Suatu Hari Di Horrorland 1
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland Bagian 1
KETIKA memasuki gerbang HorrorLand, kami sama sekali tak
menyangka bahwa, tak sampai satu jam kemudian, kami semua akan
terbaring di dalam peti mati.
Aku yang paling tenang dalam keluarga Morris. Semua orang bilang,
"Lizzy, kau yang paling tenang." Dan aku mencoba menceritakan kisah ini dengan
tenang. Tapi, percayalah - tak mungkin!
Kami dulu tidak pernah berencana pergi ke HorrorLand. Sebetulnya,
kami malah tidak pernah mendengar tentang adanya HorrorLand.
Kami berlima berdesak-desakan di dalam mobil Toyota kecil Dad,
dalam perjalanan untuk bersenang-senang di Taman Hiburan Zoo
Gardens. Dad membuat keadaan jadi kacau karena lupa membawa
peta. Tapi kata Mom taman hiburan itu pasti mudah sekali ditemukan.
Kalau kami sudah dekat dengan taman itu, kata Mom, pasti banyak
tanda untuk menunjukkan arah. Tapi sejauh ini kami belum melihat
satu tanda pun. Dad mengemudikan mobil, Mom duduk di sebelahnya di depan. Aku
di belakang, berdesak-desakan dengan Luke, adik laki-lakiku yang
umurnya sepuluh tahun, dan Clay, teman Luke.
Tempatku tidak enak. Adikku tidak bisa duduk tenang sedikit pun.
Terutama kalau berada di dalam mobil. Energinya terlalu banyak. Dan ia benar-
benar tolol. Makin jauh perjalanan kami, makin gelisah saja kelakuan Luke. Ia
mencoba bergulat dengan Clay, tapi tempatnya tidak muat. Lalu ia
mencoba bermain panco dengan Clay. Mereka berdua jadi mendesak-
desak posisiku sampai akhirnya aku kehilangan kesabaran dan mulai
berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.
"Kenapa kalian bertiga tidak main Alfabet saja?" kata Mom dari depan. "Carilah
huruf-huruf di luar jendela."
"Tidak ada satu pun," jawab Luke. "Tidak ada tanda apa pun."
"Tidak ada yang bisa dilihat," gerutu Clay.
Ia benar. Kami melalui lapangan-lapangan datar berpasir. Di sana sini ada pohon
kurus. Selebihnya padang pasir semua.
"Aku akan berbelok di sini," kata Dad. Dibukanya topi Chicago Cubs-nya dan
digaruk-garuknya rambut pirangnya yang sudah mulai
menipis. "Apa aku tadi sudah berbelok di sini?"
Dalam keluarga kami cuma Dad yang berambut pirang. Mom, Luke,
dan aku berambut hitam lurus dan bermata biru.
Sebetulnya Dad malah tidak tampak seperti anggota keluarga kami.
Kami bertiga tinggi dan kurus, kulit kami putih. Dad pendek dan agak gemuk,
wajahnya bulat dan hampir selalu berwarna merah muda. Aku
sering menggodanya karena kurasa ia lebih mirip pegulat daripada
manajer bank, yang merupakan pekerjaannya.
"Aku yakin tadi kita sudah ke sini," kata Dad kesal.
"Susah memastikannya. Di mana-mana padang pasir," jawab Mom, sambil memandang ke
luar jendela. "Sangat membantu," gumam Dad.
"Bagaimana aku bisa membantu?" bentak Mom.
"Kau yang meninggalkan petanya di meja dapur."
"Kukira kau yang membawanya," gerutu Dad.
"Kenapa jadi tugasku untuk membawa peta?" teriak Mom.
"Sudahlah, Mom, Dad," potongku. Begitu mulai bertengkar, mereka takkan pernah
berhenti. Yang paling baik adalah cepat-cepat
menghentikan mereka sebelum terjadi pertengkaran serius.
"Akulah sang Pencubit Gila!" teriak Luke. Ia tertawa mengerikan seperti di film-
film horor dan mulai mencubiti perut dan lengan Clay.
Aku paling benci kalau Luke pura-pura jadi Pencubit Gila. Aku
senang Clay yang duduk di tengah-tengah, di dekat Luke, bukannya
aku. Biasanya, satu-satunya cara untuk menghentikan Luke mencubit-
cubit adalah dengan meninjunya.
Clay mulai meronta-ronta dan tertawa. Ia menganggap semua yang
dilakukan Luke hebat. Ia tertawa mendengar semua lelucon dan
kelakuan konyol adikku. Kurasa itu sebabnya Luke sangat menyukai
Clay. Mereka berdua mulai cubit-cubitan. Lalu Luke mendorong Clay ke
arahku. "Jangan macam-macam!" teriakku.
Kudorong Clay lagi. Aku tahu mestinya tidak boleh. Tapi suhu di
dalam mobil makin panas, dan sudah berjam-jam kami bermobil, apa
lagi yang bisa kulakukan"
"Lizzi! Anak-anak! Mendinginlah!" seru Dad.
"Dad, sekarang orang sudah tidak bilang 'mendinginlah'," kataku tenang.
Entah kenapa, ucapanku membuat Dad mengamuk. Ia mulai berteriak-
teriak, wajahnya merah padam.
Aku tahu ia tidak marah padaku. Ia marah karena tidak bisa
menemukan Taman Hiburan Zoo Gardens.
"Ayo, semuanya tarik napas dalam-dalam dan jangan bicara," kata Mom.
"Aw! Jangan cubiti aku!" jerit Clay. Didorongnya Luke kuat-kuat.
"Kau yang jangan mencubiti aku!" teriak adikku, sambil
mendorongnya lagi. Anak laki-laki memang bikin kacau saja.
"Hei, lihat - di depan ada tanda!" Mom menunjuk ketika tampak papan hijau besar.
Luke dan Clay berhenti berkelahi. Dad bersandar ke setir mobil,
matanya terpicing menatap ke depan.
"Apa tanda itu menyebutkan di mana taman hiburannya?" desak Luke.
"Apa menyebutkan di mana kita berada?" tanya Clay.
Tulisan di papan itu kelihatan ketika kami melewatinya. Bunyinya:
PAPAN UNTUK DISEWA. Kami semua mengembuskan napas kecewa.
"Si Pencubit Gila kembali!" teriak Luke. Dicubitnya lengan Clay kuat-kuat. Luke
tidak pernah tahu kapan mesti berhenti bertingkah.
"Jalan ini tidak menuju ke mana-mana," kata Dad bersungut-sungut.
"Aku harus berputar dan kembali ke jalan raya. Kalau bisa
kutemukan." "Kurasa kau harus bertanya pada seseorang," kata Mom.
"Bertanya pada seseorang" Bertanya pada seseorang?" sembur Dad.
"Kau lihat ada orang yang bisa kutanyai?" Wajahnya merah padam lagi. Ia memegang
setir dengan satu tangan supaya tangannya yang
lain bisa meninju-ninju. "Maksudku kalau kau lihat ada pompa bensin," gumam Mom.
"Pompa bensin?" jerit Dad. "Pohon saja tidak ada!"
Dad benar. Aku memandang ke luar jendela dan yang terlihat di kedua sisi jalan
hanyalah pasir putih. Cahaya matahari menyinarinya,
pasirnya jadi berkilau-kilau. Saking berkilaunya, jadi kelihatan seperti salju.
"Aku ingin pergi ke utara," gumam Dad. "Padang pasir di selatan. Kita tadi pasti
melaju ke selatan." "Sebaiknya kau berputar," desak Mom.
"Kita tersesat?" tanya Clay. Aku bisa mendengar ia ketakutan.
Clay bukanlah anak paling berani di dunia. Malah sebetulnya ia
lumayan gampang ditakut-takuti. Pada suatu malam aku pernah
mengendap-endap di belakangnya di halaman belakang rumah kami
dan membisikkan namanya - ia nyaris terlonjak keluar dari sepatunya!
"Dad, kita tersesat?" Luke mengulangi pertanyaan tadi.
"Yeah, kita tersesat," jawab Dad pelan. "Benar-benar tersesat."
Clay berteriak pelan dan terpuruk di kursi. Ia kelihatan seperti balon kempis.
"Jangan bilang begitu!" bentak Mom.
"Apa yang seharusnya kubilang?" Dad balas membentak. "Kita jauh sekali dari Zoo
Gardens. Kita jauh sekali dari peradaban manusia!
Kita berada di padang pasir, berputar-putar tanpa arah!"
"Belok sajalah. Aku yakin kita nanti akan bertemu dengan orang yang bisa kita
tanyai," kata Mom pelan. "Dan berhentilah melebih-lebihkan."
"Kita semua akan mati di padang pasir," kata Luke, sambil tersenyum mengerikan.
"Dan burung-burung bangkai akan mencaplok mata kita dan memakan daging kita."
Adikku punya selera humor yang hebat, kan" Kau tidak bisa
membayangkan bagaimana rasanya harus tinggal dengan setan itu!
"Luke, jangan menakut-nakuti Clay," kata Mom. Ia menoleh dan melotot pada Luke.
"Saya tidak takut," kata Clay. Tapi ia kelihatan takut. Wajahnya yang bulat
tampak pucat. Dan matanya berkedip-kedip terus di balik
kacamatanya. Dengan rambutnya yang pirang pendek dan halus dan
kacamata yang bulat, Clay mirip sekali dengan burung hantu yang
ketakutan. Sambil bergumam sendiri, Dad memelankan laju mobil dan berhenti.
Ia lalu berputar, dan kami kembali lagi ke arah kami datang tadi.
"Liburan hebat," katanya dengan mulut terkatup rapat.
"Masih pagi," kata Mom, sambil melihat jam tangannya.
Matahari sudah hampir di atas kepala. Aku bisa merasakan
kehangatannya di wajahku dari atap mobil yang terbuka.
Kami melaju selama hampir setengah jam. Luke ingin bermain Dua
Puluh Pertanyaan atau Geografi dengan Clay. Tapi dengan suram Clay
menolak. Ia cuma memandang ke luar jendela terus, mengamati
padang pasir yang berlalu. Setiap beberapa menit, ia akan bertanya,
"Kita masih tersesat?"
"Lumayan tersesat," kata Dad kesal.
"Kita baik-baik saja," kata Mom menghibur kami.
Ketika kami melaju, pepohonan kurus tadi kelihatan lagi. Lalu, sesaat kemudian,
padang pasir berubah jadi lapangan-lapangan yang lebih
gelap, di sana sini ditumbuhi pohon dan semak.
Aku duduk diam-diam, tanganku mengepal di atas pangkuan,
kupandangi luar jendela. Aku tidaklah takut atau cemas, tapi aku
berharap paling tidak kami melihat pompa bensin, toko, atau manusia lain!
"Aku jadi lapar," kata Luke. "Sudah jam makan?"
Sambil menghela napas panjang yang terdengar seperti ban bocor,
Dad menepikan mobil. Ia mengulurkan tangan untuk membuka laci di
depan Mom. "Pasti ada peta di dalamnya," katanya.
"Tidak ada. Sudah kulihat," kata Mom.
Ketika mereka mulai bertengkar, kupandang atap mobil yang terbuka
di atas kepalaku. "Oh!" aku berteriak ketika melihat ada monster raksasa melotot ke arahku.
Dirundukkannya kepalanya yang besar sekali, hendak
menghancurkan mobil. AKU membuka mulut akan berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
Monster itu melotot padaku dari atas atap mobil. Setinggi bangunan, pikirku.
Matanya yang merah berkilat-kilat jahat, dan mulutnya
menyeringai lapar. "D-Dad!" Akhirnya aku bisa bersuara. Dad sedang membungkuk, mengaduk-aduk kertas
di dalam laci mobil. "Wow!" Kudengar Luke berteriak.
Aku menoleh dan melihat Luke juga sedang melotot memandangi
monster itu, mata birunya terbelalak ketakutan.
"Dad" Mom?" Jantungku berdebar-debar kencang sekali, dadaku rasanya seperti mau
pecah. "Lizzy, ada apa, sih?" tanya Mom tidak sabaran.
Monster itu merundukkan kepalanya di atas kami. Mulutnya terbuka
lebar, siap menelan mobil kami bulat-bulat.
Lalu Luke mulai tertawa. "Wow! Hebat!" teriaknya.
Dan pada saat yang bersamaan aku tersadar monster itu tidak hidup. Ia cuma
mesin, bagian dari papan iklan raksasa.
Kujulurkan kepalaku ke dekat jendela supaya bisa melihat lebih jelas.
Ternyata Dad tadi menepikan mobil tepat di samping papan iklan itu.
Orangtuaku begitu ribut bertengkar soal peta sampai tidak melihatnya!
Kupandangi monster bermata merah itu. Dirundukkannya kepalanya
dan dibukanya moncongnya. Lalu moncong itu menutup, dan kepala
yang sangat besar itu naik lagi.
"Mirip sekali dengan monster betulan!" seru Clay, sambil
memandanginya. "Tapi aku tidak tertipu," kataku berbohong. Aku takkan mau mengakui bahwa aku
tadi nyaris terlompat keluar dari atap mobil.
Lagi pula, aku kan yang paling tenang di keluarga kami.
Kuturunkan kaca jendela mobil dan kukeluarkan kepalaku untuk
membaca papan iklan di depan monster mesin itu. Iklan itu tertulis
dengan huruf-huruf merah besar, bunyinya: SELAMAT DATANG DI
HORRORLAND DI MANA MIMPI BURUK JADI KENYATAAN!
Di sebelah kiri atas ada panah merah tua, tulisannya: 1,5
KILOMETER. "Kita ke sana, ya?" desak Luke penuh semangat. Ia membungkuk ke depan dan
mencengkeram punggung kursi Dad dengan kedua
tangannya. "Bisa, ya, Dad" Bagaimana?"
"Kelihatannya menakutkan," kata Clay pelan.
Dad membanting laci mobil sampai tertutup sambil menghela napas.
Ia menyerah, tidak mau lagi mencari peta. "Luke, jangan menarik-narik kursiku,"
bentaknya. "Duduk."
"Kita ke HorrorLand, ya?" desaknya. "HorrorLand" HorrorLand apa?"
desak Mom. "Tidak pernah dengar," gumam Dad.
"Hanya satu setengah kilometer dari sini," rengek Luke.
"Kelihatannya asyik!"
Monster itu merundukkan kepalanya ke atas mobil, sambil melotot.
Lalu diangkatnya lagi kepalanya .
"Kurasa tidak," kata Mom, sambil memandangi papan iklan raksasa itu. "Zoo
Gardens taman yang indah sekali. Kelihatannya HorrorLand tidak terlalu bagus."
"Kelihatannya hebat!" kata Luke ngotot, ditarik-tariknya lagi bagian belakang
kursi Dad. "Kelihatannya sangat mengasyikkan!"
"Luke - duduk," kata Dad.
"Ayolah," desakku. "Kita takkan menemukan Zoo Gardens."
Mom ragu, digigit-gigitnya bibir bawahnya. "Entahlah," katanya kesal. "Tempat-
tempat seperti ini ada yang tidak aman."
"Pasti aman!" seru Luke. "Pasti aman sekali!" "Luke - duduk!" geram Dad.
"Bisa, ya?" desak Luke, tidak dipedulikannya perkataan Dad. "Bisa, ya?"
"Mungkin mengasyikkan," kata Clay pelan.
"Ayo kita coba saja," kataku. "Kalau tidak suka, kan bisa kita tinggalkan."
Dad menggaruk-garuk dagunya. Ia menghela napas. "Yah, kurasa
memang lebih baik daripada duduk bertengkar seharian di tempat
tidak jelas ini." "CIHUUUYY!" jerit Luke.
Luke dan aku bertepuk tangan tinggi-tinggi di atas kepala Clay.
Bagiku HorrorLand kedengarannya asyik juga. Aku suka sekali
permainan-permainan menakutkan.
"Kalau permainan-permainannya sama mengerikannya dengan
monster itu," kataku, sambil menunjuk papan iklan, "taman hiburan ini pasti
hebat!" "Menurutmu tidak terlalu menakutkan, kan?" tanya Clay. Kulihat tangannya
terkepal rapat di pangkuannya. Wajahnya tampak seperti
burung hantu ketakutan lagi.
"Tidak, tidak akan terlalu menakutkan," kataku. Oh, wow - betapa salahnya aku!
"Aku tidak percaya ada orang mau membangun taman hiburan di alam liar begini,"
kata Dad. Kami sedang melalui daerah yang tampak seperti hutan tanpa batas.
Pepohonan tinggi dan tua membungkuk di atas jalan dua jalur ini,
cahaya matahari pagi jadi hampir tidak kelihatan.
"Mungkin mereka belum membangun tamannya," kata Mom.
"Mungkin mereka akan menebangi pepohonan ini dan membangun
tamannya di sini." Kami bertiga di bangku belakang berharap Mom salah. Dan memang
Mom salah. Jalanan berkelok tajam. Dan sehabis kelokan, kami melihat ada
gerbang tinggi menuju taman tepat di depan kami.
Di balik pagar ungu tinggi, tampak HorrorLand terhampar seluas
berkilo-kilometer. Aku mencondongkan badanku ke depan dan
melihat puncak-puncak tempat permainan dan bangunan-bangunan
aneh yang berwarna-warni. Ketika melintasi pelataran parkir yang
luas sekali, terdengar suara organ yang menyeramkan.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"CIHUUYYY! Ini baru asyik!" seru Luke.
Aku dan Clay dengan girang menyetujui. Aku tidak sabar ingin segera keluar dari
mobil dan melihat semuanya.
"Pelataran parkir ini nyaris kosong," kata Dad, sambil gelisah melirik Mom.
"Artinya kita tidak perlu antre lama-lama!" seruku cepat-cepat.
"Kurasa Lizzy senang dengan tempat ini," kat Mom sambil tersenyum.
"Aku juga!" teriak Luke. Dengan penuh semangat ditinjunya bahu Clay. Luke selalu
harus meninju atau mencubit orang.
Kami melintasi pelataran parkir luas itu. Kulihat ada beberapa mobil diparkir di
dekat gerbang depan. Di ujung pelataran parkir ada sederet bis warna ungu-hijau
yang di bagian sampingnya ada tulisan
HorrorLand. Ketika kami mendekat, kupandangi gerbang depan baik-baik. Monster
yang tadi kami lihat di balik papan iklan muncul lagi dari belakang papan tanda
berwarna ungu-hijau di atas gerbang. Papan tanda itu
bertuliskan: HOROR HORRORLAND MENGUCAPKAN
SELAMAT DATANG KE HORRORLAND!
"Aku tidak paham tulisan itu," kata Mom. "Apa sih Horor HorrorLand?"
"Kita cari tahu!" seruku girang.
Suara organ yang mengerikan terdengar di pelataran parkir. Dad
membelokkan mobil ke tempat kosong di sebelah kanan gerbang
depan. Aku dan Luke membuka pintu belakang sebelum mobil benar-benar
berhenti. "Ayo!" seruku.
Luke, Clay, dan aku segera berlarian ke gerbang. Sambil berlari,
kupandangi monster hijau di atas papan penunjuk. Monster yang ini
tidak menggerakkan kepala seperti monster papan iklan tadi. Tapi
kelihatan seperti sangat asli.
Aku menoleh dan melihat Mom dan Dad bergegas-gegas menyusul
kami. "Ini pasti asyik sekali!" seruku.
Aku tersentak waktu terdengar ledakan yang memekakkan telinga
menggetarkan tanah. Aku terbelalak ketakutan ketika melihat mobil kami meledak, pecah
berkeping-keping. Ebukulawas.blogspot.com LAMA aku baru berhenti menjerit. Akhirnya, setelah menelan ludah,
aku berhenti berteriak. Kami semua terbelalak kaget. Mobil kami tinggal berupa potongan-
potongan metal kecil dan beberapa bara api.
"Bagaimana...?" Cuma itu yang bisa dikatakan Dad.
"A... aku t-tidak percaya!" kataku tergagap.
"Untunglah kita semua sudah keluar dari mobil!" teriak Mom.
Dipeluknya kami semua. "Untunglah kita semua baik-baik saja."
Luke dan Clay belum bersuara sedikit pun. Mereka berdiri terbelalak, memandangi
tempat mobil kami tadi berada.
"Mobilku!" Dad berbisik tertahan. "Mobilku... Bagaimana"
Bagaimana?" "Kita selamat," gumam Mom. "Kita semua selamat. Ledakan yang mengerikan sekali.
Masih terdengar terus di telingaku."
"A... aku harus menelepon polisi!" kata Dad. Ia segera berlari-lari ke gerbang,
sambil menggeleng-gelengkan kepala, bergumam sendiri.
"Bagaimana caranya mobil bisa meledak begitu saja, Sayang?" tanya Mom, bergegas
menyusulnya. "Apa penyebabnya?"
"Mana aku tahu?" bentak Dad marah. "A... aku tidak mengerti! Betul-betul tidak
mengerti! Dan sekarang apa yang akan kita lakukan?" Ia kedengaran sangat panik.
Aku tidak menyalahkannya. Ledakan tadi benar-benar mengerikan.
Dan ketika kusadari bahwa bisa saja kami semua berada di dalam
mobil itu ketika meledak, aku merinding.
"Mungkin ada tempat penyewaan mobil yang bisa kita telepon," kata Mom.
Mom seperti aku, tenang dalam keadaan gawat bagaimanapun.
Kami mengikuti Dad berlari ke tempat penjualan tiket di pintu masuk.
Ada monster hijau berdiri di dalamnya. Matanya kuning menonjol, di
kepalanya melingkar tanduk hitam. Hebat sekali kostumnya.
"Selamat datang di HorrorLand," katanya dengan suara dalam dan parau. Terdengar
suara keras organ dari dalam tempat pemesanan tiket itu. "Saya Horor HorrorLand.
Saya dan semua Horor berharap hari ini Anda mengalami hari yang mengerikan."
"Mobil saya!" bentak Dad marah. "Tadi ada ledakan. Saya perlu telepon."
"Maaf, Pak. Tidak ada telepon," jawab orang yang mengenakan kostum monster itu.
"Hah?" Wajah Dad merah padam lagi. Keningnya basah berkeringat.
"Tapi saya perlu telepon! Sekarang juga!" kata Dad ngotot, sambil melotot marah
pada monster hijau itu. "Mobil saya meledak! Kami tidak bisa ke mana-mana!"
"Kami akan mengurus Anda," jawab si Horor, sambil memelankan suaranya nyaris
hanya berbisik. "Kau apa?" teriak Dad. "Kami perlu mobil. Saya perlu telepon! Masa kau tidak
mengerti?" "Tidak ada telepon," ulang monster itu. "Tapi tolong, Pak. Izinkan kami mengurus
Anda. Saya berjanji kami akan mengurus segalanya.
Jangan biarkan hal ini mengacaukan kunjungan Anda ke HorrorLand."
"Mengacaukan kunjungan saya?" teriak Dad, wajahnya makin merah.
"Tapi mobil saya...!"
Suara keras organ membuatku terlonjak. Suara mengerikan itu
membuatku merasa seperti ada di dalam film horor!
"Kami akan mengurus Anda. Saya berjanji," kata si Horor. Ia tersenyum aneh.
Matanya yang kuning berkilat-kilat. "Nikmatilah kunjungan Anda, dan jangan
pikirkan masalah transportasi. Saya dan
Horor-horor lain akan memastikan kenyamanan Anda."
"Tapi... tapi...," Dad terbata-bata.
Si Horor itu menunjuk ke arah taman hiburan.
"Silakan masuk sebagai tamu kami. Gratis. Saya minta maaf atas kejadian yang
menimpa mobil Anda. Saya berjanji Anda tidak perlu
lagi mengkhawatirkan mobil Anda."
Dad berbalik menatap kami, keringat bercucuran dari dahinya. Aku
tahu, ia kesal sekali. "A... aku tidak bisa menikmati taman hiburan sekarang," katanya.
"Aku tidak percaya hal ini terjadi. Betul-betul tidak bisa.
Bagaimanapun kita harus mendapat mobil, dan..."
"Oh, tolonglah, Dad!" jerit Luke. "Tolonglah! Kita masuk ke dalam saja, ya" Ia
kan bilang akan mengurusnya untuk kita."
"Sebentaaar saja," aku ikut merengek-rengek.
"Kita sudah berjalan jauh," kata Mom pada Dad. "Marilah masuk sebentar. Biarkan
mereka bermain-main."
Dad menimbang-nimbang, dahinya berkerut. "Oke. Sebentar saja,"
katanya akhirnya. Suara organ terdengar makin keras ketika kami melewati gerbang.
"Wow! Lihatlah tempat ini!" teriakku. "Rasanya seperti benar-benar berada di
dalam film horor." Kami berdiri di jalanan cokelat berbatu-batu. Di kedua sisinya ada
pondok-pondok gelap dan aneh. Pepohonan tinggi di sepanjang jalan
nyaris menutupi sinar matahari sama sekali. Udara terasa dingin.
Lolongan pelan, seperti lolongan serigala, terdengar di antara pondok-pondok.
Ada papan bertuliskan: SELAMAT DATANG DI DESA MANUSIA
SERIGALA. JANGAN BERI MAKAN MANUSIA-MANUSIA
SERIGALANYA. KALAU BISA. Lolongan mengerikan itu terdengar makin keras. Luke dan aku
menertawakan tulisan di papan itu.
Kulihat ada monster hijau, salah satu Horor, memandangi kami dari
balik jendela gelap pondok di seberang jalan. Horor lain berlalu
sambil membawa kepala manusia yang kelihatan sangat mirip dengan
kepala asli. Dicengkeramnya rambut pirang panjang kepala itu dan
dimain-mainkannya sambil berjalan, seperti main yoyo.
"Hebat!" seru Luke lagi. Rasanya seharian ini itulah kata kesayangannya.
Kami berjalan di sepanjang jalanan berbatu itu. Suara sepatu kami
memantul di dinding pondok-pondok.
"Ohh!" Kami semua berteriak terkejut ketika seekor serigala kelabu panjang
berlari di depan kami. Serigala itu menghilang di samping
sebuah pondok sebelum kami sempat melihatnya dengan cermat.
"Tadi itu serigala betulan?" tanya Clay, suaranya bergetar.
"Tentu saja tidak," kataku. "Mungkin anjing. Atau kalau tidak, ya mesin."
"Yah, mereka sangat menjaga kebersihan tempat ini," kata Mom, berusaha terdengar
riang. "Sama sekali tidak ada sampah atau kotoran.
Tentu saja, taman ini tidak banyak pengunjungnya."
Dad mengikuti di belakangnya. "A... aku harus menemukan telepon,"
katanya kesal. "Aku tidak bisa menikmati taman ini sampai aku tahu kita punya
cara untuk pulang ke rumah."
"Tapi, Sayang...," kata Mom.
"Pasti ada telepon di sekitar sini," potong Dad. "Teruskanlah tanpa aku."
"Tidak. Aku ikut denganmu," kata Mom. "Kau kacau sekali. Kau memerlukan aku
untuk menelepon. Anak-anak pasti lebih suka kalau
kita tidak ikut." "Meninggalkan mereka?" teriak Dad. "Maksudmu, biarkan mereka meneruskan
sendiri?" "Tentu," kata Mom, sambil bergegas mendekatinya. "Mereka pasti tidak apa-apa.
Tempat ini kelihatannya aman. Apa sih yang bisa
terjadi?" Apa yang bisa terjadi"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Mom dan Dad bergegas pergi
mencari telepon. "Ketemu lagi di sini!" seru Mom pada kami.
Luke, Clay, dan aku tiba-tiba sendirian.
Aku berbalik untuk melihat Mom dan Dad yang bergegas-gegas pergi.
Aku berbalik lagi tepat ketika seekor serigala kelabu keluar dari
samping pondok. Dirundukkannya kepalanya dan menggeram pelan.
Kami bertiga berdiri kaku ketika menyadari matanya yang merah
kelaparan terpaku pada kami.
AKU berteriak dan menarik Luke dan Clay ke belakang.
Serigala itu keluar, kepalanya tetap merunduk. Ia menatap kami
dengan mata merah melotot, mulutnya terbuka kelaparan.
"Se... serigala betulan!" seru Clay, ia menelan ludah. Bahunya kupegang. Aku
bisa merasa ia gemetaran.
Serigala itu menggeram pelan.
Lalu menyelinap lagi ke balik dinding pondok. "Kurasa ia semacam robot atau yang
sejenisnya," kataku pada Clay.
"Ayo pergi ke tempat lain," kata Clay, tiba-tiba ia tampak pucat sekali.
"Apa tulisan di papan itu?" tanya Luke. Ia lari di jalan berbatu-batu menuju
papan, Clay dan aku mengikutinya.
Tulisan itu berbunyi: TIDAK BOLEH MENCUBIT. Luke tertawa.
"Konyol." "Papan payah!" seru Clay.
"Tulisan itu ditujukan hanya untukmu, Luke!" seruku. Kucubit lengannya kuat-
kuat. "Hei! Kau tidak bisa baca, ya?" teriaknya marah, sambil menunjuk papan.
Kulihat ada Horor hijau mengamati kami dari ujung jalan. Lalu
kulihat ada keluarga berjalan di belakang deretan pondok, terdiri dari ibu,
bapak, dan anak perempuan kecil. Anak perempuan itu menangis,
entah kenapa. Orangtuanya memegang bahunya dan tampak cemas.
Terdengar lolongan serigala.
"Ayo cari permainan!" kata Clay.
''Permainan yang menakutkan!" tambah Luke.
Sambil berjalan berdampingan, berdekatan, kami keluar dari Desa
Manusia Serigala. Jalanan melebar jadi pelataran bundar. Cahaya
terang matahari tampak lagi begitu kami keluar dari desa.
Beberapa bangunan ungu-hijau mengelilingi pelataran itu. Kulihat ada beberapa
keluarga lagi dan Horor-horor berkostum hijau yang
mengamati keadaan. Horor gendut di belakang gerobak dorong warna
hijau-ungu menjual es krim - es krim hitam!
"Hii!" seru Luke, wajahnya berkerut jijik.
Kami bergegas melewati gerobak dorong itu, melewati papan
bertuliskan TIDAK BOLEH MENCUBIT lagi, dan berhenti di depan
bangunan yang tampak seperti gunung ungu tinggi.
"Ini permainan!" kataku pada mereka.
Pintu masuknya dari bagian samping gunung itu. Dan di atas pintu
masuk ada tulisan: SELUNCURAN AJAL. KAUKAH ORANG
YANG AKAN MELUNCUR SELAMANYA"
"Asyik!" teriak Luke, sambil bertepuk tangan tinggi-tinggi dengan Clay.
"Pasti kau harus naik sampai puncak, lalu meluncur turun," kataku, sambil
menunjuk ke puncak bangunan berbentuk gunung itu.
"Ayo!" teriak Luke penuh semangat.
Kami lari ke bangunan itu, lalu melewati pintu masuk di sampingnya.
Di dalam gelap dan dingin. Tanjakan lebar berkelok menuju puncak.
Aku mendengar anak-anak menjerit dan tertawa, tapi tidak bisa
melihat mereka. Kami bertiga setengah berjalan, setengah berlari
menaiki tanjakan itu, ingin segera sampai ke puncak.
Di tengah jalan kami berhenti untuk membaca tulisan lagi: AWAS! -
MUNGKIN KAULAH YANG AKAN MELUNCUR MENUJU
AJALMU! Sekarang aku bisa mendengar anak-anak menjerit sambil meluncur
turun. Tapi tidak kelihatan apa-apa karena terlalu gelap. "Kau takut, Clay?"
tanyaku, kulihat wajahnya tegang.
"Tidak!" katanya ngotot, malu ditanya begitu. "Aku sudah pernah melihat yang
seperti ini. Permainan ini berbentuk papan seluncuran
raksasa. Kau tinggal duduk di atasnya dan meluncur turun."
"Cepat!" teriak Luke, ia lari mendahului.
"Hei, tunggu!" seruku. Kuikuti mereka ke puncak tanjakan. Kami sampai di
pelataran lebar. Papan-papan seluncuran berderet-deret
sampai ke ujung pelataran. Papan-papan itu diberi nomor satu sampai sepuluh.
Dalam suasana remang-remang, kulihat dua Horor yang mengamati
kami mendekat. Mereka berdiri di depan papan-papan seluncuran.
Mata mereka yang kuning menonjol berkilat-kilat ketika kami
bergegas mendekat. "Kau meluncur turun sampai ke bawah?" tanya Luke pada mereka.
Horor itu mengangguk. "Apa meluncurnya cepat sekali?" tanya Clay, ia berjalan beberapa meter di
belakang kami. Horor itu mengangguk lagi. "Perjalanannya panjang sekali,"
gumamnya. "Hati-hati memilih papan seluncuran," kata Horor yang satu lagi.
"Jangan pilih Seluncuran Ajal." Ia memberi tanda ke arah nomor yang dicat hitam
di depan tiap papan seluncuran.
"Ya. Jangan pilih Seluncuran Ajal," kata temannya. "Kau akan meluncur selama-
lamanya." Aku tertawa. Ia cuma mencoba menakut-nakuti kami, kan"
KUPILIH seluncuran nomor tiga karena tiga adalah angka
keberuntunganku. Luke duduk di seluncuran di sebelahku, seluncuran
nomor dua. Clay pergi ke ujung dan duduk di seluncuran nomor
sepuluh. Aku menoleh untuk melihat apa yang dikerjakan Horor-horor itu. Tapi sebelum aku
bisa melihat dengan jelas, aku merasa seluncuranku
bergerak. Aku menjerit melengking sambil meluncur.
Kuangkat tanganku ke atas kepala, badanku condong ke belakang, dan
terus menjerit. Suara jeritanku menggema di lembah Seluncuran Ajal
yang gelap dan besar sekali itu.
Asyik sekali rasanya. Seluncuran itu berkelok-kelok. Aku meluncur
dalam kegelapan, makin lama makin cepat.
Dalam cahaya remang-remang, aku bisa melihat Luke di seluncuran di
sebelahku. Ia terbaring telentang, matanya terbelalak, mulutnya
ternganga lebar. Aku mencoba berteriak memanggilnya. Tapi seluncuranku berkelok
menjauh, aku jadi ikut menjauh juga.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Turun, turun. Aku meluncur cepat sekali, kegelapan di sekelilingku jadi seperti
bayangan kabur. Seluncuran itu membelok ke atas, lalu berputar, dan turun lagi. Aku roller
coaster manusia, pikirku senang.
Turun, turun. Makin lama makin gelap.
Aku meluncur lebih cepat daripada kecepatan cahaya, pikirku.
Aku memandang ke sampingku, berusaha melihat Luke dan Clay.
Tapi terlalu gelap, dan aku meluncur cepat sekali.
Terlalu cepat. Lalu, bum. Sebuah katup terbuka. Aku terbanting keras ke tanah, jatuh terduduk.
Di luar. Aku kembali berada di luar.
Bum. Luke terlempar keluar di sampingku. Ia jatuh ke tanah, masih
terbaring telentang, dan tidak berusaha bangun.
Ia nyengir padaku. "Di mana aku?"
"Kembali ke tanah," kataku, sambil berdiri. Kubersihkan bagian belakang jinsku,
lalu kurapikan rambutku. "Asyik, ya?"
"Ayo naik lagi," kata Luke, masih terbaring.
"Kita tidak bisa naik lagi kalau kau tidak bangun," kataku.
"Tolong, dong." Diulurkannya tangannya.
Aku mengerang sambil menariknya sampai terduduk. "Bangun
sendiri," kataku tidak sabaran.
"Di dalam tadi kau menjerit-jerit," katanya.
"Sengaja," kataku. "Aku memang ingin menjerit."
"Yeah. Tentu." Dibelalakkannya matanya. Lalu ia bangun. "Wow.
Aku agak pusing. Menurutmu berapa kecepatan meluncur kita tadi?"
Aku mengangkat bahu. "Kurasa lumayan cepat. Gelap sekali di dalam, sulit untuk
mengetahui berapa kecepatan meluncur kita."
Lalu aku tersadar ada satu anggota kelompok meluncur kami yang
tidak ada. Kupandangi katup-ka tup di dinding gedung. "Hei, mana Clay?"
"Hah?" Luke juga lupa padanya.
Kami berdua memandangi bagian samping gedung, menunggu Clay
muncul. "Mana dia?" desak Luke melengking. "Tak mungkin ia selambat ini dibandingkan
kita, ya, kan?" Aku menggeleng. Aku mulai merasa gelisah bukan main. Perutku
terasa mulas. Dan tanganku tiba-tiba dingin dan lembap.
"Ayolah, Clay," kataku, sambil memandangi dinding. "Keluarlah."
Luke menggaruk kepalanya. "Ke mana dia?" tanyanya. "Kenapa Clay belum keluar-
keluar juga?" "Mungkin ia keluar dari depan," kataku. "Mungkin seluncuran nomor sepuluh
mengeluarkan kau jauh di depan. Ayo kita lihat."
Sambil berlari mengitari bangunan menuju ke depan, aku memarahi
diriku sendiri karena gampang sekali ketakutan. Pasti Clay keluar dari katup
yang lain. Mungkin ia sedang menunggu kami di depan gedung.
Mungkin ia mulai cemas memikirkan kami.
Setelah mengitari gedung ungu itu, tampak pelataran melingkar yang
lebar. Kucari-cari Mom dan Dad, tapi tidak ada. Kulihat ada dua
keluarga lain di seberang pelataran, dan Horor hijau gemuk yang
sedang bersandar di kereta es krimnya.
Clay tidak kelihatan. Aku dan Luke terus berlari, menuju pintu masuk Seluncuran Ajal.
Kami berhenti beberapa meter dari pintu terbuka yang gelap itu.
"Ia tidak ada di sini!" teriak Luke, sambil terengah-engah.
Aku juga terengah-engah. Dan perutku makin mulas saja rasanya.
"Jangan. Jangan Clay," gumamku.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Luke. Mata birunya terbelalak ketakutan.
Kulihat ada Horor hijau wanita berdiri di pintu masuk. "Hei!" seruku, sambil
berlari mendekatinya. "Anda lihat ada anak keluar dari sini?"
tanyaku megap-megap. Mata kuning di topeng Horor itu menggelembung dan tampak
bersinar. "Tidak. Ini pintu masuk. Tidak ada yang keluar dari sini,"
jawabnya. "Ia berambut pirang dan agak gempal. Ia pakai kacamata," kataku. "Ia mengenakan
kaus biru dan celana pendek denim."
Horor itu menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang keluar dari sini. Sudah kau periksa
bagian belakang" Semua orang keluar dari bagian
belakang." "Ia tidak keluar dari sana!" kata Luke melengking. "Tadi kami di sana.
Ia tidak keluar." Suara adikku terdengar melengking tinggi. Ia terengah-engah,
dadanya naik-turun. Ia panik.
Aku juga ketakutan. Tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Demi Luke.
"Ia tidak keluar dari belakang," kataku pada Horor itu, "dan ia tidak keluar
dari depan. Jadi apa yang terjadi padanya?"
Horor itu lama terdiam. Lalu ia berkata pelan, hampir seperti berbisik,
"Mungkin temanmu memilih Seluncuran Ajal."
KUPANDANGI wanita yang mengenakan kostum Horor itu. "A...
anda bercanda, kan?" kataku tergagap.
"Maksud saya, Seluncuran Ajal... itu kan Cuma main-main."
Dibalasnya tatapanku dengan mata kuningnya yang menonjol dan
tidak menjawab. "Papan-papan itu berisi peringatan," katanya. "Di mana-mana ada
peringatan." Ia berbalik dan menghilang ke dalam pintu masuk yang gelap. Luke
dan aku berpandang-pandangan. Kutelan ludah. Tenggorokanku tiba-
tiba terasa kering sekali. Tanganku dingin seperti es.
"Konyol," gumam Luke. Dimasukkannya tangannya ke dalam saku jeans. "Itu kan cuma
seluncuran konyol. Kenapa ia menakut-nakuti kita?"
"Kurasa memang itu tugasnya," kataku.
"Kita harus mencari Mom dan Dad," gumam Luke.
"Kita harus mencari Clay dulu," kataku. "Kalau Mom dan Dad tahu Clay hilang,
mereka akan marah dan memaksa kita pulang begitu kita
menemukannya." "Kalau kita bisa menemukannya," kata Luke suram .
Aku menoleh lagi ke arah pelataran. Mom dan Dad tidak kelihatan.
Ada dua remaja sedang membeli es krim hitam dari Horor yang
menjaga kereta es krim. Dua Horor lain sedang menyapu pelataran
dengan sapu dorong, mereka bekerja bersebelahan.
Di kejauhan aku bisa mendengar lolongan serigala dari Desa Manusia
Serigala. Matahari sudah tinggi di langit. Aku bisa merasakan panasnya di
kepala dan bahuku. Tapi tetap saja sekujur badanku terasa dingin.
"Clay... di mana engkau?" aku bertanya-tanya sambil berpikir keras.
"Ia meluncur selamanya," kata Luke, menggeleng-geleng. "Meluncur tanpa henti di
Seluncuran Ajal." "Konyol kau," kataku. Tapi Luke membuatku teringat sesuatu. "Ayo,"
kataku, kutarik lengan kausnya. Kutarik dia ke arah pintu masuk yang gelap.
"Hah" Mau ke mana?" Luke memberontak.
"Kita naik seluncuran lagi," kataku.
Mulutnya ternganga lebar karena tidak setuju. "Tanpa Clay" Kita tidak boleh naik
lagi tanpa Clay." "Kita akan mencari Clay," kataku, kucengkeram lengannya dan kutarik ke pintu
masuk yang gelap dan menganga.
"Maksudmu...?" Adikku mulai mengerti.
Aku mengangguk. "Ya. Kita ikuti dia. Kita naiki seluncuran yang dinaikinya."
"Seluncuran nomor sepuluh," gumam Luke. Lalu ia berbisik pelan,
"Seluncuran Ajal."
"Kita naiki seluncuran itu, nanti bisa langsung ketemu dia," kataku.
Kami berjalan di tanjakan tanpa berkata-kata. Suara sepatu kami
menggema di dalam gunung yang besar dan kosong itu.
Di tengah jalan menuju puncak kami berlari melewati papan tanda.
Kubaca lagi sambil melewatinya: AWAS! MUNGKIN KAULAH
YANG AKAN MELUNCUR MENUJU AJALMU!
Clay... apakah kau masih terus meluncur" pikirku.
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk mengusir pikiran itu. Tentu
saja ia tidak sedang meluncur. Pikiran konyol!
Kedua Horor tadi masih berdiri di dekat seluncuran.
"Hati-hati memilih seluncuran," kata salah satu Horor
memperingatkan. "Kami tahu seluncuran mana yang kami inginkan," kataku terengah-engah.
"Seluncuran nomor sepuluh. Kami berdua. Bersama-sama."
Horor yang di dekat seluncuran nomor sepuluh memberi isyarat
supaya kami duduk. Kulirik Luke, yang berdiri tepat di belakangku,
wajahnya tegang ketakutan.
Ditariknya aku. "Mungkin sebaiknya tidak usah saja," bisiknya.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabaran.
"Bagaimana kalau peringatan itu benar?" katanya. "Jangan konyol,"
ejekku. "Ingat, ini kan taman iburan. Mereka takkan membunuh atau membuat anak-
anak meluncur menemui ajal. Ini semua untuk
bermain-main." Luke menelan ludah. "Kau yakin?"
"Tentu saja aku yakin," kataku. "Kau mau apa tidak sih mencari Clay?"
Luke mengangguk. "Kalau begitu, ayo," perintahku.
Aku duduk di seluncuran nomor sepuluh. Luke terpuruk tepat di
belakangku, kakinya terjulur di dekat kakiku.
Kurasakan papan seluncuran di bawah kami terangkat.
Kami meluncur. "Clay, kami datang!" teriakku.
SEKALI ini aku tidak menjerit. Kukepalkan tanganku di pangkuan
dan kugeretakkan gigiku. Tak mungkin aku bisa menikmati seluncuran ini. Aku ingin cepat-
cepat sampai ke ujung. Aku ingin memecahkan misteri ini dan
menemukan Clay. Selama kami meluncur, Luke berpegangan padaku, pinggangku
dicengkeramnya. Ia berteriak ketika kami terlonjak keras. Rasanya
seperti akan terbang ke luar dari seluncuran.
Kami berdua lalu menjerit ketika seluncuran menukik tajam - hampir
tegak lurus - dan kami mulai jatuh.
Kami mendarat keras. Seluncurannya lalu berbelok tajam ke kanan.
Kami berdua menjerit sekuat tenaga.
Kami meluncur makin lama makin cepat, dalam kegelapan yang
pekat, lebih gelap daripada malam. Aku mencoba melihat apakah
kami bergerak di samping seluncuran-seluncuran lain. Tapi gelap
bukan main, sepatuku sendiri saja tidak kelihatan!
Luke mencengkeram pinggangku kuat sekali, aku jadi hampir tidak
bisa bernapas. Aku mencoba menyuruhnya melonggarkan
cengkeramannya, tapi tertutup jeritannya yang keras sekali.
Turun, turun. Makin lama makin gelap. Kami terlonjak dan terlempar ke udara lagi. Seluncurannya lalu
menurun dan berbelok tajam ke kiri.
Mestinya sekarang kami sudah sampai ke dasar, pikirku.
Sudah lama sekali kami meluncur.
Kugeretakkan gigiku lebih kuat dan bersiap-siap menerobos saluran
keluar dan terbanting ke tanah. Tapi tidak ada saluran yang terbuka.
Seluncurannya belum berakhir.
Kami mulai meluncur lebih cepat. Udara lembap dan panas
menerpaku, membuatku jadi susah bernapas.
Seluncurannya menukik dan berbelok, meluncurkan kami ke dalam
kegelapan yang pekat. Kami akan meluncur selamanya.
Peringatan itu tidak main-main.
Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran mengerikan itu.
Tiba-tiba Luke jadi tenang sekali. "Kau baik-baik saja?" seruku padanya.
"Entahlah," jawabnya, pegangannya makin kencang. "Kenapa kita meluncur lama
sekali?" "Hei, sakit!" teriakku.
Dilonggarkannya pegangannya sedikit. "Aku tidak suka!" teriaknya tepat di
telingaku. Kami terlonjak lagi. Pegangannya terlepas. Terlonjak lagi. Lebih
keras. Kupikir aku akan terbang dari seluncuran dan jatuh ke dasar -
kalau dasarnya ada. Turun, turun. Luke dan aku serentak menjerit jijik waktu ada sesuatu yang lengket menutupi
wajah kami. Kuangkat tanganku dan mencoba
melepaskannya. "Hii!" jerit Luke. "Apaan nih" Wajahku...!"
"Mirip sarang labah-labah," seruku. "Sarang labah-labah yang panas dan lengket."
Seluruh wajahku terasa gatal. Benang-benang lengket itu
menyelubungi wajahku seperti jala. Dengan panik kutarik-tarik.
"Oh!" teriakku ketika seluncurannya menukik tajam lagi.
Dengan mengoyak-ngoyaknya, aku berhasil melepaskan hampir
semua sarang laba-laba yang lengket tadi. Tapi wajahku tetap terasa gatal bukan
main. Rasanya seperti dikerubuti ribuan semut.
"Menjijikkan!" teriak Luke di belakangku. "Wajahku... sakit!"
Turun, turun ke kegelapan yang kelam.
Aku lalu terpaksa memejamkan mata karena melihat cahaya terang.
Apakah itu sinar matahari" Apakah kami meluncur ke luar"
Tidak. Kupaksa membuka mata dan memicing menatap cahaya kuning itu.
Aku tersadar, yang kulihat itu api yang berkobar-kobar.
Luncuran di hadapan kami terbakar! Lidah api berwarna kuning-
jingga menjilat-jilat, diliputi asap hitam bergumpal-gumpal.
Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan mulai menjerit. Kami
meluncur tepat ke arah lidah api yang berkobar-kobar itu.
"Kita akan terbakar!" jerit Luke. "Tolong! Tolong kami!"
KUPEJAMKAN mata dan kurasakan semburan panas yang kuat,
hampir seperti ledakan. Aku terbakar habis! pikirku.
Terbakar habis! Semburan udara dingin membuatku membuka mata.
Api tadi sekarang ada di belakang kami. Kami meluncur
menembusnya. Luke dan aku terdiam. Aku menunggu jantungku berhenti berdebar-
debar kencang. "Efek khusus yang hebat!" seru Luke. Ia tertawa keras, tawa gelisah yang tak
pernah kudengar sebelumnya.
Aku sadar api tadi palsu. Semacam proyeksi atau apalah.
Kuhirup udara dingin dalam-dalam. Seumur hidup belum pernah aku
setakut tadi. "Kapan seluncuran ini berakhir?" teriak Luke. Suaranya berubah jadi melengking
dan ketakutan. Takkan pernah berakhir, pikirku suram. Kami betul-betul akan
meluncur selamanya. Dan ketika pikiran mengerikan itu ada di pikiranku, sebuah saluran
membuka di hadapan kami. Sinar matahari memancar masuk.
Aku terbanting keras ke rerumputan lembut. Beberapa detik
kemudian, Luke mendarat di belakangku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menunggu mataku terbiasa
dengan cahaya matahari yang terang.
Lalu pelan-pelan aku berdiri, jantungku masih berdebar-debar.
Sebuah papan tanda berwarna kuning hijau di atas tonggak kayu
terpancang tepat di depan kami. Tulisannya: SELAMAT DATANG
DI AKHIRAT. JUMLAH PENDUDUK: 0 JIWA.
Di sebelah papan itu berdiri Clay. Ia bergegas datang untuk
menyambut kami, wajahnya yang bulat dan merah muda tersenyum
senang. "Hei, teman-teman... hei!" serunya. "Dari mana saja kalian?"
Ditepuknya tangan Luke. Luke lalu bercanda meninju perutnya.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana saja kami?" tanyaku. "Kau dari mana saja?"
"Di sini terus," jawab Clay. "Aku tidak tahu di mana aku berada.
Kurasa ini sisi lain taman atau apalah. Jadi kutunggu saja kalian."
"Kami kembali lagi ke Seluncuran Ajal," kata Luke menjelaskan.
"Kami naik seluncuranmu. Nomor sepuluh. Hebat! Seru sekali!"
Beberapa detik yang lalu, Luke menjerit-jerit ketakutan. Sekarang
beginilah kelakuannya, pura-pura menikmati, mengatakan pada Clay
betapa., mengasyikkannya tadi.
"Kau memilih seluncuran yang hebat!" kata Luke pada Clay. "Wow!
Asyik sekali!" "Aku agak ketakutan," kata Clay mengaku. "Maksudku, apinya..."
"Efek khusus yang hebat!" seru adikku. "Taman hiburan ini luar biasa!"
Luke memang tukang tipu. Tak mungkin ia mau mengaku bahwa tadi
ia cemas memikirkan Clay. Dan tak mungkin ia mengaku perjalanan
panjang menuju akhirat tadi membuatnya ketakutan.
Tapi aku senang melihat semangatnya sudah pulih kembali. Aku
betul-betul tidak suka melihat adikku ketakutan dan panik.
"Rupanya itu semacam seluncuran panjang," kata Clay, dahinya berkerut. Rambut
pirangnya yang halus berkilau disinari cahaya
matahari. "Kurasa sedikit terlalu panjang."
"Aku mau saja naik permainan itu lagi!" kata Luke sok berani.
Aku berbalik dan memandang sekelilingku. Kami benar-benar berada
di bagian lain HorrorLand. Semua tampak asing.
Di seberang jalanan yang lebar, kulihat beberapa anak berpakaian
renang berjalan di jalan setapak berpasir. Di dekat situ ada papan
bertuliskan: RIAM HOROR. Di sebelah kanan kami, gedung persegi dari kaca memantulkan cahaya
matahari yang cerah. Dinding-dinding kacanya berkilauan seperti
terbakar. Dengan memicingkan mata, aku cuma bisa melihat papan
tanda di depannya: RUMAH CERMIN.
"Ayo kita coba Rumah Cermin itu!" desak Luke, ditariknya tangan Clay.
"Hei! Tunggu dulu!" seruku. "Bukankah sebaiknya kita cari Mom dan Dad dulu?"
"Mereka ada di sisi lain taman hiburan ini," jawab Luke, diseretnya Clay
menyeberangi trotoar. "Kita bersenang-senang saja dulu dan setelah itu baru
mencari mereka." "Mungkin mereka sedang mencari-cari kita," kataku resah.
"Taman hiburan ini tidak terlalu ramai. Mereka pasti bisa menemukan kita," jawab
Luke. "Ayolah, Lizzy... kelihatannya asyik!"
Aku ragu, teringat Mom dan Dad. Kupandangi gedung dari kaca yang
berkilat-kilat itu. Tiba-tiba kurasakan ada yang menepuk bahuku.
Karena terkejut, aku berteriak dan berbalik.
Ternyata ada Horor berkostum hijau. Matanya yang menonjol
menatap mataku sambil membungkuk ke arahku. "Pergilah mumpung
masih bisa!" bisiknya.
la melirik ke kiri dan ke kanan, seolah-olah ingin memastikan tidak ada yang
mengamatinya. "Ayolah... aku serius! Pergilah mumpung masih bisa!"
ebukulawas.blogspot.com SAKING kagetnya, aku tidak bisa berkata-kata. Kuamati ia berlari
pergi, gerakannya kaku karena kostum Horornya yang besar, ekornya
yang Berwarna ungu terseret-seret di trotoar di belakangnya.
"Mau apa dia?" seru Clay. Ia dan Luke hampir sampai di pintu masuk Rumah Cermin.
"Ia... ia bilang kita harus pergi mumpung masih bisa," kataku tergagap, lari
mendekati mereka. Sesaat aku tidak bisa melihat mereka karena pan-ulan sinar
matahari di bangunan kaca itu menyilaukan
mataku. Luke tertawa. "Horor-horor ini hebat!" serunya. "Mereka benar-benar berusaha
menakut-nakuti kita!"
Dari balik kacamatanya, mata Clay membelalak. "Ia cuma bercanda, kan?" tanyanya
pelan. "Maksudku, ini cuma lelucon, kan?"
"Entahlah," kataku. "Kurasa iya." Kuamati Horor tadi menghilang dengan cepat ke
balik bangunan biru tinggi berbentuk piramida.
"Itu memang tugasnya," kata Luke ngotot. "Ia berkeliling menakut-nakuti orang
terus." "Mungkin ia serius memperingatkan kita," gumam Clay,
dipandangnya aku. "Tak mungkin!" seru Luke. Ditepuknya punggung Clay kuat-kuat.
"Jangan muram terus, dong. Ini tempat hebat! Kau suka ditakut-takuti, kan?"
Ekspresi wajah Clay tetap cemas. "Kurasa," jawabnya ragu.
Aku baru saja akan mengatakan pada Clay bahwa aku yakin ini cuma
main-main, tapi Luke memotong, "Cepat! Ayo kita lihat Rumah
Cermin. Ayo bersenang-senang sebelum Mom dan Dad datang dan
memaksa kita pulang."
Diseretnya Clay ke pintu masuk, dan aku mengikuti. Kami melewati
tanda DILARANG MENCUBIT lagi ketika berjalan menuju
bangunan kaca yang berkilauan.
Di luar pintu masuk, aku berhenti untuk membaca tulisan di papan
berwarna kuning hijau. Bunyinya: RUMAH CERMIN. PIKIR DULU
SEBELUM MASUK. KAU TAKKAN PERNAH MUNCUL LAGI!
"Hei... tunggu!" seruku pada anak-anak itu. Mereka sudah bergegas masuk.
Aku melangkah masuk dan berada di lorong sempit dan gelap. Mataku
masih silau dengan cahaya terang dari luar. Aku tidak bisa melihat
apa-apa. "Luke, Clay... tunggu!" teriakku. Suaraku menggema di lorong rendah itu. Aku
bisa mendengar mereka tertawa-tawa di depan.
Aku lari membabi buta, kutundukkan kepalaku karena langit-langitnya rendah
sekali. Akhirnya, mataku bisa menyesuaikan diri dengan
kegelapan. Lorong itu habis, aku sampai di koridor sempit yang dinding dan
langit-langitnya dari cermin.
"Oh!" aku berteriak pelan. Aku bisa melihat pantulanku - banyak sekali. Aku
seperti dikelilingi diriku sendiri!
Aku berhenti sebentar dan merapikan ikatan rambutku. Ikatannya
longgar terus. Lalu kupanggil lagi anak-anak itu, "Di mana kalian"
Tunggu!" Aku mendengar mereka tertawa cekikikan di depan. "Coba cari
kami!" seru Luke. Ia cekikikan lagi.
Aku berjalan cepat-cepat di lorong cermin itu. Dindingnya membelok
ke kanan, lalu ke kiri. Pantulanku mengikutiku, banyak sekali, makin lama makin
kecil, tak terhitung banyaknya!
"Hei, jangan terlalu cepat!" teriakku.
Kudengar mereka cekikikan. Lalu kudengar gemuruh suara langkah
kaki yang rasanya seperti berasal dari sisi lain dinding cermin.
Aku berjalan di sepanjang koridor, perlahan-lahan, hati-hati, sampai kulihat ada
lubang sempit di depan. "Tunggu di sana. Aku datang!" seruku.
Aku bergerak menembus lubang itu, dan - BUM! - dahiku terantuk
kaca tebal. "Ow!" aku berteriak ketika rasa sakit menusuk dahiku, lalu terasa di tengkuk, di
sepanjang tulang belakangku.
Kusandarkan tanganku ke kaca dan menunggu sampai perasaan
pusingku berkurang. "Lizzy, di mana kau" Coba cari kami!" kudengar Luke berseru.
"Kepalaku terantuk!" teriakku, kugosok-gosok dahiku.
Aku bisa mendengar ia dan Clay tertawa. Suara mereka sekarang
terdengar seperti ada di belakangku. Aku berbalik, tapi di belakangku cuma ada
cermin. Tidak ada lubang.
Kepalaku masih agak sakit, tapi sudah tidak pusing. Aku mulai
berjalan lagi, sekali ini lebih berhati-hati. Kuulurkan tanganku ke depan supaya
tidak terantuk lagi. Aku berbelok di sudut dan masuk ke ruangan yang berbeda. Aku
terkejut, lantai ruangan ini terbuat dari cermin. Dinding, langit-langit,
lantai, semuanya cermin. Aku merasa seperti berdiri di dalam kotak
dari cermin. Dengan hati-hati aku maju beberapa langkah. Aneh rasanya berjalan
di atas bayangan sendiri.
Sambil berjalan aku bisa melihat bagian atas dan bawah sepatuku.
Susah rasanya berjalan seperti itu. Aku terus merasa akan jatuh ke
dalam diriku sendiri! "Hei, Luke, Clay... di mana kalian?" seruku.
Tidak ada jawaban. Aku merasakan rasa takut yang sangat tajam menikamku.
"Luke" Clay" Kalian di sana?" Aku melihat mulut bayangan-
bayanganku bergerak ketika aku berteriak, banyak sekali. Tapi hanya satu suara
yang terdengar, suaraku, kecil dan melengking.
"Luke" Clay?"
Sepi. "Jangan main-main, ya!" teriakku. "Di mana kalian?"
Sunyi. Tidak ada jawaban.
Kutatap bayangan-bayangan di sekelilingku. Mereka semua tampak
sangat ketakutan. "Luke" Clay?"
Ke mana mereka pergi"
KUPANDANGI bayangan-bayanganku sementara hal-hal yang
mengerikan terlintas di pikiranku.
Apakah anak-anak itu benar-benar menghilang"
Apakah mereka masuk ke dalam semacam jebakan" Apakah mereka
terrsesat di dalam rimba cermin dan kaca ini"
HorrorLand terlalu menakutkan, pikirku. Memang ditakut-takuti itu
mengasyikkan. Tapi rasanya sulit untuk mengetahui apakah
permainan-permainan seram di sini untuk bersenang-senang... atau
sungguhan. Apakah ada bahaya di tempat ini" Atau cuma lelucon
hebat yang menakutkan"
"Luke" Clay?" seruku pada mereka dengan suara bergetar, sambil berputar, mencari
jalan keluar. Sepi. Lalu kudengar suara cekikikan tertahan.
Lalu kudengar suara berbisik-bisik. Tidak jauh. Cekikikan lagi, sekali ini lebih
keras. Suara cekikikan Luke.
Mereka mempermainkan aku. "Hei, kalian tidak lucu!" jeritku marah.
"Betul! Sama sekali tidak lucu!"
Aku mendengar mereka berdua meledak tertawa. "Ayo cari kami,
Lizzy!" seru Luke. "Kenapa kau lama sekali?" tambah Clay. Cekikikan lagi.
Kedengarannya seperti berasal tepat dari atas.
Sambil meraba dinding cermin, aku berjalan mengikuti arah lorong ke kanan. Aku
harus merundukkan kepala supaya bisa melewati lubang
sempit di antara cermin. Aku sampai di ruang kecil yang dikelilingi cermin di atas, di bawah, dan di
semua sisinya lagi. Cermin-cermin itu letaknya aneh,
bayanganku jadi tampak seperti saling bertubrukan kalau aku
bergerak. "Di mana kalian" Apa aku tambah dekat?" seruku.
Cahayanya makin suram ketika aku berjalan melintasi ruangan ini.
Pantulan-pantulanku makin gelap. Bayangan-bayangan makin
panjang. "Kami tidak bisa melihatmu!" seru Clay.
"Cepat!" teriak Luke tidak sabar.
"Aku sudah bergerak secepat mungkin!" jeritku. "Pokoknya jangan bergerak, ya"
Diam saja di tempat."
"Sudah!" seru Luke lagi.
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini nanti?" Kudengar Clay bertanya pada Luke
dengan suara pelan. "Ow!" Kepalaku terantuk kaca bening lagi.
Dengan marah kupukul kaca itu.
Ini sih tidak mengasyikkan, pikirku. Ini terlalu menyakitkan.
"Cepatlah!" seru Luke dari suatu tempat yang tidak jauh. "Bosan menunggumu!"
"Ya, ya," gumamku, kugosok-gosok dahiku yang terasa sakit.
Aku berbelok di sudut dan melangkah masuk ke ruangan yang lebih
luas. Tidak ada cermin. Dindingnya kaca semua. Aku berhenti untuk
memandang berkeliling... dan tampaklah Luke.
"Akhirnya!" serunya. "Kenapa kau tidak bisa menemukan kami?"
"Kepalaku terantuk terus," kataku. "Ayo keluar dari sini. Mana Clay?"
"Hah?" Mulut Luke ternganga karena kaget. Ia berbalik, mencari-cari temannya.
"Tadi ia berdiri di sini," katanya.
"Luke, aku tidak mau main-main lagi," kataku ketus. "Clay, di mana kau
sembunyi?" "Aku tidak sembunyi. Aku di sebelah sini," seru Clay.
Aku maju beberapa langkah mendekati adikku, dan tampaklah Clay.
Ia berdiri di dalam bayangan gelap di balik dinding kaca, tangannya menekan kaca
itu. "Bagaimana caramu sampai ke sana?" tanya Luke pada Clay.
Clay mengangkat bahu. "Aku tidak bisa menemukan jalan keluar."
Aku bergerak ke arah adikku, lalu berhenti.
Tiba-tiba aku tersadar ia berada di balik dinding kaca. Luke dan aku berada di
ruangan yang berbeda. "Hei, di mana lubangnya?" tanyaku padanya.
Luke memandang sekelilingnya. "Apa maksudmu, Lizzy?"
"Kau dan aku - kita tidak berada di ruangan yang sama," jawabku.
Aku berjalan ke dinding kaca dan memukulnya dengan kepalan
tanganku. "Hah?" Wajah Luke tampak terkejut. Ia berjalan mendekatiku. Lalu diketuknya
dinding kaca, seolah-olah memastikan dinding itu benar-benar ada.
"Bagaimana bisa ada di sini?" gumamnya.
Clay mulai bergerak mengelilingi ruangannya, tangannya meraba
permukaan kaca, mencari lubang keluar.
"Diam saja di sana," kataku pada Luke. "Biar kucari jalan ke ruanganmu."
Kuikuti perbuatan Clay. Pelan-pelan aku mengelilingi ruangan,
tanganku menekan permukaan kaca. Cahayanya suram. Bayanganku
jatuh di atas kaca ketika aku berjalan. Aku bisa melihat wajahku
terpantul di kaca. Mataku membalas tatapanku,suram dan putus asa.
Belum sempat kusadari, ternyata aku sudah mengelilingi ruangan.
Aku kembali lagi ke tempat aku tadi mulai. Dan tidak ada lubang.
Tidak ada pintu. Tidak ada jalan keluar.
"Hei! Aku terjebak di sini!" seru Clay melengking.
"Aku juga," kataku.
"Pasti ada lubang," kata Luke. "Bagaimana tadi kita bisa masuk?"
"Kau betul," kataku kesal. "Mestinya kita bisa keluar dari jalan kita masuk."
Aku mulai meraba-raba dinding lagi, bergerak cepat.
Jantungku mulai berdebar-debar. Kurasakan kegugupan memenuhi
dadaku. Pasti ada jalan keluarnya. Pasti ada.
Di ruangan lain, kulihat Clay sibuk berlari-lari ruangannya, sambil mendorong-
dorong dinding. Dua kali aku berkeliling, lalu berhenti.
Tidak ada jalan keluar. "A... aku terjebak," kataku tergagap. "Ruangan ini seperti kotak.
Kotak kaca." "Kita semua terjebak!" teriak Clay.
Luke masih sibuk menggedor-gedor dinding kaca dengan kepalan
tangannya. "Luke... berhenti!" teriakku melengking. "Tidak ada gunanya!"
Diturunkannya kepalan tangannya. "Konyol sekali," gumamnya.
"Pasti ada jalan keluar."
"Mungkin ada pintu jebakan atau semacamnya," kataku. Aku mulai meraba-raba
lantai dari cermin itu. Ruangan itu terlalu gelap, aku
tidak bisa melihat dengan jelas. Lantainya tampaknya padat.
Aku kembali ke dinding kaca. "Ini sih tidak mengasyikkan," kataku suram.
Luke dan Clay mengangguk. Aku lihat mereka berdua betul-betul
ketakutan. Aku juga. Tapi kuputuskan untuk bersikap berani, karena
aku lebih tua dua tahun daripada mereka.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi sebenarnya aku merasa tidak terlalu berani. Sambil menarik
napas cemas, aku bersandar ke dinding yang memisahkan Luke dan
aku. Dan ketika aku bersandar, dinding itu bergerak. Aku terlonjak sambil berteriak.
Dinding itu meluncur ke arahku, mengurungku. Aku mundur
selangkah lagi. Sambil memandang sekeliling dengan panik, aku melihat semua
dinding bergerak menutup.
"Luke!" teriakku. Aku berbalik dan melihat ia melangkah mundur juga.
"Dindingnya!" seru Clay. "Tolong aku!"
"Dindingnya juga mengurungku!" jerit Luke. "Tiap ruangan punya dinding kaca
masing-masing!" Kami bertiga terjebak. Sambil mengerang putus asa, aku menerjang salah satu dinding dan
mencoba mendorongnya. Tapi aku tidak bisa menghentikannya.
Kotak itu bergerak mengurung, makin lama makin kecil. Makin kecil.
"Kita akan diremukkan!" teriakku.
"LAKUKAN sesuatu! Tolong - lakukan sesuatu!" Clay menjerit-jerit.
Luke berusaha menahan gerakan dinding dengan bahunya. Tapi ia
tidak cukup kuat. Dinding-dinding itu tetap mengurungnya.
Aku mundur, tanganku terangkat ke depan seperti perisai.
Makin dekat, makin dekat. Dinding-dinding kaca itu bergerak pelan,
tanpa suara. Aku mundur sampai punggungku mengenai dinding di belakangku.
Tidak ada jalan lagi. "Tolong! Tolong - lakukan sesuatu!" jeritan ketakutan Clay
melengking di telingaku. "Kacanya... kacanya meremukkan aku!" jerit Luke. "Lizzy...!"
"A... aku tidak bisa bergerak!" teriakku padanya. Dinding-dinding kaca mulai
menekanku dari segala sisi. Atas dan bawah juga.
Tiba-tiba aku teringat pada mobil yang diremukkan. Tahu, kan, mobil-mobil yang
diremukkan jadi berbentuk persegi oleh mesin-mesin
pemadat besar. Sekujur tubuhku bergidik ketika menyadari aku juga akan diremukkan
jadi berbentuk persegi. "Ow!" teriakku ketika kaca itu menekanku. "Tolong... tolong!"Aku berusaha
menjerit, tapi yang terdengar cuma teriakan tertahan.
Susah rasanya bernapas. Dinding-dinding kaca itu bergerak terus. Makin rapat. Makin rapat.
Aku megap-megap. Kucoba mendorong kaca itu sekuat tenaga. Tapi percuma saja.
Aku diremukkan jadi manusia persegi.
AKU tidak bisa lagi mendengar Luke dan Clay.
Aku hanya bisa mendengar napasku yang megap-megap, tercekik.
Kupejamkan mata. Dan merasa lantainya jatuh.
Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, aku sudah jatuh,
jatuh dengan cepat. Aku membuka mata tepat untuk melihat dinding-dinding kaca
bergerak di atasku ketika aku meluncur turun, turun, turun, melalui saluran yang
terbuka. Dan dalam beberapa detik, aku berada di luar. Aku jatuh terduduk di atas
rerumputan. Luke dan Clay meluncur ke luar di sebelahku.
Lama kami duduk di rerumputan, berkedip-kedip menatap cahaya
matahari yang cerah, berpandang-pandangan dengan rasa tidak
percaya. "Kami baik-baik saja," kata Clay ragu, memecah kesunyian. Pelan-pelan ia bangun.
Wajahnya yang bulat merah terang, kacamatanya
bengkok dan nyaris jatuh dari hidungnya. "Kami baik-baik saja!"
Luke tertawa. Tertawa geli. Ia berdiri dan melompat-lompat girang.
Aku tidak ingin melompat-lompat. Masih terbayang-bayang olehku
mobil yang diremukkan. Luke membungkuk, menyambar kedua tanganku, dan menarikku
berdiri. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" desaknya, sambil meringis.
"Hah" Selanjutnya?" teriakku. "Kau ngaco."
"Tadi menakutkan sekali," kata Clay, wajahnya masih merah.
"Kusangka kita akan diremukkan sampai gepeng."
"Menakjubkan!" seru Luke.
Sekali lagi ia lupa, beberapa detik yang lalu ia berteriak-teriak panik.
"Terlalu menakutkan," gumam Clay, menggeleng-geleng.
"Clay benar," kataku. "Terlalu menakutkan sehingga tidak asyik lagi.
Sedetik lagi, dan..."
"Kalian tidak sadar" Itu dia tujuannya!" teriak Luke. "Begitulah cara mereka
menakut-nakuti. Menakjubkan! Mereka membuatmu mengira
sedetik saja lagi kau akan mati. Tapi semuanya sudah diperhitungkan.
Mereka ingin kau ketakutan setengah mati... dan, lalu - wuss - kau
baik-baik saja." "Mungkin kau benar," kata Clay ragu. Didorong nya kacamatanya, lalu digosoknya
dagunya. "Kita takkan terluka ataupun kenapa-kenapa; lanjut Luke. "Ini taman hiburan,
ingat" Mereka ingin kau kembali lagi. Jadi mereka takkan
melukai siapa pun." "Mungkin," kata Clay.
"Tapi, Luke, bagaimana kalau mereka keliru?" tanyaku. "Bagaimana kalau mesinnya
kacau" Bagaimana kalau perhitungannya salah"
Misalnya saja lantai di bawah kita tadi macet. Kalau begitu
bagaimana?" Luke tidak menjawab. Dibalasnya tatapanku dengan serius.
"Apa yang akan terjadi pada kita kalau lantainya tidak turun pada saat yang
tepat?" desakku. Luke mengangkat bahu. "Mereka memastikan segalanya berjalan
lancar," katanya akhirnya.
Kuputar bola mataku. "Yeah. Tentu."
"Apa mungkin kita bisa ketakutan sampai mati?" tanya Clay padaku, wajahnya
tampak serius. "Maksudku, aku tahu hal itu terjadi di buku-buku dan film. Tapi
apakah terjadi dalam kehidupan nyata?"
"Aku tidak tahu. Mungkin," jawabku.
"Aku yakin orang bisa ketakutan sampai mati di dalam Rumah Cermin itu," kata
Clay serius. "Tak mungkin!" kata Luke ngotot. "Dengar. Ini cuma tempat untuk bersenang-
senang. Senang-senang yang menakutkan."
Ia menatap sesuatu di belakangku. Aku berbalik dan melihat
seseorang berkostum Horor hijau melintas, membawa sekumpulan
balon hitam. Luke bergegas mendekati Horor itu. "Hei, pernah ada orang mati di taman ini?"
tanya Luke. Horor itu terus saja berjalan. Balon-balon hitam nya bergoyang-
goyang di atas kepalanya. "Hanya sekali," katanya pada Luke.
"Satu orang mati di sini?" tanya Luke.
Horor itu menggelengkan kepalanya yang hijau besar. "Bukan. Bukan itu maksudku."
"Apa maksudmu?" desak Luke.
"Di sini orang hanya bisa mati sekali," kata Horor itu. "Tak ada yang pernah
mati dua kali." "M AKSUDMU benar-benar ada orang yang mati di sini?" teriakku.
Tapi Horor itu terus saja berjalan cepat. Balon-balon hitamnya
bergoyang-goyang, tampak gelap dengan latar belakang langit biru
bersih. Jawaban Horor itu membuatku bergidik. Bukan cuma karena kata-
katanya, tapi juga nada suaranya yang dingin, cara ia
mengucapkannya yang terdengar seperti suatu peringatan.
"Ia bercanda, kan?" tanya Clay dengan suara gemetar. Dengan gelisah digaruknya
rambut pirangnya. "Yeah. Kurasa," jawabku.
Sebuah keluarga melewati kami, berjalan menuju Rumah Cermin.
Mereka punya dua anak laki-laki, usianya kira-kira lima atau enam
tahun, dan dua-duanya sedang menangis.
"Dari tadi kulihat banyak sekali anak-anak menangis di taman ini!"
kataku. "Mereka payah," jawab Luke. "Penakut. Ayo kita cari permainan lain atau apalah."
"Jangan. Kurasa sebaiknya kita cari Mom dan Dad," kataku.
"Yeah. Ayo kita cari mereka," kata Clay bersemangat. Anak malang.
Kurasa ia ketakutan sekali. Tapi ia sekuat tenaga berusaha tidak
menunjukkan pada adikku betapa takutnya ia.
"Aw, buat apa buru-buru?" protes Luke. "Biar mereka saja yang menemukan kita."
"Tapi mungkin saja mereka benar-benar cemas," kataku berkeras. Aku mulai
berjalan menuju gerbang depan.
"Dad pasti akan memaksa kita pulang," gerutu Luke. Tapi ia ikut juga.
Dan dengan senang hati Clay ikut, berjalan dekat denganku.
Kami mengikuti rel dan melewati roller coaster kayu tua yang bobrok.
Tingginya sama dengan gedung tingkat empat, bayangannya tampak
lebar dan hitam di jalanan. Papan di depannya bertuliskan: RUSAK.
APAKAH KAU TETAP BERANI MENAIKINYA"
Pintunya terbuka. Tidak ada petugas.
"Hei, Lizzy, mau naik?" tanya Luke, dipandanginya kereta-kereta tua roller
coaster itu yang diparkir di dasar.
"Tidak mau!" jawab Clay dan aku serentak. Kami terus berjalan.
Rel itu berbelok di bawah pepohonan lebat, dan kami tiba-tiba berada di bawah
bayangan. Ada papan bertuliskan: HATI-HATI. ADA
ULAR POHON. Clay menutupi kepalanya dengan tangan. Kami bertiga menatap
pepohonan itu. Apa di atas sana benar-benar ada ular"
Terlalu gelap, tidak kelihatan apa-apa. Dedaunannya begitu rimbun,
tidak ada sinar matahari yang masuk.
Tiba-tiba, aku mendengar suara mendesis pelan. Mula-mula kukira
cuma suara gemerisik dedaunan.
Tapi desisan itu makin lama makin keras, sampai semua pohon
rasanya seperti mendesis pada kami.
"Lari!" teriakku.
Kami bertiga lari di sepanjang rel, merunduk rendah-rendah, sepatu
kami memukul-mukul trotoar. Desisan di pepohonan di atas kami
makin keras, makin marah.
Kurasa aku melihat seekor ular hitam panjang melata di rumput di
samping rel. Tapi mungkin cuma bayangan.
Kami terus berlari meskipun sudah tidak ada pepohonan lagi dan kami sudah berada
di tempat terbuka. Relnya berbelok melewati sederetan
patung bertampang jahat. Patung-patung itu terbuat dari batu. Patung-patung itu
merupakan patung-patung monster yang menyeringai,
matanya melotot marah, taringnya menonjol dari mulutnya yang
berkerut. Lengannya terjulur, siap menyambar siapa saja yang
mendekat. Aku memelankan lariku, mataku menatap patung-patung seram itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara tawa yang pelan dan jahat.
"Da... datangnya dari patung-patung itu!" seru Clay. "Lari terus!"
Apakah patung-patung itu bergerak ke arah kami" Apakah mereka
mengangkat tangannya" Apakah mereka memberi tanda supaya kami
Pengelana Rimba Persilatan 15 Tirai Curtain Karya Agatha Christie Kisah Si Bangau Putih 15
KETIKA memasuki gerbang HorrorLand, kami sama sekali tak
menyangka bahwa, tak sampai satu jam kemudian, kami semua akan
terbaring di dalam peti mati.
Aku yang paling tenang dalam keluarga Morris. Semua orang bilang,
"Lizzy, kau yang paling tenang." Dan aku mencoba menceritakan kisah ini dengan
tenang. Tapi, percayalah - tak mungkin!
Kami dulu tidak pernah berencana pergi ke HorrorLand. Sebetulnya,
kami malah tidak pernah mendengar tentang adanya HorrorLand.
Kami berlima berdesak-desakan di dalam mobil Toyota kecil Dad,
dalam perjalanan untuk bersenang-senang di Taman Hiburan Zoo
Gardens. Dad membuat keadaan jadi kacau karena lupa membawa
peta. Tapi kata Mom taman hiburan itu pasti mudah sekali ditemukan.
Kalau kami sudah dekat dengan taman itu, kata Mom, pasti banyak
tanda untuk menunjukkan arah. Tapi sejauh ini kami belum melihat
satu tanda pun. Dad mengemudikan mobil, Mom duduk di sebelahnya di depan. Aku
di belakang, berdesak-desakan dengan Luke, adik laki-lakiku yang
umurnya sepuluh tahun, dan Clay, teman Luke.
Tempatku tidak enak. Adikku tidak bisa duduk tenang sedikit pun.
Terutama kalau berada di dalam mobil. Energinya terlalu banyak. Dan ia benar-
benar tolol. Makin jauh perjalanan kami, makin gelisah saja kelakuan Luke. Ia
mencoba bergulat dengan Clay, tapi tempatnya tidak muat. Lalu ia
mencoba bermain panco dengan Clay. Mereka berdua jadi mendesak-
desak posisiku sampai akhirnya aku kehilangan kesabaran dan mulai
berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.
"Kenapa kalian bertiga tidak main Alfabet saja?" kata Mom dari depan. "Carilah
huruf-huruf di luar jendela."
"Tidak ada satu pun," jawab Luke. "Tidak ada tanda apa pun."
"Tidak ada yang bisa dilihat," gerutu Clay.
Ia benar. Kami melalui lapangan-lapangan datar berpasir. Di sana sini ada pohon
kurus. Selebihnya padang pasir semua.
"Aku akan berbelok di sini," kata Dad. Dibukanya topi Chicago Cubs-nya dan
digaruk-garuknya rambut pirangnya yang sudah mulai
menipis. "Apa aku tadi sudah berbelok di sini?"
Dalam keluarga kami cuma Dad yang berambut pirang. Mom, Luke,
dan aku berambut hitam lurus dan bermata biru.
Sebetulnya Dad malah tidak tampak seperti anggota keluarga kami.
Kami bertiga tinggi dan kurus, kulit kami putih. Dad pendek dan agak gemuk,
wajahnya bulat dan hampir selalu berwarna merah muda. Aku
sering menggodanya karena kurasa ia lebih mirip pegulat daripada
manajer bank, yang merupakan pekerjaannya.
"Aku yakin tadi kita sudah ke sini," kata Dad kesal.
"Susah memastikannya. Di mana-mana padang pasir," jawab Mom, sambil memandang ke
luar jendela. "Sangat membantu," gumam Dad.
"Bagaimana aku bisa membantu?" bentak Mom.
"Kau yang meninggalkan petanya di meja dapur."
"Kukira kau yang membawanya," gerutu Dad.
"Kenapa jadi tugasku untuk membawa peta?" teriak Mom.
"Sudahlah, Mom, Dad," potongku. Begitu mulai bertengkar, mereka takkan pernah
berhenti. Yang paling baik adalah cepat-cepat
menghentikan mereka sebelum terjadi pertengkaran serius.
"Akulah sang Pencubit Gila!" teriak Luke. Ia tertawa mengerikan seperti di film-
film horor dan mulai mencubiti perut dan lengan Clay.
Aku paling benci kalau Luke pura-pura jadi Pencubit Gila. Aku
senang Clay yang duduk di tengah-tengah, di dekat Luke, bukannya
aku. Biasanya, satu-satunya cara untuk menghentikan Luke mencubit-
cubit adalah dengan meninjunya.
Clay mulai meronta-ronta dan tertawa. Ia menganggap semua yang
dilakukan Luke hebat. Ia tertawa mendengar semua lelucon dan
kelakuan konyol adikku. Kurasa itu sebabnya Luke sangat menyukai
Clay. Mereka berdua mulai cubit-cubitan. Lalu Luke mendorong Clay ke
arahku. "Jangan macam-macam!" teriakku.
Kudorong Clay lagi. Aku tahu mestinya tidak boleh. Tapi suhu di
dalam mobil makin panas, dan sudah berjam-jam kami bermobil, apa
lagi yang bisa kulakukan"
"Lizzi! Anak-anak! Mendinginlah!" seru Dad.
"Dad, sekarang orang sudah tidak bilang 'mendinginlah'," kataku tenang.
Entah kenapa, ucapanku membuat Dad mengamuk. Ia mulai berteriak-
teriak, wajahnya merah padam.
Aku tahu ia tidak marah padaku. Ia marah karena tidak bisa
menemukan Taman Hiburan Zoo Gardens.
"Ayo, semuanya tarik napas dalam-dalam dan jangan bicara," kata Mom.
"Aw! Jangan cubiti aku!" jerit Clay. Didorongnya Luke kuat-kuat.
"Kau yang jangan mencubiti aku!" teriak adikku, sambil
mendorongnya lagi. Anak laki-laki memang bikin kacau saja.
"Hei, lihat - di depan ada tanda!" Mom menunjuk ketika tampak papan hijau besar.
Luke dan Clay berhenti berkelahi. Dad bersandar ke setir mobil,
matanya terpicing menatap ke depan.
"Apa tanda itu menyebutkan di mana taman hiburannya?" desak Luke.
"Apa menyebutkan di mana kita berada?" tanya Clay.
Tulisan di papan itu kelihatan ketika kami melewatinya. Bunyinya:
PAPAN UNTUK DISEWA. Kami semua mengembuskan napas kecewa.
"Si Pencubit Gila kembali!" teriak Luke. Dicubitnya lengan Clay kuat-kuat. Luke
tidak pernah tahu kapan mesti berhenti bertingkah.
"Jalan ini tidak menuju ke mana-mana," kata Dad bersungut-sungut.
"Aku harus berputar dan kembali ke jalan raya. Kalau bisa
kutemukan." "Kurasa kau harus bertanya pada seseorang," kata Mom.
"Bertanya pada seseorang" Bertanya pada seseorang?" sembur Dad.
"Kau lihat ada orang yang bisa kutanyai?" Wajahnya merah padam lagi. Ia memegang
setir dengan satu tangan supaya tangannya yang
lain bisa meninju-ninju. "Maksudku kalau kau lihat ada pompa bensin," gumam Mom.
"Pompa bensin?" jerit Dad. "Pohon saja tidak ada!"
Dad benar. Aku memandang ke luar jendela dan yang terlihat di kedua sisi jalan
hanyalah pasir putih. Cahaya matahari menyinarinya,
pasirnya jadi berkilau-kilau. Saking berkilaunya, jadi kelihatan seperti salju.
"Aku ingin pergi ke utara," gumam Dad. "Padang pasir di selatan. Kita tadi pasti
melaju ke selatan." "Sebaiknya kau berputar," desak Mom.
"Kita tersesat?" tanya Clay. Aku bisa mendengar ia ketakutan.
Clay bukanlah anak paling berani di dunia. Malah sebetulnya ia
lumayan gampang ditakut-takuti. Pada suatu malam aku pernah
mengendap-endap di belakangnya di halaman belakang rumah kami
dan membisikkan namanya - ia nyaris terlonjak keluar dari sepatunya!
"Dad, kita tersesat?" Luke mengulangi pertanyaan tadi.
"Yeah, kita tersesat," jawab Dad pelan. "Benar-benar tersesat."
Clay berteriak pelan dan terpuruk di kursi. Ia kelihatan seperti balon kempis.
"Jangan bilang begitu!" bentak Mom.
"Apa yang seharusnya kubilang?" Dad balas membentak. "Kita jauh sekali dari Zoo
Gardens. Kita jauh sekali dari peradaban manusia!
Kita berada di padang pasir, berputar-putar tanpa arah!"
"Belok sajalah. Aku yakin kita nanti akan bertemu dengan orang yang bisa kita
tanyai," kata Mom pelan. "Dan berhentilah melebih-lebihkan."
"Kita semua akan mati di padang pasir," kata Luke, sambil tersenyum mengerikan.
"Dan burung-burung bangkai akan mencaplok mata kita dan memakan daging kita."
Adikku punya selera humor yang hebat, kan" Kau tidak bisa
membayangkan bagaimana rasanya harus tinggal dengan setan itu!
"Luke, jangan menakut-nakuti Clay," kata Mom. Ia menoleh dan melotot pada Luke.
"Saya tidak takut," kata Clay. Tapi ia kelihatan takut. Wajahnya yang bulat
tampak pucat. Dan matanya berkedip-kedip terus di balik
kacamatanya. Dengan rambutnya yang pirang pendek dan halus dan
kacamata yang bulat, Clay mirip sekali dengan burung hantu yang
ketakutan. Sambil bergumam sendiri, Dad memelankan laju mobil dan berhenti.
Ia lalu berputar, dan kami kembali lagi ke arah kami datang tadi.
"Liburan hebat," katanya dengan mulut terkatup rapat.
"Masih pagi," kata Mom, sambil melihat jam tangannya.
Matahari sudah hampir di atas kepala. Aku bisa merasakan
kehangatannya di wajahku dari atap mobil yang terbuka.
Kami melaju selama hampir setengah jam. Luke ingin bermain Dua
Puluh Pertanyaan atau Geografi dengan Clay. Tapi dengan suram Clay
menolak. Ia cuma memandang ke luar jendela terus, mengamati
padang pasir yang berlalu. Setiap beberapa menit, ia akan bertanya,
"Kita masih tersesat?"
"Lumayan tersesat," kata Dad kesal.
"Kita baik-baik saja," kata Mom menghibur kami.
Ketika kami melaju, pepohonan kurus tadi kelihatan lagi. Lalu, sesaat kemudian,
padang pasir berubah jadi lapangan-lapangan yang lebih
gelap, di sana sini ditumbuhi pohon dan semak.
Aku duduk diam-diam, tanganku mengepal di atas pangkuan,
kupandangi luar jendela. Aku tidaklah takut atau cemas, tapi aku
berharap paling tidak kami melihat pompa bensin, toko, atau manusia lain!
"Aku jadi lapar," kata Luke. "Sudah jam makan?"
Sambil menghela napas panjang yang terdengar seperti ban bocor,
Dad menepikan mobil. Ia mengulurkan tangan untuk membuka laci di
depan Mom. "Pasti ada peta di dalamnya," katanya.
"Tidak ada. Sudah kulihat," kata Mom.
Ketika mereka mulai bertengkar, kupandang atap mobil yang terbuka
di atas kepalaku. "Oh!" aku berteriak ketika melihat ada monster raksasa melotot ke arahku.
Dirundukkannya kepalanya yang besar sekali, hendak
menghancurkan mobil. AKU membuka mulut akan berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
Monster itu melotot padaku dari atas atap mobil. Setinggi bangunan, pikirku.
Matanya yang merah berkilat-kilat jahat, dan mulutnya
menyeringai lapar. "D-Dad!" Akhirnya aku bisa bersuara. Dad sedang membungkuk, mengaduk-aduk kertas
di dalam laci mobil. "Wow!" Kudengar Luke berteriak.
Aku menoleh dan melihat Luke juga sedang melotot memandangi
monster itu, mata birunya terbelalak ketakutan.
"Dad" Mom?" Jantungku berdebar-debar kencang sekali, dadaku rasanya seperti mau
pecah. "Lizzy, ada apa, sih?" tanya Mom tidak sabaran.
Monster itu merundukkan kepalanya di atas kami. Mulutnya terbuka
lebar, siap menelan mobil kami bulat-bulat.
Lalu Luke mulai tertawa. "Wow! Hebat!" teriaknya.
Dan pada saat yang bersamaan aku tersadar monster itu tidak hidup. Ia cuma
mesin, bagian dari papan iklan raksasa.
Kujulurkan kepalaku ke dekat jendela supaya bisa melihat lebih jelas.
Ternyata Dad tadi menepikan mobil tepat di samping papan iklan itu.
Orangtuaku begitu ribut bertengkar soal peta sampai tidak melihatnya!
Kupandangi monster bermata merah itu. Dirundukkannya kepalanya
dan dibukanya moncongnya. Lalu moncong itu menutup, dan kepala
yang sangat besar itu naik lagi.
"Mirip sekali dengan monster betulan!" seru Clay, sambil
memandanginya. "Tapi aku tidak tertipu," kataku berbohong. Aku takkan mau mengakui bahwa aku
tadi nyaris terlompat keluar dari atap mobil.
Lagi pula, aku kan yang paling tenang di keluarga kami.
Kuturunkan kaca jendela mobil dan kukeluarkan kepalaku untuk
membaca papan iklan di depan monster mesin itu. Iklan itu tertulis
dengan huruf-huruf merah besar, bunyinya: SELAMAT DATANG DI
HORRORLAND DI MANA MIMPI BURUK JADI KENYATAAN!
Di sebelah kiri atas ada panah merah tua, tulisannya: 1,5
KILOMETER. "Kita ke sana, ya?" desak Luke penuh semangat. Ia membungkuk ke depan dan
mencengkeram punggung kursi Dad dengan kedua
tangannya. "Bisa, ya, Dad" Bagaimana?"
"Kelihatannya menakutkan," kata Clay pelan.
Dad membanting laci mobil sampai tertutup sambil menghela napas.
Ia menyerah, tidak mau lagi mencari peta. "Luke, jangan menarik-narik kursiku,"
bentaknya. "Duduk."
"Kita ke HorrorLand, ya?" desaknya. "HorrorLand" HorrorLand apa?"
desak Mom. "Tidak pernah dengar," gumam Dad.
"Hanya satu setengah kilometer dari sini," rengek Luke.
"Kelihatannya asyik!"
Monster itu merundukkan kepalanya ke atas mobil, sambil melotot.
Lalu diangkatnya lagi kepalanya .
"Kurasa tidak," kata Mom, sambil memandangi papan iklan raksasa itu. "Zoo
Gardens taman yang indah sekali. Kelihatannya HorrorLand tidak terlalu bagus."
"Kelihatannya hebat!" kata Luke ngotot, ditarik-tariknya lagi bagian belakang
kursi Dad. "Kelihatannya sangat mengasyikkan!"
"Luke - duduk," kata Dad.
"Ayolah," desakku. "Kita takkan menemukan Zoo Gardens."
Mom ragu, digigit-gigitnya bibir bawahnya. "Entahlah," katanya kesal. "Tempat-
tempat seperti ini ada yang tidak aman."
"Pasti aman!" seru Luke. "Pasti aman sekali!" "Luke - duduk!" geram Dad.
"Bisa, ya?" desak Luke, tidak dipedulikannya perkataan Dad. "Bisa, ya?"
"Mungkin mengasyikkan," kata Clay pelan.
"Ayo kita coba saja," kataku. "Kalau tidak suka, kan bisa kita tinggalkan."
Dad menggaruk-garuk dagunya. Ia menghela napas. "Yah, kurasa
memang lebih baik daripada duduk bertengkar seharian di tempat
tidak jelas ini." "CIHUUUYY!" jerit Luke.
Luke dan aku bertepuk tangan tinggi-tinggi di atas kepala Clay.
Bagiku HorrorLand kedengarannya asyik juga. Aku suka sekali
permainan-permainan menakutkan.
"Kalau permainan-permainannya sama mengerikannya dengan
monster itu," kataku, sambil menunjuk papan iklan, "taman hiburan ini pasti
hebat!" "Menurutmu tidak terlalu menakutkan, kan?" tanya Clay. Kulihat tangannya
terkepal rapat di pangkuannya. Wajahnya tampak seperti
burung hantu ketakutan lagi.
"Tidak, tidak akan terlalu menakutkan," kataku. Oh, wow - betapa salahnya aku!
"Aku tidak percaya ada orang mau membangun taman hiburan di alam liar begini,"
kata Dad. Kami sedang melalui daerah yang tampak seperti hutan tanpa batas.
Pepohonan tinggi dan tua membungkuk di atas jalan dua jalur ini,
cahaya matahari pagi jadi hampir tidak kelihatan.
"Mungkin mereka belum membangun tamannya," kata Mom.
"Mungkin mereka akan menebangi pepohonan ini dan membangun
tamannya di sini." Kami bertiga di bangku belakang berharap Mom salah. Dan memang
Mom salah. Jalanan berkelok tajam. Dan sehabis kelokan, kami melihat ada
gerbang tinggi menuju taman tepat di depan kami.
Di balik pagar ungu tinggi, tampak HorrorLand terhampar seluas
berkilo-kilometer. Aku mencondongkan badanku ke depan dan
melihat puncak-puncak tempat permainan dan bangunan-bangunan
aneh yang berwarna-warni. Ketika melintasi pelataran parkir yang
luas sekali, terdengar suara organ yang menyeramkan.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"CIHUUYYY! Ini baru asyik!" seru Luke.
Aku dan Clay dengan girang menyetujui. Aku tidak sabar ingin segera keluar dari
mobil dan melihat semuanya.
"Pelataran parkir ini nyaris kosong," kata Dad, sambil gelisah melirik Mom.
"Artinya kita tidak perlu antre lama-lama!" seruku cepat-cepat.
"Kurasa Lizzy senang dengan tempat ini," kat Mom sambil tersenyum.
"Aku juga!" teriak Luke. Dengan penuh semangat ditinjunya bahu Clay. Luke selalu
harus meninju atau mencubit orang.
Kami melintasi pelataran parkir luas itu. Kulihat ada beberapa mobil diparkir di
dekat gerbang depan. Di ujung pelataran parkir ada sederet bis warna ungu-hijau
yang di bagian sampingnya ada tulisan
HorrorLand. Ketika kami mendekat, kupandangi gerbang depan baik-baik. Monster
yang tadi kami lihat di balik papan iklan muncul lagi dari belakang papan tanda
berwarna ungu-hijau di atas gerbang. Papan tanda itu
bertuliskan: HOROR HORRORLAND MENGUCAPKAN
SELAMAT DATANG KE HORRORLAND!
"Aku tidak paham tulisan itu," kata Mom. "Apa sih Horor HorrorLand?"
"Kita cari tahu!" seruku girang.
Suara organ yang mengerikan terdengar di pelataran parkir. Dad
membelokkan mobil ke tempat kosong di sebelah kanan gerbang
depan. Aku dan Luke membuka pintu belakang sebelum mobil benar-benar
berhenti. "Ayo!" seruku.
Luke, Clay, dan aku segera berlarian ke gerbang. Sambil berlari,
kupandangi monster hijau di atas papan penunjuk. Monster yang ini
tidak menggerakkan kepala seperti monster papan iklan tadi. Tapi
kelihatan seperti sangat asli.
Aku menoleh dan melihat Mom dan Dad bergegas-gegas menyusul
kami. "Ini pasti asyik sekali!" seruku.
Aku tersentak waktu terdengar ledakan yang memekakkan telinga
menggetarkan tanah. Aku terbelalak ketakutan ketika melihat mobil kami meledak, pecah
berkeping-keping. Ebukulawas.blogspot.com LAMA aku baru berhenti menjerit. Akhirnya, setelah menelan ludah,
aku berhenti berteriak. Kami semua terbelalak kaget. Mobil kami tinggal berupa potongan-
potongan metal kecil dan beberapa bara api.
"Bagaimana...?" Cuma itu yang bisa dikatakan Dad.
"A... aku t-tidak percaya!" kataku tergagap.
"Untunglah kita semua sudah keluar dari mobil!" teriak Mom.
Dipeluknya kami semua. "Untunglah kita semua baik-baik saja."
Luke dan Clay belum bersuara sedikit pun. Mereka berdiri terbelalak, memandangi
tempat mobil kami tadi berada.
"Mobilku!" Dad berbisik tertahan. "Mobilku... Bagaimana"
Bagaimana?" "Kita selamat," gumam Mom. "Kita semua selamat. Ledakan yang mengerikan sekali.
Masih terdengar terus di telingaku."
"A... aku harus menelepon polisi!" kata Dad. Ia segera berlari-lari ke gerbang,
sambil menggeleng-gelengkan kepala, bergumam sendiri.
"Bagaimana caranya mobil bisa meledak begitu saja, Sayang?" tanya Mom, bergegas
menyusulnya. "Apa penyebabnya?"
"Mana aku tahu?" bentak Dad marah. "A... aku tidak mengerti! Betul-betul tidak
mengerti! Dan sekarang apa yang akan kita lakukan?" Ia kedengaran sangat panik.
Aku tidak menyalahkannya. Ledakan tadi benar-benar mengerikan.
Dan ketika kusadari bahwa bisa saja kami semua berada di dalam
mobil itu ketika meledak, aku merinding.
"Mungkin ada tempat penyewaan mobil yang bisa kita telepon," kata Mom.
Mom seperti aku, tenang dalam keadaan gawat bagaimanapun.
Kami mengikuti Dad berlari ke tempat penjualan tiket di pintu masuk.
Ada monster hijau berdiri di dalamnya. Matanya kuning menonjol, di
kepalanya melingkar tanduk hitam. Hebat sekali kostumnya.
"Selamat datang di HorrorLand," katanya dengan suara dalam dan parau. Terdengar
suara keras organ dari dalam tempat pemesanan tiket itu. "Saya Horor HorrorLand.
Saya dan semua Horor berharap hari ini Anda mengalami hari yang mengerikan."
"Mobil saya!" bentak Dad marah. "Tadi ada ledakan. Saya perlu telepon."
"Maaf, Pak. Tidak ada telepon," jawab orang yang mengenakan kostum monster itu.
"Hah?" Wajah Dad merah padam lagi. Keningnya basah berkeringat.
"Tapi saya perlu telepon! Sekarang juga!" kata Dad ngotot, sambil melotot marah
pada monster hijau itu. "Mobil saya meledak! Kami tidak bisa ke mana-mana!"
"Kami akan mengurus Anda," jawab si Horor, sambil memelankan suaranya nyaris
hanya berbisik. "Kau apa?" teriak Dad. "Kami perlu mobil. Saya perlu telepon! Masa kau tidak
mengerti?" "Tidak ada telepon," ulang monster itu. "Tapi tolong, Pak. Izinkan kami mengurus
Anda. Saya berjanji kami akan mengurus segalanya.
Jangan biarkan hal ini mengacaukan kunjungan Anda ke HorrorLand."
"Mengacaukan kunjungan saya?" teriak Dad, wajahnya makin merah.
"Tapi mobil saya...!"
Suara keras organ membuatku terlonjak. Suara mengerikan itu
membuatku merasa seperti ada di dalam film horor!
"Kami akan mengurus Anda. Saya berjanji," kata si Horor. Ia tersenyum aneh.
Matanya yang kuning berkilat-kilat. "Nikmatilah kunjungan Anda, dan jangan
pikirkan masalah transportasi. Saya dan
Horor-horor lain akan memastikan kenyamanan Anda."
"Tapi... tapi...," Dad terbata-bata.
Si Horor itu menunjuk ke arah taman hiburan.
"Silakan masuk sebagai tamu kami. Gratis. Saya minta maaf atas kejadian yang
menimpa mobil Anda. Saya berjanji Anda tidak perlu
lagi mengkhawatirkan mobil Anda."
Dad berbalik menatap kami, keringat bercucuran dari dahinya. Aku
tahu, ia kesal sekali. "A... aku tidak bisa menikmati taman hiburan sekarang," katanya.
"Aku tidak percaya hal ini terjadi. Betul-betul tidak bisa.
Bagaimanapun kita harus mendapat mobil, dan..."
"Oh, tolonglah, Dad!" jerit Luke. "Tolonglah! Kita masuk ke dalam saja, ya" Ia
kan bilang akan mengurusnya untuk kita."
"Sebentaaar saja," aku ikut merengek-rengek.
"Kita sudah berjalan jauh," kata Mom pada Dad. "Marilah masuk sebentar. Biarkan
mereka bermain-main."
Dad menimbang-nimbang, dahinya berkerut. "Oke. Sebentar saja,"
katanya akhirnya. Suara organ terdengar makin keras ketika kami melewati gerbang.
"Wow! Lihatlah tempat ini!" teriakku. "Rasanya seperti benar-benar berada di
dalam film horor." Kami berdiri di jalanan cokelat berbatu-batu. Di kedua sisinya ada
pondok-pondok gelap dan aneh. Pepohonan tinggi di sepanjang jalan
nyaris menutupi sinar matahari sama sekali. Udara terasa dingin.
Lolongan pelan, seperti lolongan serigala, terdengar di antara pondok-pondok.
Ada papan bertuliskan: SELAMAT DATANG DI DESA MANUSIA
SERIGALA. JANGAN BERI MAKAN MANUSIA-MANUSIA
SERIGALANYA. KALAU BISA. Lolongan mengerikan itu terdengar makin keras. Luke dan aku
menertawakan tulisan di papan itu.
Kulihat ada monster hijau, salah satu Horor, memandangi kami dari
balik jendela gelap pondok di seberang jalan. Horor lain berlalu
sambil membawa kepala manusia yang kelihatan sangat mirip dengan
kepala asli. Dicengkeramnya rambut pirang panjang kepala itu dan
dimain-mainkannya sambil berjalan, seperti main yoyo.
"Hebat!" seru Luke lagi. Rasanya seharian ini itulah kata kesayangannya.
Kami berjalan di sepanjang jalanan berbatu itu. Suara sepatu kami
memantul di dinding pondok-pondok.
"Ohh!" Kami semua berteriak terkejut ketika seekor serigala kelabu panjang
berlari di depan kami. Serigala itu menghilang di samping
sebuah pondok sebelum kami sempat melihatnya dengan cermat.
"Tadi itu serigala betulan?" tanya Clay, suaranya bergetar.
"Tentu saja tidak," kataku. "Mungkin anjing. Atau kalau tidak, ya mesin."
"Yah, mereka sangat menjaga kebersihan tempat ini," kata Mom, berusaha terdengar
riang. "Sama sekali tidak ada sampah atau kotoran.
Tentu saja, taman ini tidak banyak pengunjungnya."
Dad mengikuti di belakangnya. "A... aku harus menemukan telepon,"
katanya kesal. "Aku tidak bisa menikmati taman ini sampai aku tahu kita punya
cara untuk pulang ke rumah."
"Tapi, Sayang...," kata Mom.
"Pasti ada telepon di sekitar sini," potong Dad. "Teruskanlah tanpa aku."
"Tidak. Aku ikut denganmu," kata Mom. "Kau kacau sekali. Kau memerlukan aku
untuk menelepon. Anak-anak pasti lebih suka kalau
kita tidak ikut." "Meninggalkan mereka?" teriak Dad. "Maksudmu, biarkan mereka meneruskan
sendiri?" "Tentu," kata Mom, sambil bergegas mendekatinya. "Mereka pasti tidak apa-apa.
Tempat ini kelihatannya aman. Apa sih yang bisa
terjadi?" Apa yang bisa terjadi"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Mom dan Dad bergegas pergi
mencari telepon. "Ketemu lagi di sini!" seru Mom pada kami.
Luke, Clay, dan aku tiba-tiba sendirian.
Aku berbalik untuk melihat Mom dan Dad yang bergegas-gegas pergi.
Aku berbalik lagi tepat ketika seekor serigala kelabu keluar dari
samping pondok. Dirundukkannya kepalanya dan menggeram pelan.
Kami bertiga berdiri kaku ketika menyadari matanya yang merah
kelaparan terpaku pada kami.
AKU berteriak dan menarik Luke dan Clay ke belakang.
Serigala itu keluar, kepalanya tetap merunduk. Ia menatap kami
dengan mata merah melotot, mulutnya terbuka kelaparan.
"Se... serigala betulan!" seru Clay, ia menelan ludah. Bahunya kupegang. Aku
bisa merasa ia gemetaran.
Serigala itu menggeram pelan.
Lalu menyelinap lagi ke balik dinding pondok. "Kurasa ia semacam robot atau yang
sejenisnya," kataku pada Clay.
"Ayo pergi ke tempat lain," kata Clay, tiba-tiba ia tampak pucat sekali.
"Apa tulisan di papan itu?" tanya Luke. Ia lari di jalan berbatu-batu menuju
papan, Clay dan aku mengikutinya.
Tulisan itu berbunyi: TIDAK BOLEH MENCUBIT. Luke tertawa.
"Konyol." "Papan payah!" seru Clay.
"Tulisan itu ditujukan hanya untukmu, Luke!" seruku. Kucubit lengannya kuat-
kuat. "Hei! Kau tidak bisa baca, ya?" teriaknya marah, sambil menunjuk papan.
Kulihat ada Horor hijau mengamati kami dari ujung jalan. Lalu
kulihat ada keluarga berjalan di belakang deretan pondok, terdiri dari ibu,
bapak, dan anak perempuan kecil. Anak perempuan itu menangis,
entah kenapa. Orangtuanya memegang bahunya dan tampak cemas.
Terdengar lolongan serigala.
"Ayo cari permainan!" kata Clay.
''Permainan yang menakutkan!" tambah Luke.
Sambil berjalan berdampingan, berdekatan, kami keluar dari Desa
Manusia Serigala. Jalanan melebar jadi pelataran bundar. Cahaya
terang matahari tampak lagi begitu kami keluar dari desa.
Beberapa bangunan ungu-hijau mengelilingi pelataran itu. Kulihat ada beberapa
keluarga lagi dan Horor-horor berkostum hijau yang
mengamati keadaan. Horor gendut di belakang gerobak dorong warna
hijau-ungu menjual es krim - es krim hitam!
"Hii!" seru Luke, wajahnya berkerut jijik.
Kami bergegas melewati gerobak dorong itu, melewati papan
bertuliskan TIDAK BOLEH MENCUBIT lagi, dan berhenti di depan
bangunan yang tampak seperti gunung ungu tinggi.
"Ini permainan!" kataku pada mereka.
Pintu masuknya dari bagian samping gunung itu. Dan di atas pintu
masuk ada tulisan: SELUNCURAN AJAL. KAUKAH ORANG
YANG AKAN MELUNCUR SELAMANYA"
"Asyik!" teriak Luke, sambil bertepuk tangan tinggi-tinggi dengan Clay.
"Pasti kau harus naik sampai puncak, lalu meluncur turun," kataku, sambil
menunjuk ke puncak bangunan berbentuk gunung itu.
"Ayo!" teriak Luke penuh semangat.
Kami lari ke bangunan itu, lalu melewati pintu masuk di sampingnya.
Di dalam gelap dan dingin. Tanjakan lebar berkelok menuju puncak.
Aku mendengar anak-anak menjerit dan tertawa, tapi tidak bisa
melihat mereka. Kami bertiga setengah berjalan, setengah berlari
menaiki tanjakan itu, ingin segera sampai ke puncak.
Di tengah jalan kami berhenti untuk membaca tulisan lagi: AWAS! -
MUNGKIN KAULAH YANG AKAN MELUNCUR MENUJU
AJALMU! Sekarang aku bisa mendengar anak-anak menjerit sambil meluncur
turun. Tapi tidak kelihatan apa-apa karena terlalu gelap. "Kau takut, Clay?"
tanyaku, kulihat wajahnya tegang.
"Tidak!" katanya ngotot, malu ditanya begitu. "Aku sudah pernah melihat yang
seperti ini. Permainan ini berbentuk papan seluncuran
raksasa. Kau tinggal duduk di atasnya dan meluncur turun."
"Cepat!" teriak Luke, ia lari mendahului.
"Hei, tunggu!" seruku. Kuikuti mereka ke puncak tanjakan. Kami sampai di
pelataran lebar. Papan-papan seluncuran berderet-deret
sampai ke ujung pelataran. Papan-papan itu diberi nomor satu sampai sepuluh.
Dalam suasana remang-remang, kulihat dua Horor yang mengamati
kami mendekat. Mereka berdiri di depan papan-papan seluncuran.
Mata mereka yang kuning menonjol berkilat-kilat ketika kami
bergegas mendekat. "Kau meluncur turun sampai ke bawah?" tanya Luke pada mereka.
Horor itu mengangguk. "Apa meluncurnya cepat sekali?" tanya Clay, ia berjalan beberapa meter di
belakang kami. Horor itu mengangguk lagi. "Perjalanannya panjang sekali,"
gumamnya. "Hati-hati memilih papan seluncuran," kata Horor yang satu lagi.
"Jangan pilih Seluncuran Ajal." Ia memberi tanda ke arah nomor yang dicat hitam
di depan tiap papan seluncuran.
"Ya. Jangan pilih Seluncuran Ajal," kata temannya. "Kau akan meluncur selama-
lamanya." Aku tertawa. Ia cuma mencoba menakut-nakuti kami, kan"
KUPILIH seluncuran nomor tiga karena tiga adalah angka
keberuntunganku. Luke duduk di seluncuran di sebelahku, seluncuran
nomor dua. Clay pergi ke ujung dan duduk di seluncuran nomor
sepuluh. Aku menoleh untuk melihat apa yang dikerjakan Horor-horor itu. Tapi sebelum aku
bisa melihat dengan jelas, aku merasa seluncuranku
bergerak. Aku menjerit melengking sambil meluncur.
Kuangkat tanganku ke atas kepala, badanku condong ke belakang, dan
terus menjerit. Suara jeritanku menggema di lembah Seluncuran Ajal
yang gelap dan besar sekali itu.
Asyik sekali rasanya. Seluncuran itu berkelok-kelok. Aku meluncur
dalam kegelapan, makin lama makin cepat.
Dalam cahaya remang-remang, aku bisa melihat Luke di seluncuran di
sebelahku. Ia terbaring telentang, matanya terbelalak, mulutnya
ternganga lebar. Aku mencoba berteriak memanggilnya. Tapi seluncuranku berkelok
menjauh, aku jadi ikut menjauh juga.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Turun, turun. Aku meluncur cepat sekali, kegelapan di sekelilingku jadi seperti
bayangan kabur. Seluncuran itu membelok ke atas, lalu berputar, dan turun lagi. Aku roller
coaster manusia, pikirku senang.
Turun, turun. Makin lama makin gelap.
Aku meluncur lebih cepat daripada kecepatan cahaya, pikirku.
Aku memandang ke sampingku, berusaha melihat Luke dan Clay.
Tapi terlalu gelap, dan aku meluncur cepat sekali.
Terlalu cepat. Lalu, bum. Sebuah katup terbuka. Aku terbanting keras ke tanah, jatuh terduduk.
Di luar. Aku kembali berada di luar.
Bum. Luke terlempar keluar di sampingku. Ia jatuh ke tanah, masih
terbaring telentang, dan tidak berusaha bangun.
Ia nyengir padaku. "Di mana aku?"
"Kembali ke tanah," kataku, sambil berdiri. Kubersihkan bagian belakang jinsku,
lalu kurapikan rambutku. "Asyik, ya?"
"Ayo naik lagi," kata Luke, masih terbaring.
"Kita tidak bisa naik lagi kalau kau tidak bangun," kataku.
"Tolong, dong." Diulurkannya tangannya.
Aku mengerang sambil menariknya sampai terduduk. "Bangun
sendiri," kataku tidak sabaran.
"Di dalam tadi kau menjerit-jerit," katanya.
"Sengaja," kataku. "Aku memang ingin menjerit."
"Yeah. Tentu." Dibelalakkannya matanya. Lalu ia bangun. "Wow.
Aku agak pusing. Menurutmu berapa kecepatan meluncur kita tadi?"
Aku mengangkat bahu. "Kurasa lumayan cepat. Gelap sekali di dalam, sulit untuk
mengetahui berapa kecepatan meluncur kita."
Lalu aku tersadar ada satu anggota kelompok meluncur kami yang
tidak ada. Kupandangi katup-ka tup di dinding gedung. "Hei, mana Clay?"
"Hah?" Luke juga lupa padanya.
Kami berdua memandangi bagian samping gedung, menunggu Clay
muncul. "Mana dia?" desak Luke melengking. "Tak mungkin ia selambat ini dibandingkan
kita, ya, kan?" Aku menggeleng. Aku mulai merasa gelisah bukan main. Perutku
terasa mulas. Dan tanganku tiba-tiba dingin dan lembap.
"Ayolah, Clay," kataku, sambil memandangi dinding. "Keluarlah."
Luke menggaruk kepalanya. "Ke mana dia?" tanyanya. "Kenapa Clay belum keluar-
keluar juga?" "Mungkin ia keluar dari depan," kataku. "Mungkin seluncuran nomor sepuluh
mengeluarkan kau jauh di depan. Ayo kita lihat."
Sambil berlari mengitari bangunan menuju ke depan, aku memarahi
diriku sendiri karena gampang sekali ketakutan. Pasti Clay keluar dari katup
yang lain. Mungkin ia sedang menunggu kami di depan gedung.
Mungkin ia mulai cemas memikirkan kami.
Setelah mengitari gedung ungu itu, tampak pelataran melingkar yang
lebar. Kucari-cari Mom dan Dad, tapi tidak ada. Kulihat ada dua
keluarga lain di seberang pelataran, dan Horor hijau gemuk yang
sedang bersandar di kereta es krimnya.
Clay tidak kelihatan. Aku dan Luke terus berlari, menuju pintu masuk Seluncuran Ajal.
Kami berhenti beberapa meter dari pintu terbuka yang gelap itu.
"Ia tidak ada di sini!" teriak Luke, sambil terengah-engah.
Aku juga terengah-engah. Dan perutku makin mulas saja rasanya.
"Jangan. Jangan Clay," gumamku.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Luke. Mata birunya terbelalak ketakutan.
Kulihat ada Horor hijau wanita berdiri di pintu masuk. "Hei!" seruku, sambil
berlari mendekatinya. "Anda lihat ada anak keluar dari sini?"
tanyaku megap-megap. Mata kuning di topeng Horor itu menggelembung dan tampak
bersinar. "Tidak. Ini pintu masuk. Tidak ada yang keluar dari sini,"
jawabnya. "Ia berambut pirang dan agak gempal. Ia pakai kacamata," kataku. "Ia mengenakan
kaus biru dan celana pendek denim."
Horor itu menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang keluar dari sini. Sudah kau periksa
bagian belakang" Semua orang keluar dari bagian
belakang." "Ia tidak keluar dari sana!" kata Luke melengking. "Tadi kami di sana.
Ia tidak keluar." Suara adikku terdengar melengking tinggi. Ia terengah-engah,
dadanya naik-turun. Ia panik.
Aku juga ketakutan. Tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Demi Luke.
"Ia tidak keluar dari belakang," kataku pada Horor itu, "dan ia tidak keluar
dari depan. Jadi apa yang terjadi padanya?"
Horor itu lama terdiam. Lalu ia berkata pelan, hampir seperti berbisik,
"Mungkin temanmu memilih Seluncuran Ajal."
KUPANDANGI wanita yang mengenakan kostum Horor itu. "A...
anda bercanda, kan?" kataku tergagap.
"Maksud saya, Seluncuran Ajal... itu kan Cuma main-main."
Dibalasnya tatapanku dengan mata kuningnya yang menonjol dan
tidak menjawab. "Papan-papan itu berisi peringatan," katanya. "Di mana-mana ada
peringatan." Ia berbalik dan menghilang ke dalam pintu masuk yang gelap. Luke
dan aku berpandang-pandangan. Kutelan ludah. Tenggorokanku tiba-
tiba terasa kering sekali. Tanganku dingin seperti es.
"Konyol," gumam Luke. Dimasukkannya tangannya ke dalam saku jeans. "Itu kan cuma
seluncuran konyol. Kenapa ia menakut-nakuti kita?"
"Kurasa memang itu tugasnya," kataku.
"Kita harus mencari Mom dan Dad," gumam Luke.
"Kita harus mencari Clay dulu," kataku. "Kalau Mom dan Dad tahu Clay hilang,
mereka akan marah dan memaksa kita pulang begitu kita
menemukannya." "Kalau kita bisa menemukannya," kata Luke suram .
Aku menoleh lagi ke arah pelataran. Mom dan Dad tidak kelihatan.
Ada dua remaja sedang membeli es krim hitam dari Horor yang
menjaga kereta es krim. Dua Horor lain sedang menyapu pelataran
dengan sapu dorong, mereka bekerja bersebelahan.
Di kejauhan aku bisa mendengar lolongan serigala dari Desa Manusia
Serigala. Matahari sudah tinggi di langit. Aku bisa merasakan panasnya di
kepala dan bahuku. Tapi tetap saja sekujur badanku terasa dingin.
"Clay... di mana engkau?" aku bertanya-tanya sambil berpikir keras.
"Ia meluncur selamanya," kata Luke, menggeleng-geleng. "Meluncur tanpa henti di
Seluncuran Ajal." "Konyol kau," kataku. Tapi Luke membuatku teringat sesuatu. "Ayo,"
kataku, kutarik lengan kausnya. Kutarik dia ke arah pintu masuk yang gelap.
"Hah" Mau ke mana?" Luke memberontak.
"Kita naik seluncuran lagi," kataku.
Mulutnya ternganga lebar karena tidak setuju. "Tanpa Clay" Kita tidak boleh naik
lagi tanpa Clay." "Kita akan mencari Clay," kataku, kucengkeram lengannya dan kutarik ke pintu
masuk yang gelap dan menganga.
"Maksudmu...?" Adikku mulai mengerti.
Aku mengangguk. "Ya. Kita ikuti dia. Kita naiki seluncuran yang dinaikinya."
"Seluncuran nomor sepuluh," gumam Luke. Lalu ia berbisik pelan,
"Seluncuran Ajal."
"Kita naiki seluncuran itu, nanti bisa langsung ketemu dia," kataku.
Kami berjalan di tanjakan tanpa berkata-kata. Suara sepatu kami
menggema di dalam gunung yang besar dan kosong itu.
Di tengah jalan menuju puncak kami berlari melewati papan tanda.
Kubaca lagi sambil melewatinya: AWAS! MUNGKIN KAULAH
YANG AKAN MELUNCUR MENUJU AJALMU!
Clay... apakah kau masih terus meluncur" pikirku.
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk mengusir pikiran itu. Tentu
saja ia tidak sedang meluncur. Pikiran konyol!
Kedua Horor tadi masih berdiri di dekat seluncuran.
"Hati-hati memilih seluncuran," kata salah satu Horor
memperingatkan. "Kami tahu seluncuran mana yang kami inginkan," kataku terengah-engah.
"Seluncuran nomor sepuluh. Kami berdua. Bersama-sama."
Horor yang di dekat seluncuran nomor sepuluh memberi isyarat
supaya kami duduk. Kulirik Luke, yang berdiri tepat di belakangku,
wajahnya tegang ketakutan.
Ditariknya aku. "Mungkin sebaiknya tidak usah saja," bisiknya.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabaran.
"Bagaimana kalau peringatan itu benar?" katanya. "Jangan konyol,"
ejekku. "Ingat, ini kan taman iburan. Mereka takkan membunuh atau membuat anak-
anak meluncur menemui ajal. Ini semua untuk
bermain-main." Luke menelan ludah. "Kau yakin?"
"Tentu saja aku yakin," kataku. "Kau mau apa tidak sih mencari Clay?"
Luke mengangguk. "Kalau begitu, ayo," perintahku.
Aku duduk di seluncuran nomor sepuluh. Luke terpuruk tepat di
belakangku, kakinya terjulur di dekat kakiku.
Kurasakan papan seluncuran di bawah kami terangkat.
Kami meluncur. "Clay, kami datang!" teriakku.
SEKALI ini aku tidak menjerit. Kukepalkan tanganku di pangkuan
dan kugeretakkan gigiku. Tak mungkin aku bisa menikmati seluncuran ini. Aku ingin cepat-
cepat sampai ke ujung. Aku ingin memecahkan misteri ini dan
menemukan Clay. Selama kami meluncur, Luke berpegangan padaku, pinggangku
dicengkeramnya. Ia berteriak ketika kami terlonjak keras. Rasanya
seperti akan terbang ke luar dari seluncuran.
Kami berdua lalu menjerit ketika seluncuran menukik tajam - hampir
tegak lurus - dan kami mulai jatuh.
Kami mendarat keras. Seluncurannya lalu berbelok tajam ke kanan.
Kami berdua menjerit sekuat tenaga.
Kami meluncur makin lama makin cepat, dalam kegelapan yang
pekat, lebih gelap daripada malam. Aku mencoba melihat apakah
kami bergerak di samping seluncuran-seluncuran lain. Tapi gelap
bukan main, sepatuku sendiri saja tidak kelihatan!
Luke mencengkeram pinggangku kuat sekali, aku jadi hampir tidak
bisa bernapas. Aku mencoba menyuruhnya melonggarkan
cengkeramannya, tapi tertutup jeritannya yang keras sekali.
Turun, turun. Makin lama makin gelap. Kami terlonjak dan terlempar ke udara lagi. Seluncurannya lalu
menurun dan berbelok tajam ke kiri.
Mestinya sekarang kami sudah sampai ke dasar, pikirku.
Sudah lama sekali kami meluncur.
Kugeretakkan gigiku lebih kuat dan bersiap-siap menerobos saluran
keluar dan terbanting ke tanah. Tapi tidak ada saluran yang terbuka.
Seluncurannya belum berakhir.
Kami mulai meluncur lebih cepat. Udara lembap dan panas
menerpaku, membuatku jadi susah bernapas.
Seluncurannya menukik dan berbelok, meluncurkan kami ke dalam
kegelapan yang pekat. Kami akan meluncur selamanya.
Peringatan itu tidak main-main.
Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran mengerikan itu.
Tiba-tiba Luke jadi tenang sekali. "Kau baik-baik saja?" seruku padanya.
"Entahlah," jawabnya, pegangannya makin kencang. "Kenapa kita meluncur lama
sekali?" "Hei, sakit!" teriakku.
Dilonggarkannya pegangannya sedikit. "Aku tidak suka!" teriaknya tepat di
telingaku. Kami terlonjak lagi. Pegangannya terlepas. Terlonjak lagi. Lebih
keras. Kupikir aku akan terbang dari seluncuran dan jatuh ke dasar -
kalau dasarnya ada. Turun, turun. Luke dan aku serentak menjerit jijik waktu ada sesuatu yang lengket menutupi
wajah kami. Kuangkat tanganku dan mencoba
melepaskannya. "Hii!" jerit Luke. "Apaan nih" Wajahku...!"
"Mirip sarang labah-labah," seruku. "Sarang labah-labah yang panas dan lengket."
Seluruh wajahku terasa gatal. Benang-benang lengket itu
menyelubungi wajahku seperti jala. Dengan panik kutarik-tarik.
"Oh!" teriakku ketika seluncurannya menukik tajam lagi.
Dengan mengoyak-ngoyaknya, aku berhasil melepaskan hampir
semua sarang laba-laba yang lengket tadi. Tapi wajahku tetap terasa gatal bukan
main. Rasanya seperti dikerubuti ribuan semut.
"Menjijikkan!" teriak Luke di belakangku. "Wajahku... sakit!"
Turun, turun ke kegelapan yang kelam.
Aku lalu terpaksa memejamkan mata karena melihat cahaya terang.
Apakah itu sinar matahari" Apakah kami meluncur ke luar"
Tidak. Kupaksa membuka mata dan memicing menatap cahaya kuning itu.
Aku tersadar, yang kulihat itu api yang berkobar-kobar.
Luncuran di hadapan kami terbakar! Lidah api berwarna kuning-
jingga menjilat-jilat, diliputi asap hitam bergumpal-gumpal.
Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan mulai menjerit. Kami
meluncur tepat ke arah lidah api yang berkobar-kobar itu.
"Kita akan terbakar!" jerit Luke. "Tolong! Tolong kami!"
KUPEJAMKAN mata dan kurasakan semburan panas yang kuat,
hampir seperti ledakan. Aku terbakar habis! pikirku.
Terbakar habis! Semburan udara dingin membuatku membuka mata.
Api tadi sekarang ada di belakang kami. Kami meluncur
menembusnya. Luke dan aku terdiam. Aku menunggu jantungku berhenti berdebar-
debar kencang. "Efek khusus yang hebat!" seru Luke. Ia tertawa keras, tawa gelisah yang tak
pernah kudengar sebelumnya.
Aku sadar api tadi palsu. Semacam proyeksi atau apalah.
Kuhirup udara dingin dalam-dalam. Seumur hidup belum pernah aku
setakut tadi. "Kapan seluncuran ini berakhir?" teriak Luke. Suaranya berubah jadi melengking
dan ketakutan. Takkan pernah berakhir, pikirku suram. Kami betul-betul akan
meluncur selamanya. Dan ketika pikiran mengerikan itu ada di pikiranku, sebuah saluran
membuka di hadapan kami. Sinar matahari memancar masuk.
Aku terbanting keras ke rerumputan lembut. Beberapa detik
kemudian, Luke mendarat di belakangku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menunggu mataku terbiasa
dengan cahaya matahari yang terang.
Lalu pelan-pelan aku berdiri, jantungku masih berdebar-debar.
Sebuah papan tanda berwarna kuning hijau di atas tonggak kayu
terpancang tepat di depan kami. Tulisannya: SELAMAT DATANG
DI AKHIRAT. JUMLAH PENDUDUK: 0 JIWA.
Di sebelah papan itu berdiri Clay. Ia bergegas datang untuk
menyambut kami, wajahnya yang bulat dan merah muda tersenyum
senang. "Hei, teman-teman... hei!" serunya. "Dari mana saja kalian?"
Ditepuknya tangan Luke. Luke lalu bercanda meninju perutnya.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana saja kami?" tanyaku. "Kau dari mana saja?"
"Di sini terus," jawab Clay. "Aku tidak tahu di mana aku berada.
Kurasa ini sisi lain taman atau apalah. Jadi kutunggu saja kalian."
"Kami kembali lagi ke Seluncuran Ajal," kata Luke menjelaskan.
"Kami naik seluncuranmu. Nomor sepuluh. Hebat! Seru sekali!"
Beberapa detik yang lalu, Luke menjerit-jerit ketakutan. Sekarang
beginilah kelakuannya, pura-pura menikmati, mengatakan pada Clay
betapa., mengasyikkannya tadi.
"Kau memilih seluncuran yang hebat!" kata Luke pada Clay. "Wow!
Asyik sekali!" "Aku agak ketakutan," kata Clay mengaku. "Maksudku, apinya..."
"Efek khusus yang hebat!" seru adikku. "Taman hiburan ini luar biasa!"
Luke memang tukang tipu. Tak mungkin ia mau mengaku bahwa tadi
ia cemas memikirkan Clay. Dan tak mungkin ia mengaku perjalanan
panjang menuju akhirat tadi membuatnya ketakutan.
Tapi aku senang melihat semangatnya sudah pulih kembali. Aku
betul-betul tidak suka melihat adikku ketakutan dan panik.
"Rupanya itu semacam seluncuran panjang," kata Clay, dahinya berkerut. Rambut
pirangnya yang halus berkilau disinari cahaya
matahari. "Kurasa sedikit terlalu panjang."
"Aku mau saja naik permainan itu lagi!" kata Luke sok berani.
Aku berbalik dan memandang sekelilingku. Kami benar-benar berada
di bagian lain HorrorLand. Semua tampak asing.
Di seberang jalanan yang lebar, kulihat beberapa anak berpakaian
renang berjalan di jalan setapak berpasir. Di dekat situ ada papan
bertuliskan: RIAM HOROR. Di sebelah kanan kami, gedung persegi dari kaca memantulkan cahaya
matahari yang cerah. Dinding-dinding kacanya berkilauan seperti
terbakar. Dengan memicingkan mata, aku cuma bisa melihat papan
tanda di depannya: RUMAH CERMIN.
"Ayo kita coba Rumah Cermin itu!" desak Luke, ditariknya tangan Clay.
"Hei! Tunggu dulu!" seruku. "Bukankah sebaiknya kita cari Mom dan Dad dulu?"
"Mereka ada di sisi lain taman hiburan ini," jawab Luke, diseretnya Clay
menyeberangi trotoar. "Kita bersenang-senang saja dulu dan setelah itu baru
mencari mereka." "Mungkin mereka sedang mencari-cari kita," kataku resah.
"Taman hiburan ini tidak terlalu ramai. Mereka pasti bisa menemukan kita," jawab
Luke. "Ayolah, Lizzy... kelihatannya asyik!"
Aku ragu, teringat Mom dan Dad. Kupandangi gedung dari kaca yang
berkilat-kilat itu. Tiba-tiba kurasakan ada yang menepuk bahuku.
Karena terkejut, aku berteriak dan berbalik.
Ternyata ada Horor berkostum hijau. Matanya yang menonjol
menatap mataku sambil membungkuk ke arahku. "Pergilah mumpung
masih bisa!" bisiknya.
la melirik ke kiri dan ke kanan, seolah-olah ingin memastikan tidak ada yang
mengamatinya. "Ayolah... aku serius! Pergilah mumpung masih bisa!"
ebukulawas.blogspot.com SAKING kagetnya, aku tidak bisa berkata-kata. Kuamati ia berlari
pergi, gerakannya kaku karena kostum Horornya yang besar, ekornya
yang Berwarna ungu terseret-seret di trotoar di belakangnya.
"Mau apa dia?" seru Clay. Ia dan Luke hampir sampai di pintu masuk Rumah Cermin.
"Ia... ia bilang kita harus pergi mumpung masih bisa," kataku tergagap, lari
mendekati mereka. Sesaat aku tidak bisa melihat mereka karena pan-ulan sinar
matahari di bangunan kaca itu menyilaukan
mataku. Luke tertawa. "Horor-horor ini hebat!" serunya. "Mereka benar-benar berusaha
menakut-nakuti kita!"
Dari balik kacamatanya, mata Clay membelalak. "Ia cuma bercanda, kan?" tanyanya
pelan. "Maksudku, ini cuma lelucon, kan?"
"Entahlah," kataku. "Kurasa iya." Kuamati Horor tadi menghilang dengan cepat ke
balik bangunan biru tinggi berbentuk piramida.
"Itu memang tugasnya," kata Luke ngotot. "Ia berkeliling menakut-nakuti orang
terus." "Mungkin ia serius memperingatkan kita," gumam Clay,
dipandangnya aku. "Tak mungkin!" seru Luke. Ditepuknya punggung Clay kuat-kuat.
"Jangan muram terus, dong. Ini tempat hebat! Kau suka ditakut-takuti, kan?"
Ekspresi wajah Clay tetap cemas. "Kurasa," jawabnya ragu.
Aku baru saja akan mengatakan pada Clay bahwa aku yakin ini cuma
main-main, tapi Luke memotong, "Cepat! Ayo kita lihat Rumah
Cermin. Ayo bersenang-senang sebelum Mom dan Dad datang dan
memaksa kita pulang."
Diseretnya Clay ke pintu masuk, dan aku mengikuti. Kami melewati
tanda DILARANG MENCUBIT lagi ketika berjalan menuju
bangunan kaca yang berkilauan.
Di luar pintu masuk, aku berhenti untuk membaca tulisan di papan
berwarna kuning hijau. Bunyinya: RUMAH CERMIN. PIKIR DULU
SEBELUM MASUK. KAU TAKKAN PERNAH MUNCUL LAGI!
"Hei... tunggu!" seruku pada anak-anak itu. Mereka sudah bergegas masuk.
Aku melangkah masuk dan berada di lorong sempit dan gelap. Mataku
masih silau dengan cahaya terang dari luar. Aku tidak bisa melihat
apa-apa. "Luke, Clay... tunggu!" teriakku. Suaraku menggema di lorong rendah itu. Aku
bisa mendengar mereka tertawa-tawa di depan.
Aku lari membabi buta, kutundukkan kepalaku karena langit-langitnya rendah
sekali. Akhirnya, mataku bisa menyesuaikan diri dengan
kegelapan. Lorong itu habis, aku sampai di koridor sempit yang dinding dan
langit-langitnya dari cermin.
"Oh!" aku berteriak pelan. Aku bisa melihat pantulanku - banyak sekali. Aku
seperti dikelilingi diriku sendiri!
Aku berhenti sebentar dan merapikan ikatan rambutku. Ikatannya
longgar terus. Lalu kupanggil lagi anak-anak itu, "Di mana kalian"
Tunggu!" Aku mendengar mereka tertawa cekikikan di depan. "Coba cari
kami!" seru Luke. Ia cekikikan lagi.
Aku berjalan cepat-cepat di lorong cermin itu. Dindingnya membelok
ke kanan, lalu ke kiri. Pantulanku mengikutiku, banyak sekali, makin lama makin
kecil, tak terhitung banyaknya!
"Hei, jangan terlalu cepat!" teriakku.
Kudengar mereka cekikikan. Lalu kudengar gemuruh suara langkah
kaki yang rasanya seperti berasal dari sisi lain dinding cermin.
Aku berjalan di sepanjang koridor, perlahan-lahan, hati-hati, sampai kulihat ada
lubang sempit di depan. "Tunggu di sana. Aku datang!" seruku.
Aku bergerak menembus lubang itu, dan - BUM! - dahiku terantuk
kaca tebal. "Ow!" aku berteriak ketika rasa sakit menusuk dahiku, lalu terasa di tengkuk, di
sepanjang tulang belakangku.
Kusandarkan tanganku ke kaca dan menunggu sampai perasaan
pusingku berkurang. "Lizzy, di mana kau" Coba cari kami!" kudengar Luke berseru.
"Kepalaku terantuk!" teriakku, kugosok-gosok dahiku.
Aku bisa mendengar ia dan Clay tertawa. Suara mereka sekarang
terdengar seperti ada di belakangku. Aku berbalik, tapi di belakangku cuma ada
cermin. Tidak ada lubang.
Kepalaku masih agak sakit, tapi sudah tidak pusing. Aku mulai
berjalan lagi, sekali ini lebih berhati-hati. Kuulurkan tanganku ke depan supaya
tidak terantuk lagi. Aku berbelok di sudut dan masuk ke ruangan yang berbeda. Aku
terkejut, lantai ruangan ini terbuat dari cermin. Dinding, langit-langit,
lantai, semuanya cermin. Aku merasa seperti berdiri di dalam kotak
dari cermin. Dengan hati-hati aku maju beberapa langkah. Aneh rasanya berjalan
di atas bayangan sendiri.
Sambil berjalan aku bisa melihat bagian atas dan bawah sepatuku.
Susah rasanya berjalan seperti itu. Aku terus merasa akan jatuh ke
dalam diriku sendiri! "Hei, Luke, Clay... di mana kalian?" seruku.
Tidak ada jawaban. Aku merasakan rasa takut yang sangat tajam menikamku.
"Luke" Clay" Kalian di sana?" Aku melihat mulut bayangan-
bayanganku bergerak ketika aku berteriak, banyak sekali. Tapi hanya satu suara
yang terdengar, suaraku, kecil dan melengking.
"Luke" Clay?"
Sepi. "Jangan main-main, ya!" teriakku. "Di mana kalian?"
Sunyi. Tidak ada jawaban.
Kutatap bayangan-bayangan di sekelilingku. Mereka semua tampak
sangat ketakutan. "Luke" Clay?"
Ke mana mereka pergi"
KUPANDANGI bayangan-bayanganku sementara hal-hal yang
mengerikan terlintas di pikiranku.
Apakah anak-anak itu benar-benar menghilang"
Apakah mereka masuk ke dalam semacam jebakan" Apakah mereka
terrsesat di dalam rimba cermin dan kaca ini"
HorrorLand terlalu menakutkan, pikirku. Memang ditakut-takuti itu
mengasyikkan. Tapi rasanya sulit untuk mengetahui apakah
permainan-permainan seram di sini untuk bersenang-senang... atau
sungguhan. Apakah ada bahaya di tempat ini" Atau cuma lelucon
hebat yang menakutkan"
"Luke" Clay?" seruku pada mereka dengan suara bergetar, sambil berputar, mencari
jalan keluar. Sepi. Lalu kudengar suara cekikikan tertahan.
Lalu kudengar suara berbisik-bisik. Tidak jauh. Cekikikan lagi, sekali ini lebih
keras. Suara cekikikan Luke.
Mereka mempermainkan aku. "Hei, kalian tidak lucu!" jeritku marah.
"Betul! Sama sekali tidak lucu!"
Aku mendengar mereka berdua meledak tertawa. "Ayo cari kami,
Lizzy!" seru Luke. "Kenapa kau lama sekali?" tambah Clay. Cekikikan lagi.
Kedengarannya seperti berasal tepat dari atas.
Sambil meraba dinding cermin, aku berjalan mengikuti arah lorong ke kanan. Aku
harus merundukkan kepala supaya bisa melewati lubang
sempit di antara cermin. Aku sampai di ruang kecil yang dikelilingi cermin di atas, di bawah, dan di
semua sisinya lagi. Cermin-cermin itu letaknya aneh,
bayanganku jadi tampak seperti saling bertubrukan kalau aku
bergerak. "Di mana kalian" Apa aku tambah dekat?" seruku.
Cahayanya makin suram ketika aku berjalan melintasi ruangan ini.
Pantulan-pantulanku makin gelap. Bayangan-bayangan makin
panjang. "Kami tidak bisa melihatmu!" seru Clay.
"Cepat!" teriak Luke tidak sabar.
"Aku sudah bergerak secepat mungkin!" jeritku. "Pokoknya jangan bergerak, ya"
Diam saja di tempat."
"Sudah!" seru Luke lagi.
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini nanti?" Kudengar Clay bertanya pada Luke
dengan suara pelan. "Ow!" Kepalaku terantuk kaca bening lagi.
Dengan marah kupukul kaca itu.
Ini sih tidak mengasyikkan, pikirku. Ini terlalu menyakitkan.
"Cepatlah!" seru Luke dari suatu tempat yang tidak jauh. "Bosan menunggumu!"
"Ya, ya," gumamku, kugosok-gosok dahiku yang terasa sakit.
Aku berbelok di sudut dan melangkah masuk ke ruangan yang lebih
luas. Tidak ada cermin. Dindingnya kaca semua. Aku berhenti untuk
memandang berkeliling... dan tampaklah Luke.
"Akhirnya!" serunya. "Kenapa kau tidak bisa menemukan kami?"
"Kepalaku terantuk terus," kataku. "Ayo keluar dari sini. Mana Clay?"
"Hah?" Mulut Luke ternganga karena kaget. Ia berbalik, mencari-cari temannya.
"Tadi ia berdiri di sini," katanya.
"Luke, aku tidak mau main-main lagi," kataku ketus. "Clay, di mana kau
sembunyi?" "Aku tidak sembunyi. Aku di sebelah sini," seru Clay.
Aku maju beberapa langkah mendekati adikku, dan tampaklah Clay.
Ia berdiri di dalam bayangan gelap di balik dinding kaca, tangannya menekan kaca
itu. "Bagaimana caramu sampai ke sana?" tanya Luke pada Clay.
Clay mengangkat bahu. "Aku tidak bisa menemukan jalan keluar."
Aku bergerak ke arah adikku, lalu berhenti.
Tiba-tiba aku tersadar ia berada di balik dinding kaca. Luke dan aku berada di
ruangan yang berbeda. "Hei, di mana lubangnya?" tanyaku padanya.
Luke memandang sekelilingnya. "Apa maksudmu, Lizzy?"
"Kau dan aku - kita tidak berada di ruangan yang sama," jawabku.
Aku berjalan ke dinding kaca dan memukulnya dengan kepalan
tanganku. "Hah?" Wajah Luke tampak terkejut. Ia berjalan mendekatiku. Lalu diketuknya
dinding kaca, seolah-olah memastikan dinding itu benar-benar ada.
"Bagaimana bisa ada di sini?" gumamnya.
Clay mulai bergerak mengelilingi ruangannya, tangannya meraba
permukaan kaca, mencari lubang keluar.
"Diam saja di sana," kataku pada Luke. "Biar kucari jalan ke ruanganmu."
Kuikuti perbuatan Clay. Pelan-pelan aku mengelilingi ruangan,
tanganku menekan permukaan kaca. Cahayanya suram. Bayanganku
jatuh di atas kaca ketika aku berjalan. Aku bisa melihat wajahku
terpantul di kaca. Mataku membalas tatapanku,suram dan putus asa.
Belum sempat kusadari, ternyata aku sudah mengelilingi ruangan.
Aku kembali lagi ke tempat aku tadi mulai. Dan tidak ada lubang.
Tidak ada pintu. Tidak ada jalan keluar.
"Hei! Aku terjebak di sini!" seru Clay melengking.
"Aku juga," kataku.
"Pasti ada lubang," kata Luke. "Bagaimana tadi kita bisa masuk?"
"Kau betul," kataku kesal. "Mestinya kita bisa keluar dari jalan kita masuk."
Aku mulai meraba-raba dinding lagi, bergerak cepat.
Jantungku mulai berdebar-debar. Kurasakan kegugupan memenuhi
dadaku. Pasti ada jalan keluarnya. Pasti ada.
Di ruangan lain, kulihat Clay sibuk berlari-lari ruangannya, sambil mendorong-
dorong dinding. Dua kali aku berkeliling, lalu berhenti.
Tidak ada jalan keluar. "A... aku terjebak," kataku tergagap. "Ruangan ini seperti kotak.
Kotak kaca." "Kita semua terjebak!" teriak Clay.
Luke masih sibuk menggedor-gedor dinding kaca dengan kepalan
tangannya. "Luke... berhenti!" teriakku melengking. "Tidak ada gunanya!"
Diturunkannya kepalan tangannya. "Konyol sekali," gumamnya.
"Pasti ada jalan keluar."
"Mungkin ada pintu jebakan atau semacamnya," kataku. Aku mulai meraba-raba
lantai dari cermin itu. Ruangan itu terlalu gelap, aku
tidak bisa melihat dengan jelas. Lantainya tampaknya padat.
Aku kembali ke dinding kaca. "Ini sih tidak mengasyikkan," kataku suram.
Luke dan Clay mengangguk. Aku lihat mereka berdua betul-betul
ketakutan. Aku juga. Tapi kuputuskan untuk bersikap berani, karena
aku lebih tua dua tahun daripada mereka.
Goosebumps - Suatu Hari Di Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi sebenarnya aku merasa tidak terlalu berani. Sambil menarik
napas cemas, aku bersandar ke dinding yang memisahkan Luke dan
aku. Dan ketika aku bersandar, dinding itu bergerak. Aku terlonjak sambil berteriak.
Dinding itu meluncur ke arahku, mengurungku. Aku mundur
selangkah lagi. Sambil memandang sekeliling dengan panik, aku melihat semua
dinding bergerak menutup.
"Luke!" teriakku. Aku berbalik dan melihat ia melangkah mundur juga.
"Dindingnya!" seru Clay. "Tolong aku!"
"Dindingnya juga mengurungku!" jerit Luke. "Tiap ruangan punya dinding kaca
masing-masing!" Kami bertiga terjebak. Sambil mengerang putus asa, aku menerjang salah satu dinding dan
mencoba mendorongnya. Tapi aku tidak bisa menghentikannya.
Kotak itu bergerak mengurung, makin lama makin kecil. Makin kecil.
"Kita akan diremukkan!" teriakku.
"LAKUKAN sesuatu! Tolong - lakukan sesuatu!" Clay menjerit-jerit.
Luke berusaha menahan gerakan dinding dengan bahunya. Tapi ia
tidak cukup kuat. Dinding-dinding itu tetap mengurungnya.
Aku mundur, tanganku terangkat ke depan seperti perisai.
Makin dekat, makin dekat. Dinding-dinding kaca itu bergerak pelan,
tanpa suara. Aku mundur sampai punggungku mengenai dinding di belakangku.
Tidak ada jalan lagi. "Tolong! Tolong - lakukan sesuatu!" jeritan ketakutan Clay
melengking di telingaku. "Kacanya... kacanya meremukkan aku!" jerit Luke. "Lizzy...!"
"A... aku tidak bisa bergerak!" teriakku padanya. Dinding-dinding kaca mulai
menekanku dari segala sisi. Atas dan bawah juga.
Tiba-tiba aku teringat pada mobil yang diremukkan. Tahu, kan, mobil-mobil yang
diremukkan jadi berbentuk persegi oleh mesin-mesin
pemadat besar. Sekujur tubuhku bergidik ketika menyadari aku juga akan diremukkan
jadi berbentuk persegi. "Ow!" teriakku ketika kaca itu menekanku. "Tolong... tolong!"Aku berusaha
menjerit, tapi yang terdengar cuma teriakan tertahan.
Susah rasanya bernapas. Dinding-dinding kaca itu bergerak terus. Makin rapat. Makin rapat.
Aku megap-megap. Kucoba mendorong kaca itu sekuat tenaga. Tapi percuma saja.
Aku diremukkan jadi manusia persegi.
AKU tidak bisa lagi mendengar Luke dan Clay.
Aku hanya bisa mendengar napasku yang megap-megap, tercekik.
Kupejamkan mata. Dan merasa lantainya jatuh.
Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, aku sudah jatuh,
jatuh dengan cepat. Aku membuka mata tepat untuk melihat dinding-dinding kaca
bergerak di atasku ketika aku meluncur turun, turun, turun, melalui saluran yang
terbuka. Dan dalam beberapa detik, aku berada di luar. Aku jatuh terduduk di atas
rerumputan. Luke dan Clay meluncur ke luar di sebelahku.
Lama kami duduk di rerumputan, berkedip-kedip menatap cahaya
matahari yang cerah, berpandang-pandangan dengan rasa tidak
percaya. "Kami baik-baik saja," kata Clay ragu, memecah kesunyian. Pelan-pelan ia bangun.
Wajahnya yang bulat merah terang, kacamatanya
bengkok dan nyaris jatuh dari hidungnya. "Kami baik-baik saja!"
Luke tertawa. Tertawa geli. Ia berdiri dan melompat-lompat girang.
Aku tidak ingin melompat-lompat. Masih terbayang-bayang olehku
mobil yang diremukkan. Luke membungkuk, menyambar kedua tanganku, dan menarikku
berdiri. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" desaknya, sambil meringis.
"Hah" Selanjutnya?" teriakku. "Kau ngaco."
"Tadi menakutkan sekali," kata Clay, wajahnya masih merah.
"Kusangka kita akan diremukkan sampai gepeng."
"Menakjubkan!" seru Luke.
Sekali lagi ia lupa, beberapa detik yang lalu ia berteriak-teriak panik.
"Terlalu menakutkan," gumam Clay, menggeleng-geleng.
"Clay benar," kataku. "Terlalu menakutkan sehingga tidak asyik lagi.
Sedetik lagi, dan..."
"Kalian tidak sadar" Itu dia tujuannya!" teriak Luke. "Begitulah cara mereka
menakut-nakuti. Menakjubkan! Mereka membuatmu mengira
sedetik saja lagi kau akan mati. Tapi semuanya sudah diperhitungkan.
Mereka ingin kau ketakutan setengah mati... dan, lalu - wuss - kau
baik-baik saja." "Mungkin kau benar," kata Clay ragu. Didorong nya kacamatanya, lalu digosoknya
dagunya. "Kita takkan terluka ataupun kenapa-kenapa; lanjut Luke. "Ini taman hiburan,
ingat" Mereka ingin kau kembali lagi. Jadi mereka takkan
melukai siapa pun." "Mungkin," kata Clay.
"Tapi, Luke, bagaimana kalau mereka keliru?" tanyaku. "Bagaimana kalau mesinnya
kacau" Bagaimana kalau perhitungannya salah"
Misalnya saja lantai di bawah kita tadi macet. Kalau begitu
bagaimana?" Luke tidak menjawab. Dibalasnya tatapanku dengan serius.
"Apa yang akan terjadi pada kita kalau lantainya tidak turun pada saat yang
tepat?" desakku. Luke mengangkat bahu. "Mereka memastikan segalanya berjalan
lancar," katanya akhirnya.
Kuputar bola mataku. "Yeah. Tentu."
"Apa mungkin kita bisa ketakutan sampai mati?" tanya Clay padaku, wajahnya
tampak serius. "Maksudku, aku tahu hal itu terjadi di buku-buku dan film. Tapi
apakah terjadi dalam kehidupan nyata?"
"Aku tidak tahu. Mungkin," jawabku.
"Aku yakin orang bisa ketakutan sampai mati di dalam Rumah Cermin itu," kata
Clay serius. "Tak mungkin!" kata Luke ngotot. "Dengar. Ini cuma tempat untuk bersenang-
senang. Senang-senang yang menakutkan."
Ia menatap sesuatu di belakangku. Aku berbalik dan melihat
seseorang berkostum Horor hijau melintas, membawa sekumpulan
balon hitam. Luke bergegas mendekati Horor itu. "Hei, pernah ada orang mati di taman ini?"
tanya Luke. Horor itu terus saja berjalan. Balon-balon hitam nya bergoyang-
goyang di atas kepalanya. "Hanya sekali," katanya pada Luke.
"Satu orang mati di sini?" tanya Luke.
Horor itu menggelengkan kepalanya yang hijau besar. "Bukan. Bukan itu maksudku."
"Apa maksudmu?" desak Luke.
"Di sini orang hanya bisa mati sekali," kata Horor itu. "Tak ada yang pernah
mati dua kali." "M AKSUDMU benar-benar ada orang yang mati di sini?" teriakku.
Tapi Horor itu terus saja berjalan cepat. Balon-balon hitamnya
bergoyang-goyang, tampak gelap dengan latar belakang langit biru
bersih. Jawaban Horor itu membuatku bergidik. Bukan cuma karena kata-
katanya, tapi juga nada suaranya yang dingin, cara ia
mengucapkannya yang terdengar seperti suatu peringatan.
"Ia bercanda, kan?" tanya Clay dengan suara gemetar. Dengan gelisah digaruknya
rambut pirangnya. "Yeah. Kurasa," jawabku.
Sebuah keluarga melewati kami, berjalan menuju Rumah Cermin.
Mereka punya dua anak laki-laki, usianya kira-kira lima atau enam
tahun, dan dua-duanya sedang menangis.
"Dari tadi kulihat banyak sekali anak-anak menangis di taman ini!"
kataku. "Mereka payah," jawab Luke. "Penakut. Ayo kita cari permainan lain atau apalah."
"Jangan. Kurasa sebaiknya kita cari Mom dan Dad," kataku.
"Yeah. Ayo kita cari mereka," kata Clay bersemangat. Anak malang.
Kurasa ia ketakutan sekali. Tapi ia sekuat tenaga berusaha tidak
menunjukkan pada adikku betapa takutnya ia.
"Aw, buat apa buru-buru?" protes Luke. "Biar mereka saja yang menemukan kita."
"Tapi mungkin saja mereka benar-benar cemas," kataku berkeras. Aku mulai
berjalan menuju gerbang depan.
"Dad pasti akan memaksa kita pulang," gerutu Luke. Tapi ia ikut juga.
Dan dengan senang hati Clay ikut, berjalan dekat denganku.
Kami mengikuti rel dan melewati roller coaster kayu tua yang bobrok.
Tingginya sama dengan gedung tingkat empat, bayangannya tampak
lebar dan hitam di jalanan. Papan di depannya bertuliskan: RUSAK.
APAKAH KAU TETAP BERANI MENAIKINYA"
Pintunya terbuka. Tidak ada petugas.
"Hei, Lizzy, mau naik?" tanya Luke, dipandanginya kereta-kereta tua roller
coaster itu yang diparkir di dasar.
"Tidak mau!" jawab Clay dan aku serentak. Kami terus berjalan.
Rel itu berbelok di bawah pepohonan lebat, dan kami tiba-tiba berada di bawah
bayangan. Ada papan bertuliskan: HATI-HATI. ADA
ULAR POHON. Clay menutupi kepalanya dengan tangan. Kami bertiga menatap
pepohonan itu. Apa di atas sana benar-benar ada ular"
Terlalu gelap, tidak kelihatan apa-apa. Dedaunannya begitu rimbun,
tidak ada sinar matahari yang masuk.
Tiba-tiba, aku mendengar suara mendesis pelan. Mula-mula kukira
cuma suara gemerisik dedaunan.
Tapi desisan itu makin lama makin keras, sampai semua pohon
rasanya seperti mendesis pada kami.
"Lari!" teriakku.
Kami bertiga lari di sepanjang rel, merunduk rendah-rendah, sepatu
kami memukul-mukul trotoar. Desisan di pepohonan di atas kami
makin keras, makin marah.
Kurasa aku melihat seekor ular hitam panjang melata di rumput di
samping rel. Tapi mungkin cuma bayangan.
Kami terus berlari meskipun sudah tidak ada pepohonan lagi dan kami sudah berada
di tempat terbuka. Relnya berbelok melewati sederetan
patung bertampang jahat. Patung-patung itu terbuat dari batu. Patung-patung itu
merupakan patung-patung monster yang menyeringai,
matanya melotot marah, taringnya menonjol dari mulutnya yang
berkerut. Lengannya terjulur, siap menyambar siapa saja yang
mendekat. Aku memelankan lariku, mataku menatap patung-patung seram itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara tawa yang pelan dan jahat.
"Da... datangnya dari patung-patung itu!" seru Clay. "Lari terus!"
Apakah patung-patung itu bergerak ke arah kami" Apakah mereka
mengangkat tangannya" Apakah mereka memberi tanda supaya kami
Pengelana Rimba Persilatan 15 Tirai Curtain Karya Agatha Christie Kisah Si Bangau Putih 15