gusar. "Kenapa kau harus memberitahu semua
orang bahwa aku asma" Kenapa tidak sekalian saja kau
mengumumkannya saat acara api unggun nanti malam?"
"Sori," aku bergumam.
"Kan sudah kubilang itu ranselku," hardik Jan.
Meg membungkuk dan membantu mengumpulkan barang-
barang Jan. "Kau tidak perlu malu karena asma," katanya.
"Itu urusanku sendiri," balas Jan dengan ketus. Ia memasukkan semua obat-obatan
ke dalam kantong dan menarik ranselnya.
"Sori," aku berkata sekali lagi.
Mereka bertiga menatapku dengan tajam. Briana geleng-geleng
kepala. Meg berdecak-decak.
Mereka membenciku, aku berkata dalam hati. Aku sedih sekali.
Mereka membenciku, padahal ini baru hari pertama. Aku baru
satu jam berkenalan dengan mereka. Aku menghela napas dan duduk
di tempat tidur. Rasanya tidak ada keadaan yang lebih parah daripada ini,
pikirku. Tapi ternyata aku keliru.
Chapter 4 MALAM itu pertama kali kami membuat api unggun di
lapangan luas di dekat hutan. Balok-balok kayu disusun melingkar
untuk digunakan sebagai bangku.
Aku mencari tempat kosong dan duduk membelakangi
pepohonan. Api unggun besar di hadapanku menari-nari dan
menerangi langit senja yang kelabu.
Apinya meretih-retih. Baunya enak sekali. Aku menarik napas
dalam-dalam.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para pembina melemparkan lebih banyak ranting ke dalam api.
Dalam sekejap lidah apinya sudah lebih tinggi dari mereka.
Udara malam gerah dan kering. Pipiku seakan-akan membara
karena panas yang terpancar dari api unggun.
Aku berbalik dan memandang ke hutan. Pohon-pohon yang
gelap tampak berayun pelan karena tiupan angin. Dalam cahaya
remang-remang, aku melihat seekor tupai melintas di antara alang-
alang. Aku bertanya-tanya, makhluk apa lagi yang mengintai di hutan
gelap itu. Pasti ada binatang yang lebih besar daripada tupai. Lebih besar dan
lebih berbahaya. KRAK! Bunyi patahan api unggun membuatku tersentak kaget.
Seram juga di luar kalau sudah gelap, aku berkata dalam hati.
Kenapa api unggunnya tidak dibuat di dalam ruangan saja" Di tempat perapian,
misalnya" Aku menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Ketika aku kembali berpaling ke api unggun, aku melihat
Briana dan Meg duduk di salah satu balok kayu. Mereka sedang
tertawa-tawa sambil mengobrol dengan dua anak cewek yang tidak
kukenal. Aku melihat Aaron duduk di seberang api unggun. Ia sedang
bercanda dengan dua anak cowok. Mereka bergulat dan saling dorong.
Aku menghela napas. Aaron sudah mendapat teman-teman
baru, pikirku. Semua sudah mendapat teman baru - kecuali aku.
Aaron melihat aku sedang memandang ke arahnya. Ia
melambaikan tangan, lalu kembali asyik bermain dengan teman-
temannya. Di balok kayu sebelah tiga anak cewek duduk sambil
mendongakkan kepala. Mereka sedang menyanyikan lagu kebesaran
Camp Cold Lake. Aku mendengarkan mereka sambil mencoba menghapalkan
syair lagu itu. Tapi di tengah jalan mereka mulai tertawa cekikikan dan berhenti
menyanyi. Dua anak cewek yang lebih tua duduk di ujung balok yang
kududuki. Kelihatannya mereka berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun.
Aku menoleh untuk menyapa mereka. Tapi mereka
terlalu asyik mengobrol berdua.
Richard, si kepala pembina, melangkah ke depan api unggun. Ia
memakai topi bisbol hitam yang diputar ke belakang. Celana
pendeknya yang gombrong tampak kotor akibat mempersiapkan api
unggun tadi. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Semua sudah
berkumpul?" ia berseru.
Suaranya nyaris tidak kedengaran. Semua anak masih asyik
mengobrol dan tertawa. Di balik api unggun aku melihat Aaron
bangkit dan menggeliat-geliut tak keruan.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari
mereka mengajak Aaron ber-high five.
"Sudah bisa dimulai?" Richard berseru. "Acara api unggun selamat datang sudah
bisa dimulai?" Sebuah balok kayu berderak dimakan api. Bunga api berwarna
merah beterbangan ke segala arah.
"Oh!" aku memekik ketika ada yang menyentuh pundakku.
"Siapa...?" Aku langsung berbalik. Dan melihat Briana dan Meg.
Mereka berdiri di hadapanku. Raut muka mereka ketakutan.
"Sarah - lari!" Briana berbisik.
"Berdiri - cepat!" Meg menarik-narik lenganku. "Lari!"
"Kenapa" Ada apa, sih?" tanyaku kalang kabut.
Chapter 5 AKu cepat-cepat berdiri. "Ada apa, sih?"
"Anak-anak cowok itu," Meg berbisik. Ia menunjuk ke seberang api unggun. "Mereka
melempar petasan ke dalam api. Sebentar lagi petasannya akan meledak!"
"Lari!" keduanya berseru.
Meg mendorongku dari belakang.
Aku terhuyung-huyung sejenak - lalu melesat maju. Sambil
berlari aku memejamkan mata rapat-rapat. Petasannya sudah mau
meledak! Apakah aku masih sempat lari" Apakah Meg dan Briana juga
bisa meloloskan diri"
Aku mendadak berhenti ketika mendengar suara tawa.
Tawa berderai-derai. "Hah?" Aku menelan ludah dan menoleh ke belakang.
Ternyata separuh peserta perkemahan sedang menertawakanku.
Meg dan Briana ber-high five.
"Oh, aduuuh," aku bergumam. Bisa-bisanya aku ketipu.
Dan tega-teganya mereka mempermainkanku seperti ini.
Mereka pasti telah menyuruh semua anak memperhatikanku.
Rasanya semua mata tertuju ke arahku ketika aku berdiri sendirian di tepi hutan.
Aku mendengar anak-anak tertawa dan berkomentar macam-
macam. Aku melihat Jan tertawa. Dan aku melihat Richard dan
beberapa pembina lain tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Aku tahu, aku tahu. Seharusnya aku ikut tertawa. Seharusnya
aku menganggap semuanya cuma lelucon saja.
Seharusnya aku tidak kesal.
Tapi sejak awal kedatanganku ke sini perasaanku sudah tidak
enak. Aku gugup sekali. Aku berusaha keras untuk tidak membuat
kesalahan lagi. Pundakku mulai gemetaran. Dan mataku mulai berair.
Jangan! aku berkata dalam hati. Jangan menangis! Kau tidak
boleh menangis di depan seluruh peserta perkemahan.
Memang, kau pasti malu sekali, Sarah. Tapi sudahlah. Ini cuma
lelucon. Lelucon konyol. Seseorang menggamit lenganku. Aku segera melepaskan diri.
"Sarah...." Aaron muncul di sampingku. Ia menatapku dengan matanya yang cokelat.
"Aku tidak apa-apa," ujarku dengan ketus. "Pergilah!"
"Jangan sewot begitu, dong," ia berkata pelan. "Kenapa sih kau susah benar
diajak bercanda" Ini kan cuma lelucon. Kenapa kau harus marah-marah gara-gara
lelucon konyol?" Kau tahu apa yang paling kubenci"
Aku paling benci kalau ucapan Aaron benar.
Maksudku, Aaron adikku, kan" Kenapa justru Aaron yang
selalu tenang dan kalem"
Aku benar-benar sebal kalau Aaron bersikap seakan-akan ia
kakakku. "Jangan sok tahu," aku menggeram. "Sudah, ja-ngan ganggu aku lagi." Aku
mendorongnya ke arah api unggun.
Ia cuma angkat bahu dan kembali ke teman-temannya.
Aku berjalan lambat-lambat, tapi tidak kembali ke tempat
dudukku tadi. Balok itu terlalu dekat dengan api unggun - dan terlalu dekat dengan
Briana dan Meg. Aku memilih balok kayu di dekat tepi hutan, yang tak
terjangkau cahaya api unggun. Kegelapan di sekelilingku terasa
menyejukkan dan sekaligus membantu menenangkan diriku.
Sejak tadi Richard terus berbicara. Aku baru sadar bahwa aku
sama sekali tidak memperhatikan apa yang dikatakannya.
Ia berdiri di depan api unggun. Suaranya besar dan lantang.
Tapi semua anak mencondongkan badan ke depan untuk mendengar
lebih jelas. Aku memandang berkeliling. Wajah para peserta perkemahan
bersinar jingga karena memantulkan cahaya api unggun. Mata mereka tampak
berbinar-binar. Dalam hati aku bertanya apakah ada di antara mereka yang mau
berteman denganku. Aku tahu aku mengasihani diriku sendiri. Dan aku bertanya-
tanya, adakah di antara anak-anak yang baru sekali ini berkemah yang merasakan
perasaan yang sama. Suara Richard terngiang-ngiang di telingaku. Ia mengatakan
sesuatu tentang bangunan utama. Lalu ia menyinggung soal jadwal
makan. Dan kemudian ia mulai bicara tentang handuk.
Aku mulai lebih memperhatikannya ketika ia memperkenalkan
koordinator kegiatan olahraga air. Namanya Liz.
Semua orang bertepuk tangan ketika Liz melangkah ke samping
Richard. Salah satu anak cowok malah bersuit-suit.
"Wow, boleh juga!" seru anak cowok lainnya. Semuanya
tertawa. Liz pun tersenyum. Ia sadar penampilannya memang heboh. Ia
mengenakan celana pendek jeans dan kaus ketat berwarna biru tua. Ia melambaikan
tangan, meminta semua anak tenang.
"Kalian semua senang di sini?" ia berseru.
Semua peserta bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa
anak cowok kembali bersuit-suit.
"Nah, besok adalah hari pertama di danau," Liz mengumumkan.
"Tapi sebelum kalian masuk ke danau, ada beberapa peraturan yang harus kalian
ketahui." "Misalnya, jangan minum air danau!" Richard menimpali.
"Kecuali kalau kalian benar-benar haus!"
Beberapa anak tertawa. Aku diam saja. Ih, mana mungkin ada
yang mau minum air kotor berlendir itu"
Liz juga tidak tertawa. Ia menatap Richard sambil mengerutkan
kening. "Kita harus serius," ia menegur rekannya.
"Aku memang serius!" Richard berkelakar.
Liz tidak menggubrisnya. "Kalau kalian kembali ke pondok
masing-masing nanti, kalian akan menemukan daftar peraturan di
tempat tidur," ia melanjutkan sambil menyibakkan rambutnya yang panjang berwarna
merah. "Ada dua puluh peraturan pada daftar itu.
Dan kalian harus menghapal semuanya."
Hah" Dua puluh peraturan" pikirku. Mana mungkin ada dua
puluh peraturan" Banyak amat.
Liburan musim panas kurang panjang untuk menghapalkan dua
puluh peraturan. Liz mengangkat selembar kertas. "Kita akan membahas
semuanya satu per satu sekarang. Silakan tanya kalau ada yang kurang jelas."
"Apakah kami sudah boleh berenang sekarang?" seru anak
cowok yang bermaksud melucu.
Sebagian besar anak tertawa.
Tapi Liz diam saja. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak.
"Itu peraturan nomor delapan," jawabnya. "Dilarang berenang pada malam hari,
meskipun kalian ditemani pembina."
"Jangan sekali-sekali berenang kalau ada pembina!" Richard bergurau. "Soalnya
mereka semua membawa kuman!"
Richard memang kocak, aku berkata dalam hati. Tapi Liz
kelihatan begitu serius. Daftar peraturan yang dipegangnya melambai-lambai tertiup
angin. Ia menggenggamnya dengan dua tangan. Rambutnya yang
merah memantulkan cahaya api unggun.
"Peraturan paling penting di Camp Cold Lake adalah Sistem
Pasangan," Liz mengumumkan. "Setiap kali kalian bermain di danau, kalian harus
didampingi pasangan kalian."
Ia menatap para peserta yang duduk di sekelilingnya.
"Walaupun kalian cuma jalan-jalan di air semata kaki, kalian harus didampingi
pasangan," katanya. "Kalian bebas berganti pasangan setiap kali. Atau bisa juga
kalian memilih satu pasangan untuk
sepanjang liburan. Tapi kalian harus selalu punya pasangan."
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ada pertanyaan?"
"Maukah kau jadi pasanganku?" seru salah satu anak cowok.
Semuanya tertawa. Aku juga. Canda anak itu memang benar-
benar pas. Tapi sekali lagi. Liz tidak terpengaruh. "Sebagai koordinator olahraga air, aku
akan bertindak sebagai pasangan semua peserta
kemah," ia menjawab dengan serius.
"Sekarang, peraturan nomor dua," ia melanjutkan. "Jangan berenang terlalu jauh
dari perahu-perahu pengaman. Peraturan nomor tiga - dilarang berteriak atau pura-
pura mengalami kesulitan di dalam air. Jangan bergurau. Jangan main-main.
Peraturan nomor empat..."
Ia terus berbicara, sampai kedua puluh peraturan selesai
dibacakannya. Aku menghela napas. Liz memperlakukan kami seperti anak-
anak lima tahun, aku berkata dalam hati.
Begitu banyak peraturan yang harus dihapal. "Aku akan
mengulang sekali lagi soal Sistem Pasangan...," Liz berkata.
Aku memandang lewat api unggun, dan melihat danau yang
gelap. Permukaannya tampak licin dan hitam dan tenang.
Di danau itu cuma ada riak kecil. Tak ada arus. Tak ada
gelombang pasang yang berbahaya.
Jadi kenapa harus ada begitu banyak peraturan" aku bertanya
dalam hati. Apa yang harus ditakuti"
Chapter 6 LIZ bicara selama paling tidak setengah jam. Richard terus
melucu dan berusaha membuat rekannya tertawa. Tapi sia-sia. Bahkan sekadar
tersenyum pun Liz tampaknya enggan.
Ia kembali membahas setiap peraturan yang ada dalam
daftarnya. Kemudian ia menyuruh kami membaca daftar itu dengan
saksama setelah kami kembali ke pondok masing-masing.
"'Selamat berlibur semuanya!" ia berseru. "Sampai ketemu di danau!"
Semua bersorak-sorai dan bersuit-suit ketika Liz menjauhi api
unggun. Aku menguap dan meluruskan tangan ke atas kepala. Ini
benar-benar membosankan, pikirku.
Baru sekarang aku tahu ada tempat yang punya begitu banyak
peraturan. Aku kembali menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Badanku mulai gatal-gatal. Begitulah akibatnya kalau aku berada di alam bebas.
Aku langsung gatal-gatal.
Api unggun telah padam. Bara berwarna ungu teronggok di
tanah yang gelap. Udara malam semakin dingin.
Untuk menutup acara api unggun, Richard meminta semua anak
berdiri dan menyanyikan lagu kebesaran Camp Cold Lake. "Para peserta baru tentu
belum tahu liriknya," ia berkata. "Kalian beruntung!"
Semua tertawa. Kemudian Richard mulai bernyanyi, dan
semuanya langsung angkat suara.
Aku pun berusaha ikut. Tapi liriknya cuma kutangkap
sepenggal demi sepenggal....
"Wetter is better..."
"Get in the swim. Show your vigor and vim..."
"Every son and daughter should be in the water, the cold, cold water of Camp
Cold Lake." Wah, ternyata aku sependapat dengan Richard. Lirik lagu itu
memang konyol minta ampun!
Aku memandang ke seberang api unggun dan melihat Aaron
bernyanyi dengan sepenuh hati. Tampaknya ia sudah hapal seluruh
syairnya. Bagaimana caranya" aku bertanya dalam hati sambil
menggaruk kakiku yang gatal. Kok ia bisa begitu cepat hapal" Dan
begitu mudah bergaul"
Setelah lagu itu berakhir, Richard mengangkat tangan supaya
semua tenang. "Masih ada beberapa pengumuman," ia berseru.
"Pertama, suara kalian semua sumbang! Kedua..."
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak mendengarkan sisanya. Aku menoleh dan melihat
Briana dan Meg berdiri di sampingku.
Aku langsung mundur selangkah. "Mau apa kalian?" tanyaku dengan ketus.
"Kami ingin minta maaf," ujar Briana.
Meg mengangguk. "Yeah. Kami mau minta maaf karena
lelucon konyol tadi."
Richard masih terus berpidato di belakang kami. Briana
meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Perkenalan kita kurang enak," katanya.
"Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi" Kau setuju, Sarah?"
"Yeah, kita mulai dari awal saja," Meg menimpali. Aku
langsung mengembangkan senyum. "Setuju," kataku. "Setuju sekali."
"Oke!" ujar Briana. Ia juga tersenyum lebar.
Ia menepuk punggungku. "Mari kita mulai dari awal."
Richard masih sibuk memberikan pengumuman. "Jam setengah
lima sore besok, semua yang berminat pada selancar angin..."
Aaron pasti akan mencobanya, aku berkata dalam hati. Aku
memperhatikan Briana dan Meg berjalan menj auh.
Awal yang baru, pikirku. Perasaanku mendadak jauh lebih
enak. Tapi perasaan gembira itu cuma bertahan sekitar dua detik.
Tiba-tiba punggungku gatal-gatal.
Aku berbalik ke api unggun dan melihat Briana dan Meg
memandang ke arahku. Keduanya tertawa cekikikan.
Anak-anak lain mulai mengalihkan perhatian dari Richard dan
menatapku. "Ohhh." Aku mengerang ketika merasakan sesuatu yang hangat menggeliat-geliut di
punggungku. Sesuatu yang hangat dan kering bergerak-gerak di balik T-shirt-
ku. "Aduh." Aku menyelipkan sebelah tangan ke balik bajuku. Apa itu" Apa
yang ditaruh Briana di punggungku tadi"
Aku menggenggamnya dan menariknya ke luar. Dan aku pun
langsung menjerit. Chapter 7 ULAR itu menggeliat-geliut di tanganku.
Bentuknya seperti tali sepatu berwarna hitam. Dengan mata!
Dan mulut yang menyambar-nyambar, membuka dan menutup.
"Ahhh!" Aku menjerit sejadi-jadinya. Kemudian kulempar ular itu dengan sekuat
tenaga. Ular itu terpental ke hutan.
Punggungku masih gatal-gatal. Aku masih bisa merasakan ular
tadi menggeliat-geliut di kulitku.
Aku berusaha menggaruk punggung dengan kedua tangan.
Anak-anak di sekitarku mulai tertawa. Berita mengenai
keisengan Briana menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
Aku tidak peduli. Aku terus menggaruk-garuk.
Seluruh tubuhku terasa gatal. Aku berteriak dengan gusar.
"Apa-apaan sih kalian?" aku menghardik Briana dan Meg. "Apa sih yang kalian
inginkan?" Aaron menghampiriku. Ia pasti sudah siap untuk bersikap sok
tahu lagi. Huh, menyebalkan. "Sarah, kau digigit?" ia bertanya dengan suara pelan.
Aku menggelengkan kepala. "Rasanya ular itu masih merambat
di punggungku!" aku berseru. "Kaulihat, tidak" Panjangnya hampir satu meter!"
"Tenang dulu," bisik Aaron. "Semua orang menoleh kemari."
"Kaupikir aku tidak tahu?" balasku dengan ketus.
"Hmm, itu kan cuma ular kecil," ujar Aaron. "Sama sekali tidak berbahaya. Kau
tidak perlu sewot begini."
"Aku - aku...," aku tergagap-gagap. Tapi aku terlalu emosi hingga tak sanggup
bicara. Aaron menoleh ke arah Briana dan Meg. "Kenapa mereka terus
mengganggumu?" ia bertanya.
"Mana kutahu!" jawabku. "Karena... karena mereka memang brengsek! Itu sebabnya!"
"Coba tenang dulu," kata Aaron. "Tubuhmu sampai gemetaran, Sarah."
"Bagaimana aku tidak gemetaran" Kau pasti juga gemetaran
kalau ada ular di punggungmu!" aku menyahut. "Dan aku tidak butuh nasihatmu,
Aaron. Aku tidak butuh..."
"Ya, sudah," kata Aaron. Serta-merta ia berbalik dan kembali ke tempat teman-
temannya. "Ada-ada saja," aku bergumam.
Ayah kami dokter, dan Aaron persis seperti Dad. Ia pikir ia
harus mengurusi semua orang di dunia.
Hah, aku bisa mengurus diri sendiri. Aku tidak butuh nasihat
dari adikku. Richard belum juga selesai berbicara. Tapi aku tidak peduli.
Aku meninggalkan tempat api unggun dan kembali ke pondok.
Aku melewati jalan setapak yang menembus hutan dan menaiki
bukit. Suasananya benar-benar gelap.
Aku menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke tanah di
depan kakiku. Sepatuku menginjak daun mati dan ranting kering.
Pohon-pohon di sekelilingku berdesir-desir.
Kenapa jadi begini" aku bertanya dalam hati. Kenapa Briana
dan Meg begitu benci padaku" Mungkin mereka memang konyol, aku
berkata dalam hati. Mungkin mereka bersikap seperti itu kepada
semua orang. Mereka pikir mereka paling hebat karena tahun lalu sudah
kemari. Tanpa sadar, aku menyimpang dari jalan setapak. "Hei...!" Aku mengarahkan senter
ke sekelilingku untuk mencari jalan itu.
Cahaya senter menyapu batang-batang pohon, rumpun ilalang,
dan sebatang pohon tumbang.
Aku mulai panik. Mana jalannya" Mana"
Aku maju beberapa langkah. Daun-daun kering bekersak-kersak
terinjak olehku. Berikutnya kakiku terbenam dalam sesuatu yang lembek.
Pasir isap! Chapter 8 BUKAN. Bukan pasir isap. Pasir isap sebenarnya tidak ada. Buku IPA yang kubaca di kelas
lima menyatakan hal itu. Aku mengarahkan senter ke bawah.
"Ohhhh." Ternyata lumpur. Lumpur yang kental dan lengket.
Sepatu ketsku terbenam dalam lumpur itu.
Aku mengangkat kaki sambil mengerang - dan nyaris jatuh
terjengkang. Tenang saja, ini cuma lumpur, aku berkata dalam hati. Memang
menjijikkan - tapi bukan sesuatu yang aneh.
Tapi kemudian aku melihat gerombolan labah-labah itu.
Jumlahnya lusinan. Labah-labah paling besar yang pernah
kulihat. Rupanya mereka bersarang di dalam lumpur.
Makhluk-makhluk itu merangkak melewati sepatuku, menaiki
kaki celanaku. "Ya ampun! Idih!"
Lusinan labah-labah bergelantungan padaku. Aku mengayunkan
kaki. Keras-keras. Aku mulai menepis-nepis dengan tanganku yang
bebas. "Aku benci perkemahan ini!" aku menjerit.
Beberapa labah-labah kusingkirkan dengan menggunakan
senter. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Apa salahnya kalau aku nlembalas perbuatan Briana dan Meg
padaku" Mereka telah mempermalukanku di depan semua peserta
perkemahan. Padahal aku tidak berbuat apa-apa terhadap mereka.
Aku mengeluarkan baterai senter. Aku menarik napas dalam-
dalam, lalu aku membungkuk dan memasukkan segenggam labah-
labah ke dalam selongsong senter.
Ihhh. Aku sampai merinding. Sungguh.
Habis, bayangkan saja - aku harus memegang labah-labah!
Tapi aku tahu pengorbananku takkan sia-sia.
Aku mengisi senterku dengan makhluk-makhluk hitam yang
menggeliat-geliut tanpa henti. Setelah penuh, tutupnya kupasang lagi.
Kemudian aku mencari jalan pulang. Aku melangkahi pohon
tumbang. Dalam waktu singkat, jalan setapak sudah kutemukan
kembali. Sambil membawa senter dengan hati-hati, aku bergegas ke
pondokku. Aku berhenti di depan pintu. Lampu-lampu di dalam masih
menyala. Aku mengintip lewat jendela yang terbuka. Hmm, tidak ada
siapa-siapa. Aku menyelinap masuk. Aku menyibak selimut di tempat tidur Briana. Kemudian
kutuangkan setengah dari labah-labahku ke tempat tidurnya.
Selimutnya kurapikan kembali sampai licin.
Aku sedang menuangkan sisa labah-labah ke tempat tidur Meg
ketika terdengar suara langkah di belakangku. Cepat-cepat aku
merapikan selimut Meg dan berbalik.
Jan muncul di pintu. "Hei, ada apa?" ia menyapaku dengan suaranya yang parau.
"Tidak ada apa-apa," jawabku sambil menyembunyikan senter di belakang punggung.
Jan menguap. "Sepuluh menit lagi lampu-lampu harus
dimatikan," katanya.
Aku melirik ke tempat tidur Briana. Salah satu sudut selimutnya
belum sempat kubereskan. Tapi Briana takkan tahu, aku berkata
dalam hati. Tanpa sadar aku mulai cengar-cengir. Tapi kemudian aku cepat-
cepat pasang tampang serius. Aku tidak ingin Jan bertanya macam-
macam. Ia berbalik dan mengeluarkan baju tidur berwarna putih dari
laci lemari pakaiannya. "Besok kau ikut kegiatan apa?" ia bertanya.
"Renang Bebas?"
"Bukan. Dayung," jawabku.
Aku ingin naik perahu dayung yang kering dan aman. Aku tidak
berminat mondar-mandir di danau kotor yang penuh ikan dan
makhluk jorok lainnya. "Hei, aku juga," kata Jan.
Aku hendak bertanya apakah ia mau jadi kawanku berdayung
besok, tapi Briana dan Meg keburu masuk.
Mereka melihatku - dan langsung tertawa terbahak-bahak.
"Seru benar sih tarian yang kaubawakan waktu api unggun
tadi," Briana mencemooh.
"Gayanya seperti kalau ada ular di punggungmu!" Meg
menimpali. Mereka terus tertawa. Biar saja, aku berkata dalam hati. Tertawalah sepuas-puasnya.
Beberapa menit lagi giliran aku yang tertawa. Aku sudah tidak
sabar. Chapter 9 BEBERAPA menit kemudian Jan mematikan lampu. Aku
berbaring di kasurku yang keras, dan menatap kasur Meg di atasku.
Aku cengar-cengir. Dan menunggu....
Menunggu.... Meg berbalik di tempat tidur di atasku.
Aku mendengarnya menarik napas keras.
Dan kemudian Briana dan Meg mulai menjerit-jerit.
Aku tertawa keras-keras. Aku tidak sanggup menahan diri.
"Aku digigit! Aku digigit!" Briana melolong.
Lampu-lampu segera menyala lagi.
"Tolong!" Meg memekik. Ia melompat turun dari tempat tidur, dan menginjak lantai
dengan kaki telanjang. Kedengarannya seperti ada gajah jatuh.
"Aku digigit!" Briana memekik.
Ia dan Meg melompat-lompat dan menggeliat-geliut. Mereka
menepuk-nepuk lengan, kaki, dan punggung masing-masing.
Aku sampai harus menggigit bibir untuk menahan tawa.
"Labah-labah! Mereka ada di mana-mana," Meg memekik.
"Aduh! Mereka menggigitku!" Ia menarik lengan baju tidurnya.
"Aduh! Sakit!" Jan berdiri di samping sakelar lampu. Aku masih duduk di
tempat tidur, menonton Meg dan Briana menggeliat-geliut dan
melompat-lompat. Tapi ucapan Jan menyingkirkan senyum dari wajahku.
"Sarah yang menaruh labah-labah di tempat tidur kalian," ia memberitahu Briana
dan Meg. "Aku memergokinya mengotak-atik
tempat tidur kalian waktu aku masuk tadi."
Dasar tukang ngadu. Mungkin ia masih marah padaku karena
aku menumpahkan obat asmanya. Hmm, seketika tamatlah
kegembiraanku. Tampaknya Briana dan Meg ingin mencekikku. Mereka
terpaksa ke ruang P3K dan membangunkan perawat. Mereka harus
memastikan labah-labah itu tidak beracun.
Mana kutahu labah-labah jenis ini suka menggigit" Lagi pula,
ini kan cuma lelucon. Aku mencoba minta maaf ketika mereka kembali dari ruang
P3K. Tapi mereka tidak mau bicara denganku. Begitu juga, Jan.
Ya sudah, aku berkata dalam hati. Kalau mereka tidak mau
berteman denganku, aku akan mencari teman lain....
************************ Keesokan pagi di bangsal asrama, aku sarapan seorang diri. Di
ruangan itu ada dua meja panjang yang membentang dari dinding ke
dinding. Satu untuk anak laki-laki, satu lagi untuk anak perempuan.
Aku duduk di ujung meja anak perempuan dan makan
cornflakes sambil membisu.
Semua anak cewek lainnya asyik bercerita. Briana dan Meg
menatapku sambil mendelik dari ujung meja.
Aku melihat Aaron di meja anak cowok. Ia dan teman-
temannya sedang asyik bercanda. Aaron menaruh sepotong panekuk
di keningnya, dan anak lain menepuknya sampai jatuh.
Paling tidak ada yang gembira, pikirku dengan getir.
Tiba-tiba saja aku ingin menghampiri Aaron dan
memberitahunya betapa tertekannya aku di sini. Tapi aku tahu ia pasti akan
menyuruhku jangan terlalu serius.
Karena itu aku tetap duduk di ujung meja dan mengunyah
sarapanku. Apakah keadaan nanti akan bertambah baik dalam kegiatan
dayung" Silakan tebak tiga kali. Anak-anak yang lain sudah mulai mendorong perahu masing-
masing ke dalam air. Sepertinya semua sudah punya pasangan.
Liz menghampiriku. Baju renangnya yang putih tampak
berkilauan dalam cahaya matahari pagi.
Rambutnya yang merah disisir ke belakang dan dikuncir.
Ia melepas peluit perak yang semula terjepit di antara bibirnya.
"Siapa namamu?" ia bertanya sambil memandang ke danau.
"Sarah," jawabku. "Aku mendaftarkan diri untuk kegiatan dayung, tapi..."
"Kau perlu pasangan," Liz menyela. "Cari pasangan dulu.
Perahu-perahu disimpan di sebelah sana." Ia menunjuk, lalu berjalan menjauh.
Perahu demi perahu meluncur ke air. Gemercik air terdengar di
mana-mana.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku bergegas ke tempat perahu sambil mencari-cari pasangan.
Tapi semua anak sudah berpasangan.
Aku sudah mau menyerah ketika aku melihat Jan. Ia sedang
menyeret perahu ke air. "Kau sudah dapat pasangan?" seruku.
Ia menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau kita bergabung saja?" tanyaku. "Tidak usah,"
balasnya dengan ketus. "Jangan-jangan ada serangan labah-labah lagi nanti."
"Ayo dong, Jan," aku berusaha membujuknya. "Kalian berpasangan?" Liz tahu-tahu
sudah muncul di belakang Jan dan aku.
"Tidak. Aku...," kata Jan.
"Aku ingin berpasangan dengan dia, tapi dia tidak mau," aku menyela. Tanpa sadar
aku merengek seperti anak kecil.
Jan meringis. "Bawa perahu kalian ke air," Liz memerintahkan. "Tinggal kalian yang masih di
darat." Jan hendak memprotes. Tapi akhirnya ia angkat bahu dan
menghela napas. "Oke, Sarah. Ayo."
Kami mengenakan jaket pelampung. Kemudian aku meraih
dayung dan memegang haluan perahu. Kami menyeretnya ke air.
Perahu kecil itu berayun-ayun. Arus air ternyata lebih deras dari yang kuduga.
Ombak kecil terus menjilat tepi danau yang ditumbuhi rumput.
Jan masuk ke perahu dan mengambil tempat di depan. "Terima
kasih kau telah mempermalukanku di depan Liz," ia bergumam.
"Aku tidak bermaksud...," aku berusaha menjelaskan.
"Oke, dorong perahunya," ia menyela.
Aku melemparkan dayungku ke dalam perahu. Kemudian aku
membungkuk dan mendorong perahu keras-keras.
Perahu itu meluncur mulus. Aku melangkah ke air dan
memanjat masuk ke perahu.
"Aduh!" Perahu itu nyaris terbalik ketika aku berusaha menarik tubuhku.
"Hei! Hati-hati!" Jan membentak. "Huh, dasar! Masa begini saja tidak bisa, sih?"
"Sori," aku bergumam. Saking senangnya karena akhirnya
mendapat pasangan, aku tidak mau membuat masalah lagi.
Aku naik ke perahu dan duduk di belakang Jan. Perahunya
berayun-ayun ketika kami mulai mendayung. Permukaan danau
berkilau bagaikan perak karena memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. Kami
membutuhkan waktu agak lama sebelum menemukan
irama yang tepat. Jan dan aku sama-sama membisu.
Satu-satunya suara yang terdengar adalah gemercik air ketika
kami mengayuh dayung. Danau tampak gemerlap seperti cermin raksasa berbentuk bulat.
Aku melihat beberapa perahu di depan. Jan dan aku tertinggal jauh.
Jaket pelampung yang kami kenakan membuat kami merasa
gerah. Kami melepaskan jaket pelampung, dan menaruh keduanya di
dasar perahu. Kami mendayung dengan irama sedang, tidak terlalu cepat,
tidak terlalu pelan. Aku menoleh ke belakang. Tepi danau tampak jauh sekali.
Aku langsung merinding. Aku tidak terlalu pintar berenang.
Mendadak aku ragu apakah aku bisa berenang ke tepi kalau sampai
terjadi sesuatu. "Hei!" Ketika aku sedang memandang tepi danau, perahu kami mendadak terombang-
ambing. "Aduuuh!" Aku berpegangan pada pinggiran perahu.
Aku menoleh - dan melihat Jan berdiri!
"Jan - berhenti! Sedang apa kau?" aku memekik. "Sedang apa kau?"
Perahu kami semakin oleng. Aku mencengkeram tepi perahu
erat-erat. Jan maju selangkah. Perahu kami bertambah miring. Air membasahi kakiku.
"Jan - berhenti!" aku berseru sekali lagi. "Duduklah! Apa sih maumu?"
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Selamat tinggal,
Sarah." Chapter 10 PERAHU semakin miring ketika ia menapakkan sebelah kaki
ke pinggiran perahu. Ia membuka T-shirt yang menutupi baju
renangnya, lalu mencampakkannya ke dasar perahu.
"Jangan!" aku memohon. "Jangan tinggalkan aku di sini. Aku bukan jago renang.
Bagaimana kalau perahunya terbalik" Rasanya aku tidak sanggup berenang ke tepi
danau!" "Gara-gara kau liburanku jadi kacau," tukas Jan dengan sengit.
"Gara-gara kau semua orang tahu aku menderita asma. Dan gara-gara kau juga aku
tidak boleh ikut perjalanan enam hari menjelajah danau dengan perahu."
"T-tapi aku tidak sengaja...," aku tergagap-gagap. "Dan kau juga mencari gara-
gara dengan Briana dan Meg," Jan menambahkan dengan gusar.
"Tidak. Tunggu...," aku berusaha menyela. "Aku sudah minta maaf. Aku tidak
bermaksud..." Ia bergeser sedikit, sehingga perahu oleng ke arah berlawanan.
Kemudian ia bergeser ke arah semula. Sekali lagi. Dan sekali
lagi. Ia sengaja membuat perahu oleng.
Ia sengaja menakut-nakutiku.
"Jangan, Jan. Nanti perahunya terbalik," aku memohon.
Tingkahnya malah semakin menjadi. Saking miringnya perahu,
aku sudah ngeri aku bakal jatuh ke air.
"Aku bukan jago renang," aku berkata sekali lagi.
"Rasanya aku tidak bisa..."
Ia mendengus dengan kesal. Kemudian ia menyibakkan rambut.
Mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Menekuk lutut. Bertolak kuat-kuat.
Dan terjun ke danau. "Jangaaan!" aku memekik sementara perahu terombang-ambing dengan hebat. Air
bercipratan ke segala arah.
Perahu itu oleng... berayun-ayun.... dan akhirnya terbalik!
Aku terpental, dan disambut air danau yang dingin.
Saking kagetnya, aku tidak bisa bergerak.
Aku merasakan perahu terombang-ambing di permukaan danau.
Dan kemudian aku mulai terbatuk-batuk karena mulut dan
hidungku kemasukan air. Aku mengayunkan tangan dan kaki.
Dengan susah-payah aku berhasil naik ke permukaan air.
Terbatuk-batuk, aku menarik napas dalam-dalam.
Satu kali, lalu sekali lagi.
Aku memandang berkeliling, dan melihat perahu mengapung
dalam posisi terbalik. Sesaat kemudian napasku mulai normal, begitu juga detak
jantungku. Aku berenang ke perahu, memeluknya dengan sebelah tangan,
dan berpegangan erat-erat.
Sambil memicingkan mata karena silau, aku menoleh ke kiri-
kanan untuk mencari Jan. "Jan" Jan?" aku memanggil-manggil.
"Jan" Di mana kau?"
Aku berbalik dan memandang ke segala arah. Dadaku seakan-
akan dicengkeram tangan-tangan dingin.
"Jan" Jan" Kau b isa mendengarku?" aku berseru.
Chapter 11 SEBELAH tanganku berpegangan pada perahu, sementara
tanganku yang satu lagi melindungi mataku dari sinar matahari. "Jan"
Jan?" Namanya kupanggil-panggil sekeras mungkin.
Dan kemudian aku melihatnya.
Aku melihat rambutnya yang pirang berkilau-kilau dalam
cahaya matahari yang cerah. Aku juga melihat baju renangnya yang
berwarna merah. Lengannya bergerak dengan mantap. Tendangan
kakinya meninggalkan buih di permukaan air.
Ia sedang berenang ke tepi danau.
Ia berenang ke tepi dan meninggalkanku di sini, pikirku.
Aku berbalik dan mencari perahu-perahu lain. Sambil
memicingkan mata, aku melihat semua perahu jauh di depan. Terlalu jauh untuk
mendengar teriakanku. Barangkali perahu ini bisa kutegakkan lagi, pikirku. Setelah itu
aku bisa naik dan mendayung ke tepi.
Tapi di mana dayungnya"
Aku memandang ke arah perkemahan - dan melihat Jan
berbicara dengan Liz. Ia. melambai-lambaikan tangan dan menunjuk-
nunjuk ke danau. Menunjuk-nunjuk ke arahku.
Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling mereka. Aku
mendengar suara-suara bernada tegang.
Kemudian aku melihat Liz menyeret perahu ke air.
Ia mau menyelamatkanku, aku menyadari. Rupanya Jan
memberitahunya bahwa aku tidak sanggup berenang ke tepi.
Tiba-tiba saja aku jadi salah tingkah. Aku tahu semua anak di
tepi danau sedang memperhatikanku. Dan aku yakin mereka
menganggapku payah sekali.
Tapi aku tidak peduli. Yang kuinginkan hanya kembali ke
daratan yang aman dan kering.
Liz tidak butuh waktu lama untuk berdayung ke tempat aku
mengapung. Ketika aku naik ke perahunya, aku bermaksud segera
berterima kasih padanya. Namun Liz tidak memberi kesempatan padaku. "Kenapa kau
melakukannya, Sarah?" ia segera bertanya.
"Melakukan apa?" aku balik bertanya.
"Membalikkan perahu?" Liz mendesak.
Sebenarnya aku ingin memprotes - tapi suaraku seakan-akan
tersangkut di tenggorokan.
Liz menatapku, sambil mengerutkan kening. "Jan bilang kau
sengaja membalikkan perahu. Masa kau tidak tahu betapa berbahaya
berbuat begitu, Sarah?"
"Tapi - tapi - tapi...!"
"Aku akan mengadakan pertemuan khusus karena kejadian ini,"
ujar Liz. "Keselamatan di air sangat penting. Semua peraturan harus selalu
ditaati. Camp Cold Lake takkan ada kalau para peserta tidak mentaati semua
peraturan." "Kenapa malah jadi begini?" aku bergumam.
Liz mengadakan pertemuan di bangsal utama. Dan semua
peserta diwajibkan hadir.
Ia kembali membahas semua peraturan keselamatan. Satu per
satu. Setelah itu ia memperlihatkan berbagai slide tentang Sistem
Pasangan. Slide yang diperlihatkannya banyak sekali, seolah tanpa akhir.
Aku duduk sambil menundukkan kepala. Tapi setiap kali aku
menoleh, aku melihat Briana, Meg, dan Jan melotot dengan gusar ke arahku.
Anak-anak lain juga menatapku sambil mendelik. Agaknya
mereka semua menganggap aku sebagai penyebab pertemuan yang
membosankan itu. Bisa jadi Jan sudah memberitahu semua anak
bahwa akulah yang membalikkan perahu.
"Aku minta kalian menghapal kedua puluh peraturan
keselamatan di air," kata Liz.
Semakin banyak peserta perkemahan yang melotot ke arahku.
Semua orang membenciku, aku berkata dalam hati. Aku
menggelengkan kepala dengan sedih. Dan tak ada yang bisa
kulakukan. Lalu, tiba-tiba saja, aku mendapat ide.
Chapter 12 "AKU mau kabur," ujarku kepada Aaron.
"Selamat jalan," sahutnya dengan tenang. "Semoga berhasil."
"Aku serius!" aku berkeras. "Aku tidak main-main. Aku benar-benar mau kabur dari
perkemahan ini." "Jangan lupa kirim kartu," kata Aaron.
Aku menyeretnya keluar dari bangsal utama seusai makan
malam. Aku perlu bicara dengannya. Aku menggiringnya ke tepi
danau. Tak ada siapa-siapa di sini. Semua orang masih berkumpul di
bangsal utama. Aku menoleh ke arah perahu-perahu yang ditumpuk tiga-tiga di
tepi air. Aku teringat rambut Jan yang pirang serta baju renangnya yang merah.
Aku teringat bagaimana ia berenang menjauh,
meninggalkanku di tengah danau.
Dan bagaimana ia berbohong pada Liz. Sehingga aku yang
mendapat masalah. Aku mengguncang-guncang pundak Aaron. "Kenapa sih kau
tidak percaya" Aku serius nih!" aku berseru sambil mengertakkan gigi.
Ia malah tertawa. "Orang yang baru makan kenyang jangan diguncang-guncang,"
kata Aaron. Serta-merta ia bersendawa keras-keras.
"Ih, jorok," aku menggerutu.
Ia nyengir lebar. "Sudah tradisi."
"Jangan bercanda terus, dong," aku menghardik. "Aku benar-benar tidak betah di
sini, Aaron. Aku benci perkemahan ini. Di sini tidak ada telepon yang bisa kita
pakai. Aku tidak bisa menelepon
Mom dan Dad. Jadi aku terpaksa kabur."
Raut mukanya berubah. Ia baru sadar bahwa aku tidak main-
main. Ia melempar batu pipih ke danau. Batu itu melompat-lompat di
permukaan air. Aku memperhatikan riak-riak menyebar, lalu
menghilang. Permukaan danau memantulkan langit senja yang kelabu.
Segala sesuatu tampak kelabu. Tanah, langit, danau. Bayangan pohon-pohon tampak
gelap di permukaan air. "Kau mau kabur ke mana?" tanya Aaron. Lagi-lagi ia berlagak menjadi "kakak" yang
bijaksana. Tapi kali ini aku tidak peduli.
Aku harus menceritakan rencanaku. Aku tidak bisa
meninggalkan perkemahan tanpa memberitahunya lebih dulu.
"Aku mau menerobos hutan," kataku sambil menunjuk. "Ada sebuah kota di balik
hutan itu. Aku akan menelepon Mom dan Dad
dari situ, supaya mereka bisa menjemputku."
"Jangan!" Aaron memprotes.
Aku menatapnya dengan sikap menantang. "Kenapa?"
"Kita dilarang masuk hutan," sahutnya. "Richard pernah bilang hutan ini
berbahaya - ya, kan?"
Aku kembali mendorong Aaron. Aku begitu gelisah, begitu
kesal, sehingga aku tidak bisa diam.
"Aku tidak peduli Richard bilang apa!" seruku. "Pokoknya, aku mau kabur!"
"Jangan terburu-buru, Sarah," Aaron mendesak. "Kita belum satu minggu di sini.
Tunggu dulu, deh." Aku benar-benar tidak tahan lagi.
"Aku paling sebal kalau melihatmu sok kalem seperti ini!"
teriakku. Aku mendorongnya keras-keras. Dengan kedua tangan.
Aaron kaget. Ia kehilangan keseimbangan - dan jatuh ke
belakang. Ia terempas ke lumpur di tepi danau.
"Aduh!" "Sori," aku segera minta maaf. "Aku tidak sengaja, Aaron.
Aku..." Ia bangkit dengan susah payah. Punggungnya kotor oleh lumpur
bercampur ganggang. Ia mengacungkan tinju sambil mencaci-maki.
Aku menghela napas. Sekarang adikku sendiri pun marah
padaku.
Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya dalam hati. Apa yang
bisa kulakukan" Ketika aku kembali ke pondokku, sebuah rencana baru mulai
terbentuk dalam benakku. Rencana yang benar-benar nekat.
Rencana yang benar-benar berbahaya.
"Besok," aku bergumam, "aku akan memberi pelajaran kepada mereka semua!"
Chapter 13 KEESOKAN paginya aku terus memikirkan rencanaku.
Sebenarnya aku gugup sekali - tapi aku tahu aku tidak boleh mundur.
Acara kelompok kami pada sore itu adalah Renang Bebas.
Tentu saja semua orang sudah mendapat pasangan - kecuali aku.
Aku berdiri di tepi danau yang berlumpur dan memperhatikan
anak-anak lain masuk ke air. Awan-awan putih tercermin di
permukaan danau yang tenang.
Serangga-serangga kecil tampak meluncur di permukaan air.
Aku memperhatikan makhluk-makhluk itu sambil memikirkan kenapa
mereka tidak terbenam. "Sarah, sudah waktunya berenang," seru Liz. Ia bergegas menghampiriku. Ia
mengenakan baju renang berwarna pink dan
celana tenis berwarna putih.
Aku membetulkan letak baju renangku. Tanganku gemetaran.
Aku benar-benar gugup. "Kenapa kau tidak berenang?" tanya Liz. Ia menepis seekor lalat yang hinggap di
pundakku. "A-aku belum dapat pasangan," ujarku tergagap-gagap.
Ia memandang berkeliling untuk mencari seseorang sebagai
pasanganku. Tapi semua anak sudah masuk ke air.
"Hmm...," Liz meringis. "Ya sudah, kau berenang sendirian saja. Tapi jangan ke
tengah. Aku akan mengawasimu dari pinggir."
"Oke. Thanks," ujarku. Aku pasang senyum, lalu segera menuju ke tepi air.
Aku tidak ingin ia tahu bahwa bagiku ini bukan acara renang
biasa. Aku tidak ingin ia tahu bahwa aku telah merencanakan sesuatu yang akan
membuat heboh.... Aku melangkah ke air. Ohh, dinginnya. Segumpal awan melintas di depan matahari. Langit langsung
bertambah gelap dan suhu udara pun turun.
Kakiku terbenam dalam lumpur di dasar danau. Di depan aku
melihat ratusan serangga kecil meluncur di permukaan air.
Idih, pikirku. Kenapa aku harus berenang di air berlumpur yang
banyak serangganya" Aku menarik napas dalam-dalam dan terus melangkah maju.
Ketika air yang dingin sudah hampir setinggi pinggang, aku
membungkuk dan mulai berenang.
Aku berenang berputar-putar. Aku harus membiasakan diri
dengan air yang dingin. Dan aku juga perlu mengatur napas.
Tidak jauh dariku Briana dan beberapa anak cewek lain sedang
mengadakan lomba renang estafet. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Tampaknya mereka gembira sekali.
Sebentar lagi mereka bakal berhenti tertawa, pikirku dengan
getir. Sekonyong-konyong wajahku terciprat air. Aku memekik kaget.
Sebelum aku sempat berbuat apa-apa, wajahku kembali dihujani
percikan air. Baru kemudian aku sadar bahwa itu cuma ulah Aaron.
Ia muncul di hadapanku - dan menyemburkan air ke wajahku.
"Idih! Bagaimana mungkin kau memasukkan air jorok ini ke
dalam mulut!" aku berseru.
Aaron cuma tertawa, lalu berenang menghampiri pasangannya.
Sebentar lagi ia juga akan berhenti tertawa, aku berkata dalam
hati. Mulai hari ini sikapnya akan lain padaku.
Semua orang akan bersikap lain.
Tiba-tiba saja aku dihantui rasa bersalah. Seharusnya
kuceritakan rencanaku kepada Aaron. Bukan Aaron yang menjadi
sasaranku. Aku cuma ingin memberi pelajaran kepada semua anak
lain. Tapi seandainya aku sempat menceritakan rencanaku kepada
Aaron, ia pasti akan membujukku untuk membatalkannya. Atau ia
akan memberitahu Liz, agar Liz bisa mencegahku.
Hah... tak ada yang bisa mencegahku, aku bersumpah dalam
hati. Kau sudah menebak rencanaku"
Rencananya sederhana sekali.
Aku bermaksud tenggelam. Ehm... bukan benar-benar tenggelam.
Aku bermaksud menyelam ke dasar danau, lalu tetap di sana
untuk waktu lama. Biar semua orang menyangka aku tenggelam.
Aku sanggup menahan napas untuk waktu lama.
Soalnya aku biasa main suling. Paru-paruku sudah terlatih.
Aku bisa menyelam selama dua atau mungkin malah tiga menit.
Cukup lama untuk membuat semua orang ketakutan.
Semua bakal panik. Termasuk Briana, Meg, dan Jan.
Semua akan menyesal karena telah bersikap begitu jahat
padaku. Dengan begitu aku bisa memulai semuanya dari awal. Setelah
kejadian di danau, semua orang di perkemahan ini akan bersikap
ramah padaku. Semua akan mau menjadi pasanganku.
Jadi... tunggu apa lagi"
Sekali lagi aku menatap anak-anak yang asyik tertawa dan
bersorak-sorai. Kemudian aku menarik napas dalam-dalam. Dan menyelam ke
dasar danau. Chapter 14 AIR danau masih dangkal di bagian tepi. Tapi setelah itu dasar
danau langsung curam. Aku mengayunkan kaki keras-keras untuk menjauhi para
perenang lain. Kemudian aku menegakkan badan dan menurunkan
kaki. Oke. Aku merapatkan tangan ke sisi badan dan membiarkan diriku
meluncur ke bawah. Turun, turun. Aku membuka mata ketika aku meluncur ke dasar danau.
Sekelilingku serbahijau. Hanya sedikit cahaya yang sanggup
menerobos sampai ke bawah air.
Aku serasa mengapung di dalam batu jamrud, aku berkata
dalam hati. Aku melayang-layang di dalam batu permata berwarna
hijau. Aku teringat batu jamrud yang menghiasi cincin yang dipakai
Mom setiap hari. Cincin tunangannya. Aku membayangkan betapa
sedihnya Mom dan Dad kalau aku benar-benar tenggelam.
Seharusnya Sarah jangan dikirim ke perkemahan olahraga air,
mereka akan berkata dengan perasaan menyesal.
Kakiku menginjak dasar danau yang lunak.
Segelembung udara lolos dari mulutku. Aku merapatkan bibir
untuk menahan udara. Perlahan-lahan aku, naik ke permukaan.
Aku memejamkan mata. Aku sengaja tidak bergerak untuk
menimbulkan kesan aku tenggelam.
Aku membayangkan kengerian di wajah Liz ketika ia melihat
tubuhku melayang-layang di bawah permukaan air.
Aku nyaris tertawa ketika membayangkan Liz melompat ke
danau untuk menyelamatkanku. Ia akan terpaksa mengorbankan
celana tenisnya yang putih bersih.
Aku memaksakan diri untuk tidak bergerak.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dan memikirkan Briana,
Meg, dan Jan. Mereka akan merasa bersalah. Mereka akan menyesal seumur
hidup karena bersikap buruk padaku.
Gara-gara kejadian ini, mereka akan sadar betapa jahatnya
mereka terhadapku. Lalu mereka akan mau bersahabat denganku.
Kami semua akan menjadi sahabat karib.
Dan kami akan menikmati liburan musim panas yang benar-
benar asyik. Dadaku mulai terasa sesak. Tenggorokanku mulai serasa
terbakar. Aku membuka mulut dan melepaskan beberapa gelembung
udara. Tapi tenggorokanku tetap serasa terbakar, begitu juga dadaku.
Aku melayang dalam posisi tengkurap. Kakiku terjulur lurus ke
belakang, sementara lenganku tergantung lemas di sisi badanku.
Aku pasang telinga untuk mendengar teriakan panik.
Mestinya sudah ada yang melihatku.
Aku menunggu teriakan minta tolong. Teriakan yang
memanggil-manggil Liz. Tapi aku tidak mendengar apa-apa selain keheningan yang
menguasai dunia bawah air.
Aku kembali melepaskan gelembung udara. Dadaku benar-
benar sesak sekarang. Rasanya seperti mau meledak.
Aku membuka mata. Apakah ada orang di dekatku" Apakah ada
yang datang untuk menyelamatkanku" Tapi yang kelihatan cuma
warna hijau. Ke mana semuanya" aku bertanya-tanya. Mestinya Liz sudah
melihatku. Tapi kenapa aku belum juga diangkatnya dari air"
Aku kembali membayangkan Liz dengan celana tenisnya yang
putih. Aku membayangkan tangan dan kakinya yang kecokelatan
karena sinar matahari. Aku membayangkan rambutnya yang merah.
Liz - di mana kau" Liz - kau tidak melihat bahwa aku sedang tenggelam" Katanya
kau akan mengawasiku dari tepi danau"
Aku sudah tidak tahan. Dadaku sudah nyaris meledak. Seluruh tubuhku serasa ditusuk-
tusuk. Kepalaku serasa mau pecah.
Masa belum ada yang melihatku, sih"
Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku memejamkan mata, tapi kepalaku tetap pening.
Aku mengembuskan sisa udara yang masih tersimpan di paru-
paruku. Habislah napasku, pikirku. Aku kehabisan napas....
Lengan dan kakiku mulai nyeri.
Dadaku serasa terbakar. Aku melihat titik-titik berwarna kuning cerah, walaupun mataku
terpejam rapat. Titik-titik itu berputar-putar. Bertambah cerah...
menari-nari di sekelilingku.
Mengelilingi tubuhku yang seperti terbakar.
Dadaku... meledak... meledak....
Aku kedinginan. Tiba-tiba saja aku amat kedinginan.
Titik-titik kuning tadi semakin terang, seterang lampu sorot.
Berputar-putar di sekeliling tubuhku yang kaku.
Aku menggigil kedinginan.
Menggigil. Air dingin dan kotor masuk ke mulutku.
Aku sadar aku menyelam terlalu lama.
Tak ada yang datang. Tak ada yang menyelamatkanku.
Terlalu lama... terlalu lama.
Aku berusaha melihat sekelilingku. Tapi titik-titik kuning itu
terlalu terang. Aku tidak bisa melihat. Tidak bisa melihat.
Aku menelan seteguk air danau.
Tidak bisa melihat. Tidak bisa bernapas.
Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Aku berjuang untuk muncul di permukaan. Tapi rasanya berat
sekali. Kepalaku mendadak seberat satu ton.
Harus naik.... Tidak bisa bernapas. Sambil mengerahkan segenap kekuatan, aku menggerakkan
bahu ke atas. Menegakkan kepala. Begitu berat... begitu berat. Rambutku basah kuyup. Begitu
berat. Air mengalir di wajahku.
Masuk ke mataku. Aku berpaling ke tepi danau. Aku memicingkan mata karena
titik-titik kuning yang menyilaukan, dan karena air yang mengalir di wajahku.
Aku memicingkan mata.... Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku menoleh ke arah lain. Mataku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang berenang. Tak ada yang
berdiri di tepi danau. Ke mana mereka semua" aku bertanya-tanya. Aku menggigil.
Gemetaran. Ke mana mereka semua"
Chapter 15 DENGAN susah payah aku berenang ke tepi danau. Kakiku
mati rasa. Aku tidak merasakan lumpur di dasar danau ketika aku
keluar dari air. Aku menggosok-gosok lengan. Sentuhan tanganku tidak terasa
di kulitku. Aku juga tidak merasakan air yang mengalir turun lewat punggungku.
Aku tidak merasakan apa pun.
"Hei, di mana kalian?" aku berseru.
Penghuni Lembah Neraka 1 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Reuni Reunion 3