Pencarian

Misteri Anjing Hantu 1

Goosebumps - Misteri Anjing Hantu Bagian 1


UNTUK kesekian kalinya malam itu kusingkirkan selimutku lalu
duduk tegak di tempat tidur.
Kali ini aku yakin aku mendengar sesuatu.
Dan yang jelas, bukan suara angin. Aku selalu mendengar bunyi-
bunyi aneh. Tapi apa pun yang kudengar, Mom selalu mengatakan,
"Itu cuma suara angin, Cooper. Bukan suara apa-apa."
Tapi suara angin kan tidak seperti suara langkah di atas daun-daun
kering. Dan itulah yang kudengar kali ini. Sungguh.
Aku berjalan ke jendela kamarku dan berhenti di sampingnya.
Kemudian aku membungkuk dan mengintip ke luar. Suasananya
memang menyeramkan. Kupicingkan mataku agar dapat melihat lebih jelas dalam kegelapan.
Jangan membungkuk terlalu jauh, aku mengingatkan diriku. Jangan
sampai terlihat oleh siapa pun atau apa pun yang ada di luar sana.
Pandanganku menyapu seluruh pekarangan belakang. Aku
mengangkat kepalaku sedikit - dan melihatnya. Berjarak beberapa
meter saja dariku. Lengan-lengan yang besar, hitam, dan mengerikan. Menggapai-gapai
untuk menjangkauku. Siap menyambarku. Oh, bukan. Ternyata cuma dahan-dahan pohon ek tua di pekarangan:
Hei, jangan tertawa dong! Aku kan sudah bilang kalau di luar gelap.
Aku kembali memantau pekarangan belakang. Suara itu. Oh, itu dia!
Serta-merta aku merunduk. Kurasakan kakiku gemetar ketika
berjongkok di samping jendela. Keringat dingin mengucur di tubuhku.
Kresek. Kresek. Lebih keras dari sebelumnya.
Aku menelan ludah. Sekali lagi aku mengintip ke luar. Ada sesuatu
yang bergerak dalam kegelapan. Di bawah pohon ek. Aku menahan
napas. Kresek. Kresek, kresek. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena tiupan angin.
Kresek, kresek, kresek. Bunyi menakutkan itu semakin keras. Dan semakin mendekati rumah.
Dengan waswas aku mengintip ke luar. Tiba-tiba kulihat sepasang
mata dalam kegelapan. Tenggorokanku tersekat. Aku tak sanggup
bersuara. Mata itu menyala-nyala. Kali ini lebih dekat lagi. Persis di depan
jendelaku. Menatapku. Menghampiriku. Sosok gelap tersebut mulai terlihat lebih jelas. Makhluk yang
mendekatiku itu ternyata?seekor kelinci?"
Aku mengembuskan napas. Ini malam pertama di rumah kami yang baru dan aku sudah ketakutan
setengah mati. Aku pergi ke kamar mandi untuk mengambil handuk. Sambil
menyeka keringat di keningku, kuamati bayanganku di cermin lemari
obat. Setiap kali aku ketakutan, bintik-bintik di wajahku selalu kelihatan
jelas sekali. Seperti sekarang. Ada jutaan bintik memenuhi wajahku.
Kuusap rambutku dengan sebelah tangan. Rambutku sengaja
kubiarkan tumbuh panjang. Untuk menutupi telingaku yang besar dan
menggantung. Dari kecil, telingaku sudah besar. Mom selalu mengatakan aku tidak
perlu khawatir. Katanya lagi, kalau aku sudah tambah besar telingaku
bakal berukuran normal. Tapi umurku sudah dua belas sekarang, dan
belum ada perubahan apa-apa. Telingaku tetap saja besar. Besar dan
menggantung. Untuk membantu menyembunyikan telingaku, aku hampir selalu
memakai topi. Topi favoritku yang bertuliskan tim baseball
favoritku - Red Sox. Jadi aku tidak keberatan memakainya.
Seekor kelinci, aku bergumam sambil menatap bayanganku di cermin.
Aku ketakutan gara-gara seekor kelinci.
Aku berhasil melewati satu hari tanpa merasa ketakutan. Bagiku, itu
prestasi yang patut dibanggakan.
Di tempat tinggalku sebelum ini - di Boston, Massachusetts - aku
punya dua sahabat karib, Gary dan Todd, dan mereka selalu
menertawakan aku. "Cooper," mereka sering bilang, "kau bisa mati kaku karena bayanganmu sendiri
pada saat Halloween."
Mereka benar. Aku memang penakut. Ada orang yang lebih gampang
takut ketimbang orang lain. Dan aku termasuk kelompok ini.
Contohnya waktu aku pergi berkemah musim panas yang lalu. Aku
kesasar di hutan waktu menuju ke kamar mandi umum. Apa yang
kulakukan" Aku tidak melakukan apa-apa. Aku cuma berdiri seperti patung.
Waktu aku akhirnya ditemukan oleh anak-anak yang satu pondok
denganku, seluruh badanku gemetar. Aku sudah hampir menangis.
Padahal, selama itu aku ternyata cuma beberapa kaki dari ruang
makan. Oke. Kuakui terus terang. Dalam hal keberanian, aku bukan tandingan
Indiana Jones! Waktu aku diberitahu orangtuaku bahwa kami akan pindah dari kota
ke sebuah rumah di tengah hutan, perasaanku langsung agak tegang.
Mungkin malah bisa dibilang ngeri.
Aku ngeri meninggalkan apartemen tempat aku tinggal dari kecil.
Aku ngeri membayangkan bahwa aku akan tinggal di tengah hutan.
Dan kemudian aku diberitahu bahwa rumah kami lerpencil, di daerah
Maine. Jaraknya bermil-mil dari kota terdekat.
Seumur hidup aku baru dua kali membaca buku seram. Kedua-duanya
berkisah tentang peristiwa yang terjadi di Maine. Di tengah hutan.
Tapi aku tidak punya pilihan. Kami pasti akan pindah. Mom dapat
pekerjaan baru di Maine, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku keluar dari kamar mandi, kembali ke tempat tidur. Papan-papan
lantai berderit-derit setiap kali aku melangkah. Agak sulit bagiku
untuk membiasakan diri dengan bunyi itu.
Aku juga sulit membiasakan diri dengan bunyi-bunyi aneh lainnya di
rumah tua ini. Pipa-pipa yang berkertak-kertak. Daun jendela yang
bergesek-gesek. Belum lagi bunyi berdebum yang terdengar setiap
jam. Pada waktu makan malam, Mom cuma bilang bahwa rumah kita
sedang "turun".
Entah apa artinya. Masih untung dia tidak bilang, "Itu cuma suara angin, Cooper."
Aku naik ke tempat tidur dan langsung kutarik selimutku sampai ke
dagu. Setelah itu kutepuk-tepuk bantalku dua atau tiga kali untuk
membuatnya lebih nyaman. Aku merasa lebih aman di tempat tidur.
Aku mencintai tempat tidurku. Sebenarnya Mom sudah mau
membuangnya waktu kami pindah. Dia bilang aku butuh tempat tidur
baru. Tapi kubilang "jangan". Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun sampai
tempat tidurku betul-betul pas untukku, tidak terlalu
empuk dan tidak terlalu keras.
Aku memandang berkeliling di kamarku yang baru. Rasanya aneh
sekali melihat barang-barangku di tempat yang asing. Ketika para
tukang angkut membawa masuk perabotku tadi pagi, kusuruh mereka
mengaturnya persis seperti di kamarku yang lama.
Di seberang tempat tidurku ada rak yang dibuatkan Daddy. Rak itu
dilengkapi lampu dan aku memakainya untuk menyimpan koleksi
snow dome - kubah kecil dari kaca yang kalau dibalik bisa meniru
hujan salju di dalamnya. Aku sudah tidak sabar untuk membongkar koleksiku dari kardus. Aku
punya 77 biji dari seluruh dunia - bahkan dari Australia dan Hong
Kong. Nah, aku sudah mulai rileks sambil membayangkan koleksi - ketika
tiba-tiba terdengar bunyi lain.
Bukan bunyi kresek berulang-ulang seperti tadi?tapi bunyi kresek
yang panjang sekali. Aku langsung tegak di tempat tidur. Kali ini aku yakin sekali. Seratus persen.
Seseorang - atau sesuatu - sedang mengendap-endap. Persis
di depan jendelaku! Serta-merta kusingkirkan selimut. Kemudian aku turun ke lantai dan
merangkak ke jendela. Pelan-pelan sekali. Dengan hati-hati aku
berdiri dan mengintip ke luar.
Apa itu" Seekor ular" Kubuka jendela. Kuraih bola softball dari lantai, lalu kutimpuk ular
itu. Kemudian aku segera kembali berlutut dan pasang telinga.
Hening. Tak ada suara lagi.
Lemparanku kena telak. Bagus!
Aku bangkit dan mencondongkan badan ke luar jendela. Aku merasa
bangga sekali. Bagaimanapun juga, aku baru saja menyelamatkan
keluargaku dari ancaman maut. Aku baru saja membantai - slang air!
Aku menghela napas dan menggelengkan kepala. Dasar penakut, aku
berkata dalam hati. Seandainya Gary dan Todd ada di sini, mereka pasti tertawa
terpingkal-pingkal sambil mengejekku.
"Hebat juga, Coop!" Gary pasti berkata. "Kau telah menyelamatkan keluargamu dari
slang air beracun!" Dan Todd akan menimpali, "Yeah. Super Cooper beraksi lagi!"
Aku kembali ke tempat tidur. Sekali lagi kutepuk-tepuk bantalku.
Kemudian aku memejamkan mata serapat mungkin.
Cukup, aku berkata dalam hati. Aku tidak mau bangun lagi. Aku tak
peduli lagi pada suara apa pun yang kudengar.
Aku tidak mau bangun lagi. Apapun yang terjadi.
Dan seketika aku mendengar suara lain. Suara yang berbeda. Suara
yang membuat jantungku berdegup-degup di dalam dada.
Suara tarikan napas. Suara tarikan napas yang mendesis-desis. Di kamarku.
Di bawah tempat tidur! AKU berbaring tanpa bergerak.
Aku tidak bisa bergerak. Aku berbaring sambil menatap langit-langit dan mendengarkan suara
napas di bawah tempat tidur.
Oke, Cooper, aku berkata dalam hati. Tenang saja. Kau cuma
mengkhayal. Kamu tertipu oleh khayalanmu sendiri.
Suara tarikan napas itu bertambah keras. Bertambah mengerikan.
Aku menutup telinga dan memejamkan mata. Tidak ada apa-apa.
Tidak ada apa-apa. Pasti tidak ada apa-apa sama sekali.
Ini kan rumah tua, pikirku, masih sambil menutup telinga. Rumah tua
juga perlu bernapas - ya, kan"
Atau, apa kata Mom tadi" Turun" Yeah, itu dia. Rumah ini sedang
turun. Atau mungkin pipanya yang berbunyi. Di apartemen kami yang lama
di Boston juga ada pipa-pipa yang selalu bersuara aneh. Pasti itu
deh?pipanya. Aku menurunkan tangan. Hening. Tak ada apa-apa. Tak ada pipa. Tak ada suara napas.
Jangan-jangan aku sudah mulai tidak waras.
Kalau kejadian ini kuceritakan kepada Gary dan Todd, mereka bisa
tertawa sampai sakit perut.
Dan kemudian suara napas itu terdengar lagi. Kali ini bunyinya parau
dan berat. Seperti tarikan napas binatang yang sedang sakit.
Aku tidak bisa diam saja. Aku harus tahu berasal dari mana suara itu.
Kuayunkan kaki dari tempat tidur. Lalu kutarik napas dalam-dalam.
Perlahan-lahan aku berdiri.
Dengan hati-hati kuangkat selimut. Kemudian, dengan hati berdebar-
debar, aku membungkuk dan mengintip ke kolong tempat tidur.
Saat itulah sepasang tangan melesat ke luar dan mencengkeramku.
Sepasang tangan yang kuat dan dingin. Sepasang tangan yang
mencekik leherku - semakin lama semakin keras.
AKU menjerit. Saking kerasnya, aku sendiri sampai kaget.
Penyerangku rupanya kaget juga. Dia segera melepaskan tangannya.
Aku memijat-mijat leher dan menarik napas sambil megap-megap.
"Jangan ribut, Cooper," sebuah suara berbisik. "Nanti Mom dan Daddy bangun!"
Hah" Oh, dasar. Ternyata Mickey. Kakakku yang berengsek. "Mickey!" aku memekik.
"Aduh, kau membuatku ketakutan setengah mati!"
Mickey merangkak keluar dari kolong tempat tidur dan menepis debu
yang menempel pada piamanya. "Itu sih gampang," dia bergumam.
"Diam kau," aku membentaknya sambil mengusap-usap lebar. Aku menoleh ke cermin.
Bekas tangan Mickey menampakkan garis-garis
merah yang mengelilingi leherku.
"Lihat nih! Lihat!" aku berseru. "Kau kan tahu aku gampang memar!"
"Ah, jangan cengeng! Ini kan cuma main-main," sahutnya sambil nyengir.
Dengan geram kutatap kakakku yang brengsek itu. Rasanya aku ingin
sekali menghapus senyumnya yang menyebalkan, tanpa ada masalah
baru. "Dasar brengsek!" aku menggerutu. Cuma itu yang terpikir olehku.
"Dasar bayi!" balasnya. Dia menuju ke pintu, lalu menoleh lagi.
"Barangkali Cooper kecil perlu lampu malam di samping tempat
tidurnya?" dia bertanya sambil mengecilkan suaranya.
Habis sudah kesabaranku. Aku melompat ke punggungnya dan memukul-mukul kepalanya
dengan tangan terkepal. "Hei!" dia berteriak sambil berusaha membebaskan diri. "Apa-apaan ini" Ayo,
turun!" Kaki Mickey menekuk karena tak sanggup menahan berat badanku,
dan dia jatuh ke lantai. Aku tetap bertengger di punggungnya dan
memukul-mukul kepalanya. Mickey tiga tahun lebih tua dariku, dan dia jauh lebih besar. Tapi kali ini aku
di atas angin, dan kesempatan itu tentu saja tidak kusia-siakan.
Berkali-kali pukulanku mendarat dengan telak.
Kemudian dia bergeser ke kanan.
Dan mulai membalas pukulanku. Untung saja dia baru sempat
memukul satu kali sebelum Mom dan Dad masuk dan memisahkan
kami. "Cooper! Mickey! Ada apa ini?"
"Dia yang mulai!" seruku sambil mengelak dari pukulan kakakku.
Daddy membungkuk dan menarik Mickey. "Aku tidak mau tahu siapa
yang mulai!" katanya dengan gusar. "Ini malam pertama di rumah kita yang baru.
Tidak seharusnya kalian bertingkah begini. Mickey,
kembali ke kamarmu!"
"Tapi, Dad, dia - "
"Tidak penting siapa yang mulai. Tingkah laku seperti ini harus
berhenti - sekarang! Kalau terulang kalian berdua akan menyambut
tahun ajaran baru dengan hukuman tidak boleh keluar rumah!"
Mickey meninggalkan kamarku sambil menggerutu. Tapi sebelumnya
dia masih sempat menjulurkan lidah kepadaku. Nah, sekarang sudah
jelas, kan" Yang bersikap seperti bayi itu Mickey. Bukan aku.
"Sungguh, Dad, Mickey yang mulai," aku berkata setelah kakakku pergi.
"Dan kau cuma korban keisengan kakakmu, ya?" Ayahku
menanggapinya seakan-akan yakin bahwa aku ikut bersalah.
"Ya!" aku berkeras.
Daddy geleng-geleng kepala. "Sudahlah, tidur aja, Cooper."
Setelah orangtuaku kembali ke kamar mereka, aku berjalan mondar-
mandir sambil menggosok-gosok tengkuk.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kesal sekali! Ini bukan pertama kali aku dikerjai Mickey seperti ini. Sepanjang
yang aku ingat, Mickey selalu mencoba menakut-nakutiku.
Dan biasanya memang berhasil.
Suatu kali, waktu Mom dan Dad pergi selama akhir pekan, dia
menaruh tape recorder di kamarku. Dan sepanjang malam aku
terpaksa mendengarkan jeritan-jeritan yang mengerikan.
Pernah juga dia tidak menjemputku sehabis latihan softball. Dia
membiarkan aku berdiri di lapangan, seorang diri, sementara dia
bersembunyi dan menonton aku panik.
Tapi, bersembunyi di bawah tempat tidur seperti malam ini, benar-
benar keterlaluan. Dia memang termasuk orang paling berengsek di
seluruh dunia. Aku kembali naik ke tempat tidur dan menatap langit-langit. Aku
harus menemukan cara untuk membalas dendam.
Apa yang bisa kulakukan" Bersembunyi di bawah jendela Mickey dan
menjerit" Melompat dari balik tirai shower waktu dia sedang gosok gigi"
Jangan. Terlalu konyol. Aku harus memikirkan sesuatu yang lebih
seru. Sesuatu yang begitu seram sampai aku sendiri merasa takut.
Biarpun aku sendiri yang melakukannya.
Kuperhatikan bayang-bayang yang bergerak-gerak di dinding dan
langit-langit. Kuperhatikan suara-suara seram yang terdengar di rumah kami yang
baru - suara-suara yang terpaksa kudengar seumur hidup.
Pipa-pipa yang berkertak-kertak. Anjing-anjing yang menyalak.
Tunggu dulu. Anjing" Aku langsung tegak di tempat tidurku. Kami tidak punya anjing. Dan
dalam jarak bermil-mil tidak ada rumah selain rumah kami.
Tapi aku yakin aku mendengar gonggongan anjing.
Aku pasang telinga. Tuh, anjingnya menyalak. Lalu dia mulai
melolong. Sambil mendesah kusingkirkan selimutku. Aku sudah hendak turun
dari tempat tidur, tapi mendadak aku sadar.
Mickey! Ini pasti ulah kakakku yang konyol. Dia memang pintar meniru suara
anjing. Dia selalu berlatih.
Aku tersenyum dan kembali berbaring. Aku tidak ingin tertipu. Aku
tidak akan menghampiri jendela.
Kali ini dia takkan berhasil. Sorry saja.
Aku berbaring sambil mendengarkan Mickey beraksi. Dia melolong
dan menyalak bagaikan anjing besar.
Dasar konyol. Lalu, tiba-tiba, aku menegakkan tubuh lagi. Hei. sekarang ada dua
anjing yang melolong. Mickey memang jago, tapi dia pasti tak sanggup berbuat begini.
Lolongan itu berubah menjadi rintihan yang menyayat. Begitu dekat.
Persis di depan jendelaku.
Tadi aku sudah bilang, aku cukup bangga karena berhasil melewati
satu hari tanpa merasa takut. Tapi, wah, malam ini aku benar-benar
menebus utang! Untuk keseribu tiga kali aku mengendap-endap ke jendela. Suara itu
terdengar jelas sekali. Dua ekor anjing. Melolong dan merintih.
Untuk keseribu tiga kalinya aku memandang ke luar.
Tapi untuk pertama kali aku tidak percaya pada apa yang kulihat.
AKU tidak melihat apa-apa.
Sama sekali tidak ada apa-apa. Tidak ada anjing. Tidak ada orang.
Aku memicingkan mata, mengamati seluruh pe-karangan. Kosong.
Bagaimana mungkin mereka menghilang begitu saja"
Aku berdiri di jendela beberapa detik lagi, tapi tak satu anjing pun
muncul. Aku merinding. Kurasa aku takkan pernah bisa lidur lagi, pikirku,
selama aku masih tinggal di rumah ini.
Aku kembali ke tempat tidur. Kutarik selimutku ke dagu. Lalu mulai
menghitung babi-babi kecil berwarna hijau dan biru pada wallpaper di
dekat kepalaku. Lama-lama aku rupanya ketiduran juga. Ketika aku membuka mata,
matahari sudah bersinar cerah di luar.
Sambil menguap aku melirik weker. Pukul enam tiga puluh. Aku biasa
bangun pagi. Aku selalu ingin memulai hariku sepagi mungkin.
Aku melompat dari tempat tidur dan bergegas ke jendela untuk
mengamati pekarangan. Dalam keadaan terang, kesannya sama sekali
tidak menyeramkan. Aku tersenyum ketika melihat panjat-panjatan di pojok. Pemilik
rumah sebelum kami yang membangunnya. Di situ ada luncuran dan
batang-batang besi untuk bergelantungan. Dan kemarin Daddy
memasang tali dan ban, sehingga sekarang kami juga punya ayunan.
Panjat-panjatan itu langsung berbatasan dengan hutan. Hutan dengan
macam-macam pohon, semak, dan ilalang yang tumbuh subur. Rumah
kami dikelilingi hutan di tiga sisi. Dan hutannya membentang sampai
entah ke mana. Cepat-cepat aku ganti baju, memakai jeans dan T-shirt Red Sox.
Setelah menyambar topi baseball, aku bergegas ke pintu dan berlari ke luar.
Cuacanya bagus sekali! Langitnya cerah, udaranya hangat.
Seandainya aku masih di Boston, aku pasti segera mengambil sepeda,
lalu segera pergi ke rumah Gary atau rumah Todd. Setelah itu
biasanya kami akan ke lapangan untuk bermain softball. Atau sekadar
berjalan-jalan naik sepeda.
Tapi aku sudah tidak di Boston. Sebaiknya aku segera membiasakan
diri, aku berkata dalam hati.
Mudah-mudahan saja ada anak-anak yang enak diajak berteman di
sini. Tapi aku tidak melihat satu rumah pun ketika kami datang naik
mobil kemarin. Kelihatannya aku terpaksa menghabiskan beberapa
hari mendatang seorang diri - sampai sekolah dimulai minggu depan.
Aku menuju ke panjat-panjatan di pojok pekarangan. Mula-mula aku
bermain ayunan. Maju-mundur. Maju-mundur. Sambil menatap
jendela kamarku dari luar. Maju-mundur. Maju-mundur. Sambil
mengingat-ingat kejadian semalam.
Mengingat-ingat betapa beraninya Super Cooper. Huh!
Maju-mundur. Maju-mundur.
Mengingat-ingat anjing-anjing itu.
Hei. Ini aneh, pikirku. Seharusnya ada jejak-jejak anjing-anjing yang kudengar
semalam. Tapi aku tidak melihat satu pun.
Aku turun dari ayunan dan mulai mencari di sekeliling rumah. Tak
ada satu jejak pun. Aneh. Aku yakin semalam ada anjing di sini.
Aku menoleh ke tepi hutan. Barangkali anjing-anjing itu tersesat, aku berkata
dalam hati. Barangkali semalam mereka datang ke sini untuk
mencari pertolongan. Barangkali aku perlu melacak mereka.
Aku menggigit bibir. Bisa-bisa malah aku yang tersesat di hutan -
untuk selama-lamanya, pikirku dengan gelisah.
Hah, masa bodoh, aku memutuskan. Hari ini adalah hari pertamaku
sebagai aku yang baru. Super Cooper yang sesungguhnya. Aku
bertekad menemukan anjing-anjing itu, untuk membuktikan kepada
diriku sendiri bahwa aku belum gila.
Siapa tahu" Kalau aku berhasil menemukan anjing-anjing itu,
barangkali aku boleh memelihara satu. Pasti asyik kalau punya anjing.
Sebenarnya sudah lama aku kepingin punya anjing. Tapi Mommy
mengatakan bulu anjing membuatnya bersin-bersin. Mungkin saja dia
kini akan berubah pikiran.
Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian aku masuk ke hutan. Aku
melihat pohon-pohon yang mencengangkan. Pohon-pohon birch yang
menjulang tinggi, dengan batang berkulit putih bersih. Selain itu juga ada pohon
sassafras dan maple, dengan batangnya yang besar dan
meliuk-liuk. Umur pohon-pohon itu mungkin lebih dari seratus tahun, pikirku.
Wow. Barangkali Daddy bisa membuatkan rumah pohon di pekarangan
belakang, aku mulai berangan-angan. Itu baru asyik. Aku bisa
nongkrong di situ bersama Gary dan Todd kalau mereka
mengunjungiku ke sini. Aku berjalan dengan pandangan terus tertuju ke bawah.
Tapi aku tidak menemukan tanda-tanda apa pun. Tidak ada jejak kaki
maupun dahan patah. Aneh sekali. Padahal aku yakin aku mendengar anjing menyalak
semalam. Tapi mungkin juga aku cuma menyangka aku mendengar suara anjing.
Waktu itu memang sudah larut malam, dan aku memang sudah
mengantuk sekali. Barangkali aku cuma berkhayal.
Atau tertipu lagi oleh ulah Mickey.
Bisa jadi dia merekam suara anjing lain, lalu ikut menggonggong.
Aku takkan heran kalau dia berbuat begitu. Dia memang licik sekali.
Tak ada jalan lain. Aku harus membuat perhitungan dengannya. Aku
harus melakukan sesuatu yang bakal membuatnya ketakutan setengah
mati. Barangkali aku bisa menyiapkan jebakan di hutan ini.
Aku berjalan di antara pohon-pohon besar dan menerobos ilalang-
ilalang tinggi. Sepanjang jalan aku terus memikirkan cara untuk
menakut-nakuti Mickey. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak memperhatikan ke mana aku
berjalan. Aku langsung terbalik dan memandang ke belakang.
Rumahku! Rumahku tidak kelihatan!
Oke, Cooper, tenang saja. Kau baru berjalan beberapa menit. Kau
pasti belum jauh dari rumah, aku berkata kepada diriku sendiri.
Tapi telapak tanganku mulai berkeringat.
Aku menelan ludah, lalu berusaha mengingat-ingat dari mana aku tadi
mulai berjalan. Dari kiri. Tapi - tunggu dulu. Mungkin juga dari kanan. Aku menundukkan
kepala dan mengerang. Percuma saja, pikirku.
Aku tersesat. Tersesat di tengah hutan.
AKU memaksakan diri untuk tidak menangis. Jangan sampai Mickey
melihat mataku merah dan basah.
Aku bakal terus diejeknya sampai tua.
Lagi pula, ini hari pertamaku sebagai aku yang baru. Super Cooper
yang baru. Aku menarik napas dalam-dalam.
Kuputuskan untuk berjalan ke sebelah kanan. Kalau rumahku belum
kelihatan juga, aku akan berbalik dan kembali ke sebelah kiri.
Tak ada salahnya dicoba. Aku toh sudah tersesat. Aku menuju ke sebelah kanan. Aku berusaha menempuh jalur selurus
mungkin. Bunyi ranting patah di belakangku membuatku berbalik lagi.
Tak ada siapa-siapa. Cuma tupai atau sebangsanya, kataku dalam hati. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Aku kembali berjalan lurus. Tapi, baru selangkah aku sudah
mendengar bunyi daun-daun berdesir.
Aku tidak menoleh. Kupercepat langkahku. Dan kudengar sekali lagi.
Bunyi ranting patah. Daun-daun berdesir.
Tenggorokanku mendadak kering-kerontang. Jangan panik. Jangan
panik. "Si-siapa itu?" seruku dengan suara parau.
Tak ada jawaban. Aku kembali menghadap ke depan.
Oh! Ke arah mana aku jalan tadi" Kepalaku terasa berputar-putar.
Tiba-tiba aku merasa pusing. Terlalu pusing untuk mengingat arah
yang kutempuh tadi. Tek. Krak. Kresek. "Siapa itu?" aku memanggil sekali lagi. Suaraku bergetar - sama sekali tidak cocok
untuk Super Cooper. "Kau ya, Mickey" Ini tidak lucu! Mickey?" Kemudian aku merasakan sesuatu
menggores. Sesuatu yang dingin. Dan tajam.
Aku tak tahan lagi. Serta-merta aku mulai menjerit.
Ebukulawas.blogspot.com SEHELAI daun. Sehelai daun biasa.
Ayo, Cooper! Jangan panik!
Sejenak aku duduk di tanah. Kulirik jam tanganku. Sudah hampir
pukul delapan. Sebentar lagi Dad akan keluar ke pekarangan. Pagi ini dia mau
memasang tempat panggangan barbecue. Aku tinggal menunggu
sampai ia mulai mengetuk-ngetuk pakai palu, lalu berjalan ke arah
bunyi itu. Aku tinggal duduk di sini. Dan menunggu. Menunggu bunyi palu. Ide
bagus, pikirku. Tapi kemudian aku mendengar sesuatu bergerak-gerak di belakangku.
Cuma daun-daun yang tertiup angin, aku berkata dalam hati. Cuma
daun. Kuamati pohon-pohon di sekelilingku. Saat kepalaku mendongak -
tiba-tiba lenganku dicengkeram dari belakang.
Aku tersentak kaget. Seketika aku berdiri dan kabur.
Dan tersandung kakiku sendiri.
Cepat-cepat aku berdiri lagi - dan berseru tertahan.
Anak cewek. Dia kira-kira seumurku. Rambutnya yang merah dan panjang sekali
tampak acak-acakan. Matanya besar dan hijau. Dia mengenakan T-
shirt dan celana pendek yang sama-sama berwarna merah. Dia
mengingatkanku pada boneka yang selalu dibawa adik perempuan
Todd. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil bertolak pinggang.
"Yeah, aku tidak apa-apa," sahutku.
"Aku tak bermaksud menakut-nakutimu," katanya.
"Aku tak takut," aku berbohong.
"Sungguh," ujarnya. "Aku sih pasti takut kalau ada orang yang menarik tanganku
seperti itu. Aku tidak bermaksud apa-apa."
"Aku sudah bilang," balasku ketus. "Aku tidak takut."
"Oke. Sori." "Sori kenapa?" tanyaku. Ini benar-benar cewek aneh yang pernah kutemui.
"Entah," jawabnya sambil angkat bahu.
"Sudahlah, tak perlu minta maaf terus," kataku. Kutepis tanah yang menempel di
pakaianku, lalu kupungut topi baseball-ku yang
tergeletak di tanah. Langsung saja kupasang lagi. Untuk menutupi
telingaku. Cewek itu terus menatapku. Dia cuma berdiri dan menatapku. Tanpa
berkata apa-apa. Jangan-jangan dia heran melihat telingaku.
"Siapa kau?" aku akhirnya bertanya.
"Margaret Ferguson," dia menjawab. "Tapi orang-orang memanggilku Fergie. Seperti
si putri." Aku tidak tahu putri mana yang dimaksudnya. Tapi aku mengangguk-
angguk dan berlagak mengerti.
"Aku tinggal di sebelah sana, di balik hutan," dia berkata sambil menunjuk ke
belakang. "Kupikir di sini tidak ada siapa-siapa," ujarku.
"Yeah. Memang cuma sedikit sekali rumah di sini, Cooper," sahutnya.
"Dan semuanya terpencar."
"Hei! Dari mana kau tahu namaku?" tanyaku curiga.
Muka Margaret, atau Fergie, atau siapa pun namanya, langsung merah
padam. "Aku, ehm, aku menonton kalian pindah kemarin," dia mengakui.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak melihatmu," ujarku.
"Soalnya aku bersembunyi di hutan," katanya. "Aku dengar kau dipanggil Cooper
oleh ayahmu. Dan aku juga tahu nama belakangmu.
Nama belakangmu Holmes, kan" Aku melihatnya tertulis di peti-peti
di atas truk. Dan aku tahu kau punya kakak bernama Mickey," dia
menambahkan. "Dia brengsek."
Aku tertawa. "Soal itu aku setuju!" seruku. "Ehm, sudah berapa lama kau tinggal
di sini?" Dia tidak menjawab, dan malah menundukkan kepala.
"Aku tanya sudah berapa lama..." sekonyong-konyong dia menoleh dan menatap
mataku. "A-ada apa?" aku bertanya ketika melihat tampangnya yang
ketakutan. Roman mukanya mengencang, seolah-olah dia sedang kesakitan.
Bibirnya gemetaran. "Margaret!" seruku. "Ada apa" Ada apa?"
Dia membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Dia menarik
napas sambil megap-megap. Akhirnya dia meraih pundakku dan
merapatkan wajahnya ke wajahku.
"Anjing," bisiknya. Kemudian dia melepaskanku dan langsung kabur.
Sejenak aku berdiri seperti patung. Lalu aku mulai mengejarnya.
Dia hampir sampai ke tunggul besar sebelum aku berhasil
menyusulnya. Kuraih punggung T-shirt-nya dan kutarik dia sampai
membalik. "Margaret, apa maksudmu 'anjing'?" tanyaku.
"Jangan! Jangan!" pekiknya. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Bajunya kucengkeram erat-erat.
"Margaret, apa maksudmu tadi?" aku mendesak. "Aku perlu tahu.
Kenapa kau bilang 'anjing'?"
"Anjing?" Dia membelalakkan mata. "Aku tidak ingat bilang begitu."
Aku terbengong-bengong. "Ya, kau bilang begitu!" aku berkeras.
"Kau menatapku dan bilang, 'Anjing!' jelas-jelas kau bilang begitu."
Dia menggeleng. "Ta-tapi aku tidak ingat," ujarnya sambil
mengerutkan kening. Hmm, aku sudah sering ketemu orang aneh, tapi belum pernah ada
yang seaneh Margaret. Dibanding dia, Mickey bisa dibilang normal.
Atau, hampir normal. "Oke," aku berkata sambil berusaha tenang, "kejadiannya begini. Kau mendadak
ketakutan. Lalu kau pegang bahuku. Terus kau bilang,
'Anjing.' Dan habis itu kau kabur."
"Aku tidak ingat sama sekali," sahutnya pelan-pelan sambil
menggeleng. "Untuk apa aku bilang begitu?"
"Mana kutahu"!" seruku, Kesabaranku mulai menipis. "Bukan aku yang bilang
begitu!" Dia memandang berkeliling, lalu menatapku dengan mata hijaunya.
"Dengar aku, Cooper," dia berbisik dengan gaya misterius. "Pergilah dari sini."
"Hah?" "Aku memperingatkanmu, Cooper! Beritahu orangtuamu, mereka
harus segera pergi!" Dengan gelisah dia menoleh ke belakang, lalu kembali
berpaling padaku. "Aku mohon - dengarkan aku. Pergilah dari sini! Secepat mungkin!"
FERGIE melepaskan pundakku dan langsung lari.
Mula-mula aku cuma menatapnya sambil melongo, karena terlalu
kaget untuk bergerak. Tapi kemudian kupikir sebaiknya dia jangan
dibiarkan kabur. "Fergie!" panggilku. "Tunggu!"
Untuk ukuran cewek, Fergie berlari kencang sekali. Tapi sebenarnya,
hampir semua cewek yang kukenal bisa berlari kencang.
Siapa sih yang bilang cewek lebih pelan daripada cowok" Itu tidak
benar. Sebagian besar cewek di kelasku tahun lalu bisa mengalahkan
cowok mana pun kalau adu lari.
Nah, kebetulan aku juga bisa berlari kencang. Kalau kita takut pada
segala sesuatu, lari kencang adalah keharusan.
"Fergie!" aku memanggil sekali lagi. "Tunggu! Aku ingin tahu ada apa
sebenarnya!" Tapi aku tak sanggup mengejarnya.
Lalu, di luar dugaanku, dia berhenti dan berpaling kepadaku. "Begini, Cooper,"
katanya, lebih tenang daripada sebelumnya. "Hutan ini ada hantunya. Dan
sepertinya rumahmu juga. Pulanglah. Pulanglah dan
beritahu orangtuamu agar kembali ke tempat kalian yang dulu."
"Tapi... tapi... tapi...," aku tergagap-gagap.
"Di sini terlalu berbahaya," Fergie mewanti-wanti.
"Pergilah, Cooper. Lebih cepat lebih baik." Kemudian dia berbalik dan berjalan
ke arah rumahnya. Kali ini aku tidak mengikutinya.
Padahal justru itu yang seharusnya kulakukan. Aku lupa sama sekali
bahwa aku tersesat. Aku pun berbalik. Rumahku pasti ke arah yang berlawanan, kataku
dalam hati. Dia menghilang di balik pepohonan. Masa bodoh, pikirku geram.
Kalaupun aku takkan pernah lagi melihat dia, aku toh tidak rugi apa-
apa. Tapi kenapa dia cerita macam-macam kepadaku" Kenapa dia bilang
hutan ini ada hantunya" Apakah karena memang benar"
Aduh, bagaimana kalau orangtuaku memang membeli rumah berhantu
di hutan berhantu" Aku terus berjalan. Aku tak sanggup mengusir perasaan tidak enak
yang mencekam diriku. Rasanya ada ratusan mata yang mengawasiku
dari segala arah. Aku menyesal karena telah mendengar cerita Fergie.
Semakin lama aku berjalan, semakin ngeri pula perasaanku. Aku
benar-benar yakin hutan ini ada hantunya. Dan mereka mengawasi
setiap langkahku. Lalu, dari kejauhan aku mendengar bunyi ketukan. Mula-mula aku
sempat kaget. Tapi kemudian aku sadar bunyi itu berasal dari palu
Dad yang sedang memasang panggangan. Aku langsung bersorak
gembira. "Yeah! Aku sudah hampir sampai di rumah!" Rencanaku ternyata berhasil.
Aku berjalan menuju sumber bunyi itu.
Bunyi berdesir di atasku membuatku tersentak
Aku mendongak. Cuma seekor burung. Cara-gara berjalan sambil menoleh ke atas, aku nyaris tercebur ke kali kecil.
Airnya mengalir tenang dan aku bisa melihat bayangan langit biru
pada permukaannya. Aneh, pikirku. Rasanya tadi aku tidak melihat kali ini.
Aku membungkuk dan menciduk airnya dengan sebelah tangan. Oh,
dingin sekali. Wah, ini baru asyik, aku berkata dalam hati. Ternyata ada sungai di
sini. Kemudian aku teringat bahwa kami takkan lama di sini. Begitu aku
melaporkan cerita Fergie tadi kepada orangtuaku, kami pasti akan
langsung berkemas dan kembali ke Boston.
Kusekakan tangan pada bajuku. Sekonyong-kunyong aku merinding
lagi. Rasanya ada sesuatu yang mengawasiku. Aku menoleh, dan
memekik tertahan. Ternyata memang ada yang mengawasiku.
Dua pasang mata gelap menatapku dari seberang sungai.
Aku melihat sepasang anjing labrador hitam yang besar sekali.
Yang satu terengah-engah sambil menjulurkan lidah. Yang satu lagi
menyeringai. Giginya kuning dan mengerikan.
Kedua-duanya menggeram-geram.
Sikap mereka tidak bersahabat. Sama sekali tak bersahabat.
Lari! kataku dalam hati. Lari!
Tapi kakiku tak mau bergerak.
Kedua anjing itu menatapku seakan-akan kelaparan.
Sesaat kemudian mereka menyerang.
BUNYI kaki kedua anjing itu berdebam-debam ketika mereka berlari
menghampiriku. Mata keduanya tampak menyala-nyala. Kepala
mereka bergerak naik-turun.
Aku memekik ketakutan. Seketika aku berbalik, mengambil langkah
seribu. Seandainya saja aku bisa terbang!
"Tolooong!" Betulkah aku yang menjerit itu"
Tiba-tiba aku melihat pantulan cahaya di antara pohon-pohon.
Pantulan sinar matahari pada panjat-panjatan di pekarangan belakang.
Yes! Aku sudah hampir sampai! Kedua anjing itu berlari dengan kencang. Aku bisa merasakan napas
mereka yang panas di betisku. Aku merasakan sepasang gigi tajam
menggores mata kakiku. Dengan mengerahkan segenap tenaga aku melompat dan menghambur
keluar dari hutan. "Dad!" teriakku sambil berlari ke arah dia.
"Tolong!" aku memekik sambil kalang kabut.
"Anjingnya! Anjingnya!" Langsung saja kurangkul ayahku erat-erat.
"Tenang dulu, Cooper. Ada apa sih?" Daddy bertanya sambil
menggenggam pundakku. "Anjingnya!" aku meratap. Aku tidak mau melepaskan dia.
"Cooper, anjing apa?" tanya Daddy.
Aku menatapnya dengan bingung. Masa dia tidak mendengar kedua
anjing itu" Masa dia tidak melihat mereka"
Aku melepaskan tangan dan menunjuk ke hutan. "Anjing liar. Dua
ekor. Anjing labrador, kalau tidak salah. Mereka mengejarku, dan - "
Aku memandang berkeliling. Ternyata cuma ada Daddy dan aku di
pekarangan belakang. Tak ada yang menyalak. Tak ada yang menggeram. Cahaya matahari memantul pada luncuran. Ban dan talinya berayun
pelan. Kedua anjing itu telah lenyap.
"COOPER - ini lelucon, ya?" tanya Daddy sambil geleng-geleng
kepala. "Hah" Bukan!" seruku. "Aku dikejar-kejar mereka tadi. Aku nyaris digigit, dan - "
"Dan setelah itu mereka lenyap begitu saja!" Daddy menyambung.
"Coba Daddy ikut ke hutan," aku memohon. "Mereka pasti masih ada di situ." Aku
berlari ke tepi hutan sambil mencari-cari kedua anjing itu. Daddy mengikutiku.
mereka tidak kelihatan. Aku berbalik. Dengan lesu aku kembali ke rumah.
Ayahku tidak mengatakan sepatah kata pun
kami tiba kembali di pekarangan belakang. Dia duduk di luncuran dan
menatapku sambil mengerutkan kening.
"Cooper, coba bilang ada apa sebenarnya," ujar Daddy pelan-pelan.
Aku langsung tahu dia menyangka aku cuma mengada-ada.
"Aku kan sudah bilang, Dad. Aku dikejar-kejar Anjing di hutan.
Hampir saja kakiku digigit!"
Ayahku terus menatapku. Roman mukanya tampak serius.
"Percayalah, Dad," aku berkata. "Kita harus pindah. Kita tidak bisa tinggal di
sini!" Daddy berdiri. "Apa maksudmu, Cooper?"
"Kita harus balik ke Boston," aku berkeras. "Kita tidak bisa tinggal di sini!"
"Kenapa tidak?" tanya Daddy.
"Karena rumah ini!" aku berseru dengan suara parau. "Rumah ini ada hantunya!"
"Cooper - " "Dad! Percayalah," aku memohon. "Hutan ini.... Rumah ini....semua ada hantunya.
Semua orang disini sudah tahu! Seharusnya kita tidak
pindah kemari!" "Cooper, kau ini bicara apa sih?" ujar Daddy. Dia berusaha supaya suaranya tetap
tenang. "Jalan, jalan di hutan, apalagi kalau sendirian, memang jadi
menyeramkan. Sebaiknya kau masuk saja, biar kau
tenang dulu. Mom sudah menyiapkan sarapan. Kau bisa makan roti
panggang. Kalau perutmu sudah terisi kau pasti akan merasa lebih
enak." Dia merangkul pundakku.
Aku bertambah kalut. Ayahku sendiri tidak percaya kepadaku.
"Tapi, Dad, ini memang benar!" aku ngotot. "Hutan ini berhantu. Aku juga ketemu
anak cewek yang aneh tadi, dan dia bilang kita harus
segera pindah! Dia - "
"Cooper, aku tahu kau keberatan pindah kemari," ujar ayahku
"Tapi ceritamu takkan mengubah apa pun. Di sinilah tempat tinggal kita
sekarang." "Tapi - " kalau sekolah sudah mulai, kau akan mendapat teman baru, dan
semuanya,bakal beres. Ayo, masuklah, kau sarapan dulu. Kau akan
merasa enak." Dad menggiringku ke dalam.
Sebelum masuk, aku masih sempat menoleh dan memandang ke arah
hutan. Kedua anjing hitam besar tadi menatapku dari antara pohon-pohon.
AKU mengedipkan mata - dan tahu-tahu kedua anjing itu lenyap.
Sambil menggelengkan kepala aku menuju ke dapur.
Mickey sudah hampir selesai sarapan ketika ayahku dan aku masuk.
Dia duduk menghadapi semangkuk sereal, dan begitu melihatku, dia
langsung terkekeh-kekeh. Aku tidak menggubrisnya.
"Cooper, aku sudah membuatkan roti panggang untukmu," ujar ibuku.
Aku duduk di seberang Mickey, berusaha untuk tidak menghiraukan
wajahnya yang konyol. Aku masih kesal sekali pada kakakku itu.
"Mom, tahu enggak siapa tetangga kita?" aku bertanya sambil mengoleskan madu
pada rotiku. "Tentu," sahut ibuku. "Daddy dan aku sempat bertemu mereka beberapa minggu yang
lalu, waktu kami pertama kali kemari untuk
melihat rumah ini." "Mom dan Dad sempat ketemu keluarga Ferguson waktu itu?"
tanyaku. Mom berpikir sambil memicingkan mata. Kemudian dia menggeleng.
"Tidak, rasanya kami belum bertemu mereka. Tapi kami sempat
bertemu keluarga Martell. Joel dan Shirley. Mereka ramah sekali."
Lalu Ibuku bertanya kepadaku, "Siapa keluarga Ferguson itu?"
Aku tidak menjawab, dan malah bertanya balik. "Apakah Mom
diberitahu bahwa rumah kita ini ada hantunya?"
Ibuku tertawa. "Tidak, Cooper. Mereka tidak bilang apa-apa soal itu.
Barangkali mereka lupa,"
"Ha-ha. Ini tidak lucu," aku menggerutu. "Rumah kita memang ada hantunya. Dan
begitu juga hutan disini."
"Cooper, apa maksudmu sebenarnya?" tanya ibuku
" Sudah, Cooper," Daddy memperingatkanku. "Cepat, habiskan
sarapanmu." "Yeah," Mickey berkata sambil mendengus. "Habiskan sarapanmu, Coober."
Mukaku langsung panas. Aku paling benci dipanggil Coober oleh
Mickey. Soalnya Coo-ber adalah singkatan dari kuping besar.
"Diam kau, Sickey," aku membalas.
"Cukup!" Daddy berkata dengan ketus. "Tak ada yang bertengkar di meja makan."
Kutusuk sepotong roti dengan garpu. Kenapa mereka tidak mau
percaya" aku mengeluh dalam hati. Masa sih mereka pikir aku cuma
mengada-ada" Kumasukkan roti itu ke dalam mulut.
"Aghhh!" Seketika aku terbatuk-batuk. Rotiku segera kusemburkan ke piringku.
"Idih!" Mickey berseru sambil nyengir. "Joroknya minta ampun!
Bagaimana aku bisa makan kalau begini?"
Mataku berair, dan aku batuk beberapa kali lagi. "Kau tidak apa-apa, Cooper?"
tanya ibuku. "Ada yang menaruh garam di roti panggangku!" aku berseru dengan gusar.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mickey mulai ketawa. Dasar brengsek. Daddy berdiri, lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa-apa.
Memang begitulah ayahku kalau dia lagi marah. Dia selalu pergi
begitu saja, tanpa berkomentar apa pun. Hukumannya bakal
menyusul. Aku minum segelas susu untuk menghilangkan rasa asin di mulutku.
Ibuku kembali ke panggangan roti untuk membuatkan roti lagi.
"Mickey," ibuku berkata sambil menghela napas, "kau tahu itu tidak lucu.
Sekarang kau harus minta maaf kepada adikmu."
"Minta maaf" Aku kan cuma bercanda!" Mickey mengomel.
"Hahaha, lucu sekali," aku bergumam dengan getir. "Kau benar-benar lucu sekali."
"Cepat, minta maaf!" Mom berkata tegas. Mickey menundukkan
kepala, menatap lantai. Aku menyilangkan tangan. "Ayo, minta maaf," aku menuntut dengan gembira.
Mickey langsung meringis. Tapi waktu ibuku menoleh lagi, dia cepat-
cepat pasang tampang tak berdosa.
"Aku minta maaf, Cooper," kata Mickey. "Aku takkan mengulanginya lagi."
Mom kembali berpaling ke alat panggangan. Seketika Mickey
menarik telinganya untuk meniru bentuk telingaku.
Aku sudah capek menghadapi Mickey. Kudorong kursiku menjauhi
meja dan bergegas meninggalkan dapur. Aku sedang tidak berminat
bertengkar dengan kakakku yang konyol itu.
Ada urusan lebih penting yang perlu kupikirkan. Aku harus bicara
dengan Daddy soal anjing-anjing itu.
Aku harus meyakinkan ayahku bahwa aku tak mengada-ada.
Daddy duduk di kursi favoritnya, yang sebenarnya kurang cocok
dengan ruang keluarga kami yang baru. Dan tampaknya Daddy pun
menyadarinya. Dia terus bergeser-geser, seakan-akan merasa tidak
nyaman. "Mungkin sudah waktunya beli kursi baru," gumamnya.
Dad, punya waktu sebentar?" tanyaku. "Ada yang, perlu kubicarakan."
"Ada apa, Cooper?" tanyanya sambil menggeser lampu peninggalan neneknya ke dekat
kursi. "Soal anjing-anjing tadi," ujarku.
Daddy menghela napas. "Aduh, Cooper. Kenapa sih kau begitu ngotot tentang ini"
Oke, mungkin kau memang melihat anjing di hutan. Lalu
kenapa" Kita tidak tahu siapa pemilik anjing-anjing itu!"
"Tapi aku dikejar-kejar!" sahutku. "Dan habis itu mereka lenyap begitu saja! Dan
setelah aku diberitahu cewek itu bahwa hutan ini ada hantunya - "
"Cewek yang mana?" tanya Daddy.
"Dia bilang namanya Margaret Ferguson," aku menjelaskan. "Dia bilang rumahnya
bersebelahan dengan rumah kita."
Ayahku mengusap-usap dagu. "Aneh," katanya. "Broker real-estate yang menjual
rumah ini sama sekali tidak menyinggung keluarga
Ferguson." "Pokoknya, tadi pagi aku ketemu cewek itu, dan dia bilang semua
orang sudah tahu bahwa rumah kita ada hantunya!"
"Mungkin itu sebabnya rumah ini dijual begitu murah," Daddy bergumam sambil
ketawa sendiri. Aku tidak tahu apa yang dianggapnya lucu.
Daddy berhenti tertawa. Dia menatapku dengan serius. "Lupakan dulu anjing-anjing
itu, Cooper. Kita bicarakan soal ini kalau kau melihat
mereka lagi. Sementara itu, aku akan mencari informasi di kota.
Barangkali ada yang tahu siapa pemilik anjing-anjing itu. Oke?"
"Tapi bagaimana dengan rumah ini?" tanyaku. "Margaret bilang kita harus pindah
secepat mungkin." "Roti panggangmu sudah siap!" ibuku memanggil dari dapur. "Ayo, cepat dimakan,
Cooper. Nanti keburu dingin."
"Makan dulu deh," ujar Daddy. "Dan, aku tidak mau dengar lagi bahwa rumah kita
ada hantunya. Juga soal anjing-anjing itu."
Aku menarik napas panjang, kembali ke dapur.
Begitu aku hendak melewati pintu, Mickey mendadak melompat ke
hadapanku sambil berteriak keras-keras.
Tentu saja aku kaget setengah mati.
"Mom!" aku merengek.
"Miekey, sudah!" seru ibuku dengan gusar. "Jangan ganggu Cooper.
Dia agak sulit menyesuaikan diri dengan rumah kita yang baru."
"Itu tidak benar!" balasku. Kenapa tidak ada yang mau percaya"
"Rumah ini ada hantunya. Kalian akan menyesal karena tidak
mendengarkan aku. Kalian akan menyesal!"
Aku berbalik, bergegas ke kamarku. Kujatuhkan diriku ke tempat
tidur, lalu memandang berkeliling. Barang-barang di sekelilingku
masih barang-barang yang lama, tapi kamar itu tetap terasa asing.
Sepanjang hari aku mendekam di kamar. Aku tidak mau ketemu
Mickey. Aku tidak mau ketemu ayah dan ibuku. Dan aku juga tidak
mau ketemu dengan anjing-anjing itu.
Menjelang makan malam, aku sudah hampir membongkar barang-
barangku. Suasana di kamarku sudah mendingan. Hampir seperti
kamarku yang lama di Boston.
Sehabis makan malam, kubawa ketujuh puluh tujuh kubah saljuku ke
kamar mandi, lalu satu per satu kucuci. Orang-orang biasanya tidak
sadar bahwa kubah salju perlu dibersihkan dan diisi lagi kalau airnya sudah mau
habis. Setelah bersih bersinar, kuatur semuanya di rak buku yang baru.
Wow, keren sekali. Mula-mula aku ingin menyusun kubah-kubah itu berdasarkan besar-
kecilnya, tapi ternyata tidak bisa. Akhirnya aku membuat urut-urutan
berdasarkan abjad - dari Annapolis sampai Washington, D.C. Kubah
favoritku - kubah Red Sox dari Boston - tentu saja kutaruh paling
depan dan di tengah. Aku selesai sekitar pukul sebelas, lalu bersiap-siap untuk tidur.
Membongkar barang-barang dari kardus ternyata cukup melelahkan.
Aku memejamkan mata dan baru saja mau ketiduran waktu aku
mendengar suara itu. Jelas dan nyaring. Suara anjing menyalak. Dan menggeram. Di depan jendelaku. Aku terduduk di tempat tidurku.
Aku menunggu. Aku yakin orangtuaku dan Mickey akan segera
muncul di kamarku. Kali ini mereka pasti juga mendengar anjing-
anjing itu. Aku menunggu. Dan menunggu.
Anjing-anjing itu menggonggong semakin keras. Tapi sepertinya tak
ada yang ambil pusing. Kuturunkan sebelah kakiku ke lantai. Sesaat kemudian kaki yang satu
lagi. Aku berdiri dan pasang telinga.
Aku mendengarkan kedua anjing menyalak-nyalak.
Dan tiba-tiba sadar bahwa suara itu tidak berasal dari depan jendelaku.
Kali ini sumber suara itu ada di dalam rumah!
DENGAN kalang kabut aku mencari-cari senjata. Sesuatu yang bisa
melindungiku dari anjing-anjing itu.
Akhirnya kutemukan tongkat baseball-ku di dalam lemari. Tongkat
yang terbuat dari aluminium itu kugenggam erat-erat, lalu aku
mengendap-endap melintasi kamar ke arah pintu.
Aku membukanya sedikit. Dan pasang telinga. Ya.
Gonggongan itu memang berasal dari dalam rumah. Rasanya dari
ruang keluarga. Aku menarik napas dalam-dalam dan keluar ke koridor. Di mana
orangtuaku" Kamar mereka di lantai dua, persis di atas ruang
keluarga. Tidak mungkin mereka tidak mendengar hiruk-piruk ini
Kenapa mereka belum keluar juga"
Kamar Mickey bersebelahan dengan kamarku. Aku menoleh ke sana
dan melihat pintu tertutup rapat.
Jangan-jangan dia mendadak tuli, aku berkata dalam hati. Kenapa
tidak ada yang bereaksi" Perlahan-lahan kususuri koridor, menuju ke
ruang keluarga. Jelas-jelas aku mendengar suara anjing di situ.
Aku menahan napas ketika ada sesuatu yang tertabrak dan jatuh.
Sesuatu membentur lantai. Lampu peninggalkan nenek buyut, pikirku.
Aku memandang ke langit-langit - ke arah kamar orang tuaku.
Jangan-jangan mereka juga mendadak tuli!
Dengan tongkat siap mengayun, aku menyerbu ke ruang keluarga dan
menyalakan lampu. Anjingnya...
Anjingnya... TIDAK ADA! Ruangan itu kosong. "Hah?" Aku mengedipkan mata beberapa kali karena silau, lalu memandang
berkeliling. Tak ada anjing. Tak ada yang menggeram. Tak ada yang menyalak.
Tapi tunggu! Lampu peninggalan nenek buyutku tergeletak di lantai.
Aku maju selangkah ke arah sofa. Sesuatu berkersak-kersak di bawah
kakiku. Keripik kentang" Ya. Keripik kentang. Berserakan di mana-mana.
Lali aku melihat kantong keripik yang sudah terkoyak-koyak.
Jantungku berdegup keras sekali, sampai-sampai aku takut dadaku
bakal meledak. Kupungut kantong itu, dan tiba-tiba sebuah bayangan menimpaku.
Aku mendengar napasnya yang terengah-engah. Dan kemudian aku
merasakan napas panas dan bau yang menerpa tengkukku.
"Hei, Coober, sedang apa kau di sini?"
Aku menegakkan badan dan berbalik.
" Mickey!" "Memang itu namaku. Tapi jangan kau sebut dengan sia-sia,"
sahutnya. "Mickey! Kau dengar mereka" Kau dengar mereka kan?"
Mickey memandang berkeliling. "Dengar siapa?" dia bertanya. Lalu, sebelum aku
sempat menjawab, dia berseru tertahan, "Ya ampun,
Cooper, kenapa kau buang-buang keripik kentang itu?"
"Anjing-anjing itu!" seruku. "Anjing-anjing itu yang melakukannya!
Kau dengar mereka?" Mickey menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak dengar apa pun."
Aku bengong. "Kau tidak mendengar anjing-aniing liar yang berlarian di sini
beberapa menit yang lalu?"
Mickey geleng-geleng kepala. "Kau sudah mulai gila Cooper.
Mendengar anjing yang tidak ada sudah cukup aneh. Tapi memberi
mereka makan keripik kentang" Wah, otakmu sudah benar-benar
kacau." "Bukan aku yang melakukan ini," ujarku dengan geram. "Aku kan sudah bilang,
anjing-anjing itu yang melakukannya."
Mickey kembali menggelengkan kepala. "Ada satu permintaanku,"
katanya serius. "Apa itu?" tanyaku.
"Kalau kita mulai sekolah minggu depan, jangan beritahu siapa pun bahwa kau
saudaraku." Rasanya aku ingin menimpuk dia dengan sesuatu. Seandainya saja
saat itu sedang menggenggam lampu peninggalan nenek buyut....
Akhirnya kutimpuk dia dengan apa yang lagi kupegang - kantong
keripik yang sudah kosong.
Kantong itu melayang kira-kira tiga inci, lalu jatuh di depan kakiku.
Mickey langsung menertawakan aku. Setelah kembali tenang, dia
berkata, "Aku tahu kenapa kau lakukan ini. Kau ingin meyakinkan
Mom dan Dad bahwa rumah ini ada hantunya. Supaya kita kembali ke
Boston dan kau bisa berkumpul lagi dengan teman-temanmu yang
konyol, Gary dan Todd."
Dia menatapku sambil meringis. "Konyol, Coober. Betul-betul
konyol." Kemudian dia pergi sambil geleng-geleng kepala. Tunggu saja,
Mickey, pikirku. Aku bakal membuat perhitungan denganmu. Tunggu
saja. Dan aku bakal membuat semuanya percaya soal anjing itu. Aku bakal
membuat semuanya percaya bahwa aku tidak mengada-ada.
Tapi bagaimana caranya" aku bertanya-tanya sambil memandang
ruang keluarga yang kosong dan sepi
Bagaimana caranva" SEPERTI biasa pada hari Minggu aku juga bangun pagi-pagi. Tinggal
beberapa barang lagi yang harus kubongkar, dan aku yakin aku bisa
menyelesaikannya sebelum sarapan.
Pertama-tama kurentangkan poster Red Sox-ku dan kutempel di
dinding, di atas tempat tidur. Persis seperti waktu di Boston.
Lalu kugeledah sebuah kardus untuk mencari kaus kaki merah
keberuntunganku. Aku sedang memasang kaus kaki itu ketika bel
pintu berdering. "Cooper!" Mom memanggilku beberapa detik kemudian. "Ada yang mau ketemu!"
Siapa, ya" Aku belum kenal siapa-siapa di sini.
Tiba-tiba sebuah pikiran menyenangkan melintas dalam benakku.
Barangkali Gary telah membujuk ayahnya untuk mengantarkan dia
dan Todd ke Maine, memberi kejutan bagiku!
Wow! Kututup kardus yang baru kubongkar lalu bergegas keluar kamar.
Dengan langkah panjang aku menyusuri koridor, Menuju ke pintu
depan. Aku gembira sekali!
Tapi ternyata yang datang bukan Gary dan Todd.
Fergie yang berdiri di pintu depan memandangku. Dia kelihatan
gugup dan terus bergeser dari kiri ke kanan. Dia juga memilin-milin
rambutnya yang merah dengan jarinya.
"Oh, hai," aku bergumam tanpa sanggup menyembunyikan
kekecewaanku. "Aku perlu bicara kepadamu," ujar Fergie. "Sekarsang juga."
"Oke, boleh saja," sahutku.
"Jangan di sini," katanya. Dia menoleh ke ruang duduk, ayah dan ibuku sedang
baca koran. Aku mendesah. "Oke, tunggu sebentar." Aku kembali ke kamar
memakai sepatu ketsku. "Kita1 ke belakang saja," aku mengusulkan. Fergie cuma mengangguk lalu
mengikutiku. Aku duduk di ban dan berayun-ayun sambil mendengarkan Fergie.
"Semua ini ide kakakmu!" dia berkata.
"Apa?" seruku. "Aku juga tidak tahu kenapa aku mau saja diajak, tapi ini semua ide kakakmu.
Semuanya." "Apa maksudmu?" aku bertanya.
"Semua yang kuceritakan kepadamu kemarin. Soal rumahmu. Dan
hutan ini." "Maksudmu,di sini tidak ada hantu?" aku bertanya dengan bingung.
Fergie menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak."
"Tapi kenapa kau bilang begitu kemarin?" aku mendesaknya.
"Aku kan sudah bilang, ini idenya Mickey. Aku ketemu dia waktu
kalian pindah," Fergie menjelaskan. "Aku diajaknya mempermainkan kau."
"Hah?" aku berseru.
"Dia bilang kalian selalu saling iseng," sahut Fergie. "Dia bilang kau pasti
ketawa." "Semuanya cuma lelucon?" tanyaku. "Semua ini cuma akal-akalan Mickey?"
Fergie mengangguk sambil menggigit bibir, "Mickey minta supaya
aku beritahu kau kalau hutan ini ada hantunya. Juga rumah kalian."
Fergie menghela napas. "Jadi itulah yang kulakukan. Tapi waktu aku lihat betapa
takutnya kau, aku langsung menyesal. Aku menyesal
karena mau dibujuk kakakmu,"


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mickey Dasar brengsek dia.
"Tapi dari mana kau tahu soal anjing-anjing itu?" tanyaku.
Fergie menatapku dengan kening berkerut "Anjing" Anjing apa?"
"Itu yang kaubisikkan kemarin," ujarku. "Anjing."
Fergie mengerutkan kening. "Hmm, aku tidak ingat aku bilang begitu.
Kau yakin aku bilang 'anjing'?"
Aku mengangguk. "Seratus persen. Cuma itu yang kau bilang. Anjing.
Dan habis itu, habis kau kabur, aku dikejar-kejar dua anjing labrador hitam yang
galak sekali." "Masa sih?" Aku mengangguk. "Aku dikejar sampai ke rumah. Lalu mereka lenyap begitu saja."
"Aneh". Fergie bergumam.
"Ya, aneh sekali."
Dimana kau pertama kali melihat anjing-anjing itu?" tanya Fergie.
Aku menunjuk ke hutan. "Di belakang sana. Di dekat sungai."
"Sungai itu menuju ke rumah keluarga Martell," kata Fergie "Mereka teman
orangtuaku. Tapi mereka tidak punya anjing, Cooper."
Aku angkat bahu, lalu mengusir lalat yang terbang, di dekat telingaku.
"Hmm, berarti di sini ada yang punya anjing."
''Aku takut anjing," Fergie mengakui. "Untung saja bukan aku yang dikejar-kejar
kemarin." "Anjing-anjing itu galak sekali," aku bergumam.
"Kau pasti takkan suka mereka."
"Hei kau lihat batu besar yang mirip ujung panah waktu kau di dekat
sungai?" tanya Fergie. Aku menggelengkan kepala. "Tidak."
''Tempatnya asyik sekali," katanya. "Kapan-kapan kau ke sana deh.
Aku sering ke sana. Batunya cocok untuk latihan memanjat."
"Kenapa tidak sekarang saja?" tanyaku. Hutan di sekeliling rumah kami tetap
berkesan menyeramkan - dengan atau tanpa hantu. Tapi
aku lagi malas mendekam di rumah.
Aku turun dari ayunan, lalu berjalan mengikuti Fergie ke hutan. Aku
melihat tongkat panjang tergeletak di tanah, dan segera memungutnya.
"Siapa tahu anjing-anjing itu muncul lagi," aku berkata kepada Fergie.
Beberapa saat kemudian kami tiba di sungai. Fergie mencari-cari
tempat batunya. "Batunya ada di sekitar sini," ujarnya sambil berpaling kepadaku.
"Tapi aku selalu - "
Dia terdiam ketika matanya bertemu mataku. "Cooper!" bisiknya.
"Ada apa?" Aku mundur selangkah. Tanganku gemetar ketika aku menunjuk
pohon-pohon di belakang Fergie.
"Mar-Margaret!" aku berbisik dengan ngeri. "Anjingnya! Awas!
Mereka datang! Mereka menyerang kita!"
Fergie langsung berbalik. Dia memekik ketakutan.
"Awas! Mereka datang!" teriakku.
Fergie berdiri seperti patung. "Aduh! Aduh! Cooper! Aku takut
anjing!" "Lari," seruku. "Lari!"
Serta-merta Fergie melesat melewatiku. Belum pernah aku melihat
orang berlari sekencang itu.
Dia berlari kira-kira sepuluh langkah. Kemudian tangannya bergerak
ke atas karena kakinya tersandung batu.
Dia memekik lalu jatuh terjerembap.
Mau tidak mau aku ketawa. "Kena kau!" seruku dengan puas.
"Hah?" Fergie menoleh ke arahku.
"Kau sudah pernah menipuku. Sekarang giliranku," aku menegaskan.
Perlahan-lahan wajah Fergie kembali normal. Kan bikin aku ketakutan
setengah mati," gumamnya. "Tega-teganya kau mempermainkan aku seperti itu?"
"Gampang saja," sahutku, masih sambil nyengir.
Fergie merengut. "Aku kan sudah bilang, bukan aku saja yang salah.
Kakakmu bilang kalian selalu, saling menjaili." Kemudian dia bangkit dan
menggelengkan kepala. "Kau keterlaluan, Cooper. Keterlaluan
sekali." Aku cuma angkat bahu. "Yeah Aku tahu. Tapi sekarang kita impas."
Fergie menepis-nepis tanah yang menempel di jeansnya, lalu
memeriksa sikunya yang lecet. "Seharusnya kita cari akal untuk
membuat perhitungan, dengan Mickey," katanya.
"Soal itu sudah kupikirkan dari tadi pagi," aku memberitahunya. "Dan kemarin
juga. Mickey teri menjaili aku sejak kami pindah kemari. Dan
aku harus membalas dendam. Tapi caranya harus benar-benar jitu."
Kami berjalan menyusuri sungai sambil mencari cari akal untuk
membalas perbuatan Mickey Akhirnya Fergie menemukan batu yang
dimaksudnya. Dia naik lebih dulu. Aku menyusul. Batunya memang besar, penuh
celah dan retakan - cocok sekali untuk dipanjat.
Kami duduk-duduk di atas batu sambil menyusun rencana. Fergie
hendak membawa Mickey ke tengah hutan dengan mata tertutup, lalu
meninggalkannya di situ. Tapi aku bilang Mickey takkan takut sedikit
pun. Aku melompat turun dari batu dan mulai berjalan mengelilinginya.
Kadang-kadang otakku lebih encer kalau aku berjalan kaki.
Ketika berkeliling untuk ketiga kalinya, kakiku tersangkut tumbuhan
berdaun lebat. Aku memandang ke bawah - dan berseru dengan kesal.
"Oh sial! Aku menginjak tumbuhan yang bikin gatal."
Fergie ketawa. "Tenang," dia berkata kepadaku. "Bentuknya memang mirip, tapi
guru IPA-ku bilang ini cuma sejenis rumput liar. Dia
sempat memeriksanya tahun lalu."
Aku langsung tersenyum simpul.
Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kita cabut beberapa batang,
lalu kita taruh di tempat tidur Mickey" Dia pasti langsung kalang
kabut." "Boleh juga," ujar Fergie, sambil cengar-cengir.
Kami mencabut beberapa batang rumput liar yang tumbuh di
sepanjang sungai. Kemudian kembali ke rumahku.
Tidaak jauh dari sungai, Fergie menunjukkan sebuah lapangan terbuka
yang tidak kuperhatikan sebelumnya. Lapangan itu penuh dengan
bunga liar. Mom pasti senang sekali melihat bunga-bunga itu. Dulu waktu kami
masih di Boston, dia selalu membeli bunga di pasar Faneuil Hall. Jadi, aku mulai
memetik-metik bunga untuknya.
Aku baru saja membungkuk untuk memetik bunga cantik berwarna
ungu dan kuning, ketika aku melihat sesuatu bergerak-gerak di antara
pohon-pohon. Aku menoleh dan melihat sosok yang muncul
terhuyung-huyung. Fergie dan aku memekik bersamaan ketika kami melihatnya.
Baju Mickey terkoyak-koyak. Wajah dan lengannya penuh goresan.
Dan darah mengalir di lehernya.
"Cooper," dia berkata dengan suara parau. pertinya dia sudah tak sanggup bicara.
"Cooper anjing-anjing itu - "
Itulah ucapannya yang terakhir sebelum dia roboh ke tanah.
"MICKEY" aku menjerit.
Kulepaskan bunga dan rumput liar di tanganku, lalu segera berlari
menghampiri dia. Fergie dan aku berlutut di sisinya. "Dia tidak apa-apa?" Fergie berbisik.
Aku inembungkuk dan menarik baju Mickey dengan kedua tanganku.
Tapi aku tidak berhasil mengangkatnya. Setiap kali tubuhnya yang
lemas kembali merosot ke tanah.
"Mickey! Mickey!" seruku berulang-ulang. "Kau tidak apa-apa"
Anjing-anjing itu" Mereka - ?"
Ketika untuk kesekian kalinya aku berusaha mengangkatnya, tangan
Mickey tiba-tiba melesat ke atas lalu mencengkeram leherku. Dia
menarikku sampai jatuh, lalu cepat-cepat berdiri dan mendudukiku.
Dia tertawa cekikikan sambil menepuk-nepuk paha.
" Mickey! Mickey!" dia berseru dengan nada melengking. "Mickey!
Kau tidak apa-apa?" Aku membuka mulut, namun tidak sanggup berkata apa-apa.
"Dasar bloon!" Mickey mengejekku. "Sudah berkali-kali aku pakai darah palsu ini,
tapi kau masih juga ketipu!" Dia kemball tertawa cekikikan.
Aku memejamkan mata. Aku ingin sekali bisa lenyap begitu saja.
Rupanya untuk kesekian kalinya aku dikelabui oleh kakakku. Di
depan Fergie lagi. Mukaku terasa panas. "Awas, kau akan kuhajar!" seruku sambil berusaha mendorong
Mickey. "Ohhh! Aku jadi ngeri," Mickey mendengus.
"Kenapa sih kau selalu berusaha menakut-nakuti aku!" teriakku.
"Berusaha" Siapa yang berusaha?" Mickey menyahut sambil nyengir.
Fergie berdiri di hadapan kami. Dia menyilangkan tangan.
Pendekar Pedang Sakti 21 Animorphs - 40 Yang Lain The Other Pembalasan Pendekar Bule 2
^