Pencarian

Topeng Hantu 2

Goosebumps - Topeng Hantu Bagian 2


sekali mengejar mereka - supaya mereka BENAR-BENAR ketakutan!
Tapi teriakan keras membuatnya berhenti dan berbalik.
Sabrina berdiri di teras depan, bersandar di pintu luar, mulutnya ternganga
lebar karena terkejut. "Siapa di sana?" teriaknya sambil memicingkan mata
menatap kegelapan. Sabrina mengenakan pakaian seperti Wanita Kucing, dengan
baju kucing warna perak dan kelabu di balik topeng perak. Rambut
hitamnya diikat kencang ke belakang. Matanya menatap Carly Beth.
"Kau tidak mengenaliku?" tanya Carly Beth serak sambil
mendekat. Ia bisa melihat mata Sabrina ketakutan. Sabrina mencengkeram
pegangan pintu kuat-kuat, berdiri antara keluar dan masuk rumah.
"Kau tidak mengenali aku, Sabrina?" Dilambaikannya kepala di gagang sapu,
seperti memberi petunjuk pada temannya.
Sabrina tersentak dan menutup mulut ketika melihat kepala di
gagang sapu itu. "Carly Beth - kau - kau, ya?" ia tergagap. Matanya berganti-ganti
memandang topeng dan patung kepala.
"Hai, Sabrina," geram Carly Beth. "Ini aku."
Sabrina terus mengamatinya. "Topeng itu!" teriaknya akhirnya.
"Benar-benar hebat! Betul. Hebat sekali. Benar-benar menakutkan."
"Aku suka pakaian kucingmu," kata Carly Beth sambil maju mendekat, ke cahaya
lampu. Mata Sabrina beralih ke ujung gagang sapu. "Kepala itu - mirip sekali! Dapat dari
mana?" "Itu kepalaku yang sebenarnya!" Carly Beth bercanda.
Sabrina terus menatap patung kepala Carly Beth. "Carly Beth, waktu pertama kali
kulihat, aku - " "Ibuku yang membuat," kata Carly Beth. "Di kursus seninya."
"Kukira kepala betulan," kata Sabrina. Ia bergidik. "Matanya.
Caranya melihatmu." Carly Beth menggoyang gagang sapu, kepalanya jadi
mengangguk-angguk. Sabrina mengamati topeng Carly Beth. "Wah, coba Chuck dan
Steve melihat kostummu."
Aku tidak sabar lagi! pikir Carly Beth. "Mana mereka?"
desaknya sambil memandang ke jalan.
"Steve tadi menelepon," jawab Sabrina. "Katanya mereka akan terlambat. Ia harus
mengantar adiknya ber-Halloween sebelum
menemui kita." Carly Beth menghela napas, kecewa.
"Kita tinggalkan saja mereka," usul Sabrina. "Mereka bisa menyusul nanti."
"Yeah. Oke," jawab Carly Beth.
"Kuambil mantelku dulu, lalu kita pergi," kata Sabrina.
Dipandangnya patung kepala Carly Beth lama-lama untuk terakhir
kalinya, lalu dibantingnya pintu dan menghilang ke dalam untuk
mengambil mantel. ********************** Angin bertiup ketika kedua gadis itu berjalan ke ujung blok.
Daun-daun gugur berputar-putar di kaki mereka. Pohon-pohon gundul membungkuk dan
bergetar. Di atas atap-atap rumah yang gelap, bulan yang bersinar pucat timbul-
tenggelam di balik awan. Sabrina sibuk menceritakan kerepotan kostumnya. Baju kucing
yang mula-mula dibelinya berlubang salah satu kakinya dan terpaksa dikembalikan.
Lalu Sabrina tidak bisa mendapat topeng mata kucing yang sesuai.
Carly Beth diam saja. Ia tidak bisa menyembunyikan
kekecewaannya karena Chuck dan Steve tidak menemui mereka
sesuai rencana. Bagaimana kalau mereka tidak menyusul kami" pikirnya.
Bagaimana kalau kami tidak ketemu"
Tujuan utama malam ini, menurut Carly Beth, adalah bertemu
kedua anak laki-laki itu dan membuat mereka ketakutan setengah
mati. Sabrina tadi memberikan tas belanja padanya untuk tempat
permen. Ketika mereka berjalan, sebelah tangan Carly Beth
memegang tas itu erat-erat dan tangannya yang sebelah lagi berusaha agar
kepalanya tidak jatuh dari gagang sapu.
"Di mana kau beli topengmu" Bukan ibumu yang membuatnya,
kan" Kau pergi ke toko perlengkapan pesta baru itu, ya" Boleh
kupegang?" Sabrina memang cerewet. Tapi malam ini bukan main banyak
omongannya. Carly Beth berhenti dengan patuh supaya temannya bisa
menyentuh topengnya. Sabrina menekan pipi topeng, lalu langsung
menarik tangannya lagi. "Oh! Rasanya seperti kulit!"
Carly Beth tertawa, tawa mengejek yang belum pernah
didengarnya. "Hii! Apa, sih, bahannya?" desak Sabrina. "Bukan kulit - kan"
Semacam karet, kan?"
"Rasanya," gumam Carly Beth.
"Kalau begitu kenapa bisa hangat?" tanya Sabrina. "Tidak enak rasanya
memakainya, ya" Kau pasti bercucuran keringat."
Tiba-tiba Carly Beth merasa marah sekali, diempaskannya tas
dan gagang sapunya. "Diam! Diam! Diam!" bentaknya.
Lalu sambil melolong marah, disambarnya leher Sabrina
dengan dua tangan dan dicekiknya.
Chapter 16 SABRINA berteriak terkejut dan terhuyung-huyung mundur,
melepaskan diri dari cengkeraman Carly Beth. "C-Carly Beth!"
semburnya. Kenapa aku ini" pikir Carly Beth bingung, ternganga ngeri
memandang temannya. Kenapa kulakukan itu"
"Uh... kena kau!" teriak Carly Beth. Ia tertawa. "Mestinya kau lihat tampangmu,
Sabrina. Kau kira aku benar-benar mencekikmu,
ya?" Sabrina mengusap-usap lehernya dengan satu tangannya yang
terbungkus sarung tangan perak. Keningnya berkerut ketika menatap temannya. "Itu
tadi bercanda" Kau membuat aku setengah mati
ketakutan!" Carly Beth tertawa lagi. "Supaya sesuai peran," katanya enteng sambil menunjuk
topeng. "Kau tahu, kan. Berusaha mendapatkan perasaan yang sesuai. Ha-ha. Aku
suka menakut-nakuti orang. Kau
tahu, kan. Biasanya aku yang gemetar ketakutan."
Dipungutnya tas dan gagang sapu, dirapikannya letak patung
kepalanya. Lalu bergegas-gegas pergi ke jalan masuk terdekat menuju rumah terang
benderang yang ada spanduk HAPPY HALLOWEEN di
jendela depannya. Apa Sabrina percaya tadi itu cuma bercanda" tanya Carly Beth
dalam hati ketika mengangkat tas belanja dan membunyikan bel. Apa-apaan aku ini"
Kenapa aku tiba-tiba jadi marah sekali" Kenapa kuserang
sahabat akrabku seperti itu"
Sabrina melangkah ke sampingnya ketika pintu depan terbuka.
Dua anak kecil berambut pirang, laki-laki dan perempuan, muncul di pintu. Ibu
mereka berdiri di belakang.
"Trick or Treat!" teriak Carly Beth dan Sabrina serentak.
"Ooh, topeng itu menakutkan!" kata wanita itu pada kedua anaknya sambil
tersenyum pada Carly Beth.
"Kau jadi apa" Kucing?" tanya anak yang laki-laki pada
Sabrina. Sabrina mengeong. "Aku Wanita Kucing," katanya.
"Aku tidak suka yang satu lagi itu!" teriak anak perempuan itu pada ibunya.
"Terlalu menakutkan."
"Cuma topeng konyol, kok," kata ibu itu meyakinkan anak perempuannya.
"Terlalu menakutkan. Aku jadi takut!" kata anak itu.
Carly Beth bersandar di kusen pintu, didekatkannya wajahnya
yang aneh pada anak perempuan itu. "Kumakan kau nanti!" geramnya jahat.
Anak kecil itu menjerit dan menghilang ke dalam rumah.
Saudaranya terbelalak menatap Carly Beth. Si ibu cepat-cepat
memasukkan permen ke dalam tas mereka. "Seharusnya kau jangan menakut-nakuti
dia," katanya pelan. "Ia sering bermimpi buruk."
Bukannya minta maaf, Carly Beth malah berbalik menatap anak
laki-lakinya. "Kumakan juga kau nanti!" bentaknya.
"Hei - hentikan!" kata ibunya marah.
Carly Beth tertawa menggeram, melompat dari teras, dan berlari
ke seberang halaman. "Kenapa kaulakukan itu?" tanya Sabrina ketika mereka
menyeberang jalan. "Kenapa kau menakut-nakuti anak-anak kecil seperti itu?"
"Topeng ini yang memaksa aku melakukannya," jawab Carly Beth. Maksudnya
bercanda. Tapi ia cemas juga.
Di beberapa rumah berikutnya, "Carly Beth berdiri di kejauhan dan membiarkan
Sabrina yang maju. Di salah satu rumah, seorang pria setengah baya yang
mengenakan baju hangat robek pura-pura takut
pada topeng Carly Beth. Istrinya menyuruh mereka masuk supaya bisa menunjukkan
kostum-kostum bagus yang mereka kenakan pada
ibunya yang sudah tua. Carly Beth menggeram keras, tapi diikutinya Sabrina masuk ke
rumah. Wanita tua itu bengong melihat mereka dari kursi rodanya.
Carly Beth menggeram, tapi kelihatannya wanita itu tidak terkesan sedikit pun.
Ketika akan pulang, pria yang mengenakan baju hangat robek
memberi mereka apel hijau. Carly Beth menunggu sampai mereka
sampai trotoar. Ia lalu berbalik, ditekuknya tangannya ke belakang, dan sekuat
tenaga dilemparkannya apel tadi ke rumah pria itu.
Terdengar bunyi gedebuk keras ketika apelnya mengenai
dinding di dekat pintu depan.
"Aku benar-benar sebal kalau Halloween dikasih apel!" kata Carly Beth. "Apalagi
apel hijau!" "Carly Beth - aku cemas memikirkan kau!" teriak Sabrina,
dipandangnya temannya dengan penuh perhatian. "Kelakuanmu aneh sekali."
Memang. Malam ini aku bukan lagi tikus kecil yang ketakutan
dan memelas, pikir Carly Beth muram. "Berikan padaku," perintahnya pada Sabrina,
dan diambilnya apel Sabrina dari dalam tas. "Hei -
stop!" protes Sabrina.
Tapi Carly Beth sudah melengkungkan tangannya dan
melemparkan apel Sabrina ke rumah tadi. Suaranya ribut sekali ketika mengenai
talang air alumunium. Pria yang mengenakan baju hangat robek menjulurkan kepala
dari balik pintu. "Hei - apa-apaan?"
"Lari!" jerit Carly Beth.
Kedua gadis itu kabur, berlari sekuat tenaga ke ujung blok.
Mereka tidak berhenti sampai rumah itu tidak kelihatan lagi.
Sabrina mencengkeram bahu Carly Beth dan terus dipegangnya
sambil terengah-engah. "Gila kau!" katanya. "Kau benar-benar gila!"
"Orang perlu saling mengenal," kata Carly Beth bercanda.
Mereka berdua tertawa. Carly Beth memandang jalan mencari-cari Steve dan Chuck.
Dilihatnya ada segerombolan anak-anak berkostum berkumpul di
pojok. Tapi kedua temannya tidak kelihatan.
Di blok ini rumah-rumahnya lebih kecil, lebih rapat, berderet
dua-dua. "Ayo jalan sendiri-sendiri," usul Carly Beth sambil bersandar ke gagang
sapu. "Supaya kita bisa dapat permen lebih banyak."
Sabrina mengerutkan dahi, dipandangnya temannya dengan
curiga. "Carly Beth, kau kan tidak suka permen!" teriaknya.
Tapi Carly Beth sudah berlari ke jalan masuk rumah pertama,
patung kepalanya terguncang-guncang di atas gagang sapu.
Malam ini milikku, pikir Carly Beth sambil menerima permen
dari wanita yang tersenyum sambil membuka pintu. Malamku!
Ia merasa belum pernah semangat seperti ini. Dan ada perasaan
aneh yang tidak bisa digambarkannya. Perasaan lapar...
Beberapa menit kemudian, ketika tasnya sudah terasa berat, ia
sampai di ujung blok. Ia ragu-ragu di pojok, bingung ingin pergi ke seberang
jalan atau pergi ke blok berikutnya.
Gelap sekali di sana, pikirnya. Bulan menghilang lagi di balik
awan gelap. Lampu jalanan di pojok mati, mungkin bola lampunya
putus. Di seberang jalan, empat anak kecil tertawa cekikikan ketika
mendekati rumah yang ada lampu labu di terasnya.
Carly Beth bersembunyi dalam kegelapan. Didengarnya ada
suara-suara, suara anak laki-laki. Chuck dan Steve"
Bukan. Suara-suara itu tidak dikenalnya. Mereka sedang
berdebat akan pergi ber-Halloween ke mana. Salah seorang ingin
pulang dan menelepon temannya.
Bagaimana kalau ditakut-takuti sedikit, anak-anak" pikir Carly
Beth sambil tersenyum lebar. Bagaimana kalau mengalami sesuatu
supaya malam Halloween ini tak terlupakan"
Ia menunggu, memasang telinga, sampai mereka mendekat. Ia
bisa melihat mereka sekarang. Dua mumi, wajah mereka terbalut kain kasa.
Semakin dekat, semakin dekat. Ia menunggu saat yang tepat.
Lalu ia melompat ke luar dari balik bayang-bayang sambil
melolong seperti binatang marah yang melengking nyaring.
Kedua anak itu tersentak dan terlonjak mundur. "Hei - !" Salah seorang mencoba
berteriak, tapi suaranya tercekat.
Temannya menjatuhkan tas permennya.
Ketika ia memungutnya, Carly Beth bergerak cepat.
Dirampasnya tas itu, disentakkannya, dan lari pergi.
"Kembali!" "Itu punyaku!" "Hei - " Suara mereka terdengar nyaring dan melengking, takut dan
terkejut. Ketika berlari menyeberang jalan, Carly Beth menoleh untuk melihat
apakah mereka mengikutinya.
Tidak. Mereka terlalu ketakutan. Mereka berdiri rapat di pojok
jalan, meneriaki Carly Beth.
Sambil memegang tas permen erat-erat, Carly Beth
mendongakkan kepalanya dan tertawa. Tawa yang jahat, tawa penuh
kemenangan. Suara tawa yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Dituangkannya permen anak-anak itu ke dalam tasnya, lalu
dibuangnya tas mereka ke tanah.
Ia merasa senang, sangat senang. Sangat kuat. Dan siap untuk
lebih bersenang-senang lagi.
Ayo, Steve dan Chuck, pikirnya. Berikutnya giliran kalian!
Chapter 17 BEBERAPA menit kemudian Carly Beth menemukan Chuck
dan Steve. Mereka ada di seberang jalan, berdiri di bawah lampu jalan
masuk rumah orang, sedang memeriksa isi tas permen mereka.
Carly Beth merunduk di balik batang besar pohon tua di dekat
trotoar. Jantungnya mulai berdebar-debar ketika mengamati mereka.
Kedua anak itu tidak mau repot-repot memakai kostum. Chuck
mengenakan bandana merah yang diikat di kepala dan topeng hitam di mata. Steve
menghitamkan pipi dan dahinya dan mengenakan topi
tenis tua dan jas hujan robek.
Ia mau jadi gelandangan" pikir Carly Beth bingung.
Dilihatnya mereka mengaduk-aduk isi tas. Sudah lama juga
mereka keluar, pikirnya. Tas mereka kelihatan lumayan penuh.
Tiba-tiba Steve memandang ke arahnya.
Carly Beth menyentakkan kepalanya ke balik pohon.
Ia tadi kelihatan tidak"
Tidak.

Goosebumps - Topeng Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan kaukacaukan sekarang, katanya pada diri sendiri. Kau
sudah lama sekali menunggu saat seperti ini. Kau sudah menunggu
lama sekali untuk membalas mereka semua karena sudah menakut-
nakuti kau. Carly Beth mengamati kedua anak itu berjalan ke teras depan
rumah berikutnya. Carly Beth melompat ke luar dari balik pohon dan nyaris
tersandung gagang sapu. Ia berlari ke seberang jalan dan
merunduk di balik semak-semak.
Kalau mereka sudah ada di jalan lagi, aku akan melompat ke
luar. Akan kuterkam mereka. Akan kubuat mereka ketakutan setengah mati,
pikirnya. Semak-semak itu berbau cemara dan manis. Masih basah
karena hujan tadi pagi. Angin membuat daun-daunnya bergetar. Suara bersiul aneh
apa itu" Sesaat kemudian baru Carly Beth sadar itu suara napasnya
sendiri. Tiba-tiba ia mulai ragu. Ini tidak akan berhasil, pikirnya sambil merunduk semakin
rendah di balik semak-semak yang bergetar.
Aku konyol sekali. Chuck dan Steve tidak akan ketakutan cuma
karena topeng konyol ini.
Aku akan menyerbu mereka, dan mereka akan menertawakan
aku. Seperti biasanya. Mereka akan tertawa dan berkata, "Oh, hai, Carly Beth. Bagus juga penampilanmu!"
Atau yang semacamnya. Lalu mereka akan menceritakan pada semua orang di sekolah
betapa kukira aku sangat menakutkan, betapa mereka segera
mengenaliku dan betapa konyolnya aku. Semua orang akan
menertawakan. Mengapa aku bisa mengira ini akan berhasil" Mengapa aku bisa
menganggap ini ide hebat"
Sambil merunduk di balik semak-semak, Carly Beth bisa
merasa kemarahannya semakin memuncak. Marah pada diri sendiri.
Marah pada kedua anak itu.
Wajahnya terasa panas terbakar di balik topeng. Jantungnya
berdebar-debar kencang. Suara napasnya yang terengah-engah
kedengaran seperti bersiul terkena hidung datar topeng.
Chuck dan Steve mendekat. Ia bisa mendengar suara sepatu
mereka menginjak kerikil di jalan masuk.
Carly Beth menegangkan otot kakinya dan bersiap-siap
menerkam. Oke, pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam, ini dia!
Chapter 18 SEMUANYA seperti gerakan lambat.
Kedua anak itu berjalan pelan melewati semak-semak. Mereka
ribut berbicara. Tapi bagi Carly Beth, suara mereka kedengaran pelan dan jauh.
Ia berdiri, melangkah ke luar dari semak-semak, dan menjerit
sekuat tenaga. Meskipun remang-remang, ia bisa melihat reaksi mereka
dengan jelas. Mata mereka terbelalak. Mulutnya ternganga. Tangan mereka
terangkat ke atas kepala.
Steve berteriak. Chuck mencengkeram lengan jas hujan Steve.
Jeritan Carly Beth bergema di halaman depan yang gelap.
Suaranya seperti melayang-layang di udara.
Semua bergerak pelan sekali. Begitu pelan sehingga Carly Beth
bisa melihat alis Chuck bergetar. Ia bisa melihat dagunya gemetar.
Dilihatnya mata Steve bersinar ketakutan ketika mengalihkan
pandangan dari topeng Carly Beth ke kepala yang ada di gagang sapu.
Dilambai-lambaikannya gagang sapu itu dengan sikap
mengancam. Steve merintih ketakutan.
Chuck menatap Carly Beth, matanya yang ketakutan terpaku
pada mata Carly Beth. "Carly Beth - kau, ya?" akhirnya ia bisa bersuara.
Carly Beth menggeram seperti binatang, tapi tidak menjawab.
"Siapa kau?" desak Steve, suaranya bergetar. "Ku - kurasa dia - Carly Beth!" kata
Chuck. "Kau yang ada di dalamnya, Carly Beth?"
Steve tertawa tegang. "Kau - menakut-nakuti kami!"
"Carly Beth - kau, ya?" desak Chuck lagi.
Carly Beth melambai-lambaikan gagang sapu. Ditunjuknya
patung kepalanya. "Itu kepala Carly Beth," katanya. Suaranya dalam dan parau.
"Hah?" Kedua anak itu menatap ragu.
"Itu kepala Carly Beth," ulangnya pelan-pelan sambil dilambai-lambaikannya
perlahan. Mata yang dicat di patung kepala itu kelihatan seperti melotot pada
mereka. "Carly Beth yang malang tidak mau menyerahkan kepalanya malam ini. Tapi
tetap saja kuambil."
Kedua anak itu menatap patung kepala.
Chuck terus mencengkeram lengan jas hujan Steve.
Steve tertawa tegang lagi. Dipandangnya Carly Beth, wajahnya
kelihatan bingung. "Kau Carly Beth, kan" Bagaimana caramu
membuat suara aneh begitu?"
"Itu temanmu Carly Beth," geramnya sambil menunjuk kepala di gagang sapu. "Cuma
itu yang tersisa!" Chuck susah payah menelan ludah. Matanya terpaku pada
patung kepala yang bergoyang-goyang.
Steve menatap topeng Carly Beth dengan cermat. "Serahkan
permen kalian," bentak Carly Beth, terkejut sendiri mendengar nada suaranya.
"Hah?" teriak Steve.
"Serahkan. Sekarang. Kalau tidak, kutancapkan kepala kalian
ke tongkat ini." Kedua anak itu tertawa cekikikan yang melengking.
"Aku tidak main-main!" raung Carly Beth. Kata-katanya
langsung menghentikan tawa mereka.
"Carly Beth - sudahlah," gumam Chuck ragu, matanya masih
menyipit ketakutan. "Yeah. Betul," kata Steve pelan.
"Serahkan tas kalian," kata Carly Beth dingin.
"Kalau tidak, kepala kalian akan merasakan tongkatku."
Didekatkannya tongkatnya pada mereka dengan sikap
mengancam. Dan ketika didekatkannya, mereka bertiga menatap wajah yang
bermata kelam itu. Mereka mengamati wajahnya yang kaku, wajah
yang kelihatan begitu mirip, begitu mirip dengan Carly Beth Caldwell.
Tiba-tiba angin bertiup di sekitar mereka, kepala di tongkat itu
jadi bergerak-gerak. Lalu, mereka bertiga melihat matanya berkedip. Sekali. Dua
kali. Mata cokelat itu berkedip.
Dan bibirnya membuka, mengeluarkan suara yang kering.
Carly Beth beku ketakutan menatap wajah itu bersama kedua
temannya. Dan mereka bertiga melihat bibirnya bergerak. Terdengar suara
berderak yang kering. Mereka bertiga melihat bibir hitam itu mengerut, lalu terbuka.
Mereka bertiga melihat kepala yang bergerak-gerak itu bicara
tanpa suara mengucapkan, "Tolong aku. Tolong aku."
Chapter 19 SAKING takutnya, Carly Beth melepaskan gagang sapunya.
Gagang itu jatuh di samping Chuck. Kepalanya menggelinding ke
bawah semak-semak. "Kepala - kepalanya bicara!" teriak Steve.
Chuck merintih pelan. Tanpa berkata-kata lagi, kedua anak itu menjatuhkan tasnya dan
kabur, sepatu mereka ber debuk-debuk di trotoar.
Angin bertiup di sekeliling Carly Beth, seolah-olah
menahannya. Ia merasa seperti ingin mendongak dan melolong. Ia merasa
seperti ingin merobek-robek pakaiannya dan terbang mengarungi
malam. Ia merasa seperti ingin memanjat pohon, melompat ke atap,
meraung pada langit yang hitam dan tidak berbintang.
Ia lama berdiri kaku, dibiarkannya angin bertiup di
sekelilingnya. Anak-anak itu sudah pergi. Kabur ketakutan.
Ketakutan! Carly Beth berhasil. Ia telah membuat mereka ketakutan
setengah mati. Ia tahu ia takkan pernah melupakan wajah mereka yang
ketakutan tadi, rasa takut dan tidak percaya yang bersinar di mata mereka.
Dan ia takkan pernah melupakan perasaan penuh kemenangan
yang dirasakannya. Perasaan membalas dendam yang enak sekali.
Sesaat, ia sadar, ia juga takut.
Ia telah membayangkan kepala di gagang sapu hidup betulan,
mengedipkan mata, berbicara tanpa suara pada mereka.
Sesaat ia merasa takut juga. Ia terkena tipuannya sendiri.
Tapi, tentu saja, kepala itu tidak sungguh-sungguh hidup,
katanya meyakinkan diri sendiri. Tentu saja bibirnya tidak bergerak, tidak
memohon tanpa suara, "Tolong aku. Tolong aku."
Pasti cuma bayangan, pikirnya. Bayangan karena ada sinar
bulan, yang memancar dari balik awan hitam yang berarak-arak.
Mana kepala tadi" Mana gagang sapu yang dijatuhkannya"
Biarlah. Tidak ada gunanya lagi.
Carly Beth sudah menang. Dan sekarang ia berlari-lari. Berlari-lari cepat melintasi
halaman depan rumah orang. Melompati semak-semak dan pagar
tanaman. Terbang di atas tanah yang keras dan gelap.
Ia lari membabi-buta, rumah-rumah berseliweran di
sampingnya. Angin berputar-putar, dan ia ikut berputar-putar juga, naik di atas
trotoar, menembus ilalang tinggi, terbang bersama angin seperti daun rontok.
Sambil memegang tas permennya yang menggelembung, ia
berlari melewati anak-anak yang terkejut, melewati labu-labu yang menyala,
melewati kerangka yang berderak-derak.
Ia lari sampai kehabisan napas.
Lalu ia berhenti, terengah-engah, dan memejamkan mata,
menunggu debaran jantungnya mereda, menunggu darahnya berhenti
berdenyut-denyut di dahinya.
Dan ada tangan yang mencengkeram kasar bahunya dari
belakang. Chapter 20 CARLY BETH menjerit terkejut dan berbalik. "Sabrina!"
jeritnya terengah-engah. Sambil meringis, Sabrina melepaskan cengkeramannya. "Sudah
berjam-jam kucari kau," kata Sabrina marah. "Ke mana saja kau?"
"Ku - kurasa aku tersesat," jawab Carly Beth, napasnya masih megap-megap.
"Sebentar kau kelihatan. Sebentar kemudian sudah
menghilang," kata Sabrina sambil merapikan topengnya.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Carly Beth, berusaha bicara dengan suara normal.
"Baju kucingku robek," keluh Sabrina, keningnya berkerut.
Ditariknya bahan lycra di salah satu kakinya untuk ditunjukkan pada Carly Beth.
"Robek tersangkut kotak surat konyol."
"Kasihan," kata Carly Beth bersimpati.
"Kau berhasil menakut-nakuti orang dengan topeng itu?" desak Sabrina, masih
meraba-raba kaki baju kucingnya yang robek.
"Yeah. Beberapa anak kecil," jawab Carly Beth enteng.
"Jahat sekali kau," kata Sabrina.
"Itulah sebabnya kupilih topeng ini."
Mereka berdua tertawa. "Kau dapat banyak permen?" tanya Sabrina. Diambilnya tas Carly Beth dan
dilihatnya isinya. "Wow! Banyak sekali!"
"Aku berhasil meminta permen di banyak rumah," kata Carly Beth.
"Ayo ke rumahku dan kita lihat barang rampasan kita," usul Sabrina.
"Yeah. Oke." Carly Beth mengikuti temannya menyeberang
jalan. "Kecuali kalau kau mau minta permen lagi," kata Sabrina, ia berhenti di tengah
jalan. "Tidak. Sudah cukup," kata Carly Beth. Ia tertawa sendiri.
Malam ini aku sudah melakukan semua yang kuinginkan.
Mereka berjalan lagi. Mereka berjalan menentang angin, tapi
Carly Beth sama sekali tidak merasa dingin.
Dua anak perempuan berbaju penuh renda, wajah mereka dirias
menor, di kepala mereka ada wig pirang dan lucu, lari melewati Carly Beth dan
Sabrina. Salah seorang memelankan larinya ketika melihat topeng Carly Beth. Ia
menjerit pelan karena terkejut, lalu segera mengejar temannya.
"Kau melihat Steve dan Chuck?" tanya Sabrina. "Aku mencari mereka ke mana-mana."
Ia mengerang. "Semalaman ini cuma itu kerjaanku. Semalaman kerjaanku cuma
mencari-cari orang. Kau. Steve dan Chuck. Kenapa kita tidak pernah bertemu?"
Carly Beth mengangkat bahu. "Aku melihat mereka," katanya.
"Beberapa menit yang lalu. Di sana tadi." Ia menggerakkan kepala.
Mereka penakut sekali."
"Hah" Steve dan Chuck?" Wajah Sabrina berubah jadi terkejut.
"Yeah. Begitu melihat topengku mereka langsung kabur," kata Carly Beth sambil
tertawa. "Mereka menjerit-jerit seperti bayi."
Sabrina ikut tertawa. "Aku tidak percaya!" teriaknya. "Mereka selalu berlagak
sok jagoan. Dan - " "Aku memanggil-manggil mereka, tapi mereka tetap saja lari,"
kata Carly Beth, meringis.
"Aneh!" seru Sabrina.
"Yeah. Aneh," kata Carly Beth setuju.
"Mereka tahu itu sebetulnya kau?" tanya Sabrina.
Carly Beth mengangkat bahu. "Entahlah. Mereka baru
memandangku sebentar dan langsung kabur seperti kelinci."
"Mereka bilang padaku akan menakut-nakuti kau," kata Sabrina membuka rahasia.
"Mereka akan menyelinap di belakangmu dan
membuat suara-suara menakutkan atau apalah."
Carly Beth mencibir. "Sulit menyelinap di belakang seseorang saat kau berlari
pontang-panting!" Rumah Sabrina sudah kelihatan. Carly Beth memindahkan tas
permennya ke tangannya yang satu lagi.
"Aku dapat barang-barang bagus," kata Sabrina, ia mengintip ke dalam tasnya
sambil berjalan. "Aku harus dapat banyak. Aku harus membaginya dengan sepupuku.
Ia sakit flu dan malam ini tidak bisa pergi minta permen."
"Aku tidak akan membagi punyaku dengan siapa-siapa," kata Carly Beth. "Noah
pergi dengan teman-temannya. Mungkin waktu pulang nanti bawaannya banyak
sekali." "Tahun ini Mrs. Connelly memberi kue dan popcorn lagi," kata Sabrina sambil
menarik napas. "Aku terpaksa harus membuangnya.
Mom tidak akan memperbolehkan aku makan makanan yang tidak
dibungkus. Ia takut ada setan kubur yang meracuni makanan-makanan itu. Tahun
lalu banyak makanan enak yang terpaksa kubuang."
Sabrina mengetuk pintu depan rumahnya. Beberapa saat
kemudian, ibunya membukakan pintu dan mereka masuk. ''Hebat juga
topengmu, Carly Beth," kata ibu Sabrina, diamatinya topeng Carly Beth.
"Bagaimana hasil kerja kalian?"
"Kurasa lumayan," jawab Sabrina.
"Yah, ingat saja - "
"Aku tahu. Aku tahu, Mom," potong Sabrina tidak sabar.
"Buang semua makanan yang tidak dibungkus. Buah-buahan juga."
Begitu Mrs. Mason masuk ke dalam, kedua gadis itu
membalikkan tas mereka dan menumpahkan semua permen ke atas


Goosebumps - Topeng Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karpet ruang duduk. "Hei, lihat - permen Milky Way besar!" seru Sabrina sambil menariknya dari
tumpukan permen. "Kesukaanku!"
"Aku benci!" kata Carly Beth, diangkatnya permen keras besar warna biru.
"Terakhir kali aku mencoba mengisapnya, lidahku jadi luka." Dilemparkannya ke
tumpukan permen Sabrina. "Terima kasih banyak," kata Sabrina kasar. Dibukanya
topengnya dan dijatuhkannya ke karpet. Wajahnya merah padam.
Digeraikannya rambutnya yang hitam.
"Nah. Rasanya enakan," kata Sabrina. "Wow. Panas sekali topeng tadi."
Dipandangnya Carly Beth. "Kau tidak mau melepas topengmu" Pasti kau seperti
direbus di dalamnya!"
"Yeah. Ide bagus." Carly Beth sebetulnya sudah lupa ia
mengenakan topeng. Ia mengangkat kedua tangannya dan menarik kuping topeng.
"Aduh!" Topeng itu tidak bergerak. Ditariknya dari atas kepala. Lalu ia mencoba
meregangkannya dan menariknya dari bagian pipi.
"Aduh!" "Ada apa?" tanya Sabrina, ia sedang, asyik menumpuk-numpuk permennya.
Carly Beth tidak menjawab. Dicobanya menarik topeng dari
leher. Lalu ditariknya bagian kuping lagi.
"Carly Beth - ada apa?" tanya Sabrina, dialihkannya
pandangannya dari tumpukan permen.
"Tolong aku!" kata Carly Beth dengan suara melengking
ketakutan. "Kumohon - tolong aku! Topengnya - topengnya tidak
mau lepas!" Chapter 21 SAMBIL berlutut di karpet, Sabrina memandang Carly Beth
sekilas. "Carly Beth, berhentilah bercanda."
"Aku tidak bercanda!" kata Carly Beth, suaranya melengking karena panik.
"Kau belum capek menakut-nakuti orang malam ini?" desak Sabrina. Dipungutnya
permen asin di dalam kantong plastik bening.
"Aku ingin tahu apa Mom mengizinkan aku menyimpannya. Ini kan ada bungkusnya."
"Aku tidak menakut-nakuti kau. Aku serius!" teriak Carly Beth.
Ditariknya kuping topeng, tapi tidak bisa dipegangnya kuat-kuat.
Sabrina melempar kantong permen asinnya dan berdiri. "Kau
benar-benar tidak bisa melepas topeng itu?"
Carly Beth menarik bagian dagu kuat-kuat. "Aduh!" Ia berteriak kesakitan. "To -
topengnya lengket di kulitku. Tolong aku."
Sabrina tertawa. "Kita akan kelihatan konyol sekali kalau
sampai harus memanggil pemadam kebakaran untuk melepaskan
topengmu!" Carly Beth tidak menganggap hal itu lucu. Dipegangnya bagian
atas topeng dengan dua tangan dan ditariknya sekuat tenaga. Topeng itu tidak
bergerak. Senyum Sabrina menghilang. Didekatinya temannya. "Kau
tidak main-main - ya. Topeng itu benar-benar tidak mau lepas."
Carly Beth mengangguk. "Ayo, dong," katanya tidak sabar.
"Bantu aku menariknya."
Sabrina mencengkeram bagian atas topeng. "Rasanya hangat
sekali!" serunya. "Kau pasti sesak napas di balik topeng."
"Tarik sajalah!" ratap Carly Beth.
Sabrina menariknya. "Aduh! Jangan sekuat itu!" teriak Carly Beth. "Sakit sekali rasanya!"
Sabrina menarik lagi lebih pelan, tapi topeng itu tidak bergerak.
Diturunkannya tangannya ke pipi dan ditariknya.
"Aduh!" jerit Carly Beth. "Topeng ini benar-benar menempel di wajahku."
"Terbuat dari apa sih benda ini?" tanya Sabrina, ditatapnya topeng itu lekat-
lekat. "Rasanya tidak seperti karet. Rasanya seperti kulit."
"Aku tidak tahu terbuat dari apa, aku tidak peduli," gerutu Carly Beth. "Aku
cuma ingin topeng ini lepas. Mungkin kita bisa
memotongnya. Kau tahu, kan. Pakai gunting."
"Topengnya jadi rusak, dong?" kata Sabrina.
"Biar!" teriak Carly Beth, ia sibuk menarik-narik topeng. "Aku sama sekali tidak
peduli! Aku cuma mau keluar! Kalau topeng ini
tidak bisa dilepaskan, aku bisa jadi gila. Aku tidak main-main!"
Sabrina menepuk bahu temannya untuk menenangkan. "Oke.
Oke. Coba sekali lagi. Baru kita gunting."
Dipicingkannya matanya ketika mengamati topeng. "Mestinya
aku bisa merogoh bagian bawahnya dan menariknya," katanya. "Kalau kuselipkan
tanganku di leher, aku bisa menarik dan mengangkatnya."
"Ayo. Cepat!" kata Carly Beth.
Tapi Sabrina tidak bergerak. Matanya yang kelam terbelalak,
dan mulutnya ternganga ketika mengamati topeng. Ia tersentak pelan.
"Sabrina" Ada apa?" desak Carly Beth.
Sabrina tidak menjawab. Ia malah meraba-raba tenggorokan
Carly Beth. Wajahnya tetap terkejut. Ia bergerak ke belakang Carly Beth
dan dirabanya tengkuk Carly Beth.
"Ada apa" Ada apa?" desak Carly Beth dengan suara
melengking. Sabrina mengusap rambutnya. Dahinya berkerut karena
berkonsentrasi. "Carly Beth," katanya nya, "ada sesuatu yang sangat aneh
terjadi." "Apa" Bicara apa kau ini?" desak Carly Beth.
"Topeng ini tidak ada bagian akhirnya."
"Hah?" Tangan Carly Beth cepat-cepat memegangi leher.
Dengan panik diraba-rabanya. "Apa maksudmu?"
"Tidak ada garis batas," kata Sabrina dengan suara gemetar.
"Tidak ada garis batas antara topeng dan kulitmu. Tidak ada celah untuk
menyelipkan tanganku."
"Tapi itu gila!" teriak Carly Beth. Dipegangnya
tenggorokannya, didorongnya kulitnya, mencari-cari ujung topeng.
"Ini gila! Gila!"
Sabrina memegangi wajahnya yang tegang ketakutan.
"Ini gila! Gila!" kata Carly Beth berulang-ulang dengan suara melengking dan
ketakutan. Tapi sambil meraba-raba lehernya dengan jari-jari gemetaran,
Carly Beth sadar temannya benar. Topeng itu tidak ada ujungnya lagi.
Tidak ada celah antara topeng dan kulit Carly Beth. Topeng itu sudah menjadi
wajahnya. Chapter 22 KAKI Carly Beth gemetaran ketika berjalan ke depan cermin di
ruang depan. Tangannya masih sibuk meraba-raba kerongkongannya
ketika melangkah ke depan cermin yang besar dan persegi dan
mendekatkan wajahnya ke cermin.
"Tidak ada garis batas!" teriaknya. "Tidak ada garis batas topeng."
Sabrina berdiri di belakangnya, wajahnya bingung. "Aku - aku
tidak mengerti," gumamnya, ditatapnya bayangan Carly Beth di cermin.
Carly Beth tersentak. "Itu bukan mataku!" jeritnya.
"Hah?" Sabrina melangkah ke sampingnya sambil tetap
memandang cermin "Itu bukan mataku!" ratap Carly Beth. "Mataku tidak seperti itu."
"Coba tenang dulu," kata Sabrina pelan. "Matamu - "
"Itu bukan mataku! Bukan mataku!" teriak Carly Beth, tidak dipedulikannya
temannya yang menyuruhnya tenang. "Mana mataku"
Mana diriku" Mana diriku, Sabrina" Bukan aku yang berada di balik topeng ini!"
"Carly Beth - tolong tenang dulu!" desak Sabrina. Tapi
suaranya terdengar seperti tercekik dan ketakutan.
"Ini bukan aku!" seru Carly Beth, ternganga ngeri menatap bayangannya, tangannya
menekan pipi keriput topeng jelek. "Ini bukan aku!"
Sabrina menyentuh temannya. Tapi Carly Beth menjauh.
Sambil meratap nyaring, teriakan ngeri dan putus asa, ia berlari di ruang depan.
Ditariknya pintu depan, susah payah membuka kunci
sambil menangis tersedu-sedu.
"Carly Beth - berhenti! Kembalilah!"
Carly Beth tidak memedulikan teriakan Sabrina dan melompat
ke kegelapan di luar. Pintu kasa terbanting menutup.
Ketika berlari, bisa didengarnya teriakan panik Sabrina dari
pintu, "Carly Beth - mantelmu! Kembalilah! Mantelmu ketinggalan!"
Sepatu Carly Beth berdebum-debum di tanah yang keras. Ia lari
ke kegelapan di bawah pepohonan, seperti berusaha bersembunyi,
seperti berusaha supaya wajahnya yang mengerikan tidak kelihatan.
Ia sampai di trotoar, membelok ke kanan, dan terus berlari.
Ia tidak tahu ia lari ke mana. Ia cuma tahu ia harus lari menjauh dari Sabrina,
menjauh dari cermin itu. Ia ingin berlari dari dirinya, dari wajahnya, wajah mengerikan
yang tadi menatapnya dari cermin dengan mata aneh yang
menakutkan. Mata orang lain. Mata orang lain yang berada di kepalanya.
Cuma sekarang bukan kepalanya lagi. Tapi kepala monster
yang jelek dan hijau yang telah menempel di tubuhnya.
Sambil berteriak panik lagi, Carly Beth menyeberang jalan dan
terus berlari. Pepohonan yang gelap, nampak hitam dengan latar
belakang langit malam tanpa bintang, berayun dan bergetar di atas kepalanya.
Rumah-rumah berseliweran, cahaya jingga dari jendelanya kelihatan kabur.
Ia berlari dalam kegelapan, napasnya menderu di balik hidung
yang jelek dan datar. Ditundukkannya kepalanya yang hijau licin
menentang angin dan berlari sambil memandang tanah.
Tapi ke mana pun ia memandang, topeng itu selalu kelihatan.
Dilihatnya wajah yang tadi menatapnya, kulit yang berkerut dan
buruk, mata jingga yang berkilat, deretan gigi binatang yang tajam-tajam.
Wajahku... w-ajahku... Jeritan-jeritan melengking menyentakkan lamunannya.
Carly Beth mengangkat kepala dan melihat ternyata ia lari ke
tengah-tengah rombongan anak-anak yang sedang ber-Halloween.
Ada enam atau tujuh anak, semua menatap ke arahnya sambil menjerit dan menuding.
Dibukanya mulutnya lebar-lebar, menampakkan gigi-gigi tajam,
dan menggeram pada mereka, geraman binatang.
Geraman itu membuat mereka terdiam. Mereka melotot
menatapnya, tidak tahu apakah ia benar-benar mengancam atau cuma
bercanda. "Kau jadi apa"!" teriak anak perempuan berkostum badut penuh renda merah-putih.
Mestinya aku jadi AKU, tapi bukan! pikir Carly Beth suram.
Pertanyaan itu tidak dijawabnya. Sambil menundukkan kepala,
membelakangi mereka, ia berlari lagi.
Bisa didengarnya mereka sekarang tertawa. Ia tahu mereka
tertawa lega, lega karena ia meninggalkan mereka.
Sambil menangis sedih, ia berbelok di sudut dan berlari terus.
Pergi ke mana aku" Apa yang kulakukan" Apa aku akan lari
terus selamanya" Pertanyaan-pertanyaan itu menyerbu pikirannya. Ia langsung
berhenti berlari ketika toko perlengkapan pesta itu kelihatan.
Tentu saja, pikirnya. Toko perlengkapan pesta. Pria aneh yang
memakai jubah. Ia akan meno long aku. Ia akan tahu apa yang harus dilakukan.
Pria berjubah itu akan tahu bagaimana cara melepaskan
topeng ini. Dengan penuh harap Carly Beth berlari ke toko itu.
Tapi ketika semakin mendekati toko, harapannya padam seperti
etalase toko yang gelap. Dari balik kaca dilihatnya lampu-lampu toko sudah
dimatikan. Toko itu segelap malam. Toko itu sudah tutup.
Chapter 23 KETIKA memandang toko yang gelap itu, perasaan putus asa
melanda Carly Beth. Dipegangnya etalase, ditekannya kepalanya ke kaca. Terasa
dingin di dahinya yang panas. Dahi topeng yang panas.
Dipejamkannya matanya. Apa lagi yang harus kulakukan sekarang" Apa yang akan
kulakukan" "Semua ini cuma mimpi buruk," gumamnya keras-keras.
"Mimpi buruk. Sekarang akan kubuka mataku, dan bangun dari tidur."
Dibukanya matanya. Ia melihat matanya, mata jingganya yang
berkilat, terpantul di kaca etalase yang gelap.
Ia melihat wajahnya yang aneh sedang menatapnya.
"Tidaaak!" Sambil bergidik sampai menggetarkan seluruh
tubuhnya, Carly Beth menghantam etalase dengan kepalan tangannya.
Kenapa dulu aku tidak mengenakan kostum bebek buatan ibuku
saja" tanyanya marah pada diri sendiri. Kenapa aku begitu ngotot
ingin menjadi makhluk paling menakutkan pada saat Halloween"
Kenapa aku ngotot sekali ingin menakut-nakuti Chuck dan Steve"
Ia susah payah menelan ludah. Sekarang seumur hidup aku akan
membuat orang ketakutan. Ketika pikiran suram itu berputar-putar di kepalanya, tiba-tiba
Carly Beth sadar ada gerakan di dalam toko. Dilihatnya ada bayangan gelap
melangkah di lantai. Didengarnya suara langkah kaki.
Pintu itu berderak, lalu terbuka sedikit.
Pemilik toko menjulurkan kepalanya. Matanya memicing ketika
mengamati Carly Beth. "Aku tetap tinggal di toko sampai malam,"
katanya tenang. "Aku tahu kau akan datang lagi."
Carly Beth terkejut melihat orang itu tenang-tenang saja.
"Saya - saya tidak bisa melepaskannya!" teriaknya. Ditariknya bagian atas
kepalanya untuk membuktikan ucapannya pada pemilik toko itu.
"Aku tahu," kata pria itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah.
"Masuklah." Dibukanya pintu lebar-lebar, lalu melangkah mundur.
Carly Beth ragu-ragu, lalu cepat-cepat masuk ke dalam toko
yang gelap itu. Di dalamnya hangat sekali.
Pemilik toko menyalakan lampu di atas meja depan. Carly Beth
melihat ia sudah tidak lagi mengenakan jubah. Ia mengenakan celana hitam dan
kemeja putih. "Anda tahu saya akan kembali?" desak Carly Beth dengan suara melengking.
Suaranya yang sudah berubah parau sejak mengenakan
topeng terdengar marah dan bingung. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Aku dulu tidak mau menjualnya padamu," jawabnya sambil menatap topeng. Ia
menggeleng, keningnya berkerut. "Kau ingat, kan"
Kau ingat aku dulu tidak mau menjualnya padamu?"
"Aku ingat," jawab Carly Beth tidak sabar. "Bantu saja saya melepaskannya. Oke"
Bantu saya." Ia menatap Carly Beth tajam. Ia tidak menjawab.
"Bantu saya melepaskannya," teriak Carly Beth. "Saya ingin Anda melepaskannya!"
Pria itu menarik napas. "Aku tidak bisa," katanya sedih. "Aku tidak bisa
melepaskannya. Maafkan aku."
Chapter 24 "A-APA maksud Anda?" Carly Beth tergagap.
Pemilik toko tidak menjawab. Ia berbalik ke belakang toko dan
memberi tanda agar Carly Beth mengikutinya.
"Jawab pertanyaan saya!" jerit Carly Beth. "Jangan pergi begitu saja! Jawab
pertanyaan saya! Apa maksud Anda topeng ini tidak bisa dilepaskan?"
Diikutinya pria itu ke ruangan belakang, jantungnya berdebar-
debar. Pria itu menyalakan lampu.
Carly Beth berkedip-kedip karena silau. Tampak dua rak
panjang berisi topeng-topeng mengerikan. Dilihatnya ada tempat
kosong bekas tempat topengnya dulu.
Semua topeng aneh itu kelihatan seperti menatapnya.
Dipaksanya mengalihkan pandangan ke tempat lain. "Lepaskan topeng ini - sekarang!"
desaknya sambil menghalangi jalan pemilik toko itu.
"Aku tidak bisa melepaskannya," kata pria itu pelan.
"Kenapa tidak?" desak Carly Beth.
Pria itu memelankan suaranya. "Karena itu bukan topeng."
Carly Beth bengong menatapnya. Dibukanya mulutnya, tapi
tidak terdengar suara apa pun.
"Itu bukan topeng," kata pria itu. "Itu wajah yang sebenarnya."


Goosebumps - Topeng Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Carly Beth merasa pusing. Lantai terasa miring.
Deretan wajah-wajah buruk itu menatapnya. Semua mata yang
menonjol, merah, kuning, dan hijau itu seperti terpaku
memandanginya. Carly Beth bersandar ke dinding dan berusaha menenangkan
diri. Pemilik toko berjalan ke rak pajang dan menunjuk kepala-
kepala yang buruk dan melotot itu. "Yang Tidak Dicintai," katanya sedih,
suaranya berubah jadi bisikan.
"Saya - saya tidak mengerti," kata Carly Beth bersusah-payah.
"Ini semua bukan topeng. Mereka wajah-wajah," katanya
menjelaskan. "Wajah yang sebenarnya. Aku yang membuat. Aku
menciptakannya di laboratoriumku - wajah-wajah yang sebenarnya."
"Tapi - tapi mereka buruk sekali...," kata Carly Beth.
"Kenapa - ?" "Awalnya mereka tidak buruk," potong pemilik toko, suaranya pahit, matanya
bersinar marah. "Mereka indah dan hidup. Tapi terjadi sesuatu. Ketika
dikeluarkan dari lab, mereka berubah. Percobaanku -
kepala-kepalaku yang malang - gagal. Tapi aku harus menjaga agar
mereka tetap hidup. Harus."
"Saya - saya tidak percaya!" seru Carly Beth terengah-engah sambil memegang bagian
samping wajahnya, wajah yang hijau dan
hancur. "Saya tidak percaya sedikit pun."
"Aku mengatakan yang sebenarnya," lanjut pemilik toko sambil mengelus sebelah
kumis tipisnya, matanya menyala-nyala menatap
mata Carly Beth. "Aku menyimpan mereka di sini. Aku menyebut mereka Yang
Tidak Dicintai karena takkan ada yang mau melihat mereka. Kadang-
kadang, ada orang masuk ke ruangan belakang ini - kau, misalnya -
dan salah satu wajahku mendapat rumah baru..."
"Tidaaaak!" Carly Beth berteriak marah, lebih mirip lolongan binatang daripada
teriakan manusia. Ditatapnya wajah-wajah berkerut dan benjol-benjol yang ada di
rak. Kepala-kepala yang menonjol, luka-luka yang menganga, gigi-
gigi binatang. Monster! Semuanya monster!
"Lepaskan topeng ini!" jeritnya, lupa diri. "Lepaskan!
Lepaskan!" Dirobek-robeknya wajahnya, berusaha menariknya, berusaha
mengoyak-ngoyaknya. "Lepaskan! Lepaskan!"
Pria itu mengangkat tangan untuk menenangkannya. "Maafkan
aku. Wajah itu sekarang jadi wajahmu," katanya tanpa ekspresi.
"Tidak!" teriak Carly Beth lagi dengan suara barunya yang parau. "Lepaskan!
Lepaskan - SEKARANG!"
Dirobeknya wajahnya. Tapi meskipun marah dan panik, ia tahu
tindakannya percuma saja.
"Wajah itu bisa dilepaskan," kata pemilik toko pelan.
"Hah?" Carly Beth menurunkan tangannya. Dipandangnya pria itu tajam. "Apa Anda
bilang?" "Kubilang ada satu cara untuk melepaskan wajah itu."
"Ya?" Carly Beth merasa ada aliran dingin di punggungnya, aliran harapan. "Ya"
Bagaimana caranya" Bilang pada saya!" katanya memohon. "Tolong - beritahu saya!"
"Aku tidak bisa melakukannya untukmu," jawabnya, keningnya berkerut. "Tapi bisa
kukatakan bagaimana caranya. Tapi, kalau topeng itu menempel di dirimu atau
orang lain, ia takkan bisa lepas lagi."
"Bagaimana cara saya melepaskannya" Bilang! Bilang pada
saya!" Carly Beth memohon-mohon. "Bagaimana cara
melepaskannya?" Chapter 25 LAMPU di atas kepala mereka berkedip. Deretan wajah yang
gembung dan rusak itu terus memandangi Carly Beth.
Monster, pikir Carly Beth.
Ruangan ini penuh monster, yang menunggu jadi hidup.
Papan lantai berderak ketika pemilik toko menjauh dari rak
pajang dan mendekati Carly Beth.
"Bagaimana cara melepaskannya?" tanyanya. "Katakan pada saya. Tunjukkan -
sekarang!" "Topeng itu cuma bisa dilepaskan sekali," kata pemilik toko pelan. "Dan cuma
bisa dilepaskan dengan lambang cinta."
Carly Beth memandanginya, menunggu pria itu bicara lagi.
Ruangan itu sepi. Sepi yang menyesakkan.
"Saya - saya tidak mengerti," Carly Beth tergagap. "Anda harus membantu saya. Saya
tidak memahami Anda! Katakan sesuatu yang
masuk akal! Bantu saya!"
"Saya tidak bisa bicara lebih banyak," katanya sambil
menundukkan kepala, memejamkan mata, dan menggosok kelopak
matanya dengan perasaan capek.
"Tapi - apa maksudnya lambang cinta yang Anda bilang?"
desak Carly Beth. Dicengkeramnya bagian depan kemeja pria itu
dengan kedua tangannya. "Apa maksud Anda" Apa maksud Anda?"
Pria itu tidak berusaha melepaskan tangan Carly Beth. "Saya
tidak bisa bicara lebih banyak," bisiknya.
"Tidak!" teriak Carly Beth. "Tidak! Anda harus membantu saya! Harus!"
Ia bisa merasakan kemarahannya meledak, ia jadi membabi-
buta - tapi tidak bisa menghentikannya.
"Saya ingin wajah saya kembali!" jeritnya sambil memukul-mukul dada pria .itu
dengan kepalan tangannya. "Saya ingin wajah saya kembali! Saya ingin diri saya
kembali!" Sekarang ia menjerit sekuat tenaga, tapi ia tidak peduli.
Pemilik toko melangkah mundur sambil memberi tanda agar
Carly Beth diam. Lalu, tiba-tiba, matanya terbelalak ketakutan.
Carly Beth mengikuti arah pandangannya ke rak pajang.
"Ohh!" Ia berteriak ketakutan ketika melihat deretan wajah itu mulai bergerak
semua. Mata-mata yang menonjol berkedip. Lidah-lidah bengkak
menjilati bibir kering. Luka-luka yang menghitam mulai berdenyut.
Kepala-kepala itu semua bergerak-gerak, berkedip, bernapas.
"Ada - ada apa?" teriak Carly Beth dengan suara berbisik
gemetar. "Kau membangunkan mereka semua!" teriak pemilik toko,
wajahnya ketakutan seperti wajah Carly Beth.
"Tapi - tapi - "
"Lari!" jeritnya, didorongnya Carly Beth kuat-kuat ke pintu.
"Lari!" Chapter 26 CARLY BETH ragu-ragu. Ia berbalik dan menatap kepala-
kepala yang bergerak-gerak di rak.
Bibir-bibir tebal dan gelap mulai bergerak, suaranya seperti
suara mengisap. Gigi-gigi bengkok bergerak naik-turun. Hidung-
hidung buruk dan aneh berkerut dan ribut menghirup udara.
Kepala-kepala itu, ada dua deret, berdenyut hidup.
Dan matanya - mata yang penuh pembuluh darah dan
menonjol - mata hijau, kuning, merah terang, bola-bola mata yang
tergantung-gantung di kawat - semua memandanginya!
"Lari! Kau telah membangunkan mereka!" jerit pemilik toko, suaranya tercekik
ketakutan. "Lari! Pergi dari sini!"
Carly Beth ingin berlari. Tapi kakinya tidak mau menurut.
Lututnya terasa goyah dan lemas. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya seperti lima ratus
kilo beranya. "Lari! Lari!" Pemilik toko berteriak panik.
Tapi Carly Beth tidak bisa mengalihkan pandangan dari kepala-
kepala yang bergerak-gerak dan berdenyut-denyut itu.
Ia ternganga melihatnya, kaku ketakutan, kakinya jadi lemas
sekali, napasnya seperti tercekik di tenggorokan. Dan ketika ia
terbelalak, kepala-kepala itu bangun dan melayang-layang.
"Lari! Cepat! Lari!"
Suara pemilik toko sekarang terdengar jauh.
Kepala-kepala itu mulai mengoceh dengan suara dalam dan
menggemuruh, mengalahkan teriakan panik pemilik toko. Mereka
ribut menggumam, cuma bersuara, tidak ada kata-kata, seperti paduan suara katak.
Mereka melayang semakin tinggi, sementara Carly Beth
melotot ketakutan. "Lari! Lari!" Ya. Carly Beth berbalik. Dipaksanya kakinya bergerak.
Dan ia berlari dengan sekuat tenaga.
Ia berlari melewati ruang depan toko yang remang-remang.
Tangannya mencengkeram kenop pintu, dan ditariknya.
Beberapa saat kemudian, ia sudah berada di trotoar, lari
menembus kegelapan. Sepatunya berdebum-debum keras di aspal. Ia
merasa udara dingin menerpa wajahnya yang panas.
Wajah hijaunya yang panas.
Wajah monsternya. Wajah monster yang tidak bisa dilepaskannya.
Ia menyeberang jalan dan terus berlari.
Suara apa itu" Suara yang dalam dan berdeguk-deguk" Suara
gumaman pelan yang seperti mengikutinya"
Mengikutinya" "Oh, tidak!" Carly Beth berteriak ketika menoleh ke belakang -
dan melihat kepala-kepala mengerikan terbang mengejarnya.
Pawai setan kubur. Mereka terbang sendiri-sendiri, sederetan panjang kepala yang
berdenyut dan bersuara. Mata mereka berkilau terang, seperti nyala lampu mobil,
dan semuanya terpaku menatap Carly Beth.
Carly Beth tercekik ketakutan dan tersandung di jalan.
Tangannya terjulur ke depan ketika berusaha menjaga
keseimbangan. Kakinya ingin jatuh, tapi dipaksanya untuk bergerak lagi.
Sambil membungkuk menentang angin, ia berlari, melewati
rumah-rumah gelap dan halaman-halaman kosong.
Pasti sudah malam, pikirnya. Pasti sudah larut malam.
Terlambat. Kata itu melintas di pikirannya.
Terlambat bagiku. Kepala-kepala yang mengerikan dan menyala itu beterbangan
mengejarnya. Semakin dekat. Semakin dekat. Suara gumaman mereka
terdengar semakin keras di telinganya sampai rasanya suara-suara
menakutkan itu seperti mengelilinginya.
Angin menderu, bertiup kencang, seperti sengaja mendorong
punggungnya. Kepala-kepala yang bergumam itu melayang semakin dekat.
Aku berlari menembus mimpi buruk yang gelap, pikirnya.
Aku bisa berlari seumur hidup.
Terlambat. Terlambat bagiku.
Atau jangan-jangan belum terlambat"
Terlintas akal di pikirannya yang panik sambil berlari, tangan
terulur ke depan seolah-olah menggapai keselamatan, pikirannya
berusaha keras mencari jalan ke luar.
Lambang cinta. Didengarnya suara pemilik toko mengalahkan suara-suara
buruk di belakangnya. Lambang cinta. Itulah yang diperlukannya untuk melepaskan kepala monster
yang telah menjadi kepalanya ini.
Apakah lambang itu juga akan menghentikan kepala-kepala
menyala dan berdenyut yang mengejar-ngejarnya" Apakah lambang
itu akan mengembalikan wajah Yang Tidak Dicintai ini ke tempat
asalnya" Sambil terengah-engah, Carly Beth berbelok di tikungan dan
terus berlari. Ketika menoleh ke belakang, dilihatnya pengejar-
pengejarnya yang ribut juga berbelok.
Di mana aku" pikirnya, matanya menatap rumah-rumah yang
dilewatinya. Ia terlalu ketakutan sehingga jadi tidak peduli ke mana larinya.
Tapi sekarang Carly Beth mendapat akal, Akal karena panik.
Dan ia harus sampai di sana sebelum sebelum parade kepala
mengerikan ini menyusulnya.
Ia punya lambang cinta. Kepalanya. Patung kepala yang dibuat ibunya.
Carly Beth ingat pernah bertanya pada ibunya kenapa membuat
patung itu. Dan ibunya menjawab, "Karena aku sayang padamu."
Mungkin patung itu bisa menyelamatkannya. Mungkin patung itu bisa
mengeluarkannya dari mimpi buruk ini.
Tapi di mana dia" Ia tadi telah melemparkannya. Dijatuhkannya ke balik pagar
tanaman. Ia meninggalkannya di halamah rumah orang, dan...
Dan sekarang ia kembali ke blok itu.
Ia mengenali jalan tadi. Ia mengenali rumah-rumahnya.
Di sinilah ia bertemu Chuck dan Steve. Di sinilah ia membuat
mereka lari terbirit-birit.
Tapi di mana rumahnya" Di mana pagar tanamannya"
Matanya memandangi rumah-rumah dengan panik.
Dilihatnya di belakangnya kepala-kepala itu menggerombol.
Seperti lebah yang mendengung-dengung, mereka berkumpul,
sekarang menyeringai, menyeringai jahat, menyeringai basah sambil bersiap-siap
mengepungnya. Aku harus menemukan kepala itu! kata Carly Beth pada diri
sendiri sambil susah payah bernapas, berusaha menggerakkan kakinya yang sakit.
Aku harus menemukan kepalaku.
Suara-suara mengoceh dan menggemuruh terdengar semakin
keras. Kepala-kepala itu berkerumun semakin dekat.
"Mana" Mana?" jeritnya kuat-kuat.
Lalu dilihatnya pagar tanaman tinggi itu. Di seberang jalan.
Di halaman di seberang jalan.
Kepalanya, kepalanya yang cantik - dibiarkannya jatuh ke balik
pagar tanaman itu. Bisakah ia sampai ke sana sebelum kepala-kepala buruk itu
mengerumuninya" Ya! Sambil menarik napas dalam-dalam, tangannya terjulur ke
depan, ia membelok dan berlari ke seberang jalan.
Dan terjun ke balik pagar tanaman. Jatuh bertumpu tangan dan
lututnya. Dadanya naik-turun. Napasnya terengah-engah. Kepalanya
berdenyut-denyut. Dicarinya kepalanya. Sudah tidak ada. Chapter 27 TIDAK ada. Kepalanya sudah tidak ada.
Kesempatan terakhirku, pikir Carly Beth sambil membabi-buta
mencari, tangannya sibuk meraba-raba dasar pagar.
Tidak ada. Terlambat bagiku. Masih berlutut, ia berbalik menatap setan-setan pengejarnya.
Kepala-kepala itu, ribut tidak karuan, berdiri di depannya, membentuk dinding.
Carly Beth berdiri. Dinding kepala yang berdenyut-denyut itu maju sedikit.
Carly Beth berbalik, mencari, jalan ke luar.
Dan melihatnya. Melihat patung kepalanya.
Melihat patung kepalanya memandang dirinya dari sela-sela


Goosebumps - Topeng Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akar menonjol pohon besar di dekat jalan masuk.
Pasti angin yang meniupnya ke sana, pikirnya. Dan ketika
kepala-kepala buruk itu semakin mendekat, ia melompat ke pohon.
Dan menyambar kepalanya dengan dua tangan.
Sambil berteriak lega, diputarnya patung kepalanya ke arah
kepala-kepala ribut itu dan diangkatnya tinggi-tinggi.
"Pergi! Pergi!" jerit Carly Beth, diangkatnya patung kepalanya supaya terlihat
oleh mereka semua. "Ini lambang cinta! Ini lambang cinta! Pergi!"
Kepala-kepala itu bergerak-gerak serentak. Mata-mata yang
menyala menatap patung kepala.
Mereka bergumam ribut. Senyum basah terbentuk di bibir
mereka yang rusak. "Pergi! Pergi!"
Carly Beth mendengar mereka tertawa. Tertawa pelan dan
mengejek. Lalu mereka bergerak cepat, mengelilinginya, ingin segera
menelannya. Chapter 28 TERLAMBAT bagiku. Kata itu berulang-ulang di pikiran Carly Beth. Idenya tidak
berhasil. Kepala-kepala itu mengerubunginya, bertetesan air liur, mata-
mata yang menonjol penuh kemenangan.
Gumam mereka berubah menjadi raungan. Carly Beth merasa
dirinya tertelan dalam panas mereka yang bau busuk.
Tanpa berpikir-pikir lagi, diturunkannya patung kepala. Dan
ditariknya kuat-kuat di atas kepala mosternya yang mengerikan.
Ia terkejut ketika patung itu menyelubungi kepalanya seperti
topeng. Aku mengenakan wajahku sendiri seperti mengenakan topeng,
pikirnya sedih. Ketika ditariknya patung, suasana jadi gelap. Tidak ada lubang
mata. Ia tidak bisa melihat ke luar.
Ia tidak bisa mendengar. Apa yang akan dilakukan kepala-kepala jahat itu padaku"
pikirnya, sendirian dan ketakutan.
Apa sekarang aku jadi Yang Tidak Dicintai juga" Apa aku
akhirnya akan dipajang di rak juga bersama mereka"
Carly Beth menunggu ketika diselubungi kegelapan yang sepi
dan pekat. Terus menunggu. Dirasakannya darah berdenyut-denyut di dahinya. Ia bisa
merasakan detak ketakutan di dadanya, rasa sakit tenggorokannya
yang kering. Apa yang akan mereka lakukan"
Apa yang sedang mereka lakukan"
Ia tidak tahan sendirian, diselubungi rasa takut, dikelilingi
kesunyian dan kegelapan. Dientakkannya patung kepalanya.
Kepala-kepala mengerikan itu sudah pergi. Hilang.
Carly Beth menatap lurus ke depan dengan perasaan tidak
percaya. Lalu matanya menatap halaman yang gelap. Dicari-carinya di pepohonan
dan semak-semak. Dipicingkannya matanya menatap celah
kosong di antara rumah-rumah.
Tidak ada. Mereka sudah tidak ada. Lama Carly Beth duduk di rumput yang dingin dan basah,
patung kepala di pangkuannya, terengah-engah, menatap halaman-
halaman depan yang kosong dan sunyi.
Napasnya segera normal kembali. Ia berdiri.
Angin sudah reda. Bulan pucat muncul dari balik awan gelap
yang tadi menutupinya. Carly Beth merasa ada yang berkibar-kibar di tenggorokannya.
Dengan perasaan terkejut, dirabanya dan dirasakannya ada
ujung topeng. Ujung topeng" Ya! Ada celah antara topeng dan lehernya.
"Hei!" ia berteriak keras. Pelan-pelan diletakkannya patung kepala di kakinya,
lalu dengan dua tangannya dipegangnya ujung
topeng dan ditariknya ke atas.
Topeng itu dengan gampang terlepas.
Ia terpesona, diturunkannya dan dipegangnya di hadapannya.
Dilipatnya, lalu. dibukanya lagi.
Mata jingga yang tadi menyala seperti api sudah padam. Gigi-
gigi tajam seperti gigi binatang jadi kenyal dan lembek.
"Kau sekarang cuma topeng biasa!" teriaknya keras. "Topeng biasa lagi!"
Sambil tertawa girang, dilemparkannya tinggi-tinggi dan
ditangkapnya. Cuma bisa dilepaskan sekali, kata pemilik toko. Cuma sekali
dengan lambang cinta. Yah, aku telah melakukannya! kata Carly Beth senang. Aku
telah melepaskannya. Dan jangan takut - aku takkan pernah
memakainya lagi! Takkan pernah! Tiba-tiba ia merasa capek sekali.
Aku harus pulang, katanya dalam hati. Mungkin sekarang sudah
hampir tengah malam. Rumah-rumah kebanyakan sudah gelap. Tidak ada lagi mobil
melaju di jalan. Anak-anak yang ber-Halloween sudah pulang semua.
Carly Beth membungkuk memungut patung kepalanya. Lalu
sambil membawa topeng dan patung kepala, ia cepat-cepat berjalan
pulang. Di tengah jalan masuk ia berhenti.
Dipegangnya dan diraba-rabanya wajahnya dengan satu tangan.
Apa wajahku sudah kembali seperti semula" pikirnya.
Digosoknya pipinya, lalu dipegangnya hidungnya.
Apa ini wajahku" Apa aku kelihatan seperti aku" Ia tidak bisa
tahu kalau cuma memegang.
"Aku harus bercermin!" serunya keras-keras.
Karena ingin sekali melihat apakah wajahnya sudah normal
lagi, ia berlari ke pintu dan menekan bel.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka, dan tampak Noah.
Didorongnya pintu kasa sampai terbuka.
Lalu dipandangnya wajah Carly Beth - dan ia menjerit.
"Lepaskan topeng itu! Lepaskan! Kau jelek sekali!
Chapter 29 "TIDAK!" Carly Beth berteriak ketakutan.
Topeng itu pasti mengubah wajahnya, pikirnya. "Tidak! Oh,
tidak!" Didorongnya adiknya ke samping, dilemparkannya patung
kepala dan topeng, dan lari ke cermin di ruang tengah.
Wajahnya menatapnya. Normal-normal saja. Wajahnya yang dulu. Wajahnya yang
lama. Matanya yang cokelat tua. Dahinya yang lebar.
Hidungnya yang pesek, yang selalu dibencinya karena ingin
lebih mancung. Aku takkan mengeluh soal hidungku lagi, pikirnya senang.
Wajahnya kembali normal. Semuanya normal. Sambil menatap
dirinya sendiri, didengarnya Noah tertawa di pintu.
Ia berbalik marah. "Noah - tega sekali kau!"
Noah semakin tertawa keras. "Cuma bercanda. Aku tidak
percaya kau bisa tertipu."
"Bagiku sama sekali bukan bercanda!" teriak Carly Beth marah.
Mom muncul di ujung ruang tengah. "Carly Beth, dari mana
saja kau" Mestinya kau sudah pulang satu jam yang lalu."
"Maaf, Mom," jawab Carly Beth sambil tersenyum.
Aku bahagia sekali, sanggup rasanya tersenyum terus! pikirnya.
"Ceritanya panjang," katanya pada Mom. "Cerita panjang yang agak aneh."
"Tapi kau baik-baik saja, kan?" Mata Mrs. Caldwell menyipit ketika mengamati
anak perempuannya. "Yeah. Aku baik-baik saja," kata Carly Beth.
"Ayo ke dapur," perintah Mrs. Caldwell. "Aku membuatkan sari apel panas
untukrnu." Carly Beth dengan patuh mengikuti ibunya ke dapur. Dapur
terasa hangat dan terang. Seluruh ruangan berbau manis sari apel.
Seumur hidup belum pernah Carly Beth sesenang sekarang
berada di rumah. Dipeluknya ibunya, lalu duduk.
"Kenapa kau tidak mengenakan kostum bebekmu?" tanya Mrs.
Caldwell sambil menuangkan secangkir sari apel. "Dari mana saja kau" Kenapa kau
tidak bersama Sabrina" Sudah dua kali Sabrina
menelepon, menanyakan keadaanmu."
"Yah...," kata Carly Beth. "Ceritanya agak panjang, Mom."
"Aku tidak pergi ke mana-mana," kata ibunya sambil
meletakkan cangkir berisi sari apel di hadapan Carly Beth. Ia
bersandar di meja sambil bertopang dagu dengan satu tangan. "Ayo.
Ceritakan." "Yah...," Carly Beth ragu-ragu. "Sekarang semuanya sudah beres, Mom. Beres rapi.
Tapi - " Sebelum ia sempat bicara lagi, Noah menyerbu masuk.
"Hei, Carly Beth...," panggilnya dengan suara dalam dan serak.
"Lihat aku! Bagaimana penampilanku kalau memakai
topengmu?" END Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 6 Pendekar Cacad Karya Gu Long Gadis Bertudung Bambu 1
^