Pencarian

Darah Monster Empat 2

Goosebumps - Darah Monster 4 Bagian 2


Evan menunduk memandang makhluk-makhluk gumpalan itu.
Mereka sedang menjilati embun malam dari rerumputan. "Kenapa
mereka?" tanyanya tak sabar.
"Mereka berempat kelihatannya lain," jawab Andy. "Lihat
wajah mereka. Mereka tidak tersenyum."
"Peduli amat!" seru Evan. "Mereka minum! Peduli amat mereka
tersenyum atau tidak! Apa kita ingin mereka jadi delapan" Tidak,
kan" Nah, ayo cepat tangkap mereka!"
Evan meloncat ke depan dan menangkap dua makhluk, satu di
masing-masing tangan. Satu gumpalan biru lolos dan berloncatan
menjauh, sambil menguik-uik keras.
Evan memegang gumpalan lainnya dengan dua tangan erat-erat.
"Ambil ember!" dia memerintah Andy. "Atau kantong sampah atau
apa saja!" Tapi kemudian Evan menjerit ketika rasa sakit menjalari
lengannya. Dia menunduk memandang lengannya. Makhluk itu menggigit
pergelangan tangannya. "Tt... tolong!" Evan tergagap. "Auwwwww! Dia... menggigit
tanganku. Putus deh tanganku!"
16 EVAN membetot makhluk itu dengan tangannya yang bebas.
"Tolong! Aduh! Dia... dia menyedot kulitku!" raungnya.
Kermit dan Andy berlari mendekatinya. Mereka berdua
memegang gumpalan biru basah itu. Tangan Andy menggelincir dan
dia terhuyung ke belakang.
Tetapi Kermit memegang makhluk itu erat-erat dengan kedua
tangannya. Lalu menariknya. Menariknya terus, sampai mereka
mendengar bunyi PLOP keras.
Kermit menarik lepas makhluk itu dan melemparnya ke
seberang halaman. Evan menggosok lengannya. "Dia menyedot kulitku," ratapnya.
"Mengisap airnya, kurasa."
Kermit berlari ke rumah. "Akan kuberitahu Mom," teriaknya.
"Ini sudah terlalu berbahaya!"
"Jangan!" Evan menahan pinggang Kermit. "Jangan sampai aku
dapat kesulitan lagi dengan ibumu. Ayo kita tangkap dulu mereka.
Kalau tidak, mereka akan jadi beratus-ratus!"
Evan menoleh ke Andy. "Sungguh mengerikan," gumam gadis
itu. "Dengar bunyi mereka."
Gumpalan-gumpalan biru itu tidak lagi tersenyum. Mulut
mereka yang cemberut mengeluarkan geraman-geraman rendah.
"Tadinya mereka lucu sekali," kata Andy pelan. "Tapi sekarang
mereka jadi seram." Dua gumpalan menggelinding di atas rumput, menyedot embun.
Dua lainnya melompat-lompat menuju slang air.
Evan menoleh. Dia mengerling rumah. "Di mana Kermit?"
tanyanya. Andy mengangkat bahu. "Apa dia masuk untuk memberitahu
ibunya?" "Mudah-mudahan tidak," keluh Evan. "Aku akan dapat
kesulitan besar!" Gumpalan-gumpalan biru itu menggelembung, siap untuk
meletus dan menjadi ganda.
"Aku sudah dalam kesulitan besar," kata Evan pada diri sendiri.
Dia berjalan ke arah rumah. Tetapi setengah jalan, dilihatnya Kermit
berlari keluar dari garasi.
"Akan kutangkap mereka!" teriak Kermit. Dia melambaikan
jaring bertangkai panjang di tangannya. Evan mengenalinya... itu
jaring yang biasa digunakan Kermit untuk menangkap kupu-kupu.
Kermit berlari sambil mengayun-ayunkan jaringnya.
Evan mendengar letusan keras, berair. Matanya segera menyapu
halaman yang gelap. Ada berapa mereka sekarang"
Delapan" Ya. Lehernya serasa tercekat saking paniknya. Kami takkan dapat
menangkap mereka semuanya! pikirnya.
Kermit menurunkan jaringnya ke rumput. Mengayun keraskeras. Dan berhasil menangkap satu gumpalan biru.
Gumpalan itu menggeram marah. Jaring itu bergoyang dan
berguncang di ujung tangkainya.
"Kena satu! Taruh di mana?" tanya Kermit bersemangat.
Evam melihat ember di samping garasi. Dia berlari
mengambilnya, sambil melambai pada Kermit agar mengikutinya.
Kermit juga melihat ember itu. Dia menurunkan jaringnya ke
dalam ember. "Masuk!" serunya.
Tetapi mereka berdua mendengar bunyi robekan.
Makhluk itu meloncat dari jaring... dan melompat-lompat
menjauh. "Hei... dia menggigiti jaring sampai robek!" teriak Kermit.
Dibuangnya jaring sobeknya.
Evan mengambil ember dan mengejar gumpalan yang
melompat-lompat itu. "Tangkap saja lalu lemparkan ke dalam ember
ini," teriaknya. "Kalau kita bisa mencegah mereka minum, mereka
tidak akan berganda."
Andy mencoba menangkap satu. Gumpalan licin itu lolos dari
tangannya. "Kita butuh sarung tangan," katanya. "Kita bisa
memegangnya lebih erat kalau..."
"Tak ada waktu untuk mencari sarung tangan!" seru Evan.
"Kalau kita tidak segera berhasil menangkap mereka, sebentar lagi
mereka akan jadi beratus-ratus!"
"Tapi bagaimana kalau mereka menggigitmu?" balas Andy.
"Bagaimana kalau mereka menyedot kulitmu?"
Evan tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia menahan napas.
"Berhati-hatilah saja," katanya.
Mendengar dengkuran puas, dia mengangkat mata memandang
kebun bunga Bibi Dee. "Oh, tidaaaak!" ratapnya.
"Bunga-bunga Mom!" pekik Kermit.
Tiga atau empat makhluk itu sedang menyedot air dari bungabunga. Gumpalan-gumpalan itu sudah menggelembung, siap meletus.
Sederet lebar bunga-bunga sudah terkulai layu di belakang mereka.
Ibu Kermit sangat membanggakan kebun bunganya. Dia
bersusah payah agar bunga-bunganya tetap berkembang di musim
dingin. Dan sekarang kebun bunganya hancur!
Dan dia akan menyalahkan aku, pikir Evan.
"Tangkap mereka!" teriaknya. "Jauhkan mereka dari kebun
bunga!" Tapi dia mendengar teriakan tertahan. Dan berputar.
"Tolong aku... tolong..." Andy melawan ketika sebuah
gumpalan besar biru nemplok menutupi wajahnya.
Gumpalan itu berdenyut dan bergetar.
Andy memukul-mukul dengan kedua tangannya.
Dia berlutut, berusaha melepaskan gumpalan itu.
Evan membeku ngeri melihat makhluk itu menggeram dan
mendengkur, melebar menutupi seluruh wajah Andy.
"Tolong...," rintih Andy. "Aku... tak bisa bernapas... tak bisa...
bernapas..." 17 EVAN memandang ngeri sementara Andy bergulat melepaskan
diri dari makhluk biru itu. Dia memukul-mukul dengan tinjunya.
Menarik kulitnya yang licin. Menamparnya.
Evan menarik napas dalam-dalam. Berlari mendekati Andy.
Dan memegang makhluk itu dengan kedua tangannya.
Sangat licin dan dingin! pikirnya. Jarinya mencengkeram kuatkuat daging basah itu.
Kemudian dia menarik sekuat tenaga.
Makhluk itu terangkat dari wajah Andy dengan bunyi PLOP
keras. Evan kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh.
Gumpalan itu meluncur dari tangannya, melompat-lompat di
atas rumput, dan berhenti di kubangan besar dekat jalan masuk.
"Iiih, jijik!" gerutu Andy. Disekanya lendir kental dari
wajahnya. Dia masih berlutut, tubuhnya gemetar.
Evan memandang gumpalan itu. Dia sedang menyeruput
kubangan air itu dengan rakusnya. Badannya yang biru berkilau
menggelembung makin besar dan makin besar...
Sampai dia meletus... memuntahkan air dan lendir ke tubuh
Evan dan Andy. Evan terhuyung ke belakang tersiram lendir dingin
itu. Sambil menyeka matanya, dia membantu Andy bangkit.
"Bunganya!" teriak Kermit. "Mereka sudah menghancurkan
semua bunga!" Evan menoleh ke kebun bunga. Tepat saat itu dua gumpalan
biru meletus menjadi empat.
Keempat gumpalan baru ini melompat-lompat dengan beringas,
menggesek-gesekkan gigi-gigi runcing mereka.
"Yang baru punya gigi!" kata Andy. "Setiap kali meletus,
mereka jadi makin seram!"
"Aku sudah muak!" kata Evan. Diraihnya sekop di dekat kebun
bunga. "Kermit, Andy... cepat! Ambil kantong sampah yang besar!"
Kermit berlari ke garasi. Beberapa detik kemudian dia keluar
lagi menenteng dua kantong sampah plastik. Satu di antaranya
diberikannya kepada Andy. Mereka membukanya dan berlari
mendekati Evan. "Ayo kita tangkap mereka!" ajak Evan.
Diayunkannya sekopnya, menyekop satu gumpalan biru.
Andy menyorongkan kantong sampahnya. Gumpalan itu jatuh
ke dalam kantong dengan bunyi PLOK keras. Andy mencengkeram
mulut kantong erat-erat. Terburu-buru Evan menyekop satu gumpalan lagi dan
menjatuhkannya ke dalam kantong Andy.
Satu letusan lagi membuat lendir melayang. Evan merunduk
menghindar... dan berhasil menangkap dua gumpalan biru di
sekopnya. Dengan melenguh dimasukkannya sekopnya ke dalam
kantong Kermit. Dalam beberapa menit saja kedua kantong sudah
menggembung. "Cuma tinggal sedikit," kata Evan, sambil mengatur napas.
Walau udara malam dingin, peluh meleleh di dahinya.
Di samping garasi, dua makhluk biru menyedot air dari dalam
kubangan dengan rakusnya. Satu gumpalan lain melompat-lompat di
atas bunga-bunga yang sudah layu, sambil menggeram-geram marah.
"Makhluk-makhluk ini mau keluar," Kermit mengeluh.
Disampirkannya kantongnya ke bahunya yang ringkih.
Kantong itu bergeronjalan. Di dalamnya, makhluk-makhluk itu
menggeram dan menggerung.
"Akan kita apakan kantong-kantong ini?" tanya Andy.
"Makhluk-makhluk biru ini hidup! Kita tidak bisa membuangnya
begitu saja di kotak sampah."
"Lagi pula kotaknya tidak muat," kata Kermit.
Evan menghapus peluh di keningnya dengan punggung
tangannya. "Kita tangkap dulu semuanya," keluhnya. "Kemudian baru
kita putuskan kita apakan."
Butuh waktu beberapa menit untuk menangkap tiga gumpalan
terakhir. Mereka melompat-lompat terus dan berkali-kali tergelincir
lepas dari sekop. Akhirnya semua makhluk yang menggeram-geram dan
mendengkur-dengkur itu berhasil ditangkap. Evan membantu Kermit
dan Andy mengikat kantong sampah yang menggelembung itu.
"Sekarang bagaimana?" tanya Andy.
Evan mengejap kesilauan ketika ada cahaya kuning menyala.
Ada lagi yang menyala. Halaman berumput itu tampak hijau, seakan di siang hari.
Semua warnanya kelihatan jelas.
Evan berputar ke arah rumah. Lampu beranda sudah
dinyalakan. Demikian juga semua lampu yang mengelilingi halaman.
"Itu Mom!" jerit Kermit. "Kita tertangkap!"
18 EVAN bisa melihat Bibi Dee di dapur, berjalan ke arah pintu
belakang. "Cepat... jangan sampai dia melihat! Sembunyikan kantong
sampahnya!" teriaknya.
"Tapi di mana?" tanya Kermit.
"Pokoknya sembunyikan!" perintah Evan.
Kermit dan Andy menyambar kantong sampah mereka yang
menggelembung. Kermit memimpin melewati samping rumah. "Kita
seret ke ruang bawah tanah," katanya. "Akan kukunci di dalam lemari
atau apa. Kita pikirkan besok, akan kita apakan."
Pintu belakang menjeblak terbuka dan Bibi Dee melangkah
keluar. Dia mengikatkan tali pinggang jas kamarnya dan memandang
ke sekeliling halaman. "Kebunku!" pekiknya ngeri, tangannya terangkat ke wajahnya.
Dan kemudian dia melihat Evan.
"Hah?" dia kaget. "Evan... apa yang kaulakukan tengah malam
begini?" "Eh..." Pikiran Evan bekerja. Dia tahu, tak mungkin dia memberikan
keterangan yang masuk akal.
"Bunga-bungaku...!" seru Bibi Dee.
"Aku... uh... aku mendengar ada orang di luar," kata Evan.
"Tapi..." Aku tak pandai berbohong, katanya pada diri sendiri. Lebih
baik aku tak usah mengarang cerita macam-macam.
"Masuk... sekarang juga!" bentak bibinya. "Aku akan bicara
panjang-lebar dengan orangtuamu kalau mereka pulang nanti. Aku
kecewa sekali padamu, Evan. Kecewa sekali."
"Maaf," Evan menelan ludah. Dengan patuh dia menyelinap
masuk. Bibi Dee masih terus berbicara, memarahinya, menanyainya
apa yang dilakukannya di luar.
Tetapi Evan tidak mendengarnya. Dia sibuk memikirkan dua
kantong sampah yang menggelembung dan berdenyut, berisi Darah
Monster biru, yang sekarang ada di ruang bawah tanah.
Akan kami buang besok pagi, katanya pada diri sendiri. Lalu
semuanya akan beres. Benar"
Benar" Benar. Dijawabnya sendiri pertanyaannya.
Bibi Dee masih memarahi Evan beberapa lama lagi. Kermit
sudah berselimut di tempat tidur ketika Evan akhirnya masuk kamar.
Lampu kamar sudah dimatikan.
Evan menutup pintu di belakangnya. "Apa sudah
kausembunyikan?" bisiknya.
"Beres," jawab Kermit dengan mengantuk. Dia menguap.
"Semua aman." Evan cepat-cepat melepas pakaiannya. Dibiarkannya saja baju
dan celananya teronggok di lantai. Dia juga merasa mengantuk
sekarang. Perang melawan makhluk-makhluk biru itu menghabiskan
tenaganya. Dia menghela napas. Esok pagi akan lebih baik, pikirnya. Aku akan bisa berpikir
lebih jernih di pagi hari. Akan kucari jalan untuk melenyapkan semua
makhluk Darah Monster itu.
Ditariknya penutup tempat tidur dan dia naik ke tempat tidur
lipatnya. Dibaringkannya tubuhnya. Diletakkannya kepala di atas


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bantal. Kemudian dirasakannya makhluk dingin dan basah di
punggungnya. Dan dia menjerit. 19 RASA dingin dan basah itu melebar memenuhi punggung
piama Evan. Dingin sekali sampai dia merinding.
Evan meloncat bangun. Dan menjerit sekali lagi ketika lampu
tiba-tiba menyala. Dia terbelalak menatap hamparan handuk basah di tempat
tidurnya. Dan mendengar kikikan Kermit yang tinggi melengking.
"Kermit... brengsek kau!" jerit Evan.
Sepupunya berdiri dekat tombol lampu, tubuhnya berguncang
saking gelinya. "Kermit... kaupikir ini waktu yang tepat untuk melakukan
lelucon yang sesadis itu?" tegur Evan, jantungnya masih berdegup
kencang. Kermit mengangkat bahu. "Kurasa memang tidak." Kemudian
dia mengikik lagi. Dengan berang Evan menyambar handuk basah itu dan
melemparkannya ke arah sepupunya. "Ayo kita tidur," gerutunya.
"Banyak yang harus kita lakukan besok. Dan bukan lelucon."
Evan bermimpi tentang balon biru. Ada lusinan balon biru
dalam mimpinya, dan balon-balon itu makin lama makin besar.
Balon-balon itu melayang-layang di atasnya. Talinya yang
panjang menggantung ke bawah. Evan mencoba menangkap balonbalon itu dengan meraih talinya.
Tetapi ketika terpegang tangannya, tali-tali itu berubah menjadi
ular yang menggeliat-geliat.
Evan mau melepasnya, tetapi ular-ular itu malah membelit
tangannya. Dan balon-balon biru raksasa itu mengangkatnya ke atas
dan membawanya terbang, makin lama makin tinggi... sampai balonbalon itu meletus.
Dan dia terbangun. Sinar matahari pagi memenuhi kamar mereka. Evan merasa
capek dan pusing sekali, sepertinya dia sama sekali tidak tidur. Dia
melirik ke arah sepupunya di seberang kamar.
Kermit telah menendang selimutnya sampai terjatuh. Dia masih
nyenyak melingkar di kaki tempat tidur.
Mungkin dia juga mimpi buruk, pikir Evan.
Dilihatnya handuk basah di lantai.
Bagus! kata Evan pada diri sendiri. Kermit pantas mendapat
mimpi buruk. Tapi saat dia memakai celana jins dan kausnya, rasa takut
mencekamnya. Makhluk-makhluk Darah Monster. Mereka ada di ruang bawah
tanah. Menanti. Bagaimana kami bisa melenyapkan mereka" tanya Evan pada
diri sendiri. Apakah sebaiknya kami memberitahu Bibi Dee" Atau
menelepon polisi" Dia menatap bayangan dirinya di cermin saat menggosok gigi.
Matanya merah. Dikelilingi lingkaran biru.
Dia menggoyang-goyang bahu Kermit untuk
membangunkannya. "Hah?" keluh Kermit. Matanya menyipit menatap
Evan seakan dia tidak mengenalnya.
"Bangun," perintah Evan. "Kita punya tugas... ingat?"
Kermit mengejap beberapa kali. Tanpa kacamata besarnya,
matanya kelihatan kecil. "Kita harus membuang kantong sampah itu di suatu tempat,"
Evan mengingatkannya. "Aku punya ide," jawab Kermit.
Mereka bergegas ke dapur. Bibi Dee meninggalkan pesan di
pintu lemari es. Pagi-pagi dia sudah pergi ke toko bunga, akan
membeli bunga baru untuk kebunnya. Dia menyuruh kedua anak itu
menyiapkan cereal sendiri untuk sarapan mereka.
Tetapi Evan tak ingin makan. Perutnya sudah terasa kenyang.
"Kita makan setelah membereskan gumpalan-gumpalan itu,"
katanya pada Kermit. Kermit mengangguk serius. Dia mendahului berjalan menuju ke
tangga ruang bawah tanah.
"Di mana kausembunyikan kantong sampahnya?" tanya Evan
saat mereka menuruni tangga.
"Kumasukkan dalam kamar mandi kecil," jawab Kermit.
"Hah?" Evan kaget sekali. Dicengkeramnya Kermit dan
diputarnya. "Bukankah ada bak mandi di situ" Dan wastafel" Dan
kloset" Dan keran air?"
"Yah... memang," jawab Kermit. "Tapi makhluk-makhluk itu
kan dalam kantong... ingat?"
"Kantong plastik!" Evan mengingatkan. "Mungkin dalam
beberapa detik saja mereka sudah bisa melubangi kantongnya!"
Mulut Kermit ternganga. "Kaupikir begitu?"
Mereka berhenti di depan pintu kamar mandi. Evan
menempelkan telinganya ke pintu, mendengarkan. "Ya ampun,"
gumamnya. "Kurasa aku mendengar keran mengucur."
"Oh, wow." Kermit menggeleng. "Oh, wow. Oh, wow. Aku
baru ingat sesuatu yang lain."
"Sesuatu yang lain?" Evan menyipitkan mata memandang
sepupunya. "Apa yang baru kauingat?"
Kermit menelan ludah. "Uh... ah... aku baru ingat di kamar
mandi inilah aku sembunyikan botol berisi ramuan penumbuh
rambutku." "Oh, tidaaaak," erang Evan.
"Aku tak ingin ramuan itu ditemukan orang lain," Kermit
menjelaskan. "Tak ada yang pernah menggunakan kamar mandi ini.
Jadi, kusembunyikan saja di sini."
Sekali lagi Evan menempelkan telinga ke pintu kamar mandi.
Tangannya meraih tombol pintu. "Jangan... jangan!" cegah Kermit.
"Tak ada pilihan lain," kata Evan.
Dibukanya pintu. 20 "OH, tidaaaaak!" jerit Evan.
Dibantingnya pintu kembali. Tetapi makhluk-makhluk Darah
Monster melompat ke depan pintu, memblokirnya.
"Ada ratusan!" jerit Kermit. "Dan... mereka semua berambut!"
Sementara gumpalan-gumpalan besar itu melompat-lompat
melewati mereka memasuki ruang bawah tanah, Evan menatap ke
dalam kamar mandi kecil itu dengan shock.
Berpuluh-puluh gumpalan melompat-lompat dan minum dan
menggeram-geram dan menggesek-gesekkan gigi mereka yang
runcing tajam. Kulit biru mereka yang licin sekarang tertutup rambut
tebal panjang berwarna hitam.
Air mengalir dari keran wastafel. Makhluk-makhluk biru
berambut itu meloncat ke atas wastafel, menyeruput air dengan
rakusnya. Yang lain mengerumuni kloset, minum sepuas-puas mereka.
Evan memegangi tombol pintu begitu kencang, sampai
tangannya sakit. Dia cuma bisa menatap ke dalam, sangat ketakutan
sampai tak bisa bergerak.
"Dindingnya...," bisiknya gemetar. "Oh, tidak. Dindingnya..."
Dinding, langit-langit, dan lantai kamar mandi dilapisi lendir
biru. Pipa di bawah wastafel sudah digerigiti sampai bocor. Makhlukmakhluk itu berlompatan di bawah wastafel, mengisap airnya. Yang
lain minum dari kubangan-kubangan di lantai berlendir.
"Apa yang akan kita..."
Kermit tidak keburu menyelesaikan kalimatnya. Bunyi DOR
memekakkan telinga mengguncang kamar mandi kecil itu ketika dua
makhluk Darah Monster meletus menjadi empat. Gelombang lendir
dingin basah menyiram Evan dan Kermit.
Evan terhuyung ke belakang ketika beberapa makhluk yang
menggeram-geram berlompatan keluar kamar mandi. Dilihatnya tiga
gumpalan lain memanjat keluar lewat jendela ruang bawah tanah. Dua
melompat-lompat memanjat tangga.
"Kita harus menyetop mereka!" teriaknya ketika terdengar satu
letusan lagi dan siraman lendir menyemprot ruangan.
"Tapi bagaimana?" rengek Kermit.
Evan tidak sempat menjawab. Ada gumpalan biru basah yang
melompat ke bahunya. Dengan geraman galak dia membenamkan
giginya ke kaus tebal Evan.
Evan menggerung kesakitan. "Dia... dia menyedot...,"
gagapnya. Evan merunduk, berputar. Ditinjunya makhluk itu keras-keras.
Makhluk itu menggeram marah... dan ganti menyerang Kermit.
Kermit menghindar... dan menabrak gumpalan biru berambut.
"Tolong...!" jeritnya ketika dia jatuh terjengkang di atas kubangan
lendir kental. "Mereka galak sekali sekarang!"
Kermit benar, pikir Evan. Makhluk-makhluk ini sekarang sama
sekali tak ada lucu-lucunya. Mereka garang... dan membawa maut.
DOR! DOR! Dan setiap detik jumlah mereka bertambah!
Evan merunduk menghindari serangan makhluk yang lain.
Diulurkannya kedua tangannya untuk menarik bangun Kermit.
"Mereka semua kabur!" seru Evan.
"Mungkin sebaiknya memang kita biarkan saja!" kata Kermit.
Evan mendelik menatap sepupunya. "Kau mau bertanggung
jawab kalau kota ini hancur" AUWWWW!" jeritnya ketika satu
gumpalan biru berambut menggigit pergelangan kakinya.
Evan menendang makhluk itu.
Kermit menggeleng. "Mereka meminum habis ramuan
penumbuh rambutku. Aku tak akan bisa mencampur ramuan yang
sama." Kami akan menggunakannya untuk membalaskan dendamku
pada Conan, pikir Evan pahit. Yah... terpaksa lupakan saja ide itu.
"Kita tak punya waktu untuk mencemaskan ramuan penumbuh
rambutmu," kata Evan pada sepupunya.
DOR! Luapan lendir biru kembali menghantam dinding.
"Jika mereka tak henti-hentinya berganda," kata Evan,
"jumlahnya akan lebih banyak daripada penduduk kota ini. Mereka
bisa menghabiskan seluruh persediaan air. Mengisap kering bunga-
bunga dan tanaman lain. Jumlah mereka akan bertambah terus... dan
mengeringkan seluruh negara!"
Kermit tersedak. "Dan itu gara-gara aku. Aku yang membuka
wadahnya." Geraman dan gerungan dan kertak-kertak gigi yang beradu
sungguh memekakkan telinga. Makhluk-makhluk biru berambut
melompat dari jendela, menaiki tangga, berkeliaran di dalam ruang
bawah tanah. "Entah bagaimana caranya, kita harus mengusir mereka," keluh
Evan. "Tidak. Kita tidak cuma harus mengusir mereka. Kita harus
membunuh mereka!" "Oh, wow!" gumam Kermit. Tiba-tiba wajahnya berseri. "Aku
punya ide!" katanya.
21 "PAGAR elektrikku!" serunya. "Kalau kita bisa menggiring
mereka ke halaman belakang, kita bisa menyetrum mereka dengan
listrik. Siapa tahu mereka bisa jadi kering!"
"Hei...!" kata Evan. "Betul juga. Layak dicoba." Kemudian dia
ragu-ragu. "Bagaimana kita bisa menggiring mereka ke halaman
belakang?" Kermit mengangkat bahu. DOR! Satu lagi gumpalan biru pecah menjadi dua.
Evan menutup telinganya untuk memblokir bunyi geraman dan
raungan mengerikan itu. Dengan panik dia menatap ke sekeliling
ruang bawah tanah. Dilihatnya beberapa sapu dan kain pel bertangkai
bersandar di dinding dekat ruang cuci pakaian.
"Ayo... kita giring mereka!" dia mengajak Kermit.
Dia meraih sapu dan menyerahkan satu sapu lain pada
sepupunya. Keduanya mengayun-ayunkan sapu itu, memukul-mukul
gumpalan-gumpalan berambut, menyodoknya, mendorongnya keluar.
Makhluk-makhluk itu menguik memprotes. Tetapi bentuk
mereka yang seperti balon membuat mereka mudah dipukul dan
didorong. Bagi Evan, rasanya sudah berjam-jam berlalu. Saat mereka
berhasil menggiring rombongan terakhir gumpalan biru ke halaman
belakang, lengan mereka pegal-pegal dan kaus tebal mereka basah
kuyup oleh keringat. "Ada apa" Apa yang kalian lakukan?" Andy berlari
menyeberangi halaman. Dia memakai celana ketat hijau dan sweter
ungu. Matanya terbelalak ketika dilihatnya betapa banyaknya
gumpalan melompat- lompat yang digiring kedua anak laki-laki itu.
"Iiih!" jeritnya. "Semuanya berambut! Jijik!"
"Mereka tak bisa diatur!" kata Kermit. "Dan semuanya
salahku!" Aneh, pikir Evan. Kermit biasanya tak pernah mengaku salah.
Mungkin sekarang sikapnya lebih dewasa.
"Itulah sebabnya aku punya ide brilian untuk membunuh
mereka!" dia menyombong.
Ternyata masih Kermit yang sama, pikir Evan.
"Kami akan menyetrum mereka," Evan memberitahu Andy,
napasnya terengah. "Dengan pagar elektrik!"
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM "Kalian akan menyetrumnya sampai mati?" seru Andy, sambil
memandang makhluk-makhluk yang melompat dan menggeramgeram itu.
"Layak dicoba," kata Evan terengah. Digamparnya sebuah
gumpalan dengan sapu agar kembali ke halaman. Rambut hitam di
tubuhnya menjadi kaku dan berdiri tegak. Makhluk itu mencoba
menggigit gagang sapu. Tetapi Evan menggamparnya sekali lagi.
"Siap?" teriak Kermit. Diayun-ayunkannya sapunya dengan
panik, agar semua makhluk itu tidak keluar halaman.
"Oke! Dorong mereka! Dorong terus... sampai masuk pagar
yang tidak kelihatan!"
Evan mengayunkan sapunya kuat-kuat.
Makhluk-makhluk itu meloncat ke depan, memekik,
menggerung, dan mengertak-ngertakkan gigi mereka.
Dorong. Dorong. Ke pinggir halaman.
Akan berhasilkah" pikir Evan. Bisakah sengatan listrik
membinasakan makhluk-makhluk buruk mengerikan ini"
22 EVAN mengayunkan sapunya kuat-kuat, memukul monstermonster itu.
Mengayun lagi. . Makhluk-makhluk itu meloncati semak pendek yang
memisahkan halaman rumah Kermit dan Conan.
Mereka masuk ke halaman belakang rumah Conan.
"Tidaaaaak!" Kermit menjerit dan menepuk dahinya.
"Tombolnya! Aku lupa menghidupkannya lagi!"
Makhluk-makhluk itu melompat-lompat di halaman sebelah. Di
bawah rambut mereka yang hitam, kulit mereka berkilau biru terkena
cahaya matahari pagi. "Goblok!" teriak Evan pada sepupunya. "Bagaimana kau bisa
lupa lagi" Bagaimana mungkin?"
Andy menjatuhkan diri ke rumput, menundukkan kepala,
menghela napas putus asa.
Kermit merogoh-rogoh saku belakang celananya untuk mencari


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

remote control pagarnya. Akhirnya berhasil ditemukannya. Ditariknya
keluar dan ditekannya tombol merahnya.
ZZZAAAAAP! Evan menjerit dan terlempar ke atas ketika sengat?an listrik
tegangan tinggi menyetrumnya.
"Aku kan sudah bilang jangan berdiri di situ!" teriak Kermit.
Evan melompat minggir. "Kupasang setrum paling kuat!" kata Kermit.
"Terlambat," gumam Evan.
Semua makhluk Darah Monster itu sudah melompat dan
menggelinding ke halaman tetangga.
Halaman Conan. "Oh, tidak," keluh Evan pelan. "Habis deh kita."
Ketiganya menahan napas melihat Conan berjalan gagah
menyeberangi halaman belakang rumahnya, satu tangan memegang
kaleng Coke, tangan yang lain terkepal marah.
23 "CONAN... balik!" Evan memperingatkan. Tetapi suaranya
menguik pelan. Dia tahu Conan tak bisa mendengarnya karena
suaranya kalah tertelan geraman dan gerungan makhluk-makhluk
Darah Monster. "Apa maksud semua ini?" dentum Conan. "Ini bukan hari ulang
tahunku! Singkirkan balon-balon ini dari halamanku!"
"Balik! Balik!" Evan mencoba memperingatkannya.
Kermit dan Andy berdiri membeku, memandang Conan
melangkah menuju gumpalan-gumpalan monster itu.
Evan menggoyang-goyang kedua tangannya dengan panik.
"Balik...!" Conan mengerutkan dahi. "Kau berani memerintah aku di
halamanku sendiri?" "Tapi... tapi...," Evan tak bisa meneruskan.
Conan menendang salah satu makhluk itu. "Whoa. Balon ini
berambut!" Dia membungkuk untuk mengangkat makhluk itu... dan si
makhluk meloncat ke tangannya. Sambil menggeram, dia menelan
kaleng Coke Conan. "Hei...!" protes Conan.
Makhluk itu mulai menggelembung.
Conan menggoyang lengannya agar makhluk itu lepas. Tetapi
makhluk itu menempel erat di lengannya.
Dan kemudian, dengan bunyi DOR keras, makhluk itu meletus.
Lendir kental menyiram muka Conan. Dia tersedak, tangannya
menggapai-gapai serabutan. Disekanya lendir licin itu dari matanya.
Dan Conan mengejapkan mata melihat dua makhluk bulat
berambut menempel di lengannya.
"Lepaskan ini!" jeritnya.
Dengan pekik marah, diayunkannya tangannya yang bebas...
dipukulnya kedua gumpalan itu. Terdengar bunyi DESIS keras saat
kedua gumpalan itu bertabrakan. Dan keduanya jatuh ke tanah.
Satu makhluk lain menggigit kaki Conan. Conan terhuyung dan
terantuk makhluk lainnya.
Setelah berdiri tegak lagi Conan mendelik marah kepada
Kermit. "Kau menciptakan makhluk-makhluk berambut ini... ya, kan!
Aku tahu, yang beginian ini kerjaanmu."
"Tidak. Begini...," kata-kata Kermit terputus.
Ada makhluk Darah Monster yang meletus lagi. Pancaran lendir
dinginnya menyiram Conan.
Conan tersedak lagi dan berusaha mengelapnya. Kemudian dia
mengacung-acungkan tinjunya kepada mereka. "Tunggu saja
pembalasanku... sebentar lagi," ancamnya. "Rasakan nanti." Dan dia
menyelinap masuk rumahnya, tubuhnya basah kuyup tersiram lendir.
Evan menghela napas lega. Kami sudah cukup repot, tanpa
ditambahi gerecokan Conan, pikirnya.
Tentu saja Conan akan membalas. Tapi sekarang tak ada waktu
untuk mengkhawatirkan itu.
Matanya menyapu halaman belakang. Makhluk-makhluk Darah
Monster telah menyebar ke seluruh blok.
Apa yang harus kami lakukan" tanya Evan pada diri sendiri.
Dia menoleh ke arah rumah. "Hei... Bibi Dee sudah pulang!"
serunya. "Kapan datangnya?" tanya Kermit.
"Kita harus memberi tahu Bibi apa yang terjadi," desak Andy.
"Kita butuh bantuan. Kita bertiga tidak akan sanggup menangkap
makhluk-makhluk ini."
Ketiganya berlari, menyeberangi halaman yang penuh
kubangan lendir, menuju pintu belakang. Sesaat kemudian, mereka
menerobos masuk ke dapur dengan ngos-ngosan.
Ibu Kermit membelakangi mereka. Dia sedang mengaduk
sesuatu dalam panci aluminium di atas kompor. Dia menoleh ketika
mendengar pintu tergabruk menutup.
"Ada apa, anak-anak?"
"Kami perlu bantuan!" kata Kermit.
Senyum Bibi Dee lenyap. "Bantuan" Ada masalah apa?" Dia
kembali menghadapi pancinya. "Bicaralah terus. Aku harus mengaduk
ini. Aku sedang membuat saus pedas spaghetti untuk klub bacaku
malam ini." "Kami punya masalah. Andy menemukan tabung berisi Darah
Monster dan Kermit membukanya," Evan menjelaskan dalam satu
tarikan napas. "Bagus," jawab Bibi Dee, dahinya mengernyit, menatap saus
pedasnya. Diendusnya dan didekatkannya kepalanya memandang isi
panci yang bergolak itu. "Kurasa perlu ditambah merica."
"Mom... Mom harus mendengarkan!" Kermit memohon.
"Aku mendengarkan," Bibi Dee menimpali, mengaduk lebih
keras. "Cerita saja terus."
"Ini bukan cerita. Ini benar-benar terjadi," kata Evan.
Sambil terus mengaduk, Bibi Dee menoleh menatapnya.
"Kuharap masalahnya tidak serius, Evan. Kan kau yang bertanggung
jawab. Berada di luar pada tengah malam dan menghancurkan kebun
bungaku sudah masalah cukup besar untuk satu kunjungan. Kalau aku
lapor orangtuamu..."
"Mom, please!" Kermit memohon.
"Kami benar-benar dalam kesulitan," kata Andy.
"Darah Monsternya tumpah dan berubah menjadi makhluk
gumpalan kecil," Evan meneruskan, suaranya bergetar. "Mulanya sih
lucu. Tapi kemudian dia kebanyakan minum air dan meletus menjadi
dua. Kemudian yang dua itu meletus menjadi empat."
Evan melirik ke luar jendela dapur. Makhluk-makhluk itu
bergelindingan dan berlompatan di seluruh halaman. Beberapa di
antaranya sudah menemukan slang air dan sedang asyik menghirup
airnya, menggelembung dengan cepat.
Beberapa yang lain memaksa masuk ke kandang anjing besar di
sudut halaman. Oh, tidak, pikir Evan. Di situlah aku menyimpan Super-Soaker
kami. Ada banyak air di kandang Dogface.
"Sekarang mereka sudah menjadi beratus-ratus, Mom," Kermit
meneruskan cerita Evan. "Dan mereka sudah tidak lucu lagi. Sudah
tumbuh rambutnya dan mereka sudah menjadi galak. Mereka
menyebar ke seluruh blok dan..."
"Bagus," kata Bibi Dee linglung, dahinya berkerut, memandang
sausnya. "Mom... lihat dulu mereka!" Kermit memohon. "Lihatlah ke
luar jendela. Sekarang!"
"Sekarang tidak bisa," jawabnya. "Aku harus mengaduk..."
Telepon berdering. Diulurkannya pengaduk bergagang panjang itu kepada Evan.
"Aku sudah lama menunggu telepon itu. Tolong adukkan sampai aku
kembali, ya." Sebelum Evan sempat menjawab, dia sudah berlari keluar
dapur. "Kurasa dia tidak mendengarkan kita," kata Kermit sedih
sambil menggeleng. "Kalau saja dia mau melihat sebentar ke luar
jendela. Mungkin...," suaranya menghilang.
Evan menghela napas dan mengaduk saus itu.
Uap yang keluar dari saus itu membuat matanya panas dan
berair. "Saus ini beracun!" katanya.
Dan itu memberinya ide. Dia melirik ke luar jendela, pas ketika ada letusan yang
memuncratkan air dan lendir dari kandang anjing. Makhluk-makhluk
itu sudah menemukan Super-Soaker mereka. Sudah lebih banyak lagi
makhluk yang mengerumuni kandang kayu itu.
Dia menoleh kepada Kermit dan Andy. "Ayo kita coba saus
pedas Bibi Dee," bisiknya.
"Apa?" Kermit dan Andy memandangnya dengan bingung.
"Kau mau makan sekarang?" tanya Kermit. "Kirain kau benci
saus pedas Mom." "Memang," Evan mengakui, masih berbisik. "Karena saus ini
bisa mematikanl" "Aku ngerti!" seru Andy, mata gelapnya melebar saking
semangatnya. "Kaupikir mungkin saus pedas itu bisa membunuh
makhluk-makhluk Darah Monster."
Evan mengangguk. "Ini kan cairan. Maka mereka akan
mencoba meminumnya. Siapa tahu saus ini terlalu pedas untuk
mereka." "Mungkin saus ini bisa memusnahkan mereka untuk
selamanya!" seru Andy.
"Layak dicoba, kurasa," kata Kermit pelan.
Evan melirik ke pintu. Bibi Dee belum kelihatan.
"Cepat...," bisiknya. "Bantu aku menggotong panci ini ke luar."
24 EVAN meraih dua kain pemegang panci dari rak dan
menyerahkan satu kepada Andy. Kemudian mereka masing-masing
memegang satu pegangan panci besar itu dan hati-hati mengangkatnya
dari kompor. "Buset! Beratnya satu ton," gerundel Andy.
"Mom senang membuat saus pedas banyak-banyak," Kermit
menjelaskan. "Sisa sausnya disimpan dalam freezer. Buat persediaan,
kukira." Dibukanya pintu belakang dan dipeganginya. Evan dan Andy
mengangkat panci berisi saus panas itu di antara mereka,
membawanya ke luar. Evan mengangkat mata memandang halaman dan berseru kaget.
"Mungkin kita sudah terlambat," ratapnya. "Sudah jadi begitu
banyak!" Matanya menyipit karena silau, dia merasa melihat ribuan
makhluk. Mereka berlompatan dan bergelindingan di halaman
belakang. Mereka menggeram dan mendengkur.
Mereka menyedot air dari slang kebun. Berpuluh-puluh di
antaranya menginjak-injak kebun bunga tetangga, mengisap tanamantanaman di situ sampai kering.
Dua rumah dari rumah Kermit, makhluk-makhluk Darah
Monster mengerumuni kolam ikan emas kecil di halaman belakang.
Mereka asyik minum, mengeringkan kolam itu. Beberapa di antaranya
bahkan mengisap kering ikan-ikannya!
"Terlambat," gumam Evan. "Kita sudah terlambat."
"Siapa tahu berhasil," kata Andy, tapi tidak dengan antusias.
"Kalau kita bisa memaksa mereka meminumnya."
"Aku... harus kita turunkan," kata Evan. "Pegangannya panas.
Tanganku terbakar." "Tanganku juga," ujar Andy.
Mereka menaruh panci berisi saus mengepul itu di atas rumput
di tengah halaman. "Sekarang, bagaimana caranya menyuruh mereka
mencobanya?" tanya Kermit. Tanpa menunggu jawaban dibentuknya
tangannya menjadi corong di depan mulutnya dan dia mulai berteriakteriak, "Ayo minum! Ayo minum!"
Evan menariknya mundur. "Mana mereka ngerti bahasa kita,"
celanya. "Ayo kita menjauh dari panci ini dan biarkan mereka
menemukannya sendiri," usul Andy.
"Ide bagus," jawab Evan. Ditariknya lagi Kermit lebih ke
belakang. "Selama ini mereka tak pernah mendapat kesulitan
mendapatkan cairan di mana pun. Kalau kita mundur sedikit, mereka
akan menemukan saus pedas ini."
Ketiga anak itu mundur ke arah garasi, tanpa melepas
pandangan dari panci. Makhluk-makhluk Darah Monster sudah berlompatan di
pekarangan tiga atau empat rumah, menyedot air apa pun yang mereka
temukan. Bunga-bunga menjadi layu dan kering. Petak-petak luas
rerumputan cokelat dan kering.
Akankah mereka menemukan saus pedas itu" pikir Evan.
Akankah mereka mencicipinya" Akankah saus itu
membinasakan mereka"
Saus itu hampir membinasakan aku! dia ingat. Membakar
bibirku dan membuat langit-langit mulutku lecet!
Akankah saus itu membakar makhluk-makhluk biru berambut"
Aroma saus pedas memasuki hidung Evan. Pasti aromanya
tersebar di seluruh halaman, pikir Evan.
Matanya menatap tanpa berkedip ke panci aluminium yang
berkilau ditimpa sinar matahari. Dia sungguh berharap idenya ini
berhasil. Beberapa makhluk Darah Monster menoleh ke arah panci. Mata
bulat mereka membelalak. Mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Kemudian mereka mulai meloncat-loncat ke arah saus pedas
itu. "Yesssss!" bisik Evan. "Yesssss!"
Tetapi sebelum makhluk-makhluk itu tiba di panci, ada
makhluk lain yang menerjang masuk ke halaman.
Evan sedang berkonsentrasi penuh, sehingga mula-mula dia
tidak mengenali anjing gembala raksasa itu. Tetapi teriakan Kermit
membuatnya sadar apa yang terjadi.
"Dogface... pergi!" jerit Kermit panik. "Dogface... jangan!
Pulang, Dogface! Pulang!"
Tetapi anjing besar itu mengabaikan bujukan Kermit. Sambil
menggoyang ekornya yang pendek dengan penuh semangat, dia
melangkah mendekati panci berkilau berisi saus pedas.
25 "DOGFACE... pergi!" teriak Kermit, tangannya menggoyanggoyang panik, mengusir anjing besar itu.
Terengah-engah, lidahnya yang merah jambu terjulur keluar
dari wajah berbulunya, Dogface meloncat ke panci saus pedas itu.
Tanpa mengacuhkan teriakan putus asa Kermit, dia menunduk dan
mengendus-endus panci. "Jangan! Pergi! Pergi!" Evan ikut berteriak. "Singkirkan dia!"
Mereka kalah cepat. Anjing itu menabrak panci sampai terguling. Saus jingga
pedasnya tumpah ke atas rumput.
Dogface menjilat-jilat. Makhluk-makhluk biru berlompatan mendekat. Beberapa di
antaranya menyedot tumpahan saus itu dengan kelaparan.
Evan menunggu dan mengawasi. Dia tegang sekali.
Tidak. Tidak. Saus pedas itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk-makhluk biru berambut itu.
Tetapi Dogface mengangkat wajahnya. Di bawah naungan bulu
tebalnya, matanya mendelik panik. Anjing besar itu membuka mulut
dan melolong kesakitan. Sementara dia melolong, satu makhluk biru meloncat ke
punggungnya sambil menggeram.
Kaget dan kesakitan, Dogface mengguncang tubuhnya kuatkuat. Tetapi makhluk itu bergayut pada bulu di punggungnya.
"Jangan! Pergi!" Evan berteriak ketika ada satu lagi makhluk
biru meloncat ke atas anjing Kermit.
Sambil melolong sekali lagi, anjing besar itu kabur. Kakinya
yang besar-besar mengentak-entak rumput. Sembari berlari
digoyangnya badannya, berusaha keras melontarkan kedua makhluk di
punggungnya. Kermit menatap dengan shock. Mulutnya ternganga.
"Mereka menghabiskan saus pedasnya!" kata Andy. "Dan
sekarang mereka saling menggigit dan mencaplok! Mereka jadi lebih
galak lagi!" "Ayo!" seru Evan. "Kita harus menyelamatkan Dogface! Kedua
makhluk itu akan membunuhnya!"
Evan menarik napas panjang, lalu berlari secepat kilat,
mengejar anjing yang berkaing-kaing itu. Kermit dan Andy ikut
berlari di belakangnya. "Dogface!" panggil Kermit. "Dogface... berhenti! Berhenti!"
Tetapi seperti biasa, anjing itu tidak mengacuhkan Kermit.
Sambil menggoyang punggungnya, dia berlari zig-zag seperti
anjing gila. Keluar dari halaman. Kemudian menyeberang jalan. Dan
ke trotoar. Anjing itu terus menggonggong dan melolong, memprotes,
tetapi kedua makhluk biru itu tetap menempel, seakan menikmati naik
anjing. "Dogface... tunggu!" Kermit memohon.
Ketiga anak itu berlari secepat mungkin, berzig-zag
menyeberang jalan dan pekarangan, mengikuti anjing yang melolong
ketakutan. Ketika mereka tiba di dekat sekolah, Evan menoleh ke
belakang. Dan melihat bahwa makhluk-makhluk Darah Monster itu
mengikuti mereka. Berpuluh-puluh, berlompatan dan bergelindingan.
Mereka menggeram-geram dan mencaplok apa saja yang ada di
depan mereka. Salah satu meletus, menyiram pekarangan depan
rumah orang dengan lendir biru.
"Mereka mengikuti kita!" seru Evan terengah.
Kermit dan Andy menoleh. "Oh, wow!" gumam Kermit.
"Seperti pawai!"
"Hei... apa itu?" Evan mendengar seorang wanita berteriak.
"Kalian sedang apa?"
"Hei... jangan injak rumputku!" seorang laki-laki berteriak
marah. Dia mendengar suara-suara kaget. Dan melihat orang-orang
berhamburan keluar dari rumah mereka. Dua anak meloncat dari
sepeda mereka dan terbelalak. Seorang laki-laki yang sedang naik
tangga menjerit kaget dan nyaris saja terjungkal.
"Dogface... berhenti dong!" jerit Kermit.
Tetapi anjing besar itu terus saja berlari, menuju lapangan
bermain di belakang sekolah. Pas di dekat trotoar dia berhenti dan
mulai menggosokkan punggungnya ke batang pohon besar.
Gumpalan berambut di punggungnya melambung-lambung dan
bergesek dengan kulit batang pohon yang kasar. Tetapi mereka tetap
menempel. Sambil melolong, Dogface lari lagi, serabutan menyeberangi
lapangan softball, membuat debu beterbangan, kepalanya seakan mau
menyeruduk, tubuhnya bergoyang.
Dan kemudian anjing besar ini tiba-tiba terpuruk ke tanah.
Ketiga anak itu kaget ketika Dogface jatuh terguling.
Mulut kedua makhluk itu terbenam dalam bulunya yang
panjang. Dogface menyentak satu kali dengan keempat kakinya.
Lalu diam, tak bergerak. 26 "MEREKA membunuhnya! Mereka membunuhnya!" jerit
Kermit. "Tidak!" teriak Evan. "Dia masih hidup!"
Terbaring miring, dada anjing besar itu naik-turun. Makhlukmakhluk buruk itu menyedot dengan rakus, berdenyut dan bergerakgerak di atas bulu tebal Dogface.
Evan dan Andy serentak mendekati anjing itu. Evan
mencengkeram salah satu makhluk yang sedang asyik minum.
Diputarnya kuat-kuat... lalu ditariknya.
Gumpalan itu membuka mulutnya yang basah, berteriak marah.
Moncongnya yang biru menggigit Evan.
Evan mengangkatnya dan melemparkannya ke atas gerombolan
makhluk biru yang memenuhi lapangan.
Kemudian dia berpaling pada Andy. Gadis itu sedang berkutat
melepas makhluk satunya. Dia menarik keras-keras. "Iiih! Rambutnya menjijikkan benar!"
serunya. Tangannya tergelincir dan dia terhuyung ke belakang.
Dogface menggerung pelan. Matanya yang besar berputar-putar
panik. Evan mencengkeram gumpalan berambut itu. Dia memutarnya
kuat-kuat, seperti tadi. Lalu ditariknya sekuat tenaga.
Makhluk itu lepas dari Dogface dengan bunyi PLOP keras. Dia
menggerung marah dan mencaplok pergelangan tangan Evan.
"AUWWW!" Evan menjerit kesakitan.
Dia berbalik dan melemparkan makhluk jelek itu setinggi dan
sejauh mungkin. Makhluk itu menabrak batang pohon, dan terjatuh di
depan gerombolan makhluk-makhluk Darah Monster lainnya.
Dogface segera bangkit. Digoyangkannya tubuhnya.
Kelihatannya dia tidak apa-apa.
Kermit berjongkok memeluknya.
Evan memandang berkeliling. Makhluk-makhluk Darah
Monster terssebar memenuhi lapangan softball, lapangan voli, bahkan
memenuhi seluruh blok! Orang-orang berlarian keluar dari rumah mereka menuju ke
lapangan. Evan mendengar raungan sirene.... dan melihat mobil polisi
hitam-putih menikung. Mobil itu mendecit berhenti dan dua orang
polisi beseragam turun. Andy menabrak Evan. "Kabar buruk," katanya mengerutkan
dahi. "Kurasa kita tak bisa lagi merahasiakan hal ini."
Evan menggeleng. Dia tahu Andy melucu. Tapi ini bukan
saatnya untuk bergurau. Dia sudah pernah mengalami kesulitan. Dia pernah dikejar
seluruh penduduk kota tahun lalu, ketika Darah Monster
mengubahnya menjadi raksasa.
Dan sekarang, sekali lagi Darah Monster membuatnya berada
dalam kesulitan besar. Bagaimana dia bisa menjelaskan ini" Apa yang
bisa dilakukan polisi terhadap makhluk-makhluk beringas mengerikan
ini" DOR! Ada gumpalan gemuk meletus menjadi dua.
Di pinggir lapangan orang-orang berdesakan agar dapat melihat
lebih jelas. Makhluk-makhluk itu sekarang meraung, seperti harimau
marah. Mereka saling menggigit, bahkan menggigiti tanah.
Kedua polisi itu bersusah payah menembus gerombolan
makhluk-makhluk yang berlompatan marah itu. Salah satu polisi
memegang telepon genggam. Mungkin memanggil bala bantuan, pikir
Evan. Di belakangnya, terdengar jeritan lemah.
Evan berputar... dan kaget. Gumpalan-gumpalan berambut telah
melompat ke tubuh Kermit. Satu nangkring di atas rambut pirang
Kermit. Dua lainnya memanjat bahunya. Satu lagi nemplok di
punggungnya. "Tolong...," suara Kermit tercekik. Tangannya bergerak
serabutan, dan dia berusaha melepaskan diri dari makhluk-makhluk
itu. Tetapi makhluk-makhluk itu melebar menyelubungi tubuhnya,
menusukkan gigi-gigi mereka ke kulitnya.
"Ohhhh," Kermit merintih dan jatuh terduduk.
Dan beberapa makhluk lain melompat ke tubuhnya. Mereka
memperdengarkan suara mengisap yang berkecap-kecap selagi
memenuhi tubuhnya. Kermit menghilang di bawah mereka.
"YAAAIIII!" Evan mendengar jeritan nyaring lain. Dia menoleh dan melihat
Andy juga sudah penuh ditemploki makhluk-makhluk berbulu. Gadis
itu mengayun-ayunkan tinjunya kalang-kabut, mencoba menjatuhkan
mereka. Tetapi mereka melebar menutupi bahunya, menyelubungi
lengannya. Salah satu dari mereka melompat ke atas dan menjambak
rambutnya, lalu melebar menutupi mukanya.
Evan berlari mendekati Kermit. Dia terpeleset dan jatuh
terduduk. Dicengkeramnya makhluk di bahu Kermit dan ditariknya.
Makhluk itu lepas dengan bunyi PLOP berair.
Evan meraih satu lagi. Tetapi sebelum dia sempat menariknya, dia merasakan
tamparan basah dan dingin di tengkuknya.
Kemudian dia merasakan gumpalan basah berat menimpa
kepalanya. Lendir dingin meleleh di mukanya.
Diangkatnya tangannya. Dicobanya memegang makhluk
mengerikan itu. Terlambat. Dua makhluk lagi melompat menyerang punggungnya.
"Aku... tak bisa... bernapas," erang Evan.
Beban berat makhluk-makhluk itu membuatnya terpaksa jatuh.
Jatuh... Tengkurap di atas rumput basah.
Dia menekankan siku ke tanah. Mencoba mengangkat tubuh.
Mencoba berjongkok. Aku harus bangun, katanya pada diri sendiri. Tak mungkin
kubiarkan mereka menyelubungiku seperti selimut.
Seperti selimut yang mencekik...
Tetapi makhluk-makhluk itu terlalu berat. Ada terlalu banyak
yang menempel di tubuhnya.
Dia merintih kesakitan ketika dirasakannya mulut-mulut
menggigitnya. Mengisapnya...
Membuatnya tak bisa bernapas. Mencekiknya...
Habislah aku, pikirnya. Kali ini Darah Monster berhasil menangkapku. Kali ini Darah
Monster menang. 27 MAKHLUK-MAKHLUK itu menutupi Evan. Kegelapan
menyelimutinya. Dia berusaha bernapas. Dia bertanya-tanya dalam hati kalau-kalau Kermit dan Andy
juga sedang tercekik di dekatnya.
Disedotnya udara. Gumpalan basah dan dingin menekan
wajahnya. Evan tidak bisa mengeluarkan udara yang diisapnya.
Didengarnya kesibukan, dengung di telinganya.
Bunyi aliran darahku sendiri, pikirnya. Darahku yang mengalir
di pembuluh darahku. Tiba-tiba dirasanya tubuhnya menjadi ringan.
Aku akan pingsan, pikirnya.
Dikeluarkannya udara yang tadi diisapnya.
Hei... makhluk itu sudah menyingkir dari wajahku! dia baru
sadar. Apa yang terjadi" Diangkatnya kepalanya... dan dilihatnya pemandangan yang
menakjubkan. Kermit dan Andy juga geragapan bangkit. Makhluk- makhluk
gumpalan juga telah menyingkir dari mereka. Mereka pergi... untuk
berkelahi dengan makhluk-makhluk gumpalan yang lain.
Mereka saling berkelahi! Geraman-geraman berang memenuhi lapangan saat makhlukmakhluk itu saling gigit dengan gigi-gigi runcing mereka, saling
jambak, dan saling cubit daging biru berlendir.
Sambil mengeluh Evan berlutut. Digelengkannya kepala untuk
menghilangkan pusingnya dan diawasinya pemandangan luar biasa
itu. "Mereka saling telan!" kata Andy kaget. "Mereka jadi sadis
sekali, sampai saling makan!" Kermit memungut kacamatanya dari
tanah. Disekanya beberapa helai rumput yang menempel, baru
kemudian dipakainya. "Astaga!" serunya ketika dilihatnya makhlukmakhluk itu saling makan.
Dalam beberapa menit saja makhluk-makhluk itu habis. Lenyap
semuanya. Rerumputan diselimuti lendir dan gumpalan-gumpalan rambut
hitam basah. Gumpalan terakhir berguling dan mati, dagingnya yang biru
tercabik-cabik menjadi serpihan. Tetapi ratusan makhluk lainnya habis
tak bersisa. Tak ada bekasnya. Evan. berdiri, gemetar. Dibersihkannya tubuhnya. Dengan mata
menyipit karena silau, dia memandang berkeliling.
Orang-orang bergerombol dan berbicara dengan seru. Mereka
menggeleng dan mengangkat bahu, mencoba memahami apa yang
baru saja mereka saksikan.
Aku bisa menjelaskannya, pikir Evan. Tetapi mereka tidak akan
mempercayaiku. Dia menoleh kepada Kermit dan Andy. "Kalian baik-baik saja?"
Mereka mengangguk. Andy mengibaskan gumpalan lendir dari
rambutnya. "Ayo kita pergi," ajak Kermit.
Tetapi sebelum Evan bergerak, ada bayangan yang
menaunginya. Dia mendongak dan melihat dua polisi bertampang serius. "Kau
lagi," salah seorang menuduh, menyipitkan mata hitamnya
memandang Evan. "Aku... aku...," Evan tergagap.
"Kurasa kalian bertiga dalam kesulitan besar," polisi satunya
berkata pelan. "Kesulitan?" Evan tersedak. "Kenapa" Apa salah kami?"
Kedua polisi itu memandang berkeliling lapangan.
"Apa salah kami?" ulang Kermit melengking. "Kami tidak
berbuat salah. Kami tidak melakukan tindakan kriminal."
"Tidak terjadi apa-apa di sini," Andy menambahkan. "Lihatlah.
Kami tidak bisa dipersalahkan."
"Yah..." Kedua polisi itu ragu-ragu.
Salah seorang polisi mencomot gumpalan rambut hitam
berlendir dari rumput. "Bagaimana kalau tuduhannya membuat
kotor?" tanyanya kepada partnernya. "Kurasa kita bisa menuduh
mereka mengotori lapangan."
"Kita lupakan saja," gumam polisi satunya. Dia menoleh kepada
tiga anak itu. "Pulanglah. Lupakan ini pernah terjadi."
Kuharap aku bisa, pikir Evan seraya berlari-lari kecil menyusul
kedua rekannya. Kuharap aku bisa melupakannya.
"Nyaris saja," kata Kermit pelan saat mereka bertiga berlari-lari


Goosebumps - Darah Monster 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil pulang. "Yeah. Nyaris," ulang Andy.
"Aku cuma menyesal tidak sempat mengamati salah satu
makhluk itu di bawah mikroskopku," kata Kermit.
"Iiih," gumam Andy. Dia bergidik. "Aku ingat terus rambut
menjijikkan di tubuh mereka. Rasanya basah dan licin waktu
menyenggol kulit kita."
"Sungguh sayang, ramuan penumbuh rambut yang hebat
terbuang sia-sia," gerutu Kermit.
"Jangan kita bicarakan lagi," Evan mengusulkan. "Polisi tadi
benar. Kita harus mencoba melupakan semuanya."
Sepanjang sisa perjalanan itu mereka tidak bicara apa-apa lagi.
Evan merasa lebih enak ketika rumah Kermit sudah tampak.
Mungkin pengalaman mengerikan ini sudah berlalu, katanya
pada diri sendiri. Tetapi hatinya mencelos dan dipenuhi ketakutan ketika
dilihatnya Bibi Dee sudah menunggu mereka di beranda.
"Evan, kau bertanggung jawab," katanya gusar, matanya
menyipit menatap Evan. "Aku mau penjelasan lengkap."
"Ehm..." Evan tidak tahu harus mulai dari mana.
"Aku seharusnya tidak membuka wadah Darah Monster itu,"
kata Kermit kepada ibunya.
"Gara-gara itulah," kata Evan. "Kemudian makhluk biru itu
mulai meletus dan..."
"Stop!" tukas Bibi Dee, tangannya terangkat memberi isyarat
agar Evan berhenti. "Aku tak mau dengar tentang makhluk birumu.
Kalau kau mau membuang-buang waktu dengan permainan fantasimu,
terserah kau." Tangannya bersedekap dan ia menatap Evan dengan berang.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan saus pedasku!"
"Hah?" Evan kaget.
Seluruh kota nyaris dikuasai makhluk penyedot air mengerikan.
Dan yang dipikirkannya cuma saus pedasnya!
"Aku menunggu," kata Bibi Dee galak, sambil mengentakentakkan kakinya.
"Mmm...," Evan bingung.
Aku mesti bilang apa" tanyanya sambil berpikir keras. Apa
yang harus kukatakan"
"Evan mengambil saus pedas itu," Kermit nimbrung. "Dia
makan, Mom. Dia suka sekali saus pedas buatan Mom. Sepanci penuh
dihabiskannya sendiri."
Gila! keluh Evan. Setelah apa yang kami alami bersama, si tikus
kecil ini membuatku repot lagi!
Maka betapa terkejutnya Evan, ketika dilihatnya Bibi Dee
tersenyum kepadanya. "Evan, aku merasa tersanjung," katanya. "Aku
tak tahu kau suka sekali saus pedas. Akan kubuatkan sepanci penuh
setiap kali kau datang!"
"Uh... terima kasih," jawab Evan lesu.
"Sekarang ambil pancinya. Lalu masuk untuk makan siang,"
Bibi Dee memerintah mereka. Dia menghilang ke dalam rumah.
Evan memimpin menuju ke halaman belakang. Dia marah
kepada Kermit. "Kelewatan sekali kau bilang begitu kepada Bibi."
Kermit mengangkat bahu. "Cuma itu yang bisa kupikirkan."
Evan memandang berkeliling halaman. Kebun bunga kering dan
mati. Petak-petak luas rumput kering dan kecokelatan.
Panci saus masih tergeletak di tengah halaman.
Evan mendekatinya... tapi terhenti kaget ketika sesosok
bayangan muncul sempoyongan dari balik garasi.
Makhluk mengerikan dengan mata merah menyala!
28 EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM "WHOA!" teriak Evan.
Kermit dan Andy merapat kepadanya saat makhluk mengerikan
itu terhuyung mendekat. Ketika dia melangkah ke bawah cahaya matahari, Evan melihat
bahwa sosok itu bukan makhluk mengerikan. Ketiganya sedang
memandang seorang laki-laki yang memakai seragam kerja putih.
Seragamnya seperti seragam angkasa luar yang biasa dipakai
astronaut. Menutupi laki-laki itu dari kepala sampai kaki. Mukanya
juga tertutup rapat. Dia menatap mereka dari balik kacamata debu
merah manyala. "Siapa... siapa Anda?" akhirnya Evan berhasil bertanya.
Laki-laki itu berhenti di tengah halaman. Dia menatap mereka.
Mata di balik kacamata merah itu berwarna gelap. Akhirnya dia
mengangkat tangannya yang bersarung tangan dan membuka tutup
kepalanya. Dia membuka kacamata debunya juga, beberapa kali menarik
napas, dan menyeka rambutnya yang keriting dari dahinya. "Tidak ada
makhluk biru di sini?" tanyanya sambil memandang berkeliling.
"Kurasa aku tidak memerlukan seragam penyelamat ini."
"Siapa... siapa Anda?" Evan tergagap lagi.
"Aku sedang mencari makhluk-makhluk biru kecilku," jawab
laki-laki itu. "Kudengar ada keributan di lapangan. Polisi bilang
mungkin kalian bisa membantuku."
"Jadi, mereka makhluk-makhluk Anda!" seru Andy.
Laki-laki itu mengangguk. "Izinkan aku memperkenalkan diri.
Aku Profesor Eric Crane. Dari Institut Sains di kota." Dia memandang
berkeliling halaman lagi. "Kalian simpan tabungnya?"
"Aku... aku menyimpannya di garasi," jawab Evan. "Tapi
bagaimana kami tahu bahwa itu benar milik Anda" Siapa Anda"
Kenapa Anda memakai seragam begitu?"
"Apakah Anda benar-benar menciptakan makhluk biru
menjijikkan itu?" Andy menegaskan.
Laki-laki itu mendekat beberapa langkah. Seragam penyelamat
itu sangat besar dan menggelembung, jadi langkahnya pelan dan
janggal. "Bawa ke sini tabungnya. Akan kujelaskan," katanya.
Evan dengan patuh mengambil tabung plastik dari garasi.
Diserahkannya ke tangan Profesor yang bersarung tangan.
"Makhluk itu... mereka makin lama makin galak," kata Andy.
"Saking galaknya mereka akhirnya saling makan."
Profesor itu mengeluh. "Aku tahu," katanya. "Itulah sebabnya
kubuang. Pasukan perang bawah airku benar-benar kegagalan besar."
"Apa?" seru Evan. "Pasukan perang?"
"Kuciptakan cairan biru itu dalam labku," Profesor Crane
menjelaskan. "Maksudnya sih aku menciptakan pasukan perang
monster. Untuk perkelahian di dalam air. Pasukan perang khusus yang
makin lama makin garang, dan berganda di dalam air, sampai mereka
mengalahkan jumlah musuh."
"Wah, canggih," gumam Kermit. Dan kemudian dia
menambahkan, "Menurut aku."
Profesor Crane mengangkat bahu. "Tapi tidak berhasil. Mereka
menjadi terlalu garang. Eksperimen yang gagal."
Dia mengerling memandang tabung di tangannya. "Tapi
seharusnya aku lebih hati-hati waktu membuang tabung ini. Jauh lebih
berhati-hati." Profesor Crane menggeleng. "Aku menghabiskan
sepuluh tahun untuk proyek ini. Sepuluh tahun dan lima puluh juta
dolar. Semua sia-sia. Terbuang percuma."
Dengan helaan napas kecewa, dia mulai membuka tutup tabung
itu. Dia menjerit kaget ketika Dogface menabraknya dari belakang.
Tabrakan anjing gembala itu begitu keras... sampai tabung Darah
Monster melayang dari tangannya.
Evan melihatnya melenting meloncati semak pendek dan
menggelinding, berhenti di halaman rumah Conan.
"Tidak apa-apa," kata Evan. "Sudah kosong."
Profesor Crane mengangkat bahu dan sekali lagi menarik napas
kecewa. "Sepuluh tahun...," gumamnya. "Sepuluh tahun..."
Sambil masih menggeleng, dia pergi. Saat hampir sampai di
gerbang, dia menoleh. "Kalian jangan bilang siapa-siapa tentang ini,
ya," pintanya. "Memalukan bagiku kalau kalian ceritakan pada orang
lain." "Jangan kuatir," jawab Evan.
Setelah profesor itu tak kelihatan, Evan menoleh kembali
kepada Kermit dan Andy. Entah kenapa, Kermit sedang terkikik kegelian.
"Apa sih yang lucu?" tanya Evan.
Kermit menunjuk. "Lihat. Conan berlari keluar. Dia
menemukan wadah Darah Monster itu."
"Tapi sudah kosong, kan?" seru Evan. "Kosong, kan?"
Dia akan berlari menemui Conan, tetapi Kermit menahannya.
"Kermit... lepaskan aku!" desak Evan. "Kita harus
memperingatkan Conan. Bahan itu berbahaya. Jika masih ada sisanya
dan dia membuka wadahnya..."
"Kurasa masih ada sisanya sedikit di tabung," kata Kermit.
"Kau mau balas dendam, kan" Kebetulan sekali. Conan akan
mengeluarkan Darah Monster itu dan sebentar lagi dia akan
disibukkan oleh gumpalan-gumpalan biru yang meloncat-loncat."
"Tapi... tapi...," Evan tergagap.
"Akan lucu sekali," Andy setuju. "Conan akan ketakutan. Dia
akan bingung harus bagaimana. Mereka akan menyedot kering
halamannya. Pembalasan yang bagus. Dan tidak berbahaya. Pada
akhirnya toh mereka akan saling makan sendiri."
"Sementara itu, Conan akan mendapat pengalaman paling
mengerikan seumur hidupnya," Kermit menambahkan dengan girang.
"Oke, oke," Evan setuju. "Kalian benar. Memang lucu. Kita tak
usah memperingatkan dia."
"Makan siang sudah siap! Makan dulu, anak- anak!" Bibi Dee
memanggil dari dapur. Evan masih menoleh ketika dia mengikuti kedua temannya
masuk. Conan sedang memegang tabung itu. Dibukanya tutupnya.
Evan terkikik sendiri dan ikut masuk untuk makan siang.
Usai makan siang, mereka mengangkat piring-piring ke dapur
dan menumpuknya di tempat cuci piring. "Apa yang mau kalian
lakukan sore ini?" tanya Kermit. "Bagaimana kalau bikin percobaan di
labku?" "No way!" jawab Andy.
Evan mendengar Conan memanggil mereka. "Hei, kalian. Hei!"
Conan berteriak dari halaman belakang.
Evan dan kedua rekannya keluar. Dia tak tahan untuk tidak
tersenyum. Mungkin Conan ingin kami membantunya menangkap
makhluk-makhluk biru itu, pikirnya.
Tapi dia heran sekali. Tidak terlihat makhluk-makhluk biru di
halaman belakang rumah Conan.
"Ada apa?" tanya Evan kepada Conan.
Conan menyeringai. "Aku menemukan wadah permen biru
kalian," katanya. "Hah" Permen biru?" Evan kaget.
Conan mengangguk. "Yeah. Kalian ingat tidak" Permen yang
kalian tidak mau bagi kemarin itu. Kutemukan wadahnya dan
kucicipi. Lumayan enak juga. Lengket, tapi enak."
"Tapi... tapi...," Evan tergagap.
"Sekarang aku punya dua masalah," Conan melanjutkan.
"Pertama, aku jadi haus terus, mau minum terus."
"Masalah yang lain apa?" tanya Evan dengan suara bergetar.
"Lihat," jawab Conan. Tangannya melambai ke halaman
belakang rumahnya. Dan ada sosok berlari keluar dari dalam rumah.
Conan yang lain! Dan Conan baru itu diikuti oleh dua Conan lainnya!
Keempat Conan itu bergabung dan membentuk lingkaran
mengelilingi Evan, Kermit, dan Andy.
"Ini masalahku yang lain," kata Conan, matanya memandang
Evan dengan bengis. "Sekarang kami berempat. Dan aku tak tahu
kenapa... tapi kami merasa lebih GALAK daripada biasanya!"
END Sang Penghancur 2 Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bidadari Dari Sungai Es 5
^