Pencarian

Kembali Keperkemahan Hantu 2

Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu Bagian 2


berjalan untuk mengembalikan sampan ke rumah kapal. Setelah
terdengar jeritan kedua, Nate memutuskan bahwa lebih aman bagi
kami semua untuk segera kembali ke perkemahan.
Saat itu tengah hari. Matahari tepat di atas kami. Sinarnya
sangat panas. Membuatku keringatan. "Tebak-tebak."
"Nggak mau." "Tebak-tebak." Kenapa sih dia nggak mau diam"
"Tebak-tebak." "Kalau aku jawab, kau mau diam tidak?"
Ari mengangguk dengan semangat.
"Siapa di sana?" aku bersungut-sungut.
"Dustin." ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Dustin siapa?"
"Dustin yang ingin bertukar tempat!" ejeknya.
"Brengsek!" Kujatuhkan ujung sampan yang kupegang. Kutarik
kaus Camp Full Moon yang kukenakan, kuusap keningku yang
berkeringat dengannya. "Kaubawa saja sampan ini sendiri," kataku.
Sambil mengentakkan kaki kutinggalkan dia.
Di seberang perkemahan, kulihat beberapa anak sedang bermain
baseball. Ketika aku bergerak mendekati mereka, kulihat seorang anak
sedang menangkap bola. Lalu dilemparkannya bola itu ke penjaga base kedua.
Tapi, penjaga base kedua tak berhasil menangkapnya.
Hah" Aku menatap tak percaya!
Bola yang meluncur itu menembus dadanya, lalu keluar dari
punggungnya! Pitcher menangkap bola itu.
Kuarahkan mataku ke matahari yang bersinar terik.
Itu cuma fatamorgana, aku berkata pada diriku. Panas
mataharilah penyebabnya. Nyatanya tak seorang pun dari mereka
yang bermain melihat keanehan itu.
Pitcher mulai melontarkan bola lagi.
Melihat bola meluncur, anak yang mendapat giliran memukul
mengayunkan tongkatnya. Tapi ayunannya terlalu keras"akibatnya,
tongkat pemukul itu menghantam kepala penangkap bola.
Terdengar bunyi TUNG yang keras sekali.
Tapi aneh, anak itu sama sekali tak terjungkal.
Dia juga tak menjerit. Dia bahkan memberi tanda pada sang Pitcher untuk
melontarkan bola lagi. Aku memandang tajam ke arah penangkap bola. Juga pada
penjaga base kedua. Butir-butir keringat dingin bermunculan di
dahiku. Lebih baik aku segera masuk ke pondok, kuputuskan dalam
hati. Lebih baik kuhindari panas matahari.
Aku jadi melihat yang tidak-tidak.
15 AKU duduk di pondokku, mendengarkan suara anak-anak yang
berlompatan dari papan loncat, menceburkan diri mereka ke danau.
Saat ini adalah jam bebas untuk berenang.
Kukatakan kepada Paman Lou bahwa aku harus kembali ke
pondok. "Baiklah, Nak. Tapi kata orang sih, tak ada gunanya kau
mengubur dirimu." "Yeah, betul." Aku sebetulnya tak mengerti apa maksud katakatanya itu.
"Kau takkan pernah tahu apa yang bisa kaulakukan sampai kau
mencobanya!" teriaknya di belakangku.
Apa yang dapat kulakukan" renungku di tempat tidur.
Bagaimana aku dapat melepaskan diri dari semua kesulitan ini"
Kenapa Mom dan Dad tak mau mendengarkan aku" Aku kan
sudah bilang, jangan kirim aku ke tempat ini.
Tunggu. Akan kubuat mereka mendengarkan kata-kataku.
Akan kutelepon mereka"akan kukatakan agar mereka tidak
mengirim Logan ke tempat ini. Akan kuminta mereka menjemputku.
Akan kuberitahu bahwa aku dalam bahaya. Betul-betul dalam bahaya
besar. Akan kuminta mereka untuk membawaku keluar dari tempat ini
secepatnya. Oke. Masalah Nomor Satu terpecahkan.
Sekarang Masalah Kedua: di mana teleponnya"
"Yo!" Noah mendorong pintu kawat pondok kami. Dia masih
memakai baju renang. Seluruh badannya basah. Lantai pondok
menjadi becek saat ia berjalan melintasi ruangan.
"Aku mencari-carimu. Kok kau nggak berenang sih?"
"Lagi malas," jawabku murung.
"Tapi kau bisa berenang, kan?" tanya Noah menyelidik.
"Tentu saja bisa. Tidak mahir sih," kuakui. "Tapi aku bisa."
Aku melompat turun dari tempat tidur. "Kau tahu tidak, di
sekitar sini ada telepon, nggak?" tanyaku.
"Ada, di luar aula. Di sisi dinding aula ada telepon koin."
"Sip!" Aku mulai melangkah ke pintu.
"Tidak. Tidak sip," kata Noah di belakangku. "Semua peserta
dilarang memakainya."
************ Malam itu, aku menunggu sampai Noah, Ben, dan Jason
berangkat untuk makan malam di aula. Kukatakan, aku akan
menyusul mereka nanti. Aku memandang ke luar dari jendela pondokku, melihat semua
anggota perkemahan berjalan menuju aula.
Ketika sudah yakin bahwa semua orang sudah berada di dalam
aula, aku menyelinap keluar dari pondok. Aku memutuskan untuk
menggunakan telepon umum itu.
Aku berindap-indap mendekati aula. Terdengar denting
perabotan makan. Dan suara-suara tawa anak-anak.
Aku berjingkat menuju jendela aula, mengintip sekilas ke
dalam. Bagus. Makan malam sedang berlangsung.
Cepat-cepat aku berjalan ke sisi bangunan"dan terenyak.
Tak ada telepon umum. Noah berbohong padaku! Kenapa" Kenapa dia berbuat seperti itu"
Tunggu dulu. Mungkin telepon itu ada di sisi yang lain.
Aku berjalan ke belakang aula sambil merunduk agar tak
seorang pun memergoki aku.
Hidungku mencium bau hamburger dan kentang goreng.
Perutku terasa keroncongan.
Tapi aku belum bisa makan.
Aku harus menelepon ke rumah dulu.
Telepon yang akan menyelamatkan hidupku.
Aku berbelok di sudut gedung batu itu. Yes! Itu dia telepon
umumnya. Kumasukkan beberapa koin ke dalamnya. Koin-koin itu
meluncur masuk dengan bunyi berdencing.
Jangan-jangan ada yang mendengarnya. Kupandangi
sekelilingku. Tak ada siapa-siapa. Kuputar nomor rumahku.
Bagaimana kalau tak ada orang di rumah" Tak terpikir olehku
hal itu tadi. Perutku terasa kaku saat kudengar bunyi berdering di sebelah
sana. Semoga ada orang di rumah.
Belum ada yang mengangkat.
Tolong, angkat teleponnya.
Telepon di rumahku masih terus berdering. "Halo?"
Mom! Yes! Kubuka mulutku, siap untuk berbicara"
Tapi sebuah tangan terjulur melalui bahuku. Mengambil telepon
itu" Lalu mematikannya. 16 KUPUTAR tubuhku, dan kulihat Ari berdiri di belakangku.
Matanya menyipit. "Siapa yang kauhubungi" Kau kan tahu hal itu
dilarang, Ari." "Dan kau pun tahu aku bukan Ari!" jeritku marah. "Aku
menelepon orangtuaku. Aku ingin mereka menjemputku."
"Oh, kenapa tidak kaukatakan dari tadi" Sini, aku bantu." Ari
merampas gagang telepon dari tanganku. Ditariknya kabelnya dengan
keras, hingga terlepas. "Ini, sahabatku." Diletakkannya gagang telepon itu ke tanganku
kembali, sementara kabelnya tergantung lepas. "Sana, bawalah ke
pondokmu. Sekarang, kau tak mungkin tertangkap basah lagi."
"Kenapa kaulakukan ini?" tanyaku dengan suara tercekik.
Kulempar gagang telepon itu ke tanah.
"Kau tidak boleh pulang, Ari." Ditepuknya punggungku. "Kami
membutuhkanmu. Perkemahan ini membutuhkanmu!"
"Stop memanggilku Ari!" Kudorong tubuhnya.
"Tapi kau memang Ari. Kau Si Terpilih! Ha ha ha."
"Tertawalah. Nggak apa-apa. Lihat saja, akulah satu-satunya
yang akan tertawa pada hari Senin nanti. Aku punya kabar buruk
untukmu!" aku berkata padanya.
"Oh, ya" Apa?"
"Tebak-tebak," aku berkata.
"Tunggu dulu." Ari menggelengkan kepalanya. "Berita buruk
apa sih?" "Tebak-tebak." "Dasar bayi. Ternyata kau tak punya berita buruk apa pun."
"Tebak-tebak." Ari tak tahan lagi. "Siapa di sana?" katanya sambil menggerutu.
"Logan." "Logan siapa?" "Tidakkah kau ingin tahu?" jawabku.
"Brengsek!" kata Ari. "Ini bukan lelucon."
"Ini lelucon," jawabku. "Dan lelucon itu akan terjadi padamu.
Hari Senin nanti!" "Siapa itu Logan!" Ari mendorongku dengan kasar. Aku
terjungkal ke tanah. Kusergap kakinya. "Ooof." Ari jatuh ke atas tubuhku.
"Kembalikan kausku!" Kucengkeram T-shirt-nya, lalu kutarik.
"Kembalikan semua bajuku."
Ari menindih tubuhku. Ditangkapnya kedua lenganku,
dikuncinya di atas kepalaku. "Katakan dulu, apa berita buruk itu!"
Kuayunkan kakiku, kutendang dia sekeras mungkin. Dia
terlempar ke sebuah pohon.
"Hari Senin nanti, adikku akan datang ke perkemahan ini,"
kataku padanya. Aku bangkit, lalu membersihkan kotoran yang menempel di
jinsku. "Dan dia akan mengatakan pada setiap orang bahwa akulah
Dustin. Kasihan sekali kau. Kau kalah."
"Nggak bakal." Ari kembali menyerangku. Ditinjunya aku
sampai terjatuh lagi. Kami bergulingan di tanah. Ari menghantam perutku. Aku
menendang kakinya. "Heh, apa-apaan ini?" Paman Lou keluar dari aula. Dia
berteriak memanggil Nate.
Nate menarik Ari dari atas tubuhku. Lalu ditolongnya aku
berdiri. "Lebih baik kausimpan tenagamu, Ari," kata Nate padaku. "Kau
akan membutuhkannya nanti."
"AKU BUKAN ARI!" jeritku. "AKU DUSTIN!"
"Leluconmu ini mulai membosankan, Nak," kata Paman Lou.
"Kenapa sih kau tidak mau berhenti juga?"
Ari tertawa keras. "Lihat saja," kataku, "hari Senin nanti. Kau akan tahu. Kalian
semua akan tahu." 17 "YAKINKAH kau bahwa kita akan mengadakan api unggun
malam ini?" Aku melirik ke luar jendela. "Sepertinya hujan bakal
turun." "Kalau begitu, sebaiknya kita cepat-cepat ke sana," kata Noah.
Dia menyambar sepatu ketsnya, lalu memakainya. "Aku harus
memenangkan taruhanku."
"Taruhan apa?" tanyaku.
"Noah bertaruh dia bisa makan marshmallow dua puluh buah
sekaligus," kata Jason, sambil memasukkan kaus Full Moon Camp
melalui kepalanya. "Yeah. Dan kami bertaruh kami bisa menelan tiga puluh
sekaligus!" Ben membual.
"Mau ikut taruhan juga?" tanya Ben. "Kau mau coba berapa?"
"Uh, aku nggak tahu," gumamku. "Aku belum pernah
memenuhi mulutku dengan apa pun."
Kubuka pintu pondok, lalu menengadah ke langit. Awan gelap
melintasi bulan purnama. Angin keras yang bertiup hampir saja
menutup pintu pondok kami.
Aku memandang ke deretan sampan di danau.
Sampan-sampan itu bergoyang-goyang dengan keras.
Berbenturan satu sama lain. Juga dengan dermaga.
Para anggota perkemahan keluar dari pondok masing-masing.
Dengan kepala tertunduk, mereka berjalan menentang angin, ke arah
api unggun. Ben mendorongku, yang saat itu sedang berdiri di tengah pintu.
"Ayo! Nanti marshmallow-nya habis."
Kuikuti mereka ke api unggun. Beberapa anak sudah
mengelilingi meja makanan.
Jason, Ben, serta Noah menyeruak di tengah-tengah kerumunan
para peserta perkemahan. Ben meraup segenggam penuh
marshrmllow. Paling tidak dia telah menjejalkan sepuluh buah
marshmallow ke mulutnya sebelum Jason dan Noah memulainya.
"Ayo, Ari!" Noah memasukkan empat marshmallow ke
mulutnya. "Ikutan!"
"Nggak, ah," kataku ketika melihat Ben menjejalkan sepuluh
marshmallow lagi ke mulutnya. Pipinya sampai menggelembung.
"Aku melihat saja."
"Lihat!" teriak Melvin, teman sepondok Ari yang tampangnya
acak-acakan. "Sebentar lagi dia pasti muntah."
Ben mendekatkan wajahnya ke Melvin"lalu disemburkannya
marshmallow di mulutnya ke anak malang itu.
"Ini!" Jason mengulurkan beberapa marshmallow ke tanganku.
"Sekarang giliranmu."
"Uh, nanti saja," kataku, mengelak.
Aku berbalik, melangkah tergesa-gesa mendekati api unggun.
Aku melihat asap hitam bergulung-gulung naik dari kobaran
api, lalu hilang ditelan angin.
Besok Logan akan tiba di sini, pikirku sambil memandangi api.
Dan aku bisa kembali menjadi Dustin.
"Masih ingin menelepon Mommy dan Daddy?" Ari melangkah


Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sisiku. "Hei, aku ada ide." Ari menunjuk api unggun. "Kenapa kau
tak mengirimkan asap isyarat saja?"
"Tunggu saja," jawabku, sambil berjalan menjauhinya. "Tunggu
saja besok." Aku berjalan ke sisi lain api unggun itu. Lalu duduk di belakang
sekelompok anak yang sedang memanggang marshmallow.
"Jeremy, kau punya tusukan marshmallow lagi, nggak?"
Seorang anak berambut pirang menanyai temannya.
Jeremy tak menjawab. Dia sibuk memasukkan marshmallow ke
jari-jarinya. Seperti mengenakan cincin.
Anak berambut pirang itu memandangi marshmallow di jari-jari
temannya. Jeremy mengangkat bahunya.
"lalu dijulurkannya jari-jarinya ke kobaran api!
Kupejamkan mataku rapat-rapat.
Aku tak melihat hal itu. Kubuka lagi mataku. "Hei!" seru Jeremy kepada temannya berambut pirang itu.
"Kalau nggak ada tusukan, pakai saja jari-jarimu. Seperti ini!"
Dipanggangnya lagi jari-jarinya di atas api.
Anak-anak di sekitarnya tertawa.
Anak-anak ini gila! Mereka membakar jari-jari mereka sendiri!
Aku melompat berdiri. Seorang anak lain meletakkan sebuah marshmallow di antara
gigi depannya. Aku melotot dengan ngeri saat anak itu menjulurkan kepalanya
ke api unggun. Terdengar bunyi meretih di sekelilingnya.
Marshmallow di mulutnya mulai hangus.
Ada yang nggak beres di tempat ini! Aku harus segera pergi!
aku memutuskan sambil berjalan menjauhi mereka.
Tempat ini sangat aneh. Dan sangat berbahaya.
Aku berlari menuju hutan.
Aku harus membuat rencana, pikirku seraya berlari di antara
pepohonan. Aku tak bisa tinggal di tempat ini. Tidak, walaupun cuma
semenit lagi. Angin bertiup keras di antara pepohonan.
Dahan-dahannya bergoyang-goyang, menimbulkan bunyi
berkeriut-keriut. ebukulawas.blogspot.com
Kudengar gelegar guntur di kejauhan.
Aku terus maju menentang angin. Melesat di antara pepohonan.
Masuk semakin jauh ke dalam hutan.
Bulan di langit menerangi jalanku. Tapi sinarnya memudar
ketika segumpal awan menyelimutinya.
Angin berembus, meniupkan debu ke mataku.
Dengan mata terpejam karena kelilipan aku terus menembus
hutan. Kakiku tersandung-sandung akar-akar pepohonan, sementara
tanganku tergores-gores kulit kayu yang kasar.
Aku terus berlari dengan kepala tertunduk. Tanpa melihat ke
depan. "Hei! Perhatikan arahmu!" seorang anak perempuan berseru
ketika aku menabraknya. Aku terkejut ketika anak itu jatuh dengan keras.
Dia terduduk di tanah, dengan napas tersengal-sengal.
Sinar bulan menerangi wajahnya. Anak perempuan itu
berambut panjang dan pirang, dikepang hingga ke pinggangnya.
Hidungnya yang mungil berbintik-bintik.
Dia mengenakan celana jins biru pendek dan kaus kuning. Di
lehernya terjuntai kalung perak yang berkilauan.
Anak itu menatapku dengan ketakutan.
Siapa anak perempuan ini" Kupandangi matanya yang berwarna
cokelat. Dari mana dia" 18 KUULURKAN tanganku, kutolong dia untuk berdiri lagi.
"Siapa kau" Apa yang kaulakukan di tengah hutan ini?"
tanyaku. Dia membersihkan kotoran yang menempel di belakang celana
pendeknya. "Aku dari perkemahan anak perempuan."
Hah" "Perkemahan anak perempuan yang mana?"
Sekelebat guntur bergemuruh di atas kami.
Anak itu kelihatannya tak mendengar pertanyaanku. Dia
menengadah ke langit, lalu menggigil.
"Perkemahan anak perempuan yang mana?" tanyaku lagi. "Kata
mereka, tak perkemahan lain di sekitar sini."
"Mereka tak ingin kau mengetahuinya," jawab anak perempuan
itu. "Mereka takut anak-anak laki akan menyelinap ke perkemahan
kami." Dicengkeramnya kepangnya, disentakkannya dengan keras.
"Tapi, di mana perkemahan kalian?" Aku menatap melalui
pepohonan. "Kau tak bisa melihatnya dari sini," katanya. "Sebab letaknya di
tepi sungai." Rintik-rintik hujan mulai turun.
"Lebih baik aku pergi sekarang." Anak perempuan itu berbalik.
"Tunggu sebentar," kataku. "Siapa namamu?"
"Laura Carter," jawabnya. "Dan kau Ari, kan?"
Bulu kudukku meremang. Aku menatap matanya yang dalam dan berwarna cokelat.
"Dari mana"kau tahu?" aku tergagap.
19 "DARI mana kau tahu namaku?" tuntutku padanya.
"Aku tahu banyak tentang dirimu," jawabnya. "Aku bahkan
tahu kau benci serangga."
"Bagaimana kau mengetahui semua itu?" tanyaku dengan suara
gemetar. "Jangan sedih," katanya. "Aku mendengar mereka
menggodamu." "Siapa yang kaudengar menggodaku?"
"Anak-anak di perkemahanmu itu."
"Kapan?" tuntutku.
"Ketika kalian bersampan di sungai. Kau tak melihatku waktu
itu." Dilepasnya kalung perak di lehernya, lalu diputarnya di antara
jemarinya. "Aku mengamatimu dari balik pepohonan."
Hujan turun semakin deras.
"Aku benar-benar harus pergi," katanya. "Aku tak ingin basah
kuyup. Nanti mereka tahu aku telah keluar dari perkemahan."
"Siapa mereka?"
"Para pembimbing di perkemahanku," jawabnya.
"Kenapa kau keluar?" tanyaku lagi. "Kenapa kau pergi
sendirian ke hutan malam-malam?"
"Sebab aku benci mereka."
Laura kelihatannya baik. Tapi dia tak mudah diajak bicara.
"Siapa yang kaubenci?"
"Siapa saja dan apa saja!" gerutunya. "Aku benci anak-anak
perempuan di perkemahanku. Aku benci perkemahan itu. Aku benci
semuanya." Anak perempuan itu menghela napas panjang. "Setiap malam
aku menyelinap ke luar. Berjalan ke hutan. Dan mencoba mencari
jalan yang terbaik untuk menyelamatkan diri."
Dia mengangkat bahunya. "Sampai sekarang aku belum
mendapatkan jalan yang terbaik itu."
"Tidakkah kau takut berada di tengah hutan ini sendirian?"
tanyaku. "Tidakkah kau takut pada Si Pemangsa?"
Laura terkesiap. "Mereka menceritakan itu juga pada kalian" Tentang peserta
perkemahan yang hilang setiap musim panas?"
Aku mengangguk. "Cerita itu"nggak benar-benar terjadi, kan?" Tubuhnya mulai
bergetar. "Ak"aku nggak tahu," gagapku.
Aku merasa menyesal. Aku tak bermaksud membuatnya takut.
"Kupikir tadinya mereka cuma mengarang-ngarang saja,"
katanya pelan. "Tapi kalau pembimbingmu juga menceritakan hal
yang sama"mungkin kisah itu nyata." Bibir bawahnya bergetar.
Terdengar dedaunan bergemeresik di belakang kami.
Kami berdua terlonjak. Aku menengok ke belakang. Tak ada apa-apa di sana.
"Itu cuma bunyi hujan yang jatuh di dedaunan," kataku.
"Oke." Suaranya bergetar. "Lebih baik kita segera kembali."
"Dengar," kataku. "Aku minta maaf karena telah membuatmu
ketakutan. Aku tahu apa yang kaurasakan. Maksudku, tentang
perkemahan itu. Aku pun membencinya. Aku betul-betul tak bahagia
di sana." "Kau?" Mata Laura membesar. "Bagus!"
"Bagus!?" "Kita dapat saling menolong untuk menyelamatkan diri!"
Senyum gembira melintas di wajahnya. "Kita dapat saling menolong
mencapai sisi lainnya."
"Sisi lain apa?" tanyaku.
"Sisi lain sungai. Yang harus kita kerjakan adalah
menyeberangi sungai. Tak jauh dari seberang sungai itu ada jalan
raya," jelasnya padaku. "Selama ini aku takut menyeberangi sungai itu
sendirian. Tapi sekarang, kita bisa melakukannya berdua."
Disambarnya tanganku. "Ayo!" Ditariknya aku.
Aku tak bisa pergi sekarang, pikirku. Besok Logan datang. Aku
tak bisa meninggalkannya sendirian di perkemahan itu.
"Tunggu!" Kulepaskan tanganku dari genggamannya. "Aku tak
bisa pergi malam ini."
"Oh." Laura kelihatan sangat kecewa.
"Bagaimana kalau kita ketemu lagi besok?" usulku. "Kita
rencanakan pelarian kita."
"Janji?" Suaranya terdengar sangsi.
"Kita akan bertemu di tempat ini," aku berkata. "Bisakah kau
menemukan tempat ini besok?"
"Bukan masalah," jawabnya. "Aku hanya perlu mencari pohon
ini." Laura menunjuk sebatang pohon yang bagian tengahnya retak.
Lalu dia mengucapkan selamat tinggal dan bergegas kembali ke
perkemahannya. Aku pun kembali ke jalan setapak. Hujan deras mulai turun.
Aku berlari-lari kecil. Sekelebat kilat, tebal membelah langit.
Kilat itu menerangi hutan sekilas.
Walaupun cuma sekejap, aku melihatnya.
Seekor rubah. Binatang buas itu berdiri di ujung jalan setapak. Kepalanya
merendah. Punggungnya melengkung.
Binatang itu memandang tajam padaku.
20 BINATANG buas itu membidikkan tatapannya padaku.
Tubuhku terasa kaku. Napasku sesak.
Kupandangi matanya. Kedua-duanya. Mata rubah itu seperti
mata manusia. Ada sesuatu yang sangat akrab di sana.
Jantungku berdebar-debar.
Aku pernah melihat mata itu sebelumnya.
Tatapan rubah itu membuatku tercekam.
Apa yang harus kulakukan" Haruskah aku mencoba kabur
menghindarinya" Akankah binatang itu menyerangku begitu aku
bergerak" Jantungku berdebar keras sekali, sampai-sampai dadaku rasanya
hampir meledak. Kuturunkan pandanganku. Dan melihat sebutir batu.
Kuraih batu itu dengan tangan gemetar.
Kutarik napasku dalam-dalam. Kugenggam batu erat-erat"lalu
kutimpukkan ke arahnya. Makhluk itu melompat mundur, terkejut. Dan mendesis marah.
Lalu ia menghilang ke kegelapan hutan.
Aku segera mengambil langkah seribu. Berlari tanpa henti,
menembus hutan, kembali ke perkemahan.
Keadaan di sekitar api unggun sudah sepi. Suasana di sekitar
perkemahan sudah gelap. Lampu-lampu di pondok pun sudah
dimatikan. Sia-sia aku lari sekencang angin tadi.
Diam-diam aku menyelinap ke pondokku, lalu naik ke tempat
tidur. Jantungku masih berdebar-debar.
Kuyakinkan diriku bahwa esok hari akan lebih baik.
Sebab Logan akan tiba di perkemahan ini.
Besok kami berdua akan pulang ke rumah.
*********** "Jam berapa sekarang?"
Sinar matahari menembus jendela pondok. Tak terasa, hari
sudah pagi lagi. Aku menguap panjang. "Jam berapa sih sekarang?" Aku duduk di tempat tidur.
Pondokku sudah kosong. "Ke mana yang lain?"
Aku melompat turun. Lalu bergegas mengintip melalui jendela.
Kulihat beberapa anak bermain-main di danau.
Sementara beberapa anak yang lebih kecil bermain di lapangan
softball. Kenapa mereka sudah bangun pagi-pagi begini"
Kulihat jamku yang terletak di atas laci. Pukul delapan! Aku
ketinggalan makan pagi. Aku ketinggalan latihan memanah. Tenis.
Benarkah sekarang ini sudah pukul delapan"
Segera kukenakan celana pendek hitam dan T-shirt berwarna
hitam juga. Terburu-buru kumasukkan kakiku ke sepatu kets, lalu
berlari keluar. Kulihat Paman Lou keluar dari pondoknya, lalu berjalan
menuruni bukit. "Paman Lou! Tunggu!" teriakku.
Aku berlari menyusulnya. "Adikku, Logan, akan tiba hari ini!"
aku berkata dengan napas tersengal-sengal. "Tahukah Anda, jam
berapa bus perkemahan itu datang?"
"Bus itu sudah tiba, Nak. Aku sedang akan ke sana, sekarang."
"Bagus! Bagus sekali! Sekarang bisa kubuktikan pada Anda
siapa diriku sebenarnya!"
"Terserah apa katamu, Nak."
Berdua kami berjalan menuruni bukit.
Kulihat para peserta yang baru keluar dari bus kuning itu.
Mereka bergerombol, menunggu Paman Lou menyambut mereka.
Kulihat Ari, yang berdiri di samping gerombolan peserta baru
itu, memandang padaku dan Paman Lou.
"Itu adikku! Itu, anak kecil yang memakai kaus oranye, dan topi
baseball hitam!" Kutunjuk adikku.
"Kau keren, Nak." Paman Lou menggebuk Logan. "Kata orang
sih, kalau mau maju, pakai baju."
"Uh, terima kasih," kata Logan.


Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Logan! Senang sekali bertemu denganmu!" aku
menyambutnya. "Katakan pada Paman Lou siapa diriku ini! Katakan
padanya bahwa aku Dustin, kakakmu!"
Logan menatapku. "Hei, siapa kau?" gumamnya. "Kau bukan kakakku. Itu,
kakakku"di sana."
Logan menunjuk Ari. "Tidak, Logan"ayolah!" Aku terkejut.
Tapi Logan berlari ke arah Ari.
"Hei, Dustin, bagaimana kabarmu?" Logan mengajak Ari berhigh five. "Siapa sih anak itu?" tanyanya, sambil menunjuk padaku.
21 "LOGAN itu adikku! Anda harus percaya padaku, Paman Lou!"
aku memohon pengertiannya. "Akulah Dustin!"
Rengekanku begitu keras, sampai-sampai rasanya urat-urat di
leherku bertonjolan keluar.
Seluruh anggota perkemahan yang baru terpana memandangku.
Begitu pula Paman Lou. Juga Ari dan Logan. "Anak itu gila," kudengar seseorang berkata.
"Tenanglah, Nak." Paman Lou meraih bahuku dengan
tangannya yang besar. "Kau membuat para peserta baru ini
ketakutan." Aku menarik napas dalam-dalam. Tapi tetap saja hatiku resah.
Ari berjalan ke arah danau. Kulihat Logan berjalan
mengikutinya. Kugelengkan kepalaku. "Aku tak mengerti," gu-mamku.
"Mengapa Logan melakukan hal ini padaku?"
"Dengar, Ari...," kata Paman Lou.
"Aku bukan Ari!"
"Dengar!" kata Paman Lou tegas. "Cukup sudah. Jangan lagi
berkata siapa dirimu sebenarnya. Oke?"
"Aku bukan Ari!" kutegaskan lagi hal itu.
Paman Lou mendesah. "Oke. Begini saja. Aku berpikir bahwa
kau adalah Ari. Semua peserta perkemahan ini pun begitu. Bahkan
Logan, adik Dustin, pun berpikir bahwa kau Ari. Jadi sudahlah.
Berpura-puralah bahwa kau ini Ari!"
"Aku Dustin!" teriakku. "Aku tahu kalian pasti mengira aku
gila! Tapi tidak! AKU DUSTIN!"
Paman Lou tak lagi memedulikan kata-kataku. Dia berbalik ke
para peserta baru itu. "Oke. Sekarang dengar," perintahnya. "Full
Mooners"berdiri di sini...."
Aku segera menjauh dengan perasaan linglung.
Kenapa Logan melakukan hal ini padaku"
Aku berjalan menuju danau, dengan perasaan takut dan
bingung. Kulihat beberapa anak tertawa-tawa sambil bermain cipratcipratan di danau. Mereka berlomba menyeberangi danau. Setelah itu
semua menyelam ke bawah air.
Kutunggu sampai mereka muncul kembali.
Permukaan air terlihat tenang.
Suasana berubah hening. Tak ada suara tawa. Tak ada bunyi cipratan air.
Kok anak-anak itu bisa menyelam lama sekali" Ke mana
mereka" Aku mulai khawatir. Tidak seorang pun bisa bertahan selama
itu di bawah air. Kupandangi terus permukaan danau itu.
Ke mana kalian" Ayo, muncullah! Aku mulai panik. Dadaku
berdebar keras sekali. Ini aneh! Tidak logis! "Tolong!" aku menjerit sekencang mungkin. "Tolong! Anakanak itu tenggelam!"
22 "MEREKA tenggelam! Tolooong!" aku menjerit.
Aku memandang berkeliling area perkemahan itu dengan panik,
mencari seseorang yang bisa menolong kami.
Tapi lapangan baseball itu sunyi.
Para peserta perkemahan yang baru dan Paman Lou tak terlihat.
Ke mana penghuni perkemahan ini"
Di mana para pembimbing"
"Tolong!" jeritku lagi. "Mereka tenggelam!" Paling tidak, sudah
lima menit anak-anak itu ada di bawah air.
Tak ada harapan lagi. Tak ada yang selamat. BYUR! Semua penyelam itu muncul kembali ke permukaan danau.
Mereka tertawa-tawa. Saling menciprati temannya.
Bagaimana mungkin mereka melakukannya" Aku memandang
dengan mulut ternganga. Tak seorang pun bisa menyelam selama itu.
Tak seorang pun. Tempat ini aneh, aku berkata pada diriku.
Aku akan pergi dari sini hari ini.
Tapi, pertama-tama aku harus menemui Logan dulu.
Aku tak perlu jauh-jauh mencarinya. Logan dan Ari baru saja
keluar dari hutan. Mereka menuju dermaga di tepi danau.
"Bolehkah kita menaiki salah satu sampan itu sekarang?"
kudengar Logan bertanya saat aku berjalan ke arah mereka.
"Tidak boleh. Harus ada pembimbing yang mendampingi," kata
Ari. Lalu Ari menunjuk aku. "Logan, aku punya tebak-tebakan asyik
nih." "Logan, tak bakal mau mendengar tebakanmu yang konyol itu,"
kataku. Ari tak menghiraukan kata-kataku. "Tebak-tebak."
"Apa itu?" tanya Logan.
"Sampan." "Sampan apa?" "Sampan yang percaya bahwa dia gila!" Ari menunjukku.
Logan tertawa terbahak-bahak.
Aku mendesah. "Ayo, kita tinggalkan tempat ini." kucengkeram
lengan adikku. "Lepaskan aku." Logan menyentakkan tangannya. "Kau bukan
kakakku. Aku bahkan tidak tahu kau ini siapa."
"Berhenti, Logan!" aku memperingatkannya. "Ayo, kita pergi."
Kutarik ia ke belakang aula, untuk berbicara berdua saja.
"Apa yang terjadi?" tuntutku padanya. "Kenapa kau berkata aku
bukan kakakmu?" Logan mengangkat bahunya.
"Jawablah, Logan," kataku. Gigiku berkeretak. "Kita tak akan
meninggalkan tempat ini sebelum kau menjawabnya."
"Berhentilah membentakku." Logan mencebik. "Aku takut!"
Hah" "Apa yang kautakutkan?"
"Ari. Dia mengancam akan melukai aku kalau aku tak
berbohong tentang dirimu," akhirnya pengakuan itu keluar dari
bibirnya. Aku merasa kasihan pada adikku.
"Kau tak usah takut lagi," kataku padanya. "Malam ini kita akan
meninggalkan perkemahan. Kita pulang!"
"Tapi aku tak ingin pulang!" Logan melompat berdiri. "Aku
baru saja sampai. Kenapa harus pulang lagi?"
"Karena tempat ini berbahaya."
"Tidak. Toh aku cuma harus berpura-pura bahwa kau bukan
kakakku." Aku tak ingin menceritakan tentang Si Pemangsa kepadanya.
Atau kejadian-kejadian aneh yang kulihat di perkemahan ini. Logan
sudah cukup ketakutan. Aku tak ingin menambahinya lagi.
"Pergilah ke pondokmu, keluarkan baju-bajumu," kataku
padanya. "Semua akan baik-baik saja. Sampai nanti, ya."
Aku duduk sendirian sejenak, memikirkan sebuah rencana baru.
Rencana yang hebat. Akan kutemui Laura nanti malam. Aku tak akan mengajak
Logan. Aku akan pergi sendirian.
Laura dan aku akan melarikan diri ke jalan raya di seberang
sungai. Kami akan mencari telepon umum di sana.
Lalu aku akan menelepon orangtuaku, agar mereka
menyelamatkan aku dan Logan.
Setelah mendapatkan ide itu, aku agak merasa tenang.
Aku memutuskan untuk pergi ke pondokku, dan menunggu
sampai saat untuk bertemu Laura tiba.
Aku berlari di jalan kecil yang menuju ke pondokku.
Kulihat beberapa anak di depanku sedang memegang busur dan
anak panah. Aku mengenali dua di antara mereka waktu sedang di
aula. Salah satunya bernama Todd, seorang anak bertubuh tinggi
kurus, dan berambut hitam.
Todd memasang anak panah pada busur yang sedang
dipegangnya. Lalu mengarahkannya pada sasarannya.
Kuikuti pandangannya"dan terkejut.
Dia membidikkan anak panahnya pada Billy, seorang peserta
perkemahan yang bertubuh gemuk pendek.
Billy berdiri dengan kedua tangan terkembang"
Di dadanya sudah tertancap sebuah anak panah!
Jadi, Billy-lah sasaran anak panah Todd!
Todd menarik tali busurnya"lalu melepaskan anak panahnya.
Anak panah itu meluncur deras ke bahu Billy!
Tapi Billy sama sekali tak menjerit! Dia bahkan tak tersentak
kesakitan. Sambil nyengir, dia mulai mencabut anak panah itu.
"Biarkan saja!" teriak Todd. "Aku ingin tahu, bisa tidak aku
membidik satu lagi tepat di bawahnya!"
Aku baru saja akan menjerit, tapi satu anak panah lagi sudah
terlepas. Meleset! Anak panah itu tak mengarah ke bahu Billy, tapi
meluncur deras ke dahinya!
"Berhenti!" aku menjerit. "Kalian berdua gila!"
Todd dan anak-anak lain menatapku.
Sambil terkikik-kikik mereka mengarahkan busur dan anak
panah mereka padaku. Aku berbalik, mengambil langkah seribu.
Aku berlari ke hutan untuk bersembunyi. Menunggu datangnya
malam. Menunggu saat pertemuanku dengan Laura.
Aku menjatuhkan tubuhku ke tanah, lalu bersandar ke sebuah
pohon. Bisakah aku menemukan jalan keluar dari tempat ini" Bisakah
aku menyelamatkan diriku dari perkemahan yang mengerikan ini"
23 Kutengadahkan wajahku, memandang ke langit yang gelap.
Sinar bulan purnama menyembul melalui puncak-puncak
pepohonan. Sudah waktunya, pikirku. Aku segera menembus hutan untuk menemui Laura.
Kerik jangkerik terdengar di mana-mana. Suara mereka
sepertinya mengikuti setiap langkahku.
Aku terus berlari sampai menemukan pertigaan di jalan setapak
itu. Ke mana" Kiri atau kanan"
Aku memeriksa tanda-tanda yang sudah kukenal. Tapi hanya
ada pepohonan di sekelilingku, dan semua tampaknya sama.
Aku berbelok ke kiri. Kuikuti jalan itu"sampai ke ujungnya. Lalu aku keluar dari
jalur, berlari di antara pepohonan.
Kuharap aku tak terlambat. Aku mulai kuatir. Bagaimana bila
Laura sudah pergi saat aku tiba di sana" Aku tak mungkin
menemukan jalan raya itu tanpa bantuannya.
Aku berlari lebih cepat lagi, mencari pohon yang batangnya
retak akibat sambaran kilat.
Suara dengungan membuatku berhenti. Segerombolan nyamuk!
Mereka berdengung mengelilingi kepalaku menyengat pipiku.
Ugh! Beberapa bahkan masuk ke mulutku.
"Ssh! Ssh!" Kuayun-ayunkan lenganku. Memukul-mukul
sekujur tangan dan wajahku. Meludah-ludah, mengeluarkan mereka
dari mulutku. Mana pohon itu" Sambil tetap menepuk-nepuk tangan dan wajahku, aku berlari
semakin jauh masuk ke dalam hutan"dan mendengar suara kerisik
dedaunan yang terinjak sesuatu!
Suara langkah kaki. Langkah kaki binatang. Aku terpaku. Jantungku mulai berdebar-debar.
Mudah-mudahan bukan rubah, aku berdoa.
Aku menunggu binatang itu menampakkan dirinya.
Lolongan yang mengerikan menembus pepohonan di hutan.
Tubuhku menggigil ketakutan.
Betulkah rubah melolong" aku bertanya-tanya.
Aku mulai berlari lagi. Dan tersandung sebuah cabang pohon.
Aku jatuh dengan suara berdebum.
"Ari, kaukah itu?"
Laura! "Yes!" Aku melompat berdiri.
Laura melangkah keluar dari antara dua batang pohon. "Aku
sudah ketakutan sekali." Disentakkannya kepangnya dengan gugup.
"Kupikir kau tidak jadi datang. Kupikir kau berubah pikiran."
"Tidak akan!" kataku.
Laura menarik napas dalam-dalam. "Mereka jahat sekali padaku
hari ini." "Siapa yang jahat padamu?" tanyaku.
"Gadis-gadis di perkemahanku. Mereka selalu menggangguku.
Mereka tahu aku tak tahan geli. Jadi hari ini mereka menggelitikku
sampai aku menangis. Aku harus keluar dari sini!"
"Aku akan pergi bersamamu," kataku. "Kita akan melarikan diri
bersama-sama." Laura bersorak gembira. "Terima kasih, Ari! Sekarang, kita
harus menyeberangi sungai itu."
Laura berjalan di depanku. "Tak jauh dari seberang sungai ada
jalan raya." Kami berdua berjalan semakin jauh menembus hutan. Laura
menyibakkan cabang-cabang pohon yang menghalangi jalan kami.
Dengan hati-hati melangkah di antara bebatuan.
"Kau yakin ini jalannya?" tanyaku. "Kok suasananya lain?"
Tiba-tiba terdengar bunyi berkeriut yang panjang dan keras.
Laura melompat mundur ketakutan.
Kami berhenti. Bunyi berkeriut itu terdengar lagi.
Lalu seekor binatang menjerit kesakitan.
"Lebih baik kita jangan berdiri di sini," kataku, berusaha
menutupi ketakutan dalam suaraku. "Ayo, jalan terus."
Kami berdua meneruskan langkah dengan cepat. Kudengar
napas Laura yang megap-megap.
"Apa itu?" Laura berhenti.
Terdengar suara tawa menggema di antara pepohonan. Dan
bisikan. Memantul, menakut-nakuti.
"Mungkinkah seseorang mengikuti kita?" tanya Laura sambil


Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengigit bibir bawahnya. "Kurasa tidak. Itu mungkin suara anak-anak di perkemahan,
yang terbawa oleh angin."
"Tapi tak ada angin bertiup," kata Laura.
Tiba-tiba saja angin mulai berembus.
Angin dingin yang entah dari mana datangnya. Tiupannya
begitu kuat"membuat kami terhuyung-huyung mundur ke sebuah
pohon. Kami peluk batang pohon itu erat-erat, sementara angin itu terus
menderu-deru, menyerang kami. Mendera kami. Membuat kami
memejamkan mata karena sapuannya yang begitu kuat.
Pepohonan di sekitar kami berderak-derak.
"Ada apa ini?" teriak Laura di antara deru angin.
Angin berembus semakin kencang.
"Kenapa tiba-tiba saja angin bertiup kencang?" teriaknya
ketakutan. Seperti datangnya yang tiba-tiba, embusan angin itu lalu
berhenti mendadak. "Aku tak mengerti," kata Laura gemetar. "Aku selalu ada di
hutan ini tiap malam. Tapi tak pernah kualami hal yang mengerikan
seperti ini." "Sungai itu masih berapa jauh lagi?" Suaraku juga bergetar.
"Tak jauh lagi." Dia menatap tajam ke serumpun pepohonan.
"Kurasa tepat di balik pohon-pohon itu."
Laura mulai berlari. Dia menghilang di tengah-tengah
rimbunnya pepohonan. "Hei! Tunggu!" "Sungai itu di sini!" panggilnya. "Ayo! Aku sudah melihatnya!"
Aku berlari menerjang pepohonan. Kutemukan Laura sedang
berdiri di tepi sebuah sungai kecil.
"Kita harus menyeberanginya, setelah itu kita akan selamat!"
katanya. Dicengkeramnya tanganku. Didorongnya aku ke arah air.
Aku mundur kembali. "Sungai ini dangkal. Jangan takut," katanya. "Aku sudah
memeriksanya. Kita mampu menyeberanginya."
"Yakinkah kau" Aku tidak terlalu pintar berenang."
"Aku yakin." Diremasnya tanganku. "Ayolah. Sebentar lagi kita
akan tiba di rumah!"
Rumah. Kedengarannya indah sekali.
Kuikuti dia sampai ke tepi sungai.
Aku maju selangkah. "Berhenti!" tiba-tiba sebuah suara berteriak.
Aku memutar tubuhku. Tak terlihat siapa pun. "Jangan bergerak!" perintah suara itu lagi. Kuangkat mataku"
dan terkesiap. Noah! Dia melayang atas kami! Tepat di bawah puncak pepohonan.
Noah! Wajahnya sepucat hantu. Dan dia melayang dengan sangat
ringannya. Tubuhnya tembus pandang. Sinar bulan menembusi tubuhnya.
"Jangan bergerak!" Dia menukik turun ke arah kami. Berputarputar di atas kepala kami.
Aku mundur menjauhinya. "JANGAN BERGERAK!" suaranya melengking.
"KUPERINGATKAN KAU"JANGAN BERGERAK!"
24 "AYO!" Laura mencengkeram lenganku, menarikku ke arah
sungai. "Jangan biarkan dia menghalangi kita!"
Noah menukik ke bawah. "Tapi"tapi"dia itu apa?" aku berteriak. "Hantukah dia?"
"Ke sini!" Laura menyentakku dengan keras. "Cepat. Jangan
biarkan dia menangkapmu!"
Noah melayang lagi ke arah kami.
Laura menarikku ke kanan.
Noah berputar mengelilingi kami dengan cepat.
Memerangkap kami. "Jangan sampai kita tertangkap olehnya!" Laura menyentak
tanganku lagi. "Kita harus lari."
Kami melompat ke tepi sungai.
Laura yang pertama-tama menceburkan dirinya ke air.
"Lompat ke sini, Ari!" teriak Laura. "Dia tak bisa
menangkapmu bila kau berada dalam air!"
Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu bersiap-siap untuk
melompat. Terlambat! Noah mencengkeram lenganku.
Ditariknya aku menjauhi sungai.
Tapi Laura menjulurkan tangannya, meraih tanganku.
Diseretnya aku ke arah air.
Noah menarik lebih kencang lagi. Dia menyeretku ke belakang.
Rasa nyeri yang amat sangat menyengat bahuku.
"Stop! Kalian bisa membuat tubuhku terkoyak!" aku menjerit.
"Jangan melawanku!" kata Noah keras. "Tidakkah kau tahu
siapa diriku?" Suaranya bergaung memenuhi hutan itu.
"Ya! Aku tahu siapa kau!" teriakku. "Kaulah Si Pemangsa!"
25 NOAH mencekal tanganku erat-erat"sehingga jari-jariku
mulai terasa dingin. Semua kehangatan tubuhku sedikit demi sedikit menguap.
Angin kematian mulai melingkupiku.
"Lepaskan aku!" aku berteriak.
"Lepaskan Ari!" jerit Laura kepada Noah. Dicengkeramnya
tanganku yang lain dengan kedua tangannya, berusaha melepaskan
diriku dari cekalan Noah. Dan didorongnya aku ke arah sungai.
"Kau tak bisa melarikan diri," kata Noah keras. "Tidak dengan
cara itu." Dicengkeramnya aku lebih erat lagi"sampai kedua lengan dan
kakiku terasa kaku karena kedinginan.
Dengan segala kekuatan yang ada kusentakkan lenganku.
Sampai akhirnya terlepas.
"Aku tak mau jadi korbanmu selanjutnya!"
"Jangan bicara padanya. Kalau kau berhenti dan berbicara
padanya, kau bakal mati!" teriak Laura.
Laura menggenggam tanganku. Dibimbingnya aku menuju
sungai. "Ayo! Kita masih punya kesempatan!"
"Dengar, Ari!" Noah melayang di depanku. "Aku bukanlah Si
Pemangsa!" "LARI!" Laura menyentakku maju. "Dia jahat! Jangan bicara
padanya!" "Aku bukan Si Pemangsa! Akulah korban terakhir Si
Pemangsa!" teriak Noah. "DIA-lah Si Pemangsa!"
"Bohong!" kata Laura tegas. "Jangan dengarkan kata-katanya!"
Kulepaskan genggaman Laura.
"Aku memang hantu. Tapi aku bukan Si Pemangsa," kata Noah,
sambil berputar mengelilingiku "Sebagian peserta perkemahan itu
adalah hantu. Kami semua adalah korban Si Pemangsa."
"Dia akan membunuh kita!" seru Laura. "Ayolah," rengeknya.
"Kita pergi!" "Dengarkan aku!" suara Noah menggelegar. "Setiap tahun,
kami memilih seseorang untuk menolong kami"seseorang yang akan
membebaskan arwah kami. Kami ingin beristirahat dengan damai.
Kami tak ingin menghantui hutan ini."
Noah melayang naik ke pepohonan.
"Hanya ada satu jalan agar hantu-hantu Camp Full Moon
beristirahat dengan tenang," Noah merintih. "Seseorang harus
menyeberangi sungai itu, hidup-hidup."
Jantungku berpacu. Aku menatap Laura. Lalu Noah.
Siapa yang harus kudengarkan"
Siapa yang harus kupercayai"
Berbohongkah Noah" Diakah Si Pemangsa" "Kami, para hantu, memilihmu tahun ini." Noah melayang
turun. Dia menatapku dengan pandangannya yang dingin. "Kami
memilihmu untuk menolong kami."
"Dia bohong!" Wajah Laura berkerut ketakutan. "Dia berusaha
menjebakmu di sini selamanya."
"Dia yang bohong!" Noah menggeram.
Laura menyentakkan kepangnya. "Kumohon, dengarkan katakataku. Aku mencoba menyelamatkanmu!" katanya menegaskan.
Jantungku berdebar dengan keras.
Tubuhku bergetar karena ketakutan.
Kalau saja aku bisa berpikir...
Tapi tak ada gunanya. Aku tak mungkin bisa berpikir dengan jernih.
"Percayalah padaku," Laura memohon. "Kubantu kau
menyelamatkan diri. Kau harus percaya padaku!"
Aku bergerak selangkah menuju air.
"Jangan!" Noah berteriak keras. "Dia pembohong! Apakah dia
mengatakan padamu tentang perkemahan anak-anak perempuan" Itu
bohong! Dia berusaha memerangkapmu! Keinginannya hanyalah
membawamu masuk ke sungai itu!"
Noah berputar-putar dengan kencang mengelilingi kami.
Dedaunan beterbangan tertiup olehnya.
Cabang-cabang pohon bergoyang keras.
"Kau sendiri ingin membawaku masuk ke sungai!" seruku
padanya. "Kalian berdua menginginkan aku menyeberangi sungai
ini!" "Tapi dia tak akan membiarkanmu menyeberanginya hiduphidupi" teriak Noah. "Sementara kami ingin kau menyeberanginya
dalam keadaan hidup!"
Kepalaku mulai pusing. Apa yang harus kulakukan"
Siapa yang harus kupercayai"
Siapa" 26 KUTATAP Laura. Betulkah apa yang dikatakannya"
Lalu kupandangi Noah. Atau dia yang betul"
Apa yang harus kulakukan" Aku berdiri terpaku.
"Dia berbohong padamu." Laura selangkah mendekatiku. Bibir
bawahnya bergetar. "Ayolah, ikut denganku. Aku tak ingin kau mati.
Dia itu Si Pemangsa. Kau tahu apa yang kukatakan ini benar."
"Itu jebakan!" seru Noah. "Dia jahat. Dia akan mengatakan apa
saja agar kau masuk ke sungai itu!"
Akhirnya aku berbalik"mengambil langkah seribu. Aku harus
menjauhi mereka berdua! Aku berlari di sepanjang tepi sungai yang gelap.
Menerjang alang-alang dan belukar.
Tersandung-sandung bebatuan.
Aku menoleh ke belakang. Laura berusaha menyusulku.
Sementara Noah melayang kencang di sebelahnya.
Mereka berpacu"untuk menangkapku!
Jantungku berdebar kencang. Aku berlari secepat mungkin.
"Aku tak bisa menunggu lagi!" teriak Laura tajam.
Dia pasti akan menyeberangi sungai sendirian, pikirku.
Aku berhenti berlari. Lalu berbalik menghadapinya.
"Aku tak bisa menunggu lagi!" serunya lagi. "Ari"kaulah
hantu baru Camp Full Moon!"
Laura melompat maju"
Aku terkesiap! Matanya yang cokelat bersinar, berkerlip-kerlip di kegelapan"
semakin lama semakin terang"berubah menjadi merah.
Tubuhnya mengambang di udara.
Lalu bertransformasi. Berubah" Menjadi seekor rubah! Menjadi Si Pemangsa! Makhluk itu menerkamku. Menancapkan cakarnya ke bahuku.
Dan mengarahkan giginya ke wajahku!
Kurasakan goresan giginya yang tajam di leherku.
Kusambar kedua kaki depannya, berusaha melepaskan diriku
dari terkamannya. Tapi mahkluk itu menancapkan kukunya semakin dalam.
Nyeri yang amat sangat menyergapku. Lalu, kurasakan darah
segar yang hangat menetes ke lenganku.
Makhluk itu menggeram. Digigitnya bahuku. Dicakarnya pipiku. "Pergi!" Kurenggut bulu-bulu di punggungnya. Kutarik dengan
keras. Makhluk itu mengangkat kepalanya.
Dibukanya mulutnya lebar-lebar.
Sesaat lagi dia akan memangsaku. Aku harus berbuat sesuatu!
Tunggu! Kuingat Laura tak tahan geli. Itu dia!
Makhluk ini tak tahan geli.
Laura berkata gadis-gadis di perkemahannya menggelitikinya.
Dengan sekuat tenaga kudorong ia menjauh dari tubuhku.
Makhluk itu menggeram pelan, mengancamku.
Kujulurkan tanganku ke arah perutnya.
Kutahan napasku"lalu mulai menggelitikinya.
27 KUTELUSUPKAN jari-jariku ke dalam bulu-bulunya"
menggelitiki perutnya. Terdengar geraman di dalam tenggorokan makhluk itu.
Kepalanya bergerak maju. Sambil terus menggeram,
dipamerkannya gigi taringnya.
Tak berhasil! Laura berbohong padaku.
Apa yang harus kulakukan sekarang" Apa"
Kucekal tubuhnya dengan kedua tanganku erat-erat. Dengan
sekuat tenaga kucoba melepaskan cengkeramannya pada diriku.
Lalu, dengan berteriak kencang, kulempar dia.
Terdengar dengking kesakitan saat tubuhnya membentur tanah.
"Cepat!" Noah melayang ke sisiku. "Kau bisa menyelamatkan
semua hantu anak-anak di Camp Full Moon. Sekarang
kesempatanmu! Seberangi sungai itu!" serunya.
Aku melangkah ke air. "STOP!" Noah berteriak lagi.
Aku berusaha menyeimbangkan tubuhku agar tak tercebur ke
air. Kupandang dengan ngeri sungai itu. Puluhan tangan kehijauan
berlumpur muncul di permukaannya.
Menggapai-gapai. Bermunculan dari dasar sungai.
Berusaha mencengkeram kakiku.


Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berusaha meraih pergelangannya.
Suara erangan yang mengerikan terdengar saat tangan-tangan
mengarahkan cengkeraman mereka ke arahku.
Aku terhuyung-huyung mundur.
"Sungai ini penuh monster!" kata Noah. "Kau tak mungkin
berenang menyeberanginya. Tangan-tangan itu akan menarikmu
masuk ke dasar sungai. Itulah yang diinginkan oleh Si Pemangsa!"
Aku menatap sungai yang gelap itu.
Riaknya menggelegak saat tangan-tangan hijau berlumpur
bermunculan lebih banyak lagi. Semua terjulur ke tepi sungai.
Mereka meraih-raih dengan riuhnya.
Siap untuk menarik korban baru ke dasar sungai.
"Aku tak bisa menolongmu! Aku tak bisa menyelamatkan siapa
pun!" protesku. "Kau bisa. Lihat di sana itu." Noah menunjuk dahan rendah
yang terjulur di atas sungai.
"Merayaplah ke seberang melalui dahan itu! Cepat! Kau pasti
bisa!" Aku menatap dahan pohon itu.
"Aku tak yakin bisa melakukannya," gumamku.
"Pasti kau bisa, Ari! Kau kan pesenam! Itu sebabnya kami
memilihmu. Kami tahu itu mudah bagimu!"
"Aku bukan?" Aku baru saja hendak membantah bahwa aku
bukan Ari. Tapi tak jadi. Tak ada gunanya, pikirku.
"Aku tak yakin," kataku.
"Kalau kau berhasil menyeberangi sungai ini, kami semua akan
beristirahat dengan damai." Tubuh hantu Noah berkilauan di bawah
sinar rembulan. "Kumohon, Ari. Cobalah. Kau harus mengalahkan Si
Pemangsa." Aku berlari ke arah pohon itu.
Dan melompat. Kutangkap dahannya dengan kedua tangan. Lalu mulai
memanjat. Tanganku maju perlahan-lahan, bergantian, menarik tubuhku.
Dahan itu berayun-ayun perlahan, naik-turun. Aku bergerak
lebih jauh lagi. Sekarang tepat di atas air.
Aku memandang ke sungai yang gelap di bawahku.
Ke puluhan tangan yang menggapai-gapai dengan liar. Meraihraih ke udara. Berusaha menangkap kakiku.
"A-aku tak bisa melakukannya!" jeritku ketakutan.
"Kau harus bisa!" teriak Noah. "Teruslah merayap!"
Kuteruskan lagi menelusuri dahan itu.
Kugoyang-goyangkan kakiku, berusaha menendangi tangantangan itu.
Suara erangan yang mengerikan itu terdengar lagi.
Lenganku mulai terasa kaku. Rasa nyeri yang tajam menyengat
bahuku. "Aku sudah tak kuat lagi!" erangku.
"Kau sudah setengah jalan!" Noah terus memberiku dorongan.
Kuayunkan satu tanganku lagi ke depan.
Mencengkeram dahan itu"
Dan terkejut! "Dahan ini basah!" jeritku. "Dan licin. Aku tak bisa bertahan
lagi!" Tubuhku berayun-ayun di atas sungai.
Kurasakan cengkeramanku pada dahan itu mulai terlepas.
Suara erangan di permukaan sungai terdengar semakin riuh.
Monster-monster sungai itu bergerak semakin cepat dan
membabi buta. Berusaha mengapaiku. Berusaha menarikku turun.
"Aku tak bisa bertahan!" pekikku.
Genggamanku pada dahan yang licin itu pun terlepas.
Aku menjerit keras"saat tubuhku meluncur jatuh ke tengah
sungai. 28 KUPEJAMKAN mataku. Saat aku meluncur... melayang...
Jatuh ke air... Tidak. Aku melayang-layang di udara.
"Aku berhasil menangkapmu!" seru Noah. "Jangan panik!"
Yes! Noah memegangiku. Kami melayang-layang di atas air.
Di bawah kami, tangan-tangan kehijauan itu mencoba
merenggutku dari cengkeraman Noah.
"Tangkap cabang pohon itu!" dia berteriak.
Kuangkat tanganku. Kujangkau dahan pohon yang terjulur itu.
Terdengar suara geraman rendah di bawahku.
Aku menoleh ke belakang"
Dan bertemu pandang dengan sepasang mata rubah.
"Dia datang lagi!" teriakku.
"Cepatlah, Ari! Kau harus segera mencapai seberang sungai!"
perintah Noah. Aku mulai merayap di dahan pohon itu lagi. Sedikit demi
sedikit maju. Jari-jariku terasa sakit. Kulihat rubah itu juga memanjat.
Dia bergerak mendekatiku.
Peluh bercucuran dari dahiku.
Detak jantungku berpalu-palu memukuli dadaku. Aku berjuang
untuk terus merayap. Berusaha untuk terus maju.
"Cepat, Ari! Kau hampir sampai!" seru Noah.
Aku memandang ke seberang sungai.
Aku hampir sampai. Keringat mengucur ke dalam mataku. Tinggal sedikit lagi,
kubisikkan kata-kata itu pada diriku. Dahan itu berderak. Lalu
melengkung. Dahan ini sebentar lagi patah, pikirku.
Kuayunkan lagi satu tanganku ke depan, berusaha bergerak
lebih cepat. Aku melirik ke belakang"
Dan terkejut! Rubah itu melompat ke dahan yang terjulur ini. Konsentrasiku
buyar. Jari-jariku tergelincir. Tubuhku pun terjungkal ke bagian bawah dahan itu.
Rubah itu menggeram dalam dan pelan, sebelum akhirnya
melompat dan menerjangku.
Kulempar tubuhku sekuat mungkin ke depan. Dan mendarat di
seberang sungai! Terdengar lolong yang mengerikan saat rubah itu jatuh ke
dalam air. Tangan-tangan kehijauan berlumpur itu berebutan
menyambutnya. Menangkapnya dengan bernafsu.
Saling tarik. Saling menyentak dengan kasar.
Makhluk itu. melengking kesakitan"saat tangan-tangan itu
menariknya semakin dalam... masuk ke bawah air.
Lalu, dengan suara berderak keras, dahan itu patah dan jatuh ke
dalam air. Aku berdiri di tepi sungai.
Menatap ke dalam air. Mengamati sang rubah. Menunggu makhluk itu muncul. Berjuang mencapai permukaan
air. Tidak terjadi apa-apa. Aku memandang tangan-tangan itu turun, masuk kembali ke
bawah permukaan sungai. Perlahan detak jantungku mulai normal kembali.
Kulepaskan napas lega. Dan memekik terkejut saat sebuah tangan muncul dari
permukaan air, mencengkeram pergelangan kakiku, lalu menarikku.
29 "LEPASKAN aku!"
Sambil menjerit keras, kusentak kakiku.
Lalu kuturunkan pandanganku"dan menghela napas.
Ternyata yang membelitku adalah sulur-sulur tanaman yang
setengah mengambang di air. Bukan tangan kehijauan itu.
Kakiku terasa lemas. Aku terpaksa berlutut. Sambil mengatur napasku kembali.
"Terima kasih," Noah berteriak dari seberang sungai. "Kau
berhasil melakukannya! Kau benar-benar pemberani. Sekarang kami
semua akan beristirahat dengan tenang."
Tubuh Noah berkilauan tertimpa sinar rembulan. Lalu perlahanlahan dia memudar.
"Terima kasih. Terima kasih." Suaranya terdengar semakin
samar-samar"lalu benar-benar menghilang.
"Aku berhasil!" teriakku. "Aku berhasil menyeberanginya.
Kuselamatkan semua korban Si Pemangsa!"
Aku melompat tinggi-tinggi.
"Akulah Si Terpilih!'" teriakku. "Kuselamatkan hantu-hantu itu!
Aku berhasil melenyapkan Si Pemangsa!"
Aku memandangi permukaan sungai.
Airnya tenang. Berkilauan di bawah sinar bulan purnama.
Hah"! Tunggu dulu! Ada sedikit masalah. Bagaimana aku bisa kembali ke seberang sana"
"Hei, guys!" aku berteriak. "Hei, kawan-kawan! Kalian dengar
tidak?" Tak ada jawaban. "Hal-lo!" seruku, sambil meletakkan tangan di seputar mulutku.
"Hal-lo! Tolong aku!"
Tak terdengar apa pun. Hanya ada kerik jangkerik. Dan suara dahan-dahan pohon
berderak. ebukulawas.blogspot.com
"Ada siapa di sana?" teriakku. "Hal-lo! Bagaimana aku kembali
ke sana" Hal-lo! Tolooong!"END
Pendekar Remaja 5 Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Pendekar Guntur 5
^