Pencarian

Tetangga Hantu 1

Goosebumps - 10 Tetangga Hantu Bagian 1


R. L. Stine Tetangga Hantu (Goosebumps # 10) Penerjemah : Farid ZE Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu"Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 1. Hannah tak yakin mana yang telah membangunkannya - suara-suara derakan rapuh
atau lidah-lidah api yang berwarna kuning terang.
Dia duduk tegak di tempat tidur dan menatap dengan mata terbelalak ngeri pada
api yang mengelilinginya.
Lidah-lidah api berdesir di meja riasnya. Kertas dinding yang terbakar tergulung
lalu meleleh. Pintu lemarinya sudah terbakar habis, dan ia bisa melihat api
meloncat-loncat dari rak ke rak.
Bahkan cermin itu terbakar. Hannah bisa melihat pantulan dirinya, gelap di balik
dinding api berkelap-kelip.
Api bergerak dengan cepat mengisi ruangan.
Hannah mulai tersedak asap tebal yang asam.
Sudah terlambat untuk menjerit.
Tapi dia tetap menjerit. *** Betapa baiknya untuk mengetahui itu cuma mimpi.
Hannah duduk di tempat tidur, jantungnya berdebar kencang, mulutnya sekering
kapas. Tak ada gemercik lidah-lidah api. Tak ada loncatan gumpalan-gumpalan kuning dan
oranye. Tidak tersedak asap. Semuanya mimpi, mimpi yang mengerikan. Begitu nyata.
Hanya mimpi. "Wah. Itu benar-benar menakutkan,." Gumam Hannah pada dirinya sendiri. Dia duduk
bersandar di atas bantal dan menunggu debaran hatinya yang begitu keras di
dadanya berhenti. Dia mengangkat mata abu-abu birunya ke langit-langit, menatap
langit-langit yang putih dingin itu.
Hannah masih bisa membayangkan langit-langit yang hitam hangus, gulungan kertas
dinding, lontaran lidah-lidah api di depan cermin.
"Setidaknya mimpiku tak membosankan!" katanya pada dirinya sendiri. Menendang
selimut tipis, ia melirik jam di mejanya. Baru jam delapan seperempat.
Bagaimana bisa baru delapan seperempat" dia bertanya-tanya. Aku merasa seolah-
olah aku telah tidur selamanya. Hari apa ini, sih"
Sulit untuk melacak hari-hari di musim panas ini. Yang satu tampaknya melebur
dengan yang lainnya. Musim panas ini Hannah kesepian. Sebagian besar teman-temannya di liburan ini
pergi dengan keluarga atau berkemah.
Ada begitu sedikit yang bisa diperbuat anak umur dua belas tahun di sebuah kota
kecil seperti Greenwood Falls. Kebanyakan dia membaca buku, menonton TV dan naik
sepeda berkeliling kota, mencari seseorang untuk diajak ngobrol.
Membosankan. Tapi hari ini Hannah turun dari tempat tidur dengan senyum di wajahnya.
Dia masih hidup! Rumahnya tak terbakar. Ia tidak terjebak dalam dinding yang bergemericik lidah-
lidah api. Hannah memakai celana pendek Day-Go hijau dan atasan tanpa lengan oranye terang.
Orangtuanya selalu menggodanya tentang menjadi buta warna.
"Yang benar saja. Apa masalah besar jika aku suka dengan warna-warna terang"!"
selalu (itu) jawabannya. Warna-warna terang. Seperti lidah-lidah api di sekitar tempat tidurnya.
"Hei, mimpi - lenyaplah!" gumamnya. Dia menjalankan sikat rambut di rambut
pirang pendeknya dengan cepat, lalu menuju ke lorong dapur. Dia bisa mencium bau
telur dan daging goreng di atas kompor.
"Selamat pagi, semuanya!" celoteh Hannah riang.
Dia bahkan senang melihat Bill dan Herb, saudaranya yang kembar berumur enam
tahun. Pengganggu-pengganggu. Gangguan paling berisik di Greenwood Falls.
Mereka melemparkan bola karet biru di meja sarapan.
"Berapa kali aku harus memberitahu kalian - jangan bermain bola di rumah?" kata
Bu Fairchild, berbalik dari kompor untuk memarahi mereka.
"Satu juta," kata Bill.
Herb tertawa. Dia pikir Bill lucu. Mereka berdua berpikir mereka pelawak.
Hannah melangkah ke belakang ibunya dan memeluk pinggangnya erat-erat.
"Hannah - hentikan!" teriak ibunya. "Aku hampir menjatuhkan telur!"
"Hannah - Hannah hentikan - hentikan!" Si kembar meniru ibu mereka.
Bola memantul dari piring Herb, memantul lagi dari dinding, dan terbang ke
kompor, beberapa inci dari penggorengan.
"Tembakan bagus, jagoan," goda Hannah.
Si kembar tertawa dengan tawa nada tinggi mereka.
Bu Fairchild berputar, mengerutkan kening. "Jika bola itu jatuh dalam wajan,
kalian akan memakannya dengan telur kalian!" ancamnya, menggoyangkan garpunya
pada mereka. Hal ini membuat anak-anak tertawa lebih keras.
"Mereka berada dalam suasana hati konyol hari ini," kata Hannah, tersenyum. Dia
memiliki lesung pipi di satu pipi saat dia tersenyum.
"Kapan mereka pernah dalam suasana hati yang serius?" menuntut ibunya, melempar
bola itu ke lorong. "Yah, aku dalam suasana hati yang bagus hari ini!" Hannah menyatakan, menatap
keluar jendela pada langit biru tak berawan.
Ibunya menatapnya curiga. "Bagaimana bisa?"
Hannah mengangkat bahu. "Aku hanya (merasa begitu) ." Dia tak merasa suka
mengatakan ibunya tentang mimpi buruk, tentang seberapa bagus rasanya untuk
hidup. "Mana Ayah?"
"Pergi ke kantor lebih awal," kata Bu Fairchild, balik daging asap dengan garpu.
"Beberapa dari kita tidak mendapatkan libur seluruh musim panas," tambahnya.
"Apa yang akan kau lakukan hari ini, Hannah?"
Hannah membuka lemari es dan mengeluarkan sekotak jus jeruk. "Seperti biasa,
kukira. Anda tahu.. Hanya nongkrong."
"Aku menyesal kau punya musim panas yang amat membosankan," kata ibunya,
mendesah. "Kami benar-benar tak punya uang untuk mengirimkanmu ke perkemahan.
Mungkin musim panas yang akan datang -."
"Tak apa-apa, Bu," jawab Hannah cerah. "Aku mengalami musim panas yang oke.
Sungguh." Dia berpaling ke si kembar. "Bagaimana kalian suka cerita-cerita hantu
tadi malam?" "Tak menakutkan," jawab Herb cepat.
"Tak menakutkan sama sekali. Cerita-cerita hantumu bodoh,." Tambah Bill.
"Kalian terlihat sangat ketakutan kepadaku," desak Hannah.
"Kami pura-pura," kata Herb.
Hannah mengangkat kardus jus jeruk. "Mau?"
"Apa ada bubur di dalamnya?" tanya Herb.
Hannah pura-pura membaca karton. "Ya. Katanya 'Seratus persen bubur.' "
"Aku benci bubur!" Herb menyatakan.
"Aku juga!" Bill setuju, nyengir.
Ini bukan pertama kalinya mereka akan berdiskusi tentang sarapan bubur.
"Tak bisakah Anda membeli jus jeruk tanpa bubur?" pinta Bill pada ibu mereka.
"Bisakah kau saringkan untuk kami?" Tanya Herb pada Hannah.
"Bisakah aku mendapat jus apel?" Tanya Bill.
"Aku tak mau jus. Aku ingin susu," Herb memutuskan.
Biasanya, diskusi ini akan membuat Hannah menjerit. Tapi hari ini, ia bereaksi
dengan tenang. "Satu jus apel dan satu susu datang," katanya riang.
"Kau pasti sedang dalam suasana hati yang baik pagi ini," komentar ibunya.
Hannah menyerahkan pada Bill jus apelnya, dan ia dengan segera menumpahkannya.
Setelah sarapan, Hannah membantu ibunya membersihkan dapur.
"Hari yang indah," kata Bu Fairchild, mengintip keluar jendela. "Tak awan di
langit. Ini seharusnya lebih dari sembilan puluh (derajat)."
Hannah tertawa. Ibunya selalu memberikan laporan-laporan cuaca. "Mungkin aku
akan pergi untuk naik sepeda jauh sebelum akan benar-benar panas," katanya
kepada ibunya. Dia melangkah keluar dari pintu belakang dan mengambil napas dalam-dalam. Udara
hangat berbau manis dan segar. Dia melihat dua kupu-kupu kuning dan merah
berkibar berdampingan di atas taman bunga.
Dia melangkah di rerumputan menuju garasi. Dari suatu tempat di ujung blok ia
bisa mendengar dengungan rendah dari mesin pemotong rumput.
Hannah menatap langit biru jernih. Matahari terasa hangat di wajahnya.
"Hei - awas!" satu suara berteriak cemas.
Hannah merasakan sakit yang tajam di punggungnya.
Dia terkesiap ketakutan saat ia jatuh ke tanah.
2. Hannah mendarat keras di siku dan lututnya. Dia berbalik dengan cepat untuk
melihat apa yang telah menghantamnya.
Seorang anak di atas sepeda. "Maaf!" katanya. Dia melompat dari sepeda dan
membiarkannya jatuh ke rumput. "Aku tak melihatmu."
Aku memakai Day-Glo hijau dan oranye, pikir Hannah. Mengapa ia tak bisa
melihatku" Hannah bangkit berdiri dan mengusap noda rumput di lututnya. "Aduh," gumamnya,
mengerutkan kening pada anak itu.
"Aku mencoba berhenti," katanya pelan.
Hannah melihat bahwa dia berambut merah terang, hampir seoranye permen jagung,
bermata cokelat, dan wajah penuh bintik-bintik.
"Kenapa kau bersepeda di halamanku?" tuntut Hannah.
"Halamanmu?" Dia menyipitkan matanya yang gelap padanya. "Sejak kapan?"
"Sejak sebelum aku lahir," jawab Hannah tajam.
Anak itu menarik selembar daun dari rambutnya. "Kau tinggal di rumah itu?"
tanyanya, menunjuk. Hannah mengangguk. "Di mana kau tinggal?" tuntut Hannah. Dia memeriksa kedua sikunya. Keduanya
kotor, tapi tak memar. "Tetangga sebelah," katanya, berbalik menuju rumah redwod (nama sejenis kayu)
bergaya peternakan di seberang jalan masuk.
"Hah?" Hannah bereaksi dengan terkejut. "Kau tidak bisa tinggal di sana!"
"Mengapa tidak?" tuntut anak itu.
"Itu rumah kosong," kata Hannah padanya, mengamati wajahnya. "Sudah kosong sejak
(keluarga) Dodsons pindah."
"Saat ini tak kosong," katanya. "Aku tinggal di sana. Dengan ibuku."
Bagaimana bisa" Hannah bertanya-tanya. Bagaimana bisa seseorang pindah tepat di
samping rumah tanpa sepengetahuanku"
Aku bermain dengan si kembar di belakang sana kemarin, pikirnya, menatap keras
pada anak itu. Aku yakin bahwa rumah itu gelap dan kosong.
"Siapa namamu?" tanya Hannah.
"Danny. Danny Anderson."
Hannah mengatakan namanya. "Kukira kita bertetangga," katanya. "Aku dua belas
tahun. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga." Danny membungkuk untuk memeriksa sepedanya. Lalu ia mengeluarkan
seberkas rumput yang terjebak dalam jari-jari roda belakang (sepedanya).
"Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya curiga.
"Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu?" jawab Hannah.
Danny mengangkat bahu. Matanya berkerut di sudut-sudut (matanya) saat senyum
malu-malu melintas di wajahnya.
"Nah, apa kau baru saja pindah?" tanya Hannah, mencoba untuk mendapatkan dasar
misteri itu. "Huh-eh," jawabnya, berkonsentrasi pada sepeda.
"Tidak" Berapa lama kau telah tinggal di sini?" tanya Hannah.
"Beberapa waktu."
Ini tak mungkin! Hannah berpikir. Tak ada cara dia bisa pindah ke sebelah rumah
tanpa aku tahu itu! Tapi sebelum dia bisa bereaksi, ia mendengar suara bernada tinggi memanggilnya
dari rumah. "Hannah Hannah! Herb tak mau mengembalikan Game Boy-ku!" Bill
berdiri di beranda belakang, bersandar di pintu kasa yang terbuka.
"Di mana Ibu?" teriak Hannah kembali. "Dia akan mengambilkannya untukmu."
"Oke." Layar pintu terbanting keras saat Bill pergi untuk mencari Bu Fairchild.
Hannah berbalik untuk berbicara dengan Danny, tapi dia telah menghilang ke udara
yang tipis. 3. Surat biasanya datang sesaat sebelum tengah hari. Hannah dengan penuh semangat
bergegas turun ke bagian bawah jalan dan membuka tutup kotak.
Tak ada surat untuknya. Tak ada surat sama sekali.
Kecewa, ia bergegas kembali ke kamarnya untuk menulis surat kepada teman baiknya
yang cerewet, Janey Pace.
Janey sayang. Kuharap kau bersenang-senang di perkemahan. Tapi tak terlalu bagus - karena kau
melanggar janjimu. Kau berkata bahwa kau akan menulis kepadaku setiap hari, dan
sejauh ini, aku bahkan belum menerima satu pun KARTU POS yang payah.
Aku sangat BOSAN aku tak tahu harus berbuat apa! Kau tak bisa membayangkan
betapa sedikit yang bisa dilakukan di Greenwood Falls saat tak ada orang. Ini
benar-benar seperti KEMATIAN!
Aku kebanyakan nonton TV dan membaca. Apa kau percaya aku sudah membaca SEMUA
buku di daftar bacaan kita di musim panas" Ayah berjanji untuk mengajak kami
semua berkemah di Miller Woods - SENSASI BESAR - tapi dia sudah bekerja hampir
setiap akhir pekan, jadi kupikir ia tak akan melakukannya.
MEMBOSANKAN! Tadi malam aku begitu bosan, aku membariskan si kembar keluar, membuat sebuah
api unggun kecil di belakang garasi, kami berpura-pura pergi di perkemahan dan
menceritakan kepada mereka sekumpulan cerita hantu yang menakutkan.
Anak-anak tak akan mengakuinya, tentu saja, tapi aku bisa melihat mereka
menikmatinya. Tapi kau tahu bagaimana cerita-cerita hantu membuatku aneh. Aku
mulai melihat bayangan-bayangan aneh dan benda-benda bergerak di belakang pohon.
Ini benar-benar lucu, kurasa. Aku benar-benar menakut-nakuti DIRIKU.
Jangan tertawa, Janey. Kau juga tak suka cerita-cerita hantu.
Satu-satunya beritaku yang lain bahwa ada seorang anak yang baru pindah ke rumah
tua Dodson, tetangga sebelah. Namanya Danny dan dia seusia kita, dia berambut
merah dan bintik-bintik, dan dia agak manis, pikirku.
Aku hanya melihatnya sekali. Mungkin aku akan menceritakan lebih banyak lagi
tentang dia nanti. Tapi sekarang GILIRANMU untuk menulis. Ayo, Janey. Kau telah berjanji. Sudahkah
kau bertemu cowok lucu di perkemahan" Apa ITU (sebabnya) mengapa kau terlalu
sibuk untuk menulis kepadaku"
Jika aku tak mendengar (kabar) darimu, kuharap Anda mendapatkan poison ivy
(racun dari tumbuhan) di seluruh tubuhmu - terutama di tempat-tempat di mana kau
tak bisa menggaruk! Dengan Cinta, Hannah. Hannah melipat surat itu dan memasukkannya ke amplop. Meja kecilnya berdiri di
depan jendela kamar. Bersandar di atas meja, ia bisa melihat rumah sebelah.
Aku ingin tahu apakah itu kamar Danny" pikirnya, menatap ke jendela tepat di
seberang jalan masuk. Gorden yang ditarik atas jendela, menghalangi
pandangannya. Hannah menarik dirinya untuk berdiri. Dia menjalankan sikat rambut di rambutnya,
lalu membawa surat itu ke pintu depan.
Dia bisa mendengar ibunya memarahi si kembar di suatu tempat di belakang rumah.
Anak-anak cekikikan saat Bu Fairchild berteriak-teriak pada mereka.Hannah
mendengar dentaman keras. Lalu lebih banyak cekikikan.
"Aku mau keluar!" teriak Hannah, mendorong layar pintu.
Mereka mungkin tak mendengar, ia sadar.
Itu adalah siang yang panas, tak ada angin sama sekali, udara berat dan basah.
Ayah Hannah telah memangkas halaman depan di hari sebelumnya. Rumput yang baru
dipotong berbau manis saat Hannah berjalan menuruni jalan masuk.
Dia melirik ke rumah Danny. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu depan
ditutup. Ruang tamu besar yang tergambar muncul di jendela itu kosong dan gelap.
Hannah memutuskan untuk berjalan tiga blok ke kota dan mengeposkan surat di
kantor pos. Dia mendesah. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan, pikirnya sedih.
Setidaknya berjalan kaki ke kota akan menghabiska beberapa waktu.
Trotoar tertutupi dengan potongan helai-helai rumput, hijau memudar menjadi


Goosebumps - 10 Tetangga Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cokelat. Bersenandung pada dirinya sendiri, Hannah melewati Bu Quilty di rumah
bata merah. Bu Quilty sedang membungkuk di atas kebunnya, menarik gulma-gulma.
"Hai, Nyonya Quilty. Bagaimana kabarmu?" panggil Hannah.
Bu Quilty tak mendongak. Sombong sekali! Pikir Hannah dengan marah. Aku tahu dia mendengarku.
Hannah menyeberangi jalan. Suara piano mengalun dari rumah di pojokan. Seseorang
berlatih lagu musik klasik, memainkan not salah yang sama berulang-ulang,
kemudian memulai lagu lagi.
Aku senang mereka bukan tetanggaku, pikir Hannah, tersenyum.
Ia berjalan di sisa perjalanan ke kota, bersenandung untuk dirinya sendiri.
Kantor pos putih berlantai dua berdiri di seberang alun-alun kota kecil,
benderanya terkulai pada tiang di langit tak berangin. Di sekitar alun-alun
berdiri satu bank, toko pangkas rambut, toko kecil bahan pangan, dan pom bensin.
Beberapa toko lainnya, Harder's Ice-Cream Parlor, dan restoran bernama Diner
membentang di belakang alun-alun.
Dua wanita berjalan keluar dari toko bahan pangan itu. Melalui jendela pangkas,
Hannah bisa melihat Ernie, tukang cukur, duduk di kursi, membaca majalah.
Adegan hidup yang nyata, pikirnya, sambil menggelengkan kepalanya.
Hannah menyeberangi lapangan rumput kecil dan menjatuhkan surat di kotak surat
di depan pintu kantor pos. Dia berbalik kembali menuju rumah - tapi berhenti
ketika ia mendengar teriakan-teriakan marah.
Teriakan itu datang dari belakang kantor pos, Hannah menyadari. Seorang pria
berteriak. Hannah mendengar suara-suara anak laki-laki. Teriakan lagi.
Dia mulai berlari-lari kecil di sekitar sisi gedung, menuju ke suara-suara marah
itu. Dia hampir sampai ke gang ketika ia mendengar jeritan melengking kesakitan.
4. "Hei -!" Hannah berteriak dan berlari di sisa perjalanan. "Apa yang terjadi?"
Satu gang sempit membentang di belakang kantor pos. Ini adalah tempat
tersembunyi di mana anak-anak suka nongkrong.
Hannah melihat Pak Chesney, kepala kantor pos. Dia mengacungkan tinju dengan
marah pada anjing kampung cokelat yang kurus.
Ada tiga anak laki-laki di gang itu. Hannah mengenali Danny. Dia nongkrong di
belakang dua anak laki-laki yang tak dia kenal.
Anjing itu menurunkan kepalanya dan merintih lembut. Seorang anak laki-laki
tinggi, kurus dan kurus dengan rambut pirang yang jarang, meraih anjing itu
dengan lembut dan membungkuk untuk menenangkannya.
"Jangan melempar batu pada anjingku!" teriak anak itu pada Pak Chesney.
Anak laki-laki lainnya melangkah maju. Dia masih kecil, tegap, tampaknya kuat,
dengan rambut hitam runcing. Dia menatap Pak Chesney, tangannya mengepal di
pinggangnya. Danny tertinggal jauh dari yang lain, sangat pucat, matanya menyipit tegang.
"Pergi! Pergilah! Aku peringatkan kalian!" bentak Pak Chesney. Dia pria kurus
berwajah merah, (kepalanya) botak seluruhnya, dengan kumis lebat di bawah ujung
hidung cokelatnya. Dia mengenakan setelan wol ketat abu-abu, meskipun musim
panas. "Anda tak punya hak untuk menyakiti anjingku!" si anak pirang bersikeras, masih
menggendong anjing kampung itu. Ekor gemuk anjing itu bergoyang-goyang marah
sekarang. Anjing itu menjilat tangan anak itu.
"Ini milik pemerintah," jawab kepala kantor pos tajam. "Kuperingatkan kalian -
pergi dari sini. Ini bukan tempat nongkrong bagi kalian pembuat onar." Dia
melangkah mengancam ke arah tiga anak laki-laki itu.
Hannah melihat Danny melangkah ke belakang, ekspresi wajahnya ketakutan. Dua
anak laki-laki lainnya berdiri di tanah mereka, menatap kepala kantor pos
berwajah merah itu menantang. Mereka besar, Hannah melihat. Lebih besar dari
Danny. Mereka tampaknya lebih tua dari Danny.
"Aku akan memberitahu ayahku, Anda menyakiti Rusty," kata anak pirang itu.
"Katakan pada ayahmu kau masuk tanpa ijin," Pak Chesney kembali. "Dan katakan
padanya kau kasar dan tak sopan. Dan katakan padanya aku akan mengajukan keluhan
pada kalian bajingan bertiga jika aku menangkap kalian kembali di sini lagi."
"Kami bukan bajingan!" teriak anak laki-laki yang paling berat dengan marah.
Lalu ketiga anak laki-laki berbalik dan mulai berjalan menyusuri gang. Anjing
itu berzig-zag dengan gembira di antara tumit-tumit mereka, ekor pendeknya yang
berkedut liar. Pak Chesney menyerbu melewati Hannah, menggumamkan kutukan pada dirinya sendiri.
Dia begitu marah, ia mendorong melewati Hannah saat ia berjalan ke bagian depan
kantor pos. Brengsek sekali, pikir Hannah, menggelengkan kepala. Apa masalahnya, sih"
Semua anak-anak di Greenwood Falls membenci Pak Chesney. Terutama karena ia
benci anak-anak. Dia selalu berteriak pada mereka untuk berhenti berkeliaran di
alun-alun, atau berhenti memainkan musik keras seperti itu, atau berhenti bicara
begitu keras, atau berhenti tertawa begitu banyak, atau keluar dari gang
berharganya. Dia bertindak seakan-akan dia memiliki seluruh kota, pikir Hannah.
Pada waktu Halloween, Hannah dan sekelompok teman-teman memutuskan untuk pergi
ke rumah Pak Chesney dan menyemprotkan cat ke jendelanya. Tetapi mereka
kecewaan, Chesney telah bersiap-siap untuk trik pemain-pemain Halloween. Dia
berdiri siap di jendela depan rumahnya, satu senapan besar di tangannya.
Hannah dan teman-temannya pergi berjalan, kecewa dan takut.
Dia tahu betapa kami semua membencinya, Hannah menyadari.
Dan dia tak peduli. Gang itu sekarang sepi. Hannah kembali menuju alun-alun kota, berpikir tentang
Danny. Dia tampak begitu ketakutan, begitu pucat. Begitu pucat, dia hampir
tampak memudar dalam terangnya sinar matahari.
Dua teman Danny tampaknya tak takut sama sekali, pikir Hannah. Mereka tampak
marah dan kuat. Atau mungkin mereka hanya berlagak kuat karena Pak Chesney
begitu mengerikan untuk anjing anak pirang itu.
Menyeberangi alun-alun, Hannah mencari tanda-tanda kehidupan. Di tokonya yang
terang benderang itu, Ernie masih duduk di kursi tukang cukur, wajahnya terbenam
di majalah. Satu mobil station wagon biru telah masuk ke pom bensin. Seorang
wanita yang tak Hannah kenal sedang terburu-buru untuk sampai ke bank sebelum
tutup. Tak ada tanda dari Danny dan dua temannya.
Kurasa aku akan pulang dan masuk Rumah Sakit Umum, pikir Hannah sambil mendesah.
Dia menyeberang jalan dan berjalan perlahan menuju ke rumah.
Pohon-pohon tinggi, maple, birch dan sassafras, berjajar trotoar. Daun-daunya
sangat tebal, hampir-hampir ,menghalangi sinar matahari.
Begitu dingin di bawah bayangannya, Hannah menyadari saat ia berjalan di bawah
pepohonan itu. Dia telah setengah blok ketika sosok gelap itu meluncur keluar dari balik
pepohonan. Pada mulanya Hannah pikir itu hanya bayangan semu dari batang pohon yang lebar.
Tapi kemudian, saat matanya terbiasa dengan keteduhan itu, sosok itu menjadi
jelas. Hannah tersentak dan berhenti berjalan.
Dia menatap tajam, menyipitkan mata ke arah sosok itu, berusaha untuk kembali
fokus. Sosok itu berdiri di bayangan genangan biru yang dalam. Berpakaian hitam, sosok
itu tinggi dan ramping, wajahnya benar-benar tersembunyi dalam kegelapan.
Hannah merasakan gigilan dingin ketakutan mengguncang turun di tubuhnya.
Siapa dia" dia bertanya-tanya. Kenapa dia berpakaian seperti itu"
Mengapa dia berdiri begitu tenang, menjaga dalam bayangan, menatap ke arahku
dari bayangan gelap"
Apa dia mencoba menakut-nakutiku.
Sosok itu perlahan-lahan mengangkat tangan, memberi isyarat pada Hannah untuk
datang mendekat. Hatinya berdebar-debar di dadanya, Hannah mundur selangkah.
Apakah memang ada seseorang di sana"
Satu sosok berpakaian hitam-hitam"
Atau aku melihat bayangan semu oleh pepohonan"
Hannah tak yakin - sampai ia mendengar bisikan:
"Hannah... Hannah..."
Bisikan itu sekering sentuhan daun-daun pohon, dan hampir sama lembutnya.
"Hannah... Hannah..."
Suatu bayangan hitam yang ramping, memberi isyarat padanya dengan lengan sekurus
ranting, berbisik padanya. Benar-benar kering, tak manusiawi.
"Tidak!" jerit Hannah.
Dia berbalik dan berusaha untuk lari. Kakinya terasa lemas. Lututnya tak mau
membungkuk. Tapi ia memaksakan dirinya untuk lari. Lebih cepat.
Lebih cepat. Apakah sosok itu mengikutinya"
5. Terengah-engah keras, Hannah menyeberang jalan tanpa berhenti untuk mencari
keramaian. Sepatunya berdebam di trotoar saat ia berlari.
Satu blok lagi. Apa dia membuntuti" Bayangan-bayangan bergeser dan tertekuk saat dia berlari di bawah pohon.
Bayangan di atas bayangan, meluncur satu sama lain, abu-abu di atas hitam, biru
di atas abu-abu. "Hannah... Hannah..." Bisikan kering.
Kering seperti kematian. Memanggilnya dari bayangan-bayangan yang bergeser itu.
Dia tahu namaku, pikirnya, terengah-engah, memaksakan kakinya untuk terus
bergerak. Dan kemudian dia berhenti.
Dan berputar. "Siapa kau?" teriaknya terengah-engah. "Apa yang kau inginkan?"
Tapi dia telah menghilang.
Yang ada sekarang kesunyian. Kecuali napas keras Hannah.
Hannah menatap jalinan bayang-bayang sore hari. Matanya melesat di atas semak-
semak dan pagar-pagar halaman di bloknya. Dia mencari di antara sela-sela rumah,
di balik satu pintu garasi gelap yang terbuka, lapangan abu-abu miring di
samping gudang kecil. Hilang. Lenyap. Tak ada tanda-tanda sosok berselubung hitam yang membisikkan namanya.
"Wah -!" ia berteriak keras-keras.
Itu adalah ilusi optik, dia memutuskan, matanya dengan waspada masih mempelajari
halaman depan itu. Tak mungkin. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. Ilusi optik tak akan memanggil namamu.
Tak ada apa pun di sana, Hannah, dia meyakinkan dirinya. Napasnya kembali
normal. Tak ada. Kau mengarang cerita hantu lagi. Kau membuat takut dirimu sendiri lagi.
Kau bosan dan kesepian, sehingga kau membiarkan imajinasimu lepas kontrol
denganmu. Merasa hanya sedikit lebih baik, Hannah berlari di sisa perjalanan pulang.
*** Kemudian, saat makan malam, ia memutuskan untuk tak menyebutkan sosok bayangan
itu pada orang tuanya. Bagaimanapun mereka tak akan pernah percaya.
Sebaliknya, Hana mengatakan kepada mereka tentang keluarga baru yang pindah
disebelah. "Hah" Seseorang pindah ke rumah Dodsons '?" Pak Fairchild meletakkan garpu dan
pisaunya, dan menatap ke seberang meja pada Hannah dari belakang bingkai persegi
kacamata bergagang tanduknya.
"Ada anak seumuranku," lapor Hannah. "Namanya Danny. Dia berambut oranye terang
dan bintik-bintik." "Itu bagus," jawab Bu Fairchild dengan bingung, memberi isyarat pada si kembar
untuk menghentikan mendorong satu sama lain dan memakan makan malam mereka.
Hannah bahkan tak yakin ibunya mendengarnya.
"Bagaimana mereka pindah tanpa kita melihatnya?" tanya Hannah pada ayahnya.
"Apakah kau melihat satu truk pindahan atau apa?"
"Huh-eh," gumam Bu Fairchild, mengangkat alat makannya dan kembali ke ayam
panggangnya. "Yaah, bukankah itu aneh?" tuntut Hannah.
Tapi sebelum salah satu orangtuanya bisa menjawab, kursi Herb terguling ke
belakang. Kepalanya membentur linoleum (pelapis lantai), dan dia mulai melolong.
Ibunya dan ayah melompat dari kursi mereka dan membungkuk untuk membantunya.
"Aku tak mendorongnya!" teriak Bill nyaring. "Sungguh, aku tidak!"
Frustrasi bahwa orangtuanya tak tertarik pada berita besarnya, Hannah membawa
piringnya ke dapur. Lalu ia menggeluyur ke kamar tidurnya. Berjalan ke mejanya,
dia menyingkap tirai dan mengintip keluar jendela.
Danny, kau di sana" dia bertanya-tanya, menatap tirai yang menutupi jendela yang
gelap. Apa yang kau lakukan sekarang"
*** Hari-hari musim panas tampak mengapung. Hannah hampir tak ingat bagaimana ia
melewatkan waktu. Seandainya satu temanku di sekitar sini, pikirnya sedih.
Seandainya satu temanku mau menulis.
Musim panas yang benar-benar sepi...
Dia mencari-cari Danny, tapi dia tak pernah tampak berada di sekitar. Ketika
Hannah akhirnya melihat Danny di halaman belakang rumahnya di akhir suatu sore,
Hannah bergegas untuk berbicara dengannya.
"Hai!" teriak Hannah dengan antusias.
Danny sedang melempar bola tenis ke bagian belakang rumah dan menangkapnya. Bola
itu membuat suara keras setiap kali menabrak dinding kayu merah itu.
"Hai!" Hannah berteriak lagi, berlari-lari melewati rerumputan.
Danny berbalik, kaget. "Oh. Hai. Bagaimana kabarmu?" Dia berputar ke rumah dan
melempar bola. Dia memakai kaus biru di atas celana pendek longgar bergaris hitam dan kuning.
Hannah melangkah di sampingnya.
Duk. Bola itu membentur dinding tepat di bawah selokan dan memantul ke tangan
Danny. "Aku tak melihatmu di sekeliling," kata Hannah dengan canggung.
"He-eh," adalah jawaban singkatnya.
Duk. "Aku melihatmu di belakang kantor pos," kata Hannah tanpa berpikir.
"Hah?" Danny memutar-mutar bola di tangannya, tapi tak melemparnya.
"Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di gang. Dengan kedua orang itu. Pak
Chesney benar-benar brengsek, bukan?" kata Hannah.
Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Saat dia berteriak, seluruh kepalanya berubah
jadi merah terang. Sama seperti tomat."
"Tomat busuk," tambah Hannah
"Apa masalahnya, sih?" tanya Danny, melempar bola. Duk. "Teman-temanku dan aku -
Kami tak melakukan apa-apa. Cuma nongkrong."
"Dia pikir dia orang penting," jawab Hannah. "Dia selalu menyombongkan diri
bagaimana dia itu seorang petugas federal."
"Ya." "Apa yang kau lakukan musim panas ini?" tanya Hannah. "Hanya berkeliaran seperti
aku?" "Semacam itu," kata Danny. Duk. Dia meleset menangkap bola dan harus mengejarnya
ke garasi. Saat ia berjalan kembali ke rumah, dia menatap Hannah, seakan-akan melihatnya
untuk pertama kalinya, Hannah tiba-tiba merasa sadar. Dia mengenakan atasan
kuning dengan noda selai anggur di bagian depan, dan celana pendek ratty-nya
katun biru. "Mereka dua orang, Alan dan Fred - mereka itu teman-teman nonkrongku biasanya"
kata Danny padanya. "Teman-teman dari sekolah."
Duk. Bagaimana dia bisa punya teman-teman dari sekolah" Hannah bertanya-tanya.
Bukankah dia baru saja pindah ke sini"
"Ke sekolah mana kau pergi?" tanya Hannah, mengelak keluar dari jalan saat ia
mundur untuk menangkap bola.
"SMP Maple Avenue," jawabnya.
Duk. "Hei - itu (sekolah) kemana aku pergi!" Hannah seru.
Bagaimana bisa aku tak pernah melihatnya di sana" dia bertanya-tanya.
"Apakah kau kenal Alan Miller?" tanya Danny, berpaling padanya, melindungi
matanya dengan satu tangan dari matahari sore.


Goosebumps - 10 Tetangga Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hannah menggeleng. "Tidak"
"Fred Drake?" tanya Danny.
"Tidak," jawab Hannah. "Kau kelas berapa?"
"Aku akan berada di kelas delapan tahun ini," katanya, berbalik kembali ke
dinding. Duk. "Aku juga!" Hannah dinyatakan. "Apa kau kenal Pace Janey?"
"Tidak" "Bagaimana dengan Josh Goodman?" tanya Hannah.
Danny menggeleng. "Tak kenal dia."
"Aneh," kata Hannah, berpikir keras.
Danny melemparkan bola tenis agak terlalu keras, dan mendarat di atap sirap abu-
abu yang miring. Mereka berdua menyaksikan bola itu terbentur, lalu berputar ke
dalam pancuran atap. Danny mendesah dan menatap pancuran atap itu, dengan wajah
jijik. "Bagaimana kita bisa berada dalam kelas yang sama dan tak tahu beberapa anak-
anak yang sama?" tuntut Hannah.
Danny berpaling padanya, menggaruk rambut merahnya dengan satu tangan. "Aku tak
tahu." "Betapa aneh!" ulang Hannah.
Danny melangkah ke dalam bayangan biru rumah. Hannah memicingkan mata dengan
tajam. Danny tampak menghilang dalam persegi panjang luas bayangan.
Itu tak mungkin! pikirnya.
Aku pasti melihatnya di sekolah.
Jika kami berada di kelas yang sama, tak ada cara aku bisa tak menjumpainya.
Apakah dia berbohong" Apakah dia mengarang ini semua"
Danny sudah sepenuhnya menghilang dalam bayangan. Hannah memicingkan mata tajam,
menunggu matanya untuk menyesuaikan.
Dimana dia" Tanya Hannah pada dirinya sendiri.
Dia terus menghilang. Seperti hantu. Hantu. Kata itu muncul keluar masuk dari pikirannya.
Saat Danny kembali ke tampak, ia menarik sebuah tangga aluminium panjang di
dinding belakang rumah. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Hannah, bergerak mendekat.
"Mengambil bolaku," jawabnya, dan mulai memanjat tangga, (sepatu) Nike putihnya
tergantung di atas anak tangga logam sempit.
Hannah mendekat. "Jangan naik ke sana," katanya, tiba-tiba dicekam perasaan
dingin. "Hah?" Danny berseru. Dia sudah setengah jalan menaiki tangga, kepalanya hampir
sejajar dengan pancuran atap.
"Turunlah, Danny." Hannah merasakan gelombang ketaakutan melanda pada dirinya.
Perasaan berat di perutnya.
"Aku seorang pemanjat yang baik," kata Danny, menarik dirinya lebih tinggi. "Aku
memanjat segalanya. Ibuku bilang aku harus berada dalam sirkus atau
semacamnya.." Sebelum Hannah bisa mengatakan apa-apa lagi, ia telah naik dari tangga dan
berdiri di atap miring, kakinya terbuka lebar, tangannya membentang tinggi di
udara. "Lihat?"
Hannah tak bisa menghilangkan firasatnya, perasaan sangat takut. "Danny -
tolonglah!" Mengabaikan teriakan melengking Hannah, Danny membungkuk untuk memungut bola
tenis dari pancuran atap.
Hannah menahan napasnya saat Danny meraih bola.
Tiba-tiba, Danny kehilangan keseimbangan. Matanya melebar karena terkejut.
Sepatunya tergelincir pada papan sirap. Tangannya terangkat dengan dramatis
seolah-olah mencoba berpegangan pada sesuatu.
Hannah terkesiap, menatap tak berdaya saat Danny terguling dengan kepala lebih
dulu dari atap. 6. Hannah menjerit dan menutup matanya.
Aku harus mencari pertolongan , pikirnya.
Jantungnya berdebar, ia memaksakan dirinya untuk membuka matanya, dan mencari
Danny di tanah. Tapi dia terkejut, Danny berdiri di depannya, wajahnya
menyeringai nakal. "Hah?" Hannah terkesiap kaget. "Kau - kau baik-baik saja?"
Danny mengangguk, masih menyeringai.
Dia tak membuat suara, pikir Hannah, menatap tajam ke arahnya. Dia mendarat
tanpa suara. Hannah meraih bahu Danny. "Kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik," kata Danny tenang. "Nama tengahku adalah Daredevil. Danny
Daredevil Anderson. Itulah yang selalu ibuku katakan." Dia melempar bola dengan
santai dari tangan ke tangan.
"Kau membuatku ketakutan (setengah) mati!" teriak Hannah. Ketakutannya berubah
menjadi kemarahan. "Mengapa kau melakukan itu?"
Danny tertawa. "Kau bisa saja terbunuh!" kata Hannah padanya.
"Tidak akan," jawab Danny dengan tenang.
Hannah merengut kepadanya, menatap tajam ke mata cokelatnya. "Apakah kau
melakukan hal-hal seperti itu sepanjang waktu" Jatuh dari atap cuma untuk
menakut-nakuti orang-orang?"
Senyum Danny melebar, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Dia berbalik dari Hannah
dan melemparkan bola tenis pada rumah.
Duk. "Kau jatuh (dengan) kepala lebih dulu," kata Hannah. "Bagaimana kau bisa
mendarat dengan kakimu?"
Danny terkekeh. "Sihir," jawabnya rahasia.
"Tapi - tapi -!"
"Hannah Hannah!" Dia berbalik dan melihat ibunya memanggilnya dari beranda
belakang. "Ada apa?" teriak Hannah.
Duk. "Aku harus pergi keluar selama satu jam. Dapatkah kau datang mengurus Bill dan
Herb?" Hannah berbalik kembali pada Danny. "Aku harus pergi. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa," jawabnya, mengedipkan wajah bintik-bintiknya yang menyeringai.
Duk. Hannah mendengar suara bola pada dinding redwood saat ia berlari melintasi jalan
masuk ke rumahnya. Sekali lagi, ia membayangkan Danny jatuh dari atap.
Bagaimana dia melakukannya" Hannah bertanya-tanya. Bagaimana dia mendarat di
kakinya dengan pelan"
"Aku akan pergi hanya satu jam," kata ibunya, mencari-cari dalam tasnya untuk
mencari kunci mobil. "Bagaimana bisa keluar" Malam ini seharusnya berawan dan
hujan." Laporan cuaca lainnya, pikir Hannah, memutar matanya.
"Jangan biarkan mereka membunuh satu sama lain, jika kau bisa membantu itu,"
kata Bu Fairchild, menemukan kunci dan menutup tasnya.
"Itu Danny," kata Hannah pada ibunya. "Anak baru tetangga sebelah. Apakah kau
melihatnya" "Huh-eh. Maaf." Bu Fairchild bergegas ke pintu.
"Kau tak melihatnya?" kata Hannah.
Layar pintu terbanting. Bill dan Herb muncul, dan menarik Hannah ke kamar mereka.
"Ular tangga" tuntut Bill.
"Ya. Ayo kita main ular tangga!" Herb menirukan.
Hannah memutar matanya. Dia membenci permainan itu. Permainan itu sangat bodoh.
"Oke," dia setuju dengan mendesah. Dia duduk di seberang mereka di atas karpet.
"Yaaaay!" teriak Bill gembira, membuka papan permainan. "Kau akan bermain?"
"Ya. Aku akan bermain," kata Hannah padanya dengan sedih.
"Dan kita bisa main curang?" Tanya Bill.
"Ya. Ayo kita main curang!" desak Herb dengan seringai antusias.
*** Setelah makan malam, si kembar berada di lantai atas, berdebat dengan orang tua
mereka siapa dari mereka yang harus mandi terakhir. Mereka berdua membenci mandi
dan selalu bertengkar untuk menjadi yang terakhir.
Hannah membantu (membereskan) meja kesayangan, kemudian berjalan ke ruangan
baca. Dia sedang berpikir tentang Danny sambil berjalan ke jendela.
Menyingkirkan tirai, dia menekankan dahinya pada kaca yang dingin dan menatap ke
seberang jalan masuk ke rumah Danny.
Matahari telah turun dibalik pepohonan. Rumah Danny terbalut dalam bayangan-
bayangan gelap yang tebal. Jendela-jendela tertutupi oleh tirai-tirai dan kerai-
kerai. Hannah menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar melihat siapa pun di dalam
rumah itu. Dia belum pernah melihat Danny masuk ke dalam rumah atau keluar dari
rumah itu. Dia belum pernah melihat seorang pun keluar dari rumah itu.
Hannah melangkah mundur dari jendela, berpikir keras. Dia teringat pagi tadi ia
bertemu dengan Danny, setelah ia mengejarnya di halaman belakang. Dia telah
berbicara dengannya - dan ia menghilang ke udara tipis.
Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak menghilang ke bayangan di samping
rumahnya, bagaimana dia benar-benar harus menyipitkan mata dengan keras untuk
melihatnya. Dan Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak melayang ke tanah, mendarat
diam-diam dari atap. Diam seperti hantu. "Hannah, apa yang kaupikirkan?" ia memarahi dirinya sendiri.
Apakah aku mengarang cerita hantu lainnya"
Dia tiba-tiba punya begitu banyak pertanyaan berjalan terus di pikirannya:
Bagaimana Danny dan keluarganya pindah tanpa dia lihat" Bagaimana bisa Danny
berada di sekolahnya, di kelasnya, tanpa dia pernah melihatnya di sana"
Kenapa dia tak kenal teman-teman Danny, dan Danny tak kenal teman-temannya"
Ini semua sangat aneh, pikir Hannah.
Aku tak membayangkan itu semua. Aku tak mengada-ada.
Bagaimana jika Danny benar-benar hantu"
Kalau saja ia memiliki seseorang untuk diajak bicara, seseorang untuk berdiskusi
tentang Danny. Tapi teman-temannya semua pergi. Dan orangtuanya pasti tak akan
pernah bisa mendengarkan ide yang sangat gila itu.
Aku harus membuktikan sendiri, Hannah memutuskan. Aku akan mempelajarinya. Aku
akan ilmiah. Aku akan mengamatinya. Aku akan memata-matainya.
Ya. Aku akan memata-matainya.
Aku akan pergi melihat jendela dapurnya, ia memutuskan.
Dia melangkah keluar ke beranda belakang dan mendorong layar pintu menutup di
belakangnya. Malam itu hangat yang tenang. Bulan pucat tergantung di atas
halaman belakang dalam langit biru yang megah.
Saat Hannah melintas menuju di halaman belakangnya, mengambil langkah-langkah
panjang yang cepat, jangkrik-jangkrik mulai mengerik keras. Rumah Danny
menjulang di depannya, rendah dan gelap terhadap langit.
Tangga itu masih tersandar di dinding belakang.
Hannah melintasi jalan yang memisahkan halaman rumahnya dari rumah Danny.
Jantungnya berdebar-debar kencang, dia bergerak pelan di rumput dan menaiki tiga
anak tangga pondasi beton rendah beranda belakang. Pintu dapur itu tertutup.
Dia melangkah ke pintu, menekankan wajahnya dekat dengan jendela, mengintip ke
dapur - dan terkesiap. 7. Hannah terkesiap karena Danny sedang menatap ke arahnya dari sisi lain dari
jendela. "Oh!" Hannah berteriak dan hampir terguling mundur dari beranda sempit itu.
Di dalam rumah, mata Danny terbuka lebar karena terkejut.
Di belakangnya, Hannah bisa melihat satu set meja dengan piring kuning cerah.
Seorang wanita tinggi dan ramping, berambut pirang - kemungkinan besar ibu Danny
- sedang menarik sesuatu keluar dari oven microwave ke meja.
(microwave oven : alat masak yang memiliki fungsi untuk menghangatkan makanan
beku atau makanan instan, dan untuk membuat popcorn)
Pintu terbuka. Danny menjulurkan kepalanya, ekspresinya masih heran. "Hai,
Hannah. Ada apa?" "Tak ada apa-apa - eh -. Tak ada apa-apa, sungguh," Hannah tergagap. Dia bisa
merasakan pipinya menjadi panas, dan tahu bahwa dia tersipu-sipu.
Mata Danny menyala-nyala padanya. Mulutnya jadi menyeringai. "Nah, apakah kau
ingin masuk atau apa?" dia bertanya. "Ibuku menyiapkan makan malam, tapi -"
"Tidak!" teriak Hannah, terlalu keras. "Aku tidak - maksudku - aku -"
Aku bertindak seperti orang yang benar-benar brengsek! Hannah menyadarinya.
Hannah menelan ludah, menatap wajah menyeringai Danny.
Dia menertawakanku! "Sampai jumpa!" teriak Hannah, lalu melompat dari beranda dengan canggung,
hampir tersandung ke tanah. Tanpa melihat ke belakang, ia pergi, berlari dengan
kecepatan penuh kembali ke rumahnya.
Aku belum pernah sebegitu malu sepanjang hidupku! pikir Hannah sedih.
Tak pernah! *** Saat dia melihat Danny keluar dari rumahnya sore berikutnya, Hannah bersembunyi
di balik garasi. Melihatnya menjalankan sepedanya menyusuri jalan masuk itu, ia
merasa pipinya jadi panas, merasa malu lagi.
Kalau aku akan jadi mata-mata, aku harus lebih tenang, katanya pada diri
sendiri. Tadi malam, aku kehilangan itu. Aku panik.
Itu tak akan terjadi lagi.
Dia melihat Danny menaiki sepedanya dan, berdiri, (mengayuh) pedal ke jalan.
Menempel di dinding garasi, Hannah menunggu untuk melihat ke arah mana Danny
berputar. Lalu Hannah bergegas ke garasi untuk mengambil sepedanya.
Dia menuju kota, Hannah lihat. Mungkin menemui dua anak laki-laki itu. Aku akan
membiarkannya mulai maju dulu, lalu aku akan mengikutinya.
Hannah menunggu di kaki jalan, mengangkangi sepeda, melihat Danny sampai ia
menghilang ke blok berikutnya.
Sinar matahari tersaring melalui pepohonan yang menjorok saat Hannah mulai
mengayuh, menjaga kecepatan pelan yang mantap saat dia mengendarai (sepeda)
mengejar Danny. Bu Quilty keluar menyiangi kebunnya seperti biasa. Kali ini,
Hannah tak repot-repot mengucapkan halo.
Seekor anjing terrier putih kecil mengejarnya selama setengah blok, menyalak
keras dengan gembira, lalu akhirnya menyerah saat Hannah mengayuh menjauh.
Lapangan bermain sekolah muncul. Beberapa anak-anak bermain kasti di sudut
lapangan. Hannah mencari-cari Danny, tapi ia tak ada.
Dia terus ke kota. Matahari terasa hangat di wajahnya. Dia tiba-tiba ingat
Janey. Mungkin aku akan mendapatkan suratnya dari hari ini, pikirnya.
Dia berharap Janey ada di situ untuk membantu memata-matai Danny. Mereka berdua
akan menjadi tim mata-mata yang hebat, Hannah tahu. Dia tak akan kehilangan
ketenangan seperti yang dia (alami) tadi malam jika Janey ada di situ.
Alun-alun kota kelihatan. Bendera di atas kantor pos kecil putih berkibar di
antara angin sepoi-sepoi yang hangat. Beberapa mobil diparkir di depan toko
bahan pangan itu. Dua wanita yang memegang tas belanjaan sedang berbicara di
pinggir jalan. Hannah mengerem sepedanya dan menurunkan kakinya ke tanah. Dia melindungi
matanya dari sinar matahari dengan satu tangan dan mencari-cari Danny.
Danny, di mana kau" pikirnya. Apa kau dengan teman-temanmu" Ke mana kau pergi"
Dia mengayuh melintasi alun-alun kecil yang penuh rumput itu menuju kantor pos.
Sepedanya menjendul di atas trotoar dan dia terus berjalan, mengitari sisi
bangunan menuju ke gang itu.
Tapi gang itu sepi dan kosong.
"Danny, kau di mana?" panggilnya keras-keras dengan irama datar yang tenang.
"Kau dimana?" Dia hanya satu blok di depanku, pikirnya, menggaruk-garuk rambutnya yang pendek.
Apakah dia menghilang ke udara tipis lagi"
Dia bersepeda kembali ke alun-alun, lalu memeriksa di luar Harder's Ice-Cream
dan restoran. Tak ada tanda darinya. "Hannah, kau mata-mata yang hebat!" dia tertawa.
Sambil mendesah kalah, ia berbalik dan berjalan pulang.
Dia hampir sampai ke rumahnya saat ia melihat bayangan yang bergerak.
Bayangan itu kembali! ia menyadari.
Dia memindahkan gigi persneling dan mulai mengayuh lebih keras.
Dari sudut matanya, ia melihat bayangan itu meluncur di halaman depan Bu Quilty
itu. Sosok gelap itu melayang diam di atas rerumputan ke arahnya.


Goosebumps - 10 Tetangga Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hannah mengayuh lebih keras.
Bayangan itu kembali. Aku tak membayangkan hal ini.
Ini nyata. Tapi bagaimana bisa"
Berdiri, ia mengayuh lebih keras. Lebih keras.
Tetapi sosok itu meluncur bersama dengannya, menambah kecepatan, mengambang
dengan mudah. Hannah berbalik dan melihat lengan-lengan bayangan itu menjulur ke arahnya.
Dia terkesiap ketakutan. Kakinya tiba-tiba terasa seolah-olah seberat seribu pound.
Aku - aku tak bisa bergerak! pikirnya.
Bayangan itu melandanya. Dia bisa merasakan dingin yang tiba-tiba.
Lengan-lengan hitam seperti tongkat terulur padanya dari bayangan berbentuk
manusia itu. Wajahnya - mengapa aku tak bisa melihat wajahnya" Hannah bertanya-tanya,
berusaha untuk terus bergerak
Bayangan itu menghalangi terangnya matahari. Seluruh dunia menghitam di
bawahnya. Aku harus terus bergerak. Harus bergerak, Hannah berkata pada dirinya sendiri.
Sosok gelap itu melayang di sampingnya, lengan-lengannya terentang.
Ternganga ketakutan, Hannah melihat mata-mata merah terang itu bersinar seperti
bara api dari kegelapan. "Hannah..." bisik bayangan itu. "Hannah..."
Apa yang ia inginkan dariku"
Dia berjuang untuk tetap mengayuh, tapi kakinya tak mau bekerja sama.
"Hannah... Hannah..."
Bisikan kering seperti mengepungnya, membelitnya dengan ketakutan.
"Hannah..." "Tidak!" jerit Hannah saat dia merasa dirinya mulai bergerak ke udara.
Dia berjuang untuk menjaga keseimbangannya.
Terlambat. Dia jatuh. Dia tak bisa menghentikan dirinya.
"Hannah... Hannah..."
Dia mengulurkan tangannya untuk menahan jatuhnya.
"Oooh!" Dia tersentak kesakitan saat ia mendarat keras di atas pinggangnya.
Sepeda itu jatuh di atas tubuhnya.
Sosok bayangan itu, matanya merah bersinar, bergerak untuk menangkapnya.
"Hannah Hannah!"
8. "Hannah! Hannah!"
Bisikan itu yang menjadi teriakan.
"Hannah!" Pinggang Hannah terasa sakit berdenyut-denyut. Dia berusaha menarik napas.
"Apa yang kau inginkan?" ia berhasil berteriak. "Tinggalkan aku sendirian.
Tolonglah!" "Hannah! Ini aku!"
Dia mengangkat kepalanya untuk melihat Danny berdiri di atasnya. Dia
mengangkangi sepedanya, memegang setang, menatap dirinya, wajahnya penuh
perhatian. "Hannah - apa kau baik-baik saja?"
"Bayangan itu-!" teriaknya, merasa bingung.
Danny menurunkan sepedanya ke rerumputan dan bergegas. Dia mengangkat sepeda
Hannah dari Hannah dan meletakkannya di samping sepedanya. Lalu ia meraih tangan
Hannah. "Apa kau baik-baik saja" Kau bisa berdiri" Aku melihatmu terjatuh. Apa
kau menabrak batu atau sesuatu?"
"Tidak" Hannah menggelengkan kepala, mencoba untuk menjernihkannya. "Bayangan
itu - dia meraihku dan -"
Ekspresi Danny berubah jadi kebingungan. "Hah" Siapa yang meraihmu?"
Matanya mencari-cari di sekeliling, lalu kembali pada Hannah.
"Dia tahu namaku," kata Hannah terengah-engah. "Dia terus memanggilku. Dia
mengikutiku." Danny mengamatinya, mengerutkan kening. "Apa kepalamu terbentur" Apa kau merasa
pusing, Hannah" Mungkin aku harus pergi mencari pertolongan."
"Tidak... Aku... Eh..." Hannah menatap ke arah Danny. "Apa kau tak melihatnya"
Dia berpakaian hitam. Matanya sangat merah -"
Danny menggeleng, matanya masih mengamatinya dengan waspada. "Aku hanya
melihatmu," katanya pelan. "Kau bersepeda sangat cepat. Di atas rerumputan. Aku
melihatmu terjatuh."
"Kau tak melihat seseorang yang berpakaian hitam" Seorang pria" Sedang
mengejarku?" Danny menggeleng. "Tak ada orang lain di jalan, Hannah. Cuma aku."
"Mungkin kepalaku memang terbentur," gumam Hannah, mengangkat tangannya ke
rambut pendeknya. Danny mengulurkan tangan. "Bisakah kau berdiri" Apakah kau terluka?"
"Aku - kukira aku bisa berdiri." Ia membiarkan Danny untuk menariknya berdiri.
Jantungnya masih berdebar-debar. Seluruh tubuhnya terasa gemetar. Menyipitkan
matanya, ia mencari-cari di halaman-halaman depan, matanya berlama-lama di
lingkaran-lingkaran lebar bayangan pohon-pohon tua di lingkungan itu.
Tak seorang pun yang terlihat.
"Kau benar-benar tak melihat siapa pun?" tanya Hannah dengan suara kecil.
Danny menggelengkan kepalanya. "Cuma kau. Aku melihatmu dari sana." Dia menunjuk
ke pinggir jalan. "Tapi kupikir..." Suaranya menghilang. Dia bisa merasakan wajahnya jadi merah.
Ini memalukan, pikir Hannah. Dia akan berpikir aku benar-benar gila.
Lalu Hannah berpikir, mungkin aku gila!
"Kau pergi begitu cepat," kata Danny, mengambil sepeda Hannah untuknya, "Dan ada
begitu banyak bayangan-bayangan dari semua pepohonan. Dan kau ketakutan. Jadi
mungkin kau membayangkan seorang pria berpakaian hitam."
"Mungkin," jawab Hannah pelan.
Tapi dia tak berpikir begitu. . . .
*** Awan-awan putih melayang tinggi di atas matahari di sore berikutnya saat Hannah
berlari-lari kecil di jalan masuk ke kotak surat. Di suatu tempat dalam blok,
seekor anjing menggonggong.
Dia menarik ke bawah tutup (kotak surat) dan dengan bersemangat merogoh ke
dalam. Tangannya meluncur ke logam kosong itu.
Tak ada surat. Tak ada. Sambil mendesah kecewa, dia membanting penutup kotak surat itu tertutup. Janey
telah berjanji untuk menulis setiap hari. Dia telah pergi selama berminggu-
minggu, dan Hannah masih belum menerima bahkan satu kartu pos pun.
Tak satu pun dari teman-temannya yang menulis surat kepadanya.
Saat dia berjalan tertatih-tatih kembali jalan masuk, Hannah melirik rumah
Danny. Awan-awan putih itu tercermin di kaca jendela ruang tamu yang besar.
Hannah bertanya-tanya apakah Danny di rumah. Dia tak melihatnya sejak kemarin
pagi setelah jatuh dari sepedanya.
Memata-mataiku tak berjalan terlalu baik, ia mendesah.
Melirik lagi jendela depan rumah Danny, Hannah kembali menuju jalanan ke rumah.
Aku akan menulis ke Janey lagi, ia memutuskan. Aku harus menceritakan tentang
Danny, sosok bayangan yang menakutkan dan hal-hal aneh yang telah terjadi.
Dia bisa mendengar si kembar di ruang baca, berdebat keras tentang yang rekaman
kartun yang ingin mereka lihat. Ibunya menyarankan mereka pergi ke luar sebagai
gantinya. Hannah bergegas ke kamarnya untuk mengambil kertas dan pena. Ruangan terasa
panas dan pengap. Dia melemparkan tumpukan pakaian kotor ke mejanya. Dia
memutuskan untuk menulis surat pada Janey di luar.
Beberapa saat kemudian, ia duduk di bawah pohon maple yang lebar di tengah
halaman depan. Satu lapisan awan tinggi bergulung di atas langit. Matahari
berusaha keluar dari cahaya putih yang menyilaukan itu. Pohon tua yang rindang
itu melindunginya dalam naungan yang menyenangkan.
Hannah menguap. Dia tak tidur nyenyak di malam sebelumnya. Mungkin aku akan
tidur sebentar, pikirnya. Tapi pertama-tama, aku harus menulis surat ini.
Bersandar pada yang batang padat itu, dia mulai menulis.
Janey sayang, Bagaimana kabarmu" Aku dengan serius berharap kau jatuh di danau dan tenggelam.
Itu akan menjadi satu-satunya alasan baik untuk tak menulis kepadaku sepanjang
waktu ini! Bagaimana bisa kau MENINGGALKAN aku di sini seperti ini" Musim panas berikutnya,
dengan satu cara atau yang lain, aku akan ke perkemahan denganmu.
Hal-hal yang pasti ANEH terjadi di sini. Apa kau ingat yang kukatakan tentang
anak tetangga sebelah yang (baru) pindah" Namanya Danny Anderson, dan dia
lumayan ganteng. Dia berambut merah, berbintik-bintik dan bermata cokelat
SERIUS. Nah jangan tertawa, Janey - tapi kupikir Danny adalah HANTU!
Aku bisa mendengarmu tertawa. Tapi aku tak peduli. Pada saat kau kembali ke
Greenwood Falls, aku akan punya BUKTI.
Tolong - jangan bilang pada gadis-gadis lain sekamarmu bahwa teman baikmu telah
benar-benar panik sampai kau membaca sisa surat ini. Berikut ini adalah bukti-
buktiku sejauh ini: 1. Danny dan keluarganya tiba-tiba muncul di sebelah rumah. Aku tak melihat
mereka pindah, meskipun aku ada di rumah setiap hari. Begitu pula orang tuaku.
2. Danny mengatakan ia pergi ke (sekolah) Maple Avenue, dan dia bilang dia di
kelas delapan seperti kita. Tapi kenapa kita tak pernah melihatnya" Dia
nongkrong dengan dua orang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dan ia tak
kenal satu pun teman-temanku.
3. Kadang-kadang ia menghilang - wuuss - begitu saja. Jangan tertawa! Dan sekali
waktu ia jatuh dari atap dan mendarat di atas kakinya - tanpa membuat suatu
SUARA! Aku SERIUS, Janey.
4. Kemarin, aku dikejar-kejar oleh bayangan menakutkan, dan aku jatuh dari
sepedaku. Dan saat aku mendongak, bayangan itu lenyap, dan Danny berdiri di
tempatnya. Dan - Uh-oh. Hal ini mulai terdengar benar-benar gila. Aku berharap kau ada di sini
agar aku bisa menjelaskannya lebih baik. Semuanya terdengar begitu BODOH dalam
surat. Seolah-olah aku benar-benar KACAU.
Aku tahu kau menertawakanku. Nah, silakan.
Mungkin aku tak akan mengirimkan surat ini. Maksudku, aku tak ingin kau membuat
lelucon-lelucon , atau mengingatkanku akan hal ini selama sisa hidupku.
Jadi, cukup tentang aku. Bagaimana kabarnya di luar sana di hutan" Kuharap kau digigit ular dan seluruh
tubuhmu membengkak, dan itulah mengapa aku belum mendengar (kabar) darimu.
Kalau tidak, aku akan MEMBUNUHMU saat kau kembali! Sungguh!
TULISLAH (surat)! Dengan Cinta, Hannah. Dengan menguap keras, Hannah menjatuhkan pena ke tanah. Dia bersandar pada
batang pohon dan perlahan-lahan membaca surat itu.
Apakah ini terlalu gila untuk dikirim" dia bertanya-tanya.
Tidak, aku harus mengirimnya. Aku harus memberitahu seseorang apa yang terjadi
di sini. Ini semua terlalu aneh untuk kusimpan sendiri.
Matahari akhirnya berhasil menembus awaN-awan. Daun-daun pohon di atas kepalanya
menangkap bayangan-bayangan yang bergerak melintas di atas surat itu dalam
pangkuannya. Dia melirik ke dalam sinar matahari yan cerah - dan terkesiap, terkejut melihat
wajah yang menatap ke arahnya.
"Danny -!" "Hai, Hannah," katanya pelan.
Hannah memicingkan mata padanya. Seluruh tubuhnya dikelilingi oleh sinar
matahari yang cerah. Dia tampak berkilauan dalam cahaya.
"Aku - aku tak melihatmu," Hannah tergagap. "Aku tak tahu kau ada di sini. Aku
-" "Berikan aku surat itu, Hannah," kata Danny lembut tapi tegas. Dia mengulurkan
tangan untuk itu. "Hah" Apa yang kaukatakan?"
"Berikan surat itu kepadaku," tuntut Danny, dengan sungguh-sungguh. "Berikan
padaku sekarang, Hannah."
Hannah mencengkeram erat surat itu dan menatap ke arah Danny. Dia harus
melindungi matanya. Matahari cerah seolah bersinar menembus tubuh Danny.
Danny berdiri di atas Hannah, tangannya terulur. "Surat itu. Berikan padaku,"
tegasnya. "Tapi - kenapa?" tanya Hannah dengan suara kecil.
"Aku tak bisa membiarkanmu mengirimkannya," kata Danny padanya.
"Kenapa, Danny" Ini suratku. Mengapa aku tak bisa mengirimkannya kepada
temanku?" "Karena kau menemukan kebenaran tentang diriku," kata Danny. "Dan aku tak
mungkin akan membiarkanmu memberitahu siapa pun."
9. "Jadi, aku benar," kata Hannah pelan. "Kau hantu."
Dia bergidik, gelombang ketakutan yang dingin menerpanya.
Kapan kau meninggal, Danny"
Mengapa kau di sini" Untuk menghantuiku"
Apa yang akan kaulakukan padaku"
Pertanyaan-pertanyaan itu berpacu di benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang
menakutkan . "Berikan aku surat itu, Hannah," desak Danny. "Tak ada seorang pun yang akan
membacanya. Tak ada yang akan bisa tahu."
"Tapi, Danny -" Hannah menatap ke arahnya. Menatap hantu.
Sinar matahari keemasan tertuang melalui Danny. Dia berpendar keluar masuk dari
pandangan. Hannah mengangkat tangan untuk melindungi matanya.
Danny menjadi terlalu terang, terlalu terang untuk dilihat.
"Apa yang akan kaulakukan padaku, Danny?" tanya Hannah, menutup matanya erat-
erat. "Apa yang akan kaulakukan padaku sekarang?"
Ia tak menjawab. Saat Hannah membuka matanya, ia menatap dua wajah bukan satu.
Dua wajah nyengir. Saudara kembarnya menunjuk padanya dan tertawa.
"Kau tertidur," kata Bill.
"Kau mendengkur," kata Herb nya.
"Hah?" Hannah berkedip beberapa kali, mencoba menjernihkan pikirannya. Lehernya
terasa kaku. Punggungnya sakit.
"Begini caramu mendengkur," kata Herb. Dia melakukan suara-suara sedotan
mengerikan. Kedua anak laki-laki jatuh ke rumput, tertawa-tawa. Mereka berguling ke arah
satu sama lain dan memulai pertandingan gulat dadakan.
"Aku bermimpi buruk," kata Hannah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada
saudara-saudaranya. Mereka tak mendengarkannya.
Dia bangkit berdiri dan meregangkan kedua lengannya ke atas kepalanya, mencoba
untuk meregangkan leher kakunya.
"Aduh." Tertidur duduk pada batang pohon adalah ide yang buruk.
Hannah menatap ke rumah Danny. Mimpi itu begitu nyata, pikirnya, merasakan udara
dingin ke punggungnya. Begitu menakutkan.
"Trim's untuk membangunkan aku," katanya kepada si kembar.
Mereka tak mendengarkannya. Mereka berlomba lari menuju halaman belakang.
Hannah membungkuk dan mengambil surat itu. Dia melipatnya jadi dua dan berjalan
ke atas halaman menuju pintu depan.
Kadang-kadang mimpi mengatakan kebenaran, pikirnya, bahunya masih sakit. Kadang-
kadang mimpi memberitahukanmu hal-hal yang tak bisa kau ketahui dengan cara
lain. Aku akan mencari tahu kebenaran tentang Danny, dia bersumpah.
Aku akan menemukan kebenaran meskipun itu akan membunuhku.
*** Malam berikutnya, Hannah memutuskan untuk melihat apakah Danny di rumah. Mungkin
ia senang berjalan-jalan ke toko Hard's dan mendapatkan es krim kerucut,
pikirnya. Dia berkata kepada ibunya kemana dia akan pergi dan berjalan melintasi halaman
belakang. Hujan turun sepanjang hari. Rumput basah berkilauan, dan tanah di bawah
sepatunya lunak dan berair. Bulan pucat berbentuk sabit naik di atas gumpalan-
gumpalan awan hitam. Udara malam terasa geli dan basah.


Goosebumps - 10 Tetangga Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hannah menyeberangi jalan masuk, lalu ragu-ragu beberapa meter dari beranda
belakang Danny. Suatu cahaya kuning redup persegi keluar melalui jendela di
pintu belakang. Dia ingat berdiri di pintu ini beberapa malam sebelumnya dan menjadi benar-benar
malu saat Danny membuka pintu dan dia tak bisa memikirkan satu hal pun untuk
dikatakan. Setidaknya kali ini aku tahu apa yang akan kukatakan, pikirnya.
Mengambil napas dalam-dalam, Hannah melangkah ke cahaya persegi itu di beranda.
Dia mengetuk jendela pintu dapur.
Dia mendengarkan. Rumah itu sunyi.
Dia mengetuk lagi. Sunyi. Tak ada langkah-langkah kaki untuk membuka pintu.
Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip ke dapur.
"Oh!" Hannah berteriak kaget.
Ibu Danny duduk di meja dapur kuning, punggungnya menghadap ke Hannah, rambutnya
bersinar dalam lampu dari suatu peralatan langit-langit yang rendah. Kedua
tangannya memegang cangkir kopi panas berwarna putih.
Kenapa dia tak membuka pintu" Hannah bertanya-tanya.
Dia ragu-ragu, lalu mengangkat kepalan tangannya dan mengetuk pintu keras-keras.
Beberapa kali. Melalui jendela, dia bisa melihat bahwa ibu Danny tak bereaksi sama sekali pada
ketukan itu. Dia mengangkat cangkir putih ke bibirnya dan meneguk dengan lama,
memunggungi Hannah. "Buka pintu!" teriak Hannah keras.
Dia mengetuk lagi. Dan memanggil: "Nyonya Anderson! Nyonya Anderson! Ini aku -
Hannah tetangga sebelah!"
Di bawah lampu kerucut itu, ibu Danny mengatur cangkir putih di atas meja
kuning. Dia tak berbalik. Dia tak beranjak dari kursinya.
"Nyonya Anderson -!"
Hannah mengangkat tangannya untuk mengetuk, lalu menurunkannya kalah.
Kenapa dia tak mendengarku" Hannah bertanya-tanya, menatap bahu ramping wanita
itu, rambutnya yang berkilau turun melewati kerah bajunya.
Mengapa dia tak mau datang ke pintu"
Dan kemudian Hannah menggigil ketakutan saat dia menjawab pertanyaan-
pertanyaannya sendiri, Aku tahu mengapa dia tak mendengarku, pikir Hannah, mundur dari jendela.
Aku tahu mengapa dia tak membuka pintu.
Menguasai ketakutan, Hannah mengeluarkan erangan rendah dan mundur dari cahaya
itu, dari beranda, ke dalam kegelapan yang aman.
10. Dengan seluruh (tubuh) gemetaran, Hannah memeluk dadanya, seolah-olah melindungi
dirinya dari pikiran-pikiran menakutkan itu.
Nyonya Anderson tak mendengarku karena dia tak nyata, Hannah menyadari.
Dia tak nyata. Dia hantu.
Seperti Danny. Satu keluarga hantu telah pindah (jadi) tetanggaku.
Dan di sinilah aku, berdiri di halaman belakang yang gelap ini, mencoba untuk
memata-matai seorang anak yang bahkan tak hidup! Aku di sini, dengan seluruh
tubuh gemetaran, kedinginan dengan rasa takut, berusaha membuktikan apa yang
sudah kuyakini. Dia hantu. Ibunya hantu.
Dan aku - aku - Lampu dapur padam. Bagian belakang rumah Danny sekarang benar-benar gelap.
Cahaya pucat dari bulan sabit mengalir turun ke rumput basah yang berkilauan.
Hannah berdiri, mendengarkan kesunyian itu, mencoba untuk melenyapkan pikiran-
pikiran menakutkan yang penuh sesak dalam pikirannya sampai merasa seolah-olah
kepalanya hendak meledak.
Dimana Danny" dia bertanya-tanya.
Menyeberangi jalan masuk, ia kembali ke rumahnya. Dia bisa mendengar musik dan
suara-suara dari TV di ruang baca. Dia bisa mendengar tawa si kembar mengambang
keluar dari jendela lantai atas kamar mereka.
Hantu, pikirnya, menatap jendela-jendela bercahaya itu, seperti mata-mata yang
bersinar terang ke arahnya.
Hantu. Aku tak percaya hantu! Pikiran itu membantunya membuat rasa takutnya sedikit berkurang. Dia tiba-tiba
menyadari tenggorokannya kering. Udara malam terasa panas dan lengket di
kulitnya. Dia memikirkan es krim lagi. Pergi ke Harder's dan mendapatkan sendok ganda es
krim sepertinya ide yang bagus. Kue-kue dan krim, Hannah pikir. Dia sudah bisa
merasakannya. Dia bergegas ke rumah untuk memberitahu orangtuanya bahwa ia jalan-jalan ke
kota. Di ambang pintu ruang baca berpapan gelap, ia berhenti. Orangtuanya,
bermandikan cahaya dari layar TV, berpaling padanya penuh harap.
"Ada apa, Hannah?"
Dia tiba-tiba terdorong untuk menceritakan semuanya. Dan ia melakukannya.
"Orang-orang tetangga sebelah, mereka tak hidup," semburnya keluar. "Mereka
hantu. Kalian tahu Danny, anak laki-laki usiaku" Dia hantu. Aku tahu dia hantu.
Dan ibunya -..!" "Hannah, tolonglah - kami mencoba untuk menonton," kata ayahnya, sambil menunjuk
ke TV dengan kaleng Diet Coke di tangannya.
Mereka tak percaya padaku, pikirnya.
Dan lalu dia memarahi dirinya sendiri: Tentu saja mereka tak percaya padaku.
Siapa yang akan percaya cerita yang benar-benar gila itu"
Di kamarnya, ia mengambil selembar uang lima dolar dari dompet dan memasukkannya
ke saku celana pendeknya. Lalu ia menyisir rambutnya, mengamati wajahnya di
cermin. Aku tampak oke, pikirnya. Aku tak terlihat seperti orang gila.
Rambutnya lembab karena udara malam yang basah. Mungkin aku akan membiarkannya
panjang, pikirnya, mengamati rambutnya jatuh ke bentuk tertentu di sekitar
wajahnya. Aku harus punya sesuatu untuk ditunjukkan untuk musim panas ini!
Saat ia menuju pintu depan, dia mendengar suara tabrakan dan benturan keras di
atas kepalanya di atas. Si kembar pasti bergulat di kamar mereka, ia menyadari,
menggelengkan kepalanya. Dia melangkah kembali ke dalam kegelapan hangat yang basah, berlari-lari kecil
menuruni halaman depan ke trotoar, menuju kota dan Harder's Ice Cream Parlor.
Lampu jalanan tinggi yang kelihatannya model kuno menuangkan linkaran-lingkaran
sinar biru-putih di sepanjang jalan. Pohon-pohon bergetar dalam hembusan angin
yang pelan, berdesir di atas trotoar saat Hannah melangkah di bawahnya.
Hantu-hantu di trotoar, pikirnya dengan menggigil. Mereka tampaknya meraih turun
padanya dengan lengan-lengan berdaunnya.
Saat ia mendekati kota, perasaan takut yang aneh melandanya. Dia mempercepat
langkahnya saat ia melewati kantor pos, saat jendela-jendela sehitam langit.
Alun-alun kota itu kosong, ia lihat. Ini bahkan belum jam delapan, dan tak ada
mobil-mobil yang melewati kota, tak ada satu pun di jalan.
"Kota apa ini!" gumamnya lirih.
Di belakang bank, ia berbalik ke Elm Street. Harder's Ice-Cream Parlor berdiri
di tikungan berikutnya, sebuah lampu neon besar es krim berwarna merah di
jendelanya, memancarkan cahaya merah ke trotoar.
Setidaknya Harder's tetap buka setelah gelap, pikir Hannah.
Saat ia berjalan mendekat, ia bisa melihat kaca pintu depan toko kecil disangga
terbuka mengundang. Dia berhenti beberapa kaki dari pintu itu.
Perasaan takut tiba-tiba menjadi kuat. Meskipun malam itu panas, dia merasa
benar-benar kedinginan. Lututnya gemetar.
Apa yang terjadi" dia bertanya-tanya. Mengapa aku merasa begitu aneh"
Saat ia menatap melalui sinar merah dari neon kerucut itu ke ambang pintu
terbuka, mendadak sesosok tubuh keluar.
Diikuti oleh sosok yang lain. Dan sosok lainnya.
Dalam cahaya, mereka lari, wajah mereka penuh ketakutan.
Menatap heran, ia mengenali Danny di depan, diikuti oleh Alan dan Fred.
Mereka masing-masing memegang es krim kerucut di depan mereka.
Mereka lari dari toko itu, membungkuk ke depan seolah-olah berusaha untuk
melarikan diri secepat mungkin. Sepatu mereka berdebam di ubin trotoar.
Hannah mendengar teriakan marah keras dari dalam toko.
Tanpa disadari, dia telah bergerak mendekati pintu.
Dia masih bisa mendengar tiga anak laki-laki itu melarikan diri. Tapi ia tak
bisa lagi melihat mereka dalam kegelapan.
Dia berbalik - dan merasakan sesuatu menghantamnya dengan keras dari belakang.
"Ohh!" Dia menjerit saat ia terlempar dengan hebat ke trotoar keras.
11. Hannah mendarat keras di trotoar di siku dan lututnya. Jatuhnya itu membuatnya
sulit bernapas. Rasa nyeri yang membakar menembus tubuhnya.
Apa yang terjadi" Apa yang menghantamku"
Terengah-engah, Hannah mengangkat kepalanya pada waktunya untuk melihat Pak
Harder meluncur cepat melewatinya. Dia berteriak sekeras-kerasnya pada anak-anak
itu untuk berhenti. Hannah perlahan-lahan menarik dirinya untuk berdiri. Wah! pikirnya. Harder
benar-benar gila! Berdiri tegak, lututnya yang terbuka berdenyut nyeri, hatinya masih berdebar
keras, dia melototi pemilik toko.
Dia bisa setidaknya mengatakan bahwa ia menyesal menjatuhkanku, pikir Hannah
marah. Hannah membungkuk untuk memeriksa lututnya dalam cahaya dari ruang es krim.
Apakah terluka" Tidak. Hanya sedikit memar.
Menyikat-nyikat celana pendeknya, Hannah mendongak dan melihat Pak Harder
bergegas kembali ke toko. Dia adalah seorang pria pendek gemuk dengan rambut
keriting putih di sekitar wajah merah mudanya yang bulat. Dia mengenakan celemek
putih panjang yang berkibar-kibar tertiup angin saat dia berjalan, mengayunkan
tinjunya di pinggangnya. Hannah merunduk kembali keluar dari cahaya, di balik batang pohon yang lebar.
Beberapa detik kemudian, dia bisa mendengar Pak Harder kembali di belakang meja,
mengeluh keras kepada istrinya.
"Apa yang salah dengan anak-anak itu?" teriaknya. "Mereka mengambil es krim dan
lari tanpa membayar" Apa mereka tak punya orang tua" Apa mereka tak punya siapa-
siapa untuk mengajari mereka mana yang benar dari yang salah?"
Bu Harder menggumamkan sesuatu untuk menenangkan suaminya. Hannah tak bisa
mendengar kata-kata itu. Dengan teriakan marah Pak Harder yang memenuhi udara, Hannah bergerak pelan
keluar dari balik pohon dan bergegas pergi, ke arah anak laki-laki lari tadi.
Mengapa Danny dan teman-temannya melakukan aksi yang sedemikian bodoh" dia
bertanya-tanya. Bagaimana jika mereka tertangkap" Apakah benar-benar layak
ditangkap, mendapatkan catatan polisi hanya untuk es krim"
Setengah jalan menuruni blok, ia masih bisa mendengar teriakan marah Pak Harder
dari dalam toko kecil itu. Hannah mulai berlari, ingin segera pergi dari suara
marah itu. Lutut kirinya terasa sakit.
Udara tiba-tiba terasa panas mencekik, berat dan lembab. Helaian-helaian rambut
di dahinya jadi kusut karena keringat.
Dia membayangkan Danny berjalan dari toko, memegang es krim dengan satu tangan.
Dia membayangkan ekspresi ketakutan di wajahnya saat ia melarikan diri. Dia
membayangkan Alan dan Fred tepat di belakangnya, sepatu mereka berdebam di
trotoar saat mereka melarikan diri.
Dan sekarang dia juga berlari. Dia tak yakin mengapa.
Lutut kirinya masih sakit akibat jatuh. Dia sekarang keluar dari alun-alun kota,
melewati rumah-rumah dan halaman-halaman gelap.
Dia berbelok di pojokan, lampu jalanan membuat kerucut cahaya putih di
sekelilingnya. Rumah-rumah lagi. Satu lampu serambi menyala. Tak ada seorang pun
di jalanan. Kota kecil yang benar-benar membosankan, pikirnya lagi.
Dia berhenti sebentar ketika ia melihat tiga anak laki-laki. Mereka setengah
jalan naik ke blok, berkerumun di balik dinding tinggi seperti pagar.
"Hei - kalian!" Suaranya keluar menjadi bisikan.
Berlari di jalanan, ia berjalan ke arah mereka dengan cepat. Saat ia datang
mendekat, ia bisa melihat mereka tertawa bersama-sama, menikmati es krim mereka.
Mereka tak melihatnya. Hannah melangkah ke dalam bayangan gelap di sisi lain
dari jalan. Menjaga dalam kegelapan, dia bergerak pelan-pelan mendekat, sampai
ia berada di halaman di seberang jalan dari mereka, tersembunyi oleh semak-semak
pepohanan lebat. Fred dan Alan dengan main-main saling mendorong satu sama lain, menikmati
kemenangan mereka atas pemilik toko, Danny berdiri sendirian, di belakang mereka
pada pagar tinggi itu, dengan diam menjilati es krimnya.
"Harder punya satu malam khusus," kata Alan keras. "Es krim gratis!"
Fred tertawa kasar dan menampar Alan keras di punggungnya.
Kedua anak laki-laki berpaling kepada Danny. Cahaya dari lampu jalan membuat
wajah mereka terlihat pucat dan hijau.
"Kau tampak benar-benar takut," kata Alan pada Danny. "Kupikir kau akan
memuntahkan isi perutmu keluar."
"Hei, tak mungkin," tegas Danny. "Aku adalah orang pertama yang keluar dari
sana, kau tahu. Kalian begitu lambat, kupikir aku harus kembali dan
menyelamatkan kalian."
"Ya. Pasti." Jawab Fred sinis.
Danny berlagak jantan, Hannah menyadari. Dia berusaha menjadi seperti mereka.
"Tadi itu agak menarik," kata Danny, melemparkan sisa es krim ke dalam pagar.
"Tapi mungkin kita sebaiknya berhati-hati. Kalian tahu. Jangan nongkrong di sana
untuk sementara waktu."
"Hei, ini tak seperti kita merampok bank atau yang lainnya," kata Alan. "Ini
hanya es krim." Fred mengatakan sesuatu kepada Alan yang tak bisa Hannah dengar, dan dua anak
laki-laki itu mulai bergulat di sekitarnya, mengeluarkan tawa bernada tinggi.
"Hei, kawan-kawan - jangan terlalu keras," kata Danny. "Maksudku -"
"Ayo kita kembali ke Harder," kata Alan. "Aku ingin dua sendok (es krim)!"
Fred tertawa kasar dan tos dengan Alan. Danny ikut tertawa.
"Hei, kawan-kawan - kita harus pergi sekarang," kata Danny.
Bayangan Berdarah 10 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bocah Sakti 11
^