Berburu Monster 2
Goosebumps - Berburu Monster Bagian 2
lengan baju. Ruangan berikut yang kumasuki ternyata kecil. Ehm,
sebenarnya tidak kecil juga, tapi lebih kecil dari ruangan-ruangan lain yang
sudah kulihat. Di salah satu sisi ada piano tua.
Kalau saja tidak begitu pengap di sini, aku pasti balik ke
ruangan ini, aku berkata dalam hati. Aku akan kembali untuk melihat apakah piano
itu masih bisa dimainkan.
Tapi sekarang aku cuma ingin menemukan Clark di tempat
persembunyiannya. Lalu segera pergi.
Aku maju lagi. Melewati belokan. Dan memekik kaget - ketika aku mulai jatuh. Lantainya
mendadak lenyap. Tak ada lantai di bawah kakiku!
Cepat-cepat aku mengulurkan tangan dalam gelap. Tanganku
menggapai-gapai, mencari tempat berpegangan.
Aku berhasil meraih sesuatu yang keras - langkan tangga tua.
Aku terus berpegangan. Dan bergelantungan.
Aku mencengkeramnya erat-erat dengan kedua tangan, lalu
mengayunkan badanku ke atas. Kembali ke lantai lorong.
Jantungku berdegup-degup ketika aku menatap ke lubang
menganga tempat aku terjatuh tadi. Lubang gelap yang dulu pernah
ada tangganya. Tapi tangga itu sudah hancur termakan usia.
Aku menghela napas. "Awas, Clark, kau akan merasakan
pembalasanku!" seruku keras-keras. "Aku kan sudah bilang aku tidak mau ikut
main." Aku bergegas menyusuri lorong sambil mencari saudara tiriku
itu. Aku ingin mengakhiri permainan konyol ini secepat mungkin.
Dan kemudian aku berhenti.
Tanpa berkedip aku menatap pintu di ujung lorong. Pintu
dengan kunci besar mengilap. Perlahan-lahan aku menghampirinya.
Anak kunci berwarna perak dibiarkan menancap.
Apa yang ada di dalam situ" aku bertanya-tanya. Kenapa pintu
ini digembok" Aku maju lagi. Kenapa Kakek dan Nenek melarang kami masuk ke ruangan
itu" Mereka bilang ruangan itu cuma gudang.
Hampir setiap ruangan di rumah aneh ini bisa dibilang gudang,
pikirku. Jadi kenapa pintu yang satu ini tidak boleh dibuka"
Aku berdiri di depan pintu.
Kuulurkan tanganku. Dan kuraih anak kunci berwarna perak itu.
Chapter 15 JANGAN. Segera kutarik tanganku. Aku harus mencari Clark, kataku dalam hati. Aku sudah bosan
dengan permainan konyol ini. Aku sudah capek mondar-mandir di
sini. Tiba-tiba aku mendapat ide gemilang.
Aku sembunyi saja! Biar Clark yang mencari aku. Aku akan
bersembunyi sampai Clark bosan menunggu. Dan setelah itu dia yang
akan mencari aku! Ide bagus! pikirku. Hmm... di mana aku bisa
bersembunyi" Aku memeriksa semua ruangan di lantai tiga untuk mencari
tempat persembunyian yang baik. Tapi semua ruangan di sini ternyata kosong. Tak
ada tempat untuk bersembunyi.
Aku kembali ke ruangan kecil yang berisi piano. Barangkali aku
bisa menyelinap ke balik piano, pikirku.
Aku berusaha mendorongnya menjauhi dinding. Sedikit saja,
asal cukup untuk menyelinap. Tapi piano itu terlalu berat, dan tidak bergeser
sedikit pun. Aku kembali ke pintu berkunci besar - satu-satunya ruangan
yang terkunci. Lalu aku berbalik dan mengamati lorong remang-remang.
Betulkah semua ruangan sudah kuperiksa" Jangan-jangan ada yang
terlewat. Dan ketika itulah aku melihatnya.
Sebuah pintu kecil. Pintu di dinding.
Pintu yang sebelumnya luput dari perhatianku. Pintu ke
cerobong kerekan. Aku pernah melihat kerekan seperti itu dalam film. Di rumah
tua yang besar seperti rumah ini. Kerekan itu berfungsi untuk
membawa makanan dan piring dari satu lantai ke lantai lain. Praktis sekali.
Hei, ada kerekan makanan! pikirku. Tempat yang cocok untuk
sembunyi! Aku berbalik dan menghampirinya - tapi tiba-tiba
terdengar bunyi praaang. Seperti bunyi piring jatuh ke lantai.
Bunyi itu berasal dari balik pintu yang terkunci rapat.
Aku menempelkan telinga ke daun pintu. Dan mendengar bunyi
langkah. Oh, rupanya Clark bersembunyi di situ! aku menyadari. Dasar
curang! Dia tahu persis aku takkan mencarinya di situ!
Dia bersembunyi di ruangan yang tidak boleh kami masuki.
Hah, Clark, pikirku. Kali ini kau sedang apes!
Aku memegang anak kunci yang menancap di pintu dan segera
memutarnya. Klik. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu.
Dan berhadapan dengan monster yang mengerikan.
Chapter 16 AKU nyaris terjerembap. Aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa mundur. Tidak sanggup
mengalihkan mata. Aku berhadapan dengan monster sungguhan yang hidup dan
bernapas seperti aku. Tingginya paling tidak tiga meter.
Ia berdiri di kamar yang terkunci.
Aku menatap tubuhnya yang besar dan berbulu lebat. Tubuhnya
bagaikan gorila - dengan dedaunan, akar-akar pohon, dan butir-butir
pasir yang tersangkut di bulu-bulunya. Kepalanya bersisik, dan
moncongnya bagaikan moncong buaya - panjang dan penuh gigi
runcing. Bau busuk segera menyebar. Baunya menyengat sekali. Bau
rawa. Makhluk itu menoleh ke arahku, dan aku melihat matanya
menonjol di sisi kepalanya yang besar.
Dia menatapku sepintas lalu saja. Kemudian perhatiannya
kembali ke tangannya yang berbulu - yang sedang memegang
setumpuk panekuk. Monster itu mulai melahap panekuk. Bukan satu per satu, tapi
setumpuk demi setumpuk. Sepertinya dia lapar sekali.
Aku memperhatikannya sambil tetap menggenggam gagang
pintu. Tanpa berkedip aku menyaksikannya menelan setumpuk
panekuk lagi. Semuanya ditelan bulat-bulat! Monster itu menggeram-
geram puas. Mata buayanya yang mengerikan tampak melotot. Urat nadi di
lehernya berdenyut-denyut.
Monster itu terus melahap panekuk - setumpuk demi setumpuk.
Tangannya yang satu lagi menggaruk-garuk kakinya yang berbulu
lebat. Ia menggaruk dan menggaruk. Sampai berhasil menemukan
kumbang hitam yang menyusup di antara bulu-bulunya.
Kumbang itu diambil dan diamatinya dengan matanya yang
besar. Kaki serangga itu bergerak-gerak.
Si monster mengamatinya. Mengamati kakinya yang berayun-
ayun. Dan kemudian si monster memasukkan kumbang itu ke
mulutnya - dan langsung mulai mengunyah. Kres.
Cairan campuran antara b lueberry dan kumbang menetes dari
mulutnya. Lari! seruku dalam hati. Lari! Tapi saking ngerinya, aku tidak
sanggup bergerak. Makhluk itu kembali meraih tumpukan panekuk.
Aku memaksakan diri untuk mundur selangkah - keluar ke
lorong. Si monster langsung menoleh.
Ia melotot ke arahku. Lalu menggeram.
Tumpukan panekuk di tangannya dibiarkan jatuh ke lantai. Dia
menghampiriku. Aku langsung ambil langkah seribu sambil menjerit-jerit minta
tolong. "Gretchen! Gretchen! Ada apa?" Clark muncul di ujung lorong.
"Ada monster! Di kamar yang terkunci! Cepat!" pekikku.
"Cepat! Panggil bantuan!"
Aku bergegas menuruni tangga. "Kakek! Kakek!" seruku. "Ada monster!"
Aku menoleh untuk melihat apakah monster itu mengejarku -
dan menyadari bahwa Clark belum beranjak.
"Ada monster di sana!" teriakku. "Awas, Clark! Pergi dari situ!"
Ia malah tertawa. "Memangnya aku bodoh" Kau pasti cuma
mau menipuku." Clark menuju pintu ruangan yang ada monsternya. Ia nyengir
lebar. "Jangan! Jangan ke situ!" bujukku. "Aku tidak bohong!"
"Kau cuma mau menakut-nakutiku. Untuk balas dendam."
"Aku tidak bercanda, Clark! Jangan ke situ!" jeritku.
"JANGAN!" Clark sampai di pintu. "Awas, aku datang, monster rawa!"
serunya sambil melangkah masuk. "Ayo, hadapi aku kalau kau
memang berani!" Chapter 17 SEDETIK kemudian aku mendengar Clark menjerit ketakutan.
Tapi jeritannya nyaris hilang tertelan raungan makhluk itu.
Charley berlari menaiki tangga sambil menggonggong sejadi-
jadinya. "Lari! Lari!" Clark menghambur keluar sambil melambai-
lambaikan tangan. "Ada monster! Monster rawa!"
Kami berlari menuruni tangga. Charley kami seret-seret, tapi
dia melawan terus. Dia malah mau berbalik dan naik lagi.
"Charley, ayo!" kataku. "Ayo!"
Tapi Charley justru duduk dan melolong-lolong. Dia tidak mau
menurut. Terdengar raungan menggelegar.
Ya ampun! Dia datang! Dia mengejar kami!
"AYO, CHARLEY!" aku memohon sambil menarik pengikat
lehernya. "AYO DONG!"
Clark berdiri di tangga. Saking ngerinya ia tidak bisa bergerak.
"Bantu aku, Clark!" ujarku. "Jangan bengong saja. Bantu aku!"
Si monster rawa menyusuri lorong. Seluruh tangga bergetar
karena langkahnya yang berat.
"Monster itu mau menangkap kita," bisik Clark. Ia belum juga beranjak dari
tempatnya berdiri. Aku meraih T-shirt Clark dan menariknya keras-keras. "Bantu
aku, Clark!" teriakku. "Dorong Charley!"
Kami harus berjuang keras untuk menuruni tangga. Aku
menarik-narik Charley, sementara Clark mendorong-dorongnya dari
belakang. "Nenek! Nenek!" panggilku.
Tak ada jawaban. Raungan si monster semakin keras. Semakin dekat.
"Kunci Charley di kamar mandi!" aku menyuruh Clark ketika kami sampai di lantai
dua. "Dia akan aman di situ. Aku mau mencari Kakek dan Nenek."
Aku berlari ke dapur. "Nenek! Kakek!" teriakku. "Ada monster!"
Tak ada siapa-siapa di dapur.
Aku berlari ke ruang duduk. "Di mana Kakek dan Nenek"
Tolong!" Mereka tidak ada di ruang duduk.
Aku bergegas ke perpustakaan. Kosong.
Aku kembali menaiki tangga. Kuperiksa kamar mereka dan
semua ruangan lain di lantai dua. Tapi aku tidak berhasil menemukan mereka.
Di mana mereka" Di mana mereka" aku bertanya-tanya.
Clark keluar dari kamar mandi. Langkah si monster terdengar
berdebam-debam di atas. "Mana Kakek dan Nenek?" ia tergagap-gagap.
"A-aku tidak tahu. Aku sudah mencari ke mana-mana."
"Kau sudah periksa di luar?" Suaranya melengking tinggi.
Benar juga! pikirku. Jangan panik, Gretchen. Mereka pasti di
luar. Kemungkinan besar di pekarangan belakang. Aku yakin Kakek
sedang bertukang di luar.
Terburu-buru kami menuruni tangga, 1alu berlari ke dapur.
Kami berhenti di pintu belakang. Memandang ke arah rawa. Ke
arah pondok. Tak ada siapa-siapa di luar.
"Di mana...?" Clark mulai berkata.
"Coba dengar, tuh!" selaku. "Kaudengar itu." Bunyi mobil.
Bunyi mesin sedang dinyalakan. "Mobil Kakek dan Nenek! Mobil
mereka selesai diperbaiki!" seruku.
Kami mengikuti bunyi mesin mobil. Bunyi itu berasal dari
depan rumah. Kami berlari ke pintu depan dan memandang ke luar.
Itu mereka! "Hah?" pekikku kaget.
Mobil Kakek dan Nenek sedang mundur dari pekarangan.
Mereka mau pergi! ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Jangan... tunggu.! Tunggu!" teriakku sambil memutar gagang pintu.
"Mereka tidak mendengarmu!" seru Clark. "Buka pintunya!
Buka!" Aku menarik-narik pintu. Aku menarik dengan sekuat tenaga.
Sekali lagi aku memutar gagang pintu.
"Cepat!" jerit Clark. "Mereka mau meninggalkan kita di sini!"
Aku menarik dan menarik. Memutar-mutar gagang pintu.
Kemudian aku sadar. "Mereka mengunci pintu dari luar!" kataku kepada Clark. "Kita terkunci di sini!"
Chapter 18 "KENAPA kita ditinggal?" ratapku. "Kenapa kita ditinggal di sini" Kenapa kita
dikurung?" Langit-langit di atas kami bergetar. Bergetar keras. Cukup keras
untuk membuat foto-foto di dinding ruang duduk berjatuhan ke lantai.
"Apa itu?" tanya Clark sambil mengerutkan kening.
"Si monster! Dia mengejar kita!" sahutku dengan suara parau.
"Kita harus keluar dari sini! Kita harus mencari bantuan!"
Clark dan aku kembali ke dapur. Ke pintu belakang.
Aku memutar-mutar gagang pintu. Dan menarik dengan sekuat
tenaga. Tapi ternyata pintu ini juga tidak bergerak sedikit pun, karena dikunci
dari luar. Kami berlari kian kemari.
Memeriksa semua pintu samping.
Tapi semuanya terkunci. Semua pintu - terkunci rapat dari luar.
Langkah si monster berdebam-debam di atas. Tega-teganya
Kakek dan Nenek berbuat begini. Tega-teganya mereka. Tega-teganya
mereka. Kalimat itu terus terulang dalam benakku ketika aku berlari ke
perpustakaan. Menghampiri jendela.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu-satunya jendela di seluruh lantai dasar. Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan diri. Aku berjuang keras untuk membuka
jendela. Tapi jendela itu tidak bergerak sedikit pun. Aku mengepalkan tangan dan
menggedor-gedor rangka kayunya.
"Lihat tuh!" kata Clark dengan suara seperti tercekik. Ia menunjuk kaca jendela
yang berdebu. "Lihat itu!"
Dua paku berkarat. Dua paku yang menyembul dari rangka
jendela. Jendelanya dipaku - dari luar! Clark dan aku benar-benar
terkurung. Tega-teganya mereka berbuat begini, ratapku dalam hati. Tega-
teganya. "Kacanya harus kita pecahkan!" Aku berpaling kepada Clark.
"Itu satu-satunya cara untuk keluar dari sini!"
"Oke!" seru Clark. Ia mencondongkan badan dan mulai
memukul-mukul kaca jendela dengan tangan terkepal.
"Kau sudah gila?" bentakku. "Cari sesuatu yang lebih kuat buat..."
Tapi sisa kalimatku terpotong - terpotong bunyi gaduh dari
atas. Bunyi itu disusul denting dawai piano yang memekakkan telinga.
"S-sedang apa dia?" Clark tergagap-gagap.
"Di atas ada piano tua. Sepertinya si monster melemparnya ke
dinding!" Lantai, dinding-dinding, langit-langit ruang perpustakaan -
semuanya bergetar ketika si monster melempar-lempar piano.
Berulang-ulang. Vas porselen, piring kristal, dan sejumlah hiasan kaca di atas
meja kecil berjatuhan ke lantai dan pecah berantakan di depan kaki
kami. Aku memekik tertahan ketika buku-buku berhamburan dari rak
dan berserakan di lantai.
Clark dan aku saling merapat. Kami langsung tiarap. Menunggu
hujan buku itu berhenti. Menunggu sampai si monster berhenti mengamuk. Kami tiarap
di lantai sampai suasana kembali hening.
Satu buku lagi jatuh dari rak, dan menimpa meja kecil di
sampingku. "Berikan itu padaku!" kataku kepada Clark sambil menunjuk tempat lilin dari
kuningan di sebelah buku yang baru jatuh. "Awas, mundur."
Aku berpaling ke jendela. Aku mengambil ancang-ancang
untuk mengayunkan tempat lilin yang berat itu - tapi tiba-tiba aku
mendengar suara merintih-rintih.
Rintihan Charley. Dari atas.
"Oh, ya ampun!" pekikku tertahan. "Si monster - dia berhasil menangkap Charley!"
Chapter 19 AKU berlari ke tangga. Sebelah tanganku menggenggam
tempat lilin, satunya lagi menyeret Clark. Aku harus menyelamatkan
Charley! Harus! Tanpa pikir panjang aku berlari menaiki tangga. Aku berhenti
ketika sampai di lantai dua.
Jantungku berdegup kencang ketika aku mengintip ke lorong.
Si monster tidak kelihatan.
Aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Tak ada bunyi
apa pun selain bunyi napas Clark yang terengah-engah dan detak
jantungku sendiri. Aku maju dengan hati-hati sampai bisa melihat pintu kamar
mandi. Pintunya tertutup. Aku meraih gagang pintu. Tapi tanganku licin karena
telapaknya berkeringat. Pintu itu kubuka sedikit. Aku mengintip melalui celah pintu,
tapi tidak melihat apa-apa.
Napas Clark terasa di tengkukku ketika aku membuka pintu
lebih lebar. Sedikit demi sedikit. "Charley!" seruku lega.
Charley duduk di bak mandi untuk berendam. Ia meringkuk di
salah satu sudut. Ketakutan - tapi selamat.
Ia menatap kami dengan mata besarnya yang berwarna cokelat.
Ekornya bergoyang pelan. Kemudian ia mulai menggonggong.
"Ssst!" bisikku sambil membelai-belai kepalanya. "Jangan ribut, Charley. Nanti
si monster tahu kita di sini."
Charley malahan menggonggong lebih keras. Saking kerasnya,
kami nyaris tidak mendengar bunyi mobil yang baru berhenti di luar.
"Ssst!" kataku kepada Charley. Aku berpaling pada Clark.
"Kaudengar itu?"
Ia membelalakkan mata. "Pintu mobil!"
"Yes!" seruku. "Kakek dan Nenek kembali!" seru Clark. "Mereka pasti membawa bantuan!"
"Tunggu di sini!" aku memberi perintah kepada Charley ketika Clark dan aku
menyelinap keluar dari kamar mandi. "Anjing pintar.
Tunggu." Clark membanting pintu, dan kami langsung berlari menuruni
tangga. "Aku tahu mereka pasti kembali! Aku tahu mereka tidak
mungkin meninggalkan kita di sini!" Aku menghambur turun, setiap langkah
melewati dua anak tangga.
Lalu aku mendengar mesin mobil dinyalakan kembali.
Mendengar mobil itu menjauh.
Mendengar bunyi ban melindas batu-batu kerikil di pekarangan.
"Tungguuuu!" seruku ketika mencapai pintu depan. "Jangan pergi! Jangan pergi!"
Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal. Aku
menendang-nendangnya dengan keras. Dan kemudian aku melihat
secarik kertas berwarna pink di lantai. Kelihatannya kertas itu
diselipkan melalui celah di bawah pintu.
Pesan. Tanganku gemetaran ketika aku memungutnya. Aku
mulai membaca: Kami baru kembali minggu depan. Maaf, anak-anak. Tapi
rupanya urusan dinas ini makan waktu lebih lama dari yang kami
kira. Pesan telepon - dari Dad dan Mom.
Ternyata bukan Kakek dan Nenek yang datang, aku menyadari.
Mr. Donner, dari warung serbaada di kota, mampir ke sini untuk
mengantarkan pesan telepon ini.
Raungan si monster membuyarkan lamunanku. Aku langsung
berbalik. Clark telah lenyap. "Clark!" seruku. "Di mana kau?"
Suara si monster semakin nyaring. Dan semakin garang.
"Clark!" panggilku sekali lagi. "Clark!"
"Gretchen... cepat kemari!"aku mendengar teriakannya dari arah dapur.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 20 "GRETCHEN! Gretchen!"
Berulang kali aku mendengar Clark memanggil namaku ketika
aku berlari melintasi ruang duduk. Setiap kali nadanya bertambah
melengking dan ngeri. "Aku datang!" seruku. "Tunggu, Clark! Aku sudah datang."
Aku bergegas melewati sofa - dan tersandung kursi kecil
penyangga kaki. Kepalaku membentur lantai.
Clark masih terus memanggil-manggil, tapi sekarang suaranya
terdengar jauh. Begitu jauh.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku memaksakan d iri bangkit, tapi seluruh ruangan seolah-olah
berputar mengelilingiku. "Gret-chen! Gret-chen!"
"Tunggu sebentar!" ujarku sambil memejamkan mata.
Kemudian aku mendengar raungan si monster. Suara
menggelegar itu terdengar di semua sudut rumah.
Aku harus menolong Clark. Dia dalam kesulitan! Dia ditangkap
si monster! aku menyadari.
Terhuyung-huyung aku melewati ruang duduk. Menuju dapur.
Raungan si monster membuat dinding-dinding bergetar.
"Tahan, Clark!" aku hendak berseru, tapi suaraku tidak mau keluar dari mulut.
"Aku datang!" Aku masuk ke dapur. "Gretchen!" Clark berdiri di depan lemari es. Ia sendirian.
"Mana dia?" seruku. Aku memandang berkeliling, mencari-cari si monster.
"S-siapa?" Clark tergagap-gagap.
"Si monster!" sahutku.
"Di atas," balas Clark heran. "Kok lama betul sih kau kemari?"
Ia tidak menunggu jawabanku. "Coba lihat ini." Ia menunjuk lemari es. Aku
membalik dan melihat dua surat yang ditempelkan
dengan magnet. "Gara-gara ini kau teriak-teriak seperti orang gila?" pekikku.
"Aku kaget setengah mati tadi! Kupikir kau ditangkap si monster!"
Tangan Clark gemetaran ketika melepaskan kedua surat itu dari
pintu lemari es. "Dua surat untuk kita. Dari Kakek dan Nenek."
Aku menatap kedua amplop di tangan Clark. Keduanya
memang ditujukan pada kami. Dan diberi nomor, satu dan dua.
"Mereka meninggalkan surat untuk kita?" Aku benar-benar
heran. Clark membuka amplop pertama. Kertas suratnya bergetar di
tangannya ketika ia mulai membaca dalam hati.
Matanya beralih dari baris ke baris. Mulutnya komat-kamit, tapi
aku tidak mendengar apa yang dikatakannya.
"Coba sini!" Aku berusaha mengambil surat itu, tapi Clark segera merebutnya
kembali. Ia memegangnya erat-erat dan
meneruskan membaca. "Apa katanya, Clark?" tanyaku.
Ia tidak menghiraukanku. Ia membetulkan letak kacamatanya
yang merosot sedikit, lalu kembali membaca. Kembali bergumam tak
jelas. Aku memperhatikan Clark membaca.
Aku memperhatikan matanya menelusuri baris demi baris.
Dan aku memperhatikannya membelalakkan mata karena ngeri.
Chapter 21 "CLARK!" seruku tidak sabar. "Apa isinya?"
Clark mulai membacakan surat itu keras-keras. "'Gretchen dan
Clark yang tersayang," katanya. Kertas surat itu bergoyang-goyang di tangannya
yang gemetaran. "'Kami sangat menyesal karena berbuat begini terhadap kalian,
tapi kami terpaksa pergi. Beberapa minggu lalu, kami disatroni
monster rawa. Kami berhasil menyekapnya di salah satu kamar di
atas. Tapi setelah itu kami tidak tahu harus berbuat apa. Mobil kami sedang di
bengkel, jadi kami tidak bisa mencari telepon untuk minta bantuan.
"'Selama beberapa minggu terakhir kami hidup dalam
ketakutan. Kami takut melepaskan monster itu. Dia selalu ribut dan
marah. Kami yakin dia akan membunuh kami.'"
Lututku mulai bergetar ketika Clark melanjutkan membaca
surat itu. "'Kami sengaja tidak memberitahu orangtua kalian mengenai si
monster. Seandainya diberitahu, mereka takkan mengizinkan kalian
kemari. Kami jarang menerima tamu di sini. Dan kami begitu ingin
bertemu kalian. Tapi sepertinya kami telah membuat kesalahan.
Seharusnya kalian ikut ke Atlanta bersama orangtua kalian. Rasanya
kami telah membuat kesalahan dengan membiarkan kalian tinggal di
sini.'" "Rasanya mereka telah membuat kesalahan" Rasanya?" jeritku.
Clark menoleh ke arahku. Wajahnya pucat pasi. Bintik-bintik di
mukanya pun seakan-akan memudar. Ia menggeleng-gelengkan
kepala karena heran. Kemudian ia kembali membaca surat dari Kakek dan Nenek.
"'Selama ini makhluk itu kami beri makan melalui celah yang
digergaji Kakek di bagian bawah pintu. Monster itu rakus sekali. Tapi kami
terpaksa memberinya makan. Kami tidak berani membiarkannya
kelaparan. "'Kami tahu kami tidak seharusnya meninggalkan kalian. Tapi
kami hanya mau mencari bantuan. Kami akan kembali - begitu kami
berhasil menemukan orang yang bisa membantu. Seseorang yang tahu
cara menangani makhluk mengerikan itu.
"'Maaf, anak-anak. Kami sungguh menyesal - tapi kami
terpaksa mengurung kalian di dalam rumah. Kami takut kalian akan
pergi ke daerah rawa. Tempat itu tidak aman untuk kalian.'"
Astaga, apa-apaan ini"
"Tempat itu tidak aman!" seruku. "Kita ditinggal di sini bersama monster
pembunuh - dan mereka bilang tempat itu tidak
aman! Mereka sudah gila, Clark! Betul-betul gila!"
Clark mengangguk dan kembali membaca. "'Maaf, anak-anak.
Kami sungguh-sungguh menyesal. Tapi ada satu hal yang perlu kalian
ingat: Kalian tidak terancam bahaya, asal...'"
Monster di atas meraung keras. Saking kagetnya, surat yang
sedang dipegang Clark terlepas dari tangannya.
Dengan mata terbelalak aku memperhatikan kertas itu
melayang-layang. Jatuh ke lantai. Dan menyelinap ke bawah lemari es.
"Ambil suratnya, Clark!" seruku. "Cepat!"
Clark menelungkup di lantai dan menyelipkan jari ke bawah
lemari es. Tapi ujung jarinya hanya menyentuh pinggiran kertas,
sehingga surat itu malah terdorong semakin jauh ke belakang.
"Tunggu!" teriakku. "Kau malah mendorongnya ke belakang!"
Tapi Clark tidak mendengarkanku.
Ia memaksakan tangannya meraih lebih dalam lagi, dan
berusaha menarik lembaran kertas itu.
Akibatnya mudah ditebak. Surat itu justru semakin tak
terjangkau. Dan akhirnya sama sekali tidak kelihatan lagi.
"Tuh, apa kubilang!" kataku gusar. "Kau yang baca surat itu tadi! Kita tidak
terancam bahaya, asal... asal apa?"
"A-aku belum sampai bagian itu," Clark mengakui sambil
tergagap-gagap. Rasanya aku ingin mencekik dia.
Aku berbalik. Dan mencari sesuatu yang bisa diselipkan ke
bawah lemari es - untuk menarik surat itu.
Tapi tidak ada yang cukup pipih atau cukup panjang. Semua
yang kulihat terlalu besar.
Clark membuka lemari-lemari dan laci-laci untuk mencari
sesuatu yang bisa kami pakai.
Si monster berdebam-debam di lantai dua.
Seluruh langit-langit bergetar.
Sebuah piring jatuh dari meja dan langsung pecah menjadi
seribu serpihan. "Aduh, gawat," gumamku sambil menatap langit-langit. Catnya sudah mulai retak-
retak. "Dia sudah turun ke lantai dua. Dia semakin dekat."
"Kita bakal celaka," ujar Clark. "Dia akan menangkap kita dan..."
"Clark, lemari esnya harus kita pindahkan. Kita harus tahu
bagaimana bunyi bagian surat yang belum kita baca!"
Clark dan aku menarik-narik lemari es. Kami mendorong dan
menarik dengan sekuat tenaga.
Sementara itu, si monster meraung-raung di atas. Kami menarik
lebih keras lagi.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lemari es mulai bergeser.
Clark berlutut dan mengintip ke bawahnya. "Dorong!" katanya.
"Dorong! Pinggirannya sudah kelihatan! Ayo... dorong sedikit lagi!"
Sekali lagi aku mengerahkan seluruh tenaga - dan kemudian
Clark berhasil meraih surat itu! Ia menjepit salah satu sudut dengan jempol dan
telunjuk. Dan menariknya keluar.
Dikibas-kibaskannya kertas itu untuk menyingkirkan debu yang
menempel. "Baca saja!" bentakku. "Baca saja!"
Clark mulai membaca lagi, "'Kalian tidak terancam bahaya,
asal...'" Chapter 22 AKU menahan napas sambil menunggu Clark menyelesaikan
kalimat itu. Menunggu untuk mengetahui bagaimana caranya agar
kami tetap aman. "'Kalian tidak terancam bahaya," kata Clark, "'asal kalian tidak membuka pintu
dan membiarkan si monster keluar.'"
"Hah" Cuma itu?" Aku terbengong-bengong. "Sekarang sudah terlambat! Sudah
terlambat! Tidak ada pesan lain" Masa cuma itu?"
"Ada sedikit lagi." Clark kembali membaca. "'Tolong ingat baik-baik: jangan
dekati kamar itu. Dan jangan buka pintunya.'"
"Sekarang sudah terlambat!" ratapku. "Sudah terlambat!"
"'Kalau monster itu sampai lolos, kalian tidak punya pilihan.
Kalian harus mencari cara untuk membunuhnya.'" Clark menoleh ke arahku. "Cuma
itu, Gretchen. Tidak ada pesan lain. Kalian harus mencari cara untuk
membunuhnya." "Cepat!" kataku kepada Clark. "Buka surat yang satu lagi.
Barangkali ada petunjuk lain!"
Clark mulai membuka amplop kedua ketika kami mendengar
bunyi langkah. Bunyi langkah berdebam-debam di bawah.
Di ruang sebelah - ruang duduk.
"Cepat, Clark! Buka!"
Terburu-buru Clark mencoba membuka amplop kedua. Tapi ia
langsung berhenti ketika kami mendengar dengus napas si monster
rawa. Bunyi napasnya semakin dekat.
Jantungku berdegup kencang ketika bunyi itu bertambah keras.
"D-dia menuju ke sini!" jerit Clark sambil menyelipkan surat yang belum dibuka
ke dalam sakunya. "Ke ruang makan!" teriakku. "Kita harus ke ruang makan!"
"Apa yang harus kita lakukan" Bagaimana kita bisa
membunuhnya?" seru Clark ketika kami menghambur keluar dari
dapur. "Kita... aduuuh!" Rasa nyeri menjalar ke seluruh kakiku ketika aku menabrak meja
makan. Aku memegang lutut. Berusaha menekuknya. Tapi sakitnya tak
tertahankan. Aku membalik. Dan itu dia. Si monster rawa. Dia sudah ada di dapur - dan menuju ruang makan sambil
menatap kami dengan garang.
Chapter 23 MONSTER itu memelototiku dengan matanya yang terbelalak
lebar. Aku melihat urat nadi di kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menggeram
panjang. Aku tidak sanggup mengalihkan mata dari urat nadi yang
berdenyut-denyut itu. "Lari, Gretchen!" Clark menarikku dari belakang. Ia
menyeretku keluar dari ruang makan. Terburu-buru kami lari ke
tangga. "Kita harus cari tempat sembunyi." Napas Clark terengah-engah ketika kami naik
ke lantai dua. "Kita harus sembunyi sampai Kakek dan Nenek kembali dengan
bantuan." "Mereka takkan kembali!" seruku. "Mereka takkan kembali ke sini!"
"Mereka bilang begitu," Clark berkeras. "Mereka bilang begitu di surat tadi."
"Clark, kau memang bodoh sekali." Kami sampai di puncak
tangga. Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Siapa yang bakal percaya
pada mereka?" tanyaku sambil megap-megap. "Siapa yang mau percaya mereka
menyekap monster rawa di rumah
mereka?" Clark diam saja. Aku sendiri yang menjawab pertanyaanku. "Takkan ada!
Takkan ada yang percaya. Semua orang yang mendengar cerita itu
pasti menyangka mereka sudah gila."
"Pasti ada yang percaya," sahut Clark dengan parau. "Pasti ada yang mau
menolong." "Mana mungkin"! 'Kami perlu bantuan untuk membunuh
monster rawa,' itu yang akan mereka katakan. Kujamin pasti banyak
yang menawarkan diri!" Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku berhenti membentak-bentak Clark ketika bunyi napas si
monster terdengar lagi. Aku segera berbalik - dan melihat makhluk
itu. Ia berdiri di kaki tangga. Dan menatap kami dengan tajam. Air
liurnya menetes-netes. Perlahan-lahan Clark dan aku melangkah
mundur. Pandangan si monster terus mengikuti kami. "Kita harus membunuhnya,"
bisik Clark. "Itu yang dikatakan Kakek dan Nenek dalam surat mereka. Kita harus
membunuhnya. Tapi bagaimana?"
"Aku punya ide," ujarku kepada Clark. "Ayo, ikut aku!"
Kami berbalik dan segera lari. Ketika melewati kamar mandi,
kami mendengar Charley merintih-rintih.
"Charley harus kita bawa!" Clark langsung berhenti. "Terlalu bahaya dia
dibiarkan terkurung di sini. Dia harus dibawa."
"Tidak bisa, Clark," sahutku. "Dia cukup aman di sini. Kau tak perlu kuatir."
Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin. Tapi aku tahu kami
tidak punya waktu untuk mengambil Charley - sebab si monster telah
menyusul kami ke lantai dua.
Ia berdiri di ujung lorong.
Dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ternyata ia
memegang kursi penyangga kaki yang sempat membuatku tersandung
di ruang duduk tadi. Matanya tampak menyala-nyala.
Ia memelototiku, lalu menggeram keras-keras. Air liurnya
kembali menetes-netes. Lidahnya menjulur keluar untuk menjilat ludahnya sendiri. Aku
merinding ketika melihat lidahnya yang bercabang dua, bagaikan
lidah ular. Kemudian ia menghantamkan kursi di tangannya ke kakinya.
Kursi itu langsung terbelah.
Dengan gusar si monster melemparkan bagian-bagiannya ke
arah kami. "Ayo!" teriak Clark ketika potongan-potongan kayu itu
membentur dinding. Kami berlari menaiki tangga. Menuju lantai tiga. Si monster
mengejar kami. Setiap kali ia melangkah, seluruh rumah terasa
bergetar. "Dia datang!" teriak Clark. "Apa yang harus kita lakukan" Tadi kau bilang kau
punya ide. Ide apa?"
"Di atas ada tangga ambruk," aku memberitahu Clark sambil berlari sekencang
mungkin di lorong yang gelap dan berkelok-kelok.
"Tangga itu ambruk seluruhnya. Yang tersisa cuma lubang besar.
Setelah membelok di ujung, kau harus langsung berpegangan pada
langkan tangga. Si monster akan mengejar kita - dan dia akan jatuh ke lubang itu."
Raungan s i monster membuat telingaku berdengung-dengung.
Aku melihatnya bergegas menyusuri lorong, mengikuti kami.
"Ayo, Clark! Cepat!"
"Tapi bagaimana kalau ini tidak berhasil?" tanya Clark dengan nada melengking
karena ngeri. "Bagaimana kalau dia cuma cedera"
Bisa-bisa dia malah bertambah ganas!"
"Jangan banyak tanya, Clark," balasku kesal. "Ini pasti berhasil!
Pasti!" Kami mulai berlari lagi. Si monster melolong-lolong. Melolong karena marah.
"Itu belokannya, Clark. Di depan."
Monster itu meraung-raung. Ia hanya beberapa langkah di
belakang kami. Jantungku berdegup kencang. Dadaku serasa mau meledak.
"Pegang pagarnya, Clark. Kalau tidak, kau bakal jatuh. Ayo!"
Kami berbelok. Kami mengangkat tangan. Dan berpegangan pada langkan
tangga. Tubuh kami membentur dinding - lalu menggantung di atas
lubang hitam yang menganga.
Si monster ikut berbelok.
Apakah rencanaku akan berhasil" Apakah dia bakal jatuh dan
mati" Apakah memang begini cara membunuh monster"
Chapter 24 MAKHLUK itu berbelok tanpa memperlambat langkahnya.
Ia berusaha berhenti di tepi lubang.
Wajahnya menoleh ke arah kami. Matanya merah manyala.
Ia membuka mulut dan menggeram. Tangannya menggapai-
gapai untuk menjaga keseimbangan. Tapi tidak berhasil. Ia jatuh ke
lubang yang gelap gulita.
Aku mendengarnya terempas di bawah. Bunyinya keras sekali.
Clark dan aku bergelantungan di langkan tangga yang sudah
lapuk. Langkan itu berderak-derak karena menahan berat badan kami.
Tanganku mulai pegal. Jemariku mulai kaku. Aku sadar aku
takkan sanggup berpegangan lama-lama. Kami pasang telinga.
Hening. Makhluk itu tidak bergerak.
Aku menoleh ke bawah, tapi keadaan terlalu gelap untuk
melihat apa pun. "Jariku sudah licin," erang Clark. Kemudian ia mengayunkan kaki dan berusaha
menjangkau lantai lorong dengan sepatunya.
Dengan susah payah ia berhasil mencapai lorong yang aman.
Aku menyusulnya. Kami kembali memandang ke lubang yang menganga. Tapi
dasarnya diselubungi kegelapan yang pekat, sehingga kami tidak bisa melihat apa-
apa. Kami pasang telinga. Tak ada suara sama sekali.
"Kita berhasil! Kita selamat!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Clark dan aku melompat-lompat kegirangan. "Kita berhasil!
Kita berhasil!" Kami berlari ke bawah, dan mengeluarkan Charley dari kamar
mandi. "Semuanya sudah beres, Charley." Aku langsung merangkul
anjingku. "Kita berhasil," kataku padanya. "Kita berhasil membunuh monster rawa
itu." "Ayo, kita pergi dari sini," desak Clark. "Kita bisa jalan kaki ke kota. Lalu
telepon Dad dan Mom dari warung serbaada. Supaya
mereka datang dan menjemput kita - sekarang juga!"
Saking senangnya, kami seperti menari-nari waktu menuruni
tangga. Kami bertiga menuju perpustakaan. "Awas," kataku kepada Clark. "Tolong
pegang Charley. Aku akan memecahkan jendela
supaya kita bisa keluar."
Aku memandang berkeliling, mencari-cari tempat lilin dari
kuningan untuk memecahkan kaca. Tapi ternyata tidak ada.
"Tunggu di sini," ujarku. "Tempat lilinnya ketinggalan di kamar mandi. Aku akan
segera kembali." Serta-merta aku berlari keluar dari perpustakaan.
Aku sudah tidak sabar untuk meninggalkan tempat seram ini.
Aku sudah tidak sabar untuk pergi dari rawa-rawa yang mengerikan.
Dan memberitahu Dad dan Mom betapa bodohnya mereka, karena
menyuruh kami tinggal di rumah berisi monster.
Aku berlari melintasi ruang duduk - menuju tangga.
Aku melompati tiga anak tangga - lalu berhenti. Aku berhenti
karena mendengar erangan.
Tidak mungkin, pikirku. Ini pasti suara Charley. Barangkali
Charley sedang menggeram.
Aku pasang telinga. Dan kembali mendengarnya.
Bukan geraman anjing. Jelas-jelas bukan geraman anjing.
Kemudian terdengar langkah, langkah yang berdebam-debam,
langkah si monster rawa. Bunyi itu semakin dekat. Semakin dekat. Chapter 25 "CLARK!" Aku langsung kembali ke perpustakaan. Kakiku
gemetaran. Seluruh tubuhku gemetaran. "Dia belum mati!" seruku. "Si monster
belum mati!" Tapi perpustakaan sudah kosong.
"Clark" Di mana kau?" panggilku.
"Di dapur," sahutnya. "Aku sedang memberi makan Charley."
Aku berlari ke dapur. Clark dan Charley duduk di lantai.
Charley sedang minum air dari mangkuk.
"Dia belum mati! Si monster belum mati!" jeritku.
Clark membelalakkan mata. "Dia pasti semakin kesal sekarang.
Dia pasti marah besar. Apa yang harus kita lakukan?"
Aku memandang berkeliling. "Masukkan Charley ke situ," aku menyuruh Clark. "Ke
lemari itu. Aku punya ide."
"Moga-moga yang ini lebih baik dari yang pertama," gumam
Clark. "Memangnya kau punya ide yang lebih bagus?" bentakku.
"Heh?" Clark diam saja. Ia menyeret Charley melintasi dapur. "Gretchen, ini bukan
lemari. Ini semacam ruangan."
"Sama saja," sahutku. "Masukkan saja dia ke situ!"
Di meja layan ada pie talas buatan Nenek. "Si monster belum
makan dari tadi pagi," kataku kepada Clark. "Pie ini harus kita taruh di tempat
yang bakal terlihat dia."
"Tapi apa artinya pie ini bagi si monster?" sahut Clark sambil mengurung
Charley. "Sekali telan juga sudah habis. Dan setelah itu kita bakal dikejar-
kejar lagi." "Tak mungkin," aku berkeras. "Soalnya pie ini akan kita beri racun."
"Nanti dulu, Gretchen," kata Clark. "Aku rasa ini takkan berhasil."
Charley merintih-rintih di balik pintu - seakan-akan sependapat
dengan Clark. "Kita tak punya pilihan," balasku ketus. "Kita harus berbuat sesuatu!"
Aku menemukan garpu, lalu mencungkil bagian atas pie yang
keras. Kemudian aku memeriksa lemari di bawah tempat cuci piring.
Lemari itu lembap dan kotor sekali. Pipa airnya ditumbuhi semacam
jamur berwarna hijau. Aku menemukan sekaleng terpentin di rak paling depan.
Tutupnya terpasang rapat-rapat. Aku harus memutarnya keras-keras
untuk membukanya. Perlahan-lahan kutuangkan seluruh isi kaleng ke pie talas.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Idih! Baunya minta ampun," ujar Clark sambil menutup
hidungnya. Aku mengamati pie Nenek. Pie itu jadi becek dan agak cair,
seperti lumpur. "Kelihatannya kita butuh sesuatu untuk mengeringkan terpentin
ini," aku berkomentar. "Kurasa ini bisa dipakai." Aku meraih sebotol serbuk
pembersih untuk pipa air yang tersumbat.
Serbuk biru itu kutaburkan ke atas pie. Serbuk itu langsung
mendesis-desis begitu mengenai terpentin tadi.
Clark melompat mundur. "Mestinya sudah cukup,"
komentarnya. Aku tidak menggubrisnya. Aku memasukkan kepala ke bawah tempat cuci piring dan
menemukan dua stoples. "Racun tikus!" seruku sambil membaca label yang menempel
pada salah satu stoples. "Bagus." Yang satu lagi berisi amonia.
"Cepat!" desak Clark. "Suaranya sudah terdengar. Dia menuju kemari."
Aku menaburkan racun tikus dan menuangkan amonia ke atas
pie talas buatan Nenek. Suara si monster semakin dekat. Aku tersentak kaget setiap kali
ia meraung atau menggeram.
Aku menemukan kaleng berisi cat jingga, dan menuangkan
isinya sekalian. "Cukup! Sudah cukup!" seru Clark panik.
"Oke. Oke. Aku cuma mau memastikan rencanaku berhasil."
Aku memasukkan segenggam bola kamper. "Cepat!" Clark
mendesak. "Sudahlah. Dia datang!" Bunyi langkah si monster berdebam-debam di
ruang duduk. "Cepat dong!" Clark memohon.
Bagian atas pie talas kusemprot dengan obat nyamuk.
"Gretchen!" Clark mengiba.
Aku menaruh pie talas itu di atas meja.
Aku teringat ucapan Nenek. Saking manisnya, gigi kalian bisa
tanggal setelah gigitan pertama!
Pie ini harus lebih mujarab lagi sekarang! kataku dalam hati.
Pie ini harus bisa membunuh monster! "Awas, dia datang!" jerit Clark.
Kami bersembunyi di bawah meja makan.
Si monster memasuki dapur. Aku mengintip dari bawah meja,
dan melihatnya mengayun-ayunkan tangan. Ia menyambar piring,
panci, gelas. Pokoknya segala sesuatu yang terjangkau.
Kemudian jantungku serasa mau copot ketika makhluk raksasa
itu berbalik. Ia tampak ragu-ragu. Kemudian ia maju selangkah ke arah meja
dapur. Lalu selangkah lagi. Dan selangkah lagi.
Clark dan aku meringkuk di bawah meja. Kami berdua
gemetaran begitu hebat, sehingga meja ikut bergoyang.
Dia bisa melihat kami di bawah sini! aku menyadari.
Kami terperangkap. Apa yang akan dilakukannya"
Chapter 26 CLARK dan aku berpegangan tangan. Si monster rawa
menghampiri meja. Ia begitu dekat, sehingga bau apak yang tersebar
dari bulu-bulu lebatnya tercium jelas.
Clark merintih perlahan. Aku cepat-cepat membekap mulutnya. Aku sendiri
memejamkan mata. Pergilah, aku berdoa. Pergilah, monster, jangan lihat kami.
Makhluk itu terdengar mengendus-endus. Seperti anjing yang
sedang mencium-cium sepotong tulang.
Ketika aku membuka mata, ia sudah menjauhi meja.
"Uih!" Aku mengembuskan napas dengan lega. Si monster
mondar-mandir di dapur. Sambil mengendus-endus. Ia mengendus-endus lemari es.
Lalu ia menghampiri oven dan mengendus-endus lagi. Ia
kembali mondar-mandir. Masih sambil mengendus-endus.
Dia mencium kami. Dia mencium Clark dan aku, pikirku Moga-
moga dia melihat pie itu. Moga-moga dia melihatnya.
Si monster kembali ke oven.
Ia mengendus-endus. Lalu ia membungkuk dan mengintip ke dalam oven. Dengan
satu sentakan ia menarik pintu oven sampai terlepas dari engsel, dan
melemparkannya ke seberang ruangan.
Pintu itu menghantam dinding. Clark tersentak kaget, dan
kepalanya membentur meja. Ia mengerang tertahan.
Aku juga mengerang. "Lihat tuh," bisikku padanya.
Si monster sedang makan - tapi yang dimakannya bukan pie
kami. Rupanya masih ada dua pie di dalam oven. Dan pie-pie itulah
yang dilahapnya. Aduh, dia bakal kenyang setelah makan pie-pie itu, kataku
dalam hati. Kalau begitu, pie kami takkan disentuhnya! Tamatlah
riwayat kami. Si monster makan dengan rakus. Kedua pie itu ditelannya nyaris
tanpa dikunyah. Kemudian ia berjalan ke tengah ruangan.
Ia mengendus-endus. Yes! Dia masih lapar! pikirku. Ayo, makan pie kami. Makan
pie kami, ujarku dalam hati.
Aku mengintip dari bawah meja - dan melihat makhluk itu
menghampiri pie kami. Yes!
Ia berhenti. Dan mengendus-endus. Mengendus-endus pie kami.
Ia menatapnya sejenak. Kemudian mengangkatnya dan
memasukkannya ke mulut. Yes! sorakku tanpa bersuara. Pie itu dimakan! Pie kami
dimakan! Ia mengunyah-ngunyah dengan lahap. Mengunyah dan
menggigit sepotong lagi. Mengunyah dan menggigit. Mengunyah dan
menggigit. Sambil makan, ia menjilat-jilat bibir.
Menjilat-jilat cakar. Mengusap-usap perut. "Aduh!" erangku. "Kelihatannya dia malah suka."
Chapter 27 AKU memperhatikan bagaimana monster itu melahap pie itu
sampai ludes. Kemudian ia menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, dan
menjilat-jilat remah-remah yang masih tersisa di piring.
"Tidak berhasil," bisikku kepada Clark. "Dia malah suka."
"Sekarang bagaimana?" tanya Clark, juga sambil berbisik. Ia menekuk lutut dan
merangkulnya erat-erat di depan dada agar tidak
gemetaran. Si monster mengerang panjang.
Aku mengintip dari bawah meja. Aku melihat kedua matanya
melotot. Matanya nyaris copot dari kepala!
Napasnya tersendat-sendat, seakan-akan ada yang
mencekiknya. Kedua tangannya yang berbulu memegangi lehernya.
Ia kembali mengerang. Perutnya bergemuruh - mirip bunyi guntur di kejauhan. Ia
membungkuk sambil memegangi perutnya.
Kemudian ia memekik kesakitan - kesakitan bercampur kaget.
Dan akhirnya ia roboh di lantai dapur. Mati.
"Kita berhasil! Kita berhasil!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Aku menarik Clark dari bawah meja.
Lalu aku mengamati si monster dari jauh. Sebenarnya aku yakin
dia sudah mati - tapi aku tetap saja tidak mau terlalu mendekatinya.
Kedua mata si monster terpejam rapat.
Aku menatap dadanya - untuk melihat apakah dadanya
bergerak naik-turun. Untuk melihat apakah dia masih bernapas.
Tapi dadanya tidak bergerak sedikit pun.
Aku mengamatinya beberapa saat lagi.
Ia tetap bergeming. Clark mengintip dari belakangku. "D-dia sudah benar-benar
mati?" tanyanya tergagap-gagap.
"Ya!" Sekarang aku betul-betul yakin. Seratus persen yakin.
"Kita berhasil!" seruku. Aku melompat-lompat girang. "Kita berhasil membunuh si
monster! Kita berhasil membunuhnya!"
Clark merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil
komiknya - Makhluk dari Lumpur. Ia melemparkannya ke seberang
ruangan. Komik itu membentur kepala si monster, lalu jatuh ke lantai.
"Aku sudah muak dengan monster rawa. Benar-benar muak!"
seru Clark. "Ayo, kita pergi dari sini."
Charley menggaruk-garuk pintu. Begitu pintunya kami buka, ia
langsung melompat keluar dan berputar-putar mengelilingi kami.
"Semuanya sudah beres, Charley," kataku menenangkannya.
"Semuanya sudah beres."
Aku mengintip ke ruangan tempat Charley disekap tadi. "Hei,
Clark, sepertinya ada pintu di sini," kataku. "Pintu untuk keluar dari sini!"
Langsung saja aku masuk ke ruangan kecil yang gelap itu - dan
tersandung sapu yang tergeletak di lantai.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Dua sekop yang telah berkarat tampak tersandar ke dinding di
sebelah kananku. Di sebelah kiri ada gulungan slang air.
Pintu yang kulihat tadi berada di depanku. Pintu dengan jendela
besar. Aku memandang ke luar - ke pekarangan belakang. Ke jalan
setapak yang melintasi rawa-rawa.
Barangkali jalan setapak itu menuju kota, kataku dalam hati.
Hmm, tak ada salahnya dicoba.
"Sebentar lagi kita bakal bebas!" ujarku.
Aku memutar gagang pintu, tapi pintu itu terkunci. Digerendel
dari luar, seperti semua pintu lainnya.
"Pintunya tak bisa dibuka," aku memberitahu Clark. "Tapi aku akan memecahkan
jendela, biar kita bisa memanjat keluar. Tenang
saja." Sekop-sekop yang tersandar ke dinding tampak berat dan
kokoh. Aku memegang gagang salah satu sekop dengan dua tangan,
lalu mengambil ancang-ancang.
Aku mengayunkannya ke belakang - dan merasakan lantai
bergetar. Aku berbalik - dan mendengar raungan mengerikan.
Raungan si monster rawa. Dia belum mati.
Chapter 28 SI monster muncul di ambang pintu.
Clark dan aku sama-sama memekik ketika makhluk raksasa itu
memasuki ruangan. Kepalanya yang mengerikan menyenggol bagian
atas kusen pintu. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya.
Clark dan aku merapat ke dinding.
Charley mundur ke sudut ruangan. Ia merintih-rintih ketakutan.
Kami terperangkap. Kami tidak bisa lolos. Tak ada jalan untuk melarikan diri.
Si monster menatap Charley, lalu aku, lalu Clark. Clark
diperhatikan sedikit lebih lama. Kemudian makhluk itu mendongak
dan kembali meraung. "A-aku yang bakal dimakan paling dulu," seru Clark. "S-seharusnya aku tidak
menimpuknya dengan komik. Seharusnya aku
tidak menimpuk kepalanya."
"Kita semua bakal dimakan, bodoh!" aku menghardiknya.
"Soalnya kita mencoba membunuh dia!"
Clark langsung terdiam. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku. Aku harus melakukan
sesuatu. Tapi apa" Apa"
Si monster rawa melangkah maju.
Tiba-tiba ia membuka mulut - dan memperlihatkan giginya
yang runcing dan kuning. Air liurnya menetes-netes.
Matanya merah membara ketika ia menghampiri kami. Semakin
dekat. Semakin dekat. Aku menoleh ke bawah dan menyadari aku masih memegang
sekop. Aku mengangkatnya dengan dua tangan - dan
menyodokkannya ke depan. Aku terus menyodok-nyodok untuk
mencegah makhluk itu mendekati kami.
"Mundur!" teriakku. "Mundur! Jangan ganggu kami!"
Si monster menggerung. "Mundur! Mundur!" seruku sambil mengayunkan sekop. "Pergi dari sini!"
Aku mengayunkan sekop ke arah makhluk itu. Sekop itu
menghantam perut si monster rawa. Suasana langsung hening.
Kemudian monster itu mendongakkan kepala lagi. Raungannya
memekakkan telinga. Ia melangkah maju. Merebut sekop dari tanganku. Dan
melemparkannya ke luar pintu. Ia mencampakkannya seperti tusuk
gigi. Aku melirik sekop yang satu lagi. Si monster mengikuti
pandanganku. Sekop itu segera disambar, dipatahkan, dan dibuangnya ke
dapur. Apa yang bisa kulakukan" Aku harus melakukan sesuatu!
Dan tiba-tiba aku mendapat ide!
Surat tadi. Surat kedua dari Kakek dan Nenek - surat yang belum sempat
kami buka. "Clark! Cepat! Surat yang kedua!" seruku. "Barangkali ada petunjuk! Cepat, baca
suratnya!" Clark menatapku. Ia tidak beranjak dari tempatnya.
Pandangannya seolah-olah terpaku pada monster itu.
"Clark!" teriakku sambil mengertakkan gigi.
"Buka... surat... itu. CEPAT!"
Dengan tangan gemetaran ia merogoh saku jeansnya. Lalu
meraba-raba amplop untuk membukanya.
"Cepat, Clark!" desakku.
Akhirnya ia berhasil merobek sudut amplop.
Dan kemudian aku menjerit.
Si monster menerjang maju.
Ia menyambar lenganku. Dan menariknya keras-keras.
Aku ditarik mendekatinya.
Chapter 29 MONSTER itu menarikku mendekat.
Aku menatap wajahnya yang mengerikan - dan memekik
tertahan. Matanya tampak bagaikan telaga yang dalam dan gelap -
dengan cacing-cacing kecil yang berenang-renang!
Aku langsung membuang muka - supaya tidak perlu melihat
mata yang bercacing. Cengkeraman makhluk itu semakin erat.
Napasnya yang panas dan bau menyengat pipiku.
Mulutnya menganga lebar-lebar.
Mulutnya penuh kutu! Aku melihat puluhan kutu merayap-
rayap di sepanjang lidahnya.
Aku menjerit. Dan meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Tapi monster itu terlalu kuat.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lepaskan aku!" pekikku. "Kumohon...!"
Si monster meraung keras-keras, dan aku kembali merasakan
napasnya yang berbau busuk.
Baunya seperti rawa, aku menyadari sambil memberontak.
Dialah rawa itu. Dia rawa yang hidup.
Dengan tanganku yang bebas aku memukul-mukul lengan
makhluk itu. Tapi ternyata lengannya terselubung lumut. Seluruh
tubuhnya terselubung lapisan lumut yang lembap!
"Lepaskan aku!" aku memohon. "Tolong lepaskan aku!"
Clark melompat maju. Ia meraih tanganku dan berusaha
menarikku menjauh. "Lepaskan dia!" Clark ikut memekik.
Charley mendadak maju dari sudut ruangan. Dia menyeringai
dan menggeram-geram. Kemudian dia menggigit kaki si monster yang
berbulu lebat. Monster rawa itu sempat kaget. Ia melangkah mundur sambil
menyeretku. Tapi Charley tidak melepaskannya. Aku menoleh ke bawah dan
melihat anjing itu justru menggigit semakin keras.
Si monster menggerung dan mengangkat kaki. Dan dengan satu
ayunan kaki dia membuat Charley terpental ke seberang ruangan.
"Charley!" seruku. "Charley!"
Aku mendengarnya merintih-rintih.
"Dia tidak apa-apa," ujar Clark sambil terengah-engah. Dia tetap menarik-narik
tanganku, dan berusaha membebaskanku dari
cengkeraman si monster rawa.
Makhluk itu kembali menggerung. Serta-merta ia mendorong
Clark sampai menabrak dinding. Kemudian ia membungkuk - dan
mengangkatku ke depan wajahnya.
Dia membuka mulut. Lidahnya yang penuh kutu menjulur keluar. Dan dia
MENJILAT aku. Dia menjilat-jilat lenganku dengan lidahnya yang panas dan
berbentol-bentol. Dan setelah itu dia bersiap-siap menggigit tanganku.
Chapter 30 "JANGAAAN!" jeritku ngeri.
Mulut si monster menganga lebar. Aku melihat kutu-kutu yang
merayap di giginya yang kuning.
Si monster mendekatkan mulutnya ke tanganku.
Tapi tiba-tiba ia berhenti.
Dan melepaskanku. Dia mundur sambil menatap lenganku dengan matanya yang
besar. Aku juga menatap lenganku. Lenganku penuh ludah monster
yang menjijikkan. Si monster mengangkat tangan dan memegangi lehernya. Dia
terbatuk-batuk. Entah kenapa.
Kedua matanya yang basah menatapku.
"Kau... kau manusia?" tanyanya dengan susah payah.
"Dia bisa bicara!" seru Clark.
"Kau manusia" Kau manusia?" monster itu kembali bertanya.
"Y-ya, aku manusia," aku tergagap-gagap.
Si monster mendongak dan mengerang. "Oh, gawat. Aku alergi
manusia." Bola matanya berputar-putar.
Ia maju terhuyung-huyung dan roboh. Tubuh besarnya
menabrak pintu yang menuju pekarangan belakang. Pintu itu langsung
jebol. Cahaya bulan masuk.
Ia tergeletak dalam posisi tengkurap. Tanpa bergerak.
Aku mengusap-usap lengan sambil menatap si monster rawa.
Apakah dia betul-betul mati kali ini"
Chapter 31 "AYO, Gretchen!" Clark menyeretku ke pintu yang terbuka.
Kami melangkahi si monster. Sekali lagi aku mengamati
makhluk yang mengerikan itu.
Matanya terpejam rapat. Dia tidak bernapas. Dia tak bergerak
sedikit pun. "Ayo dong!" desak Clark.
Betulkah dia sudah mati" Aku memperhatikannya dengan
saksama. Terus terang, aku belum yakin. Tapi ada satu hal yang sudah jelas - aku
tidak mau menunggu di sini untuk mendapatkan kepastian.
Clark dan aku keluar melalui pintu yang hancur berantakan.
Charley ternyata sudah menunggu di luar. Terpontang-panting kami
berlari menyusuri jalan setapak - menjauhi rumah Kakek dan Nenek.
Memasuki daerah rawa. Di luar dugaanku, hari sudah berganti malam. Rupanya sehari
penuh kami bertempur melawan si monster rawa.
Bulan tampak pucat di atas pohon-pohon cypress. Suasana
cukup menyeramkan. Kakiku terbenam lumpur ketika kami melintasi rawa.
Menerobos alang-alang. Menembus gumpalan kabut tebal.
Berulang kali kakiku terperosok ke genangan air yang dalam.
Tersandung akar-akar pohon yang menyembul dari tanah.
Aku berusaha menyingkirkan janggut-janggut kelabu yang
bergelantungan dari pepohonan. Semakin lama kami semakin jauh
memasuki daerah rawa. Kami baru berhenti berlari ketika rumah Kakek dan Nenek
tidak kelihatan lagi. Clark dan aku terengah-engah.
Aku pasang telinga. Mencoba mendengar bunyi langkah dalam kegelapan.
Langkah si monster rawa. Tapi aku tidak mendengar apa-apa.
"Kita berhasil! Kita berhasil membunuhnya!" suaraku
memecahkan keheningan malam.
"Dan kita berhasil lolos!" sorak Clark. "Kita bebas! Kita selamat!"
"Yes!" seruku. "Kali ini kita benar-benar berhasil!"
Kini kami berjalan dengan hati-hati, karena yakin tak ada yang
mengejar-ngejar. Kami menghindari genangan-genangan air dan akar-
akar pohon. Sekeliling kami dipenuhi hunyi-bunyi janggal.
Ada bunyi berdeguk-deguk. Bunyi langkah perlahan. Jeritan-
jeritan yang melengking tinggi.
Tapi aku tidak peduli. Aku telah mengalami mimpi buruk paling parah yang bisa
dibayangkan - si monster rawa. Aku telah bertempur melawan dia,
dan aku telah menang. "Hei! Clark!" Tiba-tiba saja aku teringat surat yang satu
lagi. "Kita belum sempat membaca surat Kakek dan Nenek.
Surat yang kedua!" "Untuk apa?" tanya Clark. "Monster itu kan sudah mati. Kita sudah berhasil
membunuhnya. Sesuai pesan mereka dalam surat
pertama." "Mana" Mana suratnya?" tanyaku. "Coba ambil, Clark." Aku berhenti. "Aku ingin
tahu apa isinya." Clark mengeluarkan amplop yang telah terlipat-lipat dari saku
celana jeans-nya. Ketika ia berusaha melicinkannya, terdengar
teriakan nyaring. "M-mungkin lebih baik kalau kita jalan terus," ujar Clark.
"Surat ini kita baca nanti saja. Setelah sampai di kota. Setelah menelepon Dad
dan Mom." "Sekarang saja," aku berkeras. "Ayo dong. Memangnya kau tidak ingin tahu apa
isinya?" "Tidak," jawab Clark.
"Tapi aku ingin tahu," ujarku.
"Oke. Oke." Clark membuka amplop dan mengeluarkan surat
yang ada di dalamnya. Angin mulai berembus. Pepohonan berdesir di atas kepala kami.
Clark mulai membaca pelan-pelan. Ia terpaksa memicingkan
mata agar dapat melihat dalam cahaya bulan yang redup. "'Gretchen dan Clark yang
tersayang. Kami berharap kalian baik-baik saja. Ada
satu hal yang lupa kami beritahukan dalam surat yang pertama.
"'Kalau monster itu sampai lolos... dan kalian berhasil
membunuhnya... dan berhasil keluar dari rumah - kalian harus tetap di jalan mobil.
JANGAN masuk ke daerah rawa.'"
Clark menggeleng-geleng. "Terus dong!" seruku. "Baca sampai selesai!"
Ia kembali memicingkan mata. "Monster itu punya kakak dan
adik - lusinan. Mereka tinggal di rawa. Kami rasa mereka sedang
menunggu dia.'" Jantungku mulai berdegup kencang ketika Clark melanjutkan
surat itu. "'Kami sempat melihat mereka di rawa. Dan kami juga
mendengar mereka bersiul-siul pada malam hari. Mereka tidak senang
saudara mereka tertangkap. Mereka menunggu dia kembali. Jadi apa
pun yang kalian lakukan, jangan pergi ke rawa. Tempat itu tidak
aman. Jangan pergi ke situ! Semoga kalian beruntung! Kami
menyayangi kalian!'"
Clark menurunkan tangan. Surat itu jatuh ke tanah becek.
Aku berbalik pelan-pelan sambil mengamati bayangan-
bayangan di sekeliling kami.
"Gretchen," kata Clark dengan parau. "Kaudengar itu" Suara apa itu" Apa?"
"Ehm... kedengarannya seperti siulan."
"A-aku juga pikir begitu," bisiknya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang" Ada
ide?" "Sori, Clark," sahutku. "Aku sudah kehabisan ide. Kau sendiri bagaimana?" END
Suling Emas Dan Naga Siluman 11 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Pendekar Tanpa Tanding 9
lengan baju. Ruangan berikut yang kumasuki ternyata kecil. Ehm,
sebenarnya tidak kecil juga, tapi lebih kecil dari ruangan-ruangan lain yang
sudah kulihat. Di salah satu sisi ada piano tua.
Kalau saja tidak begitu pengap di sini, aku pasti balik ke
ruangan ini, aku berkata dalam hati. Aku akan kembali untuk melihat apakah piano
itu masih bisa dimainkan.
Tapi sekarang aku cuma ingin menemukan Clark di tempat
persembunyiannya. Lalu segera pergi.
Aku maju lagi. Melewati belokan. Dan memekik kaget - ketika aku mulai jatuh. Lantainya
mendadak lenyap. Tak ada lantai di bawah kakiku!
Cepat-cepat aku mengulurkan tangan dalam gelap. Tanganku
menggapai-gapai, mencari tempat berpegangan.
Aku berhasil meraih sesuatu yang keras - langkan tangga tua.
Aku terus berpegangan. Dan bergelantungan.
Aku mencengkeramnya erat-erat dengan kedua tangan, lalu
mengayunkan badanku ke atas. Kembali ke lantai lorong.
Jantungku berdegup-degup ketika aku menatap ke lubang
menganga tempat aku terjatuh tadi. Lubang gelap yang dulu pernah
ada tangganya. Tapi tangga itu sudah hancur termakan usia.
Aku menghela napas. "Awas, Clark, kau akan merasakan
pembalasanku!" seruku keras-keras. "Aku kan sudah bilang aku tidak mau ikut
main." Aku bergegas menyusuri lorong sambil mencari saudara tiriku
itu. Aku ingin mengakhiri permainan konyol ini secepat mungkin.
Dan kemudian aku berhenti.
Tanpa berkedip aku menatap pintu di ujung lorong. Pintu
dengan kunci besar mengilap. Perlahan-lahan aku menghampirinya.
Anak kunci berwarna perak dibiarkan menancap.
Apa yang ada di dalam situ" aku bertanya-tanya. Kenapa pintu
ini digembok" Aku maju lagi. Kenapa Kakek dan Nenek melarang kami masuk ke ruangan
itu" Mereka bilang ruangan itu cuma gudang.
Hampir setiap ruangan di rumah aneh ini bisa dibilang gudang,
pikirku. Jadi kenapa pintu yang satu ini tidak boleh dibuka"
Aku berdiri di depan pintu.
Kuulurkan tanganku. Dan kuraih anak kunci berwarna perak itu.
Chapter 15 JANGAN. Segera kutarik tanganku. Aku harus mencari Clark, kataku dalam hati. Aku sudah bosan
dengan permainan konyol ini. Aku sudah capek mondar-mandir di
sini. Tiba-tiba aku mendapat ide gemilang.
Aku sembunyi saja! Biar Clark yang mencari aku. Aku akan
bersembunyi sampai Clark bosan menunggu. Dan setelah itu dia yang
akan mencari aku! Ide bagus! pikirku. Hmm... di mana aku bisa
bersembunyi" Aku memeriksa semua ruangan di lantai tiga untuk mencari
tempat persembunyian yang baik. Tapi semua ruangan di sini ternyata kosong. Tak
ada tempat untuk bersembunyi.
Aku kembali ke ruangan kecil yang berisi piano. Barangkali aku
bisa menyelinap ke balik piano, pikirku.
Aku berusaha mendorongnya menjauhi dinding. Sedikit saja,
asal cukup untuk menyelinap. Tapi piano itu terlalu berat, dan tidak bergeser
sedikit pun. Aku kembali ke pintu berkunci besar - satu-satunya ruangan
yang terkunci. Lalu aku berbalik dan mengamati lorong remang-remang.
Betulkah semua ruangan sudah kuperiksa" Jangan-jangan ada yang
terlewat. Dan ketika itulah aku melihatnya.
Sebuah pintu kecil. Pintu di dinding.
Pintu yang sebelumnya luput dari perhatianku. Pintu ke
cerobong kerekan. Aku pernah melihat kerekan seperti itu dalam film. Di rumah
tua yang besar seperti rumah ini. Kerekan itu berfungsi untuk
membawa makanan dan piring dari satu lantai ke lantai lain. Praktis sekali.
Hei, ada kerekan makanan! pikirku. Tempat yang cocok untuk
sembunyi! Aku berbalik dan menghampirinya - tapi tiba-tiba
terdengar bunyi praaang. Seperti bunyi piring jatuh ke lantai.
Bunyi itu berasal dari balik pintu yang terkunci rapat.
Aku menempelkan telinga ke daun pintu. Dan mendengar bunyi
langkah. Oh, rupanya Clark bersembunyi di situ! aku menyadari. Dasar
curang! Dia tahu persis aku takkan mencarinya di situ!
Dia bersembunyi di ruangan yang tidak boleh kami masuki.
Hah, Clark, pikirku. Kali ini kau sedang apes!
Aku memegang anak kunci yang menancap di pintu dan segera
memutarnya. Klik. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu.
Dan berhadapan dengan monster yang mengerikan.
Chapter 16 AKU nyaris terjerembap. Aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa mundur. Tidak sanggup
mengalihkan mata. Aku berhadapan dengan monster sungguhan yang hidup dan
bernapas seperti aku. Tingginya paling tidak tiga meter.
Ia berdiri di kamar yang terkunci.
Aku menatap tubuhnya yang besar dan berbulu lebat. Tubuhnya
bagaikan gorila - dengan dedaunan, akar-akar pohon, dan butir-butir
pasir yang tersangkut di bulu-bulunya. Kepalanya bersisik, dan
moncongnya bagaikan moncong buaya - panjang dan penuh gigi
runcing. Bau busuk segera menyebar. Baunya menyengat sekali. Bau
rawa. Makhluk itu menoleh ke arahku, dan aku melihat matanya
menonjol di sisi kepalanya yang besar.
Dia menatapku sepintas lalu saja. Kemudian perhatiannya
kembali ke tangannya yang berbulu - yang sedang memegang
setumpuk panekuk. Monster itu mulai melahap panekuk. Bukan satu per satu, tapi
setumpuk demi setumpuk. Sepertinya dia lapar sekali.
Aku memperhatikannya sambil tetap menggenggam gagang
pintu. Tanpa berkedip aku menyaksikannya menelan setumpuk
panekuk lagi. Semuanya ditelan bulat-bulat! Monster itu menggeram-
geram puas. Mata buayanya yang mengerikan tampak melotot. Urat nadi di
lehernya berdenyut-denyut.
Monster itu terus melahap panekuk - setumpuk demi setumpuk.
Tangannya yang satu lagi menggaruk-garuk kakinya yang berbulu
lebat. Ia menggaruk dan menggaruk. Sampai berhasil menemukan
kumbang hitam yang menyusup di antara bulu-bulunya.
Kumbang itu diambil dan diamatinya dengan matanya yang
besar. Kaki serangga itu bergerak-gerak.
Si monster mengamatinya. Mengamati kakinya yang berayun-
ayun. Dan kemudian si monster memasukkan kumbang itu ke
mulutnya - dan langsung mulai mengunyah. Kres.
Cairan campuran antara b lueberry dan kumbang menetes dari
mulutnya. Lari! seruku dalam hati. Lari! Tapi saking ngerinya, aku tidak
sanggup bergerak. Makhluk itu kembali meraih tumpukan panekuk.
Aku memaksakan diri untuk mundur selangkah - keluar ke
lorong. Si monster langsung menoleh.
Ia melotot ke arahku. Lalu menggeram.
Tumpukan panekuk di tangannya dibiarkan jatuh ke lantai. Dia
menghampiriku. Aku langsung ambil langkah seribu sambil menjerit-jerit minta
tolong. "Gretchen! Gretchen! Ada apa?" Clark muncul di ujung lorong.
"Ada monster! Di kamar yang terkunci! Cepat!" pekikku.
"Cepat! Panggil bantuan!"
Aku bergegas menuruni tangga. "Kakek! Kakek!" seruku. "Ada monster!"
Aku menoleh untuk melihat apakah monster itu mengejarku -
dan menyadari bahwa Clark belum beranjak.
"Ada monster di sana!" teriakku. "Awas, Clark! Pergi dari situ!"
Ia malah tertawa. "Memangnya aku bodoh" Kau pasti cuma
mau menipuku." Clark menuju pintu ruangan yang ada monsternya. Ia nyengir
lebar. "Jangan! Jangan ke situ!" bujukku. "Aku tidak bohong!"
"Kau cuma mau menakut-nakutiku. Untuk balas dendam."
"Aku tidak bercanda, Clark! Jangan ke situ!" jeritku.
"JANGAN!" Clark sampai di pintu. "Awas, aku datang, monster rawa!"
serunya sambil melangkah masuk. "Ayo, hadapi aku kalau kau
memang berani!" Chapter 17 SEDETIK kemudian aku mendengar Clark menjerit ketakutan.
Tapi jeritannya nyaris hilang tertelan raungan makhluk itu.
Charley berlari menaiki tangga sambil menggonggong sejadi-
jadinya. "Lari! Lari!" Clark menghambur keluar sambil melambai-
lambaikan tangan. "Ada monster! Monster rawa!"
Kami berlari menuruni tangga. Charley kami seret-seret, tapi
dia melawan terus. Dia malah mau berbalik dan naik lagi.
"Charley, ayo!" kataku. "Ayo!"
Tapi Charley justru duduk dan melolong-lolong. Dia tidak mau
menurut. Terdengar raungan menggelegar.
Ya ampun! Dia datang! Dia mengejar kami!
"AYO, CHARLEY!" aku memohon sambil menarik pengikat
lehernya. "AYO DONG!"
Clark berdiri di tangga. Saking ngerinya ia tidak bisa bergerak.
"Bantu aku, Clark!" ujarku. "Jangan bengong saja. Bantu aku!"
Si monster rawa menyusuri lorong. Seluruh tangga bergetar
karena langkahnya yang berat.
"Monster itu mau menangkap kita," bisik Clark. Ia belum juga beranjak dari
tempatnya berdiri. Aku meraih T-shirt Clark dan menariknya keras-keras. "Bantu
aku, Clark!" teriakku. "Dorong Charley!"
Kami harus berjuang keras untuk menuruni tangga. Aku
menarik-narik Charley, sementara Clark mendorong-dorongnya dari
belakang. "Nenek! Nenek!" panggilku.
Tak ada jawaban. Raungan si monster semakin keras. Semakin dekat.
"Kunci Charley di kamar mandi!" aku menyuruh Clark ketika kami sampai di lantai
dua. "Dia akan aman di situ. Aku mau mencari Kakek dan Nenek."
Aku berlari ke dapur. "Nenek! Kakek!" teriakku. "Ada monster!"
Tak ada siapa-siapa di dapur.
Aku berlari ke ruang duduk. "Di mana Kakek dan Nenek"
Tolong!" Mereka tidak ada di ruang duduk.
Aku bergegas ke perpustakaan. Kosong.
Aku kembali menaiki tangga. Kuperiksa kamar mereka dan
semua ruangan lain di lantai dua. Tapi aku tidak berhasil menemukan mereka.
Di mana mereka" Di mana mereka" aku bertanya-tanya.
Clark keluar dari kamar mandi. Langkah si monster terdengar
berdebam-debam di atas. "Mana Kakek dan Nenek?" ia tergagap-gagap.
"A-aku tidak tahu. Aku sudah mencari ke mana-mana."
"Kau sudah periksa di luar?" Suaranya melengking tinggi.
Benar juga! pikirku. Jangan panik, Gretchen. Mereka pasti di
luar. Kemungkinan besar di pekarangan belakang. Aku yakin Kakek
sedang bertukang di luar.
Terburu-buru kami menuruni tangga, 1alu berlari ke dapur.
Kami berhenti di pintu belakang. Memandang ke arah rawa. Ke
arah pondok. Tak ada siapa-siapa di luar.
"Di mana...?" Clark mulai berkata.
"Coba dengar, tuh!" selaku. "Kaudengar itu." Bunyi mobil.
Bunyi mesin sedang dinyalakan. "Mobil Kakek dan Nenek! Mobil
mereka selesai diperbaiki!" seruku.
Kami mengikuti bunyi mesin mobil. Bunyi itu berasal dari
depan rumah. Kami berlari ke pintu depan dan memandang ke luar.
Itu mereka! "Hah?" pekikku kaget.
Mobil Kakek dan Nenek sedang mundur dari pekarangan.
Mereka mau pergi! ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Jangan... tunggu.! Tunggu!" teriakku sambil memutar gagang pintu.
"Mereka tidak mendengarmu!" seru Clark. "Buka pintunya!
Buka!" Aku menarik-narik pintu. Aku menarik dengan sekuat tenaga.
Sekali lagi aku memutar gagang pintu.
"Cepat!" jerit Clark. "Mereka mau meninggalkan kita di sini!"
Aku menarik dan menarik. Memutar-mutar gagang pintu.
Kemudian aku sadar. "Mereka mengunci pintu dari luar!" kataku kepada Clark. "Kita terkunci di sini!"
Chapter 18 "KENAPA kita ditinggal?" ratapku. "Kenapa kita ditinggal di sini" Kenapa kita
dikurung?" Langit-langit di atas kami bergetar. Bergetar keras. Cukup keras
untuk membuat foto-foto di dinding ruang duduk berjatuhan ke lantai.
"Apa itu?" tanya Clark sambil mengerutkan kening.
"Si monster! Dia mengejar kita!" sahutku dengan suara parau.
"Kita harus keluar dari sini! Kita harus mencari bantuan!"
Clark dan aku kembali ke dapur. Ke pintu belakang.
Aku memutar-mutar gagang pintu. Dan menarik dengan sekuat
tenaga. Tapi ternyata pintu ini juga tidak bergerak sedikit pun, karena dikunci
dari luar. Kami berlari kian kemari.
Memeriksa semua pintu samping.
Tapi semuanya terkunci. Semua pintu - terkunci rapat dari luar.
Langkah si monster berdebam-debam di atas. Tega-teganya
Kakek dan Nenek berbuat begini. Tega-teganya mereka. Tega-teganya
mereka. Kalimat itu terus terulang dalam benakku ketika aku berlari ke
perpustakaan. Menghampiri jendela.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu-satunya jendela di seluruh lantai dasar. Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan diri. Aku berjuang keras untuk membuka
jendela. Tapi jendela itu tidak bergerak sedikit pun. Aku mengepalkan tangan dan
menggedor-gedor rangka kayunya.
"Lihat tuh!" kata Clark dengan suara seperti tercekik. Ia menunjuk kaca jendela
yang berdebu. "Lihat itu!"
Dua paku berkarat. Dua paku yang menyembul dari rangka
jendela. Jendelanya dipaku - dari luar! Clark dan aku benar-benar
terkurung. Tega-teganya mereka berbuat begini, ratapku dalam hati. Tega-
teganya. "Kacanya harus kita pecahkan!" Aku berpaling kepada Clark.
"Itu satu-satunya cara untuk keluar dari sini!"
"Oke!" seru Clark. Ia mencondongkan badan dan mulai
memukul-mukul kaca jendela dengan tangan terkepal.
"Kau sudah gila?" bentakku. "Cari sesuatu yang lebih kuat buat..."
Tapi sisa kalimatku terpotong - terpotong bunyi gaduh dari
atas. Bunyi itu disusul denting dawai piano yang memekakkan telinga.
"S-sedang apa dia?" Clark tergagap-gagap.
"Di atas ada piano tua. Sepertinya si monster melemparnya ke
dinding!" Lantai, dinding-dinding, langit-langit ruang perpustakaan -
semuanya bergetar ketika si monster melempar-lempar piano.
Berulang-ulang. Vas porselen, piring kristal, dan sejumlah hiasan kaca di atas
meja kecil berjatuhan ke lantai dan pecah berantakan di depan kaki
kami. Aku memekik tertahan ketika buku-buku berhamburan dari rak
dan berserakan di lantai.
Clark dan aku saling merapat. Kami langsung tiarap. Menunggu
hujan buku itu berhenti. Menunggu sampai si monster berhenti mengamuk. Kami tiarap
di lantai sampai suasana kembali hening.
Satu buku lagi jatuh dari rak, dan menimpa meja kecil di
sampingku. "Berikan itu padaku!" kataku kepada Clark sambil menunjuk tempat lilin dari
kuningan di sebelah buku yang baru jatuh. "Awas, mundur."
Aku berpaling ke jendela. Aku mengambil ancang-ancang
untuk mengayunkan tempat lilin yang berat itu - tapi tiba-tiba aku
mendengar suara merintih-rintih.
Rintihan Charley. Dari atas.
"Oh, ya ampun!" pekikku tertahan. "Si monster - dia berhasil menangkap Charley!"
Chapter 19 AKU berlari ke tangga. Sebelah tanganku menggenggam
tempat lilin, satunya lagi menyeret Clark. Aku harus menyelamatkan
Charley! Harus! Tanpa pikir panjang aku berlari menaiki tangga. Aku berhenti
ketika sampai di lantai dua.
Jantungku berdegup kencang ketika aku mengintip ke lorong.
Si monster tidak kelihatan.
Aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Tak ada bunyi
apa pun selain bunyi napas Clark yang terengah-engah dan detak
jantungku sendiri. Aku maju dengan hati-hati sampai bisa melihat pintu kamar
mandi. Pintunya tertutup. Aku meraih gagang pintu. Tapi tanganku licin karena
telapaknya berkeringat. Pintu itu kubuka sedikit. Aku mengintip melalui celah pintu,
tapi tidak melihat apa-apa.
Napas Clark terasa di tengkukku ketika aku membuka pintu
lebih lebar. Sedikit demi sedikit. "Charley!" seruku lega.
Charley duduk di bak mandi untuk berendam. Ia meringkuk di
salah satu sudut. Ketakutan - tapi selamat.
Ia menatap kami dengan mata besarnya yang berwarna cokelat.
Ekornya bergoyang pelan. Kemudian ia mulai menggonggong.
"Ssst!" bisikku sambil membelai-belai kepalanya. "Jangan ribut, Charley. Nanti
si monster tahu kita di sini."
Charley malahan menggonggong lebih keras. Saking kerasnya,
kami nyaris tidak mendengar bunyi mobil yang baru berhenti di luar.
"Ssst!" kataku kepada Charley. Aku berpaling pada Clark.
"Kaudengar itu?"
Ia membelalakkan mata. "Pintu mobil!"
"Yes!" seruku. "Kakek dan Nenek kembali!" seru Clark. "Mereka pasti membawa bantuan!"
"Tunggu di sini!" aku memberi perintah kepada Charley ketika Clark dan aku
menyelinap keluar dari kamar mandi. "Anjing pintar.
Tunggu." Clark membanting pintu, dan kami langsung berlari menuruni
tangga. "Aku tahu mereka pasti kembali! Aku tahu mereka tidak
mungkin meninggalkan kita di sini!" Aku menghambur turun, setiap langkah
melewati dua anak tangga.
Lalu aku mendengar mesin mobil dinyalakan kembali.
Mendengar mobil itu menjauh.
Mendengar bunyi ban melindas batu-batu kerikil di pekarangan.
"Tungguuuu!" seruku ketika mencapai pintu depan. "Jangan pergi! Jangan pergi!"
Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal. Aku
menendang-nendangnya dengan keras. Dan kemudian aku melihat
secarik kertas berwarna pink di lantai. Kelihatannya kertas itu
diselipkan melalui celah di bawah pintu.
Pesan. Tanganku gemetaran ketika aku memungutnya. Aku
mulai membaca: Kami baru kembali minggu depan. Maaf, anak-anak. Tapi
rupanya urusan dinas ini makan waktu lebih lama dari yang kami
kira. Pesan telepon - dari Dad dan Mom.
Ternyata bukan Kakek dan Nenek yang datang, aku menyadari.
Mr. Donner, dari warung serbaada di kota, mampir ke sini untuk
mengantarkan pesan telepon ini.
Raungan si monster membuyarkan lamunanku. Aku langsung
berbalik. Clark telah lenyap. "Clark!" seruku. "Di mana kau?"
Suara si monster semakin nyaring. Dan semakin garang.
"Clark!" panggilku sekali lagi. "Clark!"
"Gretchen... cepat kemari!"aku mendengar teriakannya dari arah dapur.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 20 "GRETCHEN! Gretchen!"
Berulang kali aku mendengar Clark memanggil namaku ketika
aku berlari melintasi ruang duduk. Setiap kali nadanya bertambah
melengking dan ngeri. "Aku datang!" seruku. "Tunggu, Clark! Aku sudah datang."
Aku bergegas melewati sofa - dan tersandung kursi kecil
penyangga kaki. Kepalaku membentur lantai.
Clark masih terus memanggil-manggil, tapi sekarang suaranya
terdengar jauh. Begitu jauh.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku memaksakan d iri bangkit, tapi seluruh ruangan seolah-olah
berputar mengelilingiku. "Gret-chen! Gret-chen!"
"Tunggu sebentar!" ujarku sambil memejamkan mata.
Kemudian aku mendengar raungan si monster. Suara
menggelegar itu terdengar di semua sudut rumah.
Aku harus menolong Clark. Dia dalam kesulitan! Dia ditangkap
si monster! aku menyadari.
Terhuyung-huyung aku melewati ruang duduk. Menuju dapur.
Raungan si monster membuat dinding-dinding bergetar.
"Tahan, Clark!" aku hendak berseru, tapi suaraku tidak mau keluar dari mulut.
"Aku datang!" Aku masuk ke dapur. "Gretchen!" Clark berdiri di depan lemari es. Ia sendirian.
"Mana dia?" seruku. Aku memandang berkeliling, mencari-cari si monster.
"S-siapa?" Clark tergagap-gagap.
"Si monster!" sahutku.
"Di atas," balas Clark heran. "Kok lama betul sih kau kemari?"
Ia tidak menunggu jawabanku. "Coba lihat ini." Ia menunjuk lemari es. Aku
membalik dan melihat dua surat yang ditempelkan
dengan magnet. "Gara-gara ini kau teriak-teriak seperti orang gila?" pekikku.
"Aku kaget setengah mati tadi! Kupikir kau ditangkap si monster!"
Tangan Clark gemetaran ketika melepaskan kedua surat itu dari
pintu lemari es. "Dua surat untuk kita. Dari Kakek dan Nenek."
Aku menatap kedua amplop di tangan Clark. Keduanya
memang ditujukan pada kami. Dan diberi nomor, satu dan dua.
"Mereka meninggalkan surat untuk kita?" Aku benar-benar
heran. Clark membuka amplop pertama. Kertas suratnya bergetar di
tangannya ketika ia mulai membaca dalam hati.
Matanya beralih dari baris ke baris. Mulutnya komat-kamit, tapi
aku tidak mendengar apa yang dikatakannya.
"Coba sini!" Aku berusaha mengambil surat itu, tapi Clark segera merebutnya
kembali. Ia memegangnya erat-erat dan
meneruskan membaca. "Apa katanya, Clark?" tanyaku.
Ia tidak menghiraukanku. Ia membetulkan letak kacamatanya
yang merosot sedikit, lalu kembali membaca. Kembali bergumam tak
jelas. Aku memperhatikan Clark membaca.
Aku memperhatikan matanya menelusuri baris demi baris.
Dan aku memperhatikannya membelalakkan mata karena ngeri.
Chapter 21 "CLARK!" seruku tidak sabar. "Apa isinya?"
Clark mulai membacakan surat itu keras-keras. "'Gretchen dan
Clark yang tersayang," katanya. Kertas surat itu bergoyang-goyang di tangannya
yang gemetaran. "'Kami sangat menyesal karena berbuat begini terhadap kalian,
tapi kami terpaksa pergi. Beberapa minggu lalu, kami disatroni
monster rawa. Kami berhasil menyekapnya di salah satu kamar di
atas. Tapi setelah itu kami tidak tahu harus berbuat apa. Mobil kami sedang di
bengkel, jadi kami tidak bisa mencari telepon untuk minta bantuan.
"'Selama beberapa minggu terakhir kami hidup dalam
ketakutan. Kami takut melepaskan monster itu. Dia selalu ribut dan
marah. Kami yakin dia akan membunuh kami.'"
Lututku mulai bergetar ketika Clark melanjutkan membaca
surat itu. "'Kami sengaja tidak memberitahu orangtua kalian mengenai si
monster. Seandainya diberitahu, mereka takkan mengizinkan kalian
kemari. Kami jarang menerima tamu di sini. Dan kami begitu ingin
bertemu kalian. Tapi sepertinya kami telah membuat kesalahan.
Seharusnya kalian ikut ke Atlanta bersama orangtua kalian. Rasanya
kami telah membuat kesalahan dengan membiarkan kalian tinggal di
sini.'" "Rasanya mereka telah membuat kesalahan" Rasanya?" jeritku.
Clark menoleh ke arahku. Wajahnya pucat pasi. Bintik-bintik di
mukanya pun seakan-akan memudar. Ia menggeleng-gelengkan
kepala karena heran. Kemudian ia kembali membaca surat dari Kakek dan Nenek.
"'Selama ini makhluk itu kami beri makan melalui celah yang
digergaji Kakek di bagian bawah pintu. Monster itu rakus sekali. Tapi kami
terpaksa memberinya makan. Kami tidak berani membiarkannya
kelaparan. "'Kami tahu kami tidak seharusnya meninggalkan kalian. Tapi
kami hanya mau mencari bantuan. Kami akan kembali - begitu kami
berhasil menemukan orang yang bisa membantu. Seseorang yang tahu
cara menangani makhluk mengerikan itu.
"'Maaf, anak-anak. Kami sungguh menyesal - tapi kami
terpaksa mengurung kalian di dalam rumah. Kami takut kalian akan
pergi ke daerah rawa. Tempat itu tidak aman untuk kalian.'"
Astaga, apa-apaan ini"
"Tempat itu tidak aman!" seruku. "Kita ditinggal di sini bersama monster
pembunuh - dan mereka bilang tempat itu tidak
aman! Mereka sudah gila, Clark! Betul-betul gila!"
Clark mengangguk dan kembali membaca. "'Maaf, anak-anak.
Kami sungguh-sungguh menyesal. Tapi ada satu hal yang perlu kalian
ingat: Kalian tidak terancam bahaya, asal...'"
Monster di atas meraung keras. Saking kagetnya, surat yang
sedang dipegang Clark terlepas dari tangannya.
Dengan mata terbelalak aku memperhatikan kertas itu
melayang-layang. Jatuh ke lantai. Dan menyelinap ke bawah lemari es.
"Ambil suratnya, Clark!" seruku. "Cepat!"
Clark menelungkup di lantai dan menyelipkan jari ke bawah
lemari es. Tapi ujung jarinya hanya menyentuh pinggiran kertas,
sehingga surat itu malah terdorong semakin jauh ke belakang.
"Tunggu!" teriakku. "Kau malah mendorongnya ke belakang!"
Tapi Clark tidak mendengarkanku.
Ia memaksakan tangannya meraih lebih dalam lagi, dan
berusaha menarik lembaran kertas itu.
Akibatnya mudah ditebak. Surat itu justru semakin tak
terjangkau. Dan akhirnya sama sekali tidak kelihatan lagi.
"Tuh, apa kubilang!" kataku gusar. "Kau yang baca surat itu tadi! Kita tidak
terancam bahaya, asal... asal apa?"
"A-aku belum sampai bagian itu," Clark mengakui sambil
tergagap-gagap. Rasanya aku ingin mencekik dia.
Aku berbalik. Dan mencari sesuatu yang bisa diselipkan ke
bawah lemari es - untuk menarik surat itu.
Tapi tidak ada yang cukup pipih atau cukup panjang. Semua
yang kulihat terlalu besar.
Clark membuka lemari-lemari dan laci-laci untuk mencari
sesuatu yang bisa kami pakai.
Si monster berdebam-debam di lantai dua.
Seluruh langit-langit bergetar.
Sebuah piring jatuh dari meja dan langsung pecah menjadi
seribu serpihan. "Aduh, gawat," gumamku sambil menatap langit-langit. Catnya sudah mulai retak-
retak. "Dia sudah turun ke lantai dua. Dia semakin dekat."
"Kita bakal celaka," ujar Clark. "Dia akan menangkap kita dan..."
"Clark, lemari esnya harus kita pindahkan. Kita harus tahu
bagaimana bunyi bagian surat yang belum kita baca!"
Clark dan aku menarik-narik lemari es. Kami mendorong dan
menarik dengan sekuat tenaga.
Sementara itu, si monster meraung-raung di atas. Kami menarik
lebih keras lagi.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lemari es mulai bergeser.
Clark berlutut dan mengintip ke bawahnya. "Dorong!" katanya.
"Dorong! Pinggirannya sudah kelihatan! Ayo... dorong sedikit lagi!"
Sekali lagi aku mengerahkan seluruh tenaga - dan kemudian
Clark berhasil meraih surat itu! Ia menjepit salah satu sudut dengan jempol dan
telunjuk. Dan menariknya keluar.
Dikibas-kibaskannya kertas itu untuk menyingkirkan debu yang
menempel. "Baca saja!" bentakku. "Baca saja!"
Clark mulai membaca lagi, "'Kalian tidak terancam bahaya,
asal...'" Chapter 22 AKU menahan napas sambil menunggu Clark menyelesaikan
kalimat itu. Menunggu untuk mengetahui bagaimana caranya agar
kami tetap aman. "'Kalian tidak terancam bahaya," kata Clark, "'asal kalian tidak membuka pintu
dan membiarkan si monster keluar.'"
"Hah" Cuma itu?" Aku terbengong-bengong. "Sekarang sudah terlambat! Sudah
terlambat! Tidak ada pesan lain" Masa cuma itu?"
"Ada sedikit lagi." Clark kembali membaca. "'Tolong ingat baik-baik: jangan
dekati kamar itu. Dan jangan buka pintunya.'"
"Sekarang sudah terlambat!" ratapku. "Sudah terlambat!"
"'Kalau monster itu sampai lolos, kalian tidak punya pilihan.
Kalian harus mencari cara untuk membunuhnya.'" Clark menoleh ke arahku. "Cuma
itu, Gretchen. Tidak ada pesan lain. Kalian harus mencari cara untuk
membunuhnya." "Cepat!" kataku kepada Clark. "Buka surat yang satu lagi.
Barangkali ada petunjuk lain!"
Clark mulai membuka amplop kedua ketika kami mendengar
bunyi langkah. Bunyi langkah berdebam-debam di bawah.
Di ruang sebelah - ruang duduk.
"Cepat, Clark! Buka!"
Terburu-buru Clark mencoba membuka amplop kedua. Tapi ia
langsung berhenti ketika kami mendengar dengus napas si monster
rawa. Bunyi napasnya semakin dekat.
Jantungku berdegup kencang ketika bunyi itu bertambah keras.
"D-dia menuju ke sini!" jerit Clark sambil menyelipkan surat yang belum dibuka
ke dalam sakunya. "Ke ruang makan!" teriakku. "Kita harus ke ruang makan!"
"Apa yang harus kita lakukan" Bagaimana kita bisa
membunuhnya?" seru Clark ketika kami menghambur keluar dari
dapur. "Kita... aduuuh!" Rasa nyeri menjalar ke seluruh kakiku ketika aku menabrak meja
makan. Aku memegang lutut. Berusaha menekuknya. Tapi sakitnya tak
tertahankan. Aku membalik. Dan itu dia. Si monster rawa. Dia sudah ada di dapur - dan menuju ruang makan sambil
menatap kami dengan garang.
Chapter 23 MONSTER itu memelototiku dengan matanya yang terbelalak
lebar. Aku melihat urat nadi di kepalanya berdenyut-denyut ketika ia menggeram
panjang. Aku tidak sanggup mengalihkan mata dari urat nadi yang
berdenyut-denyut itu. "Lari, Gretchen!" Clark menarikku dari belakang. Ia
menyeretku keluar dari ruang makan. Terburu-buru kami lari ke
tangga. "Kita harus cari tempat sembunyi." Napas Clark terengah-engah ketika kami naik
ke lantai dua. "Kita harus sembunyi sampai Kakek dan Nenek kembali dengan
bantuan." "Mereka takkan kembali!" seruku. "Mereka takkan kembali ke sini!"
"Mereka bilang begitu," Clark berkeras. "Mereka bilang begitu di surat tadi."
"Clark, kau memang bodoh sekali." Kami sampai di puncak
tangga. Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Siapa yang bakal percaya
pada mereka?" tanyaku sambil megap-megap. "Siapa yang mau percaya mereka
menyekap monster rawa di rumah
mereka?" Clark diam saja. Aku sendiri yang menjawab pertanyaanku. "Takkan ada!
Takkan ada yang percaya. Semua orang yang mendengar cerita itu
pasti menyangka mereka sudah gila."
"Pasti ada yang percaya," sahut Clark dengan parau. "Pasti ada yang mau
menolong." "Mana mungkin"! 'Kami perlu bantuan untuk membunuh
monster rawa,' itu yang akan mereka katakan. Kujamin pasti banyak
yang menawarkan diri!" Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku berhenti membentak-bentak Clark ketika bunyi napas si
monster terdengar lagi. Aku segera berbalik - dan melihat makhluk
itu. Ia berdiri di kaki tangga. Dan menatap kami dengan tajam. Air
liurnya menetes-netes. Perlahan-lahan Clark dan aku melangkah
mundur. Pandangan si monster terus mengikuti kami. "Kita harus membunuhnya,"
bisik Clark. "Itu yang dikatakan Kakek dan Nenek dalam surat mereka. Kita harus
membunuhnya. Tapi bagaimana?"
"Aku punya ide," ujarku kepada Clark. "Ayo, ikut aku!"
Kami berbalik dan segera lari. Ketika melewati kamar mandi,
kami mendengar Charley merintih-rintih.
"Charley harus kita bawa!" Clark langsung berhenti. "Terlalu bahaya dia
dibiarkan terkurung di sini. Dia harus dibawa."
"Tidak bisa, Clark," sahutku. "Dia cukup aman di sini. Kau tak perlu kuatir."
Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin. Tapi aku tahu kami
tidak punya waktu untuk mengambil Charley - sebab si monster telah
menyusul kami ke lantai dua.
Ia berdiri di ujung lorong.
Dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ternyata ia
memegang kursi penyangga kaki yang sempat membuatku tersandung
di ruang duduk tadi. Matanya tampak menyala-nyala.
Ia memelototiku, lalu menggeram keras-keras. Air liurnya
kembali menetes-netes. Lidahnya menjulur keluar untuk menjilat ludahnya sendiri. Aku
merinding ketika melihat lidahnya yang bercabang dua, bagaikan
lidah ular. Kemudian ia menghantamkan kursi di tangannya ke kakinya.
Kursi itu langsung terbelah.
Dengan gusar si monster melemparkan bagian-bagiannya ke
arah kami. "Ayo!" teriak Clark ketika potongan-potongan kayu itu
membentur dinding. Kami berlari menaiki tangga. Menuju lantai tiga. Si monster
mengejar kami. Setiap kali ia melangkah, seluruh rumah terasa
bergetar. "Dia datang!" teriak Clark. "Apa yang harus kita lakukan" Tadi kau bilang kau
punya ide. Ide apa?"
"Di atas ada tangga ambruk," aku memberitahu Clark sambil berlari sekencang
mungkin di lorong yang gelap dan berkelok-kelok.
"Tangga itu ambruk seluruhnya. Yang tersisa cuma lubang besar.
Setelah membelok di ujung, kau harus langsung berpegangan pada
langkan tangga. Si monster akan mengejar kita - dan dia akan jatuh ke lubang itu."
Raungan s i monster membuat telingaku berdengung-dengung.
Aku melihatnya bergegas menyusuri lorong, mengikuti kami.
"Ayo, Clark! Cepat!"
"Tapi bagaimana kalau ini tidak berhasil?" tanya Clark dengan nada melengking
karena ngeri. "Bagaimana kalau dia cuma cedera"
Bisa-bisa dia malah bertambah ganas!"
"Jangan banyak tanya, Clark," balasku kesal. "Ini pasti berhasil!
Pasti!" Kami mulai berlari lagi. Si monster melolong-lolong. Melolong karena marah.
"Itu belokannya, Clark. Di depan."
Monster itu meraung-raung. Ia hanya beberapa langkah di
belakang kami. Jantungku berdegup kencang. Dadaku serasa mau meledak.
"Pegang pagarnya, Clark. Kalau tidak, kau bakal jatuh. Ayo!"
Kami berbelok. Kami mengangkat tangan. Dan berpegangan pada langkan
tangga. Tubuh kami membentur dinding - lalu menggantung di atas
lubang hitam yang menganga.
Si monster ikut berbelok.
Apakah rencanaku akan berhasil" Apakah dia bakal jatuh dan
mati" Apakah memang begini cara membunuh monster"
Chapter 24 MAKHLUK itu berbelok tanpa memperlambat langkahnya.
Ia berusaha berhenti di tepi lubang.
Wajahnya menoleh ke arah kami. Matanya merah manyala.
Ia membuka mulut dan menggeram. Tangannya menggapai-
gapai untuk menjaga keseimbangan. Tapi tidak berhasil. Ia jatuh ke
lubang yang gelap gulita.
Aku mendengarnya terempas di bawah. Bunyinya keras sekali.
Clark dan aku bergelantungan di langkan tangga yang sudah
lapuk. Langkan itu berderak-derak karena menahan berat badan kami.
Tanganku mulai pegal. Jemariku mulai kaku. Aku sadar aku
takkan sanggup berpegangan lama-lama. Kami pasang telinga.
Hening. Makhluk itu tidak bergerak.
Aku menoleh ke bawah, tapi keadaan terlalu gelap untuk
melihat apa pun. "Jariku sudah licin," erang Clark. Kemudian ia mengayunkan kaki dan berusaha
menjangkau lantai lorong dengan sepatunya.
Dengan susah payah ia berhasil mencapai lorong yang aman.
Aku menyusulnya. Kami kembali memandang ke lubang yang menganga. Tapi
dasarnya diselubungi kegelapan yang pekat, sehingga kami tidak bisa melihat apa-
apa. Kami pasang telinga. Tak ada suara sama sekali.
"Kita berhasil! Kita selamat!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Clark dan aku melompat-lompat kegirangan. "Kita berhasil!
Kita berhasil!" Kami berlari ke bawah, dan mengeluarkan Charley dari kamar
mandi. "Semuanya sudah beres, Charley." Aku langsung merangkul
anjingku. "Kita berhasil," kataku padanya. "Kita berhasil membunuh monster rawa
itu." "Ayo, kita pergi dari sini," desak Clark. "Kita bisa jalan kaki ke kota. Lalu
telepon Dad dan Mom dari warung serbaada. Supaya
mereka datang dan menjemput kita - sekarang juga!"
Saking senangnya, kami seperti menari-nari waktu menuruni
tangga. Kami bertiga menuju perpustakaan. "Awas," kataku kepada Clark. "Tolong
pegang Charley. Aku akan memecahkan jendela
supaya kita bisa keluar."
Aku memandang berkeliling, mencari-cari tempat lilin dari
kuningan untuk memecahkan kaca. Tapi ternyata tidak ada.
"Tunggu di sini," ujarku. "Tempat lilinnya ketinggalan di kamar mandi. Aku akan
segera kembali." Serta-merta aku berlari keluar dari perpustakaan.
Aku sudah tidak sabar untuk meninggalkan tempat seram ini.
Aku sudah tidak sabar untuk pergi dari rawa-rawa yang mengerikan.
Dan memberitahu Dad dan Mom betapa bodohnya mereka, karena
menyuruh kami tinggal di rumah berisi monster.
Aku berlari melintasi ruang duduk - menuju tangga.
Aku melompati tiga anak tangga - lalu berhenti. Aku berhenti
karena mendengar erangan.
Tidak mungkin, pikirku. Ini pasti suara Charley. Barangkali
Charley sedang menggeram.
Aku pasang telinga. Dan kembali mendengarnya.
Bukan geraman anjing. Jelas-jelas bukan geraman anjing.
Kemudian terdengar langkah, langkah yang berdebam-debam,
langkah si monster rawa. Bunyi itu semakin dekat. Semakin dekat. Chapter 25 "CLARK!" Aku langsung kembali ke perpustakaan. Kakiku
gemetaran. Seluruh tubuhku gemetaran. "Dia belum mati!" seruku. "Si monster
belum mati!" Tapi perpustakaan sudah kosong.
"Clark" Di mana kau?" panggilku.
"Di dapur," sahutnya. "Aku sedang memberi makan Charley."
Aku berlari ke dapur. Clark dan Charley duduk di lantai.
Charley sedang minum air dari mangkuk.
"Dia belum mati! Si monster belum mati!" jeritku.
Clark membelalakkan mata. "Dia pasti semakin kesal sekarang.
Dia pasti marah besar. Apa yang harus kita lakukan?"
Aku memandang berkeliling. "Masukkan Charley ke situ," aku menyuruh Clark. "Ke
lemari itu. Aku punya ide."
"Moga-moga yang ini lebih baik dari yang pertama," gumam
Clark. "Memangnya kau punya ide yang lebih bagus?" bentakku.
"Heh?" Clark diam saja. Ia menyeret Charley melintasi dapur. "Gretchen, ini bukan
lemari. Ini semacam ruangan."
"Sama saja," sahutku. "Masukkan saja dia ke situ!"
Di meja layan ada pie talas buatan Nenek. "Si monster belum
makan dari tadi pagi," kataku kepada Clark. "Pie ini harus kita taruh di tempat
yang bakal terlihat dia."
"Tapi apa artinya pie ini bagi si monster?" sahut Clark sambil mengurung
Charley. "Sekali telan juga sudah habis. Dan setelah itu kita bakal dikejar-
kejar lagi." "Tak mungkin," aku berkeras. "Soalnya pie ini akan kita beri racun."
"Nanti dulu, Gretchen," kata Clark. "Aku rasa ini takkan berhasil."
Charley merintih-rintih di balik pintu - seakan-akan sependapat
dengan Clark. "Kita tak punya pilihan," balasku ketus. "Kita harus berbuat sesuatu!"
Aku menemukan garpu, lalu mencungkil bagian atas pie yang
keras. Kemudian aku memeriksa lemari di bawah tempat cuci piring.
Lemari itu lembap dan kotor sekali. Pipa airnya ditumbuhi semacam
jamur berwarna hijau. Aku menemukan sekaleng terpentin di rak paling depan.
Tutupnya terpasang rapat-rapat. Aku harus memutarnya keras-keras
untuk membukanya. Perlahan-lahan kutuangkan seluruh isi kaleng ke pie talas.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Idih! Baunya minta ampun," ujar Clark sambil menutup
hidungnya. Aku mengamati pie Nenek. Pie itu jadi becek dan agak cair,
seperti lumpur. "Kelihatannya kita butuh sesuatu untuk mengeringkan terpentin
ini," aku berkomentar. "Kurasa ini bisa dipakai." Aku meraih sebotol serbuk
pembersih untuk pipa air yang tersumbat.
Serbuk biru itu kutaburkan ke atas pie. Serbuk itu langsung
mendesis-desis begitu mengenai terpentin tadi.
Clark melompat mundur. "Mestinya sudah cukup,"
komentarnya. Aku tidak menggubrisnya. Aku memasukkan kepala ke bawah tempat cuci piring dan
menemukan dua stoples. "Racun tikus!" seruku sambil membaca label yang menempel
pada salah satu stoples. "Bagus." Yang satu lagi berisi amonia.
"Cepat!" desak Clark. "Suaranya sudah terdengar. Dia menuju kemari."
Aku menaburkan racun tikus dan menuangkan amonia ke atas
pie talas buatan Nenek. Suara si monster semakin dekat. Aku tersentak kaget setiap kali
ia meraung atau menggeram.
Aku menemukan kaleng berisi cat jingga, dan menuangkan
isinya sekalian. "Cukup! Sudah cukup!" seru Clark panik.
"Oke. Oke. Aku cuma mau memastikan rencanaku berhasil."
Aku memasukkan segenggam bola kamper. "Cepat!" Clark
mendesak. "Sudahlah. Dia datang!" Bunyi langkah si monster berdebam-debam di
ruang duduk. "Cepat dong!" Clark memohon.
Bagian atas pie talas kusemprot dengan obat nyamuk.
"Gretchen!" Clark mengiba.
Aku menaruh pie talas itu di atas meja.
Aku teringat ucapan Nenek. Saking manisnya, gigi kalian bisa
tanggal setelah gigitan pertama!
Pie ini harus lebih mujarab lagi sekarang! kataku dalam hati.
Pie ini harus bisa membunuh monster! "Awas, dia datang!" jerit Clark.
Kami bersembunyi di bawah meja makan.
Si monster memasuki dapur. Aku mengintip dari bawah meja,
dan melihatnya mengayun-ayunkan tangan. Ia menyambar piring,
panci, gelas. Pokoknya segala sesuatu yang terjangkau.
Kemudian jantungku serasa mau copot ketika makhluk raksasa
itu berbalik. Ia tampak ragu-ragu. Kemudian ia maju selangkah ke arah meja
dapur. Lalu selangkah lagi. Dan selangkah lagi.
Clark dan aku meringkuk di bawah meja. Kami berdua
gemetaran begitu hebat, sehingga meja ikut bergoyang.
Dia bisa melihat kami di bawah sini! aku menyadari.
Kami terperangkap. Apa yang akan dilakukannya"
Chapter 26 CLARK dan aku berpegangan tangan. Si monster rawa
menghampiri meja. Ia begitu dekat, sehingga bau apak yang tersebar
dari bulu-bulu lebatnya tercium jelas.
Clark merintih perlahan. Aku cepat-cepat membekap mulutnya. Aku sendiri
memejamkan mata. Pergilah, aku berdoa. Pergilah, monster, jangan lihat kami.
Makhluk itu terdengar mengendus-endus. Seperti anjing yang
sedang mencium-cium sepotong tulang.
Ketika aku membuka mata, ia sudah menjauhi meja.
"Uih!" Aku mengembuskan napas dengan lega. Si monster
mondar-mandir di dapur. Sambil mengendus-endus. Ia mengendus-endus lemari es.
Lalu ia menghampiri oven dan mengendus-endus lagi. Ia
kembali mondar-mandir. Masih sambil mengendus-endus.
Dia mencium kami. Dia mencium Clark dan aku, pikirku Moga-
moga dia melihat pie itu. Moga-moga dia melihatnya.
Si monster kembali ke oven.
Ia mengendus-endus. Lalu ia membungkuk dan mengintip ke dalam oven. Dengan
satu sentakan ia menarik pintu oven sampai terlepas dari engsel, dan
melemparkannya ke seberang ruangan.
Pintu itu menghantam dinding. Clark tersentak kaget, dan
kepalanya membentur meja. Ia mengerang tertahan.
Aku juga mengerang. "Lihat tuh," bisikku padanya.
Si monster sedang makan - tapi yang dimakannya bukan pie
kami. Rupanya masih ada dua pie di dalam oven. Dan pie-pie itulah
yang dilahapnya. Aduh, dia bakal kenyang setelah makan pie-pie itu, kataku
dalam hati. Kalau begitu, pie kami takkan disentuhnya! Tamatlah
riwayat kami. Si monster makan dengan rakus. Kedua pie itu ditelannya nyaris
tanpa dikunyah. Kemudian ia berjalan ke tengah ruangan.
Ia mengendus-endus. Yes! Dia masih lapar! pikirku. Ayo, makan pie kami. Makan
pie kami, ujarku dalam hati.
Aku mengintip dari bawah meja - dan melihat makhluk itu
menghampiri pie kami. Yes!
Ia berhenti. Dan mengendus-endus. Mengendus-endus pie kami.
Ia menatapnya sejenak. Kemudian mengangkatnya dan
memasukkannya ke mulut. Yes! sorakku tanpa bersuara. Pie itu dimakan! Pie kami
dimakan! Ia mengunyah-ngunyah dengan lahap. Mengunyah dan
menggigit sepotong lagi. Mengunyah dan menggigit. Mengunyah dan
menggigit. Sambil makan, ia menjilat-jilat bibir.
Menjilat-jilat cakar. Mengusap-usap perut. "Aduh!" erangku. "Kelihatannya dia malah suka."
Chapter 27 AKU memperhatikan bagaimana monster itu melahap pie itu
sampai ludes. Kemudian ia menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, dan
menjilat-jilat remah-remah yang masih tersisa di piring.
"Tidak berhasil," bisikku kepada Clark. "Dia malah suka."
"Sekarang bagaimana?" tanya Clark, juga sambil berbisik. Ia menekuk lutut dan
merangkulnya erat-erat di depan dada agar tidak
gemetaran. Si monster mengerang panjang.
Aku mengintip dari bawah meja. Aku melihat kedua matanya
melotot. Matanya nyaris copot dari kepala!
Napasnya tersendat-sendat, seakan-akan ada yang
mencekiknya. Kedua tangannya yang berbulu memegangi lehernya.
Ia kembali mengerang. Perutnya bergemuruh - mirip bunyi guntur di kejauhan. Ia
membungkuk sambil memegangi perutnya.
Kemudian ia memekik kesakitan - kesakitan bercampur kaget.
Dan akhirnya ia roboh di lantai dapur. Mati.
"Kita berhasil! Kita berhasil!" sorakku. "Monster itu berhasil kita bunuh!"
Aku menarik Clark dari bawah meja.
Lalu aku mengamati si monster dari jauh. Sebenarnya aku yakin
dia sudah mati - tapi aku tetap saja tidak mau terlalu mendekatinya.
Kedua mata si monster terpejam rapat.
Aku menatap dadanya - untuk melihat apakah dadanya
bergerak naik-turun. Untuk melihat apakah dia masih bernapas.
Tapi dadanya tidak bergerak sedikit pun.
Aku mengamatinya beberapa saat lagi.
Ia tetap bergeming. Clark mengintip dari belakangku. "D-dia sudah benar-benar
mati?" tanyanya tergagap-gagap.
"Ya!" Sekarang aku betul-betul yakin. Seratus persen yakin.
"Kita berhasil!" seruku. Aku melompat-lompat girang. "Kita berhasil membunuh si
monster! Kita berhasil membunuhnya!"
Clark merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil
komiknya - Makhluk dari Lumpur. Ia melemparkannya ke seberang
ruangan. Komik itu membentur kepala si monster, lalu jatuh ke lantai.
"Aku sudah muak dengan monster rawa. Benar-benar muak!"
seru Clark. "Ayo, kita pergi dari sini."
Charley menggaruk-garuk pintu. Begitu pintunya kami buka, ia
langsung melompat keluar dan berputar-putar mengelilingi kami.
"Semuanya sudah beres, Charley," kataku menenangkannya.
"Semuanya sudah beres."
Aku mengintip ke ruangan tempat Charley disekap tadi. "Hei,
Clark, sepertinya ada pintu di sini," kataku. "Pintu untuk keluar dari sini!"
Langsung saja aku masuk ke ruangan kecil yang gelap itu - dan
tersandung sapu yang tergeletak di lantai.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Dua sekop yang telah berkarat tampak tersandar ke dinding di
sebelah kananku. Di sebelah kiri ada gulungan slang air.
Pintu yang kulihat tadi berada di depanku. Pintu dengan jendela
besar. Aku memandang ke luar - ke pekarangan belakang. Ke jalan
setapak yang melintasi rawa-rawa.
Barangkali jalan setapak itu menuju kota, kataku dalam hati.
Hmm, tak ada salahnya dicoba.
"Sebentar lagi kita bakal bebas!" ujarku.
Aku memutar gagang pintu, tapi pintu itu terkunci. Digerendel
dari luar, seperti semua pintu lainnya.
"Pintunya tak bisa dibuka," aku memberitahu Clark. "Tapi aku akan memecahkan
jendela, biar kita bisa memanjat keluar. Tenang
saja." Sekop-sekop yang tersandar ke dinding tampak berat dan
kokoh. Aku memegang gagang salah satu sekop dengan dua tangan,
lalu mengambil ancang-ancang.
Aku mengayunkannya ke belakang - dan merasakan lantai
bergetar. Aku berbalik - dan mendengar raungan mengerikan.
Raungan si monster rawa. Dia belum mati.
Chapter 28 SI monster muncul di ambang pintu.
Clark dan aku sama-sama memekik ketika makhluk raksasa itu
memasuki ruangan. Kepalanya yang mengerikan menyenggol bagian
atas kusen pintu. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya.
Clark dan aku merapat ke dinding.
Charley mundur ke sudut ruangan. Ia merintih-rintih ketakutan.
Kami terperangkap. Kami tidak bisa lolos. Tak ada jalan untuk melarikan diri.
Si monster menatap Charley, lalu aku, lalu Clark. Clark
diperhatikan sedikit lebih lama. Kemudian makhluk itu mendongak
dan kembali meraung. "A-aku yang bakal dimakan paling dulu," seru Clark. "S-seharusnya aku tidak
menimpuknya dengan komik. Seharusnya aku
tidak menimpuk kepalanya."
"Kita semua bakal dimakan, bodoh!" aku menghardiknya.
"Soalnya kita mencoba membunuh dia!"
Clark langsung terdiam. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku. Aku harus melakukan
sesuatu. Tapi apa" Apa"
Si monster rawa melangkah maju.
Tiba-tiba ia membuka mulut - dan memperlihatkan giginya
yang runcing dan kuning. Air liurnya menetes-netes.
Matanya merah membara ketika ia menghampiri kami. Semakin
dekat. Semakin dekat. Aku menoleh ke bawah dan menyadari aku masih memegang
sekop. Aku mengangkatnya dengan dua tangan - dan
menyodokkannya ke depan. Aku terus menyodok-nyodok untuk
mencegah makhluk itu mendekati kami.
"Mundur!" teriakku. "Mundur! Jangan ganggu kami!"
Si monster menggerung. "Mundur! Mundur!" seruku sambil mengayunkan sekop. "Pergi dari sini!"
Aku mengayunkan sekop ke arah makhluk itu. Sekop itu
menghantam perut si monster rawa. Suasana langsung hening.
Kemudian monster itu mendongakkan kepala lagi. Raungannya
memekakkan telinga. Ia melangkah maju. Merebut sekop dari tanganku. Dan
melemparkannya ke luar pintu. Ia mencampakkannya seperti tusuk
gigi. Aku melirik sekop yang satu lagi. Si monster mengikuti
pandanganku. Sekop itu segera disambar, dipatahkan, dan dibuangnya ke
dapur. Apa yang bisa kulakukan" Aku harus melakukan sesuatu!
Dan tiba-tiba aku mendapat ide!
Surat tadi. Surat kedua dari Kakek dan Nenek - surat yang belum sempat
kami buka. "Clark! Cepat! Surat yang kedua!" seruku. "Barangkali ada petunjuk! Cepat, baca
suratnya!" Clark menatapku. Ia tidak beranjak dari tempatnya.
Pandangannya seolah-olah terpaku pada monster itu.
"Clark!" teriakku sambil mengertakkan gigi.
"Buka... surat... itu. CEPAT!"
Dengan tangan gemetaran ia merogoh saku jeansnya. Lalu
meraba-raba amplop untuk membukanya.
"Cepat, Clark!" desakku.
Akhirnya ia berhasil merobek sudut amplop.
Dan kemudian aku menjerit.
Si monster menerjang maju.
Ia menyambar lenganku. Dan menariknya keras-keras.
Aku ditarik mendekatinya.
Chapter 29 MONSTER itu menarikku mendekat.
Aku menatap wajahnya yang mengerikan - dan memekik
tertahan. Matanya tampak bagaikan telaga yang dalam dan gelap -
dengan cacing-cacing kecil yang berenang-renang!
Aku langsung membuang muka - supaya tidak perlu melihat
mata yang bercacing. Cengkeraman makhluk itu semakin erat.
Napasnya yang panas dan bau menyengat pipiku.
Mulutnya menganga lebar-lebar.
Mulutnya penuh kutu! Aku melihat puluhan kutu merayap-
rayap di sepanjang lidahnya.
Aku menjerit. Dan meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Tapi monster itu terlalu kuat.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lepaskan aku!" pekikku. "Kumohon...!"
Si monster meraung keras-keras, dan aku kembali merasakan
napasnya yang berbau busuk.
Baunya seperti rawa, aku menyadari sambil memberontak.
Dialah rawa itu. Dia rawa yang hidup.
Dengan tanganku yang bebas aku memukul-mukul lengan
makhluk itu. Tapi ternyata lengannya terselubung lumut. Seluruh
tubuhnya terselubung lapisan lumut yang lembap!
"Lepaskan aku!" aku memohon. "Tolong lepaskan aku!"
Clark melompat maju. Ia meraih tanganku dan berusaha
menarikku menjauh. "Lepaskan dia!" Clark ikut memekik.
Charley mendadak maju dari sudut ruangan. Dia menyeringai
dan menggeram-geram. Kemudian dia menggigit kaki si monster yang
berbulu lebat. Monster rawa itu sempat kaget. Ia melangkah mundur sambil
menyeretku. Tapi Charley tidak melepaskannya. Aku menoleh ke bawah dan
melihat anjing itu justru menggigit semakin keras.
Si monster menggerung dan mengangkat kaki. Dan dengan satu
ayunan kaki dia membuat Charley terpental ke seberang ruangan.
"Charley!" seruku. "Charley!"
Aku mendengarnya merintih-rintih.
"Dia tidak apa-apa," ujar Clark sambil terengah-engah. Dia tetap menarik-narik
tanganku, dan berusaha membebaskanku dari
cengkeraman si monster rawa.
Makhluk itu kembali menggerung. Serta-merta ia mendorong
Clark sampai menabrak dinding. Kemudian ia membungkuk - dan
mengangkatku ke depan wajahnya.
Dia membuka mulut. Lidahnya yang penuh kutu menjulur keluar. Dan dia
MENJILAT aku. Dia menjilat-jilat lenganku dengan lidahnya yang panas dan
berbentol-bentol. Dan setelah itu dia bersiap-siap menggigit tanganku.
Chapter 30 "JANGAAAN!" jeritku ngeri.
Mulut si monster menganga lebar. Aku melihat kutu-kutu yang
merayap di giginya yang kuning.
Si monster mendekatkan mulutnya ke tanganku.
Tapi tiba-tiba ia berhenti.
Dan melepaskanku. Dia mundur sambil menatap lenganku dengan matanya yang
besar. Aku juga menatap lenganku. Lenganku penuh ludah monster
yang menjijikkan. Si monster mengangkat tangan dan memegangi lehernya. Dia
terbatuk-batuk. Entah kenapa.
Kedua matanya yang basah menatapku.
"Kau... kau manusia?" tanyanya dengan susah payah.
"Dia bisa bicara!" seru Clark.
"Kau manusia" Kau manusia?" monster itu kembali bertanya.
"Y-ya, aku manusia," aku tergagap-gagap.
Si monster mendongak dan mengerang. "Oh, gawat. Aku alergi
manusia." Bola matanya berputar-putar.
Ia maju terhuyung-huyung dan roboh. Tubuh besarnya
menabrak pintu yang menuju pekarangan belakang. Pintu itu langsung
jebol. Cahaya bulan masuk.
Ia tergeletak dalam posisi tengkurap. Tanpa bergerak.
Aku mengusap-usap lengan sambil menatap si monster rawa.
Apakah dia betul-betul mati kali ini"
Chapter 31 "AYO, Gretchen!" Clark menyeretku ke pintu yang terbuka.
Kami melangkahi si monster. Sekali lagi aku mengamati
makhluk yang mengerikan itu.
Matanya terpejam rapat. Dia tidak bernapas. Dia tak bergerak
sedikit pun. "Ayo dong!" desak Clark.
Betulkah dia sudah mati" Aku memperhatikannya dengan
saksama. Terus terang, aku belum yakin. Tapi ada satu hal yang sudah jelas - aku
tidak mau menunggu di sini untuk mendapatkan kepastian.
Clark dan aku keluar melalui pintu yang hancur berantakan.
Charley ternyata sudah menunggu di luar. Terpontang-panting kami
berlari menyusuri jalan setapak - menjauhi rumah Kakek dan Nenek.
Memasuki daerah rawa. Di luar dugaanku, hari sudah berganti malam. Rupanya sehari
penuh kami bertempur melawan si monster rawa.
Bulan tampak pucat di atas pohon-pohon cypress. Suasana
cukup menyeramkan. Kakiku terbenam lumpur ketika kami melintasi rawa.
Menerobos alang-alang. Menembus gumpalan kabut tebal.
Berulang kali kakiku terperosok ke genangan air yang dalam.
Tersandung akar-akar pohon yang menyembul dari tanah.
Aku berusaha menyingkirkan janggut-janggut kelabu yang
bergelantungan dari pepohonan. Semakin lama kami semakin jauh
memasuki daerah rawa. Kami baru berhenti berlari ketika rumah Kakek dan Nenek
tidak kelihatan lagi. Clark dan aku terengah-engah.
Aku pasang telinga. Mencoba mendengar bunyi langkah dalam kegelapan.
Langkah si monster rawa. Tapi aku tidak mendengar apa-apa.
"Kita berhasil! Kita berhasil membunuhnya!" suaraku
memecahkan keheningan malam.
"Dan kita berhasil lolos!" sorak Clark. "Kita bebas! Kita selamat!"
"Yes!" seruku. "Kali ini kita benar-benar berhasil!"
Kini kami berjalan dengan hati-hati, karena yakin tak ada yang
mengejar-ngejar. Kami menghindari genangan-genangan air dan akar-
akar pohon. Sekeliling kami dipenuhi hunyi-bunyi janggal.
Ada bunyi berdeguk-deguk. Bunyi langkah perlahan. Jeritan-
jeritan yang melengking tinggi.
Tapi aku tidak peduli. Aku telah mengalami mimpi buruk paling parah yang bisa
dibayangkan - si monster rawa. Aku telah bertempur melawan dia,
dan aku telah menang. "Hei! Clark!" Tiba-tiba saja aku teringat surat yang satu
lagi. "Kita belum sempat membaca surat Kakek dan Nenek.
Surat yang kedua!" "Untuk apa?" tanya Clark. "Monster itu kan sudah mati. Kita sudah berhasil
membunuhnya. Sesuai pesan mereka dalam surat
pertama." "Mana" Mana suratnya?" tanyaku. "Coba ambil, Clark." Aku berhenti. "Aku ingin
tahu apa isinya." Clark mengeluarkan amplop yang telah terlipat-lipat dari saku
celana jeans-nya. Ketika ia berusaha melicinkannya, terdengar
teriakan nyaring. "M-mungkin lebih baik kalau kita jalan terus," ujar Clark.
"Surat ini kita baca nanti saja. Setelah sampai di kota. Setelah menelepon Dad
dan Mom." "Sekarang saja," aku berkeras. "Ayo dong. Memangnya kau tidak ingin tahu apa
isinya?" "Tidak," jawab Clark.
"Tapi aku ingin tahu," ujarku.
"Oke. Oke." Clark membuka amplop dan mengeluarkan surat
yang ada di dalamnya. Angin mulai berembus. Pepohonan berdesir di atas kepala kami.
Clark mulai membaca pelan-pelan. Ia terpaksa memicingkan
mata agar dapat melihat dalam cahaya bulan yang redup. "'Gretchen dan Clark yang
tersayang. Kami berharap kalian baik-baik saja. Ada
satu hal yang lupa kami beritahukan dalam surat yang pertama.
"'Kalau monster itu sampai lolos... dan kalian berhasil
membunuhnya... dan berhasil keluar dari rumah - kalian harus tetap di jalan mobil.
JANGAN masuk ke daerah rawa.'"
Clark menggeleng-geleng. "Terus dong!" seruku. "Baca sampai selesai!"
Ia kembali memicingkan mata. "Monster itu punya kakak dan
adik - lusinan. Mereka tinggal di rawa. Kami rasa mereka sedang
menunggu dia.'" Jantungku mulai berdegup kencang ketika Clark melanjutkan
surat itu. "'Kami sempat melihat mereka di rawa. Dan kami juga
mendengar mereka bersiul-siul pada malam hari. Mereka tidak senang
saudara mereka tertangkap. Mereka menunggu dia kembali. Jadi apa
pun yang kalian lakukan, jangan pergi ke rawa. Tempat itu tidak
aman. Jangan pergi ke situ! Semoga kalian beruntung! Kami
menyayangi kalian!'"
Clark menurunkan tangan. Surat itu jatuh ke tanah becek.
Aku berbalik pelan-pelan sambil mengamati bayangan-
bayangan di sekeliling kami.
"Gretchen," kata Clark dengan parau. "Kaudengar itu" Suara apa itu" Apa?"
"Ehm... kedengarannya seperti siulan."
"A-aku juga pikir begitu," bisiknya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang" Ada
ide?" "Sori, Clark," sahutku. "Aku sudah kehabisan ide. Kau sendiri bagaimana?" END
Suling Emas Dan Naga Siluman 11 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Pendekar Tanpa Tanding 9