Pencarian

Komplotan Makhluk Kadal 1

Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal Bagian 1


Chapter 1 JAM weker di samping tempat tidurku menunjukkan beberapa
menit lewat pukul delapan malam ketika aku diam-diam keluar dari
kamarku. Sambil mengendap-endap aku menuruni tangga. Tapi tiga
langkah sebelum sampai di bawah, kakiku tersandung tumpukan baju
yang ditaruh Mom di tangga. Serta-merta aku terjun bebas.
Aku mendarat dengan siku dan lutut - tapi tanpa suara sedikit
pun. Maklum, aku memang sering jatuh, jadi aku sudah terbiasa.
Aku buru-buru berdiri dan memandang ke koridor. Jangan-
jangan Mom dan Dad mendengar"
Mereka sedang duduk di ruang keluarga, asyik menonton TV.
Seperti biasa mereka menonton saluran cuaca. Orangtuaku betah
menonton saluran cuaca selama berjam-jam.
Aku tak pernah bisa mengerti, apa enaknya mendengarkan
orang bercerita panjang-lebar mengenai curah hujan, kecepatan angin, dan
sebagainya. Penyiar TV sedang melaporkan keadaan cuaca di Nova Scotia,
suatu daerah terpencil di bagian utara Kanada. Aku cepat-cepat
mengenakan mantel biruku, dan mengendap-endap ke pintu depan.
Beberapa detik kemudian aku sudah berada di luar. Aku berlari
kecil menyusuri trotoar. Aku berusaha agar terlindung bayang-bayang lampu
jalanan - dan terus berlari menuju ke sekolah.
Tapi jangan salah sangka, lho. Tidak biasanya aku menyelinap
keluar pada malam hari. Aku bukan anak berandal, atau semacam itu.
Malahan orangtuaku selalu bilang aku harus lebih berani, lebih
berjiwa petualang. Aku tak pernah keluar rumah tanpa memberitahu orangtuaku ke
mana aku pergi. Tapi malam ini malam istimewa. Malam ini aku
punya misi khusus. Dan misi itu adalah b-a-l-a-s d-e-n-d-a-m.
Aku terpeleset ketika sampai di pojok jalan dan terpaksa
berpegangan pada tiang lampu untuk menjaga keseimbangan.
Sebagian besar salju yang turun selama akhir pekan kini sudah
meleleh. Tapi masih ada lapisan es bertebaran di trotoar.
Aku tidak menutup ritsleting mantelku tadi. Sekarang mantelku
berkibar-kibar karena tertiup angin ketika aku melintasi jalan dan melewati
deretan rumah kecil di blok berikutnya. Udara terasa dingin menerpa pipiku yang
hangat. Dingin dan lembap, seakan-akan hujan
salju akan turun lagi. Eh, kenapa aku jadi melantur soal cuaca"
Ricky Beamer - itu namaku - punya urusan yang lebih penting
daripada memikirkan cuaca. Malam ini aku akan beraksi sebagai
mata-mata. Atau spy bahasa kerennya. Setelah itu aku akan
melaksanakan rencana yang telah kupersiapkan dengan matang.
Tak lama kemudian aku sudah melintasi lapangan sekolah yang
sunyi dan lengang. Harding Middle School. Itulah yang tertulis pada papan nama
di samping tiang bendera. Hanya saja ada anak iseng
yang mencoret huruf-huruf pertama dengan cat semprot. Jadi yang
terbaca sekarang: ARDING IDDLE CHOOL.
Kami cukup bangga dengan sekolah kami.
Sebagian besar anak menyukai sekolah itu. Bangunannya masih
baru, serbamodern, dan bersih.
Sebenarnya aku pun menyukai sekolahku - tapi masalahnya,
anak-anak lain selalu usil terhadapku. Kalau saja mereka tidak selalu mengejekku
atau memanggilku Ricky Rat alias Ricky si tikus, atau
Sicky Ricky alias si sinting Ricky, aku akan benar-benar senang.
Mungkin kau beranggapan aku berlebihan.
Bisa jadi kau benar! Tapi, bagaimana aku tidak kesal" Aku selalu jadi sasaran
cemooh semua anak di sekolah. Mereka memanfaatkan setiap
kesempatan untuk mengolok-olokku.
Aku menatap gedung sekolah. Bangunannya rendah dan beratap
datar, memanjang, dan meliuk-liuk seperti ular. Bagian sekolah dasar ada di
ujung yang satu, bagian sekolah menengah di ujung yang satu lagi. Aku sendiri
duduk di kelas enam, jadi ruang kelasku ada di
tengah-tengah. Sebuah lampu sorot menerangi tiang bendera di depan sekolah.
Sebagian besar ruang kelas tampak gelap. Tapi di daerah kelas
delapan ada beberapa jendela yang masih terang - dan memang itulah
tempat yang hendak kudatangi.
Sebuah mobil lewat pelan-pelan. Sorot larnpunya menyapu
gedung sekolah. Cepat-cepat aku bersembunyi di balik semak-semak.
Aku tidak boleh kepergok.
Tapi karena terburu-buru, aku tergelincir dan jatuh terjerembap.
Segumpal salju yang dingin dan lembap menimpa kepalaku. Sambil
merinding aku menggelengkan kepala dengan keras untuk
menyingkirkan gumpalan salju itu.
Setelah mobil itu berlalu, aku kembali mengendap-endap
menuju jendela yang terang. Sepatuku berkeresak di tanah yang
lembap. Aku menunduk. Rupanya aku tengah berjalan di cekungan
berlumpur. Tanpa menghiraukan lumpur itu, aku merapatkan tubuh ke
ambang jendela yang rendah dan menempelkan wajah ke kaca. Aku
perlu memastikan apakah ruang kelas itu masih terang karena sedang dibersihkan,
atau karena Tasha McClain masih sibuk bekerja.
Tasha McClain. Menyebut namanya pun sudah membuat gigiku
ngilu! Kaca jendela tertutup embun. Aku mengintip dengan
memicingkan mata. Yes! Tasha ada di mejanya yang menghadap ke
dinding. Ia sedang duduk di depan komputer. Rambut merahnya yang
panjang dan keriting menggantung di atas keyboard sementara ia
mengetik dengan jurus sebelas jari.
Ms. Richards berdiri di belakang Tasha sambil. berpegangan
pada sandaran kursi. Ms. Richards pembina Harding Herald - koran
sekolah kami. Ia masih muda, dan cantik sekali. Rambutnya yang
pirang, disisir ke belakang dan dikuncir. Dengan sweter abu-abu dan jeans belel
yang dikenakannya, ia lebih mirip mahasiswi daripada
guru. Ms. Richards ramah sekali ketika aku baru bergabung dengan
redaksi koran sekolah. Tapi akhir-akhir ini ia selalu ketus padaku.
Kurasa Tasha yang menghasutnya untuk memusuhiku.
Tasha anak kelas delapan, dan karena itu ia merasa dirinya
paling hebat. Anak kelas enam sama sekali tak dianggap di Harding.
Sumpah. Kami tidak dipandang sebelah mata di sini. Jangankan
dipandang, dilirik pun tidak.
Aku tahu Tasha dan Ms. Richards akan bekerja lembur di
Harding Herald malam ini. Soalnya besok hari Selasa, dan koran
sekolah kami terbit setiap Selasa.
Ms. Richards membungkuk sedikit dan menunjuk sesuatu pada
layar monitor. Aku kembali memicingkan mata agar dapat melihat
lebih jelas. Di monitor tampak judul berita utama, berikut foto di bawahnya.
Tasha sedang mengerjakan tata letak halaman pertama koran
sekolah kami. Kalau sudah selesai, ia akan menyimpan rancangannya di
disket. Kemudian Ms. Richards akan membawa disket itu ke kantor
kepala sekolah untuk mencetak 200 kopi dengan printer laser.
Tiba-tiba Ms. Richards berpaling ke jendela. Aku langsung
merunduk. Aduh, jangan-jangan ia sempat melihatku!
Aku menunggu beberapa detik, lalu kembali berdiri tegak.
Tasha masih sibuk mengetik. Sebentar-sebentar ia berhenti dan
memencet mouse untuk mengubah tampilan pada layar.
Ms. Richards meninggalkan ruang kelas.
Aku merinding. Angin bertiup kencang, menarik-narik tudung
mantelku. Rupanya masih ada salju yang tersisa. Air lelehannya yang dingin
mengalir di tengkukku. Di kejauhan terdengar seekor anjing melolong sedih.
Berdirilah, Tasha! aku berkata dalam hati.
Keluarlah dari situ - supaya aku bisa mulai beraksi.
Sebuah mobil melintas di depan sekolah. Aku merapatkan
badan ke dinding sambil berharap si pengemudi tidak melihatku.
Ketika aku kembali mengintip, ruang kelas ternyata sudah
kosong. Tasha telah meninggalkan ruangan.
"Yesss!" aku berseru tertahan.
Jantungku berdegup-degup. Aku mengangkat kedua tangan dan
berusaha mendorong kaca jendela itu ke atas, supaya aku bisa masuk.
Aku tahu aku harus bergerak cepal. Tasha paling-paling keluar
sebentar untuk membeli jus di mesin minuman. Aku hanya punya
waktu beberapa detik untuk menyelinap ke dalam - melaksanakan
rencanaku - lalu keluar lagi.
Aku mendorong dengan sekuat tenaga. Tapi jendela itu tidak
bergerak sedikit pun. Mula-mula aku menyangka jendelanya membeku. Tapi
akhirnya, pada usaha keempat, aku berhasil membukanya. Aku
mengerahkan segenap tenaga - dan mendorong kaca jendela sampai
celahnya cukup lebar untuk dilewati. Cepat-cepat aku memanjat
masuk. Gara-gara sepatu ketsku yang basah, aku hampir terpeleset di
lantai yang licin. Sepatuku juga meninggalkan jejak kaki berlumpur, tapi aku
tidak peduli. Aku berjalan melintasi ruangan dan membungkuk di depan
komputer. Tanganku gemetaran ketika aku meraih mouse dan
menggerakkan kursor ke bagian bawah halaman koran.
Aku mendengar suara-suara. Tasha dan Ms. Richards sedang
berbincang-bincang di koridor.
Sambil menarik napas dalam-dalam aku mengamati halaman
yang tampak di layar monitor.
Kemudian aku mengetikkan beberapa kata - dengan huruf
sangat kecil - di bagian bawah halaman depan. Sambil tertawa
cekikikan aku menulis: Panggilan untuk semua kadal. Panggilan untuk semua kadal.
Siapa merasa kadal sejati, harap hubungi Tasha di 555-6709 setelah tengah malam.
Kau tentu ingin tahu kenapa aku menambahkan pesan itu di
halaman pertama koran sekolahku ya, kan"
Kau pasti ingin tahu kenapa aku menyelinap kemari malam-
malam begini, padahal ada kemungkinan aku bakal kepergok"
Kau pasti heran kenapa aku begitu ingin membalas dendam
pada Tasha" Hmm... ceritanya agak panjang....
Chapter 2 BEBERAPA hari lalu ada anak baru di kelasku, anak cewek.
Namanya Iris Candler. Ia tampak salah tingkah ketika berdiri di depan kelas,
menunggu Ms. Williamson menunjukkan tempat duduknya.
Saat itu aku tengah berusaha menyelesaikan PR matematika
sebelum bel berdering. Entah kenapa aku lupa mengerjakannya
semalam. Aku berhenti sebentar untuk mengamati si cewek baru.
Hmm, tampangnya boleh juga, kataku dalam,hati. Wajahnya bulat,
dan matanya besar berwarna biru. Rambutnya yang pirang dipotong
pendek dengan belahan di tengah. Ia memakai anting-anting panjang dari plastik
berwarna merah. Anting-antingnya bergoyang-goyang
setiap kali ia menggerakkan kepala.
Ms. Williamson menyuruh Iris duduk di baris belakang.
Kemudian ia meminta aku mengantar Iris keliling sekolah seusai jam pelajaran.
Maksudnya, untuk menunjukkan letak ruang makan, kamar
mandi, dan sebagainya. Aku hampir memekik karena kaget. Kenapa justru aku yang
dipilih oleh Ms. Williamson" Mungkin karena aku kebetulan duduk
tepat di sebelah kiri Iris.
Beberapa anak tertawa. Dan seseorang bergumam, "Huh, Sicky
Ricky." Betul, kan" Aku selalu jadi sasaran olok-olok. Mudah-mudahan
saja Iris tidak mendengarnya.
Terus terang, aku memang ingin membuatnya terkesan. Aku
senang mendapat teman baru untuk mengobrol. Seorang teman yang
belum tahu bahwa semua orang di sini menganggapku payah.
Waktu istirahat makan siang, aku mengantar Iris ke ruang
makan. Aku bercerita bahwa gedung sekolah kami masih baru. Dan
bahwa awalnya keran air dingin di kamar mandi mengeluarkan air
panas dan, sebaliknya, keran air panas mengeluarkan air dingin.
Iris menganggapnya lucu. Aku senang melihat anting-antingnya
bergoyang setiap kali ia tertawa.
Kemudian ia bertanya apakah aku ikut tim olah-raga.
"Ehm... belum," jawabku.
Sampai kiamat pun aku tak bakal terpilih menjadi anggota tim,
kataku dalam hati. Setiap kali ada pemilihan pemain di lapangan olahraga, para
kapten tim pasti ribut soal siapa yang mendapatkanku. Ceritanya
selalu sama: "Kau yang harus ambil dia!"
"Enak saja! Kau yang harus ambil dia!"
"Jangan curang! Terakhir kali dia sudah masuk tim kami!
Begitulah. Aku memang bukan jagoan olahraga.
"Nah, ini ruang makan," aku memberitahu Iris sambil membuka pintu. Seketika aku
menyesali ucapanku yang konyol. Habis, ruangan yang penuh murid sekolah yang
sedang makan sudah pasti ruang
makan. begitu masuk, aku langsung melihat keempat musuhku di meja
mereka yang biasa, di tengah ruangan. Aku menyebut mereka
keempat musuhku karena... mereka memang keempat musuhku.
Nama mereka Jared, David, Brenda, dan Wart. Nama Wart
sebenarnya Richard Wartman. Tapi semua orang memanggilnya Wart,
alias kutil - termasuk para guru.
Keempat anak kelas tujuh itu selalu mengincarku. Kalau bukan
untuk diejek dan diolok-olok, pasti untuk dibuat celaka!
Aku tidak tahu kenapa mereka bersikap begitu. Aku tak pernah
berbuat apa-apa terhadap mereka. Barangkali mereka mengincarku
karena aku memang gampang diincar.
Aku mengambil dua baki makanan dan mengajak Iris ke
counter makanan. "Di sebelah sini ada makanan panas," aku menjelaskan. "Tapi tak
pernah ada yang membelinya, kecuali kalau piza atau hamburger."
Iris tersenyum padaku. "Persis seperti di sekolahku yang lama,"
ia berkomentar. "Dan jangan sekali-sekali pesan makaroni," aku mewanti-wanti.
"Aku curiga ini makaroni tahun lalu. Lihat tuh, kerak di bagian atasnya. Mana
ada makaroni yang pakai kerak?"
Iris tertawa. Aku mengusap rambutku ke belakang. Dalam hati
aku bertanya-tanya, apakah Iris menyukaiku.
Kami sama-sama pesan sandwich dan sekantong keripik
kentang. Aku juga mengambil semangkuk agar-agar berwarna hijau-
merah dan sebotol jus kiwi-strawberry. "Kasirnya di sebelah sini," aku
memberitahu Iris. Kemudian aku menunjukkan padanya bagaimana cara
membayar dengan kupon makanan. Kuponnya diserahkan kepada
kasir untuk dilubangi, lalu dikembalikan lagi kepada kita. Aku berseri-seri.
Tampaknya Iris cukup terkesan dengan segala petunjuk berguna yang telah
kuberikan. Aku melihat dua kursi kosong di meja di dekat jendela. Setelah
memberi isyarat pada Iris, aku segera menuju ke sana sambil
mengangkat baki tinggi-tinggi.
Tentu saja aku tidak melihat bahwa Wart menjulurkan kakinya


Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke gang. Kakiku tersandung. Aku kehilangan keseimbangan. Dan baki
makananku langsung terbang.
Aku jatuh terjerembap. Agar-agarku menggelincir di salah satu
meja, dan jatuh ke pangkuan anak cewek. Sisa makananku berserakan di lantai.
Anak-anak yang melihat kejadian itu langsung tertawa dan
bersorak-sorai sambil bertepuk tangan.
"Ricky Rat beraksi lagi!" seru salah satu dari mereka.
Wart dan ketiga temannya ikut bersorak, "Sicky Ricky... Sicky Ricky!"
Aku menoleh dan melihat Iris juga tertawa. Rasanya aku ingin
ditelan bumi saja. Wajahku mendadak panas membara. Aku tahu wajahku pasti
merah padam. Aduh, aku harus bagaimana sekarang" pikirku sementara aku
terkapar di lantai. Aku tidak tahan kalau terus begini.
Tapi, apa yang bisa kulakukan"
Chapter 3 SEUSAI sekolah aku menuju ke ruang kelas delapan, di ujung
gedung sekolah. Koran sekolah kami berkantor di ruangan Ms.
Richards. Ms. Richards duduk di belakang mejanya. Ia sedang memeriksa
tugas mengarang para siswa. Ketika aku muncul di ambang pintu, ia cuma menoleh
sekilas dan mengerutkan kening. Kemudian ia
melanjutkan pekerjaannya.
Aku melihat Tasha sibuk mengetik dengan komputer di pojok
ruangan. Mulutnya komat-kamit. Keningnya berkerut-kerut.
Tampaknya ia sedang berkonsentrasi penuh.
Aku menghampiri Melly, anak kelas delapan yang bertugas
sebagai asisten penyunting. Rambutnya lurus berwarna cokelat, dan ia memakai
kacamata berbingkai serasi dengan warna rambutnya. Ia
sedang membaca sebuah laporan panjang sambil menyusuri kalimat-
kalimat dengan jari telunjuk.
"Hai, Melly," aku menyapanya.
Ia menoleh. Dan langsung mengerutkan kening.
"Aduh, Ricky - gara-gara kau aku jadi lupa sampai di mana aku
membaca." "Oh, sori," ujarku. "Ada tugas untukku hari ini?" Mungkin kau ingin tahu kenapa
aku mau jadi wartawan di Hard ing Herald.
Sebenarnya aku tidak bisa dibilang jagoan menulis. Tapi setiap
murid di Harding harus mengumpulkan dua puluh poin kegiatan
dalam setahun. Itu berarti kita harus ikut tim olahraga, atau bergabung dengan
klub, atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Aku tidak mungkin ikut tim olahraga. Karena itu aku
memutuskan untuk bergabung dengan koran sekolah. Semula kupikir
kegiatan itulah yang paling cocok untukku.
Tapi, itu sebelum aku bertemu Tasha.
Tasha memperlakukan semua anak kelas enam seperti kuman.
Ia meringis setiap kali anak kelas enam memasuki ruangan. Setelah itu ia akan
menyuruh-nyuruh kami seenaknya.
Semua tugas yang seru dan menantang disimpannya untuk
anak-anak kelas delapan. Sisanya baru diserahkan kepada anak-anak lain. Mau
tahu, tugas pertama yang ia berikan padaku" Ia menyuruhku menghitung jumlah
bidang kecil tanah di lapangan bermain yang tidak ditumbuhi rumput. Selanjutnya
aku harus menjelaskan kenapa
rumputnya tidak mau tumbuh. Tidak mudah, lho, menulis laporan
seperti itu. Tapi aku bekerja dengan sungguh-sungguh, dan berhasil membuat
laporan sepanjang lima halaman!
Ternyata laporanku tidak dimuat di koran sekolah.
Ketika aku menanyakan alasannya pada Tasha, ia menjawab,
"Siapa yang mau membaca berita seperti itu?"
Tugasku yang berikut adalah mewawancarai petugas kebersihan
sekolah. Aku disuruh menulis laporan mengenai perbedaan bekerja
pada siang dan malam hari.
Laporan itu juga tidak dimuat di koran sekolah.
Sebenarnya aku sudah mau mengundurkan diri. Tapi aku
membutuhkan poin kegiatan. Kalau aku gagal mengumpulkan dua
puluh poin, aku tidak bisa naik kelas. Kalau tidak naik kelas, aku terpaksa ikut
sekolah musim panas. Konyol kan, waktunya liburan
kita malah sekolah tambahan.
Karena itulah aku tetap datang ke kantor Harding seusai
sekolah. Dua atau tiga kali seminggu aku muncul untuk meminta
tugas baru pada Tasha. "Ada pekerjaan untukku?" tanyaku pada Melly.
Ia angkat bahu. "Aku tidak tahu. Tanya Tasha saja."
Aku menuju ke meja Tasha. Wajahnya memantulkan cahaya
monitor. "Ada pekerjaan untukku?" tanyaku padanya.
Ia terus mengetik. Ia tidak menoleh sedikit pun. "Tunggu
sampai aku selesai," katanya dengan ketus.
Aku mundur. Aku berbalik dan melihat Ms. Richards
meninggalkan ruangan. Beberapa anak sedang mengobrol di meja di
dekat jendela, jadi aku pun menghampiri mereka.
David dan Wart - dua dari keempat musuhku - sedang
berdebat, entah tentang apa. Keduanya wartawan olahraga koran
sekolah. Mereka menulis berita tentang semua pertandingan yang
diikuti tim Harding. Selebihnya mereka cuma duduk-duduk di kantor dan bikin
kacau. David bertubuh jangkung dan berambut pirang. Wart bertubuh
pendek gendut dan berwajah merah. Sepintas lalu tampangnya
memang seperti kutil! Di atas meja ada beberapa potong biskuit dan sejumlah kaleng
minuman soda. Aku berusaha melewati David dan Wart untuk
mengambil minuman. Tapi Wart langsung mencegatku.
Ia dan David cengar-cengir. "Hei, bagaimana makan siangnya
tadi, Ricky?" tanya Wart.
Mereka tertawa sambil ber-high five.
Aku memelototi Wart. Rasanya aku ingin menghapus senyum
dari wajahnya. "Kenapa kau menjegalku tadi?" Aku merasa wajahku mulai panas.
"Aku tidak menjegalmu," ia membantah.
David tertawa. "Ya, kau menjegalku tadi!" aku berkeras. "Kau menjulurkan kaki dan..."
"Jangan mengada-ada," Wart memotong. "Aku tidak berbuat apa-apa."
"Kau tersandung retakan di lantai," David menimpali. "Atau mungkin kau tertiup
angin." Mereka tertawa terbahak-bahak.
Huh, menyebalkan. Aku meraih sekaleng Pepsi, membukanya lalu berbalik.
"Hei - tunggu dulu!" Wart mencengkeram pundakku.
Aku berbalik lagi. "Ada apa, sih?"
"Aku lebih dulu melihat minuman itu," katanya.
"Ambil saja yang lain," ujarku.
"Aku mau yang ini." Ia berusaha merampas kaleng itu.
Tapi aku segera mengelak.
Sayangnya kaleng itu terlepas dari genggamanku - dan terbang
melintasi ruangan. Isinya bercipratan ke segala arah.
Kaleng itu jatuh persis di keyboard komputer Tasha. Ia
memekik kaget. Lalu melompat berdiri. Kursinya sampai terbalik.
Aku cepat-cepat menyambar beberapa helai serbet kertas, dan
bergegas menghampiri meja Tasha.
"Tenang saja. Aku akan membersihkan semuanya!" ujarku
padanya. Keyboard-nya basah kuyup. Aku langsung menyekanya.
"Jangan - Ricky - stop!" teriak Tasha.
Terlambat. Dengan mata terbelalak aku melihat apa yang telah kulakukan.
Chapter 4 "AAAAAHHHHH!" teriak Tasha kesal, kedua tangannya
menjambak-jambak rambutnya yang merah.
"Dasar kadal! Ricky, kau memang brengsek!" ia berseru.
Seharusnya ia jangan sembarangan memaki-maki orang. Tapi
kali ini ia memang punya alasan kuat untuk marah padaku.
Gara-gara aku, seluruh halaman depan terhapus dari layar
monitor. Monitor di hadapan kami bersinar cerah. Biru terang.
Tak ada tulisan apa pun. Tak ada gambar-gambar. "Ehm... sori,"
aku bergumam. "Barangkali masih bisa diselamatkan," kata Tasha pada Melly.
"Barangkali file-nya masih bisa kucari lagi."
Tasha mendorongku ke samping. Ia mengangkat kursi dan
langsung duduk di depan komputer. "Oh!" Ia kembali memekik ketika menyadari ia
duduk di tengah genangan soda.
Lalu ia mulai mengetik sambil menatap layar monitor.
Keyboard-nya masih basah dan lengket. Berulang kali ia salah
menekan tombol. Setiap kali ia terpaksa memundurkan kursor,
memperbaiki kesalahannya, lalu mengetik lagi sambil menggerutu.
Tapi percuma. Usahanya sia-sia.
Halaman yang hilang itu tidak mau muncul lagi.
Akhirnya Tasha pun menyerah. Ia menyibakkan rambutnya
dengan kedua tangan. Kemudian ia berpaling padaku sambil
menggeram. "Dasar kadal!" serunya. "Gara-gara kau aku harus mulai dari awal lagi!"
Aku menelan ludah. "Tasha, aku tidak sengaja," aku bergumam.
"Sungguh. Aku tidak sengaja."
"Dasar kadal!" Tasha kembali membentakku. Melly berdiri di sampingnya. Ia juga
melotot sambil geleng-geleng kepala.
"Aku didorong Wart!" seruku membela diri. Aku berpaling ke arah mereka. Tapi
Wart dan David sudah kabur.
"Kau dipecat!" teriak Tasha. "Keluar dari sini, Ricky! Keluar!"
"Hah?" Aku kaget sekali. "Jangan, Tasha - tunggu!" aku memohon.
"Keluar! Keluar!" Ia mengibas-ngibaskan tangan mengusirku.
Seakan-akan ia sedang mengusir seekor anjing. "Kau dipecat! Aku serius!"
"'Tapi - tapi - tapi..., aku tergagap-gagap. "Tapi aku butuh poin kegiatan! Beri aku
kesempatan lagi. Tolonglah!" aku mengiba-iba.
"Keluar!" Tasha membentak.
Melly mendecak-decak sambil menggelengkan kepala.
"Tapi ini tidak adil!"
Aku sadar sikapku kekanak-kanakan sekali. Tapi, bagaimana
lagi" Perlakuan Tasha padaku memang tidak adil.
Aku berbalik. Dengan langkah gontai aku menuju ke pintu. Dan
coba tebak, siapa yang berdiri di situ. Coba tebak, siapa yang melihat seluruh
kejadian itu. Benar. Siapa lagi kalau bukan Iris.
Ia baru satu hari di Harding Middle School. Tapi dalam waktu
sesingkat itu ia sudah tahu betapa payahnya aku.
"Sedang apa kau di sini?" aku bertanya.
"Aku dengar aku harus ikut kegiatan ekstrakurikuler. Jadi
kupikir aku mau coba ikut koran sekolah saja," sahut Iris. Ia mengikutiku ke
koridor yang sudah sepi. "Tapi rasanya aku tidak jadi bergabung. Cewek berambut
merah itu terlalu ketus."
"Memang," aku bergumam.
"Sebenarnya dia tidak boleh menyebutmu kadal," Iris
melanjutkan. "Kau kan tidak sengaja. Dia keterlaluan, deh! Mestinya kau diberi
kesempatan lagi." Hmm, mungkin Iris dan aku bisa berteman, kataku dalam hati.
Aku mengambil mantel dari locker. Kemudian Iris dan aku
meninggalkan gedung sekolah.
Matahari sore sudah menghilang di balik atap-atap rumah dan
pohon-pohon yang gundul. Di daerah ini memang cepat gelap saat
musim dingin. Sisa-sisa salju di rumput dan trotoar berkilau redup ketika kami
menuju ke jalan. "Kau tinggal di mana?" aku bertanya sambil mengatur letak ranselku.
Iris menunjuk. "Rumahku juga ke arah sana." Kami berjalan sambil membisu.
Aku lagi malas mengobrol. Aku masih kesal karena dipecat dari koran sekolah.
Tapi aku bersyukur Iris berpihak padaku.
Kami melintasi jalan dan mulai menyusuri blok berikut. Seluruh
blok dibatasi pagar tanaman yang tinggi. Hanya di beberapa tempat .
saja pagarnya terputus untuk jalan masuk mobil.
Beberapa anak sedang bermain hoki di jalanan. Mereka
meluncur, mondar-mandir naik sepatu roda sambil berseru-seru dan
mengayunkan tongkat. "Kau suka main sepatu roda?" tanya Iris.
"Suka juga," jawabku. "Tapi Rollerblades-ku lagi rusak.
Remnya copot dan..."
"Aku tidak pernah pakai rem. Lebih seru kalau tidak pakai rem, ya kan?"
Aku hendak menyahut. Tapi tidak jadi karena aku mendengar
suara dari balik pagar tanaman yang tinggi.
Sepertinya ada orang berbisik-bisik.
Sepertinya ada yang tertawa cekikikan.
Iris dan aku terus berjalan. Ia bercerita tentang cara anak-anak
di tempat tinggalnya yang lama bermain sepatu roda. Tapi aku tidak terlalu
memperhatikannya. Aku tetap mendengar suara langkah. Suara orang berbisik-bisik.
Dari balik pagar tanaman.
Akhirnya aku menempelkan telunjuk ke bibir. "Iris - ssst,"
bisikku. Dengan heran ia membelalakkan matanya yang biru. "Ricky -
ada apa, sih?" "Rasanya ada yang mengikuti kita," ujarku.
Chapter 5 "AKU tidak dengar apa-apa," bisik Iris. Ia menatapku sambil mengerutkan kening.
Kami sama-sama pasang telinga.
Sunyi. Tidak ada suara apa pun selain sorak-sorai para pemain
hoki di jalanan tadi. Kami kembali berjalan. Dan aku kembali mendengar tawa cekikikan. Dan suara bisik-
bisik. Tanpa pikir panjang aku membelok di jalan masuk mobil
berikutnya, dan bergegas ke balik pagar tanaman.
"Ada siapa di situ?" seru Iris seraya berlari menyusulku. Ia mengamati pagar
tanaman, lalu pekarangan tempat kami berdiri.
"Tidak ada siapa-siapa," ujarku.
Iris tertawa. "Aduh, Ricky, kenapa sih kau begitu waswas"
Paling-paling cuma burung."
"Yeah. Burung," kataku. Aku cepat-cepat kembali ke trotoar.
Aku tidak ingin ia sampai menyangka aku tidak waras. Tapi aku yakin aku
mendengar sesuatu. Kami berjalan melewati beberapa rumah. Kemudian aku
mendengar seruan tertahan dari balik pagar tanaman. "Sicky Ricky...
Sicky Ricky...." "Kaudengar itu?" aku bertanya pada Iris.
Ia menggelengkan kepala. Aku mendengar dengung pesawat
terbang yang melintas jauh di atas kepala. "Pesawat itu, maksudmu?"
tanya Iris. "Bukan," sahutku. "Suara orang."
Dari balik pagar tanaman terdengar suara tawa tertahan.
Aku langsung melesat, menerobos pagar tanaman untuk
mencari sumber suara itu. Aku nyaris tergelincir karena menginjak lapisan es
yang masih tersisa di trotoar.
Aku berpegangan pada pagar tanaman untuk menjaga
keseimbangan. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Cuma ada halaman


Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong di balik pagar itu.
Sambil membetulkan letak ransel aku bergegas kembali ke
trotoar. "Ricky, kau memang agak aneh," komentar Iris. Ia tertawa.
Tapi aku tahu ia mulai bingung melihat tingkahku. Mungkin ia malah menganggapku
terlalu aneh untuk menjadi temannya.
"Aku benar-benar mendengar sesuatu tadi. Aku tidak mengada-
ada," ujarku untuk meyakinkan Iris. "Pasti ada yang bersembunyi di tengah pagar
tanaman atau..." "AAAAAIIIII!" Sekonyong-konyong terdengar teriakan
nyaring! Pagar tanaman berguncang-guncang.
Aku mundur ke arah jalan.
Dan empat sosok tubuh melompat keluar dari pagar tanaman
seraya bersorak-sorai dan berseru-seru.
Keempat musuhku! Aku melihat Iris mernbelalakkan mata karena kaget. Dan
kemudian Wart menerjangku. David juga. Brenda dan Jared pun tidak mau
ketinggalan. Mereka menarikku ke sana kemari.
Mereka memutar-mutar tubuhku sambil tertawa-tawa.
Lalu David mendorongku sampai jatuh.
Mereka berkerumun di sekelilingku. Menahanku di bawah. Di
tengah lumpur yang dingin dan basah. ."Lepaskan aku!" aku menjerit.
Aku menendang-nendang dan mengayun-ayunkan tangan. Aku
menggeliat-geliut untuk membebaskan diri. Tapi aku tak berdaya
menghadapi keempat musuhku. Mereka terlalu kuat.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" aku meraung-raung. "Aku mau diapakan?"
Chapter 6 "LEPASKAN dia!" aku mendengar Iris menjerit.
"Oke," sahut Wart. Si kutil raksasa itu sedang menduduki dadaku. Tapi sekarang
ia berdiri. Aku menarik napas dalam-dalam.
Ketiga temannya pun melepaskan aku, mereka mundur
selangkah. Aku duduk tegak, lalu membersihkan lengan mantelku dari
lumpur yang menempel. Aku menoleh ke arah Iris. Ia berdiri di tepi trotoar.
Kedua tangannya terkepal, dan matanya terbelalak lebar.
Aku berusaha bangkit sambil mengerang.
Tapi Wart dan Jared mendorongku sampai terduduk lagi.
"Jangan buru-buru," ujar Jared. Ia bertubuh pendek dan kurus, tapi jailnya minta
ampun. "Mau apa kalian?" tanyaku pada mereka.
Wart membungkuk di atasku. "Kenapa kau bilang pada Tasha
bahwa kecelakaan kaleng soda tadi salahku?"
"Karena memang salahmu!" aku langsung membalas. Aku
menarik selembar daun kering dari rambutku.
"Tapi kenapa kau bilang pada Tasha, heh?" Wart bertanya dengan nada mengancam.
"Soalnya dia pengecut," David angkat bicara. "Soalnya dia ketakutan," Brenda
menimpali. "Soalnya kau memang tukang mengadu," Wart menuduh.
"Tapi itu memang salahmu!" aku berseru. Aku hendak berdiri, tapi mereka kembali
mendorongku. Iris memekik tertahan, lalu menutup mulutnya dengan kedua
tangan. Kelihatan jelas ia benar-benar ngeri. "Jangan kuatir," aku berseru
padanya. "Mereka cuma main-main."
Aku berpaling pada Wart. "Ya, kan" Ini cuma main-main, kan?"
Keempat musuhku tertawa. "Enaknya kita apakan si Ricky Rat?" tanya Brenda.
"Kita hajar saja," sahut David.
Mereka kembali tertawa. "Jangan. Lebih baik kita suruh dia bernyanyi," ujar Wart sambil cengar-cengir.
"Oh, jangan!" aku memekik. "Aku tidak mau bernyanyi lagi."
Mereka memang paling suka memaksaku bernyanyi. Soalnya
suaraku selalu sumbang. Aku tak pernah bisa mendapatkan nada yang tepat.
"Jangan, dong," aku memohon.
"Ayo, nyanyikan lagu - untuk teman barumu," ujar Brenda
sambil menggerakkan dagu ke arah Iris.
"Tidak!Aku tidak mau!"
David dan Jared membungkuk dan mencengkeram pundakku.
Mereka mengguling-gulingkan tubuhku dalam lumpur. "Ayo,
nyanyi!" perintah Jared.
"Nyanyikan lagu kebangsaan kita, The Star-Spangled Banner,"
kata Wart. Kawan-kawannya bersorak-sorai dan bertepuk tangan. "Ya! The
Star-Spangled Banner! Itu yang paling asyik!"
"Jangan," aku mengerang. "Waktu itu kan sudah. Jangan, dong!
Jangan. Aku tidak hapal kata-katanya. Sungguh. Jangan paksa aku
menyanyikan lagu itu!"
Aku memohon-mohon dan mengiba-iba. Iris pun berusaha
membujuk mereka. Tapi keempat musuhku tidak mau tahu. Mereka berdiri sambil
bertolak pinggang, dan mendorongku ke lumpur setiap kali aku
hendak bangkit. Aku tak punya pilihan. Hanya ada satu cara supaya mereka
berhenti menggangguku. Jadi, dengan berat hati, aku pun mulai
bernyanyi sambil duduk di tanah yang dingin dan berlumpur.
"Oh, say can you see...?"
Mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka bersorak-sorai dan
meraung-raung. Mereka saling mendorong dan ber-high five. Saking
kerasnya mereka tertawa, mereka nyaris jatuh ke tengah lumpur.
...and the hoooooome of the brave."
Dengan susah payah aku berhasil menyelesaikan lagu itu. Tentu
saja aku lupa sebagian besar liriknya. Dan tentu saja suaraku tidak sanggup
mencapai nada-nada tinggi di beberapa bagian.
Seumur hidup aku belum pernah semalu saat itu.
Iris pasti menganggapku sebagai anak paling payah di seluruh
dunia, kataku dalam hati.
Rasanya aku ingin terbenam dalam lumpur bagaikan cacing,
dan tidak muncul lagi. Saking malunya, aku memutuskan untuk lari. Aku kabur begitu
saja. Tanpa menengok ke belakang. Tanpa menatap keempat
musuhku. Tanpa menatap Iris.
Terutama Iris. Aku tidak mau melihat bagaimana ia
menertawakanku. Atau merasa iba padaku. Tanpa mengurangi kecepatan, aku berlari sampai ke rumah.
Begitu sampai, aku langsung menyerbu masuk. Kubanting pintu. Dan
cepat-cepat naik ke kamarku.
Ini semua salah Tasha, kataku dalam hati.
Pertama-tama aku dipecat dari koran sekolah gara-gara kejadian
yang tidak disengaja. Kemudian Tasha memberitahu Wart bahwa aku
menyalahkannya. Jadi Wart dan teman-temannya tidak punya pilihan. Mereka
terpaksa mengejarku dan mempermalukanku di depan Iris.
Semuanya salah Tasha... semuanya salah Tasha....
Kalimat itu terus menghantui pikiranku ketika aku hendak tidur
malam itu. Aku terus membayangkan, bagaimana suatu hari nanti aku akan membalas
dendam pada Tasha. Baru berjam-jam kemudian aku bisa tidur.
Keesokan pagi aku terbangun karena pesawat telepon di
samping tempat tidurku berdering. Dengan terkantuk-kantuk aku
mengangkat gagangnya. Coba tebak, siapa yang meneleponku pada Sabtu pagi itu.
Tasha. Ya. Sebuah kejutan dari Tasha.
Dan apa yang dikatakannya akan mengubah hidupku untuk
selama-lamanya. Chapter 7 "HAH?" Hanya itu yang bisa kukatakan, sebab aku masih
setengah tidur. Aku berdeham.
"Aku butuh bantuanmu," ujar Tasha.
"Hah?" Aku langsung duduk tegak di tempat tidur. Tasha perlu bantuanku" Jangan-
jangan aku masih tidur. Jangan-jangan ini cuma
mimpi! "Aku butuh orang untuk meliput sebuah acara," Tasha
melanjutkan. "Untuk koran sekolah. Aku sudah menghubungi semua orang yang
kukenal. Tapi semuanya berhalangan. Sebenarnya aku
enggan minta bantuanmu. Tapi kau satu-satunya harapanku."
"Hah?" sahutku.
"Huh, kau baru bangun, ya?" tanya Tasha dengan jengkel.
"Hah" Eh... tidak kok." Aku kembali berdeham, lalu
menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir kantuk.
Tasha butuh bantuanku" Apa aku tidak salah dengar"
"Kau harus datang ke sekolah untuk meliput acara Midwinter
Car Wash. Aku butuh artikel berikut foto-foto. Sekarang juga."
"Hah?" ujarku. Aduh, kenapa cuma itu yang terus-menerus keluar dari mulutku"
Mungkin karena aku terlalu kaget. "Acara cuci mobil di tengah musim dingin?"
Tasha menghela napas. "Kau belum tahu tentang acara itu"
Memangnya kau tidak baca pengumumannya" Memangnya kau tidak
baca koran sekolah?"
"Oh. Yeah. Aku lupa," aku berdalih. Aku mengintip keluar jendela. Matahari
bersinar cerah. Cocok sekali untuk acara cuci mobil.
"Oke, Tasha. Kalau begitu aku langsung ke sekolah," ujarku.
"Terima kasih kau memberiku kesempatan lagi."
"Jangan besar kepala," sahut Tasha ketus. "Aku takkan menelepon kalau tidak
terpaksa. Sebagian besar wartawanku sedang
pergi berdarmawisata. Dan yang lainnya ikut acara cuci mobil. Kalau saja
anjingku bisa memotret, aku mendingan pakai dia."
"Pokoknya, terima kasih banyak!" seruku.
Aku bukannya tidak sadar bahwa Tasha mengejekku. Tapi aku
juga sadar ini kesempatan emas supaya aku tidak perlu ikut sekolah musim panas.
Cepat-cepat aku mengenakan jeans belel dan sweter. Kemudian
aku sarapan. Terburu-buru aku melahap semangkuk sereal berwarna
pink, biru, dan hijau, sebelum menenggak segelas jus jeruk. Setelah itu aku
bergegas ke sekolah. Aku berlari sepanjang jalan.
Udaranya lumayan hangat. Penyiar radio mengatakan nanti
malam dan besok bakal turun salju. Tapi menurutku sih tidak mungkin kalau
melihat cuaca hari ini. Ketika melintasi jalan di depan sekolah, aku melihat anak-anak
yang sedang mempersiapkan acara cuci mobil di lapangan bermain.
Mereka telah memasang spanduk putih yang berkibar-kibar karena
tertiup angin. Tulisannya: HARDING CAR WASH - $5.
Beberapa anak sedang menyambung selang-selang panjang ke
keran di belakang gedung sekolah. Sejumlah ember telah ditaruh di atas meja-meja
kayu panjang. Selain itu juga ada tumpukan spons dan lap berwarna putih. Sebuah
Pontiac biru dan sebuah minivan sudah
antre untuk dicuci. Aku langsung masuk dan menuju ke kantor koran sekolah.
Tasha sendirian di ruangan itu. Ia sedang duduk di depan komputer dan sibuk
mengetik. Ia mengerutkan kening ketika aku muncul. "Sebenarnya lebih
baik kalau aku sendiri yang meliput acara ini. Tapi aku harus
menyelesaikan halaman artikel utama. Kali ini aku benar-benar
kelabakan." Sambutan yang menyenangkan, ya"
"Aku akan membuat laporan yang seru," ujarku. "Tenang saja."
Tasha melintasi ruangan dan mengambil kamera dari meja Ms.
Richards. "Nih. Bawa iniRicky." Diserahkannya kamera itu padaku.
"Tapi hati-hati. Pentax ini kepunyaan ayahku. Ini kamera favoritnya, dan
harganya mahal." Aku mengangkat kamera itu dengan kedua tangan dan
mengamatinya. Kemudian aku mengintip melalui jendela bidik. "Ayo, senyum,"
kataku. Tasha tidak menanggapi permintaanku. "Hati-hati, Ricky,"
katanya dengan tegas. "Jangan sampai terjadi apa-apa dengan kamera itu. Ambil
empat atau lima foto anak-anak yang sedang mencuci
mobil. Setelah itu langsung kembali ke sini."
"Beres," sahutku.
"Aku perlu artikel sepanjang enam sampai delapan alinea," ia melanjutkan.
"Artikelnya harus kautulis hari ini. Paling lambat besok sudah ada di tanganku.
Ms. Richards dan aku akan menyelesaikan tata letak koran, supaya bisa dicetak
Senin malam." "Beres," sahutku sekali lagi.
"Aku menyediakan tempat di halaman dua," ujar Tasha. "Jadi, jangan sampai
gagal." "Aku takkan gagal," aku berjanji.
Aku berbalik dan bergegas ke lapangan bermain. Ah, ini sih
gampang, kataku dalam hati. Aku tidak mungkin gagal.
Seluruh hidupku akan berubah pagi ini. Semuanya bakal beres
setelah aku menyelesaikan tugas ini. Itulah yang kukatakan dalam
hati. Tapi begitu aku sampai di lapangan, hidupku langsung hancur
berantakan. Chapter 8 SINAR matahari pagi yang cerah terasa menyilaukan, sehingga
aku terpaksa memicingkan mata ketika berlari melintasi lapangan.
Sepatuku menggelincir di rumput yang basah. Kamera ayah Tasha
kupegang erat dengan kedua tangan.
Setelah dekat, aku melindungi mata dengan sebelah tangan agar
tidak silau. Aku mengenali Pontiac biru yang sedang dicuci dan
dikelilingi anak-anak yang memegang selang air. Mobil itu milik
orangtua Wart. Aku menghampiri mobil itu sambil membidikkan kamera.
"Tunggu!" seruku. "Aku mau ambil foto untuk Herald!"
Semburan air yang pertama benar-benar membuatku terkejut.
Aku merasakan sesuatu menghantam bagian depan sweterku.
Sesuatu yang dingin. Aku memekik kaget. Semburan kedua dan ketiga menerpa wajah dan dadaku - dan
membuatku mundur terhuyung?huyung.
"Hei..!" aku berseru. "Jangan! Apa kalian sudah sinting?"
Aku berusaha menghindar. Tapi sekarang ada empat selang
yang terarah padaku. "Ohhhh!" Airnya dingin sekali.
Aku mengelak, dan mengenali keempat anak yang
membidikkan selang-selang itu. Brenda, Wart, David, dan Jared.
Mereka menyemburku sambil cengar-cengir.
Siapa lagi kalau bukan mereka"
Terbatuk-batuk aku berbalik dan berlari menjauh. Air dingin
menyembur keras bagaikan dari pancuran. Punggungku sampai basah
kuyup. "Stop! Hei - sudah, dong!" seruku.
Lalu aku teringat kamera yang sedang kupegang. Aku
menunduk dan memeriksa kamera itu. Air tampak menetes-netes dari
bodinya. "Ya ampunnn!" teriakku geram.
Dengan mata terbelalak, aku mengamati kamera yang basah
kuyup itu. Dan untuk pertama kali dalam hidupku aku benar-benar


Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan kendali. Kugantung kamera itu di leherku. Kemudian aku berbalik dan
menerjang ke arah keempat musuhku.
Ini kesempatanku yang terakhir! kataku dalam hati.
Ini kesempatanku yang terakhir untuk mempertahankan
kedudukanku di koran sekolah - dan mereka telah
menghancurkannya! Keempat anak kelas tujuh itu terus membidikkan selang, dan
berusaha memaksaku mundur. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Tapi aku menundukkan kepala dan maju terus.
Tanpa pikir panjang aku menerjang Wart. Aku merangkul
pinggangnya dan menariknya sampai jatuh.
Ia memekik kaget. Cepat-cepat aku merebut selang air dari tangannya. Kubuka
pintu mobil orangtuanya dan kusemprotkan air ke dalam mobil itu.
"Hei - jangaaan!" Wart meraung.
Semburan air dari selang David menghantam punggungku. Air
bercipratan ke segala arah. Anak-anak yang sedang mencuci mobil
lain di sebelah kami tertawa dan berseru-seru riuh.
Aku menyiram kursi depan dan bangku belakang.
Akhirnya Brenda, David, dan Jared menurunkan selang masing-
masing. Aku pun melakukan hal yang sama. Sesudah itu aku langsung pergi.
Mereka mengejarku. Aku tidak bisa berlari jauh-jauh.
Rumputnya begitu basah dan licin. Aku sempat berlari beberapa
langkah - dan jatuh terjerembap.
Aku terempas keras. Menimpa kamera yang dipinjamkan Tasha padaku.
Chapter 9 "APAKAH ini berarti aku jadi dipecat?" tanyaku dengan kepala tertunduk.
Tasha merengut dan mengamati kamera ayahnya dari segala
arah. "Lensanya retak," ia bergumam sambil geleng-geleng kepala.
"Kameranya basah kuyup dan penyok." Suaranya gemetaran. "K-kamera ayahku
hancur." "Sebenarnya ini bukan salahku," aku berkata pelan-pelan.
Dengan kesal Tasha meniup beberapa helai rambut yang
menggantung di depan matanya. "Kau harus bayar ganti rugi!" ia berseru. "Kamera
ini harus kauganti, Ricky. Kalau tidak, ayahku akan membawa urusan ini ke
pengadilan!" "Tapi, Tasha...," ujarku. "Ini sama sekali bukan salahku."
"Pergi!" ia membentak. "Keluar dari sini! Kau memang tak pernah mau mengaku
salah." "Habis... aku memang tidak salah," aku berkeras. "Aku bisa menjelaskan semuanya
Tasha Tolong dengarkan aku dulu....."
"Kau tidak bisa diandalkan, Ricky," katanya sambil menatapku dengan tajam.
Sekali lagi ia mengamati kamera di tangannya.
Kemudian ia menaruhnya di meja.
"Kau tak pernah serius," Tasha menuduh. "Kau pikir segala sesuatu cuma main-
main." "Tapi, Tasha...," aku berusaha membela diri.
"Keluar dari sini!" ia menyela. "Kau sudah kuberi kesempatan terakhir, padahal
kau tidak patut mendapatkannya. Dasar kadal.
Tahukah kau, kenapa semua anak memanggilmu Ricky Rat" Sebab
kau tak lebih dari seekor tikus yang bisanya cuma merusak dan
mengacau." Ucapannya benar-benar menyesakkan.
Aku sampai susah bernapas.
Cepat-cepat aku berpaling agar Tasha tidak melihat betapa
kesalnya aku. Serta-merta aku meninggalkan ruangan dan keluar dari gedung
sekolah. Ketika aku bergegas melintasi lapangan bermain, aku
mendengar anak-anak bernyanyi-nyanyi dan bersenda gurau. Mereka
sedang menyabuni mobil-mobil dan menyemprotkan air sambil
bergembira ria. Ketika aku melewati mereka, beberapa anak mulai
bersenandung, "Sicky Ricky, Sicky Ricky." Anak-anak yang lain tertawa.
Aku membuang muka dan terus berlari. Aku yakin hari Senin
lusa seluruh sekolah sudah tahu bahwa aku merusak kamera milik
ayah Tasha. Berita seperti itu cepat sekali menyebar. Semua orang akan tahu
bahwa Ricky Rat kembali membuat ulah.
Ucapan Tasha terngiang-ngiang di telingaku ketika aku berlari
pulang. Kemarahanku bertambah seiring setiap langkahku. Rasanya
aku ingin berteriak. Rasanya aku ingin meledak!
Saat itulah aku memutuskan aku harus membalas dendam pada
Tasha. Saat itulah aku memutuskan untuk menjailinya. Kadal... kadal...
kadal.... Kata itu terus berulang dalam benakku.
Dasar kadal. Kau tak lebih dari seekor tikus, Ricky. Kau harus
bayar ganti rugi, Ricky. Kalau tidak, ayahku akan membawa urusan
ini ke PENGADILAN! Tikus. Tikus. Tikus.
Ia tidak berhak memanggilku begitu. Itu tidak adil.
Aku begitu sakit hati, begitu kesal. Tapi ketika sampai di
rumah, aku sudah bisa tersenyum. Aku sudah tahu apa yang harus
kulakukan. Aku sudah tahu bagaimana aku akan membalas dendam.
Aku sudah menyusun rencana.
Rencana yang tidak mungkin gagal.
*******************************
Begitulah ceritanya kenapa aku bisa sampai kemari.
Sekarang malam Selasa. Dan aku telah menyusup ke ruang
kelas tempat Tasha dan Ms. Richards sedang bekerja.
Sambil tersenyum puas aku mengetikkan pesan singkatku di
bagian bawah halaman depan koran sekolah.
Aku tahu aku harus buru-buru. Tasha dan Ms. Richards akan
segera kembali. Dengan gugup aku memperhatikan setiap bunyi, setiap tanda,
yang menunjukkan mereka sudah dekat.
Seumur hidup aku belum pernah segugup sekarang. Tapi aku
tetap tersenyum lebar. Ricky, mereka semua meremehkanmu. Tapi sebenarnya kau
jenius! kataku dalam hati.
Hanya aku yang bisa menyusun rencana balas dendam yang
begitu hebat. Aku mengetik sambil melirik ke pintu. Selasa pagi semua
pembaca koran sekolah akan menemukan pesan berikut:
Panggilan untuk semua kadal. Panggilan untuk semua kadal.
Siapa merasa kadal sejati, harap hubungi Tasha di 555-6709 setelah tengah malam.
Pesan itu kubaca berulang kali.
Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak sambil melompat-
lompat kegirangan. Tapi aku sadar aku tidak boleh bersuara.
Aku berdiri. Berpaling ke jendela. Bersiap-siap kabur.
Namun sebelum sampai di jendela, aku mendengar suara Tasha
batuk-batuk dan melangkah memasuki ruangan.
Aku terperangkap. Chapter 10 AKU seolah terpaku di tempat.
Sedikit lagi, pikirku Sedikit lagi. Jendela ruang kelas berjarak
hanya lima langkah dari tempat aku berdiri. Lima langkah lagi - dan aku sudah
selamat sampai di luar. Tapi kini jarak lima langkah itu tak ubahnya lima kilometer.
Aku memejamkan mata dan menunggu Tasha menjerit begitu
melihatku. Namun yang terdengar justru suara Ms. Richards dari koridor.
"Tasha - coba kemari sebentar."
Aku membuka mata, dan masih sempat melihat Tasha berbalik
di ambang pintu. Apakah ia sempat melihatku" Tidak. Tidak mungkin. Ia pasti
akan menjerit seandainya melihatku.
Uihhhhh! Aku menarik napas lega - dan langsung melompat
keluar jendela. Aku mendarat dengan siku dan lutut. Terburu-buru aku bangkit.
Dan mulai berlari. Aku bahkan tidak menutup jendela dulu. Nanti malah kepergok,
kataku dalam hati. Untuk ketiga kalinya dalam empat hari, aku berlari sepanjang
jalan pulang. Pada hari Jumat dan Sabtu aku berlari sambil menundukkan
kepala karena malu. Malam ini aku berlari sambil membusungkan dada. Aku
berhasil! Aku berhasil menjalankan rencanaku!
Tanpa bersuara aku masuk ke rumah. Suara TV terdengar dari
ruang keluarga. Rupanya Mom dan Dad masih menonton Saluran
Cuaca. Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. Seorang penyiar
sedang membaca laporan mengenai badai di kawasan pesisir barat laut Amerika
Serikat. Berita itu disusul peringatan mengenai bahaya
banjir. Beberapa minggu lalu aku sempat membujuk orangtuaku untuk
pindah ke saluran MTV. Tapi mereka tidak menyukainya, karena
MTV tidak pernah menyiarkan laporan cuaca.
Aku merasa begitu senang, begitu gembira. Rasanya aku ingin
menyerbu ke ruang keluarga dan menceritakan aksiku yang sukses
besar pada Mom dan Dad. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Aku menunggu sampai napasku kembali normal, lalu diam-
diam naik ke kamarku dan menutup pintu.
Siapa yang bisa kutelepon" Aku harus menelepon seseorang
untuk berbagi rahasia. Tapi siapa"
Iris. Ya. Iris. Ia pasti bisa mengerti.
Jantungku berdegup keras ketika aku meraih gagang telepon.
Aku berusaha mengingat-ingat nama belakang Iris. Aku baru satu kali
mendengarnya. Chandler" Candle" Candler. Ya. Iris Candler.
Aku mendapatkan nomor teleponnya dari dinas penerangan, dan
langsung menghubunginya. Pesawat telepon berdering satu kali. Dua kali. Iris
mengangkatnya pada deringan ketiga.
Kami sama-sama mengucapkan halo. Tampaknya ia terkejut
mendapat telepon dariku. "Coba tebak, aku habis dari mana," kataku padanya. Tapi aku tidak menunggu
sampai ia menyahut. Aku langsung menuturkan
semuanya. Ceritaku meluncur begitu deras sehingga aku tidak sempat berhenti
untuk menarik napas. "Hebat, kan?" tanyaku setelah selesai. Aku tertawa. "Korannya terbit besok
pagi," aku menambahkan. "Tapi Tasha takkan tidur nyenyak malam ini. Soalnya
sepanjang malam dia bakal ditelepon
oleh semua anak di sekolah kita."
Aku menunggu Iris tertawa. Namun ia tidak bereaksi.
"Kok diam saja?" aku akhirnya bertanya. "Menurutmu ini tidak lucu?"
"Lumayan, sih," ia menyahut. "Tapi aku punya firasat buruk, Ricky."
"Hei, ini kan cuma lelucon," ujarku. "Kenapa mesti waswas?"
Chapter 11 COBA tebak siapa orang pertama yang kulihat ketika aku tiba
di sekolah keesokan pagi.
Betul sekali. Tasha. Ia mengerutkan hidung seakan-akan mencium bau ikan busuk.
Ia bergegas melewatiku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tapi aku tidak peduli. Aku membayangkan kejutan untuk Tasha
yang kutaruh di bagian bawah halaman depan Herald. Aku yakin
kejutan itu akan membuatku tersenyum sepanjang hari.
Dan percayalah, aku membutuhkan sesuatu yang bisa
membuatku tersenyum. Ketika membelok di koridor untuk menuju ke locker, Josh dan
Greg, dua teman sekelasku, menghadangku. Mereka sengaja
menabrakku. "Hei, Ricky! Lihat-lihat dong kalau jalan!" seru Josh.
Greg menabrakku sekali lagi. Kemudian ia mendorongku
sehingga aku membentur Josh.
"Hei! Jangan main tabrak dong!" seru Josh.
"Jangan ganggu aku," aku bergumam seraya berusaha
menghindar. Mereka pergi sambil tertawa-tawa dan saling mendorong.
Dasar konyol! Aku membuka locker dan mulai mengeluarkan buku-buku dari
ransel. "Hei, Ricky - mau cuci mobil ayahku?" seru seorang anak
bernama Tony dari seberang koridor.
Kepalaku sedang menjulur ke dalam locker. Aku tidak
memandang berkeliling. Anak-anak lain tertawa mendengar lelucon Tony. "Hei,
Ricky - mau mencuci sesuatu?" Tony kembali berseru. "Cuci muka saja!"
Ha ha ha, lucu sekali, pikirku dengan geram. Semua anak
kembali tertawa. Aku membanting pintu locker, dan berjalan melewati mereka
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini semua gara-gara Tasha,
pikirku. Tapi akulah yang akan tertawa paling keras nanti malam.
Aku menuju ke ruang kelasku. Aku melihat Brenda dan Wart
berdiri di keran air minum di dekat dinding. Aku mencoba berlari
melewati mereka. Tapi kurang cepat.
Brenda menempelkan tangan ke keran, sehingga airnya
menyembur ke bajuku. "Mandi jangan di sekolah, dong!" seru Wart. Semua anak di koridor langsung
tertawa terbaha-bahak. "Ayahku akan menuntutmu karena kau merusak mobilnya!"
Wart menambahkan. "Orangtuamu bakal dibuat bangkrut!"
"Suruh dia antre," aku bergumam.
"Ricky Rat! Ricky Rat!" seseorang bersenandung. Beginilah
"Hari Mengejek Ricky" di Harding Middle School.
Masalahnya, setiap hari adalah "Hari Mengejek Ricky" di sini.
Tapi hari ini aku tidak peduli. Aku tahu aku bakal keluar
sebagai pemenang hari ini.
Tasha yang bakal kena getahnya. Koran sekolah akan dibagi-
bagikan nanti sore. Dan Tasha bakal terima telepon terus-menerus
sepanjang malam. Balas dendam ini akan terasa nikmat sekali.
Malam itu aku diajak Mom dan Dad ke rumah sepupuku yang
tinggal di pinggir kota. Kami diundang makan malam, dan baru
pulang pukul setengah sepuluh malam. Setelah itu aku masih
mengerjakan PR selama dua jam.
Jadi, baru pukul setengah dua belas aku bisa tidur. Padahal
besok sekolah. Aku baru mau terlelap ketika pesawat telepon di samping
tempat tidurku berdering.
Aku menatap wekerku sambil memicingkan mata - pukul dua
belas kurang dua menit. "Wah, siapa yang menelepon malam-malam begini?" aku
bertanya pada diriku sendiri.
Chapter 12 TANGANKU menggapai-gapai dalam gelap untuk meraih
gagang telepon. Tapi pesawat teleponnya malah jatuh ke lantai.


Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku langsung turun dari tempat tidur dan meraih telepon itu.
Kemudian aku berlutut dan pasang telinga. Jangan-jangan Mom dan
Dad sempat mendengar deringnya. Sebenarnya aku tidak boleh
menerima telepon setelah pukul sepuluh malam. Aku berdeham dan
menempelkan gagang telepon ke telinga. "Halo?"
"Ricky - ini aku. Iris."
Aku melirik weker. "Iris" Sekarang sudah tengah malam. Ada
apa kau menelepon malam-malam begini?" tanyaku. "Kau baik-baik saja?"
"Aku baru bisa menelepon sekarang. Sejak tadi sore ayahku
terus-menerus memakai telepon. Ricky - kau sudah baca koran
sekolah?" ia bertanya sambil berbisik dengan nada mendesak.
"Hah" Belum," sahutku. Aku duduk di tepi tempat tidur.
"Soalnya aku dipanggil ke perpustakaan waktu koran itu dibagikan.
Petugas perpus menanyakan buku-buku yang belum kukembalikan.
Dan ketika aku kembali ke ruang kelas, korannya sudah habis."
"Jadi kau belum membacanya?" tanya Iris, suaranya
melengking tinggi. "Belum," aku menegaskan. "Aku tidak kebagian. Bagaimana"
Apakah pesanku terbaca jelas?"
"Ehm...," Iris terdengar ragu-ragu.
"Bagaimana hasilnya" Bagus?" aku bertanya tak sabar.
"Tidak juga," jawab Iris pelan-pelan. "Sebenarnya, Ricky, kau akan menghadapi...
masalah besar." "Aku akan apa?" Gagang telepon semakin kurapatkan ke
telingaku. Iris bicara begitu pelan, sehingga suaranya hampir tak terdengar.
"Iris... aku akan kenapa?"
"Kau akan menghadapi masalah besar," ia mengulangi.
Aku langsung merinding. "Masalah besar" Tapi - kenapa, Iris"
A-apa maksudmu?" aku tergagap-gagap.
"Pesan itu...," katanya.
Ia terdiam. "Iris - suaramu tidak kedengaran," ujarku. "Iris?"
"Oh-oh," ia bergumam. "Aku harus menutup telepon. Ayahku sudah marah-marah."
"Tapi, Iris...," aku mendesak. "Kenapa aku akan menghadapi masalah" Kau harus
memberitahuku." "Ya, aku sudah selesai, kok!" aku mendengar Iris berseru pada ayahnya. "Aku cuma
perla menelepon sebentar saja, Dad. Aku tahu sekarang sudah tengah malam!"
"Iris - tolong kasih tahu, dong. Cerita dulu, dong, sebelum kau tutup telepon!"
aku memohon. "Sudah dulu, ya. Bye," katanya. Aku mendengar bunyi klik.
Dan pembicaraan kami pun terputus.
Dengan kesal aku membanting gagang telepon. Kenapa ia tidak
segera memberitahu aku" Kenapa ia tidak menjelaskan masalah besar apa yang akan
kuhadapi. Aku menggeser pesawat telepon ke samping weker, lalu
kembali naik ke tempat tidur. Aku memukul-mukul bantalku beberapa kali, supaya
empuk. Kemudian aku menarik selimut sampai ke dagu.
Aku memejamkan mata dan berusaha menenangkan pikiran
agar segera bisa tidur. Tapi pesawat teleponku berdering lagi.
Aku tersentak kaget, dan langsung duduk tegak. Kali ini aku
berhasil mengangkatnya tanpa menjatuhkannya.
"Iris, terima kasih kau mau menelepon lagi," aku berbisik.
"Aku membaca pesanmu di koran sekolah," bisik sebuah suara yang tidak kukenal.
"Iris...?" Aku menelan ludah. Aku tahu suara itu bukan suara Iris.
"Aku membaca pesanmu," suara itu kembali berbisik. "Dan aku menelepon sesuai
dengan perintahmu." "Hah" Kenapa aku yang ditelepon?" seruku.
"Aku cuma menuruti perintahmu," suara itu menyahut.
"Hei - siapa ini?" tanyaku dengan nada menuntut.
"Aku pasukan kadal."
Chapter 13 SERTA-MERTA aku membanting gagang telepon.
Kemudian aku bersiap-siap tidur lagi. Aku menepuk-nepuk
bantal, dan menarik selimut sampai menutupi bahu.
Angin menderu-deru di luar. Bayangan-bayangan yang
ditimbulkan oleh lampu jalanan di depan rumah kami tampak menari-
nari di dinding kamarku. Otakku bekerja keras. Siapa yang menelepon tadi"
Aku tidak bisa memastikannya, tapi suaranya seperti suara
cowok. Tapi kenapa aku yang diteleponnya" Nomor telepon yang
kucantumkan dalam pesanku di koran sekolah adalah nomor telepon
Tasha. Aku tidak sempat berpikir panjang-lebar, sebab pesawat
teleponku kembali berdering.
Aku mengangkatnya sebelum deringan pertama berakhir.
Mataku langsung tertuju ke pintu kamar. Kalau Mom atau Dad sempat mendengar
bahwa aku menerima telepon malam-malam begini, aku
benar-benar akan menghadapi masalah besar!
"Halo" Siapa ini?" tanyaku.
"Hai. Aku kadal sejati." Suara cowok juga, tapi bukan cowok yang tadi. Suaranya
pelan. "Hah?" "Aku anggota pasukan kadal. Aku menelepon begitu aku
membaca perintahmu."
"Hei, jangan main-main!" aku menghardik. Kemudian aku
kembali membanting telepon itu.
"Ada apa ini?" aku bergumam. Aku duduk dalam gelap sambil menatap pesawat
telepon. Sambil menunggu.
Apakah telepon itu akan berdering lagi"
"Ricky...!" sebuah suara menggelegar.
Saking kagetnya, aku hampir menjerit.
Lampu di langit-langit menyala. Dad berdiri di ambang pintu, ia
mengenakan piama bergaris putih-biru. Ia menggaruk-garuk pipi.
"Ricky - siapa yang menelepon malam-malam begini?" tanyanya.
Aku angkat bahu. "Menelepon?"
Dad memicingkan mata dan menatapku dengan curiga.
"Teleponnya berdering tiga kali."
"Oh, itu!" ujarku sambil pasang tampang tak berdosa. Tapi aku tahu aku takkan
bisa lolos. "Kau kan tahu kau dilarang terima telepon setelah jam sepuluh malam," Dad
berkata dengan tegas. Ia menguap. "Sekarang sudah lewat tengah malam. Siapa yang
menelepon malam-malam begini?"
"Ini cuma lelucon, sahutku. "Biasa, anak-anak di sekolah."
Dad mengusap rambut yang menutupi keningnya. "Ini tidak
lucu," katanya. Aku menundukkan kepala. "Aku tahu. Tapi ini bukan
salahku...." Dad mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhku diam.
"Suruh teman-temanmu berhenti menelepon malam-malam," katanya.
"Awas, kalau mereka tetap menelepon, pesawat teleponmu terpaksa diambil."
"Besok kuberitahu mereka," aku berjanji.
Tapi dalam hati aku berkata, Bagaimana aku bisa memberitahu
mereka kalau aku tidak tahu siapa mereka"
Dad kembali menguap. Suaranya keras sekali. Kedengarannya
seperti raungan singa. Lalu ia mematikan lampu dan kembali ke kamarnya. Begitu ia
pergi, teleponku berdering lagi.
"Tolong...," aku mulai berkata.
"Di sini kadal," bisik sebuah suara. Kali ini suara cewek. "Aku membaca pesanmu.
Dan aku sudah siap. Siap menabur benih. Siap
merebut kekuasaan. Kapan pertemuan para kadal?"
"Hah" Pertemuan?" Aku tidak menunggu jawabannya. Aku
langsung menutup telepon.
Aku benar-benar bingung. Kenapa justru aku yang mereka telepon" aku bertanya-tanya.
Tampaknya ada kesalahpahaman.
Dan kenapa sikap anak-anak itu begitu aneh" Kenapa cewek itu
bilang ia siap menabur benih" Siap merebut kekuasaan"
Ada apa sebenarnya" Pesawat teleponku kembali berdering
Chapter 14 ESOK harinya, dengan langkah gontai aku berjalan ke sekolah.
Telepon di kamarku terus berdering sampai pukul dua pagi. Setelah itu gagangnya
kuangkat dan kutaruh di meja. Sepanjang malam aku
terus bolak-balik di tempat tidur, sibuk memikirkan telepon-telepon aneh itu.
Baru sekitar pukul tujuh pagi aku akhirnya tertidur. Dan lima
menit kemudian, wekerku sudah berdering untuk membangunkanku!
Waktu sarapan, wajahku nyaris terbenam dalam mangkuk
sereal. Aku begitu mengantuk. Tapi Mom dan Dad sama sekali tidak
kasihan padaku. Mereka marah sekali. Sebab mereka pun tidak bisa tidur gara-
gara teleponku berdering terus.
"Beritahu anak-anak itu supaya jangan menelepon lagi," Mom mewanti-wanti. "Kalau
tidak, Mom akan datang ke sekolah dan bicara langsung dengan mereka!"
"Ya - jangan dong Mom!" aku memohon. "Biar aku saja yang memberitahu mereka. Aku
akan memberitahu mereka begitu aku
sampai di sekolah. Mereka pasti takkan menelepon lagi. Aku janji!"
Nasibku bakal lebih parah lagi kalau Mom sampai muncul di
sekolah, masuk ke ruang kelas, lalu memarahi teman-teman sekelasku.
Sekarang saja aku sudah diejek terus dan dijuluki "Sicky
Ricky" - si sinting Ricky. Bayangkan, apa jadinya kalau ibuku datang ke sekolah
dan memarahi mereka semua.
Aduh, malunya bakal seabrek-abrek deh!
Sekadar membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
Tenagaku sudah hampir terkuras habis ketika aku menyusuri
koridor yang ramai menuju ke locker-ku. "Hei, akhirnya kau datang juga!" seru
Iris. Aku melihatnya menunggu di depan locker-ku. Ia mengenakan
baju kotak-kotak dan celana korduroi biru. Anting-anting plastiknya yang panjang
tampak bergoyang-goyang. Semula ia bersandar ke dinding. Kini ia menerobos kerumunan
cewek-cewek untuk meng-hampiriku. "Nih, Ricky. Coba lihat."
Ia menyerahkan Harding Herald - koran sekolah - yang baru
terbit kemarin. Aku segera meraihnya dan mengamati bagian bawah
halaman pertama. Ya. Itu yang kucari. Tulisan kecil di sepanjang marjin bawah.
Pesanku. Hanya saja pesan itu telah berubah sedikit.
Aku membacanya: "Panggilan untuk semua kadal. Panggilan untuk semua kadal.
Siapa merasa kadal sejati, hubungi Ricky setelah tengah malam."
Sesudah itu tercantum nomor teleponku.
Nomor telepon aku. Bukan nomor telepon Tasha. Jelas-jelas
tertera nama dan nomor teleponku. Aku mengerang tertahan dan
mengembalikan koran itu kepada Iris.
Ia menggelengkan kepala sambil berdecak-decak. "Tampangmu
kusut benar, sih. Kau tidak sempat tidur, ya?"
"Begitulah," aku bergumam.
Aku merebut koran sekolah dari tangannya, dan membaca
pesan itu sekali lagi. "Bagaimana ini bisa terjadi?" seruku.
Wajah Tasha yang cengar-cengir langsung terbayang di depan
mataku. "Tasha!" aku berteriak. Kemudian aku langsung lari, menerobos kerumunan anak-
anak, melompati sebuah ransel yang tergeletak di
lantai. Aku berlari menyusuri koridor panjang yang berbelok menuju
ruang-ruang kelas delapan. Dan menyerbu ke ruang kelas Tasha.
Tepat pada saat itu bel pertama berbunyi.
Aku memandang berkeliling, dan menemukan Tasha di bagian
depan kelas. Ia sedang memberikan buku catatan kepada salah satu
teman ceweknya. "Tasha...," aku memanggil sambil bergegas menghampirinya.
Koran sekolah di tanganku kulambai-lambaikan di depan wajahnya.
"Aku - aku - aku...," aku tergagap-gagap.
Ia menyibakkan rambutnya yang merah dan tertawa. "Aku
masih sempat melihat leluconmu, Ricky," katanya. "Kau banyak terima telepon
semalam?" "Lumayan," aku bergumam dengan geram.
Seluruh kelas langsung tertawa. Termasuk ibu guru.
******************************
Sepanjang pagi aku merasa semua orang memperhatikanku.
Menertawakanku. Mungkin itu cuma perasaanku saja. Mungkin juga itu memang
kenyataan. Aku terus memikirkan telepon-telepon yang kuterima semalam.
Aku tahu yang menelepon anak-anak dari sekolahku. Tapi kenapa
mereka mengatakan hal-hal yang begitu aneh"
Aku membaca perintahmu....
Aku siap menabur benih. Siap merebut kekuasaan....
Kapan pertemuan para kadal"
Pada waktu makan siang, aku membawa makananku ke pojok
belakang ruang makan. Aku benar-benar tidak berminat makan
bersama orang lain. Aku sudah capek mendengar lelucon tentang
diriku, atau melihat anak-anak lain menertawakanku.
Aku terpaksa melewati meja yang selalu ditempati keempat
musuhku. Oh-oh, kataku dalam hati. Wart dan David sedang saling
mencipratkan susu kotak. Brenda tertawa begitu keras sehingga susu cokelat yang
sedang ia minum keluar lagi lewat hidungnya.
Mereka melihatku. Wah, aku bakal d isiram susu. Sudah
terlambat untuk menghindar.
Di luar dugaanku, aku lewat di samping meja mereka tanpa
disiram atau ditimpuk sesuatu. Wart tidak melontarkan lelucon yang menyebalkan.
Dan David serta Jared tidak mencoba menjegal kakiku.
Ada apa ini" aku bertanya-tanya ketika bergegas ke pojok
ruangan. Aku yakin mereka sudah melihatku tadi.
Kenapa mereka tidak berseru "Sicky Ricky" dan menimpukku dengan susu kotak,
seperti biasanya" Mereka membiarkanku lewat
seakan-akan tidak mengenalku.
Aku menaruh baki di meja pojok. Tak pernah ada yang mau
duduk di situ, sebab meja tersebut bersebelahan dengan pemanas.
Aku memilih sandwich isi daging dan semangkuk sup tomat
untuk makan siang. Aku menyandarkan kursi ke tembok dan
mengunyah roti sambil memperhatikan anak-anak lain.
Aku menunggu. Menunggu seseorang menghampiriku dan
berkomentar bahwa sup tomatku kelihatan seperti darah yang
menggumpal. Atau mengolok-olokku tentang telepon-telepon yang
kuterima semalam. Aku menunggu anak-anak berseru "Sicky Ricky." Atau Wart atau salah satu konconya
mulai melemparkan makanan ke arahku.
Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
Tak ada yang memperhatikanku. Aku duduk bersandar dan
makan dengan tenang. Supnya kuhabiskan, rotinya kumakan setengah. Sebagai
makanan pencuci mulut aku telah mengambil semangkuk puding
cokelat. Tapi kerak di atasnya terlalu tebal untuk ditembus dengan sendok.
Aku membereskan sisa makananku, dan berdiri untuk
meninggalkan ruang makan.
Tiba-tiba keningku ditimpuk gumpalan kertas.


Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei...!" aku berseru dengan gusar. Tapi dalam hati aku bersyukur. Makan siang
Lambang Naga Panji Naga Sakti 11 Wiro Sableng 106 Rahasia Bayi Tergantung Perjalanan Menantang Maut 3
^