Pencarian

Darah Monster Empat 1

Goosebumps - Darah Monster 4 Bagian 1


1 EVAN ROSS sedang memikirkan Darah Monster. Dia banyak
memikirkan Darah Monster.
Evan menyesal pernah menemukan Darah Monster. Lendir
hijau yang lengket dan licin itu adalah cairan paling berbahaya di atas
muka Bumi. Evan tahu bahwa begitu kau membuka kaleng Darah
Monster, celakalah nasibmu. Darah Monster itu akan tumbuh semakin
banyak... dan mengisap apa saja yang ada dalam jangkauannya.
Dan kalau secara tak sengaja tertelan olehmu setitik saja lendir
hijau itu... awas! Sepotong kecil Darah Monster telah mengubah
Cuddles"hamster kecil di kelas Evan"menjadi monster raksasa
menyeramkan yang lebih besar dari gorila!
Dan ketika Evan tak sengaja menelan sedikit gumpalan Darah
Monster, dia jadi menjulang tinggi melampaui rumahnya. Hari itu
menjadi hari paling sengsara dalam hidup Evan. Hari yang ingin
dilupakannya. Jadi, kenapa dia hari ini memikirkan Darah Monster"
Sweter hijaunya mengingatkannya akan Darah Monster. Dia
telah memohon pada ibunya agar jangan membuat sweter warna hijau.
Tetapi saat itu sweternya sudah mulai dirajut. Sudah terlambat untuk
mengganti warnanya. "Kau pantas memakai hijau," kata ibunya. "Matamu jadi
kelihatan cemerlang."
"Aku tak mau mataku kelihatan cemerlang," kata Evan.
Dia ingin menjerit. Benang yang dipilih ibunya lebih hijau
daripada si Raksasa Hijau Ceria! Dibayangkannya dirinya
terperangkap dalam gumpalan hijau raksasa Darah Monster.
"Pakailah ke rumah sepupumu, Kermit," suruh Mrs. Ross.
"Aku tak perlu sweter," protes Evan. "Masukkan saja ke dalam
koperku." "Pakailah. Sekarang kan musim dingin," ibunya memaksa.
"Bahkan di Atlanta sini pun dingin."
"Aku tak mau tinggal di rumah Kermit," gerutu Evan sambil
memasukkan sweter lewat kepalanya. Iiih. Hijau... dan gatal.
"Berapa lama Mom dan Dad ke Tucson?"
"Cuma sembilan atau sepuluh hari," jawab ibunya.
"Cuma?" seru Evan, berjuang memasukkan lengannya ke dalam
lengan sweter yang sempit. "Aku pasti mati! Masakan Bibi Dee payah
benar! Semua makanan dituangi sambal. Bahkan brownies juga!"
"Bibimu tidak menuang sambal pada brownies," tukas Mrs.
Ross tegas. "Dia senang memasak makanan pedas, tapi..."
"Aku pasti meledak terbakar!" Evan ngotot. "Dan si brengsek
kampungan, Kermit..."
"Jangan mengatai sepupumu brengsek dan kampungan," Mrs.
Ross mencela. "Tapi benar, kan, dia brengsek dan kampungan?" Evan
memaksa. "Bukan itu masalahnya," kata ibunya. Ditariknya sweter hijau
itu menutupi perut Evan dan dikaguminya sendiri. "Pas benar. Dan
aku senang warna hijau ini."
"Aku kelihatan seperti semangka masak," gerutu Evan.
"Jangan lupa, Bibi Dee membayarmu untuk menjaga Kermit,"
ibunya mengingatkan. Diserahkannya kopernya. "Kau ingin kemping
musim panas ini, kan" Nah, kau tak bisa pergi kemping, kalau tidak
mengumpulkan uang sendiri untuk biayanya."
"Aku tahu, aku tahu." Sebelum berangkat diciumnya ibunya.
"Dad dan aku akan meneleponmu setibanya kami di Tucson,"
kata Mrs. Ross. "Jaga Kermit baik-baik. Dan jangan merepotkan Bibi
Dee." "Aku tak akan makan sebelum Mom balik," kata Evan.
"Mungkin beratku nanti tinggal lima kilo."
Ibunya tertawa. Dikiranya aku bercanda, pikir Evan pahit.
Diangkatnya ransel dan kopernya, lalu dia berjalan ke pintu
belakang. Saat melewati cermin di lorong, dia melihat bayangan
dirinya di cermin. "Amit-amit," gumamnya. "Aku kelihatan seperti
acar." "Evan... apa katamu?" seru ibunya.
"Aku bilang, 'Terima kasih buat sweternya yang keren ini!'" ia
balik berseru. Beberapa detik kemudian dia sudah menyeberang halaman
belakang, menuju rumah Kermit di ujung blok. Mungkin sweter ini
bisa kusembunyikan di suatu tempat, pikirnya. Mungkin bisa
kuberikan kepada Kermit sebagai hadiah Natal.
Tidak. Kermit kecil sekali, sweter ini pasti sampai ke lututnya.
Hari itu hari musim dingin yang cerah dan kering. Sweternya
cemerlang di bawah sinar matahari yang terang. Betul-betul
mengingatkan Evan akan Darah Monster.
Dibayangkannya lendir hijau yang licin itu.
Beronggok-onggok, mengaliri halaman belakang yang sedang
dilewatinya, bergelegak dan berdenyut.
Saat itu, Evan sama sekali tak menyangka bahwa dia akan
mengalami petualangan Darah Monster lagi.
Dia sama sekali tak menyangka bahwa dia akan menemukan
Darah Monster jenis baru.
Dia sama sekali menyangka bahwa Darah Monster hijau itu
cuma lendir yang tak berarti dibanding Darah Monster yang akan
ditemukannya. 2 DIA hampir tiba di halaman belakang rumah Kermit, masih
sibuk memikirkan Darah Monster, ketika ada bayangan hitam
menutupinya. Diangkatnya matanya. "Conan...!" katanya kaget.
Seorang cowok tinggi besar menghadang di depannya, tinjunya
terkepal. Rumah cowok itu di belakang rumah Kermit.
Namanya Conan Barber. Tapi semua orang memanggilnya
Conan the Barbarian. Karena dia anak paling besar dan paling jail di
Atlanta. Conan meletakkan tumit sepatu ketsnya yang berukuran 48 di
atas sepatu Evan, lalu menggilasnya kuat-kuat.
Evan menjerit kesakitan. "Conan... kenapa kaulakukan itu?"
erangnya. "Lakukan apa?" gerutu Conan. Mata birunya menyipit, menatap
Evan dingin. "Kau... kau menginjak kakiku!" desahnya.
"Kecelakaan," jawab Conan. Dia menyeringai. Walaupun udara
dingin, dia memakai kaus ketat tanpa lengan dan celana pendek hitam
ketat yang biasa dipakai para pengendara sepeda. "Sini, kuobati," dia
menawari. Dan diinjaknya kaki Evan satunya dengan sekuat tenaga.
"Adaoooo." Evan meloncat-loncat saking sakitnya, lalu
dipegangnya kakinya yang berdenyut-denyut. "Apa sih maksudmu?"
"Mencoba sepatu baru," Conan menjawab, menyeringai lagi.
Evan ingin sekali melenyapkan senyum itu. Tetapi bagaimana
kau bisa melenyapkan senyum anak yang tubuhnya sebesar truk
monster" "Aku harus pergi," kata Evan menyerah. Diangkatnya kopernya
dan digerakkannya kepalanya ke arah rumah Kermit.
"Hei.!" Conan menatap ke bawah. Kemudian diangkatnya
matanya, ganti menatap Evan. "Jangan buru-buru. Kau membuat sol
sepatu ketsku kotor."
"Apa?" Evan mencoba menghindar dari Conan, tetapi Conan
menghadang di depannya. "Sepatu kets baru banget," gerutu Conan. "Dan kaubuat solnya
kotor." "Tapi... tapi...," Evan tergagap.
"Oh, baiklah," Conan menghela napas. "Kulepaskan kau kali
ini." Jantung Evan berdegup kencang. Dia mengeluarkan napas lega.
"Kaulepaskan" Kaubiarkan aku pergi?"
Conan mengangguk. Tangannya yang besar menyapu rambut
pirangnya yang berombak. "Yeah. Aku lagi baik hati nih. Pergilah."
"Te... terima kasih," gagap Evan.
Conan minggir. Evan berjalan melewatinya.
Dia berhenti ketika mendengar suara cempreng melengking
berseru, "Jangan ganggu sepupuku!"
"Oh, tidaaak," keluh Evan. Dia menoleh dan melihat Kermit
berlari menyeberangi halaman.
"Jangan ganggu Evan!" teriak Kermit. Tinjunya yang kecil
diacungkannya pada Conan. "Pilih orang lain yang seukuranmu
dong!" "Kermit... jangan ikut campur!" teriak Evan.
Kermit melangkah ke samping Evan. Dia kecil dan kurus.
Rambutnya pirang pucat, wajahnya serius, dan matanya bulat di balik
kacamata berbingkai plastik merah.
Berdiri di sebelah Conan, Kermit membuat Evan teringat semut
kecil. Serangga kecil yang dengan mudah bisa digilas lumat Conan
dengan sekali injakan sepatunya yang berat dan berukuran 48.
"Pergilah, Conan!" kata Kermit. "Jangan ganggu Evan!"
Mata Conan menyipit marah, sampai tinggal segaris. "Tadi aku
sudah tidak akan mengganggu Evan," geramnya. "Lalu kau datang.
Tapi sekarang kurasa aku harus memberi pelajaran pada kalian
berdua." Dia menoleh dan mencengkeram bagian depan sweter Evan.
3 "EVAN... kenapa swetermu?" tanya Bibi Dee.
Evan meletakkan kopernya di lantai dapur. "Ah..."
Lengan kiri sweter barunya panjangnya normal. Conan tadi
mencengkeram lengan kanannya dan menariknya... menarik terus...
sampai lengan itu menjuntai ke lantai.
"Mom bikin lengannya kepanjangan satu," Evan menjelaskan.
Dia tak ingin menceritakan tentang Evan kepada bibinya.
Buat apa cari perkara"
Conan sudah mengancam bahwa lain kali dia akan menarik
lengan kanan Evan sampai sepanjang lengan sweternya!
"Evan berantem dengan Conan," Kermit melapor.
Mulut Bibi Dee terbuka. "Jangan cari gara-gara dengan dia,
Evan." Evan mendelik ke Kermit. Kenapa anak ini selalu mencoba
menyusahkan Evan" "Si Conan itu badannya besar," komentar Bibi Dee. "Jangan
sampai berantem dengan dia."
Nasihat yang bagus, pikir Evan sengit. Diangkatnya lengan
sweternya yang panjangnya sepuluh meter, lalu dijatuhkannya lagi ke
lantai. "Akan kukerjai Conan," kata Kermit. "Aku sudah membuat
ramuan yang bisa menumbuhkan rambut. Akan kuberikan pada Conan
untuk diminumnya... dan lidahnya akan ditumbuhi rambut. Setiap kali
mencoba berbicara, dia hanya akan mengeluarkan bunyi 'Gukk,
gukk.'" Bibi Dee tertawa. "Kermit, berhenti!" hardik Bibi Dee. "Kau
mulai kedengaran seperti ilmuwan edan!"
"Aku memang ilmuwan edan!" Kermit menyatakan dengan
bangga. Kermit dan ibunya tertawa. Tetapi Evan tersenyum pun tak
bisa. Ini tidak main-main, pikir Evan. Kermit memang benar-benar
ilmuwan edan. Dia menghabiskan seluruh waktunya di
laboratoriumnya di ruang bawah tanah, mencampur cairan biru
dengan cairan hijau. Pada suatu sore, di labnya, Evan bertanya pada Kermit apa yang
ingin dibuatnya. "Aku sedang mencari-cari ramuan rahasia," jawab
Kermit, seraya menuang cairan merah ke dalam tabung percobaan.
"Ramuan rahasia yang berkhasiat apa?" tanya Evan.
"Bagaimana aku bisa tahu?" seru Kermit. "Kan rahasia!"
Sekarang Evan harus melewatkan sepuluh hari mengawasi
Kermit melakukan percobaan ilmuwan gilanya. Dan entah bagaimana
caranya, dia juga harus menjaga agar Kermit tidak mendapat
kesulitan. "Aku senang kau tinggal bersama kami," kata Bibi Dee pada
Evan. "Kurasa bagus sekali kalian berdua begitu akrab."
"Yeah. Bagus," gerutu Evan.
"Gukk, gukk!" kata Kermit, mengikik.
Bibi Dee membawa mereka berdua ke kamar Kermit di bagian
belakang rumah. Kermit punya tempat tidur lipat. Di tempat tidur
itulah Evan akan tidur. Buku-buku, disket komputer, kertas-kertas, dan majalahmajalah ilmiah bertebaran di lantai. Evan harus melangkahi contoh
tata surya dari plastik berukuran raksasa untuk bisa mencapai lemari
pakaian. Bibi Dee membantunya membongkar kopernya. Kemudian dia
berkata, "Kalian berdua boleh pergi. Main di luar atau apa. Aku akan
ke dapur menyiapkan makan malam."
Makan malam. Dua kata itu membuat punggung Evan dialiri
rasa dingin. "Makan apa kita?" tanyanya.
"Pokoknya kejutan," jawab Bibi Dee.
Punggung Evan makin dingin.
"Aku membawa Super-Soaker-ku," kata Evan kepada Kermit.
"Yuk, kita main perang air di luar."
Kermit menggeleng. "Tidak, ah." Dia mengajak Evan menuruni
tangga menuju ke ruang bawah tanah, ke dalam lab ilmiahnya. "Akan
kutunjukkan sesuatu padamu."
Evan menatap berak-rak stoples, botol, dan tabung percobaan,
semuanya penuh berisi cairan misterius dan berbahaya. "Aku benarbenar merasa tidak aman..." Kata-katanya terputus.
Ada yang menabraknya dari belakang.
Evan berputar dan menatap Dogface, anjing gembala berbadan
raksasa milik Kermit. "Jangan nabrak-nabrak aku!" bentak Evan.
Anjing itu menjulurkan lidahnya yang tebal dan menjilati
tangan Evan. Meninggalkan ludah anjing yang lengket di tangannya.
"Dogface menyukaimu," kata Kermit.
"Ihh," keluh Evan. Dia mencari-cari tisu di atas meja lab untuk
menyeka ludah itu. "Aku mau mengadakan percobaan kecil," kata Kermit.
"No way"! protes Evan. "Tak ada lagi percobaan kecil! Terakhir
kali kau mengadakan percobaan kecil, hidungku kaubah menjadi
biru." "Itu kan keliru," jawab Kermit. "Percobaan kali ini berbeda.
Percobaan ini tidak berbahaya." Diangkatnya tangan kanannya.
"Sumpah deh." "Apa yang harus kulakukan?" tanya Evan bosan. "Minum
sesuatu yang membuat lidahku ditumbuhi rambut?"
Kermit menggeleng. "Tidak. Aku belum siap mencobakan itu
pada manusia." "Bagus," kata Evan lega. "Kalau begitu, yuk kita ambil SuperSoaker kita dan kita keluar." Evan benar-benar ingin main perang air.
Itu satu-satunya kesempatan dia boleh menyerang Kermit tanpa harus
dihukum! "Sesudah percobaan ini," jawab Kermit. "Percobaannya cuma
butuh waktu semenit. Bener deh."
Evan menghela napas. "Oke. Apa yang harus kulakukan?"


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kermit mengangsurkan sehelai bandana hitam. "Penutup mata,"
katanya. "Pakailah."
"Apa?" Evan berteriak sambil mundur. "Kaupikir akan
kuizinkan kau menutup mataku?"
"Tidak berbahaya!" Kermit ngotot dengan suaranya yang
melengking. "Aku cuma ingin tahu apakah kau bisa mengidentifikasi
sesuatu. Cuma butuh waktu sedetik."
Evan berargumentasi dengan sepupunya selama beberapa menit
lagi. Tetapi akhirnya dia toh memakai penutup mata itu. "Janji ya, kita
keluar setelah ini."
"Janji," jawab Kermit. Dia memeriksa apakah penutup mata
Evan sudah benar-benar terikat rapat. Kemudian diangkatnya tangan
Evan dan dibawanya ke stoples besar.
Dimasukannya tangan Evan ke dalam stoples itu. "Coba bilang,
apa yang ada di dalam stoples ini," perintah Kermit.
Menatap kegelapan di depannya, Evan memegang sesuatu yang
hangat dan berduri. "Hmmmm..." Apa sih ini" pikirnya. Apa ya"
Sementara dia mencoba mengidentifikasinya, dia merasakan
ada sesuatu yang merayap di atas punggung tangannya. Sesuatu itu
menyelusup masuk ke bawah lengan bajunya dan merayap menaiki
lengannya. "Hah?" Dia merasakan cubitan lemah di tangannya. Sesuatu menusuk
pergelangan tangannya. Apa ini" Apa sih ini"
Dia tak tahan lagi. Direnggutnya penutup matanya.
Dia menatap ke dalam stoples.
Dan menjerit ngeri! 4 "TARANTULA?" teriak Evan.
Salah satu makhluk berbulu itu melekat di lengannya, di balik
lengan kemejanya. Satu lagi sedang merayap di atas punggung
tangannya. "Jangan berteriak begitu," Kermit memperingatkan, matanya
terpaku ke lengan Evan. "Percobaan apaan ini?" teriak Evan. "Apa yang ingin
kaubuktikan?" Mata Kermit tidak meninggalkan tarantula yang merayap. "Ada
yang bilang padaku bahwa tarantula tidak akan menggigitmu," dia
menjelaskan. "Kecuali kalau dia merasakan ketakutanmu."
"Gila kau!" jerit Evan. "Merasakan ketakutanku?"
"Ssshhh." Kermit mengangkat jari ke bibirnya. "Tenang.
Tenang... tenang..." Dia nyengir ke Evan. "Ini percobaan yang
menarik sekali, kan?"
"Kubunuh kau!" teriak Evan. "Kubunuh kau gara-gara ini,
Kermit! Kalau kau selesai kupermak, seumur hidupmu kau cuma akan
bisa bilang 'gukk, gukk!'"
"Hati-hati," Kermit memperingatkan dengan suara pelan.
"Lenganmu bergetar. Jangan sampai mereka tahu kau takut."
Evan berjuang memantapkan lengannya. Tarantula yang satu
menusuk pergelangan tangannya. Satunya lagi berdiri di atas
punggung tangannya. "Lepaskan ini!" suruh Evan dalam bisikan panik.
"Kuperingatkan kau...HEEEEI!"
Evan merasakan sodokan keras dari belakangnya.
Dogface lagi! Saking kagetnya, lengan Evan teracung ke atas... dan dua
tarantula itu melayang lepas.
Seekor mendarat dengan bunyi PLUK pelan di atas meja lab.
Satunya lagi mendarat di kepala Evan.
Evan menjerit kaget. Dia merasakan delapan kaki tarantula
yang tajam merayap di antara rambutnya.
"Jangan sampai dia panik," Kermit memberi petunjuk.
"Tenanglah. Jangan sampai dia tahu kau takut. Gigitan tarantula bisa
sakit sekali." "Hei, anak-anak... sedang apa kalian di bawah sana?" suara Bibi
Dee menembus masuk ke ruang bawah tanah.
"Evan sedang main-main dengan tarantulaku," Kermit melapor.
Main-main" Evan ingin menjerit. Dia membayangkan Kermit makan roti
lapis isi tarantula. Tidak. Hukuman itu terlalu enteng, dia memutuskan.
"Hari ini cerah sekali. Sayang kalau kalian cuma di ruang
bawah tanah main-main dengan labah-labah," cela Bibi Dee.
"Tarantulaku kan bukan labah-labah sembarangan!" Kermit
sewot. "Evan, temanmu Andy datang," teriak Bibi Dee. "Kurasa kalian
bertiga sebaiknya main di luar supaya dapat udara segar."
"Andy?" Evan memanggil. Tanpa berpikir lagi, dia akan
berjalan ke arah tangga. "Jangan bergerak!" Kermit memperingatkan. "Jangan sampai
mereka cemas!" Evan membeku. Tarantula itu menusuk puncak kepalanya.
Matanya menatap ngeri ketika tarantula satunya berjalan di atas meja
lab dan mulai merayapi lengannya.
Andy muncul, menuruni tangga ruang bawah tanah dua-dua
sekali langkah. Rambut pendeknya yang cokelat bergoyang di
belakangnya ketika gadis ini bergegas mendekati mereka.
Andy tidak berpakaian seperti anak-anak kelas enam yang lain.
Dia tak peduli apa yang dipakai anak-anak lain. Dia menyukai warnawarna cerah.
Hari ini dia memakai baju merah jambu ngejreng di atas celana
ketat kuning. Ransel jingganya yang cerah tergantung di bahunya.
"Hei, guys!" dia menyapa mereka dengan terengah. "Kalian
sedang apa?" "Melakukan percobaan," jawab Kermit serius.
"Ah, itu sih bukan hal baru!" kata Andy, sambil memainkan
matanya. Tetapi kemudian mulutnya ternganga. Dia shock.
Ditunjuknya Evan dengan jari gemetar. "Evan! Ada tarantula di
kepalamu!" Evan merasakan makhluk itu merambat di antara rambutnya.
"Itu bagian dari percobaannya," Kermit memberitahu Andy.
"Ada satu tarantula lain yang merayap di lengannya."
"Le... pas... kan...," Evan memerintah Kermit dengan
mengertakan gigi. Andy tertawa. "Ini percobaan yang mengagumkan!"
Evan menggeram dan mengacungkan tinjunya.
"Tenang," Kermit memperingatkan. "Kalau mereka sampai tahu
kau takut, celaka kau."
Evan menoleh menatap Andy, minta bantuan. Tetapi Andy
sedang membuka ranselnya dan tangannya mencari-cari sesuatu.
Tarantula itu menusuk kulit kepalanya sambil bergerak ke arah
telinga kirinya. "Kermit...," dia memohon.
Evan kaget sekali ketika Andy menarik keluar tabung plastik
biru dari dalam ranselnya. Mirip sekali dengan kaleng Darah Monster.
"Evan, lihat apa yang kutemukan!" Matanya yang cokelat
berkilau. Seringai jail menghiasi wajahnya.
"Darah Monster!" teriak Evan. "Dari mana kaudapatkan itu?"
"Ada deh," goda Andy. Tangannya memegang tutup tabung,
siap membukanya. "Jangan...!" teriak Evan. Ditubruknya Andy dan diraihnya
tabung itu. "Jangan dibuka! Andy...jangan!"
5 ANDY menjauhkan tabung dari jangkauan Evan.
Dan membuka tutupnya. "JANGAAAN!" jerit Evan.
Andy memiringkan tabung agar Evan bisa melihat isinya.
Kosong. Gadis itu tertawa dan membuang tabungnya. "April mop!"
"Tapi ini bukan bulan April!" bantah Kermiti
Evan menahan napas dan merasa ada yang menggigit
telinganya. Tarantula! Tabung Darah Monster telah membuatnya
sangat ketakutan, sehingga dia melupakan makhluk-makhluk yang
merayap di tubuhnya. "Uh-oh. Kau telah membuat mereka kaget!" Kermit
mengingatkan. "Kurasa kita akan segera tahu seberapa sakitnya
gigitan tarantula." Evan membeku. Dengan panik dia memberi isyarat lewat
matanya agar Andy membantunya.
"Oke, oke," kata gadis itu akhirnya. Dia melangkah mendekati
Evan dan mencomot tarantula itu dari kepalanya.
"Kau menggagalkan percobaan ini!" Kermit memprotes.
Andy juga melepas tarantula satunya dari lengan Evan.
Diserahkannya kedua tarantula itu kepada Kermit.
Sambil menggerutu Kermit memasukkan keduanya ke dalam
stoples. Kemudian dia menulis sesuatu dalam buku catatannya.
Evan mendelik marah pada sepupunya. Tinjunya terkepal.
Tarantulanya sudah lepas, tapi kulitnya serasa masih ditusuk-tusuk.
"Ayo kita ambil Super-Soaker," geramnya.
Dia sudah tak sabar ingin mengguyur Kermit. Dia ingin
menyemprot anak itu sampai basah kuyup, membuatnya terceguk dan
tersedak, gemetar dan bergidik, sampai dia minta-minta ampun.
Barulah saat itu Evan puas!
"Hawanya terlalu dingin untuk main perang air," kata Kermit.
"Peduli amat," geram Evan. "Ayo."
Evan menoleh menatap Andy. Dia menjauhkan ranselnya dan
segera menutupnya, sebelum Evan bisa melihat apa isinya.
"Ada apa lagi di dalam situ?" Evan mendesak. "Lelucon lain?"
Andy menyeringai. "Cuma aku yang tahu, kau cari tahulah
sendiri." "Apa ada Darah Monster di situ?" suaranya serak. "Kau
membawa Darah Monster beneran?"
"Cuma aku yang tahu, kau cari tahulah sendiri," gadis itu
mengulang, sambil mengepit erat ranselnya di sisi tubuhnya.
Sebaiknya kuguyur juga dia, pikir Evan. Salahnya sendiri sih.
"Yuk, keluar," ajaknya. "Kau kan bisa menonton."
"Kaupikir aku percaya padamu," jawab Andy sambil
mengerling. "Aku akan menunggu di sini sambil mengerjakan PR-ku.
Aku ogah basah." Evan memandang ransel Andy lekat-lekat. Apakah dia
membawa kaleng Darah Monster di dalam ranselnya" Jangan-jangan
iya" Aduh... mudah-mudahan sih tidak! doanya saat dia mengajak
Kermit ke halaman belakang.
Mereka mengisi pistol air mereka dari slang air di belakang
garasi. Dan mulailah perang air!
Kermit berlari. Evan menembak duluan. Super-Soaker-nya
menyemprotkan air di atas kepala Kermit.
Evan menurunkan pistol airnya, dan pancaran air mengenai
belakang kepala Kermit, bercipratan ke jaketnya.
Evan menekan picu pistolnya kuat-kuat sehingga airnya
memancar terus, ditekannya lagi picunya. Lagi. Diangkatnya pistolnya
dan dia berhasil menembak tengkuk Kermit.
Kermit menjerit ketika air dingin mengalir membasahi
punggungnya. Dia berbalik. Dan balas menembak ke arah Evan.
Evan berjongkok di rumput. Pancaran air lewat di atasnya.
Ditekannya picu pistolnya dan airnya memancar mengenai
bagian depan jaket Kermit.
"Yo! Hei.!" suara mengguntur membuat Evan berbalik.
"Conan!" teriak Evan.
Kermit menembak dan semprotan air dingin mengenai belakang
kepala Evan. Evan meloncat bangun dan terhuyung ke depan. "Kermit...
berhenti!" Dia berhasil menyeimbangkan diri sebelum menabrak
Conan. "Kau mau membuat sepatu kets baruku basah?" seringai Conan.
"Tidak. Mana berani," jawab Evan. Diturunkannya pistol
airnya. Kermit melangkah ke samping Evan. "Jangan ganggu kami,
Conan," kata Kermit. "Evan tidak takut padamu!"
"Oh, yeah?" jawab Conan bengis.
"Evan bilang dia bisa mengalahkanmu kapan saja," Kermit
membual. "Aku tidak bilang begitu!" seru Evan. "Kermit... apa sih
maksudmu?" Dia menoleh ke Conan. "Aku tidak bilang begitu. Sungguh.
Sepupuku ini mungkin bingung. Kau maklum, kan. Gara-gara uap.
Dan cairan-cairan kimia yang setiap hari dicampur-campurnya."
Conan menggelengkan kepalanya yang besar. "Kalian berdua
ini memang senang cari gara-gara," gumamnya jengkel. Dia maju satu
langkah mendekati Evan. Evan menahan napas. Dirasanya pistol airnya bergerak... dan
dilihatnya Kermit ada di belakangnya. Kermit meraih pistol air Evan.
Sebelum Evan sempat menyingkirkannya, Kermit sudah
menekan picunya. Dan pancaran air membasahi sepatu kets baru Conan.
6 CONAN menjerit marah. Dan mencengkeram jaket Evan.
"Bu... bukan aku!" gagap Evan.
"Airnya keluar dari pistol airmu," jawab Conan. Tangannya
yang besar mencengkeram makin kuat. Dia mengentak, mengangkat
Evan dari tanah. "Kau mau apa?" jerit Evan.
"Hei... ada apa?" Andy berlari dari dalam rumah.
Conan menjatuhkan Evan ke tanah.
Evan terhuyung, tapi segera dapat berdiri tegak lagi.
"Evan sedang memberi pelajaran pada Conan," Kermit melapor.
Evan menyodok sepupunya kuat-kuat. "Awas kau, Kermit..."
Conan mengawasi Andy dengan curiga. "Apa yang kaupegang
itu?" tanyanya galak.
Evan menoleh pas ketika Andy mengangkat tangannya. Dia
memegang tabung plastik kecil biru.
"Jangan...!" Evan ketakutan. "Andy... itu tabung yang kosong
tadi?" Gadis itu menggeleng, seringai jail menghiasi wajahnya. "Tidak
kosong. Yang ini penuh."
Evan mundur setindak. "Buang, Andy."
Kermit meraih tabung itu. "Ini yang asli" Coba kulihat,"
pintanya bersemangat. "Kau gila?" teriak Evan. "Kenapa itu kaubawa kemari, Andy"
Kau tahu kan, itu berbahaya sekali."
Mata cokelat Andy berkilau tegang. Dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Sebaliknya diangkatnya tabung biru itu dan bersiapsiap membuka tutupnya.
"Jangaaan!" jerit Evan. "Kau ini bagaimana sih?"
Andi nyengir. "Jangan dibuka!" Evan memohon. "Andy... tolong, jangan
dibuka!" Sambil menggerundel Conan maju dan merebut tabung itu dari
tangan Andy. "Coba kulihat isinya," geramnya.


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diangkatnya tabung itu ke depan wajahnya... dan dibukanya
tutupnya. 7 CONAN membuka tutupnya... dan tiga ekor ular kain meloncat
keluar, memukul wajahnya.
Dia menjerit kaget. Tabung terjatuh dari tangannya.
Andy meledak tertawa. Kermit juga tertawa, tawanya
melengking nyaring. Evan susah payah menelan ludah. Saking tegangnya dia tak bisa
tertawa. Belum pernah ada yang berani mempermainkan Conan. Belum
pernah. Evan terbelalak menatap Conan, tubuhnya membeku ketakutan.
Wajah Conan merah padam. Pipinya betul-betul merah. Karena malu!
Sekarang dia akan membantai kami, pikir Evan. Kalau sudah
selesai, kami bertiga akan kelihatan seperti tiga ular mainan di tanah
itu. Betapa herannya Evan ketika ternyata Conan berbalik dan pergi
tanpa berkata sepatah pun.
"Nyaris saja," gumam Evan.
"Itu kan lucu!" seru Andy. "Kenapa sih kau" Mana rasa
humormu" Hilang?"
"Ya," kata Evan. "Menurutku Darah Monster tidak lucu. Benda
itu mengubah anjingku Trigger menjadi raksasa. Juga mengubah
hampster kelas kami menjadi monster yang menggerung-gerung. Dan
mengubahku menjadi raksasa setinggi tiga setengah meter! Itu hari
paling mengerikan dalam hidupku!"
"Aku menyelamatkanmu... ingat" Aku berhasil mengecilkan
tubuhmu ke ukuran yang sebenarnya," Kermit menyombong.
"Ya, betul," Evan harus mengakuinya. "Itu hal baik terakhir
yang pernah kaulakukan."
Kermit cemberut. "Kok kau bilang begitu sih, Evan. Kan
kuizinkan kau ikut main tarantulaku."
Evan menjawab dengan gerundelan.
Ekspresi Kermit tiba-tiba berubah. Di balik kacamatanya,
matanya berkilat. "Tunggu di sini," katanya. Dia lalu berlari ke arah
rumah. "Mau ke mana kau?" teriak Evan.
"Aku hampir lupa, ada yang mau kutunjukkan padamu," Kermit
berteriak balik. "Ini barang paling canggih sedunia!"
Dia menghilang ke dalam rumah.
Evan menoleh pada Andy. "Bagaimana aku bisa tahan sepuluh
hari bersamanya?" ratapnya. "Aku baru saja sampai. Dan kepalaku
sudah dirambati tarantula!"
Andy tertawa. "Kan bisa lebih buruk dari itu."
"Bagaimana mungkin?"
"Yah... kan bisa saja itu kutu," katanya. "Ingat tidak waktu
Kermit mengoleksi kutu rambut?"
"Kau tidak menghiburku, Annnnndrea," keluh Evan.
"Jangan panggil aku Andrea," gerutunya. "Wow! Kau lagi
marah-marah. Coba pikirkan semua uang yang akan kaudapat. Bibimu
membayarmu lima dolar per jam untuk menjaganya... iya, kan?"
"Kalau aku bisa bertahan," erangnya.
Dia menoleh ke arah rumah. Kermit berlari keluar membawa
kotak kaca. "Nah, sekarang apa yang dibawanya?" seru Evan.
"Mungkin kali ini kutu rambut," jawab Andy.
"Bisakah kau berhenti menyebut-nyebut kutu rambut?" tukas
Evan. "Kau membuat kepalaku gatal."
"Lihat ini!" seru Kermit, sambil menyorongkan kotak kaca itu
ke depan mereka. Evan menyipitkan mata memandang ke dalam kotak. Dilihatnya
tikus-tikus putih. Ada enam atau delapan. Dengan mata kecil hitam
dan hidung merah jambu yang bergerak-gerak. Saling merangkak di
atas badan temannya. "Kermit... kenapa tikus putihmu kaubawa keluar?" tanyanya.
"Lihat," jawab Kermit.
Dibukanya tutup kotak dan dituangnya semua tikus ke atas
rumput. Tikus-tikus itu tidak ragu-ragu lagi. Mereka berlarian ke segala
jurusan. Seekor di antaranya lari tepat di antara kaki Andy. Dia
menjerit kaget dan meloncat minggir.
"Kau gila?" jerit Evan. "Semua tikusmu kabur!"
"Oh, tidak," jawab Kermit santai. Dia menarik keluar remote
control abu-abu dari dalam saku celana jins baggy-nya. Kelihatannya
seperti remote control TV
"Ini benar-benar canggih!" seru Kermit. "Aku sudah
membangun pagar elektrik mengelilingi halaman belakang ini."
"Aku tidak melihat pagar," kata Andy.
"Tentu saja tidak. Kan elektrik," Kermit menjelaskan. "Seperti
pagar tak kelihatan, yang biasa digunakan orang untuk mengurung
anjing mereka di halaman."
Evan menyipitkan mata memandang rerumputan. "Aku bahkan
sudah tidak melihat tikusmu lagi," katanya pada Kermit. "Mereka
semua sudah kabur." "No way!" Kermit bersikeras. Diangkatnya remote control-nya.
"Aliran listrik sudah kupasang mengelilingi halaman ini. Kalau ada
tikus yang mencoba melewatinya, dia akan tersetrum sedikit."
"Tapi mereka sudah pergi!" Andy tertawa. "Semua tikusnya
sudah kabur!" Kermit memandang berkeliling halaman belakang.
Mulutnya terbuka lebar. Ditamparnya dahinya. "Ya ampuuun!
Aku lupa memasangnya! Aku lupa menghidupkan tombolnya."
Diangkatnya remote control-nya dan ditekannya sebuah tombol
merah. "YAAAIIIIII!" Evan menjerit ketika sengatan listrik mengaliri
tubuhnya. 8 LENGAN Evan melambai serabutan. Kakinya meliuk-liuk dan
membengkok. Kermit menekan tombol merah lagi. Bunyi berdengung
berhenti. Kermit menatap Evan. "Sori. Kau sebaiknya jangan berdiri di
situ." Evan menarik napas dalam dan menahannya. Ditunggunya
sampai rasa kesemutan di kulitnya menghilang.
"Kau tadi seperti sedang menari!" seru Andy. Diangkatnya
kedua tangannya tinggi-tinggi dan diliukkannya tubuhnya menirukan
Evan. "Jadi aku harus menganggapnya lucu?" tanya Evan sebal.
"Kau tak apa-apa?" tanya Andy. "Rambutmu berdiri kaku!"
Evan menekan rambut dengan kedua tangannya. Tapi
rambutnya langsung berdiri lagi.
Dia mendelik pada Kermit. "Ada penemuan besar lain?"
"Sekarang belum," jawab Kermit. "Kau harus membantuku
dulu." "Membantu apa?" tanya Evan geram.
"Menangkap tikus-tikusku," jawab Kermit. Dia langsung
merangkak di rumput. "Cepat! Mereka tikus lab yang mahal. Mom
akan membunuhku kalau mereka hilang."
Evan dan Andy sadar mereka tak punya pilihan. Mereka
langsung berjongkok, lalu ikut merangkak seperti Kermit.
"Aku tak melihat tikus," bisik Evan pada Andy. "Kurasa Kermit
kena batunya." Didengarnya langkah-langkah berat di belakangnya. Dia
menoleh dan melihat Dogface, anjing gembala besar Kermit, berlari
mendekati. "Jangan, Dogface!" teriak Kermit. "Jangan! Pulang! Sana
pulang!" Sambil menggoyang ekor pendeknya dengan seru, anjing besar
itu menubruk Evan, membuatnya jatuh terjengkang.
"Dogface... kau membuat tikusnya ketakutan!" jerit Kermit.
Mengabaikan larangan Kermit, anjing itu berlari berputar-putar
dengan penuh semangat mengelilingi halaman, menggonggong dan
menggoyang-goyang ekornya.
"Hei... bising amat sih!" terdengar teriakan marah. "Tidak
bisakah kalian membuat anjing itu diam?"
Conan meloncati semak pendek yang memisahkan halaman
mereka. Baru tiga langkah dia berlari... langsung berhenti.
Evan mendengar bunyi ceklek, lalu DENGUNG keras.
Mata Conan seperti akan meloncat keluar. Tangannya terlempar
ke atas. Tubuhnya meliuk dalam tarian gila.
"Oh, wow," gumam Kermit. "Bukankah tadi sudah kumatikan?"
Jarinya geragapan mencari tombol remote control-nya. Bunyi
dengung berhenti. Selama beberapa detik Conan berdiam, menenangkan diri.
Kemudian dia menggerung marah. Dan menerjang Evan.
"Ap... apa yang kaulakukan?" pekik Evan tergagap.
9 EVAN menumpangkan kedua sikunya di atas meja makan dan
menatap gundukan spaghetti di piringnya. Kalau spaghetti tidak
mungkin parah-parah amat, pikirnya.
"Evan... kenapa telingamu?" tanya Bibi Dee.
Evan menghela napas. Telinga kirinya normal. Tetapi telinga
kanannya berdenyut dan serasa terbakar. Pasti merah seperti tomat
masak! "Apa yang terjadi?" bibinya mendesak.
Evan tak ingin menjelaskan bagaimana kerasnya tadi Conan
menjewer telinganya. Dia menggumamkan sesuatu sambil menunduk
menatap piringnya. "Evan berantem lagi dengan Conan," kata Kermit pada ibunya.
Bibi Dee menurunkan garpunya. "Evan... betulkah itu?"
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Evan mengangguk. "Bukan berantem."
"Kan sudah kuperingatkan agar jangan dekat-dekat anak itu,"
omel Bibi Dee. "Kau seharusnya cukup cerdik dan tidak mengajak
berkelahi anak sebesar itu."
"Dan Evan juga menghilangkan semua tikus putihku," rengek
Kermit. Mulut ibunya ternganga. "Tikus-tikus itu mahal sekali!"
Matanya menyipit menatap Evan.
Evan menahan napas. "Bukan aku yang membawanya keluar,"
katanya seperti tercekik.
"Aku memintamu menjaganya," kata ibu Kermit tegas. "Kau
bertanggung jawab atas segala yang terjadi selama aku tidak ada." Dia
mengerutkan dahi dan menggoyang garpunya. "Kalau tugas ini terlalu
berat untukmu, Evan, aku bisa mencari ganti orang dewasa untuk
menjaga Kermit." "Jangan!" teriak Evan.
Menjaga Kermit memang amit-amit. Tetapi dia tak ingin
kehilangan pekerjaan ini. Jika dia tidak berhasil mengumpulkan cukup
uang, dia takkan bisa ikut kemping.
"Aku bisa mengatasinya," katanya kepada bibinya.
Di seberangnya, Kermit sibuk menyuap spaghetti ke dalam
mulutnya. Saus tomatnya meleleh di dagunya.
Evan memilin beberapa spaghetti di garpunya, kemudian
menyuapnya. Dia mengunyah selama kira-kira tiga detik. Kemudian menjerit
keras. "YAAAAAAIIIII!"
Mulutnya serasa terbakar! Kepalanya serasa mau meledak!
"Apa kurang pedas?" tanya Bibi Dee. "Sambalnya kurang?"
********************** Malam itu, saat Evan berganti piama, Kermit sibuk mengetik di
komputernya. Bibir Evan bengkak gara-gara saus spaghetti ynag
superpedas. Kelihatannya seperti dua sosis yang menggantung di
wajahnya. Dipandangnya bayangannya di cermin. Telinganya seperti
tomat masak. Digelengkannya kepalanya dengan sedih. Dia teringat Conan.
"Aku harus melakukan sesuatu terhadap anak itu," gumamnya.
Kermit memutar kepalanya. "Apa katamu?"
"Conan sudah keterlaluan kali ini," gerutu Evan sengit. "Dia
membuatku kelihatan bloon begini."
"Kau kan memang bloon."
"Diam. Aku tidak minta pendapatmu," bentak Evan.
"Tampangmu sendiri jauh dari Leonardo DiCaprio."
"Siapa dia?" tanya Kermit.
Evan cuek. Dia naik ke tempat tidur. Dipukul-pukulnya
bantalnya agar empuk. Dia tahu dia takkan bisa tidur.
Dia terlalu marah. "Kali ini Conan sudah keterlaluan," gumamnya lagi pada diri
sendiri. "Kali ini aku harus cari jalan untuk bisa membalasnya."
Di balik kacamatanya yang berbingkai plastik merah, mata
bulat-hitam Kermit berkilat. "Maksudmu balas dendam?" tanyanya
bersemangat. "Yeah, kurasa begitu," jawab Evan, sambil mengatur telinganya
yang panas di atas bantal. Kedua tinjunya terkepal. Tubuhnya tegang.
"Balas dendam." Diulanginya kedua kata itu beberapa kali. "Itu
yang kuinginkan. Harus ada yang menunjukkan pada Conan dia tak
bisa semaunya saja menggertak dan memukuli orang-orang. Balas
dendam..." Kermit mematikan komputernya. Ketika menoleh memandang
Evan, seringai lebar menghiasi wajahnya. "Kurasa aku bisa
membantumu," katanya.
10 "AKAN kutunjukkan sesuatu padamu," kata Kermit
bersemangat, suaranya direndahkan seperti bisikan. Dikeluarkannya
sesuatu dari laci bawah lemarinya dan dibawanya ke tempat tidur lipat
Evan. "Lihat." Seringai Kermit melebar. Diserahkannya benda itu
kepada Evan. "Hei...!" Evan berseru. "Banyak betul rambutnya!"
Evan terbelalak menatap benda itu. Seperti bola, dipenuhi
rambut lebat berminyak berwarna hitam. "Sungguh menjijikkan,"
katanya pada Kermit. "Apa sih ini" Kenapa kautunjukkan padaku?"
"Itu telur," kata Kermit terkikik geli.
"Hah?" Evan nyaris menjatuhkan telur itu. Diputar-putarnya
benda berambut di tangannya. "Telur apa?" tanyanya curiga.
"Ya telur biasa," jawab Kermit. "Kuambil dari lemari es."
"Tapi..." Evan tak bisa melanjutkan.
"Ingat tidak, aku kan pernah cerita tentang ramuan penumbuh
rambutku?" kata Kermit. "Waktu itu kukatakan belum siap. Tapi
sekarang sudah." Evan mengembalikan telur berambut itu kepada sepupunya.
Terlalu mengerikan. Membuatnya mual.
Dia menahan napas. "Kau benar-benar bisa menumbuhkan
rambut tebal seperti itu di atas telur?"
Kermit mengangguk, nyengir. Ditimangnya telur itu seakanakan itu permata berharga. "Ramuan penumbuh rambutku ternyata
manjur, Evan. Kita bisa menggunakannya untuk membalas Conan."
"Whoa!" Evan berseru. "Masa kita mau menyuruhnya


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminumnya dan membuat mulutnya penuh ditumbuhi rambut"
Terlalu mengerikan... bahkan untuk Conan."
"Aku tahu," Kermit sepakat. "Tapi kita bisa menuangnya di atas
tangannya, kan" Kita bisa membuat tangannya menjadi tangan
manusia serigala! Lucu, kan?"
Evan tertawa. "Yeah. Yeah, lucu sekali! Yuk, besok kita
lakukan!" Kermit memasukkan telur berambutnya ke dalam laci. "Tadinya
aku akan mencobakan ramuan penumbuh rambutku pada Dogface,"
dia memberitahu Evan. "Tapi Dogface sudah cukup berbulu. Conan
lebih baik." "Jauh lebih baik," Evan setuju. Untuk pertama kalinya malam
ini dia tersenyum. "Di mana ramuan penumbuh rambutmu?"
"Jangan kuatir. Kusimpan di tempat yang aman," jawab Kermit.
"Akan kukeluarkan kalau sudah kita butuhkan."
** ************************
Berjam-jam kemudian, Evan belum juga bisa tidur. Pertama,
karena dia tak bisa berhenti memikirkan pembalasannya terhadap
Conan. Dan kedua, karena Kermit mendengkur keras sekali.
Evan menatap langit-langit dengan tangan menutupi telinga.
Tapi tetap saja dia masih mendengar suara menyebalkan itu. Suara
serak grak grok, grak grok, diikuti suitan.
Tidur pun Kermit ini menyebalkan, pikir Evan pahit.
Ketika akhirnya dia tertidur, Evan bermimpi dia berdiri di
halaman belakang rumah Evan, memakai piama. Saat itu malam hari.
Bayang-bayang panjang jatuh di rerumputan.
Menyipitkan matanya memandang ke sudut halaman, Evan
melihat tikus putih Kermit. Paling tidak sekitar setengah lusin. Mereka
mengerumuni sesuatu yang tersembunyi di rerumputan.
Dalam mimpinya, Evan bergerak mendekati. Dan melihat apa
yang dikerumuni tikus-tikus lab itu.
Kaleng biru. Kaleng biru Darah Monster yang terbuka!
Evan menatap ngeri. Mulutnya ternganga.
Lendir biru itu menggelegak keluar dari wadahnya. Dan tikustikus putih itu asyik menyantapnya. Gumpalan demi gumpalan. Gigigigi mereka berkatrukan. Tubuh mereka yang berbulu gemetar saking
semangat dan tegangnya. Setelah menelan cairan lengket itu, mereka bertambah besar.
Evan shock melihatnya. Tikus-tikus itu menggelembung sampai
mereka sebesar anjing. Kemudian lebih besar lagi. Tikus-tikus raksasa
itu berdiri di atas kaki belakang mereka.
Mereka lebih tinggi dari aku! Saking kagetnya Evan melangkah
mundur. Dan sangat gemuk! Pasti beratnya sampai seratus kilo!
Tikus-tikus itu berbalik menghadap Evan, gigi mereka
berkertak kelaparan. Tikus-tikus yang setinggi rumah itu menyerbu
Evan. Salah satu dari mereka mengangkat kepala, membuka lebarlebar moncongnya, dan menggerung keras. Evan melihat deretan gigi
tajam bergerigi berwarna abu-abu.
Kemudian tikus-tikus itu menyerbu Evan. Kaki-kaki mereka
derdebam-debum di tanah. Mata hitam mereka berkilau terkena
cahaya bulan yang keperakan.
"Tidaaaaaaaak!" jeritnya nyaring dan panjang.
Diangkatnya tangan untuk melindungi diri.
Tikus-tikus itu sudah berdiri di depannya sekarang. Salah satu
dari mereka menurunkan kepala. Gigi tajamnya melingkari
pergelangan tangan Evan. Moncongnya mengatup keras.
Evan merasakan napasnya yang panas dan berbau masam.
Merasakan ada gigi yang menggigit sisi tubuhnya.
Kemudian dia diangkat. Diangkat oleh moncong raksasa tikus
putih. Tikus itu mengatupkan moncongnya rapat-rapat. Menggigitnya
keras-keras. Evan tahu tikus itu mengunyahnya. Mengunyahnya sampai
lumat. Dibukanya matanya. Dia bangkit... bangun dari mimpi buruk
ini... Dan didengarnya ketukan di jendela kamar Kermit.
Dalam kegelapan Evan menyipitkan mata memandang jendela.
Dan melihat tikus raksasa!
11 TIDAK. Tidak. Tikus itu adalah bagian dari mimpinya.
Aku masih setengah mimpi, setengah tidur, Evan menyadari.
Dikedipkannya matanya. Digoyangnya tubuhnya. Agar dia benar-benar bangun.
Pelan-pelan tikus itu memudar, kemudian lenyap. Dan Evan
memandang jendela, memandang Andy di luar dalam kegelapan.
Andy yang mengetuk-ngetuk jendela. Mengetuk tak sabar.
Evan meloncat dari tempat tidur lipatnya yang sempit. Kakinya
terserimpet selimut. Dia terhuyung dan harus berpegangan pada
lemari pakaian Kermit agar tidak jatuh.
Salah satu kakinya kesemutan. Ditariknya kaki itu sementara
dia berjalan terpincang-pincang ke jendela. Pelan-pelan didorongnya
jendela terbuka, hati-hati agar Kermit tidak terbangun.
Kermit terus saja asyik mendengkur, grak grok, grak grok dan
bersuit. Selimutnya sudah ditendangnya ke lantai. Dia tertidur dengan
masih memakai kacamata. Evan mengeluarkan kepalanya. Tiupan angin dingin
membuatnya bergidik. "Andy... ngapain kau ke sini?" serunya.
"Cepat berpakaian," perintah Andy. "Cepat, Evan. Aku harus
menunjukkan sesuatu padamu."
"Hah?" Dia menoleh melirik jam radio Kermit. "Hampir tengah
malam!" Andy mengangkat jari ke bibirnya. "Sssshhhh. Cepat. Pakai
pakaianmu. Kurasa kau mau melihat ini."
Tangannya terangkat, menunjukkan sebuah tabung. Tabung
plastik biru. Evan mengeluh. "Kau datang tengah malam begini cuma untuk
main lelucon konyol lagi" Astaga, Andy. Apa yang akan meloncat
keluar memukulku kali ini?"
Tapi kemudian dilihatnya ekspresi serius Andy.
"Ini bukan lelucon, kan?" bisiknya.
Gadis itu menggeleng. "Itu Darah Monster... betul?" Evan menuntut.
Andy mengangguk. "Kurasa begitu. Tabung ini... kelihatannya
sama." Evan berputar dari jendela. Dipakainya celana jin dan kausnya
tanpa mencopot dulu piamanya. Tangannya gemetar ketika dia
mengikat tali sepatunya. Diraihnya jaket dari dalam lemari dinding. Dan dia meloncat
keluar jendela. "Aku tadi sedang mimpi tentang Darah Monster," dia bercerita
pada Andy. Andy menggigit bibir bawahnya. "Ini bukan mimpi," jawabnya
serius. Evan bergidik. Malam ini cerah, dan dingin.
Andy memakai jaket merah jambunya yang manyala dan celana
ketat berwarna perak. Topi wol merah menutupi rambut pendeknya
yang cokelat. Disodorkannya tabung itu kepada Evan. "Kurasa ini Darah
Monster beneran. Aku segera datang begitu aku yakin orangtuaku
sudah tidur." "Dari mana kaudapat ini?" bisik Evan.
"Dari belakang lab tempat ayahku bekerja di Peachtree. Kami
tadi menjemputnya sebelum makan malam. Aku menunggu di tempat
parkir di belakang lab. Kutemukan ini di atas tumpukan sampahsampah lain."
"Kau tidak membukanya, kan?" Evan ingin tahu.
"No way!" jawabnya. Diserahkannya tabung itu, tapi Evan
menolak. "Aku tak mau," kata Evan. "Kenapa kaubawa ke sini?"
Andy mengangkat bahu. "Kupikir setelah kejadian tadi sore kau
mau membalas Conan. Dia tadi jahat sekali."
"Ya, aku memang mau membalas Conan," Evan mengaku.
"Gunakan saja Darah Monster ini," desak Andy. "Kau bisa
menaruhnya sedikit dalam makan siangnya di sekolah. Kau bisa..."
"No way!" seru Evan. "Conan sudah segede gunung! Aku tak
mau membuatnya LEBIH BESAR LAGI!"
Kilau di mata gelap Andy menghilang. "Kurasa kau benar. Tapi
kita bisa menaruh Darah Monster di tempat tidurnya. Atau..."
"Stop!" tukas Evan. "Terlalu berbahaya. Aku tak mau memakai
Darah Monster untuk membalas Conan. Kermit dan aku sudah punya
rencana lain. Rencana yang benar-benar bagus."
"Rencana apa?" tanya Andy bersemangat.
"Kuberitahu kau setelah kau membuang Darah Monster itu,"
kata Evan. "Aku benar-benar tak mau melihat barang itu.
Sembunyikan di tempat yang tak bisa ditemukan orang."
"Tapi, Evan...," Andy memprotes.
Evan tidak membiarkannya menyelesaikan kalimatnya. "Kau
tahu apa yang akan terjadi kalau tabung itu terbuka," katanya tegas.
"Isinya akan menggelegak. Akan tumbuh terus, bertambah banyak,
dan kita tak akan bisa menyetopnya."
"Oke, oke," Andi memutar-mutar matanya. "Akan kubawa
pulang. Akan kucari tempat persembunyian yang bagus."
"Janji?" tuntut Evan, sambil tajam menatapnya.
"Janji," jawab Andy, sambil mengangkat tangan kanannya.
"Hei... apa itu?" terdengar suara melengking di belakang
mereka. Evan berbalik dan melihat Kermit sedang berjuang turun dari
jendela yang terbuka. Kermit merebut tabung biru dari tangan Andy.
"Keren!" teriaknya. "Darah Monster! Ini beneran?"
Dia tidak menunggu jawaban.
Dipegangnya tabung kuat-kuat... dan dibukanya
tutupnya! 12 "JANGAN! Jangan buka!" jerit Evan.
Terlambat. "Tutup lagi!" teriak Evan panik. "Cepat tutup lagi!"
Kermit berdiri menatap tabung yang terbuka. "Terlalu gelap.
Aku tak bisa melihat apa-apa."
"Berikan padaku!" perintah Evan. Dia melompat ke depan dan
mencoba merampas tabung itu.
Dia berhasil merebut tabung itu... tetapi tutupnya terjatuh dari
tangan Kermit. Kermit serabutan berusaha menangkap tutup itu. Tetapi angin
menerbangkannya dari jangkauannya.
Evan terbelalak ngeri melihat tutup plastik itu terangkat
diterbangkan angin... terangkat sampai di atas kepala mereka.
"Tidaaaaak!" jeritnya panjang ketika tutup itu berputar gilagilaan di atas mereka. Dia meloncat meraihnya. Sekali lagi. Gagal.
Angin menerbangkan tutup itu ke atas atap rumah yang landai.
Tutup itu menabrak bubungan. Melorot beberapa meter, lalu berhenti
di selokan pancuran atap yang terbuat dari seng.
"Astaga," Evan bergumam.
"Aku akan mengambil tangga dari garasi," Kermit menawarkan.
Dia berlari menyeberangi rerumputan yang basah kena embun.
"Cepat!" teriak Evan.
"Darah Monsternya... bergerak!" seru Andy, dia menunjuk
dengan jari gemetar. Evan menatap tabung yang dipegangnya erat-erat. Dia tidak
bisa melihat isinya. Awan gelap telah bergerak menutupi bulan,
menghalangi cahayanya. Evan mendekatkan tabung ke mukanya. Dan kaget sendiri.
"Andy... warnanya biru!"
"Hah?" Andy merapat. Kepala mereka beradu ketika keduanya
memandang ke dalam tabung dengan tegang.
Ya. Cairan pekat di dalam tabung itu berwarna biru... tidak
hijau. Cairan itu mengeluarkan bunyi bercelepuk ketika bergulung
dari sisi ke sisi. Seperti ombak lautan.
"Dia... dia mencoba keluar!" Andy tergagap.
"Cepat, Kermit!" teriak Evan.
Kermit berlari keluar dari garasi. Tangga aluminium terpanggul
miring di atas sebelah bahunya.
"Kenapa warnanya biru?" tanya Andy.
Lendir pekat itu memukul-mukul dinding tabung. Sementara
Evan memandangnya dengan ngeri, lendir itu meluap ke atas.
"Kermit... cepatan dong! Ambil tutupnya!" teriaknya.
Kermit menyandarkan tangga ke dinding. Kemudian dia
menoleh kepada mereka. "Harus ada yang naik," teriaknya.
"Kau saja naik!" teriak Evan panik. "Cairan ini sudah meluber!"
"Tapi aku takut ketinggian!" kata Kermit.
Evan mendelik. "Tidak terlalu tinggi. Ayo naik sana, dan..."
"Tidak bisa!" rengek Kermit. "Betul!"
"Aku saja yang naik." Andy berlari ke tangga. Kermit
memeganginya. Evan memandang gadis itu memanjat. Darah Monster
bergelegak dan bercelepuk di dalam tabung. Awan bergerak
menyingkir menjauhi bulan. Warna Darah Monster itu benar-benar
biru cerah. Dan dia benar-benar berusaha naik untuk keluar dari tabung.
Andy memanjat sampai ke dekat tepi atap. Tangan kanannya
berpegang pada tangga, tangan kirinya menggapai tutup.
Menggapai... terus menggapai...
Dan angin menerbangkan tutup itu dari selokan pancuran air.
"Tidaaaak...!" jerit Andy. Dia mencoba meraihnya.
Dan hampir terjatuh. Dicengkeramnya pegangan tangga dengan kedua tangannya.
Tutup itu berputar gila-gilaan di udara. Lalu terjatuh di atas
rumput. "Dapat!" teriak Kermit. Dia meluncur menerkamnya dan
memegangnya dengan satu tangan.
"Yaak!" seru Evan senang. "Pasang tutupnya... cepat!"
Andy menuruni tangga dengan hati-hati, anak tangga demi anak
tangga. Dia sampai ke tanah, berbalik, terengah-engah, dan bergegas
mendekati Evan. Kermit berlari mendatangi dengan memegang tutup.
Tetapi sebelum dia sampai ke Evan, terdengar suara
menggelegar dari seberang halaman.
"Hei... ada apa sih?"
Evan mendongak dan melihat Conan berlari mendatangi.
"Oh, tidak!" ratap Evan, dan tabung Darah Monster terjatuh dari
tangannya. 13 SAMBIL menjerit kaget, Evan membungkuk untuk memungut
tabung itu. Apakah Darah Monster birunya ada yang tumpah"
Tidak. Diangkatnya tabung itu hati-hati, satu tangannya menutup
bagian atasnya yang terbuka.
Conan berhenti di tepi halaman. "Apa yang dikerjakan kalian
tiga bayi di tengah malam begini?" serunya. "Kulaporkan ibu kalian,
baru tahu rasa!"

Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan ganggu kami, Conan," teriak Andy. "Kami tidak
mengganggumu." "'Wajahmu menggangguku!" Conan balik berteriak. Kemudian
dia melihat tabung di tangan Evan. "Apa itu?"
Evan nyaris menjatuhkan tabung itu lagi. "Ini" Uh... bukan apaapa.... Ini..."
Pikiran Evan mendadak kosong. Dia tak bisa menyebut apa pun
untuk membohongi Conan. Kermit merebut tabung itu dari tangan Conan. "Ini permen,"
katanya pada Conan. "Blue Fruit Roli in a Barrel! Kami melihat
iklannya di TV. Rasanya bukan main."
"Coba kucicipi!" Conan minta. Tangannya yang besar terulur.
"No way!" Kermit meledek, menjauhkan kalengnya. "Kami tak
mau membaginya denganmu!"
Dia berpura-pura menjilat permen biru itu. "Wow. Enaknya!"
"Kalau tak boleh minta, terpaksa kurebut," Conan mengancam
dengan beringas. Dia maju selangkah mendekati mereka. "Berikan
padaku." "Kau sinting?" bisik Evan pada Kermit. "Kenapa kau
meledeknya" Sekarang dia akan merebutnya dan..."
"Tenang saja," Kermit balik berbisik. Seringai jail menghiasi
wajahnya. "Lihat ini."
"Berikan padaku," suara Conan menggelegar. Tangannya yang
besar menggapai. Dia maju selangkah lagi. Selangkah lagi.
Evan mendengar derik elektrik sebelum melihat percikan nyala
putih. Mata Conan melotot. Tangannya mencuat ke atas. Lututnya
beradu. "Urg. Urg." Mulutnya mengeluarkan jeritan aneh saat pagar
elektrik Kermit yang tak kelihatan menyetrumnya lagi.
Conan terhuyung mundur, terengah kehabisan napas. Dadanya
yang bidang naik-turun. Evan jadi teringat banteng yang siap
menyerang. Kermit mengangkat tabung dan berpura-pura memakan Darah
Monster lagi. "Wow. Benar-benar luar biasa!" serunya.
Conan mendelik memandang mereka bertiga. Bahkan di
seberang halaman yang gelap itu, Evan bisa melihat kemarahan di
wajahnya. Tetapi banteng itu tak dapat menyerang. Tidak dapat mendekati
mereka. Tidak selama pagar elektriknya dinyalakan.
Conan mengepalkan tinjunya. "Awas kalian," teriaknya.
"Kalian bertiga pasti mampus."
Dia berputar. Mengayunkan tinjunya keras-keras, dia berjalan
masuk rumah. Andy menghela napas lega. "Bagus, Kermit!" pujinya.
Suara cekikikan yang melengking terdengar dari mulut Kermit.
"Yeah, tidak jelek!"
"Cuma ada satu masalah," gumam Evan. "Kita mampus kalau
meninggalkan halaman ini!"
Dia menoleh kepada Kermit. "Kembalikan padaku tabung itu.
Sebaiknya kita tutup..."
Evan menjerit kaget. Tabung di tangan Kermit. Dia memegangnya terbalik!
Evan merebutnya. Terlambat. Dengan bunyi PLOP yang menjijikkan, gumpalan lendir biru itu
terjatuh dari dalam wadahnya.
Gumpalan itu mendarat di rumput di depan kaki Evan. Evan
memandangnya. Gumpalan itu bergetar. Bergetar dan bergoyang,
seperti agar-agar biru. Gumpalan itu juga berkilau kena cahaya bulan. Warnanya biru
terang. Bergolak dan bergetar. Dan bertambah besar. "Bentuknya... berubah!" seru Andy. Dia membungkuk, kedua
tangannya memegang lutut, dan memandang gumpalan itu dengan
mata terbelalak. Gumpalan biru itu meliuk. Bergulir sekali, menjauhi Evan.
Dan bertambah besar lagi.
Bergulir lagi. Bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Dan kemudian melembung ke atas. Naik... seakan-akan
mencoba untuk berdiri. "Astaga! Mana mungkin!'"' kata Evan tersedak. "Ini makhluk
hidup!" "Kau benar!" seru Kermit. "Dia HIDUP!"
14 EVAN bersila di atas rumput, memandang Darah Monster biru
dengan tegang. Andy dan Kermit berdiri dengan mulut ternganga,
sementara makhluk itu meloncat dan bertambah besar, dan jadi
berbentuk. Sebuah kepala biru licin nongol dari tubuh itu. Lekukan
melengkung di kepalanya menjadi mulut. Mulut itu menyeringai
bloon. Dua mata bulat dan besar muncul di atas mulut. Makhluk itu
kira-kira sebesar bajing. Dia mengeluarkan bunyi menguik saat
meloncat-loncat di atas rumput. Tubuhnya yang seperti karet
berdenyut cepat, seperti jantung.
"Lucu sekali!" kata Andy, kedua tangannya menekap pipi.
"Seperti mainan karet yang manis dan lucu."
"Kelihatannya ramah," Kermit menambahkan. "Dari tadi dia
memandang kita dan tersenyum."
Evan tidak berkata apa-apa. Selama mengawasi makhluk itu,
ketakutan mencekamnya. Aku tak peduli betapa lucunya dia, pikirnya. Makhluk ini Darah
Monster. Dan Darah Monster selalu jahat.
"Ayo kita coba memasukkannya lagi ke dalam kaleng," dia
mengusulkan. Makhluk itu meloncat dan menguik.
"Apa muat, ya?" tanya Kermit.
Evan memandang makhluk yang menyeringai itu. "Harus
dipaksa agar muat," katanya.
"Tapi dia lucu sekali!" Andy memprotes. Dia membungkuk
mendekati makhluk itu. "Kau lucu sekali," katanya. "Kau suka
dibelai?" Andy mengulurkan kedua tangannya untuk menangkapnya.
Makhluk itu lolos lewat sela-sela jarinya dan meloncat
menjauh, menguik-uik keras.
"Oooh! Dingin sekali dan basah!" kata Andy. "Lihat! Dia
seperti anak anjing laut!"
Sekali lagi Andy mencoba menangkapnya. Tapi sekali lagi
makhluk gumpalan itu meloncat menjauhinya.
Kermit menghadang di depannya. "Aku ingin mengamatinya di
bawah mikroskop," katanya. "Mungkin malah memeriksa sedikit
sampel tubuhnya." "Kau harus menangkapnya dulu," kata Evan.
Kermit menukik. Menangkapnya.
Makhluk itu meloncat ke atas tangannya dan kabur.
"Hei... dia menjilatku!" seru Kermit. "Kurasa dia menyukaiku."
"Dia kelihatannya ramah," kata Andy. Gadis itu berjongkok.
"Sini, Blobby. Blobby, sini," panggilnya, sambil mengulurkan tangan.
Dia memanggil makhluk itu Blobby, dari kata Inggris blob, yang
berarti gumpal. Semuanya menjadi heran, karena makhluk itu meloncat-loncat
mendekatinya. Andy memegangnya hati-hati dengan kedua tangannya. Dia
mengikik. "Dingin sekali!"
Dengan lembut tangannya membelai punggung makhluk yang
gemetar itu. "Kau suka dibelai?" tanyanya lagi, lembut.
Makhluk itu mendengkur seperti kucing yang kesenangan.
Evan dan Kermit berseru heran.
Andy membelai-belainya lagi. Makhluk itu mendengkur makin keras.
EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M "Dia suka dibelai!" kata Andy tertawa.
"Aneh," gumam Kermit. "Bisa tidak kaucuil sedikit badannya,
supaya bisa kupelajari."
"No way!" seru Andy. "Kau tak boleh menyakiti Blobby
mungilku." Dibelai-belainya lagi makhluk itu dengan lembut.
"Hati-hati," Evan memperingatkan. "Dia Darah Monster...
ingat?" "Tak mungkin," bantah Andy. "Darah Monster kan hijau.
Makhluk lucu ini pasti lain."
"Mungkin dia Darah Monster jenis lain," kata Kermit.
"Tahu kan, maksudku. Seperti permen. Rasa lain."
"Whoa!" Andy memekik ketika makhluk itu meloncat lolos dari
pegangannya. Tubuhnya yang basah berdenyut-denyut ketika dia
meloncat dan menggelinding menuju ke garasi.
"Tangkap!" teriak Evan.
Ketiganya berlari mengejar. Makhluk itu ternyata bergerak
cepat. Kermit menangkapnya... makhluk itu lolos dari tangannya.
Evan berlari ke depannya dan mencoba memblokirnya. Tetapi
makhluk itu menggelinding mengitarinya dan terus meloncat-loncat.
"Jangan sampai lolos!" seru Andy.
Evan menangkapnya... dan mengangkat gumpalan basah itu.
"Berhasil!" pekiknya.
Tetapi makhluk itu berubah bentuk. Sambil menguik keras, dia
memanjangkan tubuhnya sampai seperti cacing raksasa. Dan
kemudian dengan mudah molos dari tangan Evan.
"Whoa... dingini" kata Evan. Diamatinya tangannya. Makhluk
itu meninggalkan lendir biru basah di telapak tangannya.
Pas Evan mengangkat matanya, dilihatnya makhluk itu sedang
menggelinding ke pinggir halaman. "Hentikan!" teriaknya. "Jangan
sampai dia masuk ke halaman Conan!"
Evan berlari mengejarnya. Kermit sampai lebih dulu. "Hei...
ngapain dia?" seru Kermit. "Dia membuka keran air."
Slang yang terpasang pada keran itu tergulung di belakang
garasi. Ujungnya menjulur di tanah.
Evan berhenti dan memandang makhluk yang nangkring di
mulut slang. Tubuhnya mulai naik-turun dengan teratur. Dia berhenti
menguik dan ganti mengeluarkan suara gluguk-gluguk keras.
"Dia minum?" tanya Andy.
"Hah" Kurasa begitu!" teriak Evan. Dia terbelalak heran.
Makhluk itu bergerak-gerak di atas mulut slang. Minum. Dan
selama minum, dia bertambah besar.
"Dia menggelembung... seperti balon air!" kata Kermit.
"Mendingan kita setop, sebelum dia terlalu besar," Evan
memperingatkan. Evan mencoba mematikan air, tetapi kerannya tak bergerak.
"Macet!" teriaknya. "Tidak bisa diputar! Kerannya macet!"
Makhluk itu minum terus. Sekarang dia sudah sebesar bola
basket, dan terus bertambah besar.
Evan menangkapnya dengan dua tangan dan menariknya.
Tangannya meluncur di atas tubuh basah yang licin itu.
Makhluk itu sekarang sudah sebesar bola pantai.
"Bantu aku!" seru Evan seraya menangkap makhluk itu lagi.
"Kita harus melepasnya dari slang."
Dia menarik kuat-kuat. Tetapi makhluk itu bertahan menempel
di slang. Andy melangkah ke sebelah Evan. Mereka berdua memeluk
makhluk yang sudah melembung itu dan berjuang melepasnya.
"Wuah... susah betul! Nem... nempel!" Evan terengah.
Makhluk itu menggelembung, makin lama makin besar, sampai
lengan Evan dan Andy tak muat lagi memeluknya.
"Sekarang bagaimana?" ratap Evan.
Dan makhluk itu meletus! Evan mendengar bunyi DOR yang memekakkan telinga.
Luapan air dan lendir dingin mengguyurnya.
Evan jatuh terjengkang. "Aduhhhh!" dia menjerit. Disapunya lapisan tebal lendir yang
menutupi muka dan matanya.
"Iiih, jijik," didengarnya Andy bergumam.
Dia menoleh. Dilihatnya Kermit dan Andy juga basah kuyup.
Lendir tebal bergantung di kacamata Kermit. Rambut Andy basah
kuyup, menempel ke kepalanya.
"Jijik," kata Andy lagi sambil memandang tangannya yang
diselimuti lendir. "Iiih. Jijik benar."
Evan menyapu lagi lendir di matanya. Kemudian dia menoleh
ke tempat makhluk itu berada... dan memekik kaget. "Oh, tidaaaak!"
teriaknya. "Betulkah yang kulihat ini?"
15 DUA makhluk biru meloncat-loncat di sebelah garasi.
Dua makhluk biru seukuran bajing.
Sambil menguik pelan keduanya nyengir kepada Evan, Kermit,
dan Andy. Mata hitam mereka berkilat.
"Jadi ganda!" seru Kermit.
Evan menahan napas. Disapunya gumpalan besar lendir dari
bahunya. "Aku tak suka ini," gumamnya. "Aku sama sekali tak suka."
"Tapi mereka lucu sekali!" Andy memprotes.
Evan bergidik. Udara malam tiba-tiba terasa lebih dingin. Dia
menoleh ke arah rumah. Diselimuti kegelapan.
Bagaimana jika Bibi Dee terbangun dan menangkap basah kami
di luar begini" pikirnya. Aku pasti dapat kesulitan besar. Dia pasti
memecatku sebagai baby-sitter. Aku tak akan bisa kemping...
"Sudah malam," katanya kepada Kermit dan Andy. "Kita harus
masuk." "Tapi kita tidak bisa meninggalkan dua makhluk mungil itu di
luar sini!" protes Andy.
Evan menghela napas. Dia tahu Andy benar. "Oke," katanya,
"ayo cepat kita tangkap mereka. Kita masukkan kantong atau ember
atau apa." Kedua gumpalan itu mulai meloncat-loncat ke arah yang
berbeda. "Awas! Jangan sampai mereka lolos!" seru Evan. "Kalau
mereka sampai terpisah, kita tak akan bisa menangkapnya."
"Aku punya ide," kata Kermit. Dia berlari dan mengangkat
slang air. Diputarnya alat pemercik di ujungnya. Air memancar keras.
"Akan kugiring mereka ke belakang garasi," katanya. "Kalian
berdua cari wadah untuk tempat mereka."
Evan memandang Kermit mengangkat slang dan mengarahkan
pancaran airnya pada kedua makhluk itu.
Pancaran air yang keras membuat keduanya terlempar ke
dinding garasi. "Berhasil!" seru Kermit. "Mereka sudah terperangkap!"
Kermit terus menyemprot mereka. Pancaran air mendorong
mereka, memepet mereka ke dinding garasi.
"Cepat...!" teriak Kermit.
Tetapi Evan ragu-ragu. Dilihatnya kedua makhluk itu membuka
mulut mereka lebar-lebar. Lebih lebar lagi. Dan mulai meneguk.
"Kermit... matikan airnya!" teriak Evan. "Idemu jelek. Mereka
meminum airnya!" Sementara air memancar ke dalam mulut mereka yang


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganga, kedua makhluk itu menggelembung dengan cepat. Mereka
meneguk air seperti kehausan, menggelembung makin besar dan
makin besar. "Kermit... matikan airnya!" perintah Evan.
Terlambat. Kembali terdengar letusan memekakkan telinga. Kembali
luapan air dan lendir. Dan sekarang Evan terbelalak menatap EMPAT gumpalan biru!
Kaget, Kermit menjatuhkan slang airnya. Air memancar ke
rumput. Evan berlari ke dekat garasi dan dengan panik memutar
kerannya. Pancaran air berubah menjadi tetesan, kemudian berhenti.
Tetapi keempat makhluk biru itu sudah menjilati air di
rerumputan. Dan bertambah besar.
"Kita harus menghentikan mereka," kata Evan panik. "Kita
harus menangkap mereka sebelum mereka meletus lagi."
Dia dan Andy berlari bersamaan, dengan panik berusaha
menangkap dua di antara makhluk-makhluk itu. Tetapi Andy tiba-tiba
berhenti... dan Evan langsung menabraknya.
"Aduuuh!" jeritnya. "Kenapa kau berhenti?"
"Lihat mereka." Andy menunjuk.
Ramalan The Prophecy 3 Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Iblis Sungai Telaga 23
^