Pencarian

Manusia Serigala Di Ruang 1

Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk Bagian 1


BAGIAN PEPTAMA 1 "SSST, Aaron, jangan berisik!" Dad melangkah hati-hati,
mengendap-endap di antara pepohonan. "Jangan gedebak-gedebuk
seperti gajah begitu. Nanti mereka tahu kita datang."
Aku memang sengaja melangkah seperti gajah. Mengentakentak di hutan yang gelap dan dingin. Gedebak-gedebuk menginjak
dedaunan kering musim dingin. Membuat daun-daun kering
berkeretak sekeras mungkin saat kuinjak.
Aku ingin MEREKA mengetahui kedatangan kami. Aku ingin
membuat MEREKA ketakutan dan lari.
Ya, MEREKA. MANUSIA-MANUSIA SERIGALA!
Sudah hampir tengah malam ketika kami berdua menyelinap
masuk ke hutan. Sekeliling kami sangat gelap, sebab pepohonan
tumbuh rapat dan berdekatan. Di tempat seperti itulah mereka
biasanya bersembunyi. Tiba-tiba mereka akan melompat keluar dari
kegelapan sebelum kau sempat menyadarinya. Dan menyerang
lehermu, menancapkan giginya yang tajam ke kulitmu"lalu merobek
tenggorokanmu. Aku gemetar membayangkan darah menyembur dari lubang di
leherku. Sebelum ini, aku tak yakin apakah manusia serigala itu benarbenar ada atau tidak. Tapi sekarang, di hutan yang gelap ini... aku
mulai mempercayai keberadaan makhluk itu.
Kenapa aku ada di hutan ini dan memburu manusia serigala"
Akan kujelaskan. Aku"Aaron Freidus"berumur sebelas tahun. Rambutku
keriting dan warnanya kemerahan. Mukaku berbintik-bintik. Mataku
berwarna hijau terang. Tubuhku tinggi kurus. Betul-betul ceking. Dulu
Mom sering berkata saking kurusnya, aku bisa diterbangkan angin.
Mom meninggal dua tahun yang lalu. Aku hidup berdua saja
dengan ayahku, yang tak terlalu buruk"kecuali dalam satu hal.
Ayahku itu aneh. Betul. Dia tak melakukan hal-hal normal yang
biasanya dilakukan seorang ayah. Yah, misalnya main bisbol di
musim semi. Atau membuat barbeque di musim panas. Atau
menyekop salju di musim dingin.
Kenapa" Sebab aku"Aaron Freidus"puny aayah pemburu manusia
serigala. Keinginan Dad yang paling besar di dunia ini adalah
menangkap manusia serigala sungguhan.
Setiap kali ada kesempatan, dia akan ke hutan-hutan di luar kota
kami, untuk memburu makhluk itu.
Tapi sampai saat ini dia belum pernah menemukannya.
Semua temanku tahu tentang obsesi ayahku itu. Tapi mereka tak
berani menggodanya. Mereka takut. Soalnya ayahku bertubuh besar
dan kuat, bahunya lebih lebar dari bahu pemain sepak bola. Dan dia
sherrif kota kami. Yah, teman-temanku memang tidak bakal menggoda ayahku.
Mereka tidak sebodoh itu. Tapi akibatnya, mereka justru jadi
menggodaku! Itulah sebabnya aku berbohong pada mereka tentang ke mana
aku pergi saat liburan sekolah kali ini. Kukatakan pada mereka bahwa
kami pergi ke Florida, ke rumah nenekku.
Tapi kami bukan ke Florida. Kami ke Bratvia. Sebuah negeri
yang belum pernah kudengar, yang terletak di bagian tengah Benua
Eropa. Bratvia. Dad sudah tak sabar lagi ingin segera pergi ke sana"
tentu saja, untuk berburu manusia serigala.
Aku pun sudah tidak sabar lagi untuk ke sana" supaya bisa
segera pulang ke rumah lagi sesudahnya!
Dad berpikir pasti di Bratvia ada banyak manusia serigala.
Apa yang kupikirkan"
Betulkah manusia serigala itu ada"atau ayahku saja yang
kurang waras" Aku baru saja akan mencari jawabannya....
**************** Angin dingin bertiup kencang di kegelapan hutan. Kuhentikan
langkahku, lalu diam mendengarkan. Kudengar jeritan binatangbinatang hutan yang terbawa angin.
Lengkingan memilukan. Teriakan marah. Jeritan menyeramkan.
Dan suara lolongan. Lolong kelaparan. Itu yang paling kutakuti.
Aku menengadah ke langit malam"menatap bulan purnama di
atas sana. Kilau cahayanya yang mengerikan menimpa pucuk-pucuk
pepohonan. Aku ingat, biasanya manusia serigala keluar saat bulan
purnama. Dan mereka akan memangsa manusia.
Aku kembali gemetar. Kucoba mengingat-ingat semua yang kubaca tentang manusia
serigala. Dalam beberapa cerita disebutkan manusia berubah menjadi
manusia serigala kalau ia mengenakan kulit serigala. Atau kalau ia
minum air genangan di jejak kaki serigala.
Apa lagi ya" O iya"kok aku sampai lupa yang satu ini.
Kau bisa membuat manusia serigala menjadi manusia kembali
dengan meneriakkan namanya. Atau dengan mengetuk dahi makhluk
itu tiga kali. Itu dia. Yah, itulah hal-hal yang kuketahui tentang manusia serigala.
"Aaron, jangan bengong saja!" Dad menoleh padaku dan
berbisik. "Kau nanti malah jadi sasarannya. Kau kan si pemburu"
bukan yang diburu!" "Oke, oke, Dad." Aku mulai berindap-indap di antara
pepohonan yang mati. Dad melangkah dengan cepat, cekatan, dan tangkas. Seperti
binatang yang mencium bau mangsanya.
"Dad, pelan-pelan dong!" aku memanggilnya dengan panik.
"Hutan ini gelap sekali. Aku tak bisa melihat Dad."
Tapi ayahku bukannya memperlambat langkahnya. Dia malah
bergerak semakin cepat. Bahkan berlari.
"Dad! Jangan cepat-cepat!" teriakku, mulai berlari.
Kenapa Dad tak mau menungguku" aku bertanya-tanya sambil
berlari lebih cepat lagi. Napasku sampai terengah-engah.
"Dad! Tunggu! Aku tak tahan lagi!"
Pinggangku terasa sakit. Aku tak bisa melihat ke mana arahku.
Akar-akar pepohonan membuatku tersandung-sandung. Wajahku
tergores dedahanan. Kurasakan darahku menetes.
Aku berlari lebih cepat lagi.
Tapi semakin cepat aku berlari, semakin cepat pula ayahku
meninggalkanku. "Dad!" akhirnya aku menjerit. "BERHENTI!" Ayahku berhenti.
Dia memutar tubuhnya"dan aku pun menjerit.
2 BULU berwarna cokelat menutupi wajahnya. Aku terbelalak
ngeri saat hidungnya berubah menjadi moncong. Ia menyeringaikan
bibirnya"memperlihatkan taringnya yang tajam.
Dad berdiri dengan kaki terpentang. Dibusungkannya dadanya.
Lalu didongakkannya kepalanya" dan melolong ke arah bulan.
Aku mencoba berteriak. Dan lari. Tapi aku tak bisa bergerak.
Aku cuma terpaku ketakutan.
Setelah sekujur tubuhnya tertutup bulu berwarna cokelat, Dad
menurunkan tubuhnya di atas keempat kakinya.
Makhluk itu menatapku tajam dengan matanya yang berkilatkilat.
Dari dalam tenggorokannya keluar geraman rendah, tanda
mengancam. "Ini cuma mimpi," aku berbisik. "Ini cuma mimpi."
"Cuma mimpi," gumamku seraya bergerak-gerak gelisah di
tempat tidurku. "Cuma mimpi."
Ya! Itu cuma mimpi! Masih setengah bangun, kuusap rambutku ke belakang.
Rambutku basah oleh keringat. Kubalik bantalku. Rasa dingin
menyentuh pipiku yang panas.
"Cuma mimpi," aku terus bergumam. Rasanya nyaman bangun
dari mimpi buruk tadi. Kupejamkan mataku, mencoba kembali tidur.
Tapi mimpi buruk itu datang lagi...
Sekarang aku sedang berbaring di pelbed di dalam tenda,
sementara di luar titik-titik hujan memukul-mukul dinding-dinding
tenda. Kututup telingaku. Supaya suara hujan tak terdengar olehku.
Hujan pun berhenti. Tapi sekarang aku mendengar suara lain.
Suara mencakar. Sesuatu mencakari dinding tendaku. Sesuatu
sepertinya berusaha untuk masuk!
Kutahan napasku, mendengarkan dengan cermat. Bunyi cakaran
itu semakin keras, semakin berisik.
Aku terlonjak di tempat tidurku.
Tidak, bukan di tempat tidur.
Aku sedang di pelbed. Di dalam tenda. Di tengah hutan rimba.
Ini bukan mimpi! Ini kenyataan! Aku menatap dinding tendaku.
Jantungku berpacu kencang saat kulihat dinding itu bergerakgerak. Saat makhluk itu mencakar-cakar dengan lebih buas lagi.
Dan KREEEKKKH Aku terkesiap saat dinding tendaku robek
dengan suara keras. 3 Aku melompat dari tempat tidur.
Dan bergegas menuju pintu tendaku. Tapi lalu berhenti. Aku
terlalu takut untuk memeriksa siapa yang sedang berusaha merobek
tendaku. "Pergilah," aku berdoa. "Apa pun kau"pergilah." Kupejamkan
mataku dan berdoa lebih khusyuk lagi. "Pergilah, supaya aku bisa
tidur lagi dan bangun esok pagi, ketika hari sudah terang"dan aman."
Tapi suara cakaran itu terdengar semakin gencar. Semakin
kasar. Dan semakin ganas.
Kedua kakiku mulai gemetar.
"Tenang, Aaron," aku berbisik pada diriku. "Coba lihat ke luar.
Kau akan lihat, tak ada yang perlu kautakuti. Paling-paling itu cuma
raccoon." Kuusapkan telapak tanganku yang berkeringat ke kausku yang
berwarna biru laut. Kedua tangan itu gemetar saat perlahan-lahan
kubuka kepak pintu tendaku.
Kutarik napasku dalam-dalam.
Aku mengintip ke luar. Tak ada apa-apa di sana. Apa pun itu, yang telah membuat tendaku robek, dia telah pergi.
Kupandangi pepohonan di sekitarku, tinggi, hitam, diselimuti
kegelapan langit. Aku dan ayahku memasuki hutan yang mengerikan ini dua hari
yang lalu. Sejak itu, setiap malam aku selalu bermimpi tentang
manusia serigala. Betulkah ada manusia serigala di hutan ini"
Kubuka kepak pintu tendaku lebih lebar lagi. Kujulurkan
kepalaku ke luar. Memandang lapangan kecil di sekitar tenda kami.
Di depan tendaku, bekas-bekas api unggun kami masih
mengeluarkan bara. Kulihat pita asap putih bergulung-gulung naik
sebelum hilang tertiup angin.
Aku menoleh ke kanan"ke tenda ayahku.
Tak ada gerakan apa pun di sana.
Tak ada bunyi mencakar-cakar.
Aku melangkah ke luar. Kecuali desau pepohonan di sekeliling kami, hutan ini sunyi
senyap. Udara terasa kering di kulitku. Aku menggigil saat
memandang bulan yang bersinar penuh.
Aku melangkah lebih jauh lagi.
Mencoba menangkap suara malam"seperti jerit binatangbinatang, dengkur beruang. Tapi tak terdengar apa pun.
Yang ada hanya kesunyian yang mencekam.
Jantungku mulai berdebar lagi.
Kata Dad ada dua alasan kenapa ia melakukan perjalanan ini.
Pertama: tentu saja untuk menangkap manusia serigala.
Kedua: untuk membuatku lebih berani. Kurasa ayahku berpikir
bahwa sebagai sherriff, tentunya tak pantas kalau ia memiliki anak
penakut. Yah, sampai saat ini Dad belum berhasil menangkap manusia
serigala itu. Dan aku pun bukannya tambah berani, tapi malah
semakin takut. Dua alasan yang sia-sia, pikirku.
Aku menatap bulan di atasku lagi"dan teringat sesuatu yang
dikatakan ayahku. "Jangan keluyuran sendiri," ia memperingatkan aku ketika kami
tiba di hutan ini. "Penduduk sekitar sini yakin di hutan ini ada manusia
serigala. Dan bulan purnama akan muncul saat kita berada di sini.
Artinya, manusia serigala itu akan menampakkan diri. Dia akan
berburu daging segar."
Ayahku, seperti halnya penduduk di sekitar hutan, percaya hal
itu. Mereka yakin sekali manusia serigala adalah sesuatu yang nyata.
Bahwa ada seekor manusia serigala di hutan ini.
Jantungku bertalu-talu. Aku berbalik ke tendaku"tapi merasa takut harus tidur
sendirian. Aku akan tidur di tenda Daddy malam ini. Kukatakan saja
perutku sakit, supaya ia tak menuduh aku ketakutan.
Aku berbalik"berjalan ke tendanya. Pelan-pelan kubuka kepak
pintunya. Aku mengintip ke dalam. "Dad?" Ayahku tak ada.
4 KUDENGAR suara keresak di belakangku. Kuputar tubuhku
lalu diam mendengarkan. Itu suara langkah kaki, pikirku. Dedaunan kering di dasar hutan
berkeresak ketika kaki-kaki yang berat menginjaknya.
"Itu pasti Dad!" kuyakinkan diriku. "Akan kususul dia. Aku tak
mau sendirian di sini."
Aku berlari kembali ke tendaku. Dalam kegelapan tenda, aku
meraba-raba mencari jins dan ketsku, lalu terburu-buru memakainya.
Setelah itu aku segera lari ke luar lagi.
Suara dedaunan terinjak sesuatu masih terdengar. "Bagus. Dad
ada di sekitar sini."
Kutinggalkan area perkemahan kami, melangkah menuju jalan
setapak. Kilau bulan menerangi jalanku.
"Hei, Dad!" Aku sudah hampir berteriak memanggilnya, tapi
lalu berhenti. "Betul-betul tolol." Kugelengkan kepalaku. "Itu akan membuat
semua beruang di hutan ini mengetahui keberadaanku."
Tapi bukan beruang yang kutakuti.
Lalu kucoba mengikuti bunyi langkah kaki itu. Kutajamkan
telingaku. Tapi aku tak bisa menentukan dari arah mana suara-suara
itu. Jalan setapak itu kemudian bercabang. Apa sebaiknya aku terus"
Atau bagusnya aku berbelok" Aku bingung harus mengambil jalan
yang mana. Selagi bengong begitu, kusadari suara langkah kaki itu
semakin lemah. Semakin menjauh.
Akhirnya aku memutuskan untuk belok. Sambil mengikuti
suara yang terdengar semakin samar, aku berlari masuk semakin jauh
ke dalam hutan. Pepohonan tumbuh semakin rapat. Puncak-puncaknya


Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentuk tirai gelap di atas langit. Tirai gelap yang
menyembunyikan sinar rembulan.
Aku berlari dalam kegelapan yang pekat. Tersandung-sandung.
Dan tergores-gores pepohonan. "Kenapa Dad meninggalkan
perkemahan?" ratapku.
Aku berhenti untuk mendengarkan bunyi langkah kaki tadi"
tapi kini suasana betul-betul senyap.
Kenapa hutan ini begitu sepi" Aku merinding. Seperti tidak
nyata. Lalu, kudengar bunyi ranting patah.
Itu pasti Dad! Aku berlari lagi. Kuikuti jalan setapak yang berkelok-kelok itu,
sambil berkelit menghindari dahan-dahan yang rendah, dan air yang
menetes dari dedaunan. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas.
Aku tak bakal bisa menemukan ayahku. Terlalu gelap. Aku tak
tahu ke mana aku berlari!
"Dad! Dad! Dad di mana?" teriakku.
Kudengar lagi bunyi ranting patah. Kali ini di alas kepalaku.
Dan... aku pun terpaku...
Terdengar geraman rendah. Lalu bunyi dahan berderak keras.
Aku mendongak"dan bertatapan dengan sepasang mata hitam
yang berkilat-kilat. Binatangkah itu" Apa itu" Tapi aku tak sempat lagi melihatnya.
Aku terhuyung mundur saat makhluk itu melompat turun dari
dahan pohon. Kubuka mulutku untuk menjerit"tapi tak ada suara yang
keluar! Setengah manusia, setengah serigala, makhluk itu berdiri di atas
keempat kakinya. Bulu-bulu yang meremang tegak berkilauan di
bawah sinar bulan. Sambil menggeram, dengan air liur bertetesan, makhluk itu
perlahan bergerak mendekatiku.
Aku terpana ketakutan. Dan mundur menjauh.
Makhluk itu memiliki wajah serigala. Tapi punggung dan
dadanya menunjukkan ia manusia.
Ia menatapku dengan mata hitamnya yang berkilat. Ia
menyeringaikan bibirnya, hingga aku dilanda kengerian yang amat
sangat ketika memandang taringnya yang tajam.
Lalu"sebelum aku sempat lari"manusia serigala itu
merendahkan tubuhnya. Sambil mendongak ia melolong.
Lalu secepat kilat menyergapku. Menerjangku. Dan
menancapkan taringnya ke bahuku.
5 NYERI luar biasa menyerangku. Panas.
Pusing. Pandanganku gelap. Dan aku pun jatuh... Jatuh... ke dalam kegelapan...
Napas hangat berembus di leherku.
Makhluk itu... ia datang lagi.
"Pergi. PERGI! JANGAANNN! DAD! TOLOOONG!"
Sepasang tangan menyentuh bahuku. Bukan" bukan tangan.
Cakar serigala! "TIDAAAK! TOLOOONG!"
"Aaron, ini aku. Tenang. Tenang."
Kubuka mataku. Dad duduk di tepi pelbedku.
Dicondongkannya tubuhnya, sementara salah satu tangannya
memegangi bahuku. "Aaron, kau baik-baik saja?" Alisnya berkerut khawatir.
Aku bangkit. Aku ada di pelbedku. Kembali aman di dalam
tendaku. Tunggu dulu. Betulkah tadi aku meninggalkan tendaku ini"
Aku bingung setengah mati.
Lari di kegelapan hutan"manusia serigala"betulkah itu cuma
mimpi buruk" Kupalingkan wajahku memandang ayahku"dan kurasakan
bahuku berdenyut sakit. Jadi betul! Itu bukan mimpi. Manusia serigala tadi nyata.
"Bagaimana aku bisa sampai lagi di sini?"
"Aku menggendongmu," jawab ayahku. "Kulihat makhluk itu
menindih tubuhmu. Lalu kuusir dia pergi!" Wajah ayahku tampak
bersemangat. "Yakinkah Dad dia sudah pergi?" Kubaringkan lagi tubuhku.
"Ya. Dia sudah pergi. Makhluk itu takkan kembali lagi malam
ini. Jangan khawatir." Ayahku bangkit dan bergerak ke luar tenda.
Kalau makhluk itu memang sudah pergi, kenapa aku harus
khawatir" aku bertanya-tanya. "Apa maksud Dad?" tanyaku, sambil
bangkit dan duduk di pelbed.
"Ya, jangan takut," katanya lagi. "Dia sekarang sudah pergi.
Tapi besok akan kita buru dia."
"Aku tak ingin memburu makhluk itu besok!" teriakku. "Aku
ingin pulang ke rumah!"
"Wah, ini sangat mengasyikkan," Dad meneruskan langkahnya.
Rupanya ia tak mendengar apa yang kukatakan. "Kita kan memang
bermaksud menangkap manusia serigala!"
"Itu terlalu berbahaya, Dad!" seruku.
Dad menghentikan langkahnya. Lalu memutar tubuhnya.
Wajahnya tampak bingung. "Bahaya?" Digelengkannya kepalanya.
"Manusia serigala tak punya kekuatan khusus di siang hari. Mereka itu
manusia seperti kita. Sama sekali tak berbahaya."
Aku tahu aku tak mungkin bisa membantah ayahku.
"Tadi Dad ke mana?" tanyaku. "Aku mencari Dad di tenda, tapi
Dad tak ada." "Aku tak bisa tidur. Mungkin karena terlalu gembira berada di
sini. Lalu aku keluar untuk jalan-jalan sedikit. Siapa tahu bertemu
dengan manusia serigala. Kau kan tahu, sudah lama aku ingin
menangkap makhluk itu."
Dad membuka tutup tendaku, lalu melangkah ke Iuar. "Selamat
malam, Aaron. Tidak apa-apa kok. Tenang saja. Istirahatlah. Besok
akan jadi hari bersejarah bagi kita berdua!" Dirapatkannya kepak
tendaku. Aku kembali berbaring. Kutarik selimut sampai ke dagu.
Embusan angin membuka kepak tendaku.
Coba tenda ini ada pintunya, supaya bisa kukunci, pikirku saat
menatap kepak yang bergoyang-goyang itu.
Kalau saja saat ini aku berada di Florida, di rumah Ncnek.
Kupejamkan mataku. Kalau saja saat ini aku berada di rumah, bermain bisbol
bersama teman-temanku. Rasa kantuk mulai menyerangku.
Kalau saja liburan sekolah ini segera berakhir.
Aku jatuh tertidur sambil membayangkan tempat-tempat lain
yang lebih kusukai daripada tempat ini.
Aku bolak-balik dengan gelisah di pelbedku, sebelum akhirnya
jatuh lagi ke alam mimpi.
Lari... aku sedang berlari di tengah kegelapan hutan yang
dingin. Berlari di bawah dahan-dahan pohon yang terjulur rendah.
Berlari di bawah sinar bulan purnama. Berlari di atas keempat
kakiku. Dedaunan di tanah menggesek bulu-buluku.
Bau kabut menyengat cuping hidungku. Saat itu aku berlari
dengan sekawanan serigala. Terengah-engah.
TIDAAK! Aku tak ingin bermimpi seperti ini.
Kupaksa diriku untuk terjaga.
Kupaksa mataku agar terbuka, dan kudapati diriku tersengalsengal.
"Itu cuma mimpi," aku berkata pada diriku, sambil berusaha
mengatur napasku lagi. "Salah satu mimpi burukku."
Tendaku gelap. Masih malam rupanya. Aku duduk di pelbedku"dan tersentak.
Di ujung tempatku tidur, sepasang mata gelap yang berkilauan
menatapku"manusia serigala!
6 "JANGAN sakiti aku," kata-kata itu keluar dari bibirku dengan
suara tercekik. Manusia serigala itu tak bergerak.
Dengan napasnya yang ngos-ngosan, napas binatang, ia
menatapku dengan matanya yang berkilauan. Tatapannya membuatku
terpaku. Jantungku berpacu kencang. Aku terlalu ketakutan hingga tak
mampu bangkit. Aku hanya balik memandangnya.
Berteriaklah, Aaron, BERTERIAK!
"DAAAAD!" kata itu keluar dari tenggorokanku. "DAAAAD!"
Kepala manusia serigala itu tersentak ke belakang. Diangkatnya
cakarnya. Lalu dilemparkannya sesuatu ke pelbedku. Setelah itu ia
melompat ke luar. "DAAAAD!" "Aaron, ada apa?" Kudengar ayahku bertanya dari tendanya.
"Aku segera ke tempatmu."
Aku melompat dari pelbedku, begitu kerasnya sampai-sampai
pelbedku terbalik. Pelbed itu membentur dinding tendaku, sehingga
nyaris saja tendaku roboh.
"Whoa!" Dad melangkah masuk. Diangkatnya tangannya untuk
menahan tendaku yang bergoyang-goyang. "Aaron, ada apa" Apa
yang terjadi" Kenapa kau berteriak?"
"Makhluk-makhluk itu datang lagi, Dad!" kataku tergagapgagap. "Dia masuk ke tendaku. Tuh, di situ." Kutunjuk tempat ia
berdiri tadi. "Dia datang lagi?" Ayahku tak percaya. "Akan kukejar dia!"
Dad memutar tubuhnya. "Oh." Dad menoleh dari balik bahunya. "Kau
baik-baik saja, kan?"
Aku baru saja hendak mengangguk. "Kurasa. Aku?"
Dad sudah berlalu sebelum aku sempat menyelesaikan katakataku.
Kuangkat pelbedku, kubetulkan lagi letaknya. Dengan tubuh
masih gemetar, aku duduk di atasnya. "Aku tak mengerti. Kenapa
manusia serigala itu kembali lagi?"
Kubayangkan saat ia berdiri di ujung tempat tidurku.
Kata Dad tadi, makhluk itu tak mungkin kembali malam ini.
Tapi Dad keliru. "Dad?" Apakah dia baik-baik saja"
Mungkin dia membutuhkan bantuanku!
Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpa dirinya"
Bagaimana kalau makhluk itu menunggunya di luar sana"
"Aku harus menyertainya!" Aku melompat turun. "Dad
seharusnya tak meninggalkanku sendirian di sini. Dia seharusnya
mengajakku bersamanya!"
Aku baru saja hendak berlari ke luar"ketika sesuatu di lantai
menarik perhatianku. Sesuatu yang kecil, berwarna putih, dan
berkilauan. "Apa ini?" Kuraih benda itu"lalu kuamati.
Betulkah ini sejenis gigi binatang" Benda itu tergantung seperti
bandul pada seutas tali. Kuputar-putar benda itu, kuamati dari segala
sudut. "Dari mana benda ini?"
Manusia serigala itu! Ya. Sekarang aku ingat ia tadi
melemparkannya ke pelbedku.
Kupegang tali bandul itu. Kutatap benda itu. Ya betul, ini gigi.
Aku harus mencari ayahku. Akan kuperlihatkan benda ini
padanya. Barangkali saja benda ini berarti sesuatu.
Aku keluar dari tendaku"dan terkejut. Dad berdiri tepat di
depan pintu. "A-aku tak tahu Dad ada di luar sini," gumamku.
"Manusia serigala itu tak kutemukan." Dad mengerutkan
dahinya. "Kita cari lagi besok."
"Lihat." Kupegang bandul itu. "Manusia serigala itu tadi
melemparkan benda ini. Betulkah ini gigi serigala?"
Dad mengambil bandul itu. "Aneh sekali," katanya, sambil
mengamati benda itu. "Kenapa makhluk itu memberikan bandul ini
padamu?" "Kira-kira apa artinya, Dad?"
Ayahku menggelengkan kepala. "Aku tak tahu. Mungkin benda
ini akan memberi keberuntungan pada kita, hingga besok kita berhasil
menangkap manusia serigala. Matanya langsung bercahaya. "Kurasa
sebaiknya bandul ini kaupakai."
Dikenakannya bandul itu di sekeliling leherku. Ketika bandul
itu menyentuh dadaku, aku gemetar.
Dan kurasakan tikaman rasa dingin"dingin yang menakutkan,
yang menyebar di seluruh tubuhku, hingga aku harus melingkarkan
tanganku agar tubuhku berhenti bergetar.
**************** "Aaron! Aaron! Cepat!" Aku terbangun kaget keesokan paginya
oleh suara ayahku yang heboh. Aku turun dari pelbedku.
"Cepat! Nanti terlambat!" Suara ayahku terdengar melengking
penuh semangat. "CEPAT! Mau lihat, tidak?"
7 Aku berlari ke luar tenda.
Memandang panik sekeliling perkemahan kami.
Tak ada apa-apa. Tak ada manusia serigala yang mengerikan. Cuma Dad, yang
mengenakan topi bisbol biru laut, jins, dan kaus merah favoritnya. Ia
membungkuk di depan perapian, sedang menggoreng telur.
"Ada apa, Dad?" seruku, dengan jantung berdebar keras.
"Terlambat apa?"
"Terlambat sarapan. Kau kan nggak mau telurmu jadi dingin."
Ia tertawa.ebukulawas.blogspot.com
"Nggak lucu," gerutuku.
Dad menuang telur itu ke dalam dua piring. Lalu diulurkannya
satu piring kepadaku. "Jangan suka menggerutu, Aaron. Ini hari
keberuntungan kita. Sebab kita akan menangkap makhluk itu!"
Hari ini kita akan menangkap makhluk mengerikan itu.
Tenggorokanku terasa tersumbat.
Kutusuk telurku dengan garpu. Lalu kusuapkan ke mulut. Tapi
aku tak bisa menelannya. Ketika Dad sedang menuang kopi ke
gelasnya, kulepehkan lagi telur itu ke piring.
"Dad yakin itu aman?" tanyaku. "Maksudku, kalau kita
bermaksud menjebaknya?"
"Pertanyaan apa itu?" jawabnya. "Memangnya apa tujuan kita
ke sini?" "Tapi, bisa saja itu berbahaya," kataku lagi. "Mungkin saja
manusia serigala itu punya kekuatan, di siang hari sekalipun. Kita saja
yang nggak tahu." "Tidak bakal," ayahku menekankan.
"Bagaimana Dad tahu?" desakku lagi. "Maksudku, bagaimana


Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dad yakin tentang hal itu?"
Ayahku tahu segalanya. Ia tahu bagaimana membetulkan mobil,
keran yang bocor"pokoknya segalanya. Ia menguasai masalah
perbintangan. Ia tahu aku akan sakit"sebelum aku sendiri
menyadarinya. Bahkan ia tahu bagaimana merajut baju hangat.
Dan ia telah menjelaskan padaku bagimana ia tahu manusia
serigala tak punya kekuatan di siang hari. Teringat itu, aku merasa
lebih nyaman. "Bagaimana Dad tahu manusia serigala tak punya kekuatan di
siang hari?" tanyaku lagi.
"Aku tak tahu dari mana aku tahu hal itu." Dad mengangkat
bahu. "Aku, yah, tahu saja."
Mendengar kata-katanya itu, aku jadi resah lagi.
Sesudah sarapan, ayahku memintaku membereskan tenda.
Sekarang tiba saatnya berburu manusia serigala.
Kami menggulung tenda-tenda kami, dan memasukkan semua
bawaan ke dalam dua ransel hijau besar, lalu berjalan masuk ke dalam
hutan. "Bagaimana Dad tahu kita akan berjalan ke arah mana?"
tanyaku. "Gampang. Kita ikuti saja jejak ini." Dad menunjukkan jejak
yang cukup dalam di tanah.
Kutatap jejak itu, tubuhku gemetar.
Kami menjelajahi hutan itu. Rapatnya pepohonan menghalangi
sinar matahari. Betapa suramnya di sini, pikirku, sambil membetulkan
letak ranselku. "Dad! Pelan-pelan dong!" seruku sambil memindahkan beban
ke bahuku. Tapi ayahku tak peduli. Ia tetap melangkah cepat, sambil
melompat-lompat, bernafsu sekali ingin menangkap mangsanya.
Saat aku berhasil menjajarinya, ia berhenti mendadak.
"Ini dia!" bisiknya. "Aku melihatnya!" Matanya melebar
kegirangan. Lalu dia berlari, menyelusuri jalur yang berkelok-kelok.
Dengan dada berdebar keras, kususul ayahku.
Tapi ayahku semakin mempercepat larinya, melesat zigzag di
antara pepohonan. Jauh di depanku, kulihat kilasan warna. Kilasan bulu-bulu
cokelat. Aku berhenti lagi. "Yah." Dad menatap makhluk yang tegak di depannya.
"Ternyata rubah."
Rubah kecil itu memandang kami dengan ketakutan. Ayahku
menggelengkan kepalanya kecewa.
"Seharusnya aku tahu," katanya. "Ini kan pagi. Manusia serigala
akan berbentuk manusia pada saat seperti ini. Well, aku takkan
melakukan kebodohan itu lagi."
Aku gembira melihat ayahku melakukan kesalahan. Aku berdoa
agar ia terus melakukan kesalahan, sampai tiba saatnya kami harus
pulang kembali. Aku berdoa agar manusia serigala itu sekarang sudah
jauh, jauh sekali. Dad kembali ke jalur semula dan meneruskan perburuan.
Hari ini hutan dipenuhi suara-suara. Suara-suara aneh yang
belum pernah kudengar. Lengkingan binatang dan bunyi berkeriut
tajam. Juga bunyi pukulan yang keras"seolah-olah ribuan jari sedang
memukul. Aku mendongak"dan tersentak. Dahan-dahan pepohonan
dipenuhi burung-burung hitam. Jumlahnya ratusan. Berjejer-jejer.
Dengan mata-mata berwarna merah. Paruhnya yang panjang dan
runcing membuka dan menutup dengan suara KLAK yang keras
sekali. Aku belum pernah melihat burung jenis ini sebelumnya.
Aku bergerak di antara pepohonan, sambil terus menatap
burung-burung itu. Menatap ratusan mata-mata merah yang
memandangiku. Terdengar bunyi paruh-paruh mereka yang menutup
dan membuka. "Marahkah mereka?"
Mataku terus menatap burung-burung itu.
"Lapar?" Tak kulepaskan sedikit pun pandanganku.
"Aku tak ingin tahu jawabnya."
Kualihkan pandanganku"dan kaget.
Jalur di depanku kosong. Ayahku sama sekali tak terlihat.
"Dad, Dad di mana?" teriakku.
Tak ada jawaban. Kupanggil lagi ayahku. Lagi.
Aku mengambil langkah seribu, berlari di antara pepohonan,
mencari ayahku. Tapi tak kutemui ia di mana-mana.
"Kenapa aku meleng tadi?" erangku.
Mataku menjelajahi hutan itu dengan panik.
"Di mana aku sekarang?" seruku panik. "Semua pohon tampak
sama! Aku tidak bakal bisa keluar dari hutan ini! Dan tak seorang pun
bisa menemukanku." Kecuali si manusia serigala...
8 "DAD! DAD! DAAAAD!" Aku meluncur menuruni jalan
setapak, menjerit-jerit memanggil ayahku.
Jerit ketakutanku memenuhi hutan itu.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada tanda-tanda keberadaan ayahku.
Napasku terengah-engah. Kecapekan. Tenggorokanku terasa
kering. Kuperlambat langkahku, dan berjalan menembus hutan tanpa
suara. Kutajamkan penglihatanku, mencari-cari sosok ayahku. Siapa
tahu aku melihat sekelebat T-shirt merahnya. Juga ransel hijaunya.
Kucoba menenangkan diriku. Tapi bunyi sekecil apa pun"
gemersik dedaunan, derak ranting pepohonan, suara-suara binatang
hutan"membuat jantungku melompat-lompat ketakutan.
Sementara melangkah, kusadari jalan setapak itu perlahan-lahan
melebar. Pepohonan semakin sedikit. Matahari semakin terang.
Lalu"hutan itu berakhir di sebuah tanah terbuka.
Aku melangkah ke tanah yang bermandikan matahari"dan
nyaris bersorak gembira. Tampak sebuah gubuk kayu. Asap putih keluar dari
cerobongnya. Sinar jingga terlihat berkilauan dari jendela di samping
pintu gubuk. Aku berjingkat-jingkat mendekati jendela dan mengintip ke
dalamnya. Di ujung ruangan tampak api menyala dalam perapian. Di
depan perapian itu ada meja bundar dengan dua kursi.
Kujulurkan leherku supaya bisa mengintai lebih jauh lagi"dan,
pintunya pun terbuka dengan suara keras.
Aku menjerit kaget. Di depan pintu berdiri seorang wanita tua. Rambutnya yang
hitam pekat terurai sampai ke pinggang. Namun bagian atas kepalanya
agak botak, sehingga kulit kepalanya yang kemerahan terlihat.
Kulit pipinya yang cekung keriput. Hidungnya panjang"
bahkan saking panjangnya, ujungnya nyaris menyentuh bibirnya yang
kering dan pecah-pecah. Pakaiannya compang-camping, terbuat dari renda berwarna
ungu dan jingga. Pakaian itu menutupi tubuhnya yang kurus hingga ke
mata kaki, menutupi jari-jarinya yang telanjang.
Cuping telinganya turun karena menahan anting-anting perak
bundar yang dikenakannya. Gelang perak yang berkilauan menghiasi
tangannya, mulai dari pergelangan hingga ke siku.
"Mau apa kau?" tanyanya dengan suaranya yang melengking
tajam. Matanya yang biru bersinar tajam.
"A-aku tersesat," kataku tergagap.
"Masuklah." Wanita itu memutar tubuhnya lalu menghilang ke
dalam. Kuikuti wanita tua itu. Aku baru saja maju selangkah"saat
pintu di belakangku terempas dengan keras.
"Ketakutan, ya?" Wanita tua itu mengangguk-anggukkan
kepala. "Yah, sudah seharusnya."
Aku menatap pintu. "Kau tak akan ke mana-mana," katanya, seolah-olah ia bisa
membaca pikiranku. "Duduk." Ditekannya bahuku, dan didorongnya
aku ke arah meja. "Tempat ini berbahaya." Pandangan dingin wanita tua itu
membuat bulu kudukku meremang.
"Kalau begitu, aku pergi saja!" Aku melompat dari dudukku.
"Duduk!" perintahnya lagi. "Hutan itu berbahaya. Kenapa kau
berkeliaran sendirian di hutan itu?" Suaranya kini lebih ramah.
"Aku tak sendirian," kataku. "Aku bersama ayahku. Tapi aku
terpisah darinya." Aku menceritakan tentang ayahku padanya. Tentang
keinginannya untuk menangkap manusia serigala.
"Aku yakin ayahmu akan muncul di sini, mencarimu. Sambil
menunggu kita minum teh dulu"dan akan kuceritakan legenda
manusia serigala yang diburu oleh ayahmu itu."
Wanita tua itu berdiri, lalu menjerang air di tungku. Setelah itu
ia kembali ke meja. Disisirnya rambutnya yang tipis dengan bukubuku jarinya yang bertonjolan, lalu memulai kisahnya.
"Hutan ini tak selalu tenang," ia memulai ceritanya. "Selalu
terdengar gaung-gaung tawa anak-anak kecil. Tapi itu dulu. Sebelum
orang asing itu datang."
"Orang asing?" "Ya." Wanita tua itu mengangguk sedih. "Seorang lelaki tinggi
besar dan tegap. Dengan rambut panjang dan lebat sebahu. Juga
dengan jenggot panjang di dagunya. Dan mata hitam yang berkilauan.
'Mata manusia serigala' kata penduduk setempat.
"Tak ada yang tahu dari mana asal lelaki itu. Dia berjalan
melintasi desa. Penduduk gembira mengetahui lelaki itu terus berjalan
menuju hutan. Mereka tak menegurnya sama sekali.
"Tapi seharusnya mereka menanyai lelaki itu. Dan itu baru
belakangan mereka sadari. Seharusnya mereka menghentikan lelaki
itu. Dan mengusirnya." Suara wanita tua itu semakin pelan. "Karena
sejak itulah teror melanda desa ini."
Ia bersandar di kursinya dan memejamkan matanya rapatrapat"sepertinya sedang mencoba mengenyahkan rasa ngeri yang
melandanya. "A-apa yang terjadi?" tanyaku tergagap.
"Malam itu bulan purnama muncul. Lolongan menakutkan
bergema di hutan itu sepanjang malam. Dan kami mendengar jeritanjeritan kesakitan yang mengerikan. Seluruh penduduk desa tak bisa
tidur. "Ketika matahari muncul, suara-suara itu lenyap. Apa pun yang
terjadi malam itu"sudah selesai. Salah satu penduduk mengusulkan
untuk memeriksa hutan itu.
"Sekelompok lelaki memberanikan diri untuk pergi ke hutan.
Mereka menemukan bangkai-bangkai binatang, tercabik-cabik,
terkoyak-koyak, bersimbah darah.
"Mereka juga menemukan sesuatu. Jejak serigala.
"Beberapa lelaki pemberani bersembunyi di dalam hutan malam
itu. Ketika bulan purnama muncul, lelaki asing itu melompat turun
dari sebatang pohon. Dia mendongakkan kepalanya ke arah bulan, lalu
melolong. "Lelaki-lelaki itu ketakutan ketika melihat bulu-bulu tebal
bermunculan di sekujur tubuh orang asing itu. Wajahnya pun
memanjang, berubah bentuk menjadi moncong binatang. Gigi taring
muncul di gusinya. "Seekor kelinci melintas. Makhluk itu menyambarnya dan
menyantapnya sampai habis.
"Semua lelaki itu akhirnya mengambil langkah seribu. Mereka
lari pulang ke desa. "Saat itu mereka beruntung.
"Belakangan, beberapa orang pergi ke hutan itu lagi, mencoba
menangkap makhluk itu. Tapi mereka tak pernah kembali." Wanita
tua itu menghela napas panjang.
"Jadi hanya orang yang bodoh dan gila yang berani memasuki
hutan itu. Tak seorang pun bisa menyelamatkan dirinya dari manusia
serigala." "Apakah manusia serigala itu masih ada?" tanyaku. "Maksudku,
orang asing dengan mata serigala itu?"
Ia mengangkat bahu. "Siapa yang tahu" Siapa yang tahu
seberapa jauh kebenaran legenda lama ini...?" Suara wanita itu
semakin lemah. "Kuharap ayahku baik-baik saja." Kualihkan pandanganku ke
luar jendela. "Aku yakin dia tidak apa-apa. Ini kan siang. Tak ada kejahatan
yang akan menimpa dirinya selama matahari bersinar." Wanita tua itu
mengulurkan tangan. Ia meraih tanganku. "Kau mau kuramal tidak?"
tanyanya tersenyum. Kuulurkan tanganku. "Ini garis hidupmu." Dengan lembut jemari kurusnya menyusuri
salah satu garis tanganku.
Kudoyongkan tubuhku maju supaya bisa melihat lebih jelas"
dan bandul gigi serigala itu pun menyelinap keluar dari kausku.
Gigi itu berayun ke depan"dan wanita tua itu menjerit
ketakutan. "Tanda manusia serigala!" jeritnya. "Bagaimana kau
mendapatkannya" Keluar! Keluar dari rumahku!"
9 MASIH menjerit, wanita tua itu melompat dari kursinya.
Ia mengulurkan tangan ke perapian dan menarik tongkat
pengorek yang panas dan merah.
Aku kabur dari kursiku dan meluncur keluar dari pintu.
Dengan jantung berdebar-debar, aku berlari ke tanah kosong.
Aku tersandung batu dan jatuh berlulut.
Terseok-seok wanita itu menguberku. Ia mengayun-ayunkan
tongkat pengorek itu di depannya. "Tanda manusia serigala! Keluar!
Keluar!" Jeritannya memenuhi tanah kosong.
Aku melompat berdiri dan melesat cepat ke dalam hutan. Aku
tak bisa menemukan jalan setapak, tapi aku tak peduli.
Aku berlari di antara pepohonan. Tersandung-sandung akar
pohon. Dan terus melangkah.
Kenapa wanita itu mengatakan gigi itu tanda manusia serigala"
Kenapa dia takut sekali padanya"
Aku berlari sampai teriakan wanita itu menghilang.
Aku lari membabi-buta"sampai aku tak bisa mendengar
suaranya sama sekali. Kemudian, walaupun pinggangku terasa sakit, aku masih lari
beberapa lama lagi. Aku akhirnya berhenti saat mendengar geraman pelan di
belakangku. Dan bunyi rahang dikatup-katupkan.
"Manusia serigala!" Aku menahan napas.
Aku berbalik. Dan bertatapan dengan segerombolan anjing liar. Setidaknya
jumlahnya ada sepuluh. Anjing-anjing itu jelek, bulu mereka kusut
dan kotor. Mata-mata berwarna kuning menatapku buas. Rahangrahang mereka menganga dan meneteskan air liur.
Menggeram keras, anjing-anjing itu menundukkan kepala
mereka yang kurus. Bersiap-siap menyerang.
Mereka mengelilingiku. Mengepung. Mengatup-ngatupkan
rahang dengan laparnya. Aku berlari ke sebatang pohon. Dengan panik kupeluk pohon
itu dengan kaki dan tanganku" lalu mulai memanjat naik.


Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melolong dan menggonggong, anjing-anjing itu menghampiri
pohon itu. Melompat-lompat. Menggaruk-garuk batangnya.
Aku beringsut naik lebih ke atas.
Anjing-anjing itu melompat lebih tinggi, mengempas-empaskan
tubuh mereka ke batang pohon.
Aku menjerit ketika salah satu anjing itu menggigit ketsku.
Hewan itu mengibaskan kepalanya keras-keras, menarikku, menarikku
turun. Kutendang kakiku hingga lepas dan keluar dari sepatuku.
Seekor anjing lain melompat dan menggigit kaus kakiku sampai
robek. Kutendang kakiku keras-keras, hingga makhluk buas itu lepas.
Kuangkat tanganku untuk menarik diriku lebih ke atas lagi.
"Tidddaaaak!" Cengkeramanku terlepas. Dan aku terjengkang jatuh"mendarat di antara kerumunan
anjing kelaparan. 10 ANJING-ANJING itu terkejut, hingga terdiam.
Dengan napas terengah, kepala merunduk, mereka menatapku,
menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.
Kemudian, perlahan-lahan, seolah-olah digerakkan oleh isyarat
rahasia, mereka mulai bergerak maju.
Kalau aku mencoba bangkit, mereka akan menyerangku, aku
tahu. Dan mencabik-cabik tubuhku.
Sambil menggeram pelan, anjing-anjing itu maju perlahanlahan.
Gigi manusia serigala itu.
Wanita tua tadi takut pada gigi itu, pikirku. Mungkin anjinganjing ini sama juga.
Pelan-pelan kuangkat tanganku ke leher.
Anjing-anjing itu bergerak semakin dekat. Aku bisa merasakan
napas mereka yang panas dan bau di wajahku.
Kuulurkan tanganku ke balik kaus.
Jemariku yang gemetaran menggenggam tali kalung itu.
Anjing-anjing semakin merapat.
Aku mencari-cari gigi itu.
Di mana dia" Di mana"
Hewan-hewan itu sekarang menggeram galak sekali, bersiapsiap akan menyerang.
Dengan putus asa kutarik tali kalung itu. Kutarik. Kutarik.
Gigi itu lenyap. 11 KUSENTAKKAN kepalaku ke atas. Benang itu ikut tersentak.
Gigi itu. Gigi itu terselip di bawah tubuhku.
Kucengkeram benda itu. Anjing-anjing itu melompat ke arahku.
Kuangkat gigi itu ke atasku.
Yes! Anjing-anjing itu langsung berhenti menyerang.
Mereka berhenti menggonggong. Mereka menatap gigi itu
sambil menganga tanpa suara.
Kemudian, sambil menguik ketakutan, mereka berbalik
meninggalkanku. Lalu kabur ke dalam hutan, ekor mereka terselip di
antara kaki belakang. "Wow! Tak kusangka bakal berhasil!" Aku bangkit duduk dan
melayangkan pandangan ke hutan. Anjing-anjing itu lenyap dari
pandangan. Benar-benar lenyap.
"Gigi ini sakti sekali!" Kucengkeram benda itu erat-erat di
telapak tanganku. "Gigi ini telah menyelamatkan nyawaku! Sebaiknya
kujaga baik-baik!" Kenapa benda itu bisa sesakti itu" aku jadi bertanya-tanya.
Mungkin Dad bisa membantuku mencari tahu.
Hati-hati kuselipkan gigi itu ke balik kaus. Lalu aku bangkit
berdiri, mengenakan ketsku, dan mulai mencari ayahku.
Aku berjalan di antara pepohonan hutan sampai menemukan
jalan kecil. Kuikuti jalan itu.
Sekarang hutan sunyi senyap. Aku tak melihat seekor pun
burung hitam aneh itu, atau mendengar suara paruh mereka.
Aku tak melihat tupai ataupun kelinci seekor pun.
Aku tidak melihat atau mendengar apa pun.
Tapi aku tidak takut. Kusentuh gigi yang tersembunyi di balik kausku" dan aku pun
merasa aman. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berjalan.
Aku tak tahu apakah tengah berjalan di bagian lain hutan itu,
ataukah di bagian yang tadi sudah kutelusuri.
"Dad! Hei"Dad!" Aku berteriak memanggil-manggil ayahku
sambil melangkah di antara pepohonan.
Tapi Dad sama sekali tidak menyahut.
Kalau aku tidak menemukannya, matilah aku! pikirku.
Ketenanganku mulai meluntur. Denyut nadiku semakin cepat.
Aku berjalan lebih cepat.
Berteriak lebih keras. "DAAAD! Dad dengar aku, nggak?"
Tak ada jawaban. "DAD! Dad di mana?"
"Aaron, kaukah itu?" sebuah teriakan terdengar.
"Dad! Ini aku!" seruku. "Dad di mana?"
"Lihat ke atas, Aaron. Cari pohon yang paling tinggi!"
Aku memandang ke atas. "Oke, Dad, aku melihatnya! Aku
datang nih!" "Lekas, Aaron!" suara ayahku penuh semangat. "Aku telah
menangkapnya. Aku telah menangkap manusia serigala itu!"
Aku berlari sekencang-kencangnya. Tapi sebenarnya aku ingin
sekali berbalik pergi. Aku tak ingin melihat manusia serigala itu. Aku
tak ingin melihat makhluk itu lagi.
Dari balik pepohonan aku melihat kaus Dad yang merah.
Aku hampir sampai. Bulir-bulir keringat menetes di wajahku.
Aku berlari kencang ke tanah kosong itu"dan terkesiap saking
terkejutnya. "Dad"Dad gila, ya?" teriakku.
12 "DAD"Dad bercanda"ya, kan?" seruku.
Ayahku bersandar di pohon, tersenyum penuh percaya diri,
menatap mata buruannya. Buruannya"seorang pria botak biasa, tampangnya sedih, dan
umurnya setengah baya. Pria itu berdiri agak membungkuk. Ia mengenakan kemeja
flanel kotak-kotak dan celana khaki begi. Tangannya ditarik ke
punggung dan diikat dengan rantai kuat milik Dad. Lututnya diikat
jadi satu dengan dua borgol besi tebal yang disatukan dengan rantai
kuat lainnya. Inikah manusia serigala Dad"
Aku menggeleng-geleng tak percaya. Menyakiti seekor kutu
pun kayaknya pria ini nggak mampu.
"Lihat dia, Dad," tukasku. "Sudah pendek, gemuk, lagi. Dia
pakai kacamata. Bahkan tidak berambut sama sekali. Dia tak mungkin
manusia serigala!" Pria kecil itu mengangguk sedih"lalu bersin.
"Dan dia pilek! Manusia serigala tidak mungkin pilek! Ayolah,
Dad. Dad harus melepaskannya!"
"Eh, ada yang punya tisu?" Pria kecil itu menarik ingusnya.
"Nih." Kuulurkan tanganku untuk memberinya tisu.
"Aaron"JANGAN!" teriak ayahku"lalu menampar tanganku.
"Bisa saja dia cuma ingin menipumu!"
Dad benar-benar sudah sinting, pikirku. Ini kan konyol!
Pria mungil itu kembali bersin.
"Dad, kok Dad yakin sekali dia manusia serigala itu?"
"Kuikuti jejak kaki serigala itu sepagian ini"dan sampai di
pondok orang ini!" seru Dad. "Tak ada keraguan. Dialah manusia
serigala itu." "Tapi dia nggak mirip!" Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Ingat, Dad, kita melihat makhluk itu semalam. Orang ini sama sekali
nggak mirip." "Dengarkan anak Anda, Sir. Kumohon," bujuk pria mungil itu.
"Bebaskan aku."
"Manusia serigala melepaskan kulit mereka setelah bulan
purnama lewat." Dad menatap mata pria itu lekat-lekat. "Sekarang dia
memang tidak mirip makhluk itu"tapi dia benar-benar manusia
serigala," Dad berkata.
"Tidak, bukan!" erang pria itu. "Sudah kukatakan ratusan kali,
Anda salah besar!" "Jangan pedulikan dia, Aaron!"
Biasanya aku percaya pada penilaian Dad. Tapi sulit sekali
percaya bahwa pria botak dan pendek ini benar-benar bisa berubah
menjadi monster berbulu. "Dad yakin?" Kuperhatikan orang itu dengan saksama.
Matahari sore menyinari pria itu. Bulir-bulir keringat yang kecil-kecil
berkilauan di kepalanya yang pink dan mengilat. "Dia kayak akuntan,
atau dokter gigi, atau mungkin dokter mata. Dia sama sekali tidak
seperti monster pemakan daging."
"Aku bukan manusia serigala. Sumpah." Pria mungil itu
mengerang. "Anda harus percaya padaku. Aku"aku vegetarian."
"Dia manusia serigala. Aku yakin sekali!" Dad mengacungkan
tinjunya ke atas. "Mimpiku telah menjadi kenyataan. Akulah satusatunya orang di dunia ini yang berhasil menangkap manusia serigala
hidup-hidup." Mata Dad bercahaya. Aku tak ingat kapan aku terakhir
melihatnya begini gembira.
"Kita akan membawanya pulang"dan menyiarkannya di TV.
Kita akan menjadi orang pertama yang menunjukkan kepada dunia
seperti apa manusia serigala hidup itu!" Dad merangkul bahuku. "Kita
bakal terkenal, Aaron. Makhluk ini akan membuat kita kaya!
Sekarang"ayo pergi!"
Sambil bersiul ayahku mengangkat ranselnya dari tanah dan
menyelipkannya ke bahu. "Kau jalan di depan. Aku di belakang," perintah Dad. "Makhluk
itu jalan di tengah."
Dad berbalik menatap buruannya. "Jangan pernah berpikir ingin
menyusahkan kami," ia memperingatkan. "Ayo berangkat."
Didorongnya pria itu sedikit.
Pria itu tersentak maju. Rantai di sekeliling kakinya berkeletak
saat ia terseok-seok berjalan ke dalam hutan. "Anda salah besar!"
teriaknya. "Sudah kubilang"aku ini pemburu. Namaku Ben Grantley.
Aku memburu beruang-beruang untuk mengambil kulit dan bulu
mereka." "Yeah, benar," Dad berkata. "Kau pemburu. Dan aku penari
balet!" Dad menertawakan leluconnya.
"Anda tak bisa melakukan ini padaku," pria itu mengerang.
Aku menoleh dan menatap tawanan kami lekat-lekat.
Mungkinkah pria mungil ini manusia serigala" aku bertanya-tanya.
Atau Dad sebenarnya telah melakukan kesalahan yang sangat
mengerikan" Apa yang akan terjadi pada kami kalau Dad keliru"
13 MALAM itu, kami naik ke kapal yang akan membawa kami
pulang. Memang sih, seharusnya aku merasa senang. Inilah saat yang
kuimpi-impikan sejak kami datang ke Bratvia"pulang ke rumah.
Tapi banyak sekali yang keliru rasanya.
Mr. Grantley masih dirantai. Aku dan Dad memasukkannya ke
kandang. Tapi kami butuh bantuan untuk mengangkat kandang itu ke
kapal. Begitu melihat pria dalam kandang itu, para kelasi langsung
menganggap Dad sinting. Tapi Dad bersikeras Mr. Grantley
pembunuh. Ditunjukkannya lencana sheriff-nya. Dan akhirnya mereka
setuju membantu. Mereka memuat kandang itu ke dalam tempat
barang kami. Di situlah Mr. Grantley akan ditempatkan selama perjalanan
pulang kami yang panjang. Seminggu penuh di dalam tempat
penyimpanan barang"yang gelap dan sangat lembap.
Aku dan Dad tidur di kabin yang nyaman.
Aku berbaring di tempat tidurku yang luas dan memejamkan
mata. Rasanya aku masih bisa melihat ketakutan di wajah Mr.
Grantley saat kandangnya diletakkan di dasar kapal.
Pileknya semakin buruk. Matanya berair. Hidungnya merah. Ia
benar-benar tampak menyedihkan" dan sangat ketakutan.
Aku kasihan sekali melihat pria malang itu.
Kutatap ayahku. Ia duduk di mejanya, tangannya
mencengkeram pesawat telepon erat-erat. Ia sedang bicara dengan
pengacara di kota kami. Membuat rencana besar untuk menyambut
kedatangan si manusia serigala.
Dad begitu yakin Mr. Grantley manusia serigala. Tapi biarpun
sudah kucoba, rasanya sulit sekali untuk percaya.
Ketika mendengarkan suara ayahku yang sedang bertelepon,
kapal tersentak keras. Tapi Dad sepertinya tidak memperhatikan.
Aku merasa pusing. Mabuk laut.
Aku berkonsentrasi untuk menarik napas dalam-dalam. Lalu
menelan dengan susah payah. Mencoba untuk tidak muntah.
"Laut akan mengamuk dan bergelombang," kapten kapal
memperingatkan kami. "Dan akan terus begini sepanjang perjalanan."
Aku tak yakin bisa tahan seminggu di kapal ini, pikirku, perutku
jungkir balik. "Benar!" Dad berteriak ke corong telepon. "Panggil wartawan.
Juga stasiun radio dan TV. Bikin website! Biar semua orang tahu apa
rencana kita!" Biar semua orang tahu apa rencana kita.
Aku benar-benar tak percaya rencana Dad. Ia punya rencana
dan slogan untuk segala macam barang manusia serigala yang baru:
Sepatu Lari Manusia Serigala: Langsung Lari dari Kardusnya!
Kotak Kismis Manusia Serigala: Sereal dengan Gigitan!
Teh Manusia Serigala: Menjinakkan Monster Liar dalam
Dirimu! Vitamin Manusia Serigala: Dikonsumsi Saat Kau Tidak Merasa
Terlalu Manusia! "Acara TV?" Dad menyisir rambut cokelatnya yang tebal
dengan tangan. "Tentu saja, kita akan membuat film layar kaca! Tapi
harus film action. Bukan kartun! Dan jangan lupa film layar lebar.
Kita harus bikin film layar lebar!"
Dad bangkit berdiri dan dengan gugup mondar- mandir di ruang
kecil itu. Mendengarkan. Mengangguk. Berjalan lebih cepat.
Berbicara lebih keras ke corong telepon.
Kapal yang kami tumpangi oleng.
Perutku berakrobat. Aku semakin pusing. Kepalaku sakit. "Aku tidak tahu," Dad berkata di teleponnya lagi. "Sebentar." Ia
menoleh ke arahku. "Kau baik-baik saja" Tampangmu kacau."
"A-aku"sepertinya aku nggak enak badan," erangku.
"Mabuk laut," ujar Dad. "Pergilah ke dek. Jalan-jalan sedikit.
Hirup udara yang bersih. Aku yakin kau bakal enakan. Aku akan
menyusulmu begitu urusanku selesai."


Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terhuyung-huyung aku keluar dari kabin. Kabin kami letaknya
di bawah dek. Aku masih harus menyusuri koridor yang panjang dan
menaiki anak tangga yang lebih panjang lagi supaya sampai di atas.
Dan kayaknya aku tak mampu melewatinya.
Kapal itu oleng ke kiri dan kanan.
Sambil mengerang keras aku mencoba menaiki anak-anak
tangga ke atas. Dan mendarat di atas dek.
Dingin sekali di situ. Namun udara yang sejuk dan basah terasa
enak di kulitku. Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya aku bisa merasakan
rasa garam laut. Perutku tidak terlalu kacau lagi. Kepalaku berhenti berputar.
Aku berdiri di birai dan memandang lautan di bawah sana.
Gelap sekali. Aku tak bisa melihat batas antara air laut dan
langit malam. Aku tak pernah melihat kegelapan sepekat ini. Tanpa bulan.
Tanpa bintang. Aku tak bisa melihat apa pun.
Seolah-olah mencoba melihat dengan mata terpejam, pikirku.
Saat aku menunggu ayahku seperti itu, angin bertiup kencang.
Kapal kembali berguncang keras.
Kucengkeram birai kapal erat-erat sementara angin
menghantamku dengan kekuatan yang tak kusangka-sangka.
"BADAI!" aku mendengar seruan kelasi dari kejauhan.
Angin kencang kembali menghantam kapal.
Kapal itu terguncang-guncang tak terkendali.
Gelombang menerpa dan menyapu dek. Air laut membasahi dan
masuk ke sepatuku. "TOLONG!" teriakku seraya terus mencengkeram birai.
"TOLONG AKU!" Angin menahan seruanku. Aku kembali menjerit. Namun angin menderu keras sekali,
hingga aku tak bisa mendengar suaraku sendiri!
Gelombang laut yang hitam dan tinggi kembali menerjang dek
kapal. Kucengkeram birai kapal erat-erat.
Lagi-lagi ombak bergulung tinggi di depanku.
Menerpa sekujur tubuhku. Dingin. Amat dingin dan berat.
Kurasakan diriku terhanyut di bawah kegelapan.
Birai kapal lenyap. Lalu deknya. Gulungan ombak membawaku... menyeretku ke dalam lautan
gelap yang bergelombang. 14 AKU mencoba untuk menjerit.
Mencoba untuk berenang. Namun gulungan ombak yang kuat mengangkatku keluar dari
sisi kapal. Kupejamkan mataku. Bersiap-siap tertelan ombak yang gelap
dan bergulung-gulung. Namun sesuatu menahanku. Sepasang tangan yang kuat. Mencengkeram pergelangan
kakiku. Memegangiku. Menahanku agar tidak terseret ombak besar itu.
Kurasakan diriku diseret kembali.
Menyemburkan air dan terbatuk-batuk aku mendarat
menelungkup di atas dek. Aku nyaris tenggelam! Udara yang dingin dan kejadian
menyeramkan itu membuat sekujur tubuhku gemetaran.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan
diriku. Lalu aku berbalik"dan terkesiap.
"Kau baik-baik saja?" Ben Grantley bertanya. Ia membungkuk
di atasku, wajahnya waswas.
"B-bagaimana kau bisa keluar dari kandang?" tanyaku terbata.
"Rantainya lepas. Aku butuh udara. Di bawah sana sumpek
sekali." Ia melepaskan kacamatanya dan mencoba mengeringkannya
dengan lengan kemejanya yang basah kuyup. "Hampir saja
kacamataku hilang terbawa ombak. Aku tak bisa melihat apa-apa
tanpa benda ini," ia berkata pelan.
"Kau telah menyelamatkan nyawaku!" semburku.
"Ah, aku beruntung, itu saja," sahutnya. "Aku melihat kau
nyaris terseret keluar dari sisi kapal. Kutangkap kakimu dan kutarik.
Cuma itu kok." Aku tak percaya. Mana mungkin orang ini manusia serigala" pikirku.
Kutangkap mata sedihnya. Matanya sama sekali tidak mirip
mata serigala. Ia bahkan tak bisa melihat tanpa kacamatanya. Dad
pasti keliru, pikirku. "Aaron, kau tidak apa-apa?" Dad berlari menaiki tangga duadua. "Apa yang kaulakukan di sini?" teriaknya ketika melihat Ben.
Dengan kasar dicengkeramnya lengan pria itu.
"Tenang, Dad," kataku. "Dad bisa melepaskannya. Dia telah
menyelamatkan nyawaku!"
"Aku tak peduli! Dia ini makhluk berbahaya!" bentak Dad.
"Aku tak ingin kau dekat-dekat dengannya!"
"Tapi, Dad, dia menyelamatkan nyawaku!" protesku. "Lihat
saja dia! Apakah dia kelihatan berbahaya?"
"Dia manusia serigala, Aaron," tukas Dad keras kepala.
"Kuingatkan, ya"jangan tertipu olehnya."
"Anda keliru," sergah Ben. Ia meronta-ronta. "Tolong"
lepaskan aku. Biarkan aku pulang. Kita bisa melupakan dan
menganggap semua ini tak pernah terjadi."
Dad tidak memedulikannya. Disentakkannya Ben jauh-jauh
dariku. Lalu ia berteriak meminta bantuan.
Aku memperhatikan saat Dad dan dua orang kelasi membawa
tawanan kami kembali ke tempat penyimpanan barang. "Kita akan
membutuhkan rantai ekstra," aku mendengar Dad berkata saat aku
mulai menuruni tangga menuju kabin kami.
Aku berganti pakaian dan mengenakan jins kering serta
sweatshirt abu-abu. Lalu aku duduk di tempat tidur dan menatap ke
luar jendela kabin. Kutatap ombak lautan yang bergulung-gulung. Kurasakan
ombak-ombak itu menghantam sisi kapal.
Perutku mual lagi. Aku mendongak dan memandang langit malam. Awan-awan
yang berat telah tercerai-berai. Bulan sabit menggantung di atas kapal
yang terombang-ambing. Aku mulai merasa pusing. Bahuku berdenyut-denyut kesakitan.
Aku tersadar aku tak pernah memberitahu Dad bahwa manusia
serigala itu telah menggigitku. Aku tak ingin ia khawatir. Tapi
sekarang luka gigitan itu rasanya sakit sekali. Mungkin seharusnya
aku memberitahu Dad. Kuselipkan tanganku ke balik sweatshirt. Dan mulai
menggosok-gosok bahuku"dan terkesiap.
Aku melompat dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.
Kulepaskan sweatshirt-ku, lalu kuloloskan dari kepala.
Kemudian aku memandang ke dalam cermin.
"Apa itu!" jeritku ngeri. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Bahuku merah dan membesar"dan diselimuti bulu hitam tebal.
15 KUGOSOK bahuku dengan panik, mencoba mengenyahkan
bulu itu. Sia-sia. Kucengkeram gumpalan bulu itu dan mencoba menariknya
hingga lepas. "Auwww!" Tidak berhasil juga.
Apa yang terjadi" aku bertanya-tanya sambil terus memandangi
bulu hitam jelek itu. Kukenakan kembali sweatshirt-ku. Aku tak tahan melihat
bahuku yang berbulu. Aku berjalan keluar dari kamar mandi tepat ketika ayahku
kembali ke kabin. "Uh, Dad" Kayaknya aku perlu menunjukkan sesuatu."
"Sebentar." Dad melepaskan jas hujan kuningnya yang basah. Ia
pergi ke kamar mandi dan menggantungkannya di atas bak mandi.
"Dad?" aku mulai lagi.
"Sebentar, Aaron!" Ia duduk di mejanya dan mengangkat
telepon. "Aku harus menelepon sebentar."
Dua puluh menit kemudian, Dad masih juga menelepon, bicara
dengan pengacaranya. "Lupakan Burger MacWerewolf. Bukan ide bagus," aku
mendengar ia berkata. "Oh"kau sudah menghubungi orang-orang
dari perusahaan boneka itu" Apakah mereka sudah mendesain Wolfie,
si boneka manusia serigala itu?"
Bahuku mulai terbakar dan gatal. Kuulurkan tanganku ke balik
sweatshirt dan mulai menggaruknya.
"Dad"aku harus bicara, sebentar saja," bisikku.
Jodoh Rajawali 16 Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Ladang Pertarungan 2
^