Pencarian

Saat Saat Seram 3

Goosebumps - Saat-saat Seram Bagian 3


sengal. Rasa nyeri menjalari sekujur tubuhku.
Kudengar bunyi kraaaak keras di atas kepalaku.
Aku mendongak tepat pada saat tiang langit-langit patah... patah menjadi dua....
Sekarang kami berempat menjerit.
Menjerit... menjerit... saat tiang itu jatuh dan langit-langit mulai runtuh.
Dan dalam dua detik terakhir itu, dalam saat yang paling mengerikan dalam
hidupku itu, aku menyadari rasa takut mengalami hal ini.
Aku menyadari kebenaran tentang topeng hitam itu.
Kami salah. Kami sangat salah. Anak-anak itu adalah kami sendiri! Topeng itu
tidak pernah menunjukkan pada kami masa lalu - melainkan menunjukkan pada
kami masa depan. 7. TAKUT BADUT TAKUT badut" Mengapa"
Mungkin karena mulutnya - goresan merah darah pada mukanya yang putih
menyeramkan itu. Mungkin karena Christopher...
Ketika aku masih kecil, temanku Christopher memberitahuku bahwa badut-badut
itu orang-orang yang sangat jahat. Katanya mereka penjahat-penjahat yang
menyembunyikan diri dari hukum dengan menyamarkan muka mereka di bawah
make up tebal itu. Katanya jika aku sampai melihat badut tanpa make up-nya, aku
akan mati! Aku tidak mempercayainya. Bagaimanapun, tak begitu lama aku mempercayainya.
Tapi aku memikirkan Christopher ketika mengarang kisah Nightmare Hour ini.
Cerita ini tentang seorang anak laki-laki yang takut badut - dan seharusnya ia
takut! Cerita ini untukmu, Christopher. Selamat mimpi indah....
ILUSTRASI OLEH VINCE NATALE
AKU selalu takut badut. Aku tahu ini konyol, tapi aku tak berdaya. Menurutku
badut-badut itu tidak lucu, tapi menyeramkan. Aku tahu bagaimana ketakutanku
berawal. Aku dapat mengingatnya dengan jelas....
Waktu itu hari ulang tahun ketiga Billy Waldman. Semua anak yang diundang ke
sana berumur tiga atau empat tahun.
Pada pesta ulang tahun Billy itu ada badut. Mula-mula badut itu mengadakan
pertunjukan sulap. Belakangan ia mulai menyemprot muka kami dengan pistol
semprotan besar. Beberapa anak tertawa, tetapi menurutku itu tidak lucu. Aku ingat senyumnya yang
cuma lukisan dan rambut palsunya yang merah mirip sapu. Tetapi yang paling
kuingat adalah mata badut itu ketika ia mendekatiku.
Matanya tidak tertawa. Matanya tidak ramah. Di bawah make up tebal putih itu
matanya kejam. Badut itu menyemprot kami dengan krim kocok Lalu ia melemparkan pie ke wajah
Billy. Anak-anak lain tertawa tak henti-hentinya. lapi aku rasanya ingin
menangis. Dan sebelum aku tahu, badut itu muncul di hadapanku. Ia menggiringku ke pojok,
menyodok-nyodokku dengan perut bantalnya.
Anak-anak lain melupakan Billy dan mulai menertawakan cara badut itu
mendesakku ke dinding. Tapi aku sungguh-sungguh ketakutan.
"Siapa namamu?" tanya badut itu dengan suara parau yang sangat rendah.
"Christopher," sahutku.
Kemudian badut itu mencondongkan badan hingga dekat sekali padaku,
sedemikian dekat hingga aku dapat mencium napasnya yang kecut. Dan ia
berbisik, "Bisa-bisa kau mati, Nak."
Aku mengingatnya dengan jelas, bibirnya menyentuh telingaku, "Bisa-bisa kau
mati, Nak. Bisa-bisa kau mati KETAWA!"
Sejak hari itu aku takut badut. Kalau melihat badut di mall atau di depan tempat
cuci mobil atau di restoran, aku menyingkir sejauh mungkin darinya.
Sembilan tahun kemudian aku berumur dua belas, dan aku masih bermimpi tentang
badut mengerikan di pesta ulang tahun Billy Waldman itu. Aku tahu ini sihting.
Tapi badut-badut tetap membuatku takut setengah mati, masih membuat jantungku
berdegup tak keruan dan napasku macet di tenggorokan.
Pada Karnaval Musim Gugur middle school, aku benar-benar menyerah kalah.
Sejak semula aku tak ingin pergi ke karnaval itu. Maksudku, buat apa sih ikut-
ikutan permainan melemparkan cincin" Memperebutkan ikan emas" Membayar
untuk mental-mental di atas trampolin" Membuat anting-anting dari kerang dan
manik-manik" Membosankan.
Tapi beberapa temanku pergi, dan aku tidak punya kegiatan lain lagi. Jadi aku
ikut mereka. Aku tidak tahu di sana ada badut.
Aku melihatnya di sepanjang jalan melintasi gym.
Badut itu besar dengan sepatu lemas kuning yang besar sekali, perut bantal yang
bergoyang-goyang, dan tawa yang menggelegar.
Pakaiannya polka-dot merah-putih dengan kerah merah manyala. Rambutnya
oranye dan jabrik, mukanya putih, hidungnya menggelembung merah, seringainya
yang merah-hitam dilukis dari satu kuping ke kuping satunya.
"Christopher, kau mau mukamu digambari?" tanya cewek di meja kartu. "Cuma satu
dolar." Aku tidak menjawabnya. Mataku tertuju pada badut gendut jelek itu. Ia memencet-
mencet trompet plastik kecil, mengarahkannya ke wajah anak-anak, menabrak-
nabrakkan perutnya ke anak-anak, tawanya menggelegar.
Aku berusaha menjauhkan diri darinya. Tapi gang itu sangat padat dan aku
terjebak. Badut yang menyeringai itu mendatangiku--dan mengacak-acak rambutku dengan
tangannya yang bersarung. Di bawah make up matanya cokelat pucat.
Mata yang memuakkan. Ia menertawakanku dan meniup trompet di telingaku.
Aku berusaha menyingkir, tapi terjepit ke dinding stand permainan melempar anak
panah. Ia tertawa lagi dan mendekatkan wajahnya yang meringis ke wajahku. "Bisa-bisa
kau mati, Nak," bisiknya.
Dibunyikannya trompetnya di telingaku sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.
"Bisa-bisa kau mati KETAWA!"
Dan saat itulah aku benar-benar ketakutan. Aku menjerit keras-keras, ngeri. Lalu
aku lari, mendorong anak-anak yang menghalangiku, menabrak-nabrak segala
benda, menjerit... menjerit.
Aku dapat merasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Aku dapat melihat
ekspresi mereka yang terkejut dan bingung. Aku dapat mendengar semua teman
memanggilku. Aku menerjang keluar dari gym.
"Christopher!" Aku berpaling dan melihat guruku, Miss Bienstock. Ia mengejarku, rambutnya
yang megar berkibaran, matanya membelalak cemas. "Christopher! Ada apa di
dalam sana?" "Badut itu," pekikku. "Dia menakut-nakutikal Dia - dia akan membunuhku!"
Miss Bienstock memegang bahuku. Matanya menyipit dan bibirnya terkatup.
"Kau sudah dua belas tahun. Kau tahu itu bukan sungguhan."
"Ya, sungguh! Dia akan membunuhku! Dia akan membunuhku!" jeritku.
Ia menelepon orangtuaku. Mereka tegang dan serius menungguku saat aku sampai
di rumah. Mom menggigiti bibir bawahnya. "Kita harus melakukan sesuatu untuk ini,
Christopher," katanya. "Mom dan Dad sangat mencemaskanmu."
Dad memegang bahuku dan menunduk kepadaku. "Badut itu lucu - tidak
menyeramkan," katanya, menatapku. "Kupikir kau mulai ketakutan konyol seperti
itu sejak umur empat."
"Bukan konyol. Badut itu... dia bilang bisa-bisa aku mati ketawa."
"Itu karena dia lucu," kata Mom. "Mati ketawa. Itu kan cuma ungkapan."
"Kami harus menyembuhkanmu dari ini," kata Dad, sambil menggeleng-geleng.
"Harus." Sabtu berikutnya Mom dan Dad memaksaku pergi ke sirkus dengan mereka.
Farnum's International Circus of the Stars. Aku meronta-ronta dan menjerit-
jerit. Aku mencoba mengunci diri dalam kamarku.
Tetapi Mom dan Dad menarikku ke mobil. "Ini akan menyembuhkan masalah
badutmu," kata Mom. "Kau akan tahu," Dad bersikeras. "Badut itu lucu. Semua orang menyukai badut.
Kau akan tahu." Kami duduk di deretan depan di tenda sirkus itu. Kusilangkan kedua lenganku
erat-erat di depanku dan aku menonton aksi sirkus itu. Kukertakkan gigiku sampai
rahangku ngilu. Aku sangat takut...
Ketika badut-badut itu terantuk-antuk dan terpental-pental memasuki arena, aku
mencengkeram lengan kursiku. Tanganku dingin dan berkeringat.
Musik badut yang konyol itu terdengar mengalun di tenda itu. Badut-badut itu
meniup trompet dan peluit. Mereka berlari mengelilingi arena dalam putaran-
putaran besar, sepatu-sepatu besar itu terdengar berisik menginjak serbuk
gergaji. "Badut kami memerlukan seorang SUKARELAWAN!" Suara si pembawa acara
menggelegar lewat speaker. "Kami memerlukan seorang KORBAN dari
penonton!" Sebelum aku sempat sembunyi, seorang badut tinggi kurus dengan rambut ijuk
kuning dan dasi kupu-kupu biru besar sekali menangkap kedua lenganku dan
mengangkatku masuk ke arena.
Kupejamkan mataku saat lampu sorot menyinariku.
Aku nyaris tak bisa mendengar sorakan penonton, karena tertutup debar jantungku
sendiri. "Nggaaaaaak," erangku. "Nggak mau. Pilih orang lain! Jangan aku!"
Aku mencoba memanjat keluar arena, kembali ke kursiku. lapi badut berambut
kuning itu memutarku. Ia mendorong setangkai bunga aster ke mukaku dan
menyemprotku dengan air mancur dingin.
Kudengar tawa dan sorakan. Napasku sesak. "Jangan aku..."
Aku lemas, tapi badut itu menarikku ke dalam pertunjukan itu.
Empat badut mengelilingiku. Mereka mulai mengerjaiku dengan sepatu-sepatu
besar. Sepatu itu sungguhan. Badut-badut itu melontarkan sepatu-sepatu mereka ke
kepalaku dan menyodokkannya ke perutku sampai aku terjengkang.
"Hei, tunggu! Sakit!" Aku menahan napas.
Penonton tertawa bergemuruh. Badut-badut itu menumpahkan seember potongan
kertas kecil-kecil ke kepalaku. Lalu mereka menamparku dengan lukisan berwarna
cerah berukuran 60 kali 120 senti.
"Owwww!" Papan itu kayu sungguhan - bukan palsu. Plak. Plak Mereka menampar
punggungku, bahuku. Rasa nyeri menjalari tubuhku. Kuangkat kedua tanganku
untuk melindungi kepalaku.
Penonton bersorak dan tertawa, tapi ini tak lucu.
Mereka sungguh-sungguh mencoba menyakitiku. Mereka menjegal kakiku,
mendorong wajahku ke ember yang berisi kotoran lengket dan menjijikkan.
Mereka menempeleng kepalaku dengan slang kebakaran dan menyuruhku
menerobos lingkaran api. Semuanya sungguhan. Mereka tidak berpura-pura.
Mereka menamparku, memukulku, dan menjegal kakiku sampai tubuhku
berdenyut-denyut kesakitan.
Sepanjang waktu itu para penonton tertawa dan menyoraki badut-badut itu.
Akhirnya pertunjukan itu selesai. Sambil meniup peluit dan trompet, serta
melambai-lambai kepada para penonton, badut-badut itu lari cekikikan
meninggalkan arena. "Ampun..." Aku pusing, napasku tersengal-sengal. "Ampun, tolonglah aku....
Tolong kembalikan aku ke tempat dudukku."
Dengan ketakutan aku melihat keempat badut itu berlari keluar lagi dan
mengelilingiku. Dua dari mereka menarik lenganku ke belakang. Mereka
mengangkatku dari tanah dan membawaku keluar dari arena sementara para
penonton melanjutkan sorak-sorai mereka.
"Ampun... lepaskan aku! Lepaskan!" Aku berusaha berteriak.
Tapi salah satu badut membekapkan sarung tangannya ke mulutku.
Dengan panik dan ketakutan aku menyambar hidung merahnya yang
menggelembung. Kurenggut kerah kerutnya yang kuning terang itu. Lalu, dengan
mengerahkan seluruh tenaga, aku berhasil melepaskan diri sejenak. Aku berbalik
menyingkir dari mereka, setengah mati ingin kembali ke tempat dudukku.
Tapi dengan cepat para badut itu mengepungku. Aku menatap senyum-senyum
lukisan yang menyeringai samar-samar. Dan di atas senyum-senyum itu mata
mereka pucat dan kejam. Musik sirkus menelan teriakanku ketika mereka menghelaku ke dalam tenda gelap
dan kecil serta menutup pintunya.
Mereka mendorongku ke kursi kayu dan mengikatku dengan tali besar.
"Bisa-bisa kau mati ketawa!" kata badut yang gemuk dan botak itu.
Lalu mereka semua menyanyikannya bersama-sama, "Bisa-bisa kau mati ketawa!
Bisa-bisa kau mati ketawa!"
Mereka mengeluarkan bulu-bulu merah dan kuning Serta melarnbai-lambaikannya
padaku. "Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!"
"Kenapa kalian lakukan ini padaku?" jeritku. "Kenapa" Katakan padaku!"
Mereka berhenti menyanyi.
"Karena kau takut kami," sahut si badut gemuk "Karena kau tahu rahasia kami."
"Kau tahu kami tak lucu," kata badut yang tinggi kurus dengan telinga merah
besar. "Kau tahu kami mengerikan dan jahat."
"Kami harus mencari anak-anak yang takut kami, anak-anak yang tahu rahasia
kami," kata si badut gendut. "Kami harus menghentikan mereka. Kami tak bisa
membiarkan rahasia kami terbongkar."
"Tapi kenapa kalian melakukannya?" tanyaku, suaraku melengking dan bergetar.
"Kenapa berpura-pura lucu padahal yang ingin kalian lakukan cuma menakut-
nakuti anak-anak?" Si badut kurus mengedip padaku. "Kenapa tidak?" katanya.
"Ya. Kenapa tidak?" sergah si badut gendut. "Ini menyenangkan sekali. Dan kami
dibayar untuk melakukannya!"
"Beberapa anak memang pintar," si badut kurus menambahkan. "Mereka tahu mereka
seharusnya ketakutan. Tapi orangtua mereka selalu mencoba meyakinkan
mereka bahwa mereka tak seharusnya begitu! Memang kacau!"
Semua badut itu tertawa. Ketika mereka berbicara, aku berusaha melepaskan diri. Tapi ikatannya sangat
erat. Aku terperangkap. Kutelan ludahku. Keringat membasahi keningku.
Kusadari riwayatku akan segera berakhir.
"Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!"
Mereka mulai menyanyi lagi, mengitariku, perut-perut mereka bergoyang-goyang,
sepatu-sepatu besar mereka berketeplok di lantai tenda.
Lalu mereka menurunkan bulu-bulu mereka dan mulai menggelitikiku. Mukaku.
Kpiku. Bawah dagu-ku. "Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!"
"Jangan! Ampun!" aku memohon-mohon, tali yang mengikatku mengencang.
"Aku takkan memberitahu siapa pun! Aku takkan bilang! Ampun..."
Mereka menggelitiki keningku. Menggelitiki ke-tiakku. Menggelitiki perutku.
Dan aku mati. Aku mati ketawa. ha ha ha ha ha ha ha ha ha. Tentu saja, aku tidak sungguh-
sungguh mati ketawa. Sambil tersedak-sedak, terbatuk-batuk, dan megap-megap, aku membuat
kesepakatan dengan mereka.
Jika tak bisa memukul mereka, turuti saja mereka.
Sulit dipercaya, tapi kini sudah sepuluh tahun aku bekerja di sirkus. Aku adalah
bintang besar sirkus itu, gambarku selalu muncul pada seluruh poster dan papan
reklamenya. Semua orang mengenalku sebagai Mo-Mo.
Mo-Mo si Badut Itulah aku.
Tentu saja aku tak takut badut lagi.
Tapi banyak anak yang masih takut badut.
Dan mereka harus dihentikan.
Ketika kami berlari keluar memasuki arena sirkus, akulah yang memilih
sukarelawan dari antara para penonton.
Aku mencari anak laki-laki atau anak perempuan yang tampaknya paling
ketakutan. Aku mengamati wajah mereka, mata mereka. Aku bisa tahu apakah
mereka takut badut. Kupilih anak-anak yang paling takut.
Lalu kusemprotkan air ke muka mereka, kujegal kaki mereka, kudorong mereka ke
dalam tong, kutampar mereka dengan ikan karet, lalu kupukul, kugampar,
kutempeleng kepala mereka, kujatuhkan mereka ke tanah, dan kularikan mereka
dengan naik pikup. Lucu, hah" Larut malam setelah sirkus berakhir dan semua orang pulang, kami para badut


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk berkumpul di dalam trailer kami dan bercakap-cakap. Kami membicarakan
hal-hal yang jahat dan kejam yang kami lakukan pada anak-anak dan bagaimana
semua orang tertawa dan bertepuk tangan dan mengira itu bagus sekali. Sejauh ini
kami bisa menjaga rahasia kami.
8. MAYAT Dan sekarang karena aku telah menceritakan padamu kisah ini, KAU tak bakalan
menyebarkan-nya, kan"
Karena kau akan kuberitahu lagi satu rahasia: Bisa-bisa kau mati ketawa.
JANTUNGKU berpacu. Aku lari... lebih cepat... semakin cepat! Aku tak bisa
melihatnya, tapi aku tahu ia mengejarku. Kupaksa kakiku berlari semakin kencang.
Tapi sebuah tangan kurus dengan tulang bertonjolan memegang bahuku. Ia
berhasil mengejarku! Aku menjerit - dan terbangun!
Mimpi seram. Aku bermimpi tentang itu sejak aku berumur delapan atau sembilan.
Ketika aku masih anak-anak di Ohio, di belakang rumah kami ada hutan lebat. Di
tengah-tengah hutan itu ada gundukan tinggi batu putih halus. Kami menghindari
batu-batu putih itu. Semua anak di sekitar situ percaya bahwa ada mayat yang
dikubur di bawahnya. Aku masih bermimpi tentang batu-batu itu. Aku melihat batu-batu itu mulai
berguncang. Lalu kulihat sesosok tubuh yang sudah membusuk dan mengerikan
memanjat keluar dari bawah dan terhuyung-huyung menuju ke rumahku, sambil
menggeram, "Aku datang untuk mengambilmu, Bobby. Aku datang untuk
mengambilmu!" Dari situlah aku mendapat ide untuk cerita ini.
Selamat datang di mimpi burukku....
ILUSTRASI OLEH JOHN COLLIER
KULIT kayu pohon itu menggores tanganku.
Batangnya yang kurus bergoyang-goyang di bawahku.
Kueratkan peganganku pada cabang itu dan kukerjap-kerjapkan mataku menatap
anak-anak di bawah itu. Tiba-tiba aku merasa pusing. Wajah nyengir mereka jadi
kelihatan buram. "Ada apa, Willy?" Kudengar Travis memanggilku. "Kau butuh tangga buat turun?"
"Aku - tak apa-apa," sahutku tergagap.
Tapi aku apa-apa. Aku sudah memanjat setengah tinggi pohon, dan tidak ada jalan
sama sekali untuk turun. "Perlu keteleponkan unit pemadam kebakaran?" seru Travis. Anak-anak lain tertawa
seperti biasanya. Kemudian Travis menyanyikan lagu yang tak asing lagi itu, "Willy the Wimp!"
Willy si Lemah. Aku ingin menutupi kupingku, tapi tak bisa melepaskan cabang pohon. Cabang itu
kupeluk erat-erat, aku gemetaran. "Namaku Will - bukan Willy!"
Tapi itu malahan membuat mereka menyanyi semakin keras. "Willy the Wimp!
Willy the Wimp!" Sudah berapa tahun aku terpaksa mendengarkan lagu itu"
Kupejamkan mataku dan kukertakkan gigiku. Aku benci mereka, termasuk Travis,
meskipun ia sahabatku. Tapi aku paling benci diriku sendiri, karena lemah,
penakut, hingga dijuluki Willy the Wimp.
"Stop!" teriakku. "Stop!"
Kuacung-acungkan tinjuku pada mereka dan keseimbanganku hilang.
Aku terpelanting dari cabang itu dan merosot di batang. Kulit kayu menggores
tanganku dan merobek depan kemejaku. Aku mendarat dengan keras di tanah, dan
jatuh berlutut. "Wow. Lihat, kau begitu lagi!" seru Travis.
Tanganku berdarah. Aku menyingkirkan debu dan kulit kayu yang menempel pada
kemejaku, lalu mengibaskan sejumput daun dari rambutku. Aku memelototi
Travis. "Jangan ganggu aku."
Tetapi ia tidak pernah menggubrisku. Ia selalu menantangku untuk melakukan hal-
hal yang berbahaya. Selalu membual di depan anak-anak lain bahwa ia pemberani
dan aku penakut. Aku selalu jadi anak terkecil di kelasku. Bahkan di kelas satu aku kelihatan
lebih muda dari semua anak. Mengapa itu membuat mereka merasa berhak menantangku
berkelahi dan menertawakanku"
Sambil berjalan tertatih-tatih pulang, dengan kedua tangan terselip ke dalam
saku jinsku, aku teringat akan beberapa trik licik Travis. Ketika dalam
pelajaran sains ia menjatuhkan gumpalan kapas besar ke punggungku dan mengatakan
itu tarantula. Ketika ia menyemprot dengan pistol airnya ke bagian depan celanaku tepat
sebelum aku harus berdiri di depan kelas dan membacakan laporan buku.
Dan semua tantangan konyol itu. Menantangku menyelam ke dalam Handler's
Creek ketika air sungai kecil itu hanya beberapa inci dalamnya. Melemparkan
topiku ke atas atap sekolah dan menantangku memanjat ke sana untuk
mengambilnya. Mengatakan ruangan ganti pakaian murid cewek sedang kosong dan menantangku
menyelinap ke sana, padahal ia tahu ruangan itu sedang penuh cewek.
Dan si Tolol Will selalu menerima tantangan itu.
Si Tblol Will menanggapi setiap tantangan.
Pagi berikutnya aku agak terlambat sampai di sekolah. Aku melangkah masuk
kelas dan tercengang menatap gambar pada papan tulis. Ada yang telah
menggambar pohon besar dengan aku bergelantungan pada salah satu cabangnya
yang tinggi dan seekor hiring pada cabang lainnya. Di bawahnya tertulis: YANG
MANA SI KUCING PENAKUT"
Aku berbalik dan ternyata semua anak sedang nyengir padaku.
Melihat wajah-wajah cengar-cengir itu, aku tahu aku tak bisa lagi menerima
perlakuan ini. Aku tahu aku harus bertindak. Tapi apa"
Beberapa hari kemudian aku kembali di hutan. Mr. Kretchmer, guru kami,
memimpin kami sekelas ke Handler's Creek untuk mengumpulkan serangga.
Saat kami menyusuri jalan setapak tanah yang berkelok-kelok di antara pepohonan,
Travis muncul di sampingku, nyengir seperti biasanya. "Kutantang kau berenang di
sungai kecil itu," katanya.
Kuputar bola mataku. "Ha ha. Lucu sekali."
Sudah berminggu-minggu tidak turun hujan. Bahkan aku pun tahu sungai kecil itu
hanya berupa tanah berlumpur saat ini.
"Aku akan berjalan lebih dulu untuk melihat apakah sungai kecil itu sudah kering
sampai ke dasarnya,"
Mr. Kretchmer mengumumkan. "Aku ingin semuanya sudah siap. Tetap ikuti jalan
setapak." Ia berbalik dan bergegas pergi.
Sepatu kami menggilas tanah kering. Sinar matahari yang terang membuat gatal
tengkukku. Di depan tampak segerombolan serangga putih berkilauan terbang
beiputar-putar di atas rumput tinggi.
Jalan setapak itu membelok melintasi tanah terbuka berumput. Kupindahkan
ranselku ke bahuku yang satunya dan kulihat sebuah gudang kecil yang terbuat
dari kayu di belakang tanah terbuka itu.
Apa itu yang tergeletak di rumput di depan gudang itu"
Aku mengedip-ngedip untuk mem-fokuskan mataku.
"Hei!" Aku berlari. "Hei!"
Aku berhenti beberapa kaki dari gudang itu dan memandangi laki-laki di atas
tanah itu. Ia berbaring miring dengan kaku, lengan dan kakinya sangat lurus.
Sebuah topeng - topeng wol hitam - menutupi wajahnya. Lewat lubang matanya aku dapat
melihat bahwa bola matanya terbalik ke atas ke dalam kepalanya. Hanya bagian
putihnya yang tampak. "Hei!" Aku memanggil anak-anak lain, suaraku tinggi dan melengking. Kulambai-
lambaikan tanganku dengan panik. "Hei - ke sini! Cepat!"
Semua anak sekelas berlari-lari datang. Mereka berhenti ketika melihat mayat
yang tergeletak di rumput itu. Setelah mendesah kaget, setiap anak mulai bicara
pada saat yang bersamaan, sehingga suasana ribut.
"Apa dia hidup?"
"Kenapa dia pakai topeng?"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Ini - ini mayat," gagapku. "Aku tak percaya. Aku belum pernah melihat mayat."
Aku ternganga memandangi wajah bertopeng, bola mata putih itu.
"Cepat cari Mr. Kretchmer! Cepat!" teriak seorang anak cewek.
Tapi tidak ada yang beranjak. Kukira semuanya terlalu kaget, terlalu ngeri.
Lalu Travis cepat-cepat ke sebelahku, mata hitamnya bersinar-sinar, mulutnya
mulai cengar cengir seperti biasanya.
"Will," katanya dengan keras, cukup keras untuk didengar semua anak. "Will,
berani kau menyentuhnya?"
"Hah?" Aku melangkah mundur. "Menyentuh mayat?"
Cengiran Travis semakin lebar. "Apa kau berani menarik topengnya dan
menyentuh wajahnya?"
Semuanya diam. Aku dapat melihat bahwa semua mata tertuju padaku.
Aku menatap Travis, lalu berpaling ke mayat itu. Aku menelan ludah. Kutarik
napasku dalam-dalam. "Aku menantangmu." Travis tahu aku tak pernah menolak tantangannya. Semua anak
sekelas tahu. "Oke." Aku menelan ludah lagi. "Oke. Aku bisa melakukannya. Ini sih masalah
kecil - ya, kan?" Aku maju selangkah kecil ke arah mayat itu, lalu selangkah lagi. Ketika aku
berlutut di sampingnya, beberapa anak menahan napas.
"Benar dia akan menyentuhnya?" bisik seseorang.
"Dia kan penakut," sahut Travis.
No way, ucapku dalam hati. Aku bukan penakut. Aku akan melakukannya.
Tanganku gemetar saat kuulurkan untuk meraih topeng hitam itu. Jari-jariku
mencengkeram tepi bawah topeng itu. Dengan entakan keras, aku mulai menarik
topeng ke atas wajah itu.
Tiba-tiba tangan kanan orang mati itu terulur dan mencengkeram pergelangan
tanganku. "Ohhhhh," aku mengerang pelan.
Di belakangku terdengar jeritan dan teriakan ngeri dari anak-anak lain.
Jari-jari orang mati itu mencengkeram erat lenganku. Matanya yang putih kosong
menatapku. Tangannya yang lain memegang bahuku.
Pekikan dan jeritan terdengar di sekitarku. Aku bergeming. Aku tak bisa
bergerak. Sambil menatapku dengan matanya yang kosong mayat itu membuka mulutnya
dan berkata dengan suara parau, "Biarkan... yang... mati... beristirahat!"
"J-jangan - " gagapku. "Lep-lepaskan - "
"Biarkan... yang... mati... beristirahat!" ulang mayat itu dalam bisikan serak.
Aku berpaling dan melihat anak-anak berpegangan, menjerit-jerit dan menangis.
Tangan orang mati itu berpindah ke leherku.
"Travis - tolong aku!" teriakku. "Travis - tolong! Bantu aku!"
Travis ragu-ragu sesaat, mukanya pucat pasi, matanya melirik ke sana-sini dengan
panik. Lalu ia membalikkan badan dan berlari pergi, kabur ke dalam hutan.
Beberapa anak lari mengejarnya. Sisanya memandangi dengan ngeri saat mayat itu
mengencangkan cengkeramannya di seputar leherku.
"Biarkan... yang... mati... beristirahat!" Dengan geraman pelan ia mulai
mencekikku. "Kayaknya aku terpaksa menghadapimu sendirian!" teriakku.
Kuremas tangannya dan kusentakkan hingga terlepas dari leherku. Lalu kupegang
kepalanya dan kupuntir kuat-kuat. Sambil mencengkeram tepi topeng aku
mengangkat kepala orang mati itu, k-mudian mengempaskannya ke bawah.
Membantingnya ke tanah. Membantingnya lagi. Lagi. Lagi.
Sampai dia tergeletak diam.
Dadaku kembang-kempis mengembuskan dan menghela napas berkali-kali.
Kulepaskan mayat itu dan aku terhuyung-huyung berdiri. Aku membungkuk,
kedua tanganku bertumpu pada lutut. Aku berusaha memulihkan napasku kembali.
Semua anak terbelalak memandangiku. Gemetaran. Menangis.
"Cepat cari Mr. Kretchmer," kataku pada mereka. "Aku tak apa-apa. Cepat. Cari
dia." Mereka langsung lari, ingin sekali segera menyingkir dari situ. Aku mengawasi
mereka sampai mereka menghilang di antara pepohonan.
Lalu aku kembali ke tubuh di tanah itu. "Mereka sudah pergi, Uncle Jake. Kau
bisa bangun' kataku. "Terima kasih banyak. Sempurna sekali. Mereka takkan pernah memanggilku
Willy the Wimp lagi."
Uncle Jake beranjak duduk dan menarik lepas topeng itu. Ia menyeka keringat dari
dahinya. Lalu ia mengusap-usap bagian belakang kepalanya. "Will, permainanmu
agak kasar," erangnya.
"Maaf," sahutku. "Mungkin aku agak terpengaruh, Aku ingin itu tadi kelihatan
sungguhan." Uncle Jake adalah pamanku yang paling baik. Ia lucu sekali dan sangat suka
bercanda. Waktu makan bersama, ia sering kali memamerkan trik memutar bola
matanya hingga hanya bagian putihnya yang tampak. Minggu lalu ketika aku minta
tolong padanya, ia langsung tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan
kebolehannya itu. Kuulurkan tanganku dan kutolong dia berdiri dengan menghelanya.
"Terima kasih sekali lagi," kataku. "Kita berhasil membuat mereka ketakutan
setengah mati, kan?"
Uncle Jake mengangguk. Ia tersenyum padaku. "Aku senang membantumu, agar
kau tak dihina terus. Tapi aku harus pergi sekarang," bisiknya. "Bye, Will."
Aku mengucapkan good-bye. Lalu kuawasi dia sampai menghilang di antara
pepohonan. Aku berlari sepanjang perjalanan pulang sekolah dan menghambur masuk lewat
pintu dapur. Aku tak sabar lagi untuk segera menceritakan pada Mom sukses
besarku bersama Uncle Jake, berhasil mengerjai Travis dan anak-anak lainnya.
Tapi kuurungkan niatku ketika kulihat Mom sedang menangis. Dagunya
gemetaran. Kedua tangannya terkatup rapat.
"Will, aku sangat menyesal," katanya pelan. "Sangat menyesal..."
"Menyesal" Mom, ada apa?"
"Ada kabar sangat jelek," jawabnya, sambil menyeka air matanya dengan dua
tangan. "Ten-tentang pamanmu, Uncle Jake. Dia meninggal."
"Hah?" Tiba-tiba sekujur tubuhku seolah diguyur air es. "Meninggal" Kapan?"
"Tadi malam," sahut Mom. "Suatu saat tadi malam. Aku... aku baru saja
mendengarnya." "Tapi - " kataku.
Mom memelukku erat-erat. "Aku sangat menyesal, Will. Aku tahu kalian berdua
sangat dekat. Aku tahu kau menganggapnya sebagai teman."
Kepalaku serasa berputar. Kutekankan wajahku ke pipi Mom yang basah.
"Ya," bisikku. "Ya. Dia teman yang baik sekali."
9. JADIKAN AKU PENYIHIR PENGANTAR Orang -orang sering kali bertanya apakah aku percaya hantu dan penyihir.
Jawabannya adalah tidak. Tapi bertahun-tahun lalu aku mengenal seorang wanita
yang mengaku dirinya adalah penyihir. Namanya Judith, dan ia bekerja di kantor
yang sama denganku. Suatu hari Phil, yang bekerja di kantor sebelah, jatuh sakit. Semua orang
mengatakan Judith telah mengutuknya. Phil yang malang. Rambutnya berubah jadi
putih. Gigi-giginya mulai bertanggalan. Ia jadi semakin kurus. Lalu suatu hari
ia sembuh kembali. Judith mengatakan bahwa ia telah mencabut kutukannya. Aku tidak pernah
sungguh-sungguh mengira Judith yang bertanggung jawab. Aku tidak tahu pasti
apa yang harus kupercayai. Tapi aku tahu ini: Kadang-kadang asyik juga memiliki
kekuatan sihir seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan Samantha dalam
kisah berikut ini. Samantha ingin menjadi penyihir - dengan cara yang terburuk....
ILUSTRASI OLEH BLEU TURRELL
"AKU ingin jadi seperti kau." kataku pada penyihir itu.
Alis hitam penyihir itu menjungkit. Rambut hitamnya yang lurus jatuh ke bahunya
ketika ia memiringkan kepalanya, mengamatiku baik-baik dengan matanya yang
berkilat-kilat dan dingin itu.
Aku balas menatapnya, tidak berkedip, menan-tangnya. Daguku bergetar, tapi yang
lain-lainnya tidak bergerak.
Butuh nyali besar untuk datang ke rumah penyihir itu. Sebagian besar anak-anak
di sekitar situ tak mau mendekati rumah itu, bahkan tak mau mendaki bukit tempat
rumah tua itu berdiri. Tapi aku berani. Sebenarnya, aku putus asa.
Barangkali menurutmu menemui penyihir adalah sinting. Tapi kalau tahu seperti
apa hidupku, kau akan mengerti. Dia satu-satunya harapanku.


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gemma Rogerson penyihir betulan, semua orang di Maywood Falls tahu. Orang-
orang datang pada Gemma untuk minta tolong kalau upaya lainnya sudah sia-sia.
Mereka memintanya mengucapkan mantra untuk memperbaiki kehidupan mereka
atau untuk mengeluarkan mereka dari kesulitan.
Kadang-kadang mereka bahkan memintanya mengutuk musuh-musuh mereka. Dandia sakti sekali.
Gemma mengucapkan mantra cegukan yang ditujukan pada Mr. Fraley dari tempat
penjualan mobil bekas. Ia melakukannya karena ia memergoki laki-laki itu sedang
menjual mobil-mobil curian.
Mr. Fraley cegukan selama dua tahun tanpa berhenti, dan ia tidak dapat menjual
mobil satu pun! Aku tak mengada-ada. Itu dimuat dalam koran. Aku juga membacanya di surat
kabar ketikaGemma memainkan lelucon yang sangat jahat terhadap Wali Kota
Krenitsky. Dalam konferensi pers-nya, jutaan lalat beterbangan keluar dari
telinga dan hidungnya, cacing-cacing ungu panjang menjalar keluar dari matanya.
Gemma bisa memakai kekuatannya yang mencengangkan itu bagi kebaikan - juga
bagi kejahatan. Aku tak peduli, sebab benar-benar butuh bantuan.
Maka kini aku di dapurnya, menatapnya, mencoba tidak berkedip. Sinar matahari
sore menembus jendelanya yang tertutup debu. Sinar itu menyebar ke rak-rak
berantakan yang menempel ke dinding, rak-rak yang penuh dengan guci-guci dan
botol-botol yang berisi bulu-bulu, serbuk-serbuk, seranggn-serangga, dan tulang-
tulang kecil. Akhirnya Gemma bergerak. Gaunnya yang hitam panjang berkerut ketika ia
melintasi ruangan itu. Saat ia mendekat, aku bisa melihat kulitnya yang indah berwarna krem. Matanya
jernih dan waspada, bibirnya penuh dan halus.
Berapa umurnya" Aku tidak bisa mengatakannya.
Mungkin tiga puluh, mungkin lebih muda.
Ia meremas lenganku dengan tangannya yang pucat halus. "Takutkah kau?"
tanyanya. Suaranya pelan dan lembut.
"T-tidak," sahutku tergagap. "Kupikir tidak."
Ia meremas lenganku lebih kuat, sampai memutih.
"Kau seharusnya takut," katanya.
Aku menahan napas. Apakah datang ke sini merupakan kesalahan mengerikan"
Akhirnya ia melepaskan lenganku. Kuku-kukunya yang hitam berkilauan waktu ia
mengangkat tangannya dan mengusap ke belakang rambutku yang cokelat-tikus
dan bercabang. Ia tidak tersenyum. "Samantha, mengapa kau ingin jadi penyihir?" tanyanya.
Aku mengembuskan napas panjang. "Karena aku sangat menderita," sahutku.
Kemudian aku tidak menahannya lagi. Kukeluarkan semua keluhanku.
Kukatakan padanya betapa aku membenci penampilanku, daguku yang runcing,
hidungku yang pesek mirip anak babi, rambutku yang kasar.
Kukatakan padanya betapa aku tak punya teman. Bagaimana anak-anak di sekolah
menggodaku karena aku jelek dan mataku juling.
Gemma juga kuberitahu tentang julukan-julukan mengerikan yang diberikan anak-
anak padaku. Bahkan guru-guru pun tidak menyukaiku. Bagaimana mereka semua
sangat kejam padaku. Bagaimana kedua orangtuaku mengabaikanku dan mencurahkan seluruh perhatian
mereka pada Roddy, adikku yang masih bayi.
Banyak lagi yang kuceritakan padanya. Sulit sekali mengutarakan semuanya, dan
itu sekaligus sangat melegakanku.
Barangkali akhirnya ada seseorang yang mengerti betapa menderita diriku ini.
Barangkali Gemma akan tahu mengapa aku sampai lupa akan rasa takutku dan
datang menemuinya. Matanya yang berkilat-kilat tidak berkedip ataupun beranjak dari wajahku selama
aku mengutarakan kisahku yang panjang dan menyakitkan.
Sinar matahari tetap suram, lalu berubah, membentuk bayang-bayang kami,
kemudian gelap. Dari ruangan lain terdengar detik jam dinding.
Aku berhenti bicara untuk menghela napas. Kuedarkan pandanganku ke dapur
yang berantakan itu, pada berbotol-botol sayap serangga dan bagian-bagjan tubuh
binatang yang misterius dan mengagumkan itu.
Tiba-tiba Gemma mengerutkan kening. "Jadi kau sangat menderita, Samantha,"
katanya pelan. "Tapi kenapa kau datang padaku, dear" Kenapa kau ingin jadi
penyihir?" "A-aku ingin kesaktian!" seruku. "Aku ingin bisa menunjukkan pada orang-orang
lain, untuk membalas mereka semua karena sudah sangat jahat padaku, karena
mengejekku, karena menggangguku, karena tak pernah memberiku kesempatan."
Gemma mengerjap-ngerjapkan matanya padaku. "Balas dendam" Kau cuma ingin
balas dendam?" "Tidak! Bukan cuma balas dendam!" seruku, suara-ku semakin tinggi dan
menggebu-gebu. "Orang-orang mendatangimu. Mereka datang untuk minta tolong.
Mereka -takut padamu. tapi mereka menghormatimu. Aku - aku ingin orang-orang
menghormatiku juga!"
Sekarang aku terisak-isak. Air mataku mengalir ke pipi.
Dengan mengedikkan kepalanya Gemma menyibakkan rambutnya. "Kau benar-
benar ingin jadi seperti aku?" tanyanya, masih mengawasiku dengan tajam. "Kau
benar-benar ingin kuberi kesaktian?"
Aku mengangguk dengan sungguh-sungguh, ku-biarkan air mataku mengalir. "Ya.
Tolonglah. Hanya itu yang kuimpikan. Aku akan melakukan apa pun."
Matanya terbelalak. "Apa pun?" Ia memberi isyarat menyuruhku duduk di kursi
dapur. "Aku bisa mengabulkan perrnintaanmu, Samantha," katanya pelan. "Tapi harganya
akan... tinggi." "Harga?" seruku.
"Tentu saja," sahut Gemma, menyilangkan lengannya di depan gaun hitamnya.
"Harga yang sangat tinggi. Mungkin kau tak sanggup membayarnya."
"Aku bersedia melakukan apa pun," ulangku. "Aku tak punya uang, tapi - "
"Samantha, aku tak mengjnginkan uang," Gemma menyela. "Uang tak ada artinya
bagiku. Kalau kau serius ingin jadi penyihir, kau harus membayar harga yang
lebih tinggi nilainya daripada uang."
"A-apa itu?" tanyaku. "Apa yang kauinginkan"-
Gemma tidak ragu-ragu. "Berikan padaku adik bayimu!"
"Apa?" Aku tersentak.
"Adikmu yang masih bayi. Itulah imbalannya," sahutnya. "Berikan dia padaku, dan
aku akan membuatmu jadi penyihir."
Aku menatapnya, air mata memedihkan mataku. Tiba-tiba tenggorokanku sakit.
Perutku terasa berat dan kencang.
Bisakah aku memberikan bayi itu padanya" aku bertanya-tanya dalam had.
Bisakah aku benar-benar melakukannya"
Dad sedang berada di ruang baca, mukanya tertutup surat kabar. Ia bahkan tidak
mendongak ketika aku masuk. Aku menyapanya, dan ia menjawab dengan
gumaman. Aku menemukan Mom di dapur, sedang mengiris-iris buncis.
"Hai," sapaku. Ia tahu aku tak suka buncis.
Kupikir itulah sebabnya buncis hampir selalu dihidangkan setiap makan malam.
"Rambutmu berantakan," kata Mom. "Tak bisakah kau merapikannya?"
"Aku - aku tak tahu," jawabku.
"Kalau kau mau berusaha lebih keras, kau bisa kelihatan hampir cantik," kata Mom
tanpa mengalihkan pandang dari buncisnya.
"Terima kasih untuk pujiannya," balasku.
Ia tidak pernah mengatakan sesuatu yang manis padaku. Tidak pernah.
"Di mana Roddy?" tanyaku.
"Di ranjangnya. Tidur sebentar. Jangan bangunkan dia," kata Mom. "Berjam-jam aku
bara berhasil menidurkannya. Jangan sekali-kali masuk kamarnya, Samantha.
Kau selalu membuatnya takut."
"Jangan kuatir," gumamku.
Aku meninggalkan dapur dan langsung menuju ke kamar Roddy. Ia sedang tidur,
meringkuk seperti bola, dalam piama panjangnya yang berwarna kuning pastel.
Kulitnya pink, kepalanya botak, dan ia lucu sekali.
Kutumpukan lenganku pada jeruji ranjang itu dan kupandangi cowok kecil itu.
Tanganku tiba-tiba dingin. Perutku melilit dan serasa diaduk-aduk.
Sanggupkah aku melakukannya" tanyaku dalam hati.
Sanggupkah aku mencuri adikku dan menyerahkannya kepada penyihir"
Aku menunduk mendekatinya. Ia membuka matanya dan tangannya yang gendut
dan pink terulur lalu meraih rambutku.
"Ow!" seruku tertahan.
Ia menarik rambutku dengan sekuat tenaga.
"Lepaskan!" Kusentakkan kepalaku ke atas. Tapi ia menahannya dan menarik
rambutku ke dalam mulutnya.
"Roddy - lepaskan!" Aku memegang tangan kecil nya yang terkepal dan berusaha
membuka kepalan itu. Ia selalu memegang apa saja. Dan ia kuat sekali.
Suatu kali tangan mungilnya itu pernah menyambar hidungku dan meremasnya
dengan sangat keras hingga berdarah.
"Lepaskan! Sakit sekali, tahu!" pekikku. Akhirnya aku berhasil membuka kepalan
tangannya dan melepaskan rambutku.
Roddy membuka mulutnya dan mulai menjerit-jerit sekeras-kerasnya, sambil
mengacung-acungkan kepalannya.
"Ada apa?" Mom bergegas masuk kamar. "Samantha - sudah kubilang jangan bangunkan
dia!" "Tapi - tapi - " aku tergagap. "Bukan salahku! Dia menarik rambutku!"
"Keluar!" Mom menyuruhku, sambil mengangkat bayi itu. "Kau selalu menakut-
nakutinya. Keluar sana!"
Aku berbalik dan lari. Aku menghambur ke dalam kamarku dan mengempaskan diri ke tempat tidurku
dengan mene-lungkup. Tiba-tiba aku tahu aku sanggup melakukannya. Aku bisa membawa Roddy pada
Gemma. Tak ada masalah. Aku menunggu sampai larut malam. Mom dan Dad sudah pergi tidur. Roddy telah
terlelap. Aku mengendap-endap ke dalam kamarnya dan berjingkat jingkat menghampiri
ranjangnya. Ia mengeluarkan suara mendekut, ibu jarinya yang mungil
melengkung ke dalam mulutnya.
Sekonyong-konyong aku menyadari sekujur tubuhku gemetaran.
"Sori, Roddy," bisikku. "Aku harus melakukan ini. Aku tak punya pilihan."
Aku mengangkatnya dan memeluknya di dadaku. Ia terasa lembut dan hangat.
Baunya wangi. Ia mendekut pelan tetapi tidak terbangun.
Sambil berjingkat-jingkat, mencoba tidak bersuara, aku membawanya keluar
melewati koridor. Benarkah aku melakukan ini" aku bertanya-tanya sendiri, masih gemetar.
Kutelan ludahku. Aku tahu kalau berhenti berpikir, aku akan mengembalikan
Roddy ke ranjangnya, dan habislah sudah.
Maka aku berlari. Aku lari melintasi halaman depan, menyeberangi jalan, dan tetap .lari. Angin
berbisik di antara pepohonan. Di langit tak ada bulan ataupun bintang. Di jalan
tak ada mobil. Sambil mendekap erat bayi itu di dadaku, aku berlari dalam kegelapan, berlari
mendaki bukit curam menuju ke rumah Gemma.
Aku tidak berhenti untuk mengetuk. Dengan napas tertahan aku menerobos masuk
lewat pintu depan. Gemma sedang di dapur, berdiri di dekat tungku, menjerang sepoci teh kental
hitam. Aku berhenti di pintu. Roddy mendekut di lenganku, masih terlelap.
Gemma berbalik menghadapku, terbelalak terkejut.
Apa yang sedang kulakukan" kembali aku bertanya pada diriku sendiri. Benarkah
aku akan memberikan adik kecilku padanya"
Ya. Sudah lama aku bermimpi mengubah kehidupanku...
Kupejamkan mataku dan kusodorkan Roddy kepadanya.
"Ini," bisikku.
Mulut Gemma ternganga. Ia memegang bayi itu di depannya seperti memegang
bola football yang akan ditendangnya.
Pandangannya beralih-alih dari aku ke bayi itu, lalu kembali ke aku,
"Kau benar-benar serius, Samantha," katanya akhirnya, tidak dapat
menyembunyikan kekagetannya. "Kau sungguh-sungguh ingin jadi penyihir."
Aku mengangguk. Roddy merentangkan lengan mungilnya. Matanya masih terpejam.
"A-apa yang akan kaulakukan padanya?" tanyaku dengan suara bergetar.
Gemma menyeringai. Ia mengusapkan jarinya ke bawah dagu Roddy yang lembut.
"Aku memerlukan serbuk bayi," sahutnya. "Tulangnya akan kugiling."
"NO" jeritku. "Jangan."
Gemma melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Aku menggodamu,
Samantha," katanya. "Aku cuma bergurau."
"Well, apa yang akan kaulakukan dengannya?" tanyaku.
"Tak ada," sahutnya, sambil mengangkat bayi itu ke bahunya yang tulangnya
bertonjolan itu. "Ini cuma tes, Samantha."
"Hah" Tes?" seruku kaget.
"Aku ingin tahu seberapa seriusnya dirimu," katanya. "Aku perlu tahu sampai
seberapa jauh keinginanmu itu."
"Well, aku sudah menunjukkannya padamu," kataku. "Sekarang, maukah kau tetap
ambil bagian dalam transaksi ini?"
"Kemarilah," kata Gemma. Ia membawa bayi itu ke meja dapur. Aku
mengikutinya, dadaku berdegup kencang, kakiku gemetar dan lemas.
Gemma menunjuk dua kapsul hijau di atas meja itu.
"Aku meramunya sore ini," katanya. "Kau menelan satu, dan aku akan menelan satu.
Kita akan jual-beli tubuh."
"Apa?" Aku tersentak. Aku berpegangan pada meja itu agar tidak terjatuh. "Jual-
beli tubuh" Gemma mengangguk, rambut hitamnya yang halus jatuh melewati bahunya. "Kau
akan memasuki tubuhku dan mehjadi Gemma si penyihir, dengan semua
pengetahuan dan kesaktianku," katanya, tersenyum. "Dan aku akan melayang ke
dalam tubuhmu dan menjadi Samantha yang berumur dua belas tahun. Kita akan
jual-beli tubuh dan kehidupan."
"Tapi - kenapa?" tanyaku. "Kau sangat cantik dan sangat sakti. Apa sebabnya kau
mau bertukar tempat denganku?"
Gemma mendesah. "Aku sangat kesepian di sini! Aku capek menyihir dan
memantra-mantrai. Aku bosan. Aku menyukai gagasan memulai segalanya dengan
tubuh baru, dalam keluarga baru."
Roddy membuka matanya lebar-lebar dan mengedarkan pandang. Gemma
memindahkannya ke bahunya yang satunya.
"Tenang," bisiknya dengan lembut pada Roddy. "Tenang, sobat kecil. Sekarang kau
akan jadi adikku." Aku menelan ludah. "Benarkah kau sungguh-sungguh ingin hidup dengan
keluargaku" Benarkah kau ingin memiliki keluargaku?"
Mata Gemma menyipit dengan dingin. "Jangan buang-buang waktuku, Samantha.
Kau sudah melangkah sejauh ini. Kau sudah sedemikian dekat dengan saat yang
kauimpi-impikan. Maukah kau melakukannya" Maukah kau menelan kapsul itu
dan tukar-menukar tempat denganku?"
Aku ragu-ragu. Kupandangi Roddy, lalu dua kapsul hijau di atas meja itu. Aku
akan jadi cantik, pikirku. Aku akan punya kesaktian dan sihir. Orang-orang akan
menghormatiku. Orang-orang akan mendatangiku untuk minta tolong. Orang-
orang akan takut padaku....
"Ya," sahutku. "Aku akan melakukannya, Gemma. Aku siap."
Mata Gemma bersinar-sinar senang. "Luar biasa!" serunya. Sambil menyeringai
padaku, ia mengambil sebutir kapsul dari atas meja itu, memasukkannya ke
mulutnya, dan menelannya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tanganku gemetar saat meraih kapsul satunya.
"Cepat, Samantha! Lakukan sekarang!" kata penyihir itu.
Tapi sebelum aku dapat memegangnya, tangan Roddy terulur - dan
mengambilnya. "No!" pekik kami berdua.
Roddy memasukkan kapsul itu ke mulutnya. Dan menelannya.
"No! No! No" teriakku.
Aku terpaku ketakutan, ngeri dan tidak berdaya. Beberapa detik kemudian mereka
bertukar tubuh. Sekarang Roddy adalah penyihir, berdiri di dekat meja dapur dalam tubuh Gemma,
mengenakan gaun hitam Gemma.
Ia memeluk bayi itu. Gemma, meronta-ronta dengan panik, mengacung-acungkan
kepalan mungilnya. Sekarang Gemma adalah bayi, dalam gendongan Roddy si penyihir. Dan di sanalah


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku berdiri. Masih aku: Masih Samantha.
10. TATAPAN HANTU "Hal terakhir yang akan kulakukan adalah membalasmu untuk ini!" si penyihir
meledak marah padaku. Aku menunduk memandang bayi bermuka merah itu.
"Hal terakhir yang akan kulakukan adalah membalas kalian berdua untuk ini!"
rengeknya. AKU belum pernah melihat hantu, tetapi temanku Richie mengaku pernah. Richie
besar di New Orleans, dan ia mengatakan ada hantu yang menghuni rumahnya. Ia
melihat hantu itu beberapa kali, diselubungi sinar berkilauan, dan ia tidak
takut sama sekali. Aku berkata, "Mungkin kau tak takut, tapi bagaimana caramu mengusir hantu"
Apakah dengan memelototinya" Apakah dengan menghalaunya pergi?"
Richie menggeleng. "Kami tak bisa mengusir-nya. Kami terpaksa pindah."
Aku ingat percakapan ini ketika menulis cerita ini. Bagaimana caramu
menundukkan hantu yang ingin menguasaimu" Dapatkah kau memelototinya" Apa
yang terjadi jika kau melakukannya"
IIUSTRASI OLEH JOHN JUDE PALENCAR
AKU dan Mark sebenarnya tidak ingin mengikuti wisata kelas ke makam. Tapi itu
artinya kami bisa keluar sekolah, dan itu selalu asyik. Makam Graystone terletak
di ujung jalan kami. Kami melewatinya tiap hari dalam perjalanan berangkat atau
pulang sekolah. Sebuah makam yang sangat tua, berasal dari zaman Ziarah. Batu-
batu nisannya retak, miring, dan patah. Banyak orang mengatakan tempat itu
angker. Aku dan Mark tidak percaya hantu. Tapi kami selalu berjalan di seberang jalan
setiap kali melewati tempat itu. Kenapa mesti ambil risiko"
Aku dan Mark kembar. Orang-orang selalu mencoba melucu dan bertanya,
"Apakah kalian kembar identik?"
Ha ha. Aku perempuan dan Mark laki-laki.
Kami adalah Lauren dan Mark, si kembar Goodman.
Aku senang menjadi kembar, kecuali kalau ada lelucon konyol itu.
Semalam salju turun, cukup untuk membuat lapisan putih tipis di permukaan tanah.
Sepatu kami menggilas salju yang baru sebagian menutupi tanah, sementara kami,
murid kelas pelajaran sosial, menapaki tangga menuju ke pintu gerbang besi
makam itu. Angin menderu di antara pepohonan dan menggoyang-goyangkan cabang-cabang
gundul, menaburkan salju ke atas kami yang sedang berjalan. Kutarik tudung
parkaku ke atas dan kususupkan tanganku ke dalam sarung tangan baruku.
Aku menyukai sarung tangan baruku,hadiah dari bibi kesayanganku pada ulang
tahun kedua belasku. Sarung tangan itu indah - bagian luarnya terbuat dari kulit lembut berwarna
cokelat, dan bagian dalamnya dari sejenis kulit yang bergaris-garis, sehingga
terasa hangat bila dipakai.
"Kuharap semuanya membawa Penolak Hantu!" kata Miss Applebaum, guru kami.
Dari mana ia mendapat ide sinting ini" Pergi ke makam tua di hari terdingin
sepanjang tahun untuk menjiplak batu nisan"
"Kamu tahu mesti berbuat apa kalau ketemu hantu?" tanya Debra Miller, sambil
menyelipkan diri ke antara aku dan Mark.
"Ya. Lari!" sahut Mark
"Bukan. Itu salah sekali," kata Debra padanya.
"Nenekku mengajariku begini: Tatap saja hantu itu dengan tatapan hantu."
Kuputar bola mataku. "Tatapan hantu" Apa sih maksudnya?"
Langkah Debra terhenti. Ia memegang bahuku dan memutarku menghadap dia.
Lalu ia mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya lebar-lebar, selebar
mungkin. "Lauren, inilah tatapan hantu."
Mark tertawa. "Kamu mirip setan."
"Jangan ketawa," bentak Debra. "Ini dapat menyelamatkan hidupmu. Nenekku tahu
tentang hal-hal beginian. Katanya jangan pernah lari. Sebaliknya, tataplah
mata hantu itu. Tataplah sedalam mungkin, seolah menatap jiwa hantu itu."
Debra membelalak pada Mark. "Jangan berkedip " perintahnya. "Tataplah jiwa hantu
itu." "Kenapa mesti begitu?" tanyaku.
"Karena hantu sudah mati," sahut Debra, masih memelototi Mark "Mereka tak punya
jiwa. Tataplah ke dalam matanya. Mereka tak bisa melindungi diri untuk
melawan tatapan itu. Mereka akan lemas dan lenyap."
Debra mengoceh terus. Ia menganggap diririya ahli dalam segala hal. Sebenarnya
aku tidak menyukainya. Ia pura-pura saja menjadi temanku. Tapi aku tahu itu
cuma karena ia naksir Mark.
"Bisa aku jadi partnermu, Lauren?" tanya Debra. "Kata Miss Applebaum, kita harus
punya partner. Kau percaya hantu" Aku percaya. Nenekku pernah cerita dia
melihat hantu bangkit dari salah satu kuburan tua ini."
"Ingat anjing Klavan?" tukas Mark. "Anjing itu biasa berkeliaran di kuburan, dan
suatu hari anjing itu hilang. Hilary Klavan bilang ada hantu bangkit dari kubur
dan menarik anjing itu ke dalam tanah. Hilary melihatnya! Itulah sebabnya dia
mulai gagap." Aku mengerutkan kening pada Mark. Belum pernah kudengar cerita itu. Kupikir
dia mengarangnya agar Debra terkesan.
Miss Applebaum membuka pintu gerbang besi itu, dan kami mengikutinya
memasuki makam. Berderet-deret nisan hitam dan kelabu mencuat di antara
lapisan tipis salju. Batu-batu tua itu miring ke segala arah, mirip deretan gigi tak beraruran.
Sebagian besar sudah retak dan pecah. Beberapa roboh dan tergeletak, tertutup
salju. Kami melewati beberapa nisan sederhana dan salib tanpa tulisan sama sekali.
Sambil mencondongkan tubuh melawan angin, Miss Applebaum memimpin kami
mendaki bukit landai menuju ke beberapa nisan yang lebih besar. Banyak yang
telah tergosok hingga licin oleh waktu. Sebagian masih menampakkan goresan
tulisan. "Hari ini terlalu dingin buat hantu-hantu untuk keluar!" Miss Applebaum melucu.
"Ayo kita mulai bekerja sekarang, semuanya!"
Kami menyebar. Aku dan Debra memutar ke sisi lain bukit itu. Kupikir mungkin di
sini tidak terlalu berangin, tapi aku salah. Angin kencang mengembus tudungku
hingga terlepas. Rambut merahku yang panjang berkibar-kibar seperti bendera.
Kami melangkah di atas salju, membungkuk untuk membaca tulisan-tulisan tua
pada batu-batu nisan. Beberapa nisan berasal dari abad ketujuh belas.
"Tak ada yang menarik di sini," Debra mengeluh. "Ayo kita coba nisan-nisan tua
di sana itu." Kami berhenti di makam pertama yang kami datangi. Nisan kecil tua itu retak dan
sumbing. Aku berlutut untuk membaca tulisan itu: ABIGAIL WILLEY. BERISTIRAHAT
DI SURGA, ANAK-ANAK. "Wow!" seruku, berusaha melihat tanggalnya. "Debra - dia seumur kita!"
Debra membungkuk untuk membaca juga. "Aku pengin tahu kenapa dia
meninggal, Lauren. Semua orang mati muda di zaman itu."
Debra membuka ranselnya dan mengeluarkan buku kertas jiplak.
"Ayo kita jiplak yang ini. Yang ini cool banget."
Angin dingin berembus. Debra berusaha keras menempelkan kertasnya pada nisan
supaya dapat menggosoknya. Tetapi kertas itu mengepak-ngepak terus tertiup
angin kencang. "Sini kubantu memeganginya," usulku. Kulepaskan kedua sarung tanganku,
kusatukan, lalu kutaruh di atas nisan itu. Lalu aku berjongkok di sebelah Debra,
dan kami bekerja sama menjiplak.
Kami baru saja selesai ketika melihat Miss Applebaum bergegas menuruni bukit,
terpeleset-peleset di rumput bersalju.
"Cepat, kita mesti buru-buru pergi dari sini," kata Debra, sambil menyibakkan
rambutnya yang tertiup angin menutupi mukanya. "Ini ide payah. Hari ini terlalu
dingin dan banyak angin. Kita semua akan beku kalau tak segera kembali ke
sekolah." Aku dan Debra berkemas. Kupasang lagi tudung parkaku ke kepalaku. Lalu,
sambil menggigil, dengan kaki kaku, muka gatal, aku cepat-cepat mengejar anak-
anak lainnya, ingin segera bebas dari gigitan rasa dingin itu.
Setelah makan malam barulah aku menyadari sarung tanganku tertinggal di makam
itu. Mom dan Dad pergj menghadiri pertemuan kelompok diskusi membaca. Aku dan
Mark seharusnya mengerjakan PR, tapi kami nonton TV. Sedang ada siaran
laporan cuaca setempat. Aku meloncat berdiri dan merapikan sweterku.
"Mark, aku harus kembali ke makam itu dan mengambil sarung tanganku."
Mark mendongak dari buku aljabarnya. "Kau bercanda, kan?"
"Itu sarung tangan terbaikku!" kataku. "Yang paling hangat lagi. Aku suka
banget. Aku tak bisa meninggalkannya di sana."
Mark kembali ke bukunya. "Besok pagi saja kita ambil."
"No way!" aku ngotot. "Kan baru saja disiarkan di TV, malam nanti salju akan
turun. Sarung tanganku bakalan rusak." Kubuka lemari mantel dan kukeluarkan
parkaku. "Kamu mau ikut nggak?"
Mark ragu-ragu, menggigit-gigit pensilnya. Akhirnya ia melepaskan pensil itu.
"Oke. Kupikir aku tak bisa membiarkanmu pergi sendirian."
Dasar Mark yang sok macho.
Embusan angin sudah berkurang, tapi udara malam terasa sedingin es dan basah.
Sepotong kecil bulan berkedip-kedip menyinari kami di antara awan-awan badai
hitam. Lapisan tipis salju telah mengeras dan membeku jadi es.
Berkali-kali kami terpeleset dan meluncur ketika menyeberangi jalan. Pagar
rendah Makam Graystone mulai kelihatan.
"Kau ingat di mana kautinggalkan sarung tanganmu?" Mark bertanya.
Wajahnya tersembunyi di dalam rudung bulunya yang besar. Ia tetap menyorotkan
sinar lampu senternya ke depan kami.
Aku bergidik. "Di atas nisan cewek itu. Sebentar saja kok."
Kuraih pegangan pintu gerbang makam dan kutarik. Gerbang itu sekarang macet
karena salju. Aku kembali menariknya dengan sekuat tenaga, dan akhirnya pintu
itu berderit membuka. Lingkaran cahaya kuning menari-nari di atas nisan-nisan sementara aku dan Mark
mendaki bukit itu. Awan-awan bergulung menutupi bulan, dan kegelapan yang pekat menyelubungi
kami. Udara menjadi semakin dingin.
Kugosok-gosok hidungku. Rasanya sudah kebas.
"Di bukit ini," kataku.
Semua pohon di sekeliling kami berkeriat-keriut dan merintih. Angin
menimbulkan bunyi seram, seperti desah lirih manusia.
Sambil terpeleset salju yang sudah mengeras, aku berjalan menghampiri makam
Abigail Willey. "Di sini," kataku.
Mark mengarahkan cahaya senter. Aku berhenti dan mengerjap-ngerjapkan
mataku. "Hilang!" seruku, kuangkat kedua tanganku ke pipiku yang membeku.
"Sarung tanganku tak ada! Tadi kutaruh di atas nisan ini!"
Mark menerangi bagian depan nisan itu. "Mungkin jatuh tertiup angin. Cari di
bawah." "Oh. Betul. Pasti ada di tanah," gumamku. Aku memutari kuburan itu, mengamati
salju yang sudah membeku.
Angin mendesah lagi. Pepohonan merintih dan bergoyang. Kudengar suara
melengking di kejauhan. Barangkali kucing. Sekarang aku mengelilingi kuburan itu sambil membungkuk "Di mana sih?"
"Mungkin tertiup ke bawah bukit," kata Mark.
Ia menarik tudungnya semakin rapat menutupi mukanya. Kemudian ia berjalan
pelan-pelan menuruni bukit, menyapukan sinar senternya ke tanah ke sana-sini.
"Di mana sih" Di mana?" ulangku, sambil menggosok-gosok hidungku yang gatal,
mukaku yang membeku. Aku nyaris menabrak cewek itu. Rambutnya yang hitam panjang jatuh menutupi
wajahnya, hingga tidak kelihatan. Ia hanya mengenakan baju tipis berlengan
panjang dan rok berKpit yang panjangnya sampai ke tanah. Ia berdiri dengan kaku
dan tegak sekali, kedua tangannya berada di belakang tubuhnya.
"Siapa kau?" tanyaku tergagap-gagap.
Tiba-tiba angin berembus menyibakkan rambutnya dari wajahnya.
Aku ternganga - ternganga ngeri - melihat wajahnya yang hanya tengkorak. Tanpa
kulit. Tidak ada bibir di atas gigi-gigi yang geripis itu. Tak ada mata. Hanya
rongga mata yang kosong, sangat dalam, dan gelap.
"Aku Abigail," erangnya, suaranya kering, sekering kertas pasir, sekering
dedaunan yang berguguran.
Lalu ia mengangkat kedua lengannya. Tak ada kulit juga di lengannya. Hanya
tulang. Dan di ujung lengannya yang kelabu itu - ada sarung tanganku!
Ia melangkah tanpa suara mendekatiku, sementara aku hanya mematung ketakutan.
"Aku sangat kedinginan," gumamnya di antara gigi-gigi busuknya. "Di sini dingin
sekali, Lauren...." "J-jangan..." bisikku, sambil memandangi sarung tangan itu. Sarung tanganku
berada di ujung tulang lengan itu...
"Aku perlu mantelmu!" gumamnya, tangannya meraih dengan kedua sarung
tanganku. Rongga mata yang dalam dan kosong itu... kepala tengkorak itu meneleng ke
arahku di bawah rambut yang tertiup angin...
"Lauren, aku perlu mantelmu...."
"Tidak! Jangan!"
Aku menoleh, mencari-cari saudara kembarku.
"Mark!" Aku berteriak ketika melihat ia lari, lari dengan cepat sekali,
lengannya terulur ke depannya, lari menghindari kerangka tinggi dalam mantel
hitam yang berkibar-kibar. Pergi! perintahku pada diriku sendiri. Lauren pergi sekarangl
Tapi kakiku gemetaran sekali. Tak mau digerakkan.
"Lauren, aku perlu swetermu...."
Tidak - stop!" Jari-jari di dalam sarung tanganku itu memegang-ku.
"Lauren, aku perlu pakaianmu.... Lauren... dingin sekali di sini.... Aku perlu
mantelmu.... Aku perlu swetermu...."
"Tidak! Jangan dekat-dekat!" jeritku.
"Lauren, aku perlu sepatumu...." Tangan bersarung itu meraih rambutku.
"Lauren, aku butuh kulitmu!"
Tangan bersarung itu memegang rambutku dan mulai menarik. "Lepaskan!
Lepaskan!" "Lauren, aku butuh kulitmu. Lauren, aku butuh tubuhmu!"
"Ohhhhh." Erangan ngeri keluar dari tenggorokanku.
Dan ucapan Debra melintas di benakku. Tatapan hantu.
Nasihat nenek Debra kepadanya: Jangan lari. Tatap ke dalam mata hantu itu. Tatap
seolah mencari jiwanya. Akan berhasilkah" Aku tak punya pilihan lain. Hantu Abigail menarikku mendekat... semakin dekat.
Kusentakkan kepalaku ke belakang, kuarahkan mataku ke rongga matanya yang
kosong dan kutatap. Kutatap dalam-dalam lubang yang dalam dan gelap itu dengan mata terbelalak,
tanpa berkedip. Aku menatap seolah sedang mencari-cari jiwa Abigail.
Ia berhenti menarik. Kami berdua diam mematung, seperti patung kuburan.
Tulang rahangnya berderak dan membuka. Rambut hitamnya yang jarang-jarang
mencuat dari tengkoraknya.
"Lauren..." desahnya. "Lauren..."
Lalu sarung tangan itu melepaskan rambutku dan terkulai di samping bajunya yang
usang dan kotor. Dan aku masih menatap, menatap tanpa berkedip. Menatap ke dalam lubang
kosong tempat matanya pernah berada.
Tatapan hantu... Ia mulai tenggelam... makin rendah... makin rendah....
Rambutnya kembali menutupi wajahnya. Bahunya berderak saat merosot ke dalam
baju itu. Semakin rendah... Aku mengawasi ia tersedot di balik nisan itu...
terbenam kembali ke kuburannya.
"Lauren...?" Ia membisikkan namaku sekali lagi.
Lalu ia lenyap. Aku mulai bernapas lagi, menghirup udara dingin dalam-dalam.
Dan aku lari! Sepatuku berdetak-detak keras di atas salju yang membeku. Aku lega


Goosebumps - Saat-saat Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar Mark berlari di sebelahku, sepatu kami berdetak-detak bersama seperti
ketukan drum. Aku tidak berhenti atau memperlambat lariku sampai kami tiba di rumah. Aku
menerobos pintu depan, jantungku berdegup kencang, pinggangku nyeri.
Aku terhuyung-huyung memasuki ruang tamu, membungkuk, kutumpukan kedua
tanganku pada lutut. Aku berusaha meredakan napasku yang memburu.
"Tatapan itu..." kataku. "Aku tak percaya!
Ternyata berhasil! Tatapan hantu. Kau memakainya juga, kan?" Sambil masih
terengah-engah, aku berpaling padanya. Dan menjerit. Jeritan ngeri yang
melengking - saat aku menatap mantel hitam compang-camping itu, muka yang
hanya tulang itu, cacing-cacing cokelat gemuk yang merayap dari mulut ternganga
tanpa gigi itu. Tengkorak gundul dan busuk itu. Rongga mata dalam dan kosong itu.
"Di mana Mark" Apa yang kaulakukan pada Mark?" teriakku. "Tempatmu bukan di
sini! Di mana Mark?"
Rahang itu berkeriat-keriut membuka, dan bau anyir menyeruak keluar dari dalam
perut busuk hantu itu. "Di mana saudaraku?" ratapku. "Apa dia kembali ke makam itu" Apa maumu" Apa
maumu!" Sebelum aku dapat beranjak, hantu itu meluncur ke dinding. Ia mengulurkan
tangan ke sakelar lampu dan memadamkan lampu.
Sekarang kami berdiri dalam kegelapan total.
"K-kenapa lampunya kaumatikan?" bisikku.
"Lauren, jangan MENATAP, itu tak sopan!" geramnya.
Lalu aku merasa tulang jari-jarinya yang keras melingkari leherku.
"Lauren, aku kedinginan sekali... erangnya.
"Lauren... aku perlu swetermu... Lauren, aku butuh rambutmu. Lauren... aku butuh
kulitmu!" Weblog http://vodozom.wordpress.com
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Patung Emas Kaki Tunggal 9 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Romantika Sebilah Pedang 1
^