Darah Monster Dua 1
Goosebumps - Darah Monster 2 Bagian 1
R.L. Stine Darah Monster II (Goosebumps # 18) Penerjemah: Hendarto Setiadi
Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAN DIA KEMBALI... Evan Ross selalu dihantui mimpi buruk tentang peristiwa Darah Monster musim
panas yang lalu. Kejadiannya sangat mengerikan. Sangat menyeramkan. Tapi,
Mr. Murphy, guru IPA-nya, tak percaya pada cerita Evan. Karena dianggap
membual, Evan dihukum harus membersihkan kandang hamster, binatang
kesayangan Mr. Murphy. Lalu Andy, sahabat Evan, datang ke Atlanta dan membuat segalanya jadi
tambah kacau. Gadis itu membuat kejutan. Dia membawakan Evan lendir
berwarna hijau yang lengket, dan lendir itu kini mulai tumbuh....
Goosebumps Ya! Dijamin kalian pasti ber -goasebumps- ria alias merinding ketakutan kalau
membaca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor
yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya" Baca saja sendiri..
kalau berani!!! . Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
JL. Pamerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 ISBN 979-605-291-1 1 EVAN ROSS mundur ke pojok ruang baca sambil menatap anjingnya, Trigger.
Anjing cocker spaniel berbulu cokelat itu menundukkan kepala dan membalas
tatapan Evan dengan matanya yang selalu berair. Kemudian anpng tua tersebut
mulai mengibas-ngibaskan ekornya dengan gembira.
"Trigger . ," Evan berseru dengan gusar. "Kau makan Darah Monster lagi,ya?"
Ekor anjing itu bergerak semakin cepat. Trigger menggonggong, dan suaranya
bergemuruh bagaikan guntur.
Evan merapat ke drnding ruang baca yang dilapisi panil-panil kayu berwarna
gelap. Trigger maju beberapa langkah sambil terengah-engah. Lidahnya yang
berwarna pink dan sebesar sosis salami terjulur keluar dar mulutnya yang lebar.
"Ya, kan?" Evan bertanya dengan nada menuduh. " Kau makan Darah Monster lagi,
kan?" Sebenarnya Evan tak perlu bertanya lagi. Jawaban atas pertanyaannya itu sudah
jelas. Tadi pagi Trigger masih berukuran normal, seperti anjing cocker spaniel pada
umumnya Tapi anjing yang kini menatap Evan itu sudah sebesar anak kuda.
Kaki Trigger yang berbulu lebat - dan sebesar kaki gajah - menginjak-injak
karpet. Ekornya yang membehtur-bentur pinggiran sofa menimbulkan bunyi
yang lebih keras dibandingkan suara bass drum.
Evan sampai menutup kedua telinganya ketika Trigger menggonggong dengan
riang - gonggongan yang menyebabkan dinding-dinding ruang baca bergetar.
"Duduk! Ayo, duduk!" ia memerintahkan.
Anjing raksasa itu terus mengibas-ngibaskan ekornya sambil terengah-engah.
Ya ampun! Evan menyadari dengan ngeri. Dia mau mengajakku bermain!
"Duduk" teriak Evan "Duduk"
Tapi Trigger tidak ambil pusing. Selama sepuluh tahun - itu sama dengan tujuh
puluh tahun menurut hitungan anjing! - Evan telah berusaha melatih Trigger untuk
duduk jika diperintah. Tapi Trigger tak kunjung mengerti
"Bagaimana kau bisa mendapatkan Darah Monster?" tanya Evan. "Kan
semuanya sudah menguap. Lenyap tanpa bekas. Hilang begitu saja. Dan kau
juga tahu, kan, Darah Monster membuatmu tumbuh. Tumbuh, tumbuh, dan
tumbuh terus. Ayo, di mana kau menemukannya?"
Trigger memiringkan kepalanya yang besar, seakan-akan berusaha memahami
kata-kata yang diucapkan Evan. Kemudian, sambil mengibas-ngibaskan
ekornya dengan gembira, ia mulai berlari menghampiri anak itu.
Ya ampun! Evan mengeluh dalam hati Dia mau menerjangku! Dia mau
menerjangku! Aduh, kalau aku sampai diterjangnya, badanku bakal gepeng!
Setetes air liur jatuh dari mulut Trigger dan membasahi karpet. Satu tetes itu
saja sudah hampir cukup untuk mengisi satu ember.
"Duduk" Evan memekik dengan panik. "Duduk, Trigger! Duduk!"
Trigger berhenti dan menatap Evan. Sambil membelalakkan mata Evan
menyadari bahwa anjingnya sudah bertambah besar lagi. Kini Trigger sudah
sebesar kuda! Di mana dia menemukan kaleng berisi Darah Monster" Evan bertanya dalam
hati sambil merapatkan punggungnya ke dinding. Di mana"
Anjing itu menatap Evan, lalu kembali menyalak. Kali ini seluruh rumah
terguncang. "Idih!" seru Evan sambil menutup hidung. Napas Trigger menerpanya bagaikan angin
badai. Dan baunya minta ampun, seperti bangkai tikus.
"Mundur, Trigger!" Evan memohon.
Tapi perintah itu pun tak dipahami oleh Trigger.
Lalu, tanpa peringatan lebih dulu, anjing raksasa itu menerjang.
"Duduk! Duduk!" teriak Evan.
Mulut Trigger menganga lebar. Lidahnya yang besar menjilat-jilat pipi Evan.
Lidah itu terasa kasar dan panas. Rambut Evan yang berwarna seperti wortel
langsung basah kuyup terkena air liur anjing yang lengket.
"Jangan... jangan" jerit Evan "Aku baru dua belas tahun!. Aku masih terlalu
kecil untuk mati!" Ia mulai memekik-mekik lagi. Tapi gigi Trigger mencengkeram pinggangnya,
sampai-sampai Evan kehabisan napas.
"Trigger... lepaskan aku! Lepaskan aku!" kata Evan dengan susah payah.
Kibasan ekor Trigger membentur sebuah lampu, dan lampu itu jatuh ke lantai
dan pecah berantakan. Gigi Trigger menjepit Evan dengan lembut tapi pasti. Tahu-tahu anak itu sudah
terangkat dan lantai. "Turunkan aku! Turunkan aku!"
Kenapa anjing bodoh itu tidak mau menurut"
Dengan kalang kabut Evan meronta-ronta dan mengayun-ayunkan tangan dan
kaki untuk membebaskan diri. Tapi Trigger tidak mau melepaskannya.
Suara langkah anjing raksasa itu berdebam-debam. Ia menggotong Evan keluar
dari ruang baca, lalu masuk ke dapur. Kemudian ia menundukkam kepala dan
membuka pintu dapur dengan menyundulnya.
Pintu itu terbanting dengan keras di belakang mereka. Trigger mulai melintasi
rumput. "Anjing nakal! Anjing nakal!" seru Evan. Tapi suaranya sudah semakin lemah.
Jangan-jangan Trigger sudah bertambah besar lagi.
Evan kini menggantung sekitar satu meter di atas tanah!
"Turunkan aku! Turunkan aku!" ia berseru.
Rumput hijau di bawahnya seakan-akan berayun-ayun. Trigger terengah-engah,
dan suaranya membuat seluruh tubuh Evan bergetar. Ternyata jeans dan T-shirtnya
telah basah kuyup karena air liur Trigger.
Trigger tidak bermaksud jahat, Evan berkata dalam hati. Dia cuma main-main.
Untung saja dia sudah tua, dan giginya sudah tidak tajam.
Anjingnya berhenti di pinggir kebun bunga di bagian belakang pekarangan. Ia
menurunkan Evan sampai nyaris menyentuh tanah, tapi tidak melepaskannya.
Kakinya mulai mengais-ngais tanah.
"Lepaskan aku" jerit Evan "Ayo dong, Trigger dengarkan aku!"
Anjing raksasa itu terus menggali sambil tersengal-sengal, napasnya yang panas
dan bau pun terus menerpa Evan.
Tiba-tiba Evan merinding. Ia baru sadar apa yang hendak dilakukan Trigger.
"Jangan" teriaknya. "Aku jangan dikubur, Trigger"
Anjing itu semakin bernafsu menggali. Kaki depannya bergerak kencang, tanpa
henti. Wajah Evan terkena bongkahan-bongkahan tanah.
"Hei, aku bukan tulang" Evan berteriak panik "Trigger... aku bukan tulang! Aku
jangan dikubur, Trigger! Ampun, Trigger, aku jangan dikubur!"
2 "AMPUN, Trigger, ampun! Aku jangan dikubur dong!" Evan bergumam
dengan nada memelas. Ia mendengar suara tawa Ia menegakkan kepala dan memandang berkeliling dan mendadak sadar bahwa
ia tidak berada di pekarangan belakang rumahnya. Ia duduk dikursinya di dekat
jendela, di baris ketiga dari depan.
Dan Mr Murphy, guru IPA Evan, berdiri tepat di sampingnya. Badannya yang
teramat besar menghalangi cahaya matahari dari jendela.
"Bumi memanggil Evan! Bumi memanggil Evan!" Mr. Murphy berseru sambil
menggunakan kedua tangannya un k membentuk corong di depan mulut.
Semua muridnya tertawa. Wajah Evan langsung terasa panas membara.
"M.. Maaf," ia tergagap-gagap.
"Kelihatannya kau habis berkunjung ke Negeri Impian," ujar Mr Murphy.
Matanya yang kecil dan hitam kelihatan berbinar-binar.
"Ya," jawab Evan serius 'Saya bermimpi tentang - Darah Monster. Saya.. saya
selalu teringat-ingat lagi."
Sejak pengalamannya yang menakutkan dulu, lendir yang hijau dan lengket itu
selalu muncul dalam mimpi-mimpi Evan.
"Aduh, Evan, Evan," kata Mr. Murphy pelanpelan. Guru itu menggeleng-
gelengkan kepalanya yang bulat sambil berdecak-decak, "Ck, ck, ck."
"Darah Monster memang ada!" seru Evan dengan gusar.
Teman-teman sekelasnya kembali tertawa.
Roman muka Mr Murphy menjadi kencang. Ditatapnya Evan dengan tajam.
"Evan, saya ini guru science, guru IPA. Di mana pun takkan ada guru science yang
percaya bahwa lendir hijau yang bisa dibeli di toko mainan sanggup
membuat segala sesuatu tumbuh tak terkendali."
"Ta... tapi ini benar-benar ada," Evan berkeras.
"Guru science-fiction m ungkin mau percaya," Mr. Murphy menyahut, lalu tertawa
karena leluconnya sendiri. "Tapi guru science tidak."
"Anda memang bodoh" seru Evan.
Sebenarnya ia tidak bermaksud bilang begitu. Dan Ia segera sadar bahwa ia
telah melakukan kesalahan besar.
Ia mendengar teman-teman sekelasnya menahan napas.
Mr Murphy marah sekali. Wajahnya yang tembam langsung merah padam Tapi
Ia masih bisa manahan diri. Ia memegang perutnya yang buncit dengan kedua
tangan, dan Evan melihatnya berhitung sampai sepuluh tanpa bersuara.
"Evan, kau murid baru di sini, bukan?" ia akhirnya bertanya. Rona wajahnya
perlahan-lahan kembali normal.
"Ya," jawab Evan sambil menundukkan kepala. "Baru musim gugur ini keluarga saya
pindah ke Atlanta." "Hmm, barangkali kau belum mengerti aturan main di sini. Barangkali para guru di
sekolahmu dulu suka disebut bodoh. Barangkali mereka memang biasa
dikata-katai oleh murid-murd mereka. Barangkali..."
"Tidak, Pak," Evan memotong tanpa berani mengangkat dagu "Saya cuma keceplosan."
Sekali lagi ia mendengar suara tawa di sekitarnya. Mr Murphy langsung melotot
sambil mengerutkan kening.
Ya ampun, apa lagi sekarang" pikir Evan dengan muram. Ia memandang
berkeliling dan melihat lautan wajah yang tersenyum mengejek.
Aduh, malah tambah kacau, Evan berkata dalam hati. Kenapa aku tidak bisa
menjaga mulut besarku ini"
Mr. Murphy menoleh ke jam yang .tergantung di dinding. "Sebentar lagi kita
bubar," katanya. "Nah, Evan, bagaimana kalau kau melakukan sesuatu untuk
menebus waktu yang telah kausia-siakan hari ini, hmm?"
Oh-oh, pikir Evan. Ini dia.
"Setelah bel berbunyi, simpan buku-bukumu di dalam locker- mu ," Mr. Murphy
menyuruh. "Lalu kembali ke sini dan bersihkan kandang Cuddles.
Evan mengerang tertahan. Pandangannya beralih ke kandang hamster yang dirapatkan ke dinding. Cuddles
sedang menggali-gali serpihan kayu di dasar kandang.
Lagi-lagi kandang hamster! Evan mengeluh dalam hati.
Evan membenci Cuddles. Dan Mr Murphy tahu itu. Ini sudah ketiga kalinya Mr
Murphy menyuruh Evan tinggal di sekolah lebih lama untuk membersihkan
kandang yang menjijikkan itu.
"Sambil membersihkan kandang hamster," Mr. Murphy berkata sambil kembali ke
mejanya, "barangkali kau bisa memikirkan cara untuk lebih memperhatikan
pelajaran IPA." Evan langsung berdiri "Saya tidak mau!" serunya.
Ia mendengar suara-suara kaget di sekelilingnya.
"Saya benci Cuddles" teriak Evan. "Saya benci hamster gendut dan jelek itu."
Dan di depan mata semua murid lain, Evan bergegas menghampiri kandang,
membuka pintunya, dan menangkap Cuddles dengan sebelah tangan.
Lalu, dengan satu ayunan tangan, ia melempar hamster itu melintasi ruangan
kelas... keluar melalui jendela.
3 EVAN tahu bahwa ia hanya berkhayal.
Ia tidak berdiri sambil menjerit dan melempar hamster itu ke luar jendela.
Ia hanya berangan-angan. Semua orang kadang- kadang berkhayal bahwa mereka ingin
melakukan sesuatu yang gila-gilaan.
Tapi Evan tidak mungkin melakukan sesuatu segila itu.
Ia hanya berkata, "Ya,'Mr Murphy" Kemudian Ia duduk membisu di kursinya.
Dengan murung ia memandang ke luar jendela dan memperhatikan awan-awan
putih di langit yang tampak biru cerah.
Ia melihat bayangannya di kaca jendela. Rambutnya yang ikal dan merah
manyala tampak lebih gelap. Begitu pula bintik-bintik yang memenuhi pipinya.
Tampangnya sedih. Ia benci dipermalukan di depan seluruh kelas.
Kenapa aku selalu cari gara-gara" ia bertanya-tanya dalam hati. Dan kenapa Mr
Murphy tak pernah berhenti mengusikku" Masa dia tidak tahu bagaimana
rasanya jadi anak baru di sekolah" Bagaimana aku bisa dapat teman kalau aku
selalu diolok-olok dan dijadikan bahan tertawaan oleh Mr Murphy"
Belum lagi soal Darah Monster itu. Kenapa sih tak ada yang mau percaya
padaku" Evan telah menceritakan pengalamannya kepada anak-anak di sekolah barunya.
Bagaimana ia berlibur di rumah neneknya musim panas lalu. Bagaimana ia dan
gadis yang bernama Andy yang dikenalnya di sana menemukan kaleng biru
berisi Darah Monster di toko mainan yang kuno dan seram.
Dan bagaimana Darah Monster yang hijau dan menjijikkan itu mulai
mengembang dan mengembang Bagaimana lendir itu mengembang tak
terkendali, sampai akhirnya tak muat lagi di dalam kalengnya, di dalam ember,
bahkan di dalam bak mandi! Lendir itu terus tumbuh, seakan-akan hidup!
Dan Evan juga bercerita bagaimana Trigger makan sedikit Darah Monster - lalu
tumbuh sampai hampir sebesar rumah!
Ceritanya benar-benar ajaib dan menakutkan. Dan Evan yakin bahwa teman-
teman barunya bakal terkesan.
Tapi ternyata ia malah dianggap aneh oleh mereka.
Tak ada yang percaya padanya. Mereka cuma tertawa dan menudingnya sebagai
tukang mimpi. Evan akhirnya dikenal sebagai anak baru yang suka mengarang cerita konyol.
Kalau saja aku bisa membuktikan bahwa ceritaku memang benar, Evan sering
mengeluh dalam hati. Kalau saja aku bisa memperlihatkan Darah Monster
kepada mereka. Tapi gumpalan lendir hijau yang misterius itu sudah menghilang sebelum Evan
pulang dari rumah neneknya. Hilang begitu saja, tanpa bekas.
Bel berdering. Semua murid berdiri dan menuju pintu sambil tertawa dan
mengobrol. Evan sadar bahwa tidak sedikit teman sekelasnya dang menertawakan dirinya .
Tanpa menggubris mereka, Evan meraih ranselnya dan mulai berjalan pintu.
"Jangan lupa, Evan!" Mr Murphy memanggil Eari balik mejanya. "Langsung
kembali ke sini. Caddles sudah menunggu!"
Sambil menggerutu dengan kesal, Evan keluar ke lorong yang ramai. Kalau Mr
Murphy begitu menyayangi hamster jelek itu, kenapa bukan dia saja yang
membersihkan kandangnya" ia bertanya-tanya dengan kesal.
Sekelompok anak tertawa terbahak-bahak ketika Evan melewati mereka.
Apakah mereka menertawakan dirinya" Evan tidak tahu pasti.
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mulai berlari kecil ke locker- nya Tiba-tiba saja ada sesuatu yang membentur
kakinya, persis di atas mata kaki Evan kehilangan keseimbangan dan
terjerembap di lantai ubin yang keras.
"Hei...!" seru Evan dengan gusar.
Ia menoleh dan melihat teman sekelasnya yang berbadan besar dan bertampang
sangar. Nama sebenarnya Conan Barber, tapi oleh semua anak ia dipanggil
Conan the Barbarian. Dan itu bukannya tanpa alasan.
Conan juga berumur dua belas, tapi ia kelihatan dua puluh tahun lebih tua! Ia
paling jangkung, paling kekar, paling kuat, dan paling jail di antara semua
murid. Sebenarnya tampangnya tidak jelek, Evan terpaksa mengakui. Conan berambut
pirang berombak, bermata biru, dan berwajah lumayan keren. Potongan
badannya atletis sekali, dan ia ikut dalam semua cabang olahraga yang diadakan
di sekolah mereka. Conan sebenarnya juga lumayan baik, Evan berkata dalam. hati. Tapi dia
mempunyai satu kebiasaan buruk. Dia selalu ingin rnembuktikan bahwa
julukannya memang beralasan.
Anak itu senang bertingkah sebagai Conan the Barbarian.
Ia senang petantang-petenteng sambil menakut-nakuti anak-anak yang lebih
kecil - dan ini berarti siapa pun!
Dari pertama Evan sudah tidak cocok dengan Conan.
Ia bertemu Conan di lapangan bermain di sekolah , beberapa minggu setelah
kepindahannya ke Atlanta. Berhubung ia ingin membuat Conan terkesan, Evan
langsung menceritakan kisah Darah Monster.
Conan ternyata tidak suka cerita itu. Ia malah - melototi Evan dengan matanya
yang biru. Kemudian ia pasang tampang kencang dan bergumam sambil
mengertakkan gigi, "Kami di Atlanta tidak suka orang yang sok tahu"
Evan nyaris dibuat babak belur hari itu.
Sejak itu Evan berusaha menghindari Conan. Tapi itu tidak mudah.
Kini ia menatap Conan sambil tergeletak di lantai. "Hei kenapa kau
menjegalku?" Evan bertanya dengan suara melengking.
Conan hanya nyengir dan angkat bahu "Sori, aku tidak sengaja."
Evan mempertimbangkan apakah lebih aman kalau ia berdiri atau tetap
berbaring di lantai. Kalau berdiri, aku bakal kena pukul, ia berkata dalam hati. Kalau tetap
berbaring, aku bakal diinjak.
Pilihan yang sulit. Ternyata Evan tidak sempat mengambil keputusan. Conan membungkuk dan,
dengan sebelah tangan, menarik Evan sampai berdiri.
"Sudah dong, Conan" Evan memohon "Kenapa kau harus terus
menggangguku?" Conan kembali angkat bahu. Ini salah satu jawaban yang paling digemarinya.
Matanya yang biru tampak berbinar-binar "Kau benar, Evan," ia berkata, lalu
berhenti tersenyum "Seharusnya aku tidak menjegalmu."
"Yeah," Evan membenarkan sambil merapikan Tshirt- nya."
"Jadi kau boleh membalas sekarang," Conan menawarkan.
"Hah?" Evan terbengbng-bengong.
Conan membusungkan dadanya yang bidang. "Ayo. Pukul perutku. Pukul saja."
"Wah, nanti dulu," balas Evan Ta berusaha mundur, tapi jalannya terhalang oleh
sekelompok anak lain. "Ayo," Conan mendesak sambil maju selangkah. "Pukul saja perutku Sekeras
mungkin. Supaya adil."
Evan mengamati wajah Conan. "Kau serius?"
Conan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia kembali membusungican dada
"Sekuat tenagamu. Ayo. Aku takkan membalas. Aku janji."
Evan tetap ragu-ragu. Perlukah ia menerima tawaran Conan"
Kesempatan seperti ini mungkin takkan terulang lagi, ia berkata dalam hati.
Evan sadar bahwa banyak murid memperhatikan mereka.
Kalau dia kupukul keras-keras, sampai kesakitan, sampai mengaduh - ya,
mungkin anak-anak di sini bakal lebih hormat padaku.
Aku bakal terkenal sebagai Evan si Pembunuh Raksasa. Orang yang menghajar
Conan the Barbarian Ia mengepalkan tangan dan mengacungkan tinju.
"Cuma segitu kepalan tanganmu?" Conan berseru sambil terbahak-bahak.
Evan mengangguk. "Oooh... aku bakal meraung-raung kesakitan!" Conan berkomentar dengan nada
mengejek. Semuanya tertawa Tunggu saja, pikir Evan dengan geram.
"Avo, pukul sekuat tenaga," Conan mendesaknya. Ia menghirup udara dan
menahan napas. Evan mengambil ancang-ancang dan melayangkan tinjunya sekeras mungkin.
Kepalan tangannya menimbulkan bunyi dug ketika menghantam perut Conan Evan
serasa memukul tembok beton.
Tangannya langsung berdenyut-denyut.
"Hei ...!" terdengar suara seorang pria.
Evan terenyak. Ia segera berbalik... dan melihat Mr Murphy melotot ke arahnya.
"Jangan berkelahi!" bentak Mr Murphy.
Guru itu bergegas menghampiri mereka, lalu berhenti di antara kedua muridnya.
Sambil terengah-engah ia berpaling kepada Conan. "Kenapa
Evan memukulmu" ia bertanya dengan ketus.
4 CONAN angkat bahu. Ia membelalakkan mata dan pasang tampang tak berdosa.
"Saya tidak tahu, Mr Murphy," ia menyahut pelan-pelan "Tiba-tiba saja Evan
mendatangi saya dan memukul perut saya dengan sekuat tenaga."
Conan mengusap-usap perutnya dan merintih tertahan, "Aduh. Sakit sekali."
Mr Murphy memicingkan matanya yang hitam ketika menatap Evan. Wajahnya
yang tembam kembali merah padam "Saya melihat semuanya, Evan. Saya
benar-benar tidak mengerti apa maumu," katanya.
"Tapi, Mr. Murphy..." Evan hendak membela diri.
Guru itu mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhnya diam "Kalau kau
kesal karena apa yang terjadi di ruang kelas tadi," ujar Mr. Murphy, "jangan
melampiaskannya kepada murid-murid yang lain."
Conan masih mengusap-usap perutnya "Moga moga tidak ada tulang yang
patah," gumamnya. "Kau perlu diantar ke ruang P3K?" tanya Mr. Murphy.
Conan menggelengkan kepala. Evan tahu bahwa anak itu berusaha keras agar
tidak tertawa. "Saya tidak apa-apa," Conan berkata, lalu pergi sambil huyung-
huyung. "Hah, pura-pura! pikir Evan dengan getir.
Apakah Conan dari pertama sudah tahu bahwa Mr. Murphy memperhatikan
mereka" Kemungkinan besar sih iya.
"Sana, urus Cuddles," Mr. Murphy. menyuruh Evan sambil mengerutkan
kening. "Dan jangan macam-macam lagi, Evan. Saya akan memperhatikanmu."
Evan bergumam tak jelas. Dengan gontai ia lalu kembali ke ruang kelas. Sinar
matahari masuk melalui deretan jendela. Angin kencang membuat tira jendela
yang terbuka di dekat meja guru berkibar-kibar.
Dengan dongkol Evan melintasi ruangan yang kosong, dan menghampiri
kandang hamsters. Cuddles mengerutkan hidung untuk menyambutnya.
Hamster itu sudah mulai terbiasa melihat kedatangan murid yang satu ini.
Evan menatap makhluk berbulu cokelat-putih di dalam kandang. Kenapa
hamster dianggap lucu oleh orang-orang" ia bertanya dalam hati.
Karena mereka bisa mengerutkan hidung" Karena mereka suka berlari-lari di
roda" Atau karena gigi mereka yang tonggos"
Cuddles menatap Evan dengan matanya yang kecil dan hitam.
Matanya persis seperti mata Mr. Murphy, pikir Evan sambil tertawa sendiri.
Mungkin ini sebabnya Mr. Murphy begitu senang padanya.
"Oke, oke. Kau memang rada lucu," Evan berkata kepada hamster itu "Tapi aku tahu
rahasiamu. Sebenarnya kau cuma tikus gendut yang sedang menyamar."
Cuddles kembali mengerutkan hidung.
Sambil mendesah panjang, Evan mulai bekerja. Ia menahan napas karena tidak
tahan bau serbuk gergaji yang bercampur baur dengan berbagai kotoran.
Kemudian ia menarik dasar kandang.
"Kau memang berantakan sekali," ia berkata kepada Cuddles. "Kapan. kau
mulai belajar membereskan tempat tinggalmu sendiri, heh?"
Sambil tetap menahan napas, ia membuang serbuk gergaji yang lama dan
menggantinya dengan yang baru, yang diambilnya dari kotak di lemari
perlengkapan. Ia mengembalikan dasar kandang ke tempat semula, sementara Cuddles
memperhatikannya dengan penuh perhatian. Kemudian ia menuangkan air
bersih ke botol minum. "Kau mau biji bunga matahari?" tanya Evan. Perasaannya mulai lebih enak,
karena tugasnya sudah hampir selesai.
Ia mengambil mangkuk makanan dan kandang, lalu menuju lemari
perlengkapan untuk mengambil biji bunga matahari.
"Oke, Cuddles," ia berseru, "Ini pasti lezat sekali!"
Ia kembali ke kandang hamster itu. Tapi Evan baru berjalan beberapa langkah
ketika ia berhenti memekik dengan suara tertahan.
Pintu kandang terbuka lebar.
Dan hamster itu telah lenyap.
5 EVAN serasa tercekik ketika menatap kandang yang kosong itu.
Dengan kalang kabut ia memandang berkeliling.
"Cuddles" Cuddles?" ia memanggil-manggil.
Kenapa aku harus teriak-teriak begini" ia bertanya pada dirinya sendiri sambil
berputar-putar dengan panik. Hamster tolol itu tidak tahu namanya Cuddles!
Ia mendengar suara langkah di lorong.
Mr. Murphy" Aduh... moga-moga bukan! Evan memohon dalam hati.
Moga-moga bukan Mr. Murphy. Moga-moga dia tidak muncul sebelum
Cuddles sudah masuk ke kandangnya lagi.
Cuddles merupakan milik Mr Murphy yang paling berharga. Sudah berulang
kali ia menegaskan hal tersebut di depan murid-muridnya.
Evan tahu betul bahwa kalau terjadi apa-apa dengan Cuddles, ia akan
merasakan pembalasan Mr Murphy sampai akhir tahun. Bukan - sampai akhir
hayatnya! Evan berdiri di tengah-tengah ruang kelas dan memasang telinga.
Suara langkah tadi berlalu.
Baru sekarang Evan berani bernapas lagi Cuddles.
"Di mana kau, Cuddles?"ia memanggil dengan suara bergetar "Aku punya biji bunga
matahari yang lezat untukmu."
Ia menemukan makhluk berbulu cokelat-putih di tempat kapur di bawah papan
tulis di depan. "Nah, ketemu!" bisik Evan sambil maju beringsut-ingsut.
Cuddles sedang asyik menggerogoti sesuatu. Sepotong kapur tulis.
Evan mendekat dengan hati-hati "Aku punya biji-bijian untukmu, Cuddles,"
bisiknya "Jauh lebih enak daripada kapur"
Ia maju perlahan-lahan. Semakin dekat.
"Lihat nih. Biji-bijian." Ia menyodorkan mangkuk plastik di tangannya ke hadapan
hamster itu. Cuddles tidak menoleh. Evan maju lagi. Perlahan-lahan.
Ia tinggal melompat dan...
....sialan! Hamster itu melepaskan kapur yang sedang digigitnya dan berlari menyusuri tempat
kapur. Sekali lagi Evan melompat - dan sekali lagi ia gagal menangkap buruannya.
Evan mendengus dengan kesal. Ia melihat Cuddles melompat ke lantai dan
kabur ke balik meja Mr Murphy. Kaki hamster itu terpeleset-peleset di lantai
linoleum, dan bunyi kukunya terdengar jelas:
"Kau tak bakal lolos! Kau terlalu gembrot!" seru Evan. Ia berlutut dan
mengintip ke bawah meja. Ia melihat Cuddles menatapnya dalam kegelapan. Binatang itu tersengal-sengal.
Tubuhnya mengembang dan mengempis setiap ia menarik dan mengembuskan
napas. "Jangan takut," Evan berbisik dengan nada menenangkan. "Aku cuma mau
mengembalikanmu ke kandangmu yang nyaman dan aman."
Ia mulai merangkak ke arah meja.
Hamster itu tetap menatapnya sambil tersengal-sengal. Ia tidak bergerak -
sampai Evan berusaha meraihnya. Begitu tangan Evan mendekat, Cuddles,
langsung kabur lagi. Evan bangkit sambil mengumpat tertahan "Cuddles. kenapa sih kau ini?" ia
menggerutu. "ini bukan permainan, tahu?"
Ini sama sekali bukan permainan, Evan tahu itu.
Kalau ia tidak berhasil mengembalikan hamster itu ke kandangnya, ia pasti akan
gagal dalam mata pelajaran Mr Murphy. Atau bahkan diskors! Bisa-bisa malah
seluruh keluarganya diusir dari Atlanta!
Jangan panik, Evan berusaha menenangkan diri. Jangan panik.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Kemudian ia melihat hamster itu di ambang jendela yang terbuka.
Oke, Evan... sekarang kau boleh panik. ia berkata dalam hati.
Ini memang saat yang tepat untuk panik.
Ia berusaha memanggil Cuddles. Tapi suaranya seperti tersangkut di
tenggorokan. Evan menelan ludah, dan mengendap-endap mendekati jendela.
"Sini, Cuddles, sini," bisiknya "Ayo... sini dong"
Semakin dekat, semakin dekat.
Hampir cukup dekat untuk meraih hamster itu.
Hampir cukup. "Jangan bergerak, Cuddles. Jangan bergerak."
Ia mengulurkan tangan. Perlahan-lahan.
Cuddles menatap Evan dengan matanya yang hitam.
Kemudian hamster itu melompat ke luar jendela.
6 EVAN sempat tersentak kaget.
Tapi kemudian ia segera melompat ke luar jendela untuk menyusul hamster itu.
Untung saja ruang kelas IPA berada di lantai dasar Evan terjerembap di semak-
semak. Ia menggeliat-geliat berusaha berdiri, tapi baru setelah beberapa saat ia
bisa tegak lagi. Ia berjalan beberapa langkah melintasi rumput, lalu berbalik dan menatap ke
bawah semak-semak, "Cuddles kau di bawah sana?"
Evan jongkok agar bisa melihat lebih jelas. Semak-semak itu menyusuri seluruh
panjang gedung sekolah Kalau Cuddles memang ada di sana, dia bisa
bersembunyi sampai hari kiamat tanpa ada yang dapat menemukannya.
Dan kalau dia tak bisa kutemukan, Evan berkata dalam hati, lebih baik aku ikut
bersembunyi di situ. Untuk selama-lamanya!
Di sebelah kanan, Evan bisa mendengar suara-suara dari lapangan bermain.
Suara-suara yang riang gembira. Suara-suara tawa yang lepas.
Masih sambil berjongkok, ia menoleh ke arah keramaian itu... dan melihat
sebuah bola gendut warna cokelat menggelinding di rumput.
Bukan. Bukan bola. "Cuddles!"
Kali ini hamster gembrot itu takkan lolos lagi. Evan memutuskan. Ia langsung
berdiri dan mengejar makhluk tersebut. Dia akan kutangkap, biarpun aku harus
mendudukinya. Sebuah bayangan melintas dalam benak Evan; Cuddles gepeng seperti panekuk
setelah diduduki Evan. Sebuah karpet hamster yang kecil, bulat, dan berbulu
tebal. Meski sedang panik, Evan mau tak mau tersenyum ketika membayangkan itu.
Ia terus berlari tanpa melepaskan pandangannya dari Cuddles. Hamster itu melesat
melintasi rumput menuju ke arah lapangan bermain.
"Ya Tuhan!" seru Evan ketika Cuddles memotong jalan dua gadis yang sedang ngebut
naik sepeda di rumput. Mereka sedang asyik tertawa-tawa dan sama sekali tidak memperhatikan
hamster itu. Cuddles bakal terlindas! pikir Evan dengan pasrah. Ia memejamkan mata dan
menanti bunyi "kres".
Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Kedua sepeda itu lewat begitu saja, dan
Cuddles selamat. Evan melihatnya terus berlari ke arah lapangan bermain.
"Cuddles... sini!" serunya dengan geram.
Hamster itu seakan-akan menambah kecepatanya. Ia masuk ke lapangan bisbol dan
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusuri garis base ketiga.
Beberapa anak berhenti bermain agar bisa melihat apa yang sedang terjadi.
"Tangkap dia! Tangkap hamster itu?" teriak Evan.
Tapi mereka cuma tertawa.
"Mau tahu caranya menangkapnya?" seru seorang pelawak bernama Robbie
Greene kepada Evan. "Coba tiru bunyi biji bunga matahari!"
"Ah, itu kan lelucon kuno" seru seorang gadis kepada Robbie.
"Bukannya membantu... ," Evan menggerutu. Ia berlari melintasi gundukan tanah
tempat melempar bola dan telah sampai di base kedua ketika menyadari bahwa ia
kehilangan jejak Cuddles.
Ia berhenti dan berbalik. Jantungnya berdebar-debar. Ia mengamati lapangan
rumput di hadapannya. "Mana... mana dia?" tanyanya sambil terengah-engah.
"Kalian melihatnya?"
Tapi anak-anak itu sudah kembali bermain bisbol.
Jangan sampai dia benar-benar hilang! Evan berkata dalam hati. Ia dicekam
panik. Jangan sampai! Butir-butir kenngat membasahi kening Evan. Ia menyekanya dengan sebelah
tangan, sekaligus mengusap rambutnya yang ikal dan merah. T-shirtnya basah kuyup
dan menempel pada punggungnya. Mulutnya terasa kering kerontang.
Ia berlari kecil sambil memandang berkeliling.
"Cuddles" Hamster itu tak tampak batang hidungnya.
Benda berwarna kecokelatan yang dilihat Evan tergeletak di rump?t ternyata
curna sebuah sarung tangan bisbol yang ketinggalan.
"Cuddles?" Sejumlah anak sedang bermain kickball di lapangan yang satu lagi. Mereka
berteriak-teriak dan bersorak-sorai. Evan melihat Bree Douglas, gadis teman
sekelasnya, meluncur mendului bola ke base kedua.
"Ada.. ada yang lihat Cuddles?" Evan bertanya sambil melangkah ke lapangan.
Para pemain menoleh dan menatapnya.
"Di luar sini?" tanya Bree sambil menepis debu melekat pada lutut celana Jeans-
nya "Memangnya kauajak dia jalan-jalan, Evan"
Semuanya tertawa. Tawa mengejek
"Dia.. dia kabur," balas Evan terengah-engah.
"Ini yang kaucari?" seru sebuah suara yang suara dikenalnya.
Evan berbalik dan melihat Conan Barber. Wajahnya yang tampan dihiasi
senyum, dan matanya biru berbinar-binar.
Conan memegang tengkuk hamster itu dengan sebelah tangan. Keempat kaki Cuddles
menggapai-gapai di udara.
"Kau.... kau berhasil menangkapnya" seru Evan dengan lega. Ia langsung
menarik napas panjang. "Dia melompat keluar dari jendela"
Evan mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil hamster itu, tapi. Conan cepat-
cepat menjauhkannya. "Coba buktikan ini hamster- mu , ujar Conan sambil nyengir.
"Hah!" "Kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" tanya Conan. Ia menatap Evan dengan
pandangan menantang. "Buktikan dulu ini memang hamster-mu."
Evan menelan ludah dan memandang berkeliling. Para pemain kickball mulai
berkerumun di sekelilingnya. Semuanya menanggapi kejailan Conan dengan
senyum lebar. Evan mendesah dan kembali berusaha meraih Cuddles.
Tapi Conan paling tidak tiga puluh senti lebih jangkung dari Evan. Hamster itu
diangkatnya tinggi-tinggi, di luar jangkauan tangan Evan.
"Ayo! Buktikan dong!" ia mengulangi sambil tersenyum kepada yang lain.
"Sudah deh, Conan," Evan memohon. "Aku sudah capek mengejar-ngejar
hamster konyol ini Aku cuma mau mengembalikan dia ke kandangnya sebelum Mr.
Murphy..." "Kau punya surat izin untuknya?" tanya Conan. Ia masih mengangkat Cuddles
di atas kepala Evan. "Mana surat izinnya, coba?"
Evan melompat dan berusaha merebut Cuddles dengan kedua tangannya.
Tapi Conan terlalu gesit. Ia langsung menghindar, dan Evan cuma menangkap
angin. Beberapa anak tertawa. "Berikan hamster- nya kepada dia," seru Bree. Sejak tadi dia belum beranjak dari
base kedua. Mata Conan yang biru tampak bersinar-sinar.
"Begini saja deh," ia berkata kepada Evan. "Aku tahu bagaimana caranya supaya
kau bisa mendapat hamster ini lagi."
Evan memelototinya. Ia sudah muak dengan permainan-permainan Conan.
"Begini," Conan melanjutkan, sambil mendekap hamster itu di dada dengan sebelah
tangan dan mengelus-elus punggungnya dengan tangannya satu lagi
'Nyanyikan sebuah lagu."
"Hei... nggak mau!" seru Evan. "Kembalikan Cuddles padaku Conan"
Evan merasakan wajahnya bertambah panas lagi. Lututnya mulai gemetaran. Ia
hanya bisa berharap bahwa tak ada yang memperhatikannya.
"Nyanyikan Row, Row, Row Your Boat, dan aku akan mengembalikan Cuddles," ujar
Conan sambil nyengir. Beberapa anak tertawa. Mereka melangkah maju karena ingin tahu apa yang
akan dilakukan Evan. Evan menggelengkan kepala "Tidak mau."
"Ayo dong," Conan mendesak sambil mengusap bulu hamster itu "Row, Row, Row Your
Boat. Beberapa bait saja. Kau tahu lagunya, kan?"
Semakin banyak anak yang tertawa.
Senyum Conan bertambah lebar "Ayo, Evan. Kau suka menyanyi, kan?"
"Tidak, aku benci menyanyi," Evan bergumam sambil menatap Cuddles.
"Hei, jangan berlagak merendah," Conan berkeras. "Aku yakin kau penyanyi
yang baik. Suaramu sopran atau alto?"
Sekali lagi terdengar tawa berderai.
Evan mengepalkan tangan. Ia memukul Conan. Memukulnya dan memukulnya
lagi. Ia ingin menghapus senyum di wajah Conan dengan tinjunya.
Tapi ia masih ingat bagaimana rasanya memukul Conan. Rasanya seperti
memukul bak truk. Ia menarik napas panjang "Kau bakal mengembalikan Cuddles kalau aku mau
menyanyikan lagu konyol itu?"
Conan tidak menjawab. Tiba-tiba Evan menyadari bahwa Conan tak lagi menatapnya. Anak-anak lain
pun begitu. Semuanya memandang ke belakang Evan.
Evan berbalik dengan bingung dan berhadapan dengan Mr Murphy.
"Ada apa ini?" si guru bertanya.
Pandangannya beralih dan Evan ke Conan, lalu kembali pada Evan.
Sebelum Evan sempat menyahut, Conan sudah menyodorkan hamster itu "Ini Cuddles,
Mr.. Murphy," kata Conan. "Dia kabur gara-gara Evan. Tapi saya
masih sempat menyelamatkannya. Dia hampir terlindas tadi."
Mr Murphy memekik tertahan "Hampir terlindas ?" serunya "Cuddles" Hampir
terlindas?" Guru itu mengulurkan tangan dan mengambil kesayangannya dari tangan
Conan. Kemudian ia mendekapnya dengan erat, mengusap-usap dan
mengeluarkan suara-suara menenangkan..
"Terima kasih, Conan," Mr Murphy berkata, lalu memelototi Evan. "Saya
kecewa sekali, Evan."
Evan hendak membela diri tapi Mr Murphy mengangkat sebelah tangan untuk
menyuruhnya diam. "Besok kita akan membahas kejadian ini. Sekarang saya
harus mengembalikan Cuddles yang malang ke kandangnya"
Evan terduduk di tanah. Ia memperhatikan Mr Murphy membawa Cuddles
kembali ke gedung sekolah. Cara Mr. Murphy berjalan persis sama dengan
hamster- nya , Evan menyadari.
Dalam keadaan biasa, ia pasti akan tersenyurn sendiri.
Tapi Evan terlalu murung untuk bisa dihibur oleh apa pun.
Conan telah mempermalukannya di depan anak lain. Dan gara-gara tukang
pukul yang suka nyengir itu Evan dua kali berturut-turut dimarahi Mr Murphy!
Permainan kickball sudah dimulai lagi.
Evan bangkit dengan lesu. Dengan langkah gontai ia kembali ke gedung sekolah
untuk mengambil ranselnya.
Ia tidak bisa memutuskan siapa yang lebih dibencinya - Cuddles atau Conan.
Tiba-tiba ia membayangkan Cuddles di dalam kaleng biskuit sedang
dipanggang di dalam oven.
Tapi bayangan indah itu pun tak berhasil menghibur Evan.
Ia mengeluarkan ranselnya dari locker, lalu menyandangnya di bahu. Kemudian ia
membanting pintu locker. Bunyinya terdengar bergema di lorong yang sepi.
Evan keluar dari gedung sekolah dan mulai berjalan pulang. Ia berjalan
pelanpelan. Perasaannya kacau-balau. Ini benar-benar hari yang buruk, ia berkata dalam hati. Tapi paling tidak, untuk
hari ini tak mungkin terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi.
Ia baru saja menyeberang jalan dan sedang menyusuri trotoar yang
berdampingan dengan pagar tanaman yang tinggi.... ketika ia disergap dari
belakang. Bahunya digenggam dengan keras, dan kemudian ia ditarik dengan
kasar sampai terjatuh. Evan memekik kaget dan menatap wajah penyerangnya. "Kau!" serunya.
7 "Aku punya saran untukmu, Evan," ujar Andy sambil nyengir "Jangan coba-coba ikut
tim gulat." "Andy!" Evan berseru. Ia menatap gadis itu sambil terheran-heran. "Kau kok ada
di sini?" Andy mengulurkan kedua tangannya, membantu Evan berdiri. Matanya yang
cokelat tampak bersinar-sinar.
"Kau tidak baca surat-suratku?" ia bertanya.
Evan berkenalan dengan Andy pada musim panas yang lalu, waktu ia berlibur
di rumah nenek selama beberapa minggu. Ia dan Andy kemudian berteman baik.
Andy ikut ketika Evan membeli Darah Monsters. Dan bersama-sama mereka
kemudian menjalani petualangan Darah Monster yang menakutkan.
Evan menyukai Andy karena gadis itu lucu, tak kenal takut, dan agak sinting.
Evan tak pernah bisa meramalkan apa yang bakal diperbuatnya.
Penampilan Andy pun bukan seperti gadis-gadis lain yang dikenal Evan. Andy
suka warna-warna mencolok. Sekarang ini ia mengenakan T-shirt k ungu-unguan
tanpa lengan, dengan celana pendek kuning terang yang serasi dengan
sepatu ketsnya yang juga kuning.
"Dalam suratku yang terakhir aku sudah bilang orangtuaku bertugas di luar negeri
selama setahun," Andy berkata sambil mendorong Evan secara bergurau
"Aku kan sudah bilang mereka menitipkan aku di rumah paman dan bibiku di
Atlanta. Dan aku juga sudah bilang aku bakal tinggal cuma tiga blok dari
rumahmu." "Aku tahu. Aku tahu," balas Evan sambil memutar-mutar bola matanya "Aku
cuma tidak menyangka kau bakal menyergapku dari belakang."
"Kenapa tidak?" tanya Andy Matanya yang gelap menatap mata Evan.
Evan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Kau senang ketemu aku?" tanya Andy.
"Tidak," Evan berkelakar.
Andy mencabut sebatang rumput dan menyelipkannya ke sudut mulutnya.
Mereka mulai berjalan ke arah rumah Evan.
"Senin besok aku mulai sekolah di sekolahmu," Andy berkata sambil
menggigit-gigit batang rumputnya.
"Wah, gawat," balas Evan.
Andy langsung mendorongnya sampai turun dari trotoar. "Katanya orang di
daerah Selatan sopan-sopan. "
"Aku baru pindah," Evan menyahut.
"Bagaimana kabarnya Trigger?" tanya Andy sambil menendang sebuah kerikil.
"Baik," jawab Evan.
"Kau lagi sakit gigi, ,ya?" Andy menyindir karena Evan sepertinya enggan
mengobrol dengannya. "Aku lagi kesal," Evan mengakui "Semuanya serba kacau hari ini."
Tapi tidak mungkin lebih kacau dibandingkan waktu Darah Monster
mengamuk?" Andy berseru.
Evan mengerang tertahan. "Tolong jangan sebuti Darah Monster, oke?"
Andy mengamatinya dengan saksama Roman mukanya mendadak serius. "Ada
apa sih, Evan" Sepertinya kau kesal sekali," ia berkata "Kau tidak tinggal di
sini." Evan menggelengkan kepala "Tidak terlalu" sambil berjalan, Evan
menceritakan semua masalah yang ia alami di sekolahnya yang baru. Ia
bercerita tentang Mr Murphy dan Cuddles, dan bagaimana guru itu seakan-akan
tak bosan-bosannya mengusiknya.
Ia juga bercerita tentang Conan the Barbarian, bagaimana Conan selalu jail
terhadapnya, dan selalu mempermainkan dan mengolok-oloknya.
"Dan tak ada yang mau percaya soal Darah Monster," Evan menambahkan.
Mereka telah sampai di depan pekarangan rumah Evan. Mereka memandang ke
rumahnya yang baru, sebuah rumah batu bata berlantai dua dengan atap yang landai. Matahari sore
menghilang di balik gumpalan awan, dan sebuah bayangan lebar merayap ke
rumput di pekarangan. Andy terbengong-bengong. Rumput di mulutnya jatuh ke trotoar. "Kau cerita soal
Darah Monster kepada anak-anak di sini?" ia bertanya dengan heran. .
Evan mengangguk "Yeah, kenapa tidak" Ceritanya cukup seru, kan?"
"Dan kaupikir mereka bakal percaya?" seru Andy sambil menepuk keningnya dengan
sebelah tangan. "Mereka pasti menganggapmu aneh."
"Yeah," balas Evan dengan getir "Mereka semua menganggapku aneh."
Andy tertawa. "Hmm, kau memang aneh!"
"Terima kasih banyak, Annnndrea!", gumam Evan. Ia tahu Andy paling sebal
kalau ada orang yang memanggilnya dengan nama sesungguhnya.
"Jangan panggii aku Andrea," balas gadis itu dengan ketus. Ia mengacungkan
tinjunya. "Atau kuhajar kau." "Annnndrea," Evan mengulangi, lalu cepat-cepat membungkuk ketika Andrea
melayangkan pukulan. "Kau memukul seperti cewek?" seru Evan
"Dan hidungmu bakal berdarah seperti cowok!" Andy mengancam sambil tertawa,
Evan berhenti. Tiba-tiba saja ia mendapatkan ide. "Hei kau bisa menjelaskan
kepada semua orang bahwa aku tidak mengada-ada!"
"Hah"'Untuk apa"'t tanya Andrea.
"Aku serius," Evan berkata dengan penuh semangat. "Kau bisa memberitahu semua
orang di Sekolah bahwa Darah Monster memang ada. Kau ada di sana
waktu itu. Kau juga melihatnya."
Roman muka Andy mendadak berubah. Matanya yang gelap tampak bersinar-
sinar dan ia tersenyum penuh arti "Aku punya ide yang lebih bagus lagi," Ia
berkata dengan misterius.
Evan langsung meraih pundak Andy. "Hah" Apa maksudmu" Ide apa yang
lebih bagus lagi ?" "Lihat saja nanti," balas Andy "Aku bawa sesuatu"
"Apa" Apa yang kaubawa" Apa maksudmu?" Evan menuntut penjelasan.
"Temui aku seusai sekolah besok," Andy memberitahunya "Di taman kecil di
sana" Ia menunjuk ke blok berikut. Sebuah taman sempit, sepanjang beberapa blok,
menyusuri sebuah kali kecil.
"Apa sih yang kaubawa?" desak Evan. Ia merasa penasaran sekali.
Andy tertawa "Aku paling senang menyiksamur' katanya. "Tapi ini terlalu mudah"
Kemudian ia berbalik dan berlari pergi.
"Andy... tunggu!", Evan memanggilnya. "Apa sih yang kaubawa" Beritahu aku
dong!" Tapi gadis itu tak menggubrisnya Menoleh pun tidak.
8 MALAM itu Evan bermimpi tentang Darah Monster.
Hampir setiap malam ia memimpikannya.
Kali ini ia bermimpi ayahnya tanpa sengaja memakan segumapal Darah
Monster. Kini Mr. Ross hendak berangkat ke kantornya. Tapi badannya sudah
terlalu besar untuk melewati pintu.
"Ini pasti gara-gara kau, Evan" Mr Ross berseru dengan suara bergemuruh yang
membuat seluruh rumah terguncang "Awas, kali ini kau dapat masalah besar"
Masalah besar. Kata-kata tersebut terngiang-ngiang di telinga Evan ketika ia duduk di tempat
tidur dan berusaha menyingkirkan mimpi itu dari pikirannya.
Tirai di kamar tidurnya bergerak tanpa suara di depan jendela yang terbuka.
Bintang-bintang tampak pucat di langit yang hitam pekat. Evan memicingkan
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya dan melihat susunan rasi bintang Ursa Mayor. Atau Ursa Minor" Dan
dulu tak pernah bisa membedakan keduanya.
Evan memejamkan matanya, lalu meletakkan kepalanya di bantal. Ia
memikirkan Andy. Ia senang Andy akan tinggal di Atlanta selama beberapa
waktu. Gadis itu enak diajak berteman, meskipun tingkahnya kadang-kadang
agak menyebalkan. "Kira-kira apa yang hendak ditunjukkannya di taman besok"
Paling-paling tidak ada apa-apa, Evan menebak paling-paling cuma lelucon
konyol. Andy memang memang suka membuat lelucon konyol.
Bagaimana aku membujuknya supaya dia mau menceritakan soal Darah
Monster kepada anak-anak di sekolah" Evan bertanya-tanya. Bagaimana
caranya aku bisa membujuk Andy untuk menjelaskan kepada semua orang
bahwa aku tidak mengada-ada, bahwa cerita itu memang benar"
Evan masih memikirkan persoalan ini ketika akhirnya ia tertidur dengan
gelisah. *** Keesokan harinya, di sekolah ternyata sama saja dengan hari sebelumnya.
Waktu jam pelajaran bebas, Conan merangkak ke arah meja Evan dan mengikat
tali sepatu kiri dan kanannya. Waktu Evan berdiri untuk pergi ke
kamar kecil, ia langsung jatuh terjerembap. Lututnya lecet sebelah, tapi tak ada
yang peduli. Anak-anak yang lain tertawa sampai berjam-jam.
"Ibunya Evan salah mengikat tali sepatunya tadi pagi!" Conan berkoar. Dan
kelakarnya itu disambut dengan tawa yang lebih keras lagi.
Waktu jam pelajaran IPA, Mr Murphy menyuruh Evan menghampiri kandang
hamster. "Coba lihat Cuddles yang; malang," guru itu berkata. Digeleng-
gelengkannya kepalanya yang bulat dengan sikap prihatin.
Evan menatap ke dalam kandang. Cuddles terbaring di sudut di bawah
tumpukan serbuk gergap Hamster itu gemetaran dan napasnya terengah-engah.
"Sejak kejadian kemarin, Cuddles terus menderita seperti ini," Mr Murphy
berkata sambil mengerutkan kening. Ia menatap Evan dengan pandangan
menyalahkan, "Cuddles jatuh sakit karena kecerobohanmu."
"Saya... saya minta maaf," Evan tergagap-gagap. Ia mengamati hamster itu dengan
tajam. Kau cuma pura-pura... ya, kan,Cuddles" Evan berkata, dalam
hati. Kau cuma pura-pura sakit supaya aku kena marah!
Hamster itu menggigil dan matanya yang hitam menatap Evan dengan
pandangan sedih. Ketika Evan kembali duduk di kursinya, ia merasakan air dingin meresap ke
celananya. Ia memekik kaget dan langsung berdiri lagi. Seseorang -
kemungkinan besar sih Conan - telah menuangkan secangkir air ke tempat
duduknya. Akibatnya sudah bisa ditebak. Seluruh kelas terbahak-bahak selama paling tidak
sepuluh menit. Anak-anak itu baru berhenti ketika Mr. Murphy mengancam
bahwa mereka takkan diizinkan pulang saat bel berbunyi.
"Duduk, Evan," guru itu memerintahkan.
"Tapi, Mr. Murphy.. .," Evan angkat bicara.
"Duduk... dan jangan, coba-coba membantah!" Mr Murphy berkeras.
Evan terpaksa menduduki kursinya yang basah. Apa lagi yang dapat
dilakukannya" *** Andy telah menanti Evan di kali kecil berair yang membelah taman mungil itu.
Pohon-pohon sassafras terayun-ayun dan berdesir-desir karena tiupan angin
yang panas. Sebatang pohon
pinus Georgia tumbuh miring di atas air, seakan-akan hendak menjangkau tepi
seberang kali. Andy mengenakan T-shirt biru cerah dan celana pendek hijau manyala. Sudah agak
lama ia mengamati bayangannya sendiri pada permukaan air yang keruh.
Ketika Evan memanggilnya, ia langsung berbalik sambil tersenyum.
"Bagaimana di sekolah tadi?" tanya Andy.
"Sama seperti biasa," balas Evan sambil mendesah. Kemudian roman mukanya
bertambah cerah, "Apa yang kaubawa?" tanyanya penuh semangat.
"Sabar dong." Andy menghalangi pandangan Evan dengan sebelah tangan.
"Tutup matamu, Evan. Dan jangan buka sebelum aku bilang boleh."
Dengan taat Evan memejamkan mata. Tapi ketika Andy menarik tangannya,
Evan membuka matanya sedikit, sekadar agar bisa mengintip. Ia melihat Andy
membungkuk di balik pohon pinus dan memungut sebuah kantong kertas
berwarna cokelat. Kemudian Andy kembali menghampiri Evan sambil membawa kantong itu.
"Kau mengintip... ya, kan?" tuduhnya.
"Mungkin," Evan mengakui sambil nyengir. Dengan bergurau Andy menonjok
perutnya. Evan mengaduh dan membuka mata. "Apa isi kantong itu?"
Andy segera menyerahkan kantongnya.
Evan membukanya, mengintip ke dalam dan langsung melongo.
Kaleng biru yang takkan pernah dilupakannya. Kira-kira sebesar kaleng susu
kental manis. "Andy kau kau," Evan tergagap-gagap. Ia terus menatap isi kantong itu dengan
mata terbelalak. Ia meraih ke dalam dan mengeluarkan kalengnya. Ia membaca labelnya yang
telah memudar DARAH MONSTER.
Kemudian ia membaca tulisan di bawahnya yang tercetak dengan huruf-huruf
kecil LENDIR AJAIB. "Aku menyimpannya," ujar Andy dengan bangga.
Evan belum pulih dari rasa kagetnya. "Kau bawa Darah Monster! Ya ampun!
Kau bawa Darah Monster!"
"Bukan." Andy menggelengkan kepala "Kalengnya kosong, Evan. Kalengnya
sudah kosong." Evan langsung lesu. Ia mendesah dengan kecewa.
"Tapi kau bisa memperlihatkannya kepada anak-anak di sekolahmu," Andy
menambahkan "ini bukti nyata bahwa kau tidak mengada-ada. Ini bukti nyata
bahwa Darah Monster benar-benar ada"
Evan kembali mendesah "Apa gunanya kaleng kosong?" ia menggerutu.
Ia membuka tutupnya, mengintip ke dalam dan menjerit.
9 DENGAN tangan gemetaran, Evan memiringkan kaleng agar Andy bisa melihat
ke dalamnya "Ya Tuhan" gadis itu memekik sambil menempelkan kedua tangan ke pipi.
Kaleng itu setengah penuh.
Di dalamnya, segumpal Darah Monster berwarna hijau tampak berkilau karena
terkena cahaya matahari. Sepintas lalu kelihatannya seperti agar-agar.
"Tapi tadi kaleng ini masih kosong!" Andy memprotes sambil mendelik "Aku yakin
kaleng ini kosong!" Evan mengguncang-guncangkan kaleng Gumpalan hijau di dalamnya ikut
bergoyang. "Mungkin ada setitik Darah Monster yang tersisa," Evan menduga-duga "Di
dasar kaleng. Dan sekarang tumbuh dan tumbuh lagi."
"Malah bagus!" seru Andy. Ia menepuk punggung Evan dengan begitu keras,
sehingga kaleng biru di tangan Evan nyaris terlepas.
"Bagus" Apanya yang bagus?" tanya Evan.
"Sekarang kau bisa menunjukkan ini kepada anak-anak di sekolahmu," Andy
menyahut "Sekarang mereka harus percaya padamu"
"Benar juga," Evan bergumam
"Oh! Aku ada ide yang lebih bagus" seru Andy, dan matanya yang gelap
langsung berbinar-binar. "Oh-oh," ujar Evan pelan-pelan.
"Masukkan sedikit ke makan siang Conan besok. Kalau dia mulai tumbuh
sampai sebesar kuda nil, semua orang akan melihat sendiri bahwa Darah
Monster benar-benar ada."
"Jangan?" seru Evan. Ia mendekap kaleng biru itu seakan-akan hendak menjaganya
dari Andy. "Sekarang saja Conan sudah terlalu besar!" ia berkata sambil mundur
selangkah "Jangan sampai dia tumbuh lagi, biarpun cuma satu
inci. Kau tahu apa yang bisa dilakukannya padaku kalau dia jadi raksasa?"
Andy tertawa dan angkat bahu "Ini kan cuma usul."
"Usul yang buruk," kata Evan dengan ketus. "Benar-benar buruk"
"Dasar penakut," Andy mengejeknya. Ia melompat maju dan mencoba merebut kaleng
itu dari tangan Evan. Evan cepat-cepat berbalik dan membelakangi Andy. Ia sampai membungkuk
untuk melindungi kaleng tersebut.
"Ayo, serahkan padaku" Andy berseru sambil tertawa. Ia mulai menggelitik
pinggang Evan. "Serahkan! Serahkan!"
"Tidak" Evan memprotes, lalu kabur ke arah semak belukar yang aman.
"Itu punyaku!" Andy menegaskan. Ia mengejar Evan sambil bertolak pinggang,
"Kalau kau tidak mau memakainya, lebih baik kembalikan saja!"
Tapi Evan tidak mau menyerah begitu saja. Roman mukanya menjadi serius.
"Andy, kau sudah lupa, ya?" serunya dengan nada melengkmg "Kau sudah lupa
betapa menakutkatkannya Darah Monster" Betapa berbahayanya" Betapa
banyak masalah yang timbul dulu?"
"Jadi?" Andy balik bertanya. Pandangannya melekat pada kaleng biru itu.
"Kita harus menyingkirkannya," Evan berkata dengan tegas "Kita tidak boleh
membiarkannya keluar dari kaleng. Darah Monster ini bakal tumbuh, tumbuh,
dan tumbuh, dan tak ada yang bisa menghentikannya."
"Lho, kupikir kau mau memperlihatkannya kepada teman-teman sekelasmu,
untuk membuktikan bahwa Darah Monster benar-benar ada."
"Tidak," Evan memotong, "Aku berubah pikiran. Itu terlalu berbahaya. Kita harus
menyingkirkannya" Ia menatap Andy dengan tajam. Tampangnya
kelihatan kencang karena ngeri. "Andy, gara-gara Darah Monster ini aku
sempat bermimpi buruk setiap malam. Aku tidak mau bermimpi buruk lagi."
"Oke, oke," gumam Andy. Ia menendang akar pohon yang menyembul dari
permukaan tanah. Kemudian menyerahkan kantong kertas tadi kepada Evan.
Evan segera memasang tutup kaleng Darah Monster. Kemudian kalengnya
dimasukkan kembali ke kantong. "Nah, sekarang bagaimana cara kita
menyingkirkannya?" ia bertanya.
"Aku tahu. Buang saja ke kali," Andy mengusulkan.
Evan menggelengkan kepala "Jangan Bagaimana kalau lendirnya sampai
meresap keluar dari kaleng dan menimbulkan polusi di kali."
"Kali ini sudah kena polusi" seru Andy "Lihat saja, kali ini lebih pantas
disebut kubangan." "Lagi pula, kalinya kurang dalam," Evan menandaskan , "Pasti ada orang yang
menemukan kaleng ini dan mengeluarkannya dari air. Kita tidak boleh ambil
risiko." "Kalau begitu, bagaimana dong caranya menyingkirkan Darah Monster ini?"
tanya Andy sambil berkonsentrasi Wajahnya sampai berkerut-kerut Hmmmm
Bagaimana kalau kita makan saja" Beres, kan?"
"Lucu sekali," Evan bergumam sambil memutar-mutar bola mata.
"Hem, aku cuma mau membantu," Andy membela diri.
"Tapi bukan begitu caranya!" balas Evari dengan ketus.
"Huh, ngomel melulu," Andy menggerutu, lalu menjulurkan lidah.
"Bagaimana kita bisa menyingkirkannya?" Evan mengulangi sambil memegang
kantong itu dengan kedua tangan, "Bagaimana caranya?"
"Aku tahu caranya!" seru seseorang tiba-tiba Evan dan Andy sama-sama kaget.
Conan Barber muncul dari balik semak-semak. "Berikan saja kepadaku" anak
itu berkata. Dan dengan tangannya yang berotot ia berusaha merebut kantong
kertas tersebut. 10 TERBURU-BURU Evan menyembunyikan kantong itu di balik punggungnya.
Conan menghampiri mereka. Ia menatap Evan sambil memicingkan mata.
Wah, sudah berapa lama dia bersembunyi di sana" Evan bertanya-tanya.
Jangan-jangan dia sempat mendengar Andy dan aku bicara soal Darah Monster!
Jangan-jangan justru karena itulah dia mengincar kantong ini!
"Hai, aku Andy," Andy berk?ta dengan riang. Sambil tersenyum kepada Conan,
ia melangkah ke antara kedua anak itu.
"Andy nama cowok," ujar Conan sambil mengerutkan hidung, lalu menatap
Andy dengan pandangan menantang.
"Dan Conan" Nama apa itu?" sahut Andy sambil membalas tatapannya.
"Hei, kau kenal aku" tanya Conan Sepertinya ia terheran-heran.
"Kau cukup terkenal," Andy menjawab singkat.
Tiba-tiba Conan teringat lagi kepada Evan. Langsung saja ia mengulurkan
tangannya yang besar. "Mana kantong itu?"
"Kenapa harus kuberikan padamu?" tanya Evan. Ia berusaha agar suaranya tetap
tenang. "Karena kantong itu milikku," Conan berbohong "Tadi jatuh di sini."
"Kau kehilangan kantong kosong di sini?" tanya Evan.
Conan mengusir seekor lalat yang hinggap di rambutnya yang pirang "Kantong
itu tidak kosong. Aku melihat kau memasukkan sesuatu. Ayo, kembalikan.
Cepat." "Ehm... oke. Evan menyerahkan kantong kertas itu.
Conan segera merogoh ke dalamnya. Tangannya meraba-raba, tapi tidak
menemukan apa-apa. Ia mengintip ke dalam kantong Ternyata memang kosong. Kemudian ia
menatap Andy dengan tajam, lalu beraith kepada Evan
"Aku kan sudah bilang, kantong itu kosong," ujar Evan
"Barangkah aku keliru," Conan bergumam "Hei, tidak apa-apa, kan" Ayo, kita
salaman." Conan menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Evan.
Dengan enggan Evan mengulurkan tangannya. Conan segera meraih tangan
Evan dan menggenggamnya dengan erat Semakin erat.
Jari-jemari Evan mengeluarkan bunyi kertak-kertak,bagaikan pohon tumbang!
Conan meremas-remas tangan Evan dengan keras, sampai Evan berteriak
kesakitan. Ketika Conan akhirnya melepaskan tangan Evan, tangan itu tampak
merah seperti sepotong daging hamburger mentah.
"Wow, genggamanmu boleh juga!" seru Conan sambil tersenyum mengejek.
Kemudian ia menjentikkan jan ke hidung Andy, lalu - sambil tertawa - menuju
jalanan. "Ramah sekali," Andy bergumam sambil menggosok-gosok hidung.
Evan meniup-niup tangannya, seakan-akan herusaha memadamkan kebakaran
"Barangkali aku harus jadi kidal," keluhnya
"Hei Darah Monster-nya mana?" tanya Andy
"Aku aku menjtuhkannya," balas Evan, yang masih sibuk mengamati
tangannya. "Hah" Andy menendang sebongkah tanah berumput lalu menghampiri Evan.
"Tadinya kupikir bisa kuselipkan ke kantong belakangku sementara Conan
bicara denganmu," Evan menjelaskan "Tapi tahu-tahu malah jatuh"
Ia berbalik, lalu membungkuk dan memungut kaleng itu dari tanah. "Untung
saja tidak menggelinding. Conan pasti akan melihatnya."
"Ah, biar saja. Dia toh tidak tahu apa kegunaannya," Andy berkomentar
"Tapi sekarang bagaimana nih?" tanya Evan "Belum apa-apa Darah Monster ini sudah
bikin masalah. Kita harus menyembunyikannya, atau membuangnya,
atau.. atau..." Ia mernbuka tutup kaleng "Oh, wow! Lihat nih!" Evan menyodorkan kaleng itu
ke hadapan Andy. Lendir hijau itu sudah nyaris memenuhi seluruh kaleng
"Tumbuhnya jauh lebih cepat. Mungkin karena sudah kena udara."
Evan langsung kembali memasang tutup kaleng rapat-rapat.
"Kita kubur saja deh," Andy mengusulkan "Di sini. Di bawah pohon ini. Kita
gali lubang yang dalam, terus kita timbun dengan tanah"
Evan menyukai ide yang sederhana dan mudah dikerjakan itu.
Mereka jongkok dan mulai menggali dengan tangan. Tanah di bawah pohon
ternyata gembur. Dalam waktu singkat mereka telah berhasil menggali lubang
yang cukup dalam. Evan memasukkan kaleng biru berisi Darah Monster itu ke lubang. Kemudian
mereka cepat-cepat menimbunnya Tanahnya diratakan lagi, Sehingga takkan
ada yang tahu bahwa di situ pernah ada lubang.
"Inii rencana bagus," ujar Andy sambil bangkit. Dengan jail ia menggunakan
bagian belakang T-shirt Evan sebagai lap untuk tangannya "Kalau kapan-kapan
membutuhkannya, kita tinggal mengambilnya di sini."
Rambut Evan yang merah menempel di keningnya karena basah oleh keringat.
"Hah Untuk apa kita membutuhkan Darah Monster?" tanyanya.
Andy angkat bahu, "Siapa tahu?"
"Kita takkan membutuhkannya," Evan berkata dengan tegas "Takkan pernah"
Tapi ia keliru, keliru sekali.
11 "Wah, sedang apa nih?" Evan bertanya sambil masuk ke garasi.
Mr. Ross berhenti mengetok, lalu berbalik. Ia tersenyum kepada putranya. "Mau
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat karyaku yang terbaru?"
"Yeah. Tentu," balas Evan. Setiap akhir pekan ayahnya menghabiskan waktu
berjam-jam di garasi dengan mengetok-ngetok lembaran logam untuk
menciptakan 'karya' baru.
Ia memahat, memalu, menggergaji, dan menghabiskan banyak waktu untuk
patung-patungnya. Tapi di mata Evan, karya-karya itu tak lebih dari lembaran-
lembaran logam yang penyok.
Mr. Ross mundur beberapa langkah untuk mengagumi patung yang sedang
dikerjakannya. Ia menurunkan palu besar yang dipegangnya di tangan kanan
lalu menunjuk dengan pahat di tangan kirinya, "Untuk yang ini aku memakai
kuningan," ia memberitahu Evan. "Judulnya Daun Musim Gugur."
Evan mengamatinya sambil mengerutkan kening. "Memang mirip daun," ia
berbohong. Kenapa Dad harus merusak lembaran kuningan ini" Ia bertanya
dalam hati "Aku tidak mau membuat daun," Mr Ross meralat ucapan Evan. "Patung ini
mencerminkan kesanku tentang daun."
"Oh" Evan menggaruk-garuk rambutnya yang merah sambil kembali
mengamati patung itu "Bagus juga," ia berkata "Aku langsung bisa menangkap
maksud Dad." Kemudian pandangannya beralih "Hem.... apa ini?"
Dengan hati-hati Evan melangkahi beberapa potong logam yang tajam.
Kemudian ia menghampiri patung logam lain dan meraba-raba permukaannya
yang mulus dan mengilap. Patung itu berupa tabung aluminium yang dipasang
pada sepotong kayu datar.
"Coba putar," Mr Ross menginstruksikan sambil tersenyum bangga.
Dengan kedua tangannya Evan mendorong tabung itu, yang lalu berputar
perlahan. "Judulnya Roda," ayahnya menjelaskan.
Evan tertawa "Wah, hebat Dad menciptakan roda!"
"Jangan tertawa" balas Mr Ross sambil tersenyum "Patung itu diterima untuk
kompetisi seni tahunan di sekolahmu. Beberapa hari lagi aku akan
membawanya ke auditorium untuk dipamerkan."
Evan memutar Roda sekali lagi "Aku yakin cuma Dad yang membuat roda yang benar-
benar bisa berputar," ia berkata. "Dad pasti menang deh,!" ia menggoda.
"Sindiran adalah bentuk humor yang paling rendah," Mr Ross bergumam
sambil mengerutkan kening.
Evan berpamitan lalu keluar dari garasi. Ia harus berhati-hati agar tidak
menginjak potongan-potongan kuningan dan seng yang tergeletak di mana-
mana. Ketika menuju rumah, ia kembali mendengar bunyi klontang, klontang,
klontang, yang menandakan bahwa ayahnya telah mulai bekerja lagi.
*** Seusai jam pelajaran pada han Senin, Evan membelok di lorong sekolah dan
bertabrakan dengan Andy "Aku lagi terburu-buru," ia berkata sambil terengah-
engah "Aku telat untuk uji coba basket."
Ia menatap lorong panjang yang sepi. Pintu aula olahraga di ujung membuka,
dan ia mendengar bunyi bola basket memantul-mantul di lantai.
"Kenapa kau bisa telat?" tanya Andy.
"Mr Murphy menahanku di kelas," Evan bercerita sambil mendongkol "Aku
dapat tugas tetap untuk membersihkan kandang hamster. Aku harus mengurus Cuddles
setiap sore selama hidupku."
"Oh, gawat," Andy bergumam.
"Itu belum apa-apa," balas Evan dengan getir.
"Ada apa lagi?"
"Mr Murphy merangkap sebagai pelatih basket!"
"Wah, selamat berjuang," ujar Andy "Mudah-mudahan saja kau terpilih untuk
ikut tim." Evan langsung kembali berlari. Jantungnya berdebar-debar.
Mr. Murphy memang brengsek, ia mengomel dalam hati. Dia pasti menolak aku
masuk tim karena aku terlambat latihan... padahal gara-gara dia aku jadi telat!
Evan menarik napas panjang. Jangan. Jangan berpikir begitu, ia menegur
dirinya sendiri. Berpikir positif. Aku harus berpikir positif.
Memang, aku tidak sejangkung anak-anak lain. Mungkin juga tidak sekekar
atau sekuat mereka. Tapi aku pemain basket yang cekatan. Dan aku bisa masuk
tim sekolah. Aku bisa masuk tim. Aku tahu aku bisa
Setelah membesarkan hati sendiri, Evan membuka pintu aula dan memasuki
ruangan yang terang benderang itu.
"Hei... tangkap!" sebuah suara berseru.
Wajah Evan seolah-olah meledak.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
12 KETIKA Evan membuka mata, ternyata Mr. Murphy dan sekitar dua puluh
anak sedang menatapnya. Ia telentang di lantai aula. Wajahnya masih nyeri. Nyeri sekali.
Ia mengangkat sebelah tangan dan memegang-megang hidungnya, yang terasa
bagaikan daun selada yang layu.
"Kau tidak apa-apa, Evan?" tanya Mr Murphy. Guru itu membungkuk di atas Evan,
dan peluit yang tergantung di lehernya membentur-bentur dada Evan.
"Apakah... apakah muka saya meledak?" Evan bertanya perlahan-lahan.
Beberapa anak tertawa cekikikan. Mereka segera terdiam ketika Mr Murphy
memelototi mereka dengan gusar. Kemudian ia kembali berpaling kepada Evan
"Kau kena lemparan bola dari Conan," ia menjelaskan.
"Refleksnya payah, Coach," Evan mendengar Conan berkata walaupun tidak
bisa melihatnya. "Mestinya dia menangkap operan saya. Saya pikir ia bakal
menangkap bolanya. Tapi ternyata refleksnya payah"
"Ya, saya melihat semuanya," Biggie Malick, teman Conan yang juga berbadan
raksasa, menimpali. "Ini jelas-jelas bukan salah Conan. Evan seharusnya
menangkap bola itu. Operan Conan bagus kok."
Sial, pikir Evan sambil mendesah. Sekali lagi ia meraba-raba hidungnya. Kali ini
rasanya seperti sepotong kentang yang baru saja dilumatkan. Masih untung tidak
patah, ia berkata dalam hati.
Sejak itu acara uji coba basket terus bertambah parah bagi Evan.
Mr Murphy membantunya berdiri. "Kau masih mau ikut uji coba?" ia bertanya.
Bukannya mendukung, pikir Evan dengan getir.
"Saya yakin bisa masuk tim," ia berkata.
Tapi Conan, Biggie, dan anak-anak lain punya rencana tersendiri.
Dalam acara menggiring bola, Evan mulai men- dribble dengan penuh percaya diri.
Tapi sebelum sampai di bawah ring, Biggie menabraknya dengan keras...
dan Conan langsung merebut bola dari tangan Evan.
Mereka menghalau tembakan-tembakan Evan. Mereka memotong setiap operan
yang dilakukannya. Mereka menabraknya setiap kali ia bergerak, Sehingga ia berulang-ulang
terpelanting ke lantai kayu.
Sebuah operan kencang dari Conan menghantam mulut Evan.
"Oo-oh! Sori!" seru Conan.
Biggie tertawa terbahak-bahak.
"Pertahanan! Saya mau lihat pertahanan!" Mr Murphy berseru dari tepi lapangan.
Evan menekuk lutut dan mengambil posisi bertahan. Conan men-dribble bola ke
arahnya, dan Evan bersiap-siap menghalaunya.
Conan bertambah dekat. Semakin dekat.
Evan mengangkat kedua tangan untuk menghalangi tembakan Conan.
Tapi di luar dugaan Evan, Conan membiarkan bola memantul-mantul ke luar
lapangan. Dengan satu gerakan cepat ia meraih pinggang Evan, melompat
tinggi-tinggi, dan mendudukkan Evan di ring basket.
"Tiga angka!" Conan bersorak dengan gembira.
Biggie dan anak-anak yang lain langsung menghampirinya untuk mengucapkan
selamat. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Mr Murphy terpaksa mengambil tangga untuk menurunkan Evan.
Sambil menggenggam pundak Evan, guru itu menggiringnya ke tepi lapangan.
"Kau kurang jangkung," Mr Murphy berkata sambil menggosok-gosok pipinya
"Jangan terslnggung. Mungkin kau masih akan bertambah tinggi. Tapi untuk
sementara, kau kurang jangkung"
Evan diam saja. Ia menundukkan kepala dan meninggalkan aula dengan sedih
dan kecewa. Conan menyusulnya sebelum ia keluar lewat pintu. "Hei, Evan, jangan
dlmasukkan ke hati, oke?" Ia mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
*** Evan menunjukkan tangannya kepada Andy.
"Kelihatannya seperti bunga yang layu," gadis itu berkomentar.
"Bayangkan, dua kali aku termakan tipuan Conan" Evan menyesali nasibnya.
Ketika itu sudah keesokan sorenya. Evan dan Andy telah berjalan dan sekolah
ke taman kecil di dekat rumah mereka. Sepanjang jalan Evan mengeluh tentang
Mr. Murphy, Conan, dan para pemain basket yang lain.
Matahari sore menyinari mereka ketika mereka berjalan Andy berhenti sejenak
untuk mengamati dua kupu-kupu besar mengepakkan sayap mereka yang
berwarna hitam-emas di atas buhga-bunga liar berwarna biru dan kuning di
pinggir kali. Kali kecil berair cokelat itu pun tampak indah dalam cuaca yang cerah.
Serangga-serangga kecil berkilauan bagaikan berlian di atas permukaan air.
Evan menendang dahan yang tergeletak di tanah. Segala sesuatu terasa suram
baginya. Suram dan menyebalkan. "Mereka tidak adil," Ia menggerutu sambil kembali menendang dahan itu. "Uji
coba itu tidak adil. Seharusnya Mr Murphy memberi kesempatan lagi padaku."
Andy berdecak-decak. Pandangannya terarah pada kali yang berkilau-kilau.
"Mr. Murphy perlu diberi pelajaran," ujar Evan. "Coba kalau ada cara untuk
membalas semua perbuatannya."
Andy berpaling kepadanya. Ia tersenyum penuh arti. "Aku punya rencana,"
katanya pelan-pelan "Rencana yang bagus sekali."
"Rencana apa?" tanya Evan
13 "APA rencanamu?" Evan kembali bertanya.
Andy menatapnya sambil nyengir. Ia mengenakan T-shirt panjang berwarna hijau
terang yang ditumpuk di atas T-shirt jingga menyala dan ditarik hingga setengah
menutupi celana pendek baggy berwarna biru. Sinar matahari membuat warna-warna
itu bertambah cerah, dan Evan hampir menutup mata
karena kesilauan. "Mungkin kau tidak suka," Andy berkata dengan manja.
"Coba saja," balas Evan. "Ayo, jangan bikin aku tegang dong."
"Begini." Pandangan Andy beralih ke pohon tempat mereka menguburkan
Darah Monster. "Rencanaku ada kaitannya dengan Darah Monster," ia berkata
dengan hati-hati. Evan menelan ludah. "Oke Teruskan,"
"Nah, rencanaku sebenarnya sederhana saja. Pertama-tama, kita gali Darah
Monster," Andy berkata sambil memperhatikan reaksi Evan.
"Yeah?" "Terus kita bawa ke sekoiah," gadis itu melanjutkan.
"Yeah?" "Terus kita berikan kepada Cuddles."
Evan langsung terbengong-bengong.
"Sedikit saja" Andy cepat-cepat menjelaskan "Setetes saja kita berikan kepada
Cuddles. Biar dia tumbuh sampai sebesar anjing."
Evan tertawa. Rencana itu benar-benar buruk -tapi ia menyukainya!
Ia menepuk punggung Andy. "Kau keterlaluan, Andy" ia berseru "Benar-benar
keterlaluan!" Andy tersenyum dengan bangga. "Memang."
Evan kembali tertawa "Bayangkan tampang Mr Murphy waktu dia masuk kelas
dan melihat hamster kesayangannya sudah sebesar anjing cocker spaniel! Wah, ini
bakal seru!" "Jadi kau setuju?" tanya Andy.
Evan berhenti tersenyum "Ehm, ya," ia menjawab setelah berpikir sejenak "Asal
kau berjanji untuk memakai setetes saja. Dan sisanya harus langsung dikubur
Kelana Buana 16 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Pedang Sinar Emas 24
R.L. Stine Darah Monster II (Goosebumps # 18) Penerjemah: Hendarto Setiadi
Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAN DIA KEMBALI... Evan Ross selalu dihantui mimpi buruk tentang peristiwa Darah Monster musim
panas yang lalu. Kejadiannya sangat mengerikan. Sangat menyeramkan. Tapi,
Mr. Murphy, guru IPA-nya, tak percaya pada cerita Evan. Karena dianggap
membual, Evan dihukum harus membersihkan kandang hamster, binatang
kesayangan Mr. Murphy. Lalu Andy, sahabat Evan, datang ke Atlanta dan membuat segalanya jadi
tambah kacau. Gadis itu membuat kejutan. Dia membawakan Evan lendir
berwarna hijau yang lengket, dan lendir itu kini mulai tumbuh....
Goosebumps Ya! Dijamin kalian pasti ber -goasebumps- ria alias merinding ketakutan kalau
membaca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor
yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya" Baca saja sendiri..
kalau berani!!! . Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
JL. Pamerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 ISBN 979-605-291-1 1 EVAN ROSS mundur ke pojok ruang baca sambil menatap anjingnya, Trigger.
Anjing cocker spaniel berbulu cokelat itu menundukkan kepala dan membalas
tatapan Evan dengan matanya yang selalu berair. Kemudian anpng tua tersebut
mulai mengibas-ngibaskan ekornya dengan gembira.
"Trigger . ," Evan berseru dengan gusar. "Kau makan Darah Monster lagi,ya?"
Ekor anjing itu bergerak semakin cepat. Trigger menggonggong, dan suaranya
bergemuruh bagaikan guntur.
Evan merapat ke drnding ruang baca yang dilapisi panil-panil kayu berwarna
gelap. Trigger maju beberapa langkah sambil terengah-engah. Lidahnya yang
berwarna pink dan sebesar sosis salami terjulur keluar dar mulutnya yang lebar.
"Ya, kan?" Evan bertanya dengan nada menuduh. " Kau makan Darah Monster lagi,
kan?" Sebenarnya Evan tak perlu bertanya lagi. Jawaban atas pertanyaannya itu sudah
jelas. Tadi pagi Trigger masih berukuran normal, seperti anjing cocker spaniel pada
umumnya Tapi anjing yang kini menatap Evan itu sudah sebesar anak kuda.
Kaki Trigger yang berbulu lebat - dan sebesar kaki gajah - menginjak-injak
karpet. Ekornya yang membehtur-bentur pinggiran sofa menimbulkan bunyi
yang lebih keras dibandingkan suara bass drum.
Evan sampai menutup kedua telinganya ketika Trigger menggonggong dengan
riang - gonggongan yang menyebabkan dinding-dinding ruang baca bergetar.
"Duduk! Ayo, duduk!" ia memerintahkan.
Anjing raksasa itu terus mengibas-ngibaskan ekornya sambil terengah-engah.
Ya ampun! Evan menyadari dengan ngeri. Dia mau mengajakku bermain!
"Duduk" teriak Evan "Duduk"
Tapi Trigger tidak ambil pusing. Selama sepuluh tahun - itu sama dengan tujuh
puluh tahun menurut hitungan anjing! - Evan telah berusaha melatih Trigger untuk
duduk jika diperintah. Tapi Trigger tak kunjung mengerti
"Bagaimana kau bisa mendapatkan Darah Monster?" tanya Evan. "Kan
semuanya sudah menguap. Lenyap tanpa bekas. Hilang begitu saja. Dan kau
juga tahu, kan, Darah Monster membuatmu tumbuh. Tumbuh, tumbuh, dan
tumbuh terus. Ayo, di mana kau menemukannya?"
Trigger memiringkan kepalanya yang besar, seakan-akan berusaha memahami
kata-kata yang diucapkan Evan. Kemudian, sambil mengibas-ngibaskan
ekornya dengan gembira, ia mulai berlari menghampiri anak itu.
Ya ampun! Evan mengeluh dalam hati Dia mau menerjangku! Dia mau
menerjangku! Aduh, kalau aku sampai diterjangnya, badanku bakal gepeng!
Setetes air liur jatuh dari mulut Trigger dan membasahi karpet. Satu tetes itu
saja sudah hampir cukup untuk mengisi satu ember.
"Duduk" Evan memekik dengan panik. "Duduk, Trigger! Duduk!"
Trigger berhenti dan menatap Evan. Sambil membelalakkan mata Evan
menyadari bahwa anjingnya sudah bertambah besar lagi. Kini Trigger sudah
sebesar kuda! Di mana dia menemukan kaleng berisi Darah Monster" Evan bertanya dalam
hati sambil merapatkan punggungnya ke dinding. Di mana"
Anjing itu menatap Evan, lalu kembali menyalak. Kali ini seluruh rumah
terguncang. "Idih!" seru Evan sambil menutup hidung. Napas Trigger menerpanya bagaikan angin
badai. Dan baunya minta ampun, seperti bangkai tikus.
"Mundur, Trigger!" Evan memohon.
Tapi perintah itu pun tak dipahami oleh Trigger.
Lalu, tanpa peringatan lebih dulu, anjing raksasa itu menerjang.
"Duduk! Duduk!" teriak Evan.
Mulut Trigger menganga lebar. Lidahnya yang besar menjilat-jilat pipi Evan.
Lidah itu terasa kasar dan panas. Rambut Evan yang berwarna seperti wortel
langsung basah kuyup terkena air liur anjing yang lengket.
"Jangan... jangan" jerit Evan "Aku baru dua belas tahun!. Aku masih terlalu
kecil untuk mati!" Ia mulai memekik-mekik lagi. Tapi gigi Trigger mencengkeram pinggangnya,
sampai-sampai Evan kehabisan napas.
"Trigger... lepaskan aku! Lepaskan aku!" kata Evan dengan susah payah.
Kibasan ekor Trigger membentur sebuah lampu, dan lampu itu jatuh ke lantai
dan pecah berantakan. Gigi Trigger menjepit Evan dengan lembut tapi pasti. Tahu-tahu anak itu sudah
terangkat dan lantai. "Turunkan aku! Turunkan aku!"
Kenapa anjing bodoh itu tidak mau menurut"
Dengan kalang kabut Evan meronta-ronta dan mengayun-ayunkan tangan dan
kaki untuk membebaskan diri. Tapi Trigger tidak mau melepaskannya.
Suara langkah anjing raksasa itu berdebam-debam. Ia menggotong Evan keluar
dari ruang baca, lalu masuk ke dapur. Kemudian ia menundukkam kepala dan
membuka pintu dapur dengan menyundulnya.
Pintu itu terbanting dengan keras di belakang mereka. Trigger mulai melintasi
rumput. "Anjing nakal! Anjing nakal!" seru Evan. Tapi suaranya sudah semakin lemah.
Jangan-jangan Trigger sudah bertambah besar lagi.
Evan kini menggantung sekitar satu meter di atas tanah!
"Turunkan aku! Turunkan aku!" ia berseru.
Rumput hijau di bawahnya seakan-akan berayun-ayun. Trigger terengah-engah,
dan suaranya membuat seluruh tubuh Evan bergetar. Ternyata jeans dan T-shirtnya
telah basah kuyup karena air liur Trigger.
Trigger tidak bermaksud jahat, Evan berkata dalam hati. Dia cuma main-main.
Untung saja dia sudah tua, dan giginya sudah tidak tajam.
Anjingnya berhenti di pinggir kebun bunga di bagian belakang pekarangan. Ia
menurunkan Evan sampai nyaris menyentuh tanah, tapi tidak melepaskannya.
Kakinya mulai mengais-ngais tanah.
"Lepaskan aku" jerit Evan "Ayo dong, Trigger dengarkan aku!"
Anjing raksasa itu terus menggali sambil tersengal-sengal, napasnya yang panas
dan bau pun terus menerpa Evan.
Tiba-tiba Evan merinding. Ia baru sadar apa yang hendak dilakukan Trigger.
"Jangan" teriaknya. "Aku jangan dikubur, Trigger"
Anjing itu semakin bernafsu menggali. Kaki depannya bergerak kencang, tanpa
henti. Wajah Evan terkena bongkahan-bongkahan tanah.
"Hei, aku bukan tulang" Evan berteriak panik "Trigger... aku bukan tulang! Aku
jangan dikubur, Trigger! Ampun, Trigger, aku jangan dikubur!"
2 "AMPUN, Trigger, ampun! Aku jangan dikubur dong!" Evan bergumam
dengan nada memelas. Ia mendengar suara tawa Ia menegakkan kepala dan memandang berkeliling dan mendadak sadar bahwa
ia tidak berada di pekarangan belakang rumahnya. Ia duduk dikursinya di dekat
jendela, di baris ketiga dari depan.
Dan Mr Murphy, guru IPA Evan, berdiri tepat di sampingnya. Badannya yang
teramat besar menghalangi cahaya matahari dari jendela.
"Bumi memanggil Evan! Bumi memanggil Evan!" Mr. Murphy berseru sambil
menggunakan kedua tangannya un k membentuk corong di depan mulut.
Semua muridnya tertawa. Wajah Evan langsung terasa panas membara.
"M.. Maaf," ia tergagap-gagap.
"Kelihatannya kau habis berkunjung ke Negeri Impian," ujar Mr Murphy.
Matanya yang kecil dan hitam kelihatan berbinar-binar.
"Ya," jawab Evan serius 'Saya bermimpi tentang - Darah Monster. Saya.. saya
selalu teringat-ingat lagi."
Sejak pengalamannya yang menakutkan dulu, lendir yang hijau dan lengket itu
selalu muncul dalam mimpi-mimpi Evan.
"Aduh, Evan, Evan," kata Mr. Murphy pelanpelan. Guru itu menggeleng-
gelengkan kepalanya yang bulat sambil berdecak-decak, "Ck, ck, ck."
"Darah Monster memang ada!" seru Evan dengan gusar.
Teman-teman sekelasnya kembali tertawa.
Roman muka Mr Murphy menjadi kencang. Ditatapnya Evan dengan tajam.
"Evan, saya ini guru science, guru IPA. Di mana pun takkan ada guru science yang
percaya bahwa lendir hijau yang bisa dibeli di toko mainan sanggup
membuat segala sesuatu tumbuh tak terkendali."
"Ta... tapi ini benar-benar ada," Evan berkeras.
"Guru science-fiction m ungkin mau percaya," Mr. Murphy menyahut, lalu tertawa
karena leluconnya sendiri. "Tapi guru science tidak."
"Anda memang bodoh" seru Evan.
Sebenarnya ia tidak bermaksud bilang begitu. Dan Ia segera sadar bahwa ia
telah melakukan kesalahan besar.
Ia mendengar teman-teman sekelasnya menahan napas.
Mr Murphy marah sekali. Wajahnya yang tembam langsung merah padam Tapi
Ia masih bisa manahan diri. Ia memegang perutnya yang buncit dengan kedua
tangan, dan Evan melihatnya berhitung sampai sepuluh tanpa bersuara.
"Evan, kau murid baru di sini, bukan?" ia akhirnya bertanya. Rona wajahnya
perlahan-lahan kembali normal.
"Ya," jawab Evan sambil menundukkan kepala. "Baru musim gugur ini keluarga saya
pindah ke Atlanta." "Hmm, barangkali kau belum mengerti aturan main di sini. Barangkali para guru di
sekolahmu dulu suka disebut bodoh. Barangkali mereka memang biasa
dikata-katai oleh murid-murd mereka. Barangkali..."
"Tidak, Pak," Evan memotong tanpa berani mengangkat dagu "Saya cuma keceplosan."
Sekali lagi ia mendengar suara tawa di sekitarnya. Mr Murphy langsung melotot
sambil mengerutkan kening.
Ya ampun, apa lagi sekarang" pikir Evan dengan muram. Ia memandang
berkeliling dan melihat lautan wajah yang tersenyum mengejek.
Aduh, malah tambah kacau, Evan berkata dalam hati. Kenapa aku tidak bisa
menjaga mulut besarku ini"
Mr. Murphy menoleh ke jam yang .tergantung di dinding. "Sebentar lagi kita
bubar," katanya. "Nah, Evan, bagaimana kalau kau melakukan sesuatu untuk
menebus waktu yang telah kausia-siakan hari ini, hmm?"
Oh-oh, pikir Evan. Ini dia.
"Setelah bel berbunyi, simpan buku-bukumu di dalam locker- mu ," Mr. Murphy
menyuruh. "Lalu kembali ke sini dan bersihkan kandang Cuddles.
Evan mengerang tertahan. Pandangannya beralih ke kandang hamster yang dirapatkan ke dinding. Cuddles
sedang menggali-gali serpihan kayu di dasar kandang.
Lagi-lagi kandang hamster! Evan mengeluh dalam hati.
Evan membenci Cuddles. Dan Mr Murphy tahu itu. Ini sudah ketiga kalinya Mr
Murphy menyuruh Evan tinggal di sekolah lebih lama untuk membersihkan
kandang yang menjijikkan itu.
"Sambil membersihkan kandang hamster," Mr. Murphy berkata sambil kembali ke
mejanya, "barangkali kau bisa memikirkan cara untuk lebih memperhatikan
pelajaran IPA." Evan langsung berdiri "Saya tidak mau!" serunya.
Ia mendengar suara-suara kaget di sekelilingnya.
"Saya benci Cuddles" teriak Evan. "Saya benci hamster gendut dan jelek itu."
Dan di depan mata semua murid lain, Evan bergegas menghampiri kandang,
membuka pintunya, dan menangkap Cuddles dengan sebelah tangan.
Lalu, dengan satu ayunan tangan, ia melempar hamster itu melintasi ruangan
kelas... keluar melalui jendela.
3 EVAN tahu bahwa ia hanya berkhayal.
Ia tidak berdiri sambil menjerit dan melempar hamster itu ke luar jendela.
Ia hanya berangan-angan. Semua orang kadang- kadang berkhayal bahwa mereka ingin
melakukan sesuatu yang gila-gilaan.
Tapi Evan tidak mungkin melakukan sesuatu segila itu.
Ia hanya berkata, "Ya,'Mr Murphy" Kemudian Ia duduk membisu di kursinya.
Dengan murung ia memandang ke luar jendela dan memperhatikan awan-awan
putih di langit yang tampak biru cerah.
Ia melihat bayangannya di kaca jendela. Rambutnya yang ikal dan merah
manyala tampak lebih gelap. Begitu pula bintik-bintik yang memenuhi pipinya.
Tampangnya sedih. Ia benci dipermalukan di depan seluruh kelas.
Kenapa aku selalu cari gara-gara" ia bertanya-tanya dalam hati. Dan kenapa Mr
Murphy tak pernah berhenti mengusikku" Masa dia tidak tahu bagaimana
rasanya jadi anak baru di sekolah" Bagaimana aku bisa dapat teman kalau aku
selalu diolok-olok dan dijadikan bahan tertawaan oleh Mr Murphy"
Belum lagi soal Darah Monster itu. Kenapa sih tak ada yang mau percaya
padaku" Evan telah menceritakan pengalamannya kepada anak-anak di sekolah barunya.
Bagaimana ia berlibur di rumah neneknya musim panas lalu. Bagaimana ia dan
gadis yang bernama Andy yang dikenalnya di sana menemukan kaleng biru
berisi Darah Monster di toko mainan yang kuno dan seram.
Dan bagaimana Darah Monster yang hijau dan menjijikkan itu mulai
mengembang dan mengembang Bagaimana lendir itu mengembang tak
terkendali, sampai akhirnya tak muat lagi di dalam kalengnya, di dalam ember,
bahkan di dalam bak mandi! Lendir itu terus tumbuh, seakan-akan hidup!
Dan Evan juga bercerita bagaimana Trigger makan sedikit Darah Monster - lalu
tumbuh sampai hampir sebesar rumah!
Ceritanya benar-benar ajaib dan menakutkan. Dan Evan yakin bahwa teman-
teman barunya bakal terkesan.
Tapi ternyata ia malah dianggap aneh oleh mereka.
Tak ada yang percaya padanya. Mereka cuma tertawa dan menudingnya sebagai
tukang mimpi. Evan akhirnya dikenal sebagai anak baru yang suka mengarang cerita konyol.
Kalau saja aku bisa membuktikan bahwa ceritaku memang benar, Evan sering
mengeluh dalam hati. Kalau saja aku bisa memperlihatkan Darah Monster
kepada mereka. Tapi gumpalan lendir hijau yang misterius itu sudah menghilang sebelum Evan
pulang dari rumah neneknya. Hilang begitu saja, tanpa bekas.
Bel berdering. Semua murid berdiri dan menuju pintu sambil tertawa dan
mengobrol. Evan sadar bahwa tidak sedikit teman sekelasnya dang menertawakan dirinya .
Tanpa menggubris mereka, Evan meraih ranselnya dan mulai berjalan pintu.
"Jangan lupa, Evan!" Mr Murphy memanggil Eari balik mejanya. "Langsung
kembali ke sini. Caddles sudah menunggu!"
Sambil menggerutu dengan kesal, Evan keluar ke lorong yang ramai. Kalau Mr
Murphy begitu menyayangi hamster jelek itu, kenapa bukan dia saja yang
membersihkan kandangnya" ia bertanya-tanya dengan kesal.
Sekelompok anak tertawa terbahak-bahak ketika Evan melewati mereka.
Apakah mereka menertawakan dirinya" Evan tidak tahu pasti.
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mulai berlari kecil ke locker- nya Tiba-tiba saja ada sesuatu yang membentur
kakinya, persis di atas mata kaki Evan kehilangan keseimbangan dan
terjerembap di lantai ubin yang keras.
"Hei...!" seru Evan dengan gusar.
Ia menoleh dan melihat teman sekelasnya yang berbadan besar dan bertampang
sangar. Nama sebenarnya Conan Barber, tapi oleh semua anak ia dipanggil
Conan the Barbarian. Dan itu bukannya tanpa alasan.
Conan juga berumur dua belas, tapi ia kelihatan dua puluh tahun lebih tua! Ia
paling jangkung, paling kekar, paling kuat, dan paling jail di antara semua
murid. Sebenarnya tampangnya tidak jelek, Evan terpaksa mengakui. Conan berambut
pirang berombak, bermata biru, dan berwajah lumayan keren. Potongan
badannya atletis sekali, dan ia ikut dalam semua cabang olahraga yang diadakan
di sekolah mereka. Conan sebenarnya juga lumayan baik, Evan berkata dalam. hati. Tapi dia
mempunyai satu kebiasaan buruk. Dia selalu ingin rnembuktikan bahwa
julukannya memang beralasan.
Anak itu senang bertingkah sebagai Conan the Barbarian.
Ia senang petantang-petenteng sambil menakut-nakuti anak-anak yang lebih
kecil - dan ini berarti siapa pun!
Dari pertama Evan sudah tidak cocok dengan Conan.
Ia bertemu Conan di lapangan bermain di sekolah , beberapa minggu setelah
kepindahannya ke Atlanta. Berhubung ia ingin membuat Conan terkesan, Evan
langsung menceritakan kisah Darah Monster.
Conan ternyata tidak suka cerita itu. Ia malah - melototi Evan dengan matanya
yang biru. Kemudian ia pasang tampang kencang dan bergumam sambil
mengertakkan gigi, "Kami di Atlanta tidak suka orang yang sok tahu"
Evan nyaris dibuat babak belur hari itu.
Sejak itu Evan berusaha menghindari Conan. Tapi itu tidak mudah.
Kini ia menatap Conan sambil tergeletak di lantai. "Hei kenapa kau
menjegalku?" Evan bertanya dengan suara melengking.
Conan hanya nyengir dan angkat bahu "Sori, aku tidak sengaja."
Evan mempertimbangkan apakah lebih aman kalau ia berdiri atau tetap
berbaring di lantai. Kalau berdiri, aku bakal kena pukul, ia berkata dalam hati. Kalau tetap
berbaring, aku bakal diinjak.
Pilihan yang sulit. Ternyata Evan tidak sempat mengambil keputusan. Conan membungkuk dan,
dengan sebelah tangan, menarik Evan sampai berdiri.
"Sudah dong, Conan" Evan memohon "Kenapa kau harus terus
menggangguku?" Conan kembali angkat bahu. Ini salah satu jawaban yang paling digemarinya.
Matanya yang biru tampak berbinar-binar "Kau benar, Evan," ia berkata, lalu
berhenti tersenyum "Seharusnya aku tidak menjegalmu."
"Yeah," Evan membenarkan sambil merapikan Tshirt- nya."
"Jadi kau boleh membalas sekarang," Conan menawarkan.
"Hah?" Evan terbengbng-bengong.
Conan membusungkan dadanya yang bidang. "Ayo. Pukul perutku. Pukul saja."
"Wah, nanti dulu," balas Evan Ta berusaha mundur, tapi jalannya terhalang oleh
sekelompok anak lain. "Ayo," Conan mendesak sambil maju selangkah. "Pukul saja perutku Sekeras
mungkin. Supaya adil."
Evan mengamati wajah Conan. "Kau serius?"
Conan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia kembali membusungican dada
"Sekuat tenagamu. Ayo. Aku takkan membalas. Aku janji."
Evan tetap ragu-ragu. Perlukah ia menerima tawaran Conan"
Kesempatan seperti ini mungkin takkan terulang lagi, ia berkata dalam hati.
Evan sadar bahwa banyak murid memperhatikan mereka.
Kalau dia kupukul keras-keras, sampai kesakitan, sampai mengaduh - ya,
mungkin anak-anak di sini bakal lebih hormat padaku.
Aku bakal terkenal sebagai Evan si Pembunuh Raksasa. Orang yang menghajar
Conan the Barbarian Ia mengepalkan tangan dan mengacungkan tinju.
"Cuma segitu kepalan tanganmu?" Conan berseru sambil terbahak-bahak.
Evan mengangguk. "Oooh... aku bakal meraung-raung kesakitan!" Conan berkomentar dengan nada
mengejek. Semuanya tertawa Tunggu saja, pikir Evan dengan geram.
"Avo, pukul sekuat tenaga," Conan mendesaknya. Ia menghirup udara dan
menahan napas. Evan mengambil ancang-ancang dan melayangkan tinjunya sekeras mungkin.
Kepalan tangannya menimbulkan bunyi dug ketika menghantam perut Conan Evan
serasa memukul tembok beton.
Tangannya langsung berdenyut-denyut.
"Hei ...!" terdengar suara seorang pria.
Evan terenyak. Ia segera berbalik... dan melihat Mr Murphy melotot ke arahnya.
"Jangan berkelahi!" bentak Mr Murphy.
Guru itu bergegas menghampiri mereka, lalu berhenti di antara kedua muridnya.
Sambil terengah-engah ia berpaling kepada Conan. "Kenapa
Evan memukulmu" ia bertanya dengan ketus.
4 CONAN angkat bahu. Ia membelalakkan mata dan pasang tampang tak berdosa.
"Saya tidak tahu, Mr Murphy," ia menyahut pelan-pelan "Tiba-tiba saja Evan
mendatangi saya dan memukul perut saya dengan sekuat tenaga."
Conan mengusap-usap perutnya dan merintih tertahan, "Aduh. Sakit sekali."
Mr Murphy memicingkan matanya yang hitam ketika menatap Evan. Wajahnya
yang tembam kembali merah padam "Saya melihat semuanya, Evan. Saya
benar-benar tidak mengerti apa maumu," katanya.
"Tapi, Mr. Murphy..." Evan hendak membela diri.
Guru itu mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhnya diam "Kalau kau
kesal karena apa yang terjadi di ruang kelas tadi," ujar Mr. Murphy, "jangan
melampiaskannya kepada murid-murid yang lain."
Conan masih mengusap-usap perutnya "Moga moga tidak ada tulang yang
patah," gumamnya. "Kau perlu diantar ke ruang P3K?" tanya Mr. Murphy.
Conan menggelengkan kepala. Evan tahu bahwa anak itu berusaha keras agar
tidak tertawa. "Saya tidak apa-apa," Conan berkata, lalu pergi sambil huyung-
huyung. "Hah, pura-pura! pikir Evan dengan getir.
Apakah Conan dari pertama sudah tahu bahwa Mr. Murphy memperhatikan
mereka" Kemungkinan besar sih iya.
"Sana, urus Cuddles," Mr. Murphy. menyuruh Evan sambil mengerutkan
kening. "Dan jangan macam-macam lagi, Evan. Saya akan memperhatikanmu."
Evan bergumam tak jelas. Dengan gontai ia lalu kembali ke ruang kelas. Sinar
matahari masuk melalui deretan jendela. Angin kencang membuat tira jendela
yang terbuka di dekat meja guru berkibar-kibar.
Dengan dongkol Evan melintasi ruangan yang kosong, dan menghampiri
kandang hamsters. Cuddles mengerutkan hidung untuk menyambutnya.
Hamster itu sudah mulai terbiasa melihat kedatangan murid yang satu ini.
Evan menatap makhluk berbulu cokelat-putih di dalam kandang. Kenapa
hamster dianggap lucu oleh orang-orang" ia bertanya dalam hati.
Karena mereka bisa mengerutkan hidung" Karena mereka suka berlari-lari di
roda" Atau karena gigi mereka yang tonggos"
Cuddles menatap Evan dengan matanya yang kecil dan hitam.
Matanya persis seperti mata Mr. Murphy, pikir Evan sambil tertawa sendiri.
Mungkin ini sebabnya Mr. Murphy begitu senang padanya.
"Oke, oke. Kau memang rada lucu," Evan berkata kepada hamster itu "Tapi aku tahu
rahasiamu. Sebenarnya kau cuma tikus gendut yang sedang menyamar."
Cuddles kembali mengerutkan hidung.
Sambil mendesah panjang, Evan mulai bekerja. Ia menahan napas karena tidak
tahan bau serbuk gergaji yang bercampur baur dengan berbagai kotoran.
Kemudian ia menarik dasar kandang.
"Kau memang berantakan sekali," ia berkata kepada Cuddles. "Kapan. kau
mulai belajar membereskan tempat tinggalmu sendiri, heh?"
Sambil tetap menahan napas, ia membuang serbuk gergaji yang lama dan
menggantinya dengan yang baru, yang diambilnya dari kotak di lemari
perlengkapan. Ia mengembalikan dasar kandang ke tempat semula, sementara Cuddles
memperhatikannya dengan penuh perhatian. Kemudian ia menuangkan air
bersih ke botol minum. "Kau mau biji bunga matahari?" tanya Evan. Perasaannya mulai lebih enak,
karena tugasnya sudah hampir selesai.
Ia mengambil mangkuk makanan dan kandang, lalu menuju lemari
perlengkapan untuk mengambil biji bunga matahari.
"Oke, Cuddles," ia berseru, "Ini pasti lezat sekali!"
Ia kembali ke kandang hamster itu. Tapi Evan baru berjalan beberapa langkah
ketika ia berhenti memekik dengan suara tertahan.
Pintu kandang terbuka lebar.
Dan hamster itu telah lenyap.
5 EVAN serasa tercekik ketika menatap kandang yang kosong itu.
Dengan kalang kabut ia memandang berkeliling.
"Cuddles" Cuddles?" ia memanggil-manggil.
Kenapa aku harus teriak-teriak begini" ia bertanya pada dirinya sendiri sambil
berputar-putar dengan panik. Hamster tolol itu tidak tahu namanya Cuddles!
Ia mendengar suara langkah di lorong.
Mr. Murphy" Aduh... moga-moga bukan! Evan memohon dalam hati.
Moga-moga bukan Mr. Murphy. Moga-moga dia tidak muncul sebelum
Cuddles sudah masuk ke kandangnya lagi.
Cuddles merupakan milik Mr Murphy yang paling berharga. Sudah berulang
kali ia menegaskan hal tersebut di depan murid-muridnya.
Evan tahu betul bahwa kalau terjadi apa-apa dengan Cuddles, ia akan
merasakan pembalasan Mr Murphy sampai akhir tahun. Bukan - sampai akhir
hayatnya! Evan berdiri di tengah-tengah ruang kelas dan memasang telinga.
Suara langkah tadi berlalu.
Baru sekarang Evan berani bernapas lagi Cuddles.
"Di mana kau, Cuddles?"ia memanggil dengan suara bergetar "Aku punya biji bunga
matahari yang lezat untukmu."
Ia menemukan makhluk berbulu cokelat-putih di tempat kapur di bawah papan
tulis di depan. "Nah, ketemu!" bisik Evan sambil maju beringsut-ingsut.
Cuddles sedang asyik menggerogoti sesuatu. Sepotong kapur tulis.
Evan mendekat dengan hati-hati "Aku punya biji-bijian untukmu, Cuddles,"
bisiknya "Jauh lebih enak daripada kapur"
Ia maju perlahan-lahan. Semakin dekat.
"Lihat nih. Biji-bijian." Ia menyodorkan mangkuk plastik di tangannya ke hadapan
hamster itu. Cuddles tidak menoleh. Evan maju lagi. Perlahan-lahan.
Ia tinggal melompat dan...
....sialan! Hamster itu melepaskan kapur yang sedang digigitnya dan berlari menyusuri tempat
kapur. Sekali lagi Evan melompat - dan sekali lagi ia gagal menangkap buruannya.
Evan mendengus dengan kesal. Ia melihat Cuddles melompat ke lantai dan
kabur ke balik meja Mr Murphy. Kaki hamster itu terpeleset-peleset di lantai
linoleum, dan bunyi kukunya terdengar jelas:
"Kau tak bakal lolos! Kau terlalu gembrot!" seru Evan. Ia berlutut dan
mengintip ke bawah meja. Ia melihat Cuddles menatapnya dalam kegelapan. Binatang itu tersengal-sengal.
Tubuhnya mengembang dan mengempis setiap ia menarik dan mengembuskan
napas. "Jangan takut," Evan berbisik dengan nada menenangkan. "Aku cuma mau
mengembalikanmu ke kandangmu yang nyaman dan aman."
Ia mulai merangkak ke arah meja.
Hamster itu tetap menatapnya sambil tersengal-sengal. Ia tidak bergerak -
sampai Evan berusaha meraihnya. Begitu tangan Evan mendekat, Cuddles,
langsung kabur lagi. Evan bangkit sambil mengumpat tertahan "Cuddles. kenapa sih kau ini?" ia
menggerutu. "ini bukan permainan, tahu?"
Ini sama sekali bukan permainan, Evan tahu itu.
Kalau ia tidak berhasil mengembalikan hamster itu ke kandangnya, ia pasti akan
gagal dalam mata pelajaran Mr Murphy. Atau bahkan diskors! Bisa-bisa malah
seluruh keluarganya diusir dari Atlanta!
Jangan panik, Evan berusaha menenangkan diri. Jangan panik.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Kemudian ia melihat hamster itu di ambang jendela yang terbuka.
Oke, Evan... sekarang kau boleh panik. ia berkata dalam hati.
Ini memang saat yang tepat untuk panik.
Ia berusaha memanggil Cuddles. Tapi suaranya seperti tersangkut di
tenggorokan. Evan menelan ludah, dan mengendap-endap mendekati jendela.
"Sini, Cuddles, sini," bisiknya "Ayo... sini dong"
Semakin dekat, semakin dekat.
Hampir cukup dekat untuk meraih hamster itu.
Hampir cukup. "Jangan bergerak, Cuddles. Jangan bergerak."
Ia mengulurkan tangan. Perlahan-lahan.
Cuddles menatap Evan dengan matanya yang hitam.
Kemudian hamster itu melompat ke luar jendela.
6 EVAN sempat tersentak kaget.
Tapi kemudian ia segera melompat ke luar jendela untuk menyusul hamster itu.
Untung saja ruang kelas IPA berada di lantai dasar Evan terjerembap di semak-
semak. Ia menggeliat-geliat berusaha berdiri, tapi baru setelah beberapa saat ia
bisa tegak lagi. Ia berjalan beberapa langkah melintasi rumput, lalu berbalik dan menatap ke
bawah semak-semak, "Cuddles kau di bawah sana?"
Evan jongkok agar bisa melihat lebih jelas. Semak-semak itu menyusuri seluruh
panjang gedung sekolah Kalau Cuddles memang ada di sana, dia bisa
bersembunyi sampai hari kiamat tanpa ada yang dapat menemukannya.
Dan kalau dia tak bisa kutemukan, Evan berkata dalam hati, lebih baik aku ikut
bersembunyi di situ. Untuk selama-lamanya!
Di sebelah kanan, Evan bisa mendengar suara-suara dari lapangan bermain.
Suara-suara yang riang gembira. Suara-suara tawa yang lepas.
Masih sambil berjongkok, ia menoleh ke arah keramaian itu... dan melihat
sebuah bola gendut warna cokelat menggelinding di rumput.
Bukan. Bukan bola. "Cuddles!"
Kali ini hamster gembrot itu takkan lolos lagi. Evan memutuskan. Ia langsung
berdiri dan mengejar makhluk tersebut. Dia akan kutangkap, biarpun aku harus
mendudukinya. Sebuah bayangan melintas dalam benak Evan; Cuddles gepeng seperti panekuk
setelah diduduki Evan. Sebuah karpet hamster yang kecil, bulat, dan berbulu
tebal. Meski sedang panik, Evan mau tak mau tersenyum ketika membayangkan itu.
Ia terus berlari tanpa melepaskan pandangannya dari Cuddles. Hamster itu melesat
melintasi rumput menuju ke arah lapangan bermain.
"Ya Tuhan!" seru Evan ketika Cuddles memotong jalan dua gadis yang sedang ngebut
naik sepeda di rumput. Mereka sedang asyik tertawa-tawa dan sama sekali tidak memperhatikan
hamster itu. Cuddles bakal terlindas! pikir Evan dengan pasrah. Ia memejamkan mata dan
menanti bunyi "kres".
Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Kedua sepeda itu lewat begitu saja, dan
Cuddles selamat. Evan melihatnya terus berlari ke arah lapangan bermain.
"Cuddles... sini!" serunya dengan geram.
Hamster itu seakan-akan menambah kecepatanya. Ia masuk ke lapangan bisbol dan
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusuri garis base ketiga.
Beberapa anak berhenti bermain agar bisa melihat apa yang sedang terjadi.
"Tangkap dia! Tangkap hamster itu?" teriak Evan.
Tapi mereka cuma tertawa.
"Mau tahu caranya menangkapnya?" seru seorang pelawak bernama Robbie
Greene kepada Evan. "Coba tiru bunyi biji bunga matahari!"
"Ah, itu kan lelucon kuno" seru seorang gadis kepada Robbie.
"Bukannya membantu... ," Evan menggerutu. Ia berlari melintasi gundukan tanah
tempat melempar bola dan telah sampai di base kedua ketika menyadari bahwa ia
kehilangan jejak Cuddles.
Ia berhenti dan berbalik. Jantungnya berdebar-debar. Ia mengamati lapangan
rumput di hadapannya. "Mana... mana dia?" tanyanya sambil terengah-engah.
"Kalian melihatnya?"
Tapi anak-anak itu sudah kembali bermain bisbol.
Jangan sampai dia benar-benar hilang! Evan berkata dalam hati. Ia dicekam
panik. Jangan sampai! Butir-butir kenngat membasahi kening Evan. Ia menyekanya dengan sebelah
tangan, sekaligus mengusap rambutnya yang ikal dan merah. T-shirtnya basah kuyup
dan menempel pada punggungnya. Mulutnya terasa kering kerontang.
Ia berlari kecil sambil memandang berkeliling.
"Cuddles" Hamster itu tak tampak batang hidungnya.
Benda berwarna kecokelatan yang dilihat Evan tergeletak di rump?t ternyata
curna sebuah sarung tangan bisbol yang ketinggalan.
"Cuddles?" Sejumlah anak sedang bermain kickball di lapangan yang satu lagi. Mereka
berteriak-teriak dan bersorak-sorai. Evan melihat Bree Douglas, gadis teman
sekelasnya, meluncur mendului bola ke base kedua.
"Ada.. ada yang lihat Cuddles?" Evan bertanya sambil melangkah ke lapangan.
Para pemain menoleh dan menatapnya.
"Di luar sini?" tanya Bree sambil menepis debu melekat pada lutut celana Jeans-
nya "Memangnya kauajak dia jalan-jalan, Evan"
Semuanya tertawa. Tawa mengejek
"Dia.. dia kabur," balas Evan terengah-engah.
"Ini yang kaucari?" seru sebuah suara yang suara dikenalnya.
Evan berbalik dan melihat Conan Barber. Wajahnya yang tampan dihiasi
senyum, dan matanya biru berbinar-binar.
Conan memegang tengkuk hamster itu dengan sebelah tangan. Keempat kaki Cuddles
menggapai-gapai di udara.
"Kau.... kau berhasil menangkapnya" seru Evan dengan lega. Ia langsung
menarik napas panjang. "Dia melompat keluar dari jendela"
Evan mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil hamster itu, tapi. Conan cepat-
cepat menjauhkannya. "Coba buktikan ini hamster- mu , ujar Conan sambil nyengir.
"Hah!" "Kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" tanya Conan. Ia menatap Evan dengan
pandangan menantang. "Buktikan dulu ini memang hamster-mu."
Evan menelan ludah dan memandang berkeliling. Para pemain kickball mulai
berkerumun di sekelilingnya. Semuanya menanggapi kejailan Conan dengan
senyum lebar. Evan mendesah dan kembali berusaha meraih Cuddles.
Tapi Conan paling tidak tiga puluh senti lebih jangkung dari Evan. Hamster itu
diangkatnya tinggi-tinggi, di luar jangkauan tangan Evan.
"Ayo! Buktikan dong!" ia mengulangi sambil tersenyum kepada yang lain.
"Sudah deh, Conan," Evan memohon. "Aku sudah capek mengejar-ngejar
hamster konyol ini Aku cuma mau mengembalikan dia ke kandangnya sebelum Mr.
Murphy..." "Kau punya surat izin untuknya?" tanya Conan. Ia masih mengangkat Cuddles
di atas kepala Evan. "Mana surat izinnya, coba?"
Evan melompat dan berusaha merebut Cuddles dengan kedua tangannya.
Tapi Conan terlalu gesit. Ia langsung menghindar, dan Evan cuma menangkap
angin. Beberapa anak tertawa. "Berikan hamster- nya kepada dia," seru Bree. Sejak tadi dia belum beranjak dari
base kedua. Mata Conan yang biru tampak bersinar-sinar.
"Begini saja deh," ia berkata kepada Evan. "Aku tahu bagaimana caranya supaya
kau bisa mendapat hamster ini lagi."
Evan memelototinya. Ia sudah muak dengan permainan-permainan Conan.
"Begini," Conan melanjutkan, sambil mendekap hamster itu di dada dengan sebelah
tangan dan mengelus-elus punggungnya dengan tangannya satu lagi
'Nyanyikan sebuah lagu."
"Hei... nggak mau!" seru Evan. "Kembalikan Cuddles padaku Conan"
Evan merasakan wajahnya bertambah panas lagi. Lututnya mulai gemetaran. Ia
hanya bisa berharap bahwa tak ada yang memperhatikannya.
"Nyanyikan Row, Row, Row Your Boat, dan aku akan mengembalikan Cuddles," ujar
Conan sambil nyengir. Beberapa anak tertawa. Mereka melangkah maju karena ingin tahu apa yang
akan dilakukan Evan. Evan menggelengkan kepala "Tidak mau."
"Ayo dong," Conan mendesak sambil mengusap bulu hamster itu "Row, Row, Row Your
Boat. Beberapa bait saja. Kau tahu lagunya, kan?"
Semakin banyak anak yang tertawa.
Senyum Conan bertambah lebar "Ayo, Evan. Kau suka menyanyi, kan?"
"Tidak, aku benci menyanyi," Evan bergumam sambil menatap Cuddles.
"Hei, jangan berlagak merendah," Conan berkeras. "Aku yakin kau penyanyi
yang baik. Suaramu sopran atau alto?"
Sekali lagi terdengar tawa berderai.
Evan mengepalkan tangan. Ia memukul Conan. Memukulnya dan memukulnya
lagi. Ia ingin menghapus senyum di wajah Conan dengan tinjunya.
Tapi ia masih ingat bagaimana rasanya memukul Conan. Rasanya seperti
memukul bak truk. Ia menarik napas panjang "Kau bakal mengembalikan Cuddles kalau aku mau
menyanyikan lagu konyol itu?"
Conan tidak menjawab. Tiba-tiba Evan menyadari bahwa Conan tak lagi menatapnya. Anak-anak lain
pun begitu. Semuanya memandang ke belakang Evan.
Evan berbalik dengan bingung dan berhadapan dengan Mr Murphy.
"Ada apa ini?" si guru bertanya.
Pandangannya beralih dan Evan ke Conan, lalu kembali pada Evan.
Sebelum Evan sempat menyahut, Conan sudah menyodorkan hamster itu "Ini Cuddles,
Mr.. Murphy," kata Conan. "Dia kabur gara-gara Evan. Tapi saya
masih sempat menyelamatkannya. Dia hampir terlindas tadi."
Mr Murphy memekik tertahan "Hampir terlindas ?" serunya "Cuddles" Hampir
terlindas?" Guru itu mengulurkan tangan dan mengambil kesayangannya dari tangan
Conan. Kemudian ia mendekapnya dengan erat, mengusap-usap dan
mengeluarkan suara-suara menenangkan..
"Terima kasih, Conan," Mr Murphy berkata, lalu memelototi Evan. "Saya
kecewa sekali, Evan."
Evan hendak membela diri tapi Mr Murphy mengangkat sebelah tangan untuk
menyuruhnya diam. "Besok kita akan membahas kejadian ini. Sekarang saya
harus mengembalikan Cuddles yang malang ke kandangnya"
Evan terduduk di tanah. Ia memperhatikan Mr Murphy membawa Cuddles
kembali ke gedung sekolah. Cara Mr. Murphy berjalan persis sama dengan
hamster- nya , Evan menyadari.
Dalam keadaan biasa, ia pasti akan tersenyurn sendiri.
Tapi Evan terlalu murung untuk bisa dihibur oleh apa pun.
Conan telah mempermalukannya di depan anak lain. Dan gara-gara tukang
pukul yang suka nyengir itu Evan dua kali berturut-turut dimarahi Mr Murphy!
Permainan kickball sudah dimulai lagi.
Evan bangkit dengan lesu. Dengan langkah gontai ia kembali ke gedung sekolah
untuk mengambil ranselnya.
Ia tidak bisa memutuskan siapa yang lebih dibencinya - Cuddles atau Conan.
Tiba-tiba ia membayangkan Cuddles di dalam kaleng biskuit sedang
dipanggang di dalam oven.
Tapi bayangan indah itu pun tak berhasil menghibur Evan.
Ia mengeluarkan ranselnya dari locker, lalu menyandangnya di bahu. Kemudian ia
membanting pintu locker. Bunyinya terdengar bergema di lorong yang sepi.
Evan keluar dari gedung sekolah dan mulai berjalan pulang. Ia berjalan
pelanpelan. Perasaannya kacau-balau. Ini benar-benar hari yang buruk, ia berkata dalam hati. Tapi paling tidak, untuk
hari ini tak mungkin terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi.
Ia baru saja menyeberang jalan dan sedang menyusuri trotoar yang
berdampingan dengan pagar tanaman yang tinggi.... ketika ia disergap dari
belakang. Bahunya digenggam dengan keras, dan kemudian ia ditarik dengan
kasar sampai terjatuh. Evan memekik kaget dan menatap wajah penyerangnya. "Kau!" serunya.
7 "Aku punya saran untukmu, Evan," ujar Andy sambil nyengir "Jangan coba-coba ikut
tim gulat." "Andy!" Evan berseru. Ia menatap gadis itu sambil terheran-heran. "Kau kok ada
di sini?" Andy mengulurkan kedua tangannya, membantu Evan berdiri. Matanya yang
cokelat tampak bersinar-sinar.
"Kau tidak baca surat-suratku?" ia bertanya.
Evan berkenalan dengan Andy pada musim panas yang lalu, waktu ia berlibur
di rumah nenek selama beberapa minggu. Ia dan Andy kemudian berteman baik.
Andy ikut ketika Evan membeli Darah Monsters. Dan bersama-sama mereka
kemudian menjalani petualangan Darah Monster yang menakutkan.
Evan menyukai Andy karena gadis itu lucu, tak kenal takut, dan agak sinting.
Evan tak pernah bisa meramalkan apa yang bakal diperbuatnya.
Penampilan Andy pun bukan seperti gadis-gadis lain yang dikenal Evan. Andy
suka warna-warna mencolok. Sekarang ini ia mengenakan T-shirt k ungu-unguan
tanpa lengan, dengan celana pendek kuning terang yang serasi dengan
sepatu ketsnya yang juga kuning.
"Dalam suratku yang terakhir aku sudah bilang orangtuaku bertugas di luar negeri
selama setahun," Andy berkata sambil mendorong Evan secara bergurau
"Aku kan sudah bilang mereka menitipkan aku di rumah paman dan bibiku di
Atlanta. Dan aku juga sudah bilang aku bakal tinggal cuma tiga blok dari
rumahmu." "Aku tahu. Aku tahu," balas Evan sambil memutar-mutar bola matanya "Aku
cuma tidak menyangka kau bakal menyergapku dari belakang."
"Kenapa tidak?" tanya Andy Matanya yang gelap menatap mata Evan.
Evan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Kau senang ketemu aku?" tanya Andy.
"Tidak," Evan berkelakar.
Andy mencabut sebatang rumput dan menyelipkannya ke sudut mulutnya.
Mereka mulai berjalan ke arah rumah Evan.
"Senin besok aku mulai sekolah di sekolahmu," Andy berkata sambil
menggigit-gigit batang rumputnya.
"Wah, gawat," balas Evan.
Andy langsung mendorongnya sampai turun dari trotoar. "Katanya orang di
daerah Selatan sopan-sopan. "
"Aku baru pindah," Evan menyahut.
"Bagaimana kabarnya Trigger?" tanya Andy sambil menendang sebuah kerikil.
"Baik," jawab Evan.
"Kau lagi sakit gigi, ,ya?" Andy menyindir karena Evan sepertinya enggan
mengobrol dengannya. "Aku lagi kesal," Evan mengakui "Semuanya serba kacau hari ini."
Tapi tidak mungkin lebih kacau dibandingkan waktu Darah Monster
mengamuk?" Andy berseru.
Evan mengerang tertahan. "Tolong jangan sebuti Darah Monster, oke?"
Andy mengamatinya dengan saksama Roman mukanya mendadak serius. "Ada
apa sih, Evan" Sepertinya kau kesal sekali," ia berkata "Kau tidak tinggal di
sini." Evan menggelengkan kepala "Tidak terlalu" sambil berjalan, Evan
menceritakan semua masalah yang ia alami di sekolahnya yang baru. Ia
bercerita tentang Mr Murphy dan Cuddles, dan bagaimana guru itu seakan-akan
tak bosan-bosannya mengusiknya.
Ia juga bercerita tentang Conan the Barbarian, bagaimana Conan selalu jail
terhadapnya, dan selalu mempermainkan dan mengolok-oloknya.
"Dan tak ada yang mau percaya soal Darah Monster," Evan menambahkan.
Mereka telah sampai di depan pekarangan rumah Evan. Mereka memandang ke
rumahnya yang baru, sebuah rumah batu bata berlantai dua dengan atap yang landai. Matahari sore
menghilang di balik gumpalan awan, dan sebuah bayangan lebar merayap ke
rumput di pekarangan. Andy terbengong-bengong. Rumput di mulutnya jatuh ke trotoar. "Kau cerita soal
Darah Monster kepada anak-anak di sini?" ia bertanya dengan heran. .
Evan mengangguk "Yeah, kenapa tidak" Ceritanya cukup seru, kan?"
"Dan kaupikir mereka bakal percaya?" seru Andy sambil menepuk keningnya dengan
sebelah tangan. "Mereka pasti menganggapmu aneh."
"Yeah," balas Evan dengan getir "Mereka semua menganggapku aneh."
Andy tertawa. "Hmm, kau memang aneh!"
"Terima kasih banyak, Annnndrea!", gumam Evan. Ia tahu Andy paling sebal
kalau ada orang yang memanggilnya dengan nama sesungguhnya.
"Jangan panggii aku Andrea," balas gadis itu dengan ketus. Ia mengacungkan
tinjunya. "Atau kuhajar kau." "Annnndrea," Evan mengulangi, lalu cepat-cepat membungkuk ketika Andrea
melayangkan pukulan. "Kau memukul seperti cewek?" seru Evan
"Dan hidungmu bakal berdarah seperti cowok!" Andy mengancam sambil tertawa,
Evan berhenti. Tiba-tiba saja ia mendapatkan ide. "Hei kau bisa menjelaskan
kepada semua orang bahwa aku tidak mengada-ada!"
"Hah"'Untuk apa"'t tanya Andrea.
"Aku serius," Evan berkata dengan penuh semangat. "Kau bisa memberitahu semua
orang di Sekolah bahwa Darah Monster memang ada. Kau ada di sana
waktu itu. Kau juga melihatnya."
Roman muka Andy mendadak berubah. Matanya yang gelap tampak bersinar-
sinar dan ia tersenyum penuh arti "Aku punya ide yang lebih bagus lagi," Ia
berkata dengan misterius.
Evan langsung meraih pundak Andy. "Hah" Apa maksudmu" Ide apa yang
lebih bagus lagi ?" "Lihat saja nanti," balas Andy "Aku bawa sesuatu"
"Apa" Apa yang kaubawa" Apa maksudmu?" Evan menuntut penjelasan.
"Temui aku seusai sekolah besok," Andy memberitahunya "Di taman kecil di
sana" Ia menunjuk ke blok berikut. Sebuah taman sempit, sepanjang beberapa blok,
menyusuri sebuah kali kecil.
"Apa sih yang kaubawa?" desak Evan. Ia merasa penasaran sekali.
Andy tertawa "Aku paling senang menyiksamur' katanya. "Tapi ini terlalu mudah"
Kemudian ia berbalik dan berlari pergi.
"Andy... tunggu!", Evan memanggilnya. "Apa sih yang kaubawa" Beritahu aku
dong!" Tapi gadis itu tak menggubrisnya Menoleh pun tidak.
8 MALAM itu Evan bermimpi tentang Darah Monster.
Hampir setiap malam ia memimpikannya.
Kali ini ia bermimpi ayahnya tanpa sengaja memakan segumapal Darah
Monster. Kini Mr. Ross hendak berangkat ke kantornya. Tapi badannya sudah
terlalu besar untuk melewati pintu.
"Ini pasti gara-gara kau, Evan" Mr Ross berseru dengan suara bergemuruh yang
membuat seluruh rumah terguncang "Awas, kali ini kau dapat masalah besar"
Masalah besar. Kata-kata tersebut terngiang-ngiang di telinga Evan ketika ia duduk di tempat
tidur dan berusaha menyingkirkan mimpi itu dari pikirannya.
Tirai di kamar tidurnya bergerak tanpa suara di depan jendela yang terbuka.
Bintang-bintang tampak pucat di langit yang hitam pekat. Evan memicingkan
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya dan melihat susunan rasi bintang Ursa Mayor. Atau Ursa Minor" Dan
dulu tak pernah bisa membedakan keduanya.
Evan memejamkan matanya, lalu meletakkan kepalanya di bantal. Ia
memikirkan Andy. Ia senang Andy akan tinggal di Atlanta selama beberapa
waktu. Gadis itu enak diajak berteman, meskipun tingkahnya kadang-kadang
agak menyebalkan. "Kira-kira apa yang hendak ditunjukkannya di taman besok"
Paling-paling tidak ada apa-apa, Evan menebak paling-paling cuma lelucon
konyol. Andy memang memang suka membuat lelucon konyol.
Bagaimana aku membujuknya supaya dia mau menceritakan soal Darah
Monster kepada anak-anak di sekolah" Evan bertanya-tanya. Bagaimana
caranya aku bisa membujuk Andy untuk menjelaskan kepada semua orang
bahwa aku tidak mengada-ada, bahwa cerita itu memang benar"
Evan masih memikirkan persoalan ini ketika akhirnya ia tertidur dengan
gelisah. *** Keesokan harinya, di sekolah ternyata sama saja dengan hari sebelumnya.
Waktu jam pelajaran bebas, Conan merangkak ke arah meja Evan dan mengikat
tali sepatu kiri dan kanannya. Waktu Evan berdiri untuk pergi ke
kamar kecil, ia langsung jatuh terjerembap. Lututnya lecet sebelah, tapi tak ada
yang peduli. Anak-anak yang lain tertawa sampai berjam-jam.
"Ibunya Evan salah mengikat tali sepatunya tadi pagi!" Conan berkoar. Dan
kelakarnya itu disambut dengan tawa yang lebih keras lagi.
Waktu jam pelajaran IPA, Mr Murphy menyuruh Evan menghampiri kandang
hamster. "Coba lihat Cuddles yang; malang," guru itu berkata. Digeleng-
gelengkannya kepalanya yang bulat dengan sikap prihatin.
Evan menatap ke dalam kandang. Cuddles terbaring di sudut di bawah
tumpukan serbuk gergap Hamster itu gemetaran dan napasnya terengah-engah.
"Sejak kejadian kemarin, Cuddles terus menderita seperti ini," Mr Murphy
berkata sambil mengerutkan kening. Ia menatap Evan dengan pandangan
menyalahkan, "Cuddles jatuh sakit karena kecerobohanmu."
"Saya... saya minta maaf," Evan tergagap-gagap. Ia mengamati hamster itu dengan
tajam. Kau cuma pura-pura... ya, kan,Cuddles" Evan berkata, dalam
hati. Kau cuma pura-pura sakit supaya aku kena marah!
Hamster itu menggigil dan matanya yang hitam menatap Evan dengan
pandangan sedih. Ketika Evan kembali duduk di kursinya, ia merasakan air dingin meresap ke
celananya. Ia memekik kaget dan langsung berdiri lagi. Seseorang -
kemungkinan besar sih Conan - telah menuangkan secangkir air ke tempat
duduknya. Akibatnya sudah bisa ditebak. Seluruh kelas terbahak-bahak selama paling tidak
sepuluh menit. Anak-anak itu baru berhenti ketika Mr. Murphy mengancam
bahwa mereka takkan diizinkan pulang saat bel berbunyi.
"Duduk, Evan," guru itu memerintahkan.
"Tapi, Mr. Murphy.. .," Evan angkat bicara.
"Duduk... dan jangan, coba-coba membantah!" Mr Murphy berkeras.
Evan terpaksa menduduki kursinya yang basah. Apa lagi yang dapat
dilakukannya" *** Andy telah menanti Evan di kali kecil berair yang membelah taman mungil itu.
Pohon-pohon sassafras terayun-ayun dan berdesir-desir karena tiupan angin
yang panas. Sebatang pohon
pinus Georgia tumbuh miring di atas air, seakan-akan hendak menjangkau tepi
seberang kali. Andy mengenakan T-shirt biru cerah dan celana pendek hijau manyala. Sudah agak
lama ia mengamati bayangannya sendiri pada permukaan air yang keruh.
Ketika Evan memanggilnya, ia langsung berbalik sambil tersenyum.
"Bagaimana di sekolah tadi?" tanya Andy.
"Sama seperti biasa," balas Evan sambil mendesah. Kemudian roman mukanya
bertambah cerah, "Apa yang kaubawa?" tanyanya penuh semangat.
"Sabar dong." Andy menghalangi pandangan Evan dengan sebelah tangan.
"Tutup matamu, Evan. Dan jangan buka sebelum aku bilang boleh."
Dengan taat Evan memejamkan mata. Tapi ketika Andy menarik tangannya,
Evan membuka matanya sedikit, sekadar agar bisa mengintip. Ia melihat Andy
membungkuk di balik pohon pinus dan memungut sebuah kantong kertas
berwarna cokelat. Kemudian Andy kembali menghampiri Evan sambil membawa kantong itu.
"Kau mengintip... ya, kan?" tuduhnya.
"Mungkin," Evan mengakui sambil nyengir. Dengan bergurau Andy menonjok
perutnya. Evan mengaduh dan membuka mata. "Apa isi kantong itu?"
Andy segera menyerahkan kantongnya.
Evan membukanya, mengintip ke dalam dan langsung melongo.
Kaleng biru yang takkan pernah dilupakannya. Kira-kira sebesar kaleng susu
kental manis. "Andy kau kau," Evan tergagap-gagap. Ia terus menatap isi kantong itu dengan
mata terbelalak. Ia meraih ke dalam dan mengeluarkan kalengnya. Ia membaca labelnya yang
telah memudar DARAH MONSTER.
Kemudian ia membaca tulisan di bawahnya yang tercetak dengan huruf-huruf
kecil LENDIR AJAIB. "Aku menyimpannya," ujar Andy dengan bangga.
Evan belum pulih dari rasa kagetnya. "Kau bawa Darah Monster! Ya ampun!
Kau bawa Darah Monster!"
"Bukan." Andy menggelengkan kepala "Kalengnya kosong, Evan. Kalengnya
sudah kosong." Evan langsung lesu. Ia mendesah dengan kecewa.
"Tapi kau bisa memperlihatkannya kepada anak-anak di sekolahmu," Andy
menambahkan "ini bukti nyata bahwa kau tidak mengada-ada. Ini bukti nyata
bahwa Darah Monster benar-benar ada"
Evan kembali mendesah "Apa gunanya kaleng kosong?" ia menggerutu.
Ia membuka tutupnya, mengintip ke dalam dan menjerit.
9 DENGAN tangan gemetaran, Evan memiringkan kaleng agar Andy bisa melihat
ke dalamnya "Ya Tuhan" gadis itu memekik sambil menempelkan kedua tangan ke pipi.
Kaleng itu setengah penuh.
Di dalamnya, segumpal Darah Monster berwarna hijau tampak berkilau karena
terkena cahaya matahari. Sepintas lalu kelihatannya seperti agar-agar.
"Tapi tadi kaleng ini masih kosong!" Andy memprotes sambil mendelik "Aku yakin
kaleng ini kosong!" Evan mengguncang-guncangkan kaleng Gumpalan hijau di dalamnya ikut
bergoyang. "Mungkin ada setitik Darah Monster yang tersisa," Evan menduga-duga "Di
dasar kaleng. Dan sekarang tumbuh dan tumbuh lagi."
"Malah bagus!" seru Andy. Ia menepuk punggung Evan dengan begitu keras,
sehingga kaleng biru di tangan Evan nyaris terlepas.
"Bagus" Apanya yang bagus?" tanya Evan.
"Sekarang kau bisa menunjukkan ini kepada anak-anak di sekolahmu," Andy
menyahut "Sekarang mereka harus percaya padamu"
"Benar juga," Evan bergumam
"Oh! Aku ada ide yang lebih bagus" seru Andy, dan matanya yang gelap
langsung berbinar-binar. "Oh-oh," ujar Evan pelan-pelan.
"Masukkan sedikit ke makan siang Conan besok. Kalau dia mulai tumbuh
sampai sebesar kuda nil, semua orang akan melihat sendiri bahwa Darah
Monster benar-benar ada."
"Jangan?" seru Evan. Ia mendekap kaleng biru itu seakan-akan hendak menjaganya
dari Andy. "Sekarang saja Conan sudah terlalu besar!" ia berkata sambil mundur
selangkah "Jangan sampai dia tumbuh lagi, biarpun cuma satu
inci. Kau tahu apa yang bisa dilakukannya padaku kalau dia jadi raksasa?"
Andy tertawa dan angkat bahu "Ini kan cuma usul."
"Usul yang buruk," kata Evan dengan ketus. "Benar-benar buruk"
"Dasar penakut," Andy mengejeknya. Ia melompat maju dan mencoba merebut kaleng
itu dari tangan Evan. Evan cepat-cepat berbalik dan membelakangi Andy. Ia sampai membungkuk
untuk melindungi kaleng tersebut.
"Ayo, serahkan padaku" Andy berseru sambil tertawa. Ia mulai menggelitik
pinggang Evan. "Serahkan! Serahkan!"
"Tidak" Evan memprotes, lalu kabur ke arah semak belukar yang aman.
"Itu punyaku!" Andy menegaskan. Ia mengejar Evan sambil bertolak pinggang,
"Kalau kau tidak mau memakainya, lebih baik kembalikan saja!"
Tapi Evan tidak mau menyerah begitu saja. Roman mukanya menjadi serius.
"Andy, kau sudah lupa, ya?" serunya dengan nada melengkmg "Kau sudah lupa
betapa menakutkatkannya Darah Monster" Betapa berbahayanya" Betapa
banyak masalah yang timbul dulu?"
"Jadi?" Andy balik bertanya. Pandangannya melekat pada kaleng biru itu.
"Kita harus menyingkirkannya," Evan berkata dengan tegas "Kita tidak boleh
membiarkannya keluar dari kaleng. Darah Monster ini bakal tumbuh, tumbuh,
dan tumbuh, dan tak ada yang bisa menghentikannya."
"Lho, kupikir kau mau memperlihatkannya kepada teman-teman sekelasmu,
untuk membuktikan bahwa Darah Monster benar-benar ada."
"Tidak," Evan memotong, "Aku berubah pikiran. Itu terlalu berbahaya. Kita harus
menyingkirkannya" Ia menatap Andy dengan tajam. Tampangnya
kelihatan kencang karena ngeri. "Andy, gara-gara Darah Monster ini aku
sempat bermimpi buruk setiap malam. Aku tidak mau bermimpi buruk lagi."
"Oke, oke," gumam Andy. Ia menendang akar pohon yang menyembul dari
permukaan tanah. Kemudian menyerahkan kantong kertas tadi kepada Evan.
Evan segera memasang tutup kaleng Darah Monster. Kemudian kalengnya
dimasukkan kembali ke kantong. "Nah, sekarang bagaimana cara kita
menyingkirkannya?" ia bertanya.
"Aku tahu. Buang saja ke kali," Andy mengusulkan.
Evan menggelengkan kepala "Jangan Bagaimana kalau lendirnya sampai
meresap keluar dari kaleng dan menimbulkan polusi di kali."
"Kali ini sudah kena polusi" seru Andy "Lihat saja, kali ini lebih pantas
disebut kubangan." "Lagi pula, kalinya kurang dalam," Evan menandaskan , "Pasti ada orang yang
menemukan kaleng ini dan mengeluarkannya dari air. Kita tidak boleh ambil
risiko." "Kalau begitu, bagaimana dong caranya menyingkirkan Darah Monster ini?"
tanya Andy sambil berkonsentrasi Wajahnya sampai berkerut-kerut Hmmmm
Bagaimana kalau kita makan saja" Beres, kan?"
"Lucu sekali," Evan bergumam sambil memutar-mutar bola mata.
"Hem, aku cuma mau membantu," Andy membela diri.
"Tapi bukan begitu caranya!" balas Evari dengan ketus.
"Huh, ngomel melulu," Andy menggerutu, lalu menjulurkan lidah.
"Bagaimana kita bisa menyingkirkannya?" Evan mengulangi sambil memegang
kantong itu dengan kedua tangan, "Bagaimana caranya?"
"Aku tahu caranya!" seru seseorang tiba-tiba Evan dan Andy sama-sama kaget.
Conan Barber muncul dari balik semak-semak. "Berikan saja kepadaku" anak
itu berkata. Dan dengan tangannya yang berotot ia berusaha merebut kantong
kertas tersebut. 10 TERBURU-BURU Evan menyembunyikan kantong itu di balik punggungnya.
Conan menghampiri mereka. Ia menatap Evan sambil memicingkan mata.
Wah, sudah berapa lama dia bersembunyi di sana" Evan bertanya-tanya.
Jangan-jangan dia sempat mendengar Andy dan aku bicara soal Darah Monster!
Jangan-jangan justru karena itulah dia mengincar kantong ini!
"Hai, aku Andy," Andy berk?ta dengan riang. Sambil tersenyum kepada Conan,
ia melangkah ke antara kedua anak itu.
"Andy nama cowok," ujar Conan sambil mengerutkan hidung, lalu menatap
Andy dengan pandangan menantang.
"Dan Conan" Nama apa itu?" sahut Andy sambil membalas tatapannya.
"Hei, kau kenal aku" tanya Conan Sepertinya ia terheran-heran.
"Kau cukup terkenal," Andy menjawab singkat.
Tiba-tiba Conan teringat lagi kepada Evan. Langsung saja ia mengulurkan
tangannya yang besar. "Mana kantong itu?"
"Kenapa harus kuberikan padamu?" tanya Evan. Ia berusaha agar suaranya tetap
tenang. "Karena kantong itu milikku," Conan berbohong "Tadi jatuh di sini."
"Kau kehilangan kantong kosong di sini?" tanya Evan.
Conan mengusir seekor lalat yang hinggap di rambutnya yang pirang "Kantong
itu tidak kosong. Aku melihat kau memasukkan sesuatu. Ayo, kembalikan.
Cepat." "Ehm... oke. Evan menyerahkan kantong kertas itu.
Conan segera merogoh ke dalamnya. Tangannya meraba-raba, tapi tidak
menemukan apa-apa. Ia mengintip ke dalam kantong Ternyata memang kosong. Kemudian ia
menatap Andy dengan tajam, lalu beraith kepada Evan
"Aku kan sudah bilang, kantong itu kosong," ujar Evan
"Barangkah aku keliru," Conan bergumam "Hei, tidak apa-apa, kan" Ayo, kita
salaman." Conan menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Evan.
Dengan enggan Evan mengulurkan tangannya. Conan segera meraih tangan
Evan dan menggenggamnya dengan erat Semakin erat.
Jari-jemari Evan mengeluarkan bunyi kertak-kertak,bagaikan pohon tumbang!
Conan meremas-remas tangan Evan dengan keras, sampai Evan berteriak
kesakitan. Ketika Conan akhirnya melepaskan tangan Evan, tangan itu tampak
merah seperti sepotong daging hamburger mentah.
"Wow, genggamanmu boleh juga!" seru Conan sambil tersenyum mengejek.
Kemudian ia menjentikkan jan ke hidung Andy, lalu - sambil tertawa - menuju
jalanan. "Ramah sekali," Andy bergumam sambil menggosok-gosok hidung.
Evan meniup-niup tangannya, seakan-akan herusaha memadamkan kebakaran
"Barangkali aku harus jadi kidal," keluhnya
"Hei Darah Monster-nya mana?" tanya Andy
"Aku aku menjtuhkannya," balas Evan, yang masih sibuk mengamati
tangannya. "Hah" Andy menendang sebongkah tanah berumput lalu menghampiri Evan.
"Tadinya kupikir bisa kuselipkan ke kantong belakangku sementara Conan
bicara denganmu," Evan menjelaskan "Tapi tahu-tahu malah jatuh"
Ia berbalik, lalu membungkuk dan memungut kaleng itu dari tanah. "Untung
saja tidak menggelinding. Conan pasti akan melihatnya."
"Ah, biar saja. Dia toh tidak tahu apa kegunaannya," Andy berkomentar
"Tapi sekarang bagaimana nih?" tanya Evan "Belum apa-apa Darah Monster ini sudah
bikin masalah. Kita harus menyembunyikannya, atau membuangnya,
atau.. atau..." Ia mernbuka tutup kaleng "Oh, wow! Lihat nih!" Evan menyodorkan kaleng itu
ke hadapan Andy. Lendir hijau itu sudah nyaris memenuhi seluruh kaleng
"Tumbuhnya jauh lebih cepat. Mungkin karena sudah kena udara."
Evan langsung kembali memasang tutup kaleng rapat-rapat.
"Kita kubur saja deh," Andy mengusulkan "Di sini. Di bawah pohon ini. Kita
gali lubang yang dalam, terus kita timbun dengan tanah"
Evan menyukai ide yang sederhana dan mudah dikerjakan itu.
Mereka jongkok dan mulai menggali dengan tangan. Tanah di bawah pohon
ternyata gembur. Dalam waktu singkat mereka telah berhasil menggali lubang
yang cukup dalam. Evan memasukkan kaleng biru berisi Darah Monster itu ke lubang. Kemudian
mereka cepat-cepat menimbunnya Tanahnya diratakan lagi, Sehingga takkan
ada yang tahu bahwa di situ pernah ada lubang.
"Inii rencana bagus," ujar Andy sambil bangkit. Dengan jail ia menggunakan
bagian belakang T-shirt Evan sebagai lap untuk tangannya "Kalau kapan-kapan
membutuhkannya, kita tinggal mengambilnya di sini."
Rambut Evan yang merah menempel di keningnya karena basah oleh keringat.
"Hah Untuk apa kita membutuhkan Darah Monster?" tanyanya.
Andy angkat bahu, "Siapa tahu?"
"Kita takkan membutuhkannya," Evan berkata dengan tegas "Takkan pernah"
Tapi ia keliru, keliru sekali.
11 "Wah, sedang apa nih?" Evan bertanya sambil masuk ke garasi.
Mr. Ross berhenti mengetok, lalu berbalik. Ia tersenyum kepada putranya. "Mau
Goosebumps - Darah Monster 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat karyaku yang terbaru?"
"Yeah. Tentu," balas Evan. Setiap akhir pekan ayahnya menghabiskan waktu
berjam-jam di garasi dengan mengetok-ngetok lembaran logam untuk
menciptakan 'karya' baru.
Ia memahat, memalu, menggergaji, dan menghabiskan banyak waktu untuk
patung-patungnya. Tapi di mata Evan, karya-karya itu tak lebih dari lembaran-
lembaran logam yang penyok.
Mr. Ross mundur beberapa langkah untuk mengagumi patung yang sedang
dikerjakannya. Ia menurunkan palu besar yang dipegangnya di tangan kanan
lalu menunjuk dengan pahat di tangan kirinya, "Untuk yang ini aku memakai
kuningan," ia memberitahu Evan. "Judulnya Daun Musim Gugur."
Evan mengamatinya sambil mengerutkan kening. "Memang mirip daun," ia
berbohong. Kenapa Dad harus merusak lembaran kuningan ini" Ia bertanya
dalam hati "Aku tidak mau membuat daun," Mr Ross meralat ucapan Evan. "Patung ini
mencerminkan kesanku tentang daun."
"Oh" Evan menggaruk-garuk rambutnya yang merah sambil kembali
mengamati patung itu "Bagus juga," ia berkata "Aku langsung bisa menangkap
maksud Dad." Kemudian pandangannya beralih "Hem.... apa ini?"
Dengan hati-hati Evan melangkahi beberapa potong logam yang tajam.
Kemudian ia menghampiri patung logam lain dan meraba-raba permukaannya
yang mulus dan mengilap. Patung itu berupa tabung aluminium yang dipasang
pada sepotong kayu datar.
"Coba putar," Mr Ross menginstruksikan sambil tersenyum bangga.
Dengan kedua tangannya Evan mendorong tabung itu, yang lalu berputar
perlahan. "Judulnya Roda," ayahnya menjelaskan.
Evan tertawa "Wah, hebat Dad menciptakan roda!"
"Jangan tertawa" balas Mr Ross sambil tersenyum "Patung itu diterima untuk
kompetisi seni tahunan di sekolahmu. Beberapa hari lagi aku akan
membawanya ke auditorium untuk dipamerkan."
Evan memutar Roda sekali lagi "Aku yakin cuma Dad yang membuat roda yang benar-
benar bisa berputar," ia berkata. "Dad pasti menang deh,!" ia menggoda.
"Sindiran adalah bentuk humor yang paling rendah," Mr Ross bergumam
sambil mengerutkan kening.
Evan berpamitan lalu keluar dari garasi. Ia harus berhati-hati agar tidak
menginjak potongan-potongan kuningan dan seng yang tergeletak di mana-
mana. Ketika menuju rumah, ia kembali mendengar bunyi klontang, klontang,
klontang, yang menandakan bahwa ayahnya telah mulai bekerja lagi.
*** Seusai jam pelajaran pada han Senin, Evan membelok di lorong sekolah dan
bertabrakan dengan Andy "Aku lagi terburu-buru," ia berkata sambil terengah-
engah "Aku telat untuk uji coba basket."
Ia menatap lorong panjang yang sepi. Pintu aula olahraga di ujung membuka,
dan ia mendengar bunyi bola basket memantul-mantul di lantai.
"Kenapa kau bisa telat?" tanya Andy.
"Mr Murphy menahanku di kelas," Evan bercerita sambil mendongkol "Aku
dapat tugas tetap untuk membersihkan kandang hamster. Aku harus mengurus Cuddles
setiap sore selama hidupku."
"Oh, gawat," Andy bergumam.
"Itu belum apa-apa," balas Evan dengan getir.
"Ada apa lagi?"
"Mr Murphy merangkap sebagai pelatih basket!"
"Wah, selamat berjuang," ujar Andy "Mudah-mudahan saja kau terpilih untuk
ikut tim." Evan langsung kembali berlari. Jantungnya berdebar-debar.
Mr. Murphy memang brengsek, ia mengomel dalam hati. Dia pasti menolak aku
masuk tim karena aku terlambat latihan... padahal gara-gara dia aku jadi telat!
Evan menarik napas panjang. Jangan. Jangan berpikir begitu, ia menegur
dirinya sendiri. Berpikir positif. Aku harus berpikir positif.
Memang, aku tidak sejangkung anak-anak lain. Mungkin juga tidak sekekar
atau sekuat mereka. Tapi aku pemain basket yang cekatan. Dan aku bisa masuk
tim sekolah. Aku bisa masuk tim. Aku tahu aku bisa
Setelah membesarkan hati sendiri, Evan membuka pintu aula dan memasuki
ruangan yang terang benderang itu.
"Hei... tangkap!" sebuah suara berseru.
Wajah Evan seolah-olah meledak.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
12 KETIKA Evan membuka mata, ternyata Mr. Murphy dan sekitar dua puluh
anak sedang menatapnya. Ia telentang di lantai aula. Wajahnya masih nyeri. Nyeri sekali.
Ia mengangkat sebelah tangan dan memegang-megang hidungnya, yang terasa
bagaikan daun selada yang layu.
"Kau tidak apa-apa, Evan?" tanya Mr Murphy. Guru itu membungkuk di atas Evan,
dan peluit yang tergantung di lehernya membentur-bentur dada Evan.
"Apakah... apakah muka saya meledak?" Evan bertanya perlahan-lahan.
Beberapa anak tertawa cekikikan. Mereka segera terdiam ketika Mr Murphy
memelototi mereka dengan gusar. Kemudian ia kembali berpaling kepada Evan
"Kau kena lemparan bola dari Conan," ia menjelaskan.
"Refleksnya payah, Coach," Evan mendengar Conan berkata walaupun tidak
bisa melihatnya. "Mestinya dia menangkap operan saya. Saya pikir ia bakal
menangkap bolanya. Tapi ternyata refleksnya payah"
"Ya, saya melihat semuanya," Biggie Malick, teman Conan yang juga berbadan
raksasa, menimpali. "Ini jelas-jelas bukan salah Conan. Evan seharusnya
menangkap bola itu. Operan Conan bagus kok."
Sial, pikir Evan sambil mendesah. Sekali lagi ia meraba-raba hidungnya. Kali ini
rasanya seperti sepotong kentang yang baru saja dilumatkan. Masih untung tidak
patah, ia berkata dalam hati.
Sejak itu acara uji coba basket terus bertambah parah bagi Evan.
Mr Murphy membantunya berdiri. "Kau masih mau ikut uji coba?" ia bertanya.
Bukannya mendukung, pikir Evan dengan getir.
"Saya yakin bisa masuk tim," ia berkata.
Tapi Conan, Biggie, dan anak-anak lain punya rencana tersendiri.
Dalam acara menggiring bola, Evan mulai men- dribble dengan penuh percaya diri.
Tapi sebelum sampai di bawah ring, Biggie menabraknya dengan keras...
dan Conan langsung merebut bola dari tangan Evan.
Mereka menghalau tembakan-tembakan Evan. Mereka memotong setiap operan
yang dilakukannya. Mereka menabraknya setiap kali ia bergerak, Sehingga ia berulang-ulang
terpelanting ke lantai kayu.
Sebuah operan kencang dari Conan menghantam mulut Evan.
"Oo-oh! Sori!" seru Conan.
Biggie tertawa terbahak-bahak.
"Pertahanan! Saya mau lihat pertahanan!" Mr Murphy berseru dari tepi lapangan.
Evan menekuk lutut dan mengambil posisi bertahan. Conan men-dribble bola ke
arahnya, dan Evan bersiap-siap menghalaunya.
Conan bertambah dekat. Semakin dekat.
Evan mengangkat kedua tangan untuk menghalangi tembakan Conan.
Tapi di luar dugaan Evan, Conan membiarkan bola memantul-mantul ke luar
lapangan. Dengan satu gerakan cepat ia meraih pinggang Evan, melompat
tinggi-tinggi, dan mendudukkan Evan di ring basket.
"Tiga angka!" Conan bersorak dengan gembira.
Biggie dan anak-anak yang lain langsung menghampirinya untuk mengucapkan
selamat. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Mr Murphy terpaksa mengambil tangga untuk menurunkan Evan.
Sambil menggenggam pundak Evan, guru itu menggiringnya ke tepi lapangan.
"Kau kurang jangkung," Mr Murphy berkata sambil menggosok-gosok pipinya
"Jangan terslnggung. Mungkin kau masih akan bertambah tinggi. Tapi untuk
sementara, kau kurang jangkung"
Evan diam saja. Ia menundukkan kepala dan meninggalkan aula dengan sedih
dan kecewa. Conan menyusulnya sebelum ia keluar lewat pintu. "Hei, Evan, jangan
dlmasukkan ke hati, oke?" Ia mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
*** Evan menunjukkan tangannya kepada Andy.
"Kelihatannya seperti bunga yang layu," gadis itu berkomentar.
"Bayangkan, dua kali aku termakan tipuan Conan" Evan menyesali nasibnya.
Ketika itu sudah keesokan sorenya. Evan dan Andy telah berjalan dan sekolah
ke taman kecil di dekat rumah mereka. Sepanjang jalan Evan mengeluh tentang
Mr. Murphy, Conan, dan para pemain basket yang lain.
Matahari sore menyinari mereka ketika mereka berjalan Andy berhenti sejenak
untuk mengamati dua kupu-kupu besar mengepakkan sayap mereka yang
berwarna hitam-emas di atas buhga-bunga liar berwarna biru dan kuning di
pinggir kali. Kali kecil berair cokelat itu pun tampak indah dalam cuaca yang cerah.
Serangga-serangga kecil berkilauan bagaikan berlian di atas permukaan air.
Evan menendang dahan yang tergeletak di tanah. Segala sesuatu terasa suram
baginya. Suram dan menyebalkan. "Mereka tidak adil," Ia menggerutu sambil kembali menendang dahan itu. "Uji
coba itu tidak adil. Seharusnya Mr Murphy memberi kesempatan lagi padaku."
Andy berdecak-decak. Pandangannya terarah pada kali yang berkilau-kilau.
"Mr. Murphy perlu diberi pelajaran," ujar Evan. "Coba kalau ada cara untuk
membalas semua perbuatannya."
Andy berpaling kepadanya. Ia tersenyum penuh arti. "Aku punya rencana,"
katanya pelan-pelan "Rencana yang bagus sekali."
"Rencana apa?" tanya Evan
13 "APA rencanamu?" Evan kembali bertanya.
Andy menatapnya sambil nyengir. Ia mengenakan T-shirt panjang berwarna hijau
terang yang ditumpuk di atas T-shirt jingga menyala dan ditarik hingga setengah
menutupi celana pendek baggy berwarna biru. Sinar matahari membuat warna-warna
itu bertambah cerah, dan Evan hampir menutup mata
karena kesilauan. "Mungkin kau tidak suka," Andy berkata dengan manja.
"Coba saja," balas Evan. "Ayo, jangan bikin aku tegang dong."
"Begini." Pandangan Andy beralih ke pohon tempat mereka menguburkan
Darah Monster. "Rencanaku ada kaitannya dengan Darah Monster," ia berkata
dengan hati-hati. Evan menelan ludah. "Oke Teruskan,"
"Nah, rencanaku sebenarnya sederhana saja. Pertama-tama, kita gali Darah
Monster," Andy berkata sambil memperhatikan reaksi Evan.
"Yeah?" "Terus kita bawa ke sekoiah," gadis itu melanjutkan.
"Yeah?" "Terus kita berikan kepada Cuddles."
Evan langsung terbengong-bengong.
"Sedikit saja" Andy cepat-cepat menjelaskan "Setetes saja kita berikan kepada
Cuddles. Biar dia tumbuh sampai sebesar anjing."
Evan tertawa. Rencana itu benar-benar buruk -tapi ia menyukainya!
Ia menepuk punggung Andy. "Kau keterlaluan, Andy" ia berseru "Benar-benar
keterlaluan!" Andy tersenyum dengan bangga. "Memang."
Evan kembali tertawa "Bayangkan tampang Mr Murphy waktu dia masuk kelas
dan melihat hamster kesayangannya sudah sebesar anjing cocker spaniel! Wah, ini
bakal seru!" "Jadi kau setuju?" tanya Andy.
Evan berhenti tersenyum "Ehm, ya," ia menjawab setelah berpikir sejenak "Asal
kau berjanji untuk memakai setetes saja. Dan sisanya harus langsung dikubur
Kelana Buana 16 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Pedang Sinar Emas 24