Suatu Hari Di Horrorland 2
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland Bagian 2
mendekat" Aku tidak yakin. Dengan suara tawa yang masih terdengar di
telingaku, aku merunduk dan berlari lebih cepat.
Kami bertiga terengah-engah ketika berlari di sepanjang rel. Aku tidak melihat
orang lain. Aku juga tidak melihat orang berkostum Horor.
Kami memelankan lari kami ketika sampai di papan tanda lain. Di
papan ini ada anak panah yang menunjuk ke arah lari kami.
Tulisannya: PINTU KELUAR DEPAN. TIDAK USAH REPOT-
REPOT. KAU TAKKAN PERNAH BISA LOLOS.
Kulihat ekspresi cemas di wajah Clay ketika ia membaca tulisan itu.
"Cuma main-main," kataku padanya. "Papan-papan ini untuk lucu-lucuan."
"Ha-ha," katanya lemah. Napasnya terengah engah, susah payah ia berusaha
menenangkan diri. Tiba-tiba Luke melompat ke bahu Clay. "Hei Clay... mau main?"
Clay berteriak marah, "Turun!"
Luke tertawa dan tidak mau bergerak. Clay berlutut, berusaha
menyingkirkan Luke. "Ayo," kataku. "Luke, berhentilah berkelakua konyol begitu. Kita sedang mencari
Mom dan Dad." Tapi mereka sekarang malah tertawa-tawa dan bergulat di tanah.
"Ayolah!" teriakku, kubelalakkan mataku. "Ayo jalan!" Kutarik adikku sampai
berdiri. Kacamata Clay terjatuh. Ia berhenti dan mengambilnya dari atas
rumput. Kami lalu berjalan lagi.
Jalan setapak itu melalui taman bunga persegi - berisi bunga-bunga
hitam! Lalu tiba-tiba berakhir di depan gudang merah besar.
Anak-anak itu berjalan menuju pintu gudang yang terbuka. Aku tetap
di tempat, mencari jalan yang mengelilingi gudang. Kelihatannya
tidak ada. "Jalan itu menembus gudang menuju sisi lainnya," seru Luke padaku.
"Ayo, Lizzy!" Ia memberi isyarat supaya aku bergabung dengan mereka.
Aku melihat tanda kecil yang dicat di sebelah kanan pintu gudang.
Bunyinya: GUDANG KELELAWAR.
"Hei, ada kelelawar di dalam sana?" seruku, punggungku terasa dingin. Aku suka
binatang. Tapi kelelawar membuatku merinding.
Luke masuk ke dalam gudang. Clay tidakbergerak, berdiri di luar
pintu. "Aku tidak melihat seekor pun," seru Luke padaku. "Di sini agak gelap."
Hidungku mencium bau aneh. Menusuk dan masam. Datangnya dari
gudang. Aku tidak mau masuk ke dalam sana.
"Ayolah, Lizzy!" seru Luke. "Jalannya menembus ke sisi lain. Jangan jadi
pengecut. Kau bisa langsung lari ke sana."
Aku melangkah ke samping Clay di dekat pintu masuk dan mengintip
ke dalam gudang. "Kelihatannya tidak apa-apa," kata Clay pelan.
Bau masam tadi makin tercium. "Hii," kataku, mukaku berkerut jijik.
"Bau sekali." Luke berdiri di dalam gudang, matanya menatap kasau. "Aku tidak melihat ada apa-
apa di atas sana," lapornya.
Pintu di dinding seberang terbuka lebar. Cuma perlu waktu sepuluh
detik untuk lari menembus gudang dan keluar di sisi lain, pikirku.
"Ayo," kataku pada Clay.
Ia dan aku melangkah masuk ke dalam gudang. Bau masam menusuk
hidung. Aku menahan napas dan menutup hidung.
Kami mulai lari menuju pintu di dinding seberang - dan pintu itu
terbanting menutup. Dengan napas tersentak kaget, aku berbalik ke arah pintu tempat kami masuk tadi.
Pintu itu juga terbanting menutup.
"Hei...!" teriakku marah.
"Apa yang terjadi?" bisik Clay.
Kami berada dalam kegelapan total, lebih hitam daripada hitam.
Bau masam tadi menyelubungiku. Aku mulai merasa mual.
Lalu kudengar suara sayap mengepak-ngepak cepat.
Mula-mula pelan, lalu makin keras, makin keras.
Aku menjerit ketika merasa ada sesuatu menyapu tengkukku.
"PERGI!" Aku mengerang pelan dan membabi buta menggerak-
gerakkan tanganku di atas kepala. Suara mengepak-ngepak itu
menjauh, lalu kembali lagi.
"Kelelawar!" teriak Clay dengan suara kecil ketakutan. Kurasakan ia mencengkeram
lenganku. "Aku tidak bisa melihat!" teriak Luke.
"Gelap sekali!"
"A... aku benci kelelawar!" kataku tergagap.
Aku merasakan embusan angin ketika seekor kelelawar terbang di atas kepalaku.
Dengan panik kuayun-ayunkan tanganku.
Suara ribut mengepak-ngepak mengelilingi kami. Setelah mataku
pelan-pelan menyesuaikan diri dengan kegelapan, aku mulai melihat
sosok-sosok kabur melintas cepat. Mondar-mandir. Makin lama makin
cepat. Aku merasa ada yang menyambar bahuku. "Oh, tolong!" teriakku.
Clay mulai menjerit. "Tolong! Tolong!"
"Mereka terbang tepat ke arahku!" ratap Luke. Sesuatu menabrak bahuku. Aku
menjerit. "Tolong! Tolong!" Clay terus memohon-mohon sekuat tenaga.
Teriakannya nyaris teredam suara kepakan sayap.
Aku merasa ada kelelawar menyapu bahuku lagi. Sambil menutup
muka, aku berusaha berjalan ke arah pintu.
Bau masam itu mencekikku. Perasaan takut membuat kakiku goyah.
Aku hampir tidak bisa berjalan.
Lalu kurasakan rambutku tertarik kuat.
Sekali lagi. Suara kepakan terdengar jelas tepat di telingaku.
Suara desisan melengking. Begitu dekat, seperti berasal dari diriku.
Aku menjerit. Aku menjerit lagi.
"Ia... ia tersangkut di rambutku!" teriakku, jatuh berlutut.
Desisan melengking lagi. Rambutku tertarik lagi.
Kuayunkan tanganku. Kupukul dia. Aku merasakan badannya yang
hangat, sapuan sayapnya yang mengepak-ngepak.
Kutarik kuat-kuat - kutarik dari rambutku. "Ohhh, tolong!" teriakku.
Suara kepakan sayap dan bunyi melengking mengepungku. Aku bisa
mendengar Luke dan Clay berteriak-teriak. Tapi mereka terdengar
jauh. Kelelawar lain menyapu pipiku. Yang lain menabrak bahuku.
Bayang-bayang melesat mondar-mandir. Gudang itu penuh dengan
kelelawar-kelelawar yang beterbangan dan mencicit-cicit.
"Ohh, tolong! Tolong!"
Seekor lagi menyapu wajahku. Aku merasakan arus angin, sayap yang
mengepak-ngepak di atas kepalaku.
"Tolong! Tolong kami!"
Tapi tak ada orang yang bisa membantu.
KUTUTUP mataku dengan satu tangan dan tangan yang lain
bergerak-gerak liar, berusaha mengusir kelelawar-kelelawar itu.
Aku tercekik dan menangis, susah rasanya bernapas.
Kudengar Luke memanggil, jauh, jauh sekali. Ia seperti berada di
balik tirai kelelawar yang mengepak-ngepak dan mencicit-cicit.
Lalu tiba-tiba, sinar matahari masuk ke dalam gudang.
Sambil berlutut, kuturunkan tanganku dari mata dan melihat pintu
gudang terbuka. Luke, berdiri di pintu, mulutnya ternganga heran, berbalik ke arah
Clay dan aku. "A - aku menyentuh pintunya, dan pintunya terbuka,"
katanya menjelaskan. Kacamata Clay tergantung di sebelah telinganya. Rambut pirangnya
berantakan. Matanya mengamati sekeliling gudang. "Mana kelelawar-kelelawar
tadi?" teriaknya. Kupandang kasau. "Hei...!" teriakku. Tak ada kelelawar. Tak ada tanda-tanda
kelelawar di mana pun. Aku berdiri, kusibakkan rambutku ke belakang dengan dua tangan.
"Ayo, keluar dari sini!" teriakku.
Clay dan aku mengikuti Luke keluar dari gudang. Sinar matahari yang hangat
terasa enak sekali! Aku masih merasa gatal gara-gara kelelawar tadi. Kugosok bahu dan
tengkukku. "Aku benci kelelawar! Benci banget!" seruku sambil bergidik.
"Tapi tadi tidak ada kelelawar," kata Luke, nyengir padaku.
"Semuanya palsu."
''Hah" Tidak!" teriak Clay marah. "Tadi itu kelelawar. Aku bisa mendengarnya - dan
merasakannya!" "Semuanya cuma efek khusus," kata Luke.
"Tapi bukan efek khusus waktu ada yang nyangkut di rambutku!"
teriakku. Baru memikirkannya saja sudah membuatku bergidik.
"Efek khusus," ulang Luke. "Betul-betul efek khusus yang hebat sekali. Aku juga
hampir ketakutan." "Hampir?" teriakku. Aku berjalan mendekat, kusambar lehernya, dan pura-pura
mencekiknya "Hampir" Kudengar tadi kau menjerit bukan main kerasnya, Luke!"
Ia melepaskan diri dari cengkeramanku, tertawa-tawa. "Aku tahu tadi itu bukan
sungguhan. Ak menjerit cuma untuk menakut-nakuti
kalian!" Tukang bohong! Aku heran sekali pada adikku.
Ia tadi ketakutan. Ia tadi sangat ketakutan. Aku tahu itu.
"Tadi itu kelelawar, bukan efek khusus," kataku kesal.
"Kalau begitu ke mana perginya waktu pintunya terbuka?" desak Luke. "Begitu
pintu terbuka, semua kelelawar hilang."
"Sudahlah, jangan dibicarakan lagi," pinta Clay. "Ayo, kita cari orangtua
kalian, oke?" "Yeah, oke," kataku, kupelototi Luke. "Kau betul-betul gila, tahu?"
Dijulurkannya lidahnya padaku.
Ingin rasanya aku meninjunya. Tapi aku berusaha menjadi orang yang
tidak suka kekerasan. Jadi kupukul saja bahunya kuat-kuat.
Ia melolong marah. "Tolol kau, Lizzy. Tolol sekali," gumamnya. "Dan kau takut
pada kelelawar palsu!"
Tidak kupedulikan dia dan berjalan duluan di jalan setapak menuju
gerbang depan. Tampak dua orang berkostum Horor, mereka berjalan
ke arah yang berlawanan, asyik bercakap-cakap.
"Apakah ini jalan menuju gerbang depan?" seruku pada mereka.
Mereka tidak mengacuhkan pertanyaanku dan melewati kami begitu
saja. "Hei...!" seruku pada mereka.
Tapi mereka tetap saja berjalan dan tampaknya tidak melihat ataupun mendengarku.
Matahari menyinari kami. Udara terasa panas dan diam, tidak ada
angin sama sekali. Kuhapus keringat dari dahiku dengan satu tangan. Aku masih bisa
mencium bau masam Gudang Kelelawar. Baunya menempel di
tanganku, di bajuku. Aku melihat empat remaja yang mengenakan pakaian renang, dua
anak laki-laki dan dua anak perempuan, bergegas berjalan di rumput
menuju kolam besar berwarna cokelat. Di tepinya ada papan tanda.
Tulisannya: KOLAM BUAYA. SILAKAN BERENANG DI SINI.
Luke tertawa. "Anak-anak itu gila barangkali." Kami berhenti dan mengamati
mereka masuk ke air. "Menurutmu di dalamnya benar-benar ada buaya?" tanya Clay, digigitnya bibirnya.
Aku mengangkat bahu. "Siapa yang tahu" Aku tidak tahu harus
berpikir apa soal taman ini!"
Kami melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, aku
mengenali struktur berbentuk gunung Seluncuran Ajal. Tampak
pelataran lebar dan bundar. Tidak ada orang. Bahkan Horor yang
menjual es krim tadi pun sudah tidak ada di keretanya.
"Menurutmu kira-kira di mana Mom dan Dad?" tanyaku.
"Mungkin sudah berjam-jam mereka mencari kita, dan sekarang
marah sekali," kata Luke, keningnya berkerut.
"Di mana mereka?" teriak Clay. Ia mulai terdengar kacau. "Kita harus menemukan
mereka." "Itu mereka?" tanya Luke. Ia menunjuk ke pria dan wanita di dekat air mancur
besar. Dengan satu tangan kulindungi mataku dari sinar matahari. Wanita itu tinggi,
rambutnya hitam. Pria itu pendek dan pirang.
"Ya! Itu mereka!" teriakku senang. Aku mulai lari menuju air mancur, memanggil-
manggil mereka, "Mom! Dad!"
Luke dan Clay lari mengejarku.
"Mom! Dad! Hei...!" aku berteriak girang.
Mereka berdua berbalik, wajah mereka tampak kaget.
"Oh!" aku berteriak ketika melihat mereka bukan Mom dan Dad. Aku langsung
berhenti lari, Luke menabrakku.
"Maaf," kataku pada pasangan yang kebingungan itu. "Kami kira Anda orangtua
kami." Kami bertiga bergegas melintasi pelataran. Aku bisa mendengar
lolongan serigala dari Desa Manusia Serigala. Kereta es krim berdiri tanpa
ditunggui di dekat pintu masuk Seluncuran Ajal.
"Di mana mereka?" tanya Clay, meratap. "Aku mulai lapar."
"Yeah. Memang sudah lewat waktu makan siang," kataku.
"Mereka bisa ada di mana saja," kata Luke kesal, ditendangnya kerikil ke
seberang trotoar. "Mereka bisa ada di mana saja di taman raksasa ini."
Aku menarik napas. "Ayo kita cari mereka di tempat teduh.
Mataharinya panas sekali."
Kami berjalan menuju bayangan bangunan Seluncuran Ajal. Tiba-tiba,
tampak dua Horor berkostum hijau. Mata mereka yang kuning besar
menonjol di kepala mereka.
Tanpa berpikir lagi, aku berlari mendatangi mereka. "Kalian lihat orangtua
kami?" tanyaku terengah-engah.
Mereka menatapku kaget. "Orangtua kalian?" ulang yang satu.
"Yeah." Aku mengangguk. "Ibu saya rambutnya hitam. Ayah saya agak pendek dan
rambutnya pirang." "Hmmmm." Kedua Horor itu saling melirik.
"Ibu mengenakan pakaian warna kuning cerah," kataku.
"Dan Ayah memakai topi Chicago Cubs," tambah Luke.
"Oh, yeah. Betul," kata salah satu Horor, yang wanita.
"Anda melihat mereka?" tanyaku bersemangat.
Ia mengangguk. "Yeah. Aku ingat. Mereka pergi. Mereka pergi kira-kira setengah
jam yang lalu." "Hah?" Aku ternganga tidak percaya.
"Mereka memintaku menyampaikan pesan pada kalian," kata Horor itu.
"Pesan" Pesan apa?" tanyaku.
"Selamat tinggal," jawab Horor itu.
"ANDA pasti salah!" teriakku. "Mereka tidak mungkin pergi."
"Kira-kira setengah jam yang lalu," ulang Horor itu. Ia mengangkat bahu di balik
kostum monster besarnya. "Aku ada di gerbang waktu mereka pergi."
"Tapi... tapi..." kataku tergagap.
Kedua Horor itu berbalik dan berjalan menuju gudang putih kecil di
tepi pelataran. "Hei, tunggu!" seruku, kukejar mereka. "Anda pasti keliru. Orangtua kami takkan
pergi tanpa kami." Mereka menghilang ke dalam gudang. Pintunya terbanting menutup.
Aku berbalik ke arah Luke dan Clay. Mereka bengong melihatku.
"Ia keliru," kataku pada mereka. "Mom dan Dad masih ada di sini.
Aku tahu." "Kalau begitu kenapa dia bilang...," kata Clay, tapi suaranya terputus.
Kulihat dia sangat cemas dan bingung. Titik-titik keringat mengalir di keningnya
yang merah muda. Luke berusaha bercanda. "Kurasa itu berarti kita bisa main di taman ini sampai
puas!" serunya, tersenyum terpaksa.
"Lucu sekali," jawabku sebal. "Kita juga tidak punya uang, dan kira-kira lima
ratus kilometer dari rumah."
"Kita bisa menelepon," usul Luke.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak ada telepon," gumam Clay. Ia menunduk, dimasukkannya tangannya ke dalam
saku celana pendeknya, lalu memunggungi kami.
"Oh, iya," kata Luke. "Mereka sudah bilang pada Dad tidak ada telepon di taman
ini." "Gila," kataku sengit. "Mereka pembohong. Horor-horor itu pembohong semua."
"Kurasa memang itu tugas mereka," kata Luke. "Berbohong pada kita supaya kita
setengah mati ketakutan. Itu sebabnya mereka menamai
tempat ini HorrorLand."
"Mereka seharusnya menamainya DumbLand, 'Tempat Konyol',"
gumam Clay muram. "Tapi tempat ini kan asyik sekali!" protes Luke. "Aku sangat suka ditakut-takuti
setengah mati. Kau juga, kan?" Didorongnya Clay kuat-kuat.
"Tidak," jawab Clay pelan. Ia tidak berusaha membalas mendorong Luke.
"Yah, ia berbohong soal Mom dan Dad," kataku berkeras, kupandangi gudang putih
itu. "Ia cuma mencoba menakut-nakuti kita. Mom dan Dad masih ada di sini. Kita
tinggal mencarinya saja."
"Ayo," desak Luke. "Kuharap kita cepat menemukan mereka. Aku sudah lapar
sekali." *** Rasanya sampai berjam-jam kami menjelajahi taman itu. Kami
mencari ke hutan yang gelap dan misterius dan ke desa-desa monster
yang aneh. Kami melewati daerah karnaval yang berisi banyak sekali
permainan yang tampak menakutkan.
Di seberang Desa Vampir, kami melalui bangunan bertuliskan Kebun
Binatang Monster. Tempat itu tertutup. Tapi kami bisa mendengar
geraman yang sangat mengerikan, lolongan, dan raungan yang
datangnya dari dalam. Di luar sebuah gedung kuning panjang ada tanda yang berbunyi:
MUSEUM GUILLOTINE. HARAP PEGANG KEPALAMU. Luke
ingin masuk, tapi Clay dan aku berhasil melarangnya.
HorrorLand anehnya sekarang jadi sepi. Kami melewati beberapa
Horor yang berkostum hijau manyala berjalan tergesa-gesa di jalan
setapak. Dan kami melihat beberapa keluarga, selalu dengan anak
yang menangis. Permainan di daerah karnaval kosong semua. Kios-kios makanan dan
restoran juga kosong. Kami berjalan ke seberang taman. Perasaanku makin tidak keruan.
Kenapa kami belum juga bertemu dengan Mom dan Dad"
Seharusnya saat ini kami sudah bertemu.
Clay jadi pendiam sekali. Aku tahu ia sangat ketakutan. Bahkan Luke pun berjalan
gontai dengan bahu membungkuk dan kepala tertunduk.
Ketika kami sampai di Kolam Buaya lagi, perasaanku sudah kacau.
Kulewati pinggirannya yang berumput dan berjalan menuju tepi air.
"Menurutmu apa yang terjadi pada remaja-remaja yang berenang di sini tadi?"
tanya Luke, ia memandang ke seberang kolam. "Dimakan buaya?"
"Mungkin," jawabku. Aku tidak terlalu mendengar perkataannya. Aku sedang
memikirkan Mom dan Dad. "Hei, lihat!" teriak Clay, menunjuk ke air.
Aku melihat di permukaan air ada dua batang kayu panjang berwarna
cokelat kehijau-hijauan mengapung ke arah kami. Sesaat kemudian
baru aku sadar batang-batang kayu itu buaya.
"Besar-besar!" seru Clay dengan suara tercekik.
"Sebaiknya kita mundur," kataku memperingatkan.
Kami bertiga berdiri di tepi air. Buaya-buaya itu mengapung tak
bersuara tepat di bawah permukaan air, nyaris tidak bergerak.
"Mom dan Dad tidak mungkin pergi tanpa kita," kataku untuk yang keseribu
kalinya. "Tapi kita sudah mencari ke mana-mana," kata Luke pelan.
"Mereka takkan pergi tanpa kita," kataku. "Mereka takkan meninggalkan kita.
Jadi..." Aku ragu. Aku berpikir keras, dan pikiranku mengerikan semua.
"Jadi?" tanya Clay penuh semangat.
"Jadi kalau mereka tidak ada di taman," kataku melanjutkan, "berarti terjadi
sesuatu pada mereka. Sesuatu yang tidak enak menimpa
mereka." Clay terkesiap. Luke memicingkan matanya. "Apa maksudmu,
Lizzy?" tanyanya. "Maksudku, mungkin tempat ini benar-benar tidak baik," kataku.
"Dan mungkin Horor-horor itu atau orang lain berbuat jahat pada Mom dan Dad."
Kutatap punggung buaya cokelat yang meluncur begitu halus, begitu
tenang ke arah kami. "Gila," gumam Luke.
Aku tahu memang gila. Tapi aku tidak punya pikiran lain.
"Aku punya perasaan tidak enak pada tempat ini," kataku. "Sangat tidak enak."
Dan ketika aku berkata begitu, aku merasa ada tangan yang
mencengkeramku kuat-kuat dari belakang dan mendorongku ke dalam
Kolam Buaya. AKU menjerit. Lalu aku sadar aku bukan dilemparkan ke dalam air.
Tangan-tangan itu memegang bahuku.
Aku berbalik. "Dad!" teriakku.
"Lizzy!" serunya, tetap memegangi aku. "Dari mana saja kalian?"
"Sudah dua belas kali kami mencari-cari di taman ini!" seru Mom. Ia berdiri di
rerumputan di belakang kami, berkacak pinggang.
"Kami mencari-cari Mom dan Dad!" teriakku.
"Kata mereka Mom dan Dad sudah pergi!" kata Luke.
"Kami ketakutan," tambah Clay.
Kami semua langsung berebutan bicara. Aku senang sekali bertemu
mereka. Dan kulihat Luke dan Clay juga sangat senang.
Aku sudah membayangkan segala macam hal mengerikan menimpa
Mom dan Dad. Tidak biasanya aku membiarkan khayalanku melantur
begitu. Tapi HorrorLand memang tempat yang mengerikan. Rasanya tidak
mungkin kalau tidak punya pikiran mengerikan di sini.
"Aku mau pulang," kataku.
"Dad menemukan telepon?" tanya Clay. "Dad mendapat mobil?"
Dad menggeleng. "Tidak. Tidak ada telepon. Orang berkostum
monster itu tidak berbohong. Tidak ada telepon di taman ini."
"Tapi Horor-horor itu baik sekali pada kami," sela Mom. "Mereka bilang kami
tidak usah khawatir."
"Mereka bilang datang saja ke tempat penjualan tiket kalau kita sudah mau
pergi," kata Dad. Mom mengelus lembut rambut Luke. "Kalian naik permainan, kan?"
"Kami mengalami banyak kejadian menakutkan," kata Luke.
"Sangat menakutkan," tambah Clay.
"Aku benar-benar lapar," kata Luke.
Dad melirik jam tangannya. "Sudah lewat jam makan siang. Kurasa kita semua pasti
lapar." "Restoran dan kedai makanan semuanya ada di seberang taman," kata Mom.
"Bagaimana kalau setelah makan siang kita langsung pergi?" tanyaku penuh
semangat. Perasaanku pada tempat ini masih tidak enak. Aku
ingin pergi dari HorrorLand, jauh-jauh.
"Aku dan ibumu dari tadi cuma mencari-cari kalian saja," kata Dad, diusapnya
keringat dari dahinya yang terbakar matahari. "Kami sama sekali belum bersenang-
senang." "Sebelum pulang sebaiknya kita semua naik satu permainan bersama-sama," kata
Mom. "Aku ingin pergi," desakku. "Ingin sekali."
"Lizzy, tidak biasanya kau begitu," omel Mom.
"Ia ketakutan," kata Luke. "Ia pengecut."
"Mungkin ada permainan yang bisa membawa kita ke depan taman,"
kata Dad. "Kita semua menaikinya, makan siang, lalu pergi."
"Kedengarannya boleh juga," kata Mom. Dipandangnya aku. "Kau setuju?"
"Rasanya," kataku, sambil menarik napas, "semua permainan di sini terlalu
mengerikan, sih. Tidak ada asyik-asyiknya."
Luke tertawa. "Terlalu mengerikan bagi Lizzy - bagi Clay dan aku tidak," katanya.
"Betul, kan, Clay?"
"Aku agak ketakutan di Gudang Kelelawar," Clay mengaku.
Kami pergi dari Kolam Buaya, melintasi pinggiran berumput menuju
trotoar. Dua Horor berlalu, asyik berbicara dengan suara pelan.
Jeritan ngeri melengking seorang anak perempuan terdengar dari suatu tempat di
kejauhan. Teriakan mengerikan itu terdengar berulang-ulang.
Di depan kami terdengar lolongan serigala. Dan dari speaker yang
tersembunyi di antara pepohonan, aku mendengar tawa jahat, tawa
menyeramkan yang berulang kali terdengar. "Rasanya seperti di dalam film horor,"
kata Mom. "Pintar sekali," tambah Dad. Ia berjalan sambil memegangi bahuku.
"Aneh kita tidak pernah mendengar soal taman ini."
"Mestinya diiklankan di TV," kata Mom. "Dengan begitu lebih banyak orang datang
kemari." Kami melewati bangunan hijau tinggi menjulang, di depannya ada
tanda yang berbunyi: TERJUN BEBAS. SATU-SATUNYA
BUNGEE IUMP TANPA TALI. "Mau coba?" tanya Dad, diremasnya bahuku dan nyengir.
"Rasanya tidak," jawabku cepat.
Luke berjalan jauh di depan kami. Ia berbalik dan berjalan mundur,
menunggu kami menyusulnya. "Mom dan Dad mestinya mencoba
Seluncuran Ajal," katanya, nyengir. "Dahsyat!"
Apa ia sudah lupa betapa ketakutannya ia tadi"
"Kurasa mereka takkan menyukainya," kataku pelan.
"Mungkin kita bisa menemukan permainan yang sedikit menakutkan,"
usul Clay. Dad tertawa. "Kau merasa senang, Clay?"
Clay ragu. "Sedikit," jawabnya akhirnya.
"Aku merasa sangat senang!" seru Luke.
Jalan setapak itu berkelok di sepanjang sungai kecil berwarna cokelat.
Beribu-ribu serangga putih kecil terbang berkerumun di atas
permukaan air. Disinari cahaya matahari, mereka kelihatan seperti
berlian-berlian kecil berkilauan.
Tampak rumah perahu cokelat kecil. Di belakangnya, aku melihat
kano-kano kecil bergoyang-goyang di bawah dok kayu.
Papan tanda di samping rumah perahu itu berbunyi: PELAYARAN
NAIK PETI MATI. PERJALANAN MENYENANGKAN MENUJU
LIANG KUBUR. "Ini mungkin mengasyikkan," kata Mom, matanya menatap perahu-perahu kecil itu.
"Kurasa sungai ini menuju ke depan taman," kata Dad. "Ayo naik!"
Luke bersorak dan lari ke dok.
Aku berjalan pelan di belakang yang lain. Ketika akhirnya sampai di dok, sesaat
kemudian baru aku sadar bahwa benda-benda yang
bergoyang-goyang di air cokelat itu bukan kano - tapi peti mati!
Peti-peti itu terbuat dari kayu hitam berpelitur. Tutupnya terbuka, menampakkan
bagian dalam yang dilapisi satin merah. Tiap peti mati
cukup untuk satu orang. Aku merinding. "Kita betulan mau masuk ke peti mati?" tanyaku.
"Kelihatannya nyaman," kata Mom, tersenyum padaku. "Airnya tenang, Lizzy. Tidak
akan mengerikan." "Aku duluan!" teriak Luke, lari ke ujung dok kayu.
Dua Horor muncul untuk membantu kami masuk ke dalam peti mati.
"Berbaringlah. Nikmati perjalananmu," kata salah seorang Horor itu.
"Akan jadi perjalanan terakhirmu," tambah Horor lain sambil tertawa pelan.
Setelah kami semua berada di dalam peti mati, Horor-horor itu
membuka tambatannya dan mendorong kami kuat-kuat menjauh dari
dok. Ini dia, pikirku, terbaring di peti matiku.
Ini dia, seluruh keluargaku, terbaring di peti mati.
Peti-peti itu melaju tenang, bergoyang-goyang di air. Kupandang
langit biru cerah di atas. Pepohonan bergoyang-goyang di tepi sungai ketika aku
lewat. Sangat indah, nyaman sekali.
Kenapa tadi aku mengira sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang
mengerikan" KARENA berbaring, aku tidak bisa melihat keluargaku. Tapi aku bisa
mendengar suara peti mati mereka bersentuhan dengan air.
"Enak," kata Mom. "Nyaman sekali."
"Membosankan!" seru Luke dari depanku. "Mana bagian
mengerikannya?" "Ini cuma pelayaran santai naik peti mati," kata Dad. "Menurut kalian kita
benar-benar berlayar" Atau jangan-jangan peti mati ini ada
relnya?" "Aku tahan berlayar seperti ini selama berjam-jam," kata Mom.
"Permainan di sini panjang-panjang,'' kata Clay. "Yang di langit itu elang, ya?"
tanya Dad. "Kalian bisa melihatnya?"
Kulindungi mataku dengan satu tangan untuk menghindari silaunya
matahari, aku menatap langit. Tepat di atas kami, bayangan hitam
melayang-layang tinggi di langit, sedikit lebih besar daripada sebuah titik.
"Itu bukan elang. Aku yakin itu burung bangkai!" seru Luke. "Ia melihat peti
mati ini dan menunggu untuk memakan daging kita!" Ia tertawa.
"Luke... dari mana kau mendapat pikiran menyeramkan begitu?"
desak Mom. "Mungkin Luke mestinya tinggal di HorrorLand!" seru Dad. "Kita beri dia salah
satu kostum monster hijau itu, ia pasti langsung pas!"
"Ia tidak perlu kostum!" kataku bercanda. Aku mulai merasa lebih enak sedikit.
Permainan ini tenang dan menyenangkan. Dan kurasa
tidak akan terjadi hal-hal mengerikan karena ada keluargaku.
Aku berbaring santai di dasar peti mati, tanganku tergeletak di
samping. Dengan mengantuk kupandangi burung tadi berputar-putar
jauh di langit yang bersih. Peti matiku bergerak pelan, suara air
terdengar lembut. Begitu menyenangkan... Begitu tenang... Lalu, sebelum aku sempat berteriak, tutup peti matiku terbanting
menutup. Dan aku terperangkap dalam kegelapan total.
"HEi...!" teriakku. Suaraku teredam kayu tebal yang menutupiku.
Aku bisa mendengar bunyi peti-peti mati lainnya terbanting menutup.
"Hei... keluarkan aku!"
Kudorong tutup itu dengan kedua tangan, tapi tidak bergerak.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba lagi. Kali ini dengan
tangan dan kaki. Tutup berat itu tetap tidak bergerak.
Jantungku berdebar-debar kencang sekali, rasanya dadaku seperti mau meledak.
Udara di dalam peti mati yang tertutup ini mulai terasa panas dan pengap.
"Buka! Buka!" jeritku.
Kucoba lagi mendorong tutupnya. Aku mendengar teriakan pelan
Clay di peti mati di sebelahku. Anak malang itu menjerit kencang.
Aku menggeram keras sambil mendorong sekuat tenaga. Tutup itu
tidak bergerak satu senti pun. Tenang, Lizzy. Tenang, perintahku
dalam hati. Ini cuma permainan konyol. Tutup peti matinya sebentar
lagi akan terbuka. Dengan napas terengah-engah, aku menunggu. Kuhitung sampai
sepuluh. Kuhitung sampai sepuluh lagi.
Tutupnya tidak membuka. Kucoba memejamkan mata dan menghitung sampai lima puluh. Pada
hitungan kelima puluh, aku berkata dalam hati, aku akan membuka
mata, dan tutupnya akan terbuka.
"...dua puluh dua, dua puluh tiga, dua puluh empat...," aku menghitung dengan
suara keras. Suaraku terdengar kecil dan tercekik. Sekarang
sulit rasanya bernapas. Udara mulai terasa pengap sekali.
Aku berhenti pada hitungan kedua puluh lima dan membuka mata.
Tutupnya belum terbuka. Panas sekali di dalam sini, pikirku. Cahaya matahari menyinari tutup peti mati.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak ada udara, dan aku akan terpanggang!
Aku berusaha menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar.
Aku megap-megap. Di luar, aku mendengar teriakan-teriakan tidak jelas.
Apa ibuku yang menjerit seperti itu"
"Ini cuma permainan," kataku keras-keras. "Cuma permainan konyol.
Tutup ini akan terbuka - sekarang!"
Tapi tidak. Udara begitu panas, begitu panas dan pengap. Kenapa tutupnya tidak
membuka" Kenapa" Aku berusaha menghilangkan rasa panikku, tapi tidak bisa. Sekujur
tubuhku gemetaran. Kurasakan keringat dingin menetes dari
keningku. "Ada yang tidak beres!" teriakku keras. "Tutup ini mestinya membuka - tapi temyata
tidak!" Dengan panik, kudorong-dorong
dengan dua tangan. Tanganku jadi sakit karena terlalu kuat
mendorong. Tapi tutup itu tidak mau membuka. Peti matiku bergerak-
gerak di air. Kuturunkan tanganku dengan putus asa. Kuhirup udara yang panas
dan pengap. Dadaku naik-turun. Tubuhku bergetar.
Lalu kurasakan kakiku mulai gatal. Dan ada yang menggelitik di dekat pergelangan
kaki. Menjalar di sepanjang kakiku.
Terasa gatal dan menjalar.
Ada sesuatu merayap pelan di kakiku.
Sesuatu yang kecil dan tajam.
"Ohh," aku mengerang ketakutan.
Labah-labah! AKU mencoba menggaruk kakiku, tapi tanganku kurang panjang.
Karena tidak bisa bergerak atau membungkuk di dalam peti mati yang
sempit ini, aku tidak bisa mencapai kakiku.
Perasaan menggelitik itu bergerak naik.
Aku ingin menjerit, tapi jadinya malah batuk-batuk.
Lalu tutup peti matiku terbuka. Cahaya terang sinar matahari
membuatku memejamkan mata.
"Oh!" Aku bangun ke posisi duduk. Dengan mata berkedip-kedip silau, kulihat
keluargaku sudah keluar dari peti mati mereka.
Kugaruk-garuk kakiku. Aneh, tidak ada labah-labah. Tidak ada
serangga apa pun. Peti matiku bergerak ke dok kecil. Kupegang tepi peti matiku dan
berdiri. "Ayo keluar dari sini!" Kudengar Clay berteriak.
"Seram sekali tadi!" jerit ibuku.
Luke diam saja. Wajahnya pucat, dan rambut hitamnya menempel di
keningnya karena keringatan.
"Mereka benar-benar sudah keterlaluan!" kata Dad marah. "Aku akan mengajukan
pengaduan." "Sudahlah, kita pergi saja!" kata Mom.
Kami semua bersusah payah naik ke dok. Kubantu Clay naik. Lalu
kuhirup napas dalam-dalam.
Dad lari melewati dok menuju pelataran terbuka, kami bergegas
menyusulnya. "Ke tempat penjualan tiket!" serunya pada kami. "Di sana!"
tunjuknya. Permainan naik peti mati tadi membawa kami ke depan taman. Aku
bisa melihat gerbang depan dan deretan tempat penjualan tiket
berwarna hijau di sebelah kanan.
"Permainan tadi benar-benar tidak enak!" kata Clay, menggeleng-geleng.
"Kakiku jadi gatal semua. Kukira ada semut!" seru Luke.
"Kukira labah-labah!" kataku.
"Aku ingin tahu bagaimana mereka melakukannya," kata Luke serius.
"Aku tidak peduli," jawabku. "Aku cuma mau keluar dari sini. Aku benci tempat
ini!" "Aku juga," kata Clay.
"Mereka keterlaluan," kata Mom terengah-engah, ia berlari-lari bersama kami
mengikuti Dad. "Tidak asyik lagi kalau permainannya mengerikan seperti tadi.
Napasku sampai sesak."
"Aku juga," kataku padanya.
"Hei, bagaimana cara kita pulang?" tanya Luke tiba-tiba,
dipandangnya Mom. "Mobil kita kan meledak."
"Kurasa orang-orang berkostum monster itu akan meminjami kita
mobil," jawab Mom." "Mereka bilang pada ayahmu tinggal datang saja ke tempat
penjualan tiket." "Bisa kita berhenti dan beli pizza?" tanya Luke. "Kita keluar saja dulu dari
tempat ini, setelah itu baru memikirkan makan siang," kata Mom.
Pelataran utama kosong sama sekali. Tidak ada orang lain.
Kami mengikuti Dad ke tempat penjualan tiket pertama. Ia berbalik
menghadap kami, wajahnya kecewa. "Tutup," katanya. Jendelanya tertutup terali
besi. Dad terengah-engah karena dari tadi berlari-lari. Dengan dua tangan diusapnya
rambut pirangnya dari dahinya yang berkeringat. "Sebelah sana," katanya.
Kami mengikutinya ke tempat penjualan tiket berikut. Tutup juga.
Lalu berikutnya. Tutup. Kami segera menyadari bahwa semua tempat penjualan tiket sudah
tutup. "Aneh," kata Luke, menggeleng-geleng.
"Apa mereka kira hari ini tidak ada pengunjung lagi?" tanya Mom pada Dad.
"Kenapa mereka bisa tutup begitu saja?"
Dad mengangkat bahu. "Kita harus bertanya pada seseorang."
Matanya mengamati tempat yang kosong itu.
Aku berbalik dan ikut mengamati pelataran. Tidak tampak ada orang.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada Horor.
"Coba kita ke sana," kata Dad. Ia berjalan menuju bangunan hijau pendek yang
terletak jauh dari tempat penjualan tiket. Kelihatannya seperti kantor.
Gedung itu tutup juga. "Apa yang terjadi" Ke mana perginya orang-orang?"
tanyanya. Mom memegang tangan Dad. "Aneh sekali," katanya pelan.
Kulirik Luke dan Clay. Mereka berdiri tegang bersebelahan di depan
kantor. Tak ada yang bicara.
"Dad yakin ini tempat penjualan tiketnya?" tanyaku.
"Ya," jawab Dad lelah. "Ini pintu depan."
"Jadi ke mana orang-orang?" tanya Mom, digigit-gigitnya bibirnya.
"Mungkin kita bisa menemukan seseorang di tempat parkir," usulku.
"Tahu, kan" Tukang parkir atau apalah. Mereka pasti bisa
memberitahu kita bagaimana cara mendapatkan mobil untuk pulang."
"Ide bagus, Lizzy," kata Dad. Ditepuknya kepalaku, seperti waktu aku masih kecil
dulu. Kutunggu Luke mengolok-olokku. Tapi ia diam saja. Kurasa ia terlalu cemas dan
bingung. "Ayo," desakku. Aku berbalik dan berlari melewati tempat-tempat penjualan tiket
yang kosong. Gerbang depan HorrorLand yang tinggi
dan terbuat dari besi menjulang tak jauh dari tempat penjualan tiket.
Aku berhenti sebentar untuk membaca papan tanda di samping salah
satu tempat penjualan tiket. Bunyinya: TIDAK ADA JALAN
KELUAR. TAK ADA YANG BISA MENINGGALKAN HORROR-
LAND HIDUP-HIDUP! "Ha-ha," kataku mengejek. "Papan-papan ini h-bat, ya?"
Aku berlari dan sampai di gerbang duluan. Kutarik, tapi pintu itu tidak mau
terbuka. Jadi kucoba mendorongnya.
Tidak bergerak. Lalu kulihat ada rantai berat dan gembok baja besar di gerbang itu.
Sambil menelan ludah, aku berbalik menghadap yang lain.
"Kita terkurung!" kataku.
"APA?" Dad menatapku, wajahnya berkerut bingung. Kurasa ia tidak percaya pada
ucapanku. "Kita terkurung!" ulangku. Kuangkat gembok baja berat itu dengan dua tangan,
lalu kulepaskan sehingga berbunyi keras karena beradu
dengan besi-besi gerbang.
"Tapi itu tidak mungkin!" teriak Mom, dipegangnya pipinya. "Mereka tidak boleh
mengurung orang di dalam taman hiburan!"
"Mungkin ini lelucon lagi," kata Luke. "Semua yang ada di tempat ini ternyata
cuma lelucon. Mungkin yang ini juga."
Kuangkat lagi gembok berat tadi. "Ini kelihatannya bukan lelucon, Luke," kataku
sebal. "Kalau begitu pasti ada gerbang lain untuk jalan keluar kita," kata Mom.
"Mungkin," kata Dad ragu. "Mungkin ada pintu samping. Tapi dari tadi tidak
kelihatan." "Apa yang akan kita lakukan?" tanya Clay, meratap. Wajahnya merah, napasnya
tersengal-sengal. "Di mana orang-orang lain?" tanya Luke, meratap juga. "Mereka harus membiarkan
kita pergi. Pokoknya harus!"
"Coba tenang dulu," kata Dad, dipegangnya bahu Luke. "Tidak perlu panik. Ini
tempat aneh, tapi kita tidak dalam keadaan berbahaya."
"Dad benar," sela Mom. "Tidak perlu takut. Sebentar lagi kita akan keluar dari
sini dan dalam perjalanan pulang." Ia tersenyum terpaksa.
"Begitu kita keluar, kubelikan kalian pizza dan minuman dingin yang banyak,"
janji Dad. "Dan kita semua akan tertawa mengingat petualangan mengerikan kita di
HorrorLand hari ini."
"Tapi bagaimana caranya kita keluar?" desak Luke melengking.
"Yah..." Dad menggaruk dagunya.
"Bagaimana kalau kita panjat pagarnya?" tanyaku.
Kami semua menatap bagian atas pagar besi itu. Tinggi sekali. Pasti sekitar enam
meter tingginya. "Aku tidak bisa memanjatnya!" teriak Clay. "Aku bisa jatuh!"
"Terlalu tinggi," kata Mom cepat.
"Ide jelek," gumamku.
Awan putih besar melayang melewati matahari. Bayangan kami di
atas trotoar tampak makin panjang. Dengan cepat udara mendingin.
Aku merinding. "Pasti ada jalan keluar dari taman konyol ini!" teriakku marah.
Kuangkat gembok itu dan kubanting ke besi-besi gerbang.
"Tenang, Lizzy," kata Dad menenangkan. "Kita cari saja salah satu pegawai taman.
Mereka akan memberitahu kita jalan keluar."
"Uh... Dad..." Aku berbalik dan melihat Luke mencengkeram lengan Dad. "Mereka
datang." Kami semua berteriak terkejut ketika melihat Horor-horor
menyeberangi pelataran. Banyak sekali. Mereka bergerak cepat,
berirama. Tanpa suara. Beberapa detik yang lalu pelataran itu kosong. Sekarang sudah terisi dengan
Horor-horor berkostum hijau yang berbaris ke arah kami,
menyebar, bersiap-siap mengurung kami.
Aku bisa merasakan perasaan panik naik dari perutku. Lututku mulai
gemetaran. Dengan ngeri kupandangi mereka bergerak makin dekat,
makin dekat. Aku tidak sanggup bicara. Aku tidak sanggup bergerak.
"Apa yang akan mereka lakukan?" teriak Clay, wajahnya berkerut ngeri. Ia
menyelinap ke belakang Dad. "Apa yang akan mereka
lakukan pada kita?" teriaknya.
KAMI merapat ketika para Horor itu maju tanpa suara ke arah kami.
Satu-satunya suara adalah bunyi pelan kaki-kaki monster-monster itu di trotoar,
dan ekor ungu panjang mereka yang menyapu tanah.
"Jumlahnya ratusan!" gumam Mom. Dicengkeramnya lengan Dad dengan satu tangan.
Tangannya yang satu lagi memeluk bahuku dan
menarikku supaya mendekat.
Punggung kami menempel di pagar besi. Tanpa daya kami pandangi
wajah-wajah hijau meringis, mata-mata kuning menonjol itu, yang
tampak seperti tertawa kejam pada kami.
Akhirnya, mereka berhenti beberapa meter di depan kami.
Pelataran sunyi senyap. Sunyi yang mengerikan.
Matahari masih tertutup awan besar. Dua burung hitam besar
melayang rendah di langit kelabu.
Kami memandangi Horor-horor itu, dan mereka balas memandangi
kami. Aku menelan ludah, bersandar ke ibuku. Aku bisa merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak, "Apa mau kalian?"
Aku kaget sendiri mendengar suaraku.
Salah satu Horor itu, wanita muda, maju.
Aku ketakutan dan mencoba mundur. Tapi punggungku sudah
menempel di pagar. "Mau apa kalian?" tanyaku lagi dengan suara gemetar.
Horor berkostum itu menatap kami satu per satu. "Saya ingin
mengucapkan terima kasih pada kalian," katanya dengan suara riang.
"Hah?" seruku. "Saya pembawa acara HorrorLand. Kami semua ingin mengucapkan
terima kasih pada kalian karena hari ini telah menjadi tamu kami." Ia tersenyum
hangat pada kami. "Maksudmu kami boleh pergi?" tanya Luke, setengah bersembunyi di balik punggung
Dad. "Tentu," kata Horor itu, tersenyum hangat. "Tapi terlebih dahulu kami semua
ingin berterima kasih pada kalian karena telah tampil di
HorrorLand Hidden Camera."
Horor-horor di belakangnya bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Hah" Maksudmu ini semacam pertunjukan?" desak Dad, keningnya berkerut.
"Lihat kamera-kamera itu?" tanya si pembawa acara. Ia menunjuk dua tiang tinggi
di pelataran. Kupandang puncak tiang dan kulihat ada dua kamera televisi.
"Maksudmu kami masuk TV?" teriak Luke.
"Sejak saat kalian tiba," jawab si pembawa acara.
"Kamera-kamera tersembunyi kami mengikuti kalian terus. Dari
adegan hebat ketika kami meledakkan mobil kalian, kamera kami
terus mengikuti kalian. Dan saya tahu penonton di rumah sangat
menyukai ekspresi ketakutan di wajah kalian dan semua jeritan ngeri kalian
ketika menaiki permainan HorrorLand."
"Tunggu sebentar," kata Dad marah. Ia maju selangkah. Tangannya mengepal rapat
di sampingnya. "Kau bilang ini acara TV" Kenapa aku tidak pernah menontonnya?"
"Kami muncul setiap akhir pekan di Saluran Monster," jawab Horor itu.
"Oh," kata Dad cepat, ia menunduk. "Kami tidak punya TV cable, sehingga tak bisa
menangkap saluran tersebut."
"Sebaiknya Anda pasang," kata Horor itu. "Anda ketinggalan banyak acara
menyeramkan yang hebat di Saluran Monster."
Horor-horor itu bertepuk tangan dan bersorak semua.
"Yah, kalian sangat berpartisipasi," lanjut pembawa acara itu, matanya yang
kuning bergoyang-goyang di depan kepalanya ketika ia bicara.
"Kami senang kalian hadir. Dan sebagai tanda penghargaan, kami punya mobil baru
yang menunggu kalian di lapangan parkir."
Horor-horor itu bersorak dan bertepuk tangan lagi.
"Mobil baru" Hebat!" seru Luke.
"Apa itu berarti kami boleh pergi?" tanya Clay lemah.
Horor itu mengangguk. "Ya, sudah waktunya kalian pergi. Pintu
keluar yang sebenarnya ada di sebelah sana, lewat pintu itu."
Ia menunjuk bangunan hijau tinggi di dekat ujung pagar. Kulihat di
sampingnya ada pintu kuning.
"Lewat pintu kuning," perintah Horor itu. "Dan sekali lagi terima kasih atas
pemunculan kalian di HorrorLand Hidden Camera!"
Sementara semua Horor bertepuk tangan, kami pergi dari pagar dan
bergegas menuju pintu keluar. "Aku tidak percaya dari tadi kita masuk TV!" seru
Mom. "Dan kita dapat mobil baru!" seru Luke senang. Ia mulai melompat-lompat. Ia
meloncat ke punggung Clay, Clay sampai nyaris terjatuh.
Aku tertawa. Senang rasanya melihat Luke kembali normal.
"Kita harus pasang TV kabel!" kata Luke pada Dad. "Aku ingin melihat Saluran
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monster. Pasti asyik!"
"Kita harus memesannya supaya bisa melihat pemunculan kita," kata Mom.
Aku sampai ke pintu kuning itu duluan dan kutarik sampai terbuka.
Aku masuk ke ruangan yang besar sekali, dengan dinding-dinding
putih yang bersinar terkena cahaya lampu putih terang dari langit-
langit. "Ini pintu keluarnya?" teriakku.
Begitu kami semua masuk, pintunya terbanting keras, jantungku
seperti mau copot saking kagetnya.
Setelah itu semua lampu mati.
"Selamat datang di Tantangan HorrorLand!" seru suara dalam dan mengerikan dari
pengeras suara. "Hah?" Aku memandang berkeliling, berusaha melihat sesuatu - apa saja - di kegelapan
pekat ini. "Kalian punya waktu satu menit untuk melalui Jalan Rintangan
Monster," kata suara itu menggelegar. "Ingatlah, sekarang permainan sudah usai.
Ini sungguhan. Kalian bermain dengan taruhan nyawa
kalian!" "KITA ditipu!" Kudengar Dad berteriak marah. Ia lalu berteriak sekuat tenaga,
"Keluarkan kami dari sini!"
"Lari!" bentak suara keras dari pengeras suara itu. "Kalian punya waktu lima
puluh enam detik." Dad mulai berteriak lagi. Tapi kami berhenti ketika tampak cahaya
suram, dan ada makhluk bertangan empat menjijikkan maju
mendekati kami. "Ohhh!" tanpa sadar aku berteriak.
Makhluk itu sebesar gorila, matanya yang hijau besar dikelilingi bulu merah
tebal di wajahnya. Air liur menetes-netes dari mulutnya. Dan
ketika membuka mulut, tampaklah dua deret taring panjang di balik
bibir ungunya yang tipis.
"Jangan berdiri saja! Lari! Ini perjalanan rintangan!" bentak suara tadi tidak
sabaran. "Kalian punya waktu lima puluh detik! Paling tidak berusahalah lari
secepat mungkin!" Monster itu menggeram pelan dan maju mendekati kami diterangi
cahaya suram. Mulutnya terbuka lebar seperti siap menyerang.
Tangannya yang besar dan berkuku tajam mencakar-cakar.
Aku terpesona sehingga tidak bisa bergerak, ketakutan sehingga tidak bisa lari.
Tapi, tiba-tiba, aku merasa ada yang menyambar tanganku dan
menarikku kuat-kuat. Dad berusaha menyelamatkan aku, pikirku.
Kudengar Luke dan Clay menjerit ketakutan. Kurasakan Mom lari di
sebelahku ketika kami mulai bergerak.
"Lari! Lari!" perintah suara besar itu mengalahkan jeritan Luke dan Clay.
Aku tidak tahu ke mana aku lari. Cahayanya suram sekali, remang-
remang. Aku hanya bisa melihat bayangan kabur, bayangan kaki yang
berlari-lari, bayangan yang bergerak-gerak.
Monster itu meraung memekakkan telinga. Kututup telingaku dan
terus berlari. Keempat cakarnya menyambar Dad. Meleset. Kami cepat-cepat
melewatinya. Ternyata ada dua burung raksasa menghadang, tingginya paling tidak
tiga meter. Bentuknya seperti bangau. Mereka berkuak-kuak dan
mengepakkan sayapnya yang besar sekali. Suaranya seperti tenda
kanvas yang berkibar-kibar ditiup angin kencang.
"Ohh! Tolong!" Aku yang berteriak begitu"
Apa aku benar-benar terkurung sayap mereka yang panas dan
mengepak-ngepak" Terjepit" Tercekik"
"Tidak! Tolong!"
Bagaimana caraku meloloskan diri"
Apakah aku sekarang dikejar-kejar enam makhluk mirip babi yang
menggeram-geram, dengan gigi-giginya yang runcing tajam, yang
tampak dari mulut mereka yang berkerut"
Teriakan dan jeritan melengking keluargaku terdengar di antara suara kepakan
sayap burung dan geraman yang menyeramkan.
Aku mendengar Dad berteriak. Dan dengan diterangi cahaya remang-
remang, aku melihatnya berjuang melepaskan diri dari makhluk
bertangan empat tadi. "Tidak!" jeritku ketika kurasakan sesuatu yang hangat melingkari kakiku. Ular
berbulu! Aku menjerit lagi dan membabi buta menendang-nendang. Ular itu
terbang ke dalam kegelapan.
Tapi sebelum aku sempat bergerak, ada ular berbulu lain melingkari
kakiku, membelit dengan cepat.
Aku membungkuk dan menariknya. Ular itu mendesis marah.
Kulemparkan ular itu ke samping.
"Lari! Lari!" bentak suara di pengeras suara. "Tinggal dua puluh detik!"
Makin banyak monster muncul di depan kami. Makhluk-makhluk
kuning mirip kadal yang menjijikkan dengan lidah hitam menjulur-
julur seperti cambuk. Bola berbulu yang melompat-lompat sambil
meraung, gigi-giginya yang tajam mencuat dari ketiga mulutnya.
Ular yang mendesis-desis, serangga besar mendengung-dengung
dengan mata merah manyala, monster-monster babi lagi. Lalu
makhluk raksasa mirip beruang menyerang kami dengan berdiri di
atas dua kakinya. Disentakkannya kepalanya yang bundar hitam ke
belakang, dan tertawa seperti hyena sementara tangannya mencakar-
cakar. "Tolong aku!" kudengar Luke menjerit. Lalu kulihat ia menghilang, terkurung
sayap salah satu burung raksasa yang mengepak-ngepak.
Burung itu berkaok penuh kemenangan ketika sayapnya merapat
membungkus adikku. "Sepuluh detik!" bentak suara itu.
"Tidak!" teriakku. Kuterkam burung itu, kucengkeram sayapnya yang mengepak-
ngepak, dan kutarik sampai terbuka.
Luke menyelinap ke luar, kami berdua segera lari.
Monster-monster menggeram, mengepak, mendengus, dan meraung.
"Apakah kita... akan lolos?" tanya Luke dengan suara kecil.
Aku tidak sempat menjawab.
Dua cakar kuat mencengkeram pinggangku, mengangkatku tinggi-
tinggi, lalu membantingku ke tanah.
Dengan kepala pening dan badan sakit semua, aku mendongak tepat
pada saat makhluk raksasa mirip gajah itu akan menginjakku dengan
kaki belakangnya yang besar dan berbulu.
Aku takkan selamat, pikirku.
Aku takkan selamat. KAKI yang besar dan rata itu menuju ke arahku pelan dan mantap.
Monster itu tidak mau terburu-buru.
Semua seperti terjadi dalam gerakan lambat.
Aku ingin bergerak. Aku ingin berguling meloloskan diri.
Tapi aku kehabisan napas karena jatuh tadi. Aku berbaring dengan
napas tersengal-sengal, memandang kaki monster itu turun untuk
meremukkanku. "Ohhh." Napasku seperti putus. Aku tidak bisa mengelak.
Aku bisa merasakan panas kaki monster itu. Aku bisa mencium
baunya yang busuk. Kaki itu menginjak perutku.
Kupejamkan mata dan menunggu rasa sakitnya terasa.
Suara keras bel membuat mataku langsung terbuka.
Bunyinya bergema di ruangan yang luas itu. Monster itu mengangkat
kakinya dari tubuhku. Lantai jadi bergetar ketika ia berjalan pergi.
Aku masih hidup" pikirku.
Atau cuma bermimpi masih hidup"
Apakah makhluk itu benar-benar pergi sebelum meremukkanku"
Suara bel bergema di telingaku. Lalu tiba-tiba berhenti. Terdengar
suara dari pengeras suara.
"Waktunya habis!" terdengar suara seorang wanita. Suara pembawa acara HorrorLand
yang tadi mengarahkan kami ke perjalanan
rintangan mengerikan ini.
"Waktunya habis. Perlombaan yang menegangkan sekali!" katanya.
Aku mengerang dan berdiri. Diterangi cahaya remang-remang, kulihat
semua monster sudah menghilang.
"Pertarungan yang seru," kata si pembawa acara dari pengeras suara.
"Ada yang selamat?"
"Ya, ada," jawab suara yang menggelegar.
"Berapa yang selamat?" tanya wanita itu.
"Tiga," jawab suara yang menggelegar. "Dari lima orang, ada tiga yang selamat."
AKU merinding. Aku menjerit ketakutan tanpa suara dan melompat berdiri.
Dari lima orang, cuma tiga yang selamat"
Apa berarti ada dua orang yang mati"
Dadaku masih terasa sakit. Lututku gemetaran. Aku memicingkan
mata menembus cahaya suram, panik mencari-cari yang lain.
Di tengah ruangan, aku melihat Luke dan Clay. Mereka berdempetan,
berjalan seperti orang linglung ke arah dinding di kejauhan.
"Hei...!" Aku mencoba memanggil mereka. Tapi yang terdengar hanya suara bisikan
tercekik. Mana Mom dan Dad"
Apakah mereka berdua dibunuh monster"
Dari lima orang, hanya tiga yang selamat. Hanya tiga.
"Tidaaaaaaaaak!" Akhirnya suaraku keluar dan aku bisa melolong panjang yang
menggema di dinding. "Maaf. Ada kesalahan kecil," kata suara menggelegar itu. "Yang benar, lima-
limanya selamat." "Lima-limanya selamat!" seru pembawa acara HorrorLand. "Rekor baru. Kita belum
pernah mengalami rekor sempurna begini. Ayo, kita
beri tepuk tangan yang meriah!"
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya, berusaha
menghentikan badanku yang gemetaran.
Mereka baik-baik saja! pikirku senang. Mom dan Dad baik-baik saja.
Aku lalu melihat mereka. Mereka memeluk Luke dan Clay dan
berjalan ke arahku. "Kita baik-baik saja!" teriakku, bergegas mendatangi mereka, tanganku terulur.
"Kita baik-baik saja!"
Kami berlima berdesakan di tengah-tengah ruangan gelap itu,
berpelukan dan menangis. Lengan Dad berdarah karena luka goresan yang dalam. Salah satu
monster itu telah mencakarnya.
Selain Dad, kami semua tidak terluka meskipun terguncang.
"Sekarang apa?" tanya Luke dengan suara bergetar. "Apakah mereka akan
mengizinkan kita pergi?"
"Mereka tidak bisa dibiarkan," kata Dad marah. "Mereka tidak bisa melakukan hal
ini pada orang-orang dan lolos begitu saja. Aku tidak peduli meskipun ini untuk
acara TV!" "Monster-monster tadi betulan!" seruku sambil bergidik. "Mereka benar-benar
berusaha membunuh kita."
"Bagaimana cara kita keluar?" desak Luke. "Apakah mereka akan membiarkan kita
keluar?" Kami semua mulai serentak berbicara, suara kami tinggi dan
ketakutan. Tiba-tiba, lampu di langit-langit menyala, menerangi ruangan dengan cahaya
terang benderang. Suara si pembawa acara memotong
percakapan kami. "Mari kita tampilkan pemenang kita dan beri tepuk tangan yang
meriah!" katanya riang.
Semua berteriak ketika lantai bergerak miring. Kupegang Dad. Kami
mulai meluncur. Lantai miring seperti papan luncur. Kami meluncur keluar dari
ruangan - dan mendarat di pelataran di luar.
Masih merasa kaget, aku cepat-cepat melompat berdiri ketika
pembawa acara HorrorLand bergegas menyambut kami. Kerumunan
Horor di belakangnya bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Kalian tidak bisa begini pada kami!" jeritku. Aku marah sekali sampai tidak
sadar apa yang kulakukan. Pokoknya aku marah bukan
main. Aku menerjang wanita itu, kusambar bagian atas topengnya, dan
kutarik dengan dua tangan.
"Kau tidak bisa begini! Tidak bisa!" jeritku. "Tunjukkan wajahmu!
Biar kulihat siapa kau sebenarnya!" Sekuat tenaga kutarik topeng itu.
Aku lalu menjerit dan kulepaskan topeng itu begitu mengetahui yang
sebenarnya. IA tidak memakai topeng! Wajah hijau seram itu memang wajah aslinya!
Ia tidak mengenakan kostum monster. Tak satu pun dari horor-horor
itu mengenakan kostum, pikirku.
Aku melangkah mundur, dengan perasaan ngeri kuangkat tanganku
seolah-olah ingin melindungi diri. "Kalian... kalian monster betulan!"
kataku tergagap. Mereka mengangguk, wajah mereka yang jelek meringis senang. Mata
kuning mereka bergerak-gerak penuh semangat.
"Kalian... kalian semua monster!" jeritku. "Tapi... tapi kau tadi bilang ini
acara TV," kataku terbata-bata pada si pembawa acara.
Matanya yang kuning menonjol menatapku. ''Dengan senang hati
kami beritahukan bahwa acara ini banyak ditonton di Saluran
Monster," katanya riang, "Karena peserta-peserta hebat seperti kau dan
keluargamu. Saluran Monster ditonton oleh hampir dua juta
monster di seluruh dunia."
"Ta... tapi...," aku tergagap, mundur selangkah lagi.
"Orang kadang-kadang tidak menganggap kami serius," lanjutnya.
"Orang datang ke HorrorLand dan mengira semua ini cuma lelucon.
Orang menertawakan papan-papan tanda di sekeliling taman. Mereka
menertawakan permainan di sini. Tapi bagi kami semua itu serius.
Semuanya." Dad maju ke sebelahku, diacung-acungkannya kepalan tangannya
dengan marah. "Tapi kau tidak boleh melakukan hal ini pada orang-orang yang
tidak menyadarinya!" teriaknya. "Kau tidak boleh membawa orang ke taman ini
untuk disiksa, dan... dan..."
"Oh, maafkan saya. Waktu kami untuk minggu ini sudah habis,"
potong si pembawa acara, digeleng-gelengkannya kepalanya yang
hijau besar. "Saya sedih harus mengucapkan selamat berpisah pada tamu-tamu
khusus kami untuk minggu ini."
"Tunggu...!" teriak Dad, kedua tangannya terangkat untuk
menghentikan omongan Horor itu.
Kerumunan Horor mendorong maju tanpa suara. Kami terpaksa ikut
bergerak bersama mereka. "Mari saya tunjukkan pada kalian bagaimana cara kami mengucapkan selamat tinggal
dalam The HorrorLand Hidden Camera Show," kata pembawa acara itu.
Dad mencoba tidak bergerak, bertahan, tapi beberapa Horor
menubruknya. Mereka sekarang menubruk kami semua, mendorong
kami menuju tempat yang tampak seperti kolam ungu bulat tak jauh
dari pelataran. Kami tidak bisa melawan. Mereka terlalu banyak.
Kami tidak bisa lari. Mereka mengepung kami.
Mereka mengarahkan kami seperti anjing gembala mengarahkan
ternak. Dalam waktu beberapa detik saja, kami sudah berdiri di
pinggir kolam ungu itu. Tercium bau busuk dari kolam itu. Cairan ungunya menggelegak-
gelegak, bunyinya bikin mual.
"Biarkan kami pergi!" teriak Luke melengking. "Kami mau pulang!"
Si pembawa acara HorrorLand tidak memedulikan ratapan paniknya
dan maju ke tepi kolam yang menggelegak itu. "Mengucapkan selamat tinggal memang
selalu menyedihkan," katanya. "Jadi kami mencoba bersenang-senang sedikit dalam
mengucapkan selamat tinggal kami."
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan kami pergi!" kata Luke berkeras. Dad memegang bahunya untuk
menenangkannya. Kami semua menatap pembawa acara itu ketika ia mengangkat batu
besar dengan satu tangan dan memegangnya di atas kolam yang
menggelegak menjijikkan itu. "Lihat," perintahnya pada kami sambil tersenyum.
Dijatuhkannya batu itu ke dalam kolam.
Begitu menyentuh permukaan air kolam yang kental, batu itu tertarik ke bawah
dengan suara mengisap yang keras.
"Gampang, kan, mengucapkan selamat tinggal?" kata Horor itu, berbalik menghadap
kami. "Sekarang, kalian mau melompat masuk...
atau mau didorong?" TANPA bersuara, Horor-horor mulai bergerak mengurung kami.
Makin dekat. Makin dekat.
Clay mundur. Ia tersandung kakiku dan hampir jatuh ke dalam lubang
ungu yang menggelegak-gelegak itu. Kusambar dia dan kupegangi
sampai keseimbangannya pulih.
Kami berlima berdiri di tepi kolam.
Bau masam menyengat hidungku. Aku merasa mual. Cairan kental
ungu kolam menyentuh pergelangan kakiku seolah-olah ingin
menyambarnya. "Mom! Dad...!" teriakku. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan dari mereka. Kami
semua tidak berdaya. Aku tahu sekali ini kami takkan bisa meloloskan diri.
Tanpa sadar kami berpegangan tangan.
"Kalian mau melompat masuk - atau ingin didorong?" pembawa acara itu mengulangi
pertanyaannya. "Aku menyesal sekali," gumam Dad pada kami, tidak dipedulikannya pembawa acara
itu. "Aku menyesal sekali membawa kalian ke mari.
Aku... aku tidak tahu..." Suaranya terputus. Ditundukkannya
pandangannya. "Dad, ini bukan salah Dad!" kataku, kuremas tangannya.
Dan ketika meremas tangannya itulah aku mendapat ide.
Ide liar. Ide konyol. Ide yang sangat gila.
Aku tahu aku harus mencobanya. Cuma itu ide yang kupunya.
"Orang menertawakan semua yang ada di taman," begitu tadi kata si pembawa acara
HorrorLand. "Tapi semua itu sangat serius bagi kami,"
katanya. Semua sangat serius... Sangat serius... Ia sekarang berdiri tepat di depanku, menunggu kami melompat
menuju ajal kami, ingin melihat kami terisap ke dalam cairan ungu
kental itu. Aku tahu ini kesempatan terakhirku. Aku tahu ini gila.
Aku maju mendekati pembawa acara itu, kuulurkan tanganku, dan
kucubit lengannya sekuat tenaga.
MULUTNYA ternganga lebar, ia terkesiap.
Ia mencoba menarik tangannya, tapi kupegangi dan kucubit lebih
kuat. "Si Pencubit Gila beraksi lagi!" teriakku, teringat teriakan menyebalkan
Luke. Mata kuningnya berputar-putar tidak keruan.
"Tidak!" ratapnya.
Makin kuat. Makin kuat. Setelah itu aku yang berteriak ketika mulutnya ternganga lebar. Dan dengan bunyi
wuus keras, keluar udara dari bibirnya.
Aku melompat mundur. Sementara udara keluar dari mulutnya, ia tampak mengempis, persis
seperti balon. Aku ternganga heran ketika ia terkulai lemas ke tanah.
Terdengar teriakan marah dari kerumunan Horor. "Tiup dia!" teriak seseorang.
"Cepat tiup dia!" Mereka mulai bergerak menuju kami, menggeram-geram marah.
"Cubit mereka!" teriakku pada keluargaku. "Cubit mereka! Tanda
'Dilarang Mencubit' yang kita anggap konyol... ternyata sungguhan!
Horor-horor itu mengempis kalau dicubit!"
Seorang Horor maju, tangannya mendorongku ke dalam kolam.
Kucubit lengannya kuat-kuat, dan beberapa detik kemudian, ia
mengempis. Kudengar bunyi wuus di sebelah kananku, kulihat Luke sudah
mengempiskan Horor juga. Wuus! Ada lagi yang mengempis dan terkulai ke trotoar.
Cuma begitu saja. Pelataran dipenuhi teriakan ngeri dan ketakutan.
Horor-horor yang sadar segera berbalik dan lari. Tepatnya berebutan lari. Mereka
berserabutan di taman, menjerit-jerit sambil berlari.
Aku menarik napas dalam-dalam dan dengan lega mengamati mereka
melarikan diri. "Lihat" Aku selalu berhasil dengan satu cubitan!"
kataku, heran sendiri mendengar aku bisa bercanda.
Kurasa tidak ada yang mendengarnya. Mereka asyik berteriak-teriak
kegirangan, berpeluk-pelukan, melompat-lompat.
"Ayo kita pergi dari sini!" teriakku. Aku segera berlari menuju gerbang depan.
Yang lain segera mengikuti.
Gerbang itu sekarang sudah terbuka. Kurasa Horor-horor itu yang
membukanya. Mereka mengira satu-satunya tempat yang akan kami
datangi adalah dasar kolam ungu tadi.
Tanpa menoleh-noleh ke belakang, kami berlari ke pelataran parkir
yang kosong. Dan berhenti. "Tidak ada mobil," gumamku.
Saking girangnya, aku sampai lupa mobil kami sudah meledak.
Aku menghela napas lelah. Aku merasa seperti mengempis, persis
seperti Horor. "Sekarang bagaimana?" tanyaku, kupandangi pelataran parkir yang
luas itu. "Kalau berjalan kaki terlalu jauh!" ratap Luke. "Bagaimana cara kita keluar dari
sini?" "Bus-busnya!" teriak Mom, menunjuk. Kualihkan pandangan ke deretan bus ungu
hijau yang diparkir di samping pelataran. Bus-bus
itu berkilauan disinari cahaya matahari.
"Yeah!" teriak Dad senang. "Mungkin bisa kita hidupkan satu dan pergi dari
sini!" Kami segera berlari melintasi trotoar, menuju bus-bus. "Berdoalah,"
seru Dad, ia lari di depan. "Mungkin kuncinya ditinggal di busnya.
Cuma itu kesempatan kita!"
"Cepat!" teriak Luke tiba-tiba. "Mereka datang!" Jantungku serasa melompat. Aku
menoleh ke arah gerbang. Horor-horor berkeluaran dari taman, mengejar kami. "Menyerahlah!
Kalian tidak bisa lolos!" jerit salah satu dari mereka.
"Tidak pernah ada yang lolos!" teriak Horor lain.
"Cepat!" teriak Luke. "Cepat! Mereka akan menangkap kita!"
DENGAN diikuti para Horor, yang berteriak-teriak mengancam, kami
lari sekuat tenaga menuju deretan bus.
Jantungku berdebar-debar hampir sekeras suara sepatuku.
Tenggorokanku sakit, bagian samping tubuhku terasa sakit menusuk.
Tapi aku lari terus. "Kalian tidak bisa lolos!"
"Berhenti sekarang!"
"Menyerahlah!" Teriakan-teriakan marah para Horor itu terdengar makin dekat. Tapi
aku tidak menoleh untuk melihat apakah mereka bisa menyusul atau
tidak. Pintu bus pertama terbuka. Dad sampai duluan dan cepat-cepat
menaiki tangga masuk. Mom melangkah masuk, diikuti Luke dan Clay.
Mesinnya terbatuk, lalu menyala dengan suara menggelegar ketika
aku masuk. Pintu bus menutup di belakangku. "Dad... kuncinya!"
seruku. "Ya! Ada!" teriaknya senang. "Pegangan! Kita pergi!"
Ditekannya pedal gas, bus itu melesat maju. Aku tersandung di gang
dan jatuh ke kursi di belakang Luke dan Clay.
"Cepat! Mereka datang! Mereka datang!" jerit Luke dan Clay serentak.
Dari balik jendela bus yang tertutup kudengar teriakan-teriakan marah para
Horor. "Kita selamat!" teriak Dad, bersandar ke setir yang besar. "Kita selamat! Kita
keluar dari sini!" "Yes!" teriakku senang. "Yes!"
Kami semua bersorak. Kami terus bersorak-sorai sampai keluar dari
tempat parkir dan berada di jalan raya lagi.
Kami tertawa dan bersyukur di sepanjang perjalanan pulang.
Perjalanan itu butuh waktu berjam-jam, tapi kami tidak peduli. Kami selamat!
Kami lolos! Hari sudah malam ketika Dad membelokkan mobil ke jalan masuk
rumah kami. "Senangnya sampai di rumah!" teriakku girang.
Kami bergegas keluar dari bus. Aku menghirup napas dalam-dalam
dan menggeliat. Udara tercium begitu manis dan segar. Halaman
depan bersinar diterangi bulan purnama.
Lalu aku melihatnya. Seorang Horor, dan ia menempel di bagian
belakang bus kami. "Oh, tidak!" teriakku.
"Sedang apa kau di sana?" tanya Dad marah.
"Sepanjang perjalanan pulang tadi kau di sana terus?" tanya Luke tidak percaya.
Aku mundur ketika Horor itu turun dari bus dan mendarat di tanah.
Matanya yang kuning mengamati kami dengan sikap mengancam. Ia
bergerak cepat ke arah kami.
Clay dan Luke bersembunyi di belakang Dad. Mulut Mom ternganga
ketakutan. "Apa maumu?" teriakku.
Diulurkannya tangannya yang hijau. "Ini," katanya. "Kami lupa memberikan tiket
gratis kalian untuk tahun depan!" END
Pendekar Riang 9 Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Kelelawar Hijau 1
mendekat" Aku tidak yakin. Dengan suara tawa yang masih terdengar di
telingaku, aku merunduk dan berlari lebih cepat.
Kami bertiga terengah-engah ketika berlari di sepanjang rel. Aku tidak melihat
orang lain. Aku juga tidak melihat orang berkostum Horor.
Kami memelankan lari kami ketika sampai di papan tanda lain. Di
papan ini ada anak panah yang menunjuk ke arah lari kami.
Tulisannya: PINTU KELUAR DEPAN. TIDAK USAH REPOT-
REPOT. KAU TAKKAN PERNAH BISA LOLOS.
Kulihat ekspresi cemas di wajah Clay ketika ia membaca tulisan itu.
"Cuma main-main," kataku padanya. "Papan-papan ini untuk lucu-lucuan."
"Ha-ha," katanya lemah. Napasnya terengah engah, susah payah ia berusaha
menenangkan diri. Tiba-tiba Luke melompat ke bahu Clay. "Hei Clay... mau main?"
Clay berteriak marah, "Turun!"
Luke tertawa dan tidak mau bergerak. Clay berlutut, berusaha
menyingkirkan Luke. "Ayo," kataku. "Luke, berhentilah berkelakua konyol begitu. Kita sedang mencari
Mom dan Dad." Tapi mereka sekarang malah tertawa-tawa dan bergulat di tanah.
"Ayolah!" teriakku, kubelalakkan mataku. "Ayo jalan!" Kutarik adikku sampai
berdiri. Kacamata Clay terjatuh. Ia berhenti dan mengambilnya dari atas
rumput. Kami lalu berjalan lagi.
Jalan setapak itu melalui taman bunga persegi - berisi bunga-bunga
hitam! Lalu tiba-tiba berakhir di depan gudang merah besar.
Anak-anak itu berjalan menuju pintu gudang yang terbuka. Aku tetap
di tempat, mencari jalan yang mengelilingi gudang. Kelihatannya
tidak ada. "Jalan itu menembus gudang menuju sisi lainnya," seru Luke padaku.
"Ayo, Lizzy!" Ia memberi isyarat supaya aku bergabung dengan mereka.
Aku melihat tanda kecil yang dicat di sebelah kanan pintu gudang.
Bunyinya: GUDANG KELELAWAR.
"Hei, ada kelelawar di dalam sana?" seruku, punggungku terasa dingin. Aku suka
binatang. Tapi kelelawar membuatku merinding.
Luke masuk ke dalam gudang. Clay tidakbergerak, berdiri di luar
pintu. "Aku tidak melihat seekor pun," seru Luke padaku. "Di sini agak gelap."
Hidungku mencium bau aneh. Menusuk dan masam. Datangnya dari
gudang. Aku tidak mau masuk ke dalam sana.
"Ayolah, Lizzy!" seru Luke. "Jalannya menembus ke sisi lain. Jangan jadi
pengecut. Kau bisa langsung lari ke sana."
Aku melangkah ke samping Clay di dekat pintu masuk dan mengintip
ke dalam gudang. "Kelihatannya tidak apa-apa," kata Clay pelan.
Bau masam tadi makin tercium. "Hii," kataku, mukaku berkerut jijik.
"Bau sekali." Luke berdiri di dalam gudang, matanya menatap kasau. "Aku tidak melihat ada apa-
apa di atas sana," lapornya.
Pintu di dinding seberang terbuka lebar. Cuma perlu waktu sepuluh
detik untuk lari menembus gudang dan keluar di sisi lain, pikirku.
"Ayo," kataku pada Clay.
Ia dan aku melangkah masuk ke dalam gudang. Bau masam menusuk
hidung. Aku menahan napas dan menutup hidung.
Kami mulai lari menuju pintu di dinding seberang - dan pintu itu
terbanting menutup. Dengan napas tersentak kaget, aku berbalik ke arah pintu tempat kami masuk tadi.
Pintu itu juga terbanting menutup.
"Hei...!" teriakku marah.
"Apa yang terjadi?" bisik Clay.
Kami berada dalam kegelapan total, lebih hitam daripada hitam.
Bau masam tadi menyelubungiku. Aku mulai merasa mual.
Lalu kudengar suara sayap mengepak-ngepak cepat.
Mula-mula pelan, lalu makin keras, makin keras.
Aku menjerit ketika merasa ada sesuatu menyapu tengkukku.
"PERGI!" Aku mengerang pelan dan membabi buta menggerak-
gerakkan tanganku di atas kepala. Suara mengepak-ngepak itu
menjauh, lalu kembali lagi.
"Kelelawar!" teriak Clay dengan suara kecil ketakutan. Kurasakan ia mencengkeram
lenganku. "Aku tidak bisa melihat!" teriak Luke.
"Gelap sekali!"
"A... aku benci kelelawar!" kataku tergagap.
Aku merasakan embusan angin ketika seekor kelelawar terbang di atas kepalaku.
Dengan panik kuayun-ayunkan tanganku.
Suara ribut mengepak-ngepak mengelilingi kami. Setelah mataku
pelan-pelan menyesuaikan diri dengan kegelapan, aku mulai melihat
sosok-sosok kabur melintas cepat. Mondar-mandir. Makin lama makin
cepat. Aku merasa ada yang menyambar bahuku. "Oh, tolong!" teriakku.
Clay mulai menjerit. "Tolong! Tolong!"
"Mereka terbang tepat ke arahku!" ratap Luke. Sesuatu menabrak bahuku. Aku
menjerit. "Tolong! Tolong!" Clay terus memohon-mohon sekuat tenaga.
Teriakannya nyaris teredam suara kepakan sayap.
Aku merasa ada kelelawar menyapu bahuku lagi. Sambil menutup
muka, aku berusaha berjalan ke arah pintu.
Bau masam itu mencekikku. Perasaan takut membuat kakiku goyah.
Aku hampir tidak bisa berjalan.
Lalu kurasakan rambutku tertarik kuat.
Sekali lagi. Suara kepakan terdengar jelas tepat di telingaku.
Suara desisan melengking. Begitu dekat, seperti berasal dari diriku.
Aku menjerit. Aku menjerit lagi.
"Ia... ia tersangkut di rambutku!" teriakku, jatuh berlutut.
Desisan melengking lagi. Rambutku tertarik lagi.
Kuayunkan tanganku. Kupukul dia. Aku merasakan badannya yang
hangat, sapuan sayapnya yang mengepak-ngepak.
Kutarik kuat-kuat - kutarik dari rambutku. "Ohhh, tolong!" teriakku.
Suara kepakan sayap dan bunyi melengking mengepungku. Aku bisa
mendengar Luke dan Clay berteriak-teriak. Tapi mereka terdengar
jauh. Kelelawar lain menyapu pipiku. Yang lain menabrak bahuku.
Bayang-bayang melesat mondar-mandir. Gudang itu penuh dengan
kelelawar-kelelawar yang beterbangan dan mencicit-cicit.
"Ohh, tolong! Tolong!"
Seekor lagi menyapu wajahku. Aku merasakan arus angin, sayap yang
mengepak-ngepak di atas kepalaku.
"Tolong! Tolong kami!"
Tapi tak ada orang yang bisa membantu.
KUTUTUP mataku dengan satu tangan dan tangan yang lain
bergerak-gerak liar, berusaha mengusir kelelawar-kelelawar itu.
Aku tercekik dan menangis, susah rasanya bernapas.
Kudengar Luke memanggil, jauh, jauh sekali. Ia seperti berada di
balik tirai kelelawar yang mengepak-ngepak dan mencicit-cicit.
Lalu tiba-tiba, sinar matahari masuk ke dalam gudang.
Sambil berlutut, kuturunkan tanganku dari mata dan melihat pintu
gudang terbuka. Luke, berdiri di pintu, mulutnya ternganga heran, berbalik ke arah
Clay dan aku. "A - aku menyentuh pintunya, dan pintunya terbuka,"
katanya menjelaskan. Kacamata Clay tergantung di sebelah telinganya. Rambut pirangnya
berantakan. Matanya mengamati sekeliling gudang. "Mana kelelawar-kelelawar
tadi?" teriaknya. Kupandang kasau. "Hei...!" teriakku. Tak ada kelelawar. Tak ada tanda-tanda
kelelawar di mana pun. Aku berdiri, kusibakkan rambutku ke belakang dengan dua tangan.
"Ayo, keluar dari sini!" teriakku.
Clay dan aku mengikuti Luke keluar dari gudang. Sinar matahari yang hangat
terasa enak sekali! Aku masih merasa gatal gara-gara kelelawar tadi. Kugosok bahu dan
tengkukku. "Aku benci kelelawar! Benci banget!" seruku sambil bergidik.
"Tapi tadi tidak ada kelelawar," kata Luke, nyengir padaku.
"Semuanya palsu."
''Hah" Tidak!" teriak Clay marah. "Tadi itu kelelawar. Aku bisa mendengarnya - dan
merasakannya!" "Semuanya cuma efek khusus," kata Luke.
"Tapi bukan efek khusus waktu ada yang nyangkut di rambutku!"
teriakku. Baru memikirkannya saja sudah membuatku bergidik.
"Efek khusus," ulang Luke. "Betul-betul efek khusus yang hebat sekali. Aku juga
hampir ketakutan." "Hampir?" teriakku. Aku berjalan mendekat, kusambar lehernya, dan pura-pura
mencekiknya "Hampir" Kudengar tadi kau menjerit bukan main kerasnya, Luke!"
Ia melepaskan diri dari cengkeramanku, tertawa-tawa. "Aku tahu tadi itu bukan
sungguhan. Ak menjerit cuma untuk menakut-nakuti
kalian!" Tukang bohong! Aku heran sekali pada adikku.
Ia tadi ketakutan. Ia tadi sangat ketakutan. Aku tahu itu.
"Tadi itu kelelawar, bukan efek khusus," kataku kesal.
"Kalau begitu ke mana perginya waktu pintunya terbuka?" desak Luke. "Begitu
pintu terbuka, semua kelelawar hilang."
"Sudahlah, jangan dibicarakan lagi," pinta Clay. "Ayo, kita cari orangtua
kalian, oke?" "Yeah, oke," kataku, kupelototi Luke. "Kau betul-betul gila, tahu?"
Dijulurkannya lidahnya padaku.
Ingin rasanya aku meninjunya. Tapi aku berusaha menjadi orang yang
tidak suka kekerasan. Jadi kupukul saja bahunya kuat-kuat.
Ia melolong marah. "Tolol kau, Lizzy. Tolol sekali," gumamnya. "Dan kau takut
pada kelelawar palsu!"
Tidak kupedulikan dia dan berjalan duluan di jalan setapak menuju
gerbang depan. Tampak dua orang berkostum Horor, mereka berjalan
ke arah yang berlawanan, asyik bercakap-cakap.
"Apakah ini jalan menuju gerbang depan?" seruku pada mereka.
Mereka tidak mengacuhkan pertanyaanku dan melewati kami begitu
saja. "Hei...!" seruku pada mereka.
Tapi mereka tetap saja berjalan dan tampaknya tidak melihat ataupun mendengarku.
Matahari menyinari kami. Udara terasa panas dan diam, tidak ada
angin sama sekali. Kuhapus keringat dari dahiku dengan satu tangan. Aku masih bisa
mencium bau masam Gudang Kelelawar. Baunya menempel di
tanganku, di bajuku. Aku melihat empat remaja yang mengenakan pakaian renang, dua
anak laki-laki dan dua anak perempuan, bergegas berjalan di rumput
menuju kolam besar berwarna cokelat. Di tepinya ada papan tanda.
Tulisannya: KOLAM BUAYA. SILAKAN BERENANG DI SINI.
Luke tertawa. "Anak-anak itu gila barangkali." Kami berhenti dan mengamati
mereka masuk ke air. "Menurutmu di dalamnya benar-benar ada buaya?" tanya Clay, digigitnya bibirnya.
Aku mengangkat bahu. "Siapa yang tahu" Aku tidak tahu harus
berpikir apa soal taman ini!"
Kami melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, aku
mengenali struktur berbentuk gunung Seluncuran Ajal. Tampak
pelataran lebar dan bundar. Tidak ada orang. Bahkan Horor yang
menjual es krim tadi pun sudah tidak ada di keretanya.
"Menurutmu kira-kira di mana Mom dan Dad?" tanyaku.
"Mungkin sudah berjam-jam mereka mencari kita, dan sekarang
marah sekali," kata Luke, keningnya berkerut.
"Di mana mereka?" teriak Clay. Ia mulai terdengar kacau. "Kita harus menemukan
mereka." "Itu mereka?" tanya Luke. Ia menunjuk ke pria dan wanita di dekat air mancur
besar. Dengan satu tangan kulindungi mataku dari sinar matahari. Wanita itu tinggi,
rambutnya hitam. Pria itu pendek dan pirang.
"Ya! Itu mereka!" teriakku senang. Aku mulai lari menuju air mancur, memanggil-
manggil mereka, "Mom! Dad!"
Luke dan Clay lari mengejarku.
"Mom! Dad! Hei...!" aku berteriak girang.
Mereka berdua berbalik, wajah mereka tampak kaget.
"Oh!" aku berteriak ketika melihat mereka bukan Mom dan Dad. Aku langsung
berhenti lari, Luke menabrakku.
"Maaf," kataku pada pasangan yang kebingungan itu. "Kami kira Anda orangtua
kami." Kami bertiga bergegas melintasi pelataran. Aku bisa mendengar
lolongan serigala dari Desa Manusia Serigala. Kereta es krim berdiri tanpa
ditunggui di dekat pintu masuk Seluncuran Ajal.
"Di mana mereka?" tanya Clay, meratap. "Aku mulai lapar."
"Yeah. Memang sudah lewat waktu makan siang," kataku.
"Mereka bisa ada di mana saja," kata Luke kesal, ditendangnya kerikil ke
seberang trotoar. "Mereka bisa ada di mana saja di taman raksasa ini."
Aku menarik napas. "Ayo kita cari mereka di tempat teduh.
Mataharinya panas sekali."
Kami berjalan menuju bayangan bangunan Seluncuran Ajal. Tiba-tiba,
tampak dua Horor berkostum hijau. Mata mereka yang kuning besar
menonjol di kepala mereka.
Tanpa berpikir lagi, aku berlari mendatangi mereka. "Kalian lihat orangtua
kami?" tanyaku terengah-engah.
Mereka menatapku kaget. "Orangtua kalian?" ulang yang satu.
"Yeah." Aku mengangguk. "Ibu saya rambutnya hitam. Ayah saya agak pendek dan
rambutnya pirang." "Hmmmm." Kedua Horor itu saling melirik.
"Ibu mengenakan pakaian warna kuning cerah," kataku.
"Dan Ayah memakai topi Chicago Cubs," tambah Luke.
"Oh, yeah. Betul," kata salah satu Horor, yang wanita.
"Anda melihat mereka?" tanyaku bersemangat.
Ia mengangguk. "Yeah. Aku ingat. Mereka pergi. Mereka pergi kira-kira setengah
jam yang lalu." "Hah?" Aku ternganga tidak percaya.
"Mereka memintaku menyampaikan pesan pada kalian," kata Horor itu.
"Pesan" Pesan apa?" tanyaku.
"Selamat tinggal," jawab Horor itu.
"ANDA pasti salah!" teriakku. "Mereka tidak mungkin pergi."
"Kira-kira setengah jam yang lalu," ulang Horor itu. Ia mengangkat bahu di balik
kostum monster besarnya. "Aku ada di gerbang waktu mereka pergi."
"Tapi... tapi..." kataku tergagap.
Kedua Horor itu berbalik dan berjalan menuju gudang putih kecil di
tepi pelataran. "Hei, tunggu!" seruku, kukejar mereka. "Anda pasti keliru. Orangtua kami takkan
pergi tanpa kami." Mereka menghilang ke dalam gudang. Pintunya terbanting menutup.
Aku berbalik ke arah Luke dan Clay. Mereka bengong melihatku.
"Ia keliru," kataku pada mereka. "Mom dan Dad masih ada di sini.
Aku tahu." "Kalau begitu kenapa dia bilang...," kata Clay, tapi suaranya terputus.
Kulihat dia sangat cemas dan bingung. Titik-titik keringat mengalir di keningnya
yang merah muda. Luke berusaha bercanda. "Kurasa itu berarti kita bisa main di taman ini sampai
puas!" serunya, tersenyum terpaksa.
"Lucu sekali," jawabku sebal. "Kita juga tidak punya uang, dan kira-kira lima
ratus kilometer dari rumah."
"Kita bisa menelepon," usul Luke.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak ada telepon," gumam Clay. Ia menunduk, dimasukkannya tangannya ke dalam
saku celana pendeknya, lalu memunggungi kami.
"Oh, iya," kata Luke. "Mereka sudah bilang pada Dad tidak ada telepon di taman
ini." "Gila," kataku sengit. "Mereka pembohong. Horor-horor itu pembohong semua."
"Kurasa memang itu tugas mereka," kata Luke. "Berbohong pada kita supaya kita
setengah mati ketakutan. Itu sebabnya mereka menamai
tempat ini HorrorLand."
"Mereka seharusnya menamainya DumbLand, 'Tempat Konyol',"
gumam Clay muram. "Tapi tempat ini kan asyik sekali!" protes Luke. "Aku sangat suka ditakut-takuti
setengah mati. Kau juga, kan?" Didorongnya Clay kuat-kuat.
"Tidak," jawab Clay pelan. Ia tidak berusaha membalas mendorong Luke.
"Yah, ia berbohong soal Mom dan Dad," kataku berkeras, kupandangi gudang putih
itu. "Ia cuma mencoba menakut-nakuti kita. Mom dan Dad masih ada di sini. Kita
tinggal mencarinya saja."
"Ayo," desak Luke. "Kuharap kita cepat menemukan mereka. Aku sudah lapar
sekali." *** Rasanya sampai berjam-jam kami menjelajahi taman itu. Kami
mencari ke hutan yang gelap dan misterius dan ke desa-desa monster
yang aneh. Kami melewati daerah karnaval yang berisi banyak sekali
permainan yang tampak menakutkan.
Di seberang Desa Vampir, kami melalui bangunan bertuliskan Kebun
Binatang Monster. Tempat itu tertutup. Tapi kami bisa mendengar
geraman yang sangat mengerikan, lolongan, dan raungan yang
datangnya dari dalam. Di luar sebuah gedung kuning panjang ada tanda yang berbunyi:
MUSEUM GUILLOTINE. HARAP PEGANG KEPALAMU. Luke
ingin masuk, tapi Clay dan aku berhasil melarangnya.
HorrorLand anehnya sekarang jadi sepi. Kami melewati beberapa
Horor yang berkostum hijau manyala berjalan tergesa-gesa di jalan
setapak. Dan kami melihat beberapa keluarga, selalu dengan anak
yang menangis. Permainan di daerah karnaval kosong semua. Kios-kios makanan dan
restoran juga kosong. Kami berjalan ke seberang taman. Perasaanku makin tidak keruan.
Kenapa kami belum juga bertemu dengan Mom dan Dad"
Seharusnya saat ini kami sudah bertemu.
Clay jadi pendiam sekali. Aku tahu ia sangat ketakutan. Bahkan Luke pun berjalan
gontai dengan bahu membungkuk dan kepala tertunduk.
Ketika kami sampai di Kolam Buaya lagi, perasaanku sudah kacau.
Kulewati pinggirannya yang berumput dan berjalan menuju tepi air.
"Menurutmu apa yang terjadi pada remaja-remaja yang berenang di sini tadi?"
tanya Luke, ia memandang ke seberang kolam. "Dimakan buaya?"
"Mungkin," jawabku. Aku tidak terlalu mendengar perkataannya. Aku sedang
memikirkan Mom dan Dad. "Hei, lihat!" teriak Clay, menunjuk ke air.
Aku melihat di permukaan air ada dua batang kayu panjang berwarna
cokelat kehijau-hijauan mengapung ke arah kami. Sesaat kemudian
baru aku sadar batang-batang kayu itu buaya.
"Besar-besar!" seru Clay dengan suara tercekik.
"Sebaiknya kita mundur," kataku memperingatkan.
Kami bertiga berdiri di tepi air. Buaya-buaya itu mengapung tak
bersuara tepat di bawah permukaan air, nyaris tidak bergerak.
"Mom dan Dad tidak mungkin pergi tanpa kita," kataku untuk yang keseribu
kalinya. "Tapi kita sudah mencari ke mana-mana," kata Luke pelan.
"Mereka takkan pergi tanpa kita," kataku. "Mereka takkan meninggalkan kita.
Jadi..." Aku ragu. Aku berpikir keras, dan pikiranku mengerikan semua.
"Jadi?" tanya Clay penuh semangat.
"Jadi kalau mereka tidak ada di taman," kataku melanjutkan, "berarti terjadi
sesuatu pada mereka. Sesuatu yang tidak enak menimpa
mereka." Clay terkesiap. Luke memicingkan matanya. "Apa maksudmu,
Lizzy?" tanyanya. "Maksudku, mungkin tempat ini benar-benar tidak baik," kataku.
"Dan mungkin Horor-horor itu atau orang lain berbuat jahat pada Mom dan Dad."
Kutatap punggung buaya cokelat yang meluncur begitu halus, begitu
tenang ke arah kami. "Gila," gumam Luke.
Aku tahu memang gila. Tapi aku tidak punya pikiran lain.
"Aku punya perasaan tidak enak pada tempat ini," kataku. "Sangat tidak enak."
Dan ketika aku berkata begitu, aku merasa ada tangan yang
mencengkeramku kuat-kuat dari belakang dan mendorongku ke dalam
Kolam Buaya. AKU menjerit. Lalu aku sadar aku bukan dilemparkan ke dalam air.
Tangan-tangan itu memegang bahuku.
Aku berbalik. "Dad!" teriakku.
"Lizzy!" serunya, tetap memegangi aku. "Dari mana saja kalian?"
"Sudah dua belas kali kami mencari-cari di taman ini!" seru Mom. Ia berdiri di
rerumputan di belakang kami, berkacak pinggang.
"Kami mencari-cari Mom dan Dad!" teriakku.
"Kata mereka Mom dan Dad sudah pergi!" kata Luke.
"Kami ketakutan," tambah Clay.
Kami semua langsung berebutan bicara. Aku senang sekali bertemu
mereka. Dan kulihat Luke dan Clay juga sangat senang.
Aku sudah membayangkan segala macam hal mengerikan menimpa
Mom dan Dad. Tidak biasanya aku membiarkan khayalanku melantur
begitu. Tapi HorrorLand memang tempat yang mengerikan. Rasanya tidak
mungkin kalau tidak punya pikiran mengerikan di sini.
"Aku mau pulang," kataku.
"Dad menemukan telepon?" tanya Clay. "Dad mendapat mobil?"
Dad menggeleng. "Tidak. Tidak ada telepon. Orang berkostum
monster itu tidak berbohong. Tidak ada telepon di taman ini."
"Tapi Horor-horor itu baik sekali pada kami," sela Mom. "Mereka bilang kami
tidak usah khawatir."
"Mereka bilang datang saja ke tempat penjualan tiket kalau kita sudah mau
pergi," kata Dad. Mom mengelus lembut rambut Luke. "Kalian naik permainan, kan?"
"Kami mengalami banyak kejadian menakutkan," kata Luke.
"Sangat menakutkan," tambah Clay.
"Aku benar-benar lapar," kata Luke.
Dad melirik jam tangannya. "Sudah lewat jam makan siang. Kurasa kita semua pasti
lapar." "Restoran dan kedai makanan semuanya ada di seberang taman," kata Mom.
"Bagaimana kalau setelah makan siang kita langsung pergi?" tanyaku penuh
semangat. Perasaanku pada tempat ini masih tidak enak. Aku
ingin pergi dari HorrorLand, jauh-jauh.
"Aku dan ibumu dari tadi cuma mencari-cari kalian saja," kata Dad, diusapnya
keringat dari dahinya yang terbakar matahari. "Kami sama sekali belum bersenang-
senang." "Sebelum pulang sebaiknya kita semua naik satu permainan bersama-sama," kata
Mom. "Aku ingin pergi," desakku. "Ingin sekali."
"Lizzy, tidak biasanya kau begitu," omel Mom.
"Ia ketakutan," kata Luke. "Ia pengecut."
"Mungkin ada permainan yang bisa membawa kita ke depan taman,"
kata Dad. "Kita semua menaikinya, makan siang, lalu pergi."
"Kedengarannya boleh juga," kata Mom. Dipandangnya aku. "Kau setuju?"
"Rasanya," kataku, sambil menarik napas, "semua permainan di sini terlalu
mengerikan, sih. Tidak ada asyik-asyiknya."
Luke tertawa. "Terlalu mengerikan bagi Lizzy - bagi Clay dan aku tidak," katanya.
"Betul, kan, Clay?"
"Aku agak ketakutan di Gudang Kelelawar," Clay mengaku.
Kami pergi dari Kolam Buaya, melintasi pinggiran berumput menuju
trotoar. Dua Horor berlalu, asyik berbicara dengan suara pelan.
Jeritan ngeri melengking seorang anak perempuan terdengar dari suatu tempat di
kejauhan. Teriakan mengerikan itu terdengar berulang-ulang.
Di depan kami terdengar lolongan serigala. Dan dari speaker yang
tersembunyi di antara pepohonan, aku mendengar tawa jahat, tawa
menyeramkan yang berulang kali terdengar. "Rasanya seperti di dalam film horor,"
kata Mom. "Pintar sekali," tambah Dad. Ia berjalan sambil memegangi bahuku.
"Aneh kita tidak pernah mendengar soal taman ini."
"Mestinya diiklankan di TV," kata Mom. "Dengan begitu lebih banyak orang datang
kemari." Kami melewati bangunan hijau tinggi menjulang, di depannya ada
tanda yang berbunyi: TERJUN BEBAS. SATU-SATUNYA
BUNGEE IUMP TANPA TALI. "Mau coba?" tanya Dad, diremasnya bahuku dan nyengir.
"Rasanya tidak," jawabku cepat.
Luke berjalan jauh di depan kami. Ia berbalik dan berjalan mundur,
menunggu kami menyusulnya. "Mom dan Dad mestinya mencoba
Seluncuran Ajal," katanya, nyengir. "Dahsyat!"
Apa ia sudah lupa betapa ketakutannya ia tadi"
"Kurasa mereka takkan menyukainya," kataku pelan.
"Mungkin kita bisa menemukan permainan yang sedikit menakutkan,"
usul Clay. Dad tertawa. "Kau merasa senang, Clay?"
Clay ragu. "Sedikit," jawabnya akhirnya.
"Aku merasa sangat senang!" seru Luke.
Jalan setapak itu berkelok di sepanjang sungai kecil berwarna cokelat.
Beribu-ribu serangga putih kecil terbang berkerumun di atas
permukaan air. Disinari cahaya matahari, mereka kelihatan seperti
berlian-berlian kecil berkilauan.
Tampak rumah perahu cokelat kecil. Di belakangnya, aku melihat
kano-kano kecil bergoyang-goyang di bawah dok kayu.
Papan tanda di samping rumah perahu itu berbunyi: PELAYARAN
NAIK PETI MATI. PERJALANAN MENYENANGKAN MENUJU
LIANG KUBUR. "Ini mungkin mengasyikkan," kata Mom, matanya menatap perahu-perahu kecil itu.
"Kurasa sungai ini menuju ke depan taman," kata Dad. "Ayo naik!"
Luke bersorak dan lari ke dok.
Aku berjalan pelan di belakang yang lain. Ketika akhirnya sampai di dok, sesaat
kemudian baru aku sadar bahwa benda-benda yang
bergoyang-goyang di air cokelat itu bukan kano - tapi peti mati!
Peti-peti itu terbuat dari kayu hitam berpelitur. Tutupnya terbuka, menampakkan
bagian dalam yang dilapisi satin merah. Tiap peti mati
cukup untuk satu orang. Aku merinding. "Kita betulan mau masuk ke peti mati?" tanyaku.
"Kelihatannya nyaman," kata Mom, tersenyum padaku. "Airnya tenang, Lizzy. Tidak
akan mengerikan." "Aku duluan!" teriak Luke, lari ke ujung dok kayu.
Dua Horor muncul untuk membantu kami masuk ke dalam peti mati.
"Berbaringlah. Nikmati perjalananmu," kata salah seorang Horor itu.
"Akan jadi perjalanan terakhirmu," tambah Horor lain sambil tertawa pelan.
Setelah kami semua berada di dalam peti mati, Horor-horor itu
membuka tambatannya dan mendorong kami kuat-kuat menjauh dari
dok. Ini dia, pikirku, terbaring di peti matiku.
Ini dia, seluruh keluargaku, terbaring di peti mati.
Peti-peti itu melaju tenang, bergoyang-goyang di air. Kupandang
langit biru cerah di atas. Pepohonan bergoyang-goyang di tepi sungai ketika aku
lewat. Sangat indah, nyaman sekali.
Kenapa tadi aku mengira sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang
mengerikan" KARENA berbaring, aku tidak bisa melihat keluargaku. Tapi aku bisa
mendengar suara peti mati mereka bersentuhan dengan air.
"Enak," kata Mom. "Nyaman sekali."
"Membosankan!" seru Luke dari depanku. "Mana bagian
mengerikannya?" "Ini cuma pelayaran santai naik peti mati," kata Dad. "Menurut kalian kita
benar-benar berlayar" Atau jangan-jangan peti mati ini ada
relnya?" "Aku tahan berlayar seperti ini selama berjam-jam," kata Mom.
"Permainan di sini panjang-panjang,'' kata Clay. "Yang di langit itu elang, ya?"
tanya Dad. "Kalian bisa melihatnya?"
Kulindungi mataku dengan satu tangan untuk menghindari silaunya
matahari, aku menatap langit. Tepat di atas kami, bayangan hitam
melayang-layang tinggi di langit, sedikit lebih besar daripada sebuah titik.
"Itu bukan elang. Aku yakin itu burung bangkai!" seru Luke. "Ia melihat peti
mati ini dan menunggu untuk memakan daging kita!" Ia tertawa.
"Luke... dari mana kau mendapat pikiran menyeramkan begitu?"
desak Mom. "Mungkin Luke mestinya tinggal di HorrorLand!" seru Dad. "Kita beri dia salah
satu kostum monster hijau itu, ia pasti langsung pas!"
"Ia tidak perlu kostum!" kataku bercanda. Aku mulai merasa lebih enak sedikit.
Permainan ini tenang dan menyenangkan. Dan kurasa
tidak akan terjadi hal-hal mengerikan karena ada keluargaku.
Aku berbaring santai di dasar peti mati, tanganku tergeletak di
samping. Dengan mengantuk kupandangi burung tadi berputar-putar
jauh di langit yang bersih. Peti matiku bergerak pelan, suara air
terdengar lembut. Begitu menyenangkan... Begitu tenang... Lalu, sebelum aku sempat berteriak, tutup peti matiku terbanting
menutup. Dan aku terperangkap dalam kegelapan total.
"HEi...!" teriakku. Suaraku teredam kayu tebal yang menutupiku.
Aku bisa mendengar bunyi peti-peti mati lainnya terbanting menutup.
"Hei... keluarkan aku!"
Kudorong tutup itu dengan kedua tangan, tapi tidak bergerak.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba lagi. Kali ini dengan
tangan dan kaki. Tutup berat itu tetap tidak bergerak.
Jantungku berdebar-debar kencang sekali, rasanya dadaku seperti mau meledak.
Udara di dalam peti mati yang tertutup ini mulai terasa panas dan pengap.
"Buka! Buka!" jeritku.
Kucoba lagi mendorong tutupnya. Aku mendengar teriakan pelan
Clay di peti mati di sebelahku. Anak malang itu menjerit kencang.
Aku menggeram keras sambil mendorong sekuat tenaga. Tutup itu
tidak bergerak satu senti pun. Tenang, Lizzy. Tenang, perintahku
dalam hati. Ini cuma permainan konyol. Tutup peti matinya sebentar
lagi akan terbuka. Dengan napas terengah-engah, aku menunggu. Kuhitung sampai
sepuluh. Kuhitung sampai sepuluh lagi.
Tutupnya tidak membuka. Kucoba memejamkan mata dan menghitung sampai lima puluh. Pada
hitungan kelima puluh, aku berkata dalam hati, aku akan membuka
mata, dan tutupnya akan terbuka.
"...dua puluh dua, dua puluh tiga, dua puluh empat...," aku menghitung dengan
suara keras. Suaraku terdengar kecil dan tercekik. Sekarang
sulit rasanya bernapas. Udara mulai terasa pengap sekali.
Aku berhenti pada hitungan kedua puluh lima dan membuka mata.
Tutupnya belum terbuka. Panas sekali di dalam sini, pikirku. Cahaya matahari menyinari tutup peti mati.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak ada udara, dan aku akan terpanggang!
Aku berusaha menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar.
Aku megap-megap. Di luar, aku mendengar teriakan-teriakan tidak jelas.
Apa ibuku yang menjerit seperti itu"
"Ini cuma permainan," kataku keras-keras. "Cuma permainan konyol.
Tutup ini akan terbuka - sekarang!"
Tapi tidak. Udara begitu panas, begitu panas dan pengap. Kenapa tutupnya tidak
membuka" Kenapa" Aku berusaha menghilangkan rasa panikku, tapi tidak bisa. Sekujur
tubuhku gemetaran. Kurasakan keringat dingin menetes dari
keningku. "Ada yang tidak beres!" teriakku keras. "Tutup ini mestinya membuka - tapi temyata
tidak!" Dengan panik, kudorong-dorong
dengan dua tangan. Tanganku jadi sakit karena terlalu kuat
mendorong. Tapi tutup itu tidak mau membuka. Peti matiku bergerak-
gerak di air. Kuturunkan tanganku dengan putus asa. Kuhirup udara yang panas
dan pengap. Dadaku naik-turun. Tubuhku bergetar.
Lalu kurasakan kakiku mulai gatal. Dan ada yang menggelitik di dekat pergelangan
kaki. Menjalar di sepanjang kakiku.
Terasa gatal dan menjalar.
Ada sesuatu merayap pelan di kakiku.
Sesuatu yang kecil dan tajam.
"Ohh," aku mengerang ketakutan.
Labah-labah! AKU mencoba menggaruk kakiku, tapi tanganku kurang panjang.
Karena tidak bisa bergerak atau membungkuk di dalam peti mati yang
sempit ini, aku tidak bisa mencapai kakiku.
Perasaan menggelitik itu bergerak naik.
Aku ingin menjerit, tapi jadinya malah batuk-batuk.
Lalu tutup peti matiku terbuka. Cahaya terang sinar matahari
membuatku memejamkan mata.
"Oh!" Aku bangun ke posisi duduk. Dengan mata berkedip-kedip silau, kulihat
keluargaku sudah keluar dari peti mati mereka.
Kugaruk-garuk kakiku. Aneh, tidak ada labah-labah. Tidak ada
serangga apa pun. Peti matiku bergerak ke dok kecil. Kupegang tepi peti matiku dan
berdiri. "Ayo keluar dari sini!" Kudengar Clay berteriak.
"Seram sekali tadi!" jerit ibuku.
Luke diam saja. Wajahnya pucat, dan rambut hitamnya menempel di
keningnya karena keringatan.
"Mereka benar-benar sudah keterlaluan!" kata Dad marah. "Aku akan mengajukan
pengaduan." "Sudahlah, kita pergi saja!" kata Mom.
Kami semua bersusah payah naik ke dok. Kubantu Clay naik. Lalu
kuhirup napas dalam-dalam.
Dad lari melewati dok menuju pelataran terbuka, kami bergegas
menyusulnya. "Ke tempat penjualan tiket!" serunya pada kami. "Di sana!"
tunjuknya. Permainan naik peti mati tadi membawa kami ke depan taman. Aku
bisa melihat gerbang depan dan deretan tempat penjualan tiket
berwarna hijau di sebelah kanan.
"Permainan tadi benar-benar tidak enak!" kata Clay, menggeleng-geleng.
"Kakiku jadi gatal semua. Kukira ada semut!" seru Luke.
"Kukira labah-labah!" kataku.
"Aku ingin tahu bagaimana mereka melakukannya," kata Luke serius.
"Aku tidak peduli," jawabku. "Aku cuma mau keluar dari sini. Aku benci tempat
ini!" "Aku juga," kata Clay.
"Mereka keterlaluan," kata Mom terengah-engah, ia berlari-lari bersama kami
mengikuti Dad. "Tidak asyik lagi kalau permainannya mengerikan seperti tadi.
Napasku sampai sesak."
"Aku juga," kataku padanya.
"Hei, bagaimana cara kita pulang?" tanya Luke tiba-tiba,
dipandangnya Mom. "Mobil kita kan meledak."
"Kurasa orang-orang berkostum monster itu akan meminjami kita
mobil," jawab Mom." "Mereka bilang pada ayahmu tinggal datang saja ke tempat
penjualan tiket." "Bisa kita berhenti dan beli pizza?" tanya Luke. "Kita keluar saja dulu dari
tempat ini, setelah itu baru memikirkan makan siang," kata Mom.
Pelataran utama kosong sama sekali. Tidak ada orang lain.
Kami mengikuti Dad ke tempat penjualan tiket pertama. Ia berbalik
menghadap kami, wajahnya kecewa. "Tutup," katanya. Jendelanya tertutup terali
besi. Dad terengah-engah karena dari tadi berlari-lari. Dengan dua tangan diusapnya
rambut pirangnya dari dahinya yang berkeringat. "Sebelah sana," katanya.
Kami mengikutinya ke tempat penjualan tiket berikut. Tutup juga.
Lalu berikutnya. Tutup. Kami segera menyadari bahwa semua tempat penjualan tiket sudah
tutup. "Aneh," kata Luke, menggeleng-geleng.
"Apa mereka kira hari ini tidak ada pengunjung lagi?" tanya Mom pada Dad.
"Kenapa mereka bisa tutup begitu saja?"
Dad mengangkat bahu. "Kita harus bertanya pada seseorang."
Matanya mengamati tempat yang kosong itu.
Aku berbalik dan ikut mengamati pelataran. Tidak tampak ada orang.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada Horor.
"Coba kita ke sana," kata Dad. Ia berjalan menuju bangunan hijau pendek yang
terletak jauh dari tempat penjualan tiket. Kelihatannya seperti kantor.
Gedung itu tutup juga. "Apa yang terjadi" Ke mana perginya orang-orang?"
tanyanya. Mom memegang tangan Dad. "Aneh sekali," katanya pelan.
Kulirik Luke dan Clay. Mereka berdiri tegang bersebelahan di depan
kantor. Tak ada yang bicara.
"Dad yakin ini tempat penjualan tiketnya?" tanyaku.
"Ya," jawab Dad lelah. "Ini pintu depan."
"Jadi ke mana orang-orang?" tanya Mom, digigit-gigitnya bibirnya.
"Mungkin kita bisa menemukan seseorang di tempat parkir," usulku.
"Tahu, kan" Tukang parkir atau apalah. Mereka pasti bisa
memberitahu kita bagaimana cara mendapatkan mobil untuk pulang."
"Ide bagus, Lizzy," kata Dad. Ditepuknya kepalaku, seperti waktu aku masih kecil
dulu. Kutunggu Luke mengolok-olokku. Tapi ia diam saja. Kurasa ia terlalu cemas dan
bingung. "Ayo," desakku. Aku berbalik dan berlari melewati tempat-tempat penjualan tiket
yang kosong. Gerbang depan HorrorLand yang tinggi
dan terbuat dari besi menjulang tak jauh dari tempat penjualan tiket.
Aku berhenti sebentar untuk membaca papan tanda di samping salah
satu tempat penjualan tiket. Bunyinya: TIDAK ADA JALAN
KELUAR. TAK ADA YANG BISA MENINGGALKAN HORROR-
LAND HIDUP-HIDUP! "Ha-ha," kataku mengejek. "Papan-papan ini h-bat, ya?"
Aku berlari dan sampai di gerbang duluan. Kutarik, tapi pintu itu tidak mau
terbuka. Jadi kucoba mendorongnya.
Tidak bergerak. Lalu kulihat ada rantai berat dan gembok baja besar di gerbang itu.
Sambil menelan ludah, aku berbalik menghadap yang lain.
"Kita terkurung!" kataku.
"APA?" Dad menatapku, wajahnya berkerut bingung. Kurasa ia tidak percaya pada
ucapanku. "Kita terkurung!" ulangku. Kuangkat gembok baja berat itu dengan dua tangan,
lalu kulepaskan sehingga berbunyi keras karena beradu
dengan besi-besi gerbang.
"Tapi itu tidak mungkin!" teriak Mom, dipegangnya pipinya. "Mereka tidak boleh
mengurung orang di dalam taman hiburan!"
"Mungkin ini lelucon lagi," kata Luke. "Semua yang ada di tempat ini ternyata
cuma lelucon. Mungkin yang ini juga."
Kuangkat lagi gembok berat tadi. "Ini kelihatannya bukan lelucon, Luke," kataku
sebal. "Kalau begitu pasti ada gerbang lain untuk jalan keluar kita," kata Mom.
"Mungkin," kata Dad ragu. "Mungkin ada pintu samping. Tapi dari tadi tidak
kelihatan." "Apa yang akan kita lakukan?" tanya Clay, meratap. Wajahnya merah, napasnya
tersengal-sengal. "Di mana orang-orang lain?" tanya Luke, meratap juga. "Mereka harus membiarkan
kita pergi. Pokoknya harus!"
"Coba tenang dulu," kata Dad, dipegangnya bahu Luke. "Tidak perlu panik. Ini
tempat aneh, tapi kita tidak dalam keadaan berbahaya."
"Dad benar," sela Mom. "Tidak perlu takut. Sebentar lagi kita akan keluar dari
sini dan dalam perjalanan pulang." Ia tersenyum terpaksa.
"Begitu kita keluar, kubelikan kalian pizza dan minuman dingin yang banyak,"
janji Dad. "Dan kita semua akan tertawa mengingat petualangan mengerikan kita di
HorrorLand hari ini."
"Tapi bagaimana caranya kita keluar?" desak Luke melengking.
"Yah..." Dad menggaruk dagunya.
"Bagaimana kalau kita panjat pagarnya?" tanyaku.
Kami semua menatap bagian atas pagar besi itu. Tinggi sekali. Pasti sekitar enam
meter tingginya. "Aku tidak bisa memanjatnya!" teriak Clay. "Aku bisa jatuh!"
"Terlalu tinggi," kata Mom cepat.
"Ide jelek," gumamku.
Awan putih besar melayang melewati matahari. Bayangan kami di
atas trotoar tampak makin panjang. Dengan cepat udara mendingin.
Aku merinding. "Pasti ada jalan keluar dari taman konyol ini!" teriakku marah.
Kuangkat gembok itu dan kubanting ke besi-besi gerbang.
"Tenang, Lizzy," kata Dad menenangkan. "Kita cari saja salah satu pegawai taman.
Mereka akan memberitahu kita jalan keluar."
"Uh... Dad..." Aku berbalik dan melihat Luke mencengkeram lengan Dad. "Mereka
datang." Kami semua berteriak terkejut ketika melihat Horor-horor
menyeberangi pelataran. Banyak sekali. Mereka bergerak cepat,
berirama. Tanpa suara. Beberapa detik yang lalu pelataran itu kosong. Sekarang sudah terisi dengan
Horor-horor berkostum hijau yang berbaris ke arah kami,
menyebar, bersiap-siap mengurung kami.
Aku bisa merasakan perasaan panik naik dari perutku. Lututku mulai
gemetaran. Dengan ngeri kupandangi mereka bergerak makin dekat,
makin dekat. Aku tidak sanggup bicara. Aku tidak sanggup bergerak.
"Apa yang akan mereka lakukan?" teriak Clay, wajahnya berkerut ngeri. Ia
menyelinap ke belakang Dad. "Apa yang akan mereka
lakukan pada kita?" teriaknya.
KAMI merapat ketika para Horor itu maju tanpa suara ke arah kami.
Satu-satunya suara adalah bunyi pelan kaki-kaki monster-monster itu di trotoar,
dan ekor ungu panjang mereka yang menyapu tanah.
"Jumlahnya ratusan!" gumam Mom. Dicengkeramnya lengan Dad dengan satu tangan.
Tangannya yang satu lagi memeluk bahuku dan
menarikku supaya mendekat.
Punggung kami menempel di pagar besi. Tanpa daya kami pandangi
wajah-wajah hijau meringis, mata-mata kuning menonjol itu, yang
tampak seperti tertawa kejam pada kami.
Akhirnya, mereka berhenti beberapa meter di depan kami.
Pelataran sunyi senyap. Sunyi yang mengerikan.
Matahari masih tertutup awan besar. Dua burung hitam besar
melayang rendah di langit kelabu.
Kami memandangi Horor-horor itu, dan mereka balas memandangi
kami. Aku menelan ludah, bersandar ke ibuku. Aku bisa merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak, "Apa mau kalian?"
Aku kaget sendiri mendengar suaraku.
Salah satu Horor itu, wanita muda, maju.
Aku ketakutan dan mencoba mundur. Tapi punggungku sudah
menempel di pagar. "Mau apa kalian?" tanyaku lagi dengan suara gemetar.
Horor berkostum itu menatap kami satu per satu. "Saya ingin
mengucapkan terima kasih pada kalian," katanya dengan suara riang.
"Hah?" seruku. "Saya pembawa acara HorrorLand. Kami semua ingin mengucapkan
terima kasih pada kalian karena hari ini telah menjadi tamu kami." Ia tersenyum
hangat pada kami. "Maksudmu kami boleh pergi?" tanya Luke, setengah bersembunyi di balik punggung
Dad. "Tentu," kata Horor itu, tersenyum hangat. "Tapi terlebih dahulu kami semua
ingin berterima kasih pada kalian karena telah tampil di
HorrorLand Hidden Camera."
Horor-horor di belakangnya bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Hah" Maksudmu ini semacam pertunjukan?" desak Dad, keningnya berkerut.
"Lihat kamera-kamera itu?" tanya si pembawa acara. Ia menunjuk dua tiang tinggi
di pelataran. Kupandang puncak tiang dan kulihat ada dua kamera televisi.
"Maksudmu kami masuk TV?" teriak Luke.
"Sejak saat kalian tiba," jawab si pembawa acara.
"Kamera-kamera tersembunyi kami mengikuti kalian terus. Dari
adegan hebat ketika kami meledakkan mobil kalian, kamera kami
terus mengikuti kalian. Dan saya tahu penonton di rumah sangat
menyukai ekspresi ketakutan di wajah kalian dan semua jeritan ngeri kalian
ketika menaiki permainan HorrorLand."
"Tunggu sebentar," kata Dad marah. Ia maju selangkah. Tangannya mengepal rapat
di sampingnya. "Kau bilang ini acara TV" Kenapa aku tidak pernah menontonnya?"
"Kami muncul setiap akhir pekan di Saluran Monster," jawab Horor itu.
"Oh," kata Dad cepat, ia menunduk. "Kami tidak punya TV cable, sehingga tak bisa
menangkap saluran tersebut."
"Sebaiknya Anda pasang," kata Horor itu. "Anda ketinggalan banyak acara
menyeramkan yang hebat di Saluran Monster."
Horor-horor itu bertepuk tangan dan bersorak semua.
"Yah, kalian sangat berpartisipasi," lanjut pembawa acara itu, matanya yang
kuning bergoyang-goyang di depan kepalanya ketika ia bicara.
"Kami senang kalian hadir. Dan sebagai tanda penghargaan, kami punya mobil baru
yang menunggu kalian di lapangan parkir."
Horor-horor itu bersorak dan bertepuk tangan lagi.
"Mobil baru" Hebat!" seru Luke.
"Apa itu berarti kami boleh pergi?" tanya Clay lemah.
Horor itu mengangguk. "Ya, sudah waktunya kalian pergi. Pintu
keluar yang sebenarnya ada di sebelah sana, lewat pintu itu."
Ia menunjuk bangunan hijau tinggi di dekat ujung pagar. Kulihat di
sampingnya ada pintu kuning.
"Lewat pintu kuning," perintah Horor itu. "Dan sekali lagi terima kasih atas
pemunculan kalian di HorrorLand Hidden Camera!"
Sementara semua Horor bertepuk tangan, kami pergi dari pagar dan
bergegas menuju pintu keluar. "Aku tidak percaya dari tadi kita masuk TV!" seru
Mom. "Dan kita dapat mobil baru!" seru Luke senang. Ia mulai melompat-lompat. Ia
meloncat ke punggung Clay, Clay sampai nyaris terjatuh.
Aku tertawa. Senang rasanya melihat Luke kembali normal.
"Kita harus pasang TV kabel!" kata Luke pada Dad. "Aku ingin melihat Saluran
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monster. Pasti asyik!"
"Kita harus memesannya supaya bisa melihat pemunculan kita," kata Mom.
Aku sampai ke pintu kuning itu duluan dan kutarik sampai terbuka.
Aku masuk ke ruangan yang besar sekali, dengan dinding-dinding
putih yang bersinar terkena cahaya lampu putih terang dari langit-
langit. "Ini pintu keluarnya?" teriakku.
Begitu kami semua masuk, pintunya terbanting keras, jantungku
seperti mau copot saking kagetnya.
Setelah itu semua lampu mati.
"Selamat datang di Tantangan HorrorLand!" seru suara dalam dan mengerikan dari
pengeras suara. "Hah?" Aku memandang berkeliling, berusaha melihat sesuatu - apa saja - di kegelapan
pekat ini. "Kalian punya waktu satu menit untuk melalui Jalan Rintangan
Monster," kata suara itu menggelegar. "Ingatlah, sekarang permainan sudah usai.
Ini sungguhan. Kalian bermain dengan taruhan nyawa
kalian!" "KITA ditipu!" Kudengar Dad berteriak marah. Ia lalu berteriak sekuat tenaga,
"Keluarkan kami dari sini!"
"Lari!" bentak suara keras dari pengeras suara itu. "Kalian punya waktu lima
puluh enam detik." Dad mulai berteriak lagi. Tapi kami berhenti ketika tampak cahaya
suram, dan ada makhluk bertangan empat menjijikkan maju
mendekati kami. "Ohhh!" tanpa sadar aku berteriak.
Makhluk itu sebesar gorila, matanya yang hijau besar dikelilingi bulu merah
tebal di wajahnya. Air liur menetes-netes dari mulutnya. Dan
ketika membuka mulut, tampaklah dua deret taring panjang di balik
bibir ungunya yang tipis.
"Jangan berdiri saja! Lari! Ini perjalanan rintangan!" bentak suara tadi tidak
sabaran. "Kalian punya waktu lima puluh detik! Paling tidak berusahalah lari
secepat mungkin!" Monster itu menggeram pelan dan maju mendekati kami diterangi
cahaya suram. Mulutnya terbuka lebar seperti siap menyerang.
Tangannya yang besar dan berkuku tajam mencakar-cakar.
Aku terpesona sehingga tidak bisa bergerak, ketakutan sehingga tidak bisa lari.
Tapi, tiba-tiba, aku merasa ada yang menyambar tanganku dan
menarikku kuat-kuat. Dad berusaha menyelamatkan aku, pikirku.
Kudengar Luke dan Clay menjerit ketakutan. Kurasakan Mom lari di
sebelahku ketika kami mulai bergerak.
"Lari! Lari!" perintah suara besar itu mengalahkan jeritan Luke dan Clay.
Aku tidak tahu ke mana aku lari. Cahayanya suram sekali, remang-
remang. Aku hanya bisa melihat bayangan kabur, bayangan kaki yang
berlari-lari, bayangan yang bergerak-gerak.
Monster itu meraung memekakkan telinga. Kututup telingaku dan
terus berlari. Keempat cakarnya menyambar Dad. Meleset. Kami cepat-cepat
melewatinya. Ternyata ada dua burung raksasa menghadang, tingginya paling tidak
tiga meter. Bentuknya seperti bangau. Mereka berkuak-kuak dan
mengepakkan sayapnya yang besar sekali. Suaranya seperti tenda
kanvas yang berkibar-kibar ditiup angin kencang.
"Ohh! Tolong!" Aku yang berteriak begitu"
Apa aku benar-benar terkurung sayap mereka yang panas dan
mengepak-ngepak" Terjepit" Tercekik"
"Tidak! Tolong!"
Bagaimana caraku meloloskan diri"
Apakah aku sekarang dikejar-kejar enam makhluk mirip babi yang
menggeram-geram, dengan gigi-giginya yang runcing tajam, yang
tampak dari mulut mereka yang berkerut"
Teriakan dan jeritan melengking keluargaku terdengar di antara suara kepakan
sayap burung dan geraman yang menyeramkan.
Aku mendengar Dad berteriak. Dan dengan diterangi cahaya remang-
remang, aku melihatnya berjuang melepaskan diri dari makhluk
bertangan empat tadi. "Tidak!" jeritku ketika kurasakan sesuatu yang hangat melingkari kakiku. Ular
berbulu! Aku menjerit lagi dan membabi buta menendang-nendang. Ular itu
terbang ke dalam kegelapan.
Tapi sebelum aku sempat bergerak, ada ular berbulu lain melingkari
kakiku, membelit dengan cepat.
Aku membungkuk dan menariknya. Ular itu mendesis marah.
Kulemparkan ular itu ke samping.
"Lari! Lari!" bentak suara di pengeras suara. "Tinggal dua puluh detik!"
Makin banyak monster muncul di depan kami. Makhluk-makhluk
kuning mirip kadal yang menjijikkan dengan lidah hitam menjulur-
julur seperti cambuk. Bola berbulu yang melompat-lompat sambil
meraung, gigi-giginya yang tajam mencuat dari ketiga mulutnya.
Ular yang mendesis-desis, serangga besar mendengung-dengung
dengan mata merah manyala, monster-monster babi lagi. Lalu
makhluk raksasa mirip beruang menyerang kami dengan berdiri di
atas dua kakinya. Disentakkannya kepalanya yang bundar hitam ke
belakang, dan tertawa seperti hyena sementara tangannya mencakar-
cakar. "Tolong aku!" kudengar Luke menjerit. Lalu kulihat ia menghilang, terkurung
sayap salah satu burung raksasa yang mengepak-ngepak.
Burung itu berkaok penuh kemenangan ketika sayapnya merapat
membungkus adikku. "Sepuluh detik!" bentak suara itu.
"Tidak!" teriakku. Kuterkam burung itu, kucengkeram sayapnya yang mengepak-
ngepak, dan kutarik sampai terbuka.
Luke menyelinap ke luar, kami berdua segera lari.
Monster-monster menggeram, mengepak, mendengus, dan meraung.
"Apakah kita... akan lolos?" tanya Luke dengan suara kecil.
Aku tidak sempat menjawab.
Dua cakar kuat mencengkeram pinggangku, mengangkatku tinggi-
tinggi, lalu membantingku ke tanah.
Dengan kepala pening dan badan sakit semua, aku mendongak tepat
pada saat makhluk raksasa mirip gajah itu akan menginjakku dengan
kaki belakangnya yang besar dan berbulu.
Aku takkan selamat, pikirku.
Aku takkan selamat. KAKI yang besar dan rata itu menuju ke arahku pelan dan mantap.
Monster itu tidak mau terburu-buru.
Semua seperti terjadi dalam gerakan lambat.
Aku ingin bergerak. Aku ingin berguling meloloskan diri.
Tapi aku kehabisan napas karena jatuh tadi. Aku berbaring dengan
napas tersengal-sengal, memandang kaki monster itu turun untuk
meremukkanku. "Ohhh." Napasku seperti putus. Aku tidak bisa mengelak.
Aku bisa merasakan panas kaki monster itu. Aku bisa mencium
baunya yang busuk. Kaki itu menginjak perutku.
Kupejamkan mata dan menunggu rasa sakitnya terasa.
Suara keras bel membuat mataku langsung terbuka.
Bunyinya bergema di ruangan yang luas itu. Monster itu mengangkat
kakinya dari tubuhku. Lantai jadi bergetar ketika ia berjalan pergi.
Aku masih hidup" pikirku.
Atau cuma bermimpi masih hidup"
Apakah makhluk itu benar-benar pergi sebelum meremukkanku"
Suara bel bergema di telingaku. Lalu tiba-tiba berhenti. Terdengar
suara dari pengeras suara.
"Waktunya habis!" terdengar suara seorang wanita. Suara pembawa acara HorrorLand
yang tadi mengarahkan kami ke perjalanan
rintangan mengerikan ini.
"Waktunya habis. Perlombaan yang menegangkan sekali!" katanya.
Aku mengerang dan berdiri. Diterangi cahaya remang-remang, kulihat
semua monster sudah menghilang.
"Pertarungan yang seru," kata si pembawa acara dari pengeras suara.
"Ada yang selamat?"
"Ya, ada," jawab suara yang menggelegar.
"Berapa yang selamat?" tanya wanita itu.
"Tiga," jawab suara yang menggelegar. "Dari lima orang, ada tiga yang selamat."
AKU merinding. Aku menjerit ketakutan tanpa suara dan melompat berdiri.
Dari lima orang, cuma tiga yang selamat"
Apa berarti ada dua orang yang mati"
Dadaku masih terasa sakit. Lututku gemetaran. Aku memicingkan
mata menembus cahaya suram, panik mencari-cari yang lain.
Di tengah ruangan, aku melihat Luke dan Clay. Mereka berdempetan,
berjalan seperti orang linglung ke arah dinding di kejauhan.
"Hei...!" Aku mencoba memanggil mereka. Tapi yang terdengar hanya suara bisikan
tercekik. Mana Mom dan Dad"
Apakah mereka berdua dibunuh monster"
Dari lima orang, hanya tiga yang selamat. Hanya tiga.
"Tidaaaaaaaaak!" Akhirnya suaraku keluar dan aku bisa melolong panjang yang
menggema di dinding. "Maaf. Ada kesalahan kecil," kata suara menggelegar itu. "Yang benar, lima-
limanya selamat." "Lima-limanya selamat!" seru pembawa acara HorrorLand. "Rekor baru. Kita belum
pernah mengalami rekor sempurna begini. Ayo, kita
beri tepuk tangan yang meriah!"
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya, berusaha
menghentikan badanku yang gemetaran.
Mereka baik-baik saja! pikirku senang. Mom dan Dad baik-baik saja.
Aku lalu melihat mereka. Mereka memeluk Luke dan Clay dan
berjalan ke arahku. "Kita baik-baik saja!" teriakku, bergegas mendatangi mereka, tanganku terulur.
"Kita baik-baik saja!"
Kami berlima berdesakan di tengah-tengah ruangan gelap itu,
berpelukan dan menangis. Lengan Dad berdarah karena luka goresan yang dalam. Salah satu
monster itu telah mencakarnya.
Selain Dad, kami semua tidak terluka meskipun terguncang.
"Sekarang apa?" tanya Luke dengan suara bergetar. "Apakah mereka akan
mengizinkan kita pergi?"
"Mereka tidak bisa dibiarkan," kata Dad marah. "Mereka tidak bisa melakukan hal
ini pada orang-orang dan lolos begitu saja. Aku tidak peduli meskipun ini untuk
acara TV!" "Monster-monster tadi betulan!" seruku sambil bergidik. "Mereka benar-benar
berusaha membunuh kita."
"Bagaimana cara kita keluar?" desak Luke. "Apakah mereka akan membiarkan kita
keluar?" Kami semua mulai serentak berbicara, suara kami tinggi dan
ketakutan. Tiba-tiba, lampu di langit-langit menyala, menerangi ruangan dengan cahaya
terang benderang. Suara si pembawa acara memotong
percakapan kami. "Mari kita tampilkan pemenang kita dan beri tepuk tangan yang
meriah!" katanya riang.
Semua berteriak ketika lantai bergerak miring. Kupegang Dad. Kami
mulai meluncur. Lantai miring seperti papan luncur. Kami meluncur keluar dari
ruangan - dan mendarat di pelataran di luar.
Masih merasa kaget, aku cepat-cepat melompat berdiri ketika
pembawa acara HorrorLand bergegas menyambut kami. Kerumunan
Horor di belakangnya bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Kalian tidak bisa begini pada kami!" jeritku. Aku marah sekali sampai tidak
sadar apa yang kulakukan. Pokoknya aku marah bukan
main. Aku menerjang wanita itu, kusambar bagian atas topengnya, dan
kutarik dengan dua tangan.
"Kau tidak bisa begini! Tidak bisa!" jeritku. "Tunjukkan wajahmu!
Biar kulihat siapa kau sebenarnya!" Sekuat tenaga kutarik topeng itu.
Aku lalu menjerit dan kulepaskan topeng itu begitu mengetahui yang
sebenarnya. IA tidak memakai topeng! Wajah hijau seram itu memang wajah aslinya!
Ia tidak mengenakan kostum monster. Tak satu pun dari horor-horor
itu mengenakan kostum, pikirku.
Aku melangkah mundur, dengan perasaan ngeri kuangkat tanganku
seolah-olah ingin melindungi diri. "Kalian... kalian monster betulan!"
kataku tergagap. Mereka mengangguk, wajah mereka yang jelek meringis senang. Mata
kuning mereka bergerak-gerak penuh semangat.
"Kalian... kalian semua monster!" jeritku. "Tapi... tapi kau tadi bilang ini
acara TV," kataku terbata-bata pada si pembawa acara.
Matanya yang kuning menonjol menatapku. ''Dengan senang hati
kami beritahukan bahwa acara ini banyak ditonton di Saluran
Monster," katanya riang, "Karena peserta-peserta hebat seperti kau dan
keluargamu. Saluran Monster ditonton oleh hampir dua juta
monster di seluruh dunia."
"Ta... tapi...," aku tergagap, mundur selangkah lagi.
"Orang kadang-kadang tidak menganggap kami serius," lanjutnya.
"Orang datang ke HorrorLand dan mengira semua ini cuma lelucon.
Orang menertawakan papan-papan tanda di sekeliling taman. Mereka
menertawakan permainan di sini. Tapi bagi kami semua itu serius.
Semuanya." Dad maju ke sebelahku, diacung-acungkannya kepalan tangannya
dengan marah. "Tapi kau tidak boleh melakukan hal ini pada orang-orang yang
tidak menyadarinya!" teriaknya. "Kau tidak boleh membawa orang ke taman ini
untuk disiksa, dan... dan..."
"Oh, maafkan saya. Waktu kami untuk minggu ini sudah habis,"
potong si pembawa acara, digeleng-gelengkannya kepalanya yang
hijau besar. "Saya sedih harus mengucapkan selamat berpisah pada tamu-tamu
khusus kami untuk minggu ini."
"Tunggu...!" teriak Dad, kedua tangannya terangkat untuk
menghentikan omongan Horor itu.
Kerumunan Horor mendorong maju tanpa suara. Kami terpaksa ikut
bergerak bersama mereka. "Mari saya tunjukkan pada kalian bagaimana cara kami mengucapkan selamat tinggal
dalam The HorrorLand Hidden Camera Show," kata pembawa acara itu.
Dad mencoba tidak bergerak, bertahan, tapi beberapa Horor
menubruknya. Mereka sekarang menubruk kami semua, mendorong
kami menuju tempat yang tampak seperti kolam ungu bulat tak jauh
dari pelataran. Kami tidak bisa melawan. Mereka terlalu banyak.
Kami tidak bisa lari. Mereka mengepung kami.
Mereka mengarahkan kami seperti anjing gembala mengarahkan
ternak. Dalam waktu beberapa detik saja, kami sudah berdiri di
pinggir kolam ungu itu. Tercium bau busuk dari kolam itu. Cairan ungunya menggelegak-
gelegak, bunyinya bikin mual.
"Biarkan kami pergi!" teriak Luke melengking. "Kami mau pulang!"
Si pembawa acara HorrorLand tidak memedulikan ratapan paniknya
dan maju ke tepi kolam yang menggelegak itu. "Mengucapkan selamat tinggal memang
selalu menyedihkan," katanya. "Jadi kami mencoba bersenang-senang sedikit dalam
mengucapkan selamat tinggal kami."
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan kami pergi!" kata Luke berkeras. Dad memegang bahunya untuk
menenangkannya. Kami semua menatap pembawa acara itu ketika ia mengangkat batu
besar dengan satu tangan dan memegangnya di atas kolam yang
menggelegak menjijikkan itu. "Lihat," perintahnya pada kami sambil tersenyum.
Dijatuhkannya batu itu ke dalam kolam.
Begitu menyentuh permukaan air kolam yang kental, batu itu tertarik ke bawah
dengan suara mengisap yang keras.
"Gampang, kan, mengucapkan selamat tinggal?" kata Horor itu, berbalik menghadap
kami. "Sekarang, kalian mau melompat masuk...
atau mau didorong?" TANPA bersuara, Horor-horor mulai bergerak mengurung kami.
Makin dekat. Makin dekat.
Clay mundur. Ia tersandung kakiku dan hampir jatuh ke dalam lubang
ungu yang menggelegak-gelegak itu. Kusambar dia dan kupegangi
sampai keseimbangannya pulih.
Kami berlima berdiri di tepi kolam.
Bau masam menyengat hidungku. Aku merasa mual. Cairan kental
ungu kolam menyentuh pergelangan kakiku seolah-olah ingin
menyambarnya. "Mom! Dad...!" teriakku. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan dari mereka. Kami
semua tidak berdaya. Aku tahu sekali ini kami takkan bisa meloloskan diri.
Tanpa sadar kami berpegangan tangan.
"Kalian mau melompat masuk - atau ingin didorong?" pembawa acara itu mengulangi
pertanyaannya. "Aku menyesal sekali," gumam Dad pada kami, tidak dipedulikannya pembawa acara
itu. "Aku menyesal sekali membawa kalian ke mari.
Aku... aku tidak tahu..." Suaranya terputus. Ditundukkannya
pandangannya. "Dad, ini bukan salah Dad!" kataku, kuremas tangannya.
Dan ketika meremas tangannya itulah aku mendapat ide.
Ide liar. Ide konyol. Ide yang sangat gila.
Aku tahu aku harus mencobanya. Cuma itu ide yang kupunya.
"Orang menertawakan semua yang ada di taman," begitu tadi kata si pembawa acara
HorrorLand. "Tapi semua itu sangat serius bagi kami,"
katanya. Semua sangat serius... Sangat serius... Ia sekarang berdiri tepat di depanku, menunggu kami melompat
menuju ajal kami, ingin melihat kami terisap ke dalam cairan ungu
kental itu. Aku tahu ini kesempatan terakhirku. Aku tahu ini gila.
Aku maju mendekati pembawa acara itu, kuulurkan tanganku, dan
kucubit lengannya sekuat tenaga.
MULUTNYA ternganga lebar, ia terkesiap.
Ia mencoba menarik tangannya, tapi kupegangi dan kucubit lebih
kuat. "Si Pencubit Gila beraksi lagi!" teriakku, teringat teriakan menyebalkan
Luke. Mata kuningnya berputar-putar tidak keruan.
"Tidak!" ratapnya.
Makin kuat. Makin kuat. Setelah itu aku yang berteriak ketika mulutnya ternganga lebar. Dan dengan bunyi
wuus keras, keluar udara dari bibirnya.
Aku melompat mundur. Sementara udara keluar dari mulutnya, ia tampak mengempis, persis
seperti balon. Aku ternganga heran ketika ia terkulai lemas ke tanah.
Terdengar teriakan marah dari kerumunan Horor. "Tiup dia!" teriak seseorang.
"Cepat tiup dia!" Mereka mulai bergerak menuju kami, menggeram-geram marah.
"Cubit mereka!" teriakku pada keluargaku. "Cubit mereka! Tanda
'Dilarang Mencubit' yang kita anggap konyol... ternyata sungguhan!
Horor-horor itu mengempis kalau dicubit!"
Seorang Horor maju, tangannya mendorongku ke dalam kolam.
Kucubit lengannya kuat-kuat, dan beberapa detik kemudian, ia
mengempis. Kudengar bunyi wuus di sebelah kananku, kulihat Luke sudah
mengempiskan Horor juga. Wuus! Ada lagi yang mengempis dan terkulai ke trotoar.
Cuma begitu saja. Pelataran dipenuhi teriakan ngeri dan ketakutan.
Horor-horor yang sadar segera berbalik dan lari. Tepatnya berebutan lari. Mereka
berserabutan di taman, menjerit-jerit sambil berlari.
Aku menarik napas dalam-dalam dan dengan lega mengamati mereka
melarikan diri. "Lihat" Aku selalu berhasil dengan satu cubitan!"
kataku, heran sendiri mendengar aku bisa bercanda.
Kurasa tidak ada yang mendengarnya. Mereka asyik berteriak-teriak
kegirangan, berpeluk-pelukan, melompat-lompat.
"Ayo kita pergi dari sini!" teriakku. Aku segera berlari menuju gerbang depan.
Yang lain segera mengikuti.
Gerbang itu sekarang sudah terbuka. Kurasa Horor-horor itu yang
membukanya. Mereka mengira satu-satunya tempat yang akan kami
datangi adalah dasar kolam ungu tadi.
Tanpa menoleh-noleh ke belakang, kami berlari ke pelataran parkir
yang kosong. Dan berhenti. "Tidak ada mobil," gumamku.
Saking girangnya, aku sampai lupa mobil kami sudah meledak.
Aku menghela napas lelah. Aku merasa seperti mengempis, persis
seperti Horor. "Sekarang bagaimana?" tanyaku, kupandangi pelataran parkir yang
luas itu. "Kalau berjalan kaki terlalu jauh!" ratap Luke. "Bagaimana cara kita keluar dari
sini?" "Bus-busnya!" teriak Mom, menunjuk. Kualihkan pandangan ke deretan bus ungu
hijau yang diparkir di samping pelataran. Bus-bus
itu berkilauan disinari cahaya matahari.
"Yeah!" teriak Dad senang. "Mungkin bisa kita hidupkan satu dan pergi dari
sini!" Kami segera berlari melintasi trotoar, menuju bus-bus. "Berdoalah,"
seru Dad, ia lari di depan. "Mungkin kuncinya ditinggal di busnya.
Cuma itu kesempatan kita!"
"Cepat!" teriak Luke tiba-tiba. "Mereka datang!" Jantungku serasa melompat. Aku
menoleh ke arah gerbang. Horor-horor berkeluaran dari taman, mengejar kami. "Menyerahlah!
Kalian tidak bisa lolos!" jerit salah satu dari mereka.
"Tidak pernah ada yang lolos!" teriak Horor lain.
"Cepat!" teriak Luke. "Cepat! Mereka akan menangkap kita!"
DENGAN diikuti para Horor, yang berteriak-teriak mengancam, kami
lari sekuat tenaga menuju deretan bus.
Jantungku berdebar-debar hampir sekeras suara sepatuku.
Tenggorokanku sakit, bagian samping tubuhku terasa sakit menusuk.
Tapi aku lari terus. "Kalian tidak bisa lolos!"
"Berhenti sekarang!"
"Menyerahlah!" Teriakan-teriakan marah para Horor itu terdengar makin dekat. Tapi
aku tidak menoleh untuk melihat apakah mereka bisa menyusul atau
tidak. Pintu bus pertama terbuka. Dad sampai duluan dan cepat-cepat
menaiki tangga masuk. Mom melangkah masuk, diikuti Luke dan Clay.
Mesinnya terbatuk, lalu menyala dengan suara menggelegar ketika
aku masuk. Pintu bus menutup di belakangku. "Dad... kuncinya!"
seruku. "Ya! Ada!" teriaknya senang. "Pegangan! Kita pergi!"
Ditekannya pedal gas, bus itu melesat maju. Aku tersandung di gang
dan jatuh ke kursi di belakang Luke dan Clay.
"Cepat! Mereka datang! Mereka datang!" jerit Luke dan Clay serentak.
Dari balik jendela bus yang tertutup kudengar teriakan-teriakan marah para
Horor. "Kita selamat!" teriak Dad, bersandar ke setir yang besar. "Kita selamat! Kita
keluar dari sini!" "Yes!" teriakku senang. "Yes!"
Kami semua bersorak. Kami terus bersorak-sorai sampai keluar dari
tempat parkir dan berada di jalan raya lagi.
Kami tertawa dan bersyukur di sepanjang perjalanan pulang.
Perjalanan itu butuh waktu berjam-jam, tapi kami tidak peduli. Kami selamat!
Kami lolos! Hari sudah malam ketika Dad membelokkan mobil ke jalan masuk
rumah kami. "Senangnya sampai di rumah!" teriakku girang.
Kami bergegas keluar dari bus. Aku menghirup napas dalam-dalam
dan menggeliat. Udara tercium begitu manis dan segar. Halaman
depan bersinar diterangi bulan purnama.
Lalu aku melihatnya. Seorang Horor, dan ia menempel di bagian
belakang bus kami. "Oh, tidak!" teriakku.
"Sedang apa kau di sana?" tanya Dad marah.
"Sepanjang perjalanan pulang tadi kau di sana terus?" tanya Luke tidak percaya.
Aku mundur ketika Horor itu turun dari bus dan mendarat di tanah.
Matanya yang kuning mengamati kami dengan sikap mengancam. Ia
bergerak cepat ke arah kami.
Clay dan Luke bersembunyi di belakang Dad. Mulut Mom ternganga
ketakutan. "Apa maumu?" teriakku.
Diulurkannya tangannya yang hijau. "Ini," katanya. "Kami lupa memberikan tiket
gratis kalian untuk tahun depan!" END
Pendekar Riang 9 Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Kelelawar Hijau 1