Pencarian

Manusia Serigala Rawa Demam 2

Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam Bagian 2


Orlando Magic. "Ada apa, Grady?"
"Will dan aku - kami melihat bangkai heron," kataku terengah-engah.
"Di mana" Di rawa?" tanyanya ringan. Dibukanya topinya, dihapusnya keringat di
dahinya dengan punggung tangan, dan
dikenakannya lagi topinya.
"Dad, bangkai - bangkainya terkoyak!" seruku.
Ia tidak bereaksi. "Itulah kehidupan di alam liar," katanya, sambil menarik
salah satu kuku kijang untuk diamati bagian
bawahnya. "Kau tahu itu, kan, Grady. Di alam luar sana bisa sangat kejam. Kita
pernah membicarakan soal seleksi alam dan sebagainya."
"Bukan, Dad. Ini lain," kataku ngotot. "Heronnya - terkoyak jadi dua. Maksudku,
seperti ada yang menangkapnya, dan - "
"Mungkin burung lain," kata Dad, asyik mengamati kuku
kijang. "Burung pemangsa yang lebih besar. Bisa saja - "
"Kami melihat si petapa rawa," selaku. "Bajunya berlumuran darah. Kami lalu
melihat ada jejak kaki binatang di tanah. Di
sekeliling bangkai burung itu."
"Grady, tenang," kata Dad, sambil menurunkan kaki kijang.
"Kalau kau menjelajahi rawa, kau akan melihat banyak hal-hal yang tampak
mengerikan. Tapi jangan biarkan khayalanmu melantur ke
mana-mana." "Kata Will, monster yang melakukannya!" seruku.
Dad mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ternyata teman barumu punya daya khayal bagus juga," katanya tenang.
**************************
Malam itu aku senang orangtuaku mengizinkan Wolf tidur di
kamarku. Aku merasa jauh lebih aman ada anjing besar itu tidur
melingkar di karpet di samping tempat tidurku.
Aku belum bisa melupakan pemandangan seram bangkai heron
tadi. Aku menonton TV sampai saat makan malam. Setelah itu aku
main catur dengan Emily. Tapi apa pun yang kulakukan, aku tetap saja teringat terus pada
bulu-bulu putih yang berserakan di tanah itu, pada burung yang
terkoyak-koyak yang tergeletak di jalan setapak.
Jadi sekarang aku merasa lebih tenang ada Wolf tidur di
kamarku. "Kau akan melindungiku, kan, Boy," bisikku dari tempat tidur.
Ia mendengus pelan. Sinar bulan purnama dari jendela
meneranginya. Kulihat ia tidur dengan kepala terletak di kedua kaki depannya.
Aku lalu tertidur tanpa bermimpi.
Aku tidak tahu seberapa lama aku tidur.
Beberapa saat kemudian aku terbangun waktu mendengar suara
barang jatuh yang keras sekali. Aku terkesiap dan duduk tegak di tempat tidur.
Aku tahu suara itu datang dari ruang duduk. Ada orang masuk!
Chapter 16 PENCURI" Aku turun dari tempat tidur, jantungku berdebar-debar. Pelan-
pelan aku melangkah ke pintu. Suara barang jatuh lagi. Suara bum keras.
Langkah kaki. "Siapa - siapa di sana?" seruku. Suaraku berbisik tertahan.
Sambil terus bersandar ke dinding, aku berjalan pelan-pelan
menuju ruang duduk. "Siapa di sana?" teriakku.
Mom, Dad, dan Emily berpapasan denganku di ruang tengah
yang gelap. Meskipun gelap aku bisa melihat wajah mereka yang
takut dan bingung. Aku yang pertama sampai di ruang duduk. Sinar kuning pucat
dari bulan purnama menyinari seluruh ruangan. "Hei!" seruku.
Wolf melompat menubruk jendela depan yang besar. Bahunya
berdebum keras ketika mengenai kaca jendela.
"Wolf - berhenti!" teriakku.
Dengan diterangi cahaya redup, aku melihat apa yang
menyebabkan suara barang jatuh tadi. Wolf menjatuhkan meja dan
lampu yang terletak di depan jendela.
"Ia - ia berusaha keluar," kataku tergagap.
Kurasakan tangan Dad di bahu piamaku. "Semua jadi
berantakan gara-gara dia," gumamnya.
"Wolf - berhenti!" seruku lagi.
Anjing besar itu berbalik, napasnya terengah-engah. Matanya
merah manyala diterangi sinar bulan dari jendela.
"Kenapa ia ingin sekali keluar?" tanya Emily.
"Kita tidak bisa membiarkannya di dalam rumah kalau setiap
malam kelakuannya begini," kata Mom, suaranya parau karena baru bangun.
Anjing besar itu merunduk dan menggeram penuh semangat.
Ekornya berdiri tegak. "Buka pintu depan. Keluarkan dia," kata Mom. "Sebelum dia hancurkan seisi
rumah." Dad bergegas melintasi ruangan dan membuka pintu. Wolf
langsung melesat. Ia menuju pintu dan lari ke luar.
Aku lari ke jendela untuk mengamatinya. Tapi anjing besar itu
menghilang ke samping rumah, lari menuju halaman belakang.
"Ia menuju rawa," kataku menduga-duga.
"Ia berusaha memecahkan kaca jendela," kata Mom.
Emily menyalakan lampu. "Ia kuat sekali, bisa saja ia
memecahkan kaca jendela itu," katanya pelan
Dad menutup pintu depan. Ia menguap. Lalu dipandangnya
aku.."Kau tahu apa artinya ini kan, Grady?"
Aku masih memandangi bulan purnama. "Tidak. Apa?"
"Mulai sekarang Wolf harus tinggal di luar," kata Dad. Ia membungkuk dan mulai
memunguti pecahan lampu. "Tapi, Dad - " Aku mulai protes.
"Ia terlalu besar dan terlalu bersemangat untuk tinggal di dalam rumah," kata
Dad lagi. Diserahkannya pecahan lampu pada Emily.
Lalu ditegakkannya meja lagi dan dikembalikannya ke tempatnya
semula di depan jendela. "Wolf tidak bermaksud memecahkan lampu," bantahku lemah.
"Ia akan memecahkan semua barang-barang kita," kata Mom tenang.
"Ia terlalu besar," tambah Dad. "Ia harus tinggal di luar, Grady."
"Kenapa ia ingin sekali keluar?" desak Emily.
"Mungkin ia terbiasa di luar," kata Dad padanya. "Ia akan lebih bahagia di luar
sana," katanya, sambil berbalik menatapku.
"Yeah. Mungkin," jawabku suram. Aku suka Wolf tidur di sampingku di kamar. Tapi
aku tahu tidak mungkin aku bisa
meyakinkan orangtuaku untuk memberi kesempatan lagi pada Wolf.
Keputusan mereka sudah pasti.
Tapi paling tidak mereka mengizinkan aku tetap memelihara
Wolf. Kukeluarkan penyedot debu dari lemari dan kunyalakan. Dad
mengambil mulut pipanya dan, mulai menyedot pecahan-pecahan
kecil kaca dari karpet. Dasar anjing gila, pikirku, sambil menggeleng-geleng. Ada
masalah apa sih dengan dia"
Setelah Dad selesai, kukembalikan lagi penyedot debunya ke
dalam lemari. "Sekarang kita semua bisa tidur dengan tenang," kata Mom sambil menguap.
Mom keliru. Chapter 17 TAK lama kemudian aku mendengar lolongan menakutkan lagi.
Mula-mula kukira aku cuma bermimpi.
Tapi ketika aku membuka mata dan memandang ke sekeliling
kamarku yang gelap, lolongan itu berlanjut. Dengan masih setengah tidur,
kucengkeram selimut dengan dua tangan dan kutarik sampai
dagu. Lolongan itu terdengar dekat sekali, seperti berada tepat di luar jendelaku.
Kedengarannya tidak seperti lolongan binatang. Lolongan itu terlalu marah,
terlalu diatur. Terlalu manusia. Berhentilah menakut-nakuti diri sendiri, pikirku. Itu serigala.
Pasti sejenis serigala rawa.
Dalam hati aku tahu bisa saja Wolf yang bersuara mengerikan
seperti itu. Tapi aku tidak mau mengakuinya.
Buat apa anjing melolong seperti itu"
Anjing menyalak. Anjing tidak melolong kalau tidak sangat
sedih atau bingung. Kupejamkan mataku, berharap semoga lolongan mengerikan itu
segera berhenti. Tiba-tiba tidak ada suara. Sepi.
Lalu kudengar suara berdebuk-debuk cepat di tanah. Suara
langkah kaki. Suara orang berkelahi. Kudengar teriakan pendek yang mengerikan. Baru terdengar
sudah langsung berhenti. Asalnya tepat dari belakang rumah, pikirku.
Dengan mata terbuka lebar, aku melompat dari tempat tidur,
sambil menyeret selimut. Aku berjalan tersandung-sandung ke jendela kamar dan
mencengkeram tepinya. Bulan purnama sudah tinggi di langit malam. Halaman
belakang tampak berkilauan disinari cahaya bulan, rumput-rumput
berembun tampak berkilat-kilat.
Kutekan dahiku ke bingkai jendela dan kupandangi rawa gelap
di kejauhan. Aku terkesiap waktu melihat ada sosok berlari menuju pepohonan.
Sosok besar yang berlari di atas empat kaki.
Sosok itu hanya kelihatan seperti bayangan hitam yang hilang
dalam kegelapan. Tapi aku bisa melihat betapa besar tubuhnya, dan betapa cepat
larinya. Dan aku mendengar lolongannya. Lolongan penuh
kemenangan, pikirku. Apa itu Wolf" pikirku. Aku memandang ke luar jendela tanpa
bergerak, meskipun makhluk itu sudah menghilang dalam kegelapan.
Aku hanya bisa melihat bayangan pepohonan di kejauhan.
Tapi aku masih bisa mendengar suara lolongan yang naik turun
di udara malam. Apa itu Wolf" Tidak mungkin Wolf - kan"
Kuturunkan arah pandanganku. Napasku tercekat. Aku melihat
sesuatu. Di tengah-tengah halaman belakang. Beberapa meter dari
kandang kijang. Mula-mula kukira itu tumpukan kain lap. Tanganku gemetar
waktu membuka jendela. Aku harus lebih jelas melihatnya. Aku harus melihat apa yang
tergeletak di halaman belakang itu.
Kutarik bagian bawah piamaku. Lalu kucengkeram tepi jendela
dan melompat ke luar. Rumput basah terasa dingin di kakiku yang tidak beralas. Aku
berjalan menuju kandang kijang. Keenam kijang rawa itu berdiri
tegang, berdesak-desakan di dekat rumah. Mata mereka mengikutiku waktu aku
pelan-pelan melintasi halaman.
Benda apa itu" pikirku sambil memandang dengan sinar cahaya
bulan. Apa cuma tumpukan kain lap"
Bukan. Apa itu" Chapter 18 KAKIKU yang tidak beralas terasa dingin dan basah waktu aku
berjalan pelan melintasi rumput yang disaput embun. Udara malam
terasa pengap dan diam seakan mati.
Ketika sudah cukup dekat untuk melihat apa yang menumpuk di
rerumputan itu, aku berteriak pelan dan ingin muntah.
Kutekan tanganku ke mulut dan menelan ludah.
Aku tahu aku sedang menatap seekor kelinci. Matanya yang
kecil dan hitam beku terbelalak ketakutan. Salah satu telinganya putus.
Kelinci itu terkoyak lebar, nyaris terbagi dua. Kupaksa mataku
melihat ke arah lain. Dengan perut masih bergejolak, aku bergegas melintasi
rerumputan basah menuju jendela kamarku yang terbuka dan masuk
dengan susah-payah. Ketika aku setengah mati berusaha menutup jendela, terdengar
lagi lolongan penuh kemenangan dari arah rawa.
****************************
Setelah sarapan, keesokan paginya kubawa Dad ke halaman
belakang untuk menunjukkan bangkai kelinci tadi malam. Udara cerah dan panas, tampak matahari di
langit yang terang dan bersih.
Begitu kami turun dari teras belakang, Wolf muncul dari
samping rumah. Ekornya segera sibuk mengibas-ngibas. Ia lari penuh semangat
untuk menyambutku, seperti sudah bertahun-tahun tidak
bertemu, melompat ke dadaku, hampir membuatku terjatuh.
"Turun, Wolf! Turun!" teriakku sambil tertawa-tawa ketika anjing itu berdiri
untuk menjilati mukaku. "Anjingmu pembunuh," kata suara di belakangku. Aku berbalik, ternyata Emily
mengikuti kami. Ia mengenakan kaus merah dan
celana pendek putih. Ia bersedekap dan menatap Wolf sebal. "Lihat perbuatannya
pada kelinci malang itu," katanya sambil menggeleng-geleng.
"Wow. Tunggu dulu," kataku, kuelus-elus bulu kelabu Wolf.
"Siapa bilang Wolf yang melakukannya?"'
"Siapa lagi?" tanya Emily. "Ia pembunuh."
"Oya" Lihat betapa manisnya dia," kataku bersikeras.
Kumasukkan tanganku ke dalam mulut Wolf. Pelan-pelan Wolf
mengatupkan mulutnya supaya tidak membuatku kesakitan.
"Mungkin Wolf ada keturunan pemburunya sedikit," kata Dad serius. Dari tadi ia
memandangi bangkai kelinci, tapi sekarang
dialihkannya pandangannya ke kandang kijang.
Kijang-kijang itu berkerumun di ujung kandang dan menatap
Wolf waswas. Kepala mereka merunduk waspada ketika mengamati
setiap gerakan anjingku. "Aku lega mereka aman di dalam kandang," kata Dad pelan.
"Dad, anjing itu harus disingkirkan," kata Emily melengking.
"Tidak bisa!" teriakku. Kupandang kakakku dengan marah.
"Kau tidak punya bukti Wolf berbuat jahat!" teriakku. "Sama sekali tidak ada
bukti!" "Kau tidak punya bukti ia tidak melakukannya!" balas Emily kesal.
"Pasti bukan dia!" teriakku tak terkendali. "Kau tidak dengar lolongan tadi
malam" Kau tidak dengar lolongan-lolongan
mengerikan itu" Bukan anjing yang melolong seperti itu. Anjing tidak melolong!"
"Kalau begitu apa?" desak Emily.
"Aku juga mendengarnya," kata Dad sambil melangkah ke
tengah-tengah kami. "Kedengarannya lebih mirip lolongan serigala.
Atau mungkin coyote."
"Betul, kan?" kataku pada Emily.
"Tapi aku pasti terkejut kalau di daerah ini ada serigala atau coyote," kata Dad
lagi, sambil menatap ke arah rawa.
Emily masih bersedekap erat. Dipandanginya Wolf dan
bergidik. "Ia berbahaya, Dad. Ia harus disingkirkan."
Dad berjalan mendekat dan menepuk-nepuk kepala Wolf.
Digaruk-garuknya bagian bawah dagu Wolf. Wolf menjilat tangan
Dad. "Berhati-hati sajalah kalau berada di dekatnya," kata Dad. "Ia kelihatannya
manis sekali. Tapi kita tidak terlalu mengenalnya - kan"
Jadi berhati-hatilah, oke?"
"Aku akan berhati-hati," jawab Emily, dipicingkannya matanya pada Wolf. "Aku
akan menjaga jarak sejauh mungkin dari monster itu." Ia berbalik dan lari cepat-
cepat ke rumah.

Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dad pergi ke gudang untuk mengambil sekop dan kotak untuk
tempat bangkai kelinci itu.
Aku berlutut dan memeluk leher Wolf yang tegap. "Kau bukan
monster, kan, Boy?" tanyaku. "Emily gila, ya" Kau bukan monster.
Bukan kau yang tadi malam kulihat berlari-lari menuju rawa, kan?"
Wolf menatap mataku. Dipandanginya aku tanpa berkedip.
Kelihatannya ia berusaha mengatakan sesuatu padaku.
Tapi aku sama sekali tidak tahu apa.
Chapter 19 MALAM itu aku tidak mendengar lolongan.
Tengah malam aku terbangun dan menatap ke luar jendela.
Wolf tidak ada, mungkin pergi menjelajahi rawa. Aku tahu besok pagi ia akan
berlari-lari menyambutku seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Keesokan paginya Will datang ketika aku sedang memberi
makan Wolf, semangkuk besar makanan anjing kering yang renyah.
"Hei, ada apa?" tanya Will seperti biasa.
"Tidak banyak," kataku. Kubalikkan kantong besar makanan anjing itu dan kuseret
kembali ke dapur. Wolf berdiri di dekat
mangkuknya. Kepalanya merunduk, mulutnya ribut mengunyah.
Kudorong pintu kasa dan kembali ke Will. Ia mengenakan
kemeja biru tua ketat dan celana pendek lycra hitam. Di kepalanya ada topi
hijau-kuning Dinas Kehutanan.
"Mau menjelajah?" tanyanya dengan suara serak, sambil
mengamati Wolf yang makan sarapannya dengan lahap. "Tahu, kan.
Di rawa?" "Yeah. Tentu," kataku. Aku berteriak ke dalam untuk
memberitahu orangtuaku ke mana aku pergi. Lalu kuikuti Will
melintasi halaman belakang menuju rawa.
Wolf berlari-lari mengejar kami. Ia melewati kami, lalu
menunggu. Setelah itu ia lari zigzag tidak keruan di depan dan di belakang kami,
gembira mandi sinar matahari pagi yang panas.
"Kau dengar berita tentang Mr. Warner?" tanya Will. Ia berhenti untuk mencabut
sehelai rumput dan menggigit-gigitnya.
"Siapa?" "Ed Warner," jawab Will. "Kurasa kau belum berkenalan dengan keluarga Warner.
Mereka tinggal di rumah paling ujung." Ia berbalik dan menunjuk rumah putih
terakhir di ujung deretan rumah.
"Memangnya dia kenapa?" tanyaku, hampir tersandung Wolf, yang lari di sela-sela
kakiku. "Ia hilang," jawab Will sambil menggigit-gigit rumput.
"Kemarin malam ia tidak pulang."
"Hah" Dari mana?" tanyaku, berbalik dan menatap rumah
keluarga Warner. Gelombang udara panas tampak dari sela-sela
rerumputan, rumah itu jadi kelihatan bengkok dan bergetar.
"Dari rawa," kata Will suram. "Tadi pagi Mrs. Warner menelepon ibuku. Katanya
kemarin siang Mr. Warner pergi berburu.
Ia senang berburu kalkun liar. Ia pernah mengajakku. Ia pandai
mengejar-ngejar kalkun. Kalau berhasil membunuh seekor, akan
digantungkannya terbalik di dinding dapur."
"Haa?" teriakku. Menurutku sadis juga.
"Yeah. Kau tahu, kan. Seperti tropi-lah," kata Will lagi.
"Kemarin siang ia pergi berburu kalkun liar di rawa, dan sampai sekarang belum
pulang." "Aneh," kataku, sambil mengamati Wolf yang berhenti di tepi pepohonan. "Mungkin
ia tersesat." "Tidak mungkin," kata Will ngotot, ia menggeleng. "Tidak mungkin Mr. Warner
tersesat. Ia sudah lama tinggal di sini. Ia orang pertama yang pindah ke mari.
Mr. Warner takkan mungkin tersesat."
"Kalau begitu mungkin ia ditangkap manusia serigala!" seru suara aneh dari
belakang kami. Chapter 20 DENGAN terkejut kami berbalik dan melihat anak perempuan
kira-kira seusia kami. Rambutnya yang merah kecokelatan diikat jadi ekor kuda di
samping. Matanya hijau seperti mata kucing, hidungnya pesek, dan wajahnya penuh
bintik-bintik. Ia mengenakan jins denim merah pudar dan kaus bergambar buaya
hijau meringis di bagian depan. "Cassie, ngapain kau di sini?" tanya Will.
"Mengikutimu," jawabnya, sambil mencibir. Ia menatapku.
"Kau Grady, si anak baru, kan" Will menceritakan tentang kau padaku."
"Hai," kataku kaku. "Ia mengatakan ada anak perempuan tinggal di dekat sini.
Tapi ia tidak banyak bercerita tentang kau."
"Apa yang perlu diceritakan?" goda Will.
"Aku Cassie O'Rourke," katanya. Dijulurkannya tangannya dan ditariknya rumput
dari mulut Will. "Hei!" Will bercanda mendorongnya, tapi tidak kena.
"Apa katamu tadi tentang manusia serigala?" tanyaku.
"Jangan mengacau dengan cerita itu lagi," gerutu Will pada Cassie. "Ceritamu
terlalu konyol." "Alah, kau takut, kan," tuduh Cassie.
"Tidak. Ceritamu yang terlalu konyol," kata Will bersikeras.
Kami melangkah ke bayangan pepohonan di tepi rawa.
Segerombolan ngengat putih terbang berputar-putar diterangi seberkas cahaya di
antara pepohonan. "Ada manusia serigala di rawa," kata Cassie melirihkan suaranya ketika kami
merunduk melewati ngengat-ngengat dan
semakin masuk ke dalam bayangan.
"Dan aku akan mengepakkan sayap dan terbang ke Mars," kata Will kasar.
"Tutup mulut, Will!" bentak Cassie. "Menurut Grady ceritaku tidak konyol - ya,
kan?" Aku mengangkat bahu. "Entahlah," kataku. "Kurasa aku tidak percaya manusia
serigala itu ada." Will tertawa. "Cassie juga percaya Kelinci Paskah memang
ada," katanya. Cassie meninju dada Will kuat-kuat.
"Hei!" teriak Will marah sambil terhuyung-huyung ke belakang.
"Kenapa kau ini?"
"Nyamuk," kata Cassie sambil menunjuk. "Nyamuk besar.
Berhasil kubunuh." Dengan bersungut-sungut Will memandang ke bawah. "Aku
tidak melihat ada nyamuk. Jangan macam-macam, Cassie."
Kami berjalan di jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemarin
dulu hujan. Tanah lebih lunak daripada biasanya. Kami terpeleset-peleset terus
di lumpur. "Kau mendengar lolongan kalau malam?" tanyaku pada Cassie.
"Itu manusia serigala," katanya pelan. Matanya yang hijau seperti mata kucing
menatap mataku. "Aku tidak main-main, Grady.
Aku serius. Lolongan itu bukan lolongan manusia. Lolongan itu
berasal dari manusia serigala yang baru saja membunuh."
Will mencibir. "Daya khayalmu bagus, Cassie. Kurasa kau
sering menonton film seram di TV, heh?"
"Kehidupan nyata lebih mengerikan daripada film," katanya melirihkan suaranya
jadi berbisik. "Uuh, hentikan. Kau membuatku jadi gemetaran!" seru Will kasar.
Cassie tidak menjawab. Ia masih terus menatapku sambil kami
berjalan. "Kau percaya padaku, kan?"
"Entahlah," kataku. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Tampak bog di depan. Udara terasa lebih pengap, lebih basah.
Ilalang tinggi di seberang bog berdiri tegak. Bog itu berdeguk pelan.
Dua lalat besar terbang di atas permukaan air yang berwarna hijau tua.
"Yang namanya manusia serigala itu tidak ada, Cassie," gumam Will, ia mencari-
cari sesuatu untuk dilemparkan ke dalam bog. Ia meringis pada Cassie. "Kecuali
kalau salah satunya kau!"
Cassie melotot. "Lucu sekali." Mulutnya bergerak-gerak seperti akan menggigit
Will. Aku mendengar suara gemerisik dari seberang bog berbentuk
oval itu. Tiba-tiba ilalang tinggi tersibak dan Wolf muncul di tepi air.
"Seperti apa, sih, tampang manusia serigala?" tanya Will kasar.
"Apa rambutnya merah dan wajahnya berbintik-bintik?"
Cassie tidak menjawab. Aku menoleh dan melihat wajahnya ketakutan. Matanya yang
hijau membelalak, bintik-bintik di wajahnya seperti memudar. "I-itu dia manusia
serigalanya!" bisiknya tergagap-gagap. Ia menunjuk.
Dengan gemetar ketakutan aku berbalik untuk melihat ke arah
yang ditunjuknya. Aku ngeri sekali, ia menunjuk tepat ke arah Wolf!
Chapter 21 "TIDAK!" teriakku.
Ternyata aku salah mengerti. Cassie bukan menunjuk Wolf. Ia
menunjuk sosok yang bergerak menerobos ilalang tinggi di belakang anjing itu. Si
petapa rawa! Aku melihatnya berjalan cepat-cepat di balik ilalang, bahunya
membungkuk, kepalanya yang kotor bergerak-gerak sewaktu ia
melangkah. Ketika ia bergerak memasuki celah kecil di antara ilalang, aku
bisa melihat mengapa ia membungkuk ke depan. Ia menyandang
sesuatu di bahunya. Semacam tas.
Wolf mulai menggeram. Petapa itu berhenti berjalan.
Kulihat bukan tas yang tersampir di bahunya.
Itu kalkun. Kalkun liar. Pikiran rnengerikan terlintas di benakku: apa ia mengambilnya
dari Mr. Warner" Apakah Cassie benar mengenai petapa rawa ini"
Apakah ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan pada Mr.
Warner dan kalkun liar itu adalah hasilnya"
Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran mengerikan itu.
Pikiran gila. Tidak mungkin.
Tapi Cassie tampak sangat ketakutan, melotot ke seberang bog
hijau yang berdeguk-deguk ke arah petapa bermata liar itu. Dan aku teringat
kembali pada lolongan-lolongan di malam hari yang begitu menakutkan, yang
terdengar seperti lolongan manusia.
Dan bangkai binatang yang dulu kulihat, terkoyak-koyak
menyedihkan, seperti... seperti dilakukan oleh manusia serigala!
Wolf menggeram lagi. Dipandanginya petapa itu, ekornya
berdiri kaku di belakangnya, bulunya tegak.
Petapa itu bergerak cepat. Kulihat matanya yang hitam tampak
berkilat sebelum ia menghilang di balik ilalang.
"Itu dia!" teriak Cassie, masih menunjuk. "Itu si manusia serigala!"
"Cassie - tutup mulut!" bentak Will. "Ia bisa mendengarmu nanti!"
Aku menelan ludah, kaku di tempat karena ketakutan. Kulihat
ilalang di seberang bog bergerak-gerak. Kudengar suara gemerisik semakin dekat.
"Lari!" teriak Will, suaranya yang serak melengking dan ketakutan. "Ayo - lari!"
Terlambat. Si petapa rawa menyerbu dari balik ilalang tepat di belakang
kami. "Akulah si manusia serigala!" teriaknya. Matanya tampak liar dan
bersemangat. Wajahnya yang dikelilingi rambutnya yang panjang dan kusut, merah
padam. "Akulah si manusia serigala!"
Ia mendengar Cassie! Sambil tertawa keras sekali, diangkatnya kedua tangannya, lalu
diputar-putarnya kalkunnya di atas kepala. "Akulah si manusia serigala!"
teriaknya. Cassie, Will, dan aku berteriak bersamaan.
Lalu kami segera lari. Kulirik Wolf. Ia tadi tidak bergerak dari tempatnya di seberang
bog. Tapi sekarang, ketika aku mulai lari, ia mendatangi kami, sambil menyalak
gembira. "Akulah si manusia serigala!" jerit petapa itu. Ia melolong sambil tertawa, dan
terus memutar-mutar kalkun sambil mengejar
kami. "Jangan ganggu kami!" teriak Cassie, ia lari di samping Will, beberapa langkah
di depanku. "Kau dengar" Jangan ganggu kami!"
Ratapannya membuat petapa itu melolong lagi. Sepatuku
terpeleset di tanah yang berlumpur.
Aku menoleh ke belakang. Ia mendekatiku. Tepat di
belakangku. Dengan napas terengah-engah, aku berusaha lari lebih cepat.
Tanaman-tanaman berduri dan daun-daun tebal menampar muka dan
tanganku ketika aku berlari.
Semua kini tampak seperti bayangan. Bayangan cahaya,
pepohonan, semak-semak, ilalang tinggi, dan tanaman berduri.
"Aku si manusia serigala! Akulah si manusia serigala!"
Lengking tawa petapa gila itu bergema di rawa. Lari terus,
Grady, kataku dalam hati. Lari terus. Lalu, sambil berteriak keras, aku
terpeleset. Aku jatuh terjerembap ke dalam lumpur, mendarat dengan
bertumpu di tangan dan lutut.
Aku tertangkap, pikirku. Manusia serigala itu berhasil menangkapku.
Chapter 22 AKU setengah mati berusaha bangun dari lumpur. Tapi aku
terpeleset dan terjerembap lagi.
Sekarang ia akan menangkapku, pikirku.
Si manusia serigala telah menangkapku. Aku tidak bisa
melarikan diri. Aku berbalik, kusangka petapa itu akan mencengkeramku.
Tapi ia berhenti beberapa meter dariku. Kalkunnya tergantung
ke tanah ketika ia menatapku, wajahnya yang kasar meringis aneh.
Mana Wolf" pikirku. Tadi Wolf menggeram-geram marah pada si petapa rawa.
Kenapa Wolf tidak menyerang"
"Tolong! Will! Cassie!" teriakku tak berdaya. Sepi.
Mereka sudah pergi. Mungkin sekarang mereka sudah sampai
di luar rawa, lari ke rumah.
Aku sendirian. Sendirian menghadapi si petapa. Aku bangun
dengan susah payah, mataku terpaku menatap matanya. Kenapa ia
meringis seperti itu padaku"
"Pergilah. Pergi," gumamnya, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tidak
memegang kalkun. "Aku hanya main-main."
"Apa?" Suaraku terdengar kecil dan ketakutan.
"Pergi. Aku takkan menggigitmu," katanya. Ia tidak meringis lagi. Matanya yang
hitam tidak tampak berkilat-kilat lagi.
Wolf muncul di belakangnya. Anjing itu menatap si petapa, lalu
menatap bangkai kalkun. Ia menyalak melengking sekali. Tapi aku
bisa melihat Wolf sudah tidak tegang lagi. Ia tidak bermaksud
menyerang si petapa. "Anjing ini punyamu?" tanya si petapa, dengan waspada
dipandanginya Wolf. "Yeah," jawabku, masih terengah-engah. "Aku...
menemukannya." "Hati-hati menghadapinya," kata si petapa ketus. Ia lalu berbalik dan, sambil
menyandang bangkai kalkun, menuju ilalang
lagi. "Ha-hati-hati menghadapinya?" tanyaku tergagap. "Apa maksudmu?"
Tapi petapa itu tidak menjawab. Aku bisa mendengarnya
berjalan di sela-sela ilalang kembali menuju rawa.
"Apa maksudmu?" seruku.
Tapi ia sudah pergi. Rawa sekarang sepi, yang terdengar hanya
suara serangga mengerik dan suara daun palem saling bergesekan.
Aku menatap lurus ke arah ilalang tinggi. Kurasa aku


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu petapa itu kembali, menerjang, menyerang lagi.
Dua ngengat putih terbang di atas ilalang. Tidak ada lagi yang
bergerak. Ia hanya main-ritain, katanya tadi.
Hanya itu, main-main. Aku menelan ludah. Lalu kupaksa diriku bernapas normal lagi.
Sesaat kemudian kupandang Wolf. Anjing itu sibuk
mengendus-endus tanah tempat petapa itu berdiri tadi.
"Wolf - kenapa kau tidak melindungi aku?" kataku kesal.
Anjing itu mengangkat kepala sebentar, lalu kembali
mengendus-endus. "Hei, anjing - kau pengecut, ya?" tanyaku, sambil
membersihkan tanah basah dari lutut jins-ku. "Itu sebabnya, ya" Kau
kedengarannya hebat sekali, tapi sebetulnya pengecut?"
Wolf tidak memedulikan aku.
Aku berbalik dan berjalan pulang, sambil memikirkan
peringatan si petapa tadi. Ketika berjalan di jalan setapak sempit, kudengar
Wolf lari menerobos ilalang dan rumput tinggi,
mengikutiku. "Hati-hati menghadapinya," kata si petapa.
Apa ia main-main juga" Apa ia hanya berusaha menakut-nakuti
aku" Orang aneh itu melihat Will, Cassie, dan aku takut padanya.
Jadi ia memutuskan untuk mempermainkan kami.
Cuma itu kok, pikirku. Ia mendengar Cassie menyebutnya manusia serigala. Jadi
diputuskannya untuk menakut-nakuti kami sekalian.
Ketika berjalan di tanah lunak di bawah bayangan pepohonan
palem miring, pikiranku sibuk berpikir-pikir tentang Cassie, Will, Wolf, dan
manusia serigala. Aku tidak melihat ada ular sampai aku menginjaknya.
Aku memandang ke bawah tepat untuk melihat kepalanya yang
hijau terang menerjang ke depan.
Kurasakan rasa sakit yang menusuk ketika taringnya
menghunjam pergelangan kakiku.
Rasa sakit itu menyentakkan kakiku.
Aku berteriak terkejut sebelum jatuh ke tanah.
Chapter 23 AKU jatuh ke tanah dan meringkuk ketika rasa sakit berdenyut-
denyut di sekujur tubuhku.
Aku melihat bintik-bintik merah. Semakin lama semakin besar
sampai akhirnya yang kulihat merah semua. Warna itu berkelip-kelip seirama
dengan denyutan rasa sakit.
Dari balik tirai warna merah di mataku, kulihat ular itu merayap masuk semak-
semak. Kucengkeram pergelangan kakiku, berusaha menahan sakit.
Pelan-pelan warna merah itu memudar lalu hilang. Yang tinggal
hanya rasa sakit. Tiba-tiba tanganku terasa basah.
Darah" Aku menunduk dan melihat Wolf menjilati tanganku. Ia sibuk
menjilat-jilat, seperti berusaha mengobatiku, berusaha membuat
segalanya kembali normal.
Meskipun merasa sakit, aku tertawa. "Tenang, Boy," kataku.
"Aku baik-baik saja."
Ia terus menjilati tanganku sampai aku berdiri. Kakiku
gemetaran. Kucoba menapakkan kaki yang digigit tadi. Rasanya sudah
baikan. Aku maju selangkah, terpincang-pincang. Lalu selangkah lagi.
"Ayo, Wolf," kataku. Ia menatapku penuh pengertian.
Aku tahu aku harus cepat-cepat pulang. Kalau ular tadi berbisa,
aku bisa gawat. Aku tidak tahu berapa lama lagi bisanya akan
membuatku lumpuh total - atau lebih gawat lagi.
Wolf terus berada di sampingku ketika aku terpincang-pincang
berjalan di tanah lunak menuju rumah. Napasku terengah-engah.
Dadaku terasa sesak. Tanah seperti berayun-ayun.
Apa karena bisa ular tadi" Atau karena aku sangat ketakutan"
Setiap kali aku melangkah, sakitnya bukan main.
Tapi aku terus berjalan terseret-seret, sambil berbicara dengan
Wolf, tidak kupedulikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di
pergelangan kakiku. "Kita hampir sampai, Wolf," kataku, tersengal-sengal. "Hampir sampai, Boy."
Anjing itu merasa ada yang tidak beres. Ia tetap berada di
sampingku, padahal biasanya ia berlari-lari zigzag di depan dan di belakangku.
Tampak tepi deretan pepohonan. Aku bisa melihat sinar
matahari di luar rawa. "Hei - " Ada suara memanggilku. Kulihat Will dan Cassie
menungguku di lapangan rumput.
Mereka segera lari mendatangiku. "Kau baik-baik saja?" seru Cassie.
"Tidak. Aku... aku digigit!" Akhirnya bisa juga aku bicara.
"Tolong - panggilkan ayahku!"
Mereka berdua lari secepat-cepatnya ke rumahku. Aku duduk di
rerumputan, menjulurkan kakiku, dan menunggu.
Aku berusaha menenangkan diri, tapi rasanya tidak mungkin.
Apa ular tadi berbisa" Apa bisanya langsung mengalir ke
jantungku" Apa sebentar lagi aku mati"
Kujulurkan kedua tanganku dan dengan hati-hati sekali
kulepaskan sepatuku yang berlumuran
Lalu, pelan-pelan, kuturunkan kaus kakiku sampai mata kaki
dan kulepaskan. Pergelangan kakiku bengkak sedikit. Kulitnya merah, tapi di
sekitar bekas gigitan ada lingkaran putih dan berkerut. Di dalam lingkaran itu,
kulihat dua titik kecil, dari tiap lubangnya keluar tetesan darah.
Ketika kualihkan pandangan dari lukaku, kulihat ayahku, ia
mengenakan celana pendek cokelat dan kaus putih, bergegas melintasi lapangan
rumput menuju tempatku, diikuti oleh Will dan Cassie.
"Apa yang, terjadi?" Kudengar ayahku bertanya pada mereka.
"Apa yang terjadi pada Grady?"
"Ia digigit manusia serigala!" Kudengar Cassie menjawab begitu.
***************************
"Tempelkan terus kantong es-nya," perintah Dad. "Bengkaknya akan kempis."
Aku mengerang dan menempelkan kantong es ke pergelangan
kakiku. Mom berdecak-decak dari dapur. Di depannya terhampar koran.
Aku tidak tahu apakah ia berdecak-decak karena aku atau karena
berita hari ini. Di luar pintu kasa kulihat ada Wolf, rebah di atas rerumputan di dekat teras
belakang, tertidur pulas. Emily ada di ruang depan, sedang menonton TV.
"Bagaimana rasanya?" tanya Mom.
"Jauh lebih baik," kataku. "Kurasa tadi aku hanya ketakutan saja."
"Ular hijau tidak berbisa," kata Dad mengingatkanku untuk yang kesepuluh
kalinya. "Tapi aku bersiap-siap saja, siapa tahu, kan.
Kami akan membungkusnya rapat-rapat setelah selesai kau tempeli
dengan es." "Manusia serigala apa yang kalian ributkan tadi?" tanya Mom.
"Pikiran Cassie penuh dengan manusia serigala," kataku. "Ia mengira petapa rawa
itu manusia serigala."
"Kelihatannya Cassie anak yang manis," kata Mom pelan. "Aku tadi berbincang-
bincang dengannya waktu ayahmu mengobati
lukamu. Kau beruntung, Grady, bisa mendapat teman yang seusia
denganmu di tepi rawa seperti ini."
"Yeah, begitulah," jawabku sambil menggerakkan kantong es yang menempel di
pergelangan kakiku. "Tapi dia membuat aku dan Will jadi gila dengan cerita
manusia serigalanya."
Dad mencuci tangan di tempat cuci piring di dapur.
Dikeringkannya tangannya dengan lap piring, lalu berbalik ke arahku.
"Petapa rawa tua itu mestinya tidak berbahaya," katanya. "Paling tidak,
begitulah kata orang-orang."
"Yah, ia berhasil menakut-nakuti kami," kataku. "Ia mengejar-ngejar kami di
rawa, sambil berteriak-teriak, 'Akulah si manusia serigala!'"
"Aneh," kata Dad serius. Dilemparkannya lap piring ke meja.
"Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan dia," kata Mom, dipandangnya aku.
"Mom dan Dad percaya manusia serigala itu ada?" tanyaku.
Dad tertawa. "Aku dan ibumu ilmuwan, Grady. Kami tidak
boleh percaya pada hal-hal supernatural seperti manusia serigala."
"Ayahmu itu yang manusia serigala," kata Mom bercanda.
"Setiap pagi aku harus mencukur punggungnya supaya terlihat seperti manusia."
"Ha-ha," kataku kasar. "Aku serius. Maksudku, Mom dan Dad mendengar lolongan-
lolongan aneh di malam hari itu, kan?"
"Banyak makhluk melolong," jawab Mom. "Pasti kau melolong waktu ular itu
menggigit pergelangan kakimu."
"Mom tidak bisa serius, ya?" teriakku kesal. "Mom tahu, lolongan itu baru
terdengar saat bulan purnama."
"Aku ingat. Lolongan itu baru ada setelah anjing itu datang!"
seru Emily dari ruang depan.
"Emily, jangan macam-macam!" teriakku. "Anjingmu anjing serigala!" seru Emily.
"Jangan sebut-sebut soal manusia serigala lagi," gumam Mom.
"Lihat. Di telapak tanganku tumbuh rambut!" Diangkatnya telapak tangannya.
"Itu cuma tinta koran," kata Dad. Ia menatapku. "Lihat"
Semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah."
"Aku ingin dianggap serius," kataku dengan gigi merapat karena kesal.
"Yah..." Dad memandang ke luar. Wolf tidur terlentang, keempat kakinya tertekuk
di atas. "Dua hari lagi bulan purnama berakhir," kata Dad padaku. "Nanti malam
dan besok. Kalau setelah besok malam lolongannya berhenti, kita akan tahu
ternyata itu manusia serigala, yang melolong saat bulan purnama."
Dad tertawa. Dikiranya lucu sekali.
Kami tidak tahu malam nanti akan terjadi peristiwa yang bisa
mengubah pendapatnya tentang manusia serigala - selamanya.
Chapter 24 SETELAH makan malam, Will dan Cassie datang. Mom dan
Dad sedang sibuk memasukkan piring-piring ke mesin pencuci dan
beres-beres. Emily pergi menonton film ke kota.
Aku sudah lumayan bisa berjalan. Pergelangan kakiku sudah
tidak terasa sakit. Kurasa Dad pandai juga mengobati orang.
Kami bertiga duduk-duduk di ruang depan, dan langsung
berdebat tentang manusia serigala.
Cassie bersikeras mengatakan petapa rawa itu tidak main-main,
ia benar-benar manusia serigala.
Will bilang, Cassie goblok sekali. "Ia mengejar kita karena mendengar kau
menyebutnya manusia serigala," katanya marah-marah pada Cassie.
"Memangnya menurutmu kenapa ia tinggal sendirian jauh di
rawa begitu?" tanya Cassie pada Will. "Karena ia tahu apa yang terjadi pada
dirinya saat bulan purnama, dan ia tidak mau ketahuan orang lain!"
"Kalau begitu kenapa kemarin siang ia berteriak-teriak pada kita mengatakan ia
manusia serigala?" tanya Will tidak sabaran.
"Karena ia cuma main-main."
"Ayolah, teman-teman. Kita bicarakan soal lain saja," kataku.
"Kedua orangtuaku ilmuwan, kata mereka tidak ada bukti manusia serigala itu
ada." "Ilmuwan memang selalu bicara begitu," kata Cassie bersikeras.
"Mereka benar," kata Will. "Manusia serigala cuma ada di film.
Kau goblok sekali, Cassie."
"Kau yang goblok!" balas Cassie.
Aku bisa melihat mereka pasti sering bertengkar seperti ini.
"Bagaimana kalau kita bermain-main saja?" usulku. "Mau main Nintendo" Di kamarku
ada." "Mr. Warner masih belum pulang juga," kata Cassie pada Will, tidak
dipedulikannya aku. Ditariknya rambut ekor kudanya, lalu
dilemparkannya ke belakang kepala. "Tahu kenapa" Karena ia
dibunuh manusia serigala!"
"Jangan tolol," kata Will. "Kok kau tahu?"
"Mungkin kaulah manusia serigalanya!" kataku pada Cassie.
Will tertawa. "Yeah. Itu sebabnya kau banyak tahu, Cassie."
"Oh, diam," gerutu Cassie. "Kau yang lebih mirip manusia serigala daripada aku,
Will." "Kau mirip vampir!" kata Will padanya.
"Yah, kau mirip King Kong!" teriak Cassie.
"Apa yang kalian bicarakan, anak-anak?" sela Mom, kepalanya terjulur.
"Hanya membicarakan film dan semacamnya," jawabku cepat.
***************************
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berguling-guling terus di
tempat tidur. Tidak bisa tenang. Aku menunggu lolongan.
Angin kencang bertiup dari Teluk. Aku bisa mendengarnya
menderu melewati rumah kecil kami. Pagar kawat kandang kijang di belakang jadi
berderak-derak. Anginnya berbunyi ssshhhhh. Aku
menunggu suara lolongan. Aku baru tertidur sebentar waktu mulai terdengar lolongan.
Aku langsung waspada dan melompat berdiri. Pergelangan kaki
kiriku terasa sakit waktu aku melangkah.
Lolongan lagi. Di kejauhan. Sayup-sayup di antara suara deru
angin. Aku terpincang-pincang ke jendela kamar. Pergelangan kakiku
sedikit kaku karena berbaring di tempat tidur tadi. Kutekan wajahku ke kaca
jendela dan memandang ke luar.
Bulan purnama, kelabu seperti tengkorak, tergantung rendah di
langit hitam. Rumput-rumput yang disaput embun berkilauan disinari cahaya bulan.
Jendelaku berderak ditiup angin.
Aku mundur karena terkejut. Dan mendengarkan.
Lolongan lagi. Lebih dekat. Sekali ini membuatku bergidik.
Kedengarannya dekat sekali. Atau karena dibawa angin dari
rawa" Kupicingkan mata menatap ke luar jendela. Desauan angin
membuat rumput bergoyang-goyang. Tanah tampak seperti berputar,
berkilauan disinari sinar bulan yang pucat.
Lolongan lagi. Semakin dekat.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku harus mengetahui apa atau
siapa yang berbunyi mengerikan begitu.
Kupakai jins-ku di atas bagian bawah piama. Dengan susah
payah karena gelap, aku berhasil memakai sandal kamar.
Aku berjalan ke luar kamar, tapi langsung berhenti waktu
mendengar suara memukul. Suara barang jatuh. Suara berdebum.
Tepat di luar. Tepat di luar rumahku. Dengan jantung berdebar-debar, aku lari melintasi ruang tengah
yang gelap. Pergelangan kakiku terasa sakit, tapi tidak kupedulikan.
Aku bergegas melewati dapur, membuka kunci pintu dapur, dan
mendorongnya sampai terbuka. Angin kencang mendorongku ke
belakang waktu aku membuka pintu kasa.
Anginnya panas dan basah. Aku terdorong lagi.
Angin ini berusaha menahanku supaya tetap berada di dalam,
pikirku. Berusaha mencegahku memecahkan misteri lolongan
mengerikan. Aku merunduk melawan angin dan melompat turun dari teras.
"Aw!" teriakku ketika kakiku terasa sakit.
Sambil menunggu mataku terbiasa menatap kegelapan, aku
mendengar dengan cermat. Tidak terdengar lagi lolongan. Hanya desauan angin yang terus
mendorongku ke arah rumah.


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Halaman belakang berkilauan disinari cahaya bulan. Semua
tampak keperakan dan kelabu.
Dan sepi. Kupandangi halaman belakang, pelan-pelan mataku menyapu
rumput yang bergerak-gerak. Kosong.
Tapi apa yang menyebabkan segala keributan yang kudengar di
kamarku tadi" Suara memukul tadi" Suara berdebum" Suara berderak-derak"
Kenapa lolongan itu berhenti ketika aku ke luar"
Misterius sekali, pikirku. Misteri yang aneh sekali.
Angin bertiup di sekelilingku. Wajahku basah kuyup karena
udara lembap sekali. Dengan perasaan kalah aku berbalik menuju rumah.
Dan berteriak terkejut waktu melihat ternyata manusia serigala
ternyata telah membunuh lagi.
Chapter 25 AKU maju selangkah menentang angin menuju kandang kijang.
"Dad!" seruku. Tapi suaraku terdengar seperti bisikan. "Dad!"
Aku berusaha berteriak, tapi tenggorokanku kering dan tercekat
karena takut. Aku menatap lurus ke depan dan maju selangkah lagi.
Pandanganku sudah jelas sekarang. Pemandangan kematian. Cahaya
pudar dan bayang-bayang. Yang terdengar hanyalah detak jantungku, deru angin,
dan pagar kawat kandang yang berderak-derak.
Aku maju selangkah lagi. "Dad" Dad?" teriakku tanpa berpikir, tanpa bisa
mendengar suaraku sendiri, tahu Dad tidak bisa
mendengarkan. Tapi aku ingin Dad datang. Aku ingin ada orang menemaniku.
Aku tidak ingin sendirian di halaman belakang.
Aku tidak mau menatap lubang menganga di samping kandang.
Aku tidak mau melihat bangkai kijang yang terbaring begitu memelas itu.
Kelima kijang lainnya bergerombol di ujung kandang. Mata
mereka menatapku. Mata yang ketakutan.
Angin bertiup di sekelilingku, panas dan basah. Tapi badanku
terasa dingin. Sekujur tubuhku bergidik ngeri. Aku menelan ludah.
Sekali. Dua kali. Berusaha melegakan tenggorokanku yang terasa
tersumbat. Lalu, tanpa menyadari apa yang kulakukan, aku lari menuju
rumah, sambil menjerit-jerit sekuat tenaga, "Dad! Mom! Dad! Mom!"
Teriakanku terdengar di antara deru angin seperti lolongan
mengerikan yang kudengar beberapa saat yang lalu.
Dengan piama berkibar-kibar di atas jins-nya, Dad menyeret
bangkai kijang itu ke halaman belakang. Lalu, kuamati dari jendela dapur,
ditambalnya kandang kijang dengan lembaran karton besar.
Ketika Dad bersusah payah kembali ke rumah, angin yang
bertiup kencang hampir melepaskan pintu kasa dari engselnya. Dad menarik pintu
itu sampai tertutup rapat, lalu menguncinya.
Wajahnya basah berkeringat. Di bagian samping salah satu
lengan piamanya ada noda lumpur. Mom menuangkan segelas air dari keran untuk
Dad, Dad langsung meminumnya sampai habis. Lalu
dihapusnya keringat di dahinya dengan lap piring.
"Kurasa anjingmu pembunuh," katanya pelan padaku.
Dilemparkannya lap itu ke meja lagi.
"Bukan Wolf!" teriakku. "Bukan!"
Dad tidak menjawab. Beliau menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya pelan-pelan. Mom dan Emily mengamati tanpa
berkata apa-apa dari depan bak cuci.
"Kenapa Dad kira Wolf yang melakukannya?" desakku.
"Kulihat jejak-jejak di tanah," jawabnya, keningnya berkerut.
"Jejak kaki binatang."
"Bukan Wolf," kataku ngotot.
"Besok pagi aku terpaksa membawanya ke tempat pengurungan
binatang," kata Dad. "Yang di daerah sebelah."
"Tapi mereka akan membunuhnya!" teriakku.
"Anjing itu pembunuh," kata Dad pelan. "Aku tahu perasaanmu, Grady. Aku tahu.
Tapi anjing itu pembunuh."
"Bukan Wolf," teriakku. "Dad, aku tahu bukan Wolf. Aku mendengar lolongan-
lolongan itu, Dad. Itu lolongan serigala."
"Grady, sudahlah - " katanya lelah.
Lalu kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tidak
bisa mengontrolnya. Mengalir begitu saja. "Itu manusia serigala, Dad.
Ada manusia serigala di rawa. Cassie benar. Itu bukan anjing, dan bukan
serigala. Itu manusia serigala yang telah membunuh binatang-binatang, yang
membunuh kijang Dad."
"Grady, berhenti - " kata Dad tidak sabar.
Tapi aku tidak bisa berhenti. "Aku tahu aku benar, Dad,"
teriakku dengan suara melengking yang tidak kedengaran seperti
suaraku. "Minggu ini bulan purnama, kan" Dan saat itulah lolongan mulai
terdengar. Itu manusia serigala, Dad. Si petapa rawa. Orang gila yang tinggal di
pondok di rawa. Ia manusia serigala. Ia sendiri yang mengatakannya. Ia mengejar
kami dan mengatakan ia manusia
serigala. Betul, Dad. Bukan Wolf. Ia yang membunuh kijang malam
ini. Aku mendengarnya melolong di luar, lalu - lalu - "
Suaraku tercekat. Aku batuk-batuk.
Dad mengisi gelas dengan air dan menyerahkannya padaku.
Langsung kuteguk habis. Dipegangnya bahuku. "Grady, besok pagi saja kita bicarakan
hal ini, oke" Kita berdua sekarang terlalu lelah untuk berpikir jernih.
Bagaimana?" "Bukan Wolf!" teriakku keras kepala. "Aku tahu bukan."
'''Besok pagi," kata Dad, tangannya masih di bahuku.
Dipegangnya bahuku untuk menenangkan diriku.
Aku merasa goyah. Napasku tersengal-sengal. Jantungku
berdebar-debar. "Yeah. Oke," kataku akhirnya. "Besok pagi." Pelan-pelan aku jalan ke kamar, tapi
aku tahu aku takkan bisa tidur.
************************ Keesokan paginya, Dad sudah tidak ada waktu aku bangun. "Ia pergi ke tempat
penebangan kayu," kata Mom, "untuk membeli pagar kawat untuk memperbaiki
kandang." Aku menguap dan menggeliat. Aku tertidur kira-kira pada
pukul 02.30 dinihari. Tapi rasanya tetap capek dan gelisah.
"Wolf ada di luar?" tanyaku cemas. Aku lari ke jendela dapur sebelum Mom sempat
menjawab. Aku bisa melihat Wolf di ujung
jalan masuk. Diantara kedua kaki depannya ada bola karet biru, dan ia asyik
mengunyah-ngunyahnya. "Pasti ia lapar ingin sarapan,"
gumamku. Kudengar kerikil berderak-derak, mobil Dad masuk ke jalan
masuk. Bagasinya terbuka sedikit, di dalamnya tampak segulungan
pagar kawat. "Selamat pagi," kata Dad ketika masuk ke dapur.
Ekspresi wajahnya suram. "Dad akan membawa Wolf?" tanyaku tidak sabaran. Mataku menatap anjing itu, yang
sedang asyik mengunyah bola karet di luar.
Ia tampak begitu manis. "Orang-orang di kota gelisah," jawab Dad. Dituangkannya segelas kopi untuk
dirinya sendiri dari mesin pembuat kopi. "Banyak binatang yang terbunuh minggu
ini. Dan orang yang tinggal di ujung jalan, Ed Warner, telah hilang di rawa.
Orang-orang sangat cemas.
Mereka juga mendengar lolongan-lolongan."
"Dad akan membawa Wolf pergi?" tanyaku melengking,
suaraku bergetar. Dad mengangguk. Ekspresi wajahnya tetap suram. Diteguknya
kopi. "Lihatlah jejak kaki binatang yang di luar kandang sana, Grady,"
katanya, ditatapnya mataku. "Pergilah. Lihat."
"Aku tidak peduli soal jejak," ratapku. "Aku cuma tahu - "
"Aku tidak mau menanggung risiko lagi," kata Dad.
"Aku tidak peduli! Ia anjingku!" jeritku.
"Grady - " Dad meletakkan cangkirnya dan berjalan
mendekatiku. Tapi aku menghambur melewatinya dan lari ke pintu. Kudorong
pintu kasa dan lompat dari teras belakang.
Wolf langsung berdiri begitu melihatku. Ekornya mulai
mengibas-ngibas. Ditinggalkannya bola karet birunya dan lari
mendatangiku. Dad tepat di belakangku. "Aku akan membawa pergi anjing itu sekarang, Grady,"
katanya. "Kau mau ikut?"
"Tidak!" jeritku.
"Aku tidak punya pilihan lain," kata Dad, suaranya nyaris berbisik. Ia maju dan
meraih Wolf. "Tidak!" teriakku. "Tidak! Lari, Wolf! Lari!" Kudorong anjing itu. Wolf
menatapku bingung. "Lari!" jeritku. "Lari! Lari!"
Chapter 26 KUDORONG lagi Wolf kuat-kuat. "Lari! Lari, Boy! Pergi!"
Dad merangkul bahu Wolf, tapi rangkulannya tidak kuat.
Wolf meloloskan diri dan lari menuju rawa. "Hei - !" seru Dad marah. Dikejarnya
Wolf sampai ke ujung halaman belakang. Tapi
anjing besar itu terlalu cepat larinya.
Aku berdiri di belakang rumah, terengah-engah, dan mengamati
Wolf sampai ia menghilang di sela-sela pepohonan pendek di tepi
rawa. Dad berjalan mendekatiku, wajahnya tampak marah.
"Perbuatanmu tadi konyol, "Grady," gumamnya.
Aku diam saja. "Wolf nanti akan kembali," kata Dad. "Kalau ia kembali, aku harus membawanya
pergi." "Tapi, Dad - " kataku.
"Tidak usah lagi dibicarakan," katanya tegas. "Begitu anjing itu kembali, aku
akan membawanya ke tempat penampungan."
"Tidak bisa!" jeritku.
"Anjing itu pembunuh, Grady. Aku tidak punya pilihan lain."
Dad berjalan ke mobil. "Tolong aku mengeluarkan pagar kawat ini.
Aku butuh bantuanmu untuk menambal kandang."
Aku memandang ke arah rawa sambil mengikuti Dad ke mobil.
Jangan kembali, Wolf, kataku dalam hati.
Jangan kembali. ********************************
Sepanjang hari aku mengamati rawa. Aku merasa gelisah,
lemas. Aku sama sekali tidak bernafsu makan. Setelah membantu Dad memperbaiki
kandang kijang, aku berdiam di kamar. Aku mencoba
membaca buku, tapi tidak bisa.
Sampai malam Wolf tidak kembali.
Kau aman, Wolf, pikirku. Paling tidak untuk hari ini.
Seluruh keluargaku tegang. Saat makan malam kami nyaris
tidak berbicara. Emily menceritakan film yang kemarin malam
ditontonnya, tapi tidak ada yang berkomentar.
Aku segera masuk ke kamar. Aku lelah sekali. Karena tegang
kurasa. Dan karena hampir setiap malam terbangun.
Kamarku lebih gelap daripada biasanya. Malam ini malam
terakhir bulan purnama, tapi awan tebal menghalangi sinar bulan.
Kurebahkan kepalaku ke bantal dan berusaha tidur. Tapi aku
teringat Wolf terus. Tak lama kemudian mulai terdengar lolongan.
Aku bangun pelan-pelan dari tempat tidur dan bergegas menuju
jendela. Kupicingkan mata menatap kegelapan. Awan hitam, berat,
masih menutupi bulan. Udara tak berangin. Tidak ada yang bergerak.
Kudengar geraman pelan dan Wolf muncul.
Ia berdiri kaku di tengah-tengah halaman belakang, kepalanya
mendongak ke langit, sambil menggeram pelan. Ketika aku
menatapnya, anjing besar itu mulai berjalan hilir-mudik dari satu sisi halaman
ke sisi yang lain. Ia hilir-mudik seperti binatang yang terkurung, pikirku. Hilir-
mudik dan menggeram, seperti ada yang meresahkannya.
Atau membuatnya takut. Sambil hilir-mudik begitu, ia terus mendongakkan kepalanya ke
arah bulan purnama di balik awan dan menggeram.
Ada apa, pikirku. Aku harus tahu.
Cepat-cepat aku berganti pakaian dalam kegelapan, kukenakan
jins dan kaus yang seharian tadi kupakai.
Kucari-cari sepatuku. Mula-mula sepatu sebelah kiri kupakai di
kaki kanan. Kamarku gelap sekali karena tidak ada cahaya bulan.
Begitu tali sepatuku sudah kuikat, aku bergegas ke jendela lagi.
Kulihat Wolf meninggalkan halaman belakang. Ia berjalan pelan ke arah rawa.
Aku akan mengikuti Wolf, pikirku. Aku akan membuktikan ia
bukan pembunuh - atau pun manusia serigala.
Aku takut orangtuaku bisa mendengar kalau aku keluar dari
pintu dapur. Jadi aku keluar dari jendela.
Rumput terasa basah disaput embun. Udara terasa basah juga,
dan hampir sepanas siang hari. Ketika aku terburu-buru membuntuti Wolf, sepatuku
berdecit dan terpeleset di rumput yang lembap.
Aku berhenti di ujung halaman belakang. Wolf tidak kelihatan.
Aku masih bisa mendengarnya jauh di depan. Aku bisa
mendengar suara kakinya menginjak tanah yang lunak.
Tapi terlalu gelap untuk melihatnya.
Kuikuti suara langkah kakinya, sambil menatap awan gelap
yang bergerak. Aku hampir sampai di rawa ketika mendengar suara langkah
kaki di belakangku. Dengan perasaan ketakutan setengah mati, aku berhenti dan
mendengarkan. Ya. Suara langkah kaki. Bergerak cepat ke arahku.
Chapter 27 "HEI!" Aku berteriak tertahan dan berbalik.
Mula-mula aku tidak bisa melihat apa-apa, semua gelap. "Hei -
siapa di sana?" Suaraku hanya seperti bisikan.
Will keluar dari kegelapan. "Grady - ternyata kau!" serunya. Ia mendekat. Ia
mengenakan kaus tangan panjang warna gelap dan jins hitam.
"Will - ngapain kau di sini?" tanyaku terengah-engah.
"Aku mendengar lolongan-lolongan itu," jawabnya. "Aku ingin menyelidikinya."
"Aku juga. Aku senang sekali melihatmu!" seruku. "Kita bisa menyelidikinya
bersama-sama." "Aku juga senang melihatmu," katanya. "Gelap sekali, aku -
aku tidak tahu tadi itu kau. Kukira - "
"Aku mengikuti Wolf," kataku. Aku berjalan mendahului ke rawa. Ternyata di bawah
pepohonan pendek malah lebih gelap.
Sambil berjalan, kuceritakan kejadian kemarin malam pada
Will, tentang bangkai kijang, dan jejak kaki binatang di sekitar kandang.
Kuceritakan apa yang dikatakan orang-orang di kota. Dan tentang ayahku yang
ingin membawa Wolf ke tempat penampungan.
"Aku tahu bukan Wolf pembunuhnya," kataku. "Pokoknya aku tahu. Tapi Cassie
membuatku jadi ketakutan gara-gara semua cerita manusia serigalanya, dan - "
"Cassie payah," gumam Will. Ia menunjuk ilalang. "Lihat - itu Wolf!"
Aku bisa melihat bayangannya yang hitam bergerak mantap
menembus kegelapan. "Aku goblok sekali. Mestinya tadi aku bawa senter," gumamku.
Wolf menghilang di balik ilalang. Will dan aku mengikuti suara
langkah kakinya. Kami berjalan selama beberapa menit. Tiba-tiba aku sadar suara
langkah kaki anjing itu sudah tidak terdengar lagi."
"Mana Wolf?" bisikku, mataku mencari-cari di semak-semak gelap dan pepohonan
pendek. "Aku tidak mau kehilangan jejaknya."
"Ia lewat sini," seru Will. "Ikuti aku."


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepatu kami menginjak tanah yang lembap dan lunak. Kutepuk
nyamuk yang menempel di tengkukku. Terlambat. Terasa ada darah
hangat. Kami semakin jauh masuk ke rawa. Melewati bog, suasana
sangat sepi sekarang. "Hei, Will?" Aku berhenti - dan mencari-cari. "Oh." Aku berteriak pelan ketika sadar aku
kehilangan jejaknya. Entah bagaimana, kami jadi terpisah.
Kudengar suara gemerisik di depan. Suara ranting patah. Suara
ilalang terinjak dan terdorong. "Will" Itu kau, ya?"
Atau Wolf" "Will?" "Di mana kau?" Tiba-tiba sinar suram menerangiku, perlahan-lahan menyapu
tanah. Aku mendongak dan melihat awan-awan berat berpencar.
Bulan purnama terlihat tinggi di langit.
Ketika sinar itu pelan-pelan menyinari rawa, tepat di depanku
tampak sosok rendah. Mula-mula aku tidak tahu sosok apa itu. Sejenis tanaman
raksasa" Bukan. Ketika sinar bulan meneranginya, aku tahu yang kulihat itu
pondok si petapa rawa. Aku berhenti, tidak bergerak karena ketakutan. Lalu mulai
terdengar lolongan. Suara menakutkan itu terdengar jelas di kesunyian malam.
Lolongan yang mengerikan, begitu keras, begitu dekat, melengking dalam
kesunyian, semakin melengking, lalu menjadi lirih.
Suara itu begitu menakutkan sehingga kututup telingaku dengan
kedua tangan. Si petapa rawa! pikirku. Dialah manusia serigalanya!
Aku tahu dialah si manusia serigala!
Aku harus pergi dari sini, pikirku. Aku harus pulang.
Aku berbalik dari pondok kecil itu.
Kakiku gemetar bukan main, aku tidak tahu bisa berjalan atau
tidak. Harus pergi! Harus pergi! Harus pergi! Kata-kata itu berputar-
putar di pikiranku. Tapi sebelum aku sempat bergerak, si manusia serigala
menyerbu dari balik pohon - dan sambil melolong menyeramkan,
menerjang bahuku dan menjatuhkan aku ke tanah.
Chapter 28 KETIKA cahaya kuning bulan purnama bersinar, kupandang
wajah manusia serigala itu ketika ia menindihku ke tanah.
Matanya yang hitam menatapku dari wajah manusianya, wajah
manusia yang tertutup bulu serigala. Ia melolong marah, moncongnya menganga
lebar, menampakkan dua deret gigi serigala yang berkilat-kilat.
Ini serigala manusia! pikirku ngeri. Manusia serigala!
"Lepaskan!" jeritku. "Will - lepaskan aku!"
Ternyata Will. Manusia serigalanya Will.
Meskipun ditumbuhi bulu serigala yang tebal dan bergumpal,
aku bisa mengenali garis-garis wajahnya, matanya yang hitam kecil, lehernya yang
tegap dan pendek. "Will - !" jeritku.
Aku berusaha mendorongnya, meronta-ronta meloloskan diri
dari tindihannya. Tapi ia terlalu kuat. Aku tidak bisa bergerak. "Will - lepaskan!"
Didongakkannya wajahnya yang tertutup bulu ke bulan dan
menggeram seperti binatang. Lalu, sambil menggeram marah,
ditundukkannya kepalanya yang mengerikan dan dihunjamkannya
taringnya ke bahuku. Aku menjerit kesakitan. Warna merah menyambar-nyambar di mataku. Kuulurkan
tanganku, kakiku menendang-nendang - berusaha membebaskan diri.
Tapi kekuatannya seperti binatang. Ia jauh lebih kuat daripada
aku... terlalu kuat... Warna merah memudar dan berubah jadi hitam. Semuanya
memudar jadi hitam. Aku merasa diriku terbenam, terbenam ke dalam terowongan
hitam, terbenam selamanya ke dalam kegelapan tanpa
batas. ********************************
Geraman keras membuatku terjaga.
Dengan bingung, kulihat Wolf menerkam Will.
Will menggeram marah dan berbalik untuk melawan anjing
yang menggeram-geram itu.
Aku menatap tidak percaya ketika mereka bergulat di tanah,
menggigit dan mencakar, saling menyerang, menggeram dan
mendengus. "Will... Will, ternyata kau... Selama ini ternyata kau..."
gumamku, berusaha berdiri.
Kupegang batang pohon. Tanah kelihatan seperti meluncur di
bawahku. Kedua makhluk itu terus berkelahi, mendengus dan menggeram
sambil saling mencakar, bergulat di tanah yang basah.
"Aku tahu bukan Wolf," gumamku keras-keras. "Aku tahu..."
Lalu lengkingan memekakkan telinga membuatku tersentak,
dan jatuh berlutut. Aku mendongak tepat ketika Will melarikan diri, di atas
keempat kakinya, menerobos ilalang tinggi. Wolf mengikutinya dari dekat,
menyambar pergelangan kaki Will, menerkamnya, menggigit
dan mencakarnya sambil berlari.
Lalu, kudengar Will berteriak kesakitan lagi, teriakan
kekalahan. Ketika suara penuh penderitaan itu menghilang, aku terbenam,
terbenam ke dalam kegelapan berwarna biru-hitam.
Chapter 29 "KAU agak demam," kata Mom. "Tapi sebentar lagi juga sembuh,"
"Demam rawa," gumamku lemah. Kupandangi Mom, berusaha
menatapnya lebih jelas. Wajahnya tampak kabur, menatapku dengan
diterangi cahaya lembut. Lama baru kusadari aku berada di kamarku. "Bagaimana -
bagaimana aku sampai di sini?" tanyaku tergagap.
"Si petapa rawa - ia menemukan kau di rawa dan membawamu
pulang," kata Mom. "Oya?" Aku berusaha duduk, tapi bahuku terasa sakit. Aku terkejut melihatnya
terbalut rapat. "Ma - manusia serigala itu -
Will - ia menggigitku," kataku sambil menelan ludah.
Dad mendekat di samping Mom. "Apa katamu, Grady" Kenapa
kau bergumam soal manusia serigala terus?"
Aku bangun sedikit dan menceritakan semuanya pada mereka.
Mereka diam mendengarkan, saling berpandangan berulang kali
ketika aku bicara. "Will manusia serigala," kataku menyimpulkan. "Ia berubah wujud. Di bawah sinar
bulan purnama. Ia berubah wujud jadi serigala, dan - "
"Aku akan memeriksanya sekarang juga," kata Dad, ditatapnya aku. "Ceritamu gila,
Grady. Gila. Mungkin karena demam. Entahlah.
Tapi aku akan ke rumah temanmu dan melihat ada apa sebenarnya."
"Dad - hati-hati," seruku. "Hati-hatilah."
****************************
Sebentar kemudian Dad kembali, wajahnya tampak sedikit
bingung. Aku sedang duduk di ruang tengah, badanku terasa jauh
lebih baik, di pangkuanku ada semangkuk besar popcorn.
"Tidak ada siapa-siapa di sana," kata Dad, digaruk-garuknya kepalanya.
"Hah" Apa maksudmu?" tanya Mom.
"Rumah itu kosong," kata Dad. "Tidak ada penghuninya.
Kelihatannya sudah berbulan-bulan tidak ada yang tinggal di sana!"
"Wow, Grady. Teman-temanmu benar-benar aneh!" seru Emily, matanya terbelalak.
"Aku tidak mengerti," kata Dad sambil menggeleng-geleng.
Aku juga tidak. Tapi aku tidak peduli. Will sudah tiada. Si
manusia serigala sudah tiada untuk selamanya.
"Jadi aku boleh memelihara Wolf?" tanyaku pada Dad, sambil bangun dari kursi dan
melintasi ruangan mendatanginya. "Wolf menyelamatkan nyawaku. Boleh kupelihara
dia?" Dad menatapku serius, tapi tidak menjawab.
"Si petapa rawa mengatakan ia melihat anjing itu mengejar
sejenis binatang menjauh dari Grady," kata Mom.
"Mungkin tupai," kata Emily bercanda.
"Emily, jangan macam-macam," erangku. "Wolf betul-betul menyelamatkan nyawaku,"
kataku. "Kurasa kau boleh memeliharanya," kata Dad segan-segan.
"ASYIIIK!" Kuucapkan terima kasih pada Dad dan bergegas menuju halaman belakang
untuk memeluk Wolf. ********************************
Itu semua terjadi hampir sebulan yang lalu.
Sejak saat itu, Wolf dan aku bersenang-senang menjelajahi
rawa. Aku jadi tahu setiap sudut Rawa Demam. Seperti rumah
keduaku saja rasanya. Kadang-kadang Wolf dan aku memperbolehkan Cassie ikut
menjelajah bersama kami. Ia asyik juga, meskipun selalu ketakutan pada manusia
serigala. Aku benar-benar berharap ia melupakan
masalah itu. Sekarang aku sedang berdiri di dekat jendela kamarku,
mengamati bulan purnama muncul di atas pepohonan di kejauhan.
Bulan purnama pertama bulan ini membuatku teringat pada Will.
Will bisa saja telah tiada, tapi ia telah mengubah hidupku. Aku
tahu aku takkan pernah melupakannya.
Aku bisa merasakan bulu bertumbuhan di wajahku. Moncongku
semakin panjang, dan taringku mencuat dari sela-sela bibirku yang hitam.
Ya, ketika menggigitku, Will memindahkan kutukan itu padaku.
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak marah. Maksudku, karena Will
sudah tidak ada, rawa ini sekarang jadi milikku! Milikku seorang!
Aku keluar dari jendela kamarku sekarang. Wolf sudah
menungguku, tak sabar untuk menjelajah di malam hari.
Aku mendarat tanpa suara di atas keempat kakiku. Kuangkat
wajahku yang berbulu ke arah bulan dan melolong panjang dengan
gembira. Ayo, Wolf. Ayo cepat ke Rawa Demam.
Aku siap berburu. END Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 34 Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Tanah Semenanjung 6
^