Pencarian

Semalam Di Menara Teror 2

Goosebumps - Semalam Di Menara Teror Bagian 2


rapi. Di balkon kecil pada salah satu dinding, sebuah kuartet gesek
memainkan musik klasik. Eddie gelisah sekali. Tanpa henti dia mengetukkan jarinya pada meja
yang tertutup taplak berwarna putih bersih. Aku terus mengotak-atik
sendok dan garpu yang berat.
Meja-meja di sekeliling kami penuh dengan orang yang tertawa dan
bergembira. Tiga anak kecil di meja sebelah, semuanya
berpenampilan rapi sekali, sedang menyanyikan lagu dalam bahasa
Prancis. Orangtua mereka mendengarkan sambil tersenyum bangga.
Eddie mencondongkan badan ke arahku, lalu berbisik, "Bagaimana
kita akan membayar makanan kita" Uang kita tidak laku di sini."
"Kita masukkan ke tagihan kamar saja," sahutku, "kalau sudah ketahuan di kamar
mana kita menginap." Eddie mengangguk dan
kembali bersandar di kursinya.Seorang pelayan dengan jas hitam muncul di samping meja kami. Dia
menatap Eddie dan aku sambil mengembangkan senyum. "Selamat
datang di Hotel Barclay," katanya. "Apa yang bisa saya hidangkan malam ini?"
"Boleh kami melihat menunya?" aku bertanya.
"Sekarang belum ada menu," si pelayan menjawab tanpa mengubah senyumnya. "Saat
ini kami masih menyajikan teh."
"Hanya teh?" seru Eddie. "Tidak ada makanan?"
Si pelayan tertawa kecil. "Untuk acara minum teh kami menyediakan sandwich,
croissant, dan aneka macam kue."
"Ya, itu saja," ujarku.
Dia mengangguk singkat, membalikkan badan, dan menuju ke dapur.
"Lumayan, paling tidak ada sesuatu untuk mengganjal perut," aku bergumam.
Sepertinya Eddie tidak mendengar apa yang k-katakan. Sebentar-
sebentar pandangannya terarah ke pintu masuk restoran. Aku tahu dia
sedang menunggu Mom dan Dad.
"Kenapa kita tidak ingat nama belakang kita?" dia bertanya dengan bingung
bercampur sedih. "Aku juga tidak tahu," aku mengakui. "Aku sendiri bingung."
Setiap kali aku hendak memikirkannya, kepalaku mendadak pening.
Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu cuma gara-gara lapar. Kau
pasti akan ingat lagi setelah makan, aku terus mengulangi dalam hati.
Pelayan tadi mengantarkan nampan berisi beberapa potong sandwich
mungil yang dipotong berbentuk segitiga. Ada yang berisi egg-salad,
ikan tuna, dan ada juga yang isinya tak kukenali.
Tapi Eddie dan aku tidak ambil pusing. Begitu si pelayan meletakkan
nampan, kami langsung mulai melahap sandwich.
Kami minum dua cangkir teh. Kemudian nampan berikut yang berisi
croissant tiba. Kami oleskan mentega dan selai arbei, lalu kembali
makan dengan lahap. "Kalau kita jelaskan pada resepsionis bagaimana tampang Mom dan Dad, barangkali
dia bisa membantu kita," ujar Eddie. Dia menyambar croissant terakhir sebelum
aku sempat mengambilnya. "Ide bagus," aku menanggapinya.
Kemudian aku memekik tertahan. Kepalaku mendadak pening lagi.
"Eddie," kataku. "Aku tidak ingat tampang Mom dan Dad!"
Croissant di tangan Eddie terjatuh ke piringnya. "Aku juga," dia bergumam sambil
menundukkan kepala. "Wah, ini tidak masuk akal, Sue!"
Aku memejamkan mata. "Ssst. Coba deh kau bayangkan tampang
mereka," aku mendesak. "Singkirkan semua pikiran lain. Kau harus berkonsentrasi.
Coba bayangkan tampang mereka."
"A-aku tidak bisa," Eddie tergagap-gagap. Suaranya yang melengking tinggi jelas-
jelas bernada panik. "Ini ada yang tidak beres, Sue. Ada yang tidak beres dengan
kita." Aku menelan ludah, lalu membuka mata. Aku sama sekali tidak
sanggup membayangkan tampang orangtuaku.
Aku mencoba membayangkan Mom. Apakah dia berambut pirang"
Berambut merah" Berambut hitam" Apakah dia jangkung" Atau
pendek" Kurus" Atau gemuk"
Aku tidak ingat. "Di mana rumah kita?" Eddie meratap. "Seperti apa rumah kita" Aku tidak ingat,
Sue. Aku sama sekali tidak ingat."
Suaranya terdengar parau. Aku melihat bagaimana susahnya dia
berjuang menahan air matanya.
Tenggorokanku pun tercekik perasaan panik. Tiba-tiba aku seakan-
akan tidak bisa bernapas. Aku menatap Eddie tanpa mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Apa yang mesti kukatakan"
Otakku berputar-putar bagaikan angin puting beliung. "Kita
kehilangan ingatan," aku akhirnya bergumam. "Paling tidak, sebagian dari ingatan
kita." "Bagaimana mungkin?" Eddie bertanya dengan suara bergetar.
"Bagaimana mungkin kita sama-sama kehilangan ingatan?"
Tanganku kuremas-remas dengan gelisah. Keduanya terasa dingin
bagaikan es. "Paling tidak ada hal-hal yang masih kita ingat," aku berkata untuk
melawan perasaan putus asa yang mulai
menyelubungiku. "Kita masih ingat nama depan kita," sahut Eddie. "Apa lagi selain itu?"
"Kita ingat kamar mana yang kita tempati," kataku. "Enam dua enam."
"Tapi petugas tadi bilang kamar itu kosong!" seru Eddie.
"Dan kita juga ingat kenapa kita datang ke London," aku melanjutkan.
"Karena Mom dan Dad harus ikut pertemuan yang penting itu."
"Tapi di hotel ini tidak ada pertemuan apa pun!" Eddie kembali berseru. "Ingatan
kita keliru, Sue. Semuanya keliru!"
Aku berkeras untuk menceritakan segala sesuatu yang bisa kami ingat.
Aku merasa bahwa dengan cara itu kami takkan begitu merasa cemas
mengenai hal-hal yang kami lupa.
Sebenarnya aku sadar ideku itu tidak ada gunanya. Tapi apa lagi yang bisa kami
lakukan" Aku ingat kita ikut tur tadi," kataku. "Aku ingat semua tempat yang kita
kunjungi di London. Aku ingat Mr. Starkes. Aku ingat - "
"Bagaimana dengan kemarin?" Eddie memotong. "Apa yang kita lakukan kemarin,
Sue?" Aku hendak menjawab, tapi tenggorokanku seperti tersekat.
Aku tidak ingat apa yang kami lakukan kemarin! Atau hari
sebelumnya. Atau hari sebelum itu.
"Oh, Eddie," aku mengeluh sambil menempelkan tangan ke pipi, "ini memang ada
yang tidak beres." Eddie sepertinya tidak mendengar
ucapanku. Pandangannya tertuju ke pintu restoran.
Aku ikut menoleh - dan melihat anak muda berambut pirang itu.
Si sopir taksi. Kami sama sekali lupa! AKu langsung berdiri. Serbet di pangkuanku jatuh menimpa sepatuku.
Aku segera menendangnya lalu meraih tangan Eddie. "Ayo, kita harus pergi dari
sini." Eddie menatapku dengan bingung, kemudian kembali menoleh ke
arah si sopir taksi. Anak muda itu masih berdiri di pintu restoran
sambil memandang dari meja ke meja.
"Cepat!" aku berbisik. "Dia belum melihat kita."
"Tapi mungkin lebih baik kalau kita jelaskan saja bahwa - " Eddie mulai berkata.
"Hah" Apa yang bisa kita jelaskan?" balasku dengan sengit. "Bahwa kita tidak
bisa membayarnya karena kita kehilangan ingatan dan
bahkan lupa nama belakang kita sendiri" Aku tidak yakin dia bakal
percaya." Eddie mengerutkan kening. "Oke. Tapi bagaimana kita bisa keluar dari sini?" dia
bertanya. Lewat pintu depan jelas tidak mungkin, sebab si sopir taksi masih
menghalangi jalan itu. Tapi di dekat meja kami ada pintu kaca di
dinding belakang. Pintu itu tertutup tirai putih yang tembus cahaya. Aku juga melihat
tanda kecil bertuliskan: BUKAN JALAN KELUAR.
Tapi aku tidak peduli. Eddie dan aku tidak punya pilihan. Kami harus angkat kaki
- secepatnya! Aku meraih gagang pintu dan memutarnya. Eddie dan aku segera
menyelinap, lalu menutup pintu kembali.
"Rasanya dia tidak melihat kita pergi," aku berbisik. "Sepertinya kita selamat."
Kami berpaling dari pintu dan mengamati lorong panjang dan gelap
tempat kami berada. Tempat ini pasti khusus untuk karyawan hotel,
pikirku. Lantainya tidak berkarpet. Dinding-dindingnya kotor, penuh
bercak, dan tidak dicat. Kami menyusuri lorong yang membelok, kemudian aku mengangkat
sebelah tangan agar Eddie berhenti.
Kami pasang telinga. Adakah suara langkah" Apakah si sopir taksi
sempat melihat kami menyelinap ke balik pintu" Apakah dia mengejar
kami" Aku tidak bisa mendengar apa-apa karena jantungku berdegup begitu
keras. "Hari ini takkan pernah kulupakan!" keluhku.
Dan kemudian terjadi sesuatu yang bahkan lebih gawat lagi.
Si laki-laki berjubah hitam muncul dari balik belokan. "Kalian kira saya takkan
mengikuti kalian?" dia bertanya. "Kalian kira kalian bisa lolos dari saya?"
DIA bergegas menghampiri kami. Wajahnya terselubung bayang-
bayang. Eddie dan aku terjebak dengan punggung merapat ke pintu kaca yang
tertutup tirai. Ketika laki-laki berjubah itu mendekat, tampangnya mulai terlihat
jelas. Matanya yang gelap menyorot dingin. Mulutnya tampak
menyeringai, seakan-akan mencemooh kami.
Tangannya disodorkan ke hadapan Eddie. "Kembalikan semuanya,"
dia berkata. Eddie membelalakkan mata dengan heran. "Hah" Apa yang harus saya kembalikan?"
serunya. Tangan si laki-laki berjubah tetap di depan wajah Eddie.
"Kembalikan - sekarang juga!" dia membentak. "Jangan main-main dengan saya."
Roman muka Eddie berubah pelan-pelan. Dia melirik ke arahku, lalu
kembali berpaling kepada laki-laki di hadapan kami. "Kalau saya kembalikan,
apakah kami akan dibiarkan pergi?"
Aku benar-benar bingung. Apa yang harus dikembalikan" Apa
maksud Eddie" Si laki-laki berjubah melepaskan tawa kering.
Kedengarannya lebih seperti suara batuk. "Kau berani tawar-menawar dengan saya?"
dia bertanya pada adikku.
"Eddie - apa maksudnya?" aku berseru.
Tapi Eddie tidak menyahut. Pandangannya lekat pada wajah laki-laki
berjubah itu. "Kalau saya kembalikan, apakah kami akan dibiarkan pergi?"
"Kembalikan - sekarang juga," laki-laki berbadan besar itu berkata dengan ketus.
Eddie menghela napas. Dia merogoh saku celananya. Aku
terbengong-bengong ketika dia mengeluarkan ketiga batu licin
berwarna putih. Rupanya adikku, si raja copet, telah beraksi lagi. "Eddie - kapan kauambil batu-
batu itu?" tanyaku. "Waktu di gorong-gorong," jawab Eddie. "Waktu aku ditangkapnya."
"Untuk apa?" tanyaku.
Eddie angkat bahu. "Entahlah. Kelihatannya batu-batu ini sangat berarti baginya.
Jadi kupikir - " "Batu-batu ini memang penting!" hardik si laki-laki berjubah. Serta-merta dia
merebut semuanya dari tangan Eddie.
"Sekarang kami boleh pergi?" tanya Eddie.
"Ya. Kita akan pergi sekarang," laki-laki itu menyahut sambil berkonsentrasi
pada batu-batu di t-ngannya.
"Bukan begitu maksud saya!" seru Eddie. "Apakah Anda akan membebaskan kami?"
Orang itu tak menggubrisnya. Dia menumpuk batu-batu itu di telapak
tangannya. Kemudian dia mulai mengucapkan serangkaian kata, kata-
kata dalam bahasa asing yang tak kukenali.
Begitu dia mengucapkan kata-kata, lorong tempat kami berada mulai
bergoyang-goyang. Pintu-pintu di sekeliling kami mulai meliuk-liuk,
seolah-olah terbuat dari karet. Lantai pun bergelombang dan berayun.
Begitu pula laki-laki berjubah itu.
Seluruh lorong diterangi cahaya putih yang berdenyut-denyut dan
menyilaukan mata. Aku merasakan rasa nyeri yang menyengat - seakan-akan perutku
dipukul dengan keras. Aku tidak bisa bernapas. Semuanya jadi hitam. CAHAYA jingga yang berkerlap-kerlip membelah kegelapan.
Aku membuka mata. Berkedip-kedip beberapa kali. Menarik napas
dalam-dalam. Laki-laki berjubah itu telah lenyap.
"Eddie - kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Se-sepertinya begitu," dia tergagap-gagap.
Aku memandang ke ujung lorong yang panjang, dan sempat tersentak
kaget karena lorong itu diterangi lilin-lilin yang berkerlap-kerlip. Di samping
setiap pintu ada satu lilin menyala.
"Sue, bagaimana caranya kita bisa sampai di sini?" tanya Eddie pelan-pelan.
"Mana laki-laki berjubah tadi?"
"Aku tidak tahu," sahutku. "Aku sendiri juga bingung."
Kami maju dengan hati-hati. "Sepertinya ini bagian lama dari hotel,"
aku menebak-nebak. "Sepertinya tempat ini sengaja dibuat
berpenampilan kuno."
Kami melewati pintu demi pintu. Suasana yang sunyi meliputi lorong
yang panjang dan sempit itu. Satu-satunya suara yang terdengar
adalah suara sepatu kets kami pada lantai kayu. Semua pintu tertutup rapat. Tak
satu orang pun kelihatan.
Cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, pintu-pintu yang gelap,
keheningan yang menyeramkan - semuanya membuat bulu kudukku
berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran.
Kami terus berjalan dalam cahaya jingga yang redup.
"A-aku mau kembali ke kamar kita," ujar Eddie ketika kami melewati satu belokan
lagi. "Barangkali Mom dan Dad sudah datang.
Barangkali mereka sedang menunggu kita."
"Mungkin," kataku dengan ragu.
Kami memasuki lorong lain. Lorong ini juga diterangi cahaya lilin
yang menari-nari. "Seharusnya ada lift di sekitar sini," aku bergumam.
Tapi yang kami temui hanyalah pintu-pintu gelap yang tertutup.
Ketika melewati belokan berikut, kami nyaris bertabrakan dengan
serombongan orang. "Ohh!" aku memekik. Aku kaget karena ternyata ada orang lain di lorong-lorong
yang panjang dan sepi ini.
Aku menatap orang-orang yang berpapasan dengan kami. Semuanya
mengenakan jubah panjang, dan wajah-wajah mereka tersembunyi di
bawah tudung-tudung gelap. Aku tidak tahu apakah mereka laki-laki
atau perempuan. Mereka berjalan tanpa bersuara. Dan mereka pun sama sekali tidak
menghiraukan Eddie dan aku.
"Ehm... apakah Anda tahu di mana lift-nya?" sambil berpaling Eddie bertanya.
Mereka tidak menyahut. Menoleh pun tidak. "Maaf?" Eddie berseru sambil mengejar
mereka. "Anda tahu di mana lift-nya?"
Salah satu dari mereka berpaling kepada Eddie.
Yang lainnya terus berjalan menyusuri lorong.
Aku menghampiri adikku dan sosok berjubah itu. Aku bisa melihat
wajahnya di bawah tudung.
Ternyata dia laki-laki tua dengan alis putih tebal. Dia menatap Eddie, lalu aku.
Matanya tampak gelap dan berair. Roman mukanya kelihatan
sedih. "Kalian harus hati-hati," katanya dengan suara parau.
"Apa?" seruku. "Saya dan adik saya..."
"Jangan tinggalkan biara," orang tua itu menegaskan. "Saya dapat firasat buruk.
Waktu kalian sudah hampir tiba. Hampir tiba...."
"BIARA" Biara yang mana?" tanyaku dengan nada mendesak.


Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa Anda bilang begitu?"
Orang tua itu tidak menyahut. Cahaya lilin yang menari-nari terpantul dari
matanya yang berkaca-kaca. Dia mengangguk singkat, lalu
berbalik, menyusul rekan-rekannya dengan langkah panjang.
"Apa maksudnya?" tanya Eddie setelah laki-laki tua bertudung itu menghilang di
balik belokan. "Kenapa dia menakut-nakuti kita?"
Aku menggelengkan kepala. "Ini pasti cuma lelucon," jawabku. "Aku rasa mereka
mau ikut pesta kostum atau sebangsanya."
Eddie mengerutkan kening. "Mereka seram-seram, Sue. Sikap mereka bukan seperti
orang yang mau ke pesta."
Aku menghela napas. "Ayo, kita cari lift dan naik ke kamar kita. Aku tidak suka
bagian hotel ini. Suasananya terlalu gelap dan
menakutkan." "Hei, aku yang gampang takut," ujar Eddie sambil mengikutiku. "Kau seharusnya
pemberani - ya, kan?"
Kami menyusuri lorong demi lorong, dan semakin lama kami semakin
bingung. Kami tidak berhasil menemukan lift atau tangga atau pintu
keluar. "Sampai kapan kita harus berputar-putar seperti ini?" Eddie merengek.
"Masa sih tidak ada jalan keluar dari sini?"
"Mungkin lebih baik kalau kita kembali saja," aku mengusulkan. "Si sopir taksi
pasti sudah pergi. Kita kembali lewat jalan yang kita lalui tadi, dan keluar
lewat restoran." Eddie menyingkirkan rambut yang menutupi keningnya. "Ide bagus,"
gumamnya. Kami berbalik dan kembali menyusuri lorong-lorong yang panjang.
Menemukan jalan yang benar tidaklah sukar. Kami terus berjalan dan
setiap kali ada belokan, kami membelok ke kiri, bukannya ke kanan
seperti tadi. Kami berjalan sambil membisu.
Sambil berjalan, aku berusaha mengingat-ingat nama belakang kami.
Aku berusaha mengingat-ingat Mom dan Dad. Berusaha mengingat-
ingat tampang mereka. Berusaha mengingat-ingat apa pun mengenai mereka.
Kehilangan ingatan benar-benar menakutkan. Jauh lebih menakutkan
ketimbang dikejar-kejar orang.
Sebab masalahnya ada di dalam diri kita sendiri. Di dalam pikiran
kita. Kita tidak bisa melarikan diri dari masalah itu. Tidak bisa
bersembunyi. Dan tidak bisa memecahkannya.
Kita cuma bisa merasa begitu tidak berdaya.
Satu-satunya harapanku adalah bahwa Mom dan Dad sudah
menunggu kami di kamar. Dan bahwa mereka bisa menjelaskan
kepadaku dan Eddie apa yang terjadi dengan ingatan kami.
"Oh, ya ampun!" seruan Eddie membuyarkan lamunanku.
Kami telah tiba di ujung lorong. Restoran hotel seharusnya berada di balik pintu
kaca bertirai. Tapi ternyata tidak ada pintu.
Tidak ada pintu ke restoran. Tidak ada pintu sama sekali.
Eddie dan aku berhadapan dengan dinding yang kokoh.
"HEI!" teriak Eddie. "Kami mau keluar! Kami mau keluar dari sini!"
Dengan tangan terkepal dan rasa panik yang mendera dia menggedor-
gedor dinding. Aku menariknya. "Kita ambil lorong yang salah," ujarku. "Kita salah belok tadi."
"Tidak!" bantahnya. "Ini lorong yang benar! Aku tahu ini lorong yang benar!"
"Kalau begitu, mana restorannya?" balasku."Tidak mungkin pintunya ditembok waktu
kita me-nyusuri lorong-lorong tadi."
Dia menatapku. Dagunya gemetaran, dan matanya yang gelap tampak
ketakutan. "Bagaimana kalau kita keluar, terus jalan ke depan?" dia bertanya.
"Bisa saja," sahutku. "Tapi untuk itu kita harus menemukan pintu keluar dari
sini. Dan sampai sekarang - "
Aku terdiam karena mendengar suara-suara.
Aku menoleh dan melihat lorong sempit di sebelah kanan kami.
Suara-suara yang kudengar sepertinya berasal dari lorong ini, yang
semula luput dari perhatianku. Suara-suara yang bercampur tawa.
Restorannya ada di sana," ujarku kepada Eddie.
"Betul, kan" Kita tinggal belok sekali lagi. Sebentar lagi kita sudah keluar
dari sini." Wajahnya bertambah cerah.
Suara-suka tadi semakin nyaring ketika kami menyusuri lorong yang
sempit. Cahaya terang berwarna kekuningan masuk lewat pintu
terbuka di ujungnya. Ketika Eddie dan aku melangkah keluar pintu tersebut, kami sama-
sama berseru kaget. Ini bukan restoran tempat kami minum teh tadi.
Aku meraih tangan Eddie sambil memandang berkeliling ruangan
besar yang menyambut kami. Cahaya kekuningan yang kulihat berasal
dari dua tempat perapian. Orang-orang berpakaian aneh menduduki
bangku-bangku rendah pada meja-meja panjang yang terbuat dari
kayu. Seekor rusa utuh sedang dipanggang di atas api di tengah-tengah
ruangan. Semua meja dipenuhi makanan - daging, kol," sayur-mayur, kentang, dan berbagai
jenis makanan yang tidak kukenali.
Aku tidak melihat piring maupun nampan. Makanan itu diletakkan
begitu saja di atas meja. Orang-orang mengulurkan tangan dan meraih
apa saja yang mereka suka.
Mereka makan dengan riuh, sambil mengobrol dan tertawa dan
bernyanyi. Ada juga yang mereguk minuman dari gelas-gelas anggur
yang terbuat dari logam. "Semuanya makan pakai tangan!" seru Eddie.
Dia benar. Aku tidak melihat sendok maupun garpu di semua meja.
Dua ekor ayam berlari melintasi ruangan sambil berkotek-kotek
karena dikejar-kejar anjing besar berbulu cokelat. Seorang wanita
mengunyah sepotong daging tanpa menghiraukan kedua bayi di
pangkuannya. "Ini pesta kostum," aku berbisik kepada Eddie. Kami tidak berani memasuki
ruangan itu dan tetap berdiri di ambang pintu. "Sepertinya orang-orang bertudung
tadi menuju kemari."
Terbengong-bengong aku mengamati kostum-kostum unik yang
terlihat di sekelilingku. Jubah panjang, baju longgar mirip piama
berwarna biru dan hijau, dan rompi kulit di atas celana ketat hitam.
Tidak sedikit orang yang memakai bulu binatang pada pundak
masing-masing - meskipun udara terasa panas karena api yang
menari-nari di perapian. Di salah satu sudut tampak laki-laki yang sepertinya mengenakan kulit beruang
utuh. Dia berdiri di samping tong kayu berukuran raksasa,
dan sibuk mengisi cangkir-cangkir logam dengan cairan kental
berwarna cokelat dari tong itu.
Dua anak kecil berbaju rombeng bermain kejar-kejaran di bawah salah
satu meja. Bocah lain, dengan celana ketat berwarna hijau, sibuk
mengejar salah satu ayam tadi.
"Pesta apa ini?" bisik Eddie. "Siapa orang-orang ini?"
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku juga kurang paham apa yang
mereka katakan. Kau mengerti?"
Eddie menggelengkan kepala. "Logat mereka terlalu aneh."
"Tapi barangkali ada yang bisa memberitahu kita bagaimana kita bisa keluar dari
sini," ujarku. "Coba saja," sahut Eddie.
Aku maju pelan-pelan. Namun walaupun aku melangkah dengan. hati-
hati, kakiku nyaris te-sandung seekor anjing yang sedang tidur di
lantai. Eddie berada tepat di belakangku ketika aku menghampiri salah satu
laki-laki yang sedang memanggang rusa di perapian. Dia hanya
memakai celana pendek dari bahan kasar berwarna cokelat. Kening
dan bagian atas tubuhnya tampak mengilap karena keringat.
"Maaf, Pak," aku menyapanya.
Dia menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar karena
terkejut. "Maaf, Pak," aku mengulangi. "Anda tahu jalan keluar dari hotel?"
Dia menatapku tanpa menyahut, seakan-akan belum pernah melihat
gadis dua belas tahun dengan celana jeans dan T-shirt.
Dua gadis cilik yang mengenakan gaun panjang berwarna kelabu
menghampiri Eddie dan aku. Mereka pun menatap kami dengan
heran, seperti laki-laki itu. Rambut mereka yang pirang tampak acak-
acakan, seolah-olah seumur hidup belum pernah disisir!
Mereka menuding-nuding dan tertawa cekikikan. Dan tiba-tiba aku
sadar bahwa seluruh ruangan mendadak hening.
Seakan-akan ada orang yang memutar sebuah tombol untuk
mematikan suara. Jantungku mulai berdegup-degup. Bau rusa panggang yang
menyengat menyebabkan aku sukar bernapas.
Aku memandang berkeliling. Ternyata semua orang sedang
menatapku sambil terbengong-bengong. Semuanya menatap kami
sambil membisu. "Ma-maaf kami mengganggu pesta Anda," aku tergagap-gagap
dengan suara kecil karena ketakutan.
Aku memekik kaget ketika semuanya mendadak berdiri. Tak ada yang
menggubris makanan yang jatuh ke lantai. Salah satu bangku panjang
terbalik. Semakin banyak anak kecil yang cekikikan sambil menunjuk-nunjuk.
Sepertinya ayam-ayam pun berhenti mondar-mandir dan berkotek.
Dan kemudian seorang pria besar berwajah merah dengan jubah putih
mengangkat tangan dan menunjuk Eddie dan aku. "Itu MEREKA!"
suaranya menggelegar. "Itu MEREKA!"
"KOK mereka kenal kita?" Eddie berbisik padaku.
Kami membalas tatapan orang-orang itu. Semuanya seakan-akan
membatu. Laki-laki bertelanjang dada tadi berhenti memutar rusa
yang sedang dipanggangnya. Satu-satunya suara di ruang makan yang
besar itu adalah bunyi api yang meretih-retih.
Laki-laki berjubah putih yang menuding kami pelan-pelan
menurunkan tangannya. Wajahnya menjadi merah padam ketika dia
menatap kami seakan-akan terkesima.
"Kami cuma ingin tahu jalan keluar dari sini," kataku. Suaraku terdengar kecil
dan melengking. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun menjawab.
Aku menghela napas panjang dan mencoba sekali lagi. "Ada yang bisa membantu
kami?" Hening. Siapa orang-orang aneh ini" aku bertanya-tanya. Kenapa mereka
memandang kami berdua seperti ini" Kenapa mereka tidak mau
menjawab pertanyaanku"
Eddie dan aku mundur selangkah ketika mereka mulai bergerak
mendekati kami. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, saling
bergumam, menuding-nuding.
"Eddie - sebaiknya kita pergi dari sini!" aku berbisik pada adikku.
Aku tidak tahu apa yang dikatakan mereka. Tapi ekspresi pada wajah
mereka membuatku merasa terancam.
Aku juga curiga melihat cara mereka bergerak menyusuri dinding,
cara mereka berusaha menyelinap ke belakang untuk mengepung
Eddie dan aku. "Eddie - lari!" aku memekik.
Teriakan-teriakan marah terdengar nyaring ketika Eddie dan aku
berbalik dan bergegas ke pintu yang terbuka. Anjing-anjing menyalak
sejadi-jadinya. Beberapa anak kecil mulai menangis.
Kami menghambur ke lorong yang gelap dan terus berlari.
Aku masih bisa merasakan pancaran panas dari api di perapian ketika
kami berlari. Bau rusa panggang pun masih tercium jelas.
Seruan-seruan gusar menyusul kami di lorong yang panjang. Sambil
tersengal-sengal aku menoleh karena menyangka orang-orang itu akan
mengejar kami. Tapi lorong di belakang kami ternyata kosong.
Kami melewati belokan pertama dan terus berlari. Lilin-lilin
berkerlap-kerlip di kedua sisi lorong. Papan-papan lantai berderak-
derak ketika terinjak sepatu kami.
Cahaya yang redup dan menyeramkan. Suara-suara yang terdengar
jauh di belakang kami. Lorong yang menyerupai terowongan yang
seakan-akan tak berujung. Semuanya membuatku merasa seakan-akan
sedang bermimpi. Kami melewati belokan berikut dan terus berlari tanpa mengurangi
kecepatan. Cahaya lilin di sekelilingku berkesan buram. Aku
melayang-layang di tengah awan jingga tua, aku berkata dalam hati.
Masa lorong-lorong kosong ini tak ada ujungnya" Eddie dan aku
sama-sama bersorak gembira ketika melihat sebuah pintu di hadapan
kami. Sebuah pintu yang belum pernah kami lihat. Ini pasti pintu
keluar! pikirku. Kami bergegas menghampiri pintu itu.
Aku mengangkat kedua tangan. Dan mendorong dengan keras.
Pintunya langsung membuka.
Dan kami melangkah ke luar, ke sinar matahari yang terang-
benderang. Hore! Akhirnya kami berhasil keluar dari lorong-lorong hotel yang
gelap! Mataku membutuhkan beberapa detik sebelum terbiasa dengan cahaya
terang yang menyilaukan. Aku berkedip beberapa kali. Kemudian aku memandang ke kiri dan
kanan. "Ya, ampun!" aku meratap sambil menggenggam lengan adikku. "Ya, ampun! Eddie - ada
apa ini?" "T-TERNYATA sudah siang!" Eddie tergagap-gagap. Tapi yang
membuat kami terperanjat bukan cuma sinar matahari yang cerah.
Semuanya telah berubah. Aku seakan-akan sedang menonton film di bioskop, dan adegannya
telah berganti. Rasanya seperti satu hari - atau satu minggu - telah
berlalu, dan aku mendadak melihat tempat yang sama sekali berlainan.
Padahal aku yakin hanya beberapa detik berlalu sejak Eddie dan aku
menghambur keluar dari hotel. Tapi dalam waktu yang singkat itu,
segala sesuatu telah berubah.
Kami berdiri berimpitan dan memandang ke kiri-kanan. Tak ada
mobil. Tak ada bus. Jalan raya pun telah lenyap, digantikan jalan
tanah bergelombang. Gedung-gedung tinggi di sekitar hotel pun tak terlihat lagi. Jalan tanah tempat
kami berada diapit pondok-pondok kecil yang dicat putih
dengan atap datar serta gubuk-gubuk kayu tanpa pintu maupun
jendela. Setumpuk jerami tampak di samping pondok terdekat. Ayam-ayam
berkotek-kotek dan menyeberang jalan, atau berdiri di depan pondok-
pondok sambil mematuk-matuk tanah. Kepala seekor sapi berwarna
cokelat menyembul dari balik tumpukan jerami.
"Ada apa ini?" tanya Eddie. "Di mana kita?"
"Sepertinya kita mundur ke masa lalu," aku berkata dengan suara tertahan.
"Eddie--lihat orang-orang itu!"
Dua laki-laki lewat sambil membawa sekeranjang ikan. Keduanya
berjenggot lebat dan rambut mereka panjang dan acak-acakan. Mereka
mengenakan baju kelabu longgar yang membungkus tubuh mereka
sampai ke mata kaki. Dua perempuan bergaun cokelat sedang berlutut sambil mencabut
umbi-umbian dari tanah. Seorang laki-laki menggiring kuda yang
begitu kurus sehingga tulang rusuknya kelihatan jelas. Dia berhenti
sejenak, menyapa kedua perempuan itu.
"Mereka mirip orang-orang di hotel tadi," aku berkata kepada Eddie.
Aku langsung menoleh ke belakang ketika teringat kepada hotel kami.


Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ya ampun!" Aku menarik lengan Eddie agar dia ikut berbalik.
Hotel kami telah lenyap. Sebagai gantinya ada bangunan rendah memanjang yang terbuat dari
batu berwarna cokelat. Sepertinya semacam penginapan atau tempat
pertemuan. "Aku tidak mengerti," Eddie mengeluh. Mukanya kelihatan pucat sekali dalam
cahaya matahari yang terang. Dia menggaruk-garuk
kepalanya. "Sue, kita harus kembali ke hotel. Aku - aku bingung
sekali." "Aku juga," aku mengakui.
Aku berjalan beberapa langkah di jalan tanah. Tampaknya belum lama
turun hujan. Jalannya becek dan berlumpur.
Tidak jauh dari tempat kami, terdengar sapi-sapi melenguh.
Ini pusat kota London! aku berkata dalam hati. Mana mungkin ada
sapi di pusat kota London" Ke mana semua gedung tinggi, mobil-
mobil, taksi-taksi, dan bus-bus tingkat"
Seseorang terdengar bersiul. Seorang bocah berambut pirang, dengan
baju compang-camping, muncul dari balik bangunan panjang. Dia
sedang menggotong seikat kayu bakar.
Umurnya kira-kira sama denganku. Sepatuku terbenam dalam lumpur
ketika aku bergegas melintasi jalan untuk mencegatnya. "Hei - !" aku berseru.
"Halo!" Dia menatapku sambil mengerutkan kening dan membelalakkan
matanya yang biru. Rambutnya yang panjang dan tidak disisir tampak
berkibar-kibar karena tiupan angin. "Selamat siang, Nona," ujarnya.
Logatnya begitu aneh sehingga aku hampir tidak mengerti apa yang
dikatakannya. "Selamat siang," sahutku dengan bimbang. "Nona pelancong?" anak laki-laki itu
bertanya sambil memindahkan bawaannya ke pundaknya.
"Ya," kataku. "Tapi saya dan adik saya tersesat. Kami bingung mencari jalan
pulang ke hotel." Dia memicingkan matanya yang biru. Sepertinya dia sedang berpikir
keras. "Hotel kami," aku mengulangi. "Kau tahu jalan pulang ke hotel" Hotel Barclay?"
"Barclay?" dia mengulangi kata tersebut. "Ho-tel?"
"Ya," ujarku. Aku menunggu jawabannya. Tapi dia cuma membalas tatapanku sambil
memicingkan matanya yang biru dan mengerutkan
kening. "Aku tidak mengerti kata-kata asing itu," dia akhirnya berkata.
"Hotel?" aku berseru dengan jengkel. "Itu lho! Tempat para pelancong menginap?"
"Banyak yang menginap di biara," jawabnya. Dia menunjuk bangunan rendah
memanjang di belakang kami.
"Bukan, maksud saya - " aku mulai berkata. Tapi aku sadar dia sama sekali tidak
memahami maksudku. "Kayu ini harus kubawa pulang dulu," ujar anak itu. Dia
menganggukkan kepala, menurunkan kayu bakar dari pundaknya, lalu
kembali menyusuri jalan. "Eddie, anak itu - " kataku. "Dia tidak tahu apa itu hotel! Bayangkan, dia - "
Aku menoleh ke belakang. "Eddie?"
Eddie telah menghilang. "EDDIE" Eddie?"
Semakin lama aku memanggil-manggilnya, suaraku semakin
melengking dan ketakutan.
Ke mana dia" "Hei - Eddie!" aku berseru.
Kedua wanita yang sedang mencabut umbi-umbian menoleh ke
arahku. "Anda lihat ke mana adik saya pergi?" seruku kepada mereka.
Keduanya menggelengkan kepala dan segera kembali meneruskan
pekerjaan mereka. "Oh!" Aku terpaksa melompat ke tepi jalan ketika sebuah gerobak yang ditarik
lembu yang melenguh-lenguh lewat. Orang di atas
gerobak, seorang laki-laki gemuk bertelanjang dada, menyentak-
nyentakkan tali yang berfungsi sebagai tali kekang. Berulang kali dia membentak
lembunya agar berjalan lebih cepat.
Roda gerobak itu setengahnya terbenam di lumpur dan meninggalkan
sepasang jejak yang dalam di permukaan jalan. Beberapa ayam
berkotek-kotek dan berlari menyelamatkan diri. Kedua wanita tadi tak
menghiraukan keramaian itu.
Aku menuju ke pintu biara. "Eddie" Kau ada di sini?"
Aku membuka pintunya dan mengintip ke dalam. Lorong panjang
yang diterangi lilin tampak membentang di hadapanku. Beberapa
orang dengan jubah bertudung berdiri di dekat pintu.
Kami berdua baru saja keluar dari sini, aku berkata dalam hati sambil menutup
pintu. Eddie tidak mungkin masuk lagi.
Jadi di mana dia" Bagaimana mungkin dia kabur dan meninggalkanku seorang diri di
sini" Bagaimana mungkin dia lenyap begitu saja"
Beberapa kali lagi aku memanggil-manggil namanya. Kemudian
tenggorokanku terasa seperti tercekik dan mulutku terasa kering
kerontang. "Eddie?" aku memanggil pelan-pelan.
Kakiku gemetaran ketika berjalan ke sisi pondok pertama. Jangan
panik, Sue, aku berkata dalam hati. Kau pasti akan menemukannya.
Pokoknya, jangan panik. Tapi terlambat. Aku telah dilanda perasaan waswas.
Eddie tidak mungkin pergi begitu saja tanpa mengajakku. Dia terlalu
takut untuk itu. Jadi di mana dia" Aku mengintip melalui pintu pondok yang terbuka. Bau menyengat
menyambutku. Aku melihat meja kayu dan sejumlah kursi kayu yang
bersahaja. Tak ada siapa-siapa di dalam.
Aku berjalan ke belakang pondok. Hamparan rumput membentang
pada lereng sebuah bukit yang landai. Empat atau lima ekor sapi
tampak merumput dengan tenang.
Aku menempelkan tangan di sekeliling mulut dan kembali
memanggil-manggil adikku.
Sambil menghela napas, aku berbalik dan kembali ke jalan.
Kelihatannya setiap pondok harus kuperiksa, aku berkata dalam hati.
Eddie pasti belum jauh. Aku baru berjalan beberapa langkah menuju pondok berikut ketika
sebuah bayangan melintas pada permukaan jalan.
Aku tersentak kaget dan menoleh - dan menatap sosok gelap yang
menghalangi jalanku. Jubahnya yang hitam berkibar-kibar tertiup angin. Dia mengenakan
topi baru berwarna hitam, dan wajahnya yang teramat pucat tampak
semakin pucat di bawah pinggiran topinya.
AKu langsung mundur selangkah, menjauhi sosok itu. Aku
menempelkan tangan ke pipi, dan menatapnya tanpa sanggup berkata
apa-apa. "Saya kan sudah bilang bahwa sudah waktunya kita pergi," dia berkata pelan-pelan
sambil menghampiriku. "M-mana Eddie?" aku bertanya dengan suara parau. "Anda tahu di mana Eddie?"
Dia mengembangkan senyum tipis. "Eddie?" Dia terkekeh-kekeh.
Entah apa sebabnya, dia rupanya geli mendengar pertanyaanku.
"Jangan kuatir tentang Eddie," dia menyahut sambil menyeringai.
Dia maju selangkah lagi. Bayangannya kembali mengenai diriku.
Aku merinding. Aku memandang berkeliling dan menyadari bahwa kedua wanita yang
sedang mencabut umbi-umbian tadi telah masuk ke pondok mereka.
Semua orang telah menghilang. Jalanan tampak lengang. Hanya ada
beberapa ayam dan seekor anjing yang sedang tidur di depan
tumpukan jerami. "Sa-saya tidak mengerti," aku tergagap-gagap.
"Siapa Anda sebenarnya" Kenapa Anda mengejar-ngejar kami" Di
mana kita sekarang?"
Pertanyaanku yang bertubi-tubi malah membuatnya tersenyum. "Kau kenal saya," dia
berkata pelan-pelan. "Tidak!" protesku. "Saya tidak kenal Anda! Ada apa ini?"
"Pertanyaanmu tidak bisa menunda takdir yang telah menantimu," dia menyahut.
Aku menatap laki-laki itu sambil berusaha mempelajari wajahnya,
mencari-cari jawaban. Tapi dia menarik pinggiran topinya untuk
menyembunyikan matanya dari pandanganku.
"Anda membuat kesalahan!" aku berseru. "Anda keliru! Saya tidak kenal Anda! Saya
tidak tahu apa-apa!"
Senyumnya memudar. Dia menggelengkan kepala. "Ikut saya
sekarang," katanya dengan tegas.
"Tidak!" aku memekik. "Saya tidak mau ikut sebelum Anda menjelaskan siapa Anda!
Dan Anda juga harus memberitahu saya di
mana adik saya." Dia maju selangkah lagi sambil menyibakkan jubahnya. Setiap kali
melangkah, sepatu botnya terbenam dalam lumpur.
"Saya tidak mau ikut!" teriakku. Kedua tanganku masih menempel di pipi. Lututku
gemetaran begitu hebat sampai-sampai aku nyaris tak
sanggup berdiri tegak. Aku memandang berkeliling sambil bersiap-siap untuk kabur.
Sanggupkah kakiku yang gemetaran menopang berat badanku"
"Jangan coba-coba melarikan diri," ujar laki-laki itu, seakan-akan bisa membaca
pikiranku. "Tapi - tapi - ," aku tergagap-gagap.
"Kau harus ikut saya sekarang. Waktunya sudah tiba," dia
menandaskan. Cepat-cepat dia melangkah maju, mengulurkan tangannya yang
terbungkus sarung tangan, dan menggenggam kedua pundakku.
Aku tidak sempat memberontak. Tidak sempat meronta-ronta untuk
membebaskan diri. Tanah mulai bergetar. Aku mendengar suara berderak-derak. Disusul bunyi seperti bunyi
pecut. Sebuah gerobak yang ditarik lembu muncul dari tikungan. Aku
melihat pengemudinya mengayun-ayunkan pecut.
Gerobak itu melaju dengan kencang.
Si laki-laki berjubah melepaskan genggamannya dan melompat
mundur ketika gerobak itu melewati kami.
Aku melihat topinya yang hitam terlepas dari kepalanya. Aku
melihatnya terhuyung-huyung karena tergelincir di lumpur di tepi
jalan. Inilah kesempatan yang kucari. Serta-merta aku berbalik dan
mengambil langkah seribu. Sambil menunduk serendah mungkin; aku
berlari sambil bersembunyi di balik lembu yang melenguh-lenguh.
Kemudian aku mendadak membelok dan menyusup di antara kedua
pondok mungil. Aku sempat menoleh ke arah si laki-laki berjubah ketika aku berlari
melewati pondok-pondok itu. Dia sedang membungkuk untuk
memungut topinya. Kepalanya yang botak tampak berkilau-kilau
dalam cahaya matahari. Tak ada satu helai rambut pun.
Napasku tersengal-sengal. Dadaku terasa nyeri, dan kedua pelipisku
berdenyut-denyut. Aku berlari menyusuri sisi belakang pondok. Hamparan rumput tadi
membentang di sebelah kiriku. Tak ada tempat untuk bersembunyi.
Aku melewati pondok-pondok yang berdiri rapat. Aku mendengar
anak-anak menangis. Seorang wanita sedang memanggang semacam
sosis berwarna merah darah di atas api yang menari-nari. Dia
memanggilku ketika aku lewat. Tapi aku tidak menyahut.
Dua anjing hitam mulai mengejarku, dan kedua-duanya berusaha
menggigit kakiku. "Hus!" aku berseru. "Hus! Ayo pulang!"
Ketika menengok ke belakang, aku melihat si laki-laki berjubah
bergegas dengan langkah panjang. Jubahnya tampak berkibar-kibar.
Dia semakin dekat, aku menyadari.
Aku harus mencari tempat bersembunyi, kataku dalam hati. Sekarang
juga! Aku menerobos di antara dua gubuk - dan nyaris menabrak seorang
wanita besar berambut merah yang sedang menggendong bayi yang
terbungkus selimut kelabu yang tebal. Wanita itu kaget, dan langsung mendekap
bayinya erat-erat. "Anda harus membantu saya!" aku berseru sambil terengah-engah.
"Pergi dari sini!" balas wanita itu. Roman mukanya lebih
memperlihatkan rasa takut daripada marah.
"Tolong saya!" aku memohon. "Saya dikejar orang!" Aku menunjuk ke belakang.
Kami sama-sama melihat laki-laki berjubah hitam yang semakin
dekat. "Tolong saya! Jangan biarkan dia membawa saya!" aku kembali memohon.
"Sembunyikan saya!"
Wanita itu menatap si laki-laki berjubah. Kemudian dia berpaling
padaku dan mengangkat bahu. "Saya tidak bisa menolongmu,"
katanya. AKU mendesah panjang, seakan-akan mengaku kalah Aku sadar aku
tidak sanggup berlari lebih jauh lagi.
Aku tahu si laki-laki berjubah akan menangkapku dengan mudah.
Masih sambil mendekap bayinya erat-erat, wanita tadi menoleh dan
memperhatikan laki-laki yang bergegas ke arah kami.
"Sa-saya akan membayar!" ujarku.
Tiba-tiba saja aku teringat pada keping-keping uang di kantongku.
Keping-keping uang yang ditolak oleh si sopir taksi.
Maukah wanita itu menerima keping-keping tersebut"
Langsung saja kurogoh kantongku dan kukeluarkan semuanya. "Nih!"
aku berseru. "Ambil! Ambil semuanya! Tapi tolong sembunyikan
saya - tolong!" Kuserahkan keping-keping itu kepada wanita di hadapanku.
Ketika dia mengangkat tangan untuk mengamati keping-keping yang
kuberikan, matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar. Dia
juga tidak mau, pikirku. Dia akan mengembalikan keping-keping itu,
persis seperti si sopir taksi.
Tapi ternyata aku keliru.
"Keping emas!" dia berseru dengan suara tertahan. "Keping emas.
Saya pernah melihat keping seperti ini waktu saya masih kecil."
"Maukah Anda menerima uang itu" Maukah Anda menyembunyikan
saya?" aku memohon. Dia menyelipkan keping-keping itu ke saku gaunnya. Kemudian dia
mendorongku ke dalam pondoknya yang kecil.
Udara di dalam berbau ikan. Aku melihat tiga kasur tergeletak di
lantai, bersebelahan dengan tungku.
"Cepat - masuk peti kayu bakar," wanita itu memerintahkan. "Petinya kosong." Dia
kembali mendorongku, kali ini ke sebuah peti besar.
Dengan jantung berdegup-degup aku mengangkat tutup peti dan
memanjat masuk. Aku berusaha keras untuk mengendalikan napas dan
mengatur detak jantungku.
Wanita itu senang menerima uangku, aku menyadari. Dia tidak
menganggapnya sebagai uang mainan, seperti yang dituduhkan si
sopir taksi. Rupanya keping-keping uang itu memang sudah tua sekali, aku
menyimpulkan. Dan kemudian aku merinding dan seluruh tubuhku gemetaran. Tiba-
tiba aku tahu kenapa semuanya kelihatan begitu berbeda - begitu
kuno. Ternyata kami benar-benar kembali ke masa silam, aku berkata
dalam hati. Kami masih berada di London - tapi London ratusan tahun yang lalu.
Si laki-laki berjubah membawa kami ke sini dengan batu-batu putih
itu. Dia pikir aku orang lain. Dia mengejar-ngejar aku karena
menyangka aku orang lain.
Bagaimana aku bisa meyakinkannya bahwa dia telah keliru" aku
bertanya-tanya.

Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan bagaimana aku bisa keluar dari masa lampau, dan kembali ke
zamanku sendiri" Dengan susah payah aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu
dari benakku - dan pasang telinga.
Di luar pondok terdengar suara-suara. Suara wanita tadi. Lalu suara
menggelegar si laki-laki berjubah.
Aku menahan napas agar lebih jelas mendengar percakapan mereka.
"Dia ada di dalam sini, Tuan," ujar wanita itu. Aku mendengar suara langkah. Dan
kemudian suara-suara mereka bertambah keras.
Bertambah dekat. Mereka berdiri di samping peti tempat aku
bersembunyi. "Di mana dia?" tanya si laki-laki berjubah dengan nada memaksa.
"Saya masukkan dia ke dalam peti ini, Tuan," wanita itu menyahut.
"Dia sudah siap diangkut. Siap dibawa pergi oleh Tuan."
JANTUNGKU nyaris copot. Di tengah kegelapan di dalam peti,
pandanganku jadi merah. Wanita itu sudah terima uangku, pikirku dengan geram. Tapi dia tetap saja
memberitahukan tempat persembunyianku kepada si laki-laki
berjubah. Tega-teganya dia berbuat begitu.
Aku masih dalam posisi merangkak. Hatiku serasa terbakar karena
marah. Tapi secara bersamaan aku juga merasa takut sekali. Tangan
dan kakiku mendadak lemas, aku hampir tidak sanggup menopang
badanku. Sambil menarik napas panjang, aku mengangkat badan dan berusaha
mendorong tutup peti. Aku mengerang kecewa karena tutup itu ternyata tak bergerak sedikit
pun. Jangan-jangan dikunci dari luar. Atau ditahan oleh si laki-laki
berjubah. Tapi tak ada bedanya. Aku tak berdaya. Terperangkap. Aku telah
menjadi tawanan. Peti tempatku bersembunyi tiba-tiba bergerak, sehingga aku
terguncang-guncang di dalamnya. Aku bisa merasakannya diseret-
seret pada lantai pondok.
"Hei - !" aku berseru. Tapi suaraku seperti teredam dalam peti kecil itu. Aku
merebahkan diri di dasar peti. Jantungku berdegup-degup.
"Aku mau keluar!"
Sekali lagi peti itu terguncang dengan keras. Kemudian aku
merasakannya kembali diseret-seret.
"Nak! Hei - Nak!" Aku mengangkat kepala ketika mendengar wanita tadi berbisik-
bisik padaku. "Saya menyesal sekali," katanya. "Saya harap kau cukup berbesar hati untuk
memaafkan saya. Saya tidak berani menentang Yang Mulia
Tuan Algojo." "Apa?" seruku. "Apa kata Anda?"
Petiku diseret semakin cepat. Dan kembali terguncang-guncang
dengan keras. "Apa kata Anda?" aku mengulangi.
Hening. Suaranya tak terdengar lagi.
Sesaat kemudian aku mendengar kuda-kuda me-ringkik. Aku
terbentur-bentur pada sisi peti ketika petinya diangkat.
Segera setelah itu petinya mulai bergoyang-goyang. Dan aku
mendengar suara langkah kuda yang berirama tetap.
Aku telah menjadi tawanan tak berdaya di dalam sebuah peti. Dan aku
tahu peti itu sedang diangkut dengan gerobak atau kereta kuda.
Yang Mulia Tuan Algojo"
Itukah yang dikatakan wanita tadi"
Si laki-laki berjubah hitam - diakah yang dimaksud dengan Yang
Mulia Tuan Algojo" Aku mulai gemetaran di dalam penjaraku yang kecil dan gelap. Aku
tak sanggup melawan perasaan ngeri yang mulai meliputi diriku.
Yang Mulia Tuan Algojo. Kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Terus-menerus. Bagaikan mantra yang
mengerikan. Yang Mulia Tuan Algojo. Dan kemudian aku bertanya pada diriku sendiri: Apa urusan dia
denganku" KERETA itu berhenti mendadak. Lalu, kira-kira semenit kemudian,
mulai bergerak lagi. Aku kembali terguncang-guncang, dan aku tidak bisa mengira-ngira
berapa lama sudah aku terguncang-guncang seperti ini.
Aku mau dibawa ke mana" tanyaku dalam hati. Mau diapakan aku
ini" Dan: Kenapa aku" Kepalaku membentur sisi depan peti ketika kami sekali lagi berhenti
mendadak. Aku menggigil. Seluruh tubuhku bermandikan keringat
dingin. Udara di dalam peti semakin pengap. Aku sudah tak sabar ingin
segera menghirup udara segar.
Aku memekik kaget ketika tutup peti tiba-tiba diangkat. Cahaya
matahari yang menyilaukan menyebabkan aku segera melindungi
mata dengan sebelah tangan.
"Keluarkan dia!" aku mendengar suara si algojo yang menggelegar.
Tangan-tangan kekar menggenggamku dengan kasar dan menarikku
dari peti. Setelah terbiasa dengan cahaya terang di sekelilingku, aku melihat
bahwa aku digotong oleh dua prajurit berseragam kelabu.
Mereka menurunkanku ke tanah. Tapi kakiku tidak kuat menopang
badanku sehingga aku terjatuh.
"Suruh dia berdiri," si algojo memerintahkan. Aku menoleh ke arahnya. Seperti
sebelumnya, wajahnya tersembunyi di balik
bayangan topinya yang gelap.
Para prajurit itu membungkuk dan mengangkatku. Kedua kakiku
kesemutan. Punggungku nyeri karena terbentur-bentur dalam peti
yang sempit selama perjalanan tadi.
"Lepaskan saya!" seruku. "Kenapa saya diperlakukan seperti ini?"
Si algojo tidak menyahut.
Kedua prajurit itu membopongku sampai aku sanggup berdiri sendiri.
"Anda melakukan kesalahan besar!" ujarku dengan suara gemetar karena takut, dan
karena marah. "Saya tidak tahu kenapa saya ada di sini atau bagaimana saya bisa
sampai di sini! Tapi saya bukan orang
yang Anda cari! Anda keliru menangkap orang!"
Sekali lagi si algojo diam saja. Dia memberi isyarat dengan sebelah
tangan, lalu kedua prajurit menggenggam lenganku dan memaksaku
berbalik badan. Ketika aku berpaling dari si algojo, aku melihat kastil yang gelap
menjulang di hadapanku. Aku melihat temboknya, pekarangan
tengahnya, dan ke?dua menaranya yang langsing dan tinggi.
Menara Teror! Dia membawaku ke Menara Teror!
Di sinilah aku dan Eddie melihatnya untuk pertama kali. Di sinilah
kami mulai dikejar-kejar oleh si algojo.
Di abad kedua puluh. Di zamanku sendiri. Di zaman di mana aku
seharusnya berada. Ratusan tahun mendatang.
Entah bagaimana caranya, aku dan Eddie telah dibawa ke masa silam,
ke suatu zaman yang bukan zaman kami. Kini Eddie menghilang. Dan
aku digiring ke Menara Teror.
Si algojo berjalan di depan. Kedua prajurit menggenggam lenganku
dengan erat, menggiringku melewati pekarangan, menuju ke gerbang
kastil. Pekarangan tengah dipadati orang-orang yang menatapku sambil
membisu. Mereka berpakaian lusuh dan kotor, penuh bercak-bercak,
dan semuanya menatapku tanpa berkedip ketika aku digiring melewati
mereka. Beberapa di antara mereka berdiri dengan tubuh membungkuk seperti
orang-orangan sawah. Sorot mata mereka kosong dan wajah mereka
tanpa ekspresi, seakan-akan pikiran mereka berada di tempat lain. Ada pula yang
duduk dan menangis, atau mendongakkan kepala sambil
memandang ke langit Aku melihat laki-laki tua yang duduk di bawah pohon. Dia
bertelanjang dada dan sibuk menggaruk-garuk rambutnya yang putih
dengan kedua tangan. Anak muda di dekatnya berusaha
membersihkan luka pada kakinya yang penuh lumpur dengan kain
yang tak kalah kotornya. Beberapa bayi menangis dan merengek-rengek. Pria dan wanita duduk
di tanah sambil mengerang-erang dan bergumam tak jelas.
Mereka semua tahanan, aku menyadari. Orang-orang malang itu
ditahan di sini. Aku teringat penjelasan pemandu wisata kami, Mr.
Starkes, bahwa kastil ini semula merupakan benteng pertahanan,
kemudian dipakai sebagai penjara.
Aku menggelengkan kepala dengan sedih. Coba kalau aku bisa
kembali bergabung dengan grup tur kami. Di masa depan, di zaman di
mana aku seharusnya berada.
Aku tidak punya waktu untuk memikirkan nasib para tawanan itu
lebih lanjut. Tiba-tiba saja aku sudah diselubungi kegelapan dalam
kastil. Dan diseret menaiki tangga batu yang melingkar-lingkar.
Udara terasa dingin dan lembap.
"Lepaskan saya!" aku menjerit sambil meronta-ronta. "Saya mohon -
lepaskan saya!" Para prajurit mendorongku ke dinding batu ketika aku meronta-ronta
untuk membebaskan diri. Aku memekik kesakitan dan kembali mencoba memberontak. Tapi
mereka terlalu besar, terlalu kuat.
Tangga batu itu melingkar-lingkar, seakan-akan tak berujung. Kami
melewati sel di pelataran pertama. Aku sempat melirik dan melihat
bahwa sel itu penuh sesak dengan tawanan. Sambil membisu mereka
berdiri di balik terali. Wajah-wajah mereka tampak pucat dan tanpa
ekspresi. Banyak di antara mereka yang menoleh pun tidak ketika aku
lewat. Aku terus mendaki tangga yang terjal dan licin.
Sampai ke pintu yang gelap di puncak menara.
"Jangan - jangan!" aku memohon. "Anda keliru! Ini salah paham!"
Tapi mereka menarik gerendel logam pengunci pintu dan membuka
pintu itu. Sebuah dorongan keras dari belakang nyaris membuatku terjerembap
di ruangan kecil di puncak menara itu. Aku terhuyung-huyung, dan
jatuh berlutut. Pintu yang berat dibanting di belakangku. Dan kemudian aku
mendengar gerendel kokoh tadi kembali ke posisi semula.
Aku disekap. Disekap di dalam sel sempit di puncak Menara Teror.
"Sue!" Sebuah suara yang sangat kukenal memanggil namaku.
Langsung saja aku menegakkan badan dan menoleh. "Eddie!" aku berseru dengan
gembira. "Eddie - bagaimana kau bisa sampai di
sini?" Adikku duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. Cepat-cepat dia
menghampiriku dan membantuku berdiri. "Kau tidak apa-apa?"
tanyanya. "Tidak apa-apa. Kau bagaimana?"
"Lumayan," ujarnya. Di sebelah sisi wajahnya ada goresan panjang.
Rambutnya yang gelap tampak lengket di keningnya. Matanya
kelihatan merah dan ketakutan.
"Aku ditangkap laki-laki berjubah itu," Eddie bercerita. "Di kota. Di jalanan.
Waktu gerobak sapinya lewat."
Aku mengangguk. "Waktu aku menoleh, kau sudah lenyap."
"Aku berusaha memanggilmu," sahut Eddie. "Tapi mulutku dibekap orang itu. Lalu
dia menyerahkan aku kepada para prajuritnya. Dan
mereka langsung menarikku ke balik salah satu pondok."
"Ya ampun!" aku berseru sambil berusaha menahan air mata.
"Salah satu prajurit lalu mengangkatku ke kudanya," ujar Eddie. "Aku berusaha
melepaskan diri. Tapi gagal. Dia membawaku ke kastil dan
menyeretku ke puncak Menara."
"Laki-laki berjubah itu - di sini dia disebut Yang Mulia Tuan Algojo,"
aku memberitahu adikku. "Aku mendengar seorang wanita
memanggilnya begitu."
Kata-kata itu membuat adikku menahan napas. Dengan mata
terbelalak dia menatapku. "Algojo?" Aku mengangguk.
"Tapi, apa urusan dia dengan kita?" tanya Eddie. "Untuk apa dia mengejar-ngejar
kita" Kenapa kita disekap di menara mengerikan
ini?" "A-aku juga tidak tahu," aku tergagap-gagap.
Aku hendak menambahkan sesuatu, tapi segera terdiam ketika
kudengar suara di luar. Eddie dan aku saling merapatkan diri di tengah-tengah ruangan.
Aku mendengar gerendel pintu digeser. Pelan-pelan pintu mulai
membuka. Lalu seseorang melangkah masuk.
SEORANG laki-laki berambut putih memasuki ruangan. Rambutnya
panjang, tidak disisir, dan tergerai sampai ke belakang pundaknya.
Selain itu dia juga memanjangkan jenggotnya yang putih dan berujung
lancip. Dia mengenakan jubah ungu yang menyentuh lantai. Matanya
berwarna sama dengan jubahnya. Mula-mula dia menatap Eddie, lalu
mengalihkan pandangannya padaku.
"Kalian sudah kembali," dia berkata dengan serius. Suaranya berat namun empuk.
Matanya yang ungu tiba-tiba memancarkan kesedihan.
"Siapa Anda?" seruku. "Kenapa Anda mengurung kami di menara ini?"
"Lepaskan kami!" Eddie menuntut dengan suara melengking. "Anda harus melepaskan
kami - sekarang juga!"
Jubah ungu yang dikenakan orang tua berambut putih itu menyapu
lantai ketika dia menghampiri kami. Dia menggelengkan kepala
dengan sedih, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Erangan dan desahan para tawanan di pekarangan terdengar lewat
jendela kecil di atas kepala kami. Sel kami diterangi cahaya senja
berwarna kelabu. "Kalian tidak ingat saya," laki-laki tua itu berkata dengan lembut.
"Tentu saja tidak!" seru Eddie. "Kami tidak seharusnya berada di sini!"
"Anda telah melakukan kesalahan besar," aku menimpali.
"Kalian tidak ingat saya," laki-laki itu mengulangi sambil mengusap-usap
jenggotnya yang lancip dengan sebelah tangan. "Tapi kalian akan ingat."
Dia tampak lemah lembut. Ramah. Sama sekali berbeda dengan si
algojo. Tapi aku langsung merinding ketika matanya yang ungu menatap
mataku. Aku harus berhati-hati terhadap orang ini, aku menyadari. Dia berbahaya.
"Lepaskan kami!" Eddie memohon sekali lagi.
Laki-laki tua itu menghela napas panjang. "Kalau saja saya dapat melepaskanmu,
Edward," dia berkata pelan-pelan, seakan-akan
menyesal bahwa dirinya tak berdaya. "Dan kau juga, Susannah."
"Tunggu dulu!" Aku segera mengangkat sebelah tangan agar dia berhenti bicara.
"Nama saya Sue. Bukan Susannah."
Kedua tangan orang tua itu menghilang dalam saku jubahnya.
"Mungkin ada baiknya kalau saya memperkenalkan diri dulu,"
katanya. "Nama saya Morgred. Saya penyihir sang Raja."
"Anda bisa bermain sulap?" Eddie langsung bertanya.
"Sulap?" Orang tua itu tampak bingung mendengar pertanyaan Eddie.
"Anda yang memerintahkan agar kami ditahan di sini?" aku bertanya padanya. "Anda
yang membawa kami ke masa silam" Kenapa"
Kenapa Anda melakukan ini?"
"Kisah ini tidak mudah diceritakan, Susannah," balas Morgred. "Kau dan Edward


Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus percaya - " "Jangan panggil saya Susannah!" aku memotong dengan gusar.
"Dan saya bukan Edward!" adikku berkeras. "Saya Eddie. Semua orang memanggil
saya Eddie." Orang tua itu mengeluarkan tangannya dari kantong jubah. Sebelah
tangan diletakkannya pada pundak Eddie. Dengan tangannya yang
satu lagi dia menggenggam pundakku.
"Sebaiknya saya mulai dari kejutan yang paling besar," dia berkata pada kami.
"Kalian bukan Eddie dan Sue. Dan kalian tidak hidup di abad kedua puluh."
"Hah" Apa maksudnya?" aku berseru.
"Sesungguhnya kalian Edward dan Susannah," sahut
Morgred.."Kalian adalah Pangeran dan Putri York. Dan kalian ditahan di menara
ini atas perintah paman kalian, sang Raja."
"ANDA keliru!" seru Eddie. "Kami tahu siapa kami. Anda melakukan kesalahan
besar!" Tiba-tiba seluruh tubuhku menggigil. Ucapan Morgred terngiang-
ngiang di telingaku. "Kalian bukan Eddie dan Sue. Sesungguhnya
kalian Edward dan Susannah."
Aku mundur selangkah dan melepaskan diri dari genggamannya.
Kemudian aku mengamati wajah orang tua itu. Apakah dia bercanda"
Atau barangkali dia tidak waras"
Sorot matanya memancarkan kesedihan. Roman mukanya tetap serius,
terlalu serius untuk bergurau.
"Saya sudah menduga kalian takkan percaya," ujar Morgred sambil kembali
menyelipkan kedua tangan ke dalam kantong jubahnya. "Tapi kata-kata saya benar.
Saya sempat membacakan mantra - untuk
membantu kalian menyelamatkan diri."
"Menyelamatkan diri?" aku berseru. "Maksudnya - menyelamatkan diri dari menara
ini?" Morgred mengangguk. "Saya telah berusaha agar kalian bisa lolos dari takdir yang
menanti kalian." Dan tiba-tiba saja aku teringat pada kisah yang diceritakan Mr.
Starkes, pemandu wisata kami. Aku teringat kisah mengenai Pangeran
Edward dan Putri Susannah.
Sang Raja memerintahkan agar mereka dibekap.
Dibekap dengan bantal sampai mati lemas.
"Tapi kami bukan mereka!" protesku. "Anda pasti salah lihat.
Barangkali Eddie dan aku memang mirip dengan mereka. Barangkali
kami mirip sekali dengan mereka. Tapi kami bukan pangeran dan
putri yang Anda cari. Kami dua anak biasa dari abad dua puluh."
Morgred menggelengkan kepala dengan serius. "Saya telah
membacakan mantra. Saya menghapus ingatan kalian. Sebelum ini
kalian sudah sempat disekap di menara ini. Saya ingin kalian bisa
lolos. Mula-mula saya membawa kalian ke biara. Kemudian saya
mengirim kalian sejauh mungkin ke masa depan."
"Itu tidak benar!" Eddie berkeras. Suaranya melengking tinggi. "Itu tidak benar!
Tidak benar! Saya Eddie - bukan Edward. Nama saya
Eddie!" Morgred kembali menghela napas. "Hanya Eddie?" dia bertanya dengan suaranya yang
berat. "Siapa nama lengkapmu, Eddie?"
"Na-nama saya - ehm...," adikku tergagap-gagap.
Eddie dan aku tidak bisa mengingat nama belakang kami, aku
menyadari. Dan kami juga tidak tahu di mana kami tinggal.
"Waktu saya mengirim kalian ke masa depan, saya sekaligus
memberikan ingatan baru kepada kalian," Morgred menjelaskan.
"Saya memberikan ingatan baru supaya kalian bisa hidup di zaman baru. Tapi
ingatan itu tidak lengkap."
"Pantas kita tidak bisa mengingat orangtua kita!" seruku kepada Eddie.
"Tapi orangtua kami - ?" aku mulai bertanya.
"Orangtua kalian, sang Raja dan Ratu yang sah, telah tiada," Morgred memberitahu
kami. "Paman kalian mengangkat dirinya sebagai raja yang baru. Dan dia
memerintahkan agar kalian ditawan di Menara,
agar kalian tidak bisa membuat kesulitan baginya."
"Di-dia mau menyingkirkan kami - untuk selama-lamanya!"
Morgred mengangguk sambil memejamkan mata. "Ya. Begitulah.
Tidak lama lagi anak buahnya akan datang ke sini. Dan tak ada yang
dapat saya lakukan untuk mencegahnya."
"Ini tidak masuk akal," gumam Eddie. "Betul-betul tidak masuk akal."
Tapi aku bisa menangkap kesedihan dalam sorot mata dan nada suara
Morgred. Cerita si penyihir memang benar. Dia tidak berbohong.
Berangsur-angsur aku dan adikku mulai memahami keadaan yang
sebenarnya. Dia dan aku bukan Eddie dan Sue dari abad dua puluh.
Kami memang hidup di masa suram dan berbahaya ini. Sesungguhnya
kami Edward dan Susannah dari York.
"Saya sudah berusaha mengirim kalian sejauh mungkin dari menara ini," Morgred
kembali bicara. "Saya mengirim kalian jauh ke masa depan untuk memulai hidup
baru. Saya ingin kalian hidup di sana dan
tidak kembali lagi. Saya ingin kalian terbebas dari bencana yang
menanti kalian di kastil ini."
"Tapi apa yang terjadi?" tanyaku. "Kalau memang begitu, kenapa kami kembali ke
sini, Morgred?" "Saya dimata-matai oleh Yang Mulia Tuan Algojo," Morgred
menjelaskan sambil merendahkan suaranya. "Rupanya dia tahu bahwa saya ber?maksud
membantu kalian melarikan diri. Dan karena itu - "
Dia terdiam dan menoleh ke arah pintu.
Suara apa itu" Apakah ada orang di depan pintu" Kami bertiga pasang
telinga. Hening. Morgred melanjutkan ceritanya sambil berbisik-bisik. "Waktu saya membacakan
mantra yang membawa kalian jauh ke masa depan, si
algojo rupanya bersembunyi di dekat saya. Saya menggunakan tiga
batu putih untuk mantra itu. Belakangan, dia mencuri batu-batu itu
dan mengulangi mantra yang saya bacakan. Dia mengirim dirinya
sendiri ke masa depan untuk membawa kalian kembali. Dan, seperti
yang kalian ketahui, dia berhasil menangkap kalian dan menyeret
kalian kemari." Morgred maju selangkah. Dia mengangkat sebelah tangan dan
menempelkannya ke keningku.
Mula-mula tangannya terasa dingin. Lalu perlahan-lahan menjadi
hangat, lalu panas, lalu akhirnya membara. Aku langsung mundur
karena tidak tahan lagi. Dan seketika ingatanku kembali.
Sekali lagi aku menjadi Putri Susannah dari York. Identitasku
sesungguhnya. Aku ingat orangtuaku, sang Raja dan sang Ratu.
Segala kenangan mengenai masa kecilku di kastil kerajaan mendadak
muncul lagi. Adikku memelototi Morgred dengan gusar. "Apa yang Anda lakukan
terhadap kakak saya?" dia berseru. Dia mundur sampai menabrak
tembok batu. Morgred menempelkan tangannya pada kening adikku. Dan aku
menyaksikan bagaimana roman muka adikku berubah ketika
ingatannya kembali dan dia menyadari dia memang Pangeran Edward.
"Bagaimana caranya, Morgred?" tanya Edward sambil menepis
rambut yang menutupi keningnya. "Bagaimana caranya Susannah dan aku dikirim ke
masa depan" Mungkinkah kau mengulangi mantra itu
sekali lagi?" "Ya!" aku berseru. "Mungkinkah kau mengulanginya sekali lagi"
Bisakah kau mengirim kami ke masa depan lagi - sebelum anak buah
sang Raja datang?" Morgred menggelengkan kepala dengan sedih. "Sayang sekali itu
tidak mungkin," dia bergumam. "Ketiga batu itu tak ada lagi padaku.
Seperti yang kuceritakan tadi, batu-batu itu dicuri Yang Mulia Tuan
Algojo." Adikku mengembangkan senyum lalu merogoh kantongnya. "Ini dia!"
Eddie berseru sambil mengedipkan mata padaku. "Batu-batu ini
kucopet waktu si algojo menangkapku tadi."
Edward menyerahkan batu-batu itu kepada Morgred. "Tangan tercepat di seluruh
Inggris Raya!" dia berkata dengan bangga.
Morgred tidak menanggapi kelakarnya. "Mantra ini sebenarnya
sederhana saja," si penyihir berkata. Dia mengangkat ketiga batu itu, dan
ketiga-tiganya mulai berpendar.
"Setelah batu-batu ini ditumpuk," Morgred menjelaskan, "aku tinggal menunggu
sampai semuanya memancarkan cahaya putih membara.
Lalu aku mengucapkan kata-kata 'Movarum, Lovaris, Movarus.'
Kemudian aku menyerukan tahun yang hendak dituju."
"Cuma begitu?" tanya Edward sambil menatap ketiga batu membara di tangan
Morgred. Morgred mengangguk. "Itulah mantranya, Pangeran Edward."
"Ayo, ucapkan sekali lagi! Cepat!" aku memohon-mohon.
Roman muka Morgred semakin sedih. "Aku tidak bisa," dia berkata dengan suara
bergetar karena terharu. Dia mengembalikan ketiga batu itu ke kantong jubahnya. Kemudian
dia menarik napas panjang. "Sesungguhnya aku ingin sekali menolong kalian," dia
berbisik. "Tapi kalau aku membantu kalian melarikan diri lagi, sang Raja akan
menyiksaku dan aku akan mati dengan cara
mengenaskan. Dan dengan begitu aku takkan dapat lagi menggunakan
sihirku untuk menolong rakyat Inggris Raya."
Matanya yang ungu tampak berkaca-kaca, dan air mata mulai
membasahi pipinya yang berkerut-kerut. "A-aku berharap kalian
sempat menikmati kunjungan singkat kalian ke masa depan," dia
berbisik pelan. Aku merinding. "Kau - kau benar-benar tidak bisa menolong kami?"
aku memohon. "Tak ada lagi yang dapat kulakukan," Morgred menyahut sambil menundukkan kepala.
"Biarpun kami memerintahkan agar kau menolong kami?" tanya Edward.
"Biarpun kalian memerintahkannya," Morgred mengulangi. Sambil tersedu-sedu, dia
lalu memeluk Edward. Kemudian giliran aku
didekapnya. "Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi," dia berbisik. "Aku mohon maaf.
Tapi aku tak berdaya."
"Berapa lama lagi kami akan hidup?" aku bertanya dengan suara kecil yang nyaris
tak terdengar. "Barangkali beberapa jam," sahut Morgred. Dia memalingkan
wajahnya karena tidak berani menatap mataku.
Suasana menjadi hening. Udara di sel kami mendadak dingin dan
lembap. Aku menggigil tak terkendali.
Edward mengejutkan aku dengan berbisik ke telingaku. "Susannah, lihat itu!"
katanya. "Morgred tidak menutup pintu waktu dia masuk tadi."
Aku menoleh ke arah pintu. Edward benar. Pintu kayu yang kokoh itu
memang setengah terbuka. Ternyata masih ada harapan, aku berkata dalam hati, dan jantungku
langsung mulai berdegup-degup. Kami masih punya harapan.
"Edward - lari!" aku menjerit. AKu langsung melompat ke arah pintu.
Tapi di tengah-tengah langkah, aku tiba-tiba tidak bisa bergerak.
Aku menoleh dan melihat bahwa Edward juga berhenti seperti patung,
dengan tangan terulur dan kaki tertekuk dalam posisi berlari.
Mati-matian aku mencoba bergerak, namun sia-sia. Rasanya seluruh
tubuhku mendadak berubah jadi batu.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa ini akibat sihir
Morgred. Sambil berdiri kaku di tengah-tengah ruangan, aku
menyaksikan penyihir itu menuju pintu.
Sebelum keluar, dia menengok ke arah kami. "Maafkan aku," dia berkata dengan
suara gemetar. "Tapi aku tidak bisa membiarkan
kalian kabur. Aku harap kalian mengerti. Aku sudah berusaha.
Sungguh. Tapi sekarang aku tak berdaya. Sungguh-sungguh tak
berdaya." Air mata bergulir di pipinya, membasahi jenggotnya yang putih.
Sekali lagi dia memandang kami
dengan tatapan sedih. Kemudian pintu menutup dengan keras di
belakangnya. Sihirnya berhenti bekerja begitu gerendel pintu di luar dipasang lagi.
Edward dan aku kembali bisa bergerak.
Aku terduduk di lantai. Seluruh tenagaku tersedot habis. Aku letih
sekali. Edward berdiri di sampingku. Pandangannya tertuju ke pintu.
"Apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya pada adikku. "Kasihan Morgred. Dia
berusaha menolong kita. Dan dia ingin membantu kita
sekali lagi. Tapi dia tidak bisa. Kalau saja - "
Aku terdiam ketika mendengar suara langkah di depan pintu.
Sepintas lalu aku menyangka Morgred kembali lagi.
Tapi kemudian aku mendengar suara-suara tertahan. Sepertinya ada
lebih dari satu orang di luar. Tepat di depan pintu.
Dan aku langsung mengenali suara menggelegar yang kini terdengar.
Yang Mulia Tuan Algojo. Dengan tegang aku berdiri dan berpaling kepada Edward. "Mereka
sudah datang," bisikku.
Di luar dugaanku, ekspresi Edward tetap tenang. Dia mengangkat
sebelah tangan. Sepertinya ada yang dia sembunyikan dalam
kepalannya. Ketika dia membuka kepalannya, aku segera mengenali apa yang dia
genggam. Ketiga batu putih dan licin milik Morgred.
Seketika batu-batu itu mulai memancarkan cahaya.
"Edward - lagi?" aku berseru.
Dia mengembangkan senyum. Matanya yang gelap tampak berbinar-
binar. "Kuambil dari jubah Morgred waktu dia memelukku tadi."
"Kau masih ingat bunyi mantranya?" tanyaku. Senyum Edward
menghilang. "Ra-rasanya aku masih ingat."
Aku mendengar si algojo di luar. Suara langkahnya yang berat
bergema di tangga batu. "Edward - cepat!" aku mendesak.
Aku mendengar gerendel pintu digeser.
Aku mendengar pintu yang kokoh mulai membuka.
Terburu-buru Edward berusaha menumpuk ketiga batu membara di
tangannya. Tapi batu yang paling atas selalu jatuh lagi.
Akhirnya dia berhasil menyusun ketiga-tiganya. Pintu membuka
beberapa inci lagi. Edward mengangkat batu-batu itu tinggi-tinggi. Dan dengan lantang
dia menyerukan kata-kata tadi,
"Movarum, Lovaris, Movarus!"
Ketiga batu membara itu lenyap dalam ledakan cahaya putih.
Cahaya itu segera meredup.
Aku memandang berkeliling.
"Oh, Edward!" aku meratap dengan kecewa. "Kita tidak berhasil! Kita masih di
Menara!" Dan sebelum adikku yang masih terbengong-bengong sempat
menyahut, pintu sudah membuka sepenuhnya.
DAN muncullah mereka. Sebuah rombongan tur.
Aku tidak mengenali orang yang memandu rombongan itu. Dia wanita
muda dengan T-shirt merah dan kuning yang dikenakan berlapis-lapis,
serta rok mini dan celana ketat berwarna hitam.
Aku menatap Edward sambil nyengir lebar. Aku begitu gembira,
sehingga rasanya aku tak ingin berhenti tersenyum!
"Kau berhasil, Edward!" seruku. "Kau berhasil! Mantra yang kau bacakan ternyata
ampuh!" "Panggil aku Eddie," dia menyahut sambil tertawa dengan lega.
"Panggil aku Eddie, oke, Sue?"
Mantranya ternyata memang ampuh. Kami kembali ke abad dua
puluh. Kembali ke Menara?sebagai turis!
"Ruang kecil di puncak menara ini adalah tempat di mana Pangeran Edward dan
Putri Susannah dari York disekap sebagai tawanan," si pemandu wisata
menjelaskan. "Mereka ditawan di sini untuk


Goosebumps - Semalam Di Menara Teror di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian dihukum mati. Tapi hukuman itu tak pernah dilaksanakan."
"Mereka tidak mati di sini?" aku bertanya pada wanita itu. "Apa yang terjadi?"
Si pemandu wisata angkat bahu sambil mengunyah permen karetnya.
"Tak ada yang tahu. Pada malam mereka seharusnya dibunuh,
pangeran dan putri itu lenyap. Seakan-akan ditelan bumi. Rasanya
misteri itu takkan pernah bisa dipecahkan."
Para anggota rombongan saling berbisik sambil memandang
berkeliling. "Perhatikan tembok batu yang kokoh," si pemandu wisata melanjutkan tanpa
berhenti mengunyah. "Perhatikan jendela berterali yang begitu tinggi. Bagaimana
mereka bisa lolos" Kita takkan pernah tahu."
"Tapi kita tahu jawaban misteri ini," seseorang berbisik di belakangku.
Eddie dan aku menoleh dan melihat Morgred menatap kami sambil
tersenyum. Dia mengedipkan mata. Dia mengenakan jas ungu dan
celana berwarna abu-abu tua.
"Terima kasih kalian mengajakku," dia berkata dengan gembira.
"Kami terpaksa mengajakmu, Morgred," sahut Eddie. "Soalnya kami butuh orangtua."
Morgred menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Ssst! Jangan
panggil aku Morgred. Namaku Mr. Morgan sekarang. Oke?"
"Oke," ujarku. "Kalau begitu, aku Sue Morgan. Dan ini Eddie Morgan." Aku menepuk
punggung adikku. Rombongan tur mulai meninggalkan ruangan di puncak menara, dan
kami mengikuti mereka. Eddie mengeluarkan ketiga batu putih dari
kantong jeans-nya. "Kalau saja aku tidak meminjam batu-batu ini dari kantongmu", dia berkata kepada
Mr. Morgan, "maka kisah yang diceritakan si pemandu wisata pasti akan berbeda.
Ya, kan?" "Ya, rasanya begitu," balas si penyihir sambil merenung. "Kisahnya akan sangat
berbeda." "Ayo, kita pergi dari sini!" seruku. "Aku tidak mau melihat menara ini lagi."
"Aku lapar sekali!" ujar Eddie.
Dan tiba-tiba aku sadar bahwa perutku juga sudah keroncongan.
"Barangkali aku perlu mengucapkan mantra untuk makanan?" tanya Mr. Morgan.
Eddie dan aku langsung mengerang. "Rasanya aku sudah kapok
berurusan dengan mantra," aku menanggapinya. "Lebih baik kita ke Burger Palace
saja, untuk menikmati hamburger dan kentang goreng
khas abad dua puluh!" END
Tokoh Besar 4 Biang Ilmu Hitam Hek Hoat Bo Karya Rajakelana Perjodohan Busur Kumala 11
^