Pencarian

Gadis Pecinta Monster 3

Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster Bagian 3


makan malam, oke"."
"Tidak, Ayah - sungguh!" Aku bersikeras. "Aku harus mencetak ini. Ada sesuatu
yang sangat penting di dalamnya."
Dia berjalan melewatiku menuju rumah, sepatunya berderak di atas jalanan
kerikil. Aku mengikuti tepat di belakangnya, masih memegang kameraku tinggi-tinggi.
"Tolong, Yah" Ini sangat penting. Benar-benar penting!"
Dia berbalik, tertawa. "Apa yang kau punya" Satu gambar anak laki-laki yang
pindah ke seberang jalan?""
"Tidak," jawabku dengan marah. "Aku serius, Yah. Tak bisakah kau membawaku ke
mal" Ada tempat cuci cetak satu jam di sana."
"Apa yang begitu penting?" tanyanya, senyumnya memudar. Dia mengusap kepalanya,
merapikan rambut hitam tebalnya.
Aku memiliki dorongan untuk memberitahunya. Aku memiliki dorongan untuk
mengatakan bahwa aku punya satu foto monster di sana. Tapi aku menahan diri.
Aku tahu ia tak akan percaya padaku. Aku tahu ia tak akan menganggapku serius.
Lalu ia tak akan mengantarku ke mal untuk mencetak filmku. Tidak.
"Aku akan menunjukkan kepada Anda saat itu dicetak," kataku.
Dia membukakan pintu kasa. Kami berjalan ke dapur. Ayah mengendus udara beberapa
kali, mengharapkan aroma masakan makanan.
Ibu tiba-tiba datang dalam dari lorong untuk menyambut kami. "Jangan mengendus,"
katanya kepada ayahku. "Tak ada masakan apa-apa. Kita makan di luar malam ini."
"Bagus!" teriakku. "Bisakah kita makan di mal" Di restoran Cina kesukaan Anda?"
Aku berpaling pada ayahku. "Tolong" Tolong" Lalu aku bisa mencetak filmku saat
kita makan." "Aku bisa pergi untuk makanan Cina," kata Ibu sambil berpikir. Lalu ia berbalik
menatapku. "Mengapa begitu bersemangat untuk mencetak filmmu?"
"Itu rahasia," kata Ayah sebelum aku bisa menjawab. "Dia tidak akan bicara."
Aku tak bisa menahan lagi. "Itu foto Mr Mortman yang kujepret," kataku penuh
semangat. "In bukti bahwa dia itu monster."
Ibu memutar matanya. Ayah menggelengkan kepalanya.
"Ini bukti!" Aku bersikeras. "Mungkin saat kalian melihat foto itu, kalian
akhirnya akan percaya padaku."
"Kau benar," kata Ayah sinis. "Aku akan percaya saat aku melihatnya."
"Randy! Cepat bawah!" Ibu berteriak ke lorong. "Kita akan pergi ke mal untuk
makanan Cina!" "Ah, kita harus makan makanan Cina?" kata adikku sedih. Jawaban standarnya.
"Aku akan membelikanmu mie polos lo mein yang kau sukai," seru Ibu ke arahnya.
"Cepatlah. Kita semua lapar."
Aku menekan tombol pada kameraku untuk memutar gulungan film. "Aku akan
meninggalkan ini di tempat cuci cetak satu jam sebelum makan malam," kataku pada
mereka. "Lalu kita bisa mengambilnya setelah makan malam."
"Tak ada pembicaraan monster saat makan malam - janji?" Ibu berkata tegas. "Aku
tak ingin kau menakut-nakuti adikmu."
"Janji," kataku, menarik gulungan film itu dari kamera, meremasnya antara jari-
jariku. Setelah makan malam, aku berkata pada diriku sendiri, aku tak akan berbicara
tentang monster - Aku akan menunjukkan kalian satu monster!
Makan malam tampaknya mengambil (waktu) selamanya.
Randy tak berhenti mengeluh sepanjang waktu. Dia mengatakan mie-nya terasa lucu.
Dia mengatakan sparerib-nya terlalu berminyak, dan sup itu terlalu panas. Ia
menumpahkan gelas airnya ke seluruh meja.
(sparerib: tulang rusuk babi dengan sedikit daging)
Aku nyaris tak menaruh perhatian pada apa yang orang katakan. Aku sedang
memikirkan potretku. Aku tak sabar untuk melihatnya - dan untuk menunjukkannya
pada Ibu dan Ayah Aku benar-benar bisa membayangkan ekspresi wajah mereka saat mereka melihat
bahwa aku benar, bahwa aku tak mengarangnya - bahwa Mr. Mortman benar-benar
monster. Aku membayangkan kedua orang tuaku meminta maaf kepadaku, berjanji bahwa mereka
tak akan pernah meragukanku lagi.
"Aku merasa sangat buruk," aku membayangkan ayahku berkata, "Aku akan
membelikanmu komputer yang kau minta."
"Dan sebuah sepeda baru," Aku membayangkan Ibu berkata. "Maafkan kami untuk
meragukanmu." "Dan aku juga menyesal," aku membayangkan Randy berkatak. "Aku tahu aku sudah
jadi benar-benar brengsek."
"Dan kau boleh tetap bangun sampai tengah malam setiap malam dari sekarang,
bahkan di malam sekolah," Aku membayangkan Ayah berkata.
Tiba-tiba, suara ibuku membuyarkan lamunanku. "Lucy, aku tak berpikir kau
mendengar kata yang kuucapkan," omelnya.
"Tidak... Aku... Eh... Sedang memikirkan sesuatu," aku mengakui. Aku mengangkat
sumpitku dan mengangkat segumpal nasi ke mulutku.
"Dia sedang berpikir tentang monster!" teriak Randy, mengangkat kedua tangan di
atas meja, meremas jari-jarinya seolah-olah ia adalah monster yang akan
menyerangku. "Tak ada pembicaraan monster!" Ibu bersikeras tajam.
"Jangan lihat aku!" teriakku. "Dia yang bilang itu - bukan aku!" Aku menunjuk
jari menuduh pada Randy. "Habiskan saja makan malammu," kata Ayah pelan. Seluruh dagunya berlumuran
dengan sparerib-nya. Akhirnya, kami membuka kue keberuntungan kami. Aku mengatakan sesuatu tentang
menunggu sinar matahari ketika awan-awan berpisah. Aku tak pernah mendapatkan
keberuntungan itu. Ayah membayar bon. Randy nyaris menumpahkan segelas air lainnya saat kami
berdiri. Aku berlari keluar dari restoran. Aku begitu gembira, begitu
bersemangat, aku tak bisa menunggu sedetik pun.
Toko foto yang kecil itu di tingkat atas. Aku melompat ke eskalator, menyambar
susuran eskalator, dan naik ke atas. Lalu aku bergegas ke toko, ke meja kasir,
dan dengan terengah-engah memanggil kepada wanita muda di mesin cuci cetak itu,
"Apakah fotoku sudah siap?"
Dia berbalik, kaget dengan suara kerasku. "Kupikir begitu. Siapa namamu?"
Kukatakan padanya. Dia berjalan ke rak amplop-amplop kuning dan mulai
menggesernya perlahan-lahan.
Aku mengetuk jari-jariku gugup di atas meja, menatap tumpukan amplop kuning itu.
Tak bisakah dia cepat sedikit"
Dia menggeser semua tumpukan itu, kemudian berbalik padaku. "Apa nama yang kau
katakan tadi?" Mencoba untuk tak terdengar terlalu putus asa, aku mengatakan padanya namaku
lagi. Aku bersandar penuh semangat di atas meja, jantungku berdebar-debar, dan
menatapnya saat ia mulai sekali lagi untuk menggeser amplop-amplop kuning itu,
bibirnya bergerak-gerak saat ia membaca nama.
Akhirnya, ia menarik keluar satu dan menyerahkannya padaku.
Aku meraihnya dan mulai merobek terbuka.
"Itu (ongkosnya) pas empat belas dolar," katanya.
Aku sadar bahwa aku tak punya uang. "Aku harus mencari ayahku," kataku, tak
melepaskan paket berharga itu.
Aku berbalik, dan Ayah muncul di ambang pintu. Ibu dan Randy menunggu di luar.
Dia membayarnya. Aku membawa amplop foto keluar dari toko. Tanganku gemetar saat aku menariknya
terbuka dan mengambil foto-foto itu.
"Lucy, tenang," kata Ibu, terdengar khawatir.
Aku menatap foto-foto itu. Semua foto dari pesta ulang tahun Randy.
Aku menyaringnya dengan cepat, menatap wajah-wajah teman Randy yang menyeringai
bodoh. Dimana itu" Dimana itu" Dimana itu"
Tentu saja, itu adalah foto yang sangat terakhir, satu yang di bagian bawah
tumpukan. "Ini dia!" teriakku.
Ibu dan Ayah mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat dari bahuku.
Foto-foto lain jatuh dari tanganku dan tersebar di lantai saat aku mengangkat
foto itu ke wajahku - - Dan terkesiap. 17 Foto itu jelas dan tajam.
Meja besar Mr Mortman berdiri di tengah dalam cahaya terang yang tiba-tiba. Aku
bisa melihat kertas-kertas di meja, panci kura-kura di sudut jauh, tumpukan
rendah buku-buku. Di belakang meja, aku bisa melihat bagian atas bangku kayu Mr Mortman yang
tinggi itu. Dan di belakang bangku, rak-rak terfokus dengan jelas, bahkan
stoples kaca lalat di rak bawah.
Tapi di sana tak ada monster.
Tak ada Mr. Mortman. Tak ada. Tak ada seorang pun di potret itu sama sekali.
"Dia - dia berdiri di sana!" teriakku. "Di sisi meja!"
"Ruangan itu terlihat kosong," kata Ayah, menatap ke bawah dari atas bahuku pada
potret di tanganku yang bergetar.
"Tak ada orang di sana," kata Ibu, tatapannya beralih padaku.
"Dia di sana," desakku, tak mampu mengalihkan pandanganku dari foto itu. "Tepat
di sana." Aku menunjuk ke tempat monster itu berdiri.
Randy tertawa. "Coba kulihat." Dia menarik foto itu dari tanganku dan
mengamatinya. "Aku melihatnya!" ia menyatakan. "Dia tak terlihat!"
"Itu tak lucu," kataku pelan. Aku menarik foto itu darinya. Aku mendesah sedih.
Aku merasa begitu buruk. Aku ingin tenggelam ke dalam lubang di lantai dan tak
pernah keluar. "Dia tak terlihat!" ulang Randy gembira, menikmati leluconnya sendiri.
Ibu dan Ayah menatapku, tampak kekhawatiran di wajah mereka.
"Tidakkah kalian lihat?" teriakku, melambaikan foto itu di satu tangan.
"Tidakkah kalian lihat" Ini membuktikan hal itu!" Ini membuktikan dia monster.
Dia tak muncul di foto ini!"
Ayah menggelengkan kepalanya dan mengerutkan kening. "Lucy, kau tak akan
melakukan lelucon ini cukup jauh kan?"
Ibu meletakkan tangan di bahuku. "Aku mulai khawatir tentangmu," katanya lembut.
"Kupikir kau benar-benar mulai percaya lelucon monstermu sendiri."
"Bisakah kita minum es krim?" tanya Randy.
*** "Aku tak percaya kita melakukan ini," keluh Aaron.
"Tutup mulut. Kau berutang padaku!" bentakku.
Itu adalah malam berikutnya. Kami berjongkok rendah, bersembunyi di balik semak-
semak rendah di samping perpustakaan.
Ini adalah hari segar yang dingin. Matahari sudah menurunkan diri di balik
pohon. Bayang-bayang membentang panjang dan biru di atas halaman rumput
perpustakaan. "Aku berutang padamu?" Aaron protes. "Apa kau gila?"
"Kau berutang padaku," ulangku. "Kau seharusnya datang ke perpustakaan denganku
kemarin, ingat. Kau mengecewakanku."
Dia menyikat serangga dari hidung berbintik-bintik. "Bisakah aku bantu jika aku
punya janji dengan dokter gigi?" Dia terdengar lucu. Kata-katanya keluar
lengket. Dia belum menggunakan kawat gigi barunya.
"Ya," aku bersikeras. "Aku mengandalkanmu, dan kau mengecewakanku - dan kau
membuatku dalam segala macam masalah."
"Kesulitan apa?" Ia jatuh ke tanah dan duduk bersila, menjaga kepalanya rendah
di balik semak yang berdaun hijau.
"Orangtuaku bilang aku tak akan lagi diperbolehkan untuk menyebut Mr Mortman
atau fakta bahwa dia itu monster," kataku.
"Bagus," kata Aaron.
"Tak bagus. Ini berarti aku benar-benar membutuhkanmu, Aaron. Aku ingin kau
melihat bahwa aku mengatakan yang sebenarnya,. Dan memberitahu orang tuaku."
Suaraku pecah. "Mereka pikir aku gila. Mereka benar-benar berpikir begitu!"
Dia mulai menjawab, tapi ia bisa melihat aku benar-benar marah. Jadi dia
berhenti sendiri. Satu angin sepoi-sepoi menyapu lewat, membuat semua pepohonan tampaknya berbisik
pada kami. Aku terus menjaga mataku terarah di pintu perpustakaan. Saat itu jam lima dua
puluh. Waktu tutup telah lewat. Mr Mortman dapat keluar setiap saat.
"Jadi kita akan mengikuti Mr Mortman pulang?" tanya Aaron, menggaruk belakang
lehernya. "Dan memata-matainya di rumahnya" Mengapa kita tak hanya menontonnya
melalui jendela perpustakaan?"
"Jendelanya terlalu tinggi," jawabku. "Kita harus mengikutinya. Dia berkata
padaku (kalau) dia berjalan pulang setiap malam. Aku ingin kau melihatnya
berubah menjadi monster," kataku, menatap lurus ke depan dari atas semak-semak,
"aku ingin kau percaya padaku."
"Bagaimana jika aku hanya mengatakan aku percaya padamu?" tanya Aaron, nyengir.
"Lalu kita bisa pulang saja?"
"Sssttt!" Aku menekan tangan ke mulut Aaron.
Pintu perpustakaan terbuka. Mr Mortman muncul di tangga depan.
Aaron dan aku menunduk lebih rendah.
Aku mengintip melalui cabang-cabang semak. Pustakawan itu berbalik untuk
mengunci pintu depan. Dia mengenakan kaos olahraga merah dan bergaris-garis
putih berlengan pendek dan celana panjang longgar abu-abu. Dia memakai topi
bisbol merah di kepalanya yang botak.
"Tinggal jauh di belakang," bisikku kepada Aaron. "Jangan biarkan dia
melihatmu." "Saran yang bagus," kata Aaron sinis.
Kami berdua mengangkat lutut kami dan menunggu Mr Mortman menuju ke trotoar. Dia
ragu-ragu di tangga, memindahkan kunci ke dalam saku celananya. Lalu,
bersenandung untuk dirinya sendiri, ia berjalan menyusuri jalan dan berbalik
menjauh dari kami. "Apa yang dia senandungkan?" bisik Aaron.
"Dia selalu bersenandung," aku berbisik kembali. Mr Mortman lebih dari setengah
blok jauhnya. "Ayo pergi," kataku, berdiri dengan cepat.
Menjaga dalam bayang-bayang pohon dan semak-semak, aku mulai mengikuti
pustakawan itu. Aaron mengikuti tepat di belakangku.
"Apa kau tahu di mana dia tinggal?" tanya Aaron.
Aku berbalik kepadanya, mengerutkan dahi. "Kalau aku tahu di mana dia tinggal,
kita tak akan mengikutinya - bukan begitu!"
"Oh. Benar." Membuntuti seseorang jauh lebih sulit daripada yang kupikirkan. Kami harus
memotong melalui halaman-halaman depan. Beberapa darinya punya anjing-anjing
yang menggonggong. Beberapa (darinya) punya penyiram rumput yang menyala.
Beberapa (darinya) punya pagar tebal yang bagaimanapun juga kami harus menunduk
melaluinya. Pada setiap sudut jalan, Mr Mortman akan berhenti dan melihat jalan baik-baik
untuk mobil yang akan datang. Setiap kali, aku juga yakin dia akan melihat
melalui bahunya, dan melihat Aaron dan aku bergerak pelan-pelan di belakangnya.
Dia tinggal lebih jauh dari perpustakaan daripada yang kupikir. Setelah beberapa
blok, rumah-rumah berakhir, dan bidang datar kosong tersebar di depan kami.
Mr Mortman memotong melalui lapangan itu, berjalan dengan cepat, mengayunkan
lengan pendek gemuknya berirama dengan setiap langkah. Kami tak punya pilihan
selain mengikutinya di lapangan. Tak ada tempat bersembunyi. Tak ada semak-semak
untuk merunduk dibaliknya . Tak ada pagar untuk melindungi kami.
Kami benar-benar di tempat terbuka. Kami hanya berdoa agar dia tak berbalik di
tengah lapangan dan melihat kami.
Satu blok kecil, rumah-rumah tua berdiri di luar lapangan. Sebagian besar rumah-
rumah bata, mengatur dekat dengan jalan di halaman depan yang kecil.
Mr Mortman berbelok ke blok rumah-rumah itu. Aaron dan aku berjongkok di balik
kotak dan mengawasinya berjalan ke sebuah rumah dekat bagian tengah blok. Dia
melangkah ke beranda depan kecil dan memainkan kunci di sakunya.
"Kita di sini," bisikku kepada Aaron. "Kita berhasil."
"Temanku Ralph kurasa tinggal di blok ini." kata Aaron.
"Siapa yang peduli?" bentakku. "Jauhkan pikiranmu dari urusan-urusan, oke?"
Kami menunggu sampai Mr Mortman menghilang melalui pintu depan rumahnya, lalu
bergerak pelan-pelan lebih dekat.
Rumahnya berdinding papan putih, sangat buruk dan perlu untuk dicat. Dia punya
halaman depan kecil persegi panjang, dengan rumput yang baru saja dipotong
dibatasi oleh satu bari tinggi bunga lili macan kuning.
Aaron dan aku berjalan cepat ke samping rumah di mana ada rumput sempit yang
mengarah ke belakang. Jendela di dekat bagian depan rumah cukup tinggi bagi kami


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk berdiri di bawahnya dan tak terlihat.
Satu lampu menyala di jendela. "Itu pasti ruang tamunya," bisikku.
Aaron berekspresi ketakutan. Bintik-bintik dimukanya tampak lebih pucat daripada
biasanya. "Aku tak suka ini," katanya.
"Bagian yang tersulit adalah mengikutinya," kataku meyakinkan Aaron. "Bagian ini
mudah. Kita hanya melihatnya melalui jendela."
"Tapi jendelanya terlalu tinggi," Aaron menunjuk. "Kita tak bisa melihat apa-
apa." Dia benar. Menatap dari bawah jendela, aku bisa melihat langit-langit ruang
tamu. "Kita harus berdiri di atas sesuatu," kataku.
"Hah" Apa?"
Aku bisa melihat Aaron tak akan membantu. Dia begitu ketakutan, hidungnya
berkedut seperti kelinci kecil. Aku memutuskan jika aku bisa membuatnya sibuk,
mungkin aku bisa menjaganya dari benar-benar panik dari dan kabur.
"Pergilah di belakang. Lihat apa ada tangga atau sesuatu," bisikku sambil
menunjuk ke arah bagian belakang rumah.
Lampu lainnya menyala, yang satu ini di jendela belakang. Mungkin dapur,
pikirku. Hal itu juga terlalu tinggi untuk melihat ke dalam.
"Tunggu. Bagaimana dengan itu?" tanya Aaron bertanya. Aku mengikuti pandangannya
ke kereta sorong, miring di samping rumah.
"Ya, Mungkin,." Kataku. "Bawa ke sini, aku akan mencoba untuk berdiri di
atasnya." Menjaga kepala dan bahu membungkuk rendah, Aaron bergegas ke kereta dorong. Dia
mengangkatnya menjauh dari rumah dengan gagangnya, lalu mendorongnya di bawah
jendela depan. "Pegang dengan mantap," kataku.
Dia meraih pegangan kayu itu, menatapku ketakutan-. "Kau yakin tentang ini?"
"Aku akan mencobanya," kataku, sambil menatap jendela tinggi itu.
Memegang bahu Aaron, aku dorongan diriku ke kereta dorong. Dia memegang kuat-
kuat pegangan itu saat aku berjuang untuk menemukan keseimbangan di dalam bagian
keranjang logam itu. "Ini - ini agak miring," bisikku, menekan satu tangan pada sisi rumah untuk
menstabilkan diriku. "Aku melakukan yang terbaik yang kubisa," gerutu Aaron.
"Nah. Kupikir aku bisa berdiri," kataku. Aku tak terlalu tinggi dari tanah, tapi
aku sama sekali tak nyaman. Kereta sorong adalah benda yang sulit untuk berdiri.
Di suatu tempat di blok seekor anjing menggonggong. Kuharap ia tak menggonggong
karena Aaron dan aku. Anjing lainnya, dekat dengan kami, dengan cepat bergabung, dan itu menjadi suatu
gonggongan percakapan. "Apa kau cukup tinggi" Dapatkah kau melihat sesuatu?" tanya Aaron.
Satu tangan masih menempel ke sisi rumah, aku mengangkat kepalaku dan mengintip
ke dalam rumah melalui bagian bawah jendela.
"Yah, aku dapat melihat beberapa,." Seruku ke bawah. "Ada sebuah akuarium besar
di depan jendela, tapi aku bisa melihat sebagian besar ruang tamu."
Dan seperti kukatakan bahwa, wajah Mr Mortman yang menjulang beberapa inci
dariku. Dia menatap tepat ke arahku!
18 Aku tersentak dan kehilangan keseimbangan.
Aku terjatuh ke tanah, menabrak kereta, mendarat dengan keras di lutut dan
sikuku. "Aduh!"
"Apa yang terjadi?" teriak Aaron, terkejut.
"Dia melihatku!" Aku tersedak, menunggu rasa sakit itu untuk berhenti berdenyut.
"Hah?" Mulut Aaron ternganga.
Kami berdua menatap jendela. Aku mengharapkan melihat Mr Mortman menatap kami.
Tapi tidak. Tak ada tanda dari dia.
Aku dengan cepat berdiri.
"Mungkin dia sedang melihat akuarium-nya," bisikku, memberi isyarat bagi Aaron
untuk mengatur gerobak dorong. "Mungkin dia tak melihatku."
"A-apa yang akan kau lakukan?" Aaron tergagap.
"Naik kembali, tentu saja," kataku.
Kakiku gemetar saat aku naik kembali ke kereta dorong. Aku meraih langkan
jendela dan menarik diri.
Matahari hampir saja turun. Kegelapan di luar membuatnya lebih mudah untuk
melihat di dalam rumah. Dan, aku berharap, sulit bagi Mr Mortman untuk melihat
keluar. Aku tak punya pandangan yang terbaik di dunia, dengan cepat aku menyadarinya.
Akuarium, penuh dengan ikan tropis berwarna-warni, menghalangi pandanganku pada
sebagian besar ruangan. Kalau saja aku sedikit lebih tinggi, kupikir, aku bisa melihat di atasnya. Tapi
kalau aku lebih tinggi, aku menyadari, Mr Mortman akan melihatku.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Aaron dalam bisikan gemetar.
"Tidak apa-apa. Dia.... tunggu!"
Mr Mortman sedang menatap ikan. Dia berdiri hanya beberapa kaki dariku, di sisi
lain dari akuarium. Aku membeku, menekan tanganku melawan sisi rumah.
Dia menatap ke dalam akuarium, dan satu senyuman terbentuk di wajah gemuknya.
Dia telah melepaskan topi bisbol merah itu. Kepala botaknya tampak kuning dalam
cahaya lampu di ruang tamu.
Mulutnya bergerak-gerak. Dia mengatakan sesuatu pada ikan tropis di akuarium.
Aku tak bisa mendengar dia melalui kaca.
Lalu, saat ia tersenyum pada ikan, ia mulai berubah.
"Dia melakukan hal itu," aku berbisik kepada Aaron. "Dia berubah jadi monster."
Saat aku melihat kepala Mr Mortman itu mengembang dan mata menonjol keluar, aku
dipenuhi dengan segala macam perasaan yang aneh, aku ketakutan. Dan aku
terpesona. Ini menarik untuk jadi begitu dekat, beberapa inci jauhnya dari
monster asli. Dan aku merasa sangat bahagia dan lega bahwa Aaron akhirnya akan melihat sendiri
bahwa aku mengatakan yang sebenarnya.
Lalu, saat mulut Mr Mortman jadi lebih luas dan mulai berputar, satu gulungan
lubang hitam di wajah kuning bengkaknya, rasa takut menguasaiku. Aku membeku di
sana, wajahku menempel jendela, tak berkedip, tak bergerak.
Aku menatap saat ia mengulurkan tangan ke dalam akuarium.
Jari gemuknya melilit ikan biru kecil itu. Dia menariknya dan melemparkannya ke
dalam mulutnya. Aku bisa melihat gigi kuning panjang di dalam mulut besar itu,
menggigit, mengunyah ikan yang menggeliat-geliat itu.
Lalu, saat aku ternganga bertambah takut, Mr Mortman menarik siput hitam dari
sisi kaca akuarium. Memegang cangkangnya di antara ujung-ujung jarinya, ia
menjejalkan siput itu ke dalam mulutnya. Giginya berderak keras pada cangkang
itu, meretakkannya - suatu gemeretak yang begitu keras, aku bisa mendengarnya
melalui kaca jendela. Perutku bergejolak. Aku merasa mual.
Dia menelan siput itu, lalu mengulurkan tangannya untuk menarik satu siput
lainnya dari kaca akuarium.
"Kupikir aku akan melemparkan makan siang," bisikku kepada Aaron.
Aaron. Aku benar-benar sudah melupakannya.
Aku begitu terpesona oleh monster itu, begitu gembira, begitu takut untuk
menontonnya dari dekat, aku sudah lupa seluruh tujuan berada di sini.
"Aaron, tolong aku," bisikku. "Cepat."
Masih menatap melalui jendela, aku mengulurkan tangan bawah untuk Aaron pegang.
"Aaron - cepat! Bantu aku ke bawah sehingga kau dapat memanjat ke sini. Kau
harus melihat ini. Kau harus melihat monster itu!"
Ia tak menjawab. "Aaron" Aaron?"
Aku menurunkan mataku dari jendela.
Aaron telah menghilang. 19 Aku merasakan tikaman kepanikan di dadaku.
Seluruh tubuhku mengejang dalam getaran dinginnya rasa takut dingin.
Di mana dia" Apa dia melarikan diri"
Apa Aaron begitu ketakutan hingga ia pergi tanpa memberitahuku"
Atau sesuatu terjadi padanya"
Sesuatu yang benar-benar buruk"
"Aaron" Aaron?" Dalam kepanikanku, aku lupa bahwa aku beberapa inci dari monster
itu, dan mulai berteriak. "Aaron" Di mana kau?"
"Sst," aku mendengar bisikan dari belakang rumah. Aaron muncul, berjalan cepat
ke arahku sepanjang jalur sempit rumput. "Aku ada di sini, Lucy."
"Hah" Kemana kau pergi?"
Dia menunjuk ke belakang. "Aku berpikir mungkin aku bisa menemukan tangga atau
sesuatu. Kau tahu. Jadi aku bisa melihat juga."
"Kau membuatku takut setengah mati!" teriakku.
Aku kembali melirik ke jendela. Mr Mortman mengisap belut merayap ke dalam
mulutnya seperti seuntai spaghetti.
"Cepat, Aaron - bantu aku turun," perintahku, masih merasa terguncang dari rasa
takut akan menghilangnya. "Kau harus melihat ini. Kau harus. Sebelum ia berubah
kembali." "Dia - dia benar-benar monster?" Mulut Aaron ternganga. "Kau tak bercanda?"
"Naik saja ke sini!" teriakku tak sabar.
Tapi saat aku mencoba untuk menurunkan diri ke tanah, kereta dorong itu meluncur
keluar dari bawahku. Kereta itu terguling ke samping, pegangannya menggores sisi rumah.
Tanganku terangkat untuk meraih jendela. Aku luput dan terjatuh keras di atas
kereta dorong. "Aduh!" teriakku saat rasa nyeri yang tajam menusuk pinggangku.
Melirik ke atas, aku melihat wajah monster itu kaget, terbelalak ke arahku
melalui kaca. Aku bergegas bangun. Tapi rasa sakit berdenyut di pinggangku melenyapkan
napasku. "Aaron - tolong aku!"
Tapi dia sudah berlari ke jalan, sepatunya menggores rumput, lengannya terentang
lurus di depannya seolah berusaha mencari keselamatan.
Mengabaikan rasa sakit di pinggangku, aku buru-buru berdiri.
Aku mengambil satu langkah goyah, lalu yang langkah lainnya. Aku menggeleng,
mencoba mengusir pusingku.
Lalu aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berlari, mengikuti Aaron ke jalan.
Aku sudah berjalan sekitar empat atau lima langkah saat aku merasakan tangan Mr
Mortman yang kuat dengan mengejutkan memegang bahuku dari belakang.
20 Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.
Dia memegang erat ke bahuku. Aku bisa merasakan panasnya, tangan-tangan yang
basah melalui kaosku. Aku mencoba melepaskan diri, tapi ia terlalu kuat.
Dia memutar tubuhku. Wajahnya kembali normal. Ia memicingkan mata ke arahku dengan mata hitam kecil, seolah-olah dia tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Lucy!" serunya dengan suara paraunya.
Dia melepaskan bahuku dan melangkah mundur.
Aku terengah-engah keras. Aku begitu takut, dadaku serasa akan meledak.
Bagaimana ia berubah kembali dari bentuk monsternya begitu cepat"
Apa yang akan ia lakukan padaku"
"Lucy, surga yang baik. Kupikir kau pencuri," katanya, menggelengkan kepala.
Dia mengeluarkan saputangan putih dari saku belakang celananya dan menyeka
dahinya yang berkeringat.
"M-maaf," kataku tergagap. Suaraku keluar dalam bisikan tersedak.
Dia mengepalkan saputangan di antara tangan gemuknya dan mendesakkan sapu tangan
itu kembali ke sakunya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Yah..." Jantungku berdebar begitu keras, aku bisa merasakan denyut darah di
pelipisku. Pinggangku di mana aku telah jatuh pada kereta dorong masih sakit.
Aku berusaha untuk menjernihkan pikiranku. Aku harus memikirkan jawaban atas
pertanyaannya. Aku harus.
"Yah..." Aku mulai lagi, berpikir putus asa. "Aku... Eh... Datang untuk
memberitahukan Anda bahwa aku akan... Eh... Akan sedikit terlambat untuk janji
Rangers Membaca besok."
Dia menyipitkan matanya dan menatapku serius. "Tapi mengapa kau melihat melalui
jendelaku?" tuntutnya.
"Yah... Aku hanya..."
Berpikir, Lucy - berpikir!
"Aku tak tahu apakah Anda ada di rumah atau tidak, aku hanya mencoba untuk
melihat apakah Anda ada di sana.. Maksudku. Jadi aku bisa memberitahu Anda.
Tentang janji besok."
Menatap wajahnya, berusaha terdengar tulus, aku mundur selangkah, dalam masalah
aku harus lari. Apakah dia percaya padaku"
Apakah ia menerima itu sebagai kebenaran"
Aku tak tahu. Dia terus menatapku serius.
Dia mengusap dagu nya. "Kau benar-benar tak perlu datang jauh-jauh di sini,"
katanya pelan. "Apa kau naik sepeda?" Matanya melesat ke halaman depan kecil.
"Tidak, aku... Eh... Berjalan. Aku suka berjalan," jawabku canggung.
"Sudah mulai gelap," katanya.
"Mungkin kau harus menghubungi ibu atau ayahmu untuk datang menjemputmu. Kenapa
kau tak masuk dalam dan menggunakan telepon"."
Masuk ke dalam" Masuk ke dalam rumah monster ini"
Tak mungkin! "Eh... Tidak, terima kasih, Mr Mortman," kataku, mengambil langkah mundur
lainnya ke jalan. "Orangtuaku tak keberatan kalau aku berjalan pulang. Ini tak
begitu jauh. Sungguh."
"Tidak, aku bersikeras," katanya, satu seringai aneh mulai melintas di wajahnya
yang seperti tikus mondok . Dia menunjuk ke arah rumah. "Ayo masuk, Lucy.
Telponnya di ruang tamu," desaknya. "Ayo aku tak akan menggigit."
Aku bergidik. Aku baru saja melihatnya menggigit siput. Dan belut.
Tak akan mungkin aku akan di rumah itu. Aku tahu bahwa jika aku masuk,
kemungkinan besar aku tak akan pernah keluar.
"Aku - aku harus pergi," kataku, melambai padanya dengan satu tangan. Aku bisa
merasakan rasa takut merayapi punggungku, berjalan di atas tubuhku. Aku tahu
jika aku tak pergi dari sana - saat itu - aku akan dibekukan oleh rasa takutku,
tak bisa melarikan diri. "Lucy -" Mr Mortman bersikeras.
"Tidak. Sungguh. Sampai jumpa, Mr Mortman." Aku melambai lagi, berbalik, dan
mulai berlari ke jalan. "Kau benar-benar tak seharusnya datang dengan cara ini!" panggilnya setelahku
dengan suaranya yang tinggi, gatal. "Sungguh. Kau tak seharusnya!"
Aku tahu! Pikirku. Aku tahu aku tak seharusnya.
Aku berlari-lari kecil di sepanjang jalan, berbelok, dan terus menuruni blok
berikutnya. Apa aku benar-benar semakin jauh"
Apa dia benar-benar membiarkan aku pergi"
Aku tak percaya dia menerima alasan payahku.
Mengapa dia membiarkan aku pergi"
Aku melambat untuk berjalan. pingggangku masih sakit. Aku tiba-tiba sakit kepala
berdenyut-denyut. Malam telah turun. Melewati mobil-mobil yang lampunya menyala. Satu jejak awan
gelap ramping melintas di atas bulan pucat yang setengah masih rendah di langit
ungu abu-abu. Aku hendak menyeberang jalan ke lapangan luas kosong saat tangan-tangan meraih
bahuku lagi. Aku menjerit, lebih mirip dengkingan daripada jeritan, dan berputar, berharap
untuk melihat monster. "Aaron!" teriakku. Aku menelan ludah, mencoba untuk memaksa turun ketakutanku.
"Di mana -?" "Aku menunggumu," katanya. Suaranya bergetar. Tangannya mengepal. Dia tampaknya
siap menangis. "Aaron -" "Aku sudah menunggu sepanjang waktu ini," katanya nyaring, "Dari mana saja kau"


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku begitu takut." "Aku... Kembali ke sana," kataku.
"Aku siap untuk memanggil polisi atau sesuatu," kata Aaron. " bersembunyi di
blok. Aku -." "Kau melihatnya?" tanyaku penuh semangat, tiba-tiba teringat mengapa kami harus
mempertaruhkan nyawa kami malam ini. "Kau melihat Mr Mortman?"
Aaron menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak aku. Terlalu jauh."
"Tapi sebelumnya," kataku. "Melalui jendela. Saat ia masih (jadi) monster. Apa
kau tak melihatnya" Apa tidak melihatnya makan siput dan belut?"
Aaron menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku tak melihat apa-apa, Lucy," katanya pelan. "Maafkan aku. Aku berharap aku
melihatnya." Bantuan besar, pikirku pahit.
Sekarang apa yang harus kulakukan"
21 "Ibu - kau tak mengerti. Aku tak bisa pergi!"
"Lucy, aku tak memberimu pilihan. Kau akan pergi. Dan hanya itu ."
Itu adalah sore hari berikutnya, hari abu-abu berangin, Ibu dan aku berada di
dapur, berdebat. Aku mencoba mengatakan padanya tak mungkin aku bisa pergi ke
pertemuan Reader Rangers-ku di perpustakaan. Dan dia bersikeras bahwa aku harus
pergi. "Ibu, kau harus percaya padaku," pintaku. Aku berusaha untuk tak mengeluh, tapi
suaraku terus merayap lebih tinggi dan lebih tinggi. "Mr Mortman itu monster.
Aku tak bisa pergi lagi ke perpustakaan."
Wajah ibu jijik dan melemparkan handuk piring yang sudah dilipatnya. "Lucy,
ayahmu dan aku sudah cukup sampai di sini dengan cerita-cerita konyol
monstermu." Dia berbalik ke arahku. Ekspresinya marah. "Faktanya adalah, Lucy sayang, bahwa
kau adalah orang yang gampang menyerah. Kau tak pernah tetap dengan apa pun. Kau
malas. Itulah masalahmu."
"Mr Mortman itu monster," selaku. "Itulah masalahku."
"Yah, aku tak peduli," jawab Ibu dengan tajam. "Aku tak peduli jika dia berubah
menjadi manusia serigala yang mengeluarkan air liur di malam hari. Kau tak akan
berhenti dari Reader Rangers-mu. Kau akan pergi ke pertemuanmu sore ini kalau
(perlu) aku harus membawamu dengan tangan dan berjalan ke sana sendiri.."
"Wah - akankah kau?" tanyaku.
Satu ide terlintas di kepalaku bahwa Ibu bisa bersembunyi di tumpukan dan
melihat sendiri ketika Mr Mortman berubah menjadi monster.
Tapi kurasa dia mengira aku sedang menyindir. Dia hanya cemberut dan berjalan
keluar dari dapur. Dan, satu jam kemudian, aku berjalan susah payah menaiki tangga batu ke
perpustakaan lama. Saat itu hujan keras, tapi aku tak membawa payung. Aku tak
peduli kalau aku basah kuyup.
Rambutku basah kuyup dan lengket di kepalaku. Aku menggeleng keras saat aku
melangkah ke pintu masuk, menjatuhkan tetes-tetes air terbang ke segala arah.
Aku menggigil, kebanyakan dari ketakutanku berada kembali di tempat ini
menakutkan, daripada kedinginan. Aku melepas ranselku. Itu basah kuyup juga.
Bagaimana aku bisa menghadapi Mr Mortman" Aku bertanya-tanya saat aku berjalan
dengan enggan ke ruang baca utama. Bagaimana aku bisa menghadapi dia setelah
tadi malam" Dia pasti menduga bahwa aku tahu rahasianya.
Dia tak percaya padaku semalam, bukan begitu"
Aku begitu marah pada ibuku yang memaksaku datang ke sini,
Kuharap dia berubah menjadi raksasa mengunyahku sepotong demi sepotong! Pikirku
getir. Itu benar-benar akan memberi Ibu pelajaran.
Aku membayangkan Ibu, Ayah dan Randy, duduk murung di ruang tamu kami, menangis,
air mata mereka keluar, meratap, "Kalau saja kita percaya padanya. Jika saja
kita mau mendengarkan!"
Memegang ransel basahku di depanku seperti tameng, aku berjalan perlahan
melewati deretan panjang buku ke depan ruangan.
Aku lega, ada beberapa orang di perpustakaan. Aku melihat dua anak kecil dengan
ibu mereka dan beberapa wanita lain mencari-cari di bagian buku misteri.
Bagus! Pikirku, mulai merasa sedikit lebih tenang. Mr Mortman tak akan berani
melakukan apa-apa sementara perpustakaan penuh dengan orang.
Pustakawan itu mengenakan baju berkerah hijau hari ini, yang benar-benar
membuatnya tampak seperti kura-kura, besar dan bulat. Dia mencap setumpuk buku
dan tak mendongak saat aku melangkah mendekati meja.
Aku berdeham gugup. "Mr Mortman?"
Perlu waktu lama baginya untuk melihat. Ketika ia akhirnya melakukannya, senyum
hangat yang terbentuk di atas dagunya. "Hai, Lucy. Beri aku beberapa menit,
oke?" "Tentu," kataku. "Aku akan pergi mengeringkan badan."
Dia tampaknya sangat ramah, pikirku, menuju ke sebuah kursi di salah satu meja-
meja panjang. Dia tak tampak marah.
Mungkin dia benar-benar percaya ceritaku tadi malam.
Mungkin dia benar-benar tak tahu bahwa aku pernah melihatnya berubah menjadi
monster. Mungkin aku akan keluar dari sini hidup-hidup. . . .
Aku duduk di meja dan mengguncangkan air lagi dari rambutku. Aku menatap jam,
dinding besar dan bulat, gelisah menunggunya memanggilku untuk pertemuan kami.
Jam berdetak ribut. Setiap detik sepertinya dalam beberapa menit.
Anak-anak dengan ibu mereka memeriksa beberapa buku dan pergi. Aku berbalik ke
bagian misteri dan melihat bahwa dua perempuan itu juga sudah tak ada.
Pustakawan dan aku adalah satu-satunya yang tersisa.
Mr Mortman mendorong setumpuk buku di meja dan berdiri. "Aku akan segera
kembali, Lucy," katanya, lagi senyum, ramah meyakinkan di wajahnya. "Lalu kita
akan melakukan pertemuan kita."
Dia melangkah menjauh dari mejanya dan, berjalan cepat, menuju ke bagian
belakang ruang baca. Aku menduga dia akan ke kamar mandi atau sesuatu.
Kilatan petir bergerigi putih berkedip di langit gelap di luar jendela. Diikuti
oleh gemuruh goncangan guntur.
Aku berdiri dari meja dan, membawa ransel basah di talinya, mulai menuju meja Mr
Mortman itu. Aku sudah setengah ke meja ketika aku mendengar suara klik keras.
Aku segera tahu bahwa ia telah mengunci pintu depan.
Beberapa detik kemudian, ia kembali, berjalan cepat, masih tersenyum. Dia
menggosok tangannya yang gemuk putih bersama-sama saat dia berjalan.
"Bisakah kita bicara tentang bukumu?" tanyanya, melangkah ke arahku.
"Mr Mortman - Anda mengunci pintu depan," kataku, menelan ludah.
Senyumnya tak memudar. Mata gelapnya sedikit terkunci padaku.
"Ya. Tentu saja." Katanya pelan, mengamati wajahku. Tangannya masih menggenggam
bersama di depannya. "Tapi - kenapa?" Aku tergagap.
Dia membawa wajahnya dekat dengan wajahku, dan senyumnya memudar.
"Aku tahu mengapa kau berada di rumahku tadi malam," geramnya ke telingaku. "Aku
tahu semuanya." "Tapi, Mr Mortman, aku -"
"Maafkan aku," katanya menggeram dalam paraunya. "Tapi aku tak dapat
membiarkanmu pergi, Lucy. Aku tak bisa membiarkan meninggalkan perpustakaan."
22 "Oohhh." Suara yang keluar dari bibirku, benar-benar erangan ketakutan.
Aku menatapnya tanpa bergerak. Kurasa aku ingin melihat apakah dia serius atau
tidak. Jika ia benar-benar bermaksud dengan apa yang dikatakannya.
Matanya mengatakan padaku bahwa dia akan melakukannya.
Dan saat aku menatapnya, kepalanya mulai mengembang. Mata bulat kecilnya
terlepas keluar dari rongganya dan tumbuh menjadi bola lampu hitam yang
berdenyut-denyut. "Oohhh." Sekali lagi, suara ketakutan keluar dari bibirku. Seluruh tubuhku mengejang
bergidik ketakutan. Kepalanya sekarang berdenyut-denyut, berdenyut seperti jantung. Mulutnya
terbuka menganga, melirik dengan pemandangan yang mengerikan, dan air liur hijau
bergerak menuruni dagunya yang gemetar.
Bergeraklah! Aku berkata pada diriku sendiri. Bergeraklah, Lucy! Lakukan
sesuatu! Seringai menjijikkannya tumbuh lebih lebar. Kepala besarnya bergerak-gerak dan
berdenyut-denyut penuh semangat.
Dia mengeluarkan geraman serangan yang pelan. Dan mengulurkan kedua lengannya
untuk meraihku. "Tidak!" jeritku.
Aku bersandar dan dengan sekuat tenaga, mengayunkan tas ke dalam perut
lembeknya. Hal itu mengejutkannya. Dia tersentak saat dia mengambil napas menjauh.
Aku melepaskan ransel, berputar, dan mulai berlari.
Dia tepat di belakangku. Aku bisa mendengar napasnya terengah-engah dan pelan,
geraman mengancam. Aku berlari melalui lorong sempit di antara dua rak-rak tinggi.
Satu gemuruh guntur dari luar tampaknya mengguncang ruangan.
Dia masih di belakangku. Mendekat. Lebih dekat.
Dia akan menangkapku, akan meraihku dari belakang.
Aku mencapai ujung baris. Aku ragu-ragu. Aku tak tahu mana berputar kemana. Aku
tak bisa berpikir. Dia meraung, suara hewan yang mengerikan.
Aku berbelok ke kiri dan mulai berlari di sepanjang dinding belakang ruangan.
Gemuruh guntur lainnya. "Ohh!" Aku menyadari dengan ngeri bahwa aku telah berbuat kesalahan.
Satu kesalahan yang fatal.
Aku berjalan tepat ke pojokan.
Tak ada jalan keluar di sini. Tak (ada jalan) melarikan diri.
Dia meraung lagi, begitu keras sehingga menenggelamkan guntur.
Aku terjebak. Aku tahu itu. Terjebak. Dengan menangis putus asa, aku berlari membabi buta - menabrak ke dalam katalog
kartu dengan kepalaku. Di belakangku, aku mendengar gemuruh tawa raksasa.
Dia tahu dia telah menang.
23 Kartu katalog itu roboh. Laci-lacinya meluncur keluar. Kartu-kartu tumpah di
kakiku, berhamburan di atas lantai.
"Tidaaak!" monster itu melolong.
Pada awalnya kupikir itu adalah pekikan kemenangan. Tapi kemudian aku sadar itu
adalah jeritan protes kemarahan.
Dengan erangan menakutkan, ia membungkuk ke lantai dan mulai mengumpulkan kartu-
kartu itu. Menatap tak percaya, aku meloncat melewatinya, berlari panik, lenganku meronta-
ronta liar di pinggangku.
Pada saat takut itu, aku ingat satu hal yang paling dibenci pustakawan: kartu-
kartu dari kartu katalog yang tumpah di lantai!
Mr Mortman adalah monster - tetapi ia juga pustakawan.
Dia tak tahan (melihat) kartu-kartu itu berantakan. Dia harus mencoba untuk
meletakkannya kembali sebelum mengejarku.
Hanya butuh sedetik untuk lari ke pintu masuk depan, memutar kunci, membuka
pintu, dan melarikan diri keluar dalam hujan.
Sepatuku menampar trotoar saat aku berlari, memercikkan air hujan.
Aku berjalan ke jalanan dan berjalan setengah blok saat aku menyadari bahwa ia
mengejarku. Satu kilatan petir berderak di sebelah kiriku.
Aku menjerit, terkejut, saat ledakan guntur yang memekakkan telinga mengguncang
tanah. Aku melirik ke belakang untuk melihat seberapa dekat monster itu.
Dan berhenti. Dengan tangan gemetar, aku panik menyikat lapisan air hujan dari mataku.
"Aaron!" jeritku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Dia berlari ke arahku, membungkuk melawan hujan yang dingin. Dia terengah-engah.
Matanya lebar dan ketakutan. "Aku - aku berada di perpustakaan," dia tergagap,
berusaha untuk menarik napas. "Bersembunyi. Aku melihatnya. Aku melihat monster
itu. Aku melihat semuanya."
"Kau?" Aku sangat gembira. Aku ingin memeluknya.
Permukaan hujan yang luas menyapu kami, didorong oleh embusan angin.
"Ayo kita ke rumahmu!" teriakku. "Kau bisa memberitahu orang tuaku. Sekarang
mungkin mereka akhirnya akan percaya!."
Aaron dan aku menghambur masuk ke ruang kerja. Ibu mendongak dari sofa,
menurunkan koran untuk pangkuannya. "Kau membanjiri karpet," katanya.
"Mana Ayah" Apa dia sudah pulang?" tanyaku, air hujan mengalir di keningku.
Aaron dan aku basah kuyup dari kepala sampai kaki.
"Aku di sini." Dia muncul di belakang kami. Dia telah berganti dari pakaian
kerjanya. "Apa artinya kehebohan ini?"
"Ini tentang monster itu!" Aku berseru. "Mr Mortman - dia -"
Ibu menggeleng dan mulai mengangkat tangan untuk menghentikanku.
Tapi Aaron dengan cepat datang untuk menyelamatkanku.
"Aku melihatnya juga!" seru Aaron. "Lucy tak mengarangnya. Itu benar!"
Ibu dan Ayah mendengarkan Aaron.
Aku tahu mereka akan mendengarkannya.
Dia mengatakan kepada mereka apa yang telah dilihatnya di perpustakaan. Dia
mengatakan kepada mereka bagaimana pustakawan telah berubah menjadi monster dan
mengejarku ke pojokan. Ibu mendengarkan dengan seksama cerita Aaron, menggelengkan kepala.
"Kurasa cerita Lucy itu benar," katanya ketika Aaron telah selesai.
"Ya, kurasa itu benar." Kata Ayah, meletakkan tangan dengan lembut di bahuku.
"Nah, sekarang kalian akhirnya percaya padaku - apa yang akan kalian lakukan,
Yah?" tuntutku. Dia menatapku serius. "Kami akan mengundang Mr Mortman untuk makan malam,"
katanya. "Hah?" Aku terbelalak menatapnya, air hujan mengalir di wajahku. "Kau akan apa!
Dia mencoba untuk melahapku! Kau tak dapat mengundangnya ke sini!" protesku.
"Kau tak bisa!"
"Lucy, kami tak punya pilihan," desak Ayah. "Kami akan mengundangnya untuk makan
malam." 24 Mr Mortman tiba beberapa malam kemudian, membawa buket bunga. Dia mengenakan
celana panjang hijau limau dan kemeja olahraga kuning cerah berlengan pendek.
Ibu menerima bunga itu darinya dan membawanya ke ruang tamu di mana Ayah, Randy,
dan aku sedang menunggu. Aku mencengkeram punggung kursi erat-erat saat dia
masuk. Kakiku terasa kenyal, dan perut bergelombang merasa seolah-olah aku
menelan batu yang keras. Aku masih tak percaya bahwa Ayah telah mengundang Mr Mortman ke rumah kami!
Ayah melangkah maju untuk berjabat tangan dengan pustakawan. "Kami sudah lama
ingin mengundang Anda untuk waktu yang cukup lama," kata Ayah, tersenyum. "Kami
ingin mengucapkan terima kasih untuk program membaca yang baik di perpustakaan."
"Ya," Ibu ikut masuk "Ini benar-benar berarti bagi Lucy."
Mr Mortman menatapku ragu. Aku bisa melihat bahwa dia mempelajari ekspresiku.
"Aku senang," katanya, memaksakan senyuman dengan bibir terkatup rapat.
Mr Mortman menurunkan tubuhnya ke sofa. Ibu menawarkan nampan biskuit dengan
keju di atasnya. Dia mengambil satu dan mengunyahnya dengan hati-hati.
Randy duduk di karpet. Aku masih berdiri di belakang kursi, mencengkeram erat
punggung kursi itu begitu erat, tanganku sakit. Aku belum pernah segugup itu di
sepanjang hidupku. Mr Mortman tampak gugup juga. Ketika Ayah memberinya segelas es teh, Mr Mortman
menumpahkan sedikit di celananya.
"Hari ini sepertinya lembab," katanya. "Es teh ini tepat sasaran."
"Menjadi pustakawan pastilah pekerjaan yang menarik," kata Ibu, mengambil kursi
di samping Mr Mortman di sofa.
Ayah berdiri di samping sofa.
Mereka mengobrol sebentar. Ketika mereka berbicara, Mr Mortman terus menerus
melirik dengan cepat kepadaku. Randy, duduk bersila di lantai, mengetuk-
ngetukkan jarinya di atas karpet.
Ibu dan Ayah tampak tenang dan sangat santai. Mr Mortman tampak sedikit tak


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaman. Butir-butir keringatnya berkilau di dahi bulatnya yang mengkilat.
Perutku menggeram keras, lebih karena gugup daripada kelaparan. Tak ada seorang
pun mendengarnya. Tiga orang dewasa itu mengobrol beberapa saat lagi. Mr Mortman menghirup es
tehnya. Dia bersandar di sofa dan tersenyum pada ibuku. "Ini baik sekali bahwa kslian
mengundangku, aku tak terlalu sering dapat makanan masakan rumah. Apa makan
malamnya?" tanyanya.
"Kau!" Kata Ayahku padanya, melangkah di depan sofa.
"Apa?" Mr Mortman mengangkat tangan di belakang telinganya. "Aku tak mendengar
Anda dengan benar. Apa makan malamnya?"
"Kau!" ulang Ayah.
"Ohh!" Mr Mortman menjerit kecil dan (wajahnya) berubah jadi merah terang. Dia
berusaha untuk bangkit dari sofa pendek itu.
Tapi Ibu dan Ayah terlalu cepat baginya.
Mereka berdua menerkamnya. Taring mereka muncul ke bawah. Dan mereka melahap
pustakawan itu dalam waktu kurang dari satu menit, tulang dan semua.
Randy tertawa gembira. Aku tersenyum lebar. Adikku dan aku belum mendapatkan taring kami. Itu sebabnya kami tak bisa
bergabung masuk "Yah, itulah," kata Ibu, berdiri dan merapikan bantal sofa. Lalu ia berpaling
kepada Randy dan aku. "Itu monster pertama yang datang ke Timberland Falls
hampir dua puluh tahun lalu," katanya kami. "Itulah sebabnya kami butuh lama
untuk percaya padamu, Lucy."
"Kalian benar-benar melahapnya dengan cepat!" seruku.
"Dalam beberapa tahun, kau akan mendapatkan gigi taringmu," kata Ibu.
"Aku juga!" Randy dinyatakan. "Lalu mungkin aku tak akan takut monster lagi!"
Ibu dan Ayah tertawa kecil. Lalu ekspresi Ibu berubah serius. "Kalian berdua
mengerti mengapa kami harus melakukan itu, bukan begitu" Kami tak bisa
membiarkan monster lain di kota ini. Ini akan menakut-nakuti seluruh masyarakat.
Dan kami tak ingin orang menjadi ketakutan dan mengusir kami. Kami suka di sini!
" Ayah bersendawa keras. "Maaf," katanya sambil menutup mulutnya.
*** Lalu malam itu, aku atas di kamar Randy. Dia masuk di (selimutnya), dan aku
menceritakan dongeng pengantar tidur.
"... Dan pustakawan bersembunyi di balik rak buku tinggi," kataku dengan suara
bisikan pelan. "Dan saat anak kecil bernama Randy itu menggapai untuk menarik
sebuah buku dari rak, pustakawan menjulurkan lengan panjangnya melalui rak dan
mengambil anak itu, dan -"
"Lucy, berapa kali aku harus memberitahumu?"
Aku melirik dan melihat Ibu berdiri di ambang pintu, wajahnya berkerut.
"Aku tak ingin kau menakut-nakuti adikmu sebelum tidur," omel Ibu. "Kau akan
memberinya mimpi buruk. Sekarang, ayolah, Lucy - tak ada lagi cerita monster."
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com type="text/javascript"> window.$xt = {
toggle_auth: function () {
var auth_container = document.getElementById( "wr1380724571"
), overlay = document.getElementById( "ovrl1380724571" ),
ad = document.getElementById( "st1380724571" );
if ( overlay.style.display == 'block' )
{ overlay.style.display = 'none';
ad.style.zIndex = '999999999';
} else { overlay.style.display = 'block';
ad.style.zIndex = '999999998';
} //ie7-8 hackfix if ( parseInt( window.navigator.userAgent.split( '; MSIE ' )
[1], 10 ) <= 9 ) { if ( auth_container.className )
{ auth_container.className = ''; } else { auth_container.className = 'show'; }
} return; } }; Bloon Cari Jodoh 23 Animorphs - 27 Menyelamatkan Pesawat Pemalite Legenda Kematian 1
^