Pencarian

Darah Monster Dua 2

Goosebumps - Darah Monster 2 Bagian 2


lagi." "Aku janji," ujar Andy. "mi cuma untuk menjaili Mr. Murphy kok. Habis ini
kita takkan pernah lagi menggunakan Darah Monster."
"Oke," kata Evan.
Mereka bersalaman. Kemudian mereka bergegas menghampiri pohon tempat kaleng itu
disembunyikan. Evan mengamati seluruh taman sambil memicingkan mata
karena silau. Ia ingin memastikan bahwa tak ada yang mengintai mereka kali
ini. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, ia dan Andy berlutut di bawah pohon dan
mulai menggali dengan tangan.
Mereka telah menggali sedalam setengah meter ketika mereka sadar bahwa
lubang itu kosong. "Ya Tuhan" Evan berseru "Darah Monster-nya hilang!"
14 "MUNGKIN pohonnya bukan yang ini," kata Evan. Butir-butir keringat tampak
membasahi keningnya. Dengan jari yang berlepotan tanah Andy menyingkirkan sehelai rambut dari
wajahnya. "Tidak mungkin." Ia menggelengkan kepala "Memang di sini
tempatnya." "Kalau begitu, mana Darah Monster-nya" Evan bertanya dengan nada
melengking. Secara bersamaan keduanya mendapatkan jawaban yang sama, "Conan!"
"Berarti dia melihat kita mengubur kaleng itu," ujar Evan. Ia memandang
berkeliling seakan-akan menduga bahwa Conan akan melompat dari balik
semak-semak "Aku memang sudah curiga waktu dia langsung pergi sore itu.
Dia tahu kantong kertas itu tidak kosong"
Andy sependapat "Dia bersembunyi dan mengamati kita. Kemudian dia
menunggu sampai kita pergi, baru digalinya tempat kaleng itu."
Sambil membisu keduanya menatap lubang kosong di hadapan mereka.
Akhirnya Andy angkat bicara lagi. "Apa yang akan dilakukan Conan dengan
Darah Monster itu?" ia bertanya dengan suara yang begitu pelan, sehingga
nyaris tak terdengar. "Paling-paling dimakan, supaya dia bisa tambah besar dan bisa menghajarku lebih
keras lagi," Evan berkomentar dengan getir.
"Tapi dia kan tidak tahu khasiat Darah Monster," ujar Andy, "Di a tidak tahu
bahayanya." "Tentu saja dia tahu. Aku kan sudah cerita," balas Evan. Ia mengepalkan tangan
dan memukul pohon. "Kita harus mendapatkannya kembali."
*** Sebelum pelajaran IPA keesokan hari, Evan melihat Conan di lorong sekolah.
Conan dan Biggie sedang berdiri di sebelah locker Evan. Mereka sedang terbahak-
bahak mengenai sesuatu sambil saling ber -high-five.
Conan memakai kaus singlet ketat biru dan celana jeans belel dengan lubang
menganga di lutut. Biggie berambut cokelat berombak sepanjang bahu
memakai T-shirt putih tanpa lengan dan jeans hitam ketat.
"Mereka kelihatan seperti tim pegulat!" pikir Evan ketika ia menghampiri mereka.
"Hei, lihat tuh.... Air Evan datang!" Conan bergurau "Si Raja Slam Dunk!"
Ia dan Biggie terbahak-bahak Kemudian ia menepuk punggung Evan begitu
keras sehingga Evan menabrak Biggie.
"Ehm Conan" Kau menemukan sesuatu di taman, ya?" tanya Evan sambil
berusaha menjaga keseimbangan.
Conan memicingkan mata tanpa menjawab apa-apa.
"Kau menemukan sesuatu yang sebenarnya milik Andy dan aku?" Evan
mengulangi. "Maksudmu, seperti otakmu ?" seru Conan. Ia dan temannya terbahak-bahak.
"Bagaimana kalau dia kita dribble ke ruang kelas" Biggie bertanya pada Conan.m
"Coach Murphy pasti senang kalau kita rajin latihan."
Conan terpingkal-pingkal.
"Ha-ha Lucu sekali," Evan berkata dengan sinis. "Begini, Conan barang yang
kauambil itu. Isinya berbahaya sekali. Kau harus mengembalikannya."
Conan membuka mata lebar-lebar dan pasan tampang tak berdosa. "Aku sama
sekali tidak tahu apa yang kaumaksud, Evan. Kau kehilangari sesuatu?"
"Kau tahu aku kehilangan sesuatu," balas Evan dengan ketus "Dan sekarang aku
minta dikembalikan."
Conan tersenyum penuh arti kepada Biggie. Kemudian ia berpaling pada Evan
dan roman mukanya jadi keras "Aku tidak tahu apa yang kaumaksud, Evan,"
katanya. "Sungguh. Aku tidak tahu kau dan cewek itu kehilangan apa. Tapi
begini saja. Aku ini baik hati. Biar kubantu kau mencarinya."
Ia meraih pinggang Evan dengan kedua tangannya. Sementara itu Biggie
membuka pintu locker Evan.
"Aku akan membantumu mencarinya di dalam locker- mu ," ujar Conan.
Ia menyorongkan Evan ke dalam locker, lalu menutupnya.
Evan langsung menggedor-gedor pintu dan berteriak minta tolong.
Tapi bel telah berbunyi. Evan tahu bahwa lorong sudah sepi. Tak seorang pun
mendengar teriakan-teriakannya
Ia memutuskan untuk mengotak-atik kunci. Tapi keadaannya terlalu gelap,
sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa. Dan locker-nya begitu sempit, sehingga
ia tidak bisa menggerakkan tangannya degan leluasa.
Akhinya ada dua gadis yang kebetulan lewat, dan merekalah yang membukakan
pintu. Evan menghambur keluar dengan wajah merah padam dan napas tersengal-
sengal. Suara tawa kedua gadis itu mengikutinya sampai ruang kelas Mr. Murphy. "Kau
telat," gurunya rienegur dengan tegas, sambil melirik ke jam dinding ketika
Evan melangkah masuk. Evan berusaha menjelaskan mengapa ia terlambat. Tapi suaranya seakan-akan
tersangkut di tengrokan. "Saya sudah bosan dengan tingkahmu. Kau selalu mengganggu jam pelajaran
saya," ujar Murphy sambil menggosok-gosok kepalanya yang nyaris botak.
"Kelihatannya kita akan bertemu lagi seusai sekolah nanti. Silakan bersihkan
kandang Cuddles. Dan setelah itu, sekalian bersihkan papa tulis dan cuci semua
tabung reaksi." *** "Oh, gelap sekali," bisik Evan
"Biasanya memang begitu kalau sudah malam," balas Andy sambil geleng-
geleng. "Lampu jalanannya mati," Evn berkata sambil menunjuk. "Dan bulan juga tidak
kelihatan. Karena itu semuanya jadi gelap gulita."
"Sembunyi!" bisik Andy.
Keduanya berlindung di balik pagar tanaman ketika sebuah mobil melewati
mereka. Evan memejamkan mata. Mereka baru kembali berdiri telah mobil
tersebut membelok dan menghilang dari pandangan.
Saat itu pukul delapan lewat beberapa menit. Mereka berdiri di trotoar di depan
rumah Conan. Sambil merapat ke pagar tanaman, mereka memandang ke
sebuah jendela besar. Lampu ruang duduk tampak menyala, dan sinarnya menerangi sebagian
halaman rumput. Pohon-pohon tua di samping rumah kecil itu berdesir-desir
akibat embusan angin. "Jadi kau memang serius?" tanya Evan. Ia berjongkok di sebelah Andy. "Kita
benar-benar mau mendobrak masuk ke rumah Conan?"
"Kita bukannya mau mendobrak," bisik Andy "Kita mau menyelinap."
"Tapi bagaimana kalau Darah Monster-nya tidak ada di situ?" Evan bertanya,
sambil berharap bahwa Andy tidak melihat lututnya yang gemetaran.
"Kita harus mencarinya, ya, kan?" balas Andy.
Ia berbalik, menatap wajah Evan. Ternyata Andy juga ngeri, Evan
menyadari."Darah Monster-nya pasti ada di situ," ujar Andy. "Percayalah."
Ia mulai melintasi pekarangan yang gelap sambil mernbungkuk.
Evan masih ragu-ragu. "Kau yakin rumahnya kosong?" ia berseru dengan suara
tertahan. "Orangtuanya berangkat sehabis makan malam," Andy memberitahunya. "Dan
kira-kira sepuluh menit yang lalu aku melihat Conan pergi."
"Ke mana?" tanya Evan.
"Mana kutahu?" Andy menyahut dengan sengit sambil bertolak pinggang.
"Pokokhya dia pergi. Rumahnya kosong." Ia kembali dan menarik lengan Evan
"Ayo. Kita masuk ke kamar Conan, lalu kita ambil Darah Monster dan cepat-
cepat kabur dan sini!"
"Aduh, apa tidak ada cara lain?" Evan berkomentar sambil mendesah. "Bisa-bisa
kita malah ditangkap polisi."
"Kau yang mengusulkan rencana ini!" Andy mengingatkannya.
"Oh. Yeah. Betul juga." Evan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
"Tapi kalau tidak langsung ketemu, kita langsung kabur dan sini... ya, kan?"
"Ya," Andy membenarkan. "Ayo dong." Ia mendorong Evan ke arah rumah itu.
Mereka berjalan beberapa langkah melintasi rumput yang basah karena embun.
Tapi kemudian keduanya berhenti k?tika terdengar suara anjing menyalak.
Andy meraih lengan Evan. Suara itu bertambah keras. Mereka bisa mendengar langkah seekor anjing
mendekat dengan cepat. Mereka melihat sepasang mata yang menyala-nyala dalam gelap. Kemudian
terdengar gonggongan keras sebagai peringatan.
Tanpa basa-basi anjing itu menyerang.
"Lari!" teriak Evan. "Conan punya anjihg penjaga!"
"Sudah terlambat!" pekik Andy.
15 ANJING itu menyalak sekali lagi.
Evan menjerit dan mengangkat tangan ketika anjing tersebut melompat untuk
menyambar tenggorokannya.
Anjingnya ternyata tidak sebesar yang diduga -tapi kuat sekali.
Ia menjilat wajah Evan dan menempelkan hidungnya yang basah ke pipi anak
itu. Kemudian giliran dagu dan bibir Evan dijilat-jilat.
"ldih!" Evan berseru sambil tertawa. "Trigger... bagaimana kau bisa sampai ke
sini?" Evan menurunkan cocker spaniel itu. Perhatian Trigger beralih kepada Andy.
"Gara-gara anjingmu yang konyol aku hampir mati ketakutan," Andy
mengomel. "Aku juga," Evan mengakui "Aku tidak mendengarnya mengikuti kita. Kau2"
Andy jongkok dan menepuk-nepuk kepala Trigger. Kemudian ia menatap ke
jalan. "Ayo, kita masuk saja," ia berkata Sebe1um Conan atau orangtuanya
keburu pulang" Trigger membuntuti Evan dan Andy ketika mereka melintasi halaman rumput
ke pintu depan. Dari dekat, rumah Conan tampak lebih besar dan lebih gelap.
"Duduk, Trigger," bisik Evan. "Kau tidak bisa ikut masuk."
Andy mencoba membuka pintu depan. "Terkunci."
Evan mendesah. "Sekarang bagaimana?"
"Kita coba pintu belakang dong," balas Andy. Tanpa menunggu jawaban ia
mulai berjalan ke samping rumah.
"Sepertinya kau sudah berpengalaman, ya?" tanya Evan sambil mengikutinya.
"Mungkin," sahut gadis itu. Ia menatap Evan sambil nyengir.
Suara melolong di sekitar mereka membuat keduanya berhenti mendadak.
"Apa itu?" seru Evan.
"Serigala jadi-jadian," ujar Andy dengan tenang. "Atau mungkin kucing."
Mereka tertawa. Tawa gelisah.
Pintu belakang ternyata terkunci juga. Tapi jendela dapur terbuka sedikit. Evan
membukanya dan mereka memanjat ke dapur yang gelap.
Evan menahan napas. Setiap suara terdengar dengan jelas. Sepatu kets mereka
berdecit-decit di lantai linoleum. Lemari es berdengung. Air mengalir di mesin
cuci piring. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku, pikir Evan. Apa-apaan sih aku
ini" Masa sih aku masuk seperti maling ke rumah Conan"
"Lewat sini," bisik Andy
"Kamarnya pasti di atas" Evan berjalan sambil merapat ke dinding ketika ia
mengikuti Andy ke tangga. Mereka melewati ruang duduk yang kecil. Setiap
kali mereka melangkah, papan-papan lantai berderak-derak. Kaki Evan
tersandung tumpukan koran bekas yang ditaruh di gang yang sempit
Perlahan-lahan mereka menaiki tangga kayu. Pagar tangganya berderit-derit
ketika Evan memegangnya. Ia tersentak kaget ketika sebuah kerai membentur-
bentur jendela yang terbuka.
"Gelap benar," Andy bergumam setelah mereka sampai di atas.
Evan hendak menyahut, tapi suaranya tidak mau keluar.
Sambil menyusuri dinding, ia menyusul Andy ke kamar pertama. Gadis itu
meraba-raba sampai mendapatkan sakelar, lalu menyalakan lampu. Cahaya
lampu di langit-langit itu membuktikan bahwa mereka telah menemukan kamar
Conan. Evan dan Andy berdiri di ambang prntu sambil menunggu mata mereka terbiasa
dengan keadaan yang mendadak terang. Kemudian mereka segera memandang
berkeliling. Dinding-dinding kamar kecil itu dipenuhi poster bintang-bintang olahraga.
Poster paling besar dipasang di atas tempat tidur Conan, dan memperlihatkan
Michael Jordan yang sedang melompat spetinggi kira-kira tiga meter sambil
melakukari slam dunk. Rak buku di salah satu dinding hanya berisi beberapa buku
saja - tapi dipadati piala-piala yang dimehangkan Conan dalam berbagai
cabang olahraga. Tiba-tiba Andy mulai tertawa.
Evan langsung menoleh. "Ada apa sih?"
Andy menunjuk ke tempat tidur Conan. "Coba lihat tuh... dia masih punya
boneka beruang!" Pandangan Evan beralih ke tempat tidur, tempat sebuah boneka beruang
bermata satu yang hampir gepeng berbaring di bantal. "Conan the Barbarian?"
ia berseru sambil tertawa. "Dia tidur ditemani boneka beruang?"
Bunyi berderak yang keras segera menghentikan tawa mereka.
Mereka memasang telinga sambil membelalakkan mata karena ngeri.
"Tidak ada apa-apa," bisik Evan.
Andy gemetaran "Sudah, jangan main-main lagi. Kita ambil Darah Monster itu
lalu pergi dan sini"
Mereka maju ke tengah ruangan.
"Di mana dia menyembunyikannya?" tanya Evan sambil membuka lemari
pakaian. "Dia tidak menyembunyikannya," balas Andy.
"Hah?" Evan langsung berbalik.
Andy telah memegang kaleng biru berisi Darah Monster. Sambil nyengir ia
memperlihatkannya kepada Evan.
Evan terheran-heran. "Kau sudah menemukannya" Di mana?"
"Di rak buku," jawab Andy sambil menunjuk. "Di samping piala tenisnya."
Evan segera menghampirinya dan mengambil kaleng biru itu dan tangan Andy.
Tapi ketika ia sedang memeriksanya, tutupnya tiba-tiba copot sendiri.
Darah Monster berwarna hijau mulai naik.
"Darah Monster-nya tumbuh lagi!" seru Evan. Andy buru-buru membungkuk
dan memungut tutup kaleng dan lantai. "Pasang lagi. Cepat."
Evan berusaha memasang tutup kaleng, tapi gagal terus.
"Cepat dong!" Andy mendesak. "Kita harus pergi."
"Darah Monster ini sudah mau tumpah!" seru Evan.
"Dorong ke bawah," balas Andy.
Evan mencoba mendorong gumpalan hijau itu dengan telapak tangan.
Kemudian ia mencoba mendorongnya dengan tiga jari.
Ia tersentak kaget ketika jari-jemarinya dicengkeram dan ditarik ke bawah.
"Jariku.... jariku d itarik!" Evan tergagap-gagap.
Andy melongo. "Hah?"
"Jariku ditarik!" Evan memekik dengan nada melengking. "Jariku tidak bisa
keluar!" Andy bergegas menolongnya, tapi sekonyong-konyong mereka mendengar
bunyi pintu depan dibanting.
"Ada yang pulang!" bisik Evan sambil terus berusaha membebaskan jarinya.
"Kita terjebak!"
16 ANDY berdiri seperti patung di tengah-tengah ruangan. Ia membelalakkan mata
karena ngeri. Kaleng berisi Darah Monster nyaris terlepas dari tangan Evan. Cengkeraman
lendir hijau yang lengket itu agak mengendur, dan Evan mendengar suara


Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdecap-decap. Tapi satu-satunya suara yang menarik perhatiannya adalah suara dari bawah
"Aku pulang!" ia mendengar Conan berseru.
"Kami juga sudah pulang!" sebuah suara wanita menyahut, kemungkinan besar ibunya
Conan. "Mereka sudah pulang semua!" bisik Evan.
"Mati deh kita," Andy bergumam.
"Aku ke atas dulu," Conan memberitahu orangtuanya.
Evan memekik tertahan ketika mendengar suara langkah Conan di tangga.
"Andy.. ba-bagaimana sekarang" ia bertanya sambil tergagap-gagap.
"Jendela!" sahut gadis itu.
Mereka sama-sama melompat ke jendela yang terbuka dan memandang ke luar.
Tepat di bawah jendela ada sebuah tonjolan di dinding.
Tanpa berpikir dua kali Andy mengayunkan kaki melewati ambang jendela, lalu
berdiri di tonjolan itu. "Cepat, Evan!" ia berbisik dengan nada mendesak.
Evan masih berusaha membebaskan jarinya dari cengkeraman Darah Monster.
Andy segera menggenggam bahu Evan dan menariknya dengan keras. "Evan..!"
Evan mendengar suara langkah Conan di gang, persis di depan pintu kamarnya.
Sambil menggunakan tangannya yang bebas untuk berpegangan, Evan
memanjat ke luar dan bergabung dengan Andy di tonjolan yang sempit.
"Ja-jangan lihat ke bawah," Andy memberitahunya dengan suara bergetar.
Tapi Evan tidak menurut. Ia mengintip ke bawah. Permukaan tanah tampak jauh
di bawah. Mereka berdiri di kiri-kanan jendela - Andy di sebelah kiri, Evan di sebelah
kanan. Mereka merapatkan punggung ke dinding... dan pasang telinga.
Mereka mendengar Conan masuk ke kamarnya.
Apakah anak itu sadar bahwa lampu kamarnya dinyalakan"
Evan dan Andy tak bisa memastikannya.
Tiba-tiba suara musik rap memecahkan keheningan. Conan telah
menghidupkan radionya. Ia mulai bernyanyi dengan sumbang, mengikuti irama
musik. Evan semakin merapat ke dinding rumah itu.
Kembalilah, ke bawah, Conan. ia memohon dalam hati. Ayo kembalilah ke bawah!
Andy dan aku tak bakal bisa lolos dari sini, Evan menyadari. Otot-ototnya mulai
tegang karena panik. Meskipun udara malam terasa hangat,. Evan menggigil. Tubuhnya terguncang-
guncang begitu keras sehingga kakinya nyaris terpeleset.
Kaleng biru itu pun masih menempel di tang?nnya. Jari-jemarinya diisap-isap
oleh Darah Monster. Tapi untuk sementara ia tidak sempat memikirkan masalah
itu. Ia mendengar Conan berputar-putar di kamarnya. Sepertinya Conan sedang
menari-nari mengikuti entakan-entakan yang keras.
Evan melirik ke arah Andy di seberang jendela. Gadis itu memejamkan mata.
Wajahnya tampak berkerut-kerut.
"Andy !" Evan memanggil sambil berbisik, padahal ia tahu bisikannya tak
mungkin terdengar. "Andy ... tenang saja. Begitu dia pergi, kita masuk lagi dan
menyelinap ke bawah."
Andy mengangguk tanpa membuka mata "Apakah aku pernah cerita aku takut
ketinggian?" ia berkata pelan-pelan.
"Belum," sahut Evan.
"Hmm, sekarang kau sudah tahu."
"Tenang saja," Evan bergumam.
Ia mengulangi kata-kata itu sambil berpegangan pada dinding. "Tenang saja.
Tenang saja. Tenang saja."
Kemudian Trigger mulai menyalak. Mula-mula pelan, lalu semakin keras.
Evan menelan ludah. Ia kembali melirik ke bawah.
Trigger sedang menatapnya sambil melompat-lompat, seakan-akan berusaha
mencapai tonjolan tempat Evan dan Andy berdiri. Setiap kali melompat,
gonggongannya bertambah keras.
"Trigger... jangan!" Evan berseru dengan suara, tertahan.
Tapi Trigger malah bertambah semangat. Apakah Conan mendengarnya"
Apakah Conan mendengar gonggongan Trigger yang nyaring"
"Trigger... berhenti! Pulanglah! Pulanglah!"
Sekonyong-konyong suara musik berhenti. Dalam suasana yang mendadak
hening, gonggongan Trigger terdengar semakin keras.
Sekarang Conan pasti mendengarnya, Evan menyadari.
Trigger masih melompat-lompat untuk mencapai tempat Evan dan Andy berdiri.
Meskipun Evan terus memberi isyarat tangan agar ia diam, anjing konyol itu tak
henti-hentinya menyalak. Evan menahan napas ketika mendengar Conan menuju jendela.
Sedetik kemudian Conan menyembulkan kepala. "Ada apa ini?" serunya.
Lutut Evan gemetaran, dan ia mulai jatuh.
17 EVAN berpegangan pada dinding, berhasil menahan badannya.
Ia menatap rambut pirang Conan yang tampak di jendela. Evan begitu dekat
sehingga hanya dengan mengulurkan tangannya, Conan bisa menyentuhnya.
"Hei diam!" bentak Conan
Trigger malah semakin ribut.
Dia akan melihat kita, pikir Evan gemetaran. Dia pasti akan melihat kita.
"Conan ayo, turun" suara Mrs Barber terdengar dan bawah "Conan, cepat turun
dan habiskan kue dan es krimmu! Tadi kau bilang minta kue dan es krim!" seru
wariita itu. Kepala Conan menghilang dan jendela "Di bawah ada anjing konyol yang ribut
terus," ia memberitahu ibunya.
Sambil tetap merapat ke dinding, Evan memejamkan mata dan memasang
telinga. Ia mendengar suara langkah Conan melintasi ruangan. Kemudian lampu
kamarnya padam. Hening. "Dia... turun," Evan berkata dengan suara tercekik.
Andy menarik napas panjang. "Aku benar-benar heran bagaimana dia tidak
melihat kita di sini."
Evan memandang ke bawah. Trigger akhirnya berhenti menggonggong. Tapi
anjing itu masih mendongak dan menatap mereka. Ekornya yang pendek
berputar-putar bagaikan baling-baling helikopter.
"Dasar anjing tolol," Evan bergumam.
"Ayo, kita kabur saja," Andy mendesak. Tanpa menunggu Evan ia melompat ke
kamar Conan. Evan tidak langsung menyusul. Ia membutuhkan beberapa detik sebelum
kakinya bisa digerakkan. Kemudian ia menundukkan kepalanya dan memanjat
lewat jendela. Sambil menahan napas, Evan mengendap-endap ke pintu kamar. Ia berhenti dan
kembali memasang telinga.
Hening. Tak ada siapa-siapa.
Ia mendengar suara-suara para anggota keluarga Barber di dapur di bawah.
Perlahan-lahan ia dan Andy menuju tangga. Lalu, sambil berpegangan pada
pagar tangga, mereka mulai turun.
Di tengah-tengah tangga Evan berhenti mendadak dan pasang telinga lagi. Andy tak
sempat menghindar. Ia menabraknya, dan Evan nyaris terjungkal. "Ssst!"
gadis itu mendesis. Mereka mendengar Conan berbicara dengan kedua orangtuanya di dapur. Ia
sedang mengeluh mengenai anak-anak lain dalam tim basket. "Semuanya
payah," Evan mendengarnya berkata.
"Hmm, kalau begitu kau malah kelihatan semakin menonjol," Mr Barber
menanggapinya. Evan kembali menahan napas Kemudian ia turun sampai ke kaki tangga.
Sebentar lagi, ia berkata dalam hati. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sebentar lagi
kita sudah keluar dan sini.
Ia meraih pegangan pintu depan.
"Conan, coba ambil buku matematikamu di atas," ia mendengar Mr Barber
berkata "Coba tunjukkan PR yang tak bisa kaukerjakan"
"Oke," ujar Conan. Kaki kursinya terdengar bergesekan di lantai.
Andy menggenggam pundak Evan.
Keduanya bertatapan dengan ngeri Mereka bakal kepergok -padahal tinggal satu
langkah lagi untuk lolos.
18 "CONAN.... tunggu. Nanti saja kau ambil bukumu." Mrs. Barber angkat bicara.
Kemudian mereka mendengarnya menegur ayah Conan, "Biarkan dia
menghabiskan kue dan es krimnya dulu."
"Oke, oke," sahut Mr. Barber, "Nanti saja."
Kursi Conan bergeser ke tempat semula.
Evan tidak membuang-buang waktu.
Ia membuka pintu depan, mendorong pintu kawat nyamuk, lalu menghambur ke
luar bagaikan roket. Ia mendengar suara napas Andy yang berlari di belakangnya. Dan kemudian ia
juga mendengar suara Trigger.
Mereka melintasi pekarangan rumah keluarga Barber dan bergegas ke jalan.
Sepatu kets mereka berdebam-debam di trotoar ketika mereka berlari membelah
kegelapan malam. Mereka baru berhenti setelah tiba di pekarangan rumah Evan.
Evan bersandar di kotak pos. Napasnya terengah-engah. Dengan sebelah tangan
ia menyeka keringat yang membasahi keningnya - dan menyadari bahwa kaleng
biru itu masih juga menempel.
"Tolong," ia memohon, lalu mengulurkan tangan kepada Andy.
Gadis itu pun tersengal-sengal. Berulang kali ia melirik ke jalan, seolah-olah
kuatir Conan mengejar mereka.
"Hampir saja kita celaka," ia bergumam. Ia berpaling kepada Evan. Matanya
tampak berbinar-binar dalam cahaya lampu jalanan, "Tapi sebenarnya seru juga,
ya?" Evan tidak sependapat. Bagi Evan, kejadian yang baru saja mereka alami terlalu
mengerikan untuk dibilang "seru" Dan sampai sekarang tangannya masih
terjebak dalam kaleng berisi Darah Monster.
Ia menyodorkan tangannya ke hadapan Andy, "Tolong tarik sampai copot," ia
berkata "Rasanya kau harus pakai dua tangan. Aku sendiri tidak sanggup."
Andy meraih kaleng itu dengan kedua tangannya Lendir hijau itu tampak
menyembul sambil mengeluarkan bunyi berdecap-decap.
Andy mulai menarik. Ia menarik lebih keras. Kemudian ia menghela napas
panjang, mencondongkan badannya ke belakang, dan menarik dengan sekuat
tenaga. Akhirnya Darah Monster itu melepaskan jari-jemari Evan. Kalengnya copot
dengan bunyi "pop" yang keras. Andy kehilangan keseimbangan dan terduduk
di trotoar. "Aduh!" Evan mengangkat ketiga jarinya dan segera memeriksa semuanya.
Ketiga-tiganya tampak berkerut-kerut bagaikan kismis, seperti kalau ia
berenang selama satu atau dua jam.
"Idih! Lendir itu benar-benar menjijikkan!" serunya.
Andy bangkit perlahan-lahan. Kaleng berisi Darah Monster masih
digenggamnya dengan kedua tangan. "Tapi paling tidak sudah ada di tangan
kita," gumamnya. "Yeah Sekarang bisa dikubur lagi," ujar Evan, yang masih sibuk mengamati
jari-jemarinya dan segala sudut..
"Dikubur?" Andy menjauhkan kaleng itu seakan-akan hendak melindunginya
dari Evan. "Ya, dikubur," Evan menandaskan "Darah Monster terlalu berbahaya untuk
dipakai main-main, Andy. Kaubawa pulang saja lalu kubur kalengnya di
pekarangan belakang rumahmu, oke?"
Andy menatap kaleng itu. Ia tidak menyahut.
"Kubur kalengnya," Evan mengulangi "Bawa pulang dan kubur saja. Janji?"
"Ehm...," Andy bergumam. Kemudian ia berkata, "Oke, aku janji."
*** Ketika terbangun pada keesokan paginya, tenggorokan Evan terasa sakit.
Ibunya menganggapnya sebagai pertanda bahwa Evan akan kena flu. Jadi ia
melarangnya pergi ke sekolah. Evan menghabiskan hari itu dengan membaca
komik dan menonton MTV. Menjelang sore tenggorokannya sudah sembuh.
Besoknya ia masuk sekolah lagi. Ia merasa segar bugar dan siap menghadapi
apa saja. Perasaan senang itu bertahan sampai ia masuk ke ruang kelas Mr. Murphy pada
jam pelajaran terakhir. Evan harus melewati kandang hamster untuk mencapai
tempat duduknya. Sambil berjalan, ia mengintip ke dalam kandang.
Aneh, ia berkata dalam hati. Cuddles mana"
Sejak kapan Mr Murphy punya kelinci"
Kelinci"! Ia berhenti dan membungkuk agar dapat melihat lebih jelas.
Sepasang mata hitam yang amat dikenalnya membalas tatapannya. Sebuah
hidung pink tampak berkerut-kerut
Ternyata Cuddles, Evan menyadari.
Hamster itu sudah tumbuh sampai sebesar kelinci.
19 EVAN masih membungkuk di atas kandang hamster itu sambil menatap
Cuddles yang berukuran raksasa, ketika bel berbunyi. Ia berbalik dan meithat
anak-anak lain sudah duduk di tempat masing-masing.
"Ah, rupanya kau sedang mengamati korbanmu, Evan," Mr. Murphy berkata
dari depan kelas. "Saya.... ehm.... " Evan tidak tahu harus berkata apa "Korban?"
Dengan gusar Mr Murphy memicingkan matanya yang kecil dan hitam. "Kau
terlalu banyak memberi makan kepada Cuddles. Lihat, sekarang dia jadi gendut
begitu." Tapi belum segendut Anda! Evan hampir menyahut.
Evan tahu bahwa masalah berat badan Cuddles bukan salahnya.
Dan juga tak ada sangkut pautnya dengan makan terlalu banyak.
Cuddles tumbuh sampai tiga kali ukuran hamster karena Darah Monster.
"Ini pasti gara-gara Andy. Awas saja, akan kucekik dia!" Evan bergumam.
"Kau bilang apa, Evan?" Mr Murphy bertanya.
Wajah Evan langsung merah padam. Ia tidak bermaksud bicara keras-keras.
"Ehm tidak apa-apa," ia menjawab dengan salah tingkah. Dengan lesu ia duduk di
kursinya. Kali ini Andy sudah kelewatan, ia berkata dalam hati. Dia sudah berjanji untuk
mengubur Darah Monster itu. Dia sudah berjanji.
Dan gara-gara dia Cuddles jadi bengkak begini sekarang! Dan Mr Murphy pikir
ini salahku! "Evan, seusai jam pelajaran saya, jangan pulang dulu," Mr Murphy berkata
"Kita perlu membahas jatah makanan Cuddles."
Beberapa anak tertawa cekikikan. Evan tahu mereka menertawakan dirinya.
Ia melihat Conan dan Biggie di belakang. Conan sedang mengerutkan hidung
sambil mengembungkan pipi, dan berlagak jadi hamster gendut. Biggie terpingkal-
pmngkal melihat tingkah temannya itu
Sepanjang jam pelajaran pandangan Evan. tak beralih dari kandang hamster.
Cuddles seakan-akan terus bertambah besar di depan mata Evan. Dengan setiap
tarikan napas, hamster itu seakan-akan semakin lebar dan tinggi.
Matanya yang hitam sudah sebesar kelereng. Dan kedua mata itu menatap Evan
seolah-olah menyalahkannya.
Seluruh kandang terguncang-guncang ketika hamster itu menuju tempat air.
Jangan tambah besar lagi! Evan memohon dalam hati. Jangan tambah besar lagi,
Cuddles. Oke" Suara napas hamster itu terdengar jelas sekali. Mendesis-desis.
Kandangnya terguncang-guncang lagi ketika Cuddles berbalik. Dengan ngeri
Evan memperhatikan kandang itu nyaris terjatuh dan mejanya.
Ini semua salah Andy! Akan kubunuh dia! pikir Evan dengan getir. Tega-teganya
dia berbuat begini padaku.
Ketika bel berbunyi, semua murid membereskan buku-buku mereka dan menuju
pintu. Evan berdiri menghampiri kandang Cuddles.
Hamster itu menatapnya sambil terengah-engah. Dia sudah terlalu besar untuk
rodanya, Evan menyadari. Kalau tambah besar lagi, dia takkan muat lagi di
kandangnya. Seberapa banyak Darah Monster yang diberikan Andy padanya" Evan bertanya-
tanya. Ia harus mencari tahu.
Evan berpaing kepada Mr. Murphy yang sedang membaca beberapa berkas di
mejanya. "Saya perlu mencari seseorang," Evan memberitahunya. "Saya akan segera
kembali."

Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan lama-lama," gurunya menyahut tanpa menoleh.
Evan bergegas keluar dan langsung berhadapan dengan Conan.
"Wah, kebetulan! Aku memang lagi mencarimu," ujar Conan. Sambil
merentangkan tangan ia bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menghalang-
halangi Evan. "Jangan sekarang," Evan berkata dengan ketus. Tapi Conan tidak mau
membiarkannya lewat "Aku lagi terburu-buru," Evan memberitahunya "Aku
tidak punya waktu untuk disekap di dalam locker."
Conan tersenyum lebar "Hei, sori untuk soal itu," katanya, dan matanya yang
biru tampak berbinar-binar.
"Hah" Sori?" Evan terbengong-bengong mendengar permintaan maaf itu.
"Yeah. Sori," ujar Conan sambil menunduk. "Ayo, kita salaman."
Evan mengulurkan tangan. Kemudian ia teringat kejailan Conan, dan berusaha
menarik tangannya. Tapi terlambat. Conan menggenggam tangan Evan dan mulai meremasnya. Semakin keras ia
meremas tangan Evan, semakin lebar pula senyum di wajahnya yang tampan.
Evan melihat Andy menuju pintu utama di ujung lorong. Ia mencoba
memanggilnya. Tapi yang keluar dan mulutnya hanya pekik kesakitan.
Andy menghilang lewat pintu utama gedung sekolah.
Tulang-tulang di tangan Evan berderak-derak. Ketika Conan akhirnya puas,
tangan Evan tampak seperti segumpal tanah liat.
"Wow, tanganmu kuat juga," Conan berseru sambil tertawa. Ia mengibas-
ngibaskan tangannya sendiri sambil meniup-niupnya, seakan-akan merasa
kesakitan. "Gila! Kau latihan angkat beban, ya."
Conan masih tertawa ketika berbalik, menuju tempat latihan basket.
Dasar brengsek, pikir Evan. Ia menggeram kesal, lalu menghantam sebuah
locker dengan tangannya yang tidak sakit. Rasanya ia ingin berteriak karena
dongkol. "Evan.... sudah waktunya." Mr Murphy memanggil. dan ambang pintu ruang kelas.
"Sebentar," Evan bergumam dengan lesu, lalu kembali masuk.
*** Malam itu berulang kah ia mencoba menelepon Andy, tapi rupanya tidak ada
siapa-siapa di rumah gadis itu.
Setelah tertidur, ia memimpikan Trigger makan segumpal besar Darah Monster
dan tumbuh sampai berukuran raksasa. Evan berusaha menghentikannya. Tapi
anjing raksasa itu malah mengejar tukang Pos.
Pengejarannya tidak berlangsung lama Dengan mudah Trigger menangkap
tukang pos yang hanya sebesar hamster itu.
Evan terbangun, dan seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Ia melirik weker
pada meja di samping tempat tidurnya. Baru pukul enam pagi. Biasanya ia baru
bangun pukul tujuh. Namun ia tetap turun dari tempat tidur. Perasaannya gelisah dan waswas.
Ia memutuskan bahwa ia harus sampai di Sekolah sebelum orang lain. Ia harus
melihat sendiri apakah Cuddles telah bertambah besar lagi.
"Evan... mau ke mana kau?" ibunya bertanya sambil terkantuk-kantuk ketika
Evan keluar lewat pintu depan.
"Ehm... ke sekolah," balas Evan. Tadinya ia berharap bisa menyelinap ke luar
sebelum ibunya bangun. "Pagi-pagi begini?" Ibunya muncul sambil mengikatkan sabuk baju tidurnya yang
terbuat dari katun berwarna biru.
"Ehm.. ada tugas IPA. yang perlu kukerjakan," Evan menjelaskan. Dan itu
memang ada benarnya. "Tugas IPA?" Ibunya menatapnya dengan curiga.
"Yeah." Evan segera memutar otak. "Aku tidak bisa membawanya pulang
karena terlalu besar."
"Kau tidak sarapan dulu?" ibunya bertanya sambil menguap.
"Nanti saja, di sekolah," jawab Evan. "Sampai nanti, Mom." Evan cepat-cepat
melangkah ke luar sebelum ibunya sempat bertanya lagi.
Matahari baru muncul di atas pohon-pohon dan menerangi langit yang kelabu
dengan cahaya kemerahan. Udara masih terasa dingin. Halaman-halaman yang
dilewati Evan tampak berkilau karena embun pagi yang membasahi rumput.
Ia berlari kecil di sepanjang jalan ke sekolah, dan ranselnya terayun-ayun di
punggung. Tak ada siapa-siapa di lapangan bermain maupun di jalur pejalan
kaki yang menuju pintu gedung sekolah.
Evan cepat-cepat masuk dan menyusuri lorong-lorong yang sunyi. Sepatu
ketsnya berdecit-decit di Iantai ketika ia menuju ruang kelas IPA.
Siapa tahu Cuddles tidak tambah besar semalam, Evan berkata dalam hati.
Siapa tahu dia tidak tumbuh sama sekali. Mungkin saja dia malah mengerut.
Mungkin dia mengerut sampai ke ukurannya semula.
Mungkin saja. Mungkin saja Andy hanya memberi sedikit Darah Monster. Sekadar agar
Cuddles tumbuh sebesar kelinci gendut - lalu mengerut kembali sampai
seukuran hamster normal. Mungkin saja.... ya, kan"
Ya! Ya! Evan berusaha meyakinkan diri sendiri.
Napasnya terengah-engah waktu ia sampai di depan ruang kelas IPA.
Jantungnya berdegup-degup di dalam dada.
Ia berhenti di depan pintu.
Moga-moga kau sudah kecil lagi, Cuddles!
Kemudian Evan menarik napas panjang dan melangkah masuk.
20 EVAN masuk ke ruang kelas IPA sambil mengamati kandang di dinding
seberang. Mula-mula ia tidak melihat Cuddles.
Barangkali Cuddles sudah kembali ke ukurannya yang normal. Siapa tahu"
Kadang-kadang doa kita memang dikabulkan, Evan berkata dalam hati.
Kadang-kadang kita dibantu nasib baik.
Dengan waswas Evan maju beberapa langkah. Kemudian beberapa langkah lagi.
Setiap otot di tubuhnya terasa tegang. Ia begitu ngeri, sehingga hampir tak
sanggup berjalan. Urat nadi di pelipisnya berdenyut-denyut. Ia menyeka butir-butir keringat
dingin yang membasahi keningnya.
Cuddles tetap belum kelihatan. Di mana hamster itu"
Di mana" Cahaya pagi yang suram masuk melalui jendela-jendela. Papan-papan lantai
berderak-derak setiap kali Evan mengayunkan langkah.
Ia maju selangkah lagi. Lalu selangkah lagi. Kemudian ia memekik kaget.
Mula-mula Evan memang tidak melihat Cuddles - tapi itu karena Cuddles
terlalu besar! Cuddles memenuhi seluruh kandang.
Evan langsung berhenti sambil melongo, seakan-akan tak percaya pada
penglihatannya. Hamster itu mengeluarkan suara keras setiap kali menarik dan mengeluarkan napas.
Kepalanya yang besar dan berbulu lebat tampak menempel pada bagian
atas kandang. Cuddles menatap Evan dengan sebelah mata yang sebesar tutup
stoples. "Ya ampun" seru Evan Ia merasakan lututnya mulai gemetaran "Ini tidak masuk
akal?" Hamster itu kembali mendengus-dengus.
Seluruh kandang terguncang-guncang di atas meja.
Mata yang hitam dan besar itu terus menatap Evan.
Kemudian, ketika Evan masih terbelalak kaget, hamster itu menggapai-gapai dengan
kedua kaki. Jari-jarinya yang lain mencengkeram kisi-kisi kandang.
Cuddles mengeluarkan suara mengerikan yang membuat bulu roma berdiri.
Evan melihat hamster itu mengerutkan hidung. Cuddles memamerkan sederetan gigi
besar berwarna putih. Cuddles kembali mendengus.
Dengan kedua kaki depannya hamster itu lalu mendorong kisi-kisi kandang.
Kisi-kisinya bengkok. Sekali lagi Cuddles mendengus, lalu kembali membengkokkan kisi-kisi
kandang. Aduh, apa yang harus kulakukan" dengan bingung Evan bertanya dalam hati.
Apa yang harus kulakukan"
Cuddles mau kabur! 21 JADI, apa yang kaulakukan" tanya Andy.
Ia dan Evan sedang duduk bersama di taman yang kecil sambil memperhatikan
aliran kali kecil berwarna kecokelatan di depan mereka. Matahari sore terasa
hangat pada punggung keduanya. Di sekitar mereka terdengar suara jangkrik.
Tiga anak laki-laki lewat naik sepeda di seberang kali. Mereka sedang dalam
perjalanan pulang dari sekolah. Salah satu dari mereka melambaikan tangan
kepada Evan, namun Evan tidak membalas.
Andy mengenakan T-shirt tanpa lengan berwarna merah cerah dan celana jeans
putih. Sepatu kets kuningnya telah dicopotnya, dan kini ia sedang mengais-ngais
tanah dengan jari kakinya
"Jadi, apa yang kaulakukan?" ia mengulangi.
Evan memungut sebongkah tanah dan melemparnya ke kali.
"Aku ambil tali pengikat leher untuk anjing," ia memberitahu Andy "Di lemari
perlengkapan" Andy membelalakkan mata dengan heran "Mr Murphy punya tali perigikat
leher" Untuk apa?"
Evan angkat bahu "Dia punya segala macam barang di lemarinya."
"Jadi kau mengikat Cuddles?"
"Yeah," jawab Evan. "Besarnya kebetulan pas. Dia sebesar anjing Mungkin malah
sedikit lebih besar"
"Sebesar Trigger" tanya Andy.
Evan mengangguk. "Lalu kuikatkan ujungnya yang satu lagi ke kaki meja Mr
Murphy. Dan setelah itu aku langsung kabur secepat mungkin"
Andy tertawa. Tapi ia langsung berhenti ketika menyadari bahwa Evan
memelototinya dengan kesal. "Apa yang terjadi waktu kau ikut pelajaran IPA?"
ia bertanya, kembali menghadap ke kali.
"Aku tidak ikut," gumam Evan.
"Hah!" "Aku tidak masuk," Evari berkata pelan-pelan "Aku terlalu takut. Aku tidak
mau kalau Mr Murphy sampai menyalah-nyalahkan aku di depan semua anak
lain" "Jadi kau bolos" tanya Andy.
Evan mengangguk. "Lalu, apa yang kaulakukan'" Andy kembali bertanya. Ia mencabut beberapa batang
rumput. "Aku menyelinap keluar dari sekolah dan datang ke sini," balas Evan sambil
mengerutkan kening. "Seharian semua orang sibuk membicarakan Cuddles," Andy melaporkan
Matanya yang gelap tampak berbinar-binar, dan ia tak dapat menahan senyum.
"Semuanya berebutan untuk melihathya. Hamster konyol itu nyaris
mertyebabkan huru-hara."
"Ini tidak lucu," Evan bergumam.
"Lucu juga kok!" Andy berkeras. "Mr. Murphy gembar-gembor bahwa Cuddles
bisa mengalahkan hamster mana pun di negeri ini. Dia bilang mau coba supaya
Cuddles bisa tampil di TV!"
"Hah?" Evan langsung berdiri. "Maksudmu, Mr Murphy tidak marah?"
"Yang kudengar sih pertama-tama dia memang kesal," Andy menjelaskan.
"Tapi lama-lama dia Sepertinya mulai biasa melihat Cuddles begitu besar. Dan
malah bangga. Dia bertingkah seperti orang yang memenangkan penghargaan
karena punya labu paling besar!" Andy terkekeh-kekeh.
Evan menendang rumput. "Aku yakin dia bakal menyalahkan aku. Dia pasti
bakal menyalahkan aku!"
"Orang-orang terus memberikan wortel kepada Cuddles tadi," Andy
melanjutkan tanpa menggubris keluhan Evan. "Dan semuanya dilahap dalam
keadaan utuh. Dengan sekali telan."
"Ya ampun!" Evan mengerang Dengan dongkol ia menatap Andy. "Kenapa kau
melakukannya" Kenapa?"
Andy membalas tatapan Evan dengan pandangan tak berdosa "Aku ingin
menghiburmu," jawabnya.
"Hah" Menghibur?" pekik Evan.
"Kau kelihatan lesu sekali. Kupikir aku bisa membuatmu ketawa."
Evan mendengus dengan kesal.
"Tapi sepertinya tidak berhasil," Andy bergumam. Ia kembali mencabut
beberapa batang rumput. Evan berjalan ke tepi kali. Ia menendang sebongkah batu, yang lalu jatuh ke air.
"Ayo, Evan," seru Andy "Akui saja deh. Kejadian ini memang agak lucu."
Evan langsung berbalik. "Ini sama sekali tidak lucu," ia membantah
"Bagaimana kalau Cuddles tumbuh terus" Bagaimana?"
"Kita bisa pasang pelana di punggungnya dan bikin atraksi menunggang
hamster!" Andy tertawa cekikikan.
Evan cemberut dan menendang satu batu lagi ke air. "Kau tahu Darah Monster itu
berbahaya," ia menggerutu "Apa yang harus kita lakukan" Bagaimana
caranya supaya Cuddles bisa kembali ke ukurannya yang normal?"
Andy mengangkat bahu. Kemudian ia kembali mencabut beberapa batang
rumput. Matahari menghilang di balik pepohonan. Evan dan Andy mulai diselubungi
bayangan Dua anak kecil mengejar-ngejar bola berwarna putih-merah di
seberang kali. Ibu mereka mengingatkan keduanya untuk tidak bermain air
"Mana kaleng Darah Monster-nya sekarang?" tanya Evan "Barangkali ada
catatan tentang obat penawar. Barangkali ada petunjuk bagaimana kita bisa
menghentikan semuanya ini."
Andy menggelengkan kepala "Evan, kau kan tahu sendiri, tidak ada tulisan apa-apa
pada kaleng itu. Tak ada petunjuk. Tak ada daftar bahan. Tak ada apa-apa"
Ia berdiri dan menepis-nepis batang-batang rumput yang menempel di
celananya "Aku harus pulang sekarang. Bibiku tidak tahu aku pergi ke mana.
Dia bisa uring-uringan kalau aku terlambat sampai di rumah"
Sambil menggelengkan kepala Evan mengikuti gadis itu ke jalan
"Seberapa besar?" ia bergumam.
Andy menoleh "Kenapa?"
"Seberapa besar Cuddles besok?" Evan bertanya dengan suara bergetar.
"Seberapa besar?"
22 "ANDY... cepat sedikit dong!"
Evan telah berjanji untuk menjemput Andy pagi-pagi di rumah bibinya pada
keesokan hari, supaya mereka bisa berangkat sama-sama ke sekolah mendahului
yang lain. Tapi kemudian Andy melihat bahwa celana jeans-nya agak kotor, dan ia
naik lagi ke kamarnya untuk berganti celana.
Akibatnya, mereka malah hampir terlambat.
"Sori," ujar Andy sambil bergegas turun. Dengan setiap langkah ia melewati
dua anak tangga. Ternyata ia tidak sekadar berganti celana, melainkan benar-
benar berganti pakaian. Kini ia mengenakan rompi bergaris merah-hitam, Tshirt
kuning, serta celana pendek biru muda.
"Kau yakin tidak ada warna yang ketinggalan?" Evan menyindir. Ia meraih
ransel Andy, lalu segera menghambur keluar lewat pintu depan.
Andy meringis. "Aku suka warna-warna. cerah. Warna-warna itu cocok dengan
watakku." "Watakmu adalah selalu terlambat!" balas Evan.
Andy mengikutinya keluar pintu, melintasi pekarangan depan ke trotoar.
"Paling tidak aku punya watak!" serunya. "Lagi pula, kenapa sih kamu terburu-
buru begini?" Evan tidak menyahut. Ia mengatur letak ransel di punggungnya, dan mulai
berlari ke arah sekolah. "Hei... tunggu!" seru Andy sambil mengejarnya.
"Seberapa banyak Darah Monster yang kauberikan kepada Cuddles?" tanya
Evan tanpa memperlambat langkahnya. "Seluruh kaleng?"
"Tidak!" balas Andy sambil terengah-engah. "Cuma sesendok. Sepertinya dia
suka." "Kurasa dia juga suka jadi sebesar anjing," kata Evan sambil membelok.
Gedung sekolah yang besar sudah kelihatan di hadapan mereka.
"Barangkali dia sudah normal lagi hari ini," ujar Andy.
Tapi ketika mereka mendekati gedung sekolah, mereka langsung sadar bahwa
keadaannya tidak normal. Evan mendengar bunyi keras dari bagian sisi gedung. Sepertinya ada kaca


Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pecah. Kemudian ia mendengar seruan-seruan panik. Suara anak-anak yang ketakutan.
"Ada apa ini?" tanya Andy.
Mereka berlari menaiki tangga dan masuk ke gedung sekolah. Tanpa
mengurangi kecepatan, mereka berbelok menuju ruang kelas IPA.
Evan tiba beberapa langkah lebih dulu dan Andy. Karena mendengar orang
berteriak-teriak, ia cepat-cepat menyerbu ke dalam ruang kelas lalu berhenti
sambil memekik kaget. "Oh! Aduh, ya ampun!"
"Mundur! Semuanya mundur!" teriak Mr Murphy. Wajah guru itu tampak
merah padam. Cuddles mengerang keras dan mengayun-ayunkan kakinya yang besar sekali.
"Dia.... tingginya tiga meter!" Evan mendengar Andy berseru di sampingnya.
"Ha... hampir," Evan tergagap-gagap.
Hamster yang mengerang-erang itu menjulang tinggi di hadapan Mr. Murphy Kakinya
yang pink seperti mendayung-dayung. Mulutnya yang besar terbuka
lebar, sehingga memperlihatkan dua gigi putih bersih yang tajam dan berukuran
raksasa. "Mundur! Semuanya mundur!" pekik Mr. Murphy.
Murid-muridnya yang ketakutan berdiri sambil merapat ke dinding.
Mr. Murphy meraih kursi kayu dengan sebelah tangan. Di tangannya yang satu
lagi ja menggenggam tali pengikat leher yang telah putus. Sambil memegang
sandaran kursi, ia menghampiri Cuddles bagaikan penjinak singa di sirkus.
"Duduk, Cuddles! Duduk! Ayo, duduk!"
Ia mendorong hamster raksasa itu dengan kursi, dan mengayunkan tali pengikat
seperti cambuk. Mata Cuddles yang hitam, berair, dan sebesar bola itu menatap guru berwajah
merah di hadapannya. Tampaknya ia tidak terkesan dengan upaya Mr. Murphy
untuk tampil sebagai penjinak singa.
"Duduk, Cuddles! Duduk!" Lipatan-hpatan di bawah dagu si guru bergetar, dan
perutnya yang buncit tampak bergoyang-goyang di balik kemeja kelabunya
yang ketat. Cuddles menyeringai, memperlihatkan gigi-geliginya yang putih bersih.
Kemudian ia mengeluarkan suara menggeram yang membuat seluruh ruangan
bergetar. Pekikan-pekikan ketakutan seakan-akan sahut-menyahut. Evan menoleh ke
belakang dan melihat kerumunan guru dan murid di ambang pintu.
"Duduk, Cuddles!"
Mr Murphy menyorongkan kursi ke depan hamster yang sedang mengamuk. Ia
melecutkan cambuk di dekat perut Cuddles yang tertutup bulu lebat.
Cuddles menatap Mr. Murphy dengan gusar. Kaki depannya, mencakar-cakar.
Andy meraih pundak Evan dan berpegangan erat "Ini gawat!" serunya.
"Gawat!" Evan mengatakan sesuatu, tapi suaranya tak terdengar akibat teriakan-teriakan
ketakutan di sekelilingnya.
Cuddles menangkap kursi dengan kedua kaki depannya.
"Lepaskan! Lepaskan!" jerit Mr Murphy. Ia harus berjuang keras agar kursi itu
tidak direbut dari tangannya.
Cuddles menarik kursi. Mr. Murphy bertahan dengan mengerahkan segenap
tenaga. Ia. membiarkan cambuknya jatuh agar dapat memegang kursi dengan
kedua tangannya. Guru itu dan Cuddles seperti main tarik tambang. Tapi pertandingan yang berat
sebelah itu tak berlangsung lama.
Cuddles menang dengan mudah. Dengan satu gerakan enteng hamster itu mengangkat
kursi, menyebabkan lengan Mr. Murphy nyaris copot dari
engselnya. Sambil mengaduh keras-keras, guru itu jatuh terjerembap di lantai.
Beberapa anak memekik. Dua guru bergegas maju untuk membantu Mr. Murphy berdiri kembali.
Evan hanya bisa membelalakkan mata ketika hamster raksasa itu menaikkan kursi ke
mulutnya. Giginya yang besar segera membuka. Hidungnya berkerut-kerut. Matanya
yang berair berkedip-kedip.
Kemudian Cuddles mengerat kursi kayu itu sampai hancur berantakan.
Serpihan-serpihan kayu berjatuhan ke lantai.
Suara gigitannya mirip bunyi kapak yang sedang dipakai untuk menebang
pohon. Evan berdiri seperti patung. Sama seperti semua orang lain di ruang kelas IPA,
ia begitu ngeri sehingga tak mampu menggerakkan anggota badannya.
Andy meremas bahu Evan dengan begitu keras sehingga terasa nyeri. "Ini salah
kita," gadis itu bergumam.
"Salah kita?" seru Evan "Salah kita?"
Andy tidak menanggapi sindiran itu. Evan melihat pancaran ketakutan dalam
mata Andy ketika gadis itu menatap Cuddles. Kursi tadi telah diubah menjadi
tusuk gigi! "Kita harus melakukan sesuatu, Evan," Andy berbisik sambil berlindung di
belakang temannya itu. "Tapi apa?" balas Evan dengan suara bergetar. "Apa yang bisa kita lakukan?"
Kemudian, tiba-tiba saja, ia mendapatkan sebuah ide.
23 "CEPAT, ikut aku" Evan berseru sambil menarik lengan Andy
Tapi Andy diam saja. Pandangannya masih melekat pada hamster raksasa di hadapan
mereka "Kau mau ke mana?" akhirnya ia bertanya.
"Aku punya ide," Evan memberitahunya, "Tapi kita harus buru-buru!"
Cuddles menghampiri meja Mr Murphy. Langkahnya yang berat membuat
papan-papan lantai melengkung
"Sini, Cuddles! Sini!" Mr Murphy melemparkan segenggam biji bunga matahari
kepada Cuddles. Namun Cuddles malah melotot. Biji-biji itu terlalu kecil untuk
menarik perhatiannya. "Cepat" Evan mendesak. Ia menarik Andy melewati kerumunan guru dan murid
yang bergerombol di pintu. Kemudian ia mulai berlari sekencang mungkin ke
arah auditorium "Kita tidak boleh kabur! Kita harus melakukan sesuatu." seru Andy
"Kita tidak kabur," balas Evan sambil membelok "Patung ayahku... patung itu
ada di auditorium." "Hah" Andy memicingkan mata karena bingung "Evan... kau sudah gila, ya!
Untuk apa kau mencari patung ayahmu"
Evan masuk lewat pintu auditorium dan menyusuri deretan kursi ke arah
panggung. Sejumlah patung tengah dipamerkan di situ.
"Evan... aku tidak mengerti!" seru Andy, yang berada tepat di belakangnya.
"Begini," ujar Evan sambil terengah-engah. Ia menunjuk karya ayahnya di
bagian belakang panggung. "Patung ayahku. Bentuknya seperti roda mainan
untuk hamster.... Betul, kan?"
Andy terbengong-bengong ketika melihat patung itu.
"Ayahku membuat roda logam yang besar dan bisa berputar," Evan
menjelaskan ketika mereka memanjat ke panggung, "Ayo Bantu aku
menariknya ke ruangan Mr. Murphy. Roda ini cukup besar untuk Cuddles"
"Ya ampun!" Andy berseru "Kau mau membawakan roda untuk Cuddles"
Untuk apa?" "Untuk mengalihkan perhatiannya," balas Evan sambil memegang satu sisi
patung besar itu "Kalau Cuddles bisa dibujuk untuk berlari di roda ini, kita
bakal punya waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya. Paling tidak dia
takkan memorak-porandakan seluruh sekolah"
Andy menuju sisi yang satu lagi. Tangan kirinya memegang roda besar itu,
tangan kanannya memegang landasan tempat patung tersebut dipasang.
"Mungkin Cuddles akan berlari begitu kencang, sehingga dia jadi kurus. Siapa
tahu dia malah kembali ke ukurannya. yang normal," ia berkata.
Untung saja landasan patung itu diberi roda. Mereka menggiringnya ke arah
pintu di sisi panggung. "Yang penting, kita bisa mengalihkan perhatian
Cuddles," ujar Evan sambil menarik dengan sekuat tenaga. "Kita perlu waktu untuk
berpikir, menyusun rencana."
"Wah! Berat sekali!" seru Andy. Mereka membawa patung itu ke lorong.
"Moga-moga cukup berat untuk Cuddles"
"Mudah-mudahan saja," Evan menanggapinya. Ketika mereka tiba di depan
ruang kelas, kerumunan guru dan murid yang ketakutan ternyata telah
bertambah besar. "Permisi! Permisi!" Andy dan Evan berseru sambil menerobos
kerumunan tersebut. Mereka mendorong patung roda ke tengah-tengah ruangan, lalu menoleh ke
arah Cuddles. Hamster itu berhasil menyudutkan dua guru, yang berdiri dengan
punggung menempel pada papan tulis. Cuddles mengertak-ngertakkan gigi dan
mengayun-ayunkan kedua kaki depannya, seakan-akan mengajak mereka
berkelahi. Evan menahan napas ketika melihat meja Mr. Murphy telah rata dengan lantai.
"Saya... saya sudah menelepon polisi!" Mr. Murphy melaporkan. Wajahnya
dibasahi butir-butir keringat. "Saya memohon agar mereka segera datang. Tapi
waktu saya memberitahukan di sini ada hamster raksasa, mereka tidak percaya.
Mereka pikir saya mempermainkan mereka"
"Semuanya harap mundur!" Evan berseru dengan suara melengking. "Harap
mundur! Biar Cuddles melihat rodanya."
Sekonyong-konyong hamster raksasa itu berbalik. Kedua guru itu tidak menyia-
nyiakan kesempatan tersebut. Diiringi pekikan-pekikan ketakutan, mereka
langsung berlari ke pintu.
"Mudah-mudahan dia mau berlari sebentar di roda itu," Andy menjelaskan
kepada Mr Murphy. "Biar kita punya waktu untuk memikirkan langkah
selanjutnya." "Dia... dia melihatnya" Mr. Murphy berseru sambil menahan napas, semua
lipatan di bawah dagunya bergetar bersamaan.
Cuddles menatap roda itu. Ekornya yang pendek membentur-bentur papan tulis.
Ia menjejakkan keempat kakinya dan maju selangkah.
"Dia melihatnya. Dia mendekati roda itu," Evan bergumam pelan-pelan.
Semua orang langsung terdiam ketika hamster itu menghampiri patung roda.
Suasana mendadak tegang sekali.
Apakah Cuddles mau menaikinya" Evan bertanya dalam hati. Ia tidak berani
bernapas. Apakah dia mau berlari di roda itu"
Apakah rencanaku akan berhasil"
24 HAMSTER itu mengendus-endus sambil mengerutkan hidung, lalu menggeram perlahan:
Kemudian ia kembah berdiri di atas kaki belakangnya: Hampir seluruh lantai
tertutup bayangannya yang besar.
Sambil mendengus kesal, ia meraih patung itu dengan kedua kaki depannya dan
mengangkatnya ke depan wajahnya.
"Jangan!" seru Evan. "Cuddles... jangan!"
Patung logam itu terdengar berderak-derak ketika Cuddles menggigitnya. Evan
melihat lekukan-lekukan dalam yang ditinggalkan gigi Cuddles pada permukaan
aluminium. Setelah sadar bahwa patung itu tidak bisa dimakan, Cuddles mulai
menghancurkannya. Akhirnya ia mencampakkan roda yang telah tak berbentuk itu. Roda itu
menghantam jendela, lang-sung pecah berantakan.
"Kita harus mulai dan nol - lagi," Andy bergumam kepada Evan.
Evan menggelengkan kepala dengan lesu. ReNcanaku gagal total, ia berkata
dalam hati Sekarang bagaimana"
Ia tidak punya waktu untuk memikirkannya. Ia mendengar jeritan-jeritan
melengking dan teriakan-teriakan ketakutan.
"Lepaskan dia! Cuddles... lepaskan dia!" Mr. Murphy memekik-mekik.
Evan berbalik dan melihat hamster raksasa tu telah menangkap salah seorang
murid. Conan! Cuddles mencengkeram Conan dengan kedua kaki depannya, dan mengangkat
anak itu ke mulutnya yang menganga lebar.
"Turunkan! Turunkan!" teriak Mr. Murphy.
Conan mengayun-ayunkan tangan dan kaki. "Tolong! Ohhh! Tolooong!" ia
meratap-ratap. Ia mulai menangis. Terisak-isak. Air mata membasahi pipinya
yang merah. "Tolooong! Moommy! Moommy! Tolooong aku!"
Dalam keadaan biasa Evan pasti senang melihat Conan menangis seperti bayi.
Tapi ini terlalu serius. Cuddles dapat membelah Conan jadi dua dengan sekali
gigit! Evan menyadari. Ia meraih lengan Andy, "Mana Darah Monster itu?"
"Hah" Di locker- ku. Kusembunyikan di bawah barang-barang di locker- ku.
Kenapa?" "Aku memerlukannya," ujar Evan "Ayo, aku punya ide lagi"
"Moga-moga lebih bagus dari ide yang terakhir," Andy bergumam.
Mereka bergegas ke pintu, lalu menoleh ke belakang. Cuddles sedang
mempermainkan Conan, mengoper-opernya dari satu tangan ke tangan yang
lain sambil menjilat-jilatnya. dengan lidahnya yang besar. Conan menangis
tersedu-sedu. Tanpa membuang-buang waktu lagi Evan menuju locker Andy "Aku mau
makan Darah Monster,' ia memberitahu gadis itu "Segumpal Darah Monster.
Biar aku tumbuh lebih besar dan Cuddles."
"Oh, aku mengerti," sahut Andy, yang berlari di samping Evan. "Kau mau jadi
raksasa. Kau akan tumbuh sebesar Cuddles."
"Bukan," balas Evan "Lebih besar. Jauh lebih besar. Aku mau jadi begitu besar
sehingga Cuddles kelihatan seperti hamster biasa. Lalu kumasukkan dia ke lemari
perlengkapan dan pintunya kukunci."
"Rencana konyol," Andy berkomentar.
"Aku tahu' ujar Evan.
"Tapi tak ada salahnya dicoba," Andy menambahkan.
Evan menelan ludah. Ia menatap locker Andy sambil membelalakkan mata.
"Oh, ya ampun!" seru Andy ketika menyadari apa yang membuat Evan
terbengong-bengong. Pintu locker-nya tampak menggembung, seakan-akan sudah hampir jebol. Dan lendir
hijau mengalir dari celah-celah di pinggir dan di bawah.
"Darah Monster-nya sudah tidak muat di lockerku" seru Andy.
Evan cepat-cepat menghampiri locker itu dan meraih pegangannya. Ia mulai
menarik. "Locker-mu dikunci, ya?" tanyanya.
"Tidak," balas Andy sambil menjaga jarak. Evan terus menarik. Lalu ia menarik
lebih keras lagi. Ia menarik dengan kedua tangan sambil mengerang keras
"Pintunya tidak bisa dibuka" serunya
"Biar aku saja," ujar Andy
Tapi sebelum ia bisa melangkah maju, pintunya sudah membuka dengan
sendirinya. Lendir hijau yang lengket menerjang Evan.
Anak itu tidak sempat berteriak.
Lendir itu menerjangnya bagaikan gelombang raksasa.
Gelombang Darah Monster. Aku ditelan bulat-bulat! Evan menyadari.
Gumpalan raksasa itu keluar dan locker langsung membungkus seluruh tubuh Evan.
Aku diisapnya! Aku tidak bisa bergerak!
Aku tidak bisa bergerak! 25 EVAN memejamkan mata ketika Darah Monster mulai menyelubunginya. Ia
segera meluruskan tangan dan mencoba untuk menghalau lendir yang lengket
itu. Gelombang Darah Monster itu menyebabkan ia jatuh berlutut, lalu terdorong ke
belakang sampai telentang di lantai.
Matilah aku, Evan berkata dalam hati. Matilah...
Ia merasakan sepasang tangan menggenggam mata kakinya.
Kedua tangan itu menarik dengan keras.
Ia mulai terseret. Terseret di lantai.
Terseret di atas lapisan Darah Monster yang tebal.
"Kau bebas" ia mendengar Andy berseru "Kau bebas!"
Ia membuka mata. Ia melihat Andy menarik kedua mata kakinya untuk
membebaskannya dari gumpalan Darah Monster.
Lendir hijau itu tetap ada menempel pada pakaian dan kulitnya. Tapi ia telah
bebas. "Thanks," ia bergumam pelan-pelan, lalu berdiri dengan susah payah.
Ia mendengar Conan menjerit-jerit di ruang kelas. Masih ada kesempatan untuk
menyelamatkannya, Evan menyadari.
Ia mengambil segenggam lendir hijau dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Idih!" Andy mengerang sambil memegangi perutnya.


Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Evan menelan dan mengambil segenggam lagi "Rasanya lumayan juga," ia
memberitahu Andy "Agak asam, seperti buah lemon.
"Jangan makan terlalu banyak," Andy mewanti-wanti Ia tidak berani melihat
ketika Evan makan segenggam lagi.
"Aku harus cukup besar agar Cuddles jadi seperti hamster biasa dibandingkan
aku," ujar Evan. Ia kembali meraih segenggam Darah Monster.
Ia sadar bahwa ia sudah mulai tumbuh. Kepalanya sudah berada di atas deretan
locker. Sementara itu Conan masih meraung-raung di ruang kelas
"Ayo" Evan berkata. Suaranya menggelegar. Ia merasakan dirinya tumbuh
semakin besar, semakin besar.
Ia terpaksa menundukkan kepala agar bisa masuk lewat pintu ruang kelas
Murid-murid dan guru-guru segera memberi jalan padanya Mereka memekik
kaget. Ia melintasi ruangan, melewati Mr Murphy, dan menghampiri hamster raksasa itu
"Aku sebesar Cuddles" Evan berseru kepada Andy.
Ia mengulurkan tangan dan membebaskan Conan dari cengkeraman Cuddles.
Hamster itu berusaha merebut Conan kembali, tapi Evan menurunkannya pelanpelan
ke lantai. "Tolooong! Tolooong!" Conan meraung-raung sambil kabur menyelamatkan
diri. Evan berbalik menghadap hamster itu. Mereka bertatapan.
Hidung Cuddles tampak berkerut-kerut. Kemudian ia mengendus-endus begitu
keras sehingga Evan nyaris tertarik ke depan.
Evan mundur selangkah. Aku harus tambah besar! ia berkata dalam hati. Aku harus terus tumbuh!
Cuddles mengamatinya dehgan waspada. Matanya yang berair menatap Evan
seakan-akan berusaha memastikan apakah anak itu kawan atau lawan.
"Masa kau tidak ingat aku, Cuddles"' Evan berkata dengan lembut "Kau masih
ingat, kan" Aku yang setiap hari memberimu makan seusai sekolah"
Aku harus tambah besar! pikir Evan
Kenapa aku tidak tambah besar"
Di bawahnya, ia melihat Andy, Mr. Murphy, dan yang lain berdiri merapat ke
dinding seberang. Semuanya menatap kedua raksasa itu dengan ngeri.
Tambah besar! Tambah besar!
Evan sadar bahwa ia takkan sanggup mengangkat Cuddles Tinggi mereka persis
sama. Dan Cuddles paling tidak satu ton lebih berat!
Ayo, tambah besar! "Ada apa ini, Andy?" Evan berseru dengan suara bergetar. "Aku sudah melahap
bergenggam-genggam Darah Monster. Kehapa aku tidak tambah besar?"
"Aku tidak tahu" balas Andy. Suaranya kecil sekali, menyerupai suara tikus
yang mencicit. Evan mehhat Andy memegang kaleng biru itu. Andy sedang membaca
keterangan yang tercantum pada label kaleng.
"Evan!" gadis itu kembali berseru. "Aku juga tidak mengerti kenapa kau tidak
tambah besar!" Lalu, ketika Evan berbalik lagi untuk menghadap Cuddles, hamster itu meraih
pinggangnya dengan kedua kaki depan.
"Aduh!" Evan mengerang sewaktu Cuddles berusaha mengangkatnya.
Ia mendongakkan kepala dan melihat mulut Cuddles terbuka lebar. Gigi-
geliginya yang putih dan tajam kelihatan jelas sekali.
Evan menggeliat-geliut untuk membebaskan diri. Kemudian ia melingkarkan
kedua tangan pada perut hamster itu.
Mereka mulai bergulat. Evan mengerahkan segenap tenaga, tapi Cuddles
ternyata lebih kuat. Dalam sekejap saja Evan sudah tergeletak di lantai,
sementara Cuddles menindihnya.
Evan segera mengelak. Dengan gesit ia berdiri lagi dan menarik Cuddles.
Kedua raksasa itu berguling-gulingan di lantai, diiringi pekikan melengking
para guru dan murid. Aku harus tambah besar! Aku harus tambah besar! Evan berkata dalam hati Namun
terlambat. Cuddles menindihnya dengan tubuhnya yang panas dan berbulu lebat. Evan bisa
merasakan detak jantung hamster itu ketika ia mulai tergencet.
Cuddles membuka mulut lebar-lebar.
Giginya yang putih berkilau menukik ke arah kepala Evan.
Evan merasakan embusan napas yang panas dan asam.
Ia memejamkan mata. "Sori," ia bergumam kepada Andy.
Ia menahan napas dan bersiap-siap menghadapi ajal.
26 EVAN mendengar bunyi "pop", seperti bunyi sumbat gabus terlepas dari botol
anggur. Ia masih tergeletak di lantai ketika membuka mata.
"Hah?" Cuddles telah menghilang. Lenyap.
Evan menatap wajah-wajah para murid dan guru yang masih merapat di
dinding. Semuanya terbengong-bengong, "Ma... mana Cuddles" ta tergagap-
gagap. Andy berdiri seperti patung sambil melongo. Perlahan-lahan Evan menyadari
bahwa gadis itu hampir sebesar dirinya sendiri. Malahan, semua orang kira-kira
sebesar dirinya. Ia mendorong tubuhnya ke posisi duduk. "Hei... aku sudah normal lagi!" ia
berseru. Kemudian ia menggelengkan kepala, seakan-akan hendak mengusir
bayangan pertarungan yang nyaris berakibat fatal dengan hamster raksasa tadi.
"Itu Cuddlles!" Andy memekik sambil menunjuk.
Evan menoleh dan melihat Cuddles meringkuk di pojok ruang kelas "Dia juga
sudah kecil lagi!" Evan berseru dengan gembira. Ia berjalan tiga langkah, membungkuk, dan
menangkap Cuddles dengan kedua tangannya. "Hah, kena kau!"
Sambil memegang hamster itu, ia berpaling kepada. Andy dan yang lain. "Apa yang
terjadi" Bagaimana kami bisa mendadak kecil lagi"
Andy sedang mengamati kaleng Darah Monster. Tiba-tiba ia menyibakkan.
rambutnya yang gelap. Matanya yang cokelat tampak berbinar-binar, dan ia
mulai tertawa "Tanggal kedaluwarsanya." ia berseru dengan riang. "Tanggal
kedaluwarsa yang tercantum pada kaleng ini adalah.... hari ini! Hari ini khasiat
Darah Monster habis!"
Evan bersorak-sorai dengan gembira.
Mr Murphy tersenyum lebar. Ia langsung menghampiri Evan dan melingkarkan
lengannya pada pundak anak itu. "Bagus, Evan! Bagus!" ia memuji. "Kau -
menyelamatkan sekolah kita. Saya bangga sekali!"
"Terima kasih, Mr. Murphy," balas EVan dengan kikuk
"Sayang kau jadi pendek lagi. Seharusnya kau bisa masuk tim basket," Mr.
Murphy berkata sambil tersenyum. "Tapi pertarunganmu dengan Cuddles tadi
cukup hebat. Kau pernah mempertimbangkan untuk masuk tim gulat?"
*** Malam itu Andy berkunjung ke rumah Evan untuk makan malam bersama.
Evan menyambutnya di pintu. Ia sudah tak sabar untuk menceritakan bagaimana
semua anak minta maaf karena tidak percaya soal Darah Monster.
Tap sebelum ia sempat berkata apa-apa, Andy keburu mengangkat sebuah
amplop besar berwarna cokelat dan menatapnya sambil nyengir.
"Apa itu" Evan bertanya. Ia mengikuti Andy ke ruang duduk.
"Hadiah dari orangtuaku. Mereka mengirimnya dari Eropa," balas Andy
Senyumnya bertambah lebar "Kau tak bakal bisa menebak apa isinya."
Gadis itu hendak membuka amplop itu Tapi kemudian bel pintu berdering.
Evan segera bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang.
"Mr. Murphy!" ia berseru kaget.
"Halo, Evan," ujar gurunya. Badannya yang bulat nyaris terjepit di antara
kedua sisi kusen pintu. "Mudah-mudahan saya tidak mengganggu acara makan
malammu." "Oh, tidak," balas Evan "Mau masuk?"
"Tidak, terima kasih," kata Mr Murphy. Roman mukanya berubah jadi serius
"Saya mampir karena saya pikir kau patut memperoleh penghargaan, Evan. Kau
benar-benar jadi pahlawan di sekolah tadi."
Evan tampak salah tingkah. Wajahnya terasa panas, dan ia tahu bahwa ia
tersipu-sipu. Penghargaan" ia bertanya-tanya sambil menatap gurunya. Barangkali dalam
bentuk uang" Mr. Murphy mengangkat kandang hamster untuk memperlihatkannya kepada Evan. "Saya
memutuskan untuk menghadiahkan Cuddles padamu," guru itu
berkata. "Saya tahu betapa kau menyayangi dia."
"Oh, jangan!" Evan berusaha menolak.
"Ini sekadar tanda mata saja," Mr. Murphy berkeras. "Untuk memperlihatkan rasa
terima kasih saya. Rasa terima kasih kami semua."
"Jangan tidak perlu kok"
Tapi sebelum Evan menyadarinya, kandang hamster itu sudah berpindah tangan dan
Mr. Murphy sudah kembali ke mobilnya yang diparkir di depan.
"Dia memberikan Cuddles padamu?" tanya Andy ketika Evan kembali ke ruang
duduk sambil membawa hamster itu. Ia meletakkan kandang itu di atas meja.
"Sebagai penghargaan untukku," ujar Evan sambil memutar-mutar bola mata.
"Nah, yang ini tak kalah mengejutkan" seru Andy. "Coba lihat apa yang dibeli
orangtuaku di Eropa!"
Ia meraih ke dalam amplop dan mengeluarkan sebuah kaleng berwarna biru
"Darah Monster"
"Oh, ya ampun!" Evan mendesah.
"Mereka tulis surat dan mereka bilang masih ingat betapa senangnya aku
dengan kaleng yang lama," Andy bercerita sambil mengamati kaleng biru itu
"Jadi waktu mereka melihat yang ini di sebuah toko mainan di Jerman,
langsung saja mereka beli."
Evan membelalakkan mata dengan ngeri. "Kau... kau takkan membukanya,
kan?" ia bertanya dengan waswas.
"Sudah kubuka kok," balas Andy, "Tapi cuma untuk mengintip. Aku takkan
memakainya. Sungguh. Aku berjanji."
Evan hendak mengatakan sesuatu, tapi ibunya telanjur memanggil dari dapur.
"Ayo, kalian makan dulu. Cepat, cuci tangan lalu datang ke sini!"
Andy meletakkan kaleng berisi Darah Monster di atas meja di pojok ruangan.
Kemudian ia dan Evan mencuci tangan.
Acara makan malam berlangsung meriah. Banyak sekali yang perlu diceritakan.
Mereka tertawa dan bercanda tentang apa yang terjadi di sekolah. Setelah
semuanya berakhir, kejadian itu memang terasa lucu.
Seusai makan malam, Andy dan Evan kembali ke ruang duduk
Andy yang pertama melihat pintu kandang hamster itu terbuka lebar. Kandang itu
telah kosong. Evan yang pertama meithat Cuddles di atas meja.
"Cuddles... kau makan apa?" serunya, "Kau makan apa?"
End Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Neraka Pulau Biru 2 Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Api Berkobar Di Bukit Setan 3
^