Hantu Tanpa Kepala 1
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala Bagian 1
1 STEPHANIE ALPERT dan aku menghantui daerah di sekitar
tempat tinggal kami. Ide itu kami dapat waktu Halloween lalu.
Di daerah kami banyak anak kecil, dan kami paling senang
menakut-nakuti mereka. Kadang-kadang, dengan memakai topeng, kami menyelinap
keluar malam-malam, lalu melongok ke jendela kamar anak-anak.
Sering kali kami meletakkan tangan dan jari dari karet di ambang
jendela mereka. Tak jarang kami buka kotak surat dan menyelipkan
barang-barang yang pasti bakal membuat mereka menjerit-jerit.
Stephanie dan aku juga sering bersembunyi di balik semaksemak, dan meneriakkan suara-suara aneh"raungan binatang atau
erangan hantu. Stephanie paling jago melolong seperti manusia
serigala. Dan aku paling suka mendongakkan kepala lalu memekik
keras-keras. Saking kerasnya, daun-daun di pepohonan sampai
bergetar. Usaha kami tidak sia-sia. Hampir semua anak di daerah kami
jadi ngeri. Setiap pagi mereka mengintip dulu dari pintu rumah masingmasing untuk memastikan keadaan aman, baru setelah itu mereka
berani keluar. Malam hari, sebagian besar anak tidak berani keluar
sendirian. Bangga juga rasanya jadi makhluk yang ditakuti.
Pada siang hari, kami cuma Stephanie Alpert dan Duane
Comack, dua anak berumur dua belas tahun yang tak berbeda dari
anak-anak lain. Tapi pada malam hari, kami menjelma menjadi si
Teror Kembar dari Wheeler Falls.
Tak ada yang tahu. Tak seorang pun tahu identitas kami yang
sebenarnya. Kami berdua duduk di kelas enam di Wheeler Middle School.
Kami sama-sama berambut dan bermata cokelat. Kami sama-sama
bertubuh tinggi kurus. Hanya saja Stephanie beberapa senti lebih
tinggi, sebab rambutnya lebih tebal.
Banyak orang menyangka kami kakak-adik. Tapi sebenarnya
tidak. Kami sama-sama tidak punya kakak atau adik, dan itu sama
sekali tidak membuat kami sedih.
Kami tinggal di jalan yang sama, rumah Stephanie berhadapan
dengan rumahku. Kami biasa bertukar makan siang, meski bekal kami
sama yaitu roti selai kacang,
Kami anak-anak biasa. Seratus persen normal.
Hanya saja kami punya hobi rahasia di malam hari.
Mau tahu bagaimana kami sampai jadi si Teror Kembar" Hmm,
ceritanya agak panjang....
Semuanya berawal dari perayaan Halloween yang lalu. Udara
malam itu sejuk, bintang-bintang bertaburan di langit. Bulan purnama
seperti melayang di atas pohon-pohon gundul.
Aku sedang berdiri di depan jendela kamar Stephanie dengan
kostum Malaikat Maut-ku yang seram. Aku berjinjit, berusaha
mengintip kostum yang ia pakai.
"Hei"kau curang, Duane! Jangan mengintip, dong!" seru
Stephanie lewat jendela yang tertutup. Lalu ia menarik tirai.
"Aku tidak mengintip!" sahutku. "Aku cuma meregangkan
otot." Sebenarnya aku memang sudah tak sabar ingin melihat kostum
yang ia pakai kali ini. Setiap Halloween ia tampil dengan kostum yang
keren sekali. Tahun lalu seluruh tubuhnya dibalut kertas toilet hijau
sampai menggembung seperti bola. Benar, ia jadi selada raksasa.
Tapi tahun ini rasanya aku bisa mengalahkan dia.
Aku benar-benar bekerja keras untuk menyiapkan kostum
Malaikat Maut-ku. Aku pakai sepatu bersol tebal"cukup tebal untuk
membuatku lebih tinggi dari Stephanie. Jubahku yang hitam dan
bertudung begitu panjang sampai menyapu tanah. Rambutku yang ikal
kusembunyikan di balik lapisan karet, supaya kepalaku berkesan
gundul. Dan wajahku kupoles makeup, sehingga warnanya seperti roti
bulukan. Bahkan ayahku menolak menatapku. Katanya ia takut perutnya
memberontak. Berarti kostumku sukses berat!
Aku sudah tak sabar untuk membuat Stephanie memekik
ketakutan. Kuketuk-ketuk jendelanya dengan arit Malaikat Maut-ku.
"Hei, Steph"cepat sedikit, dong!" aku berseru. "Aku sudah mulai
lapar, nih! Bisa-bisa kita tidak kebagian permen nanti!"
Aku menunggu dan menunggu. Aku berjalan mondar-mandir di
pekarangan depan. Jubahku yang panjang menyapu rumput dan daundaun mati.
"Hei! Lama benar, sih?" aku berseru sekali lagi.
Ia belum muncul juga. Sambil mendengus kesal aku berbalik ke jendelanya.
Dan sekonyong-konyong seekor binatang besar berbulu
menerjangku dari belakang, dan menggigit kepalaku.
2 EHM, sebenarnya sih, kepalaku tidak sampai digigit.
Makhluk itu hanya mencoba menggigit.
Ia menggeram-geram, berusaha menyambar leherku dengan
gigi taringnya yang panjang.
Aku mundur terhuyung-huyung. Makhluk itu menyerupai
kucing hitam raksasa, seluruh tubuhnya tertutup bulu hitam kasar.
Gumpalan-gumpalan lendir berwarna kuning melekat di telinga dan
hidungnya yang hitam. Gigi taringnya yang panjang dan runcing
berkilau-kilau dalam gelap.
Makhluk itu menggeram lagi dan mengayunkan cakarnya.
"Permen... mana permenmu?"
"Stephanie...?" ujarku terbata-bata. Itu pasti Stephanie. Ya, kan"
Sebagai jawaban, makhluk itu memukul perutku dengan
cakarnya. Saat itulah kulihat arloji Mickey Mouse kepunyaan
Stephanie di pergelangan tangannya.
"Wow, Stephanie. Kostummu keren banget. Kau benar-benar..."
Aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku. Stephanie menyeretku,
lalu merunduk di balik semak-semak.
Lututku membentur trotoar. "Aduh!" aku memekik. "Apa-apaan
sih" Kau sudah gila?"
Sekelompok anak kecil berkostum lewat di depan tempat
persembunyian kami. Stephanie melompat maju dan mencegat
mereka. "Arrrggghhh!" ia menggeram.
Anak-anak itu benar-benar ketakutan. Mereka langsung
membalik dan kabur pontang-panting. Saking ngerinya, tiga dari
mereka sampai melepaskan kantong berisi permen yang telah mereka
kumpulkan. Stephanie langsung memungut kantong-kantong itu.
"Hmm, asyik!" "Wow! Kau bikin mereka lari terbirit-birit," ujarku sambil
memperhatikan anak-anak itu lari ke ujung jalan. "Hebat."
Stephanie tertawa. Tawanya konyol dan melengking, mirip
suara ayam yang digelitik. Aku selalu ikut tertawa kalau
mendengarnya. "Yeah, seru juga," sahutnya. "Lebih seru dari
mengumpulkan permen."
Jadi, malam itu kami habiskan dengan menakut-nakuti anak
kecil. Permen yang kami dapat tak seberapa. Tapi kami benar-benar
gembira. "Coba kalau kita bisa begini setiap malam!" ujarku ketika kami
berjalan pulang. "Kenapa tidak bisa?" balas Stephanie sambil nyengir "Kita tidak
perlu tunggu Halloween untuk menakut-nakuti anak kecil, Duane.
Tahu kan, apa yang kumaksud?"
Ya, aku tahu. Stephanie mendongakkan kepala, lalu tertawa seperti ayam.
Mau tak mau aku ikut tertawa.
Jadi, begitulah asal mula Stephanie dan aku menghantui daerah
kami. Kalau malam sudah larut, si Teror Kembar beraksi di segala
penjuru. Pokoknya tak ada tempat yang aman.
Ehm... tepatnya hampir tak ada tempat yang aman.
Ada satu tempat yang terlalu menakutkan, bahkan bagi
Stephanie dan aku, yaitu rumah tua di blok sebelah. Orang-orang
menyebutnya Hill House. Mungkin karena letaknya di atas bukit
tinggi di Hill Street. Memang, hampir di semua kota ada rumah hantu.
Tapi Hill House benar-benar ada hantunya.
Stephanie dan aku tahu pasti.
Sebab di situlah kami ketemu Hantu Tanpa Kepala.
3 HILL HOUSE adalah atraksi wisata paling laku di Wheeler
Falls, soalnya Hill House memang satu-satunya atraksi wisata di sini.
Barangkali kau pernah dengar tentang Hill House. Rumah itu
disebut-sebut dalam banyak buku.
Tur Hill House untuk para pengunjung diadakan setiap jam,
dipandu oleh orang-orang berseragam hitam. Tindak-tanduk mereka
benar-benar seram, dan mereka selalu menceritakan kisah-kisah
menakutkan tentang rumah itu. Kadang-kadang aku sampai merinding
kalau mendengar cerita-cerita mereka.
Stephanie dan aku paling senang ikut tur itu" apalagi kalau
dipandu Otto. Otto pemandu favorit kami.
Otto bertubuh besar dan berkepala botak. Tampangnya
menyeramkan. Matanya hitam kecil, dan tatapannya seolah bisa
menembus tubuh kita. Suaranya menggelegar.
Kadang-kadang, kalau Otto mengantar kami dari satu ruang ke
ruang lain, ia sengaja merendahkan suara. Saking pelannya, suaranya
nyaris tak kedengaran. Lalu ia membelalakkan mata, mengacungkan
tangan"dan berteriak: "Itu hantunya! Itu!"
Stephanie dan aku langsung memekik.
Bukan cuma tampang Otto yang seram, senyumnya juga.
Entah sudah berapa kali Stephanie dan aku ikut tur Hill House.
Yang jelas, saking seringnya, kami sudah pantas jadi pemandu. Kami
tahu semua ruangan. Semua tempat di mana orang pernah melihat
hantu. Hantu sungguhan! Kami betah sekali di tempat-tempat seperti itu.
Mau tahu kisah Hill House" Hmm, beginilah cerita yang biasa
dituturkan Otto, Edna, dan para pemandu yang lain:
Hill House sudah berumur dua ratus tahun. Dan hantu sudah
gentayangan sejak hari pertama orang-orang mengumpulkan batu
untuk membangunnya. Seorang kapten kapal yang masih muda membangun rumah ini
untuk istri yang baru dinikahinya. Tapi pada saat pembangunannya
selesai, si kapten kapal harus bertugas di laut.
Istrinya tinggal seorang diri di rumah yang dingin dan gelap,
dengan begitu banyak kamar dan lorong-lorong yang sepertinya tak
berujung. Berbulan-bulan ia memandang keluar dari jendela kamar tidur.
Jendela yang menghadap ke sungai. Dengan sabar ia menanti
kepulangan suaminya. Musim dingin berlalu. Disusul musim semi, lalu musim panas.
Tapi si kapten kapal tak pernah kembali.
Ia hilang di laut. Satu tahun setelah si kapten kapal hilang, hantu mulai muncul
di lorong-lorong Hill House. Hantu si kapten kapal. Ia kembali dari
alam baka, kembali untuk mencari istrinya.
Setiap malam ia berkeliling di lorong-lorong yang panjang. Ia
membawa lentera dan memanggil-manggil nama istrinya. "Annabel!
Annabel!" Tapi Annabel tak pernah menyahut.
Ia begitu sedih sehingga pergi dari rumah besar itu. Ia tidak mau
melihat rumah itu lagi. Lalu ada keluarga lain yang pindah ke Hill House. Tahun demi
tahun berlalu, dan banyak orang mendengar si hantu memanggilmanggil di malam hari, "Annabel! Annabel!" Suaranya bergema di
lorong-lorong dan ruangan-ruangan yang dingin.
"Annabel! Annabel!"
Orang-orang bisa mendengar suara si hantu. Tapi tak pernah
ada yang melihatnya. Kemudian, seratus tahun lalu, rumah itu dibeli oleh keluarga
Craw. Mereka punya anak laki-laki bernama Andrew yang berumur
tiga belas tahun. Andrew nakal dan jahat. Ia paling senang berbuat iseng
terhadap para pelayan. Ia sering menakut-nakuti mereka.
Ia bahkan pernah melempar kucing dari jendela. Dan ia kecewa
karena kucing itu ternyata tidak mati.
Orangtua Andrew pun kewalahan menghadapi anak mereka
yang brengsek. Karena itu Andrew lebih sering menghabiskan waktu
sendirian, menyelidiki rumah tua mereka, atau mencari-cari masalah.
Suatu hari ia menemukan sebuah ruangan yang belum pernah
dimasukinya. Pintu kayu yang berat didorongnya sampai membuka.
Pintu itu berderit-derit.
Kemudian ia melangkah masuk.
Di atas meja kecil ada lentera yang menyala redup. Selain itu
kosong, tak ada benda apa pun. Juga tak ada yang duduk di meja.
"Aneh," pikir Andrew. "Kenapa ada lentera menyala di ruangan
yang kosong?" Andrew menghampiri lentera itu. Ketika ia membungkuk untuk
mematikannya, si hantu muncul.
Hantu si kapten kapal! Hantu itu kini telah jadi makhluk tua yang mengerikan.
Kukunya yang panjang dan putih tumbuh melingkar-lingkar. Gigi-gigi
hitam yang retak menyembul dari balik bibir yang kering dan pecahpecah. Dan wajahnya setengah tertutup janggut putih yang kasar.
Andrew membelalakkan mata karena ngeri. "S- siapa kau?" ia
tergagap-gagap. Hantu itu tidak menyahut. Ia malah melayang mendekati
lingkaran cahaya lentera, menatap Andrew sambil mendelik.
"Siapa kau" Mau apa kau" Kenapa kau ada di sini?" tanya
Andrew. Hantu itu tetap membisu. Andrew membalik" berusaha kabur.
Tapi belum sempat ia menjauh, embusan napas si hantu sudah
terasa di tengkuknya. Andrew berusaha meraih pegangan pintu. Tapi hantu tua itu
melayang mengitari dirinya, berputar-putar bagaikan asap hitam di
tengah cahaya kuning. "Jangan! Berhenti!" Andrew menjerit. "Lepaskan aku!"
Hantu itu membuka mulut, memperlihatkan lubang hitam yang
dalam, seolah tanpa dasar. Akhirnya ia angkat bicara"ia berbisik
dengan suara menyerupai gemeresik daun-daun mati. "Kau sudah
melihatku. Kau tidak bisa pergi."
"Jangan!" Andrew memekik. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Si hantu tidak menghiraukan teriakan-teriakan Andrew. Ia
mengulangi ucapannya dengan suara yang membuat bulu kuduk
berdiri: "Kau sudah melihatku. Kau tidak bisa pergi."
Si hantu tua meraih kepala Andrew. Jarinya yang sedingin es
memegang wajah anak itu. Lalu tangannya mengencang.
Mengencang. Tahu apa yang terjadi sesudah itu"
4 Si hantu mencopot kepala Andrew"dan menyembunyikannya
di suatu tempat di Hill House!
Setelah menyembunyikan kepala Andrew di rumah yang besar
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan gelap, hantu si kapten kapal melolong panjang sehingga dindingdinding batu yang tebal ikut bergetar.
Lolongan mengerikan itu berakhir dengan seruan, "Annabel!
Annabel!" Setelah itu si hantu tua lenyap untuk selama-lamanya.
Tapi jangan disangka Hill House sudah bebas dari hantu. Kini
ada hantu baru yang bergentayangan di lorong-lorong panjang.
Sejak itu hantu Andrew yang berkeliaran di Hill House. Setiap
malam hantu anak malang itu menyusuri lorong-lorong, keluar-masuk
ruangan untuk mencari kepalanya yang hilang.
Di seluruh rumah, kata Otto dan para pemandu yang lain, kita
bisa mendengar langkah si Hantu Tanpa Kepala, mencari, selalu
mencari. Dan sekarang, setiap ruangan di Hill House punya kisah seram
sendiri-sendiri. Apakah cerita-cerita itu benar"
Hmm, Stephanie dan aku sih percaya. Karena itulah kami
begitu sering ikut tur. Rasanya sudah seratus kali kami menjelajahi rumah tua itu.
Hill House memang mengasyikkan.
Paling tidak, semula begitu"sebelum Stephanie dapat ide
gemilang lagi. Setelah itu, Hill House tak lagi mengasyikkan.
Setelah itu, Hill House jadi tempat yang benar-benar
menyeramkan. 5 SEMUANYA bermula beberapa minggu lalu, waktu Stephanie
tiba-tiba dilanda rasa bosan.
Saat itu sekitar pukul sepuluh malam. Kami sedang berkeliaran
di luar rumah. Kami melolong-lolong di depan jendela Geena Jeffers.
Lalu kami pergi ke rumah sebelah, rumah Terri Abel. Kami masukkan
beberapa potong tulang ayam ke kotak suratnya"soalnya semua
orang pasti merinding kalau mereka meraih ke dalam kotak surat, dan
ternyata meraba-raba tulang.
Lalu kami menyeberang jalan, menuju ke rumah Ben Fuller.
Rumah Ben rumah terakhir yang kami kunjungi malam itu. Ben
teman sekelas kami, dan untuknya kami telah menyiapkan acara
khusus. Masalahnya begini: Ben paling takut pada serangga, dan itu
berarti ia paling gampang ditakut-takuti.
Ia selalu tidur dengan jendela terbuka, biarpun udara di luar
lumayan dingin. Maka Stephanie dan aku suka mengintip lewat
jendelanya, dan menimpuk Ben yang sedang tidur dengan labah-labah
karet. Labah-labah karet itu menggelitik wajahnya. Ia bangun. Dan
langsung menjerit-jerit. Setiap kali selalu begitu.
Ia selalu menyangka itu labah-labah sungguhan.
Ia menjerit-jerit, dan berusaha turun dari tempat tidur. Tapi
selalu saja kakinya terlilit selimut, lalu ia jatuh berdebam ke lantai.
Melihat kejadian itu, Stephanie dan aku bersalaman atas sukses
kami. Setelah itu kami pulang dan tidur.
Tapi malam itu, waktu kami melempar labah-labah karet ke
wajah Ben yang sedang bermimpi indah, Stephanie berpaling padaku
dan berbisik, "Aku ada ide bagus."
"Apa?" ujarku. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh,
Ben sudah menjerit. Kami mendengar ia memekik-mekik dan jatuh ke lantai.
GUBRAK. Stephanie dan aku langsung ber-high five. Setelah itu kami
kabur, melintasi pekarangan-pekarangan belakang yang gelap.
Langkah kami berdebam-debam di tanah yang keras dan hampir beku.
Kami berhenti di samping pohon ek terbelah di pekarangan
depan rumahku. Batang pohon itu terbelah dua dari atas sampai
bawah. Tapi ayahku tidak tega menebangnya.
"Ide apa sih yang kaumaksud?" aku bertanya pada Stephanie.
Napasku terengah-engah. Matanya yang gelap tampak berbinar-binar. "Begini, nih. Setiap
kali kita gentayangan di sini, anak-anak yang kita takut-takuti tetap
anak-anak yang itu-itu juga. Lama-lama aku bosan."
Sebenarnya aku belum bosan. Tapi aku tahu kalau Stephanie
sudah punya ide, tak ada yang bisa menghentikannya. "Jadi, kau mau
cari anak-anak baru untuk ditakut-takuti?" tanyaku padanya.
"Bukan. Bukan anak-anak baru. Sesuatu yang baru." Ia berjalan
mengelilingi pohon. "Kita butuh tantangan baru."
"Apa, dong?" tanyaku.ebukulawas.blogspot.com
"Selama ini kita selalu pakai trik-trik yang kekanak-kanakan,"
ia mengeluh. "Kita cuma bikin suara-suara aneh, lempar-lempar
barang lewat jendela"dan semua anak sudah ketakutan setengah
mati. Ini terlalu gampang."
"Yeah," aku membenarkan. "Tapi lucu."
Komentarku tak digubrisnya. Ia menyembulkan kepala lewat
celah di batang pohon. "Duane, apa tempat paling seram di Wheeler
Falls?" Itu pertanyaan mudah. "Apa lagi kalau bukan Hill House,"
jawabku. "Betul. Dan kenapa tempat itu begitu seram?"
"Karena cerita-cerita hantunya. Terutama cerita tentang anak
laki-laki yang selalu mencari kepalanya."
"Yes!" seru Stephanie. Kepalanya menyembul lewat celah di
batang pohon ek, seolah melayang, sementara tubuhnya tertutup
batang pohon. "Si Hantu Tanpa Kepala!" ia berkata dengan suara
direndahkan, lalu tertawa tergelak-gelak.
"Apa-apaan sih?" ujarku. "Kau mau menakut-nakuti aku
sekarang?" Kepalanya seakan-akan melayang dalam kegelapan. "Kita harus
gentayangan di Hill House," ia menyahut sambil berbisik.
6 "HAH?" aku berseru. "Apa maksudmu, Stephanie?"
"Kita ikut tur Hill House, lalu di tengah jalan kita memisahkan
diri," Stephanie menyahut dengan tampang serius.
Aku menggelengkan kepala. "Yang benar saja. Untuk apa?"
Wajah Stephanie seperti bercahaya dalam gelap. "Kita
memisahkan diri"untuk mencari kepala hantu itu."
Aku menatapnya sambil melongo. "Kau bercanda, ya?"
Aku melangkah ke balik pohon dan menarik tubuhnya dari
celah. Kepalanya yang seperti melayang itu mulai membuatku
merinding. "Tidak, Duane, aku tidak bercanda," sahut Stephanie, lalu
mendorongku ke belakang. "Kita perlu tantangan. Kita perlu sesuatu
yang baru. Gentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti semua yang
kita kenal"itu permainan anak-anak. Dan aku sudah bosan. Bo"
san." "Memangnya kau percaya cerita tentang kepala yang hilang itu"
Itu cuma cerita hantu. Biar kita cari sampai botak, kepala itu tak bakal
kita temukan. Soalnya kepala itu memang tidak ada. Itu kan cuma
cerita yang sengaja dikarang untuk para turis."
Stephanie menatapku sambil memicingkan mata. "Sepertinya
kau ngeri, Duane." "Hah" Aku?" Suaraku agak melengking.
Sekonyong-konyong bulan menghilang di balik awan, dan
pekarangan depan semakin gelap. Aku merinding. Aku langsung
merapatkan jaket. "Aku bukannya takut menjelajahi Hill House berdua saja. Tapi
menurutku kita cuma buang-buang waktu."
"Duane, kau gemetaran," ia meledekku. "Gemetaran karena
ngeri." "Enak saja!" aku memprotes. "Ayo, kita ke Hill House.
Sekarang juga. Nanti kita lihat siapa yang ngeri."
Stephanie tersenyum lebar. Ia mendongakkan kepala dan
melolong panjang. Melolong untuk merayakan kemenangannya. "Ini
baru tantangan yang pantas untuk si Teror Kembar!" ia berseru, lalu
mengajakku ber-high five keras sekali. Telapak tanganku sampai
perih. Aku terpaksa mengikutinya ke Hill Street. Sepanjang jalan aku
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Apakah aku ngeri"
Sedikit, mungkin. Kami mendaki bukit yang terjal dan penuh alang-alang, lalu
berhenti di tangga depan Hill House. Malam-malam begini rumah tua
itu kelihatan lebih besar. Rumahnya berlantai tiga. Dengan banyak
menara, balkon, dan lusinan jendela yang semuanya gelap.
Semua rumah di daerah kami terbuat dari batu bata atau kayu.
Hill House satu-satunya yang terbuat dari lempengan batu.
Lempengan batu warna abu-abu tua.
Aku selalu menahan napas kalau berdiri di depan Hill House.
Dinding-dindingnya tertutup lapisan lumut yang tebal berwarna hijau.
Lumut berumur dua ratus tahun. Baunya pasti bukan seperti kebun
bunga. Aku memandang ke atas, mengamati menara bulat yang
menjulang ke langit malam. Sebuah patung batu yang seram
bertengger di puncaknya. Patung itu menatap kami sambil
menyeringai, seakan-akan menantang kami untuk masuk.
Lututku mendadak lemas. Rumah itu gelap gulita. Hanya ada satu lilin di atas pintu depan.
Tapi tur wisatanya masih berlangsung. Tur terakhir berangkat pukul
setengah sebelas setiap malam. Menurut para pemandu, tur malam
hari paling seru"soalnya peluang untuk melihat hantu juga paling
besar. Aku membaca prasasti yang ditempelkan di samping pintu.
SILAKAN MASUK KE HILL HOUSE DAN HIDUP ANDA AKAN
BERUBAH. UNTUK SELAMA-LAMANYA.
Prasasti itu sudah ratusan kali kubaca. Dan setiap kali aku
menganggapnya lucu"walaupun agak norak.
Tapi malam itu aku malah merinding.
Malam itu semuanya berbeda.
"Ayolah," ujar Stephanie sambil menarik tanganku. "Kita masih
sempat ikut tur terakhir."
Api lilin berkerlap-kerlip. Pintu kayu yang berat di hadapan
kami mendadak membuka. Membuka sendiri. Aku tidak tahu
bagaimana caranya, tapi pintu itu selalu membuka sendiri.
"Bagaimana, nih" Kau jadi ikut atau tidak?" desak Stephanie. Ia
masuk ke rumah yang gelap.
"Oke, oke. Aku ikut," kataku dengan berat hati.
7 OTTO sudah siap menyambut kami. Setiap kali melihatnya, aku
selalu teringat lumba-lumba. Mungkin karena kepala gundulnya yang
besar dan licin. Mungkin juga karena potongan badannya memang
seperti lumba-lumba raksasa. Beratnya pasti sekitar seratus lima puluh
kilo! Seperti biasa, Otto berpakaian serba hitam. Kemeja hitam.
Celana hitam. Kaus kaki hitam. Sepatu hitam. Dan sarung tangan"
tentu saja juga hitam. Itulah seragam yang dipakai semua pemandu.
"Wah, coba lihat siapa yang datang!" ia berseru. "Stephanie dan
Duane!" Ia nyengir lebar. Matanya yang kecil tampak bersinar-sinar
dalam cahaya lilin. "Halo, pemandu favorit!" Stephanie menyapanya. "Jam berapa
tur berikutnya berangkat?"
Kami melewati loket tanpa membayar. Saking seringnya kami
berkunjung ke Hill House, kami tak pernah lagi disuruh beli karcis.
"Kira-kira lima menit lagi," jawab Otto. "Tapi... ehm... rasanya
baru kali, ini kalian datang malam-malam begini."
"Yeah..." Stephanie berkata, lalu berpikir sejenak untuk mencari
alasan yang masuk akal. "Soalnya lebih seru kalau ikut tur malam. Ya
kan, Duane?" Ia menyikut rusukku.
"Yeah, lebih seru," aku membenarkan.
Kami masuk ke ruang depan, bergabung dengan pengunjung
lain yang sudah menunggu. Sebagian besar pasangan remaja yang
sedang kencan. Ruang depan di Hill House lebih besar daripada gabungan
ruang duduk dan ruang makan di rumahku. Dan selain tangga
melingkar di tengah-tengahnya, tidak ada apa-apa di ruangan itu. Tak
ada perabot sama sekali. Bayang-bayang tampak bergerak-gerak di lantai. Aku
memandang berkeliling. Tak ada lampu listrik. Sebagai gantinya,
pihak pengelola memasang obor-obor kecil pada dinding yang sudah
retak-retak. Api obor yang berwarna jingga bergoyang-goyang.
Dalam cahaya yang menari-nari, aku menghitung orang-orang
di sekelilingku. Semua ada sembilan orang. Cuma Stephanie dan aku
yang masih anak-anak. Otto menyalakan lentera dan maju ke bagian depan ruangan. Ia
mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, kemudian berdeham.
Stephanie dan aku berpandangan sambil nyengir. Otto selalu
pakai cara yang sama untuk mengawali tur. Menurutnya, lentera itu
menambah seram suasana. "Ladies and gentlemen," ia berkata dengan suaranya yang
menggelegar. "Selamat datang di Hill House. Kami berharap Anda
semua bisa menikmati tur ini, dan kembali dengan selamat." Lalu ia
tertawa, tawa menakutkan.
Stephanie dan aku mengikuti ucapan Otto selanjutnya dengan
menggerak-gerakkan bibir tanpa bersuara:
"Pada tahun 1795, seorang kapten kapal yang makmur bernama
William E. Bell membangun rumah di atas bukit tertinggi di Wheeler
Falls. Pada waktu itu rumahnya merupakan rumah paling mewah di
daerah ini"berlantai tiga, dengan sembilan tempat perapian, dan lebih
dari tiga puluh kamar. "Kapten Bell tidak memedulikan biaya. Kenapa" Karena ia
bermaksud menikmati hari tuanya dalam kemewahan di sini, bersama
istrinya yang muda dan cantik. Namun sayangnya, takdir berkata
lain." Otto tertawa terkekeh-kekeh. Stephanie dan aku tentu saja ikut
tertawa. Kami sudah hapal setiap bagian pidato Otto.
Otto kembali angkat bicara. "Kapten Bell gugur di laut ketika
kapalnya karam"sebelum ia sempat tinggal di rumahnya yang indah.
Istrinya yang masih muda, Annabel, meninggalkan rumah itu karena
dilanda duka yang tak tertahankan."
Kini Otto merendahkan suara. "Tapi tak lama setelah Annabel
pergi, hal-hal aneh mulai terjadi di Hill House."
Inilah aba-aba Otto untuk berjalan ke tangga melingkar yang
terbuat dari kayu. Tangga itu sempit dan sudah setua Hill House
sendiri. Setiap kali Otto naik, tangga itu berderak-derak dan
mengerang-erang seperti kesakitan.
Tak seorang pun berbicara ketika kami mengikuti Otto ke lantai
dua. Stephanie dan aku suka bagian ini, soalnya Otto juga diam saja.
Ia cuma bergegas menerobos kegelapan sambil membisu, sementara
para peserta tur berusaha untuk tidak ketinggalan.
Otto baru bicara lagi kalau sudah sampai di kamar tidur Kapten
Bell. Kamarnya besar, dilengkapi perapian, dan menghadap ke sungai.
"Tak lama setelah janda Kapten Bell meninggalkan Hill
House," Otto menuturkan, "warga Wheeler Falls mulai melaporkan
kejadian-kejadian aneh. Banyak orang mengaku melihat laki-laki yang
mirip almarhum Kapten Bell. Laki-laki itu selalu terlihat di sini, di
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jendela ini, dan ia selalu memegang lentera."
Otto menghampiri jendela dan mengangkat lenteranya. "Pada
malam-malam tanpa angin, jika orang pasang telinga baik-baik,
mereka kadang-kadang bisa mendengarnya memanggil-manggil
dengan sedih." Otto menarik napas dalam-dalam, lalu memanggil pelan-pelan:
"Annabel. Annabel. Annabel..."
Otto mengayunkan lentera untuk menambah seram suasana.
Para peserta tur menatapnya tanpa berkedip.
"Tapi tentu saja masih ada cerita lain," ia berbisik.
8 SEMENTARA kami mengikuti Otto keluar-masuk kamarkamar di lantai dua, ia bercerita bagaimana arwah Kapten Bell
bergentayangan selama seratus tahun di Hill House. "Orang-orang
yang tinggal di sini sudah mencoba segala cara untuk mengusirnya.
Tapi hantu itu tetap tak mau pergi."
Lalu Otto bercerita tentang Andrew, anak laki-laki yang
menemukan hantu itu, dan akibatnya harus kehilangan kepala. "Hantu
si kapten kapal lenyap. Ia digantikan oleh hantu anak laki-laki tanpa
kepala. Tapi itu belum semuanya."
Kini kami menyusuri lorong-lorong yang panjang dan gelap.
Cahaya obor-obor yang terpasang di dinding tampak berkerlap-kerlip.
"Hill House masih terus diliputi tragedi," Otto melanjutkan. "Tak lama
setelah kematian Andrew Craw, adik perempuannya yang saat itu
berusia dua belas tahun, jadi gila. Mari kita ke kamarnya sekarang."
Ia menunjukkan jalan ke kamar Hannah. Untuk sampai ke sana,
kami harus menyusuri lorong.
Stephanie paling senang kamar Hannah, soalnya Hannah punya
koleksi boneka dari porselen. Ia punya ratusan boneka. Semua dengan
rambut panjang kuning, pipi kemerahan, dan bola mata biru.
"Setelah kakaknya tewas mengenaskan, Hannah jadi gila," Otto
berkata dengan suara tertahan. "Sepanjang hari, selama delapan puluh
tahun, ia duduk di kursi goyang di pojok sana. Ia bermain dengan
boneka-bonekanya. Ia tak pernah lagi meninggalkan kamarnya. Tidak
sekali pun." Ia menunjuk kursi goyang yang sudah tua. "Hannah meninggal
di kursi itu. Seorang perempuan tua yang dikelilingi bonekabonekanya."
Papan-papan lantai berderit ketika Otto melintasi ruangan. Ia
menaruh lentera dan duduk di kursi goyang.
Kursi itu berderak-derak. Aku selalu kuatir kursi itu bakal
ambruk karena tak kuat menahan badan Otto yang berat! Ia mulai
berayun-ayun. Pelan-pelan. Kursi itu terus berderak-derak. Kami
memperhatikannya sambil membisu.
"Banyak orang percaya bahwa Hannah yang malang masih di
sini," bisik Otto. "Mereka bilang mereka pernah melihat gadis cilik
duduk di kursi ini sambil menyisiri rambut boneka."
Ia terus berayun agar para peserta tur bisa meresapi ucapannya.
"Dan sekarang kita sampai ke kisah ibu Hannah."
Otto bangkit sambil mendengus. Ia meraih lenteranya dan
mengajak kami ke puncak tangga yang panjang dan gelap di ujung
lorong. "Tak lama setelah tragedi yang menimpa putranya, sang ibu pun
mengalami nasib naas. Pada suatu malam ia menuruni tangga ini, lalu
ia terpeleset dan jatuh sampai tewas."
Otto memandang ke kaki tangga, menggelengkan kepala
dengan sedih. Hal itu ia lakukan setiap kali mengantar para peserta tur. Seperti
yang kukatakan tadi, Stephanie dan aku sudah hapal semua gerakgeriknya.
Tapi tujuan kami datang malam itu bukan untuk menonton Otto.
Aku tahu, cepat atau lambat Stephanie pasti akan melaksanakan
rencananya. Jadi aku mulai memandang berkeliling. Mencari-cari
kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan.
Tiba-tiba aku melihat anak laki-laki itu. Ia sedang
memperhatikan kami. Aku tidak melihatnya waktu masuk tadi. Dan aku yakin ia juga
belum ada waktu tur dimulai. Menurut hitunganku ada sembilan orang
tadi. Dan selain Stephanie dan aku, tak ada anak-anak.
Anak itu kira-kira sebaya kami. Rambutnya pirang berombak,
kulitnya pucat. Pucat sekali. Celana jeans maupun kaus turtleneck-nya
berwarna hitam, sehingga mukanya kelihatan lebih putih lagi.
Aku menghampiri Stephanie, yang berjalan agak jauh di
belakang rombongan. "Siap?" ia berbisik padaku.
Otto sudah mulai menuruni tangga. Kalau kami jadi
memisahkan diri, sekaranglah waktunya.
Tapi anak laki-laki itu masih memperhatikan kami.
Matanya sampai mendelik. Aku merinding. "Tunggu dulu," bisikku pada Stephanie. "Ada yang
memperhatikan kita."
"Siapa?" "Anak laki-laki di sebelah sana." Aku melirik ke arah anak itu.
Ia masih terus mengamati kami. Ia bahkan tidak pura-pura
menengok ke arah lain ketika kami membalas tatapannya.
Kenapa ia menatap kami seperti itu" Apa sih maunya"
Hati kecilku menyuruh kami menunggu.
Tapi Stephanie tidak mau tahu. "Jangan pedulikan dia,"
katanya. "Anak itu tidak penting." Ia meraih lenganku"dan menarik
keras-keras. "Ayo."
Kami merapatkan punggung ke dinding lorong yang dingin,
sementara pengunjung lain mengikuti Otto menuruni tangga.
Aku menahan napas sampai suara langkah di tangga tak
terdengar lagi. Kini kami sendirian. Sendirian di lorong yang panjang
dan gelap. Aku berpaling pada Stephanie. Saking gelapnya, wajahnya
nyaris tak kelihatan. "Sekarang bagaimana?" tanyaku.
9 "SEKARANG kita mulai menjelajah sendiri!" Stephanie
menegaskan dengan penuh semangat, sambil menggosok-gosok
tangan. "Nah, ini baru asyik!"
Aku memandang ke kiri-kanan. Aku sama sekali tidak
bersemangat. Aku malah agak ngeri.
Dari salah satu ruangan di seberang lorong terdengar erangan
tertahan. Langit-langit di atas kepala kami berderak-derak. Angin
mengguncangkan jendela-jendela di ruangan yang baru saja kami
tinggalkan. "Steph"apa tidak lebih baik kalau kita...?"
Tapi ia sudah bergegas ke ujung lorong. Ia melangkah sambil
berjinjit, supaya lantainya tidak berbunyi. "Ayo, Duane, kita cari
kepala si hantu," bisiknya padaku. Rambutnya yang gelap berkibarkibar. "Siapa tahu" Barangkali saja kita bisa menemukannya."
"Huh! Yang benar saja," sahutku sambil geleng-geleng kepala.
Terus terang, aku tetap beranggapan kami cuma buang-buang
waktu. Coba, bagaimana caranya mencari kepala berumur seratus
tahun" Dan apa yang harus kita lakukan kalau kita memang berhasil
menemukannya" Ih! Seperti apa bentuknya" Jangan-jangan tinggal tengkorak!
Aku mengikuti Stephanie menyusuri lorong. Tapi kalau boleh
pilih, sebenarnya aku lebih suka berada di tempat lain. Aku lebih suka
bergentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti orang lain.
Aku tidak suka menakut-nakuti diriku sendiri!
Stephanie masuk ke kamar tidur lain. Para pemandu
menyebutnya Kamar Hijau. Soalnya wallpaper di dinding bermotif
tanaman rambat berwarna hijau. Motif tanaman itu menutupi seluruh
dinding, juga seluruh langit-langit.
Bagaimana orang bisa tidur di sini" aku bertanya-tanya.
Rasanya seperti terjebak di tengah hutan lebat.
Kami berhenti di pintu dan mengamati tanaman rambat yang
mengelilingi kami. Stephanie dan aku punya nama lain untuk Kamar
Hijau. Kami menyebutnya Kamar Gatal-Gatal.
Otto pernah bercerita bahwa enam puluh tahun lalu sempat
terjadi sesuatu yang mengerikan di kamar ini. Dua tamu yang
menginap di sini terbangun dengan ruam-ruam ungu di kulit mereka.
Ruam itu bermula di lengan dan jari-jari. Lalu menyebar ke
wajah. Dan akhirnya menutupi seluruh badan.
Sekujur tubuh mereka penuh bintik-bintik ungu yang gatalnya
minta ampun. Dokter-dokter dari seluruh dunia dipanggil untuk mempelajari
ruam itu. Tapi tak ada yang tahu apa penyebabnya. Lebih parah lagi,
tak seorang pun bisa mengobatinya.
Mereka hanya bisa menduga ada sesuatu di Kamar Hijau, yang
menyebabkan bintik-bintik ungu itu. ebukulawas.blogspot.com
Namun teka-teki tersebut tak pernah terpecahkan.
Begitulah kisah yang biasa diceritakan Otto dan para pemandu
lain. Bisa jadi cerita itu benar. Bisa jadi semua cerita Otto yang aneh
dan menakutkan itu memang benar. Siapa tahu"
"Ayo dong, Duane!" desak Stephanie. "Kita harus mulai
mencari kepala itu. Kita tidak punya waktu banyak. Sebentar lagi Otto
bakal sadar bahwa kita hilang."
Ia melintasi ruangan dan mengintip ke kolong tempat tidur.
"Steph"jangan!" ujarku. Dengan hati-hati aku melangkahi
meja rias pendek di pojok ruangan.
"Sudahlah," aku memohon, "kepala si hantu tak mungkin ada di
sini. Kita keluar saja, deh."
Ia tak bisa mendengarku, sebab ia sudah menyusup ke kolong
tempat tidur. "Steph...?" Beberapa detik kemudian ia keluar lagi. Mukanya kelihatan
merah ketika ia berpaling padaku.
"Duane!" serunya. "Aku... aku..."
Matanya terbelalak. Mulutnya menganga lebar. Ia memegang
kedua pipinya. "Ada apa" Ada apa?" aku memekik. Tergopoh-gopoh aku
menghampirinya. "Ohhh, gatalnya! Gatalnya minta ampun!" Stephanie meratapratap.
Aku hendak menyahut. Tapi suaraku seakan-akan tersangkut di
tenggorokan. Stephanie mulai menggosok-gosok wajah. Dengan panik ia
mengusap-usap pipi, kening, dan dagunya.
"Aduuuh. Gatalnya! Gatalnya bukan main!" Sekarang ia mulai
menggaruk-garuk kepala dengan kedua tangan.
Aku meraih lengannya, dan berusaha mengangkatnya dari
lantai. "Kau kena ruam! Ayo, kita pulang!" seruku. "Cepat!
Orangtuamu bisa panggil dokter! Dan... dan..."
Aku tercengang ketika melihatnya tertawa.
Aku melepaskan tangannya, melangkah mundur.
Ia berdiri, lalu merapikan rambutnya. "Ya ampun, Duane,"
gumamnya. "Gampang benar sih kau ditipu malam ini?"
"Siapa yang ketipu?" sahutku gusar. "Aku cuma mengira..."
Ia mendorongku. "Kau terlalu gampang takut. Kok bisa sih kau
ketipu oleh tipuan konyol begini?"
Aku balas mendorongnya. "Pokoknya jangan bercanda lagi,
oke?" aku menggeram. "Aku serius, Stephanie. Ini tidak lucu. Aku tak
bakal ketipu lagi. Jadi, jangan coba-coba."
Ia tidak mendengarkanku. Pandangannya terarah ke belakang.
Dan saking kagetnya, ia sampai terbengong-bengong.
"Oh, ya ampun!" pekiknya. "I-itu dia! I-itu kepalanya!"
10 LAGI-LAGI aku ketipu. Aku tidak berdaya. Mau tidak mau aku menjerit.
Aku membalik begitu cepat sehingga aku nyaris kehilangan
keseimbangan dan terjatuh. Aku menoleh ke arah yang ditunjuk
Stephanie. Ternyata yang ditunjuknya cuma gumpalan debu kelabu.
"Kena lagi! Kena lagi!" Ia menepuk punggungku, mulai tertawa
cekikikan. Aku menggeram dengan kesal sambil mengepalkan tangan.
Tapi aku tidak berkata sepatah pun. Wajahku panas seperti terbakar.
Dan pasti merah karena malu.
"Kau penakut, Duane," Stephanie kembali meledekku. "Akui
saja, deh." "Sudahlah, kita cari Otto saja," aku menggerutu.
"Jangan, Duane. Ini lebih seru Ayo, kita coba ke kamar
sebelah." Ketika melihat aku tidak membuntutinya, ia berkata, "Aku
takkan menakut-nakutimu lagi. Aku janji."
Dalam hati aku sangsi. Tapi aku toh mengikutinya.
Habis, apalagi yang bisa kulakukan"
Kami melewati lorong sempit yang menuju ke kamar sebelah.
Kamar itu ternyata kamar Andrew. Andrew yang malang, yang mati
tanpa kepala. Semua barangnya masih ada. Berbagai macam mainan yang
sudah berumur seratus tahun. Sepeda tua yang terbuat dari kayu
tampak bersandar pada dinding.
Semuanya masih seperti dulu. Seperti sebelum Andrew bertemu
dengan hantu si kapten kapal.
Lentera di atas meja rias menimbulkan bayang-bayang biru di
dinding. Aku tidak tahu apakah segala cerita hantu yang pernah
kudengar, memang benar terjadi. Tapi aku punya firasat bahwa jika
kepala Andrew memang ada, maka kami akan menemukannya di sini.
Di kamarnya. Mungkin di bawah tempat tidur berkanopi yang kuno. Atau
tersembunyi di antara mainan-mainannya yang terselubung debu.
Sambil mengendap-endap, Stephanie menghampiri mainanmainan itu. Ia membungkuk, dan mulai menggeser beberapa barang.
Pin-pin boling berukuran mini dari kayu. Papan permainan yang
warna-warnanya sudah memudar. Satu set tentara mainan terbuat dari
logam. "Coba periksa tempat tidur, Duane," bisiknya.
Dengan berat hati aku melintasi ruangan. "Steph, sebenarnya
barang-barang ini kan tidak boleh dipegang. Para pemandu selalu
melarang kita memegang apa pun di sini."
Stephanie memindahkan sebuah gasing tua. "Kau mau
menemukan kepala itu atau tidak?"
"Kau benar-benar yakin ada kepala yang disembunyikan di
sini?" "Aduh, Duane. Kau bagaimana, sih" Justru itu yang harus kita
selidiki"ya, kan?"
Aku menghela napas dan menghampiri tempat tidur. Percuma
saja berdebat dengan Stephanie. Semangatnya sedang berkobar-kobar,
ia tidak bisa diajak kompromi.
Aku mulai mengamati tempat tidur. Dulu pernah ada anak lakilaki yang berbaring di sini, kataku dalam hati.
Andrew pernah tidur di bawah selimut ini. Seratus tahun lalu.
Pikiran itu membuatku merinding.
Aku mencoba membayangkan anak laki-laki sebayaku tidur di
ranjang tua yang kokoh itu.
"Ayo, periksa tempat tidurnya," Stephanie menyuruhku dari
seberang ruangan. Aku membungkuk, menepuk selimut yang bermotif kotak-kotak
kelabu dan cokelat itu. Selimutnya terasa dingin dan licin.
Aku meraba bantal-bantal. Semuanya terasa empuk. Tak ada
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang disembunyikan di situ.
Aku hendak memeriksa kasur ketika selimutnya mulai bergerak,
pelan-pelan, diiringi bunyi gemeresik yang nyaris tak terdengar.
Aku membelalakkan mata karena ngeri. Selimut itu bergeser,
seperti ditarik. Tapi tak ada siapa-siapa di tempat tidur!
Selimut itu bergerak sendiri!
11 AKU harus menahan diri untuk tidak berteriak.
"Cepat sedikit dong, Duane," ujar Stephanie.
Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur.
Kedua tangannya memegang pinggiran selimut.
"Waktu kita tidak banyak!" ia menegaskan, lalu kembali
menarik selimut. "Tidak ada apa-apa di tempat tidur. Oke, berarti kita
harus cari di tempat lain."
Aku mendesah tertahan. Ternyata Stephanie yang menarik
selimut dan membuatku merinding.
Tak ada hantu di tempat tidur tua itu. Tak ada hantu yang
menyingkap selimut untuk menyergapku.
Cuma Stephanie. Untung saja ia tidak sempat melihat betapa kagetnya aku.
Bersama-sama kami merapikan selimut. Ia tersenyum padaku.
"Asyik, kan?" ujarnya.
"Yeah," aku membenarkan. Aku berharap ia tidak sadar bahwa
aku masih gemetaran. "Jauh lebih seru daripada melempar labah-labah
karet ke jendela kamar Ben Fuller."
"Aku senang jalan-jalan di sini malam hari. Apalagi kalau tidak
ikut rombongan, seperti sekarang. Aku bisa merasakan kehadiran si
hantu di sekitar sini," Stephanie berbisik.
"M-masa, sih?" aku tergagap-gagap sambil memandang
berkeliling. Pandanganku berhenti di kaki pintu yang menuju ke lorong.
Itu dia. Di lantai. Terselip di antara pintu dan dinding. Setengah
tersembunyi dalam bayang-bayang.
Kepala Andrew. Kali ini aku benar-benar melihat kepalanya.
Kali ini bukan tipuan iseng.
Aku benar-benar melihat tengkorak yang bulat. Lubang
matanya yang kosong dan gelap.
Dua lubang gelap yang menatapku.
Mengawasiku. Aku meraih lengan Stephanie. Dan menunjuk.
Tapi ia juga sudah melihatnya.
12 AKU yang pertama mampu bergerak. Aku maju selangkah ke
arah pintu. Lalu selangkah lagi.
Aku mendengar bunyi napas. Di belakangku. Dekat sekali.
Baru beberapa detik kemudian, aku sadar yang kudengar adalah
bunyi napas Stephanie. Aku melangkah ke pojok yang gelap tanpa melepaskan
pandangan dari kepala itu. Jantungku mulai berdegup-degup ketika
aku membungkuk dan meraihnya dengan kedua tangan.
Lubang-lubang matanya yang hitam terus menatapku. Mata
yang bulat dan sedih. Tanganku gemetaran. Pelan-pelan aku memungutnya.
Tapi kepala itu terlepas dari tanganku. Dan menggelinding.
Stephanie memekik kaget ketika kepala itu menggelinding ke
arahnya. Dalam cahaya lentera yang kemerahan, aku melihat
tampangnya yang ketakutan. Aku melihat ia berdiri kaku seperti
patung. Kepala itu menggelinding di lantai, membentur sepatunya, lalu
berhenti beberapa senti dari kakinya.
Lubang-lubang mata yang hitam menatapnya.
"Duane..." ia memanggilku sambil memandang ke bawah
dengan tangan menempel di pipi. "Tak kusangka"tak kusangka kita
akan menemukannya. Aku"aku..."
Aku bergegas melintasi ruangan. Sekarang giliranku untuk
tampil berani, kataku dalam hati. Sekarang giliranku untuk
membuktikan aku bukan penakut, yang merasa ngeri pada setiap
bayangan. Sekarang giliranku. Kupungut kepala si hantu dengan dua tangan. Kuangkat di
depan hidung Stephanie, lalu kubawa ke arah lentera di meja rias.
Kepala itu terasa keras. Dan lebih licin dari yang kuduga.
Lubang-lubang matanya dalam sekali.
Stephanie tak beranjak dari sisiku. Bersama-sama kami
menghampiri cahaya lentera yang kemerahan.
Aku mengerang ketika sadar yang kupegang bukan kepala
hantu. Stephanie juga mengerang ketika melihat apa yang ada di
tanganku. 13 SEBUAH bola boling. Yang kupegang ternyata bola boling yang sudah retak-retak.
"Ya ampun," gumam Stephanie sambil menepuk keningnya.
Pandanganku beralih ke pin-pin boling yang tergeletak di antara
mainan-mainan Andrew. "Ini pasti bola untuk pin-pin kayu itu,"
ujarku pelan. Stephanie mengambil bola itu dari tanganku dan mengamatinya
dari segala arah. "Tapi lubangnya cuma dua."
Aku mengangguk. "Yeah. Zaman dulu lubang bola boling
memang cuma dua. Ayahku pernah cerita soal ini waktu kami pergi
main boling. Ia juga heran di mana orang zaman dulu menaruh jempol
mereka." Stephanie memasukkan jari ke dalam kedua lubang. Kedua
"lubang mata". Ia menggelengkan kepala. Tampak jelas ia kecewa
sekali. Suara Otto terdengar menggelegar di bawah.
Stephanie menghela napas. "Mungkin lebih baik kalau kita
turun saja, dan bergabung lagi dengan yang lain," ujarnya sambil
menggelindingkan bola boling ke tumpukan mainan.
"Jangan!" aku berseru.
Aku belum puas menikmati peranku sebagai si pemberani di
antara kami berdua. "Sekarang sudah larut malam," kata Stephanie. "Dan kita tidak
bakal menemukan kepala hantu di atas sini."
"Ya, karena semua ruangan ini sudah seratus kali kita jelajahi,"
sahutku. "Seharusnya kita cari di tempat yang belum pernah kita
datangi." Stephanie mengerutkan kening. "Duane, maksudmu...?"
"Kurasa kepala hantu itu ada di ruangan yang tidak dilewati tur.
Mungkin di atas. Di lantai tiga."
Stephanie membelalakkan mata. "Jadi, kau mau naik ke lantai
tiga?" Aku mengangguk. "Kenapa tidak" Kemungkinan besar semua
hantunya kumpul di situ, ya kan?"
Ia mengamatiku dengan saksama. Aku tahu ia kaget karena aku
punya usul nekat seperti itu.
Tapi sebenarnya aku cuma berlagak berani. Sebenarnya aku
berharap ia akan bilang, "Jangan deh, Duane. Kita turun saja, deh."
Tapi ternyata ia malah nyengir lebar. "Oke. Kita ke atas!"
14 TERPAKSA deh, aku terus berpura-pura. Moga-moga tidak
sepanjang malam. Keberanian si Teror Kembar menghadapi ujian berat ketika
kami menaiki tangga gelap yang menuju ke lantai tiga. Tangga kayu
itu berderak-derak setiap kali kami melangkah.
Di samping tangga sebenarnya ada tanda bertulisan:
PENGUNJUNG DILARANG NAIK.
Tapi kami tak peduli. Suara Otto tak terdengar lagi. Yang terdengar cuma tangga yang
berderit dan berderak di bawah kaki kami. Ditambah bunyi jantungku
yang berdegup-degup. Udara terasa panas dan lembap ketika kami sampai di puncak
tangga. Aku memicingkan mata, memandang ke lorong yang panjang
dan gelap. Tak ada lentera menyala. Tak ada cahaya obor.
Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela di ujung lorong.
Cahaya pucat yang masuk lewat jendela membuat segala sesuatu
tampak kebiruan-biruan. Suasananya seram sekali.
"Kita mulai dari kamar pertama," Stephanie mengusulkan
sambil berbisik. Ia menepis rambut yang menggelantung di depan
matanya. Udara ternyata panas sekali di atas sini. Saking panasnya,
keningku sampai basah karena keringat. Aku menyekanya dengan
lengan jaket, dan mengikuti Stephanie ke kamar pertama di sebelah
kanan. Pintu kayunya yang berat setengah terbuka. Kami menyelinap
masuk. Cahaya biru pucat menyorot melalui jendela-jendela yang
berlapis debu. Aku menunggu sampai mataku terbiasa dengan suasana yang
remang-remang. Kemudian aku memandang ke sekeliling ruangan
besar itu. Ruangan itu kosong. Kosong sama sekali. Tak ada perabotan.
Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Atau hantu. "Steph"lihat, tuh!" Aku menunjuk pintu kecil di dinding
seberang. "Ayo, kita periksa."
Kami mengendap-endap melintasi lantai kayu. Melalui jendela
yang berdebu kulihat bulan purnama di luar, tinggi di atas pohonpohon yang gundul.
Pintu kecil itu ternyata menuju ke ruangan lain, yang lebih kecil
dan lebih panas lagi. Di satu dinding ada alat pemanas. Dua sofa
model kuno berhadapan di tengah ruangan. Selain itu tak ada perabot
apa pun. "Ayo, jalan lagi," Stephanie berbisik.
Pintu kecil di ruangan yang panas itu juga menuju ke ruangan
lain lagi. "Semua kamar di atas sini saling berhubungan," aku
bergumam. Lalu aku bersin. Dan bersin lagi.
"Ssst. Jangan ribut, Duane," Stephanie menegurku. "Hantunya
bakal kabur kalau kau berisik terus."
"Habis bagaimana, dong?" aku memprotes. "Hidungku paling
tidak tahan kalau kena debu."
Kami berada di semacam ruang jahit. Di meja di depan jendela
tampak mesin jahit kuno. Kardus di samping kakiku penuh gulungan
benang hitam. Aku membungkuk dan memeriksa kardus. Tak ada kepala yang
tersembunyi di situ. Kami melangkah ke ruang berikut, dan tahu-tahu kami sudah
diselubungi kegelapan pekat.
Jendela ruangan itu tertutup papan-papan kayu. Hanya ada
sedikit cahaya yang menerobos lewat celah.
"A-aku tidak bisa melihat apa-apa," kata Stephanie. Aku
merasakan tangannya meraih lenganku. "Di sini terlalu gelap. Ayo,
Duane, kita keluar saja, deh."
Aku hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang keras
membuatku terdiam. Stephanie meremas tanganku. "Duane, suara apa itu?"
Bunyi gubrak itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat.
"A-aku tidak tahu," jawabku tergagap-gagap.
"Kita tidak sendirian di sini," bisik Stephanie.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Siapa itu?" aku memanggil.
"Siapa yang ada di sini?"
15 "SIAPA itu?" kataku dengan suara parau.
Stephanie meremas-remas tanganku sampai terasa sakit. Tapi
aku tidak bergerak, tidak berusaha menjauh darinya.
Kudengar suara langkah. Langkah-langkah ringan.
Aku merinding. Tengkukku terasa kaku. Aku terpaksa
mengunci rahang supaya gigiku tidak bergemeletuk.
Dan kemudian dalam kegelapan kulihat mata berwarna kuning
mendekati kami. Empat mata berwarna kuning.
Makhluk itu bermata empat!
Aku mengerang tertahan. Aku tidak bisa bernapas. Tidak bisa
bergerak. Aku memandang lurus ke depan, dan pasang telinga.
Berkedip pun aku tak sanggup.
Keempat mata itu berpencar berpasangan. Dua ke kanan, dua ke
kiri. "Ohhh!" aku memekik kaget ketika semakin banyak mata
bermunculan. Mata-mata berwarna kuning tampak di semua sudut, di
sepanjang dinding. Dan semua berkilat-kilat menatap kami.
Ke mana pun aku menoleh, yang tampak hanyalah mata
berwarna kuning. Puluhan mata kuning mirip mata kucing menatap Stephanie dan
aku, sementara kami saling mendesak di tengah ruangan.
Mata kuning mirip mata kucing.
Mata kucing. Ruangan itu penuh kucing.
Aku tahu karena salah satu kucing tiba-tiba merintih. Dan suara
meooong dari ambang jendela akhirnya membuat Stephanie dan aku
menarik napas lega. Seekor kucing menempelkan badannya ke kakiku. Aku kaget
setengah mati, melompat ke samping, dan menabrak Stephanie.
Ia langsung mendorongku. Kucing-kucing itu mulai bermeong ria. Satu lagi menyerempet
betisku. "A-aku rasa kucing-kucing ini kesepian," Stephanie tergagapgagap. "Jangan-jangan tak pernah ada orang yang naik ke sini."
"Masa bodoh," balasku dengan ketus. "Waktu pertama melihat
mata mereka yang kuning, kupikir... kupikir... entah apa yang aku
pikir! Tempat ini terlalu seram. Ayo, kita keluar saja, deh."
Sekali ini Stephanie tidak membantah.
Ia menuju ke pintu di bagian belakang ruangan.
Kucing-kucing di sekeliling kami seolah-olah ingin membentuk
paduan suara, terus mengeong bersahutan.
Satu kucing lagi menyerempet kakiku.
Kaki Stephanie tersandung seekor kucing. Ia jatuh dalam
kegelapan, lututnya berdebam ketika membentur lantai.
Suara kucing-kucing itu bertambah keras.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku. Aku langsung menghampirinya
untuk membantunya berdiri.
Tapi saking berisiknya kucing-kucing di sekitar kami, aku tak
dapat mendengar jawaban Stephanie.
Kami berlari ke pintu, membukanya, dan menyelinap keluar.
Cepat-cepat aku menutup pintu. Seketika suasana kembali
hening. "Di mana kita?" bisikku.
"A-aku tidak tahu," Stephanie terbata-bata. Ia tidak berani
menjauhi dinding.
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berjalan ke jendela yang tinggi dan sempit, lalu
memandang keluar lewat kaca yang penuh debu. Jendela itu ternyata
menghadap ke sebuah balkon yang menjorok dari atap bergenteng
kelabu. Cahaya bulan yang putih pucat masuk melalui jendela.
Aku berpaling pada Stephanie. "Kita ada di semacam lorong
belakang," aku menebak. Lorong yang panjang dan sempit itu seakanakan tak berujung. "Kamar-kamar di sini mungkin dipakai oleh para
karyawan. Oleh Manny, si penjaga malam. Para petugas kebersihan.
Dan para pemandu." Stephanie menghela napas. Ia memandang ke lorong yang
panjang. "Kita turun saja, cari Otto dan pengunjung yang lain.
Rasanya penjelajahan kita sudah cukup untuk malam ini."
Aku sependapat. "Di ujung lorong pasti ada tangga. Ayo, kita
ke sana." Aku berjalan empat atau lima langkah. Tiba-tiba kurasakan
sentuhan tangan-tangan halus.
Tangan-tangan itu mengusap wajahku. Tengkukku. Tubuhku.
Sekujur tubuhku dibelai-belai oleh tangan-tangan lengket yang
tak kelihatan. Tangan-tangan itu seakan-akan mencengkeram diriku.
"Ohhh, tolong!" Stephanie mengerang.
Rupanya ia juga sudah dalam cengkeraman tangan-tangan
hantu. 16 TANGAN-TANGAN hantu itu menggerayangi diriku. Jarijemari yang kering kerontang dan ringan seperti udara seolah
mencengkeram diriku. Stephanie mengayun-ayunkan tangan dengan panik. Ia berusaha
keras untuk membebaskan diri.
"I-ini seperti jaring!" serunya kalang kabut.
Aku mengusap wajahku, rambutku.
Aku mencoba berbalik. Tapi jari-jemari itu tetap melekat, malah
semakin ketat. Kemudian aku sadar aku bukan dalam cengkeraman tangantangan hantu.
Sementara aku mengayunkan tangan kian kemari, aku
mendadak sadar bahwa kami terperangkap sarang labah-labah.
Sarang labah-labah yang menyerupai tirai tebal.
Jalinan benang-benang itu menyelubungi kami bagaikan jaring
nelayan. Semakin keras kami meronta, semakin kencang pula
cengkeramannya. "Stephanie"ini sarang labah-labah!" aku berseru, lalu
melepaskan gumpalan benang yang melekat di wajahku.
"Tentu saja sarang labah-labah!" sahutnya sambil mengayunayunkan tangan. "Memangnya kau pikir apa?"
"Ehm... hantu," aku bergumam.
Stephanie tertawa mengejek. "Aduh, Duane, kau terlalu banyak
berkhayal. Tapi kalau kau begini terus, kita tak bakal bisa keluar dari
sini." "Aku... aku... aku..." aku tidak tahu harus berkata apa.
Aku yakin pikiran Stephanie sebenarnya sama dengan
pikiranku. Ia juga menyangka kami ditangkap hantu. Tapi sekarang ia
berlagak sok tahu, seakan sejak awal ia sudah tahu bahwa itu cuma
sarang labah-labah. Kami berdiri dalam kegelapan sambil berusaha melepaskan
benang-benang lengket itu dari wajah, tangan, dan tubuh. Aku
menggerutu dengan kesal. Benang-benang itu tidak mau lepas dari
rambutku. "Aku bakal gatal-gatal sampai tua!" seruku.
"Ini sih belum seberapa," Stephanie bergumam. "Ada yang
lebih parah lagi." Aku menarik potongan sarang labah-labah yang melekat di
telingaku. "Hah?"
"Coba tebak siapa yang bikin sarang ini?"
Aku tidak perlu berpikir panjang. "Labah-labah?"
Lengan dan kakiku mulai gatal. Begitu juga punggungku. Dan
tengkukku. Jangan-jangan ada labah-labah yang merayap naik-turun di
tubuhku. Beratus-ratus labah-labah.
Aku langsung lari. Stephanie melakukan hal yang sama. Kami
berlari menyusuri lorong yang panjang, sambil terus menggaruk-garuk
dan menepuk-nepuk. "Steph"lain kali kalau kau punya ide bagus, lebih baik kau
simpan saja deh!" aku memperingatkannya.
"Sudahlah, yang penting kita harus menemukan jalan keluar
dari sini!" ujarnya.
Kami sampai di ujung lorong.
Tapi tidak ada tangga di sana.
Jadi bagaimana caranya turun lagi"
Ternyata ada lorong lain yang membelok ke kiri. Cahaya redup
lilin di atas pintu-pintu tampak menari-nari. Bayang-bayang melintas
di karpet bagaikan binatang-binatang yang menggeliat-geliut.
"Ayo." Aku menarik tangan Stephanie. Kami tidak punya
pilihan. Kami harus menyusuri lorong itu.
Kami lari berdampingan. Semua kamar yang kami lewati gelap
dan sunyi. Api lilin-lilin bergetar ketika kami berlari. Bayangan Stephanie
dan aku bergerak mendului, seakan-akan ingin lebih cepat sampai ke
bawah. Aku berhenti ketika mendengar suara tawa seseorang.
"Apalagi sekarang?" gumam Stephanie sambil terengah-engah.
Matanya yang gelap langsung melebar.
Kami pasang telinga. Aku mendengar suara-suara. Suara-suara yang berasal dari
ruangan di ujung lorong. Pintunya tertutup. Kudengar seorang laki-laki mengatakan
sesuatu, entah apa aku tak bisa dengar. Seorang wanita tertawa.
Beberapa orang lain ikut tertawa.
"Itu pasti rombongan kita," aku berbisik.
Stephanie mengerutkan kening. "Mana mungkin," ia
membantah. "Rombongan tur tak pernah dibawa sampai ke lantai
paling atas." Kami menghampiri pintu dan kembali pasang telinga.
Sekali lagi kami mendengar suara tawa. Sepertinya banyak
orang sedang bersenda-gurau dan berbicara berbarengan. Sepertinya
sedang ada pesta. Aku menempelkan telinga ke daun pintu. "Kurasa turnya baru
selesai, dan sekarang anggota rombongan asyik mengobrol," aku
berbisik kepada Stephanie.
Ia menggaruk-garuk kepala, menarik segumpal benang lengket
yang masih melekat di rambutnya. "Ayo dong, Duane. Cepat. Buka
pintunya. Biar kita bisa bergabung lagi dengan mereka," ia mendesak.
"Moga-moga Otto tidak tanya ke mana kita pergi tadi," ujarku.
Aku meraih pegangan pintu dan membukanya.
Stephanie dan aku melangkah masuk.
Dan seketika kami membelalakkan mata.
17 RUANGAN itu ternyata kosong.
Kosong melompong, sunyi dan gelap.
"Hei, ada apa ini" Ke mana mereka?" seru Stephanie.
Kami maju selangkah. Lantai kayu di bawah kaki kami
berderak-derak. Itu satu-satunya suara yang terdengar.
"Aku tidak mengerti," bisik Stephanie. "Kita baru saja
mendengar suara-suara di sini, ya kan?"
"Ya," ujarku. "Ada orang yang tertawa dan mengobrol.
Kedengarannya seperti ada pesta."
"Pesta yang meriah," Stephanie menambahkan sambil
memandang berkeliling. "Yang dihadiri banyak orang."
Tiba-tiba punggungku serasa disiram air es. "Barangkali yang
kita dengar bukan orang," aku berbisik.
Stephanie berpaling padaku. "Hah?"
"Bukan suara orang," aku berkata parau, "tapi suara hantu."
Stephanie langsung melongo. "Dan mereka langsung hilang
waktu kita membuka pintu?" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku mengangguk. "R-rasanya mereka masih ada di sini. Ih, aku
jadi merinding." Stephanie memekik tertahan. "A-apa maksudmu?"
Sekonyong-konyong aku merasakan embusan angin dingin
menerpa, membuat tubuhku gemetaran.
Rupanya Stephanie juga merasakannya. Ia langsung
menyilangkan tangan di depan dada. "Brrr! Kau juga merasa ada
angin" Apa ada jendela yang terbuka" Kenapa tiba-tiba jadi dingin
begini?" tanyanya. Lalu ia berbisik, "Jangan-jangan kita tidak sendirian di sini?"
"Sepertinya memang begitu," aku menyahut pelan. "Janganjangan pesta itu bubar gara-gara kita."
Stephanie dan aku berdiri seperti patung di tengah ruangan. Aku
tidak berani bergerak. Siapa tahu ada hantu yang berdiri persis di
sampingku. Siapa tahu semua hantu yang kami dengar tadi sekarang
mengelilingi kami, memandang kami, bersiap-siap untuk memberi
pelajaran pada kami. "Stephanie," bisikku. "Bagaimana kalau pesta mereka benarbenar bubar karena kita" Bagaimana kalau ruangan ini ternyata
memang tempat para hantu?"
Stephanie menelan ludah. Ia tidak menyahut.
Bukankah Andrew kehilangan kepalanya waktu ia masuk ke
tempat tinggal si hantu" Dan bagaimana kalau kami sekarang berada
di tempat yang sama" Kamar tempat Andrew bertemu dengan arwah
si kapten kapal" "Stephanie, kurasa lebih baik kita keluar dari sini," ujarku
pelan. "Sekarang juga."
Rasanya aku mau kabur saja. Aku ingin berlari menuruni
tangga. Kabur dari Hill House. Berlari ke rumahku yang hangat, aman
dan bebas dari hantu. Bebas dari hantu. Kami berbalik dan berlari ke pintu.
Apakah hantu-hantu itu akan berusaha mencegah kami"
Ternyata tidak. Kami berhasil keluar, ke lorong yang diterangi
cahaya lilin yang berkerlap-kerlip. Terburu-buru aku menutup pintu.
"Tangganya. Mana tangganya?" seru Stephanie.
Kami berdiri di ujung lorong. Menghadap tembok kokoh.
Bunga-bunga pada wallpaper di dinding seakan-akan mengembang
dan menguncup dalam cahaya lilin yang menari-nari.
Aku menggedor-gedor tembok dengan kedua tangan.
"Bagaimana cara kita keluar dari sini" Bagaimana caranya?"
Pendekar Setia 9 Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan Pedang Hati Suci 6
1 STEPHANIE ALPERT dan aku menghantui daerah di sekitar
tempat tinggal kami. Ide itu kami dapat waktu Halloween lalu.
Di daerah kami banyak anak kecil, dan kami paling senang
menakut-nakuti mereka. Kadang-kadang, dengan memakai topeng, kami menyelinap
keluar malam-malam, lalu melongok ke jendela kamar anak-anak.
Sering kali kami meletakkan tangan dan jari dari karet di ambang
jendela mereka. Tak jarang kami buka kotak surat dan menyelipkan
barang-barang yang pasti bakal membuat mereka menjerit-jerit.
Stephanie dan aku juga sering bersembunyi di balik semaksemak, dan meneriakkan suara-suara aneh"raungan binatang atau
erangan hantu. Stephanie paling jago melolong seperti manusia
serigala. Dan aku paling suka mendongakkan kepala lalu memekik
keras-keras. Saking kerasnya, daun-daun di pepohonan sampai
bergetar. Usaha kami tidak sia-sia. Hampir semua anak di daerah kami
jadi ngeri. Setiap pagi mereka mengintip dulu dari pintu rumah masingmasing untuk memastikan keadaan aman, baru setelah itu mereka
berani keluar. Malam hari, sebagian besar anak tidak berani keluar
sendirian. Bangga juga rasanya jadi makhluk yang ditakuti.
Pada siang hari, kami cuma Stephanie Alpert dan Duane
Comack, dua anak berumur dua belas tahun yang tak berbeda dari
anak-anak lain. Tapi pada malam hari, kami menjelma menjadi si
Teror Kembar dari Wheeler Falls.
Tak ada yang tahu. Tak seorang pun tahu identitas kami yang
sebenarnya. Kami berdua duduk di kelas enam di Wheeler Middle School.
Kami sama-sama berambut dan bermata cokelat. Kami sama-sama
bertubuh tinggi kurus. Hanya saja Stephanie beberapa senti lebih
tinggi, sebab rambutnya lebih tebal.
Banyak orang menyangka kami kakak-adik. Tapi sebenarnya
tidak. Kami sama-sama tidak punya kakak atau adik, dan itu sama
sekali tidak membuat kami sedih.
Kami tinggal di jalan yang sama, rumah Stephanie berhadapan
dengan rumahku. Kami biasa bertukar makan siang, meski bekal kami
sama yaitu roti selai kacang,
Kami anak-anak biasa. Seratus persen normal.
Hanya saja kami punya hobi rahasia di malam hari.
Mau tahu bagaimana kami sampai jadi si Teror Kembar" Hmm,
ceritanya agak panjang....
Semuanya berawal dari perayaan Halloween yang lalu. Udara
malam itu sejuk, bintang-bintang bertaburan di langit. Bulan purnama
seperti melayang di atas pohon-pohon gundul.
Aku sedang berdiri di depan jendela kamar Stephanie dengan
kostum Malaikat Maut-ku yang seram. Aku berjinjit, berusaha
mengintip kostum yang ia pakai.
"Hei"kau curang, Duane! Jangan mengintip, dong!" seru
Stephanie lewat jendela yang tertutup. Lalu ia menarik tirai.
"Aku tidak mengintip!" sahutku. "Aku cuma meregangkan
otot." Sebenarnya aku memang sudah tak sabar ingin melihat kostum
yang ia pakai kali ini. Setiap Halloween ia tampil dengan kostum yang
keren sekali. Tahun lalu seluruh tubuhnya dibalut kertas toilet hijau
sampai menggembung seperti bola. Benar, ia jadi selada raksasa.
Tapi tahun ini rasanya aku bisa mengalahkan dia.
Aku benar-benar bekerja keras untuk menyiapkan kostum
Malaikat Maut-ku. Aku pakai sepatu bersol tebal"cukup tebal untuk
membuatku lebih tinggi dari Stephanie. Jubahku yang hitam dan
bertudung begitu panjang sampai menyapu tanah. Rambutku yang ikal
kusembunyikan di balik lapisan karet, supaya kepalaku berkesan
gundul. Dan wajahku kupoles makeup, sehingga warnanya seperti roti
bulukan. Bahkan ayahku menolak menatapku. Katanya ia takut perutnya
memberontak. Berarti kostumku sukses berat!
Aku sudah tak sabar untuk membuat Stephanie memekik
ketakutan. Kuketuk-ketuk jendelanya dengan arit Malaikat Maut-ku.
"Hei, Steph"cepat sedikit, dong!" aku berseru. "Aku sudah mulai
lapar, nih! Bisa-bisa kita tidak kebagian permen nanti!"
Aku menunggu dan menunggu. Aku berjalan mondar-mandir di
pekarangan depan. Jubahku yang panjang menyapu rumput dan daundaun mati.
"Hei! Lama benar, sih?" aku berseru sekali lagi.
Ia belum muncul juga. Sambil mendengus kesal aku berbalik ke jendelanya.
Dan sekonyong-konyong seekor binatang besar berbulu
menerjangku dari belakang, dan menggigit kepalaku.
2 EHM, sebenarnya sih, kepalaku tidak sampai digigit.
Makhluk itu hanya mencoba menggigit.
Ia menggeram-geram, berusaha menyambar leherku dengan
gigi taringnya yang panjang.
Aku mundur terhuyung-huyung. Makhluk itu menyerupai
kucing hitam raksasa, seluruh tubuhnya tertutup bulu hitam kasar.
Gumpalan-gumpalan lendir berwarna kuning melekat di telinga dan
hidungnya yang hitam. Gigi taringnya yang panjang dan runcing
berkilau-kilau dalam gelap.
Makhluk itu menggeram lagi dan mengayunkan cakarnya.
"Permen... mana permenmu?"
"Stephanie...?" ujarku terbata-bata. Itu pasti Stephanie. Ya, kan"
Sebagai jawaban, makhluk itu memukul perutku dengan
cakarnya. Saat itulah kulihat arloji Mickey Mouse kepunyaan
Stephanie di pergelangan tangannya.
"Wow, Stephanie. Kostummu keren banget. Kau benar-benar..."
Aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku. Stephanie menyeretku,
lalu merunduk di balik semak-semak.
Lututku membentur trotoar. "Aduh!" aku memekik. "Apa-apaan
sih" Kau sudah gila?"
Sekelompok anak kecil berkostum lewat di depan tempat
persembunyian kami. Stephanie melompat maju dan mencegat
mereka. "Arrrggghhh!" ia menggeram.
Anak-anak itu benar-benar ketakutan. Mereka langsung
membalik dan kabur pontang-panting. Saking ngerinya, tiga dari
mereka sampai melepaskan kantong berisi permen yang telah mereka
kumpulkan. Stephanie langsung memungut kantong-kantong itu.
"Hmm, asyik!" "Wow! Kau bikin mereka lari terbirit-birit," ujarku sambil
memperhatikan anak-anak itu lari ke ujung jalan. "Hebat."
Stephanie tertawa. Tawanya konyol dan melengking, mirip
suara ayam yang digelitik. Aku selalu ikut tertawa kalau
mendengarnya. "Yeah, seru juga," sahutnya. "Lebih seru dari
mengumpulkan permen."
Jadi, malam itu kami habiskan dengan menakut-nakuti anak
kecil. Permen yang kami dapat tak seberapa. Tapi kami benar-benar
gembira. "Coba kalau kita bisa begini setiap malam!" ujarku ketika kami
berjalan pulang. "Kenapa tidak bisa?" balas Stephanie sambil nyengir "Kita tidak
perlu tunggu Halloween untuk menakut-nakuti anak kecil, Duane.
Tahu kan, apa yang kumaksud?"
Ya, aku tahu. Stephanie mendongakkan kepala, lalu tertawa seperti ayam.
Mau tak mau aku ikut tertawa.
Jadi, begitulah asal mula Stephanie dan aku menghantui daerah
kami. Kalau malam sudah larut, si Teror Kembar beraksi di segala
penjuru. Pokoknya tak ada tempat yang aman.
Ehm... tepatnya hampir tak ada tempat yang aman.
Ada satu tempat yang terlalu menakutkan, bahkan bagi
Stephanie dan aku, yaitu rumah tua di blok sebelah. Orang-orang
menyebutnya Hill House. Mungkin karena letaknya di atas bukit
tinggi di Hill Street. Memang, hampir di semua kota ada rumah hantu.
Tapi Hill House benar-benar ada hantunya.
Stephanie dan aku tahu pasti.
Sebab di situlah kami ketemu Hantu Tanpa Kepala.
3 HILL HOUSE adalah atraksi wisata paling laku di Wheeler
Falls, soalnya Hill House memang satu-satunya atraksi wisata di sini.
Barangkali kau pernah dengar tentang Hill House. Rumah itu
disebut-sebut dalam banyak buku.
Tur Hill House untuk para pengunjung diadakan setiap jam,
dipandu oleh orang-orang berseragam hitam. Tindak-tanduk mereka
benar-benar seram, dan mereka selalu menceritakan kisah-kisah
menakutkan tentang rumah itu. Kadang-kadang aku sampai merinding
kalau mendengar cerita-cerita mereka.
Stephanie dan aku paling senang ikut tur itu" apalagi kalau
dipandu Otto. Otto pemandu favorit kami.
Otto bertubuh besar dan berkepala botak. Tampangnya
menyeramkan. Matanya hitam kecil, dan tatapannya seolah bisa
menembus tubuh kita. Suaranya menggelegar.
Kadang-kadang, kalau Otto mengantar kami dari satu ruang ke
ruang lain, ia sengaja merendahkan suara. Saking pelannya, suaranya
nyaris tak kedengaran. Lalu ia membelalakkan mata, mengacungkan
tangan"dan berteriak: "Itu hantunya! Itu!"
Stephanie dan aku langsung memekik.
Bukan cuma tampang Otto yang seram, senyumnya juga.
Entah sudah berapa kali Stephanie dan aku ikut tur Hill House.
Yang jelas, saking seringnya, kami sudah pantas jadi pemandu. Kami
tahu semua ruangan. Semua tempat di mana orang pernah melihat
hantu. Hantu sungguhan! Kami betah sekali di tempat-tempat seperti itu.
Mau tahu kisah Hill House" Hmm, beginilah cerita yang biasa
dituturkan Otto, Edna, dan para pemandu yang lain:
Hill House sudah berumur dua ratus tahun. Dan hantu sudah
gentayangan sejak hari pertama orang-orang mengumpulkan batu
untuk membangunnya. Seorang kapten kapal yang masih muda membangun rumah ini
untuk istri yang baru dinikahinya. Tapi pada saat pembangunannya
selesai, si kapten kapal harus bertugas di laut.
Istrinya tinggal seorang diri di rumah yang dingin dan gelap,
dengan begitu banyak kamar dan lorong-lorong yang sepertinya tak
berujung. Berbulan-bulan ia memandang keluar dari jendela kamar tidur.
Jendela yang menghadap ke sungai. Dengan sabar ia menanti
kepulangan suaminya. Musim dingin berlalu. Disusul musim semi, lalu musim panas.
Tapi si kapten kapal tak pernah kembali.
Ia hilang di laut. Satu tahun setelah si kapten kapal hilang, hantu mulai muncul
di lorong-lorong Hill House. Hantu si kapten kapal. Ia kembali dari
alam baka, kembali untuk mencari istrinya.
Setiap malam ia berkeliling di lorong-lorong yang panjang. Ia
membawa lentera dan memanggil-manggil nama istrinya. "Annabel!
Annabel!" Tapi Annabel tak pernah menyahut.
Ia begitu sedih sehingga pergi dari rumah besar itu. Ia tidak mau
melihat rumah itu lagi. Lalu ada keluarga lain yang pindah ke Hill House. Tahun demi
tahun berlalu, dan banyak orang mendengar si hantu memanggilmanggil di malam hari, "Annabel! Annabel!" Suaranya bergema di
lorong-lorong dan ruangan-ruangan yang dingin.
"Annabel! Annabel!"
Orang-orang bisa mendengar suara si hantu. Tapi tak pernah
ada yang melihatnya. Kemudian, seratus tahun lalu, rumah itu dibeli oleh keluarga
Craw. Mereka punya anak laki-laki bernama Andrew yang berumur
tiga belas tahun. Andrew nakal dan jahat. Ia paling senang berbuat iseng
terhadap para pelayan. Ia sering menakut-nakuti mereka.
Ia bahkan pernah melempar kucing dari jendela. Dan ia kecewa
karena kucing itu ternyata tidak mati.
Orangtua Andrew pun kewalahan menghadapi anak mereka
yang brengsek. Karena itu Andrew lebih sering menghabiskan waktu
sendirian, menyelidiki rumah tua mereka, atau mencari-cari masalah.
Suatu hari ia menemukan sebuah ruangan yang belum pernah
dimasukinya. Pintu kayu yang berat didorongnya sampai membuka.
Pintu itu berderit-derit.
Kemudian ia melangkah masuk.
Di atas meja kecil ada lentera yang menyala redup. Selain itu
kosong, tak ada benda apa pun. Juga tak ada yang duduk di meja.
"Aneh," pikir Andrew. "Kenapa ada lentera menyala di ruangan
yang kosong?" Andrew menghampiri lentera itu. Ketika ia membungkuk untuk
mematikannya, si hantu muncul.
Hantu si kapten kapal! Hantu itu kini telah jadi makhluk tua yang mengerikan.
Kukunya yang panjang dan putih tumbuh melingkar-lingkar. Gigi-gigi
hitam yang retak menyembul dari balik bibir yang kering dan pecahpecah. Dan wajahnya setengah tertutup janggut putih yang kasar.
Andrew membelalakkan mata karena ngeri. "S- siapa kau?" ia
tergagap-gagap. Hantu itu tidak menyahut. Ia malah melayang mendekati
lingkaran cahaya lentera, menatap Andrew sambil mendelik.
"Siapa kau" Mau apa kau" Kenapa kau ada di sini?" tanya
Andrew. Hantu itu tetap membisu. Andrew membalik" berusaha kabur.
Tapi belum sempat ia menjauh, embusan napas si hantu sudah
terasa di tengkuknya. Andrew berusaha meraih pegangan pintu. Tapi hantu tua itu
melayang mengitari dirinya, berputar-putar bagaikan asap hitam di
tengah cahaya kuning. "Jangan! Berhenti!" Andrew menjerit. "Lepaskan aku!"
Hantu itu membuka mulut, memperlihatkan lubang hitam yang
dalam, seolah tanpa dasar. Akhirnya ia angkat bicara"ia berbisik
dengan suara menyerupai gemeresik daun-daun mati. "Kau sudah
melihatku. Kau tidak bisa pergi."
"Jangan!" Andrew memekik. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Si hantu tidak menghiraukan teriakan-teriakan Andrew. Ia
mengulangi ucapannya dengan suara yang membuat bulu kuduk
berdiri: "Kau sudah melihatku. Kau tidak bisa pergi."
Si hantu tua meraih kepala Andrew. Jarinya yang sedingin es
memegang wajah anak itu. Lalu tangannya mengencang.
Mengencang. Tahu apa yang terjadi sesudah itu"
4 Si hantu mencopot kepala Andrew"dan menyembunyikannya
di suatu tempat di Hill House!
Setelah menyembunyikan kepala Andrew di rumah yang besar
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan gelap, hantu si kapten kapal melolong panjang sehingga dindingdinding batu yang tebal ikut bergetar.
Lolongan mengerikan itu berakhir dengan seruan, "Annabel!
Annabel!" Setelah itu si hantu tua lenyap untuk selama-lamanya.
Tapi jangan disangka Hill House sudah bebas dari hantu. Kini
ada hantu baru yang bergentayangan di lorong-lorong panjang.
Sejak itu hantu Andrew yang berkeliaran di Hill House. Setiap
malam hantu anak malang itu menyusuri lorong-lorong, keluar-masuk
ruangan untuk mencari kepalanya yang hilang.
Di seluruh rumah, kata Otto dan para pemandu yang lain, kita
bisa mendengar langkah si Hantu Tanpa Kepala, mencari, selalu
mencari. Dan sekarang, setiap ruangan di Hill House punya kisah seram
sendiri-sendiri. Apakah cerita-cerita itu benar"
Hmm, Stephanie dan aku sih percaya. Karena itulah kami
begitu sering ikut tur. Rasanya sudah seratus kali kami menjelajahi rumah tua itu.
Hill House memang mengasyikkan.
Paling tidak, semula begitu"sebelum Stephanie dapat ide
gemilang lagi. Setelah itu, Hill House tak lagi mengasyikkan.
Setelah itu, Hill House jadi tempat yang benar-benar
menyeramkan. 5 SEMUANYA bermula beberapa minggu lalu, waktu Stephanie
tiba-tiba dilanda rasa bosan.
Saat itu sekitar pukul sepuluh malam. Kami sedang berkeliaran
di luar rumah. Kami melolong-lolong di depan jendela Geena Jeffers.
Lalu kami pergi ke rumah sebelah, rumah Terri Abel. Kami masukkan
beberapa potong tulang ayam ke kotak suratnya"soalnya semua
orang pasti merinding kalau mereka meraih ke dalam kotak surat, dan
ternyata meraba-raba tulang.
Lalu kami menyeberang jalan, menuju ke rumah Ben Fuller.
Rumah Ben rumah terakhir yang kami kunjungi malam itu. Ben
teman sekelas kami, dan untuknya kami telah menyiapkan acara
khusus. Masalahnya begini: Ben paling takut pada serangga, dan itu
berarti ia paling gampang ditakut-takuti.
Ia selalu tidur dengan jendela terbuka, biarpun udara di luar
lumayan dingin. Maka Stephanie dan aku suka mengintip lewat
jendelanya, dan menimpuk Ben yang sedang tidur dengan labah-labah
karet. Labah-labah karet itu menggelitik wajahnya. Ia bangun. Dan
langsung menjerit-jerit. Setiap kali selalu begitu.
Ia selalu menyangka itu labah-labah sungguhan.
Ia menjerit-jerit, dan berusaha turun dari tempat tidur. Tapi
selalu saja kakinya terlilit selimut, lalu ia jatuh berdebam ke lantai.
Melihat kejadian itu, Stephanie dan aku bersalaman atas sukses
kami. Setelah itu kami pulang dan tidur.
Tapi malam itu, waktu kami melempar labah-labah karet ke
wajah Ben yang sedang bermimpi indah, Stephanie berpaling padaku
dan berbisik, "Aku ada ide bagus."
"Apa?" ujarku. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh,
Ben sudah menjerit. Kami mendengar ia memekik-mekik dan jatuh ke lantai.
GUBRAK. Stephanie dan aku langsung ber-high five. Setelah itu kami
kabur, melintasi pekarangan-pekarangan belakang yang gelap.
Langkah kami berdebam-debam di tanah yang keras dan hampir beku.
Kami berhenti di samping pohon ek terbelah di pekarangan
depan rumahku. Batang pohon itu terbelah dua dari atas sampai
bawah. Tapi ayahku tidak tega menebangnya.
"Ide apa sih yang kaumaksud?" aku bertanya pada Stephanie.
Napasku terengah-engah. Matanya yang gelap tampak berbinar-binar. "Begini, nih. Setiap
kali kita gentayangan di sini, anak-anak yang kita takut-takuti tetap
anak-anak yang itu-itu juga. Lama-lama aku bosan."
Sebenarnya aku belum bosan. Tapi aku tahu kalau Stephanie
sudah punya ide, tak ada yang bisa menghentikannya. "Jadi, kau mau
cari anak-anak baru untuk ditakut-takuti?" tanyaku padanya.
"Bukan. Bukan anak-anak baru. Sesuatu yang baru." Ia berjalan
mengelilingi pohon. "Kita butuh tantangan baru."
"Apa, dong?" tanyaku.ebukulawas.blogspot.com
"Selama ini kita selalu pakai trik-trik yang kekanak-kanakan,"
ia mengeluh. "Kita cuma bikin suara-suara aneh, lempar-lempar
barang lewat jendela"dan semua anak sudah ketakutan setengah
mati. Ini terlalu gampang."
"Yeah," aku membenarkan. "Tapi lucu."
Komentarku tak digubrisnya. Ia menyembulkan kepala lewat
celah di batang pohon. "Duane, apa tempat paling seram di Wheeler
Falls?" Itu pertanyaan mudah. "Apa lagi kalau bukan Hill House,"
jawabku. "Betul. Dan kenapa tempat itu begitu seram?"
"Karena cerita-cerita hantunya. Terutama cerita tentang anak
laki-laki yang selalu mencari kepalanya."
"Yes!" seru Stephanie. Kepalanya menyembul lewat celah di
batang pohon ek, seolah melayang, sementara tubuhnya tertutup
batang pohon. "Si Hantu Tanpa Kepala!" ia berkata dengan suara
direndahkan, lalu tertawa tergelak-gelak.
"Apa-apaan sih?" ujarku. "Kau mau menakut-nakuti aku
sekarang?" Kepalanya seakan-akan melayang dalam kegelapan. "Kita harus
gentayangan di Hill House," ia menyahut sambil berbisik.
6 "HAH?" aku berseru. "Apa maksudmu, Stephanie?"
"Kita ikut tur Hill House, lalu di tengah jalan kita memisahkan
diri," Stephanie menyahut dengan tampang serius.
Aku menggelengkan kepala. "Yang benar saja. Untuk apa?"
Wajah Stephanie seperti bercahaya dalam gelap. "Kita
memisahkan diri"untuk mencari kepala hantu itu."
Aku menatapnya sambil melongo. "Kau bercanda, ya?"
Aku melangkah ke balik pohon dan menarik tubuhnya dari
celah. Kepalanya yang seperti melayang itu mulai membuatku
merinding. "Tidak, Duane, aku tidak bercanda," sahut Stephanie, lalu
mendorongku ke belakang. "Kita perlu tantangan. Kita perlu sesuatu
yang baru. Gentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti semua yang
kita kenal"itu permainan anak-anak. Dan aku sudah bosan. Bo"
san." "Memangnya kau percaya cerita tentang kepala yang hilang itu"
Itu cuma cerita hantu. Biar kita cari sampai botak, kepala itu tak bakal
kita temukan. Soalnya kepala itu memang tidak ada. Itu kan cuma
cerita yang sengaja dikarang untuk para turis."
Stephanie menatapku sambil memicingkan mata. "Sepertinya
kau ngeri, Duane." "Hah" Aku?" Suaraku agak melengking.
Sekonyong-konyong bulan menghilang di balik awan, dan
pekarangan depan semakin gelap. Aku merinding. Aku langsung
merapatkan jaket. "Aku bukannya takut menjelajahi Hill House berdua saja. Tapi
menurutku kita cuma buang-buang waktu."
"Duane, kau gemetaran," ia meledekku. "Gemetaran karena
ngeri." "Enak saja!" aku memprotes. "Ayo, kita ke Hill House.
Sekarang juga. Nanti kita lihat siapa yang ngeri."
Stephanie tersenyum lebar. Ia mendongakkan kepala dan
melolong panjang. Melolong untuk merayakan kemenangannya. "Ini
baru tantangan yang pantas untuk si Teror Kembar!" ia berseru, lalu
mengajakku ber-high five keras sekali. Telapak tanganku sampai
perih. Aku terpaksa mengikutinya ke Hill Street. Sepanjang jalan aku
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Apakah aku ngeri"
Sedikit, mungkin. Kami mendaki bukit yang terjal dan penuh alang-alang, lalu
berhenti di tangga depan Hill House. Malam-malam begini rumah tua
itu kelihatan lebih besar. Rumahnya berlantai tiga. Dengan banyak
menara, balkon, dan lusinan jendela yang semuanya gelap.
Semua rumah di daerah kami terbuat dari batu bata atau kayu.
Hill House satu-satunya yang terbuat dari lempengan batu.
Lempengan batu warna abu-abu tua.
Aku selalu menahan napas kalau berdiri di depan Hill House.
Dinding-dindingnya tertutup lapisan lumut yang tebal berwarna hijau.
Lumut berumur dua ratus tahun. Baunya pasti bukan seperti kebun
bunga. Aku memandang ke atas, mengamati menara bulat yang
menjulang ke langit malam. Sebuah patung batu yang seram
bertengger di puncaknya. Patung itu menatap kami sambil
menyeringai, seakan-akan menantang kami untuk masuk.
Lututku mendadak lemas. Rumah itu gelap gulita. Hanya ada satu lilin di atas pintu depan.
Tapi tur wisatanya masih berlangsung. Tur terakhir berangkat pukul
setengah sebelas setiap malam. Menurut para pemandu, tur malam
hari paling seru"soalnya peluang untuk melihat hantu juga paling
besar. Aku membaca prasasti yang ditempelkan di samping pintu.
SILAKAN MASUK KE HILL HOUSE DAN HIDUP ANDA AKAN
BERUBAH. UNTUK SELAMA-LAMANYA.
Prasasti itu sudah ratusan kali kubaca. Dan setiap kali aku
menganggapnya lucu"walaupun agak norak.
Tapi malam itu aku malah merinding.
Malam itu semuanya berbeda.
"Ayolah," ujar Stephanie sambil menarik tanganku. "Kita masih
sempat ikut tur terakhir."
Api lilin berkerlap-kerlip. Pintu kayu yang berat di hadapan
kami mendadak membuka. Membuka sendiri. Aku tidak tahu
bagaimana caranya, tapi pintu itu selalu membuka sendiri.
"Bagaimana, nih" Kau jadi ikut atau tidak?" desak Stephanie. Ia
masuk ke rumah yang gelap.
"Oke, oke. Aku ikut," kataku dengan berat hati.
7 OTTO sudah siap menyambut kami. Setiap kali melihatnya, aku
selalu teringat lumba-lumba. Mungkin karena kepala gundulnya yang
besar dan licin. Mungkin juga karena potongan badannya memang
seperti lumba-lumba raksasa. Beratnya pasti sekitar seratus lima puluh
kilo! Seperti biasa, Otto berpakaian serba hitam. Kemeja hitam.
Celana hitam. Kaus kaki hitam. Sepatu hitam. Dan sarung tangan"
tentu saja juga hitam. Itulah seragam yang dipakai semua pemandu.
"Wah, coba lihat siapa yang datang!" ia berseru. "Stephanie dan
Duane!" Ia nyengir lebar. Matanya yang kecil tampak bersinar-sinar
dalam cahaya lilin. "Halo, pemandu favorit!" Stephanie menyapanya. "Jam berapa
tur berikutnya berangkat?"
Kami melewati loket tanpa membayar. Saking seringnya kami
berkunjung ke Hill House, kami tak pernah lagi disuruh beli karcis.
"Kira-kira lima menit lagi," jawab Otto. "Tapi... ehm... rasanya
baru kali, ini kalian datang malam-malam begini."
"Yeah..." Stephanie berkata, lalu berpikir sejenak untuk mencari
alasan yang masuk akal. "Soalnya lebih seru kalau ikut tur malam. Ya
kan, Duane?" Ia menyikut rusukku.
"Yeah, lebih seru," aku membenarkan.
Kami masuk ke ruang depan, bergabung dengan pengunjung
lain yang sudah menunggu. Sebagian besar pasangan remaja yang
sedang kencan. Ruang depan di Hill House lebih besar daripada gabungan
ruang duduk dan ruang makan di rumahku. Dan selain tangga
melingkar di tengah-tengahnya, tidak ada apa-apa di ruangan itu. Tak
ada perabot sama sekali. Bayang-bayang tampak bergerak-gerak di lantai. Aku
memandang berkeliling. Tak ada lampu listrik. Sebagai gantinya,
pihak pengelola memasang obor-obor kecil pada dinding yang sudah
retak-retak. Api obor yang berwarna jingga bergoyang-goyang.
Dalam cahaya yang menari-nari, aku menghitung orang-orang
di sekelilingku. Semua ada sembilan orang. Cuma Stephanie dan aku
yang masih anak-anak. Otto menyalakan lentera dan maju ke bagian depan ruangan. Ia
mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, kemudian berdeham.
Stephanie dan aku berpandangan sambil nyengir. Otto selalu
pakai cara yang sama untuk mengawali tur. Menurutnya, lentera itu
menambah seram suasana. "Ladies and gentlemen," ia berkata dengan suaranya yang
menggelegar. "Selamat datang di Hill House. Kami berharap Anda
semua bisa menikmati tur ini, dan kembali dengan selamat." Lalu ia
tertawa, tawa menakutkan.
Stephanie dan aku mengikuti ucapan Otto selanjutnya dengan
menggerak-gerakkan bibir tanpa bersuara:
"Pada tahun 1795, seorang kapten kapal yang makmur bernama
William E. Bell membangun rumah di atas bukit tertinggi di Wheeler
Falls. Pada waktu itu rumahnya merupakan rumah paling mewah di
daerah ini"berlantai tiga, dengan sembilan tempat perapian, dan lebih
dari tiga puluh kamar. "Kapten Bell tidak memedulikan biaya. Kenapa" Karena ia
bermaksud menikmati hari tuanya dalam kemewahan di sini, bersama
istrinya yang muda dan cantik. Namun sayangnya, takdir berkata
lain." Otto tertawa terkekeh-kekeh. Stephanie dan aku tentu saja ikut
tertawa. Kami sudah hapal setiap bagian pidato Otto.
Otto kembali angkat bicara. "Kapten Bell gugur di laut ketika
kapalnya karam"sebelum ia sempat tinggal di rumahnya yang indah.
Istrinya yang masih muda, Annabel, meninggalkan rumah itu karena
dilanda duka yang tak tertahankan."
Kini Otto merendahkan suara. "Tapi tak lama setelah Annabel
pergi, hal-hal aneh mulai terjadi di Hill House."
Inilah aba-aba Otto untuk berjalan ke tangga melingkar yang
terbuat dari kayu. Tangga itu sempit dan sudah setua Hill House
sendiri. Setiap kali Otto naik, tangga itu berderak-derak dan
mengerang-erang seperti kesakitan.
Tak seorang pun berbicara ketika kami mengikuti Otto ke lantai
dua. Stephanie dan aku suka bagian ini, soalnya Otto juga diam saja.
Ia cuma bergegas menerobos kegelapan sambil membisu, sementara
para peserta tur berusaha untuk tidak ketinggalan.
Otto baru bicara lagi kalau sudah sampai di kamar tidur Kapten
Bell. Kamarnya besar, dilengkapi perapian, dan menghadap ke sungai.
"Tak lama setelah janda Kapten Bell meninggalkan Hill
House," Otto menuturkan, "warga Wheeler Falls mulai melaporkan
kejadian-kejadian aneh. Banyak orang mengaku melihat laki-laki yang
mirip almarhum Kapten Bell. Laki-laki itu selalu terlihat di sini, di
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jendela ini, dan ia selalu memegang lentera."
Otto menghampiri jendela dan mengangkat lenteranya. "Pada
malam-malam tanpa angin, jika orang pasang telinga baik-baik,
mereka kadang-kadang bisa mendengarnya memanggil-manggil
dengan sedih." Otto menarik napas dalam-dalam, lalu memanggil pelan-pelan:
"Annabel. Annabel. Annabel..."
Otto mengayunkan lentera untuk menambah seram suasana.
Para peserta tur menatapnya tanpa berkedip.
"Tapi tentu saja masih ada cerita lain," ia berbisik.
8 SEMENTARA kami mengikuti Otto keluar-masuk kamarkamar di lantai dua, ia bercerita bagaimana arwah Kapten Bell
bergentayangan selama seratus tahun di Hill House. "Orang-orang
yang tinggal di sini sudah mencoba segala cara untuk mengusirnya.
Tapi hantu itu tetap tak mau pergi."
Lalu Otto bercerita tentang Andrew, anak laki-laki yang
menemukan hantu itu, dan akibatnya harus kehilangan kepala. "Hantu
si kapten kapal lenyap. Ia digantikan oleh hantu anak laki-laki tanpa
kepala. Tapi itu belum semuanya."
Kini kami menyusuri lorong-lorong yang panjang dan gelap.
Cahaya obor-obor yang terpasang di dinding tampak berkerlap-kerlip.
"Hill House masih terus diliputi tragedi," Otto melanjutkan. "Tak lama
setelah kematian Andrew Craw, adik perempuannya yang saat itu
berusia dua belas tahun, jadi gila. Mari kita ke kamarnya sekarang."
Ia menunjukkan jalan ke kamar Hannah. Untuk sampai ke sana,
kami harus menyusuri lorong.
Stephanie paling senang kamar Hannah, soalnya Hannah punya
koleksi boneka dari porselen. Ia punya ratusan boneka. Semua dengan
rambut panjang kuning, pipi kemerahan, dan bola mata biru.
"Setelah kakaknya tewas mengenaskan, Hannah jadi gila," Otto
berkata dengan suara tertahan. "Sepanjang hari, selama delapan puluh
tahun, ia duduk di kursi goyang di pojok sana. Ia bermain dengan
boneka-bonekanya. Ia tak pernah lagi meninggalkan kamarnya. Tidak
sekali pun." Ia menunjuk kursi goyang yang sudah tua. "Hannah meninggal
di kursi itu. Seorang perempuan tua yang dikelilingi bonekabonekanya."
Papan-papan lantai berderit ketika Otto melintasi ruangan. Ia
menaruh lentera dan duduk di kursi goyang.
Kursi itu berderak-derak. Aku selalu kuatir kursi itu bakal
ambruk karena tak kuat menahan badan Otto yang berat! Ia mulai
berayun-ayun. Pelan-pelan. Kursi itu terus berderak-derak. Kami
memperhatikannya sambil membisu.
"Banyak orang percaya bahwa Hannah yang malang masih di
sini," bisik Otto. "Mereka bilang mereka pernah melihat gadis cilik
duduk di kursi ini sambil menyisiri rambut boneka."
Ia terus berayun agar para peserta tur bisa meresapi ucapannya.
"Dan sekarang kita sampai ke kisah ibu Hannah."
Otto bangkit sambil mendengus. Ia meraih lenteranya dan
mengajak kami ke puncak tangga yang panjang dan gelap di ujung
lorong. "Tak lama setelah tragedi yang menimpa putranya, sang ibu pun
mengalami nasib naas. Pada suatu malam ia menuruni tangga ini, lalu
ia terpeleset dan jatuh sampai tewas."
Otto memandang ke kaki tangga, menggelengkan kepala
dengan sedih. Hal itu ia lakukan setiap kali mengantar para peserta tur. Seperti
yang kukatakan tadi, Stephanie dan aku sudah hapal semua gerakgeriknya.
Tapi tujuan kami datang malam itu bukan untuk menonton Otto.
Aku tahu, cepat atau lambat Stephanie pasti akan melaksanakan
rencananya. Jadi aku mulai memandang berkeliling. Mencari-cari
kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan.
Tiba-tiba aku melihat anak laki-laki itu. Ia sedang
memperhatikan kami. Aku tidak melihatnya waktu masuk tadi. Dan aku yakin ia juga
belum ada waktu tur dimulai. Menurut hitunganku ada sembilan orang
tadi. Dan selain Stephanie dan aku, tak ada anak-anak.
Anak itu kira-kira sebaya kami. Rambutnya pirang berombak,
kulitnya pucat. Pucat sekali. Celana jeans maupun kaus turtleneck-nya
berwarna hitam, sehingga mukanya kelihatan lebih putih lagi.
Aku menghampiri Stephanie, yang berjalan agak jauh di
belakang rombongan. "Siap?" ia berbisik padaku.
Otto sudah mulai menuruni tangga. Kalau kami jadi
memisahkan diri, sekaranglah waktunya.
Tapi anak laki-laki itu masih memperhatikan kami.
Matanya sampai mendelik. Aku merinding. "Tunggu dulu," bisikku pada Stephanie. "Ada yang
memperhatikan kita."
"Siapa?" "Anak laki-laki di sebelah sana." Aku melirik ke arah anak itu.
Ia masih terus mengamati kami. Ia bahkan tidak pura-pura
menengok ke arah lain ketika kami membalas tatapannya.
Kenapa ia menatap kami seperti itu" Apa sih maunya"
Hati kecilku menyuruh kami menunggu.
Tapi Stephanie tidak mau tahu. "Jangan pedulikan dia,"
katanya. "Anak itu tidak penting." Ia meraih lenganku"dan menarik
keras-keras. "Ayo."
Kami merapatkan punggung ke dinding lorong yang dingin,
sementara pengunjung lain mengikuti Otto menuruni tangga.
Aku menahan napas sampai suara langkah di tangga tak
terdengar lagi. Kini kami sendirian. Sendirian di lorong yang panjang
dan gelap. Aku berpaling pada Stephanie. Saking gelapnya, wajahnya
nyaris tak kelihatan. "Sekarang bagaimana?" tanyaku.
9 "SEKARANG kita mulai menjelajah sendiri!" Stephanie
menegaskan dengan penuh semangat, sambil menggosok-gosok
tangan. "Nah, ini baru asyik!"
Aku memandang ke kiri-kanan. Aku sama sekali tidak
bersemangat. Aku malah agak ngeri.
Dari salah satu ruangan di seberang lorong terdengar erangan
tertahan. Langit-langit di atas kepala kami berderak-derak. Angin
mengguncangkan jendela-jendela di ruangan yang baru saja kami
tinggalkan. "Steph"apa tidak lebih baik kalau kita...?"
Tapi ia sudah bergegas ke ujung lorong. Ia melangkah sambil
berjinjit, supaya lantainya tidak berbunyi. "Ayo, Duane, kita cari
kepala si hantu," bisiknya padaku. Rambutnya yang gelap berkibarkibar. "Siapa tahu" Barangkali saja kita bisa menemukannya."
"Huh! Yang benar saja," sahutku sambil geleng-geleng kepala.
Terus terang, aku tetap beranggapan kami cuma buang-buang
waktu. Coba, bagaimana caranya mencari kepala berumur seratus
tahun" Dan apa yang harus kita lakukan kalau kita memang berhasil
menemukannya" Ih! Seperti apa bentuknya" Jangan-jangan tinggal tengkorak!
Aku mengikuti Stephanie menyusuri lorong. Tapi kalau boleh
pilih, sebenarnya aku lebih suka berada di tempat lain. Aku lebih suka
bergentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti orang lain.
Aku tidak suka menakut-nakuti diriku sendiri!
Stephanie masuk ke kamar tidur lain. Para pemandu
menyebutnya Kamar Hijau. Soalnya wallpaper di dinding bermotif
tanaman rambat berwarna hijau. Motif tanaman itu menutupi seluruh
dinding, juga seluruh langit-langit.
Bagaimana orang bisa tidur di sini" aku bertanya-tanya.
Rasanya seperti terjebak di tengah hutan lebat.
Kami berhenti di pintu dan mengamati tanaman rambat yang
mengelilingi kami. Stephanie dan aku punya nama lain untuk Kamar
Hijau. Kami menyebutnya Kamar Gatal-Gatal.
Otto pernah bercerita bahwa enam puluh tahun lalu sempat
terjadi sesuatu yang mengerikan di kamar ini. Dua tamu yang
menginap di sini terbangun dengan ruam-ruam ungu di kulit mereka.
Ruam itu bermula di lengan dan jari-jari. Lalu menyebar ke
wajah. Dan akhirnya menutupi seluruh badan.
Sekujur tubuh mereka penuh bintik-bintik ungu yang gatalnya
minta ampun. Dokter-dokter dari seluruh dunia dipanggil untuk mempelajari
ruam itu. Tapi tak ada yang tahu apa penyebabnya. Lebih parah lagi,
tak seorang pun bisa mengobatinya.
Mereka hanya bisa menduga ada sesuatu di Kamar Hijau, yang
menyebabkan bintik-bintik ungu itu. ebukulawas.blogspot.com
Namun teka-teki tersebut tak pernah terpecahkan.
Begitulah kisah yang biasa diceritakan Otto dan para pemandu
lain. Bisa jadi cerita itu benar. Bisa jadi semua cerita Otto yang aneh
dan menakutkan itu memang benar. Siapa tahu"
"Ayo dong, Duane!" desak Stephanie. "Kita harus mulai
mencari kepala itu. Kita tidak punya waktu banyak. Sebentar lagi Otto
bakal sadar bahwa kita hilang."
Ia melintasi ruangan dan mengintip ke kolong tempat tidur.
"Steph"jangan!" ujarku. Dengan hati-hati aku melangkahi
meja rias pendek di pojok ruangan.
"Sudahlah," aku memohon, "kepala si hantu tak mungkin ada di
sini. Kita keluar saja, deh."
Ia tak bisa mendengarku, sebab ia sudah menyusup ke kolong
tempat tidur. "Steph...?" Beberapa detik kemudian ia keluar lagi. Mukanya kelihatan
merah ketika ia berpaling padaku.
"Duane!" serunya. "Aku... aku..."
Matanya terbelalak. Mulutnya menganga lebar. Ia memegang
kedua pipinya. "Ada apa" Ada apa?" aku memekik. Tergopoh-gopoh aku
menghampirinya. "Ohhh, gatalnya! Gatalnya minta ampun!" Stephanie meratapratap.
Aku hendak menyahut. Tapi suaraku seakan-akan tersangkut di
tenggorokan. Stephanie mulai menggosok-gosok wajah. Dengan panik ia
mengusap-usap pipi, kening, dan dagunya.
"Aduuuh. Gatalnya! Gatalnya bukan main!" Sekarang ia mulai
menggaruk-garuk kepala dengan kedua tangan.
Aku meraih lengannya, dan berusaha mengangkatnya dari
lantai. "Kau kena ruam! Ayo, kita pulang!" seruku. "Cepat!
Orangtuamu bisa panggil dokter! Dan... dan..."
Aku tercengang ketika melihatnya tertawa.
Aku melepaskan tangannya, melangkah mundur.
Ia berdiri, lalu merapikan rambutnya. "Ya ampun, Duane,"
gumamnya. "Gampang benar sih kau ditipu malam ini?"
"Siapa yang ketipu?" sahutku gusar. "Aku cuma mengira..."
Ia mendorongku. "Kau terlalu gampang takut. Kok bisa sih kau
ketipu oleh tipuan konyol begini?"
Aku balas mendorongnya. "Pokoknya jangan bercanda lagi,
oke?" aku menggeram. "Aku serius, Stephanie. Ini tidak lucu. Aku tak
bakal ketipu lagi. Jadi, jangan coba-coba."
Ia tidak mendengarkanku. Pandangannya terarah ke belakang.
Dan saking kagetnya, ia sampai terbengong-bengong.
"Oh, ya ampun!" pekiknya. "I-itu dia! I-itu kepalanya!"
10 LAGI-LAGI aku ketipu. Aku tidak berdaya. Mau tidak mau aku menjerit.
Aku membalik begitu cepat sehingga aku nyaris kehilangan
keseimbangan dan terjatuh. Aku menoleh ke arah yang ditunjuk
Stephanie. Ternyata yang ditunjuknya cuma gumpalan debu kelabu.
"Kena lagi! Kena lagi!" Ia menepuk punggungku, mulai tertawa
cekikikan. Aku menggeram dengan kesal sambil mengepalkan tangan.
Tapi aku tidak berkata sepatah pun. Wajahku panas seperti terbakar.
Dan pasti merah karena malu.
"Kau penakut, Duane," Stephanie kembali meledekku. "Akui
saja, deh." "Sudahlah, kita cari Otto saja," aku menggerutu.
"Jangan, Duane. Ini lebih seru Ayo, kita coba ke kamar
sebelah." Ketika melihat aku tidak membuntutinya, ia berkata, "Aku
takkan menakut-nakutimu lagi. Aku janji."
Dalam hati aku sangsi. Tapi aku toh mengikutinya.
Habis, apalagi yang bisa kulakukan"
Kami melewati lorong sempit yang menuju ke kamar sebelah.
Kamar itu ternyata kamar Andrew. Andrew yang malang, yang mati
tanpa kepala. Semua barangnya masih ada. Berbagai macam mainan yang
sudah berumur seratus tahun. Sepeda tua yang terbuat dari kayu
tampak bersandar pada dinding.
Semuanya masih seperti dulu. Seperti sebelum Andrew bertemu
dengan hantu si kapten kapal.
Lentera di atas meja rias menimbulkan bayang-bayang biru di
dinding. Aku tidak tahu apakah segala cerita hantu yang pernah
kudengar, memang benar terjadi. Tapi aku punya firasat bahwa jika
kepala Andrew memang ada, maka kami akan menemukannya di sini.
Di kamarnya. Mungkin di bawah tempat tidur berkanopi yang kuno. Atau
tersembunyi di antara mainan-mainannya yang terselubung debu.
Sambil mengendap-endap, Stephanie menghampiri mainanmainan itu. Ia membungkuk, dan mulai menggeser beberapa barang.
Pin-pin boling berukuran mini dari kayu. Papan permainan yang
warna-warnanya sudah memudar. Satu set tentara mainan terbuat dari
logam. "Coba periksa tempat tidur, Duane," bisiknya.
Dengan berat hati aku melintasi ruangan. "Steph, sebenarnya
barang-barang ini kan tidak boleh dipegang. Para pemandu selalu
melarang kita memegang apa pun di sini."
Stephanie memindahkan sebuah gasing tua. "Kau mau
menemukan kepala itu atau tidak?"
"Kau benar-benar yakin ada kepala yang disembunyikan di
sini?" "Aduh, Duane. Kau bagaimana, sih" Justru itu yang harus kita
selidiki"ya, kan?"
Aku menghela napas dan menghampiri tempat tidur. Percuma
saja berdebat dengan Stephanie. Semangatnya sedang berkobar-kobar,
ia tidak bisa diajak kompromi.
Aku mulai mengamati tempat tidur. Dulu pernah ada anak lakilaki yang berbaring di sini, kataku dalam hati.
Andrew pernah tidur di bawah selimut ini. Seratus tahun lalu.
Pikiran itu membuatku merinding.
Aku mencoba membayangkan anak laki-laki sebayaku tidur di
ranjang tua yang kokoh itu.
"Ayo, periksa tempat tidurnya," Stephanie menyuruhku dari
seberang ruangan. Aku membungkuk, menepuk selimut yang bermotif kotak-kotak
kelabu dan cokelat itu. Selimutnya terasa dingin dan licin.
Aku meraba bantal-bantal. Semuanya terasa empuk. Tak ada
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang disembunyikan di situ.
Aku hendak memeriksa kasur ketika selimutnya mulai bergerak,
pelan-pelan, diiringi bunyi gemeresik yang nyaris tak terdengar.
Aku membelalakkan mata karena ngeri. Selimut itu bergeser,
seperti ditarik. Tapi tak ada siapa-siapa di tempat tidur!
Selimut itu bergerak sendiri!
11 AKU harus menahan diri untuk tidak berteriak.
"Cepat sedikit dong, Duane," ujar Stephanie.
Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur.
Kedua tangannya memegang pinggiran selimut.
"Waktu kita tidak banyak!" ia menegaskan, lalu kembali
menarik selimut. "Tidak ada apa-apa di tempat tidur. Oke, berarti kita
harus cari di tempat lain."
Aku mendesah tertahan. Ternyata Stephanie yang menarik
selimut dan membuatku merinding.
Tak ada hantu di tempat tidur tua itu. Tak ada hantu yang
menyingkap selimut untuk menyergapku.
Cuma Stephanie. Untung saja ia tidak sempat melihat betapa kagetnya aku.
Bersama-sama kami merapikan selimut. Ia tersenyum padaku.
"Asyik, kan?" ujarnya.
"Yeah," aku membenarkan. Aku berharap ia tidak sadar bahwa
aku masih gemetaran. "Jauh lebih seru daripada melempar labah-labah
karet ke jendela kamar Ben Fuller."
"Aku senang jalan-jalan di sini malam hari. Apalagi kalau tidak
ikut rombongan, seperti sekarang. Aku bisa merasakan kehadiran si
hantu di sekitar sini," Stephanie berbisik.
"M-masa, sih?" aku tergagap-gagap sambil memandang
berkeliling. Pandanganku berhenti di kaki pintu yang menuju ke lorong.
Itu dia. Di lantai. Terselip di antara pintu dan dinding. Setengah
tersembunyi dalam bayang-bayang.
Kepala Andrew. Kali ini aku benar-benar melihat kepalanya.
Kali ini bukan tipuan iseng.
Aku benar-benar melihat tengkorak yang bulat. Lubang
matanya yang kosong dan gelap.
Dua lubang gelap yang menatapku.
Mengawasiku. Aku meraih lengan Stephanie. Dan menunjuk.
Tapi ia juga sudah melihatnya.
12 AKU yang pertama mampu bergerak. Aku maju selangkah ke
arah pintu. Lalu selangkah lagi.
Aku mendengar bunyi napas. Di belakangku. Dekat sekali.
Baru beberapa detik kemudian, aku sadar yang kudengar adalah
bunyi napas Stephanie. Aku melangkah ke pojok yang gelap tanpa melepaskan
pandangan dari kepala itu. Jantungku mulai berdegup-degup ketika
aku membungkuk dan meraihnya dengan kedua tangan.
Lubang-lubang matanya yang hitam terus menatapku. Mata
yang bulat dan sedih. Tanganku gemetaran. Pelan-pelan aku memungutnya.
Tapi kepala itu terlepas dari tanganku. Dan menggelinding.
Stephanie memekik kaget ketika kepala itu menggelinding ke
arahnya. Dalam cahaya lentera yang kemerahan, aku melihat
tampangnya yang ketakutan. Aku melihat ia berdiri kaku seperti
patung. Kepala itu menggelinding di lantai, membentur sepatunya, lalu
berhenti beberapa senti dari kakinya.
Lubang-lubang mata yang hitam menatapnya.
"Duane..." ia memanggilku sambil memandang ke bawah
dengan tangan menempel di pipi. "Tak kusangka"tak kusangka kita
akan menemukannya. Aku"aku..."
Aku bergegas melintasi ruangan. Sekarang giliranku untuk
tampil berani, kataku dalam hati. Sekarang giliranku untuk
membuktikan aku bukan penakut, yang merasa ngeri pada setiap
bayangan. Sekarang giliranku. Kupungut kepala si hantu dengan dua tangan. Kuangkat di
depan hidung Stephanie, lalu kubawa ke arah lentera di meja rias.
Kepala itu terasa keras. Dan lebih licin dari yang kuduga.
Lubang-lubang matanya dalam sekali.
Stephanie tak beranjak dari sisiku. Bersama-sama kami
menghampiri cahaya lentera yang kemerahan.
Aku mengerang ketika sadar yang kupegang bukan kepala
hantu. Stephanie juga mengerang ketika melihat apa yang ada di
tanganku. 13 SEBUAH bola boling. Yang kupegang ternyata bola boling yang sudah retak-retak.
"Ya ampun," gumam Stephanie sambil menepuk keningnya.
Pandanganku beralih ke pin-pin boling yang tergeletak di antara
mainan-mainan Andrew. "Ini pasti bola untuk pin-pin kayu itu,"
ujarku pelan. Stephanie mengambil bola itu dari tanganku dan mengamatinya
dari segala arah. "Tapi lubangnya cuma dua."
Aku mengangguk. "Yeah. Zaman dulu lubang bola boling
memang cuma dua. Ayahku pernah cerita soal ini waktu kami pergi
main boling. Ia juga heran di mana orang zaman dulu menaruh jempol
mereka." Stephanie memasukkan jari ke dalam kedua lubang. Kedua
"lubang mata". Ia menggelengkan kepala. Tampak jelas ia kecewa
sekali. Suara Otto terdengar menggelegar di bawah.
Stephanie menghela napas. "Mungkin lebih baik kalau kita
turun saja, dan bergabung lagi dengan yang lain," ujarnya sambil
menggelindingkan bola boling ke tumpukan mainan.
"Jangan!" aku berseru.
Aku belum puas menikmati peranku sebagai si pemberani di
antara kami berdua. "Sekarang sudah larut malam," kata Stephanie. "Dan kita tidak
bakal menemukan kepala hantu di atas sini."
"Ya, karena semua ruangan ini sudah seratus kali kita jelajahi,"
sahutku. "Seharusnya kita cari di tempat yang belum pernah kita
datangi." Stephanie mengerutkan kening. "Duane, maksudmu...?"
"Kurasa kepala hantu itu ada di ruangan yang tidak dilewati tur.
Mungkin di atas. Di lantai tiga."
Stephanie membelalakkan mata. "Jadi, kau mau naik ke lantai
tiga?" Aku mengangguk. "Kenapa tidak" Kemungkinan besar semua
hantunya kumpul di situ, ya kan?"
Ia mengamatiku dengan saksama. Aku tahu ia kaget karena aku
punya usul nekat seperti itu.
Tapi sebenarnya aku cuma berlagak berani. Sebenarnya aku
berharap ia akan bilang, "Jangan deh, Duane. Kita turun saja, deh."
Tapi ternyata ia malah nyengir lebar. "Oke. Kita ke atas!"
14 TERPAKSA deh, aku terus berpura-pura. Moga-moga tidak
sepanjang malam. Keberanian si Teror Kembar menghadapi ujian berat ketika
kami menaiki tangga gelap yang menuju ke lantai tiga. Tangga kayu
itu berderak-derak setiap kali kami melangkah.
Di samping tangga sebenarnya ada tanda bertulisan:
PENGUNJUNG DILARANG NAIK.
Tapi kami tak peduli. Suara Otto tak terdengar lagi. Yang terdengar cuma tangga yang
berderit dan berderak di bawah kaki kami. Ditambah bunyi jantungku
yang berdegup-degup. Udara terasa panas dan lembap ketika kami sampai di puncak
tangga. Aku memicingkan mata, memandang ke lorong yang panjang
dan gelap. Tak ada lentera menyala. Tak ada cahaya obor.
Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela di ujung lorong.
Cahaya pucat yang masuk lewat jendela membuat segala sesuatu
tampak kebiruan-biruan. Suasananya seram sekali.
"Kita mulai dari kamar pertama," Stephanie mengusulkan
sambil berbisik. Ia menepis rambut yang menggelantung di depan
matanya. Udara ternyata panas sekali di atas sini. Saking panasnya,
keningku sampai basah karena keringat. Aku menyekanya dengan
lengan jaket, dan mengikuti Stephanie ke kamar pertama di sebelah
kanan. Pintu kayunya yang berat setengah terbuka. Kami menyelinap
masuk. Cahaya biru pucat menyorot melalui jendela-jendela yang
berlapis debu. Aku menunggu sampai mataku terbiasa dengan suasana yang
remang-remang. Kemudian aku memandang ke sekeliling ruangan
besar itu. Ruangan itu kosong. Kosong sama sekali. Tak ada perabotan.
Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Atau hantu. "Steph"lihat, tuh!" Aku menunjuk pintu kecil di dinding
seberang. "Ayo, kita periksa."
Kami mengendap-endap melintasi lantai kayu. Melalui jendela
yang berdebu kulihat bulan purnama di luar, tinggi di atas pohonpohon yang gundul.
Pintu kecil itu ternyata menuju ke ruangan lain, yang lebih kecil
dan lebih panas lagi. Di satu dinding ada alat pemanas. Dua sofa
model kuno berhadapan di tengah ruangan. Selain itu tak ada perabot
apa pun. "Ayo, jalan lagi," Stephanie berbisik.
Pintu kecil di ruangan yang panas itu juga menuju ke ruangan
lain lagi. "Semua kamar di atas sini saling berhubungan," aku
bergumam. Lalu aku bersin. Dan bersin lagi.
"Ssst. Jangan ribut, Duane," Stephanie menegurku. "Hantunya
bakal kabur kalau kau berisik terus."
"Habis bagaimana, dong?" aku memprotes. "Hidungku paling
tidak tahan kalau kena debu."
Kami berada di semacam ruang jahit. Di meja di depan jendela
tampak mesin jahit kuno. Kardus di samping kakiku penuh gulungan
benang hitam. Aku membungkuk dan memeriksa kardus. Tak ada kepala yang
tersembunyi di situ. Kami melangkah ke ruang berikut, dan tahu-tahu kami sudah
diselubungi kegelapan pekat.
Jendela ruangan itu tertutup papan-papan kayu. Hanya ada
sedikit cahaya yang menerobos lewat celah.
"A-aku tidak bisa melihat apa-apa," kata Stephanie. Aku
merasakan tangannya meraih lenganku. "Di sini terlalu gelap. Ayo,
Duane, kita keluar saja, deh."
Aku hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang keras
membuatku terdiam. Stephanie meremas tanganku. "Duane, suara apa itu?"
Bunyi gubrak itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat.
"A-aku tidak tahu," jawabku tergagap-gagap.
"Kita tidak sendirian di sini," bisik Stephanie.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Siapa itu?" aku memanggil.
"Siapa yang ada di sini?"
15 "SIAPA itu?" kataku dengan suara parau.
Stephanie meremas-remas tanganku sampai terasa sakit. Tapi
aku tidak bergerak, tidak berusaha menjauh darinya.
Kudengar suara langkah. Langkah-langkah ringan.
Aku merinding. Tengkukku terasa kaku. Aku terpaksa
mengunci rahang supaya gigiku tidak bergemeletuk.
Dan kemudian dalam kegelapan kulihat mata berwarna kuning
mendekati kami. Empat mata berwarna kuning.
Makhluk itu bermata empat!
Aku mengerang tertahan. Aku tidak bisa bernapas. Tidak bisa
bergerak. Aku memandang lurus ke depan, dan pasang telinga.
Berkedip pun aku tak sanggup.
Keempat mata itu berpencar berpasangan. Dua ke kanan, dua ke
kiri. "Ohhh!" aku memekik kaget ketika semakin banyak mata
bermunculan. Mata-mata berwarna kuning tampak di semua sudut, di
sepanjang dinding. Dan semua berkilat-kilat menatap kami.
Ke mana pun aku menoleh, yang tampak hanyalah mata
berwarna kuning. Puluhan mata kuning mirip mata kucing menatap Stephanie dan
aku, sementara kami saling mendesak di tengah ruangan.
Mata kuning mirip mata kucing.
Mata kucing. Ruangan itu penuh kucing.
Aku tahu karena salah satu kucing tiba-tiba merintih. Dan suara
meooong dari ambang jendela akhirnya membuat Stephanie dan aku
menarik napas lega. Seekor kucing menempelkan badannya ke kakiku. Aku kaget
setengah mati, melompat ke samping, dan menabrak Stephanie.
Ia langsung mendorongku. Kucing-kucing itu mulai bermeong ria. Satu lagi menyerempet
betisku. "A-aku rasa kucing-kucing ini kesepian," Stephanie tergagapgagap. "Jangan-jangan tak pernah ada orang yang naik ke sini."
"Masa bodoh," balasku dengan ketus. "Waktu pertama melihat
mata mereka yang kuning, kupikir... kupikir... entah apa yang aku
pikir! Tempat ini terlalu seram. Ayo, kita keluar saja, deh."
Sekali ini Stephanie tidak membantah.
Ia menuju ke pintu di bagian belakang ruangan.
Kucing-kucing di sekeliling kami seolah-olah ingin membentuk
paduan suara, terus mengeong bersahutan.
Satu kucing lagi menyerempet kakiku.
Kaki Stephanie tersandung seekor kucing. Ia jatuh dalam
kegelapan, lututnya berdebam ketika membentur lantai.
Suara kucing-kucing itu bertambah keras.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku. Aku langsung menghampirinya
untuk membantunya berdiri.
Tapi saking berisiknya kucing-kucing di sekitar kami, aku tak
dapat mendengar jawaban Stephanie.
Kami berlari ke pintu, membukanya, dan menyelinap keluar.
Cepat-cepat aku menutup pintu. Seketika suasana kembali
hening. "Di mana kita?" bisikku.
"A-aku tidak tahu," Stephanie terbata-bata. Ia tidak berani
menjauhi dinding.
Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berjalan ke jendela yang tinggi dan sempit, lalu
memandang keluar lewat kaca yang penuh debu. Jendela itu ternyata
menghadap ke sebuah balkon yang menjorok dari atap bergenteng
kelabu. Cahaya bulan yang putih pucat masuk melalui jendela.
Aku berpaling pada Stephanie. "Kita ada di semacam lorong
belakang," aku menebak. Lorong yang panjang dan sempit itu seakanakan tak berujung. "Kamar-kamar di sini mungkin dipakai oleh para
karyawan. Oleh Manny, si penjaga malam. Para petugas kebersihan.
Dan para pemandu." Stephanie menghela napas. Ia memandang ke lorong yang
panjang. "Kita turun saja, cari Otto dan pengunjung yang lain.
Rasanya penjelajahan kita sudah cukup untuk malam ini."
Aku sependapat. "Di ujung lorong pasti ada tangga. Ayo, kita
ke sana." Aku berjalan empat atau lima langkah. Tiba-tiba kurasakan
sentuhan tangan-tangan halus.
Tangan-tangan itu mengusap wajahku. Tengkukku. Tubuhku.
Sekujur tubuhku dibelai-belai oleh tangan-tangan lengket yang
tak kelihatan. Tangan-tangan itu seakan-akan mencengkeram diriku.
"Ohhh, tolong!" Stephanie mengerang.
Rupanya ia juga sudah dalam cengkeraman tangan-tangan
hantu. 16 TANGAN-TANGAN hantu itu menggerayangi diriku. Jarijemari yang kering kerontang dan ringan seperti udara seolah
mencengkeram diriku. Stephanie mengayun-ayunkan tangan dengan panik. Ia berusaha
keras untuk membebaskan diri.
"I-ini seperti jaring!" serunya kalang kabut.
Aku mengusap wajahku, rambutku.
Aku mencoba berbalik. Tapi jari-jemari itu tetap melekat, malah
semakin ketat. Kemudian aku sadar aku bukan dalam cengkeraman tangantangan hantu.
Sementara aku mengayunkan tangan kian kemari, aku
mendadak sadar bahwa kami terperangkap sarang labah-labah.
Sarang labah-labah yang menyerupai tirai tebal.
Jalinan benang-benang itu menyelubungi kami bagaikan jaring
nelayan. Semakin keras kami meronta, semakin kencang pula
cengkeramannya. "Stephanie"ini sarang labah-labah!" aku berseru, lalu
melepaskan gumpalan benang yang melekat di wajahku.
"Tentu saja sarang labah-labah!" sahutnya sambil mengayunayunkan tangan. "Memangnya kau pikir apa?"
"Ehm... hantu," aku bergumam.
Stephanie tertawa mengejek. "Aduh, Duane, kau terlalu banyak
berkhayal. Tapi kalau kau begini terus, kita tak bakal bisa keluar dari
sini." "Aku... aku... aku..." aku tidak tahu harus berkata apa.
Aku yakin pikiran Stephanie sebenarnya sama dengan
pikiranku. Ia juga menyangka kami ditangkap hantu. Tapi sekarang ia
berlagak sok tahu, seakan sejak awal ia sudah tahu bahwa itu cuma
sarang labah-labah. Kami berdiri dalam kegelapan sambil berusaha melepaskan
benang-benang lengket itu dari wajah, tangan, dan tubuh. Aku
menggerutu dengan kesal. Benang-benang itu tidak mau lepas dari
rambutku. "Aku bakal gatal-gatal sampai tua!" seruku.
"Ini sih belum seberapa," Stephanie bergumam. "Ada yang
lebih parah lagi." Aku menarik potongan sarang labah-labah yang melekat di
telingaku. "Hah?"
"Coba tebak siapa yang bikin sarang ini?"
Aku tidak perlu berpikir panjang. "Labah-labah?"
Lengan dan kakiku mulai gatal. Begitu juga punggungku. Dan
tengkukku. Jangan-jangan ada labah-labah yang merayap naik-turun di
tubuhku. Beratus-ratus labah-labah.
Aku langsung lari. Stephanie melakukan hal yang sama. Kami
berlari menyusuri lorong yang panjang, sambil terus menggaruk-garuk
dan menepuk-nepuk. "Steph"lain kali kalau kau punya ide bagus, lebih baik kau
simpan saja deh!" aku memperingatkannya.
"Sudahlah, yang penting kita harus menemukan jalan keluar
dari sini!" ujarnya.
Kami sampai di ujung lorong.
Tapi tidak ada tangga di sana.
Jadi bagaimana caranya turun lagi"
Ternyata ada lorong lain yang membelok ke kiri. Cahaya redup
lilin di atas pintu-pintu tampak menari-nari. Bayang-bayang melintas
di karpet bagaikan binatang-binatang yang menggeliat-geliut.
"Ayo." Aku menarik tangan Stephanie. Kami tidak punya
pilihan. Kami harus menyusuri lorong itu.
Kami lari berdampingan. Semua kamar yang kami lewati gelap
dan sunyi. Api lilin-lilin bergetar ketika kami berlari. Bayangan Stephanie
dan aku bergerak mendului, seakan-akan ingin lebih cepat sampai ke
bawah. Aku berhenti ketika mendengar suara tawa seseorang.
"Apalagi sekarang?" gumam Stephanie sambil terengah-engah.
Matanya yang gelap langsung melebar.
Kami pasang telinga. Aku mendengar suara-suara. Suara-suara yang berasal dari
ruangan di ujung lorong. Pintunya tertutup. Kudengar seorang laki-laki mengatakan
sesuatu, entah apa aku tak bisa dengar. Seorang wanita tertawa.
Beberapa orang lain ikut tertawa.
"Itu pasti rombongan kita," aku berbisik.
Stephanie mengerutkan kening. "Mana mungkin," ia
membantah. "Rombongan tur tak pernah dibawa sampai ke lantai
paling atas." Kami menghampiri pintu dan kembali pasang telinga.
Sekali lagi kami mendengar suara tawa. Sepertinya banyak
orang sedang bersenda-gurau dan berbicara berbarengan. Sepertinya
sedang ada pesta. Aku menempelkan telinga ke daun pintu. "Kurasa turnya baru
selesai, dan sekarang anggota rombongan asyik mengobrol," aku
berbisik kepada Stephanie.
Ia menggaruk-garuk kepala, menarik segumpal benang lengket
yang masih melekat di rambutnya. "Ayo dong, Duane. Cepat. Buka
pintunya. Biar kita bisa bergabung lagi dengan mereka," ia mendesak.
"Moga-moga Otto tidak tanya ke mana kita pergi tadi," ujarku.
Aku meraih pegangan pintu dan membukanya.
Stephanie dan aku melangkah masuk.
Dan seketika kami membelalakkan mata.
17 RUANGAN itu ternyata kosong.
Kosong melompong, sunyi dan gelap.
"Hei, ada apa ini" Ke mana mereka?" seru Stephanie.
Kami maju selangkah. Lantai kayu di bawah kaki kami
berderak-derak. Itu satu-satunya suara yang terdengar.
"Aku tidak mengerti," bisik Stephanie. "Kita baru saja
mendengar suara-suara di sini, ya kan?"
"Ya," ujarku. "Ada orang yang tertawa dan mengobrol.
Kedengarannya seperti ada pesta."
"Pesta yang meriah," Stephanie menambahkan sambil
memandang berkeliling. "Yang dihadiri banyak orang."
Tiba-tiba punggungku serasa disiram air es. "Barangkali yang
kita dengar bukan orang," aku berbisik.
Stephanie berpaling padaku. "Hah?"
"Bukan suara orang," aku berkata parau, "tapi suara hantu."
Stephanie langsung melongo. "Dan mereka langsung hilang
waktu kita membuka pintu?" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku mengangguk. "R-rasanya mereka masih ada di sini. Ih, aku
jadi merinding." Stephanie memekik tertahan. "A-apa maksudmu?"
Sekonyong-konyong aku merasakan embusan angin dingin
menerpa, membuat tubuhku gemetaran.
Rupanya Stephanie juga merasakannya. Ia langsung
menyilangkan tangan di depan dada. "Brrr! Kau juga merasa ada
angin" Apa ada jendela yang terbuka" Kenapa tiba-tiba jadi dingin
begini?" tanyanya. Lalu ia berbisik, "Jangan-jangan kita tidak sendirian di sini?"
"Sepertinya memang begitu," aku menyahut pelan. "Janganjangan pesta itu bubar gara-gara kita."
Stephanie dan aku berdiri seperti patung di tengah ruangan. Aku
tidak berani bergerak. Siapa tahu ada hantu yang berdiri persis di
sampingku. Siapa tahu semua hantu yang kami dengar tadi sekarang
mengelilingi kami, memandang kami, bersiap-siap untuk memberi
pelajaran pada kami. "Stephanie," bisikku. "Bagaimana kalau pesta mereka benarbenar bubar karena kita" Bagaimana kalau ruangan ini ternyata
memang tempat para hantu?"
Stephanie menelan ludah. Ia tidak menyahut.
Bukankah Andrew kehilangan kepalanya waktu ia masuk ke
tempat tinggal si hantu" Dan bagaimana kalau kami sekarang berada
di tempat yang sama" Kamar tempat Andrew bertemu dengan arwah
si kapten kapal" "Stephanie, kurasa lebih baik kita keluar dari sini," ujarku
pelan. "Sekarang juga."
Rasanya aku mau kabur saja. Aku ingin berlari menuruni
tangga. Kabur dari Hill House. Berlari ke rumahku yang hangat, aman
dan bebas dari hantu. Bebas dari hantu. Kami berbalik dan berlari ke pintu.
Apakah hantu-hantu itu akan berusaha mencegah kami"
Ternyata tidak. Kami berhasil keluar, ke lorong yang diterangi
cahaya lilin yang berkerlap-kerlip. Terburu-buru aku menutup pintu.
"Tangganya. Mana tangganya?" seru Stephanie.
Kami berdiri di ujung lorong. Menghadap tembok kokoh.
Bunga-bunga pada wallpaper di dinding seakan-akan mengembang
dan menguncup dalam cahaya lilin yang menari-nari.
Aku menggedor-gedor tembok dengan kedua tangan.
"Bagaimana cara kita keluar dari sini" Bagaimana caranya?"
Pendekar Setia 9 Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan Pedang Hati Suci 6