Pencarian

Mobil Hantu 2

Goosebumps - Mobil Hantu Bagian 2


udaranya tidak dihidupkan. Sudah kukatakan, aku tidak membawa
kuncinya." "Aku be"beku," kata Todd tergagap-gagap.
Aku menatap kaca depan. Kaca itu terlapis es di sisi dalam!
Aku sadar ini hawa dingin yang tidak normal. Dingin yang
sangat tajam menusuk. Dari mana asalnya"
"Ini benar-benar aneh," gumam Allan di sampingku.
"Aku mau keluar," seru Todd dari belakangku. "Wajahku"
membeku!" Kudengar ia menarik-narik hendel pintu. Lalu kudengar
jeritannya. "Hei"terkunci. Mitchell"buka pintunya."
Kucoba pintu di sebelahku. Terkunci.
Sekali lagi, aku mencari-cari kuncinya.
"Di"dingin sekali!" Kudengar suara Steve tergagap-gagap.
"Mitchell"ayolah. Buka pintunya."
"Sedang kuusahakan," kataku. Tanganku mencari-cari tombol
di panel pintu. Udara bertambah dingin. Kugosok hidung dan telingaku yang
bagai mati rasa. Cuping hidungku sakit sewaktu aku menarik napas.
Begitu dingin... Dadaku sakit. Tiba-tiba rasanya sesak. Aku berjuang untuk
mengambil napas, tapi dadaku berdenyut-denyut menyakitkan.
Kusadari dingin telah membekukan udara. Helaan napas selalu
diiringi suara siulan melengking.
Dadaku berdenyut-denyut. Aku tidak bisa menahan tubuhku
yang menggigil. Kucoba membuka pintunya lagi. Jemariku yang mulai
membeku tidak mau terlipat. Aku tidak bisa memegang hendel pintu.
Mati-matian, tercekik kepanikan, kuhantamkan bahuku ke
pintu. Tidak. Pintunya bergeming. Lalu aku mendengar suara tawa. Samar. Tawa seorang gadis.
Pelan dan... kejam. Tawa yang jahat. Udara bahkan semakin dingin. Aku tercekik. Berjuang untuk
menghirup napas. Tapi tidak bisa.
Apa paru-paruku membeku"
"Keluarkan kami!" jerit Todd.
"Keluarkan kami dari sini!" susul Steve.
Kami semua memukuli pintu dan jendela.
"Keluarkan kami! Tolong"keluarkan kami!"
13 PINTUKU membuka. Aku terjatuh keluar. Aku menggigil, seluruh tubuhku gemetar
karena kedinginan, dan aku mendarat pada sisi tubuhku di jalur
masuk. Aku menengadah memandang Marissa.
Marissa menarik salah satu pintu hingga terbuka, Todd serta
Steve menghambur keluar. Sambil memeluk tubuh, mereka mulai
melompat-lompat, mencoba menghangatkan diri. Sedetik kemudian,
Allan menyelinap keluar dari pintu pengemudi yang terbuka dan
bergabung dengan mereka. Dengan susah payah aku bangkit berdiri, memaksa diri untuk
berhenti menggigil. Udara malam terasa hangat dibandingkan di
dalam mobil. "Apa yang terjadi?" tanya Marissa sambil berpaling dariku dan
memandang yang lain. "Ada apa dengan kalian?"
"Be-beku," kata Steve dengan suara tercekik.
"Aku mau masuk," kata Todd. "Aku harus menghangatkan
diri!" Ia melesat pergi dan menghilang ke dalam rumah.
Marissa menatapku. "Mitchell, kau terkunci di dalam mobil
lagi?" "Yeah. Kami terkunci di dalam," kata Steve sambil menggeram,
menjawab untukku. "Dan bocah tolol ini menghidupkan AC-nya."
"Tidak!" jeritku.
"Tidak lucu, Mitchell," gumam Allan. "Benar-benar tidak lucu."
Steve mendorongku. "Selera humormu aneh."
"Ayolah, guys?" pintaku. "Kalian harus mempercayaiku. Aku
tidak?" Tapi mereka berlalu, berlari menyusuri jalan, ke arah rumah
masing-masing. Kuawasi mereka hingga menghilang di blok berikutnya. Lalu
aku kembali berpaling memandang Marissa. "Untung kau datang
lagi," kataku. "Yeah, kurasa begitu," jawab Marissa sambil tetap
mengawasiku. "Kau benar-benar harus memperbaiki pintunya."
"Kukira Dad sudah memperbaikinya di bengkel," kataku
padanya. Sementara bercakap-cakap dengan Marissa, aku memikirkan
suara tawa yang tadi kudengar di dalam mobil. Suara tawa seorang
gadis yang lembut tapi kejam.
Tawa yang sedingin udara di dalam mobil.
"Aku takut memberitahu Dad tentang pintu itu," kataku. "Ia
mungkin akan berusaha memperbaikinya sendiri." Aku menggeleng.
"Kalau benar begitu, ia hanya akan semakin merusaknya."
"Tapi kau tidak bisa membiarkannya terus seperti ini," katanya
bersikeras, pandangannya terpaku ke arahku. "Itu berbahaya, Mitchell.
Benar-benar berbahaya."
****************************
Saat itu hampir tengah malam, tapi aku tidak bisa tidur.
Mom dan Dad telah tidur pukul sebelas tadi. Rumah sunyi dan
tenang. Embusan angin menggetarkan kaca jendela kamar tidurku.
Dengan mengenakan piama, aku membungkuk di atas kusen
jendela dan menatap mobil di ujung jalur masuk itu. Tiba-tiba, di
mataku mobil itu tampak seperti macan tutul yang hendak menerkam.
Aku merasa seseorang menyentuh bahuku.
Aku menjerit"dan berbalik.
"Todd"apa yang kaulakukan di sini" Kenapa kau belum
tidur?" tanyaku. Ia tidak menjawab. Dalam siraman cahaya dari jalan, aku bisa
melihat wajahnya yang ketakutan.
Ia melangkah ke sampingku dan menatap mobil di bawah.
"Mobil itu berhantu," bisik Todd.
"Apa?" "Mobil itu berhantu," katanya.
14 Aku mengerang. "Todd"tolong jangan mulai dengan ceritacerita hantu itu lagi."
"Mobil itu berhantu," ulang Todd sambil menyandar ke kusen
jendela dan menatap mobilnya. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia
berpaling memandangku. "Aku mendengar tawa gadis itu, Mitchell."
Mulutku ternganga. "Kau juga mendengarnya?"
Ia mengangguk. "Mungkin saja Marissa yang tertawa dari luar mobil," kataku
pelan. "Mungkin," jawab Todd. "Tapi ada yang mengunci pintu-pintu
itu. Ada yang mengunci kita di dalam mobil lalu membuat udara
dalam mobil dingin."
"Todd?" "Itu hantu!" serunya, suaranya gemetar, wajahnya pucat pasi
tertimpa cahaya kelabu dari luar. "Aku tahu hantu yang
melakukannya. Mobil itu berhantu, Mitchell."
Ia gemetaran. Dengan lembut kupegang bahunya. "Itu sinting,
Todd," bisikku. "Kau harus berhenti membayang-bayangkan hantu
sepanjang waktu." "Tapi"tapi?" ia tergagap.
"Mobil itu hanya perlu perawatan, itu saja," kataku berusaha
meyakinkannya. "Itu mobil bekas. Perlu sedikit perawatan."
Kami bercakap-cakap selama beberapa saat lagi. Kupikir aku
berhasil menenangkannya. Ia mengucapkan selamat malam dan
kembali ke kamarnya sendiri.
Aku melangkah ke ranjang. Berhenti di tengah jalan.
Ada yang menarikku kembali ke jendela. Aku ha?rus melihat
mobil itu sekali lagi. Mendung tebal menggantung rendah di atas bukit. Bulan dan
bintang-bintang bersembunyi di balik selimut kegelapan.
Aku mengintip ke jalur masuk"dan tersentak kaget.
Mobil itu bermandikan cahaya kehijauan yang mengerikan.
Cahaya hijau pucat menyelimuti mobil itu, berpendar-pendar,
semakin lama semakin terang, sebelum memudar.
Lalu bertambah terang lagi.
Berdenyut-denyut. Apa yang membuatnya begitu" aku penasaran. Aku mengintip
ke bawah dari balik jendela, keningku menempel di kaca jendela yang
dingin. Apakah Todd benar" Apakah mobil itu benar-benar berhantu"
Aku berbalik dari jendela dan menyambar pakaianku.
Aku harus tahu. 15 Aku menuruni tangga sambil membawa sepatuku. Kalau Mom
dan Dad mendengar anak tangga berderit, aku pasti tertangkap. Dan
bagaimana aku menjelaskan mengapa aku menyelinap keluar di
tengah malam" Aku duduk di ruang depan dan mengenakan sneaker-ku. Aku
tidak repot-repot mengikat talinya. Aku ingin keluar rumah sebelum
cahaya kehijauan yang aneh itu hilang.
Aku bisa mendengar angin bersiul masuk melalui jendelajendela ruang duduk. Bingkainya yang tua berderak-derak.
Kedengarannya seperti ada yang mengguncang-guncang rumah ini.
Tidak heran Todd yang malang itu mengira rumah ini berhantu!
Dad merencanakan untuk mengganti bingkai-bingkai jendela
yang telah tua. Tapi ia tidak punya waktu. Kalau angin kencang
bertiup, kami harus mengenakan sweater atau mantel di dalam rumah.
Kurapatkan jaketku. Kunci mobil ada di meja kecil di samping
pintu depan. Aku mengambil kunci itu dan menjejalkannya ke dalam
saku mantelku. Lalu dengan hati-hati aku membuka pintu depan dan
menyelinap keluar. Embusan angin yang kuat membuatku mundur kembali ke balik
pintu. Rambutku menutup mata. Dengan susah payah aku meraih
ritsleting jaket dan menariknya ke atas hingga ke kerah.
Embun malam telah membeku, menyisakan lapisan tipis es
beku di halaman depan. Sambil terpeleset-terpeleset, aku berlari kecil
melintasi rerumputan menuju jalur masuk.
Mobil itu tidak lagi bercahaya.
Mobil itu diterangi lampu jalan, berkilat dan tidak bergerak.
Aku berlari ke pintu pengemudi, napasku mengepul di depanku
membentuk kepulan-kepulan uap putih.
Aku mengintip ke balik jendela yang berlapis es. Di dalam
mobil gelap. Gelap dan kosong. Kenapa mobil ini tidak bercahaya" aku penasaran. Apakah
cahayanya hanya ilusi, tipuan cahaya dari jendela kamar tidurku di
lantai atas" Aku kecewa. Mobil ini menyimpan misteri, dan aku ingin memecahkannya.
Tapi di sinilah aku sekarang, di malam yang dingin dan
berangin, berdiri di jalur masuk, menatap mobil kosong.
"Mitchell, tingkahmu seperti orang bodoh," aku mencela diriku
sendiri. Sambil menggeleng, aku berbalik dan kembali ke rumah.
Aku baru berjalan satu atau dua langkah sewaktu mendengar
suara lembut itu: "Naiklah. Ayo"masuklah."
"Hah?" Aku menjerit terkejut"dan berbalik begitu keras
hingga hampir-hampir terpeleset di jalur masuk yang terlapis es itu.
"Masuklah. Cepat. Naiklah."
Aku kembali mendekati mobil, membungkuk melawan
embusan angin kencang. "Siapa kau?" seruku. "Kau ada di mana?"
Suaraku yang teredam tertiup kembali ke wajahku sendiri.
Sekarang yang ada hanya kesunyian. Hanya embusan angin di
sela pepohonan yang hampir gundul. Dedaunan yang mati dan
berwarna kecokelatan berputar-putar di kakiku, seakan-akan berusaha
menahan langkahku. Tapi aku meraih hendel pintunya. "Siapa kau?" ulangku.
Ketakutan membuat seluruh tubuhku gemetar. Aku tahu
seharusnya aku tidak mematuhi suara itu. Aku tahu seharusnya aku
menjauhi mobil itu. Aku teringat kejadian pintu yang terkunci, udara yang
membeku, tawa yang dingin dan kejam.
Tapi aku menyelinap keluar untuk memecahkan misteri itu. Dan
aku tidak bisa memecahkannya dengan hanya berdiri di luar sini,
menggigil, menatap mobil yang kosong.
Kutarik pintu hingga membuka dan menyelinap ke belakang
kemudi. Kursi kulitnya begitu dingin sehingga menyengatku, menembus
pakaianku. Napasku menyemburkan uap ke kaca depan, kugosokkan
tanganku ke roda kemudi yang dingin dan halus.
"Kau ada di sini?" bisikku, berpaling, mencari-cari. "Apa ada
orang di sini?" Aku berusaha mendengarkan suara lembut gadis itu.
Sunyi. "Mitchell, kau idiot," gumamku keras-keras.
Aku termakan ocehan tolol adikku tentang hantu. "Yeah,
benar," kataku sambil memutar bola mata. "Kau duduk di dalam mobil
yang berhantu." Angin meniup setumpuk dedaunan kering ke kaca depan.
Karena terkejut, aku mengangkat tangan seolah melindungi diri.
Dedaunan itu menempel rata di kaca seakan-akan mendesak
untuk masuk. Angin kembali bertiup mengusir dedaunan itu.
"Apa ada orang di sini?" aku mencoba sekali lagi. "Apa ada
yang tadi memanggilku?"
Sunyi. Sambil menggigil, kujejalkan tanganku ke saku mantel. Dan
meraba kunci mobilnya. Kukeluarkan kunci itu dan menatapnya. Kenapa aku
membawanya" Apa aku merencanakan untuk menghidupkan
mobilnya" Tidak. Tentu saja tidak. Kuambil kunci itu karena saat itu tengah malam, aku masih
setengah tidur, tidak berpikir dengan jernih, dan menjadi gila karena
ada yang aneh dengan mobil ini tapi aku tidak bisa memecahkannya!
Kumasukkan kunci ke tempatnya dan memutarnya satu kali.
Mesinnya tidak hidup. Kau harus memutar kunci sampai penuh untuk
menghidupkan mesinnya. "Apa yang kulakukan?" tanyaku sendiri.
Aku tahu seharusnya aku tidak berada di luar. Aku seharusnya
ada di ranjang, aman dan hangat dan tertidur.
Tapi aku tidak bisa menahan diri.
Aku mendapat perasaan yang sangat tidak enak. Perasaan akan
adanya kekuatan aneh dan tidak kasatmata yang menarikku ke mobil
ini. Kekuatan yang memaksaku memasukkan kunci di tempatnya.
Memaksaku untuk memutar kuncinya. ebukulawas.blogspot.com
Lalu, aku merasakan embusan angin dingin sewaktu tanganku


Goosebumps - Mobil Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjulur"dan menghidupkan radio.
Kuduga radionya akan menyemburkan irama musik. Tapi,
sebaliknya, aku hanya mendengar derakan dan siulan statis.
Kutekan sebuah tombol. Lalu tombol yang lain.
Tidak ada. Tidak ada musik.
Apa radionya rusak" Kuputar kenop volumenya, memutarnya hingga penuh.
Dan suara itu"suara gadis yang lembut"terdengar dari
pengeras suara:"Aku jahat... aku jahat sekali...."
Kubuka mulutku untuk memanggilnya"tapi yang terdengar
hanya suara bagai tercekik.
"Aku jahat sekali...."
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, mesin meraung
hidup. Lampu depan menyala. Mobil berpindah persneling ke posisi
mundur. "Tidaaaaak!" lolongku. "Ini tidak terjadi! Ini tidak mungkin
terjadi!" Tapi dengan sentakan yang melontarkan kepalaku menghantam
kaca depan, mobil itu melesat mundur, menuruni jalur masuk,
memasuki jalan. "Hei!" jeritku. "Hentikan! Bebaskan aku! Berhenti! Bebaskan
aku!" 16 MOBIL itu melesat ke jalan.
Seakan-akan didorong tangan yang tak kasatmata,
persnelingnya pindah ke posisi maju.
"Berhenti! Apa yang terjadi?" jeritku.
Kusambar hendel pintu. Menarik-narik dan mendorongnya
dengan seluruh berat tubuhku.
Terkunci. Terkunci rapat.
"Keluarkan aku!"
Roda-rodanya berdecit di aspal yang licin dan berlapis es.
Mobil itu melesat maju, menuruni bukit, menyusuri Forrest Valley
Road. "Tidak! Ini gila! Siapa kau" Apa yang kaulakukan?"
Mati-matian kucoba membuka pintunya lagi. Tidak terbuka.
Mobilnya meluncur di atas aspal. Kecepatannya bertambah
sementara meliuk-liuk menuruni bukit.
Aku menyambar roda kemudi, berjuang untuk mempertahankan
mobil di jalan. Dengan panik kujejakkan kakiku di pedal rem.
Tapi, bukannya berhenti, mobil itu justru melaju semakin
kencang. Tawa menghambur dari pengeras suara radio. Tawa rendah
yang dingin seperti sebelumnya.
"Siapa kau" Kau ada di mana?" jeritku.
Pedal rem kembali kuinjak, tapi kecepatan mobilnya tidak
berkurang. Aku menyambar kunci"dan memutarnya untuk mematikan
mesin. Tapi mesinnya justru meraung semakin keras.
Kucabut kunci dari tempatnya dan kujejalkan ke dalam saku
jaket. Tapi mobilnya meluncur semakin cepat.
"Tidaaaak!" Aku menjerit ngeri sementara mobil meliuk keluar
dari jalan, roda-rodanya berdecit. Kepalaku membentur langit-langit
saat mobil menghantam tanah keras.
Aku mencengkeram roda kemudi dengan dua tangan.
Membungkuk di atasnya. Memutarnya sekuat tenaga.
Mengarahkan mobil itu kembali ke jalan.
Jalan menurun curam. Bangunan-bangunan kota mulai terlihat,
jauh di bawah kami. Kuinjak-injak pedal rem. Kucoba memindahkan persneling ke
posisi parkir. Kutarik-tarik rem tangannya.
Tapi mobil meluncur semakin cepat, semakin cepat, dengan
mesin meraung-raung. "Kau suka?" Suara gadis itu mengalun dari pengeras suara, begitu pelan
sehingga aku hampir tidak mendengarnya mengatasi raungan mesin,
dan gemuruh roda-roda mobil.
"Kau suka" Kau suka acara jalan-jalan ini?"
"Berhenti! Hentikan mobilnya"please!" Aku tercekik. Roda
kemudi terlonjak-lonjak dalam cengkeramanku. Kuputar sekuat
tenaga, aku berjuang mengikuti tikungan-tikungannya sementara kami
terus meluncur menuruni lereng yang curam.
Di kejauhan terdengar suara peluit. Dari tempat yang sangat
jauh. Peluit kereta" Tawa gadis itu menenggelamkannya.
"Siapa kau" Kau ada di mana?" tanyaku sambil mencengkeram
roda kemudi, mengendalikannya dengan dua tangan.
Sekalipun udara malam dingin, keringat mengucur di keningku.
Tanganku yang basah dan lengket terus meleset dari kemudi.
"Tapi kau suka mengemudi!" suara itu bersikeras, mengejek,
begitu kejam. "Tidak! Tidak, aku tidak suka!" lolongku. "Hentikan mobilnya.
Kita akan menabrak! Hentikan sekarang!"
"Hentikan" Oke," kata gadis itu pelan.
Aku merasakan pedal rem terinjak hingga rata dengan lantai"
dan tidak naik kembali. Kudengar roda-roda berdecit.
Mobilnya meluncur ke samping"meluncur tanpa kendali.
Kuputar roda kemudinya, tapi tidak membantu.
Aku menjerit sewaktu mobil mulai berputar.
Diiringi jeritan protes roda-roda, mobil itu meluncur keluar dari
jalan. Terlonjak-lonjak di rerumputan dan sesemakan. Terpantulpantul dan meluncur menyamping.
Ke arah pepohonan gelap yang menjulang di balik bahu jalan.
Tawa gadis itu membahana dari pengeras suara, melengking di
sekelilingku sementara pepohonan semakin dekat.
Dalam beberapa detik yang sangat cepat itu aku menyadari
mobil ini akan menabrak. Tawa itu berdering di telingaku. Berdering dan menggema
seakan-akan berasal dari dalam kepalaku.
Aku akan menabrak. Aku akan mati. Kusentakkan roda kemudi sekuat tenaga, setengah mati
berusaha memutar mobil menjauhi pepohonan.
Mobil itu terlonjak keras.
"Aow!" jeritku sewaktu kepalaku kembali menghantam langitlangit mobil.
Pepohonan gelap menjulang di kaca depan. Roda-roda
menggesek rerumputan dan sesemakan liar.
"Yes!" Roda kemudi kembali kuputar, dan pepohonannya
meluncur menghilang dari pandangan. Mobil berputar balik,
terguncang-guncang hebat, lalu kembali menghadap ke jalan.
Mobil kembali terguncang keras. Lalu aku kembali berada di
atas aspal. Mesin meraung-raung di sepanjang jalan yang gelap dan
berliku-liku. Menambah kecepatan.
"Hentikan mobilnya! Hentikan!" jeritku, roda kemudi tersentaksentak dan berputar-putar dalam cengkeramanku.
Tawa gadis itu mengambang mengatasi raungan mesin.
Di kejauhan kudengar lolongan peluit kereta api.
"Siapa kau" Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku, suaraku
tersentak-sentak seiring dengan lonjakan mobil.
Terdengar tawa dingin lagi. Lalu gadis itu mengerang, "Aku
jahat... aku jahat sekali."
Persimpangan rel kereta api terlihat dalam sorotan lampu depan.
Aku melihat pintu lintasan kereta telah diturunkan. Lampulampu merahnya bekerlap-kerlip.
Di sebelah kiri kulihat sosok gelap kereta, tampak hitam dengan
latar belakang langit malam yang keunguan. Menderu makin dekat
dengan persimpangan. Terdengar peluit panjang dan pelan.
Kuinjak pedal rem sedalam-dalamnya.
Tapi mobil justru tersentak maju.
Pintu lintasan kereta tampak mengilat tertimpa sorotan lampu
depan sementara mobil meraung-raung menuju rel.
"Selamat tinggal, Mitchell." Suara gadis itu bagai mendengkur
dari pengeras suara. "Kuharap kau menikmati acara jalan-jalannya,
jalan-jalanmu yang terakhir."
17 SOROTAN kembar lampu depan kereta menerangi
persimpangan hanya beberapa meter di depanku. Cahaya putih terang
memaksaku melindungi mata dengan tangan.
Dan menjerit lebih keras dari yang pernah kulakukan
sebelumnya. Jeritanku membahana mengatasi raungan mesin kereta.
Napasku terputus saat mobil berhenti dengan sentakan hebat.
"Ooooohhh!" Aku terlempar ke kemudi.
Lalu tersentak kembali ke belakang menghantam kursi.
Roda-rodanya berdecit seakan menangis.
Bumper depan menghantam pintu lintasan kereta. Mobil
terlonjak berhenti. Kereta meraung lewat. Kutatap iring-iringan yang melaju lewat itu, ternganga, dadaku
bergerak-gerak naik-turun, berjuang untuk meredakan napas.
Tenggorokanku sakit karena menjerit. Hawa dingin menyebabkan
seluruh tubuhku bergetar.
Kereta bergemuruh lewat. Terdengar lengkingan peluit yang
panjang sekali lagi, kali ini suaranya memudar di kejauhan.
Sekarang hanya ada kesunyian. Kecuali napasku yang cepat dan
pendek-pendek, serta deburan di dalam dadaku.
Mobilnya perlahan-lahan mundur, menjauhi pintu lintasan
kereta. "Menyenangkan, bukan?" bisik suara gadis itu dari pengeras
suara radio. "Kau senang?"
"Tidak!" jeritku dengan marah. "Kau sudah sinting?"
Sambil menggerutu marah, kumatikan radionya.
Tapi tawa gadis itu tidak terputus.
Mobil kembali meluncur melewati pepohonan dan rumahrumah, mengikuti jalan berliku-liku mendaki bukit. Aku hampirhampir tidak menyadarinya. Tubuhku gemetar. Aku masih bisa
mendengar gemuruh kereta yang melaju dalam benakku.
"Siapa kau?" kataku dengan susah payah, pada akhirnya. "Apa
kau hantu" Kau menghantui mobil ini?"
Tidak ada jawaban. "Aku tidak mengerti!" jeritku. "Katakan siapa kau. Kenapa kau
berusaha membunuhku?"
Sunyi. Lalu terdengar erangan lembut, "Aku jahat... aku jahat sekali."
Mobil perlahan-lahan berhenti.
Aku mengintip ke balik kaca depan"dan, yang membuatku
terkejut, aku melihat orangtuaku, mantel mereka berkibar-kibar di luar
piama yang mereka kenakan. Mereka berlari-lari bertelanjang kaki di
jalur masuk. Aku... pulang! Aku mengembuskan napas lega yang panjang
dan gemetar. Dad menarik pintu pengemudi hingga terbuka. "Mitchell!"
teriaknya. "Tega sekali kau berbuat begini!"
"Kenapa" Kenapa?" Ia menyambar lenganku dan menyeretku
keluar dari mobil. Pandangannya penuh kemarahan. Aku belum
pernah melihatnya semarah itu.
Di belakangnya, Mom menggeleng. Aku melihat air mata
mengalir di pipinya. "Ini kenakalanmu yang paling buruk," katanya dengan suara
tercekik. "Yang paling buruk."
"Kami tidak percaya kau membawa pergi mobilnya," kata Dad
dengan gigi terkatup. Tangannya meremas lenganku.
"Tapi"tapi"aku tidak melakukannya!" kataku tergagap.
Dad menatap ke balik bahuku, ke pintu mobil yang terbuka.
"Mitchell, kau mendapat kesulitan yang sangat besar," katanya,
suaranya gemetar karena marah. "Jangan berbohong. Jangan
mengarang cerita. Tidak ada orang lain lagi di dalam mobil. Jangan
berani-berani mengatakan bukan kau yang membawa pergi mobilnya."
"Tapi"bisa kujelaskan!" kataku.
Aku menghela napas. Dari mana harus kumulai" Bagaimana
caraku meyakinkan mereka bahwa bukan aku yang mengemudikan
mobilnya" "Hei"ada apa?" seru seorang gadis sebelum aku sempat
menjelaskan. Aku berbalik dan melihat Marissa berlari-lari di jalur masuk.
"Semua beres?" serunya. Rambut pirangnya bergoyang-goyang
di bahunya saat ia berlari. "Kenapa kalian masih belum tidur selarut
ini?" "Si-siapa kau?" tanya Mom, sambil menghapus air mata di
pipinya. "Kau teman Mitchell?"
"Ia baru saja pindah kemari," kataku pada Mom.
"Namaku Marissa Meddin," kata Marissa. "Aku belum tidur
sewaktu kudengar suara-suara. Kulihat Mitchell di luar sini...." Ia
tidak menyelesaikan kata-katanya.
"Mitchell sedang mendapat masalah yang sangat besar," kata
Dad, akhirnya melepaskan lenganku. "Mitchell melakukan perbuatan
yang benar-benar buruk."
Pandangan Marissa terkunci pada mataku.
"Tidak benar!" jeritku. "Mom"Dad"kalian harus
mempercayaiku! Aku keluar dan duduk di dalam mobil. Tapi bukan
aku yang membawanya pergi."
"Mitchell, itu omong kosong," kata Mom.
"Kuperingatkan kau untuk terakhir kalinya, katakan
sejujurnya," kata Dad dengan marah.
Aku tidak mampu menahan diri lebih lama lagi. "Mobilnya
berhantu!" jeritku. Mom dan Dad menjerit terkejut. Marissa menatapku dengan
mulut ternganga. "Aku tahu kalian tidak akan mempercayaiku"tapi itu yang
sebenarnya! Aku mendengar suara seorang gadis. Ia terus-menerus
tertawa dan mengatakan betapa jahat dirinya. Ia yang mengemudikan
mobilnya. Bukan aku. Aku tidak bisa mengendalikannya. Ada hantu.
Sungguh. Hantu?" "Mitchell, hentikan sekarang juga," kata Dad. "Apa kau tibatiba berubah menjadi Todd" Kami tidak akan mempercayai cerita gila
apa pun tentang hantu."
"Kau memperbesar masalahmu sendiri," kata Mom sambil
mendesah. "Tapi ia mencoba membunuhku!" lolongku.
Marissa memicingkan mata menatapku. Ekspresinya berubah.
Aku melihat dagunya gemetar. Ia tiba-tiba tampak sangat ketakutan.
"Mungkin Mitchell bicara jujur," katanya pelan.
Kurasa Mom dan Dad tidak mendengarnya.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Mom, air mata mengalir deras
di pipinya. Ia menarik mantel mandinya lebih erat lagi. "Apa yang
kaupikirkan" Apa kaukira ayahmu dan aku tidak akan melihat bahwa
mobilnya tidak ada?"


Goosebumps - Mobil Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak berpikir sama sekali"bukan, Mitchell?" tuduh Dad.
"Kau begitu ingin mengemudikan mobil itu"jadi kaucuri kuncinya
dan pergi berjalan-jalan."
"Tapi kau baru dua belas tahun!" jerit Mom.
"Mobilnya berhantu. Aku bisa membuktikannya!" kataku
bersikeras. "Aku berbicara sejujurnya. Akan kubuktikan pada kalian."
Aku tidak memberi mereka kesempatan untuk menghentikanku.
Aku berbalik ke mobil. "Dengarkan ini," kataku pada mereka.
"Ada suara. Suara hantunya. Dari pengeras suara. Ia akan
memberitahu kalian. Ia akan mengatakan yang sebenarnya."
Aku membungkuk masuk ke dalam mobil. Mereka berkerumun
di dekatku. Kuulurkan tangan dan kuhidupkan radio.
"Ayo," kataku pada suara itu. "Katakan pada mereka apa yang
sudah kaulakukan. Katakan yang sebenarnya. Katakan kenapa kau
menghantui mobil ini. Katakan!"
18 KEESOKAN harinya sesudah makan malam, aku berada di
kamarku di lantai atas, bercakap-cakap dengan Steve melalui telepon.
"Aku hanya bisa meneleponmu selama tiga puluh detik," kataku
padanya. "Itu peraturan baru. Aku dipenjara di rumahku sendiri."
"Memangnya kenapa?" tanya Steve.
"Panjang ceritanya," kataku sambil mendesah.
"Jadi kau mendapat masalah?" tanyanya.
"Aku dihukum seumur hidup."
"Whoa! Itu benar-benar mengganggu!" seru Steve. "Kenapa"
Apa yang kaulakukan?"
"Menurut orangtuaku aku mencuri mobil baru itu, lalu
berbohong," sahutku.
"Memangnya kaulakukan atau tidak?" tanyanya. "Apa kau
benar-benar membawa pergi mobilnya?"
"Boleh dikatakan begitu," jawabku.
Lalu timer-ku berbunyi. Tiga puluh detikku habis. "Semoga
hidupmu menyenangkan," kataku pada Steve dengan muram. Lalu
menutup teleponnya. Kubanting timer ke meja. Mom memberikannya padaku untuk
membatasi waktu teleponku. Apa yang bisa kauceritakan pada orang
dalam tiga puluh detik"
Tidak adil. Seluruh kejadian ini tidak adil. Aku tidak melakukan kesalahan
apa pun. Tapi tak akan ada orang yang mau percaya mobilnya berhantu.
Well... tiba-tiba aku teringat ada satu orang yang jelas akan
mempercayaiku. Aku bergegas menuju kamar tidur Todd.
Kudengar ia tertawa dari dalam kamarnya. Sewaktu masuk,
kulihat ia membungkuk di atas keyboard komputer, menatap monitor,
memainkan permainan You Don't Know Jack.
Permainan kuis. Terlalu sulit untuk Todd. Ia hampir-hampir
tidak tahu jawabannya. Tapi ia tidak peduli. Menurutnya permainan
itu lucu. Permainan itu membuatnya tertawa melolong seperti anjing.
Ia berbalik dari layar sewaktu mendengarku masuk. "Ada apa?"
tanyanya dengan riang. "Mau bermain bersamaku?"
"Tidak bisa," kataku sambil mengerang. "Aku tidak diizinkan
bersenang-senang, ingat?"
Ia mengerutkan kening. "Aku tidak pernah melihat Mom dan
Dad semarah itu." Aku merosot di tepi ranjang Todd. "Kau percaya padaku?"
tanyaku padanya. "Kau percaya dengan ceritaku ada hantu di mobil?"
Todd mengangguk khidmat. "Ya. Tentu saja aku percaya
padamu," jawabnya, suaranya hanya sedikit lebih keras dari bisikan.
"Dan aku tahu siapa hantunya."
"Hah?" Aku tersentak. "Sungguh" Kau tahu?"
Ia kembali mengangguk. Aku melesat menyeberangi ruangan dan menyambar bahunya.
"Todd"katakan," kataku. "Siapa" Siapa hantunya?"
19 "GADIS baru itu, Marissa," kata Todd dengan khidmat.
Aku ternganga menatapnya. "Apa?"
"Marissa," ulangnya. "Ia yang menghantui mobil itu."
Aku tertawa. "Itu sinting." Aku memutar bola mataku. "Kenapa
aku bertanya padamu" Seharusnya aku tahu kau akan memberikan
jawaban gila." "Tidak gila," jawab Todd pelan. Ia duduk di ujung ranjang dan
melipat lengan di depan dadanya. "Ia muncul di sini pada hari yang
sama dengan kedatangan mobil, bukan" Dan ia selalu muncul tiba-tiba
untuk mengeluarkanmu setiap kali pintunya macet. Benar?"
Aku menggaruk-garuk kepalaku. "Ya. Benar. Tapi itu tidak
membuktikan apa-apa."
"Bagaimana caranya ia bisa selalu ada di sana, bahkan di tengah
malam?" tanya Todd. "Karena ia hantu. Karena ia menghantui mobil.
Aku tahu." "Itu benar-benar bodoh," kataku padanya. "Marissa itu gadis
sungguhan, bukan hantu. Ia tidak tinggal di mobil. Ia pindah ke jalan
yang sama dengan kita minggu lalu. Akan kubuktikan padamu."
Aku melompat bangkit, berlari menyusuri lorong, dan
menyambar telepon tanpa kabelku. Lalu kubawa telepon itu kembali
ke kamar Todd. Kutekan angka 411. "Halo" Informasi" Aku mau menanyakan
nomor telepon keluarga Meddin. Mereka baru saja pindah ke Scotts
Landing Road." Dengan lengan masih terlipat rapat, Todd terus menatapku
sementara aku menunggu operator mencari nomor teleponnya. Aku
bisa melihat Todd tegang. Ia menggigiti bibir bawahnya.
"Maaf," kata operator. "Tidak ada keluarga Meddin yang
terdaftar di Scotts Landing."
"Oh," gumamku. Ketakutan merayapi punggungku. Aku
mengucapkan terima kasih dan mematikan telepon.
Lalu berpaling memandang Todd. "Mungkin telepon rumah
mereka belum terpasang," kataku. Kusambar lengan Todd dan
menariknya berdiri. "Ayo. Kita pergi."
"Hah" Pergi?" Ia menarik tangannya hingga lepas. "Pergi ke
mana?" "Kita ke rumah Marissa," jawabku. "Aku ingin membuktikan
padamu ia bukan hantu."
"Tapi"tapi kau dihukum!" kata Todd tergagap. "Kau tidak
diizinkan meninggalkan rumah, Mitchell."
"Mom dan Dad ada di ruang bawah tanah," kataku padanya.
"Mom sedang membantu Dad membereskan proyeknya yang kacau.
Mereka akan lama sekali di sana. Kita akan kembali sebelum mereka
tahu kita pergi." Kami menyelinap turun ke lantai bawah dan mengambil lampu
senter serta jaket kami. Aku bisa mendengar suara Mom dan Dad dari
ruang bawah tanah, berdebat. Mereka selalu saling berteriak kalau
bersama-sama membereskan salah satu proyek Dad.
Todd dan aku menyelinap keluar pintu depan. Malam dingin
dan berawan. Tidak ada bulan maupun bintang-bintang di langit.
Kami melewati mobil itu. Mobil itu gelap dan kosong, diparkir
di jalur masuk. Tidak ada cahaya hijau. Tidak ada hantu yang
menyeringai pada kami dari kursi depan.
Kami tiba di jalan. Ada sesuatu yang berkelebat di atas
permadani dedaunan mati di tanah. Mungkin seekor bajing.
"Rumah Marissa yang mana?" tanya Todd sambil terengahengah.
Aku menunjuk blok berikutnya. "Rumah keluarga Faulkner,"
kataku. "Kau tahu. Rumah bata yang sudah reyot dengan serambi
depan yang besar tapi bobrok itu."
Lampu jalan di tikungan padam. Berkas-berkas lampu senter
kami menari-nari di atas aspal hitam. Malam hening dan tidak
berangin. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang terusik.
Rumah keluarga Faulkner adalah rumah kedua di blok ini. Aku
bisa melihat dari tikungan semua lampunya padam. Tidak ada mobil
di jalur masuk. "Mungkin mereka tidur lebih awal," gumamku.
Sepatu sneaker kami gemeresik menginjak dedaunan cokelat
kering yang menutupi halaman rumput depan. Sambil mengarahkan
lampu senter kami ke tanah, kami melangkah menuju serambi depan.
Pintu serambi terbuka, tergantung pada engselnya. Bisa kulihat
setumpuk koran di dalam. Dan beberapa kaleng soda yang telah
diremukkan. "Lihat?" bisik Todd. "Sudah kubilang. Tidak ada yang tinggal
di sini." "Kau keliru," kataku bersikeras. Aku melangkah ke jendela
depan. Kusambar kusennya, lalu berjinjit.
Ruang duduk gelap. Sunyi.
Kusorotkan lampu senter ke balik jendela yang berlapis debu.
"Whoa!" gumamku.
Tidak ada perabotan. Ember cat terbalik di lantai. Di dekat
dinding ada tumpukan koran lagi.
"Apa yang kaulihat?" tanya Todd.
"Tidak ada," kataku. Aku bergerak ke samping rumah.
Kuangkat lampu senter ke jendela samping. Kamar tidur. Kosong.
Tidak ada perabotan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku menurunkan lampu senter dan berpaling memandang
Todd. "Tidak ada yang tinggal di sini," kataku padanya, sambil
menggeleng. "Marissa berbohong."
"Ia tinggal di mobil itu," kata Todd bersikeras. "Ia yang
menghantui mobil itu."
Kutatap ia lekat-lekat. Benar begitu" Apa Marissa benar-benar
hantu" Bagaimana caraku membuktikannya pada Mom dan Dad"
Aku berbalik dan menatap rumah yang gelap dan kosong itu.
Ketakutan merayapi tulang punggungku.
Bagaimana caraku membuktikan pada Mom dan Dad bahwa
aku mengatakan yang sebenarnya"
Tiba-tiba, aku mendapat gagasan.
20 SEPULANG sekolah keesokan harinya, aku harus tinggal di
sekolah untuk membantu Steve dan Allan menyelesaikan proyek seni.
Pada saat aku meninggalkan gedung sekolah, matahari telah terbenam.
Bulan separo pucat terbit di atas pepohonan gundul.
Karena masih dihukum, aku harus langsung pulang. Tapi ada
misteri yang harus kupecahkan"misteri hantu di mobil. Dan aku tahu
hanya ada satu orang yang bisa memecahkannya.
Mr. Douglas, orang yang menjual mobil itu pada kami.
Dalam bus menuju lingkungan tempat tinggalnya, kubayangkan
wajah Mr. Douglas yang mirip burung, hidungnya yang panjang dan
bengkok, serta mata birunya yang kecil dan dingin.
Apa aku benar-benar melakukan ini" tanyaku pada diri sendiri
sambil melihat sore kelabu yang menyelimuti rumah-rumah dan
pepohonan yang melintas. Apa aku benar-benar kembali ke rumah
pria ini seorang diri untuk menanyakan apakah ia menjual mobil yang
berhantu" Aku menelan ludah dengan susah payah dan menggosokkan
tanganku yang lembap ke kaki celana jeans.
Aku tahu aku tak punya pilihan lain. Aku harus mengetahui
kebenarannya. Aku harus membuktikan pada orangtuaku bahwa aku
bukan pembohong. Aku begitu tenggelam dalam pemikiran-pemikiran yang
menakutkan sehingga melewati tempat aku harus berhenti. Aku
terpaksa berjalan kaki sejauh empat blok. Pada saat melangkah ke
serambi depan rumah Mr. Douglas, kedua kakiku gemetar dan
mulutku kering seperti pasir.
Aku bisa mendengar suara TV dari dalam rumah. Kubunyikan
belnya. Terdengar langkah-langkah kaki berat. Lalu pintunya membuka.
Mr. Douglas mengintip keluar dari balik pintu antibadai sambil
memiringkan kepala dengan ekspresi curiga memandangku.
Ia mengenakan pakaian yang sama seperti sebelumnya, kemeja
flanel dan overall denim. Rambut tipisnya belum tersisir, berantakan
di sekitar wajahnya. "Eh... hai," kataku dengan suara tercekik. "Masih ingat
padaku?" Ia terus menatapku dengan mata kecil mirip mata burung itu.
Aku mencoba cara lain. "Ayahku membeli mobil dari Anda
minggu lalu" Ingat" Mr. Moinian?"
Ia mengangguk. Ia membuka pintu antibadai lebih lebar
beberapa inci. "Apa yang bisa kubantu, anak muda?"
Ia mengarahkan pandangannya ke jalan. Kurasa ia mencari-cari
ayahku. "Bagaimana caramu kemari?"
"Naik bus," kataku padanya. "Ada beberapa hal yang ingin
kutanyakan mengenai mobil itu, Mr. Douglas."
Matanya berkilau sejenak. Mulutnya merengut
mengekspresikan kejengkelannya. "Maaf. Aku benar-benar sedang
sibuk sekarang." Ia hendak menutup pintu antibadainya.
"Tidak lama," kataku bersikeras. "Ada beberapa kejadian aneh.
Aku hanya penasaran?"
"Maaf," ulang Mr. Douglas. Tiba-tiba ia tampak sangat tegang.
"Aku tidak bisa membicarakan mobil itu sekarang."
"Please," pintaku. "Boleh aku masuk sebentar" Aku?"
"Tidak. Kau tidak boleh masuk. Silakan pergi dari sini sekarang
juga," katanya tegas. Ia membuka mulut hendak mengatakan hal lain
lagi"tapi teleponnya berdering.
"Selamat tinggal." Ia berbalik dan bergegas menerima
teleponnya. "Aku tidak mengerti," gumamku. "Memangnya kenapa dengan
dirinya?" Kenapa ia tidak mau menjawab beberapa pertanyaan yang
sederhana" Aku naik ke anak tangga tertinggi, mengatupkan tanganku di
samping wajah, dan mengintip ke dalam ruang duduk melalui pintu
kaca antibadai. "Hah?" Pandanganku berhenti di perapian, dan aku ternganga.
Aku berjuang memusatkan penglihatanku pada benda yang ada di
sana. Foto seorang gadis berukuran besar dan berbingkai.
Di kedua sisi foto ada lilin menyala. Dan di bawah foto terdapat
pita hitam bertuliskan DALAM KENANGAN.
"Tidak," gumamku. "Tidak mungkin."
Karena aku mengenali gadis dalam foto itu.
Gadis yang telah tewas itu.
Marissa. 21 "KAU benar," kataku pada Todd sambil tersengal-sengal begitu
aku berlari masuk ke rumah.
Ia menatapku. "Apa maksudmu?"
"Marissa itu hantu. Ia sudah mati. Aku melihat fotonya di
rumah Mr. Douglas. Ada lilin-lilin di samping fotonya, dan pita
bertuliskan DALAM KENANGAN."
Todd menarik napas tegang. Wajahnya pucat pasi.
Aku merasa tidak enak. Aku sadar aku membuatnya ketakutan.


Goosebumps - Mobil Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seharusnya aku tidak mengatakan semua ini pada Todd. Ia terlalu
takut pada hantu. "Ap-apa yang akan kaulakukan?" tanyanya tergagap.
"Memberitahu Mom dan Dad," jawabku. "Aku harus
memperingatkan mereka tentang Marissa. Ia berbahaya. Mobil itu
berbahaya. Dad harus mengembalikannya pada Mr. Douglas,
sebelum... sebelum..."
"Sebelum apa?" tanya Todd dengan suara pelan.
Aku tidak menjawab. Aku tidak ingin membuatnya lebih
ketakutan lagi. **************************
"Mobil itu berhantu. Aku bisa membuktikannya," kataku begitu
kami berempat duduk untuk makan malam. "Kalian tahu gadis
bernama Marissa yang datang kemarin malam?"
"Mitchell, bisakah kami menikmati makan malam?" sela Dad
dengan marah. "Kau ingin piza malam ini, jadi kita makan piza," kata Mom.
"Jadi jangan mulai berdebat dan merusak makan malam semua
orang." "Merusak makan malam kalian?" jeritku.
Aku tidak mampu menahan diri. Aku tidak mampu
mengendalikan diriku. Ada berita mengerikan, sulit dipercaya, yang harus kuceritakan
pada mereka"tapi mereka malah khawatir aku merusak suasana
makan malam" Aku melompat bangkit. Kursiku jatuh di belakangku dan
berdebum ke lantai. "Mitchell"duduk!" perintah Dad.
"Mobil baru itu berhantu!" jeritku sekuat tenaga. "Ada hantu di
dalam mobil"dan ia JAHAT!"
"Ia jujur," kata Todd pelan. "Sungguh."
"Jangan ikut campur!" Dad memperingatkannya. "Kau yang
memulai segala omong kosong tentang hantu di rumah ini, Todd."
"Itu bukan omong kosong!" lolongku sambil menggoyanggoyangkan tinjuku di atas kepala.
"Mitchell, ambil piringmu," perintah Mom sambil melambaikan
kedua tangan. "Selamat malam. Bawa piringmu ke kamar dan
habiskan pizamu di lantai atas."
"Tapi, Mom?" "Pergi! Pergi! Pergi!" perintah Dad.
"Tapi aku tidak bohong!" jeritku.
"Jangan bicara lagi," teriak Dad, "atau kau akan dihukum
seumur hidup untuk kedua kalinya!"
Sambil menggerutu pelan, aku berlari keluar dari ruang makan.
Aku tidak membawa piringku. Aku tidak berselera untuk makan.
Aku ingin menjerit dan menangis dan meninju dinding hingga
tembus. Atau melompat ke dalam mobil itu dan membiarkannya
membawaku ke mana pun yang diinginkannya.
Adakah yang lebih mengerikan dari mengetahui kebenaran
tentang sesuatu yang penting"dan orangtuamu sendiri menolak
mempercayai dirimu" "Aku bukan pembohong!" seruku dari tangga. Lalu aku berlari
naik ke kamarku sendiri, jantungku berdebar-debar, tenggorokanku
sakit karena menjerit-jerit.
Teleponku berdering sewaktu aku menyerbu masuk ke dalam
kamar. Aku menyambarnya. "Halo?" tanyaku tanpa mengambil napas
lebih dulu. "Mitchell" Ini Marissa."
Aku tersentak. "Hah" Marissa?"
"Dengar, Mitchell, aku mau memperingatkanmu?"
Aku tidak menunggunya menyelesaikan kata-katanya.
"Marissa"aku tahu kebenarannya!" semburku.
Ia terdiam. Lalu, akhirnya, ia bergumam, "Sungguh?"
"Ya," jawabku dengan suara gemetar. "Aku tahu siapa kau. Aku
tahu kebenaran tentang dirimu."
Suara Marissa bertambah pelan menjadi bisikan yang dingin.
"Jadi apa yang akan kaulakukan, Mitchell?" tanyanya. "Sekarang
sesudah kau tahu, apa yang akan kaulakukan?"
22 SUARANYA yang berbisik membuatku menggigil.
Aku sadar aku sedang berbicara dengan hantu. Dan... ia
mengancamku. Dengan gemetar kumatikan telepon dan pesawatnya kulempar
ke ranjang. Aku menghela napas panjang, lalu menahannya.
Tenang... tenang... perintahku sendiri. Kupejamkan mataku dan
aku menunggu hingga jantungku tidak lagi berlomba.
Kujejalkan tanganku ke saku celana jeans dan mulai mondarmandir. Apa yang akan kulakukan sekarang" tanyaku sendiri. Apa
yang bisa kulakukan"
Apa Marissa akan mengejarku" aku penasaran. Sekarang
sesudah aku tahu kebenaran tentang dirinya, apa ia akan berusaha
menghentikanku agar tidak mengungkapkan rahasianya"
Apa ia akan mengubahku menjadi hantu juga"
Aku duduk di meja kerjaku dan mulai menata potonganpotongan mobil modelku. Mungkin membereskan mobil model ini
akan membuatku tenang, pikirku. Mungkin dengan begitu aku tidak
akan memikirkan Marissa. Tapi setelah beberapa menit, aku tetap duduk di sana menatap
potongan-potongan mobil model itu, sementara otakku berputar.
Sewaktu kudengar Dad memanggilku dari lantai bawah, aku
melompat terkejut. Aku turun ke bawah. Dari tangga kulihat Mom, Dad, dan Todd
telah mengenakan mantel mereka. "Kalian mau ke mana?" tanyaku,
sambil bergegas menuruni tangga.
"Ke rumah sepupu Ella"ingat?" jawab Mom, sambil melirik
cermin di lorong, mengatur letak syalnya. "Ia sakit sepanjang minggu
ini. Kita sudah berjanji untuk mengunjunginya."
"Apa aku juga ikut?" tanyaku. Aku melangkah ke lemari
mantel. "Tidak. Kau tinggal di rumah saja," kata Mom. "Kau perlu
waktu untuk menenangkan diri sedikit."
"Sekadar memberi waktu untuk seorang diri saja, Mitchell,"
sela Dad. "Sekadar memberi waktu untuk memikirkan betapa sinting
tingkah lakumu." "Tapi?" aku hendak memprotes. Lalu mendesah dan
mengangguk. "Oke, baik. Aku tinggal di rumah. Terserah."
Dad melangkah menyusuri lorong dan memadamkan lampu di
ruang dalam. "Kabelnya masih belum beres," gumamnya sambil
menggeleng. "Aku masih belum menemukan di mana salahnya. Lebih
baik hati-hati kalau menggunakan lampu ini, Mitchell."
"Apa aku harus mencium Ella?" tanya Todd pada Mom.
"Riasan wajahnya sangat tidak enak dan me-nempel di bibirku."
"Kau tidak perlu menciumnya," kata Mom. "Ia sakit, ingat?"
Kulihat kunci mobil di meja lorong. "Apa kalian akan pergi
dengan mobil?" tanyaku pada Dad.
"Kau tahu Martin akan menjemput kita," jawab Dad. "Kami
sudah memberitahumu ratusan kali."'
"Tapi sebaiknya kau menjauhi mobil itu," Mom
memperingatkan. Ia memicingkan mata dan menatapku tajam. "Aku
serius, Mitchell. Jangan mendekatinya. Jangan mengusiknya. Jangan
menyentuhnya." "Jangan khawatir," gumamku.
Mereka tidak perlu khawatir. Tidak mungkin aku mau masuk ke
dalam mobil berhantu! kataku dalam hati.
Kuikuti mereka keluar. Kami berdiri di jalur masuk hingga
sepupuku Martin menghentikan Taurus hijaunya di depan.
"Katakan pada Ella kuharap ia cepat sembuh," kataku. Aku
melambai ke sepupuku. Todd dan Dad naik ke kursi belakang. Mom hendak naik ke
kursi penumpang depan, lalu berpaling memandangku. "Mitchell, kau
tidak apa-apa sendirian?"
"Yeah. Pasti. Tidak ada masalah," kataku padanya. "Aku sering
sendirian, bukan?" "Well, kami akan kembali secepatnya," kata Mom. Ia menutup
pintu setelah masuk. Kuawasi Taurus hijau itu mundur, lalu meluncur di jalan
menuju kota. Aku berdiri di samping mobil baru kami. Jendela
pengemudinya turun sekitar dua inci. Aku merendahkan kepalaku ke
sana. "Marissa"kau di sana?" seruku.
Tidak ada jawaban. Cahaya lampu jalan menyebabkan bagian interiornya bagai
bercahaya. "Marissa"kau bisa mendengarku?" seruku.
Masih tidak ada jawaban. Tapi aku merasakan tarikan yang kuat. .Seakan-akan ada yang
menarikku, menarikku ke dalam mobil.
"Tidak!" jeritku keras-keras. "Tidak. Aku tidak mau masuk."
Aku ingin menjauh. Mati-matian aku ingin menyelamatkan diri
ke dalam rumah. Tapi kekuatan yang tak kasatmata menarikku... menarikku.
"Tidak... please"lepaskan aku!" pintaku.
Tarik... tarik... Tanganku mencengkeram hendel pintu.
Dan mulai membukanya. 23 TIDAK , Mitchell. Pergi! kataku memperingatkan diri sendiri.
Jangan lakukan. Jangan masuk mobil ini! Kutarik pintunya hingga terbuka. Kursi-kursi dan dasbornya
menyala lebih terang lagi... lebih terang. Aku mengedipkan mata
menatap cahaya terang yang berpendar-pendar itu.
Pergi, Mitchell. Pergi selagi ada kesempatan.
Aku duduk di belakang kemudi, masuk ke dalam cahaya terang
benderang yang berpendar-pendar itu.
Kututup pintunya. Tanganku mencengkeram roda kemudi, begitu sejuk, begitu
halus. Kudengar suara kunci pintu. Aku tahu aku terkunci lagi di
dalam mobil. Aku mengedipkan mataku kuat-kuat, menunggu hingga mataku
menyesuaikan diri dengan cahaya terang itu.
Perlu waktu lama untuk menyadari aku tidak sendirian.
Aku berpaling dan melihat seseorang di sebelahku di kursi
penumpang. Seorang gadis berambut pirang mengenakan pakaian hitam.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia duduk memunggungiku.
Tapi aku tahu siapa gadis itu.
"Marissa!" kataku dengan suara tercekik.
Perlahan-lahan ia berbalik"dan mulutku ternganga dalam
kengerian. Bukan Marissa! Aku menatap hantu yang menjijikkan. Kulitnya membusuk
berwarna keunguan, bergaris-garis dan kerut-merut seperti buah prune
yang membusuk. Mata sehitam tinta yang melesak jauh ke dalam
lubangnya. Pembuluh darah merah yang berdenyut di hidung yang
patah. Gusi kehijauan tak bergigi, membengkak dan basah oleh cairan
kental kekuningan yang menetes-netes. Bibir robek yang terpuntir
menyeringai menakutkan. "Ohhh," erangku saat bau busuk makhluk itu menerobos cuping
hidungku. Kucoba untuk berpaling sewaktu ia mendekatkan wajahnya
padaku. Begitu dekat sehingga aku bisa melihat dua cacing putih
panjang menggeliat-geliat dalam hidungnya.
Rambut pirangnya menyapu wajahku, sekaku jerami, dipenuhi
kutu. Napasnya yang panas dan masam mengelusku, membuatku
muak, menyebabkan perutku memberontak. Gusinya yang kehijauan
dan bengkak menempel sewaktu ia berbisik, "Aku jahat... aku jahat
sekali." 24 PERUTKU kembali bergolak. Dengan susah payah aku
menelan ludah, berjuang keras agar tidak muntah.
Rambutnya menyapu pipiku, menggores kulitku, menyebabkan
wajahku gatal. Aku menggigil karena udara tiba-tiba terasa dingin. Begitu
dingin di dalam mobil, begitu dingin hingga jendelanya beruap.
Sedingin kematian, pikirku.
Kata-katanya yang menyerupai bisikan mengirimkan segumpal
napas busuk ke arahku. "Aku begitu jahat, Mitchell. Jahat sekali."
"Tidaaaaaak!" jeritku lagi.
Kucoba menjauhi wajahnya yang membusuk dan tidak bergigi.
Kutarik tangkai pintu. Kuhantamkan seluruh berat tubuhku ke
pintu. Kucakar-cakar jendela, kuhantam kepalanku ke kaca.
"Tolong! Toloooong! Keluarkan aku dari sini!" Suaraku keras
dan melengking, gemetar dalam udara yang beku dan masam.
"Tolong"keluarkan aku!"
Aku berpaling dan melihatnya mengibaskan rambutnya ke
belakang kepala. Gadis itu membuka mulut dan tertawa jelek. Lebih
mirip batuk kering daripada tawa.
"Begitu jahat..."
Lalu, sementara aku ternganga ketakutan, mata hitamnya yang
basah berputar ke dalam lubangnya. Kulit keunguannya mulai
meleleh. Mencair. Ia merosot ke depan. Kepalanya menghantam dasbor. Rambut
pirangnya yang kaku menggeliat-geliat bagai cacing.
Seluruh tubuhnya gemetar saat ia mencair. Mengecil... lebih
kecil. Aku tidak bergerak. Tidak bernapas.
Sambil berjuang menahan dinginnya udara, kuawasi gadis itu
mencair. Seluruh tubuhnya lenyap, dan awan gas hijau yang
bercahaya melayang di atas kursi penumpang.
Lalu gas itu memudar, menggelap, menghilang.
Dadaku terasa sakit. Kusadari aku menahan napas selama ini.
Kuembuskan napas panjangku dengan suara keras.
"Halo?" seruku dengan suara lemah. "Kau masih ada di sini"
Mobilnya meraung seakan-akan sebagai jawaban.
Mesin mobil meraung. Gigi persneling pindah ke posisi
mundur. "Tidak"tunggu!" kataku dengan napas tersentak.
Mobil menuruni jalur setapak, lalu masuk ke jalan.
Persnelingnya pindah ke posisi maju"dan mobil pun melesat. Rodarodanya berdecit sewaktu berbelok sembarangan ke tepi jalan, lalu ke
sisi yang lain. Kusambar kemudi, mati-matian berusaha untuk memutar
kendaraan. Tapi mobil itu tak bisa kukendalikan.
"Tidak!" jeritku sewaktu mobil melompat meninggalkan jalan.
Terlonjak-lonjak di atas rerumputan. Menyapu pagar tanaman yang
tinggi, melompat kembali ke jalan, berputar-putar liar.
"Hentikan! Hentikan mobil ini!" jeritku. "Siapa kau" Kenapa
kau berbuat begini padaku?"
Kudengar tawanya, mengatasi cicitan roda dan raungan mesin.


Goosebumps - Mobil Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" jeritku. "Kenapa" Katakan! Aku harus tahu!"
Mobil meluncur di tengah-tengah jalan, berdecit tidak
terkendali, miring saat berbelok di tikungan. Semakin lama semakin
cepat. Dan suara gadis itu keluar dari pengeras suara: "Aku mati
dalam mobil ini, Mitchell. Dan sekarang giliranmu!
25 "TIDAK"tunggu!" pintaku. "Dengarkan aku. Aku"aku tidak
ingin mati!" Sekali lagi kudengar ia tertawa.
Mobil meliuk meninggalkan jalan, menggores sebatang pohon,
terpental kembali ke aspal.
Aku sadar aku akan mati. Ia akan menabrakkan mobilnya. Dan aku sama sekali tidak
berdaya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri.
Mobil selip dan berputar-putar dua kali. Lalu kembali melesat
menyusuri jalan yang berliku-liku ke arah kota dan lembah.
"Please?" kataku. Tapi kata-kata selanjutnya terganjal di
tenggorokanku. "Aku"aku tidak mengerti."
"Aku baru empat belas tahun." Suaranya terdengar begitu
hampa dari pengeras suara. "Baru empat belas, Mitchell."
"Aku baru dua belas!" jeritku. Kepalaku terbentur keras ke
jendela sewaktu mobil menikung tajam meninggalkan jalan lagi.
Lalu kudengar sirenenya. Bergelombang. Dekat di belakangku.
Mobil polisi! Aku tahu mereka bisa menyelamatkanku. Mereka akan
menghentikan mobilnya. Mereka akan me-ngeluarkanku!
Sambil menjerit gembira, kujejakkan kakiku sekuat tenaga ke
pedal rem. Pedalnya meluncur ke lantai. Tapi mobilnya tetap meraung dan
melesat maju. Di belakangku, sirenenya melolong semakin dekat.
"Pelan-pelan!" jeritku. "Itu polisi. Kurangi kecepatannya!"
Tawa gadis itu yang keras dan kejam bergaung mengatasi
lengkingan sirene. Aku kembali menginjak pedal rem. Sekali lagi.
Aku bisa melihat lampu merah yang bekerlap-kerlip di kaca
spion sekarang. Apa polisi bisa mengejar kami" aku penasaran. Bisakah mereka
menghentikan mobil ini" Bisakah mereka menyelamatkanku sebelum
aku menabrak" 26 SIRENE melolong begitu dekat di belakangku.
Lampu merahnya berkedip-kedip terang di kaca spion.
Dan mereka melintas lewat di sebelah kiri. Melewati mobilku
yang melaju kencang. Aku melihat itu bukan mobil polisi. Tapi mobil merah panjang
pemadam kebakaran. Mobil itu meliuk menduluiku dengan sirene meraung-raung,
dan terus melaju. Aku menatap bagian belakang truk pemadam kebakaran itu,
dengan kedua tangganya yang mencuat di kedua sisi. Lalu truk itu
menghilang di balik tikungan.
Aku mendesah panjang, kecewa.
"Baru empat belas," ulang gadis itu, seakan-akan truk pemadam
kebakaran tadi tidak ada.
Mobil terus melesat di jalan, meliuk-liuk begitu dekat dengan
tepi bukit. "Baru empat belas. Kubawa mobil ini berjalan-jalan. Aku
menabrakkannya, Mitchell. Aku mati. Sejak itu aku menghantui mobil
ini, menunggu... menunggu seseorang untuk bergabung denganku,
menemaniku. Dan sekarang kutemukan dirimu."
"Tidak" please!" jeritku.
Mobil melonjak dengan keras. Kepalaku terbentur langit-langit.
"Aku menyesal kau mati," kataku padanya. "Sungguh. Tapi aku
tidak ingin menemanimu. Please"antarkan aku pulang!"
Sunyi. Lalu mobilnya kembali selip. Rodanya berdecit di permukaan
aspal. Mobil itu berputar-putar tanpa kendali. Sekali. Dua kali.
Berputar-putar sepenuhnya.
"Kau mau pulang?" tanya hantu itu.
"Ya!" jeritku. "Ya! Antarkan aku pulang!"
"Oke," jawabnya, suaranya sedingin udara di dalam mobil.
"Oke, Mitchell. Akan kuantar kau pulang."
Mobil melompat maju. Sambil mencengkeram roda kemudi
yang melonjak-lonjak, aku mengintip ke balik kaca depan dan
menyadari kami tengah mendaki bukit kembali.
Ke arah rumahku. "Sungguh?" jeritku, jantungku berdebar-debar. "Kau mau
mengantarku pulang?"
"Kalau kau mau mati di sana," jawabnya. "Kau bisa mati sama
mudahnya dengan menabrak depan rumahmu."
"Tidak, tunggu?"
Mobil melaju semakin kencang. Rasanya seperti kami sedang
terbang sekarang, terbang mengikuti tikungan-tikungan, mengikuti
jalan yang berliku-liku mendaki bukit.
Rumah-rumah melintas lewat, samar-samar. Kukenali
lingkungannya. Lalu kukenali blok tempat tinggalku.
Semakin cepat. Semakin cepat.
Kuinjak-injak pedal remnya. Kuputar roda kemudi.
Tidak berdaya. Aku sama sekali tidak berdaya.
Ia akan menabrakkan mobil ke rumahku, aku tahu itu.
"Kau tidak akan kesakitan terlalu lama" gumam hantu itu
seakan-akan membaca pikiranku "Lalu kita akan bersama selamanya."
27 Aku memejamkan mata. Mobilnya berhenti. Kudengar roda-rodanya menjerit.
Aku membuka mata"dan melihat dinding oranye.
Kebakaran! Rumahku! Rumahku terbakar!
Truk-truk pemadam kebakaran diparkir di halaman depan. Para
tetangga dengan wajah muram berkerumun di jalur masuk.
Apakah itu Todd" Ya. Todd sedang berdiri di dekat orangtuaku,
wajah-wajah mereka tertimpa cahaya oranye yang bergoyang-goyang,
ekspresi mereka begitu khawatir, begitu ketakutan.
"Aku"aku seharusnya berada di dalam rumah," kataku
tergagap pada hantu itu. "Aku seharusnya tidur di dalam. Aku pasti
sudah mati kalau begitu. Tapi kau telah menyelamatkan diriku. Kau
telah menyelamatkan diriku!"
"Tidaaaaaaak!" kudengar hantu itu melolong ngeri.
Lalu aku melihatnya lagi. Wajah yang mengerikan itu. Rambut
pirangnya, sekaku jerami. Gadis yang sudah mati itu, mati dan
membusuk, berpakaian hitam-hitam.
Ia kembali duduk di sampingku, mulutnya yang tidak bergigi
terbuka dan menjerit ngeri. Ia mengangkat tangannya yang kurus dan
mencabik rambutnya, mencabik segumpal besar, menampilkan
tengkorak kelabu yang telah retak di bawahnya.
"Tidaaaak!" lolongnya. "Aku jahat! Aku sangat jahat! Misiku
jahat!" "Tapi"kau sudah menyelamatkan diriku!" protesku.
"Aku gagal! Gagal!" lengkingnya, sambil mencabuti rambut
demi rambut. Matanya yang sehitam tinta terarah padaku, memancarkan
kebencian. "Aku gagal. Aku tanpa sengaja melakukan KEBAIKAN!
Dan sekarang aku harus membayar. Sekarang aku harus mati
selamanya!" Sekali lagi ia mulai menyusut, mencair.
Matanya yang basah bergulir keluar dari lubangnya. Terjatuh ke
pangkuannya. Tengkoraknya terbelah. Tubuhnya merosot ke depan.
Aku menatapnya tanpa daya sementara ia mencair. Menyusut
dan mencair hingga yang tersisa hanya genangan cairan kental
kehijauan di kursi mobil. Lalu cairan itu juga menghilang.
Pintu mobil terayun membuka.
Tangan-tangan yang kuat menarikku keluar.
Dad memelukku erat-erat. Lalu Mom juga.
"Kau tidak apa-apa! Mitchell"kau tidak apa-apa!" kata Mom
berulang-ulang sambil memelukku erat-erat.
"Kami"kami mengira kau terjebak di dalam!" kata Dad.
Air mata membasahi pipi Todd. Ia bergegas melintasi halaman
rumput untuk memelukku juga. "Kukira kau terbakar," gumamnya.
"Hantu itu menyelamatkanku," kataku pada mereka, berteriak
mengatasi raungan api dan semburan air petugas pemadam kebakaran.
"Hantu itu membawaku pergi dengan mobilnya. Ia menyelamatkan
nyawaku." Mom dan Dad bertukar pandang. Aku bisa melihat mereka tidak
mempercayaiku. Tapi aku tidak peduli. Aku begitu senang bisa pulang dengan
selamat. Kami berempat sama-sama tersentak kaget sewaktu sebagian
atap rumah roboh diiringi suara keras ke dalam api.
"Salahku," kata Dad sambil mendesah, menggeleng.
"Seharusnya aku tidak mengutak-atik kabelnya. Mulai sekarang, aku
tidak akan bermain-main dengan listrik lagi."
"Tidak apa-apa," kata Mom, lengannya memeluk Todd dan aku.
"Kita semua selamat. Kita semuanya."
"Aku benar," bisik Todd padaku. "Mobil itu berhantu. Dan
hantunya Marissa, bukan?"
"Ya," jawabku kurang yakin. "Kau benar, Todd. Kau tahu.
Kau?" Aku berhenti sewaktu melihat seorang gadis berdiri di dekat
mobil. Hantu itu. Marissa. 28 "MITCHELL!" seru Marissa, berlari mendekatiku, rambut
pirangnya berkibar-kibar di belakangnya.
Aku mundur selangkah. Tenggorokanku bagai tercekik. "Kau"
katamu tadi kau akan mati untuk selamanya," kataku sambil menahan
napas. "Hah?" Ia memicingkan mata menatapku. "Mitchell"kau baikbaik saja?"
"Jangan berpura-pura. Jangan bersikap seakan-akan kau tidak
berdosa," jawabku tajam. "Kau tidak bisa membodohi siapa pun. Kau
jahat!" Ekspresi wajah Marissa berubah. Ia menyambar lenganku
dengan kasar. "Kemarilah, Mitchell."
"Tidak!" protesku. "Belum cukupkah perbuatanmu" Please?"
Kucoba untuk membebaskan lenganku. Tapi Marissa
menyeretku ke jalan. "Kenapa kau berbuat begini?" jeritku. "Aku tahu kau hantunya,
Marissa. Aku ke rumah orangtuamu. Aku melihat fotomu dan lilinlilin di rak."
Ia mempererat cengkeramannya di lenganku. Pandangannya
menusuk mataku. "Aku masih hidup, Mitchell," bisiknya, sambil
mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Kau lihat" Aku nyata." Ia
meremas lenganku. "Tapi?" kataku hendak bicara.
"Foto yang kaulihat itu," lanjut Marissa, tidak memberiku
kesempatan. "Itu saudara kembarku, Becka. Becka memang jahat."
"Saudaramu?" kataku.
"Musim panas yang lalu, Becka membawa mobil itu. Ia tidak
bisa mengemudi. Ia menabrak dan tewas." Suara Marissa pecah
karena emosi. "Ayahku terpukul karenanya. Ia sama sekali berubah."
Marissa menunduk. "Ma... maaf," gumamku.
"Dad sangat ingin menjual mobil itu," lanjut Marissa setelah
menghela napas. "Ia tidak ingin mobil itu. Sewaktu kulihat ayahmu
membelinya, kuputuskan aku harus memperingatkan dirimu."
"Memperingatkanku?" jeritku. Kutarik lenganku hingga terlepas
dari cengkeramannya. "Maksudmu kau tahu saudaramu menghantui
mobil itu" Kau tahu ia merencanakan untuk membunuhku?"
Marissa mengangguk. "Bagaimana caranya?" tanyaku. "Dari mana kau tahu?"
"Ia yang mengatakannya padaku," jawab Marissa. "Aku sedang
duduk di mobil itu suatu hari, menunggu ayahku. Becka muncul. Jelek
dan sudah mati. Ia memberitahuku bahwa sekarang ia menghantui
mobil itu. Ia memberitahuku ia akan terus menghantui mobil itu
sampai mendapatkan pembalasan"pembalasan karena mati semuda
itu." "Jadi kenapa kau tidak memberitahuku?" tanyaku. "Kenapa
kau?" "Aku ingin memberitahumu," sela Marissa. "Tapi kurasa kau
tidak akan percaya. Jadi aku menunggu. Lalu di telepon, kau bilang
kau tahu kebenarannya"ingat" Jadi kuanggap kau sudah
mengetahuinya, aku tidak perlu memperingatkan dirimu."
"Becka telah menyelamatkanku," kataku pada Marissa. "Ia tidak
bermaksud begitu. Tapi itu yang dilakukannya."
Senyum aneh merekah di wajah Marissa. Ia menghapus air
matanya. Lalu ia kembali ke mobil.
"Mitchell yang malang." Ia mendesah. "Kau begitu gembira
karena mobil baru...."
"Eh... tidak apa-apa," jawabku sambil gemetar. "Aku agak
kehilangan minat terhadap mobil. Kurasa mungkin aku akan mencoba
baseball atau hoki atau apa."
**************************
Kami melewatkan malam itu di rumah keluarga O'Connor di
sebelah. Keesokan paginya, Mom mengomeliku sambil sarapan.
"Ayahmu dan aku sangat mengkhawatirkanmu, Mitchell. Segala
pembicaraan tentang hantu ini."
"Tapi, Mom?" kataku hendak bicara.
"Kau menakut-nakuti Todd dengan semua cerita hantumu,"
lanjut Mom. "Dan ia sudah ketakutan bahkan sebelum kau mulai."
Aku mendesah dan menyingkirkan mangkuk serealku. "Mom"
apa yang harus kulakukan" Aku sudah berusaha mengatakan yang
sejujurnya padamu. Tapi Mom dan Dad menolak?"
"Cukup," sergahnya. "Kuminta kau bicara dengan Todd.
Katakan kau hanya mengarang cerita hantu itu. Katakan mobil itu
tidak berhantu." "Tapi, Mom?" aku mencoba lagi.
Kali ini Dad yang menyela. Ia masuk melalui pintu belakang
sambil menggeleng. "Aku harus ke kota," gerutunya, "tapi mobilnya
tidak mau hidup. Sudah kupanggil orang bengkel dan?"
Ada yang mengetuk pintu. Kami semua berpaling dan melihat seorang pria berseragam
kerja kelabu, membawa kotak peralatan besar. "Anda yang tadi
menelepon bengkel?" tanyanya.
"Yeah. Mobil biru di luar. Mesinnya tidak mau hidup," kata
Dad. "Ayo, kutunjukkan."
Aku mengikuti mereka keluar. Di sebelah, reruntuhan rumah
kami masih mengepulkan asap. Halamannya masih dikotori pecahan
kaca dan serpihan kayu yang hangus. Udara berbau asap dan asam.


Goosebumps - Mobil Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pria dari bengkel itu membuka kap mesin mobilnya. Ia
membungkuk di atas mesin. Lalu ia bergegas menegakkan tubuh lagi
dan memicingkan mata memandang Dad. "Ini hanya lelucon, bukan?"
Dad ternganga menatapnya. "Lelucon?"
Pria itu menunjuk mesin mobil. "Kurasa mobil ini mau hidup
kalau ada akinya!" Dad melangkah ke sampingnya dan mengintip ke balik kap
mesin. "Hei"kau benar. Sulit dipercaya. Tidak ada aki."
Dad berpaling menatapku. "Tidak ada aki," gumamnya,
wajahnya berkerut kebingungan. "Tidak ada aki. Tapi selama ini kita
mengendarainya. Dan semalam mobil ini bisa jalan..."
Aku tidak bisa menahan senyum di wajahku.
Mom dan Dad perlu beberapa waktu, kataku dalam hati. Tapi
kurasa pada akhirnya mereka akan mempercayaiku!END
Pedang Kunang Kunang 8 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Hina Kelana 39
^