Pencarian

Saat Saat Seram 1

Goosebumps - Saat-saat Seram Bagian 1


NIGHT MARE HOUR SAAT-SAAT SERAM SETIAP DETAK JAM MEMBAWA KENGERIAN LAGI
"Ini cerita-ceritaku yang paling seram," kata R.L. Stine, "karena kutulis pada
NIGHTMARE HOUR-SAAT-SAAT SERAM." kau tahu kapan itu... yaitu ketika
lampu-lampu padam, dunia nyata jadi gelap-dan dunia mimpi-mimpi buruk yang
dingin remang-remang mengambil alih benakmu.
Kengerian apa yang menunggu seorang anak yang terpaksamondok dl rumah sakit
pada malam halloween"
Bagaimana kau mengecoh hantu yang menginginkan kulitmu"
Mengapa Nightmare Inn jadi penginapan yang paling seram"
R.L STINE, PENGARANG CERITA ANAK-ANAK TERLARIS EPANJANG
MASA MENYUGUHKAN JARING-JARING KENGERIAN YANG TAK ADA
HABISNYA. BARU KALI INI IA BERBAGI RAHASIA Dl BALIK TIAP-TIAP CERITA
DARI MANA IDE MASING-MASING CERITA ITU BERASAL.
INILA H SEPULUH KISAH YANG AKAN MENIMBULKAN KENGERIAN
SEKALI DAN MEMB AW AMU KE TEMPAT YANG PALING SERAM-Dl DALAM
BENAK R.L STINE. ISBN 979-655-457-7 Penerbit PT Gramedla Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37 Jakarta 10270 www. gramedia. com SAAT SAAT SERAM NIGHTMARE HOUR by R.L. Stine Copyright ? 1999 by Parachute Publishing, L.L.C.
All rights reserved SAAT-SAAT SERAM Alih bahasa: Anastasia Mustika W.
GM 315 99.457 Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W.
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26
Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota
IKAPI, Jakarta, November 1999
Cetakan kedua: Februari 2003
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
STINE, R.L. Saat-saat Suram/ R.L. Stine; alih bahasa, Anastasia Mustika W. - Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999 192 him; 20 cm
Judul asli: Nightmare Hour ISBN 979 - 655 - 457 -
Dicetak oleh Percetakan PTJ Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Weblog http://vodozom.wordpress.com
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Untuk Susan Lurie. BEKERJA denganmu adalah mimpi buruk yang jadi kenyataan.
1. KEPALA LABU PENGANTAR LADANG labu terbentang di hadapanku di bawah langit sore yang kelabu. Aku
merencanakan memetik sebuah labu besar dan bulat untuk dibuat jadi lentera jack
o' Halloween. Tetapi sekarang adalah musim gugur yang panas, dan ketika berjalan
melewati deretan labu, aku sadar sudah terlambat.
Hampir semua labu itu lembek dan membusuk, dengan bintik-bintik ungu tua
bertebaran di seluruh permukaannya dan ulat-ulat merayapi kulitnya yang hancur.
Matahari terbenam waktu aku melanjutkan pencarianku. Udara menjadi. dingin.
Aku berhenti saat terdengar bunyi gedebuk pelan. Sebuah labu menggelinding ke
arahku. Menggelinding melewati tanaman-tanaman rambat yang layu, di atas
ladang datar dan gelap dan berhenti di kakiku.
Aku tercengang memandanginya. Apa yang membuatnya menggelinding" Ladang
itu benar-benar kosong. Tiba-tiba tanaman-tanaman rambat mulai menggeliat-geliat dan terpilin-pilin.
Sebuah labu lainnya menggelinding di tanah. Aku berbalik dan cepat-cepat pergj
tanpa sebuah labu pun. Ketika menulis kisah ini, aku membayangkan hari yang mengerikan dan kelabu itu
- serta ladang labu yang menjadi hidup....
ILUSTRASI OLEH CLIFF NIELSEN
"HALLOWEN kacau!" seru Mike. "Apa asyiknya berkeliling dari rumah kerumah kalau
mati lampu! Kenapa kita harus pulang jam delapan?"
Mom memutar bola matanya. "Sudah, masuk mobil' katanya pada Mike. "Dan jangan
mengeluh terus. Kau tahu kenapa ada pemadaman listrik tahun ini."
"Karena para orangtua bodoh," Mike menggerutu.
"Karena anak-anak itu hilang pada Halloween tahun lalu' kataku. "Dan pada
Halloween tahun sebelumnya lagi."
Mike mengangkat bahu. "Apa hubungannya dengan kita?"
"Ayo, Mike' kataku. "Masuk mobil. Liz dan aku mau pergi."
"Tapi aku tak mau memetik labu. Bosan." Mike menyilangkan lengan kurusnya di
depan dada dan mencebikkan mukanya. "Kenapa kita harus pergi?"
"Karena kita melakukannya tiap tahun." Mom menjawab dengan sabar. Ia terbiasa
menghadapi adat Mike. Kami semua terbiasa. "Cuek aja dan pura-puranya kita sudah pergi' kata Mike. Ia memang sok tahu.
Umur Mike sepuluh, dua tahun lebih muda daripada aku, dan ia marah-marah
sepanjang waktu. Mom bilang sikapnya yang nggak ketulungan itu karena dia berambut merah.
"Rambut merah pemarah," katanya.
Aku tak tahu apa hubungan rambut merah dengan sikap. Mike selalu ngomel,
protes, mengacung-acungkan tinjunya, dan cari masalah.
Minggu lalu ia berantem di sekolah dan dua giginya copot kena pukul. Untungnya,
kedua gigi itu memang sudah goyah.
Ia jadi mirip dengan lentera jack o' gara-gara kehilangan dua gigi itu. Tapi
ketika aku mengejeknya, ia memukul perutku keras sekali, hingga semua makan
malamku nyaris keluar lagi.
"Ayo, Mike. Kita berangkat," kataku. Dengan bercanda kutabrak dia dari belakang
agar beranjak. Ia berputar dan melayangkan tinju padaku. "Awas, Andrew!" "Hei!"
Aku tertawa. "Tak sengaja!"
"Mukamu tak sengaja!" bentaknya.
"Ayo, Mike," temanku Liz menengahi. "Aku belum pernah memetik labu. Kau bisa
membantuku memilih yang bagus."
Mike menyukai Liz. Biasanya tingkahnya manis kalau ada Liz. Masih sambil
cemberut ia masuk mobil dan duduk di kursi depan.
Liz dan aku memutar bola mata, lega akhirnya kami berangkat. Kami masuk ke
kursi belakang dan memasang sabuk pengaman.
Liz berumur dua belas sebaya denganku, dan tinggal berseberangan dengan kami.
Kedua orangtuanya bekerja hingga malam setiap hari, maka Liz sering sekali
berada di rumah kami. Kami berdua memandang ke luar jendela, memperhatikan pepohonan yang
berkelebatan. Daun-daun berguguran, seperti hujan merah dan kuning, karena
sekarang musim gugur. Deretan pohon hampir berakhir, dan mobil menanjak
melewati kebun-kebun dan ladang-ladang yang dibajak untuk persiapan musim
dingin. "Well, kau mau menolongku memetik labu, Mike?" Liz bertanya.
"Ya. Tapi jangan biarkan Andrew membantumu," Mike menyahut. "Labu-labu pilihan
Andrew selalu busuk di dalamnya. Seperti dia."
"Terserah apa katamu," kataku. Aku tahu ia hanya mencari gara-gara, tapi
sebenarnya aku tak suka terus-terusan bertengkar dengannya. Mengapa dia selalu
bikin jengkel" Aku mengintip ke luar dan melihat papan pe-nunjuk berbentuk labu oranye di tepi
jalan. Bunyinya: PERKEBUNAN LABU PALMER, 1 MIL.
Aku membayangkan Mr. Palmer, pemilik kebun labu itu. Orang yang
menyeramkan. Ia mengingatkanku pada salah satu orang-orangan pengusir
burungnya: tinggi dan kurus, memakai overall yang kebesaran. Jalannya sangat
kaku kalau sedang berpatroli memeriksa ladang-ladangnya, mengawasi setiap
orang dengan tatapan kosong yang menyeramkan. Matanya tampak seperti lubang
dalam dan gelap di wajahnya.
"Kita sudah sampai," kata Mom dengan ceria.
Mobil membelok ke jalur masuk yang panjang dan berkerikil, menyusurinya
menuju ke tempat parkir. Empat atau lima mobil diparkir dekat pagar kayu yang bobrok.
Aku turun dari mobil dan meregangkan lenganku dengan mengulurkannya ke atas
kepala. Matahari bersinar cerah, udara terlalu dingin untuk bulan Oktober. Aku
dapat melihat uap napasku di depanku. Udara pertanian tercium segar dan manis.
Seorang wanita muda yang mengenakan parka oranye dan topi ski wol oranye
menyambut kami di pintu gerbang. "Labu-labu di bukit pertama agak terlalu
matang," katanya pada kami. "Dan yang dekat gerbang ini sudah dipetik. Cobalah
di ladang berikutnya."
Kami mengucapkan terima kasih kepadanya dan mulai melewati pintu gerbang itu.
"Oh - satu lagi..." ia memanggil kami. Ia menunjuk ke sebelah kiri.
"Lihat pagar kayu hijau tinggi di sana itu" Mr. Palmer tak menghendaki ada orang
ke dekat pagar itu, oke?"
"Kenapa tak boleh?" Mike bertanya. "Ada apa di sana?"
Khas Mike. "Itu ladang labu pribadi Mr. Palmer," jawab wanita muda itu.
Kami melanjutkan berjalan melewati pintu gerbang.
Ladang-ladang labu membentang dari satu bukit ke bukit-bukit lainnya tak ada
habisnya, sejauh mata memandang. Sulur-sulur hijau panjang menjalar di atas
tanah seperti ular. Di ujung-ujung sulur terdapat labu-labu - ukurannya berbeda-
beda, ratusan, mirip balon-balon oranye yang tertambat tanah.
Orang-orangan pengusir burung tertancap pada tiang-tiang tinggi miring di atas
labu-labu itu. Orang-orangan itu hanyalah mantel-mantel tua yang diisi dengan jerami. Namun
dari kejauhan mereka kelihatan seperti orang tua yang kecapekan membungkuk
melawan angin. "Hei, Andrew," bisik Mike, sambil terbirit-birit agar tidak tertinggal oleh Liz
dan aku. "Ayo kita periksa ladang pribadi Palmer. Aku berani taruhan dia
menyimpan labu terbaik di sana."
"Nggak!" kataku. "Jangan libatkan kami dalam kesulitan hari ini. Oke?"
"Dasar penakut," gumam Mike.
Aku tak memedulikannya. Aku sebenarnya tak ingin bertengkar.
Sneakers-ku mengikis tanah keras sementara aku berjalan menghampiri deretan
labu. Sambil menyipitkan mata dalam sorot sinar matahari sore itu, aku melihat
dua orang anak di puncak bukit pertama. Mereka terhuyung-huyung menuruni
bukit, berusaha keras membawa sebuah labu yang besar sekali bersama-sama.
Mike tertawa. "Lihat anak-anak goblok itu. Mereka nggak bakal berhasil."
Ia membungkuk dan memungut sebuah labu seukuran bola sofbol dari tanah.
"Berpikirlah cepat, Andrew!" Ia melemparkan labu itu padaku.
Aku terkejut, terlambat mengangkat kedua tanganku. Labu itu melayang di atas
bahuku dan mendarat di tanah dengan bunyi ceprot.
"Ooh - yang sudah masak!" seru Mike, tertawa. Ia merunduk saat kulemparkan satu
labu ke kepalanya. Ia tertawa lagi. "Meleset, Andrew! Lemparanmu kayak cewek!"
"Awas, Mike!" Liz memperingatkan dengan bercanda. "Akan kutunjukkan padamu
bagaimana lemparan cewek!" Ia membungkuk dan meraih labu ranum untuk
dilemparkan pada Mike. "Hei - Whoa. Hentikan!" Mom berteriak. "Mr. Palmer sedang mengawasi kalian."
Mr. Palmer melangkah keluar dari balik orang-orangan. Ia berjalan ke arah kami,
mukanya cemberut. Meskipun udara dingin, ia tidak mengenakan mantel. Ia
memakai overall denim yang longgar di atas kemeja flanel oranye. Di bawah topi
bisbol oranye, yang menghadap ke samping, rambutnya yang kelabu mencapai
bahunya. Ia mempunyai janggut teraneh yang pernah kulihat.
Oranye, kaku, dan bergantungan tidak rata dari pipinya. Seperti sesuatu yang
menjijikkan yang terdapat dalam labu ketika dibuka.
Ia menggelengkan kepala pada kami, matanya yang hitam kosong itu menatap
dengan dingin. Liz menjatuhkan labu yang tadi akan dilemparkannya.
Mom bergidik "Labu-labu di sini sudah dipetiki semua. Naiklah ke bukit itu. Coba
lihat apakah kalian bisa menemukan yang lebih baik. Aku akan mengejar kalian."
Kami menyingkir, berjalan melewati deretan-deretan labu. Ketika kami sampai di
puncak bukit, angin berembus, meniup rambut pirang Liz ke wajahnya. Segumpal
awan bergulir menutupi matahari, mengirimkan kegelapan yang menyapu ladang
labu seperti gelombang samudra gelap.
"Hei! Sekarang apa yang dilakukan Mike?" teriakku sambil menunjuk.
Kulihat Mike setengah jalan menuruni bukit, dalam bayang-bayang pagar hijau
yang tinggi itu, menarik palang pintu gerbangnya.
"Mike! Jangan ke sana!" seruku.
Ia tidak menghiraukanku dan menarik palang itu lebih keras.
Liz dan aku berlari menuruni bukit. Kami mencoba menarik Mike menyingkir.
Tapi ia tidak mau melepaskan pegangannya dari palang pintu itu.
"Minggir! Minggir!" sebuah suara menggelegar di belakang kami.
Aku tersentak, berbalik, dan berhadapan dengan Mr. Palmer yang sedang berdiri di
belakang kami, berkacak pinggang, memelototi kami dengan mata mirip orang-
orangan sawah yang seram itu.
Mike menjatuhkan palang itu dan mundur.
"Itu koleksi pribadiku," kata Mr. Palmer dengan suara yang seakan berasal dari
dalam dadanya. "Kesayanganku. Kesayanganku yang istimewa. Menurutku kalian
tak ingin melihatnya."
"Maaf," kata Mike pelan.
Belum pernah aku mendengar Mike meminta maaf pada seseorang mengenai apa
pun. Tapi bahkan adikku yang bandel itu pun menyerah di bawah tatapan dingin
Mr. Palmer. Mr. Palmer menggaruk janggut oranyenya yang kaku.
Lalu, yang mengejutkanku, ia mengulurkan tangannya yang berkuku panjang-
panjang. Ia membentangkan jari-jarinya di atas kepala Mike - lalu memencet-
mencet kepalanya. "Belum seberapa masak," kata Mr. Palmer. "Tapi akan segera masak."
Apa maksudnya bercanda" Apa dia sedang mencoba melucu"
Liz dan aku tertawa gugup.
Tetapi ekspresi Mr. Palmer tetap dingin dan serius. Ia berjalan ke pagar "Itu
percobaan-percobaanku," katanya. "Kesayanganku. Jangan dekati kesayanganku."
"Uh... ayo, Mike," aku tergagap-gagap. "Kulihat labu bagus di sana." Aku
menunjuk ke seberang ladang labu. Kemudian aku meraih lengan Mike dan
menariknya menjauh. "Kenapa sih dia?" gerutu Mike uring-uringan. Ia menoleh ke belakang, tetapi Mr.
Palmer sudah tak kelihatan. "Mungkin aku akan kembali dan membanting
kesayangannya!" "Tenang," kataku. "Lupakan saja."
"Mike betul," kata Liz. "Palmer mengerikan. Dia tak berhak memencet-mencet
kepala Mike seperti itu tadi."
"Mike sendiri yang cari gara-gara," kataku. Aku suka kalau Liz berpihak pada
Mike. Mike kembali memelototi pagar tinggi itu. "Apa sih istimewanya labu-labu itu"
Kenapa mau melihat saja kita juga dilarangnya?"
"Siapa yang peduli?" bentakku. "Ayo kita pilih beberapa yang bagus lalu
menyingkir dari sini."
Mike menendang sebuah labu. Labu itu langsung terpental, kemudian
menggelinding menuruni bukit.
Mike tertawa dan menendang yang lainnya.
"Stop," seruku. "Kau malahan akan mempersulit kita."
"Siapa yang peduli?" teriak Mike. Ia mulai berlari sambil menendangi labu-labu.
"Berhenti!" Aku mengejarnya, terpeleset sesuatu yang lembek, dan jatuh


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjengkang. "Ohhhh," erangku.
Aku terjatuh di atas labu yang sudah busuk dan lembek. Aroma kecut
menyelubungiku. Pelan-pelan aku bangkit berdiri. Labu yang basah lembek itu menempel pada
bagian belakang jins dan mantelku. Aku memutar badan untuk melihat kotoran
lembek oranye yang melekatiku.
"Oh, menjijikkan," kata Liz, sambil tertawa.
Kepala Mike tersentak ke belakang dan ia juga tertawa.
Saat itulah aku kehilangan kendali.
Dengan menggeram aku memetik sebuah labu yang sudah tua sekali dari tanah.
Kulemparkan labu itu ke Mike.
Kulitnya yang tipis pecah!
Daging labu yang tebal dan oranye, biji-bijinya, serta sesuatu yang putih
berserabut, melumuri bagian depan jaket kulitnya.
Giliranku tertawa - tapi aku tak sempat melakukannya.
"APA yang kalian lakukan?"
Aku mendengar teriakan murka Mr. Palmer. Ia berlari dengan kaku menuruni
bukit, kedua lengannya yang kuat terulur ke atas seperti sayap.
"APA yang kalian perbuat?" jeritnya. "Ini benda-benda hidup!"
"Hah?" seruku. "Keluar!" perintah Mr. Palmer. Tangannya menuding-nuding ke arah tempat parkir.
"Keluar dari sini. Cepat. Keluar."
"Ada apa" Apa yang terjadi?" Mom berlari menuruni bukit Setelah sampai, ia
mengitari labu-labu, keningnya mengernyit kebingungan.
"Bawa mereka pergi dari sini," perintah Mr. Palmer pada Mom. "Aku takkan minta
ganti darimu untuk kerusakan ini. Pokoknya singkirkan saja mereka."
"Mike benar Halloween di kota ini sangaaaat membosankan," kata Liz. Ia mendorong
tas Halloween-nya ke samping. "Lihat jam itu. Sekarang baru jam
setengah sembilan, dan kita sudah selesai."
Aku menebarkan permen yang berhasil ku-kumpulkan di lantai ruang tamu. Aku
menghitung pembungkus yang kosong. Aku sudah makan empat batang cokelat.
"Satu lagi," kataku. "Lalu semuanya ini akan kusingkirkan."
"Di mana Mike?" Liz bertanya, mengedarkan pandang.
"Dia ke atas melepaskan kostumnya."
Tahun ini. Mike berdandan sebagai makhluk angkasa luar dengan pakaian
keperakan dan kepala hijau mengilat. Liz dan aku memutuskan sudah terlalu tua
untuk memakai kostum. Jadi kami hanya menutupi kepala kami dengan topeng ski
dari wol serta memakai mantel menghadap ke belakang.
Konyol. Tapi kami sudah mengumpulkan banyak permen.
Aku sedang mencoba memutuskan permen yang mana yang akan kumakan
berikutnya ketika Mike muncul.
Ia sudah mengenakan jaket kulitnya. Ia sedang menjejalkan sesuatu ke dalam tas
plastik putih. "Kau mau ngapain?" tanyaku.
"Aku mau keluar," sahutnya.
"Nggak, nggak boleh," kataku. "Lepaskan jaketmu. Kau kan tahu ada jam malam."
"Bye," katanya. Ia menarik ritsletingnya menutup dan menghampiri pintu.
Cepat-cepat kukejar dia dan kusambar kerah jaketnya. "Kau punya rencana apa?"
"Lepaskan aku, Andrew. Ini Malam Halloween. Aku kepingin bersenang-senang.
Aku kepingin melakukan sesuatu yang... seram."
"Misalnya apa?" tanya Liz, sambil melintasi ruangan mendekati kami.
"Aku mau kembali ke ladang labu itu," sahut Mike.
Liz tertawa. "Kau gila, ya?"
"Ini Halloween, kan?" kata Mike. "Biasanya anak-anak kan bikin tipuan di Hari
Halloween. Petani labu itu yang minta sendiri. Jadi aku mau ke sana dan...
bersenang-senang." Liz mengerutkan kening padanya. "Kan tempatnya jauh. Kau mau naik apa ke
sana?" "Bus," sahut Mike. Ia membuka pintu depan. Udara dingin menerpa masuk.
"Tunggu!" teriakku. "Apa yang akan kaulakukan di sana?"
"Kan sudah kubilang," katanya dengan tak sabar. "Bersenang-senang."
"Dan kau mau naik bus sendirian sepanjang perjalanan ke ladang itu?"
Mike mengangguk. "Kita tak bisa membiarkannya," kata Liz. Dikeluarkannya rompinya dari lemari
mantel. "Kita harus ikut dia." Senyum menghiasi wajahnya. "Ini ide asyik. Petani
labu itu nggak berhak memencet-mencet kepala Mike. Kita harus membalasnya."
"Apa?" seruku. "Andrew, ini. Malam Halloween," kata Liz. "Bosan banget kalau cuma duduk-duduk
dan makan cokelat. Nggak ada salahnya kan kalau kita bikin sesuatu yang
seram tapi menyenangkan?"
Aku memandanginya. "Tapi - tapi - "
"Cepat," desaknya. "Kita mesti sudah kembali sebelum ibumu pulang."
Dan itulah asal mula mengapa kami berakhir di ladang labu malam itu.
Aku tahu ini bodoh. Aku tahu ini gila.
Tapi bagaimana cara menghentikan Mike ketika pikirannya sudah terpancang pada
sesuatu" Tak ada cara lain. Dan Liz juga tak membantu. Dia penasaran in gin
mendapatkan hal yang mengasyikkan.
Saat kami melintasi tempat parkir yang berkerikil itu, aku menutup ritsleting
parkaku dan menyelubungkan tudungnya ke kepalaku. Malam itu dingin dan
terang. Bulan separo yang pucat melayang tinggi di langit malam yang ungu. Aku
mengintip ke balik pagar itu, kulihat orang-orangan di bukit itu bergoyang-
goyang diembus angin kencang.
Aku bergidik, "Aku tak percaya kita melakukan ini."
Mike dan Liz tidak mendengarkanku. Mereka sudah memanjat pagar depan,
menyusup ke dalam ladang itu.
Beberapa saat kemudian kami berdiri berdampingan, terengah-engah,
mengedarkan pandang ke bukit labu yang membentang di hadapan kami.
Angin meniup sulur-sulur itu, sehingga bergetar dan melengkung. Orang-orangan
itu berkeriat-keriut, lengannya bergerak-gerak seakan mengusir kami. Sebuah labu
besar terpental-pental menuruni bukit. Duk duk duk...
"Labu itu hidup!" teriakku bercanda.
Tapi Liz dan Mike tidak tertawa.
"Seram juga di sini kalau malam," gumam Liz, bergidik.
Angin mengembus tudungku hingga terkulai di bahuku. Bunyi berderak
membuatku terlonjak Padahal hanya bunyi orang-orangan yang miring di tiangnya.
"Sangat berkilauan dan ganjil," bisik Liz, tetap berada di dekatku. "Seperti
berjalan di bulan." Mike mengeluarkan sesuatu dari tas plastik yang dibawanya.
"Apa itu?" tanyaku.
Ia mengacungkan sebuah kaleng. Cat semprot. Cat semprot hitam.
"Oh, tidak Kau mau ngapain dengan itu?" tanyaku.
Ia cengar-cengjr. "Bersenang-senang."
"Mike, tunggu - "
Ia membungkuk di atas labu besar dan menyemprotkan gambar wajah tersenyum
pada permukaannya. Lalu ia berlari di sepanjang deretan labu, menyemprotkan tanda silang hitam di
atas masing-masing labu. x.
Mike mengeluarkan lagi dua kaleng dari tasnya, lalu memberikan masing-masing
satu pada Liz dan aku. "Nggak usah," kataku, kaleng itu kukembalikan padanya.
"Ayolah, Andrew," desak Liz. "Ini Halloween. Jangan jadi penakut." Ia condong ke
depan dan menyemprotkan gambar hati hitam besar pada sebuah labu.
Mike menyemprotkan inisialnya - MG - pada setumpuk labu, sambil tertawa
cekikikan. "Mr. Palmer takkan pernah bisa menjualnya!"
Liz cepat-cepat berjalan di sepanjang deretan labu, menyemprotkan gambar-
gambar hati. Aku menyemprotkan I WUZ HERE pada beberapa labu yang benar-
benar besar. Aku berhenti saat mendengar Liz menjerit. Ia jatuh dan terbanting ke tanah
dengan keras. Cat kaleng terpental dari tangannya.
Aku lari menghampirinya. "Aku terserimpet sulur," erangnya. "Aduh. Pergelangan kakiku'"
Ketika aku menolongnya berdiri, ia menatap ke belakangku dan memekik "Dia ada di
sini! Mr. Palmer!" Jantungku berdegup kencang. Aku menoleh dengan ketakutan. Tidak. Tak ada Mr.
Palmer. Orang-orangan. Hanya orang-orangan yang tinggi. Topi oranye bertengger di atas
kepala jeraminya. "Rasanya aku sudah cukup bersenang-senang. Di sini terlalu seram," kata Liz,
sambil mengusap-usap pergelangan kakinya. "Ayo pulang."
"Hei, Mike," panggilku. "Ayo keluar dari sini."
Mike" Di mana dia" Aku berbalik... dan tersentak. Ia sedang memanjat pagar hijau itu.
"Tidak!" jerit Liz. "Mike - jangan!"
"Mike!" seruku.
Ia menjatuhkan diri ke sisi lain. Ke tempat koleksi labu pribadi Mr. Palmer.
Kengerian merambat menuruni punggungku. Mike keterlaluan, pikirku. Mr.
Palmer punya alasan untuk mengunci labu-labu itu. Dia menyebut labu-labu itu
kesayangan.... Jantungku berdegup kencang, aku berlari ke pagar itu. Liz mengikuti dengan
terpincang-pincang karena pergelangannya terkilir.
"Mike! Hei, Mike!" panggilku. "Keluar dari sana - sekarang!"
Tak ada jawaban. Lalu aku mendengar jeritan seram.
"Tolong! Ohhh, tolong!"
Aku memaksa diri berlari lebih cepat. Aku mendengar jeritan lagi.
"Ohhh - " Jeritan itu terputus tiba-tiba.
Aku sampai di pagar itu. Lebih tinggi beberapa kaki daripada aku. Aku meloncat
dan meraih puncaknya. Ketika menehela tubuhku ke atas, aku merasa melihat sulur-sulur panjang
keperakan bergerak, berdiri seperti ular, meloncat, menggeliat, dan berpilin-
pilin meninggalkan tanah.
Tidak. Tak mungkin. Itu gila, kataku dalam hati. Dengan mengerahkan seluruh
tenagaku, aku mengangkat tubuhku ke atas dan menyeberang ke sisi lain. Aku
mendarat keras dengan kedua kakiku dan cepat-cepat memandang berkeliling.
"Mike?" "Andrew, apa yang terjadi?" Dengan hati-hati Liz membungkuk di atas pagar.
"Mike?" panggilku lagi. Lalu aku melihatnya, berdiri di ujung deretan pertama.
Aku mengenali jaket penerbangnya, jinsnya, sobek di bagian lutut, sneak-ers-
nya... Tapi di atas bahunya... di atas bahunya... Sebuah labu bulat oranye bertengger
di atas bahunya. "Mike - bagaimana caramu memasang labu itu di kepalamu?" Aku berlari
mendatanginya, berteriak-teriak dengan tersengal-sengal. "Lepaskan labu itu!
Kita harus pergi! Ayo! Kenapa kau pakai benda itu?"
Aku tak menunggu dia menjawab. Kupegang labu itu dengan kedua tanganku dan
kutarik lepas dari bahunya.
Liz menjerit lebih dulu. Jerit ketakutan yang melengking.
Aku membuka mulut untuk menjerit tapi tak ada suara yang keluar
Aku masih memegang labu itu. Kutatap bahu Mike.
Tak ada kepala. Tak ada kepala di atas bahunya.
Dan lalu perutku tiba-tiba bergolak, kengerian demi kengerian mengakibatkan
sekujur tubuhku gemetar, aku harus menyingkir.
Labu itu terlepas dari tanganku. Dan menggelinding. Menggelinding ke atas sulur
panjang kurus. Aku memandangi sulur itu. Menelusurinya hingga ke ujungnya.
Dan melihat kepala adikku. Kepala Mike tumbuh dari ujung sulur itu.
Matanya yang hitam menatapku. Mulutnya membuka-menutup seolah mencoba
bicara. Kepalanya bergetar, lalu tersentak keras seakan mencoba melepaskan diri.
Tapi kepala itu menempel - tumbuh dari sulur itu!
"Ohhhhh." Erangan ngeri keluar dari tenggorokanku.
Aku tak bisa bicara atau bernapas atau bergerak Adikku... adikku yang malang...
Lalu aku melihat yang lain-lainnya.
Kepala-kepala manusia... anak-anak laki-laki dan perempuan.. kepala-kepala yang
menatapku dari tanah... mulut-mulut yang membuka-menutup, memohon
pertolongan tanpa suara... berlusin-lusin kepala manusia, semuanya tumbuh dari
sulur-sulur.... Sekarang aku tahu apa yang terjadi pada anak-anak yang menghilang pada
Halloween tahun lalu dan tahun sebelumnya itu.
Saat memandangi kepala-kepala mengerikan itu, aku merasa sulur-sulur kuat dan
tebal menjerat sepatuku, pergelangan kakiku. Aku melihat sulur-sulur itu
berdiri, membelit Liz, melilitnya, menariknya ke bawah.
Aku merasa sulur-sulur itu mengetat di sekeliling pinggangku. Di seputar dadaku.
Tapi aku tak bisa bergerak.
Bahkan ketika Mr. Palmer muncul, aku tak bisa berkutik.
Kulihat senyum di wajahnya yang berjanggut oranye itu. Kulihat mata dalam,
hitam, dan kosong itu. Kuawasi dia berlutut di sebelah kepala Mike...kepala Mike di ujung sulur.
Sulur-sulur dingin basah membelit di sekeliling leherku. Semakin ketat...
semakin ketat... tapi aku tak bisa menjerit. Aku tak bisa berkutik.
Masih sambil menyeringai, Mr. Palmer mengembangkan jari-jarinya di atas kepala
Mike dan memencetnya. "Belum begitu masak" katanya. "Tapi akan segera masak."
2. PERMEN ALIEN KlUB-KLUB di luar jam sekolah adalah hal penting ketika aku bersekolah dulu.
Ada klub-klub asyik yang sulit menerima anggota. Dan klub-klub membosankan
yang hanya punya beberapa anggota, sulit sekali mendapatkan anggota lagi.
Aku teringat klub-klub ini ketika memulai kisah ini.
Ini tentang Walter, seorang anak cowok pemain yang sama sekali tidak ngetop.
Walter girang sekali waktu ditawari bergabung dengan sebuah klub.
Anak-anak itu kelihatannya sangat ramah dan mereka memintanya menjadi
presiden klub! Tapi saat mengadakan rapat pertamanya, Walter mulai bertanya-tanya apakah ia
telah membuat kesalahan besar. Kesalahan yang mengerikan. Mungkin sebaiknya
ia memeriksa notulen rapat Klub Alien yang terakhir.
ILUSTRASI OLEH EDWARD KOREN
Ia berdeham. Ia selalu agak gugup dikelilingi anak-anak yang tidak dikenalnya
dengan baik. "Aku akan mengadakan rapat Klub Alien," katanya.
Ia membenarkan letak kacamata berbingkai lebar hitam di hidungnya yang pesek
dan memandang ke sekeliling loteng Greg.
Loteng itu panjang dan sempit, poster-poster film menempel di dinding-dindingnya
yang dicat warna terang, kursi-kursi yang terbuat dari karung buncis berhadapan
dengan sofa kulit merah yang usang. Betapa sempurna tempat rapat anak-anak ini,
pikir Walter. Cowok yang bernama Greg duduk di sofa tua itu, di antara dua cewek dalam klub
itu, Bonnie dan Natasha. Greg berambut pirang dan mukanya berbinrik-bintik, kelihatan bersemangat sekali
menarik perhatian kedua cewek itu. Di pangkuannya ada sebuah model droid Star
Wars, dan ia memamerkannya, mendemonstrasikan bagaimana droid itu bergerak.
Evan, cowok yang lebih tua dan berambut hitam, meringkuk di kursi karung
buncis, hidungnya tersembunyi di balik novel Star Trek.
"Hei, guys," kata Walter. "Bisa kita mulai" Ini rapat pertamaku, dan aku benar-
benar ingjn sekali melihat apa yang terjadi di sini."
Tak seorang pun memperhatikan.
Bonnie, yang tampak lincah dan senang bercanda, sedang berebut boneka Star
Wars dengan Greg. Temannya, Natasha, cewek berwajah serius dengan mata kelabu kebiruan, pindah
ke kursi untuk menghindar dari tarik-menarik itu.
"Hei, guys?" Walter mencoba lagi.
Perhatian Evan tetap tertuju pada bukunya. Tiba-tiba ia mulai cekikikan, bahunya
yang ceking tersentak-sentak naik-turun.
"Sori. Aku baru saja membaca bagian yang lucu sekali," ia menjelaskan.
Apa sih yang begitu lucu dalam buku Star Trek"
Walter penasaran. Mungkin dia salah bergabung dengan klub ini. Ia tidak sungguh-sungguh mengenal
anak-anak ini. Ia serasa tidak percaya ketika Bonnie mendatanginya di sekolah
dan bertanya apakah ia mau bergabung dan menjadi presiden yang baru. Bonnie


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilang menurut dia dan yang lain-Iainnya, Walter adalah peinimpin sejati. Dan itulah
yang diperlukan klub mereka. Seseorang yang dapat menolong mereka dalam segala
hal. Mengapa dia mau saja bergabung" Apakah karena merasa tersanjung bahwa
mereka membutuhkan dirinya" Ataukah karena dia sulit mendapatkan teman-
teman baru" Karena kedua alasan itu, pikirnya. Dan karena sebuah alasan lain juga.
Walter senang membayangkan kumpul-kumpul dengan anak-anak lain yang
tertarik pada kehidupan angkasa luar. Sejak kecil, ia telah terpesona pada
gagasan kehidupan di planet lain. Mungkinkah alien-alien itu benar-benar ada"
Ada bermiliar-miliar planet di luar sana. Kemungkinan besar alien-alien itu
memang ada. Lampu di jendela loteng itu menjadi suram saat matahari sore mulai terbenam.
Bayang-bayang panjang tampak di lantai.
Walter berdeham da mencoba lagi. "Bisakah kita mulai" Karena aku anggota baru
klub ini, aku cuma bisa mengucapkan terima kasih atas penunjukan diriku sebagai
presiden. Aku akan berusaha bekerja sebaik mungkin."
Di sofa Greg mencondongkan badan ke dekat Bonnie, menunjukkan artikel dalam
majalah UFO. Evan bahkan sedikit pun tidak memalingkan kepala-nya dari bukunya.
"Ayo, kita mulai," Natasha berkata, sambil membenarkan letak anng-anting
plastiknya yang menggantung di bawah rambutnya yang pendek dan hitam.
"Aku lapar." "Kita belum bisa makan," kata Bonnie.
"Pertama-tama kita harus membaca notulen rapat yang terakhir."
Natasha mendesah. "Yah, oke... teruskan. Ayo kita selesaikan ini."
Walter melihat dari wajah ke wajah. Mereka tampak sangat tidak antusias,
pikirnya. Benarkah mereka tertarik pada alien"
"Akan kubacakan notulen rapat terakhir," kata Bonnie pada Walter. Ia merogoh ke
dalam ranselnya dan mengeluarkan buku catatan. Ia membolak-balik-nya sampai
menemukan halaman yang benar. Lalu ia mulai:
"Pada rapat terakhir kita mendiskusikan cara-cara untuk mengumpulkan dana
supaya kita bisa jalan-jalan melihat Pameran Kesenian Angkasa Luar di Museum
Boston. Greg seharusnya bicara dengan Mr. Hemming di sekolah tentang
mengadakan Karnaval Alien atau apa."
"Mr. Hemming sakit." kata Greg. "Aku akan mencobanya minggu depan."
Bonnie memutar bola matanya pada Greg. Lalu ia kembali ke catatannya:
"Pada rapat terakhir kita itu, Natasha juga mengusulkan kita membuat koran Klub
Alien dan mengedarkannya di sekolah. Diskusi itu ditangguhkan sampai rapat ini."
"Diskusi itu ditangguhkan setiap rapat," protes Natasha.
"Karena itu ide jelek," kata Evan, sambil menutup bukunya.
"Koran kedengarannya asyik juga. Kenapa kau-pikir itu ide jelek?" Walter
bertanya. "Karena semua orang di sekolah sudah meng-anggap kita aneh atau mutan atau apa
lagi," sahut Evan. "Jika kita mengedarkan koran, mereka semua akan
menertawakan kita dan juga mulai memanggil kita alien."
"Dia benar," kata Greg. "Kita tak ingin menarik perhatian, kan" Menurutku ini
klub rahasia." Semuanya mulai serentak bicara.
Walter mengacungkah kedua tangannya dan mencoba menarik perhatian mereka.
"Apa pendapatmu tentang koran itu, Bonnie?" tanyanya, sambil berteriak mengatasi
suara-suara yang lainnya.
Bonnie mengibaskan rambutnya yang berwarna tembaga ke balik bahunya dengan
menyentakkan kepalanya. "Kita sudah seratus kali berdebat tentang ini," katanya. "Kupikir kita sekarang
menangguhkannya lagi dan makan snack saja."
"Ya. Perutku sudah keroncongan," kata Greg.
"Jadi... jadi kita sudah selesai dengan notulen tadi?" tanya Waiter tergagap-
gagap. Ia bingung. Mengapa mereka tidak ingin menyelesaikan diskusi itu"
"Tolong beritahu aku. guys," katanya. "Sebagai presiden yang baru, aku ingin
melakukan tugas dengan baik. Yang berikutnya apa?"
Tak seorang pun menjawab. Evan kembali ke bukunya. Kedua cewek itu mulai
mengobrol sendiri. "Aku akan segera kembali," kata Greg. Ia meloncat berdiri dari sofa dan berlari
menuruni tangga loteng. Beberapa saat kemudian ia muncul lagi dengan membawa kantong ungu kecil.
"Permen Alien untuk semuanya!" katanya, sambil terengah-engah akibat berlari-
lari menaiki tangga. "Permen Alien?" tanya Walter. "Ajaib sekali! Aku belum pernah melihatnya."
Greg membuka kantong itu dan mengeluarkan permen berwarna cokelat berbentuk
bulatan-bulatan kecil. "Ini sejenis gulali. Kita sudah pernah memakannya."
Bonnie meraih kantong itu dari Greg. "Aku kelaparan sekali, aku sanggup makan
alien" Ia memasukkan beberapa permen cokelat tua bulat-bulat itu ke mulutnya dan
mengulumnya. "Biar kucicipi," kata Walter, mengulurkan tangan ke kantong itu. "Kelihatannya
enak." Ia melemparkan satu permen ke mulutnya, mengulumnya dengan pelan-pelan,
dengan hati-hati. Greg melemparkan beberapa permen ke dalam mulutnya. Lalu
mengulurkan kantong itu kepada Evan di lantai.
Evan langsung menelan dua bulatan permen bahkan tanpa mengulumnya lebih
dulu. "Nggak mengenyangkan sama sekali," protesnya. "Aku masih kelaparan."
Kemudian Evan mengerang. Mukanya mulai penyok-penyok dan semakin besar.
Matanya dan mulutnya melesak ke dalam kepalanya. Kepalanya menggelembung
seperti balon. Ia mengerang lagi saat lengannya jadi mengilap, dan meregang,
seperti karet, semakin lama semakin kecil sampai akhirnya hanya tampak seperti
dua helai mi yang menggantung dari bahunya.
Walter tersentak kaget sekali sambil tetap memandangi Evan - sebuah balon tanpa
wajah berwarna pink dengan lengan dan kaki spageti.
"P-permen Alien itu!" Walter tergagap. "Mengubah Evan jadi alienl"
"Oooh!" teriak Bonnie dengan suara melengking nyaring.
Lalu ia juga mulai berubah. Dengan bunyi berderak keras sekali, sepasang sayap
berbulu mencuat dari punggungnya. "Mulutnya tertarik membuka sementara dua
lidah biru menjulur ke luar. Sebuah ekor gendut, pink, berbulu hitam, terkulai
berat di lantai di belakangnya.
"Bonnie - kau juga!" jerit Walter. "Permen itu..."
Dengan cepat Greg berubah bentuk menjadi makhluk berkaki empat dengan
tempurung hijau keras di punggungnya.
Antena mencuat di atas kepala Natasha, dan sepasang sayap tipis putih mengepak-
ngepak di bahunya. Ia mengatupkan rahangnya dengan keras saat lehernya terjulur
melintasi ruangan itu. "Alien! Kita semua berubah menjadi alienl" pekik Walter, punggungnya menempel
pada dinding loteng. "Kita semua makan Permen Alien dan - "
Ia berhenti. Mukanya terasa panas. Jantungnya berdebar kencang.
Aku juga sedang berubah! ia menyadari. Aku tak percaya ini terjadi!
Telinganya serasa terbakar. Tiba-tiba mulutnya terasa sangat kering sehingga ia
tidak dapat menelan. Aku berubah... berubah...
Keempat alien jelek itu mendengus, menggerutu, dan menggeram, membuka-
menutup rahang jelek mereka keras-keras, serta mengepak-ngepakkan sayap-sayap
berat. Sambil menahan napas, Walter mengamati lengannya, tungkainya, dan telapak
kakinya. Ia meraba-raba mukanya dengan kedua tangannya.
Tunggu, pikirnya. Oh, tunggu. Apa yang terjadi"
Aku masih sama. Aku belum berubah. Aku jUga makan permen itu. Kenapa aku
satu-satunya yang tak berubah"
Sekarang yang lain-lainnya pelan-pelan mengelilinginya, dengan air liur menetes-
netes, lidah terjulur menjilati bibir ungu, rahang berat menganga-mengatup.
Walter megap-megap ketakutan. "Hei, guys - " katanya dengan susah payah. "Aku
mengerti. Kalian semua mulai menjadi alien. Aku mengerti."
Ia mencoba mundur menjauh. Tetapi mereka sekarang mengepungnya.
"Kalian - kalian tak ingin aku jadi teman kalian," kata Walter terputus-putus.
"Kalian tak sungguh-sungguh ingin aku menjadi presiden kalian."
"Kau pilihan terbaik untuk jadi presiden!" kata Bonnie dengan suara serak, kedua
lidahnya yang biru menjilati bibirnya yang tebal. "Kami suka yang gemuk."
Mereka memangsanya dalam waktu sekejap. Bahkan tak sepotong tulang pun
tersisa. Tak seserpih tulang rawan pun tercecer.
"Rapat ditangguhkan," Greg mengumumkan dengan bersendawa keras.
"Hei, guys, ayo kita mulai," seru Jake. Ia menyusupkan kemejanya ke dalam
celananya. Kemeja itu tetap mencuat keluar terdesak perutnya yang gendut.
Sebulan telah berlalu, dan Klub Alien kembali mengadakan pertemuan di loteng.
The Martian Chronicles. Greg memamerkan setumpuk poster film kepada Bonnie
dan Natasha. "Ayo kita sambut presiden baru kita!" seru Bonnie.
"YEEEEEEEE!" Mereka semua bersorak dan ber-tepuk tangan.
Jake membungkuk sedikit. "Terima kasih, semuanya," katanya. "Sebagai presiden
baru kalian, aku menyatakan rapat ini dibuka."
Ia kembali menyisipkan bagian depan kemejanya. "Mula-mula aku harus
menanyakan satu hal, guys. Apa sebenarnya yang kalian lakukan pada rapat ini?"
3. PENYIHIR YANG TERJAHAT
PENGANTAR BEBERAPA cerita ditulis sebagai ungkapan kasih sayang. Beberapa berasal dari
tempat gelap. Aku menulis cerita ini karena tertantang.
Seorang penulis lain - aku tak bisa memberi-tahukan namanya - menantangku
untuk menulis cerita yang terjadi di waktu lain, di dunia lain. Dunia yang tak
ada kaitannya dengan hidup atau ingatanku. Aku memilih dunia penyihir dan ilmu
hitam. Aku selalu ingin menulis tentang suatu masa di mana semua jenis ilmu
sihir, yang putih dan yang hitam, benar-benar ada. Sebuah dunia di mana tak ada
orang yang hidup aman. Tetapi aku nyaris kalah dalam taruhan itu. Aku tak bisa memikirkan akhir
ceritanya. Kupandangi keyboard-ku, kebingungan. Lalu, sekonyong-konyong,
jemariku mulai bergerak di atas tuts-tuts. Kata-kata dan kalimat-kalimat seakan
bermunculan begitu saja entah dari mana. Aku tahu apa yang sedang terjadi. Si
penyihir telah mengambil alih kendali.
Ia yang menamatkan cerita untukku.
Percayakah kau akan kekuatan sihir"
Mungkin kau akan percaya sesudah membaca ini....
ILUSTRASI OLEH BERNIE WRIGHTSON
ARGOLIN mengentakkan tangan Ned dan menempeleng mukanya. Bunyi
tempelengan itu bergenia di dinding batu ruang makan itu. Kaget, anak laki-laki
itu terhuyung-huyung mundur. Mukanya yang kurus dan pucat, seputih tepung yang
dipakainya untuk memang-gang kue sarapan Margolin, merah padam di tempat
yang tadi ditempeleng penyihir itu.
"Maaf, mengapa kau melakukannya, Sir?" Ned bertanya, sambil mengusap-usap
kulitnya yang pedih. "Supaya kau bangun," sahut Margolin tajam. "Kau kelihatan melamun lagi. Aku tak
bisa membiarkanmu melamun pagi-pagi begini."
Margolin menggumamkan sesuatu, lalu menatap tajam kepada Ned. "Idiot, kau
tahu aku minta bacon selain kue ini." Ia menyeringai hingga tampak dua baris
gigi kuning di bawah kumis hitamnya.
"Ya, Sir! Bacon-nya sudah siap, Sir," sahut Ned, masih berusaha menghilangkan
rasa pedih di pipinya. "Kalau begitu ambilkan, goblok!" perintah Margolin. "Ambilkan sekarang juga!"
Ned membalikkan badan menjauh dengan me-nahan napas. Cepat-cepat ia ke
tungku yang panas itu, menusuk bacon dengan pisau, dan membawanya ke meja di
atas piring besar perak. Si penyihir mengendus-endus, membaui aroma lezat itu. Ia menggerutu tanda
berkenan dan menumpuk beberapa iris bacon di piling kuenya.
Ned mundur menepi ke dinding dan berdiri mengamati dengan waswas sementara
si penyihir dengan berisik dan berantaka melahap habis sarapannya.
Ned harus tetap diam dengan penuh perhatian, kalau-kalau penyihir itu ingin
menambah kue sarapannya atau tiba-tiba berubah pikiran dan mau telur sebagai
gantinya. Ned di sana untuk melayani semua kehendak Margolin. Karena itulah tugas
seorang magang. Ned yang beruntung. Paling tidak itulah yang dikatakan ayahnya dua tahun lalu, ketika ia
meninggalkan Ned di puri gelap si penyihir pada hari ulang tahun Ned yang
kesepuluh. "Kau beruntung, orang yang berilmu sihir setinggi dia mau menerimamu untuk
melayaninya, Nak. Kalau tinggal denganku dan ibumu, kau pasti akan kelaparan."
Ned tidak ingin meninggalkan rumah itu, pondok kecil dan reyot di tepi hutan. Ia
menangis ketika harus berpamitan pada kelima saudaranya.
Tetapi ucapan ayahnya adalah hukum yang harus dipatuhi.
"Margolin akan menunjukkan padamu hidup ini apa," kata ayahnya ketika mereka
memasuki kegelapan puri si penyihir.
Ned anak yang cerdik dan jail. Ia sering mengisengi anak-anak desa itu dengan
memainkan trik-trik tipuan untuk mengambil apel dan ara manis mereka, bekal
dari orangtua mereka. Olahraga favoritnya adalah mencuri ayam dari kandang-
kandang tetangga. "Kau perlu dijinakkan, Nak. Margolin akan mengajarkan padamu tanggung
jawab," kata ayah Ned. Ia menepuk-nepuk kepala Ned, berbalik, dan berjalan pergi
meninggalkan puri itu. Ia tidak menoleh lagi.
Margolin bersikap kasar pada Ned sejak semula. Ia memberi Ned makanan sisa,
pakaian rombeng, dan menugasi anak kurus itu untuk melakukan pekerjaan enam
orang. Tiap hari ia menempeleng Ned, tanpa alasan, dan memerintahnya seperti
anjing. Kalau saja dia memberiku waktu untuk bermain kadang-kadang, pikir Ned sedih.
Waktu untuk pergi ke luar, menikmati sinar matahari dan udara hutan yang segar.
Namun Margolin tidak pernah meninggalkan puri itu. Dan memaksa Ned tetap
berada di dalam dinding-dinding batunya yang gelap bersamanya.
Penyihir itu menghabiskan seluruh waktunya di dalam ruang sihir yang luas,
mencampur serbuk-serbuk dan larutan-larutan, menciptakan mantra-mantra dan
sihir-sihir baru. Biasanya ia menjadikan Ned sasaran uji coba penemuan-penemuan
barunya. Kadang-kadang ia memantrai para korban yang tak curiga di desa.
Para petani tidak berdaya manakala babi-babi mereka berubah menjadi biru dan
mati. Para penduduk desa ketakutan setengah mati saat lidah mereka membengkak
hingga mirip daging sosis. Atau saat... anak-anak mereka menari-nari terus tanpa
bisa berhenti. Ned tidak punya pilihan selain membantu dengan mantra-mantra jahat ini. Ia
menumbuk sayap-sayap burung dan tulang-tulang tupai menjadi serbuk. Ia
mencampur darah binatang, usus anjing, bola mata kucing, lalu membersihkan
guci-guci dan tabung-tabung berbau busuk yang kosong.
Jika kerjanya kurang cepat, ia menerima tempelengan keras dari Margolin, hingga
pipinya lebam dan ia terhuyung-huyung pusing.
"Mimpi mimpi." Penyihir itu tiba-tiba berhenti mengunyah makanannya. Matanya yang hitam
melotot. Seiris bacon menggeliat keluar dari antara bibirnya. Ned ternganga saat
bacon itu terjatuh dari mulut Margolin dan menggeliat di atas meja.
Lalu semua bacon di atas piling besar perak mulai menggeliat-geiiat dan
melengkung. "Ullllar!" erang Margolin. Ia meloncat berdiri, meludah-ludah dengan panik.
Seekor ular cokelat lagj meluncur keluar dari mulutnya. Binatang itu terjatuh ke
lantai dan merayap ke bawah meja.
Ular-ular merayap-rayap di atas kue, memenuhi piling itu, dan meluncur ke meja.
"Apa yang terjadi di sini" Ada orang yang mengubah bacon itu menjadi ular!"
teriak Margolin dengan geram, memelototi Ned. Ia menjepit seekor ular cokelat
yang gemuk dengan jari-jarinya dan me-lontarkannya ke seberang ruangan ke arah
Ned. Ned mengelak. Ular itu terempas keras ke dinding batu di belakangnya.
"Ampun, Sir. Ampun - " Ned memohon, berlutut dan menyembah-nyembah.
"Ampun - bacon itu tak apa-apa waktu aku memasaknya!"
Margolin menendang seekor ular dengan ujung sepatu botnya. "Aku tahu siapa
yang melakukan ini!" teriaknya, menyapu ular-ular itu dari meja. Ia
menghantamkan kedua tinjunya bersamaan. "Pasti Shamandra."


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Shamandra?" tanya Ned, masih berlutut. "Siapa Shamandra itu?"
Mata Margolin berkilat-kilat marah. "Shamandra adalah penyihir kecil lemah yang
mengibakan. Ular adalah keahliannya," katanya di antara kertakan giginya.
"Shamandra memberi peringatan padaku."
"P-peringatan?" Ned tergagap.
"Peringatan bahwa dia sedang dalam perjalanan kemari," geram Margolin. "Bahwa
dia sedang menuju ke sini untuk menghancurkanku dan merebut puriku untuk
dikuasainya." Ned gemetar ketakutan. "Lalu apa... apa yang terjadi padaku?" bisiknya.
Margolin menatapnya dengan tajam. "Siapa yang peduli denganmu?" katanya. Ia
melangkah lebar-lebar keluar dari ruang makan itu, bot hitamnya yang berkilauan
mengetuk-ngetuk keras papan lantai. "Ayo, Nak. Kita akan menyiapkan sesuatu yang
istimewa buat Shamandra. Dia akan tahu, tak mudah menyerang Margolin.
Shamandra akan gagal dengan menyedihkan. Bagaimanapun, itulah bagian
pertama namanya. Sham - pura-pura. Dan pura-pura adalah palsu."
Untuk terakhir kalinya Ned melihat ular-ular yang merayap melintasi lantai itu.
Kemudian ia beranjak berdiri dan mengikuti Margolin masuk ke ruang sihirnya.
"Shamandra takkan bisa menyihir kecuali dia dekat. Hanya sehari atau dua hari
lagi dia sudah sampai di sini," kata Margolin. "Aku mengenalnya. Begitu
mengajukan tantangan, dia tak menyia-nyiakan waktu lagi."
Ia melangkah ke dinding persediaan dan mulai mengambil guci-guci, botol-botol,
dan kantong-kantong kecil dari rak-rak itu. "Aku tahu mantra-mantra yang akan
kupakai untuk mengalahkannya."
"Apakah kau akan mengucapkan mantra yang melenyapkan?" Ned bertanya.
Margolin mendengus. "Tidak, goblok. Itu terlalu tak menyakitkan. Dan terlalu
cepat. Dia harus menderita dulu. Akan kutunjukkan padamu apa yang akan
kulakukan." Ned mundur menjauh dengan ngeri. "Menunjukkan padaku?"
"Mula-mula aku akan mempermalukan dan menghinanya." Margolin menjelaskan.
Ia menebarkan segenggam serbuk hitam ke atas bahu jubahnya, membisikkan kata-
kata misterius berulang kali, dan menudingkan jarinya yang bengkok kepada Ned.
"Ulllp." Ned tercekik dan memegang lehernya. "Tak bis-a... nap-as...," ucapnya
dengan susah payah. Sesuatu yang besar dan berat terasa menyumbat tenggorokannya.
Mati-matian ia berjuang menghirup udara. Berusaha batuk untuk mengeluarkan
benda itu. Sambil menegangkan seluruh tubuhnya, ia batuk kuat-kuat. Batuk lagi.
Sesuatu yang berbulu terasa meluncur naik di tenggorokannya. Menuju ke
mulutnya. Ned tercekik. Tercekik hingga perutnya mual.
Tercekik dan muntah. "Ohhhh." Seekor tikus gemuk hitam meluncur keluar dari mulutnya, bulunya yang
botak-botak berkilauan. Matanya merah manyala, tikus itu mendesis pada Ned
sambil berlari melintasi lantai batu.
"Ampun - " Ned memohon.
Tapi Margolin hanya tersenyum. Dan...
Tenggorokan Ned tercekik lagi.
Lehernya membengkak. Ia tercekik dan tersedak. Membungkuk dua kali.
Tak bisa napas. Tak bisa napas...
Seekor tikus lagi, yang ini sebesar anjing kecil, terjatuh keluar basah kuyup
dari mulutnya. Lemas dan gemetaran, Ned jatuh berlutut lagi.
"Ampun, Sir. Ampun..." Ia meludah beberapa kali dan dengan bergidik menarik
bulu-bulu tikus yang terselip di giginya. "Kumohon padamu - mengapa
kaulakukan ini padaku?"
Tetapi Margolin tidak memperhatikan Ned sedikit pun. Sekarang ia sedang
mengaduk-aduk cairan dalam tabung gelas. "Pertama-tama Shamandra kusambut
dengan beberapa tikus gemuk. Lalu tiba waktunya yang menyakitkan," katanya.
Ia menjentikkan jari-jarinya, menggumamkan beberapa kata, dan menatap Ned.
Semula Ned tidak merasakan apa-apa. Lalu lengannya mulai gatal-gatal. Kakinya
menggelenyar gatal juga. Tengkuknya serasa ditusuk-tusuk biang keringat.Ia
menarik ke atas lengan bajunya dan tersentak ketika melihat lusinan labah-labah
cokelat berbulu berkeriapan di lengannya.
Disapunya binatang-binatang itu, ia mencoba menyingkirkan mereka. Tapi semua
labah-labah mencengkeram kulitnya. Kakinya berdenyut-denyut. Kepalanya gatal.
Ia dapat merasakan semua labah-labah itu menancapkan kaki ke kulit kepalanya.
"Ampun - ampun, Sir - " jeritnya. Tetapi penyihir itu tetap menatap Ned dengan
dingin. Ia kembali menjentikkan jari-jarinya.
"Aaaaaaaaaaii!" Ned memekik kesakitan. "Jangan! Tolong - "
Sekarang semua labah-labah itu menyusup ke dalam kulitnya. Kemudian ia dapat
merasakan mereka merangkak di bawah kulitnya. Di bawah kulitnya. Di bawah
kulitnya... menggeliat-geliat penuh penderitaan.
Dengan kalut ia memukul-mukul lengan dan kakinya. Mencabik-cabik kulitnya
dengan kuku-kukunya. Dengan ngeri ia mengawasi saat benjolan-benjolan kecil menuruni lengannya, ke
dalam telapak tangannya...,
Sekarang gatalnya dari dalam.
Dan semua usahanya mencakar, menggaruk, dan menampar tidak berhasil sama
sekali menyingkirkan rasa gatal yang mengerikan dan menyakitkan itu.
"Ampun, hentikan!" pekik Ned. "Aduh! Ohhhh, sakit!"
"Bagus," gumam Margolin pada dirinya sendiri. "Bagus sekali. Ya. Mantra labah-
labah akan bekerja dengan baik. Cara yang bagus sekali untuk mulai."
Margolin menjentikkan jari-jarinya. "Berdiri, goblok. Kita punya pekerjaan."
Benjolan-benjolan di bawah kulit Ned menjadi datar. Rasa gatalnya berhenti.
Dengan gemetar ia bangkit berdiri.
"Aku suka mantra itu," kata Margolin, sambil mengambil botol-botol berkilauan
dan serbuk-serbuk dari rak-rak. "Rasa gatal itu akan membikin Shamandra sinting.
Semakin dia menggaruk, semakin dalam labah-labah itu menggali dagingnya."
Margolin menyeringai. "Dalam beberapa menit Shamandra akan menggaruk
seluruh kulitnya hingga mengelupas. Sementara aku menonton dengan gembira,
dia garuk-garuk sendiri sampai mati!"
Ned gemetar. Ia masih dapat merasakan kaki labah-labah yang menusuk-nusuk
kulitnya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Sir, bagaimana aku bisa membantu
ketika Shamandra datang?"
Margolin menoleh dari rak-rak itu. "Membantu" Kau?" Sekali lagi ia menyeringai
pada pembantu magangnya yang gemetaran. "Kau tak bisa membantu, idiot. Apa
kau tak sadar riwayatmu hampir tamat?"
Ned tersentak "Riwayatku hampir tamat?" Margolin mengangguk. "Aku tahu
Shamandra. Aku tahu semua gerak-geriknya. Begitu dia datang, itulah saat
terakhirmu sebagai manusia. Dia akan mengubahmu jadi kadal."
"Kad-kadal?" Ned tergagap.
Margolin mengangguk. "Ya. Begitu muncul dia langsung akan ingjn menghinaku.
Dia akan masuk ke ruangan ini dan mengubahmu menjadi kadal. Itulah caranya
menghinaku." "Tidak'" jerit Ned. Tangannya terulur dan menyenggol sebuah guci kaca hingga
terguling. Cairan ungu tertumpah ke meja.
"Goblok kau!" umpat Margolin. Ia kembali menempeleng anak itu, cukup keras
hingga Ned terhuyung-huyung ke tangga.
"Larutan itu sudah siap menggumpal." teriak sang penyihir, memandangi cairan
ungu yang menetes-netes itu. "Kau merusakkannya. Aku harus memulai semuanya
lagi." Ned pelan-pelan menegakkan dirinya. "Maaf," katanya. "Tapi - ketika Shamandra
mengubahku jadi kadal, apa yang akan kaulakukan" Tolong beritahu aku!"
"Aku akan menyimpanmu dalam guci," sahut si penyihir dengan dingin. "Dan aku
akan mencari murid baru di desa. Murid yang tidak kikuk dan tolol."
"Kau takkan mengubahku kembali menjadi manusia?"
"Kenapa aku mesti menyia-nyiakan sihir hebatku?" sahut si penyihir.
"Lalu... mungkin ini hari terakhirku sebagai manusia?" tanya Ned dengan lirih.
Margolin mengerutkan kening padanya. "Berhentilah memikirkan dirimu sendiri
sepanjang waktu," tegurnya. "Akulah yang ditantang!"
Tiba-tiba Margolin menjerit keras sekali.
Tangannya terulur ke atas. "Tolong! Aku... aku tenggelam."
Ned mengamati dengan takjub saat tubuh Margolin mulai terbenam ke dalam lantai
batu. Lantai itu bergoyang, miring, dan berubah menjadi cairan kelabu yang
mengilap. Gelombang kelabu kecil bergulung melintasi batu-batu itu.
Margolin menggelepar-gelepar dalam adonan lengket berwarna kelabu dan kental.
"Tipuan! Tipuan Shamandra lagi!" raung Margolin. "Dia sudah maju. Sihirnya jauh
lebih kuat daripada terakhir kali kami bertemu."
Penyihir itu tenggelam sampai ke bahunya. Tangannya memukul-mukul
permukaan cairan itu dengan panik, "Tolong aku, tolol!"
Tangannya yang kelabu dan basah terulur ke arah Ned.
Ned menarik. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia menghela Margolin
keluar dari adonan lengket basah itu. Sambil mengumpat-umpat dan memaki-maki,
dengan cairan kelabu kental mengaliri wajahnya, Margolin mengangkat dirinya ke
samping Ned. Pelan-pelan lantai itu mulai mengeras kembali menjadi batu.
"Kenapa Shamandra melakukan ini?" seru Ned.
"Dia iri!" teriak Margolin, mengusap gumpalan adonan dari janggutnya. "Dia orang
kecil dengan daya khayal kecil. Purinya lebih kecil dari punyaku. Begitu
juga dengan kekuatannya. Dia selalu ingin mengalahkanku."
Margolin berjalan melintasi ruangan menghampiri meja yang penuh dengan piala
emas dan batu pennata berwarna-warni.
"Dia menginginkan kekayaanku dan kekuatanku, tapi dia takkan pernah bisa
memilikinya!" "Sir, aku baru saja menyelamatkan hidupmu," kata Ned. "Jadi maukah kau berubah
pikiran" Maukah kau menyelamatkan hidupku ketika Shamandra datang?"
Margolin tidak menjawab. "Tolong - " Ned memohon.
"Tolonglah, Sir. Bantulah aku. Tolong selamatkan aku. Kumohon padamu."
Margolin berdecak. "Bermimpilah." Ned kembali ke kamarnya, sebuah lemari dinding di gudang bawah tanah yang
kecil tanpa jendela. Dengan mendesah ia menjatuhkan diri ke atas pelbet kayu yang menjadi tempat
tidurnya. Ia bersandar ke dinding batu, memejamkan mata, dan mencoba berpikir. Perutnya
bergemuruh. Karena sarapannya biasanya adalah makanan sisa Margolin, lapi pagi
ini ular-ular itu merusak selera makannya.
Ucapan kasar Margolin bergema di telinga Ned:
"Apa kau tak sadar riwayatmu hampir tamat" Dia akan mengubahmu jadi kadal.
Aku akan menyimpanmu dalam guci."
Ned gemetar. Ia membayangkan dirinya menjadi kadal cokelat, merayap dengan
keempat kaki yang bersisik, ekor menyapu permukaan lantai, lidahnya menjulur-
julur keluar menangkap serangga.
"Ned! Kemari!" Mata Ned membuka mendengar teriakan Margolin. "Dasar pemalas
idiot, di mana kau" Siapkan makan siangku!"
Tidur Ned tidak tenang malam itu. Kadal-kadal menyerbu mimpinya. Ia terbangun
pagi berikutnya dengan bermandi keringat dingin, jantungnya berdebur kencang.
Apakah Shamandra akan datang hari ini" -
Sesudah sarapan Margolin memerintahkannya untuk membersihkan meja dengan
cepat. Ned tidak bisa berhenti memikirkan Shamandra. Ia menjatuhkan nampan, lalu
perlengkapan makan lain-lainnya. "M-maaf, Sir."
"Goblok," gerutu Margolin. "Kalau kau sudah selesai menjatuhkan semua milikku,
temui aku di ruang rahasia. Kita punya pekerjaan."
Ned berbenah cepat-cepat. Kemudian berlari ke ruang rahasia itu.
Ia terkejut ketika Margolin menyambutnya dengan tersenyum. "Aku sudah berubah
pikiran. Kuputuskan untuk memberimu kesempatan membela diri terhadap
Shamandra." "Kes-kesempatan?" tanya Ned kaget.
Margolin mengangguk Ia merogoh ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan
sebuah benda kecil bersinar-sinar. Ia mengulurkan benda itu kepada Ned.
Ned mengamati benda bundar halus keperakan itu.
"Cermin biasa?" Ia memandangi bayangan mukanya di cermin kecil itu. "Sir,
bagaimana aku bisa melindungi diriku sendiri dengan ini?"
"Sederhana saja," sahut Margolin, sambil mengelus-elus janggut runcingnya.
"Ketika Shamandra mulai mengucapkan mantranya untuk mengubahmu jadi kadal,
dia akan menunjuk ke arahmu dengan tangan kirinya. Angkat cermin itu tepat pada
saat itu dan kau akan memantulkan sihir itu kembali padanya."
Margolin melangkah maju ke arah Ned. "Kau harus bertindak pada saat yang tepat,
Nak" Ia mendesah. "Kemungkinan berhasilnya memang kecil. Tapi kuputuskan kau
patut mendapat kesempatan ini, karena kau sudah menolongku kemarin."
Kemudian Margolin menambahkan, "Mungkin kau akan berhasil. Mungkin tidak.
Tapi ini akan mengalihkan perhatian Shamandra dan memberiku kesempatan untuk
mengucapkan mantra pertamaku. Pokoknya ini rencana bagus!"
Margolin mulai mengaduk serbuk-serbuk dalam mangkuk besar.
Ned berjalan ke perapian dan mulai berlatih menggunakan cermin itu.
Dipegangnya cermin itu di samping tubuhnya, lalu mengacung-kannya cepat-
cepat, mengarahkannya ke depannya.
Berapa kali dia harus berlatih"
Shamandra tiba beberapa saat kemudian. Ned tersentak.
Shamandra pendek dan kurus. Jubah merah-manyalanya terjuntai hingga ke lantai.
Wajahnya tersembunyi di balik tudung wol merah. Yang tampak hanya matanya -
mata dingin berkilat-kilat.
Ia melangkah dengan pelan dan tenang ke dalam ruangan itu. "Margolin,"
panggilnya pelan, "aku di sini."
Margolin tertawa. "Shamandra, apakah sihirmu selemah suaramu?"
"Aku... tidak... lemah' sahut Shamandra, mengucapkan setiap katanya dengan pelan
dan jelas. "Misalnya Angin Perusakan ini!"
Shamandra mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi.
Ned mendengar bunyi menderu, mula-mula rendah, lalu makin keras, sampai
akhirnya menjadi gemuruh yang menulikan.
Embusan angin sedingin es memasuki ruangan itu. Lalu embusan lainnya, sangat
kuat hingga menggulingkan guci-guci dan botol-botol dari rak-rak.
Angin itu menjadi angin ribut yang menderu-deru.
Ned menjatuhkan diri di lantai dan mengangkat tangannya di depan mukanya.
Tetapi angin itu mengangkat tubuhnya, melambungkannya hingga uriggi, dan
memutar-mutarkannya ke sekeliling ruangan.
"Tidaaaaaak!" Jeritan ngeri terlontar dari tenggorokannya saat angin ribut itu mengempaskannya
ke dinding batu. Ia terbanting keras. Rasa nyeri menjalari tubuhnya. Ia merosot ke lantai, pusing
dan tersengal-sengal. Ketika akhirnya ia berdiri, Ned melihat Margolin menudingkan kedua jarinya pada
Shamandra. "Anginmu selemah kehendakmu!" kata Margolin dengan marah.
"Shamandra, rasakan Kegelapan Kematian ini!"
Ruangan penyihir itu diliputi kegelapan.
Bukan kegelapan yang normal, tapi kekelaman yang dalam. Lubang hitam. Seolah
kegelapan tersedot keluar dari bawah tanah.
Dan tiba-tiba Ned merasa dirinya terjatuh... jatuh tanpa ampun, terlontar ke
bawah, ke bawah... ke dalam kekelaman.
"Oh!" pekik Ned nyaring saat ia merasakan lantai batu yang keras lagi. Matanya
mengerjap-ngerjap karena tiba-tiba terang benderang.
Shamandra berdiri dengan kedua tangan terangkat.
"Mantra yang pintar, Margolin," katanya. "Tapi mudah dihentikan."
Ia mengalihkan tatapan matanya yang berkilat-kilat dan mengerikan itu kepada
Ned. "Apa dia pelayanmu?" tanyanya pada Margolin. "Mau-mau-nya kau menerima magang
seekor kadal?" Shamandra mengangkat tangan kirinya.
Napas Ned tercekat di tenggorokannya.
Cermin itu! Di mana benda itu" Itu dia. Ia menjatuhkannya ke lantai selama mantra Kegelapan Kematian bekerja.
Shamandra menudingkan jarinya yang panjang dan kurus.
Ned menyambar cermin itu dari lantai.
Diangkatnya cermin itu. Diacungkannya ke arah Shamandra.
Tapi cermin itu tergelincir dari tangannya yang berkeringat dingin. Dan pecah di


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki Ned. "Tidaaaaaaaaak!" Ia menjerit ketakutan saat tubuhnya terasa mengerut dan
menyusut. Pandangannya mulai kabur. Ia dapat merasakan degup jantungnya melambat...
makin lambat.... Tubuhnya sangat pendek sekarang... pendek sekali.
Ia berdiri di atas empat kaki cokelat bersisik dan matanya mengerjap-ngerjap
pada jubah dan tudung merah itu.
Aku kadal, pikir Ned, lidahnya yang kering menjulur keluar dari rahangnya yang
kendur. Dia berhasil! Shamandra mengubahku jadi kadal.
Margolin memandang ke bawah pada Ned, mulutnya ternganga, matanya
membelalak. "Aku tahu irii!" serunya. "Aku tahu kau akan mengubahnya jadi
kadal!" "Dan aku akan mengubahmu jadi sesuatu yang lebih pendek!" Shamandra berjanji.
"Kejahatanmu sudah cukup lama memerintah kerajaan ini. Kekuatanku lebih hebat
daripada kekuatanmu. Sekarang aku akan menjadi penyihir yang memerintah
kerajaan ini, dengan semua ganjarannya!"
Margolin melontarkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Aku
menertawakanmu, Shamandra!" katanya. "Kaulihat" Aku menertawakanmu di
mukamu!" Kepalanya menggeleng-geleng dan ia tertawa lagi.
"Selamat tinggal, dasar orang tua goblok!" teriak Shamandra. Ia melambaikan
kedua tangannya pada Margolin.
Margolin berhenti tertawa. Ia menudingkan jarinya dan mulutnya mulai komat-
kamit. Terlambat. Shamandra menjentikkan jari-jarinya. Satu kali. Dua kali.
Semuanya terjadi dalam sekejap. Tak ada asap ataupun gemuruh ledakan.
Margolin mengeluarkan suara mencicit kaget. Dan menyusut ke lantai.
Seekor serangga. Serangga gemuk dan hitam.
Dalam sekejap Shamandra telah menyusutkan lawannya menjadi kumbang gemuk.
Lantai bergetar ketika Shamandra berjalan melintasi ruangan. Ia mengangkat bot
hitamnya yang berkilauan, mendaratkan tumitnya, dan menggilas kumbang itu ke
dalam lantai. Kemudian ia berpaling ke kadal yang gemetaran di depan meja itu.
Dia ke sini, kata Ned pada diri sendiri, mengawasi mata berkilat-kilat di dalam
tudung merah itu. Dia menang. Shamandra-lah pemenangnya. Apa yang akan
dilakukannya sekarang"
Ned melihat bot hitam berkilat itu semakin besar sementara si penyihir
mendekatinya. Shamandra berhenti di muka kadal itu. Ia membungkuk,
menyipitkan matanya yang mengerikan, mengamati Ned.
Apakah dia akan menginjakku juga" Ned bertanya-tanya dalam had. Apakah dia
akan meratakanku di bawah tumitnya seperti yang dilakukannya pada Margolin"
Ned tegang, siap berlari saat Shamandra mengangkat botnya.
Namun ternyata si penyihir berjubah merah itu menuding si kadal dan berkomat-
kamit mengucapkan empat kata ganjil dengan berbisik pelan.
Ned merasa dirinya mulai membesar. Semakin tinggi... tinggi.
Sesaat kemudian ia berdiri di hadapan Shamandra.
Diperiksanya lengannya, kakinya, diusapkannya tangannya ke pipinya, ditariknya
rambutnya. Anak laki-laki lagi. Dirinya lagi. Aku Ned!
"Terima kasih!" katanya pada Shamandra, sambil agak membungkuk
Shamandra mendorong ke belakang tudung merahnya dan menyeringai pada Ned.
"Terima kasih, Ned," katanya. Ia menepuk-nepuk punggung Ned dengan ramah.
"Terima kasih kau sudah membiarkanku masuk ke puri ini. Terima kasih kau sudah
memikirkan seluruh rencana luar biasa ini."
Ned selalu menjadi pemikir, perancang tipuan. Tapi ini saat yang paling
mengesankan baginya. Ia bertepuk tangan dan menari-nari, tarian gembira.
"Margolin memang goblok!" serunya. "Apa dikiranya selama dua tahun ini aku cuma
menontonnya dan tak mempelajari sihirnya sedikit pun" Apa dikiranya aku
tak bisa mempelajari bagaimana cara mengubah tali jadi ular atau lantai tanah
jadi cairan?" Shamandra tertawa. "Lupakan tentang Margolin. Dia sudah berlalu. Dia sudah
pergi untuk selama. Ned mengacung-acungkan tinjunya dengan penuh kemenangan ke atas kepalanya.
"Puri ini jadi milik kita! Sihirnya jadi milik kita sekarang! Sepanjang hidupku
aku miskin. Miskin, compang-camping, dan kelaparan. Tapi sekarang tidak lagi.
Tidak lagi! Aku penyihir terhebat sekarang!"
"Ya, ya!" sorak Shamandra. "Akan bagus sekali! Kita akan kaya dan kuat! Kita
akan membuat sejarah!"
Ia kembali menepuk-nepuk punggung Ned. "Tapi mula-mula, ayo kita rayakan,
Nak. Ini hari yang luar biasa! Kita mengecoh si penyihir terhebat. Ayo kita
pergi keluar dan menikmati sinar matahari. Ayo kita hirup udara musim semi yang
segar." "Tidak," sahut Ned dengan kaku. Ia berjalan ke meja. "Tak ada waktu untuk itu
sekarang, Shamandra. Kita harus bekerja."
Sementara menuangkan cairan biru dan ungu ke dalam mangkuk, Ned teringat
kembali akan ucapan Shamandra. Kita akan kaya dan kuat! Kita akan membuat
sejarah! Dia salah, pikir Ned. Kita takkan kaya. Kita takkan kuat.
Bendera Darah 2 Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun Si Dungu 5
^