Pencarian

Teror Monster Salju 1

Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Bagian 1


R.L. Stine Teror Monster Salju (Goosebumps # 51) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 KETIKA SALJU MENDERU KERAS
DAN HARI PUN MENJELANG SENJA,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU, ANAKKU.
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN. KENAPA aku tiba-tiba teringat sajak itu"
Sajak itu sering dibisikkan ibuku ketika aku masih kecil.
Rasanya aku bisa mendengar suara Mom yang lembut, suara yang tak pernah kudengar
lagi sejak aku berusia lima tahun....
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN. Mom meninggal waktu aku berusia lima tahun, dan sejak itu aku tinggal bersama
Bibi Greta. Sekarang aku sudah dua belas tahun, dan bibiku tak pernah membacakan
sajak itu. Aku tak mengerti kenapa aku tiba-tiba teringat sajak itu ketika kami turun dari
van, dan menatap rumah baru kami yang terselubung salju"
"Ada apa, Jaclyn?" tanya Bibi Greta. "Kenapa kau termenung?"
Diletakkannya sebelah tangan di pundak mantelku yang biru. "Apa yang
kaupikirkan, Sayang?"
Aku menggigil. Bukan karena sentuhan tangan Bibi Greta, tapi karena angin dingin
yang berembus dari gunung. Aku mengamati pondok beratap datar yang akan menjadi
rumah kami yang baru. Awas, orang-orangan salju.
Sebenarnya sajak itu masih ada bagian keduanya. Tapi kenapa aku tidak ingat"
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku masih menyimpan buku sajak yang sering
dibacakan Mom dulu. "Pondok ini kelihatannya cukup nyaman," ujar Bibi Greta. Ia masih memegang
pundakku. Aku sangat sedih, sama sekali tidak bahagia. Tapi aku memaksakan senyum.
"Ya. Nyaman," aku bergumam.
Salju tampak menumpuk di atap dan di ambang-ambang jendela. Udara yang dingin
membuat pipi Bibi Greta yang biasanya pucat terlihat kemerahan. Usianya belum
terlalu tua, tapi sejak dulu rambutnya sudah putih semua. Rambutnya panjang dan
selalu dikepang. Ia bertubuh jangkung dan kurus. Dan cukup cantik, dengan wajah
bulat dan mata besar berwarna gelap yang sendu.
Aku tidak mirip bibiku. Aku tidak tahu mirip siapa aku sebenarnya. Wajah ibuku
tidak bisa kuingat dengan jelas. Dan ayahku malah tak pernah kukenal sama
sekali. Bibi Greta bilang ayahku menghilang tidak lama setelah aku lahir.
Rambutku berombak dan berwarna cokelat tua. Mataku cokelat. Aku jangkung dan
atletis. Aku jadi bintang basket tim cewek di sekolahku di Chicago dulu.
Aku senang mengobrol dan berdansa dan menyanyi. Bertolak belakang dengan Bibi
Greta yang pendiam. Kadang-kadang sehari penuh ia tidak mengucapkan sepatah kata
pun. Aku sayang padanya, tapi ia begitu kaku dan pendiam...
Kadang-kadang aku berharap ia lebih mudah diajak mengobrol.
Aku bakal perlu teman mengobrol, pikirku dengan sedih. Baru kemarin kami
meninggalkan kota Chicago, tapi aku sudah rindu pada teman-temanku.
Bagaimana aku bisa menemukan teman baru di desa kecil di tepi Lingkar Kutub
Utara ini" aku bertanya-tanya.
Aku membantu bibiku mengeluarkan barang-barang dari van. Sepatu botku berkeresak
di salju yang keras. Aku memandang gunung yang tertutup salju. Salju, di mana-mana salju. Aku tidak
tahu pasti di mana batas antara gunung dan awan.
Rumah-rumah mungil di pinggir jalan tampak seperti rumah mainan, seperti terbuat
dari kue. Aku tiba-tiba seakan tersesat ke alam dongeng.
Tapi ini bukan dongeng. Ini tempat tinggalku yang baru.
Tempat tinggalku yang baru dan ajaib.
Aku tak habis pikir kenapa kami harus pindah dari Amerika Serikat ke desa
pegunungan kecil yang dinginnya minta ampun.
Bibi Greta tak pernah menjelaskannya sampai tuntas.
"Sudah waktunya untuk perubahan," ia bergumam. "Sudah waktunya untuk pindah."
Dan itu pun sudah bagus. Biasanya ia tak pernah mengucapkan dua kalimat
berturut-turut. Aku tahu ia dan Mom dibesarkan di desa seperti ini. Tapi kenapa kami harus
pindah sekarang" Kenapa aku harus meninggalkan sekolahku dan semua temanku"
Sherpia. Nama macam apa itu, Sherpia"
Bayangkan saja. Aku dipaksa pindah dari Chicago ke Sherpia.
Ajaib, kan" Desa ini juga bukan desa wisata yang ramai dikunjungi turis untuk bermain ski.
Desa ini benar-benar sepi!
Jangan-jangan tidak ada anak yang sebaya denganku.
Bibi Greta menyingkirkan salju yang tertimbun di depan pintu rumah baru kami.
Kemudian ia berusaha membuka pintu.
"Uhh, daun pintunya sudah melengkung," ia menggerung. Ditempelkannya bahunya ke
pintu - dan didorongnya hingga terbuka.
Bibi Greta memang kurus, tapi juga kuat.
Aku mulai memasukkan tas-tas ke dalam rumah. Tapi sesuatu di halaman yang
terselubung salju di seberang jalan menarik perhatianku. Aku membalik dan
memandang sambil memicingkan mata.
Lalu aku memekik tertahan.
Apa itu" Orang-orangan salju"
Orang-orangan salju dengan bekas luka"
Dan sementara aku menatapnya, orang-orangan salju itu mulai bergerak.
Chapter 2 AKU mengedipkan mata. Rupanya aku salah lihat. Orang-orangan salju itu tidak bergerak. Syal merah di
lehernya berkibar-kibar tertiup angin kencang.
Langkahku berkeresak ketika aku menghampiri orang-orangan salju itu dan
memeriksanya dengan saksama.
Orang-orangan salju itu benar-benar ajaib. Lengannya terbuat dari dahan pohon.
Satu lengannya membentang ke samping, satunya lagi terangkat ke atas, seakan-
akan melambai padaku. Masing-masing dahan pohon mempunyai tiga ranting sebagai
jari. Matanya terbuat dari sepasang batu bulat berwarna gelap. Sementara hidungnya
terbuat dari wortel yang bengkok. Dan mulutnya berupa rangkaian kerikil yang
disusun melengkung ke bawah, sehingga seperti sedang mencibir.
Kenapa tampangnya dibuat begitu" aku bertanya dalam hati.
Pandanganku terpaku pada bekas luka di wajah orang-orangan salju itu. Bekas
lukanya panjang dan dalam, melintasi pipi sebelah kanan.
"Ajaib," aku bergumam. Itu memang kata kesukaanku. Bibi Greta bilang aku perlu
menambah perbendaharaan kata.
Tapi apa dong, kata yang tepat untuk menggambarkan orang-orangan salju
bertampang seram dengan bekas luka di wajahnya"
"Jaclyn - coba bantu Bibi!" Seruan Bibi Greta membuat aku berpaling.
Aku bergegas menyeberang jalan, menuju ke rumahku yang baru.
Kami butuh waktu agak lama untuk membongkar seluruh isi van. Setelah kardus
terakhir kami gotong ke dalam pondok, Bibi Greta mengambil panci. Kemudian ia
membuatkan minuman cokelat panas di kompor kecil bermodel kuno di dapur.
"Nyaman," ia berkata sekali lagi.
Ia tersenyum. Tapi matanya yang gelap terus mengamati wajahku. Tampaknya ia
berusaha meneliti apakah aku senang atau tidak.
"Paling tidak cukup hangat di dalam sini," ujarnya sambil menggenggam cangkir
cokelat panas. Pipinya masih kemerahan karena udara dingin.
Aku mengangguk tanpa semangat. Sebenarnya aku ingin lebih gembira. Tapi tidak
bisa. Aku terus memikirkan teman-temanku di Chicago. Aku bertanya-tanya, apakah
mereka akan pergi menonton pertandingan Bulls nanti malam. Semua temanku gila
basket. Aku bakal jarang main basket di sini, pikirku sedih. Kalaupun orang-orang di
sini suka basket, pasti tidak cukup banyak anak untuk membentuk tim.
"Kau takkan kedinginan di atas sana," kata Bibi Greta.
Ucapannya membuyarkan lamunanku. Ia menunjuk ke langit-langit yang rendah.
Di rumah kami yang baru hanya ada satu kamar tidur. Dan kamar itu akan dipakai
bibiku. Kamarku adalah loteng di bawah atap.
"Aku mau lihat ke atas dulu," kataku sambil mendorong kursiku ke belakang.
Satu-satunya cara untuk mencapai kamarku adalah melalui tangga logam yang
bersandar ke dinding. Aku memanjatnya, mendorong papan penutup lubang di langit-
langit, lalu menarik tubuhku ke atas.
Tempatnya memang nyaman. Bibiku telah memilih kata yang tepat.
Langit-langitnya begitu rendah, sehingga aku tidak bisa berdiri tegak. Cahaya
redup masuk melalui jendela bulat di ujung ruangan.
Sambil membungkuk aku menghampiri jendela dan memandang keluar. Sebagian kacanya
tertutup salju. Tapi aku bisa melihat jalan dan rumah-rumah kecil yang berderet
di kedua sisinya. Tak ada siapa-siapa di luar. Tak tampak seorang pun.
Pasti semuanya sedang berlibur di Florida untuk mencari sinar matahari, pikirku.
Kebetulan sekarang memang sedang libur musim dingin, dan sekolah di sini pun
tutup. Bibi Greta dan aku sempat melewati gedung sekolah ketika datang tadi.
Bangunannya kecil, terbuat dari batu kelabu. Luasnya kira-kira sebesar garasi
untuk dua mobil. Berapa teman sekelasku nanti" tanyaku dalam hati. Tiga atau empat orang" Atau
jangan-jangan muridnya cuma aku sendiri"
Dan apakah orang-orang di sini bisa berbahasa Inggris"
Aku menelan ludah. Kemudian aku memarahi diriku sendiri karena belum apa-apa
sudah berprasangka buruk.
Gembira sedikit dong, Jaclyn, pikirku. Sherpia adalah desa kecil yang indah.
Siapa tahu kau akan menemukan teman-teman baru yang menyenangkan di sini.
Sambil menunduk aku kembali ke tangga.
Langit-langit akan kupenuhi dengan poster, kataku dalam hati. Dengan begitu
ruangan ini jadi lebih meriah. Dan siapa tahu aku juga jadi lebih ceria.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku pada Bibi Greta sambil menuruni tangga.
Ia menyibakkan kepangan rambutnya ke belakang.
"Tidak. Sebelum membongkar barang-barang, Bibi mau bekerja di dapur. Pergilah
berjalan-jalan, supaya kau lebih cepat mengenal daerah sini."
Beberapa menit kemudian aku sudah berada di luar. Aku menarik tali tudung
mantelku untuk mengencangkannya, lalu menyelipkan tangan ke dalam sarung tangan.
Setelah itu aku menunggu sampai mataku terbiasa melihat hamparan salju putih
yang menyilaukan. Hmm, enaknya jalan ke arah mana" aku bertanya dalam hati.
Aku sudah melihat gedung sekolah, toko serba-ada, gereja kecil, dan kantor pos
di sebelah bawah rumahku yang baru. Karena itu aku memutuskan untuk berjalan ke
atas, menuju puncak gunung.
Saljunya keras. Sepatu botku hampir tidak meninggalkan jejak ketika aku
mencondongkan badan untuk menentang angin dan mulai melangkah. Di tengah jalan
ada sepasang jalur bekas ban. Aku berjalan di salah satu jalur itu.
Aku melewati dua rumah yang ukurannya kira-kira sebesar rumah kami. Kedua rumah
itu tampak gelap dan kosong. Di depan rumah batu yang tinggi diparkir sebuah
Jeep. Aku melihat kereta salju di pekarangan depan. Modelnya kuno. Seekor kucing hitam
bermata kuning menatapku dari balik jendela ruang duduk.
Aku melambaikan tangan. Tapi kucing itu tidak bereaksi.
Aku masih belum melihat seorang pun.
Angin bertiup kencang, semakin lama semakin dingin. Jalan pun bertambah terjal.
Rumah-rumah di tepi jalan semakin jarang.
Salju di sekelilingku berkilau-kilau ketika lapisan awan terkuak dan membiarkan
matahari menyinari bumi. Pemandangannya tiba-tiba begitu indah!
Aku membalik dan menatap deretan rumah yang telah kulewati.
Indah sekali, pikirku. Bisa jadi aku kerasan tinggal di sini.
"Awww!" aku memekik ketika jari-jemari yang dingin bagaikan es mencengkeram
leherku dari belakang. Chapter 3 AKU segera berbalik dan melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang dingin
membeku. Di hadapanku berdiri anak cowok yang tengah nyengir lebar. Ia mengenakan jaket
kulit domba berwarna cokelat dan topi rajut berwarna merah-hijau.
"Kaget, ya?" ia bertanya padaku. Senyumnya bertambah lebar.
Sebelum aku sempat menjawab, seorang cewek sebayaku muncul dari balik semak-
semak. Ia memakai mantel dan sarung tangan yang sama-sama berwarna ungu.
"Jangan pedulikan Eli," katanya sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. "Dia
memang konyol." "Terima kasih untuk pujianmu," ujar Eli sambil nyengir.
Aku menduga mereka kakak-adik. Mereka sama-sama berwajah bulat, berambut hitam
lurus, dan bermata biru cerah.
"Kau anak baru," kata Eli. Ia menatapku sambil memicingkan mata.
"Eli senang menakut-nakuti anak baru," kakaknya menjelaskan sambil geleng-geleng
kepala. "Menurutnya itu lucu."
"Habis, apa lagi kegiatan di Sherpia selain merasa takut?" sahut Eli. Senyumnya
meredup. Ajaib, pikirku. Aku memperkenalkan diri. "Namaku Jaclyn DeForest," ujarku.
Nama mereka Rolonda dan Eli Browning.
"Kami tinggal di situ," Eli berkata sambil menunjuk rumah putih. "Kau tinggal di
mana?" Aku menunjuk ke jalan. "Di bawah," jawabku.
Aku hendak menanyakan sesuatu - tapi langsung terdiam ketika melihat orang-orangan
salju yang sedang mereka buat.
Sebelah lengannya menjulur ke samping, sebelah lagi menunjuk ke atas. Di
sekeliling lehernya ada syal berwarna merah. Dan di pipi kanannya ada bekas luka
yang memanjang dari atas ke bawah.
"O-orang-orangan salju itu...," aku tergagap-gagap. "Bentuknya persis seperti
orang-orangan salju yang kulihat di pekarangan di seberang rumahku."
Senyum Rolonda meredup. Eli langsung menundukkan kepala.
"O, ya?" ia bergumam.
"Kenapa kalian membuat orang-orangan salju seperti itu?" tanyaku. "Tampangnya
ajaib sekali. Kenapa kalian menambahkan bekas luka di mukanya?"
Keduanya saling melirik dengan gugup.
Mereka tidak menjawab. Akhirnya Rolonda angkat bahu.
"Aku tidak tahu," ia bergumam sambil tersipu-sipu.
Apakah ia berbohong"
Kenapa ia enggan menjawab pertanyaanku"
"Kau mau ke mana, sih?" Eli bertanya sambil mengencangkan syal merah yang
melilit di leher si orang-orangan salju.
"Cuma jalan-jalan," jawabku. "Kalian mau ikut" Aku ingin naik ke puncak gunung."
"Jangan!" pekik Eli. Matanya yang biru terbelalak lebar.
"Jangan!" seru Rolonda. "Jangan pergi ke sana!"
Chapter 4 "APA?" Aku menatap mereka dengan tercengang. Ada apa sih dengan mereka"
"Kenapa aku tidak boleh ke sana?" tanyaku dengan nada menuntut.
Kesan ngeri di wajah mereka segera lenyap. Rolonda menyibakkan rambutnya yang
hitam. Eli berlagak sibuk dengan syal merah si orang-orangan salju.
"Soalnya jalan ke sana sedang ditutup untuk perbaikan," Eli akhirnya menyahut.
"Ha ha. Lucu sekali," Rolonda mencibir.
"Jadi, apa alasan sebenarnya?" aku mendesak.
"Ehm...ehm...kami memang tidak pernah ke sana," ujar Rolonda gugup sambil melirik
adiknya. Ia menunggu Eli mengatakan sesuatu. Tapi Eli diam saja.
"Ini semacam tradisi," Rolonda melanjutkan tanpa berani menatapku. "Maksudnya...


Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ehm... pokoknya kami tidak pernah ke sana."
"Soalnya terlalu dingin," Eli menambahkan. "Itu sebabnya. Di atas sana terlalu
dingin untuk manusia. Kaubakal membeku dalam waktu tiga puluh detik."
Aku tahu ia bohong. Aku tahu bukan itu alasan sebenarnya.
Tapi aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka tiba-tiba kelihatan
begitu tegang dan cemas. "Asalmu dari mana, sih?" tanya Rolonda. Ia menyelipkan kedua tangan ke saku
mantelnya. "Dari desa sebelah?"
"Bukan. Aku dari Chicago," sahutku. "Semula aku tinggal di apartemen persis di
tepi Danau Michigan."
"Dan kau pindah ke sini?" seru Eli. "Dari Chicago ke Sherpia" Kenapa?"
"Pertanyaan bagus," aku bergumam. "Begini, aku tinggal dengan bibiku. Dan Bibi
Greta memutuskan untuk pindah kemari. Jadi,.."
Aku tak sanggup menyembunyikan kesedihanku.
Kami mengobrol beberapa lama lagi. Rolonda dan Eli ternyata seumur hidup tinggal
di Sherpia. "Sebenarnya sih lumayan enak tinggal di sini. Lama-lama kita terbiasa dengan
suasana sepi di sini. Kita juga jadi terbiasa jarang bertemu orang," Rolonda
menjelaskan. "Tempat ini cukup asyik kalau kau suka salju," Eli menimpali. "Yang ada di sini
cuma salju melulu." Kami semua tertawa. "Oke, deh. Sampai ketemu, ya," ujarku. Kemudian aku berbalik untuk meneruskan
perjalanan. "Kau tidak jadi ke puncak, kan?" Eli berseru. Tampaknya ia kembali dicekam
ketakutan. "Tidak," sahutku. Aku mengencangkan tudung mantelku. "Anginnya terlalu kencang.
Aku cuma mau naik sedikit lagi."
Jalan yang kulalui terus menanjak. Aku melewati sebuah lapangan luas penuh pohon
pinus yang batangnya sekurus pensil. Pohon-pohon itu miring ke segala arah. Tak
satu pun yang tumbuh tegak.
Aku melihat jejak binatang di salju. Rakun atau tupai"
Hmm, rasanya bukan. Jejaknya terlalu besar. Jejak rusa, barangkali"
Entahlah. Aku menoleh ke depan - dan memekik kaget.
Di hadapanku berdiri tegak orang-orangan salju dengan hidung wortel dan mata
sehitam arang. Syalnya yang merah berkibar-kibar tertiup angin kencang.
Aku menatap goresan panjang bekas luka di wajahnya.
Lengan rantingnya melambai-lambai tertiup angin, seakan-akan menyambutku.
"Kenapa orang-orang di sini suka membuat orang-orangan salju yang begitu seram?"
tanyaku. Aku menoleh - dan melihat orang-orangan salju serupa di pekarangan depan di
seberang jalan. Lengannya sama. Syalnya sama. Bekas lukanya sama.
Mungkin ini semacam tradisi di sini, pikirku.
Tapi kenapa Rolonda dan Eli mengelak ketika aku menanyakan soal itu"
Awan-awan kelabu menutupi matahari. Bayangan si orang-orangan salju seakan-akan
bertambah panjang, sampai akhirnya menyelubungi diriku.
Tiba-tiba aku merinding. Aku langsung mundur selangkah.
Dalam waktu singkat langit telah gelap. Aku memandang ke arah puncak gunung.
Puncaknya tidak kelihatan karena terhalang pohon-pohon pinus.
Hmm, bagaimana sekarang"
Apakah lebih baik aku berbalik dan pulang, atau meneruskan perjalanan"
Aku teringat raut wajah Eli yang ketakutan ketika ia mendengar rencanaku pergi
ke puncak gunung. Aku juga ingat bagaimana Rolonda memekik: "Jangan!"
Aku semakin penasaran. Apa yang mereka takuti"
Apa yang ada di atas sana"
Aku memutuskan untuk mencari jawabannya.
*** Mobil van di depan rumah berikut tertutup lapisan salju tebal. Tampaknya van itu
tidak pernah dijalankan sepanjang musim dingin.
Aku menyusuri jalan yang membelok dan menjauhi rumah-rumah. Salju di jalan
bertambah tebal dan empuk. Sepatu botku terbenam setiap kali aku melangkah.
Aku membayangkan diriku sedang berjalan di planet lain, planet yang belum pernah
dijelajahi. Jalanan semakin terjal. Batu-batu besar berwarna putih menyembul dari lapisan
salju. Pohon-pohon pinus tumbuh miring ke segala arah.
Di ketinggian ini sudah tidak ada rumah. Aku cuma melihat pohon-pohon dan semak-
semak yang terselubung salju dan batu-batu karang.
Jalanan kembali membelok. Angin bertiup kencang. Aku menggosok pipi dan hidung
untuk menghangatkannya. Aku mencondongkan badan menentang angin dan meneruskan
perjalanan. Aku berhenti ketika sebuah pondok kayu muncul di hadapanku.
Aku mengamatinya sambil melindungi mata dengan sebelah tangan.
Sebuah pondok" Di atas sini" Siapa yang mau tinggal di tempat terpencil ini, begitu jauh dari orang lain"
Pondok itu berada di tengah lapangan yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Aku
tidak melihat mobil atau kereta salju. Jejak kaki pun tidak ada.
Perlahan-lahan aku menghampiri pondok itu. Jendela-jendelanya tertutup embun.
Aku tidak bisa memastikan apakah di dalam ada lampu menyala atau tidak.
Aku maju sedikit lagi. Jantungku berdegup kencang. Aku bersandar pada ambang
jendela dan menempelkan hidung ke kaca. Tapi aku tetap tidak bisa melihat ke
dalam. "Halo" Ada orang di sini?" seruku.
Hening. Angin menderu-deru di sekeliling pondok. Aku mengetuk pintu. "Halo?"
Tak ada jawaban. "Ajaib," aku bergumam.
Aku mencoba membuka pintu. Aku mendorongnya pelan-pelan.
Mestinya aku tidak usah berbuat macam-macam. Tapi sekarang sudah telanjur.
Pintunya membuka. Aku disambut embusan udara hangat.
"Ada orang di sini?" aku memanggil.
Aku mengintip ke dalam. Ternyata gelap.
"Halo?" Aku melangkah masuk. Aku cuma ingin melihat-lihat.
Hamparan salju di luar begitu menyilaukan. Aku perlu waktu agak lama sampai
mataku terbiasa dengan suasana remang-remang di dalam pondok.
Tapi sebelum aku bisa memfokuskan mata, aku melihat bayangan putih berkelebat.
Bayangan putih yang menggeram keras. Bayangan itu menerjang ke arahku. Embusan
napas panas menerpa wajahku.
Dan aku terjatuh ketika sosok putih itu menerjang tubuhku sambil menggeram dan
meraung keras. Chapter 5 "STOP! Stop, Wolfbane!"
Makhluk yang menggeram-geram itu berhenti mencengkeram tubuhku. Ia mundur
sedikit. "Duduk, Wolfbane!" terdengar suara laki-laki memerintahkan dengan tegas.
Terengah-engah aku menyeka air liur yang melekat di wajahku. Baru sekarang aku
sadar bahwa aku berhadap-hadapan dengan seekor serigala berbulu putih.
Serigala itu juga terengah-engah. Mulutnya terbuka lebar dan lidahnya terjulur
hampir sampai ke ke lantai. Serigala itu menundukkan kepala, seakan-akan hendak
menyerang lagi. Matanya yang bulat dan berwarna cokelat tua menatapku dengan
curiga. "Duduk, Wolfbane. Duduk."
Aku berguling ke samping, lalu berusaha bangkit. Sepasang tangan meraih
tanganku, dan menarikku berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" Laki-laki itu mengamatiku dengan matanya yang kelabu
keperakan. Ia bertubuh kurus dan jangkung, dan mengenakan celana jeans dan
kemeja denim. Rambutnya yang panjang dan kelabu dikuncir. Dagunya tertutup
janggut lebat berwarna putih. Matanya seakan-akan membara. Matanya seperti
membakar mataku. "I-ini benar-benar serigala?" tanyaku.
Ia mengangguk dengan wajah serius. Matanya tak berkedip. "Dia takkan
menyakitimu. Wolfbane sudah kulatih dengan baik."
"Tapi dia...." Mulutku mendadak kering kerontang. Aku sampai sulit bicara.
"Kau mengejutkan kami," ujar laki-laki itu. la menatapku dengan tajam, tanpa
berkedip. "Kami tadi sedang berada di ruang belakang."
Ia menggerakkan dagu ke arah pintu di dinding belakang pondok itu.
"Sori," aku bergumam. "Saya tidak tahu bahwa ada orang di sini. Saya pikir..."
"Siapa namamu?" laki-laki itu bertanya dengan ketus. Ia menatapku sambil
memicingkan mata. Wajahnya tampak merah karena marah.
"Saya tidak bermaksud..."
"Siapa namamu?" laki-laki itu bertanya sekali lagi.
"Saya sedang jalan-jalan tadi," aku berusaha menjelaskan.
Kalau saja jantungku tidak berdegup begitu kencang. Kalau saja mulutku lidak
begitu kering. Serigala putih di hadapanku menggeram pelan. Sikapnya tegang, dengan kepala
merunduk. Serigala itu menatapku, seakan-akan menunggu perintah untuk menyerang.
"Kenapa kau seenaknya saja masuk ke rumahku?" tanya laki-laki itu lagi. Ia maju
selangkah. Awas, dia berbahaya, pikirku.
Ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Tampaknya ia sangat marah.
"Saya tidak bermaksud jahat," ujarku. "Saya cuma..."
"Kau masuk tanpa permisi dulu," laki-laki itu berkeras. "Kau tidak sadar bahwa
itu berbahaya" Wolfbane sudah dilatih untuk menyerang setiap orang yang tak
dikenalnya." "S-sori...!" aku tergagap-gagap.
Laki-laki itu maju selangkah lagi. Matanya yang menyorot tajam seakan tidak
berkedip sama sekali. Dadaku terasa sesak karena panik.
Apa yang hendak dilakukan orang itu"
Terus terang, aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Aku menarik nafas dalam-
dalam. Lalu aku berbalik - dan menghambur keluar pintu.
Berhasilkah aku meloloskan diri"
Chapter 6 PINTU pondok terbanting keras di belakangku.
Aku menoleh ke belakang - dan melihat laki-laki itu berlari keluar untuk
mengejarku. "Mau ke mana kau?" ia berseru. "Hei - stop! Mau ke mana kau?"
Aku menunjuk. "Ke puncak!" sahutku.
"Oh, tidak bisa!" serunya lantang. "Jangan naik ke sana!"
Ia tidak waras! pikirku. Orang itu tidak berhak membentak-bentakku seperti itu!
Aku bebas pergi ke mana saja!
Ia tidak waras. Salju sudah mulai turun lagi. Angin masih bertiup kencang.
Laki-laki berjanggut itu mulai mengejarku. Dengan langkah panjang ia menerobos
timbunan salju. "Awas, orang-orangan salju!" ia berseru.
"Hah?" Aku berpaling ke arahnya. "Apa kata Anda?"
Untuk kedua kalinya pada hari itu aku teringat sajak lama yang suka dibacakan
ibuku. KETIKA SALJU MENDERU KERAS
DAN HARI PUN MENJELANG SENJA,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU, ANAKKU.
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN. Ya, ampun! pikirku. Sajak itu tak pernah kudengar lagi sejak aku berumur lima
tahun. Tapi sekarang dalam sehari aku teringat dua kali!
Kami berdiri di sisi jalan, berseberangan dan berpandangan.
Laki-laki itu tampak menggigil kedinginan. Ia hanya mengenakan kemeja denim,
tanpa mantel. Butir-butir salju menempel di rambutnya yang kelabu dan di
bahunya. "Anda bilang apa tadi?" tanyaku.
"Si orang-orangan salju tinggal di gua es," seru laki-laki itu. Ia menempelkan
tangan di sekeliling mulut supaya suaranya bisa terdengar di tengah deruan
angin. "Apa" Orang-orangan salju?"
Ia benar-benar sinting! pikirku. Kenapa aku masih berdiri di sini dan
mendengarkan orang gila itu"
Orang itu tinggal sendirian di pondok di puncak gunung, cuma ditemani serigala
putih! Dan sekarang ia mengoceh tidak keruan soal orang-orangan salju!
"Awas, orang-orangan salju!" laki-laki itu mengulangi. "Jangan naik ke puncak!
Jangan!" "Kenapa?" tanyaku. Di luar dugaan suaraku melengking tinggi.
"Jangan sampai kau bertemu si orang-orangan salju!" laki-laki itu berseru.
Butir-butir salju mulai memenuhi janggutnya. Matanya yang keperakan tampak
bersinar-sinar. "Kalau kau bertemu si orang-orangan salju," teriaknya, "kau takkan pernah
kembali!" Dasar sinting, pikirku. Pantas ia hidup sendirian di puncak gunung. Aku berbalik. Aku sudah terlalu lama
di sini. Dengan terseok-seok, aku berlari menerobos timbunan salju.
Aku berlari sekencang mungkin. Wajahku yang panas diterpa butir-butir salju yang
dingin. Jantungku berdegup kencang.
Aku berlari menyusuri jalan. Menyusuri jalan yang menurun dan berkelok-kelok.
Napasku tersengal-sengal.
Betulkah aku yang terengah-engah begitu"
Betulkah langkahku yang terdengar berdebam-debam"
Ternyata bukan. Aku melirik ke belakang dan melihat serigala putih tadi mengejarku. Binatang itu
mendekat dengan cepat. "Ahhh!" aku memekik. Aku berusaha menambah kecepatan, tapi saljunya begitu
licin. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan.
Aku seakan-akan terjebak di dalam bola kaca yang bisa menciptakan hujan salju
bila bola itu dikocok-kocok.
Terhuyung-huyung aku berlari menuruni jalan. Butir-butir salju menerpa diriku
dari segala arah. Seluruh lereng gunung seolah-olah bergetar dan bergoyang.
Aduh! Mana jalannya"
Aku kehilangan arah gara-gara hujan salju yang lebat.
Sementara setiap langkah sepatu botku terbenam dalam timbunan salju yang dalam.
Tapi aku terus berlari. Ke bawah... pokoknya ke bawah...
Derap langkah si serigala putih terdengar semakin dekat.
Aku menoleh ke belakang. Binatang ganas itu sudah hampir berhasil mengejarku.
Gerak langkahnya berirama. Dengan mudah ia melompati gundukan-gundukan salju
yang menghalanginya. Aku tidak melihat batu-batu licin yang menyembul di tepi jalan. Dan kakiku
tersandung batu. "Ohhh!" teriakku ketika rasa nyeri menjalar ke seluruh kakiku.
Kali ini aku benar-benar kehilangan keseimbangan. Aku jatuh ke depan. Dan
terempas keras. Mulutku megap-megap untuk menarik napas.
Kalang kabut aku berusaha bangkit. Tapi terlambat. Dengan tak berdaya aku
melihat si serigala putih menerjang ke arahku.
Chapter 7 Di luar dugaanku, serigala itu berhenti beberapa langkah di hadapanku. Binatang
itu merundukkan kepala dan menatapku, napasnya terengah-engah.
Aku melihat dadanya mengembang dan mengempis di balik bulu putihnya yang tebal.
Beberapa butir salju tampak meleleh di lidahnya.
Aku menatapnya dengan ketakutan. Perlahan-lahan aku berdiri.
Aku mengusap rambut dan menepis salju yang menempel di bagian depan mantelku.
Apakah serigala itu cuma berhenti sebentar untuk mengatur napas"
Apakah ia akan menyerangku begitu aku mencoba lari"
"Pulanglah," aku berbisik. "Pulanglah ke rumahmu."
Suaraku hampir tak terdengar di tengah angin yang menderu-deru.
Serigala putih itu terus menatapku.
Aku melangkah mundur. Aku tidak berani melepaskan pandangan dari serigala itu.
Aku mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.


Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serigala itu memperhatikanku, tapi tidak bergerak. Aku sampai di jalan. Yes!
Aku berhasil menemukan jalannya. Aku terus mundur teratur.
Serigala itu menegakkan kepala. Menurunkan ekor. Menegangkan punggung. Ia
mengawasiku dengan matanya yang cokelat. Matanya bersinar seperti mata manusia.
Apa yang sedang dipikirkannya"
Dan kenapa aku dikejar-kejarnya"
Apakah untuk memastikan aku benar-benar turun gunung"
Dan bukannya mendaki ke puncak"
Apakah serigala itu ditugaskan laki-laki aneh tadi untuk mengawalku sampai ke
bawah" Aku kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Serigala itu tidak bergerak.
Jalan yang tertutup salju membelok. Aku terus mundur sampai serigala itu tidak
kelihatan lagi. "Uih!" Aku menarik napas lega. Kemudian aku berbalik. Dan berjalan cepat-cepat
menuju ke desa, ke rumahku yang baru.
Setiap beberapa detik aku menoleh ke belakang. Tapi serigala itu tidak
mengikutiku. Hujan salju bertambah lebat. Aku menarik tudung mantel untuk menutup kepala. Aku
memegangnya dengan kedua tangan, dan kembali menyusuri jalan.
Bibi Greta pasti bingung karena aku belum kembali juga. Aku memang telah pergi
jauh lebih lama dari yang kurencanakan.
Awan-awan rendah menghalangi matahari. Langit hampir gelap gulita.
Aku melewati rumah-rumah di kedua sisi jalan. Beberapa rumah telah menyalakan
lampu. Di salah satu rumah aku melihat api menari-nari di perapian. Asap hitam
tampak mengepul-ngepul dari cerobong asap.
Aku melewati orang-orangan salju aneh dengan bekas luka di wajahnya. Kedua
lengannya yang terbuat dari ranting pohon bergetar karena tertiup angin.
Sepintas lalu orang-orangan salju itu seperti melambaikan tangan padaku.
Aku mulai berlari. Satu lagi orang-orangan salju yang sama menyambutku ketika aku melewati tikungan
berikut. Aku benci desa ini! ujarku dalam hati.
Tempat ini terlalu ajaib! Terlalu ajaib!
Aku tak akan betah tinggal di sini.
Kenapa Bibi Greta membawaku ke sini"
Lamunanku dibuyarkan oleh bunyi berdebam yang tiba-tiba terdengar di belakangku.
Aku dibuntuti! pikirku. Si serigala" Bukan. Bunyi langkahnya lain.
Ini bunyi langkah manusia.
Laki-laki sinting berjanggut tadi - ia membuntutiku!
"Ohhh!" aku mengerang ketakutan.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik untuk menghadapinya.
Chapter 8 "JACLYN - hai!"
Aku memekik tertahan - dan melihat Rolonda berdiri di seberang jalan. Ia
menyeberang dan menghampiriku. Rambutnya yang hitam penuh butiran salju.
"Kau baru saja melewati rumah kami," ia berkata sambil menunjuk ke halaman
rumahnya. "Kau tidak melihat Eli dan aku?"
Aku memandang melewati pundaknya, dan melihat Eli melambaikan tangan padaku dari
depan rumah mereka. "Tidak. Aku... ehm... hujan saljunya begitu lebat, dan...," aku tergagap-gagap.
"Kau baik-baik saja?" tanya Rolonda.
"Ehm...." Aku ragu-ragu untuk menjawab.
"Aku habis dikejar serigala putih," ujarku akhirnya. "Orang gila. Dia tinggal di
dekat puncak gunung. Aku dikejar serigala miliknya dan dia..."
"Kau ketemu Conrad?" seru Rolonda.
"Hah" Conrad?" Angin meniup tudung mantelku hingga terlepas dari kepalaku. Aku
menatap Rolonda sambil memicingkan mata. "Jadi, orang itu bernama Conrad?"
Ia mengangguk. "Dia tinggal di pondok yang dibangunnya sendiri. Dia ditemani
serigala putih bernama Wolfbane. Sebenarnya aku sudah mau memperingatkanmu tadi,
Jaclyn..." "Memperingatkan aku?" aku menyela.
"Yeah. Aku ingin memberitahumu bahwa sebaiknya kau menjauhi dia. Conrad dan
serigalanya - mereka sama-sama aneh."
"Bukan aneh lagi!" aku bergumam sambil geleng-geleng kepala. "Jadi itu sebabnya
kau dan Eli tidak pernah naik ke puncak gunung?"
Rolonda menundukkan kepala. "Ehm... itu salah satu alasannya."
Aku menunggu ia melanjutkan penjelasannya. Tapi ia diam saja. Ia terus saja
menatap salju di bawah. Eli memperhatikan kami sambil menyelipkan kedua tangan
ke saku mantel. "Jadi, apa sebabnya Conrad tinggal di tempat terpencil yang begitu jauh dari
orang lain?" aku mendesak.
Rolonda tampak ragu-ragu. Dengan gugup ia menoleh ke arah adiknya.
"Tak ada yang tahu pasti," ia akhirnya menjawab.
"Dia...mungkin dia anak buah si orang-orangan salju. Maksudku...." Ia terdiam.
"Hah?" seruku. Aku yakin aku salah dengar. "Kaubilang apa, Rolonda" Dia anak
buah si orang-orangan salju" Apa maksudmu" Apa maksudnya?"
Ia tidak menyahut. Sekali lagi ia melirik ke arah Eli.
"Ayo dong, Rolonda. Apa maksudnya?" aku mendesak. "Apa maksudnya, dia anak buah
si orang-orangan salju?"
Ia mundur selangkah dan menepis butir-butir salju yang menempel di rambutnya.
"Aku harus masuk," katanya. "Sudah hampir waktunya makan malam."
Aku mengikutinya. "Tapi kau belum menjawab pertanyaanku."
"Aku tidak bisa," ia berbisik. "Karena Eli. Dia terlalu takut."
"Tapi, Rolonda," kataku.
Aku melihat Eli memperhatikan kami dari depan rumah mereka.
"Pulanglah," seru Rolonda ketus. "Pulanglah ke rumahmu, Jaclyn."
"Aku baru mau pulang kalau kau sudah menjelaskan apa maksudmu tadi." Kadang-
kadang aku memang keras kepala.
"Oke, oke," ia berbisik sambil "melirik ke arah Eli. "Temui aku besok malam,
oke" Temui aku besok malam di gereja - dan aku akan menceritakan semuanya."
Chapter 9 "HALO - aku sudah pulang!"
Aku bergegas ke dalam rumah. Bibi Greta ada di dapur. Ia sedang mengeluarkan
cangkir-cangkir kopi dari kardus dan memindahkan semuanya ke lemari dinding. Ia
membalik begitu aku masuk.
"Di luar lagi turun salju, ya?" ia bertanya.
Aku mengangguk keras-keras. Butir-butir salju di rambutku berjatuhan ke lantai.
"Ini hujan salju paling lebat yang pernah kualami," sahutku.
Bibi Greta mengerutkan kening. "Saking sibuknya di sini, Bibi sampai tidak
sempat melihat keluar jendela."
Aku melepaskan mantel dan membawanya ke lemari di samping pintu depan. Tapi
ternyata belum ada gantungan. Terpaksa mantelnya kuletakkan di atas tumpukan
kardus. Kemudian aku kembali ke dapur sambil menggosok-gosok lengan sweter.
"Bibi Greta, Bibi pernah mendengar sesuatu tentang orang-orangan salju?"
tanyaku. Aku mendengarnya menarik napas pendek. Namun ketika ia berpaling padaku, raut
wajahnya biasa saja. "Orang-orangan salju?"
"Bibi pernah mendengar cerita tentang orang-orangan salju yang tinggal di puncak
gunung?" aku kembali bertanya.
Bibi Greta menggigit bibir.
"Belum. Bibi tidak tahu apa-apa soal itu, Jaclyn." Suaranya gemetaran.
Kenapa ia tampak begitu gugup"
Ia membungkuk untuk mengambil beberapa cangkir lagi dari kardus. Aku melintasi
ruangan untuk membantunya.
"Tadi aku diberitahu supaya jangan naik ke puncak gunung karena di sana ada
orang-orangan salju," ujarku. "Katanya orang-orangan salju itu tinggal di puncak
gunung." Bibi Greta diam saja. Ia menyerahkan dua cangkir padaku. Kedua-duanya kumasukkan
ke dalam lemari. "Tadi seorang pria memberitahuku bahwa aku takkan pernah kembali jika aku
bertemu dengan orang-orangan salju itu," aku melanjutkan.
Bibiku tertawa pendek. "Ah, itu kan cuma takhayul," gumamnya.
Aku menatapnya sambil memicingkan mata. "O, ya?"
"Tentu saja," sahutnya. "Semua desa kecil punya segudang cerita seram. Orang
yang menceritakan kisah itu pasti cuma orang iseng yang ingin menakut-nakutimu."
"Iseng?" Aku mengerutkan kening. "Tapi tampaknya dia serius, kok."
Conrad, laki-laki aneh berjanggut putih tadi, sampai berteriak melarangku naik
ke puncak gunung. Ia tidak bercanda. Aku tahu ia tidak main-main.
Ia serius. Ia mengancamku. Ia bukan sekadar iseng. Tidak mungkin.
"Bibi Greta, Bibi ingat sajak tentang orang-orangan salju?" tanyaku.
Ia menegakkan badan dan meregangkan otot-ototnya sambil bertolak pinggang.
"Sajak?" "Aku tiba-tiba teringat sebuah sajak hari ini. Sajak itu kudengar ketika aku
masih kecil." Bibi Greta menggigit bibir. "Rasanya Bibi tidak tahu sajak apa yang kaumaksud,"
katanya. Ia mengalihkan pandangan, dan menghindari tatapanku.
"Aku cuma ingat bait pertama," aku meneruskan. Lalu kubacakan sajak itu:
"KETIKA SALJU MENDERU KERAS
DAN HARI PUN MENJELANG SENJA,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU, ANAKKU.
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN."
Setelah membacakan sajak itu, aku menoleh dan menemukan ekspresi yang janggal di
wajah Bibi Greta. Matanya berkaca-kaca. Dan dagunya gemetaran. Pipinya bahkan
lebih pucat lagi dari biasanya.
"Bibi Greta - Bibi baik-baik saja?" tanyaku. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," sahutnya ketus sambil memalingkan wajah. "Tidak ada apa-
apa, Jaclyn. Tapi Bibi tidak ingat sajak itu. Rasanya Bibi belum pernah
mendengarnya." Dengan gugup ia mengotak-atik kepangannya yang panjang.
"Bibi yakin?" aku bertanya pelan-pelan.
"Tentu saja Bibi yakin," balasnya dengan tajam. "Sekarang bantu Bibi membereskan
barang-barang ini, supaya Bibi bisa mulai menyiapkan makan malam."
Ada apa, sih" aku bertanya dalam hati. Kenapa Bibi Greta tiba-tiba marah padaku"
Dan kenapa aku mendapat kesan bahwa ia berusaha menutup-nutupi sesuatu"
Bibi Greta belum pernah bohong padaku.
Kenapa sikapnya begitu aneh sekarang"
Chapter 10 MALAM itu aku tidak bisa tidur.
Kasur baruku terasa begitu keras. Aku terus membayangkan langit-langit yang
rendah di kamarku turun dan mengimpit tubuhku.
Awan-awan salju telah menyingkir, dan bulan sabit tampak melayang di langit
malam. Cahayanya masuk melalui jendelaku yang bulat, dan menghasilkan bayangan-
bayangan panjang yang terus bergerak.
Aku merinding di bawah selimut. Semua masih serba baru dan asing bagiku. Aku
bertanya-tanya dalam hati, apakah aku akan bisa tidur di sini.
Aku memejamkan mata dan berusaha memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Aku
teringat teman-temanku di Chicago. Aku membayangkan wajah mereka satu per satu.
Aku bertanya-tanya apa saja yang mereka kerjakan di sana, sewaktu aku mengalami
petualangan yang menakutkan di atas gunung.
Aku bertanya-tanya apakah mereka rindu padaku.
Aku baru saja tertidur ketika suara melolong membelah keheningan malam.
Lolongan serigala" Aku turun dari tempat tidur dan menuju ke jendela. Hamparan salju di luar tampak
berkilau-kilau karena memantulkan sinar bulan. Terangnya hampir seperti pada
siang hari. Semak-semak terlihat bergoyang pelan karena tiupan angin.
Lolongan tadi kembali terdengar. Aku memandang ke arah gunung.
Tapi yang terlihat cuma rumah-rumah yang gelap dan sunyi, serta jalan yang
berkelok-kelok sampai ke puncak.
Seluruh tubuhku serasa ditusuk-tusuk. Aku tahu aku takkan bisa tidur lagi.
Kamarku begitu dingin, udaranya lembap dan pengap.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan saja.
Barangkali itu akan membuatku lebih santai, pikirku.
Cepat-cepat aku mengenakan celana jeans dan sweter.
Kemudian aku menuruni tangga - tanpa bersuara, tentu saja, soalnya Bibi Greta
tidak boleh tahu aku keluar. Aku mengambil mantel dan sepatu bot.
Aku menyelinap keluar. Perlahan-lahan aku menutup pintu depan. Pandanganku
menyapu salju yang menyelubungi pekarangan. Sambil mengendap-endap aku menuju ke
jalan. Saking dinginnya, setiap embusan napasku langsung berubah jadi embun.
"Wow!" aku bergumam. "Wow!"
Udara yang dingin dan segar terasa begitu nyaman di wajahku.
Angin telah berhenti. Seluruh dunia tampak diam dan hening.
Tidak ada mobil yang lalu-lalang, aku menyadari. Tidak ada bunyi klakson. Tidak
ada bus yang melaju berderu-deru. Tidak ada orang yang tertawa dan berseru-seru
di jalan. Aku sendirian di luar sini, kataku dalam hati. Seluruh dunia jadi milikku.
Tapi lamunanku segera buyar akibat lolongan panjang yang membuat bulu kudukku
berdiri. Aku merinding dan memandang ke puncak gunung. Apakah si serigala putih ada di
atas sana" Apakah binatang itu setiap malam melolong-lolong seperti ini"
Dan kenapa suaranya begitu mirip suara manusia"
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Kemudian aku menyusuri jalan.
Sepatu botku berkeresak-keresak di atas lapisan salju yang keras. Aku melewati
beberapa rumah dan terus melangkah maju.
Sampai sebuah bayangan melintas di hadapanku. Dan aku terpaku tak bergerak.
Chapter 11 AKU menahan napas. Mula-mula aku mengira ada yang mengikutiku.
Tapi kemudian aku sadar yang kulihat cuma bayangan panjang orang-orangan salju.
Bayangannya membentang sampai ke jalan.
Kedua lengan dahannya - satu terangkat, satu menjulur ke samping - tampak
panjang dan seakan-akan mengancamku.
Aku melangkahi bayangan itu dan menyeberang jalan. Tapi sekali lagi aku dihadang
bayangan. Orang-orangan salju lagi. Serupa dengan yang tadi.
Bayangan kedua orang-orangan salju itu tumpang tindih.
Tiba-tiba aku serasa berada di dunia hitam-putih berisi kepala-kepala yang
gelap, syal-syal yang berkibar-kibar, dan lengan-lengan yang kurus kering.
Kenapa begitu banyak orang-orangan salju di sini"
Dan kenapa semua warga desa membuat orang-orangan salju yang serupa"
Lolongan panjang membuatku mengalihkan pandangan dari bayangan-bayangan di
salju. Lolongan ini terdengar lebih dekat. Dan kedengarannya seperti suara
manusia! Aku merinding. Cepat-cepat aku berbalik. Sudah waktunya pulang, kataku mengingatkan diri.
Jantungku berdegup kencang. Lolongan itu - kedengarannya begitu dekat - telah
membangkitkan ketakutan dalam diriku.
Aku mulai mempercepat langkah sambil mencondongkan badan menentang angin.
Lenganku berayun-ayun. Tapi aku langsung berhenti ketika aku melihat orang-orangan salju dengan wajah
terluka di halaman di depanku.
Dan aku memekik tertahan sewaktu orang-orangan salju itu menganggukkan kepala
padaku. "Ahhhh!" Ia mengangguk. Orang-orangan salju itu mengangguk!
Lalu kepalanya berguling ke samping dan jatuh. Kepalanya terbelah begitu
menghantam lapisan salju keras yang menutupi tanah.
Baru beberapa saat kemudian aku sadar bahwa anginlah yang menyebabkan kepala itu
mengangguk. Anginlah yang meniup kepala itu sampai terlepas dari tubuhnya.
Kenapa aku ada di luar sini" aku bertanya dalam hati. Sekarang kan sudah malam,
dan udaranya dingin sekali.
Suasananya seram. Dan di sekitar sini ada makhluk yang melolong keras-keras.
Aku menatap orang-orangan salju tanpa kepala di halaman. Yang tersisa dari
kepalanya hanyalah tumpukan salju. Tapi syalnya tetap di tempat semula, dan kini


Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melambai-lambai tertiup angin dingin.
Aku merinding lagi. Serta-merta aku berbalik dan berlari pulang.
Aku berlari melintasi bayangan orang-orangan salju. Sepatu botku menginjak-injak
bayangan lengan dan kepala mereka.
Di setiap halaman rumah ada orang-orangan salju. Mereka berderet di sepanjang
jalan, bagaikan petugas jaga malam.
Seharusnya aku tetap di rumah, pikirku. Dadaku mulai sesak karena dicengkeram
perasaan panik. Seharusnya aku jangan keluar malam-malam begini. Seharusnya aku
tetap di rumah baruku yang aman.
Sesosok orang-orangan salju melambaikan tangan dan menatapku sambil menyeringai
ketika aku berlari melewatinya. Aku kembali teringat sajak dari masa kanak-
kanakku.... KETIKA SALJU MENDERU KERAS
DAN HARI PUN MENJELANG SENJA,
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU, ANAKKU.
AWAS, ORANG-ORANGAN SALJU.
IA MEMBAWA ANGIN DINGIN. Rumahku mulai tampak di ujung jalan. Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari
lebih cepat lagi. Sajak lama itu menghantuiku sejak aku tiba di sini. Sajak lama itu mengikutiku
dari masa kanak-kanak, mengikutiku ke tempat tinggal baruku yang aneh ini.
Kenapa aku tiba-tiba teringat lagi"
Apa maksud semua ini"
Kenapa sajak itu muncul kembali dalam benakku, setelah terbenam selama sekian
tahun" Aku harus mencari lanjutannya. Aku harus mencari bait kedua sajak itu.
Lolongan mengerikan yang melengking bagaikan sirene ambulans terdengar persis di
belakangku. Aku langsung berbalik. Aku mengamati jalanan dan halaman-halaman yang membeku
terselubung salju. Tak ada siapa-siapa. Tak ada serigala. Tak ada orang.
Lolongan berikut terdengar lebih dekat lagi.
Apakah ada yang membuntutiku"
Aku menutup telinga dengan kedua tangan untuk menghalau suara-suara mengerikan
itu. Begitu kencangnya langkahku, aku seakan-akan terbang melintasi salju,
terbang sampai ke rumahku.
Aku sampai di depan pintu tepat ketika keheningan malam kembali dibelah lolongan
mengerikan. Aku sadar, suara itu semakin dekat.
Rupanya memang ada yang membuntutiku!
Aku meraih pegangan pintu. Memutarnya. Lalu mendorong.
Aduh! Pintunya tidak bergerak. Aku kembali memutar pegangan pintu itu. Kali ini ke arah berlawanan.
Aku mendorong-dorong pintu. Menarik-nariknya.
Tapi sia-sia. Aku terkunci di luar! Chapter 12 UNTUK kesekian kali terdengar lolongan menakutkan. Begitu dekat. Seakan dari
sisi rumahku! Seluruh tubuhku gemetaran. Leherku serasa dicekik oleh perasaan panik. Aku
mundur terhuyung-huyung, menjauhi pintu.
Dan kulihat bahwa jendela depan rumahku - satu-satunya jendela yang menghadap ke
jalan - tidak tertutup rapat. Salju menempel di kaca dan menumpuk di ambang
jendela. Aku mengamati celah sempit di bagian bawah. Aku menarik napas dalam-dalam - dan
menerjang ke arah jendela geser itu.
Cepat-cepat aku meraih bingkai jendela. Dengan satu erangan keras, aku mendorong
kaca jendela sekuat tenaga.
Di luar dugaan, jendela itu bisa kubuka dengan mudah. Aku mendorongnya hingga
terbuka penuh. Lalu kupegang ambang jendela dengan kedua tangan dan kutarik
badanku ke atas. Pada saat itu kembali terdengar lolongan panjang.
Begitu dekat. Begitu dekat dan begitu mengerikan.
Aku menjatuhkan diri ke dalam rumah. Siku dan lututku membentur lantai kayu yang
keras. Aku bangkit sambil menahan sakit. Kuraih bingkai jendela, dan kutarik kacanya
hingga menutup. Kemudian aku bangkit. Aku bersandar ke dinding dan pasang telinga. Sekaligus
berusaha mengatur napas. Apakah Bibi Greta terbangun"
Tidak. Rumahku tetap gelap dan sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah
suara napasku yang terengah-engah.
Sekali lagi terdengar lolongan, tapi kali ini dari jauh.
Apakah ada yang membuntutiku"
Atau itu cuma khayalanku saja"
Apakah lolongan mengerikan itu cuma terbawa angin dari puncak gunung"
Napasku masih tersengal-sengal ketika aku melangkah menjauhi dinding. Perlahan-
lahan aku berjalan menembus kegelapan, menuju ke ruangan kecil di belakang,
tempat kami menumpuk kardus-kardus.
Buku-bukuku masih tersimpan di salah satu kardus. Aku yakin aku juga memasukkan
buku puisi lama yang suka dibacakan Mom dulu.
Sinar bulan yang putih masuk melalui jendela di dinding belakang. Kardus yang
kucari ternyata ada di bagian atas tumpukan kardus, dan aku segera menariknya ke
bawah. Tanganku gemetaran ketika aku berusaha melepaskan pita perekat dan membuka
penutupnya. Aku harus menemukan sajak itu, kataku dalam hati. Aku harus tahu bagaimana bait
keduanya. Aku membuka kardus dan mulai mengeluarkan buku-buku.
Paling atas ada tumpukan buku cerita. Di bawahnya aku menemukan buku pelajaran
yang kupakai di sekolah. Tiba-tiba terdengar suara orang batuk. Disusul suara langkah kaki.
Ada orang di sini! aku menyadari.
"Bibi Greta?" aku memanggil pelan.
Tapi suara yang menyahut bukan suara Bibi Greta.
"Sedang apa kau di sini?" tanya sebuah suara parau yang tak kukenal.
Chapter 13 LAMPU di langit-langit mendadak menyala.
Aku mengedip-ngedipkan mata. Dan menelan ludah. Aku berhadapan dengan Bibi
Greta. "Kau membuat Bibi ketakutan, Jaclyn!" ia berkata dengan suara parau.
Aku langsung bangkit. "Aku juga ketakutan!" sahutku sambil menenangkan jantungku yang berdebar-debar.
"Suara Bibi kenapa?"
Bibi Greta menggosok-gosok leher.
"Agaknya Bibi kena radang tenggorokan," ujarnya. "Pasti karena udara dingin.
Bibi belum biasa dengan udara dingin di desa ini."
Rambutnya yang lurus dan pirang dibiarkan terurai. Ia menyibakkannya ke
belakang. "Sedang apa kau di sini, Jaclyn" Kenapa kau membongkar gudang malam-
malam begini?" "Sajak lama itu," kataku. "Aku harus menemukannya. Aku tidak bisa mengingat bait
kedua. Aku..." "Besok masih banyak waktu," Bibi Greta menyela. Ia menguap. "Bibi benar-benar
capek. Dan tenggorokan Bibi gatal sekali. Sebaiknya kita tidur dulu."
Tiba-tiba ia berkesan begitu kecil dan lemah.
"Aku minta maaf," ujarku sambil mengikutinya keluar gudang. "Aku tidak bermaksud
membangunkan Bibi. Aku tidak bisa tidur, jadi..."
Bibi Greta melihat mantelku, yang kutaruh di salah satu kursi di ruang tamu.
"Kau habis dari luar?" ia berseru seraya berpaling padaku. Matanya terbelalak
lebar karena kaget. "Ehm... ya," aku mengakui. "Aku cuma jalan-jalan sebentar supaya..."
"Seharusnya kau jangan keluar rumah di tengah malam buta," ia berkata dengan
gusar. Sekali lagi ia menggosok-gosok leher. Kemudian ia menatapku sambil
memicingkan mata. "Sori," aku bergumam. "Tapi memangnya kenapa, sih" Kenapa aku tidak boleh jalan-
jalan sebentar?" Ia diam sejenak sambil menggigit-gigit bibir. Ia selalu berbuat begitu kalau
sedang berpikir keras. "Karena berbahaya," ia akhirnya berbisik. "Bagaimana kalau kau terjatuh di
salju" Bagaimana kalau kau patah kaki" Di luar tidak ada siapa-siapa yang bisa
menolongmu." "Kalau begitu, aku akan pulang sambil menggelinding!" aku bergurau.
Aku tertawa, tapi Bibi Greta diam saja. Aku mendapat kesan ada hal lain yang
membuatnya cemas. Ia tidak kuatir aku jatuh. Ia menguatirkan soal lain. Tapi ia
tidak mau berterus terang.
Apakah ada hubungannya dengan lolongan binatang yang sempat kudengar tadi"
Atau ada hubungannya dengan orang-orangan salju di atas gunung yang diceritakan
Conrad" Orang-orangan salju yang menurut Bibi Greta cuma takhayul saja"
Aku menguap. Akhirnya aku mengantuk. Aku terlalu mengantuk untuk memikirkan
pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku merangkul pundak Bibi Greta dan mengajaknya ke kamarnya.
"Maaf aku membangunkan Bibi," bisikku. Kemudian aku mengucapkan selamat malam
dan menaiki tangga ke kamarku di bawah atap.
Sambil menguap aku membuka celana jeans dan sweter, dan melemparkan keduanya ke
lantai. Lalu aku melompat ke tempat tidur dan menarik selimut sampai ke dagu.
Cahaya bulan yang pucat masuk melalui jendela bundar di ujung kamar. Aku
memejamkan mata. Tak ada suara melolong di luar.
Tak ada suara sama sekali.
Aku mengatur posisi kepala di bantalku yang empuk. Tempat tidur baruku masih
terasa keras. Tapi aku terlalu capek untuk mempedulikannya.
Aku masih antara sadar dan tidak ketika aku mendengar sebuah suara berbisik
pelan.... "Awas, orang-orangan salju, Jaclyn... Awas, orang-orangan salju...."
Chapter 14 AKU langsung duduk tegak. "Hah" Siapa itu?" tanyaku dengan terkantuk-kantuk.
Aku memandang ke arah jendela. Seluruh benda di kamarku tampak keperakan karena
cahaya bulan yang pucat. "Awas, orang-orangan salju...," bisikan itu berulang kembali. "Jaclyn, awas,
orang-orangan salju."
"Siapa itu?" seruku. "Dari mana kau tahu namaku?"
Aku duduk tegak di tempat tidur dan menggenggam ujung selimut erat-erat dengan
kedua tangan. Dan pasang telinga.
Sunyi. "Siapa itu?" Suaraku terdengar kecil dan melengking.
Sunyi. "Siapa itu?" Sunyi.... Aku tidak tahu berapa lama aku duduk sambil menunggu jawaban. Tapi akhirnya aku
tertidur lagi. *** Keesokan pagi aku menceritakan pengalamanku kepada Bibi Greta.
Ia menghirup kopinya dulu sebelum menanggapi ceritaku. Ia meraih tanganku dan
meremasnya. "Bibi juga mimpi buruk semalam," ujarnya. Ia terpaksa berbisik-bisik karena
tenggorokannya masih sakit.
"Mimpi?" sahutku. "Jadi menurut Bibi, aku cuma bermimpi?"
Bibi Greta mengangguk dan kembali menghirup kopinya.
"Tentu saja," jawabnya dengan suara parau.
Sehabis sarapan, Bibi Greta dan aku kembali membongkar kardus dan menata rumah
kami yang baru. Aku mencari buku puisiku di setiap kardus yang kami bongkar,
tapi aku tetap tidak berhasil menemukannya. Baru sekarang aku sadar betapa
banyaknya barang-barang yang kami bawa dari Chicago. Dan rumah kami yang baru
begitu kecil. Sungguh sulit menempatkan semua barang.
Sambil bekerja, aku terus teringat pada Rolonda. Ia berjanji hendak menemuiku di
gereja desa setelah makan malam. Ia berjanji hendak mengungkapkan cerita
sebenarnya tentang si orang-orangan salju.
Cerita sebenarnya.... Aku teringat raut muka Eli yang ketakutan ketika ia mengawasi Rolonda dan aku
dari depan rumah mereka. Dan aku juga teringat betapa ngerinya mereka ketika aku
mengatakan aku mau naik ke puncak gunung.
Seolah desa ini benar-benar dikuasai perasaan takut. Masa sih, begitu banyak
orang ketakutan gara-gara takhayul konyol"
Sehabis mencuci dan mengeringkan piring, aku mengenakan mantel dan sepatu bot,
lalu bersiap-siap untuk menemui Rolonda. Kali ini aku berterus terang pada Bibi
Greta. Kukatakan padanya aku ingin menemui anak cewek yang berkenalan denganku
sewaktu aku jalan-jalan kemarin.
"Hujan saljunya lebat sekali," bisik Bibi Greta dengan suaranya yang parau.
"Jangan pulang terlalu malam, Jaclyn."
Aku berjanji aku akan pulang sebelum pukul sembilan. Kemudian aku memasang
tudung mantel, menyelipkan tangan ke dalam sarung tangan, dan melangkah keluar.
Apakah di sini memang setiap hari turun salju" aku bertanya dalam hati sambil
menggelengkan kepala. Sebenarnya aku suka salju. Tapi ini sih keterlaluan! Hujan saljunya lebat
sekali, dan anginnya juga kencang.
Aku menundukkan kepala dan menyusuri jalan ke arah gereja. Wajah dan mataku
diterpa salju. Aku hampir tak bisa melihat apa-apa.
Ini benar-benar badai salju!
Aku sangsi apakah Rolonda akan memenuhi janjinya.
Gereja kecil yang hendak kudatangi terletak di seberang kantor pos. Jaraknya
tidak seberapa jauh dari rumahku. Tapi di tengah salju yang beterbangan, jarak
itu rasanya seperti puluhan kilometer.
Aku berjalan sambil merunduk. Tanpa sadar aku melangkah ke selokan yang penuh
salju. Kakiku terbenam sampai ke lutut. Salju dingin masuk ke sepatu botku,
membasahi kaus kakiku. "Ohhh, ya ampun." Aku mengerang sambil menggigil.
"Aku akan beku kalau begini!" seruku.
Tak ada seorang pun yang bisa mendengarku. Jalanan lengang.
Tak ada yang bergerak. Aku melewati sebuah rumah yang terang-benderang, tapi aku
tidak bisa melihat siapa-siapa di dalamnya.
Salju terus menerpa wajahku, dan mantelku, seakan-akan hendak mendorongku
mundur. Seakan-akan hendak memaksaku berbalik.
"Ini tidak masuk akal," aku bergumam. "Ini benar-benar gila. Tidak mungkin
Rolonda mau menemuiku dalam cuaca seperti ini."
Aku memicingkan mata dan melihat menara gereja yang tampak serbaputih karena
tertutup salju. "Mudah-mudahan gerejanya tidak dikunci," ujarku.
Aku bergegas melintasi jalan - dan menabrak sesuatu yang keras. Sesuatu yang
keras - dan sangat dingin.
Sepasang mata hitam melotot padaku.
Dan aku pun menjerit keras.
Chapter 15 SEDETIK kemudian aku merasakan sepasang tangan menarikku dengan keras.
Dan sebuah suara berseru, "Jaclyn - ada apa, sih?"
Aku hampir tersedak. Aku mundur terhuyung-huyung dan hampir tergelincir di salju
yang licin dan basah. Aku membalik dan melihat Rolonda. Ia sedang menarik-narik lengan mantelku.
"Aku melihatmu menabrak orang-orangan salju," katanya. "Tapi kenapa kau
menjerit?" "A-a-a...," aku tergagap-gagap. Sambil memicingkan mata aku menatap orang-
orangan salju di hadapanku. Aku menatap matanya yang gelap, dan bekas luka di
wajahnya yang bulat. "A-aku cuma kaget," ujarku.
Aku kesal bercampur malu karena telah bersikap begitu konyol. Rolonda pasti
heran melihat tingkahku. Ada apa sebenarnya denganku"
Masa sih aku sampai menjerit-jerit karena menabrak orang-orangan salju"
"Kenapa ada yang membuat orang-orangan salju seperti ini di depan gereja?"
tanyaku. Rolonda tidak menjawab. Ia menatapku dengan matanya yang gelap.


Goosebumps - 51 Teror Monster Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak apa-apa?" ia bertanya.
"Aku baik-baik saja. Ayo, kita masuk dulu, deh."
Sekali lagi aku melirik orang-orangan salju yang mencibir itu. Lalu aku
mengikuti Rolonda ke pintu samping gereja. Kami melangkah masuk dan mengentak-
entakkan kaki di keset, agar salju yang menempel di sepatu kami tidak terbawa ke
dalam. "Apakah di sini memang selalu turun salju?" aku menggerutu sambil menarik tudung
mantel ke belakang dan membuka ritsleting.
"Tidak juga. Waktu itu hujan salju sempat berhenti sepuluh menit. Kami semua
langsung mengambil libur musim panas," kata Rolonda berkelakar.
Aku memandang berkeliling. Kami berada di semacam ruang tunggu. Sebuah bangku
kayu panjang tersandar ke dinding. Sepasang lampu dinding kuno memancarkan
cahaya lembut. Kami membuka mantel masing-masing dan duduk di bangku.
Aku menggosok-gosok tangan untuk menghangatkan keduanya. Pipiku seperti membara.
"Di sini nyaman dan hangat," ujar Rolonda sambil merendahkan suara. "Pastor kami
selalu menyalakan pemanas. Dia tidak suka kedinginan."
"Siapa yang suka?" aku bergumam sambil menggosok-gosok telingaku yang rasanya
sudah hampir beku. "Tempat ini tenang dan cocok untuk bicara," Rolonda melanjutkan. "Terutama untuk
membicarakan hal-hal yang... agak menakutkan."
"Menakutkan?" aku mengulangi.
Rolonda memandang berkeliling. Tiba-tiba saja ia tampak tegang dan gugup.
"Bibimu sudah bercerita tentang desa ini?" bisik Rolonda. "Tentang sejarah desa
kami?" Aku harus mencondongkan badan untuk bisa mendengar ucapannya. Suaranya begitu
pelan. Kenapa ia begitu gugup" aku bertanya-tanya dengan heran. Kan tidak ada siapa-
siapa di sini selain kami berdua.
"Belum," sahutku. "Bibi Greta belum menceritakan apa-apa. Tampaknya dia juga
tidak tahu banyak tentang desa ini."
"Lalu, kenapa kalian pindah kemari?" tanya Rolonda.
Aku angkat bahu. "Entahlah. Bibi Greta tidak pernah menjelaskannya. Dia cuma
bilang sudah waktunya kami pindah dari Chicago."
Rolonda mencondongkan badan ke arahku. "Kalau begitu, biar kuceritakan
semuanya," ia berbisik. "Sejarah desa ini aneh sekali. Orang-orang hampir tak
pernah membicarakannya."
"Kenapa begitu?" aku menyela.
"Soalnya terlalu seram," jawab Rolonda. "Adikku, Eli, sampai ketakutan terus.
Itulah sebabnya kita bertemu di gereja sekarang. Eli tidak suka aku membicarakan
hal ini. Dia tidak suka aku bicara tentang si orang-orangan salju."
"Orang-orangan salju?" tanyaku. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Ada
apa dengan si orang-orangan salju?"
Chapter 16 ROLONDA bergeser sedikit. Bangku kayu yang kami duduki berderit-derit. Ia
menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita.
"Bertahun-tahun lalu ada sepasang penyihir yang tinggal di desa ini. Laki-laki
dan perempuan. Semua orang tahu mereka penyihir. Tapi tak ada yang mengusik
mereka." "Apakah mereka penyihir jahat?" aku menyela.
Rolonda menggelengkan kepala. "Tidak. Kurasa mereka bukan penyihir jahat. Paling
tidak, aku yakin mereka tidak bermaksud buruk."
Sekali lagi ia memandang berkeliling. Aku menyandarkan punggung dan menunggu ia
melanjutkan ceritanya. "Suatu hari, kedua penyihir itu bermain-main. Mereka membuat orang-orangan salju
dan membacakan sebuah mantra. Dan orang-orangan salju itu menjadi hidup."
Aku menahan napas. "Masa, sih?"
Rolonda memicingkan mata. "Tolong jangan potong ceritaku, Jaclyn. Biarkan aku
menceritakan semuanya sampai selesai dulu."
Aku minta maaf padanya. Kemudian ia kembali mencondongkan badan dan melanjutkan ceritanya sambil
berbisik. "Kedua penyihir itu menggunakan kekuatan gaib untuk menghidupkan orang-orangan
salju yang mereka buat. Tapi akhirnya mereka kehilangan kendali atas ciptaan
mereka. "Orang-orangan salju itu ternyata lebih sakti dari yang mereka duga. Dan juga
amat jahat. Kedua penyihir itu telah memberikan nyawa padanya. Tapi sebenarnya
mereka hanya main-main. Mereka tidak menyangka orang-orangan salju itu akan
berusaha menghancurkan desa beserta seluruh isinya.
"Kedua penyihir mencoba menggunakan kekuatan gaib mereka untuk melawan si orang-
orangan salju. Tapi mereka kalah sakti.
"Akhirnya semua penduduk desa berkumpul. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi
mereka berhasil memaksa si orang-orangan salju sampai ke puncak gunung.
"Di atas sana ada gua besar. Semua orang menyebutnya gua es. Para penduduk
berhasil memaksa si orang-orangan salju masuk ke dalam gua. Setelah itu sebagian
besar penduduk pindah dari sini, karena mereka tahu makhluk jahat itu masih
hidup di puncak gunung. Hanya sedikit yang memutuskan tetap tinggal di sini.
"Jadi, sebagian besar penduduk desa pergi," Rolonda melanjutkan. Suaranya begitu
pelan sehingga aku hampir tak bisa mendengarnya. "Dan tampaknya kedua penyihir
juga pergi. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan mereka.
"Nah, saat itulah Conrad muncul," ujar Rolonda.
Aku menatapnya tercengang. "Conrad" Laki-laki berjanggut putih itu?"
Rolonda mengangguk. "Setelah si orang-orangan salju dipaksa masuk ke gua es,
Conrad pindah ke puncak sana. Dia membangun pondoknya persis di bawah mulut gua.
Tak ada yang tahu apa sebabnya.
Kemelut Di Cakrabuana 8 Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Suling Pusaka Kumala 2
^