Pencarian

Pendekar Gila 1

Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila Bagian 1


PENDEKAR GILA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pendekar Gila
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari semakin bergeser ke ufuk Barat. An-
gin senja yang membawa udara dingin berhembus ke-
ras dan menggugurkan daun-daun kering. Sesekali
terdengar suara pepohonan berderak ribut. Sepertinya hembusan angin itu hendak
mencabut pepohonan
yang akarnya terhunjam di dalam tanah.
Meskipun suasana alam di Puncak Gunung
Tambak saat itu cukup mengerikan, namun dua sosok
tubuh yang saling berhadapan dalam jarak tiga tom-
bak itu tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka
tetap tegak, dan saling pandang dengan sorot mata tajam. Melihat dari sikap dan
cara mereka bertatapan, jelas keduanya bukanlah dua sahabat Bahkan keduanya
tampak siap untuk saling menyerang.
Sosok pertama bertubuh sedang dan tegap. So-
rot matanya terlihat begitu dingin dan kosong. Sedang raut wajahnya yang tampan
itu, nampak agak pucat
tanpa perasaan. Namun, penampilannya sangat angker
dan memancarkan perbawa aneh.
Sementara sosok kedua bertubuh jangkung dan
agak bungkuk. Kumis dan jenggotnya berwarna putih
keperakan, jelas kalau usianya telah lebih dari enam puluh tahun. Walaupun
begitu, sikapnya terkesan lebih angker dari lelaki muda di depannya. Bahkan,
kalau melihat dari raut wajah dan sorot matanya, kakek bungkuk itu mempunyai
kelebihan yang tidak dimiliki sosok di hadapannya. Yaitu, kelembutan dan kesaba-
ran yang terpancar dari wajahnya. Dan, bersikap lebih tenang daripada lelaki
muda di depannya.
"Anak muda..," ujar kakek bungkuk itu membuka percakapan.
Lelaki muda itu berdiri tenang. Hanya sepasang
matanya menatap tajam ke arah lelaki tua itu
"Siapakah kau sebenarnya" Dan, apa tujuanmu
datang ke tempatku yang sunyi dan terpencil ini...?"
tanyanya sambil meneliti sosok pemuda di depannya
dengan kening agak berkerut
"Aku datang hendak mencabut nyawamu...,"
jawab pemuda tampan berwajah kepucatan Itu dengan
suara berat dan dalam. Kemudian, kedua kakinya me-
langkah mendekat. Dan, jarak di antara mereka sema-
kin dekat "Tunggu...!" seru kakek bungkuk Itu mengulurkan tangan kanannya mencegah langkah
pemuda tampan itu. Lelaki muda itu menghentikan langkahnya se-
jenak, tanpa berkata-kata.
"Sahabat muda, siapakah yang kau cari sebe-
narnya" Apakah kau yakin tidak salah alamat..?"
"Aku tidak peduli siapa pun kau...!" sahut pemuda tampan berwajah kepucatan itu
dengan nada dingin menggetarkan.
Kakek bungkuk itu tersenyum. "Saat ini yang
ada dalam pikiranku, mencabut nyawamu secepatnya,"
jelas pemuda itu dengan wajah dingin tanpa emosi.
"Hm..., sombong sekali kau, Anak Muda! Apa-
kah kau pikir mencabut nyawaku semudah mencabut
rumput di bawah kakimu?" sergah kakek tua yang mengaku berjuluk Dewa Bungkuk.
"Ha ha ha... Sial sekali nasibmu. Dewa Bung-
kuk. Di masa tuamu ternyata kau tetap tidak bisa ter-lepas dari kekerasan," tawa
pemuda tampan berwajah pucat itu. Ada nada sesal dan kekecewaan dalam ucapan dan
tawanya. Kakek tua bertubuh jangkung dan agak bung-
kuk Itu memang seorang tokoh persilatan golongan
atas, yang telah lama mengundurkan diri. Sudah sepuluh tahun lebih, ia bertapa
di Puncak Gunung Tamak
sambil menanti maut menjemputnya. Siapa sangka ka-
lau maut yang disongsongnya datang dalam bentuk
lain, yakni seorang pemuda, la tahu kalau kepandaian yang dimiliki pemuda
berwajah kepucatan itu cukup
tinggi dan berbahaya. Untuk menilai semua itu, Dewa Bungkuk tidak perlu melihat
gerak lawan, tapi cukup melihat sorot mata lawan saja, kakek itu sudah dapat
mengukur kekuatan lawannya. Satu hal yang tidak
dimengerti olehnya. Kedatangan pemuda tampan ber-
wajah pucat itu, yang ingin mencabut nyawanya. Pa-
dahal, ia tidak pernah merasa berjumpa dengan pe-
muda tampan itu sebelumnya. Itulah yang membuat-
nya penasaran! "Anak muda, sebutkanlah namamu dan orang
tuamu. Mungkin, aku bisa mengetahui persoalan di
antara kita," pinta Dewa Bungkuk dengan suara tegas dan berwibawa. Sepertinya
kakek itu telah mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengorek keterangan
dari mulut pemuda tampan berwajah pucat itu.
Namun, Dewa Bungkuk tercekat ketika jawa-
ban yang diinginkannya, datang dalam bentuk lain.
Pemuda tampan itu melesat seperti kilat dan langsung mengirimkan pukulan maut!
Wuuut.... Darrr...!
"Haiiit..!"
Dewa Bungkuk terkejut bukan main melihat se-
rangan lawannya yang tak terduga. Untunglah ia sem-
pat mengelakkan lontaran pukulan maut lawan, den-
gan berjumpalitan ke belakang beberapa kali. Sehing-ga, ia berhasil
menyelamatkan diri dari kematian
Kakek itu sempat bergumam ketika melihat ke-
palan tangan pemuda itu menghantam batu sebesar
perut kerbau. Dan batu itu pecah berhamburan men-
jadi kerikil-kerikil kecil.
"Gila...!" desis Dewa Bungkuk yang segera menyiapkan jurus-jurus andalannya
untuk memperta-
hankan nyawa. "Haaat...!"
Rupanya Dewa Bungkuk tidak perlu menunggu
lama. Begitu serangan pertamanya luput, pemuda
tampan berwajah pucat itu kembali melesat dan men-
gejarnya! Wuuut! Wuuut! Angin keras yang berkesiutan berputaran men-
giringi serangan maut lawan. Dan, pukulan dahsyat itu selalu ditandai dengan
suara mencicit tajam, setiap kali tangannya menyambar.
Sadar kekuatan tenaga dalam lawannya sangat
tinggi. Dewa Bungkuk tidak mau bertindak tanggung-
tanggung lagi. Begitu serangan lawannya datang, langsung disambutnya dengan
jurus-jurus andalan yang
dimilikinya dan pernah mengguncangkan dunia persi-
latan. Meskipun ilmu itu sudah jarang dilatihnya,
namun masih terlihat kedahsyatannya. Bahkan angin
pukulan yang ditimbulkan, tidak kalah mengiriskan
dengan angin pukulan lawannya. Pertempuran di .atas Puncak Gunung Tambak itu
semakin mendebarkan!
Puncak Gunung Tambak yang semula tenang
dan damai itu, berubah menjadi arena pertarungan
maut yang mengerikan. Tempat yang Indah itu menjadi porak-poranda akibat angin
pukulan mereka. Keduanya memang memiliki pukulan yang dahsyat dan Ja-
rang dimiliki tokoh-tokoh persilatan kebanyakan. Tak aneh kalau pertarungan
mereka berdua masih terlihat
seimbang. Meskipun keduanya berusaha saling menja-
tuhkan lawan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dewa Bungkuk semula tidak ingin mengguna-
kan jurus-jurus simpanannya dalam menghadapi pe-
muda tampan itu. Biar bagaimanapun sebagai tokoh
tua, ia merasa segan menurunkan tangan maut kepa-
da lawannya. Apalagi usia lawan yang pantas menjadi cucunya itu, membuatnya
merasa malu. Karena la tidak ingin dunia persilatan mendengar ada seorang
pemuda tewas akibat ilmu 'Telapak Tangan Mautnya
Tapi, pendirian Dewa Bungkuk berubah ketika
melihat serangan-serangan lawannya makin bertam-
bah ganas dan berbahaya! Bahkan ketika pertarungan
memasuki jurus keseratus. Dewa Bungkuk mulai ter-
desak oleh gempuran-gempuran lawannya yang datang
bagaikan badai ombak lautan Itu. Beberapa kali kakek itu nyaris nyawanya
melayang akibat desakan lawan
yang ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi Ku.
"Haaat..!"
Pada suatu kesempatan, pemuda tampan ber-
wajah pucat itu mengeluarkan pekikan dahsyat dan
menggetarkan! Berbarengan dengan itu, tubuh pemu-
da berwajah pucat itu bergerak aneh dan hampir tak
masuk di akal Dewa Bungkuk.
Bukan main kagetnya Dewa Bungkuk ketika
melihat tubuh lawannya bagai timbul tenggelam itu.
Terkadang tubuh lawannya lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Di lain saat,
muncul kembali dalam jarak yang sangat dekat. Sehingga, mau tidak mau kakek itu
menjadi kelabakan dibuatnya. Akibatnya...
Buggg...! "Aaakk..!"
Dewa Bungkuk yang sempat terpaku melihat
keanehan ilmu lawannya, tak dapat lagi menghindar-
kan sebuah pukulan telapak tangan lawan yang
menghantam di dada kirinya!
Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terlem-
par dua tombak jauhnya! Dan, kakek itu terus bergu-
lingan hingga satu tombak lebih!
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kehitaman terlompat dari mu-
lut Dewa Bungkuk. Kakek itu terbatuk-batuk sambil
menahan dadanya. Rasa nyeri yang menjalari dadanya
tidak dipedulikan lagi, karena saat itu lawannya mengirim kembali serangan yang
disertai teriakan parau!
Jelas, pemuda tampan itu hendak membuktikan uca-
pannya. Meskipun hantaman telapak tangan lawan me-
nyebabkan luka dalam tubuhnya, namun Dewa Bung-
kuk tidak ingin pukulan lawan untuk kedua kali
menghantamnya. Dengan sisa-sisa kekuatan, kakek
tua itu melompat dan bergulingan menjauhi tempat
itu! Wuuus.... Blarrr...
Terdengar suara ledakan dahsyat ketika sepa-
sang tangan pemuda tampan itu menghantam tanah,
tempat Dewa Bungkuk tergeletak! Dan akibat yang di-
timbulkannya benar-benar mengerikan sekali! Tanah
tempat Dewa Bungkuk berdiri, berhamburan membuat
suasana di sekitar arena pertarungan menjadi gelap
seketika! Sebuah lubang sebesar kubangan kerbau
tercipta, ketika suasana kembali terang.
"Gila...!" Dewa Bungkuk mendesis takjub ketika melihat akibat hantaman telapak
tangan pemuda tampan berwajah pucat itu. Kenyataan itu membuatnya
sadar, kalau kematiannya memang sudah dekat.
Dewa Bungkuk semakin menyadari kedahsya-
tan ilmu dan tenaga sakti lawannya, la pun kembali
mempersiapkan ilmu-ilmunya. Meskipun belum dike-
tahui penyebab pemuda tampan itu ingin membunuh-
nya, namun Dewa Bungkuk tidak lagi memperduli-
kannya. Yang menjadi pikirannya hanyalah, bagaima-
na cara menundukkan pemuda tampan berwajah pu-
cat itu. Setelah bertarung lebih dari seratus jurus, kakek itu sadar karena ia
harus menggunakan 'Ilmu Te-
lapak Tangan Maut'nya, yang selama pertarungan dis-
impannya. Dengan diiringi hembusan angin keras. Dewa
Bungkuk merendahkan tubuhnya dengan posisi seten-
gah berjongkok. Sepasang tangannya dengan telapak
terbuka, berputaran di kiri-kanan. Hawa panas pun
mulai menyebar di sekitar arena pertarungan itu Inilah
"Ilmu Telapak Tangan Maut' yang telah mengangkat namanya di gelanggang
persilatan puluhan tahun itu.
Sementara pemuda tampan berwajah pucat itu,
yang menjadi lawannya berdiri tegak dengan tatapan
sinis. Jelas, kalau ia sama sekali tidak terpengaruh, dan merasa terkejut dengan
ilmu andalan lawannya.
Wajahnya tetap dingin dan tanpa perasaan Bahkan, kilatan sorot matanya tampak
semakin tajam dan men-
gerikan. "Hmh...."
Sambil memperdengarkan geraman lirih, pe-
muda tampan berwajah pucat itu menggeser kaki ka-
nannya dengan gerakan menyilang. Kemudian tubuh-
nya merendah dalam posisi kuda-kuda harimau yang
siap menerkam mangsanya. Tangan kanan dan kirinya
yang selalu berubah-ubah bentuk itu, terlihat bergetar.
Dan, semua itu membayangkan kekuatan dahsyat
yang tersimpan di dalamnya!
Dewa Bungkuk yang berpengalaman dalam ber-
tarung, lebih banyak bergerak ke kiri-kanan dengan
langkah-langkah pendek, dan kokoh. Sejauh itu, ia
sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda penye-
rangan. Karena kakek itu sadar kalau membuka se-
rangan lebih dahulu, akan membuka pertahanan di-
rinya. Pikiran Itulah yang membuat Pertapa Gunung
Tambak itu tidak mendahului menyerang lawannya.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan lawan-
nya. Gerak-gerik Dewa Bungkuk yang melangkah ke
kiri-kanan itu, sama sekali tidak dipedulikannya. Dengan diiringi sebuah raungan
panjang yang menggetar-
kan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu, mele-
sat cepat dan menerjang lawannya!
"Heaaa...!"


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara mencicit tajam terdengar saling bersusu-
lan menyertai setiap sambaran tangan pemuda tampan
itu. Jari-jari tangannya yang terkadang mengepal dan membuka secara tak terduga
itu, bergerak cepat bagai tangan-tangan maut yang turun dari langit. Sehingga,
Dewa Bungkuk sendiri sempat kerepotan dibuatnya!
Namun, sebagai seorang tokoh tua yang banyak
mengalami pertempuran-pertempuran maut, Dewa
Bungkuk tetap bersikap tenang. Sambil bergerak
menghindar, sesekali telapak tangannya terlontar
membawa hawa panas dan menyengat permukaan ku-
lit la masih bisa bertahan dari gempuran-gempuran
dahsyat lawannya.
Sayang, Dewa Bungkuk yang semula dapat
bernapas lega karena lawan terlihat agak gentar dengan 'Ilmu Telapak Tangan
Maut'nya kembali harus
menelan kenyataan pahit. Lawannya seperti tidak me-
rasakan hawa panas yang keluar dari kedua telapak
tangannya. Sehingga, ilmu andalan yang selama pulu-
han tahun sangat dibanggakannya Itu, tidak berarti
sama sekali bagi pemuda berwajah pucat itu.
"Bocah iblisss...!" desis Dewa Bungkuk ketika lawannya semakin mendesaknya
dengan serangan-serangan dahsyat dan mengiriskan!
"Haaat...!"
Kenyataan itu membuat Dewa Bungkuk marah.
Dengan sebuah teriakan keras, tubuhnya melesat me-
nyambut terjangan maut lawannya!
Bettt! Wuuut! Sepasang telapak tangan yang menebarkan ha-
wa panas itu, bergerak cepat dengan tamparan keras, menuju pelipis dan dada
lawannya! Melihat serangan Dewa Bungkuk, pemuda ber-
wajah pucat itu sama sekali tidak menghindar. Sepa-
sang tangannya yang saat itu meluncur deras mengan-
cam kepala Dewa Bungkuk, tetap dilanjutkan. Se-
dangkan serangan kakek itu sama sekali tidak dipedulikannya.
Dewa Bungkuk yang berniat melanjutkan se-
rangannya, sempat terkejut melihat kenekatan lawan-
nya. Sadar kalau pemuda tampan berwajah pucat itu
hendak mengadu nyawa, kakek itu pun bergegas me-
rubah serangannya. Sepasang tangan yang semula me-
luncur ke tubuh lawan itu, bergerak memutar menye-
rupai sebuah tangkisan, guna mematahkan serangan
maut lawannya. Untuk kesekian kalinya, Dewa Bungkuk kem-
bali dibuat kaget lawannya. Sepasang tangan yang semula akan meremukkan
kepalanya, tiba-tiba bergerak
aneh, dan berputar dengan kecepatan mengiriskan.
Sehingga, wajah kakek itu pucat seperti kapas!
"Ahhh...!"
Teriakan ngeri yang tertahan, meluncur dari
mulut Dewa Bungkuk. Dan, sepasang cakar lawan te-
lah kembali meluncur dari kiri-kanan kepalanya. Se-
rangan itu Jelas dimaksudkan untuk mematahkan ba-
tang lehernya. Dan....
Kraghhh...! "Ekhhh...!"
Terdengar suara gemeretak bunyi tulang yang
parah! Sepasang mata Dewa Bungkuk seperti akan ter-
lompat keluar, ketika sepasang cakar lawannya men-
cengkeram dari dua arah. Dan, darah segar pun men-
galir dari luka-luka akibat cengkeraman jari-jari tangan yang keras bagaikan
baja itu. "Heaaah...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, pemuda
tampan berwajah pucat itu menghempaskan tubuh
Dewa Bungkuk ke atas tanah. Tak ayal lagi rubuh ka-
kek itu jatuh terguling-guling
Seperti belum merasa puas dengan apa yang di-
lakukannya, pemuda berwajah pucat itu kembali me-
lompat, dan menyambar tubuh Dewa Bungkuk. Diang-
katnya tubuh yang tengah sekarat itu di atas kepala.
Lalu, diputarnya bagaikan baling-baling. Dan, dibarengi sebuah lengkingan
panjang, tubuh Dewa Bungkuk
dilemparkan ke arah sebuah batu besar.
Terdengar suara benturan keras ketika tubuh
Dewa Bungkuk menghantam batu itu. Dan. darah se-
gar memercik ke segala arah. Tubuhnya berkelojotan
sejenak, lalu tak bergerak lagi. Dewa Bungkuk tewas di tangan pemuda tampan
berwajah pucat itu, yang tidak dikenalnya.
Setelah memastikan kalau Dewa Bungkuk be-
nar-benar tewas, pemuda berwajah dingin tanpa pera-
saan itu, sejenak berdiri termangu. Perlahan kakinya melangkah dan meninggalkan
Puncak Gunung Tambak yang masih diselimuti kabut.
"Ha ha ha.... Mulai hari ini, semua tokoh-tokoh
persilatan yang pernah memperebutkan Pusaka Gua
Ular, akan menemui kematiannya yang menyedih-
kan...." Terdengar suara parau dan berat mengiringi langkah kaki pemuda berwajah
pucat itu. Aneh! Orang berusia muda, tapi memiliki suara serak dan parau seperti
seorang kakek tua renta.
*** 2 Sosok pemuda tampan itu melangkah ringan
memasuki sebuah kedai makan di Desa Ampenan. Se-
pasang matanya yang tajam merayapi ruang dalam ke-
dai itu secara sepintas. Dengan sikap tenang dan angker, pemuda berwajah pucat
itu, menyeret sebuah
kursi, dan langsung duduk tanpa mempedulikan lagi
keadaan di sekelilingnya.
Dengan sikap acuh, pemuda itu mengulapkan
tangannya ke arah seorang pelayan. Lalu, ia memesan makanan dan segelas tuak.
Sepeninggal pelayan itu, ia kembali duduk tenang dengan tatapan lurus ke depan.
Pemuda tampan berwajah pucat itu, baru me-
noleh ketika makanan yang dipesannya datang Tapi,
baru saja hidangan itu hendak dinikmatinya, tiba-tiba terdengar jeritan seorang
wanita yang berteriak-teriak ketakutan. Kening pemuda itu terlihat berkerut tak
senang. Sekali bergerak tubuhnya telah berdiri tegak di luar pintu kedai.
Terdengar suara geraman lirih yang keluar dari
kerongkongan pemuda tampan Itu Dari sorot sinar ma-
tanya yang berkilat, jelas ia merasa marah dengan pe-
mandangan yang disaksikannya itu.
Beberapa langkah di depan pemuda tampan
Itu, terlihat seorang gadis desa yang mengenakan kain sebatas dada, tengah
diseret paksa oleh dua orang lelaki bertubuh tegap. Tak seorang pun di antara
pen- duduk desa itu bergerak menolongnya. Mereka hanya
berdiri menonton tanpa berani berbuat apa-apa. Tentu saja kenyataan itu membuat
hati pemuda berwajah
pucat itu semakin geram.
Namun, sebelum tubuhnya bergerak, tiba-tiba
terdengar sebuah bentakan nyaring yang menggetar-
kan. Kemudian disusul sekelebat sosok bayangan me-
rah. Dan, langsung berdiri tegak menghadang jalan
kedua orang lelaki kasar yang menyeret gadis desa Itu.
"Lepaskan gadis yang tak berdaya itu. Kerbau
Gundul...!" bentak seorang gadis cantik dengan nada mengancam. Tubuhnya yang
ramping itu, berdiri tegak dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Sikapnya
terlihat gagah dan menarik sekali. Sehingga, beberapa lelaki muda penduduk desa
itu sempat berdecak kagum. Dua orang lelaki kasar yang memang berkepala
botak itu, tentu saja menjadi marah sekali. Apalagi hinaan itu dilontarkan di
hadapan orang banyak. Ka-
ruan saja wajah keduanya menjadi merah, dan sepa-
sang mata mereka terbelalak marah.
"Kasihan, rupanya kedua kerbau gundul itu
ternyata tuli!" ejek gadis berpakaian merah menyala itu.
Kedua lelaki itu semakin marah. Sepasang ma-
tanya menatap tajam.
"Sekali lagi kuperingatkan! Lepaskan wanita
itu, atau aku terpaksa menghukum kalian, Kerbau
Gundul Tuli!" tegas gadis cantik bertubuh ramping itu.
Kedua orang lelaki gundul yang semula belum
mempercayai pendengarannya, menggereng murka.
Salah seorang di antaranya melangkah maju dengan
wajah merah padam. Sedangkan seorang lagi, tetap
mencekal lengan gadis desa yang tengah menangis itu.
"Siapa kau, Nisanak" Berani kau mencampuri
urusan kami! Tahukah kau, wanita itu kami minta se-
cara baik-baik dari orang tuanya?" ujar lelaki yang tengah marah besar itu.
Gadis cantik itu berdiri tenang dan tak berkata
sepatah pun. Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk mengha-
langi atau pun menghukum kami. Sebaiknya kau me-
nyingkirlah, sebelum aku berubah pikiran!" ancam lelaki gundul yang wajahnya
dipenuhi cambang bauk
itu. Mendengar keterangan lelaki gundul bercam-
bang bauk itu, sejenak gadis berpakaian merah Itu tertegun bimbang. Dengan wajah
bingung, ia mengalih-
kan tatapannya ke arah gadis desa yang berada dalam cengkeraman lelaki gundul
berwajah kehitaman itu.
"Nyai..., benarkah apa yang dikatakan kerbau
gundul yang menjijikkan ini" Kalau memang benar,
mengapa kau menangis...?" tanya gadis berpakaian merah darah itu meminta
keterangan. "Mereka adalah tukang pukul rumah judi di de-
sa ini. Ayahku mempunyai hutang dan tidak dapat me-
lunasinya. Lalu, majikan rumah itu datang menagih
hutang kepada ayah. Ketika melihatku, mereka secara paksa untuk meminta
dijadikan jaminan. Menurut kedua orang itu, hutang ayah akan lunas bila aku mau
bekerja di rumah majikan mereka.
Gadis cantik berbaju merah itu tertegun. Se-
dangkan kedua lelaki berkepala botak itu menatap si-
nis ke arah gadis desa yang matanya basah.
"Aku tidak mau..., tapi kedua orang itu menye-
ret ku secara paksa...," jawab gadis desa itu dengan wajah bersimbah air mata.
Dari sorot matanya, jelas la sangat mengharapkan bantuan gadis cantik berpakaian
merah darah itu.
"Hm..., mengapa kau tidak bersedia" Apakah
kau tidak mau meringankan beban ayahmu" Berapa
lama kau akan bekerja di rumah majikan kedua ker-
bau gundul itu...?" tanya gadis berpakaian merah itu, sambil melepaskan senyum
ejekan kepada kedua
orang tukang pukul rumah judi yang berkepala gundul itu.
"Hei, Kuntilanak! Jaga mulutmu! Atau kau
memang sengaja mau mencari perkara...?" bentak lelaki gundul bercambang bauk
yang tersinggung dengan
perkataan 'kerbau gundul', yang berkali-kali di-
ucapkan gadis cantik itu. Terdengar suara bergemeretak ketika lelaki itu
mengepal tangannya kuat-kuat
Sepertinya dengan berbuat demikian, ia ingin mena-
kut-nakuti gadis berpakaian merah darah itu.
"Diam kau. Kerbau Gundul! Siapa yang menyu-
ruhmu bicara?"
Hebat sekali gadis berpakaian merah itu. Ger-
takan lelaki gundul itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Bahkan, dengan
beraninya ia memaki dan
membentak lelaki gundul itu. Karuan saja wajah lelaki itu semakin gelap.
"Nisanak. Rupanya kau memang ingin mencari
keributan! Sejak tadi aku selalu mengalah, meski kau telah menghinaku di depan
orang banyak. Tapi, kali ini kau sudah benar-benar keterlaluan! Jangan salahkan
kami, bila kami bertindak kasar terhadapmu!" geram lelaki gundul bercambang bauk
itu sambil mengger-
takkan giginya keras-keras.
"Hm..., kalau kau memang memiliki kebera-
nian, mengapa tidak langsung menyerang saja' Untuk
apa kau banyak bacot dan hanya membuat mulutmu
pegal saja. Ayo, majulah, kalau kau memang ingin merasakan halusnya telapak
tanganku," tantang gadis berpakaian merah darah itu tanpa rasa gentar sedikit
pun. Jelas, gadis itu bukan orang sembarangan. Gadis mana yang berani menantang
tukang pukul rumah
judi Ku, kalau tidak memiliki kepandaian.
"Perempuan setan! Lidahmu tajam sekali!
Hmh..., kau memang harus dihajar adat, agar lebih
mengenal siapa Galiwa dan Galinta...," desis lelaki bercambang bauk yang mengaku
bernama Galiwa itu.
Kemudian, tubuhnya langsung melompat dengan di-
iringi cengkeraman kedua tangannya yang berbentuk
cakar. Wuuut! Wuuut!
"Aiiih..., saying luput...," ejek gadis berpakaian merah darah itu, seusai
menggeser dua kali langkahnya ke belakang Dan, cengkeraman lelaki gundul ber-
cambang bauk itu luput dan hanya mengenai angin
kosong. Namun, Galiwa tidak mau terpancing dengan
segala ejekan gadis cantik itu. Ia bergegas membangun serangannya dengan
sambaran-sambaran cakarnya
yang jauh lebih berbahaya.
Sayang, serangan-serangan Galiwa yang gencar,
tak satu pun mampu menyentuh tubuh gadis cantik
itu. Karuan saja lelaki bercambang bauk itu semakin menjadi-jadi kemarahannya.
Bahkan, sekujur tubuhnya gemetar karena hawa marah yang seolah-olah
akan meledakkan dadanya.
Gadis cantik berpakaian merah darah itu, me-
mang cerdik dan tajam sekali lidahnya. Walaupun diserang habis-habisan oleh
Galiwa, namun sepasang ma-
tanya yang lincah itu sempat menyambar sosok pemu-
da tampan yang tengah berdiri di depan pintu kedai.
Bagaikan mendapat pikiran yang baik, bibir gadis cantik nampak tersenyum manis.
"Haiiit...!"
Gadis cantik itu tiba-tiba mengeluarkan teria-
kan nyaring. Saat itu juga, tubuhnya melesat dengan sebuah lompatan tinggi
melampaui kepala lawannya.
Gerakan itu segera dibarengi dengan sebuah tendan-
gan keras yang telak menghantam bagian belakang tu-
buh Galiwa. Bukkk! "Hukhhh...!"
Karuan saja tubuh lelaki kekar bercambang
bauk itu terjerunuk ke depan. Seperti telah diperhitungkan gadis cantik itu,
tubuh Galiwa tepat mena-
brak sosok pemuda tampan yang tengah berdiri di de-
pan pintu kedai.
Tubuh Galiwa yang meluncur dengan kepala


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih dahulu itu, sempat membuat pemuda berwajah
pucat itu berkerut keningnya. Cepat ia mengulur tangan kanannya, dan menahan
kepala botak yang hen-
dak menghantam rubuhnya itu. Sehingga, tubuh Gali-
wa tidak sampai terjatuh karena tertahan telapak tangan pemuda tampan itu.
Perbuatan pemuda berwajah pucat itu telah
menyelamatkannya, tapi Galiwa bertambah murka!
Dengan kemarahan yang semakin menggelegak, lelaki
gundul bercambang bauk itu segera melepaskan tan-
gan pemuda itu dari kepalanya. Secepat kilat tubuh-
nya berbalik, dan langsung mengirim serangan dengan
disertai makian kalang kabut
"Mampus kau, Keparat! Hinaan ini hanya bisa
kau tebus dengan nyawamu!" maki Galiwa yang rupanya tidak senang dengan cara
pemuda itu meno-
longnya. Tapi, lagi-lagi Galiwa harus menelan kenyataan
pahit Serangan-serangannya dengan mudah dielakkan
pemuda tampan berwajah pucat itu.
"Setaaan...! lblisss...!"
Sambil tak hentinya melontarkan makian ka-
sar, Galiwa terus merangsek maju dengan kepalan dan tendangannya. Tapi, lelaki
kasar itu harus menerima kenyataan kalau pemuda tampan berwajah pucat itu,
yang semula dianggapnya sebagai orang yang penyaki-
tan itu. Ternyata memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis berbaju
merah darah itu. Dan, sepertinya gadis itu memang sengaja ingin mengadu domba
antara Galiwa dengan pemuda tampan itu.
Plakkk! "Aaakh...!"
Serangan-serangan Galiwa yang dilontarkannya
dengan penuh kemarahan itu, ternyata malah beraki-
bat buruk terhadap dirinya. Sebuah hantaman telapak tangan pemuda tampan itu
telah menyerempet bahu
kanannya. Dan, tubuh lelaki tinggi besar itu pun me-lintir bagaikan gasing yang
berputar. "Hik hik hik.... Nah, kau rasakanlah akibat ke-teledoranmu itu, Galiwa! Rupanya
hari ini nasibmu sedang sial. Sebaiknya kau minggatlah, sebelum kesialan itu
berkelanjutan," terdengar suara ejekan yang datangnya dari gadis cantik
berpakaian merah darah itu.
Galinta lelaki gundul bermuka kehitaman yang
saat itu masih mencekal lengan gadis desa, menjadi
murka. Ketika melihat kawannya menjadi bulan-
bulanan lawan, la terpaksa melepaskan tawanannya.
Sekali melompat, ia langsung mengirim serangan su-
sul-menyusul ke arah gadis berpakaian merah yang tidak jauh berada di dekatnya.
"Hiaaah...!"
Wuuut! Wuuut! Namun, gadis berpakaian merah darah Itu ter-
nyata memiliki pendengaran cukup tajam. Meskipun
serangan Galinta datang dari sebelah belakangnya, gadis itu cepat melangkah dua
tindak ke depan. Kemu-
dian, sambil memutar tubuhnya, ia langsung menen-
dang pelipis lawannya.
Bettt! Untunglah Galinta cukup waspada. Tendangan
gadis berpakaian merah darah Itu sempat dielakkan-
nya dengan merendahkan rubuhnya, dan berputaran
dengan menggunakan tenaga pinggang
Tapi sayang Galinta masih kalah perhitungan
terhadap lawannya. Sebab, begitu tendangannya luput gadis cantik itu segera
menarik pulang tendangannya dengan menekuk lutut. Kemudian, kaki ramping Itu
kembali melontarkan tendangan ujung sepatunya yang
mengancam perut Galinta. Hingga....
Buggg! "Ekhhh...!"
Tendangan ujung sepatu gadis berpakaian me-
rah darah itu, telak mencium perut Galinta. Lelaki
gundul berwajah kehitaman itu terjungkal ke belakang!
Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang tebal dan hitam.
Galiwa yang melihat keadaan kawannya, cepat
berlari memapah tubuh Galinta. Sejenak keduanya saling bertatapan seolah ingin
meminta pendapat satu
sama lain. Kemudian, Galiwa dan Galinta sama-sama
melepaskan pedang ke arah gadis berpakaian merah
darah, dan pemuda tampan berwajah pucat yang ma-
sih berdiri di depan pintu kedai.
'Tunggulah! Kalian akan bayar mahal akibat
perbuatan ini!" ancam Galiwa yang rupanya sadar kalau kedua orang itu bukanlah
lawan mereka. Seusai
berkata, kedua lelaki gundul itu membalikkan tubuh-
nya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
*** "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,"
ucap gadis berpakaian merah darah itu ketika meng-
hampiri pemuda tampan berwajah pucat itu. Meski
mulutnya mengucapkan demikian, namun ia menyem-
bunyikan nada mengejek dalam ucapannya itu.
"Mengapa harus berterima kasih kepadaku"
Bukankah kau sendiri yang sengaja melemparkan
orang itu kepadaku" Hm..., pandai sekali kau me-
mancing orang untuk terlibat dengan persoalanmu, Nisanak," sahut pemuda tampan
berwajah pucat itu.
Pemuda itu segera melangkahkan kakinya me-
ninggalkan kedai makan. Tentu saja setelah la mem-
bayar terlebih dahulu makanan dan minuman yang
baru sedikit dicicipinya. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar suara
lambat di sisi kirinya.
"Wah, kau rupanya marah, ya" Aneh orang se-
muda kau memiliki sifat seperti seorang kakek-kakek.
Kalau kau memang tidak suka, mengapa kemarahan
mu tidak kau tumpahkan kepadaku" Bukankah kau
bilang aku yang menjadi penyebab semua ini," ujar gadis cantik berpakaian merah
darah itu yang merasa tidak senang mendengar jawaban ketus dari pemuda
tampan itu. "Nisanak, aku tidak menyalahkanmu sama se-
kali. Hanya saja aku harap kau lebih berhati-hati meli-batkan diri pada sebuah
persoalan yang belum kau ketahui kebenarannya," sahut pemuda tampan berwajah
pucat itu yang terpaksa menyahut karena gadis cantik itu menjajari langkahnya.
'Terima kasih atas nasihatmu, Kek. Aku berjanji
lain kali akan lebih berhati-hati dalam menolong
orang. Mmm.... kalau boleh ku tahu, siapakah nama
besar Kakek yang mulia...," balas gadis cantik berpakaian merah darah itu dengan
lagak dibuat-buat
Baiklah, namaku Wirya Saka. Dan, aku adalah
petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Nah, apakah kau sudah puas?" ujar
pemuda tampan berwajah pucat itu yang terpaksa memperkenalkan dirinya.
"Hm..., Wirya Saka. Sebuah nama yang gagah
dan cocok dengan orangnya," puji gadis cantik itu tanpa rasa canggung sedikit
pun. Pemuda tampan itu pun menjadi risih. Meski-
pun wajah pucat itu tampak terhias senyum tipis. Namun, ia sadar telah
terpengaruh oleh kepintaran gadis itu dalam berbicara.
Menyadari kalau tidak diladeni gadis itu akan
terus menghujaninya dengan berbagai pertanyaan ko-
nyol. pemuda tampan itu terpaksa membalikkan tu-
buh. Ditatapinya wajah cantik yang tengah memamer-
kan senyum manisnya itu.
"Mengapa kau memandangi ku seperti itu"
Apakah kau ingin mengenalku, Kakek...?" kembali suara merdu gadis cantik itu
membuat si pemuda lam-
pan berwajah pucat gelagapan.
"Tidak salah apa yang dikatakan Galiwa tadi
Kau memang memiliki lidah yang tajam, Nisanak."
Pemuda tampan berwajah pucat Itu hanya di-
am, dan memandang wajah gadis yang berdiri di hada-
pannya. "Namaku Winarti. Dan, aku seorang petualang
yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Apakah
kau juga sudah merasa puas...?" balas gadis cantik berpakaian merah darah itu
seperti tidak mau kalah.
"Nah, bolehkah aku pergi sekarang...?" tanya Wirya Saka yang mulai tertarik
hatinya dengan sikap terbuka dan kocak dari gadis cantik bernama Winarti itu.
"Tidak. Kau tidak boleh pergi, sebelum menye-
lesaikan urusanmu di Desa Ampenan ini," jawab gadis berpakaian merah darah itu,
yang segera membalikkan tubuhnya meninggalkan Wirya Saka.
Tanpa mempedulikan kebingungan pemuda
tampan itu, Winarti melenggang menghampiri gadis
desa yang telah diselamatkannya itu.
"Nyai, jauhkah rumahmu dari tempat ini...?"
tanya Winarti kepada gadis desa itu.
"Rumahku tidak begitu jauh dari tempat ini Te-
rima kasih atas pertolonganmu, Nisanak yang gagah,"
ucap gadis desa itu penuh haru.
Winarti memandangi wajah gadis desa itu, yang
basah oleh air mata.
"Aku khawatir mereka akan datang lagi dan
mengambilku. Apa yang harus kulakukan apabila
orang-orang rumah judi itu datang dan menyiksa
orang tuaku?" isak gadis desa itu yang rupanya masih merasa cemas dengan
keselamatan ayahnya.
"Hm..., kau kembalilah ke rumahmu. Tak usah
cemas dengan mereka. Aku bersama pemuda itu akan
mengobrak-abrik tempat mereka. Dengan begitu, desa
ini tidak akan mengalami kejadian seperti yang baru
dialami keluargamu. Nah, kau pulanglah...."
Setelah berkata demikian, Winarti membalikkan
tubuhnya dan melangkah menghampiri Wirya Saka
yang menatap bingung, la benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan gadis
cantik itu terhadap dirinya.
"Ayo, kita obrak-abrik rumah judi keparat
ku...," ajak Winarti yang segera menarik tangan Wirya Saka. Sementara Wirya Saka
menurut saja tanpa
membantah, la benar-benar seperti kerbau yang dico-
cok hidungnya. Keinginan gadis cantik itu diturutinya tanpa mempedulikan
perasaannya. *** "Itu dia, mereka...!"
Seruan itu keluar dari mulut seorang lelaki
gundul bertubuh kekar dengan wajah dipenuhi cam-
bang bauk. Sambil berseru, tangannya menunjuk ke
arah sosok pemuda tampan berwajah pucat dan gadis
cantik berpakaian merah darah Lelaki gundul itu tak lain Galiwa, yang telah
dipecundangi Wirya Saka dan Winarti.
Sedangkan sosok pemuda tampan berwajah
pucat dan gadis cantik berpakaian merah darah itu
memang benar Wirya Saka dan Winarti. Mereka berdua
melangkah maju tanpa merasa gentar sedikit pun. Ma-
lah Winarti semakin mempercepat langkahnya mende-
kati Galiwa dan kawan-kawannya.
"Hik hik hik.... Kerbau Gundul, mengapa kau
hanya membawa empat orang" Lalu, mana di antara
mereka yang menjadi majikanmu?" tegur Winarti langsung melontarkan pertanyaan
tanpa merasa takut me-
lihat Galiwa dan kawan-kawannya Itu.
Galiwa yang memang dendam terhadap Winarti,
segera mencabut sebilah golok besar. Namun, lang-
kahnya terhenti ketika salah seorang dari kawannya
yang berpakaian serba hitam mencegahnya.
"Sabarlah, Galiwa. Biar aku yang memberi pela-
jaran kepada gadis binal itu," ujar lelaki berseragam hitam yang wajahnya
terhias kumis tebal dan lebat.
Kemudian lelaki itu segera melangkah maju beberapa
tindak ke depan.
"Kaukah majikan rumah judi yang menjerat
penduduk Desa Ampenan, agar menyerahkan anak
gadisnya untuk kau jadikan gundikmu?" tanya Winarti sambil menuding wajah lelaki
berkumis lebat itu.
"Kau keliru, Nisanak. Majikan kami tidak pan-
tas berhadapan dengan gadis binal sepertimu. Tapi,
kalau kau bersedia menjadi istri mudanya, aku jamin kehidupanmu pasti menjadi
lebih baik," sahut lelaki berkumis lebat itu dengan nada lembut. Namun ucapan
itu membuat wajah Winarti merah padam. Karena
kata-kata lelaki itu jelas mengandung niat kotor dan menghinanya.
Tapi ucapan Itu tidak berhasil memancing ke-
marahan Winarti. Gadis cantik itu terlalu cerdik untuk dipancing kemarahannya.
Malah senyumnya semakin
lebar dan manis, meski dadanya terlihat turun naik
seperti tengah menahan emosi yang siap meledak.
"Apakah kau mendengar ucapan kucing dapur
itu, Kakang Wirya"'1 tanya Winarti ketika berbalik dan menatap Wirya Saka.
"Ya, aku mendengarnya...," sahut Wirya Saka yang telah terpengaruh oleh gadis
cantik itu. la pun mau saja dijadikan pelindung oleh Winarti.
Winarti bukan tanpa perhitungan mengajak
pemuda tampan berwajah pucat yang baru dikenalnya
itu. Karena ia tahu kepandaian Wirya Saka hanya dengan melihat sorot mata pemuda
tampan berwajah pu-
cat itu. Gurunya, Ki Galari sering menceritakan kepadanya tentang tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan yang memiliki tatapan mata tajam, dan menimbulkan rasa
gentar di hati lawannya. Winarti yang melihat Wirya Saka, segera menduga kalau
pemuda tampan itu pasti
memiliki kepandaian yang tinggi. Paling tidak lebih tinggi dari kepandaiannya
sendiri. Tapi, bukan sorot mata itu yang membuat Wi-
narti mau bersahabat dan membawa Wirya Saka un-
tuk membasmi rumah judi, yang menurutnya telah
menyengsarakan penduduk Desa Ampenan. Melain-
kan, sikap bingung dan wajah pucat pemuda tampan
itulah yang membuatnya merasa tertarik, dan ingin
mengenalnya lebih jauh.
Semenjak kecil memang Winarti telah yatim
piatu dan hanya diasuh oleh gurunya di tempat sunyi.
Tak mengherankan bila melihat Wirya Saka, Winarti
seperti menemukan teman yang menurutnya dapat
membimbingnya dalam mengarungi kehidupan di da-
lam dunia persilatan. Meskipun baru sekali bertemu, ia telah melihat kejujuran
dari wajah dan sinar mata pemuda itu Hal itu pula yang membuatnya tidak ragu-
ragu mengajak Wirya Saka mendatangi rumah judi
yang ingin dihancurkannya.
Wirya Saka sendiri, bukan tanpa alasan mengi-
kuti ajakan gadis cantik berpakaian merah darah itu.


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya saja ia merasa aneh karena mau menuruti ke-
mauan Winarti. Meskipun dalam hatinya, ada pera-
saan hangat ketika gadis itu tanpa canggung meng-
genggam tangannya, dan membawanya untuk meng-
hancurkan rumah judi.
Tapi, pemuda itu sama sekali tidak mengerti
mengapa la tidak mempunyai keinginan membantah.
Satu hal yang membuatnya tidak membantah, karena
ia merasa ada dorongan ingin berdekatan dengan Wi-
narti. Perasaan itu muncul begitu saja ketika Winarti membimbing tangannya. Hal
itu pulalah yang membuatnya menuruti ajakan gadis cantik itu.
*** 3 "Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Ka-
kang" Jelas ucapan kucing dapur itu bernada kotor
dan kurang ajar, apa kau senang aku dihina seperti
itu?" ujar Winarti sambil membanting-banting kaki kanannya dengan wajah
cemberut. Mendengar ucapan itu, Wirya Saka bengong se-
perti orang tolol. Meski hari kecilnya tidak menerima hinaan lelaki berkumis
tebal itu, namun Wirya Saka
tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu hanya terman-gu, seolah ia tengah
memikirkan mengapa ia harus berada di tempat itu. Kesadarannya baru pulih
setelah mendengar ucapan Winarti yang meminta perlindun-gannya.
"Lalu..., aku harus bagaimana, Winarti...?"
tanya Wirya Saka dengan wajah ketololan. Sepertinya pikiran Wirya Saka tidak
bekerja, la bingung menghadapi persoalan yang memang belum dimengerti sepe-
nuhnya. "Aduh, kau Ini bagaimana sih" Jelas kucing
dapur itu harus diajar adat, biar dia tidak berani lancang menghinaku," sahut
Winarti yang hampir meme-
kik karena kesal melihat sikap pemuda tampan berwa-
jah pucat itu. Tapi, karena hatinya tengah dilanda kemarahan, la tidak
memperhatikan tingkah Wirya Saka
yang nampak aneh.
"He he he.... Rupanya kau hendak mengandal-
kan pemuda tolol berpenyakitan itu untuk menghada-
piku" Sayang kau salah pilih mengambil pelindung
mu, Gadis Liar. Lebih baik kau suruh kawanmu itu
pulang dan menetek pada ibunya," lelaki gagah berkumis tebal itu tertawa
mengejek ketika melihat Wi-
narti yang tengah membujuk pemuda berwajah pucat
itu untuk membelanya. Dan, tawanya semakin keras
ketika melihat pemuda tampan berwajah pucat itu
menunjukkan sikap yang ketololan menggelikan.
Sedangkan Wirya Saka sendiri sudah melang-
kah mendekati enam orang tukang pukul rumah judi
itu. Wajahnya yang pucat, semakin bertambah angker
karena sorot matanya tampak begitu dingin den men-
gerikan. Menilik dari sikapnya, jelas pemuda itu telah siap bertempur.
Winarti sendiri yang memang merasa penasa-
ran ingin melihat tingkat kepandaian sahabat barunya itu, wajahnya menjadi
berseri-seri semenjak pertama kali Ia melihat Wirya Saka di depan pintu kedai
makan, Winarti memang sudah menduga kalau Wirya Sa-
ka bukanlah pemuda sembarangan. Dan, ia sengaja
melemparkan tubuh Galiwa untuk memancing pemuda
itu menunjukkan kepandaiannya. Sayang, ia sempat
kecewa karena Wirya Saka sama sekali tidak menun-
jukkan ilmu silatnya ketika menghadapi Galiwa. Wi-
narti tidak merasa puas melihatnya.
"Hm ..., kali ini aku pasti berhasil memancing
kepandaian pemuda yang seperti itu. Menilik dari sikap dan cara Galiwa berbicara
kepada lelaki berkumis
tebal itu, jelas kalau lelaki berpakaian hitam yang mirip kucing dapur itu
memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kedua kerbau gundul tadi. Dan,
mau tidak mau Kakang Wirya Saka pasti akan mengelua-
rkan ilmunya untuk menghadapi orang itu...," gumam Winarti yang segera melangkah
mundur beberapa tindak. Gadis cantik itu memang sengaja mengadu domba
Wirya Saka dengan lelaki berkumis tebal itu.
"Hm..., Anak Muda. Sebaiknya kau pulanglah.
Jangan mau diperbudak gadis binal itu. Di antara kita tidak ada permusuhan
pribadi. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk bertarung," ujar lelaki berkumis
tebal itu yang merasa gentar melihat perbawa yang terpancar dari sosok pemuda
tampan berwajah pucat itu.
"Dengan melontarkan hinaan terhadap Winarti,
cukup alasan bagiku untuk menghukum mu...," sambut Wirya Saka dengan suara
dingin dan datar. Apa
yang diucapkannya seolah-olah hanya hafal saja.
Meski nada ucapannya mengancam, namun wajah pu-
catnya tetap tidak memperlihatkan perasaan apa pun.
"Sudahlah, Ki Badarata, tunggu apa lagi" Hajar saja pemuda penyakitan itu.
Biarlah gadis binal yang sok pahlawan itu kami yang membereskannya," terdengar
salah seorang dari tiga kawannya berkata dengan nada sombong. Sedangkan Galiwa
dan Galinta hanya memandang keempat kawannya sambil men-
gangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang
lelaki gundul itu yakin kalau keempat kawannya akan dapat menundukkan lawan-
lawannya. Lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rom-
pi putih itu, melangkah menghampiri Winarti yang
tengah duduk di bawah pohon. Mulutnya masih men-
gumbar ucapan takabur Lelaki gemuk berwajah hitam
totol itu sangat yakin bisa menangkap Winarti.
Namun, Winarati tidak gentar sama sekali.
Meski la menghadapi tiga orang lawan, senyumnya te-
tap menghias wajah. Sepertinya gadis cantik yang sikapnya ugal-ugal itu memang
tidak pernah mengenal
arti takut Kalaupun la menyuruh Wirya Saka untuk
menghadapi lelaki berkumis tebal yang telah melontarkan hinaan kepadanya, bukan
berarti ia takut meng-
hadapinya. Tapi, ia memang sengaja hendak menguji
kepandaian dan pembelaan Wirya Saka terhadapnya.
Dan, rencananya ternyata berjalan mulus. Karena
Wirya Saka telah terbujuk dan mau menuruti permin-
taan wanita cantik itu.
Dengan gerakan yang gesit dan ringan, Winarti
melesat bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang ramp-
ing dan terbungkus pakaian merah darah itu berjum-
palitan beberapa kali, sebelum menjejakkan kedua kakinya di tempat yang cukup
lapang. Wanita cantik
yang cerdik itu telah siap menghadapi Ketiga orang lawannya.
"Hati-hati, Ki Banggala. Gadis binal itu memiliki kepandaian yang tidak rendah,"
bisik Galinta memperingatkan lelaki gemuk berompi putih itu. Karena Ia sendiri
telah merasakan kehebatan Winarti. Tidak heran kalau Galinta memberikan
peringatan kepada lela-ki gemuk yang dipanggil dengan nama Ki Banggala itu
Mendengar peringatan Galinta, Ki Banggala mendengus. Melihat perubahan paras
wajahnya, jelas lelaki gemuk itu merasa tersinggung dengan ucapan kawannya.
"Heaaah...!"
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring,
tubuh Ki Banggala melenting dan berjumpalitan tiga
kali di udara. Dan, langsung melontarkan serangan-
serangan maut ke arah Winarti yang memang telah
siap menyambutnya. Sebentar saja, keduanya telah
terlibat dalam pertarungan sengit!
Galiwa dan Galinta pun tidak ingin membuang-
buang waktu lagi. Saat itu juga, keduanya langsung
melompat memasuki kancah pertempuran. Begitu tiba,
mereka langsung mencecar Winarti yang saat itu ten-
gah mendesak Ki Banggala. Masuknya kedua orang le-
laki gundul itu, membuatnya terpaksa melompat mun-
dur sejauh satu setengah tombak.
"Hik hik hik.... Kerbau-kerbau gundul kelapa-
ran, rupanya kalian masih ingin merasakan kerasnya
kepalan ku" Bagus! Kalau begitu, aku akan memberi-
kan kalian masing-masing hadiah yang tidak akan ka-
lian lupakan seumur hidup...," ejek Winarti yang segera mencabut senjatanya yang
selama ini tergantung di pinggang kirinya.
Singngng! Terdengar suara berdesing ketika pedang yang
berkilat tertimpa cahaya matahari itu terpisah dari sa-rungnya. Kemudian,
berputar di depan tubuh gadis
cantik itu dengan suara mendengung tajam.
Melihat lawan sudah mengeluarkan senjata
tanpa ragu-ragu lagi Galiwa dan Galinta bergegas
mencabut senjata-senjatanya. Hanya Ki Banggala yang tidak menggunakan senjata,
la merasa terlalu pagi untuk mengeluarkan senjatanya hanya untuk mengha-
dapi seorang gadis yang pantas menjadi anaknya itu.
"Haiiit..!"
Dengan diiringi sebuah seruan nyaring dan
panjang, Winarti melesat sambil memutar senjatanya.
Sehingga menimbulkan suara berdesingan tajam. Den-
gan gerakan yang Indah dan cepat, pedang di tangan-
nya berkelebatan mencari sasaran!
Ki Banggala, Galinta dan Galiwa tidak tinggal
diam. Ketiga tukang pukul rumah judi itu segera ber-pencar, dan menerjang
lawannya dari tiga penjuru.
Winarti terpaksa mengerahkan semua kemampuannya
untuk menghadapi serangan ketiga orang musuhnya.
Mereka tampak melakukan serangan dengan kerjasa-
ma yang baik sekali. Tak terhindarkan lagi. Pertarungan berjalan semakin seru
dan sengit! *** Di tempat lain, Wirya Saka sudah menunjuk-
kan kebolehannya dalam menghadapi tiga orang la-
wannya. Pemuda tampan berwajah pucat itu, bergerak
cepat seperti bayangan hantu, yang terkadang lenyap di antara kilatan cahaya
senjata lawannya. Dan secara tiba-tiba, muncul di hadapan salah seorang
musuhnya, sambil melontarkan sebuah serangan tak terduga!
Ki Badarata dan dua orang kawannya benar-
benar terkejut ketika mengetahui tingkat kepandaian pemuda tampan Itu. Orang
yang dikiranya penyakitan
itu, ternyata mampu bergerak cepat. Sehingga, mereka sering kehilangan lawannya
dan tiba-tiba muncul di
hadapan mereka. Kenyataan itu tentu saja membuat
mereka menjadi gentar dan ngeri. Karena mereka se-
perti tengah berhadapan dengan bayangan hantu, dan
bukan manusia biasa.
"Gila! Pemuda itu turunan iblisss...!" umpat Ki Badarata yang senantiasa
kehilangan sosok lawannya.
Karena pedang yang semula membabat perut lawan,
tapi hanya menyabet angin kosong. Sedangkan lawan-
nya lenyap entah ke mana.
"Aaah...!"
Bagai disengat kalajengking, Ki Badarata terlon-
jak ketika merasakan sentuhan lembut pada tengkuk-
nya. Tanpa berpikir panjang lagi, Lelaki berkumis lebat itu langsung menyabetkan
senjatanya ke arah sumber
sentuhan itu. "Setan keparat...!" lagi-lagi Ki Badarata men-gumpat dengan teriakan keras.
Karena senjatanya ti-
dak mengenai sasaran! Sepasang mata lelaki gagah
yang selama hidupnya tidak pernah mengenal kata ta-
kut Itu, berdiri bulu tengkuknya. Karena ia tidak dapat mengenali musuhnya.
Jangankan sosok lawannya,
bayangan pemuda itu saja tidak sempat dilihatnya.
Sehingga, Ki Badarata sendiri meragukan ada orang
yang menyentuh tengkuknya.
Belum lagi rasa ngeri di hatinya lenyap, tiba-
tiba terdengar jeritan susul-menyusul yang datang dari sebelah belakangnya.
Hampir copot jantung lelaki gagah itu ketika menyaksikan tubuh dua orang kawan-
nya tengah meluncur deras ke arahnya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ki Badarata langsung
saja melemparkan tubuhnya ke belakang, dan terus
berjumpalitan dan bersalto di udara. Tubuhnya baru
meluncur turun ketika merasa telah cukup jauh dari
tempatnya semula.
Dengan sepasang mata membelalak lebar, Ki
Badarata mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Kendati tempat itu telah dijelajahi kedua matanya,
namun sosok pemuda tampan berwajah pucat itu,
yang menjadi lawannya tetap tidak diketemukan. Ketegangan hati lelaki gagah itu
semakin menjadi-jadi. Karena ia tidak tahu di mana lawannya berada.
Dengan langkah perlahan, dan sambil tetap
mengerahkan indera pendengarannya, lelaki gagah itu menghampiri tubuh dua orang
kawannya yang tergeletak tak bergerak lagi.
Ketegangan di hati Ki Badarata kian menjadi-
jadi ketika melihat kedua kawannya tewas dengan leh-er berlubang. Jelas, kalau
mereka terkena tusukan jari tangan yang ampuh, dan mengandung kekuatan hebat
Karuan saja kenyataan itu membuatnya semakin me-
rasa ngeri. Ki Badarata yang tengah diliputi perasaan ngeri
dan tegang Itu, tiba-tiba melompat ke depan ketika
mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Pe-
dang di tangannya berkelebat cepat, membentuk gu-
lungan sinar yang membentang! tubuhnya.
"Ajalmu sudah tiba, Orang Tua...," terdengar suara dingin dan datar keluar dari
mulut Wirya Saka.
Wajahnya pucat, dingin dan tanpa perasaan.
"Iblisss...!" desis Ki Badarata yang menjadi gemetar sekujur tubuhnya ketika
melihat sinar mata se-dingin es dari pemuda tampan itu. Tanpa sadar, lelaki
setengah baya itu melangkah mundur sambil menyilangkan senjatanya di depan dada.
Meskipun Ki Badarata bertekad melindungi di-
rinya mati-matian, terap saja ia tidak dapat menangkap sosok pemuda itu. Gerakan
yang dipertunjukkan
Wirya Saka sangat cepat sekali. Sehingga lelaki gagah itu tidak dapat menangkap
gerakan lawannya.
Wuuut! Praaak...! Terdengar suara berderak keras ketika telapak
tangan Wirya Saka menampar hancur batok kepala Ki
Badarata! Tidak terdengar keluhan dari mulut lelaki gagah itu. Karena kepalanya
hancur sebelum ia sempat berteriak.
Tanpa ampun lagi, tubuh tukang pukul rumah
judi kelas satu itu, terjungkal disertai perakan darah segar yang bercampur
dengan cairan putih. Kemudian, ambruk di atas tanah. Setelah berkelojotan
sesaat, tu- buh tanpa kepala itu diam dan tak bergerak lagi. Ki Badarata tewas dalam keadaan
sangat mengerikan!
Setelah menewaskan ketiga orang pengeroyok-


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya, Wirya Saka melirik ke arah pertarungan Winarti.
Sinar mara yang biasanya kosong dan dingin
itu mengerjap. Sepertinya pemuda itu merasa khawatir akan keselamatan Winarti,
gadis cantik yang baru dikenalnya itu.
Meskipun Winarti tidak terlihat terdesak, na-
mun untuk mengalahkan ketiga orang pengeroyoknya
itu, bukan suatu pekerjaan yang gampang. Kenyataan
itu membuat Wirya Saka tidak bisa berpangku tangan
saja. Dengan diiringi sebuah lengkingan panjang
yang tinggi, tubuh pemuda tampan itu melesat bagai-
kan seekor burung besar. Kecepatan gerak pemuda
tampan berwajah pucat itu luar biasa sekali! Hanya kilatan cahaya kebiruan yang
terlihat meluncur ke tengah arena pertarungan!
Kejadian selanjutnya, benar-benar tidak pernah
dibayangkan oleh Winarti. Suara lengkingan yang
nyaring dan menulikan telinga itu, sempat membuat
pertarungan terhenti sesaat. Dan, selagi ketiga orang lawannya tertegun dengan
wajah pucat, serta-merta
tubuh mereka terlempar ke kiri dan seperti terlanggar angin topan.
Buggg! Desss! Prakhhh!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang susul-
menyusul mengiringi robohnya ketiga orang penge-
royok Winarti! Gadis cantik yang urakan dan tidak
pernah mengenal kata takut Itu, matanya terbelalak
dan pucat wajahnya melihat keadaan ketiga orang
pengeroyoknya. Ki Banggala terlihat berkelojotan dengan tubuh
tanpa kepala! Karena kepala lelaki gemuk itu telah
hancur terkena tamparan dahsyat yang dilontarkan
Wirya Saka! Sedangkan dua orang lainnya, menggele-
par bagaikan ayam disembelih. Galiwa dan Galinta merintih dengan tubuh bersimbah
darah! Bagian dada
keduanya tampak melesak ke dalam. Jelas, tulang da-
da mereka jebol karena dihantam telapak tangan pe-
muda tampan berwajah pucat itu.
Sedangkan Wirya Saka sendiri, berdiri tegak
menatapi mayat ketiga orang itu dengan pandangan
hampa. Tidak sedikit pun perubahan pada wajah pe-
muda tampan Itu. Dan hatinya tak bergetar sama se-
kali ketika melihat mayat ketiga orang tukang pukul rumah judi itu bergeletak.
"Kakang..., apa yang telah kau lakukan...?"
Hanya pertanyaan itulah yang keluar dari sepasang bibir mungil Winarti. Karena
tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan wajahnya masih terlihat pucat.
"Aku... aku tak tahu, Winarti. Aku... hanya merasa geram, dan mereka ku pukul
semua. Hanya itu
yang kulakukan," sahut Wirya Saka seraya menatap Winarti dengan wajah ketololan.
Jelas, ia tidak sadar sama sekali, atau tidak tahu kalau kejadiannya seperti
itu. "Sudahlah. Mungkin kau memang sedang ku-
rang sehat Lagi pula sudah seharusnya mereka dihu-
kum, meski hukuman ini terlalu mengerikan, dan ti-
dak pernah terlintas dalam benakku," ucap Winarti menghibur.
Wanita cerdik itu mulai dapat menebak apa
yang tengah terjadi dalam jiwa sahabat barunya itu.
Satu hal yang tidak pernah diduganya. Wirya Saka
ternyata dapat bertindak sangat kejam. Meski pemuda itu sendiri tidak begitu
menyadari "Sekarang marilah kita cari rumah judi Juragan Jumali. Manusia busuk itulah yang
seharusnya mendapat hukuman seperti ini," ujar Winarti yang segera mengajak
Wirya Saka meninggalkan tempat itu.
Wirya Saka yang wajah dan tatapan matanya
telah kembali seperti semula dingin dan beku, sama
sekali tidak membantah. Pemuda tampan berwajah
pucat Itu yang sepertinya menyimpan suatu beban be-
rat itu, menurut saja ketika Winarti membimbing lengannya.
*** 4 Sosok tubuh itu berlari cepat seperti kijang. Se-
sekali kepalanya menoleh ke belakang. Seolah la mera-sa khawatir ada yang
mengejarnya. Langkah kakinya
terhenti ketika ia tiba di sebuah gapura.
"Ada apa, Mirja..." Mengapa kau seperti orang
ketakutan?" tanya salah seorang penjaga gapura itu, yang memiliki wajah persegi
dengan gigi menjorok keluar. Lelaki kurus yang dipanggil Mirja itu tidak segera
menjawab. Deru napasnya yang memburu dan
tak beraturan itu, membuat Mirja sulit menjawab, la hanya menunjuk-nunjuk ke
arah belakangnya dengan
wajah pucat. "Apa ada yang ingin kau laporkan kepada Tuan
Besar...?" tanya penjaga kedua berkepala setengah botak, la bertanya demikian
karena tidak sabar melihat Mirja hanya menunjuk-nunjuk tanpa berkata.
Mirja menganggukkan kepalanya berkali-kali
ketika mendengar pertanyaan itu. Dan, tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, lelaki kurus itu segera masuk begitu kedua penjaga
gapura memberinya jalan.
Sepeninggal Mirja, kedua orang penjaga itu sal-
ing bertukar pandang dan saling meminta pendapat
masing-masing. Wajah keduanya terlihat agak bin-
gung. Karena mereka tidak tahu secara pasti, apa sebenarnya yang mau dikatakan
Mirja. "Hm..., firasatku mengatakan ada sesuatu yang
akan terjadi di sini..." tebak penjaga berwajah persegi itu sambil melepaskan
pandangannya jauh ke depan.
Seolah-olah dengan berbuat demikian, ia dapat mengetahui apa yang telah terjadi
dengan Mirja. "Yahhh..., firasatku pun mengatakan demikian.
Sebaiknya kita waspada. Siapa tahu saja dugaan kita tidak meleset...," desah
penjaga kedua yang berkepala setengah botak itu dengan suara seperti orang
terce-tak. Sikap Mirja yang gagap telah mendatangkan ke-
tegangan di hati kedua penjaga itu. Dan, seperti hendak menenangkan ketegangan
harinya, lelaki yang
berkepala setengah botak Itu meraba gagang pedang
yang tergantung di pinggangnya. Sedangkan temannya
yang berwajah persegi sudah siap kemungkinan-
kemungkinan untuk membunuh.
Sementara itu, Mirja yang langsung menghadap
pemilik rumah yang disebut sebagai 'tuan besar*, duduk bersimpuh dengan napas
memburu. Lelaki kurus
itu bersusah-payah menenangkan perasaannya den-
gan menarik napas berulang-ulang.
"Ada apa, Mirja" Sepertinya kau baru saja melihat sesuatu yang menakutkan...?"
tanya lelaki tinggi besar berpakaian sutera biru. Lelaki yang usianya lebih dari
setengah baya itu duduk di sebuah kursi ber-
gagang gading. Jelas, kalau ia pemilik rumah besar itu yang bernama Juragan
Jumali. "Anu... anu..., Tuan Besar..., anu...," Mirja masih saja terbata-bata memberikan
jawabannya. Sehing-ga Juragan Jumali mengerutkan keningnya dalam-
dalam. "Katakan saja, ada apa sebenarnya...?" karena tidak sabar melihat sikap
yang ditunjukkan pembantunya itu, Juragan Jumali membentak marah. Bah-
kan, ia bangkit dari kursinya dengan kening yang semakin berkerut.
"Iiii... Ki Badarata. , Ki Banggala dan empat
orang tukang pukul Juragan tewas... Hihhh..., mengerikan sekali kematian
mereka...," jelas Mirja menunjukkan mimik wajah memancarkan rasa ngeri hatinya.
"Apa" Bagaimana mereka bisa tewas" Siapa
yang telah berani mati mengacau rumah judiku" Cepat katakan...?" Juragan Jumali
menggebrak meja bulat di samping kanannya. Meja pun pecah berantakan dengan
suara berderak keras. Dari sorot matanya yang seperti hendak melompat keluar
itu, jelas Juragan Juma-li tengah dilanda kemurkaan yang hebat.
"Aku..., aku tidak tahu. Tuan Besar. Mereka..., ada dua orang. Satu laki-laki,
dan satunya lagi perem-puan. Tapi, yang membunuh tukang-tukang pukul
Juragan adalah lelaki muda teman wanita itu.
Lelaki muda itu sangat jahat sekali. Tuan Besar, la dapat membunuh orang hanya
dengan sekali pukul'
Dan..., kepala Ki Banggala serta Ki Badarata pecah
oleh pukulannya...," jawab Mina yang gemetar ketika melihat kemarahan tuan
besarnya itu. "Bagaimana kau bisa mengetahui semua ini"
Apa kau melihatnya dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, Tuan Besar. Aku melihatnya sendiri.
Saat itu aku bersembunyi di balik semak-semak.
Meskipun jaraknya terpisah beberapa tombak, tapi
aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kedua iblis itu pergi, aku
baru berani keluar dari tempat persembunyian untuk melapor kepada Tuan Be-
sar," jelas Mirja lagi yang kali ini suaranya terdengar lebih tenang dan jelas.
"Bedebah, Bangsat!" geram Juragan Jumali.
Sebenarnya dia sendiri bukan tidak terkejut mendengar keterangan Mina. Karena
orang yang dapat mem-
bunuh Ki Badarata dan Ki Banggala dengan sekali pu-
kul, sudah pasti tidak bisa dipandang ringan.
Namun, lelaki tinggi besar yang usianya sudah
mendekati lima puluh enam tahun itu, tidak mau
memperlihatkan rasa terkejut di depan pembantunya
yang bernama Mirja itu. Sebisa mungkin ia tetap berusaha bersikap tenang dan
wajar. Karena meskipun Ju-
ragan Jumali mempekerjakan tukang-tukang pukul,
bukan berarti ia tidak mengetahui tentang ilmu silat Penilaian itu sama sekali
tidak betul. Jauh sebelum Juragan Jumali menetap di Desa
Ampenan Itu, ia dikenal seorang tokoh sesat berke-
pandaian tinggi yang seringkali menebarkan kejahatan di mana-mana. Bahkan dunia
persilatan memberikan
julukan yang cukup mengerikan buat lelaki tinggi besar itu. Iblis Kalajengking
Merah. Julukan itu diberikan kepada Juragan Jumali
karena dalam setiap aksinya, lelaki tinggi besar itu selalu meninggalkan jejak
berupa lambang kalajengking merah. Lambang itu selalu ditinggalkannya pada daun
pintu atau di mana saja, setelah ia menebarkan ben-cana. Jejak itu sengaja
ditinggalkannya. Karena Juragan Jumali tidak ingin dianggap sebagai orang
pengecut yang tidak mau mempertanggungjawabkan perbua-
tannya. Setelah usianya beranjak tua, tokoh sesat yang mengiriskan itu lenyap
tanpa berita. Tidak ada seorang pun yang tahu, kalau tokoh sesat yang kejam
seperti iblis itu menetap di Desa Ampenan. Semenjak itu, Iblis Kelajengking
Merah tidak pernah terlihat keluar dari tempat kediamannya yang megah di desa
itu. la membuka usaha rumah-rumah perjudian di sekitar Desa
Ampenan. Dari usahanya itulah Juragan Jumali dapat
menikmati masa tuanya dengan tenang
Namun, ketenangan Juragan Jumali tidak bisa
dinikmati selamanya. Persoalan yang kali ini datang menimpanya, cukup membuat
tokoh sesat itu pusing.
Dan, ia tidak dapat menduga siapa kedua orang muda
yang telah membunuh orang-orang kepercayaannya
itu. Langkah Juragan Jumali terhenti tepat di de-
pan wajah Mirja, yang tidak berani mengangkat kepa-
lanya. Lelaki kurus itu dilanda ketakutan yang hebat, tanpa sadar celananya
telah menjadi basah.
"Ke mana perginya keparat-keparat itu, Mirja?"
bentak Juragan Jumali dengan suara menggelegar.
Kemarahannya yang menggelegak itu semakin menja-
di-jadi ketika ia mencium bau tak sedap yang berasal dari celana pembantunya itu
"Mungkin.... Mungkin mereka tengah mengo-
brak-abrik rumah judi kita. Tuan Besar...," meski terdengar terputus-putus,
jawaban itu keluar juga dari mulut Mirja.
"Bangsat! Kalau mereka berani berbuat demi-
kian, akan kucincang hancur tubuh mereka. Dan,
akan kuberikan pada anjing hutan potongan tubuh
mereka...," geram Juragan Jumali dengan gigi berge-meletukan karena rasa geram
yang amat sangat
"Ayo, ikut aku...!" perintah Juragan Jumali yang segera menyuruh seorang pelayan
mengambil senjatanya. Setelah itu, dengan langkah lebar, lelaki tinggi besar itu bergegas
meninggalkan tempat kediamannya.
Tujuannya adalah rumah judi yang selama ini
dikelolanya. *** Juragan Jumali baru saja akan melompat ke
atas punggung kudanya, terkejut ketika ia mendengar jerit kematian dari halaman
depan rumahnya. Dari suara teriakannya, tokoh sesat yang telah lama menjalani
hidup tenang itu segera dapat menduga kalau suara
itu pasti berasal dari dua orang penjaga gapuranya.
"Setan! Ada apa lagi ini...!" geram Juragan Jumali dengan wajah semakin gelap.
Karena belum lagi
selesai persoalan yang satu, kini muncul persoalan
lain. Tentu hatinya menjadi panas oleh hawa marah.
Mirja yang tengah bersiap menaiki kuda tung-
gangannya pucat seketika. Di dalam benaknya tergam-
bar kematian Ki Badarata dan Ki Banggala. Rasa ce-
mas dan takut, membuat lelaki kurus itu menduga ka-
lau suara jerit kematian itu pasti disebabkan oleh
pembunuh yang dilihatnya di dalam hutan kecil tadi.
Teringat peristiwa itu, gemetar sekujur tubuh Mirja.
"Mungkin... kedua pembunuh itu telah sampai
ke tempat ini. Tuan Besar...," sahut Mirja yang kembali celananya menjadi basah.
"Keparat! Kalau memang benar mereka telah ti-
ba di sini, itu lebih baik. Biar mereka tahu, Juragan Jumali tidak dapat
disamakan dengan juragan-juragan lainnya!" geram Juragan Jumali yang segera
melompat turun dari atas kudanya. Sekali berkelebat saja, lelaki tinggi besar itu sudah
berada hampir empat tombak
dari tempatnya semula, la terus menghilang di balik dinding yang menuju ke
pekarangan depan.
"Berhenti...! Siapa kau keparat?" Juragan Jumali mengeluarkan bentakan keras
ketika melihat se-
sosok tubuh tegap berpakaian biru berkelebat akan
memasuki bagian tengah rumahnya. Sambil mengelua-
rkan bentakan, tubuhnya langsung berkelebat meng-
hadang. Juragan Jumali yang semula siap melontarkan
segala kemarahan di hatinya, sejenak tertegun ketika melihat wajah sosok tegap
berpakaian biru itu. Tanpa sadar, lelaki tinggi besar yang beberapa waktu lalu
pernah menggegerkan dunia persilatan itu, bergerak mundur dengan seringai ngeri
di wajahnya. Apa yang dihadapi Juragan Jumali saat itu,
memang benar-benar mengejutkan sekali. Karena, so-
sok tubuh tegap berpakaian serba biru itu, nampak
aneh dan tidak wajar. Raut wajahnya yang tampan, ta-pi terlihat pucat. Dengan
bilur-bilur berwarna merah darah di bagian keningnya. Sepasang matanya yang
dingin dan tajam itu, memancarkan perbawa yang
amat kuat Orang seperti Juragan Jumali pun sanggup


Pendekar Naga Putih 35 Pendekar Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuatnya tergetar.
"Hm..., kau pasti orang yang telah membunuh
Ki Badarata dan Ki Banggala bukan" Sebutkan nama-
mu, sebelum tubuhmu kucincang hancur, dan kujadi-
kan santapan anjing hutan!" Juragan Jumali yang sudah dapat menguasai
perasaannya mengeluarkan ben-
takan marah. Sementara sepasang matanya yang be-
sar, merayapi sekujur tubuh pemuda itu, kalau-kalau la pernah mengenal atau
melihat sebelumnya.
Setelah meneliti secara cermat ia tidak mengen-
al pemuda tampan yang terlihat aneh itu. Juragan
Jumali menggeser langkahnya dua tindak ke kanan.
Terdengar gerengan yang keluar dari kerongkongan-
nya. Rupanya kakek itu menjadi gusar karena perta-
nyaannya tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Namun, Juragan Jumali yang semula hendak
mengeluarkan bentakan kembali, bergerak mundur
empat langkah. Dan, segera ia menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
Pemuda tampan itu mengeluarkan suara geren-
gan lirih yang membuat jantung Juragan Jumali bergetar. Kenyataan itu membuat
pemilik rumah judi Ku
sadar kalau yang dihadapinya, bukanlah seorang la-
wan yang dapat dianggap enteng. Kendati usianya ma-
sih muda, sosok tegap Itu memiliki tenaga sakti yang sangat tinggi
Juragan Jumali yang banyak memiliki penga-
laman semasa masih berkeliaran di rimba persilatan, tentu saja terkejut
merasakan kekuatan tenaga sakti lawannya. Sepanjang pengalamannya, hanya tokoh-
tokoh tua yang mampu membuat la tergetar dengan
penyerang melalui suara gerengan. Tapi, pemuda yang pantas menjadi anaknya itu,
ternyata mampu membuat dadanya bergetar hanya dengan sebuah gerengan
lirih. Juragan Jumali semakin yakin kalau pemuda
yang dihadapinya merupakan lawan tangguh
"Apa maumu, Anak Muda...?" tanya Juragan
Jumali sambil memutar otaknya guna mencari cara
untuk menundukkan lawannya. Sambil berkata demi-
kian, ia melangkah mundur dua tindak ke belakang
seraya mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap
siap menghadapi segala kemungkinan.
Diam-diam hati Juragan Jumali merasa terke-
jut sekali. Meskipun yang menyatroninya seorang pe-
muda ingusan, namun ia merasa tegang Seolah ia me-
lihat ada sesuatu yang ditakutinya dalam diri pemuda tampan berwajah pucat itu.
Ia mencoba menghibur diri dengan menekannya, lawannya hanya seorang pemuda
yang tidak banyak memiliki pengalaman, namun kete-
gangan dan rasa aneh di dalam hatinya tak juga mau
hilang. "Heaaah...!"
Juragan Jumali yang telah siap menghadapi
sebuah pertarungan, masih sempat terkejut oleh suara teriakan yang keluar dari
kerongkongan pemuda tampan berwajah pucat itu. Karena suara itu jelas didorong
oleh kekuatan dahsyat. Sehingga, suara itu lebih mirip sebuah raung orang yang
tengah menderita suatu tekanan berat dalam dirinya, bergetar dan merintih.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Juragan
Jumali cepat mengerahkan kekuatannya untuk mela-
wan pengaruh teriakan itu. Wajah lelaki tinggi besar itu terlihat agak merah.
Tentu saja tenaga yang dikerahkannya guna melawan pengaruh itu cukup banyak.
"Setan...!"
Juragan Jumali menggeram marah. Saat itu ju-
ga kedua tangannya langsung berputaran, dan me-
nimbulkan angin keras yang menderu-deru.
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh
Juragan Jumali langsung melesat dengan disertai serangan kedua tangannya.
Wuuut! Wuuut! Tangan-tangan yang besar dan berbulu lebat
itu bergerak cepat saling bersusulan. Seolah-olah saling berebutan untuk dapat
menyentuh tubuh lawan-
nya. Sambaran angin dingin terdengar berkesiutan.
Pertanda tenaga dalam yang terkandung di dalamnya
sangat tinggi dan mematikan!
Namun, pemuda tampan berpakaian biru yang
tidak lain dari Wirya Saka Itu, tidak gentar sama sekali oleh serbuan lawannya.
Seperti setan, tubuh pemuda
itu mendadak lenyap dari hadapan lawannya Kemu-
dian, langsung melancarkan serangan-serangan ke tu-
buh Juragan Jumali dengan tidak kalah dahsyat'
Iblis Kalajengking Merah atau Juragan Jumali
yang menyamar sebagai seorang juragan itu, ternyata masih dapat bergerak gesit
dan membahayakan. Sepertinya lelaki tinggi besar yang pernah menjadi mo-mok di
dalam dunia persilatan beberapa waktu lalu,
tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Gerakannya tetap terlihat luwes, dan
tampak sering dilatihnya Sehingga, pertarungan kedua orang sakti itu semakin se-
ru dan menarik.
"Heaaat..!"
Dengan penuh kemarahan. Juragan Jumali te-
rus berusaha merangsek lawannya dengan serangan-
serangan kilat yang mematikan! Kedua tangannya ter-
kadang membentuk cengkeraman, tapi sewaktu-waktu
dapat berubah menjadi tusukan dengan jari-jari sekeras baja, dan mampu
menghancurkan batu karang se-
besar perut kerbau. Dapat dibayangkan, betapa men-
gerikan serbuan-serbuan yang dilontarkan Iblis Kalajengking Merah itu.
Wirya Saka sendiri tidak terlalu sibuk dengan
serangan-serangan lawannya. Gerakannya yang seperti bayangan hantu itu sanggup
membuat Juragan Jumali
kewalahan dibuatnya. Sebelum serangannya mengenai
sasaran, pemuda itu lenyap dari pandangannya. Ka-
ruan saja kenyataan itu membuat Juragan Jumali ba-
gaikan kakek-kakek kebakaran jenggot
"Bedebah kau, Setan Keparat! Awas! Kucincang
tubuhmu!" sambil terus berteriak-teriak, Juragan Jumali mengumbar serangannya
seperti orang keseta-
nan. Gerakan pemuda tampan berwajah pucat itu jauh
lebih cepat dari gerakannya, membuat Juragan Jumali menjadi kalang-kabut Karena
serangannya selalu kan-das sebelum mencapai sasaran.
Setelah hampir tujuh puluh jurus bertarung
sengit Juragan Jumali terlihat mengendurkan seran-
gan-serangannya. Lontaran pukulan lawan yang sese-
kali mengancamnya, masih sanggup dielakkan lelaki
tinggi besar itu dengan geseran-geseran kakinya. Namun, serangan-serangannya
mulai jarang dilontarkan, kali ini semakin berbahaya. Tenaga lontaran-lontaran
pukulan Juragan Jumali terasa berat bagaikan ingin
menggetarkan bumi. Tak Jarang pohon-pohon di seki-
tar tempat pertarungan berderak ribut ketika lelaki tua itu melontarkan
pukulannya yang tampak lambat tapi
mengandung kekuatan hebat!
Pemuda tampan berwajah pucat itu, mulai ber-
gerak lambat seperti ingin menyesuaikan dengan gerakan-gerakan lawannya.
Terkadang tubuhnya melam-
bung ketika lawan melontarkan pukulan yang men-
gancamnya. Bagaikan selembar kapas yang dihembus
angin, tubuh Wirya Saka terdorong ketika angin pukulannya menyambar tubuhnya.
Ketika pertarungan menginjak jurus ke seratus
lebih, terdengar Wirya Saka mengeluarkan pekikan
tinggi melengking dan mengejutkan! Saat itu juga, tubuhnya langsung melakukan
gerakan-gerakan aneh
yang mengagetkan Juragan Jumali.
"Aaah...!"
Juragan Jumali mengeluarkan seruan kaget ke-
tika melihat keanehan gerakan lawannya. Karena tu-
buh lawannya terkadang lenyap dari pandangannya.
Dan, di lain saat muncul begitu saja di depannya. Karuan saja gerakan musuhnya
membuat Juragan Ju-
mali menjadi kelabakan.
"Langkah Malaikat Maut.."! Kau., kau dari Gua
Ular..."!" terdengar suara bisikan lemah yang keluar dari mulut Juragan Jumali.
Wajah orang tua itu pucat seketika. Dari bisikannya, jelas sudah ilmu yang
dikerahkan Wirya Saka dikenal dan sangat ditakutinya
Tanpa sadar. Juragan Jumali seperti lupa akan ke-
pandaiannya "Haaat..!"
Bagai binatang liar yang terluka, Wirya Saka
menerjang lawannya tanpa ampun! Sepasang tangan-
nya yang telah berbentuk cakar itu, langsung meluruk ke arah batok kepala
Juragan Jumali yang hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan wajah
pucat "Aaa...!"
Terdengar raung kematian merobek angkasa.
Berbareng dengan itu, darah segar bercampur cairan
putih kental memercik ke segala arah! Sementara, tubuh Juragan Jumali yang batok
kepalanya pecah itu
terhuyung limbung. Kemudian tubuh itu digedor Wirya Saka dengan telapak tangan,
tampak ia belum puas
dengan apa yang dilakukannya.
Berbarengan dengan robohnya tubuh Juragan
Jumali, terdengar raungan panjang yang memilukan
keluar dari kerongkongan Wirya Saka. Sedangkan ke-
dua tangannya terlihat meremas-remas kepalanya. Je-
las, kalau ia sangat tersiksa. Setelah memperdengarkan raung kesakitan, tubuh
pemuda tampan yang pe-
nuh misteri itu berkelebat lenyap. Lolongan panjang terdengar mengiringi lesatan
tubuhnya. *** 5 Sosok tubuh jangkung berpakaian serba hitam
itu berlari cepat, dan menerobos keremangan hutan.
Rambutnya yang panjang, hingga melewati bahu itu,
berkibaran tertiup angin. Sesekali langkahnya diper-lambat, ketika melewati
semak belukar yang mengha-
langi jalan. Saat itu tongkat hitam di tangannya bergerak ke kiri dan kanan,
menyibakkan semak belukar
yang menghalanginya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu tiba di
sebuah daerah perbukitan kecil, yang masih terletak di dalam wilayah hutan itu.
Sejenak ia menghentikan larinya dan berdiri termangu. Ditatapinya sebuah tiang
batu setinggi bahu yang terpancar kokoh di bawah sebuah pohon. Sepertinya pohon
itu sengaja ditanam untuk melindungi tiang batu.
Terdengar helaan napas berat yang keluar dari
mulut sosok tubuh jangkung berpakaian hitam itu.
Terlihat dari wajahnya, kalau ia tengah dilanda kere-sahan. "Hm..., kalau
Siluman Hutan Kembang tidak mau memberikan perlindungan kepadaku, terpaksa
aku akan menantangnya bertarung. Hanya dialah sa-
tu-satunya yang menjadi harapanku untuk bersem-
bunyi. Sedang kawan-kawanku yang lain telah meno-
lak kehadiranku. Gila! Iblis dari Gua Ular itu benar-benar telah menghebohkan
dunia persilatan...," desah lelaki jangkung berpakaian hitam itu kembali
Beruang Salju 6 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Bloon Cari Jodoh 21
^