Mesin Tik Hantu 1
Goosebumps - Mesin Tik Hantu Bagian 1
Chapter 1 "DULU sih aku percaya monster," kata Alex. Ia membetulkan letak kacamatanya yang
telah bergeser sedikit, lalu mengerut-ngerutkan
hidung. Dengan wajahnya yang kemerahan dan pipinya yang
menggembung, ia kelihatan seperti kelinci besar berambut pirang.
"Waktu aku kecil, kupikir ada monster di laci kaus kakiku,"
Alex melanjutkan. "Kau pasti tak percaya, Zackie, tapi laci itu tak pernah
kubuka. Aku tak pernah pakai kaus kaki. Waktu TK aku malah maunya telanjang kaki
saja. Aku terlalu ngeri membuka laci itu. Aku yakin tanganku bakal putus digigit
monster kaus kaki." Ia tertawa. Tawa Alex aneh sekali. Kedengarannya lebih mirip
suara orang sakit asma daripada tawa. "Wheeeeeeh! Wheeeeeeh!"
Ia menggelengkan kepala, dan kuncirannya ikut bergoyang-
goyang. "Tapi sekarang aku sudah dua belas tahun, dan sudah jauh lebih pintar,"
ujarnya. "Sekarang aku sudah tahu yang namanya monster sebenarnya tidak ada."
Itu yang dikatakan Alex padaku dua detik sebelum kami
diserang monster. Saat itu liburan musim semi, dan Alex dan aku sedang mencari
benda-benda yang bisa dikoleksi. Itulah yang kami lakukan kalau
kami lagi kurang kerjaan.
Kadang-kadang kami mengumpulkan tumbuhan liar berbentuk
aneh. Kadang-kadang kami mengumpulkan serangga. Atau daun
berbentuk unik. Suatu ketika kami berusaha mengumpulkan batu yang mirip
wajah orang terkenal. Tapi hobi itu tidak bertahan lama, sebab
hasilnya tidak seperti yang kami harapkan.
Kalau kau mendapat kesan kota tempat tinggal kami - Norwood
Village - termasuk kota yang membosankan, kau seratus persen
benar! Maksudnya, kota tempat tinggal kami memang membosankan,
sampai kami diserang monster.
Alex Iarocci dan aku bertetangga. Ia sahabat karibku.
Adam Levin, yang tinggal di kota seberang, juga sahabat karibku.
Menurutku, kita seharusnya punya sahabat karib sebanyak mungkin!
Kau pasti menyangka Alex cowok - ya, kan" Salah! Ia cewek.
Aku juga tidak tahu kenapa ia diberi nama cowok. Namanya mungkin
kependekan dari Alexandria. Tapi itu cuma dugaanku saja. Ia tak
pernah mau terus terang tentang itu.
Yang jelas ia sering mengeluh soal namanya. Sebab gara-gara
nama itu, ia sering mendapat masalah.
Tahun lalu di sekolah, Alex dimasukkan ke kelas olahraga anak
cowok. Dan ia sering menerima surat dengan alamat Mr. Alex Iarocci.
Namaku sendiri juga agak merepotkan. Zackie Beauchamp.
Nama belakangku seharusnya dibaca BEECH-am. Tapi orang-orang
selalu salah mengucapkannya.
Barangkali kau heran kenapa aku begitu sibuk membahas soal
nama ini, ya" Masalahnya begini. Waktu kami diserang monster, aku begitu ketakutan sampai-
sampai aku lupa namaku sendiri.
Alex dan aku telah memutuskan untuk mengumpulkan cacing
tanah. Cacing tanah ungubukan yang cokelat.
Biar lebih menarik. Kemarin hujan turun sepanjang hari. Dan tanah di pekarangan
belakang masih becek dan lembek.
Cacing-cacing bermunculan di permukaan tanah untuk mencari
udara. Mereka menyembul di tengah rumput basah. Lalu menggeliat-
geliut sampai ke depan garasi.
Alex dan aku sedang mondar-mandir sambil membungkuk
untuk mencari cacing ungu - ketika aku mendengar bunyi berdecap
nyaring di belakangku. Aku segera berbalik. Dan memekik kaget ketika aku melihat monster itu. "Alex -
lihat!" Ia menoleh - dan membelalakkan mata. Dari mulutnya keluar
bunyi, "Wheeeh!" Tapi kali ini bukan karena tertawa.
Aku melepaskan cacing yang sedang kupegang, dan langsung
melompat mundur. "K-kelihatannya seperti jantung manusia!" seru Alex. "Jantung raksasa!"
Ia benar. Monster itu kembali berdecap-decap ketika melintasi rumput ke
arah kami. Ia bergulir bagaikan bola pantai raksasa, lebih tinggi daripada Alex
dan aku. Hampir setinggi garasi!
Kulitnya basah dan berwarna pink. Tubuhnya berdenyut-
denyut. NGUNG NGUNG NGUNG. Gerakannya berirama, bagaikan
detak jantung. Bagian atas gumpalan pink itu seakan-akan penuh ular yang
saling melilit. Aku sampai membelalakkan mata karena ngeri. Tapi
kemudian aku sadar yang kulihat bukan ular, melainkan urat nadi
berwarna ungu yang tumpang-tindih.
NGUUUNG NGUNG NGUUNG. Monster itu terus berdenyut-
denyut. "Ohhh!" aku mengerang jijik ketika melihat jejak lendir putih yang
ditinggalkannya di rumput.
Alex dan aku mundur cepat-cepat. Kami tidak berani
membelakangi makhluk mengerikan itu.
"Uhh uuh uuh!" aku mengerang ketakutan. Jantungku berdegup kencang.
Aku mundur selangkah. Dan selangkah lagi.
Dan sambil mundur, aku melihat bagian tengah tubuh makhluk
itu tiba-tiba retak. Mula-mula aku menyangka monster pink itu akan terbelah.
Tapi kemudian retakan itu bertambah lebar, dan aku sadar retakan itu adalah
mulutnya. Mulutnya membuka lebar. Semakin lebar.
Cukup lebar untuk menelan manusia!
Kemudian sebuah lidah besar berwarna ungu menjulur keluar.
Lidahnya berbunyi PLOP ketika jatuh ke rumput.
"Ohhh." Aku kembali mengerang. Perutku serasa diaduk-aduk.
Ujung lidah itu berbentuk seperti sekop. Sekop berwarna ungu yang besar dan
lengket. Apakah untuk menyekop manusia ke dalam mulutnya"
Lendir kental putih menetes-netes dari mulut si monster.
"Lari!" teriak Alex.
Aku berbalik - dan tersandung di pinggir jalan masuk mobil.
Aku langsung terempas. Siku dan lututku membentur aspal.
Cepat-cepat aku menoleh ke belakang - dan melihat mulut monster itu menganga
seperti gua, sementara lidahnya melilit tubuhku dan
menarikku mendekat... dan mendekat.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 2 ALEX menatapku dengan mulut terbuka. "Wow, heboh!"
serunya. Adam menggaruk-garuk kepala dan menatapku sambil
meringis. "Itu yang kausebut seram?" Ia geleng-geleng kepala. "Itu sih sama saja
dengan cerita Si Kancil Mencuri Ketimun."
Aku sedang memegang lembaran-lembaran kertas yang kupakai
untuk menuliskan ceritaku. Kertas itu langsung kugulung, siap
memukul kepala Adam. Ia cepat-cepat menghindar sambil tertawa.
"Ceritamu bagus sekali!" Alex kembali memuji. "Apa judulnya?"
"Petualangan Monster Gumpalan," jawabku.
"Oh, wow," Adam berkomentar dengan nada mencemooh.
"Judul itu kaupikirkan sendiri, ya?"
Alex langsung mendorong Adam. Saking kerasnya, Adam
sampai jatuh ke sofa. "Kenapa sih kau harus mengejek terus?" Alex bergumam
kesal. Kami bertiga sedang main di rumah Adam. Kami berdesak-
desakan di kamar yang oleh orangtuanya disebut ruang santai.
Padahal ruangannya sempit sekali. Hanya muat sofa dan TV.
Jangankan untuk santai. Untuk duduk saja sudah sumpek.
Sekolah tengah libur musim semi, dan kami berkumpul di
rumah Adam karena tidak punya kegiatan lain. Semalam aku
begadang untuk mengarang cerita seram tentang monster.
Aku mau jadi pengarang kalau sudah besar nanti. Aku selalu
mengarang cerita seram. Kemudian kubacakan untuk Alex dan Adam.
Tanggapan mereka selalu sama. Alex pasti bilang ia suka
ceritaku. Menurutnya, cerita-cerita yang kukarang benar-benar seram.
Saking seramnya, ia sampai dihantui mimpi buruk.
Adam pasti bilang ceritaku sama sekali tidak seram. Ia selalu
berkoar ia bisa mengarang cerita yang lebih hebat dengan satu tangan diikat ke
punggung. Tapi sampai sekarang ia belum pernah membuktikan bualannya.
Adam bertubuh besar, gendut, dan berpipi merah. Potongannya
mirip beruang. Ia suka menonjok orang dan bergulat dengan mereka.
Sekadar iseng. Tapi sebenarnya sih, anaknya baik.
Hanya saja ia tidak pernah suka karanganku. "Memangnya apa
kekurangan cerita ini?" aku bertanya padanya.
Kami berdesak-desakan di sofa. Habis, tak ada tempat lain yang
bisa diduduki. "Ceritanya tidak seram. Aku sama sekali tidak ngeri," sahut Adam. Ia meraih
seekor semut yang melintas di sandaran tangan,
menjepitnya dengan telunjuk dan jempol, lalu menjentikkannya ke
arahku. Meleset. "Menurutku sih, ceritamu benar-benar seram," ujar Alex. "Aku langsung mendapat
kesan monsternya mengerikan sekali."
"Aku sih tidak pernah ngeri kalau membaca buku atau cerita,"
Adam berkeras. "Apalagi cerita konyol tentang monster."
"Hmm, kalau begitu apa dong yang bisa membuatmu ngeri?"
tanya Alex. "Tidak ada," Adam menyombongkan diri. "Film horor juga biasa saja buatku. Aku
tidak pernah takut."
Lalu ia membuka mulut lebar-lebar dan menjerit ketakutan.
Alex dan aku juga ikut menjerit ketakutan.
Kami sampai melompat dari sofa - ketika mendengar teriakan
yang membuat bulu kuduk berdiri itu. Dengan mata terbelalak aku
melihat bayangan hitam melintas di lantai.
Chapter 3 BAYANGAN itu melesat di depan kaki kami. Melesat begitu
cepat, aku hampir tidak melihatnya.
Aku merasakan sesuatu menyerempet mata kakiku. Sesuatu
yang lembut - seperti hantu.
"Aaaah!" teriak Adam.
Aku mendengar suara langkah bergegas dari ruang duduk. Mr.
Levin - ayah Adam - muncul di ambang pintu. Dengan rambutnya
yang hitam keriting, serta potongan badannya yang bulat dan seperti beruang, Mr.
Levin mirip sekali dengan Adam.
"Sori!" ia berseru. "Aku tidak sengaja menginjak kucing kami.
Kalian melihatnya lari ke sini?"
Kami tidak menyahut. Lalu, saking kagetnya, kami bertiga malah tertawa terbahak-
bahak. Mr. Levin menatap kami dengan kening berkerut. "Apanya sih
yang lucu," ia bergumam. Ia menemukan kucingnya bersembunyi di samping sofa.
Diangkatnya dan digendongnya kucing itu, lalu ia
langsung berbalik dan pergi.
Kami bertiga kembali duduk di sofa. Napasku masih terengah-
engah. "Tuh, betul kan, Zackie?" seru Adam. Ditepuknya punggungku keras-keras. Aku
hampir jatuh dari sofa. "Kucing lewat masih lebih seram daripada semua cerita
karanganmu." "Enak saja!" aku membantah. "Aku bisa menulis cerita yang lebih seram lagi. Kita
cuma kaget tadi." Alex melepaskan kacamata dan membersihkannya dengan
ujung T-shirt-nya. "Ih, aku sempat merinding waktu mendengar
teriakan kucingmu, Adam!" ujarnya sambil menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tidak ngeri," Adam berkoar. "Aku cuma mau menakut-nakuti
kalian." Ia mengulurkan tangan dan memoles
kepalaku. Aku paling sebal kalau kepalaku dipoles.
Karena itu aku langsung menonjoknya sekeras, mungkin.
Adam cuma tertawa. Huh, menyebalkan!
Alex dan aku makan malam di rumah Adam. Mrs. Levin pandai
memasak. Kami selalu berusaha berada di rumah Adam sekitar saat
makan malam, sebab ibunya selalu mengajak kami makan sekalian.
Hari sudah gelap ketika Alex dan aku pulang. Kemarin dan
hampir sepanjang hari ini terjadi hujan dan angin ribut. Rumput di semua
pekarangan masih berkilau-kilau basah. Jalanan yang basah
memantulkan cahaya lampu penerangan jalan.
Di kejauhan terdengar gemuruh guntur. Air hujan yang dingin
menetes-netes dari pepohonan ketika Alex dan aku berjalan menyusuri trotoar.
Adam tinggal di seberang Norwood Village. Tapi jaraknya
tidak terlalu jauh - cuma sekitar lima belas menit jalan kaki.
Setelah berjalan kira-kira lima menit, kami tiba di sederetan
toko kecil. "Hei...!" aku berseru ketika melihat toko barang antik di pojok.
"T-tokonya hancur!"
"Kelihatannya seperti habis kena ledakan bom!" seru Alex.
Kami berhenti di pojok, dan menatap toko di seberang jalan.
Sebagian atapnya ambruk. Semua kaca jendela pecah. Satu dinding
nyaris roboh. Dinding dan bagian atap yang masih utuh tampak hitam karena
jelaga. "Tampaknya habis ada kebakaran," aku bergumam sambil
menyeberang jalan. "Petir," terdengar suara seorang wanita.
Aku menoleh dan melihat dua wanita muda di trotoar di
samping toko. "Tokonya disambar petir," ujar salah satu dari mereka.
"Kemarin. Waktu ada badai. Lalu toko itu terbakar habis."
"Sayang sekali," sahut temannya. Ia merogoh tas dan
mengambil kunci mobil. Kedua wanita itu menghilang di pojok jalan.
Alex dan aku menghampiri toko yang terbakar. "Uuh, baunya,"
Alex mengerang sambil menutup hidung.
"Cuma bau gosong," aku berkomentar. Aku memandang ke
bawah dan melihat kakiku menginjak genangan air yang dalam.
Serta-merta aku melompat mundur.
"Di mana-mana becek," Alex bergumam. "Pasti karena disiram pemadam kebakaran."
Tiupan angin membuat pintu depan terbanting keras-keras.
"Hei, pintunya tidak dikunci!" seruku.
Semula pintu itu dirapatkan dengan pita perekat. Tapi pitanya
sudah terlepas. Aku melihat tanda peringatan berwarna kuning dengan tulisan
hitam: BAHAYA - DILARANG MASUK.
"Alex - coba kita intip sebentar yuk," aku mendesak.
"Jangan, deh! Zackie - jangan!" Alex memekik. Terlambat.
Aku sudah menyelinap masuk.
Chapter 4 AKU maju beberapa langkah, lalu menunggu sampai mataku
terbiasa dengan suasana remang-remang di dalam toko. Di mana-
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana air menetes. Sebuah rak sepanjang dinding tergeletak di lantai.
Berbagai vas, lampu, dan patung, kecil - semuanya pecah - tampak
berserakan di lantai yang basah.
"Zackie...!" Alex menyentuh pundakku. "Zackie lebih baik kita keluar saja!" ia
berbisik. "Ini berbahaya."
"Pintunya jangan ditutup," ujarku. "Kita perlu cahaya lampu jalanan."
"Tapi apa sih yang mau dilihat di sini?" Suaranya bergema di tengah bunyi TES
TES TES. Ia meraih tanganku dan mulai menyeretku keluar. "Ayo, dong.
Kau kan lihat tanda peringatan di luar. Bagaimana kalau seluruh
gedung tiba-tiba runtuh?"
Aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.
Sepatu ketsku berdecit-decit setiap kali aku melangkah. Karpet di lantai basah
kuyup. "Aku cuma mau lihat-lihat sebentar," sahutku jengkel. "Ini kan asyik!"
"Sama sekali tidak," balas Alex. "Ini benar-benar konyol."
Sederetan topeng antik di dinding menatap kami. Topeng-
topeng itu miring tidak keruan. Ada juga yang telah jatuh ke lantai.
Sebuah jam besar dari kayu tampak hangus di pojok ruangan.
Beberapa mainan bebek dari kayu tergeletak di depannya. Semuanya
hangus dan retak. Aku tersentak kaget ketika mendengar suara berderak. Alex
memekik tertahan di belakangku.
Aku langsung menoleh ke atas. Sebagian langit-langit telah
runtuh. Jangan-jangan sisanya mau ambruk sekarang dan menimpa
kami" "Ayo dong, Zackie!" Alex mendesak. Ia mundur ke arah pintu.
Sepatunya berdecit-decit di karpet yang basah.
Pintu depan masih terus membuka dan menutup karena tertiup
angin. TES TES TES. Air dingin menetes-netes ke pundakku.
"Kalau kau tidak mau ikut, aku pulang sendiri saja!" seru Alex.
"Aku serius, Zackie."
"Oke, oke," aku bergumam. "Sabar, dong. Aku cuma ingin tahu apa yang terjadi di
sini." "Cepat!" Alex mendesak. Ia sudah hendak melangkah keluar.
Aku membalik dan mengikutinya.
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di rak yang tinggi. Aku
langsung berhenti. "Eh, Alex...!" seruku. "Lihat, tuh!"
Aku menunjuk mesin tik tua. "Wow! Ayahku pernah punya
mesin tik seperti itu waktu aku masih kecil," ujarku.
"Zackie - aku keluar, nih," Alex mengancam.
"Aku suka mesin tik tua!" aku berseru. "Coba lihat, Alex.
Kayaknya mesin tik itu tidak rusak karena kebakaran kemarin.
Kondisinya masih bagus. Aku cuma mau lihat sebentar. Oke?"
Aku tidak menunggu jawabannya.
Langsung saja aku menghampiri rak di seberang ruangan.
Kemudian aku berjinjit dan berusaha mengambil mesin tik itu.
"ADUUUUUH!" aku berteriak kesakitan.
Seluruh tubuhku terasa sakit.
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bernapas. Dan di tengah teriakanku, aku mendengar bunyi aliran listrik
meretih-retih. Aku membungkuk - tak berdaya - ketika lidah api berwarna
biru terang menyelubungi tubuhku.
Chapter 5 BIRU. Aku cuma melihat warna biru.
Biru paling biru yang pernah kulihat.
Aku serasa melayang di langit. Melayang di langit yang biru.
Kemudian warna biru di sekelilingku memudar dan berubah menjadi
putih. Apakah aku masih melayang" Apakah aku masih bergerak"
Apakah aku masih bernapas"
Aku mencoba bicara. Berteriak. Pokoknya bersuara. Warna
putih itu segera meredup. Menjadi kelabu. Lalu hitam.
"Ohhh," aku mendengar suaraku mengerang. Gelap. Begitu
gelap. Aku diselubungi kegelapan. Aku mengedipkan mata. Satu kali.
Dua kali. Kemudian aku sadar aku sedang menatap kegelapan di
dalam reruntuhan toko barang antik.
"Zackie" Zackie?"
Aku mendengar namaku. Mendengar namaku dipanggil
berulang-ulang oleh Alex.
Aku berdeham. Lalu duduk tegak, dan memandang berkeliling.
"Zackie" Zackie" Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir rasa pening.
Seluruh tubuhku seperti ditusuk ribuan jarum kecil, seolah-olah
dilewati aliran listrik. "Bagaimana aku bisa sampai tergeletak di lantai?" tanyaku pelan-pelan.
Alex membungkuk dan menyentuh pundakku. "Kau kesetrum,"
katanya. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Mungkin ada
kabel listrik yang jatuh."
Aku menggosok-gosok tengkuk. Telingaku berdengung-
dengung, dan tubuhku masih seperti ditusuk-tusuk.
"Wow," aku bergumam.
"A-aku sampai ketakutan tadi," kata Alex. "Kau diselubungi api biru. Seluruh
tubuhmu - mendadak biru terang."
"Wow," aku mengulangi.
"Tanganmu terangkat tinggi," Alex melanjutkan. "Habis itu kau membungkuk. Dan
jatuh ke lantai. Ku-ku pikir...." Ia terdiam.
TES TES TES. Aku bisa mendengar bunyi air menetes. Rupanya
pendengaranku sudah mulai pulih.
Dengan susah payah aku berdiri. Aku mengangkat tangan
tinggi-tinggi dan meregangkan otot.
Perhatianku beralih pada mesin tik tua tadi.
"Zackie - mau apa kau?" seru Alex.
Aku menghampiri rak sambil menghindari genangan air di
karpet. Aku menarik napas dalam-dalam. Berjinjit. Lalu meraih mesin tik tua itu.
"Wah - beratnya minta ampun!" aku berseru. "Semuanya terbuat dari logam!"
Aku membawa mesin tik itu dan mengamatinya. Permukaannya
yang hitam licin memantulkan cahaya lampu jalanan di luar.
"Keren!" seruku. "Mesin tik ini, Alex - mesin tik ini cocok sekali untuk menulis
cerita seram." "Hah?" Alex memekik. "Zackie, jangan-jangan kau sudah tidak waras gara-gara
kesetrum tadi!" "Lihat saja sendiri!" aku berkeras. "Mesin tik ini sempurna.
Sempurna!" Alex geleng-geleng kepala. "Kau punya komputer baru di
rumah," ia mengingatkanku. "Dan ibumu memberimu printer laser bekas."
"Aku tahu, aku tahu," aku bergumam.
"Kau bisa mencetak delapan halaman per menit," Alex
melanjutkan. "Jadi untuk apa kau perlu mesin tik usang?"
"Aku perlu karena mesin tik ini sempurna," sahutku.
"Sempurna! Sempurna!"
"Sudahlah! Jangan melantur!" Alex berkata dengan ketus.
"Benar kau tidak apa-apa" Mungkin lebih baik aku menelepon
orangtuamu." "Jangan. Jangan. Aku baik-baik saja, kok," ujarku. Mesin tik itu mulai terasa
berat di tanganku. "Ayo, kita pulang."
Aku menuju ke pintu sambil menggotong mesin tik. Tapi Alex
mencegahku. "Jangan main ambil saja, dong!" ia menegurku. "Mesin tik ini bukan milikmu. Ini
namanya mencuri." Aku mengerutkan muka untuk mengejeknya. "Alex, jangan
konyol. Segala sesuatu di toko ini sudah hancur. Takkan ada yang
peduli kalau aku mengambil..."
Aku langsung terdiam ketika mendengar bunyi sepatu berdecit
di karpet yang basah. Disusul suara orang batuk.
Aku berpaling pada Alex. Dan melihat wajahnya yang
ketakutan. Ternyata ia juga mendengar bunyi-bunyi itu. "Zackie, ada orang lain di sini," ia
berbisik. Chapter 6 AKU kembali mendengar suara langkah. Kali ini lebih dekat.
Aku merinding. Mesin tik yang kubawa nyaris terlepas dari
tanganku. "Cepat, sembunyi," aku berbisik pada Alex. Tapi tanpa disuruh pun, ia sudah
menyelinap ke lemari pajangan yang tinggi.
Aku meletakkan mesin tik di lantai. Kemudian aku menyusul
Alex ke tempat persembunyiannya.
Sekali lagi terdengar suara orang batuk. Dan kemudian aku
melihat lingkaran cahaya menerangi karpet basah. Cahaya kekuningan lampu senter.
Cahaya itu menyapu lantai. Lalu mulai merayap naik ke rak.
Alex dan aku langsung menundukkan kepala. Lingkaran cahaya itu
melintas di atas kami. Kakiku gemetaran. Aku terpaksa memegang bagian belakang
lemari pajangan dengan dua tangan untuk menjaga keseimbangan.
"Halo?" sebuah suara memanggil. Suara wanita. "Halo" Ada siapa di sini?"
Alex berpaling padaku. Ia memberi isyarat dengan
menggerakkan dagu. Ia bertanya tanpa suara apakah kami perlu keluar dari tempat
persembunyian dan memperlihatkan diri.
Aku menggelengkan kepala. Jangan.
Aku harus bilang apa kalau wanita itu bertanya kenapa kami
berada di dalam toko" Dan kenapa kami bersembunyi"
Barangkali wanita itu akan segera pergi, aku berkata dalam hati.
Barangkali ia tidak melihat kami.
Siapa dia" aku bertanya-tanya. Apakah ia pemilik toko ini"
Aku mengintip dengan hati-hati. Aku melihat seorang wanita
berdiri di tengah ruangan. Ia keturunan Afrika. Rambutnya gelap dan dipotong
pendek sekali. Ia mengenakan jas hujan yang panjang.
Senternya diarahkan ke dinding belakang. Cahayanya
menerangi rak yang terbalik serta barang-barang antik yang telah
pecah berantakan. Ia melangkah di karpet yang basah.
"Halo?" ia memanggil. "Ada siapa di sini?"
Aku menahan napas. Moga-moga ia pergi, aku berharap dalam hati. Moga-moga ia
tidak menemukan Alex dan aku.
Wanita itu berbalik. Cahaya senternya menyorot mesin tik di
lantai. Ia mengerutkan kening.
Aku tahu ia pasti heran. Kenapa mesin tik itu bisa ada di lantai"
Perlahan-lahan ia mengalihkan senternya ke lemari pajangan.
Dan ia memandang tepat ke arah kami!
Apakah ia melihat kami bersembunyi di balik lemari yang
tinggi" Aku seperti terpaku di tempat. Aku pura-pura jadi patung.
Apakah ia melihat kami"
Tidak. Ia bergumam tak jelas. Kemudian senternya padam.
Aku mengedip-ngedipkan mata karena keadaan di sekeliling
mendadak gelap gulita. Langkah wanita itu terdengar menjauh.
Baru sekarang aku sadar bahwa aku masih menahan napas.
Perlahan-lahan aku mengembuskannya, sambil berusaha tidak
bersuara. Hening. Dan gelap. Tak ada suara langkah. Tak ada sorot lampu senter.
Pintu depan menutup dengan keras.
Alex dan aku bertukar pandang.
Apakah wanita itu telah pergi" Apakah ia telah meninggalkan
toko" Kami belum berani bergerak.
Kami menunggu. Sambil pasang telinga.
Hening.... Kemudian Alex bersin. "Nah!" wanita itu berseru dari suatu tempat di belakang kami.
Chapter 7 WANITA itu mencengkeram pundakku keras-keras.
Wajahku terkena lengan jas hujan ketika wanita itu menyeretku
dari balik lemari pajangan. Aku nyaris jatuh karena kakiku tersandung mesin tik.
Tapi wanita itu menahanku dengan sebelah tangannya.
Alex muncul di sampingku. Pita yang dipakainya untuk
menguncir rambut telah terlepas. Rambutnya yang pirang tampak
acak-acakan. Ia kelihatan gugup sekali.
Rupanya ia sama ngerinya denganku.
Wanita itu menyalakan senternya. Ia menyorot wajahku, lalu
beralih pada Alex. "Ada apa ini" Acara belanja malam-malam?" ia bertanya.
"Hah?" ujarku. "Masa kalian tidak tahu tokonya tutup?" wanita itu berkata dengan ketus.
Ia masih muda dan cantik. Ia menatapku dengan matanya yang
gelap. "Sedang apa kalian di sini?" ia kembali bertanya.
Aku membuka mulut hendak menjawab, tapi suaraku tidak mau
keluar. "Ehm... kami cuma mampir," sahut Alex pelan-pelan. "Kami tidak bermaksud apa-
apa." Wanita itu menatap Alex sambil memicingkan mata. "Kalau
begitu, kenapa kalian bersembunyi?"
"K-kami kaget melihat Anda," ujarku dengan susah payah.
"Hmm, aku juga kaget!" seru wanita itu. "Aku sedang di ruang belakang..."
"Sebenarnya kami dalam perjalanan pulang dari rumah teman.
Lalu kami melihat toko ini hancur berantakan," aku menjelaskan.
"Kami cuma ingin tahu bagaimana keadaannya di dalam. Jadi kami masuk."
Wanita itu menurunkan senter. "Hmm, begitu," ia bergumam.
Sepatunya berdecit di karpet yang basah. Air menetes tanpa
henti dari langit-langit di belakang kami.
"Huh, semuanya hancur," wanita itu berkata sambil menghela napas. Ia memandang
berkeliling. "Aku Mrs. Carter. Aku pemilik toko ini."
"K-kami turut menyesal," Alex tergagap-gagap.
"Seharusnya kalian jangan masuk ke sini," Mrs. Carter
menggerutu. "Tempat ini berbahaya sekali. Ada beberapa kabel listrik yang
terlepas. Kalian tidak menyentuh apa-apa, kan?"
"T-tidak," sahut Alex.
"Ehm... cuma mesin tik tua ini," aku berkata sambil
menatapnya. "Pantas mesin tiknya ada di lantai," ujar Mrs. Carter. "Kenapa kau
memindahkannya?" "Saya... suka mesin tik tua ini," kataku.
"Zackie suka mengarang," Alex memberitahu Mrs. Carter.
"Cerita-cerita seram."
Mrs. Carter tertawa pahit. "Wah, kau bisa menulis cerita seram tentang tempat
ini!" "Saya pasti bisa mengarang cerita seru dengan mesin tik ini,"
aku berkata sambil kembali memandangnya.
"Kau berminat?" Mrs. Carter langsung bertanya.
"Ya," jawabku. "Memangnya mau dijual" Berapa harganya?"
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mrs. Carter mengangkat sebelah tangan. "Ambil saja," katanya.
"Maaf?" Aku yakin aku pasti salah dengar.
"Ambil saja," ia mengulangi. "Kau tak perlu membayar apa-apa."
"Anda serius?" seruku dengan gembira. "Mesin tik ini boleh saya bawa pulang?"
Ia mengangguk. "Terima kasih!" Aku langsung tersenyum lebar. "Terima kasih banyak!"
Mrs. Carter membungkuk dan memungut sesuatu dari lantai.
"Ini," katanya. Ia menyerahkan sebuah pulpen padaku. Pulpen model kuno yang
berat berwarna hitam, dengan hiasan krom berwarna
keperakan. "Untuk saya?" tanyaku sambil mengamati pulpen itu.
Mrs. Carter kembali mengangguk. Ia menatapku seraya
tersenyum. "Ini Bonus-Khusus dariku. Setiap pembelian mesin tik mendapat satu
pulpen gratis." "Wow!" seruku. Mrs. Carter menghampiri pintu dan membukanya. "Sekarang
keluarlah dari sini," ia berkata. "Tempat ini sangat berbahaya. Aku juga sudah
mau pulang." Aku mengangkat mesin tik tua yang berat itu, dan sambil
menggotongnya, aku menyusul Alex ke pintu.
Aku begitu gembira! Lima kali aku mengucapkan terima kasih
pada Mrs. Carter. Kemudian Alex dan aku mengucapkan selamat
malam, dan meninggalkan toko.
Jalanan masih basah. Permukaannya berkilau-kilau karena
memantulkan cahaya lampu jalanan.
Alex dan aku berjalan berdampingan, tapi rasanya kami tak
kunjung sampai di rumah. Dan mesin tik yang kubawa seolah-olah
bertambah berat setiap kali aku melangkah.
"Aneh," Alex bergumam ketika kami akhirnya sampai di daerah kami tinggal.
"Kenapa?" aku mengerang. Tanganku serasa sudah mau copot.
Mesin tik itu terasa seberat satu ton! "Apanya yang aneh, Alex?"
"Mesin tik ini pasti cukup berharga," sahut Alex. "Tapi wanita itu memberikannya
begitu saja padamu." .
"Kenapa kau menganggapnya aneh?" tanyaku.
"Dia begitu bersemangat sewaktu memberikannya padamu.
Sepertinya dia malah bersyukur ada yang mau mengambilnya," ujar Alex. Ia
membelok ke rumahnya, yang bersebelahan dengan rumahku.
Lututku gemetaran ketika aku menuju ke rumahku. Tanganku
pegal sekali. Seluruh tubuhku pegal. Tenagaku nyaris terkuras habis untuk
menggotong mesin tik itu.
"Ada-ada saja," aku bergumam.
Aku tidak sadar bahwa ucapan Alex benar.
Aku tidak sadar bahwa mesin tik tua yang kubawa pulang itu
akan menghancurkan hidupku.
Chapter 8 DENGAN susah payah aku menggotong mesin tik itu ke dalam
rumah. Napasku terengah-engah. Tanganku bahkan sudah mati rasa.
Mom dan Dad ada di ruang duduk. Mereka duduk
berdampingan di sofa sambil mengisi teka-teki silang.
Mereka penggemar berat teka-teki silang. Aku tidak tahu apa
sebabnya. Padahal untuk urusan mengeja, keduanya benar-benar
payah. Belum pernah aku melihat mereka berhasil mengisi teka-teki silang sampai
selesai. Sering kali mereka malah bertengkar tentang cara mengeja
sebuah kata. Dan biasanya mereka lalu menyerah, dan merobek-robek teka-teki
silang itu. Beberapa hari kemudian, mereka mulai dengan teka-teki silang
baru. Keduanya menoleh ketika aku hendak membawa mesin tik ke
kamarku. "Apa itu?" tanya Mom.
"Mesin tik," sahutku.
"Mom juga tahu!" Mom memprotes. "Maksudnya - dari mana kau mendapat mesin tik
itu?" "Ehm... ceritanya panjang," aku berusaha mengelak.
Dad bangkit dari sofa dan bergegas hendak membantuku.
"Wow, berat sekali," katanya.
Kami membawa mesin tik itu ke kamarku, dan meletakkannya
di atas meja. Aku ingin segera mencobanya. Tapi Dad memaksaku
kembali ke ruang duduk bersamanya.
Aku menceritakan semuanya. Tentang toko barang antik yang
terbakar karena tersambar petir. Lalu Alex dan aku masuk untuk
melihat-lihat. Selanjutnya Mrs. Carter memberikan mesin tik itu
padaku. Tentang sengatan listrik yang membuatku terempas ke lantai
sengaja tidak kusinggung-singgung.
Orangtuaku termasuk gampang panik. Soal teka-teki silang saja
mereka bisa sampai marah-marah!
Jadi, aku tak pernah bercerita banyak pada mereka. Untuk apa
merusak suasana - ya, kan"
"Kenapa kau perlu mesin tik kuno?" Mom bertanya. Ia
menatapku sambil mengerutkan kening. "Mana ada orang yang masih memakai mesin
tik" Barang seperti itu cuma ada di toko barang
antik." "Aku akan memakainya untuk menulis cerita seram," aku
menjelaskan. "Memangnya kenapa dengan komputermu yang baru?" tanya
Dad. "Bagaimana dengan printer laser yang kami berikan padamu?"
"Tetap akan kupakai," ujarku. "Untuk membuat PR dan sebagainya."
Mom geleng-geleng kepala. "Habis ini Zackie akan menulis
dengan bulu angsa dan botol tinta," ia berkomentar.
Mereka tertawa. "Lucu sekali," aku bergumam. Aku mengucapkan selamat
malam dan bergegas ke kamarku.
Aku menyusuri koridor - lalu berhenti.
Rasanya aku mendengar sesuatu meretih-retih. Dan rasanya
bunyi itu berasal dari kamarku. "Aneh," aku bergumam.
Aku melangkah ke pintu, mengintip - dan memekik kaget!
Chapter 9 "MESIN tikku!" aku berseru.
Mesin tik itu terselubung cahaya biru terang. Bunga api
berwarna biru berdedas dan beterbangan ke segala arah.
Aku sampai melongo menyaksikan kejadian itu.
Lalu aku teringat sengatan listrik yang sempat membuatku jatuh
di toko barang antik tadi. Jangan-jangan sebagian energi listrik itu masih
tersimpan dalam mesin tikku"
Ah, mana mungkin! Tapi kenapa mesin tikku seakan-akan bermuatan listrik, dan
memancarkan cahaya biru"
"Mom! Dad!" aku memanggil. "Cepat kemari! Ada yang aneh di kamarku!"
Mereka tidak menyahut. Aku bergegas ke ruang duduk. "Cepat! Ada yang aneh!" aku berseru. "Mom dan Dad
pasti takkan percaya!"
Mereka telah kembali sibuk mengis i teka-teki silang. Dad
menoleh ketika aku muncul di pintu.
"Bagaimana caranya mengeja 'peregrine'?" ia bertanya padaku.
"Ini sejenis burung pemangsa."
"Masa bodoh!" seruku. "Mesin tikku - kurasa mesin tikku akan meledak!"
Mom dan Dad langsung bangkit dari sofa.
Aku mendahului mereka ke kamarku. Aku berhenti di pintu dan
menunjuk meja belajar. "Lihat, tuh!" aku berseru.
Kami bertiga memandang ke arah yang kutunjuk.
Menatap mesin tik. Mesin tik dari logam berwarna hitam,
dengan penggulung kertas dan tuts-tuts juga berwarna hitam.
Tak ada cahaya biru. Tak ada arus listrik. Tak ada bunga api. Tak ada bunyi
berdedas. Yang terlihat di depan kami hanyalah mesin tik tua di atas meja
belajar. "Ha ha, lucu sekali," Dad menggerutu.
Mom geleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu dari mana Zackie
punya sifat konyol begitu. Pasti bukan dari keluargaku."
"Keluargamu tidak butuh sifat konyol. Tanpa itu pun mereka
sudah konyol!" ujar Dad ketus.
Mereka meninggalkanku sambil bertengkar.
Dengan hati-hati aku masuk ke kamarku. Perlahan-lahan aku
menghampiri mesin tik di meja belajar.
Aku mengulurkan tangan, mendekati mesin tik itu.
Jaraknya tinggal satu senti.
Tapi kemudian aku berhenti.
Tanganku mulai gemetaran.
Aku menatap mesik tik yang berat itu.
Haruskah aku menyentuhnya"
Apakah aku bakal tersengat lagi"
Perlahan-lahan aku menggerakkan tanganku.
Chapter 10 ALEX membanting pintu locker-nya. Ia mengatur letak
ranselnya, lalu berpaling padaku. "Terus apa yang terjadi" Kau kesetrum lagi?"
Waktu itu keesokan pagi. Liburan musim semi telah berakhir,
dan sekolah sudah mulai lagi.
Aku sengaja mencari Alex untuk menceritakan kisah mesin tik
itu dari awal sampai akhir. Aku tahu ia satu-satunya orang di seluruh dunia yang
mau mempercayai cerita itu.
"Tidak. Aku tidak kesetrum," sahutku. "Aku menyentuhnya, dan ternyata tidak
terjadi apa-apa. Lalu aku menekan beberapa tuts.
Dan memutar penggulung kertas. Tapi juga tidak terjadi apa-apa."
Alex menatapku sambil mengerutkan kening. "Sama sekali?"
"Sama sekali." "Wah, kalau begitu ceritanya kurang seru, dong," ia
menggodaku. "Akhirnya kurang ramai."
Aku tertawa. "Memangnya kau lebih senang kalau aku
kesetrum atau semacam itu, ya?"
"Tentu saja," sahutnya.
Bel pertama telah berbunyi. Koridor sekolah sudah hampir
kosong. "Aku mau menulis ulang cerita Monster Gumpalan-ku," aku berkata pada Alex. "Aku
punya segudang ide baru. Aku sudah tak sabar ingin segera mengarang."
Alex berpaling padaku. "Dengan mesin tik tua itu?"
Aku mengangguk. "Ceritanya akan kubuat lebih panjang - dan
lebih seram. Mesin tik itu benar-benar ajaib. Aku yakin karanganku bakal jauh
lebih seram sekarang!" seruku.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan.
Aku menoleh dan melihat Emmy dan Annie Bell. Mereka
kembar, dan sekelas dengan kami. Adam menyusul di belakang si
kembar. Ia langsung menonjok pundakku. Saking kerasnya, aku
sampai menabrak deretan locker.
Emmy dan Annie berteman baik dengan Adam. Tapi mereka
tidak terlalu akrab dengan Alex dan aku.
Rambut mereka sama-sama merah keriting. Wajah mereka
sama-sama penuh bintik dan berlesung pipi. Satu-satunya cara untuk membedakan
Emmy dan Annie adalah dengan bertanya, "Kau yang
mana?" Emmy menatapku sambil nyengir. Maksudku, kuduga ia
Emmy. "Kau benar-benar percaya monster?" ia bertanya.
Mereka kembali tertawa cekikikan, seakan-akan pertanyaan
Emmy benar-benar lucu. "Bisa jadi," jawabku. "Tapi yang kumaksud bukan monster sungguhan. Aku lagi
bicara soal cerita seram yang sedang kutulis."
Dan kemudian aku menambahkan dengan nada mengejek,
"Kalian pasti tidak mengerti - soalnya kalian kan belum belajar menulis."
"Ha-ha," mereka menyahut sambil mencibir. "Kau memang lucu, Zackie."
"Lucu tampangnya!" Adam menimpali. Huh, lelucon paling
kuno di dunia. "Tapi kau memang percaya monster, kan?" Emmy kembali
bertanya. "Adam bilang kau percaya," saudara kembarnya menambahkan.
"Katanya kau percaya bahwa ada monster yang tinggal di bawah tempat tidurmu!"
"Enak saja!" seruku dengan sengit.
Mereka tertawa cekikikan.
"Adam bohong!" teriakku. Aku hendak menonjoknya, tapi ia mengelak sambil tertawa
terbahak-bahak. "Menurut Zackie, di mana-mana ada monster," Adam
mengejekku sambil nyengir ke arah Emmy dan Annie. "Dia selalu waswas kalau mau
membuka locker, karena takut akan diterjang
monster." Si kembar kembali cekikikan.
"Sudahlah," aku bergumam. "Kita bisa telat, nih." Aku berpaling ke locker-ku dan
membuka pintunya. Aku berjongkok untuk mengambil buku-bukuku. Dan tahu-tahu
sesuatu melompat keluar dari locker! Aku melihat sosok putih
berkelebat. "Hah?" aku memekik kaget.
Sosok putih lainnya segera menyusul.
Dan kemudian aku nyaris pingsan ketika sesuatu menimpa
kepalaku. Sesuatu yang hidup! Aku jatuh berlutut. Kupegang kepalaku untuk melepaskan
makhluk itu. Aku merasakan cakar-cakar tajam menjambak rambutku.
"Tolong!" aku memekik. "Tolong!"
Chapter 11 MAKHLUK itu merambat di kepalaku.
Lalu turun lewat tengkukku dan menyelinap ke dalam bajuku.
Badannya yang panas meluncur di kulitku. Cakarnya terasa
menusuk-nusuk. "Tolong! Tolong!" Aku langsung bangkit, lalu menggeliat-geliut sambil menendang-
nendang dan mengentak-entakkan kaki.
Kalang kabut aku berusaha menepuk punggung.
Adam melangkah maju. Ia menyentuh pundakku, dan menarik
bajuku dari belakang. Lalu ia mencomot makhluk yang ada di punggungku.
Disodorkannya makhluk itu ke depan mataku. "Wow! Ada
monster lho!" ia berseru. "Ih, aku jadi ngeriii!"
Aku masih gemetaran ketika aku menatap makhluk di tangan
Adam. Seekor tikus berbulu putih.
Seekor tikus kecil berbulu putih.
Emmy dan Annie tertawa terpingkal-pingkal di samping Adam.
Alex pun ikut tertawa. "Zackie, kayaknya kau memang dihantui monster di mana-
mana!" seru Annie. "Termasuk monster putih yang lucu!"
Tawa mereka makin berderai-derai.
"Kalian lihat bagaimana dia melompat-lompat tadi?" tanya Adam. Langsung saja ia
meniru gerak-gerikku. Ia menepuk kepala
dan tengkuknya sambil mengentak-entakkan kaki ke lantai.
"Asyik!" seru Emmy dan Annie berbarengan. Tawa mereka
seakan-akan tak ada habisnya. Akhirnya Alex berhenti tertawa. Ia
menghampiriku dan menepis sesuatu dari pundakku.
"Bulu tikus," ia bergumam.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian ia berpaling kepada yang lain. "Jangan ganggu
Zackie terus, dong," katanya. "Suatu hari dia bakal jadi pengarang cerita horor
terkenal." "Suatu hari dia bakal jadi penakut terkenal!" seru Annie.
Emmy langsung mengerutkan tubuh dan pura-pura gemetar.
"Hiii, aku takut...."
"Yang benar saja!" Adam menimpali. "Pengarang cerita horor kok takut tikus!"
Emmy dan Annie menganggap hal itu lucu sekali. Tiba-tiba
Emmy melirik arlojinya - dan memekik. "Aduh, kita telat!"
Ia dan saudara kembarnya segera berbalik dan berlari
menyusuri koridor. Adam mengantongi tikus tadi dan langsung
menyusul mereka. Aku berlutut untuk mengambil buku-buku di dasar locker. Kali
ini aku lebih berhati-hati. Aku harus memastikan tak ada kejutan lagi untukku.
Alex berdiri di belakangku. "Kau tidak apa-apa?" ia bertanya.
"Jangan ganggu aku!" hardikku.
"Lho, memangnya apa salahku?" tanya Alex.
"Pokoknya, jangan ganggu aku," aku bergumam. Aku tidak
ingin ditemani Alex. Aku tidak ingin ditemani siapa pun.
Aku malu bercampur jengkel.
Masa sih aku sampai menjerit-jerit gara-gara seekor tikus
mungil" Di depan orang banyak, lagi! Dasar payah, aku berkata dalam hati.
Aku memasukkan semua buku dan Trapper Keeper ke dalam
ransel. Kemudian aku bangkit dan menutup locker.
Alex berdiri sambil bersandar ke dinding. "Aku kan sudah
bilang, aku tidak mau diganggu!" aku membentaknya sekali lagi.
Ia hendak menyahut, tapi segera terdiam ketika Mr. Conklin,
kepala sekolah kami, muncul di ujung koridor.
Mr. Conklin bertubuh tinggi kurus, dengan wajah sempit yang
selalu merah dan sepasang telinga besar mirip gagang cangkir. Ia
selalu bicara cepat sekali. Ia selalu bergegas seakan-akan takut
terlambat. Dan ia selalu seolah bergerak ke delapan arah sekaligus.
Ia menatap Alex, lalu aku. "Siapa yang melepaskan tikus-tikus dari lab?" ia
bertanya dengan napas terengah-engah.
"T-tikusnya ada di locker Zackie...," kata Alex tergagap-gagap.
Sebelum Alex sempat menjelaskan semuanya, Mr. Conklin
sudah memicingkan mata padaku. Wajahnya semakin merah.
"Zackie, aku perlu bicara denganmu. Di kantorku," Mr. Conklin berkata dengan
tegas. "Sekarang juga."
Chapter 12 AKU lebih banyak diam pada waktu makan malam.
Semula aku bingung apakah aku perlu menceritakan kejadian-
kejadian di sekolah pada Mom dan Dad. Tapi akhirnya aku
memutuskan untuk tetap tutup mulut.
Aku tidak mau mereka ikut menertawakanku. Dan aku tidak
ingin mereka malah bertanya macam-macam.
Sedangkan kepala sekolah cuma memberi peringatan agar aku
tidak memasukkan makhluk hidup ke dalam locker.
Sehabis makan malam, Dad dan aku memasukkan piring-piring
ke mesin cuci piring dan membereskan meja. Aku sedang menyeka
meja makan ketika Alex muncul. "Hei, bagaimana tadi?" ia langsung bertanya.
"Apakah Mr. Conklin..."
Aku segera membekapnya agar ia tidak melanjutkan kalimat
itu. Mom dan Dad memperhatikan kami dari ruang sebelah. "Ada
apa dengan Mr. Conklin?" tanya Mom.
"Orangnya baik," sahutku.
Aku menyeret Alex ke ruang TV. "Jadi, semuanya beres?" ia kembali bertanya.
"Beres?" aku memekik. "Apanya yang beres?"
"Yah...," ia bergumam.
"Semuanya kacau!" seruku. "Benar-benar kacau! Sepanjang hari aku ditertawakan
anak-anak di sekolah. Ke mana pun aku pergi, anak-anak berlagak jadi tikus dan
bercicit-cicit." Alex hendak tersenyum, tapi akhirnya tidak jadi. "Aku sendiri tidak mengerti
kenapa aku begitu panik tadi pagi," ujarku. "Aku jadi malu. Aku..."
"Itu kan cuma lelucon," Alex menyela. "Jangan terlalu dipikirkan."
"Bicara memang enak," aku menggerutu. "Bukan kau yang dirambati seratus makhluk
pengerat." "Seratus?" ujar Alex. "Bukannya cuma satu?"
"Rasanya seperti seratus," aku bergumam. Kemudian aku
mengalihkan pembicaraan. "Coba lihat ini," kataku.
Aku menghampiri meja di jendela. Sepulang sekolah, aku
sempat bekerja selama tiga jam di situ. Aku meraih setumpuk kertas.
"Apa itu?" tanya Alex seraya mendekatiku.
"Cerita monster yang sudah kutulis ulang," sahutku sambil memperlihatkan kertas-
kertas penuh tulisan tangan. "Ceritanya jadi semakin seram."
Alex mengambil tumpukan kertas itu dan membacanya sekilas.
Lalu ia menatapku sambil memicingkan mata. "Kok tidak pakai mesin tik tua itu?"
"Tentu saja tidak," aku menjawab sambil mengambil kembali kertas-kertas itu.
"Rancangan pertama selalu kutulis tangan. Nanti, kalau sudah hampir beres, baru
kuketik." Aku meraih pulpen di meja. "Aku memakai pulpen antik yang
diberikan wanita di toko itu," kataku pada Alex. "Pulpennya bagus sekali. Aliran
tintanya lancar. Sampai sekarang aku masih heran
kenapa dia menghadiahkan pulpen ini padaku."
Alex tertawa. "Kau memang aneh, Zackie. Baru kali ini aku
punya teman yang tergila-gila pada pulpen dan mesin tik." Dan kemudian ia
menambahkan, "Tapi asyik juga, sih."
Aku menatap tulisanku. "Sekarang aku mau mulai mengetik,"
ujarku. "Wah, aku sudah tak sabar."
Langsung saja aku mengajak Alex ke kamar. Aku sudah hampir
sampai di meja belajar ketika aku mendadak berhenti.
Dan memekik kaget. Mesin tik itu lenyap.
Chapter 13 ALEX dan aku tercengang menatap meja belajarku yang
kosong. Alex membetulkan letak kacamatanya.
"M-mesin tiknya hilang," aku tergagap-gagap. Lututku mulai gemetar. Aku terpaksa
berpegangan pada lemari pakaian untuk
menjaga keseimbangan. "Aneh," Alex bergumam sambil menggelengkan kepala. "Kau yakin..."
"Mesin tiknya menguap begitu saja!" aku menyela. "Tapi bagaimana mungkin?"
"Apa yang menguap begitu saja?" terdengar suara berkata dari arah pintu.
Aku berbalik - dan melihat Dad masuk ke kamarku. Ia sedang
menggotong mesin tik tua itu.
"Dad - kenapa...?" aku bertanya.
Mesin tikku ditaruhnya di meja. Kemudian ia mengusap
rambutnya yang hitam keriting, dan menatapku sambil tersenyum
lebar. "Mesin tiknya baru saja kubersihkan, Zackie," katanya.
"Sekalian kupasangi pita baru."
Ia menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Ternyata
pita mesin tik sudah susah dicari sekarang," ia menambahkan.
"Rupanya hanya sedikit orang yang masih memakai mesin tik."
Alex tertawa. "Zackie pikir mesin tiknya menguap begitu saja!"
Aku langsung melotot padanya. "Jangan macam-macam, Alex,"
bisikku. Ia menatapku sambil nyengir.
Dad menggelengkan kepala. "Mesin tik ini terlalu berat untuk menguap begitu
saja," komentarnya sambil menghela napas.
"Beratnya satu ton! Lebih berat daripada komputer!"
Aku menghampiri mesin tikku dan mengusap-usap
permukaannya yang licin. "Terima kasih, Dad," ujarku.
"Penampilannya jadi tambah gaya."
"Beberapa tombolnya agak macet tadi," Dad menambahkan.
"Jadi kuberi oli sedikit. Mestinya semuanya sudah lancar sekarang, Zackie. Kau
bakal menulis banyak cerita seru dengan mesin tik ini."
"Terima kasih, Dad," aku berkata sekali lagi.
Aku sudah tak sabar. Aku ingin segera mulai mengetik.
Langsung saja aku membuka laci meja belajar dan mengambil
beberapa lembar kertas. Kemudian aku sadar Dad belum pergi. Ia
masih berdiri di pintu sambil memperhatikan Alex dan aku.
"Mom lagi ke rumah Janet Hawkins, tetangga kita yang baru di seberang jalan," ia
berkata. "Barangkali kalian berdua mau jalan-jalan sebentar untuk beli es krim.
Kebetulan udaranya lagi enak."
"Ehm... terima kasih," ujar Alex, "tapi aku baru saja makan puding di rumah.
Tadi, sebelum datang kemari."
"Dan aku ingin segera mengetik cerita seramku yang baru," aku menimpali.
Dad menghela napas. Ia tampak kecewa.
Begitu Dad pergi, aku langsung duduk di depan mesin tik dan
memasukkan selembar kertas.
Alex menarik kursi dan duduk di sebelahku. "Boleh aku coba
mesin tik itu nanti?" ia bertanya.
"Ya, ya, ya. Tapi setelah aku selesai," sahutku dengan ketus.
Aku benar-benar sudah tidak sabar.
Aku mengamati tuts-tuts huruf yang berbentuk bulat dan
berwarna hitam. Kemudian aku mencondongkan badan ke depan, dan
mulai mengetik. Mengetik dengan mesin tik sangat berbeda daripada mengetik
dengan komputer. Yang jelas, tutsnya harus ditekan jauh
lebih keras. Aku butuh waktu untuk membiasakan diri. Aku menulis kalimat
pertama: MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI.
"Hei...!" aku memekik kaget ketika kilat membelah langit malam di luar.
Seketika hujan turun dengan deras.
Disusul suara menggelegar yang membuat seluruh rumah
bergetar. Lampu-lampu mendadak padam, dan aku diselubungi
kegelapan. "Zackie...?" Alex memanggil dengan suara pelan. "Zackie"
Zackie" Kau tidak apa-apa?"
Chapter 14 AKU menelan ludah. "Aku tidak apa-apa," ujarku pelan.
Alex satu-satunya orang di seluruh dunia yang tahu aku takut
gelap. Aku takut tikus. Dan aku takut gelap.
Memang begitu adanya. Mau bagaimana lagi"
Dan masih banyak hal lain yang juga kutakuti.
Aku takut anjing besar. Aku takut turun ke ruang bawah tanah
kalau sedang sendirian di rumah. Aku takut melompat ke bagian
kolam renang yang dalam. Beberapa hal yang membuatku ngeri sudah kuceritakan pada
Alex. Tapi tidak semuanya.
Habis, lumayan memalukan, sih.
Tapi kenapa aku malah menulis cerita seram padahal begitu
banyak hal yang kutakuti"
Entahlah. Barangkali karena aku tahu bagaimana rasanya kalau
kita ketakutan. "Lampunya langsung mati," kata Alex. Ia berdiri di sampingku sambil membungkuk
agar dapat melihat ke luar jendela. "Biasanya kedap-kedip dulu."
Hujan deras menerpa jendelaku. Petir menyambar berkali-kali.
Aku tetap duduk sambil memegang tepi kursiku. "Untung saja
Adam tidak di sini," aku bergumam. "Dia pasti akan mengejekku kalau melihatku
begini." "Tapi kau tidak terlalu takut - ya, kan?" tanya Alex.
Bunyi menggelegar di luar nyaris membuatku melompat berdiri.
"Lumayan, sih," aku berterus terang.
Dan kemudian aku mendengar suara langkah. Langkah berat
berdebam-debam. Guntur kembali berdentam.
Aku berpaling dari jendela. Dan mendengarkan langkah kaki
yang berdebam-debam pada karpet di koridor.
"Siapa itu?" aku berseru dalam kegelapan.
Aku melihat cahaya kuning menari-nari di pintu. Sebuah
bayangan melintas di dinding koridor.
Dad masuk ke kamarku. "Aneh sekali," katanya. Ia membawa dua lilin yang
terpasang di tempat lilin. Apinya merebah dan hampir padam ketika Dad
menghampiri meja belajarku.
"Badai ini mendadak sekali," komentar Dad sambil menaruh kedua lilin di mejaku.
"Kau tidak apa-apa, Zackie?"
Aku, lupa. Dad juga tahu aku takut gelap.
"Aku tidak apa-apa," jawabku. "Tapi, terima kasih Dad sudah membawakan lilin."
Dad memandang ke luar jendela. Kami nyaris tidak bisa melihat
apa-apa karena hujannya begitu lebat.
"Padahal beberapa detik lalu langit masih cerah," lanjut Dad. Ia membungkuk
sedikit agar dapat melihat lebih jelas. "Bagaimana mungkin badai sehebat ini
bisa datang begitu mendadak?"
"Ya, ini memang aneh," aku membenarkan.
Selama satu menit kami memandang hujan di luar. Kilatan petir
membuat pekarangan belakang berkilau bagaikan perak.
"Dad mau menelepon Mom dulu," ujar Dad. "Lebih baik Mom menunggu di rumah Miss
Hawkins sampai badainya reda." Ia
menepuk punggungku dan keluar dari kamarku.
"Dad tidak bawa lilin?" aku berseru padanya.
"Tidak usah," ia menyahut. "Di ruang bawah tanah ada senter."
Kemudian ia menghilang dari pandangan.
"Sekarang bagaimana?" tanya Alex. Wajahnya tampak
berwarna jingga karena cahaya lilin. Matanya bersinar-sinar, bagaikan mata
kucing. Aku kembali berpaling pada mesin tikku. "Kayaknya asyik juga menulis di bawah
cahaya lilin," ujarku. "Cerita seram mestinya selalu ditulis di bawah cahaya
lilin. Aku yakin semua pengarang cerita seram terkenal menulis seperti itu."
"Yeah, asyik juga, ya," ujar Alex.
Aku menggeser tempat lilin. Cahaya kekuningan menari-nari
pada tuts mesin tik. Kemudian aku mencondongkan badan ke depan dan membaca
kalimat pertama ceritaku:
MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI.
Lalu aku menekan space bar dan menulis kalimat kedua:
ANGIN MULAI MENDERU-DERU.
Aku kembali menekan space bar. Dan bersiap-siap untuk
mengetik kalimat berikut.
Tapi tiba-tiba aku tersentak kaget karena mendengar bunyi
berderak-derak. "Suara apa itu?" aku memekik.
"Jendela," Alex berkata sambil menunjuk.
Angin di luar bertiup kencang, mengguncang-guncang daun
jendela. Tapi di tengah deru angin aku juga mendengar suara lain. Suara
melolong yang aneh. Aku mencengkeram pegangan tangan kursi belajarku.
"Kaudengar itu?" aku bertanya pada Alex.
Ia mengangguk, memandang ke luar jendela sambil
memicingkan mata. "Cuma angin kok," ujarnya.
Bunyi melolong itu bertambah kencang ketika angin berputar-
putar di sekeliling rumah. Jendelaku sampai bergetar-getar.
Lolongan itu semakin melengking, nyaris menyerupai suara
manusia. Aku langsung merinding. Pegangan kursi kugenggam semakin erat. Dengan susah payah
aku berhasil mengendalikan rasa takut yang mulai menguasai diriku.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cuma badai, aku berkata dalam hati. Cuma angin dan hujan
deras. Aku menatap kata-kata yang telah kuketik. Huruf-huruf hitam
yang tampak jelas sekali dalam cahaya lilin yang kelap-kelip:
ANGIN MULAI MENDERU-DERU.
Aku mendengarkan lolongan melengking di luar. Lolongan itu
seakan-akan menyelubungi diriku, menyelubungi rumahku.
"Aneh sekali," aku bergumam.
Dan selanjutnya segala sesuatu bertambah aneh lagi.
Chapter 15 "CERITAMU kok tidak maju-maju, sih?" tanya Alex.
"Habis, badai ini...," sahutku.
Ia meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Hei - kau
gemetaran!" serunya.
"Enak saja!" aku membantah.
"Ya. Kau gemetaran," kata Alex berkeras.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," ujarku sambil berusaha agar suaraku tidak ikut
bergetar. "Mungkin kau bisa lebih tenang kalau kau berkonsentrasi pada ceritamu," usul
Alex. "Ya, ceritaku," aku bergumam sambil mengangguk-angguk.
Tiba-tiba seluruh rumah terguncang karena bunyi guntur yang
menggelegar. Aku memekik kaget. "Aduh, bunyinya kok dekat benar?"
seruku. "Petir dan gunturnya seperti ada di pekarangan belakang!"
Alex memegang bahuku dan memaksaku berpaling ke mesin
tik. "Ayo, mengetiklah," ia berkata dengan tegas. "Anggap saja tidak ada badai.
Pokoknya mulai mengetik saja, deh."
Dengan patuh aku menaruh jari pada tuts mesin tik tua itu.
Kedua lilin di meja belajarku telah bertambah pendek, sehingga
cahaya keduanya tak lagi menerangi kertas di hadapanku.
Aku mulai mengetik lagi: ALEX DAN ZACKIE SENDIRIAN DI RUMAH YANG
GELAP GULITA. HATI MEREKA BERDEBAR-DEBAR KARENA
BADAI YANG MENGAMUK DI LUAR.
Hujan deras menerpa jendela kamarku. Kilat kembali
menyambar, dan aku sempat melihat pohon-pohon di pekarangan
belakang membungkuk dan bergetar akibat angin kencang.
"Eh, cerita ini tentang kita, ya?" tanya Alex. Ia berdiri di belakangku sambil
membungkuk agar dapat membaca kata-kata yang
kuketik. "Tentu saja," sahutku. "Kau kan tahu ceritaku selalu berkisah tentang kita dan
teman-teman di sekolah. Sebab dengan begitu aku
lebih mudah menggambarkan semuanya."
"Pokoknya, aku tidak mau sampai dimakan monster!" Alex
berkata tegas. "Aku mau jadi jagoan dalam ceritamu. Bukan hidangan makan malam!"
Aku tertawa. Lalu aku sekali lagi tersentak kaget karena gelegar guntur.
Aku kembali berpaling ke mesin tikku. Tapi aku terpaksa
memicingkan mata untuk membaca kalimat-kalimat yang telah
kutulis. "Lilin-lilin ini kurang terang," aku mengeluh. "Bagaimana para pengarang zaman
dulu bisa bekerja" Lama-lama mereka pasti buta
semua!" "Sebaiknya kita ambil lilin lagi," Alex menyarankan.
"Ide bagus," sahutku.
Alex dan aku masing-masing meraih satu tempat lilin, lalu
keluar ke koridor. Api lilin menari-nari. Bunyi langkah kami tak terdengar karena
gemuruh hujan yang menerpa atap.
"Dad?" aku memanggil. "Hei, Dad - kami perlu lilin lagi!"
Tak ada jawaban. Kami masuk ke ruang duduk. Dua lilin tampak menyala di atas
perapian. Dua lagi dipasang di meja di depan sofa.
"Dad?" aku memanggil. "Dad di mana?"
Sambil mengangkat lilin tinggi-tinggi, Alex dan aku pindah ke
ruang TV. Lalu ke dapur. Lalu ke kamar tidur Mom dan Dad.
Tapi Dad tidak ada. Lilin di tanganku kupegang erat-erat ketika aku membuka pintu
ke ruang bawah tanah. "Dad" Dad di bawah, ya?"
Hening. Aku merinding. Kemudian aku berpaling pada Alex. "Dia - dia
tidak ada!" aku tergagap-gagap. "Kita sendirian di sini!"
Chapter 16 "DIA pasti di sini," balas Alex. "Mana mungkin dia keluar di tengah hujan badai
begini?" "Mungkin dia mau beli es krim?" aku menduga-duga. "Dia pasti sedang sangat ingin
makan es krim." Alex mengerutkan kening. "Masa sih ayahmu mau menantang
badai untuk beli es krim" Yang benar saja!"
"Kau belum kenal ayahku, sih!" sahutku. "Kalau sudah maunya, apa pun akan
dilakukannya." "Dia pasti ada di sini," Alex berkeras. Ia meletakkan lilinnya dan menempelkan
tangan ke sekeliling mulut. "Mr. Beauchamp" Mr.
Beauchamp?" ia memanggil-manggil.
Tak ada jawaban. Angin menderu-deru di luar jendela ruang
duduk. Kilat menyambar-nyambar dan membelah kegelapan malam.
"Hei...!" aku memekik.
Sepintas lalu aku melihat mobil di depan garasi. Mobil Dad.
Aku menghampiri jendela dan memandang keluar.
"Ternyata Dad tidak naik mobil," kataku. "Mobilnya masih di sini. Dan dia tidak
mungkin jalan kaki."
"Mr. Beauchamp" Mr. Beauchamp?" Alex kembali memanggil.
"Aneh," aku bergumam. "Masa sih Dad pergi tanpa
memberitahu kita" Dia - dia menghilang begitu saja."
Mata Alex bersinar-sinar. Raut mukanya berubah. Ia menatapku
sambil memicingkan mata. "Ada apa?" tanyaku. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Zackie - apa kata-kata terakhir yang kauketik tadi?" ia
bertanya. "Hah?" "Kata-kata terakhir ceritamu," ujarnya tidak sabar. "Apa yang kauketik?"
Aku mencoba mengingatnya. Kemudian aku berkata:
"ALEX DAN ZACKIE SENDIRIAN DI RUMAH YANG
GELAP GULITA. HATI MEREKA BERDEBAR-DEBAR KARENA
BADAI YANG MENGAMUK DI LUAR."
Alex mengangguk-angguk dengan serius. "Memangnya
kenapa?" tanyaku. "Apa hubungan ceritaku dengan semuanya ini?"
"Masa kau belum sadar juga?" sahut Alex. "Kau menulis bahwa kita sendirian di
dalam rumah - dan sekarang kita benar-benar
sendirian." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Aku tetap tidak
mengerti maksudnya. "Zackie - ini benar-benar hebat!" Alex berseru. "Apa kalimat pertama dalam
ceritamu?" Aku menyebutkannya: "MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI."
"Ya!" seru Alex berapi-api. Ia membelalakkan mata. Lilin di tangannya bergetar.
"Ya! Badai! Padahal tadinya langit masih cerah -
ya, kan?" "Hah?" Aku semakin bingung.
"Ayahmu bilang langit masih cerah. Ya, kan" Karena itu dia
mau beli es krim." "Yeah. Oke. Terus kenapa?" tanyaku.
Alex menggelengkan kepala. "Setelah itu kau menulis bahwa
kota dilanda badai. Dan ternyata langsung terjadi badai."
Hina Kelana 31 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Kitab Pusaka 14
Chapter 1 "DULU sih aku percaya monster," kata Alex. Ia membetulkan letak kacamatanya yang
telah bergeser sedikit, lalu mengerut-ngerutkan
hidung. Dengan wajahnya yang kemerahan dan pipinya yang
menggembung, ia kelihatan seperti kelinci besar berambut pirang.
"Waktu aku kecil, kupikir ada monster di laci kaus kakiku,"
Alex melanjutkan. "Kau pasti tak percaya, Zackie, tapi laci itu tak pernah
kubuka. Aku tak pernah pakai kaus kaki. Waktu TK aku malah maunya telanjang kaki
saja. Aku terlalu ngeri membuka laci itu. Aku yakin tanganku bakal putus digigit
monster kaus kaki." Ia tertawa. Tawa Alex aneh sekali. Kedengarannya lebih mirip
suara orang sakit asma daripada tawa. "Wheeeeeeh! Wheeeeeeh!"
Ia menggelengkan kepala, dan kuncirannya ikut bergoyang-
goyang. "Tapi sekarang aku sudah dua belas tahun, dan sudah jauh lebih pintar,"
ujarnya. "Sekarang aku sudah tahu yang namanya monster sebenarnya tidak ada."
Itu yang dikatakan Alex padaku dua detik sebelum kami
diserang monster. Saat itu liburan musim semi, dan Alex dan aku sedang mencari
benda-benda yang bisa dikoleksi. Itulah yang kami lakukan kalau
kami lagi kurang kerjaan.
Kadang-kadang kami mengumpulkan tumbuhan liar berbentuk
aneh. Kadang-kadang kami mengumpulkan serangga. Atau daun
berbentuk unik. Suatu ketika kami berusaha mengumpulkan batu yang mirip
wajah orang terkenal. Tapi hobi itu tidak bertahan lama, sebab
hasilnya tidak seperti yang kami harapkan.
Kalau kau mendapat kesan kota tempat tinggal kami - Norwood
Village - termasuk kota yang membosankan, kau seratus persen
benar! Maksudnya, kota tempat tinggal kami memang membosankan,
sampai kami diserang monster.
Alex Iarocci dan aku bertetangga. Ia sahabat karibku.
Adam Levin, yang tinggal di kota seberang, juga sahabat karibku.
Menurutku, kita seharusnya punya sahabat karib sebanyak mungkin!
Kau pasti menyangka Alex cowok - ya, kan" Salah! Ia cewek.
Aku juga tidak tahu kenapa ia diberi nama cowok. Namanya mungkin
kependekan dari Alexandria. Tapi itu cuma dugaanku saja. Ia tak
pernah mau terus terang tentang itu.
Yang jelas ia sering mengeluh soal namanya. Sebab gara-gara
nama itu, ia sering mendapat masalah.
Tahun lalu di sekolah, Alex dimasukkan ke kelas olahraga anak
cowok. Dan ia sering menerima surat dengan alamat Mr. Alex Iarocci.
Namaku sendiri juga agak merepotkan. Zackie Beauchamp.
Nama belakangku seharusnya dibaca BEECH-am. Tapi orang-orang
selalu salah mengucapkannya.
Barangkali kau heran kenapa aku begitu sibuk membahas soal
nama ini, ya" Masalahnya begini. Waktu kami diserang monster, aku begitu ketakutan sampai-
sampai aku lupa namaku sendiri.
Alex dan aku telah memutuskan untuk mengumpulkan cacing
tanah. Cacing tanah ungubukan yang cokelat.
Biar lebih menarik. Kemarin hujan turun sepanjang hari. Dan tanah di pekarangan
belakang masih becek dan lembek.
Cacing-cacing bermunculan di permukaan tanah untuk mencari
udara. Mereka menyembul di tengah rumput basah. Lalu menggeliat-
geliut sampai ke depan garasi.
Alex dan aku sedang mondar-mandir sambil membungkuk
untuk mencari cacing ungu - ketika aku mendengar bunyi berdecap
nyaring di belakangku. Aku segera berbalik. Dan memekik kaget ketika aku melihat monster itu. "Alex -
lihat!" Ia menoleh - dan membelalakkan mata. Dari mulutnya keluar
bunyi, "Wheeeh!" Tapi kali ini bukan karena tertawa.
Aku melepaskan cacing yang sedang kupegang, dan langsung
melompat mundur. "K-kelihatannya seperti jantung manusia!" seru Alex. "Jantung raksasa!"
Ia benar. Monster itu kembali berdecap-decap ketika melintasi rumput ke
arah kami. Ia bergulir bagaikan bola pantai raksasa, lebih tinggi daripada Alex
dan aku. Hampir setinggi garasi!
Kulitnya basah dan berwarna pink. Tubuhnya berdenyut-
denyut. NGUNG NGUNG NGUNG. Gerakannya berirama, bagaikan
detak jantung. Bagian atas gumpalan pink itu seakan-akan penuh ular yang
saling melilit. Aku sampai membelalakkan mata karena ngeri. Tapi
kemudian aku sadar yang kulihat bukan ular, melainkan urat nadi
berwarna ungu yang tumpang-tindih.
NGUUUNG NGUNG NGUUNG. Monster itu terus berdenyut-
denyut. "Ohhh!" aku mengerang jijik ketika melihat jejak lendir putih yang
ditinggalkannya di rumput.
Alex dan aku mundur cepat-cepat. Kami tidak berani
membelakangi makhluk mengerikan itu.
"Uhh uuh uuh!" aku mengerang ketakutan. Jantungku berdegup kencang.
Aku mundur selangkah. Dan selangkah lagi.
Dan sambil mundur, aku melihat bagian tengah tubuh makhluk
itu tiba-tiba retak. Mula-mula aku menyangka monster pink itu akan terbelah.
Tapi kemudian retakan itu bertambah lebar, dan aku sadar retakan itu adalah
mulutnya. Mulutnya membuka lebar. Semakin lebar.
Cukup lebar untuk menelan manusia!
Kemudian sebuah lidah besar berwarna ungu menjulur keluar.
Lidahnya berbunyi PLOP ketika jatuh ke rumput.
"Ohhh." Aku kembali mengerang. Perutku serasa diaduk-aduk.
Ujung lidah itu berbentuk seperti sekop. Sekop berwarna ungu yang besar dan
lengket. Apakah untuk menyekop manusia ke dalam mulutnya"
Lendir kental putih menetes-netes dari mulut si monster.
"Lari!" teriak Alex.
Aku berbalik - dan tersandung di pinggir jalan masuk mobil.
Aku langsung terempas. Siku dan lututku membentur aspal.
Cepat-cepat aku menoleh ke belakang - dan melihat mulut monster itu menganga
seperti gua, sementara lidahnya melilit tubuhku dan
menarikku mendekat... dan mendekat.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 2 ALEX menatapku dengan mulut terbuka. "Wow, heboh!"
serunya. Adam menggaruk-garuk kepala dan menatapku sambil
meringis. "Itu yang kausebut seram?" Ia geleng-geleng kepala. "Itu sih sama saja
dengan cerita Si Kancil Mencuri Ketimun."
Aku sedang memegang lembaran-lembaran kertas yang kupakai
untuk menuliskan ceritaku. Kertas itu langsung kugulung, siap
memukul kepala Adam. Ia cepat-cepat menghindar sambil tertawa.
"Ceritamu bagus sekali!" Alex kembali memuji. "Apa judulnya?"
"Petualangan Monster Gumpalan," jawabku.
"Oh, wow," Adam berkomentar dengan nada mencemooh.
"Judul itu kaupikirkan sendiri, ya?"
Alex langsung mendorong Adam. Saking kerasnya, Adam
sampai jatuh ke sofa. "Kenapa sih kau harus mengejek terus?" Alex bergumam
kesal. Kami bertiga sedang main di rumah Adam. Kami berdesak-
desakan di kamar yang oleh orangtuanya disebut ruang santai.
Padahal ruangannya sempit sekali. Hanya muat sofa dan TV.
Jangankan untuk santai. Untuk duduk saja sudah sumpek.
Sekolah tengah libur musim semi, dan kami berkumpul di
rumah Adam karena tidak punya kegiatan lain. Semalam aku
begadang untuk mengarang cerita seram tentang monster.
Aku mau jadi pengarang kalau sudah besar nanti. Aku selalu
mengarang cerita seram. Kemudian kubacakan untuk Alex dan Adam.
Tanggapan mereka selalu sama. Alex pasti bilang ia suka
ceritaku. Menurutnya, cerita-cerita yang kukarang benar-benar seram.
Saking seramnya, ia sampai dihantui mimpi buruk.
Adam pasti bilang ceritaku sama sekali tidak seram. Ia selalu
berkoar ia bisa mengarang cerita yang lebih hebat dengan satu tangan diikat ke
punggung. Tapi sampai sekarang ia belum pernah membuktikan bualannya.
Adam bertubuh besar, gendut, dan berpipi merah. Potongannya
mirip beruang. Ia suka menonjok orang dan bergulat dengan mereka.
Sekadar iseng. Tapi sebenarnya sih, anaknya baik.
Hanya saja ia tidak pernah suka karanganku. "Memangnya apa
kekurangan cerita ini?" aku bertanya padanya.
Kami berdesak-desakan di sofa. Habis, tak ada tempat lain yang
bisa diduduki. "Ceritanya tidak seram. Aku sama sekali tidak ngeri," sahut Adam. Ia meraih
seekor semut yang melintas di sandaran tangan,
menjepitnya dengan telunjuk dan jempol, lalu menjentikkannya ke
arahku. Meleset. "Menurutku sih, ceritamu benar-benar seram," ujar Alex. "Aku langsung mendapat
kesan monsternya mengerikan sekali."
"Aku sih tidak pernah ngeri kalau membaca buku atau cerita,"
Adam berkeras. "Apalagi cerita konyol tentang monster."
"Hmm, kalau begitu apa dong yang bisa membuatmu ngeri?"
tanya Alex. "Tidak ada," Adam menyombongkan diri. "Film horor juga biasa saja buatku. Aku
tidak pernah takut."
Lalu ia membuka mulut lebar-lebar dan menjerit ketakutan.
Alex dan aku juga ikut menjerit ketakutan.
Kami sampai melompat dari sofa - ketika mendengar teriakan
yang membuat bulu kuduk berdiri itu. Dengan mata terbelalak aku
melihat bayangan hitam melintas di lantai.
Chapter 3 BAYANGAN itu melesat di depan kaki kami. Melesat begitu
cepat, aku hampir tidak melihatnya.
Aku merasakan sesuatu menyerempet mata kakiku. Sesuatu
yang lembut - seperti hantu.
"Aaaah!" teriak Adam.
Aku mendengar suara langkah bergegas dari ruang duduk. Mr.
Levin - ayah Adam - muncul di ambang pintu. Dengan rambutnya
yang hitam keriting, serta potongan badannya yang bulat dan seperti beruang, Mr.
Levin mirip sekali dengan Adam.
"Sori!" ia berseru. "Aku tidak sengaja menginjak kucing kami.
Kalian melihatnya lari ke sini?"
Kami tidak menyahut. Lalu, saking kagetnya, kami bertiga malah tertawa terbahak-
bahak. Mr. Levin menatap kami dengan kening berkerut. "Apanya sih
yang lucu," ia bergumam. Ia menemukan kucingnya bersembunyi di samping sofa.
Diangkatnya dan digendongnya kucing itu, lalu ia
langsung berbalik dan pergi.
Kami bertiga kembali duduk di sofa. Napasku masih terengah-
engah. "Tuh, betul kan, Zackie?" seru Adam. Ditepuknya punggungku keras-keras. Aku
hampir jatuh dari sofa. "Kucing lewat masih lebih seram daripada semua cerita
karanganmu." "Enak saja!" aku membantah. "Aku bisa menulis cerita yang lebih seram lagi. Kita
cuma kaget tadi." Alex melepaskan kacamata dan membersihkannya dengan
ujung T-shirt-nya. "Ih, aku sempat merinding waktu mendengar
teriakan kucingmu, Adam!" ujarnya sambil menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tidak ngeri," Adam berkoar. "Aku cuma mau menakut-nakuti
kalian." Ia mengulurkan tangan dan memoles
kepalaku. Aku paling sebal kalau kepalaku dipoles.
Karena itu aku langsung menonjoknya sekeras, mungkin.
Adam cuma tertawa. Huh, menyebalkan!
Alex dan aku makan malam di rumah Adam. Mrs. Levin pandai
memasak. Kami selalu berusaha berada di rumah Adam sekitar saat
makan malam, sebab ibunya selalu mengajak kami makan sekalian.
Hari sudah gelap ketika Alex dan aku pulang. Kemarin dan
hampir sepanjang hari ini terjadi hujan dan angin ribut. Rumput di semua
pekarangan masih berkilau-kilau basah. Jalanan yang basah
memantulkan cahaya lampu penerangan jalan.
Di kejauhan terdengar gemuruh guntur. Air hujan yang dingin
menetes-netes dari pepohonan ketika Alex dan aku berjalan menyusuri trotoar.
Adam tinggal di seberang Norwood Village. Tapi jaraknya
tidak terlalu jauh - cuma sekitar lima belas menit jalan kaki.
Setelah berjalan kira-kira lima menit, kami tiba di sederetan
toko kecil. "Hei...!" aku berseru ketika melihat toko barang antik di pojok.
"T-tokonya hancur!"
"Kelihatannya seperti habis kena ledakan bom!" seru Alex.
Kami berhenti di pojok, dan menatap toko di seberang jalan.
Sebagian atapnya ambruk. Semua kaca jendela pecah. Satu dinding
nyaris roboh. Dinding dan bagian atap yang masih utuh tampak hitam karena
jelaga. "Tampaknya habis ada kebakaran," aku bergumam sambil
menyeberang jalan. "Petir," terdengar suara seorang wanita.
Aku menoleh dan melihat dua wanita muda di trotoar di
samping toko. "Tokonya disambar petir," ujar salah satu dari mereka.
"Kemarin. Waktu ada badai. Lalu toko itu terbakar habis."
"Sayang sekali," sahut temannya. Ia merogoh tas dan
mengambil kunci mobil. Kedua wanita itu menghilang di pojok jalan.
Alex dan aku menghampiri toko yang terbakar. "Uuh, baunya,"
Alex mengerang sambil menutup hidung.
"Cuma bau gosong," aku berkomentar. Aku memandang ke
bawah dan melihat kakiku menginjak genangan air yang dalam.
Serta-merta aku melompat mundur.
"Di mana-mana becek," Alex bergumam. "Pasti karena disiram pemadam kebakaran."
Tiupan angin membuat pintu depan terbanting keras-keras.
"Hei, pintunya tidak dikunci!" seruku.
Semula pintu itu dirapatkan dengan pita perekat. Tapi pitanya
sudah terlepas. Aku melihat tanda peringatan berwarna kuning dengan tulisan
hitam: BAHAYA - DILARANG MASUK.
"Alex - coba kita intip sebentar yuk," aku mendesak.
"Jangan, deh! Zackie - jangan!" Alex memekik. Terlambat.
Aku sudah menyelinap masuk.
Chapter 4 AKU maju beberapa langkah, lalu menunggu sampai mataku
terbiasa dengan suasana remang-remang di dalam toko. Di mana-
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana air menetes. Sebuah rak sepanjang dinding tergeletak di lantai.
Berbagai vas, lampu, dan patung, kecil - semuanya pecah - tampak
berserakan di lantai yang basah.
"Zackie...!" Alex menyentuh pundakku. "Zackie lebih baik kita keluar saja!" ia
berbisik. "Ini berbahaya."
"Pintunya jangan ditutup," ujarku. "Kita perlu cahaya lampu jalanan."
"Tapi apa sih yang mau dilihat di sini?" Suaranya bergema di tengah bunyi TES
TES TES. Ia meraih tanganku dan mulai menyeretku keluar. "Ayo, dong.
Kau kan lihat tanda peringatan di luar. Bagaimana kalau seluruh
gedung tiba-tiba runtuh?"
Aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.
Sepatu ketsku berdecit-decit setiap kali aku melangkah. Karpet di lantai basah
kuyup. "Aku cuma mau lihat-lihat sebentar," sahutku jengkel. "Ini kan asyik!"
"Sama sekali tidak," balas Alex. "Ini benar-benar konyol."
Sederetan topeng antik di dinding menatap kami. Topeng-
topeng itu miring tidak keruan. Ada juga yang telah jatuh ke lantai.
Sebuah jam besar dari kayu tampak hangus di pojok ruangan.
Beberapa mainan bebek dari kayu tergeletak di depannya. Semuanya
hangus dan retak. Aku tersentak kaget ketika mendengar suara berderak. Alex
memekik tertahan di belakangku.
Aku langsung menoleh ke atas. Sebagian langit-langit telah
runtuh. Jangan-jangan sisanya mau ambruk sekarang dan menimpa
kami" "Ayo dong, Zackie!" Alex mendesak. Ia mundur ke arah pintu.
Sepatunya berdecit-decit di karpet yang basah.
Pintu depan masih terus membuka dan menutup karena tertiup
angin. TES TES TES. Air dingin menetes-netes ke pundakku.
"Kalau kau tidak mau ikut, aku pulang sendiri saja!" seru Alex.
"Aku serius, Zackie."
"Oke, oke," aku bergumam. "Sabar, dong. Aku cuma ingin tahu apa yang terjadi di
sini." "Cepat!" Alex mendesak. Ia sudah hendak melangkah keluar.
Aku membalik dan mengikutinya.
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di rak yang tinggi. Aku
langsung berhenti. "Eh, Alex...!" seruku. "Lihat, tuh!"
Aku menunjuk mesin tik tua. "Wow! Ayahku pernah punya
mesin tik seperti itu waktu aku masih kecil," ujarku.
"Zackie - aku keluar, nih," Alex mengancam.
"Aku suka mesin tik tua!" aku berseru. "Coba lihat, Alex.
Kayaknya mesin tik itu tidak rusak karena kebakaran kemarin.
Kondisinya masih bagus. Aku cuma mau lihat sebentar. Oke?"
Aku tidak menunggu jawabannya.
Langsung saja aku menghampiri rak di seberang ruangan.
Kemudian aku berjinjit dan berusaha mengambil mesin tik itu.
"ADUUUUUH!" aku berteriak kesakitan.
Seluruh tubuhku terasa sakit.
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bernapas. Dan di tengah teriakanku, aku mendengar bunyi aliran listrik
meretih-retih. Aku membungkuk - tak berdaya - ketika lidah api berwarna
biru terang menyelubungi tubuhku.
Chapter 5 BIRU. Aku cuma melihat warna biru.
Biru paling biru yang pernah kulihat.
Aku serasa melayang di langit. Melayang di langit yang biru.
Kemudian warna biru di sekelilingku memudar dan berubah menjadi
putih. Apakah aku masih melayang" Apakah aku masih bergerak"
Apakah aku masih bernapas"
Aku mencoba bicara. Berteriak. Pokoknya bersuara. Warna
putih itu segera meredup. Menjadi kelabu. Lalu hitam.
"Ohhh," aku mendengar suaraku mengerang. Gelap. Begitu
gelap. Aku diselubungi kegelapan. Aku mengedipkan mata. Satu kali.
Dua kali. Kemudian aku sadar aku sedang menatap kegelapan di
dalam reruntuhan toko barang antik.
"Zackie" Zackie?"
Aku mendengar namaku. Mendengar namaku dipanggil
berulang-ulang oleh Alex.
Aku berdeham. Lalu duduk tegak, dan memandang berkeliling.
"Zackie" Zackie" Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir rasa pening.
Seluruh tubuhku seperti ditusuk ribuan jarum kecil, seolah-olah
dilewati aliran listrik. "Bagaimana aku bisa sampai tergeletak di lantai?" tanyaku pelan-pelan.
Alex membungkuk dan menyentuh pundakku. "Kau kesetrum,"
katanya. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Mungkin ada
kabel listrik yang jatuh."
Aku menggosok-gosok tengkuk. Telingaku berdengung-
dengung, dan tubuhku masih seperti ditusuk-tusuk.
"Wow," aku bergumam.
"A-aku sampai ketakutan tadi," kata Alex. "Kau diselubungi api biru. Seluruh
tubuhmu - mendadak biru terang."
"Wow," aku mengulangi.
"Tanganmu terangkat tinggi," Alex melanjutkan. "Habis itu kau membungkuk. Dan
jatuh ke lantai. Ku-ku pikir...." Ia terdiam.
TES TES TES. Aku bisa mendengar bunyi air menetes. Rupanya
pendengaranku sudah mulai pulih.
Dengan susah payah aku berdiri. Aku mengangkat tangan
tinggi-tinggi dan meregangkan otot.
Perhatianku beralih pada mesin tik tua tadi.
"Zackie - mau apa kau?" seru Alex.
Aku menghampiri rak sambil menghindari genangan air di
karpet. Aku menarik napas dalam-dalam. Berjinjit. Lalu meraih mesin tik tua itu.
"Wah - beratnya minta ampun!" aku berseru. "Semuanya terbuat dari logam!"
Aku membawa mesin tik itu dan mengamatinya. Permukaannya
yang hitam licin memantulkan cahaya lampu jalanan di luar.
"Keren!" seruku. "Mesin tik ini, Alex - mesin tik ini cocok sekali untuk menulis
cerita seram." "Hah?" Alex memekik. "Zackie, jangan-jangan kau sudah tidak waras gara-gara
kesetrum tadi!" "Lihat saja sendiri!" aku berkeras. "Mesin tik ini sempurna.
Sempurna!" Alex geleng-geleng kepala. "Kau punya komputer baru di
rumah," ia mengingatkanku. "Dan ibumu memberimu printer laser bekas."
"Aku tahu, aku tahu," aku bergumam.
"Kau bisa mencetak delapan halaman per menit," Alex
melanjutkan. "Jadi untuk apa kau perlu mesin tik usang?"
"Aku perlu karena mesin tik ini sempurna," sahutku.
"Sempurna! Sempurna!"
"Sudahlah! Jangan melantur!" Alex berkata dengan ketus.
"Benar kau tidak apa-apa" Mungkin lebih baik aku menelepon
orangtuamu." "Jangan. Jangan. Aku baik-baik saja, kok," ujarku. Mesin tik itu mulai terasa
berat di tanganku. "Ayo, kita pulang."
Aku menuju ke pintu sambil menggotong mesin tik. Tapi Alex
mencegahku. "Jangan main ambil saja, dong!" ia menegurku. "Mesin tik ini bukan milikmu. Ini
namanya mencuri." Aku mengerutkan muka untuk mengejeknya. "Alex, jangan
konyol. Segala sesuatu di toko ini sudah hancur. Takkan ada yang
peduli kalau aku mengambil..."
Aku langsung terdiam ketika mendengar bunyi sepatu berdecit
di karpet yang basah. Disusul suara orang batuk.
Aku berpaling pada Alex. Dan melihat wajahnya yang
ketakutan. Ternyata ia juga mendengar bunyi-bunyi itu. "Zackie, ada orang lain di sini," ia
berbisik. Chapter 6 AKU kembali mendengar suara langkah. Kali ini lebih dekat.
Aku merinding. Mesin tik yang kubawa nyaris terlepas dari
tanganku. "Cepat, sembunyi," aku berbisik pada Alex. Tapi tanpa disuruh pun, ia sudah
menyelinap ke lemari pajangan yang tinggi.
Aku meletakkan mesin tik di lantai. Kemudian aku menyusul
Alex ke tempat persembunyiannya.
Sekali lagi terdengar suara orang batuk. Dan kemudian aku
melihat lingkaran cahaya menerangi karpet basah. Cahaya kekuningan lampu senter.
Cahaya itu menyapu lantai. Lalu mulai merayap naik ke rak.
Alex dan aku langsung menundukkan kepala. Lingkaran cahaya itu
melintas di atas kami. Kakiku gemetaran. Aku terpaksa memegang bagian belakang
lemari pajangan dengan dua tangan untuk menjaga keseimbangan.
"Halo?" sebuah suara memanggil. Suara wanita. "Halo" Ada siapa di sini?"
Alex berpaling padaku. Ia memberi isyarat dengan
menggerakkan dagu. Ia bertanya tanpa suara apakah kami perlu keluar dari tempat
persembunyian dan memperlihatkan diri.
Aku menggelengkan kepala. Jangan.
Aku harus bilang apa kalau wanita itu bertanya kenapa kami
berada di dalam toko" Dan kenapa kami bersembunyi"
Barangkali wanita itu akan segera pergi, aku berkata dalam hati.
Barangkali ia tidak melihat kami.
Siapa dia" aku bertanya-tanya. Apakah ia pemilik toko ini"
Aku mengintip dengan hati-hati. Aku melihat seorang wanita
berdiri di tengah ruangan. Ia keturunan Afrika. Rambutnya gelap dan dipotong
pendek sekali. Ia mengenakan jas hujan yang panjang.
Senternya diarahkan ke dinding belakang. Cahayanya
menerangi rak yang terbalik serta barang-barang antik yang telah
pecah berantakan. Ia melangkah di karpet yang basah.
"Halo?" ia memanggil. "Ada siapa di sini?"
Aku menahan napas. Moga-moga ia pergi, aku berharap dalam hati. Moga-moga ia
tidak menemukan Alex dan aku.
Wanita itu berbalik. Cahaya senternya menyorot mesin tik di
lantai. Ia mengerutkan kening.
Aku tahu ia pasti heran. Kenapa mesin tik itu bisa ada di lantai"
Perlahan-lahan ia mengalihkan senternya ke lemari pajangan.
Dan ia memandang tepat ke arah kami!
Apakah ia melihat kami bersembunyi di balik lemari yang
tinggi" Aku seperti terpaku di tempat. Aku pura-pura jadi patung.
Apakah ia melihat kami"
Tidak. Ia bergumam tak jelas. Kemudian senternya padam.
Aku mengedip-ngedipkan mata karena keadaan di sekeliling
mendadak gelap gulita. Langkah wanita itu terdengar menjauh.
Baru sekarang aku sadar bahwa aku masih menahan napas.
Perlahan-lahan aku mengembuskannya, sambil berusaha tidak
bersuara. Hening. Dan gelap. Tak ada suara langkah. Tak ada sorot lampu senter.
Pintu depan menutup dengan keras.
Alex dan aku bertukar pandang.
Apakah wanita itu telah pergi" Apakah ia telah meninggalkan
toko" Kami belum berani bergerak.
Kami menunggu. Sambil pasang telinga.
Hening.... Kemudian Alex bersin. "Nah!" wanita itu berseru dari suatu tempat di belakang kami.
Chapter 7 WANITA itu mencengkeram pundakku keras-keras.
Wajahku terkena lengan jas hujan ketika wanita itu menyeretku
dari balik lemari pajangan. Aku nyaris jatuh karena kakiku tersandung mesin tik.
Tapi wanita itu menahanku dengan sebelah tangannya.
Alex muncul di sampingku. Pita yang dipakainya untuk
menguncir rambut telah terlepas. Rambutnya yang pirang tampak
acak-acakan. Ia kelihatan gugup sekali.
Rupanya ia sama ngerinya denganku.
Wanita itu menyalakan senternya. Ia menyorot wajahku, lalu
beralih pada Alex. "Ada apa ini" Acara belanja malam-malam?" ia bertanya.
"Hah?" ujarku. "Masa kalian tidak tahu tokonya tutup?" wanita itu berkata dengan ketus.
Ia masih muda dan cantik. Ia menatapku dengan matanya yang
gelap. "Sedang apa kalian di sini?" ia kembali bertanya.
Aku membuka mulut hendak menjawab, tapi suaraku tidak mau
keluar. "Ehm... kami cuma mampir," sahut Alex pelan-pelan. "Kami tidak bermaksud apa-
apa." Wanita itu menatap Alex sambil memicingkan mata. "Kalau
begitu, kenapa kalian bersembunyi?"
"K-kami kaget melihat Anda," ujarku dengan susah payah.
"Hmm, aku juga kaget!" seru wanita itu. "Aku sedang di ruang belakang..."
"Sebenarnya kami dalam perjalanan pulang dari rumah teman.
Lalu kami melihat toko ini hancur berantakan," aku menjelaskan.
"Kami cuma ingin tahu bagaimana keadaannya di dalam. Jadi kami masuk."
Wanita itu menurunkan senter. "Hmm, begitu," ia bergumam.
Sepatunya berdecit di karpet yang basah. Air menetes tanpa
henti dari langit-langit di belakang kami.
"Huh, semuanya hancur," wanita itu berkata sambil menghela napas. Ia memandang
berkeliling. "Aku Mrs. Carter. Aku pemilik toko ini."
"K-kami turut menyesal," Alex tergagap-gagap.
"Seharusnya kalian jangan masuk ke sini," Mrs. Carter
menggerutu. "Tempat ini berbahaya sekali. Ada beberapa kabel listrik yang
terlepas. Kalian tidak menyentuh apa-apa, kan?"
"T-tidak," sahut Alex.
"Ehm... cuma mesin tik tua ini," aku berkata sambil
menatapnya. "Pantas mesin tiknya ada di lantai," ujar Mrs. Carter. "Kenapa kau
memindahkannya?" "Saya... suka mesin tik tua ini," kataku.
"Zackie suka mengarang," Alex memberitahu Mrs. Carter.
"Cerita-cerita seram."
Mrs. Carter tertawa pahit. "Wah, kau bisa menulis cerita seram tentang tempat
ini!" "Saya pasti bisa mengarang cerita seru dengan mesin tik ini,"
aku berkata sambil kembali memandangnya.
"Kau berminat?" Mrs. Carter langsung bertanya.
"Ya," jawabku. "Memangnya mau dijual" Berapa harganya?"
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mrs. Carter mengangkat sebelah tangan. "Ambil saja," katanya.
"Maaf?" Aku yakin aku pasti salah dengar.
"Ambil saja," ia mengulangi. "Kau tak perlu membayar apa-apa."
"Anda serius?" seruku dengan gembira. "Mesin tik ini boleh saya bawa pulang?"
Ia mengangguk. "Terima kasih!" Aku langsung tersenyum lebar. "Terima kasih banyak!"
Mrs. Carter membungkuk dan memungut sesuatu dari lantai.
"Ini," katanya. Ia menyerahkan sebuah pulpen padaku. Pulpen model kuno yang
berat berwarna hitam, dengan hiasan krom berwarna
keperakan. "Untuk saya?" tanyaku sambil mengamati pulpen itu.
Mrs. Carter kembali mengangguk. Ia menatapku seraya
tersenyum. "Ini Bonus-Khusus dariku. Setiap pembelian mesin tik mendapat satu
pulpen gratis." "Wow!" seruku. Mrs. Carter menghampiri pintu dan membukanya. "Sekarang
keluarlah dari sini," ia berkata. "Tempat ini sangat berbahaya. Aku juga sudah
mau pulang." Aku mengangkat mesin tik tua yang berat itu, dan sambil
menggotongnya, aku menyusul Alex ke pintu.
Aku begitu gembira! Lima kali aku mengucapkan terima kasih
pada Mrs. Carter. Kemudian Alex dan aku mengucapkan selamat
malam, dan meninggalkan toko.
Jalanan masih basah. Permukaannya berkilau-kilau karena
memantulkan cahaya lampu jalanan.
Alex dan aku berjalan berdampingan, tapi rasanya kami tak
kunjung sampai di rumah. Dan mesin tik yang kubawa seolah-olah
bertambah berat setiap kali aku melangkah.
"Aneh," Alex bergumam ketika kami akhirnya sampai di daerah kami tinggal.
"Kenapa?" aku mengerang. Tanganku serasa sudah mau copot.
Mesin tik itu terasa seberat satu ton! "Apanya yang aneh, Alex?"
"Mesin tik ini pasti cukup berharga," sahut Alex. "Tapi wanita itu memberikannya
begitu saja padamu." .
"Kenapa kau menganggapnya aneh?" tanyaku.
"Dia begitu bersemangat sewaktu memberikannya padamu.
Sepertinya dia malah bersyukur ada yang mau mengambilnya," ujar Alex. Ia
membelok ke rumahnya, yang bersebelahan dengan rumahku.
Lututku gemetaran ketika aku menuju ke rumahku. Tanganku
pegal sekali. Seluruh tubuhku pegal. Tenagaku nyaris terkuras habis untuk
menggotong mesin tik itu.
"Ada-ada saja," aku bergumam.
Aku tidak sadar bahwa ucapan Alex benar.
Aku tidak sadar bahwa mesin tik tua yang kubawa pulang itu
akan menghancurkan hidupku.
Chapter 8 DENGAN susah payah aku menggotong mesin tik itu ke dalam
rumah. Napasku terengah-engah. Tanganku bahkan sudah mati rasa.
Mom dan Dad ada di ruang duduk. Mereka duduk
berdampingan di sofa sambil mengisi teka-teki silang.
Mereka penggemar berat teka-teki silang. Aku tidak tahu apa
sebabnya. Padahal untuk urusan mengeja, keduanya benar-benar
payah. Belum pernah aku melihat mereka berhasil mengisi teka-teki silang sampai
selesai. Sering kali mereka malah bertengkar tentang cara mengeja
sebuah kata. Dan biasanya mereka lalu menyerah, dan merobek-robek teka-teki
silang itu. Beberapa hari kemudian, mereka mulai dengan teka-teki silang
baru. Keduanya menoleh ketika aku hendak membawa mesin tik ke
kamarku. "Apa itu?" tanya Mom.
"Mesin tik," sahutku.
"Mom juga tahu!" Mom memprotes. "Maksudnya - dari mana kau mendapat mesin tik
itu?" "Ehm... ceritanya panjang," aku berusaha mengelak.
Dad bangkit dari sofa dan bergegas hendak membantuku.
"Wow, berat sekali," katanya.
Kami membawa mesin tik itu ke kamarku, dan meletakkannya
di atas meja. Aku ingin segera mencobanya. Tapi Dad memaksaku
kembali ke ruang duduk bersamanya.
Aku menceritakan semuanya. Tentang toko barang antik yang
terbakar karena tersambar petir. Lalu Alex dan aku masuk untuk
melihat-lihat. Selanjutnya Mrs. Carter memberikan mesin tik itu
padaku. Tentang sengatan listrik yang membuatku terempas ke lantai
sengaja tidak kusinggung-singgung.
Orangtuaku termasuk gampang panik. Soal teka-teki silang saja
mereka bisa sampai marah-marah!
Jadi, aku tak pernah bercerita banyak pada mereka. Untuk apa
merusak suasana - ya, kan"
"Kenapa kau perlu mesin tik kuno?" Mom bertanya. Ia
menatapku sambil mengerutkan kening. "Mana ada orang yang masih memakai mesin
tik" Barang seperti itu cuma ada di toko barang
antik." "Aku akan memakainya untuk menulis cerita seram," aku
menjelaskan. "Memangnya kenapa dengan komputermu yang baru?" tanya
Dad. "Bagaimana dengan printer laser yang kami berikan padamu?"
"Tetap akan kupakai," ujarku. "Untuk membuat PR dan sebagainya."
Mom geleng-geleng kepala. "Habis ini Zackie akan menulis
dengan bulu angsa dan botol tinta," ia berkomentar.
Mereka tertawa. "Lucu sekali," aku bergumam. Aku mengucapkan selamat
malam dan bergegas ke kamarku.
Aku menyusuri koridor - lalu berhenti.
Rasanya aku mendengar sesuatu meretih-retih. Dan rasanya
bunyi itu berasal dari kamarku. "Aneh," aku bergumam.
Aku melangkah ke pintu, mengintip - dan memekik kaget!
Chapter 9 "MESIN tikku!" aku berseru.
Mesin tik itu terselubung cahaya biru terang. Bunga api
berwarna biru berdedas dan beterbangan ke segala arah.
Aku sampai melongo menyaksikan kejadian itu.
Lalu aku teringat sengatan listrik yang sempat membuatku jatuh
di toko barang antik tadi. Jangan-jangan sebagian energi listrik itu masih
tersimpan dalam mesin tikku"
Ah, mana mungkin! Tapi kenapa mesin tikku seakan-akan bermuatan listrik, dan
memancarkan cahaya biru"
"Mom! Dad!" aku memanggil. "Cepat kemari! Ada yang aneh di kamarku!"
Mereka tidak menyahut. Aku bergegas ke ruang duduk. "Cepat! Ada yang aneh!" aku berseru. "Mom dan Dad
pasti takkan percaya!"
Mereka telah kembali sibuk mengis i teka-teki silang. Dad
menoleh ketika aku muncul di pintu.
"Bagaimana caranya mengeja 'peregrine'?" ia bertanya padaku.
"Ini sejenis burung pemangsa."
"Masa bodoh!" seruku. "Mesin tikku - kurasa mesin tikku akan meledak!"
Mom dan Dad langsung bangkit dari sofa.
Aku mendahului mereka ke kamarku. Aku berhenti di pintu dan
menunjuk meja belajar. "Lihat, tuh!" aku berseru.
Kami bertiga memandang ke arah yang kutunjuk.
Menatap mesin tik. Mesin tik dari logam berwarna hitam,
dengan penggulung kertas dan tuts-tuts juga berwarna hitam.
Tak ada cahaya biru. Tak ada arus listrik. Tak ada bunga api. Tak ada bunyi
berdedas. Yang terlihat di depan kami hanyalah mesin tik tua di atas meja
belajar. "Ha ha, lucu sekali," Dad menggerutu.
Mom geleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu dari mana Zackie
punya sifat konyol begitu. Pasti bukan dari keluargaku."
"Keluargamu tidak butuh sifat konyol. Tanpa itu pun mereka
sudah konyol!" ujar Dad ketus.
Mereka meninggalkanku sambil bertengkar.
Dengan hati-hati aku masuk ke kamarku. Perlahan-lahan aku
menghampiri mesin tik di meja belajar.
Aku mengulurkan tangan, mendekati mesin tik itu.
Jaraknya tinggal satu senti.
Tapi kemudian aku berhenti.
Tanganku mulai gemetaran.
Aku menatap mesik tik yang berat itu.
Haruskah aku menyentuhnya"
Apakah aku bakal tersengat lagi"
Perlahan-lahan aku menggerakkan tanganku.
Chapter 10 ALEX membanting pintu locker-nya. Ia mengatur letak
ranselnya, lalu berpaling padaku. "Terus apa yang terjadi" Kau kesetrum lagi?"
Waktu itu keesokan pagi. Liburan musim semi telah berakhir,
dan sekolah sudah mulai lagi.
Aku sengaja mencari Alex untuk menceritakan kisah mesin tik
itu dari awal sampai akhir. Aku tahu ia satu-satunya orang di seluruh dunia yang
mau mempercayai cerita itu.
"Tidak. Aku tidak kesetrum," sahutku. "Aku menyentuhnya, dan ternyata tidak
terjadi apa-apa. Lalu aku menekan beberapa tuts.
Dan memutar penggulung kertas. Tapi juga tidak terjadi apa-apa."
Alex menatapku sambil mengerutkan kening. "Sama sekali?"
"Sama sekali." "Wah, kalau begitu ceritanya kurang seru, dong," ia
menggodaku. "Akhirnya kurang ramai."
Aku tertawa. "Memangnya kau lebih senang kalau aku
kesetrum atau semacam itu, ya?"
"Tentu saja," sahutnya.
Bel pertama telah berbunyi. Koridor sekolah sudah hampir
kosong. "Aku mau menulis ulang cerita Monster Gumpalan-ku," aku berkata pada Alex. "Aku
punya segudang ide baru. Aku sudah tak sabar ingin segera mengarang."
Alex berpaling padaku. "Dengan mesin tik tua itu?"
Aku mengangguk. "Ceritanya akan kubuat lebih panjang - dan
lebih seram. Mesin tik itu benar-benar ajaib. Aku yakin karanganku bakal jauh
lebih seram sekarang!" seruku.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan.
Aku menoleh dan melihat Emmy dan Annie Bell. Mereka
kembar, dan sekelas dengan kami. Adam menyusul di belakang si
kembar. Ia langsung menonjok pundakku. Saking kerasnya, aku
sampai menabrak deretan locker.
Emmy dan Annie berteman baik dengan Adam. Tapi mereka
tidak terlalu akrab dengan Alex dan aku.
Rambut mereka sama-sama merah keriting. Wajah mereka
sama-sama penuh bintik dan berlesung pipi. Satu-satunya cara untuk membedakan
Emmy dan Annie adalah dengan bertanya, "Kau yang
mana?" Emmy menatapku sambil nyengir. Maksudku, kuduga ia
Emmy. "Kau benar-benar percaya monster?" ia bertanya.
Mereka kembali tertawa cekikikan, seakan-akan pertanyaan
Emmy benar-benar lucu. "Bisa jadi," jawabku. "Tapi yang kumaksud bukan monster sungguhan. Aku lagi
bicara soal cerita seram yang sedang kutulis."
Dan kemudian aku menambahkan dengan nada mengejek,
"Kalian pasti tidak mengerti - soalnya kalian kan belum belajar menulis."
"Ha-ha," mereka menyahut sambil mencibir. "Kau memang lucu, Zackie."
"Lucu tampangnya!" Adam menimpali. Huh, lelucon paling
kuno di dunia. "Tapi kau memang percaya monster, kan?" Emmy kembali
bertanya. "Adam bilang kau percaya," saudara kembarnya menambahkan.
"Katanya kau percaya bahwa ada monster yang tinggal di bawah tempat tidurmu!"
"Enak saja!" seruku dengan sengit.
Mereka tertawa cekikikan.
"Adam bohong!" teriakku. Aku hendak menonjoknya, tapi ia mengelak sambil tertawa
terbahak-bahak. "Menurut Zackie, di mana-mana ada monster," Adam
mengejekku sambil nyengir ke arah Emmy dan Annie. "Dia selalu waswas kalau mau
membuka locker, karena takut akan diterjang
monster." Si kembar kembali cekikikan.
"Sudahlah," aku bergumam. "Kita bisa telat, nih." Aku berpaling ke locker-ku dan
membuka pintunya. Aku berjongkok untuk mengambil buku-bukuku. Dan tahu-tahu
sesuatu melompat keluar dari locker! Aku melihat sosok putih
berkelebat. "Hah?" aku memekik kaget.
Sosok putih lainnya segera menyusul.
Dan kemudian aku nyaris pingsan ketika sesuatu menimpa
kepalaku. Sesuatu yang hidup! Aku jatuh berlutut. Kupegang kepalaku untuk melepaskan
makhluk itu. Aku merasakan cakar-cakar tajam menjambak rambutku.
"Tolong!" aku memekik. "Tolong!"
Chapter 11 MAKHLUK itu merambat di kepalaku.
Lalu turun lewat tengkukku dan menyelinap ke dalam bajuku.
Badannya yang panas meluncur di kulitku. Cakarnya terasa
menusuk-nusuk. "Tolong! Tolong!" Aku langsung bangkit, lalu menggeliat-geliut sambil menendang-
nendang dan mengentak-entakkan kaki.
Kalang kabut aku berusaha menepuk punggung.
Adam melangkah maju. Ia menyentuh pundakku, dan menarik
bajuku dari belakang. Lalu ia mencomot makhluk yang ada di punggungku.
Disodorkannya makhluk itu ke depan mataku. "Wow! Ada
monster lho!" ia berseru. "Ih, aku jadi ngeriii!"
Aku masih gemetaran ketika aku menatap makhluk di tangan
Adam. Seekor tikus berbulu putih.
Seekor tikus kecil berbulu putih.
Emmy dan Annie tertawa terpingkal-pingkal di samping Adam.
Alex pun ikut tertawa. "Zackie, kayaknya kau memang dihantui monster di mana-
mana!" seru Annie. "Termasuk monster putih yang lucu!"
Tawa mereka makin berderai-derai.
"Kalian lihat bagaimana dia melompat-lompat tadi?" tanya Adam. Langsung saja ia
meniru gerak-gerikku. Ia menepuk kepala
dan tengkuknya sambil mengentak-entakkan kaki ke lantai.
"Asyik!" seru Emmy dan Annie berbarengan. Tawa mereka
seakan-akan tak ada habisnya. Akhirnya Alex berhenti tertawa. Ia
menghampiriku dan menepis sesuatu dari pundakku.
"Bulu tikus," ia bergumam.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian ia berpaling kepada yang lain. "Jangan ganggu
Zackie terus, dong," katanya. "Suatu hari dia bakal jadi pengarang cerita horor
terkenal." "Suatu hari dia bakal jadi penakut terkenal!" seru Annie.
Emmy langsung mengerutkan tubuh dan pura-pura gemetar.
"Hiii, aku takut...."
"Yang benar saja!" Adam menimpali. "Pengarang cerita horor kok takut tikus!"
Emmy dan Annie menganggap hal itu lucu sekali. Tiba-tiba
Emmy melirik arlojinya - dan memekik. "Aduh, kita telat!"
Ia dan saudara kembarnya segera berbalik dan berlari
menyusuri koridor. Adam mengantongi tikus tadi dan langsung
menyusul mereka. Aku berlutut untuk mengambil buku-buku di dasar locker. Kali
ini aku lebih berhati-hati. Aku harus memastikan tak ada kejutan lagi untukku.
Alex berdiri di belakangku. "Kau tidak apa-apa?" ia bertanya.
"Jangan ganggu aku!" hardikku.
"Lho, memangnya apa salahku?" tanya Alex.
"Pokoknya, jangan ganggu aku," aku bergumam. Aku tidak
ingin ditemani Alex. Aku tidak ingin ditemani siapa pun.
Aku malu bercampur jengkel.
Masa sih aku sampai menjerit-jerit gara-gara seekor tikus
mungil" Di depan orang banyak, lagi! Dasar payah, aku berkata dalam hati.
Aku memasukkan semua buku dan Trapper Keeper ke dalam
ransel. Kemudian aku bangkit dan menutup locker.
Alex berdiri sambil bersandar ke dinding. "Aku kan sudah
bilang, aku tidak mau diganggu!" aku membentaknya sekali lagi.
Ia hendak menyahut, tapi segera terdiam ketika Mr. Conklin,
kepala sekolah kami, muncul di ujung koridor.
Mr. Conklin bertubuh tinggi kurus, dengan wajah sempit yang
selalu merah dan sepasang telinga besar mirip gagang cangkir. Ia
selalu bicara cepat sekali. Ia selalu bergegas seakan-akan takut
terlambat. Dan ia selalu seolah bergerak ke delapan arah sekaligus.
Ia menatap Alex, lalu aku. "Siapa yang melepaskan tikus-tikus dari lab?" ia
bertanya dengan napas terengah-engah.
"T-tikusnya ada di locker Zackie...," kata Alex tergagap-gagap.
Sebelum Alex sempat menjelaskan semuanya, Mr. Conklin
sudah memicingkan mata padaku. Wajahnya semakin merah.
"Zackie, aku perlu bicara denganmu. Di kantorku," Mr. Conklin berkata dengan
tegas. "Sekarang juga."
Chapter 12 AKU lebih banyak diam pada waktu makan malam.
Semula aku bingung apakah aku perlu menceritakan kejadian-
kejadian di sekolah pada Mom dan Dad. Tapi akhirnya aku
memutuskan untuk tetap tutup mulut.
Aku tidak mau mereka ikut menertawakanku. Dan aku tidak
ingin mereka malah bertanya macam-macam.
Sedangkan kepala sekolah cuma memberi peringatan agar aku
tidak memasukkan makhluk hidup ke dalam locker.
Sehabis makan malam, Dad dan aku memasukkan piring-piring
ke mesin cuci piring dan membereskan meja. Aku sedang menyeka
meja makan ketika Alex muncul. "Hei, bagaimana tadi?" ia langsung bertanya.
"Apakah Mr. Conklin..."
Aku segera membekapnya agar ia tidak melanjutkan kalimat
itu. Mom dan Dad memperhatikan kami dari ruang sebelah. "Ada
apa dengan Mr. Conklin?" tanya Mom.
"Orangnya baik," sahutku.
Aku menyeret Alex ke ruang TV. "Jadi, semuanya beres?" ia kembali bertanya.
"Beres?" aku memekik. "Apanya yang beres?"
"Yah...," ia bergumam.
"Semuanya kacau!" seruku. "Benar-benar kacau! Sepanjang hari aku ditertawakan
anak-anak di sekolah. Ke mana pun aku pergi, anak-anak berlagak jadi tikus dan
bercicit-cicit." Alex hendak tersenyum, tapi akhirnya tidak jadi. "Aku sendiri tidak mengerti
kenapa aku begitu panik tadi pagi," ujarku. "Aku jadi malu. Aku..."
"Itu kan cuma lelucon," Alex menyela. "Jangan terlalu dipikirkan."
"Bicara memang enak," aku menggerutu. "Bukan kau yang dirambati seratus makhluk
pengerat." "Seratus?" ujar Alex. "Bukannya cuma satu?"
"Rasanya seperti seratus," aku bergumam. Kemudian aku
mengalihkan pembicaraan. "Coba lihat ini," kataku.
Aku menghampiri meja di jendela. Sepulang sekolah, aku
sempat bekerja selama tiga jam di situ. Aku meraih setumpuk kertas.
"Apa itu?" tanya Alex seraya mendekatiku.
"Cerita monster yang sudah kutulis ulang," sahutku sambil memperlihatkan kertas-
kertas penuh tulisan tangan. "Ceritanya jadi semakin seram."
Alex mengambil tumpukan kertas itu dan membacanya sekilas.
Lalu ia menatapku sambil memicingkan mata. "Kok tidak pakai mesin tik tua itu?"
"Tentu saja tidak," aku menjawab sambil mengambil kembali kertas-kertas itu.
"Rancangan pertama selalu kutulis tangan. Nanti, kalau sudah hampir beres, baru
kuketik." Aku meraih pulpen di meja. "Aku memakai pulpen antik yang
diberikan wanita di toko itu," kataku pada Alex. "Pulpennya bagus sekali. Aliran
tintanya lancar. Sampai sekarang aku masih heran
kenapa dia menghadiahkan pulpen ini padaku."
Alex tertawa. "Kau memang aneh, Zackie. Baru kali ini aku
punya teman yang tergila-gila pada pulpen dan mesin tik." Dan kemudian ia
menambahkan, "Tapi asyik juga, sih."
Aku menatap tulisanku. "Sekarang aku mau mulai mengetik,"
ujarku. "Wah, aku sudah tak sabar."
Langsung saja aku mengajak Alex ke kamar. Aku sudah hampir
sampai di meja belajar ketika aku mendadak berhenti.
Dan memekik kaget. Mesin tik itu lenyap.
Chapter 13 ALEX dan aku tercengang menatap meja belajarku yang
kosong. Alex membetulkan letak kacamatanya.
"M-mesin tiknya hilang," aku tergagap-gagap. Lututku mulai gemetar. Aku terpaksa
berpegangan pada lemari pakaian untuk
menjaga keseimbangan. "Aneh," Alex bergumam sambil menggelengkan kepala. "Kau yakin..."
"Mesin tiknya menguap begitu saja!" aku menyela. "Tapi bagaimana mungkin?"
"Apa yang menguap begitu saja?" terdengar suara berkata dari arah pintu.
Aku berbalik - dan melihat Dad masuk ke kamarku. Ia sedang
menggotong mesin tik tua itu.
"Dad - kenapa...?" aku bertanya.
Mesin tikku ditaruhnya di meja. Kemudian ia mengusap
rambutnya yang hitam keriting, dan menatapku sambil tersenyum
lebar. "Mesin tiknya baru saja kubersihkan, Zackie," katanya.
"Sekalian kupasangi pita baru."
Ia menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Ternyata
pita mesin tik sudah susah dicari sekarang," ia menambahkan.
"Rupanya hanya sedikit orang yang masih memakai mesin tik."
Alex tertawa. "Zackie pikir mesin tiknya menguap begitu saja!"
Aku langsung melotot padanya. "Jangan macam-macam, Alex,"
bisikku. Ia menatapku sambil nyengir.
Dad menggelengkan kepala. "Mesin tik ini terlalu berat untuk menguap begitu
saja," komentarnya sambil menghela napas.
"Beratnya satu ton! Lebih berat daripada komputer!"
Aku menghampiri mesin tikku dan mengusap-usap
permukaannya yang licin. "Terima kasih, Dad," ujarku.
"Penampilannya jadi tambah gaya."
"Beberapa tombolnya agak macet tadi," Dad menambahkan.
"Jadi kuberi oli sedikit. Mestinya semuanya sudah lancar sekarang, Zackie. Kau
bakal menulis banyak cerita seru dengan mesin tik ini."
"Terima kasih, Dad," aku berkata sekali lagi.
Aku sudah tak sabar. Aku ingin segera mulai mengetik.
Langsung saja aku membuka laci meja belajar dan mengambil
beberapa lembar kertas. Kemudian aku sadar Dad belum pergi. Ia
masih berdiri di pintu sambil memperhatikan Alex dan aku.
"Mom lagi ke rumah Janet Hawkins, tetangga kita yang baru di seberang jalan," ia
berkata. "Barangkali kalian berdua mau jalan-jalan sebentar untuk beli es krim.
Kebetulan udaranya lagi enak."
"Ehm... terima kasih," ujar Alex, "tapi aku baru saja makan puding di rumah.
Tadi, sebelum datang kemari."
"Dan aku ingin segera mengetik cerita seramku yang baru," aku menimpali.
Dad menghela napas. Ia tampak kecewa.
Begitu Dad pergi, aku langsung duduk di depan mesin tik dan
memasukkan selembar kertas.
Alex menarik kursi dan duduk di sebelahku. "Boleh aku coba
mesin tik itu nanti?" ia bertanya.
"Ya, ya, ya. Tapi setelah aku selesai," sahutku dengan ketus.
Aku benar-benar sudah tidak sabar.
Aku mengamati tuts-tuts huruf yang berbentuk bulat dan
berwarna hitam. Kemudian aku mencondongkan badan ke depan, dan
mulai mengetik. Mengetik dengan mesin tik sangat berbeda daripada mengetik
dengan komputer. Yang jelas, tutsnya harus ditekan jauh
lebih keras. Aku butuh waktu untuk membiasakan diri. Aku menulis kalimat
pertama: MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI.
"Hei...!" aku memekik kaget ketika kilat membelah langit malam di luar.
Seketika hujan turun dengan deras.
Disusul suara menggelegar yang membuat seluruh rumah
bergetar. Lampu-lampu mendadak padam, dan aku diselubungi
kegelapan. "Zackie...?" Alex memanggil dengan suara pelan. "Zackie"
Zackie" Kau tidak apa-apa?"
Chapter 14 AKU menelan ludah. "Aku tidak apa-apa," ujarku pelan.
Alex satu-satunya orang di seluruh dunia yang tahu aku takut
gelap. Aku takut tikus. Dan aku takut gelap.
Memang begitu adanya. Mau bagaimana lagi"
Dan masih banyak hal lain yang juga kutakuti.
Aku takut anjing besar. Aku takut turun ke ruang bawah tanah
kalau sedang sendirian di rumah. Aku takut melompat ke bagian
kolam renang yang dalam. Beberapa hal yang membuatku ngeri sudah kuceritakan pada
Alex. Tapi tidak semuanya.
Habis, lumayan memalukan, sih.
Tapi kenapa aku malah menulis cerita seram padahal begitu
banyak hal yang kutakuti"
Entahlah. Barangkali karena aku tahu bagaimana rasanya kalau
kita ketakutan. "Lampunya langsung mati," kata Alex. Ia berdiri di sampingku sambil membungkuk
agar dapat melihat ke luar jendela. "Biasanya kedap-kedip dulu."
Hujan deras menerpa jendelaku. Petir menyambar berkali-kali.
Aku tetap duduk sambil memegang tepi kursiku. "Untung saja
Adam tidak di sini," aku bergumam. "Dia pasti akan mengejekku kalau melihatku
begini." "Tapi kau tidak terlalu takut - ya, kan?" tanya Alex.
Bunyi menggelegar di luar nyaris membuatku melompat berdiri.
"Lumayan, sih," aku berterus terang.
Dan kemudian aku mendengar suara langkah. Langkah berat
berdebam-debam. Guntur kembali berdentam.
Aku berpaling dari jendela. Dan mendengarkan langkah kaki
yang berdebam-debam pada karpet di koridor.
"Siapa itu?" aku berseru dalam kegelapan.
Aku melihat cahaya kuning menari-nari di pintu. Sebuah
bayangan melintas di dinding koridor.
Dad masuk ke kamarku. "Aneh sekali," katanya. Ia membawa dua lilin yang
terpasang di tempat lilin. Apinya merebah dan hampir padam ketika Dad
menghampiri meja belajarku.
"Badai ini mendadak sekali," komentar Dad sambil menaruh kedua lilin di mejaku.
"Kau tidak apa-apa, Zackie?"
Aku, lupa. Dad juga tahu aku takut gelap.
"Aku tidak apa-apa," jawabku. "Tapi, terima kasih Dad sudah membawakan lilin."
Dad memandang ke luar jendela. Kami nyaris tidak bisa melihat
apa-apa karena hujannya begitu lebat.
"Padahal beberapa detik lalu langit masih cerah," lanjut Dad. Ia membungkuk
sedikit agar dapat melihat lebih jelas. "Bagaimana mungkin badai sehebat ini
bisa datang begitu mendadak?"
"Ya, ini memang aneh," aku membenarkan.
Selama satu menit kami memandang hujan di luar. Kilatan petir
membuat pekarangan belakang berkilau bagaikan perak.
"Dad mau menelepon Mom dulu," ujar Dad. "Lebih baik Mom menunggu di rumah Miss
Hawkins sampai badainya reda." Ia
menepuk punggungku dan keluar dari kamarku.
"Dad tidak bawa lilin?" aku berseru padanya.
"Tidak usah," ia menyahut. "Di ruang bawah tanah ada senter."
Kemudian ia menghilang dari pandangan.
"Sekarang bagaimana?" tanya Alex. Wajahnya tampak
berwarna jingga karena cahaya lilin. Matanya bersinar-sinar, bagaikan mata
kucing. Aku kembali berpaling pada mesin tikku. "Kayaknya asyik juga menulis di bawah
cahaya lilin," ujarku. "Cerita seram mestinya selalu ditulis di bawah cahaya
lilin. Aku yakin semua pengarang cerita seram terkenal menulis seperti itu."
"Yeah, asyik juga, ya," ujar Alex.
Aku menggeser tempat lilin. Cahaya kekuningan menari-nari
pada tuts mesin tik. Kemudian aku mencondongkan badan ke depan dan membaca
kalimat pertama ceritaku:
MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI.
Lalu aku menekan space bar dan menulis kalimat kedua:
ANGIN MULAI MENDERU-DERU.
Aku kembali menekan space bar. Dan bersiap-siap untuk
mengetik kalimat berikut.
Tapi tiba-tiba aku tersentak kaget karena mendengar bunyi
berderak-derak. "Suara apa itu?" aku memekik.
"Jendela," Alex berkata sambil menunjuk.
Angin di luar bertiup kencang, mengguncang-guncang daun
jendela. Tapi di tengah deru angin aku juga mendengar suara lain. Suara
melolong yang aneh. Aku mencengkeram pegangan tangan kursi belajarku.
"Kaudengar itu?" aku bertanya pada Alex.
Ia mengangguk, memandang ke luar jendela sambil
memicingkan mata. "Cuma angin kok," ujarnya.
Bunyi melolong itu bertambah kencang ketika angin berputar-
putar di sekeliling rumah. Jendelaku sampai bergetar-getar.
Lolongan itu semakin melengking, nyaris menyerupai suara
manusia. Aku langsung merinding. Pegangan kursi kugenggam semakin erat. Dengan susah payah
aku berhasil mengendalikan rasa takut yang mulai menguasai diriku.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cuma badai, aku berkata dalam hati. Cuma angin dan hujan
deras. Aku menatap kata-kata yang telah kuketik. Huruf-huruf hitam
yang tampak jelas sekali dalam cahaya lilin yang kelap-kelip:
ANGIN MULAI MENDERU-DERU.
Aku mendengarkan lolongan melengking di luar. Lolongan itu
seakan-akan menyelubungi diriku, menyelubungi rumahku.
"Aneh sekali," aku bergumam.
Dan selanjutnya segala sesuatu bertambah aneh lagi.
Chapter 15 "CERITAMU kok tidak maju-maju, sih?" tanya Alex.
"Habis, badai ini...," sahutku.
Ia meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Hei - kau
gemetaran!" serunya.
"Enak saja!" aku membantah.
"Ya. Kau gemetaran," kata Alex berkeras.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," ujarku sambil berusaha agar suaraku tidak ikut
bergetar. "Mungkin kau bisa lebih tenang kalau kau berkonsentrasi pada ceritamu," usul
Alex. "Ya, ceritaku," aku bergumam sambil mengangguk-angguk.
Tiba-tiba seluruh rumah terguncang karena bunyi guntur yang
menggelegar. Aku memekik kaget. "Aduh, bunyinya kok dekat benar?"
seruku. "Petir dan gunturnya seperti ada di pekarangan belakang!"
Alex memegang bahuku dan memaksaku berpaling ke mesin
tik. "Ayo, mengetiklah," ia berkata dengan tegas. "Anggap saja tidak ada badai.
Pokoknya mulai mengetik saja, deh."
Dengan patuh aku menaruh jari pada tuts mesin tik tua itu.
Kedua lilin di meja belajarku telah bertambah pendek, sehingga
cahaya keduanya tak lagi menerangi kertas di hadapanku.
Aku mulai mengetik lagi: ALEX DAN ZACKIE SENDIRIAN DI RUMAH YANG
GELAP GULITA. HATI MEREKA BERDEBAR-DEBAR KARENA
BADAI YANG MENGAMUK DI LUAR.
Hujan deras menerpa jendela kamarku. Kilat kembali
menyambar, dan aku sempat melihat pohon-pohon di pekarangan
belakang membungkuk dan bergetar akibat angin kencang.
"Eh, cerita ini tentang kita, ya?" tanya Alex. Ia berdiri di belakangku sambil
membungkuk agar dapat membaca kata-kata yang
kuketik. "Tentu saja," sahutku. "Kau kan tahu ceritaku selalu berkisah tentang kita dan
teman-teman di sekolah. Sebab dengan begitu aku
lebih mudah menggambarkan semuanya."
"Pokoknya, aku tidak mau sampai dimakan monster!" Alex
berkata tegas. "Aku mau jadi jagoan dalam ceritamu. Bukan hidangan makan malam!"
Aku tertawa. Lalu aku sekali lagi tersentak kaget karena gelegar guntur.
Aku kembali berpaling ke mesin tikku. Tapi aku terpaksa
memicingkan mata untuk membaca kalimat-kalimat yang telah
kutulis. "Lilin-lilin ini kurang terang," aku mengeluh. "Bagaimana para pengarang zaman
dulu bisa bekerja" Lama-lama mereka pasti buta
semua!" "Sebaiknya kita ambil lilin lagi," Alex menyarankan.
"Ide bagus," sahutku.
Alex dan aku masing-masing meraih satu tempat lilin, lalu
keluar ke koridor. Api lilin menari-nari. Bunyi langkah kami tak terdengar karena
gemuruh hujan yang menerpa atap.
"Dad?" aku memanggil. "Hei, Dad - kami perlu lilin lagi!"
Tak ada jawaban. Kami masuk ke ruang duduk. Dua lilin tampak menyala di atas
perapian. Dua lagi dipasang di meja di depan sofa.
"Dad?" aku memanggil. "Dad di mana?"
Sambil mengangkat lilin tinggi-tinggi, Alex dan aku pindah ke
ruang TV. Lalu ke dapur. Lalu ke kamar tidur Mom dan Dad.
Tapi Dad tidak ada. Lilin di tanganku kupegang erat-erat ketika aku membuka pintu
ke ruang bawah tanah. "Dad" Dad di bawah, ya?"
Hening. Aku merinding. Kemudian aku berpaling pada Alex. "Dia - dia
tidak ada!" aku tergagap-gagap. "Kita sendirian di sini!"
Chapter 16 "DIA pasti di sini," balas Alex. "Mana mungkin dia keluar di tengah hujan badai
begini?" "Mungkin dia mau beli es krim?" aku menduga-duga. "Dia pasti sedang sangat ingin
makan es krim." Alex mengerutkan kening. "Masa sih ayahmu mau menantang
badai untuk beli es krim" Yang benar saja!"
"Kau belum kenal ayahku, sih!" sahutku. "Kalau sudah maunya, apa pun akan
dilakukannya." "Dia pasti ada di sini," Alex berkeras. Ia meletakkan lilinnya dan menempelkan
tangan ke sekeliling mulut. "Mr. Beauchamp" Mr.
Beauchamp?" ia memanggil-manggil.
Tak ada jawaban. Angin menderu-deru di luar jendela ruang
duduk. Kilat menyambar-nyambar dan membelah kegelapan malam.
"Hei...!" aku memekik.
Sepintas lalu aku melihat mobil di depan garasi. Mobil Dad.
Aku menghampiri jendela dan memandang keluar.
"Ternyata Dad tidak naik mobil," kataku. "Mobilnya masih di sini. Dan dia tidak
mungkin jalan kaki."
"Mr. Beauchamp" Mr. Beauchamp?" Alex kembali memanggil.
"Aneh," aku bergumam. "Masa sih Dad pergi tanpa
memberitahu kita" Dia - dia menghilang begitu saja."
Mata Alex bersinar-sinar. Raut mukanya berubah. Ia menatapku
sambil memicingkan mata. "Ada apa?" tanyaku. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Zackie - apa kata-kata terakhir yang kauketik tadi?" ia
bertanya. "Hah?" "Kata-kata terakhir ceritamu," ujarnya tidak sabar. "Apa yang kauketik?"
Aku mencoba mengingatnya. Kemudian aku berkata:
"ALEX DAN ZACKIE SENDIRIAN DI RUMAH YANG
GELAP GULITA. HATI MEREKA BERDEBAR-DEBAR KARENA
BADAI YANG MENGAMUK DI LUAR."
Alex mengangguk-angguk dengan serius. "Memangnya
kenapa?" tanyaku. "Apa hubungan ceritaku dengan semuanya ini?"
"Masa kau belum sadar juga?" sahut Alex. "Kau menulis bahwa kita sendirian di
dalam rumah - dan sekarang kita benar-benar
sendirian." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Aku tetap tidak
mengerti maksudnya. "Zackie - ini benar-benar hebat!" Alex berseru. "Apa kalimat pertama dalam
ceritamu?" Aku menyebutkannya: "MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI."
"Ya!" seru Alex berapi-api. Ia membelalakkan mata. Lilin di tangannya bergetar.
"Ya! Badai! Padahal tadinya langit masih cerah -
ya, kan?" "Hah?" Aku semakin bingung.
"Ayahmu bilang langit masih cerah. Ya, kan" Karena itu dia
mau beli es krim." "Yeah. Oke. Terus kenapa?" tanyaku.
Alex menggelengkan kepala. "Setelah itu kau menulis bahwa
kota dilanda badai. Dan ternyata langsung terjadi badai."
Hina Kelana 31 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Kitab Pusaka 14