Perkemahan Hantu 2
Goosebumps - Perkemahan Hantu Bagian 2
Keduanya tertawa-tawa dengan riang.
Tapi kemudian Sam tersandung tenda. Ia kehilangan
keseimbangan. Terhuyung-huyung. Dan jatuh terpelanting.
Aku menjerit ketika kakinya tertembus tiang tenda yang
dipegangnya. Chapter 13 PERUTKU serasa diaduk-aduk. Seketika aku terserang rasa
mual. Tiang tenda yang runcing itu menembus kaki Sam sehingga
kakinya seperti terpaku ke tanah.
Joey membelalakkan mata. Ia menatap kaki Sam dengan
tercengang. Aku langsung menoleh ke kiri-kanan, mencari-cari Chris. Aku
tahu Sam butuh pertolongan.
Ke mana Chris" "Sam...," kataku dengan gugup. "Aku akan cari pertolongan.
Aku..." Tapi Sam diam saja. Ia sama sekali tidak bereaksi. Bahkan
meringis pun tidak. Dengan tenang ia meraih tiang tenda - dan mencabut tongkat
logam itu dari kakinya. Aku mengerang. Ternyata malah kakiku yang sakit. Mungkin
karena simpati. Sam dengan santai mencampakkan tiang itu.
Aku menatap kakinya. Tak ada luka. Tak ada darah yang
mengucur deras. Kakinya sama sekali tak berdarah!
"Sam!" aku memekik. "Kakimu! Kakimu tidak berdarah!"
Ia berpaling dan angkat bahu. "Tidak kena, kok," katanya.
Ia berlutut di rumput dan mulai mendirikan tenda.
Aku menelan ludah dan menunggu sampai perasaanku tenang
kembali. Tidak kena" pikirku. Tidak kena"
Aku lihat sendiri kakinya tertembus tiang itu! Atau jangan-
jangan aku berkhayal lagi"
Selama sisa sore itu aku berusaha tidak memikirkan kejadian itu. Aku sibuk
memasang tenda. Setelah digelar di rumput, tenda itu memang jadi mudah
didirikan. Chris menyuruh kami melipat dan memasang tenda berulang-
ulang. Kemudian kami mengadakan lomba untuk melihat siapa yang
paling cepat. Aku menang. Sam bilang aku cuma beruntung.
Chris lalu berkomentar bahwa aku sudah siap untuk menginap
di hutan. "Di mana kita akan menginap?" aku bertanya. "Jauh, jauh di tengah hutan," sahut
Chris. Ia mengedipkan mata kepada Sam dan Joey.
Aku merinding karena teringat kisah hantu yang diceritakan
Paman Marv semalam. Perasaan ngeri itu langsung kuusir. Aku tidak sudi ketakutan
hanya gara-gara cerita konyol.
Acara berikutnya adalah latihan renang di danau. Airnya jernih
dan dingin. Aku pemegang ijazah Junior lifesaver - penolong tingkat
junior. Joey dan aku bergantian saling menyelamatkan.
Aku tidak memikirkan kaki Sam yang tertembus tiang. Aku
memaksakan diri untuk tidak memikirkan hal itu.
Sehabis latihan renang, aku kembali ke pondok. Aku berganti
baju untuk makan malam. Dan di sana aku melihat genangan-
genangan lendir biru yang masih baru di lantai.
Tak ada seorang anak pun yang menghiraukan genangan-
genangan itu. Jadi aku juga diam saja.
Alex datang. Ia tampak gembira sekali. "Aku dapat giliran
pertama untuk tampil di acara unjuk bakat!" ia mengumumkan. "Dan suaraku dipuji-
puji oleh Veronica. Aku bakal dapat peran utama
dalam sandiwara musik nanti."
"Hebat!" seruku. Aku mengajaknya ber-high five. Kemudian aku bertanya,
"Bagaimana dengan Elvis?"
"Dia juga ikut," sahut Alex. "Dia ditunjuk sebagai manajer panggung."
Aku mengenakan seragam Camp Spirit Moon yang serba putih,
lalu menuju ke gedung pertemuan untuk makan malam.
Sekelompok anak perempuan keluar dari pondok-pondok di
seberang. Aku mencari-cari Lucy, tapi ia tidak kelihatan.
Aku cukup gembira. Aku tidak memikirkan hal-hal aneh yang telah kulihat.
Aku tidak memikirkan genangan-genangan lendir biru di lantai.
Atau kabut hitam yang misterius semalam.
Aku tidak memikirkan cerita-cerita hantu yang menurut Elvis
benar-benar terjadi. Aku tidak memikirkan bagaimana Lucy mengulurkan tangan ke
tengah api unggun dan mengambil sosisku yang telah gosong.
Aku tidak memikirkan bagaimana Joey melayang-layang di atas
tempat tidurnya. Atau bagaimana kaki Sam tertancap tiang tenda.
Tanpa berdarah. Tanpa berteriak kesakitan. Seakan-akan tidak
merasakan apa-apa. Aku lapar sekali. Saking laparnya, aku tidak memikirkan segala
hal yang menimbulkan tanda tanya itu.
Tapi gara-gara ulah Joey di ruang makan, aku kembali teringat
pada hal-hal yang menakutkan itu.
Makan malam baru saja disajikan. Hidangannya ayam dengan
saus kental, bayam, dan kentang rebus yang ditumbuk sampai hancur.
Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa mengisi perut!
Tapi sebelum aku sempat menyentuh makananku, Joey
memanggilku dari seberang meja. "Hei, Harry - coba lihat, nih!"
Aku menoleh. Ia meraih garpu - dan menancapkannya ke leher!
Chapter 14 "OHHH." Aku langsung mengerang. Garpu di tanganku terlepas dan jatuh ke lantai.
Joey menatapku sambil cengar-cengir. Garpu di lehernya
tampak berayun-ayun. Aku langsung mual. Jantungku berdegup-degup. Ia tetap
cengar-cengir ketika mencabut garpu itu. "Sekarang giliranmu!"
katanya. "Joey - jangan macam-macam!" Elvis berseru dari seberang
meja. "Ya, berhentilah," Sam menyetujui.
Aku menatap leher Joey. Tak ada luka. Tak ada darah.
"Ba-bagaimana mungkin?" aku tergagap-gagap.
Senyum Joey bertambah lebar. "Cuma tipuan, kok," ia
menyahut. Aku menoleh ke arah Alex yang duduk di ujung meja. Apakah
ia juga sempat melihat "tipuan" Joey"
Ya. Alex tampak pucat pasi. Mulutnya sampai melongo karena
ngeri. "Lihat baik-baik, nih. Biar kutunjukkan bagaimana caranya,"
Joey menawarkan. Ia kembali mengangkat garpu - tapi langsung berhenti ketika
menyadari bahwa Paman Marv sudah berdiri di belakangnya.
"Ada apa, Joey?" Paman Marv bertanya dengan tegas.
Joey segera meletakkan garpu. "Kami cuma main-main kok,"
kilahnya tanpa berani menatap Paman Marv.
"Ayo, habiskan makanan kalian," perintah Paman Marv. "Tanpa main-main." Jarinya
yang gendut menggenggam pundak Joey.
"Jangan lupa, nanti ada pertandingan sepak bola malam. Anak laki-laki melawan
anak perempuan." Paman Marv mengendurkan genggamannya dan pindah ke meja
sebelah. Di situ telah terjadi perang makanan. Potongan-potongan
kentang beterbangan ke segala arah.
Joey bergumam. Tapi aku tidak tahu ia bilang apa karena
suasananya begitu ramai. Aku menoleh ke arah Alex di ujung meja. Ia sedang memegang
garpu, tapi tidak menyentuh makanannya. Pandangannya tertuju pada
Joey. Matanya tak berkedip. Keningnya berkerut-kerut.
Aku yakin ia punya pikiran yang sama denganku. Ada apa ini"
Joey bilang garpu yang menancap di lehernya itu hanya tipuan.
Tapi bagaimana caranya" Kenapa ia tidak kesakitan" Kenapa ia tidak berdarah"
"Pertandingan sepak bola malam benar-benar seru!" kata Elvis.
Ia sedang mengunyah sepotong ayam. Sausnya mengalir di dagunya.
"Apalagi kalau pertandingan cowok lawan cewek," Sam
menimpali. "Kita bantai mereka! Mereka pasti kalah telak."
Aku melirik ke meja anak-anak perempuan di seberang
ruangan. Mereka sedang asyik mengobrol. Mungkin tentang
pertandingan sepak bola itu.
Aku melihat Lucy di balik bayang-bayang di dekat dinding. Ia
diam saja, tidak ikut mengobrol. Tampangnya serius sekali.
Dan sepertinya ia juga tengah melirik ke arahku. Tapi aku tidak
bisa memastikannya. Aku menghabiskan makan malamku meski sebenarnya sudah
kehilangan selera. "Bagaimana caramu menancapkan garpu tadi?" aku bertanya
pada Joey. "Aku kan sudah bilang, itu cuma tipuan," jawabnya. Kemudian ia berpaling dan
mengatakan sesuatu kepada Sam.
Hidangan cuci mulut berupa potongan agar-agar berwarna
merah, kuning, dan hijau. Rasanya sih lumayan. Sayang tidak pakai
krim. Ketika aku sedang melahap agar-agar, aku mendengar
seseorang memekik. Aku segera menoleh dan melihat seekor
kelelawar terbang kian kemari.
Beberapa anak kecil menjerit-jerit. Tapi anak-anak yang duduk
semeja denganku tetap tenang.
Kelelawar itu mengepak-ngepakkan sayap dan melesat dari
ujung ke ujung, sesekali terbang tinggi, sesekali menukik.
Paman Marv mengejar-ngejarnya sambil membawa sapu. Dan
akhirnya kelelawar itu berhasil disudutkannya ke dinding.
Kemudian ia meraihnya, dan menggenggamnya dengan sebelah
tangan. Makhluk itu mungil sekali! Paling-paling sebesar anak tikus.
Paman Marv membawanya ke pintu dan melepaskannya.
Semua anak bersorak-sorai.
"Ini sudah biasa," Sam memberitahuku. "Kadang-kadang ada kelelawar yang kesasar,
soalnya ruang makan ini tidak pakai pintu
kawat nyamuk." "Dan hutan di sini penuh kelelawar," Joey menimpali.
"Kelelawar pembunuh. Mereka mendarat di kepalamu dan mengisap darahmu sampai
habis." Sam tertawa. "Yeah. Benar." Ia menatapku sambil nyengir.
"Itulah yang terjadi dengan Joey. Itulah sebabnya ia begitu aneh sekarang."
Aku ikut tertawa bersama yang lain.
Tapi dalam hati aku ragu apakah Sam benar-benar cuma
bercanda. Habis, tingkah laku Joey memang aneh, sih.
"Semuanya ke lapangan bola!" Suara Paman Marv membahana
dari pintu ruang makan. "Lapor ke pembina olahraga. Alissa dan Mark akan
mengatur pembagian tim."
Semua anak langsung berdiri.
Aku melihat Lucy melambaikan tangan. Tapi Sam dan Joey
keburu menarikku. Udara malam terasa sejuk. Langit tampak mendung, dan bulan
pun bersembunyi di balik lapisan awan. Rumput lapangan bola sudah
basah karena embun. Para pembina langsung membagi pemain-pemain untuk masing-
masing tim. Alex dan aku masuk tim kedua. Berarti kami tidak turun pada babak
pertama. Tugas kami adalah berdiri di pinggir lapangan
dan memberi semangat kepada tim pertama.
Sepasang lampu sorot yang dipasang pada tiang-tiang tinggi
memancarkan cahaya menyilaukan. Tapi kedua lampu sorot itu tidak
sanggup menerangi seluruh lapangan. Beberapa bagian tampak cukup
gelap. Tapi justru di situ asyiknya.
Alex berdiri di sampingku ketika pertandingan dimulai. Dalam
waktu kurang dari satu menit tim cewek telah berhasil mencetak gol.
Anak-anak cewek di pinggir lapangan langsung bersorak-sorai.
Para pemain tim cowok terbengong-bengong. Mereka cuma
bisa menggerutu sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kebetulan! Kebetulan!" seru Mark, si pembina tim cowok
yang bertubuh kurus dan jangkung. "Ayo, balas mereka!"
Pertandingan dilanjutkan.
Cahaya lampu-lampu sorot seakan-akan bertambah redup. Aku
menoleh - dan melihat kabut datang bergulung-gulung.
Lagi-lagi kabut. Mark berlari melewati kami. Sepintas lalu ia mirip burung
bangau raksasa. "Kelihatannya bakal ada kabut lagi, nih," serunya kepada Alex
dan aku. "Tapi pertandingan malam justru tambah ramai kalau ada kabut." Ia
menyerukan instruksi-instruksi kepada para pemainnya.
Dalam sekejap saja kami sudah diselubungi kabut yang tertiup
angin kencang. Alex merapatkan badan padaku. Aku menoleh dan melihat
roman mukanya yang cemas.
"Kaulihat apa yang dilakukan Joey waktu makan malam tadi?"
ia bertanya dengan suara pelan.
Aku mengangguk. "Dia bilang itu cuma tipuan."
Alex termenung sejenak. "Harry," ia berkata sambil
memperhatikan pemain yang sedang menggiring bola. "Kau juga
merasa bahwa anak-anak di sini agak aneh?"
"Yeah, memang," sahutku. Aku teringat kembali pada tiang tenda yang menembus
kaki Joey. "Tadi ada kejadian aneh di danau," Alex melanjutkan. "Dan sampai sekarang aku
masih terbayang-bayang."
Aku memicingkan mata agar bisa melihat para pemain yang
terselubung kabut. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sisi anak-anak perempuan.
Rupanya tim mereka berhasil mencetak gol lagi. Tapi aku tidak bisa memastikan
karena pandanganku terhalang kabut.
Aku menggigil. "Memangnya ada kejadian apa sih?" aku
bertanya pada adikku. "Sehabis acara seleksi tadi, kelompokku berenang di danau.
Selain kami juga ada beberapa kelompok anak cewek."
"Danaunya asyik juga," aku berkomentar. "Airnya jernih dan bersih. Dan tidak
terlalu dingin." "Yeah, memang," Alex membenarkan. Ia mengerutkan kening.
"Tapi kemudian ada kejadian aneh. Atau paling tidak, kesannya aneh."
Ia menarik napas panjang. Aku langsung tahu bahwa ada yang
mengganggu pikirannya. "Ayo, dong! Jangan diam saja!" terdengar Mark berseru kepada para pemainnya.
Sinar lampu sorot meredup, dan menghasilkan bayangan-
bayangan aneh di lapangan permainan. Kabutnya benar-benar tebal.
Aku nyaris tak bisa membedakan antara para pemain dan bayangan.
"Aku lagi mengambang di permukaan," Alex melanjutkan
sambil mendekap dadanya sendiri. "Cuma bersantai saja. Aku
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berenang pelan-pelan sekali."
Namanya juga acara bebas. Jadi kami boleh berbuat sesuka hati.
Beberapa anak adu cepat renang di dekat tepi danau. Tapi aku
berenang sendirian saja. "Airnya jernih sekali. Aku membenamkan kepala dan
memandang ke dasar. Dan - dan aku melihat sesuatu di situ."
Ia menelan ludah. "Apa yang kaulihat" Apa?" tanyaku tak sabar.
"Aku melihat anak cewek," Alex menyahut sambil menggigil.
"Salah satu anggota kelompok cewek yang ikut berenang. Aku tidak tahu namanya.
Rambutnya hitam ikal dan dipotong pendek."
"Di bawah permukaan?" tanyaku. "Dia berenang di bawah permukaan?"
"Bukan." Alex menggelengkan kepala. "Dia tidak berenang. Dia tidak bergerak sama
sekali. Dan dia ada di bawah. Hampir di dasar
danau." "Maksudmu, dia menyelam sampai ke dasar?"
Alex angkat bahu. "Entahlah. Pokoknya aku ngeri sekali!" ia berseru untuk
mengalahkan hiruk-piruk yang mendadak terdengar di
lapangan. "Dia tidak bergerak. Dan sepertinya dia juga tidak bernapas.
Lengannya naik-turun. Dan matanya - sorot matanya kosong."
"Dia tenggelam?" aku memekik.
"Aku juga pikir begitu," ujar Alex. "Aku langsung panik. Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aku tidak bisa berpikir. Tahu-tahu aku sudah menyelam ke dasar."
"Kau menyelam untuk mengangkatnya?" tanyaku.
"Yeah. Tapi aku tidak tahu apakah aku sudah terlambat atau
belum. Atau apakah aku harus memanggil salah satu pembina. Aku
benar-benar bingung." Alex kembali menggigil.
"Aku menariknya ke permukaan. Lalu kuseret dia ke tepi. Aku
sampai tersengal-sengal. Terutama karena panik. Dadaku serasa mau
meledak. Aku takut sekali.
"Tiba-tiba ada yang tertawa. Ternyata dia. Dia
menertawakanku. Aku masih memeluknya dari belakang. Dia
berbalik - dan menyemburkan air ke mukaku!"
"Oh, wow!" Aku tercengang. "Jadi dia tidak apa-apa?"
"Yeah," sahut Alex sambil geleng-geleng kepala. "Dia tidak apa-apa. Dia malah
menertawakanku. Dia pikir leluconnya lucu
sekali. Aku sampai bengong. Aku benar-benar bingung. Habis dia
hampir di dasar danau waktu aku menariknya ke atas. Dan dia sudah
lama sekali berada di situ. Akhirnya aku melepaskannya. Dia
berenang menjauh, masih sambil tertawa."
"Lalu aku bertanya, 'Bagaimana kau bisa menyelam seperti
itu"'Berapa lama kau bisa menahan napas"'
"Tapi tawanya malah tambah keras. 'Berapa lama"' aku
mendesaknya. "Lalu dia bilang, 'Pokoknya lama sekali.'
"Setelah itu dia kembali ke cewek-cewek lain."
"Terus, apa yang kaulakukan?" tanyaku pada Alex. "Aku buru-buru naik ke darat,"
jawabnya. "Seluruh tubuhku menggigil. Aku tidak bisa berhenti gemetaran. Aku - aku
pikir..." Ia terdiam.
"Untung saja dia tidak apa-apa," Alex bergumam setelah
beberapa waktu. "Tapi kejadiannya memang aneh sekali - ya kan,
Harry" Dan waktu makan malam tadi, waktu Joey menancapkan garpu
di lehernya..." "Ya, ini memang aneh, Alex," ujarku pelan. "Tapi mungkin saja semuanya cuma
lelucon." "Lelucon?" Alex mengulangi. Ia menatapku dengan matanya
yang gelap. "Pendatang baru di perkemahan mana pun pasti jadi sasaran
lelucon," aku berkata padanya. "Itu sudah tradisi. Biasa, anak-anak baru harus
ditakut-takuti dulu. Aku yakin semua ini cuma lelucon."
Ia merenungkan ucapanku sambil menggigit bibir. Meskipun
Alex berdiri begitu dekat denganku, ia tampak sangat jauh akibat
kabut hitam yang bergulung-gulung.
Aku kembali berpaling ke lapangan sepak bola. Pemain-pemain
cowok sedang menyerang dan mengancam gawang tim cewek. Bola
berpindah-pindah dengan operan-operan pendek.
Lelucon, pikirku. Semuanya cuma lelucon. Aku memicingkan mata dan memandang ke tengah kabut. Dan
aku melihat sesuatu yang pasti bukan lelucon.
Salah satu pemain cowok menendang bola ke arah gawang.
Kiper tim cewek segera bergerak untuk menghalau tembakan itu.
Tapi ia kurang cepat. Atau mungkin juga ia terpeleset.
Bola itu menghantam keningnya.
Bunyinya keras sekali. Bolanya jatuh ke tanah.
Dan kepala si kiper menggelinding ke sebelahnya.
Chapter 15 AKU memekik tertahan. Dan langsung bergegas ke lapangan.
Menerobos gumpalan-gumpalan kabut hitam.
Kabut yang bergulung-gulung itu seakan-akan naik dari tanah
dan turun dari pepohonan. Wajahku terasa dingin dan lembap ketika
aku berlari menghampiri kiper tim cewek.
Aku memicingkan mata. Samar-samar aku melihatnya
tergeletak di rumput dalam posisi tengkurap. Dan kepalanya...
Kepalanya... Aku membungkuk dan memungutnya. Aku sendiri tidak tahu
kenapa aku berbuat begitu.
Barangkali kupikir kepalanya bisa dipasang lagi di pundak anak
perempuan itu. Sambil gemetaran aku membungkuk di tengah kabut - dan
memungut kepala itu dengan kedua tangan.
Rasanya keras sekali. Terlalu keras untuk kepala manusia.
Aku mengangkatnya. Aku mendekatkannya ke wajahku.
Dan menyadari bahwa aku sedang memegang bola.
Bukan kepala. Bukan kepala si kiper.
Di sampingku terdengar erangan. Aku menoleh dan melihat
anak perempuan itu berlutut dirumput.
Ia bergumam tak jelas dan menggelengkan kepala. Kepalanya
sendiri. Kepala yang ada di pundaknya. Ia menatapku sambil
mengerutkan kening. Aku menatap wajahnya, kepalanya. Seluruh tubuhku masih
gemetaran tak terkendali.
"K-kepalamu..." aku tergagap-gagap.
Ia menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus. Menepis
tanah yang mengotori celana pendeknya. Lalu meraih bola yang masih kupegang.
"Hei, Harry! Belum waktunya kau masuk lapangan! Kau kan
tidak ikut tim pertama!" seseorang berseru padaku.
"Ayo, keluar!" teriak anak lain.
Aku menoleh dan melihat bahwa para pemain telah berkerumun
di belakangku. "Tapi kepalanya copot!" ujarku.
Seketika aku menyesal. Seharusnya aku tidak bilang begitu.
Semuanya tertawa. Mereka tertawa sampai terpingkal-pingkal.
Malah ada yang menepuk punggungku.
Wajah-wajah mereka yang nyengir dan tertawa melayang-
layang di sekelilingku. Sejenak aku menyangka kepala mereka semua
juga copot. Aku dikepung puluhan kepala yang seolah-olah melayang
di tengah cahaya menyeramkan dari kedua lampu sorot.
Si kiper menempelkan tangan ke sisi kepalanya dan berlagak
mendorongnya ke atas. "Nih, Harry," ia berseru. "Belum goyang, kan?"
"Kepala Harry yang perlu diperiksa," salah satu pemain
menimpali. Tawa mereka semakin keras.
Seseorang menghampiriku, memegang kepalaku, dan
menariknya dengan keras. "Aduh!" aku memekik.
Mereka tertawa terbahak-bahak.
Aku melempar bola kepada si kiper. Kemudian aku
meninggalkan lapangan. Ada apa sih denganku" aku bertanya-tanya. Kenapa aku jadi
kacau begini" Kenapa aku terus melihat yang bukan-bukan"
Apakah cuma karena aku masih gugup di tempat baru ini"
Ataukah aku memang sudah mulai tidak waras"
Aku terus berjalan, biarpun aku telah melewati garis tepi
lapangan. Aku tidak tahu mau ke mana. Aku cuma ingin mencari
tempat yang sejauh mungkin dari anak-anak yang menertawakanku,
tempat yang sejauh mungkin dari lapangan bola.
Seluruh lapangan terselubung kabut tebal. Aku menoleh ke
belakang. Aku mendengar para pemain berseru-seru dan bersorak-
sorai, tapi mereka nyaris tidak kelihatan.
Aku berbalik dan menuju ke deretan pondok. Embun di rumput
menggelitik telapak kakiku ketika aku berjalan.
Aku sudah hampir sampai ketika aku menyadari bahwa ada
yang mengikutiku. Chapter 16 SERTA-MERTA aku membalik.
Seraut wajah muncul dari kegelapan.
"Alex!" aku berseru. Saking sibuknya aku memikirkan soal bola dan kepala si
kiper, aku sama sekali lupa bahwa adikku juga ada di sini.
Ia menghampiriku begitu dekat sehingga aku bisa melihat butir-
butir keringat di atas bibirnya. "Aku juga melihatnya," Alex berbisik.
"Hah?" Mula-mula aku tidak mengerti. "Lihat apa?"
"Kepala anak perempuan itu," Alex membalas dengan ketus. Ia menoleh ke arah
lapangan bola. Mungkin untuk memastikan bahwa
tidak ada yang mengikutinya.
Kemudian ia berpaling kembali dan menarik lengan T-shirtku.
"Aku juga melihat bahwa kepalanya copot. Aku melihat kepalanya menggelinding ke
tanah." Aku menelan ludah. "Masa, sih?"
Ia mengangguk. "Aku langsung mual."
"T-tapi kepalanya tidak copot!" aku berseru. "Kau lihat waktu aku masuk lapangan
tadi" Yang kupungut adalah bola, bukan kepala."
"Tapi aku melihatnya, Harry!" Alex berkeras. "Semula kupikir aku salah lihat
karena kabut. Tapi..."
"Ya, ini pasti gara-gara kabut," kataku. "Anak itu sama sekali tidak apa-apa."
"Tapi kita sama-sama melihat bahwa..." Alex kembali angkat bicara, namun
akhirnya terdiam dan menghela napas. "Perkemahan ini benar-benar aneh."
"Yeah, memang," ujarku.
Alex menyelipkan tangan ke kantong celana pendeknya. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Menurut Elvis, cerita-cerita Paman Marv semuanya
benar," katanya. Aku mencengkeram pundak Alex. Ia gemetaran. "Hei - kita kan
tidak percaya hantu," kataku menegaskan.
Ia mengangguk dengan lesu.
Tiba-tiba terdengar lolongan panjang. Alex dan aku tersentak
kaget. Aku menoleh ke arah hutan. Sekali lagi terdengar lolongan dari
arah yang sama. Itu bukan lolongan binatang.
Suara itu menyayat hati. Suara manusia.
"Owwoooooooooo."
Aku menahan napas. Alex meraih lenganku. Tangannya sedingin es. "Suara apa itu?"
bisiknya dengan tegang. Aku hendak menyahut - tapi didului oleh lolongan berikutnya.
"Owwoooooooooo."
Ada dua makhluk yang melolong-lolong. Mungkin malah tiga.
Atau bahkan lebih. Suara-suara mengerikan itu bersahut-sahutan dari balik pohon-
pohon. Sampai akhirnya seluruh hutan seperti melolong.
Tak ada manusia yang bersuara seperti itu. Suara-suara yang
kami dengar pasti suara hantu.
"Kita dikepung, Harry," bisik Alex. Ia masih menggenggam lenganku. "Aku tidak
tahu suara apa itu, tapi kita telah dikepung."
Chapter 17 "Owwoooooooo." Bunyi mengerikan itu kembali terdengar dari pepohonan.
"Lari!" aku berbisik kepada Alex. "Ke gedung utama.
Barangkali Paman Marv ada di sana. Barangkali..."
Kami berlari ke arah gedung utama, menerobos kabut.
Tapi lolongan-lolongan itu terus mengejar. Dan malah
bertambah nyaring. Aku mendengar suara langkah berdebam-debam di belakang
kami, berlari melintasi rumput.
Kami tidak mungkin lolos, aku menyadari.
Alex dan aku berbalik bersamaan.
Dan melihat Elvis, Sam, dan Joey - ketiga-tiganya mengejar
kami sambil nyengir lebar.
Sam menempelkan tangan ke mulut dan melolong panjang.
Elvis dan Joey tertawa terpingkal-pingkal, lalu meniru perbuatan Sam.
"Dasar brengsek!" teriakku sambil melayangkan tinju ke arah mereka.
Mukaku mendadak terasa panas.
Rasanya aku ingin meledak. Rasanya aku ingin menghajar
ketiga pelawak konyol itu. Menghajar dan menendang-nendang
mereka, biar mereka kapok.
"Kena kau!" seru Elvis. "Kena kau!" Ia berpaling kepada Sam dan Joey. "Coba
lihat mereka! Mereka gemetaran! Oh, wow! Mereka gemetaran!"
Sam dan Joey tertawa puas. "Kalian pikir kami gerombolan
serigala dari hutan?" tanya Sam.
"Jangan banyak omong," aku menyahut dengan ketus.
Alex diam saja. Ia menundukkan kepala. Aku tahu ia sama
malunya dengan aku. "Owwooooooo!" Elvis kembali melolong. Ia merangkul
pinggang adikku dan menariknya sampai terjatuh.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" seru Alex dengan kesal.
Mereka bergulat di rumput yang basah.
"Tadi kau ketakutan, ya?" tanya Elvis sambil terengah-engah.
"Ayo, mengaku saja, Alex. Kau pikir ada hantu. Ya, kan?"
Alex tidak mau menjawab. Ia mengerang dan mendorong Elvis
dengan keras. Sam dan Joey menghampiriku sambil cengar-cengir. Sepertinya
mereka puas sekali. "Kalian tidak lucu," aku menggerutu. "Asal tahu saja, kalian kekanak-kanakan
sekali." Joey ber-high five dengan Sam. "Kekanak-kanakan?" serunya.
"Kalau begitu, kenapa kalian bisa tertipu?"
Aku hendak menjawab - tapi tidak sanggup berkata apa-apa.
Ya, kenapa aku bisa tertipu" aku bertanya pada diriku sendiri.
Kenapa aku mau ditakut-takuti oleh tiga anak konyol yang
melolong-lolong sambil bersembunyi di balik pohon"
Biasanya aku pasti menertawakan lelucon seperti itu.
Aku terus berpikir ketika kami berlima menuju ke pondok. Aku
sadar semua peserta dan pembina terus berusaha menakut-nakuti Alex dan aku,
sejak kami baru tiba. Paman Marv pun menceritakan kisah-kisah hantu untuk
membuat kami ngeri. Menakut-nakuti anak baru mungkin sudah tradis i di Camp
Spirit Moon, kataku dalam hati.
Dan usaha mereka memang berhasil. Alex dan aku benar-benar
jadi ngeri. Kami jadi serbategang. Dan gugup. Bunyi sekecil apa pun langsung
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat kami tersentak kaget.
Kami masuk ke pondok. Aku menyalakan lampu. Elvis, Sam,
dan Joey masih tertawa-tawa. Mereka masih menikmati lelucon
mereka. Alex dan aku harus bisa mengendalikan diri, pikirku.
Kami harus melupakan segala omong kosong tentang hantu.
Kami kan tidak percaya hantu, aku meyakinkan diri dalam hati.
Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu.
Kalimat itu kuulangi terus-menerus. Bagaikan mantra.
Alex dan aku tidak percaya hantu. Dari dulu kami tidak
percaya. Dan kami takkan pernah percaya. Takkan pernah. Sampai suatu
malam... setelah berjalan-jalan di hutan - aku berubah pikiran!
Chapter 18 BESOKNYA Alex dan aku terus diolok-olok.
Begitu keluar dari ruang makan sehabis sarapan, seseorang
melempar bola padaku dan berteriak, "Kepalaku! Kembalikan
kepalaku!" Pagi itu ada latihan renang. Joey dan Sam dan beberapa anak
lain mulai melolong-lolong seperti hantu. Semua anak tertawa
terpingkal-pingkal. Aku melihat Lucy di tepi danau bersama sejumlah teman
sepondoknya. Teman-temannya ikut tertawa ketika mendengar Joey
dan Sam melolong. Hanya Lucy yang diam saja.
Tampangnya justru kelihatan serius. Seakan-akan ia sedang
memikirkan sesuatu. Beberapa kali aku memergokinya ketika ia sedang melirik ke
arahku. Aku pasti dianggap penakut olehnya, pikirku dengan sedih. Ia
pasti kasihan padaku karena aku telah mempermalukan diriku sendiri di depan
semua orang di lapangan bola semalam.
Sehabis latihan renang, aku segera naik ke darat dan
mengeringkan badanku. Dengan handuk melilit di pinggang seperti
sehelai sarung, aku menghampiri Lucy.
Teman-temannya telah pergi. Lucy memakai celana pendek dan
T-shirt berwarna putih. Sebelah kakinya menjejak di dasar perahu
dayung plastik, sehingga perahu itu terombang-ambing di air yang
dangkal. "Hai," aku menyapanya. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak tahu harus berkata
apa. "Hai," sahut Lucy.
Ia tidak tersenyum. Ia cuma menatapku dengan matanya yang
gelap. Tahu-tahu ia berbalik - dan langsung berlari menjauh.
"Hei...!" aku berseru. Aku berusaha mengejarnya, tapi terpaksa berhenti karena
handukku copot. "Hei, Lucy - ada apa, sih?"
Lucy menghilang di balik pondok Kerajinan Tangan. Ia kabur
tanpa menoleh lagi ke arahku.
Aku tahu apa masalahnya, pikirku dengan sedih. Ia tidak mau
berteman dengan orang yang tidak waras. Orang yang percaya bahwa
kepala bisa copot begitu saja. Orang yang percaya bahwa hutan penuh hantu yang
melolong-lolong. Aku kembali melilitkan handuk. Sam dan Joey dan beberapa
anak lain memandang ke arahku dari tepi danau. Mereka tampak
cengar-cengir. Aku yakin mereka melihat Lucy lari meninggalkanku.
"Barangkali napasmu tidak sedap," Joey berkelakar.
"Makanya, sikat gigi, dong!" Sam menimpali. Lalu semuanya berguling-guling di
tanah sambil melolong-lolong.
Sesudah makan siang, kami diberi waktu untuk menulis surat.
Para pembina menyuruh semua peserta masuk ke pondok untuk
menulis surat kepada orangtua masing-masing.
Sesuai peraturan Camp Spirit Moon, seminggu sekali setiap
peserta harus memberi kabar kepada orangtuanya. "Supaya mereka tidak cemas,"
kata Paman Marv sewaktu makan siang. "Beritahu mereka bahwa kalian benar-benar
senang di sini. Kalian kan belum
pernah berlibur seasyik ini. Betul, tidak?"
"Yohhhhhhh, Spirits!" semuanya berseru.
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu betah di sini.
Terus terang saja, liburan kali ini termasuk liburan paling buruk
yang pernah kualami. Tapi aku memutuskan untuk tidak menyinggung soal itu dalam
suratku. Aku naik ke tempat tidur dan mulai memikirkan apa yang harus
kuceritakan kepada Mom dan Dad.
Tolong jemput aku segera - itu yang hendak kutulis.
Orang-orang di sini aneh. Alex dan aku benar-benar ngeri.
Tapi tentu saja aku tidak mungkin menulis begitu. Aku
mengintip adikku di tempat tidur bawah. Ia sedang duduk
membungkuk sambil sibuk menulis. Kelihatannya lancar sekali.
"Apa yang kautulis?" aku bertanya padanya. "Aku bercerita tentang acara unjuk
bakat," ia menyahut. "Aku bakal jadi bintangnya.
Dan aku juga akan ikut pertunjukan musik minggu depan."
"Bagus," aku bergumam.
Aku memutuskan bahwa cuma hal-hal yang menyenangkan saja
yang akan kuceritakan kepada orangtua kami. Untuk apa membuat
mereka kuatir" Untuk apa membuat mereka menyangka bahwa aku
sudah mulai tidak waras"
Kalau Alex tidak menyinggung kejadian-kejadian aneh yang
ada di sini, kataku dalam hati, aku juga tidak akan mengungkit-
ungkitnya. Aku mulai menulis: Dear Mom dan Dad, Camp Spirit Moon ternyata lebih mengasyikkan dari yang
pernah terbayang olehku...
"Acara sehabis makan malam adalah penjelajahan," Paman Marv mengumumkan.
Atap ruang makan serasa mau runtuh karena sorak-sorai
menyambut pengumuman itu.
"Penjelajahan ke mana?" seseorang bertanya.
Paman Marv tersenyum simpul. "Tentu saja jauh ke tengah
hutan." Semua anak langsung teringat cerita hantu Paman Marv. Ada
yang kembali bersorak-sorai. Ada pula yang tertawa.
Alex dan aku bertukar pandang.
Tapi ternyata acara menjelajah hutan itu cukup seru. Bulan
purnama membuat hutan seakan-akan bercahaya. Kami menyusuri
jalan setapak yang berbelok mengitari tepi danau.
Semua orang tampak riang gembira. Saking seringnya kami
menyanyikan lagu kebesaran Camp Spirit Moon, aku hampir hapal
kata-katanya! Di suatu tempat di pinggir danau, dua ekor rusa muncul di jalan
setapak. Seekor rusa betina bersama anaknya.
Anaknya lucu sekali. Tampangnya persis seperti Bambi.
Kedua rusa itu menatap kami. Mereka mengerutkan hidung,
seolah-olah hendak berkata, "Hei, sedang apa kalian di hutan kami?"
Kemudian keduanya kembali menyelinap ke antara pohon-
pohon. Jalan setapak yang kami ikuti membawa kami ke sebuah
lapangan terbuka. Ketika kami melangkah keluar dari pepohonan,
tanah di depan seakan-akan bersinar. Cahaya bulan begitu terang,
sehingga aku merasa bisa melihat setiap semak, setiap daun, setiap batang
rumput. Indah sekali. Perasaanku mulai tenteram. Sam, Joey, dan aku berjalan sambil
bernyanyi dan mencari kata-kata lucu untuk lagu-lagu yang kami
kenal. Ada satu lagu yang kami ulangi sampai dua puluh kali-sampai anak-anak
lain memohon-mohon agar kami berhenti.
Kenapa aku begitu gugup selama ini" aku bertanya dalam hati.
Aku sudah mendapatkan teman-teman baru yang
menyenangkan di Camp Spirit Moon. Aku benar-benar senang di sini.
Perasaan gembira itu bertahan sampai kami kembali ke
perkemahan. Kabut hitam telah turun lagi. Kami disambut gumpalan-
gumpalan kabut yang bergulung-gulung. Langit, tanah, seluruh
perkemahan terselubung kabut hitam yang dingin dan lembap.
"Sepuluh menit lagi semua lampu sudah harus mati," Paman Marv mengumumkan.
Semua anak bergegas ke pondok masing-masing. Tapi sepasang
lengan yang kuat menahanku dari belakang.
"Hei...!" aku berseru. Aku tak sanggup berbuat apa-apa ketika aku ditarik ke
hutan. "Sssst," seseorang berbisik ke telingaku.
Aku berbalik. Ternyata Lucy. "Hei, apa-apaan ini?" aku
bertanya padanya. "Kita kan disuruh kembali ke pondok. Kita harus bersiap-siap
untuk..." "Sssst," ia kembali mendesis.
Matanya yang gelap mengamati wajahku. Rasanya aku melihat
air mata di pipinya yang pucat.
Gumpalan-gumpalan kabut melayang-layang di sekeliling kami.
Lucy mengendurkan cekalannya. Tapi pandangannya seakan-
akan terkunci pada mataku. "Harry, kau harus menolongku," bisiknya.
Aku menelan ludah. "Ada apa sih, Lucy?"
"Kurasa kau sudah tahu," jawabnya pelan. "Semuanya benar.
Yang kaupikirkan selama ini. Semuanya benar."
Aku tidak mengerti. Saking bingungnya, aku cuma bisa
melongo. "Kami hantu, Harry," Lucy memberitahuku. "Kami semua hantu di sini."
"Tapi, Lucy..." aku mulai berkata.
"Ya." Ia mengangguk dengan sedih "Ya. Ya. Ya. Aku sendiri juga."
Chapter 19 POHON-POHON menghilang di balik kabut. Cahaya bulan
menyebabkan mata Lucy berkilau-kilau seperti sepasang mutiara
hitam. Tapi sinar itu segera meredup ketika kabut mulai menyelubungi bulan.
Mataku tidak berkedip. Aku tidak bergerak. Tiba-tiba saja
seluruh tubuhku kaku bagaikan pohon-pohon yang terselubung kabut.
"Kau - kau cuma bercanda, kan?" aku tergagap-gagap. "Ini cuma lelucon khas Camp
Spirit Moon - ya, kan?"
Tapi sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Sorot matanya
yang gelap telah menjawab pertanyaanku.
"Aku hantu," ia menyahut dengan sedih. "Cerita-cerita itu -
semuanya benar, Harry."
Tapi aku tidak percaya hantu!
Itulah yang hampir saja kukatakan padanya.
Tapi bagaimana mungkin aku tidak percaya kalau aku sedang
berhadap-hadapan dengan hantu" Bagaimana mungkin aku tidak
percaya ucapan Lucy"
"Aku percaya," bisikku.
Ia menghela napas. Lalu memalingkan wajah.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Persis seperti yang diceritakan Paman Marv," jawabnya.
"Waktu itu kami duduk mengelilingi api unggun. Semuanya. Persis seperti waktu
kalian baru datang. Lalu muncul kabut. Kabut tebal dan gelap."
Ia kembali menghela napas. Dalam gelap pun aku bisa melihat
butir-butir air mata yang bergulir di pipinya.
"Ketika kabut itu akhirnya berlalu," Lucy melanjutkan, "kami semua sudah mati.
Kami semua sudah jadi hantu. Dan sejak itu kami
berada di sini. Cuma itu yang bisa kujelaskan padamu. Soalnya cuma itu yang aku
tahu." "T-tapi kapan kejadiannya?" aku bertanya. "S-sudah berapa lama kau jadi hantu,
Lucy?" Ia angkat bahu. "Entahlah. Aku sudah lupa waktu. Hantu tidak
kenal waktu. Kami cuma tahu hari ini dan hari berikut. Dan hari
berikutnya lagi." Aku menatapnya sambil membisu.
Aku merinding. Bulu kudukku berdiri. Seluruh tubuhku
gemetaran. Aku meraih tangan Lucy. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali aku ingin memastikan
apakah ia berkata benar atau tidak. Apakah ia benar-benar hantu atau cuma
bercanda. "Oh!" Rasa dingin menjalar ke lenganku, dan aku langsung melepaskan tangan Lucy.
Tangannya dingin sekali. Sedingin kabut
hitam yang bergulung-gulung.
"Sekarang kau percaya?" ia bertanya lembut. Sekali lagi ia mengamatiku dengan
matanya yang gelap. Aku mengangguk. "Y-ya," aku tergagap-gagap. "Aku percaya, Lucy."
Ia tidak menyahut. Tanganku masih terasa dingin.
"Genangan-genangan biru itu," aku bergumam. "Genangan-genangan biru yang lengket
di lantai pondok. Kautahu, apa itu?"
"Ya," kata Lucy. "Itu protoplasma."
"Hah" Protoplasma?"
Ia mengangguk. "Genangan-genangan itu timbul kalau kami
menampakkan diri. Kalau kami berubah wujud."
Wajahnya berkerut-kerut. "Berubah wujud benar-benar
menguras tenaga. Begitu banyak energi yang harus dikerahkan. Dan
genangan-genangan itu timbul kalau kami menggunakan energi itu."
Aku tetap belum mengerti.
Tapi sejak awal aku memang sudah merasa bahwa ada yang
aneh dengan lendir biru itu.
Dan ternyata lendir itu merupakan jejak hantu.
"Bagaimana dengan hal-hal yang dilihat Alex dan aku?" aku bertanya. "Anak-anak
yang melayang-layang di atas tempat tidur"
Mata mereka yang menyala dalam gelap" Anak-anak yang menusuk
diri sendiri tapi tidak berdarah" Dan tidak kesakitan?"
"Beberapa temanku memang mencoba menakut-nakuti kalian,"
Lucy mengakui. "Tapi mereka cuma main-main, Harry. Hantu seperti kami jarang
mendapat hiburan. Percayalah. Jangan kausangka kami
senang menghabiskan hari demi hari di sini sebagai arwah
gentayangan. Bayangkan saja, kami takkan pernah tumbuh dewasa.
Kami takkan berubah." Ia terisak-isak. "Kami takkan pernah bisa menikmati hidup
normal!" "A-aku ikut bersedih," aku tergagap-gagap.
Sekonyong-konyong roman mukanya berubah.
Ia memicingkan mata. Dan mengembangkan senyum yang
membuatku merinding. Aku mundur selangkah. Tiba-tiba saja aku merasa ngeri.
"Tolonglah aku, Harry," Lucy berbisik. "Aku tidak tahan lagi.
Kau harus menolongku supaya aku bisa pergi dari sini."
"Pergi dari sini?" seruku. Aku kembali mundur selangkah.
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Aku harus menguasai pikiranmu," Lucy mendesak. "Aku harus mengambil alih
tubuhmu." Chapter 20 "JANGAN!" aku memekik tertahan.
Aku langsung panik. Setiap otot di tubuhku mendadak tegang.
Pelipisku berdenyut-denyut.
"Aku harus menguasai pikiranmu, Harry," Lucy mengulangi
seraya menghampiriku. "Aku mohon, tolonglah aku."
"Jangan! Jangan!"
Rasanya aku ingin berbalik dan kabur. Tapi aku tidak bisa
bergerak.
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakiku terasa seperti agar-agar. Seluruh tubuhku gemetaran.
Aku tidak percaya hantu. Pikiran itu melintas dalam benakku.
Aku berdiri di tepi hutan - dan menatap Lucy.
Menatap arwah Lucy. Kabut bergulung-gulung di sekeliling kami.
Sekali lagi aku berusaha lari. Tapi kakiku tidak mau diajak
kerja sama. "A-apa yang akan kaulakukan padaku?" aku akhirnya bertanya dengan suara parau.
"Kenapa kau harus menguasai pikiranku?"
"Itu satu-satunya cara supaya aku bisa pergi dari sini," balas Lucy. Ia
menatapku dengan tajam. "Satu-satunya cara."
"Kenapa kau tidak pergi begitu saja?" tanyaku.
Ia menghela napas. "Kalau aku nekat pergi sendiri dari sini, aku akan lenyap.
Aku akan memudar kalau aku meninggalkan yang lain.
Aku akan terserap oleh kabut ini."
"A-aku tidak mengerti," aku tergagap-gagap.
Aku mundur selangkah. Kabut yang dingin dan lembap itu
seakan-akan mencengkeramku.
Lucy berdiri setengah meter di hadapanku. Tapi aku nyaris tak
bisa melihatnya. Ia tampak seperti bayangan di balik kabut.
"Aku butuh bantuan." Suaranya pelan sekali. Aku harus pasang telinga supaya bisa
mendengarnya. "Satu-satunya cara bagi hantu untuk lolos dari sini adalah dengan
mengambil alih pikiran orang yang masih hidup."
"Tapi - itu tidak mungkin!" aku memekik.
Ucapanku benar-benar konyol, kataku dalam hati. Melihat
hantu juga tidak mungkin! Segala sesuatu yang kualami di sini
sebenarnya tidak mungkin terjadi.
Tapi nyatanya terjadi juga.
"Aku harus menguasai jiwa dan raga orang yang masih hidup,"
Lucy menjelaskan. "Aku harus mengambil alih tubuhmu, Harry. Aku memerlukannya
untuk pergi dari sini."
"Jangan!" aku kembali memekik. "Aku tidak bisa! Maksudku..."
Jantungku berdegup begitu kencang sehingga aku nyaris tak sanggup
bicara. "Aku tidak bisa membiarkanmu mengambil alih pikiranku,"
kataku akhirnya. "Sebab kalau kau lakukan, aku bukan aku lagi."
Aku mundur pelan-pelan. Aku harus kembali ke pondok, aku berkata dalam hati. Aku
harus mencari Alex. Kami harus kabur dari perkemahan ini. Secepat
mungkin. "Jangan takut," Lucy memohon. Ia mengikutiku. Kabut
berputar-putar di sekeliling kami, seakan-akan tidak rela melepaskan kami.
"Kau tak perlu takut," Lucy menegaskan. "Begitu kita sudah jauh dari sini, aku
akan keluar lagi. Aku akan keluar dari pikiranmu.
Aku akan keluar dari badanmu. Aku berjanji, Harry. Begitu kita
berhasil lolos dari sini, aku akan membebaskanmu. Kau bakal jadi
dirimu lagi. Kau akan kembali seperti semula."
Aku berhenti. Seluruh tubuhku gemetaran. Karena
kedinginan - dan karena ngeri.
"Tolonglah aku, Harry," Lucy memohon. "Tolonglah. Kau tak perlu kuatir. Aku
berjanji kau akan baik-baik saja."
Aku menatapnya sambil memicingkan mata. Haruskah aku
menolongnya" Haruskah aku membiarkan Lucy menguasai pikiranku"
Apakah ia akan mengembalikannya"
Apakah ia bisa dipercaya"
Chapter 21 LUCY melayang-layang di hadapanku. Matanya yang gelap
seakan-akan memohon padaku. "Tolonglah," ia berbisik.
"Tidak. Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa." Kata-kata itu kuucapkan tanpa
kusadari. "Aku tidak bisa, Lucy."
Ia memejamkan mata. Aku melihat otot rahangnya mengencang
ketika ia mengertakkan gigi.
"Aku menyesal, tapi aku tidak bisa menolongmu," aku
menegaskan sambil melangkah mundur.
"Aku juga," ia menyahut dengan dingin. Ia memicingkan mata.
Lalu menyeringai. "Aku sungguh menyesal, Harry. Tapi kau tidak punya pilihan.
Kau harus menolongku!"
"Tidak! Tidak!"
Aku berbalik dan berusaha kabur.
Tapi ada sesuatu yang menahanku. Kabut itu. Kabut itu
mencengkeramku erat-erat.
Kabut yang tebal dan lembap itu bergerak mengelilingiku,
mendorongku, menahanku tetap di tempat.
Aku mencoba berteriak minta tolong. Tapi teriakanku diredam
oleh kabut. Sementara itu Lucy hilang ditelan kabut hitam. Dan kemudian
aku merasakan sesuatu yang dingin di puncak kepalaku.
Kulit kepalaku seperti kesemutan.
Aku meraih ke atas dengan kedua tangan. Dan menyentuh es.
Seolah ada lapisan embun beku yang menyelimuti kepalaku.
"Jangan!" aku menjerit. "Lucy - jangan!"
Rasa dingin itu masuk ke kepalaku. Wajahku seperti beku.
Aku menggosok-gosok pipi.
Pipiku mati rasa. Dingin dan mati rasa. "Lucy - jangan!" aku memohon.
Aku merasakan kehadirannya di dalam badanku - begitu
ringan, begitu dingin. Perlahan-lahan ia mulai menyusup ke otakku.
Menyusup... menyusup... Aku seperti mau tertidur lelap.
Rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuhku. Melewati leherku.
Merambat ke dadaku. "Jangaaaan!" aku melolong.
Aku memejamkan mata. Aku tahu aku harus berkonsentrasi.
Aku harus memusatkan pikiran. Aku harus tetap terjaga. Aku tidak
boleh menyerah. Lucy tidak boleh menang. Ia tidak boleh menyingkirkan diriku. Ia tidak boleh menguasai
jiwa dan ragaku. Aku mengertakkan gigi. Dan terus memejamkan mata. Dan
mengencangkan setiap otot.
Tidak! pikirku. Kau tidak bisa berbuat begini padaku, Lucy!
Kau takkan bisa merampas pikiranku!
Kau takkan bisa merampas badanku. Takkan bisa - soalnya aku
takkan membiarkanmu! Seluruh tubuhkku dingin bagaikan es.
Dan aku begitu mengantuk... begitu mengantuk...
Chapter 22 "JANGAAAAN!" Aku menengadah dan kembali melo long panjang.
Kalau aku terus berteriak, aku akan terus terjaga, kataku dalam
hati. Dan dengan begitu aku bisa melawan Lucy. Aku bisa
mencegahnya. "Jangaaaan!" aku berteriak ke arah kabut yang bergulung-
gulung dan berputar-putar di sekelilingku. "Jangaaaan!"
Berangsur-angsur tubuhku mulai lebih hangat. "Jangaaaan!"
Aku mengusap-usap lengan. Menggosok-gosok pipi.
"Jangaaaan!" Tiba-tiba aku merasa lebih ringan. Dan seratus persen siaga.
Berhasil! pikirku. Aku berhasil mencegah Lucy! Tapi berapa
banyak waktu yang kumiliki sebelum ia mencoba lagi"
Aku menarik napas dalam-dalam. Satu kali, lalu sekali lagi.
Aku bisa bernapas. Aku tetap aku - dan aku masih bernapas.
Aku langsung merasa lebih kuat. Tanpa pikir panjang aku mulai
berlari menerobos kabut. Sepatu ketsku berdebam-debam di tanah ketika aku menuju ke
arah pondok. Semua lampu sudah mati. Anak-anak lain sudah berada di
tempat tidur masing-masing.
Aku menyerbu masuk dan membanting pintu kawat nyamuk.
"Hei, ada apa?" tanya Sam.
Aku tidak menyahut. Aku melintasi ruangan. Mencekal pundak
Alex. Dan mengguncangnya keras-keras. "Ayo bangun. Cepat," aku memerintahnya.
"Hah?" Alex menatapku dengan terkantuk-kantuk.
Tanpa berkata apa-apa aku mengambil celana pendek dan
sepatu ketsnya. Anak-anak yang lain juga terbangun. Joey duduk tegak di
tempat tidurnya. "Harry - dari mana saja kau?" tanyanya.
"Lampu sudah dimatikan sepuluh menit lalu," ujar Sam. "Gara-gara kau kita semua
bakal dimarahi." Aku tidak menggubrisnya. "Alex - cepat!" aku berbisik.
Begitu tali sepatunya terikat, aku meraih lengannya dan
menariknya keluar pintu. "Harry - ada apa, sih?" tanyanya.
"Hei - kalian mau ke mana?" aku mendengar Joey memanggil.
Aku menarik Alex keluar. Pintu kawat nyamuk kubiarkan
terbanting di belakang kami.
"Lari!" seruku. "Nanti kujelaskan semuanya. Kita harus pergi dari sini - sekarang
juga!" "Tapi, Harry..."
Aku menarik Alex melintasi rumput. Cahaya bulan menembus
kabut yang telah menipis. Kami mengikuti jalan setapak ke tepi hutan.
Berulang kali kami tergelincir di rumput yang basah. Selain
bunyi langkah kami, hanya ada suara jangkrik dan daun-daun cemara
yang berdesir karena tiupan angin.
Setelah berlari satu atau dua menit, Alex hendak berhenti
sejenak untuk mengatur napas.
"Jangan," aku melarangnya. "Kita tidak boleh berhenti. Mereka akan mengejar
kita. Mereka akan menemukan kita."
"Tapi kita mau ke mana?" tanya Alex.
"Ke tengah hutan," aku berkata padanya. "Pokoknya sejauh mungkin dari
perkemahan." "Tapi aku tidak kuat lagi, Harry," Alex mengeluh. "Pinggangku sakit dan..."
"Mereka semua hantu!" aku berseru. "Alex - aku tahu
kedengarannya tidak masuk akal - tapi kau harus percaya. Anak-anak.
Para pembina. Paman Marv. Semuanya hantu!"
Raut wajah Alex langsung berubah. "Aku tahu," ia menyahut pelan.
"Hah" Tahu dari mana?" tanyaku.
Kami bersembunyi di balik dua batang pohon yang tumbuh
berdampingan. Sayup-sayup terdengar gemercik air dari riak-riak di tepi danau.
Kami masih terlalu dekat dengan perkemahan, pikirku.
Aku menarik adikku ke arah berlawanan. Menjauhi danau.
Kami menerobos ilalang dan semak belukar, dan semakin jauh
memasuki hutan. "Alex - kau tahu dari mana?" aku bertanya sekali lagi.
"Elvis yang memberitahuku," jawabnya samb il menyeka
keringat yang membasahi keningnya.
Kami merunduk di bawah semak berduri. Duri-durinya
menggores bagian atas kepalaku. Tapi aku tidak peduli, dan terus
bergegas maju. "Elvis bilang bahwa cerita tentang kabut hantu itu benar," Alex melanjutkan.
"Tadinya kupikir dia cuma mau menakut-nakutiku. Tapi setelah itu dia - dia..."
Alex tidak menyelesaikan kalimatnya.
Kami sampai di sebuah lapangan kecil. Cahaya bulan membuat
rumput berkilau keperakan. Aku memandang berkeliling. Aku tidak
tahu ke mana kami harus berlari.
Aku menepuk seekor nyamuk yang hinggap di lenganku. "Apa
yang dilakukan Elvis?" aku bertanya pada Alex.
Alex mengusap rambutnya. "Dia mencoba merampas pikiranku,
jawabnya dengan suara gemetaran. "Dia melayang-layang di tengah kabut. Dan aku
tiba-tiba sangat kedinginan."
Aku mendengar bunyi ranting patah. Daun-daun kering
berderak-derak. Apakah ada yang datang"
Kami merapat ke batang pohon dan pasang telinga.
Hening. "Barangkali ada tupai, atau tikus tanah, atau sebangsanya,"
bisik Alex. "Bisa jadi," ujarku pelan.
Cahaya bulan menerobos pucuk dedaunan. Bayangan-bayangan
hitam tampak menari-nari di lapangan.
"Kita harus jalan lagi," ujarku. "Kita masih terlalu dekat ke perkemahan. Kalau
hantu-hantu itu mengikuti kita..."
Aku merinding. Aku tidak berani membayangkan apa yang
bakal terjadi kalau hantu-hantu itu benar-benar mengikuti kami. Dan menangkap
kami... "Jalan raya di sebelah mana?" Alex bertanya sambil
memandang berkeliling. "Letaknya tidak terlalu jauh dari
perkemahan - ya, kan" Kalau kita bisa sampai ke situ, kita bisa
menumpang mobil yang lewat."
"Ide bagus," ujarku. Kenapa hal itu tidak terpikir olehku"
Tapi kami telah berada di tengah-tengah hutan. Jauh dari jalan
raya. Aku bahkan tidak tahu di sebelah mana letaknya.
"Pasti ke arah situ," Alex berkata sambil menunjuk.
"Bukan. Kalau lewat situ, kita bakal kembali ke perkemahan,"
aku membantah. Alex hendak menyahut - tapi bunyi degup yang keras
membuatnya terdiam. "Suara apa itu?" ia berbisik.
Aku juga mendengarnya. Lalu terdengar sekali lagi.
Bunyi degup yang keras. Dan sangat dekat. "Barangkali suara
binatang?" aku menduga-duga.
"R-rasanya bukan," Alex tergagap-gagap. DAG-DUG.
Lebih keras dari sebelumnya.
Jangan-jangan ada hantu, aku berkata dalam hati. Mungkinkah
salah satu dari mereka berhasil menemukan kami"
"Cepat - lewat sini!" aku mendesak. Aku menyambar
pergelangan tangan Alex dan menariknya dengan keras.
Kami harus menjauh dari sumber bunyi yang menakutkan itu.
DAG-DUG. Lebih keras lagi. "Aduh, kita salah jalan!" aku berseru.
Kami berbalik dan bergegas kembali ke lapangan terbuka.
DAG-DUG. "Ke mana?" Alex memekik. "Kita harus ke mana?" DAG-DUG.
Dan kemudian sebuah suara besar menggeram dari atas,
"KENAPA KALIAN BERDIRI DI JANTUNGKU?"
Chapter 23 BUMI bergetar dan berguncang.
Alex dan aku sama-sama memekik kaget.
Tapi teriakan kami ditelan bunyi gemuruh yang semakin lama
semakin keras. Tanah tempat kami berpijak mendadak amblas. Alex dan aku
mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika kami terjatuh.
Aku mendarat dalam posisi merangkak. Alex terempas dalam
posisi telentang. Bumi terus terguncang-guncang.
"I-ini si monster!" Alex menjerit.
Tidak mungkin! pikirku sambil berusaha bangkit. Monster itu
cuma ada dalam cerita. Dalam cerita hantu yang konyol.
Tidak mungkin ada monster di tengah hutan. Aku membantu
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alex berdiri. Tapi bumi kembali bergetar, sehingga kami jatuh
berlutut lagi. DAG-DUG. DAG-DUG. "Tidak mungkin!" aku berseru. "Ini tidak..."
Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika sebuah kepala
besar muncul di hadapan kami. Matanya merah membara, bagaikan
api - bulat, mengerikan, dan menyala-nyala. Tampangnya berkerut-
kerut dan sangat jelek. Makhluk itu memelototi kami.
"S-si monster!" Alex tergagap-gagap.
Kami sama-sama berlutut dan terguncang-guncang dengan
hebat. Makhluk itu membuka mulutnya yang besar menganga
bagaikan gua. Aku melihat giginya yang kuning dan runcing berderet-deret.
Perlahan-lahan kepalanya mendekati kami. Perlahan tapi pasti.
Mulutnya terbuka lebar. Siap menelan kami. Dengan kalang
kabut Alex dan aku berusaha menjauhinya.
"Harry...! Harry...!" Alex memanggil-manggil namaku dengan suara melengking.
"Kita mau dimakan! Kita mau ditelan bulat-bulat!"
Dan kemudian - tiba-tiba saja - aku mendapat ide.
Chapter 24 MONSTER raksasa itu menggeram. Keras sekali.
Mulutnya membuka semakin lebar. Lidahnya yang berwarna
ungu menjulur ke luar. Aku memekik tertahan ketika menyadari
bahwa lidahnya penuh bulu yang kaku.
"Awas, Alex!" teriakku.
Terlambat. Tanah mendadak terangkat, sehingga kami terlempar ke
udara - dan jatuh tepat di lidah si monster.
"Awwwww!" kami menjerit berbarengan. Bulu-bulu kaku di
lidahnya menusuk tajam bagaikan duri kaktus.
Kami terbawa masuk ke mulut makhluk itu.
"Kita tidak percaya monster," kataku kepada Alex. Aku
terpaksa berteriak untuk mengalahkan bunyi geraman si monster.
Lidahnya membawa kami semakin dekat ke deretan gigi kuning yang
mengerikan. "Kita tidak percaya monster!" seruku. "Monster cuma ada dalam dongeng. Monster
ini tidak nyata. Kalau kita tidak percaya, dia akan lenyap dengan sendirinya!"
Seluruh tubuh Alex terguncang-guncang. Ia melipat kaki dan
menekuk badan, sehingga menyerupai bola. "Rasanya dia benar-benar ada!" Alex
menyahut dengan susah payah.
Lidah si monster terus bergerak mundur. Aku bisa mencium bau
napasnya yang busuk. Aku melihat noda-noda hitam di giginya yang
runcing. "Pusatkan pikiran!" aku memberi instruksi pada adikku. "Kami tidak percaya
monster. Kami tidak percaya monster."
Alex dan aku terus mengulangi kata-kata itu. "Kami tidak
percaya monster. Kami tidak percaya monster."
Kami terbawa masuk ke mulutnya. Aku mencoba berpegangan
pada salah satu gigi. Tapi permukaannya terlalu licin.
Tanganku terlepas. Dan kami pun ditelan.
Kami meluncur turun. Menuju kegelapan yang masam.
"Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster,"
Alex dan aku terus mengulangi.
Tapi suara kami nyaris tak terdengar ketika kami meluncur di
kerongkongan makhluk itu. "Harry - kita ditelan!" Alex meratap.
"Jangan berhenti!" sahutku. "Kalau kita tidak percaya monster, dia tidak mungkin
ada!" "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster."
Gumpalan air liur menerpaku. Aku langsung mual ketika cairan
memuakkan itu membasahi pakaianku, kulitku - rasanya begitu panas
dan lengket. Dinding kerongkongan si monster berdenyut-denyut.
Kami terus meluncur turun.
Menuju ke lambung yang terdengar bergolak jauh di bawah.
"Ohhh." Alex mengerang. Ia juga terselubung ludah kental.
"Jangan berhenti! Kita pasti selamat! Pasti!" aku berteriak.
"Kami tidak percaya monster! Kami tidak percaya monster!"
"Kami tidak percaya monster!"
Alex dan aku memekik-mekik ketika kami mulai melayang-
layang. Melayang-layang ke lambung yang siap mencerna kami.
Chapter 25 AKU memejamkan mata. Dan bersiap-siap untuk tercebur. Bersiap-siap untuk terempas
ke dasar lambung. Aku menunggu. Dan menunggu.
Ketika aku membuka mata, aku telah berdiri di tanah yang
kokoh. Aku berdiri di samping Alex di tengah lapangan rumput.
Pohon-pohon pinus tampak berayun-ayun tertiup angin. Bulan
purnama mengintip dari balik awan-awan tipis.
"Hei...!" aku berseru. Aku gembira sekali karena bisa
mendengar suaraku sendiri.
Aku begitu gembira karena melihat langit. Melihat tanah.
Begitu gembira karena bisa menghirup udara yang sejuk.
Alex mulai berputar. Ia berputar-putar bagaikan gasing. Sambil
tertawa riang. "Kami tidak percaya monster!" serunya. "Kami tidak percaya
monster - dan ternyata berhasil!"
Kami sama-sama sangat gembira karena monster itu telah
lenyap. Aku meniru Alex. Berputar-putar sambil tertawa. Tapi
kemudian kami berhenti ketika menyadari kami ternyata tidak
sendirian. Aku memekik kaget sewaktu melihat wajah-wajah yang
mengelilingi kami. Wajah-wajah pucat, dengan mata menyala-nyala.
Aku mengenali Sam, dan Joey, dan Lucy, dan Elvis.
Alex dan aku saling merapat ketika para peserta perkemahan -
para arwah gentayangan - mulai membentuk lingkaran. Untuk
mengepung kami berdua. Paman Marv melangkah ke tengah lingkaran. Matanya yang
kecil tampak membara bagaikan api. Dengan geram ia memicingkan
mata dan menatap kami. "Tangkap mereka!" ia memerintahkan dengan lantang. "Bawa mereka kembali ke
perkemahan. Tak ada yang bisa lolos dari Camp
Spirit Moon." Beberapa pembina bergegas maju untuk menangkap kami.
Kami tidak bisa bergerak. Kami tidak bisa melarikan diri.
"Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" aku berseru.
Chapter 26 "KAMI membutuhkan anak-anak yang hidup," Paman Marv berkata dengan suaranya yang
menggelegar. "Kami tidak bisa
membiarkan anak-anak seperti kalian lolos dari sini. Kecuali kalau mereka mau
membawa salah satu dari kami."
"Jangaaan!" Alex meratap. "Kalian tidak boleh merampas pikiranku! Tidak boleh!
Takkan kubiarkan kalian melakukannya!"
Kepungan mereka semakin rapat. Mereka terus bergerak maju.
Aku berusaha mengendalikan kakiku yang gemetaran. Berusaha
menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
"Alex - kita juga tidak percaya hantu," aku berbisik.
Sejenak ia menatapku dengan bingung. Tapi kemudian ia
mengerti. Kami berhasil melenyapkan monster tadi karena kami tidak
percaya bahwa ia benar-benar ada. Kami bisa melakukan hal yang
sama dengan gerombolan hantu ini.
"Tangkap mereka. Bawa mereka kembali ke perkemahan,"
Paman Marv memberi perintah kepada para pembina.
"Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu," Alex dan aku mulai
berkata. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu."
Aku menatap wajah-wajah pucat yang mengelilingi kami, dan
menunggu mereka semua lenyap.
Aku terus mengulangi mantra kami bersama adikku. Lebih
cepat. Lebih keras. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu."
Aku memejamkan mata. Rapat-rapat.
Dan ketika aku membuka mata lagi...
Hantu-hantu itu masih mengepung kami.
"Kau tidak bisa membuat kami lenyap, Harry," ujar Lucy seraya melangkah maju. Ia
menatapku sambil memicingkan mata. Kedua
matanya berkilau dingin keperakan dalam cahaya bulan.
"Monster itu bisa dilenyapkan karena dia memang tidak nyata.
Monster itu cuma tipuan kami," Lucy menjelaskan. "Kami mengelabui kalian. Tapi
kami benar-benar ada! Kami semua! Dan kami tidak akan lenyap begitu saja."
"Kami takkan pergi," Elvis menambahkan sambil menghampiri adikku. "Kami justru
akan semakin dekat. Jauh lebih dekat."
"Aku akan mengambil alih jiwamu," Lucy berbisik padaku.
"Aku akan lolos dari Camp Spirit Moon dengan menggunakan jiwa dan ragamu."
"Jangaaan! Kumohon - jangan!" aku memprotes. Aku berusaha
mundur. Tapi arwah-arwah yang lain mencegahku.
"Tidak bisa! Aku takkan membiarkanmu!" aku memekik di
hadapan Lucy. Saking ngerinya, aku sampai tidak bisa bergerak.
"Jangan ganggu aku!" Alex berseru kepada Elvis.
Hutan mendadak gelap ketika awan-awan melintas menutupi
bulan. Mata para hantu di sekelilingku seakan-akan menyala semakin terang.
Aku melihat Elvis mengulurkan tangan ke arah adikku.
Dan kemudian pandanganku terhalang oleh Lucy. Ia mulai
melayang. Kakinya terangkat dari tanah. Ia melayang ke atasku.
"Jangan! Jangan!" aku menjerit.
Kulit kepalaku mulai serasa ditusuk-tusuk.
Aku merasakan hawa dingin menjalar ke tubuhku. Hawa dingin
dari arwah Lucy. Aku merasakannya merasuki pikiranku.
Mengambil alih jiwaku. Dan aku sadar aku tidak mungkin lolos.
Chapter 27 "AWAS, Lucy! Aku duluan!" aku mendengar sebuah suara berseru.
"Enak saja!" teriak salah satu anak laki-laki. "Ayo, minggir kalian semua. Paman
Marv bilang aku yang dapat giliran pertama."
Rasa dingin yang merasuki tubuhku berangsur-angsur lenyap.
Aku membuka mata - dan melihat Lucy berdiri di tanah lagi.
Dan anak-anak lain tengah menarik-narik tubuhnya.
"Lepaskan aku!" seru Lucy, terhuyung-huyung mundur. "Aku yang paling dulu
melihatnya!" "Siapa cepat, dia dapat!" arwah lain menimpali. Baru aku sadar ternyata mereka
bertengkar karena memperebutkan aku.
Mereka berhas il menyingkirkan Lucy. Dan sekarang mereka
bertengkar untuk menentukan siapa yang akan mengambil alih jiwaku.
"Hei - lepaskan aku!" salah satu hantu memprotes. Aku
melihatnya bergulat dengan hantu lain.
Mereka bergulat dan bergelut, saling mendorong dan menarik.
Para pembina juga tidak mau ketinggalan.
"Berhenti! Berhenti!" suara Paman Marv membahana.
Ia berusaha melerai para peserta perkemahan. Tapi mereka
tidak menggubrisnya, dan terus saja bertengkar dan bergulat.
Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika mereka mulai
berputar-putar mengelilingiku. Makin lama makin cepat. Aku berada
di tengah-tengah lingkaran hantu yang bergulat, bertengkar, dan
berteriak-teriak. Cewek, cowok, para pembina, Paman Marv -
semuanya berputar-putar sambil saling mendorong dan menarik.
Makin cepat. Dan lebih cepat lagi.
Mereka berputar-putar mengelilingi Alex dan aku.
Dan kemudian cahaya bulan meredup. Meredup hingga
menyerupai asap kelabu. Gumpalan-gumpalan asap yang melayang ke pepohonan. Dan
menghilang di antara dahan yang bergoyang-goyang.
Alex dan aku tercengang keheranan. Kami menyaksikan
kejadian itu sampai gumpalan asap terakhir menghilang dari
pandangan. "Mereka pergi," ujarku dengan suara parau. "Mereka saling menggempur. Dan
sekarang mereka telah pergi. Semuanya."
Aku menggelengkan kepala. Dan menarik napas panjang.
Jantungku masih berdegup kencang. Seluruh tubuhku
gemetaran. Tapi aku baik-baik saja. Alex dan aku baik-baik saja.
"Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Alex dengan suara
sangat pelan. "Ya. Ayo, kita juga pergi dari sini," kataku seraya menarik tangannya. "Ayo.
Cepat." Alex segera mengikutiku. "Mau ke mana kita?"
"Ke jalan raya," ujarku. "Kita harus melalui perkemahan agar bisa sampai ke
jalan raya. Lalu kita cegat mobil pertama yang lewat.
Setelah itu kita cari telepon umum. Dan kita telepon Mom dan Dad."
Aku menepuk punggung adikku. "Kita selamat, Alex!" seruku dengan gembira. "Tidak
lama lagi kita sudah sampai di rumah!"
Kami bergegas menembus hutan. Menerobos semak belukar
dan alang-alang. Mencari jalan yang paling cepat.
Alex mulai bersenandung ketika kami menuju ke arah jalan
raya. "Hei!" aku berseru. "Kau kenapa, Alex?"
"Hah?" Ia menatapku dengan heran.
Aku berhenti dan mencekal pundaknya. "Coba nyanyi lagi," aku menyuruhnya.
Ia kembali bernyanyi. Mengerikan! Suaranya mengerikan. Betul-betul sumbang dan
fals. Aku menatap mata adikku. "Elvis - kau yang ada di dalam situ,
ya?" seruku. "Kau yang ada di dalam tubuh adikku, ya?"
Suara Elvis-lah yang keluar dari mulut Alex. "Tolong jangan
beritahu siapa-siapa, Harry," ia memohon. "Aku bersumpah takkan bernyanyi lagi -
asal kau berjanji untuk tidak memberitahu siapa-siapa!" END
Ebukulawas.blogspot.com Pendekar Gila 1 Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut Sumpah Palapa 15
Keduanya tertawa-tawa dengan riang.
Tapi kemudian Sam tersandung tenda. Ia kehilangan
keseimbangan. Terhuyung-huyung. Dan jatuh terpelanting.
Aku menjerit ketika kakinya tertembus tiang tenda yang
dipegangnya. Chapter 13 PERUTKU serasa diaduk-aduk. Seketika aku terserang rasa
mual. Tiang tenda yang runcing itu menembus kaki Sam sehingga
kakinya seperti terpaku ke tanah.
Joey membelalakkan mata. Ia menatap kaki Sam dengan
tercengang. Aku langsung menoleh ke kiri-kanan, mencari-cari Chris. Aku
tahu Sam butuh pertolongan.
Ke mana Chris" "Sam...," kataku dengan gugup. "Aku akan cari pertolongan.
Aku..." Tapi Sam diam saja. Ia sama sekali tidak bereaksi. Bahkan
meringis pun tidak. Dengan tenang ia meraih tiang tenda - dan mencabut tongkat
logam itu dari kakinya. Aku mengerang. Ternyata malah kakiku yang sakit. Mungkin
karena simpati. Sam dengan santai mencampakkan tiang itu.
Aku menatap kakinya. Tak ada luka. Tak ada darah yang
mengucur deras. Kakinya sama sekali tak berdarah!
"Sam!" aku memekik. "Kakimu! Kakimu tidak berdarah!"
Ia berpaling dan angkat bahu. "Tidak kena, kok," katanya.
Ia berlutut di rumput dan mulai mendirikan tenda.
Aku menelan ludah dan menunggu sampai perasaanku tenang
kembali. Tidak kena" pikirku. Tidak kena"
Aku lihat sendiri kakinya tertembus tiang itu! Atau jangan-
jangan aku berkhayal lagi"
Selama sisa sore itu aku berusaha tidak memikirkan kejadian itu. Aku sibuk
memasang tenda. Setelah digelar di rumput, tenda itu memang jadi mudah
didirikan. Chris menyuruh kami melipat dan memasang tenda berulang-
ulang. Kemudian kami mengadakan lomba untuk melihat siapa yang
paling cepat. Aku menang. Sam bilang aku cuma beruntung.
Chris lalu berkomentar bahwa aku sudah siap untuk menginap
di hutan. "Di mana kita akan menginap?" aku bertanya. "Jauh, jauh di tengah hutan," sahut
Chris. Ia mengedipkan mata kepada Sam dan Joey.
Aku merinding karena teringat kisah hantu yang diceritakan
Paman Marv semalam. Perasaan ngeri itu langsung kuusir. Aku tidak sudi ketakutan
hanya gara-gara cerita konyol.
Acara berikutnya adalah latihan renang di danau. Airnya jernih
dan dingin. Aku pemegang ijazah Junior lifesaver - penolong tingkat
junior. Joey dan aku bergantian saling menyelamatkan.
Aku tidak memikirkan kaki Sam yang tertembus tiang. Aku
memaksakan diri untuk tidak memikirkan hal itu.
Sehabis latihan renang, aku kembali ke pondok. Aku berganti
baju untuk makan malam. Dan di sana aku melihat genangan-
genangan lendir biru yang masih baru di lantai.
Tak ada seorang anak pun yang menghiraukan genangan-
genangan itu. Jadi aku juga diam saja.
Alex datang. Ia tampak gembira sekali. "Aku dapat giliran
pertama untuk tampil di acara unjuk bakat!" ia mengumumkan. "Dan suaraku dipuji-
puji oleh Veronica. Aku bakal dapat peran utama
dalam sandiwara musik nanti."
"Hebat!" seruku. Aku mengajaknya ber-high five. Kemudian aku bertanya,
"Bagaimana dengan Elvis?"
"Dia juga ikut," sahut Alex. "Dia ditunjuk sebagai manajer panggung."
Aku mengenakan seragam Camp Spirit Moon yang serba putih,
lalu menuju ke gedung pertemuan untuk makan malam.
Sekelompok anak perempuan keluar dari pondok-pondok di
seberang. Aku mencari-cari Lucy, tapi ia tidak kelihatan.
Aku cukup gembira. Aku tidak memikirkan hal-hal aneh yang telah kulihat.
Aku tidak memikirkan genangan-genangan lendir biru di lantai.
Atau kabut hitam yang misterius semalam.
Aku tidak memikirkan cerita-cerita hantu yang menurut Elvis
benar-benar terjadi. Aku tidak memikirkan bagaimana Lucy mengulurkan tangan ke
tengah api unggun dan mengambil sosisku yang telah gosong.
Aku tidak memikirkan bagaimana Joey melayang-layang di atas
tempat tidurnya. Atau bagaimana kaki Sam tertancap tiang tenda.
Tanpa berdarah. Tanpa berteriak kesakitan. Seakan-akan tidak
merasakan apa-apa. Aku lapar sekali. Saking laparnya, aku tidak memikirkan segala
hal yang menimbulkan tanda tanya itu.
Tapi gara-gara ulah Joey di ruang makan, aku kembali teringat
pada hal-hal yang menakutkan itu.
Makan malam baru saja disajikan. Hidangannya ayam dengan
saus kental, bayam, dan kentang rebus yang ditumbuk sampai hancur.
Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa mengisi perut!
Tapi sebelum aku sempat menyentuh makananku, Joey
memanggilku dari seberang meja. "Hei, Harry - coba lihat, nih!"
Aku menoleh. Ia meraih garpu - dan menancapkannya ke leher!
Chapter 14 "OHHH." Aku langsung mengerang. Garpu di tanganku terlepas dan jatuh ke lantai.
Joey menatapku sambil cengar-cengir. Garpu di lehernya
tampak berayun-ayun. Aku langsung mual. Jantungku berdegup-degup. Ia tetap
cengar-cengir ketika mencabut garpu itu. "Sekarang giliranmu!"
katanya. "Joey - jangan macam-macam!" Elvis berseru dari seberang
meja. "Ya, berhentilah," Sam menyetujui.
Aku menatap leher Joey. Tak ada luka. Tak ada darah.
"Ba-bagaimana mungkin?" aku tergagap-gagap.
Senyum Joey bertambah lebar. "Cuma tipuan, kok," ia
menyahut. Aku menoleh ke arah Alex yang duduk di ujung meja. Apakah
ia juga sempat melihat "tipuan" Joey"
Ya. Alex tampak pucat pasi. Mulutnya sampai melongo karena
ngeri. "Lihat baik-baik, nih. Biar kutunjukkan bagaimana caranya,"
Joey menawarkan. Ia kembali mengangkat garpu - tapi langsung berhenti ketika
menyadari bahwa Paman Marv sudah berdiri di belakangnya.
"Ada apa, Joey?" Paman Marv bertanya dengan tegas.
Joey segera meletakkan garpu. "Kami cuma main-main kok,"
kilahnya tanpa berani menatap Paman Marv.
"Ayo, habiskan makanan kalian," perintah Paman Marv. "Tanpa main-main." Jarinya
yang gendut menggenggam pundak Joey.
"Jangan lupa, nanti ada pertandingan sepak bola malam. Anak laki-laki melawan
anak perempuan." Paman Marv mengendurkan genggamannya dan pindah ke meja
sebelah. Di situ telah terjadi perang makanan. Potongan-potongan
kentang beterbangan ke segala arah.
Joey bergumam. Tapi aku tidak tahu ia bilang apa karena
suasananya begitu ramai. Aku menoleh ke arah Alex di ujung meja. Ia sedang memegang
garpu, tapi tidak menyentuh makanannya. Pandangannya tertuju pada
Joey. Matanya tak berkedip. Keningnya berkerut-kerut.
Aku yakin ia punya pikiran yang sama denganku. Ada apa ini"
Joey bilang garpu yang menancap di lehernya itu hanya tipuan.
Tapi bagaimana caranya" Kenapa ia tidak kesakitan" Kenapa ia tidak berdarah"
"Pertandingan sepak bola malam benar-benar seru!" kata Elvis.
Ia sedang mengunyah sepotong ayam. Sausnya mengalir di dagunya.
"Apalagi kalau pertandingan cowok lawan cewek," Sam
menimpali. "Kita bantai mereka! Mereka pasti kalah telak."
Aku melirik ke meja anak-anak perempuan di seberang
ruangan. Mereka sedang asyik mengobrol. Mungkin tentang
pertandingan sepak bola itu.
Aku melihat Lucy di balik bayang-bayang di dekat dinding. Ia
diam saja, tidak ikut mengobrol. Tampangnya serius sekali.
Dan sepertinya ia juga tengah melirik ke arahku. Tapi aku tidak
bisa memastikannya. Aku menghabiskan makan malamku meski sebenarnya sudah
kehilangan selera. "Bagaimana caramu menancapkan garpu tadi?" aku bertanya
pada Joey. "Aku kan sudah bilang, itu cuma tipuan," jawabnya. Kemudian ia berpaling dan
mengatakan sesuatu kepada Sam.
Hidangan cuci mulut berupa potongan agar-agar berwarna
merah, kuning, dan hijau. Rasanya sih lumayan. Sayang tidak pakai
krim. Ketika aku sedang melahap agar-agar, aku mendengar
seseorang memekik. Aku segera menoleh dan melihat seekor
kelelawar terbang kian kemari.
Beberapa anak kecil menjerit-jerit. Tapi anak-anak yang duduk
semeja denganku tetap tenang.
Kelelawar itu mengepak-ngepakkan sayap dan melesat dari
ujung ke ujung, sesekali terbang tinggi, sesekali menukik.
Paman Marv mengejar-ngejarnya sambil membawa sapu. Dan
akhirnya kelelawar itu berhasil disudutkannya ke dinding.
Kemudian ia meraihnya, dan menggenggamnya dengan sebelah
tangan. Makhluk itu mungil sekali! Paling-paling sebesar anak tikus.
Paman Marv membawanya ke pintu dan melepaskannya.
Semua anak bersorak-sorai.
"Ini sudah biasa," Sam memberitahuku. "Kadang-kadang ada kelelawar yang kesasar,
soalnya ruang makan ini tidak pakai pintu
kawat nyamuk." "Dan hutan di sini penuh kelelawar," Joey menimpali.
"Kelelawar pembunuh. Mereka mendarat di kepalamu dan mengisap darahmu sampai
habis." Sam tertawa. "Yeah. Benar." Ia menatapku sambil nyengir.
"Itulah yang terjadi dengan Joey. Itulah sebabnya ia begitu aneh sekarang."
Aku ikut tertawa bersama yang lain.
Tapi dalam hati aku ragu apakah Sam benar-benar cuma
bercanda. Habis, tingkah laku Joey memang aneh, sih.
"Semuanya ke lapangan bola!" Suara Paman Marv membahana
dari pintu ruang makan. "Lapor ke pembina olahraga. Alissa dan Mark akan
mengatur pembagian tim."
Semua anak langsung berdiri.
Aku melihat Lucy melambaikan tangan. Tapi Sam dan Joey
keburu menarikku. Udara malam terasa sejuk. Langit tampak mendung, dan bulan
pun bersembunyi di balik lapisan awan. Rumput lapangan bola sudah
basah karena embun. Para pembina langsung membagi pemain-pemain untuk masing-
masing tim. Alex dan aku masuk tim kedua. Berarti kami tidak turun pada babak
pertama. Tugas kami adalah berdiri di pinggir lapangan
dan memberi semangat kepada tim pertama.
Sepasang lampu sorot yang dipasang pada tiang-tiang tinggi
memancarkan cahaya menyilaukan. Tapi kedua lampu sorot itu tidak
sanggup menerangi seluruh lapangan. Beberapa bagian tampak cukup
gelap. Tapi justru di situ asyiknya.
Alex berdiri di sampingku ketika pertandingan dimulai. Dalam
waktu kurang dari satu menit tim cewek telah berhasil mencetak gol.
Anak-anak cewek di pinggir lapangan langsung bersorak-sorai.
Para pemain tim cowok terbengong-bengong. Mereka cuma
bisa menggerutu sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kebetulan! Kebetulan!" seru Mark, si pembina tim cowok
yang bertubuh kurus dan jangkung. "Ayo, balas mereka!"
Pertandingan dilanjutkan.
Cahaya lampu-lampu sorot seakan-akan bertambah redup. Aku
menoleh - dan melihat kabut datang bergulung-gulung.
Lagi-lagi kabut. Mark berlari melewati kami. Sepintas lalu ia mirip burung
bangau raksasa. "Kelihatannya bakal ada kabut lagi, nih," serunya kepada Alex
dan aku. "Tapi pertandingan malam justru tambah ramai kalau ada kabut." Ia
menyerukan instruksi-instruksi kepada para pemainnya.
Dalam sekejap saja kami sudah diselubungi kabut yang tertiup
angin kencang. Alex merapatkan badan padaku. Aku menoleh dan melihat
roman mukanya yang cemas.
"Kaulihat apa yang dilakukan Joey waktu makan malam tadi?"
ia bertanya dengan suara pelan.
Aku mengangguk. "Dia bilang itu cuma tipuan."
Alex termenung sejenak. "Harry," ia berkata sambil
memperhatikan pemain yang sedang menggiring bola. "Kau juga
merasa bahwa anak-anak di sini agak aneh?"
"Yeah, memang," sahutku. Aku teringat kembali pada tiang tenda yang menembus
kaki Joey. "Tadi ada kejadian aneh di danau," Alex melanjutkan. "Dan sampai sekarang aku
masih terbayang-bayang."
Aku memicingkan mata agar bisa melihat para pemain yang
terselubung kabut. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sisi anak-anak perempuan.
Rupanya tim mereka berhasil mencetak gol lagi. Tapi aku tidak bisa memastikan
karena pandanganku terhalang kabut.
Aku menggigil. "Memangnya ada kejadian apa sih?" aku
bertanya pada adikku. "Sehabis acara seleksi tadi, kelompokku berenang di danau.
Selain kami juga ada beberapa kelompok anak cewek."
"Danaunya asyik juga," aku berkomentar. "Airnya jernih dan bersih. Dan tidak
terlalu dingin." "Yeah, memang," Alex membenarkan. Ia mengerutkan kening.
"Tapi kemudian ada kejadian aneh. Atau paling tidak, kesannya aneh."
Ia menarik napas panjang. Aku langsung tahu bahwa ada yang
mengganggu pikirannya. "Ayo, dong! Jangan diam saja!" terdengar Mark berseru kepada para pemainnya.
Sinar lampu sorot meredup, dan menghasilkan bayangan-
bayangan aneh di lapangan permainan. Kabutnya benar-benar tebal.
Aku nyaris tak bisa membedakan antara para pemain dan bayangan.
"Aku lagi mengambang di permukaan," Alex melanjutkan
sambil mendekap dadanya sendiri. "Cuma bersantai saja. Aku
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berenang pelan-pelan sekali."
Namanya juga acara bebas. Jadi kami boleh berbuat sesuka hati.
Beberapa anak adu cepat renang di dekat tepi danau. Tapi aku
berenang sendirian saja. "Airnya jernih sekali. Aku membenamkan kepala dan
memandang ke dasar. Dan - dan aku melihat sesuatu di situ."
Ia menelan ludah. "Apa yang kaulihat" Apa?" tanyaku tak sabar.
"Aku melihat anak cewek," Alex menyahut sambil menggigil.
"Salah satu anggota kelompok cewek yang ikut berenang. Aku tidak tahu namanya.
Rambutnya hitam ikal dan dipotong pendek."
"Di bawah permukaan?" tanyaku. "Dia berenang di bawah permukaan?"
"Bukan." Alex menggelengkan kepala. "Dia tidak berenang. Dia tidak bergerak sama
sekali. Dan dia ada di bawah. Hampir di dasar
danau." "Maksudmu, dia menyelam sampai ke dasar?"
Alex angkat bahu. "Entahlah. Pokoknya aku ngeri sekali!" ia berseru untuk
mengalahkan hiruk-piruk yang mendadak terdengar di
lapangan. "Dia tidak bergerak. Dan sepertinya dia juga tidak bernapas.
Lengannya naik-turun. Dan matanya - sorot matanya kosong."
"Dia tenggelam?" aku memekik.
"Aku juga pikir begitu," ujar Alex. "Aku langsung panik. Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aku tidak bisa berpikir. Tahu-tahu aku sudah menyelam ke dasar."
"Kau menyelam untuk mengangkatnya?" tanyaku.
"Yeah. Tapi aku tidak tahu apakah aku sudah terlambat atau
belum. Atau apakah aku harus memanggil salah satu pembina. Aku
benar-benar bingung." Alex kembali menggigil.
"Aku menariknya ke permukaan. Lalu kuseret dia ke tepi. Aku
sampai tersengal-sengal. Terutama karena panik. Dadaku serasa mau
meledak. Aku takut sekali.
"Tiba-tiba ada yang tertawa. Ternyata dia. Dia
menertawakanku. Aku masih memeluknya dari belakang. Dia
berbalik - dan menyemburkan air ke mukaku!"
"Oh, wow!" Aku tercengang. "Jadi dia tidak apa-apa?"
"Yeah," sahut Alex sambil geleng-geleng kepala. "Dia tidak apa-apa. Dia malah
menertawakanku. Dia pikir leluconnya lucu
sekali. Aku sampai bengong. Aku benar-benar bingung. Habis dia
hampir di dasar danau waktu aku menariknya ke atas. Dan dia sudah
lama sekali berada di situ. Akhirnya aku melepaskannya. Dia
berenang menjauh, masih sambil tertawa."
"Lalu aku bertanya, 'Bagaimana kau bisa menyelam seperti
itu"'Berapa lama kau bisa menahan napas"'
"Tapi tawanya malah tambah keras. 'Berapa lama"' aku
mendesaknya. "Lalu dia bilang, 'Pokoknya lama sekali.'
"Setelah itu dia kembali ke cewek-cewek lain."
"Terus, apa yang kaulakukan?" tanyaku pada Alex. "Aku buru-buru naik ke darat,"
jawabnya. "Seluruh tubuhku menggigil. Aku tidak bisa berhenti gemetaran. Aku - aku
pikir..." Ia terdiam.
"Untung saja dia tidak apa-apa," Alex bergumam setelah
beberapa waktu. "Tapi kejadiannya memang aneh sekali - ya kan,
Harry" Dan waktu makan malam tadi, waktu Joey menancapkan garpu
di lehernya..." "Ya, ini memang aneh, Alex," ujarku pelan. "Tapi mungkin saja semuanya cuma
lelucon." "Lelucon?" Alex mengulangi. Ia menatapku dengan matanya
yang gelap. "Pendatang baru di perkemahan mana pun pasti jadi sasaran
lelucon," aku berkata padanya. "Itu sudah tradisi. Biasa, anak-anak baru harus
ditakut-takuti dulu. Aku yakin semua ini cuma lelucon."
Ia merenungkan ucapanku sambil menggigit bibir. Meskipun
Alex berdiri begitu dekat denganku, ia tampak sangat jauh akibat
kabut hitam yang bergulung-gulung.
Aku kembali berpaling ke lapangan sepak bola. Pemain-pemain
cowok sedang menyerang dan mengancam gawang tim cewek. Bola
berpindah-pindah dengan operan-operan pendek.
Lelucon, pikirku. Semuanya cuma lelucon. Aku memicingkan mata dan memandang ke tengah kabut. Dan
aku melihat sesuatu yang pasti bukan lelucon.
Salah satu pemain cowok menendang bola ke arah gawang.
Kiper tim cewek segera bergerak untuk menghalau tembakan itu.
Tapi ia kurang cepat. Atau mungkin juga ia terpeleset.
Bola itu menghantam keningnya.
Bunyinya keras sekali. Bolanya jatuh ke tanah.
Dan kepala si kiper menggelinding ke sebelahnya.
Chapter 15 AKU memekik tertahan. Dan langsung bergegas ke lapangan.
Menerobos gumpalan-gumpalan kabut hitam.
Kabut yang bergulung-gulung itu seakan-akan naik dari tanah
dan turun dari pepohonan. Wajahku terasa dingin dan lembap ketika
aku berlari menghampiri kiper tim cewek.
Aku memicingkan mata. Samar-samar aku melihatnya
tergeletak di rumput dalam posisi tengkurap. Dan kepalanya...
Kepalanya... Aku membungkuk dan memungutnya. Aku sendiri tidak tahu
kenapa aku berbuat begitu.
Barangkali kupikir kepalanya bisa dipasang lagi di pundak anak
perempuan itu. Sambil gemetaran aku membungkuk di tengah kabut - dan
memungut kepala itu dengan kedua tangan.
Rasanya keras sekali. Terlalu keras untuk kepala manusia.
Aku mengangkatnya. Aku mendekatkannya ke wajahku.
Dan menyadari bahwa aku sedang memegang bola.
Bukan kepala. Bukan kepala si kiper.
Di sampingku terdengar erangan. Aku menoleh dan melihat
anak perempuan itu berlutut dirumput.
Ia bergumam tak jelas dan menggelengkan kepala. Kepalanya
sendiri. Kepala yang ada di pundaknya. Ia menatapku sambil
mengerutkan kening. Aku menatap wajahnya, kepalanya. Seluruh tubuhku masih
gemetaran tak terkendali.
"K-kepalamu..." aku tergagap-gagap.
Ia menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus. Menepis
tanah yang mengotori celana pendeknya. Lalu meraih bola yang masih kupegang.
"Hei, Harry! Belum waktunya kau masuk lapangan! Kau kan
tidak ikut tim pertama!" seseorang berseru padaku.
"Ayo, keluar!" teriak anak lain.
Aku menoleh dan melihat bahwa para pemain telah berkerumun
di belakangku. "Tapi kepalanya copot!" ujarku.
Seketika aku menyesal. Seharusnya aku tidak bilang begitu.
Semuanya tertawa. Mereka tertawa sampai terpingkal-pingkal.
Malah ada yang menepuk punggungku.
Wajah-wajah mereka yang nyengir dan tertawa melayang-
layang di sekelilingku. Sejenak aku menyangka kepala mereka semua
juga copot. Aku dikepung puluhan kepala yang seolah-olah melayang
di tengah cahaya menyeramkan dari kedua lampu sorot.
Si kiper menempelkan tangan ke sisi kepalanya dan berlagak
mendorongnya ke atas. "Nih, Harry," ia berseru. "Belum goyang, kan?"
"Kepala Harry yang perlu diperiksa," salah satu pemain
menimpali. Tawa mereka semakin keras.
Seseorang menghampiriku, memegang kepalaku, dan
menariknya dengan keras. "Aduh!" aku memekik.
Mereka tertawa terbahak-bahak.
Aku melempar bola kepada si kiper. Kemudian aku
meninggalkan lapangan. Ada apa sih denganku" aku bertanya-tanya. Kenapa aku jadi
kacau begini" Kenapa aku terus melihat yang bukan-bukan"
Apakah cuma karena aku masih gugup di tempat baru ini"
Ataukah aku memang sudah mulai tidak waras"
Aku terus berjalan, biarpun aku telah melewati garis tepi
lapangan. Aku tidak tahu mau ke mana. Aku cuma ingin mencari
tempat yang sejauh mungkin dari anak-anak yang menertawakanku,
tempat yang sejauh mungkin dari lapangan bola.
Seluruh lapangan terselubung kabut tebal. Aku menoleh ke
belakang. Aku mendengar para pemain berseru-seru dan bersorak-
sorai, tapi mereka nyaris tidak kelihatan.
Aku berbalik dan menuju ke deretan pondok. Embun di rumput
menggelitik telapak kakiku ketika aku berjalan.
Aku sudah hampir sampai ketika aku menyadari bahwa ada
yang mengikutiku. Chapter 16 SERTA-MERTA aku membalik.
Seraut wajah muncul dari kegelapan.
"Alex!" aku berseru. Saking sibuknya aku memikirkan soal bola dan kepala si
kiper, aku sama sekali lupa bahwa adikku juga ada di sini.
Ia menghampiriku begitu dekat sehingga aku bisa melihat butir-
butir keringat di atas bibirnya. "Aku juga melihatnya," Alex berbisik.
"Hah?" Mula-mula aku tidak mengerti. "Lihat apa?"
"Kepala anak perempuan itu," Alex membalas dengan ketus. Ia menoleh ke arah
lapangan bola. Mungkin untuk memastikan bahwa
tidak ada yang mengikutinya.
Kemudian ia berpaling kembali dan menarik lengan T-shirtku.
"Aku juga melihat bahwa kepalanya copot. Aku melihat kepalanya menggelinding ke
tanah." Aku menelan ludah. "Masa, sih?"
Ia mengangguk. "Aku langsung mual."
"T-tapi kepalanya tidak copot!" aku berseru. "Kau lihat waktu aku masuk lapangan
tadi" Yang kupungut adalah bola, bukan kepala."
"Tapi aku melihatnya, Harry!" Alex berkeras. "Semula kupikir aku salah lihat
karena kabut. Tapi..."
"Ya, ini pasti gara-gara kabut," kataku. "Anak itu sama sekali tidak apa-apa."
"Tapi kita sama-sama melihat bahwa..." Alex kembali angkat bicara, namun
akhirnya terdiam dan menghela napas. "Perkemahan ini benar-benar aneh."
"Yeah, memang," ujarku.
Alex menyelipkan tangan ke kantong celana pendeknya. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Menurut Elvis, cerita-cerita Paman Marv semuanya
benar," katanya. Aku mencengkeram pundak Alex. Ia gemetaran. "Hei - kita kan
tidak percaya hantu," kataku menegaskan.
Ia mengangguk dengan lesu.
Tiba-tiba terdengar lolongan panjang. Alex dan aku tersentak
kaget. Aku menoleh ke arah hutan. Sekali lagi terdengar lolongan dari
arah yang sama. Itu bukan lolongan binatang.
Suara itu menyayat hati. Suara manusia.
"Owwoooooooooo."
Aku menahan napas. Alex meraih lenganku. Tangannya sedingin es. "Suara apa itu?"
bisiknya dengan tegang. Aku hendak menyahut - tapi didului oleh lolongan berikutnya.
"Owwoooooooooo."
Ada dua makhluk yang melolong-lolong. Mungkin malah tiga.
Atau bahkan lebih. Suara-suara mengerikan itu bersahut-sahutan dari balik pohon-
pohon. Sampai akhirnya seluruh hutan seperti melolong.
Tak ada manusia yang bersuara seperti itu. Suara-suara yang
kami dengar pasti suara hantu.
"Kita dikepung, Harry," bisik Alex. Ia masih menggenggam lenganku. "Aku tidak
tahu suara apa itu, tapi kita telah dikepung."
Chapter 17 "Owwoooooooo." Bunyi mengerikan itu kembali terdengar dari pepohonan.
"Lari!" aku berbisik kepada Alex. "Ke gedung utama.
Barangkali Paman Marv ada di sana. Barangkali..."
Kami berlari ke arah gedung utama, menerobos kabut.
Tapi lolongan-lolongan itu terus mengejar. Dan malah
bertambah nyaring. Aku mendengar suara langkah berdebam-debam di belakang
kami, berlari melintasi rumput.
Kami tidak mungkin lolos, aku menyadari.
Alex dan aku berbalik bersamaan.
Dan melihat Elvis, Sam, dan Joey - ketiga-tiganya mengejar
kami sambil nyengir lebar.
Sam menempelkan tangan ke mulut dan melolong panjang.
Elvis dan Joey tertawa terpingkal-pingkal, lalu meniru perbuatan Sam.
"Dasar brengsek!" teriakku sambil melayangkan tinju ke arah mereka.
Mukaku mendadak terasa panas.
Rasanya aku ingin meledak. Rasanya aku ingin menghajar
ketiga pelawak konyol itu. Menghajar dan menendang-nendang
mereka, biar mereka kapok.
"Kena kau!" seru Elvis. "Kena kau!" Ia berpaling kepada Sam dan Joey. "Coba
lihat mereka! Mereka gemetaran! Oh, wow! Mereka gemetaran!"
Sam dan Joey tertawa puas. "Kalian pikir kami gerombolan
serigala dari hutan?" tanya Sam.
"Jangan banyak omong," aku menyahut dengan ketus.
Alex diam saja. Ia menundukkan kepala. Aku tahu ia sama
malunya dengan aku. "Owwooooooo!" Elvis kembali melolong. Ia merangkul
pinggang adikku dan menariknya sampai terjatuh.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" seru Alex dengan kesal.
Mereka bergulat di rumput yang basah.
"Tadi kau ketakutan, ya?" tanya Elvis sambil terengah-engah.
"Ayo, mengaku saja, Alex. Kau pikir ada hantu. Ya, kan?"
Alex tidak mau menjawab. Ia mengerang dan mendorong Elvis
dengan keras. Sam dan Joey menghampiriku sambil cengar-cengir. Sepertinya
mereka puas sekali. "Kalian tidak lucu," aku menggerutu. "Asal tahu saja, kalian kekanak-kanakan
sekali." Joey ber-high five dengan Sam. "Kekanak-kanakan?" serunya.
"Kalau begitu, kenapa kalian bisa tertipu?"
Aku hendak menjawab - tapi tidak sanggup berkata apa-apa.
Ya, kenapa aku bisa tertipu" aku bertanya pada diriku sendiri.
Kenapa aku mau ditakut-takuti oleh tiga anak konyol yang
melolong-lolong sambil bersembunyi di balik pohon"
Biasanya aku pasti menertawakan lelucon seperti itu.
Aku terus berpikir ketika kami berlima menuju ke pondok. Aku
sadar semua peserta dan pembina terus berusaha menakut-nakuti Alex dan aku,
sejak kami baru tiba. Paman Marv pun menceritakan kisah-kisah hantu untuk
membuat kami ngeri. Menakut-nakuti anak baru mungkin sudah tradis i di Camp
Spirit Moon, kataku dalam hati.
Dan usaha mereka memang berhasil. Alex dan aku benar-benar
jadi ngeri. Kami jadi serbategang. Dan gugup. Bunyi sekecil apa pun langsung
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat kami tersentak kaget.
Kami masuk ke pondok. Aku menyalakan lampu. Elvis, Sam,
dan Joey masih tertawa-tawa. Mereka masih menikmati lelucon
mereka. Alex dan aku harus bisa mengendalikan diri, pikirku.
Kami harus melupakan segala omong kosong tentang hantu.
Kami kan tidak percaya hantu, aku meyakinkan diri dalam hati.
Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu.
Kalimat itu kuulangi terus-menerus. Bagaikan mantra.
Alex dan aku tidak percaya hantu. Dari dulu kami tidak
percaya. Dan kami takkan pernah percaya. Takkan pernah. Sampai suatu
malam... setelah berjalan-jalan di hutan - aku berubah pikiran!
Chapter 18 BESOKNYA Alex dan aku terus diolok-olok.
Begitu keluar dari ruang makan sehabis sarapan, seseorang
melempar bola padaku dan berteriak, "Kepalaku! Kembalikan
kepalaku!" Pagi itu ada latihan renang. Joey dan Sam dan beberapa anak
lain mulai melolong-lolong seperti hantu. Semua anak tertawa
terpingkal-pingkal. Aku melihat Lucy di tepi danau bersama sejumlah teman
sepondoknya. Teman-temannya ikut tertawa ketika mendengar Joey
dan Sam melolong. Hanya Lucy yang diam saja.
Tampangnya justru kelihatan serius. Seakan-akan ia sedang
memikirkan sesuatu. Beberapa kali aku memergokinya ketika ia sedang melirik ke
arahku. Aku pasti dianggap penakut olehnya, pikirku dengan sedih. Ia
pasti kasihan padaku karena aku telah mempermalukan diriku sendiri di depan
semua orang di lapangan bola semalam.
Sehabis latihan renang, aku segera naik ke darat dan
mengeringkan badanku. Dengan handuk melilit di pinggang seperti
sehelai sarung, aku menghampiri Lucy.
Teman-temannya telah pergi. Lucy memakai celana pendek dan
T-shirt berwarna putih. Sebelah kakinya menjejak di dasar perahu
dayung plastik, sehingga perahu itu terombang-ambing di air yang
dangkal. "Hai," aku menyapanya. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak tahu harus berkata
apa. "Hai," sahut Lucy.
Ia tidak tersenyum. Ia cuma menatapku dengan matanya yang
gelap. Tahu-tahu ia berbalik - dan langsung berlari menjauh.
"Hei...!" aku berseru. Aku berusaha mengejarnya, tapi terpaksa berhenti karena
handukku copot. "Hei, Lucy - ada apa, sih?"
Lucy menghilang di balik pondok Kerajinan Tangan. Ia kabur
tanpa menoleh lagi ke arahku.
Aku tahu apa masalahnya, pikirku dengan sedih. Ia tidak mau
berteman dengan orang yang tidak waras. Orang yang percaya bahwa
kepala bisa copot begitu saja. Orang yang percaya bahwa hutan penuh hantu yang
melolong-lolong. Aku kembali melilitkan handuk. Sam dan Joey dan beberapa
anak lain memandang ke arahku dari tepi danau. Mereka tampak
cengar-cengir. Aku yakin mereka melihat Lucy lari meninggalkanku.
"Barangkali napasmu tidak sedap," Joey berkelakar.
"Makanya, sikat gigi, dong!" Sam menimpali. Lalu semuanya berguling-guling di
tanah sambil melolong-lolong.
Sesudah makan siang, kami diberi waktu untuk menulis surat.
Para pembina menyuruh semua peserta masuk ke pondok untuk
menulis surat kepada orangtua masing-masing.
Sesuai peraturan Camp Spirit Moon, seminggu sekali setiap
peserta harus memberi kabar kepada orangtuanya. "Supaya mereka tidak cemas,"
kata Paman Marv sewaktu makan siang. "Beritahu mereka bahwa kalian benar-benar
senang di sini. Kalian kan belum
pernah berlibur seasyik ini. Betul, tidak?"
"Yohhhhhhh, Spirits!" semuanya berseru.
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu betah di sini.
Terus terang saja, liburan kali ini termasuk liburan paling buruk
yang pernah kualami. Tapi aku memutuskan untuk tidak menyinggung soal itu dalam
suratku. Aku naik ke tempat tidur dan mulai memikirkan apa yang harus
kuceritakan kepada Mom dan Dad.
Tolong jemput aku segera - itu yang hendak kutulis.
Orang-orang di sini aneh. Alex dan aku benar-benar ngeri.
Tapi tentu saja aku tidak mungkin menulis begitu. Aku
mengintip adikku di tempat tidur bawah. Ia sedang duduk
membungkuk sambil sibuk menulis. Kelihatannya lancar sekali.
"Apa yang kautulis?" aku bertanya padanya. "Aku bercerita tentang acara unjuk
bakat," ia menyahut. "Aku bakal jadi bintangnya.
Dan aku juga akan ikut pertunjukan musik minggu depan."
"Bagus," aku bergumam.
Aku memutuskan bahwa cuma hal-hal yang menyenangkan saja
yang akan kuceritakan kepada orangtua kami. Untuk apa membuat
mereka kuatir" Untuk apa membuat mereka menyangka bahwa aku
sudah mulai tidak waras"
Kalau Alex tidak menyinggung kejadian-kejadian aneh yang
ada di sini, kataku dalam hati, aku juga tidak akan mengungkit-
ungkitnya. Aku mulai menulis: Dear Mom dan Dad, Camp Spirit Moon ternyata lebih mengasyikkan dari yang
pernah terbayang olehku...
"Acara sehabis makan malam adalah penjelajahan," Paman Marv mengumumkan.
Atap ruang makan serasa mau runtuh karena sorak-sorai
menyambut pengumuman itu.
"Penjelajahan ke mana?" seseorang bertanya.
Paman Marv tersenyum simpul. "Tentu saja jauh ke tengah
hutan." Semua anak langsung teringat cerita hantu Paman Marv. Ada
yang kembali bersorak-sorai. Ada pula yang tertawa.
Alex dan aku bertukar pandang.
Tapi ternyata acara menjelajah hutan itu cukup seru. Bulan
purnama membuat hutan seakan-akan bercahaya. Kami menyusuri
jalan setapak yang berbelok mengitari tepi danau.
Semua orang tampak riang gembira. Saking seringnya kami
menyanyikan lagu kebesaran Camp Spirit Moon, aku hampir hapal
kata-katanya! Di suatu tempat di pinggir danau, dua ekor rusa muncul di jalan
setapak. Seekor rusa betina bersama anaknya.
Anaknya lucu sekali. Tampangnya persis seperti Bambi.
Kedua rusa itu menatap kami. Mereka mengerutkan hidung,
seolah-olah hendak berkata, "Hei, sedang apa kalian di hutan kami?"
Kemudian keduanya kembali menyelinap ke antara pohon-
pohon. Jalan setapak yang kami ikuti membawa kami ke sebuah
lapangan terbuka. Ketika kami melangkah keluar dari pepohonan,
tanah di depan seakan-akan bersinar. Cahaya bulan begitu terang,
sehingga aku merasa bisa melihat setiap semak, setiap daun, setiap batang
rumput. Indah sekali. Perasaanku mulai tenteram. Sam, Joey, dan aku berjalan sambil
bernyanyi dan mencari kata-kata lucu untuk lagu-lagu yang kami
kenal. Ada satu lagu yang kami ulangi sampai dua puluh kali-sampai anak-anak
lain memohon-mohon agar kami berhenti.
Kenapa aku begitu gugup selama ini" aku bertanya dalam hati.
Aku sudah mendapatkan teman-teman baru yang
menyenangkan di Camp Spirit Moon. Aku benar-benar senang di sini.
Perasaan gembira itu bertahan sampai kami kembali ke
perkemahan. Kabut hitam telah turun lagi. Kami disambut gumpalan-
gumpalan kabut yang bergulung-gulung. Langit, tanah, seluruh
perkemahan terselubung kabut hitam yang dingin dan lembap.
"Sepuluh menit lagi semua lampu sudah harus mati," Paman Marv mengumumkan.
Semua anak bergegas ke pondok masing-masing. Tapi sepasang
lengan yang kuat menahanku dari belakang.
"Hei...!" aku berseru. Aku tak sanggup berbuat apa-apa ketika aku ditarik ke
hutan. "Sssst," seseorang berbisik ke telingaku.
Aku berbalik. Ternyata Lucy. "Hei, apa-apaan ini?" aku
bertanya padanya. "Kita kan disuruh kembali ke pondok. Kita harus bersiap-siap
untuk..." "Sssst," ia kembali mendesis.
Matanya yang gelap mengamati wajahku. Rasanya aku melihat
air mata di pipinya yang pucat.
Gumpalan-gumpalan kabut melayang-layang di sekeliling kami.
Lucy mengendurkan cekalannya. Tapi pandangannya seakan-
akan terkunci pada mataku. "Harry, kau harus menolongku," bisiknya.
Aku menelan ludah. "Ada apa sih, Lucy?"
"Kurasa kau sudah tahu," jawabnya pelan. "Semuanya benar.
Yang kaupikirkan selama ini. Semuanya benar."
Aku tidak mengerti. Saking bingungnya, aku cuma bisa
melongo. "Kami hantu, Harry," Lucy memberitahuku. "Kami semua hantu di sini."
"Tapi, Lucy..." aku mulai berkata.
"Ya." Ia mengangguk dengan sedih "Ya. Ya. Ya. Aku sendiri juga."
Chapter 19 POHON-POHON menghilang di balik kabut. Cahaya bulan
menyebabkan mata Lucy berkilau-kilau seperti sepasang mutiara
hitam. Tapi sinar itu segera meredup ketika kabut mulai menyelubungi bulan.
Mataku tidak berkedip. Aku tidak bergerak. Tiba-tiba saja
seluruh tubuhku kaku bagaikan pohon-pohon yang terselubung kabut.
"Kau - kau cuma bercanda, kan?" aku tergagap-gagap. "Ini cuma lelucon khas Camp
Spirit Moon - ya, kan?"
Tapi sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Sorot matanya
yang gelap telah menjawab pertanyaanku.
"Aku hantu," ia menyahut dengan sedih. "Cerita-cerita itu -
semuanya benar, Harry."
Tapi aku tidak percaya hantu!
Itulah yang hampir saja kukatakan padanya.
Tapi bagaimana mungkin aku tidak percaya kalau aku sedang
berhadap-hadapan dengan hantu" Bagaimana mungkin aku tidak
percaya ucapan Lucy"
"Aku percaya," bisikku.
Ia menghela napas. Lalu memalingkan wajah.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Persis seperti yang diceritakan Paman Marv," jawabnya.
"Waktu itu kami duduk mengelilingi api unggun. Semuanya. Persis seperti waktu
kalian baru datang. Lalu muncul kabut. Kabut tebal dan gelap."
Ia kembali menghela napas. Dalam gelap pun aku bisa melihat
butir-butir air mata yang bergulir di pipinya.
"Ketika kabut itu akhirnya berlalu," Lucy melanjutkan, "kami semua sudah mati.
Kami semua sudah jadi hantu. Dan sejak itu kami
berada di sini. Cuma itu yang bisa kujelaskan padamu. Soalnya cuma itu yang aku
tahu." "T-tapi kapan kejadiannya?" aku bertanya. "S-sudah berapa lama kau jadi hantu,
Lucy?" Ia angkat bahu. "Entahlah. Aku sudah lupa waktu. Hantu tidak
kenal waktu. Kami cuma tahu hari ini dan hari berikut. Dan hari
berikutnya lagi." Aku menatapnya sambil membisu.
Aku merinding. Bulu kudukku berdiri. Seluruh tubuhku
gemetaran. Aku meraih tangan Lucy. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali aku ingin memastikan
apakah ia berkata benar atau tidak. Apakah ia benar-benar hantu atau cuma
bercanda. "Oh!" Rasa dingin menjalar ke lenganku, dan aku langsung melepaskan tangan Lucy.
Tangannya dingin sekali. Sedingin kabut
hitam yang bergulung-gulung.
"Sekarang kau percaya?" ia bertanya lembut. Sekali lagi ia mengamatiku dengan
matanya yang gelap. Aku mengangguk. "Y-ya," aku tergagap-gagap. "Aku percaya, Lucy."
Ia tidak menyahut. Tanganku masih terasa dingin.
"Genangan-genangan biru itu," aku bergumam. "Genangan-genangan biru yang lengket
di lantai pondok. Kautahu, apa itu?"
"Ya," kata Lucy. "Itu protoplasma."
"Hah" Protoplasma?"
Ia mengangguk. "Genangan-genangan itu timbul kalau kami
menampakkan diri. Kalau kami berubah wujud."
Wajahnya berkerut-kerut. "Berubah wujud benar-benar
menguras tenaga. Begitu banyak energi yang harus dikerahkan. Dan
genangan-genangan itu timbul kalau kami menggunakan energi itu."
Aku tetap belum mengerti.
Tapi sejak awal aku memang sudah merasa bahwa ada yang
aneh dengan lendir biru itu.
Dan ternyata lendir itu merupakan jejak hantu.
"Bagaimana dengan hal-hal yang dilihat Alex dan aku?" aku bertanya. "Anak-anak
yang melayang-layang di atas tempat tidur"
Mata mereka yang menyala dalam gelap" Anak-anak yang menusuk
diri sendiri tapi tidak berdarah" Dan tidak kesakitan?"
"Beberapa temanku memang mencoba menakut-nakuti kalian,"
Lucy mengakui. "Tapi mereka cuma main-main, Harry. Hantu seperti kami jarang
mendapat hiburan. Percayalah. Jangan kausangka kami
senang menghabiskan hari demi hari di sini sebagai arwah
gentayangan. Bayangkan saja, kami takkan pernah tumbuh dewasa.
Kami takkan berubah." Ia terisak-isak. "Kami takkan pernah bisa menikmati hidup
normal!" "A-aku ikut bersedih," aku tergagap-gagap.
Sekonyong-konyong roman mukanya berubah.
Ia memicingkan mata. Dan mengembangkan senyum yang
membuatku merinding. Aku mundur selangkah. Tiba-tiba saja aku merasa ngeri.
"Tolonglah aku, Harry," Lucy berbisik. "Aku tidak tahan lagi.
Kau harus menolongku supaya aku bisa pergi dari sini."
"Pergi dari sini?" seruku. Aku kembali mundur selangkah.
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Aku harus menguasai pikiranmu," Lucy mendesak. "Aku harus mengambil alih
tubuhmu." Chapter 20 "JANGAN!" aku memekik tertahan.
Aku langsung panik. Setiap otot di tubuhku mendadak tegang.
Pelipisku berdenyut-denyut.
"Aku harus menguasai pikiranmu, Harry," Lucy mengulangi
seraya menghampiriku. "Aku mohon, tolonglah aku."
"Jangan! Jangan!"
Rasanya aku ingin berbalik dan kabur. Tapi aku tidak bisa
bergerak.
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakiku terasa seperti agar-agar. Seluruh tubuhku gemetaran.
Aku tidak percaya hantu. Pikiran itu melintas dalam benakku.
Aku berdiri di tepi hutan - dan menatap Lucy.
Menatap arwah Lucy. Kabut bergulung-gulung di sekeliling kami.
Sekali lagi aku berusaha lari. Tapi kakiku tidak mau diajak
kerja sama. "A-apa yang akan kaulakukan padaku?" aku akhirnya bertanya dengan suara parau.
"Kenapa kau harus menguasai pikiranku?"
"Itu satu-satunya cara supaya aku bisa pergi dari sini," balas Lucy. Ia
menatapku dengan tajam. "Satu-satunya cara."
"Kenapa kau tidak pergi begitu saja?" tanyaku.
Ia menghela napas. "Kalau aku nekat pergi sendiri dari sini, aku akan lenyap.
Aku akan memudar kalau aku meninggalkan yang lain.
Aku akan terserap oleh kabut ini."
"A-aku tidak mengerti," aku tergagap-gagap.
Aku mundur selangkah. Kabut yang dingin dan lembap itu
seakan-akan mencengkeramku.
Lucy berdiri setengah meter di hadapanku. Tapi aku nyaris tak
bisa melihatnya. Ia tampak seperti bayangan di balik kabut.
"Aku butuh bantuan." Suaranya pelan sekali. Aku harus pasang telinga supaya bisa
mendengarnya. "Satu-satunya cara bagi hantu untuk lolos dari sini adalah dengan
mengambil alih pikiran orang yang masih hidup."
"Tapi - itu tidak mungkin!" aku memekik.
Ucapanku benar-benar konyol, kataku dalam hati. Melihat
hantu juga tidak mungkin! Segala sesuatu yang kualami di sini
sebenarnya tidak mungkin terjadi.
Tapi nyatanya terjadi juga.
"Aku harus menguasai jiwa dan raga orang yang masih hidup,"
Lucy menjelaskan. "Aku harus mengambil alih tubuhmu, Harry. Aku memerlukannya
untuk pergi dari sini."
"Jangan!" aku kembali memekik. "Aku tidak bisa! Maksudku..."
Jantungku berdegup begitu kencang sehingga aku nyaris tak sanggup
bicara. "Aku tidak bisa membiarkanmu mengambil alih pikiranku,"
kataku akhirnya. "Sebab kalau kau lakukan, aku bukan aku lagi."
Aku mundur pelan-pelan. Aku harus kembali ke pondok, aku berkata dalam hati. Aku
harus mencari Alex. Kami harus kabur dari perkemahan ini. Secepat
mungkin. "Jangan takut," Lucy memohon. Ia mengikutiku. Kabut
berputar-putar di sekeliling kami, seakan-akan tidak rela melepaskan kami.
"Kau tak perlu takut," Lucy menegaskan. "Begitu kita sudah jauh dari sini, aku
akan keluar lagi. Aku akan keluar dari pikiranmu.
Aku akan keluar dari badanmu. Aku berjanji, Harry. Begitu kita
berhasil lolos dari sini, aku akan membebaskanmu. Kau bakal jadi
dirimu lagi. Kau akan kembali seperti semula."
Aku berhenti. Seluruh tubuhku gemetaran. Karena
kedinginan - dan karena ngeri.
"Tolonglah aku, Harry," Lucy memohon. "Tolonglah. Kau tak perlu kuatir. Aku
berjanji kau akan baik-baik saja."
Aku menatapnya sambil memicingkan mata. Haruskah aku
menolongnya" Haruskah aku membiarkan Lucy menguasai pikiranku"
Apakah ia akan mengembalikannya"
Apakah ia bisa dipercaya"
Chapter 21 LUCY melayang-layang di hadapanku. Matanya yang gelap
seakan-akan memohon padaku. "Tolonglah," ia berbisik.
"Tidak. Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa." Kata-kata itu kuucapkan tanpa
kusadari. "Aku tidak bisa, Lucy."
Ia memejamkan mata. Aku melihat otot rahangnya mengencang
ketika ia mengertakkan gigi.
"Aku menyesal, tapi aku tidak bisa menolongmu," aku
menegaskan sambil melangkah mundur.
"Aku juga," ia menyahut dengan dingin. Ia memicingkan mata.
Lalu menyeringai. "Aku sungguh menyesal, Harry. Tapi kau tidak punya pilihan.
Kau harus menolongku!"
"Tidak! Tidak!"
Aku berbalik dan berusaha kabur.
Tapi ada sesuatu yang menahanku. Kabut itu. Kabut itu
mencengkeramku erat-erat.
Kabut yang tebal dan lembap itu bergerak mengelilingiku,
mendorongku, menahanku tetap di tempat.
Aku mencoba berteriak minta tolong. Tapi teriakanku diredam
oleh kabut. Sementara itu Lucy hilang ditelan kabut hitam. Dan kemudian
aku merasakan sesuatu yang dingin di puncak kepalaku.
Kulit kepalaku seperti kesemutan.
Aku meraih ke atas dengan kedua tangan. Dan menyentuh es.
Seolah ada lapisan embun beku yang menyelimuti kepalaku.
"Jangan!" aku menjerit. "Lucy - jangan!"
Rasa dingin itu masuk ke kepalaku. Wajahku seperti beku.
Aku menggosok-gosok pipi.
Pipiku mati rasa. Dingin dan mati rasa. "Lucy - jangan!" aku memohon.
Aku merasakan kehadirannya di dalam badanku - begitu
ringan, begitu dingin. Perlahan-lahan ia mulai menyusup ke otakku.
Menyusup... menyusup... Aku seperti mau tertidur lelap.
Rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuhku. Melewati leherku.
Merambat ke dadaku. "Jangaaaan!" aku melolong.
Aku memejamkan mata. Aku tahu aku harus berkonsentrasi.
Aku harus memusatkan pikiran. Aku harus tetap terjaga. Aku tidak
boleh menyerah. Lucy tidak boleh menang. Ia tidak boleh menyingkirkan diriku. Ia tidak boleh menguasai
jiwa dan ragaku. Aku mengertakkan gigi. Dan terus memejamkan mata. Dan
mengencangkan setiap otot.
Tidak! pikirku. Kau tidak bisa berbuat begini padaku, Lucy!
Kau takkan bisa merampas pikiranku!
Kau takkan bisa merampas badanku. Takkan bisa - soalnya aku
takkan membiarkanmu! Seluruh tubuhkku dingin bagaikan es.
Dan aku begitu mengantuk... begitu mengantuk...
Chapter 22 "JANGAAAAN!" Aku menengadah dan kembali melo long panjang.
Kalau aku terus berteriak, aku akan terus terjaga, kataku dalam
hati. Dan dengan begitu aku bisa melawan Lucy. Aku bisa
mencegahnya. "Jangaaaan!" aku berteriak ke arah kabut yang bergulung-
gulung dan berputar-putar di sekelilingku. "Jangaaaan!"
Berangsur-angsur tubuhku mulai lebih hangat. "Jangaaaan!"
Aku mengusap-usap lengan. Menggosok-gosok pipi.
"Jangaaaan!" Tiba-tiba aku merasa lebih ringan. Dan seratus persen siaga.
Berhasil! pikirku. Aku berhasil mencegah Lucy! Tapi berapa
banyak waktu yang kumiliki sebelum ia mencoba lagi"
Aku menarik napas dalam-dalam. Satu kali, lalu sekali lagi.
Aku bisa bernapas. Aku tetap aku - dan aku masih bernapas.
Aku langsung merasa lebih kuat. Tanpa pikir panjang aku mulai
berlari menerobos kabut. Sepatu ketsku berdebam-debam di tanah ketika aku menuju ke
arah pondok. Semua lampu sudah mati. Anak-anak lain sudah berada di
tempat tidur masing-masing.
Aku menyerbu masuk dan membanting pintu kawat nyamuk.
"Hei, ada apa?" tanya Sam.
Aku tidak menyahut. Aku melintasi ruangan. Mencekal pundak
Alex. Dan mengguncangnya keras-keras. "Ayo bangun. Cepat," aku memerintahnya.
"Hah?" Alex menatapku dengan terkantuk-kantuk.
Tanpa berkata apa-apa aku mengambil celana pendek dan
sepatu ketsnya. Anak-anak yang lain juga terbangun. Joey duduk tegak di
tempat tidurnya. "Harry - dari mana saja kau?" tanyanya.
"Lampu sudah dimatikan sepuluh menit lalu," ujar Sam. "Gara-gara kau kita semua
bakal dimarahi." Aku tidak menggubrisnya. "Alex - cepat!" aku berbisik.
Begitu tali sepatunya terikat, aku meraih lengannya dan
menariknya keluar pintu. "Harry - ada apa, sih?" tanyanya.
"Hei - kalian mau ke mana?" aku mendengar Joey memanggil.
Aku menarik Alex keluar. Pintu kawat nyamuk kubiarkan
terbanting di belakang kami.
"Lari!" seruku. "Nanti kujelaskan semuanya. Kita harus pergi dari sini - sekarang
juga!" "Tapi, Harry..."
Aku menarik Alex melintasi rumput. Cahaya bulan menembus
kabut yang telah menipis. Kami mengikuti jalan setapak ke tepi hutan.
Berulang kali kami tergelincir di rumput yang basah. Selain
bunyi langkah kami, hanya ada suara jangkrik dan daun-daun cemara
yang berdesir karena tiupan angin.
Setelah berlari satu atau dua menit, Alex hendak berhenti
sejenak untuk mengatur napas.
"Jangan," aku melarangnya. "Kita tidak boleh berhenti. Mereka akan mengejar
kita. Mereka akan menemukan kita."
"Tapi kita mau ke mana?" tanya Alex.
"Ke tengah hutan," aku berkata padanya. "Pokoknya sejauh mungkin dari
perkemahan." "Tapi aku tidak kuat lagi, Harry," Alex mengeluh. "Pinggangku sakit dan..."
"Mereka semua hantu!" aku berseru. "Alex - aku tahu
kedengarannya tidak masuk akal - tapi kau harus percaya. Anak-anak.
Para pembina. Paman Marv. Semuanya hantu!"
Raut wajah Alex langsung berubah. "Aku tahu," ia menyahut pelan.
"Hah" Tahu dari mana?" tanyaku.
Kami bersembunyi di balik dua batang pohon yang tumbuh
berdampingan. Sayup-sayup terdengar gemercik air dari riak-riak di tepi danau.
Kami masih terlalu dekat dengan perkemahan, pikirku.
Aku menarik adikku ke arah berlawanan. Menjauhi danau.
Kami menerobos ilalang dan semak belukar, dan semakin jauh
memasuki hutan. "Alex - kau tahu dari mana?" aku bertanya sekali lagi.
"Elvis yang memberitahuku," jawabnya samb il menyeka
keringat yang membasahi keningnya.
Kami merunduk di bawah semak berduri. Duri-durinya
menggores bagian atas kepalaku. Tapi aku tidak peduli, dan terus
bergegas maju. "Elvis bilang bahwa cerita tentang kabut hantu itu benar," Alex melanjutkan.
"Tadinya kupikir dia cuma mau menakut-nakutiku. Tapi setelah itu dia - dia..."
Alex tidak menyelesaikan kalimatnya.
Kami sampai di sebuah lapangan kecil. Cahaya bulan membuat
rumput berkilau keperakan. Aku memandang berkeliling. Aku tidak
tahu ke mana kami harus berlari.
Aku menepuk seekor nyamuk yang hinggap di lenganku. "Apa
yang dilakukan Elvis?" aku bertanya pada Alex.
Alex mengusap rambutnya. "Dia mencoba merampas pikiranku,
jawabnya dengan suara gemetaran. "Dia melayang-layang di tengah kabut. Dan aku
tiba-tiba sangat kedinginan."
Aku mendengar bunyi ranting patah. Daun-daun kering
berderak-derak. Apakah ada yang datang"
Kami merapat ke batang pohon dan pasang telinga.
Hening. "Barangkali ada tupai, atau tikus tanah, atau sebangsanya,"
bisik Alex. "Bisa jadi," ujarku pelan.
Cahaya bulan menerobos pucuk dedaunan. Bayangan-bayangan
hitam tampak menari-nari di lapangan.
"Kita harus jalan lagi," ujarku. "Kita masih terlalu dekat ke perkemahan. Kalau
hantu-hantu itu mengikuti kita..."
Aku merinding. Aku tidak berani membayangkan apa yang
bakal terjadi kalau hantu-hantu itu benar-benar mengikuti kami. Dan menangkap
kami... "Jalan raya di sebelah mana?" Alex bertanya sambil
memandang berkeliling. "Letaknya tidak terlalu jauh dari
perkemahan - ya, kan" Kalau kita bisa sampai ke situ, kita bisa
menumpang mobil yang lewat."
"Ide bagus," ujarku. Kenapa hal itu tidak terpikir olehku"
Tapi kami telah berada di tengah-tengah hutan. Jauh dari jalan
raya. Aku bahkan tidak tahu di sebelah mana letaknya.
"Pasti ke arah situ," Alex berkata sambil menunjuk.
"Bukan. Kalau lewat situ, kita bakal kembali ke perkemahan,"
aku membantah. Alex hendak menyahut - tapi bunyi degup yang keras
membuatnya terdiam. "Suara apa itu?" ia berbisik.
Aku juga mendengarnya. Lalu terdengar sekali lagi.
Bunyi degup yang keras. Dan sangat dekat. "Barangkali suara
binatang?" aku menduga-duga.
"R-rasanya bukan," Alex tergagap-gagap. DAG-DUG.
Lebih keras dari sebelumnya.
Jangan-jangan ada hantu, aku berkata dalam hati. Mungkinkah
salah satu dari mereka berhasil menemukan kami"
"Cepat - lewat sini!" aku mendesak. Aku menyambar
pergelangan tangan Alex dan menariknya dengan keras.
Kami harus menjauh dari sumber bunyi yang menakutkan itu.
DAG-DUG. Lebih keras lagi. "Aduh, kita salah jalan!" aku berseru.
Kami berbalik dan bergegas kembali ke lapangan terbuka.
DAG-DUG. "Ke mana?" Alex memekik. "Kita harus ke mana?" DAG-DUG.
Dan kemudian sebuah suara besar menggeram dari atas,
"KENAPA KALIAN BERDIRI DI JANTUNGKU?"
Chapter 23 BUMI bergetar dan berguncang.
Alex dan aku sama-sama memekik kaget.
Tapi teriakan kami ditelan bunyi gemuruh yang semakin lama
semakin keras. Tanah tempat kami berpijak mendadak amblas. Alex dan aku
mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika kami terjatuh.
Aku mendarat dalam posisi merangkak. Alex terempas dalam
posisi telentang. Bumi terus terguncang-guncang.
"I-ini si monster!" Alex menjerit.
Tidak mungkin! pikirku sambil berusaha bangkit. Monster itu
cuma ada dalam cerita. Dalam cerita hantu yang konyol.
Tidak mungkin ada monster di tengah hutan. Aku membantu
Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alex berdiri. Tapi bumi kembali bergetar, sehingga kami jatuh
berlutut lagi. DAG-DUG. DAG-DUG. "Tidak mungkin!" aku berseru. "Ini tidak..."
Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika sebuah kepala
besar muncul di hadapan kami. Matanya merah membara, bagaikan
api - bulat, mengerikan, dan menyala-nyala. Tampangnya berkerut-
kerut dan sangat jelek. Makhluk itu memelototi kami.
"S-si monster!" Alex tergagap-gagap.
Kami sama-sama berlutut dan terguncang-guncang dengan
hebat. Makhluk itu membuka mulutnya yang besar menganga
bagaikan gua. Aku melihat giginya yang kuning dan runcing berderet-deret.
Perlahan-lahan kepalanya mendekati kami. Perlahan tapi pasti.
Mulutnya terbuka lebar. Siap menelan kami. Dengan kalang
kabut Alex dan aku berusaha menjauhinya.
"Harry...! Harry...!" Alex memanggil-manggil namaku dengan suara melengking.
"Kita mau dimakan! Kita mau ditelan bulat-bulat!"
Dan kemudian - tiba-tiba saja - aku mendapat ide.
Chapter 24 MONSTER raksasa itu menggeram. Keras sekali.
Mulutnya membuka semakin lebar. Lidahnya yang berwarna
ungu menjulur ke luar. Aku memekik tertahan ketika menyadari
bahwa lidahnya penuh bulu yang kaku.
"Awas, Alex!" teriakku.
Terlambat. Tanah mendadak terangkat, sehingga kami terlempar ke
udara - dan jatuh tepat di lidah si monster.
"Awwwww!" kami menjerit berbarengan. Bulu-bulu kaku di
lidahnya menusuk tajam bagaikan duri kaktus.
Kami terbawa masuk ke mulut makhluk itu.
"Kita tidak percaya monster," kataku kepada Alex. Aku
terpaksa berteriak untuk mengalahkan bunyi geraman si monster.
Lidahnya membawa kami semakin dekat ke deretan gigi kuning yang
mengerikan. "Kita tidak percaya monster!" seruku. "Monster cuma ada dalam dongeng. Monster
ini tidak nyata. Kalau kita tidak percaya, dia akan lenyap dengan sendirinya!"
Seluruh tubuh Alex terguncang-guncang. Ia melipat kaki dan
menekuk badan, sehingga menyerupai bola. "Rasanya dia benar-benar ada!" Alex
menyahut dengan susah payah.
Lidah si monster terus bergerak mundur. Aku bisa mencium bau
napasnya yang busuk. Aku melihat noda-noda hitam di giginya yang
runcing. "Pusatkan pikiran!" aku memberi instruksi pada adikku. "Kami tidak percaya
monster. Kami tidak percaya monster."
Alex dan aku terus mengulangi kata-kata itu. "Kami tidak
percaya monster. Kami tidak percaya monster."
Kami terbawa masuk ke mulutnya. Aku mencoba berpegangan
pada salah satu gigi. Tapi permukaannya terlalu licin.
Tanganku terlepas. Dan kami pun ditelan.
Kami meluncur turun. Menuju kegelapan yang masam.
"Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster,"
Alex dan aku terus mengulangi.
Tapi suara kami nyaris tak terdengar ketika kami meluncur di
kerongkongan makhluk itu. "Harry - kita ditelan!" Alex meratap.
"Jangan berhenti!" sahutku. "Kalau kita tidak percaya monster, dia tidak mungkin
ada!" "Kami tidak percaya monster. Kami tidak percaya monster."
Gumpalan air liur menerpaku. Aku langsung mual ketika cairan
memuakkan itu membasahi pakaianku, kulitku - rasanya begitu panas
dan lengket. Dinding kerongkongan si monster berdenyut-denyut.
Kami terus meluncur turun.
Menuju ke lambung yang terdengar bergolak jauh di bawah.
"Ohhh." Alex mengerang. Ia juga terselubung ludah kental.
"Jangan berhenti! Kita pasti selamat! Pasti!" aku berteriak.
"Kami tidak percaya monster! Kami tidak percaya monster!"
"Kami tidak percaya monster!"
Alex dan aku memekik-mekik ketika kami mulai melayang-
layang. Melayang-layang ke lambung yang siap mencerna kami.
Chapter 25 AKU memejamkan mata. Dan bersiap-siap untuk tercebur. Bersiap-siap untuk terempas
ke dasar lambung. Aku menunggu. Dan menunggu.
Ketika aku membuka mata, aku telah berdiri di tanah yang
kokoh. Aku berdiri di samping Alex di tengah lapangan rumput.
Pohon-pohon pinus tampak berayun-ayun tertiup angin. Bulan
purnama mengintip dari balik awan-awan tipis.
"Hei...!" aku berseru. Aku gembira sekali karena bisa
mendengar suaraku sendiri.
Aku begitu gembira karena melihat langit. Melihat tanah.
Begitu gembira karena bisa menghirup udara yang sejuk.
Alex mulai berputar. Ia berputar-putar bagaikan gasing. Sambil
tertawa riang. "Kami tidak percaya monster!" serunya. "Kami tidak percaya
monster - dan ternyata berhasil!"
Kami sama-sama sangat gembira karena monster itu telah
lenyap. Aku meniru Alex. Berputar-putar sambil tertawa. Tapi
kemudian kami berhenti ketika menyadari kami ternyata tidak
sendirian. Aku memekik kaget sewaktu melihat wajah-wajah yang
mengelilingi kami. Wajah-wajah pucat, dengan mata menyala-nyala.
Aku mengenali Sam, dan Joey, dan Lucy, dan Elvis.
Alex dan aku saling merapat ketika para peserta perkemahan -
para arwah gentayangan - mulai membentuk lingkaran. Untuk
mengepung kami berdua. Paman Marv melangkah ke tengah lingkaran. Matanya yang
kecil tampak membara bagaikan api. Dengan geram ia memicingkan
mata dan menatap kami. "Tangkap mereka!" ia memerintahkan dengan lantang. "Bawa mereka kembali ke
perkemahan. Tak ada yang bisa lolos dari Camp
Spirit Moon." Beberapa pembina bergegas maju untuk menangkap kami.
Kami tidak bisa bergerak. Kami tidak bisa melarikan diri.
"Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" aku berseru.
Chapter 26 "KAMI membutuhkan anak-anak yang hidup," Paman Marv berkata dengan suaranya yang
menggelegar. "Kami tidak bisa
membiarkan anak-anak seperti kalian lolos dari sini. Kecuali kalau mereka mau
membawa salah satu dari kami."
"Jangaaan!" Alex meratap. "Kalian tidak boleh merampas pikiranku! Tidak boleh!
Takkan kubiarkan kalian melakukannya!"
Kepungan mereka semakin rapat. Mereka terus bergerak maju.
Aku berusaha mengendalikan kakiku yang gemetaran. Berusaha
menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
"Alex - kita juga tidak percaya hantu," aku berbisik.
Sejenak ia menatapku dengan bingung. Tapi kemudian ia
mengerti. Kami berhasil melenyapkan monster tadi karena kami tidak
percaya bahwa ia benar-benar ada. Kami bisa melakukan hal yang
sama dengan gerombolan hantu ini.
"Tangkap mereka. Bawa mereka kembali ke perkemahan,"
Paman Marv memberi perintah kepada para pembina.
"Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu," Alex dan aku mulai
berkata. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu."
Aku menatap wajah-wajah pucat yang mengelilingi kami, dan
menunggu mereka semua lenyap.
Aku terus mengulangi mantra kami bersama adikku. Lebih
cepat. Lebih keras. "Kami tidak percaya hantu. Kami tidak percaya hantu."
Aku memejamkan mata. Rapat-rapat.
Dan ketika aku membuka mata lagi...
Hantu-hantu itu masih mengepung kami.
"Kau tidak bisa membuat kami lenyap, Harry," ujar Lucy seraya melangkah maju. Ia
menatapku sambil memicingkan mata. Kedua
matanya berkilau dingin keperakan dalam cahaya bulan.
"Monster itu bisa dilenyapkan karena dia memang tidak nyata.
Monster itu cuma tipuan kami," Lucy menjelaskan. "Kami mengelabui kalian. Tapi
kami benar-benar ada! Kami semua! Dan kami tidak akan lenyap begitu saja."
"Kami takkan pergi," Elvis menambahkan sambil menghampiri adikku. "Kami justru
akan semakin dekat. Jauh lebih dekat."
"Aku akan mengambil alih jiwamu," Lucy berbisik padaku.
"Aku akan lolos dari Camp Spirit Moon dengan menggunakan jiwa dan ragamu."
"Jangaaan! Kumohon - jangan!" aku memprotes. Aku berusaha
mundur. Tapi arwah-arwah yang lain mencegahku.
"Tidak bisa! Aku takkan membiarkanmu!" aku memekik di
hadapan Lucy. Saking ngerinya, aku sampai tidak bisa bergerak.
"Jangan ganggu aku!" Alex berseru kepada Elvis.
Hutan mendadak gelap ketika awan-awan melintas menutupi
bulan. Mata para hantu di sekelilingku seakan-akan menyala semakin terang.
Aku melihat Elvis mengulurkan tangan ke arah adikku.
Dan kemudian pandanganku terhalang oleh Lucy. Ia mulai
melayang. Kakinya terangkat dari tanah. Ia melayang ke atasku.
"Jangan! Jangan!" aku menjerit.
Kulit kepalaku mulai serasa ditusuk-tusuk.
Aku merasakan hawa dingin menjalar ke tubuhku. Hawa dingin
dari arwah Lucy. Aku merasakannya merasuki pikiranku.
Mengambil alih jiwaku. Dan aku sadar aku tidak mungkin lolos.
Chapter 27 "AWAS, Lucy! Aku duluan!" aku mendengar sebuah suara berseru.
"Enak saja!" teriak salah satu anak laki-laki. "Ayo, minggir kalian semua. Paman
Marv bilang aku yang dapat giliran pertama."
Rasa dingin yang merasuki tubuhku berangsur-angsur lenyap.
Aku membuka mata - dan melihat Lucy berdiri di tanah lagi.
Dan anak-anak lain tengah menarik-narik tubuhnya.
"Lepaskan aku!" seru Lucy, terhuyung-huyung mundur. "Aku yang paling dulu
melihatnya!" "Siapa cepat, dia dapat!" arwah lain menimpali. Baru aku sadar ternyata mereka
bertengkar karena memperebutkan aku.
Mereka berhas il menyingkirkan Lucy. Dan sekarang mereka
bertengkar untuk menentukan siapa yang akan mengambil alih jiwaku.
"Hei - lepaskan aku!" salah satu hantu memprotes. Aku
melihatnya bergulat dengan hantu lain.
Mereka bergulat dan bergelut, saling mendorong dan menarik.
Para pembina juga tidak mau ketinggalan.
"Berhenti! Berhenti!" suara Paman Marv membahana.
Ia berusaha melerai para peserta perkemahan. Tapi mereka
tidak menggubrisnya, dan terus saja bertengkar dan bergulat.
Aku membelalakkan mata dengan ngeri ketika mereka mulai
berputar-putar mengelilingiku. Makin lama makin cepat. Aku berada
di tengah-tengah lingkaran hantu yang bergulat, bertengkar, dan
berteriak-teriak. Cewek, cowok, para pembina, Paman Marv -
semuanya berputar-putar sambil saling mendorong dan menarik.
Makin cepat. Dan lebih cepat lagi.
Mereka berputar-putar mengelilingi Alex dan aku.
Dan kemudian cahaya bulan meredup. Meredup hingga
menyerupai asap kelabu. Gumpalan-gumpalan asap yang melayang ke pepohonan. Dan
menghilang di antara dahan yang bergoyang-goyang.
Alex dan aku tercengang keheranan. Kami menyaksikan
kejadian itu sampai gumpalan asap terakhir menghilang dari
pandangan. "Mereka pergi," ujarku dengan suara parau. "Mereka saling menggempur. Dan
sekarang mereka telah pergi. Semuanya."
Aku menggelengkan kepala. Dan menarik napas panjang.
Jantungku masih berdegup kencang. Seluruh tubuhku
gemetaran. Tapi aku baik-baik saja. Alex dan aku baik-baik saja.
"Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Alex dengan suara
sangat pelan. "Ya. Ayo, kita juga pergi dari sini," kataku seraya menarik tangannya. "Ayo.
Cepat." Alex segera mengikutiku. "Mau ke mana kita?"
"Ke jalan raya," ujarku. "Kita harus melalui perkemahan agar bisa sampai ke
jalan raya. Lalu kita cegat mobil pertama yang lewat.
Setelah itu kita cari telepon umum. Dan kita telepon Mom dan Dad."
Aku menepuk punggung adikku. "Kita selamat, Alex!" seruku dengan gembira. "Tidak
lama lagi kita sudah sampai di rumah!"
Kami bergegas menembus hutan. Menerobos semak belukar
dan alang-alang. Mencari jalan yang paling cepat.
Alex mulai bersenandung ketika kami menuju ke arah jalan
raya. "Hei!" aku berseru. "Kau kenapa, Alex?"
"Hah?" Ia menatapku dengan heran.
Aku berhenti dan mencekal pundaknya. "Coba nyanyi lagi," aku menyuruhnya.
Ia kembali bernyanyi. Mengerikan! Suaranya mengerikan. Betul-betul sumbang dan
fals. Aku menatap mata adikku. "Elvis - kau yang ada di dalam situ,
ya?" seruku. "Kau yang ada di dalam tubuh adikku, ya?"
Suara Elvis-lah yang keluar dari mulut Alex. "Tolong jangan
beritahu siapa-siapa, Harry," ia memohon. "Aku bersumpah takkan bernyanyi lagi -
asal kau berjanji untuk tidak memberitahu siapa-siapa!" END
Ebukulawas.blogspot.com Pendekar Gila 1 Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut Sumpah Palapa 15