Pencarian

Arwah Penasaran 2

Goosebumps - Arwah Penasaran Bagian 2


Tapi apakah aku memang bersuara" Apakah aku masih punya
suara" Entahlah, aku tidak mendengar apa-apa.
Aku berjalan ke rumput dan menggoyangkan seluruh tubuh.
Persis seperti anjing yang sedang mengeringkan bulunya.
"Ke mana orang-orang?"
Aku maju terhuyung-huyung sambil memeluk diriku. Aku
berhenti ketika melihat tempat penyimpanan perahu. Semua perahu
tampak berjajar dan terikat dalam posisi terbalik di tepi danau.
Bukankah semua perahu sedang dipakai tadi"
"Hei!" aku berseru.
Tapi kenapa aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri"
"Di mana kalian?"
Tak ada siapa pun di tepi danau.
Aku cepat-cepat berbalik, dan nyaris kehilangan keseimbangan.
Ternyata di air juga tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada seorang pun di sekitarku.
Aku melewati tumpukan ban dan perahu karet. Semuanya
ditutup terpal. Kok tidak dipakai" aku bertanya dalam hati. Kenapa semuanya
ditutup terpal" Dan kenapa sudah tidak ada siapa-siapa di danau"
Aku menggigil kedinginan ketika menuju ke bangsal utama.
Aku terperanjat ketika melihat pohon-pohon.
Semua daun telah gugur. Seperti di musim dingin.
"Ahhhhh!" aku memekik tanpa bersuara.
Aku tidak tahu apakah ada yang mendengarku. Kenapa daun-
daun telah gugur" aku bertanya dalam hati. Ini kan masih pertengahan musim
panas. Aku mulai menyusuri jalan setapak ke bangsal utama.
Aku kedinginan. Amat kedinginan.
Sesuatu yang dingin mengenai pundakku.
Salju" Ya. Butir-butir salju turun dari langit, tertiup angin.
Pohon-pohon yang gundul berderak-derak.
Aku menepis salju yang menempel pada rambutku yang basah.
Salju" Tapi itu kan tidak mungkin!
Semuanya tidak masuk akal.
"Heiiii!" Teriakanku bergema di antara pohon-pohon. Paling tidak, kusangka
begitu. Apakah ada yang mendengarnya"
"Tolooong!" teriakku. "Tolooong!"
Tak ada suara apa pun selain suara dahan-dahan yang berderak-
derak di atasku. Aku berlari. Kakiku yang telanjang tak bersuara di tanah yang
dingin. Pondok-pondok bumi perkemahan mulai kelihatan ketika aku
keluar dari hutan. Semua atap tertutup lapisan salju tipis.
Tanah sama suramnya dengan langit. Semua pondok tampak
gelap. Segala sesuatu serba kelabu. Aku berada di dunia yang dingin dan kelabu.
Aku membuka pintu pondok pertama yang kulewati. "Hei - aku
butuh bantuan!" seruku.
Aku memandang ke sebuah ruangan kosong.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada barang maupun pakaian yang
berserakan. Pandanganku beralih ke tempat tidur tingkat yang dirapatkan ke
dinding. Selimut, seprai - bahkan kasur - semuanya telah diangkat.
Rupanya pondok ini tidak dipakai, pikirku.
Aku keluar lagi, lalu berlari menyusuri deretan pondok.
Semuanya gelap dan sunyi.
Pondokku sendiri terletak di kaki bukit. Sambil menarik napas
lega, aku bergegas menghampirinya dan membuka pintu.
"Briana" Meg?"
Kosong. Dan gelap. Kasur-kasur telah diangkat. Poster-poster telah dicopot. Tak ada
pakaian. Tak ada tas atau ransel.
Tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini pernah dihuni manusia.
"Di mana kalian?" aku berseru.
Lalu, "Di mana aku?"
Di mana barang-barangku" Di mana tempat tidurku"
Aku memekik ketakutan dan berlari keluar.
Dingin. Begitu dingin. Aku berlari menembus hawa dingin
dengan baju renangku yang basah.
Aku melewati seluruh bumi perkemahan. Aku membuka pintu
demi pintu. Aku mengintip ke pondok demi pondok. Aku memanggil-
manggil siapa saja yang bisa menolongku.
Aku masuk ke gedung utama. Teriakanku bergema dari langit-
langit yang tinggi. Rasanya sih begitu. Tapi jangan-jangan suaraku sama sekali
tidak keluar" Kenapa aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri"
Aku menyerbu ke ruang makan. Bangku-bangku kayu yang
panjang telah ditumpuk-tumpuk di atas meja. Dapur tampak gelap dan kosong.
Kenapa jadi begini" aku bertanya-tanya dengan tubuh
gemetaran, Ke mana mereka semua" Kenapa mereka pergi" Bagaimana
mungkin mereka pergi begitu cepat" Dan mana mungkin sekarang
sudah turun salju" Aku kembali ke luar. Gumpalan-gumpalan kabut kelabu
melayang rendah di atas permukaan tanah. Aku merangkul diri sendiri supaya lebih
hangat. Aku jadi ngeri dan bingung. Aku berjalan dari satu bangunan ke
bangunan berikut. Rasanya seperti berenang, berenang dalam kabut
tebal. Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Sebuah suara. Suara anak cewek.
Ia sedang bernyanyi. Bernyanyi dengan suara melengking.
"Aku tidak sendirian!" seruku.
Aku mendengarkan nyanyiannya. Lagunya sedih dan
dilantunkan dengan lembut.
Dan kemudian aku memanggilnya, "Di mana kau" Aku tidak
bisa melihatmu! Di mana kau?"
Chapter 16 KUIKUTI suara itu sampai ke gedung utama. Di sana aku
melihat seorang anak cewek duduk di tangga teras yang terbuat dari kayu.
"Hei!" seruku. "Hei! Dari tadi kucari-cari! Kau bisa menolongku?"
Ia terus bernyanyi, seakan-akan tidak melihatku. Ketika aku
mendekat, aku sadar bahwa ia sedang rnenyanyikan lagu kebesaran
Camp Cold Lake dengan suaranya yang kecil.
Rambutnya panjang dan berwarna pirang hampir putih.
Wajahnya cantik, halus, dan pucat. Pucat sekali.
Ia mengenakan T-shirt putih tanpa lengan dan celana pendek
yang juga berwarna putih. Butir-butir salju masih terus berjatuhan.
Aku menggigil, tapi tampaknya ia tidak kedinginan.
Ia bernyanyi sambil mengayunkan kepala ke kiri-kanan.
Matanya yang biru menatap langit.
Aku menghampirinya sambil menepis butir-butir salju dari
keningku. Ia baru berpaling padaku setelah lagunya selesai.
Kemudian ia tersenyum. "Hai, Sarah." Suaranya lembut sekali.
"D-dari mana kautahu namaku?" aku tergagap-gagap.
Senyumnya bertambah lebar. "Aku sudah menunggumu,"
jawabnya. "Namaku Della."
"Della - aku kedinginan sekali," ujarku.
Ia bangkit. Berbalik. Dan mengeluarkan sesuatu dari balik
tangga. Jubah mandi berwarna putih.
Ia merentangkannya dan menaruhnya di pundakku yang
gemetaran. Tangannya begitu ringan. Sentuhannya nyaris tak terasa.
Ia membantuku mengikat tali pinggang. Kemudian ia mundur
dan kembali tersenyum. "Aku sudah menunggumu, Sarah," katanya.
Suaranya pelan sekali, bagaikan bisikan angin.
"Apa?" seruku. "Menunggu...?"
Ia mengangguk. Rambutnya berkibar-kibar setiap kali ia
menggerakkan kepala. "Aku tidak bisa pergi tanpamu, Sarah. Aku perlu pasangan."
Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Mana yang lainnya?" aku berseru. "Ke mana mereka" Kenapa cuma kita yang ada di
sini?" Aku menyeka sebutir salju yang
menempel di alisku. "Della, kenapa tiba-tiba sudah musim dingin?"
"Kau mau jadi pasanganku - ya kan, Sarah?" Ia menatapku
dengan matanya yang biru. Rambutnya seakan-akan bercahaya di
sekeliling wajahnya yang pucat.
Aku mengedipkan mata. "Aku tidak mengerti," ujarku. "Tolong jawab pertanyaanku."
"Kau mau berpasangan denganku, kan?" ia bertanya sekali lagi, sambil menatapku
dengan pandangan memohon. "Sudah begitu lama aku menunggu seseorang yang mau
berpasangan denganku, Sarah.
Lama sekali." "Tapi, Della..."
Ia mulai bernyanyi lagi. Aku memasukkan tangan ke saku jubah mandi. Aku menggigil.
Aku tetap kedinginan. Tubuhku terus gemetaran.
Kenapa ia begitu sedih saat menyanyikan lagu kebesaran Camp
Cold Lake" Kenapa ia tidak mau menjawab pertanyaanku" Dari mana ia
tahu namaku" Dan kenapa ia bilang bahwa ia sudah menungguku"
"Della, tolonglah...," aku mencoba membujuk.
Sambil terus bernyanyi ia melayang ke teras gedung utama.
Rambutnya berkilau keemasan dalam cahaya yang suram. Gumpalan-
gumpalan kabut bergeser sedikit setiap kali ia bergerak.
"Oh!" aku memekik ketika sadar pandanganku bisa menembus tubuhnya.
"Della?" Ia melayang ke teras sambil mengayunkan kepala ke kiri dan ke
kanan, seirama dengan lagu yang dinyanyikannya.
"Della...?" Ia terdiam dan kembali tersenyum padaku. Butir-butir salju
tersangkut di rambutnya yang pirang. Ia masih dikelilingi kabut.
"Sarah, mulai sekarang kau pasanganku," ia berbisik. "Aku butuh pasangan. Setiap
orang di Camp Cold Lake perlu pasangan."
"Tapi - tapi kau sudah mati!" seruku.
Della sudah mati, aku baru sadar.
Dan aku pasangannya. Berarti.... Berarti aku sendiri juga sudah mati!
Chapter 17 DELLA melayang-layang di atasku. Rambutnya berkibar-kibar
karena tiupan angin. "Kau sudah mati," aku bergumam. "Dan aku juga." Aku langsung merinding ketika
mengucapkan kata-kata itu.
Aku mulai paham. Aku mulai mengerti apa yang telah terjadi.
Rupanya Della tenggelam di sini, di danau ini.
Itulah sebabnya semua orang di perkemahan begitu serius soal
peraturan keselamatan di air.
Pantas saja Liz selalu berceramah panjang-lebar. Pantas saja
daftar peraturannya begitu panjang. Pantas saja para pembina selalu menekankan
bahwa semua peserta kemah harus berpasang-pasangan
di danau. Soalnya Della tenggelam di sini.
Dan sekarang aku menjadi pasangannya.
Aku jadi pasangannya - karena aku juga tenggelam.
"Ahhhhhhhh!" Aku memekik panjang. Aku tidak mau percaya.
Aku mendongak dan meraung-raung bagaikan hewan. Aku
meraung-raung untuk melampiaskan kesedihanku.
Della memperhatikanku sambil terus melayang-layang. Ia
menunggu aku tenang. Ia tahu apa yang sedang kupikirkan. Ia tahu
aku sudah memahami seluruh kejadian ini.
Ia menunggu dengan sabar. Sudah berapa lama ia menungguku"
Menunggu seseorang sebagai pasangannya" Pasangan yang sama-
sama sudah mati" Sudah berapa lama ia menunggu gadis malang lainnya
tenggelam" "Tidak!" aku mengerang. "Aku tidak mau, Della! Aku tidak mau jadi pasanganmu!
Tidak mau!" Aku berbalik. Saking peningnya kepalaku, aku nyaris terjatuh.
Langsung saja aku kabur. Jubah mandiku terbuka dan
mengepak-ngepak bagaikan sepasang sayap ketika aku lari menjauhi
Della. Dengan kaki telanjang aku melintasi salju di tanah. Menembus
gumpalan kabut. Menerobos suasana yang serbakelabu.
"Jangan pergi, Sarah!" aku mendengar Della memanggil.
"Kembalilah! Kau harus jadi pasanganku! Aku terperangkap di sini.
Arwahku tidak bisa meninggalkan perkemahan - aku tidak bisa masuk
ke duniaku yang baru - sebelum aku dapat pasangan!"
Tapi aku tidak berhenti. Aku terus berlari melintasi
perkemahan. Melewati pondok-pondok. Melewati gudang persediaan
di tepi hutan. Aku terus menjauhi suara Della yang begitu menyeramkan.
Aku tidak mau jadi pasangannya, aku berkata dalam hati. Aku
tidak mau jadi hantu! Aku menerobos hujan salju. Menyusup di antara pohon-pohon
gundul tanpa daun yang berderak-derak. Berlari tanpa menoleh ke
belakang. Aku baru berhenti setelah sampai di tepi danau. Aku baru
berhenti setelah kakiku terbenam dalam air danau yang dingin.
Air yang dingin dan suram.
Aku megap-megap. Dadaku serasa terbakar, seakan-akan mau
meledak. Aku menoleh dengan napas tersengal-sengal - dan melihat
Della melayang di antara pohon-pohon. Ia melayang ke arahku.
Matanya bersinar-sinar bagaikan api biru.
"Kau tidak bisa pergi tanpa aku, Sarah!" ia berseru. "Kau tidak bisa pergi!"
Aku berpaling darinya. Berpaling ke arah air. Dadaku.
Kepalaku. Semuanya terasa sakit. Aku tidak bisa bernapas. Dadaku sudah mau meledak.
Aku terjatuh ke lumpur. Dan keadaan serbakelabu di sekelilingku berubah menjadi
hitam pekat. Chapter 18 TITIK-TITIK cahaya yang terang benderang tampak menari-
nari di atasku. Aku teringat kunang-kunang yang beterbangan di lapangan
rumput pada malam hari. Titik-titik itu semakin terang. Bulat, seperti berkas cahaya
senter. Semakin terang. Hingga aku seolah tengah menatap bola emas yang berkilauan.


Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengedipkan mata. Baru setelah beberapa lama aku akhirnya sadar bahwa aku
sedang menatap matahari. Aku memalingkan wajah. Tiba-tiba aku merasa berat. Aku bisa merasakan tanah di
bawahku. Aku bisa merasakan bobot tubuhku yang ditopang oleh
tanah. Tubuhku. Tubuhku kembali seperti semula.
Aku mengerang. Sesuatu bergerak di atasku.
Aku berkedip beberapa kali. Dan melihat Liz.
Wajahnya merah. Tampangnya tegang.
"Ohhh," Aku mengerang ketika ia menekan dadaku dengan dua tangan. Ia melepaskan
tangannya, lalu kembali menekan.
Aku merasakan air mengalir dari mulutku yang terbuka.
Aku terbatuk-batuk. Semakin banyak air mengalir lewat
daguku. "Dia mulai siuman," Liz berkata. Sekali lagi dadaku ditekannya keras-keras. "Dia
selamat!" Liz berseru.
Di belakangnya terlihat kaki-kaki telanjang. Baju-baju renang.
Anak-anak peserta perkemahan.
Aku kembali mengerang. Liz terus menanganiku dengan cara
yang sama. Aku sadar aku telentang di tanah. Aku telentang di tepi danau.
Liz sedang memberi napas buatan padaku.
Aku dikelilingi anak-anak. Mereka semua menonton. Menonton
Liz menyelamatkan nyawaku.
"Aku - SELAMAT!" Kata itu terlontar dengan nyaring dari
tenggorokanku. Aku duduk tegak. Dan memandang berkeliling.
Semuanya sudah kembali! aku menyadari. Sekarang sudah
musim panas lagi. Pohon-pohon kelihatan hijau. Matahari bersinar
cerah. Dan semuanya sudah kembali. Termasuk aku!
Liz menghela napas, lalu berlutut di sampingku. "Sarah, kau
tidak apa-apa?" ia bertanya dengan napas terengah-engah.
"Kurasa aku baik-baik saja," aku bergumam.
Mulutku terasa masam. Kepalaku masih agak pusing.
Beberapa anak di belakang Liz bersorak-sorai dan bertepuk
tangan. "Kami sempat kuatir kau celaka." Liz mendesah. "Napasmu berhenti. Wah, seram
sekali!" Dua pembina lain membantuku berdiri. Aku menggoyangkan
kepala untuk mengusir rasa pusing. "Aku baik-baik saja!" seruku.
"Berkat kau, Liz. Kau - kau menyelamatkanku."
Aku memeluk Liz. Kemudian aku berbalik dan memeluk
Aaron. Briana dan Meg berdiri di dekatku. Keduanya kaget ketika
mereka pun kupeluk. Aku begitu gembira karena masih hidup! Aku begitu gembira
karena bisa lolos dari musim dingin yang serbakelabu. Dan lolos dari si gadis
hantu di bumi perkemahan yang kosong.
"Sarah - apa yang terjadi?" Liz bertanya sambil menaruh
sebelah tangan ke pundakku yang masih basah. Dengan lembut ia
menyibakkan rambutku. "Aku tidak tahu," sahutku. "Aku benar-benar tidak tahu."
Liz gemetaran. "Ketika napasmu berhenti, aku... aku ketakutan sekali."
"Aku sudah tidak apa-apa sekarang," ujarku sambil tersenyum.
"Berkat kau." "Dia cuma mau cari perhatian," aku mendengar seseorang
bergumam. Aku langsung menoleh - dan melihat Jan berbisik-bisik kepada
anak cewek di sebelahnya. "Sekarang semua orang harus merasa kasihan padanya,"
Jan mencemooh. "Kita semua harus bersikap lebih ramah padanya."
Aku sakit hati. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu
kepada Jan. Tapi aku begitu gembira karena aku bisa kembali, karena aku
bisa selamat, sehingga aku diam saja.
Aku memegang pundak Aaron yang lalu mengantarku ke
pondokku. "Aku akan menikmati sisa liburan ini," aku berkata kepada adikku.
"Sungguh." Petugas P3K memeriksaku dengan saksama. Setelah itu aku
beristirahat sepanjang sore. Aku tidur lama sekali.
Perutku terasa sangat lapar ketika aku bangun. Baru sekarang
aku sadar bahwa aku belum makan apa-apa dari pagi.
Langsung saja aku memakai celana jeans dan sweter seragam
perkemahan, lalu menuju ke api unggun. Bau hot dog dan hamburger
tercium jelas ketika aku menuju lapangan di tepi hutan.
Richard menyambutku. "Sarah, kau sudah segar lagi!" ia
berseru. "Aku sudah dengar tentang... tentang apa yang terjadi di danau tadi
siang...." "Aku sudah tidak apa-apa sekarang," ujarku.
"Hei - jangan sampai kejadian seperti itu terulang lagi," ia menegurku. "Atau kau
akan kusuruh berenang di kolam balita saja."
"Aku akan lebih hati-hati," aku berjanji.
"Sebaiknya begitu - soalnya di sini tidak ada kolam balita!"
Richard berkelakar. Aku tertawa. "Duduklah," ia berkata sambil menunjuk batang-batang kayu yang disusun mengitari
api unggun. "Ayo, semuanya duduk!" ia berseru. "Kita mengadakan pertemuan dulu
sebelum makan!" Sebagian besar peserta telah mengambil tempat. Aku
memandang berkeliling untuk mencari tempat kosong.
"Sarah...?" sebuah suara memanggilku.
"Sarah - sebelah sini."
Aku memekik kaget ketika aku melihat Della. Della. Ia duduk
sendirian di batang kayu di dekat tepi hutan. Rambutnya yang pirang berkilau-
kilau. Cahaya senja yang kemerahan menembus tubuhnya. "Ohhh!"
aku mengerang. "Kemarilah, Sarah!" Della memanggil. "Ayo - temani aku. Kita kan berpasangan!"
Chapter 19 AKU menempelkan tangan ke pipi dan menjerit sejadi-jadinya.
"Tidak mungkin! Kau tidak mungkin di sini!" aku memekik.
"Kau hantu! Tempatmu bukan di sini! Aku masih hidup! Aku masih hidup!"
Aku berbalik dan melihat Richard dan Liz bergegas ke arahku.
Aaron pun bangkit dan berlari menghampiriku dari seberang api
unggun. "Sarah - ada apa" Ada apa?" ia berseru.
"Masa kalian tidak melihatnya?" ujarku dengan suara
melengking. Aku menunjuk balok kayu di tepi hutan. "Dia hantu!
Tapi aku masih hidup!"
Liz segera merangkulku. "Tenang dulu, Sarah," ia berbisik.
"Kau tidak apa-apa."
"Tapi - tapi dia duduk di situ!" aku tergagap-gagap. Semuanya menoleh ke balok
kayu itu. "Tidak ada siapa-siapa di situ," ujar Richard. Ia menatapku sambil memicingkan
mata. "Kau masih bingung karena kejadian tadi," Liz berkata dengan lembut. "Itu wajar
saja." "Tapi - tapi...," aku tergagap-gagap.
Aku melihat Briana, Meg, dan Jan berkumpul sambil berbisik-
bisik. Mereka terus memperhatikanku.
Apa yang sedang mereka katakan tentang aku" aku bertanya
dalam hati. "Kau mau diantar ke pondok?" Richard menawarkan.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku lapar sekali!"
Liz tertawa. "Mungkin itu masalahmu. Saking laparnya kau
mulai melihat yang bukan-bukan. Ayo, biar kuambilkan hot dog
untukmu." Aku memang mulai merasa lebih enak setelah makan beberapa
potong hot dog. Pertemuan api unggun dibuka. Aku duduk bersama
beberapa anak cewek dari pondok lain.
Sementara Richard bicara, aku memperhatikan wajah para
peserta perkemahan yang tampak kemerahan karena memantulkan
cahaya api unggun. Kuamati semuanya satu per satu. Di mana Della"
Della si arwah penasaran....
Apakah ia masih di sini" Masih mengawasiku" Masih
menunggu agar aku berpasangan dengannya"
Aku duduk dengan tegang. Seluruh tubuhku terasa kaku.
Mataku mencari-cari wajahnya yang pucat.
Tapi ia telah lenyap. Untuk sementara. Liz menggantikan Richard di depan. Hampir semua peserta
mengeluh ketika ia mulai berceramah lagi tentang keselamatan di air.
"Kita mengalami kejadian yang tidak diinginkan hari ini," Liz berkata. "Salah
satu teman kita nyaris celaka."
Aku tahu semua orang langsung menoleh ke arahku. Wajahku
mendadak terasa panas. Aku menatap lidah api yang menari-nari.
Ketika aku menoleh, aku melihat Briana, Meg, dan Jan di balok
kayu sebelah. Mereka masih juga berbisik-bisik. Tentang aku"
"Peraturan keselamatan air sangat penting di Camp Cold Lake,"
kata Liz. "Di antara kalian ada yang menganggap bahwa banyaknya peraturan di
sini merupakan kutukan bagi Camp Cold Lake."
Ia berdiri sambil bertolak pinggang, menatap semua anak satu
per satu. "Tapi seperti yang kita lihat tadi sore," ia melanjutkan,
"Sistem Pasangan bukan kutukan - melainkan cara yang ampuh untuk menjaga
keselamatan." Sebuah wajah muncul di balik api unggun.
Aku menahan napas. Della! Bukan. Ternyata anak cewek dari pondok lain yang mau
mengambil makanan lagi. Aku menarik napas lega. Aku harus pergi dari sini, ujarku dalam hati. Aku takkan bisa
bergembira di sini. Aku pasti waswas terus karena terbayang-bayang wajah Della.
Liz kembali menjelaskan semua peraturan.
Richard membacakan beberapa pengumuman. Lalu semua
bernyanyi bersama. Sehabis acara api unggun, aku langsung bangkit dan menuju ke
pondokku. Aku baru berjalan beberapa langkah ketika terdengar suara langkah di
belakangku. Aku juga mendengar seseorang memanggil
namaku. Jangan-jangan si hantu"
Aku menoleh dan melihat Aaron berlari menyusulku. "Kenapa
kau jerit-jerit tadi?" ia bertanya. "Kau benar-benar percaya kau melihat hantu?"
"Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?" aku menyahut
ketus. Aku terus menyusuri jalan setapak dengan langkah-langkah
panjang. "Paling-paling kau cuma menertawakan aku nanti."
"Coba dulu," kata Aaron. "Aku takkan tertawa deh. Aku janji."
"Aku melihat anak cewek yang sudah jadi hantu," aku
memberitahunya. "Sungguh. Dia memanggilku. Dia ingin aku menjadi pasangannya."
Aaron tertawa. "Ah, yang benar saja. Jangan bercanda, dong."
"Aku serius!" seruku. "Aku mau pergi dari sini, Aaron. Aku harus pergi. Aku
harus cari telepon untuk menghubungi Mom dan
Dad. Malam ini juga. Aku akan menelepon mereka dan minta
dijemput." "Jangan!" sahut Aaron. Ia meraih lenganku dan memaksaku berhenti. Anak-anak lain
mulai menoleh ke arah kami.
"Mom dan Dad pasti tidak mau dua kali kemari. Kalau kau
menelepon mereka, aku pasti disuruh pulang sekalian," Aaron
memprotes. "Padahal aku tidak mau pulang. Aku senang di sini!"
"Kau tidak mengerti," kataku. "Aku tidak bisa tinggal di sini.
Aku tidak..." "Tolong dong, Sarah," ia memohon. "Coba lagi, deh. Kau masih bingung karena
kejadian di danau tadi sore. Tapi sebentar lagi kau pasti sudah lupa."
Aku tidak bilang ya, aku juga tidak bilang tidak.
Aku cuma mengucapkan selamat malam kepada Aaron lalu
menuju ke pondokku. Aku berhenti di depan pintu. Semua lampu masih menyala. Aku
mendengar Briana, Meg, dan Jan mengobrol pelan-pelan.
Ketiga-tiganya langsung mendelik ketika aku masuk. Wajah
mereka tegang dan tiba-tiba mereka bergerak dengan cepat.
Dalam sekejap saja aku sudah terkepung.
"Ada apa ini?" aku berseru. "Kalian mau apa?"
Chapter 20 "KAMI mau minta maaf," ujar Briana.
"Kami memang agak keterlaluan selama ini," Jan
menambahkan dengan suaranya yang parau. "Kami menyesal."
"Kami sempat membahas masalah ini," kata Briana. "Kami..."
"Kami merasa kami tidak adil padamu," Meg menyela.
"Maafkan kami, Sarah."
Ini benar-benar di luar dugaanku. Saking terkejutnya, aku nyaris
tidak bisa berkata apa-apa.
"Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi?" Briana
mengusulkan. Ia meraih tanganku. "Mari berkenalan, Sarah. Namaku Briana."
"Yeah. Kita mulai dari awal!" seru Jan.
"Thanks. Aku senang sekali," kataku. Dan aku memang
bersungguh-sungguh. Jan berpaling kepada Briana. "Kapan kau mencat kuku seperti
itu?" Briana tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan.
Kukunya berwarna ungu cerah. "Ini warna baru," katanya. "Aku mencat kuku sehabis
berenang tadi." "Warna apa sih itu?" tanya Meg.
"Grape Juice, kalau tidak salah," sahut Briana. "Nama cat kuku selalu aneh-
aneh." Ia mengeluarkan sebotol kuteks dari tas dan menyerahkannya padaku. "Mau
coba?" "Ehm... boleh," jawabku.
Kami berempat tidak peduli bahwa waktu untuk mematikan
lampu telah lewat. Kami terlalu asyik mencat kuku.
Beberapa saat kemudian aku berbaring di tempat tidur sambil
tersenyum. Aku telah mendapat tiga orang teman.
Mereka benar-benar membuatku gembira.
Tapi senyumku langsung meredup ketika aku mendengar
bisikan dalam gelap. "Sarah... Sarah...." Aku menahan napas.
Tahu-tahu suara perlahan itu sudah begitu dekat... begitu dekat
dengan telingaku. "Sarah. Kukira kita berpasangan, Sarah. Kenapa kau
meninggalkanku?" "Jangan - jangan...," aku memohon.
"Sarah, aku sudah menunggu begitu lama," suara seram itu berbisik. "Ikutlah
denganku. Ikutlah denganku, Sarah...."
Dan tiba-tiba pundakku digenggam tangan yang sedingin es.
Chapter 21 "OHHH!" Aku langsung duduk tegak. Dan menatap mata Briana yang
gelap. Ia melepaskan pundakku dari pegangannya.
"Sarah" Ada apa" Kau merintih-rintih tadi."
"Hah" Apa?" Suaraku gemetar. Jantungku berdegup kencang.
Aku bermandikan keringat.


Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau merintih-rintih," Briana mengulangi. "Jadi kupikir lebih baik kau
dibangunkan saja." "Ehm... terima kasih," ujarku. "Mungkin gara-gara mimpi buruk."
Briana mengangguk dan kembali ke tempat tidurnya.
Aku tidak bergerak. Aku terus duduk sambil menatap kegelapan
di sekelilingku. Mimpi buruk" Rasanya bukan.... Ebukulawas.blogspot.com ******************** "Kau tidak perlu ikut acara renang jarak jauh hari ini," Liz memberitahuku waktu
sarapan keesokan pagi. Ia membungkuk di
belakangku ketika aku sedang melahap cornflakes. Aku bisa mencium bau pasta gigi
yang segar. "Ehm...." Aku terdiam. "Seberapa jauh kita harus berenang?"
"Kita berenang sampai ke tengah danau," jawab Liz. "Sampai ke tengah, lalu
kembali lagi. Aku akan naik perahu ke tengah.
Jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi kalau kau ragu-ragu..."
Aku menaruh sendok. Aku melihat Meg dan Briana
memperhatikanku dari ujung meja. Di sampingku, Jan sedang
berjuang untuk menelan wafel beku yang setengah matang.
"Ayolah. Ikut saja," Briana mendesak.
"Biar aku yang jadi pasanganmu," kata Jan. "Aku akan berenang bersamamu, Sarah."
Aku teringat kejadian mengerikan di perahu dayung. Aku
kembali teringat bagaimana Jan terjun ke air. Ia membalikkan perahu, dan
meninggalkanku seorang diri.
Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kami sudah
berteman. Aku harus melupakan kejadian di perahu dayung. Aku
harus melupakan bahwa perkenalan kami pada awalnya kurang mulus.
"Oke," kataku. "Thanks, Jan. Aku akan berpasangan
denganmu." Aku berpaling kembali pada Liz. "Aku siap ikut berenang."
Matahari pagi masih rendah di langit, dan berulang kali tertutup
awan kelabu. Setiap kali matahari menghilang, udara langsung
sedingin air danau. Dan air danau benar-benar dingin pada pagi hari!
Ketika aku melangkah ke air, aku mendadak sadar kenapa
danau itu dinamakan "Cold Lake" alias Danau Dingin.
Para peserta tampak enggan memasuki air. Semuanya
menggigil dan mengeluh. Aku pun berhenti di air sedalam mata kaki dan menunggu
sampai aku terbiasa dengan dinginnya air.
Aku menoleh ketika mendengar suara perahu motor. Liz sedang
menuju ke tempatnya di tengah danau. Begitu sampai, ia langsung
mematikan mesin. Kemudian ia meraih megafon.
"Ayo, pemanasan dulu semuanya!" ia memberi instruksi.
Kami malah tertawa. "Pemanasan" Bagaimana caranya"
Udaranya begitu dingin!"
Dua anak cewek di bagian tepi mulai saling menciprat.
"Hei, stop! Ih, dingiiin!" salah satu dari mereka memekik.
Aku maju beberapa langkah lagi sambil merapikan baju
renangku yang berwarna biru. "Mestinya kita pakai baju penyelam,"
kataku kepada Jan. Ia mengangguk, lalu maju ke air sedalam pinggang. "Ayo,
Sarah. Kita tidak boleh berpencar." Ia memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Aku menarik napas dalam-dalam - dan terjun ke dalam air.
Hawa dingin menyerang dari segala arah. Tapi aku tetap
meluncur di bawah permukaan dan berenang beberapa meter.
Kemudian aku menyembulkan kepala dan berpaling kepada Jan.
"Tukang pamer," ia bergumam. Ia mencelupkan kedua tangan ke dalam air.
Aku tertawa. "Segar, kok!" seruku sambil menyibakkan
rambutku yang basah. "Ayo, terjun saja. Kau bakal lebih cepat terbiasa."
Jan mengikuti saranku. Sebagian besar peserta sudah berada di
dalam air sekarang. Ada yang berenang berputar, ada yang
mengapung, ada juga yang menggerakkan kaki seperti mengayuh
sepeda. "Silakan ambil posisi semuanya!" Liz memberi aba-aba dari perahunya. Suaranya
terdengar keras sekali dan memantul pada
pepohonan di belakang kami. "Berbaris dua-dua! Ayo, cepat!"
Kami butuh waktu agak lama sebelum semuanya siap. Jan dan
aku berada di baris kedua.
Pasangan pertama berangkat, dua anak cewek. Yang satu
berenang dengan mantap, yang satu lagi membuat air bercipratan ke segala arah.
Yang lainnya bersorak-sorai untuk memberi semangat kepada
mereka. Jan dan aku menunggu sekitar dua menit. Kemudian kami
menyusul. Aku berusaha meniru gaya renang anak cewek yang pertama.
Aku tidak ingin kelihatan serbakikuk. Aku tahu aku diperhatikan
semua anak lain. Tapi terus terang saja, sampai kapan pun aku tak bakal jadi
perenang kelas Olimpiade.
Jan segera menduluiku. Sambil berenang, ia berulang kali
menoleh ke belakang untuk memastikan aku tidak ketinggalan terlalu jauh.
Titik untuk berbalik arah terletak di dekat perahu motor Liz.
Aku terus menatap titik itu sementara aku berjuang untuk mengikuti Jan. Rasanya
jauh sekali! Jan berenang semakin cepat. Lenganku mulai pegal, padahal
aku masih lumayan jauh dari perahu.
Huh, ternyata kondisiku payah betul, aku berkata dalam hati.
Mulai sekarang aku harus lebih sering berolahraga.
Perahu Liz berayun-ayun di hadapan kami. Liz sedang
menyerukan sesuatu melalui megafon. Tapi aku tidak bisa
mendengarnya karena suara percikan air di sekelilingku.
Jan semakin jauh. "Hei - jangan cepat-cepat!" aku berseru. Tapi ia tidak mungkin mendengarku.
Aku mengabaikan rasa pegal di lenganku dan berusaha
mengejar Jan. Aku mengayunkan kaki lebih keras, sehingga air pun
bercipratan ke segala arah.
Matahari kembali menghilang di balik awan tebal. Langit
menjadi gelap, dan air danau langsung bertambah dingin.
Aku sudah hampir sampai di perahu yang dinaiki Liz.
Pandanganku tertuju pada Jan. Aku memperhatikan ayunan kakinya
yang berirama. Rambutnya mengapung di permukaan air, bagaikan
sejenis makhluk penghuni laut.
Kalau Jan berbalik, aku juga ikut, pikirku.
Aku berenang sedikit lebih cepat. Ayo, balik dong, aku berkata
dalam hati. Perahu Liz sudah lewat.
Kami sudah boleh berbalik.
Tapi di luar dugaanku, Jan terus mengayunkan tangan dan
berenang lurus ke depan. Kepalanya terbenam. Lengannya bergerak
dengan ringan dan anggun, dan aku tertinggal semakin jauh.
Jan...?" Lenganku sudah berat sekali. Dadaku serasa terbakar.
"Hei, Jan - kita sudah boleh balik!"
Ia terus berenang. Aku mengerahkan segenap tenaga untuk menyusulnya. "Jan,
tunggu...," aku berseru. "Kita harus balik!"
Ia berhenti. Apakah ia mendengarku"
Napasku terengah-engah ketika aku menghampirinya.
Ia berpaling padaku. "Jan...?" Aku memekik tertahan.
Bukan. Bukan Jan. Ternyata bukan Jan. Ternyata Della!
Matanya yang biru tampak berseri-seri ketika ia
mengembangkan senyum. "Ayo, berenang,terus, Sarah," bisiknya. "Kita harus berenang lebih jauh. Dan
lebih jauh lagi. Kau sudah jadi pasanganku sekarang."
Chapter 22 IA meraih lenganku. Aku berusaha membebaskan diri, dan hampir berhasil
melepaskan lenganku yang basah dari genggamannya.
Tapi kemudian ia mencengkeram pergelangan tanganku, dan
menariknya keras-keras. "Aduh!" Ia cukup kuat. Kuat sekali malah, untuk anak cewek yang
tampak begitu rapuh. Maksudku, hantu yang tampak begitu rapuh. "Lepaskan aku!"
aku memekik. Aku meronta-ronta. Menendang-nendang. Menggeliat-geliut
dan berputar-putar. "Della - aku tidak mau ikut denganmu!"
Aku berbalik - dan berhasil melepaskan diri. Kepalaku
terbenam dalam air. Terbatuk-batuk aku mengangkat kedua tangan
dan naik ke permukaan. Di mana Della"
Di mana" Apakah ia persis di belakangku" Apakah ia sudah siap
menyeretku ke tengah danau, supaya aku tidak bisa berenang ke tepi"
Dengan kalang kabut aku memandang ke segala arah.
Awan-awan di atas seakan-akan melintas dengan kecepatan
tinggi. "Sarah... Sarah...?" Apakah ia memanggilku" Kenapa aku tidak bisa melihatnya"
Aku kembali berbalik. Pandanganku tertuju pada perahu motor.
Ya. Perahu motor. Tanpa menghiraukan jantungku yang berdetak kencang, tanpa
mempedulikan lenganku yang pegal, aku mulai melesat maju.
Aku harus mencapai perahu sebelum... sebelum Della kembali
menyeretku. Aku mengerahkan segenap tenagaku yang masih tersisa untuk
berenang ke perahu motor. Tanganku menjangkau... menjangkau...
Dan berhasil meraih pinggiran perahu. Terbatuk-batuk aku
berusaha naik. "Liz - tolong!" aku memohon dengan suara parau. "Liz - bantu aku naik!"
Matahari muncul dari balik awan. Aku menatap cahaya
keemasan yang menyilaukan. "Liz - tolong...."
Aku melihat sepasang tangan terulur ke arahku. Ia
membungkuk untuk menarikku naik ke perahu.
Ia mencondongkan badan ke depan. Dan menarikku ke atas.
Mataku berkedip-kedip ketika aku menatap wajahnya.
Tidak! Yang kulihat bukan wajah Liz!
Tapi wajah Della! Della - Della yang menarikku naik ke perahu. "Ada apa,
Sarah?" ia berbisik sambil menarikku. "Jangan kuatir, Sarah. Kau tidak apa-apa."
Chapter 23 "LEPASKAN aku!" aku menjerit.
Aku membebaskan diri dari pegangannya. Mataku berkedip-
kedip karena silau. Dan kemudian aku melihat wajah Liz di hadapanku.
Bukan wajah Della, tapi wajah Liz. Wajahnya berkerut-kerut
karena cemas. "Sarah, kau tidak apa-apa," ia berkata sekali lagi.
"Tapi...." Aku menatapnya dengan mata terbelalak. Kusangka wajahnya akan berubah
lagi. Kusangka ia akan menjelma kembali
sebagai Della. Mungkinkah aku salah lihat tadi" Mungkinkah aku salah lihat
karena silau akibat sinar matahari"
Aku menghela napas dan membiarkan diriku ditarik naik.
Aku berlutut di perahu yang terayun-ayun. Liz menatapku
sambil memicingkan mata. "Apa yang terjadi?" ia bertanya.
Sebelum aku sempat menjawab, aku mendengar bunyi gemercik
di samping perahu. Della" Aku langsung diam seperti patung.
Ternyata bukan. Jan memanjat ke perahu. Ia menyibakkan
rambutnya yang basah. "Sarah - kau tidak mendengarku memanggil-manggil tadi?" ia
bertanya. "Jan, aku tidak melihatmu. Kupikir kau..." Suaraku tersekat di tenggorokan.
"Kenapa kau meninggalkanku?" tanya Jan. "Kita kan harus berpasangan!"
Liz mengantarku ke tepi danau. Aku berganti baju, lalu
menemui Richard. Ia berada di ruang kerjanya, sebuah ruangan kecil di gedung
utama. Ia sedang duduk sambil menaikkan kaki ke meja dan
menggigit-gigit tusuk gigi.
"Hei, Sarah - ada apa, nih?" Ia tersenyum ramah dan memberi isyarat agar aku duduk
di kursi lipat di depan mejanya.
Aku sadar bahwa ia mengamatiku dengan saksama.
"Aku dengar ada sedikit masalah lagi di danau," katanya dengan lembut. Tusuk
gigi di mulutnya berpindah dari sudut kiri ke sudut kanan. "Ada apa sebenarnya?"
Aku menarik napas dalam-dalam.
Apakah aku harus berterus terang bahwa aku diikuti arwah
seorang gadis" Arwah penaasaran yang menginginkan aku sebagai
pasangannya" Richard pasti akan menganggap aku sudah gila, aku berkata
dalam hati. "Kau mengalami kejadian yang sangat mengejutkan kemarin,"
ujar Richard. "Kami sempat menyangka kau tenggelam."
Ia menurunkan kaki dari meja dan mencondongkan badan ke
arahku. "Barangkali kau terlalu cepat kembali ke danau," katanya.
"Barangkali kau seharusnya menunggu dulu."
"Mungkin juga," aku bergumam.
Dan kemudian aku melontarkan apa yang selama ini
menghantui pikiranku. "Richard, tolong ceritakan tentang anak perempuan yang
tenggelam di sini." Richard langsung melongo. "Hah?" Tusuk giginya sampai jatuh ke pangkuannya.
"Aku tahu bahwa ada anak perempuan yang tenggelam di sini,"
aku berkeras. "Aku ingin tahu apa yang terjadi."
Richard menggelengkan kepala. "Belum pernah ada anak
perempuan yang tenggelam di Camp Cold Lake," jawabnya. "Belum pernah."
Aku tahu ia bohong. Aku punya bukti. Aku telah melihat Della. Dan aku bahkan
sempat bicara dengannya. "Richard...," aku memohon. "Aku perlu tahu. Tolong ceritakan tentang dia."
Ia mengerutkan kening. "Kenapa kau tidak percaya, Sarah" Aku tidak bohong. Belum
pernah ada peserta perkemahan yang tenggelam
di sini. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan."
Di belakangku terdengar suara mendesah.
Aku melirik ke arah pintu yang terbuka - dan melihat Della
berdiri di situ. Aku kaget setengah mati. Serta-merta aku berdiri dan
menunjuk. "Richard!" aku memekik. "Itu anak perempuan yang kumaksud! Dia berdiri
di situ! Masa kau tidak melihatnya?"
Richard menoleh ke arah pintu. "Ya," katanya pelan. "Aku melihatnya."
Chapter 24 "HAH?" Aku memekik tertahan dan memegang tepi meja. "Kau melihatnya?" aku
berseru, "kau benar-benar melihatnya?"
Richard mengangguk. Raut mukanya serius. "Kalau itu bisa
membuatmu lebih tenang, Sarah, maka akan kubilang bahwa aku
melihatnya." "Tapi kau tidak benar-benar melihatnya?" aku mendesak.
Richard menggaruk-garuk rambutnya yang berwarna kuning
pasir. "Tidak. Aku tidak melihat apa-apa."


Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kembali berpaling ke ambang pintu. Della menatapku
sambil tersenyum lebar. "Duduklah," Richard berkata. "Kadang-kadang kita bisa dikelabui oleh daya khayal
kita sendiri. Terutama kalau kita baru saja mengalami sesuatu yang sangat
menakutkan." Aku tetap berdiri. Aku berdiri di depan meja Richard dan
menatap Della. Pandanganku menerobos tubuhnya yang tembus
pandang. "Aku tidak mengada-ada! Dia ada di situ!" aku berseru. "Dia berdiri di pintu,
Richard. Namanya Della. Dia tenggelam di danau
perkemahan ini. Dan sekarang dia berusaha membuatku celaka. Dia
ingin aku juga tenggelam!"
"Sarah - coba tenang dulu," Richard berkata dengan lembut. Ia berjalan mengitari
meja dan meletakkan sebelah tangan di pundakku.
Kemudian ia menggiringku ke pintu.
Aku berhadap-hadapan dengan Della.
Ia menjulurkan lidah padaku.
"Tuh. Tidak ada siapa-siapa, kan?" ujar Richard. "Tapi -
tapi...," aku tergagap-gagap.
"Bagaimana kalau kau tidak usah ke danau dulu selama
beberapa hari," Richard mengusulkan. "Kau bisa bersantai di perkemahan."
Della meniru ucapan Richard dengan gerakan bibir tanpa suara.
Aku memalingkan wajah. Della tertawa cekikikan. "Tidak pergi ke danau?" aku bertanya pada Richard.
Ia mengangguk. "Ya. Beristirahatlah selama beberapa hari. Aku yakin kau akan
merasa jauh lebih enak nanti."
Aku tahu cara itu takkan berguna. Aku tahu Della tetap akan
membuntutiku ke mana pun aku pergi untuk menjadikanku
pasangannya. Aku menghela napas. "Rasanya sih, percuma," ujarku.
"Kalau begitu aku ada ide lain," Richard berkata.
"Bagaimana kalau kaupilih olahraga baru, olahraga yang belum kaucoba, Sarah"
Sesuatu yang benar-benar sulit. Ski air, misalnya."
"Aku tidak mengerti," sahutku. "Untuk apa?"
"Karena kau akan begitu sibuk sehingga tidak sempat
memikirkan soal hantu."
Aku geleng-geleng. "Yeah. Pasti," ujarku sinis.
"Aku cuma mau membantu," ujar Richard dengan ketus.
"Ehm... terima kasih," jawabku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. "Kurasa
sudah waktunya makan siang."
Aku meninggalkan ruang kerjanya yang sempit. Setelah berada
di luar, aku menarik napas dalam-dalam. Udaranya jauh lebih sejuk di sini.
Aku menuju ke bangsal utama di bagian depan. Tapi ketika aku
sedang menyusuri lorong, aku kembali mendengar suara Della di
belakangku. "Kau takkan bisa lolos, Sarah. Kau pasanganku. Percuma saja
kau berusaha kabur. Kau akan selalu menjadi pasanganku."
Aku merinding ketika mendengar bisikan itu - yang diucapkan
begitu dekat dengan telingaku. Tiba-tiba aku kehilangan kendali diri.
"DIAM!" aku memekik. "DIAM! DIAM! DIAM - DAN
JANGAN GANGGU AKU LAGI!"
Aku berbalik untuk melihat apakah ia mendengarku.
Dan mataku langsung terbelalak lebar.
Chapter 25 BRIANA berdiri di belakangku.
Saking kagetnya, ia sampai melongo. "Oke, oke, aku pergi,
deh," katanya sambil mundur teratur. "Jangan marah-marah begitu, dong. Aku kan
cuma mau tanya bagaimana keadaanmu."
Aduh. Perasaanku langsung tidak enak.
Briana pasti mengira ia yang dicaci-maki olehku. "Aku -
aku...," aku tergagap-gagap.
"Kupikir kita berteman," kata Briana ketus. "Aku tidak bilang apa-apa tadi. Tapi
kau langsung membentak-bentak!"
"Bukan kau yang kuajak bicara tadi!" aku berusaha menjelaskan duduk perkaranya.
"Aku lagi bicara dengan dia!"
Aku menunjuk Della, yang bersandar pada dinding di belakang
kami. Della melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
Sinar matahari yang masuk lewat sebuah jendela terbuka
membuat rambut Della yang pirang tampak berkilauan. Jendela itu
tampak jelas lewat tubuhnya yang tembus pandang.
"Aku lagi bicara dengan dia!" ujarku sekali lagi. Briana menoleh ke arah
jendela, lalu mengerutkan kening.
Raut mukanya berubah jadi aneh sekali.
********************* Keesokan pagi aku makan telur dadar untuk sarapan. Kemudian
aku menuju ke dermaga. Jangan tanya kenapa aku memutuskan untuk mencoba ski air.
Aku sendiri tidak tahu sebabnya.
Bisa jadi aku melakukannya karena kasihan pada Aaron.
Semalam ia kembali memohon-mohon agar aku jangan menelepon
Mom dan Dad. Aaron betul-betul tidak mau pulang. Menurutnya inilah liburan
musim panas paling asyik yang pernah dialaminya.
Yeah, pikirku. Kau memang bisa menikmati liburan ini. Kau
tidak terus dibuntuti hantu ke mana pun kau pergi.
"Cobalah sekali lagi," Aaron membujuk.
Aku takkan pergi ke danau, aku berkata dalam hati. Aku akan
tetap di pondok dan membaca.
Tapi keesokan paginya aku sadar bahwa rencanaku tidak
sehebat yang kukira. Mana berani aku seorang diri di pondok sementara semua orang
berada di danau. Aku takkan bisa melindungi, diriku terhadap Della.
Ya, aku tahu pikiranku sudah agak kacau.
Saking tegangnya, aku nyaris tidak bisa berpikir sama sekali!
Seharusnya aku menjauhi danau.
Tapi aku benar-benar tidak ingin sendirian. Karena itu aku
mengikuti saran Richard. Aku pergi ke dermaga dan memberitahu Liz bahwa aku
ingin belajar ski air. "Bagus, Sarah!" Liz berseru sambil tersenyum lebar. "Kau sudah pernah
mencobanya" Main ski air sebenarnya lebih mudah dari yang kita sangka."
Aku menjawab bahwa aku belum pernah mencobanya.
Liz mengambil jaket pelampung berwarna kuning dan sepasang
ski air dari gudang perlengkapan.
Kemudian ia memberi kursus singkat padaku. Ia
memperlihatkan bagaimana aku harus mencondongkan badan ke
belakang dan menekuk lutut.
Tak lama kemudian aku sudah berada di air sambil menunggu
giliran ditarik perahu motor. Meg sedang melaju dengan kencang.
Baju renangnya yang berwarna jingga tampak berkilauan dalam
cahaya pagi. Dengung mesin perahu bergema. Gelombang yang ditimbulkan
perahu itu menjilat-jilat tepi danau.
Meg berseru keras-keras dan melepaskan tali penarik ketika
perahu melesat melewati dermaga. Ia menjatuhkan diri ke air, lalu segera
melepaskan ski-nya. Kemudian ia naik ke darat.
"Habis ini giliranku," aku bergumam.
Dengan susah payah aku memasang ski di kakiku. Kemudian
aku meraih tali penarik, dan menggenggamnya dengan kedua tangan.
Mesin perahu terbatuk-batuk.
Aku bersiap-siap. Aku mengambil posisi seperti yang
dicontohkan Liz tadi. Lalu menarik napas dalam-dalam.
"Siap!" aku berseru.
Mesin perahu kembali terbatuk-batuk - dan kemudian meraung-
raung. Perahu itu melesat begitu kencang, sehingga tali yang
kugenggam nyaris terlepas dari tanganku.
"Heiiii!" Aku memekik nyaring ketika aku mulai terangkat dari air.
Yes! Kedua ski yang kupakai meluncur di permukaan. Aku
menekuk lutut dan menggenggam tali penarik erat-erat.
Aku berhasil! pikirku. Aku bisa main ski air!
Perahu meluncur semakin kencang. Kami melesat lurus
melintasi danau yang berkilau-kilau. Wajah dan rambutku basah
terkena percikan air danau yang dingin.
Aku mulai kehilangan keseimbangan, tapi lalu berhasil
menegakkan badan lagi. Aku menggenggam tali penarik dan terus
melesat dengan kencang. "Yesss!" aku berseru keras-keras. Rasanya asyik sekali!
Tapi kemudian pengemudi perahu motor menoleh ke belakang.
Dan aku mengenali senyum Della yang bengis.
Rambut Della yang pirang hampir putih melambai-lambai
tertiup angin. Matanya yang biru bersinar-sinar bagaikan permukaan danau.
Senyumnya semakin lebar ketika ia melihat ketakutan yang
terlukis di wajahku. "Kembali! Kembali ke tepi," aku memohon.
Ia membelokkan perahu dengan tajam.
Aku nyaris terjatuh. Tali penarik kucengkeram erat-erat.
Kedua ski di kakiku menampar-nampar permukaan air.
Tubuhku basah kuyup terkena percikan air dingin.
Aku megap-megap seraya berusaha menarik napas.
Della mendongakkan kepala dan tertawa. Tapi suara tawanya
ditenggelamkan oleh deru mesin perahu.
Aku bisa melihat langit lewat tubuhnya yang tembus pandang.
Tubuhnya diterobos sinar matahari.
"Kembalilah!" teriakku. "Stop! Aku mau dibawa ke mana" Ke mana?"
Chapter 26 DELLA tidak menyahut. Ia kembali menghadap ke depan,
rambutnya berkibar-kibar karena tiupan angin.
Perahunya melompat-lompat, meninggalkan gelombang buih
dan percikan air di belakangnya.
Gelombang itu menerjangku. Aku menggigil kedinginan. Aku
tidak bisa melihat, sebab terhalang oleh gelombang.
Saking paniknya, aku perlu waktu lama untuk menyadari bahwa
sebenarnya ada cara mudah untuk meloloskan diri.
Aku tinggal melepaskan tali penarik.
Aku segera mengangkat tangan, dan talinya pun jatuh ke air.
Aku meluncur sejenak dengan tangan melambai-lambai.
Kemudian aku jatuh dan tenggelam.
Jaket pelampung yang kukenakan membawaku kembali ke
permukaan. Aku megap-megap dan menyemburkan air yang sempat
masuk ke mulutku. Jantungku berdegup kencang.
Kepalaku pening sekali. Aku seakan-akan dikelilingi cahaya
matahari yang terang benderang. Di mana permukaan air" Di mana
tepi danau" Aku berbalik dan melihat perahu motor melaju di kejauhan.
"Kali ini kau tidak berhasil!" aku berseru kepada Della.
Tapi aku segera terdiam ketika perahu itu mulai berputar. Della
membelokkan perahu dan menuju tepat ke arahku.
Aku menahan napas ketika mendengar mesin perahu meraung-
raung. Aku terapung-apung di permukaan, tak berdaya sama sekali.
Perahu motor mulai melesat kencang.
Ia datang, pikirku. Ia mau menjadikanku sebagai pasangannya
untuk selama-lamanya. Aku terperangkap di sini.
Ia mau menabrakku. Chapter 27 AKU mengayunkan kaki di dalam air. Dengan mata terbelalak
aku memperhatikan perahu motor yang melesat ke arahku.
Aku harus menyelam, ujarku dalam hati. Satu-satunya cara
untuk lolos adalah melalui bawah air.
Aku menarik napas dalam-dalam. Setiap otot di tubuhku
menegang. Aku sadar aku harus menunggu saat yang tepat untuk
menyelam. Perahu motor semakin dekat. Raungan mesinnya semakin keras.
Aku melihat Della mengarahkan perahu.
Perahu itu dibidikkannya ke arahku.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam. Tapi tiba-tiba aku
sadar bahwa aku tidak bisa menyelam.
Jaket pelampung yang kupakai - jaket pelampung itu
menahanku di permukaan. Sambil memekik nyaring aku meraih bagian depan jaket
pelampung dengan kedua tanganku.
Dan menariknya keras-keras.
Aduh, tidak bisa. Aku tidak bisa melepaskannya!
Permukaan danau kian bergolak ketika perahu motor semakin
dekat. Rasanya seluruh danau ikut bergoyang dan berputar.
A-aku akan tercabik-cabik! pikirku.
Kutarik jaket pelampung itu. Kutarik dan kudorong terus.
Moga-moga bisa lepas! Tak ada waktu lagi. Tak ada waktu.
Aku tidak bisa menyelam! Raungan mesin perahu mengalahkan jeritanku.
Sambil mengerahkan segenap tenaga, aku berhasil menarik
jaket pelampung ke atas. Melewati pundakku.
Tapi terlambat. Haluan perahu melesat melewatiku.
Detik berikutnya, baling-baling perahu serasa memancung
kepalaku. Chapter 28 AKU menunggu rasa sakit yang akan menyerangku. Aku
menunggu kegelapan yang akan menyelubungiku.
Tapi air di sekelilingku cuma bergolak hebat dan berubah
warna. Mula-mula biru, lalu hijau.
Aku muncul di permukaan sambil terbatuk-batuk. Aku megap-
megap dan terombang-ambing mengikuti alunan gelombang.
"Jaket pelampung!" seruku.
Baling-baling perahu telah memotong jaket itu menjadi dua.
Aku mencampakkan kedua potongan itu. Dan tertawa.
"Aku hidup!" aku memekik keras-keras. "Aku masih hidup!"
Aku berbalik dan melihat perahu motor melaju melintasi danau.
Della pasti menyangka aku sudah mati.
Tapi aku tidak peduli. Aku mengamati sekelilingku untuk
mencari tepi danau, lalu segera berenang menepi.
Aku seakan-akan mendapat energi baru. Arus _ yang deras ikut
mendorongku ke arah perkemahan.
Beberapa anak cewek memanggil-manggilku ketika aku naik ke
darat. Aku melihat Liz bergegas menghampiriku.
"Sarah...!" ia berseru. "Sarah - tunggu!"
Aku tidak menggubrisnya. Semua orang tidak kuhiraukan.
Aku malah mulai berlari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus pergi dari Camp
Cold Lake. Aku harus pergi sejauh mungkin.
Aku takkan aman di sini. Aku takkan aman selama Della
menginginkanku sebagai pasangannya. Selama Della ingin agar aku
juga tenggelam. Aku tahu takkan ada yang percaya padaku. Semua bilang
mereka mau membantu. Tapi tak ada yang bisa menolongku - tak ada
yang sanggup melawan hantu!
Aku menyerbu ke pondokku dan segera berganti baju. Baju


Goosebumps - Arwah Penasaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

renang yang basah kucampakkan ke lantai, kemudian kupakai celana
pendek dan T-shirt. Aku menyibakkan rambut, lalu mengenakan kaus kaki dan
sepatu kets. "Aku harus pergi, harus pergi," aku terus bergumam.
Apa yang harus kulakukan" Ke mana aku harus pergi"
Aku akan menerobos hutan dan menuju ke kota di seberangnya,
kataku dalam hati. Aku akan menelepon Mom dan Dad. Aku akan
memberitahu mereka bahwa aku bersembunyi di kota. Aku akan
meminta mereka datang untuk menjemputku.
Aku berhenti di pintu pondok.
Perlukah aku memberitahu Aaron dulu"
Tidak. Tidak usah, aku memutuskan.
Adikku itu pasti akan berusaha mencegahku.
Aaron akan kuberi kabar setelah aku sampai di kota, pikirku.
Aku akan memberitahunya kalau aku sudah berada di tempat aman.
Kalau aku sudah jauh dari sini.
Aku melongok dari pintu dan memandang ke kiri-kanan untuk
memastikan keadaan di luar aman. Kemudian aku melangkah keluar
dan menyelinap ke belakang pondok.
Dan bertabrakan dengan Briana.
Ia mengamati wajahku sambil memicingkan mata. "Kau mau
pergi?" ia bertanya.
Aku mengangguk. "Ya, aku mau pergi."
Sekali lagi raut muka Briana berubah. Sorot matanya seakan-
akan mati. "Semoga berhasil," bisiknya.
Chapter 29 KENAPA ia bersikap begitu aneh" aku bertanya dalam hati.
Aku tidak sempat memikirkannya. Aku melambaikan tangan
kepada Briana, lalu bergegas memasuki hutan.
Sewaktu menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon, aku
menoleh ke belakang dan melihat Briana masih berdiri di belakang
pondok. Ia memandang ke arahku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku berbalik dan
bergegas melangkah. Pohon-pohon di kiri-kanan jalan setapak menghalangi sebagian
besar sinar matahari. Semakin lama keadaan semakin gelap dan
dingin. Duri tajam pada semak belukar menggores-gores lengan dan
kakiku yang telanjang. Aku menyesal karena tidak memakai celana
panjang jeans dan baju berlengan panjang.
Sepatu ketsku tergelincir karena menginjak lapisan daun mati.
Berulang kali aku harus melewati dahan-dahan tumbang dan rumpun
ilalang berduri. Akar-akar pohon tumbuh melintang di jalan setapak.
Akhirnya aku tiba di jalan bercabang. Aku berhenti sejenak -
napasku terengah-engah - untuk menentukan jalan yang akan
kulewati. Apakah kedua cabang jalan itu menuju ke kota" Aku menahan
napas ketika mendengar suara bernyanyi.
Seekor burung" Bukan" Suaranya lembut sekali. Suara anak cewek. "Oh," aku mengerang. Aku
menoleh ke arah sumber suara itu, dan melihat Della duduk di sebuah dahan pohon
yang rendah. Ia bernyanyi sambil
memiringkan kepala ke kiri-kanan. Matanya yang biru tampak
berkilau-kilau ketika menatapku.
"Kau - kau membuntutiku!" aku tergagap-gagap. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa
aku..." Suaraku tersekat di tenggorokan.
Ia tertawa cekikikan. "Kau pasanganku," sahutnya. "Kita harus selalu bersama-
sama." "Tidak! Tidak bisa!" teriakku. "Kau kalah, Della. Aku tidak akan jadi
pasanganmu. Soalnya aku takkan pernah lagi pergi ke danau.
Aku tidak akan tenggelam seperti kau!"
Senyum Della lenyap. "Tenggelam?" Ia menggelengkan kepala.
"Sarah, kenapa kau berpikiran begitu" Tampaknya kau bingung sekali.
Aku tidak tenggelam."
"Hah?" Aku sampai tercengang karena terkejut.
"Jangan bengong, Sarah. Nanti kemasukan lalat." Della
menengadahkan kepala dan tertawa.
Kemudian ia kembali menggelengkan kepala. "Mana mungkin
ada yang tenggelam di Camp Cold Lake?" ujarnya. "Setiap lima menit ada ceramah
tentang keselamatan di air! Belum pernah ada yang
tenggelam di Camp Cold Lake!"
"Kau tidak tenggelam?" aku memekik. "Kalau begitu, bagaimana kau mati?"
Della mencondongkan badan ke depan dan menunduk
menatapku. Pandanganku menerobos tubuhnya yang tembus pandang.
Daun-daun di belakangnya tampak bergoyang karena tiupan angin.
"Mau tahu?" ia bertanya. "Oke. Suatu malam pada waktu acara api unggun, aku
tidak tahan lagi mendengarkan ceramah tentang
keselamatan di air. Karena itu aku menyelinap ke hutan."
Ia menyibakkan rambutnya ke belakang. "Tapi aku melakukan
satu kesalahan," ia melanjutkan. "Aku tidak tahu bahwa hutan ini penuh ular
beracun yang mematikan."
Aku memekik tertahan. "Di hutan ini ada ular?"
Della mengangguk. "Hampir tidak mungkin ada yang bisa
melintasi hutan ini tanpa digigit," ia berkata sambil mendesah. "Aku mati karena
digigit ular, Sarah."
"Tapi - tapi...," aku tergagap-gagap. "Tapi kau selalu ada di danau. Kenapa kau
selalu muncul di sana?"
"Masa kau belum mengerti juga?" sahutnya. "Itu memang sengaja. Aku sengaja
membuat kau takut terhadap danau, Sarah.
Soalnya aku tahu kau akan berusaha kabur melalui hutan. Aku tahu
kau akan lari ke hutan dan mati seperti aku - lalu jadi pasanganku."
"Tidak...!" aku memprotes. "Aku tidak mau. Aku..."
"Sarah, lihat!" Della menunjuk ke tanah.
Aku menoleh - dan melihat seekor ular gendut berwarna hitam
melingkar di kakiku. Chapter 30 "KITA akan jadi pasangan abadi," Della berkata dengan
gembira. "Pasangan abadi."
Aku berdiri seperti patung. Tanpa berkedip aku memperhatikan
ular gendut itu melilit di kakiku.
"Ahhh!" aku mengerang ketika ular itu mengambil ancang-
ancang untuk memagutku. "Sakitnya tidak seberapa, kok," Della menjelaskan. "Rasanya seperti disengat
tawon, Sarah. Cuma begitu saja."
Ular itu mendesis nyaring. Mulutnya menganga lebar.
Tubuhnya semakin kencang melilit kakiku.
"Pasangan abadi," Della bersenandung. "Pasangan abadi...."
"Bukan! Sarah bukan pasanganmu!" sebuah suara berseru.
Aku hendak berpaling ke arah suara itu. Tapi aku tidak bisa
bergerak. Lilitan ular di kakiku terlalu keras.
"Briana!" aku berseru. "Sedang apa kau di sini?"
Dengan gerakan gesit ia meraih ular di kakiku. Ia menariknya
sampai terlepas, lalu melemparnya ke antara pohon-pohon.
Briana menoleh ke arah Della. "Sarah tidak akan jadi
pasanganmu, soalnya dia pasanganku!" seru Briana.
Della membelalakkan mata. Ia memekik kaget. Ia segera
berpegangan pada dahan pohon agar tidak sampai jatuh.
"Kau!" ia berseru. "Kenapa kau ada di sini?"
"Ya, aku!" balas Briana. "Aku datang lagi, Della!" "Tapi - tapi bagaimana kau...,"
Della bergumam. "Kau berusaha mencelakakan aku tahun lalu," ujar Briana.
"Sepanjang musim panas kau berusaha menjadikan aku sebagai
pasanganmu. Kau terus menakut-nakutiku - ya kan, Della."
Briana mendengus karena gusar. "Kau pasti tidak menyangka
bahwa aku akan kembali. Tapi aku datang lagi. Aku datang lagi...
untuk melindungi korbanmu berikutnya!"
"Tidak bisa!" Della meraung.
Akhirnya aku mengerti. Aku menghampiri Briana dan berdiri di
sampingnya. "Briana pasanganku!" kataku dengan tegas. "Dan tahun depan aku akan
kembali untuk melindungi korban berikutnya!"
"Jangan! Jangan! Jangaaan!" Della meratap. "Kau tidak boleh begitu! Aku sudah
menunggu begitu lama! Begitu lamaaa!"
Ia melepaskan dahan pohon dan mengacungkan tinju ke arah
Briana dan aku. Tahu-tahu ia kehilangan keseimbangan.
Ia berusaha meraih dahan pohon. Tapi meleset. Tanpa suara ia
terempas ke tanah. Dan langsung lenyap. Hilang. Aku bangkit sambil menghela napas. Aku menggelengkan
kepala. "Apakah dia pergi untuk selama-lamanya?" aku bergumam.
Briana angkat bahu. "Entahlah. Aku tidak tahu."
Aku berpaling kepada Briana. "Kau - kau telah menyelamatkan
aku!" aku berseru. "Terima kasih, Briana! Terima kasih!"
Aku menghampirinya sambil bersorak gembira. Aku ingin
memeluknya karena ia telah menyelamatkanku.
Tapi tanganku menembus tubuhnya.
Aku menahan napas. Aku meraih bahunya, tapi tanganku tidak
merasakan apa pun. Serta-merta aku melompat mundur.
Briana menatapku sambil memicingkan mata. "Della
membunuhku waktu liburan musim panas tahun lalu, Sarah," ia
berkata dengan suara pelan. "Pada hari terakhir. Tapi aku tidak mau berpasangan
dengannya. Aku tidak suka anak itu."
Ia mulai melayang ke arahku.
"Tapi aku perlu pasangan," bisiknya. "Semua orang harus punya pasangan. Kau mau
jadi pasanganku, Sarah?"
Aku melihat ular mendesis-desis di tangannya.
Tapi aku tidak bisa bergerak.
"Kau mau jadi pasanganku - ya, kan?" Briana bertanya sekali lagi. "Kau akan
menjadi pasanganku untuk selama-lamanya." END
Selir Raja 1 Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera Pendekar Mata Keranjang 9
^